You are on page 1of 17

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi dan Klasifikasi
Otitis Media adalah peradangan pada sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah,
tuba Eustachius, antrum mastoid, dan sel-sel mastoid.
Otitis media akut (OMA) adalah peradangan telinga tengah dengan gejala dan
tanda-tanda yang bersifat cepat dan singkat. Gejala dan tanda klinik lokal atau sistemik
dapat terjadi secara lengkap atau sebagian, baik berupa otalgia, demam, gelisah, mual,
muntah, diare, serta otore, apabila telah terjadi perforasi membran timpani. Pada
pemeriksaan otoskopik juga dijumpai efusi telinga tengah (Buchman, 2003). Terjadinya
efusi telinga tengah atau inflamasi telinga tengah ditandai dengan membengkak pada
membran timpani atau bulging, mobilitas yang terhad pada membran timpani, terdapat
cairan di belakang membran timpani, dan otore (Kerschner, 2007).
Otitis media berdasarkan gejalanya
dibagi atas otitis media supuratif dan otitis media non supuratif, di mana masing-masing
memiliki bentuk yang akut dan kronis. Selain itu, juga terdapat jenis otitis media spesifik,
seperti otitis media tuberkulosa, otitis media sifilitika. Otitis media yang lain adalah otitis
media adhesiva (Djaafar, 2007).
Gambar 2.1. Skema Pembagian Otitis Media

Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.2. Skema Pembagian Otitis Media Berdasarkan Gejala

2.2. Etiologi
1. Bakteri
Bakteri piogenik merupakan penyebab OMA yang tersering. Menurut penelitian,
65-75% kasus OMA dapat ditentukan jenis bakteri piogeniknya melalui isolasi bakteri
terhadap kultur cairan atau efusi telinga tengah. Kasus lain tergolong sebagai non-
patogenik karena tidak ditemukan mikroorganisme penyebabnya. Tiga jenis bakteri
penyebab otitis media tersering adalah Streptococcus pneumoniae (40%), diikuti oleh
Haemophilus influenzae (25-30%) dan Moraxella catarhalis (10-15%). Kira-kira 5%
kasus dijumpai patogen-patogen yang lain seperti Streptococcus pyogenes (group A beta-
hemolytic), Staphylococcus aureus, dan organisme gram negatif. Staphylococcus aureus
dan organisme gram negatif banyak ditemukan pada anak dan neonatus yang menjalani
rawat inap di rumah sakit. Haemophilus influenzae sering dijumpai pada anak balita.
Jenis mikroorganisme yang dijumpai pada orang dewasa juga sama dengan yang
dijumpai pada anak-anak (Kerschner, 2007).

Universitas Sumatera Utara

2. Virus
Virus juga merupakan penyebab OMA. Virus dapat dijumpai tersendiri atau
bersamaan dengan bakteri patogenik yang lain. Virus yang paling sering dijumpai pada
anak-anak, yaitu respiratory syncytial virus (RSV), influenza virus, atau adenovirus
(sebanyak 30-40%). Kira-kira 10-15% dijumpai parainfluenza virus, rhinovirus atau
enterovirus. Virus akan membawa dampak buruk terhadap fungsi tuba Eustachius,
menganggu fungsi imun lokal, meningkatkan adhesi bakteri, menurunkan efisiensi obat
antimikroba dengan menganggu mekanisme farmakokinetiknya (Kerschner, 2007).
Dengan menggunakan teknik polymerase chain reaction (PCR) dan virus specific
enzyme-linked immunoabsorbent assay (ELISA), virus-virus dapat diisolasi dari cairan
telinga tengah pada anak yang menderita OMA pada 75% kasus (Buchman, 2003).
Menurut Bluestone (2001) dalam Klein (2009), distribusi mikroorganisme yang
diisolasi dari cairan telinga tengah, dari 2807 orang pasien OMA di Pittsburgh Otitis
Media Research Center, pada tahun 1980 sampai dengan 1989 adalah seperti berikut:
Gambar 2.3. Distribusi mikroorganisme yang diisolasi dari cairan telinga tengah pasien
OMA.


Universitas Sumatera Utara

2.3. Faktor Risiko
Faktor risiko terjadinya otitis media adalah umur, jenis kelamin, ras, faktor genetik,
status sosioekonomi serta lingkungan, asupan air susu ibu (ASI) atau susu formula,
lingkungan merokok, kontak dengan anak lain, abnormalitas kraniofasialis kongenital,
status imunologi, infeksi bakteri atau virus di saluran pernapasan atas, disfungsi tuba
Eustachius, inmatur tuba Eustachius dan lain-lain (Kerschner, 2007).
Faktor umur juga berperan dalam terjadinya OMA. Peningkatan insidens OMA
pada bayi dan anak-anak kemungkinan disebabkan oleh struktur dan fungsi tidak matang
atau imatur tuba Eustachius. Selain itu, sistem pertahanan tubuh atau status imunologi
anak juga masih rendah. Insidens terjadinya otitis media pada anak laki-laki lebih tinggi
dibanding dengan anak perempuan. Anak-anak pada ras Native American, Inuit, dan
Indigenous Australian menunjukkan prevalensi yang lebih tinggi dibanding dengan ras
lain. Faktor genetik juga berpengaruh. Status sosioekonomi juga berpengaruh, seperti
kemiskinan, kepadatan penduduk, fasilitas higiene yang terbatas, status nutrisi rendah,
dan pelayanan pengobatan terbatas, sehingga mendorong terjadinya OMA pada anak-
anak. ASI dapat membantu dalam pertahanan tubuh. Oleh karena itu, anak-anak yang
kurangnya asupan ASI banyak menderita OMA. Lingkungan merokok menyebabkan
anak-anak mengalami OMA yang lebih signifikan dibanding dengan anak-anak lain.
Dengan adanya riwayat kontak yang sering dengan anak-anak lain seperti di pusat
penitipan anak-anak, insidens OMA juga meningkat. Anak dengan adanya abnormalitas
kraniofasialis kongenital mudah terkena OMA karena fungsi tuba Eustachius turut
terganggu, anak mudah menderita penyakit telinga tengah. Otitis media merupakan
komplikasi yang sering terjadi akibat infeksi saluran napas atas, baik bakteri atau virus
(Kerschner, 2007).
2.4. Gejala Klinis
Gejala klinis OMA bergantung pada stadium penyakit serta umur pasien. Pada anak
yang sudah dapat berbicara keluhan utama adalah rasa nyeri di dalam telinga, di samping
suhu tubuh yang tinggi. Biasanya terdapat riwayat batuk pilek sebelumnya. Pada anak
Universitas Sumatera Utara
yang lebih besar atau pada orang dewasa, selain rasa nyeri, terdapat gangguan
pendengaran berupa rasa penuh di telinga atau rasa kurang mendengar. Pada bayi dan
anak kecil, gejala khas OMA adalah suhu tubuh tinggi dapat mencapai 39,5C (pada
stadium supurasi), anak gelisah dan sukar tidur, tiba-tiba anak menjerit waktu tidur, diare,
kejang-kejang dan kadang-kadang anak memegang telinga yang sakit. Bila terjadi ruptur
membran timpani, maka sekret mengalir ke liang telinga, suhu tubuh turun dan anak tidur
tenang (Djaafar, 2007).
Penilaian klinik OMA digunakan untuk menentukan berat atau ringannya suatu
penyakit. Penilaian berdasarkan pada pengukuran temperatur, keluhan orang tua pasien
tentang anak yang gelisah dan menarik telinga atau tugging, serta membran timpani
yang kemerahan dan membengkak atau bulging. Menurut Dagan (2003) dalam Titisari
(2005), skor OMA adalah seperti berikut:
Tabel 2.1. Skor OMA
Skor Suhu (C) Gelisah Tarik
telinga
Kemerahan
pada membran
timpani
Bengkak pada
membran timpani
(bulging)
0 <38,0 Tidak
ada
Tidak
ada
Tidak ada Tidak ada
1 38,0- 38,5 Ringan Ringan Ringan Ringan
2 38,6- 39,0 Sedang Sedang Sedang Sedang
3 >39,0 Berat Berat Berat Berat, termasuk
otore
Penilaian derajat OMA dibuat berdasarkan skor. Bila didapatkan angka 0 hingga 3,
berarti OMA ringan dan bila melebihi 3, berarti OMA berat.
Pembagian OMA lainnya yaitu OMA berat apabila terdapat otalgia berat atau
sedang, suhu lebih atau sama dengan 39C oral atau 39,5C rektal. OMA ringan bila
nyeri telinga tidak hebat dan demam kurang dari 39C oral atau 39,5C rektal (Titisari,
2005).
Universitas Sumatera Utara

2.5. Fisiologi, Patologi dan Patogenesis
2.5.1. Tuba Eustachius
Fungsi abnormal tuba Eustachius merupakan faktor yang penting pada otitis media.
Tuba Eustachius adalah saluran yang menghubungkan rongga telinga tengah dengan
nasofaring, yang terdiri atas tulang rawan pada dua pertiga ke arah nasofaring dan
sepertiganya terdiri atas tulang (Djaafar, 2007).
Tuba Eustachius biasanya dalam keadaan steril serta tertutup dan baru terbuka
apabila udara diperlukan masuk ke telinga tengah atau pada saat mengunyah, menelan
dan menguap. Pembukaan tuba dibantu oleh kontraksi muskulus tensor veli palatini
apabila terjadi perbedaan tekanan telinga tengah dan tekanan udara luar antara 20 sampai
dengan 40 mmHg. Tuba Eustachius mempunyai tiga fungsi penting, yaitu ventilasi,
proteksi, dan drainase sekret. Ventilasi berguna untuk menjaga agar tekanan udara dalam
telinga tengah selalu sama dengan tekanan udara luar. Proteksi, yaitu melindung telinga
tengah dari tekanan suara, dan menghalangi masuknya sekret atau cairan dari nasofaring
ke telinga tengah. Drainase bertujuan untuk mengalirkan hasil sekret cairan telinga
tengah ke nasofaring (Djaafar, 2007; Kerschner, 2007).
2.5.2. Patogenesis OMA
Pathogenesis OMA pada sebagian besar anak-anak dimulai oleh infeksi saluran
pernapasan atas (ISPA) atau alergi, sehingga terjadi kongesti dan edema pada mukosa
saluran napas atas, termasuk nasofaring dan tuba Eustachius. Tuba Eustachius menjadi
sempit, sehingga terjadi sumbatan tekanan negatif pada telinga tengah. Bila keadaan
demikian berlangsung lama akan menyebabkan refluks dan aspirasi virus atau bakteri
dari nasofaring ke dalam telinga tengah melalui tuba Eustachius. Mukosa telinga tengah
bergantung pada tuba Eustachius untuk mengatur proses ventilasi yang berkelanjutan dari
nasofaring. J ika terjadi gangguan akibat obstruksi tuba, akan mengaktivasi proses
inflamasi kompleks dan terjadi efusi cairan ke dalam telinga tengah. Ini merupakan faktor
pencetus terjadinya OMA dan otitis media dengan efusi. Bila tuba Eustachius tersumbat,
drainase telinga tengah terganggu, mengalami infeksi serta terjadi akumulasi sekret di
Universitas Sumatera Utara
telinga tengah, kemudian terjadi proliferasi mikroba patogen pada sekret. Akibat dari
infeksi virus saluran pernapasan atas, sitokin dan mediator-mediator inflamasi yang
dilepaskan akan menyebabkan disfungsi tuba Eustachius. Virus respiratori juga dapat
meningkatkan kolonisasi dan adhesi bakteri, sehingga menganggu pertahanan imum
pasien terhadap infeksi bakteri. J ika sekret dan pus bertambah banyak dari proses
inflamasi lokal, perndengaran dapat terganggu karena membran timpani dan tulang-
tulang pendengaran tidak dapat bergerak bebas terhadap getaran. Akumulasi cairan yang
terlalu banyak akhirnya dapat merobek membran timpani akibat tekanannya yang
meninggi (Kerschner, 2007).
Obstruksi tuba Eustachius dapat terjadi secara intraluminal dan ekstraluminal.
Faktor intraluminal adalah seperti akibat ISPA, dimana proses inflamasi terjadi, lalu
timbul edema pada mukosa tuba serta akumulasi sekret di telinga tengah. Selain itu,
sebagian besar pasien dengan otitis media dihubungkan dengan riwayat fungsi abnormal
dari tuba Eustachius, sehingga mekanisme pembukaan tuba terganggu. Faktor
ekstraluminal seperti tumor, dan hipertrofi adenoid (Kerschner, 2007).
2.5.3. Penyebab-penyebab Anak Mudah Terserang OMA
Dipercayai bahwa anak lebih mudah terserang OMA dibanding dengan orang
dewasa. Ini karena pada anak dan bayi, tuba lebih pendek, lebih lebar dan kedudukannya
lebih horizontal dari tuba orang dewasa, sehingga infeksi saluran pernapasan atas lebih
mudah menyebar ke telinga tengah. Panjang tuba orang dewasa 37,5 mm dan pada anak
di bawah umur 9 bulan adalah 17,5 mm (Djaafar, 2007). Ini meningkatkan peluang
terjadinya refluks dari nasofaring menganggu drainase melalui tuba Eustachius. Insidens
terjadinya otitis media pada anak yang berumur lebih tua berkurang, karena tuba telah
berkembang sempurna dan diameter tuba Eustschius meningkat, sehingga jarang terjadi
obstruksi dan disfungsi tuba. Selain itu, sistem pertahanan tubuh anak masih rendah
sehingga mudah terkena ISPA lalu terinfeksi di telinga tengah. Adenoid merupakan salah
satu organ di tenggorokan bagian atas yang berperan dalam kekebalan tubuh. Pada anak,
adenoid relatif lebih besar dibanding orang dewasa. Posisi adenoid yang berdekatan
dengan muara tuba Eustachius sehingga adenoid yang besar dapat mengganggu
Universitas Sumatera Utara
terbukanya tuba Eustachius. Selain itu, adenoid dapat terinfeksi akibat ISPA kemudian
menyebar ke telinga tengah melalui tuba Eustachius (Kerschner, 2007).
Gambar 2.4. Perbedaan Antara Tuba Eustachius pada Anak-anak dan Orang Dewasa

2.6. Stadium OMA
OMA dalam perjalanan penyakitnya dibagi menjadi lima stadium, bergantung
pada perubahan pada mukosa telinga tengah, yaitu stadium oklusi tuba Eustachius,
stadium hiperemis atau stadium pre-supurasi, stadium supurasi, stadium perforasi dan
stadium resolusi (Djaafar, 2007).
Gambar 2.5. Membran Timpani Normal

1. Stadium Oklusi Tuba Eustachius
Pada stadium ini, terdapat sumbatan tuba Eustachius yang ditandai oleh retraksi
membran timpani akibat terjadinya tekanan intratimpani negatif di dalam telinga tengah,
dengan adanya absorpsi udara. Retraksi membran timpani terjadi dan posisi malleus
menjadi lebih horizontal, refleks cahaya juga berkurang. Edema yang terjadi pada tuba
Universitas Sumatera Utara
Eustachius juga menyebabkannya tersumbat. Selain retraksi, membran timpani kadang-
kadang tetap normal dan tidak ada kelainan, atau hanya berwarna keruh pucat. Efusi
mungkin telah terjadi tetapi tidak dapat dideteksi. Stadium ini sulit dibedakan dengan
tanda dari otitis media serosa yang disebabkan oleh virus dan alergi. Tidak terjadi demam
pada stadium ini (Djaafar, 2007; Dhingra, 2007).
2. Stadium Hiperemis atau Stadium Pre-supurasi
Pada stadium ini, terjadi pelebaran pembuluh darah di membran timpani, yang
ditandai oleh membran timpani mengalami hiperemis, edema mukosa dan adanya sekret
eksudat serosa yang sulit terlihat. Hiperemis disebabkan oleh oklusi tuba yang
berpanjangan sehingga terjadinya invasi oleh mikroorganisme piogenik. Proses inflamasi
berlaku di telinga tengah dan membran timpani menjadi kongesti. Stadium ini merupakan
tanda infeksi bakteri yang menyebabkan pasien mengeluhkan otalgia, telinga rasa penuh
dan demam. Pendengaran mungkin masih normal atau terjadi gangguan ringan,
tergantung dari cepatnya proses hiperemis. Hal ini terjadi karena terdapat tekanan udara
yang meningkat di kavum timpani. Gejala-gejala berkisar antara dua belas jam sampai
dengan satu hari (Djaafar, 2007; Dhingra, 2007).
Gambar 2.6. Membran Timpani Hiperemis

3. Stadium Supurasi
Stadium supurasi ditandai oleh terbentuknya sekret eksudat purulen atau bernanah
di telinga tengah dan juga di sel-sel mastoid. Selain itu edema pada mukosa telinga
tengah menjadi makin hebat dan sel epitel superfisial terhancur. Terbentuknya eksudat
yang purulen di kavum timpani menyebabkan membran timpani menonjol atau bulging
ke arah liang telinga luar.
Universitas Sumatera Utara
Pada keadaan ini, pasien akan tampak sangat sakit, nadi dan suhu meningkat serta
rasa nyeri di telinga bertambah hebat. Pasien selalu gelisah dan tidak dapat tidur nyenyak.
Dapat disertai dengan gangguan pendengaran konduktif. Pada bayi demam tinggi dapat
disertai muntah dan kejang.
Stadium supurasi yang berlanjut dan tidak ditangani dengan baik akan
menimbulkan iskemia membran timpani, akibat timbulnya nekrosis mukosa dan
submukosa membran timpani. Terjadi penumpukan nanah yang terus berlangsung di
kavum timpani dan akibat tromboflebitis vena-vena kecil, sehingga tekanan kapiler
membran timpani meningkat, lalu menimbulkan nekrosis. Daerah nekrosis terasa lebih
lembek dan berwarna kekuningan atau yellow spot.
Keadaan stadium supurasi dapat ditangani dengan melakukan miringotomi. Bedah
kecil ini kita lakukan dengan menjalankan insisi pada membran timpani sehingga nanah
akan keluar dari telinga tengah menuju liang telinga luar. Luka insisi pada membran
timpani akan menutup kembali, sedangkan apabila terjadi ruptur, lubang tempat perforasi
lebih sulit menutup kembali. Membran timpani mungkin tidak menutup kembali jikanya
tidak utuh lagi (Djaafar, 2007; Dhingra, 2007).
Gambar 2.7. Membran Timpani Bulging dengan Pus Purulen

4. Stadium Perforasi
Stadium perforasi ditandai oleh ruptur membran timpani sehingga sekret berupa
nanah yang jumlahnya banyak akan mengalir dari telinga tengah ke liang telinga luar.
Kadang-kadang pengeluaran sekret bersifat pulsasi (berdenyut). Stadium ini sering
disebabkan oleh terlambatnya pemberian antibiotik dan tingginya virulensi kuman.
Universitas Sumatera Utara
Setelah nanah keluar, anak berubah menjadi lebih tenang, suhu tubuh menurun dan dapat
tertidur nyenyak.
J ika mebran timpani tetap perforasi dan pengeluaran sekret atau nanah tetap
berlangsung melebihi tiga minggu, maka keadaan ini disebut otitis media supuratif
subakut. J ika kedua keadaan tersebut tetap berlangsung selama lebih satu setengah
sampai dengan dua bulan, maka keadaan itu disebut otitis media supuratif kronik
(Djaafar, 2007; Dhingra, 2007).
Gambar 2.8. Membran Timpani Peforasi

5. Stadium Resolusi
Keadaan ini merupakan stadium akhir OMA yang diawali dengan berkurangnya
dan berhentinya otore. Stadium resolusi ditandai oleh membran timpani berangsur normal
hingga perforasi membran timpani menutup kembali dan sekret purulen akan berkurang
dan akhirnya kering. Pendengaran kembali normal. Stadium ini berlangsung walaupun
tanpa pengobatan, jika membran timpani masih utuh, daya tahan tubuh baik, dan
virulensi kuman rendah.
Apabila stadium resolusi gagal terjadi, maka akan berlanjut menjadi otitis media
supuratif kronik. Kegagalan stadium ini berupa perforasi membran timpani menetap,
dengan sekret yang keluar secara terus-menerus atau hilang timbul.
Otitis media supuratif akut dapat menimbulkan gejala sisa berupa otitis media
serosa. Otitis media serosa terjadi jika sekret menetap di kavum timpani tanpa mengalami
perforasi membran timpani (Djaafar, 2007; Dhingra, 2007).
Universitas Sumatera Utara


2.7. Diagnosis
2.7.1. Kriteria Diagnosis OMA
Menurut Kerschner (2007), kriteria diagnosis OMA harus memenuhi tiga hal
berikut, yaitu:
1. Penyakitnya muncul secara mendadak dan bersifat akut.
2. Ditemukan adanya tanda efusi. Efusi merupakan pengumpulan cairan di telinga
tengah. Efusi dibuktikan dengan adanya salah satu di antara tanda berikut, seperti
menggembungnya membran timpani atau bulging, terbatas atau tidak ada gerakan
pada membran timpani, terdapat bayangan cairan di belakang membran timpani,
dan terdapat cairan yang keluar dari telinga.
3. Terdapat tanda atau gejala peradangan telinga tengah, yang dibuktikan dengan
adanya salah satu di antara tanda berikut, seperti kemerahan atau erythema pada
membran timpani, nyeri telinga atau otalgia yang mengganggu tidur dan aktivitas
normal.
Menurut Rubin et al. (2008), keparahan OMA dibagi kepada dua kategori, yaitu
ringan-sedang, dan berat. Kriteria diagnosis ringan-sedang adalah terdapat cairan di
telinga tengah, mobilitas membran timpani yang menurun, terdapat bayangan cairan di
belakang membran timpani, membengkak pada membran timpani, dan otore yang
purulen. Selain itu, juga terdapat tanda dan gejala inflamasi pada telinga tengah, seperti
demam, otalgia, gangguan pendengaran, tinitus, vertigo dan kemerahan pada membran
timpani. Tahap berat meliputi semua kriteria tersebut, dengan tambahan ditandai dengan
demam melebihi 39,0C, dan disertai dengan otalgia yang bersifat sedang sampai berat.
2.7.2. Perbedaan OMA dan Otitis Media dengan Efusi
OMA dapat dibedakan dari otitis media dengan efusi yang dapat menyerupai OMA.
Efusi telinga tengah (middle ear effusion) merupakan tanda yang ada pada OMA dan
Universitas Sumatera Utara
otitis media dengan efusi. Efusi telinga tengah dapat menimbulkan gangguan
pendengaran dengan 0-50 decibels hearing loss.
Table 2.2. Perbedaan Gejala dan Tanda Antara OMA dan Otitis Media dengan Efusi
Gejala dan tanda Otitis Media
Akut
Otitis Media
dengan Efusi
Nyeri telinga (otalgia), menarik telinga
(tugging)
+ -
Inflamasi akut, demam + -
Efusi telinga tengah + +
Membran timpani membengkak
(bulging), rasa penuh di telinga
+/- -
Gerakan membran timpani berkurang
atau tidak ada
+ +
Warna membran timpani abnormal
seperti menjadi putih, kuning, dan biru
+ +
Gangguan pendengaran + +
Otore purulen akut + -
Kemerahan membran timpani, erythema + -
2.8. Penatalaksanaa
2.8.1. Pengobatan
Penatalaksanaan OMA tergantung pada stadium penyakitnya. Pengobatan pada
stadium awal ditujukan untuk mengobati infeksi saluran napas, dengan pemberian
antibiotik, dekongestan lokal atau sistemik, dan antipiretik. Tujuan pengobatan pada otitis
media adalah untuk menghindari komplikasi intrakrania dan ekstrakrania yang mungkin
terjadi, mengobati gejala, memperbaiki fungsi tuba Eustachius, menghindari perforasi
membran timpani, dan memperbaiki sistem imum lokal dan sistemik (Titisari, 2005).
Pada stadium oklusi tuba, pengobatan bertujuan untuk membuka kembali tuba
Eustachius sehingga tekanan negatif di telinga tengah hilang. Diberikan obat tetes hidung
HCl efedrin 0,5 % dalam larutan fisiologik untuk anak kurang dari 12 tahun atau HCl
Universitas Sumatera Utara
efedrin 1 % dalam larutan fisiologis untuk anak yang berumur atas 12 tahun pada orang
dewasa. Sumber infeksi harus diobati dengan pemberian antibiotik (Djaafar, 2007).
Pada stadium hiperemis dapat diberikan antibiotik, obat tetes hidung dan analgesik.
Dianjurkan pemberian antibiotik golongan penisilin atau eritromisin. J ika terjadi
resistensi, dapat diberikan kombinasi dengan asam klavulanat atau sefalosporin. Untuk
terapi awal diberikan penisilin intramuskular agar konsentrasinya adekuat di dalam darah
sehingga tidak terjadi mastoiditis terselubung, gangguan pendengaran sebagai gejala sisa
dan kekambuhan. Antibiotik diberikan minimal selama 7 hari. Bila pasien alergi tehadap
penisilin, diberikan eritromisin. Pada anak, diberikan ampisilin 50-100 mg/kgBB/hari
yang terbagi dalam empat dosis, amoksisilin atau eritromisin masing-masing 50
mg/kgBB/hari yang terbagi dalam 3 dosis (Djaafar, 2007).
Pada stadium supurasi, selain diberikan antibiotik, pasien harus dirujuk untuk
melakukan miringotomi bila membran timpani masih utuh sehingga gejala cepat hilang
dan tidak terjadi ruptur (Djaafar, 2007).
Pada stadium perforasi, sering terlihat sekret banyak keluar, kadang secara
berdenyut atau pulsasi. Diberikan obat cuci telinga (ear toilet) H2O2 3% selama 3 sampai
dengan 5 hari serta antibiotik yang adekuat sampai 3 minggu. Biasanya sekret akan
hilang dan perforasi akan menutup kembali dalam 7 sampai dengan 10 hari (Djaafar,
2007).
Pada stadium resolusi, membran timpani berangsur normal kembali, sekret tidak
ada lagi, dan perforasi menutup. Bila tidak terjadi resolusi biasanya sekret mengalir di
liang telinga luar melalui perforasi di membran timpani. Antibiotik dapat dilanjutkan
sampai 3 minggu. Bila keadaan ini berterusan, mungkin telah terjadi mastoiditis (Djaafar,
2007).
Sekitar 80% kasus OMA sembuh dalam 3 hari tanpa pemberian antibiotik.
Observasi dapat dilakukan. Antibiotik dianjurkan jika gejala tidak membaik dalam dua
sampai tiga hari, atau ada perburukan gejala. Ternyata pemberian antibiotik yang segera
dan dosis sesuai dapat terhindar dari tejadinya komplikasi supuratif seterusnya. Masalah
yang muncul adalah risiko terbentuknya bakteri yang resisten terhadap antibiotik
meningkat. Menurut American Academy of Pediatrics (2004) dalam Kerschner (2007),
Universitas Sumatera Utara
mengkategorikan OMA yang dapat diobservasi dan yang harus segera diterapi dengan
antibiotik sebagai berikut.

Table 2.3. Kriteria Terapi Antibiotik dan Observasi pada Anak dengan OMA
Usia Diagnosis pasti (certain) Diagnosis meragukan
(uncertain)
Kurang dari 6 bulan Antibiotik Antibiotik
6 bulan sampai 2 tahun Antibiotik Antibiotik jika gejala berat,
observasi jika gejala ringan
2 tahun ke atas Antibiotik jika gejala berat,
observasi jika gejala ringan
Observasi
Diagnosis pasti OMA harus memiliki tiga kriteria, yaitu bersifat akut, terdapat efusi
telinga tengah, dan terdapat tanda serta gejala inflamasi telinga tengah. Gejala ringan
adalah nyeri telinga ringan dan demam kurang dari 39C dalam 24 jam terakhir.
Sedangkan gejala berat adalah nyeri telinga sedang-berat atau demam 39C. Pilihan
observasi selama 48-72 jam hanya dapat dilakukan pada anak usia enam bulan sampai
dengan dua tahun, dengan gejala ringan saat pemeriksaan, atau diagnosis meragukan
pada anak di atas dua tahun. Follow-up dilaksanakan dan pemberian analgesia seperti
asetaminofen dan ibuprofen tetap diberikan pada masa observasi (Kerschner, 2007).
Menurut American Academic of Pediatric (2004), amoksisilin merupakan first-line
terapi dengan pemberian 80mg/kgBB/hari sebagai terapi antibiotik awal selama lima hari.
Amoksisilin efektif terhadap Streptococcus penumoniae. Jika pasien alergi ringan
terhadap amoksisilin, dapat diberikan sefalosporin seperti cefdinir. Second-line terapi
seperti amoksisilin-klavulanat efektif terhadap Haemophilus influenzae dan Moraxella
catarrhalis, termasuk Streptococcus penumoniae (Kerschner, 2007). Pneumococcal 7-
valent conjugate vaccine dapat dianjurkan untuk menurunkan prevalensi otitis media
(American Academic of Pediatric, 2004).
2.8.2. Pembedahan
Universitas Sumatera Utara
Terdapat beberapa tindakan pembedahan yang dapat menangani OMA rekuren,
seperti miringotomi dengan insersi tuba timpanosintesis, dan adenoidektomi (Buchman,
2003).
1. Miringotomi
Miringotomi ialah tindakan insisi pada pars tensa membran timpani, supaya terjadi
drainase sekret dari telinga tengah ke liang telinga luar. Syaratnya adalah harus dilakukan
secara dapat dilihat langsung, anak harus tenang sehingga membran timpani dapat dilihat
dengan baik. Lokasi miringotomi ialah di kuadran posterior-inferior. Bila terapi yang
diberikan sudah adekuat, miringotomi tidak perlu dilakukan, kecuali jika terdapat pus di
telinga tengah (Djaafar, 2007). Indikasi miringostomi pada anak dengan OMA adalah
nyeri berat, demam, komplikasi OMA seperti paresis nervus fasialis, mastoiditis,
labirinitis, dan infeksi sistem saraf pusat. Miringotomi merupakan terapi third-line pada
pasien yang mengalami kegagalan terhadap dua kali terapi antibiotik pada satu episode
OMA. Salah satu tindakan miringotomi atau timpanosintesis dijalankan terhadap anak
OMA yang respon kurang memuaskan terhadap terapi second-line, untuk menidentifikasi
mikroorganisme melalui kultur (Kerschner, 2007).
2. Timpanosintesis
Menurut Bluestone (1996) dalam Titisari (2005), timpanosintesis merupakan
pungsi pada membran timpani, dengan analgesia lokal supaya mendapatkan sekret untuk
tujuan pemeriksaan. Indikasi timpanosintesis adalah terapi antibiotik tidak memuaskan,
terdapat komplikasi supuratif, pada bayi baru lahir atau pasien yang sistem imun tubuh
rendah. Menurut Buchman (2003), pipa timpanostomi dapat menurun morbiditas OMA
seperti otalgia, efusi telinga tengah, gangguan pendengaran secara signifikan dibanding
dengan plasebo dalam tiga penelitian prospertif, randomized trial yang telah dijalankan.
3. Adenoidektomi
Adenoidektomi efektif dalam menurunkan risiko terjadi otitis media dengan efusi
dan OMA rekuren, pada anak yang pernah menjalankan miringotomi dan insersi tuba
timpanosintesis, tetapi hasil masih tidak memuaskan. Pada anak kecil dengan OMA
rekuren yang tidak pernah didahului dengan insersi tuba, tidak dianjurkan adenoidektomi,
kecuali jika terjadi obstruksi jalan napas dan rinosinusitis rekuren (Kerschner, 2007).
Universitas Sumatera Utara
2.9. Komplikasi
Sebelum adanya antibiotik, OMA dapat menimbulkan komplikasi, mulai dari abses
subperiosteal sampai abses otak dan meningitis. Sekarang semua jenis komplikasi
tersebut biasanya didapat pada otitis media supuratif kronik. Mengikut Shambough (2003)
dalam Djaafar (2005), komplikasi OMA terbagi kepada komplikasi intratemporal
(perforasi membran timpani, mastoiditis akut, paresis nervus fasialis, labirinitis,
petrositis), ekstratemporal (abses subperiosteal), dan intracranial (abses otak,
tromboflebitis).
2.10. Pencegahan
Terdapat beberapa hal yang dapat mencegah terjadinya OMA. Mencegah ISPA
pada bayi dan anak-anak, menangani ISPA dengan pengobatan adekuat, menganjurkan
pemberian ASI minimal enam bulan, menghindarkan pajanan terhadap lingkungan
merokok, dan lain-lain (Kerschner, 2007).











Universitas Sumatera Utara

You might also like