Membicarakan sejarah Cirebon tentu tidak akan pernah lepas dari buku babon mengenai sejarah Cirebon, Purwaka Tjaruban Nagari (1720) karya Pangeran Arya Carbon. Pangeran Arya Carbon dalam kitabnya tersebut menyebutkan bahwa Cirebon berasal dari kata caruban. Caruban sendiri disebutkan berasal dari kata sarumban yang berarti campuran. Dituliskan, Cirebon merupakan daerah yang penduduknya merupakan percampuran dari berbagai macam suku. Selain itu, ada juga yang mengatakan Cirebon berasal dari dua kata berbahasa Sunda, cai dan rebon, karena sebagian besar warganya bekerja membuat petis dari air udang. Akan tetapi, tim penulis buku Cirebon dalam Lima Zaman (Abad 15 hingga pertengahan Abad ke-20) yang diketuai Sobana Hardjasaputra mengatan Pangeran Arya Carbon bukanlah orang pertama yang pernah mencatat tentang Cirebon. Karena setidaknya penjelajah asal Portugis, Tome Pires pernah menyebut Cirebon dengan Chorobon dalam bukunya Suma Oriental (1513-1515). Dia mencatat nama Chorobon sebagai salah satu daerah singgah saat mengunjungi pulau Jawa setelah dia membeli rempah-rempah di Malaka. Buku Cirebon dalam Lima Zaman yang diterbitkan Dinas Parwisata dan Budaya Provinsi Jawa Barat itu juga mengatakan ada sebuah daerah di pesisir utara pulau jawa yang sering disebut Muhara Jati. Tempat tersebut merupakan pelabuhan sekaligus pemukiman para nelayan setempat. Berdasarkan sumber tradisional, di sebelah utara Muhara Jati juga sudah ada tempat bernama Singapura dan Surantaka. Daerah-daerah tersebut merupakan daerah kekuasaan Kerajaan Galuh, dan Ki Danusela atau Ki Gedeng Alang-Alang diangkat Galuh menjadi pengurus pelabuhan Muhara Jati. Singapura dan Surantaka (lidah lokal menyebutnya Srentaka, pen) saat ini menjadi nama blok di Desa Sirnabaya Kec Suranenggala Kabupaten Cirebon. Sebagian tokoh masyarakat di Blok Singapura berani mengklaim bahwa peninggalan sejarah dari kerajaan tersebut masih ada sampai sekarang. Meskipun belum ada peneliti atau sejarawan yang menuliskannya. Paruh pertama abad-14, agama Islam mulai masuk ke pulau Jawa bagian barat. Dituliskan di Cirebon dalam Lima Zaman, ada dua orang ulama yang datang pada waktu itu, takni Syekh Quro dan Syekh Nurjati. Syekh Quro menetap di Karawang sedangkan Syekh Nurjati menetap di salah satu daerah di Cirebon, Amparan Jati. Lebih jauh, Kepala Seksi Bidang Nilai Tradisional, Sejarah dan Purbakala Dinas Pemuda, Olahraga, Budaya dan Pariwisata (Disporbudpar) Kota Cirebon, Sugiono menceritakan, dua orang putra Prabu Siliwangi yang bernama Walangsungsang dan Rarasantang tertarik masuk Islam dan berguru kepada Sykeh Nurjati di Amparan Jati. Mereka pun diceritakan keluar dari keraton. Setelah berguru, kedua bersaudara itu diperintahkan pergi berhaji. Selesai haji, Rarasantang menetap di Mekah sementara kakaknya, Walangsungsang kembali ke Amparan Jati, katanya. Rarasantang yang menetap di Mekah kemudian diceritakan menikah dengan pembesar Kerajaan Mesir dan menghasilkan dua orang putra, Syarif Hidayatullah dan Syarif Nurullah. Syarif Hidayatullah kemudian memilih untuk kembali ke tanah kelahiran Ibunya, sementara Syarif Nurullah tinggal di Mesir. Lebih jauh lagi, Budayawan Cirebon yang merupakan salah satu anggota tim penulis Cirebon dalam Lima Zaman, Rafan S. Hasyim menuturkan, pedukuhan Cirebon berdiri saat Pangeran Walangsungsang membabat alas bersama pengurus pelabuhan Muhara Jati, Ki Danusela, yang tidak lain adalah mertuanya. Setelah terbentuk, masyarakat Cirebon secara aklamasi menunjuk Ki Danusela sebagai kuwu pertama dan pangeran Walangsungsang sebagai pangreksa bumi dengan gelar Ki Cakrabumi atau Ki Cakrabuana. Kuwu merupakan jabatan bagi pemimpin di tingkat pakuwon. Saat itu masih berada di bawah kerajaan Galuh. Susunan organisai kemasyarakatan pedukuhan ini kemudian dilaporkan oleh mantri pepitu ke kerajaan Galuh, katanya. Berdasarkan penuturan Rafan, yang juga ahli naskah Kuna Cirebon itu, setelah Kuwu Cerbon pertama, Ki Danusela wafat. Masyarakat Cirebon mengadakan pemilihan kuwu baru dengan cara uwi-uwian. Para calon kuwu duduk bersebelahan, untuk kemudian masayarakat yang menghendaki calon itu menjadi kuwu harus berdiri berbaris di depan kuwu pilihannya. Dengan begitu terlihatlah siapa calon kuwu yang mendapat dukungan paling banyak. Kemudian terpilihlah Walangsungsang sebagai kuwu pilihan masyarakat Cirebon. Rafan melanjutkan, setelah diangkat menjadi kuwu, diutus Tumenggung Jagabayan sebagai atasan Kuwu Cerbon, Walangsungsang, untuk membawa gegelan patanda keprabon (penyematan tanda kepangkatan) dari Galuh. Saat itu, ditetapkan Cirebon harus membayar upeti kepada Galuh. Upeti ke Galuh pun dikirimkan Cirebon melalui rute yang melewati Desa Balerante, Palimanan. Di masa itu, pangeran Cakrabuana membangun pedukuhan-pedukuhan di sekitar Cirebon, mulai dari Indramayu, Ciledug, Jungjang, dan lain-lain. Lalu dia menunjuk pemimpin pedukuhan-pedukuhan tersebut dan diangkat menjadi kuwu dengan sistem uwi-uwian juga, lanjutnya. Setelah pedukuhan-pedukuhan buatannya tersebut berkembang, Cakrabuana meningkatkan status Cirebon menjadi katumenggungan yang dipimpin seorang tumenggung. Katumenggungan Cerbon waktu itu sudah diarahkan untuk bercorak islam dengan tanda terjadinya pengangkatan Ki Gede yang beragama Islam. Adapun yang melantik Cakrabuana menjadi tumenggung yakni Tumenggung Jagabayan. Dalam ekspedisi itu, Jagabayan ditemani adik bungsu Cakrabuana, Pangeran Raja Sangara. Akan tetapi, Pangeran Raja Sangara akhirnya menetap di Cirebon, berguru kepada Syekh Nurjati. Dia bergelar Tumenggung Sri Mangana. Kemudian, keponakan Cakrabuana dan anak Rarasantang, Syarif Hidayatullah tiba di Cirebon. Saat tiba, Syarif Hidayatullah diperintahkan Cakrabuana untuk menemui Sunan Ampel di Jawa Timur. Pertemuan itu menurut Rafan, untuk membicarakan strategi dakwah Islam di Jawa dan rencana pendirian kerajaan Islam Demak. Tidak lupa juga dibahas peluang Cirebon menjadi kerajaan Islam di Jawa. Baru setelah pulang dari Jawa Timur, Syarif Hidayatullah dilantik menjadi Sunan Jatipurba. Sunan Ampel juga datang langsung dan melantik Syarif Hidayatullah dengan gelar Sunan Carbon Sinarat Sunda. Pada saat itulah, Sunan Jatipurba atau Sunan Gunung Jati mendeklarasikan Cirebon sebagai Kerajaan Islam yang berdaulat. Sejak saat itu, 12 Safar 887 Hijriah atau 2 april 1482 Masehi, Cirebon menjadi kerajaan yang merdeka. Cirebon mengehentikan semua pengiriman upeti kepada Galuh. [] Och