You are on page 1of 194

KAJIAN YURIDIS TENTANG JAMINAN KEPASTIAN HUKUM

BAGI INVESTASI ASING DI INDONESIA







TESIS




Oleh

SUKIRAN
067011085/MKn
















S
E
K
O L
A
H
P
A
S
C
A
S
A R
J
A
N
A




SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2008
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

KAJIAN YURIDIS TENTANG JAMINAN KEPASTIAN HUKUM
BAGI INVESTASI ASING DI INDONESIA






TESIS




Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan
dalam Program Studi Kenotariatan pada Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara



Oleh

SUKIRAN
067011085/MKn












SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2008

Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

Judul Tesis : KAJIAN YURIDIS TENTANG JAMINAN KEPASTIAN
HUKUM INVESTASI ASING DI INDONESIA
Nama : Sukiran
NIM : 067011085
Program Studi : Kenotariatan


Menyetujui
Komisi Pembimbing




(Prof. Sanwani Nasution, S.H)
Ketua





(Prof. Dr. Ningrum Natasya Sirait, S.H., MLI)
Anggota
(Dr. Sunarmi, S.H., M.Hum)
Anggota




Mengetahui:

Ketua Program Studi





Direktur

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, S.H.,M.S.,C.N) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, M.Sc)


Tanggal Lulus: 18 September 2008
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

Telah Diuji Pada

Tanggal: 18 September 2008




























PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Sanwani Nasution, S.H.
Anggota : 1. Prof. Dr. Ningrum Natasya Sirait, S.H., MLI.
2. Dr. Sunarmi, S.H., M.Hum.
3. Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.H.
4. Dr. T. Keizerina Devi Anwar, S.H., C.N., M.Hum.
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

ABSTRAK

Tujuan penyelenggaraan penanaman modal hanya dapat tercapai apabila faktor
penunjang yang menghambat iklim penanaman modal dapat diatasi, antara lain melalui
perbaikan koordinasi antar instansi Pemerintah Pusat dan Daerah, penciptaan birokrasi
yang efisien, kepastian hukum di bidang penanaman modal, biaya ekonomi yang berdaya
saing tinggi, serta iklim usaha yang kondusif di bidang ketenagakerjaan dan keamanan
berusaha. Oleh karena itu menjadi permasalahan tentang jaminan kepastian hukum bagi
investasi asing menurut ketentuan Undang-Undang Penanaman Modal di Indonesia, dan
kewenangan Pemerintah Daerah terhadap investasi asing menurut Undang-Undang
Pemerintahan Daerah.
Penelitian ini bersifat deskriptif analisis yang dilakukan secara pendekatan yuridis
normatif, karena penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan atau studi dokumen yang
dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan-peraturan perundang-undangan hukum
investasi di Indonesia yang didukung dengan wawancara kepada narasumber pada
BAINPROM Provinsi Sumatera Utara.
Berdasarkan hasil penelitian diketahui, jaminan kepastian hukum investor asing
menurut UU Penanaman Modal No. 25 Tahun 2007 adalah pada prinsipnya Pemerintah
tidak akan melakukan pengambialihan atau nasionalisasi perusahaan asing di Indonesia,
dan jika terpaksa harus dilakukan pengambilalihan, maka kepada investor akan diberikan
kompensasi yang jumlahnya ditetapkan berdasarkan harga pasar (Pasal 7), dan jika tidak
ada kesepakatan mengenai ganti rugi atau terjadinya sengketa investasi asing di Indonesia,
penyelesaiannya dapat dibawa ke lembaga lembaga arbitrase (Pasal 32). Lembaga arbitrase
yang dimaksud adalah Internasional Centre for Settlement of Investment Disputes (ICSID),
karena Indonesia sudah meratifikasi konvensi ICSID dengan UU No.5 Tahun 1968 tentang
Penyelesaian Perselisihan Antara Negara dan Warga Negara Asing Mengenai Penanaman
Modal. Kewenangan Pemerintahan Daerah dalam kaitan investasi asing sesuai dengan UU
No. 12 Tahun 2008 yang menjadi urusan wajib pemerintah daerah provinsi ataupun
kabupaten/kota yang diatur dalam Pasal 13 ayat 1 butir n dan Pasal 14 ayat 1 butir n, adalah
kewenangan untuk pelayanan administrasi penanaman modal.
Berhubung pemerintah sudah meratifikasi lembaga arbitrase dalam undang-
undang, maka sebaiknya ditegaskan penyelesaian sengketa antara WNA dengan
pemerintah dalam hal penanaman modal melalui lembaga arbitrase internasional namun
tetap menjunjung asas kebebasan berkontrak. Dengan kata lain tetap mengacu pada
ketentuan Pasal 66 UU No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase jo Peraturan Mahkamah
Agung (Perma) No.1 Tahun 1990 tentang Pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional,
bahwa putusan arbitrase internasional hanya dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pada
putusan yang tidak bertentangan dengan kepentingan umum. Kemudian perlu lebih tegas
batasan pelayanan administrasi penanaman modal yang menjadi kewenangan
pemerintahan daerah, sehingga tidak terjadi persepsi yang berbeda antara pemerintah pusat
dan pemerintah daerah. Oleh karena itu Pemerintah harus segera menerbitkan Peraturan
Pemerintah dengan mempedomani UU No. 12 Tahun 2008 tentang Pemerintah Daerah.
Kata kunci: Jaminan hukum; Investasi Asing.
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

ABSTRACT

Target of management of investment can only be reached by if supporter factor
pursuing investment climate can be overcome, for example passing repair co-ordinate
between Central Government with Local Government, creation of efficient bureaucracy,
rule of law in capital cultivation area, expense of highly competitive economics, and also
effort climate which is conducive in labour and security business of. Therefore become
problems about rule of law guarantee to foreign investment according to Law of
Investment in Indonesia, and regulations Local Government authority to foreign
investment according to regulation of Local Governance.
The character of this research is descriptive of conducted analysis normative
approach, because this research represent research of conducted document study or
bibliography or addressed only at law and regulation punish investment in Indonesia which
is supported with interview to guest speaker at BAINPROM North Sumatra Province.
Pursuant to result of research known, rule of law guarantee to foreign investor
according to Law No. 25 Year 2007 is in principle Government will not conduct foreign
company nationalization in Indonesia, and if its cannot help conducted by nationalization,
hence to investor will be given by compensation which is its amount is specified pursuant
to market price (Section 7), and otherwise there is agreement concerning indemnation or
the happening of foreign investment dispute in Indonesia, its solution can be brought to
institute institute arbitrate (Section 32) such Arbitrate institute is International Centre for
Settlement of Investment Disputes (ICSID), because Indonesia have ICSID with Law No.
5 Year 1968 about Solving of Dispute Between State and Foreign Citizen Concerning
Investment. Authority of Local Governance in foreign investment bearing as according to
Law No. 12 Year 2008 becoming local government business is obliged to province and or
sub-province/arranged town in Section 13 article 1 n item and Section 14 article 1 n item, is
authority for the administrative services of foreign investment.
Referring to Government have ratified arbitrate institute in law, hence better be
affirmed by the solving of dispute between WNA with Government in the case of
investment through international arbitrate institute but remain to contract business
principle. Equally remain to relate at rule of Section 66 Law No. 30 Year 1999 about
Arbitrate jo Regulation of Supremacy Court (Peraturan Mahkamah Agung) No.1 Year
1990 about International Execution Decision Arbitrate, that international arbitrate decision
can only be executed in Indonesia limited to decision which do not oppose against public
interest. Then need more coherent investment administrative services definition becoming
local governance authority, so that do not happened different perception between central
government and local government. Therefore Government have to immediately publish
Governmental Regulation with guidance of Law No. 12 Year 2008 about Local
Government.

Keyword: Investment Guarantee; Foreign Investment.
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

KATA PENGANTAR
Pertama-tama dengan segala kerendahan hati dipanjatkan kehadirat Tuhan
Yang Maha Kuasa atas berkat dan anugrah-Nya yang telah menambah keyakinan dan
kekuatan bagi penulis dengan segala keterbatasan yang dimiliki telah dapat
menyelesaikan penulisan tesis dengan judul Kajian Yuridis Tentang J aminan
Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing di Indonesia
Tesis ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk memperoleh
gelar Magister Kenotariatan (M.Kn.) pada Program Studi Kenotariatan Sekolah
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan.
Dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan
dorongan moril berupa masukan dan saran, sehingga penulisan tesis dapat
diselesaikan tepat pada waktunya. Oleh sebab itu, ucapan terima kasih penulis
sampaikan secara khusus kepada yang terhormat dan amat terpelajar Bapak
Prof. Sanwani Nasution, S.H., Ibu Prof. Dr. Ningrum Natasya Sirait, S.H., MLI.,
dan Ibu Dr. Sunarmi, S.H., M.Hum atas kesediaannya memberikan bimbingan dan
arahan untuk kesempurnaan penulisan tesis ini.
Kemudian juga, kepada para dosen penguji di luar komisi pembimbing, yang
terhormat dan amat terpelajar Bapak Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.H dan Bapak
Dr. T. Keizerina Devi Anwar, S.H., C.N., M.Hum yang telah berkenan memberi
masukan dan arahan yang konstruktif dalam penulisan tesis ini sejak tahap kolokium,
seminar hasil sampai pada tahap ujian tertutup sehingga penulisan tesis ini menjadi
lebih sempurna dan terarah.
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

Selanjutnya ucapan terima kasih penulis yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Prof. Chairudin P. Lubis, DTM&H., Sp.A (K), selaku Rektor Universitas
Sumatera Utara.
2. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., M.Sc., selaku Direktris Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara, dan para Asisten Direktris serta seluruh Staf atas
bantuan, kesempatan dan fasilitas yang diberikan, sehingga dapat diselesaikan
studi pada Program Magister Kenotariatan (M.Kn.) Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, S.H., M.S., C.N., selaku Ketua Program
Magister Kenotariatan (M.Kn.) Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
beserta seluruh Staf atas bantuan dalam memberikan kesempatan dan fasilitas
sehingga dapat diselesaikan studi pada Program Magister Kenotariatan (M.Kn.)
Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
4. Para pegawai/karyawan pada Program Studi Magister Kenotariatan (M.Kn.)
Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara yang selalu membantu
kelancaran dalam hal manajemen administrasi yang dibutuhkan.
5. Kepada seluruh rekan-rekan seangkatan mahasiswa Magister Kenotariatan
(M.Kn) Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan yang tidak
dapat penulis sebutkan satu persatu yang selalu membantu dan memotivasi
penulis dalam rangka penyelesaian studi Program Magister Kenotariatan
(M.Kn).
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

Teristimewa dengan tulus hati diucapkan terima kasih kepada kedua orang tua
penulis yang selalu mengasihi, Ayahanda Soe Tjiu Hoe dan Ibunda Tok Saikim yang
selalu memberikan limpahan kasih sayang dan nasihat untuk berbuat sesuatu yang
terbaik demi masa depan penulis. Demikian juga kepada orang tua mertua, yang telah
memberikan motivasi untuk penyelesaian studi.
Ucapan terima kasih kepada isteri tercinta Anny dan anak-anakku tersayang
Yudha Pratama dan Ovilya yang menjadi motivasi penulis sejak dalam masa studi
sampai dengan penulisan dan penyelesaian tesis ini.
Akhir kata kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu,
terima kasih atas kebaikan, ketulusan dan dukungan serta doa kepada penulis selama
proses penyelesaian tesis ini. Semoga tesis ini bermanfaat bagi kita semua. Amen.

Medan, 18 September 2008
Penulis,

Sukiran
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

RIWAYAT HIDUP


I. Identitas Pribadi
Nama : Sukiran
Tempat/ Tgl. Lahir : 15 Februari 1975
J enis Kelamin : Laki-Laki
Status : Menikah
Agama : Budha
Alamat : J l. J emadi Gg. Bahagia II No. 23 Kelurahan Pulo
Brayan Darat II, Kecamatan Medan Timur, Kota
Medan.
II. Orang Tua
Nama Ayah : Soe Tjiu Hoe
Nama Ibu : Tok Saikim

III. Pendidikan
1. SD Teladan Medan, Tamat Tahun 1983
2. SMP Teladan Medan, Tamat Tahun 1989
3. SMA Letjen S. Parman, Tamat Tahun 1992
4. S-1 Fakultas Hukum Universitas Dharmawangsa, Tamat Tahun 1999.
5. S-2 Program Studi Magister Kenotariatan (M.Kn) Sekolah Pascasarjana
USU Medan Tahun 2006 - 2008.

Medan, 18 September 2008
Penulis,


Sukiran
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK.................................................................................................... i
ABSTRACT.................................................................................................. ii
KATA PENGANTAR ................................................................................. iii
RIWAYAT HIDUP ...................................................................................... vi
DAFTAR ISI ................................................................................................ vii
DAFTAR TABEL ........................................................................................ x
DAFTAR SINGKATAN ............................................................................. xi
BAB I PENDAHULUAN...................................................................... 1
A. Latar Belakang...................................................................... 1
B. Permasalahan ....................................................................... 18
C. Tujuan Penelitian ................................................................. 18
D. Manfaat Penelitian ............................................................... 18
E. Keaslian Penelitian ............................................................... 19
F. Kerangka Teori dan Konsepsi .............................................. 19
1. Kerangka teori ................................................................ 19
2. Konsepsi ......................................................................... 29
G. Metode Penelitian ................................................................ 30
BAB II. TINJ AUAN TENTANG INVESTASI ASING..................... 33
A. Pengertian Investasi Asing............................................. 33
B. Bentuk Kerjasama dan Bidang Usaha Investasi Asing ........ 35
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

C. Perbedaan Investasi Asing Langsung dan Tidak
Langsung ...................................................................... 65
D. Prosedur Penanamn Modal Asing dan Masalah Yang
Dihadapi ....................................................................... 70
BAB III. J AMINAN KEPASTIAN HUKUM BAGI INVESTASI
ASING MENURUT KETENTUAN UNDANG-UNDANG
NO. 25 TAHUN 2007 TENTANG PENANAMAN MODAL... 76
A. Substansi Baru, Insentif dan Pembatasan Dalam
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang
Penanaman Modal ......................................................... 76
1. Substansi Baru dalam Undang-Undang Penanaman
Modal ...................................................................... 76
2. Insentif dalam Undang-Undang Penanaman Modal .. 80
3. Pembatasan dalam Undang-Undang Penanaman
Modal ...................................................................... 107
B. Respon dan Tantangan Pelaksanaan Undang-Undang
Penanaman Modal yang Baru......................................... 113
1. Respon terhadap Undang-Undang Penanaman Modal .. 113
2. Tantangan Pelaksanaan Undang-Undang Penanaman
Modal ...................................................................... 126
C. Sinkronisasi Peraturan Perundang-Undangan ................ 138
D. J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing di
Indonesia ...................................................................... 143
BAB IV. KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP
INVESTASI ASING MENURUT UNDANG-UNDANG
NO.12 TAHUN 2008 TENTANG PEMERINTAHAN
DAERAH............................................................................. 155
A. Pelimpahan Wewenang Pengelolaan Penanaman Modal
Kepada Pemerintah Daerah ........................................... 155
B. Kewenangan Pemerintah Daerah Terhadap Investasi
Asing Menurut Undang-Undang No.12 Tahun 2008
tentang Pemerintahan Daerah......................................... 164
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN................................................... 170
A. Kesimpulan .......................................................................... 170
B. Saran .................................................................................... 171
DAFTAR PUSTAKA................................................................................... 172
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Perbedaan Antara Investasi Asing Langsung dan Investasi
Tidak Langsung ......................................................................... 69
Tabel 2. Bahan Masukan Muatan Materi RPP Pembagian Urusan
Pemerintahan Bidang Penanaman Modal Sumatera Utara ........ 162
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

DAFTAR SINGKATAN

APEC : Asia Pasific Economic Country
APIT : Angka Pengenal Importir Terbatas
BAINPROM : Badan Investasi dan Promosi
BAMI : Badan Arbitrase Muamalat Indonesia
BANI : Badan Arbitrase Nasional Indonesia
BKPM : Badan Koordinasi Penanaman Modal
CSR : Corporate Social Responsibility
DNI : Daftar Negatif Investasi
DSP : Daftar Skala Prioritas
FDI : Foreign Direct Investment
FII. : Foreign Indirect Investment
ICSID : The International Center for the Settlement of Investment
Disputes.
IFC : International Finance Corporation
IKTA : Izin Kerja Tenaga Asing
ISIC : International Standard for Industrial Classification
KBLI : Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia
KPPOD : Komisi Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah
LoI : Letter of Intent
MIGA : Multilateral Investment Guarentee Agency
PMA : Penanaman Modal Asing
PMDN. : Penanaman Modal Dalam Negeri
PMN : Perusahaan Multi Nasional
RKL : Rencana Pengelolaan Lingkungan
ROI : Return On Investment
RTRW : Rencana Tata Ruang dan Wilayah
SPI : Sales and Profit Income
TDP : Tanda Daftar Perusahaan
UKL : Upaya Pengelolaan Lingkungan
UMKMK : Usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi
WTO : World Trade Organization






Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Meningkatnya perekonomian di banyak negara mengakibatkan interdepensi
pada akhirnya menciptakan derajat keterbukaan ekonomi yang semakin tinggi di
dunia, yang terlihat bukan hanya pada arus peningkatan barang tapi juga pada arus
jasa serta arus uang dan modal. Pada gilirannya arus investasi di dunia semakin
mengikuti perkembangan keterbukaan ini, sehingga dewasa ini peningkatan arus
investasi itulah yang memacu arus perdagangan di dunia.
1

Untuk itu, cukup beralasan jika setiap negara saling bersaing untuk menarik
calon investor khususnya investor asing (Foreign Direct Investment atau FDI) untuk
menanamkan modal di negaranya. Dalam suasana seperti ini peluang yang begitu
terbuka di era globalisasi agaknya perlu disikapi secara positif. Perdebatan tentang
globalisasi itu sendiri hingga saat ini masih terus berlangsung. Namun apa pun
alasannya, terjadinya globalisasi dalam berbagai hal termasuk dalam penanaman
modal suatu hal sulit dihindari. Satu hal yang pasti bahwa transformasi, penetrasi,
modernisasi, dan investasi merupakan bagian dari banyak hal yang akan memberi ciri
sebuah dunia global yang tidak lagi mengenal batas-batas teritorial. Dalam suasana
seperti ini penting untuk disadari bahwa memasuki arena pasar global, tentunya harus

1
Yanto Bashri (ed), Mau Ke Mana Pembangunan Ekonomi Indonesia Prisma Pemikiran
Prof. Dr. Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, Predna Media, J akarta, 2003, hal. 12-13.
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

disertai persiapan yang matang dan terintegrasi terlebih lagi jika ingin mengundang
investor asing.
2

Kehadiran investor asing dalam suatu negara menimbulkan berbagai pendapat
dengan argumentasi masing-masing. Pendapat tersebut antara lain ada yang
mengemukakan, kehadiran investor asing dapat mengancam industri dalam negeri
sendiri dan bahkan mungkin mengancam kedaulatan negara. Hal ini bukannya tidak
disadari oleh negara penerima modal, sebagaimana yang dikemukakan oleh Rusdin:
Salah satu kritik terhadap globalisasi adalah meningkatnya ketergantungan
antara ekonomi global, kekuatan ekonomi yang menggantikan dominasi
pemerintah dan memfokuskan ke arah organisasi perdagangan bebas (WTO).
Ketika dunia ini menjadi salah satu pasar berakibat pada semakin kuatnya
interdepensi atau saling ketergantungan antara satu negara dengan negara lainnya
yang sama-sama mempunyai kedaulatan nasional. J adi yang sebenarnya terjadi
bukanlah satu negara tergantung pada negara lainnya, melainkan suatu situasi dan
kondisi di mana semuanya saling memerlukan untuk mempertahankan
keseimbangan politis, ekonomis dan tentu pula dalam rangka pemenuhan
kepentingan masing-masing negara.
3

Oleh karena itu, terbukanya hubungan antara satu negara dengan negara
lainnya, terlebih lagi bagi negara-negara yang selama ini menutup diri dengan dunia
luar, mulai membuka diri. Hal ini berarti peluang untuk berinvestasi cukup luas.
Negara penerima modal pun menyadari bahwa implikasi yang akan muncul dengan
kehadiran investor asing di negara suatu hal yang sulit untuk dihindari. Negara
membutuhkan modal dalam membangun berbagai sektor. Modal yang dimaksud
disini, tidak semata-mata berupa dana segar, akan tetapi meliputi teknologi,
keterampilan serta sumber daya manusia dalam mengelola sumber daya alam dan
potensi ekonomi lainnya.

2
Freddy Roeroe dkk., Batam Komitmen Setengah Hati, Aksara Karunia, Jakarta, 2003, hal. 108.
3
Rusdin, Bisnis Internasional dalam Pendekatan Praktik, Jilid 1, Alfabeta, Bandung, 2002, hal. 34.
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

Modal dibutuhkan untuk mengelola sumber daya alam dan potensi ekonomi
yang berada di bawah otoritas negara. Adanya pengelolaan secara optimal terhadap
sumber daya alam dan potensi ekonomi yang ada, diharapkan ada nilai tambah tidak
saja bagi negara akan tetapi juga bagi masyarakat pada umumnya. Adapun wujud
pengelolaan sumber daya alam dan potensi ekonomi yang ada tersebut antara lain
dapat dilakukan oleh investor baik lokal maupun asing.
Dalam berbagai kepustakaan ekonomi atau hukum bisnis, terminologi
penanaman modal dapat berarti penanaman modal yang dilakukan secara langsung
oleh investor lokal (domestic investor), investor asing (foreign direct investment atau
FDI) dan penanaman modal yang dilakukan secara tidak langsung oleh pihak asing
(foreign indirect investment atau FII). Untuk yang terakhir ini dikenal dengan istilah
penanaman modal dalam bentuk portofolio yakni pembelian efek lewat Lembaga
Pasar Modal (Capital Market).
4
Menurut Gunarto Suhardi, Investasi langsung (FDI)
lebih baik jika dibandingkan dengan investasi portofolio, karena investasi langsung
lebih permanen.
5

Motivasi investor asing dalam melakukan investasi tidak dapat dilepaskan
dari perhitungan bisnis, sehingga di satu sisi kehadiran investasi asing sangat
dibutuhkan, terlebih bagi negara-negara yang sedang berkembang seperti Indonesia.
Di sisi lain, ada kekhawatiran berbagai pihak investor hanya berpikiran bisnis.

4
Investasi dalambentuk portofolio atau pembelian efek lewat pasar modal diatur dalamUndang-
Undang Nomor 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal. DalamPasal 1 butir 13 disebutkan, pasar modal adalah
kegiatan yang bersangkutan dengan penawaran umumdan perdagangan efek, perusahaan publik yang
berkaitan dengan efek yang diterbitkannya, serta lembaga dan profesi yang berkaitan dengan efek. Pasal 1 butir
5 mengemukakan, efek adalah surat berharga, yaitu surat pengakuan utang, surat berharga komersial, saham,
obligasi, tanda bukti utang, unit penyertaan kontrak investasi, kolektif, kontrak berjangka atas efek, dan setiap
derivatif dari efek. Portofolio efek adalah kumpulan efek yang dimiliki oleh pihak (Pasal 1 butir 24).
5
Gunarto Suhari, Beberapa Elemen Penting dalam Hukum Perdagangan Internasional,
Universitas Atmajaya, Yogyakarta, 2004, hal. 45.
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

Sebagaimana dikemukakan Robert Gilpin dan J ean Milies Gilpin dalam Haris
Munadar:
Para penerima investasi asing langsung (FDI), bersikap mendua menyangkut
kegiatan perusahaan multi nasional. Di satu sisi, mereka menyadari bahwa
investasi asing langsung (FDI) membawa modal dan teknologi berharga ke dalam
negara. Di sisi lain, mereka takut didominasi dan dieksplotasi perusahaan-
perusahaan yang kuat ini.
6

Sejumlah pakar ekonomi mengkaitkan ekspansi perusahaan multi nasional
(PMN) ke negara berkembang dengan dampak positif yang ditimbulkan oleh aktivitas
PMN sehingga mendorong pemerintah negara berkembang untuk lebih membuka diri
bagi investasi asing. Mereka pada umumnya bersepakat bahwa negara berkembang
menginginkan investasi asing karena manfaat langsung yang dapat dirasakan dari
kehadiran PMN. Dampak positif dari kehadiran PMN yakni pertama memberikan
kontribusi pertumbuhan ekonomi suatu negara; kedua menciptakan lapangan kerja
baru dan ketiga modal yang dibawa oleh PMN dapat memperbaiki neraca
pembayaran negara berkembang.
7

Dengan demikian, perlu dicari hubungan antara motif investor mencari untung
dengan tujuan negara penerima modal yakni usaha untuk mencapai tujuan
pembangunan nasionalnya. Agar investor mau menanamkan modalnya maka
pemerintah harus menyediakan sarana dan prasarana serta fasilitas lainnya. Sebagai
konsekuensi, maka pemerintah perlu menyelenggarakan perencanaan dengan mantap,
termasuk menetapkan kebijakan pelaksanaan dan pengawasan yang efektif sehingga
tercapai tujuan pembangunan nasional. Dengan pendekatan ini, maka peran investor

6
Robert Gilpin dan J ean Milies Gilpin, The Challenge of Global Capitalism (Tantangan
Kapitalisme Global) Penerjemah: Haris Munadar, Dudy Priatna, Raja Grafindo Persada, J akarta, 2002,
Edisi 1, Cetakan 1, hal. 173.
7
Bos Sugeng Hadiwinata, Politik Bisnis Internasional, Kanisius, Yogyakarta, 2002, Cet 1, hal. 146.
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

dapat diarahkan ke prioritas pembangunan. Dengan pendekatan semacam ini, maka
teori pembangunan merupakan satu proses kerjasama dan bukan masalah
ketergantungan dan bukan pula masalah pertentangan kepentingan.
8

Faktor yang terdekat atau utama yang mendorong perusahaan dari perusahaan
negara industri baru untuk memindahkan modalnya ke luar negeri, karena
meningkatnya biaya lahan dan tenaga kerja di negaranya, akibatnya hasil produksi
tidak mempunyai daya saing. Selain faktor upah, juga dipengaruhi oleh perselisihan
perburuhan yang tidak jarang disertai dengan kekerasan.
9

Faktor lain disebabkan kebijakan pemerintah negara asal investor dan sikap
positif pemerintah negara industri baru terhadap penanaman modal di luar negeri.
Sebagai contoh sejak tahun 1986, pemerintah Taiwan menghapuskan pengawasan
devisa. Hal ini berarti mempermudah pengusaha Taiwan untuk menanamkan
modalnya ke luar negeri. Demikian juga halnya pemerintah Korea Selatan
mendorong penanaman modal ke luar negeri. Selain itu, sejak tahun 1987 pemerintah
Korea Selatan mengirim misi pengkaji ke Indonesia untuk menganalisis lingkungan
penanaman modal di Indonesia, dan menyediakan informasi bagi para penanam
modal prospektif Korea di samping mengorganisasi pertemuan-pertemuan orientasi
mereka yang melakukan penanaman modal di Indonesia.
10

Dengan demikian kehadiran investor membawa manfaat bagi Indonesia
sebagai penerima modal untuk kelangsungan pembangunan, di sisi lain investor yang

8
Sumantoro, Bunga Rampai Permasalahan Penanaman Modal/Problems of Investment in
Equities and in Securities, Binacipta, Bandung, 1990, hal. 59.
9
Thee Kian Wie, Industrialisasi di Indonesia berbagai Kajian, LP3ES, J akarta, 1996,
Cetakan Kedua, hal. 149.
10
Ibid. hal. 149.
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

hendak menanamkan modalnya juga tidak lepas dari orientasi bisnis yaitu modal
yang diinvestasikan aman dan bisa menghasilkan keuntungan.
Berdasarkan uraian yang dikemukakan di atas, maka bila suatu negara ingin
menjadi tujuan investasi asing perlu menciptakan iklim usaha yang memadai. Artinya
dilihat dari perspektif hukum ada aturan yang jelas. Itulah sebabnya mengapa para
pemimpin pemerintahan mengadakan berbagai pertemuan internasional untuk
menyatukan persepsi dalam merumuskan norma-norma yang terkait dengan investasi.
Dengan kata lain, dengan adanya pertemuan baik secara bilateral maupun multilateral
yang wujud konkretnya dalam perjanjian internasional bisa diangkat menjadi hukum
nasional dengan mengadopsi norma-norma atau nilai-nilai yang terkandung dalam
tatanan global. Sebagai contoh dapat dikemukakan di sini, dalam berbagai pertemuan
para pemimpin APEC, telah disepakati berbagai hal antara lain pada pertemuan bulan
November 1994, Indonesia sebagai tuan rumah pertemuan anggota APEC mengeluarkan
deklarasi yang dikenal dengan Deklarasi Bogor. Dalam pertemuan tersebut, para
pemimpin negara anggota APEC menyepakati sejumlah asas-asas yang tidak mengikat
dalam bidang investasi (nonbinding investment principles), antara lain:
11

a. Transparency (keterbukaan)
b. Nondiscriminatory between source economics (non diskriminasi antar sumber
ekonomi).
c. National treatment (perlakuan nasional)
d. Investment incentives (rangsangan investasi)
e. Performance requirement (persyaratan kinerja)
f. Dispute settlement (penyelesaian sengketa)
g. Avoidance of double taxation (penghindaran pajak berganda)
h. Investor behavior (perilaku investor)
i. Removal of barriers to foreign capital (penghapusan rintangan modal asing).
j. Penyelesaian sengketa Penanaman Modal Asing (PMA) melalui lembaga
arbitrase.

11
M. Solly Lubis, Sistem Nasional, Mandar Maju, Bandung, 2002, hal. 35.
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

Pertemuan para pemimpin dunia yang cukup berpengaruh dalam dunia bisnis
yakni pembentukan World Trade Organization (WTO). Bagi Indonesia sendiri, jauh
sebelum ditandatanganinya Perjanjian Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia
atau World Trade Organization (WTO) pada tahun 1994, sudah mulai timbul
pemikiran dari para ahli hukum bahwa ketentuan yang mengatur tentang investasi
secara langsung (FDI) yang dibuat sekitar empat puluh tahun yang lalu, dianggap
sudah tidak memadai lagi sebagai dasar hukum untuk menarik investor, baik investor
asing maupun dalam negeri.
12
Hal ini terlihat dari data yang dikeluarkan oleh United
Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) dalam World Investment
Report (WIR) 2003, dari 140 negara tujuan investasi yang disurvei, dilihat dari indeks
kinerja investasi ternyata Indonesia masuk dalam urutan ke 138.
13

Untuk memacu kegiatan investasi, Pemerintah Indonesia ketika memasuki
awal tahun 2002 telah mencanangkan sebagai tahun investasi. Namun tingkat
kehadiran investasi asing ke Indonesia belum berjalan sesuai dengan harapan. J ika
ditelusuri lebih seksama mengapa kegiatan investasi berjalan lamban, agaknya ada
beberapa faktor yang cukup mempengaruhi,
14
antara lain:
a. Faktor Politik
Salah satu faktor yang menjadi pertimbangan bagi investor untuk menanamkan
modalnya ke suatu negara adalah kondisi di negara tujuan investasi, apakah
kondisi politiknya stabil atau tidak. Sebab dengan tidak adanya kestabilan politik

12
Peter Kuin (Penyunting) dengan Kata Pengantar Sjahrir, Perusahaan Transnasional,
J akarta: Gramedia Obor, 1987, hal. 2.
13
WIR 2003 yang dipublikasikan oleh UNCTAD, dalam www.unctad.org.
14
Hulman Panjaitan, Hukum Penanaman Modal, Indhill Co., J akarta, 2002, Cetakan 1,
hal. 8-13.
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

sulit untuk memprediksi kebijakan apa yang akan diambil oleh pemerintah yang
berkaitan dengan dunia usaha.
b. Faktor Ekonomi
Faktor ekonomi dan politik dalam investasi merupakan dua hal yang tidak dapat
dipisahkan satu sama lain, artinya adanya stabilitas politik dapat menggerakkan
roda perekonomian. Oleh karena itu tidak mengherankan, dengan
terselenggaranya pelaksanaan Pemilihan Umum
15
sesuai dengan jadwal yang
sudah ditentukan, pihak yang terkait dengan masalah investasi dengan rasa
optimis menyampaikan kepada masyarakat, sekaranglah saatnya untuk
berinvestasi.
c. Faktor Hukum
Selain faktor politik dan ekonomi, faktor lain yang menjadi pertimbangan bagi
investor untuk menanamkan modalnya adalah masalah kepastian hukum.
Berbagai ketentuan hukum yang terkait dengan investasi dirasakan perlu untuk
menyesuaikan dengan berbagai perjanjian multilateral, regional maupun bilateral
yang diikuti oleh Pemerintah Indonesia.
16


15
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil
Presiden RI, Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden RI dilaksanakan berdasarkan asas
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Dalam penjelasan umum disebutkan, Pemilu Presiden
dan Wakil Presiden RI merupakan suatu rangkaian Pemilu Anggaran DPR, DPD, dan DPRD yang
dialskanakan sekali dalam lima tahun. Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden RI secara
langsung oleh rakyat akan memberikan legitimasi yang kuat kepada Presiden dan Wakil Presiden RI
terpilih dalam menjalankan fungsi-fungsi kekuasaan pemerintahan negara.
16
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat R.I Nomor IV/MPR/1999 Tentang Garis-Garis
Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004. Dalam bab IV tentang arah kebijakan, bagian b tentang
Ekonomi butir 27 disebutkan, tugas pemerintah adalah melaksanakan secara proaktif negosiasi dan
kerjasama ekonomi bilateral dan multilateral dalam rangka meningkatkan volume dan nilai ekspor
terutama dari sektor industri yang berbasis sumber daya alam, serta menarik investasi finansial dan
investasi asing langsung tanpa merugikan pengusaha nasional.
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

Dari uraian yang dikemukakan di atas, memberikan pengertian bahwa
masuknya Indonesia ke lalu lintas perdagangan internasional, maka kaidah-
kaidah hukumnya pun harus mengadopsi norma-norma yang telah menjadi acuan
umum.
Peraturan perundang-undangan investasi di Indonesia diatur dalam Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) dan Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN).
Kemudian undang-undang ini dicabut dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor
25 Tahun 2007 (UUPM), yang berlaku sejak diundangkan dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia (LNRI) Tahun 2007 Nomor 6 pada tanggal 26 April 2007.
Pasal 1 angka 3 UUPM menyatakan penanaman modal asing adalah kegiatan
menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia yang
dilakukan oleh penanam modal asing, baik yang menggunakan modal asing
sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanam modal dalam negeri.
Penanaman modal asing wajib dalam bentuk perseroan terbatas berdasarkan
hukum Indonesia dan berkedudukan di dalam wilayah Negara Republik Indonesia,
kecuali ditentukan lain oleh undang-undang. Penanam modal asing yang melakukan
penanaman modal dalam bentuk perseroan terbatas dilakukan dengan mengambil
bagian saham pada saat pendirian perseroan terbatas, atau membeli saham.
17

Pemerintah memberikan perlakuan yang sama kepada semua penanam modal
yang berasal dari negara mana pun yang melakukan kegiatan penanaman modal di

17
Pasal 5 ayat (2) dan ayat (3) UUPM
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

Indonesia. Perlakuan ini tidak berlaku bagi penanam modal dari suatu negara yang
memperoleh hak istimewa berdasarkan perjanjian dengan Indonesia.
18

Dalam penjelasan umum UUPM, agar memenuhi prinsip demokrasi ekonomi,
undang-undang ini juga memerintahkan penyusunan peraturan perundang-undangan
mengenai bidang usaha yang tertutup dan terbuka dengan persyaratan, termasuk
bidang usaha yang harus dimitrakan atau dicadangkan bagi usaha mikro, kecil,
menengah, dan koperasi, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 12 UUPM berikut ini:
(1) Semua bidang usaha atau jenis usaha terbuka bagi kegiatan penanaman
modal, kecuali bidang usaha atau jenis usaha yang dinyatakan tertutup dan
terbuka dengan persyaratan.
(2) Bidang usaha yang tertutup bagi penanam modal asing adalah:
a. produksi senjata, mesiu, alat peledak, dan peralatan perang; dan
b. bidang usaha yang secara eksplisit dinyatakan tertutup berdasarkan
undang-undang.
(3) Pemerintah berdasarkan Peraturan Presiden menetapkan bidang usaha yang
tertutup untuk penanaman modal, baik asing maupun dalam negeri, dengan
berdasarkan kriteria kesehatan, moral, kebudayaan, lingkungan hidup,
pertanahan dan keamanan nasional, serta kepentingan nasional lainnya.
(4) Kriteria dan persyaratan bidang usaha yang tertutup dan yang terbuka dengan
persyaratan serta daftar bidang usaha yang tertutup dan yang terbuka dengan
persyaratan masing-masing akan diatur dengan Peraturan Presiden.
(5) Pemerintah menetapkan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan
berdasarkan kriteria kepentingan nasional, yaitu perlindungan sumber daya
alam, perlindungan dan pengembangan usaha mikro, kecil, menengah, dan
koperasi, pengawasan produksi dan distribusi, peningkatan kapasitas
teknologi, partisipasi modal dalam negeri, serta kerja sama dengan badan
usaha yang ditunjuk Pemerintah.
Bidang usaha atau jenis usaha yang tertutup dan yang terbuka dengan
persyaratan ditetapkan melalui Peraturan Presiden disusun dalam suatu daftar yang

18
Pasal 6 UUPM, dalam penjelasannya dinyatakan, yang dimaksud dengan hak istimewa
adalah antara lain hak istimewa yang berkaitan dengan kesatuan kepabeanan, wilayah perdagangan
bebas, pasar bersama (common market), kesatuan moneter, kelembagaan yang sejenis, dan perjanjian
antara Pemerintah Indonesia dan pemerintah asing yang bersifat bilateral, regional, atau multilateral
yang berkaitan dengan hak istimewa tertentu dalam penyelenggaraan penanaman modal.
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

berdasarkan standar klasifikasi tentang bidang usaha atau jenis usaha yang berlaku di
Indonesia, yaitu klasifikasi berdasarkan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia
(KBLI) dan/atau International Standard for Industrial Classification (ISIC).
19

Dalam Pasal 13 UUPM, Pemerintah wajib menetapkan bidang usaha yang
dicadangkan, pembinaan dan pengembangan untuk usaha mikro, kecil, menengah,
dan koperasi (UMKMK).
20
Namun dalam pasal itu tidak disebutkan secara tegas,
bagaimana bentuk pengaturan yang dicadangkan untuk bidang usaha mikro, kecil,
menengah dan koperasi.
21

Demikian juga dalam hal fasilitas fiskal (pajak) menjadi pertimbangan bagi
calon investor untuk menanamkan modalnya. Walaupun, dalam berbagai fasilitas
fiskal (pajak) yang diatur dalam Pasal 18 UUPM sudah memberikan ruang gerak
kemudahan bagi investor, namun ketentuan yang tercantum dalam UUPM juga harus
terjadi kesesuaian dengan peraturan yang terkait dalam hal ini ketentuan tentang
pajak.

19
Penjelasan Pasal 12 UUPM. Selanjutnya, peraturan presiden yang dimaksud, yaitu:
1) Peraturan Presiden R.I. Nomor 76 Tahun 2007 tentang Kriteria dan Persyaratan Penyusunan
Bidang Usaha Yang Tertutup Dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan Di Bidang
Penanaman Modal.
2) Peraturan Presiden R.I Nomor 77 Tahun 2007 tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup Dan
Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan Di Bidang Penanaman Modal.
20
Lihat Pasal 13 UUPM
21
Secara normatif, untuk usaha kecil sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun
1995 tentang Usaha Kecil (UUUK). Dalam undang-undang usaha kecil disebutkan usaha kecil adalah
kegiatan ekonomi rakyat yang berskala kecil dan memenuhi kriteria kekayaan bersih atau hasil
penjualan tahunan serta kepemilikan sebagaimana yang diatur dalam UUUK (Pasal 1 butir 1 UUUK).
Demikian juga halnya untuk koperasi telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992
tentang Koperasi. Dalam undang-undang koperasi disebutkan, koperasi adalah badan hukum koperasi
dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi
rakyat yang berdasarkan atas asas kekeluargaan (Pasal 1 butir 1 UU Koperasi). Yang menjadi masalah
adalah bidang usaha apa saja yang dapat dimasuki oleh badan usaha mikro, kecil, menengah dan
koperasi.
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

Selanjutnya, hal yang sering menjadi kekhawatiran bagi investor dalam
berinvestasi adalah panjangnya rantai birokrasi yang harus dilewati. Dalam Pasal 26
UUPM secara tegas dikemukakan pelayanan investasi dilakukan dalam satu pintu.
Sehingga investor tidak harus membutuhkan jangka waktu yang terlalu panjang
dalam mengurus berbagai hal yang berkaitan dengan investasi yang hendak
dilakukan. Hanya saja untuk melaksanakan sistem pelayanan satu pintu perlu diatur
dalam Peraturan Presiden.
22

Tujuan penyelenggaraan penanaman modal hanya dapat tercapai apabila
faktor penunjang yang menghambat iklim penanaman modal dapat diatasi, antara lain
melalui perbaikan koordinasi antar instansi Pemerintah Pusat dan daerah, penciptaan
birokrasi yang efisien, kepastian hukum di bidang penanaman modal, biaya ekonomi
yang berdaya saing tinggi, serta iklim usaha yang kondusif di bidang ketenagakerjaan
dan keamanan berusaha. Dengan perbaikan berbagai faktor penunjang tersebut,
diharapkan realiasi penanaman modal akan membaik secara signifikan.
23
Mengenai
ketenagakerjaan di Indonesia, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 2 dan Pasal 3
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, bahwa
Pembangunan ketenagakerjaan berlandaskan Pancasila dan Undang Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang diselenggarakan atas asas keterpaduan
dengan melalui koordinasi fungsional lintas sektoral pusat dan daerah.
Calon investor investasi fisik dimanapun akan selalu mencari informasi
selengkap-lengkapnya mengenai segala sesuatu yang berkaitan dengan kegiatan

22
Pasal 26 ayat (3) UUPM, yang menyatakan mengenai tata cara dan pelaksanaan pelayanan
terpadu satu pintu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Presiden..
23
Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal
(UUPM)
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

investasinya di suatu negara. Mereka akan mencari informasi dari klipping-kliping di
kantor kedutaannya, rekan-rekannya (komunitasnya, asosiasi international),
majalah/koran/Televisi(TV), KADIN, pengamatan langsung, jurnal-ilmiah, dan
global independent rater (misalnya corruption perception index yang diterbitkan
transparency international, PERC, Instititutional Investor Credit Rating, dan lain-
lain).
24
Hal ini menunjukkan bahwa investor asing sangat membutuhkan pengamanan
terhadap modal yang diinvestasikannya di negara penerima modal.
Investasi diharapkan membuka lapangan kerja dan meningkatkan pendapatan.
Hal ini mendorong semua negara saling berlomba untuk menarik investasi, tak
terkecuali Indonesia. Persaingan memperebutkan investasi juga semakin sengit
sehingga semua negara saling berlomba memperbaiki iklim investasi guna
mendorong perekonomian. Di antara negara-negara berkembang, iklim investasi di
Indonesia masih kalah jauh, termasuk dengan negara tetangga. Lemahnya arus masuk
investasi turut membuat daya saing Indonesia menurun. Karena itu, kenaikan arus
investasi yang juga akan membawa keahlian akan bisa menolong pemulihan daya
saing Indonesia.
Perkembangan ini bisa disimak dari laporan hasil penelitian yang dikeluarkan
International Finance Corporation (IFC) dan Bank Dunia serta Bank Pembangunan
Asia yang tertuang dalam laporan IFC dan Bank Dunia mengenai Doing Business
2007. Indonesia menduduki peringkat 135 dari 175 negara dalam hal kemudahan

24
CPI Investasi Asing dan Potensi Industri Asing , Pidato ilmiah Prof.Dr.Ir. Kresnohadi
Ariyoto Karnen, dibacakan pada saat upacara pengukuhan sebagai Guru Besar Tetap Ilmu Manajemen
FEUI yang berlangsung hari Rabu, 14 Nopember 2007 di Kampus Depok, dalam Website Universitas
Indonesia, hal. 1.
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

memulai usaha baru. Peringkat itu turun dari posisi 131 tahun lalu karena perbaikan
tak sesignifikan negara lain.
25

Satu hal yang sering menjadi pertimbangan calon investor, jika investor ingin
menanamkan modalnya di luar negeri adalah eksistensi lembaga penyelesaian
sengketa antara investor dengan negara tuan rumah. Sebenarnya secara konvensional
di negara manapun di dunia ini telah tersedia lembaga penyelesaian sengketa yakni
lembaga peradilan, yang dalam teori hukum ketatanegaraan dikenal sebagai lembaga
yudikatif. Hanya saja, jika penyelesaian sengketa antara investor dengan negara tuan
rumah diselesaikan lewat lembaga peradilan ada keraguan di kalangan calon investor
asing. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Tineke Louise Tuegeh Longdong:
Pertimbangan utama dari investor untuk melakukan investasi adalah adanya
jaminan hukum yang memadai, menyediakan cara penyelesaian sengketa melalui
arbitrase luar negeri terhadap kerugian-kerugian yang mungkin timbul sebagai
akibat dari penanaman modal. Investor dan pedagang asing selalu berupaya untuk
melepaskan diri dari peradilan negara berkembang karena merasa tidak mengenal
hukum setempat yang berlainan dengan sistem hukum negaranya sendiri. Selain
itu ada keragu-raguan bahwa peradilan setempat akan bersikap tidak obyektif.
Alasan lain adalah, apakah lembaga peradilan negara berkembang ada
kemampuan dalam memeriksa sengketa perdagangan internasional dan alih
teknologi yang demikian rumit.
26

Gencarnya ajakan Pemerintah Indonesia untuk menarik investasi asing
ternyata belum dibarengi dengan sistem kebijakan, perundang-undangan, birokrasi,
dan jaminan rasa aman yang memadai. Publik memandang berbagai kondisi yang ada
di Tanah Air saat ini belum mendukung iklim investasi yang kondusif. Padahal,
cukup tersirat harapan di benak publik bahwa masuknya investasi asing ini bisa turut

25
Ali Mubarak, Memutus Hambatan Investasi, terdapat dalamhttp://www.seputarindonesia.com,
diakses tanggal 4 September 2007.
26
Tineke Louise Tuegeh Longdong, Asas Ketertiban Umum dan Konvensi New York 1958,
Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998, hal. 2.
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

membantu memulihkan kondisi perekonomian nasional yang dirasakan kian
memburuk. Undangan pemerintah kepada pihak asing untuk terus menanamkan
investasi di Indonesia tak pernah henti diserukan. Namun, tampaknya berbagai hal
belum siap mendukung keseriusan pemerintah menarik investasi asing. Dalam
memberikan jaminan keamanan berusaha, misalnya kondisi di beberapa wilayah di
Indonesia memang masih belum cukup aman untuk membuat perusahaan-perusahaan
asing tertarik menanamkan modalnya di Indonesia.
27
Hal ini juga dipengaruhi
kebijakan-kebijakan pemerintahan daerah sejak diberlakukannya Otonomi Daerah.
Pelaksanaan otonomi daerah sejak dikeluarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun
1999 yang telah dua kali dilakukan perubahan yaitu dengan Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004 dan sekarang dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang
Pemerintahan Daerah.
Sejak otonomi daerah dilaksanakan telah lahir berbagai peraturan daerah.
Peraturan daerah ini semestinya dapat memacu pertumbuhan ekonomi dan
meningkatkan pendapatan daerah, namun demikian yang terjadi justru sebaliknya,
peraturan daerah cenderung membuat masyarakat dan dunia usaha dirugikan.
28

Berdasarkan penelitian Departemen Keuangan peraturan daerah dapat
dikelompokkan menjadi 4 (empat) kelompok, yaitu:
29

1. Peraturan daerah tentang pajak dan retribusi yang telah sesuai dengan jenis-
jenis pajak dan retribusi sebagaimana yang tercantum dalam peraturan
perundang-undangan.
2. Peraturan daerah tentang jenis-jenis pajak dan retribusi baru (di luar peraturan
tentang biaya perizinan untuk bongkar pasang di wilayah perbatasan).

27
Mencemaskan Masuknya Investasi Asing, Kompas, 4 Februari 2006.
28
Pemerintah Diminta Beri Perlakuan Yang Sama Untuk Tarik PMA, Bisnis Indonesia, 25
J anuari 2000.
29
Laporan Penelitian Departemen Keuangan, Tahun 2003.
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

Peraturan ini lebih banyak didorong untuk meningkatkan pendapatan dan
cenderung mengabaikan kepentingan publik.
3. Peraturan daerah tentang kewajiban memberikan sumbangan perusahaan
kepada pihak ketiga. Dengan peraturan ini maka perusahaan harus
menyediakan bayaran sukarela kepada pihak ketiga termasuk pemerintah
daerah setempat. Sumbangan pihak ketiga beroperasi sebagai pajak, tapi tidak
dimasukkan ke dalam kas pemerintah. Alasannya, karena sumbangan ini
diartikan sebagai sumbangan sukarela dari masyarakat kepada pemerintah
daerah. Selain itu, ada juga peraturan tentang biaya pungutan jalan dan
transport. Pungutan ini dimaksudkan untuk membiayai pekerjaan jalan dan
perawatan, tapi seringkali membebankan pajak dan biaya lainnya seperti pajak
pendaftaran kendaraan.
4. Peraturan daerah yang bersifat pengaturan namun di dalamnya tercantum pula
pungutan-pungutan yang mirip pungutan pajak dan/ atau retribusi.
5. Peraturan daerah yang bersifat pengaturan yang di dalamnya juga membuat
pungutan namun pungutan tersebut berkaitan dengan jasa di bidang
kepelabuhan.
Pada sisi lain, Departemen Keuangan juga melakukan penelitian terhadap
1.528 Perda yang terdiri dari sektor Energi dan Sumber Daya Mineral, sektor
Pertanian dan Peternakan, sektor Perdagangan dan Industri, sektor Kehutanan dan
Perkebunan, sektor Pariwisata, sektor Perkebunan. Berdasarkan penelitian ini,
Departemen Keuangan merekomendasikan 206 Perda untuk dibatalkan karena
tumpang tindih dengan pajak pusat, pungutan retribusi yang tidak sesuai dengan
prinsip-prinsip retribusi, menimbulkan duplikasi dengan pungutan daerah,
menghambat arus lalu lintas, menimbulkan ekonomi biaya tinggi dan berakibat
meningkatnya beban subsidi pemerintah.
30

Selain itu dana moneter internasional (IMF) juga merekomendasikan
pembatalan peraturan daerah karena memberatkan investor. Melalui letter of intent
(LoI), IMF meminta agar 100 peraturan daerah dibatalkan.
31


30
Suparji, Penanaman Modal Asing di Indonesia Insentif vs Pembatasan, Fakultas Hukum
Universitas Al Azhar Indonesia, J akarta, 2008, hal. 150.
31
Perda, atau Pembunuh Investor, Kompas, 27 J anuari 2002.
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

Pada tahun 2003, menurut hasil penelitian Komisi Pemantauan Pelaksanaan
Otonomi Daerah (KPPOD) ditemukan sebanyak 257 dari 353 peraturan daerah
(Perda) yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah adalah Perda bermasalah. Perda ini
terdiri atas pajak daerah, retribusi daerah, pungutan non pajak, non retribusi, dan non
pungutan.
32

Pada tahun 2008, sebanyak 41 Peraturan Daerah yang dinilai mengganggu
investasi migas dibatalkan oleh Menteri Dalam Negeri. Peraturan Daerah itu terkait
langsung maupun tidak langsung dengan iklim investasi di industri migas, seperti
perda pengelolaan air limbah, pengambilan air tanah dan pengelolaan migas.
33

Banyaknya pungutan dan retribusi yang sebenarnya tidak perlu, kemudian
peraturan yang tumpang tindih dan bertentangan dengan semangat otonomi daerah,
membuat biaya investasi menjadi lebih tinggi. Investor harus mengeluarkan biaya
ekstra yang memberatkan bagi kelangsungan usahanya.
Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah provinsi
merupakan urusan dalam skala provinsi yang meliputi, pelayanan administrasi
penanaman modal termasuk lintas kabupaten/kota. Dalam melayani kebutuhan
investor, kemungkinan terjadinya perbedaan interpretasi dalam pelaksanaannya
sangat mungkin terjadi.
Berdasarkan dari uraian latar belakang di atas, maka perlu dilakukan kajian
yuridis tentang jaminan kepastian hukum bagi investasi asing di Indonesia menurut
ketentuan Undang-Undang Penanaman Modal dan kewenangan daerah dalam kaitan
dengan otonomi daerah.

32
UU Otonomi Daerah Vs Perda, Forum Keadilan, No. 35,1 Februari 2004.
33
Ganggu Investasi Migas, 14 Perda Dibatalkan, Bisnis Indonesia, 9 Mei 2008.
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

B. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan permasalahan adalah:
1. Bagaimana jaminan kepastian hukum bagi investasi asing menurut ketentuan
Undang-Undang Penanaman Modal di Indonesia?
2. Bagaimana kewenangan Pemerintah Daerah terhadap investasi asing menurut
Undang-Undang Pemerintahan Daerah?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan pada permasalahan di atas, maka yang dijadikan tujuan dalam
penelitian ini adalah:
1. Untuk menjelaskan jaminan kepastian hukum bagi investasi asing menurut
ketentuan Undang-Undang Penanaman Modal di Indonesia.
2. Untuk menjelaskan kewenangan Pemerintah Daerah terhadap investasi asing
menurut Undang-Undang Pemerintahan Daerah.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Secara teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah sumbangsih pengetahuan bagi
pengembangan hukum investasi secara umum dan secara khusus pada kajian
yuridis tentang jaminan kepastian hukum bagi investasi asing di Indonesia.
2. Secara praktis
Diharapkan hasil penelitian ini nantinya bermanfaat dan dapat dijadikan pedoman
bagi pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta instansi-instansi terkait
lainnya, dalam pelaksanaan investasi asing di Indonesia.
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan informasi dari penelusuran kepustakaan khususnya di lingkungan
Universitas Sumatera Utara, penelitian dengan judul: Kajian Yuridis Tentang
J aminan Kepastian Hukum Investasi Asing di Indonesia belum pernah dilakukan
oleh peneliti lainnya. Sebelumnya memang penelitian yang berjudul Analisis Faktor
Yang Mempengaruhi Perkembangan Investasi Dalam Pembangunan Daerah
Sumatera Utara Tahun 2005 yang diteliti oleh H. Amiruddin, Magister Ekonomi
Pembangunan, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. J ika dikonfrontir
penelitian sebelumnya dengan penelitian ini adalah berbeda dalam pembahasannya.
Sehingga penelitian ini adalah asli dan keasliannya secara akademik keilmuan dapat
dipertanggungjawabkan.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1. Kerangka teori
Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik
atau proses tertentu terjadi,
34
dan satu teori harus diuji dengan menghadapkannya
pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidak benarannya.
35
Kerangka teori
adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, thesis mengenai sesuatu
kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan, pegangan
teoritis.
36
Kerangka teori yang akan dijadikan pisau analisis dalam penelitian ini
adalah teori kepastian hukum.

34
J .J .J . M. Wuisman, dengan penyunting M. Hisyam, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, J ilid I, FE
UI, J akarta, 1996, hal. 203, dalam S. Mantayborbir, Sistem Hukum Pengurusan Piutang, Pustaka
Bangsa Press, J akarta, 2004, hal. 13.
35
Ibid., hal. 16.
36
M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994, hal. 80.
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

Soerjono Soekanto, mengemukakan:
Wujud kepastian hukum adalah peraturan-peraturan dari pemerintah pusat
yang berlaku umum di seluruh wilayah negara. Kemungkinan lain adalah
peraturan tersebut berlaku umum, tetapi hanya bagi golongan tertentu. Selain itu
dapat pula peraturan setempat yaitu peraturan yang dibuat oleh penguasa setempat
yang hanya berlaku di daerahnya saja, misalnya peraturan kotapraja.
37

Dari pendapat di atas, terlihat bahwa wujud kepastian hukum pada umumnya
berupa peraturan tertulis yang dibuat oleh suatu badan yang mempunyai otoritas
untuk itu. Arti pentingnya kepastian hukum itu menurut Sudikno Mertokusumo
adalah:
Masyarakat mengharapkan adanya kepastian hukum karena dengan adanya
kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib. Hukum bertugas menciptakan
kepastian hukum karena bertujuan untuk ketertiban masyarakat. Tanpa kepastian
hukum orang tidak tahu apa yang harus diperbuatnya sehingga akhirnya timbul
keresahan. Tetapi jika terlalu menitikberatkan pada kepastian hukum, dan ketat
menaati peraturan hukum maka akibatnya akan kaku serta menimbulkan rasa
tidak adil. Apapun yang terjadi peraturannya tetap seperti demikian, sehingga
harus ditaati dan dilaksanakan. Undang-Undang itu sering terasa kejam apabila
dilaksanakan secara ketat, lex dure, sed tamen scripta (undang-undang itu kejam,
tetapi memang demikianlah bunyinya).
38

Dalam melakukan investasi selain tunduk kepada ketentuan hukum investasi,
juga ada ketentuan lain yang terkait dan tidak bisa dilepaskan begitu saja. Ketentuan
tersebut, antara lain berkaitan dengan perpajakan, ketenagakerjaan, dan masalah
pertanahan. Semua ketentuan ini akan menjadi pertimbangan investor, dalam
melakukan investasi.


37
Soerjono Soekanto, Beberapa Permasalahan Hukum dalam Kerangka Pembangunan
Indonesia, UI Pres, J akarta, 1974, Cet.4, hal. 56
38
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta, 1988,
Cetakan I, edisi kedua, hal. 136.
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

Charles Himawan menyatakan:
Peraturan-peraturan itu kadang-kadang demikian banyaknya sehingga
menimbulkan kekaburan akan hukum yang berlaku. Untuk memanfaatkan modal
multinasional secara maksimal diperlukan kejernihan hukum. Apabila hukum
yang berwibawa berarti hukum yang ditaati orang, baik orang yang membuat
hukum itu maupun orang terhadap siapa hukum itu ditujukan, akan terlihat di sini
kaitan antara manusia dan hukum. Dirasakan pula perlunya hukum yang
berwibawa untuk menunjang pembangunan. Dalam konteks yang berlainan
diamati perlunya kepastian hukum untuk menjamin arus modal (capital flow) ke
Indonesia.
39

Satu hal yang menarik dari pandangan yang dikemukakan di atas, yakni
perlunya hukum yang berwibawa. Dengan kata lain berwibawanya hukum menjadi
indikator hukum yang dipatuhi. Tampaknya hal ini tidak dapat dilepaskan dari tujuan
pembentukan hukum itu sendiri. Hal ini memang tidak dapat dilepaskan dari latar
belakang pemikiran yang mendasari lahirnya suatu norma hukum. Selain itu, waktu
dan tempat berlakunya hukum juga cukup berpengaruh.
Lawrence M. Friedman, menyatakan:
hukum ditentukan secara tegas berdasarkan kebangsaan: hukum berhenti
sampai di perbatasan negara. Di luar negaranya, hukum tidak sah sama sekali.
J adi tidak ada dua sistem hukum betul-betul serupa. Masing-masing sistem
hukum bersifat khusus bagi negaranya atau yuridiksinya. Hal ini tidak berarti
bahwa sistem hukum sepenuhnya berbeda dengan sistem hukum lainnya.
40

Dari apa yang dikemukakan di atas, jelas bahwa keberadaan hukum di tengah-
tengah masyarakat sebagai pegangan dalam menjalankan hubungan satu dengan yang
lain terlebih lagi dalam lalu lintas bisnis sangat dibutuhkan.

39
Charles Himawan, Hukum Sebagai Panglima, Penerbit Buku Kompas, J akarta, 2003,
Cetakan 1, hal. 113, 155. Lihat juga Theo Huijbers, Filsafat Hukum, Kanisius, Yogyakarta, 1995, hal.
118, yang menjelaskan bahwa: wibawa hukum itu tidak terletak dalam kekuasaan pemerintah yang
menciptakannya. Bila demikian halnya hukum ditakuti, bukan dihormati. Tetapi sebaliknya wibawa
ada pada hukum, oleh sebab hukum itu mengatur dan membimbing.
40
Lawrence M. Friedman, American Law An Introduction, Second Edition (Hukum Amerika
Sebuah Pengantar, Penerjemah: Wishnu Basuki), Tatanusa, J akarta, 2001, hal. 19.
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

Investor membutuhkan adanya kepastian hukum sebagai salah satu ukuran
yang menjadi pegangan dalam melakukan kegiatan investasinya, yaitu suatu aturan
yang dibuat oleh yang mempunyai otoritas untuk itu, ada aturan itu berlaku untuk
semua pihak.
Budiono Kusumohamidjojo, menyatakan:
Dalam keadaan tanpa patokan sukar bagi kita untuk membayangkan bahwa
kehidupan masyarakat bisa berlangsung tertib, damai, dan adil. Fungsi dari
kepastian hukum adalah tidak lain untuk memberikan patokan bagi perilaku
seperti itu. Konsekuensinya adalah hukum itu sendiri harus memiliki suatu
kredibilitas, dan kredibilitas itu hanya bisa dimilikinya, bila penyelenggaraan
hukum mampu memperlihatkan suatu alur konsistensi. Penyelenggaraan hukum
yang tidak konsisten tidak membuat masyarakat mau mengandalkannya sebagai
perangkat kaedah yang mengatur kehidupan bersama.
41

Bertitik tolak dari pemikiran tentang asas kepastian hukum sebagaimana yang
dikemukakan di atas, dapat diketahui adanya korelasi antara kepastian hukum dengan
kegiatan investasi. Artinya apabila ada kepastian hukum dalam berinvestasi, maka
kegiatan investasi pun akan berjalan dengan baik.
Dalam menggerakkan sektor perekonomian lewat pranata hukum investasi
dibutuhkan aturan hukum yang jelas, demi kepastian hukum bagi investasi asing,
karena Indonesia membutuhkan investasi asing untuk pembangunan di segala sektor
yang membutuhkan dana yang tidak sedikit, sementara dana dalam negeri tidak
mencukupi, maka pemerintah sebagai penyelenggara negara mencari alternatif lain,
di antaranya mengundang investasi asing masuk ke Indonesia.
Pengertian investasi dalam Kamus Istilah Keuangan dan Investasi, digunakan
investment (investasi) yang mempunyai arti:

41
Budiono Kusumohamidjojo, Ketertiban Yang Adil Problematika Filsafat Hukum, Grasindo,
J akarta, 1999, Cetakan 1, hal. 150-151.
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

Penggunaan modal untuk menciptakan uang, baik melalui sarana yang
menghasilkan pendapatan maupun melalui ventura yang lebih berorientasi ke
risiko yang dirancang untuk mendapatkan modal. Investasi dapat pula berarti
menunjuk ke suatu investasi keuangan (di mana investor menempatkan uang ke
dalam suatu sarana) atau menunjuk ke investasi suatu usaha atau waktu seseorang
yang ingin memetik keuntungan dari keberhasilan pekerjaannya.
42

Dalam Eksiklopedia Ekonomi Keuangan Perdagangan, dijelaskan istilah
investment atau investasi, penanaman modal digunakan untuk:
Penggunaan atau pemakaian sumber-sumber ekonomi untuk produksi barang-
barang produsen atau barang-barang konsumen. Dalam arti yang semata-mata
bercorak keuangan, investment mungkin berarti penempatan dana-dana kapital
dalam suatu perusahaan selama jangka waktu yang relatif panjang, supaya
memperoleh suatu hasil yang teratur dengan maksimum keamanan.
43

Menurut ketentuan Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007
tentang Penanaman Modal (UUPM), penanaman modal adalah segala bentuk
kegiatan penanaman modal, baik oleh penanaman modal dalam negeri maupun
penanaman modal asing untuk melakukan usaha di wilayah Negara Republik
Indonesia.
Dalam berbagai kepustakaan ekonomi atau hukum bisnis, terminologi
penanaman modal dapat berarti penanaman modal yang dilakukan secara langsung
oleh investor lokal (domestic investor), investor asing (Foreign Direct Investment
atau FDI) dan penanaman modal yang dilakukan secara tidak langsung oleh pihak
asing (Foreign Indirect Investment atau FII). Untuk yang terakhir ini dikenal dengan

42
Lihat, J ohn Downes dan J ordan Elliot Goodman, Kamus Istilah Keuangan & Investasi.
Alih bahasa oleh Soesanto Budhidarmo, Elex Media Komputindo, J akarta, 1994, hal. 300.
43
Lihat, A. Abdurrahman, Ensiklopedia Ekonomi Keuangan Perdagangan, Pradnya Paramita,
J akarta, 1991, Cetakan ke 6, hal. 340.
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

istilah penanaman modal dalam bentuk portofolio yakni pembelian efek lewat
Lembaga Pasar Modal (Capital Market).
44

Menurut Gunarto Suhardi,
Investasi langsung lebih baik jika dibandingkan dengan investasi portofolio,
karena investasi langsung lebih permanen. Selain itu investasi langung:
a. Memberikan kesempatan kerja bagi penduduk
b. Mempunyai kekuatan penggandaan dalam ekonomi lokal.
c. Memberikan risidu baik berupa peralatan maupun alih teknologi.
d. Bila produksi diekspor memberikan jalan atau jalur pemasaran yang dapat
dirunut oleh pengusaha lokal di samping seketika memberikan tambahan
devisa dan pajak bagi negara.
e. Lebih tahan terhadap fluktuasi bunga dan valuta asing.
f. Memberikan perlindungan politik dan keamanan wilayah karena bila investor
berasal dari negara kuat niscaya bantuan keamanan juga akan diberikan.
45

Pernyataan ini memperlihatkan manfaat kehadiran investor asing dapat
menyerap tenaga kerja di negara penerima modal, dapat menciptakan permintaan
bagi produk dalam negeri sebagai bahan baku, menambah devisa apalagi investor
asing yang berorientasi ekspor, dapat menambah penghasilan negara dari sektor
pajak, adanya alih teknologi maupun alih pengetahuan. Dengan demikian kehadiran
investor asing cukup berperan dalam pembangunan ekonomi suatu negara, khususnya
pembangunan di daerah di mana investasi asing langsung (FDI) menjalankannya
aktivitasnya.
Mencermati peran investasi asing cukup signifikan dalam membangun
perekonomian, tidaklah mengherankan jika di berbagai negara di dunia, baik negara-

44
Investasi dalam bentuk portofolio atau pembelian efek lewat pasar modal diatur dalam
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal. Dalam Pasal 1 butir 13 disebutkan, pasar
modal adalah kegiatan yang bersangkutan dengan penawaran umum dan perdagangan efek, perusahaan
publik yang berkaitan dengan efek yang diterbitkannya, serta lembaga dan profesi yang berkaitan
dengan efek. Pasal 1 butir 5 mengemukakan, efek adalah surat berharga, yaitu surat pengakuan utang,
surat berharga komersial, saham, obligasi, tanda bukti utang, unit penyertaan kontrak investasi,
kolektif, kontrak berjangka atas efek, dan setiap derivatif dari efek. Portofolio efek adalah kumpulan
efek yang dimiliki oleh pihak (Pasal 1 butir 24).
45
Gunarto Suhari, op. cit., hal. 45.
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

negara maju maupun negara-negara berkembang berusaha secara optimal agar
negaranya dapat menjadi tujuan investasi asing tidak terkecuali Indonesia. Di lain
pihak, dari sudut pandang investor adanya keterbukaan pasar di era globalisasi
membuka peluang untuk berinvestasi di berbagai negara. Tujuannya sudah jelas
yakni mencari untung, sedangkan negara penerima modal berharap ada partisipasi
investor asing dalam pembangunan nasionalnya.
Untuk menyatukan antara kepentingan investor asing dengan penerima-
penerima modal harus disadari tidak mudah. Artinya apabila negara penerima modal
terlalu ketat dalam menentukan syarat penanaman modal investor, mungkin saja para
investor tidak akan datang lagi bahkan bagi investor yang sudah ada pun bisa jadi
akan merelokasi perusahaannya. Karena di era globalisasi ini, para pemilik modal
sangat leluasa dalam menentukan tempat berinvestasi yang tidak terlalu dibatasi
ruang geraknya. Untuk itu dalam menyikapi arus globalisasi yang terus merambah ke
berbagai bidang tersebut maka, peraturan perundang-undangan investasi asing di
berbagai negara pun terus diperbarui sesuai dengan perkembangan dunia bisnis yang
semakin mengglobal.
Dengan kata lain dalam perspektif, dunia bisnis tidak lagi mengenal sekat-
sekat atau batas negara. Tidak kalah pentingnya, ikut andil dalam perubahan
kebijakan investasi asing adalah pesatnya perkembangan teknologi di berbagai sektor,
khususnya di sektor informasi. Hal ini ialah menimbulkan ekspansi perusahaan-
perusahaan multinatisional terutama di bidang jasa keuangan. Menyikapi hal ini,
maka sejumlah negara pun melakukan kebijakan liberalisasi di bidang investasi, antara
lain membuka seluas-luasnya bidang usaha yang dapat dimasuki oleh investor asing yang
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

sebelumnya tertutup. Selain itu prosedur untuk berinvestasi pun disederhanakan.
46
Jadi,
agar dapat berkompetisi dalam menarik investor berbagai ketentuan hukum yang terkait
dengan investasi di Indonesia perlu disesuaikan dengan tuntutan global.
Sondang P. Siagian menyatakan:
Jika suatu negara hendak mengundang investor asing dalam rangka pembangunan
ekonominya, maka ada beberapa hal yang harus diperhatikan yakni:
1) Bahwa kesahan (legitimacy) pemerintah yang sedang berkuasa harus berada
pada tingkat yang tinggi, oleh karena kesahan yang tinggi tersebut diduga
akan menjamin kontinuitas dari pemerintahan yang bersangkutan.
2) Pemerintah harus dapat menciptakan suatu iklim yang merangsang untuk
penanaman modal asing tersebut. Artinya bahwa kepada para penanam modal
asing harus diberikan keyakinan bahwa modal yang mereka tanamkan
memberikan kepada mereka keuntungan yang wajar sebagaimana halnya
apabila modal tersebut ditanam di tempat lain, baik di negara asalnya sendiri
maupun di negara lain.
3) Pemerintah perlu memberi jaminan kepada para penanam modal asing
tersebut, bahwa dalam hal terjadinya goncangan politik di dalam negeri, maka
modal mereka akan dapat dikembalikan kepada pemiliknya dan badan usaha
mereka tidak dinasionalisasi.
4) Pemerintah harus dapat menunjukkan bahwa pemerintah itu mempunyai
kesungguhan dalam memperbaiki administrasi negaranya, agar dalam
hubungannya dengan penanam modal asing itu, maka permintaan izin dan hal
lain yang menyangkut pembinaan usaha tidak mengalami perubahan-
perubahan birokratisme yang negatif akan tetapi dapat berjalan lancar dan
memuaskan.
47

Di sini terlihat yang menjadi perhatian investor adalah legitimasi dari
pemerintahan yang sedang berkuasa. Hal ini memang ada kaitannya dengan risiko
yang akan dihadapi oleh investor. Sebenarnya dalam tatanan global berkaitan dengan
risiko non-komersial (non-commercial risk), sudah ada satu pengaturan bagi investor
yakni apa yang dicantumkan dalam Multilateral Investment Guarentee Agency,

46
Lihat, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman R.I. Laporan Akhir:
Penelitian Tentang Aspek Hukum Perdagangan Dikaitkan dengan Penanaman Modal Asing, J akarta,
1996, hal. 7.
47
Sondang P. Siagian, Administrasi Pembangunan, Gunung Agung, J akarta, 1985, cetakan
kesebelas, hal. 88.
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

(MIGA) yang diprakarsai Bank Dunia (World Bank).
48
Indonesia sendiri telah turut
serta dalam konversi MIGA berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 1 Tahun
1986 tentang Pengesahan Convention Establishing The Multilateral Investment
Guarentee Agency. Hal ini berarti secara normatif jika menyangkut risiko politik
tidak menjadi masalah. Artinya jika terjadi risiko politik, maka MIGA sebagai suatu
institusi akan memberikan ganti rugi kepada investor.
Gunarto Suhardi menyatakan:
Ada banyak persetujuan lainnya di antara kelompok anggota-anggota PBB
dalam berbagai hal yang menjadi hukum internasional yang mempengaruhi
ekonomi rakyat berbagai negara. Satu contoh yakni perbaikan pengaturan
perdagangan dunia yang sangat mempengaruhi kepada kelancaran hubungan
ekonomi antar negara khususnya ekspor, impor, dan perdagangan jasa-jasa
internasional. Pengaturan yang dimaksud di sini adalah General Agreement on
Tariffs and Trade, GATT.
49

Dengan demikian masuknya Indonesia ke lalu lintas perdagangan
internasional, maka kaidah-kaidah hukumnya pun harus mengadopsi norma-norma
yang telah menjadi acuan umum.
Bismar Nasution menyatakan:
Implikasi globalisasi ekonomi itu terhadap hukum juga tidak dapat
dihindarkan, sebab globalisasi hukum mengikuti globalisasi tersebut, dalam arti
berbagai substansi undang-undang dan perjanjian-perjanjian menyebar melewati
batas-batas negara. Disinilah diperlukan pembaruan hukum investasi sebagai
perangkat aturan untuk mengantisipasi kegiatan investasi di Indonesia era AFTA
2003. Dengan ini berarti hukum investasi harus diperbarui sesuai dengan ritme
tuntutan AFTA guna menampung ketentuan AFTA.
50


48
Lihat, A.F. Elly Erawati, Meningkatkan Investasi Asing Di Negara Berkembang: Kajian
Terhadap Fungsi dan Peran dari The Multilateral Inevstment Guarantee Agency, Pusat Studi
Hukum Unpar, Bandung, 1989, hal. 30.
49
Gunarto Suhardi, Peranan Hukum Dalam Pembangunan Ekonomi, Unika Atmajaya,
Yogyakarta, 2002, cetakan 1, hal.30.
50
Bismar Nasution, Implikasi AFTA Terhadap Kegiatan Investasi Hukum Investasi
Indonesia, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 22, edisi J anuari-Februari, 2003, hal. 48.
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

Untuk menyikapi ini semua, hal yang harus dilakukan oleh penerima modal
adalah bagaimana melengkapi berbagai ketentuan hukum yang terkait dengan
undang-undang penanaman modal. Perlunya melengkapi berbagai ketentuan investasi
tiada lain karena lingkungan dunia usaha baik di tingkat nasional, regional maupun
internasional telah mengalami berbagai perkembangan yang demikian pesat, sehingga
mau atau tidak, ketentuan investasi juga harus disesuaikan dengan ketentuan hukum
nasional termasuk ketentuan investasi. Seperti yang dikemukakan oleh Baharuddin
Lopa, agar hukum nasional senantiasa mampu menyesuaikan perkembangan keadaan,
maka ia harus membuka diri, menerima unsur-unsur dari luar yang dapat
memperlancar pembangunan nasional yang sedang dikerjakan oleh bangsa ini.
51

Dengan demikian jika ingin bersaing dengan negara lain dalam merebut calon
investor, ketentuan yang terkait dengan penanaman modal harus disesuaikan dengan
kondisi era globalisasi. Sebagaimana dalam hasil penelitian yang dilakukan oleh tim
peneliti dari Badan Pembinaan Hukum Nasional:
Upaya menciptakan iklim penanaman modal yang kondusif menjadi semakin
perlu mengingat bahwa untuk menarik penanaman modal, Indonesia dihadapkan
pada tantangan yang semakin besar dan kompleks, serta persaingan semakin
tajam baik sesama negara berkembang maupun dari negara maju, terutama dalam
menarik modal asing. Peningkatan penanaman modal dapat dilakukan melalui
peningkatan peran aktif masyarakat berinvestasi, membuka kesempatan berusaha
secara luas. Keikutsertaan Indonesia dalam berbagai forum kerjasama bilateral,
regional dan multilateral atas dasar kepentingan nasional menimbulkan berbagai
konsekuensi yang harus dihadapi dan ditaati.
52

J adi, salah satu faktor yang dijadikan parameter untuk menilai apakah tempat
berinvestasi kondusif atau tidak, yakni adanya kepastian hukum. Investasi asing

51
Lihat, Baharuddin Lopa, Etika Pembangunan Hukum Nasional, dalam Artidjo Alkostar
(ed), Identitaqs Hukum Nasional, FH UII, Yogyakarta, 1997, hal. 25.
52
Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Departemen Kehakiman Dan HAM RI.,
Perumusan Harmonisasi Hukum Bidang Penanaman Modal, J akarta, J uli 2003, hal. 66, 67.
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

membutuhkan jaminan oleh peraturan perundang-undangan negara penerima
investasi guna memberikan perlindungan hukum bagi keamanan terhadap modal yang
dikeluarkannya.
2. Konsepsi
Konsep adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Konsepsi diterjemahkan
sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi suatu yang konkrit, yang
disebut dengan operational definition.
53
Pentingnya definisi operasional adalah untuk
menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu
istilah yang dipakai.
54
Oleh karena itu untuk menjawab permasalahan dalam
penelitian ini harus didefinisikan beberapa konsep dasar, agar secara operasional
diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan, yaitu:
a. Investasi asing adalah kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di
wilayah negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal asing,
baik yang menggunakan modal asing sepenuhnya maupun yang berpatungan
dengan penanam modal dalam negeri.
b. Investasi asing langsung adalah penanaman modal dilakukan secara langsung
pemilik modalnya.
55

c. Investasi asing tidak langsung adalah penanaman modal dilakukan melalui
pembelian obligasi-obligasi, surat-surat kertas perbendaharaan negara, emisi-

53
Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi
Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, J akarta, hal. 10.
54
Tan Kamelo, Perkembangan Lembaga Jaminan Fiducia: Suatu Tinjauan Putusan
Pengadilan dan Perjanjian di Sumatera Utara, Disertai, PPs-USU, Medan, 2002, hal.35.
55
Penjelasan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal
Dalam Negeri (UUPMDN)
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

emisi lainnya (saham-saham) yang dikeluarkan oleh perusahaan, serta deposito
dan tabungan yang berjangka waktu sekurang-kurangnya satu tahun.
56

d. Pemerintahan Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang
kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana yang dimaksud
dalam Undang-Undang Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945.
57

e. Pemerintahan Daerah adalah gubernur, bupati atau walikota, dan perangkat
daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
58

f. Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat
setempat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
59

g. J aminan kepastian hukum adalah satu ukuran yang menjadi pegangan bagi
investor dalam melakukan kegiatan investasinya, yaitu suatu aturan yang dibuat
oleh yang mempunyai otoritas untuk itu, ada aturan itu berlaku untuk semua
pihak.
60

G. Metode Penelitian
1. Sifat dan jenis penelitian
Sesuai dengan karakteristik perumusan masalah yang ditujukan untuk
menganalisa jaminan kepastian hukum investasi asing di Indonesia, maka penelitian
ini bersifat deskriptif analisis. Penelitian ini dilakukan secara pendekatan yuridis

56
Penjelasan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal
Dalam Negeri (UUPMDN)
57
Pasal 1 angka 12 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UUPM)
58
Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UUPM)
59
Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UUPM)
60
Budiono Kusumohamidjojo, op. cit., hal. 150-151.
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

normatif, karena penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan atau studi dokumen
yang dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan-peraturan yang tertulis atau bahan
hukum yang lain,
61
mengenai jaminan kepastian hukum investasi asing di Indonesia.
2. Teknik pengumpulan data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian adalah
penelusuran kepustakaan yang berupa literatur dan dokumen-dokumen yang ada,
yang berkaitan dengan objek penelitian.
62
Oleh karena itu, sumber data penelitian ini
adalah data sekunder, yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder
dan bahan hukum tertier.
63

1) Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yakni:
a) Norma atau kaidah dasar, yaitu Pembukaan UUD 1945.
b) Peraturan perundang-undangan yang berkait dengan objek penelitian yaitu:
Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal; Undang-
Undang No. 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri;
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan; Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah; dan peraturan
pelaksanaan yang terkait.
2) Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum
primer, seperti: hasil-hasil penelitian, karya ilmiah dari kalangan hukum yang
berkaitan jaminan kepastian hukum investasi asing di Indonesia.

61
Bambang Waluyo, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, J akarta, 1996, hal.13
62
Ronny Hantijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, J akarta, 1982,
hal. 24.
63
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,
(J akarta: Rajawali Press, 1995), hal.39.
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

3) Bahan tertier (penunjang) di luar bidang hukum seperti kamus ensiklopedia atau
majalah yang berkaitan jaminan kepastian hukum investasi asing di Indonesia.
3. Alat pengumpulan data
Agar dapat diperoleh hasil yang baik yang bersifat objektif ilmiah maka
dibutuhkan data-data yang akurat dan dapat dipertanggung jawabkan kebenaran
hasilnya, maka dalam hal ini peneliti memperoleh data dengan menggunakan alat
pengumpulan data studi dokumen, yaitu berupa penelitian yang mempelajari dan
memahami bahan-bahan kepustakaan yang berkaitan dengan masalah jaminan
kepastian hukum investasi asing di Indonesia, yang didukung dengan wawancara
dengan menggunakan pedoman wawancara kepada narasumber, yaitu:
Pejabat/Pegawai pada Badan Investasi dan Promosi (BAINPROM) Provinsi Sumatera
Utara sebanyak 2 orang.
4. Analisa data
Data yang didapat dari penelitian studi dokumen ini disusun secara sistematik
untuk memperoleh deskripsi tentang jaminan kepastian hukum investasi asing di
Indonesia. Analisis data dilakukan secara kualitatif, yaitu dengan cara penguraian,
menghubungkan dengan peraturan-peraturan yang berlaku, menghubungkan dengan
pendapat pakar hukum. Untuk mengambil kesimpulan dilakukan dengan pendekatan
deduktif.
64


64
Sutandyo Wigjosoebroto, Apakah Sesungguhnya Penelitian Itu, Kertas Kerja, Universitas
Erlangga, Surabaya, hal. 2. Prosedur Deduktif yaitu bertolak dari suatu proposisi umum yang
kebenarannya telah diketahui dan diyakini dan berakhir pada suatu kesimpulan yang bersifat lebih
khusus. pada prosedur ini kebenaran pangkal merupakan kebenaran ideal yang bersifat aksiomatik (self
efident) yang esensi kebenarannya sudah tidak perlu dipermasalahkan lagi.
BAB II
TINJAUAN TENTANG INVESTASI ASING
A. Pengertian Investasi Asing
Dalam berbagai kepustakaan hukum ekonomi atau hukum bisnis, terminologi
penanaman modal dapat berarti penanaman modal yang dilakukan secara langsung
oleh investor lokal (domestik investor), investor asing (Foreign Direct Investment
atau FDI) dan penanaman modal yang dilakukan secara tidak langsung oleh pihak
asing (Foreign Indirect Investment atau FII). Untuk yang terakhir itu dikenal dengan
istilah penanaman modal dalam bentuk portofolio yakni pembelian efek lewat
Lembaga Pasar Modal (Capital Market).
Untuk jenis investasi seperti itu diatur dalam Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1995 tentang Pasar Modal. Dalam Pasal 1 butir 13 disebutkan, pasar modal
adalah kegiatan yang bersangkutan dengan penawaran umum dan perdagangan efek,
perusahaan publik yang berkaitan dengan efek yang diterbitkannya, serta lembaga
dan profesi yang berkaitan dengan efek. Pasal 1 butir 5 mengemukakan, efek adalah
surat berharga, yaitu surat pengakuan utang, surat berharga komersial, saham,
globalisasi, tanda bukti utang, unit penyertaan kontrak investasi kolektif, kontrak
berjangka atas efek, dan setiap derivatif dari efek. Portofolio efek adalah kumpulan
efek yang dimiliki oleh pihak (Pasal 1 butir 24).
Dalam Kamus Istilah Keuangan dan Investasi digunakan istilah investment
(investasi) yang mempunyai arti:
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

Penggunaan modal untuk menciptakan uang, baik melalui sarana yang
menghasilkan pendapatan maupun melalui ventura yang lebih berorientasi ke
risiko yang dirancang untuk mendapatkan modal. Investasi dapat pula berarti
menunjuk ke suatu investasi keuangan (di mana investor menempatkan uang ke
dalam satu sarana) atau menunjuk ke investasi suatu usaha atau waktu seseorang
yang ingin memetik keuntungan dari keberhasilan pekerjaannya.
65

Dalam Eksiklopedia Ekonomi Keuangan Perdagangan, dijelaskan istilah
Investment atau investasi, penanaman modal digunakan untuk:
Penggunaan atau pemakaian sumber-sumber ekonomi untuk produksi barang-
barang produsen atau barang-barang konsumen. Dalam arti yang semata-mata
bercorak keuangan, investment mungkin berarti penempatan dana-dana kapital
dalam suatu perusahaan selama jangka waktu yang relatif panjang, supaya
memperoleh suatu hasil yang teratur dengan maksimum keamanan.
66

Dalam Kamus Ekonomi dikemukakan, Investment (investasi) mempunyai 2
makna, yakni:
Pertama. Investasi berarti pembelian saham, obligasi dan benda-benda tidak
bergerak, setelah dilakukan analisa akan menjamin modal yang dilekatkan dan
memberikan hasil yang memuaskan. Faktor-faktor tersebut yang membedakan
investasi dengan spekulasi. Kedua. Dalam teori ekonomi investasi berarti
pembelian alat produksi (termasuk didalamnya benda-benda untuk dijual) dengan
modal berupa uang.
67

Dalam Kamus Hukum Ekonomi digunakan terminologi, Investment,
penanaman modal, investasi yang berarti penanaman modal yang biasanya dilakukan
untuk jangka panjang misalnya berupa pengadaan aktiva tetap perusahaan atau
membeli sekuritas dengan maksud untuk memperoleh keuntungan.
68


65
J ohn Downes dan J ordan Elliot Goodman, Kamus Istilah Keuangan & Investasi, Alih
bahasa oleh Soesano Budhirdamo, Elex Media Komputindo, J akarta, 1994, hal. 300.
66
A. Abdurrachman, Ensiklopedia Ekonomi Keuangan Perdagangan, Cet. ke-6, Pradnya
Paramita, J akarta, 1991, hal. 340.
67
Winardi, Kamus Ekonomi (Inggris-Indonesia), Cet ke 8, Alumni, Bandung, 1982, hal. 190.
68
Lihat, A.F. Elly Erawaty dan J .S. Badudu, Kamus Hukum Ekonomi Indonesia Inggris, edisi
keempat, Balai Pustaka, J akarta, 1995), hal. 386.
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

Dalam Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang
Penanaman Modal (UU Penanaman Modal) dikemukakan, penanaman modal adalah
segala bentuk kegiatan penanaman modal, baik oleh penanaman modal dalam negeri
maupun penanaman modal asing untuk melakukan usaha di wilayah Negara Republik
Indonesia.
Dengan demikian, dari berbagai pengertian investasi seperti yang dikutip di
atas, tampak bahwa tidak ada perbedaan yang prinsipil antara investasi dengan
penanaman modal. Makna dari investasi atau penanaman modal adalah kegiatan yang
dilakukan oleh seseorang atau badan hukum, menyisihkan sebagian pendapatnya agar
dapat digunakan untuk melakukan suatu usaha dengan harapan pada suatu waktu
tertentu akan mendapatkan hasil (keuntungan).
B. Bentuk Kerjasama dan Bidang Usaha Investasi Asing
1. Bentuk Kerjasama Investasi Asing
Peningkatan penanaman modal khususnya Penanaman Modal Asing (PMA) di
Indonesia sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang
Penanaman Modal Asing (PMA) dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang
Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) yang kemudian mengalami perubahan dan
penambahan dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1970 tentang
Perubahan dan Tambahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman
Modal Asing dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Perubahan dan
Tambahan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam
Negeri, kemudian kedua undang-undang tersebut diubah dengan Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

Pelaksanaan Penanaman Modal Asing di Indonesia seperti yang ditetapkan
dalam ketentuan penanaman modal asing sesuai dengan Pasal 3 Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UU Penanaman Modal)
dinyatakan penanaman modal asing adalah kegiatan menanam modal untuk
melakukan usaha di wilayah Negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh
penanaman modal asing, baik yang menggunakan modal asing sepenuhnya, maupun
yang berpatungan dengan penanaman modal dalam negeri.
Dengan adanya pengaturan tersebut di atas seperti yang termuat dalam Pasal 3
UU Penanaman Modal, maka penanaman modal asing di lndonesia diperkenankan
melaksanakan usahanya dalam bentuk usaha kerja sama (joint-venture) dengan pihak
swasta nasional dalam bentuk dan cara kerjasama yang ditetapkan melalui peraturan
pemerintah khususnya dalam hal komposisi kepemilikan saham perusahaan.
69

a. Pengaturan Kerjasama Penanaman Modal
Pengaturan pemerintah dalam menetapkan bentuk usaha kerja sama (joint-
venture) antara penanaman modal asing dengan modal nasional dalam penjabarannya
dilaksanakan pertama kali melalui instruksi Presidium Kabinet Nomor
36/U/IN/6/I967 yang ditetapkan dalam bentuk usaha kerja sama joint enterprise
(perusahaan campuran) yang juga merupakan salah satu bentuk usaha kerja sama
(joint-venture).

69
Bandingkan dengan Aminuddin Ilmar, Hukum Penanaman Modal Di Indonesia, Kencana,
J akarta, 2007, hal. 48.
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

Gejala peningkatan kerja sama penanaman modal asing di Indonesia semakin
ditingkatkan setelah pemerintah mengeluarkan kebijaksanaan pada tanggal 22 J anuari
1974 yang berkaitan dengan masalah kerjasama penanaman modal asing dengan
modal nasional Indonesia. Adapun kebijaksanaan tersebut menyangkut 2 (dua) hal,
yaitu:
a. Meningkatkan peranan perimbangan partisipasi dalam pengelolaan modal antara
modal asing dengan modal nasional.
b. Menyusun daftar skala prioritas penanaman modal.
Lebih lanjut kebijaksanaan tahun 1974 tersebut dijabarkan secara terperinci,
di mana usaha-usaha peningkatan peranan dan partisipasi kerjasama dengan pihak
asing dalam hal penanaman modal khususnya usaha kerjasama dengan pihak asing
dalam hal penanaman modal asing di Indonesia ditetapkan beberapa syarat sebagai
berikut:
70

a. Penanaman modal asing harus dalam bentuk joint- venture.
b. Pcnyertaan pihak Indonesia dalam penanaman modal asing harus menjadi 51%.
c. Persyaratan penggunaan tenaga kerja, tenaga teknis maupun manajemen.
d. Kredit investasi hanya untuk pribumi.
Dengan adanya pengaturan kebijaksanaan tahun 1974 tersebut, maka
penanaman modal khususnya penanaman modal asing di Indonesia yang akan
melaksanakan usahanya diharuskan untuk melakukan usaha kerja sama (joint-
venture) dengan modal nasional meskipun pengaturan tersebut sedikit bertentangan
dengan semangat yang ada dalam UU Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman

70
Ibid., hal. 49.
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

Modal Asing (PMA) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25
Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, yang pada prinsipnya memperkenankan
adanya penanaman modal asing secara penuh (direct-investment). Sebagaimana
ditetapkan dalam undang-undang penanaman modal asing bahwa pelaksanaan atau
aplikasi penanaman modal asing di Indonesia dapat dilakukan dalam 2 (dua) bentuk
usaha, yaitu:
a. Oleh pihak asing (perorangan atau badan hukum), ke dalam suatu perusahaan
yang seratus persen diusahakan oleh pihak asing; atau
b. Dengan menggabungkan modal asing itu dengan modal nasional (swasta
nasional).
Secara yuridis hal yang pertama itu tidak menimbulkan persoalan yang terlalu
rumit, oleh karena sudah jelas bahwa bukan hanya modal tetapi kekuasaan maupun
pengambilan keputusan '(decision making) dilakukan oleh pihak asing, sepanjang
segala sesuatu itu memperoleh persetujuan dari pemerintah Indonesia, atau selama
pengaturannya tidak melanggar hukum serta ketertiban umum yang berlaku di
Indonesia.
Lebih sulit adalah hal yang kedua mengenai bentuk dan cara kerjasama
penanaman modal asing dengan modal nasional. Scbabnya adalah adanya berbagai
variasi yang meliputi antara lain; perimbangan modal, kekuasaan (manajemen) yang
sesungguhnya, aspek makro ekonomis, mikro ekonomis, dan aspek sosio-kulturil.
71

Belum lagi masalah teknis operasional seperti; perbedaan bahasa, sistem hukum,
maupun bargaining position di antara keduanya.

71
B. Napitupulu, Joint-Ventures di Indonesia, Erlangga, J akarta, 1986, hal. 9.
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

Menurut Aminuddin Ilmar, bahwa:
Masalah penggunaan bentuk dan cara kerjasama (joint-venture) memang
akhir-akhir ini mengalami perkembangan yang cukup pesat bila dikaitkan dengan
kemampuan modal nasional yang sudah dapat melakukan usaha kerja sama
dengan penanaman modal asing khususnya yang dilakukan dalam bentuk
investasi asing secara langsung di Indonesia. Berbagai faktor yang menyebabkan
dipilihnya bentuk usaha kerjasama (joint-venture) oleh para pemilik modal yang
umumnya tergabung dalam perusahaan Transnational atau Multinational
Corporation diwamai kekhawatiran bagi sebagian pemilik modal asing tersebut,
yakni kemungkinan adanya pengambilalihan secara sewenang-wenang tanpa
melalui suatu prosedur hukum oleh negara penerima modal yang lebih dikenal
dengan nasionalisasi.
72

Sejak perang dunia pertama maupun dengan adanya revolusi Rusia, negara-
negara tempat penanaman modal telah memperlihatkan keinginannya untuk menyita
aktiva milik perusahaan multinational, bahkan tanpa memberi ganti rugi sedikit pun
kepada penanaman modal (investor). Pemerintah Indonesia zaman Orde Baru pernah
pula menerapkan hal yang sama dengan menasionalisasi perusahaan-perusahaan
penanaman modal asing yang berada di Indonesia dalam rangka aplikasi usahanya.
Menyadari bahaya pengambilalihan ini, banyak perusahaan transnational
(multinational) mcnghindari risiko penanaman modal asing mereka dengan cara
hedging yakni sama seperti yang dilakukan pada pasar valuta asing. Mereka sering
kali menyeimbangkan sebagian besar aktiva nyata (tangible) mereka di negara tempat
penanaman modal dengan pinjaman di negara tersebut (di mana aktiva nyata tersebut
berperan sebagai agunan).
73

Pengaturan lain yang ditetapkan pemerintah Indonesia dalam hal pelaksanaan
usaha kerjasama (joint-venture) antara penanaman modal asing dengan modal

72
Arminuddin Ilmar, op. cit., hal. 50
73
Peter H. Lindert & Charles P. Kindleberger, dalam Ibid., hal. 50-51.
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

nasional yang mengubah kebijaksanaan tahun 1974 yakni dengan dikeluarkannya
Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1992 tentang Persyaratan Pemilikan Saham
dalam Perusahaan Penanaman Modal Asing yang ditetapkan pemerintah pada tanggal
16 April 1992. Pengaturan tersebut diikuti pula dengan dikeluarkannya Keputusan
Presiden Nomor 32, 33 dan 34 Tahun 1992 yang bersangkut paut dengan masalah
bidang usaha, tata cara penanaman modal serta pertanahan untuk kegiatan penanaman
modal asing.
Dalam peraturan tersebut seperti yang tertuang dalam PP No. 17 Tahun 1992
tentang Persyaratan Pemilikan Saham dalam Perusahaan Penanaman Modal Asing
setidak-tidaknya mengatur 4 (empat) masalah pokok, yaitu:
1) Penentuan jumlah/nilai minimum modal yang ditanam;
2) Penentuan bentuk usaha;
3) Pengecualian terhadap ketentuan jumlah/nilai minimum modal yang ditanam dan
bentuk usaha; serta
4) Penggunaan laba perusahaan.
Selain itu, diletakkan pula landasan bagi persetujuan penanaman modal
khususnya penanaman modal asing, yakni dengan memberikan batas minimum atas
modal yang hendak ditanamkan. Dengan kata lain, pemerintah Indonesia pada
prinsipnya akan mengabulkan aplikasi penanaman modal asing jika memenuhi
minimum modal tertentu, yaitu US$ 1.000.000,00. Namun ketentuan tersebut tidak
bersifat final, sebab untuk dapat dikabulkannya aplikasi tersebut masih ada syarat-
syarat lain yang harus dipenuhi seperti bidang usaha, rencana pengendalian
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

lingkungan, struktur kepemilikan saham, dan yang lainnya. Mengenai ketentuan
modal minimum yang harus ditanam (reinvestasi) hal itu pun tidak mutlak, oleh
kriteria ternyata masih diberikan pengecualian oleh peraturan tersebut.
74

Selanjutnya, dari peraturan tersebut diatur pula mengenai bentuk usaha bagi
penanaman modal khususnya penanaman modal asing yang pada dasamya harus
dilakukan dalam bentuk kerjasama "usaha patungan" (Joint-venture). Bila dicermati
ketentuan tersebut yang menggunakan kata pada dasamya menunjukkan bahwa hal
tersebut bertentangan dengan ketentuan UU Nomor 1 Tahun 1967 tentang
Penanaman Modal Asing (PMA) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, yang membolehkan penanaman
modal asing secara langsung atau penuh 100% meskipun bukan dalam bentuk usaha
kerja sama (Joint- venture) dengan modal nasional.
Dengan perumusan demikian, tentunya secara implisit adanya suatu political
will (kemauan politik) dari pemerintah untuk mendorong tumbuhnya kegiatan usaha
patungan dalam rangka penanaman modal khususnya penanaman modal asing. Tetapi
hal tersebut tidak berarti bahwa penanaman modal secara langsung (tanpa adanya
partner Indonesia) tidak diperbolehkan. Penanaman berbentuk kerjasama, tetap
diperbolehkan sepanjang memenuhi beberapa syarat, seperti modal minimum, bidang
usaha, lokasi usaha, dan persyaratan divestasi.
Mengenai pemilikan modal saham perusahaan ditetapkan bahwa pada
prinsipnya pada saat pendirian perusahaan oleh penanam modal khususnya
penanaman modal asing, tentunya modal saham perusahaan yang dimiliki peserta

74
Aminuddin Ilmar, op. cit., hal. 52.
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

Indonesia, sekurang-kurangnya 20% dari seluruh nilai modal saham. Selain itu, diatur
pula mengenai bidang-bidang usaha tertentu yang karena sifat usaha dan kebutuhan
dalam pengembangan sosial ekonomi dalam arti luas memerlukan kelonggaran
terhadap ketentuan jumlah minimum modal yang harus ditanam, Bahkan
diperbolehkan untuk menanamkan modalnya kurang dari jumlah minimum
sebagaimana yang celah dipersyaratkan terlebih dahulu yakni US$ 1.000.000,00
asalkan memenuhi syarat-syarat tertentu seperti bidang usaha yang dipilih, sifat
usaha, bentuk usaha, komposisi pemilikkan saham, dan divestasi sahamnya. Dengan
pengaturan seperti itu pula memberi kemungkinan jalan kepada pengusaha modal
dalam negeri maupun perusahaan kecil serta usaha koperasi untuk ikut berpartisipasi
dalam bidang penanaman modal khususnya dalam bidang-bidang usaha tertentu yang
kemungkinannya pihak penanaman modal asing melakukan usahanya.
75

Adanya persyaratan divestasi juga diatur dalam PP Nomor 17 Tahun 1992
tentang Persyaratan Pemilikan Saham dalam Perusahaan Penanaman Modal Asing,
yakni secara filosofis penanaman modal asing harus berbentuk perusahaan patungan
dengan pihak pengusaha Indonesia dan secara bertahap, saham peserta nasional harus
meningkat sampai pada suatu saat akan mencapai mayoritas saham. Namun, dalam
rangka pemberian insentif yang menarik bagi penanaman modal asing, khususnya
untuk wilayah Indonesia bagian Timur pemerintah memberikan beberapa
kelonggaran bagi investor asing untuk menunda kewajiban patungan dengan pihak
modal dalam negeri sampai 5 (lima) tahun disertai syarat-syarat tertentu.
Hal lain yang juga turut diatur adalah penggunaan laba perusahaan, di mana
laba perusahaan setelah dipotong pajak dapat digunakan untuk mendirikan

75
Ibid., hal. 52-53.
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

perusahaan baru atau untuk membeli perusahaan lain di Indonesia. Dalam hal yang
terakhir berlaku ketentuan bahwa dalam hal pembelian perusahaan baru oleh
penanaman modal asing harus dipenuhi persyaratan yakni bidang usaha perusahaan
yang dibeli itu baik perusahaan lama ataupun baru tidak tercantum dalam daftar
bidang usaha yang tertutup bagi perusahaan asing, jika perusahaan yang dibeli adalah
perusahaan yang berstatus penanaman modal dalam negeri (PMDN) maka komposisi
pemilikan saham dalam perusahaan tersebut harus tetap dipenuhi kriteria pemilikan
saham yang berlaku serta tetap berkewajiban memenuhi program divestasi. Dengan
demikian, maka dalam proses reinvested profit tersebut, baik untuk pembelian
maupun pendirian usaha baru berlaku sepenuhnya ketentuan-ketentuan yang telah
ada.
76

Ada 6 (enam) hal pokok yang menyangkut persyaratan divestasi seperti yang
diatur dalam PP Nomor 17 Tahun 1992, yaitu:
(1) Bagi perusahaan penanaman modal asing yang berlokasi di kawasan berikat
yang seluruh usahanya dimiliki oleh pihak asing, maka dalam waktu 5 (lima)
tahun setelah perusahaan tersebut berproduksi komersial, harus menjual
sekurang-kurangnya 5% modal sahamnya kepada Warga Negara Indonesia
atau badan hukum yang dimiliki oleh Warga Negara Indonesia atau badan
tertentu yang diperlakukan sama. Ketentuan ini bersifat final. Artinya, setelah
itu tidak ada kewajiban divestasi lebih lanjut.
(2) Bagi perusahaan penanaman modal asing dengan modal minimal US$ 50 juta
dan seluruh sahamnya dimiliki oleh pihak asing maka dalam waktu 5 (lima)
tahun setelah perusahaan tersebut berproduksi secara komersial harus menjual
sekurang-kurangnya 5% modal sahamnya kepada Warga Negara Indonesia
atau yang dipersamakan dengan itu. Kemudian dalam jangka waktu 20 (dua
puluh) tahun sejak produksi komersial harus meningkatkan menjadi 20%
modal sahamnya.
(3) Bagi perusahaan penanaman modal asing yang sahamnya dimiliki oleh pihak
asing seluruhnya dan berlokasi di Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara Barat

76
Ibid., hal. 53-54.
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

(NTB), Nusa TenggaraTimur (NTT), Maluku, Irian jaya, J ambi, dan
Bengkulu, maka dalam waktu 5 (lima) tahun sejak berproduksi secara
komersial, wajib menjual sekurang-kurangya 5% modal sahamnya kepada
Warga Negara Indonesia atau badan hukum Indonesia atau yang
dipersamakan dengan itu. Kemudian dalam waktu 20 (dua puluh) tahun sejak
produksi komersial harus meningkatkan menjadi 20% modal sahamnya.
(4) Perusahaan penanaman modal asing yang didirikan dengan modal saham
minimal US$ 250.000, dengan syarat:
a. Padat karya dengan tenaga kerja langsung minimal 50 (lima puluh) orang,
dan 65% hasil produksinya untuk ekspor, atau bahan baku atau bahan
penolong atau komponen untuk memenuhi kebutuhan industri lain.
b. Melakukan kegiatan di bidang usaha jasa tertentu sesuai dengan ketentuan
yang berlaku; pada saat didirikan harus mengikutkan peserta nasional
dengan sekurang-kurangnya 5% dari modal sahamnya. J umlah tersebut
harus ditingkatkan menjadi sekurang-kurangnya 20% dalam jangka waktu
10 tahun dan dalam waktu 20 tahun sejak produksi komersial harus
menjadi 51%.
(5) Perusahaan penanaman modal asing dengan modal saham minimal US$
1.000.000, pada saat didirikan harus mengikutkan peserta Indonesia dengan
minimal saham 20% dan dalam jangka waktu 20 tahun setelah berproduksi
secara komersial jumlah tersebut harus ditingkatkan menjadi 51%.
(6) Laba perusahaan penanaman modal asing dapat dipakai untuk membeli
maksimum 80% perusahaan yang sudah ada, dengan ketentuan peserta
nasional harus ditingkatkan menjadi 51% dalam jangka waktu 20 tahun.
Hal khusus yang diatur di luar ketentuan PP Nomor 17 Tahun 1992 yaitu
pemerintah telah menempuh kebijaksanaan lain terhadap perusahaan penanaman
modal asing bilamana saham milik peserta Nasional minimal 51% atau saham peserta
nasional minimal 41% atau diantaranya 20% sebagai saham atas nama yang dijual
melalui pasar modal, maka tidak diwajibkan lagi meningkatkan sahamnya menjadi
51% dan tidak berubah status perusahaan penanaman modal asing tersebut yakni
tetap sebagai perusahaan penanaman modal asing. Ketentuan dari adanya perlakuan
semacam itu adalah perusahaan tersebut dapat beroperasi atau melakukan usahanya di
bidang-bidang usaha yang tertutup bagi penanaman modal asing, dapat memperoleh
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

pinjaman modal kerja dari bank pemerintah, dan dapat pula menjual hasil
produksinya di pasar dalam negeri tanpa diwajibkan lagi menunjuk distributor atau
agen perusahaan nasional.
Adanya pengaturan tentang bidang kerja sama usaha patungan (joint-venture),
diharapkan penanaman modal dapat lebih bergairah untuk menanamkan modalnya di
Indonesia. Kendati demikian dalam praktiknya penanaman modal di Indonesia masih
menemui berbagai hambatan yang bersifat teknis operasional meskipun iklim
kerjasama telah diperbarui oleh pemerintah untuk menghilangkan kekuatan
pengusaha nasional dalam melakukan kerjasama usaha patungan (joint-venture)
dengan modal asing.
b. Pengertian Kerjasama Penanaman Modal
Sebagaimana diuraikan di muka bahwa ketentuan mengenai kerja sama (joint-
venture) antara modal asing dengan modal nasional yang diatur lewat Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 1992 serta Keputusan Presiden (Keppres) Nomor
32, 33, dan 34 Tahun 1992 atau yang lebih dikenal dengan Paket J uli (Pakjul) 1992
telah ditetapkan bentuk kerjasama yakni, dengan melalui suatu usaha patungan.
Penetapan terhadap bentuk kerjasama usaha patungan antara modal asing
dengan pihak nasional dimaksudkan oleh pemerintah untuk memberikan
perlindungan serta peranan atau partisipasi pihak swasta nasional dalam pelaksanaan
penanaman modal asing di Indoensia. Hal lain adalah memberikan kesempatan pula
kepada perusahaan-perusahaan swasta nasional yang berskala kecil maupun dalam
usaha koperasi untuk dapat ikut berpartisipasi di dalamnya melalui pemilikan saham
terhadap penanaman modal asing yang telah melakukan aplikasi usahanya di
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

Indonesia. Dengan demikian diharapkan akan terjadi perimbangan modal antar-
penanaman modal asing dengan penanaman modal dalam negeri yang dirasakan
sampai sekarang ini belum seimbang dalam hal pelaksanaannya. Oleh Todung Mulya
Lubis disebut sebagai tidak adanya suatu "domestic countervailing power", sehingga
kerjasama yang dilakukan antara penanaman modal asing dengan modal nasional
diibaratkan sebagai istri yang kesekian kalinya tidak mempunyai bargaining position
untuk bertindak seimbang dalam hal penanaman modal di Indonesia.
77

Pelaksanaan atau aplikasi penanaman modal khususnya Penanaman Modal
Asing di Indonesia yang tidak melalui suatu usaha kerjasama dengan modal nasional
baik yang dilakukan oleh perorangan maupun badan hukum secara yuridis telah jelas
diatur di dalam ketentuan undang-undang penanaman modal, bahwa baik terhadap
modal, kekuasaan maupun pengambilan keputusan seluruhnya dilakukan sepenuhnya
oleh pihak asing bilamana suatu perusahaan 100% modal sahamnya dimiliki oleh
pihak asing. Lain halnya bilamana dilakukan atau dilaksanakan dalam suatu usaha
kerjasama dengan pihak nasional, maka terdapat berbagai bentuk atau corak maupun
variasi kerjasama antara modal asing dengan modal nasional baik dalam wujud
perimbangan modal, kekuasaan dan pengambilan keputusan.
78

Untuk lebih jelas mengenai kerjasama (joint-venture) ini, terlebih dahulu
perlu dirumuskan atau diberikan batasan pengertian apa yang dimaksudkan dengan
kerjasama (Joint-venture) agar tidak menimbulkan berbagai macam penafsiran.
"Joint-venture" kalau diterjemahkan secara langsung dapat diartikan sebagai "bekerja
secara bersama-sama". Akan tetapi, timbul permasalahan bilamana usaha bersama ini

77
Todung Mulya Lubis, Hukum Ekonomi, Sinar Harapan, J akarta, 1992, hal. 23
78
Aminuddin Ilmar, op. cit., hal. 57.
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

diartikan dengan "Joint-venture" sebab bisa saja mencakup semua jenis kerjasama,
padahal dalam kenyataan atau praktiknya istilah "Joint-venture" ini hanya
dipergunakan dalam suatu pengertian yang khusus, Friedman membedakan 2 (dua)
macam bentuk joint-venture. J enis yang pertama tidak melaksanakan penggabungan
modal, sehingga kerjasama tersebut hanya terbatas pada know-how sajayang dibawa
kedalam joint venture. Know-how bisa mencakup "technical service agreement,
franchise and brand-use agreement, construction and other job performance
contract, management contract and rental agreements". Selanjutnya menurut
Friedman, penggabungan know-how ke dalam joint venture biasanya merupakan
babak permanen, yang pada saatnya akan beralih pada kerjasama berdasarkan
penggabungan modal.
79

Joint-venture yang kedua ditandai oleh adanya partisipasi modal. Untuk
membedakan jenis pertama dengan jenis yang kedua, maka Friedman menggunakan
istilah "joint-venture" untuk yang pertama, dan "equity joint-venture" untuk jenis
kerja sama yang kedua. Pengertian yang diberikan oleh Friedman tersebut dalam
praktiknya tidak sesuai dimana dalam pemakaiannya istilah "joint-venture" diartikan
sebagai suatu kerjasama yang dilakukan secara bersama-sama dan merupakan suatu
perusahaan baru yang didirikan secara bersama-sama oleh dua atau lebih pihak
dengan menggabungkan potensi usaha termasuk know-how dan modal, dalam
perbandingan yang telah ditetapkan menurut perjanjian yang telah sama-sama
disepakati. Di dalam literatur sering juga istilah "joint-venture" ini dinyatakan dengan
istilah lain seperti "foreign collaboration", "international enterprise", dan
sebagainya.
80


79
Friedman dalam B. Napitupulu, op. cit., hal. 24.
80
Aminuddin Ilham, op. cit., hal. 58-59.
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

Melihat pengertian yang dikemukakan oleh Friedman maupun
penggunaannya dalam praktik, maka dapat disimpulkan beberapa ciri dari suatu
usaha kerjasama (joint-venture) sebagai berikut:


(1) Suatu perusahaan baru atau badan hukum baru yang didirikan baik oleh
perorangan maupun badan hukum swasta asing dengan pihak modal nasional.
(2) Modal perusahaan "joint-venture" terdiri dari know-how dan modal saham
yang disediakan oleh para pihak, dengan kekuasaan baik manajemen maupun
pengambilan keputusan sesuai dengan banyaknya saham yang ditanam.
(3) Para pihak yang mendirikan perusahaan tersebut tetap memiliki eksistensi dan
kemerdekaan masing-masing.
(4) Khusus untuk Indonesia seperti yang dikenal sekarang ini merupakan kerja
sama antara modal asing dengan modal nasional.
81

Ismail Suny dan Rudiono Rochmat, mengemukakan bahwa ada 3 (tiga)
macam bentuk kerjasama (Joint-venture) antara modal asing dengan modal nasional
sesuai dengan Pasal 23 UU Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing
(PMA), yakni; joint-venture, joint-enterprise, dan kontrak karya. Meskipun
sebenamya istilah "joint-enterprise" adalah juga merupakan atau termasuk dalam
pengertian "joint-venture".
82
Oleh Sunaryati Hartono diuraikan bahwa sebenarnya
istilah-istilah "joint-venture" oleh para ahli yang berbahasa Inggris dipergunakan
sebagai istilah "verzamelnaam" untuk berbagai bentuk kerja sama antara penanaman
modal nasional dengan penanaman modal asing.
83

J adi, apa yang disebut oleh Ismail Suny dan Rudiono Rochmat dengan "Joint-
enterprise" juga merupakan salah satu bentuk daripada "joint-venture". Namun
pembedaan yang dilakukan oleh Ismail Suny dan Rudiono Rochmat tersebut secara

81
Ibid., hal. 59.
82
Ismail Suny dan Rudiono Rochmat, Tinjauan dan Pembahasan UUPMA dan Kredit Luar
Negeri, Pradnya Paramita, J akarta, 1967, hal.108.
83
Sunaryati Hartono, Beberapa Masalah Tradisional dalam Penanaman Modal Asing (PMA)
di Indonesia, Bina Cipta, Bandung, 1970, hal. 127
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

resmi telah dipergunakan oleh pemerintah, sehingga pemakaian istilah tersebut sudah
menjadi lazim adanya. Dalam hal "joint-venture" diartikan sebagai para pihak tidak
membentuk badan hukum baru, akan tetapi suatu kerjasama yang semata-mata
bersifat kontraktuil, sedang dalam hal "joint-enterprise" terjadi penggabungan modal
nasional ke dalam satu badan hukum Indonesia. Lalu kemudian kontrak karya
diartikan sebagai pihak asing membentuk suatu badan hukum Indonesia dan badan
hukum Indonesia itu bekerjasama lagi dengan badan hukum (nasional) Indonesia
yang lain.
84

c. Bentuk Kerjasama Penanaman Modal
Selain ketiga bentuk kerjasama yang telah disebutkan di atas, masih terdapat
juga bentuk lain yang dalam kenyataannya atau dalam praktik dilakukan oleh
pemodal khususnya pemodal asing. Dengan kata lain, terdapat berbagai macam
bentuk kerjasama (joint-venture) yang dilakukan oleh para penanam modal
khususnya penanam modal asing dengan pemodal nasional seperti; production
sharing, management-contract, technical assistance atau technical service contract,
franchise and branduse agreement rnaupun dalam bentuk Build, Operation and
Transfer atau lebih dikenal dengan istilah BOT. Di samping itu, dikenal pula adanya
bentuk usaha kerjasama yang khusus seperti penanaman modal asing dengan Debt
Investment Convertion Scheme (DISC-Rupiah) maupun kredit untuk proyek (barang
modal). Semua bentuk usaha kerjasama (joint-venture) tersebut untuk lebih jelasnya
akan diuraikan berikut ini:

84
Aminuddin Ilham, op. cit., hal. 60
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

1) Joint-Venture
Sebagaimana telah diuraikan dalam pembahasan terdahulu bahwa bentuk
usaha kerja sama (joint-venture) memiliki berbagai macam bentuk atau corak maupun
variasi, namun pada intinya joint-venture adalah suatu usaha kerjasama yang
dilakukan antara penanaman modal asing dengan modal nasional semata-mata
berdasarkan suatu perjanjian atau kontrak belaka (kontraktuil), di mana tidak
membentuk suatu badan hukum baru seperti halnya pada joint joint-enterprise.
Sebagai contoh dapat dikemukakan, yakni; Adanya perjanjian kerjasama antara Van
Sickel Associates Inc. suatu badan hukum yang berkedudukan di Delaware, Amerika
Serikat dengan FT Kalimantan Plywood Factory suatu badan hukum Indonesia untuk
secara bersama-sama mengolah kayu di Kalimantan Selatan. Kerjasama ini juga biasa
disebut dengan "Contract of Cooperation" yang tidak membentuk suatu badan
hukum Indonesia seperti yang dipersyaratkan dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing sebagaimana telah diubah dengan
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Berbagai
macam corak atau variasi dari joint-venture yang diketemukan dalam praktik aplikasi
penanaman modal asing dikemukakan sebagai berikut:
a) Technical Assistance (service) Contract: suatu bentuk kerjasama yang
dilakukan antara pihak modal asing dengan modal nasional sepanjang yang
bersangkut paut dengan skill atau cara kerja (method) misalnya; Suatu
perusahaan modal nasional yang ingin memajukan atau meningkatkan
produksinya . Membutuhkan suatu peralatan baru disertai cara kerja atau
metode kerja. Dalam hal demikian, maka dibutuhkan (diperlukan) technical
assistance dari perusahaan modal asing di luar negeri dengan cara
pembayaran dalam bentuk royalti yakni pembayaran sejumlah uang tertentu
yang dapat diambilkan dari penjualan produksi perusahaan yang
bersangkutan.
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

b) Franchise and brand-use Agreement: suatu bentuk usaha kerjasama yang
digunakan, apabila suatu perusahaan nasional atau dalam negeri hendak
memproduksi suatu barang yang telah mempunyai merek terkenal seperti
Coca-Cola, Pepsi-Cola, Van Houten, Mc'Donalds, Kentucky Fried Chikken,
dan sebagainya.
c) Manajemen Contract: suatu bentuk usaha kerjasama antara pihak modal asing
dengan modal nasional menyangkut pengelolaan suatu perusahaan khususnya
dalam hal pengelolaan manajemen oleh pihak modal asing terhadap suatu
perusahaan nasional. Misalnya yang lazim dipergunakan dalam pembuatan
maupun pengelolaan hotel yang bertaraf internasional oleh pihak Indonesia
diserahkan kepada swasta luar negeri seperti; Hilton Internasional Hotel,
Mandarin Internasional Hotel, dan sebagainya.
d) Build, Operation and Transfer (B.O.T): suatu bentuk kerjasama yang relatif
masih baru dikenal yang pada pokoknya merupakan suatu kerjasama antara
para pihak, di mana suatu objek dibangun, dikelola atau dioperasikan selama
jangka waktu tertentu diserahkan kepada pemilik asli. Misalnya; pihak swasta
nasional mempunyai gedung atau bangunan mengadakan kerjasama dengan
pihak luar negeri untuk membangun suatu Departement Store ataupun Hotel
di mana biaya pembangunan, perencanaan, pelaksanaan operasinya
dilaksanakan oleh pihak asing dengan jangka waktu sesuai kerja sama lalu
kemudian diserahkan kepada pihak nasional.
85

2) Joint-Enterprise
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa suatu bentuk kerjasama dalam bentuk
joint-enterprise merupakan suatu kerjasama antara penanaman modal asing dengan
penanaman modal dalam negeri dengan membentuk suatu perusahaan atau badan
hukum baru sesuai dengan yang disyaratkan dalam Pasal 5 UU Penanaman Modal.
Joint-Enterprise merupakan suatu perusahaan terbatas, yang modalnya terdiri dari
modal dalam nilai rupiah maupun dengan modal yang dinyatakan dalam valuta asing.
Pada permulaan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang
Penanaman Modal Asing, tampaknya bentuk usaha kerjasama ini yang paling

85
Ibid., hal. 61-62.
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

dikehendaki oleh para pihak khususnya penanaman modal asing. Alasan yang
mendasari adalah:
a) Setiap usaha di Indonesia memerlukan rupiah untuk pembayaran barang-
barang yang lebih murah dan mudah diperoleh di Indonesia. J uga untuk
pembayaran gaji pegawai dan lain-lain pengeluaran dibutuhkan rupiah oleh
penanaman modal asing.
b) Penanaman modal asing tidak perlu menanamkan modal dalam bentuk valuta
asing, tetapi modal asing dapat berbentuk mesin-mesin atau lain hasil
produksi penanaman modal asing itu. Sehingga penanaman modal asing di
Indonesia oleh penanam modal asing itu telah menghasilkan efek yang
menguntungkan, yaitu bahwa tidak hanya dapat membayangkan dapat
memperoleh keuntungan dalam masa yang akan datang, akan tetapi pada saat
ia diizinkan memasukkan mesin-mesinnya (barang-modal) ke Indonesia
dengan bebas bea masuk, maka ia pun telah mengekspor barang-barangnya ke
luar negeri tanpa membayar pajak impor untuk itu.
c) Dengan bekerja sama dengan pengusaha nasional, apalagi yang telah
berpengalaman, maka penanam modal asing itu dapat mengecilkan rislko
seminimal mungkin, sehingga sebenarnya penanaman modalnya di Indonesia
lebih merupakan pemberian kredit daripada penanaman modal asing yang
langsung (direct-invesyment) seperti yang diisyaratkan dalam Pasal 1 UU
PMA.
86

3) Kontrak Karya
Pengertian kontrak karya (contract of work) sebagai suatu bentuk usaha
kerjasama antara penanaman modal asing dengan modal nasional terjadi apabila
penanam modal asing membentuk badan hukum Indonesia dan badan hukum ini
mengadakan perjanjian kerjasama dengan suatu badan hukum yang mempergunakan
modal nasional.
87
Bentuk kerjasama kontrak karya ini hanya terdapat dalam
perjanjian kerjasama antara Badan Hukum Milik Negara (BUMN) seperti; Kontrak
Karya antara PN. Pertamina dengan PT Caltex Pacific Indonesia yang merupakan

86
Ibid., hal. 63.
87
Ismail Suny dan Rudiono Rochmat, loc. cit.
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

anak perusahaan dari Caltex Internasional Petroleum yang berkedudukan di Amerika
Serikat.
88

Ditinjau dari segi penanaman modal asing sendiri, maka cara tersebut sering
kali lebih memuaskan, oleh karena masing-masing pihak dengan demikian dapat
mengadakan pembukuan dan kebijaksanaan yang terpisah. Kesulitan-kesulitan yang
dihadapi di dalam suatu perusahaan campuran, berhubung dengan perbedaan
pembukuan dalam rupiah dan pembukuan dalam valuta asing, atau berhubung dengan
perbedaan pendapat mengenai manajemen perusahaan dengan demikian lebih mudah
dapat dihindari.
Menurut Sunaryati Hartono:
Oleh karena negara tidak menjadi pemilik daripada bumi dan air dan
kekayaan alam Indonesia, akan tetapi hanya mempunyai hak untuk menguasai
saja. Oleh sebab itu, perusahaan negara (BUMN) juga hanya paling banyak dapat
mengadakan perjanjian dengan pihak lain (asing) untuk mengerjakan pengolahan
(eksploitasi dan eksplorasi) untuk dan atas nama perusahaan negara tersebut.
Perjanjian semacam itu disebutnya dengan nama kontrak karya, yang memberi
tugas dan kewajiban (dan karena itu hak) kepada pihak lain untuk menggali dan
mengolah tanah yang menjadi kuasa pertambangan perusahaan tersebut. Adapun
besarnya imbalan tergantung dari hasil perjanjian kontrak karya tersebut.
89

Dalam kontrak karya itu juga pengawasan (controle), manajemen, marketing,
dan lain tindakan yang berhubungan dengan pengambilan, pengolahan, distribusi, dan
penjualan barang yang diproduksi di Indonesia itu sepenuhnya ada di tangan pihak
asing, dan bahkan boleh memindahkan hak-haknya itu kepada seorang sub-kontraktor
dengan berdasarkan ketentuan dan hukum yang berlaku di Indonesia.

88
Aminuddin Ilham, op. cit., hal. 64.
89
Sunaryati Hartono, loc. cit., hal. 140.
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

Adanya berbagai bentuk dan corak kontrak karya dalam kerjasama antara
modal asing dengan modal nasional disebabkan adanya beberapa pertimbangan di
antaranya keleluasaan pihak asing untuk melakukan perjanjian kerjasama dengan
perusahaan Negara atau Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang sudah terjamin
kepercayaannya oleh karena ditopang dengan unsur negara di dalamnya, penguasaan
dimulai dari manajemen sampai kepada pemasaran tetap berada di tangan penanaman
modal asing.
4) Production Sharing/Bagi hasil
Menurut Sunaryati Hartono cara dengan production sharing ini sebelum UU
Nomor 1 Tahun 1967, yaitu dengan terhapusnya UU Penanaman Modal Asing tahun
1958 oleh UU Nomor 16 Tahun 1965 boleh dikatakan merupakan satu-satunya cara
yang terpenting dilakukan oleh perusahaan-perusahaan negara. Karena penanaman
modal asing sudah dilarang dengan UU Nomor 16 Tahun 1965 itu, maka untuk
memenuhi kebutuhan akan modal dan alat perlengkapan dari luar negeri, dipikirkan
orang suatu bentuk kredit yang dinamakan production sharing atau bagi hasil.
90

Suatu production sharing atau bagi hasil, oleh karena kredit yang diperoleh
dari pihak asing ini beserta bunganya akan dikembalikan dalam bentuk hasil produksi
perusahaan yang bersangkutan, yang biasanya dikaitkan dengan suatu ketentuan
mengenai kewajiban perusahaan Indonesia untuk mengekspor hasilnya kepada negara
pemberi kredit. Dengan kata lain, bahwa production sharing adalah suatu perjanjian

90
Ibid., hal. 145
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

kerja sama kredit antara modal asing dengan pihak Indonesia yang memberikan
kewajiban kepada pihak Indonesia untuk mengekspor hasilnya kepada negara
pemberi kredit.
91

Setelah berlakunya UU Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal
Asing, maka oleh pemerintah dilakukan pembaruan terhadap kontrak kerjasama
production sharing ini lewat Instruksi Presidium Kabinet Nomor 34/EK/IN/5/67
tanggal 30 Mei 1967 yang pada pokoknya menekankan penyesuaian proyek-proyek
maupun kredit dalam rangka production sharing ini.
5) Penanaman Modal dengan DICS-Rupiah
Dibandingkan dengan kerjasama production sharing, maka penanaman modal
asing dengan DICS-Rupiah ini merupakan suatu bentuk campuran atau variasi antara
kredit dengan penanaman modal. J ika pada production sharing suatu perusahaan
(nasional) Indonesia memperoleh modal asing dalam bentuk kredit, maka penanaman
modal asing dengan DISC-Rupiah ini kredit modal asing yang harus dikembalikan
kepada kreditomya oleh pihak Indonesia disesuaikan dengan adanya ketentuan
Instruksi Presidium Kabinet Nomor 28/EK/1N/5/1967 yang pada prinsipnya
menyatakan bahwa tagihan-tagihan para kreditor asing yang menyangkut utang-utang
yang tidak dijamin oleh pemerintah asing dapat diubah menjadi penanaman modal
asing di lndonesia. Kebijaksanaan tersebut dinamakan dengan Debt Investment
Convertion Scheme (DISC), oleh sebab itu pelunasan utang-utang tersebut di atas,
yang semula diperhitungkan berdasarkan valuta asing tetapi dibayar dengan rupiah

91
Ibid., hal. 146.
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

yang dilakukan dengan DISC-Rupiah yang merupakan Kertas Perbendaharaan
Negara berbunga 3% setahun. Menurut Ismail Suny dan Rudiono Rochmat, apabila
kreditornya sendiri yang menggunakan DISC-Rupiah, maka yang akan dicatat
sebagai modal adalah jumlah utang Republik Indonesia yang telah dihapuskan
dengan pembayaran berupa DISC, pencatatan mana dilakukan dengan valuta asing.
92

6) Penanaman Modal dengan Kredit Investasi
Adanya penanaman modal dengan menggunakan kredit investasi adalah
merupakan kebijaksanaan pemerintah pada tahun 1970 dengan dikeluarkannya
Keputusan Menteri Negara Ekonomi, Keuangan, dan Industri Nomor
2l/MENKUIN/4/1970. Di mana di dalam bidang penanaman modal ternyata kredit
luar negeri dan penanaman modal tidak dapat dipisahkan dengan tegas, oleh karena
kredit luar negeri dapat menjadi penanaman modal asing di dalam negeri.
Dalam kenyataan tampak bahwa kredit luar negeri via kredit investasi menjadi
modal nasional yang setelah bergabung dengan modal asing dalam joint-venture
dapat digolongkan sebagai penanaman modal asing. Kebijaksanaan pemerintah untuk
memberikan kredit investasi kepada para pengusaha nasional yang kemudian
mengadakan kerjasama (Joint-venture) dengan penanam modal asing sudah dapat
digolongkan menjadi penanaman modal asing meskipun jalan yang ditempuh sangat
berbelit-belit. Dalam praktik penanaman modal dengan kredit investasi ini banyak
dilakukan oleh para pemodal dalam negeri untuk membiayai setiap proyeknya yang
ada di Indonesia.
93


92
Ismail Suny dan Rudiono Rochmat, op. cit.,hal 129.
93
Aminuddin Ilham, op. cit., hal. 67.
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

7) Portofolio Investment
Penggabungan modal asing dengan modal nasional dalam bentuk portofolio
investment tidak diatur dalam UU Penanaman Modal. Akan tetapi, di dalam praktik
yang dilakukan oleh para pemodal dalam negeri khususnya pemodal WNI keturunan,
penanaman modal asing semacam ini telah lama dilaksanakan dan dilakukan secara
meluas. Sunaryati Hartono menyatakan bahwa oleh karena cara ini dilakukan dengan
diam-diam (disguised), maka sukar sekali untuk memperoleh angka-angka yang
terang mengenai pembentukan penanaman modal jenis ini. Lagi pula cara yang
terselubung ini menyebabkan, bahwa bentuk penggabungan modal nasional dan
modal asing ini tidak dianggap dan diperhitungkan sebagai penanaman modal,
khususnya Penanaman Modal Asing (PMA). Akan tetapi, dalam praktik yang
termasuk dalam kategori ini adalah investasi yang dilakukan melalui pembelian
saham baik di pasar modal maupun melalui penempatan modal pihak ketiga dalam
perusahaan (strategic partner).
94

2. Bidang Usaha Penanaman Modal
Pertama kali sebelum penanaman modal khususnya penanaman modal asing
mengaplikasikan modalnya, terlebih dahulu harus melalui beberapa prosedur dan tata
cara Penanaman Modal khususnya penanaman modal asing. Pengaturan tersebut
dituangkan dalam Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1992 Tentang Tata Cara
Penanaman Modal. Dalam ketentuan Pasal 2 Keputusan Presiden tersebut ditetapkan
bahwa calon penanaman modal asing yang akan mengadakan usaha dalam rangka

94
Sunaryati Hartono, op. cit., hal. 156.
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 J o Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1970
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang
Penanaman Modal, terlebih dahulu harus mempelajari daftar bidang-bidang usaha
yang tertutup (Daftar Negatif Investasi atau DNI) atau dulunya disebut dengan Daftar
Skala Prioritas (DSP) dan apabila diperlukan penjelasan lebih lanjut dapat
menghubungi Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Selanjutnya setelah
mengadakan penelitian yang cukup mengenai bidang usaha yang terbuka, lokasi
proyek, tingkat prioritas dan ketentuan-ketentuan lain yang bersangkutan, tentunya
calon penanam modal khususnya penanaman modal asing dapat mengajukan
permohonan penanaman modal kepada ketua BKPM dengan mempergunakan
formulir yang telah ditetapkan oleh BKPM.
Adanya penegasan yang dimaksud seperti dalam aturan tersebut di atas,
sehingga semua calon penanaman modal sebelum melakukan aplikasi usahanya
terlebih dahulu harus mempelajari daftar bidang usaha yang tertutup seperti yang
tercantum dalam DNI bagi penanaman modal. Hal itu sejalan dengan pengaturan
pemerintah terhadap penanaman modal yang melakukan usahanya di Indonesia yakni,
untuk lebih mengarahkan penanaman modal khususnya penanaman modal asing pada
bidang-bidang usaha yang memerlukan modal yang cukup besar, lokasi usaha, tingkat
penguasaan teknologi, skill atau kemampuan, maupun manajemen. Sebagaimana
telah ditetapkan dalam Pasal 12 UU Penanaman Modal yang pada pokoknya
menyarankan bahwa pemerintah menetapkan perincian bidang-bidang usaha yang
terbuka bagi modal asing menurut urutan prioritas dan menentukan syarat-syarat yang
harus dipenuhi oieh penanaman modal asing dalam tiap-tiap bidang usaha tersebut.
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

Data investasi menunjukkan pasang surut penanaman modal khususnya
Penanaman Modal Asing (PMA) sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor
1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal) terhadap
pelaksanaan penanaman modal asing di Indonesia, maka tampak bahwa adanya
bidang-bidang usaha yang banyak mendapat minat dari penanaman modal
khususnya Penanaman Modal Asing (PMA) seperti bidang usaha industri sub-
bidang usaha industri kimia terbukti dengan munculnya 323 proyek dengan nilai
investasi sebesar US $ 12,591 miliar, perhotelan sebanyak 104 proyek dengan
nilai investasi sebesar US $ 7,167 miliar, bidang usaha pertambangan dengan 121
proyek mempunyai nilai investasi sebesar US $ 6,005 miliar, industri barang
logam sebanyak US $ 5,752 miliar, perumahan dengan 40 proyek dan modal
investasi sebesar US $ 4,729 miliar, industri kertas dengan 40 proyek dan modal
investasi sebesar US $ 4,607 miliar, industri tekstil dengan 365 proyek dan modal
yang ditanam sebanyak US $ 4,429 miliar, industri logam dasar sebanyak 46
proyek dengan nilai investasi sebesar US $ 4,415 miliar, industri non-logam
sebanyak 61 proyek dengan nilai investasi sebesar US $ 3,087 miliar, dan bidang
usaha pelayanan jasa dengan 257 proyek dan nilai investasi sebesar US $ 3,389
miliar. Bidang-bidang usaha tersebut paling banyak menyerap nilai penanaman
modal khususnya penanaman modal asing di Indonesia hampir mencapai 79 %
dari total nilai penanaman modal asing menurut bidang usaha yang diminati.
Dengan demikian, masih banyak bidang-bidang usaha yang belum tergarap oleh
penanaman modal khususnya penanaman modal asing. Mengantisipasi keadaan
tersebut seyogianya dievaluasi lagi bidang-bidang usaha yang kurang produktif
dan yang kurang mendapat perhatian dari penanaman modal. Hal itu berkaitan
erat dengan upaya Indonesia untuk menarik minat penanaman modal guna
menanamkan modalnya pada bidang-bidang usaha yang mendapat prioritas dari
pemerintah. Namun, dalam aplikasinya penanaman asing justru menanamkan
modalnya bukan pada bidang-bidang usaha yang telah mendapat prioritas dari
pemerintah.
95

Adanya keengganan sebagian penanaman modal khususnya penanaman
modal asing untuk tidak menanamkan modalnya pada bidang-bidang usaha yang
telah diprioritaskan oleh pemerintah disebabkan oleh beberapa alasan yang mendasari
di antaranya di sektor-sektor bidang usaha yang telah diprioritaskan oleh pemerintah
bagi penanaman modal dirasakan tidak dapat memberikan keuntungan yang
maksimal misalnya dalam bidang usaha pertanian, sub-sektor perkebunan, tanaman

95
Aminunddin Ilham, op. cit., hal. 78-79.
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

pangan, perikanan, peternakan. Di samping itu, penanam modal merasakan dukungan
yang diberikan oleh pemerintah dalam bidang-bidang usaha yang telah diprioritaskan
belum dapat memberikan keuntungan sesuai dengan studi kelayakan yang telah
dilakukan, sehingga pemilihan bidang-bidang usaha oleh penanaman modal kadang-
kala hanya didasarkan kepada pertimbangan praktis semata. Misalnya saja bidang-
bidang usaha yang dapat segera menghasilkan atau secepatnya berproduksi. Sebabnya
adalah para penanam modal asing selalu memperhitungkan adanya aspek Return On
Investment (ROI) dan Sales and Profit Income (SPI).
96

Ketiga aspek tersebut diatas selalu menjadi bahan pertimbangan bagi para
penanaman modal khususnya penanaman modal asing sebelum menanamkan
modalnya pada bidang-bidang usaha yang memenuhi kriteria tersebut di atas.
Alasannya adalah sangat sederhana yakni kembalinya modal secara cepat dengan
keuntungan yang maksimal. Hal itu bisa dipahami bahwa sebagian besar penanaman
modal atau investasi dibiayai oleh dana bank. Dengan lamanya suatu modal
ditanamkan, maka return on investment yang diharapkan itu tidak akan dapat
memberikan keuntungan yang maksimal. Oleh karena itu, sebagian besar penanaman
modal khususnya penanaman modal asing lebih suka memilih bidang-bidang usaha
yang berkaitan dengan pengembalian pinjaman yang dimodali oleh bank. Hal ini
perlu dimengerti sebab banyak anggapan bahwa penanaman modal tidak mau
menanamkan modalnya pada bidang-bidang usaha yang telah diprioritaskan oleh
pemerintah disebabkan kurangnya fasilitas dan kemudahan-kemudahan yang

96
Ibid., hal. 79. lihat juga Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 2007 tentang Kriteria dan
Persyaratan Penyusunan Bidang Usaha Yang Tertutup Dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan
Persyaratan Di Bidang Penanaman Modal, dan Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2007 tentang
Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup Dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan Di Bidang
Penanaman Modal.
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

diberikan terhadap bidang-bidang usaha tersebut. Padahal dalam kenyataannya
pemerintah malahan telah menyediakan berbagai fasilitas dan kemudahan terhadap
bidang usaha yang menjadi prioritas, namun tetap saja penanaman modal asing
merasa lebih tertarik pada bidang-bidang usaha yang tidak diprioritaskan oleh
pemerintah. Disinilah kendala yang dihadapi dalam hal penetapan bidang-bidang
usaha yang tertutup bagi penanaman modal. Bagaimanapun juga bidang-bidang usaha
tetap menjadi landasan utama atau menjadi bahan acuan (reference) bagi penanaman
modal sebelum melakukan usahanya. Hal itu sejalan dengan ditetapkannya bidang-
bidang usaha oleh pemerintah untuk menjadi petunjuk atau pedoman awal sebelum
melakukan aplikasi modalnya.
97

Setiap pengaplikasian penanaman modal khususnya penanaman modal asing
selalu berkaitan dengan bidang usaha penanaman modal. Mengenai bidang-bidang
usaha penanaman modal telah diatur dalam Pasal 5, 6, 7, dan 8 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1967 sebagaimana telah diubah dengan Pasal 12 Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, yang pada prinsipnya menentukan
bahwa pemerintah berwenang untuk:
a. Menentukan perincian bidang-bidang usaha yang terbuka bagi penanaman modal
asing menurut urutan prioritasnya melalui suatu ketetapan dari pemerintah dalam
bentuk suatu daftar bidang-bidang usaha baik yang terbuka maupun yang
dinyatakan tertutup bagi penanaman modal asing.
b. Menentukan pula syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh penanaman modal asing
dalam hal memilih bidang-bidang usaha yang dinyatakan terbuka untuk
penanaman modal asing.

97
Ibid., hal. 79-80.
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

Adanya ketentuan tersebut di atas secara tegas menentukan bahwa pemerintah
berwenang untuk menetapkan perincian bidang-bidang usaha penanaman modal
khususnya penanaman modal asing serta menentukan pula syarat-syarat tiap bidang
penanaman modal asing. Selanjutnya pengaturan bidang-bidang usaha ini dijabarkan
lebih lanjut oleh pemerintah lewat ditetapkannya bidang-bidang usaha dalam suatu
daftar setiap tahunnya oleh pemerintah melalui suatu keputusan presiden, mana yang
terbuka dan yang tertutup bagi penanaman modal. Dalam UU Penanaman Modal
ditetapkan bidang-bidang usaha yang tertutup sama sekali atau secara penguasaan
penuh bagi penanaman modal asing dengan alasan pertimbangan bahwa bidang-
bidang usaha tersebut merupakan bidang-bidang yang penting bagi negara dan sangat
vital serta menguasai hajat hidup orang banyak yaitu:
98

a. Pelabuhan
b. Produksi, transmisi, dan distribusilistik untuk umum
c. Telekomunikasi
d. Pelayaran
e. Penerbangan
f. Air minum
g. Kereta api umum
h. Pengembangan tenaga atom
i. Mass media
Dalam ketentuan Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967
sebagaimana telah diubah dengan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007
tentang Penanaman Modal, ditetapkan pula bahwa bidang-bidang usaha yang
menduduki peranan penting dalam pertahanan negara antara lain produksi senjata,
mesin, alat-alat peledak, dan peralatan perang terlarang sama sekali atau tidak dibuka
kemungkinan bagi usaha penanaman modal asing baik secara penuh maupun dengan

98
Ibid., hal. 81-82.
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

usaha kerja sama patungan (joint-venture) dalam hal penanaman modalnya di In-
donesia. Realisasi pengaturan mengenai penetapan bidang-bidang usaha penanaman
modal asing dan penetapan prioritasnya oleh pemerintah pertama kali dilaksanakan
melalui Instruksi Presidium Kabinet Nomor 06/EK/1N/1969 yang pada pokoknya
menetapkan bahwa penanaman modal asing diundang dalam:
1. Bidang usaha yang dapat menambah penerimaan devisa bagi negara, misalnya
dalam bidang usaha pertambangan, produksi pertanian, industri processing
untuk ekspor, dan sebagainya.
2. Bidang usaha yang dapat membantu mengurangi impor untuk barang-barang
tertentu seperti bahan-bahan yang dapat segera dikonsumsi maupun jasa.
3. Bidang usaha yang meskipun tidak menambah penerimaan devisa ataupun
mengurangi impor secara berarti, namun:
a. Bidang usaha yang dapat memberikan hasil dengan cepat (quick yielding)
misalnya kurang dari 2 (dua) tahun.
b. Bidang usaha yang dapat menambah kesempatan kerja secara berarti.
c. Bidang usaha yang mengintroduksi teknologi atau cara-cara kerja baru yang
dapat menaikkan produktivitas dalam sektor produksi.
d. Bidang usaha yang dapat menambah alat-alat perlengkapan modern yang
dapat memperbesar efektivitas kerja atau menurunkan biaya produksi.
Selanjutnya dalam Pasal 2 dari Instruksi Presidium Kabinet Nomor 06/EK/
IN/1/1969 disebutkan bahwa dewan penanaman modal asing yang memilih bidang
usaha tertentu dapat memberikan manfaat pada ekonomi nasional atau tidak dengan
mempertimbangkan setiap permohonan penanaman modal asing berdasar pada
ketentuan tersebut di atas. Dan selanjumya memberikan pertimbangan yang lebih luas
untuk penanaman modal yang berupa kerja sama patungan (joint-venture) antara
modal asing dengan modal nasional.
Dalam perkembangan selanjutnya bidang usaha penanaman modal dan
penetapan prioritasnya diatur dan ditetapkan dalam Keputusan Presiden baik dengan
jangka waktu 1 (satu) tahun sampai dengan masa 3 (tiga) tahun. Pengaturan dan
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

penetapan bidang usaha kemudian diatur kembali lewat Keppres Nomor 78 Tahun
1982 tentang Daftar Bidang-bidang Usaha Penanaman Modal dan telah beberapa kali
mengalami perubahan,
99
terakhir ditentukan Peraturan Presiden Republik Indonesia
Nomor 77 Tahun 2007 tentang Daftar Usaha Yang Tertutup dan Bidang Usaha Yang
Terbuka Dengan Persyaratan Di Bidang Penanaman Modal.
Dalam Peraturan Presiden ditentukan bidang usaha yang tertutup merupakan
bidang usaha tertentu yang dilarang diusahakan sebagai kegiatan penanaman modal,
antara lain perjudian/kasino, peninggalan sejarah dan purbakala serta museum.
100

Bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan adalah bidang usaha tertentu yang
dapat diusahakan sebagai kegiatan penanaman modal dengan syarat tertentu, yaitu
bidang usaha yang dicadangkan untuk Usaha Mikro,Kecil Menengah dan Koperasi
(UMKMK), bidang usaha yang dipersyaratkan dengan kemitraan, bidang usaha yang
dipersyaratkan kepemilikannya modalnya, bidang usaha yang dipersyaratkan dengan
lokasi tertentu, dan bidang usaha yang dipersyaratkan dengan perizinan khusus.
101

Persyaratan tersebut merupakan persyaratan bagi pembentukan badan usaha
yang berbadan hukum Indonesia bagi penanam modal (khususnya penanaman modal
asing sebelum melakukan kegiatan penanaman modal di Indonesia).

99
Keppres Nomor 78 Tahun 1982 tentang Daftar Bidang-bidang Usaha Penanaman Modal dan
telah beberapa kali mengalami perubahan, di antaranya dengan Keppres 34 Tahun 1984 tentang Daftar
Bidang Usaha Penanaman Modal Jo. Keppres Nomor 55 Tahun 1984 Keppres Nomor 22 Tahun 1986
J o. Keppres Nomor 15 Tahun 1987 dicabut dengan Keppres Nomor 29 Tahun 1989 J o Keppres Nomor
23 Tahun 1991 J o. Keppres Nomor 23 Tahun 1991 J o. Keppres Nomor 32 Tahun 1989 J o tentang
Daftar Bidang Usaha yang Tertutup Bagi Penanaman Modal yang Mengatur 51 Sektor Bidang Usaha
dan terakhir dengan Keppres Nomor 54 Tahun 1993 yang menyederhanakan sektor bidang usaha
menjadi 34 bidang usaha
100
Pasal 1 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 77 Tahun 2007 tentang Daftar Usaha
Yang Tertutup dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan Di Bidang Penanaman Modal.
101
Pasal 2 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 77 Tahun 2007 tentang Daftar Usaha
Yang Tertutup dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan Di Bidang Penanaman Modal.
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

Adanya pengaturan dan penetapan bidang usaha bagi penanaman modal oleh
pemerintah, tentunya harapan dari pemerintah untuk mengarahkan penanaman kodal
sesuai dengan rencana pembangunan nasional maupun dengan kebutuhan dan
perkembangan keadaan bangsa Indonesia. Untuk itu penentuan bidang usaha bagi
penanaman modal khususnya penanaman modal asing sangat wajar dan sesuai
dengan landasan dan dasar Negara Indonesia untuk mengundang penanaman modal
khususnya Penanaman Modal Asing (PMA) masuk ke Indonesia. Di sinilah peran
penting pemerintah bagaimana menyerasikan dan memadukan keinginan terhadap
masuknya penanaman modal dengan interest atau kepentingan penanaman modal itu
sendiri.
102

C. Perbedaan Investasi Langsung dan Tidak Langsung
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, dalam berbagai kepustakaan
ilmu hukum dapat ditemui istilah penanaman modal langsung dan tidak langsung.
J ika ditelusuri lebih lanjut paling tidak di Indonesia, kedua terminologi tersebut
muncul ketika pemerintah menerbitkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967
tentang Penanaman Modal Asing dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang
Penanaman Modal Dalam Negeri.
Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1976 tentang Penanaman
Modal disebutkan:
Pengertian penanaman modal di dalam undang-undang ini hanyalah meliputi
penanaman modal asing secara langsung yang dilakukan menurut atau
berdasarkan ketentuan-ketentuan undang-undang ini dan yang digunakan untuk
menjalankan perusahaan di Indonesia, dalam arti bahwa pemilik modal secara
langsung menanggung risiko dari penanaman modal tersebut.

102
Aminuddin Ilham, op. cit., hal. 81.
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

Dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman
Modal Dalam Negeri disebutkan, penanaman modal dalam negeri ialah penggunaan
daripada kekayaan seperti tersebut dalam Pasal 1, baik secara langsung atau tidak
langsung, untuk menjalankan usaha menurut atau berdasarkan ketentuan-ketentuan
undang-undang ini.
Dalam penjelasan Pasal 2 UU PMDN tersebut, bahwa penanaman modal
dalam negeri ialah penggunaan modal tersebut dalam Pasal 1 bagi usaha-usaha yang
mendorong pembangunan ekonomi pada umumnya. Penanaman tersebut dapat
dilakukan secara langsung, yakni oleh pemiliknya sendiri, atau tidak langsung, yakni
melalui pembelian obligasi-obligasi, surat-surat kertas perbendaharaan negara, emisi-
emisi lainnya (saham-saham) yang dikeluarkan oleh perusahaan, serta deposito dan
tabungan yang berjangka waktu sekurang-kurangnya satu tahun.
Dari ketentuan itu, jenis penanaman modal dilihat dari sumber dana yang
digunakan, yakni modal asing dan modal dalam negeri yang membawa konsekuensi
terhadap risiko yang akan dihadapi oleh pemilik modal. Artinya, bagi pemodal asing
maupun dalam negeri yang hendak menanamkan modalnya secara langsung, maka
secara fisik investor hadir dalam menjalankannya usahanya. Dengan hadirnya atau
tepatnya dengan didirikannya badan usaha yang berstatus sebagai Penanaman Modal
Asing (PMA), maka badan usaha tersebut harus tunduk kepada ketentuan hukum di
Indonesia.
103


103
Dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal
Dalam Negeri disebutkan, perusahaan yang dimaksud dengan Pasal 1 yang dijalankan untuk
seluruhnya atau bagian terbesar di Indonesia sebagai kesatuan perusahaan tersendiri harus berbentuk
Badan Hukum menurut Hukum Indonesia darn berkedudukan di Indonesia.
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

Pada jenis investasi secara tidak langsung, investornya tidak perlu hadir
secara fisik, sebab pada umumnya (mungkin untuk kasus-kasus tertentu investor mau
memiliki perusahaan secara permanen dengan perhitungan bisnis tentunya cukup
menjanjikan pendapatan) tujuan utama dari investor bukanlah mendirikan
perusahaan, melainkan hanya membeli saham dengan tujuan untuk dijual kembali.
Tujuan investor di sini adalah bagaimana memperoleh hasil yang maksimal dengan
rentang waktu yang tidak terlalu lama sudah bisa menikmati keuntungan. Dengan
kata lain, jenis investasi seperti ini, yang diharapkan oleh investor adalah capital gain,
artinya adanya penghasilan dari selisih antara beli dan jual saham di bursa efek.
104

Berdasarkan uraian di atas, tampak bahwa ada perbedaan karakter antara
investasi secara langsung dengan investasi tidak langsung. Dilihat dari sudut pandang
ini, masih menjadi perdebatan tentang adanya perbedaan karakteristik investasi
langsung dengan investasi tidak langsung.
Dahniel Khumarga, mengemukakan:
Guna meluruskan pandangan yang kurang pada tempatnya dibedakan antara
penanaman modal langsung dan tidak langsung, maka Fakultas Hukum UPH akan
memelopori pergantian sebutan atau nama mata kuliah hukum investasi dirubah
menjadi Hukum Investasi Langsung yang meliputi Hukum Penanaman Modal
Asing Langsung (Foreign Direct Investment Law) dan Hukum Penanaman Modal
Dalam Negeri Langsung (Domestic Direct Investment Law). Sedangkan Hukum
Pasar Modal akan diganti sebutannya dengan nama Hukum Investasi Tidak
Langsung (Indirect Investment Law) atau biasa juga disebut dengan Portofolio
Investment Law yang sumbernya adalah UU No.8 Tahun 1995.
105


104
Dalam Pasal 1 butir 4 UU Pasar Modal disebutkan, bursa efek adalah pihak yang
menyelenggarakan dan menyediakan sistem dan atau sarana untuk mempertemukan penawaran dan
jual dan beli efek. Pihak-pihak lain dengan tujuan memperdagangkan efek di antara mereka. Pasal 6
ayat (1) mengemukakan, yang dapat menyelenggarakan kegiatan usaha sebagai bursa efek adalah
perseroan yang telah memperoleh izin usaha dari Bapepam.
105
Dahniel Khumarga, Regulasi Investasi, Kendala dan Faktor Penunjangnya, Pidato
Pengukuhan Penerimaan J abatan Sebagai Besar Tetap Dalam Bidang Pengantar Tata Hukum
Indonesia Fakultas Hukum UPH Tangerang, 2 Maret 2002, hal. 10-11.
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

Dari pandangan tersebut, tampak bahwa penggolongan investasi langsung dan
tidak langsung dianggap masih relevan. Hanya saja, penyebutannya disesuaikan
dengan perkembangan dunia bisnis yang telah berkembang dengan pesat. Barangkali
pemikiran semacam ini ada benarnya, mengingat investasi secara langsung
mempunyai karakteristik tersendiri jika dibandingkan dengan investasi secara tidak
langsung.
Gunarto Suhardi, mengemukakan:
Investasi langsung lebih baik jika dibandingkan dengan investasi portofolio,
karena Investasi langsung lebih permanen. Selain itu investasi langsung:
1. Memberikan kesempatan kerja bagi penduduk; 2. Mempunyai kekuatan
penggandaan dalam ekonomi lokal; 3. Memberikan risidu baik berupa peralatan
maupun alih teknologi; 4. Bila produksi diekspor memberikan jalan atau jalur
pemasaran yang dapat dirunut oleh pengusaha lokal di samping seketika
memberikan tambahan devisa dan pajak bagi negara; 5. Lebih tahan terhadap
fluktuasi bunga dan valuta asing; 6. Memberikan perlindungan politik dan
keamanan wilayah karena bila investor berasal dari negara kuat niscaya bantuan
keamanan juga akan diberikan.
106

Secara teoritis dapat dibedakan antara penanaman modal secara langsung dan
tidak langsung, dan jika dilihat dari manfaat yang dapat diambil oleh negara penerima
modal maka kehadiran jenis investasi secara langsung lebih menguntungkan bagi
negara penerima modal, sebab kehadiran investasi dapat menggerakkan roda
perekonomian negara tersebut. Selain itu, dengan kehadiran investor asing dapat tidak
hanya meningkatkan nilai tambah bagi pemerintah tetapi juga berdampak langsung
kepada masyarakat.

106
Gunarto Suhardi, op. cit., hal. 45
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

Perbedaan antara investasi asing langsung dengan investasi asing tidak
langsung, sebagaimana terlihat di bawah ini:
Tabel 1
Perbedaan Antara Investasi Asing Langsung dan
Investasi Tidak Langsung

No
Langsung
(Foreign Direct Investment/FDI)
Tidak Langsung
(Foreign Indirect Invesment/FII)
1 Transfer aset dari satu negara ke
negara lain
Perpindahan uang dengan tujuan
membeli saham
2 Mendirikan perusahaan Tidak mendirikan perusahaan
3 Perusahaan dikendali seluruh atau
sebagian oleh pemilik perusahaan
Ada pemisahan antara pemilik dengan
manajemen
4 Investasi tidak dapat ditarik setiap
saat
Investasi setiap saat dapat
dipindahkan
5 Membutuhkan kehadiran secara
fisik
Tidak perlu hadir secara fisik
6. Landasan hukum UU No.25 Tahun
2007
Landasan hukum UU No. 8 Tahun
1995
7. Pengelola BKPM (PEMDA) Pengelola BAPEPAM-LK (DEPKEU
Republik Indonesia)
Sumber: diadaptasi dan dikembangkan lebih lanjut dari buku M. Sarnarajah, The International law on
Foreign Investment Cambrigde University Press 1994.
107

Dari tabel di atas terlihat bahwa pada investasi langsung terjadi transfer aset
dari satu negara ke negara sedangkan pada investasi tidak langsung perpindahan uang
itu adalah untuk membeli saham, jadi investor pada investasi tidak langsung tidak
perlu hadir secara fisik.

107
Sentosa Sembiring, Hukum Investasi, PT. Nuansa Aulia, Bandung, 2007, hal. 84.
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

Dalam investasi langsung investor mendirikan perusahaan di negara tujuan
investasi sedangkan investasi tidak langsung tidak perlu mendirikan perusahaan.
Kemudian juga dalam investasi langsung perusahaan dikendali seluruh atau sebagian
oleh pemilik saham, sedangkan investasi tidak langsung terjadi pemisahan antara
pemilik dengan manajemen. Dalam investasi langsung, investor tidak dapat setiap
saat menarik investasi tersebut, sedangkan pada investasi tidak langsung hal ini dapat
dilakukan atau dapat dipindahkan setiap saat.
Yang menjadi landasan umum investasi asing langsung adalah Undang-
Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, sedangkan landasan
umum investasi asing tidak langsung adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995
tentang Pasar Modal. Sehingga lembaga pengelola dari kedua sifat investasi itu juga
berbeda, di mana investasi asing langsung dikelola Badan Koordinasi Penanaman
Modal (BKPM), sedangkan investasi asing tidak langsung dikelola BAPEPAM.
D. Prosedur Penanaman Modal Asing dan Masalah Yang Dihadapi
1. Prosedur dan Persyaratan Penanaman Modal Asing (PMA)
Prosedur dan persyaratan Penanaman Modal Asing (PMA) maupun
Penanaman Modal Dalam Negeri mengacu pada Keputusan Presiden Nomor 29
Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Penanaman Modal dalam rangka Penanaman
Modal Asing dan Penanaman Modal Dalam Negeri melalui Sistem Pelayanan Satu
Pintu.
Mekanisme Penanaman Modal Asing (PMA) berdasarkan Keputusan Presiden
Nmor 29 Tahun 2004 sebagaimana terlihat pada gambar berikut ini:
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

Gambar 1
Mekanisme Penanaman Modal Asing (PMA)


SURAT
PERSETUJUAN
PMA
AKTE PENDIRIAN
PERUSAHAAN
PMA
IZIN LOKASI IMB SERTIFIKAT
TANAH
HO AMDAL,
UPL - UKL
APIT MASTERLIST TDP
IZIN USAHA TETAP (IUT)
APLIKASI
MODEL I PMA
Sumber: Keputusan Presiden Nomor 29 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Penanaman Modal
dalam rangka Penanaman Modal Asing dan Penanaman Modal Dalam Negeri melalui Sistem
Pelayanan Satu Atap
Adapun syarat-syarat dalam melakukan penanaman modal asing berdasarkan
pada mekanisme penanaman modal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
108

1. Surat Persetujuan Penanaman Modal Asing
Syarat-syarat:
a. Fotocopy KTP Pemegang Saham yang WNI
b. Fotocopy NPWP Pemegang Saham yang WNI
c. Fotocopy Lengkap Paspor WNA
d. Flowchart uraian Proses Produksi mulai dari bahan baku hingga produk yang
dihasilkan.
e. Proposal singkat tentang usaha yang akan dibangun.
Lamanya proses izin tersebut adalah 10 hari kerja dengan ketentuan berkas
lengkap dan benar. Setelah berkas lengkap dan diproses di Badan Koordinasi
Penanaman Modal (BKPM) J akarta selama 10 15 hari kerja. Dalam melakukan
proses izin tersebut tidak dikenakan biaya.

108
Hasil wawancara dengan Ibu Hj. R. Sabrina, M.Si., Kepala Badan Investasi dan Promosi
(BAINPROM) Provinsi Sumatera Utara, tanggal 26 Agustus 2008 di Medan.
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

2. Angka Pengenal Importir Terbatas (APIT)
Syarat-syarat:
a. Spesimen tanda tangan dan pas photo
b. Fotocopy Akte Pendirian dan perubahannya
c. Fotocopy Surat Persetujuan PMDN/PMA
d. Surat Keterangan Domisili Perusahaan
e. Fotocopy NPWP
f. Fotocopy LKPM Semester terakhir
g. Fotocopy sertifikat gedung kantor perusahaan atau fotocopy sewa menyewa
gedung kantor
h. Kartu APIT yang telah ditandatangani dan cap perusahaan
Lamanya Proses Izin 10 hari kerja dengan ketentuan berkas lengkap dan benar,
dan tidak dikenakan biaya.

3. Pengesahan Master List
Syarat-syarat:
a. Daftar induk barang modal
b. Denah pabrik dan gambar tata letak mesin-mesin/peralatan
c. Brosur/spesifikasi teknis mesin-mesin/peralatan
d. Uraian proses produksi/flow chart perhitungan kapasitas mesin-mesin
e. Fotocopy surat persetujuan pma/pmdn
f. Fotocopy Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (NPPKP)
g. Fotocopy Nomor Wajib Pajak (NPWP)
h. Laporan Kegiatan Penanaman Modal (LKPM) periode terakhir
Lamanya proses izin 10 hari kerja dengan ketentuan berkas lengkap dan benar,
dan tidak dikenakan biaya.
4. Izin Lokasi, IMB, HO, AMDAL (UPL-UKL), TDP
Izin lokasi, IMB, HO, AMDAL (UPL-UKL), TDP syarat-syaratnya mengikuti
ketentuan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dimana lokasi Proyek PMA
berdomisili. Lamanya proses izin 10 hari kerja dengan ketentuan berkas lengkap
dan benar.
Kewenangan ini menjadi kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota sejak tahun
1993. Dengan lahirnya Keputusan Presiden Nomor 29 Tahun 2004, efektif
kewenangan penerbitan Surat Persetujuan PMA terhitung mulai tanggal 23
Agustus 2004 menjadi kewenangan BKPM dengan Sistem Pelayanan Satu Atap.

5. Izin Usaha Tetap (IUT)
Syarat-syarat:
a. Fotocopy akte pendirian perusahaan yang telah disahkan Menteri Hukum dan
HAM
b. Fotocopy hak atas tanah atau bukti perjanjian menyewa
c. Fotocopy IMB
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

d. Fotocopy Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) atau Rencana Pemantauan
Lingkungan (RPL) atau Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) atau
dokumen Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL)
e. Fotocopy surat persetujuan pma/pmdn
f. Fotocopy HO atau HO Non Industri
g. Fotocopy Tanda Daftar Perusahaan (TDP)
h. Fotocopy PPKP dan NPWP perusahaan.
Lamanya Proses Izin 10 hari kerja dengan ketentuan berkas lengkap dan benar,
dan tidak dikenakan biaya.
Selanjutnya daftar positif dan negatif bagi Penanaman Modal itu mengacu
pada Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 2007 tentang Kriteria dan Persyaratan
Penyusunan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan Di Bidang Penanaman
Modal, dan Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2007 tentang Daftar Bidang
Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal.
2. Masalah-Masalah Penanaman Modal Yang Dihadapi
a. Fiskal
Sejak 1 Mei 2000 bahwa insentif Free Tax bagi Investor PMA/PMDN tidak
lagi bebas Pajak, dirubah menjadi keringanan Pajak/Bea. Sebelum kebijakan
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 135/KMK.05/2000 tanggal 1 Mei 2000 jo
Nomor 28/KMK.05 /2001 tanggal 26 J anuari 2001 terbit, Import Bea Masuk, PPn &
PPh atas Barang Modal tidak dikenakan kutipan apapun.
Setiap Pengimportan Barang Modal, Investor diwajibkan harus mengurus
Surat Keterangan Bebas Pajak PPn dari Kantor Pelayanan Pajak setempat, sehingga
kewajiban ini menambah birokrasi jalur untuk mengeluarkan barang import dari
pelabuhan.
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

b. Perizinan
Sejak diterbitkan Surat Keputusan Presiden Nomor 29 Tahun 2004 tentang
Penyelenggaraan Penanaman Modal Dalam Rangka Penanaman Modal Asing dan
Penanaman Modal Dalam Negeri Melalui Sistem Pelayanan Satu Atap melalui Badan
Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), maka semua permohonan Surat Persetujuan
Baru PMA maupun PMDN diajukan dan diproses oleh BKPM, berapapun besar
investasi yang akan ditanamkan. Sehingga kebijakan ini jelas akan memperpanjang
birokrasi dan memperjauh titik pelayanan, serta tidak sesuai dengan jiwa otonomi
daerah. Izin-izin lanjutan yang menjadi kewenangan daerah Kabupaten/Kota sering
tidak tepat waktu, sehingga investor tidak dapat dengan segera merealisasikan
rencana proyek yang sudah diprogramkan.
c. Tata Ruang
Sering terjadi rencana proyek PMA/PMDN yang telah mendapat persetujuan,
tidak dapat melanjutkan pembangunan, karena lokasi proyek yang akan dibangun
tidak sesuai dengan Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Kabupaten/Kota,
karena Tata Ruang Pemerintah Propinsi dengan Tata Ruang Kabupaten/Kota atas
lokasi proyek PMA/PMDN yang akan didirikan tidak sama, malah ada yang
bertentangan.
d. Administrasi Urusan Tenaga Kerja Asing
Ketentuan yang mengatur administrasi tenaga kerja asing yang berlaku saat
ini, mengundang kebingungan bagi para investor, di satu sisi pihak Departemen
Tenaga Kerja membuat ketentuan bahwa departemen tenaga kerja yang berhak
memproses administrasi urusan tenaga kerja asing, di pihak lain BKPM menyatakan
bahwa BKPM yang berhak. Kejadian seperti ini juga terjadi di Propinsi, satu sisi
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

Dinas Tenaga Kerja menyatakan bahwa kewenangan perpanjangan Izin Kerja Tenaga
Asing (IKTA) adalah wewenangnya, disisi lain mengacu kepada petunjuk dari
BKPM perpanjangan IKTA adalah wewenang Instansi Penanaman Modal Tingkat
Propinsi. Keadaan seperti ini, jelas akan menimbulkan ketidakpastian Instansi
Pemerintah mana sebenarnya yang berhak untuk urusan IKTA, dan hal ini akan
menimbulkan iklim investasi yang tidak kondusif.
109





109
Hasil wawancara dengan Bapak Anthon Malau, S.H., Kasubbid Pelayanan ADM Industri
Provinsi Sumatera Utara, tanggal 26 Agustus 2008 di Medan.
BAB III
JAMINAN KEPASTIAN HUKUM BAGI INVESTASI ASING MENURUT
KETENTUAN UNDANG-UNDANG NOMOR 25 TAHUN 2007 TENTANG
PENANAMAN MODAL
A. Substansi Baru, Insentif dan Pembatasan Dalam Undang-Undang Nomor 25
Tahun 2007 tentang Penanaman Modal
1. Substansi Baru dalam Undang-Undang Penanaman Modal
a. Perlakuan yang Sama Terhadap Penanam Modal
Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang No.25 Tahun 2007 menyebutkan bahwa,
Pemerintah memberikan perlakuan yang sama kepada semua penanam modal yang
berasal dari negara manapun yang melakukan kegiatan penanaman modal di
Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Selanjutnya, ayat (2) menyebutkan bahwa perlakuan tersebut tidak berlaku
bagi penanam modal dari suatu negara yang memperoleh hak istimewa berdasarkan
perjanjian dengan Indonesia. Ketentuan ini menyesuaikan dengan prinsip yang dianut
oleh Trade Related Investment Measures-WTO.
Ketentuan ini, sesuai dengan prinsip WTO "the most favored nations", yaitu
suatu ketentuan yang diberlakukan oleh suatu negara harus diperlakukan pula kepada
semua negara anggota WTO. Ketentuan ini untuk menegakkan prinsip Non
Diskriminasi yang dianut WTO. Prinsip perlakuan nasional (national treatment, non
diskriminasi) mengharuskan negara tuan rumah/penanam modal untuk tidak
membedakan perlakuan antara penanam modal asing dan penanam modal dalam
negeri di negara penerima modal tersebut.
110


110
J .H.J ack, dalam Suparji, op. cit., hal. 211.
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

Prinsip ini membawa konsekuensi bagi negara-negara anggota, yaitu tidak
diperkenankan untuk memberikan perlakuan istimewa terhadap penanaman modal
dalam negeri. J ika ada peraturan (measure) investasi yang memberikun perlakuan
diskriminatif, hal itu bertentangan dengan GATT.
111

Berkaitan dengan mekanisme perdagangan bebas multilateral, prinsip ini
melarang negara-negara anggota GATT/WTO menerapkan kebijakan yang
menyebabkan diskriminasi perlakuan antara produk impor dengan produk buatan
sendiri. Dengan kata lain negara-negara anggota tidak dapat memaksakan pemakaian
produk dalam negeri.
112

Dengan demikian prinsip "National Treatment" ini menghindari peraturan-
peraturan yang menerapkan perlakuan diskriminatif yang ditujukan sebagai alat
untuk memberikan proteksi terhadap produk-produk buatan dalam negeri.
Tindakan yang demikian ini menyebabkan tergangggunya kondisi persaingan
antara barang-barang buatan dalam negeri dengan barang impor dan mengarah
kepada pengurangan kesejahteraan ekonomi.
113

Dengan kata lain, ketentuan dalam TRIMs ini pada dasarnya diarahkan untuk
menghilangkan aturan dalam bidang investasi yang dapat menimbulkan distorsi
dalam perdagangan internasional.
Selain itu, dalam TRIMs ada sebagian ketentuan yang dianggap sebagai
retriksi kuantitatif terhadap impor, yaitu: pertama, pembatasan impor produk yang
dipakai dalam proses produksi atau terkait dengan produksi lokal yang harus
diekspor; kedua, pembatasan impor yang dipakai dalam proses produksi atau terkait
dengan produksi lokal dengan membatasi akses devisa yang dapat diperoleh oleh

111
Victor Salgado, dalam Ibid., hal. 212.
112
National Treatment Principle, http://www.meti.go.jp/English/report/get0002e.pdf., hal. 1
dalam Ibid., hal. 212.
113
Ibid., hal. 112.
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

perusahaan yang bersangkutan; ketiga, pembatasan ekspor menurut jumlah, jenis,
maupun nilai produk atau persentase dari volume, nilai produk lokal.
114

Sebelumnya ada peraturan penanaman modal di Indonesia yang dikategorikan
sebagai TRJ Ms negatif atau bertentangan dengan GATT/WTO, yaitu: Surat
Keputusan Menteri Perindustrian No. 114/M/SK/6/1993 tentang Penetapan Tingkat
Kandungan Lokal Kendaraan Bermotor atau Komponen Buatan Dalam Negeri.
Adanya persyaratan kandungan lokal terhadap pembuatan kendaraan roda 2 (dua) dan
roda 4 (empat) serta pembuatan jenis mesin dan peralatan lainnya adalah bertentangan
dengan prinsip national treatment. Surat Keputusan ini tidak berlaku lagi.
b. Tanggung Jawab Bagi Penanam Modal
Substansi baru yang lain dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007
tentang Penanaman Modal adalah ketentuan tentang tanggung jawab penanam modal.
Pasal 16 menyebutkan bahwa, setiap penanam modal bertanggung jawab:
a. menjamin tersedianya modal yang berasal dari sumber yang tidak
bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. menanggung dan menyelesaikan segala kewajiban dan kerugian jika penanam
modal menghentikan, meninggalkan, menelantarkan kegiatan usahanya secara
sepihak, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
c. menciptakan iklim usaha persaingan yang sehat, mencegah praktik monopoli,
dan hal lain yang merugikan negara;
d. menjaga kelestarian lingkungan hidup;
e. menciptakan keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kesejahteraan pekerja;
dan
f. mematuhi semua ketentuan peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka penanam modal dalam negeri dan
penanam modal asing mempunyai tanggung jawab hukum dan kewajiban menaati

114
H.S.Kartadjoemena, GATT, WTO dan Hasil Uruguay Round, UI Press, J akarta, 1997,
hal. 220.
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

hukum Indonesia, jika ada kewajiban hukum yang harus diselesaikan, kewajiban
pajak, dan kewajiban lainnya maka Bank Indonesia atas permintaan Pemerintah atau
Badan Koordinasi Penanaman Modal dapat menunda hak untuk melakukan transfer
atau repatriasi. Selain itu, penyidik atau Menteri Keuangan dapat meminta bank atau
lembaga lain untuk menunda hak melakukan transfer dan/atau repatriasi, dan
pengadilan berwenang menetapkan penundaan hak untuk melakukan transfer
dan/atau repatriasi berdasarkan gugatan.
115

c. Sanksi bagi Penanam Modal
Substansi baru dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang
Penanaman Modal adalah sanksi bagi penanam modal. Pasal 33 ayat (1)
menyebutkan bahwa, penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing yang
melakukan penanaman modal dalam bentuk Perseoran Terbatas dilarang membuat
perjanjian dan/ atau pernyataan yang menegaskan bahwa kepemilikan saham dalam
perseroan terbatas untuk dan atas nama orang lain. Ayat (2) menyebutkan bahwa,
dalam hal penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing membuat
perjanjian dan/atau pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), perjanjian dan/
atau pernyataan itu dinyatakan batal demi hukum.

115
"Pemerintah Belum Pernah Tuntaskan Kasus Investor Pengemplang", Kompas, 8 April
2008. lihat juga "1.300 Buruh Telantar Akibat PMA Hengkang", Kompas, 8 Februari 2007. Ketentuan
tentang tanggung jawab penanaman modal didasarkan pada fakta adanya investor yang kabur
meninggalkan berbagai persoalan saat usahanya bermasalah. Pada tahun 2006-2007 ada beberapa
investor yang meninggalkan Indonesia dan belum menyelesaikan kewajibannya, antara lain; pertama,
PT. Dong J oe yang tutup Oktober 2006, jumlah karyawan 6.000 orang; kedua, PT. Tong Yang, tutup
Oktober 2006, jumlah karyawan 8.300 orang; ketiga, PT. Tirai Tapak Tiara dan PT. Tampuk Yudha
Inti, yang tutup Oktober 2006, jumlah karyawan 3.000 orang dan kecmpat, PT. Bridor Indonesia, tutup
sejak bulan Desember 2007, jumlah karyawan 38 orang; kelima, PT. Livatech Eletronik Indonesia
yang bergerak di bidang perakitan komponen elektronik hengkang dari Indonesia sehingga
menyebabkan 1.300 buruh terlantar.
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

Selanjutnya, ayat (3) menyebutkan bahwa, dalam hal penanam modal yang
melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan perjanjian atau kontrak kerja sama dengan
pemerintah melakukan kejahatan korporasi berupa tindak pidana perpajakan,
penggelembungan biaya pemulihan,

dan bentuk penggelembungan biaya lainnya
untuk memperkecil keuntungan yang mengakibatkan kerugian negara berdasarkan
temuan atau pemeriksaan oleh pihak pejabat yang berwenang dan telah mendapat
putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, Pemerintah mengakhiri perjanjian
atau kontrak kerjasama dengan penanam modal yang bersangkutan. Pasal 34
menyebutkan bahwa bentuk sanksi, yaitu peringatan tertulis, pembatasan kegiatan
usaha, pembekuan kegiatan usaha dan atau fasilitas penanaman modal atau
pencabutan kegiatan usaha dan/ atau fasilitas penanaman modal.
116

2. Insentif dalam Undang-Undang Penanaman Modal
a. Insentif Pajak bagi Penanam Modal
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal
memberikan insentif pajak sangat luas, yaitu sesuai Pasal 18 ayat (4):
a. Pajak penghasilan melalui pengurangan penghasilan netto sampai tingkat
tertentu terhadap jumlah penanaman modal yang dilakukan dalam waktu
tertentu.
b. Pembebasan atau Keringanan Bea Masuk atas impor barang modal, mesin,
atau peralatan untuk keperluan produksi yang belum dapat diproduksi di
dalam negeri.
c. Pembebasan atau Keringanan Bea Masuk bahan baku atau bahan penolong
untuk keperluan produksi untuk jangka waktu tertentu dan persyaratan
tertentu.

116
Ketentuan tentang sanksi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang
Penanaman Modal merupakan ketentuan yang baru, karena baik dalam Undang-Undang Penanaman
Modal Asing maupun Undang-Undang Penanaman Modal Dalam Negeri pada waktu yang lalu,
masalah sanksi tidak diatur.
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

d. Pembebasan atau Penangguhan Pajak Pertambahan Nilai atas impor barang
modal atau peralatan untuk keperluan produksi yang belum dapat diproduksi
di dalam negeri selama jangka waktu tertentu.
e. Penyusutan atau Amortisasi yang dipercepat, dan
f. Keringanan Pajak Bumi dan Bangunan, khususnya untuk bidang usaha
tertentu, pada wilayah atau daerah atau kawasan tertentu.
117

Insentif pajak diberikan secara selektif, karena penanam modal akan
mendapat insentif jika perusahaan tersebut melakukan investasi pada sektor yang
menyerap tenaga kerja, bidang usaha termasuk skala prioritas tinggi dan membangun
infrastruktur. Selain itu, perusahaan tersebut harus melakukan alih teknologi, industri
tersebut merupakan industri pionir dan usahanya dilakukan di daerah terpencil/daerah
tertinggal/daerah perbatasan. Selanjutnya, perusahaan tersebut harus menjaga kelestarian
lingkungan hidup dan bermitra dengan usaha mikro, kecil, menengah atau koperasi.
118

Dalam sejarah kebijakan penanaman modal Indonesia, tax holiday pernah
diberikan pada tahun 1970-an. Fasiltas ini dicabut pada tahun 1980-an ketika terjadi
reformasi perpajakan. Hal ini dipengaruhi pendapat bahwa pemberian fasililas tax
holiday dinilai tidak adil karena yang dapat menikmati hanya sebagian pengusaha
tertentu sedangkan pengusaha kecil yang jumlahnya sangat banyak tidak dapat
menikmati dan malah memikul bebannya. Selain itu, pemberian tax holiday dianggap
bukan merupakan fasilitas yang ampuh untuk menarik minat para investor memasuki
suatu industri,
119
dan tax holiday terbukti bukan merupakan suatu kebijakan yang
efektif dalam menarik investor asing. Kemudian, pada tahun 1996 pemberian insentif

117
Penjelasan Pasal 18 ayat 3 huruf e Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang
Penanaman Modal.
118
Lihat, Pasal 18 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.
119
Pande Radja Silalahi, "Menghidupkan Kembali Tax Holiday", Tempo, edisi 22/01, 26 J uli
1996. Lihat juga, "Tax Holiday Bukan J aminan untuk Tarik Minat Investor" Harian Ekonomi Neraca,
9 Agustus 2003.
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

tax holiday dihidupkan kembali melalui Peraturan Pemerintah No.45 Tahun 1996
yang antara lain pemberian insentif kepada industri-industri tertentu.
120

Insentif pajak dalam Undang-Undang No.25 Tahun 2007 tentang Penanaman
Modal, jika dibandingkan dengan undang-undang negara lain, dapat dinyatakan
kalah bersaing. Karena, Undang-Undang ini tidak memberikan fasilitas tax
holiday. Sementara di negara-negara lain memberikan insentif berupa tax holiday.
Misalnya, China memberikan tax holiday selama 2 tahun ditambah dengan PPh
50% sampai tahun ke 5, dan reinvestasi uang pajak dikembalikan 40%.Thailand
memberikan insentif tax holiday kepada penanam modal berupa pembebasan bea
masuk pada impor barang modal dan bahan baku selama 3 - 8 tahun. Dalam
Investment Promotion Act diatur kriteria insentif yang diberikan kepada penanam
modal asing, yaitu: memberikan keuntungan secara ekonomis dan teknologi.
Pemberian insentif ini juga mempertimbangkan jumlah produsen yang sudah ada,
kapasitas produksi nasional dan proyek yang dipromosikan. kemudian perusahaan
tersebut harus mempertimbangkan sumber daya nasional bahan baku dan tenaga
kerja, serta jumlah mata uang asing yang tersimpan.
121

b. Transfer Aset dan Repatriasi
Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal memberikan
insentif lain berupa hak transfer dan repatriasi. Dibandingkan dengan Undang-
Undang No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, hak transfer dan
repatriasi tersebut, lebih rinci dan lebih komprehensif . Hal ini dapat dilihat pada
Pasal 8 yang berbunyi:
(1) Penanam modal dapat mengalihkan aset yang dimilikinya kepada pihak yang
diinginkan oleh penanam modal sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2) Aset yang tidak termasuk aset sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan aset yang ditetapkan oleh undang-undang sebagai aset yang
dikuasai oleh negara.
(3) Penanam modal diberi hak untuk melakukan transfer dan repatriasi dalam
valuta asing, antara lain terhadap;
a. modal;

120
Lihat juga Keputusan Presiden No.45 tahun 1996 tentang Tata Cara Pemberian Fasilitas
Insentif Kepada Perusahaan.
121
Suparji, op. cit., hal. 219.
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

b. keuntungan, bunga bank, deviden, dan pendapatan lain;
c. dana yang diperlukan untuk:
1. pembelian bahan baku dan penolong, barang setengah jadi, atau
barang jadi; atau
2. penggantian barang modal dalam rangka melindungi kelangsungan
hidup penanaman modal;
d. tambahan dana yang diperlukan bagi pembiayaan penanaman modal;
e. dana untuk pembayaran kembali pinjaman;
f. royalti atau biaya yang harus dibayar;
g. pendapatan dari perseorangan warga negara asing yang bekerja dalam
perusahaan penanaman modal;
h. hasil penjualan atau likuidasi penanaman modal;
i. kompensasi atas kerugian;
j. kompensasi atas pengambilalihan;
k. pembayaran yang dilakukan dalam rangka bantuan teknis, biaya yang
harus dibayar untuk jasa teknik dan manajemen, pembayaran yang
dilakukan di bawah kontrak proyek, dan pembayaran hak atas kekayaan
intelektual; dan
l. hasil penjualan aset sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
Pengalihan aset pada prinsipnya memang dapat dilakukan oleh penanam
modal sesuai dengan keinginannya, tetapi tidak sepenuhnya "bebas" karena masih
harus mengacu pada peraturan perundang-undangan, misalnya, peraturan tentang
pelaporan kepada Bank Indonesia.
122
Selain itu, kebebasan pengalihan aset juga
dibatasi dari jenis asetnya, yaitu aset yang dikuasai negara tidak diizinkan dialihkan,
misalnya hutan, pertambangan, kekayaan laut dan energi yang lain.
Selanjutnya, ayat (5) menyebutkan hak transfer dan repatriasi tidak mengurangi:
a. kewenangan Pemerintah untuk memberlakukan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang mewajibkan pelaporan pelaksanaan transfer dana;
b. hak Pemerintah untuk mendapatkan pajak dan/atau royalti dan/atau
pendapatan Pemerintah lainnya dari penanaman modal sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan;
c. pelaksanaan hukum yang melindungi hak kreditor; dan
d. pelaksanaan hukum untuk menghindari kerugian negara.

122
Lihat , Pasal 8 ayat 4 Undang-Undang No.25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

Di samping itu, untuk mengantisipasi terhadap beberapa investor yang
meninggalkan begitu saja perusahaan di Indonesia, tanpa menyelesaikan kewajiban
mereka membayar upah buruh dan kewajiban lainnya, Pasal 9 ayat (1) menyebutkan,
bahwa dalam hal adanya tanggung jawab hukum yang belum diselesaikan oleh
penanam modal:
a. penyidik atau Menteri Keuangan dapat meminta bank atau lembaga lain untuk
menunda hak melakukan transfer dan/atau repatriasi; dan
b. pengadilan berwenang menetapkan penundaan hak untuk melakukan transfer
dan/atau repatriasi berdasarkan gugatan.
Selanjutnya, ayat (2) menyebutkan, bahwa Bank atau lembaga lain
melaksanakan penetapan penundaan berdasarkan penetapan pengadilan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b hingga selesainya seluruh tanggung jawab penanam
modal.
Pengaturan yang memberikan kepada penanam modal, hak untuk melakukan
transfer dan repatriasi itu didasarkan pada dua pertimbangan, yaitu; pertama,
merupakan konsekuensi dari pelaku usaha untuk dan di dalam melaksanakan kegiatan
usahanya; kedua, konsekuensi dari melakukan tindakan korporasi.
123
Penanaman
modal diperbolehkan melaksanakan repatriasi. Hal ini sesuai dengan peraturan
tentang lalu lintas devisa sejak tahun 1970 dimana Indonesia menganut sistem lalu
lintas devisa bebas. J adi dengan demikian apa yang diatur dalam Undang-Undang
No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, bukan hal yang baru, tidak ada
sesuatu yang istimewa tentang transfer dan repatriasi. Itu semuanya sudah dijamin
bisa dilakukan oleh setiap penduduk Indonesia untuk bisa menggunakan,
memanfaatkan devisa secara bebas. Penegasan khusus ini hanya berlaku pada mereka

123
Felix Untung Soebagjo, Pendapat Pada Sidang di Mahkamah Konstitusi, tanggal 20
November 2007.
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

yang menanam modal di Indonesia. Ini adalah salah satu cara dalam rangka
melakukan promosi, karena Undang-Undang Penanaman Modal itu bukan hanya
undang-undang yang mengatur norma-norma yang berlaku bagi pelaku usaha yang
berada di Indonesia, bukan hanya mengatur norma-norma hukum bagi penduduk
Indonesia, tetapi juga mempromosikan bahwa Indonesia adalah salah satu negara
yang layak untuk dikunjungi, untuk dijadikan tempat untuk melakukan investasi.
124

c. Jaminan Tidak Ada Nasionalisasi
Ketentuan dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman
Modal yang juga dapat dikategorikan sebagai insentif adalah jaminan tidak ada
nasionalisasi hak kepemilikan penanam modal. J aminan tidak ada nasionalisasi dapat
dikategorikan sebagai insentif, karena para penanam modal akan mendapat kepastian
hukum dalam menjalankan usahanya dan tidak khawatir hak kepemilikannya diambil
alih negara. Pada dasamya substansi tentang nasionalisasi bukan hal baru, karena
substansi ini juga diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 tentang
Penanaman Modal Asing.
Hal yang membedakan adalah nilai kompensasi jika terjadi nasionalisasi.
Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing,
jumlah kompensasi didasarkan pada persetujuan kedua belah pihak, sedangkan

124
Supanji, op. cit., hal.223-224. Sebagai perbandingan insentif berupa hak transfer aset bagi
penanam modal juga diberikan di Vietnam. Bagi penanam modal yang telah menyelesaikan kewajiban
perpajakannya, negara memberikan jaminan untuk melakukan pengiriman kembali keluar Vietnam
atas keuntungan yang didapat, pembayaran yang diterima atas hak intelektual, pinjaman luar negeri
beserta bunganya, modal, pendapatan dari proses likuidasi. Sementara itu, Thailand dalam Alien
Business Act menentukan bahwa, penanam modal dapat melakukan transfer dalam valuta asing atas
modal dan deviden yang diperoleh maupun pinjaman luar negeri yang diperoleh dengan persetujuan
Board of Investment.
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, nilai
kompensasi berdasarkan harga pasar yaitu harga yang ditentukan menurut cara yang
digunakan secara internasional oleh penilai independen yang ditunjuk oleh para
pihak.
125

Pasal 7 ayat (1) menyebutkan bahwa pemerintah tidak akan melakukan
tindakan nasionalisasi atau pengambilalihan hak kepemilikan penanam modal,
kecuali dengan undang-undang.
Ayat (2) menyebutkan, bahwa dalam hal pemerintah melakukan tindakan
nasionalisasi atau pengambilalihan hak kepemilikan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), pemerintah akan memberikan kompensasi yang jumlahnya ditetapkan
berdasarkan harga pasar. Kemudian ayat (3) menjelaskan, jika di antara dua belah
pihak tidak tercapai kesepakatan tentang kompensasi atau ganti rugi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), penyelesaiannya dilakukan melalui arbitrase.
Selanjutnya, penjelasan pasal 7 ayat (3) menyebutkan, bahwa yang dimaksud
dengan "arbitrase" adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan
yang didasarkan pada kesepakatan tertulis oleh para pihak yang bersengketa. J ika
pemerintah melakukan nasionalisasi dan tidak tercapai kesepakatan mengenai
besarnya ganti rugi dan bagaimana cara pembayarannya, maka sengketa ini akan
dibawa kepada Arbitrase.
126


125
Penjelasan Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang No.25 Tahun 2007 Tentang Penanaman
Modal.
126
Indonesia dengan undang-undang No. 5 tahun 1968 telah meratifikasi Konvensi ICSID ini.
Konvensi ICSID mengatur tentang penyelesaian sengketa antara pemerintah dan Investor Asing
berkaitan dengan penanaman Modal.
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

J aminan tidak ada nasionalisasi bagi perusahaan penanam modal asing di
Indonesia sangat penting. Karena, Indonesia pernah dua kali melakukan nasionalisasi
perusahaan-perusahaan asing, yaitu:
127

Pertama, pemerintah mengambil alih perusahaan-perusahaan Belanda pada
tahun 1958, berkaitan dengan perjuangan mengembalikan Irian Barat dari
pendudukan Belanda. Berkaitan dengan nasionalisasi ini, timbul gugatan
perusahaan tembakau Belanda di Bremen (German), ketika tembakau dari
perkebunan di Deli akan dilelang pada pasar tembakau di Bremen. Kasus ini
terkenal dengan kasus tembakau Bremen. Pokok permasalahannya bermula dari
penjualan tembakau dari bekas perusahaan Belanda yang dinasionalisasi oleh
pemerintah Indonesia Pemilik perusahaan yang dinasionalisasi tersebut
mengklaim tembakau tersebut sebagai miliknya. Pengadilan Bremen dalam
putusannya, antara lain, menyatakan nasionalisasi yang dilakukan pemerintah
Indonesia adalah hak negara yang berdaulat.
Kedua, pemerintah melakukan pengambilalihan perusahaan-perusahaan
Inggris dan Amerika Serikat, pada waktu Indonesia mengadakan konfrontasi
dengan Malaysia. Pada tahun 1962 Indonesia menganggap Amerika Serikat dan
Inggris sebagai pendukung utama pembcntukan Malaysia, yang oleh pemerintah
Soekarno dianggap neo-kolonialisme dan neo-imperialisme. Politik luar negeri
Indonesia pada waktu itu anti Barat. Amerika Serikat dan Inggris dianggap
menjadi pendukung utama neo-kolonialisme dan neo-imperialisme sehingga
Indonesia membuka hubungan erat dengan Soviet Uni, negara-negara Eropa
Timur, Cuba, China, Vietnam Utara dan Korea Utara.
Dengan adanya ketentuan dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 2007
Tentang Penanaman Modal dan pengalaman nasionalisasi yang pernah dilakukan
Indonesia, maka pada masa yang akan datang diperkirakan Indonesia tidak akan
melakukan nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing, berdasarkan alasan-alasan
berikut ini:
Pertama, sejak pemerintah Indonesia membuka diri kepada modal asing
dengan lahirnya Undang-Undang No. 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal
Asing, selama 40 tahun sampai sekarang ini tidak ada indikasi atau tanda-tanda
pemerintah berencana melakukan nasionalisasi.

127
Erman Rajagukguk, Hukum Investasi di Indonesia, Anatomi Undang-Undang No.25 Tahun
2007 tentang Penanaman Modal, Fakultas Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia, J akarta, 2007,
hal. 48.
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

Kedua, sebaliknya keadaan sosial ekonomi lndonesia yang antara lain ditandai
dengan besamya pengangguran, sampai 10,5% atau sekitar 10.000.000 (sepuluh
juta) jiwa dan kekurangan prasarana seperti jalan, pelabuhan, pembangkit tenaga
listrik, penggalian sumber-sumber daya alam alam, memerlukan modal asing
yang tidak sedikit.
128

Ketiga, keanggotaan Indonesia dalam organisasi perdagangan internasional
dan perjanjian bilateral mengenai promosi dan perlindungan penanaman modal
dengan berbagai negara, membuat tipis kemungkinan Pemerintah Indonesia akan
melakukan nasionalisasi perusahaan asing. Selain itu, Indonesia juga telah
menandatangani perjanjian keamanan berinvestasi dengan 60 negara.
129

Praktik perlindungan investasi berupa jaminan tidak ada nasionalisasi
merupakan praktik internasional. Syarat-syarat untuk melakukan nasionaliasasi yang
berlaku secara internasional sangat ketat, yaitu; harus dilakukan melalui suatu
undang-undang, harus ada kompensasi terhadap perusahaan yang dinasionalisasi
sesuai dengan harga pasar dan nasionalisasi tidak boleh didasarkan pada alasan
politis, tetapi semata-mata alasan ekonomis.
130

d. Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase
Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman
Modal menyebutkan bahwa dalam hal terjadi sengketa di bidang penanaman modal
antara pemerintah dengan penanaman modal, para pihak terlebih dahulu
menyelesaikan sengketa tersebut melalui musyawarah dan mufakat.
Selanjutnya, ayat (2) menyebutkan bahwa dalam hal penyelesaian sengketa
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, penyelesaian sengketa tersebut
dapat dilakukan melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa atau
pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

128
Lihat, Biro Pusat Statistik, 2007.
129
"Presiden J amin Tak Lakukan Nasionalisasi", Bisnis Indonesia, 3 November 2006.
130
Suparji, op. cit., hal. 227.
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

Kemudian, ayat (3) pasal ini menyebutkan bahwa, dalam hal terjadi sengketa
di bidang penanaman modal antara pemerintah dengan penanaman modal dalam
negeri, para pihak dapat menyelesaikan sengketa tersebut melalui arbitrase
berdasarkan kesepakatan para pihak, dan jika penyelesaian sengketa melalui arbitrase
tidak disepakati, penyelesaian sengketa tersebut akan dilakukan di pengadilan.
Ayat (4) mengatur dalam hal terjadi sengketa di bidang penanaman modal antara
pemerintah dengan penanaman modal asing, para pihak akan menyelesaikan sengketa
tersebut melalui arbitrase internasional yang harus disepakati oleh para pihak.
Ketentuan ini pada dasarnya bukan merupakan substansi baru, karena pada
Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing juga diatur
tentang mekanisme arbitrase dalam penyelesaian ketidak-sepakatan mengenai jumlah,
macam dan cara pembayaran kompensasi. Pasal 22 ayat (2) menyebutkan, bahwa
jikalau antara kedua belah pihak tidak tercapai persetujuan mengenai jumlah, macam
dan cara pembayaran kompensasi tersebut, maka akan diadakan arbitrase yang
putusannya mengikat kedua belah pihak.
1) Pengertian arbitrase
Mengenai Arbitrase di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 30
Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Dalam
ketentuan Pasal 1 ayat (1) undang-undang tersebut dinyatakan Arbitrase adalah
penyelesaian sengketa perdata di luar peradilan umum yang berdasarkan pada
perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh pihak yang bersengketa.
Menurut Frank Alkoury dan Eduar Elkoury dalam Ningrum Natasya Sirait
mengemukakan:
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

Arbitrase adalah suatu proses mudah atau simpel yang dipilih oleh para pihak
secara sukarela yang ingin agar perkaranya diputus netral sesuai dengan pilihan
mereka, di mana putusan mereka didasarkan dalil-dalil dalam perkara tersebut.
Para pihak setuju sejak semula untuk menerima putusan tersebut secara final dan
mengikat.
131

Bila dibandingkan kedua definisi tersebut maka pada definisi yang pertama
difokuskan pada ada atau tidak adanya perjanjian arbitrase yang dibuat oleh para
pihak. Perjanjian arbitrase adalah kesepakatan berupa klausula arbitrase yang
tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul
sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase yang dibuat para pihak setelah timbul
sengketa.
132

2) Dasar hukum arbitrase
Pada mulanya ketentuan tentang arbitrase diatur di dalam RV dan HIR. RV
atau Burgelijke Reglement op de Rechtsvoerdering adalah suatu ketentuan yang
mengatur tentang tata cara beracara yang diberlakukan bagi golongan Eropa dan
dipersamakan dengan itu ketentuan tentang arbitrase di dalam RV diatur dalam Pasal
615 sampai dengan Pasal 651 RV.
Ketentuan dalam RV ini kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 30
Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Pertimbangan
dikeluarkannya undang-undang tersebut adalah:
133

a. bahwa berdasarkan perundang-undangan yang berlaku, penyelesaian sengketa
perdata, dapat diajukan ke pengadilan umum, terbuka kemungkinan melalui
arbitrase penyelesaian sengketa;

131
Frank Alkoury dan Eduar Elkoury, dalam Ningrum Natasya Sirait, Mengenal Perjanjian
Arbitrase, Fakultas Hukum USU, 14 Agustus 2008, hal. 5
132
Ibid., hal. 11.
133
Ibid., hal. 13.
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

b. bahwa peraturan-perundangan yang kini berlaku untuk penyelesaian sengketa
melalui arbitrase tidak sesuai dengan perkembangan dunia usaha dan hukum
c. bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, perlu membentuk undang-undang
tentang arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa.
Lembaga Arbitrase dibagi dua, yaitu: arbitrase ad hoc dan arbitrase
institusional. Arbitrase ad hoc atau volunter adalah arbitrase yang ditujukan untuk
kasus tertentu untuk satu kali penunjukan. Sedangkan arbitrase institusional
(institutional arbitration) adalah lembaga atau badan arbitrase yang bersifat
permanen (Pasal 1 ayat (2) Konvensi New York Tahun 1958).
Arbitrase institutional dibagi dua yaitu: nasional dan internasional.
134
Bersifat
nasional karena pendiriannya hanya untuk kepentingan bangsa dari negara yang
bersangkutan. Yang termasuk arbitrase nasional Badan Arbitrase Nasional Indonesia
(BANI) dan Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMI).
Arbitrase internasional pusat penyelesaian persengketaan antara berbagai
pihak yang berbeda kewarganegaraannya, yaitu melalui:
(1) The Court of Arbitration of the International Chamber of Commerce (ICC) Paris.
(2) The London Court of International Arbitration.
(3) Arbitration Institute Stocholon
(4) The American Arbitration Association
(5) The International Center for the Settlement of Investment Disputes (ICSID), dan
(6) The United Nations Commission on International Trade (UNCINTRAL).

134
Pasal 59 dan Pasal 65 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

3) Alasan memilih arbitrase
Alasan memilih arbitrase, yaitu:
135

a. Penyelesaian cepat
Prosedur arbitrase dicantumkan dengan batas-batas waktu penyelesaian dalam
setiap tahap penyelesaian sengketa (di negara maju hanya memerlukan waktu
sekitar 60 hari). Putusan arbitrase bersifat final dan mengikat (final and
binding) sehingga tidak tersedia upaya naik banding.
b. Terjaga kerahasiaannya (confidential)
Proses pemeriksaan sengketa oleh arbiter atau majelis arbitrase dilakukan
secara tertutup (Pasal 27 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999) dan tidak
ada publikasi. Pihak-pihak bersengketa terjaga kerahasiaannya.
c. Para arbiter terikat oleh ketentuan untuk tidak memberitahukan materi
sengketa tanpa seizin seluruh pihak yang bersengketa. Pelanggaran terhadap
batasan ini maka para arbiter dianggap melampaui wewenang (exceeded its
power) dan merupakan perbuatan melawan hukum, sehingga dapat dituntut
pertanggungjawaban hukumnya. Asas ini bertolak belakang dengan praktik
pengadilan, karena di pengadilan berlaku asas terbuka untuk umum, setiap
putusan pengadilan harus dalam sidang terbuka.
d. Biaya lebih rendah karena arbitrase ditentukan oleh arbiter. Biaya itu
meliputi:
(1) honorarium;
(2) biaya saksi dan atau saksi ahli yang diperlukan
(3) biaya administrasi (Pasal 76 UU No. 30 Tahun 1999).
e. J asa pengacara tidak terlalu diperlukan dalam proses arbitrase, karena
prosedur arbitrase dibuat sesederhana mungkin, tidak formal bahkan dapat
dengan tata cara yang diusulkan oleh pihak-pihak yang berperkara sendiri. Di
samping itu, para arbiter adalah para ahli dan praktisi di bidang yang menjadi
pokok sengketa, serta memiliki reputasi tinggi sehingga diharapkan mampu
memberikan putusan dengan cepat dan objektif. Secara umum dapat dikatakan
bahwa biaya arbitrase lebih rendah dibanding biaya perkara melalui
pengadilan.
136

Tidak semua sengketa dapat diselesaikan melalui arbitrase. Sengketa yang
dapat diputus melalui arbitrase, yaitu sengketa di bidang perdagangan dan mengenai
hak yang menurut hukum dan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak

135
Ningrum Natasya Sirait, op. cit., hal. 18.
136
Hal ini masih perlu diteliti karena biaya profesionalitas dihitung dari keahlian kadang-
kadang sangat mahal sekali.
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

yang bersangkutan. Sedangkan yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah
sengketa yang menurut perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian.
137

Ada 3 (tiga) hal yang dapat dirangkum dari ciri-ciri arbitrase, yaitu:
138

1) Arbitrase merupakan salah satu bentuk perjanjian
2) Perjanjian arbitrase harus dibuat dalam bentuk tertulis
3) Perjanjian arbitrase tersebut merupakan perjanjian untuk menyelesaikan sengketa
yang dilaksanakan di luar peradilan umum.
Bentuk klausula perjanjian arbitrase diatur pada Pasal 7 sampai dengan Pasal
11 UU No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa,
yang dibagi 2 jenis, yaitu:
139

1) Pactum de compromittendo
Perjanjian arbitrase yang dibuat sebelum terjadinya perselisihan, dikenal
dengan istilah klausula arbitrase. Isi klausula arbitrase ini bahwa para pihak
menyetujui suatu sengketa yang terjadi atau yang akan terjadi antara mereka
untuk diselesaikan melalui arbitrase (Pasal 7 UU No.30 Tahun 1999).
Klausula ini dibuat bersamaan dengan perjanjian pokok sehingga isinya hanya
bersifat umum.
Keuntungan mencamtumkan klausula arbitrase dalam perjanjian pokoknya
bila terjadi perselisihan maka otomatis akan diselesaikan oleh arbiter.
Kelemahannya belum adanya penunjukan arbiter yang akan menangani
perselisihan tersebut. Dalam hal timbul sengketa, pemohon harus
memberitahukan dengan surat tercatat, teleks, faksimili, e-mail, atau dengan
buku ekspedisi kepada termohon bahwa syarat arbitrase yang diadakan antara
pemohon dengan termohon berlaku (Pasal 8 UU No.30 Tahun 1999).
2) Akta komporomis
Suatu akta yang berisi perjanjian arbitrase yang dibuat oleh para pihak setelah
terjadinya sengketa. Perjanjian arbitrase ini dibuat dalam Akta Notaris (Pasal
9 ayat (1) dan yat (2) UU No.30 Tahun 1999).

137
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa.
138
Susanti Adi Nugroho, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Slide tidak
dipublikasikan.
139
Ningrum Natasya Sirait, op. cit., hal. 21-24.
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

Keuntungan menggunakan akta ini adalah penunjukan siapa arbiter yang akan
menangani perselisihan sudah jelas. Kelemahannya bila terjadi perselisihan
belum tentu bisa diselesaikan melalui arbitrase.
4) Prosedur penyelesaian sengketa arbitrase
Prosedur penyelesaian sengketa arbitrase diatur dalam Pasal 27 sampai
dengan Pasal 48 UU No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa Alternatif, yang prinsip-prinsip sebagai berikut:
140

a. Pemeriksaan sengketa dilakukan secara tertutup;
b. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia, kecuali atas persetujuan
arbiter atau majelis arbitrase para pihak dapat memilih bahasa lain akan
digunakan;
c. Pada pihak yang bersengketa mempunyai hak dan kesempatan yang sama
dalam mengemukakan pendapatnya masing-masing;
d. Para pihak yang bersengketa dapat diwakili oleh kuasanya dengan surat kuasa
khusus;
e. Pihak ketiga di luar perjanjian arbitrase dapat turut serta dan menggabungkan
diri dalam proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase;
Syaratnya:
1) terdapat unsur kepentingan yang terkait;
2) keturutsertaannya disepakati oleh para pihak yang bersengketa;
3) disetujui oleh arbiter atau majelis arbitrase.
f. Para pihak bebas untuk menentukan acara arbitrase yang digunakan dalam
pemeriksaan sengketa dengan syarat harus dituangkan dalam perjanjian yang
tegas dan tertulis;
g. Semua sengketa yang penyelesaiannya diserahkan kepada arbiter atau majelis
arbitrase akan diperiksa dan diputuskan menurut ketentuan dalam UU No.30
Tahun 1999.
h. Atas permohonan salah satu pihak, arbiter atau majelis arbitrase dalam
mengambil keputusan provisional atau putusan lainnya untuk mengatur
ketertiban jalannya pemeriksaan sengketa termasuk penetapan sita jaminan
yang memerintahkan penitipan barang kepada pihak ketiga, atau menjual
barang yang rusak;
i. Arbiter atau majelis arbitrase dapat memerintahkan agar setiap dokumen atau
bukti disertai dengan terjemahan ke dalam bahasa yang ditetapkan oleh arbiter
atau majelis arbitrase.

140
Ibid., hal. 28-31.
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

Selanjutnya prosedur pemeriksaan dalam penyelesaian sengketa melalui
lembaga arbitrase adalah pemohon mengajukan permohonan pemeriksaan sengketa
secara tertulis kepada arbiter atau majelis arbitrase. Pemeriksaan secara lisan dapat
dilakukan apabila disetujui para pihak.
Setelah menerima permohonan, maka arbiter atau majelis arbitrase
melakukan:
141

a. Dalam jangka waktu yang ditentukan oleh arbiter atau majelis arbitrase,
pemohon menyampaikan surat tuntutannya kepada arbiter atau majelis
arbitrase;
Surat tuntutan itu harus memuat:
(1) nama lengkap dan tempat tinggal atau tempat kedudukan para pihak;
(2) uraian singkat tentang sengketa disertai dengan lampiran bukti-bukti
(3) isi tuntutan yang jelas;
b. Setelah menerima surat tuntutan dari pemohon arbiter atau ketua majelis
arbitrase menyampaikan suatu salinan tuntutan tersebut dengan disertai
perintah bahwa termohon harus menanggapi dan memberikan jawaban secara
tertulis dalam waktu paling lama 14 hari sejak diterimanya salinan tersebut
oleh termohon;
c. Setelah diterimanya jawaban dari termohon atas perintah arbiter ketua majelis
arbitrase, salinan jawaban diserahkan kepada pemohon;
d. Arbiter atau Ketua Majelis Arbitrase memerintahkan agar para pihak atau
kuasa mereka menghadap di muka sidang arbitrase yang ditetapkan paling
lama 14 hari terhitung mulai hari dikeluarkannya perintah itu;
e. Apabila termohon setelah lewat 14 hari tidak menyampaikan jawabannya,
termohon dipanggil menghadap pada sidang arbitrase berikutnya;
f. Dalam jawabannya atau selambat-lambatnya pada sidang pertama termohon
dapat mengajukan tuntutan balasan dan terhadap tuntutan balasan tersebut
pemohon diberi kesempatan untuk menangapinya. Tuntutan balasan diperiksa
dan diputuskan oleh arbiter atau majelis arbitrase bersama dengan sengketa;
g. Bila pada hari yang ditentukan, pemohon tanpa alasan yang sah tidak dapat
menghadap, sedangkan telah dipanggil secara patut, surat tuntutannya
dinyatakan gugur, dan oleh arbiter atau majelis arbitrase dianggap selesai.
Sebaliknya, termohon tanpa alasan yang sah tidak datang menghadap
sedangkan termohon telah dipanggil secara patut, arbiter atau majelis arbitrase
melakukan pemanggilan sekali lagi.

141
Ibid., hal. 33-39.
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

h. Paling lama 10 hari setelah pemanggilan ke-2 diterima termohon dan tanpa
alasan sah termohon juga tidak datang menghadap di muka persidangan,
pemeriksaan akan diteruskan tanpa hadirnya termohon dan tuntutan pemohon
dikabulkan seluruhnya, kecuali jika tuntutan tidak beralasan atau tidak
berdasarkan hukum;
i. Dalam hal para pihak datang menghadap pada hari yang telah ditetapkan,
arbiter atau majelis arbitrase terlebih dahulu mengusahakan perdamaian antara
pihak yang bersengketa;
j. Apabila usaha perdamaian tercapai, maka arbiter atau majelis arbitrase,
membuat akta perdamaian yang final dan mengikat para pihak dan
memerintahkan para pihak untuk memenuhi ketentuan perdamaian tersebut;
k. Pemeriksaan terhadap pokok sengketa dilanjutkan apabila perdamaian tidak
tercapai;
l. Para pihak diberi kesempatan terakhir kali untuk menjelaskan secara tertulis
pendirian masing-masing serta mengajukan bukti yang dianggap perlu untuk
menguatkan pendiriannya dalam jangka waktu yang ditetapkan arbiter/majelis
arbitrase;
m. Arbiter atau majelis arbitrase berhak meminta kepada para pihak untuk
mengajukan penjelasan tambahan secara tertulis, dokumen atau bukti lainnya
yang dianggap perlu dalam jangka waktu yang ditentukan oleh majelis arbitrase;
n. Sebelum ada jawaban tertulis dari termohon, pemohon dapat mencabut surat
permohonan untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase;
o. Dalam hal sudah ada jawaban dari termohon, perubahan atau penambahan
surat tuntutan hanya diperoleh dengan persetujuan termohon dan sepanjang
perubahan dan penambahan itu menyangkut hal-hal yang bersifat fakta saja
dan tidak menyangkut dasar-dasar hukum yang menjadi dasar permohonan.
Pemeriksaan atas sengketa harus diselesaikan dalam waktu paling lama 180
hari sejak arbiter atau majelis arbitrase terbentuk. J angka waktu itu dapat
diperpanjang, asal ada persetujuan para pihak dan diperlukan.
Supaya dapat mengambil keputusan adil, arbitrase atau majelis arbitrase
mempunyai kewenangan:
142

a. Menentukan tempat arbitrase, kecuali ditentukan oleh para pihak;
b. Mendengar keterangan saksi atau mengadakan pertemuan yang dianggap
perlu pada tempat tertentu di luar tempat arbitrase diadakan;
c. Pemeriksaan saksi dan saksi ahli di hadapan arbiter atau majelis arbitrase;
d. Mengadakan pemeriksaan setempat atas barang yang dipersengketakan.

142
Ibid., hal. 41.
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

Arbiter atau majelis arbitrase dapat juga diminta oleh para pihak untuk
memohon pendapat yang mengikat dari lembaga arbitrase atas hubungan tertentu dan
suatu perjanjian. Pendapat yang mengikat ini tidak dapat dilakukan perlawanan
melalui upaya hukum apapun. Pendapat atau putusan lembaga arbitrase itu harus
dituangkan dalam putusan arbitrase.
Putusan arbitrase memuat hal-hal berikut ini:
143

a. Kepala putusan yang berbunyi: Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa
b. Nama singkat sengketa;
c. Uraian singkat sengketa;
d. Pendirian para pihak
e. Nama lengkap dan alamat arbiter;
f. Pertimbangan dan kesimpulan arbiter atau majelis arbitrase mengenai
keseluruhan sengketa;
g. Pendapat tiap-tiap arbitrase dalam hal terdapat perbedan pendapat dalam
majelis arbitrase;
h. Amar putusan;
i. Tempat dan tanggal putusan;
j. Tanda tangan arbiter atau majelis arbitrase;
5) Pelaksanaan putusan arbitrase
Terdapat dua sifat lembaga arbitrase, yaitu nasional dan internasional. Sifat
arbitrase nasional dan internasional berbeda prosedur yang ditempuh oleh pemohon
dalam pelaksanaan putusan lembaga arbitrase.
Prosedur pelaksanaan putusan arbitrase nasional:
144

a. Dalam waktu paling lama 30 hari terhitung sejak tanggal putusan diucapkan,
lembar asli atau salinan autentik putusan arbitrase diserahkan dan didaftarkan
oleh arbiter atau kuasanya kepada panitera Pengadilan Negeri/PN;

143
Ibid., hal. 43.
144
Ibid., hal. 45-46.
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

b. Lembar asli atau salinan putusan dilakukan pencatatan dan penandatanganan
pada bagian akhir atau dipinggir putusan oleh panitera PN yang merupakan
akta pendaftaran;
c. Arbiter atau kuasanya wajib menyerahkan putusan dan lembar asli
pengangkatan sebagai arbiter atau salinan autentiknya kepada panitera PN.
Apabila ketiga hal itu tidak dipenuhinya berakibat tidak dapat dilaksanakan.
Akta kekuatan bersifat final, mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dan mengikat
pada pihak. Apabila para pihak tidak dapat melaksanakan putusan arbitrase secara
sukarela maka pelaksanaan putusan ditentukan sebagai berikut:
145

a. Putusan dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua PN atau permohonan salah
satu pihak yang bersengketa.
b. Perintah dimaksud diberikan dalam waktu paling lama 30 hari setelah
permohonan eksekusi didaftarkan kepada panitera pengadilan negeri;
c. KPN sebelum memberikan perintah, memeriksa terlebih dahulu apakah
putusan arbitrase memenuhi ketentuan Pasal 4 serta tidak bertentangan
dengan kesusilaan dan ketertiban umum;
d. Dalam hal putusan arbitrase tidak memenuhi ketentuan, Ketua PN menolak
permohonan pelaksanaan eksekusi dan terhadap putusan Ketua PN tersebut
tidak terbuka upaya hukum apapun;
e. Ketua PN tidak memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan arbitrase;
f. Perintah Ketua PN ditulis pada lembaran asli dan salinan autentik putusan
arbitrase yang dikeluarkan;
g. Putusan arbitrase yang telah dibubuhi perintah Ketua PN dilaksanakan sesuai
ketentuan putusan dalam perkara perdata yang keputusannya telah
mempunyai kekuatan hukum tetap (Pasal 62-64 UU No.30 Tahun 1999)
Sedangkan prinsip-prinsip pelaksanaan arbitrase internasional, yang
berwenang menangani masalah pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase
internasional adalah PN J akarta Pusat.
Putusan Arbitrase Internasional hanya diakui serta dapat dilaksanakan di
wilayah hukum Republik Indonesia, apabila memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut:
146


145
Ibid., hal. 47-49.
146
Ibid., hal. 51-52.
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

a. Putusan Arbitrase Internasional dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase
di suatu negara yang dengan negara Indonesia terkait pada perjanjian, baik
secara bilateral maupun multilateral, mengenai pengakuan dan pelaksanaan
putusan arbitrase internasional;
b. Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a terbatas
pada putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam
ruang lingkup hukum perdagangan;
c. Putusan Arbitrase Internasional hanya dapat dilaksanakan di Indonesia
terbatas pada putusan yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum;
d. Putusan Arbitrase Internasional dapat dilaksanakan di Indonesia setelah
memperoleh eksekutor dari Ketua Pengadilan Negeri J akarta Pusat.
e. Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a yang
menyangkut Negara RI sebagai salah satu pihak dalam sengketa, hanya dapat
dilaksanakan setelah memperoleh eksekutor dari Mahkamah Agung RI
dilimpahkan kepada PN J akarta Pusat (Pasal 65-66 UU No.30 Tahun 1999).
Konvensi-konvensi arbitrase internasional (Internasional Arbitration
Conventions) yang diakui oleh Republik Indonesia adalah:
1. Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards
(New York Convention) yang ditandatangani tanggal 10 J uni 1958 dan mulai
berlaku tanggal 7 J uni 1958.
Pemerintah Indonesia telah meratifikasi dengan Keputusan Presiden
Nomor 34 Tahun 1981 tanggal 5 Agustus 1981. Semula menurut Mahkamah
Agung Republik Indonesia, New York Convention belum dapat dilaksanakan di
Indonesia, oleh karena menurut sistem perundang-undangan di Indonesia, setelah
ratifikasi masih diperlukan peraturan pelaksanaannya yang hingga sekarang masih
belum diundangkan. Akan tetapi pendirian MARI telah berubah dengan
dikeluarkannya Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No.1 Tahun 1990 tanggal
1 Maret 1990 tentang Tatacara Pelaksanaan Arbitrase Asing.
Berdasarkan PERMA tersebut putusan BANI yang menyangkut warga
negara asing dapat dieksekusi di negara domisili warga negara asing atau badan
hukum asing dalam hal pihak warga negara atau badan hukum itu dikalahkan.
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

2. Convention on the Settlement of Investment Disputes between States and
Nationals of other States (Washington Convention)
Keputusan Arbitrase berdasarkan Washington Convention ini telah
disahkan dengan UU No. 5 Tahun 1968, sehingga putusan arbitrase internasional
dapat dieksekusi di Indonesia, dengan izin tertulis dari Mahkamah Agung.
Mahkamah Agung hanya boleh menolak keputusan arbitrase Washington
Convention apabila terdapat hal-hal yang bertentangan dengan ketertiban umum.
Mahkamah Agung tidak diperbolehkan untuk menilai atau menguji isi dan materi
inti dari keputusan arbitrase Washington Convention.
Indonesia meratifikasi konvensi ICSID atau International Centre for
Settlement of Investment Disputes dengan UU No.5 Tahun 1968 tentang Penyelesaian
Perselisihan Antara Negara dan Warga Negara Asing Mengenai Penanaman Modal.
Konvensi ini semula dilahirkan untuk mendorong penanaman modal asing ke negara-
negara berkembang.
Indonesia menjadi anggota konvensi ini untuk meyakinkan dunia
internasional, bahwa bila terjadi sengketa dengan Pemerintah Indonesia
mengenai penanaman modal, tidak harus diselesaikan pada pengadilan di
Indonesia yang oleh penanam modal asing dapat dinilai akan bersifat subjektif
atau tidak obyektif.
Walaupun Indonesia menjadi anggota konvensi ini, tidak serta-merta semua
sengketa penanaman modal antara penanam modal asing dengan Pemerintah
Indonesia diselesaikan melalui ICSID. Harus ada kesepakatan antara para pihak yang
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

bersengketa secara tertulis bahwa mereka sepakat akan menyelesaikan sengketa
melalui ICSID tersebut.
147

Selanjutnya, Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981
tentang Pengesahan Convention on The Recognition and Enforcement of Arbitral
Awards, menjadi anggota Konvensi New York 1958 tentang Pengakuan dan
Pelaksanaan Keputusan Arbitrase Luar Negeri.
Demikian juga dengan keikut-sertaan dalam Konvensi New York tersebut
tidak menjadikan Indonesia serta-merta melaksanakan keputusan arbitrase luar
negeri. Hal ini sesuai dengan Konvensi New York yang menyatakan, antara lain,
bahwa negara peserta dapat menolak pelaksanaan arbitrase luar negeri apabila
perjanjian pokok yang berisi penyelesaian sengketa arbitrase tersebut bertentangan
dengan undang-undang nasionalnya atau public policy negara tersebut.
148

Keanggotaan Indonesia dalam konvensi New York 1958 tidak berarti menyerahkan
kedaulatan Republik Indonesia kepada arbitrase.

147
Pasal 25 ayat (1) ICSID Convention menyatakan: "the jurisdiction of the Centre Shall
extend to any legal dispute arising directly out of an investment, between a Contracting State (or any
constituent subdivision or agency of a Contracting State designated to the Centre by that State) and a
national of another Contracting State, which the parties to the dispute consent in writing to submit to
the Centre. When the parties have given their consent, no party may withdraw its consent
unilaterally".
148
Lihat, Suparji, op. cit., hal. 231. Misalnya, dalam Bakrie Brothers v. Trading Corporation
of Pakistan, No. 4231K/PDT/1986; Mahkamah Agung RI memutuskan memperkuat Putusan
Pengadilan Negeri J akarta Selatan dan Pengadilan Tinggi J akarta yang menolak pelaksanaan
keputusan arbitrase London dengan alasan bahwa Bakrie Brothers tidak cukup didengar di dalam
proses arbitrase dan Bakrie Brothers telah membayar performance bond. Contoh lainnya, Yani
Heriyanto v. E.D & F Man Sugar, No. 1205K/Pdt/1990, dimana Mahkamah Agung memutuskan
menolak melaksanakan putusan arbitrase London dengan alasan perjanjian pokok yang memuat
klausula arbitrase bertentangan dengan public policy Indonesia. Pada waktu itu berdasarkan Keppres
Nomor 33 tahun 1971, tanggal 14 J uli 1971 hanya Bulog yang boleh melakukan impor gula. Artinya
pihak swasta tidak boleh melakukan impor gula seperti yang diperjanjikan antara Yani Heriyanto
dengan E.D & F Man Sugar suatu perusahaan Inggris.
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

e. Fasilitas Keimigrasian untuk Penanam Modal Asing
Fasilitas keimigrasian untuk penanam modal asing sebagaimana pada Pasal
23 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal merupakan
insentif yang sangat menarik bagi investor asing. Hal ini dapat dilihat pada Pasal
23 ayat (3) yang menyebulkan bahwa, fasilitas keimigrasian untuk penanam
modal asing, yaitu pemberian izin tinggal terbatas bagi penanam modal asing
selama 2 (dua) tahun, pemberian alih status izin tinggal terbatas bagi penanam
modal menjadi izin tinggal tetap dapat dilakukan setelah tinggal di Indonesia
selama 2 (dua) tahun berturut-turut, pemberian izin masuk kembali unluk
beberapa kali perjalanan bagi pemegang izin tinggal terbatas dan dengan masa
berlaku 1 (satu) tahun diberikan untukjangka waktu paling lama 12 (dua belas)
bulan terhitung sejak izin tinggal terbatas diberikan. Pemberian izin masuk
kembali untuk beberapa kali perjalanan bagi pemegang izin tinggal terbatas dan
dengan masa berlaku 2 (dua) tahun diberikan untuk jangka waktu paling lama 24
(dua puluh empat) bulan terhitung sejak izin tinggal terbatas diberikan. Pemberian
izin masuk kembali untuk beberapa kali perjalanan bagi pemegang izin tinggal
tetap diberikan untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan
terhitung sejak izin tinggal tetap diberikan.
Ketentuan tentang fasilitas keimigrasian dalam Undang-Undang Nomor 25
Tahun 2007 tentang Penanaman Modal bukan merupakan ketentuan baru, karena
pada Undang-Undang 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing juga diatur
tentang fasilitas keimigrasian.
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

f. Hak Atas Tanah.
Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal menyediakan
fasilitas berupa hak atas tanah kepada penanam modal. Pasal 22 ayat (1)
menyebutkan bahwa perizinan hak atas tanah dapat diberikan dan diperpanjang di
muka sekaligus dan dapat diperbarui kembali atas permohonan penanam modal,
berupa:
a. Hak Guna Usaha dapat diberikan dengan jumlah 95 (sembilan puluh lima)
tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama
60 (enam puluh) tahun dan dapat diperbarui selama 35 (tiga puluh lima)
tahun;
b. Hak Guna Bangunan dapat diberikan dengan jumlah 80 (delapan puluh) tahun
dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 50
(lima puluh) tahun dan dapat diperbarui selama 30 (tiga puluh) tahun; dan
c. Hak Pakai dapat diberikan dengan jumlah 70 (tujuh puluh) tahun dengan cara
dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 45 (empat puluh
lima) tahun dan dapat diperbarui selama 25 (dua puluh lima) tahun.
Penjumlahan menjadi 95 tahun, 80 tahun dan 70 tahun tersebut tidak akurat
dan menimbulkan salah pengertian. Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak
Pakai diperpanjang di muka sekaligus, setelah jangka waktu itu selesai, harus
mengalami evaluasi. Evaluasi tersebut menentukan hak atas tanah itu dapat
diperbarui atau tidak sebagaimana diuraikan oleh Pasal 22 ayat (3).
Selanjulnya, Pasal 22 ayat (2) menyebutkan bahwa hak atas tanah dapat
diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus untuk kegiatan penanaman modal,
dengan persyaratan antara lain:
a. penanaman modal yang dilakukan dalam jangka panjang dan terkait dengan
perubahan struktur perekenomian Indonesia yang lebih berdaya saing;
b. penanaman modal dengan tingkat risiko penanaman modal yang memerlukan
pengembalian modal dalam jangka panjang sesuai dengan jenis kegiatan
penanaman modal yang dilakukan;
c. penanaman modal yang tidak memerlukan area yang luas;
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

d. penanaman modal dengan menggunakan hak atas tanah negara; dan
e. penanaman modal yang tidak mengganggu rasa keadilan masyarakat dan tidak
merugikan kepentingan umum.
Selain itu, ayat (3) menyebutkan bahwa, hak atas tanah dapat diperbarui
setelah dilakukan evaluasi bahwa tanahnya masih digunakan dan diusahakan dengan
baik sesuai dengan keadaan, sifat, dan tujuan pemberian hak. Akhirnya, ayat (4)
menyebutkan bahwa pemberian dan perpanjangan hak atas tanah yang diberikan
sekaligus di muka dan yang dapat diperbarui, dapat dihentikan atau dibatalkan oleh
Pemerintah jika perusahaan penanaman modal menelantarkan tanah, merugikan
kepentingan umum, menggunakan atau memanfaatkan tanah tidak sesuai dengan
maksud dan tujuan pemberian hak atas tanahnya, serta melanggar ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang pertanahan.
Fasilitas hak atas tanah dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang
Penanaman Modal, pada dasarnya lebih moderat jika dibandingkan dengan peraturan
perundang-undangan sebelumnya, yaitu Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996
tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas Tanah.
Hak atas tanah dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang
Penanaman Modal, juga terkesan liberal jika dibandingkan dengan Undang-Undang
No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria. Undang-Undang No. 5 Tahun 1960
tentang Undang-Undang Pokok Agraria adalah anti modal asing, sebagaimana terlihat
dalam jawaban Menteri Agraria Mr. Sadjarwo yang mewakili pemerintah atas
pemandangan umum Anggota DPR-RI terhadap naskah RUU Pokok Agraria di muka
Sidang Pleno DPR-GR, 14 September I960:
149


149
Sadjarwo dalam Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, cetakan ke XIX, Penerbit
Djambatan, J akarta, 2003, hal.607-614.
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

"...Rancangan Undang-Undang ini selain akan menumbangkan puncak
kemegahan modal asing yang telah berabad-abad memeras kekayaan dan tenaga
bangsa Indonesia, hendaknya akan mengakhiri pertikaian dan sengketa-sengketa
tanah antara rakyat dan kaum pengusaha asing, dengan aparat-aparatnya yang
mengadu-dombakan aparat-aparat pemerintah dengan rakyatnya sendiri, yang
akibatnya mencetus sebagai peristiwa berdarah dan berkali-kali pentraktoran-
pentraktoran yang sangat menyedihkan".
Selanjutnya dalam sidang terakhir pembahasan Undang-Undang No. 5 Tahun
1960 tentang Pokok Agraria, Sadjarwo menegaskan bahwa Undang-Undang Pokok
Agraria mengeleminasi investasi asing.
J angka waktu hak atas tanah dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1960
tentang Pokok Agraria, tidak memadai lagi, sehingga pemerintah mengeluarkan
Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna
Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah. Dalam Pasal 11 disebutkan:
(2) Untuk kepentingan penanam modal, permintaan perpanjangan dan pembaruan
Hak Guna Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dapat dilakukan
sekaligus dengan membayar uang pemasukan yang ditentukan untuk itu pada
saat pertama kali mengajukan permohonan Hak Guna Usaha.
(3) Dalam hal uang pemasukan telah dibayar sekaligus sebagaimana dimaksud
ayat (1), untuk perpanjangan atau pembaharuan Hak Guna Usaha hanya
dikenakan biaya administrasi yang besarnya ditetapkan oleh Menteri setelah
mendapat persetujuan dari Menteri Keuangan.
(4) Persetujuan untuk dapat memberikan perpanjangan atau pembaruan Hak Guna
Usaha sebagaimana dimaksud Pasal 9 dan rincian uang pemasukan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dicantumkan dalam keputusan
pemberian Hak Guna Usaha yang bersangkutan.
Perpanjangan dan pembaruan hak atas tanah untuk Hak Guna Bangunan diatur
lebih lanjut oleh Pasal 28 yang berbunyi:
(1) Untuk kepentingan penanaman modal, permintaan perpanjangan dan
pembaharuan Hak Guna Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25
dapat dilakukan sekaligus dengan membayar uang pemasukan yang
ditentukan untuk itu pada saat pertama kali mengajukan permohonan Hak
Guna Bangunan.
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

(2) Dalam hal pemasukan telah dibayar sekaligus sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) untuk perpanjangan atau pembaruan Hak Guna Bangunan hanya
dikenakan biaya administrasi yang besarnya ditetapkan olch Menteri setelah
mendapat persetuan dari Menteri Keuangan.
(3) Persetujuan untuk memberikan perpanjangan atau pembaharuan Hak Guna
Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dan perincian uang
pemasukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dicantumkan dalam
keputusan pemberian Hak Guna Bangunan.
Ketentuan mengenai perpanjangan dan pembaruan Hak Pakai diatur dalam
Pasal 48 sebagai berikut:
(1) Untuk kepentingan penanaman modal, permintaan perpanjangan dan
pembaruan Hak Pakai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 dapat dilakukan
sekaligus dengan pembayaran uang pemasukan yang ditentukan untuk itu
pada saat pertama kali mengajukan permohonan Hak Pakai.
(2) Dalam hal uang pemasukan telah dibayar sekaligus sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), untuk perpanjangan atau pembaruan Hak Pakai hanya
dikenakan biaya administrasi yang besarnya ditetapkan oleh Menteri setelah
mendapat persetujuan Menteri Keuangan.
(3) Persetujuan untuk pemberian perpanjangan atau pembaharuan Hak Pakai
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1) serta perincian uang
pemasukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dicantumkan dalam
keputusan pemberian Hak Pakai.
Berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas, maka hak atas tanah dalam Undang-
Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal lebih moderat dibandingkan
dengan Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996. Kedua peraturan ini mengatur
tentang jangka dan pembaharuan hak atas tanah. Meskipun ketentuan ini tidak diatur
dalam UUPA, Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 dan Undang-Undang No. 25
Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, tidak bisa dinyatakan bertentangan dengan
UUPA. Setidak-tidaknya ada dua alasan bahwa Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun
1996 dan Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, tidak
bertentangan dengan UUPA, karena:
150


150
Maria Sumardjono, Kompas, 24 September 1993
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

1) UUPA tidak mengatur tindak lanjut setelah berakhirnya HGU dan HGB.
Dengan demikian, memberi kemungkinan adanya perpanjangan dan
pembaruan.
2) UUPA tidak melarang adanya perpanjangan dan pembaruan hak atas tanah.
3) Dalam hukum dikenal metode penemuan hukum, artinya jika tidak diatur
secara jelas, maka memberikan ruang untuk melakukan interpretasi.
g. Bidang usaha yang terbuka lebih banyak
Ketentuan dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman
Modal yang juga dapal dikategorikan sebagai insentif adalah bidang usaha yang
terbuka lebih banyak. Pasal 12 ayat (2) menyebutkan bahwa, beberapa bidang usaha
yang tertutup bagi penanam modal asing, yaitu produksi senjata, mesiu, alat peledak,
dan peralatan perang, dan bidang usaha yang secara eksplisit dinyatakan tertutup
berdasarkan undang-undang. Selanjutnya pada ayat (2) menyebutkan bahwa bidang-bidang
yang menduduki peranan penting dalam pertahanan negara, antara lain, produksi senjata,
mesin, alat-alat peledak dan peralatan perang dilarang sama sekali bagi modal asing.
Bidang usaha yang terbuka dalam Undung-Undang No. 25 Tahun 2007
tentang Penanaman Modal merupakan insentif yang menarik bagi investor asing,
karena semakin banyak bidang usaha yang dapat dimasuki oleh modal asing.
3. Pembatasan Dalam Undang-Undang Penanaman Modal
a. Penanaman Modal Asing harus memprioritaskan tenaga kerja Indonesia
Pasal 10 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal
menyebutkan:
(1) Perusahaan penanaman modal dalam memenuhi kebutuhan tenaga kerja harus
mengutamakan tenaga kerja Warga Negara Indonesia.
(2) Perusahaan penanaman modal berhak menggunakan tenaga ahli warga negara
asing untuk jabatan dan keahlian tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

(3) Perusahaan penanaman modal wajib meningkatkan kompetensi tenaga kerja
Warga Negara Indonesia melalui pelatihan kerja sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(4) Perusahaan penanaman modal yang mempekerjakan tenaga kerja asing
diwajibkan menyelenggarakan pelatihan dan melakukan alih teknologi kepada
tenaga kerja Warga Negara Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang
Penanaman Modal pada dasarnya hampir sama dengan ketentuan yang diatur dalam
Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 yang juga menyebutkan perusahaan asing
mempunyai kewajiban untuk menggunakan tenaga kerja Warga Negara Indonesia dan
menyelenggarakan dan/atau memberikan fasilitas-fasilitas latihan dan pendidikan.
151

Mengenai ketenagakerjaan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pasal 42 menyebutkan:
1. Setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memiliki
izin tertulis dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
2. Pemberi kerja orang perseorangan dilarang mempekerjakan tenaga kerja asing.
3. Kewajiban memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), tidak berlaku
bagi perwakilan negara asing yang mempergunakan tenaga kerja asing
sebagai pegawai diplomatik dan konsuler.
4. Tenaga kerja asing dapat dipekerjakan di Indonesia hanya dalam hubungan
kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu.
5. Ketentuan mengenai jabatan tertentu dan waktu tertentu sebagaimana
dimaksud dalam ayat (4) ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
6. Tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) yang masa kerjanya
habis dan tidak dapat di perpanjang dapat digantikan oleh tenaga kerja asing
lainnya.
Pemberi kerja yang menggunakan tenaga kerja asing harus memiliki rencana
penggunaan tenaga kerja asing yang disahkan oleh Menteri atau pejabat yang
ditunjuk, sekurang-kurangnya memuat keterangan:
152


151
Pasal 10 dan Pasal 12 Undang-Undang No.1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing.
152
Pasal 43 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

a. alasan penggunaan tenaga kerja asing;
b. jabatan dan/atau kedudukan tenaga kerja asing dalam struktur organisasi
perusahaan yang bersangkutan;
c. jangka waktu penggunaan tenaga kerja asing; dan
d. penunjukan tenaga kerja Warga Negara Indonesia sebagai pendamping tenaga
kerja asing yang dipekerjakan.
Ketentuan sebagaimana dimaksud di atas tidak berlaku bagi instansi pemerintah,
badan-badan internasional dan perwakilan negara asing.
Pemberi kerja tenaga kerja asing wajib menaati ketentuan mengenai jabatan
dan standar kompetensi yang berlaku. Pemberi kerja tenaga kerja asing wajib:
153

a. Menunjuk tenaga kerja Warga Negara Indonesia sebagai tenaga pendamping
tenaga kerja asing yang dipekerjakan untuk alih teknologi dan alih keahlian
dari tenaga kerja asing; dan
b. Melaksanakan pendidikan dan pelatihan kerja bagi tenaga kerja Indonesia
sebagaimana dimaksud pada huruf a yang sesuai dengan kualifikasi jabatan
yang diduduki oleh tenaga kerja asing.
Ketentuan ini tidak berlaku bagi tenaga kerja asing yang menduduki jabatan direksi
dan/atau komisaris. Kemudian juga tenaga kerja asing dilarang menduduki jabatan
yang mengurusi personalia dan/atau jabatan-jabatan tertentu yang diatur dengan
Keputusan Menteri.
154

b. Pemegang Saham "Nominee" Dilarang
Pembatasan lain yang disebutkan dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 2007
tentang Penanaman Modal adalah larangan pemegang saham nominee. Pasal 33
ayat (1) menyebutkan bahwa penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing
yang melakukan penanaman modal dalam bentuk perseoran terbatas dilarang
membuat perjanjian dan/atau pernyataan yang menegaskan bahwa kepemilikan
saham dalam perseroan terbatas untuk dan atas nama orang lain.

153
Pasal 45 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
154
Pasal 45 dan Pasal 46 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

Pengaturan tentang larangan pemegang saham nominne, merupakan ketentuan
baru yang diatur dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman
Modal. Sebelumnya, tidak ada peraturan perundang-undangan yang melarang adanya
pemegang saham nominee. Tujuan pengaturan larangan pemegang saham nominee
adalah untuk menghindari terjadinya perseroan yang secara normatif dimiliki
seseorang, tetapi secara materi atau substansi pemilik perseroan tersebut adalah orang
lain.
Praktek kepemilikan saham melalui nominee dilakukan oleh dua pihak atau
lebih. Satu pihak karena sesuatu pertimbangan tidak dapat atau dapat menjadi
pemilik saham, tetapi tidak menjadi pemilik saham pada suatu perseroan sehingga
menggunakan pihak lain sebagai nominee-nya. Pada pihak lain, tidak dapat
menjadi pemilik saham, tetapi menjadi pemilik saham. Dalam keadaan yang lain,
pihak-pihak tertentu sebenarnya dapat menjadi pemcgang saham pada perusahaan
tertentu di Indonesia. Pada dasarnya yang bersangkutan adalah warga negara
Indonesia, yang dapat menjadi pemilik saham. Tetapi, karena berbagai
pertimbangan (di antaranya menghindari public exposure yang berkelebihan),
yang bersangkutan tidak memunculkan nama sendiri sebagai pemegang saham
pada suatu perseroan, namun memilih menggunakan nominee untuk mewakili
kepentingannya.
155
c. Alokasi dana lingkungan
Pasal 17 Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal
menyebutkan bahwa, penanam modal yang mengusahakan sumber daya alam yang
tidak terbarukan wajib mengalokasikan dana secara bertahap untuk pemulihan lokasi
yang memenuhi standar kelayakan lingkungan hidup, yang pelaksanaannya diatur
sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Selanjutnya, penjelasan Pasal 17
menjelaskan, bahwa ketentuan ini dimaksudkan untuk mengantisipasi kerusakan
lingkungan yang disebabkan oleh kegiatan penanaman modal.

155
Felix Oentong Soebagjo, Hukum Tentang Akuisisi Perusahaan di Indonesia, (J akarta:
Pusat Pengkajian Hukum, 2006), hal. 17.
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

d. Kewajiban Penanam Modal
Ketentuan Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal
yang juga dapat dikategorikan sebagai pembatasan adalah tentang kewajiban bagi
penanam modal. Pasal 15 menetapkan setiap penanam modal berkewajiban:
a. menerapkan prinsip tata kelola perusahaan yang baik;
b. melaksanakan tanggungjawab sosial perusahaan;
c. membuat laporan tentang kegiatan penanaman modal dan menyampaikannya
kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal;
d. menghormali tradisi budaya masyarakat sekitar lokasi kegiatan usaha
penanaman modal; dan
e. mematuhi semua ketentuan peraturan perundang-undangan.
Penjelasan Pasal 15 huruf b menyatakan, bahwa yang dimaksud dengan
"tanggung jawab sosial perusahaan" adalah tanggung jawab yang melekat pada setiap
perusahaan penanaman modal untuk tetap menciptakan hubungan yang serasi,
seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma dan budaya masyarakat
setempat.
Kemudian, penjelasan Pasal 15 huruf c menyebutkan, bahwa laporan kegiatan
penanaman modal yang memuat perkembangan penanaman modal dan kendala yang
dihadapi penanam modal disampaikan secara berkala kepada Badan Koordinasi
Penanaman Modal dan pemerintah daerah yang bertanggung jawab di bidang
penanaman modal.
Selanjutnya, Pasal 16 Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang
Penanaman Modal menyebutkan bahwa setiap penanam modal bertanggung jawab:
a. menjamin tersedianya modal yang berasal dari sumber yang tidak
bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. menanggung dan menyelesaikan segala kewajiban dan kerugian jika penanam
modal menghentikan atau meninggalkan atau menelantarkan kegiatan
usahanya secara sepihak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan;
c. menciptakan iklim usaha persaingan yang sehat, mencegah praktek monopoli,
dan hal lain yang merugikan negara;
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

d. menjaga kelestarian lingkungan hidup;
e. menciptakan keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan
a. kesejahteraan pekerja; dan
f. mematuhi semua ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pembentukan Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal
telah memperbaiki iklim investasi. Hal ini dapat dilihat dari pertumbuhan investasi
setelah disahkannya Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 yang sudah mencapai 31 %
melampaui capaian sebelum krisis ekonomi yang selalu di atas 30% dan realisasi
melonjak 52,60% menjadi Rp.65,27 triliun dari periode yang sama tahun 2006.
156
Sedangkan pasca krisis pertumbuhan investasi mencapai antara 25% -30%.
157

Namun demikian tingkat pertumbuhan investasi jika dibandingkan antara
setelah lahirnya Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal lebih
rendah jika dibandingkan dengan setelah lahimya Undang-Undang No. 1 Tahun 1967
tentang Penanaman Modal Asing. Hal ini menunjukkan bahwa lahirnya suatu
undang-undang tidak akan dapat menyelesaikan semua masalah. Terkait dengan
pertumbuhan investasi, selain ditentukan faktor undang-undang, juga ditentukan
aparat hukum, budaya hukum, stabilitas politik dan kesempatan ekonomi.
Untuk dapat meningkatkan investasi secara signifikan, harus didukung
integritas dan profesionalitas aparat hukum, serta budaya hukum yang berkualitas
tinggi. Dari sisi stabilitas politik, dimana Indonesia pada saat ini berada dalam masa
transisi menuju demokrasi, yang memberikan ruang kebebasan partisipasi yang luas
bagi daerah, publik maupun pers, harus didukung dengan kepemimpinan yang kuat
dan efektif. Dengan demikian, akan tercipta suatu kondisi yang demokratis dalam
bingkai kepastian hukum.

156
"Menjaga Iklim Investast", Tajuk Utama, Bisnis Indonesia, Selasa, 10 J uli 2007.
157
"Iklim bisnis membaik dorong investasi" Bisnis Indonesia, Rabu, 19 September 2007.
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

B. Respon dan Tantangan Pelaksanaan Undang-Undang Penanaman Modal
Yang Baru
1. Respon terhadap Undang-Undang Penanaman Modal
a. Harapan pelaku usaha pada Undang-Undang Penanaman Modal
Secara umum, para pelaku usaha menyambut baik disahkannya Undang-
Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, karena sudah sejak lama
ditunggu-tunggu kalangan investor dalam rangka menciptakan kepastian hukum,
kepastian berusaha dan iklim investasi yang menarik bagi investor. Sambutan yang
sama terhadap Undang-Undang Penanaman Modal ini juga disampaikan oleh
Wolfgang Piccha, Wakil Duta Besar Republik Federal J erman. Dalam salah satu
pernyataannya, Wolfgang Piecha menyampaikan: "kami seluruh investor asing yang
ada di Indonesia sangat menyambut baik Undang-Undang No. 25 Tahun 2007
Tentang Penanaman Modal. Undang-Undang tersebut merupakan semangat baru di
Indonesia dan akan mampu mendorong masuknya investasi asing ke Indonesia.
158

Setidak-tidaknya ada empat substansi dalam Undang-Undang No. 25 Tahun
2007 tentang Penanaman Modal yang menarik bagi para pelaku usaha:
159

1) Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal sudah jauh
lebih baik dibandingkan dengan undang-undang sebelumnya yang dibuat
tahun 1967. Undang-undang ini telah disesuaikan dengan kondisi rill yang ada
dewasa ini dan diharapkan mampu mengantisipasi perkembangan kegiatan
investasi di masa yang akan datang.
2) Undang-undang ini comparable, yaitu sebanding dengan undang-undang di
negara lain, di antaranya menyangkut masalah hak atas tanah dan
penyelesaian sengketa melalui arbitrase.
3) Kejelasan tanggung jawab antara pusat dan daerah sesuai otonomi daerah dan
juga sesuai dengan kriteria eskternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi. Dalam

158
"Indonesia Memiliki Undang-Undang Penanaman Modal Baru", Media Industri, No.02,
2007, hal. 17.
159
Suparji, op. cit., hal. 249-250.
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

kaitan ini dilakukan penyederhanaan perizinan dan prosedur melalui
pelayanan satu pintu dan kejelasan peran BKPM yang menjadi koordinator
pelaksanaan kebijakan penanaman modal.
4) Terdapat serangkaian fasilitas untuk penanaman modal yang juga mempunyai
dasar hukum pada undang-undang dan peraturan lain. Hal-hal spesifik yang
ada dalam undang-undang dan peraturan lain dimasukkan dalam Undang-
Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal sehingga ada
kejelasan sebagai insentif bagi penanaman modal asing maupun penanaman
modal dalam negeri.
b. Lembaga Swadaya Masyarakat Mengajukan Judicial Review Undang-
Undang Penanaman Modal.
1) Pasal 1 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang
Penanaman Modal dianggap bertentangan dengan Pasal 28H ayat (2) dan Pasal
28D ayat (1) UUD 1945.
Pasal 1 Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal
menyebutkan bahwa, penanaman modal adalah segala bentuk kegiatan menanam
modal, baik oleh penanam modal dalam negeri maupun penanam modal asing untuk
melakukan usaha di wilayah Negara Republik Indonesia. Penanaman modal dalam
negeri adalah kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah Negara
Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal dalain negeri dengan
menggunakan modal dalam negeri.
Para pemohon menyatakan ketentuan di atas bertentangan dengan Pasal 28H
ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Alasannya, ketentuan ini memberikan
keutamaan bagi penanam modal asing dengan memberikan jaminan bahwa penanam
modal dalam negeri dan penanam modal asing akan mendapatkan perlakuan yang
sama. Di samping itu, pemohon berpendapat bahwa, meskipun terdapat klausula
memperhatikan "kepentingan nasional", prinsip persamaan perlakuan dan tidak
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

membedakan antara penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing, telah
melanggar perekonomian nasional.
160

Pemerintah memberikan jawaban, bahwa Pasal 1 angka 1 dan angka 2,
merupakan definisi operasional mengenai istilah penanaman modal. Mengingat,
hanya sebagai definisi operasioal maka tidak ada hubungannya sama sekali dengan
Pasal 28H ayat (2) UUD 1945. Oleh karenanya, ketentuan ini tidak bisa dianggap
bertentangan UUD 1945. Di samping itu, ketentuan ini juga tidak merugikan hak dan/
atau kewenangan konstitusional para pemohon.
Mahkamah Kontitusi memutuskan bahwa Pasal 1 angka 1 dan angka 2
Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, merupakan definisi
operasional. Dengan demikian, ketentuan ini tidak bertentangan dengan UUD
1945.
161

2) Penjelasan Pasal 3 ayat (1) huruf d Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang
Penanaman Modal dianggap bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945
Para Pemohon menyatakan bahwa Penjelasan Pasal 3 ayat (1) huruf d, yang
menyebutkan penanaman modal diselenggarakan berdasarkan asas perlakuan yang
sama dan tidak membedakan asal negara, bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan
(3) UUD 1945.
162


160
Register Perkara Konstitusi No. 22/PUU-V/2007.
161
Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, No.21-22/PUU-V/ 2007 mengenai
Pengujian Undang-Undang No.25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal terhadap Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
162
Penjelasan Pasal 3 ayat (1) UU PM berbunyi Yang dimaksud dengan "asas perlakuan yang
sama dan tidak membedakan asal negara" adalah asas perlakuan pelayanan non diskriminasi
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan baik antara penanam modal dalam negeri dan
penanam modal asing maupun antara penanam modal dari satu negara asing dan penanam modal dari
negara asing lainnya. Lihat, Register Perkara Konstitusi No. 22/PUU-V/2007.
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

Pemohon mengemukakan bahwa, seharusnya perlakuan yang sama hanya
berlaku untuk sesama penanam modal dari luar negeri. J ika ada perlakuan yang sama
antara penanam modal dalam negeri dengan penanam modal asing, akan mengarah
pada liberalisasi ekonomi.
Pemerintah dalam Opening Statement Pemerintah Atas Permohonan
Pengujian Undang-UndangNomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal
Terhadap Undang-Undang Dasar Repubiik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan
bahwa, Indonesia tidak perlu anti modal asing. Pemerintah mengutip kata-kata
Mohammad Hatta, Proklamator dan Bapak Bangsa Indonesia, yang juga perumus
Pasal 33 tersebut ketika UUD 1945 dirancang, pada sebuah pertemuan dengan wakil-
wakil organisasi rakyat di gedung Sono Suko di Solo pada tahun 1951
mengatakan:
163

Untuk membangun negara Kita, Kita tidak mempunyai kapital, karena itu kita
pakai kapital asing untuk kepentingan Kita, Kita anti kapitalisme, tetapi tidak anti
kapital. Kita djuga tidak segan-segan memakai tenaga bangsa asing, karena kita
memang kekurangan tenaga ahli. Mereka itu kita bajar, menurut ukuran
pembajaran internasional jang memang tinggi, djika dibanding dengan
pembajaran kepada tenaga2 ahli kita. Hal itu djangan diirikan, karena mereka itu
tidak mempunjai kewadjiban terhadap Negara kita, sedang kita mempunyai
kewadjiban terhadap Negara dan bangsa...
Ada sementara golongan dalam masjarakat kita jang kawatir, bahwa dgn
memakai kapital asing itu, kita akan djatuh kembali kedalam pendjadjahan.
Demikian Hatta selandjutnya. Terhadap mereka itu Bung Hatta katakan, bahwa
mereka itu masih dihinggapi oleh restan2 zaman kolonial yang
minderwaardigheids complex dari zaman kolonial dahulu. Sebagai bangsa jang
telah merdeka, kita harus mempunyai kepertjajaan atas diri kita sendiri.


163
Lihat, Opening Statement Pemerintah Atas Permohonan Pengujian Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Terhadap Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia Tahun 1945, 3 November 2007.
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

Selanjutnya, Pemerintah memberikan jawaban, bahwa Penjelasan Pasal 3
ayat (1) huruf d merupakan penjabaran dari ketentuan dalam GATT/WTO dimana
Indonesia telah meratifikasi perjanjian ini dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1994 tentang Ratifikasi Pengesahan Agreement Establishing the World Trade
Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia). Di samping
itu, Pemerintah menyatakan bahwa pasal tersebut tidak bertentangan dengan Pasal 33
ayat (2) dan (3) Undang-Undang Dasar 1945, karena Undang-Undang Nomor 25
Tahun 2007 tentang Penanaman Modal telah mengatur mengenai bidang-bidang
usaha yang tertutup untuk penanaman modal asing maupun daiam negeri.
164
Selain
itu, Pemerintah juga menegaskan bahwa Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang
Penanaman Modal memberi perlakuan yang sama, bukan kesempatan yang sama,
bagi investor dari dalam dan luar negeri.
3) Pasal 4 ayat (2) huruf a dan Penjelasannya dianggap bertentangan dengan Pasal
28 H ayat (2) dan Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945
Para Pemohon menyatakan bahwa, Pasal 4 ayat (2) huruf a dan penjelasannya
bertentangan dengan Pasal 28 H ayat (2) dan Pasal 28D ayat (l) UUD1945. Pasal 4
ayat (2) huruf a menyebutkan bahwa, dalam menetapkan kebijakan dasar penanaman
modal, Pemerintah memberi perlakuan yang sama bagi penanam modal dalam negeri
dan penanam modal asing. Penjelasan Pasal 4 ayat (2) huruf a menyebutkan bahwa,
"perlakuan yang sama" adalah Pemerintah tidak membedakan perlakuan terhadap
penanam modal yang telah menanamkan modalnya di Indonesia.

164
J awaban Pemerintah R.I Atas Pertanyaan Hakim Mahkamah Konstitusi R.I Dalam
Persidangan Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman
Modal Terhadap Undang-Undang DasarNegara Republik Indonesia Tahun 1945, 5 Desember2007.
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

Pemohon menyatakan ketentuan tersebut bertentangan dengan UUD 1945,
karena memberikan keutamaan (privilege) bagi penanam modal asing dengan
memberikan jaminan bagi penanam modal asing dan penanam modal dalam negeri
akan diperlakukan sama. Di samping itu, memberikan kemudahan-kemudahan bagi
investor asing.
Pemerintah memberikan jawaban, bahwa perlakuan yang sama, tidak akan
mendatangkan kesulitan bagi penanaman modal dalam negeri. Karena, pasal-pasal
lain dalam Undang-Undang No.25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal,
memberikan kemudahan-kemudahan untuk penanaman modal dalam negeri sejak
pendirian badan usaha dan pemberian insentif serta fasilitas.
165

4) Pasal 8 ayat (1) dan (3) Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman
Modal dianggap bertentangan dengan Pasal 28 D ayat (1) dan Pasal 33 ayat (4)
UUD Tahun 1945.
Para Pemohon menyatakan Pasal 8 ayat (1) dan (3) Undang-Undang No. 25
Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal, bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal
28D ayat (1) dan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945.
Pemohon mengemukakan alasan bahwa, hak tranfer dan repatriasi akan
mengakibatkan investor baik dari dalam negeri maupun luar negeri secara legal
melakukan capital flight. Peralihan aset ke luar jelas akan berdampak kerugian bagi
bangsa Indonesia, khususnya para tenaga kerja yang sebelumnya berada di bawah
perusahaan yang beralih dan pemutusan hubungan kerja massal pasti akan semakin
marak dan akan mempengaruhi nilai rupiah. Di samping itu, ketentuan ini juga akan

165
J awaban Pemerintah R.I Atas Pertanyaan Hakim Mahkamah Konstitusi R.l Dalam
Persidangan Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman
Modal Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, 5 Desember 2007.
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

mempersempit peluang kesempatan pekerja dalam negeri. Sebab, melalui kebijakan
undang-undang ini, liberalisasi tenaga kerja asing dibuka lebar.
Pemerintah memberikan jawaban bahwa Pasal 8 ayat (1) dan (3) tidak
bertentangan UUD 1945. Alasannya:
166

1) Kebebasan melakukan repatriasi modal tidak akan menimbulkan
pengangguran dan tidak akan mempengaruhi rupiah. Repatriasi modal tidak
berarti penutupan perusahaan. Repatriasi modal bisa terjadi karena perusahaan
dialihkan kepada pihak lain melalui penjualan saham atau penjualan asset.
2) Penjelasan bahwa Pasal 8 ayat (1) dan (3) pada dasarnya merupakan insentif
bagi penanaman modal, yang sudah menjadi standar bisnis internasional
berkenaan dengan penanaman modal.
3) Hak untuk melaksanakan transfer dan repatriasi tidak melanggar Undang-
Undang Dasar 1945, karena dilaksanakan setelah memenuhi syarat-syarat
tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Di samping
itu, hak untuk melakukan transfer dan repatriasi tersebut tidak mengurangi
kewenangan Pemerintah untuk memberlakukan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang mewajibkan pelaporan pelaksanaan transfer dana.
5) Pasal 12 ayat (1), (3) dan (4) Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang
Penanaman Modal tentang Bidang Usaha dianggap bertentangan dengan Pasal 33
ayat (2), (3) dan (5) UUD 1945
Para pemohon menyatakan bahwa Pasal 12 Ayat 4 Undang-Undang No. 25
Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal, bertentangan dengan Pasal 33 Ayat (2) dan
(3) UUD 1945.
Pasal 12 ayat (4) menyebutkan bahwa kriteria dan persyaratan bidang usaha
yang tertutup dan yang terbuka dengan persyaratan serta daftar bidang usaha yang
tertutup dan yang terbuka dengan persyaratan masing-masing akan diatur dengan
Peraturan Presiden. Alasannya, Undang-Undang memberikan kebebasan penuh
kepada Presiden untuk menentukan kriteria dan bidang usaha yang terbuka dengan

166
J awaban Pemerintah R.I Atas Pertanyaan Hakim Mahkamah Konstitusi R.I Dalam
Persidangan Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman
Modal Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, 5 Desember 2007.
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

persyaratan dalam suatu Peraturan Presiden. Di samping itu, menurut Pemohon,
seharusnya bidang-bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan harus disebutkan
secara jelas dalam undang-undang a quo, sedangkan yang diatur dalam Peraturan
Presiden hanyalah masalah-masalah teknis pengaturan.
Pemerintah memberikan jawaban bahwa Pasal 12 ayat (1), (3) dan (4)
Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal tidak bertentangan
dengan Pasal 33 ayat (2), (3) dan (5) Undang-Undang Dasar 1945.
167

Pemerintah mengemukakan beberapa alasan, bahwa bidang-bidang usaha
yang masuk kriteria tersebut di atas diatur dengan Peraturan Presiden, dengan
pertimbangan masalah tekhnis. Dengan Peraturan Presiden, dapat dikurangi atau
ditambah, sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan ekonomi.
168

6) Pasal 21 Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal
dianggap bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28H ayat (2) dan
Pasal 33 ayat (3) UUD1945.
Para pemohon menyatakan Pasal 21 Undang-Undang No. 25 Tahun 2007
Tentang Penanaman Modal bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang
Dasar 1945.
Pasal 21 menyebutkan bahwa: "Selain fasilitas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 18, Pemerintah memberikan kemudahan pelayanan dan/ atau perizinan kepada
perusahaan penanaman modal untuk memperoleh: hak atas tanah; fasilitas pelayanan
keimigrasian; dan fasilitas perizinan impor".

167
Lihat Keterangan Pemerintah pada Sidang Mahkamah Konstitusi, pada 3 November 2007.
168
J awaban Pemerintah R.I Atas Pertanyaan Hakim Mahkamah Konstitusi R.I Dalam
Persidangan Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman
Modal Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, 5 Desember 2007.
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

Pemohon mengemukakan alasan, sebagai berikut: Pertama, Pasal 21
bertentangan dengan jiwa dan semangat Undang-Undang Dasar 1945, karena
kemudahan pelayanan dan/ atau perizinan terutama untuk hak atas tanah, justru
diberikan kepada perusahaan penanam modal termasuk penanam modal asing, bukan
kepada rakyat Indonesia yang bergerak di sektor riil yang menjalankan ekonomi
kerakyatan. Kedua, kemudahan pelayan dan/ atau perizinan kepada perusahaan
penanaman modal ini juga merupakan pelecehan terhadap hak-hak kelompok-
kelompok usaha kecil, menengah. Ketiga, kemudahan khusus untuk pihak-pihak
tertentu ini berarti kesulitan-kesulitan masih harus dihadapi oleh pihak-pihak lain
yang tidak secara khusus diberi kemudahan.
Pemerintah memberikan jawaban bahwa Pasal 21 Undang-Undang Nomor 25
Tahun 2007 tentang Penanaman Modal tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1)
dan Pasal 28H ayat (2) dan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
169

Pemerintah mengengemukakan alasan, kemudahan pelayanan dan/ atau
perizinan selain kepada perusahaan penanaman modal asing, tetapi juga kepada
penanam modal dalam negeri yang berbentuk Badan Hukum atau bukan Badan
Hukum, bahkan perusahaan perseorangan. Untuk pedagang tradisional, Pemerintah
juga memberikan fasilitas tertentu. Pemerintah wajib menetapkan bidang usaha yang
dicadangkan untuk usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi serta bidang usaha

169
J awaban Pemerintah R.I Atas Pertanyaan Hakim Mahkamah Konstitusi R.I Dalam
Persidangan Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman
Modal Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, 5 Desember 2007.
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

yang terbuka untuk usaha besar dengan syarat harus bekerjasama dengan usaha
mikro, kecil, menengah, dan koperasi.
c. Mahkamah Konstitusi batalkan Perpanjangan Di Muka Sekaligus Hak Atas
Tanah
Para Pemohon menyatakan bahwa ketentuan pada Pasal 22 ayat (1) huruf a, b
dan c dan Pasal 22 ayat (2) Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman
Modal, bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28E ayat (l) dan Pasal 33 ayat (1),
(2) dan (3) Undang-Undang Dasar 1945. Alasannya, antara lain:
170

1) Penguasaan hak atas tanah kepada penanam modal dalam bentuk HGU selama
90 tahun, HGB selama 80 tahun, dan Hak Pakai selama 70 tahun,
mengakibatkan hilangnya kesempatan untuk meningkatkan kualitas hidup dan
demi kesejahteraan umat manusia.
2) Ketentuan ini akan membatasi akses petani untuk mendapatkan tanah garapan
yang berakibat pada meningkatnya jumlah petani gurem yang tidak
mendapatkan jaminan untuk mengembangkan diri. J angka waktu yang sangat
lama akan mengakibatkan masyarakat terjauhkan dari peluang untuk
mengakses tanah untuk pertanian atas tanah negara, sementara pertumbuhan
dan tingkat populasi masyarakat terus bertambah.
3) Ketentuan ini lebih lama daripada atas tanah yang diatur dalam Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
bahkan lebih lama dari hak atas tanah yang diberikan Pemerintah Kolonial
Belanda dalam Agrarisehc Wet 1870 yang hanya membolehkan jangka waktu
penguasaan selama 75 tahun. Sebagai perbandingan HGU dan HGB yang
diberikan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 selama 60 tahun
untuk HGU dan 50 tahun untuk HGB sedangkan untuk HGU dalam Undang-
Undang Nomor 25 Tahun 2007 HGU diberikan paling lama 95 tahun dan untuk
HGB diberikan paling lama 80 tahun dan Hak Pakai paling lama 70 tahun.
4) Tanah sebagai cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak,
harus mengacu pada Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33. Ketentuan ini
memberikan perlindungan hukum bagi rakyat terhadap cabang produksi yang
menguasai hajat hidup orang banyak.
5) Menimbulkan ketidakpastian hukum karena bertentangan dengan Politik
Pertanahan Nasional dan aturan perundang-undangan lainnya.
6) Menempatkan Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan menjadi individualistik
dan melupakan fungsi sosialnya serta meniadakan kedaulatan rakyat.

170
Suparji, op. cit., hal. 262.
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

Pemerintah memberikan jawaban bahwa Pasal 22 ayat (1) huruf a, b dan c dan
Pasal 22 ayat (2) Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal,
tidak bertentangan dengan UUD 1945:
171

1) Perpanjangan sekaligus pada waktu pemberian hak-hak atas tanah tersebut
bagi penanam modal adalah merupakan insentif. Pelaksanaannya harus
memenuhi syarat sebagaimana disebutkan dalam Pasal 22 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.
2) Hak atas tanah tersebut baru dapat diperbaharui setelah dilakukan evaluasi.
Evaluasi ini meliputi, apakah tanah tersebut masih digunakan dan diusahakan
dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat dan tujuan pemberian hak.
Pemerintah menegaskan, tidak benar bahwa pemberian, perpanjangan, dan
pembaharuan hak atas tanah tersebut diberikan dimuka sekaligus, sehingga
tidak otomatis Hak Guna Usaha (HGU) berjangka waktu 95 (sembilan puluh
lima tahun) tahun, Hak Guna Bangunan (1IGB) 80 (delapan puluh) tahun dan
Hak Pakai 70 (tujuh puluh) tahun.
3) Hak atas tanah tersebut setiap saat dapat dihentikan atau dibatalkan oleh
Pemerintah. Pembatalan hak atas tanah ini, jika perusahaan penanaman modal
menelantarkan tanah, merugikan kepentingan umum, menggunakan atau
memanfaatkan tanah tidak sesuai dengan maksud dan tujuan pemberian hak atas
tanahnya.
4) Perpanjangan yang diberikan dimuka adalah berupa jaminan dari negara bagi
penanam modal untuk mendapatkan jangka waktu yang cukup guna pengembalian
modalnya. Ini berlaku untuk penanam modal asing dan dalam negeri.
Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Pasal 22 ayat (1) dan ayat (2),
menyatakan pemberian hak-hak atas tanah yang "dapat diperpanjang di muka
sekaligus maupun kata-kata "sekaligus di muka" telah mengurangi, memperlemah,
atau bahkan dalam keadaan tertentu menghilangkan kedaulatan rakyat di bidang
ekonomi.
172
Pendapat Mahkamah Konstitusi didasarkan pada pertimbangan sebagai
berikut:

171
J awaban Pemerintah R.I Atas Pertanyaan Hakim Mahkamah Konstitusi R.l Dalam
Persidangan Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman
Modal Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, 5 Desember 2007.
172
Putusan Mahkatnah Konstitusi Republik Indonesia, No.21-22/PUU-V/ 2007 mengenai
Pengujian Undang-Undang No.25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal terhadap Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

1) Ketentuan yang memungkinkan negara, in casu Pemerintah, untuk
menghentikan atau membatalkan hak-hak atas tanah menghadapi kesulitan,
karena sudah ada perpanjangan di muka sekaligus.
2) Kewenangan negara yang terdapat dalam Pasal 22 Ayat (4) Undang-Undang
No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal tersebut bersifat sangat
eksepsional dan terbatas. Dikatakan eksepsional dan terbatas karena negara
tidak boleh menghentikan atau membatalkan hak-hak atas tanah tersebut di
luar alasan-alasan yang secara terbatas (limitatif) telah ditentukan dalam Pasal
22 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman
Modal. Dengan kata lain, negara tidak lagi bebas menjalankan kehendaknya
untuk menghentikan atau tidak memperpanjang hak-hak atas tanah
sebagaimana jika perpanjangan hak atas tanah itu tidak diberikan secara di
muka sekaligus.
3) Negara akan menghadapi persoalan hukum, karena perusahaan penanaman
modal akan mempersoalkan keabsahan tindakan negara, yang menghentikan
atau membatalkan perpanjangan hak-hak atas tanah yang sudah diberikan
perpanjangan di muka sekaligus.
4) Pemerintah tidak dapat menggunakan alasan pemerataan kesempatan, untuk
menghentikan atau membatalkan hak-hak atas tanah.
5) Berkurang atau melemahnya kedaulatan rakyat di bidang ekonomi sebagai
akibat dari adanya kata-kata "dapat diperpanjang di muka sekaligus" makin
jelas jika dihubungkan dengan ketentuan tentang penyelesaian sengketa, di
antaranya melalui arbitrase.
Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, No. 21-22/ PUU-V/2007
mengenai Pengujian Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal
terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, tidak bulat,
karena ada dua hakim kontitusi yang berbeda pendapat, yaitu:
173

1) Hakim Konstitusi H.A.S. Natabaya, menyetujui amar putusannya, tetapi
memiliki alasan berbeda (Concurring Opinion). Menurut H.A.S Natabaya,
kata-kata "dapat diperpanjang dimuka sekaligus" bertentangan dengan UUD
1945. Karena, telah mengurangi dan melemahkan kedaulatan rakyat. Hal ini
dapat terjadi jika dihubungkan dengan Pasal 39.
174
Pada dasarnya Pasal 39
merupakan pasal penutup dari Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007. Ini
berarti, merupakan Kaedah Penunjuk (anwijzing regel), artinya pasal tersebut

173
Suparji, op. cit., hal. 270.
174
Pasal 39 Undang-Undang No.25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal berbunyi: "Semua
Ketentuan peraturan perundangan-undangan yang berkaitan secara langsung dengan penanaman modal
wajib mendasarkan dan menyesuaikan pengaturannya pada Undang-Undang ini".
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

memberikan arahan bahwa apabila di kemudian hari ada ketentuan peraturan
perundangan yang berkaitan secara langsung dengan penanaman modal harus
mengacu dan menyesuaikan pada Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007
tentang Penanaman Modal.
2) Pendapat Berbeda (Dissenting Opinion), disampaikan oleh Hakim Konstitusi
Maruarar Siahaan. Semestinya, menurut Maruarar Siahaan, Mahkamah
Konstitusi juga menyatakan Pasal 4 Ayat (2) huruf a dan Pasal 12 Ayat (3)
dan (4) bertentangan dengan UUD 1945, tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat.
Keputusan Mahkamah Konstitusi mengembalikan pengaturan izin hak atas
tanah kepada Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 menimbulkan ketidak-pastian
hukum,
175
dan menimbulkan kekecewaan investor lokal dan investor asing, karena
akan menambah biaya investasi.
176
Pengusaha Rahmat Gobel menyatakan, keputusan
Mahkamah Konstitusi tidak kondusif bagi upaya perbaikan iklim investasi.
Dampaknya akan negatif terhadap iklim investasi. Senada dengan pernyataan tersebut
adalah pernyataan Teguh Satria Ketua Umum DPP REI yang menyatakan bahwa
keputusan Mahkamah Konstitusi merupakan bentuk ketakutan yang berlebihan.
177

Ketentuan masalah tanah pada UUPA yang diperbaharui dengan Peraturan
Pemerintah No. 40 tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hsak Guna Bangunan, dan
Hak Pakai atas tanah, menyebutkan perpanjangan sekaligus dimuka tersebut
ditafsirkan sebagai suatu jaminan saja bagi investor, bahwa pemberian perpanjangan
tersebut sebagaimana yang dimohonkan.
178


175
"Pengusaha Kecewa Atas Putusan Mahkamah Konstitusi", Tempo, 27 Maret 2008.
176
''Mahkamah Konstitusi Matikan Daya Saing Ekonomi", Media Indonesia, Senin, 7 April
2008.
177
Suparji, op. cit., hal. 271.
178
Lihat Maria S. W. Sumardjono, "Pokok-Pokok Pikiran Dalam Rangka Pelaksanaan PP No.
40 Tahun tentang HGU, HGB, dan Hak Pakai (HP), Makalah Disajikan dalam: Lokakarya tentang
Pemasyarakatan PP No. 40 Tahun 1996 tentang HGU, HGB, dan Hak Pakai (HP), Lembaga Penelitian
dan Pengkajian Pertanahan (LP3), J akarta, 30 Juli 1996, hal. 12-13.
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

Masalah hak atas tanah tersebut dapat diperbaharui, berdasarkan Pasal 34 dan
Pasal 40 UUPA J o. Pasal 17, Pasal 36 dan Pasal 56 Peraturan Pemerintah Nomor 40
Tahun 1996 Tentang Hak GunaUsaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas
Tanah. Pembaruan hak atas tanah harus memenuhi persyaratan, sebagai berikut:
tanahnya masih diusahakan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat dan tujuan
pemberian hak atas tanah; syarat-syarat pemberian hak tersebut harus dipenuhi
dengan baik oleh pemegang hak; pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai
pemegang hak.
2. Tantangan Pelaksanaan Undang-Undang Penanaman Modal
a. Penetapan Bidang Usaha yang Terbuka Belum Aspiratif.
Pasal 12 ayat (3) menyebutkan bahwa, Pemerintah menetapkan Peraturan
Presiden tentang bidang usaha yang tertutup untuk penanaman modal, baik asing
maupun dalam negeri.
Pelaksanaan Pasal 12 ayat (3) ini harus melakukan koordinasi dengan
departemen lain yang terkait, termasuk Pemerintah Daerah. Hal ini sesuai dengan,
Peraturan Pemerintah No.38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan
Antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota.
Pada bagian kebijakan penanaman modal, pemerintah daerah provinsi
mempunyai kewenangan penyiapan usulan bidang-bidang usaha tertentu yang perlu
dipertimbangkan tertutup, terbuka dengan persyaratan, prioritas tinggi dalam skala
provinsi. Sementara pemerintah daerah kabupaten, juga mempunyai kewenangan
untuk penyiapan usulan bidang-bidang usaha tertentu yang perlu dipertimbangkan
tertutup, terbuka dengan persyaratan, prioritas tinggi dalam skala kota/kabupaten.
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

Pemerintah telah menindaklanjuti ketentuan Pasal 12 ayat (3) Undang-
Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal, dengan mengeluarkan
Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2007 tentang Kriteria dan Persyaratan
Penyusunan Bidang Usaha yang Tertutup dan Terbuka dengan Persyaratan di Bidang
Penanaman Modal dan Peraturan Presiden Nomor 77 Tahun 2007 tentang Daftar
Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di
Bidang Penanaman Modal.
Dalam Perpres ini ada 25 bidang usaha yang dinyatakan tertutup, 43 bidang
dicadangkan untuk UKMK, ada 36 bidang yang diwajibkan untuk dijalankan melalui
prinsip kemitraan, ada sekitar 120 bidang yang kepemilikan asingnya dibatasi, ada 19
bidang lainnya dibatasi operasinya dilokasi tertentu, ada 25 bidang yang
membutuhkan perizinan khusus, ada 48 bidang yang harus 100% dimiliki domestik,
ada 17 bidang yang terkena pembatasan kepemilikan asing plus izin lokasi, ada 4
bidang yang terkena pembatasan kepemilikan asing plus izin khusus, dan hanya satu
yang dimiliki 100% domestik plus izin khusus.
179

Dalam lampiran Peraturan Presiden Nomor 77 Tahun 2007, daftar bidang
usaha yang tertutup untuk penanaman modal, antara lain:
Perjudian kasino, peninggalan sejarah dan purbakala (candi, keraton, prasasti,
petilasan, bangunan kuno, temuan bawah laut), museum, pemukiman/lingkungan
adat, monumen, obyek ziarah, pemanfaatan koral alam, penangkapan species ikan
yang tercantum dalam Appendix I Cites, manajemen dan penyelenggaraan stasiun
monitoring spektrum frekuensi radio dan orbit satelit, lembaga penyiaran publik,
penyelenggaraan dan pengoperasian jembatan timbang, penyelenggaraan
pengujian tipe kendaraan bermotor, penyelenggaraan pengujian berkala
kendaraan bermotor, telekomunikasi/sarana bantu navigasi pelayaran, vessel
trafic mfovmation syslem (VTIS), pemanduan lalu lintas udara (ATS) provider,

179
Lihat, Iman Sugema, "Catatan atas Perpres No.77/2007", Bisnis Indonesia, 7 J uli 2007.
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

industri bahan kimia yang merusak lingkungan,
180
industri bahan kimia skedul-1
Konvensi Senjata Kimia,
181
industri minuman mengandung alkohol,
182
industri
pembuat chlor alkali dengan bahan mengandung merkuri, industri siklamat,
sakarin, industri logam dasar bukan besi, dan budi daya ganja.
Selain bidang usaha di atas, dalam Peraturan Presiden No. 77 Tahun 2007
juga diatur kepemilikan modal asing dalam daftar bidang usaha terbuka dengan
persyaratan, antara lain:
Sebesar 99% bank devisa, bank non devisa, bank syariah, pialang pasar uang;
95% jasa pengeboran minyak dan gas bumi, pembangkit tenaga listrik, PLTN,
pembentukan lembaga pengkajian perangkat telekomunikasi, pengusahaan jalan
tol dan air minum, budi daya padi (seluas lebih 25 ha), budi daya jagung dan ubi
kayu, pembenihan padi, perkebunan tanpa pengelohan, 85% leasing, pembiayaan
non leasing, modal ventura, 80% perusahaan asuransi kerugian, asuransi jiwa,
reasuransi, pialang asuransi, jasa penilai asuransi, 75% indsutri farmasi, 65%
rumah sakit, klinik, jasa layanan penunjang, jasa konsultasi bisnis dan
manajemen, penyelenggara jaringan bergerak selular dan satelit; 55% jasa
konstruksi, konsultasi konstruksi, 50% galeri seni, gedung pertunjukan, hotel
bintang 1, 2 dan melati, katering, spa, bar/kafe, restoran, ketangkasan, usaha
rekreasi dan hiburan, biro perjalanan wisata, PCO, 49% pengusahaan perburuhan
di Taman Baru, penangkaran tumbuhan dari satwa liar, nursing service, penyewa
peralatan medik, akupuntur, penyelenggara jaringan telekomunikasi, angkutan
sungai dan udara, jasa tenaga kerja, 25% pengusahaan pari wisata alam,
ekowisata di kawasan hutan.
183

Ditinjau dari substansinya, Perpres No. 77 Tahun 2007 memuat hal-hal yang
sangat mendasar, yaitu; Perpres ini mudah dipahami, memuat hal-hal yang
dicadangkan usaha mikro kecil dan menengah, mendorong usaha kemitraan di 36
bidang usaha, mengenai kepemilikan asing di berbagai bidang usaha.
184


180
Penta Chhrophcno), Dicbloro Diphenyl Trichloro EJbane (DDT), Dieldrin, Chlordane,
Carbon Tetra Chloride, Halon, dan sebagainya.
181
Sarin, Soman, Tabun Mustard, Levisite, Ricine, Saxitoxin, VX, dan Iain-lain.
182
Minuman keras, anggur, minuman mengandung malt.
183
DNI sarat area abu-abu", Bisnis Indonesia, 5 J ul) 2007.
184
Lihat, Iman Sugema, "Catalan atas Perpres No.77/2007", Bisnis Indonesia, 7 J uli 2007.
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

Tujuan kedua Peraturan Presiden tersebut adalah meniadakan daerah abu-abu
bagi investor asing dan memberikan kejelasan mengenai bidang-bidang usaha
sehingga tidak menimbulkan tafsir yang tanpa dasar hukum.
185
Namun demikian,
ruang perbaikan bagi daftar bidang usaha tertutup dan terbuka dengan syarat dapat
dilakukan dengan syarat memenuhi bcberapa ketentuan, antara lain; penyederhanaan
berlaku secara nasional, bersifat sederhana dan terbatas (terkait dengan kepentingan
nasional); kepatuhan terhadap perjanjian atau komitmen intemasional tidak bertentangan
dengan kewajiban Indonesia dalam perjanjian dan komitmen intemasional; transparansi,
jelas, rinci, dapat diukur, tidak multitafsir, serta berdasarkan kriteria tertentu; kepastian
hukum, tidak dapat diubah kecuali dengan peraturan presiden; dan kesatuan wilayah
Indonesia sebagai pasar tunggal tidak menghambat arus kebebasan arus barang, jasa,
modal, sumber daya manusia, dan informasi dalam wilayah Indonesia.
186

Bagi kalangan usaha, Perpres No. 77 tahun 2007 tidak sesuai dengan prinsip
bisnis, karena pembatasan modal asing sebesar 50% tidak sesuai dengan praktik riil.
Investor asing yang bergerak di bidang asuransi,
187
telekomunikasi, dan farmasi
kecewa dengan pengetatan porsi asing pada sejumlah bidang usaha. Investor asing
berharap, pembatasan kepemilikan asing hanya diberlakukan untuk investor baru,
bukan existing (yang sudah ada).
188


185
Meniadakan Daerah Abu-Abu", Kompas, 5 J uli 2007. lihat juga, "Aturan lnvestasi Lebih
Restriktif'. Kompas, 12 J uli 2007.
186
Lihat, "Perbaikan DNl Dimungkinkan", Kompas, 16 J uli 2007.
187
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1994, kepemilikan asing di sektor
telekomunikasi diperbolehkan hingga 95%. Tujuh perusahaan asuransi yang kepemilikan sahamnya
oleh asing melebihi 80% antara lain: Allianz Life (99,76%), Manulife Insurance Indonesia (95%),
Sunlife (94, 89%), Prudential Assurance Indonesia (94, 60%), Great Eastern Life Indonesia (92, 39%),
dan MAA General Assurance (87%).
188
"Terkait Pembatasan Kepemilikan Saham, Asing Kecewa", Investor Daily, 4 J uli 2007.
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

Pendapat yang sama juga disampaikan oleh Kamar Dagang dan Industri dari
sejumlah negara yang anggotanya menjalankan usaha di Indonesia.
189
Mereka
menilai daftar bidang usaha tertutup dan terbuka dengan syarat yang ditetapkan
pemerintah lebih restriktif. Meskipun ketentuan tersebut tidak berlaku surut, tetapi
mereka khawatir akan mengalami kesulitan mengembangkan usaha.
190
Para
pengusaha asing tidak dapat memahami filosofi yang mendasari pembatasan
kepemilikan modal asing pada sejumlah bidang usaha, antara lain jasa pengapalan,
pariwisata, farmasi dan kesehatan.
191

Sebagai perbandingan, dalam rangka melindungi kepentingan nasionalnya
dari aspek pertalian keamanan, kesehatan, modal, lingkungan dan tradisi budaya
termasuk perlindungan pelaku usaha nasional dan UKM. beberapa negara menerapkan
sistem Daftar Negatif lnvestasi sebagaimana Pemerintah Indonesia menerapkannya sejak
tahun 1989. Dengan sistem Daftar Negatif Investasi tersebut untuk bidang-bidang usaha
yang terbuka bagi penanaman modal dilakukan pengaturan dari segi perlindungan usaha
kecil, pembatasan modal asing, persyaralan khusus, dan lokasi sebagaimana kebijakan
bidang usaha dalam Daftar Negatif Investasi di Indonesia.
Sebagai contoh: Thailand, bidang usaha transportasi darat, transportasi air dan
udara, Pemerintah Thailand mengizinkan investasi asing dengan pembatasan
kepemilikan modal asing harus di bawah 50%; Vietnam, bidang usaha
pembangunan dan pengoperasian jaringan telekomunikasi internasional dan lokal,
pertambangan migas dan logam mulia, transportasi darat, air dan udara modal
asing diwajibkan patungan dengan modal dalam negeri.
192


189
Pengusaha-pengusaha asing yang bergabung di European Business Chamber, American
Chamber of J akarta, J apan Club, British Chamber of Commerce, serta Kamar Dagang dari Singapura
dan Malaysia. Suparji, op. cit., hal. 283.
190
Aturan Investasi Lebih Restriktif, Kompas, 12 J uli 2007.
191
Lihat, "Boediono: Revisi DNI tidak jangka pendck", Bisnis Indonesia, Selasa, l7 J uli 2007.
192
Suparji, op. cit., hal. 284.
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

Masing-masing negara mengatur bidang-bidang usaha yang terkait dengan
kepentingan hajat hidup orang banyak, umumnya juga dibuka untuk penanam modal
asing dengan pembatasan ataupun persyaratan-persyaratan yang ditetapkan
Pemerintah, seperti halnya yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia. Dengan
demikian kebijakan bidang usaha pada setiap negara ditetapkan berdasarkan
kemampuan dan kebutuhan masing-masing negara sesuai prioritas perencanaan
pembangunan dalam negerinya.
Peraturan Presiden No. 77 Tahun 2007 telah diperbaharui dengan Peraturan
Presiden No. 111 Tahun 2007. Perubahan yang mendasar dari perubahan ini adalah
menyangkut koordinasi antar departemen (grand fathering), yang sebelumnya tidak
diatur dalam Peraturan Peraturan No. 77 Tahun 2007. Pasal 2A Peraturan Presiden
No. 111 Tahun 2007 menyebutkan bahwa, penanaman modal pada bidang usaha
dengan persyaratan harus memenuhi persyaratan lokasi. Dalam hal izin penanaman
modal telah ditetapkan lokasi usahanya dan penanam modal bermaksud memperluas
usaha dengan melakukan kegiatan usaha yang sama di luar lokasi yang sudah
ditetapkan dalam izin penanaman modal tersebut, penanam modal harus memenuhi
persyaratan lokasi. Sedangkan, untuk memenuhi persyaratan lokasi, penanam modal
tidak diwajibkan untuk mendirikan badan usaha baru atau mendapatkan izin usaha baru.
Perubahan Peraturan Presiden ini, pada kenyataannya juga boleh sepenuhnya
sesuai dengan harapan para pelaku usaha. Hal ini disebabkan, proses penyusunannya
kurang mendapat respon dari departemen-departemen termasuk pemerintah daerah.
Kecenderungan yang terjadi, justru sebaliknya, departemen-departcmen saling tarik
menarik kepentingan. Demikian pula, pemerintah daerah, baik provinsi maupun
kabupaten/kota, juga tarik menarik kepentingan. Inilah tantangan yang harus dihadapi
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

dalam mengimplementasikan Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang
Penanaman Modal.
b. Pembentukan Pelayanan Terpadu menghadapi kendala koordinasi antar
Instansi.
Pasal 25 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal
menyebutkan bahwa perusahaan penanaman modal yang akan melakukan kegiatan
usaha wajib memperoleh izin sesuai dengan ketentuan perundang-undangan dari
instansi yang memiliki kewenangan, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang,
izin diperoleh melalui Pelayanan Terpadu Satu Pintu.
193
Dalam Pasal 26 dinyatakan:
(1) Pelayanan terpadu satu pintu bertujuan membantu penanam modal dalam
memperoleh kemudahan pelayanan, fasilitas fiskal, dan informasi mengenai
penanaman modal.
(2) Pelayanan terpadu satu pintu dilakukan oleh lembaga atau instansi yang
berwenang di bidang penanaman modal yang mendapat pendelegasian atau
pelimpahan wewenang dari lembaga atau instansi yang memiliki kewenangan
perizinan dan non perizinan di tingkat pusat atau lembaga atau instansi yang
berwenang mengeluarkan perizinan dan non perizinan di provinsi atau
kabupaten/kota.
194

Selanjutnya Pasal 28 ayat (1) huruf j disebutkan bahwa Badan Koordinasi
Penanaman Modal mempunyai tugas dan fungsi koordinasi dan melaksanakan
pelayanan terpadu satu pintu. Pelayanan Terpadu Satu Pintu dimaksudkan untuk
mempermudah perizinan investasi di Indonesia yang selama ini dikenal high cost karena
banyaknya korupsi birokrasi atau pungutan liar. Oleh karena itu, Undang-Undang No. 25
Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal mencoba menghilangkan atau mencegah
korupsi birokrasi dengan cara menerapkan pelayanan terpadu satu pintu.
195


193
Pada Pasal 1 ayat (10) UU No.25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.
194
"Pelayanan Investasi Disepakati Satu Pintu", Bisnis Indonesia, 26 Februari 2007, hal. 2.
195
Suparji, op. cit., hal. 287. Dasar hukum pelaksanaan pelayanan satu atap sebelumnya diatur
dalam Keputusan Presiden Nomor 29 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Penanaman Modal Dalam
Rangka Penanaman Modal Asing dan Penanaman Modal Dalam Negeri Melalui Sistem Pelayanan
Satu Atap.
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

Dengan Pelayanan Terpadu Satu Pintu diharapkan akan mempermudah proses
perizinan yang harus dimiliki dalam pendirian proyek penanaman modal asing/
penanaman modal dalam negeri di Indonesia. Peraturan Presiden tentang Pelayanan
Terpadu Satu Pintu, sampai saat ini belum terbit. Selain menghadapi tantangan
masalah peraturan perundang-undangan, pelayanan terpadu satu pintu juga akan
menghadapi masalah koordinasi antar instansi. Sebagai contohnya, investasi di sektor
migas harus melalui tiga pintu, yaitu izin dari Dirjen Migas pada Departemen Energi
dan Sumber Daya Mineral, Kepala Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Migas dan
Dirjen Bea Cukai tumpang tindih koordinasi penanaman modal.
196

Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 24 Tahun 2006 mewajibkan kepada
Bupati atau Walikota untuk melakukan penyederhanaan penyelenggaraan perizinan
melalui pelayanan terpadu satu pintu. Penyederhanaan pelayanan tersebut meliputi
pelayanan atas permohonan perizinan dan non perizinan, perecpatan waktu proses
penyelesaian, kepastian biaya pelayanan kejelasan prosedur pelayanan, mengurangi
berkas kelengkapan permohonan perizinan, pembebasan biaya perizinan bagi usaha
kecil, mikro dan menengah dan akses informasi bagi masyarakat.
Secara teknis, pelayanan terpadu dilakukan dengan pemberian kewenangan
kepada Kepala PPTSP untuk menandatangani perizinan dan non perizinan sebagai
delegasi kewenangan dari Bupati atau Walikota dengan tujuan untuk mempercapat
proses pelayanan. Selain itu, Pelayanan Terpadu Satu Pintu juga diatur dalam

196
Sebelum lahir Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal, dengan
mengacu pada Keputusan Presiden No. 29 Tahun 2004 dan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 24
Tahun 2006, beberapa daerah telah menyelenggarakan pelayanan terpadu satu pintu. yaitu Kota
Padang Panjang, Kabupaten Serang, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Sragen, Kotamadya
Yogyakarta, Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Gianyar, Kotamadya Balikpapan dan Kotamadya
Makassar.
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan
antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah
Kabupaten/Kota.
Sejak tahun 1999, Asia Foundation telah mengembangkan program
penyederhanaan perizinan usaha di 55 kabupaten/kota dengan mendorong
pembentukan sebuah instansi pelayanan terpadu untuk perizinan usaha, yang
sekarang lebih dikenal dengan nama Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP). PTSP ini
pada dasarnya adalah sebuah kantor yang mengkoordinasi dan mengkonsolidasi
penerbitan izin, menyerderhanakan proses perizinan serta mengurangi jumlah meja
yang harus dilalui pelaku usaha. Walaupun pemerintah nasional sudah
mengamanatkan pembentukan PTSP di seluruh Indonesia, diperkirakan baru sektor
30% kabupaten/kota yang mempunyai pelayanan terpadu sampai saat ini. Dari jumlah
ini, masih banyak kantor pelayanan terpadu yang tidak berfungsi maksimal karena
hanya bisa menerima berkas permohonan saja, tanpa kewenangan untuk memproses
dan menerbitkan izin.
197

Asia Foundation memberikan pendampingan teknis kepada pemerintah
daerah untuk membentuk atau mengembangkan PTSP, yang tidak hanya menerima
berkas permohonan belaka, tetapi juga berwenang memproses dan menerbitkan izin.
Program ini lebih berfokus kepada izin-izin umum yang diperlukan oleh semua
pelaku usaha (msialnya SIUP, IMB, TDP, dll), bukan kepada izin-izin sektoral yang
memerlukan persetujuan teknis yang lebih dalam (misalnya izin makanan,
AMDAL, dll).
198


197
Mengatur Kinerja Pelayanan Perizinan Terpadu di Indonesia, The Asia Foundation,
J akarta, Juli 2007, hal. 1.
198
Ibid., hal. 2..
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

Hasil studi yang dilakukan oleh Asia Foundation menunjukkan kantor
pelayanan terpadu mempermudah pelaku usaha dalam mengurus izin. Rata-rata
waktu pengurusan izin untuk 4 izin umum menjadi 60% lebih cepat, dan rata-rata
biaya pengurusan berkurang hinga 30%. J umlah pendaftaran usaha juga meningkat
setiap tahunnya setelah terbentuknya layanan terpadu. Perbaikan ini mencerminkan
kewenangan yang lebih besar dan perbaikan standar pelayanan pada instansi
pelayanan terpadu.
199

Asia Foundation membantu menciptakan momentum untuk reformasi
perizinan dengan memfasilitasi penyusunan Permendagri tentang Pembentukan PTSP
di kabupaten/kota, yang terbit bulan J uli 2006. Sebagai kelanjutannya, mitra Asia
Foundation turut memfasilitasi pembuatan pedoman teknis untuk pembentukan dan
pengembangan PTSP. Untuk menilai dampak kinerja sebuah pelayanan terpadu,
Asia Foundation juga mengembangkan sebuah Indeks Kinerja Pelayanan Terpadu
(IKP).
200

Dengan adanya kebijakan nasional tentang pelayanan perizinan terpadu, dan
semakin besarnya kepedulian pemerintah kabupaten/kota untuk memperbaiki iklim
usaha di daerahnya, semakin tinggi pula kebutuhan akan hubungan teknis untuk
prakarsa ini. Asia Foundation berkomitmen untuk terus membantu mengembangkan
kapasitas pemerintah daerah dalam memperbaiki layanan perizinan.

199
Ibid., hal. 2..
200
Ibid., hal. 2..
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

c. Tanggung Jawab Sosial Perusahaan.
Pasal 15 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal
menyebutkan, bahwa penanam modal memiliki kewajiban untuk melaksanakan
tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility). Tanggung jawab
sosial perusahaan adalah tanggung jawab yang melekat pada setiap perusahaan
penanam modal untuk tetap menciptakan hubungan yang serasi, seimbang, dan sesuai
dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat.
Ketentuan ini dipertegas dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas, yang dalam Pasal 74 disebutkan:
1) Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan atau berkaitan
dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan
lingkungan.
2) Kewajiban tanggungjawab sosial (corporate social responsibility)
dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya dengan memperhatikan asas
kepatutan dan kewajaran.
3) Perseroan yang tidak melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan
(corporate social responsibility) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
4) Ketentuan lebih lanjut mengemi tanggung jawab sosial dan lingkungan diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Kewajiban tentang CSR ini akan menghadapi tantangan dalam
pelaksanaannya, antara lain:
201

1) Pemerintah belum menerbitkan Peraturan Pemerintah tentang tanggung jawab
sosial dan lingkungan. KADIN mendesak pemerintah untuk segera
mengeluarkan peraturan pemerintah sehingga kewajiban CSR tidak
mengganggu iklim usaha. KADIN menyampaikan masukan untuk menyusun
peraturan pemerintah terkait dengan CSR, yaitu: penerapan CSR harus dengan
memperhatikan kemampuan perusahaan,
202
dilaksanakan sesuai dengan

201
Suparji, op. cit., hal. 292-293.
202
Lihat, "CSR di BUMN, Banyak Dana Sedikit Hasil", Bisnis Indonesia, 13 September 2007.
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

peraturan perundang-undangan yang mengatur bidang usaha masing-masing,
perusahaan yang menganggarkan pembiayaan kegiatan tanggung jawab sosial
dan lingkungan, melaksanakan kewajibannya sesuai dengan kemampuan
perusahaan dan perseroan wajib melaporkan pelaksanaan kegiatan tanggung
jawab sosial dan lingkungan dalam laporan tahunan perseroan bagi
perusahaan terbuka dan laporan manajemen perseroan bagi perusahaan
tertutup.
203
Selain itu, dalam PP tentang CSR hendaknya memuat tiga hal
pokok, yaitu kapan serta dimana status wajib CSR berlaku, besaran biaya dan
pengawas pelaksanaannya. Mengenai PT. yang mempunyai kewajiban
melaksanakan CSR harus diatur masa jeda atau periode jeda yang waktunya
dikaitkan pada besaran laba atau masa operasi perusahaan. Mengenai besaran
CSR, ditetapkan berupa persentase dari total biaya produksi atau dikaitkan
laba perusahaan - dalam kurun waktu tertentu.
204

2) Kalangan pengusaha menolak CSR. Alasan yang dikemukakan, antara lain;
penerapan CSR pada dasarnya lebih dititik beratkan pada dorongan moral dan
etika; di mana setiap perusahaan melaksanakan kegiatan CSR melebihi yang
telah diatur dalam peraturan perundangan; kesejahteraan masyarakat adalah
tanggung jawab negara dan bukan tanggung jawab perusahaan; semestinya
CSR bersifat sukarela, menentukan CSR sebagai kewajiban terkesan kontra-
produktif; pengaturan CSR menjadi suatu kewajiban perusahaan adalah
sesuatu yang tidak jelas, terutama terkait kondisi institusional, organisasional
dan materialnya; pelaksanaan CSR merupakan bagian dari good corporate
governance yang mestinya didorong melalui pendekatan pasar (insentif),
pendekatan regulasi sebaiknya dilakukan untuk menegakkan prinsip
transparansi dan fairness dalam kaitannya untuk menyamakan level of playing
field semua pelaku ekonomi.
205

Argumentasi penolakan terhadap CSR mengacu pada pendapat Milton
Friedman yang menyatakan tanggung jawab sosial perusahaan sangat jelas
yaitu menggunakan sumber daya langka yang dimilikinya secara efisien
dalam koridor hukum yang ada. Karena besaran keuntungan adalah barometer
efisiensi maka tujuan korporasi adalah memaksimalkan keuntungan. Bila
korporasi menggunakan sumber daya untuk kegiatan di luar upaya
meningkatkan keuntungan, maka yang terjadi adalah ketidak-bertanggung-
jawaban sosial. Korporasi tidak memiliki kompelensi kegiatan di luar bidang
usahanya, sehingga dikhawatirkan inefisiensi sumber daya yang besar.
206


203
Ibid
204
Lihat, "Status wajib CSR kian dtbalasT, Bisnis Indonesia, 5 Oktober 2007.Lihat juga,
"CSR Tidak Masuk Cost Recovery", Kompas, 25 J uli 2007.
205
Mas Achmad Daniri dan Maria Dian Nurani, "Menuju Standarisasi SCR", Bisnis
Indonesia, 19 J uli 2007
206
Hendrawan Supratikno, "Sekali Lagi, Tanggung J awab Sosial Korporasi", Opini Bisnis
Indonesia, 6 September 2007, hal. 7.
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

3) Kewajiban CSR bagi perusahaan yang berbasis sumber daya alam dinilai
diskriminatif, karena tanggung jawab terhadap lingkungan sekitar seharusnya
menjadi tanggung jawab dari perusahaan yang melakukan usaha di sebuah
kawasan tertentu. J ika yang dibebani kewajiban hanya perusahaan yang
berbasis SDA, maka akan menimbulkan diskriminasi. Seharusnya CSR adalah
kewajiban semua perusahaan.
Dalam pandangan Sofjan Wanandi, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha
Indonesia (APINDO), menyatakan bahwa menjadikan CSR adalah sebuah kewajiban
yang tidak lazim karena akan memberatkan investor dan meningkatkan biaya
ekonomi perusahaan, karena terdapat alokasi pendanaan perusahaan untuk kegiatan
CSR
207
Namun demikian, pada sisi lain menunjukkan bahwa kegiatan CSR
berbanding positif dengan kinerja perusahaan dan juga imbal hasil saham, karena
pada dasarnya perusahaan mengungkapkan informasi sosial termasuk CSR dengan
tujuan membangun image pada perusahaan dan mendapat perhatian masyarakat.
208

C. Sinkronisasi Peraturan Perundang-Undangan
1. Peraturan Perundang-Undangan yang harus Dicabut
Setelah Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal,
beberapa peraturan perundang-undangan harus dicabut. Misalnya, Peraturan
Pemerintah No. 20 Tahun 1994 tentang Pemilikan Saham Dalam Perusahaan yang
Didirikan Dalam Rangka Penanaman Modal Asing. Peraturan Pemerintah ini perlu
dicabut, karena dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman
Modal tidak mengharuskan adanya divestasi saham. Demikian juga ketentuan hak
atas tanah bagi penanam modal asing terjadi ketidaksinkronan antara ketentuan
Undang-Undang No.25 Tahun 2007 yang tidak mengharuskan adanya divestasi

207
Majalah Trust, edisi 30 J uli-5 Agustus 2007, hal. 15.
208
Sofjan Wanandi, CSR dan Imbal Hasil Saham, Bisnis Indonesia, 23 J uli 2007
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

saham, tetapi di dalam ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996
tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah, penanaman
modal asing diharuskan melakukan divestasi saham.
Di samping itu, Keputusan Presiden No. 29 Tahun 2004 tentang
Penyelenggaraan Penanaman Modal, perlu dicabut karena dalam Undang-Undang
No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal akan dibentuk Peraturan Presiden
tentang Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu.
Selanjutnya, Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian
Urusan Pemerintahan antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Provinsi, Dan
Pemerintah Kabupaten/Kota juga harus dicabut Hal ini untuk menyesuaikan
Peraturan Presiden tentang Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu.
209

Pada tingkat peraturan Menteri, meskipun tidak disebutkan secara tegas dalam
Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan, pada kenyataannya ada kebijakan-kebijakan yang ditetapkan dalam
Peraturan Menteri. Peraturan Menteri yang harus dicabut, antara lain, Peraturan
Menteri Dalam Negeri No. 26 Tahun 2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan
Pelayanan Terpadu Satu Pintu.
210

2. Peraturan Perundang-Undangan Yang Harus Menyesuaikan.
Pasal 37 ayat 1 Undang-Undang No. 25 tahun 2007 Tentang Penanaman
Modal menyebutkan bahwa, semua ketentuan peraturan perundang-undangan yang
merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang

209
Supanji, op. cit., hal. 294.
210
Ibid., hal. 295.
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

Penanaman Modal Asing, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
11 Tahun 1970 tentang perubahan dan Tambahan Undang-Undang No. 1 Tahun 1967
tentang Penanaman Modal Asing, dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang
Penanaman Modal Dalam Negeri sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
Nomor 12 Tahun 1970 tentang Perubahan dan Tambahan Undang-Undang Nomor 6
Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri, dinyatakan tetap berlaku
sepanjang tidak bertentangan dan belum diatur dengan peraturan pelaksanaan yang baru.
Berdasarkan ketentuan ini, perlu segera dilakukan inventarisasi dan kompilasi
peraturan-peraturan yang masih berlaku. Selain itu, perlu segera dilakukan evaluasi
peraturan tersebut, apakah masih sesuai atau tidak.
Berkaitan dengan undang-undang, perlu dilakukan penyesuaian beberapa
undang-undang terkait, misalnya Undang-undang No. 11 tahun 1967 tentang
Pertambangan, Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kebutanan dan Undang-
Undang Lalu Lintas Devisa, Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria dan Undang-Undang Perkebunan.
Materi yang sangat penting dan mendesak untuk segera dilakukan perubahan
atau penyesuaian adalah mengenai masalah pertanahan. Mengingat ketentuan
masalah tanah dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal
telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, maka pengaturan tentang tanah diatur
melalui Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria, Peraturan Pemerintah No. 40 tahun 1966 tentang Hak Guna Bangunan dan
Hak Pakai Atas Tanah dan Peraturan Peinerintah No. 41 Tahun 1996 Pemilikan
Rumah Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing di Indonesia.
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

Peraturan perundangan-undangan tentang pertanahan belum secara
komprehensif mengatur tentang hak atas tanah beserta bangunan, terutama untuk
orang asing. Akibatnya, terjadi penyelundupan hukum oleh warga negara asing
untuk menguasai hak milik properti melalui berbagai cara. Misalnya, melalui
pembuatan paket perjanjian antara warga negara asing sebagai penerima kuasa
dan warga negara Indonesia sebagai pemberi kuasa yang memberikan
kewenangan kepada warga negara asing untuk menguasai hak atas tanah serta
melakukan segala perbuatan hukum atas tanah tersebut. Peraturan perundang-
undangan tentang masalah kepemilikan properti harus dibuat lebih komprehensif,
berorientasi ke masa depan menyerap hal-hal positif dari pengalaman negara lain, dan
berpegang teguh pada prinsip-prinsip hukum nasional yang berlaku di Indonesia.
211

Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1996 memiliki beberapa kelemahan,
anlara lain; hanya mengatur mengenai WNA, belum mencakup badan hukum asing,
dan hanya mengatur tentang rumah tempat tinggal atau hunian, belum mencakup
produk properti non hunian.
Pembaruan hak atas tanah harus tetap memberikan aspek keadilan kepada
warganegara Indonesia. Hal ini dapat dilakukan dengan memberlakukan beberapa
persyaratan bagi warga negara asing ataupun badan hukum asing untuk bisa memiliki
properti di Indonesia. Persyaratan itu berupa klasifikasi bangunan yang boleh dibeli
dan pembatasan dalam bentuk lain. Pembatasan kuota hak pakai properti perlu
dipertimbangkan, asal tidak mengurangi daya saing dengan negara lain.
Sementara itu, berkaitan dengan pelaksanaan investasi di daerah dan
pembentukan pelayanan terpadu satu pintu, perlu segera dilakukan pembaruan Peraturan
Pemerintah No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerinthan antara
Pemerintah Pusat, Pemerintah Dacrah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/ Kota.
Di samping itu, Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 2007 tentang Fasilitas
Pajak Penghasilan Untuk Penanaman Modal di Bidang-Bidang Usaha Tertentu

211
Ibid., hal. 296-297.
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

dan/atau di Daerah-Daerah Tertentu. Selanjutnya, perlu dilakukan penyempurnaan
Peraturan Presiden No. 77 Tahun 2007 jo. Nomor 111 Tahun 2007 tentang Daftar
Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang-Bidang Usaha yang Terbuka dengan
Persyaratan Di Bidang Penanaman Modal.
3. Peraturan Perundang-Undangan baru yang diperlukan.
Dalam rangka menindaklanjuti Undang-UndangNo. 25 Tahun 2007 Tentang
Penanaman Modal, perlu segera disusun beberapa peraturan perundang-undangan
yang diperlukan, yaitu:
212

1) Peraturan Presiden tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu. Peraturan Presiden
ini sangat mendesak untuk segera dibentuk, karena ini merupakan perintah
dari Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal,
khususnya Pasal 26.
2) Peraturan Presiden tentang Kebijakan Pembangunan Industri Nasional.
3) Peraturan Menteri Keuangan Pemberian Insentif Bagi Industri Pionir.
4) Peraturan Menteri Keuangan tentang Pembebasan Bea Masuk Atas lmpor
Mesin, Barang dan Bahan dalam Rangka Pembangunan/Pengembangan
Industri/Industri J asa.
5) Peraturan Menteri Hukum dan HAM mengenai Kemudahan Di Bidang
Imigrasi.
6) Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Mengenai Kemudahan Di
Bidang Pertanahan.
7) Peraturan Menteri Keuangan mengenai Keringanan Pajak Bumi dan
Bangunan.
Selanjutnya, harus segera dibentuk Undang-Undang tentang Kawasan
Ekonomi Khusus. Pasal 31 Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman
Modal yang menyebutkan bahwa pembentukan Kawasan Ekonomi Khusus akan
diatur dalam Undang-Undang tentang Kawasan Ekonomi Khusus. Untuk itu, perlu
segera disiapkan Rancangan Undang-Undang Tentang Kawasan Ekonomi Khusus.

212
Ibid., hal. 298-299.
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

Sebagai contoh kawasan ekonomi khusus adalah Pulau Batam dan Pulau Sabang.
Dalam pengelolaan kawasan ekonomi khusus, pemerintah memiliki dua pilihan
dalam pemberian insentif, yaitu: pemberlakuan insentif hanya pada lokasi industri
tertentu, dan pemberlakuan insentif bagi seluruh wilayah dalam kawasan ekonomi
khusus.
213

D. Jaminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing di Indonesia
Sering menjadi kekhawatiran bagi para calon investor asing adalah masalah
jaminan hukum dari negara penerima modal, khususnya yang berkaitan dengan risiko
non komersial. Sebenarnya agak sulit juga untuk menemukan, sekalipun di negara-
negara yang industrinya sudah cukup maju, bebas dari risiko politik. Namun,
tampaknya di negara-negara yang sedang berkembang yang sistem pemerintahannya
masih labil, maka kemungkinannya terjadinya risiko politik memang cukup tinggi.
Oleh karena itu, kekhawatiran calon investor tersebut adalah wajar, mengingat dana
yang akan ditanamkan relatif cukup besar. Dilihat dari segi keamanan dan
kenyamanan bisnis semata, lebih aman bagi investor untuk menanamkan modalnya di
negara-negara maju. Karena di negara tersebut, segalanya sudah tertata dengan tertib,
hanya saja tingkat keuntungan yang diharapkan mungkin tidak terlalu menjanjikan,
sebab selain biaya produksi cukup tinggi, pasar produksi sudah jenuh. Demikian juga
halnya kompetisi antar perusahaan sejenis cukup ketat.
Oleh karena itu, dalam rangka untuk melakukan ekspansi usaha, salah satu
pilihan adalah berinvestasi di negara-negara yang sedang berkembang, karena selain

213
Ibid., hal. 299.
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

biaya produksi tidak terlalu mahal, pasar produksi masih terbuka, dan kompetisi
belum terlalu ketat. Hanya saja risiko politik yang akan dihadapi cukup tinggi. Risiko
politik (political risk) yang dimaksud di sini paling tidak mengandung empat hal
seperti yang dikemukakan oleh A. F. Elly Erawati berikut ini:
1. Ketidakseimbangan (discontinuities) yaitu adanya perubahan-perubahan
drastis di dalam lingkungan dunia usaha;
2. Ketidakpastian (uncertainty), yaitu adanya perubahan-perubahan yang sangat
sulit diprakirakan dan/atau diantisipasi sebelumnya;
3. Kekuatan politis (political forces) artinya terjadinya perubahan disebabkan
atau digerakkan oleh kekuatan politis;
4. Dampak di bidang usaha (business impact), artinya adanya perubahan
kebijakan politik mengakibatkan kerugian dan atau pengurangan ataupun
tujuan-tujuan lain dari perusahaan.
214

Untuk itu, investor jauh-jauh hari perlu memperhitungkan risiko yang akan
dihadapi. Perlu ditegaskan di sini yang dimaksud dengan risiko non komersial adalah
adanya suatu tindakan dari negara atau adanya suatu peristiwa yang berkatian dengan
gejolak sosial dalam suatu negara yang membawa akibat, baik yang langsung maupun
tidak langsung kepada perusahaan asing. Salah satu bentuk risiko non komersial
adalah pengambilalihan atau nasionalisasi perusahaan asing. J adi risiko yang ditakuti
bukan risiko bisnis, akan tetapi risiko non komersial. Sebagaimana telah
dikemukakan dalam uraian sebelumnya, bahwa risiko bisnis yang dihadapi oleh
investor bukanlah hal yang aneh, artinya dalam setiap kegiatan bisnis yang akan
dilakukan pasti ada risiko. Namun bagi investor asing yang pada umumnya berstatus
sebagai perusahaan multinasional, sudah barang tentu mempunyai sumber daya
manusia yang cukup, teknologi yang memadai, modal yang kuat dan mempunyai
akses ke lembaga-lembaga keuangan, baik nasional maupun internasional, sehingga

214
A.F. Elly Erawati, Meningkatkan Investasi Asing Di Negara-Negara Berkembang: Kajian
Terhadap Fungsi dan Peran dari The Multilateral Investment Guarantee Agency, Pusat Studi
Hukum Umpar, Bandung, 1989, hal. 13.
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

dengan menggunakan tenaga-tenaga yang profesional, kalkulasi bisnis dapat dihitung
secara cermat. Dengan demikian, tingkat risiko bisnis yang akan dihadapi dapat
diminimalisasi sekecil mungkin.
Berkaitan dengan risiko non komersial, sebenarnya bagi pemerintah
Indonesia, sikapnya sudah jelas bahwa pengambilalihan atau nasionalisasi perusahaan
asing tidak akan dilakukan, kecuali dengan undang-undang. J ika pun hal ini terpaksa
dilakukan, maka kepada pihak investor akan diberikan kompensasi yang jumlahnya
ditetapkan berdasarkan harga pasar. Hal ini dengan tegas dicantumkan dalam Pasal 7
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UU Penanaman
Modal). J ika tidak ada kesepakatan mengenai ganti rugi yang dimaksud, maka
penyelesaian sengketa investasi ini akan dibawa ke lembaga arbitrase.
J adi dilihat dari sudut pandang ini, untuk risiko non komersial (nasionalisasi)
perusahaan asing, UU Penanaman Modal sudah memberikan jaminan yaitu, jika
terpaksa harus dilakukan, maka akan diberikan kompensasi. Risiko lain yang bisa
terjadi dalam risiko non komersial adalah menurunnya nilai mata uang lokal terhadap
mata uang asing, timbulnya kerusuhan sosial dan dan perang saudara. Untuk jenis
risiko ini, biasanya perusahaan asuransi tidak mau menjamin. J aminan risiko non
komersial ini dapat ditanggung sendiri oleh negara tuan rumah secara sepihak,
melalui perjanjian bilateral mengenai jaminan investasi dan melalui perjanjian
multilateral.
215

Untuk lebih meningkatkan kepercayaan investor asing dalam berinvestasi di
Indonesia, maka Pemerintah Indonesia pun membuat perjanjian bilateral dengan

215
D. Sidik Suraputra, Penanaman Modal Asing dan Risiko Investasi Nonkomersial, dalam
Mieke Komar, dkk (ed), Mochtar Kusumaadmadja: Pendidik & Negarawan, Kumpulan Karya Tulis
Menghormati 70 Tahun Mochtar Kusumaatmadja, Alumni, BAndung, 1999, hal. 491.
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

berbagai negara asal investor. Perjanjian investasi (investment agreement) ini
melahirkan beberapa prinsip yang umum berlaku dalam tata pergaulan internasional.
Prinsip yang dimaksud, antara lain: pertama, prinsip a national treatment clause,
artinya setiap pihak akan memberikan perlakuan yang sama bagi warga negara para
pihak seperti yang diberikan oleh para pihak kepada warga negara sendiri. Kedua,
prinsip a most favoured nation clause, bahwa warga negara dari para pihak akan
mendapatkan a fair and equitable treatment dalam hal penanaman modal asing.
Warga negara para pihak tidak akan mendapatkan perlakuan yang kurang
dibandingkan dengan perlakuan yang diberikan kepada warga negara pihak lain.
216

Mencermati keberadaan investor asing dalam suatu negara, khususnya di
negara-negara berkembang cukup penting sebagai penggerak roda perekonomian
maka untuk menghilangkan keragu-raguan investor asing dalam berinvestasi
mengingat risiko non komersial sangat mungkin terjadi, Bank Dunia kembali
melahirkan suatu konvensi. Konvensi kali ini berkaitan dengan risiko nonkomersial
atau sering juga disebut sebagai risiko politik (political risk). Konvensi ini dikenal
dengan nama The Convention Establishing the Multilateral Investment Guarantee
(MIGA). Konvensi ini diselenggarakan di Seoul-Korea Selatan pada Tahun 1985,
sehingga konvensi MIGA ini sering juga disebut sebagai Konvensi Seoul 1985.
Indonesia sendiri telah meratifikasi konvensi ini berdasarkan Keputusan Presiden
Nomor 31 Tahun 1986.
217
Latar belakang diadakannya konvensi ini dijabarkan dalam
pembukaan (preamble) antara lain dikemukakan, meyakini (convinced) bahwa Badan

216
Tineke Louise Tuegeh Longdong, Asas Ketertiban Umum dan Konvensi New York 1958,
Citra Aditya Bakti, Bandung, , 1998, hal. 49.
217
S. Sidik Suraputra, ICSID dan MIGA: Lembaga Internasional Untuk Meningkatkan Arus
Penanaman Modal. Dalam Tim Pakar Hukum Depkeh dan HAM RI, Gagasan dan Pemikiran Tentang
Pembaharuan Hukum Nasional, J akarta, 2002, hal. 60.
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

Penjamin Penanaman Modal Multilateral (The Multilateral Investment Guarantee
Agency) dapat memainkan peranan penting untuk mendorong penanaman modal
asing baik bersifat regional maupun nasional serta program penjaminan risiko non
komersial yang mungkin akan dihadapi oleh pihak investor.
Maksud dan tujuan dibentuknya MIGA dijabarkan dalam Pasal 2. Tujuan
didirikannya MIGA adalah mendorong arus penanaman modal di antara negara-
negara anggota, dan khususnya bagi anggota negara-negara berkembang. Untuk
memenuhi tujuan yang dimaksud, MIGA bertugas untuk:
1. Memberikan jaminan kepada investor, yang meliputi kerjasama asuransi
(coinsurance) maupun dengan mengasuransikan kembali (reinsurance),
mencegah risiko non komersial yang berkenaan dengan penanaman modal di
suatu negara anggota yang berasal dari negara-negara anggota lainnya;
2. Melakukan kegiatan atau aktivitas berupa promosi untuk meningkatkan arus
penanaman modal ke dan di antara anggota negara-negara berkembang.
Selanjutnya menjadi pertimbangan calon investor, jika investor ingin
menanamkan modalnya di luar negeri adalah eksistensi lembaga penyelesaian
sengketa antara investor dengan negara tuan rumah. Sebenarnya secara konvensional
di negara manapun di dunia ini telah tersedia lembaga penyelesaian sengketa yakni
lembaga peradilan, yang dalam teori hukum ketatanegaraan dikenal sebagai lembaga
yudikatif. Hanya saja, jika penyelesaian sengketa antara investor dengan negara tuan
rumah diselesaikan lewat lembaga peradilan dan keraguan di kalangan calon
investor asing.
Dengan kata lain tingkat obyektivitas lembaga penyelesaian sengketa tersebut
diragukan. Secara teoritis memang keberadaan lembaga yudikatif (Lembaga
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

Peradilan) adalah independen. Artinya, lembaga ini tidak dapat dipengaruhi oleh
lembaga lainnya (eksekutif dan legislatif). Namun secara psikologis, dalam
penyelesaian sengketa antara investor asing dengan negara penerima modal asing
(host state), tentu faktor subyektivitas lembaga peradilan atau tepatnya hakim akan
sulit untuk dihindari, mengingat ia (hakim) adalah warga negara dari negara tuan
rumah. Oleh karena itu, adalah wajar jika investor asing ingin mengetahui lebih awal
apakah dimungkinkan penyelesaian sengketa di luar lembaga peradilan (outside of the
court).
218

Pertimbangan utama dari investor untuk melakukan investasi adalah adanya
jaminan hukum yang memadai, menyediakan cara penyelesaian sengketa melalui
arbitrase luar negeri terhadap kerugian-kerugian yang mungkin timbul sebagai akibat
dari penanaman modal. Investor dan pedagang asing selalu berupaya untuk
melepaskan diri dari peradilan negara berkembang karena merasa tidak mengenal
hukum setempat yang berlainan dengan sistem hukum negaranya sendiri. Selain itu
ada keragu-raguan bahwa peradilan setempat akan bersikap tidak obyektif. Alasan
lain adalah, apakah lembaga peradilan negara berkembang ada kemampuan dalam
memeriksa sengketa perdagangan internasional dan alih teknologi yang demikian
rumit.
219

Dalam dunia perdagangan internasional, kecenderungan yang terlihat adalah
liberaliralisasi peraturan/undang-undang arbitrase untuk lebih mendorong
penggunaan arbitrase daripada penyelesaian sengketa dagang melalui badan peradilan
umum. Pada umumnya, undang-undang ini dirancang untuk memberikan otonomi

218
Sentosa Sembiring, op. cit., hal. 238-239.
219
Tineke Louise Tuegeh Longdong, op. cit., hal. 2.
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

kebebasan dan fleksibilitas secara maksimal dalam menyelesaikan sengketa. Hal ini
dilakukan dengan memberikan kewenangan kepada para pihak untuk menunjuk
hukum atau prinsip-prinsip adil yang dapat diterapkan terhadap sengketa yang terjadi
di antara mereka dan juga memberikan kewenangan kepada mereka untuk memilih
para arbiter, sekaligus aturan-aturan prosedural yang dapat diterapkan dalam
arbitrase. Hal ini berarti bahwa para pihak tidak perlu menerapkan hukum
setempat/domestik terhadap sengketa yang sedang mereka hadapi.
220

Dengan demikian, kecenderungan para investor memilih penyelesaian
sengketa penanaman modal di luar pengadilan. Di Indonesia sendiri masalah
penyelesaian sengketa secara tegas dijabarkan dalam UU Penanaman Modal
penyelesaian sengketa penanaman modal melalui lembaga arbitrase. Pemerintah
melalui UU Penanaman Modal memberikan ruang untuk penyelesaian sengketa
investasi antara investor dengan Pemerintah melalui lembaga arbitrase. Hal ini
dijabarkan dalam Pasal 32 UU Penanaman Modal, dalam hal terjadi sengketa di
bidang penanaman modal antara Pemerintah dengan Penanam Modal, para pihak
terlebih dahulu menyelesaikan sengketa tersebut melalui musyawarah dan mufakat.
Namun, jika tidak tercapai, maka penyelesaian tersebut dapat dilakukan melalui
arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa atau pengadilan sesuai ketentuan
peraturan perundang-undang (ayat 1 dan 2).
Dalam hal terjadi sengketa di bidang penanaman modal antara pemerintah
dengan penanam modal asing, para pihak akan menyelesaikan sengketa melalui
arbitrase internasional yang harus disepakati oleh para pihak (Pasal 32 ayat (4) UU
Penanaman Modal).

220
Gary Goodpaster, dkk., dalam Felix O. Soebagio dan Erman Rajagukguk (ed), Seri Dasar-
Dasar Hukum Ekonomi 2 (Arbitrase di Indonesia), Ghalia Indonesia, J akarta, 1995, hal. 19.
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

Hanya saja dalam UU Penanaman Modal tidak disebutkan lembaga arbitrase
yang mana dan di mana. Sebagaimana diketahui, dalam tataran hukum internasional
sudah ada beberapa perjanjian internasional atau treaty (baik multilateral maupun
bilateral) yang mengatur melindungi investasi dan risiko. Risiko investasi (termasuk
risiko politik) yang lazim dijumpai antara lain pengambialihan oleh
negara/pemerintah atas aset atau property dan hak atas kekayaan milik swasta asing
(dikenal dengan istilah nasionalisasi), renegosiasi paksa atas kontrak investasi yang
telah disetujui (coerced re-negotiation, larangan repatriasi atas income dan revenue
dari hasil investasi ke negara asal, aktivitas-aktivitas sipil yang merongrong jalannya
atau beroperasinya investasi asing dan lain-lain. Pelanggaran-pelanggaran dari
perjanjian atau traktat internasional maupun pelanggaran dari kontrak investasi oleh
suatu pemerintah atau negara dapat menyeret pemerintah atau suatu negara karena
adanya legal action atau claim ke badan arbitrase internasional atau ke badan
peradilan internasional seperti the International Court of Justice.
221

Untuk memperkuat keberadaan lembaga arbitrase sebagai alternatif
penyelesaian sengketa khususnya di dalam penanaman modal. Pemerintah Indonesia
telah meratifikasi Convention on the Settlement of Investment Disputes between
States and Nationals of Other States dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1968.
Konvensi ini dikenal juga dengan Konvensi Washington. Konvensi ini lahir atas
prakarsa Bank Dunia (World Bank) pada tahun 1965. Konvensi ini dibuat untuk
merangsang masuknya modal asing pada negara-negara berkembang.
222


221
Barita Saragih, Harmonisasi Kepentingan Investasi Asing dan Tuntutan Lokal, Artikel
dalam Harian Umum Kompas, edisi Senin 20 November 2000.
222
D. Sidik Suraputra, dalam Melda Kamil Ariadno (ed), Hukum Internasional dan Berbagai
Permasalahannya (Suatu Kumpulan Karangan) oleh D. Sidik Suraputra, Lembaga Pengkajian Hukum
Internasional FH UI, J akarta, 2004, hal. 1.
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

Sebagai tindak lanjut dari konvensi ini, maka dibentuk lembaga penyelesaian
sengketa antara penanam modal (investor) dengan negara penerima modal (host
country) yang lebih dikenal dengan The International Center for the Settlement of
Investment Disputes (ICSID). Untuk selanjutnya dalam konvensi ini disebut sebagai
Pusat (Center). Sedangkan tujuan dibentuknya ICSID adalah untuk menyediakan
fasilitas bagi konsiliasi dan arbitrase sengketa investasi antara negara peserta
konvensi dengan warga negara peserta konvensi dengan warga negara dari negara
peserta konvensi lainnya berdasarkan ketentuan konvensi. Agar ICSID dapat berlaku,
para pihak harus sepakat untuk mengajukan sengketa mereka ke dewan arbitrase
ICSID, sengketa haruslah antara peserta konvensi atau agen/organisasi-organisasi
negara tersebut dan warga negara dari negara peserta konvensi lainnya, dan sengketa
berkaitan dengan masalah investasi.
223
Dalam konvensi tersebut diatur masalah
penyelesaian sengketa antara investor asing dengan negara penerima modal dilakukan
lewat lembaga arbitrase.
Sekalipun pemerintah Indonesia telah merafikasi konvensi ICSID, tidak
berarti secara otomatis setiap sengketa antara investor asing dengan Pemerintah harus
diselesaikan oleh dewan arbitrase ICSID. Hal ini dijabarkan dalam Pasal 2 Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1968, pemerintah mempunyai wewenang untuk memberikan
persetujuan bahwa sesuatu perselisihan tentang penanaman modal antara Republik
Indonesia dan Warga Negara Asing diputuskan menurut konvensi dan untuk
mewakili Republik Indonesia dalam perselisihan tersebut dengan hak substitusi.

223
Gary Goodpaster, dkk., dalam Felix O. Soebagjo dan Erman Rajagukguk (ed), Seri Dasar-
Dasar Hukum-Hukum Ekonomi 2 (Arbitrase di Indonesia), Ghalia Indonesia, J akarta, 1995, hal. 2.
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

Selanjutnya dalam penjelasan pasal ini dikemukakan, menurut Pasal 25 ayat (1) dan
Pasal 36 ayat (2) Konvensi, setiap perselisihan harus terlebih dahulu mendapat
persetujuan dari kedua belah pihak yang berselisih, sebelum dapat diajukan di depan
Mahkamah Arbitrase (Arbitral Tribunal). Dengan pasal ini dipastikan bahwa Pemerintah
mempunyai wewenang untuk memberikan persetujuan itu serta untuk mewakili Republik
Indonesia dalam perselisihan tersebut dengan hak substitusi di mana perlu.
Berdasarkan ketentuan di atas, Pemerintah Indonesia tidak berkewajiban
membawa setiap sengketa penanaman modal dengan investor asing ke dewan
arbitrase ICSID, kecuali kalau disetujui oleh kedua belah pihak. Hal ini sejalan
dengan kewenangan ICSID dalam Pasal 25 konvensi tersebut.
224

Tampaknya pemerintah menyadari bahwa perkembangan dunia bisnis
berkembang demikian pesat, sehingga penyelesaian sengketa bisnis pun dituntut
secara cepat. Untuk itu, dibutuhkan lembaga penyelesaian sengketa di luar lembaga
peradilan yang dapat dijadikan alternatif untuk menyelesaikan sengketa yang
dihadapi para pelaku bisnis. Di berbagai negara, pilihan penyelesaian sengketa bisnis
di luar lembaga peradilan sudah lama diakui antara lain lewat lembaga arbitrase.
Untuk itu, dalam rangka memperkuat keberadaan lembaga arbitrase sebagai salah
satu alternatif penyelesaian sengketa di Indonesia semakin kuat legitimasinya dengan
diterbitkannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa. Dengan diterbitkannya undang-undang ini, maka

224
Pasal 25 Konvensi, The jurisdiction of the Centre shall extend to any legal dispute
arising directly out of an investment, between a Contracting State (or any constituent subdivision or
agency of Contracting State designated to the Centre by the State), and a national of another
Contracting State, which the parties to the dispute consent in writing to submit to the Centre. When the
parties have given their consent, no party may withdraw its consent unilaterally.
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

keraguan terhadap pelaksanaan putusan lembaga arbitrase
225
khususnya putusan
arbitrase internasional,
226
sedikit banyak dapat diminimalisasi. Artinya bila ada
putusan arbitrase asing yang pelaksanaannya di Indonesia, asal memenuhi syarat
dapat dilaksanakan di Indonesia. Adapun persyaratan yang harus dipenuhi, jika ingin
melaksanakan putusan arbitrase asing di Indonesia dijabarkan dalam Pasal 66
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa, bahwa Putusan Arbitrase Internasional hanya diakui serta
dapat dilaksanakan di wilayah hukum Republik Indonesia, apabila memenuhi syarat-
syarat sebagai berikut:
a. Putusan Arbitrase Internasional dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase di
suatu negara yang dengan negara Indonesia terikat pada perjanjian, baik secara
bilateral maupun multilateral, mengenai pengakuan dan pelaksanaan Putusan
Arbitrase Internasional;
b. Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a terbatas
pada putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang
linkup hukum perdagangan;
c. Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a hanya
dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pada putusan yang tidak bertentangan
dengan ketertiban umum;
d. Putusan Arbitrase Internasional dapat dilaksanakan di Indonesia setelah
memperoleh eksekutur dari Ketua Pengadilan Negeri J akarta Pusat; dan

225
Pasal 1 butir 8 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa
226
Pasal 1 butir 9 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa.
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009
e. Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a yang
dimaksud dalam huruf a yang menyangkut Negara Republik Indonesia sebagai
salah satu pihak dalam sengketa, hanya dapat dilaksanakan setelah memperoleh
eksekuatur dari Mahkamah Agung Republik Indonesia yang selanjutnya
dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri J akarta Pusat.


BAB IV
KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP INVESTASI
ASING MENURUT UNDANG-UNDANG NO.12 TAHUN 2008 TENTANG
PEMERINTAHAN DAERAH
A. Pelimpahan Wewenang Pengelolaan Penanaman Modal Kepada
Pemerintah Daerah
Dalam meningkatkan arus investasi ke Indonesia, berbagai upaya terus
dilakukan oleh pemerintah. Upaya tersebut, antara lain dengan pendelegasian
kewenangan pengelolaan investasi kepada Pemerintah Daerah (Pemda). Hanya saja
pendelegasian kewenangan tersebut, belum sepenuhnya berjalan. Hal ini disebabkan
belum tertata dengan cermat pembagian pengelolaan investasi. Oleh karena itu
terkesan pemerintah pusat belum sepenuhnya mendelegasikan wewenang
(desentralisasi) ke pemerintah daerah dalam urusan investasi. Secara alternatif,
memang dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang
Penanaman Modal Asing, pemerintah pusat mempunyai kewenangan untuk mengatur
masalah investasi asing. Pemerintah diberi wewenang untuk:
227

1. Menentukan perincian bidang-bidang bagi modal asing;
2. Menentukan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh Penanaman Modal Asing
secara kasuistis;
3. Menetapkan bidang-bidang usaha terteniu yang tidak boleh dilakukan
penanaman modal oleh modal asing;
4. Menetapkan bidang-bidang usaha yang dapat diadakan kerjasama antara
modal asing dan modal nasional.
J adi, kewenangan untuk memutuskan boleh tidaknya suatu investasi masih
ada di Pemerintah Pusat, dalam hal ini diwakili oleh Badan Koordinasi Penanaman
Modal (BKPM).

227
C.F.G. Sunarjadi Hartono, Beberaa Masalah Transnasional Dalam Penanam Modal Asing
di Indonesia, Bina Tjipta, Bandung, 1972, hal. 40.
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

J ika masalah pengelolaan investasi masih bersifat sentralistik, tentunya
kurang menguntungkan terlebih lagi nuansa investasi yang ada sekarang semakin
liberal dan penuh persaingan dengan negara-negara tetangga, seperti di kawasan
ASEAN.
228

Untuk memotong mata rantai birokrasi investasi ini, sebenarnya beberapa
upaya telah dilakukan oleh pemerintah antara lain dengan menerbitkan berbagai
kebijakan di bidang investasi yakni dengan diterbitkannya:
1. Keputusan Presiden Nomor 116 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Kepuusan
Presiden Nomor 26 Tahun 1980 tentang Pembentukan Badan Koordinasi
Penananam Modal Daerah.
Dalam Pasal 2 disebutkan Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah
mempunyai tugas membantu Gubernur Kepala Daerah Tingkat I dalam
menentukan kebijaksanaan di bidang perencanaan penanaman modal daerah,,
memberikan persetujuan dan perizinan penanaman modal dalam rangka
Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) tertentu ditetapkan oleh Menteri
Negara/Kepala Daerah Badan Koordinasi Penanaman Modal berdasarkan kriteria
tertentu, dan melaksanakan pengawasan atas pelaksanaannya.
2. Instruksi Presiden Nomor 22 Tahun 1998 tentan Penghapusan Kewajiban
Memilki Rekomendasi Instansi Teknis Dalam Permohonan Persetujuan
Penanaman Modal. Keputusan Menteri Negara Investasi/Kepala Badan
Koordinasi Penanaman Modal Nomor 21/SK/1998 tentang Pelimpahan
Kewenangan Pemberian Persetujuan dan Fasilitas Serta Perizinan Pelaksanaan
Penanaman Modal Dalam Negeri Tertentu Kepada Gubernur Kepala Daerah
Tingkat I.

228
Sentosa Sembiring, op. cit., hal. 155.
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

Dalam Pasal 1 butir disebutkan Menteri Negara Investasi/Kepala Badan
Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) melimpahkan kewenangan penerbitan
Surat Persetujuan. Fasilitas dan Perizinan Pelaksanaan Penanaman Modal kepada
Gubernur Kepala Daerah Tingkat I untuk penanaman modal dalam negeri dengan
nilai investasi sampai dengan Rp. 10.000.000.000, (sepuluh milyar rupiah) yang
dilaksanakan di daerahnya.
Dari hasil wawancara pada Badan Investasi dan Promosi (BAINPROM)
Provinsi Sumatera Utara, pendelegasian wewenang perizinan penanaman modal di
Provinsi Sumatera Utara adalah:
229

1. Kewenangan Sebelumnya
1) Mengacu kepada Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 jo. Undang-Undang
No. 11 Tahun 1970 tentang Penanaman Modal Asing, Undang-Undang No. 6
Tahun 1968 jo. Undang-Undang No. 12 Tahun 1970 tentang Penanaman
Modal Asing serta juklak yang diatur dalam PP No. 25 Tahun 2000 tentang
Kewenangan Pemerintah Provinsi.
Dalam hal urusan Penanaman Modal dinyatakan bahwa Pemerintah Provinsi
bekerja sama dengan Pemerintah Kabupaten/Kota.
2) Mengacu kepada Keppres No. 117 Tahun 1999 dan melihat ketentuan tentang
Tata Cara Penanaman Modal pada saat itu masih mempedomani Keputusan
Menteri Investasi/Kepala BKPM No. 38/SK/1999 tanggal 06 Oktober 1999,
yang berwenang menerbitkan Surat Persetujuan (SP) Penanaman Modal dan
Perizinan lainnya adalah BKPM dan Pemerintah Provinsi, Konsul maupun
Duta Besar RI diluar negeri.

229
Hasil wawancara dengan Bapak Anthon Malau, SE., Bidang Pelayanan Kasubbid
Pelayanan ADM Industri, Bainprom Sumatera Utara, tanggal 26 Agustus 2008, di Medan.
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

3) Kewenangan yang sudah diserahkan ke Pemerintah Kabupaten/Kota sejak
Facto 1993 (Keppres 97 Tahun 1993) tanggal 23 Oktober 1993 bahwa
Kewenangan dibidang Penanaman Modal sebagai izin lanjutan yang dikelola
dan diterbitkan di Kabupaten/Kota meliputi :
a. Penerbitan Izin Lokasi.
b. Penerbitan Izin Mendirikan Bangunan.
c. Penerbitan Izin H.O.
d. Penerbitan Izin AMDAL.
e. Penerbitan Tanda Daftar Perusahaan.
f. Penerbitan Rekomendasi Tenaga Kerja Asing.
g. Serta seluruh Kutipan Retribusi dan Pajak Daerah.
4) Melihat Pendelegasian Kewenangan di bidang Penanaman Modal sesuai
dengan ketentuan pada saat itu bahwa Kewenangan Urusan/Izin Penanaman
Modal PMA/PMDN, Pemerintah, dan Pemerintah Provinsi sekitar 15% dan
Kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota sekitar 85%, Kewenangan Provinsi
di bidang Penanaman Modal meliputi: Penerbitan Surat Persetujuan
Penanaman Modal PMDN dan PMA serta Perubahannya.
a. Penerbitan Angka Pengenal Importir Terbatas (APIT).
b. Penerbitan Izin Kerja Tenaga Kerja Asing (IKTA), dan perpanjangannya.
c. Penerbitan Izin Usaha Tetap (IUT).
2. Kewenangan Saat Ini
1) Dengan lahirnya Keputusan Presiden No. 28 Tahun 2004 tanggal 12 April
2004 tentang Keputusan Presiden tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden
No. 33 Tahun 1981 tentang Badan Koordinasi Penanaman Modal,
sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Keputusan Presiden
No. 120 Tahun 1999.
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

Dalam Keppres ini Kewenangan Penerbitan Surat Persetujuan PMA bagi
Konsul/Duta Besar RI diluar negeri, Kewenangan Pemerintah Provinsi dalam
Penerbitan Surat Persetujuan PMA/PMDN dicabut.
2) Keputusan Presiden No. 29 Tahun 2004 tgl. 12 April 2004 tentang
Penyelenggaraan Penanaman Modal dalam rangka Penanaman Modal Asing
dan Penanaman Modal Dalam Negeri melalui Sistem Pelayanan Satu Atap.
Dalam Keppres ini Kewenangan Penerbitan Surat Persetujuan PMA maupun
PMDN dilayani melalui Sistem Pelayanan Satu Atap di BKPM.
3) Dengan lahirnya Keputusan Kepala BKPM No. 57/SK/2004 tanggal 20 J uli
2004 tentang Pedoman dan Tata Cara Permohonan Penanaman Modal yang
didirikan dalam rangka Penanaman Modal Dalam Negeri dan Penanaman
Modal Asing, maka efektif terhitung mulai tanggal 23 Agustus 2004
Kewenangan Penerbitan Surat Persetujuan, Fasilitas dan Perizinan lainnya
menjadi Kewenangan Pemerintah (BKPM) sesuai dengan Keppres No. 29
Tahun 2004 tanggal 12 April 2004 tentang Penyelenggaraan Penanaman
Modal dalam rangka Penanaman Modal Asing dan Penanaman Modal Dalam
Negeri melalui sistem Pelayanan Satu Atap.
4) Kewenangan yang ada pada Pemerintah Provinsi dalam hal urusan
Penanaman Modal hanya :
a. Perpanjangan Izin Kerja Tenaga Kerja Asing.
b. Pengawasan Pengendalian Penanaman Modal yang ada diwilayah
Provinsi.
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

5) Kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota tetap sesuai dengan Facto 1993
(Keppres 97 Tahun 1993 tanggal 23 Oktober 1993) meliputi :
a. Penerbitan Izin Lokasi.
b. Penerbitan Izin Mendirikan Bangunan.
c. Penerbitan Izin H.O.
d. Penerbitan Izin AMDAL.
e. Penerbitan Tanda Daftar Perusahaan.
f. Penerbitan Rekomendasi Tenaga Kerja Asing.
g. Serta seluruh Kutipan Retribusi dan Pajak Daerah.
3. Kewenangan Sesuai Dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah
Daerah (sebagamaina telah diubah dengan UU No. 12 Tahun 2008) Jo.
PP No. 38 Tahun 2007
1) Melihat Ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah, pada Pasal 13 Ayat (1) butir n bahwa Urusan
wajib yang menjadi Kewenangan Pemerintah Daerah Provinsi adalah merupakan
Urusan dalam skala Provinsi salah satu diantaranya adalah: Pelayanan
Administrasi Penanaman Modal termasuk Lintas Kabupaten/ Kota.
Dengan demikian bahwa kembali urusan Administrasi Penanaman Modal
menjadi Kewenangan Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota.
2) Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tgl. 26 April 2007 tentang Penanaman
Modal. Pada Pasal 25 Pengesahan dan Perizinan Perusahaan Penanaman
Modal yang akan melakukan kegiatan usaha wajib memperoleh izin, izin
diperoleh melalui Pelayanan Terpadu Satu Pintu .
3) Peraturan Pemerintah 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan
Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sebagai Peraturan Pelaksanaan dari
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang No. 25 Tahun
2007. Pada Pasal 7 ayat (2): Urusan Wajib yang diselenggarakan oleh
Pemerintahan Daerah Provinsi pada butir i termasuk urusan Penanaman
Modal.
Dalam rincian pembagian urusan Pemerintahan Bidang Penanaman Modal,
khusus mengenai Pelayanan Penanaman Modal meliputi :
a. Mengkaji, merumuskan, dan menyusun pedoman tata cara dan
pelaksanaan pelayanan terpadu satu pintu kegiatan penanaman modal
yang bersifat lintas kabupaten/kota berdasarkan pedoman tata cara dan
pelaksanaan pelayanan terpadu satu pintu kegiatan penanaman modal
yang ditetapkan oleh pemerintah.
b. Pemberian izin usaha kegiatan penanaman modal dan non perizinan yang
menjadi kewenangan provinsi.
c. Melaksanakan pelayanan terpadu satu pintu berdasarkan pendelegasian
atau pelimpahan wewenang dari lembaga atau instansi yang memiliki
kewenangan perizinan dan non perizinan yang menjadi kewenangan
provinsi.
d. Pemberian usulan persetujuan fasilitas fiscal nasional, bagi penanaman
modal yang menjadi kewenangan provinsi.

Selanjutnya mengenai bahan masukan muatan materi RPP pembagian urusan
pemerintahan bidang Penanaman Modal Sumatera Utara, sebagaiman terlihat pada
tabel berikut:

Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

Tabel 2
Bahan Masukan Muatan Materi RPP Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang
Penanaman Modal Sumatera Utara

PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN
NO
SUB BIDANG/
RINCIAN URUSAN PUSAT PROVINSI KABUPATEN/KOTA
KETERANGAN
1 2 3 4 5 6

1.

Sub Bidang Pelayanan
Perizinan Penanaman
Modal.

1.2. Mengkaji, merumuskan dan
menyusun pedoman tata cara
pelayanan penanaman modal
skala nasional.


1.2. Mengkaji, merumuskan dan
menyusun pedoman tata
cara pelayanan penanaman
modal skala provinsi.


1.2. Mengkaji, merumuskan dan
menyusun pedoman tata
cara pelayanan penanaman
modal skala
kabupaten/kota.


1.2. Memberikan persetujuan
prinsip penanaman modal bagi
PMA, PMDN dan Non PMA/
PMDN yang menjadi
kewenangan Pusat, seperti :

a. Pemberian persetujuan
baru, perubahan dan
perluasan proyek PMA,
PMDN dan Non PMA/
PMDN untuk proyek-
proyek atau bidang-bidang
usaha tertentu, meliputi :

1) Bidang usaha
berteknologi strategis
yang mempunyai
derajat kecanggihan
tinggi dan beresiko
tinggi dalam
penerapannya.

2) Proyek-proyek atau
bidang-bidang usaha
yang bersifat lintas
propinsi, seperti
pertambangan,
kehutanan,
perkebunan dan
perhubungan.

3) Proyek-proyek yang
beroperasi di wilayah
laut dli luar perairan
12 mil atau ZEE.

4) Proyek-proyek atau
bidang-bidang usaha
yang oleh
Departemen Sektoral
dinyatakan sebagai
kewenangan Pusat.

b. Pemberian persetujuan
pendirian Kantor
Perwakilan Perusahaan
Asing.

1.2. Memberikan persetujuan
prinsip penanaman modal
bagi PMA dan PMDN
termasuk yang bersifat
lintas Kabupaten/Kota
(selain yang menjadi
kewenangan Pusat), seperti
:

a. Pemberian Persetujuan
seluruh proyek
Penanaman Modal baru
bagi PMDN dan PMA.

b. Pemberian Persetujuan
seluruh proyek
Perluasan PMDN dan
PMA.

c. Pemberian Persetujuan
Perubahan rencana
proyek PMDN/PMA,
terdiri dari :

1) Perubahan lokasi
proyek.
2) Perubahan nama
perusahaan.
3) Perubahan bidang
usaha dan produksi
(baik jenis atau
kapasitas).
4) Perubahan
penggunaan
Tenaga Kerja
Asing.
5) Perubahan
investasi nilai
mesin-
mesin/peralatan
dan permodalan.
6) Perubahan mitra
usaha dan atau
pola kemitraan.
7) Perpanjangan
waktu
penyelesaian
proyek.
8) Perubahan status
perusahaan.
9) Penggabungan
perusahaan.
1.2. Memberikan persetujuan
prinsip penanaman modal
bagi Non PMA dan PMDN
(selain yang menjadi
kewenangan Pusat), seperti
:

a. Pemberian Persetujuan
prinsip seluruh proyek
baru bagi Perusahaan
Non PMA/PMDN.

b. Pemberian persetujuan
seluruh proyek
perluasan Non PMA/
PMDN.

c. Pemberian persetujuan
perubahan rencana
proyek Non PMA/
PMDN.

d. Pemberian perizinan
teknis pelaksanaan
penanaman modal baik
bagi PMA, PMDN
maupun Non
PMA/PMDN, terdiri dari
:

1) Izin Lokasi.
2) Sertifikat hak-hak
Atas Tanah.
3) Izin Mendirikan
Bangunan (IMB).
4) Izin Undang-
undang Gang-
guan/HO.

Proyek/bidang usaha
yang bersidat lintas
Kabupaten/Kota terdiri
dari :

- Kegiatan
penanaman
modal yang lokasi
proyeknya
mempunyai
hamparan
lahannya terletak
pada 2 (dua) atau
lebih wilayah
Kabupaten/ Kota
dalam satu
Propinsi.

- Kegiatan
penanaman
modal yang
operasi nya
mencakup 2 (dua)
atau lebih wilayah
Kab./Kota dalam
satu Propinsi

- Kegiatan
penanaman
modal yang
operasi nya
mencakup 2 (dua)
atau lebih
kegiatan/ proyek
saling keterkaitan
/ terpadu yang
lokasinya terletak
pada 2 atau lebih
wilayah Kab./Kota
dalam satu
Propinsi dan
permohonan-nya
diajukan sekaligus
atau dalam satu
paket.

Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009


PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN
NO
SUB BIDANG/
RINCIAN URUSAN PUSAT PROVINSI KABUPATEN/KOTA
KETERANGAN
1 2 3 4 5 6

c. Pemberian perizinan
pelaksanaan persetujuan
penanaman modal dalam
rangka PMA/PMDN dan
Non PMA/PMDN yang
memenuhi kriteria
sebagaimana huruf a butir
1) s/d 4) di atas terdiri dari:

1) Angka Pengenal
Importir Terbatas
(APIT).

2) Rencana
Penggunaan
Tenaga Kerja Asing
(RPTKA)
berdasarkan
ketentuan dari
instansi yang
berwenang di
bidang
ketenagakerjaan.

3) Rekomendasi
Penggunaan
Tenaga Kerja Warga
Negara Asing
(TA.01) berdasarkan
ketentuan dari
instansi yang
berwenang di
bidang
ketenagakerjaan.

4) Izin Mempekerjakan
Tenaga Kerja Warga
Negara Asing
(IMTA) khusus bagi
TKA yang bekerja
pada 2 (dua)
Propinsi atau lebih
berdasarkan Visa
untuk maksud kerja
yang telah telah
disetujui oleh
Instansi yang
berwenang di bidang
Keimigrasian.

5) Persetujuan
Pemberian Fasilitas
Pembebasan/
Keringanan Bea
Masuk atas
Pengimporan
Barang Modal
(Mesin-mesin/
Peralatan


d. Pemberian perizinan
pelaksanaan
persetujuan
penanaman modal
dalam rangka PMA dan
PMDN tingkat Propinsi,
terdiri dari :

1) Angka Pengenal
Importir Terbatas
(APIT).

2) Rencana
Penggunaan
Tenaga Kerja
Asing (RPTKA)
berdasarkan
ketentuan dari
instansi yang
berwe-nang di
bidang
ketenagakerjaan.

3) Rekomendasi
Penggunaan
Tenaga Kerja
Warga Negara
Asing (TA.01)
berdasarkan
ketentuan dari
instansi yang
berwenang di
bidang
ketenagakerjaan.

4) Izin Mempekerjakan
Tenaga Kerja
Warga Negara
Asing (IMTA)
berdasarkan Visa
untuk maksud
kerja yang telah
disetujui oleh
Instansi yang
berwenang di
bidang
Keimigrasian
(khusus bagi TKA
yang bekerja pada
2 (dua)
Kabupaten/Kota
atau lebih dalam
satu Propinsi.

5) Izin Usaha/Izin
Usaha Perluasan
PMA/PMDN yang
Surat Persetujuannya
diterbitkan Instansi
Penanaman Modal
Propinsi (IPMP).


e. Pemberian perizinan
pelaksanaan
persetujuan
penanaman modal
dalam rangka Non
PMA/PMDN terdiri dari :

1) Angka Pengenal
Importir Terbatas
(APIT).

2) Izin
Mempekerjakan
Tenaga Kerja
Warga Negara
Asing (IMTA)
berdasarkan Visa
untuk maksud
kerja yang telah
disetujui oleh
Instansi yang
berwenang di
bidang
Keimigrasian
(khusus bagi TKA
yang bekerja
hanya pada satu
Kab./Kota)
termasuk bagi
PMDN/PMA.

3) Izin Usaha/Izin
Usaha Perluasan
Perusahaan Non
PMDN/PMA.



Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN
NO
SUB BIDANG/
RINCIAN URUSAN PUSAT PROVINSI KABUPATEN/KOTA
KETERANGAN
1 2 3 4 5 6

6) Persetujuan Pemberian
Fasilitas
Pembebasan/Keringana
n Bea Masuk atas
Pengimporan Bahan
Baku dan/atau Bahan
Penolong untuk
keperluan produksi 2
(dua) tahun berdasarkan
kapasitas terpasang.

7) Izin Usaha/Izin Usaha
Perluasan.

d. Penyelenggaraan kewenangan
lain di bidang pelayanan
perizinan penanaman modal
yang belum ditetapkan dalam
ketentuan perundang-
undangan dimaksud.


e. Penyelenggaraan
kewenangan lain di
bidang pelayanan
perizinan penanaman
modal yang belum
ditetapkan dalam
ketentuan, sepanjang
tidak bertentangan
dengan Kebijakan
Pemerintah Pusat.



f. Penyelenggaraan
kewenangan lain di
bidang pelayanan
perizinan penanaman
modal yang belum
ditetapkan dalam
ketentuan, sepanjang
tidak bertentangan
dengan Kebijakan
Pemerintah Pusat dan
Propinsi.



Sumber: Badan Investasi dan Promosi (BAINPROM) Propinsi Sumatera Utara
B. Kewenangan Pemerintah Daerah Terhadap Investasi Asing Menurut
Undang-Undang No.12 Tahun 2008 Tentang Pemerintahan Daerah
Dengan digulirkan era reformasi, maka semangat reformasi pun ingin
diwujudkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan. J adi tidaklah
mengehrankan perundang-undangan pun lahir. Namun, lahirnya berbagai peraturan
perundang-undangan yang diharapkan dapat dijadikan panduan dalam hidup
bernegera dan bermasyarakat, ternyata dalam pelaksanaannya belum berjalan
sebagaimana yang diharapkan. Hal ini juga tampak ketika diterbitkannya Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah terbersit secercah
harapan, dengan diberikannya kewenangan yang otonom kepada pemerintah daerah
untuk mengurus daerahnya, harapan akan meningkatnya pelayanan publik ternyata
dalam implementasinya masih jauh dari harapan.
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

Eforia otonomi daerah yang sedang berlangsung di tengah-tengah masyarakat,
tidak diikuti dengan perubahan kultur dan sumber daya manusia yang memadai.
Akibatnya cara kerja dan mutu layanan publik yang diberikan kepada masyarakat
belum tampak ada perubahan berarti dengan cara kerja yang selama bertahun-tahun
sangat sentralistik. Untuk itu tidak mengherankan apabila pelaksanaan otonomi
daerah pun diinterpretasikan sesuai selera masing-masing.
230
Artinya semangat
otonomi daerah ditafsirkan, bagi pihak pemegang otoritas di daerah dapat berbuat apa
saja, tanpa memperhatikan kepentingan nasional secara keseluruhan. Pandangan
sempit seperti ini tentu akan membawa dampak dalam berbagai sektor kehidupan,
antara lain alam bidang investasi.
Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
disebutkan urusan investasi atau dalam bahasa resmi undang-undang disebut
penanaman modal menjadi salah satu wewenang pemerintah daerah. Disinilah salah
satu letak permaalahan dalam mengimplementasikan wujud otnomi daerah yakni
belum adanya kesamaan persepsi makna dari otonomi derah itu sendiri. Dalam
persepsi pemerintah daerah, Pemerintah Daerah dapat menerbitkan berbagai
Peraturan Daerah (Perda) sebagai instrumen hukum untuk menarik dana dalam
kerangka mencari sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Implikasinya adalah munculnya berbagai Peraturan Daerah tersebut yang
tujuannya semata-mata untuk meligitimasi retribusi dari sudut pandang pelaku usaha
tentunya hal ini cukup memberatkan. Akibatnya bagi pelaku usaha yang tadinya
berhadap cukup banyak dengan adanya otonomi daerah, mata rantai birokrasi yang

230
Bambang Yudoyono, Otonomi Daerah Desentralisasi dan Pengembangan SDM Aparatur
PEMDA dan Anggota DPRD, Pustaka Sinar Harapan, J akarta, 2001, hal. 34.
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

cukup panjang dalam kacamata bisnis merupakan biaya ekonomi tinggi (high cost
economy) dapat diperpendek. Namun dalam kenyataan masih jauh dari harapan. Hal
ini tergambar dari hasil penelitian yang dilakukan oleh KPPOD pada tahun 2003
terhadap 200 kabupaten dan kota, faktor kelembagaan yang meliputi peraturan dan
pelayanan publik menjadi faktor pertimbangan utama investor dalam menanamkan
modal ke daerah.
231
Oleh karena itu tidaklah mengherankan jika para pebisnis masih
menahan diri dalam melakukan ekspansi usahanya.
Mencermati berbagai kendala dalam pelaksanaan pemerintah mencabut
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan dan mengganti dengan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Berangkat dari latar belakang lahirnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah, seperti yang disampaikan oleh Pemerintah dan
Dewan Perwakilan Rakyat, bahwa sekalipun pemerintah daerah diberi kewenangan
untuk mengelola daerahnya, namun tidak berarti lepas dari tujuan bernegara secara
nasional. Oleh karena itu dalam kaitannya dengan tujuan berrnegara dalam bingkai
Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk bidang-bidang tertentu masih menjadi
kewenangan Pemerintah Pusat. Bidang tersebut antara lain: politik luar negeri,
pertanahan keamanan, yustisi, moneter dan fikal nasional, dan agama.
232

Untuk menyerasikan antara kewenangan pusat di satu sisi dan pemerintah
provinsi dan pemerintah kota/kabupaten di sisi lain, pembentuk undang-undang
mencoba menyusunnya berdasarkan kriteria tertentu. Kriteria yang dimaksud antara

231
Indonesia Masih Buruk Rupa di Mata Investor, Kompas, edisi 13 Mei 2005.
232
Asri Umar, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah DAerah dan
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat
dan Pemerintahan Daerah, CV. Citra Utama, J akarta, 2004, hal. 4/29
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

lain berdasarkan, ekternalitas, akuntabilitas dan efisiensi dengan memperhatikan
keserasian hubungan antarsusunan pemerintah.
233

Selanjutnya Pemerintah melakukan perubahan kembali undang-undang
pemerintahan daerah tersebut, dengan menerbitkan Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
Tentang Pemerintahan Daerah.
Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah,
disebutkan untuk urusan pemeritahan yang menjadi kewenangan pemeritahan daerah
terdiri atas urusan wajib dan urusan lain. Salah satu tugas yang menjadi urusan wajib
pemerintah daerah dalam Pasal 13 ayat 1 butir n disebutkan urusan wajib yang
menjadi kewewenangan pemerintah daerah provinsi merupakan urusan dalam skala
provinisi yang meliputi, pelaporan administrasi penanaman modal termasuk lintas
kabupaten/kota.
Dalam Pasal 14 ayat 1 butir n Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008
Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintahan Daerah, disebutkan urusan urusan wajib yang menjadi kewenangan
pemerinah daerah untuk kabupaten/kota meliputi, pelayanan administrasi penanaman
modal. Hanya cukup disayangkan dalam undang-undang ini tidak dijelaskan apa yang
dimaksud dengan pelayanan administrasi penanaman modal.
Oleh karena itu, dalam pelaksanaan undang-undang ini khususnya melayani
kebutuhan investor, kemungkinan terjadinya perbedaan interpretasi dalam

233
Penjelasan Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah.
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

pelaskanaannya sangat mungkin terjadi. Dari sudut pandang pemerintahan daerah
provinsi maupun kota/kabupaten dapat saja berpandangan bahwa pelayanan
administrasi bukan hanya semata-mata mencatat dokumen investasi yang telah
diberikan oleh pemerintah pusat kepada investor, akan tetapi dapat juga menentukan
syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh calon investor jika ingin berinvestasi di
wilayahnya.
234

Cara pandang yang digunakan oleh pemerintah daerah dalam memahami
makna yang terkandung dalam ketentuan tersebut tidaklah sepenuhnya dapat
disalahkan. Artinya Pemerintahan Daerah boleh saja berdalih diterbitkannya
Peraturan Daerah untuk mempermudah berinvesasi di daerahnya. Bahkan bisa dengan
dalil demi kepastian hukum.
Hal ini dijabarkan dalam Pasal 176 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008
Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintahan Daerah, bahwa pemerintahan daerah dalam meningkatkan
perekonomian daerah dapat memberikan insentif dan atau kemudahan kepada
masyarakat dan/atau investor yang diatur dalam peraturan daerah dengan berpedoman
pada peraturan perundang-undangan.
Yang dimaksud dengan insentif dan/atau kemudahan dalam ketentuan di atas
adalah pemberian dari pemerintah daerah antara lain dalam bentuk penyediaan
sarana, prasarana, dan stimulasi, pemberian modal usaha, pemberian bantuan teknis,
keringanan biaya, an percepatan pemberian izin.

234
Ketentuan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, disebutkan
rencana tata ruang wilayah menjadi pedoman untuk penentuan lokasi dan fungsi ruang untuk investasi
(Pasal 26 ayat (2) butir e, Pasal 23 ayat (2) butir e, Pasal 26 ayat (2) butir 3).
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

Dalam mengimplementasikan makna yang terkandung dari tujuan adanya
pendelegasian kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah adalah
bagaimana membangun daerah bukan dalam arti makna sempit yakni tidak
menghiraukan kepentingan daerah lain. Dalam hal inilah dibutuhkan pentingnya
kepemimpinan yang berwibawa dalam mewujudkan tujuan nasional khususnya di
daerah yakni mensejahterakakan masyarakat.
Perlunya kehadiran pemimpin yang berwawasan nasional dan mampu
bekerjasama demi kepentingan masyarakat daerah. Pemimpin seperti ini, akan
mampu mengatasi semua distorsi yang terjadi saat otonomi daerah berjalan.
235
Oleh
karena itu dalam menyikapai arti pentingnya kehadiran investor ke daerah sangat
dibutuhkan adanya kesamaan pandang dari semua pihak. Sebab dari sudut
kepentingan pembangunan ekonomi desentralisasi diperlukan karena Pemerintah
Daerah dapat lebih banyak dan secara langsung membantu pembangunan tersebut.
236

Oleh karena itu dengan diberikannya kewenangan kepada Pemerintah Daerah
mengurus daerahnya secara otonomi termasuk di antaranya memberikan insentif
kepada investor, perlu menciptakan peluang investasi yang misalnya tidak hanya
sarana fisik, tetapi juga nonfisik misalnya diterbitkannya peraturan daerah dapat
dijadikan sebagai pemacu kehadiran investor asing untuk datang ke Indonesia pada
umumnya dan secara khususnya di daerah lokasi tujuan investasi asing tersebut akan
beroperasi.



235
M. Arif Nasution, Demokratisassi dan Prbolem Otonomi DAerah, Mandar Maju,
BAndung, 2000, hal. 77.
236
J oseph Riwu Kaho dalam Bambang Yudoyono, op. cit., hal. 21.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan dari pembahasan pada bab-bab sebelumnya maka diperoleh
kesimpulan dan saran sebagai berikut:
A. Kesimpulan
1. J aminan kepastian hukum investor asing menurut UU Penanaman Modal
No. 25 Tahun 2007 adalah pada prinsipnya Pemerintah tidak akan melakukan
pengambilalihan atau nasionalisasi perusahaan asing di Indonesia, dan jika
terpaksa harus dilakukan pengambilalihan, maka kepada investor akan
diberikan kompensasi yang jumlahnya ditetapkan berdasarkan harga pasar
(Pasal 7), dan jika tidak ada kesepakatan mengenai ganti rugi atau terjadinya
sengketa investasi asing di Indonesia, penyelesaiannya dapat dibawa ke
lembaga lembaga arbitrase (Pasal 32). Lembaga arbitrase yang dimaksud
adalah Internasional Centre for Settlement of Investment Disputes (ICSID),
karena Indonesia sudah meratifikasi konvensi ICSID dengan UU No.5 Tahun
1968 tentang Penyelesaian Perselisihan Antara Negara dan WArga Negara
Asing Mengenai Penanaman Modal.
2. Kewenangan Pemerintahan Daerah dalam kaitan investasi asing sesuai
dengan UU No. 12 Tahun 2008 yang menjadi urusan wajib pemerintah
daerah provinsi ataupun kabupaten/kota yang diatur dalam Pasal 13 ayat 1
butir n dan Pasal 14 ayat 1 butir n, adalah kewenangan untuk pelayanan
administrasi penanaman modal.
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009
B. Saran
1. Berhubung pemerintah sudah meratifikasi lembaga arbitrase dalam undang-
undang, maka sebaiknya ditegaskan penyelesaian sengketa antara WNA
dengan pemerintah dalam hal penanaman modal melalui lembaga arbitrase
internasional namun tetap menjunjung asas kebebasan berkontrak. Dengan
kata lain tetap mengacu pada ketentuan Pasal 66 UU No.30 Tahun 1999
tentang Arbitrase jo Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No.1 Tahun 1990
tentang Pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional, bahwa putusan
arbitrase internasional hanya dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pada
putusan yang tidak bertentangan dengan kepentingan umum.
2. UU Penanaman Modal memberikan kewenangan pelayanan administrasi
penanaman modal kepada pemerintahan daerah, tetapi tidak dijelaskan apa
yang dimaksud dengan pelayanan administrasi penanaman modal tersebut.
Maka perlu lebih tegas lagi batasan pelayanan administrasi penanaman
modal yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah tersebut, sehingga
tidak terjadi persepsi yang berbeda antara pemerintah pusat dan pemerintah
daerah. Oleh karena itu Pemerintah harus segera menerbitkan Peraturan
Pemerintah dengan mempedomani Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008
tentang Pemerintah Daerah.



DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Abdurrachman, A, Ensiklopedia Ekonomi Keuangan Perdagangan, Cet. ke-6,
Pradnya Paramita, J akarta, 1991.
Bashri, Yanto (ed), Mau Ke Mana Pembangunan Ekonomi Indonesia Prisma
Pemikiran Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, Predna Media, J akarta, 2003.
Downes, J ohn dan J ordan Elliot Goodman, Kamus Istilah Keuangan & Investasi.
Alih bahasa oleh Soesanto Budhidarmo, Elex Media Komputindo, J akarta,
1994.
Erawati, A.F. Elly, Meningkatkan Investasi Asing Di Negara Berkembang: Kajian
Terhadap Fungsi dan Peran dari The Multilateral Inevstment Guarantee
Agency, Pusat Studi Hukum Unpar, Bandung, 1989.
Friedman, Lawrence M., American Law An Introduction, Second Edition (Hukum
Amerika Sebuah Pengantar, Penerjemah: Wishnu Basuki), Tatanusa, J akarta,
2001.
Gautama, Sudargo, Perkembangan Arbitrase Dagang, Internasional Di Indonesia,
Eresco, Bandung, 1989.
Gilpin, Robert dan J ean Milies Gilpin, The Challenge of Global Capitalism
(Tantangan Kapitalisme Global) Penerjemah: Haris Munadar, Dudy Priatna,
Raja Grafindo Persada, J akarta, 2002, Edisi 1, Cetakan 1.
Goodpaster, Gary, dkk., dalam Felix O. Soebagio dan Erman Rajagukguk (ed), Seri
Dasar-Dasar Hukum Ekonomi 2 (Arbitrase di Indonesia), Ghalia Indonesia,
J akarta, 1995.
Hadiwinata, Bos Sugeng, Politik Bisnis Internasional, Kanisius, Yogyakarta, 2002,
Cet 1.
Hartono, C.F.G. Sunarjadi, Beberapa Masalah Transnasional Dalam Penanam
Modal Asing di Indonesia, Bina Tjipta, Bandung, 1972.
Himawan, Charles, Hukum Sebagai Panglima, Penerbit Buku Kompas, J akarta, 2003.
Hisyam, M., Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, J ilid I, FE UI, J akarta, 1996.
Huijbers, Theo, Filsafat Hukum, Kanisius, Yogyakarta, 1995
Ilmar, Aminuddin, Hukum Penanaman Modal Di Indonesia, Kencana, J akarta, 2007.
Kartadjoemena, H. S., GATT, WTO dan Hasil Uruguay Round, UI Press, J akarta,
1997.
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

Khumarga, Dahniel, Regulasi Investasi, Kendala dan Faktor Penunjangnya, Pidato
Pengukuhan Penerimaan J abatan Sebagai Besar Tetap Dalam Bidang
Pengantar Tata Hukum Indonesia Fakultas Hukum UPH Tangerang, 2 Maret
2002.
Kusumohamidjojo, Budiono, Ketertiban Yang Adil Problematika Filsafat Hukum,
Grasindo, J akarta, 1999, Cetakan 1.
Longdong, Tineke Louise Tuegeh, Asas Ketertiban Umum dan Konvensi New York
1958, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998.
Lopa, Baharuddin, Etika Pembangunan Hukum Nasional, dalam Artidjo Alkostar
(ed), Identitaqs Hukum Nasional, FH UII, Yogyakarta, 1997.
Lubis, M. Solly, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994.
_____, Sistem Nasional, Mandar Maju, Bandung, 2002.
Lubis, Todung Mulya, Hukum Ekonomi, Sinar Harapan, J akarta, 1992.
Mantayborbir, S., Sistem Hukum Pengurusan Piutang, Pustaka Bangsa Press, J akarta,
2004.
Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Cetakan I, edisi kedua,
Liberty, Yogyakarta, 1988,
Napitupulu, Joint-Ventures di Indonesia, Erlarigga, J akarta, 1986.
Nasution, M. Arif, Demokratisassi dan Prbolem Otonomi Daerah, Mandar Maju,
Bandung, 2000.
Panjaitan, Hulman, Hukum Penanaman Modal, Indhill Co., J akarta, 2002, Cetakan 1,
Rajagukguk, Erman, Hukum Investasi di Indonesia, Anatomi Undang-Undang No.25
Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, Fakultas Hukum Universitas Al-
Azhar Indonesia, J akarta, 2007.
Roeroe, Freddy, dkk., Batam Komitmen Setengah Hati, Aksara Karunia, Jakarta, 2003.
Rusdin, Bisnis Internasional dalam Pendekatan Praktik, Jilid 1, Alfabeta, Bandung, 2002.
Sembiring, Sentosa, Hukum Investasi, PT. Nuansa Aulia, Bandung, 2007.
Siagian, Sondang P., Administrasi Pembangunan, Gunung Agung, J akarta, 1985.
Sjahdeini, Sutan Remy, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang
Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institut Bankir
Indonesia, J akarta.
Sjahrir, Perusahaan Transnasional, Gramedia-Obor, J akarta, 1987.
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

Soebagjo, Felix O dan Erman Rajagukguk (ed), Seri Dasar-Dasar Hukum-Hukum
Ekonomi 2 (Arbitrase di Indonesia), Ghalia Indonesia, J akarta, 1995.
Soebagjo, Felix Oentong, Hukum Tentang Akuisisi Perusahaan di Indonesia, Pusat
Pengkajian Hukum, J akarta, 2006.
Soekanto, Soerjono, dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, Rajawali Press, J akarta, 1995.
Soemitro, Ronny Hantijo, Metode Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982.
Subekti, R., Arbitrase Perdagangan Internasional, Binacipta, Bandung, 1979.
Suhardi, Gunarto, Beberapa Elemen Penting Dalam Hukum Perdagangan
Internasional, Universitas Atmajaya, Yogyakarta, 2004.
Suhardi, Gunarto, Peranan Hukum Dalam Pembangunan Ekonomi, Unika Atmajaya,
Yogyakarta, 2002.
Sumantoro, Bunga Rampai Permasalahan Penanaman Modal, Modal/Problems of
Investment in Equities and in Secirities, Binacipta, Bandung, 1990.
Suny, Ismail dan Rudiono Rochmat, Tinjauan dan Pembahasan UUPMA dan Kredit
Luar Negeri, Pradnya Paramita, J akarta, 1967.
Supanca, Ida Bagus Rahmadi, Kerangka Hukum Dan Kebijakan Investasi Langsung
di Indonesia, Ghalia Indonesia, J akarta, 2006.
Supanji, Penanaman modal Asing di Indonesia Insentif v Pembatasan, Fakultas
Hukum Universitas Al Azhar Indonesia J akarta, 2008.
Suraputra, D. Sidik, Penanaman Modal Asing dan Risiko Investasi Nonkomersial,
Mochtar Kusumaadmadja: Pendidik & Negarawan, Kumpulan Karya Tulis
Menghormati 70 Tahun Mochtar Kusumaatmadja, Alumni, Bandung, 1999.
Umar, Asri, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah DAerah
dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, CV. Citra Utama,
J akarta, 2004.
Waluyo, Bambang, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, J akarta, 1996.
Wie, Thee Kian, Industrialisasi di Indonesia berbagai Kajian, LP3ES, J akarta, 1996,
Cetakan Kedua
Winardi, Kamus Ekonomi (Inggris-Indonesia), Cet ke 8, Alumni, Bandung, 1982.
Yudoyono, Bambang, Otonomi Daerah Desentralisasi dan Pengembangan SDM
Aparatur PEMDA dan Anggota DPRD, Pustaka Sinar Harapan, J akarta, 2001.
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

B. Makalah, Majalah, Jurnal, Artikel dan Karya Ilmiah
Ariadno, Melda Kamil (ed), Hukum Internasional dan Berbagai Permasalahannya
(Suatu Kumpulan Karangan), Lembaga Pengkajian Hukum Internasional FH
UI, J akarta, 2004.
"Aturan lnvestasi Lebih Restriktif'. Kompas, 12 J uli 2007.
Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Departemen Kehakiman Dan HAM RI.,
Perumusan Harmonisasi Hukum Bidang Penanaman Modal, J akarta, J uli
2003.
______, Laporan Akhir: Penelitian Tentang Aspek Hukum Perdagangan Dikaitkan
dengan Penanaman Modal Asing, J akarta, 1996.
CPI Investasi Asing dan Potensi Industri Asing, Pidato ilmiah Prof.Dr.Ir.
Kresnohadi Ariyoto Karnen, dibacakan pada saat upacara pengukuhan sebagai
Guru Besar Tetap Ilmu Manajemen FEUI yang berlangsung hari Rabu, 14
Nopember 2007 di Kampus Depok, dalam Website Universitas Indonesia.
"CSR di BUMN, Banyak Dana Sedikit Hasil", Bisnis Indonesia, 13 September 2007.
"CSR Tidak Masuk Cost Recovery", Kompas, 25 J uli 2007.
Daniri, Mas Achmad, dan Maria Dian Nurani, "Menuju Standarisasi SCR", Bisnis
Indonesia, 19 J uli 2007.
Downes, J ohn dan J ordan Elliot Goodman, Kamus Istilah Keuangan & Investasi,
Alih bahasa oleh Soesano Budhirdamo, Elex Media Komputindo, J akarta,
1994.
Erawaty, A.F. Elly dan J .S. Badudu, Kamus Hukum Ekonomi Indonesia Inggris, edisi
keempat, Balai Pustaka, J akarta, 1995.
Harian umum Bisnis Indonesia, edisi 28 Maret 2007.
Harian Umum Kompas Edisi Kamis 5 J uli 2007.
Harian Umum Suara Pembaruan, edisi 27 Maret 2007.
Hidayat, Mohamad S., Peluang Investasi Tantangan dan Antisipasi, Makalah dalam
seminar nasional yang diselenggarakan oleh IKA Unpar, Bandung, 14 J uli
2006.
"Iklim bisnis membaik dorong investasi" Bisnis Indonesia, Rabu, 19 September 2007.
"Indonesia Memiliki Undang-Undang Penanaman Modal Baru", Media Industri,
No.02, 2007.
"1.300 Buruh Telantar Akibat PMA Hengkang", Kompas, 8 Februari 2007.
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

Indonesia Masih Buruk Rupa di Mata Investor, Kompas, edisi 13 Mei 2005.
"Pemerintah Belum Pernah Tuntaskan Kasus Investor Pengemplang", Kompas, 8
April 2008.
Silalahi, Pande Radja, "Menghidupkan Kembali Tax Holiday", Tempo, edisi 22/01,
26 J uli 1996.
"Tax Holiday Bukan J aminan untuk Tarik Minat Investor" Harian Ekonomi Neraca,
9 Agustus 2003.
Kamelo, Tan, Perkembangan Lembaga Jaminan Fiducia: Suatu Tinjauan Putusan
Pengadilan dan Perjanjian di Sumatera Utara, Disertai, PPs-USU, Medan,
2002.
''Mahkamah Konstitusi Matikan Daya Saing Ekonomi", Media Indonesia, Senin, 7
April 2008.
Menanti Realisasi Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi, Suara Pembaruan,
edisi 2 April 2007.
Mencemaskan Masuknya Investasi Asing, Kompas, 4 Februari 2006.
Meniadakan Daerah Abu-Abu", Kompas, 5 J uli 2007.
"Menjaga Iklim Investast", Tajuk Utama, Bisnis Indonesia, Selasa, 10 J uli 2007.
Nasution, Bismar, Implikasi AFTA Terhadap Kegiatan Investasi Hukum Investasi
Indonesia, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 22, edisi J anuari-Februari, 2003.
"Pengusaha Kecewa Atas Putusan Mahkamah Konstitusi", Tempo, 27 Maret 2008.
Pambudhi, P. Agung, "Pengurusan Izin, Bermula & Berakhir di OSS, Bisnis
Indonesia, Edisi 11 November 2006.
"Presiden J amin Tak Lakukan Nasionalisasi", Bisnis Indonesia, 3 November 2006.
Sugema, Iman, "Catatan atas Perpres No.77/2007", Bisnis Indonesia, 7 J uli 2007.
DNI Sarat Area Abu-Abu", Bisnis Indonesia, 5 J uli, 2007.
Sugema, Iman, "Catalan atas Perpres No.77/2007", Bisnis Indonesia, 7 J uli 2007.
"Perbaikan DNl Dimungkinkan", Kompas, 16 J uli 2007.
"Terkait Pembatasan Kepemilikan Saham, Asing Kecewa", Investor Daily, 4 J uli
2007.
Aturan Investasi Lebih Restriktif, Kompas, 12 J uli 2007.
"Boediono: Revisi DNI Tidak J angka Pendck", Bisnis Indonesia, Selasa, l7 J uli 2007.
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

Mengatur Kinerja Pelayanan Perizinan Terpadu di Indonesia, The Asia Foundation,
J akarta, J uli 2007.
Nugroho, Susanti Adi, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Slide tidak
dipublikasikan.
"Pelayanan Investasi Disepakati Satu Pintu", Bisnis Indonesia, 26 Februari 2007.
Sirait, Ningrum Natasya, Mengenal Perjanjian Arbitrase, Fakultas Hukum USU, 14
Agustus 2008.
"Status wajib CSR kian dtbalasT, Bisnis Indonesia, 5 Oktober 2007.
Supratikno, Hendrawan, "Sekali Lagi, Tanggung J awab Sosial Korporasi", Opini
Bisnis Indonesia, 6 September 2007.
Majalah Trust, edisi 30 J uli-5 Agustus 2007
Wanandi, Sofjan, CSR dan Imbal Hasil Saham, Bisnis Indonesia, 23 J uli 2007
Saragih, Barita, Harmonisasi Kepentingan Investasi Asing dan Tuntutan Lokal,
Artikel dalam Harian Umum Kompas, edisi Senin 20 November 2000.
Simanjuntak, Djisman S., Ekonomi Pasar Sosial Terbuka Indonesia, Landasan
Stabilitas dalam Ekonomi Global yang Berubah Dramatik, Makalah dalam
Seminar Nasional yang diselenggarakan oleh ikatan Alumni dan Fakultas
Ekonomi Unpar Bandung, 4 Desember 2004.
Soebagjo, Felix Untung, Pendapat Pada Sidang di Mahkamah Konstitusi, tanggal 20
November 2007.
Sugema, Imam, "Daya Tarih Investasi", Suara Karya, edisi Kamis 21 Desember
2006.
Sumardjono, Maria S. W., "Pokok-Pokok Pikiran Dalam Rangka Pelaksanaan PP No.
40 Tahun tentang HGU, HGB, dan Hak Pakai (HP), Makalah Disajikan
dalam: Lokakarya tentang Pemasyarakatan PP No. 40 Tahun 1996 tentang
HGU, HGB, dan Hak Pakai (HP), Lembaga Penelitian dan Pengkajian
Pertanahan (LP3), J akarta, 30 J uli 1996.
Sumarsono, Harlan, "Perlu Tim Mempercepat Pengembangan Bisnis dan Investasi",
Suara Pembaruan Edisi. 28 November 2006
Suraputra, S. Sidik, ICSID dan MIGA: Lembaga Internasional Untuk Meningkatkan
Arus Penanaman Modal. Dalam Tim Pakar Hukum Depkeh dan HAM RI,
Gagasan dan Pemikiran Tentang Pembaharuan Hukum Nasional, J akarta,
2002.
Harsono, Boedi, Hukum Agraria Indonesia, cetakan ke XIX, Penerbit Djambatan,
J akarta, 2003.
Sumardjono, Maria, Kompas, 24 September 1993
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

Tiga Provinsi Berpotensi J adi KEK", Bisnis Indonesia, edisi 4 November 2006.
Widyahartono, Bob, "Gagasan Ekonomi Kawasan Khusus (KEK)", Sinar Harapan,
Edrsi 12 September 2006.
Wigjosoebroto, Sutandyo, Apakah Sesungguhnya Penelitian Itu, Kertas Kerja,
Universitas Erlangga, Surabaya.
C. Internet
Laporan KPPOD tahun 2005 dalam: www.koppod.com
Mubarak, Ali, Memutus Hambatan Investasi, terdapat dalam
http://www.seputarindonesia.com, diakses tanggal 4 September 2007.
National Treatment Principle, http://www.meti.go.jp/English/report/get0002e.pdf.
Purbasari, Deni, "Penerapan liberalisasi dalam RUU tidak tepat" dalam www. Hukum
online.com. edisi 8 September 2006
Sadeli, M., "lklim Inveslasi dan Undang-Undang Baru", http://www.pacific net,
diakses tanggal 3 J uni 2007.
WIR 2003 yang dipublikasikan oleh UNCTAD, dalam www.unctad.org.
D. Peraturan Perundang-Undang
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 Tentang Koperasi.
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 Tentang Wajib Daftar Perusahaan
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 Tentang Usaha Kecil.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Keputusan Presiden No.45 tahun 1996 tentang Tata Cara Pemberian Fasilitas Insentif
Kepada Perusahaan.
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009

Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008
USU e-Repository 2009
Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007 Tentang Fasilitas Pajak Penghasilan
Untuk Penanaman Modal Di Bidang-Bidang Usaha Tertentu Dan/Atau Di
Daerah-Daerah Tertentu.
Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 2007 tentang Kriteria Persyaratan
Penyusunan Bidang Usaha Yang Tertutup Dan Bidang Usaha Yang Terbuka
Dengan Persyaratan Di Bidang Penanaman Modal.
Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2007 tentang Daftar Bidang Usaha Yang
Terbuka Dengan Persyaratan Di Bidang Penanaman Modal.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 24 Tahun 2006 Tentang Pedoman
Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu.
Keputusan Bersama Menteri Negara InvestasVMenteri Koperasi No: 22 / SK /1998-
07 / 8KB / M / Vll /1995 tentang Pemberdayaan Usaha Kecil Melalui
Kemitraan Dalam Rangka Penanaman Modal.
Register Perkara Konstitusi No. 22/PUU-V/2007.
Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, No.21-22/PUU-V/2007 mengenai
Pengujian Undang-Undang No.25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal
terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Opening Statement Pemerintah Atas Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor
25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Terhadap Undang-Undang Dasar
Republik Indonesia Tahun 1945, 3 November 2007.
J awaban Pemerintah R.I Atas Pertanyaan Hakim Mahkamah Konstitusi R.I Dalam
Persidangan Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007
Tentang Penanaman Modal Terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, 5 Desember 2007.
Keterangan Pemerintah pada Sidang Mahkamah Konstitusi, pada 3 November 2007.

You might also like