You are on page 1of 16

I.

Laporan Pendahuluan Pada Pasien dengan Gangguan Sistem


Persarafan (Gangguan Konduksi) Epilepsi

A. PENGERTIAN
Epilepsi merupakan sindrom yang ditandai oleh kejang yang terjadi
berulang- ulang. Diagnose ditegakkan bila seseorang mengalami paling tidak
dua kali kejang tanpa penyebab (Jastremski, 1988)
Epilepsi adalah penyakit serebral kronik dengan karekteristik kejang
berulang akibat lepasnya muatan listrik otak yang berlebihan dan bersifat
reversibel (Tarwoto, 2007)
Epilepsi adalah gangguan kronik otak dengan ciri timbulnya gejala- gejala
yang datang dalam serangan-serangan, berulang-ulang yang disebabkan lepas
muatan listrik abnormal sel-sel saraf otak, yang bersifat reversible dengan
berbagai etiologi. Serangan ini ialah suatu gejala yang timbulnya tiba-tiba dan
menghilang secara tiba- tiba pula (Mansjoer Arief, 1999).
Menurut Smeltzer (2001) pengertian epilepsi adalah gejala kompleks
dari banyak gangguan fungsi otak berat yang dikarakteristikan oleh
kejang berulang

B. ETIOLOGI
Menurut (Mansjoer, 2000), penyebab epilepsi antara lain :

1. Idiopatik: sebagian besar epilepsi pada anak adalah epilepsi pada anak
adalah epilepsi idiopatik.
2. Faktor herediter: ada beberapa penyakit yang bersifat
herediter yang disertai bangkitan kejang seperti sklerosis tuberosa,
neurofibriomatosis, angiomatosis ensepalo- trigeminal, fenilketonuria,
hipoparatiroidisme, hipoglikemia.
3. Faktor genetik: pada kejang demam dan breath holding spells
4. Kelainan kongenital otak: atropi, forensepali, agenesis korfus kalosum.
5. Gangguan metabolik: Hipoglikemia, hipokalsimia, hiponatremia,
hipernatremia.
6. Infeksi: radang yang disebabkan bakteri atau virus pada otak dan
selaputnya, toksoplasmosis.
7. Trauma: Kontusio serebri, hematoma subaraknoid, hematoma subdural.
8. Neoplasma otak dan selaputnya.
9. Kelainan pembuluh darah, mal formasi, penyakit kolagen.
10. Keracunan: timbal (Pb), kamper (kapur barus), fenotiazin, air.
11. Lain-lain: penyakit darah, gangguan keseimbangan hormon, degenerasi
serebral.

C. PATOFISIOLOGI
Otak merupakan pusat penerima pesan (impuls sensorik) dan sekaligus
merupakan pusat pengirim pesan (impuls motorik). Otak ialah rangkaian
berjuta-juta neuron. Pada hakekatnya tugas neuron ialah menyalurkan dan
mengolah aktivitas listrik saraf yang berhubungan satu dengan yang lain
melalui sinaps. Dalam sinaps terdapat zat yang dinamakan neurotransmiter.
Asetilkolin dan norepinerprine ialah neurotranmiter eksitatif, sedangkan zat
lain yakni GABA (gama-amino-butiric-acid) bersifat inhibitif terhadap
penyaluran aktivitas listrik sarafi dalam sinaps. Bangkitan epilepsi dicetuskan
oleh suatu sumber gaya listrik di otak yang dinamakan fokus epileptogen. Dari
fokus ini aktivitas listrik akan menyebar melalui sinaps dan dendrit ke neron-
neron di sekitarnya dan demikian seterusnya sehingga seluruh belahan
hemisfer otak dapat mengalami muatan listrik berlebih (depolarisasi). Pada
keadaan demikian akan terlihat kejang yang mula-mula setempat selanjutnya
akan menyebar ke bagian tubuh/anggota gerak yang lain pada satu sisi tanpa
disertai hilangnya kesadaran. Dari belahan hemisfer yang mengalami
depolarisasi, aktivitas listrik dapat merangsang substansia retikularis dan inti
pada talamus yang selanjutnya akan menyebarkan impuls-impuls ke belahan
otak yang lain dan dengan demikian akan terlihat manifestasi kejang umum
yang disertai penurunan kesadaran.
Selain itu, epilepsi juga disebabkan oleh instabilitas membran sel saraf,
sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan. Hal ini terjadi karena adanya
influx natrium ke intraseluler. Jika natrium yang seharusnya banyak di luar
membrane sel itu masuk ke dalam membran sel sehingga menyebabkan
ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau
elektrolit, yang mengganggu homeostatis kimiawi neuron sehingga terjadi
kelainan depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini menyebabkan
peningkatan berlebihan neurotransmitter aksitatorik atau deplesi
neurotransmitter inhibitorik.
Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari
sebuah fokus kejang atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu
keadaan patologik. Aktivitas kejang sebagian bergantung pada lokasi muatan
yang berlebihan tersebut. Lesi di otak tengah, talamus, dan korteks serebrum
kemungkinan besar bersifat apileptogenik, sedangkan lesi di serebrum dan
batang otak umumnya tidak memicu kejang. Di tingkat membran sel, sel fokus
kejang memperlihatkan beberapa fenomena biokimiawi, termasuk yang
berikut:
1) Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami
pengaktifan.
2) Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan muatan
menurun dan apabila terpicu akan melepaskan muatan menurun secara
berlebihan.
3) Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang waktu
dalam repolarisasi) yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin atau
defisiensi asam gama-aminobutirat (GABA).
4) Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau
elektrolit, yang mengganggu homeostatis kimiawi neuron sehingga terjadi
kelainan depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini menyebabkan
peningkatan berlebihan neurotransmitter aksitatorik atau deplesi
neurotransmitter inhibitorik.
Perubahan-perubahan metabolik yang terjadi selama dan segera setelah
kejang sebagian disebabkan oleh meningkatkannya kebutuhan energi akibat
hiperaktivitas neuron. Selama kejang, kebutuhan metabolik secara drastis
meningkat, lepas muatan listrik sel-sel saraf motorik dapat meningkat menjadi
1000 per detik. Aliran darah otak meningkat, demikian juga respirasi dan
glikolisis jaringan. Asetilkolin muncul di cairan serebrospinalis (CSS) selama
dan setelah kejang. Asam glutamat mungkin mengalami deplesi (proses
berkurangnya cairan atau darah dalam tubuh terutama karena pendarahan;
kondisi yang diakibatkan oleh kehilangan cairan tubuh berlebihan) selama
aktivitas kejang.

D. MANIFESTASI KLINIS
1. Kejang-kejang, gangguan kesadaran atau gangguan penginderaan
2. Kelainan gambaran EEG
3. Bagian tubuh yang kejang tergantung lokasi dan sifat fokus epileptogen
4. Dapat mengalami aura yaitu suatu sensasi tanda sebelum kejang epileptik
(aura dapat berupa perasaan tidak enak, melihat sesuatu, mencium bau-
bauan tidak enak, mendengar suara gemuruh, mengecap sesuatu, sakit
kepala dan sebagainya)
5. Napas terlihat sesak dan jantung berdebar
6. Raut muka pucat dan badannya berlumuran keringat
7. Satu jari atau tangan yang bergetar, mulut tersentak dengan gejala sensorik
khusus atau somatosensorik seperti: mengalami sinar, bunyi, bau atau rasa
yang tidak normal seperti pada keadaan normal
8. Individu terdiam tidak bergerak atau bergerak secara automatik, dan
terkadang individu tidak ingat kejadian tersebut setelah episode epileptikus
tersebut lewat
9. Di saat serangan, penyandang epilepsi terkadang juga tidak dapat berbicara
secara tiba- tiba
10. Kedua lengan dan tangannya kejang, serta dapat pula tungkainya
menendang- menendang
11. Gigi geliginya terkancing
12. Hitam bola matanya berputar- putar
13. Terkadang keluar busa dari liang mulut dan diikuti dengan buang air kecil

E. PENATALAKSANAAN MEDIS
Pengobatan epilepsi adalah pengobatan jangka panjang. Penderita akan
diberikan obat antikonvulsan untuk mengatasi kejang sesuai dengan jenis
serangan. Penggunaan obat dalam waktu yang lama biasanya akan
menyebabkan masalah dalam kepatuhan minum obat (compliance) seta
beberapa efek samping yang mungkin timbul seperti pertumbuhan gusi,
mengantuk, hiperaktif, sakit kepala, dll.
Fenitoin (PHT)
Fenitoin dapat mengurangi masuknya Na ke dalam neuron yang
terangsang dan mengurangi amplitudo dan kenaikan maksimal dari aksi
potensial saluran Na peka voltase fenitoin dapat merintangi masuknya Ca
ke dalam neuron pada pelepasan neurotransmitter.
Karbamazepin (CBZ)
Karbamazepin dapat menghambat saluran Na . Karbamazepin dapat
memperpanjang inaktivasi saluran Na .juga menghambat masuknya Ca ke
dalam membran sinaptik.
Fenobarbital (PB)
Fenobarbital adalah obat yang digunakan secara luas sebagai hipnotik,
sedatif dan anastetik. Fenobarbital bekerja memperkuat hambatan
GABAergik dengan cara mengikat ke sisi kompleks saluran reseptor Cl-
pada GABAA. Pada tingkat selular, fenobarbital memperpanjang potensial
penghambat postsinaptik, bukan penambahan amplitudonya. Fenobarbital
menambah waktu buka jalur Cl- dan menambah lamanya letupan saluran
Cl- yang dipacu oleh GABA. Seperti fenitoin dan karbamazepin,
fenobarbital dapat memblokade aksi potensial yang diatur oleh Na .
Fenobarbital mengurangi pelepasan transmitter dari terminal saraf dengan
cara memblokade saluran Ca peka voltase.
Asam valproat (VPA)
VPA menambah aktivitas GABA di otak dengan cara menghambat
GABA-transaminase dan suksinik semialdehide dehidrogenase, enzim
pertama dan kedua pada jalur degradasi, dan aldehide reduktase.
Gabapentin (GBP)
Cara kerja: mengikat pada reseptor spesifik di otak, menghambat
saluran Na peka voltase, dapat menambah pelepasan GABA.
Lamotrigin (LTG)
Cara kerja: Menghambat saluran Na peka voltase.
Topiramate (TPM)
Cara kerja: Menghambat saluran Na , menambah kerja hambat dari
GABA.11
Tiagabine (TGB)
Cara kerja: menghambat kerja GABA dengan cara memblokir uptake-
nya.Selain pemilihan dan penggunaan optimal dari AED, harus diingat
akan efek jangka panjang dari terapi farmakologik. Karbamazepin,
fenobarbital, fenitoin, primidone, dan asam valproat dapat menyebabkan
osteopenia, osteomalasia, dan fraktur. Fenobarbital dan primidone dapat
menyebabkan gangguan jaringan ikat, mis frozen shoulder da kontraktur
Dupuytren. Fenitoin dapat menyebabkan neuropati perifer. Asam valproat
dapat menyebabkan polikistik ovari dan hiperandrogenisme.

PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Pungsi Lumbar
Pungsi lumbar adalah pemeriksaan cairan serebrospinal (cairan yang ada di
otak dan kanal tulang belakang) untuk meneliti kecurigaan meningitis.
Pemeriksaan ini dilakukan setelah
kejang demam pertama pada bayi.
a. Memiliki tanda peradangan selaput otak (contoh : kaku leher)
b. Mengalami complex partial seizure
c. Kunjungan ke dokter dalam 48 jam sebelumnya (sudah sakit dalam 48 jam
sebelumnya)
d. Kejang saat tiba di IGD (instalasi gawat darurat)
e. Keadaan post-ictal (pasca kejang) yang berkelanjutan. Mengantuk hingga
sekitar 1 jam setelah kejang demam adalah normal.
f. Kejang pertama setelah usia 3 tahun
Pada anak dengan usia > 18 bulan, pungsi lumbar dilakukan jika tampak tanda
peradangan selaput otak, atau ada riwayat yang menimbulkan kecurigaan
infeksi sistem saraf pusat. Pada anak dengan kejang demam yang telah
menerima terapi antibiotik sebelumnya, gejala meningitis dapat tertutupi,
karena itu pada kasus seperti itu pungsi lumbar sangat dianjurkan untuk
dilakukan.
2. EEG (electroencephalogram)
EEG adalah pemeriksaan gelombang otak untuk meneliti ketidaknormalan
gelombang. Pemeriksaan ini tidak dianjurkan untuk dilakukan pada kejang
demam yang baru terjadi sekali tanpa adanya defisit (kelainan) neurologis.
Tidak ada penelitian yang menunjukkan bahwa EEG yang dilakukan saat
kejang demam atau segera setelahnya atau sebulan setelahnya dapat
memprediksi akan timbulnya kejang tanpa demam di masa yang akan datang.
Walaupun dapat diperoleh gambaran gelombang yang abnormal setelah kejang
demam, gambaran tersebut tidak bersifat prediktif terhadap risiko berulangnya
kejang demam atau risiko epilepsi.
3. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan seperti pemeriksaan darah rutin, kadar elektrolit, kalsium, fosfor,
magnsium, atau gula darah tidak rutin dilakukan pada kejang demam pertama.
Pemeriksaan laboratorium harus ditujukan untuk mencari sumber demam,
bukan sekedar sebagai pemeriksaan rutin.
4. Neuroimaging
Yang termasuk dalam pemeriksaan neuroimaging antara lain adalah CT-scan
dan MRI kepala. Pemeriksaan ini tidak dianjurkan pada kejang demam yang
baru terjadi untuk pertama kalinya.

F. KOMPLIKASI
1. Kerusakan otak akibat hipeksia dan retardasi mental dapat timbul akibat
kejang yang berulang
2. Dapat timbul depresi dan keadaan cemas ( Elizabeth, 2001 : 174 )




II. Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan Sistem
Persarafan (Gangguan Konduksi) Epilepsi
A. Pengkajian (Riwayat Kesehatan, Pemeriksaan Fisik, Diagnostik Px)
Pengkajian merupakan langkah pertama dari proses keperawatan
dengan mengumpulkan data-data yang akurat dari klien sehingga akan
diketahui berbagai permasalahan yang ada.
Untuk melakukan langkah pertama ini diperlukan pengetahuan dan
kemampuan yang harus dimiliki oleh perawat diantaranya pengetahuan
tentang kebutuhan atau system biopsikososial dan spiritual bagi manusia
yang memandang manusia dari aspek biologis, psikologis, social dan
tinjauan dari aspek spiritual.( Aziz Alimul H, 2004 ).
Pengkajian pada pasien dengan epilepsi antara lain:
1. Anamnesa
Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien dibawa ke rumah
sakit adalah terjadinya kejang berulang dan penurunan tingkat
kesadaran.
2. Riwayat kesehatan
Riwayat kesehatan sekarang : faktor riwayat penyakit saat ini sangat
penting diketahui karena untuk mengetahui pola dari kejang klien.
Tanyakan dengan jelas tentang gejala yang timbul seperti
kapan mulai serangan, stimulus yang menyebabkan respons
kejang, dan seberapa auh aat kejang dengan respons fisik dan
psikologis dari klien.
Tanyakan faktor-faktor yang memungkinkan predisposisi dari
serangan epilepsi, apakah sebelumnya klien pernah mengalami
trauma kepala dan infeksi serta kemana saja klien sudah meminta
pertolongan setelah mengalami keluhan.
Penting juga ditanyakan tentang pemakaian obat sebelunya
seperti pemakaian obat-obatan antikonvulsan, antipiretik dll., dan
riwayat kesehatan masa lalu, riwayat kesehatan keluarga.
3. Riwayat penyakit dahulu
Penyakit yang pernah diderita sebelumnya (apakah mengalami
keadaan yang sama seperti sekarang seperti mengalami kejang
berulang).
4. Riwayat kesehatan keluarga
Apakah ada anggota keluarga yang menderita kejang, penyakit
saraf, dan penyakit lainnya.
5. Pengkajian Psiko-sosio-spiritual
Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien juga
penting untuk menulai respons emosi klien terhadap kondisi
pascakejang.nsetelah mengalami kejang klioen sering mengalami
perubahan konsep diri yang maladaptif. Klien akan lebih banyak
menarik diri, ketakutan akan serangan kejang berulang dan depresi
akan prognosis dari kondisi yang akan datang.
a. Aktivitas dan istirahat
Gejala yaitu keletihan, kelemahan umum, keterbatasan
dalam beraktivitas yang ditimbulkan oleh diri sendiri atau orang
lain. Tanda yaitu perubahan tonus, kekuatan otot, gerakan
involunter, kontraksi otot atau sekumpulan otot.
b. Sirkulasi.
Gejala yaitu iktal : hipertensi (tekanan darah tinggi),
peningkatan nadi, sianosis, tanda-tanda vital normal atau depresi
dengan penurunan nadi dan pernafasan.
c. Integritas ego.
Gejala yaitu stressor eksternal atau internal yang
berhubungan keadaan dan atau penanganan peka rangsang,
perasaan tidak ada harapan dan tidak berdaya, perubahan dalam
berhubungan.Ditandai dengan pelebaran rentang respon
emosional.
d. Eliminasi.
Gejala yaitu inkontinesia, ditandai dengan iktal :
peningkatan tekanan kandung kemih, dan tonus sfingter,
postiktal : otot relaksasi yang mengakibatkan inkontinensia baik
urine maupun fekal.
e. Makanan dan cairan.
Gejalanya yaitu sensitivitas terhadap makanan, mual dan
muntah yang berhubungan dengan aktivitas kejang.Ditandai
dengan kerusakan jaringan lunak dan gigi (cedera selama
kejang).
f. Neurosensori
Gejalanya yaitu riwayat sakit kepala, kejang berulang,
pingsan, pusing dan memliki riwayat trauma kepala, anoksia,
infeksi cerebral, adanya aura (rangsangan
audiovisiual,auditorius, area halusinogenik). Ditandai dengan
kelemahan otot, paralisis, kejang umum, kejang parsial
(kompleks), kejang parsial (sederhana).
g. Nyeri dan kenyamanan
Gejalanya yaitu sakit kepala, nyeri otot, nyeri abnormal
paroksismal selama fase iktal.Ditandai dengan sikap atau
tingkah laku yang hati-hati, distraksi, perubahan tonus otot.
h. Pernafasan.
Gejalanya yaitu fase iktal : gigi mengatup, sianosis,
pernafasan cepat dan dangkal, peningkatan sekresi mucus, fase
postiktal apnea.
i. Keamanan
Gejalanya yaitu riwayat terjatuh, fraktur, adanya
alergi.Ditandai dengan trauma pada jaringan lunak, ekimosis,
penurunan kesadaran, kekuatan tonus otot secara menyeluruh.
j. Interaksi sosial
Gejalanya yaitu terdapat masalah dalam hubungan
interpersonal dalam keluarga atau lingkungan sosialnya
melakukan pembatasan, penghindaran terhadap kontak sosial.
k. Penyuluhan dan pembelajaran.
Gejalanya yaitu adanya riwayat epilepsi pada keluarga,
penggunaan obat maupun ketergantungan obat termasuk
alkohol.
6. Pemeriksaan fisik
Pada pengkaian fisik secara umum sering didapatkan pada
awal pascakejang klien mengalami konfusi dan sulit untuk bangun.
Pada kondisi yang lebih berat sering dijumpai adanya penuruna
kesadaran.
Pengkajian untuk peristiwa kejang perlu dikaji tentang:
Bagaimana kejang sering terjadi pada klien, tipe pergerakan atau
aktifitas, berapa lama kejang berlangsung, diskripsi aura yang
menimbulkan peristiwa, status poskial, lamanya waktu klien untuk
kembali kejang, adanya inkontinen selama kejang.
Selain itu juga dilakukan pemeriksaan 6B, yaitu:
a. B1 (Breathing)
Inspeksi apakah klien batuk, produksi sputum, sesak napas dan
peningkatan frekuensi pernapasan yang sering didapatkan pada
klien epilepsi disertai adanya gangguan pada sistem pernapasan.
b. B2 (Blood)
Pengkajian pad asitem kardiovaskuler terutama dilakukan pada
klien epilepsi tahap lanjut apabila klien sudah mengalami syok.
c. B3 (Brain)
Peningkatan B3 (Brain) merupakan pemeriksaan fokus dan
lebih lengkap dibandingkan pengkaian pada sistem lainnya.
Tingkat kesadaran: Tingkat kesadaran klien dan respons
terhadap lingkungan adalah indikator paling sensitif untuk
disfungsi sistem persarafan.
Fungsi serebral, Status mental: observasi penampilan dan
tingkah laku klien, nilai gaya bicara dan observasi ekspresi wajah,
aktifitas motorik pada klien epilepsi tahap lanjut biasanya
mengalami perubahan status mental seperti adanya gangguan
perilaku, alam perasaan, dan persepsi.
d. B4 (Bladder)
Pemeriksaan pada sitem kemih biasanya didapatkan
berkurangnya volume output urine, hal ini berhubungan dengan
penurunan perfusi dan penurunan curah jantung keginjal.
e. B5 (Bowel)
Mual sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan
produksi asam lambung. Pemenuhan nutrisi pada klien epilepsi
menurun karena anoreksia dan adanya kejang.
f. B6 (Bone)
Pada fase akut setelah kejang sering didapatkan adanya
penurunan kekuatan otot dan kelemahan fisik secara umum
sehingga mengganggu aktifitas perawatan diri.

B. Diagnosa
Diagnosa keperawatan adalah suatu pernyataan yang menjelaskan
respons manusia (status kesehatan atau resiko perubahan pola) dari
individu atau kelompok dimana perawat secara akuntabilitas dapat
mengidentifikasi dan memberikan intervensi secara pasti untuk menjaga
status keehatan menurunkan, membatasi, mencegah dan
merubah.(Nursalam, 2001).
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada klien dengan
epilepsi menurut Widagdo, wahyu. 2008, Arif, Muttaqin. 2011, Fransisca
B. Batticaca. 2012 adalah:
1. Nyeri akut b.d nyeri kepala sekunder respons pascakejang
(Postikal).
2. Resiko cedera b.d kejang berulang, ketidaktahuan tentang epilepsi
dan cara penanganan saat kejang serta penurunan tingkat
kesadaran.
3. Kecemasan b.d kejang berulang, penyakit yang diderita.
4. Koping individu tidak efektif b.d depresi akibat epilepsi, stigma
sosial yang berkaitan dengan epilepsi, penyakit yang kronis.
5. Kurang pengetahuan b.d baru pertama didiagnosa, seringnya
aktifitas kejang, status perkembangan dan usia.
6. Defisit perawatan diri b.d kebingungan, malas bangun sekunder
respons pascakejang (postikal).

C. Perencanaan
Perencanaan merupakan suatu proses penyusunan berbagai intervensi
keperawatan yang dibutuhkan untuk mencegah, menurunkan atau
mengurangi masalah-masalah klien. ( Aziz Alimul, 2004).
Intervensi pada epilepsi adalah:
No.
Dx
Tujuan Intervensi Rasional
1. Setelah dilakukan
tindakan keperawatan
keluhan nyeri
berkurang dengan
kriteria hasil:
- Klien dapat tidur
dengan tenang.
- Wajah klien
tampak rileks.
- Klien
memverbalisasikan
penurunan rasa sakit.
11. Berikan lingkungan
yang aman dan
tenang.



22. Lakukan manajemen
nyeri dengan metode
distraksi dan relaksasi
nafas dalam.
33. Lakukan latihan
gerak aktif atau pasif
sesuai kondisi dengan
lembut dan hati-hati.

44. Kolaborasi
pemberian analgesik.
11. Menurunkan reaksi
terhadap rangsangan
eksternal atau sensitivitas
terhadap cahaya dan
menganjurkan klien untuk
beristirahat.
22. Membantu menurunkan
(memutuskan) stimulasi
sensasi nyeri.

33. Dapat membantu
relaksasi otot-otot yang
tegang dan dapat
menurunkan rasa sakit
atau tidak nyaman.
44. Diperlukan untuk
menurunkan rasa sakit.
2. Setelah dilakukan
tindakan keperawatan
klien bebas dari
1. 1. Kaji tingkat
pegetahuan klien dan
keluarga cara
1. 1. Data dasar untuk
intervensi selanjutnya.

cedera yang
disebabkan oleh
kejang dan penurunan
kesadran dengan
kriteria:
- Klien dan keluarga
mengetahui cara
mengontrol kejang.
- Menghindari
stimulus kejang.
- Melakukan
pengobatan teratur
untuk menurunkan
intensitas kejang.
penanganan kejan
2. 2. Anjurkan keluarga
agar mempersiapkan
lingkungan yang aman
seperti memasang
batasan ranjang atau
paan pengaman dan
alat suction untuk
selalu berada dekat
klien.
. 3. Anjurkan untuk
mempertahankan tirah
baring total selama
fase akut.
4. 4. Kolaborasi
pemberian terapi,
fenytoin
(dilantin).

2. 2. Melindungi klien apabila
kejang terjadi.







3. 3. Mengurangi risiko jatuh
atau terluka jika vertigo,
sinkope, dan ataksia
terjadi.
4. 4. Terapi medikasi untuk
menurunkan respons
kejang berulang.
3. Setelah dilakukan
tindakan keperawatan
ketakutan klien hilang
atau berkurang dengan
kriteria hasil:
- Klien dapat
mengenal perasaannya
- Klien dapat
mengidentifikasi
penyebab atau faktor
yang mempengaruhi
kecemasan atau
ketakutan yang
dialaminya.
1. 1. Bantu klien
mengekspresikan rasa
takut.

. 2. Lakukan kerja
sama dengan keluarga.
3. 3. Hindari konflik
dengan pasien dan
jalin trust dengan
baik.


4. Ajarkan kontrol
kejang.
1. 1. Ketakutan yang
berkelanjutan memberikan
dampak psikologis yang
tidak baik.
2. 2. Kerja sama klien dan
keluarga sangat penting
3. 3. Konflik dapat
meningkatkan rasa marah,
menurunkan kerja sama
dan mungkin
memperlambat
penyembuhan.
4. 4. Kontrol kejang
bergantung pada aspek








5. 5. Beri lingkungan
yang tenang dan
suasana untuk
istirahat.
6. 6. Kurangi stimulus
ketegangan.
7. Berikan penjelasan
tentang keadaan
klien/penyakit yang
diderita klien.
8. 8. Orientasikan klien
terhadap prosedur
rutin dan aktifitas
yang diharapkan.
pemahaman dan kerja
sama klien. Klien
dianjurkan untuk
mengikuti gaya hidup rutin
reguler dan sedang, diet
(menghindari stimulan
yang berlebuhan), latihan
dan istirahat tidur.
5. Aktivitas sedang adalah
terapi yang baik karena
penggunaan energi yang
berlebihan dapat dihindari.
6. Mengurangi rangsangan
eksternal yang tidak perlu.
6. 7. Keadaan tegang
(ansietas, frustasi)
mengakibatkan kejang
pada beberapa klien.
7. 8. Memberikan respons
balik yang
positif.Orientasi dapat
menurunkan kecemasan.


D. Pelaksanaan
Merupakan komponen dari proses keperawatan (Potter & Perry,
2005) adalah kategori dari perilaku keperawatan di mana tindakan yang di
perlukan untuk mencapai tujuan dan hasil yang di perkirakan dari asuhan
keperawatan di lakukan dan di selesaikan. Sudut pandang teori,
implementasi dari rencana asuhan keperawatan mengikuti komponen
perencanaan dari proses keperawatan. Namun demikian, di banyak
lingkungan perawatan kesehatan, implementasi mungkin dimulai secara
langsung setelah pengkajian.Sebagai contoh, implementasi segera
diperlukan ketika perawat mengidentifikasi kebutuhan klien yang
mendesak, dalam situasi seperti henti jantung, kematian mendadak dari
orang yang dicintai, atau kehilangan rumah akibat kebakaran.

E. Evaluasi
Evaluasi merupakan proses keperawatan mengukur respon klien
terhadap tindakan keperawatan dan kemajuan klien kearah pencapaian
tujuan (Potter & Perry, 2005). Evaluasi terjadi kapan saja perawat
berhubungan dengan klien. Perawat mengevaluasi apakah perilaku atau
respon klien mencerminkan suatu kemunduran atau kemajuan dalam
diagnose keperawatan atau pemeliharaan status yang sehat. Selama
evaluasi, perawat memutuskan apakah langkah proses keperawatan
sebelumnya telah efektif dengan menelaah respon klien dan
membandingkannya dengan perilaku yang disebutkan dalam hasil yang
diharapkan.

You might also like