You are on page 1of 14

Nama : Arasy Al Adnin

NIM : 04111001044

1. Apa etiologi dan mekanisme dari:
- Demam tinggi terus menerus
Jawab:
Virus dengue termasuk ke dalam Arthropoda Borne Virus (Arbo virus) dan terdiri dari
4 serotype yaitu DEN 1, 2, 3, dan 4. Infeksi virus dengue untuk pertama kali akan
merangsang terbentuknya atibodi non-netralisasi. Sesuai dengan namanya, antibodi
tersebut tidak bersifat menetralkan replikasi virus, tetapi justru memacu replikasi
virus. Akibatnya terbentuk kompleks imun yang lebih banyak pada infeksi sekunder
oleh serotype lain. Hal itu yang menyebabkan manifestasi klinis infeksi sekunder
lebih berat dibanding infeksi sekunder (Soedarmo, 2002).
Antibodi non-netralisasi yang terbentuk akan bersirkulasi bebas di darah atau
menempel di sel fagosit mononuklear yang merupakan tempat utama infeksi virus
dengue. Antibodi non-netralisasi yang menempel pada sel fagosit mononuklear
berperan sebagai reseptor dan generator replikasi virus. Kemudian virus dengue
dengan mudah masuk dan menginfeksi sel fagosit (mekanisme aferen). Selanjutnya
virus bereplikasi di dalam sel fagosit dan bersama sel fagosit yang telah terinfeksi
akan menyebar ke organ lain seperti hati, usus, limpa, dan sumsum tulang belakang
(mekanisme eferen). Adanya sel fagosit yang terinfeksi akan memicu respon dari sel
imun lain sehingga muncul berbagai manifestasi klinis \yang disebut sebagai
mekanisme efektor (Soedarmo, 2002; Nainggolan et al., 2006).

Gambar 6. Interaksi berbagai sitokin dan produk lainnya selama infeksi virus dengue.
Mekanisme efektor dimulai dengan aktivasi sel T helper (CD4), T sitotoksik (CD8),
dan sistem komplemen oleh sel fagosit yang terinfeksi. Th selanjutnya berdiferensiasi
menjadi Th1 dan Th2. Th1 akan melepaskan IFN-, IL-2, dan limfokin sedangkan
Th2 melepaskan IL-4, IL-5, IL-6, dan IL-10. Selanjutnya IFN- akan merangsang
monosit melepaskan TNF-, IL-1, PAF, IL-6, dan histamin. Limfokin juga
merangsang makrofag melepas IL-1. IL-2 juga merupakan stimulan pelepasan IL-1,
TNF-, dan IFN-. Pada jalur komplemen, kompleks imun akan menyebabkan
aktivasi jalur komplemen sehingga dilepaskan C3a dan C5a (anafilatoksin) yang
meningkatkan jumlah histamin. Hasil akhir respon imun tersebut adalah peningkatan
IL-1, TNF-, IFN-, IL-2, dan histamin (Kresno, 2001; Soedarmo, 2002;
Nainggolan et al., 2006).
IL-1, TNF-, dan IFN- dikenal sebagai pirogen endogen sehingga timbul demam.
IL-1 langsung bekerja pada pusat termoregulator sedangkan TNF- dan IFN- bekerja
tidak secara langsung karena merekalah yang merangsang pelepasan IL-1. Bagaimana
mekanisme IL-1 menyebabkan demam? Daerah spesifik IL-1 adalah pre-optik dan
hipothalamus anterior dimana terdapat corpus callosum lamina terminalis (OVLT).
OVLT terletak di dinding rostral ventriculus III dan merupakan sekelompok saraf
termosensitif (cold dan hot sensitive neurons). IL-1 masuk ke dalam OVLT melalui
kapiler dan merangsang sel memproduksi serta melepaskan PGE2. Selain itu, IL-1
juga dapat memfasilitasi perubahan asam arakhidonat menjadi PGE2. Selanjutnya
PGE2 yang terbentuk akan berdifusi ke dalam hipothalamus atau bereaksi
dengan cold sensitive neurons. Hasil akhir mekanisme tersebut adalah
peningkatan thermostatic set pointyang menyebabkan timbulnya demam (Kresno,
2001; Abdoerrachman, 2002).

2. Apa makna klinis dari:
- Tidak ada riwayat mimisan
Jawab:
Menyingkirkan diagnosis penyakit-penyakit lain yang menimbulkan gejala mimisan
berulang seperti alergi, tumor, talngiektasis hemoragik herediter, penyakit
granulomatosis (sarkoidosis, wegener granulomatosis, tuberkulosis, sifilis, dan
rinoskleroma), leukemia dan lain-lain.

3. Interpretasi dan mekanisme pemeriksaan fisik
- Kepala: konjungtiva tidak pucat, nafas cuping hidung (-)
Jawab:
Kasus Nilai normal Interpretasi
Konjungtiva tidak
pucat
Tidak anemis Normal
Nafas cuping hidung Tidak ada Normal

Kompensasi tubuh
Hipovolemia diawali oleh mekanisme kompensasi tubuh. Denyut jantung dan
resistensi vaskuler meningkat sebagai akibat dari dilepaskannya katekolamin dari
kelenjar adrenal. Curah jantung dan tekanan perfusi jaringan meningkat. Sehingga
terjadi penurunan tekanan hidrostatik kapiler, cairan interstitiel berpindah ke dalam
kompartemen pembuluh darah. Hati dan limpa menambah volume darah dengan
melepaskan sel-sel darah merah dan plasma. Sistem kardiovaskuler berespon dengan
cara melakukan redistribusi darah ke otak, jantung, dan ginjal dan perfusi berkurang
pada kulit, otot, dan saluran gastrointestinal. Di ginjal, renin menstimulasi dirilisnya
aldosteron dan retensi natrium (dan menahan air), di mana hormon antidiuretik (ADH
atau vasopressin) dari kelenjar ptiuitari posterior meningkatkan retensi air.
Sistem hematologi mengaktivasi kaskade koagulasi dan mengkontraksikan
pembuluh darah yang terluka dengan pelepasan tromboksan A2 yang lokal. Selain itu,
trombosit teraktivasi dan membentuk sebuah bekuan yang imatur di sumber
perdarahan. Pembuluh darah yang rusak mengekspos kolagen, yang secara signifikan
menyebabkan deposisi fibrin dan stabilisasi bekuan darah tersebut. Dibutuhkan
kurang lebih 24 jam untuk menyelesaikan fibrinasi bekuan darah dan bentuk yang
matang.

Kasus :
Dari pemeriksaan fisik Budi tidak mengalami dyspnea dan terjadi tachypnea dengan
RR = 36 (normal 1-4 tahun 20-30 x/menit). Namun RR Budi masih belum terlalu
tinggi sehingga retraksi dada ataupun nafas cuping hidung belum terlihat.
Konjungtiva tidak anemis menunjukan bahwa syok yang dialami Budi masih bisa bisa
dikompensasi. Kemungkinan pada kasus ini Budi sudah mulai masuk ke tahap Syok
dekompensasi.

Syok memiliki tiga tahapan sebagai berikut :
Tahap kompensasi (nonprogresif), merupakan tahap di mana terjadi mekanisme
refleks kompensasi dan perfusi ke organ-organ vital dipertahankan. Pada fase ini,
terjadi berbagai jenis mekanisme neurohumoral yang membantu mempertahankan
curah jantung dan tekananan darah. Termasuk refleks baroreseptor, pelepasan
katekolamin, aktivasi jaras renin-angiotensisn, pelepasan hormon antidiuretik, dan
stimulasi simpatik secara umum. Efek yang ditimbulkan berupa takikardi,
vasokonstriki pembuluh darah perifer, dan retensi cairan pada ginjal. Vasokonstriksi
pembuluh darah kutaneus mengakibatkan kulit menjadi dingin dan pucat pada
perlangsungan syok. Pembuluh darah koroner dan serebral kurang sensitif terhadap
refleks simpatis sehingga diameternya, aliran darahnya, dan penghantaran oksigen ke
organ yang dialiri pembuluh darah tersebut cenderung normal.

Tahap dekompensasi (progresif), ditandai dengan hipoperfusi jaringan dan
meburuknya kondisi imbalans sirkulasi dan metabolik, termasuk asidosis. Apabila
penyebab syok tidak tertangani dengan baik, dapat terjadi penyebaran hipoksia
jaringan. Pada kondisi di mana terjadi defisit oksigen yang persisten, respirasi aerob
interseluler berganti dengan respirasi anaerob yang menghasilkan asam laktat
berlebih. Asidosis laktat yang menurunkan pH jaringan dan mengurangi respon
vasomotor menyebabkan terjadinya dilatasi arteriol-arteriol, dan darah mulai
memenuhi mikrosirkulasi. Hal tersebut tidak hanya memperburuk curah jantung,
tetapi juga menempatkan sel-sel endothelial rentan akan resiko terjadinya trauma
anoksia dengan DIC. Dengan terjadinya penyebaran hipoksia, organ-organ vital mulai
mengalami kegagalan. Secara klinis, pasien akan mengalami penurunan kesadaran
disertai penurunan produksi urin.Juga takikardi, vasokonstriki pembuluh darah
perifer, dan retensi cairan pada ginjal. Vasokonstriksi pembuluh darah kutaneus
mengakibatkan kulit menjadi dingin dan pucat pada perlangsungan syok

Tahap ireversibel, merupakan tahap syok akhir. Kerusakan fungsi sel yang meluas
ditunjukkan oleh pengerutan sel lisosom, yang akan memperberat status syok. Fungsi
kontraksi miokardium sebagian memburuk karena adanya sintesis nitrit oksida. Pada
tahap ini, terjadi kegagalan fungsi ginjal akibat nekrosis tubular akut. Komplikasi
syok yang memiliki mortalitas tinggi adalah kerusakan paru-paru dengan terjadinya
sindrom kegagalan pernapasan akut.

4. Interpretasi dan mekanisme pemeriksaan penunjang
- Lekosit: 2800/mm3 + Trombosit: 45.000/mm3
Jawab:
Kasus Nilai normal Interpretasi
Leukosit 2800/mm3 Nilai normal 4500-10000 sel/mm
3

Neonatus 9000-30000 sel/mm
3

Bayi sampai balita rata-rata 5700-
18000 sel/mm
3

Anak 10 tahun 4500-13500/mm
3

ibu hamil rata-rata 6000-17000
sel/mm
3

Leukopenia
Trombosit 45.000/mm3 dewasa 150.000-400.000 sel/mm
3
anak 150.000-450.000 sel/mm
3

Trombositopenia


Mekanisme Trombositopenia :
Trombositopeni terjadi akibat gangguan produksi maupun peningkatan destruksi
trombosit. Penurunan produksi trombosit pada fase awal penyakit (hari sakit ke-1
sampai dengan ke-4) merupakan penyebab trombositopenia. Pada saat itu sumsum
tulang tampak hiposelular ringan dan mengakariosit meningkat dalam berbagai
bentuk fase maturasi. Tampaknya, virus secara langsung menyerang mieloid dan
megakariosit. Trombosit pada saat itu dapat mencapai 20.000-50.000/mm
3
.
Pada hari sakit ke-5 sampai dengan ke-8, terjadinya trombositopenia terutama
disebabkan oleh penghancuran trombosit dalam sirkulasi. Kompleks imun yang
melekat pada permukaan trombosit mempermudah penghancuran trombosit oleh
sistem retikuloendotelial didalam hati dan limpa, mengakibatkan trombositopenia
pada fase syok. Tetapi, penghancuran trombosit ini dapat pula disebabkan oleh
kerusakan endotel, reaksi oleh kompleks imun, antibodi trombosit spesifik, atau DIC
yang disebabkan oleh syok lama. Pada fase ini dijumpai peningkatan jumlah
megakariosit pada sumsum tulang (Halstead, 1989; Hadinegoro, 2001; Gill, 2004).

Mekanisme Leukopenia:
Beberapa peneliti mengungkapkan bahwa pada pemeriksaan sumsum tulang penderita
DBD pada awal masa demam, terdapat hipoplasia sumsum tulang dengan hambatan
pematangan dari semua sistem hemopoesis. Pada penderita DBD dapat terjadi
leukopenia ringan sampai leukositosis sedang. Leukopenia dapat dijumpai antara hari
pertama dan ketiga dengan hitung jenis yang masih dalam batas normal. Jumlah
granulosit menurun pada hari ketiga sampai kedelapan. Dalam sediaan apus darah tepi
penderita DBD dapat ditemukan limfosit bertransformasi atau atipik, terutama pada
infeksi sekunder.

5. Prognosis
Jawab:
Angka mortalitas dengue fever < 1 %, dengue hemorrhagic fever 2,5 %, degue shock 40-
50, tetapi pada DSS dengan penanganan intensif yang adekuat kematian dapat ditekan
<1% kasus. Prognosis DBD dilihat berdasarkan kesuksesan dalam terapi dan
penetalaksanaan yang dilakukan. Terapi yang tepat dan cepat akan memberikan hasil
yang optimal. Penatalaksanaan yang terlambat akan menyebabkan komplikasi dan
penatalaksanaan yang tidak tapat dan adekuat akan memperburuk keadaan. Kehilangan
cairan dan elektrolit, hiperpireksia, dan kejang demam adalah komplikasi paling sering
pada bayi dan anak-anak.
DBD Derajat I dan II akan memberikan prognosis yang baik, penatalaksanaan yang cepat,
tepat akan menentukan prognosis. Umumnya DBD Derajat I dan II tidak menyebabkan
komplikasi sehingga dapat sembuh sempurna.
DBD derajat III dan IV merupakan derajat sindrom syok dengue dimana pasien jatuh
kedalam keadaan syok dengan atau tanpa penurunan kesadaran. Prognosis sesuai
penetalaksanaan yang diberikan Dubia at bonam.
Penelitian pada orang dewasa di Surabaya, Semarang, dan Jakarta menunjukkan bahwa
prognosis dan perjalanan penyakit umumnya lebih ringan pada orang dewasa
dibandingkan pada anak-anak.
Prognosis pada pasien ini adalah bonam jika diagnosis ditegakkan dengan cepat dan
terapi yang diberikan juga telah adekuat

Hipotesis: Budi, 3 tahun, mengalami DBD derajat III dengan klinis demam, (epistaksis)
perdarahan, dan syok hipovolemik.


















2. DBD (mekanisme imunologi terhadap virus khususnya DBD) 2 5 7
Demam dengue (dengue fever/DF) dan demam berdarah dengue (DBD) adalah
penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri
otot dan/atau nyeri sendi yang disertai leukopenia, ruam, lifadenopati, dan trombositopenia.
Pada DBD terjadi perembesan plasma yang ditandai oleh hemokosentrasi (peningkatan
hematokrit) atau penumpukan cairan di rongga tubuh. Sindrom renjatan dengue (dengue
shock syndrome) adalah demam berdarah dengue yang ditandai oleh renjatan/syok yang dapat
menyebabkan kematian.

Etiologi
Demam dengue dan demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue, yang
termasuk dalam genus Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Flavivirus merupakan virus dengan
diameter 30 nm, bulat, terdiri dari RNA tunggal dengan berat molekul 410
6
Da.
Terdapat 4 serotipe virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4 yang semuanya
dapat menyebabkan demam dengue atau demam berdarah dengue. Keempat serotipe
ditemukan di Indonesia dengan DEN-3 merupakan serotipe terbanyak dibandingkan dengan
yang lain. Namun, ada yang mengatakan serotipe DEN-2 lebih bersifat virulen.

Epidemiologi
Demam berdarah dengue tersebar di wilayah Asia tenggara, Pasifik Barat, dan
Karibia. Indonesia merupakan wilayah endemis dengan sebaran di seluruh wilayahnya.
Insiden DBD di di Indonesia antara 6 hingga 15 per 100.000 penduduk (1989-1995); dan
pernah meningkat tajam hingga 35 per 100.000 penduduk pada tahun 1998, sedangkan
mortalitas DBD cenderung menurun hingga mencapai 2% pada tahun 1999.
Peningkatan kasus tiap tahunnya berkaitan dengan sanitasi lingkungan dengan
tersedianya tempat perindukan bagi nyamuk betina yaitu bejana yang berisi air jernih (bak
mandi, kaleng bekas, dan tempat penampungan air lainnya).
Beberapa faktor diketahui berkaitan dengan peningkatan transmisi virus dengue yaitu:
1) vektor: perkembangbiakan, kebiasaan menggigit, kepadatan di lingkungan, jenis serotipe,
transportasi dari satu tempat ke tempat lain. 2) pejamu: terdapat penderita di lingkungan
keluarga, paparan terhadap nyamuk, status gizi, usia (>12 tahun cenderung untuk DBD) dan
jenis kelamin (perempuan > laki-laki). 3) lingkungan : curah hujan, suhu, sanitasi, dan
kepadatan penduduk.
Penularan infeksi virus dengue terjadi mellaui vektor nyamuk genus Aedes (Ae.
aegypti dan Ae. albopictus). Dari kedua nyamuk ini yang paling dominan untuk menjadi
vektor adalah Ae. aegypti. Nyamuk betina paling sering mencari makanan pada siang hari.
Manusia merupakan hospes primer. Ketika nyamuk ini membawa virus setelah
menghisap darah dari pasien. Virus dengue dengan mudah dapat ditularkan jika nyamuk
tersebut menghisap darah orang lain. Hal ini disebabkan karena virus berada dalam kelenjar
ludah nyamuk. Sebelumnya virus akan bereplikasi dalam kelenjar ludah nyamuk selama 8-12
hari. selain itu, nyamuk Aedes memiliki waktu hidup yang cukup panjang sekitar 15-65 hari
sehingga penularan masih bisa terjadi.
Ketika virus telah masuk ke tubuh pejamu, virus akan memasuki periode inkubasi
selama 3-14 hari. Selama itu virus akan bereplikasi di target sel dendritik dan belum
menunjukkan onset. Infeksi pada sel target seperti, sel dendritik, hepatosit, dan sel endotelial,
mengakibatkan pembentukan respon imun seluler dan humoral terhadap infeksi virus pertama
dan berikutnya.

Patogenesis
Berdasarkan data yang ada, terdapat bukti yang kuat bahwa mekanisme
imunopatologis berperan dalam terjadinya demam berdarah dengue dan sindrom renjatan
dengue.

Respon imun yang diketahui berperan dalam patogenesis DBD adalah:
Respon imun humoral berupa pembentukan antibodi yang berperan dalam proses
netralisasi virus, sitolisis yang dimediasi oleh komplemen dan sitotoksisitas yang
dimediasi oleh antibodi. Antibodi terhadap virus dengue berperan dalam mempercepat
replikasi virus pada monosit atau makrofag. Ini yang disebut dengan antibody dependent
enhancement (ADE).
Limfosit T baik T-helper (CD4) dan T sitotoksik (CD8) berperan dalam respon imun
seluler terhadap virus dengue. Diferensiasi T helper yaitu TH1 akan memproduksi
interferon gamma, IL-2 dan limfokin, sedangkan TH2 memproduksi IL-4, IL-5, IL6 dan
IL-10
Monosit dan makrofag berperan dalam fagositosis virus dengan opsonisasi antibodi.
Namun proses fagositosis ini menyebabkan peningkatan replikasi virus dan sekresi
sitokin oleh makrofag
Selain itu terjadi juga aktivasi komplemen oleh kompleks imun.
Halstead pada tahun 1973 mengajukan hipotesis secondary heterologous
infection yang menyatakan bahwa DBD terjadi bila seseorang terinfeksi ulang virus dengue
dengan tipe yang berbeda. Re-infeksi menyebabkan reaksi anamnestik antibodi sehingga
mengakibatkan konsentrasi kompleks imun meninggi.



Kurane dan Ennis (1994) merangkum pendapat Halstead dan peneliti lain;
menyatakan bahwa infeksi virus dengue menyebabkan aktivasi makrofag yang
memfagositosis kompleks virus-antibodi non netralisasi sehingga virus bereplikasi di dalam
makrofag. Terjadinya infeksi makrofag menyebabkan aktivasi Th dan Ts sehingga diproduksi
limfokin dan interferon gamma. Interferon gamma akan mengaktivasi monosit sehingga
disekresi berbagai mediator inflamasi seperti TNF alfa, IL-1, PAF, IL-6 dan histamin yang
mengakibatkan terjadinya disfungsi endotel dan terjadi kebocoran plasma. Ini juga diperkuat
oleh peningkatan C3a dan C5a.
Trombositopenia pada infeksi dengue terjadi melalui mekanisme:
Supresi sumsum tulang
Destruksi dan pemendekan masa hidup trombosit.

Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
Pemeriksaan yang dilakukan dapat berupa pemeriksaan hematokrit, kadar
hemoglobin, jumlah trombosit, dan hapusan darah tepi. Diagnosis pasti didapatkan dari hasil
isolasi virus dengue ataupun deteksi antigen RNA virus dengue dengan teknik RT-PCR.
Pemerkisaan antibodi spesifik dengue dapat berupa antibodi total, IgG maupun IgM.
Parameter laboratorium yang dapat diperiksa antara lain:
Leukosit: dapat normal atau turun.
Trombosit: umumnya terdapat trombositopenia pada hari ke 3-8
Hematokrit: kebocoran plasma dibuktikan dengan ditemukannya peningkatan
hematokrit > 20% dari hematokrit awal, umumnya dimulai pada hari ke-3 demam.
Protein/albumin: dap;at terjadi hipoproteinemia akibat kebocoran plasma
SGOT/SGPT (serum alanin aminotransferase): dapat meningkat
Ureum, kreatinin: bila didapatkan gangguan fungsi ginjal
Elektrolit: sebagai parameter pemantauan pemberian cairan.
Golongan darah dan uji cocok serasi
Pemeriksaan IgG dan IgM dengue:
IgM: terdeteksi mulai hari ke 3-5, meningkat sampai minggu ke-3, menghilang
setelah 60-90 hari.
IgG: pada infeksi primer, IgG mulai terdeteksi pada hari ke-14, pada infeksi
sekunder IgG mulai terdeteksi hari ke-2.

Pemeriksaan radiologi
Pada foto dada didapatkan efusi pleura, terutama pada hemitoraks kanan tetapi apabila
terjadi perembesan plasma hebat, efusi pleura dapat dijumpai pada kedua hemitoraks. Asites
pada efusi pleura dapat pula dideteksi dengan pemeriksaan USG.

Diagnosis
Demam dengue biasanya menunjukkan gejala yang nonspesifik seperti nyeri kepala,
nyeri tulang belakang, dan persaan lelah. Tapi dapat berkembang menjadi demam berdarah
dengue jika terdapat manifestasi hemoragik atau syok yang fatal (sindrom renjatan dengue).
Infeksi asimptomatik terlihat pada 80% bayi dan anak-anak. Penyakit menjadi lebih parah
pada usia dewasa.
Demam dengue merupakan penyakit demam akut selam 2-7 hari, ditandai dengan
dua atau lebih manifestasi berikut: nyeri kepala, nyeri retro-orbital, mialgia/artralgia, ruam
kulit, petechiae (manifestasi hemoragik), dan leukopenia.
Diagnosis demam berdarah dengue (DBD) dapat ditegakkan bila semua hal
dibawah ini dipenuhi:
Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari
Terdapat minimal satu dari manifesatsi hemoragik seperti petekie, ekimosis,
purpura, epistaksis, perdarahan gusi, melena, hemetemesis, dll
Trombositopenia (<100.000/ul)
Terdapat minimal satu tanda-tanda plasma leakage (kebocoran plasma):
Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar umur dan jenis
kelamin
Penurunan hematokrit >20% setelah terapi cairan, dibandingkan dengan
nilai hematokrit sebelumnya
Efusi pleura, asites, atau hipoproteinemia
Perbedaan DBD dan DD adalah ada tidaknya kebocoran plasma.
Setelah fase demam, pasien akan mengalami fase kritis selama 2-3 hari. Pada waktu
fase ini pasien sudah tidak demam, akan tetapi mempunyai risiko untuk terjadi
renjatan/syok jika tidak ditangani dengan pengobatan yang adekuat.
Nyeri perut yang berkelanjutan disertai muntah, penurunan kesadaran, hipotensi
gelisah, nadi yang cepat dan lemah dan hipotermia merupakan gejala dan tanda sindrom
renjatan dengue (dengue shock syndrome).

Penatalaksanaan
Penatalaksana demam berdarah dengue (pada anak)
1. Adakah tanda kedaruratan, yaitu tanda syok (gelisah, nafas cepat, bibir biru, tangan dan
kaki dingin, kulit lembab), muntah terus-menerus, kejang, kesadaran menurun, muntah
darah, tinja darah, maka pasien perlu dirawat / dirujuk.
2. Apabila tidak dijumpai tanda kedaruratan, periksa uji Tourniquet dan hitung trombosit
Bila uji Tourniquet positif dan jumlah trombosit 100.000/l, penderita dirawat /
dirujuk.
Bila uji Tourniquet negatif dengan trombosit > 100.000/l atau normal, pasien
boleh pulang dengan pesan untuk datang kembali setiap hari sampai suhu turun.
3. Pasien dianjurkan minum banyak, seperti: air teh, susu, sirup, oralit, jus buah dan lain-
lain.
4. Berikan obat antipiretik golongan parasetamol jangan golongan salisilat.
5. Apabila selama di rumah demam tidak turun pada hari sakit ketiga, evaluasi tanda
klinis adakah tanda-tanda syok, yaitu anak menjadi gelisah, ujung kaki / tangan dingin,
sakit perut, tinja hitam, kencing berkurang; bila perlu periksa Hb, Ht dan trombosit.
6. Apabila terdapat tanda syok atau terdapat peningkatan Ht dan / atau penurunan
trombosit, segera rujuk ke rumah sakit.
Penatalaksanaan demam berdarah dengue (pada dewasa)
Pasien yang dicurigai menderita DBD dengan hasil Hb, Ht dan trombosit dalam batas
nomal dapat dipulangkan dengan anjuran kembali kontrol dalam waktu 24 jam
berikutnya
Bila keadaan pasien memburuk agar segera kembali ke puskesmas atau fasilitas
kesehatan lainnya.
Sedangkan pada kasus yang meragukan indikasi rawatnya, maka untuk sementara
pasien tetap diobservasi dengan anjuran minum yang banyak, serta diberikan infus
ringer laktat sebanyak 500cc dalam 4 jam. Setelah itu dilakukan pemeriksaan ulang Hb,
Ht dan trombosit.
Pasien dirujuk ke rumah sakit apabila didapatkan hasil sebagai berikut.
Hb, Ht dalam batas normal dengan jumlah trombosit < 100.000/l atau
Hb, Ht yang meningkat dengan jumlah trombosit < 150.000/l trombosit dalam batas
normal atau menurun.
Pemeriksaan dilakukan pada saat pasien diduga menderita DBD, bila normal maka
diulang tiap`hari sampai suhu turun

DAFTAR PUSTAKA

Abdoerrachman MH. 2002. Demam : Patogenesis dan Pengobatan. In: Soedarmo dkk
(ed). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak, Infeksi dan Penyakit Tropis Edisi
Pertama.Jakarta: IDAI, pp: 27-51.
Kresno SB. 2001. Respons Imun terhadap Infeksi Virus. In: Imunologi Diagnosis dan
Prosedur Laboratorium. Jakarta : FK UI, pp: 178-181.
Luheshi GN, Gardner JD, Rushforth DA, Luodon SA, Rothwell NJ. 2000. Leptin actions on
food intake and body temperature are mediated by IL-1. Neurobiology Journal, pp:
7047-52.
Nainggolan L, Chen K, Pohan HT, Suhendro. 2006. Demam Berdarah Dengue. In: In:
Sudoyo dkk (ed). Buku Ajar Ilmu Peyakit Dalam Jilid III Edisi IV. Jakarta: FKUI, pp:
1731-1736.
Soedarmo PS. 2002. Infeksi Virus Dengue. In: Soedarmo dkk (ed). Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Anak, Infeksi dan Penyakit Tropis Edisi Pertama. Jakarta: IDAI, pp: 176-
209

You might also like