You are on page 1of 20

BAB II

KAJIAN PUSTAKA
2.1 Konsep Apendisitis
Apendisitis adalah peradangan dari apendiks vermiformis dan sering
menyebabkan kasus abdomen akut yang paling sering (Mansjoer, dkk, 2000).
Apendiks merupakan ujung seperti jari kecil kira-kira 10 cm dan melekat pada
sekum tepat dibagian bawah katup ileosekal (Smeltzer & Bare, 2002).
Menurut Smeltzer & Bare (2002), apendektomi merupakan pembedahan untuk
mengangkat apendiks yang mengalami peradangan. Apendektomi dilakukan
secepat mungkin agar dapat menghindari terjadinya komplikasi berupa resiko
perforasi. Apendektomi dapat dilakukan dibawah anestesi umum ataupun
menggunakan anastesi spinal abdomen bawah, atau dengan laparoskopi yang
merupakan metode terbaru yang sangat efektif.
2.1.1 Patofisiologi
Apendisitis biasa disebabkan oleh terdapat sumbatan pada lumen
apendiks oleh hyperplasia folikel limfoid, fekalit, infeksi bakteri, dan benda
asing. Feses yang terperangkap dalam lumen apendiks akan menyebabkan
obstruksi dan akan mengalami penyerapan air dan terbentuklah fekalit yang
akhirnya sebagai kausa sumbatan (Smeltzer dan Bare, 2002).
Mansjoer, dkk (2000) menyatakan bahwa obstruksi yang terjadi
tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa mengalami
bendungan. Ketika mukus semakin banyak sementara elastisitas dinding
apendiks mempunyai keterbatasan, terjadi peningkatan tekanan intralumen.
8

Selanjutnya Price & Wilson (2006) menjelaskan bahwa peningkatan
tekanan intralumen dapat mengakibatkan oklusi arteri terminalis (end-
artery) apendikularis. Sehingga, ketika keadaan ini dibiarkan terus menerus
dapat mnegakibatkan nekrosis pada bagian tersebut, ganggren, serta
perforasi.
2.1.2 Manifestasi Klinik
Menurut Mansjoer, dkk (2000), manifestasi klinisnya diawali dengan
keluhan nyeri di daerah umbilicus atau periumbilicus. Dalam 2 - 12 jam
nyeri akan beralih ke kuadran kanan bawah, yang akan menetap dan
diperberat bila penderita berjalan atau batuk. Selain itu, terdapat pula
keluhan anoreksia, malaise, dan demam. Biasanya juga terdapat mual, dan
muntah. Perkusi ringan pada kuadran kanan bawah dapat membantu
menentukan lokasi nyeri. Bila tanda rovsing, psoas, dan obturator positif,
maka akan semakin jelas diagnosis klinis apendisitis.
2.1.3 Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan laboratorium terjadi peningkatan leukosit ringan
(10.000 20.000/ml) dengan peningkatan jumlah neutrofil. Pemeriksaan
urine dilakukan untuk membedakan dengan kelainan pada ginjal dan saluran
kemih, pemeriksaan USG dilakukan bila terjadi infiltrat apendikularis
(Mansjoer, dkk, 2000).
2.1.4 Komplikasi
Sjamsuhidajat dan Jong (2005) menyatakan bahwa keterlambatan
dalam penanganan dapat menyebabkan terjadinya perforasi. Perforasi
appendiks akan mengakibatkan peritonitis purulenta yang ditandai dengan
demam tinggi, nyeri makin hebat meliputi seluruh perut dan perut menjadi
tegang dan kembung. Nyeri tekan dan defans muskuler di seluruh perut,
peristaltik usus menurun sampai menghilang karena ileus paralitik.
2.1.5 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan apendisitis menurur Mansjoer, dkk (2000) adalah
sebagai berikut :
a. Sebelum operasi
1) Observasi keadaan umum pasien, termasuk pemeriksaan darah
(leukosit dan hitung jenis) diulang secara periodik.
2) Intubasi bila perlu.
3) Pemberian antibiotik.
b. Operasi
Proses apendektomi dapat dilakukan dengan beberapa cara diantaranya
sebagai berikut :
1) Insisi menurut Mc Burney (Grid Incision atau Muscle Splittig
Incision). Sayatan dilakukan pada garis tegak lurus pada garis yang
menghubungkan spina iliaka anterior superior (SIAS) dengan
umbilikus pada batas sepertiga lateral (titik Mc. Burney). Sayatan ini
mengenai kutis, subkutis, dan fasia. Keuntungan dari insisi ini adalah
tidak terjadinya benjolan dan tidak mungkin terjadi herniasi, trauma
operasi minimum pada alat-alat tubuh, dan masa istrahat pasca bedah
yang lebih pendek karena penyembuhan lebih cepat. Kerugiannya
adalah lapangan operasi terbatas, sulit diperluas dan waktu operasi
lebih lama, lapangan operasi dapat diperluas dengan memotong otot
secara tajam.
2) Insisi menurut Roux (Muscle Cutting Incision). Lokasi dan arah
sayatan sama dengan Mc. Burney, hanya sayatannya langsung
menembus otot dinding perut tanpa melihat arah serabut sampai
tampak peritonium. Keuntungannya adalah lapangan operasi lebih
luas, mudah diperluas, sederhana dan mudah. Sedangkan
kerugiannya adalah diagnosis yang harus tepat sehingga lokasi dapat
dipastikan, lebih banyak memotong saraf dan pembuluh darah
sehingga perdarahan lebih banyak, masa istirahat pasca bedah lebih
lama karena adanya benjolan yang mengganggu pasien, nyeri pasca
operasi lebih sering terjadi, kadang-kadang ada hematoma yang
terinfeksi dan masa penyembuhan lebih lama.
3) Insisi pararektal, dilakukan sayatan pada garis batas lateral m. rektus
abdominalis dekstra secara vertikal dari kranial ke kaudal sepanjang
10 cm. Keuntungannya adalah teknik ini dapat dipakai pada kasus-
kasus apendiks yang belum pasti dan kalau perlu sayatan dapat
diperpanjang dengan mudah. Sedangkan kerugiannya adalah sayatan
ini tidak langsung mengarah ke apendiks atau sekum, kemungkinan
memotong saraf dan pembuluh darah lebih besar dan untuk menutup
luka operasi dibutuhkan jahitan penunjang.

c. Pasca operasi
1) Observasi TTV.
2) Angkat sonde lambung bila pasien telah sadar sehingga aspirasi
cairan lambung dapat dicegah.
3) Baringkan pasien dalam posisi semi fowler (pasien dikatakan baik
bila dalam 12 jam tidak terjadi gangguan).
4) Berikan minum mulai 15 ml/jam selama 4 - 5 jam pasca operasi lalu
tingkatkan menjadi 30 ml/jam. Keesokan harinya diberi makanan
saring dan hari selanjutnya diberi makanan lunak.
5) Sehari post operasi pasien dianjurkan untuk duduk tegak ditempat
tidur selama 2 x 30 menit, hari kedua berdiri dan dapat duduk diluar
kamar, dan pada hari ke tujuh jahitan dapat dilepaskan dan pasien
bisa dipulangkan.
2.2 Konsep Nyeri
Secara umum nyeri adalah suatu rasa yang tidak nyaman, baik ringan maupun
berat. Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang
dan eksistensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya. Menurut
International Association for Study of Pain (IASP), nyeri sebagai suatu sensori
subjektif dan pengalaman perasaan emosional yang tidak menyenangkan akibat
terjadinya kerusakan aktual maupun potensial, atau menggambarkan kondisi
terjadinya kerusakan (Andarmoyo, 2013).
Sementara bentuk nyeri secara umum terdiri atas 2 yaitu nyeri akut dan
kronik. Nyeri akut adalah nyeri yang awitannya tiba-tiba dan umumnya berkaitan
dengan cedera fisik. Sedangkan nyeri kronik adalah nyeri yang bersifat konstan
atau intermiten yang menetap sepanjang dalam periode waktu tertentu (Smeltzer
dan Bare, 2002).
Tabel 2.1
Perbandingan Nyeri Akut dan Nyeri Kronis
Karakteristik Nyeri Akut Nyeri Kronis
Tujuan Memperingatkan adanya
cedera atau masalah
Tidak ada
Awitan Mendadak
Terus-menerus atau
intermiten
Intensitas Ringan sampai berat Ringan sampai berat
Durasi Durasi singkat(dari beberapa
detik sampai enam bulan)
Durasi lama(enam bulan
atau lebih)
Respon otonom a. Konsitensi dengan respon
simpatis.
b. Frekuensi jantung
meningkat.
c. Volume sekuncup
meningkat.
d. Tekanan darah meningkat.
e. Dilatasi pupil meningkat.
f. Tegangan otot meningkat.
g. Motilitas gastrointestinal
menurun.
h. Aliran saliva
menurun(mulut kering)
Tidak terdapat respon
otonom
Komponen
psikologis
Ansietas a. Depresi.
b. Mudah marah.
c. Menarik diri dari
minat dunia luar.
d. Menarik diri dari
persahabatan.
Respons jenis
lainnya
a. Tidur terganggu.
b. Lobido menurun.
c. Nafsu makan
menurun
Contoh Nyeri bedah, trauma Nyeri kanker, artritis.
Sumber : Smeltzer & Bare (2002)
Sementara nyeri post bedah adalah nyeri akut yang berhubungan dengan
kerusakan jaringan akibat insisi (Nurain, 2005 dalam Sehono, 2010). Pengertian
lain menyebutkan bahwa nyeri post bedah merupakan nyeri akut yang
berlangsung kurang dari 6 bulan dengan serangan yang muncul mendadak dengan
sebab dan daerah nyerinya dapat diketahui (Smeltzer & Bare, 2002).
2.2.1 Fisiologi Nyeri
Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi menerima rangsang
nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung saraf
bebas dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimulus kuat atau yang
secara potensial merusak. Reseptor nyeri juga disebut nosiseptor (Smeltzer
dan Bare, 2002).
Menurut Mubarak dan Chayatin (2007), nosiseptor merupakan ujung
saraf perifer yang bebas dan tidak bermielin atau sedikit bermielin. Reseptor
nyeri dapat dirangsang oleh beberapa stimulus yaitu mekanis, suhu, atau
kimiawi. Sementara proses fisiologi yang menyangkut nyeri disebut
Nosisepsi, terdiri dari empat fase yaitu transduksi, transmisi, persepsi, dan
modulasi. Pada fase transduksi stimulus yang terjadi dapat memicu
pelepasan mediator kimia seperti prostaglandin, bradikinin, histamin dan
substansi P).
Stimulus nyeri akan menghasilkan impuls saraf yang akan menyebar
disepanjang serabut saraf perifer aferen. Serabut saraf yang melakukan
transduksi stimulus nyeri adalah serabut A-delta yang mengirim sensasi
tajam yang melokalisasi sumber nyeri, kemudian serabut C menyampaikan
impuls yang terlokalisasi buruk, viseral dan terus menerus (Potter dan Perry,
2006).
Selanjutnya Potter dan Perry (2006) bahwa setelah itu terjadi transmisi
disepanjang serabut saraf aferen sampai berakhir pada bagian kornu dorsalis
medula spinalis. Didalam kornu dorsalis neurotransmiter (misalnya
substansi P) dilepaskan sehingga menyebabkan suatu transmisi sinapsis dari
saraf perifer (sensori) ke saraf traktus spinotalamus. Setelah itu, impuls
nyeri masuk hingga pusat lebih tinggi di otak termasuk pembentukan
retikular, sistem limbik, talamus, dan korteks.
Fase persepsi terjadi ketika individu mulai menyadari adanya nyeri
sehingga menimbulkan berbagai strategi perilaku-kognitif untuk
mengurangi komponen sensorik dan afektif nyeri (Mubarak dan Chayatin,
2007).
Setelah adanya respon nyeri, tubuh secara fisiologi akan memproduksi
endogen untuk menghambat impuls nyeri tersebut. Endogen terdiri dari
endorfin dan enkefalin, substansi ini seperti morfin yang berfungsi
menghambat transmisi impuls nyeri. Apabila tubuh mengeluarkan
substansi-substansi ini, salah satu efeknya adalah pereda nyeri (Smeltzer
dan Bare, 2002).
2.2.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Nyeri
Seorang perawat harus mempertimbangkan faktor-faktor yang
mempengaruhi nyeri dalam menghadapi pasien yang mengalami nyeri. Hal
ini sangat penting dalam pengkajian nyeri yang akurat dan memilih terapi
nyeri yang baik. Faktor-faktor tersebut menurut Smeltzer dan Bare (2002).
adalah usia, jenis kelamin, pengalaman masa lalu dengan nyeri, ansietas
(kecemasan), kebudayaan, dan efek plasebo.
a. Usia
Menurut Potter dan Perry (2006) usia adalah variabel penting yang
mempengaruhi nyeri terutama pada anak, remaja dan orang dewasa.
Perbedaan perkembangan yang ditemukan antara kelompok umur ini
dapat mempengaruhi bagaimana anak, remaja dan orang dewasa
bereaksi terhadap nyeri.
b. Jenis Kelamin
Menurut Burn, dkk (dalam Potter dan Perry, 2006) bahwa kebutuhan
narkotik post operative pada wanita lebih banyak dibandingkan dengan
pria. Ini menunjukkan bahwa individu berjenis kelamin perempuan
lebih mengartikan negatif terhadap nyeri.
c. Pengalaman Masa Lalu dengan Nyeri
Setiap individu belajar dari pengalaman nyeri. Pengalaman nyeri
sebelumnya tidak selalu berarti bahwa individu tersebut akan menerima
nyeri dengan lebih mudah pada masa yang akan datang. Apabila
individu sering mengalami serangkaian nyeri tanpa pernah sembuh
maka ansietas dapat muncul. Sebaliknya, apabila individu mengalami
nyeri berulang kemudian nyeri tersebut berhasil dihilangkan, maka akan
lebih mudah bagi individu untuk menginterpretasikan sensasi nyeri
(Potter & Perry, 2006).

d. Ansietas (Kecemasan)
Ansietas dapat meningkatkan persepsi terhadap nyeri begitupula
sebaliknya. Individu yang sehat emosionalnya biasanya mampu
mentoleransi nyeri dibandingkan individu yang memiliki status
emosional kurang (Potter dan Perry, 2006). Pernyataan yang sama juga
dikemukakan oleh Gill (1990) dikutip dalam Nurhayati dkk (2010)
yang melaporkan adanya suatu bukti bahwa stimulus nyeri
mengaktifkan bagian sistem limbik yang diyakini mengendalikan emosi
seseorang. Sistem limbik dapat memproses reaksi emosi terhadap nyeri,
yakni memperburuk atau menghilangkan nyeri.
e. Kebudayaan
Budaya dan etnik mempunyai pengaruh terhadap bagaimana seseorang
berespon terhadap nyeri, namun tidak mempengaruhi persepsi nyeri
(Zatzick & Dimsdale, 1990 dalam Smeltzer dan Bare, 2002). Misalnya
suatu daerah menganut kepercayaan bahwa nyeri adalah akibat yang
harus diterima karena mereka melakukan kesalahan, jadi mereka tidak
mengeluh jika merasakan nyeri.
f. Efek plasebo
Efek plasebo akan terjadi ketika seseorang berespon terhadap
pengobatan maupun tindakan karena suatu harapan bahwa tindakan
tersebut akan memberikan hasil, bukan hanya karena tindakan tersebut
benar-benar bekerja. Efek plasebo timbul dari produksi alamiah
(endogen) endorfin dalam sistem kontrol desenden. Dengan adanya
harapan positif pasien tentang keberhasilan terapi akan meningkatkan
efektifnya proses pengobatan (Smeltzer dan Bare, 2002).
2.2.3 Respon Nyeri
Respon individu terhadap nyeri menurut Prasetyo (2010 dalam Arfa,
2013) adalah :
a. Respon Fisiologis
Potter dan perry (2006) menyatakan bahwa pada saat impuls nyeri naik
ke medulla spinalis menuju ke batang otak dan thalamus, sistem saraf
otonom menjadi terstimulasi sebagai bagian dari respon stress.
Stimulasi tersebut menghasilkan respon fisiologis tubuh sebagai
berikut:
Tabel 2.2
Respon Fisiologis Tubuh terhadap Nyeri
Respon Simpatis
a. Dilatasi saluran bronchial dan
peningkatan respirasi rate.
b. Peningkatan heart rate.
c. Vasokontriksi perifer (pucat,
peningkatan tekanan darah).
d. Peningkatan glukosa darah.
e. Diaphoresis.
f. Peningkatan kekuatan otot.
g. Dilataasi pupil.
h. Penurunan motilitas gaster
intestinal.
Respon Parasimpatis
a. Muka pucat.
b. Ketegangan otot
c. Penurunan denyut jantung dan
tekanan darah.
d. Nafas cepat daan tidak teratur
e. Nausea dan vomitus.
f. Kelemahan atau kelelahan
Sumber : Potter dan Perry (2006)

b. Respon Psikologis
Respon psikologis sangat berkaitan dengan pemahamanan pasien
terhadap nyeri yang terjadi atau arti nyeri bagi pasien. Arti nyeri bagi
setiap individu berbeda-beda antara lain : Bahaya atau merusak,
komplikasi seperti infeksi, penyakit yang berulang, penyakit baru,
penyakit yang fatal, peningkatan ketidakmampuan dan kehilangan
mobilitas (Hidayat, 2004 dalam Elvie, 2009).
c. Respon Tingkah Laku
Menurut Potter dan Perry (2006) respon perilaku individu terhadap
nyeri berupa gerakan tubuh dan ekspresi wajah yang khas seperti
menggeretakkan gigi, memegang bagian tubuh yang nyeri, postur tubuh
membengkok, ekpresi wajah menyeringai, menangis, gelisah atau
sering memanggil perawat.
2.2.4 Intensitas Nyeri
Hayward (1975 dalam Mubarak & Chayatin, 2007) mengembangkan
sebuah alat ukur nyeri (Pinometer) dengan skala longitudinal dengan
tercantum angka 0 untuk keadaan tidak nyeri sampai angka 10 untuk kondisi
nyeri paling hebat. Cara pengukurannya pasien dapat memilih salah satu
angka yang dianggap menggambarkan nyeri yang dirasakannya.



Gambar 2.1 Skala Hayward
Keterangan :
0 : Tidak nyeri
1-3 : Nyeri ringan
4-6 : Nyeri sedang
2.2.5 Manajemen Nyeri
Menurut Andarmoyo (2013) strategi penatalaksanaan nyeri terdiri atas
2 yaitu :
1. Tindakan nonfarmakologis, berupa bimbingan antisipasi, kompres
panas dan dingin, stimulasi saraf elektris trankutan (TENS), distraksi,
relaksasi, akupuntur, dan imajinasi terbimbing.
2. Farmakologis (pemberian anagesik) berupa non-narkotik dan
antiinflamasi nonsteroid (NSAID), analgesik narkotik atau opiat, dan
obat tambahann (adjuvan).
2.3. Teknik Guided Imagery (Imajinasi Terbimbing)
Menurut National Safety Council (2004 dalam Qittun, 2008) imajinasi
terbimbing adalah sebuah teknik relaksasi yang bertujuan untuk mengurangi stress
dan meningkatkan perasaan tenang dan damai. Imajinasi terbimbing merupakan
suatu teknik untuk mengkaji kekuatan pikiran dalam menciptakan bayangan
gambar yang membawa ketenangan dan keheningan. Potter dan Perry (2006)
menyebutkan bahwa melalui imajinasi terbimbing pasien menciptakan kesan
dalam pikiran, berkonsentrasi pada kesan tersebut, sehingga secara bertahap
mampu mengurangi ketegangan dan nyeri.
7-9 : Nyeri berat terkontrol
10 : Nyeri hebat tak terkontrol

Imajinasi terbimbing merupakan salah satu jenis dari distraksi. Waktu yang
digunakan adalah 10-20 menit. Teknik ini dapat mengurangi nyeri, mempercepat
proses pennyembuhan dan membantu tubuh mengurangi berbagai macam
penyakit (Holistic Online, 2006 dalam Rabial, 2009). Menurut Widyaningsih
(2008, dalam Rabial, 2009) ada tiga hal utama yang diperlukan dalam
pelaksanaan imajinasi terbimbing yaitu posisi yang tepat, pikiran yang tenang, dan
lingkungan yang aman.
Secara psikologis guided imagery akan membawa individu untuk
menghadirkan gambaran mental yang diperkuat dengan perasaan menyenangkan
sehingga akan lebih mudah mengalihkan perhatian. Dengan demikian, bayangan
mental akan menjadi kenyataan pada pikiran bawah sadar sehingga dapat
mengurangi stres dan nyeri (Novarenta, 2013).
Keberhasilan teknik guided imagery bisa dijelaskan melalui konsep
pengkondisian klasik berupa pengalaman yang menyenangkan sehingga
menimbulkan reaksi terhadap stimulus (Feldman, 2012). Selain itu Brannon dan
Feisst (2000) menjelaskan bahwa pemasangan satu stimulus dengan stimulus
lainnya akan menimbulkan efek pengkondisian. Ketika individu mengalami nyeri
maka respon yang timbul adalah sensasi nyeri. Tetapi ketika individu mengalami
nyeri dan stimulus yang dimunculkan adalah perasaan yang menyenangkan maka
reaksi yang muncul adalah perasaan senang. Sehingga lama kelamaan dengan
memberikan stimulus persaan yang menyenangkan rasa nyeri akan berangsur-
angsur menghilang dan tergantikan dengan perasaan senang. Sehingga dengan
memberikan pengkondisian individu diajarkan untuk mengurangi reaksi kepada
stimulus untuk merubah sensasi nyeri yang dialaminya.
Guided imagery dapat digunakan dalam berbagai keadaan antara lain
mengurangi stres, kesulitan tidur, hipertensi, dan nyeri yang disebabkan oleh
operasi maupun trauma. Hal ini sejalan dengan studi penelitian oleh American
Psychological Association (2004) pada tahun 2000 dari 18 penelitian yang
dilakukan oleh psikolog Guy Montgomery,PhD, Katherine Duhamel, PhD dan
William Redd, PhD menunjukan bahwa 75% peserta klinis dan eksperimental
dengan berbagai jenis nyeri dari berbagai prosedur bedah misalnya usus buntu,
pengangkatan tumor, pengobatan luka bakar, nyeri persalinan dan aspirasi sum-
sum tulang dan berbagai bentuk rasa nyeri lainnya telah membuktikan bahwa
teknik GIT efektif dalam intervensi keperawatan penurunan nyeri (Patterson dan
Jensen, 2003).
Menurut Martin (2002 dalam Maresa, 2012) guided imagery merupakan
media yang sederhana dan tidak memerlukan biaya untuk mengurangi stres dan
nyeri serta dapat untuk meningkatkan koping. Guided imagery juga aman dan
nyaman digunakan oleh berbagai kalangan usia, dari anak-anak sampai orang tua.
Banyak pasien mulai mengalami efek rileks dari imaginasi terbimbing setelah
mereka mencobanya. Nyeri mereda dapat berlanjut selama berjam-jam setelah
imaginasi digunakan.
2.3.1 Proses Asosiasi Imajinasi
Imajinasi terbimbing merupakan suatu teknik yang menuntut seseorang
untuk membentuk sebuah bayangan/imajinasi tentang hal-hal yang disukai.
Imajinasi yang terbentuk tersebut akan diterima sebagai rangsang oleh
berbagai indra, kemudian rangsangan tersebut akan dijalankan ke batang
otak menuju sensor thalamus (Guyton dan Hall, 2008).
Ditalamus rangsang diformat sesuai dengan bahasa otak, sebagian kecil
rangsangan itu ditransmisikan ke amigdala dan hipokampus sekitarnya dan
sebagian besar lagi dikirim ke korteks serebri, dikorteks serebri terjadi
proses asosiasi pengindraan dimana rangsangan dianalisis, dipahami dan
disusun menjadi sesuatu yang nyata sehingga otak mengenali objek dan arti
kehadiran tersebut (Apostolo & Katherine, 2009).
Hipokampus berperan sebagai penentu sinyal sensorik dianggap penting
atau tidak sehingga jika hipokampus memutuskan sinyal yang masuk adalah
penting maka sinyal tersebut akan disimpan sebagai ingatan. Hal-hal yang
disukai dianggap sebagai sinyal penting oleh hipokampus sehingga diproses
menjadi memori. Ketika terdapat rangsangan berupa bayangan tentang hal-
hal yang disukai tersebut, memori yang telah tersimpan akan muncul
kembali dan menimbulkan suatu persepsi dari pengalaman sensasi yang
sebenarnya, walaupun pengaruh/akibat yang timbul hanyalah suatu memori
dari suatu sensasi (Guyton dan Hall, 2008).
Stimulus yang menyenangkan dari luar tubuh manusia dapat merangsang
sekresi endorphin sehingga stimulus nyeri yang dirasakan oleh pasien
berkurang. Peredaan nyeri secara umum berhubungan langsung dengan
partisipasi aktif individu, banyaknya stimulus yang diberikan, dan minat
individu dalam stimulus, sehingga stimulasi otak akan lebih efektif dalam
menurunkan nyeri (Tamsuri, 2007).
Selain itu, Lindquist dkk (2013) menyebutkan bahwa keberhasilan teknik
imajinasi terbimbing ditentukan oleh keinginan dari pasien itu sendiri,
kemampuan perawat untuk mengendalikan imajinasi pasien, serta keadaan
lingkungan yang nyaman dan aman.
2.3.2 Prosedur Imajinasi Terbimbing
Langkah-langkah dalam pemberian intervensi imajinasi terbimbing
menurut Purwanto (2013) adalah sebagai berikut :
a. Membina hubungan saling percaya
b. Menjelaskan prosedur : tujuan, posisi, waktu, dan peran perawat sebagai
pembimbing
c. Anjurkan pasien untuk mencari posisi yag nyaman.
d. Duduk dengan pasien namun tidak mengganggu pasien.
e. Melakukan pembimbingan dengan baik terhadap pasien :
1) Dimulai dengan proses relaksasi yaitu meminta pasien untuk
perlahan-lahan menutup mata dan fokus pada nafas mereka.
2) Pasien didorong relaks, mengosongkan pikiran dan memenuhi
pikiran dengan bayangan yang membuat pasien damai.
3) Pasien dibawa menuju tempat spesial dalam imajinasi mereka.
4) Pendengaran pasien difokuskan pada semua detail pemandangan
tersebut, pada apa yang terlihat, terdengar, dan tercium.
5) Pasien diarahkan untuk menikmati setiap imajinasi yang mereka
rasakan.
Selain itu, Kozier dan Erb (2009) menjelaskan bahwa langkah-langkah
dalam melakukan guided imagery yaitu persiapan, mencari lingkungan yang
nyaman dan tenang, dan bebas dari distraksi lainnya. Lingkungan yang bebas dari
distraksi diperlukan agar subjek berfokus pada imajinasi yang diinstruksikan.

2.4 Kerangka Berpikir
2.4.1 Kerangka Teori
















Gambar 2.2 Kerangka Teori




Faktor yang
mempengaruhi
nyeri:
1. Usia
2. Jenis kelamin
3. Pengalaman
masa lalu
4. Kebudayaan
5. Ansietas
6. Efek plasebo
Apendisitis merupakan peradangan dari apendiks
vermiformis

Apendektomi
Nyeri
Respon nyeri :
1. Respon
fisiologis
2. Respon
Psikologis
3. Respon
Perilaku
Intensitas Nyeri:
0 : tidak nyeri
1-3 : nyeri ringan
4-6 : nyeri sedang
7-9 : nyeri berat terkontrol
10 : nyeri hebat tak terkontrol

Teknik Guided Imagery
2.4.2 Kerangka Konsep





Gambar 2.3 Kerangka Konsep
Ket :



2.5 Hipotesis
Terdapat pengaruh teknik guided imagery (imajinasi terbimbing) terhadap
penurunan nyeri pada pasien post apendektomi di Rumah Sakit Umum Daerah
(RSUD) Prof. Dr. Hi. Aloei Saboe Kota Gorontalo.
Variabel Independen Variabel Dependen
Teknik Guided
I magery (Imajinasi
Terbimbing)
Nyeri Post
Apendektomi



= Variabel Independen
= Variabel Dependen

You might also like