Professional Documents
Culture Documents
HUKUM ADAT
TANAH TUNGKAL SERAMBI JAMBI
HARIL SOETARDJO
6/3/2009
Sehingga untuk mendapatkan seorang pemimpin yang diinginkan diadakan pemilihan yang
diatur dengan syarat-syarat tertentu sebagai berikut :
Tengganai adalah saidara laki-laki dari suami-istri dan dalam hal ini terbagi 2 yaitu :Tengganai
dalam disebut perbuseso yaitu saudara laiki-laki dari pihak isteri. Tengganai luar disebut
perbuwali yaitu saudara laki-laki dari pihak suami
Tengganai berhak dan berkewajiban menyusun yang silang, menyelesaikan yang kusut,
menjernihkan yang keruh, segala yang terjadi di dalam keluarga yang dipimpinnya, tengganai
berkewajiban membentengi dado, berkatokan betis, bertumpu di tempat yang tajam, berdada
ditempat yang hangat, memancang putus, memakan menghabiskan.
Tuo Tenggana adalah orang tuo-tuo sekumpulan tengganai-tengganai dari mata keluarga atau
kalbu. Tuo tengganai berkewajiban mengarahkan, mengajum, menyelesaikan yang kusut,
mengajum anak pihaknyo, cupak dengan gantang, kerak dengan kudung, makan menghabiskan,
memancung mutuskan dalam kalbu yang dipimpinnya. Dalam melaksanakan tugas Tuo
tengganai selalu berpedoman kepada adat nan lazim, peseko nan usang, adat nan bersendikan
syarak, syarak bersendikan kitabullah, syarak mengato adat memakai.
Nenek mamak merupakan gabungan dari Tuo-tuo Tengganai dalam suatu wilayah/desa/dusun
dalam adat selalu di sebut dan dipanggil "Datuk". Tugasnya sama seperti Tuo Tengganai dan
menyelesaikan yang tidak dapat diselesaikan oleh Tuo-tuo Tengganai. Nenek Mamak berperan
sebagai kayu gedang dalam negeri, rimbun tempat orang berteduh, gedang tempat orang
bersandar, pergi tempat orang bertanyo, kembali tempat berberito, menciptakan kerukunan hidup
bermasyarakat dalam desa/negeri dengan melalui arah/ajum, menyelesaikan yang kusut,
menjernihkan yang keruh, silang mematut, kusut menguasai. Sesuai dengan kewenangan yang
ada padanya di dalam adat disebutkan "Berkata lebih sepatah, berjalan lebih selangkah, makan
menghabiskan, memancung memutuskan, berlandaskan musyawarah dan mufakatdan selalu
disebut "Elok negeri dek mufakat, celaka kampung dek musakat, ramai negeri dek nan mudo,
aman negeri dek nan tuo".
2. Hak dan kewajiban Pemimpin dan yang dipimpin.
Di dalam adat hak dan kewajiban pemimpin maupun yang dipimpin telah diatur
walaupun secara tidak tertulis tetapi hak dan kewajiban itu telah diikuti dan dipatuhi sejak dahulu
sebagaimana disebut dalam adat
- Anak sekato bapak (anak dipimpin oleh bapaknyo).
- Penakan sekato mamak (penekan dipimpin oleh mamaknyo/pamannyo).
- Isteri/bini sekato laki/suami (isteri dipimpin oleh laki).
- Rumah sekato Tengganai (rumah dipimpin oleh TEngganai).
- Kampung sekato tuo (Kampung diarah ajum oleh nan Tuo).
- Luak sekato Penghulu (desa dipimpin oleh Kepala Desa)
- Negeri sekato Batin (Kecamatan/Marga sipimpin oleh Camat/pesirah).
- Rantau sekato Jenang (Jenang sama juga dengan Bupati/Walikota).
- Alam sekato Rajo (Gubernur kalau negara Presiden/Raja).
Dalam perkembangan zaman sekarang memang terkadang ada kita temui dan
mungkin kita sendiri yang mengalami dimana ada anak dak sekato bapak dan ini banyak kita
alami bapak lebih banyak mengikuti keinginan sang anak. Namun sesuai ketentuan adat bahwa
anak tetap sekato bapak. Demikian juga halnya dengan kemenakan sudah jarang yang mau
mengikuti mamak. Mamak kalau disini lebih sebagai paman atau bibi dan (tidak sama dengan
yang berlaku di Sumatera Barat) yang mempunyai hak dan kewenangan sebagai tunjuk ajar atau
ajum, dalam arti menasehati kemenakan kalau salah dalam berbuat. Begitupun isteri secara
lahiriah dan naluriah tetap sekato laki walaupun dalam perkambangan ada tuntutan gender.
Begitu besarnya peranan adat di dalam masyarakat karena adat telah mengatur segala
sesuatu demi untuk ketentraman dan keharmonisan dalam kehidupan mulai dari yang sekecil-
kecilnya sampai ke yang sebesar-besarnya. Seperti bagaimana orang berkato dan berbicara yang
telah diatur dalam kato-kato dalam adat, bagaimana adat memberikan sanksi berupa sanksi moral
sehingga orang tidak berbuat lagi yang telah diatur dalam buang-buang dalam adat, serta
memberikan sanksi berupa materi sebagaimana diatur dalam isi anak Undang-undang nan 12,
demikian juga bagaimana adat melarang seseorang dan menjahui sifat-sifat perilaku atau
perangai yang tidak baik, dan bagaimana kewajiban seseorang dalam suatu negeri/kampung
a. Kato-kato dalam ada
Kato menurun, merupakan adat berbicara dengan tamu-tamu, orang miskin/susah.,
Kato mendaki, merupakan adat berbicara dengan pemimpin, termasuk ibu bapak,
datuk, bibi, paman, ulama-ulama, guru-guru, dan lain-lain Kato melereng,
merupakan adat berbicara dengan anak menantu, berupa sindiran atau pungun orang-
orang yang belum dikenal contoh : jauh dak tertunjukkan, dekat idak terkatokan Kato
mendatar, merupakan adat berbicara dengan sesama sebayah/teman/kawan dan
jangan lupa pesan amanat adat mengatakan sebagai berikut : dalam mengeluarkan
kata-kata atau berbicara sebaiknya "Pandangan jauh dilayangkan, pandangan dekat
ditokekkan" elok salah kain dibanding salah cakap, peringatan adat pantunnyo:
"burung sialu-alu kembali petang, tangan dan mulut terlalu menjadi utang"
b. Buang-buang dalam adat
Buang sirih, yaitu dibuang dari kalbu/waris atau tengganai apabila ia hengkang/tidak
menuruti keputusan kalbu/waris, dan justru bisa kembali rukun apabila rujuk dan
tidak berbuat lagi di masa-masa mendatang.
Buang bidik, yaitu dibuang dari Tuo-tuo Tengganai, tidak dibawa lagi dalam
perundingan/musyawarah baik masalah kecil ataupun besar, dan justru bisa kembali
kumpul seperti biasa/rukun damai apabila telah mengaku mau berubah sikap.
Buang tingkarang, yaitu dibuang dari kerapatan besar Nenek Mamak sehingga
apabila ada keperluan yang bersangkutan, baik kenduri atau kemalangan tidak
didatangkan lagi oleh sekampung, kecuali kalbu/warisannya sendiri dan apabila
tetangga dekatnya.
Buang daki, yaitu dibuang dari desa/kampung/RT/dusun karena selalu tidak
mematuhi ketentuan tersebut diatas dan telah berulang-ulang kali, tidak mengalami
perubahan dan terkadang sering pula memancing di air nan keruh, meulu-ulu di
kampung Penghulu, merajo-rajo dikampung rajo (membuat kekeruhan/kerusuhan atau
keributan)
c. Isi anak Undang-undang nan 12
Lembam baluh ditepung tawar, maksudnya orang yang menyakiti fisik orang lain
sampai meninggalkan bekas wajib mengobatinya
Luka lukih dipampas, maksudnya wajib membayar pampas, dan ini terbagi lagi dalam
3 luka : Luka rendah, yaitu luka yang dapat ditutupi dengan pakaian, tidak parah,
pampas seekor ayam, segantang beras, selemak semanis, obatnya.Luka tinggi, yaitu
luka yang dapat merusak rupa, seperti dimuka tapi tidak parah, pampasnya seekor
kambing, 20 gantang beras, selemak semanis, dan biaya pengobatan, hilang hari.
Luka sangat parah, yaitu pampasnya sama dengan separoh bangun.
Mati dibangun, yaitu orang yang membunuh orang lain wajib membayar bangun
seperti seekor kerbau, 100 gantang beras dan satu kayu kain.
Samun, yaitu perampokan yang terbagi dalam 4 golongan Samun gajah duman, yaitu
perampokan yang tidak bisa ditangkap, hanya dibuktikan dengan ada langau hijau,
siapa yang kuat pasti menang, siapa lemah pasti kalah.Samun sementi diman, yaitu
penyamun dibatas hutan daerah pemukiman.Samun diadun duman, yaitu perampokan
dalam daerah pemukiman/kampung. Samun sakai, yaitu segala macam bentuk
penipuan yang merigikan harta benda orang. Salah makan dialuhkan, salah bawa
dikembalikan, salah pakai diluluskan/dilepaskan.Hutang kecil dibayar lunas, hutang
besar dapat diangsur dan wajib dibayar. Golok gadai, yaitu harta yang
diborohkan/digadaikan yang dijadikan anggunan atas sesuatu hutang akan menjadi
hak pemegang bila telah sampai waktunya/janji kesepakatan bersama. Tegak
mengintai lengang, duduk mengintai kelam/gelap, tegak dua bergandengan dua, salah
bujang dengan gadis kawin Memekik mengetam tanah, menggulung lengan baju,
menyingsingkan kaki seluar atau kain, yaitu menantang orang berkelahi, kalau yang
ditantang sederajat hukumannya seekor ayam, segantang beras, sebuah kelapa, kalau
pimpinan hukumannya seekor kambing, 20 gantang beras untuk dimakan
bersama.Meminang diatas pinang, menawar diatas tawar, yaitu meminang tunangan
orang lain yang telah diikat perjanjian, hukumannya membayar seekor kambing dan
20 gantang beras. Berpagar siang berkandang malam, yaitu apabila kebun/sawah
seseorang dirusak atau dimakan hewan/ternak orang lain, maka orang yang memiliki
ternak hukumannya mengganti yang dirusak/dimakan ternak tadi
Untuk memelihara pergaulan yang baik dalam masyarakat, berakhlak tinggi/terpuji harislah
mentaati aturan-aturan ulayah masing-masing domisili (tempat tinggal) dimana orang yang
bersangkutan berdiam serta mempunyai hak dan kewajiban hukum atau menetap. Semua orang
yang menetap di suatu daerah adalah penduduk yang terikat dengan hukum adat setempat, ia
boleh melakukan hak-haknya, tetapi haruslah pula melaksanakan kewajiban-kewajiban
sebagaimana disebutkan dalam seloko adat :
Demikian juga didalam adat sangat ditekankan kepada semua penduduk untuk
berkewajiban meningkatkan rasa perduli terhadap sosial, karena pada hakekatnya manusia itu
cenderung untuk hidup mengelompokkan dan saling bantu membantu, saling berbagi rasa, ibarat
seloko adat :
"Tudung menudung bak daun sirih, jahit menjahit bak daun petai"
"Hati gajah samo dilapah, hati kuman samo dilepah"
"Ado samo-samo dimakan, idak samo-samo dicari"
"Berat samo dipikul, ringan samo dijinjing"
"Seringgit duo kupang, sebulan tigo puluh hari, sedikit samo dimakan, idak samo-samo
dicari".
B. DASAR-DASAR HUKUM ADAT
Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa sumber hukum adat di Tanah Tungkal
Serambi Jambi ini adalah sama sebagaimana yang ada di Jambi seperti penjelasan di bawah ini
Induk Undang-undang, Induk Undang-undang ada 5 (lima) diktum yang merupakan landasan
hukum dan falsafah Pemerintahan kesultanan JAmbi pada waktu itu dalam mengambil langkah
dan kebijaksanaan. Induk Undang-undang ini juga berlaku di Tanah Tungkal Serambi Jambi
yang dijadikan landasan hukum adat oleh para pemangku adat. Adapun Unduk Undang-undang
dimaksud sebagai berikut
a. Titian Teras Bertanggo Batu, Titian teras adalah ketentuan-ketentuan yang berasal dari
Nabi (hadits Nabi). Bertanggo Batu adalah ketentuan-ketentuan yang berdasarkan Al-
Qur'an, maka dari itu adat bersendikan syarak, Syarak bersendikan Kitabullah, Syarak
mengato adat memakai.
b. Cermin nan Tidak Kabur, Yaitu dasar ibarat jalan nan berambah nan diikuti, baju nan
bejahit nan dipakai, bersesap-berjerami, bertanggul berperasaan, berpendam
berpekuburan, yakni ketentuan-ketentuan yang diatur dan berlaku dan diangkat sebagai
yurisprodensi,
c. Lantak nan tidak goyah, Maksudnya adil dalam menentukan hukum, jujur, tidak pilih
kasih, yang benar dikatakan benar dan yang salah dikatakan salah. Jangan tiba dimata
dipicingkan, tiba diperut dikempiskan, tiba diduri dijengkekkan, beruk dirimbo disusukan,
anak dipangkuan diletakkan, didalam adat semua sama dihadapan hukum.
d. Nan tidak lapuk karena hujan, dak lekang karena panas, Berpegang pada kebenaran dan
tidak boleh berubah-ubah.
e. Kato seiyo/sepakat Bulat air dek pembuluh bulat kato dek mufakat, jika bulat boleh
digulingkan kalau pipih dapat dilayangkan, artinya persoalan yang penting diselesaikan
melalui musyawarah/mufakat dan harus dijadikan pegangan bersama, jangan berajo dihati,
bersultan dimato, mau menang sendiri, semua harus bertanggung jawab :
- Secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa
- Menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran dan keadilan
- Menjunjung tinggi nilai harkat dan martabat kemanusiaan
2. Pokok atau pohon adat, Didalam adat disebutkan bahwa pohon adat itu ada 4 yakni :
a. Adat istiadat, merupakan kebiasaan hasil buah akal dan perbuatan manusia yang sesuai
dengan takdir Allah SWT, seperti : adat ibu menyusukan anaknya, adat membeli,
membayar, adat berpiutang, adat meminjam mengembalikan.
b. Adat nan teradat, merupakan adat yang dipakai dan dibuat oleh Nenek Mamak dan
sebahagian dibawa dari asal (Sumbar) rumusan Dt. Ketemenggungan dan Dt. Perpati nan
Sebatang, contoh garis keturunan dan pewarisan harta pusako tinggi) dan membuat
patokan Undang-undang nan 4 kato nan 4 dan keputusan-keputusan, berpakaian serta tat
cara meminang dengan menggunakan lambang kehormatan kebesaran carano sesuai kato-
kato adat "Undang turun dari Sumbar teliti dari Tungkal Jambi".
c. Adat nan diadatkan, merupakan kebiasaan hasil dari mencontoh dan tiru teladan yang
baik serta diterima oleh masyarakat dalam suatu negeri/dusun "Lain lubuk lain ikanyo,
lain ladang lain belalang, adat sepanjang jalan, cupak sepanjang betung, adat datar (sama)
pusako lepas", pakaiannya lain-lain contoh : apabila dalam keputusan diangkat dalam
kerapatan adat, maka kebiasaan tadi dari adat nan teradat menjadi adat nan diadatkan.
d. Adat nan sebenar adat, merupakan ketentuan-ketentuan Tuhan dalam alam ini
(Sunatullah fil alamiah) bukan perbuatan manusia contoh : adat api panas dan membakar,
adat air dingin dan membasahkan, adat hujan curah dari langit, berlaku sepanjang zaman
sesuai dengan pepatah adat "dak lekang karena panas, dak lapuk karena hujan". Oleh
karena dikatakan adat bersendikan memakai, adat tidak boleh di rubah orang lalu, pusaka
tidak boleh dialih orang lewat, biar mati anak jangan mati adat, jika mati adat celaka akan
tumbuh "ayam mengeram diatas padi kelaparan, itik berenang di air kehausan, padi yang
di tanam lalang nan tumbuh, hidup bak kerakap manjat batu, hidup segan mati dak mbuh,
dimakan kutuk bisa kawi, ke atas tidak berpucuk kebawah tidak berakar di tengah-tengah
dilarik kumbang" karena mengajak undang melebur adat
1. Pucuk Undang-undang nan delapan (8)
Macam-macam kejahatan sebagai berikut :
a. Dago-dagi, Maksudnya kesalahan terhadap pemerintahan yang sah, membuat fitnah,
kekacauan dalam negeri (menentang) negara.
b. Sumbang salah, Maksudnya terbagi 2 yaitu : Sumbang salah : hal-hal yang menurut
pendapat umum dipandang salah dan tidak baik/tidak layak seperti tinggal
serumah/sebilik/sekamar/anak telah berumur dengan saudaranya sendiri atau sepakaian
dan sebagainya. Sumbang sareh :
1. Menikam bumi yaitu seseorang anak telah menzinahi ibu/bibi kandungnya/adiknya.
2. Mencerak telur yaitu seorang bapak menzinahi anak kandungnya/tirinya.
3. Memetik bunga setangkil yaitu seorang berzinah dengan adik ipar/kakak ipar.
4.Mandi pancaran gading yaitu seseorang telah menzinahi isteri orang atau bujangan
maupun beristeri.
c. Samun sakai, Maksudnya perampokan yang disertai dengan pembunuhan dan perampasan
terhadap hartanya baik di rumah maupun di jalan.
d. Siur bakar. Maksudnya membakar dusun/RT/desa atau kampung atau pasar dan gedung-
gedung dengan harta bendanya.
e. Upas racun Pembunuhan dengan menggunakan racun sehingga si korban mati seketika (upas)
menderita sakit lebih dahulu (racun).
f. Tipu tepo, Maksudnya merugikan orang dengan jalan berpura-pura (tipu) atau dengan bujuk
rayu (tepo).
g. Tikam bunuh, Maksudnya melukai orang dengan senjata tajam (tikam) atau menyakiti dengan
senjata/kayu atau dengan tangan sampai mati (bunuh) dan tikam ini ada ketentuan adat sebagai
berikut : runcing/rencong tidak memutus urat, sumbing tidak terluak/robek tidak menghilangkan
bengkak tidak bubus, terkelu tidak bersenggung, masih ditempuh jalan musyawarah desa, salah
berutang, melukai merampas (tepung tawar) hilang hari pekerjaan dihitung menurut akal ilmu
yang sehat.
h. Maling curi, Maksudnya mengambil harta orang yang terkunci, tanpa setahu/seizin orang
pemiliknya malam ataupun siang hari.
Keenam macam sanksi tersebut diatas sebahagian mempunyai pengertian dan maknah serta
sanksi hukum yang berlainan, dan bedasarkan fakta yang nyata, bukti dan kenyataan yang
kongkrit, tempat dan bukti tersebut antara lain :
Kedelapan bukti tersebut diatas merupakan tempat yang bisa meragukan dan dapat diambil
tindakan dalam adat bila ditemukan sepasang manusia yang dapat di curigakan dengan bukti-
bukti nyata, dapat di ajukan kepada yang kecil bernama dan besar bergelar (Pemangku Adat)
untuk mendapatkan penyelesaian sesuai denga pengertian fatwa adat yang berbunyi : "Buah
bertampuk bungo bertangkai, jika dipijak dibumi kapur putih tapak, jika berpijak di bumi arang
tapak hangus, kok terhampai di bukit yang berangin, terendam di lurah yang berair, diletakkan
diatas garis dan kedudukan diatas bakal".
Dengan fatwa itu dapat diambil kesimpulan bahwa seseorang yang tertuduh baru dapat
disalahkan (dihutangkan) dengan syarat ada bukti dan kenyataan. Kemudian dalam mengadili
suatu sengketa atau perselisihan dalam masyarakat harus ada dasar dan dengan hukum yang
berlaku serta sesuai dengan undang-undang dan peraturan atau meletakkan sesuatu hendaklah
pada tempatnya. inilah yang di maksud dengan fatwa "Kalau terhampai di bukit yang berangin,
terendam dilurah (sungai) yang berair, diletakkan diatas garis dan di dudukkan diatas bakal (asal)
umpamanya :
Ø Tebus Talak :
Tebus talak adalah suatu sanksi hukum, seseorang laki-laki yang memisahkan atau berbuat
serong dengan isteri orang lain yaitu yang berkenaan dengan perkawinan (berzinah) baik sama-
sama setuju ataupun dengan perkosaan. Jika perbuatan terlarang itu dilakukan sama-sama suka
sanksinya dibebankan kepada kedua belah pihak dengan membayar perceraian itu kepada sang
suaminya dan mereka yang berzinah tadi dinikahkan setelah lepas adat yang berlaku, tetapi
apabila sang isteri di perkosa dengan paksaan, sanksinya dibebankan di atas pundak laki-laki
untuk membayar tebus talak kepada suaminya. Bagi laki-laki yang memperkosa isteri orang
hanya sekedar mengabaikan saja (tak sampai berzinah), maka hukumannya hanya seperdua tebus
talak.
Mengenai sanksi pelanggaran tebus talak tidak ada ketentuan banyak atau sedikit, dalam
hal ini menurut prosedur yang sebenarnya adalah menurut kehendak suaminya, berapa yang
dipinta suami itulah yang diikuti. Bila kita bayangkan sejenak merasa berat untuk dituturkan
dengan kata-kata, sukar dilukiskan dengan pena, cobalah pikirkan mungkinkah ada manusia
yang suka melelang dan menjual nyawanya sendiri dengan kesadaran, ini tidak mungkin.
Sebagai seorang yang mempunyai perasaan yang bai, memelihara diri itu adalah wajib,
kendatipun untung tak dapat diraih, malang tak dapat di tolak. Dalam hal ini untuk menjaga
keseimbangan, maka pemangku adat hendaklah berinisiatif, menimbang, mengingat dan
memutuskan berdasarkan alur dan patut melihat situasi dan kondisi. Sebagaimana dalam adat
tentang mahar (mas kawin) adalah diserahkan kepada perempuan, dialah yang berhak
memutuskannya. Kalau menurut adat yang telah biasa dipakai adalah dua ekor kambing, selemak
semanis buatmencuci kampung dan dimakan bersama serta do'a selamat dan tolak balak dengan
harapan semoga kejadian ini tidak terulang lagi dalam masyarakat.
Ø Kaibur dan Gawal :Yang dimaksud dengan kaibur dan gawal adalah seorang laki-laki dan
perempuan melakukan pergaulan bebas dikalangan masyrakat yang ditemukan oleh warga
perempuan dengan fakta nyata (tidak berzinah), dapat diselesaikan dengan dua jalan :
Pertama :
Dinikahkan, bila sama-sama setuju dengan adat berganda yaitu dua kali lipat dari
ketentuan adat yang dipakai. Atau boleh juga ditunagkan antara mereka dikarenakan sesuatu hal,
misalnya masih dalam status pelajar atau masuh sekolah. Hal ini bukanlah berarti melemhkan
adat, malah memberikan kesempatan kepada calon suami isteri itu untuk menambah daya
guna/ketahanan mental dalam menunjang pembangunan manusia seutuhnya. Untuk menjamin
kelangsungan hidup mereka demi tercapainya mahligai bahagia, maka pihak laki-laki diharuskan
mengisi adat pertunangan dan lembago (seperdua dari adat perkawinan) setempat jika diperlukan
oleh waris perempuan. Sedangkan denda kampung, sama-sama dipikul oleh pihak laki-laki dan
perempuan, yaitu seekor kambing dan selemak semanisnya. Denda tersebut sudah lebih dahulu
dibayar kepada pemangku adat. Mengenai sanksi pelanggaran pertunangan, jika salah
perempuan, maka barang lelaki yang diberikan kepadanya dalam masa pertunangan satu kembali
dua, jika salah lelaki barang yang diberikan hilang saja.
Kedua :
Pihak lelaki tidak ditungkan dengan syarat, perempuan tidak mau kawin, tetapi apabila
sebaliknya lelaki tidak mau kawin maka lelaki itu dibebankan atasnya lembago yaitu membayar
kesalahan, seper dua dari adat. Jadi istilahnya adalah membeli daging tak dapat dimakan.
Ø Terhiruk tergempar dan terkejar terlelah :
Jika lelaki dan perempuan melakukan pergaulan bebas yang ditemukan oleh masyarakat
selain daripada waris mereka, pada tempat-tempat tertentu dan tidak ada bukti, akan tetapi
digemparkan oleh orang yang menemukan tadi dalam masyarakat, sedangkan warisnya tidak
senang (malu), maka peristiwa ini dihadapkan kepad pemangku adat setempat. Bila ternyata ada
alasan yang tepat, sanksi pelanggarannya sama seperti kaibur dan gawal, sebaliknya apabila yang
bersangkutan (laki-laki dan perenpuan) tidak mengaku, maka yang membuat fitnah atau yang
menggemparkan peristiwa itu dikenakan sanksi hukum yaitu seperdua dari adat perkawinan
dengan : sirih bergagang, pinang bertingkil kepada pihak yang difitnah dengan upacara tertentu.
Di dalam fatwa adat menyebutkan "Mendung di hulu tanda akan hujan, terang di
langit tanda akan panas", fatwa ini jelas menunjukkan bahwa segala sesuatu itu ada ciri-ciri khas,
tetapi ciri-ciri tersebut merupakan statis dan dinamis, ada kalahnya berubah, kenyataan gelap
bukanlah seterusnya hujan, begitu juga terang bukanlah berarti mesti panas. Dalam hal ini dapat
kita lihat sendiri bukti kenyataannya yaitu dalam panas ada hujan, sebaliknya dalam hujan, ada
panas (hujan panas). Karena itu dalam suatu peristiwa baru boleh kita kemukakan dengan syarat
ada tanggung jawab. Kalau tidak berbunyilah pepatah: "Mulutmu harimaumu yang akan
menerkam kepalamu, burung sialu-alu balik petang, mulut terlalu menjadi utang".Disamping itu
di dalam adat juga memberikan imbalan kepada suatu peristiwa dengan tiga macam yaitu :
1. Sambut utang, maksudnya apabila seseorang melakukan pelanggaran adat, diambil
saja fakta-fakta atau buktinya, kemudian diajukan kepada pemangku adat setempat
untuk mencari penyelesaiannya.
2. Sambut bunuh, maksudnya yang juga melanggar adat dengan fakta-fakta nyata,lantas
orang tersebut dibunuh, maka sipelanggar yang dibunuh itu tidak bisa dikenakan
sanksi hukum lagi, malah kalau perlu pihak yang membahayakan dituntut bila tidak
sewajarnya, "Utang sudah diayar piutang sudah diterimah", tak mungkin pisang
berbuah dia kali.
3. Sambut baik, maksudnya seseorang telah terdorong kepada pelanggaran adat, maka
pihak yang berwenang atau yang bersangkutan tidak mengambil tindakan keras,
tetapi cukup dengan memberikan pengarahan, nasehat dan memaafkan kepada yang
bersalah. Denga demikian jelaslah, bahwa adat itu menghendaki pemeluknya yang
berdisiplin, tanggung jawab, tenggangrasa, berhati-hati dan cermat dalam segala
bidang, sesuai dengan peribahasa adat : "tertumbuk biduk di kelokan, tertumbuk kata
difikirkan, beringat sebelum kena, berhemat sebelum habis, pandangan jauh
dilayangkan pandangan dekat ditukikkan".
a. Rajo dimalui
Yang dimaksud rajo di malui adalah waris sendiri, tidak harus nikah, misalnya :
ibu kandung, ibu tiri, nenek, paman, saudara, anak kandung, anak susu, anak saudara,
cucu dan terus kebawah.
Dalam hal ini bila mereka berlaku serong (berzinah) dengan muhrimnya sendiri,
maka dikenakan sanksi pelanggaran adat dengan seekor kerbau dan selemak semanis
guna mencuci kampung, dimakan bersama oleh penduduk setempat dengan upacara do'a
selamat dan tolak balak (digunakan untuk kepentingan umum), melantak salung
menunggul buto.
b. Larangan Undang-undang
Larangan Undnag-undang didalam adat terbagi delapan, yaitu :
D. HUKUM WARIS
Hukum waris tidak sama dengan ketentuan hukum maupun peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Hukum waris merupakan hukum yang sudah mendarah
daging di dalam masyarakat dan boleh dikatakan merupakan hukum yang asli yang sudah
ada di dalam masyarakat.
Hukum waris dilakukan bila seseorang meninggal dunia dan ia
meninggalkan warisan atau harta pusaka baik berupa tanah, uang ataupun barang-barang
berharga lainnya yang akan diwariskan kepada ahli warisnya. Biasanya pembagian harta
warisan telah dilakukan sebelum yang mewariskan meninggal dunia atau telah diwariskan
melalui surat ataupun lisan. Dan juga biasanya setelah yang mewariskan meninggal dunia
barilah para ahli waris mengadakan musyawarah untuk membagi harta pusaka yang pusaka
yang ditinggalkan oleh yang menin ggal dunia.
Untuk di Kabupaten Tanjung Jabung Barat bahwa dalam pembagian harta
pusaka atau pembagian warisan berlaku 2 ketentuan yaitu : pertama menurut ketentuan
adat, dimana menurut ketentuan adat bahwa pembagian harta pusaka atau warisan dapat
dibagi diantara ahli-ahli waris dengan tidak membedakan antara anak laki-laki dan anak
perempuan. Kedua menurut ketentuan agama Islam (Para'id) dimana menurut ketentuan
agama Islam (pembagian menurut Para'id) bahwa pembagian harta pusaka atau harta
warisan dapat dibagikan kepada ahli waris dengan adanya perbedaan pembagian antara
anak laki-laki dengan anak perempuan, dimana dalam pembagiannya untuk anak laki-laki
lebih besar dari pada untuk anak perempuan.