You are on page 1of 19

1

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Laparatomi merupakan suatu proses insisi bedah ke dalam rongga
abdomen yang dilakuakan dengan berbagai indikasi seperti trauma abdomen,
penanganan obsteri (sectio saesaria) infeksi pada rongga abdomen,
perdarahan saluran cerna, sumbatan pada usus halus dan usus besar serta masa
pada abdomen Tindakan laparotomi dapat menimbulkan berbagai komplikasi
pasca bedah antara lain gangguan perfusi jaringan, infeksi pada luka yang
menyebabkan buruknya integritas kulit serta terjadinya burst abdomen (Afzal,
2009).
Burst abdomen juga dikenal sebagai abdominal wound dehiscence atau
luka operasi terbuka, didefinisikan sebagai suatu keadaan yang ditandai
terbukanya sebagian atau seluruh luka operasi yang disertai protrusi atau
keluarnya isi rongga abdomen. Keadaan ini sebagai akibat kegagalan proses
penyembuhan luka operasi. Wound dehiscence merupakan komplikasi utama
dari pembedahan abdominal. Insidensinya sekitar 0,2%-0,6% dengan angka
mortalitas cukup tinggi, mencapai 10%-40%, disebabkan penyembuhan
lukaoperasi yang inadekuat (Baxter, 2003)

Terjadinya wound dehiscence berkaitan dengan berbagai kondisi seperti
anemia, hipoalbumin, malnutrisi, keganasan, obesitas dan diabetes, usia lanjut,
prosedur pembedahan spesifik seperti pembedahan pada kolon atau laparotomi
emergency. Wound dehiscence juga dapat terjadi karena perawatan luka yang
tidak adekuat serta faktor mekanik seperti batuk-batuk yang berlebihan, ileus
obstruktif dan hematom serta teknik operasi yang kurang baik (Afzal et al,
2008; Anonim, 2008).
Penanganan wound dehiscence secara umum dibedakan menjadi
penanganan operatif dan penanganan non operatif. Penanganan operatif
dilakukan pada sebagian besar penderita luka operasi terbuka. Sedangkan
penanganan non operatif dilakukan diberikan kepada penderita yang sangat
tidak stabil dan tidak mengalami eviserasi (Singh, 2009; Spiolitis et al, 2009).
2

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka kami bermaksud untuk
menyusun referat dengan judul Burst Abdomen (Dehisensi Luka Pasca
Operasi Laparotomi)


B. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui materi mengenai Wound Dehiscence post Laparotomy
2. Mengetahui penanganan Wound Dehiscence post Laparotomy

C. Manfaat Penulisan
Manfaat yang diharapkan bisa diambil dari diadakannya penyusunan
refrat ini yaitu:
1. Sebagai sarana pembelajaran bagi penulis dan pembaca khususnya
mengenai wound dehiscence.
2. Sebagai sarana evaluasi mengenai penanganan pasca operasi laparotomi

















3

II. TINJAUAN PUSTAKA


A. Penyembuhan Luka

Penyembuhan luka merupakan suatu proses yang kompleks karena
berbagai kegiatan bio-seluler, bio-kimia terjadi berkesinambungan.
Penggabungan respons vaskuler, aktivitas seluler dan terbentuknya bahan
kimia sebagai substansi mediator di daerah luka merupakan komponen yang
saling terkait pada proses penyembuhan luka. Proses ini berlangsung dinamis
melibatkan mediator cair, sel darah, matriks ekstraseluler, serta sel-sel
parenkim. Proses penyembuhan luka secara umum terdiri atas tiga fase yaitu
inflamasi, pembentukan jaringan atau proliferasi dan maturasi atau remodeling
(Tawi, 2008; Yadi, 2005).
1. Inflamasi
Beberapa hari pertama setelah luka, respon inflamasi menyebabkan
pengeluaran cairan dari jaringan dan menyebabkan akumulasi sel dan
fibroblas serta peningkatan suplai darah ke daerah luka. Leukosit dan sel
lainnya memproduksi enzim proteolitik yang akan menguraikan dan
mengangkat jaringan yang rusak. Proses ini berlangsung selama 3-7 hari.
Faktor apapun yang mengganggu proses ini akan memperlambat
penyembuhan luka. Selama fase inflamasi akut, jaringan tidak akan
memperoleh kekuatan regangan yang cukup tetapi tergantung pada
pendekatan tepi luka.

2. Proliferasi
a. Setelah proses debridement berjalan baik, fibroblas akan mulai
membentuk matriks kolagen pada luka yang disebut dengan jaringan
granulasi. Kolagen (substansi protein) adalah konstituen utama dari
jaringan ikat. Pembentukan serat kolagen menentukan kekuatan
regangan dan kelenturan penyembuhan luka. Ketika serat kolagen
terisi dengan pembuluh darah baru, jaringan granulasi akan menjadi
terang dan merah. Bantalan kapiler tebal yang mengisi matriks akan
4

memberikan suplai nutrien dan oksigen yang dibutuhkan untuk
penyembuhan luka. Fase ini terjadi setelah hari ketiga.
b. Kolagen ini kemudian akan berada diantara luka dan akan memberikan
tekanan normal. Lamanya fase ini bervariasi berdasarkan tipe jaringan
yang terlibat dan tekanan atau tegangan yang diberikan luka selama
periode ini.
c. Kontraksi luka juga terjadi selama fase ini. Kontraksi luka adalah
proses yang mendorong tepi luka bersama untuk penutupan luka. Hal
ini akan mengurangi area yang terbuka dan jika berhasil akan
menghasilkan luka yang kecil. Kontraksi luka akan sangat
menguntungkan pada penutupan luka pada area-area seperti glutea dan
trokanter, tetapi akan membahayakan pada area seperti tangan atau
sekitar leher dan wajah dimana hal ini akan menyebabkan kelainan
bentuk dan jaringan parut berlebihan.
d. Luka operasi yang ditutup secara perprimum memiliki respon kontraksi
yang minimal. Graft kulit digunakan untuk menurunkan kontraksi pada
lokasi yang tidak diinginkan.
Gambar 1. Penyembuhan luka perprimum dan persekundum.

3. Remodelling
Ketika deposisi kolagen selesai, pembuluh darah pada luka akan
berangsur-angsur menurun dan permukaannya akan menjadi lebih pucat.
5

Jumlah kolagen yang terbentuk bergantung pada volume awal jaringan
granulasi.
2,7


Gambar 2. Proses penyembuhan luka


Faktor faktor yang berpengaruh terhadap proses penyembuhan luka
terbagi menjadi faktor eksternal dan faktor internal. Faktor faktor eksternal
yang mempengaruhi penyembuhan luka antara lain :
a. Lingkungan
Dukungan dari lingkungan keluarga, dimana pasien akan merasa
mendapatkan perlindungan dan dukungan serta nasihat nasihat
khususnya untuk merawat kebersihan pasca terjadinya luka atau
pembedahan.
b. Tradisi
Di Indonesia ramuan peninggalan nenek moyang untuk perawatan pasca
bedah atau penyembuhan luka masih banyak digunakan, meskipun oleh
kalangan masyarakat modern.
c. Pengetahuan
6

Pengetahuan pasien dan keluarga tentang perawatan pasca bedah atau
perlukaan sangat menentukan lama penyembuhan luka. Apabila
pengetahua tentang masalah kebersihan kurang maka penyembuhan
lukapun akan berlangsung lama.
d. Sosial ekonomi
Pengaruh dari kondisi sosial ekonomi dengan lama penyembuhan luka
adalah keadaan fisik dan mental pasien dalam melakukan aktifitas sehari-
hari pasca pembedahan. Jika tingkat sosial ekonomi rendah, bisa jadi
penyembuhan luka berlangsung lama karena timbulnya rasa malas dalam
merawat diri.
e. Penanganan petugas
Pada terjadinya luka atau pasca pembedahan, pembersihannya harus
dilakukan dengan tepat oleh penangan petugas kesehatan, hal ini
merupakan salah satu penyebab yang dapat menentukan lama
penyembuhan luka.
f. Gizi
Asupan gizi yang cukup dan baik Makanan yang bergizi dan sesuai porsi
akan mempercepat masa penyembuhan luka (Hidyat, 2007; Sinaga,
2009).
Sedangkan faktor faktor internal yang berpengaruh terhadap proses
penyembuhan luka dapat digolongkan menjadi tiga kelompok yaitu faktor
lokal, faktor sistemik dan faktor tekhnik (Yadi, 2005).
1. Faktor Lokal
a. Iskemia : kurangnya suplai darah ke jaringan luka dapat berupa tidak
adekuatnya aliran darah ke jaringan luka misalnya akibat ligasi,
peripheral vascular disease, atau hipotensi generalisata, dapat pula
karena sudah ada jaringan nekrotik pada tepi luka sebelumnya,
penutupan luka yang terlalu rapat sehingga merusak kapiler pada tepi
luka, atau regangan yang kuat sehingga mengganggu merapatnya
kontraksi luka.
7

b. Ketegangan luka : Ketegangan dalam penjahitan juga hendaknya
diperhatikan, terlalu tegang dapat menyebabkan iskemia. Jika terlalu
longgar juga dapat menyebabkan terjadinya dead space .
c. Infeksi : adanya dead space menyebabkan terkumpulnya darah dan
cairan serous lainnya menjadi media yang baik untuk bakteri sehingga
terjadi infeksi.
d. Trauma lokal : adanya trauma lokal misalnya benturan dapat
menyebakan kerusakan jaringan pada bekas operasi dan menyebabkan
iskemia lokal atau total.
e. Penyakit kronik jaringan : keadaan seperti limfadenopati kronik,
iskemia kronik, hipertensi dan jaringan parut yang luas dapat
menyebabkan penyembuhan luka yang buruk.
f. Radiasi : radiasi sebelum atau sesudah operasi dapat menyebaban
buruknya penyembuhan luka operasi karena terjadinya fibrosis dan
mikroangiopati (Anonim, 2008; Baxter, 2003; Yadi, 2005).
2. Faktor sistemik
Faktor-faktor sistemik seperti usia, diabetes, gagal ginjal, anemia,
hipoksia atau syok hipovolemia, kekurangan nutrisi, keganasan dan
penggunaan steroid jangka panjang dapat menyebabkan kegagalan sintesis
kolagen dan terganggunya fungsi imun sehingga menimbulkan gangguan
pada penyembuhan luka (Anonim, 2008).
3. Faktor teknik
Tindakan asepsis sebelum operasi dan pemberian antibiotic
profilaksis dapat berpengaruh pada penyembuhan luka pasca operasi.
Selain itu tekhnik operasi dan perawatan luka juga sangat berpengaruh
terhadap penyembuhan luka operasi (Yadi, 2005).
Sejumlah komplikasi dapat terjadi selama proses penyembuhan luka.
Komplikasi tersebut dapat disebabkan oleh proses yang mendasari, penyakit
yang diderita, kondisi gizi dan kesalahan teknik operasi atau terapi yang tidak
adekuat, antara lain:
1. Infeksi
8

Invasi bakteri pada luka dapat terjadi pada saat trauma, selama
pembedahan atau setelah pembedahan. Gejala muncul 2 7 hari setelah
pembedahan, antara lain adanya sekret purulent, peningkatan drainase,
nyeri, kemerahan dan bengkak di sekeliling luka, peningkatan suhu, dan
peningkatan jumlah sel darah putih (Anonim, 2008; Ismail, 2008).
2. Perdarahan
Perdarahan dapat menunjukkan adanya suatu pelepasan jahitan,
adanya gangguan faktor pembekuan pada daerah jahitan, infeksi, atau erosi
dari pembuluh darah oleh benda asing (seperti drain). Tanda-tanda
hipovolemia tidak langsung terlihat saat terjadi perdarahan. Jika
perdarahan terjadi terus menerus, penambahan tekanan balutan luka steril ,
pemberian cairan dan intervensi pembedahan mungkin diperlukan
(Anonim, 2008; Ismail, 2008).
3. Dehiscence dan Eviscerasi
Dehiscence dan eviscerasi adalah komplikasi operasi yang paling
serius. Dehisensi adalah terbukanya lapisan luka partial atau total.
Sedangkan eviscerasi adalah keluarnya isidi bawah jahitan luka melalui
daerah irisan. Biasanya didahului oleh infeksi, selain itu sejumlah faktor
meliputi kegemukan, kurang nutrisi, multiple trauma, batuk yang
berlebihan, muntah, dan dehidrasi mempertinggi resiko terjadinya
dehisensi luka. Dehisensi luka dapat terjadi 4 5 hari setelah operasi
sebelum kolagen meluas di daerah luka (Sjamsudidajat R, 2005).
B. Laparatomi
Laparatomi merupakan suatu prosedur tindakan pembedahan dengan
melibatkan suatu insisi pada dinding abdomen. Kata Laparatomi terbentuk
dari dua kata Yunani, lapara dan tome. Kata lapara berarti bagian lunak
dari tubuh yg terletak di antara tulang rusuk dan pinggul. Sedangkan tome
berarti pemotongan (Sjamsudidajat, 2005). Laparatomi dilakukan dengan
berbagai macam sayatan, yaitu :
1. Midline incision
Metode ini merupakan insisi yang paling sering digunakan, karena
sedikit perdarahan, eksplorasi dapat lebih luas, cepat di buka dan di tutup,
9

serta tidak memotong ligamen dan saraf. Namun demikian, kerugian jenis
insisi ini adalah terjadinya hernia sikatrialis. Indikasinya pada eksplorasi
gaster, pankreas, hepar, dan lien serta di bawah umbilikus untuk eksplorasi
ginekologis, rektosigmoid, dan organ dalam pelvis (Anita, 2009; Anonim,
2009).
2. Paramedian incision
Insisi paramedian yaitu insisi abdomen dengan sedikit ke tepi dari
garis tengah ( 2,5 cm), dengan panjang insisi 12,5 cm. Terbagi atas 2
yaitu paramedian kanan dan kiri, dengan indikasi pada jenis operasi
lambung, eksplorasi pankreas, organ pelvis, usus bagian bagian bawah,
serta plenoktomi. Insisi paramedian memiliki keuntungan antara lain :
merupakan bentuk insisi anatomis dan fisiologis, tidak memotong ligamen
dan saraf, dan insisi mudah diperluas ke arah atas dan bawah (Anita, 2009;
Anonim, 2009).
3. Transverse upper abdomen incision, yaitu ; insisi di bagian atas, misalnya
pembedahan colesistotomy dan splenektomy.
4. Transverse lower abdomen incision, yaitu; insisi melintang di bagian
bawah 4cm di atas anterior spinal iliaka, misalnya; pada operasi
appendectomy (Anonim, 2009).


Bedah laparatomi dilakuakan atas berbagai indikasi, terutama indikasi
dalam bidang digestif dan kandungan, antara lain : Trauma abdomen baik
tumpul maupun tajam, peritonitis, appendicitis, perdarahan saluran cerna,
obstruksi usus, kehamilan ektopik, mioma uteri, adhesi atau perlengketan
jaringan abdomen, pancreatitis dan sebagainya (Kate, 2009; Wain,2009).
Laparotomi terdiri dari beberapa jenis, diantaranya: adrenalektomi,
appendiktomi, gastrektomi, histerektomi, kolektomi, nefrektomi,
pankreatektomi, prostatektomi, seksio sesarea, sistektomi, salpingo
oofarektomi dan vagotomi. (Wain, 2009)
Seperti halnya jenis pembedahan yang lain, laparatomi juga dapat
menimbulkan beberapa komplikasi pasca pembedahan, antara lain :
10

1. Syok
Digambarkan sebagai tidak memadainya oksigenasi selular yang
disertai dengan ketidakmampuan tubuh untuk mengekspresikan produk
metabolisme. Manifestasi klinisnya antara lain : anemis, akral dingin,
takipnea, sianosis pada bibir, gusi dan lidah, takikardi dengan penurunan
tekanan nadi serta tekanan darah rendah dan urine pekat (Anita, 2009).
2. Hemorhagi
Hemoragi post laparotomi bisa terjadi primer, intermidiet maupun
sekunder. Hemoragi primer terjadi pada waktu pembedahan, hemoragi
intermediet terjadi beberapa jam setelah pembedahan, sedangkan hemoragi
sekunder terjadi beberapa waktu setelah pembedahan karena pembuluh
darah tidak terikat dengan baik atau menjadi terinfeksi atau mengalami
erosi oleh selang drainase.
3. Tromboplebitis.
Tromboplebitis postoperasi biasanya timbul 7 - 14 hari setelah
operasi. Bahaya besar tromboplebitis timbul bila darah tersebut lepas dari
dinding pembuluh darah vena dan ikut aliran darah sebagai emboli ke
paru-paru, hati, dan otak. Pencegahan tromboplebitis yaitu latihan kaki
post operasi dan ambulatif dini (Kate, 2009).


4. Infeksi
Infeksi luka sering muncul pada 36 - 46 jam setelah operasi.
Organisme yang paling sering menimbulkan infeksi adalah Staphylokokus
aureus yang merupakan organisme gram positif. Bakteri ini
mengakibatkan pernanahan atau abses (Kate, 2009).
5. Dehisensi luka dan Eviserasi
Dehisensi luka merupakan terbukanya kembali tepi-tepi luka,
sedangkan eviserasi luka adalah keluarnya organ-organ dalam tubuh
melalui insisi yang terbuka kembali. Faktor penyebab dehisensi atau
eviserasi adalah infeksi luka, kesalahan menutup luka saat pembedahan,
11

dan peningkatan tekanan intraabdominal akibat dari batuk atau muntah
(Anonim, 2009; Kate, 2009).

C. Dehisensi Luka
1. Definisi
Wound dehiscence adalah salah satu komplikasi dari proses
penyembuhan luka yang didefinisikan sebagai keadaan dimana terbukanya
kembali sebagian atau seluruhnya luka operasi. Keadaan ini sebagai akibat
kegagalan proses penyembuhan luka operasi (Baxter, 2003; Spiolitis,
2009)

2. Klasifikasi
Berdasarkan waktu terjadinya dehisensi luka operasi dapat dibagi
menjadi dua:
a. Dehisensi luka operasi dini : terjadi kurang dari 3 hari paska operasi
yang biasanya disebabkan oleh teknik atau cara penutupan dinding
perut yang tidak baik.
b. Dehisensi luka operasi lambat : terjadi kurang lebih antara 7 hari
sampai 12 hari paska operasi. Pada keadaan ini biasanya dihubungkan
dengan usia, adanya infeksi, status gizi dan faktor lainnya (Anonim,
2008; Sjamsudidajat R,2005).


3. Manifestasi Klinik

Dehisensi luka seringkali terjadi tanpa gejala khas, biasanya
penderita sering merasa ada jaringan dari dalam rongga abdomen yang
bergerak keluar disertai keluarnya cairan serous berwarna merah muda
dari luka operasi (85% kasus). Pada pemeriksaan didapatkan luka operasi
yang terbuka. Terdapat pula tanda-tanda infeksi umum seperti adanya rasa
nyeri, edema dan hiperemis pada daerah sekitar luka operasi, dapat pula
terjadi pus atau nanah yang keluar dari luka operasi (Anonim, 2008;
Sjamsudidajat R,2005).
12

Biasanya dehisensi luka operasi didahului oleh infeksi yang secara
klinis terjadi pada hari keempat hingga sembilan pascaoperasi. Penderita
datang dengan klinis febris, hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan
jumlah leukosit yang sangat tinggi dan pemeriksaan jaringan di sekitar
luka operasi didapatkan reaksi radang berupa kemerahan, hangat,
pembengkakan, nyeri, fluktuasi dan pus (Afzal,2008; Spioloitis et al,
2009).

4. Etiologi
Faktor penyebab dehisensi luka operasi berdasarkan mekanisme
kerjanya dibedakan atas tiga yaitu:
a. Faktor mekanik : Adanya tekanan dapat menyebabkan jahitan jaringan
semakin meregang dan mempengaruhi penyembuhan luka operasi.
Faktor mekanik tersebut antara lain batuk-batuk yang berlebihan, ileus
obstruktif dan hematom serta teknik operasi yang kurang.

b. Faktor metabolik : Hipoalbuminemia, diabetes mellitus, anemia,
gangguan keseimbangan elektrolit serta defisiensi vitamin dapat
mempengaruhi proses penyembuhan luka.

c. Faktor infeksi
Semua faktor yang mempengaruhi terjadinya infeksi luka
operasi akan meningkatkan terjadinya dehisensi luka operasi. Secara
klinis biasanya terjadi pada hari ke 6 - 9 paska operasi dengan gejala
suhu badan yang meningkat disertai tanda peradangan disekitar luka.

Menurut National Nosocomial Infection Surveilance System,
luka operasi dibedakan menjadi luka bersih, bersih terkontaminasi,
terkontaminasi dan kotor. Infeksi luka jahitan yang terjadi dini ditandai
dengan peningkatan temperature dan terjadinya selulitis dalam waktu
48 jam setelah penjahitan. Dehisensi luka operasi akan segera terjadi
jika infeksi tidak diatasi. Infeksi dini seringkali disebkan oleh
streptococcus B haemolyticus. Sedangkan pada infeksi lanjut
seringkali tidak disertai peningkatan temperatur dan pembentukan pus,
dan terutama disebabkan oleh Stafilococcus aureus. (Webster et al,
2003; Afzal,2008; Spioloitis et al, 2009).
13


5. Faktor Resiko
Faktor risiko terjadinya wound dehiscence dibedakan atas faktor
preoperasi yang berhubungan erat dengan kondisi dan karakteristik
penderita, faktor operasi yang berhubungan dengan jenis insisi dan tehnik
penjahitan, serta faktor pascaoperasi (Webster et al, 2003).
Faktor risiko preoperasi meliputi jenis kelamin (laki-laki lebih
rentan dibandingkan wanita), usia lanjut (>50 tahun), operasi emergensi,
obesitas, diabetes mellitus, gagal ginjal, anemia, malnutrisi, terapi radiasi
dan kemoterapi, keganasan, sepsis, penyakit paru obstruktif serta
pemakaian preparat kortikosteroid jangka panjang (Afzal, 2008; Spiloitis
et al, 2009; Makela, 2005; Singh, 2009).
Faktor risiko operasi antara lain :
a. Jenis insisi : Tehnik insisi mediana lebih rentan untuk terbuka
daripada transversal dikarenakan arah insisinya yang nonanatomik,
sehingga arah kontraksi otot-otot dinding perut berlawanan dengan
arah insisi sehingga akan mereganggkan jahitan operasi.
b. Cara penjahitan : Pemilihan tehnik penutupan secara lapis demi lapis
juga berperan dalam terjadinya komplikasi ini. Tehnik ini di satu sisi
memiliki keuntungan yaitu mengurangi kemungkinan perlengketan
jaringan, namun di sisi lain mengurangi efektifitas dan kekuatannya
(Afzal, 2008; Spiloitis et al, 2009; Makela J, 2005).
c. Tehnik penjahitan : tekhnik penjaitan terputus cenderung lebih aman
daripada tekhnik penjaitan kontinyu.
d. Jenis benang : Pemakaian benang chromic catgut juga dapat menjadi
suatu perhatian khusus, dikarenakan kecepatan penyerapannya oleh
tubuh sering kali tidak dapat diperkirakan (Afzal, 2008; Spiloitis et al,
2009; Makela J, 2005).

Sedangkan faktor-faktor pascaoperasi yang dapat meningkatkan
terjadinya dehisensi luka antara lain:
14

a. Peningkatan tekanan intra abdomen misalnya batuk, muntah, ileus dan
retensio urin. Tekanan intraabdominal yang tinggi akan menekan otot-
otot dinding abdomen sehingga akan teregang. Regangan otot dinding
abdomen iniah yang akan menyebabkan berkurangnya kekuatan
jahitan bahkan pada kasus yang berat akan menyebabkan putusnya
benang pada jahitan luka operasi dan keluarnya jaringan dalam rongga
abdomen.

b. Perawatan pascaoperasi yang tidak optimal

Perawatan luka pasca operasi yang tidak optimal memudahkan
terjadinya infeksi pada luka sehingga memudahkan pula terjadinya
dehisensi luka operasi.

c. Nutrisi pascaoperasi yang tidak adekuat. Asupan nutrisi yang tidak
adekuat terutama protein salah satunya akan menyebabkan
hipoalbuminemia, keadaan ini akan mengurangi sintesa kolagen yang
merupakan bahan dasar penyembuhan luka. Defisiensi tersebut akan
mempengaruhi proses fibroblasi dan kolagenisasi yang merupakan
proses awal penyembuhan luka.

e. Terapi radiasi dan penggunaan obat antikanker : radiasi pasca operasi
dapat menyebaban buruknya penyembuhan luka operasi karena
terjadinya fibrosis dan mikroangiopati (Afzal, 2008; Spiloitis et al,
2009; Makela J, 2005).


6. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Wound Dehiscence dibedakan menjadi
penatalaksanaan non operatif atau konservatif dan penatalaksanaan
operatif tergantung atas keadaan umum penderita.
1. Penanganan Nonoperatif/ Konservatif
Penanganan non operatif diberikan kepada penderita yang sangat
tidak stabil dan tidak mengalami eviserasi. Hal ini dilakukan dengan
penderita berbaring di tempat tidur dan menutup luka operasi dengan kassa
steril atau pakaian khusus steril. Penggunaan jahitan penguat abdominal
15

dapat dipertimbangkan untuk mengurangi perburukan luka operasi terbuka
(Anonim, 2008; Ismail, 2008).
Selain perawatan luka yang baik, diberikan nutrisi yang adekuat
untuk mempercepat penutupan kembali luka operasi. Diberikan pula
antibiotik yang memadai untuk mencegah perburukan dehisensi luka
(Singh, 2008; Ismail, 2008).
2. Penanganan Operatif
Penanganan operatif dilakukan pada sebagian besar penderita
dehisensi. Ada beberapa jenis operasi yang dilakukan pada dehisensi luka
yang dilakukan antara lain rehecting atau penjahitan ulang luka operasi
yang terbuka, mesh repair, vacuum pack, abdominal packing, dan Bogota
bag repair (Sukumar, 2004).
Jenis operasi rehecting atau penjahitan ulang paling sering
dilakukan hingga saat ini. Tindakan ini dilakukan pada pasien dengan
keadaan stabil, dan penyebab terbukanya luka operasi murni karena
kesalahan tekhnik penjahitan (Sukumar, 2004).
Pada luka yang sudah terkontaminasi dilakukan tindakan
debridemen terlebih dahulu sebelum penutupan kembali luka operasi.
Dalam perencanaan jahitan ulangan perlu dilakukan pemeriksaan yang
baik seperti laboratorium lengkap dan foto throraks. Selain penjahitan
ulang dilakukan pula tindakan debridement pada luka (Spiloitis et al,
2009; Sjamsudidajat, 2005).
Tindakan awal yang dilakukan adalah eksplorasi melalui dehisensi
luka jahitan secara hati-hati dan memperlebar sayatan jahitan lalu
mengidentifikasi sumber terjadinya dehisensi jahitan. Tindakan eksplorasi
dilakukan dalam 48 72 jam sejak diagnosis dehisensi luka operasi di
tegakkan. Tehnik yang sering digunakan adalah dengan melepas jahitan
lama dan menjahit kembali luka operasi dengan cara satu lapisan
sekaligus. Pemberian antibiotik sebelum operasi dilakukan, membebaskan
omentum dan usus di sekitar luka. Penjahitan ulang luka operasi dilakukan
secara dalam, yaitu dengan menjahit seluruh lapisan abdomen menjadi
satu lapis. Pastikan mengambil jaringan cukup dalam dan hindari tekanan
16

berlebihan pada luka. Tutup kulit secara erat dan dapat dipertimbangkan
penggunaan drain luka intraabdominal. Jika terdapat tanda- tanda sepsis
akibat luka, buka kembali jahitan luka operasi dan lakukan perawatan luka
operasi secara terbuka dan pastikan kelembaban jaringan terjaga (Ismail,
2008; Spiloitis, 2009).
Prinsip pemilihan benang untuk penjahitan ulang adalah benang
monofilament nonabsorbable yang besar. Penjahitan dengan tehnik
terputus sekurangnya 3 cm dari tepi luka dan jarak maksimal antar jahitan
3 cm, baik pada jahitan dalam ataupun pada kulit. Jahitan penguat dengan
karet atau tabung plastic lunak (5-6cm) dapat dipertimbangkan guna
mengurangi erosi pada kulit. Jangan mengikat terlalu erat. Jahitan penguat
luar diangkat setidaknya setelah 3 minggu (Anonim, 2008; Ismail, 2008).
Selain Rehecting, banyak tekhnik yang dilakukan untuk menutup
dehisensi luka secara sementara maupun permanen. Metode yang biasa
dilakukan antara lain mesh repair, yaitu penutupan luka dengan bahan
sintetis yaitu mesh yang berbentuk semacam kasa halus elastis yang
berfungsi sebagai pelapis pada jaringan yang terbuka tersebut dan bersifat
diserap oleh tubuh. Namun mesh repair menimbulkan angka komplikasi
yang cukup tinggi. Dilaporkan terdapat sekitar 80% pasien dengan mesh
repair mengalami komlplikasi dengan 23% mengalami enteric fistulation
(Sukumar, 2004).

Selain itu digunakan pula vacuum pack. Tekhnik ini menggunakan
sponge steril untuk menutup luka operasi yang terbuka kembali setelah itu
ditutup dengan vacuum bag dengan sambungan semacam suction di
bagian bawahnya. Tekhnik lain yang digunakan adalah Bogota bag.
Tekhnik ini dilakukan pada dehisensi yang telah mengalami eviserasi.
Bogota bag adalah kantung dengan bahan dasar plastik steril yang
merupakan kantong irigasi genitourin dengan daya tampung 3 liter yang
digunakan untuk menutup luka operasi yang terbuka kembali. Plastik ini
dijahit ke kulit atau fascia pada dinding abdomen anterior (Sukumar,
2004)
17

III. KESIMPULAN

1. Burst abdomen juga dikenal sebagai abdominal wound dehiscence atau luka
operasi terbuka, didefinisikan sebagai suatu keadaan yang ditandai
terbukanya sebagian atau seluruh luka operasi yang disertai protrusi atau
keluarnya isi rongga abdomen

2. Burst abdomen disebabkan oleh faktor pra operasi, operasi, dan pasca operasi

3. Penangan burst abdomen dibagi menjadi penanganan operatif dan konservatif






















18

DAFTAR PUSTAKA

Afzal S, Bashir M. 2008. Determinants of Wound Dehiscence in Abdominal
Surgery in Public Sector Hospital. Department of Community Medicine,
King Edward Medical University Lahore . Annals 14:3
Amirlak, Bardia. 2008. Skin Anatomy. diakses Desember 2011 dari: http://
emedicine. medscape. com/ article/ 1294744-overviewAnita, Cecilia. 2009.
Asuhan Keperawatan Laparotomy. FK UNAND: Padang
Anonim. 2008. Penyembuhan Luka dan Dehisensi. Diakses Desember 2011 dari:
http://www.scribd.com/doc/56192741/DEHISENSI2
Anonim. 2009. Laparotomi. Diakses Desember 2011 dari:
http://www.scribd.com/doc/74673683/LP-Laparatomi
Barnard, B. 2003. Prevention of surgical site infection. Infection Control Today
Magazine, Virgo Publishing ; 1-6. http://www.infectioncontroltoday.com
Baxter, H. 2003. Management of surgical wound. Nur Time 99(13) ;1-9
Brannon, Heather. 2007. Skin Anatomy. Diakses Desember 2011 dari: http://
dermatoloy. about.com/cs/skinanatomy/a/anatomy.html
Braz FSV, Loss AB, Japiassi AM. 2007. Wound healing and sacrring sutures.
The Federal University of Rio de Janeiro. 1-5. Diakses Desember 2011 dari :
http://www.medstudents.com.br/cirur/cirur.htm
Hidayat, Nucki. 2007. Pencegahan Infeksi Luka Operasi. FK-UNPAD: Bandung.
Diakses Desember 2011 dari : http://pustaka.unpad.ac.id/wp-
content/uploads/2009/04/pencegahan_infeksi_luka_operasi.pdf
Ismail. 2008. Luka dan Perawatannya. Diakses Desember 2011 dari :
http://umy.ac.id/topik/files/2011/12/Merawat-luka.pdf
Kate, Vikram. 2011. Exploratory Laparotomy. Diakses Desember 2011 dari:
http://emedicine.medscape.com/article/1829835-overview
Makela J, Kiviniemi H, Juvonen T, et al. 2005. Factors influencing wound
dehiscence after midline laparotomy. American journal of surgery. 170 (4):
387-390
19

Sinaga, Yusuf. 2009. Wound Healing. Diakses Desember 2011 dari :
http://ocw.usu.ac.id/course/download/128-KEBUTUHAN-DASAR-
MANUSIA/kdm_slide_kebutuhan_dasar_manusia_konsep_luka.pdf
Singh, Abhijit. 2009. Case Report: Spontaneous scar dehiscence of a repaired
bladder rupture in a 5 yr old girl a case study. Resident Medical Officer,
Max Heart and Vascular Institute, Saket, New Delhi, India. Cases Journal
1:363
Sjamsudidajat R, De Jong W. 2005. Luka Operasi. Dalam: Buku Ajar Ilmu Bedah
Edisi 2. Penerbit Buku Kedokteran EGC: Jakarta
Spiloitis J, Tsiveriotis K, Datsis A, et al. 2009. Wound dehiscence: is still a
problem in the 21th century: a retrospective study. World Journal of
Emergency Surgery 4:12
Sukumar N, Shaharin S, Razman J, et al. Bogota Bag in the Treatment of
Abdominal Wound Dehiscence. Medical Journal Malaysia. 59:2
Tawi, Mizral. 2008. Proses Penyembuhan Luka. Diakses Desember 2011 dari :
http://syehaceh.wordpress.com/2008/05/13/proses-penyembuhan-luka/
Wain, Yohana. 2009. Asuhan Keperawatan Laparotomi atas indikasi Kista Ovari.
Akademi Keperawatan UPN: Jakarta
Webster C, Neumayer L, Smout R, et al. 2003. Prognostic models of abdominal
wound dehiscence after laparotomy. Journal of Surgical Research. 109 (2):
130-137
Yadi, Muhammad. 2005. Tesis : Wound Dehiscence Pasca Bedah Sesar. FK
UNDIP : Semarang

You might also like