BAB I PENDAHULUAN . 1.1 Latar Belakang . Demokrasi yang digunakan Indonesia merupakan sistem atau mekanisme pemerintahan yang dianggap memenuhi kelayakan distribusi hak dan kewajiban antara pemerintah dengan rakyat. Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai provinsi tertua kedua di Indonesia setelah Jawa Timur, yang dibentuk oleh pemerintah negara bagian Indonesia, memiliki otonomi khusus yaitu monarki. Di akhir tahun 2010 tuntutan demokrasi yang semakin meluas di Indonesia menghasilkan konflik yang berasal dari pandangan presiden RI terhadap penetapan gubernur dan wakil gubernur di Daerah Istimewa Yogyakarta yang dianggap berbenturan dengan nilai demokrasi dan kontitusi. Sejak 1755 Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat didirikan oleh Sultan Hamengku Buwono I. Kadipaten Pakualaman, berdiri sejak 1813, didirikan oleh Pangeran Notokusumo, (saudara Sultan Hamengku Buwono II ) kemudian bergelar Adipati Paku Alam I. Pemerintah Hindia Belanda saat itu mengakui Kasultanan maupun Pakualaman sebagai kerajaan dengan hak mengatur rumah tangga sendiri. Semua itu dinyatakan dalam kontrak politik. Di awal kemerdekaan Indonesia, Yogyakarta menggabungkan diri dengan Indonesia. Hamengkubuwono IX mengeluarkan dekrit kerajaan (Amanat 5 September 1945) atas desakan rakyat dan setelah melihat kondisi yang ada. Kadipaten Pakualaman kemudian juga melakukan hal yang serupa (dekrit oleh Paku Alam VIII). Pada 30 Oktober 1945 Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII mengeluarkan dekrit kerajaan bersama yang isinya menyerahkan kekuasaan Legislatif pada Badan Pekerja KNI Daerah Yogyakarta dan hal itu mengawali bersatunya dua kerajaan tersebut. Otonomi khusus Daerah Istimewa Yogyakarta dihadiahkan Soekarno atas berbagai pertimbangan mengenai identitas, jasa-jasa, dan pertimbangan lain telah secara sah menjadi attribut Daerah Istimewa Yogyakarta. Di akhir tahun 2009 Sidang Paripurna DPD Republik Indonesia telah menyetujui hak inisiatif untuk mengusulkan penyempurnaan Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Namun, RUU Keistimewaan DIY gagal disahkan DPR periode 2004- 2009, sebab pemerintah dan DPR tidak menyepakati pengisian jabatan gubernur dan wakil gubernur. Presiden menganggap model penetapan dipandang bertentangan dengan UUD 1945 dan prinsip-prinsip demokrasi yang saat ini sedang berkembang di Indonesia. Presiden meninjau hal tersebut berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 dalam sistem ketatanegaraan RI bahwa pemilihan kepala daerah adalah implementasi Pasal 6A dan Pasal 18 ayat 5 UUD 1945. Namun, menurut UUD 1945 pasal 18A dan 18B serta Undang-Undang lainnya yang menjelaskan keistimewaan dalam otonomi DI Yogyakarta berseberangan dengan nilai konstitusi yang ditinjau oleh presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Oleh karena itu konflik yang terjadi tidak hanya pada kontroversi nilai demokrasi dan monarki namun juga nilai konstitusi yang saling bertabrakan. . 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan perkembangan kasus dan uraian singkat di atas, makalah ini akan memfokuskan masalah yaitu Bagaimana seharusnya peran pemerintah menangani kasus ketidakpastian hukum terkait RUUK DIY karena nilai konstitusi yang saling bertabrakan? . 1.3 Kerangka Konseptual/Teori . 1. Teori Tujuan Tata Hukum Menurut Kansil, tujuan dari tata hukum ialah untuk mempertahankan, memelihara, dan melaksanakan tata tertib di kalangan anggota-anggota masyarakat dalam negara itu dengan peraturan-peraturan yang diadakan oleh negara atau bagian-bagiannya. Dalam atribut istimewa yang diberikan kepada Yogyakarta, tata hukum yang berlaku bertujuan untuk mempertahankan identitas daerah dengan pertanggungjawaban daerah atas otonominya terhadap negara atau pemerintah pusat. . 2. Teori Permainan Prinsip Disequilibrium William Riker membuat sebuah model permainan dimana dalam menjalankan unsur rasionalitas politik yang berbeda porsi akan terdapat ketidakstabilan. Dan jika berhasil dicapai suatu ekuilibrium maka sifatnya hanya sementara dan akan tumbang. Kontroversi nilai konstitusional yang terjadi dalam kasus ini karena perbedaan arus dimana satu sisi mendukung penegakan demokrasi yang dimaksudkan presiden dan sisi lain mendukung eksistensi pemilihan gubernur DIY melalui penetapan. Oleh karena itu, kesepakatan untuk menyatukan kedua elemen adalah dengan menghilangkan nilai salah satunya karena tidak akan ada titik ekulibrium yang pasti jika keduanya beriringan. . BAB II PEMBAHASAN
2.1 Analisa Sejarah dan Budaya Dalam menentukan keistimewaan suatu daerah, pemerintah perlu mempertimbangkan segala aspek terutama aspek sejarah. Pasca kemerdekaan RI sejak proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, Yogyakarta setelah bergabung ditetapkan sebagai salah satu daerah istimewa pertama kali dalam sejarah NKRI. Hal ini berkaitan dengan masa sebelum Kemerdekaan RI, wilayah Yogyakarta sekarang merupakan dua daerah swapraja (zelfbestuurende landschappen), yaitu Negeri Kasultanan Ngayogjakarta Hadiningrat dan Negeri (Kadipaten) Pakualaman. Secara Historis, dualisme pemerintahan di Daerah Istimewa Yogyakarta memang terbukti telah ada bahkan sebelum kemerdekaan Indonesia (Perjanjian Gianti: 1755). Isi perjanjian tersebut mengukuhkan pembagian kerajaan Mataram menjadi dua, yaitu Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Ngayogjakarto Hadiningrat. Pada tanggal 17 Maret 1813 wilayah Kasultanan Yogyakarta dikurangi lagi oleh Pemerintah Inggris dan diserahkan kepada Pangeran Notokusumo. Dengan demikian di wilayah Ngayogjakarto Hadiningrat terdapat dua kekuasaan yang terpisah antara satu dengan yang lain, Sultan Hamengku Buwono II memerintah di Kasultanan Ngayogjakarto Hadiningrat dan Paku Alam I yang memerintah di Pakualaman dan sekitarnya. Setelah Proklamasi Kemerdekaan RI, Sri Sultan HB IX dan Sri Paku Alam VIII mengirim telegram kepada Presiden Soekarno yang berisi ucapan selamat dan pernyataan untuk bergabung dengan RI. Telegram itu direspon positif oleh Pemerintah Pusat dengan memberi Piagam Kedudukan bagi HB IX dan PA VIII. Kemudian pada 5 September 1945 Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII menegaskan bahwa Negeri (Kasultanan) Yogyakarta dan Negeri Pakualaman merupakan dua Daerah Istimewa dalam Negara RI. Sejak 1965, Daerah Istimewa Yogyakarta dijadikan provinsi sebagaimana provinsi- provinsi lain di Indonesia, sehingga sesuai dengan tujuan tata hukum, DIY harus mengikuti seluruh UU Pemerintahan Daerah yang dikeluarkan oleh DPR sama seperti daerah yang lain. Sejalan dengan perubahan undang-undang, terjadi masalah pada pengisian jabatan gubernur. Masyarakat menginginkan agar bentuk pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta tetap seperti saat ini, di sisi yang lain penetapan gubernur dan wakil gubernur DIY menurut SBY telah berbenturan dengan nilai konstitusi dan demokrasi. Menurutnya, gubernur dan wakil gubernur haruslah melalui proses pemilihan tanpa bermaksud merendahkan kepemimpinan Sri Sultan Hamengku Buwono X. . 2.2 Kebijakan Konstitusional Pertama . Dalam perumusan susunan dan kedudukan daerah Yogyakarta, BP KNID menyelenggarakan sidang maraton untuk merumuskan RUU Pokok Pemerintahan Yogyakarta sampai awal 1946. RUU ini tidak kunjung selesai karena perselisihan yang kontras antara BP KNID, yang menghendaki Yogyakarta menjadi daerah biasa seperti daerah lain, dengan kedua penguasa (HB IX dan PA VIII) yang menghendaki Yogyakarta menjadi daerah istimewa. Namun, pada akhirnya RUU yang terdiri dari 10 Bab tersebut dapat diselesaikan. Kesepuluh Bab tersebut adalah: 1. Kedudukan Yogyakarta 6. Keuangan 2. Kekuasaan Pemerintahan 7. Dewan Pertimbangan 3. Kedudukan kedua Raja 8. Perubahan 4. Parlemen Lokal 9. Aturan Peralihan 5. Pemilihan Parlemen 10. Aturan Tambahan 2.3 Analisa Kasus Pertentangan Yuridis Konstitusional Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam Rapat Kabinet Terbatas di kantor presiden, mengatakan Ada tiga pilar yang harus diperhatikan pada RUU Keistimewaan DIY. Pertama, sistem nasional, yaitu negara kesatuan RI yang diatur secara gamblang dalam UUD 1945, termasuk Pasal 18. Kedua, harus dipahami keistimewaan DIY itu sendiri berkaitan dengan sejarah dari aspek-aspek lain yang harus kita perlakukan secara khusus sebagaimana yang diatur dalam UUD 1945. Ketiga, negara kita adalah negara hukum dan negara demokrasi. Oleh karena itu, nilai-nilai demokrasi tidak boleh diabaikan. Kasus pertentangan atau kontroversi dua nilai konstitusi terhadap keistimewaan Yogyakarta beranjak dari kutipan presiden RI yaitu berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 dalam sistem ketatanegaraan RI bahwa pemilihan kepala daerah adalah implementasi Pasal 6A dan Pasal 18 ayat 5 UUD 1945. Sedangkan nilai konstitusi yang lain berpihak kepada penetapan secara otomatis Sri Sultan dan Paku Alam sebagai gubernur dan wakil gubernur sebagai perncerminan keistimewaan DIY. Hal tersebut yakni berada di konstitusi UUD 1945 yaitu pasal 18A dan 18B yang bunyinya sebagai berikut: . 18A Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah. . 18B Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. . Kemudian didukung juga Undang-Undang lain tentang Daerah Istimewa Yogyakarta yang diambil dari data Bappenas diuraikan sebagai berikut: . UU No. 22 Tahun 1948 [Pasal 18 Ayat 5] Kepala Daerah Istimewa diangkat oleh presiden dari keturunan keluarga yang berkuasa di daerah itu dengan syarat-syarat kecakapan, kejujuran, dan kesetiaan ,dan dengan mengingat adat istiadat daerah itu.
UU No. 3 Tahun 1950 [Pasal 1] Daerah yang meliputi daerah Kasultanan Yogyakarta dan daerah Paku Alaman ditetapkan menjadi Daerah Istimewa Yogyakarta. Daerah Istimewa Yogyakarta adalah setingkat dengan provinsi. . UU No. 5 Tahun 1974 [Pasal 91 Aturan Peralihan] Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah DIY tidak terikat pada ketentuan masa jabatan, syarat, dan cara pengangkatan bagi kepala daerah dan wakil kepala daerah lainnya. . UU No. 22 Tahun 1999 [Pasal 122] Keistimewaan Provinsi DIY sebagaimana dimaksud dalam UU No. 5 tahun 1974 adalah tetap. . UU No. 32 Tahun 2004 [Pasal 226 Ayat 2] Keistimewaan Provinsi daerah Istimewa Yogyakarta sebagaimana dimaksud dalam UU No. 22 tahun 1999 adalah tetap. . Dengan data tersebut secara nyata menjelaskan bahwa ada dua arus yang saling melawan seperti dalam teori Riker (1966) dimana keduanya tidak bisa menemukan titik keseimbangan yang stabil, seandainya mereka terus berjalan beriringan. Hal tersebut menimbulkan banyak argumentasi yang panjang mengenai ketidakpastian hukum yang terjadi. Pro-kontra mengenai ketidakpastian hukum ini terbagi menjadi tiga aliran pendapat. Aliran pertama menghendaki pemilihan gubernur secara langsung. Aliran kedua menginginkan adanya sebuah model pemilihan dan sekaligus pelestarian peran dan kedudukan Sri Sultan dan Paku Alam dalam konteks kebudayaan. Sedangkan aliran ketiga menghendaki adanya ketetapan tanpa ada pemilihan Gubernur dan wakilnya untuk pimpinan di Yogyakarta. Sedangkan berdasarkan landasan filosofis Indonesia, Pancasila, menekankan bahwa keistimewaan Yogyakarta tidak mengganggu harmonisasi dalam berkehidupan bermasyarakat dan bernegara karena prasyarat yang utama dalam Pancasila ialah untuk memberikan landasan atau pedoman bahwa diversitas latar belakang sejarah, budaya, agama, ras dan juga suku terjalin pada satu kesatuan Bhineka Tunggal Ika. Oleh karena itu Pasal 18 B ayat (1) yang mengamanahkan jenis pemerintahan daerah otonomi khusus, dan keistimewaan adalah implementasi jaminan persatuan dalam diversitas tersebut. Pasal 18 ayat (1) dan (2) di atas memiliki nilai imperatif yakni mengandung norma perintah yang menekankan kewajiban bagi negara untuk melindunginya. Selain itu, negara juga mengatur tentang prosedur dan pembentukan daerah khusus atau istimewa. Pandangan para ahli Hukum Tata Negara terhadap Pasal 18B Jimly Asshiddiqie dan Moch. Mahfud sepakat bahwa ketentuan pasal pada Pasal 18 ayat (1) tidak mengurangi makna otonomi daerah yang dijamin dalam Pasal 18 ayat (2) sampai dengan ayat (7) dan Pasal 18 A serta Pasal 18B UUD 1945. Keduanya meyakini bahwa Pasal 18 B, dimungkinkan dilakukannya konfigurasi yang bersifat federalistis dalam hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Dalam perkembangan hubungan antara pusat dan daerah itu memungkinkan dikembangkan kebijakan otonomi yang bersifat pluralis. Dalam perkembangan kasus ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tetap menghendaki supaya kepala daerah dipilih melalui pemilihan yang demokratis. Presiden RI berpegang pada alasan menghargai dan menghormati UUD 1945, berdasarkan Pasal 18 ayat (4) yang berbunyi, "Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis", sehingga draf Rancangan Undang- Undang Keistimewaan tetap dipertahankan. Berdasarkan Perjanjian Internasional diberlakukan adanya konsep reservasi (reservation) yang dianut oleh negara berdaulat. Konsep reservasi tersebut digunakan untuk mencegah adanya suatu keadaan yang mengakibatkan umat manusia harus menentukan pilihan dalam keadaan sulit, yang tetap saja dilakukan demi suatu hak yang wajib dipertahankan, tetapi secara hukum tidak dapat dikenai pertanggungjawaban hukumnya. Reservasi ini diakui dan dibenarkan sebagai suatu ketentuan khusus dalam hukum internasional. Reservasi merupakan pengecualian dalam hukum perjanjian internasional bagi negara-negara sebagai subyek hukum internasional untuk tidak melakukan ratifikasi terhadap isi atau substansi dari konvensi atau perjanjian internasional tertentu. Hal ini diperbolehkan jika negara bertujuan mencegah timbulnya kekacauan pada sistem hukum nasionalnya dan beban hukum internasional akan hilang. Meskipun praktek reservasi ini tampaknya memiliki ruang lingkup dalam hukum internasional, reservasi ini sangat relevan sebagai argumentasi untuk dipraktekkan pada kontroversi penetapan Sri Sultan HB dan Sri Paku Alam di DIY. Dalam hal ini pihak yang pro terhadap penetapan dapat memakai argumentasi metoda reservasi nasional untuk mencegah timbulnya kekacauan pada sistem hukum nasional dengan melakukan pengecualian terhadap pasal-pasal tertentu sehingga dapat menghasilkan solusi dari kontroversi yang terjadi pada dua arus konstitusi yang berbenturan ini. Dengan demikian kontroversi penetapan otomatis Sri Sultan dan Paku Alam sebagai Gubernur dan wakil Gubernur sebagaimana diatur dalam Pasal 18B ayat (1) merupakan ketentuan hukum pengecualian yang tidak bertentangan dari ketentuan Pasal 6 dan Pasal 18 ayat (5). Seperti pada dasar penggunaan hak reservasi, negara-negara berdaulat berhak untuk melakukan penyimpangan atas dasar pengecualian, terhadap ketentuan umum hukum perjanjian internasional yang diperbolehkan. Sehingga negara tidak dapat dibebankan tanggung jawab secara serta merta. . BAB III KESIMPULAN . Bahan pertimbangan kontroversi RUU Keistimewaan Yogyakarta tidak hanya dari aspek historis dan yuridis konstitusional namun juga dari asas hukum internasional yang dapat diserap nilainya. Sehingga seharusnya peran pemerintah ialah memberlakukan alternatif yang memungkinkan yaitu negara melakukan reservasi untuk memberi jaminan yang memuaskan bagi entitas sosial Daerah Istimewa Yogyakarta. Sebagai salah satu metoda, kita secara obyektif harus melihat pertimbangan lain seperti dalam perbandingan sistem monarki. Daerah Istmewa Yogyakarta, kontras berbeda dengan monarki Belanda, Inggris, Malaysia, dan Thailand dimana "King can do no wrong" akan tetapi monarki di Daerah Istimewa Yogyakarta hanya bersifat kultural atau budaya. Dengan demikian, dengan menimbang aspek-aspek yang ada menekankan pentingya kepastian hukum RUUK Daerah Istimewa Yogyakarta. Hal ini merupakan hal yang harus ditangani dengan bijak, baik melalui kekuatan lembaga politik seperti DPR dan DPD RI maupun dukungan kekuatan sosial politik masyarakat dan lembaga-lembaga pemerintah lainnya dari Yogyakarta. sehingga UU Keistimewaan tersebut dapat mengatasi ketidakpastian hukum yang akhir-akhir ini banyak menjadi perhatian umum, dan sebagai umpan baliknya memunculkan kemanfaatan dan keadilan hukum bagi masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta. . . Daftar Pustaka . Sumber Literatur : . Asshiddiqie, Jimly. Konstitusi dan konstitualisme di Indonesia. Jakarta: Konsititusi Press. 2005. . Handoyo, B. Hestu Cipto. Kilas Balik Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (Sebuah Tinjauan Historis Yuridis). Yogyakarta. 1998. . Kansil, C.S.T. Drs. SH, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia., Jakarta: Balai Pustaka. 1989.
Martitah dan Arih Hifayat. Suksesi Kepemimpinan dan Keistimewaan Jogjakarta, Jurnal Ilmu Hukum Pandecta, Fakultas Hukum, Universitas Negeri Semarang, Vol.2 No.2, Juli- Desember 2008. . OBrien, John. Internarional Law. London. 2001 . Riker, William H. A New Proof of The Size Principle. 1966. . Media Cetak : . Kompas. Sikap Pemerintah Disesalkan, 154/46, hlm. 15, 2010 . Halaman Web : . Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah. www.bappenas.com diakses pada 6 April 2011 pukul 21.02 WIB