You are on page 1of 9

1

BAB I
Pendahuluan


I. Lupus Eritematosus
Lupus eritematosus sistemik atau yang lebih sering dikenal secara global
dengan sebutan Systemic Erythemathosus Lupus (SLE) adalah penyakit yang
hingga saat ini belum diketahui etiologinya dengan gejala berupa inflamasi
yang sangat berhubungan dengan autoantibodi terhadap komponen inti sel
(antinuclear antibodies / ANA)
(1)
.
a. Epidemiologi
Menurut penelitian penyakit ini melibatkan faktor lingkungan dan genetik
yang multipel. Angka kejadiannya sebesar 25% pada kembar monozigot, tapi
hanya 2% pada saudara kandung yang tidak kembar. Prevalensi lupus pada
populasi wanita Afrika-Amerika di Amerika Serikat adalah 1:250, sebaliknya
prevalensi yang rendah terjadi pada kelompok etnis yang sama di Afrika
Barat. Ini memberikan kesimpulan bahwa faktor lingkungan juga turut
mempengaruhi angka kejadian lupus. Pada populasi multietnis di Inggris,
prevalensinya 45-50 per 100.000 wanita. Wanita terkena 10 kali lebih banyak
dibandingkan pria. Puncak onset adalah pada usia 15-40 tahun. Beberapa obat
seperti minosiklin, prokainamid, dan hidralazin dapat memicu suatu sindrom
yang menyerupai lupus, terutama pada mereka yang memiliki polimorfisme
metabolik tertentu pada sistem sitokrom P450
(1)
.

Sumber lain juga mengungkapkan bahwa prevalensi lupus pada populasi
di USA adalah 51 per 100.000 orang, sedangkan di Amerika Utara, Amerika
Selatan, dan Eropa berkisar 2 hingga 8 per 100.000 orang per tahunnya.
Wanita memiliki angka kejadian 9 kali lebih tinggi dari pada pria, selain itu
keturunan Afrika-Amerika dan Amerika latin juga lebih rentan terkena lupus
daripada ras kaukasia. Penyakit ini lebih sering ditemui pada penduduk yang
bertempat tinggal di daerah perkotaan daripada pedesaan. Sekitar 65%
2

penderita SLE berusia 16 hingga 55 tahun, sebanyak 20% penderita berusia
dibawah 16 tahun, dan sebanyak 15% penderita berusia diatas 55 tahun
(2)
.
b. Penatalaksanaan dan Terapi
Penatalaksanaan ditujukan pada serangan akut dan juga pencegahan
seperti perlindungan terhadap paparan sinar UV dan evaluasi serta terapi
segera terhadap infeksi. Pemantauan klinis yang ketat dengan penilaian
perkembangan penyakit secara rutin sangat penting untuk menentukan
kebutuhan akan terapi antiinflamasi dan imunosupresi, terutama untuk
meminimalkan kerusakan ginjal dan SSP. Pilihan terapi farmakologis antara
lain :
OAINS (Obat Anti Inflamasi Non Steroid): manifestasi mukoskeletal,
serositis, dan gejala konstitusi
Antimalaria: Hidrosiklorokuin digunakan untuk manifestasi mukoskeletal,
kutan, dan gejala konstitusi. Efek samping termasuk toksisitas retina.
Kortikosteroid: Digunakan secara topikal pada ruam inflamasi, per oral
untuk penyakit aktif ringan, dan secara intravena untuk manifestasi berat
akut seperti lupus SSP. Azatioprin, metotreksat, dan mikofenilat mofetil
mungkin digunakan sebagai agen hemat steroid.
Siklofosfamid menghambat perkembangan nefritis lupus dan mengurangi
resiko gagal ginjal stadium akhir. Inhibitor ACE juga dapat membantu
pada nefritis SLE.
Dapson berguna pada manifestasi kulit SLE.
Antikoagulan digunakan pada sindrom antifosfolipid.
Imunoglobulin intravena atau danazol digunakan pada trombositopenia
imun
(1)
.

II. Penggunaan DHEA (Dehydropiandrosterone)
Dehidropiandrosteron adalah hormon steroid yang secara natural
diproduksi oleh kelenjar adrenal, dimana jumlahnya didalam tubuh
dipengaruhi oleh usia. DHEA disintesis dalam jumlah sedikit pada saat
neonatus, jumlah ini akan meningkat tajam dan mencapai puncaknya pada usia
20 sampai 24 tahun
(3)
. Setelah masa ini terlewati, level DHEA pada serum dan
3

jaringan akan menurun 2-3% per tahunnya
(4)
. Beberapa penelitian
menyebutkan rendahnya DHEA serum berkaitan dengan prevalensi penyakit
seperti gangguan kardiovaskular pada pria, peningkatan resiko premenopausal
breast dan ovarian cancer pada wanita, gangguan fungsi kognitif, dan
immunocompromised
(5,6,7,8)
. Suplemen DHEA biasa digunakan untuk
profilaksis kanker, meningkatkan kepadatan tulang pada geriatrik, gangguan
kardiovaskular, gagal jantung, osteoporosis, diabetes yang disebabkan insulin
resistance, anorexia, sexual dysfunction, crohn disease, gangguan tidur, lupus
eritematosus, dan beberapa penyakit lainnya
(9)
.



















4

BAB II
ISI

Dehidroepiandrosteron adalah salah dari hormon steroid yang disintesis
oleh kelenjar adrenal dalam tubuh. Senyawa ini disintesis dari kolesterol
dengan jumlah yang meningkat seiring dengan pertambahan usia, DHEA
beredar di dalam tubuh dalam 2 bentuk, yaitu free DHEA dan DHEAS atau
DHEA sulfat
(14)
. Karena jumlahnya yang besar, DHEA sering dianggap
sebagai hormon buffer karena mencegah defisit dari hormon steroid lain
yang berperan penting dalam tubuh. DHEA mempengaruhi banyak sistem
fisiologis di dalam tubuh seperti sistem saraf pusat, sistem peredaran darah,
sistem imun dan metabolisme glukosa
(3)
. Defisiensi DHEA dapat
menyebabkan lupus eritematosus, diabetes melitus, Alzheimer dan beberapa
kanker
(9)
.
Berikut adalah struktur DHEA yang disintesis dari kolesterol
(14)
:


Lupus eritematosus termasuk dalam kategori penyakit yang disebabkan
oleh reaksi autoimunitas yang ditandai dengan inflamasi kronik. Patogenesis
dimulai dari faktor lingkungan seperti infeksi mikroorganisme, obat dan bahan
kimia yang mencetuskan disregulasi imunitas pada individu yang rentan
secara genetik dan hormonal. Respon imun tubuh yang abnormal ini akan
5

menyebabkan hiperaktivitas fungsi dari sel limfosit T-helper tipe 2 dan
limfosit B. Fungsi supresor limfosit T, produksi sitokin, dan mekanisme
regulasi imunitas lainnya yang juga ikut mengalami gangguan menyebabkan
gagalnya proses penekanan formasi autoantibodi yang diperantai oleh limfosit
B yang hiperaktif. Formasi autoantibodi yang diakibatkan oleh disregulasi
imunitas ini akan menjadi patogenik, mengaktivasi komplemen yang akan
menyebabkan kerusakan jaringan di dalam tubuh
(10)
. Manifestasi klinis yang
timbul pada lupus eritematosus antara lain dapat berupa lesi mikokutan;
alopecia atau kerontokan rambut yang dapat terjadi pada kulit kepala, bulu
mata, alis, atau daerah tubuh yang mengalami lesi; fotosensitivitas, telah
dilaporkan bahwa paparan sinar UV-B dapat memperburuk ruam dan
fotosensitivitas ini terjadi pada 60-100% pasien penderita lupus
eritematosus
(2)
.

Rendahnya jumlah hormon dehidroepiandrosteron (DHEA) dan DHEA
sulfat yang ditemukan dalam serum wanita penderita lupus eritematosus
mengindikasikan adanya keterkaitan antara defisiensi dari DHEA dengan
angka kejadian lupus eritematosus
(11)
. Berdasarkan penelitian, pemberian
DHEA kepada pasien wanita dengan lupus eritematosus kategori mild hingga
moderate memberikan peningkatan yang baik bila dibandingkan dengan
kelompok placebo. Pada pasien dengan lupus eritematosus, substansi yang
cukup berperan dalam reaksi inflamasi antara lain sitokin seperti interleukin-6
(IL-6). DHEA dilaporkan mampu menurunkan pelepasan IL-6 dan penurunan
ini diduga juga berhubungan dengan penurunan level C3 yang merupakan
reaktan akut
(13)
.

Penelitian lain juga menyebutkan bahwa DHEA memiliki efek penekanan
produksi IL-6. Pada pasien dengan lupus eritematosus, terjadi peningkatan
jumlah IL-6 di serum dan cairan serebrospinal yang memperngaruhi sistem
saraf pusat. Kemampuan DHEA dalam menekan produksi IL-6 akan dapat
menekan agen inflamasi yaitu sitokin dan turut memberikan efek positif pada
psikologis pasien
(11)
.
6

Bila dilihat dari fungsi fisiologis, DHEA merupakan prohormon karena
berperan sebagai prekursor pembentukan hormon androgen yang berupa
testosteron dan estrogen, kekurangan dari DHEA tentu juga akan
mempengaruhi sintesis hormon androgen
(12)
. Sejak diketahui bahwa estrogen
dapat menstimulasi sistem imun dan androgen dapat menekan sistem imun,
DHEA diteliti potensinya sebagai terapi lupus eritematosus. Penelitian terbaru
mengenai perbandingan efektivitas penggunaan DHEA dan kortikosteroid
pada leukosit menunjukkan bahwa DHEA dan kortikosteroid memiliki efek
berlawanan terhadap ekspresi gen sel imun. Semula kortikosteroid adalah
terapi utama pada lupus, namun karena memiliki adverse effect yang cukup
banyak dan berbahaya, memungkinkan DHEA berpotensi sebagai terapi
pengganti yang lebih menguntungkan. Beberapa penelitian fase I, II, dan III
yang menguji efek DHEA menyimpulkan bahwa DHEA dengan dosis 200 mg
per hari dapat menurunkan kebutuhan kortikosteroid pada pasien lupus
(9)
.















7

BAB III
PENUTUP

Berdasarkan pembahasan terkait lupus eritematosus dan
dehidroepiandrosteron sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa
dehidroepiandrosteron memiliki potensi sebagai terapi pengganti
kortikosteroid pada pasien penderita lupus eritematosus. Selain itu, DHEA
dinilai cukup aman karena rendahnya prevalensi efek samping yang terjadi
Tetapi perlu dilakukan lagi kajian mengenai keamanan DHEA digunakan pada
pasien dengan kategori khusus seperti pediatrik, geriatrik, dan ibu hamil atau
ibu menyusui.
















8

DAFTAR PUSTAKA

(1) Davey, Patrick, 2005, At a Glance Medicine, Erlangga, Jakarta, 395-396
(2) Bertsias,George, Cervera, Ricard, Boumpas, Dimitrios T., 2012, EULAR
Textbook on Rheumatic Diseases, Systemic Lupus Erythematosus:
Pathogenesis and Clinical Features, 476
(3) Dharia S, Parker CR, Jr., Adrenal androgens and aging, Semin Reprod
Med 2004;22:361-8, http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15635503
keyword: DHEA, hormone, aging (diakses 2 februari 2013)
(4) Labrie F, Luu-The V, Labrie C, 2003, Endocrine and intracrine sources
of androgens in women: inhibition of breast cancer and other roles of
androgens and their precursor dehydroepiandrosterone, Endocr Rev;
24:152-82
(5) Thijs L, Fagard R, Forette F, Nawrot T, Staessen JA, 2003, Are Low
Dehydroepiandrosterone Sulphate Levels Predictive For Cardiovascular
Diseases, A Review Of Prospective And Retrospective Studies, Acta
Cardiol; 58:403-10, http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/14609305
keyword: DHEA, cardiovascular, hormone (diakses 2 februari 2013)
(6) Johnson MD, Bebb RA, Sirrs SM, 2002, Uses Of DHEA In Aging And
Other Disease States, Ageing Res Rev; 1:29-41
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/12039447 keyword: DHEA, age,
hormone (diakses 2 februari 2013)
(7) Ferrari E, Cravello L, Muzzoni B, 2001, Age-related changes of the
hypothalamic-pituitary-adrenal axis: pathophysiological correlates, Eur J
Endocrinol, 144:319-29.
(8) Regelson W, Loria R, Kalimi M, 1994, Dehydroepiandrosterone
(DHEA)--the "mother steroid". I. Immunologic action, Ann N Y Acad
Sci; 719:553-63, http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/j.1749-
6632.1994.tb56859.x/abstract keyword: DHEA, hormone, immunologic
(diakses 2 februari 2013)
9

(9) Olech, Ewa, Merril, Joan T., 2005, DHEA supplementation: The claims
in perspective, Cleveland Clinic Journal Of Medicine, Vol.72(11):965-
984
(10) Dipiro, Joseph T., Talbert, Robert L., Yee, Gary C., Matzke, Gary R.,
Wells, Barbara G., Posey, L. Michael, 2008, Pharmacotherapy: A
Pathophysiologic Approach, Sevent Edition, The McGraw-Hill, USA,
1431-1434
(11) Nordmark G, Bengtsson C, Larsson A, Karlsson FA, Sturfelt G,
Ronnblom L, 2005, Effects Of Dehydroepiandrosterone Supplement On
Health-Related Quality Of Life In Glucocorticoid Treated Female
Patients With Systemic Lupus Erythematosus, Autoimmunity,
Vol.38(7):531-40
(12) Golan, David E., Jr., Armen H. Tashijan, Armstrong, Ehrin J.,
Armstrong, April. W, 2005, The Pathophysiologic Basic of Drug
Therapy, second edition, Lippincott Williams & Willkins, USA, 505-506
(13) Chang, Deh-Ming, Lan, Joung-Lian, Lin, Hsiao-Yi, Luo, Shue-Fen,
2002, Dehydroepiandrosterone Treatment of Women With Mild to
Moderate Systemic Lupus Erythematosus: A Multicenter Randomized,
Double Blind, Placebo-Controlled Trial, Arthritis & Rheumatism, Vol.46
(11): 2924-2927
(14) Shao, Andrew, 2013, DHEA: The Basic Facts, Council for Responsible
Nutrition, USA

You might also like