You are on page 1of 61

1

BAB I
PENDAHULUAN
Malnutrisi yaitu gizi buruk atau kurang enegi protein (KEP) dan defisiensi
mikronutrien merupakan masalah yang membutuhkan perhatian khusus terutama
di negara-negara berkembang yang merupakan faktor resiko penting terjadinya
kesakitan dan kematian pada ibu hamil dan balita (Krisnansari, 2010).
Di Indonesia, KEP dan defisiensi mikronutrien juga menjadi masalah
kesehatan penting dan darurat di masyarakat terutama anak balita. Kasus kematian
balita akibat gizi buruk kembali berulang, terjadi secara massif dengan wilayah
sebaran yang hamper merata di seluruh tanah air (Krisnansari, 2010). Tercatat satu
dari tiga anak di dunia meninggal setiap tahunnya akibat buruknya kualitas gizi.
Dari data departemen kesehatan menunjukkan setidaknya 3,5 juta anak meninggal
tiap tahun karena masalah kekurangan gizi dan buruknya kualitas makanan,
didukung pula oleh kekurangan gizi selama masih didalam kandungan (Siagian,
2012).
Berdasarkan laporan dari Dinas Kesehatan seluruh Indonesia, padat tahun
2005 terdata 76.178 kasusu kemudian menurun menjadi 50.106 kasus pada tahun
2006 dan 39.080 kasus pada tahun 2007 (Krisnansari, 2010). Menurut riset
kesehatan dasar pada tahun 2010, sebanyak 13% berstatus gizi kurang diantaranya
4,9% gizi buruk (Siagian, 2012).
Penyebab gizi buruk dipengaruhi oleh beberapa faktor yang saling terkait,
antara lain asupan makanan yang kurang disebabkan karena tidak tersedianya
makanan secara adekuat, anak tidak cukup mendapat makanan bergizi seimbang,
pola makan yang salah, serta anak sering menderita sakit. Kekurangan konsumsi
makanan yang berlangsung lama, kurangnya pengetahuan masyarakat tentang
pemeliharaan gizi anak, serta rendahnya kondisi kesehatan lingkungan, selain itu
juga dipengaruhi oleh masalah ekonomi dan pelayanan kesehatan, serta pola asuh
yang kurang memadai sehingga berdampak pada meningkatnya jumlah balita
dengan status gizi buruk (Depkes, 2000).
2

Diagnosis gizi buruk dapat diketahui melalui gejala klinis, antropometri
dan pemeriksaan laboratorium (Krisnansari, 2010). Diagnosis dini penyakit gizi
buruk berdasarkan komponen-komponen diatas sangat penting dilakukan
mengingat masalah gizi buruk balita merupakan masalah yang sangat serius
apabila tidak ditangani secara cepat dan cermat dapat berakhir pada kematian.
Laporan kasus ini mengangkat kasus mengenai marasmus kondisi V yang
terjadi bersamaan dengan penyakit penyerta yaitu bronkopneumonia dan impetigo
bulosa. Permasalahan-permasalahan pada kasus ini diangkat dan dianalisis untuk
mengetahui ketepatan diagnosis dan tatalaksana penyakit-penyakit tersebut.
Melalui penelaahan terhadap kasus ini, diharapkan tatalaksana gizi buruk dapat
dilakukan secara cepat dan tepat agar morbiditas dan mortalitas pada anak dapat
dihindari.













3

BAB II
STATUS PASIEN

2.1 Identifikasi Pasien
a. Nama : Muhammad Zaki
b. Umur : 2 bulan 17 hari
c. Jenis kelamin : Laki-laki
d. Alamat : Rusun Blok 21 lt. 3 No.68 RT.44 RW.08
Palembang
e. Dikirim oleh : -
f. MRS tanggal, pukul : 10 Juni 2014
g. Nomor RM : 820893

2.2 Anamnesis
Tanggal : 16 Juni 2014
Diberikan oleh : Ibu Pasien

a. Riwayat Penyakit Sekarang
1. Keluhan utama : sesak nafas
2. Keluhan tambahan : demam dan batuk
3. Riwayat Perjalanan Penyakit
+ 1 minggu sebelum masuk rumah sakit anak batuk berdahak, tidak
demam, tidak pilek, tidak ada mual dan muntah, tidak ada sesak, badan tidak
lemas, BAB dan BAK biasa.
+ 3 hari sebelum masuk rumah sakit penderita mengeluh bintik merah-
merah di leher yang semakin lama makin melebar, ada demam tinggi, mual dan
muntah tidak ada, sesak tidak ada, batuk bertambah sering, BAK biasa, BAB
cair, cairan lebih banyak dari ampas, masing-masing 1/4 gelas belimbing, tidak
ada darah maupun lendir. Dibawa ke bidan diberi obat sirup dan penurun
panas.
4

+ 12 jam sebelum masuk rumah sakit anak tampak sesak nafas, batuk
bertambah sering, ada demam, tidak ada mual dan muntah, BAB cair tidak
ada, BAK biasa, dibawa ke dokter spesialis anak dan dianjurkan untuk dirawat
di RSMH.
Riwayat kontak dengan pasien TB ada, riwayat dirawat di bagian anak
RSMH dengan bronkopneumonia + 2 minggu dengan perbaikan.


b. Riwayat Sebelum Masuk Rumah Sakit
1. Riwayat Kehamilan dan Kelahiran
Masa kehamilan : 9 bulan
Partus : spontan per vaginam
Ditolong oleh : bidan
BBL : 3300 gram
PBL : 50 cm
2. Riwayat Penyakit yang Pernah Diderita
Parotitis : tidak ada
Difteri : tidak ada
Tetanus : tidak ada
Campak : tidak ada
Varisela : tidak ada
Typhoid : tidak ada
Demam lama : tidak ada
Radang paru : tidak ada
TBC : tidak ada
Lumpuh : tidak ada
Otitis media : tidak ada
Muntah berak : tidak ada
Batuk/pilek : ada, tapi jarang
Kecacingan : tidak ada
Patah tulang : tidak ada
Jantung : tidak ada
Sendi bengkak : tidak ada
Kecelakaan : tidak ada
Operasi : tidak ada
Keracunan : tidak ada
Sakit kencing : tidak ada
Sakit ginjal : tidak ada
Alergi : tidak ada
Perut kembung: tidak ada
Malaria : tidak ada
DBD : tidak ada
Kejang : tidak ada
Asma : tidak ada

3. Riwayat Makanan
5

ASI + susu formula : 0 s.d. sekarang
Bubur nasi : -
Nasi biasa : -
Kesan : Asupan makan cukup

4. Riwayat Imunisasi
BCG : 1x
Hepatitis : -
Polio : -
DPT : -
Campak : -
Kesan : imunisasi dasar tidak lengkap

5. Riwayat Perkembangan Fisik
Tengkurap : -
Kesan : perkembangan fisik dan bicara dalam batas normal

6. Riwayat Perkembangan Mental
Isap jempol : tidak ada
Ngompol : ada
Aktivitas : aktif
Membangkang : tidak ada
etakutan : tidak ada
Kesan : perkembangan mental dalam batas normal

7. Riwayat Keluarga
Menikah : 26 tahun
Jumlah saudara : 1
Riwayat penyakit : riwayat penyakit dengan keluhan yang sama
dengan pasien dalam keluarga tidak ada.

6

Pedigree :
Keterangan:
: laki-laki
: perempuan
: pasien


2.3 Pemeriksaan Fisik (10 Juni 2014)
a. Pemeriksaan Umum
Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : kompos mentis
Posisi : supinasi
BB : 2600 gram
PB : 52 cm
BB/U : di bawah -3 SD
PB/U : 0 - 2 SD
BB/PB : di bawah -3 SD
Kesan status gizi : gizi buruk
Edema : tidak ada
Sianosis : tidak ada
Dispnea : ada
Ikterus : tidak ada
Pucat : ada
Suhu : 38,5
0
C
Frekuensi napas : 62 x/menit
Tipe pernaasan : abdominothorakal
Nadi
Frekuensi : 120 x/menit
Isi : cukup
Equalitas : equal
Regularitas : reguler
Pulsus defisit : tidak ada
Pulsus alternans : tidak ada
Pulsus paradox : tidak ada
7

Pulsus tardus : tidak ada
Pulsus celler : tidak ada
Pulsus magnus : tidak ada
Pulsus parvus : tidak ada
Pulsus bigeminus : tidak ada
Pulsus trigeminus : tidak ada

Kulit
Warna : kuning langsat
Hiperpigmentasi : tidak ada
Hipopigmentasi : tidak ada
Eritema : ada di bagian leher kiri dan tangan kiri
Makula, papula : tidak ada
Vesikel : tidak ada
Pustula : tidak ada
Sikatrik : tidak ada
Edema : tidak ada
Turgor : baik, cubitan kulit perut kembali cepat
Hemangioma : tidak ada
Ptekie, purpura : tidak ada

b. Pemeriksaan Khusus
Kepala
Ubun-ubun : rata
Lingkar kepala : 36 cm

Mata
Palpebra : edema (-/-)
Konjungtiva : pucat (+/+)
Sklera : ikterik (-/-)
Pupil : bulat, isokor
Diameter : 3mm/3mm
Refleks cahaya : +/+
8

Hidung
Bentuk : normal
Napas cuping hidung : ada
Sekret : tidak ada

Mulut
Bibir
Bentuk : normal
Warna : merah muda
Ukuran : 4 cm
Ulkus : tidak ada
Rhagaden : tidak ada
Sikatriks : tidak ada
Cheilosis : tidak ada
Sianosis : tidak ada
Labioschizis : tidak ada
Bengkak : tidak ada
Vesikel : tidak ada
Oral trush : tidak ada
Trismus : tidak ada
Bercak Koplik : tidak ada
Palatoschizis : tidak ada
Gigi
Kebersihan : cukup
Karies : tidak ada
Hutchinson : tidak ada
Gusi : hipertrofi tidak ada, perdarahan tidak ada
Lidah
Bentuk : normal
Gerakan : normal
Tremor : tidak ada
Warna : merah muda
9

Selaput : tidak ada
Hiperemis : tidak ada
Atrofi papil : tidak ada
Makroglosia : tidak ada
Mikroglosia : tidak ada
Faring Tonsil
Warna : merah muda
Edema : tidak ada
Selaput : tidak ada
Pembesaran tonsil : tidak ada
Ukuran : T1-T1
Simetris : simetris

Telinga
Bentuk : normal
Aurikula : normal
Cairan : tidak ada
Serumen : dalam batas normal

Leher
Inspeksi
Struma : tidak ada
Bendungan vena : tidak ada
Limphadenopati : tidak ada
Tortikolis : tidak ada
Bullneck : tidak ada
Parotitis : tidak ada

Palpasi
Kaku kuduk : tidak ada
Pergerakan : luas
Struma : tidak ada
10

Thoraks Depan dan Paru
Inspeksi Statis
Bentuk : normal
Simetris : simetris
Vousure cardiac : tidak terlihat
Clavicula : normal
Sternum : normal
Bendungan vena : tidak ada
Tumor : tidak ada
Sela iga : normal, tidak melebar

Inspeksi Dinamis
Gerakan : simetris
Bentuk pernapasan : abdominothorakal
Retraksi : ada di intercostae dan subcostae

Palpasi
Nyeri tekan : tidak ada
Fraktur iga : tidak ada
Tumor : tidak ada
Krepitasi : tidak ada
Stem fremitus : normal, kanan = kiri

Perkusi
Bunyi ketuk : sonor / sonor
Nyeri ketuk : tidak ada
Tumor : tidak ada

Auskultasi
Bunyi napas pokok : vesikuler (+) meningkat
Bunyi napas tambahan
Ronkhi : basah halus nyaring di kedua lapang paru
11

Wheezing : tidak ada

Jantung
Inspeksi
Vousure cardiac : tidak terlihat
Ictus cordis : tidak terlihat
Pulsasi jantung : tidak terlihat

Palpasi
Ictus cordis : teraba di ICS IV linea midclavicula sinistra
Thrill : tidak teraba

Perkusi
Batas kiri : ICS IV linea midclavicularis sinistra
Batas kanan : ICS IV linea parasternalis sinistra
Batas atas : ICS II linea parasternalis sinistra

Auskultasi
Bunyi jantung I
Mitral : normal
Trikuspid : normal
Bunyi jantung II
Mitral : normal
Trikuspid : normal
Irama derap : tidak ada
Opening snap : tidak ada
Click : tidak ada
Bising jantung : tidak ada




12

Thoraks Belakang
Inspeksi Statis
Bentuk : normal
Processus spinosus : tidak terlihat
Scapula : normal
Skoliosis : tidak ada
Kifosis : tidak ada
Lordosis : tidak ada
Gibbus : tidak ada

Palpasi
Nyeri tekan : tidak ada
Tumor : tidak ada
Krepitasi : tidak ada
Stem fremitus : normal, kanan = kiri

Perkusi
Bunyi ketuk : sonor / sonor
Nyeri ketuk : tidak ada

Auskultasi
Bunyi napas pokok : vesikuler (+) meningkat
Bunyi napas tambahan
Ronkhi : basah halus nyaring di kedua lapang paru
Wheezing : tidak ada

Abdomen
Inspeksi
Bentuk : datar
Umbilikus : normal
Ptekie : tidak ada
Spider nevi : tidak ada
13

Bendungan vena : tidak ada
Gambaran usus : tidak ada

Palpasi
Nyeri tekan : tidak ada
Nyeri lepas : tidak ada
Defans muscular : tidak ada
Meteorismus : tidak ada

Perkusi
Nyeri ketuk : tidak ada
Undulasi : tidak ada
Shifting dullness : tidak ada

Auskultasi
Bising usus : normal

Hepar
Tidak teraba

Lien
Tidak teraba

Ginjal
Tidak teraba

Lipat Paha dan Genital
Kulit : normal
Kelenjar getah bening : pembesaran tidak ada
Edema : tidak ada
Sikatriks : tidak ada
Genitalia : normal
Anus : normal

14

Status Neurologis
Fungsi Motorik
Lengan Tungkai
Kanan Kiri Kanan Kiri
Gerakan luas Luas luas Luas
Kekuatan 5 5 5 5
Tonus eutoni eutoni eutoni Eutoni
Klonus - - - -
Refleks fisiologis + + + +
Refleks patologis - -
Fungsi sensorik + (normal) + (normal) + (normal) + (normal)

Nervi craniales

: dalam batas normal
Gejala rangsang meningeal : -
Refleks primitive : refleks menghisap
Palmar grasp reflex
Plantar grasp reflex
Moro reflex

2.4 Pemeriksaan Laboratorium
Spesimen Darah (10 Juni 2014)
Komponen Hasil Pemeriksaan Nilai Normal
Hemoglobin 10,0 11,3-14,1g/dl
Leukosit 11.000 4.500- 13.500 /L
Hematokrit 31 37-41%
Trombosit 502.000 217.000 497.000/L
LED 66 0-8 mm/jam
Hitung jenis
Basofil 0 0-1 %
Eosinofil 0 1-3 %
Neutrofil batang 0 2-6 %
Neutrofil segmen 63 50-70 %
Limfosit 29 20-40 %
Monosit 8 2-8 %
CRP kuantitatif 27 <5



15

2.5 Resume
Pasien seorang anak laki-laki berusia 2 bulan 17 hari datang dengan keluhan
utama sesak yang terjadi sejak 12 jam SMRS. Perjalanan penyakit dimulai 1
minggu SMRS, pasien batuk berdahak yang tidak disertai demam. Kemudian 3
hari SMRS, pasien mengeluh timbul bintik-bintik merah dan mengelupas di daerah
leher kiri dan tangan kiri, disertai dengan demam tinggi dan batuk bertambah
sering. + 12jam SMRS anak tampak sesak dan sesak tidak dipengaruhi cuaca, posisi,
emosi, dan aktivitas. Suara mengi tidak ada. Riwayat asma dan keluarga dengan
asma tidak ada. Riwayat kontak dengan penderita TB ada. Pasien masih demam
tinggi, batuk berdahak. Pasien pernah dirawat di bagian anak RSMH selama 2
minggu dengan bronkopneumonia dan ada perbaikan.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan frekuensi napas 62 x/menit, temperatur
38,5
0
C. Pada pemeriksaan kepala, didapatkan nafas cuping hidung dan konjungtiva
pucat. Pada pemeriksaan thoraks didapatkan retraksi di intercostae dan subcostae,
serta ronkhi basah halus nyaring di kedua lapang paru. Pada pemeriksaan
laboratorium diketahui hemoglobin 10,0 g/dL, hematokrit 31%, trombosit
502.000/L, LED 66, hitung jenis 0/0/0/63/29/8, dan CRP 27.

2.6 Diagnosis Banding
a. Bronkopneumonia + Impetigo bulosa + Marasmus Kondisi V
b. Bronkiolitis Akut + Impetigo bulosa + Marasmus Kondisi V
2.7 Diagnosis Kerja
Bronkopneumonia + Impetigo bulosa dd/ Staphylococcus skin sacel syndrome +
Marasmus Kondisi V
2.8 Terapi
a. Oksigen HB 5 L/menit
b. IVFD D5 1/4 NS gtt X mikro/menit
c. 1/2 vancomycin 2x60 mg drip dalam D5% 50 cc (dalam 1 jam)
d. Paracetamol syr 4 dd 1,5 cc
e. Vitamin B komp / Vitamin C / Asam Folat 1x1 tablet
16

f. Kompres lesi kulit dengan NaCl 0,9% 3x sehari selama 1/2 jam kemudian
diolesi As. Fusidal Salf.
g. Susu F75 12 x 30 cc + elekmin 1cc / 50cc susu = 270 kkal / hari ~ 103
kkal/kgBB
h. Kebutuhan Kalori 80-100 kkal ~264-330 kkal/hari
i. Nebulisasi ventolin tiap 8 jam

2.9 Pemeriksaan Anjuran
Tidak ada

2.10 Prognosis
Quo ad vitam : bonam
Quo ad fungsionam : bonam
Quo ad sanasionam : dubia ad bonam


















17

Follow Up
11 Juni 2014
S Demam (+), Sesak (+), batuk (-), kulit merah dan mengelupas di
leher sebelah kiri dan tangan kiri.
O Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : kompos mentis
Nadi : 128 x/menit
RR : 54 x/menit
T : 38,5
0
C
Kepala : napas cuping hidung (+), konjungtiva pucat (+), sklera
ikterik (-), kulit merah mengelupas di leher kiri (+)
Thoraks : simetris, retraksi (+) intercostae dan subcostae
epigastrium
Cor : bunyi jantung I&II normal, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : vesikuler (+) meningkat, ronkhi (+), wheezing (-)
Abdomen : datar, lemas, hepar dan lien tidak teraba, bising usus
(+) normal
Ektremitas : akral hangat, CRT < 3, pucat (-), tangan kiri merah
dan menglupas (+)
A Bronkopneumonia + Staphylococcus skin infecion + Marasmus
Kondisi V
P a. O2 HB 5 L/menit
b. IVFD D5 1/4 NS gtt X mikro/menit
c. Inj Vancomycin 2x60 mg drip dalam D5% 50 cc (dalam 1 jam)
d. Paarcetamol 4 dd 1,5 cc
e. Vit B komp / Vit C / asam folat 1x1 tablet
f. Susu F 75 12x20 cc via NGT
g. Konsul gizi dan kulit kelamin
h. Kultur darah dan periksa urinalisa
i. Obs tanda vital
j. Nebulisasi ventolin /8 jam

12 Juni 2014
S Demam (+), Sesak (+), kulit merah dan mengelupas di leher sebelah
kiri dan tangan kiri.
O Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : kompos mentis
Nadi : 138 x/menit
RR : 52 x/menit
T : 38,3
0
C
Kepala : napas cuping hidung (-), konjungtiva pucat (+), sklera
ikterik (-), kulit merah mengelupas di leher kiri (+)
Thoraks : simetris, retraksi (+) intercostae dan subcostae
Cor : bunyi jantung I&II normal, murmur (-), gallop (-)
18

Pulmo : vesikuler (+) meningkat, ronkhi (+), wheezing (-)
Abdomen : datar, lemas, hepar dan lien tidak teraba, bising usus
(+) normal
Ektremitas : akral hangat, CRT < 3, pucat (-), tangan kiri merah
dan mengelupas (+)
A Bronkopneumonia + Staphylococcus skin infecion + Marasmus
Kondisi V
P a. O3 HB 5L/ menit
b. IVFD D5 1/4 NS gtt X mikro/menit
c. Inj Vancomycin 2x60 mg drip dalam D5% 50 cc (dalam 1 jam)
d. Paracetamol 4 x30 mg
e. Vit B komp / Vit C / asam folat 1x1 tablet
f. Susu F 75 12x30 cc
g. Asam Fusidat zalf 3x/hari

13 Juni 2014
S Demam (-), Sesak (+), batuk (-), kulit merah dan mengelupas di
leher sebelah kiri dan tangan kiri berkurang
O Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : kompos mentis
Nadi : 140 x/menit
RR : 54 x/menit
T : 37,2
0
C
SpO2 tanpa O2 : 89 %
SpO2 dengan O2 : 97 %
Kepala : napas cuping hidung (+), konjungtiva pucat (+),
sklera ikterik (-), kulit merah mengelupas di leher kiri (+)
Thoraks : simetris, retraksi (+) intercostae dan subcostae
epigastrium
Cor : bunyi jantung I&II normal, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : vesikuler (+) meningkat, ronkhi (+), wheezing (-)
Abdomen : datar, lemas, hepar dan lien tidak teraba, bising usus
(+) normal
Ektremitas : akral hangat, CRT < 3, pucat (-), tangan kiri merah
dan menglupas (+)
A Bronkopneumonia + Staphylococcus skin infecion + Marasmus
Kondisi V
P a. O2 HB 5 L/menit
b. IVFD D5 1/4 NS gtt X mikro/menit
c. Inj Vancomycin 2x60 mg drip dalam D5% 50 cc (dalam 1 jam)
d. Paracetamol 4 x 30 mg
e. Vit B komp / Vit C / asam folat 1x1 tablet
f. Susu F 75 12x30 cc
g. Kompres NaCl 0,9% 3x/ hari selama 1/2 jam
h. Asam Fusidat salf setelah kompres

19

14 Juni 2014
S Demam (-), Sesak (+), batuk (-), kulit merah dan mengelupas di
leher sebelah kiri dan tangan kiri berkurang
O Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : kompos mentis
Nadi : 138 x/menit
RR : 52 x/menit
T : 37
0
C
SpO2 tanpa O2 : 89 %
SpO2 dengan O2 : 97 %
Kepala : napas cuping hidung (-), konjungtiva pucat (+),
sklera ikterik (-), kulit merah mengelupas di leher kiri (+)
Thoraks : simetris, retraksi (+) intercostae dan subcostae
epigastrium
Cor : bunyi jantung I&II normal, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : vesikuler (+) meningkat, ronkhi (+), wheezing (-)
Abdomen : datar, lemas, hepar dan lien tidak teraba, bising usus
(+) normal
Ektremitas : akral hangat, CRT < 3, pucat (-), tangan kiri merah
dan menglupas (+)
A Bronkopneumonia + Impetigo bulosa dd/ Staphylococcus skin sacel
syndrome + Marasmus Kondisi V
P a. O2 HB 5 L/menit
b. IVFD D5 1/4 NS gtt X mikro/menit
c. Inj Vancomycin 2x60 mg drip dalam D5% 50 cc (dalam 1 jam)
d. Paracetamol 4 x 30 mg
e. Vit B komp / Vit C / asam folat 1x1 tablet
f. Susu F 75 12x30 cc
g. Kompres NaCl 0,9% 3x/ hari selama 1/2 jam
h. Asam Fusidat salf setelah kompres








20

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Marasmus
Marasmus adalah keadaan gizi buruk yang ditandai dengan tampak sangat kurus,
iga gambang, perut cekung, wajah seperti orang tua dan kulit keriput. Kwashiorkor
adalah keadaan gizi buruk yang ditandai dengan edema seluruh tubuh terutama di
punggung kaki, wajah membulat dan sembab, perut buncit, otot mengecil,
pandangan mata sayu dan rambut tipis / kemerahan. Marasmik-kwashiorkor adalah
keadaan gizi buruk dengan tanda-tanda gabungan dari marasmus dan kwashiorkor.

3.1.1 Klasifikasi
Penentuan prevalensi KEP diperlukan klasifikasi menurut derajat beratnya KEP,
klasifikasi demikian yang sering dipakai adalah sebagai berikut:

a. Klasifikasi Berdasarkan Baku Median WHO-NCHS

Klasifikasi KEP BB/U BB/TB
Ringan 70-80% 80-90%
Sedang 60-70% 70-80%
Berat <60% <70%

Table 1. Klasifikasi KEP berdasarkan baku median WHO-NHCHS


b. Klasifikasi Menurut Departemen Kesehatan RI
Klasifikasi malnutrisi KEP berdasarkan berat badan (BB), tinggi badan
(TB), dan umur menurut Depkes RI adalah sebagai berikut:
BB/TB
(berat menurut tinggi)
TB/U
(tinggi menurut umur)
Mild 80 90 % 90 94%
Moderate 70 79 % 85 89 %
Severe < 70 % <85 %
21

3.1.2 Epidemiologi
Di seluruh dunia, diperkirakan terdapat 825 juta orang yang menderita gizi
buruk pada tahun 2000 2002, dengan 815 juta orang yang hidup di negara
berkembang. Berdasarkan perkembangan masalah gizi, pada tahun 2005
diperkirakan sekitar 5 juta anak menderita gizi kurang (berat badan menurut umur),
1,5 juta diantaranya menderita gizi buruk. Dari anak yang menderita gizi buruk
tersebut ada 150.000 menderita gizi buruk tingkat berat yang disebut marasmus,
kwashiorkor, dan marasmus-kwashiorkor, yang memerlukan perawatan kesehatan
yang intensif di Puskesmas dan Rumah Sakit. Masalah gizi kurang dan gizi buruk
terjadi hampir di semua Kabupaten dan Kota. Pada saat ini masih terdapat 110
Kabupaten / Kota dari 440 Kabupaten / Kota di Indonesia yang mempunyai
prevalensi di atas 30% (berat badan menurut umur). Menurut WHO keadaan ini
masih tergolong sangat tinggi. Berdasarkan hasil surveilans Dinas Kesehatan
Propinsi dari bulan Januari sampai dengan bulan Desember 2005, total kasus gizi
buruk sebanyak 76.178 balita.
Untuk Provinsi Sumatera Selatan, berdasarkan riskesdas 2010, angka
kejadian gizi kurang pada balita sebesar 14.4% dan buruk sebanyak 5.5% dengan
indikator berat badan per umur. Sebagai perbandingan berdasarkan laporan yang
ada dalam profil kesehatan Kota Palembang tahun 2007 dijelaskan bahwa angka
gizi buruk tahun 2007 adalah 1,4% menurun bila dibanding tahun 2006 yaitu
2,21%, angka KEP total tahun 2007 adalah 15% meningkat dibanding tahun 2006
yaitu 12,9%, sedangkan gizi lebih tahun 2007 adalah 2,8% menurun dibanding
dengan tahun 2006 yaitu 4% dan balita yang gizi baik tahun 2007 adalah 82,12%
bila dibanding tahun 2006 terdapat penurunan dimana tahun 2006 berjumlah 84%.
Pada tahun 2008 dari 144 ribu balita dikota Palembang, 400 diantaranya mengalami
kurang gizi atau berada dibawah garis merah dalam Kartu Menuju Sehat hasil
pantauan di 889 posyandu aktif. Hal tersebut menunjukkan bahwa untuk Kota
Palembang, angka kurang gizi pada balita juga masih tegolong tinggi. Pada tahun
2010, angka kejadian gizi buruk berjumlah 24 kasus dengan prevalensi gizi buruk
tertinggi terjadi di wilayah Kecamatan Seberang Ulu 1 sejumlah 8 kasus (33,3%).
Angka kejadian gizi kurang berjumlah 876 kasus, dengan prevalensi gizi kurang
tertinggi terjadi di wilayah Kecamatan Ilir Timur 1 sebanyak 143 kasus.
22

3.1.3 Etiologi
Penyebab KEP berdasarkan / bagan sederhana yang disebut sebagai model hirarki
yang akan terjadi setelah melalui lima level seperti yang tertera sebagai berikut:


Bagan 1. Model Hirarki penyebab KEP
















Bagan 2. Etiologi Gizi Buruk UNICEF 1998



23

3.1.4 Patogenesis
Makanan yang tidak adekuat, akan menyebabkan mobilisasi berbagai
cadangan makanan untuk menghasilkan kalori demi penyelamatan hidup,
dimulai dengan pembakaran cadangan karbohidrat kemudian cadangan lemak
serta protein dengan melalui proses katabolik. Kalau terjadi stres katabolik
(infeksi) maka kebutuhan akan protein akan meningkat, sehingga dapat
menyebabkan defisiensi protein yang relatif, kalau kondisi ini terjadi pada saat
status gizi masih diatas -3 SD (-2SD--3SD), maka terjadilah kwashiorkor
(malnutrisi akut / decompensated malnutrition). Pada kondisi ini penting
peranan radikal bebas dan anti oksidan. Bila stres katabolik ini terjadi pada saat
status gizi dibawah -3 SD, maka akan terjadilah marasmik-kwashiorkor. Kalau
kondisi kekurangan ini terus dapat teradaptasi sampai dibawah -3 SD maka
akan terjadilah marasmik (malnutrisikronik / compensated malnutrition).
Dengan demikian pada KEP dapat terjadi : gangguan pertumbuhan, atrofi otot,
penurunan kadar albumin serum, penurunan hemoglobin, penurunan sistem
kekebalan tubuh, penurunan berbagai sintesa enzim.

Penyakit marasmus-kwashiorkor memperlihatkan gejala campuran antara
penyakit marasmus dan kwashiorkor. Makanan sehari-harinya tidak cukup
mengandung protein dan juga energi untuk pertumbuhan yang normal. Pada
penderita demikian, di samping menurunnya berat badan di bawah 60% dari
normal, memperlihatkan tanda-tanda kwashiorkor, seperti edema, kelainan
rambut, kelainan kulit, sedangkan kelainan biokimiawi terlihat pula. Pada KEP
terdapat perubahan nyata dari komposisi tubuhnya, seperti jumlah dan distribusi
cairan, lemak, mineral, dan protein, terutama protein otot.

Kurangnya protein dalam diet akan menimbulkan kekurangan berbagai
asam amino essensial yang dibutuhkan untuk sintesis albumin, sehingga terjadi
hipoalbuminemia dan edema. Anak dengan marasmus kwashiorkor juga sering
menderita infeksi multipel, seperti tuberkulosis dan gastroenteritis. Infeksi akan
mengalihakan penggunaan asam amino ke sintesis protein fase akut, yang
semakin memperparah berkurangnya sintesis albumin di hepar. Penghancuran
jaringan akan semakin lanjut untuk memenuhi kebutuhan energi, memungkinkan
sintesis glukosa dan metabolit essensial lainnya seperti asam amino. Kurangnya
24

kalori dalam diet akan meningkatkan kadar kortisol dan menurunkan kadar
insulin. Hal ini akan menyebabkan atrofi otot dan menghilangnya lemak di
bawah kulit. Pada awalnya, kelaina ini merupakan proses fisiologis. Untuk
kelangsungan hidup, jaringan tubuh memerlukan energi yang dapat dipenuhi
oleh makanan yang diberikan, jika hal ini tidak terpenuhi maka harus didapat
dari tubuh sendiri sehingga cadangan protein digunakan juga untuk memenuhi
kebutuhan energi. Tubuh akan mengandung lebih banyak cairan sebagai akibat
menghilangnya lemak dan otot sehingga tampak edema.


Bagan 3. Patogenesis Marasmik-Kwashiorkor
25

3.1.5 Manifestasi Klinis
Perbedaan manifestasi klinis antara marasmus, kwashiorkor dan
marasmus-kwasiorkor sebagai berikut:
Marasmus

Kwashiorkor

Obesitas

Pertumbuhan
berkurang atau
berhenti
Terlihat sangat kurus
Penampilan wajah
seperti orangtua
Perubahan mental
Cengeng
Kulit kering, dingin,
mengendor, keriput
Lemak subkutan
menghilang hingga
turgor kulit berkurang
Otot atrofi sehingga
kontur tulang terlihat
jelas
Vena superfisialis
tampak jelas
Ubun ubun besar
cekung
tulang pipi dan dagu
kelihatan menonjol
mata tampak besar
dan dalam
Kadang terdapat
bradikardi
Tekanan darah lebih
Perubahan mental
sampai apatis
Anemia
Perubahan warna dan
tekstur rambut,
mudah dicabut /
rontok
Gangguan sistem
gastrointestinal
Pembesaran hati
Perubahan kulit
Atrofi otot
Edema simetris pada
kedua punggung kaki,
dapat sampai seluruh
tubuh.
wajah bulat dengan
pipi tembem dan dagu
rangkap
leher relatif pendek
dada membusung
dengan payudara
membesar
- perut membuncit dan
striae abdomen
- pada anak laki-laki :
Burried penis,
gynaecomastia
- pubertas dini
- genu valgum (tungkai
berbentuk X) dengan
kedua pangkal paha
bagian dalam
saling menempel dan
bergesekan yang dapat
menyebabkan laserasi
kulit

26

rendah dibandingkan
anak sebaya
*Manifestasi klinis dari marasmic-kwashiorkor merupakan campuran gejala
marasmus dan kwashiorkor

a. Marasmus
Secara garis besar sebab-sebab marasmus ialah sebagai berikut:
- Pemasukan kalori yang tidak cukup. Marasmus terjadi akibat masukan
kalori yang sedikit, pemberian makanan yang tidak sesuai dengan yang
dianjurkan akibat dari ketidaktahuan orang tua si anak.
- Kebiasaan makan yang tidak tepat. Seperti mereka yang mempunyai
hubungan orang tua anak terganggu.
- Kelainan metabolik. Misalnya: renal asidosis, idiopathic hypercalcemia,
galactosemia, lactose intolerance.
- Malformasi kongenital. Misalnya: penyakit jantung bawaan, penyakit
Hirschprung, deformitas palatum, palatoschizis, micrognathia, stenosis
pilorus, hiatus hernia, hidrosefalus, cystic fibrosis pankreas.
b. Kwashiorkor
Penyebab terjadinya kwashiorkor adalah inadekuatnya intake protein
yang berlangsung kronis. Faktor yang dapat menyebabkan kwashiorkor
antara lain.
1. Pola makan
Protein (dan asam amino) adalah zat yang sangat dibutuhkan anak untuk
tumbuh dan berkembang. Meskipun intake makanan mengandung kalori
yang cukup, tidak semua makanan mengandung protein/ asam amino yang
memadai. Bayi yang masih menyusui umumnya mendapatkan protein dari
ASI yang diberikan ibunya, namun bagi yang tidak memperoleh ASI protein
dari sumber-sumber lain (susu, telur, keju, tahu dan lain-lain) sangatlah
dibutuhkan. Kurangnya pengetahuan ibu mengenai keseimbangan nutrisi
anak berperan penting terhadap terjadi kwashiorkhor, terutama pada masa
peralihan ASI ke makanan pengganti ASI.

27

2. Faktor sosial
Hidup di negara dengan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi,
keadaan sosial dan politik tidak stabil ataupun adanya pantangan untuk
menggunakan makanan tertentu dan sudah berlangsung turun-turun dapat
menjadi hal yang menyebabkan terjadinya kwashiorkor.
3. Faktor ekonomi
Kemiskinan keluarga/ penghasilan yang rendah yang tidak dapat
memenuhi kebutuhan berakibat pada keseimbangan nutrisi anak tidak
terpenuhi, saat dimana ibunya pun tidak dapat mencukupi kebutuhan
proteinnya.
4. Faktor infeksi dan penyakit lain
Telah lama diketahui bahwa adanya interaksi sinergis antara MEP dan
infeksi. Infeksi derajat apapun dapat memperburuk keadaan gizi. Dan
sebaliknya MEP, walaupun dalam derajat ringan akan menurunkan imunitas
tubuh terhadap infeksi.
c. Marasmus kwashiorkor
Penyebab marasmic kwashiorkor dapat dibagi menjadi dua
penyebab yaitu malnutrisi primer dan malnutrisi sekunder. Malnutrisi
primer adalah keadaan kurang gizi yang disebabkan oleh asupan protein
maupun energi yang tidak adekuat. Malnutrisi sekunder adalah malnutrisi
yang terjadi karena kebutuhan yang meningkat, menurunnya absorbsi
dan/atau peningkatan kehilangan protein maupun energi dari tubuh.

28

3.1.6 Diagnosis
Diagnosis untuk marasmus-kwashiorkor dapat ditegakkan berdasarkan
manifestasi klinis, pemeriksaan penunjang, dan antropometrik.
1. Manifestasi klinis: anamnesis (terutama anamnesis makanan, tumbuh
kembang, serta penyakit yang pernah diderita) dan pemeriksaan fisik.
Manifestasi yang umumnya timbul adalah gagal tumbuh kembang. Di
samping itu terdapat pula satu atau lebih manifestasi klinis marasmus dan
kwashiorkor lainnya.
2. Pemeriksaan penunjang: pemeriksaan laboratorium darah tepi yaitu Hb
memperlihatkan anemia ringan sampai sedang. Pada pemeriksaan faal
hepar, kadar albumin serum sedikit menurun.Kadar elektrolit seperti
Kalium dan Magnesium rendah, bahkan K mungkin sangat rendah,
sedangkan kadar Natrium, Zinc, dan Cuprum bisa normal atau menurun.
Kadar glukosa darah umumnya rendah, asam lemak bebas normal atau
meninggi, nilai -lipoprotein dapat rendah ataupun tinggi, dan kolesterol
serum rendah. Kadar asam amino esensial plasma menurun. Kadar hormon
insulin umumnya menurun, tetapi hormon pertumbuhan dapar normal,
rendah, maupun tinggi. Pada biopsi hati hanya tampak perlemakan yang
ringan, jarang dijumpai kasus dengan perlemakan yang berat. Pada
pemeriksaan radiologi tulang tampak pertumbuhan tulang yang terlambat
dan terdapat osteoporosis ringan.
3. Antropometrik: ukuran yang sering dipakai adalah berat badan, panjang /
tinggi badan, lingkar kepala, lingkar lengan atas, dan lipaan kulit. Diagnosis
ditegakkan dengan adanya data antropometrik untuk perbandingan seperti
BB/U (berat badan menurut umur), TB/U (tinggi badan menurut umur),
LLA/U (lingkar lengan atas menurut umur), BB/TB (berat badan menurut
tinggi badan), LLA/TB (lingkar lengan atas menurut tinggi badan). Dari
pemeriksaan antropometrik dapat diklasifikasikan menurut Wellcome Trust
Party, klasifikasi menurut Waterlow, klasifikasi Jelliffe, dan klasifikasi
berdasarkan WHO dan Depkes RI.


29

3.1.7 Penatalaksanaan
` Berikut ini adalah bagan langkah rencana pengobatan anak gizi buruk:



Bagan 4. Langkah Rencana Pengobatan Anak Gizi Buruk

30

Anak marasmus kwashiorkor berat memerlukan perawatan karena terdapat
berbagai komplikasi yang membahayakan hidupnya. Tindakan yang dilakukan
berdasarkan pada ada tidaknya tanda bahaya dan tanda penting, yang dikelompokkan
menjadi 5, yaitu:

Kondisi I
Jika ditemukan: Renjatan (syok), letargis, muntah dan atau diare atau dehidrasi.
Lakukan Rencana I, dengan tindakan segera, yaitu:

1. Pasang O2 1-2L/menit
2. Pasang infus Ringer Laktat dan Dextrosa / Glukosa 10% dengan
perbandingan 1:1 (RLG 5%)
3. Berikan glukosa 10% intravena (IV) bolus, dosis 5ml/kgBB bersamaan
dengan
4. ReSoMal 5ml/kgBB melalui NGT
Kondisi II
Jika ditemukan: letargis, muntah dan atau diare atau dehidrasi. Lakukan Rencana II,
dengan tindakan segera, yaitu:

1. Berikan bolus glukosa 10 % intravena, 5ml/kgBB
2. Lanjutkan dengan glukosa atau larutan gula pasir 10% melalui NGT
sebanyak 50ml
3. 2 jam pertama
berikan ReSoMal secara Oral/NGT setiap 30 menit, dosis : 5ml/kgBB
setiap pemberian
catat nadi, frekuensi nafas dan pemberian ReSoMal setiap 30 menit
Kondisi III
Jika ditemukan: muntah dan atau diare atau dehidrasi. Lakukan Rencana III, dengan
tindakan segera, yaitu:

1. Berikan 50ml glukosa atau larutan gula pasir 10% (oral/NGT)
2. 2 Jam pertama
berikan ReSoMal secara oral / NGT setiap 30 menit, dosis 5ml/kgBB
setiap pemberian
catat nadi, frekuensi nafas dan beri ReSoMal setiap 30 menit

31

Kondisi IV
Jika ditemukan: letargis. Lakukan Rencana IV, dengan tindakan segera, yaitu:

1. Berikan bolus glukosa 10% intravena, 5ml/kgBB
2. Lanjutkan dengan glukosa atau larutan gula pasir 10% melalui NGT
sebanyak 50ml
3. 2 jam pertama
berikan F 75 setiap 30 menit, . dari dosis untuk 2 jam sesuai dengan berat
badan (NGT)
catat nadi, frekuensi nafas
Kondisi V
Jika tidak ditemukan: renjatan (syok), letargis, muntah dan atau diare atau dehidrasi.
Lakukan Rencana V, dengan tindakan segera, yaitu:

1. Berikan 50ml glukosa atau larutan gula pasir 10% oral
2. Catat nadi, pernafasan dan kesadaran

Menurut Depkes RI pada pasien dengan gizi buruk dibagi dalam 4 fase yang
harus dilalui yaitu fase stabilisasi (Hari 1-7), fase transisi (Hari 8 14),
faserehabilitasi (Minggu ke 3 6), fase tindak lanjut (Minggu ke 7 26). Dimana
tindakan pelayanan terdiri dari 10 tindakan pelayanan sbb

32


*) Pada fase tindak lanjut dapat dilakukan di rumah, dimana anak secara berkala (1
minggu/kali) berobat jalan ke Puskesmas atau Rumah Sakit
Bagan 5. 10 Langkah Utama Tatalaksana Anak Gizi Buruk

A. Prinsip Dasar Pengobatan Rutin Marasmus Kwashiorkor (10 Langkah
utama)
Langkah Ke-1: Pengobatan/Pencegahan Hipoglikemia

Hipoglikemia dan hipotermia biasanya terjadi bersama-sama, seringkali
sebagai tanda adanya infeksi. Periksa kadar gula darah bila ada hipotermia (
suhu ketiak <36C/suhu dubur <36C). Pemberian makanan yang sering
penting untuk mencegah kedua kondisi tersebut.



33

Bila kadar gula darah dibawah 50 mg/dl, berikan:
1. 50 ml bolus (pemberian sekaligus) glukosa 10% atau larutan sukrosa 10%
(1 sdt gula dalam 5 sdm air) secara oral atau pipa naso-gastrik.
2. Selanjutnya berikan larutan tsb. setiap 30 menit selama 2 jam (setiap kali
berikan bagian dari jatah untuk 2 jam).
3. Berikan antibiotika (lihat langkah 5).
4. Secepatnya berikan makan setiap 2 jam, siang dan malam (lihat langkah 6).
Pemantauan:
Bila kadar glukosa darah rendah, ulangi pemeriksaan gula darah dengan darah
dari ujung jari atau tumit setelah 2 jam.
Sekali diobati, kebanyakan anak akan stabil dalam 30 menit
Bila gula darah turun lagi sampai <50 mg/dl, ulangi pemberian 50 ml (bolus)
larutan glukosa 10% atau sukrosa, dan teruskan pemberian setiap 30 menit
sampai stabil.
Ulangi pemeriksaan gula darah bila suhu aksila <36C dan/atau kesadaran
menurun.
Pencegahan :
Mulai segera pemberian makan setiap 2 jam (langkah 6), sesudah dehidrasi
yang ada dikoreksi.
Selalu memberikan makanan sepanjang malam.
Catatan :
Bila tidak dapat memeriksa kadar glukosa darah, anggaplah setiap anak KEP
berat/gizi buruk menderita hipoglikemia dan atasi segera dengan ditatalaksana
seperti tersebut di atas.

Langkah Ke-2: Pengobatan / Pencegahan Hipotermia
Bila suhu ketiak <36C :
Periksalah suhu dubur dengan menggunakan termometer suhu rendah. Bila
tidak tersedia termometer suhu rendah dan suhu anak sangat rendah pada
pemeriksaan dengan termometer biasa, anggap anak menderita hipotermia

Bila suhu dubur <36C :
Segera beri makanan cair/formula khusus (mulai dengan rehidrasi bila perlu)
34

Hangatkan anak dengan pakaian atau selimut sampai menutup kepala,
letakkan dekat lampu atau pemanas (jangan gunakan botol air panas) atau
peluk anak di dada ibu, selimuti (metoda kanguru).
Berikan antibiotika (lihat langkah 5).
Pemantauan:
Periksa suhu dubur setiap 2 jam sampai suhu mencapai >36,5C, bila
memakai pemanas ukur setiap 30 menit
Pastikan anak selalu terbungkus selimut sepanjang waktu, terutama malam
hari
Raba suhu anak
Bila ada hipotermia, periksa kemungkinan hipoglikemia.
Pencegahan:
Segera beri makan / formula khusus setiap 2 jam (lihat langkah 6).
Sepanjang malam selalu beri makan
Selalu diselimuti dan hindari keadaan basah (baju, selimut, alas tempat tidur)
Hindari paparan langsung dengan udara (mandi atau pemeriksaan medis
terlalu lama).

Langkah Ke-3: Pengobatan/Pencegahan Dehidrasi
Jangan menggunakan jalur intravena / i.v. untuk rehidrasi kecuali pada
keadaan syok/renjatan. Lakukan pemberian cairan infus dengan hati-hati, tetesan
perlahan-lahan untuk menghindari beban sirkulasi dan jantung. (Lihat
penanganan kegawatan)
Cairan rehidrasi oral standar WHO mengandung terlalu banyak natrium dan
kurang kalium untuk digunakan pada penderita KEP berat/gizi buruk. Sebagai
pengganti, berikan larutan garam/elektrolit khusus yaitu Resomal. Tidaklah
mudah untuk memperkirakan status dehidrasi pada KEP berat/gizi buruk dengan
menggunakan tanda-tanda klinis saja. Jadi, anggap semua anak KEP berat/gizi
buruk dengan diare encer mengalami dehidrasi sehingga harus diberi:

Cairan Resomal / pengganti sebanyak 5 ml/KgBB setiap 30 menit selama 2
jam secara oral atau lewat pipa nasogastrik.
35

Selanjutnya beri 510 ml/kg/jam untuk 410 jam berikutnya; jumlah tepat
yang harus diberikan tergantung berapa banyak anak menginginkannya dan
banyaknya kehilangan cairan melalui tinja dan muntah.
Ganti Resomal/cairan pengganti pada jam ke-6 dan ke-10 dengan formula
khusus sejumlah yang sama bila keadaan rehidrasi menetap/stabil.
Selanjutnya mulai beri formula khusus (langkah 6).
Selama pengobatan, pernafasan cepat dan nadi lemah akan membaik dan anak
mulai kencing.
Pemantauan
Lakukan penilaian atas kemajuan proses rehidrasi setiap -1 jam selama 2
jam pertama, kemudian setiap jam untuk 6-12 jam selanjutnya.dengan memantau:
denyut nadi, pernafasan, frekwensi kencing, frekwensi diare / muntah.
Adanya air mata, mulut basah, kecekungan mata dan ubun-ubun besar yang
berkurang, perbaikan turgor kulit, merupakan tanda bahwa rehidrasi telah
berlangsung, tetapi pada KEP berat/gizi buruk perubahan ini seringkali tidak
terlihat, walaupun rehidrasi sudah tercapai. Pernafasan dan denyut nadi yang
cepat dan menetap selama rehidrasi menunjukkan adanya infeksi atau kelebihan
cairan.
Tanda kelebihan cairan: frekwensi pernafasan dan nadi meningkat, edema dan
pembengkakan kelopak mata bertambah. Bila ada tanda-tanda tersebut, hentikan
segera pemberian cairan dan nilai kembali setelah 1 jam.
Pencegahan:
Bila diare encer berlanjut:Teruskan pemberian formula khusus (langkah 6)
Ganti cairan yang hilang dengan Resomal / pengganti (jumlah + sama)
Sebagai pedoman, berikan Resomal/pengganti sebanyak 50-100 ml setiap
kali buang air besar cair
Bila masih mendapat ASI, teruskan.

Langkah Ke-4: Koreksi Gangguan Keseimbangan Elektrolit
Pada semua KEP berat terjadi kelebihan natrium (Na) tubuh, walaupun kadar
Na plasma rendah. Defisiensi kalium (K) dan magnesium (Mg) sering terjadi dan
paling sedikit perlu 2 minggu untuk pemulihan.Ketidakseimbangan elektrolit ini
36

ikut berperan pada terjadinya edema (jangan obati edema dengan pemberian
diuretikum).

Berikan :
Tambahan Kalium 2-4 mEq/kg BB/hari (= 150-300 mg KCl/kgBB/hari)
Tambahkan Mg 0.3-0.6 mEq/kg BB/hari (= 7.5-15 mg MgCl
2
/kgBB/hari)
Untuk rehidrasi, berikan cairan rendah natrium (Resomal/pengganti)
Siapkan makanan tanpa diberi garam/rendah garam.
Tambahan K dan Mg dapat disiapkan dalam bentuk larutan yang
ditambahkan langsung pada makanan. Penambahan 20 ml larutan tersebut pada 1
liter formula, dapat memenuhi kebutuhan K dan Mg. (Lihat lampiran 6 untuk
cara pembuatan larutan).

Langkah Ke-5: Pengobatan Dan Pencegahan Infeksi
Pada KEP berat / gizi buruk, tanda yang biasanya menunjukkan adanya
infeksi seperti demam seringkali tidak tampak.Karenanya pada semua KEP
berat/gizi buruk beri secara rutin:

Antibiotik spektrum luas
Vaksinasi Campak bila umur anak >6 bulan dan belum pernah diimunisasi
(tunda bila ada syok). Ulangi pemberian vaksin setelah keadaan gizi anak
menjadi baik.
Catatan:
Beberapa ahli memberikan metronidazol (7.5 mg/kg, setiap 8 jam selama
7 hari) sebagai tambahan pada antibiotik spektrum luas guna mempercepat
perbaikan mucosa usus dan mengurangi resiko kerusakan oksidatif dan infeksi
sistemik akibat pertumbuhan bakteri anaerobik dalam usus halus.
Pilihan antibiotik spektrum luas:
1. Bila tanpa komplikasi:Kotrimoksasol 5 ml suspensi pediatri secara oral, 2
x/hari selama 5 hari (2,5 ml bila berat badan < 4 Kg),Atau
2. Bila anak sakit berat (apatis, letargi) atau ada komplikasi (hipoglikemia:
hipotermia, infeksi kulit, saluran nafas atau saluran kencing), beri :
Ampisilin 50 mg/kgBB/i.m./i.v. setiap 6 jam selama 2 hari, dilanjutkan
dengan Amoksisilin secara oral 15 mg/KgBB setiap 8 jam selama 5 hari.
37

Bila amoksisilin tidak ada, teruskan ampisilin 50 mg/kgBB setiap 6 jam
secara oral.Dan
Gentamicin 7.5 mg /Kg/BB/i.m./i.v. sekali sehari, selama 7 hari.
3. Bila dalam 48 jam tidak terdapat kemajuan klinis, tambahkan kloramfenikol
25 mg/kg/BB/i.m./i.v. setiap 6 jam selama 5 hari.
4. Bila terdeteksi infeksi kuman yang spesifik, tambahkan antibiotik spesifik
yang sesuai. Tambahkan obat anti malaria bila pemeriksaan darah untuk
malaria positif.
5. Bila anoreksia menetap setelah 5 hari pengobatan antibiotik, lengkapi
pemberian hingga 10 hari.
6. Bila masih tetap ada, nilai kembali kadaan anak secara lengkap, termasuk
lokasi infeksi, kemungkinan adanya organisme yang resisten serta apakah
vitamin dan mineral telah diberikan dengan benar.

Langkah Ke-6: Mulai Pemberian Makanan
Pada awal fase stabilisasi, perlu pendekatan yang sangat berhati-nati karena
keadaan faali anak sangat lemah dan kapasitas homeostatik berkurang.
Pemberian makanan harus dimulai segera setelah anak dirawat dan dirancang
sedemikian rupa sehingga energi dan protein cukup untuk memenuhi
metabolisme basal.

Prinsip pemberian nutrisi pada fase ini adalah :
Porsi kecil tapi sering dengan formula laktosa rendah dan hipo/iso-osmolar.
Berikan secara oral/nasogastrik
Energi : 80 100 kal/kgBB/hari
Protein : 1 1.5 g/kgBB/hari
Cairan : 130 ml/kgBB/hari (100 ml/kgBB/hari bila terdapat edema)
Bila masih mendapat ASI, tetap diberikan tetapi setelah pemberian formula.
Formula khusus seperti F-WHO 75 yang dianjurkan dan jadwal pemberian
makanan harus disusun sedemikian rupa agar dapat mencapai prinsip tersebut di
atas: (lihat tabel 2 halaman 24). Berikan formula dengan cangkir/gelas. Bila
anak terlalu lemah, berikan dengan sendok / pipet.

38

Pada anak dengan selera makan baik dan tanpa edema, jadwal pemberian
makanan pada fase stabilisasi ini dapat diselesaikan dalam 2-3 hari saja (1 hari
untuk setiap tahap). Bila asupan makanan tidak mencapai dari 80 Kkal/kg
BB/hari, berikan sisa formula melalui pipa nasogastrik. Jangan beri makanan
lebih 100 Kkal/kgBB/hari pada fase stabilisasi ini.

Pantau dan catat:Jumlah yang diberikan dan sisanya, Muntah, Frekwensi
buang air besar dan konsistensi tinja, BB (harian).
Selama fase stabilisasi, diare secara perlahan berkurang dan BB mulai naik,
tetapi pada penderita dengan edema BB-nya akan menurun dulu bersamaan
dengan menghilangnya edema, baru kemudian BB mulai naik.
Bila diare berlanjut atau memburuk walaupun pemberian nutrisi sudah
berhati-hati, lihat bab diare persisten.

Langkah Ke-7: Fasilitasi Tumbuh Kejar
Pada masa rehabilitasi, dibutuhkan berbagai pendekatan secara gencar agar
tercapai masukan makanan yang tinggi dan pertambahan berat badan
50g/minggu. Awal fase rehabilitasi ditandai dengan timbulnya selera makan,
biasanya 1-2 minggu setelah dirawat. Transisi secara perlahan dianjurkan untuk
menghindari risiko gagal jantung dan intoleransi saluran cerna yang dapat terjadi
bila anak mengkonsumsi makanan dalam jumlah banyak secara mendadak.

Pada periode transisi, dianjurkan untuk merubah secara perlahan-lahan dari
formula khusus awal ke formula khusus lanjutan :
Ganti formula khusus awal (energi 75 Kkal dan protein 0.9-1.0 g per 100 ml)
dengan formula khusus lanjutan (energi 100 Kkal dan protein 2.9 gram per
100 ml) dalam jangka waktu 48 jam. Modifikasi bubur/makanan keluarga
dapat digunakan asalkan dengan kandungan energi dan protein yang sama.
Kemudian naikkan dengan 10 ml setiap kali, sampai hanya sedikit formula
tersisa, biasanya pada saat tercapai jumlah 30 ml/kgBB/kali (=200
ml/kgBB/hari).
Pemantauan pada masa transisi: frekwensi nafas, frekwensi denyut nadi. Bila
terjadi peningkatan detak nafas >5x/menit dan denyut nadi >25x/menit dalam
39

pemantauan setiap 4 jam berturutan, kurangi volume pemberian formula.Setelah
normal kembali, ulangi menaikkan volume seperti di atas.
Setelah periode transisi dilampaui, anak diberi:
Makanan/formula dengan jumlah tidak terbatas dan sering.
Energi : 150-220 Kkal/kgBB/hari
Protein 4-6 gram/kgBB/hari
Bila anak masih mendapat ASI, teruskan, tetapi juga beri formula, karena
energi dan protein ASI tidak akan mencukupi untuk tumbuh-kejar.
Pemantauan setelah periode transisi : kemajuan dinilai berdasarkan
kecepatan pertambahan berat badan : timbang anak setiap pagi sebelum diberi
makan, evaluasi kenaikan BB setiap minggu. Bila kenaikan BB:
kurang ( <50 g/minggu ), perlu re-evaluasi menyeluruh : cek apakah asupan
makanan mencapai target atau apakah infeksi telah dapat diatasi.
baik ( 50 g/minggu ), lanjutkan pemberian makanan

Langkah Ke-8: Koreksi Defisiensi Mikro Nutrien
Semua KEP berat menderita kekurangan vitamin dan mineral. Walaupun
anemia biasa dijumpai, jangan terburu-buru memberikan preparat besi (Fe),
tetapi tunggu sampai anak mau makan dan berat badannya mulai naik (biasanya
setelah minggu ke-2). Pemberian besi pada masa awal dapat memperburuk
keadaan infeksinya. Berikan setiap hari:

Suplementasi multivitamin
Asam folat 1 mg/hari (5 mg pada hari pertama)
Seng (Zn) 2 mg/kgBB/hari
Tembaga (Cu) 0.2 mg/kgBB/hari
Bila BB mulai naik : Fe 3 mg/kgBB/hari atau sulfas ferrosus 10
mg/kgBB/hari
Vitamin A oral pada hari I : umur > 1 tahun : 200.000 SI, 6-12 bulan :
100.000 SI, < 6 bulan : 50.000 SI, kecuali bila dapat dipastikan anak sudah
mendapat suplementasi vitamin A pada 1 bulan terakhir. Bila ada tanda /
gejala defisiensi vitamin A, berikan vitamin dosis terapi.
40

Langkah Ke-9: Berikan Stimulasi Sensorik Dan Dukungan Emosional
Pada KEP berat terjadi keterlambatan perkembangan mental dan perilaku,
karenanya berikan:

Kasih sayang
Lingkungan yang ceria
Terapi bermain terstruktur selama 15 30 menit/hari
Aktifitas fisik segera setelah sembuh
Keterlibatan ibu (memberi makan, memandikan, bermain dsb).

Langkah Ke-10: Tindak Lanjut Di Rumah
Bila gejala klinis sudah tidak ada dan BB anak sudah mencapai 80% BB/U,
dapat dikatakan anak sembuh.Pola pemberian makan yang baik dan stimulasi
harus tetap dilanjutkan dirumah setelah penderita dipulangkan.Peragakan kepada
orangtua tentang pemberian makan yang sering dengan kandungan energi dan
nutrien yang padat dan terapi bermain terstruktur.

Nasehatkan kepada orang tua untuk :
Melakukan kunjungan ulang setiap minggu, periksa secara teratur di
Puskesmas
Pelayanan di PPG (lihat bagian pelayanan PPG) untuk memperoleh PMT-
Pemulihan selama 90 hari. Ikuti nasehat pemberian makanan (lihat lampiran
5) dan berat badan anak selalu ditimbang setiap bulan secara teratur di
posyandu / puskesmas.
pemberian makan yang sering dengan kandungan energi dan nutrien yang
padat
penerapan terapi bermain dengan kelompok bermain atau Posyandu
Pemberian suntikan imunisasi sesuai jadwal
Anjurkan pemberian kapsul vitamin A dosis tinggi (200.000 SI atau 100.000
SI ) sesuai umur anak setiap Bulan Februari dan Agustus.




41

B. Pengobatan Penyakit Penyerta
1. Defisiensi vitamin A
Bila ada kelainan di mata, berikan vitamin A oral pada hari ke 1, 2 dan14
atau sebelum keluar rumah sakit bila terjadi memburuknya keadaan klinis
diberikan vitamin A dengan dosis:

umur > 1 tahun : 200.000 SI/kali
umur 6 - 12 bulan : 100.000 SI/kali
umur 0 - 5 bulan : 50.000 SI/kali
Bila ada ulkus dimata diberikan : tetes mata khloramfenikol atau salep
matatetrasiklin, setiap 2-3 jam selama 7-10 hari, teteskan tetes mata atropin,
1 tetes 3 kalisehari selama 3-5 hari, tutup mata dengan kasa yang dibasahi
larutan garam faal

2. Dermatosis
Dermatosis ditandai adanya: hipo / hiperpigmentasi, deskuamasi (kulit
mengelupas), lesi ulcerasi eksudatif, menyerupai luka bakar, sering disertai
infeksisekunder, antara lain oleh Candida

Tatalaksana :
a. kompres bagian kulit yang terkena dengan larutan KmnO4
(Kpermanganat) 1% selama 10 menit
b. beri salep atau krim (Zn dengan minyak kastor)
c. usahakan agar daerah perineum tetap kering
d. umumnya terdapat defisiensi seng (Zn) : beri preparat Zn peroral
3. Parasit / Cacing
Beri Mebendasol 100 mg oral, 2 kali sehari selama 3 hari, atau preparat
antihelmintik lain

4. Diare Melanjut
Diobati bila hanya diare berlanjut dan tidak ada perbaikan keadaan
umum. Berikan formula bebas / rendah lactosa. Sering kerusakan mukosa
usus dan giardiasis merupakan penyebab lain dari melanjutnya diare. Bila
mungkin, lakukan pemeriksaan tinja mikroskopik. Beri : Metronidasol 7.5
mg/kgBB setiap 8 jam selama 7 hari.


42

5. Tuberkulosis
Pada setiap kasus gizi buruk, lakukan tes tuberculin / Mantoux (sering
kali anergi) dan Ro-foto toraks. Bila positif atau sangat mungkin TB, diobati
sesuai pedoman pengobatan TB.


C. Kegagalan Pengobatan
Kegagalan pengobatan tercermin pada angka kematian dan kenaikan berat
badan:

1. Tingginya angka kematian. Bila mortalitas >5%, perhatikan saat terjadi
kematian
dalam 24 jam pertama: kemungkinan hipoglikemia, hipotermia, sepsis
yang terlambat atau tidak terdeteksi, atau proses rehidrasi kurang tepat.
dalam 72 jam: cek apakah volume formula terlalu banyak atau pemilihan
formula tidak tepat
malam hari: kemungkinan terjadi hipotermia karena selimut kurang
memadai, tidak diberi makan, perubahan konsentrasi formula terlalu
cepat.
2. Kenaikan berat-badan tidak adekuat pada fase rehabilitasi. Penilaian
kenaikan BB:
Baik : 50 gram/kgBB/minggu
Kurang: <50 gram/kgBB/minggu.
Kemungkinan penyebab kenaikan BB <50 gram/kgBB/minggu antara lain:
pemberian makanan tidak adekuat
defisiensi nutrien tertentu; vitamin, mineral
infeksi yang tidak terdeteksi, sehingga tidak diobati.
masalah psikologik.

D. Penanganan Pasien Pulang Sebelum Rehabilitasi Tuntas
Rehabilitasi dianggap lengkap dan anak siap dipulangkan bila gejala klinis
sudah menghilang, BB/U mencapai minimal 70% atau BB/TB mencapai
minimal 80%

43

Anak KEP berat yang pulang sebelum rehabilitasi tuntas, di rumah harus
diberi makanan tinggi energi (150 Kkal/kgBB/hari) dan tinggi protein (4-6
gram/kgBB/hari):
beri anak makanan yang sesuai (energi dan protein) dengan porsi paling
sedikit 5 kali sehari
beri makanan selingan di antara makanan utama
upayakan makanan selalu dihabiskan
beri suplementasi vitamin dan mineral/elektrolit
teruskan ASI.

E. Tindakan Kegawatan
1. Syok (renjatan)
Syok karena dehidrasi atau sepsis sering menyertai KEP berat dan sulit
membedakan keduanya secara klinis saja. Syok karena dehidrasi akan
membaik dengan cepat pada pemberian cairanintravena, sedangkan pada
sepsis tanpa dehidrasi tidak. Hati-hati terhadap terjadinya overhidrasi.
4,15
Pedoman pemberian cairan :
a. Berikan larutan Dekstrosa 5% : NaCl 0.9% (1:1) atau larutan Ringer
dengan kadar dekstrosa 5% sebanyak 15 ml/KgBB dalam satu jam
pertama. Evaluasi setelah 1 jam.
b. Bila ada perbaikan klinis (kesadaran, frekuensi nadi dan pernapasan)
dan status hidrasi syok disebabkan dehidrasi. Ulangi pemberian
cairan seperti di atas untuk 1 jam berikutnya, kemudian lanjutkan
dengan pemberian Resomal / pengganti, peroral / nasogastrik, 10
ml/kgBB/jam selama 10 jam, selanjutnya mulai berikan formula
khusus (F-75 / pengganti).
c. Bila tidak ada perbaikan klinis anak menderita syok septik. Dalam
hal ini, berikan cairan rumat sebanyak 4 ml/kgBB/jam dan berikan
transfusi darah sebanyak 10 ml/kgBB secara perlahan-lahan (dalam 3
jam). Kemudian mulailah pemberian formula (F-75 / pengganti)


44

2. Anemia berat
Transfusi darah diperlukan bila:Hb < 4 g/dl, atau Hb 4-6 g/dl disertai
distress pernapasan atau tanda gagal jantung. Transfusi darah :
Berikan darah segar 10 ml/kgBB dalam 3 jam.
Bila ada tanda gagal jantung, gunakan packed red cells untuk transfusi
dengan jumlah yang sama.
Beri furosemid 1 mg/kgBB secara i.v pada saat transfusi dimulai.
Perhatikan adanya reaksi transfusi (demam, gatal, Hb-uria, syok). Bila
pada anak dengan distres napas setelah transfusi Hb tetap < 4 g/dl atau
antara 4-6 g/dl, jangan diulangi pemberian darah.

3.1.8 Pencegahan KEP
Prevalensi KEP ringan seperti pendek dan kurus kering adalah 40-50 %
sementara KEP berat mencapai 5-10 % pada negara yang sedang berkembang. Jika
kasus KEP ini bisa dideteksi awal dengan pengukuran berat badan dan tinggi badan
serta langkah yang tepat maka KEP berat dapat dicegah dengan mudah. Tidaklah
bijaksana jika hanya mengobati malnutrisi berat yang datang ke sarana layanan
kesehatan. Seolah-olah seperti fenomena gunung es. Oleh karena itu diperulkan
pendekatan kepada masyarakat terutama masyarakat level ekonomi menengah ke
bawah. Di bawah ini adalah beberapa pendekatan penanganan nutrisi yang bisa
dilakukan di masyatakat :

3.1.9 Komplikasi
Pada anak dengan gizi buruk dapat ditemukan penyakit penyerta antara lain :
Masalah pada mata
Anemia berat
Lesi kulit pada kwashiorkor
Diare persisten (giardiasis dan kerusakan mukosa usus, intoleransi
laktosa, diare osmotik)
Penyakit penyerta yang dapat terjadi pada obesitas adalah antara lain:
- Faktor Risiko Penyakit Kardiovaskuler
45

- Diabetes Mellitus tipe-2
- Obstruktive sleep apnea
- Gangguan ortopedik
- Pseudotumor serebri

3.1.10. Prognosis
Malnutrisi yang hebat mempunyai angka kematian yang tinggi, kematian sering
disebabkan oleh karena infeksi, sering tidak dapat dibedakan antara kematian karena
infeksi atau karena malnutrisi sendiri. Prognosis tergantung dari stadium saat
pengobatan mulai dilaksanakan. Dalam beberapa hal walaupun kelihatannya
pengobatan adekuat, bila penyakitnya progesif kematian tidak dapat dihindari, mungkin
disebabkan perubahan yang irrever-sibel dari set-sel tubuh akibat under nutrition
maupun overnutrition.
3.2 Bronkopneumonia
Bronkopneumonia adalah peradangan pada paru dimana proses peradangannya ini
menyebar membentuk bercak-bercak infiltrat yang berlokasi di alveoli paru dan dapat
pula melibatkan bronkiolus terminal.


3.2.1 Epidemiologi
Insidens penyakit saluran napas menjadi penyebab angka kematian dan
kecacatan yang tinggi di seluruh dunia. Sekitar 80% dari seluruh kasus baru praktek
umum berhubungan dengan infeksi saluran napas yang terjadi di masyarakat (PK) atau
di dalam rumah sakit/ pusat perawatan (pneumonia nosokomial/ PN).
Infeksi saluran napas bawah masih tetap merupakan masalah utama dalam
bidang kesehatan, baik di negara yang sedang berkembang maupun yang sudah maju.
Laporan WHO 1999 menyebutkan bahwa penyebab kematian tertinggi akibat penyakit
infeksi di dunia adalah infeksi saluran napas akut termasuk pneumonia dan influenza.
Insidensi pneumonia komuniti di Amerika adalah 12 kasus per 1000 orang per tahun
dan merupakan penyebab kematian utama akibat infeksi pada orang dewasa di negara
itu. Angka kematian akibat pneumonia di Amerika adalah 10%. Di Amerika dengan
cara invasif pun penyebab pneumonia hanya ditemukan 50%. Penyebab pneumonia sulit
46

ditemukan dan memerlukan waktu beberapa hari untuk mendapatkan hasilnya,
sedangkan pneumonia dapat menyebabkan kematian bila tidak segera diobati, maka
pada pengobatan awal pneumonia diberikan antibiotika secara empiris.


3.2.3 Epidemiologi
Etiologi pneumonia sulit dipastikan karena kultur sekret bronkus merupakan
tindakan yang sangat invasif sehingga tidak dilakukan. Patogen penyebab pneumonia
pada anak bervariasi tergantung :


a. Usia
b. Status imunologis
c. Status lingkungan
d. Kondisi lingkungan (epidemiologi setempat, polusi udara)
e. Status imunisasi
f. Faktor pejamu (penyakit penyerta, malnutrisi).



Usia pasien merupakan peranan penting pada perbedaan dan kekhasan
pneumonia anak, terutama dalam spectrum etiologi, gambaran klinis dan strategi
pengobatan. Etiologi pneumonia pada neonatus dan bayi kecil meliputi Streptococcus
grup B dan bakteri gram negatif seperti E.colli, pseudomonas sp, atau Klebsiella sp.
Pada bayi yang lebih besar dan balita pneumoni sering disebabkan oleh Streptococcus
pneumonia, H. influenzae, Stretococcus grup A, S. aureus, sedangkan pada anak yang
lebih besar dan remaja, selain bakteri tersebut, sering juga ditemukan infeksi
Mycoplasma pneumoniae.

3.2.4 KLASIFIKASI
Pembagian pneumonia sendiri pada dasarnya tidak ada yang memuaskan, dan
pada umumnya pembagian berdasarkan anatomi dan etiologi. Beberapa ahli telah
membuktikan bahwa pembagian pneumonia berdasarkan etiologi terbukti secara klinis
dan memberikan terapi yang lebih relevan.

a. Berdasarkan lokasi lesi di paru
Pneumonia lobaris
Pneumonia lobularis (bronkopneumoni)
47

Pneumonia interstitialis
b. Berdasarkan asal infeksi
Pneumonia yang didapat dari masyarkat (community acquired pneumonia = CAP)
Pneumonia yang didapat dari rumah sakit (hospital-based pneumonia)
c. Berdasarkan mikroorganisme penyebab
Pneumonia bakteri
Pneumonia virus
Pneumonia mikoplasma
Pneumonia jamur
d. Berdasarkan karakteristik penyakit
Pneumonia tipikal
Pneumonia atipikal
e. Berdasarkan lama penyakit
Pneumonia akut
Pneumonia persisten

Tabel 2. Klasifikasi Berdasarkan Lingkungan dan Penjamu
Tipe Klinis Epidemiologi
Pneumonia Komunitas Sporadis atau endemic; muda atau orang tua
Pneumonia Nosokomial Didahului perawatan di RS
Pneumonia Rekurens Terdapat dasar penyakt paru kronik
Pneumonia Aspirasi Alkoholik, usia tua
Pneumonia pada gangguan imun Pada pasien transplantasi, onkologi, AIDS

3.2.5 PATOGENESIS
Istilah pneumonia mencangkup setiap keadaan radang paru dimana beberapa
atau seluruh alveoli terisi dengan cairan dan sel-sel darah. Jenis pneumonia yang umum
adalah pneumonia bakterialis yang paling sering disebabkan oleh pneumokokus.
Penyakit ini dimulai dengan infeksi dalam alveoli, membran paru mengalami
peradangan dan berlubang-lubang sehingga cairan dan bahkan sel darah merah dan sel
darah putih keluar dari darah masuk kedalam alveoli. Dengan demikian, alveoli yang
48

terinfeksi secara progresif menjadi terisi dengan cairan dan sel-sel, dan infeksi
disebarkan oleh perpindahan bakteri dari alveolus ke alveolus.

Pada keadaan normal, saluran respiratorik mulai dari area sublaring sampai
parenkim paru adalah steril. Saluran napas bawah ini dijaga tetap steril oleh mekanisme
pertahanan bersihan mukosiliar, sekresi imunoglobulin A, dan batuk. Mekanisme
pertahanan imunologik yang membatasi invasi mikroorganisme patogen adalah
makrofag yang terdapat di alveolus dan bronkiolus, IgA sekretori, dan imunoglobulin
lain.

Umumnya mikroorganisme penyebab terhisap ke paru bagian perifer melalui
saluran respiratori. Mula-mula terjadi edema akibat reaksi jaringan yang mempermudah
proliferasi dan penyebaran kuman ke jaringan sekitarnya. Bagian paru yang terkena
mengalami konsolidasi, yaitu terjadi serbukan sel PMN, fibrin, eritrosit, cairan edema,
dan ditemukannya kuman di alveoli. Stadium ini disebut stadium hepatisasi merah.
Selanjutnya, deposisi fibrin semakin bertambah, terdapat fibrin dan leukosit PMN di
alveoli dan terjadi proses fagositosis yang cepat. Stadium ini disebut stadium hepatisasi
kelabu. Selanjutnya, jumlah makrofag meningkat di alveoli, sel akan mengalami
degenerasi, fibrin menipis, kuman dan debris menghilang. Stadium ini disebut stadium
resolusi. Sistem bronkopulmoner jaringan paru yang tidak terkena akan tetap normal.

Pneumonia viral biasanya berasal dari penyebaran infeksi di sepanjang jalan
napas atas yang diikuti oleh kerusakan epitel respiratorius, menyebabkan obstruksi jalan
napas akibat bengkak, sekresi abnormal, dan debris seluler. Diameter jalan napas yang
kecil pada bayi menyebabkan bayi rentan terhadap infeksi berat. Atelektasis, edema
interstisial, dan ventilation-perfusion mismatch menyebabkan hipoksemia yang sering
disertai obstruksi jalan napas. Infeksi viral pada traktus respiratorius juga dapat
meningkatkan risiko terhadap infeksi bakteri sekunder dengan mengganggu mekanisme
pertahanan normal pejamu, mengubah sekresi normal, dan memodifikasi flora bakterial.

Ketika infeksi bakteri terjadi pada parenkim paru, proses patologik bervariasi
tergantung organisme yang menginvasi. M. pneumoniae menempel pada epitel
respiratorius, menghambat kerja silier, dan menyebabkan destruksi seluler dan memicu
respons inflamasi di submukosa. Ketika infeksi berlanjut, debris seluler yang terlepas,
sel-sel inflamasi, dan mukus menyebabkan obstruksi jalan napas, dengan penyebaran
infeksi terjadi di sepanjang cabang-cabang bronkial, seperti pada pneumonia viral.

S.
49

pneumoniae menyebabkan edema lokal yang membantu proliferasi mikroorganisme dan
penyebarannya ke bagian paru lain, biasanya menghasilkan karakteristik sebagai
bercak-bercak konsolidasi merata di seluruh lapangan paru.

Infeksi streptokokus grup A pada saluran napas bawah menyebabkan infeksi
yang lebih difus dengan pneumonia interstisial. Pneumonia lobar tidak lazim. Lesi
terdiri atas nekrosis mukosa trakeobronkial dengan pembentukan ulkus yang compang-
camping dan sejumlah besar eksudat, edema, dan perdarahan terlokalisasi. Proses ini
dapat meluas ke sekat interalveolar dan melibatkan fasa limfatika.

Pneumonia yang
disebabkan S.aureus adalah berat dan infeksi dengan cepat menjelek yang disertai
dengan morbiditas yang lama dan mortalitas yang tinggi, kecuali bila diobati lebih awal.
Stafilokokus menyebabkan penggabungan bronkopneumoni yang sering unilateral atau
lebih mencolok pada satu sisi ditandai adanya daerah nekrosis perdarahan yang luas dan
kaverna tidak teratur


3.2.6 Gejala Klinis
Riwayat klasik dingin menggigil yang disertai dengan demam tinggi, batuk dan
nyeri dada. Anak sangat gelisah, dispnu, pernapasan cepat dan dangkal disertai
pernapasan cuping hidung dan sianosis sekitar hidung dan mulut. Kadang-kadang
disertai muntah dan diare. Batuk biasanya tidak ditemukan pada permulaan penyakit,
mungkin terdapat batuk setelah beberapa hari mula-mula kering kemudian menjadi
produktif. Pada stadium permulaan sukar dibuat diagnosis dengan pemeriksaan fisik,
tetapi dengan adanya nafas cepat dan dangkal, pernafasan cuping hidung dan sianosis
sekitar mulut dan hidung baru dipikirkan kemungkinan pneumonia. Penyakit ini sering
ditemukan bersamaan dengan konjungtivitis, otitis media, faringitis, dan laringitis. Anak
besar dengan pneumonia lebih suka berbaring pada sisi yang sakit dengan lutut tertekuk
dengan nyeri dada.


3.2.7 Pemeriksaan Fisik
Dalam pemeriksaan fisik ditemukan hal-hal sebagai berikut :
Suhu tubuh 38,5
o
C
Pada setiap nafas terdapat retraksi otot epigastrik, interkostal, suprasternal,
dan pernapasan cuping hidung.
50

Takipneu berdasarkan WHO:
Usia < 2 bulan 60 x/menit
Usia 2-12 bulan 50 x/menit
Usia 1-5 tahun 40 x/menit
Usia 6-12 tahun 28 x/menit
Pada palpasi ditemukan fremitus vokal menurun.
Pada perkusi lapangan paru redup pada daerah paru yang terkena.
Pada auskultasi dapat terdengar suara pernafasan menurun. Fine crackles
(ronki basah halus) yang khas pada anak besar bisa tidak ditemukan pada
bayi. Dan kadang terdengar juga suara bronkial.

3.2.8 Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium
Pada pneumonia virus dan mikoplasma umumnya leukosit dalam batas normal. Pada
pneumonia bakteri didapatkan leukositosis yang berkisar antara 15.000 40.000/mm
3

dengan predominan PMN. Kadang-kadang terdapat anemia ringan dan laju endap darah
(LED) yang meningkat. Secara umum, hasil pemeriksaan darah perifer lengkap dan
LED tidak dapat membedakan antara infeksi virus dan bakteri secara pasti

2. C-Reactive Protein (CRP)
Secara klinis CRP digunakan sebagai alat diagnostik untuk membedakan antara faktor
infeksi dan noninfeksi, infeksi virus dan bakteri, atau infeksi bakteri superfisialis dan
profunda. Kadar CRP biasanya lebih rendah pada infeksi virus dan infeksi bakteri
superfisialis daripada infeksi bakteri profunda. CRP kadang digunakan untuk evaluasi
respons terhadap terapi antibiotik.

Pemeriksaan CRP dan prokalsitonin juga dapat menunjang pemeriksaan radiologi untuk
mengetahui spesifikasi pneumonia karena pneumokokus dengan nilai CRP 120 mg/l
dan prokalsitonin 5 ng/ml.

3. Pemeriksaan Mikrobiologis
Pemeriksaan mikrobiologik untuk diagnosis pneumonia anak tidak rutin dilakukan
kecuali pada pneumonia berat,dan jarang didapatkan hasil yang positif. Untuk
51

pemeriksaan mikrobiologik, spesimen dapat berasal dari usap tenggorok, sekret
nasofaring tidak memiliki nilai yang berarti. Diagnosis dikatakan definitif bila kuman
ditemukan dari darah, cairan pleura, atau aspirasi paru.


4. Pemeriksaan serologis
Uji serologik untuk medeteksi antigen dan antibodi pada infeksi bakteri tipik
mempunyai sensitivitas dan spesifitas yang rendah. Akan tetapi, diagnosis infeksi
Streptokokus grup A dapat dikonfirmasi dengan peningkatan titer antibodi seperti
antistreptolisin O, streptozim, atau antiDnase B. Uji serologik IgM dan IgG antara fase
akut dan konvalesen pada anak dengan infeksi pneumonia oleh Chlamydia pneumonia
dan Mycoplasma pneumonia memiliki hasil yang memuaskan tetapi tidak bermakna
pada keadaan pneumonia berat yang memerlukan penanganan yang cepat.


5. Pemeriksaan Roentgenografi
Foto rontgen toraks proyeksi posterior-anterior merupakan dasar diagnosis utama
pneumonia. Tetapi tidak rutin dilakukan pada pneumonia ringan, hanya
direkomendasikan pada pneumonia berat yang dirawat dan timbul gejala klinis berupa
takipneu, batuk, ronki, dan peningkatan suara pernafasan. Kelainan foto rontgen toraks
pada pneumonia tidak selalu berhubungan dengan gambaran klinis. Umumnya
pemeriksaan yang diperlukan untuk menunjang diagnosis pneumonia hanyalah
pemeriksaan posisi AP. Lynch dkk mendapatkan bahwa tambahan posisi lateral pada
foto rontgen toraks tidak meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas penegakkan
diagnosis.
Secara umum gambaran foto toraks terdiri dari:
Infiltrat interstisial, ditandai dengan peningkatan corakan bronkovaskular,
peribronchial cuffing dan overaeriation. Bila berat terjadi pachy consolidation
karena atelektasis.
Infiltrat alveolar, merupakan konsolidasi paru dengan air bronchogram.
Konsolidasi dapat mengenai satu lobus disebut dengan pneumonia lobaris atau
terlihat sebagai lesi tunggal yang biasanya cukup besar, berbentuk sferis, berbatas
yang tidak terlalu tegas dan menyerupai lesi tumor paru disebut sebagai round
pneumonia
52

Bronkopneumoni ditandai dengan gambaran difus merata pada kedua paru berupa
bercak-bercak infiltrat yang dapat meluas hingga daerah perifer paru disertai
dengan peningkatan corakan peribronkial.

Foto rontgen tidak dapat menentukan jenis infeksi bakteri, atipik, atau virus. Tetapi
gambaran foto rontgen toraks dapat membantu mengarahkan kecenderungan etiologi.
Penebalan peribronkial, infiltrat interstitial merata dan hiperinflasi cenderung terlihat
pada pneumonia virus. Infiltrat alveolar berupa konsolidasi segmen atau lobar,
bronkopneumoni dan air bronchogram sangat mungkin disebabkan oleh bakteri.

3.2.9 Diagnosis
Diagnosis etiologik berdasarkan pemeriksaan mikrobiologis dan/atau serologis
merupakan dasar terapi yang optimal. Akan tetapi, penemuan bakteri penyebab tidak
selalu mudah karena memerlukan laboratorium penunjang yang memadai. Tidak ada
gejala distress pernafasan, takipneu, batuk, ronki, dan peningkatan suara pernafasan
dapat menyingkirkan dugaan pneumonia. Terdapatnya retraksi epigastrik, interkostal,
dan suprasternal merupakan indikasi tingkat keparahan. Pada bronkopneumoni, bercak-
bercak infiltrat didapati pada satu atau beberapa lobus. Foto rontgen dapat juga
menunjukkan adanya komplikasi seperti pleuritis, atelektasis, abses paru, pneumotoraks
atau perikarditis. Gambaran ke arah sel polimorfonuklear juga dapat dijumpai. Pada
bayi-bayi kecil jumlah leukosit dapat berada dalam batas yang normal. Kadar
hemoglobin biasanya normal atau sedikit menurun

Tingginya angka morbiditas dan mortalitas pneumonia pada balita, upaya
penanggulangannya WHO mengembangkan pedoman diagnosis dan tatalaksana yang
sederhana. Tujuannya ialah menyederhanakan kriteria diagnosis berdasarkan gejala
klinis yang dapat dideteksi, menetapkan klasifikasi penyakit, dan menentukan
penatalaksanaan. Tanda bahaya pada anak berusia 2 bulan-5 tahun adalah tidak dapat
minum, kejang, kesadaran menurun, stridor, mengi, demam, atau menggigil.

Klasifikasi pneumonia berdasarkan pedoman tersebut.

Bayi dan anak berusia 2 bulan 5 tahun :
Pneumonia berat
53

- Frekuensi pernafasan pada anak umur 2-12 bulan 50 x/menit, Usia 1-5 tahun
40 x/menit
- Adanya retraksi
- Sianosis
- Anak tidak mau minum
- Tingkat kesadaran yang menurun dan merintih (pada bayi)
- Anak harus dirawat dan di terapi dengan antibiotik
Pneumonia
- Frekuensi pernafasan pada anak umur 2-12 bulan 50 x/menit, Usia 1-5 tahun
40 x/menit
- Adanya retraksi
- Anak perlu di rawat dan berikan terapi antibiotik

Bayi berusia di bawah 2 bulan
Pada bayi berusia dibawah 2 bulan, perjalanan penyakit lebih bervariasi. Klasifikasi
pneumonia pada kelompok usia ini adalah sebagai berikut :
Pneumonia
- Bila ada nafas cepat 60 x/menit atau sesak nafas
- Harus dirawat dan diberikan antibiotik
Bukan pneumonia
- Tidak ada nafas cepat atau sesak nafas
- Tidak perlu dirawat, cukup diberikan pengobatan simptomatik

3.2.10 Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan antibiotika
Pemberian antibiotika berdasarkan derajat penyakit
Pneumonia ringan
- Amoksisilin 25 mg/kgBB dibagi dalam 2 dosis sehari selama 3 hari.
Diwilayah resistensi penisilin yang tinggi dosis dapat dinaikan
sampai 80-90 mg/kgBB.
- Kotrimoksazol (trimetoprim 4 mg/kgBB sulfametoksazol 20
mg/kgBB) dibagi dalam 2 dosis sehari selama 5 hari
54

Pneumonia berat
- Kloramfenikol 25 mg/kgBB setiap 8 jam
- Seftriakson 50 mg/kgBB i.v setiap 12 jam
- Ampisilin 50 mg/kgBB i.m sehari empat kali, dan gentamisin 7,5
mg/kgBB sehari sekali
- Benzilpenisilin 50.000 U/kgBB setiap 6 jam, dan gentamisin 7,5
mg/kgBB sehari sekali
- Pemberian antibiotik diberikan selama 10 hari pada pneumonia tanpa
komplikasi, sampai saat ini tidak ada studi kontrol mengenai lama
terapi antibiotik yang optimal

Pemberian antibiotik berdasarkan umur
Neonatus dan bayi muda (< 2 bulan) :
- ampicillin + aminoglikosid
- amoksisillin-asam klavulanat
- amoksisillin + aminoglikosid
- sefalosporin generasi ke-3
Bayi dan anak usia pra sekolah (2 bl-5 thn)
- beta laktam amoksisillin
- amoksisillin-amoksisillin klavulanat
- golongan sefalosporin
- kotrimoksazol
- makrolid (eritromisin)
Anak usia sekolah (> 5 thn)
- amoksisillin/makrolid (eritromisin, klaritromisin, azitromisin)
- tetrasiklin (pada anak usia > 8 tahun)

2. Penatalaksaan suportif
- Pemberian oksigen lembab 2-4 L/menit sampai sesak nafas hilang
atau PaO
2

pada analisis gas darah 60 torr
- Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi elektrolit.
55

- Asidosis diatasi dengan pemberian bikarbonat intravena dengan dosis
awal 0,5 x 0,3 x defisit basa x BB (kg). Selanjutnya periksa ulang
analisis gas darah setiap 4-6 jam. Bila analisis gas darah tidak bisa
dilakukan maka dosis awal bikarbonat 0,5 x 2-3 mEq x BB (kg).
- Obat penurun panas dan pereda batuk sebaiknya tidak diberikan pada
72 jam pertama karena akan mengaburkan interpretasi reaksi
antibiotik awal. Obat penurun panas diberikan hanya pada penderita
dengan suhu tinggi, takikardi, atau penderita kelainan jantung.

Bila penyakit bertambah berat atau tidak menunjukkan perbaikan
yang nyata dalam 24-72 jam ganti dengan antibiotik lain yang lebih tepat
sesuai dengan kuman penyebab yang diduga (sebelumnya perlu diyakinkan
dulu ada tidaknya penyulit seperti empyema, abses paru yang menyebabkan
seolah-olah antibiotik tidak efektif)


3. Penatalaksanaan bedah
Pada umumnya tidak ada tindakan bedah kecuali bila terjadi
komplikasi pneumotoraks atau pneumomediastinum.

3.3 IMPETIGO BULOSA
Biasanya Staphylococcus aureus. Sering terdapat pada wajah, aksila, dada,
punggung, tangan, tungkai, daerah lipatan, serta daerah-daerah yang tidak tertutup
pakaian.

3.3.1 Manifestasi Klinis
Keadaan umum baik, tetapi dapat timbul gejala konstitusi berupa malaise dan
demam. Kelainan kulit berupa eritema. Kadang-kadang waktu pasien datang berobat,
vesikel/bula telah memecah sehingga yang tampak hanya kolaret dan dasarnya masih
eritematosa, erosi, dan ekskoriasi.
Keluhan utama berupa lepuh yang timbul akut pada kulit sehat. Ukurannya
bervariasi dari milier hingga lentikuler.

Karakteristik dari penyakit ini adalah
perkembangan yang cepat

dari vesikel menjadi bula yang lembek.

Bula sering
56

mengandung pus, dan sering timbul berkelompok atau berlokasi di lipatan tubuh.
Dinding bula tipis, menggantung, dan kadang tampak hipopion. Jika bula pecah akan
menimbulkan erosi yang superficial dan krusta yang coklat datar dan tipis.

3.3.2. Diaganosis Banding

Pemfigus : Erosi yang menyebar juga menyerupai pemfigus, dimana pada pemfigus
juga disertasi lepuh.

Herpes simpleks

Herpes zoster

Impetigo krustosa

Dermatofitosis : Jika vesikel/bula telah pecah dan hanya terdapat koloret dan
ektima,maka mirip dermatofitosis. Pada anamnesa hendaknya ditanyakan apakah
sebelumya terdapat lepuh. Jika ada, diagnosisnya adalah impetigo bulosa.


3.3.3. Komplikasi
Pada pasien yang tidak diobati, infeksi yang invasif dapat menyebabkan
komplikasi berupa selulitis, limfangitis, dan bakteriemia, sampai terjadi osteomielitis,
sepsis arthritis, pneumonitis, dan septikemia.
Impetigo yang tidak diobati dengan baik akan berkembang menjadi ektima
biasanya sering pada penderita dengan hygiene buruk

3.3.4. Pengobatan
Kebanyakan Streptococcus aureus yang menyebabkan impetigo sudah resisten
terhadap penicillin. Oleh karena itu golongan sefalosporin seperti cephalexin (Keflex),
eritromisin (Ilosone), atau dicloxacillin (dynapen) dapat dipilih sebagai antibiotik.
Untuk lesi yang tidak luas kita dapat menggunakan salep Mupicorin (Bactroban) 2%
tiga kali sehari.

Menjaga kebersihan diri sangatlah penting untuk mencegah penyebaran peyakit
ini. Membersihkan dengan sabun antibakteri dan membersihkan krusta dengan lembut
dan hati-hati dapat mempercepat proses penyembuhan. Mengganti handuk, sapu tangan
dan alat pencukur secara berkala sangat dianjurkan.

57

3.3.5. Prognosis
Baik, sembuh tanpa sikatrik.

3.3.6. Pencegahan
Pada daerah tropis, perhatikan kebersihan dan gunakan lotion antiserangga untuk
mencegah gigitan serangga.
Jaga daya tahan tubuh, misalnya dengan menjaga asupan nutrisi.
Jaga kelembaban kulit.
Tingkatkan hygiene misalnya dengan mandi 2 kali sehari dan mencuci tangan
pakai sabun dan menggunakan alas kaki saat keluar rumah.






















58

BAB IV
ANALISIS KASUS
Seorang anak lak-laki bernama M. Zaki berusia 2 bulan berkebangsaan
Indonesia, beragama islam, bertempat tinggal di Rusun Blok 21 lt. 3 No.68 RT.44
Palembang, dirawat di bagian respirologi anak RSMH Palembang.
Dari hasil anamnesis didapatkan penderita menderita batuk sejak 1 minggu yang
lalu, demam tinggi, terus menerus, timbul 3 hari smrs dan sesak baru timbul 12 jam
smrs. Sesak napas tidak dipengaruhi cuaca, posisi, emosi, dan aktivitas. Suara mengi
tidak ada. Pada pemeriksaan fisik didapatkan pernapasan cepat dan dangkal, terdapat
nafas cuping hidung, ada retraksi dinding dada intercostae dan subcostae, suara nafas
vesikuler meningkat dan adanya bunyi napas tambahan ronkhi basah halus nyaring.
Sehingga diagnosis pada penderita ini mengarah ke bronkopneumonia.
Penderita ini juga didiagnosis kearah impetigo bulosa dikarenakan pada
anamnesis didapatkan bahwa 2 hari smrs, ibu jari tangan kiri dan leher bagian belakang
timbul lepuhan yang dua jam kemudian lepuhan pecah dan keluar cairan warna kuning.
Satu hari yang lalu timbul lepuhan baru di telapak tangan dan punggung tangan kiri.
Kulit bagian belakang leher dan jari tangan kiri mengelupas dan timbul koreng.
Dari hasil pemeriksaan antropometri didapatkan BB : 2700 gram PB : 50 cm,
dihitung dengan menggunakan kurva WHO didapatkan hasil BB/U berada dibawah -3
SD, PB/U berada pada diantara 0-2 SD, dan BB/PB berada dibawah -3 SD. Sehingga
berdasarkan data tersebut status gizi pasien tersebut adalah gizi buruk. Pada
pemeriksaan khusus didapatkan wajah seperti orang tua pada inspeksi kepala. Pada
thorax terdapat iga gambang dengan kondisi jantung dan paru dalam batas normal. Pada
abdomen didapatkan cubitan perut lambat. Sedangkan pada ekstremitas didapatkan
baggy pants, Dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik pada pasien ini tidak
ditemukan edema, letargi, syok, diare, muntah maupun dehidrasi sehingga pada pasien
ini ditegakkan diagnosis Marasmus Kondisi V.
Penderita didiagnosis dengan Marasmus kondisi V, Bronkopneumonia, Impetigo
bulosa dd/ Staphylococcus skin sacel syndrome. Tatalaksana Gizi buruk dibagi menjadi
Fase stabilisasi, Fase transisi, dan Fase Rehabilitasi. Maka tatalaksana yang dipakai
59

adalah pemberian 50 mL glukosa/larutan gula pasir 10% oral. Lalu 2 jam pertama
dibrikan F-75 dosis setiap 30 menit diteruskan pemberian F-75 tiap 2 jam. Lalu
penderita dirawat inap untuk menerima tatalaksana fase transisi.
Prognosis vital dan fungsional pada penderita adalah dubia ad bonam. Hal ini
disebabkan karena saat datang tidak ada tanda-tanda syok, letargi, dispneu dan lain-lain.
60

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat
Direktorat Bina Gizi Masyarakat. Sistem Kewaspadaan Dini (SKD) KLB-Gizi Buruk.
Departemen Kesehatan RI, 2008.
Muller O, Krawinkel M. Malnutrition and Health in Developing Countries. CMAJ 173:279-
86
Perkembangan Penanggulangan Gizi Buruk Di Indonesia Tahun 2005. Diakses dari
http://www.gizi.net/busung-
apar/Laporan%20Gizi%20Buruk%20sampai%20Des2005-Final.pdf tanggal 3 Maret
2011.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat
Direktorat Bina Gizi Masyarakat. Buku Bagan Tatalaksana Anak Gizi Buruk. Departemen
Kesehatan RI, 2007.
Pusat Data dan Informasi Departemen Kesehatan RI. Glosarium Data dan Informasi
Kesehatan. Departemen Kesehatan RI. 2006.
Pudjiadi, S. Penyakit KEP (Kurang Energi Protein). Dalam Ilmu Gizi Klinis pada Anak. Edisi
4 2000. Hal 97-190.
Admin.Program Perbaikan Gizi Makro. Diakses dari
http://www.gizi.net/kebijakangizi/download/GIZI%20MAKRO.doc, 2004.
Simanjuntak,E. Faktor Resiko Kurang Energi Protein Pada Balita Di Kota Medan. Diakses
darihttp://library.usu.ac.id/index.php/component/journals/index.php?option=com_jour
nalreview&id=3197&task=view, 2008.
Marizza, Nofelia.Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Kurang Energi Protein
(KEP) Pada Balita Di URJ RSU Dr. Soetomo Surabaya. Diakses dari
http://ojs.lib.unair.ac.id/index. php/bprsuds/article/view/1439/1438.
Boerhan H, Roedi. Kurang Energi Protein (KEP). Diakses
dari:http://www.pediatrik.com/isi03.php?page=html&hkategori=ePDT&direktori=pdt
&filepdf=0&pdf=&html=07110-rswg255.htm.
Heird, WC. Food Insecurity, Hunger, and Undernutrition In Nelson Textbook of Pediatrics,
19
th
ed. P. 167-73. Philadelphia: Sauders Elsevier.
Shetty, P. Malnutrition and Undernutrition. Medicine, 2006. 34:524-29.
61

Gulden, MHN. Malnutrition. In Textbook of Pediatric Gastroenterology and Nutrition. 2004.
USA: Taylor and Franchis. P.489-523.
Braun TV, McComb J, et al. Urban Food Inseconts and Malnutrition in Developing
Countries. 1993. USA: International Food Policy Research Institute. P. 12-16.
World Health Organization. Gizi Buruk. Dalam Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di
Rumah Sakit. 2009. Hal 193-222.

You might also like