Professional Documents
Culture Documents
;k-1;k(n-1) that is 8792,04 > 3,01 and LSD test is got from the difference mean > LSD that
is between pretest before activity and contact time 8 hours ( 250,033 > 3,79 ), before activity
and contact time 12 hours ( 202,733 > 3,79 ), contact time 8 hours and contact time 12 hours (
47 > 3,79 ). From the statistic result above shows that is a difference before ( Pretest ) and
after ( Post test) activity. In this research, it is only the decreasing of hard water, using zeolit
base on how long contact time is, is done. So it is necessary to do the research by using
where zeolit comes from, how to do zeolit ( by giving salt or heating ).
Keyword: hard water, , ion exchange, contact time
Phone: 08283019785
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Air minum, mempunyai standar persyaratan fisik, kimiawi dan bakteriologis. Pemakaian
air bersih dan air minum yang tidak memenuhi standar kualitas tersebut dapat menimbulkan
gangguan kesehatan baik secara langsung maupun tidak langsung. Zat-zat yang diserap oleh
air alam dapat berupa padatan terlarut, gas terlarut dan padatan tersuspensi. Umumnya, jenis
pengotor yang terkandung dalam air tergantung pada jenis bahan yang berkontak dengan air
itu, sedangkan banyaknya zat pengotor tergantung pada waktu kontaknya. Bahan-bahan
mineral yang terkandung dalam air karena kontaknya dengan batu-batuan terutama kalsium
karbonat (CaCO3), magnesium karbonat (MgCO3), kalsium sulfat (CaSO4) dan sebagainya.
Vol.I No.1 Januari 2010 ISSN: 2086-3098
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 36
Air yang banyak mengandung mineral kalsium dan magnesium dikenal sebagai air
sadah. Menurut PERMENKES RI No.416/MENKES/PER/IX/1990 kesadahan air minum tidak
boleh melebihi 500 mg/l. Air yang bersifat sadah bila dikonsumsi manusia akan menyebabkan
gangguan kesehatan. Air yang mempunyai tingkat kesadahan terlalu tinggi sangat merugikan
di antaranya dapat menimbulkan karatan/korosi pada alat-alat yang terbuat dari besi, sabun
menjadi kurang membusa sehingga meningkatkan konsumsi sabun dan menimbulkan
endapan atau kerak-kerak di dalam wadah-wadah pengolahan (Srikandi Fardiaz, 1992:27).
Air sadah dapat diatasi dengan pelunakan air sadah, yaitu penghapusan ion-ion tertentu
yang ada di dalam air dan dapat bereaksi dengan zat-zat lain hingga distribusi air dan
penggunaannya terganggu (Depkes RI, 1991). Ada beberapa macam proses pelunakan air
sadah, salah satunya melalui ion exchange (proses pertukaran Ca
2+
dan Mg
2+
dengan Na
+
, K
+
,
atau H
+
) yaitu dengan menggunakan atau memanfaatkan batu zeolit. Masyarakat umumnya
menurunkan kesadahan dengan pemanasan, yang menurut teori hanya bersifat sementara.
Hasil penelitian Atashina S.B, Praswanti P.D.K, Wulan dan Syaifudin Jurusan Teknik
Gas dan Petrokimia Universitas Indonesia (www.chemeng.ui.ac.id), uji ion kalsium pada zeolit
mampu mengabsorbsi ion kalsium dari 1.200 ppm hingga di bawah 500 ppm. Dengan ukuran
zeolit yang beragam yaitu zeolit dengan unggun 5 cm, unggun 10 cm, dan unggun 15 cm.
Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah: 1) mengukur kesadahan pada air bersih sebelum perlakuan
dengan batu zeolit, 2) mengukur kesadahan sesudah perlakuan dengan batu zeolit pada
waktu kontak 4 jam, 8 jam, 12 jam, 3) Menganalisis hasil pengukuran kesadahan sesudah
dilakukan perlakuan dengan batu zeolit dengan waktu yang berbeda.
Diharapkan penelitian ini bermanfaat sebagai data awal bagi peneliti selanjutnya, serta
dapat dikembangkan oleh para praktisi untuk memenuhi kebutuhan air minum masyarakat
BAHAN DAN METODE
Penelitian pra-eksperimental ini memberi perlakuan terhadap sampel air bersih yang
bersifat sadah untuk mengetahui penurunan kesadahan tetap dan waktu kontak yang efektif
dengan menggunakan batu zeolit sebagai penukar kation.
Pretest Perlakuan Posttest
O1 X O2
Keterangan : O1 = Air bersih yang bersifat sadah sebelum perlakuan
X = Perlakuan dengan menggunakan batu zeolit
O2 = Air bersih yang besifat sadah sesudah perlakuan
Gambar 1. Desain Penelitian
Desain yang digunakan adalah One Group Pretest Posttest (Gambar 1). Variabel
bebas penelitian adalah waktu kontak air sadah dengan zeolit yaitu, Lamanya air sadah kontak
Vol.I No.1 Januari 2010 ISSN: 2086-3098
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 37
dengan zeolit berdasarkan tabel mengukuran dengan jam. sedangkan variabel terikat adalah
penurunan kesadahan tetap yaitu angka yang menunjukkan perubahan angka kesadahan
pada air tanah dari Kelurahan Kuncen yang telah mengalami perlakuan dengan batu zeolit
pada waktu kontak 4 jam, 8 jam, dan 12 jam dibandingkan angka kesadahan sebelum
perlakuan berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium. Variabel pengganggu adalah pH dan
kekeruhan.
Sampel penelitian adalah air tanah dengan tingkat kesadahan melebihi standar yaitu 500
mg/l, sampel diukur sebelum dan sesudah melalui batu zeolit. Sampel diambil dari tiga
perlakuan (4, 8 dan 12 jam) dengan sembilan kali pemeriksaan. Untuk mengetahui waktu
kontak air sadah dengan zeolit yang efektif untuk menurunkan kesadahan digunakan rumus
KRT Tjokro Kusumo (1995):
Efektifitas Penurunan = Sebelum-Sesudah X 100%
Sebelum
Untuk mengetahui perbedaan tingkat penurunan angka kesadahan pada air tanah
dengan lama waktu kontak air sadah dengan zeolit yaitu 4 jam, 8 jam, dan 12 jam di analisis
dengan Uji Analisis Varian Satu Jalan (Anava Satu Jalan) dan untuk mengetahui perbedaan
antar perlakuan dilakukan dengan menggunakan Uji LSD. Kriteria penerimaan hipotesis
adalah Ho ditolak apabila harga uji statistik f > dari nilai kritis F
;k-1;k(n-1)
.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Hasil pengukuran angka kesadahan air bersih di lokasi sumur gali sebelum dilakukan
perlakuan sebesar 569,4 mg/l. Kesadahan air bersih setelah melalui lapisan zeolit ditampilkan
pada Tabel 1, Tabel 2, Tabel 3 dan Tabel 4.
Tabel 1. Replikasi Pengukuran Kesadahan Melalui Zeolit dengan Waktu Kontak 4 Jam
No Waktu Kontak Replikasi Hasil (mg/l)
1. 4 Jam I 299,1
II 301,0
III 302,2
IV 229,1
V 304,1
VI 298,0
VII 299,1
VIII 302,2
IX 302,2
Rata-Rata Replikasi = 300,78
Vol.I No.1 Januari 2010 ISSN: 2086-3098
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 38
Tabel 2. Replikasi Pengukuran Kesadahan Melalui Zeolit dengan Waktu Kontak 8 Jam
No Waktu Kontak Replikasi Hasil (mg/l)
1. 8 Jam I 318,4
II 317,3
III 320,2
IV 318,4
V 319,1
VI 320,2
VII 319,1
VIII 320,2
IX 321,4
Rata-Rata Replikasi = 319,37
Tabel 3. Replikasi Pengukuran Kesadahan Melalui Zeolit dengan Waktu Kontak 12 Jam
No Waktu Kontak Replikasi Hasil (mg/l)
1. 12 Jam I 334,7
II 335,5
III 336,3
IV 337,2
V 335,1
VI 338,1
VII 337,2
VIII 338,1
IX 334,7
Rata-Rata Replikasi = 336,37
Tabel 4. Rekapitulasi Hasil Perhitungan Penurunan Kesadahan Melalui Zeolit Sebelum dan
Sesudah Perlakuan dengan Waktu Kontak 4 Jam, 8 Jam, dan 12 Jam
No
Waktu
Kontak
Kadar Kesadahan Angka Penurunan/Efektifitas Penurunan
Sebelum (mg/l) Sesudah (mg/l) (mg/l) %
1. 4 Jam 569,4 300,78 268,62 47,18
2. 8 Jam 569,4 319,37 250,03 43,91
3. 12 Jam 569,4 336,37 233,03 40,93
Hasil Uji Anava Satu Jalan untuk menganalisis perbedaan angka kesadahan sebelum
dan sesudah menggunakan zeolit menunjukkan nilai F> dari nilai kritis f
;k-1;k(n-1)
yaitu
8792,014 > 3,01, maka hipotesis nol ditolak, artinya ada perbedaan angka kesadahan air
Vol.I No.1 Januari 2010 ISSN: 2086-3098
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 39
antara sebelum dan sesudah menggunakan zeolit. Hasil Uji LSD (Least Significant Difference),
untuk menganalisis perbedaan angka kesadahan air tanah antara sebelum dan sesudah
menggunakan zeolit pada waktu kontak 4 jam, 8 jam, dan 12 jam didapatkan hasil yaitu:
Multiple Range Test
Uji LSD = t1 (df sisa)
+ + +
4 3 2 1
n
1
n
1
n
1
n
1
KTS
= 2,069 x
+ + +
9
1
9
1
9
1
1
1
511 , 2
= 3,79
Perlakuan Mean
Sebelum
Perlakuan
Waktu Kontak
4 Jam
Waktu Kontak
8 Jam
Waktu Kontak
12 Jam
569,4000 300,7778 319,3667 366,3667
Sebelum perlakuan 569,4000 0 268,62228*) 250,0333*) 202,733*)
Waktu kontak 4 jam 300,7778 0 -18,5889*) -65,5889*)
Waktu kontak 8 jam 319,3667 0 -47*)
Waktu kontak 12 jam 336,3667 0
LSD = 3,79
*) Selisih Mean
Hasil di atas menunjukkan ada selisih mean > LSD. Jadi ada perbedaan angka kesadahan
antara perlakuan.
Pembahasan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa air sadah kontak zeolit pada waktu 4 jam
penurunannya lebih besar, demikian pula pada waktu kontak 8 jam lebih besar penurunannya
dibandingkan dengan waktu kontak 12 jam. Semakin lama air sadah kontak dengan zeolit
maka akan jenuh karena terjadi adsorbsi fisika yaitu adanya gaya tarik dan gaya tolak lemah
diantara molekul, adsorbsi terjadi sangat cepat hanya kecepatannya adsorbsinya makin
berkurang dengan makin banyaknya zat yang diserap dan terjadi proses yang dapat berbalik
(reversible) sehingga waktu yang lebih lama sedikit mengalami penurunan. Menurut Dirjen
PPM dan PLP Depkes RI (1991), air sadah yang dialirkan melalui kolom zeolit akan
mengalami pertukuran ion-ion Ca dan Mg dalam air dengan ion Na dalam zeolit. Hal tersebut
berlangsung terus sampai pada saat kolom zeolit menjadi jenuh dan tidak mampu lagi
melakukan pertukaran ion-ion. Agar dapat aktif lagi, zeolit dapat dibasuh atau dialirkan larutan
garam, sehingga terjadi perlakuan ion-ion Natrium dalam air yang masuk ke dalam zeolit untuk
mengganti kedudukan ion-ion Mg dan Ca. Air dengan derajat keasamaan sangat tinggi akan
cepat melapisi dan memblokir zeolit dan akibatnya dapat mengurangi efisiensi, pada tempat
larutan itu bersentuhan. Hasil uji Anava Dua Jalan membuktikan adanya perbedaan
kesadahan air bersih sebelum dan sesudah menggunakan zeolit dengan waktu kontak 4 jam,
8 jam, dan 12 jam. Adanya perbedaan sebelum dan sesudah perlakuan berarti penggunaan
Vol.I No.1 Januari 2010 ISSN: 2086-3098
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 40
zeolit bisa bermanfaat untuk menurunkan kesadahan walaupun tidak sampai nol (0) karena
kesadahan disebabkan oleh adanya kation logam valensi dua yaitu Ca
++
, Mg
++
, Sr
++
, Fe
++
dan
Mn
++
, sedangkan zeolit hanya mengalami pertukaran ion-ion yaitu Ca dan Mg dalam air
dengan ion Na dalam zeolit. Jadi ion-ion selain Ca dan Mg tidak bisa diturunkan dengan zeolit.
Berdasarkan Uji LSD, selisih mean > LSD yaitu: antara sebelum perlakuan dengan
waktu kontak 4 jam (268,6222 > 3,79), sebelum perlakuan dengan waktu kontak 8 jam
(250,0333 > 3,79), sebelum perlakuan dengan waktu kontak 12 jam (202,733 > 3,79), waktu
kontak 4 jam dengan waktu kontak 8 jam (18,5889 > 3,79), waktu kontak 8 jam dengan 12 jam
(47 > 3,79). Hasil ini menunjukkan adanya perbedaan antar perlakuan secara signifikan.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan penelitian adalah ada perbedaan secara signifikan mengenai kesadahan air
bersih sebelum dan sesudah menggunakan zeolit dengan waktu kontak 4 jam, 8 jam, dan 12
jam. Selanjutnya disarankan perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang: 1) cara penurunan
kesadahan dengan menggunakan zeolit berdasarkan asal zeolit, cara perlakuan terhadap
zeolit (dengan pemberian garam atau dengan pemanasan) dan diameter zeolit yang berbeda
untuk memperluas penampang, 2) cara penurunan kesadahan dengan menggunakan zeolit
berdasarkan tinjauan lama waktu kontak dengan ion Ca
2+
.
DAFTAR PUSTAKA
Achmad, Rukaesih, 2004, Kimia Lingkungan, Yogyakarta, Andi Offset
Algamar, Kalimardin, 1994, Laboratorium Air Volume 2: Metode Analisa Fisik dan Kimia,
Bandung
Alears, G, 1984, Metode Penelitian Air, Surabaya, Usaha Nasional
Companion, Audrey L, 1991, Ikatan Kimia, Bandung, ITB
Djarwanto, 1996, Mengenal Beberapa Uji Statistik Dalam Penelitian, Yogyakarta, Liberty
Fardiaz, Srikandi, 1992, Polusi Air dan Polusi Udara, Bogor, Kanisius
Gabriel, JF, 1999, Fisika Lingkungan, Jakarta, Hipokrates
J. Bassett, 1994, Buku Ajar VOGEL Kimia Analisis Kuantitatif Anorgnik, Jakarta, Buku
Kedokteran EGC
Kuntoro, 1999, Bahan Statistik FKM Unair, Surabaya
Margono, dkk, Buku Pedoman Pengajar Mata Kuliah Ajaran Kimia Lingkungan, Jakarta,
Departemen Kesehatan RI
Notoatmodjo, Soekidjo, 2005, Metodologi Penelitian Kesehatan, Jakarta, Rineka Cipta
Sanropie, Djasio, 1983, Penyediaan Air Bersih Untuk APK-TS, Surabaya, Depkes RI
.............., 1984, Penyediaan Air Bersih Untuk APK-TS, Surabaya, Departemen Kesehatan RI
.............., 1999, Kesehatan Masyarakat dan Teknologi Peningkatan Kualitas Air, Jakarta
Singarimbun, Masri, 1989, Metode Penelitian Survey, Jakarta, LP3ES
Sugiharto, 1983, Penyediaan Air Bersih Bagi Masyarakat, Tanjung Karang
..............., 1996, Dasar Penetapan Dampak Kualitas Air Terhadap Kesehatan Masyarakat,
Jakarta, Departemen Kesehatan Republik Indonesia
Vol.I No.1 Januari 2010 ISSN: 2086-3098
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 41
HUBUNGAN ANTARA USIA MENIKAH DAN PARITAS DENGAN KEJADIAN
KANKER SERVIKS DI RSUD DR. SOEROTO NGAWI
Suhartini*, Tutiek Herlina**
*=Dinas Kesehatan Kabupaten Ngawi
*=Prodi Kebidanan Magetan Jurusan kebidanan Poltekkes Depkes Surabaya
SIA
ABSTRAK
Kanker mulut rahim (serviks) masih menjadi masalah kesehatan bagi wanita. Sebab
penyakit akibat human papilloma virus (HPV) menjadi mesin pembunuh di kalangan kaum
wanita. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan usia menikah dan paritas dengan
kejadian kanker serviks. Jenis penelitian analitik epidemiologi kasus kontrol dengan rancangan
penelitian retrospektif, populasi adalah dokumen pasien kanker serviks dan ibu bersalin
normal di RSUD dr.Soeroto Ngawi tahun 2008, jumlah sampel 56 responden kasus dan 145
responden kontrol diambil dengan tehnik simple random sampling. Variabel bebas adalah
usia menikah dan paritas, variabel terikat adalah kejadian kanker serviks. Metode
pengumpulan data menggunakan dokumentasi rekam medik, analisa data dengan uji statistik
chi square dan odd ratio dengan kemaknaan P < 0,05. Hasil penelitian dengan uji Chi square
menunjukkan kemaknaan P = 0,000 disimpulkan ada hubungan usia menikah dan paritas
dengan kejadian kanker serviks. Sedang besar resiko paparan usia menikah 16 tahun
beresiko 0,155 dan paritas lebih dari dua anak berisiko 0,18,sehingga dapat disimpulkan
bahwa usia menikah 16 tahun dan paritas lebih dari 2 anak bukan faktor resiko. Disarankan
untuk institusi terkait menggalakkan motivasi penundaan perkawinan dan pembatasan
persalinan dengan program KB.
Kata kunci: usia menikah, paritas, kejadian kanker serviks.
Telepon: 08155601253
PENDAHULUAN HULUAN
Latar Belakang
Kanker mulut rahim (serviks) masih menjadi problem kesehatan bagi wanita, sebab
penyakit akibat human papilloma virus (HPV) tersebut menjadi mesin pembunuh di kalangan
kaum wanita. Kasus kanker tersebut sangat mengkhawatirkan, karena angka kejadiannya
menunjukkan trend meningkat. Berdasar data di RSU dr Soetomo, tiap hari tak kurang dari
delapan pasien baru kanker leher rahim berobat, dalam setahun diperkirakan terdapat 700-
800 pasien baru. Kebanyakan pasien yang berobat berusia 40-50 tahun (Askandar, 2008).
Kanker serviks mempunyai insiden tertinggi di negara berkembang dan khususnya Indonesia.
Frekuensi relatif di Indonesia adalah 27% berdasarkan data patologik atau 16%
berdasarkan data rumah sakit. Lebih dari tiga perempat kanker ginekologi di RSCM adalah
kanker serviks dan 62% di antaranya dengan stadium lanjut (stadium II-III), dan ia merupakan
penyebab kematian terbanyak di antara kematian kanker ginekologik yaitu 66% (Azis, 2003).
Di RSUD dr.Soeroto Ngawi pada tahun 2007 jumlah penderita kanker serviks sebanyak 54
Vol.I No.1 Januari 2010 ISSN: 2086-3098
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 42
orang, pada tahun 2008 mengalami peningkatan yaitu 65 penderita (40%), dan menduduki
urutan pertama dari 5 penyakit ginaekologi, lebih banyak menyerang ibu multipara.
Penyebab langsung dari kanker serviks belum diketahui, namun kejadiannya mempunyai
hubungan erat dengan sejumlah faktor ekstrensik, yang penting meliputi: 1) insidensi lebih
tinggi pada mereka yang kawin, terutama pada gadis yang koitus pertama pada usia muda
(<16 tahun), 2) tingginya paritas, apalagi jarak persalinan terlampau dekat, 3) sosial ekonomi
rendah, 4) berganti-ganti pasangan, 5) wanita yang mengalami infeksi virus HPV (Human
Papilloma Virus)-tipe 16 atau 18, dan 6) kebiasaan merokok (Wiknjosastro,1999).
Apabila kanker serviks tidak ditangani, pada stadium lanjut ketika tumor keluar serviks
dan melibatkan jaringan di rongga pelvis dapat dijumpai tanda lain seperti, nyeri yang menjalar
ke pinggul atau kaki, hal ini menandakan keterlibatan ureter, dinding panggul atau nervus
skiatik. Beberapa penderita mengeluhkan nyeri berkemih, hematuri, perdarahan rektum,
sampai sulit berkemih dan buang air besar. Penyebaran ke kelenjar getah bening, tungkai
bawah dapat menimbulkan oedema tungkai bawah, atau terjadi uremia bila terjadi
penyumbatan kedua ureter (Wiknjosastro, 2006).
Untuk mengendalikan kejadian kanker serviks perlu dimasyarakatkan upaya pengenalan
kasus secara dini melalui program skrining. Tingkat keberhasilan pengobatan sangat baik
pada stadium dini dan hampir tidak terobati bila tumor telah menyebar sampai dinding panggul
atau organ disekitarnya. Salah satu upaya untuk mendeteksi secara dini kanker serviks dapat
di lakukan dengan pap smear. Pap smear bertujuan untuk mengenali adanya perubahan awal
sel epitel serviks hingga dapat dilakukan tindakan pencegahan terjadinya kanker invasif. Pap
smear menjadikan kanker serviks sebagai penyakit yang dapat dicegah (Wiknjosastro, 2006).
Rumusan masalah
Apakah ada hubungan antara usia menikah dan paritas dengan kejadian kanker serviks
di RSUD dr.Soeroto Ngawi?
Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah menganalisis hubungan antara usia menikah dan paritas
dengan kejadian kanker serviks di RSUD dr.Soeroto Ngawi Tahun 2008. Diharapkan hasil
penelitian ini dapat menambah wawasan serta meningkatkan pemahaman tentang hubungan
antara usia menikah dan paritas dengan kejadian kanker serviks.
BAHAN DAN METODE
Penelitian analitik epidemiologi kasus kontrol ini menerapkan rancangan retrospektif, dan
dilaksanakan di RSUD dr.Soeroto Ngawi pada bulan Maret sampai dengan Juli 2009. Populasi
penelitian ini adalah semua penderita kanker serviks sebanyak 65 dan 226 ibu bersalin normal
di RSUD dr.Soeroto Ngawi tahun 2008. Sampel penelitian ini adalah sebagian dari populasi
penderita kanker serviks sebanyak 56 dan ibu bersalin normal sebanyak 145 di RSUD
dr.Soeroto Ngawi tahun 2008 yang diambil dengan teknik simple random sampling.
Variabel bebas adalah usia menikah dan paritas. Variabel terikat adalah kejadian kanker
serviks. Data yang dikumpulkan adalah data sekunder dari status pasien di RSUD dr. Soeroto
Vol.I No.1 Januari 2010 ISSN: 2086-3098
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 43
Ngawi tahun 2008. Analisis data menggunakan uji Chi Kuadrat dan Odd Ratio dengan tingkat
kemaknaan p=0,05.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Dokumen pasien kanker serviks selama tahun 2008 menunjukkan adanya 65 kasus,
dan 56 menjadi sampel. Kontrol berupa ibu bersalin normal pada bulan Januari Desember
2008 sejumlah 226 orang, dan 145 diambil sebagai sampel.
Faktor Usia Menikah
Gambar 1 menunjukkan bahwa pada 56 kasus kanker serviks diketahui bahwa persentase
terbesar terdapat pada usia menikah 16 tahun yaitu 39 orang (50,6%). Sedangkan Gambar 2
menunjukkan bahwa pada 145 ibu bersalin normal diketahui bahwa persentase terbesar
terdapat pada usia menikah >16 tahun sebanyak 107 ibu (86,3%).
30,4%
69,6%
kr dr sm 16 thn
lb dr 16 thn
Gambar 1. Faktor Usia Menikah Pada Kasus Kanker Serviks
73,8%
26,2%
kr dr sm 16 thn
lb dr 16 thn
Gambar 2. Faktor Usia Menikah Pada Ibu Bersalin Normal
Faktor Paritas
Gambar 3 menunjukkan bahwa pada 56 kasus kanker serviks, didapatkan persentase
terbesar terdapat pada paritas >2 orang anak, yaitu 40 orang (71,4%). Sedangkan Gambar 4
menunjukkan bahwa dari 145 ibu bersalin normal persentase terbesar pada paritas 2 anak
sebanyak 100 orang (86,2%).
Vol.I No.1 Januari 2010 ISSN: 2086-3098
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 44
71,4%
28,6%
kr sm 2 anak
lbh 2 anak
Gambar 3. Faktor Paritas Pada Kasus Kanker Serviks
31%
69%
kr dr sm 2 anak
lbh dr 2
Gambar 4. Faktor Paritas Pada Ibu Bersalin Normal
Hubungan Antara Usia Menikah Dengan Kejadian Kanker Serviks
Tabel 1 menunjukkan bahwa kasus kanker serviks lebih besar terjadi pada usia menikah
16 tahun. Uji Chi Kuadrat dengan =0,05 menunjukkan hasil p=0,000 (p<), maka dapat
disimpulkan ada hubungan antara usia menikah dengan kejadian kanker serviks. Besar resiko
paparan usia menikah terhadap kejadian kanker serviks didapatkan hasil, bahwa usia menikah
16 tahun berisiko 0,155 kali daripada usia menikah >16 tahun. Hasil nilai Odd Ratio kurang
dari 1 berarti faktor yang diteliti bukan merupakan faktor resiko, sehingga dapat disimpulkan
bahwa usia menikah bukan faktor resiko.
Tabel 1. Kejadian Kanker Serviks Menurut Usia Menikah
Usia menikah Kejadian kanker serviks Total
Ya Tidak
>16 th
16 th
17 (8,50%)
39 (19,40%)
107 (53,2%)
38 (18,9%)
124 (61,7%)
77 (38,3%)
Total 56 (27,9%) 145 (72,1%) 201 (100%)
Hubungan Antara Paritas Dengan Kejadian Kanker Serviks
Tabel 2 menunjukkan bahwa kasus kanker serviks lebih besar terjadi pada ibu dengan
paritas >2. Uji Chi Kuadrat dengan =0,05 menunjukkan hasil p=0,000 (p<), maka dapat
disimpulkan ada hubungan antara paritas dengan dengan kejadian kanker serviks. Diketahui
bahwa paritas >2 anak berisiko 0,180 kali daripada paritas 2 anak. Nilai Odd Ratio kurang
dari 1 berarti faktor yang diteliti bukan merupakan faktor resiko, sehingga dapat disimpulkan
bahwa paritas bukan faktor resiko.
Vol.I No.1 Januari 2010 ISSN: 2086-3098
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 45
Tabel 2. Kejadian Kanker Serviks Menurut Paritas
Paritas Kejadian kanker serviks Total
ya tidak
> 2 anak
2 anak
40 (19,9%)
16 (8,0%)
45 (22,4%)
100 (49,7%)
85 (42,3%)
116 (57,7%)
total 56 (27,9%) 145 (72,1%) 201 (100%)
Di RSUD dr.Soeroto Ngawi pada tahun 2007 jumlah penderita kanker serviks sebanyak
54 orang, sedang pada tahun 2008 peningkatannya (40%) dari 65 penderita, dan menduduki
urutan pertama dari 5 penyakit ginekologi. Keadaan ini hampir sama untuk kejadian di Jawa
Timur berdasar data RSU dr Soetomo, tiap hari tak kurang dari 8 pasien baru kanker leher
rahim berobat, dalam setahun diperkirakan terdapat 700-800 pasien (Askandar, 2008). Dapat
disimpulkan bahwa kejadian kanker serviks masih tinggi.
Ada hubungan antara usia menikah dengan kejadian kanker serviks, dengan besar
resiko paparan usia menikah 16 tahun terhadap kanker serviks sebesar 0,155. Hal ini
menunjukkan bahwa usia menikah 16 tahun sangat kecil kemungkinan untuk terjadi kanker
serviks. Menurut Wiknjosastro, (2007) wanita yang kawin pada usia muda atau mulai kegiatan
seks pada usia muda mempunyai resiko tinggi terkena kanker serviks karena SCJ (Squoamo
Columnar Junction) wanita ini berada diluar OUE (osteum uteri eksternum), sehingga mudah
terkena infeksi serviks. Sedangkan menurut Sidohutomo (2008) penyebab kanker serviks 85-
95% disebabkan oleh HPV (Human Pappiloma Virus), virus yang ditularkan melalui hubungan
seksual. Sehingga pada penelitian ini usia menikah 16 bukan merupakan faktor yang
dominan untuk terjadi kanker serviks, dan kemungkinan disebabkan faktor yang lain.
Ada hubungan antara paritas dengan kejadian kanker serviks, dengan besar resiko
paparan paritas >2 terhadap kanker serviks sebesar 0,180. Hal ini menunjukkan bahwa paritas
>2 anak tidak beresiko atau sangat kecil untuk terjadi kanker serviks. Menurut Wiknjosastro
(2006) wanita dengan banyak anak diperkirakan serviks pada wanita ini sering menggalami
infeksi, sehingga terjadinya infeksi yang terlalu sering dapat menyebabkan terjadinya kanker
serviks. Pada penelitian ini paritas >2 bukan merupakan faktor dominan untuk terjadinya
kanker serviks dan kemungkinan disebabkan faktor yang lain.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan penelitian adalah: 1) kasus kanker serviks di RSUD dr Soeroto Ngawi tahun
2008 sebanyak 65 orang, dan jumlah ibu bersalin normal sebanyak 226, 2) kasus kanker
serviks dengan usia menikah 16 tahun sebanyak 69,6%, dan usia menikah >16 tahun ada
30,4%, 3) kasus kanker serviks karena faktor paritas >2 anak sebanyak 71,4%, dan 2 anak
terdapat 28,6%, 4) ada hubungan antara usia menikah dengan kejadian kanker serviks, 5) ada
hubungan paritas dengan kejadian kanker serviks, 6) besar resiko paparan usia menikah 16
tahun terhadap kejadian kanker serviks 0,180 kali daripada >16 tahun, 7) besar resiko
paparan paritas >2 anak terhadap kejadian kanker serviks 0,155 kali daripada paritas >2 anak.
Vol.I No.1 Januari 2010 ISSN: 2086-3098
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 46
Selanjutnya disarankan:
1. Meningkatkan pengetahuan atau penyuluhan terhadap masyarakat tentang kelompok
resiko tinggi terkena kanker serviks, diantaranya: a) Mencegah perkawinan muda, b) batasi
jumlah anak sampai 2 orang anak saja dengan ikut KB, c) tingkatkan kebersihan/hygiene
pada umumnya, yang khusus kebersihan genital antara lain khitan bagi kaum pria, d)
merawat infeksi mulut rahim yang ditemukan pada pap tes dengan baik, e) tidak merokok,
f) menghindari bahan-bahan karsinogenik, g) meningkatkan sosialisasi tentang vaksinasi
HPV dan penyuluhan pentingnya melakukan vaksinasi HPV.
2. Meningkatkan pemeriksaan IVA dan Pap smear pada wanita kelompok resiko tinggi (high
risk group)
3. Perlu pengembangan penelitian lebih lanjut terhadap hubungan usia menikah dan paritas
dengan kejadian kanker serviks, dengan instrumen penelitian, desain sampling dan jumlah
responden yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto Suharsimi, 2006. Prosedur Penelitian, Jakarta, Rineka Cipta.
Askandar Brahmana, 2008. Kanker Mulut Rahim, Momok Semua Wanita, Jawa Pos, Laporan
Khusus.
Azis, Farid M, 2003. Deteksi Dini Kanker, Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Hartono Poedjo, 2004. Kanker Leher Rahim, Surabaya: Lab/SMF Obstetri dan Ginekologi FK
Unair/RSUD dr Soetomo.
Manuaba, Gde Bagus Ida, 2008. Gawat Darurat Obstetri dan obstetri Ginekologi Sosial Untuk
Profesi Bidan, Jakarta: EGC.
Notoatmodjo Soekidjo, 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan, Jakarta: Rineka Cipta
Ridwan R, 2005, Tuntunan Penyusunan Karya Ilmiah - Makalah - Skripsi - tesis - Disertasi,
Bandung: Sinar Baru Algesindo.
Sugiyono, 2000. Statistika Untuk Penelitian, Bandung:CV ALFABETA
Sukardja I Dewa Gede, 2000. Onkologi klinik, Surabaya: Airlangga University Press.
Sidohutomo Ananto. MARS, For Never Ending Wars Againts Cancer, Bidadariku, 2008, http: //
www.bidadariku. Com / index. php.
Wiknjosastro Hanifa, 1999. Ilmu Kandungan, Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo.
Sastroasmoro, 2000. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis, Jakarta: Bina Rupa Aksara
Vol.I No.1 Januari 2010 ISSN: 2086-3098
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 47
HUBUNGAN ANTARA DEFISIENSI YODIUM DENGAN PRESTASI BELAJAR
Anis Nurwidiawati*, Rahayu Sumaningsih*
*=Program Studi Kebidanan Magetan Jurusan Kebidanan Poltekkes Depkes Surabaya
ABSTRAK
Kekurangan yodium tidak hanya menyebabkan gondok tetapi juga menyebabkan
terganggu kecerdasannya (Ali Khomsan, 2004). Di Desa Sidorejo Kecamatan Kendal
Kabupaten Ngawi terjadi peningkatan prevalensi defisiensi yodium pada anak SD dari 24,39 %
tahun 2003 menjadi 51,65 % pada tahun 2007. Tujuan penelitian untuk mengetahui hubungan
antara defisiensi yodium dengan prestasi belajar.
Penelitian survei analitik dengan rancangan cross sectional ini dilakukan pada populasi
siswa SDN Sidorejo 2 Kelas I-VI sebanyak 185 anak. Sampel diambil secara proportionate
stratified random sampling sebanyak 127 siswa. Variabel bebas adalah defisiensi yodium dan
variabel terikat adalah prestasi belajar. Data dikumpulkan melalui observasi, selanjutnya
dianalisis dengan uji chi square dengan <0,05.
Hasil penelitian menggambarkan sebanyak 41 (73,2%) siswa defisiensi yodium dengan
prestasi belajar tidak baik, 15 (26%) siswa defisiensi yodium dengan prestasi belajar baik.
Sebanyak 27 (38%) siswa tidak defisiensi yodium dengan prestasi belajar tidak baik, 44 (62%)
siswa tidak defisiensi yodium dengan prestasi belajar baik. Analisis X
2
hitung 15,582, X
2
tabel
=3,841 maka Ho ditolak. Simpulan penelitian adalah ada hubungan antara defisiensi yodium
dengan prestasi belajar. Hasil penelitian dapat dipertimbangkan dalam rencana tindak lanjut
penanggulangan gondok endemis, dalam bentuk survei, monitoring dan penyuluhan
kesehatan masyarakat.
Kata kunci: defisiensi yodium, prestasi belajar
Telepon: 08155636967
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Masalah gizi di negara berkembang termasuk Indonesia masih didominasi oleh Kurang
Energi Protein (KEP), anemia besi, Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY), Kurang
Vitamin A (KVA) dan obesitas (Supariasa, 2001). Gangguan Akibat Kekurangan Yodium
merupakan masalah serius mengingat dampaknya mempengaruhi kelangsungan hidup dan
kualitas sumber daya manusia yang mencakup aspek perkembangan, kecerdasan,
perkembangan sosial dan perkembangan ekonomi. Kelompok yang sangat rawan masalah
dampak defisiensi yodium salah satunya adalah anak usia sekolah (Fadilah, 2003).
Kekurangan yodium tidak hanya menyebabkan gondok tetapi juga anak-anak yang mengalami
defisiensi yodium akan terganggu kecerdasannya (Ali Khomsan, 2004). Studi pendahuluan di
SDN Sidorejo 2 Kecamatan Kendal Kabupaten Ngawi menunjukkan hasil yaitu terdapat 8 dari
10 siswa dengan defisiensi yodium memiliki prestasi di bawah rata-rata kelas dan 10 siswa
yang tanpa defisiensi yodium semuanya memiliki prestasi di atas rata-rata kelas.
Vol.I No.1 Januari 2010 ISSN: 2086-3098
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 48
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mensyaratkan angka gondok di bawah lima persen
(Siswono, 2001). Pada tahun 2007 prevalensi GAKY masih diderita 9,1% anak SD meskipun
terjadi penurunan, GAKY masih dianggap masalah kesehatan masyarakat karena secara
umum prevalensi masih di atas 5% (Admin, 2007). Di Desa Sidorejo Kecamatan Kendal
Kabupaten Ngawi terjadi peningkatan prevalensi defisiensi yodium pada anak SD dari 24,39 %
tahun 2003 menjadi 51,65 % tahun 2007. GAKY dapat menyebabkan gangguan pada
perkembangan otak. Anak-anak penyandang GAKY memiliki kapasitas mental di bawah
normal, daya motoriknya berupa kecekatan dan keterampilannya juga cenderung terbelakang,
dan intelegensinya sangat kurang, dan cenderung bodoh (Anonim, 2002). Kekurangan
yodium akan mengakibatkan penurunan kecerdasan/IQ sebanyak 13,5 poin (Anonim, 2002).
Dalam mengatasi GAKY, Depkes melaksanakan upaya jangka pendek yaitu
suplementasi yodium atau distribusi kapsul minyak beryodium pada kecamatan endemik
GAKY berat dan sedang, dengan pemberian kapsul minyak beryodium untuk SD Kelas I-VI di
daerah yang kurang yodium berat satu kapsul pertahun. Upaya jangka panjang berupa
yodisasi garam, penyuluhan gizi seimbang, menghindari zat goitrogenik (Anonim, 2002).
Rumusan Masalah
Apakah ada hubungan antara defisiensi yodium dengan prestasi belajar di SDN Sidorejo
2 Kecamatan Kendal Kabupaten Ngawi ?
Tujuan penelitian
Penelitian ini bertujuan: 1) mengidentifikasi kejadian defisiensi yodium, 2)
mengidentifikasi prestasi belajar 3) menganalisis hubungan antara defisiensi yodium dengan
prestasi belajar Semester Ganjil Tahun Ajaran 2008/2009 pada siswa SDN Sidorejo Kelas I-VI.
BAHAN DAN METODE
Jenis penelitian ini adalah survei analitik dengan rancangan cross sectional dan
dilaksanakan di SDN Sidorejo 2, Kecamatan Kendal, Kabaupaten Ngawi pada bulan Januari
sampai dengan Juli 2009. Populasi penelitian adalah Siswa SDN Sidorejo 2 Kelas I-VI
Kecamatan Kendal, Kabupaten Ngawi dengan sampel 127 orang yang ditentukan secara
random. Variabel bebas adalah defisiensi yodium sedangkan variabel terikat adalah prestasi
belajar siswa. Data dikumpulkan dengan cara observasi langsung melalui pemeriksaan fisik
pada siswa menggunakan pedoman klasifikasi pembesaran kelenjar gondok. Data prestasi
belajar diperoleh dari catatan raport semester ganjil. Instrumen pengumpulan data berupa
lembar observasi. Analisis data menggunakan statistik deskriptif dan uji chi square. Kriteria
penolakan Ho: bila harga X
2
hitung > harga X
2
tabel, dengan =0,05.
HASIL PENELITIAN
Hasil penelitian menggambarkan bahwa 56 (44,1%) siswa mengalami defisiensi yodium
dan 71 (55,9%) siswa tidak mengalami defisiensi yodium. Ada 68 siswa (53,5%) yang memiliki
prestasi belajar tidak baik dan 59 siswa (46,5%) memiliki prestasi belajar baik.
Vol.I No.1 Januari 2010 ISSN: 2086-3098
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 49
Tabel 1 menunjukkan bahwa siswa yang mengalami defisiensi yodium dan memiliki
prestasi belajar baik sejumlah 15 (26,8%) sedangkan siswa yang tidak mengalami defisiensi
yodium dan memiliki prestasi belajar baik sejumlah 44 (62%).
Tabel 1. Prestasi Belajar Siswa Menurut Kejadian Defisiensi Yodium
Di SDN Sidorejo 2 Kecamatan Kendal Kabupaten Ngawi
Defisiensi yodium Prestasi belajar Jumlah
Tidak baik Baik
f % f % f %
Mengalami defisiensi yodium 41 73,2 15 26,8 56 100
Tidak mengalami defisiensi yodium 27 38 44 62 71 100
Jumlah 68 53,5 59 46,46 127 100
Analisis hubungan antara defisiensi yodium dengan prestasi belajar dengan uji chi
square dengan =0,05 dan df=1 didapatkan X
2
hitung 15,582 dan X
2
tabel 3,841, maka H0
ditolak, artinya ada hubungan antara defisiensi yodium dengan prestasi belajar. Koefisien
kontingensi C=0,331, menunjukkan defisiensi yodium dengan prestasi belajar memiliki tingkat
hubungan rendah.
Dampak kekurangan Yodium bagi manusia cukup besar, terutama dalam upaya
peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia, karena dapat menurunkan sekitar 140 IQ poin
dalam setahun (Haris Fadilah, 2003). Berdasarkan hasil penelitian, GAKY bisa menyebabkan
gangguan pada perkembangan otak. Anak-anak penyandang GAKY memiliki kapasitas mental
di bawah normal, daya motoriknya berupa kecekatan dan keterampilannya juga cenderung
terbelakang, dan intelegensinya sangat kurang, sehingga kemampuannya untuk menyerap
informasi pun menjadi terbatas, dan cenderung bodoh (Sianturi, 2002).
Penelitian pada anak sekolah yang tinggal di daerah kekurangan yodium menunjukkan
prestasi sekolah dan IQ kurang dibandingkan dengan kelompok umur yang sama yang berasal
dari daerah yang berkecukupan yodium. dari sini dapat disimpulkan kekurangan yodium
mengakibatkan ketrampilan kognitif rendah. Semua penelitian yang dikerjakan di daerah
kekurangan yodium memperkuat adanya bukti kekurangan yodium dapat menyebabkan
kelainan otak yang berdimensi luas. Dalam penelitian tersebut juga dijelaskan, dengan
pemberian koreksi yodium akan memperbaiki pretasi belajar anak sekolah (Siswono, 2001).
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan hasil penelitian adalah: 1) hampir setengahnya siswa SDN Sidorejo 2 Kelas I-
VI tahun 2009 mengalami defisiensi yodium, 2) sebagian besar siswa SDN Sidorejo 2 Kelas I-
VI pada semester ganjil tahun ajaran 2008/2009 memiliki prestasi belajar tidak baik, 3) ada
hubungan antara defisiensi yodium dengan prestasi belajar.
Saran yang diajukan adalah: 1) untuk institusi pendidikan Sekolah Dasar, diharapkan
memantau keadaan murid dan mengarahkan siswa didik/orang tua untuk meningkatkan
konsumsi yodium, 2) bagi puskesmas khususnya pelaksana gizi, hasil penelitian dapat
Vol.I No.1 Januari 2010 ISSN: 2086-3098
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 50
digunakan sebagai data dalam merencanakan tindak lanjut pemeriksaan kelenjar gondok dan
garam beryodium secara berkesinambungan.
DAFTAR PUSTAKA
Akbar Hawadi, Reni. 2006. Akselerasi. Jakarta: Grasindo.
Arikunto, Suharsimi. 2002. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Budiarto, Eko. 2002. Biostatistika Untuk Kedokteran dan Kesehatan Masyarakat. Jakarta:
EGC.
Depkes RI. 2000. Pedoman Distribusi Kapsul Minyak Beryodium. Jakarta: Depkes RI.
_________. 1998. Pedoman Pelaksanaan Pemantauan Garam Beryodium di Tingkat
Masyarakat. Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kesehatan Masyarakat, Direktorat
Bina Gizi Masyarakat.
_________. 2004. Peningkatan Konsumsi Garam Beryodium Tim Penanggulangan Pusat.
Jakarta: Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat.
Dinkes Propinsi Jatim. 2003. Penanggulangan Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY)
bagi Petugas Kesehatan Tingkat Kabupaten/Kota. Puskesmas dan Pokja
Penanggulangan GAKY. Surabaya: Dinkes Propinsi Jatim.
Hadi dan Haryono. 2005. Metodelogi Penelitian Pendidikan. Bandung: Pustaka Setia.
Hari S, Ratna. 2004. Perbedaan Prestasi Belajar Antara Penderita gondok dan Bukan
Penderita Gondok Siswa SLTPN II Bangorejo Di daerah Endemik Gondok Kecamatan
Bangoreji kabupatan Banyuwangi. adln.lib.unair.ac.id (diakses 18 Maret 2009 pukul
10.30 WIB).
Indriastuti, W. Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY). gemari.or.id (diakses 18 Maret
2009 pukul 10.00 WIB).
Khomsan, Ali. 2004. Defisiensi Micronutrients Dan Nasib Bangsa Kita. www2. kompas.com
(diakses 18 Maret 2009 pukul 12.00 WIB).
Moehji, Sjahmien. 2003. Ilmu Gizi. Jakarta: Papas Sinar Sinanti.
Palupi, Laksmi. 2008. Stabilkah Yodiat Dalam Garam. bahanpang.sumutprov. go.id. (diakses
18 Maret 2009 pukul 13.30 WIB).
Ridwan. 2008. Ketercapaian Prestasi Belajar. ridwan202.wordpress.com. (diakses 18 Maret
2009 pukul 11.00 WIB).
Shakira, Ghana. 2009. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Prestasi Belajar Mahasiswa.
syakira-blog.blogspot.com (diakses 18 Maret 2009 pukul 12.30 WIB).
Siswono. 2001. Jutaan Poin IQ Hilang Karena Kekurangan Yodium. www.gizi.net (diakses 18
Maret 2009 pukul 11.00 WIB).
Sudrajat, Ahmad. Tes Penilaian Pengukuran. ahmadsudrajat.wordpress.com (diakses 18 April
2009 pukul 12.55).
Vol.I No.1 Januari 2010 ISSN: 2086-3098
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 51
HUBUNGAN ANTARA PERAN ORANG TUA DENGAN FOBIA SEKOLAH
PADA ANAK PRASEKOLAH
Meilina Awwalin Rokhmayanti*, Nana Usnawati*, Sulikah*
Prodi Kebidanan Magetan, Poltekkes Depkes Surabaya
A. RAK
ABSTRAK
Peran orangtua pada anak prasekolah (3-4 th) sangat dibutuhkan untuk mempersiapkan
anaknya masuk bangku sekolah. Orangtua yang sangat berperan tidak akan menyebabkan
anak menjadi fobia sekolah. Sebagian besar anak yang mengalami fobia sekolah masih
ditunggui orang tuanya sampai pulang sekolah, serta mengalami ketakutan untuk
bersosialisasi, kesulitan konsentrasi belajar, menangis dan minta pulang.
Penelitian ini merupakan penelitian survei analitik dengan rancangan penelitian cross
sectional di TK Baitut Taqwa Tawangrejo, Kecamatan Takeran. Populasi penelitian adalah
orangtua dari anak usia prasekolah (3-4 tahun) sebanyak 124 anak. Sampel diambil secara
simple random sampling dengan sampel sebesar 94 anak. Variabel independen adalah peran
orangtua (ibu), sedangkan variabel dependen adalah fobia sekolah. Pengumpulan data
menggunakan kuesioner yang diberikan kepada orangtua (ibu) anak prasekolah di TK. Untuk
menganalisis adanya hubungan digunakan uji Kendal Tau dengan tingkat kemaknaan 0,05.
Hasil penelitian menunjukkan dari 94 orangtua, 75,5% orangtua yang sangat berperan
menyebabkan anaknya tidak mengalami fobia sekolah sebanyak 48,9%, fobia tingkat 1
sebanyak 17,0%, tingkat 2 sebanyak 8,5%, tingkat 3 sebanyak 1,1% dan tingkat 4 sebanyak
0,0%. Dari 20,2% orangtua yang cukup berperan menyebabkan anak tidak fobia sekolah
sebanyak 6,4%, fobia tingkat 1 dan tingkat 4 sebanyak 2,1%, tingkat 2 sebanyak 4,3% dan
yang mengalami fobia tingkat 3 terdapat 5,3%. Sedangkan dari 4,3% orangtua yang kurang
berperan menyebabkan anaknya mengalami fobia tingkat 1 sebanyak 1,1%, fobia tingkat 3
sebanyak 1,1%, fobia tingkat 4 sebanyak 2,1% dan yang tidak fobia dan yang mengalami fobia
tingkat 2 tidak ada. Dari analisis data diperoleh hasil ada hubungan antara peran orangtua
dengan fobia sekolah pada anak prasekolah di TK yaitu nilai p = 0,00 0,05.
Sebagian besar orangtua sangat berperan dan sebagian besar anak tidak mengalami
fobia sekolah. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa peran orangtua sangat dibutuhkan
agar anak tidak mengalami fobia sekolah, sehingga disarankan bagi orangtua untuk
memberikan motivasi dan sosialisasi pada anak prasekolah untuk masuk sekolah.
Kata kunci: Peran orangtua, fobia sekolah
PENDAHULUAN
Fobia sekolah merupakan keengganan bersekolah total atau sebagian dan dinyatakan
dengan gejala fisik, misalnya rasa mual, tidak mau makan dan sedikit demam. Anak mungkin
pergi ke sekolah, lalu mengeluh tentang beberapa masalah somatis, misalnya sakit perut atau
sakit kepala (Hurlock, 1993: 140). Para ahli menunjukkan adanya beberapa tingkatan fobia
sekolah mulai dari yang ringan hingga berat yaitu: initial school refusal behaviour, substantial
Vol.I No.1 Januari 2010 ISSN: 2086-3098
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 52
school refusal behaviour, acute school refusal behaviour, chronic school refusal behaviour
(Darsono, 2009). Secara sekilas rasa takut sekolah ditimbulkan beberapa aspek situasi
sekolah seperti terlihat dari rasa cemas yang meningkat bila tiba saatnya pergi ke sekolah.
Namun bukti bahwa ketakutan ini disebabkan sesuatu di sekolah tidak ada. Rasa takut ini
adalah bagian dari kecemasan umum akibat takut berpisah dari ibu, ketergantungan kuat pada
ibu atau pengganti ibu dan ketidakmampuan berdiri sendiri (Hurlock, 1993: 140).
Peran merupakan pola sikap perilaku, nilai dan tujuan yang diharapkan dari seseorang
berdasarkan posisi di masyarakat (Widayatun, 1999: 226). Adapun peran orang tua yaitu
mengasuh, memelihara, mendidik dan melindungi anaknya (Baroto, 2009). Banyak orangtua
yang tidak sadar bahwa sikap dan pola asuh yang diterapkan pada anak ikut menyumbang
terbentuknya dependency (ketergantungan), rasa kurang percaya diri dan kekhawatiran yang
berlebihan. Fobia sekolah dapat disebabkan dari faktor orangtua yang selalu memanjakan
atau sangat menyayangi anaknya, semua keinginannya diikuti agar anak jangan sampai
frustasi. Akibatnya anak tidak mandiri tergantung pada rumah dan keluarga dan tanpa disadari
juga mendukung perilaku anak yang menolak pergi ke sekolah, pengalaman traumatis
disekolah problem keluarga turut andil sebagai pencetus fobia sekolah (Hawadi, 2000: 49).
Pada dasarnya, setiap anak mempunyai kebutuhan bergantung pada orangtuanya. Jika
kebutuhan tersebut tiba-tiba dilepas, anak bisa mengalami krisis. Untuk itu peran orangtua
sangat penting dalam menciptakan rasa aman pada anak untuk mengatasi kesulitan
emosional menghadapi suasana baru (Priyono, 2003). Anak fobia sekolah biasanya
merasakan tidak aman, sensitif dan seringkali tidak tahu bagaimana harus menghadapi emosi
yang mereka rasakan. Mereka terlihat tegang dan mungkin terlihat sakit secara fisik setiap
saat harus masuk sekolah (Anonim, 2007). Bernstein dan Ganfikel (1998) telah menunjukkan
bahwa 70% anak fobia sekolah menderita depresi, 60% menderita gangguan kecemasan
terutama gangguan kecemasan karena perpisahan (separation anxiety disorder) dan 50%
menderita depresi maupun kecemasan (Nelson, 2000: 103).
Tanpa menyadari bahwa takut sekolah berasal dari rumah, beberapa orang tua dan
sekolah berusaha memindahkan anak itu ke kelas atau sekolah yang lain. Hal ini jarang
berhasil menghilangkan rasa takut sekolah karena kesulitan tidak terletak pada sekolah
namun pada anak itu sendiri (Hurlock, 1993: 140). Penatalaksanaan gangguan fobia sekolah
melibatkan penanganan masalah-masalah psikiatrik yang mendasari terapi keluarga, pelatihan
penatalaksanaan orangtua dan hubungan kerja dengan sekolah anak (Nelson, 2000: 103).
Menurut Trisna (2008), ada beberapa cara yang dapat dilakukan orang tua dalam menangani
masalah fobia sekolah antara lain: tetap menekankan pentingnya sekolah; berusaha untuk
tegas dan konsisten dalam bereaksi terhadap keluhan, rengekan, ataupun rajukan anak yang
tidak mau masuk sekolah; mengkonsultasikan masalah kesehatan anak pada dokter;
bekerjasama dengan guru kelas atau asisten lain di sekolah; meluangkan waktu untuk
berdiskusi/berbicara dengan anak; melepaskan anak secara bertahap; mengkonsultasikan
pada psikolog/konselor jika masalah terjadi berlarut-larut.
Rumusan masalah
Adakah hubungan peran orangtua dengan fobia sekolah pada anak prasekolah?
1
Vol.I No.1 Januari 2010 ISSN: 2086-3098
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 53
Tujuan penelitian
Tujuan penelitian ini adalah: 1) mengidentifikasi peran orangtua pada anak pra sekolah
di TK, 2) mengidentifikasi fobia sekolah pada anak pra sekolah di TK, 3) menganalisis
hubungan peran orang tua dengan fobia sekolah pada anak pra sekolah.
BAHAN DAN METODE
Jenis penelitian ini adalah analitik observasional, dengan rancangan penelitian cross
sectional. Lokasi penelitian di TK Baitut Taqwa Tawangrejo, Kecamatan Takeran pada bulan
Januari sampai bulan Juli 2009. Populasi penelitian adalah orangtua dari anak usia prasekolah
(3-4 tahun) di TK Baitut Taqwa Tawangrejo, Kecamatan Takeran sebanyak 124 orang dengan
sampel 94 secara simple random sampling. Variabel independen adalah peran orang tua dan
variabel dependen adalah fobia sekolah. Instrumen pengumpulan data berupa kuesioner
dengan pertanyaan tertutup. Data peran orangtua dikategorikan menjadi kurang, cukup dan
sangat berperan, selanjutnya dianalisis dengan uji korelasi Kendall Tau dengan < 0,05.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Peran orangtua (ibu) pada anak prasekolah di TK Baitut Taqwa Tawangrejo, Kecamatan
Takeran dari sejumlah 94 orang ada 4 orang (4,3%) kurang berperan, 19 orang (20,2%) cukup
berperan dan 71 orang (75,5%) sangat berperan. Secara rinci tampak pada Tabel 1.
Tabel 1. Distribusi Frekuensi Peran Orangtua pada Anak Prasekolah (3-4 th)
di TK Baitut Taqwa Tawangrejo, Kecamatan Takeran Tahun Ajaran 2008/2009
Tabel 2 Distribusi Frekuensi Tingkat Fobia Sekolah pada Anak Prasekolah (3-4 th)
di TKBaitut Taqwa Tawangrejo, Kecamatan Takeran Tahun Ajaran 2008/2009
Peran orangtua Frekuensi %
Kurang berperan
Cukup berperan
Sangat berperan
4
19
71
4,3
20,2
75,5
Total 94 100
Tingkat fobia
sekolah
Frekuensi %
Tidak fobia
Tingkat 1
Tingkat 2
Tingkat 3
Tingkat 4
52
19
12
7
4
55,3
20,2
12,8
7,4
4,3
Total 94 100
Vol.I No.1 Januari 2010 ISSN: 2086-3098
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 54
Distribusi tingkat fobia sekolah pada anak prasekolah di TK Baitut Taqwa didapatkan
hasil: 52 anak (55,3%) tidak mengalami fobia, 19 anak (20,2%) mengalami fobia tingkat satu,
12 anak (12,8%) mengalami fobia tingkat dua, tujuh anak (7,4%) mengalami fobia tingkat tiga
dan empat anak (4,3%) mengalami fobia tingkat empat. Secara rinci tampak pada Tabel 2.
Tabel 3 menunjukkan bahwa kelompok orangtua yang kurang berperan memiliki anak
dengan distribusi fobia yaitu: tidak fobia nihil, fobia tingkat 1 ada 1 orang (1,1%), fobia tingkat 2
nihil, fobia tingkat 3 ada 1 orang (1,1%) dan fobia tingkat 4 ada 2 orang (2,1%). Kelompok
orangtua yang cukup berperan memiliki anak dengan distribusi fobia yaitu: tidak fobia ada 6
orang (6,4%), fobia tingkat 1 ada 2 orang (2,1%), fobia tingkat 2 ada 4 orang (4,3%), fobia
tingkat 3 ada 5 orang (5,3%) dan fobia tingkat 4 ada 2 orang (2,1%). Orangtua yang sangat
berperan memiliki anak dengan distribusi fobia yaitu: tidak fobia ada 46 orang (48,9%), fobia
tingkat 1 ada 16 orang (17,0%), fobia tingkat 2 ada 8 orang (8,5%), fobia tingkat 3 ada 1 orang
(1,1%) dan fobia tingkat 4 tidak ditemukan.
Hasil uji Kendal Tau adalah r = 0,435 dan p=0,000, yang menunjukkan adanya
hubungan bermakna antara peran orangtua dengan fobia sekolah.
Tabel .3
Distribusi Frekuensi Tingkat Fobia Sekolah berdasarkan Peran Orangtua pada Anak
Prasekolah (3-4 th) di TK Baitut Taqwa Tawangrejo, Takeran Tahun Ajaran 2008/2009
Peran
orangtua
Tingkat fobia sekolah Total
Tidak fobia Tingkat 1 Tingkat 2 Tingkat 3 Tingkat 4
f % f % f % f % f % f %
Kurang
Cukup
Sangat
0
6
46
0
31,6
64,8
1
2
16
25
10,5
22,5
0
4
8
0
21,1
11,3
1
5
1
25
26,3
1,4
2
2
0
50
10,5
0
4
19
71
100
100
100
Jumlah 52 55,3 19 20,2 12 12,8 7 7,4 4 4,3 94 100
Pembahasan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 75,5% orangtua sangat berperan. Hal ini berbeda
dengan penelitian oleh Yunita Diah Rahayu (2007) bahwa pada penelitian tersebut di peroleh
kesimpulan bahwa orangtua anak prasekolah sebagian besar kurang berperan. Pada
penelitian tersebut diperoleh gambaran bahwa kesibukan orangtua menyebabkan mereka
kurang berperan dalam memberikan motivasi, dorongan, pujian, sebagai penengah, pendamai
dan memberikan sosialisasi kepada anaknya saat persiapan masuk sekolah.
Menurut Widayatun (1999), peran merupakan pola, sikap, perilaku, nilai dan tujuan yang
diharapkan dari seseorang berdasarkan posisi di masyarakat. Adapun peran orang tua
menurut Baroto (2009) yaitu mengasuh, memelihara, mendidik dan melindungi anaknya.
Dari hasil penelitian didapatkan peran yang berbeda-beda pada tiap orangtua.
Perbedaan ini mungkin terjadi karena menurut Friedman (1998) faktor yang mempengaruhi
peran antara lain bentuk-bentuk keluarga, variasi kultur, tahap perkembangan keluarga,
model-model peran, kejadian situasional dan kelas sosial. Kejadian kehidupan situasional
yang berhadapan dengan keluarga pasti mempengaruhi fungsi peran mereka. Salah satu
Vol.I No.1 Januari 2010 ISSN: 2086-3098
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 55
faktor situasional yaitu pengaruh sehat-sakit terhadap peran-peran keluarga. Dari hasil survei,
anak-anak yang mengalami fobia sekolah tetapi orangtuanya sangat berperan, hal ini mungkin
disebabkan karena kejadian situasional yaitu anak sedang mengalami sakit, rewel atau
menangis ketika akan masuk sekolah.
Banyaknya orang tua yang sangat berperan kemungkinan disebabkan karena sebagaian
besar orangtua tersebut memahami dan menjalankan fungsi mereka sebagai pengasuh,
pendidik dan pelindung anak. Sebagai pengasuh, mereka memberikan gizi, baik itu gizi
jasmaniah atau pun gizi batiniah kepada anak, sehingga anak bisa bertumbuh besar menjadi
orang yang stabil, yang cukup, yang sehat. Sebagai pendidik mereka memberi rangsangan
psikososial dengan kasih sayang dan memberi kesempatan belajar sambil bermain. Sebagai
pelindung mereka menjauhkan anak dari bahaya, memisahkan anak dari hal-hal yang bisa
merenggut nyawa atau membahayakan. Kemungkinan orangtua tersebut sadar bahwa peran
orangtua adalah menjadi faktor utama untuk menjadi model yang dapat menjadi teladan bagi
anak, karena rumah dan keluarga adalah yang paling bertanggung jawab dalam membentuk
anak menjadi sesuai yang diharapkan, sehingga sebagian besar orangtua sangat berperan.
Sebaik apapun tenaga pendidik, program kegiatan, dan fasilitas yang tersedia di tempat
penitipan dan pendidikan anak usia dini, tidak akan dapat menggantikan sepenuhnya peran
orangtua sebagai pengasuh pendidik sekaligus pelindung bagi anak (Anonim, 2008).
Hasil penelitian yang didapatkan mengenai fobia sekolah sebanyak 55,3% anak tidak
mengalami fobia sekolah. Hal ini tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Yunita
Diah Rahayu (2007) yang memperoleh kesimpulan bahwa anak-anak prasekolah sebagian
besar mengalami fobia tingkat 1. Pada penelitian Yunita Diah Rahayu (2007) diperoleh
gambaran bahwa pada awal masuk bangku sekolah biasanya anak memerlukan waktu untuk
beradaptasi, terutama pada minggu-minggu pertama. Anak yang mengalami proses adaptasi
terhadap lingkungan yang baru akan menampakkan gejala-gejala psikologis di antaranya anak
menjadi cemas, takut dan bahkan menjadi mogok sekolah.
Menurut Trisna (2008), fobia karena sekolah adalah sebuah bentuk kecemasan yang
tinggi terhadap sekolah. Gejala ini bisa tiba-tiba saja terjadi dirasakan oleh anak-anak, baik itu
di waktu akan berangkat ke sekolah ataupun selepas liburan sekolah.
Menurut Arya (2008), ketika anak mulai bosan atau takut pergi ke sekolah, mereka tidak
bisa sepenuhnya disalahkan. Kejadian ini adalah penyimpangan cara berpikir yang berawal
dari pengabaian dan membuat kegiatan belajar menjadi beban bagi anak. Sekolah lalu
menjadi momok bagi anak. Jika orangtua dan sekolah bekerjasama, memperhatikan
kebutuhan dan juga kemampuan anak, serta menghubungkannya dengan pendidikan, anak
tentu akan menyukai kegiatan belajar. Anak-anak membutuhkan cinta dan kasih sayang.
Dengan cinta, mereka akan melakukan apa saja yang tidak akan mereka lakukan dengan rasa
takut dan tertekan.
Pada penelitian ini, anak-anak yang masih mengalami fobia sekolah kemungkinan di
karenakan oleh beberapa faktor. Menurut Darsono (2009), beberapa faktor penyebab fobia
sekolah antara lain: pola hubungan orang tua dan anak yang tidak sehat, sistem keluarga
yang sering bertengkar, pengalaman negatif di sekolah atau lingkungan dan pengalaman
abusive.
Mungkin saja anak menolak ke sekolah karena dirinya kesal, takut dan malu setelah
Vol.I No.1 Januari 2010 ISSN: 2086-3098
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 56
mendapat cemoohan, ejekan ataupun diganggu teman-temannya di sekolah. Atau anak
merasa malu karena tidak cantik, tidak kaya, gendut, kurus, hitam, atau takut gagal dan
mendapat nilai buruk di sekolah. Disamping itu, persepsi terhadap keberadaan guru yang
galak, pilih kasih, atau seram membuat anak jadi takut dan cemas menghadapi guru dan mata
pelajarannya.
Selain itu anak mungkin mencemaskan keadaan orangtuanya. Anak-anak pada usia tiga
sampai enam tahun sebenarnya sangat terganggu dengan pertengkaran-pertengkaran kedua
orangtuanya. Perselisihan kedua orangtuanya merupakan krisis yang dapat menimbulkan
kecemasan tersendiri. Anak-anak yang dibesarkan dalam asuhan orangtua yang sering
bertengkar akan lebih mudah mengalami kecemasan atau anxiety
Menurut Hurlock (1993), peran orangtua sangat penting dalam menciptakan rasa aman
pada anak untuk mengatasi kesulitan emosional menghadapi suasana baru. Pada penelitian
ini orangtua sebagian besar sangat berperan, sehingga sebagian besar anak tidak mengalami
fobia karena mereka merasa aman dalam mengatasi kesulitan emosional menghadapi
suasana baru.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa orangtua yang sangat berperan sebagian besar
anaknya 64,8%) tidak mengalami fobia sekolah. Dalam hal ini mungkin orangtua sadar bahwa
peran orangtua itu sangat penting dalam menciptakan rasa aman pada anak untuk mengatasi
kesulitan emosional menghadapi suasana baru. Kejadian ini sesuai dengan teori Suryanah
(1996) bahwa orangtua yang sangat berperan tidak akan menyebabkan fobia sekolah. Hasil
penelitian tersebut menyimpulkan ada hubungan antara peran orangtua dengan fobia sekolah.
Sedangkan orangtua yang cukup berperan sebagian besar anaknya (31,6%) tidak fobia
sekolah. Dari hasil penelitian ini diketahui walaupun orangtua sudah cukup ataupun sangat
berperan tetapi masih menyebabkan anak mengalami fobia, hal ini kemungkinan dikarenakan
oleh beberapa faktor-faktor yang mengalami fobia sekolah. Menurut Darsono (2009),
beberapa faktor penyebab fobia sekolah antara lain: pola hubungan orang tua dan anak yang
tidak sehat, sistem keluarga yang sering bertengkar, pengalaman negatif di sekolah atau
lingkungan dan pengalaman abusive. Selain itu mungkin juga dikarenakan dari kecemasan
umum akibat rasa takut berpisah dari ibu, ketergantungan kuat pada ibu atau pengganti ibu
dan ketidakmampuan berdiri sendiri.
Orangtua yang kurang berperan sebagian besar menyebabkan anaknya mengalami
fobia tingkat 4 sebanyak 50%. Kejadian ini sesuai dengan teori Suryanah (1996) orangtua
yang kurang berperan akan menyebabkan terjadinya fobia sekolah.
Menurut Setiawan (2008), peran orangtua dalam hal pendidikan anak sudah seharusnya
berada pada urutan pertama, karena para orang tualah yang paling mengerti benar akan sifat-
sifat baik dan buruk anak-anaknya, apa saja yang mereka sukai dan apa saja yang mereka
tidak sukai. Para orang tua adalah yang pertama kali tahu bagaimana perubahan dan
perkembangan karakter dan kepribadian anak-anaknya, hal-hal apa saja yang membuat
anaknya malu dan hal-hal apa saja yang membuat anaknya takut untuk masuk sekolah.
Menurut Trisna (2008), ada beberapa cara yang dapat dilakukan orang tua dalam
menangani masalah fobia sekolah antara lain: tetap menekankan pentingnya sekolah;
berusaha untuk tegas dan konsisten dalam bereaksi terhadap keluhan, rengekan, ataupun
rajukan anak yang tidak mau masuk sekolah; mengkonsultasikan masalah kesehatan anak
Vol.I No.1 Januari 2010 ISSN: 2086-3098
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 57
pada dokter; bekerjasama dengan guru kelas atau asisten lain di sekolah; meluangkan waktu
untuk berdiskusi/berbicara dengan anak; melepaskan anak secara bertahap;
mengkonsultasikan pada psikolog/konselor jika masalah terjadi berlarut-larut.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan penelitian ini adalah bahwa di TK Baitut Taqwa Tawangrejo, Kecamatan
Takeran: 1) orangtua anak prasekolah di sebagian besar sangat berperan, 2) anak-anak
prasekolah sebagian besar tidak mengalami fobia sekolah, 3) ada hubungan bermakna antara
peran orangtua dengan fobia sekolah
Berdasarkan hasil penelitian diajukan beberapa saran antara lain: 1) diperlukan
penelitian lanjutan yang lebih sempurna dengan memanfaat penelitian ini sebagai referensi
bila diperlukan, 2) perlu diberikan penyuluhan kepada orangtua tentang fobia sekolah dan cara
mempersiapkan anak untuk masuk bangku sekolah, 3) pPihak sekolah perlu menyiapkan
program yang menarik di sekolah agar anak tidak takut ke sekolah.
DAFTAR PUSTAKA
Arya, PK. 2008. Rahasia Mengasah Talenta Anak. Jogjakarta: Think
Dahlan. M Djawad. 2004. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya
Effendy, Nasrul. 1998. Dasar-Dasar Keperawatan Kesehatan Masyarakat. Jakarta: EGC
Friedman M. Marllyn. 1998. Keperawatan Keluarga Teori dan Praktek. Jakarta: EGC
Hasan, Rusepno.1998. Ilmu Kesehatan Anak.Jakarta:Info Medika
Hawadi, Reni A. 2002. Psikologi Perkembangan. Yogyakarta: Gramedia Wiasrana
Hurlock, Elizabeth B. 1993.Perkembangan Anak.Jakarta: Erlangga
Nazir, M.2005.Metode Penelitian. Bogor Selatan: Ghalia Indonesia
Nelson.2000. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: EGC
Notoatmodjo, Soekidjo. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta
Paul, Gunadi.2008. Pagar Antara Orangtua dan Anak. http//www.telaga@indo.net.id. (diakses
15 Juni 2009 pukul 10.05 WIB)
Priyono. 2003. Fobia sekolah. http://bbawor.blogspot.com/search/label/Keluarga. (diakses 9
Maret 2009 pukul 08.01 WIB)
Santoso, Singgih. 2003. Statistik Non Parametrik. Jakarta: PT Elex Media
Komputindo
Setiawan, Denny. 2008. Peran Orangtua dan Sekolah Dalam Mendidik Anak. http://www.sd-
binatalenta.com/images/pendidikan_keluarga_anak.pdf. (diakses 9 Maret 2009 pukul
08.01 WIB)
Trisna. 2008. Fobia Sekolah. http://trisna19.wordpress.com/2008/04/02/fobia-sekolah/.
(Diakses 9 Maret 2009 pukul 08.01 WIB)
Widayatun, 1999. Ilmu Perilaku. Jakarta: Sagung Seto
Vol.I No.1 Januari 2010 ISSN: 2086-3098
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 58
GAMBARAN TINGKAT KECEMASAN IBU DALAM MASA KLIMAKTERIUM
Vollyn Afuanti*, Siti Widajati*, Nana Usnawati*
*=Prodi Kebidanan Magetan Jurusan Kebidanan Poltekkes Depkes Surabaya
ABSTRACT
In certain age, woman will experience climaxterium, where there is natural changes
which occurs differently for every woman. It is resulted from the degeneration of generative
function or ovarian endocrinology. The changing of estrogen and progesterone hormones will
result in physical and psychological changing which finally will raise woman's anxiety. The goal
of the research is to figure out woman's anxiety level in climaxterium phase.
As descriptive research, this research uses 398 respondents or all of women population
in Baron Village. And as research instrument the researcher uses HARS scale. Data is
analyzed using frequencies distribution to know the level of anxiety.
Research shows that in the age of 40-45 years old, 44.45% women undergoes no
anxiety, whereas a medium level of anxiety is experienced by women at the age between 4650
years old (44.37%), and 51-55 years old (65.10%). A low level of anxiety is experienced by
women at the age of 56-65 years old, 62.86%. The educational level is also taking part in
determining women's anxiety level. 44.50% of women, whose basic education only, undergo
low level of anxiety, whereas medium level of anxiety is experienced by women with medieval
educational level, by 44.17%. And women with high educational level tend to experienced low
level of anxiety, too. Occupation also plays important part in determining women anxiety level.
A housewife tends to undergo low level of anxiety, 36.71%; farmers are having low to medium
level of anxiety, 43.84%; and civil servant use to experience low level of anxiety, by 41.02%.
For woman who is not married yet, they have low level of anxiety, 100%, and 48.49% of
married woman.
In conclusion, climaxterium is commonly experienced by woman at the age between 51-
55 years old and having medieval educational level. They are having medium level of anxiety.
Whereas a married house wife tends to have low anxiety level. It is suggested for medical
workers to be more active in socializing climaxterium matter, so woman will be better prepared
in facing climaxterium phase.
Key words: anxiety level, climaxterium
PENDAHULUAN
Seorang wanita pada usia tertentu akan mengalami klimakterium, yaitu perubahan
alamiah dalam tubuh wanita, tanpa gangguan maupun mengalami percobaan berat, gangguan
fisik dan tekanan psikis. Perasaan tak berguna, tidak berdaya, merasa tidak menarik dan
merasa rendah diri adalah dampak dari klimakterium (Pakasi, 1996). Klimakterium adalah
masa bermula dari akhir masa reproduksi sampai awal masa senium yaitu antara 40-65 tahun
(Pakasi, 1996). Dewasa ini menopause telah menarik perhatian para ilmuwan untuk diteliti.
Vol.I No.1 Januari 2010 ISSN: 2086-3098
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 59
Dengan kemajuan teknologi dan makin meningkatnya taraf kehidupan maka usia harapan
hidup wanita di Indonesia juga meningkat. Keadaan ini menimbulkan masalah medis.
Menurut Manuaba (1999) 40-85% dari wanita usia klimakterium mempunyai keluhan.
Pada 25% terjadi pada wanita Eropa, pada wanita Indonesia kurang ditemukan keluhan cukup
berat yang menyebabkan wanita tersebut minta pertolongan dokter (Wiknjosastro, 1999). Hasil
survei pendahuluan di Desa Baron, dari 10 wanita masa klimakterium didapatkan 80% yang
mengalami keluhan nyeri punggung, sakit kepala, dan sulit tidur.
Wanita klimakterium mengalami penuaan indung telur, sehingga tidak sanggup
memenuhi hormon estrogen. Sistem hormonal seluruh tubuh mengalami kemunduran yang
menyebabkan perubahan pada fisik dan psikis (Manuaba, 1999). Keluhan yang pertama
dirasakan adalah keluhan vasomotor (berhubungan dengan pembuluh darah) seperti hot
fishes (semburan panas tiba-tiba di wajah, leher dan dada), night sweats (keringat berlebihan
di malam hari) dan atrofi urogenital (penipisan mukosa vagina) yang menimbulkan kekeringan
liang vagina sehingga saat berhubungan suami istri terasa sakit dan terjadi penurunan libido.
Keluhan lain yang merupakan gejala psikis dan sosial budaya, misalnya depresi sakit
kepala (Anonim, 2006). Akhirnya segenap bagian tubuh secara lambat laun menampakkan
gejala-gejala ketuaan (Kartono, 1992). Banyak anggota masyarakat yang menanggapi
klimakterium sebagai masalah rumit karena kurang pengetahuan tentang masalah yang
mereka hadapi, karena banyak mitos menyesatkan tentang apa menopause, sehingga dapat
menimbulkan konflik yang datang dari diri mereka sendiri, yang justru dapat menimbulkan
masalah baru yang seharusnya tidak muncul seperti konflik dalam keluarga. Tetapi biasanya
kecemasan yang mereka hadapi adalah karena takut kehilangan peran sebagai wanita, takut
kesepian dan tidak ada teman yang mau diajak bicara atau diminta nasehat (Mansjoer, 1999).
Setiap individu mempunyai perbedaan reaksi dalam menghadapi keadaan sakit atau
gangguan yang menyerang dirinya. Mereka akan memandang masa klimakterium sebagai
sesuatu yang biasa dan menerima perubahan dalam tubuhnya sebagai hal yang normal.
Sedangkan untuk mengurangi kecemasan dalam klimakterium itu kita dapat memberikan
penjelasan tentang klimakterium dan menjawab pertanyaan yang diajukan oleh mereka agar
mereka tidak merasa kesepian dalam menghadapi masa klimakterium. Diharapkan juga
pemerintah dan masyarakat memberikan perhatian yang lebih banyak kepada kebutuhan
pelayanan wanita usia klimakterium baik secara medis maupun sosial (Wiknjosastro, 2005).
Menurut Kartono (1992) untuk saat ini tidak ada jalan lain terkecuali wanita setengah umur
harus menerima status quo (keadaan dirinya sendiri pada saat itu) yang mulai menjadi tua dan
akan sangat bijaksana bila wanita tersebut mampu melihat segi-segi penting kehidupannya,
yang mengapresiasikan nilai-nilai positif perjalanan hidupnya.
Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi tingkat kecemasan ibu dalam masa
klimakterium berdasarkan umuri, pendidikan, pekerjaan, dan status marital.
BAHAN DAN METODE
Penelitian deskriptif ini dilakukan di Desa Baron Kecamatan Magetan Kabupaten
Magetan pada pada bulan Maret sampai dengan Juli 2008, dengan populasi ibu-ibu
klimakterium berusia 40-65 tahun yang tinggal di Desa Baron. Besar populasi 398 orang,
Vol.I No.1 Januari 2010 ISSN: 2086-3098
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 60
semuanya dijadikan subyek penelitian. Variabel dalam penelitian ini adalah tingkat kecemasan
Ibu dalam masa klimakterium. Instrumen untuk mengukur tingkat kecemasan menggunakan
skala HARS yang selanjutnya dianalisis secara deskriptif berupa distribusi frekuensi.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Pada Tabel 1 didapatkan ibu dalam masa klimakterium yang berumur (40-45 tahun)
paling banyak (44,45%) tidak mempunyai kecemasan, ibu yang berumur (46-50 tahun) paling
banyak (44,37%) mempunyai kecemasan sedang, ibu yang berumur (51-55 tahun) paling
banyak (65,10%) mempunyai kecemasan sedang, dan ibu yang berumur (56-65 tahun) paling
banyak (62,86%) mempunyai kecemasan ringan.
Tabel 1. Distribusi Frekuensi Tingkat kecemasan Berdasarkan Umur Ibu Klimakterium
di Desa Baron Kecamatan Magetan Kabupaten Magetan Tahun 2008
Umur
Tingkat Kecemasan
Jumlah Tidak ada
kecemasan
Kecemasan
Ringan
Kecemasan
Sedang
Kecemasan
Berat
f % f % F % f % f %
40-45 tahun
46-50 tahun
51-55 tahun
56-65 tahun
36
18
11
9
44,45
13,53
7,37
25,71
31
54
33
22
38,28
40,60
22,16
62,86
13
59
97
3
16,04
44,37
65,10
8,57
1
2
8
1
1,23
1,50
5,37
2,86
81
133
149
35
100
100
100
100
Jumlah 74 - 140 - 172 - 12 - 398 -
Pada Tabel 2 didapatkan ibu dalam masa klimakterium yang berpendidikan dasar
terbanyak (44,50%) mempunyai kecemasan ringan, ibu yang berpendidikan menengah
terbanyak (44,17%) juga mempunyai kecemasan ringan, ibu yang berpendidikan tinggi semua
tidak merasakan adanya kecemasan.
Tabel 2. Distribusi Frekuensi Tingkat Kecemasan Berdasarkan Pendidikan Ibu Klimakterium
di Desa Baron Kecamatan Magetan Kabupaten Magetan Tahun 2008
Pendidikan
Tingkat Kecemasan
Jumlah Tidak ada
kecemasan
Kecemasan
Ringan
Kecemasan
Sedang
Kecemasan
Berat
f % f % f % f % f %
Dasar
Menengah
Tinggi
23
43
12
5,30
21,82
42,86
77
61
9
44,50
30,97
32,14
68
87
6
39,30
44,17
921,4
2
5
6
1
2,90
3,04
3,58
173
197
28
100
100
100
Jumlah 78 - 147 - 161 - 12 - 398 -
Vol.I No.1 Januari 2010 ISSN: 2086-3098
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 61
Pada Tabel 3 didapatkan ibu dalam masa klimakterium yang sebagai ibu rumah tangga
terbanyak (36,71%) mempunyai kecemasan ringan, ibu yang bekerja sebagai petani
terbanyak (43,84%) mempunyai kecemasan ringan dan sedang, dan pada ibu yang bekerja
sebagai PNS terbanyak (41,02%) mempunyai kecemasan ringan.
Tabel 3. Distribusi Frekuensi Tingkat Kecemasan Berdasarkan Pekerjaan Ibu Klimakterium
di Desa Baron Kecamatan Magetan Kabupaten Magetan Tahun 2008
Pekerjaan
Tingkat Kecemasan
Jumlah Tidak ada
kecemasan
Kecemasan
Ringan
Kecemasan
Sedang
Kecemasan
Berat
f % f % f % f % f %
IRT
Tani/dagang
PNS
94
9
13
32,87
12,32
33,34
105
32
16
6,71
43,84
41,02
76
32
9
26,58
43,84
23,07
11
0
1
3,84
0,0
0,3
286
73
39
100
100
100
Jumlah 116 - 153 - 117 - 12 - 398 -
Pada Tabel 4 didapatkan ibu dalam masa klimakterium yang tidak menikah semuanya
(100%) mempunyai kecemasan ringan, sedangkan ibu yang menikah sebagian besar
(48,49%) juga mempunyai kecemasan ringan.
Tabel 4. Distribusi Frekuensi Tingkat Kecemasan Berdasarkan Status Marital Ibu Klimakterium
di Desa Baron Kecamatan Magetan Kabupaten Magetan Tahun 2008
Pekerjaan
Tingkat Kecemasan
Jumlah Tidak ada
kecemasan
Kecemasan
Ringan
Kecemasan
Sedang
Kecemasan
Berat
f % f % f % f % f %
Tidak menikah
Menikah
0
115
0,0
29,04
2
192
100
48,49
0
88
0,0
22,22
0
1
0,0
0,25
2
396
100
100
Jumlah 115 - 194 - 88 - 1 - 398 -
Pembahasan
Hasil penelitian menunjukkan ibu usia klimakterium yang berumur antara 51-55 tahun
terbanyak (65,10%) mengalami kecemasan sedang. Hal ini sesuai dengan pendapat dari
Pakasi (1996:5) dan Baziad (2003:2-3) bahwa semakin umur klimakterium bertambah maka
berbagai keluhanpun meningkat. Sehingga kecemasan yang dihadapi juga akan bertambah.
Ibu klimakterium yang berpendidikan rendah sebagian besar (44,50%) mempunyai
kecemasan ringan dan yang berpendidikan tinggi sebagian besar (42,86%) tidak mempunyai
kecemasan. Menurut Brower (1993) bahwa faktor pendidikan juga sangat menentukan
kecemasan, klien yang mempunyai pendidikan tinggi akan mampu mengatasi menggunakan
koping yang efektif dan konstruktif daripada seseorang yang berpendidikan rendah.
Ibu klimakterium sebagai ibu rumah tangga dan ibu yang bekerja sama-sama
mempunyai kecemasan ringan. Seharusnya ibu yang bekerja memiliki lebih banyak hubungan
dengan orang lain sehingga seharusnya dapat mempengaruhi informasi yang didapat
Vol.I No.1 Januari 2010 ISSN: 2086-3098
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 62
daripada ibu yang tidak bekerja. Hal ini tidak sesuai dengan pendapat Thomas dalam Buletin
Penelitian RSUD Dr. Soetomo Vol 5 tahun 2003 yang menyatakan bahwa seseorang yang
bekerja mempunyai banyak pengalaman dalam menyelesaikan masalah yang secara tidak
langsung meningkatkan ketrampilan dalam menggunakan koping yang lebih konstruktif.
Kemungkinan pada ibu klimakterium yang hanya menjadi ibu rumah tangga karena mereka
tidak mempunyai kesibukan dan memiliki lebih banyak waktu, sehingga bisa memanfaatkan
waktu yang luang untuk mendapatkan informasi secara mandiri.
Ibu klimakterium yang tidak menikah dan yang menikah sama-sama sebagian besar
mempunyai kecemasan ringan yaitu masing-masing 100% dan 48,49%. Hal ini tidak sesuai
dengan pernyataan James C dan Gressey (1994) dalam Buletin Penelitian RSUD Dr. Soetomo
Vol 5 tahun 2003 bahwa seseorang yang telah menikah akan lebih mempunyai rasa percaya
diri dan ketenangan dalam melakukan kegiatan, karena mereka pernah mengalami menjadi
bagian dari keluarga maupun sebagai anggota masyarakat, sehingga diharapkan dapat
memahami keadaannya dibandingkan ibu yang tidak menikah.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan penelitian adalah: 1) tingkat kecemasan berdasarkan umur ibu klimakterium
berumur 51-55 tahun, dengan kecemasan sedang, 2) tingkat kecemasan berdasarkan
pendidikan adalah sebagian besar berpendidikan rendah, dengan kecemasan ringan, 3)
tingkat kecemasan berdasarkan pekerjaan adalah sebagian besar ibu rumah tangga, dengan
kecemasan ringan, 4) tingkat kecemasan berdasarkan status marital adalah sebagian besar
ibu klimakterium menikah, dengan kecemasan ringan.
Saran yang diajukan yaitu: 1) masyarakat diharapkan menggunakan penelitian ini
sebagai sumber informasi untuk mengetahui klimakterium, 2) bidan sebaiknya meningkatkan
pengetahuan tentang perubahan-perubahan dalam masa klimakterium, sehingga dapat
membantu mengatasi keluhan-keluhan yang terjadi, 3) perlu peningkatan promosi dan
penyuluhan tentang klimakterium di Posyandu Lansia dan di masyarakat, karena saat ini ibu-
ibu sebagian besar belum memahami klimakterium, 4) perlu dilakukan penelitian lanjutan
tentang klimakterium karena masalah yang dihadapi oleh ibu klimakterium sangat bervariasi.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2006. Gejala Menopause. www.medicastro.com (diakses: 9 Maret 2008, 10.00 WIB)
Baziad, Ali. 2003. Menopause dan Andropose. Jakarta : YBPSP
Bromwich, Peter. 1991. Menopause. Jakarta : Arcan
Hadi dan Haryono. 2005. Metodologi Penelitian Pendidikan. Bandung : Pustaka Setia
Hawari, Dadang. 2006. Manajemen Stress Cemas dan Depresi. Jakarta : FKUI
Hurlock, Elizabeth. 1997. Psikologi Perkembangan. Jakarta : Erlangga
Kartono, Kartini. 1992. Psikologi Wanita Jilid 2. Jakarta : Mandar Maju, PT
Lumintang Hans, 2003. Buletin Penelitian RSUD Dr. Soetomo Vol. 5. Surabaya : Bidang
Penelitian dan Pengembangan RSUD Dr. Soetomo
Manuaba. 1999. Memahami Kesehatan Reproduksi Wanita. Jakarta : Arcan
Vol.I No.1 Januari 2010 ISSN: 2086-3098
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 63
Misiyah. 2006. Gambaran Tingkat Kecemasan Wanita Dewasa Madya Dalam Menghadapi
Sindroma Menopause. Karya Tulis Ilmiah, Program Studi Kebidanan Magetan, Politeknik
Kesehatan Surabaya
Notoadmojo S. 2002. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta
Pakasi. 1996. Menopause Masalah dan Penganggulangannya. Jakarta : FKUI
Purwanto Setiyo. 2008. Kecemasan Menghadapi Menopause. www.google.com (diakses: 9
Maret 2008 09.30 WIB)
Stuart and Sundeen. 1995. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Jakarta : EGC
Widodoningsih, Sumarni S. 2005. Gambaran Tingkat Kecemasan Ibu-ibu Menopause Awal di
Puskesmas Bringin Kabupaten Ngawi. Magetan: Prodi Kebidanan Magetan Poltekkes
Surabaya
Wiknjosastro. 1999. Ilmu Kandungan. Jakarta : YBPSP
Vol.I No.1 Januari 2010 ISSN: 2086-3098
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 64
HUBUNGAN ANTARA WAKTU PEMBERIAN ASI PERTAMA DENGAN INVOLUSI
UTERUS PADA IBU POSTPARTUM NORMAL HARI KE-7
Nurlailis Saadah*
*=Prodi Kebidanan Magetan Jurusan Kebidanan Poltekkes Depkes Surabaya
ABSTRAK
Waktu pemberian ASI pertama pada bayi asalah satu hal penting untuk mempercepat
atau merangsang produksi ASI dan memperbaiki kontraksi uterus sehingga dapat
mempercepat involusi uterus. Namun belum semua ibu postpartum memberikan ASI secara
dini kepada bayi. Dari hasil rekam medik di BPS Sri Widajati, A.Md.Keb Kawedanan Magetan
selama bulan Juli-Desember 2007 didapatkan 97 ibu bersalin normal, namun belum semua ibu
bersalin memberikan ASI pertama secara dini. Untuk membuktikan bahwa waktu pemberian
ASI pertama pada bayi cenderung memiliki manfaat maka ingin diketahui lebih jelas hubugan
antara pemberian ASI pertama dengan involusi uterus ibu postpartum normal hari ke- 7.
Penelitian ini merupakan penelitian analitik yang bersifat cross sectional. Sampel yang
digunakan adalah ibu postpartum normal selama Mei-Juni 2008 sebanyak 32 responden.
Variabel independen yaitu waktu pemberian ASI pertama dan variabel dependen yaitu
involusi uterus. Teknik pengumpulan data menggunakan observasi dengan instrumen lembar
observasi. Analisis data menggunakan Fisher's Exact Test dengan < 0,05.
Hasil Fisher's Exact Test, menujukkan hasil p=0,000 artinya Ho ditolak atau ada
hubungan antara waktu pemberian ASI pertama dengan involusi uterus.
Kata kunci : Waktu pemberian ASI pertama, involusi uterus
Telepon: 08125945790
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kebiasaan baik untuk menyusui sendiri bayi yang terlahir membawa berbagai
keuntungan, baik bagi bayi maupun ibu. Fenomena menunjukkan bahwa kebiasan ini sering
ditinggalkan, baik oleh karena pandangan yang keliru maupun oleh karena tekanan yang tidak
terelakkan oleh arus modernisasi (Soetjiningsih 1997:42). Menyusui dini sangat penting bagi
bayi karena terbukti dapat mengurangi angka kematian bayi sampai 20%
(www.perempuan.com). Menyusui juga sangat bermanfaat untuk ibunya, karena pada waktu
bayi mengisap puting susu ibu terjadi rangsangan ke hipofisis posterior sehingga dapat
dikeluarkan oksitosin yang berfungsi untuk meningkatkan kontraksi otot polos di sekitar alveoli
kelenjar air susu ibu (ASI) sehingga ASI dapat dikeluarkan dan terjadi rangsangan pada otot
polos rahim sehingga terjadi percepatan involusi uterus (Manuaba 1998:195). Menyusui dini
dapat menghentikan dan mempercepat pendarahan setelah melahirkan, sehingga rahim akan
cepat kembali seperti semula (Roesli dalam www.ayahbunda.com). Menyusui dini juga dapat
mencegah kematian ibu yang masih menjadi tantangan di Indonesia (PP IBI, 2007:202).
Vol.I No.1 Januari 2010 ISSN: 2086-3098
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 65
Hasil survei demografi kesehatan tahun 1997 menunjukkan bahwa pemberian ASI pasca
salin 0-4 bulan hanya 52% sedangkan target yang diharapkan dari kesepakatan di Innocenti
(1990). Pada tahun 2000 target mencapai 80%. Sejumlah 61% bayi sudah mulai diteteki 0-12
jam setelah lahir, tetapi masih bayi yang tidak diteteki/ditunda sampai lebih dari 24 jam cukup
banyak sekitar 18%, alasan pokoknya adalah ASI kurang/tidak keluar (Suradi, 1989: 166).
Berdasarkan penelitian studi kedokteran di NTT di Rumah Sakit Citra Harapan bulan
Agustus-Desember 2007, terdapat 113 ibu bersalin normal dan 12 di antaranya (10,62%)
mengetahui subinvolusio uteri (www.ntt_online.com). Dari data yang ada di BPS Sri Widajati
Kawedanan Magetan, selama bulan Juli-Desember 2007 terdapat 97 ibu bersalin normal dan
11 di antaranya mengalami perdarahan postpartum, beberapa di antara mereka ternyata
enggan menyusui terutama pada awal kelahiran bayinya.
Data Biro Pusat Statistik (BPS) 1998 menyatakan bahwa bayi yang mulai menetek 1 jam
setelah lahir 7,5% di perkotaan 8,6% di pedesaan. Dibandingkan dengan negara-negara di
Asia, angka ini jauh di bawah Kyrgyztan (53 %) dan Philipina (42%). Penelitian oleh PUSKA-UI
bekerjasama dengan PATH tahun 2002 di bebarapa kota di Jawa Timur dan Jawa Barat
menunjukkan bahwa pemberian ASI dini setelah persalinan 8,9%-40% (PP-IBI, 2007: 2004).
Adanya kecenderungan pemberian ASI yang tidak eksklusif dan dini setelah lahir pada
bayi akan memberi pengaruh pada ibu maupun bayi. Pengaruh bagi ibu yang tidak menyusui
adalah menderita kanker payudara dan pendarahan postpartum (Suradi, 1989:19).
Pendarahan merupakan salah satu sebab utama kematian ibu dalam masa perinatal yakni
sebesar 5-15%, sedangkan penyebab perdarahan dari pasca salin yakni 50-60% karena
kelemahan atau tidak adanya kontraksi uterus (Mochtar, 1998:335).
Rumusan masalah
Adakah hubungan antara masa waktu pemberian ASI pertama dengan involusi uterus
ibu postpartum normal hari ke- 7 ?
Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan penelitian ini antara lain: 1) mengidentifikasi waktu pemberian ASI pertama pada
ibu postpartum normal, 2) Mengidentifikasi involusi uterus pada ibu postpartum normal hari ke-
7, 3) Menganalisa hubungan antara waktu pemberian ASI pertama dengan involusi uterus
pada ibu postpartum normal hari ke-7.
Diharapkan penelitian ini bmanfaat sebagai berikut: 1) mampu memberikan pembenaran
teori hormonal khususnya jalur HPA-Axis, serta mendukung teori menyusui dini (IMD), 2)
dapat digunakan untuk meningkatkan pelayanan kebidanan pada ibu postpartum khusunya
dalam pemberian ASI segera setelah bayi lahir untuk mempercepat proses involusi uterus.
BAHAN DAN METODE
Jenis penelitian ini adalah surveI analitik dengan rancangan cross sectional. Tempat
penelitian ini dilakukan di BPS Sri Widajati Kawedanan pada bulan Mei Juni 2008. Populasi
penelitian adalah ibu pospartum normal pada hari ke-7 sebanyak 32 orang yang kesemuanya
dijadikan subyek penelitian. Variabel independent adalah waktu pemberian ASI pertama dan
Vol.I No.1 Januari 2010 ISSN: 2086-3098
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 66
variable dependent adalah involusi uterus. Instrumen pengumpulan data menggunakan
pengamatan secara langsung. Analisis data menggunakan uji Chi-Square (x
2
) dengan tingkat
kepercayaan 95% dan tingkat kesalahan (<0,05)
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Waktu Pemberian ASI pertama
Berdasarkan data yang diperoleh dari 32 responden didapatkan hasil ibu yang
memberikan ASI pertama secara dini sebanyak 25 orang (78,1%) dan ibu yang memberikan
ASI pertama secara tidak dini sebanyak 7 orang (21,9%).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar ibu postpartum telah
memberikan ASI secara dini kepada bayi mereka. Pemberian ASI segeraa setelah bayi lahir
sangat dianjurkan. Syahlan (1993) menyatakan dalam laporan penelitiannya membuktikan
bahwa bayi yang disusui segera setelah lahir lebih jarang menderita penyakit infeksi dan
Status gizi bayi pada tahun pertama jauh lebih baik dibandingkan dengan bayi yang terlambat
diberikan sebagian besar ASI. Menurut Suradi (2001) selain berguna untuk bayi, menyusui
juga memiliki manfaat yang besar bagi ibu diantaranya: 1) Merangsag involusi uteri, 2)
menjarangkan kehamilan, 3) Efek psikologis, 4) Menguragl insiden Ca mamae, sehingga hal
ini menjadi hal yang sangat pokok yang harus dilakukan demi kesejahteraan ibu dan bayi.
Involusi uterus
Dari 32 responden didapatkan hasil ibu dengan involusi uterus baik sebanyak 27 orang
(84,4%) dan ibu dengan involusi uterus tidak baik sebanyak 5 orang (15,6%).
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa ibu postpartum normal pada hari ke-7 sebagian
besar involusi uterusnya baik, sesuai dengan pendapat Mochtar (1998) bahwa uterus lama
kelamaan akan kembali ke ukuran normal, yaitu pada hari ke-7 setelah melahirkan TFU
setinggi pertengahan simfisis pusat. Pada hasil penelitian menggambarkan ada juga ibu post
partum yang mengalami proses involusi tidak baik, hal ini mungkin disebabkan karena
beberapa faktor misalnya faktor budaya yang kurang mendukung seperti pantang makanan
dan tidak boleh beraktifitas.
Hubungan antara waktu pemberian ASI pertama dengan involusi uterus
Analisis secara deskriptif menunjukkan bahwa ibu yang memberikan ASI pertama secara
dini seluruhnya (25 orang) memiliki involusi uterus baik. Ibu yang memberikan ASI pertama
secara tidak dini, yang memiliki involusi uterus baik sebanyak 2 orang (28,6%) dan yang
memiliki involusi uterus tidak baik sebanyak 5 orang (71,4%).
Hasil Fisher Exact Test menunjukkan adanya hubungan antara waktu pemberian ASI
pertama dengan involusi uterus. HaI ini sesuai dengan teori yang dikemukakan Ibrahim (1996)
bahwa isapan bayi pada puting susu dapat mempengaruhi saraf-saraf yang diteruskan ke otak
untuk memerintahkan kelenjar hipofisis posterior untuk mengeluarkan hormon pitoitrin yang
dapat merangsang kontraksi otot-otot polos buah dada. Selain itu Purwanti (2002) juga
menyatakan bila 30 menit pertama setelah kelahiran frekuensi isapan kurang maka hormon
yang dibentuk akan semakin sedikit sehingga akan menghambat proses involusi uterus.
Vol.I No.1 Januari 2010 ISSN: 2086-3098
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 67
Penelitian terdahulu tentang hubungan antara status gizi dengan involusi uterus menunjukkan
bahwa tidak ada hubungan antara keduanya. Hal ini mungkin terjadi karena jumlah responden
yang kurang atau dikarenakan faktor lain. Proses involusi uterus tidak hanya dipengaruhi oleh
satu faktor saja tetapi oleh beberapa factor yaitu : 1) Status gizi, 2) Paritas, 3) Usia, 4)
Pendidikan, 5) Mobilitas dan 6) Menyusui. Dari sini dapat kita ketahui bahwa antara satu
faktor dengan faktor yang lain saling berhubungan dalam proses involusi uterus.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan penelitian adalah: 1) belum semua ibu postpartum normal memberikan ASI
pertama kepada bayinya secara dini, masih ada sebagian kecil yang tidak memberikan ASI
segera setelah bayi lahir, 2) sebagian besar ibu postpartum normal hari ke-7 mengalami
involusi uterus baik, 3) terdapat hubungan antara waktu pemberian ASI pertama dengan
involusi uterus pada ibu postpartum normal hari ke-7.
Berdasarkan hasil penelitian diberikan saran antara lain: 1) perlu motivasi tenaga
kesehatan khususnya bidan dan dukungan dari anggota keluarga agar ibu bersalin dapat
menyusui dini bayinya sesegera mungkin karena dapat menunjang keberhasilan laktasi dan
mempercepat proses involusi uterus, 2) sebaiknya sarana pelayanan kesehatan khususnya
bagi ibu bersalin dan nifas meningkatkan penerapan sistem rawat gabung secara intensif
sebagai upaya peningkatan kesehatan ibu dan anak.
DAFTAR PUSTAKA
Bennet dan Brown, KL. 1996. Myles Texbook For Midwife. New York
Candra, B. 1995. Pengantar Statistik Kesehatan. Jakarta : EGC
Ibrahim. 1996. Perawatan Kebidanan Jilid III. Jakarta : Bharata Karya Aksara
Depkes RI. 1992. Asuhan Kesehatan Anak Dalam Konteks Keluarga. Jakarta : Pusdiknakes
Hadi dan Haryono. 2005. Metodologi Penelitian Pendidikan. Bandung : Bina Pustaka Setia
Manuaba, Ida Bagus Gede. 1998. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan Keluarga
Berencana untuk Pendidikan Bidan. Jakarta : EGC
Mochtar, R. 1998. Sinopsis Obstetri I, Jakarta : EGC
Notoatmodjo. 2002. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta
Perinasia. 2007. Manajemen Laktasi. Jakarta : Perinasia
PP-IBI. 2007. 50 Tahun IBI. Jakarta : PP-IBI
Prawirohardjo, S. 2005. Ilmu Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka
Purwanti, Sri. 2002. Konsep Penerapan ASI Eksklusif. Jakarta : EGC
Sastrawinata. 1983. Obstetri Fisiologi. Jakarta : FK UNPAD
Soetjiningsih. 1997. ASI Petunjuk untuk Tenaga Kesehatan. Jakarta : EGC
Sugiyono. 2000. Statistika untuk Penelitian. Jakarta : Alfabeta
Suradi. 1989. Menyusui dan Rawat Gabung. Jakarta : Perenasia
Syahlan. 1993. Asuhan Kesehatan Anak Dalam Konteks Keluarga. Jakarta : Pusdiknakes.
Wiknjosastro. 1994. Asuhan Pelayanan Maternal dan Neonatal. Jakarta : EGC
Vol.I No.1 Januari 2010 ISSN: 2086-3098
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 68
HUBUNGAN ANTARA PENGETAHUAN IBU HAMIL TENTANG NUTRISI MASA HAMIL
DENGAN SIKAP DALAM MEMENUHI NUTRISI
Rahayu Sumaningsih*, Nurlailis Saadah*, Teta Puji Rahayu*
*=Program Studi Kebidanan Magetan Jurusan Kebidanan Poltekkes Depkes Surabaya
ABSTRAK
Pengetahuan ibu hamil tentang kebutuhan nutrisi yang tepat secara kualitas maupun
kuantitas selama kehamilan merupakan masalah yang sangat menentukan konsumsi
nutrisinya selama kehamilan. Angka kejadian KEK ibu hamil di Puskesmas Candirejo selama
bulan Januari s/d Desember 2005 adalah 39 ibu (6,18%).
Penelitian ini dilaksanakan di Puskesmas Candirejo dengan tujuan untuk mengetahui
hubungan antara pengetahuan ibu hamil tentang nutrisi masa hamil dengan sikap dalam
memenuhi nutrisi. Penelitian korelasi ini menggunakan total populasi 18 ibu hamil selama
bulan Juni s/d Juli 2006. Pengumpulan data menggunakan kuesioner, teknik analisis yang
diterapkan adalah korelasi tata jenjang dari Spearman.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa nutrisi selama hamil kategori baik sebanyak 83%,
sikap dalam memenuhi nutrisi 100% adalah sikap favorable. Hasil uji korelasi tata jenjang
Spearman menunjukkan koefisien 0,560 artinya ada hubungan antara pengetahuan ibu
tentang nutrisi masa hamil dengan sikap dalam memenuhi nutrisi. Dari hasil penelitian ini
diharapkan perlu ditingkatkan penyuluhan tentang nutrisi pada ibu hamil sehingga memiliki
kesadaran untuk memenuhi nutrisi selama kehamilan.
Kata Kunci : ibu hamil, nutrisi, pengetahuan, sikap.
08155636967
PENDAHULUAN
Kehamilan merupakan proses reproduksi yang memerlukan perawatan khusus karena
menyangkut kehidupan ibu dan janin, untuk itu perlu perawatan kehamilan yang tepat agar
dapat melalui masa kehamilan, persalinan dan nifas dengan baik serta menghasilkan bayi
yang sehat. Pemenuhan kebutuhan nutrisi merupakan salah satu upaya perawatan kehamilan.
Kebutuhan nutrisi selama hamil meningkat sesuai kebutuhan ibu dan janin, kekurangan atau
kelebihan nutrisi mengakibatkan kelainan, jika kekurangan menyebabkan anemia, abortus dan
partus prematurus yang berdampak timbulnya perdarahan post partum, sedangkan kelebihan
mengakibatkan komplikasi pre eklampsia dan bayi terlalu besar. Dalam budaya tertentu masih
ada anggapan selama kehamilan ibu harus berpantang makanan tertentu misal telur, ikan laut,
daging, lemak, pisang dempet, belut, minum susu serta air es. Ada juga anggapan bahwa
selama hamil ibu harus makan dua kali lipat.
Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu
stimulus. Sikap yang utuh dapat terbentuk karena adanya komponen-komponen pembentuk
Vol.I No.1 Januari 2010 ISSN: 2086-3098
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 69
sikap yaitu: kepercayaan, ide, konsep terhadap suatu obyek, kehidupan emosional serta
cenderung untuk bertindak.
Di wilayah kabupaten Magetan tahun 2004 didapatkan ibu hamil KEK sebanyak 358 ibu
(3,47%) dari seluruh ibu hamil, sedangkan ibu hamil dengan KEK di Puskesmas Candirejo
Magetan selama bulan Januari s/d Desember 2005 adalah 39 ibu (6,18%). Kemungkinan yang
terjadi jika KEK tidak ditangani dengan baik dikhawatirkan bayi lahir prematur, berat badan
bayi rendah, ibu tidak kuat meneran saat melahirkan berakibat melahirkan dengan tindakan.
KEK ibu hamil terjadi karena kualitas dan kuantitas asupan makanan yang kurang. Kurangnya
asupan makanan disebabkan karena adanya gangguan, paham yang salah tentang
pantangan makanan yang sebenarnya sangat diperlukan oleh tubuh, kurangnya ekonomi
keluarga serta factor ketidak tahuan akibat KEK. Karena pengetahuan merupakan salah satu
faktor yang memegang peranan penting dalam pembentukan sikap maka perlu dilakukan
penelitian tentang pengetahuan ibu kaitannya dengan sikap ibu dalam memenuhi nutrisi
selama kehamilan.
Tujuan penelitian ini adalah menilai pengetahuan dan sikap ibu hamil dalam memenuhi
nutrisi masa kehamilan, serta menganalisis hubungan pengetahuan ibu hamil tentang nutrisi
masa kehamilan dengan sikap ibu hamil dalam memenuhi nutrisi.
BAHAN DAN METODE
Desain penelitian ini korelasional dengan pendekatan Cross Sectional. Populasi
penelitian ini adalah seluruh ibu hamil yang periksa ke Puskesmas Candirejo Magetan dengan
rata-rata 25 ibu perbulannya, dan semuanya. Sampel penelitian adalah seluruh ibu hamil yang
periksa ke Puskesmas Candirejo Magetan, dengan kriteria primipara/multipara, bersedia
menjadi responden dan pendidikan minimal SD. Besar sampel 50 ibu hamil, dengan teknik
total populasi. Tempat penelitian adalah di Puskesmas Candirejo Magetan pada periode Juni-
Juli 2006. Variabel bebas adalah pengetahuan ibu hamil tentang nutrisi masa kehamilan, dan
variabel terikat adalah sikap ibu hamil dalam memenuhi nutrisi. Pengumpulan data
menggunakan teknik kuesioner. Untuk mengetahui korelasi antar variabel digunakan uji
Korelasi Tata Jenjang dari Spearman. Arah korelasi dinyatakan dalam tanda positif
(menunjukkan korelasi sejajar searah) dan tanda negatif (menunjukkan korelasi sejajar
berlawanan arah).
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Data tentang karakteristik responden diuraikan sebagai berikut: 1) tingkat pendidikan SD:
5 (28%), SMP: 7 (39%), SMA: 4 (22%), dan PT: 2 (11%), 2) umur <20 tahun: 5 (28%), 20-24
tahun: 2 (11%), 25-29 tahun: 7 (39%), 30-34 tahun: 3 (17%), 35-39 tahun: 0 dan 40-44 tahun:
1 (5%), 3) pekerjaan: semua tidak bekerja, 4) urutan kehamilan: hamil I: 8 (45%), hamil II: 6
(33%), dan hamil >II: 4 (22%), 5) sumber informasi formal: petugas puskesmas/polindes: 18
(100%), sumber informasi informal: majalah: 2 (11%), koran: 3 (17%), televisi 7: (38%), orang
tua: 3 (17%) dan teman: 3 (17%).
Vol.I No.1 Januari 2010 ISSN: 2086-3098
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 70
Data pengetahuan ibu hamil tentang nutrisi masa kehamilan adalah sebagai berikut:
1. Pengertian nutrisi masa kehamilan: berpengetahuan baik 14 ibu (77%) dan berpengetahuan
tidak baik 4 ibu (23%).
2. Manfaat nutrisi masa kehamilan: berpengetahuan baik 7 ibu (39%), berpengetahuan cukup
6 ibu (33%) dan berpengetahuan kurang baik 5 ibu (28%).
3. Zat makanan yang dibutuhkan pada masa kehamilan: 13 ibu (73%) berpengetahuan baik, 4
ibu (22%) berpengetahuan cukup dan 1 ibu (5%) berpengetahuan kurang baik.
4. Kebutuhan nutrisi masa kehamilan: berpengetahuan baik 10 ibu (56%), berpengetahuan
cukup 4 ibu (22%) dan berpengetahuan tidak baik 4 ibu (22%).
5. Akibat kekurangan/kelebihan nutrisi masa kehamilan: berpengetahuan baik 9 ibu (50%),
berpengetahuan cukup 8 ibu (45%), berpengetahuan tidak baik 1 ibu (5%).
6. Nutrisi yang harus dihindari pada masa kehamilan: berpengetahuan baik 15 ibu (83%),
berpengetahuan tidak baik 3 ibu (17%).
7. Pengetahuan nutrisi masa kehamilan: berpengetahuan baik 15 ibu (83%), berpengetahuan
cukup 2 ibu (11%), berpengetahuan kurang baik 1 ibu (6%).
Seluruh responden mempunyai sikap favourable (100%), artinya ibu hamil di Puskesmas
Candirejo Magetan seluruhnya mendukung terhadap upaya-upaya memenuhi nutrisi.
Analisis menggunakan uji Korelasi Tata Jenjang (Spearman Test) dengan hasil r=0,560,
setelah dikonfirmasikan dengan r Tabel untuk N: 18 taraf kesalahan 5% didapatkan r
Tabel=0,475 sehingga r hitung (0,560) > r tabel (0,475). Artinya ada hubungan yang signifikan
antara pengetahuan ibu hamil tentang nutrisi masa kehamilan dengan sikap ibu hamil dalam
memenuhi nutrisi di Puskesmas Candirejo Kabupaten Magetan.
Pembahasan
Sebagian besar responden berpengetahuan baik tentang penegrtian nutrisi kehamilan
mungkin disebabkan oleh aktifnya petugas Puskesmas/polindes dalam memberikan
penyuluhan tentang pengertian dari nutrisi pada masa kehamilan. Selain itu responden
mempunyai kesadaran yang tinggi untuk mendapatkan informasi, dengan semakin banyak
panca indra digunakan semakin banyak pula pengetahuan yang diperoleh sehingga ibu hamil
akan mengetahui bahwa nutrisi adalah bahan yang mengandung biokimia khusus yang
dipergunakan untuk pertumbuhan, perkembangan, aktifitas, reproduksi dan laktasi.
Sebagian besar responden mempunyai pemahaman yang baik dan cukup tentang
manfaat nutrisi masa kehamilan karena sudah meratanya informasi dari petugas kesehatan
tentang manfaat nutrisi masa kehamilan. Responden sebagian besar sudah hamil II sehingga
dapat merasakan manfaat nutrisi dari masa kehamilan yang pertama, hal ini sesuai teori yang
mengatakan bahwa tidak adanya pengalaman sama sekali dengan suatu obyek psikologis
cenderung membentuk sikap negatif terhadap obyek tersebut.
Pemahaman ibu hamil tentang zat makanan yang dibutuhkan pada masa kehamilan
sebagian besar baik dan cukup karena ibu hamil memahami tentang zat makanan yang
dibutuhkan yaitu menu seimbang.Hal ini mungkin karena responden sebagian besar dalam
usia dewasa.
Pengetahuan aplikatif ibu hamil tentang kebutuhan nutrisi masa kehamilan sebagian
besar dalam tingkatan baik. Ibu hamil memahami bahwa setiap hari dianjurkan makan sepiring
Vol.I No.1 Januari 2010 ISSN: 2086-3098
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 71
lebih banyak dari biasanya karena makan untuk 2 orang yaitu dirinya dan bayinya. Informasi
ini diperoleh dari berbagai sumber sesuai dengan pendapat Notoatmodjo bahwa pengetahuan
pada setiap manusia diterima melalui pancaindera, sedangkan aplikasi yang tidak baik
dikarenakan keinginan mempertahankan berat badan. Seluruh responden tidak bekerja, hal ini
mempengaruhi pergaulan sosial, selaras dengan pendapat Nadesul (2000) bahwa pergaulan
sosial berdampak positif dan negatif. Ibu hamil perlu mengaplikasikan kebutuhan nutrisi
dengan tepat untuk memelihara kehamilannya. Perlu disadari tak ada satu jenis makanan
yang mengandung zat gizi lengkap bagi tubuh, maka makanan dianjurkan beraneka ragam.
Pemahaman tentang akibat kekurangan/kelebihan nutrisi masa kehamilan sebagian
besar dalam tingkatan baik karena mutu anak dalam kandungan ditentukan oleh mutu
makanan ibunya. Hal ini juga disebabkan karena sebagian besar responden hamil yang kedua
sehingga sudah mempunyai pengalaman sebelumnya.
Pengetahuan ibu hamil tentang nutrisi yang harus dihindari pada masa kehamilan
sebagian besar dalam tingkatan baik mungkin karena ibu hamil memahami bahwa dalam
memelihara kehamilan perlu menghindari bahan makanan yang mengandung bahaya bagi
kesehatannya maupun janin yang dikandung. Nutrisi memang bukan satu-satunya faktor yang
menyebabkan kecacatan pada janin, namun perlu diketahui bahwa bumbu masak, zat
pewarna dan zat pengawet makanan juga berpengaruh buruk terhadap janin yang dikandung.
Pengetahuan ibu hamil tentang nutrisi masa kehamilan secara keseluruhan sebagian
besar pada tingkatan baik dan cukup, hal ini karena sebagian responden sudah pernah dapat
informasi tentang nutrisi masa kehamilan yang kebanyakan didapatkan dari petugas
Puskesmas/polindes dan berbagai sumber lain. Pengetahuan baik ditunjang juga oleh
pergaulan sosial, keyakinan, umur, lingkungan dan pengalaman. Dengan pengetahuan yang
baik tentang nutrisi kehamilan diharapkan ibu hamil mempunyai pemahaman yang baik dan
mampu mengatasi masalah dengan tepat tentang permasalahan kesehatan sehingga dapat
menyusun rencana kegiatan yang tepat dan mengevaluasi keadaan.
Baiknya pengetahuan, pemahaman dan aplikasi tentang nutrisi masa kehamilan
menunjukkan bahwa nutrisi merupakan kebutuhan pokok yang harus ada dan dipenuhi baik
untuk konsumsi janin maupun ibu, sehingga ibu mengetahui kebutuhan akan nutrisi selama
kehamilan. Ibu hamil yang mempunyai ranah tahu dengan kategori baik disebabkan karena
berpendidikan rendah dan sumber informasi tidak dimengerti dengan baik dan benar sehingga
pengetahuan tentang nutrisi kehamilan kurang. Kemungkinan kelompok dengan kategori baik
dan cukup tentang ranah pemahaman mempunyai ranah pengetahuan dalam kategori baik
pula sehingga mempengaruhi aplikasi dari apa yang diketahui dan dipahami. Hasil penelitian
terhadap ranah pengetahuan, pemahaman dan aplikasi menunjukkan bahwa ketiganya
mempunyai keterkaitan antara satu dengan yang lainnya. Hal ini sesuai pendapat
Notoatmodjo bahwa seseorang dapat melakukan sesuatu dengan baik dan benar setelah
orang tersebut mengetahui dan paham sebelumnya.
Responden memiliki sikap positif atau cenderung favourable dalam memenuhi nutrisi
masa kehamilan karena pengetahuannya baik dan usianya dewasa. Hal ini sesuai pendapat
Bloom dalam Notoatmodjo bahwa terbentuknya perilaku baru pada orang dewasa dimulai
pada domain kognitif dalam arti subyek tahu lebih dulu terhadap stimulus yang berupa materi
atau obyek diluarnya. Sedangkan Azwar mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi
Vol.I No.1 Januari 2010 ISSN: 2086-3098
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 72
pembentukan sikap diantaranya adalah pengalaman pribadi, orang lain yang dianggap
penting, kebudayaan, media massa, lembaga pendidikan dan lembaga agama, emosional.
Analisis dengan Spearman Rank Test antara pengetahuan ibu hamil tentang nutrisi
masa kehamilan dengan sikap ibu hamil memenuhi nutrisi memberikan nilai korelasi postif
yang signifikan, artinya semakin baik pengetahuan ibu hamil tentang nutrisi masa kehamilan,
semakin baik sikap ibu hamil dalam memenuhi nutrisi selama hamil sehingga dapat
diinterpretasikan bahwa pengetahuan yang sudah diperoleh seseorang akan mempengaruhi
sikap dalam menentukan tindakan. Hal ini sesuai pendapat Notoatmodjo bahwa dalam
pembentukan sikap, pengetahuan, berpikir, keyakinan dan emosi memegang peranan penting.
SIMPULAN DAN SARAN
Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa: 1) pengetahuan ibu hamil tentang nutrisi
masa kehamilan 77% berpengetahuan baik dan 23% berpengetahuan tidak baik, 2) sikap ibu
hamil dalam memenuhi nutrisi seluruh responden memiliki sikap favourable (100%), 3) ada
korelasi positif antara pengetahuan ibu hamil tentang nutrisi masa kehamilan dengan sikap ibu
hamil dalam memenuhi nutrisi di Puskesmas Candirejo Kabupaten Magetan.
Disarankan: 1) perlunya peran aktif tenaga kesehatan untuk meningkatkan penyuluhan
tentang pentingnya nutrisi selama kehamilan, 2) ibu hamil harus secara sadar menerapkan
pengetahuan ke pelaksanaan sehari-hari dengan memenuhi nutrisi sesuai kebutuhan selama
hamil, 3) perlu penelitian lebih lanjut tarhadap variabel lain yang berpengaruh terhadap sikap
yang terwujud dalam suatu tindakan nyata.
DAFTAR PUSTAKA
Aziz Alimul H. 2003. Riset Keperawatan & Teknik Penulisan Ilmiah. Jakarta : Salemba Medika.
Arikunto, 1998. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta : Rineka Cipta.
Azwar S., 2000. Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta.
Bambang Dahono Adji, 1997. Metodologi Penelitian. Jakarta : Diktat Kuliah.
Depkes RI. 1999. Ibu Sehat Bayi Sehat. Jakarta.
Depkes RI. 1998. Pedoman Pelayanan Antenatal di Tingkat Pelayanan Dasar.
Nadesul H. 2000. Makanan Sehat Untuk Ibu Hamil. Jakarta : Puspa Swara.
Notoatmodjo S. 1997. Pengantar Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Perilaku Kesehatan.
Yogyakarta : Andi Offset.
Notoatmodjo S. 1997. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Jakarta : Rineka Cipta
Nursalam. 2003. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Pedoman
Skripsi, Tesis dan Instrumen Penelitian Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika.
Prawirohardjo S. 1994. Ilmu Kebidanan. Bina Pustaka. Jakarta.
Purwodarminto. 1997. Kamus Besar Bahasa Indonesia Jilid I. Jakarta : Balai Pustaka.
Purwodarminto. 1999. Kamus Besar Bahasa Indonesia Jilid II. Jakarta : Balai Pustaka.
Sugiyono. 2000. Metode Penelitian Administrasi. Bandung : Alfa Beta.
Sugiyono. 2001. Statistik Non Parametris. Bandung : Alfa Beta.
Taylor. Lilies, Le Mone. 1997. Fundamentals Of Nursing. Lippincot New York. Philadelphia
Vol.I No.1 Januari 2010 ISSN: 2086-3098
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 73
HUBUNGAN ANTARA FREKUENSI PELATIHAN KADER DENGAN KEMAMPUAN
MENDETEKSI RISIKO TINGGI IBU HAMIL
Endang Wahyuningsih*, Sukardi**, Siti Widajati**
*=Dinas Kesehatan Kabupaten Madiun
**=Prodi Kebidanan Magetan Jurusan Kebidanan Poltekkes Depkes Surabaya
ABSTRACT
The scope achievement of high risk detection by the people based on PWS KIA
Pagotan, Geger, Madiun are still low in target 3,7 % which is should be 10 % in 2007. The
cadres have attended the training about the high risk detection of pregnant mothers but they
have different frequencies. The aim of the research is to know that there is a relationship
between the frequency of cadre training with the ability to detect high risk of pregnant mothers,
in pagotan village, geger subdistrict, madiun regency. This research uses analytical research
and cross sectional approach. The population of this research are the cadres who have
attended the training of high risk of pregnant mothers. The sample of the whole populations
which is taken by the researcher is 20 respondents. Independent variable is the frequency of
cadre training, while dependent variable is the ability to detect high risk of pregnant mothers. In
conducting the data, the researcher uses questionnaire and KSPR. To analyze it relationship,
the researcher uses correlation test Pearson Product Moment < 0,05 ). The result of this
research show the average frequency of cadre training 3,65, the average of ability to detect
high risk pregnant mother 64,40. test pearson product moment shows p = 0,000, It means that
correlation between training cadres to ability detect high risk pregnant mother.
Keywords : training, cadre, ability, high risk pregnant mothers.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pembangunan dibidang kesehatan mempunyai arti yang penting dalam kehidupan
nasional, khususnya didalam memelihara dan meningkatkan kesehatan. Untuk mencapai
keberhasilan tersebut erat kaitannya dengan pembinaan dan pengembangan sumber daya
manusia sebagai modal dasar pembangunan. Pengembangan sumberdaya manusia
merupakan suatu upaya yang besar, sehingga tidak hanya dilakukan oleh pemerintah saja
tanpa adanya keterlibatan masyarakat. Pencapaian cakupan deteksi risiko tinggi ibu hamil
oleh masyarakat di puskesmas Geger tahun 2007adalah 7,51% dari 474 sedangkan di desa
Pagotan hanya mencapai 3,7% dari 44, yang seharusnya mencapai 10% dari sasaran. Kader
di desa pagotan yang mengikuti pelatihan mempunyai frekuensi yang berbeda. Rendahnya
peran serta masyarakat dalam mendeteksi risiko tinggi ibu hamil disebabkan oleh beberapa
faktor. Antara lain tidak terpenuhi dana, waktu, kemampuan, komunikasi dan kebebasan.
Maka dibutuhkan upaya untuk meningkatkan kemampuan kader terus menerus dengan
pemberian pelatihan secara periodik oleh petugas teknis dari berbagai sektor.
Vol.I No.1 Januari 2010 ISSN: 2086-3098
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 74
Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang diajukan dalam penelitian ini adalah: Apakah ada hubungan
antara frekuensi pelatihan kader dengan kemampuan mendeteksi risiko tinggi ibu hamil?
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian adalah: 1) Mengidentifikasi karakteristik kader (umur, pendidikan dan
pekerjaan), 2) mengidentifikasi frekuensi pelatihan kader, 3) mengidentifikasi kemampuan
kader mendeteksi risiko tinggi ibu hamil, 4) menganalisa hubungan antara frekuensi pelatihan
kader dengan kemampuan mendeteksi risiko tingg ibu hamil.
BAHAN DAN METODE
Jenis penelitian adalah survei analitik dengan desain penelitian cross sectional. Tempat
dan waktu penelitian di Desa Pagotan, Kecamatan Geger, Kabupatan Madiun pada bulan
September 2008Pebruari 2009. Populasi dalam penelitian ini adalah semua kader yang
pernah mengikuti pelatihan kader tentang deteksi risiko tinggi ibu hamil, jumlah subyek 20,
semuanya menjadi subyek penelitian. Variabel independent penelitian ini adalah frekuensi
pelatihan kader dan variabel dependent adalah kemampuan mendeteksi risiko tinggi ibu hamil.
Instrumen pengumpulan data frekuensi pelatihan kader adalah buku catatan kader, sedangkan
untuk mengukur kemampuan kader mendeteksi risiko tinggi ibu hamil dengan kuesioner dan
lembar observasi.
Pengolahan data untuk mendapatkan gambaran frekuensi pelatihan kader dan
kemampuan mendeteksi risiko tinggi ibu hamil dengan pendekatan statistik deskriptif berupa
tendency central, sedangkan untuk mengetahui hubungan antara frekuensi pelatihan kader
dengan kemampuan mendeteksi risiko tinggi ibu hamil dengan uji korelasi Pearson Product
Moment dengan tingkat kepercayaan 95% dan tingkat kesalahan <0,05.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian
Data karakteristik kader adalah: kelompok umur terbesar 41-60 tahun yaitu 60%
(Gambar 1), kelompok jenjang pendidikan terbesar SMA yaitu 55% (Gambar 2), dan kelompok
pekerjaan berimbang antara ibu rumah tangga dan wiraswasta, yaitu 50% (Gambar 3).
Gambar 1. Distribusi Kelompok Umur Kader di Desa Pagotan, Geger, Madiun
Vol.I No.1 Januari 2010 ISSN: 2086-3098
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 75
Gambar 2. Distribusi Kelompok Jenjang Pendidikan Kader di Desa Pagotan, Geger, Madiun
Gambar 3. Distribusi Kelompok Pekerjaan Kader di Desa Pagotan, Geger , Madiun
Data frekuensi pelatihan tertinggi 10 sejumlah 2 kader (10%), terendah 1 sejumlah 8
kader (40%). Data lengkap tampak pada Gambar 4.
Gambar 4. Frekuensi Pelatihan Kader di Desa Pagotan, Geger, Madiun
Data kemampuan tertinggi untuk mendeteksi resiko tinggi ibu hamil adalah: 79 sejumlah
1 kader (5%), terendah 54 sejumlah 4 kader (20%), data lengkap dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 4. Frekuensi Kemampuan Untuk Mendeteksi Resiko Tinggi Ibu Hamil
Vol.I No.1 Januari 2010 ISSN: 2086-3098
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 76
Hasil analisis data menunjukkan bahwa mean frekuensi pelatihan kader 3,65 dan mean
kemampuan mendeteksi risiko tinggi ibu hamil 64,40. Hasil uji Pearson Product Moment
p=0,000 dengan koefisien korelasi 0,853, berarti terbukti ada hubungan positif yang kuat
antara frekuensi pelatihan kader dengan kemampuan mendeteksi risiko tinggi ibu hamil.
Pembahasan
Hasil analisis data membuktikan adanya hubungan antara frekuensi pelatihan kader
dengan kemampuan mendetensi risiko tinggi ibu hamil. Hal ini sesuai dengan proses
perubahan perilaku tersebut menggambarkan proses belajar pada individu yang terdiri dari: 1)
Stimulus yang diberikan pada individu dapat diterima atau ditolak. Apabila ditolak berarti
stimulus tidak efektif dalam mempengaruhi perhatian individu, dan berhenti sampai disini.
Tetapi bila stimulus diterima oleh organisme berarti ada perhatian dari individu dan stimulus
tersebut efektif; 2) Apabila stimulus diterima maka ia mengerti stimulus ini dan dilanjutkan
pada proses berikutnya; 3) Setelah itu organisme mengolah stimulus tersebut sehingga terjadi
kesediaan untuk bertindak demi stimulus yang diterimanya; 4) Akhirnya dengan dukungan
fasilitas serta dorongan dari lingkungan maka stimulus tersebut mempunyai efek tindakan dari
individu (Notoatmodjo, 2003).
DAFTAR PUSTAKA
Depkes RI, 2002, Buku Kesehatan Ibu dan Anak Propinsi Jawa Timur Dinas
Kesehatan Kabupaten Madiun, Surabaya :
DinKes Prop Jatim bekeria sama dengan UNICEF. Hermawan, Hubungan Antara Tingkat
Pendidikan dan Persepsi dengan Perilaku Ibu Rumah Tangga dalam Pemeliharaan
Kebersihan Lingkungan,
http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/hubungan antara.pdf. Jabbar Umar, 2009, Mengenal
Psikologi Perkembangan, http://umar jabbar. Files.wordpress.com/ 2009/01/ mengenal
psikologi perkembangan DOC.
Notoatmodjo, S, 2003 , Pendidikan dan Perilaku Kesehatan , Jakarta: Rineka Cipta. ,
2005, Metodologi Penelitian Kesehatan, Edisi Revisi, Jakarta : Rineka Cipta.
Rochjati, P, Kartu Skor Poedji Rochjati, Surabaya : Pusat Safe Motherhood RSU Dr. Soetomo
/ FK UNAIR.
Syahlan, 1996, Kebidanan Komunitas, Jakarta : Yayasan Bina Sumber Daya
Kesehatan. Sugiyono, 1997, Statistika untuk Penelitian, Bandung : Alfabeta
Vol.I No.1 Januari 2010 ISSN: 2086-3098
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 77
PEMANFAATAN KULIT BATANG JAMBU BIJI (Psidium Guajava)
UNTUK ADSORPSI CHROMIUM LIMBAH INDUSTRI KULIT
Handoyo*, Trimawan Heru Wijono*
*=Prodi Kesehatan Lingkungan Madiun Jurusan Kesehatan Lingkungan
Poltekkes Dep Kes RI Surabaya
ABSTRACT
High concentration of Chrom (Cr) heavy metal content in liquid waste water of
penyamakan kulit will affect to public health through food chain. The health affect include acute
and chronic poising, and carcinogenic effect. In order to minimize the health effect, it should be
efforted to reduce Cr heavy metal content in waste water of penyamakan kulit by soakening in
weak acid solution as chelating agent such as acetic acid solution. There are aim of this study
was to measure and selective effective dose of arang kulit jambu biji(Psidium guajava) solution
in reducing Cr heavy metal content in certain waste water of penyamakan kulit and selected
the efectiv dosis.
This study was an experimental study in laboratory, which was designed as the static
group comparison randomized control group only design. Twenty six sample of waste water of
penyamakan kulit from Lingkungan Industri Kecil Magetan were include in this study. Each
five sample was devided into five parts and measure Chrom heavy metal content after
treatment by penambahan arang kulit kayu jambu biji (Psidium guajava)
Average concentration of Chrom heavy metal content in waste water was 0,860 1,800
ppm It was extremely higher compared to the threshold limit value recommended by ILO/
WHO i.e 0,5 ppm. Treatmen of 2 gram arang kulit pohon jambu biji solution for 75 minute
significantly reduced Chrom heavy metal in waste water of industri penyamakan kulit is 0,132
ppm (15%), treatmen of 4 gram is 0,171 ppm (19%), treatmen of 6 gram solution is 0,228
ppm (25%), 8 gram is 0,353 ppm (35%), and 10 gram is 0,355 ppm (36%). Significantly
reduced (two way Anova p <0.05) Chrome heavy-metal in waste water penyamakan kulit of 8
gram solution respectively.
It is conclude that (Psidium guajava) solution with 8 gram solution of arang kulit pohon
jambu biji concentration are considerd as an effective adsorbing agent to reduce Chrome
heavy-metal in waste water of penyamakan kulit. However it will need further study on the
effectively of kulit pohon jambu biji or other matter in reducing several heavy-metal content in
other kind of waste waters
Keyword : (Psidium guajava) solution, Chrome, adsorbing agent, waste water, penyamakan
kulit
PENDAHULUAN
Pencemaran lingkungan akibat limbah industri penyamakan kulit masih menjadi
masalah yang belum terselesaikan. Limbah cair dari industri penyamakan kulit merupakan
Vol.I No.1 Januari 2010 ISSN: 2086-3098
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 78
salah satu limbah yang memiliki karakter pencemar lingkungan yang cukup berbahaya karena
mengandung logam berat. Air limbah dari proses penyamakan ini akan mengandung bahan
protein, sisa garam, sejumlah kecil mineral dan crome velensi 3 yang apabila tercampur
dengan alkali akan terbentuk chrome hidroksida, pH berkisar antara 3,5-4, suspendid solid
0,01-0,02% ( Koziowroski dan Kucharski 1972).
Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengendalian Pencemaran
Lingkungan, menjelaskan bahwa setiap kegiatan industri yang mengeluarkan limbah harus
dilengkapi dengan instalasi pengolahan air limbah, dengan harapan dapat menekan dampak
yang terjadi terutama dalam kelestarian lingkungan Meskipun instalasi pengolah limbah telah
dibangun dan diuperasikan, namun sistem pengolahan limbah industri penyamakan kulit saat
ini masih banyak kekurangan. Pada umumnya lebih banyak dilakukan secara fisik-kimia yang
dapat mereduksi Khromium hingga 95%, Sulfida hingga 100%, dan BOD hingga 80%, namun
biaya operasionalnya cukup tinggi dan menghasilkan lumpur hasil olahan yang mengandung
khromium. Untuk itu perlu alternatif lain sehingga dapat mengatasi tingginya biaya operasional
dan sisa lumpur yang mengandung Khromium tersebut.
Pengolahan air limbah secara biologis merupakan alternatif terhadap pengolahan fisik-
kimia, terutama untuk menyisihkan bahan organik terlarut dan koloid. Kelebihan pengolahan
biologi adalah efektif, mudah dioperasikan, dan ekonomis. Meskipun demikian, kinerja proses
biologi sangat dipengaruhi oleh pertumbuhan dan aktivitas mikroorganisme. Oleh sebab itu
harus digunakan bahan alam (biomaterial) yang sesuai. Salah satu biomaterial yang dapat
dimanfaatkan adalah jambu biji (Psidium guajava) yang sudah banyak terbukti digunakan
sebagai obat. Pada daun, kulit batang, dan daging buah jambu biji dapat ditemukan zat tannin.
Zat tannin ini merupakan zat yang menyebakan jambu biji memiliki kemampuan penyerapan.
Diketahui bahwa adanya ikatan karbonil pada zat tannin menjadikannya molekul yang mudah
terprotonasi atau bermuatan positif sehingga dapat menarik atau menyerap anion krom yang
bermuatan negatif. Dalam mengobati diare, jambu biji menyerap bakteri patogen penyebab
diare pada usus dengan mekanisme adsorpsi seperti layaknya obat diare lainnya yang terbuat
dari karbon aktif. Prinsip penyerapan inilah yang mendasari penggunaan kulit batang jambu
biji sebagai biosorben dalam penyerapan Khromium logam berat dari limbah cair. Selanjutnya
bahan pada jambu biji juga memiliki sifat biosorpsi. Biosorpsi adalah suatu proses dimana
material padat bahan alam digunakan untuk mengadsorbsi logam berat yang terlarut dalam
larutan. Biomaterial berupa padatan dalam jambu biji ini diharapkan dapat memiliki
kemampuan untuk mengikat logam berat.
Penelitian yang bertujuan mengetahui kemampuan kulit batang jambu biji dalam
mengadsorpsi bahan cemaran limbah industri kulit pernah dilakukan sebelumnya oleh
Sutrasno Kartohardjono dkk, dengan kesimpulan bahwa penyisihan ion logam krom dari dalam
larutan dapat dilakukan melalui proses biosorpsi menggunakan kulit batang jambu biji (psidium
guajava) sebagai biosorben. Kulit batang jambu biji dapat menyerap hingga lebih dari 99% ion
logam krom pada pH 2. Oleh sebab itu penelitian ini merupakan penelitian lanjutan sebagai
rekomendasi penelitian selanjutnya, yaitu bertujuan mencari dosis yang efektif untuk
menurunkan kadar Khromium (Cr) dalam air limbah industri kulit.
Vol.I No.1 Januari 2010 ISSN: 2086-3098
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 79
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini merupakan penelitian laboratorium eksperimen yang menerapkan the
static group comparison randomized control group only design. Populasi penelitian adalah kulit
pohon jambu biji (Psidium Guajava) dengan bahan uji limbah industri pabrik penyamakan kulit
di Lingkungan Industri Kecil Magetan. Limbah kulit yang digunakan adalah air limbah Pikel
(Pickling) dan Krom (Tanning), karena air limbah dari proses ini akan mengandung bahan
protein, sisa garam, sejumlah kecil mineral dan chrome Suspend 3 yang apabila tercampur
dengan alkali akan terbentuk chrome hidroksida, pH berkisar antara 3,5-4, Suspended solid
0,01-0,02 % ( Koziowroski dan Kucharski 1972).
Penentuan sampel dilakukan secara purposif dan diasumsikan semua jenis kulit pohon
jambu biji varietas Guajava ini memiliki kadar tannin yang homogen. Besar sampel untuk
masingmasing variasi dosis (2 gram, 4 gram, 6 gram, 8 gram, dan 10 gram) adalah 5 buah
sehingga total besar sampel adalah 25 buah sampel dan ditambah sebuah sampel sebagai
kontrol. Pengukuran kandungan logam berat Khrom pada air limbah industri penyamakan kulit
dengan menggunakan metode Spektrofotometri.
Gambar 1 : Bagan Rancangan penelitian
Penelitian kulit batang
pohon jambu sebagai
bahan absorben
Kulit batang jambu
biji dihaluskan
Dilakukan uji coba
Limbah industri kulit
Magetan diambil pada
bagian bak ekualisasi
Ditimbang sesuai
dosis yang
diperlukan
Analisa data/ menetapkan
larutan yang paling efektif
dan pembahasan
Disiapkan sampel dalam
bekker glass
Tabulasi data
Pemeriksaan awal kadar
Chrom dalam limbah industri
kulit
Pemeriksaan Lab.
Menganalisis kadar
Chromium dalam larutan
Dikeringkan dibawah
sinar matahari 5
hari
Kesimpulan
Vol.I No.1 Januari 2010 ISSN: 2086-3098
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 80
Penelitian dilakukan di Laboratorium Politeknik Kesehatan Surabaya pada bulan Mei
sampai bulan Juni 2008, dengan langkah-langkah:
1. Pengambilan bahan
a. Tumbuhan batang jambu biji diambil dari sekitar pekarangan dan di kebun.
b. Limbah industri kulit diambil dari Instalasi Pengolahan Limbah di Lingkungan Industri
Kulit Magetan.
2. Pembuatan air larutan
a. Tumbuhan jambu biji dimbil bagian kulit batangnya.
b. Kemudian dihaluskan menggunakan blender sampai halus
c. Setelah itu dijemur dibawah terik matahari kurang lebih sampai 5 hari (sampai kering)
d. Setelah kering bubuk dari kulit batang jambu biji di simpan dalam tempat yang kedap
udara. Serbuk batang jambu biji siap digunakan untuk penelitian.
3. Pengukuran kandungan logam berat Khrom pada air limbah industri penyamakan kulit
dengan menggunakan metode Spektrofotometri.
4. Pengujian Absorben kulit batang jambu biji
a. Sampel limbah industri kulit diambil kemudian dimasukkan dalam 5 beker glass
masingmasing 100ml. Dilakukan pengontrolan pH, kemudian dalam keadaan PH yang
sama, masingmasing beker glass ditambah serbuk dari kulit batang jambu biji sesuai
kadar terukur yang telah ditentukan (2 gram, 4 gram, 6 gram, 8 gram dan 10 gram).
Pada setiap 15 menit dilakukan pengadukan campuran sebanyak 3 kali. Setelah itu
diukur pH dan suhu air
b. Setelah larutan didiamkan selama 75 menit dilakukan pemeriksaan kadar logam berat
Khrom pada masingmasing beker glass. Cara kerja alat tersebut adalah (1) dipilih
panjang gelombang yang sesuai. Untuk logam berat Khrom panjang gelombangnya
adalah 540 nm. (2) Kemudian dipilih tombol ppm untuk menghasilkan hasil yang
sesuai. (3) Selanjutnya dimasukkan blanko, dalam penelitian ini digunakan aquades
kemudian diposisikan nol. (4). Sampel dimasukkan kemudian hasilnya dibaca.(5)
Dilakukan pencatatan data hasil pengukuran
5. Replikasi masingmasing kadar serbuk batang jambu biji sebanyak lima kali.
Bahan yang dibutuhkan adalah Serbuk kulit batang jambu biji yang telah di haluskan dan
limbah industri kulit yang diambil pada bagian bak equalisasi, aquades. Alat yang harus
disiapkan adalah gelas ukur, pipet, blender, beker glass, pengaduk, saringan, lloyang dan
Spektrofotometer merk Spectronic 19 Genesys.
Data yang dikumpulkan adalah data hasil pemeriksaan laboratorium terhadap
kandungan logam Chromium dalam limbah industri penyamakan kulit sesudah dicampur
dengan arang kulit pohon jambu biji. Pengukuran kandungan logam Chromium dalam limbah
penyamakan kulit dilakukan dengan metode Spectrofotometri dengan jenis destruksi basah
(wet ashing). Analisis data dilakukan secara kuantitatif yaitu mengolah data hasil pemeriksaan
logam berat Chromium dalam limbah industri kulit sesudah dilakukan treatment. Adapun
metode statistik yang digunakan untuk komparasi hasil pengukuran menggunakan Two way
Anova. Nilai probabilitas <0.05 dipertimbangkan sebagai perbedaan yang signifikan.
Vol.I No.1 Januari 2010 ISSN: 2086-3098
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 81
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Kandungan Logam Khrom pada limbah
Hasil pemeriksaan Kandungan logam Khrom pada limbah penyamakan kulit setelah
proses pikling dan tanning adalah 0,950 mg/liter (ppm). Jika dikaitkan dengan ketentuan
Peraturan Pemerintah No 82 tahun 2001 tentang pengendalian Pencemaran Lingkungan, atau
ketentuan Gubernur nomor tentang badan air yang menyatakan kandungan Khrom dalam
limbah tidak boleh melebihi 0,5 ppm maka angka tersebut telah melebihi ketentuan yang.
Tingkat Efektifitas Penurunan.
Hasil pemeriksaan terhadap 25 buah sampel ternyata tingkat penurunan kadar logam
berat Khrom dengan menggunakan jambu biji dengan variasi kandungan bahan aktif 2 gram,
4 gram , 6 gram, 8 gram , dan 10 gram. Berdasarkan Tabel 1, setelah dilakukan penghitungan
statistik, uji Statistik dengan Two way Anova diperoleh angka sebagai berikut: (F=684,357 dan
p 2 gram=0,000; p 4 gram=0,000; p 6 gram=0,000; p 8 gram=0,000 dan p 10 gram=0.000).
Dengan angka p=0,000, dapat disimpulkan bahwa hipotesis penelitian dapat diterima, berarti
H1 diterima yaitu ada perbedaan pengaruh antar variasi dosis jambu biji terhadap penurunan
kadar Khrom dalam limbah penyamakan kulit. Apabila melihat angka F dan p, perbedaan
pengaruh tersebut sangat signifikan.
Tabel 1. Hasil Pengukuran Kadar Khrom
Penurunan kadar Khrom sesuai dosis jambu biji
Suhu
air
pH
2 gram
/100 ml air
4 gram
/100 ml air
6 gram
/100 ml air
8 gram
/100 ml air
10 gram
/100 ml air
Replikasi ke I 0,135 0,187 0,209 0,320 0,323 26 3,5
Replikasi ke II 0,169 0,190 0,245 0,345 0,350 28 3,4
Replikasi ke III 0,130 0,166 0,254 0,366 0,360 28 3.4
Replikasi ke IV 0,098 0,170 0,245 0,388 0,383 26 3.5
Replikasi ke V 0,128 0,145 0,190 0,350 0,361 27 3,8
Rata - rata 0,132 0,171 0,228 0,353 0,355
Dari uji selanjutnya diperoleh hasil bahwa dosis paling efektif adalah penambahan kadar
8 gram per 100 ml air, yaitu penurunan ratarata sebesar 0.53 ppm. Gambaran tentang
masing masing pengaruh dosis ditampilkan pada Gambar 1. Berdasarkan angka penurunan
kadar Khrom pada contoh, dapat dijelaskan bahwa semakin tinggi konsentrasi dosis jambu
biji, semakin kuat daya serap arang jambu biji terhadap Khrom. Menurut Koziowroski, zat
tannin ini merupakan zat yang menyebabkan jambu biji memiliki kemampuan penyerapan.
Diketahui bahwa adanya ikatan karbonil pada zat tannin menjadikan molekul yang mudah
terprotonasi atau bermuatan positif sehingga dapat menarik atau menyerap anion khrom yang
bermuatan negatif.
Vol.I No.1 Januari 2010 ISSN: 2086-3098
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 82
Gambar 2 : Grafik penurunan kadar Khrom dengan variasi dosis jambu biji
Pengaruh pH dan Suhu Air pada Proses Kerja Penelitian
pH dan Suhu Air, pada bagian terdahulu sebutkan sebagai variable kontrol, karena
dengan pH dan suhu air yang ektrim akan dapat menyebabkan tidak aktifnya bahan tannin.
Hasil pengukuran pH pada bejana penelitian dalam setiap periode pengukuran dihasilkan pH
terendah: 3.4 dan tertinggi 3,8, sedangkan suhu Suhu air terendah: 26C dan tertinggi 28C.
Angka pH dan suhu air ini masih dalam kondisi normal dan dapat ditolelir untuk aktifitas bahan
tannin atau tidak berpengaruh terhadap aktivitas penyerapan tannin pada logam berat Khrom.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan penelitian adalah bahwa kulit pohon jambu biji (Psidium Guajava) yang
mengandung tannin dapat digunakan sebagai bahan penyerap logam berat Khrom pada
limbah cair produksi penyamakan kulit. Dengan 8 gram arang kulit pohon jambu biji ini dapat
menurunkan kadar Khrom 0,355 ppm pada pH antara 3,4 sampai dengan 3,8 dan pada suhu
antara 26
o
C sampai dengan 28
o
C.
Disarankan agar dilaksanakan penelitian lebih lanjut terhadap kandungan logam Khrom
selain dari variasi dosis, juga perlu variasi keasaman (pH) yang efektif serta kombinasi
perlakuan lainnya seperti jumlah pengadukan maupun pembuatan arang pohon jambu bijinya.
DAFTAR PUSTAKA
APHA AWWA and WPCF (1985). Standart Methods For Examination of Water and Waste
Water . 16
th
ed New York. United States of America.
FAO/WHO (1980) Recommended Health Based Limit in Occoputional Exposure to Heavy
Metal. Geneva World Health Organization
FAO/WHO (1992) Environmental Health Criteria 137 Chroom Environmental Aspect. Geneva
World Health Organization
Koziowroski dan Kucharski (1972).
Peraturan Pemerintah No 82 tahun 2001 tentang pengendalian Pencemaran Lingkungan
Vol.I No.1 Januari 2010 ISSN: 2086-3098
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 83
PENGARUH LARUTAN SEREH WANGI DAN DAUN TEMBELEKAN
TERHADAP DAYA TOLAK GIGITAN NYAMUK AEDES AEGYPTI
Tuhu Pinardi*, Hery Koesmantoro*, Moch. Yulianto*
*= Prodi Kesehatan Lingkungan Madiun Jurusan Kesehatan Lingkungan
Poltekkes Depkes Surabaya
ABSTRAK
Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu masalah kesehatan di Indonesia.
DBD disebabkan oleh virus Dengue I, II, III, dan IV yang ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti.
Pengendalian populasi nyamuk Aedes aegypti dapat dilakukan dengan cara kimia dan biologi.
Cara kimia menggunakan bahanbahan kimia yang dapat menimbulkan efek toksik pada
nyamuk, tetapi jika tidak terkendali dapat mencemari lingkungan dan menyebabkan nyamuk
menjadi resisten terhadap insektisida sintetis. Alternatif lain untuk mengendalikan populasi
Aedes aegypti yaitu dengan menggunakan bahan aktif yang ramah lingkungan dan toksisitas
terhadap mamalia rendah, sehingga aman terhadap manusia dan binatang ternak. Bahan aktif
alami yang dapat digunakan tersebut antara lain larutan sereh wangi dan daun tembelekan.
Penelitian quasi eksperimen dengan desain one group pre test post test ini menganalisis
pengaruh variasi dosis larutan sereh wangi dan daun tembelekan terhadap daya tolak gigitan
nyamuk Aedes aegypti dengan menggunakan uji One Way Anova. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa dari 7 variasi dosis, yang paling efektif sebagai repelen adalah larutan
sereh wangi tanpa campuran larutan daun tembelekan, yang lebih kecil pengaruhnya adalah
larutan sereh wangi 20 ml dengan campuran larutan daun tembelekan 40 ml. Disimpulkan ada
pengaruh sebelum dan sesudah diolesi campuran larutan sereh wangi dan daun tembelekan
terhadap tangan yang diumpankan pada nyamuk Aedes aegypti. Penelitian ini terbatas untuk
mengetahui dosis yang berpengaruh besar untuk menolak gigitan nyamuk Aedes aegypti,
sehingga perlu penelitian sejenis untuk mengetahui berapa lama efektifitas campuran larutan
sereh wangi dan daun tembelekan terhadap daya tolak gigitan nyamuk Aedes aegypti.
Kata kunci : insektisida , toksisitas , resisten
Telepon: 081556670065
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia dalam peta wabah DBD ada di posisi memprihatinkan. Dalam morbidity rate
dan mortality rate DBD di kawasan Asia Tenggara, selama kurun waktu 1985-2004, Indonesia
ada di urutan kedua setelah Thailand. Pada tahun 2005, jumlah kasus DBD di Indonesia
sampai Februari 2005 sebanyak 5.064 kasus dengan 113 kematian. Di DKI Jakarta, Jawa
Barat, Sulawesi Selatan, Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur
peningkatan perlu diwaspadai sebagai KLB DBD.
Pengendalian nyamuk dengan cara kimia menggunakan bahan kimia yang berefek toksik
pada nyamuk yaitu insektisida yang dapat berupa bahan sintetis maupun alami. Penggunaan
bahan kimia yang beredar di pasaran dapat menurunkan populasi dengan cepat dan mudah
dipakai, namun dapat menyebabkan pencemaran air, tanah, membunuh mikroorganisme yang
Vol.I No.1 Januari 2010 ISSN: 2086-3098
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 84
menguntungkan, membunuh predator, dan menyebabkan nyamuk menjadi resisten terhadap
insektisida sintetis (Subiyakto Sudarmo, 1991). Maka diperlukan alternatif yaitu bahan alami
yang ramah lingkungan dan aman terhadap manusia, misalnya larutan sereh wangi dan
tembelek untuk menolak gigitan nyamuk Aedes aegypti.
Batang dan daun sereh wangi (Cymbopogon nardus) bisa dimanfaatkan sebagai
pengusir nyamuk. Sereh wangi mengandung geraniol, metilheptenon, terpen-terpen, terpen-
alkohol, asam-asam organik, dan terutama sitronelal. Kandungan terbesar adalah sitronela
(35%) dan geraniol (35-40%). Sitronelal bersifat racun kontak yang dapat menyebabkan
kematian akibat kehilangan cairan secara terus-menerus sehingga tubuh nyamuk kekurangan
cairan (http://cintaindonesia magazine.blogspot.com/2006/06/editorial _27.html).
Daun dan bunga tembelekan (Lantana Cemara Linn) berpotensi sebagai insektisida
nabati karena mengandung lantadene A, lantadene B, lantanolic acid, lantic acid, humule
(mengandung minyak asiri), b-caryophyllene, g-terpidene, a-pinene dan r-cymene.
(http://yhochanz.wordpress.com/author/yhochanz/(lantana camara).
Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini bertujuan: 1) menentukan variasi dosis larutan sereh wangi dan
tembelekan, 2) menguji daya tolak gigitan Aedes aegypti, 3) menganalisa uji repelen. Manfaat
penelitian ini adalah sebagai: 1) alternatif pengganti untuk penolak nyamuk Aedes aegypti
yang tidak mencemari lingkungan, 2) bahan pertimbangan dalam pengendalian Aedes aegypti.
BAHAN DAN METODE
Penelitian quasi eksperimen dengan rancangan One Group Pretest Postest ini meneliti
campuran larutan sereh wangi dan daun tembelekan sebagai variabel bebas dan jumlah
gigitan nyamuk Aedes aegypti sebagai variabel terikat. Variabel pengganggu penelitian ini
adalah suhu udara, kelembaban, umur nyamuk, jenis sereh wangi dan jenis daun tembelekan.
Sampel penelitian mengacu pada pernyataan Singarimbun bahwa sampel kecil
penelitian adalah 30 buah. Untuk menetapkan jumlah replikasi menurut Sri Purwati dalam
eksplorasi bahan nabati sebagai repelen terhadap nyamuk Aedes aegypti tahun 2003 dapat
dihitung dengan menggunakan rumus (t-1) (r-1) 15, sehingga dari perhitungan diperoleh r =
replikasi sejumlah 4 kali. Pengambilan sampel dilakukan dengan cara membiakkan nyamuk
Aedes aegypti di dalam Laboratorium Entomologi Program Studi Kesehatan Lingkungan
Madiun. Telur nyamuk diperoleh dari Balai Penelitian Vektor dan Reservoir Penyakit di
Salatiga. Analisis data menggunakan uji hipotesis One Way Anova dengan taraf signifikan 5%.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Data hasil pengamatan replikasi penggunaan larutan sereh wangi dan daun tembelekan
dalam berbagai variasi waktu dan efektifitasnya untuk menghasilkan daya tolak terhadap
gigitan nyamuk Aedes aegypti disajikan secara rinci pada Tabel 1 sampai dengan Tabel 7.
Vol.I No.1 Januari 2010 ISSN: 2086-3098
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 85
Tabel 1. Hasil Pengamatan Replikasi 1 Selama 5 menit dan 10 menit
No
Kelom
pok
Perbandingan Dosis Jumlah Nyamuk yang Hinggap dan atau Menggigit
Sereh Wangi Tembelekan Pretest/kontrol (5 menit) Post test 5 menit Posttest 10 menit
1 I 50 ml 10 ml
26 ekor
3 ekor 8 ekor
2 II 40 ml 20 ml 0 3 ekor
3 III 30 ml 30 ml 1 ekor 1 ekor
4 IV 20 ml 40 ml 0 2 ekor
5 V 10 ml 50 ml 0 0
6 VI 60 ml - 0 0
7 VII - 60 ml 0 2 ekor
Tabel 2. Hasil Pengamatan Replikasi 2 Selama 5 menit dan 10 menit
No
Kelom
pok
Perbandingan Dosis Jumlah Nyamuk yang Hinggap dan atau Menggigit
Sereh Wangi Tembelekan Pretest/kontrol (5 menit) Posttest 5 menit Posttest10 menit
1 I 50 ml 10 ml
34 ekor
8 ekor 12 ekor
2 II 40 ml 20 ml 4 ekor 6 ekor
3 III 30 ml 30 ml 4 ekor 8 ekor
4 IV 20 ml 40 ml 0 2 ekor
5 V 10 ml 50 ml 1 ekor 2 ekor
6 VI 60 ml - 0 1 ekor
7 VII - 60 ml 5 ekor 11 ekor
Tabel 3. Hasil Pengamatan Replikasi 3 Selama 5 menit dan 10 menit
No
Kelom
pok
Perbandingan Dosis Jumlah Nyamuk yang Hinggap dan atau Menggigit
Sereh Wangi Tembelekan Pretest/kontrol (5 menit) Posttest 5 menit Posttest 10 menit
1 I 50 ml 10 ml
55 ekor
4 ekor 7 ekor
2 II 40 ml 20 ml 1 ekor 2 ekor
3 III 30 ml 30 ml 0 4 ekor
4 IV 20 ml 40 ml 0 1 ekor
5 V 10 ml 50 ml 1 ekor 3 ekor
6 VI 60 ml - 0 0
7 VII - 60 ml 2 ekor 3 ekor
Tabel 4. Hasil Pengamatan Replikasi 4 Selama 5 menit dan 10 menit
No
Kelom
pok
Perbandingan Dosis Jumlah Nyamuk yang Hinggap dan atau Menggigit
Sereh Wangi Tembelekan Pre test/ kontrol (5 menit) Posttest 5 menit Posttest 10 menit
1 I 50 ml 10 ml
22 ekor
5 ekor 12 ekor
2 II 40 ml 20 ml 0 3 ekor
3 III 30 ml 30 ml 5 ekor 8 ekor
4 IV 20 ml 40 ml 3 ekor 7 ekor
5 V 10 ml 50 ml 6 ekor 8 ekor
6 VI 60 ml - 0 1 ekor
7 VII - 60 ml 2 ekor 3 ekor
Vol.I No.1 Januari 2010 ISSN: 2086-3098
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 86
Tabel 5. Hasil ratarata hitung Pengamatan Pre test Selama 5 menit
No
Replikasi
Jumlah Rata - rata
I II III IV
1 26 ekor 34 ekor 55 ekor 22 ekor 137 ekor 34,25
Tabe 6. Hasil rata rata pengamatan replikasi 4 kali selama 5 menit
Kelompok
Replikasi
Jumlah
Rata rata
I II III IV Ekor %
I 3 ekor 8 ekor 4 ekor 5 ekor 20 ekor 5 36,36
II 0 4 ekor 1 ekor 0 5 ekor 1,25 9.09
III 1 ekor 4 ekor 0 5 ekor 10 ekor 2.5 18,18
IV 0 0 0 3 ekor 3 ekor 0,75 5.46
V 0 1 ekor 1 ekor 6 ekor 8 ekor 2 14,55
VI 0 0 0 0 0 0 0
VII 0 5 ekor 2 ekor 2 ekor 9 ekor 2.25 16,36
13,75 100
Tabel 7. Hasil ratarata pengamatan replikasi 4 kali selama 10 menit
Kelompok
Replikasi
Jumlah
Rata rata
I II III IV Ekor %
I 8 ekor 12 ekor 7 ekor 12 ekor 39 ekor 9,75 32,5
II 3 ekor 6 ekor 2 ekor 3 ekor 14 ekor 3,5 11,67
III 1 ekor 8 ekor 4 ekor 8 ekor 21 ekor 5,25 17,5
IV 2 ekor 2 ekor 1 ekor 7 ekor 12 ekor 3 10
V 0 2 ekor 3 ekor 8 ekor 13 ekor 3,25 10,83
VI 0 1 ekor 0 1 ekor 2 ekor 0,5 1,67
VII 2 ekor 11 ekor 3 ekor 3 ekor 19 ekor 4,75 15,83
30 100
Hasil replikasi uji coba selama 5 menit dari replikasi 1, 2, 3 dan ke 4 yang paling efektif
adalah dari replikasi kelompok VI dengan menggunakan larutan sereh wangi tanpa campuran
larutan tembelekan. Larutan sereh wangi mengandung sitronela (35%) dan geraniol (35-40%).
Zat sitronelal ini memiliki sifat racun kontak. Sebagai racun kontak, ia dapat menyebabkan
kematian akibat kehilangan cairan secara terus-menerus sehingga tubuh nyamuk kekurangan
cairan hal ini dapat terjadi setelah nyamuk mencium aroma ekstraks sereh wangi, tanaman ini
mempunyai aroma yang sangat wangi akan menyebabkan nyamuk menolak karena baunya.
Jumlah ratarata nyamuk yang hinggap dan atau menggigit setelah perlakuan selama 5
menit dengan 4 kali replikasi yang paling banyak terjadi pada kelompok I sebanyak 5 ekor atau
36,36% dan yang paling sedikit terjadi pada kelompok IV sebanyak 0,75 ekor atau 5,46%. Hal
ini terjadi karena kemungkinan kedua larutan tidak cocok untuk dicampurkan sehingga kurang
efektif 100% bila digunakan untuk repelen. Kedua larutan ini mempunyai kandungan kimia
Vol.I No.1 Januari 2010 ISSN: 2086-3098
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 87
yang berbeda yang kemungkinan membuat bahan ini tidak cocok untuk dicampurkan.
Jumlah ratarata nyamuk yang hinggap dan atau menggigit setelah perlakuan selama 10
menit dengan 4 kali replikasi yang paling banyak terjadi pada kelompok I sebanyak 9,75 ekor
atau 32,5% dan yang paling sedikit terjadi pada kelompok VI sebanyak 0,5 ekor atau 1,67%.
Hal ini terjadi karena kemungkinan kedua larutan tidak cocok untuk dicampurkan sehingga
kurang efektif 100 % bila digunakan untuk repelen. Nyamuk Aedes aegypti mempunyai
kebiasaan menggigit berulang maka semakin lama waktunya, jumlah nyamuk yang hinggap
dan atau menggigit bertambah jumlahnya.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan penelitian adalah: 1) ada perbedaan sebelum dan sesudah perlakuan dengan
larutan sereh wangi dan daun tembelekan terhadap daya tolak gigitan nyamuk Aedes aegypti.
Pada uji repelen selama 5 dan 10 menit yang paling efektif adalah kelompok VI larutan sereh
wangi tanpa campuran tembelekan, 2) ada pengaruh perbedaan dosis campuran larutan sereh
wangi dan larutan daun tembelekan terhadap daya tolak gigitan nyamuk Aedes aegypti.
Saran yang diberikan adalah: 1) masyarakat lebih kreatif memanfaatkan tanaman yang
dapat digunakan sebagai repelen atau zat penolak gigitan Aedes aegypti, misalnya sereh
wangi dan tembelekan, juga menanam tanaman penolak nyamuk, 2) perlu dilakukan penelitian
lanjutan tentang tanaman sereh wangi dan tembelekan yang lebih besar pengaruhnya
terhadap daya tolak gigitan Aedes aegypti, 2) perlu dilakukan penelitian tentang kandungan
masingmasing bahan yang berperan paling besar untuk menolak gigitan Aedes aegypti.
DAFTAR PUSTAKA
Depkes RI. 1987. Ekologi Vektor dan Beberapa Aspek Perilaku. Jakarta: Depkes RI Ditjen
Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman.
http://id.shvoong.com/exact-sciences/agronomy-agriculture/1856111-sereh-wangi-
cymbopogon- citrates/.
http://id.wikipedia.org/wiki/Aedes_aegypti.
http://theindonesianinstitute.com/index.php/20050601145/KEBIJAKAN-PEMBERANTASAN-
WABAH-.
http://www.atsiriindonesia.com/tanaman.php?id_news=8&detail_news=1&desk_news=deskrip
si.
http://www.majalah-farmacia.com.
http://www.mardi.my/herba1/seraiwangi.html.
http://www.yong.350.com/Bunga_Obat/Lantana.htm.
http://yhochanz.wordpress.com/author/yhochanz/.
Notoatmodjo Soekidjo. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan, Jakarta: Rineka Cipta.
Singarimbun Masri dan Effendi Sofian. 1987. Metodologi Penelitian Survei (Edisi Revisi).
Jakarta: LP3ES (Lembaga Penelitian, Pendidikan dan penerangan Ekonomi dan social.
WHO. 1999. Demam Berdarah Dengue Diagnosis, Pengobatan, Pencegahan dan
Pengendalian: Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.