You are on page 1of 32

IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny.E
Umur : 34 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Cianjur
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Tgl MRS : 16 Desember 2013

ANAMNESA
Keluhan Utama
Buang Air Besar sedikit-sedikit dan berdarah
Keluhan Tambahan
Mulas, nyeri perut, mual, muntah, lemas, mudah lelah

Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke RS dengan keluhan buang air besar sedikit-sedikit dan berdarah
berwarna merah kehitaman sejak 2 bulan terakhir, mual, muntah, lemas dan mudah lelah
dirasa pasien saat ini, dan mengganggu aktivitas. Awalnya os sering merasa mulas sejak
1 tahun lalu, BAB juga sudah mulai sedikit-sediit dan jarang, nyeri perut dan menjalar ke
pinggang juga dirasakan oleh pasien
Pasien menyangkal adanya keluhan pada BAK.

Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien belum pernah mengalami keluhan seperti ini sebelumnya. Pasien tidak pernah
menderita penyakit keganasan sebelumnya.

Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada keluarga yang menderita keluhan yang sama dengan pasien. Riwayat penyakit
keganasan di keluarga (-).

Riwayat Pengobatan
Pasien tidak mempunyai riwayat alergi obat. Pasien tidak pernah dirawat di RS
sebelumnya. Pasien tidak pernah minum obat dalam jangka waktu yang lama


Riwayat Psikososial
Pasien makan 2-3 kali sehari, nasi, lauk pauk, jarang sayuran dan buah

PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum
Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : compos mentis

Vital Sign
TD : 100/70 mmHg
HR : 100x/menit
RR : 22x/menit
Suhu : 36.2
o
C

Status Generalis
Kepala : normochepal
Mata :
Pupil : bentuk bulat, diameter 3 mm/3 mm
Refleks pupil : +/+, isokor
Konjungtiva : anemis +/+
Sklera : ikterik +/+
THT : dalam batas normal
Leher : pembesaran KGB (-), pembesaran thyroid (-)

Thorax :
Paru-paru
Inspeksi : normochest, pergerakan dada simetris
Palpasi : tidak ada pergerakan dada yang tertinggal, nyeri tekan (-), vokal fremitus
sama simetris dekstra sinistra
Perkusi : sonor di seluruh lapangan paru
Auskultasi : vesikular (+/+) normal, Rhonki (-/-), Wheezing (-/-)

Jantung
Bunyi jantung I dan II murni regular
Murmur (-), gallops (-)

Abdomen
Inspeksi : distensi (-), cembung, scar luka operasi (+)
Auskultasi : bising usus (+)
Palpasi : nyeri tekan di seluruh lapang abdomen, hepatomegaly 4 jari di bawah arcus
costae, tepi tumpul, keras.
Perkusi : hipertimpani seluruh kuadran abdomen

Ekstremitas : akral dingin, RCT < 2 detik, edema (-/-)

Rectal toucher : reflex sfingter ani baik, fistula ani (-), permukaan rectum licin, teraba massa
keras 3x4x3 cm arah jam 11, permukaan licin



RESUME
Pasien datang ke RS dengan keluhan buang air besar sedikit-sedikit dan berdarah
berwarna merah kehitaman sejak 2 bulan terakhir, mual, muntah, lemas dan mudah lelah
dirasa pasien saat ini, dan mengganggu aktivitas. Awalnya os sering merasa mulas sejak
1 tahun lalu, BAB juga sudah mulai sedikit-sediit dan jarang, nyeri perut dan menjalar ke
pinggang juga dirasakan oleh pasien, BAK tidak ada keluhan. Pemeriksaan fisik
didapatkan TD:100/70 mmHg HR:100x/menit RR:22x/menit Suhu:36.2
o
C, Abdomen :
cembung, scar luka operasi (+), bising usus (+) menurun, nyeri tekan di seluruh lapang
abdomen, hepatomegaly 4 jari di bawah arcus costae, tepi tumpul, keras, hipertimpani
seluruh kuadran abdomen. Rectal toucher : reflex sfingter ani baik, fistula ani (-),
permukaan rectum licin, teraba massa keras 3x4x3 cm arah jam 11, permukaan massa
kasar, terfksir, nyeri tekan (-)

ANALISA KASUS
Dasar diagnosis Ca Recti pada kasus ini adalah
Perempuan, 34 tahun
BAB sedikit-sedikit, berdarah warna merah kehitaman
Sering merasa mulas sejak 1 tahun lalu
Bising usus (+) menurun
Hipertimpani seluruh kuadran abdomen
Hepatomegaly, tepi teraba 4 jari di bawah arcus costae, tepi tumpul, keras.
Rectaltouche darah (+), lendir (+), feses (-),permukaan rectum licin, teraba massa keras
3x4x3 cm arah jam 11, permukaan massa kasar, terfksir, nyeri tekan (-)

WD : Ca Recti

Penatalaksanaan
Resusitasi cairan
Nasogastric suction
Intervensi operative

Prognosis
Quo ad vitam : ad bonam
Quo ad functionam : ad bonam




PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hasil Laboratorium Pemeriksaan Darah
WBC 10.1 10
3
/ L 4.8 - 10.8
Ly % 8.5 % 20.0 - 40.0
Mo % 4.4 % 0.0 - 11.0
Gr % 89.7 % 40.0 70.0
Ly # 0.5 10
3
/ L 1.0 4.3
Mo # 0.4 10
3
/ L 0.0 1.2
Gr # 8.2 10
3
/ L 1.9 7.6
RBC 3.61 10
6
/ L 4.7 6.1
HGB 6.7 g/dL 14.0 18.0
HCT 23.9 % 42 52
PLT 407 10
3
/ L 150 450

Hasil Pemeriksaan Patologi Anatomi
Makroskopis : sebuah jaringan ukran diameter 0.3 cm warna putih kecoklatan kenyal.
Mikroskopis : sediaan rektumtampak massa tumor terdiri dari sel-sel bentuk bulat-oval yang
tumbuh hiperplastis menyusun struktur kelenjar. Inti polimorf, hiperkromatis, dan mitosis
ditemukan. Massa tumor telah menginvasi stroma aringan ikat fibrokolagen yang berserbukan
sel radang limfosit dan sel PMN disertai perdarahan.
Kesimpulan : Adenocarcinoma Recti










BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi rektum
Secara anatomis, rektum berada setinggi vertebrae sakrum ke-3 sampai ke garis
anorektal. Secara fungsional dan endoskopis, rektum dibagi menjadi bagian ampula dan
spinchter. Bagian spinchter disebut juga annulus hemoroidalis, dikelilingi oleh muskulus levator
ani dan fascia coli dari fascia supra ani. Bagian ampula terbentang dari vertebra sakrum ke-3
sampai diafragma pelvis pada insersio muskulus levator ani. Panjang rektum berkisar antara 10-
15 cm dengan keliling 15 cm pada bagian rectosigmoid junction, dan 35 cm pada bagian yang
terluas yaitu ampula. Pada manusia, dinding rektum terdiri dari 4 lapisan, yaitu mukosa,
submukosa, muskularis (sirkuler dan longitudinal), serta lapisan serosa.
8,9

























Gambar 1. Anatomi rektum













Vaskularisasi daerah anorektum berasal dari arteri hemoroidalis superior, media, dan
inferior. Arteri hemoroidalis superior (arteri rektalis superior) merupakan kelanjutan dari arteri
mesentrika inferior, arteri ini memiliki 2 cabang yaitu dekstra dan sinistra. Arteri hemoroidalis
media (arteri rektalis media) merupakan cabang dari arteri iliaka interna, dan arteri hemoroidalis
inferior (arteri rektalis inferior) merupakan cabang dari arteri pudenda interna.
3,8

Vena hemoroidalis superior berasal dari pleksus hemoroidalis interna dan berjalan ke arah
kranial ke dalam vena mesenterika inferior untuk selanjutnya melalui vena lienalis dan menuju
vena porta. Vena ini tidak memiliki katup, sehingga tekanan dalam rongga perut atau
intraabdominal sangat menentukan tekanan di dalam vena tersebut. Hal inilah yang dapat
menjelaskan terjadinya hemoroid interna pada pasien-pasien dengan kebiasaan sulit buang air
besar dan sering mengejan. Vena hemoroidalis inferior mengalirkan darah ke vena pudenda
interna, untuk kemudian melalui vena iliaka interna dan menuju sistem vena kava.
3







Gambar 2. Vaskularisasi arteri rektum
Gambar 3. Vaskularisasi Vena pada Rektum















Persarafan rektum terdiri dari sistem simpatik dan parasimpatik. Serabut simpatik berasal
dari pleksus mesenterikus inferior yang berasal dari lumbal 2, 3, dan 4 yang berfungsi mengatur
emisi air mani dan ejakulasi. Sedangkan untuk serabut parasimpatis berasal dari sakral 2, 3, dan
4 yang berfungsi mengatur fungsi ereksi penis dan klitoris serta mengatur aliran darah ke dalam
jaringan. Hal ini menjelaskan terjadinya efek samping dari pembedahan pada pasien-pasien
dengan karsinoma rekti, yaitu berupa disfungsi ereksi dan tidak bisa mengontrol buang air kecil
atau miksi.
9

Rektum (Bahasa Latin: regere, meluruskan, mengatur) adalah sebuah ruangan yang
berawal dari ujung usus besar (setelah kolon sigmoid) dan berakhir di anus. Organ ini berfungsi
sebagai tempat penyimpanan sementara feses. Biasanya rektum ini kosong karena tinja disimpan
di tempat yang lebih tinggi, yaitu pada kolon desendens. Jika kolon desendens penuh dan tinja
masuk ke dalam rektum, maka timbul keinginan untuk buang air besar (BAB). Mengembangnya
dinding rektum karena penumpukan material di dalam rektum akan memicu sistem saraf yang
menimbulkan keinginan untuk melakukan defekasi. Jika defekasi tidak terjadi, sering kali
material akan dikembalikan ke usus besar, di mana penyerapan air akan kembali dilakukan. Jika
defekasi tidak terjadi untuk periode yang lama, konstipasi dan pengerasan feses akan terjadi.
Orang dewasa dan anak yang lebih tua bisa menahan keinginan ini, tetapi bayi dan anak
yang lebih muda mengalami kekurangan dalam pengendalian otot yang penting untuk menunda
BAB.
Proses defekasi terjadi baik secara disadari (volunter), maupun tidak disadari (involunter)
atau refleks. Gerakan yang mendorong feses ke arah anus terhambat oleh adanya kontraksi tonik
dari sfingter ani interna yang terdiri dari otot polos dan sfingter ani eksterna yang terdiri dari otot
rangka. Sfingter ani eksterna diatur oleh N. Pudendus yang merupakan bagian dari saraf somatik,
sehingga ani eksterna berada di bawah pengaruh kesadaran kita (volunter).
Proses defekasi diawali oleh terjadi refleks defekasi akibat ujung ujung serabut saraf
rectum terangsang ketika dinding rectum teregang oleh massa feses. Sensasi rectum ini berperan
penting pada mekanisme continence dan juga sensasi pengisian rectum merupakan bagian
integral penting pada defekasi normal. Hal ini dapat digambarkan sebagai berikut : pada saat
volume kolon sigmoid menjadi besar, serabut saraf akan memicu kontraksi dengan
mengosongkan isinya ke dalam rectum. Studi statistika tentang fisiologi rectum ini
mendeskripsikan tiga tipe dari kontraksi rectum yaitu : (1) Simple contraction yang terjadi
sebanyak 5 10 siklus/menit ; (2) Slower contractions sebanyak 3 siklus/menit dengan
amplitudo diatas 100 cmH2O ; dan (3) Slow Propagated Contractions dengan frekuensi
amplitudo tinggi. Distensi dari rectum menstimulasi reseptor regang pada dinding rectum, lantai
pelvis dan kanalis analis. Bila feses memasuki rektum, distensi dinding rectum mengirim signal
aferent yang menyebar melalui pleksus mienterikus yang merangsang terjadinya gelombang
peristaltik pada kolon desenden, kolon sigmoid dan rectum sehingga feses terdorong ke anus.
Setelah gelombang peristaltik mencapai anus, sfingter ani interna mengalami relaksasi oleh
adanya sinyal yang menghambat dari pleksus mienterikus; dan sfingter ani eksterna pada saat
tersebut mengalami relaksasi secara volunter,terjadilah defekasi.Pada permulaan defekasi, terjadi
peningkatan tekanan intraabdominal oleh kontraksi otototot kuadratus lumborum, muskulus
rectus abdominis, muskulus obliqus interna dan eksterna, muskulus transversus abdominis dan
diafraghma.
Muskulus puborektalis yang mengelilingi anorectal junction kemudian akan relaksasi
sehingga sudut anorektal akan menjadi lurus. Perlu diingat bahwa area anorektal membuat sudut
900 antara ampulla rekti dan kanalis analis sehingga akan tertutup. Jadi pada saat lurus, sudut ini
akan meningkat sekitar 1300 1400 sehingga kanalis analis akan menjadi lurus dan feses akan
dievakuasi. Muskulus sfingter ani eksterna kemudian akan berkonstriksi dan memanjang ke
kanalis analis. Defekasi dapat dihambat oleh kontraksi sfingter ani eksterna yang berada di
bawah pengaruh kesadaran ( volunteer ). Bila defekasi ditahan, sfingter ani interna akan tertutup,
rectum akan mengadakan relaksasi untuk mengakomodasi feses yang terdapat di dalamnya.
Mekanisme volunter dari proses defekasi ini nampaknya diatur oleh susunan saraf pusat. Setelah
proses evakuasi feses selesai, terjadi Closing Reflexes. Muskulus sfingter ani interna dan
muskulus puborektalis akan berkontraksi dan sudut anorektal akan kembali ke posisi
sebelumnya. Ini memungkinkan muskulus sfingter ani interna untuk memulihkan tonus ototnya
dan menutup kanalis analis.

2.2 Epidemiologi kanker rektum
Di dunia kanker kolorektal menduduki peringkat ketiga pada tingkat insiden dan
mortalitas.
1,11
Pada tahun 2002 terdapat lebih dari 1 juta insiden kanker kolorektal dengan tingkat
mortalitas lebih dari 50%. 9,5 persen pria penderita kanker terkena kanker kolorektal, sedangkan
pada wanita angkanya mencapai 9,3 persen dari total jumlah penderita kanker.
1

Angka insiden tertinggi terdapat pada Eropa, Amerika, Australia dan Selandia baru;
sedangkan angka insiden terendah terdapat pada India, Amerika Selatan dan Arab Israel.
2,12

Sekitar 135.000 kasus baru kanker kolorektal terjadi di Amerika Serikat setiap tahunnya,
dan menyebabkan angka kematian sekitar 55.000. Sepertiga kasus ini terjadi di kolon dan 2/3 di
rektum. Adenokarsinoma merupakan jenis terbanyak (98%), jenis lainnya yaitu karsinoid (0,1%),
limfoma (1,3%), dan sarkoma (0,3%) .
10

Insidensi kanker kolorektal di Indonesia cukup tinggi, demikian juga angka kematiannya.
Insiden pada pria sebanding dengan wanita, dan lebih banyak pada orang muda. Sekitar 75 %
ditemukan di rektosigmoid. Di Negara barat, perbandingan insiden pria : wanita = 3 : 1 dan
kurang dari 50 % ditemukan di rektosigmoid dan merupakan penyakit orang usia lanjut.
13
Pada
tahun 2002 kanker kolorektal berada pada peringkat kedua pada kasus kanker yang dialami oleh
pasien pria setelah kanker paru pada urutan pertama, sedangkan pada pasien wanita kanker
kolorektal berada pada urutan ketiga setelah kanker payudara dan kanker leher rahim.
12
.
Histopatologis dari kanker kolorektal sebesar 96% berupa adenocarcinoma, 2% karsinoma
lainnya (termasuk karsinoid tumor), 0,4% epidermoid carcinoma, dan 0,08% berupa sarcoma,
sedangkan untuk lokasinya, sebagian besar terdapat di rektum (51,6%), diikuti oleh kolon
Gambar 4. Insidensi kanker di Indonesia pada tahun 2002
sigmoid (18,8%), kolon descendens (8,6%), kolon transversum (8,06%), kolon ascendens
(7,8%), dan multifokal (0,28%)
Berdasarkan penelitian pada tahun 2006-2010, angka kejadian kanker kolo rectal di RS.
AWS Samarinda berjumlah 160 orang, hasil penelitian mengenai jenis kelamin sampel, jumlah
pria lebih banyak yaitu 81 orang dan wanita 65 orang, dan untuk jenis terbanyak didapatkan hasil
Adeno Ca (130 orang), Mucinous Ca (4 orang), Signet ring cell Ca (4 orang), Lymphoma (4
orang), Carcinoid cell Ca (2 orang), Sarcoma (2 orang) serta berdasarkan usia sampel,
didapatkan terbanyak pada usia 31-40 tahun.
14














2.3 Etiologi
Price dan Wilson (1994) mengemukakan bahwa etiologi karsinoma rectum sama seperti
kanker lainnya yang masih belum diketahui penyebabnya. Faktor predisposisi munculnya karsinoma
rektum adalah polyposis familial, defisiensi Imunologi, kolitis ulseratifa, granulomartosis dan
Kolitis. Faktor predisposisi penting lainnya yang mungkin berkaitan adalah kebiasaan makan.
Masyarakat yang dietnya rendah selulosa tapi tinggi protein hewani dan lemak, memiliki insiden
yang cukup tinggi.
15

Burkitt (1971) yang dikutip oleh Price dan Wilson mengemukakan bahwa diet rendah serat,
tinggi karbohidrat refined, mengakibatkan perubahan pada flora feces dan perubahan degradasi
garam-garam empedu atau hasil pemecahan protein dan lemak, dimana sebagian dari zat-zat ini
bersifat karsinogenik. Diet rendah serat juga menyebabkan pemekatan zat yang berpotensi
Gambar 5. Patofisiologi kanker rektum
karsinogenik dalam feses yang bervolume lebih kecil. Selain itu, masa transisi feses meningkat.
Akibatnya kontak zat yang berpotensi karsinogenik dengan mukosa usus bertambah lama.
15

2.4 Patofisiologi Kanker Rektum
Pada mukosa rektum yang normal, sel-sel epitelnya akan mengalami regenerasi setiap 6
hari. Pada keadaan patologis seperti adenoma terjadi perubahan genetik yang mengganggu
proses differensiasi dan maturasi dari sel-sel tersebut yang dimulai dengan inaktivasi gen
adenomatous polyposis coli (APC) yang menyebabkan terjadinya replikasi tak terkontrol.
Peningkatan jumlah sel akibat replikasi tak terkontrol tersebut akan menyebabkan terjadinya
mutasi yang akan mengaktivasi K- ras onkogen dan mutasi gen p53, hal ini akan mencegah
terjadinya apoptosis dan memperpanjang hidup sel.










Kanker kolon dan rectum terutama (95%) adenokarsinoma (muncul dari lapisan epitel
usus) dimulai sebagai polip jinak tetapi dapat menjadi ganas dan menyusup serta merusak
jaringan normal serta meluas ke dalam struktur sekitarnya. Sel kanker dapat terlepas dari tumor
primer dan menyebar ke dalam tubuh yang lain (paling sering ke hati).



2.5 Faktor resiko
2, 16, 17,18,19

Etiologi dari kanker rektum sendiri belum diketahui, namun beberapa faktor resiko
telah ditemukan dapat menyebabkan terjadinya kanker rektum. Beberapa faktor resiko yang
berperan antara lain:
Gambar 6. Familial Adenomatous Polyposis
Gambar 7. Kolitis Ulseratif
1. Faktor genetik seperti familial adenomatous polyposis (FAP) dan hereditary
nonpolyposis colorectal cancer (HNPCC).












2. Inflamatory bowel disease seperti penyakit crohn dan kolitis ulseratif.
















Gambar 8. Crohns Disease








3. Riwayat keluarga yang menderita kanker kolorektal.
4. Riwayat menderita polip, kanker ovarium, endometriosis, dan kanker payudara.
5. Umur di atas 40 tahun.
Risiko dari kanker kolorektal meningkat bersamaan dengan usia, terutama pada pria dan
wanita berusia 50 tahun atau lebih,
1
dan hanya 3% dari kanker kolorektal muncul pada
orang dengan usia dibawah 40 tahun.
2
55% kanker terdapat pada usia 65 tahun
13

6. Diet tinggi lemak rendah serat
Masyarakat yang diet tinggi lemak, tinggi kalori, daging dan diet rendah serat
berkemungkinan besar untuk menderita kanker kolorektal pada kebanyakan penelitian,
meskipun terdapat juga penelitian yang tidak menunjukkan adanya hubungan antara serat
dan kanker kolorektal.
20

7. Gaya Hidup
Pria dan wanita yang merokok kurang dari 20 tahun mempunyai risiko tiga kali untuk
memiliki adenokarsinoma yang kecil, tapi tidak untuk yang besar. Sedangkan merokok
lebih dari 20 tahun berhubungan dengan risiko dua setengah kali untuk menderita
adenoma yang berukuran besar.
21

2.6 Deteksi dini
Karsinoma rekti seringkali asimptomatis dan ditemukan dalam keadaan sudah stadium
lanjut. Komite kesehatan dan penelitian Amerika merekomendasikan skrining pada populasi-
populasi dengan kriteria tertentu, sebagai berikut:
2.7 Diagnosis Klinis



1. Anamnesa
Anamnesa keluhan utama dan riwayat penyakit memegang peranan yang sangat penting
dalam penegakkan diagnosis. Berikut ini merupakan gejala yang seringkali dikeluhkan oleh
pasien dengan karsinoma rekti:
1. Diare palsu atau spurious diarrhoea
Diare palsu merupakan keluhan BAB yang frekuen tetapi hanya sedikit yang keluar
disertai dengan lendir dan darah serta adanya rasa tidak puas setelah BAB. Terjadinya
diare palsu oleh karena adanya proses keganasan pada epitel kelenjar mukosa rektum,
berupa suatu massa tumor, dimana tumor akan merangsang keinginan untuk defekasi,
tetapi yang keluar hanya sedikit disertai hasil sekresi kelenjar berupa mukus dan darah
oleh karena rapuhnya massa tumor.
2. BAB berlendir
BAB berlendir seperti halnya diare palsu merupakan manifestasi adanya proses
keganasan pada epitel kelenjar mukosa rektum dan hal ini jarang didapatkan pada
penderita hemorrhoid.
3. Feses pipih seperti kotoran kambing
Bentuk feses yang pipih seperti kotoran kambing sangat tergantung dari bentuk
makroskopis massa tumor pada rektum. Pada stadium dini dimana tumor masih kecil dan
tidak berbentuk anuler, jarang ditemukan perubahan bentuk feses.
4. Penurunan berat badan
Penurunan berat badan pada dasarnya akan terjadi pada semua penderita dengan
keganasan, terutama pada stadium lanjut. Penderita dengan keganasan akan mengalami
perubahan metabolisme oleh karena adanya reaksi inflamasi tumor dengan host. Adanya
peningkatan metabolisme protein, karbohidrat, dan lemak akan menyebabkan
keseimbangan energi-protein menjadi negatif sehingga diikuti dengan penurunan berat
badan. Pada karsinoma rekti dapat terjadi obstruksi parsial sehingga penderita akan
mengeluhkan perut terasa kembung dan nafsu makan menurun. Penurunan berat badan
yang terjadi biasanya ringan.
5. Perdarahan bercampur tinja
Perdarahan pada keganasan kolorektal terjadi karena adanya proses inflamasi pada massa
tumor. Sifat perdarahan yang keluar akan bercampur dengan tinja dan berwarna
kehitaman jika massa tumor terdapat pada kolon proksimal, sedangkan darah yang keluar
akan berwarna merah segar jika lokasi massa tumor pada kolon distal.
2,22,15


Tabel 1. Perbedaan gejala dan karsinoma kolorektal berdasarkan letaknya.
3

Berikut ini adalah perbandingan antara karsinoma rektum dengan karsinoma kolon kiri dan
kanan:

Kolon kanan Kolon kiri Rektum
Aspek klinis Kolitis Obstruksi Proktitis
Nyeri Karena penyusupan Karena obstruksi Tenesmus
Defekasi Diare Konstipasi progresif Tenesmi terus-menerus
Obstruksi Jarang Hampir selalu Tidak jarang
Darah pada feses Samar Samar atau makroskopis Makroskopis
Feses Normal Normal Perubahan bentuk
Dispepsia Sering Jarang Jarang
Memburuknya KU Hampir selalu Lambat Lambat
Anemia Hampir selalu Lambat Lambat

Tabel 2. Ringkasan diagnosis karsinoma kolorektal.
3

Kolon kanan Anemia dan kelemahan
Darah samar di feses
Dispepsia
Perasaan tidak enak di perut kanan bawah
Massa di perut kanan bawah
Kolon kiri Perubahan pola defekasi
Darah di feses
Gejala dan tanda obstruksi
Rektum Perdarahan rektum
Darah di feses
Perubahan pola defekasi
Pasca defekasi masih ada perasaan tidak puas atau penuh
Penemuan tumor pada colok dubur
Penemuan tumor pada rektosigmoidoskopi

Gambar 9. Colok dubur pada
karsinoma rekti
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mencari kemungkinan metastase seperti pembesaran KGB
atau hepatomegali. Dari pemeriksaan colok dubur dapat diketahui : 1,7
Adanya tumor rektum
Lokasi dan jarak dari anus
Posisi tumor, melingkar / menyumbat lumen
Perlengketan dengan jaringan sekitar

3. Pemeriksaan penunjang diagnosis
Ada beberapa tes yang dapat dilakukan untuk mendeteksi kanker rektum, antara lain:
1. Biopsi
Konfirmasi adanya malignansi dengan pemeriksaan biopsi sangat penting. Jika
ditemukan tumor dari salah satu pemeriksaan diatas, biopsi harus dilakukan. Secara
patologi anatomi, adenocarcinoma merupakan jenis yang paling sering yaitu sekitar 90
sampai 95% dari kanker usus besar. Jenis lainnya ialah karsinoma sel skuamosa,
carcinoid tumors, adenosquamous carcinomas, dan undifferentiated tumors.
2

2. Pemeriksaan Tumor marker : CEA (Carcinoma Embryonic Antigen), CA 242, CA 19-9
2

3. uji FOBT (Faecal Occult Blood Test) untuk melihat perdarahan di jaringan.
18,22,23

4. Digital rectal examination atau biasa disebut rectal touche (colok dubur). Sekitar 75%
karsinoma rekti dapat dipalpasi pada pemeriksaan rektal. Pemeriksaan dengan rektal
touche akan mengenali tumor yang terletak sekitar 10 cm dari rektum, massa akan teraba
keras dan menggaung.
17










Gambar 10. Foto rontgen dengan barium enema
Pada pemeriksaan colok dubur ini yang harus dinilai adalah:
a. Keadaan tumor: ekstensi lesi pada dinding rektum serta letak bagian terendah
terhadap cincin anorektal, cervix uteri, bagian atas kelenjar prostat atau ujung os
coccygis.
b. Mobilitas tumor: hal ini sangat penting untuk mengetahui prospek terapi
pembedahan. Lesi yang sangat dini biasanya masih dapat digerakkan pada lapisan
otot dinding rektum. Pada lesi yang sudah mengalami ulserasi lebih dalam umumnya
terjadi perlekatan dan fiksasi karena penetrasi atau perlekatan ke struktur ekstrarektal
seperti kelenjar prostat, buli-buli, dinding posterior vagina atau dinding anterior
uterus.
c. Ekstensi penjalaran yang diukur dari besar ukuran tumor dan karakteristik
pertumbuhan primer dan sebagian lagi dari mobilitas atau fiksasi lesi.
5. Foto rontgen dengan barium enema yaitu cairan yang mengandung barium, dimasukkan
melalui rektum untuk kemudian dilakukan foro rontgen.











6. Endoskopi
a. Sigmoidoskopi
yaitu sebuah prosedur untuk melihat bagian dalam rektum dan sigmoid apakah
terdapat polip kanker atau kelainan lainnya. Alat sigmoidoscope dimasukkan melalui
rektum sampai kolon sigmoid, polip atau sampel jaringan dapat diambil untuk
biopsi.
Gambar 11. sigmoidoskopi
Flexible sigmoidoscopi setiap 5 tahun dimulai pada umur 50 tahun merupakan
metode yang direkomendasikan untuk screening seseorang yang asimptomatik yang
berada pada tingkatan risiko menengah untuk menderita kanker kolon. Sebuah polip
adenomatous yang ditemukan pada flexible sigmoidoscopi merupakan indikasi untuk
dilakukannya kolonoskopi, karena meskipun kecil (<10 mm), adenoma yang berada
di distal kolon biasanya berhubungan dengan neoplasma yang letaknya proksimal
pada 6-10% pasien.
18













b. Kolonoskopi
Kolonoskopi dapat digunakan untuk menunjukan gambaran seluruh mukosa kolon
dan rectum Sebuah standar kolonoskopi panjangnya dapat mencapai 160 cm.
Kolonoskopi merupakan cara yang paling akurat untuk dapat menunjukkan polip dengan
ukuran kurang dari 1 cm dan keakuratan dari pemeriksaan kolonoskopi sebesar 94%,
lebih baik daripada barium enema yang keakuratannya hanya sebesar 67%.
2
Sebuah
kolonoskopi juga dapat digunakan untuk biopsi, polipektomi, mengontrol perdarahan dan
dilatasi dari striktur. Kolonoskopi merupakan prosedur yang sangat aman dimana
komplikasi utama (perdarahan, komplikasi anestesi dan perforasi) hanya muncul kurang
dari 0,2% pada pasien. Kolonoskopi merupakan cara yang sangat berguna untuk
mendiagnosis dan manajemen dari inflammatory bowel disease, non akut divertikulitis,
sigmoid volvulus, gastrointestinal bleeding, megakolon non toksik, striktur kolon dan
Gambar 12. Kolonoskopi

neoplasma. Komplikasi lebih sering terjadi pada kolonoskopi terapi daripada diagnostik
kolonoskopi, perdarahan merupakan komplikasi utama dari kolonoskopi terapeutik,
sedangkan perforasi merupakan komplikasi utama dari kolonoskopi diagnostik.
18














7. Virtual colonoscopy (CT colonography)
Kolonoskopi virtual merupakan diagnostik non-invasif yang baru, menggunakan X-ray
dan software komputer,untuk melihat dua dan tiga-dimensi dari seluruh usus besar dan
rektum untuk mendeteksi polip dan kanker kolorektal.
14

8. Imaging Tehnik
MRI, CT scan, transrectal ultrasound merupakan bagian dari tehnik imaging yang
digunakan untuk evaluasi, staging dan tindak lanjut pasien dengan kanker kolon, tetapi
tehnik ini bukan merupakan screening tes.
18
a. CT scan
CT scan dapat mengevaluasi abdominal cavity dari pasien kanker kolon pre operatif. CT
scan bisa mendeteksi metastase ke hepar, kelenjar adrenal, ovarium, kelenjar limfa dan organ
lainnya di pelvis. CT scan sangat berguna untuk mendeteksi rekurensi pada pasien dengan nilai
CEA yang meningkat setelah pembedahan kanker kolon. Sensitifitas CT scan mencapai 55%. CT
scan memegang peranan penting pada pasien dengan kanker kolon karena sulitnya dalam
menentukan stage dari lesi sebelum tindakan operasi. Pelvic CT scan dapat mengidentifikasi
invasi tumor ke dinding usus dengan akurasi mencapai 90 %, dan mendeteksi pembesaran
kelanjar getah bening >1 cm pada 75% pasien.
19
Penggunaan CT dengan kontras dari abdomen
dan pelvis dapat mengidentifikasi metastase pada hepar dan daerah intraperitoneal.

b. MRI
MRI lebih spesifik untuk tumor pada hepar
daripada CT scan dan sering digunakan pada
klarifikasi lesi yang tak teridentifikasi dengan
menggunakan CT scan. Karena sensifitasnya yang
lebih tinggi daripada CT scan, MRI dipergunakan
untuk mengidentifikasikan metastasis ke hepar.
c. Endoskopi UltraSound (EUS)
EUS secara signifikan menguatkan penilaian preoperatif dari kedalaman invasi tumor,
terlebih untuk tumor rektal.
Keakurasian dari EUS sebesar 95%,
70% untuk CT dan 60% untuk digital
rektal examination. Pada kanker
rektal, kombinasi pemakaian EUS
untuk melihat adanya tumor dan
digital rektal examination untuk
menilai mobilitas tumor seharusnya dapat meningkatkan ketepatan rencana dalam terapi
pembedahan dan menentukan pasien yang telah mendapatkan keuntungan dari preoperatif
kemoradiasi. Transrektal biopsi dari kelenjar limfa perirektal bisa dilakukan di bawah bimbingan
EUS.

Tabel 3. Diagnosis pasti untuk karsinoma rectum.
3


4. Klasifikasi karsinoma rektum
1. Berdasarkan klasifikasi Dukes
1. Stadium 0
Pada stadium 0, kanker ditemukan hanya pada bagian paling dalam rektum.yaitu pada
mukosa saja. Disebut juga carcinoma in situ.
2. Stadium I
Pada stadium I, kanker telah menyebar menembus mukosa sampai lapisan muskularis dan
melibatkan bagian dalam dinding rektum tapi tidak menyebar kebagian terluar dinding
rektum ataupun keluar dari rektum. Disebut juga Dukes A rectal cancer.
Cara pemeriksaan Persentase
Colok dubur
Rektosigmoidoskopi
Foto kolon dengan barium
kontras
Kolonoskopi
40%
75%
90%
100% (hampir)
3. Stadium II
Pada stadium II, kanker telah menyebar keluar rektum kejaringan terdekat namun tidak
menyebar ke limfonodi. Disebut juga Dukes B rectal cancer.
4. Stadium III
Pada stadium III, kanker telah menyebar ke limfonodi terdekat, tapi tidak menyebar
kebagian tubuh lainnya. Disebut juga Dukes C rectal cancer.
5. Stadium IV
Pada stadium IV, kanker telah menyebar kebagian lain tubuh seperti hati, paru, atau
ovarium. Disebut juga Dukes D rectal cancer








Gambar 13. Stadium Ca Recti I-IV
2. Berdasarkan sistem TNM
Tabel 2. TNM/Modified Dukes Classification System*
TNM Stadium Modified
Dukes
Stadium
Deskripsi
T1 N0 M0 A Tumor terbatas pada submucosa
T2 N0 M0 B1 Tumor terbatas pada muscularis propria
T3 N0 M0 B2 Penyebaran transmural
T2 N1 M0 C1 T2, pembesaran kelenjar mesenteric
T3 N1 M0 C2 T3, pembesaran kelenjar mesenteric
T4 C2 Penyebaran ke organ yang berdekatan
Any T, M1 D Metastasis jauh
*Modified from the American Joint Committee on Cancer (1997)



2.8 Penatalaksanaan
Berbagai jenis terapi dapat digunakan pada pasien dengan kanker rektum. Tiga terapi standar
yang digunakan antara lain adalah:
1. Pembedahan
Pembedahan merupakan terapi yang paling lazim digunakan terutama untuk stadium 1
dan 2 kanker rektum, bahkan pada suspek stadium 3 juga masih dapat dilakukan
pembedahan. Seiring perkembangan ilmu pengetahuan, sekarang sebelum dioperasi
pasien diberi presurgical treatment berupa radiasi dan kemoterapi. Penggunaan
kemoterapi sebelum pembedahan dikenal sebagai neoadjuvant chemotherapy, dan terapi
ini biasanya digunakan pada pasien dengan kanker rektum stadium 2 dan 3. Pada pasien
lainnya yang hanya dilakukan pembedahan, meskipun sebagian besar jaringan kanker
sudah diangkat saat operasi, beberapa pasien masih membutuhkan kemoterapi atau
radiasi pasca pembedahan untuk membunuh sel kanker yang tertinggal. Adapun jenis
pembedahan yang dapat dilakukan, antara lain:
a. Eksisi lokal
Eksisi lokal jika kanker ditemukan pada stadium paling dini, tumor dapat
dihilangkan tanpa melakukan pembedahan lewat abdomen. Jika tumor ditemukan dalam
bentuk polip, maka operasinya disebut polypectomy. Eksisi lokal melalui rektoskop dapat
dilakukan pada karsinoma terbatas. Seleksi penderita harus dilakukan dengan teliti, antara
lain dengan menggunakan endoskopi ultrasonografik untuk menentukan tingkat
penyebaran di dalam dinding rektum clan adanya kelenjar ganas pararektal.
b. Low anterior resection (LAR)
Metode ini digunakan untuk lesi yang terletak di tengah atau 1/3 atas rektum.
Untuk masa tumor lebih 5 cm dari anokutan dipertimbangkan reseksi rectum rendah
(LowAnteriorResection/LAR), sehingga tidak perlu kolostomi.
Rektum terbagi atas 3 bagian yaitu 1/3 atas, tengah dan bawah. Kanker yang
berada di lokasi 1/3 atas dan tengah (5 s/d 15 cm dari garis dentate) dapat dilakukan
restorative anterior resection kanker 1/3 distal rectum merupakan masalah pelik. Jarak
antara pinggir bawah tumor dan garis dentate merupakan faktor yang sangat penting
untuk menentukan jenis operasi.












Goligher dkk berdasarkan pengalamannya menyatakan bahwa kegagalan operasi Low
anterior resection akan terjadi pada kanker rectum dengan jarak bawah rectum normal 2 cm.
Angka 5 cm telah diterima sebagai jarak keberhasilan terapi. Hasil penelitian yang dilakukan
oleh venara dkk pada 243 kasus menyimpulkan bahwa jarak lebih dari 3 cm dari garis dentate
aman untuk dilakukan operasi Restorative resection. Colonal anastomosis diilhami oleh
hasil operasi Ravitch dan Sabiston yang dilakukan pada kasus kolitis ulseratif. Operasi ini dapat
diterapkan pada kanker rectum letak bawah, dimana teknik stapler tidak dapat dipergunakan.
Local excision dapat diterapkan untuk mengobati kanker rectum dini yang terbukti belum
memperlihatkan tanda-tanda metastasis ke kelenjar getah bening. Operasi ini dapat dilakukan
melalui beberapa pendekatan yaitu transanal, transpinchteric atau transsacral. Pendekatan
transpinshter dan transacral memungkinkan untuk dapat mengamati kelenjar mesorectal untuk
mendeteksi kemungkinan telah terjadi metastasis. Sedang pendekatan transanal memiliki
kekurangan untuk mengamati keterlibatan kelenjar pararektal.
Reseksi anterior rendah pada rektum dilakukan melalui laparotomi dengan menggunakan
alat stapler untuk membuat anastomosis kolorektal atau koloanal rendah.
c. Abdominal perineal resection (Miles procedure)
Untuk masa tumor < 5 cm dari anokutan. Pengangkatan kanker rektum biasanya
dilakukan dengan reseksi abdominoperianal, termasuk pengangkatan seluruh rectum,
mesorektum dan bagian dari otot levator ani dan dubur. Prosedur ini merupakan pengobatan
yang efektif namun mengharuskan pembuatan kolostomi permanen.
Gambar 14. A, Low anterior resection; B,C, coloanal anastomosis; D, j
pouch construction creating a reservoir.

Pada tumor rektum sepertiga tengah dilakukan reseksi dengan mempertahankan sfingter
anus, sedangkan pada tumor sepertiga distal dilakukan amputasi rektum melalui reseksi
abdominoperineal Quenu-Miles. Pada operasi ini anus turut dikeluarkan.
Pada pembedahan abdominoperineal menurut Quenu-Miles, rektum dan sigmoid dengan
mesosigmoid dilepaskan, termasuk kelenjar limf pararektum dan retroperitoneal sampai kelenjar
limf retroperitoneal. Kemudian melalui insisi perineal anus dieksisi dan dikeluarkan seluruhnya
dengan rektum melalui abdomen.










Indikasi dan kontra indikasi eksisi lokal kanker rectum
1. Indikasi
Tumor bebas, berada 8 cm dari garis dentate
T1 atau T2 yang dipastikan dengan pemeriksaan ultrasound
Termasuk well-diffrentiated atau moderately well diffrentiated secara histologi
Ukuran kurang dari 3-4 cm
2. Kontraindikasi
Tumor tidak jelas
Termasuk T3 yang dipastikan dengan ultrasound
Termasuk Poorly diffrentiated secara histologi




Gambar 15. Abdominoperineal resection with colostomy















Gambar 14. Pembedahan pada CA Recti

2. Radiasi
Pada kasus stadium 2 dan 3, radiasi dapat mengecilkan ukuran tumor sebelum
dilakukan pembedahan, dalam hal ini radiasi berperan sebagai preoperative treatment.
Peran lainnya radioterapi adalah sebagai terapi tambahan untuk kasus tumor lokal yang
telah diangkat melalui pembedahan dan untuk penanganan kasus metastase jauh. Jika
radioterapi pasca pembedahan dikombinasikan dengan kemoterapi, maka akan
menurunkan resiko kekambuhan lokal di pelvis sebesar 46% dan menurunkan angka
kematian sebesar 29%. Pada penanganan metastase jauh, radiasi telah terbukti dapat
mengurangi efek dari metastase tersebut terutama pada otak. Radioterapi umumnya
digunakan sebagai terapi paliatif pada pasien dengan tumor lokal yang unresectable.
Terdapat dua cara pemberian terapi radiasi, yaitu dengan eksternal radiasi dan
internal radiasi. Pemilihan cara radiasi diberikan tergantung pada tipe dan stadium dari
kanker. Eksternal radiasi (external beam therapy) merupakan penanganan dimana radiasi
tingkat tinggi secara tepat diarahkan pada sel kanker. Sejak radiasi digunakan untuk
membunuh sel kanker, maka dibutuhkan pelindung khusus untuk melindungi jaringan
yang sehat disekitarnya. Terapi radiasi tidak menyakitkan dan pemberian radiasi hanya
berlangsung beberapa menit. Internal radiasi (brachytherapy, implant radiation)
menggunakan radiasi yang diberikan ke dalam tubuh sedekat mungkin pada sel kanker.
Substansi yang menghasilkan radiasi disebut radioisotop, bisa dimasukkan dengan cara
oral, parenteral atau implant langsung pada tumor. Internal radiasi memberikan tingkat
radiasi yang lebih tinggi dengan waktu yang relatif singkat bila dibandingkan dengan
eksternal radiasi, dan beberapa penanganan internal radiasi secara sementara menetap
didalam tubuh.
24, 25
3. Kemoterapi
Adjuvant chemotherapy digunakan untuk menangani pasien yang tidak terbukti
memiliki penyakit residual tetapi beresiko tinggi mengalami kekambuhan. Terapi ini
digunakan pada tumor yang menembus sangat dalam atau tumor lokal yang bergerombol
(stadium 2 dan 3). Terapi standar kemoterapi tersebut adalah fluorouracil (5-FU) yang
dikombinasikan dengan leucovorin dalam waktu 6-12 bulan. Obat lain yaitu levamisole
dapat menjadi pengganti leucovorin jika tidak tersedia. Protokol kemoterapi ini telah
terbukti menurunkan angka kekambuhan sebesar 15% dan menurunkan angka kematian
sebesar 10%.
2, 18
4. Penanganan Jangka Panjang
Terdapat beberapa kontroversi tentang frekuensi pemeriksaan follow up untuk
rekurensi tumor pada pasien yang telah ditangani dengan kanker kolon. Beberapa tenaga
kesehatan telah menggunakan pendekatan nihilistic (karena prognosis sangat jelek jika
terdeteksi adanya rekurensi dari kanker). Sekitar 70% rekurensi dari kanker terdeteksi
dalam jangka waktu 2 tahun, dan 90% terdeteksi dalam waktu 4 tahun. Pasien yang telah
ditangani dari kanker kolon mempunyai insiden yang tinggi dari metachronous kanker
kolon. Deteksi dini dan penatalaksanaan yang tepat pada pasien ini dapat meningkatkan
prognosa. Evaluasi follow up termasuk pemeriksaan fisik, sigmoidoskopi, kolonoskopi,
tes fungsi hati, CEA, foto polos thorax, barium enema, liver scan, MRI, dan CT scan.
17

Tingginya nilai CEA preoperatif biasanya akan kembali normal antara 6 minggu setelah
pembedahan.
2

1. Evaluasi klinik
Selama 5 tahun setelah tindakan pembedahan, target utama follow up adalah untuk
mendeteksi tumor primer baru. Beberapa pasien kanker kolorektal membentuk satu
atau beberapa tempat metastasis di hepar, paru-paru, atau tempat anastomosis dimana
tumor primer telah diangkat.
2

2. Rontgen
Foto rontgen terlihat sama baiknya bila dibandingkan dengan CT scan dalam
mendeteksi rekurensi.
2

3. Kolonoskopi
Pasien yang mempunyai lesi obstruksi pada kolonnya harus melakukan kolonoskopi 3
sampai 6 bulan setelah pembedahan, untuk meyakinkan tidak adanya neoplasma yang
tertinggal di kolon. Tujuan dilakukannya endoskopi adalah untuk mendeteksi adanya
metachronous tumor, suture line rekurensi atau kolorektal adenoma. Jika obstruksi
tidak ada maka kolonoskopi dilakukan pada satu sampai tiga tahun setelah
pembedahan, jika negatif maka endoskopi dilakukan lagi dengan interval 2-3 tahun.
2

4. CEA
Meningkatnya nilai CEA menandakan diperlukannya pemeriksaaan lebih jauh untuk
mengidentifikasi tempat rekurensi, dan biasanya sangat membantu dalam
mengidentifikasi metastasis ke hepar. Jika dicurigai adanya metastasis ke pelvis,
maka MRI lebih membantu diagnosa daripada CT scan.
2

2.9 Prognosa
Stage merupakan faktor prognosis yang paling penting,.Grade histologi secara
signifikan mempengaruhi tingkat survival disamping stadium. Pasien dengan well
differentiated karsinoma (grade 1 dan 2) mempunyai 5-year survival yang lebih baik
dibandingkan dengan poor differentiated karsinoma (grade 3 dan 4). Lokasi kanker terlihat
sebagai faktor prognostik yang independen. Pada stage yang sama pasien dengan tumor yang
berada di rektum mempunyai prognosa yang lebih buruk bila dibandingkan dengan tumor
yang berada di kolon.
2
Secara keseluruhan 5-year survival rates untuk kanker rektal adalah sebagai berikut :

a. Stadium I - 72%
b. Stadium II - 54%
c. Stadium III - 39%
d. Stadium IV - 7%
50% dari seluruh pasien mengalami kekambuhan yang dapat berupa kekambuhan lokal,
jauh maupun keduanya. Kekambuhan lokal lebih sering terjadi pada. Penyakit kambuh pada 5-
30% pasien, biasanya pada 2 tahun pertama setelah operasi. Faktor faktor yang mempengaruhi
terbentuknya rekurensi termasuk kemampuan ahli bedah, stadium tumor, lokasi, dan kemapuan
untuk memperoleh batas - batas negatif tumor.
7





































DAFTAR PUSTAKA


1. Depkes. 2006. Gaya hidup penyebab kolorektol, (Online),
(http://www.depkes.go.id/index.php?option=news&task=viewarticle&sid=2058&Itemid=
2, diakses 24 Agustus 2011).

2. Casciato DA, (ed). 2004. Manual of Clinical Oncology 5
th
ed. Lippincott Willi ams &
Wilkins: USA.p 201

3. Syamsuhidajat R, Jong Wim D,(eds). 2004. buku ajar Ilmu Bedah 2
nd
ed. EGC: jakarta.

4. WHO. 2006. The Impact of Cancer, (Online), (http://www.who.int /ncd_
surveillance/infobase/web/InfoBasePolicyMaker/reports/ReporterFullView.aspx?id=5,
diakses 24 Agustus 2011).

5. Depkes. 2006. Deteksi Dini Kanker Usus Besar, (Online),
(http://www.litbang.depkes.go.id/aktual/kliping/KankerUsus011106.htm, diakses 24
Agustus 2011).

6. Samiadji, S. 1995. Akurasi Keluhan Berak Darah dan Penurunan Berat Badan dalam
Diagnosis Karsinoma Rekti. Tesis. Semarang: FK UNDIP

7. Elizabeth., Cirincione, 2005. Rectal Cancer. Available from www.emedicine.com.
(Download : 24 Agustus 2011).

8. Tim pengajar anatomi. 2001. Situs Abdominis. laboratorium anatomi histologi fakultas
kedokteran universitas airlangga: surabaya.

9. Snell RS. 2004. Clinical Anatomy 7
th
ed. Lippincott Williams & Wilkins.USA.

10. Stewart SL, Wike JM, Kato I, Lewis DR, Michaud F. a population based study of
colorectal cancer histology in United States 1998-2001. cancer, (online)2006; 107(5
suppl): American Cancer Society, (www.pubmed.com, diakses 24 Agustus 2011).

11. Kastomo DR, Soemardi A. Tindakan Bedah pada Keganasan Kolorektal Stadium Lanjut.
Maj Kedokt Indon, 2005 Juli; Vol 55 No 7, p 499-500.

12. Soeripto et al. Gastro-intestinal Cancer in Indonesia. Asian Pacific Journal of Cancer
Prevention, (Online), 2003; Vol. 4, No. 4, (http://www.apocp.org/
cancer_download/Vol4_No4/Soeripto.pdf, diakses 24 Agustus 2011).

13. Boyle P, Ferlay J. Cancer Incidence and Mortality in Europe 2004. Ann Oncol, (online),
2005 Mar; 16(3):481-8, (www.pubmed.com, diakses 24 Agustus 2011).

14. Mukhtar, S. 2010. Colo-rectal Cancer in A. Wahab Sjahranie General Hospital
Samarinda, East Borneo. Samarinda

15. Price, S. dan Wilson, L. 2006. Patofisiologi. Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.
Volume 2 Edisi 6. Jakarta: EGC

16. Suyono S.In : Boedi Darmojo R, Pranarka K. (eds.). 2001. buku ajar Ilmu Penyakit
Dalam II 3
th
Ed. balai penerbit FKUI: jakarta. p 24

17. Silalahi J. Antioksidan dalam Diet dan Karsinogenesis. Cermin Dunia Kedokteran,
(Online), 2006; 153: 40, (diakses 24 Agustus 2011).

18. Schwartz SI, 2005. Schwartzs Principles of Surgery 8
th
Ed. United States of America:
The McGraw-Hill Companies.

19. Lynch HT, Chapelle ADL. Hereditary Colorectal Cancer. the New England Journal of
Medicine, (online), 2003 march 6; 348:919-932, (www.pubmed.com, diakses 24 Agustus
2011).

20. Michels KB, Giovannucci E, Joshipura KJ, Rosner BA, Stampfer MJ, Fuchs CS, Colditz
GA, Speizer FE, Willett WC. Prospective study of fruit and vegetable consumption and
incidence of colon and rectal cancers. J Natl Cancer Inst. (online). 2001 Jun 6;
93(11):879, (www.pubmed.com, diakses 24 Agustus 2011).

21. Giovannucci E. An updated review of the epidemiological evidence that cigarette
smoking increases risk of colorectal cancer. Cancer Epidemiol BiomarkersPrev. (online).
2001Jul; 10(7):725-31, (www.pubmed.com, diakses 24 Agustus 2011).

22. Hassan, Isaac., 2006. Rectal carcinoma. Available from www.emedicine.com.
(Download : 24 Agustus 2011

23. Moayyedi P, Achkar E. Does fecal occult blood testing really reduce mortality? A
reanalysis of systematic review data. Am J Gastroenterol. (online). 2006 Feb; 101(2):
380-4, (www.pubmed.com, diakses 24 Agustus 2011).

24. Beaumont hospitals. 2006. Colorectal Cancer, (Online), (http://www.beaumont hospi
tals.com/pls/ portal30/site. Web pkg. page?xpageid=P07164, diakses 24 Agustus 2011).

25. Henry ford. 2006. What is Radiation Therapy?, (Online), (http://www.Henry
ford.com/body. cfm?id=39201, diakses 24 Agustus 2011).

You might also like