Penyusun: Zyad Kemal 2009730064 Pembimbing: Dr. Harry Mulya, Sp.A
STASE PEDIATRIK RSIJ SUKAPURA FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA 2013
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT. karena dengan rahmat dan hidayahNya saya dapat menyelesaikan tugas Refreshing Dengue Haemorraghic Fever tepat pada waktunya. Saya menyadari sepenuhnya bahwa dalam pembuatan laporan ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, Saya mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak yang membaca ini,agar saya dapat mengkoreksi diri dan dapat membuat laporan kasus ini yang lebih sempurna di lain kesempatan. Demikianlah Refreshing ini saya buat sebagai tugas dari kegiatan klinis di Stase Pediatri serta untuk menambah pengetahuan bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.
Jakarta, 9 Maret 2013
Penulis
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
DEMAM BERDARAH DENGUE
Definisi DHF atau dikenal dengan istilah demam berdarah adalah penyakit yang disebabkan oleh Arbovirus ( arthro podborn virus ) dan ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes (Aedes Albopictus dan Aedes Aegepty). Dengue Haemoragic Fever (DHF) adalah penyakit demam akut yang disertai dengan adanya manifestasi perdarahan, yang bertendensi mengakibatkan renjatan yang dapat menyebabkan kematian (Arief Mansjoer &Suprohaita; 2000; 419). Dengue Haemoragic Fever (DHF) adalah infeksi akut yang disebabkan oleh Arbovirus (arthropodborn virus) dan ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypti dan Aedes Albopictus. (Ngastiyah, 1995 ; 341). Dengue Haemoragic Fever (DHF) adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan tipe I IV dengan infestasi klinis dengan 5 7 hari disertai gejala perdarahan dan jika timbul tengatan angka kematiannya cukup tinggi (UPF IKA, 1994 ; 201) Dengue Haemoragic Fever (DHF) adalah penyakit demam yang berlangsung akut menyerang baik orang dewasa maupun anak anak tetapi lebih banyak menimbulkan korban pada anak anak berusia di bawah 15 tahun disertai dengan perdarahan dan dapat menimbulkan syok yang disebabkan virus dengue dan penularan melalui gigitan nyamuk Aedes. (Soedarto, 1990 ; 36). Dengue Haemoragic Fever (DHF) adalah penyakit yang terutama terdapat pada anak dengan gejala utama demam, nyeri otot dan sendi, dan biasanya memburuk pada dua hari pertama (Soeparman; 1987; 16). . Dengue haemorhagic fever (DHF) adalah penyakit yang terdapat pada anak dan orang dewasa dengan gejala utama demam, nyeri otot dan nyeri sendi yang disertai ruam atau tanpa ruam. DHF sejenis virus yang tergolong arbo virus dan masuk kedalam tubuh penderita melalui gigitan nyamuk aedes aegepty (betina) (Seoparman , 1990). Dengue haemorhagic fever (DHF) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue sejenis virus yang tergolong arbovirus dan masuk kedalam tubuh penderita melalui gigitan nyamuk aedes aegepty (Christantie Efendy,1995 ) DHF adalah demam khusus yang dibawa oleh aedes aegepty dan beberapa nyamuk lain yang menyebabkan terjadinya demam. Biasanya dengan cepat menyebar secara efidemik. (Sir,Patrick manson,2001). Dengue haemorhagic fever (DHF) adalah suatu penyakit akut yang disebabkan oleh virus yang ditularkan oleh nyamuk aedes aegepty (Seoparman, 1996).
Epidemiologi Di Indonesia DBD pertama kali dicurigai di Surabaya pada tahun 1968, tetapi konfirmasi virologist baru diperoleh pada tahun 1970. Di Jakarta kasus pertama dilaporkan pada tahun 1969. Kemudian berturut-turut dilaporkan di Bandung (1972), Yogyakarta (1972). Epidemic pertama kali di luar Jawa dilaporkan pada tahun 1972 di Sumatera Barat dan Lampung, disusul oleh Riau, Sulawesi Utara dan Bali (1973). Pada tahun 1993 DBD telah tersebar ke seluruh propinsi di Indonesia. Sejak tahun 1968 angka kesakitan rata-rata DBD di Indonesia terus meningkat, dan mencapai angka tertinggi pada tahun 1998 yaitu 35,19 per 100.000 penduduk dengan jumlah penderita 72.133 orang. Secara keseluruhan tidak terdapat perbedaan antara jenis kelamin, tetapi kematian ditemukan lebih banyak pada anak perempuan daripada anak laki-laki. Pada awal terjadinya wabah di sebuah negara, pola distribusi umur memperlihatkan proporsi kasus terbanyak berasal dari golongan anak berumur <15 tahun (86-95%). Namun pada wabah selanjutnya, jumlah kasus golongan usia dewasa muda meningkat. Di Indonesia pengaruh musim terhapad DBD tidak begitu jelas, namun secara garis besar jumlah kasus meningkat antara September sampai Februari dan mencapai puncaknya pada bulan Januari.
Etiologi Virus dengue termasuk group B arthropod borne virus (arboviruses) dan sekasrang dan sekarang dikenal sebagai genus flavivirus, family Flaviviridae, yang mempunyai serotype yaitu den-1, den-2, den-3, dan den-4. Infeksi dengan salah satu serotype akan menimbulkan anti bodi seumur hidup terhadap serotype yang bersangkutan tetapi tidak ada perlindungan terhadap serotype yang lain. Seseorang yang tinggal didaerah endemis dengue dapat terinfeksi dengan 3 atau bahkan 4 serotipe selama hidupnya. Serotype den-3 merupakan serotype yang dominan dan banyak berhubungan dengan kasus berat.
Patogenesis dan Imunologi Virus dengue (Aedes aegypti), setelah memasuki tubuh akan melekat pada monosit dan masuk ke dalam monosit. Kemudian terbentukan mekanisme aferen (penempelan beberapa segmen dari sehingga terbentuk reseptor Fc. Monosit yang mengandung virus menyebar ke hati, limpa, usus, sumsum tulang, dan terjadi viremia (mekanisme eferen). Pada saat yang bersamaan sel monosit yang telah terinfeksi akan mengadakan interaksi dengan berbagai system humoral, seperti system komplemen, yang akan mengeluarkan substansi infalmasi, pengeluaran sitokin, dan tromboplastin yang mempengaruhipermeabilitas kapiler dan mengakitfasi factor koagulasi. Mekanisme ini disebut mekanisme efektor. Selain itu masuknya virus dengue akan membangkitakn respons imun melalui system pertahanan alamiah (innate immune system), pada system ini komplemen memegang peran utama. Aktifitas komplemen tersebut dapat memalui monnosa- binding protein, maupun melaui antibody. Komponen berperan sebagai opsonin yang meningkatkan fagositosis, dekstruksi dan lisis virus dengue. Kadar C3, proaktivator C3, C4, dan C5 dalam serum cenderung rendah. Dan terdapat peningkatan aktivitas C3a dan C5a anafilotoksin, yang memicu sel mast untuk melepaskan histamin. Untuk menghambat laju intervensi virus dengue, interferon dan interferon berusaha mencegah replikasi virus dengue di intraselular. Pada sisi lain limfosit B, sel plasma akan merespons melalui pembentukan antibodi. Limfosit T mengalami ekpresi oleh indukator berbagai molekul yang berperan sebagai regulator dan efektor. Limfosit T yang teraktivasi mengakibatkan ekspresi protein permukaan yang disebut ligan CD40, yuang kemudian mengikat CD40 pada limfosit B, makrofag, sel dendritik, sel endotel serta mengaktivasi berbagai tersebut. CD40L merupakan mediator penting terhadap berbagai fungsi efektor sel T helper, termasuk menstimulasi sel B mem produksi antibodi dan aktivasi makrofag untuk menghancurkan virus dengue. Limfosit dan makrofag yang terpapar virus secara perlahan sebagian akan mengalami kematian terprogram. Makrofag yang mengalami intervensi virus dengue mengalami berbagai perubaha aktivitas. Beberapa reseptor mengalami aktivasi, yaitu mengekspresikan lebih banyak B7 dan memicu limfosit T mensekresikan sitokin proinflamatori termasuk IL 1, IL 6 dan TNF ; yang akan menyebabkan terjadinya disfungsi endotel dan destruksi endotel. Aktifitas makrofag yang lain yaitu meningkatkan produksi dan sekresi enzim phospholipase A 2 (PLA 2). PLA 2 mempunyai efek metabolic dan memicu metabolisme asam arakhidonat. Pelepasan asam arakhidonat memicu terjadinya produksi dan sekresi mediator sekunder (prostaglandin E2, tromboksan, leukoterin). Mediator sekunder ini berpengaruh dalam mempercepat pelebaran celah endotel ayng telah terbuka lebar melalui pengaruh sitokin (IL 1, IL 6 dan TNF ). Dengan berbagai aktifitas tersebut membuka peluang terjadi perpindahan plasma yang berlangsung hebat, memindahkan cairan intravaskuler ke ekstravaskuler, sehingga terjadi penurunan volum intravaskuler dan terjadi sindrom syok dengue
Halstead pada tahun 1973 mengajukan hipotesis secondary heterologous infection yang menyatakan bahwa DHF terjadi bila seseorang terinfeksi ulang virus dengue dengan tipe yang berbeda. Re-infeksi menyebabkan reaksi anamnestik antibodi sehingga mengakibatkan konsentrasi kompleks imun tinggi. (Sudoyo, 2006) Kurane dan Ennis pada tahun 1994 merangkum pendapat Hanstead dan peneliti lain; menyatakan bahwa infeksi virus dengue menyebabkan aktivasi makrofag yang me-fagositosis kompleks virus-antibodi non-netralisasi sehingga virus bereplikasi di makrofag. Terjadinya infeksi makrofag oleh virus dengue menyebabkan aktivasi T helper dan T sitotoksik sehingga diproduksi limfokin dan interferon gamma. Interferon gamma akan mengaktivasi monosit, sehingga disekresi berbagai mediator inflamasi seperti TNF-, IL-1, PAF (platelet activating factor), IL-6 dan histamine yang mengakibatkan terjadinya kebocoran plasma. (Sudoyo, 2006)
Manifestasi Klinis dan Perjalanan Penyakit Demam Dengue (Dengue Fever) Masa tunas berkisar antara 3-5 hari (pada umumnya 5-8 hari). Awal penyakit biasanya mendadak, disertai gejala prodromal seperti nyeri kepala, nyeri berbagai bagian tubuh, anoreksia, rasa menggigil, dan malaise. Dijumpai trias sindrom, yaitu demam tinggi, nyeri pada anggota badan, dan timbulnya ruam (rash). Ruam timbul pada 6-12 jam sebelum suhu naik pertama kali, yaitu pada hari sakit ke 3-5 berlangsung selama 3-4 hari. Ruam bersifat makulopapular yang menghilang pada tekanan. Ruam terdapat di dada, tubuh serta abdomen, menyebar ke anggota gerak dan muka. Pada lebih dari separuh pasien, gejala klinis timbul dengan mendadak, disertai kenaikan suhu, nyeri kepala hebat, nyeri di belakang bola mata, pungung, otot, sendi dan disertai rasa menggigil. Pada beberapa penderita dapat dilihat bentuk kurva suhu yang menyerupai pelana kuda atau bifasik, tetapi pada penelitian selanjutnya bentuk kurva ini tidak ditemukan pada semua pasien sehingga tidak dapat dianggap patognomonik. Anoreksia dan obstipasi sering dilaporkan, disamping itu perasaan tidak nyaman di daerah epigastrium disertai nyeri kolik dan perut lembek sering ditemukan. Pada stadium dini sering timbul perubahan dalam indra pengecap. Gejala klinis lain yang sering terdapat ialah fotofobia, keringat yang bercucuran, suara serak, batuk, epistaksis dan disuria. Demam menghilang secara lisis, disertai keluarnya banyak keringat. Kelenjar limfa servikal dilaporkan membesar pada 67-77% kasus. Kelainan darah tepi demam dengue ialah leucopenia selama periode pra- demam dan, neutrofilia relative dan limfopenia, disusul oleh neutropenia relative dan limfositosis pada periode puncak penyakit dan pada masa konvalesens. Eosinofil menurun atau menghilang pada permulaan dan pada puncak penyakit, hitung jenis neutrofil bergeser ke kiri selama periode demam, sel plasma meningkat pada periode memuncaknya penyakit dengan terdapatnya trombositopenia. Darah tepi menjadi normal kembali dalam waktu 1 minggu. Komplikasi demam dengue walaupun jarang dilaporkan ialah orkhitis atau ovaritis, keratitis, dan retinitis. Berbagai kelainan neurologis dilaporkan, diantaranya menurunnya kesadaran, paralisis sensorium yang bersifat sementara, meningismus, dan ensefalopati. Diagnosis banding mencakup berbagai infeksi virus, (termasuk chikungunya), bacteria dan parasit yang memperlihatkan sindrom serupa. Menegakkan diagnosis klinis infeksi virus dengue ringan adalah mustahil, terutama pada kasus-kasus sporadic. Demam berdarah dengue Demam berdarah dengue ditandai oleh 4 manifestasi klinis, yaitu demam tinggi, perdarahan, terutama perdarahan kulit, hepatomegali, dan kegagalan peredaran darah. Fenomena patofisiologi utama yang menentukan derajat penyakit dan membedakan DBD dari DD ialah peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah, merunnya volume plasma, trombositopenia, dan diatesis hemoragik. Table 1. Gejala klinis demam dengue dan demam berdarah dengue Demam dengue (DD) Gejala Klinis Demam Berdarah Dengue ++ Nyeri kepala + +++ Muntah ++ + Mual + ++ Nyeri otot + ++ Ruam kulit + ++ Diare + + Batuk + + Pilek + ++ Limfadenopati + + Kejang + 0 Kesadaran menurun ++ 0 Obstipasi + + Uji tourniquet positif ++ ++++ Petekie +++ 0 Perdarahan saluran cerna + ++ Hepatomegali +++ + Nyeri perut +++ ++ Trombositopenia ++++ 0 Syok +++ Keterangan : (+) 25%, (++) 50%, (+++) 75%, (++++) 100% Pada DBD terdapat perdarahan kulit, uji tourniquet positif, memar, dan perdarahan pada tempat pengambilan darah vena. Petekia halus yang tersebar dianggota gerak, muka, aksila seringkali ditemukan pada masa dini demam. Harus diingatkan juga bahwa perdarahan dapat terjadi disetiap organ tubuh. Epistaksis dan perdarahan gusi jarang dijumpai, sedangkan perdarahan saluran pencernaan hebat lebih jarang lagi, dan biasanya timbu; setelah renjatan yang tidak dapat diatasi. Perdarahan lain, seperti perdarahan subkonjungtiva kadang- kadang ditemukan. Pada masa konvalesens seringkali ditemukan eritema pada telapak tangan/telapak kaki. Sindrom Dengue Syok Pada DBD syok, setelah demam berlangsung selama beberapa hari keadaan umum tiba-tiba memburuk, hal ini biasanya terjadi pada saat atau setelah demam menurun, yaitu diantara hari sakit ke 3-7. Hal ini dapat diterangkan dengan hipotesis peningkatan reaksi imunologis (the immunological enhancement hypothesis).Pada sebagian besar kasus ditemukan tanda kegagalan peredaran darah, kulit teraba lembab dan dingin, sianosis sekitar mulut, nadi menjadi cepat dan lembut. Anak tampak lesu, gelisah, dan secara cepat masuk dalam fase syok. Pasien seringkali mengeluh nyeri di daerah perut sesaat sebelum syok. Nyeri perut hebat seringkali mendahului perdarahan gastrointestinal. Nyeri di daerah retrosternal tanpa sebab yang jelas dapat memberikan petunjuk adanya perdarahan gastrointestinal yang hebat. Syok yang terjadi selama periode demam biasanya mempunyai prognosis buruk. Disamping kegagalan sirkulasi, syok ditandai oleh nadi lembut, cepat, kecil, sampai tidak dapat diraba. Tekanan nadi menurun menjadi 20 mmHg atau kurang dan tekanan sistolik menurun sampai 80 mmHg atau lebih rendah. Syok harus segera diobati, apabila terlambat pasien dapat mengalami syok berat, tekanan darah tidak dapat diukur dan nadi tidak dapat diraba. Tatalaksana syok yang tidak adekuat akan menimbulkan komplikasi asidosis metabolic, hipoksia, perdarahan gastrointestinal hebat dengan prognosis buruk. Sebaliknya, dengan pengobatan yang tepat (termasuk kasus syok berat) segera terjadi masa penyembuhan dengan cepat. Pasien membaik dalam 2-3 hari. Selera makan yang membaik merupakan petunjuk prognosis yang baik. Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan trombositopenia dan hemokonsentrasi. Jumlah trombosit < 100.000/ul ditemukan antara hari sakit ke 3-7. Peningkatan kadar hematrokit merupakan bukti adanya kebocoran plasma, walau dapat terjadi pula pada kasus derajat ringan meskipun tidak sehebat dalam keadaan syok. Hasil laboratorium lain yang sering ditemukan ialah hipoproteinemia, hiponatremia, kadar transaminase serum dan urea nitrogen darah meningkat. Pada beberapa kasus ditemukan asidosis metabolic. Jumlah leukosit bervariasi antara leucopenia dan leukositosis. Kadang ditemukan albuminuria ringan yang bersifat sementara.
Klinis Demam tinggi mendadak dan terus menerus selama 2-7 hari. 1. Manifestasi perdarahan, minimal uji tourniquet positif dan salah satu bentuk perdarahan lain (petekia, purpura, ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi), hematemesis dan atau melena. 2. Pembesaran hati Hati yang membesar pada umumnya dapat diraba pada permulaan penyakit dan pembesaran hati ini tidak sejajar dengan berat penyakit; nyeri tekan seringkali ditemukan tanpa disertai ikterus. Hati pada anak berumur 4 tahun dan/atau lebih dengan gizi baik biasanya tidak dapat diraba. Kewaspadaan perlu ditingkatkan apabila semula hati tidak teraba kemudian selama perawatan membesar dan/atau pada saat masuk rumah sakit hati sudah teraba dan selama perawatan menjadi lebih besar dan kenyal, hal ini merupakan tanda terjadinya syok 3. Manifestasi syok pada anak terdiri atas: a. Kulit pucat, dingin dan lembab terutama pada ujung jari kaki, tangan dan hidung sedangkan kuku menjadi biru. Hal ini disebabkan oleh sirkulasi yang insufisiensi yang menyebabkan peninggian aktivitas simpatikus secara reflex. b. Anak yang semula rewel, cengeng dan gelisah lambat laun kesadarannya menurun menjadi apatis, spoor dan koma. Hal ini disebabkan kegagalan sirkulasi serebral. c. Perubahan nadi, baik frekuensi maupun amplitudonya. Nadi menjadi cepat dan lembut sampai tidak dapat diraba oleh karena kolaps sirkulasi. d. Tekanan nadi turun menjadi 20 mmHg atau kurang. e. Tekanan sistolik anak menurun menjadi 80 mmHg atau kurang. f. Oliguria sampai anuria karena menurunnya perfusi darah yang meliputi arteri renalis
Pada kira-kira sepertiga kasus DBD setelah demam berlangsung beberapa hari, keadaan umum pasien tiba-tiba memburuk. Hal ini terjadi pada saat atau setelah demam menurun, yaitu antara sakit ke 3-7. Pasien seringkali mengeluh nyeri di daerah perut saat sebelum syok timbul. Syok yang terjaid selama periode demam, biasanya mempunyai prognosis buruk. Tatalaksana syok harus dilakuakn secara tepat, oleh karena bila tidak pasien dapat masuk dalam syok berat, tekanan darah tidak dapat diukur dan nadi tidak dapat diraba. Lama syok singkat; pasien dapat meninggal dalam waktu 12-24 jam atau menyembuh. Tatalaksana syok yang tidak adekuat akan menimbulkan komplikasi asidosis metabolic, hipoksia, perdarahan gastrointestinal berat dengan prognosis buruk. Sebaliknya dengan pengobatan tepat, masa penyembuhan cepat sekali terjadi bahkan seringkali tidak kelihatan. Pasien menyembuh dalam waktu 2-3 hari dan selera makan yang baik merupakan petunjuk prognosis yang baik.
Kriteria Diagnosis Berdasarkan criteria WHO 1997, diagnosis DBD ditegakkan bila semua hal dibawah ini dipenuhi: (Sudoyo, 2006) Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari, biasanya bifasik. DBD didahului oleh demam mendadak disertai gejala klinik yang tidak spesifik seperti anoreksia, lemah, nyeri punggung, tulang, sendi dan kepala. Demam sebagai gejala utama terdapat pada semua kasus. Lama demam sebelum dirawat berkisar antara 2-7 hari. Alasan mengapa orang tua membawa anaknya berobat oleh karena khawatir akan keadaan anak yang demam, menjadi gelisah dan teraba dingin pada kaki dan tangan, gejala-gejala ini sebenarnya mencerminkan keadaan pre-syok, atau oleh karena demam dan menifestasi perdarahan kulit menjadi nyata.
Manifestasi perdarahan Uji tourniquet sebagai manifestasi perdarahan kulit paling ringan dapat dinilai sebagai uji presemsutif oleh karena itu uji ini positif pada hari-hari pertama demam. Pemeriksaan ini bisa memperoleh hasil negative atau positif lemah selama masa syok. Apabila pemeriksaan diulangi setelah syok ditanggulangi, pada umumnya akan didapat hasil positif bahkan positif kuat. Terdapat minimal 1 dari manifestasi berikut: o Uji bendung positif o Petekie, ekimosis, atau purpura o Perdarahan mukosa (tersering epistaksis atau perdarahan gusi), atau perdarahan dari tempat lain. o Hematemesis atau melena Trombositopenia Minimal 1 tanda-tanda plasma leakage (kebocoran plasma) sebagai berikut: o Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai dengan umur dan jenis kelamin. o Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan, dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya. o Tanda kebocoran plasma seperti efusi pleura, asites, atau hipoproteinemia.
Klasifikasi derajat infeksi virus dengue:
Pemeriksaan Penunjang Laboratorium Pemeriksaan darah yang rutin dilakukan untuk menapis pasien tersangka demam dengue adalah melalui pemeriksaan kadar hemoglobin, hematokrit, jumlah trombosit dan hapusan darah terpi untuk melihat adanya limfositosis relatif disertai gambaran limfosit plasma baru. (Sudoyo, 2006) Diagnosis pasti didapatkan dari hasil isolasi virus dengue (cell culture) ataupun deteksi antigen virus RNA dengue dengan teknik RT-PCR (Reverse Transcriptase Polymerase Chain Reaction), namun karena teknik yang lebih rumit, saat ini tes serologis yang mendeteksi adanya antibodi spesifik terhadap dengue berupa antibodi total, IgM maupun IgG. (Sudoyo, 2006)
Parameter laboratorium yang dapat diperiksa antara lain: (Sudoyo, 2006) Leukosit: dapat normal atau menurun. Mulai hari ke-3 dapat ditemukan limfositosis relative (>45% dari total leukosit) disertai adanya limfositosis plasma biru (LPB) >15% dari jumlah total leukosit yang pada fase syok akan meningkat. Trombosit: umumnya terdapat trombositopenia pada hari ke 3-8. Hematokrit: kebocoran plasma dibuktikan dengan dtemukannya peningkatan hematokrit 20% dari hematokrit awal, umumnya dimulai pada hari ke-3 demam. Hemostasis: dilakukan pemeriksaan PT, APTT, fibrinogen, D-Diner, atau FDP pada keadaan yang dicurigai terjadi perdarahan atau kelainan pembekuan darah. SGOT/SGPT (serum alanin aminotranferase): dapat meningkat. Ureum, kreatinin: bila didapatkan gangguan fungsi ginjal. Golongan darah atau cross match (uji cocok serasi); bila akan diberikan transfusi darah atau komponen darah. Imunoserologi dilakukan pemeriksaan IgM dan IgG terhadap dengue. IgM: terdeteksi mulai hati ke 3-5, meningkat sampai minggu ke-3, menghilang setelah 60-90 hari. IgG: pada infeksi primer, IgG mulai terdeteksi pada hari ke-14, pada infeksi sekunder IgG mulai terdeteksi hari ke-2.
Penatalaksanaan Pada dasarnya bersifat supportif yaitu mengatasi kehilangan cairan plasma sebagai akibat peningkatan permeabilitas kapiler dan sebagai akibat perdarahan. Pasien demam dengue dapat berobat jalan, sedangkan pasien demam berdarah dengue dirawat di ruang perawatan biasa, tetapi pada kasus demam berdarah dengue dengan komplikasi diperlukan perawatan intensif. Fase kritis umumnya terjadi pada hari sakit ke-3. Rasa haus dan dehidrasi timbul akibat demam tinggi, anoreksia dan muntah. Pasien perlu diberi minum banyak, 50 mL/kgBB dalam 4-6 jam pertama berupa teh manis, sirup, susu, sari buah atau oralit. Setelah keadaan dehidrasi dapat diatasi, berikan cairan rumatan 80-100 mL/kgBB dalam 24 jam berikutnya. Hiperpireksi diatasi dengan antipiretik dan bila perlu surface cooling dengan kompres es dan alkohol 70%. Parasetamol direkomendasikan untuk mengatasi demam dengan dosis 10-15 mg/kgBB/kali. Pemberian cairan intravena pada pasien DBD tanpa renjatan dilakukan bila pasien terus-menerus muntah sehingga tidak mungkin diberi makanan per-oral atau didapatkan nilai hematokrit yang bertendensi terus meningkat (>40 vol%). Jenis cairan yang digunakan adalah ringer laktat yang mengandung Na 130 mEq/L, K 4 mEq/L, korektor basa 28 mEq/L, Cl 109 mEq/L dan Ca 3 mEq/L. Jumlah cairan yang diberikan disesuaikan dengan jumlah cairan yang dibutuhkan untuk mengatasi dehidrasi sedang pada penderita gastroenteritis. Jumlah ini tergantung hal-hal berikut : 1. Previous Water Losses (PWL) 2. Normal Water Losses (NWL) 3. Concomittant Water Losses (CWL)
Cairan yang diperlukan untuk dehidrasi sedang menurut kgBB/24 jam adalah : Water Loss/kgBB 3 10 kg 10 15 kg 15 25 kg PWL 80 Ml 70 mL 50 mL NWL 100 mL 80 mL 65 mL CWL 25 mL 25 mL 25 mL Jumlah 205 mL 175 mL 140 mL
Untuk tiap kenaikan suhu badan 1C diatas 37C, NWL harus dinaikkan 12%.
Jenis cairan (rekomendasi WHO) : Kristaloid o Larutan ringer laktat (RL) atau dekstrosa 5% dalam larutan ringer laktat (D5/RL) o Larutan ringer asetat (RA) atau dekstrosa 5% dalam larutan ringer asetat (D5/RA) o Larutan NaCl 0,9% (garam faali=GF) atau dekstrosa 5% dalam larutan garam faali (D5/GF) Koloid o Dekstran 40 o Plasma
Penanganan syok Dalam keadaan renjatan berat dberikan cairan ringer laktat secara cepat (diguyur) selama 30 menit. Apabila syok tidak teratasi dan/atau keadaan klinis memburuk, ganti cairan dengan koloid 10-20 mL/kgBB/jam, dengan jumlah maksimal 30 mL/kgBB. Setelah perbaikan, segera cairan ditukar dengan kristaloid (tetesan 20 mL/kg BB). Bila dengan cairan koloid dan kristaloid syok belum teratasi sedangkan kadar hematokrit tetap, diduga telah terjadi perdarahan, maka dianjurkan pemberian transfuse darah segar. Apabila kadar hematokrit tetap >40 vol%, berikan darah sebanyak 10 mL/kgBB/jam, tetapi bila perdarahan massif berikan 20 mL/kgBB/jam. Apabila renjatan tidak berat diberikan cairan dengan kecepatan 20 mL/kgBB/jam. Bila renjatan sudah diatasi, nadi sudah jelas teraba, amplitude nadi cukup besar, tekanan sistolik 80 mmHg atau lebih, maka kecepatan tetesan dikurangi menjadi 10 mL/kgBB/jam. Kecepatan pemberian cairan selanjutnya disesuaikan dengan gejala klinik dan nilai hematokrit yang diperiksa periodic. Cairan intravena dapat dihentikan bila hematokrit telah turun sekitar 40 vol%. Jumlah urin 12 mL/kgBB/jam atau lebih menandakan sirkulasi membaik. Pada umumnya cairan tidak perlu diberikan lagi setelah 48 jam sejak syok teratasi.
Kriteria memulangkan pasien Tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik Nafsu makan membaik Tampak perbaikan secara klinis Hematokrit stabil 3 hari setelah syok teratasi Trombosit >50000/mL Tidak dijumpai distres pernapasan
Pencegahan Pencegahan dapat dilakukan dengan langkah 4M plus yang dilakukan seminggu sekalli ssecara rutin, yaitu : 1. Menguras bak air dan tempat tempat penampungan air 2. Menutup tempat-tempat yang mungkin menjadi tempat berkembang biak nyamuk 3. Mengubur barang-barang bekas yang bisa menampung air. 4. Memantau wadah-wadah tempat perkembangbiakan jentik nyamuk serta mengoleskan badan dengan lotion anti nyamuk.
BAB III PEMBAHASAN KASUS
Sifat demam dan gejala lain pada kasus mirip dengan demam berdarah dengue, tapi pada pemeriksaan fisik terdapat petechi pada ekstremitas atas dan bawah, tidak ditemukan adanya coated tongue, pada pemeriksaan laboratorium terdapat penuruan Hb, peningkatan hematokrit dan trombositopeni. Maka diagnosis lebih mengarah pada DBD. Bila dihubungkan antara kasus dengan kriteria diagnosis pada literatur maka kasus ini lebih tepat sebagai tersangka DBD derajat I. Pasien dapat pulang dan diberi penurun panas (parasetamol) dan diperlukan observasi terhadap Hb, Hematokrit, leukosit dan trombosit pada 24 jam berikutnya.bila hasilnya: Hb, Ht, dan trombosit normal atau trombosit antara 100.000-150.000, pasien dapat dipulangkan dengan anjuran kontrol atau berobat jalan ke Poliklinik dalam waktu 24 jam berikutnya (dilakukan pemeriksaan Hb, Ht, trombosit tiap 24 jam) atau bila keadaan penderita memburuk segera kembali ke IGD. Hb, Ht, normal tetapi trombosit <100.000 dianjurkan untuk dirawat. Hb, Ht, dan trombosit normal atau turun juga dianjurkan untuk dirawat. Bila keadaan pasien memburuk maka penanganan sesuai protokol berikutnya.
BAB IV PENUTUP
Kesimpulan
Pasien dengan DBD dengan derajat I maka perlu dilakukan observasi 8 jam berikutnya dengan pemeriksaan hemoglobin, hematokrit, trombost dan leukositnya.
Saran Gejala DBD tidak spesifik maka observasi atau pemantauan pada pasien harus lebih baik lagi sehingga angka kematian dapat ditekan hingga di bawah 1%. Begitupun dengan penanganannya yang tidak spesifik sehingga dititik beratkan pada prinsip utamanya yaitu asupan cairan. Pencegahan dengan pemberantasan jentik harus lebih digiatkan untuk menekan banyaknya nyamuk pembawa virus ini.
DAFTAR PUSTAKA
Buku saku Pelayanan Kesehatan Anak di RS, WHO Ilmu Penyakit Dalam PDSPDI jilid III Panduan Pelayanan Medis Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUPN DR. Cipto Manngunkusumo. 2007 Penyakit Infeksi Tropik pada Anak, Prof. Dr. T. H. Rampengan, Sp. A (K) Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak Edisi Ke-3. FK UNPAD RS Dr. Hasan Sadikin Bandung. 2005