You are on page 1of 18

0

Referat

UVEITIS ANTERIOR



Oleh :


Ihsanur Ridha (0818011067)






PEMBIMBING :
dr. Yul Khaizar, Sp.M










SMF ILMU PENYAKIT MATA
RSU JENDERAL AHMAD YANI
METRO
September 2012
1



BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang

Bola Mata terdiri atas dinding bola mata dan isi bola mata, dimana dinding
bola mata terdiri atas sclera dan kornea sedangkan isi bola mata terdiri atas
lensa, uvea, badan kaca dan retina. Uvea merupakan lapisan dinding kedua
dari bola mata setelah sclera dan tenon. Uvea merupakan jaringan lunak,
terdiri dari iris, badan siliar dan koroid.
7

Uveitis adalah inflamasi traktus uvea (iris, korpus siliaris, dan koroid) dengan
berbagai penyebabnya. Struktur yang berdekatan dengan jaringan uvea yang
mengalami inflamasi biasanya juga ikut mengalami inflamasi. Peradangan
pada uvea dapat hanya mengenai bagian depan jaringan uvea atau iris yang
disebut iritis. Bila mengenai badan tengah disebut siklitis. Iritis dengan
siklitis disebut iridosiklitis atau disebut juga dengan uveitis anterior dan
merupakan bentuk uveitis tersering. Dan bila mengenai lapisan koroid disebut
uveitis posterior atau koroiditis.
1,2

Uveitis umumnya unilateral, biasanya terjadi pada dewasa muda dan usia
pertengahan. Ditandai adanya riwayat sakit, fotofobia, dan penglihatan yang
kabur,mata merah (merah sirkumneal) tanpa tahi mata purulen dan pupil kecil
atau ireguler. Berdasarkan reaksi radang, uveitis anterior dibedakan tipe
granulomatosa dan non granulomatosa. Penyebab uveitis anterior dapat
bersifat eksogen dan endogen. Penyebab uveitis anterior meliputi: infeksi,
proses autoimun, yang berhubungan dengan penyakit sistemik, neoplastik dan
idiopatik.
1

2

B. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk memenuhi tugas
kepanitraan klinik dokter muda di SMF Mata RSUD Jenderal Ahmad Yani,
kota Metro.



























3



BAB II
ISI


A. Anatomi Uvea

Uvea terdiri dari iris, korpus siliare dan khoroid. Bagian ini adalah lapisan
vaskular tengah mata dan dilindungi oleh kornea dan sklera. Bagian ini ikut
memasukkan darah ke retina.
1,2











1. Iris
Iris adalah perpanjangan korpus siliare ke anterior. Iris berupa suatu
permukaan pipih dengan apertura bulat yang terletak di tengah pupil. Iris
terletak bersambungan dengan permukaan anterior lensa, yang
memisahkan kamera anterior dari kamera posterior, yang masing-masing
berisi aqueus humor. Di dalam stroma iris terdapat sfingter dan otot-otot
dilator. Kedua lapisan berpigmen pekat pada permukaan posterior iris
merupakan perluasan neuroretina dan lapisan epitel pigmen retina ke arah
anterior.
1


4

Pasok darah ke iris adalah dari sirkulus major iris. Kapiler-kapiler iris
mempunyai lapisan endotel yang tidak berlubang sehingga normalnya
tidak membocorkan fluoresein yang disuntikkan secara intravena.
Persarafan iris adalah melalui serat-serat di dalam nervus siliares.
1


Iris mengendalikan banyaknya cahaya yang masuk ke dalam mata.
Ukuran pupil pada prinsipnya ditentukan oleh keseimbangan antara
konstriksi akibat aktivitas parasimpatis yang dihantarkan melalui nervus
kranialis III dan dilatasi yang ditimbulkan oleh aktivitas simpatik.
1


2. Korpus Siliaris
Korpus siliaris yang secara kasar berbentuk segitiga pada potongan
melintang, membentang ke depan dari ujung anterior khoroid ke pangkal
iris (sekitar 6 mm). Korpus siliaris terdiri dari suatu zona anterior yang
berombakombak, pars plikata dan zona posterior yang datar, pars plana.
Prosesus siliaris berasal dari pars plikata. Prosesus siliaris ini terutama
terbentuk dari kapiler-kapiler dan vena yang bermuara ke vena-vena
vortex. Kapiler-kapilernya besar dan berlobang-lobang sehingga
membocorkan floresein yang disuntikkan secara intravena. Ada 2 lapisan
epitel siliaris, satu lapisan tanpa pigmen di sebelah dalam, yang
merupakan perluasan neuroretina ke anterior, dan lapisan berpigmen di
sebelah luar, yang merupakan perluasan dari lapisan epitel pigmen retina.
Prosesus siliaris dan epitel siliaris pembungkusnya berfungsi sebagai
pembentuk aqueus humor.
1


3. Koroid
Khoroid adalah segmen posterior uvea, di antara retina dan sklera.
Khoroid tersusun dari tiga lapisan pembuluh darah khoroid; besar, sedang
dan kecil. Semakin dalam pembuluh terletak di dalam khoroid, semakin
lebar lumennya. Bagian dalam pembuluh darah khoroid dikenal sebagai
khoriokapilaris. Darah dari pembuluh darah khoroid dialirkan melalui
empat vena vortex, satu di masing-masing kuadran posterior. Khoroid di
5

sebelah dalam dibatasi oleh membran Bruch dan di sebelah luar oleh
sklera. Ruang suprakoroid terletak di antara khoroid dan sklera. Khoroid
melekat erat ke posterior ke tepi-tepi nervus optikus. Ke anterior, khoroid
bersambung dengan korpus siliare. Agregat pembuluh darah khoroid
memperdarahi bagian luar retina yang mendasarinya.
1


B. Definisi Uveitis Anterior

Uveitis anterior didefinisikan sebagai peradangan yang mengenai traktus
uvealis bagian anterior yaitu iris (iritis) dan dapat pula mengenai bagian
anterior badan siliaris (iridosiklitis).
2,3


C. Etiologi Uveitis Anterior

Uveitis anterior merupakan peradangan iris dan badan siliar yang dapat
berjalan akut maupun kronis. Penyebab dari iritis tidak dapat diketahui
dengan melihat gambaran klinisnya saja. Iritis dan iridisiklitis dapat
merupakan suatu manifestasi klinik reaksi imunologik terlambat, dini atau sel
mediated terhadap jaringan uvea anterior. Uveitis anterior dapat disebabkan
oleh gangguan sistemik di tempat lain, yang secara hematogen dapat menjalar
ke mata atau timbul reaksi alergi mata.
5


Penyebab uveitis anterior diantaranya yaitu: idiopatik; penyakit sistemik yang
berhubungan dengan HLA-B27 seperti; ankylosing spondilitis, sindrom
Reiter, penyakit crohns, Psoriasis, herpes zoster/ herpes simpleks, sifilis,
penyakit lyme, inflammatory bowel disease; Juvenile idiopathic arthritis;
Sarcoidosis, trauma dan infeksi.
1,3, 4,5,6


D. Patofisiologi Uveitis Anterior

Peradangan uvea biasanya unilateral, dapat disebabkan oleh defek langsung
suatu infeksi atau merupakan fenomena alergi. Infeksi piogenik biasanya
6

mengikuti suatu trauma tembus okuli; walaupun kadang-kadang dapat juga
terjadi sebagai reaksi terhadap zat toksik yang diproduksi mikroba yang
menginfeksi jaringan tubuh di luar mata. Uveitis yang berhubungan dengan
mekanisme alergi merupakan reaksi hipersensitifitas terhadap antigen dari
luar (antigen eksogen) atau antigen dari dalam badan (antigen endogen).
Dalam banyak hal antigen luar berasal dari mikroba yang infeksius.
Sehubungan dengan hal ini peradangan uvea terjadi lama setelah proses
infeksinya yaitu setelah munculnya mekanisme hipersensitivitas.
2,8


Radang iris dan badan siliar menyebabkan rusaknya Blood Aqueous Barrrier
sehingga terjadi peningkatan protein, fibrin dan sel-sel radang dalam humor
akuos yang tampak pada slitlamp sebagai berkas sinar yang disebuit fler
(aqueous flare). Fibrin dimaksudkan untuk menghambat gerakan kuman,
akan tetapi justru mengakibatkan perlekatan-perlekatan, misalnya perlekatan
iris pada permukaan lensa (sinekia posterior).
2,8


Sel-sel radang yang terdiri dari limfosit, makrofag, sel plasma dapat
membentuk presipitat keratik yaitu sel-sel radang yang menempel pada
permukaan endotel kornea. Akumulasi sel-sel radang dapat pula terjadi pada
tepi pupil disebutkoeppe nodules, bila dipermukaan iris disebut busacca
nodules, yang bisa ditemukan juga pada permukaan lensa dan sudut bilik
mata depan. Pada iridosiklitis yang berat sel radang dapat sedemikian banyak
sehingga menimbulkan hipopion.
2,8


Otot sfingter pupil mendapat rangsangan karena radang, dan pupil akan
miosis dan dengan adanya timbunan fibrin serta sel-sel radang dapat terjadi
seklusio maupun oklusio pupil, sehingga cairan di dalam kamera okuli
posterior tidak dapat mengalir sama sekali mengakibatkan tekanan dalam
dalam camera okuli posteriorlebih besar dari tekanan dalam camera okuli
anterior sehingga iris tampak menggelembung kedepan yang disebut iris
bombe (Bombans).
2,8


7

Gangguan pada humor akuos terjadi akibat hipofungsi badan siliar
menyebabkan tekanan bola mata turun. Adanya eksudat protein, fibrin dan
sel-sel radang dapat berkumpul di sudut camera okuli anterior sehingga
terjadi penutupan kanal schlemm sehingga terjadi glukoma sekunder.Pada
fase akut terjadi glaucoma sekunder karena gumpalan gumpalan pada sudut
bilik depan, sedang pada fase lanjut glaucoma sekunder terjadi karena adanya
seklusio pupil. Naik turunnya bola mata disebutkan pula sebagai peran
asetilkolin dan prostaglandin.
2,8


E. Klasifikasi Uveitis Anterior

Berdasarkan patologi dapat dibedakan 2 jenis uveitis anterior, yaitu
granulomatosa dan non granulomatosa. Pada jenis non granulomatosa
umumnya tidak dapat ditemukan organisme patogen dan karena berespon
baik terhadap terapi kortokosteroid diduga peradangan ini semacam
fenomena hipersensitivitas. Uveitis ini timbul terutama dibagian anterior
traktus yakni iris dan korpus siliaris. Terdapat reaksi radang dengan
terlihatnya infiltrasi sel-sel limfosit dan sel plasma dalam jumlah cukup
banyak dan sedikit sel mononuclear. Pada kasus berat dapat terbentuk bekuan
fibrin besar atau hipopion didalam kamera okuli anterior.

Sedangkan pada uveitis granulomatosa umumnya mengikuti invasi mikroba
aktif ke jaringan oleh organisme penyebab (misal Mycobacterium
tuberculosis atau Toxoplasma gondii). Meskipun begitu patogen ini jarang
ditemukan dan diagnosis etiologi pasti jarang ditegakkan. Uveitis
granulomatosa dapat mengenai sembarang traktus uvealis namun lebih sering
pada uvea posterior. Terdapat kelompok nodular sel-sel epithelial dan sel-sel
raksasa yang dikelilingi limfosit di daerah yang terkena. Deposit radang pada
permukaan posterior kornea terutama terdiri atas makrofag dan sel epiteloid.
Diagnosis etiologi spesifik dapat ditegakkan secara histologik pada mata yang
dikeluarkan dengan menemukan kista toxoplasma, basil tahan asam
8

tuberculosis, spirocheta pada sifilis, tampilan granuloma khas pada
sarcoidosis atau oftalmia simpatika dan beberapa penyebab spesifik lainnya.

Perbedaan uveitis nongranulomatosa dan granulomatosa :
Non Granulomatosa Granulomatosa
Onset Akut Tersembunyi
Sakit Nyata Tidak ada atau ringan
Fotofobia Nyata Ringan
Penglihatan kabur Sedang Nyata
Merah sirkumkorneal Nyata Ringan
Keratik presipitat Putih halus Kelabu besar
Pupil Kecil dan tak teratur Bervariasi
Sinekia posterior Kadang-kadang Kadang-kadang
Nodul iris Kadang-kadang Kadang-kadang
Tempat Uvea anterior Uvea anterior dan posterior
Perjalanan Akut Menahun
Rekurensi Sering Kadang-kadang

Sedangkan berdasarkan waktu uveitis anterior dikatakan akut jika terjadi
kurang dari 6 minggu, jika inflamasi kambuh diikuti dengan serangan inisial
disebut rekuren akut dan dikatakan sebagai kronik jika lebih dari 6 minggu.

F. Manifestasi Klinis Uveitis Anterior

Gejala akut dari uveitis anterior adalah mata merah, fotofobia, nyeri penurunan
tajam penglihatan dan hiperlakrimasi. Sedangkan pada keadaan kronis gejala
uveitis anterior yang ditemukan dapat minimal sekali, meskipun proses radang
yang hebat sedang terjadi.
2


1. Uveitis Anterior Jenis Non-Granulomatosa
Pada bentuk non-granulomatosa, onsetnya khas akut, dengan rasa sakit,
injeksi, fotofobia dan penglihatan kabur. Terdapat kemerahan sirkumkorneal
9

atau injeksi siliar yang disebabkan oleh dilatasi pembuluh-pembuluh darah
limbus.
2,6



Deposit putih halus (keratic presipitate/ KP) pada permukaan posterior
kornea dapat dilihat dengan slit-lamp atau dengan kaca pembesar. KP adalah
deposit seluler pada endotel kornea. Karakteristik dan distribusi KP dapat
memberikan petunjuk bagi jenis uveitis. KP umumnya terbentuk di daerah
pertengahan dan inferior dari kornea. Terdapat 4 jenis KP yang diketahui,
yaitu small KP, medium KP, large KP dan fresh KP. Small KP merupakan
tanda khas pada herpes zoster dan Fuchs uveitis syndrome. Medium KP
terlihat pada kebanyakan jenis uveitis anterior akut maupun kronis. Large
KP biasanya jenis mutton fat biasanya terdapat pada uveitis anterior tipe
granulomatosa. Fresh KP atau KP baru terlihat berwarna putih dan
melingkar. Seiring bertambahnya waktu, akan berubah menjadi lebih pucat
dan berpigmen. Pupil mengecil dan mungkin terdapat kumpulan fibrin
dengan sel di kamera anterior. Jika terdapat sinekia posterior, bentuk pupil
menjadi tidak teratur.
6







Gambaran Keratik Presipitat

2. Uveitis Anterior Jenis Granulomatosa
Pada bentuk granulomatosa, biasanya onsetnya tidak terlihat. Penglihatan
berangsur kabur dan mata tersebut memerah secara difus di daerah
sirkumkornea. Sakitnya minimal dan fotofobianya tidak seberat bentuk non-
granulomatosa. Pupil sering mengecil dan tidak teratur karena terbentuknya
sinekia posterior. KP mutton fat besar-besar dapat terlihat dengan slit-lamp
di permukaan posterior kornea. Tampak kemerahan, flare dan sel-sel putih
10

di tepian pupil (nodul Koeppe). Nodul-nodul ini sepadan dengan KP mutton
fat. Nodul serupa di seluruh stroma iris disebut nodul Busacca.
2,6


G. Diagnosis Uveitis Anterior

Diagnosis uveitis anterior dapat ditegakkan dengan melakukan anamnesis,
pemeriksaan oftalmologi dan pemeriksaan penunjang lainnya.
2,7,8


1. Anamnesis
Anamnesis dilakukan dengan menanyakan riwayat kesehatan pasien,
misalnya pernah menderita iritis atau penyakit mata lainnya, kemudian
riwayat penyakit sistemik yang mungkin pernah diderita oleh pasien.
Keluhan yang dirasakan pasien biasanya antara lain:
a. Nyeri dangkal (dull pain), yang muncul dan sering menjadi lebih terasa
ketika mata disentuh pada kelopak mata. Nyeri tersebut dapat beralih ke
daerah pelipis atau daerah periorbital. Nyeri tersebut sering timbul dan
menghilang segera setelah muncul.
b. Fotofobia atau fotosensitif terhadap cahaya, terutama cahaya matahari
yang dapat menambah rasa tidak nyaman pasien
c. Kemerahan tanpa sekret mukopurulen
d. Pandangan kabur (blurring)
e. Umumnya unilateral

2. Pemeriksaan Oftalmologi
a. Visus : visus biasanya normal atau dapat sedikit menurun
b. Tekanan intraokular (TIO) pada mata yang meradang lebih rendah
daripada mata yang sehat. Hal ini secara sekunder disebabkan oleh
penurunan produksi cairan akuos akibat radang pada korpus siliaris.
Akan tetapi TIO juga dapat meningkat akibat perubahan aliran keluar
(outflow) cairan akuos
c. Konjungtiva : terlihat injeksi silier/ perilimbal atau dapat pula (pada
kasus yang jarang) injeksi pada seluruh konjungtiva
d. Kornea : KP (+), udema stroma kornea
11

e. Camera Oculi Anterior (COA) : sel-sel flare dan/atau hipopion
Ditemukannya sel-sel pada cairan akuos merupakan tanda dari proses
inflamasi yang aktif. Jumlah sel yang ditemukan pada pemeriksaan
slitlamp dapat digunakan untuk grading. Grade 0 sampai +4 ditentukan
dari:
0 : tidak ditemukan sel
+1 : 5-10 sel
+2 : 11-20 sel
+3 : 21-50 sel
+4 : > 50 sel
Aqueous flare adalah akibat dari keluarnya protein dari pembuluh darah
iris yang mengalami peradangan. Adanya flare tanpa ditemukannya sel-
sel bukan indikasi bagi pengobatan. Melalui hasil pemeriksaan slit-lamp
yang sama dengan pemeriksaan sel, flare juga diklasifikasikan sebagai
berikut:
0 : tidak ditemukan flare
+1 : terlihat hanya dengan pemeriksaan yang teliti
+2 : moderat, iris terlihat bersih
+3 : iris dan lensa terlihat keruh
+4 : terbentuk fibrin pada cairan akuos
Hipopion ditemukan sebagian besar mungkin sehubungan dengan
penyakit terkait HLA-B27, penyakit Behcet atau penyakit infeksi terkait
iritis.
f. Iris : dapat ditemukan sinekia posterior
g. Lensa dan korpus vitreus anterior : dapat ditemukan lentikular presipitat
pada kapsul lensa anterior. Katarak subkapsuler posterior dapat
ditemukan bila pasien mengalami iritis berulang.

3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium mendalam umumnya tidak diperlukan untuk
uveitis anterior, apalagi bila jenisnya non-granulomatosa atau menunjukkan
respon terhadap pengobatan non spesifik. Akan tetapi pada keadaan dimana
uveitis anterior tetap tidak responsif terhadap pengobatan maka diperlukan
usaha untuk menemukan diagnosis etiologiknya. Pada pria muda dengan
12

iridosiklitis akut rekurens, foto rontgen sakroiliaka diperlukan untuk
mengeksklusi kemungkinan adanya spondilitis ankilosa. Pada kelompok usia
yang lebih muda, artritis reumatoid juvenil harus selalu dipertimbangkan
khususnya pada kasus-kasus iridosiklitis kronis. Pemeriksaan darah untuk
antinuclear antibody dan rheumatoid factor serta foto rontgen lutut
sebaiknya dilakukan. Perujukan ke ahli penyakit anak dianjurkan pada
keadaan ini. Iridosiklitis dengan KP mutton fat memberikan kemungkinan
sarkoidosis. Foto rontgen toraks sebaiknya dilakuka dan pemeriksaan
terhadap enzim lisozim serum serta serum angiotensine converting enzyme
sangat membantu.

Pemeriksaan terhadap HLA-B27 tidak bermanfaat untuk penatalaksanaan
pasien dengan uveitis anterior, akan tetapi kemungkinan dapat memberikan
perkiraan akan suseptibilitas untuk rekurens. Sebagai contoh, HLA-B27
ditemukan pada sebagian besar kasus iridosiklitis yang terkait dengan
spondilitis ankilosa. Tes kulit terhadap tuberkulosis dan histoplasmosis dapat
berguna, demikian pula antibodi terhadap toksoplasmosis. Berdasarkan tes-
tes tersebut dan gambaran kliniknya, seringkali dapat ditegakkan diagnosis
etiologiknya.

Dalam usaha penegakan diagnosis etiologis dari uveitis diperlukan bantuan
atau konsultasi dengan bagian lain seperti ahli radiologi dalam pemeriksaan
foto rontgen, ahli penyakit anak atau penyakit dalam pada kasus atritis
reumatoid, ahli penyakit THT pada ksus uveitis akibat infeksi sinus
paranasal, ahli penyakit gigi dan mulut pada kasus uveitis dengan fokus
infeksi di rongga mulut, dan lain-lain.

H. Diagnosis Banding Uveitis Anterior

Berikut adalah beberapa diagnosis banding dari uveitis anterior:
1,9

1. Konjungtivitis. Pada konjungtivitis penglihatan tidak kabur, respon pupil
normal, ada kotoran mata dan umumnya tidak ada rasa sakit, fotofobia atau
injeksi siliaris.
13

2. Keratitis atau keratokonjungtivitis. Pada keratitis atau keratokonjungtivitis,
penglihatan dapat kabur dan ada rasa sakit dan fotofobia. Beberapa
penyebab keratitis seperti herpes simpleks dan herpes zoster dapat menyertai
uveitis anterior sebenarnya.
3. Glaukoma akut. Pada glaukoma akut pupil melebar, tidak ditemukan sinekia
posterior dan korneanya beruap.

I. Komplikasi Uveitis Anterior

Berikut ini adalah beberapa komplikasi dari uveitis anterior:
1,10

1. Sinekia anterior perifer. Uveitis anterior dapat menimbulkan sinekia anterior
perifer yang menghalangi humor akuos keluar di sudut iridokornea (sudut
kamera anterior) sehingga dapat menimbulkan glaukoma
2. Sinekia posterior dapat menimbulkan glaukoma dengan berkumpulnya
akuos humor di belakang iris, sehingga menonjolkan iris ke depan
3. Gangguan metabolisme lensa dapat menimbulkan katarak
4. Edema kistoid makular dan degenerasi makula dapat timbul pada uveitis
anterior yang berkepanjangan

J. Penatalaksanaan Uveitis Anterior

Tujuan utama terapi uveitis anterior adalah:
1,6,10

1. Mencegah sinekia posterior
2. Mengurangi keparahan (severity) dan frekuensi serangan atau eksaserbasi
uveitis
3. Mencegah kerusakan pembuluh darah iris yang dapat:
a. Mengubah kondisi dari iridosiklitis akut menjadi iridosiklitis kronik
(terjadi perburukan diagnosis)
b. Meningkatkan derajat keparahan keadaan yang memang sudah kronik
4. Mencegah atau meminimalkan perkembangan katarak sekunder
5. Tidak melakukan tindakan yang dapat menyakiti atau merugikan pasien


14

Untuk uveitis anterior non-granulomatosa
1. Analgetik sistemik secukupnya untuk mengurangi rasa sakit
2. Kacamata gelap untuk keluhan fotofobia
3. Pupil harus tetap dilebarkan untuk mencegah sinekia posterior. Atropine
digunakan sebagai pilihan utama untuk tujuan ini. Kemudian setelah reda,
dilanjutkan dengan kerja singkat seperti siklopentolat atau homatropin
4. Tetes steroid lokal cukup efektif digunakan sebagai anti radang
5. Steroid sistemik bila perlu diberikan dalam dosis tunggal selang sehari yang
tinggi dan kemudian diturunkan sampai dosis efektif. Steroid dapat juga
diberikan subkonjungtiva dan peribulbar. Pemberian steroid untuk jangka
lama dapat menimbulkan katarak, glaukoma dan midriasis pada pupil.
6. Sikoplegik spesifik diberikan bila kuman penyebab diketahui

Untuk uveitis anterior granulomatosa
Terapi diberikan sesuai dengan penyebab spesifiknya. Atropin 2% diberikan
sebagai dilator pupil bila segmen anterior terkena.

K. Prognosis Uveitis Anterior

Kebanyakan kasus uveitis anterior berespon baik jika dapat didiagnosis secara
awal dan diberi pengobatan. uveitis anterior mungkin berulang, terutama jika
ada penyebab sistemiknya. Karena baik para klinisi dan pasien harus lebih
waspada terhadap tanda dan mengobati dengan segera. Prognosis visual pada
iritis kebanyak akan pulih dengan baik, tanpa adanya katarak, glaucoma atau
posterior uveitis.








15



BAB III
KESIMPULAN


Uveitis adalah inflamasi traktus uvea (iris, korpus siliaris, dan koroid) dengan
berbagai penyebab Uveitis anterior merupakan peradangan iris dan badan siliar
yang dapat berjalan akut maupun kronis. Penyebab dari iritis tidak dapat diketahui
dengan melihat gambaran klinisnya saja. Iritis dan iridisiklitis dapat merupakan
suatu manifestasi klinik reaksi imunologik terlambat, dini atau sel mediated
terhadap jaringan uvea anterior. Uveitis anterior dapat disebabkan oleh gangguan
sistemik di tempat lain, yang secara hematogen dapat menjalar ke mata atau
timbul reaksi alergi mata.

Berdasarkan patologi dapat dibedakan 2 jenis uveitis anterior, yaitu
granulomatosa dan non granulomatosa. Pada jenis non granulomatosa umumnya
tidak dapat ditemukan organisme patogen dan karena berespon baik terhadap
terapi kortokosteroid diduga peradangan ini semacam fenomena hipersensitivitas.
Sedangkan pada uveitis granulomatosa umumnya mengikuti invasi mikroba aktif
ke jaringan oleh organisme penyebab (misal Mycobacterium tuberculosis atau
Toxoplasma gondii). Meskipun begitu patogen ini jarang ditemukan dan diagnosis
etiologi pasti jarang ditegakkan. Uveitis granulomatosa dapat mengenai
sembarang traktus uvealis namun lebih sering pada uvea posterior.

Diagnosis uveitis anterior dapat ditegakkan dengan melakukan anamnesis,
pemeriksaan oftalmologi dan pemeriksaan penunjang lainnya. Anamnesis dilakukan
dengan menanyakan riwayat keluhan pasien, riwayat kesehatan pasien, misalnya
pernah menderita iritis atau penyakit mata lainnya, kemudian riwayat penyakit
sistemik yang mungkin pernah diderita oleh pasien. Pemeriksaan oftalmologi yang
perlu dilakukan adalah pemeriksaan visus, TIO, keadaan konjungtiva, kornea, COA,
iris, lensa dan korpus vitreus. Sedangkan pemeriksaan laboratorium mendalam
16

umumnya tidak diperlukan untuk uveitis anterior, apalagi bila jenisnya non-
granulomatosa atau menunjukkan respon terhadap pengobatan non spesifik.

Penatalaksanaan uveitis anterior bertujuan untuk mencegah sinekia posterior,
mengurangi keparahan (severity) dan frekuensi serangan atau eksaserbasi uveitis,
mencegah kerusakan pembuluh darah iris yang dapat mengubah kondisi dari
iridosiklitis akut menjadi iridosiklitis kronik (terjadi perburukan diagnosis) dan
meningkatkan derajat keparahan keadaan yang memang sudah kronik, mencegah atau
meminimalkan perkembangan katarak sekunder, dan tidak melakukan tindakan yang
dapat menyakiti atau merugikan pasien.

Terapi yang dapat diberikan yaitu analgetik sistemik secukupnya untuk mengurangi
rasa sakit, kacamata gelap untuk keluhan fotofobia, pupil harus tetap dilebarkan untuk
mencegah sinekia posterior dengan menggunakan atropine, tetes steroid lokal cukup
efektif digunakan sebagai anti radang, steroid sistemik bila perlu diberikan dalam
dosis tunggal selang sehari yang tinggi dan kemudian diturunkan sampai dosis efektif
dan kikoplegik spesifik diberikan bila kuman penyebab diketahui
















17



DAFTAR PUSTAKA


1. Vaughan DG, Asbury T, Riordan-Eva P. Traktus Uvealis dan Sklera. Dalam:
Oftalmologi Umum. Edisi 14. Jakarta: Widya Medika, 2000. 155-160.
2. Kanski J. Uveitis. In: Clinical Ophthalmology. Third Edition. London:
Butterworth Heinemann, 1994. 151-155.
3. George R. Non Granulomatous Anterior Uveitis, 2005.
http://www.emedicine.com [diakses tanggal 4 Desember 2008]
4. Smith R, Nozik R. Uveitis. Baltimore: Williams and Wilkins, 1983. 72-74.
5. Guide A. Uveitis. http://www.preventblindnessamerica.org [diakses 4
Desember 2008]
6. Ilyas S. Uveitis Anterior. Dalam: Ilmu Penyakit Mata. Edisi kedua. Jakarta:
FKUI, 2002. 180-181.
7. Gordon K. Iritis and Uveitis, 2005. http://www.emedicine.com [diakses
tanggal 4 Desember 2008]
8. Hollwich F. Oftalmologi. Edisi kedua. Jakarta: Binarupa Aksara, 1993. 117-
138.
9. Newell FW. Inflammatory Disorders. In: Ophthalmology. Fifth Edition.
London: The CV Mosby Company, 1982. 258-267.
10. Rao NA, Foster DJ, Augsburger JJ. Uveitis and Intraocular Neoplasms. In:
He Uvea. New York: Raven Press, 1992.

You might also like