You are on page 1of 23

KAJIANSTRATEGIPENGEMBANGANKAWASAN

DALAMRANGKAMENDUKUNGAKSELERASI
PENINGKATANDAYASAINGDAERAH
_____________________________________________________________________

Abstrak

Kajian ini bertujuan untuk mengidentifikasikan profil beberapa jenis industri dengan
menggunakan pendekatan klaster, antara lain industri rotan di Kabupaten Cirebon, industri
logam di Kabupaten Tegal, dan industri batik di Kota Pekalongan. Ketiga industri ini dipilih
karena merupakan sektor unggulan di daerahnya masing-masing dan merupakan industri
skala kecil yang banyak menyerap tenaga kerja lokal. Selain itu kajian ini
mengidentifikasikan pula kekuatan, kendala, peluang, dan ancaman yang terjadi di tiap
industri sebagai dasar penyusunan kebijakan, strategi, dan rencana tindak pengembangan
kawasan dalam rangka peningkatan daya saing.
Data-data yang digunakan meliputi data primer dan sekunder. Data primer
dikumpulkan melalui forum diskusi stakeholder, kuesioner, dan wawancara dengan pelaku-
pelaku terkait, yaitu pemerintah pusat dan daerah, lembaga pendidikan dan pelatihan,
lembaga keuangan, lembaga penelitian dan pengembangan, lembaga bantuan
pengembangan bisnis (BDS), asosiasi usaha, serta unit-unit usaha yang ada termasuk tenaga
kerja yang bekerja di dalamnya. Observasi langsung ke unit usaha juga dilakukan untuk
mengetahui proses produksi dan kondisi usaha tersebut, terutama dalam menjaring informasi
mengenai kendala yang dihadapi. Sedangkan data sekunder yang digunakan adalah
dokumen-dokumen kebijakan di tigkatpusat dan daerah, data statistik daerah, dan literatur-
literatur yang relevan.
Analisis dilakukan dengan menggunakan pendekatan faktor-faktor penentu
terbentuknya klaster dinamis menurut Rosenfeld (1997) yang meliputi (i) spesialisasi, (ii)
kapasitas penelitian dan pengembangan, (iii) pengetahuan dan keterampilan, (iv)
pengembangan sumber daya manusia, (v) jaringan kerjasama dan modal sosial, (vi) jiwa
kewirausahaan, serta (vii) kepemimpinan dan visi bersama. Dilakukan pula pembahasan
mengenai kondisi eksternal untuk menjelaskan mengenai kondisi pasar dan kompetitor, serta
iklim usaha yang mempengaruhi kinerja klaster. Analisis dilakukan dengan metode kualitatif
dan dibahas secara deskriptif.
Berdasarkan hasil analisis, secara umum ketiga industri di wilayah studi kasus
memiliki potensi yang cukup baik untuk dikembangkan sebagai klaster. Hal ini terutama
didukung oleh tingginya iklim kewirausahaan serta keberadaan sumberdaya lokal yang
melimpah, terutama SDM dengan keahlian tradisional yang dilestarikan secara turun-
temuurn dalam masyarakat. Industri logam di Kabupaten Tegal berpotensi untuk
dikembangkan sebagai klaster yang berspesialisasi kepada produksi produk komponen dan
suku cadang. Industri mebel di Kabupaten Cirebon dapat dikembangkan sebagai klaster
mebel yang berspesialisasi kepada produksi mebel rotan bergaya Eropa. Sedangkan industri
batik di Kota Pekalongan dapat dikembangkan menjadi klaster batik bergaya tradisional
maupun modern. Meski demikian, masih terdapat beberapa permasalahan umum untuk
mengembangkan ketiga industri tersebut sebagai klaster yang berdaya saing, seperti belum
adanya visi bersama dari seluruh pihak yang terkait, belum adanya jaminan ketersediaan
bahan baku, rendahnya tingkat teknologi yang digunakan, rendahnya keterampilan dan
manajemen usaha, belum optimalnya peranan lembaga pendukung baik riset, pendidikan,
maupun perbankan, belum optimalnya kerjasama dengan industri lain, rendahnya modal
sosial di dalam industri, serta belum adanya iklim usaha yang baik.
1
Untuk memecahkan permasalahan tersebut, dirumuskan 14 kebijakan pengembangan
klaster berdasarkan 4 kondisi penentu klaster dinamis yang diuraikan oleh Porter (1997),
yaitu kondisi pasar/permintaan; faktor produksi; strategi, struktur, dan persaingan, serta
institusi pendukung dan industri terkait. Kebijakan yang direkomendasikan adalah : (1)
perluasan akses pasar UKM, (2) peningkatan kualitas produk, (3) peningkatan keterampilan
dan pengetahuan tenaga kerja, (4) Peningkatan teknologi produksi, (5) Peningkatan
ketersediaan modal, (6) menjamin ketersediaan bahan baku, (7) Penyediaan prasarana dan
sarana, (8) Peningkatan kerjasama dan jaringan antar usaha. (9) penciptaan iklim kompetisi
antar usaha yang sehat, (10) mendorong kepemimpinan dalam klaster, (11) meningkatkan
peranan institusi pendukung, (12) meningkatan keterkaitan antara usaha dengan industri
hulu dan hilir, (13) menciptakan iklim usaha yang kondusif, dan (14) menciptakan
kelembagaan pemerintah yang proaktif, efektif dan efisien.

1. Latar Belakang
Adanya globalisasi dan otonomi daerah membawa sebuah konsekuensi logis bahwa
tingkat persaingan semakin tajam, baik di tingkat regional, nasional, dan internasional. Setiap
daerah dituntut untuk lebih meningkatkan potensi-potensi yang dimilikinya dalam rangka
peningkatan perekonomian dan daya saing daerah tersebut. Saat ini, strategi klaster menjadi
salah satu alternatif untuk pengembangan daya saing daerah. Pengalaman di beberapa negara
membuktikan bahwa klaster dinilai cukup efektif karena bersifat lokalitas, mampu
mendorong terciptanya inovasi, serta sinergitas diantara pelaku-pelaku terkait. Berdasarkan
hal tersebut, perlu dilakukan kajian mengenai strategi pengembangan kawasan berbasis
klaster guna mendukung akselerasi peningkatan daya saing daerah.
Kajian ini mengambil studi kasus di tiga daerah dengan fokus pengembangan
industri-industri yang menjadi unggulan di daerah tersebut. Industri yang menjadi studi kasus
adalah industri rotan di Kabupaten Cirebon, industri logam di Kabupaten Tegal, dan industri
batik di Kota Pekalongan. Adapun pemilihan industri didasarkan atas beberapa pertimbangan,
yaitu merupakan industri unggulan di daerah masing-masing dan merupakan industri yang
sebagian besar usahanya merupakan skala kecil yang banyak menyerap tenaga kerja lokal. Di
Kabupaten Cirebon, 87,92 persen usaha mebel dan rotan merupakan usaha kecil. Sedangkan
di Kabupaten Tegal dan Kota Pekalongan hampir seluruh usaha perlogaman dan perbatikan
(lebih dari 90 persen) merupakan usaha skala kecil.

2. Tujuan dan Sasaran
Adapun tujuan dilakukan kajian ini adalah mengidentifikasi profil dan karakter
industri studi kasus di tiga daerah yaitu Kabupaten Tegal, Kaupaten Cirebon, dan Kota
Pekalongan. Selain profil dan karakteristik industri diidentifikasi juga potensi kekuatan,
kendala, peluang, dan ancaman yang dimiliki sebagai bahan untuk menyusun strategi umum
dan rencana tindak pengembangan kawasan. Sedangkan sasaran dari kajian ini adalah
tersebarluaskannya kebijakan dan strategi pengembangan kawasan berbasis klaster kepada
pihak-pihak terkait.

3. Metodologi
3.1. Kerangka Analisis
3.1.1. Pembangunan Ekonomi Nasional dan Daerah
Pada dasarnya pembangunan ekonomi daerah dalam beberapa hal berbeda dengan
pengembangan ekonomi nasional, yaitu (Meyer-Stamer, 2003) : (i) terdapat sejumlah
instrumen yang digunakan untuk pembangunan ekonomi, berada di luar jangkauan inisiatif
lokal, (ii) pembangunan ekonomi nasional dirumuskan dan dilaksanakan oleh pemerintah;
sebaliknya, pada pembangunan ekonomi daerah yang paling ekstrim, didesain dan dan
2
dilaksanakan oleh pelaku swasta tanpa partisipasi dari pemerintah, serta (iii) program
pembangunan ekonomi nasional mencakup pengertian yang jelas mengenai pembagian tugas
antara badan legislatif dan eksekutif dari pemerintah; sebaliknya inisiatif pembangunan
daerah biasanya mencakup definisi-definis peran yang samar. Menurut Lincoln Arsyad
(1999:122), tujuan pembangunan ekonomi daerah menciptakan lapangan pekerjaan,
mencapai stabilitas ekonomi daerah, serta mengembangkan basis ekonomi daerah yang
beragam. Lebih lanjut, Arsyad menjelaskan bahwa untuk mencapai tujuan pembangunan
daerah tersebut, maka strategi yang perlu dilakukan adalah pengembangan fisik/lokalitas,
pengembangan dunia usaha, pengembangan SDM, dan pengembangan masyarakat.

3.1.2. Definisi Daya Saing
Daya saing dapat dibedakan dalam berbagai tingkatan. Daya saing nasinal mengacu
kepada kemampuan suatu negara untuk memasarkan produk yang dihasilkan negara itu relatif
terhadap kemampuan negara lain. Sedangkan daya saing daerah mempunyai arti yang sama
dengan daya saing nasional, namun pada skala daerah. Suatu daerah yang mampu bersaing
dengan daerah lain dalam memproduksi dan memasarkan barang dan jasanya disebut
mempunyai daya saing tinggi. Adapula daya saing perusahaan, yaitu kemampuan suatu
perusahaan untuk menghasilkan suatu produk yang diminati konsumen relatif terhadap
perusahaan lain. Bedanya diantara ketiga daya saing tersebut, daya saing nasional ditentukan
oleh daya saing di daerah-daerah yang ada di negara tersebut, daya saing daerah ditentukan
oleh daya saing perusahaan-perusahaan yang ada di daerah tersebut, sedangkan daya saing
perusahaan ditentukan oleh tingkat produktivitas perusahaan itu.
Ada dua alasan mengapa daya saing daerah itu penting. Pertama, untuk menyadarkan
bahwa keunggulan kompetitif suatu perusahaan tidak sepenuhnya tergantung pada masing-
masing internal. Kedua, ada dua tipe keunggulan kompetitif yang harus dikenali, yaitu
keunggulan kompetitif statis dan keunggulan kompetitif dinamis.


3.1.3. Definisi Klaster
Klaster adalah konsentrasi geografis berbagai kegiatan di kawasan tertentu yang satu
sama lain saling melengkapi, saling bergantung, dan saling bersaing dalam melakukan
aktivitas bisnis. Perusahaan atau industri yang terdapat dalam klaster memiliki persamaan
kebutuhan akan tenaga kerja, teknologi, dan infrastruktur. Sedangkan klaster industri adalah
klaster yang dikembangkan berbasis industri. Pengertian industri di sini adalah industri dalam
pengertian luas, seperti industri berbasis pertanian, industri kerajinan, industri pengolahan,
industri teknologi dan informasi, dan lain-lain.
Klaster industri bersifat dinamis yang dapat berubah seiring perubahan industri-
industri yang ada di dalamnya atau karena perubahan kondisi eksternal. Dalam
perkembangannya, suatu klaster harus terdapat kerjasama dan peran dari pemerintah, LSM,
lembaga pendidikan dan pelatihan, lembaga riset dan pengembangan, lembaga keuangan,
serta asosiasi usaha.

3.1.4. Pendekatan Klaster dalam Peningkatan Daya Saing Daerah
Peningkatan daya saing pada intinya adalah pengembangan klaster secara terencana.
Berdasarkan pengalaman di berbagai negara, pendekatan klaster secara signifikan mampu
meningkatkan ekonomi daerah. Klaster dapat berfungsi sebagai inkubator inovasi, karena
klaster mengandung unsur-unsur yang dapat mewujudkan suatu ide dan gagasan menjadi
sebuah produk baru. Pengembangan klaster menawarkan cara yang lebih efektif dan efisien
dalam membangun ekonomi daerah secara lebih mantap, dan mempercepat pembangunan
3
ekonomi nasional secara keseluruhan. Klaster industri meningkatkan hubungan antar
berbagai industri dan lembaga yang terlibat di dalam klaster tersebut.
Menurut Rosenfeld (1997), keberhasilan suatu klaster ditentukan oleh beberapa
faktor, yaitu (1) spesialisasi, (2) kapasitas penelitian dan pengembangan, (3) pengetahuan dan
keterampilan, (4) pengembangan sumber daya manusia, (5) jaringan kerjasama dan modal
sosial, (6) kedekatan dengan pemasok, (7) ketersediaan modal, (8) jiwa kewirausahaan, serta
(9) kepemimpinan dan visi bersama. Mengutip dari penelitian yang dilakukan oleh Michael
Porter, terdapat faktor-faktor yang memicu inovasi dan perkembangan klaster yang kemudian
dikenal dengan Diamond Porter, yaitu : (i) Faktor kondisi yang terdiri dari tenaga kerja
yang terspesialisasi, infrastruktur, bahan baku, dan modal; (ii) Permintaan yang meliputi
karakteristik, segmen, ukuran, dan jumlah permintaan; (iii) Industri pendukung dan terkait
yang meliputi industri pemasok dan komplementer; serta (iv) Struktur, strategi, dan
persaingan perusahaan. Selain itu, Porter juga menambahkan pemerintah yang juga berperan
penting dalam pengambangan klaster.

3.1.5. Studi yang Pernah Dilakukan
Kajian tentang daya saing daerah di Indonesia dilakukan secara komprehensif oleh
Abdullah, etal (2002) pada Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan, Bank Indonesia.
Studi ini menentukan 9 kelompok indikator daya saing daerah, yaitu perekonomian daerah,
keterbukaan, sistem keuangan, infrastruktur dan sumber daya alam, ilmu pengetahuan dan
teknologi, sumber daya manusia, kelembagaan, kepemerintahan, dan terakhir manajemen dan
ekonomi mikro. Pengamatan daya saing secara lebih mikro dilakukan oleh Direktorat
Kawasan Khusus dan Tertinggal di tahun 2003 mengenai model pengelolaan dan
pengembangan keterkaitan dalam pengembangan ekonomi daerah berbasis kawasan andalan.
Kajian ini mencoba melihat keterkaitan program-program yang dilakukan oleh berbagai
sektor, mulai dari sektor pertanian secara luas hingga pariwisata. Contoh kasus di beberapa
daerah yang telah berjalan menghasilkan model-model pengembangan ekonomi daerah
berbasis pengembangan kawasan dan pendekatan klaster menjadi salah satu acuan dalam
menyusun strategi pengembangan kawasan. Kajian lain mengenai klaster juga dilakukan oleh
Kuncoro dan Sumarno (2003) yang meneliti mengenai klaster industri rokok kretek dengan
mengambil sejumlah klaster kecil industri rokok kretek sebagai sampel. Begitu pula dengan
J ICA yang telah melakukan penelitian secara mendalam pada 3 klaster industri sejak tahun
2001, yaitu industri komponen mesin di Sidoarjo, industri mebel kayu di Klaten, dan industri
genteng di Kebumen.
Kajian ini iharapkan dapat melengkapi khazanah literatur pengembangan klaster di
Indonesia mengenai studi kasus pengembangan klaster industri di beberapa daerah disamping
referensi-referensi lain yang telah ada.


3.2. Metode Pelaksanaan Kajian
Kajian ini dilaksanakan pada tanggal 18-27 agustus 2004 di tiga daerah yaitu
Kabupaten Tegal, Kabupaten Cirebon, dan Kota Pekalongan. Data-data yang digunakan
dalam kajian ini adalah data primer dan sekunder. Data primer dikumpulkan melalui focus
group discussion (FGD), kuesioner, dan wawancara semi terstruktur dengan responden kunci
di setiap pelaku industri, yaitu pemerintah daerah, unit usaha, asosiasi usaha, serta lembaga-
lembaga pendukung (lembaga pendidikan dan pelatihan, lembaga keuangan, lembaga
penelitian dan pengembangan, serta lembaga bantuan pengembangan bisnis). Observasi
langsung ke unit usaha juga perlu dilakukan untuk mengetahui proses produksi dan kondisi
usaha tersebut, terutama dalam menjaring informasi mengenai kendala yang dihadapi. Data
sekunder yang digunakan antara lain dokumen-dokumen kebijakan, data statistik BPS,
4
literatur-literatur penelitian, serta berbagai artikel dari surat kabar dan internet yang relevan
sebagai bahan referensi. Data-data kemudian dianalisis secara kualitatif dengan membahas
kondisi internal dan kondisi eksternal industri studi kasus. Pembahasan internal dilakukan
untuk menjelaskan sejauh mana faktor-faktor penentu kekuatan klaster bekerja di dalam
industri studi kasus. Faktor-faktor tersebut meliputi : (i) spesialisasi, (ii) kapasitas penelitian
dan pengembangan, (iii) pengetahuan dan keterampilan, (iv) pengembangan sumber daya
manusia, (v) jaringan kerjasama dan modal sosial, (vi) jiwa kewirausahaan, serta (vii)
kepemimpinan dan visi bersama. Sedangkan pembahasan mengenai kondisi eksternal
menjelaskan mengenai kondisi pasar dan kompetitor, serta iklim usaha yang mempengaruhi
kinerja klaster.


3.3. Data dan Responden
Data-data yang diperlukan dan jumlah responden telah direncanakan terlebih dahulu
sebelum penelitian lapangan dilaksanakan (Tabel 1 dan Tabel 2).

Tabel 1. Data yang Diperlukan
No Data yang Diperlukan Sifat Data Instansi
1 Kebijakan penataan ruang
Kebijakan perencanaan dan pengembangan ekonomi wilayah
Prioritas pengembangan ekonomi wilayah
Kendala-kendala yang dihadapi dalam pengembangan klaster

Primer dan
Sekunder
Badan
Perencanaan
Pembangunan
Daerah
2 Profil daerah (sosial, ekonomi, pemerintahan, dsb)
Profil industri (jumlah, skala industri, ekspor-impor, dsb)

Sekunder
Badan Pusat
Statistik
3 Data industri (jumlah, skala, ekspor-impor, dsb)
Kebijakan dan program investasi usaha
Kebijakan dan program perijinan usaha
Kebijakan dan program ekspor dan impor
Kebijakan dan program perlindungan produk usaha
Kebijakan dan program pajak dan retribusi
Kendala-kendala yang dihadapi dalam pengembangan klaster


Primer dan
Sekunder


Dinas
Perindustrian dan
Perdagangan
4 J umlah UKM
Kebijakan dan program permodalan usaha
Kebijakan dan program pemberdayaan koperasi usaha
Kendala-kendala yang dihadapi dalam pengembangan klaster

Primer dan
Sekunder
Dinas Koperasi
dan Usaha Kecil
dan Menengah
5 J umlah pekerja yang terkait dengan usaha
Kebijakan dan program pengembangan SDM usaha
Kebijakan kesejahteraan pekerja (UMR, jaminan sosial, dll)
Kendala yang dihadapi dalam pengembangan klaster
Primer dan
Sekunder
Dinas Tenaga
Kerja
6 Kebijakan pajak dan retribusi usaha
Kebijakan prosedur perijinan usaha
Kendala-kendala yang dihadapi dalam pengembangan klaster
Primer dan
Sekunder
Dinas
Pendapatan
Daerah
7 J umlah pengusaha dalam asosiasi
Peran asosiasi terhadap pengembangan usaha anggota
Program dan kegiatan asosiasi
Kendala-kendala yang dihadapi dalam pengembangan klaster
Primer dan
Sekunder
Asosiasi
Pengusaha
8 Profil perusahaan (jenis produk, lokasi, jumlah tenaga kerja,
volume produksi)
Data input perusahaan (bahan baku, tenaga kerja,
modal/keuangan, sarana produksi, teknologi informasi)
Data penjualan dan pemasaran
Kegiatan kerjasama, kemitraan, dan jaringan
Kendala-kendala yang dihadapi dalam pengembangan klaster
Primer dan
Sekunder
Perusahaan/UKM
9 Profil koperasi Primer dan Koperasi Usaha
5
No Data yang Diperlukan Sifat Data Instansi
J umlah anggota
Peran koperasi dalam pengembangan usaha
Program dan kegiatan koperasi
Kendala-kendala yang dihadapi dalam pengembangan klaster
Sekunder
10 Profil lembaga keuangan
Kebijakan pemberian layanan kepada usaha
Kendala-kendala yang dihadapi dalam pengembangan klaster
Primer dan
Sekunder
Lembaga
Keuangan
11 Profil lembaga R&D
Profil peliti
Bentuk kegiatan penelitian dan pengembangan
Kendala-kendala yang dihadapi dalam pengembangan klaster
Primer dan
Sekunder
Lembaga R&D
12 Profil lembaga pendidikan
Profil pendidik, pelatih, dan penyuluh
Bentuk kegiatan pendidikan
Kendala-kendala yang dihadapi dalam pengembangan klaster
Primer dan
Sekunder
Lembaga
Pendidikan


Tabel 2. Jumlah Responden yang Diwawancarai
Objek Penelitian Jumlah Responden
Cirebon Tegal Pekalongan
Pemerintah Daerah
10 10 10
Pemilik Usaha 15 15 15
Asosiasi Usaha 1 1 1
Lembaga Pendukung 5 5 5


4. Hasil Kajian dan Analisis
Analisis kondisi internal dan eksternal dilakukan terhadap setiap industri studi kasus,
yaitu industri rotan di Kabupaten Cirebon, industri logam di Kabupaten Tegal, dan industri
batik di Kota Pekalongan. Analisis dilaukan berdasarkan sudut pandang klaster. Hasil analisis
menunjukkan bahwa banyak kendala yang dihadapi dalam mengembangkan klaster yang
berdaya saing

4.1. Industri Rotan di Kabupaten Cirebon
4.1.1. Kondisi Internal
A. Spesialisasi
Industri rotan di Kabupaten Cirebon telah memiliki spesialisasi dalam industri
kerajinan dan mebel rotan. Namun dari sisi produk, industri ini belum memiliki satu jenis
produk khusus karena kondisi permintaan yang beragam. Namun jika ditinjau prospeknya ke
depan, industri ini mempunyai kecenderungan akan spesialisasi terhadap produk mebel
bergaya Eropa. Hal ini disebabkan karena minat negara-negara di Eropa yang besar terhadap[
produk mebel di cirebon sehingga jenis mebel ini cukupbanyak diproduksi oleh pengusaha.

B. Kapasitas R&D dan Inovasi
Industri rotan di Kabupaten Cirebon masih sangat terbatas dalam melakukan kegiatan
riset dan pengembangan dalam rangka penciptaan temuan-temuan baru Dalam rangka
pengembangan desain produk, sejak tahun 2002, terdapat institusi yang membantu desain
produk, yaitu DDO, atas prakarsa J ICA bekerjasama dengan Pusat Desain Nasional dan
Matsusitha Gobel. Sedangkan untuk pengembangan teknologi dan permesinan, belum ada
satu institusi pun yang membantu. Tanpa adanya inovasi, industri rotan di Kabupaten Cirebon
menjadi sulit berkembang menjadi suatu klaster yang berhasil dan berdaya saing.

6
C. Tingkat Pengetahuan dan Keterampilan
Tenaga kerja yang ada telah memiliki keahlian yang tinggi dalam bidang produksi
namun terbatas dalam pengetahuan manajemen usaha dan pemasaran produk. Salah satu
penyebabnya adalah terbatasnya sumber-sumber pengetahuan dan keterampilan.
Keterampilan produksi diperoleh masyaraat secara turun-temurun, sedangkahn kterampilan di
dibidang lain masih perlu dikembangkan lebih jauh lagi. Saat ini hanya ada satu insitusi
pendidikan dan pelatihan, yaitu DDO, yang memberikan bantuan dalam desain produk,
sedangkan pendidikan dan pelatihan di bidang lain masih terbatas diberikan oleh pemerintah
daerah setempat. Hal ini pada umumnya terjadi pada usaha skala kecil dan menengah.
Namun bagi usaha skala besar, kebutuhan SDM yang berkualitas telah dapat dipenuhi
melalui perekrutan dari daerah bahkan negara lain terutama untuk posisi manajerial dan
teknisi permesinan. Selain itu kegiatan pendidikan dan pelatihan secara internal telah
dilakukan.

D. Pengembangan Sumber Daya Manusia
Industri rotan di Kabupaten Cirebon masih terbatas dalam mengembangkan kapasitas
SDM lokal. Industri skala kecil dan menengah memiliki manajemen usaha yang masih
sederhana dan belum menawarkan spesifikasi pekerjaan yang beragam dan juga upah yang
baik. Cukup bermodalkan keahlian dalam membuat rangka rotan dan menganyam, seseorang
dapat masuk ke industi tersebut, sehingga tidak mendorong masyarakat sekitar untuk
mengembangkan diri. Sebaliknya pada industri menengah dan besar yang telah memiliki
manajemen perusahaan yang lebih baik, telah menawarkan beragam tingkat pekerjaan dengan
spesifikasi tinggi. Dengan struktur industri rotan yang sebagian besar (87,92%) adalah
industri skala kecil, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa kondisi industri rotan di
Kabupaten Cirebon belum mampu mengembangan sumber daya manusia lokal yang ada.


E. Jaringan Kerjasama dan Modal Sosial
Kerjasama antara industri rotan di Kabupaten Cirebon terjadi dalam pola subkontrak
industrial, yaitu industri skala kecil dan menengah menghasilkan mebel setengah jadi untuk
kemudian dilakukan finishing pada industri dengan skala yang lebih besar. Terjadi persaingan
yang kurang sehat antar industri skala kecil, yaitu persaingan harga, dalam mendapatkan
pesanan dari industri besar.
Kerjasama antar industri rotan juga telah dilakukan dalam asosiasi usaha, yaitu
Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia (ASMINDO). Namun pengusaha skala
kecil masih sangat terbatas dalam menjadi anggota di asosiasi tersebut, sehingga perannya
belum dirasakan dalam mengembangkan industri kecil.
Kerjasama antara industri rotan dengan industri hulu dinilai cukup baik. Hal ini bisa
dilihat dari kerjasama yang dilakukan oleh pemerintah daerah penghasil rotan. Sebaliknya
kerjasama dengan industri pemasaran belum dirasakan maksimal. Trading house ataupun
outlet penjualan di sekitar Kabupaten Cirebon masih terbatas.
Kerjasama antara industri rotan dengan lembaga pendukung telah dilakukan pula
dalam hal kegiatan pendidikan dan pelatihan tenaga kerja, yaitu dengan DDO dan
pemerintah. Kerjasama juga terjadi dalam memperoleh modal usaha. Namun lembaga
perbankan yang ada masih sulit diakses oleh industri skala kecil, sehingga untuk industri
skala ini koperasi, dalam hal ini Koperasi Rukun Warga, lebih berperan membantu.
Pemerintah daerah dinilai berperan cukup baik dalam mengembangkan industri rotan
di Kabupaten Cirebon. Pemerintah, dalam hal ini adalah dinas terkait, telah memberikan
pemenuhan bahan baku rotan, pendidikan dan pelatihan tenaga kerja, dan pemasaran produk
kepada industri rotan.
7
F. Semangat Kewirausahaan
Industri mebel rotan di Kabupaten Cirebon mengalami peningkatan dari tahun ke
tahun. Tahun 1997 sekitar 850 industri dan pada tahun 2003 menjadi 1.019 industri.
Pertuuhan jumlah industri ini terjadi akibat adanya jiwa kewirusahaan diantara para tenaga
kerja yang ada untuk membuat sebuah industri baru, baik sebagai komplementer maupun
kompetitor. Dengan ini dapat ditarik kesimpulan bahwa industri rotan di Kabupaten Cirebon
semangat kewirausahaan yang ada dapat mendorong industri Rotan menjadi klaster yang
dinamis.

G. Kepemimpinan dan Visi Bersama
Pembentukan visi bersama dalam industri rotan di Kabupaten Cirebon masih belum
terlihat. Asosiasi usaha sebagai wadah bersama belum berperan dalam pembentukan visi
bersama. Adanya persaingan harga antar industri skala kecil dalam mendapatkan order juag
menunjukkan hal ini. Selain itu, industri ini belum mempunyai pemimpin industri yang
mampu berperan sebagai menjadi inovator dan motivator. Dengan kondisi-kondisi seperti ini,
industri rotan di Kabupaten Cirebon saat ini belum memiliki iklim sinergi yang baik.

Gambar 1. Keterkaitan dan Peran Institusi dan Industri Pendukung pada Industri Rotan
Industri Hulu
Bahan Baku
Rotan
Kayu
Kaca
Busa
Kain
Perkakas
Mesin
Industri Rotan
Tenaga Kerja Modal Manajemen
Pemasaran
Perdagangan
Pemerintah
Lembaga Pendidikan Lembaga Keuangan
BDS Asosiasi
Industri Hilir
Keterangan :
Aliran proses produksi
Cukup berperan
Kurang berperan













4.1.2. Kondisi Eksternal
A. Pasar dan Kompetitor
Secara umum terdapat tiga tujuan pasar bagi produk mebel dan kerajinan rotan di
Kabupaten Cirebon, yaitu pasar lokal, pasar antara daerah, dan pasar ekspor. J ika dilihat dari
perkembangannya dari tahun 1997-2003, pemasaran lokal dan regional mengalami
peningkatan. Sebailiknya, perkembangan ekspor rotan mengalami penurunan. Hal ini
disebabkan oleh kondisi persaingan yang sangat ketat, terutama setelah pasar-pasar ekspor
dibanjiri oleh produk mebel dari negara lain, seperti Cina dan Vietnam. Dengan efisiensi
yang tinggi, Cina dapat memproduksi mebel rotan dengan harga yang lebih murah, selain itu
mutunya juga terjamin karena saat in Cina telah berhasil membudidayakan rotan dengan
berbagai ukuran. Kendala pemasaran internasional lainnya adalah kurangnya pesanan dari
Eropa dan Amerika pada musim dingin, sehingga pada saat itu, industri terpaksa
8
merumahkan sebagian pekerjanya. Sedangkan kendala pemasaran dalam negeri adalah minat
yang kurang akibat persepsi yang kurang menghargai produk rotan serta daya beli masyarakat
yang rendah.
Ditinjau dari segmentasi pasar, sebagian besar pasar industri rotan adalah luar negeri
yang mempunyai daya beli dan taste yang tinggi sehingga diversifikasi produk menjadi
berkembang untuk memenuhi keinginan konsumen luar negeri.

B. Iklim Usaha
Kondisi nasional, terutama selama beberapa tahun terakhir, belum menciptakan iklim
yang kondusif bagi semua sektor usaha, termasuk mebel. Masalah pembalakan liar dan ijin
ekspor rotan mentah berakibat industri kekurangan bahan baku. Namun sejak tahun 2001,
ekspor rotan mentah kembali dilarang.
Pada skala daerah, berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Komite Pemantau
Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) pada tahun 2003 mengenai daerah yang paling
memiliki daya tarik investasi, dari 156 kabupaten yang diteliti, Kabupaten Cirebon
menduduki peringkat ke-108. Ini berarti bahwa Kabupaten Cirebon belum memiliki iklim
yang kondusif untuk pengembangan usaha.

4.1.3. Strategi dan Rencana Tindak
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan, industri rotan di Kabupaten Cirebon saat ini
banyak menghadapi ancaman yang datang dari luar sementara kondisi klaster industri itu
sendiri masih banyak mempunyai kelemahan. Strategi yang diambil dalam menghadapi
kondisi seperti ini adalah dengan memperbaiki dan meningkatkan kondisi internal guna
mempersiapkan diri menghadapi ancaman dari luar. Beberapa strategi prioritas diambil yang
mempunyai keterkaitan dengan banyak hal, yaitu :
1. Penguatan kerjasama
Penguatan kerjasama perlu dilakukan karena klaster industri rotan tidak akan berhasil
berkembang jika tidak terjadi kerjasama yang baik stakeholder. Untuk itu, pemerintah
perlu memfasilitasi pembentukan Unit Kerjasama Klaster, suatu institusi yang khusus
mengelola klaster industri rotan di Kabupaten Cirebon yang terdiri dari perwakilan dari
indsutri rotan skala kecil, menengah, dan besar, dan industri terkait dengan rotan di
bagian hulu dengan hilir, serta perwakilan dari pemerintah, lembaga pendidikan dan
pelatihan, lembaga keuangan, serta lembaga bantuan pengembangan bisnis.
2. Spesialisasi produk
Spesialisasi produk diperlukan agar tercapai efektifitas, efisiensi, serta mempunyai ciri
khas dibandingkan dengan produk rotan di daerah lain. Spesialisasi diarahkan pada mebel
rotan bergaya Eropa yang telah mempunyai pasar yang jelas serta didukung oleh keahlian
tenaga kerja yang ada.
3. Peningkatan kapasitas sumber daya manusia
Sumber daya manusia yang berkualitas sangat penting karena manusia merupakan
penggerak, pemberi keputusan, serta pelaku dari setiap kegiatan yang ada dalam klaster.
4. Penciptaan iklim usaha yang kondusif
Iklim usaha yang kondusif dapat mempercepat pengembangan usaha serta menarik pelaku
usaha dari daerah atau negara lain untuk berinvestasi sehingga dapat membantu masalah
permodalan usaha.





9
Adapun rencana tindak dari strategi di atas dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 3. Rencana Tindak Pengembangan Klaster Industri Rotan di Kabupaten Cirebon
No. Rencana Tindak Sasaran Pelaku Terkait
1 Penguatan Kerjasama
a. Pembentukan Unit Bersama Klaster
diantara stekaholder klaster
b. Penyusunan visi bersama guna
pengembangan klaster industri rotan
c. Penyusunan kebijakan dan program

Terjadinya kerjasama yang kuat antara
pelaku-pelaku yang terkait dengan
klaster, sehingga terwujud sinergitas
guna mencapai satu visi bersama.
Industri rotan di
semua struktur
Industri pendukung
(pembeli, pemasok,
dll)
Pemerintah
(Bappeda, Dinas)
Lembaga keuangan
Lembaga
pendidikan dan
pelatihan
Lembaga R&D

2 Pembentukan Spesialisasi Produk
a. Mengadakan penelitian pasar

b. Fasilitasi pameran dan kontak dagang di
dalam dan luar negeri

c. Fasilitasi outlet-outlet pemasaran di kota-
kota besar di dalam negeri

d. Sosialisasi dan fasilitasi proses hak paten
produk


e. Penyediaan prasarana dan sarana
telekomunikasi, termasuk teknologi
informasi
f. Bantuan penyediaan kredit ekspor


a. Teridentifikasinya pasar produk
terspesiliasai
b. Terbukanya peluang pasar baru
c. Terwujudnya pemasaran produk
dengan baik di dalam negeri
d. Terciptanya iklim persaiangan
yang sehat, serta mendorong
terwujudnya inovasi
e. Tersedianya prasarana dan sarana
telokomunikasi guna menunjang
efisiensi pemasaran
f. Tersedianya modal yang
membantu industri untuk
melakukan ekspor produk

Industri rotan di
semua struktur
Industri pendukung
(pembeli, pemasok,
dll)
Dinas Perindustrian
dan Perdagangan
Dinas Koperasi dan
UKM
Lembaga keuangan
Lembaga
pendidikan dan
pelatihan
Lembaga R&D

3 Peningkatan Kapasitas Sumber Daya Manusia
a. Membangun pusat/balai pendidikan dan
pelatihan khusus untuk industri rotan di
setiap sentra industri rotan.
b. Memfasilitasi kegiatan pendidikan dan
pelatihan di semua bidang, mulai dari
peningkatan keahlian dan keterampilan,
desain produk, pengenalan teknologi,
manajemen usaha termasuk pembukuan,
pemasaran, hingga pemahaman akan
HaKI.
c. Memfasilitasi kerjasama antara industri
rotan dengan institusi pendidikan dan
pelatihan yang terkait.
d. Memfasilitasi kerjasama antara industri
rotan skala besar dengan skala kecil dan
menengah dalam hal pengenalan
teknologi, manajemen usaha, dan
pemasaran.



a. Tersedianya sarana pendidikan
dan pelatihan khusus industri
rotan
b. Terwujudnya sumber daya
manusia yang memenuhi
kebutuhan pengembangan klaster




c. Terwujudnya sumber daya
manusia yang memenuhi
kualifikasi kebutuhan industri
d. Terwujudnya kerjasama antara
industri skala besar dengan
industri skala kecil menengah
dalam alih pengetahuan

Industri rotan di
semua struktur
Dinas Perindustri
dan Perdagangan
Dinas Tenaga
Kerja
Lembaga
pendidikan dan
pelatihan
4 Penciptaan iklim usaha yang kondusif guna
kelancaran pelaksanaan dan pengembangan
usaha, terutama dalam menarik investor untuk
berinvestasi di industri rotan
a. Pembentukan regulasi yang mendukung
perkembangan usaha terutama dalam hal
penyediaan bahan baku rotan.






a. Terwujudnya regulasi yang
mendukung pengembangan
usaha, serta hilangnya regulasi
yang menghambat pengembangan
usaha
Industri rotan di
semua struktur
Bappeda
Dinas Perdagangan
dan Perindustrian
Dinas Pendapatan
Daerah
Badan Penanaman
Modal Daerah
10
No. Rencana Tindak Sasaran Pelaku Terkait
b. Pembentukan rencana bisnis industri
rotan

c. Peningkatan pelayanan aparatur terhadap
dunia usaha

d. Peningkatan keamanan wilayah

b. Tersedianya arah dan kebijakan
pengembangan bisnis rotan yang
jelas bagi para investor
c. Terwujudnya efisiensi dan
efektivitas dalam membuat
perijinan usaha
d. Terwujudnya rasa aman bagi
pelaku usaha dalam
melaksanakan dan
mengembangkan usaha


4.2. Industri Logam di Kabupaten Tegal
4.2.1. Kondisi Internal
A. Spesialisasi
Industri logam di Kabupaten Tegal yang sebagian besar merupakan skala kecil,
memiliki produk yang cenderung terdiversifikasi. Persaingan harga membuat industri skala
kecil menerima semua permintaan dengan kualitas rendah. Sementara skala menengah sudah
mengarah pada produk yang lebih berkualitas dan terspesialisasi, misalnya produksi
komponen mesin atau komponen otomotif.

B. Kapasitas R&D dan Inovasi
Tingkat inovasi pada industri logam di Kabupaten Tegal sangat tinggi. Hal ini bisa
dilihat dari beragam produk yang dihasilkan. Pelaku industri sangat kreatif dalam melakukan
imitasi terhadap berbagai jenis produk logam yang didukung oleh keahlian, peralatan, serta
institusi pendukung, yaitu Pusat Pengembangan Inovasi dan Teknologi (PPIT) yang terdiri
dari Laboratorium Uji Material, Klinik HaKI, show room, market center, dan Klinik
Konsultasi Bisnis (KKB).

C. Tingkat Pengetahuan dan Keterampilan
Pengetahuan akan pengecoran dan pengolahan besi bekas di Kabupaten Tegal
bersumber dari transfer pengetahuan secara turun temurun, serta transfer pengetahuan yang
terjadi melalui subkontrak. Perusahaan besar, seperti PT Komatsu, PT Sanwa, dan PT
Kubota, seringkali melakukan kegiatan pelatihan kepada mitra binaan yang umumnya usaha
skala menengah. Terdapat pula institusi yang membantu peningkatan pengetahuan dan
keterampilan tenaga kerja, yaitu pemerintah, perguruan tinggi, dan konsultan bisnis.
Tingkat pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki oleh industri skala kecil masih
sederhana, berbeda dengan skala menengah yang telah didukung oleh tenaga kerja yang
berpengetahuan formal, berkeahlian dalam manajemen usaha, serta teknologi yang memadai.
Dengan kondisi seperti ini, maka tidak heran bahwa industri besar cenderung memilih
industri menengah dalam melakukan subkontrak.

D. Pengembangan Sumber Daya Manusia
Industri logam di Kabupaten Tegal merupakan industri yang padat karya. Untuk skala
kecil membutuhkan 4 19 orang, sedangkan skala menengah berkisar 60 orang. Industri
logam skala kecil memiliki proses produksi yang terfokus dan tidak memiliki jenjang karir
yang jelas. Setiap proses produksi yang dilakukan tidak memerlukan keahlian yang khusus,
sehingga kegiatan peningkatan keahlian bagi tenaga kerja dirasakan bukan kebutuhan yang
penting. Sebaliknya pada usaha menengah, membuka kesempatan yang lebih beragam dan
membutuhkan keahlian yang lebih tinggi. Kegiatan pendidikan dan pelatihan diberikan oleh
industri besar pemberi subkontrak dan pemerintah dalam rangka pemenuhan kebutuhan
pesanan. Dengan kondisi seperti ini, masyarakat menjadi tertarik untuk bekerja di industri
11
logam skala menengah. Namun, dengan struktur industri logam yang sebagian besar
didominasi oleh skala kecil, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa industri logam di
Kabupaten Tegal belum mampu mendorong masyarakat untung mengembangkan tingkat
pendidikan dan keterampilan yang dimiliki.

E. Jaringan Kerjasama dan Modal Sosial
Kerjasama yang baik terjadi antar perusahaan secara vertikal melalui sistem
subkontrak, namun secara horizontal, terjadi persaingan harga yang kurang sehat dalam
mendapatkan subkontrak. Kerjasama yang baik juga terjadi antara industri dengan
pemerintah, lembaga pendukung, dan industri terkait, dalam hal pengembangan usaha,
penguatan modal usaha, peningkatan kualitas SDM, dan pemasaran.

F. Semangat Kewirausahaan
Industri logam di Kabupaten Tegal memiliki tingkat pertumbuhan jumlah usaha yang
cukup baik. Begitu pula dengan tingkat inovasi akan lahirnya jenis produk baru. Adanya jiwa
wirusaha yang cukup baik ini akan menghasilkan suatu klaster yang dinamis. Sayangnya,
semangat ini belum diimbangi oleh manajemen usaha serta kerjasama yang baik diantara
usaha-usaha yang ada.

G. Kepemimpinan dan Visi Bersama
Rendahnya modal sosial dan ketiadaan asosiasi usaha sebagai wadah pertukaran
informasi dan komunikasi menyebabkan sulit menumbuhkan visi bersama serta brand dari
industri logam. Akibatnya, industri logam di Kabupaten Tegal saat ini masih sulit
menciptakan sinergi antara seluruh pelau terkait.

Gambar 2. Keterkaitan dan Peran Institusi dan Industri Pendukung pada Industri
Logam













Pemerintah Daerah
KKB
YDBA
Astra
Lab Uji
material,
Klinik
HAKI
(PPIT)
BLK
Usaha Skala
Kecil/Rumah Tanga
Usaha Menengah
Pasar
Bahan Baku
Mesin
Peralatan
Bank,
BPR
Industri
Otomotif
Industri
Mesin
After
Market
Industri
Mesin
dan
Peralatan
Industri
Baja
Politeknik Market
Center
(PPIT)
Hubungan kerjasama
Industri
Pemesan
Industri
Elektronik
Aliran proses produksi
ASPEP
Cukup berperan
Kurang berperan





12
4.2.2. Kondisi Eksternal
A. Pasar dan Kompetitor
Pasar bagi industri logam dan permesinan di Kabupaten Tegal adalah industri
otomotif, peralatan, dan permesinan, juga dijual kepada after market. Peluang pasar domestik
di bidang pengerjaan logam dan permesinan cukup besar, namun kenyataannya mengalami
kesulitan karena keterbatasan teknologi dan kalah bersaing dengan produk impor yang
mendapat keringanan bea masuk. Sebaliknya pada sektor komponen dan suku cadang
berpeluang sangat besar di pasar domestik.

B. Iklim Usaha
Menurut beberapa responden, iklim usaha di Kabupaten Tegal belum didukung oleh
kebijakan yang konsisten dan kemudahan birokrasi. Hal ini juga diperkuat oleh hasil
penelitian KPPOD tahun 2000 mengenai daerah yang memiliki daya tarik investasi, bahwa
Kabupaten Tegal menduduki peringkat ke-18, sehingga dapat disimpulkan bahwa Kabupaten
Tegal belum memiliki iklim usaha yang kondusif bagi pengembangan usaha.

4.2.3. Strategi dan Rencana Tindak
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan, prospek pasar bagi klaster industri logam di
Kabupaten Tegal sangat besar, terutama pasar domestik yang meliputi industri-industri besar
di bidang mesin, komponen, dan peralatan. Oleh karena itu, strategi yang diambil adalah
menjadikannya sebagai industri pendukung yang terspesialisasi dalam produk-produk
komponen dan suku cadang. Hal ini penting dilakukan agar tercipta efisiensi dan efektifitas
dalam sumber daya yang digunakan, termasuk dalam pelaksanaannya. Spesialisasi produk
dapat dilakukan dalam jangka pendek pada pada beberapa industri yang berpotensi dan telah
memenuhi persyaratan. Sementara itu, industri logam lainnya yang belum memenuhi
persyaratan dapat mengambil pelajaran (lesson learned) yang ada bagi pembentukan
spesialisasi pada jangka panjang. Adapun rencana tindak dari strategi tersebut dapat dilihat
pada tabel berikut.

Tabel 4. Rencana Tindak Pengembangan Klaster Industri Logam di Kabupaten Tegal
No Rencana Tindak Sasaran Pelaku Terkait
1 Penyusunan kebijakan pengembangan
klaster industri logam dengan
spesialisasi produk komponen dan
suku cadang secara partisipatif dan
melibatkan seluruh stakeholder terkait.
Tersusunnya kebijakan-kebijakan yang
mendorong pengembangan klaster dan
menghapus hambatan-hambatan
pengembangan usaha
Bappeda,
Departemen
perindustrian,
Disperindagnaker,
DiskopUKM,
lembaga keuangan,
lembaga diklat,
PPIT
2 Survei pasar untuk komponen produk
dan suku cadang untuk menemukan
tantangan pasar yang bermutu tinggi
a. Terwujudnya peluang dan jaringan
pasar baru bermutu tinggi yang lebih
besar bagi pelaku usaha
b. Tersedianya informasi akan orientasi
dan sasaran pasar yang jelas, terutama
berguna dalam mengembangkan pasar
baru
Disperindagnaker,
BDS, konsultan
3 Penyelenggaraan pelatihan untuk
meningkatkan keahlian dan
keterampilan tenaga kerja serta
penguasaan teknologi yang
terspesialisasi ke arah pengembangan
produk-produk komponen dan suku
cadang
a. Terwujudnya tenaga kerja yang
mampu mengusai dan
mengembangkan teknologi, terutama
teknologi permesinan untuk proses
produksi
b. Meningkatkan kemampuan teknis dan
memperkenalkan budaya manufaktur
terutama kepada para pelaku uaha
kecil dan rumah tangga
Disperindagnaker,
BDS, lembaga
pendidikan, PPIT,
BLK,
13
No Rencana Tindak Sasaran Pelaku Terkait
4 Peningkatan kualitas manajemen usaha
skala kecil dan menengah yang sesuai
dengan proses produksi komponen dan
suku cadang.
Terwujudnya tenaga kerja yang mampu
mengelola usaha dengan baik, termasuk
dalam pembukuan usaha sehingga
mempermudah akses ke perbankan

Disperindagnaker,
BDS
5 Peningkatan peran asosiasi usaha untuk
meningkatkan kerjasama antar usaha
dan melahirkan kepemimpinan di
dalam industri.
Meningkatnya modal sosial dan kerjasama
antar usaha serta
Disperindagnaker,
Asosiasi usaha,
KADIN
6 Peningkatan kesadaran dan
penggunaan HAKI
Terwujudnya iklim kompetisi yangs ehat di
anatar usaha dan perluasan akses pasar
Disperindagnaker,
asosiasi usaha,
BDS
7 Penguatan kerjasama dengan lembaga
BDS dan lembaga pelatihan untuk
meningkatkan spesialisasi usaha di
dalam pengembangan produk-produk
komponen dan suku cadang

Semakin besarnya jangkauan BDS dan
layanannya terhadap usaha-usaha yang ada
Disperindagnaker,
BDS, universitas,
lembaga-lembaga
pendidikan
8 Penguatan modal usaha melalui
insentif dan bantuan serta peningkatan
akses terhadap lembaga keuangan

a. Tersedianya modal yang diperlukan
untuk pengembangan usaha
b. Tersedianya lembaga keuangan non-
perbankan di setiap desa, terutama
koperasi, untuk membantu UKM
dalam memperoleh modal usaha
c. Terwujudnya kemudahan pelaku UKM
dalam mengakses modal ke perbankan
d. Terwujudnya pengetahuan pelaku
UKM akan informasi dalam
memperoleh modal ke lembaga
keuangan
Disperindagnaker,
DiskopUKM
9 Peningkatan kerjasama dengan
lembaga-lembaga penelitian dan
pengembangan untuk meningkatkan
kapasitas teknologi dan inovasi dalam
pengembangan produk-produk
komponen dan suku cadang.

a. Meningkatnya kapasitas dan kualitas
teknologi yang digunakan melalui
usaha
b. Meningkatnya penelitian dan inovasi
dalam klaster
c. Semakin luasnya akses lembaga
peneilitian dan pengembangan bagi
seluruh usaha
Disperindagnaker,
PPIT, lembaga-
lembaga
penelitian, asosiasi
usaha
10 Penguatan kerjasama dengan industri
hulu penyedia bahan baku, teriutama
untuk menghadapi kelangkaan bahan
baku dan flukutasi harga.
Terjaminnya ketersediaan bahan baku

Departemen
Perindustrian,
Disperindagnaker,
asosiasi usaha
11 Pameran-pameran, misi dagang keluar
negeri, fasilitasi pertemuan-pertemuan
(business matching) antara para
pengusaha IKM dengan industri hilir,
serta melakukan kunjungan ke pabrik-
pabrik dan melakukan penyesuaian
dengan program pembeli
Mempertemukan permintaan pasar dengan
supply secara efektif
Departemen
Perdagangan,
Disperindagnaker,
BDS
12 Menciptakan iklim usaha yang
kondusif dengan menyederhanakan
peraturan dan birokrasi, serta
menydiakan insentif-insentif bagi
usaha.
a. Terwujudnya efisiensi dan efektivitas
dalam membuat perijinan usaha
b. Terwujudnya rasa aman bagi pelaku
usaha dalam melaksanakan dan
mengembangkan usaha

Departemen
Perindustrian,
Departemen
Perdagangan,
Disperindag-naker,
DiskopUKM,
Dispenda
13 Menyediakan sarana dan prasarana
fisik pendukung pengembangan
klaster.
Tersedianya prasarana dan sarana wilayah
yang diperlukan dalam pengembangan
usaha dalam klaster
Departemen PU,
Bappeda, PT.
PLN, PT. Telkom.


14
4.3. Industri Batik di Kota Pekalongan
4.3.1. Kondisi Internal
A. Spesialisasi
Industri batik di Kota Pekalongan dikenal sebagai penghasil batik dan produk-produk
bermotof batik. Industri batik pekalongan tidak memiliki produk-produk yang terspesialisasi
khusus dan cenderung terdiversifikasi karena memproduksi motif batik sesuai dengan
pesanan konsumen dan pasar. Hal ini di satu sisi positif karena mampu meresp[on permintaan
dengan cepat, namun di sisi lain hal ini dipandang negatif karena menghiulangkan ciri khas
tradisional batik pekalongan.

B. Kapasitas R&D dan Inovasi
Kegiatan inovasi penciptaan motif-motif baru sangat intensif. Sayangnya belum ada
institusi yang membantu dan belum diikuti oleh pemberian hak paten sehingga sering terjadi
kegiatan contek mencontek motif. Inovasi lainnya adalah dalam hal proses produksi, seperti
membuat perpaduan batik dengan tenun serta penggunaan bahan pewarna alami. Sebaliknya
dalah hal teknologi, dapat dikatakan bahwa industri batik merupakan industri kerajinan
tangan sehingga tidak bisa alih teknologi.

C. Tingkat Pengetahuan dan Keterampilan
Tenaga kerja di industri batik di Kota Pekalongan memiliki keahlian yang cukup
tinggi dalam membatik, jumlahnya juga mencukupi, namun dari sisi manajemen usaha dan
pemasaran masih terbatas. Saat ini, sumber pengetahuan yang utama adalah keterampilan
yang diwariskan secara turun temurun dalam amsyarakat, selebihnya adalah pendidikan dan
pelatihan yang diberikan oleh pemerintah. Terdapat pula Politeknik Usmanu yang salah satu
jurusannya adalah Teknik Batik, namun karena politeknik ini baru berdiri selama tiga tahun,
sehingga belum banyak berperan.

D. Pengembangan Sumber Daya Manusia
Pada usaha menengah yang mempunyai struktur usaha yang lebih baik, membutuhkan
kualifikasi pendidikan yang lebih baik yang diiringi dengan upah yang lebih menarik
dibandingkan dengan industri skala kecil yang hanya membutuhkan keahlian. Di samping itu,
industri menengah juga mengadakan pendidikan dan pelatihan internal bagi tenaga kerjanya.
Dengan struktur industri batik di Kota Pekalongan yang sebagian besar adalah industri skala
kecil, maka dapat dikatakan bahwa industri batik di Kota Pekalongan belum mampu
mendorong masyarakat lokal untuk mengembangkan kemampuan diri.

E. Jaringan Kerjasama dan Modal Sosial
Kerjasama antar perusahaan terjadi secara vertikal dalam hal subkontrak, namun
intensitasnya masih terbatas, sedangkan secara horizontal, terutama di industri skala kecil,
sering terjadi persaingan harga yang kurang sehat. Hal ini juga tercermin dalam asosiasi
usaha yang kurang berjalan dengan aktif.
Kerjasama antara industri batik dengan industri terkait dinilai cukup baik. Kerjasama
dengan lembaga pendukung mengalami kendala dengan BDS yang kurang berperan aktif
serta perbankan yang masih sulit diakses oleh industri batik skala kecil. Sementara itu,
kerjasama pemerintah dinilai cukup baik, terutama dalam hal pemasaran

F. Semangat Kewirausahaan
Perkembangan jumlah industri batik skala menengah pada beberapa tahun belakangan
ini mengalami penurunan yang disebabkan oleh menurunnya tingkat ekspor batik. Sebaliknya
pada industri skala kecil, terjadi peningkatan jumlah usaha yang sebagian besar merupakan
15
industri informal. Pertumbuhan industri baru ini disebabkan oleh adanya jiwa wirausaha
diantara tenaga kerja yang ada. Dengan kondisi seperti ini, industri batik di Kota Pekalongan
berpotensi menjadi klaster yang dinamis.

G. Kepemimpinan dan Visi Bersama
Industri batik di Kota Pekalongan belum memiliki visi bersama dan pemimpin
industri yang menjadi pemersatu dan pengarah pengembangan usaha. Dengan kondisi seperti
ini, maka industri batik belum mampu menciptakan klaster yang saling bersinergi antara satu
sama lain.


Gambar 3. Keterkaitan dan Peran Institusi dan Industri Pendukung


Keterangan :
Aliran proses produksi
Cukup berperan
Kurang berperan
Industri Hulu
Bahan Baku
Kain
Lilin
Pewarna
Obat
Canting
Cap
Sablon
Wadah
Industri Batik
Tenaga Kerja Modal Manajemen
Pemasaran
Perdagangan
Pemerintah
Lembaga Pendidikan Lembaga Keuangan
BDS Asosiasi
Industri Hilir




















4.3.2. Kondisi Eksternal
A. Pasar dan Kompetitor
Pada pasar internasional, industri batik di Kota Pekalongan mengalami banyak
kendala, diantaranya bersaing dengan batik produksi negara lain, terutama dengan Malaysia
dan Cina, permasalahan hak cipta, serta isu polusi air. Hal ini yang menyebabkan realisasi
ekspor batik Pekalongan di tiga tahun terakhir mengalami penurunan. Sebaliknya pada pasar
nasional, industri batik di Pekalongan kurang menghadapi kendala yang berarti. Batik
Pekalongan menguasai 70-80% pasar nasional.

B. Iklim Usaha
Berdasarkan hasil laporan The Global Competitivenes Report tahun 2004 yang
meneliti daya saing di 104 negara, Indonesia menduduki peringkat ke-69, meningkat dari
peringkat ke -72 pada tahun sebelumnya, sangat jauh dengan Singapura di peringkat 7,
Malaysia 31, dan Thailand 34. Ini menunjukkan bahwa Indonesia belum menciptakan iklim
usaha yang kondusif bagi pengembangan usaha. Begitu pula dengan Kota Pekalongan. Dari
16
hasil penelitian yang dilakukan oleh KPPOD tahun 2003 mengenai pemeringkatan daya tarik
investasi di kabupaten dan kota di Indonesia. Dari 44 kota yang diteliti, Kota Pekalongan
berada di urutan ke-43. ini menunjukkan bahwa Kota Pekalongan belum mampu menciptakan
iklim yang kondusif bagi pengembangan usaha.

4.3.3. Strategi dan Rencana Tindak
Strategi pengembangan klaster indsutri batik di Kota Pekalongan diarahkan dengan
memperbaiki kelemahan dan memanfaatkan peluang yang ada. Strategi prioritas digunakan
untuk efisiensi langkah yang ditempuh, dengan cara memperbaiki permasalahan yang terkait
dengan banyak hal, yaitu :

1. Penguatan kerjasama
Pengembangan klaster industri yang berhasil memerlukan sinergitas di semua pihak.
Untuk itu, diperlukan kesepahaman dan visi bersama antar pelaku, salah satunya melalui
pembentukan Unit Kerjasama Klaster, yaitu institusi yang khusus mengelola klaster
industri batik Pekalongan. Anggotanya terdiri dari perwakilan dari industri batik skala
kecil dan menengah dan industri terkait dengan industri batik di hulu dan hilir, serta
perwakilan dari pemerintah, lembaga pendidikan dan pelatihan, lembaga keuangan,
asosiasi usaha, serta lembaga bantuan pengembangan bisnis. Fungsinya adalah sebagai
koordinator, pengembil keputusan, wadah informasi, serta fasilitator.
2. Penguatan pasar
Penanganan pemasaran menjadi prioritas karena jika produk mempunyai pasar yang jelas,
maka akan terjadi kontinuitas proses produksi. Dengan begitu, usaha akan berkembang,
permasalahan keuangan dapat teratasi, dan kesejahteraan tenaga kerja dapat meningkat.
3. Peningkatan kapasitas sumber daya manusia
Peningkatan kapasitas sumber daya manusia sangat penting bagi pengembangan klaster
karena manusia merupakan penggerak, pemberi keputusan dan pelaku dari setiap
kegiatan. Usaha akan berkembang dengan baik jika pelaku tersebut memiliki motivasi,
serta memiliki pendidikan dan pengetahuan akan manajemen usaha dan teknologi.
4. Penciptaan iklim usaha yang kondusif
Penciptaan iklim usaha yang kondusif diperlukan untuk mewujudkan klaster yang efisien,
dinamis, berdaya saing, serta dapat menarik investor yang dapat membantu masalah
permodalan yang banyak dihadapi oleh industri batik skala kecil.

Adapun rencana tindak dari strategi di atas dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 5. Rencana Tindak Pengembangan Klaster Industri Batik di Kota Pekalongan
No. Rencana Tindak Sasaran Pelaku Terkait
1 Penguatan Kerjasama
a. Pembentukan Unit Bersama Klaster
diantara stekaholder klaster
b. Penyusunan visi bersama guna
pengembangan klaster industri batik
c. Penyusunan kebijakan dan program

Terjadinya kerjasama yang kuat antara
pelaku-pelaku yang terkait dengan
klaster, sehingga terwujud sinergitas guna
mencapai satu visi bersama.
Industri rotan di
semua struktur
Industri
pendukung
(pembeli,
pemasok, dll)
Pemerintah
(Bappeda,
Dinas)
Lembaga
keuangan
Lembaga
pendidikan dan
pelatihan
Lembaga R&D
17
No. Rencana Tindak Sasaran Pelaku Terkait

2 Penguatan Pasar
a. Mengadakan penelitian pasar

b. Fasilitasi pameran dan kontak dagang di
dalam dan luar negeri
c. Fasilitasi outlet-outlet pemasaran di kota-
kota besar di dalam negeri
d. Sosialisasi dan fasilitasi proses hak paten
produk

e. Penyediaan prasarana dan sarana
telekomunikasi, termasuk teknologi
informasi

f. Bantuan penyediaan kredit ekspor


g. Mengembangkan produk-produk turunan
batik


a. Teridentifikasinya pasar produk
terspesiliasai
b. Terbukanya peluang pasar baru di
skala internasional
c. Terbukanya peluang pasar baru di
skala nasional
d. Terciptanya iklim persaiangan yang
sehat, serta mendorong
pengembangan inovasi
e. Tersedianya prasarana dan sarana
telokomunikasi guna menunjang
efisiensi pemasaran

f. Tersedianya modal yang membantu
industri untuk melakukan ekspor
produk
g. Terpenuhinya kebutuhan masyarakat
yang mempunyai minat yang cukup
tinggi terhadap produk batik

Industri rotan di
semua struktur
Industri
pendukung
(pembeli,
pemasok, dll)
Dinas
Perindustrian
dan Perdagangan
Dinas Koperasi
dan UKM
Lembaga
keuangan
Lembaga
pendidikan dan
pelatihan
Lembaga R&D

3 Peningkatan Kapasitas Sumber Daya Manusia
a. Membangun pusat/balai pendidikan dan
pelatihan khusus untuk industri rotan di
setiap sentra industri rotan.
b. Memfasilitasi kegiatan pendidikan dan
pelatihan di semua bidang, mulai dari
peningkatan keahlian dan keterampilan,
desain produk, pengenalan teknologi,
manajemen usaha termasuk pembukuan,
pemasaran, hingga pemahaman akan
HaKI.
c. Memfasilitasi kerjasama antara industri
rotan dengan institusi pendidikan dan
pelatihan yang terkait.
d. Memfasilitasi kerjasama antara industri
rotan skala besar dengan skala kecil dan
menengah dalam hal pengenalan
teknologi, manajemen usaha, dan
pemasaran.



a. Tersedianya sarana pendidikan dan
pelatihan khusus industri rotan
b. Terwujudnya sumber daya manusia
yang memenuhi kebutuhan
pengembangan klaster





c. Terwujudnya sumber daya manusia
yang memenuhi kualifikasi
kebutuhan industri
d. Terwujudnya kerjasama antara
industri skala besar dengan industri
skala kecil menengah dalam alih
pengetahuan


Industri rotan di
semua struktur
Dinas
Perindustri dan
Perdagangan
Dinas Tenaga
Kerja
Lembaga
pendidikan dan
pelatihan
4 Penciptaan iklim usaha yang kondusif guna
kelancaran pelaksanaan dan pengembangan
usaha, terutama dalam menarik investor untuk
berinvestasi di industri rotan
a. Pembentukan regulasi yang mendukung
perkembangan usaha



b. Pembentukan rencana bisnis industri
rotan

c. Peningkatan pelayanan aparatur terhadap
dunia usaha

d. Peningkatan keamanan wilayah





a. Terwujudnya regulasi yang
mendukung pengembangan usaha,
serta hilangnya regulasi yang
menghambat pengembangan usaha
b. Tersedianya arah dan kebijakan
pengembangan bisnis rotan yang
jelas bagi para investor
c. Terwujudnya efisiensi dan
efektivitas dalam membuat perijinan
usaha
d. Terwujudnya rasa aman bagi pelaku
usaha dalam melaksanakan dan
mengembangkan usaha


Industri rotan di
semua struktur
Bappeda
Dinas
Perdagangan dan
Perindustrian
Dinas
Pendapatan
Daerah
Badan
Penanaman
Modal Daerah


18
5. Kesimpulan dan Rekomendasi
5.1. Kesimpulan
Ditinjau dari faktor-faktor penentu inovasi dan pertumbuhan klaster, ketiga industri
studi kasus telah memiliki karakteristik sebagai suatu klaster industri, dimana klaster yang
terbentuk pada awalnya tumbuh secara alamiah karena adanya keahlian yang dipelihara oleh
masyarakat secara turun temurun. Dengan adanya keahlian ini masyarakat membentuk usaha-
usaha skala kecil maupun menengah.. Secara perlahan usaha-usaha yang ada berkembang
semakin banyak dan membentuk suatu konsentrasi geografis dalam satu kawasan. Kerjasama
antara industri dan institusi terkait dilakukan juga dilakukan, begitu pula dengan inovasi
dalam rangka memenangkan persaingan di dalam pasar.
Dengan beberapa potensi yang dimiliki dapat dikatakan bahwa ketiga industri studi
kasus di tiga wilayah tersebut berpotensi untuk dikembangkan menjadi suatu klaster yang
berdaya saing. Meski demikian, banyak kendala yang dihadapi oleh ketiga industri studi
kasus untuk mewujudkannya. Tidak hanya dihadapi oleh kendala yang bersifat khas dan
lokalitas yang membedakan antara industri yang satu dengan yang lain, namun juga dihadapi
oleh kendala-kendala yang bersifat umum. Dintinjau dari sudut klaster yang berdaya saing,
berdasarkan teori Porter (1997), adapun kendala umum yang dihadapi seluruh industri dalam
mengembangkan klaster berdaya saing adalah sebagai berikut :
a. Aspek Permintaan/Pasar : kualitas produk masih rendah dibandingkan kualitas produk
impor; perilaku konsumen yang lebih menyenangi produk impor; tidak banyak tersedia
outlet untuk pengembangan pasar di daerah-daerah; rantai pemasaran yang panjang yang
mengakibatkan mahalnya harga; belum tersedianya informasi pasar yang memadai bagi
produsen; serta terbatasnya jaringan kerjasama dan akses terhadap pasar.
b. Faktor Produksi : tenaga kerja kurang terdidik serta berupah rendah; sumber-sumber
pembiayaan usaha masih terbatas; teknologi produksi yang digunakan masih sederhana;
pengetahuan dan ketrampilan termasuk penguasaan iptek pelaku usaha kecil masih
terbatas; tingkat suku bunga kredit masih sangat tinggi dibanding dengan di negara-
negara pesaing, sehingga akses UKM terhadap perbankan sangat rendah.
c. Strategi, Struktur, dan Persaingan : iklim persaingan yang kurang sehat; manajemen
usaha masih buruk; kolaborasi dan kerjasama antar perusahaan masih lemah;
kepemimpinan dalam industri belum muncul; kepercayaan dan modal sosial antar usaha
masih rendah.
d. Institusi dan Industri Pendukung : layanan perbankan masih sulit diakses; terbatasnya
akses lembaga peneitian dan pengembangan yang ada untuk mendorong inovasi terutama
pada usaha skala kecil; jangkauan layanan lembaga pendidikan dan pelatihan serta BDS
masih terbatas; asosiasi usaha belum berperan optimal; belum adanya visi dan kesamaan
agenda antara usaha yang ada; penelitian belum terpadu dan belum terarah; hasil-hasil
penelitian kurang tersosialisasi dan belum memberikan peran yang cukup berarti bagi
peningkatan daya saing produk
e. Pemerintah dan Iklim Usaha : belum ada cetak biru (blue print) pengembangan klaster
yang jelas, inkonsistensi kebijakan pemerintah; belum adanya keterpaduan program untuk
mengendalikan masalah impor; kebijakan tataniaga yang belum kondusif; sistem
perpajakan khususnya pajak pertambahan nilai (PPN) menyebabkan kurangnya
dukungan terhadap ketersediaan bahan baku industri yang berdaya saing tinggi di dalam
negeri; situasi keamanan dan politik yang belum stabil; belum terlaksananya penegakan
hukum yang baik, disamping sejumlah peraturan atau perundang-undangan masih
tumpang tindih dan belum saling memperkuat; belum terlaksananya good governance;
lemahnya sistem pengawasan lalu lintas barang impor dan lemahnya upaya penegakan
19
hukum di dalam negeri, menyebabkan maraknya barang-barang impor illegal masuk ke
pasar dalam negeri; kondisi aparatur pemerintah yang tidak efisien dalam menciptakan
iklim kondusif bagi pengembangan usaha.

Kendala-kendala di atas tidak hanya berdampak pada pengembangan klaster, namun
juga pada perekonomian dan daya saing daerah. Untuk itu, seyogyanya kebijakan yang
disusun diarahkan untuk penciptaan dan pengembangan klaster yang berdaya saing.

5.2. Rekomendasi
5.2.1. Rekomendasi Kebijakan
Penyusunan kebijakan dan strategi umum ditujukan untuk penyelesaian permasalahan
umum melalui kerangka Diamond Porter yang menjadi penentu daya saing sebuah klaster.
1. Aspek permintaan/pasar
a. Memfasilitasi perluasan akses pasar UKM
Strategi yang dapat dilakukan :
Mendorong spesialisasi produk dalam industri
Penguatan kemitraan dan kerjasama pemasaran antara industri skala kecil dan
menengah dengan industri besar
Memberikan insentif kepada usaha untuk berinovasi
Mendorong kegiatan-kegiatan penelitian pasar (market research) guna mencari
t center, dan sebagainya)
evelopment Service (BDS) dalam pemasaran produk
b.
bagai kegiatan pendidikan dan pelatihan untuk
s
eningkatkan kualitas produk
2.
orientasi dan sasaran pasar yang baru dan bermutu tinggi
Penyediaan fasilitas pemasaran (trading house, marke
untuk menciptakan rantai pemasaran yang lebih efisien
Mendorong peran Business D
Peningkatan kualitas produk
Strategi yang dapat dilakukan :
Peningkatan keahlian dan teknologi untuk mendorong spesialisasi produk
Memfasilitasi pelaksanaan ber
meningkatkan kualitas produk
Mendorong penggunaan bahan baku yang baik dan berkualita
Mendorong peran BDS untuk m

Aspek faktor produksi
pengetahuan tenaga kerja
kegiatan pendidikan serta latihan untuk menciptakan
peningkatan
enaga kerja
si
age dengan perusahaan-perusahaan besar untuk

uksi
ng untuk meningkatkan teknologi produksi
Peningkatan keterampilan dan
Strategi yang dapat dilakukan :
Memfasilitasi pelaksanaan
tenaga kerja yang terampil
Mendorong peran lembaga-lembaga pendidikan dan latihan dalam
keterampilan dan pengetahuan t
Peningkatan teknologi produk
Strategi yang dapat dilakukan :
Memfasilitasi penguatan link
mengupayakan alih teknologi
Memberikan insentif bagi modernisasi teknologi dan peralatan
Kerjasama pemanfaatan hasil-hasil penelitian dengan lemabga penelitian dan
pengembangan atau universitas untuk meningkatkan kapasitas teknologi prod
Mendorong peran lemabaga litba
20
al
rong UKM untuk melakukan legalisasi usaha dan perbaikan manajemen
lembaga intermediasi keuangan dalam penyediaan layanan
baku
n menyusun kebijakan yang dapat
alternatif
ai dengan potensi setempat
ana
sportasi serta telekomunikasi pada lokasi-
lokasi industri yang masih sulit diakses
e.
Peningkatan ketersediaan mod
Strategi yang dapat dilakukan :
Memberikan bantuan permodalan kepada UKM
Mendo
usaha
Mendorong peran
kredit dan modal
Menjamin ketersediaan bahan
Strategi yang dapat dilakukan :
Meninjau ulang kebijakan ekspor bahan baku da
menjamin pasokan bahan baku di dalam negeri
Mendorong penelitian dan pengembangan bahan baku
Mendorong penggunaan bahan baku yang berkualitas
Penggunaan bahan baku yang sesu
Penyediaan prasarana dan sar
Strategi yang dapat dilakukan :
Memperluas akses kepada teknologi informasi untuk meningkatkan akses pasar
Meningkatkan prasarana dan sarana tran

Aspek strategi, struktur, dan persaingan usaha
ringan antar usaha
rong peran asosiasi usaha sebagai basis kerjasama kolektif para pelaku
siasi usaha untuk melakukan aktivitas-aktivitas berama
ng sehat
t jaringan pasar UKM agar tidak terjadi
atkan kesadaran pelaku usaha terhadap Hak atas Kekayaan Intelektual
aftaran paten, merek, dan hak cipta produk-
ia layanan HaKI
lam klaster
Memfasilitasi UKM-UKM yang berpotensi untuk berperan dalam asosiasi usaha
f.
Peningkatan kerjasama dan ja
Strategi yang dapat dilakukan :
Mempromosikan kerjasama diantara UKM-UKM melalui pendekatan partisipatif
Mendo
usaha
Memfasilitasi aso
(collective action)
Penciptaan iklim kompetisi ya
Strategi yang dapat dilakukan :
Melakukan pembinaan serta memperkua
persaingan harga yang kontra-produktif
Meningk
(HaKI)
Mendorong dan memfasilitasi pend
produk yang dihasilkan oleh usaha
Memfasilitasi keberadaan lembaga penyed
Mendorong kepemimpinan da
Strategi yang dapat dilakukan :
Memberikan insentif kepada UKM-UKM yang berpotensi di dalam klaster


Aspek institusi dan industri pendukung
si pendukung dalam klaster Meningkatkan peranan institu
Strategi yang dapat dilakukan :
21
Menciptakan kemitraan antara pemerintah, lembaga pendidikan, dan lembaga-
lembaga pendukung dalam memberikan layanan kepada usaha di dalam klaster
gar dapat
erikan oleh lembaga-lembaga pendukung

Stra
k melakukan investasi
Memfasilitasi forum kerjasama dan komunikasi antara usaha dengan industri-
dan hilir
g. Kel
Memfasilitasi penyebaran informasi mengenai layanan yang diberikan oleh
lembaga-lembaga pendukung kepada usaha
Memberikan insentif kepada usaha skala kecil dan rumah tangga a
mengakses layanan yang dib
Meningkatan keterkaitan antara usaha dengan industri hulu dan hilir
tegi yang dapat dilakukan :
Memberikan insentif dan kemudahan usaha di dalam klaster untuk menarik
industri-industri pendukung untu

industri di sektor hulu

embagaan pemerintah

Stra
perpajakan selektif terhadap produk tertentu,
k pada produk akhir

sinya yang terfokus

a menghilangkan
n, karte, ataupun monopsomi.

Stra
f sebagai fasilitator, regulator, dan katalisator
produk impor
rasi yang berbelit-
Menegakkan good-governance dalam praktek kepemerintahan
uran daerah yang menghambat investasi

tudi Lanjutan
lebih
men
ekonomian daerah
4. Studi mengenai sistem pem ngan klaster
5. Studi mengenai dampak regulasi dan iklim usaha terhadap pengembangan klaster
Menciptakan iklim usaha yang kondusif bagi pengembangan klaster
tegi yang dapat dilakukan :
Menyederhanakan peraturan di sektor ketenagakerjaan, industri, dan perdagangan
sehingga mendukung pengembangan klaster
Mengupayakan kebijaksanaan
dengan menghilangkan pajak berganda dan menetapkan paja
(PPN), bukan pada bahan baku
Memberikan insentif, subsidi, dan kemudahan bagi investasi
Mengupayakan keterpaduan program dan langkah implementa
pada peningkatan daya saing produk nasional terhadap produk impor
Menjaga kepastian hukum dan melakukan penegakan hukum
Memperbaiki mekanisme dan prasarana sarana tataniaga, sert
adanya monopoli perdaganga
Menciptakan kelembagaan pemerintah yang efektif dan efisien
tegi yang dapat dilakukan :
Mengupayakan peran efekti
pengembangan iklim usaha yang kondusif serta memberantas tegas terhadap
penyelundupan
Memperbaiki dan meningkatkan kapasitas aparatur pemerintah di setiap level
pemerintahan
Menyederhanakan prosedur administatif dan menghindari birok
belit untuk mendorong kemudahan usaha dalam melakukan investasi
Menghindari peraturan-perat
5.2.2. Rekomendasi S
Guna penyempurnaan kajian ini, diperlukan beberapa studi lanjutan yang
dalam mengenai :
1. Studi mengenai dampak pengembangan klaster terhadap per
2. Studi mengenai tipologi-tipologi klaster di Indonesia
3. Studi mengenai kelembagaan dalam pengembangan klaster
biayaan dalam pengemba
22
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah Piter, Et.Al, 2002, Daya Saing Daerah, BPFE Yogyakarta.
2003, Panduan Pengembangan K BPPT, laster Industri Unggulan Daerah, 2003.
ka Panjang.
RI International Corp.
tan Ekonomi
Meyer partner.com
. IRSA Conference.
ess Review.
anning Studies, Vol. 5 Issus
uhandoyo, Et. Al, 2002, Pengembangan Wilayah Perdesaan dan Kawasan Tertentu, Sebuah
Kajin Eksploratif, BPPT.

Bappenas, 2003, Pengembangan Daya Saing Industri Nasional, Background Study
Pembangunan J ang
Dong-Sung Cho Dan Hwy-Chang Moon, 2003, From Adam Smith to Michael Porter, Evolusi
Teori Daya Saing.
J ICA, 2003, The Study in Strengthening Capacity of SME Cluster in Indonesia, Tidak
diterbitkan, K
Lincoln Arsyad, 1999, Pengantar Perencanaan dan Pembangunan Ekonomi Daerah, BPFE
Yogyakarta.
Mahmud Thoha (Penyunting), 2002, Globalisasi, Krisis Ekonom, dan Kebangki
Kerakyatan, Pustaka Quantum.
Dan Stamer, 2003, The PACA Book of Concepts, www.meso
Kuncoro, Mudrajad dan Sumarno, Simon Bambangm, 2003, Indonesias Clove Cigarette
Industri : Scp and Cluster Analysis, 5
th
Philip S. Purnama, 2003, Harapan Dunia Bisnis Indonesia untuk Memiliki Dya Saing
Nasional, Diskusi Panel MMA-IPB.
Porter, Michael E., 1993/1994, Keunggulan Bersaing, Menciptakan dan Mempertahankan
Kinerja Unggul, Harvard Busin
Rustiani, Frida dan Maspiyati, 1996, Usaha Rakyat dalam Pola Desentralisasi Produksi
Subkontrak, Yayasan Akatiga.
Rosenfeld, Stuart A, 1997, Bringing Business Clusters Into The Mainstream of Economic
Development, Eurepean Pl
S
23

You might also like