You are on page 1of 27

LAPORAN PROBLEM BASED LEARNING I

BLOK EARLY CLINICAL AND COMMUNITY EXPOSURE II







Tutor :
Tutor : dr. Nur Signa Aini Gumilas

Oleh :
Kelompok 8
Reza Amorga G1A011023
Paramita Deniswara G1A011024
Rian Ainunnahqi G1A011025
Arrosy Syarifah G1A011059
Ainul Mardliyah G1A011060
Go Ferra G1A011061
Mega Siti Fasicha G1A011095
Pratiwi Ariefianti G1A011096
Stella Gracia O G1A011097
Niswati Anwar G1A011116
Windarto G1A010036


KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU ILMU KESEHATAN
JURUSAN KEDOKTERAN
PURWOKERTO

2014

I. PENDAHULUAN

Proses belajar memiliki berbagai metode pembelajaran dalam rangka
mencapai sasaran belajar dan kompetensi yang diharapkan untuk mahasiswa
yang bersangkutan. Salah satu metode pembelajaran tersebut adalah dengan
metode Problem Based Learning, yakni suatu metode belajar dengan model
diskusi pembelajaran bersama terhadap skenario kasus tertentu yang menuntut
mahasiswa berperan aktif secara individu. Tujuan dari pbl ini yaitu :
a. Mengembangkan kemampuan untuk mengidentifikasi masalah kesehatan
dari skenario masalah yang berisi patient problem.
b. Melatih kemampuan generic learning skills, dan memahami serta
menghubungkan basic sciences dengan clinical sciences.
c. Meningkatkan penguasaan soft skills yang meliputi kepemimpinan,
profesionalisme, ketrampilan komunikasi, kemampuan untuk bekerja sama
dan bekerja dalam tim, ketrampilan untuk berpikir secara kritis,serta
kemampuan untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi (Cline,2005).
d. Melatih karakter student centred learning,self directed learning dan adult
learning.
Dalam memahami dan mendalami permasalahan yang telah tersedia
melalui penerapan seven jumps, yaitu:
1. Klarifikasi istilah
2. Batasan masalah
3. Analisa masalah
4. Pembahasan masalah
5. Kesimpulan



II. PEMBAHASAN
Informasi I
Ny. Tresta, usia 16 tahun, datang ke UGD RS Margono dengan rujukan
dari praktek bidan swasta dikarenakan penurunan kesadaran. Dikatakan oleh
bidan tersebut bahwa Ny. T baru saja melahirkan seorang bayi perempuan di
klinik tersebut. Persalinan berlangsung lebih lama dari waktu yang seharusnya.
Plasenta lahir lengkap. Injeksi oxcytocin post partum telah disuntikkan.
Eksplorasi jalan lahir dilakukan, tidak ada robekan pada mulut rahim, terdapat
robekan pada vagina dan perineum, telah dijahit.
Namun perdarahan aktif terus berlangsung selama hampir 2 jam dari jalan
lahir. Lama-kelamaan pasien lemas dan pingsan. Pasien hanya melakukan
pemeriksaan kehamilan 1 kali, 1 minggu sebelum melahirkan, dilakukan di bidan
tsb, dikatakan pasien tidak pernah minum suplemen zat besi maupun kalsium
selama hamil.

Informasi II
Riwayat Penyakit Dahulu (RPD)
Darah tinggi sebelum dan selama kehamilan disangkal
Riwayat penyakit jantung, ginjal, asma, kencing manis disangkal
Riwayat Penyakit Keluarga (RPK)
Tidak ada keluarga yang pernah seperti ini saat melahirkan
Tidak ada riwayat darah tinggi, penyakit jantung, ginjal, asma, maupun kencing
manis
Riwayat Haid
- Menarche : 11 tahun
- Siklus Haid : 28 hari
- Jumlah : 4x ganti pembalut/hari
- Lamanya : 5-6 hari
- HPL : 1 minggu sebelum pasien melahirkan


Riwayat Perkawinan
Menikah 1 x, usia menikah 16 tahun, menikah setelah hamil 3 bulan
Riwayat Kontrasepsi
Pasien tidak pernah menggunakan alat kontrasepsi
Riwayat Imunisasi
Suntikan tetanus 1 kali

Informasi III

Pemeriksaan Fisik
Status Generalis
Keadaan Umum : Lemah, kesadaran menurun
Kesadaran : Somnolen
Tekanan Darah : 60 mmHg/palpasi
Nadi : 145x/menit, lemah
RR : 32 x/menit
Suhu : 36,5
o
C
Kulit : khloasma gravidarum (+)
Mata : konjungtiva palpebra pucat +/+, sklera ikterik -/-
Gigi/mulut : caries (-), mukosa pucat
Thoraks : Paru : suara dasar vesikuler, suara tambahan (-)
Jantung : BJ I-II murni, murmur (-), gallop (-)
Abdomen : Membuncit, hepar, dan lien sulit dinilai
Ekstremitas : Akral dingin (+/+)

Status Obstetrik
Abdomen : teraba uterus 4 jari di atas pusat, konsistensi lembek
Inspikulo : Portio uteri intak, buka 2 jari. Terdapat 8 jahitan pada mukosa
vagina ke arah perineum, perdarahan aktif dari jahitan (-)
PPV : darah merah segar, terus mengalir


Pemeriksaan Penunjang
Hb : 3 gr% Trombosit : 120.000 gr%
Leukosit : 12.000 gr% LED : 15 mm/jam
PT : 12 Hematokrit : 11 vol%
aPTT : 32 Eritrosit : 2,9 juta/ul

Informasi IV
Diagnosa
Ny. T P1A0 dengan Syok Hipovolemik e.c. perdarahan post partum e.c. atonia
uteri
Penatalaksanaan
Medikamentosa
- Oksigenasi dengan O
2
5-71/menit sungkup
- Pasang IVFD RL 2 jalur dengan iv cath uk 18 G, guyur, sambil monitor
tanda vital. Bila setelah 3000 ml TDS < 90 mmHg (MAP< 65mmHg)
pertimbangkan pemberian koloid
- Masukkan drip oxytocin 20 iu dan Methergin 0,4 mg
- Misoprostol 4 tablet per rektal
- Transfusi PRC
Non Medikamentosa
- Pasang Kateter, evaluasi urin, target urin > 0,5 cc/kgbb/jam
- Masase Uterus
- Kompresi uterus bimanual
- Konsul untuk pemasangan CVC
- Konsul Sp.OG

A. KLARIFIKASI ISTILAH
1. Oxcytocin: Hormon hipotalamus yang tersimpan di hipofisis posterior
yang berfungsi mengkontraksikan uterus dan menyebarkan ASI
(Dorland, 2011).
2. 60 mmHg/Palpasi: Dengan cara ini hanya dapat diukur tekanan
sistolik. Metode palpasi harus di lakukan sebelum melakukan
auskultasi untuk menentukan tinggi tekanan yang diharapkan. Palpasi
juga dilakukan bila tekanan darah sulit di dengarkan. Tetapi, dengan
Palpasi tekanan diastolic tidak dapat ditentukan dengan akurat. Nilai
minimum dari systole dapat dihitung secara kasar tanpa perlatan
dengan cara palpasi. Pada umumnya dipakai dalam keadaan darurat.
Palpasi dari arteri radial indikasi tekanan darahnya yaitu 80 mmHg,
arteri femuralis paling rendah 70 mmHg, dan nadi karotis minimal 60
mmHg (Kusmiyati, 2009).
3. Chloasma gravidarum: Chloasma atau melasma adalah bintik-bintik
pigmen kecoklatan yang tampak di kulit kening dan pipi. Peningkatan
pigmentasi juga terjadi di sekeliling puting susu, sedangkan di perut
bagian bawah tengah biasanya tampak garis gelap yaitu spiteder
angioma (pembuluh darah kecil yang memberi gambaran seperti laba-
laba), bisa muncul di kulit, di atas pinggang. Melasma berkaitan
dengan perubahan hormonal karena muncul pada sebagian besar ibu
pada masa hamil (Sulistyawati, 2011).


B. BATASAN MASALAH
Identitas pasien
Nama : Ny. Tresta
Umur : 16 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Keluhan utama : Penurunan kesadaran
Onset : baru saja
Kronologi : melahirkan dengan partus lama, plasenta lengkap,
robekan telah dijahit. Perdarahan terjadi selama 2 jam, lalu mengalami lemas
akhirnya pingsan
Faktor memperberat : (-)
Faktor mrmperingan : (-)
Gejala penyerta : (-)
Riwayat ANC : 1x, seminggu sebelum melahirkan




C. ANALISIS MASALAH
1. Jenis-jenis pasien menurut kondisinya
2. Tingkat kesadaran
3. Diagnosis dan management pasien gawat
4. Partus lama
5. Jenis terapi cairan
6. Penanganan shock secara umum
7. Shock hypovolemic
8. Mekanisme shock hypovolemic
9. Perdarahan postpartum
10. Etiologi perdarahan postpartum

D. PEMBAHASAN ANALISIS MASALAH
1. Jenis-jenis pasien menurut kondisinya
Menurut kondisinya, pasien dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu
sebagai berikut (,):
a. Pasien Gawat Darurat
Pasien yang butuh tindakan segera yang jika tidak tertolong segera
dapat mengancam nyawa dan/atau berakibat kecacatan.
b. Pasien Gawat Tidak Darurat
Pasien gawat, namun tidak perlu tindakan segera.
c. Pasien Darurat Tidak Gawat
Pasien yang harus segera ditangani, tetapi kondisinya tidak
mengancam nyawa.
d. Pasien Tidak Gawat Tidak Darurat
Pasien yang kondisinya tidak harus segera ditangani dan tidak
mengancam nyawa.

2. Tingkat kesadaran
Tingkat kesadaran pasien dapat diukur secara kualitatif maupun
kuantitatif, berikut penjelasannya (Mardjono, 2009):
a. Secara kualitatif
1) Compos Mentis (conscious), yaitu kesadaran normal, sadar
sepenuhnya, dapat menjawab semua pertanyaan tentang keadaan
sekelilingnya.
2) Apatis, yaitu keadaan kesadaran yang segan untuk berhubungan
dengan sekitarnya, sikapnya acuh tak acuh.
3) Delirium, yaitu gelisah, disorientasi (orang, tempat, waktu),
memberontak, berteriak-teriak, berhalusinasi, kadang berhayal.
4) Somnolen (Obtundasi, Letargi), yaitu kesadaran menurun, respon
psikomotor yang lambat, mudah tertidur, namun kesadaran dapat
pulih bila dirangsang (mudah dibangunkan) tetapi jatuh tertidur
lagi, mampu memberi jawaban verbal.
5) Stupor (soporo koma), yaitu keadaan seperti tertidur lelap, tetapi
ada respon terhadap nyeri.
6) Coma (comatose), yaitu tidak bisa dibangunkan, tidak ada respon
terhadap rangsangan apapun (tidak ada respon kornea maupun
reflek muntah, mungkin juga tidak ada respon pupil terhadap
cahaya).
b. Secara Kuantitatif dengan GCS ( Glasgow Coma Scale )
Menilai respon membuka mata (E)
(4) : membuka mata spontan
(3) : dengan rangsang suara (suruh pasien membuka mata).
(2) : dengan rangsang nyeri (berikan rangsangan nyeri, misalnya
menekan kuku jari)
(1) : tidak ada respon
Menilai respon Verbal/respon Bicara (V)
(5) : orientasi baik
(4) : bingung, berbicara mengacau ( sering bertanya berulang-ulang )
disorientasi tempat dan waktu.
(3) : kata-kata saja (berbicara tidak jelas, tapi kata-kata masih jelas,
namun tidak dalam satu kalimat. Misalnya aduh, bapak)
(2) : suara tanpa arti (mengerang)
(1) : tidak ada respon
Menilai respon motorik (M)
(6) : bisa mengikuti perintah
(5) : melokalisir nyeri (menjangkau & menjauhkan stimulus saat diberi
rangsang nyeri)
(4) : withdraws (menghindar / menarik extremitas atau tubuh menjauhi
stimulus saat diberi rangsang nyeri)
(3) : flexi abnormal (tangan satu atau keduanya posisi kaku diatas dada
& kaki extensi saat diberi rangsang nyeri).
(2) : extensi abnormal (tangan satu atau keduanya extensi di sisi tubuh,
dengan jari mengepal & kaki extensi saat diberi rangsang nyeri).
(1) : tidak ada respon
Hasil pemeriksaan tingkat kesadaran berdasarkan GCS disajikan dalam
simbol EVM Selanutnya dijumlahkan nilainya. Nilai GCS yang
tertinggi adalah 15 dan terendah adalah 3.
(Compos Mentis(GCS: 15-14) / Apatis (GCS: 13-12) / Somnolen(11-10) /
Delirium (GCS: 9-7)/ Sporo coma (GCS: 6-4) / Coma (GCS: 3).

3. Diagnosa dan management pasien gawat darurat.
a. Triage

Gambar 1. Algoritma Simple Triage And Rapid Treatment (START) (U.S.
Department of Health & Human Services, 2013)
http://chemm.nlm.nih.gov/startadult.htm

b. Survei Primer
Survei primer (initial assessment) dirancang untuk membantu
Emergency Medical Responder mendeteksi semua kejadian yang
mengancam hidup yang biasanya melibatkan airway, breathing, dan
circulation (ABC) pasien, dan masing-masing dikoreksi sesuai gejala yang
ditemukan.
Survei primer memiliki enam komponen;
1) Melihat kesan umum pasien
Kesan umum akan membantu dalam memutuskan keseriusan
kondisi pasien berdasarkan tingkat distres dan status mental.
2) Kaji status mental pasien
Langkah ini untuk menentukan apakah pasien responsif atau tidak
responsif. Klasifikasikan pasien dengan skala AVPU
a) A - Alert. Pasien alert akan terjaga, responsif, berorientasi, dan
dapat berbicara.
b) V - Verbal. Pasien yang tampaknya tidak responsif pada
awalnya, tapi akan merespon pada stimulus verbal yang keras.
Perhatikan bahwa istilah verbal tidak berarti bahwa pasien
menjawab pertanyaan atau memulai percakapan. Pasien dapat
berbicara, mendengus, mengerang, atau hanya memperhatikan
dokter.
c) P - Painful. Jika pasien tidak merespon terhadap rangsangan
verbal, ia dapat menanggapi rangsangan yang menyakitkan
seperti gosokan pada sternum (tulang dada) atau sejumput
lembut pada bahu
d) U - Unresponsif. Jika pasien tidak merespon baik stimulus
yang menyakitkan atau lisan
3) Menilai airway (jalan nafas pasien)
Perhatikan apakah jalan napas pasien terbuka. Jika pasien tidak
responsive, stabilkan kepala dan leher lakukan jaw-thrust
maneuver untuk memastikan jalan napas terbuka. Jika Anda tidak
menduga cedera tulang belakang bisa dilakukan dengan
memiringkan kepala, atau chin lift maneuver.
4) Menilai breathing
Lihat apakah pasien bernapas secara adekuat. Dengan jalan napas
dibiarkan terbuka, dokter menempatkan telinga pada hidung pasien
dan mulut dan memperhatikan gerakan dada, perhatikan simetris
atau tida. Rasakan adanya udara yang dihembuskan. Dengarkan
kualitas suara napas. Sporadic respiration disebut pernapasan
agonal dan terjadi sesaat sebelum kematian.
5) Menilai sirkulasi pasien (denyut nadi dan perdarahan)
Perhatikan apakah pasien memiliki denyut nadi yang normal dan
apakah terdapat pendarahan serius. Selain itu tanyakan apakah
pasien kehilangan sejumlah besar darah sebelumnya.
a) Jika pasien tidak bernapas periksa denyut nadi di leher
(karotid) .
b) Jika pasien bernapas Anda dapat memeriksa karotis atau
denyut nadi di pergelangan tangan (radial)
c) Jika apabila denyut arteri karotis teraba tapi denyut arteri
radialis tidak, maka mungkin pasien sudah mengalami syok.
Denyut nadi cepat atau lemah juga mungkin merupakan tanda
syok.
d) Meskipun pendarahan yang tidak terkontrol dapat mengancam
nyawa, akan tetapi hal tersebut hanya diperhatikan selama
penilaian awal
e) Darah yang merah terang dan muncrat bisa berasal dari arteri
f) Darah yang berwarna lebih gelap biasanya berasal vena
g) Perhatikan total darah yang hilang, bukan hanya seberapa
cepat atau lambat pendarahan.
h) Penilaian sirkulasi juga mencakup pemeriksaan tanda-tanda
pada kulit meliputi warna, suhu, dan kelembaban. Temuan
abnormal seperti akral dingin, kulit lembab pucat dapat
mengindikasikan syok.
6) Membuat keputusan tentang prioritas atau urgensi dari pasien
untuk transportasi
(U.S. Department of Health & Human Services, 2013)

c. Survei sekunder
Menanyakan riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik harus
dilakukan setelah survei primer. Hal ini diasumsikan bahwa masalah yang
mengancam jiwa telah ditemukan dan diperbaiki. Jika pasien memiliki
masalah yang mengancam jiwa yang memerlukan intervensi (yaitu CPR)
mungkin belum perlu melakukan komponen ini. Tujuan utama langkah ini
adalah untuk menemukan dan merawat luka tertentu pada pasien atau
masalah medis.
1) Riwayat pasien
Cari informasi tentang riwayat pasien termasuk informasi yang
berkaitan dengan keluhan saat ini atau kondisi, serta masalah medis
di masa lalu yang mungkin berhubungan. Bila diperlukan tanyakan
pada keluarga atau wali yang menemani.
Akronim untuk mendapatkan riwayat pasien:
S - Tanda / gejala (Sign)
A - Alergi
M - Obat-obatan (Medication)
P - terkait riwayat kesehatan masa lalu (Pertinent past medical
history)
L - Terakhir asupan oral (Last oral intake)
E - Peristiwa yang mengarah ke penyakit atau cedera (Events
leading to the illness or injury)
2) Rapid Assessment
Pemeriksaan Head to Toe secara cepat dan tidak mendetail untuk
pasien yang kritis. Anda dengan cepat akan menilai kepala pasien,
leher, dada, perut, panggul, ekstremitas dan eksterior.


3) Focused Assessment
Pemeriksaan fisik yang dilakukan pada pasien yang stabil,
berfokus pada cedera tertentu atau keluhan medis. Informasi yang
paling penting diperoleh melalui riwayat pasien dan pemeriksaan
tanda-tanda vital. Fokus pemeriksaan pada bagian tubuh
dikeluhkan pasien.
4) Tanda-tanda vital
Pemeriksaan nadi, pernapasan, tanda-tanda klinis pada kulit, pupil,
tekanan darah dan bisa ditambahkan pemeriksaan saturasi oksigen
darah.
5) Nadi (frekuensi, irama, dan kekuatan)
6) Respirasi (kedalaman, suara, dan kemudahan bernapas)
7) Tanda-tanda klinis kulit (warna, suhu, dan kelembaban)
8) Pupil
Periksa ukuran, simetris atau tidak, dan reaksi terhadap cahaya.
(U.S. Department of Health & Human Services, 2013)

Pada Ny. Tresta
1. Triage : Syok berat (Merah)
2. Survei primer:
a. Kesan umum: Lemah, kesadaran menurun
b. Status mental: somnolen / unresponsive
c. Airway: bebaskan jalan nafas dengan suction kemudia dapat
dilakukan jaw-thrust maneuver, chin lift maneuver, orofaringeal
tube, dan nasofarigneal tube.
d. Breathing: Oksigen 0,25 10L/menit
e. Circulation: Pasang infuse IV satu atau lebih. Berikan cairan
isotonis ringer laktat 20ml/KgBB, ulangi lagi setelah 30 menit 1
jam 1000-2000mL.
3. Survei sekunder:
a. Riwayat penyakit dahulu (SAMPLE)
b. Riwayat penyakit keluarga
c. Riwayat haid
d. Riwayat perkawinan
e. Riwayat kontrasepsi
f. Riwayat imunisasi
g. Vital sign, pemeriksaan pupil
h. Status generalis
i. Status obstetri
j. Pemeriksaan laboratorium penunjang
k. Pemeriksaan USG
l. Penanganan Atonia uteri
4. Partus lama
Partus dapat disebut Partus Lama apabila memenuhi kondisi
sebagai berikut (Forte, 2006) :
a. Kala I
1. Fase laten memanjang
Fase ini melampaui 20 jam pada primi dan 14 jam pada multi.
Etiologinya biasanya adalah cervix belum matang pada awal
persalinan, posisi janin abnormal dan persalinan disfungsional.
2. Fase aktif memanjang
Pada primi, fase aktif lebih dari 12 jam maka dikatakan abnormal
dan pada multi apabila fase aktif lebih dari 6 jam dikatakan
abnormal.
b. Kala II
Apabila cervix mencapai dilatasi penuh, waktu sampai dengan
terjadinya kelahiran tidak lebih dari 2 jam pada primi dan 1 jam pada
multi.

5. Jenis terapi cairan
a. Cairan Kristaloid (Hartanto, 2007)
Cairan ini mempunyai komposisi mirip cairan ekstraseluler (CES =
CEF). Cairan kristaloid bila diberikan dalam jumlah cukup (3-4 kali cairan
koloid) ternyata sama efektifnya seperti pemberian cairan koloid untuk
mengatasi defisit volume intravaskuler. Waktu paruh cairan kristaloid di
ruang intravaskuler sekitar 20-30 menit.
Larutan Ringer Laktat merupakan cairan kristaloid yang paling banyak
digunakan untuk resusitasi cairan walau agak hipotonis dengan susunan
yang hampir menyerupai cairan intravaskuler. Laktat yang terkandung
dalam cairan tersebut akan mengalami metabolisme di hati menjadi
bikarbonat. Cairan kristaloid lainnya yang sering digunakan adalah NaCl
0,9%, tetapi bila diberikan berlebih dapat mengakibatkan asidosis
hiperkloremik (delutional hyperchloremic acidosis) dan menurunnya kadar
bikarbonat plasma akibat peningkatan klorida.
Karena perbedaan sifat antara koloid dan kristaloid dimana kristaloid
akan lebih banyak menyebar ke ruang interstitiel dibandingkan dengan
koloid maka kristaloid sebaiknya dipilih untuk resusitasi defisit cairan di
ruang interstitiel.
Pada suatu penelitian mengemukakan bahwa walaupun dalam jumlah
sedikit larutan kristaloid akan masuk ruang interstitiel sehingga timbul
edema perifer dan paru serta berakibat terganggunya oksigenasi jaringan
dan edema jaringan luka, apabila seseorang mendapat infus 1 liter NaCl
0,9. Selain itu, pemberian cairan kristaloid berlebihan juga dapat
menyebabkan edema otak dan meningkatnya tekanan intra kranial.
b. Cairan Koloid (Hartanto, 2007)
Disebut juga sebagai cairan pengganti plasma atau biasa disebut
plasma substitute atau plasma expander. Di dalam cairan koloid
terdapat zat/bahan yang mempunyai berat molekul tinggi dengan aktivitas
osmotik yang menyebabkan cairan ini cenderung bertahan agak lama
(waktu paruh 3-6 jam) dalam ruang intravaskuler. Oleh karena itu koloid
sering digunakan untuk resusitasi cairan secara cepat terutama pada syok
hipovolemik/hermorhagik atau pada penderita dengan hipoalbuminemia
berat dan kehilangan protein yang banyak (misal luka bakar).

6. Penanganan shock secara umum
Penanggulangan syok dimulai dengan tindakan umum yang
bertujuan untuk memperbaiki perfusi jaringan; memperbaiki oksigenasi
tubuh; dan mempertahankan suhu tubuh. Tindakan ini tidak bergantung
pada penyebab syok. Diagnosis harus segera ditegakkan sehingga dapat
diberikan pengobatan kausal. Segera berikan pertolongan pertama sesuai
dengan prinsip resusitasi ABC. Jalan nafas (A = air way) harus bebas
kalau perlu dengan pemasangan pipa endotrakeal. Pernafasan (B =
breathing) harus terjamin, kalau perlu dengan memberikan ventilasi buatan
dan pemberian oksigen 100%. Defisit volume peredaran darah (C =
circulation) pada syok hipovolemik sejati atau hipovolemia relatif (syok
septik, syok neurogenik, dan syok anafilaktik) harus diatasi dengan
pemberian cairan intravena dan bila perlu pemberian obat-obatan inotropik
untuk mempertahankan fungsi jantung atau obat vasokonstriktor untuk
mengatasi vasodilatasi perifer (Fitria, 2010).
Segera menghentikan perdarahan yang terlihat dan mengatasi nyeri
yang hebat, yang juga bisa merupakan penyebab syok. Pada syok septik,
sumber sepsis harus dicari dan ditanggulangi. Langkah-langkah yang perlu
dilakukan sebagai pertolongan pertama dalam menghadapi syok (Fitria,
2010):
a. Posisi Tubuh
Posisi tubuh penderita diletakkan berdasarkan letak luka.
Secara umum posisi penderita dibaringkan telentang dengan tujuan
meningkatkan aliran darah ke organ-organ vital. Apabila terdapat
trauma pada leher dan tulang belakang, penderita jangan digerakkan
sampai persiapan transportasi selesai, kecuali untuk menghindari
terjadinya luka yang lebih parah atau untuk memberikan pertolongan
pertama seperti pertolongan untuk membebaskan jalan napas.
Penderita yang mengalami luka parah pada bagian bawah
muka, atau penderita tidak sadar, harus dibaringkan pada salah satu
sisi tubuh (berbaring miring) untuk memudahkan cairan keluar dari
rongga mulut dan untuk menghindari sumbatan jalan nafas oleh
muntah atau darah. Penanganan yang sangat penting adalah
meyakinkan bahwa saluran nafas tetap terbuka untuk menghindari
terjadinya asfiksia.
Penderita dengan luka pada kepala dapat dibaringkan telentang
datar atau kepala agak ditinggikan. Tidak dibenarkan posisi kepala
lebih rendah dari bagian tubuh lainnya. Kalau masih ragu tentang
posisi luka penderita, sebaiknya penderita dibaringkan dengan posisi
telentang datar.
Pada penderita-penderita syok hipovolemik, baringkan
penderita telentang dengan kaki ditinggikan 30 cm sehingga aliran
darah balik ke jantung lebih besar dan tekanan darah menjadi
meningkat. Tetapi bila penderita menjadi lebih sukar bernafas atau
penderita menjadi kesakitan segera turunkan kakinya kembali.

b. Pertahankan Respirasi
Bebaskan jalan napas. Lakukan penghisapan, bila ada sekresi atau
muntah. Tengadah kepala-topang dagu, kalau perlu pasang alat bantu
jalan nafas (Gudel/oropharingeal airway). Berikan oksigen 6 liter/menit
Bila pernapasan/ventilasi tidak adekuat, berikan oksigen dengan pompa
sungkup (Ambu bag) atau ETT.
c. Pertahankan Sirkulasi
Segera pasang infus intravena. Bisa lebih dari satu infus. Pantau
nadi, tekanan darah, warna kulit, isi vena, produksi urin, dan (CVP).

7. Shock hypovolemic

a. Definisi
Syok merupakan gangguan sirkulasi yang diartikan sebagai kondisi
tidak adekuatnya transport oksigen ke jaringan atau perfusi yang
diakibatkan oleh gangguan hemodinamik. Gangguan hemodinamik
tersebut dapat berupa penurunan tahanan vaskuler sitemik terutama di
arteri, berkurangnya darah balik, penurunan pengisian ventrikel dan
sangat kecilnya curah jantung. Dengan demikian syok dapat terjadi oleh
berbagai macam sebab dan dengan melalui berbagai proses (Manuaba,
2001) .
Syok hipovolemik merupakan syok yang terjadi akibat
berkurangnya volume darah di intravaskuler, volume darah yang beredar
berkurang secara absolut (hipo-volemia). Maka, sekalipun unsur yang
lain tetap baik, cardiac output akan berkurang walaupun unsur yang lain
berkompensasi (jantung berdenyut lebih cepat, pembuluh darah
vasokonstriksi). Masalah baru selesai jika volume diisi kembali sarnpai
normal (Hardisman, 2013).

b. Etiologi
Syok ini dapat terjadi akibat perdarahan hebat (hemoragik), trauma
yang menyebabkan perpindahan cairan (ekstravasasi) ke ruang tubuh non
fungsional, dan dehidrasi berat. Kasus-kasus syok hipovolemik yang
paling sering ditemukan disebabkan oleh perdarahan sehingga syok
hipovolemik dikenal juga dengan syok hemoragik. Perdarahan hebat dapat
disebabkan oleh berbagai trauma hebat pada organ tubuh yang disertai
luka atau luka langsung pada pembuluh darah utama (Hardisman, 2013).
Pada kegawatdaruratan obstetri syok hipovolemik/hemoragik terjai
karena (Prawirohardjo, 2009) :
1. Perdarahan antepartum : plasenta previa, solusio plasenta dan ruptur
uteri
2. Perdarahan pasca persalinan : atonia uteri dan laserasi serviks/vagina.

c. Gejala syok
Gejala syok antara lain (Manuaba, 2001) :
1. Tekanan darah menurun
2. Nadi cepat dan lemah
3. Kesadaran menurun
4. Kulit pucat
5. Keringat dingin
6. Sianosis jari
7. Sesak nafas
8. Penglihatan kabur
9. Gelisah
10. Oligouri/anuria
11. Haus
12. Mual

d. Tatalaksana syok hipovolemik
1. Tujuan penanganan syok :
a) Menstabilkan kondisi pasien
b) Memperbaiki volume cairan sirkulasi darah
c) Mengefisiensikan sistem sirkulasi darah
d) Memperbaiki perfusi jaringan
2. Prinsip pertama kegawatdaruratan ABC
a) Airway : menjaga fungsi saluran nafas
b) Breathing : menjaga fungsi pernafasan
c) Circulation : menjaga fungsi sirkulasi darah
(Prawiroharjdo, 2009)

3. Algortima penanganan syok hipovolemik (Sharene, 2007)

Penderita perdarahan
Posisikan pasien dengan posisi kedua tungkai dinaikkan

Pasang 2 infus jarum besar (2 jalur)
Catat perfusi, nadi, tekanan darah dan (produksi urine)
Ambil contoh darah, siapkan darah donor 500-1000 cc

infusi ringer laktat atau NaCl 0.9%
1000-2000 cc secepat mungkin dalam - 1 Jam

1.Bila hemodinamik baik
perfusi hangat, kering, merah
tekanan darah > 100, nadi < 100
teruskan cairan menetes lambat
Biasanya tidak perlu transfusi

2. Bila hemodinamik tetap buruk
Berikan lagi bolus 1000-2000 ml
Sampai 2-4 x lost volume

2a. Bila kemudian hemodinamik baik
Periksa kadar Hb. Bila < 8 gm/dl, dapat diberikan transfusi pelan-pelan
Kalau tekanan darah baik, transfusi dapat ditunda
Sampai sumber perdarahan terkuasai.

2b. Bila hemodinamik tetap buruk
Transfusi segera diberikan.



4. Terapi farmakologi ( Prawirohardjo, 2009) :
a) Analgesik : Morfin 10-15 IV jika ada rasa sakit, kerusakan jaringan /
gelisah
b) Kortikosteroid : hidrokortison 1g / deksametason 20 mg IV. Untuk
penurunan resistensi perifer dan meningkatkan kerja jantung dan
perfusi jaringan.
c) Sodium bikarbonat : 100 mEq IV jika ada asidosis
d) Vasopresor untuk meningkatkan tensi dan pertahankan fungsi renal:
dopamin 2,5 mg/kg/menit IV pilihan utama diberikan jika
hipovolemik sudah teratasi.
5. Monitoring (Prawirohardjo, 2009) :
a) Central venous pressure : normal 10-12 cm air
b) Nadi
c) TD
d) Produksi urin
e) Tekanan kapiler paru
f) Perbaikan klinik : pucat, sianosis, sesak, keringat dingin dan
kesadaran.

Jika terjadi atonia uteri lakukan masase uterus, berikan suntikan metil
ergometrin (0,2 mg) IV dan oksitosin IV atau per infus, bila gagal hentikan
pendarahan lanjutkan dengan ligasi a hipogastrika atau histerektomi.

e. Komplikasi
Syok yang tidak dapat teratasi akan merusak jaringan di berbagai organ,
sehingga dapat terjadi :
1. Gagal ginjal akut
2. Nekrosis hipofise ( syndroma sheehan )
3. Koagulasi intravaskular diseminata ( DIC)
(Prawirohardjo, 2009)



8. Mekanisme shock hypovolemic
Syok hipovolemik merupakan syok yang terjadi akaibat
berkurangnya volume plasma di intravaskuler. Syok ini dapat terjadi
akibat perdarahan hebat (hemoragik), trauma yang menyebabkan
perpindahan cairan (ekstravasasi) ke ruang tubuh non fungsional, dan
dehidrasi berat oleh berbagai sebab seperti luka bakar dan diare berat.
Kasus-kasus syok hipovolemik yang paing sering ditemukan disebabkan
oleh perdarahan sehingga syok hipovolemik dikenal juga dengan syok
hemoragik. Perdarahan hebat dapat disebabkan oleh berbagai trauma hebat
pada organorgan tubuh atau fraktur yang yang disertai dengan luka
ataupun luka langsung pada pembuluh arteri utama (Hardisman, 2013).
Terjadinya penurunan hebat volume intravaskuler apakah akibat
perdarahan atau dehidrasi akibat sebab lain maka darah yang balik ke
jantung (venous return) juga berkurang dengan hebat, sehingga curah
jantung pun menurun. Pada akhirnya ambilan oksigen di paru juga
menurun dan asupan oksigen ke jaringan atau sel (perfusi) juga tidak dapat
dipenuhi. Begitu juga halnya bila terjadi gangguan primer di jantung, bila
otot-otot jantung melemah yang menyebabkan kontraktilitasnya tidak
sempurna, sehingga tidak dapat memompa darah dengan baik dan curah
jantungpun menurun. Pada kondisi ini meskipun volume sirkulasi cukup
tetapi tidak ada tekanan yang optimal untuk memompakan darah yang
dapat memenuhi kebutuhan oksigen jaringan, akibatnya perfusi juga tidak
terpenuhi (Hardisman, 2013).
Bila terjadi kehilangan darah, maka respon simpatisakan bekerja.
Pada jantung terdapat resesptor beta, rangsangan simpatis pada otot
jantung atau reaksi adrenalin dengan reseptor beta-1 menyebabkan
peningkatan frekuensi (kronotropik) dan kontraktilitas otot jantung
(inotropik). Efek adrenergik pada pembuluh terjadi melalui reaksi
neurotrasmiternya dengan reseptor alfa-1, yang menyebabkan terjadinya
vasokontriksi arteri dan vena. Sedangkan efek pada saluran pernafasan
terutama bronkhus adalah dilatasi (melalui reseptor beta-2). Namun bila
gangguan yang terjadi sangat berlebihan, maka kompensasi autoregulasi
tidak dapat lagi dilakukan sehingga menimbulkan gejala-gejala klinis
(Hardisman, 2013).

9. Perdarahan Post Partum
Perdarahan postpartum merupakan hilangnya darah > 500ml melalui
vagina/ >1000ml melalui abdominal (sectio caesarea) setelah kala tiga
persalinan selesai (Smith, 2012).
Klasifikasi:
a. Primer : terjadi < 24 jam
b. Sekunder : terjadi > 24 jam

10. Etiologi perdarahan postpartum
Penyebab terjadinya perdarahan post partum (Saifuddin et al., 2008):
a. Tonus : Atonia Uteri
Atonia uteri merupakan keadaan lemahnya kontraksi uterus
yang menyebabkan uterus tidak mampu menutup perdarahan
terbuka dari tempat implantasi plasenta setelah lahir. Diagnosa
ditegakkan bila setelah bayi dan plasenta lahir ternyata perdarahan
masih aktif dan banyak, bergumpal dan pada palpasi fundus uteri
masih setinggi pusat dan konsistensi lembek.

b. Tissue : Retensio plasenta
Retensio plasenta merupakan keadaan dimana plasenta tetap
tertinggal dalam uterus dalam waktu lebih dari 30 menit. Plasenta
yang sukar dilepaskan dengan pertolongan aktif kala 3 disebabkan
oleh adhesi yang kuat antara plasenta dan uterus. Berikut ada
beberapa macam perlekatan antara plasenta dan uterus :
1) Plasenta akreta : implantasi menembus desidua basalis dan
Nilabuch layer
2) Plasenta inkreta : implantasi menembus miometrium
3) Plasenta perkreta : implantasi vili korialis sampai perimetrium


c. Trauma : Laserasi jalan lahir, Inversi uteri
Laserasi jalan lahir pada umumnya terjadi pada persalinan
dengan trauma. Robekan jalan lahir biasanya akibat episiotomi,
robekan spontan perineum, trauma forseps atau vakum ekstraksi
atau karena versi ekstraksi. Oleh karena itu, pada setiap persalinan
hendaklah dilakukan inspeksi yang teliti untuk mencari
kemungkinan adanya robekan. Perdarahan yang terjadi saat
kontraksi uterus baik, biasanya karena ada robekan. Pemeriksaan
dapat dilakukan dengan cara melakukan inspeksi pada vulva,
vagina, dan serviks dengan memakai spekulum untuk mencari
sumber perdarahan dengan ciri warna darah merah segar dan
pulsatif sesuai denyut nadi. Inversi uteri merupakan salah satu
kegawatdaruratan pada kala III. Inversi uteri merupakan keadaan
dimana lapisan dalam uterus (endometrium) turun dan keluar lewat
ostium uteri eksternum dimana dapat bersifat inkomplit sampai
komplit. Berikut ini merupakan tanda-tanda dari inversio uteri :
1) Syok karena kesakitan
2) Perdarahan banyak bergumpal
3) Di vulva tampak endometrium terbalik dengan atau tanpa
plasenta masih melekat

d. Trombin : Gangguan pembekuan darah
Gangguan pembekuan darah dapat dicurigai bila penyebab
yang lain dapat disingkirkan apalagi disertai ada riwayat pernah
mengalami hal yang sama pada persalinan sebelumnya. Hal ini
menjadi tendensi mudah terjadi perdarahan setiap dilakukan
penjahitan dan perdarahan akan merembes atau timbul hematoma
pada bekas jahitan, suntikan dan rongga hidung. Pada pemeriksaan
aPTT (activated partial thromboplastin time) terjadi pemanjangan
waktu.



III. KESIMPULAN

1. Syok merupakan gangguan sirkulasi yang diartikan sebagai kondisi tidak
adekuatnya transport oksigen ke jaringan atau perfusi yang diakibatkan
oleh gangguan hemodinamik.
2. Pada kegawatdaruratan obstetri syok hipovolemik/hemoragik terjai
karena perdarahan antepartum (plasenta previa, solusio plasenta dan
ruptur uteri) dan perdarahan pasca persalinan (atonia uteri dan laserasi
serviks/vagina).
3. Tujuan penatalaksanaan pasien syok yaitu menstabilkan kondisi pasien,
memperbaiki volume cairan sirkulasi darah, mengefisiensikan sistem
sirkulasi darah, dan memperbaiki perfusi jaringan.









DAFTAR PUSTAKA

Dorland, W.A Newman. 2011. Kamus Saku Kedokteran Dorland Edisi 28 (Alih
Bahasa : Albertus Agung Mahode). Jakarta : EGC
Fitria, Nur. 2010. Syok dan Penangananya. Available at http://www.jurnal.stikes-
aisyiyah.ac.id/index.php/gaster/article/view/60
Forte, Harry. 2006. Ilmu Kebidanan: Patologi dan Fisiologi Persalinan.
Yogyakarta: Yayasan Essentica Medica
Hardisman, 2013. Memahami Patofisiologi dan Aspek Klinik Syok Hipovolemik :
Update dan Penyegar. Jurnal kesehatan Andalas ; 2 (3) 178-180
Hardisman. 2013. Memahami Patofisiologi dan Aspek Klinis Syok Hipovolemik :
Update dan Penyegar. Padang : FK UNAND.
Hartanto, W.W., 2007. Terapi Cairan dan Elektrolit Perioperatif. Bagian
Farmakologi Klinik dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas
Padjadjaran
Kusmiyati. 2009. Mengenal Tekanan Darah dan Pengendaliannya. Vol. 10 No.1,
hal 40-41. Biologi PMIPA FKIP : UNRAM.
Manuaba, IBG. 2001. Kapita Selekta Penatalaksanaan Rutin Obstetri Ginekologi
dan KB. Jakarta : EGC
Mardjono, Mahar. 2009. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta : Dian Rakyat.
Prawirohardjo, Sarwono. 2009. Ilmu Kebidanan. Jakarta : PT Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo
Saifuddin, Abdul B. et al. 2008. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo
Sharene, Pascoe., Joan, Lynch. 2007. Adult Trauma Clinical Practice Guidelines :
Management of Shock Hypovoalemic in Trauma Patient. NSW : Institute
of Trauma and Injury Management
Smith, John R. 2012. Postpartum Hemorrhage. Departement of Obstetric &
Gynecology and Diagnostic Imaging. Ontario: Medscape
Sulistyawati, Ari. 2011. Asuhan Kebidanan Pada Masa Kehamilan. Jakarta:
Salemba Medika.

You might also like