You are on page 1of 5

Editorial

Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 7, Juli 2009


Strategi Penanggulangan dan
Pencegahan Penyakit Parasitik
di Masyarakat
Teguh Wahju Sardjono
Laboratorium Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya, Malang
297
Pendahuluan
Sampai saat ini penyakit infeksi masih merupakan
masalah kesehatan utama di dunia, terutama di negara tropis
dan sedang berkembang, termasuk di Indonesia. Diperkirakan
51% kematian akibat penyakit infeksi di dunia disebabkan
oleh tiga penyakit utama yang dikenal sebagai the big three,
yaitu tuberkulosis, HIV/AIDS dan malaria. Ketiga penyakit
tersebut menyebabkan lebih dari 500 juta morbiditas dan
lebih dari 5 juta mortalitas di dunia setiap tahun. Sisanya
yaitu masing-masing sebanyak 20% disebabkan oleh
sekelompok penyakit yang disebut neglected tropical dis-
eases (NTD) dan 29% disebabkan oleh infeksi lain.
1
Di antara penyakit infeksi tersebut, ternyata hingga saat
ini penyakit parasitik terkesan kurang mendapat perhatian
dari masyarakat. Hal itu mungkin karena umumnya penyakit
parasitik bersifat kronis dan tidak mengancam jiwa, sehingga
masyarakat umum bahkan tenaga kesehatan, termasuk dokter
juga cenderung mengabaikannya.
1
Pada makalah ini akan dibahas penyakit parasitik
penting, tetapi kurang mendapat perhatian yaitu malaria,
toxoplasmosis dan cacing usus.
Malaria
Walaupun termasuk salah satu dari the big three, ma-
laria relatif kurang mendapat perhatian dibandingkan HIV/
AIDS dan tuberkulosis. Di seluruh dunia, setiap tahun lebih
dari 500 juta penderita malaria dan lebih dari satu juta
diantaranya meninggal dunia. Sekitar 45% penduduk di In-
donesia mempunyai risiko tertular malaria karena dari 576
kabupaten/kota, 424 (73,6%) di antaranya termasuk daerah
endemis malaria. Berdasarkan hasil Survei Kesehatan Rumah
Tangga 2001, penderita malaria di Indonesia sekitar 15 juta
orang dengan kematian rata-rata 38 000 orang per tahun.
2
Malaria juga termasuk salah satu dari re-emerging di-
sease, karena sejak sekitar 30 tahun yang lampau malaria
sudah dikatakan berhasil dikendalikan, namun sekarang
angka kejadiannya meningkat kembali. Di Indonesia, setelah
pelaksanaan program Komando Pemberantasan Malaria
bekerjasama dengan United Nations Educational, Scien-
tific and Cultural Organization pada tahun 1960-an, Jawa
dan Bali sudah dinyatakan bebas malaria namun dalam
beberapa tahun terakhir ini angka kejadian malaria meningkat
hampir di seluruh wilayah Indonesia. Morbiditas malaria
pernah mengalami penurunan. Di Jawa-Bali annual parasite
index (API) pada tahun 2000 sebesar 0.81 turun menjadi
0,15 pada tahun 2004. Di luar Jawa-Bali, API pada tahun
2000 sebesar 31.09 turun menjadi 20,57 pada tahun 2004.
Meskipun demikian, daerah dengan angka kejadian malaria
klinis tinggi masih dilaporkan dari kawasan timur Indonesia
yaitu Papua, Maluku, Nusa Tenggara Timur dan Sulawesi
serta di Kalimantan Barat, Bangka Belitung, Sumatera Selatan,
Bengkulu dan Riau. Setelah krisis moneter pada tahun 1997,
Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 7, Juli 2009 298
angka kejadian malaria di berbagai daerah di Indonesia
meningkat. Sejak tahun 1997-2005 dilaporkan kejadian luar
biasa dengan jumlah 32 987 penderita dan 559 kematian akibat
malaria.
3
Kematian akibat malaria terutama disebabkan Plasmo-
dium falciparum dengan berbagai komplikasinya seperti
malaria otak, gagal ginjal akut, edema paru dan perdarahan.
Case fatality rate (CFR) akibat malaria berat berkisar 10-
20%.
Jumlah kasus malaria impor juga makin bertambah seiring
dengan makin mudahnya sarana transportasi dan
meningkatnya migrasi penduduk. Meningkatnya resistensi
parasit terhadap obat anti malaria serta resistensi nyamuk
terhadap insektisida menambah sulitnya pemberantasan
malaria. Sayangnya, di dalam kurikulum beberapa pusat
pendidikan kedokteran saat ini, malaria justru kurang
mendapat perhatian yang serius sehingga keterampilan dan
pengalaman dokter serta petugas kesehatan dalam pena-
talaksanaan malaria juga ikut berkurang.
3
Jadi, meningkatnya
kembali insidens malaria ini tidak lepas dari perilaku, peran
dan perhatian masyarakat.
Gejala spesifik malaria biasanya dimulai dengan
menggigil yang diikuti demam dan berkeringat, namun di
daerah endemik gejala yang spesifik sering tidak muncul.
Pada kasus ringan, malaria sering hanya menunjukkan gejala
seperti flu biasa, sehingga oleh pasien tidak terlalu dirasakan
mengganggu kehidupan sehari-hari. Dengan minum obat anti
flu atau obat penurun panas lain yang dijual di pasaran bebas,
pasien sudah merasa sembuh dan dapat beraktivitas kembali
seperti biasa. Pasien baru datang ke dokter bila kondisinya
sudah parah, sehingga tidak jarang berakhir dengan kematian.
Komplikasi malaria berat yang sering terjadi dan
menyebabkan kematian adalah malaria otak (cerebral ma-
laria), gagal ginjal akut, edema paru akut, anemia dan
perdarahan, yang ironisnya diagnosis justru sering
ditegakkan dengan terlambat. Anak-anak, individu yang tidak
memiliki kekebalan terhadap malaria karena berasal dari daerah
non-endemik, merupakan kelompok yang berisiko tinggi
untuk menderita malaria berat.
4
Dari pengalaman klinis di Malang, tidak jarang
didapatkan kasus malaria yang tidak terduga dan justru
terdeteksi secara tidak sengaja/kebetulan yaitu pada
pemeriksaan darah rutin. Sering juga terjadi kesalahan atau
kelambatan diagnosis karena tidak adanya data penunjang
pemeriksaan laboratorium yang memadai. Contoh: 1) kasus
yang semula diduga sebagai infeksi bakteri, baru terdeteksi
sebagai malaria setelah pasien mendapat terapi berbagai
macam antibiotik, tetapi tidak mendapatkan hasil yang
nyata; 2) malaria dengan panas tinggi disertai diare disangka
demam tifoid; 3) pasien dengan demam dan hitung sel
trombosit yang rendah didiagnosis sebagai demam berdarah
dengue (DBD) ternyata pada pemeriksaan darah terdapat
parasit malaria, dan 4) pasien dengan demam disertai koma
dan kejang, didiagnosis sebagai radang otak (meningitis)
ternyata malaria otak. Hal yang lebih parah adalah, setelah
diketahui bahwa pasien menderita malaria, ternyata obat anti-
malaria tidak tersedia di apotik.
Masalah yang kompleks tersebut menunjukkan bahwa
perhatian dan kewaspadaan kita terhadap malaria sangat
rendah. Masyarakat tidak datang ke dokter kecuali bila sudah
dalam keadaan parah. Dokter tidak waspada terhadap
kemungkinan bahwa pasien menderita malaria, sehingga ia
tidak meminta pemeriksaan khusus malaria ke laboratorium.
Laboratorium klinik tidak memeriksa darah melalui
pemeriksaan rutin yang menggunakan mata karena mereka
mengandalkan alat canggih yang dapat memberi hasil lebih
cepat. Apotek tidak menyediakan obat malaria karena selain
jarang ada resep yang masuk juga karena harganya murah.
Tentu saja dalam upaya meningkatkan tingkat kesehatan
masyarakat, lingkaran setan tersebut harus diputus. Semua
pihak yaitu masyarakat maupun tenaga kesehatan harus
meningkatkan peran, perhatian, kepedulian dan kewas-
padaannya. Kalau tidak, maka masyarakat akan makin banyak
yang menjadi korban.
Toxoplasmosis
Toksoplasmosis adalah penyakit yang disebabkan oleh
Toxoplasma gondii, parasit yang hanya dapat hidup di dalam
sel hospesnya. Sumber utama penyakit tersebut adalah
kucing dan binatang sejenisnya (Family Feliidae).
T. gondii mempunyai tiga stadium, yang ketiga-tiganya
mampu menginfeksi hospesnya, yaitu trofozoit atau takizoit,
kista atau bradizoit dan ookista. Stadium takizoit adalah bentuk
yang aktif dan vegetatif, yang dapat menembus semua sel
yang berinti. Stadium kista adalah stadium resisten yang
terbentuk dalam sel jaringan hospes, sedangkan ookista
adalah bentuk resisten yang ada di alam bebas.
5
Pada fase
akut, seekor kucing yang terinfeksi dapat mengeluarkan
hingga 100 juta ookista per hari bersama tinjanya. Dalam 1-3
hari ookista tersebut sudah berkembang menjadi bentuk
infektif dan dapat tetap bertahan sampai beberapa tahun di
atas tanah dalam kondisi infektif. Manusia dan binatang
vertebrata selain kucing dapat terinfeksi melalui makanan yang
tercemar ookista, seperti sayuran atau buah-buahan segar
yang tidak dicuci bersih. Ookista yang tertelan oleh hewan
selain kucing di dalam tubuh akan berubah menjadi takizoit
dan menginfeksi semua sel tubuh yang berinti. Bila sistem
kekebalan tubuh hospes bekerja dengan baik maka takizoit
akan membuat pertahanan diri dengan berubah menjadi
bentuk kista di dalam jaringan. Oleh karena itu hewan selain
kucing dapat menjadi penderita sekaligus sebagai hospes
perantara. Pada manusia, infeksi juga bisa terjadi akibat
konsumsi daging hewan yang terinfeksi dan mengandung
kista, yang tidak sempurna dimasaknya. Masa tunas penyakit
ini pada orang dewasa berkisar antara 5-23 hari. Infeksinya
dapat mengenai semua organ seperti paru, otot, liver, jantung,
kelenjar getah bening dan. Pada individu dengan tingkat
kekebalan yang baik umumnya toxoplasmosis tidak
Strategi Penanggulangan dan Pencegahan Penyakit Parasitik
Strategi Penanggulangan dan Pencegahan Penyakit Parasitik
Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 7, Juli 2009 299
menimbulkan gejala yang nyata. Kalaupun ada, gejala
biasanya tidak khas, seperti flu (flu-like syndrome), batuk
dan pembesaran kelenjar leher. Pada individu dengan status
kekebalan yang rendah, toxoplasmosis dapat menyebabkan
kondisi sakit yang parah bahkan sampai kematian. Infeksi
akut T.gondii pada ibu hamil dapat menyebabkan tokso-
plasmosis kongenital. Di Amerika Serikat setiap tahun
diperkirakan terdapat 400-4000 kasus toksoplasmosis
kongenital, dengan spektrum gejala berupa kemunduran
mental, kejang, kebutaan dan kematian. Gejala klinis berupa
trias klasik, yaitu hidrosefalus, pengapuran pada otak dan
khorioretinitis terjadi pada lebih kurang 10% dari kasus
infeksi kongenital.
Dampak toksoplasmosis tidak hanya akan dirasakan
dalam bidang kesehatan, tetapi juga di bidang sosio ekonomi.
Infeksi T.gondii pada hewan ternak dapat menurunkan
produktivitas yang sangat berarti dan kerugian materi yang
besar. Risiko abortus pada biri-biri bunting yang terinfeksi
T.gondii dapat mencapai 5-50%. Infeksi yang terjadi pada
kebuntingan 2 bulan pertama dapat berakibat terabsorbsinya
janin, sedang infeksi pada pertengahan dan akhir kebun-
tingan dapat menyebabkan abortus, lahir mati atau anak yang
lahir dalam kondisi lumpuh.
6
Karena gejala klinis toksoplasmosis umumnya tidak
jelas dan tidak spesifik, maka prevalensi toksoplasmosis
biasanya didasarkan atas hasil pemeriksaan serologik dengan
hasil yang sangat bervariasi, rata-rata 50%. Survei seroepi-
demiologi di Asia Tenggara menunjukkan angka 26,7% di
kepulauan Taiwan, 14,7% di Thailand, 11,3% di Filipina, dan
42.9% di Indonesia. Tampaknya ada pengaruh etnis yang
membedakan prevalensi toksoplasmosis pada penduduk
Indonesia yang lebih tinggi dibanding penduduk kepulauan
Taiwan, Thailand dan Filipina.
7
Seroprevalensi toxoplasmo-
sis pada 1693 penduduk di Jakarta yang berumur 20-85 tahun
adalah 70%, tanpa perbedaan laki-laki (71%) dan perempuan
(69%). Di Iran, seroprevalensi IgG pada penderita kanker
adalah 45,2% sedangkan pada kelompok kontrol (orang
sehat) adalah 36,5%.
8
Laporan survei di kalangan ibu hamil
di berbagai tempat menunjukkan angka seroprevalensi yang
bervariasi, yaitu 45% pada ibu hamil, 44,6% dan 36.8% pada
ibu hamil dengan dan tanpa riwayat kegagalan kehamilan di
India; 41.3% di Polandia, 18,2% - 40,6% di Taiwan dan 16% -
51% di Perancis.
Dari penelitian yang dilakukan di enam rumah sakit di
Malang diperoleh data bahwa selama dua tahun (1996-1998),
kelahiran bayi dengan cacat bawaan adalah 79 kasus dari 14
610 kelahiran (0.54 %). Kasus kelahiran dengan cacat bawaan
yang terbanyak terjadi di RS Dr. Saiful Anwar, yaitu 51 kasus
dari 6468 (0.79%) kelahiran. Dalam penelitian tersebut, hanya
54 (68,35%) dari 79 kasus yang bersedia diambil sebagai
subyek penelitian, 32 kasus (59,26%) mengalami cacat ba-
waan di daerah kepala dan wajah, antara lain congenital
hydrocephalus (15 kasus/27,78%), anencephaly (7 kasus/
12.96%), sumbing bibir, sumbing bibir dan langit-langit, kelai-
nan daerah wajah dan mata, masing-masing 3 kasus (5,56%),
cacat yang mengenai berbagai sistem organ 5 kasus (9,26%),
mikrosefalus dan ensefalokel masing-masing 1 kasus
(1.85%). Dari 54 ibu yang melahirkan bayi cacat tersebut ter-
nyata 57.7% menunjukkan IgG Toxoplasma positif.
.09,10
Dari
penelitian lebih lanjut didapatkan seroprevalensi tokso-
plasma pada ibu yang mengalami abortus spontan adalah
53,48%. Prevalensi tersebut ternyata tidak bermakna bila di-
bandingkan dengan prevalensi pada ibu yang melahirkan
bayi normal.
11,12
Kenyataan itu menunjukkan kejadian tokso-
plasmosis pada manusia di Malang cukup tinggi dan lebih
kurang sama dengan di tempat lain, yaitu lebih dari 50%.
Penelitian pada hewan menunjukkan insiden tokso-
plasmosis pada kambing di Malaysia sebesar 35% dengan
insidens tertinggi (50%) di peternakan kecil di Selangor dan
yang terendah (20%) di peternakan daerah Melaka dan Negeri
Sembilan.
13
Di Iran dilaporkan bahwa dengan menggunakan
indirect immnunoflluoresence antibody test (IFAT), antibodi
T,gondii ditemukan pada 30% dari 400 domba, 35% dari 588
kambing, dan 0% dari 290 sapi.
14
Seroprevalensi T. gondii
pada ayam yang dipelihara bebas dapat menjadi indikator
yang bagus untuk menilai kondisi sanitasi lingkungan
terhadap pencemaran T.gondii, karena ayam mengambil
makanan langsung dari tanah. Di Jakarta, Priyana
15
berhasil
mengisolasi T.gondii galur lokal dari sampel darah dan jantung
ayam buras (Gallus gallus domesticus) yang terinfeksi untuk
diteliti tingkat virulensi dan pemanfaatan serodiagnosis
toksoplasmosis. Dubey et al.
16
melaporkan dengan
menggunakan modified aggliutination test (MAT) diketahui
antibodi T.gondii positif pada 41 (64%) dari 64 ayam asal
Ghana, 24 (24.4%) dari 98 ayam asal Indonesia, 10 (12,5%)
dari 80 ayam asal Italia, 6 (30%) dari 20 ayam asal Polandia
dan 81(24,2%) dari 330 ayam asal Vietnam. Dengan teknik
bioassay T.gondii hidup dapat diisolasi dari jantung dan otak
ayam, yaitu 2 kasus dari Ghana, 3 kasus dari Itali, 1 kasus dari
Indonesia, 2 kasus dari Polandia, dan 1 kasus dari Vietnam.
Penelitian di Surabaya menunjukkan bahwa 30% dari 50 ayam
yang diteliti, yaitu 24% dari 25 ekor ayam petelur dan 36%
dari 25 ekor ayam kampung mengandung T.gondii. Parasit
tersebut berhasil diisolasi dari otak dan daging ayam yang
dijual di pasar Surabaya.
17
Berdasarkan data di atas masyarakat patut waspada
terhadap penularan toksoplasmosis pada manusia melalui
makanan sehari-hari. Karena seroprevalensi pada ayam dan
kambing cukup tinggi, maka pencegahan dapat dilakukan
dengan menghindari konsumsi daging yang tidak dimasak
dengan baik. Sebaiknya jangan makan sate ayam atau
kambing setengah matang dan bila makan lalapan sayur atau
buah segar, cucilah bersih-bersih sebelum dimakan. Bila mau
berkebun, terutama ibu hamil hendaknya menggunakan
sarung tangan dan bila mungkin hindari kontak dengan anak
kucing dan tanah yang mungkin tercemar kotoran kucing.
18
Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 7, Juli 2009
Strategi Penanggulangan dan Pencegahan Penyakit Parasitik
A
B
A
B
300
Penyakit Cacing Usus
Penyakit cacing usus (cacingan) adalah contoh lain dari
penyakit parasitik yang ditularkan melalui makanan. Cacingan
terutama yang disebabkan oleh nematoda juga termasuk
salah satu dari kelompok penyakit tropik yang terabaikan
(NTD). Penyakit tersebut tersebar luas di seluruh dunia.
Diperkirakan lebih dari satu miliar penduduk dunia terinfeksi
Ascaris lumbricoides dan sekitar 500 juta terinfeksi Trichu-
ris trichiura. Bersama cacing lain (cacing tambang) mereka
digolongkan dalam kelompok soil transmitted helminths/
STH (cacing yang ditularkan melalui tanah). Sumber penyakit
itu yang sekaligus sebagai penderita adalah manusia juga,
terutama anak-anak usia sekolah dasar dan yang tinggal di
pedesaan. Kebiasaan anak defekasi secara bebas di atas
tanah (tidak di WC), menjamin berlangsungnya siklus hidup
cacing ini dengan sempurna. Cacing dewasa yang tinggal di
dalam usus setelah kawin akan memproduksi telur yang
dikeluarkan bersama tinja. Infeksi pada manusia terjadi melalui
makanan, sayuran atau tangan yang tercemar telur cacing
tersebut. Cacing tambang memerlukan tanah untuk proses
menetasnya telur menjadi larva yang siap menginfeksi dengan
menembus kulit, misalnya kaki yang tidak memakai sandal/
sepatu.
Di Indonesia angka infeksi STH masih cukup tinggi,
tetapi intensitas infeksi bervariasi antar daerah. Hasil survei
cacingan pada murid sekolah dasar pada tahun 1986-1991
menunjukkan prevalensi sekitar 60-80%, sedangkan untuk
semua umur berkisar 40-60%. Hasil Survei Subdit Diare tahun
2002 dan 2003 di 40 sekolah dasar di 10 provinsi menunjukkan
prevalensi 2,2-96,3%. Keberadaan cacing di dalam usus
manusia dapat mempengaruhi proses pemasukan (intake),
pencernaan (digestive), penyerapan (absorbtion), dan
metabolisme makanan. Pada kasus ringan cacingan memang
tidak menimbulkan gejala nyata, tetapi pada kasus infeksi
berat dapat berakibat fatal. Ascaris dapat bermigrasi ke or-
gan lain, menyebabkan peritonitis akibat perforasi usus dan
ileus obstruksi akibat bolus yang dapat berakhir dengan
kematian. Trichuris dapat menyebabkan prolapsus rekti.
Cacing tambang dapat menyebabkan anemia yang berat,
namun penderita tidak merasakan gejala yang berarti karena
proses yang berjalan kronis.
19
Infeksi cacing usus yang berakibat menurunnya status
gizi penderita juga akan menurunkan daya tahan tubuh
penderita sehingga memudahkan infeksi penyakit lain,
termasuk HIV/AIDS, tuberkulosis dan malaria. Secara
kumulatif, cacingan dapat menimbulkan kerugian zat gizi
berupa kalori dan protein serta kehilangan darah yang sangat
berarti. Di Indonesia, kerugian akibat kehilangan kalori/pro-
tein dan darah tersebut bila dihitung dengan jumlah penduduk
220.000.000 dapat diperkirakan sebagai berikut:
20
Kerugian Karena Infeksi Cacing Gelang
Pada tahun 2006, bila di Indonesia berpenduduk 220
000 000, didapatkan prevalensi cacingan 60% dengan jumlah
rata-rata kandungan per orang 6 ekor cacing maka kehilangan
karbohidrat karena cacing gelang diperkirakan sebanyak:
(220 000 000 x 60% x 6 x 0,14 gram) : 1000 = 110 880 kg tepung
per hari
Karena 0,8 gram tepung (karbohidrat) setara dengan 1
gram beras, maka per hari kerugian tersebut setara dengan
138.660 kg beras. Bila dihitung dalam rupiah dengan harga
beras Rp 3 000/kg, maka kerugian uang yang diperkirakan
adalah 138 660 kg beras x 365 hari x Rp 3 000,- = Rp. 151 767
000 000,- per tahun.
Bila harga beras sekarang (2008) dihitung Rp. 5000,- per
kg, maka angka tersebut menjadi Rp 252 945 000 000,-
Jika seekor cacing menghabiskan 0,035 gram protein
sehari, maka perkiraan protein yang hilang untuk seluruh
penduduk adalah:
(220 000 000 x 60% x 6 x 0,035 gram) : 1000 = 27 720 kg protein
per hari.
Bila diperhitungkan bahwa 1 gram daging sapi mengan-
dung 0,19 gram protein, maka kerugian daging sapi adalah
145 895 kg per hari. Bila dihitung dengan rupiah, dengan
perkiraan harga daging sapi Rp 30 000/ kg, maka kerugian
uang yang diperkirakan
145 895 kg x 365 hari x Rp 30 000 = Rp 1 597 550 250 000,-
per tahun.
Jumlah anak usia sekolah dasar diperkirakan sebanyak
21% dari jumlah penduduk, dengan demikian kerugian yang
diakibatkan oleh cacingan pada anak tersebut adalah:
1. Karbohidrat= 21% x Rp. 151 767 000 000= Rp 31 871 070
000
2. Protein= 21% x Rp 1 597 550 250000 = Rp 335 485 552 500
Jadi, total kerugian akibat infeksi cacing gelang adalah:
Rp 367 356 622 500 setiap tahun.
Kerugian Karena Infeksi Cacing Tambang
Cacing tambang tinggal di dalam usus halus manusia
dan makan atau mengisap darah penderita setiap hari. Bila
seorang penderita mengandung 50 ekor cacing di dalam
ususnya, maka perkiraan jumlah kehilangan darah pada
penduduk Indonesia perhari adalah:
220 000 000 x 10% x 0,2cc x 50 ekor = 220 000 000 cc darah =
220 000 liter darah /hari
Untuk satu tahun penderita cacingan akan kehilangan
darah sebanyak
220 000 liter x 365 hari = 80 300 000 liter darah per tahun
Bila jumlah anak usia sekolah dasar diperkirakan
sebanyak 21% dari jumlah penduduk, maka kerugian yang
akibat:
21% x 80 300 000 liter = 16 863 000 liter darah per tahun
Kerugian Karena Cacing Cambuk
Bila seorang penderita mengadung 100 cacing di dalam
ususnya, maka perkiraan jumlah kehilangan darah akibat
cacing cambuk sehari adalah:
Strategi Penanggulangan dan Pencegahan Penyakit Parasitik
Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 7, Juli 2009
220 000 000 x 40% x 0,005 cc x100 = 44 000 000 cc darah =
44 000 liter darah per hari
Kehilangan darah selama setahun:
44 000 liter x 365 hari = 16 060 000 liter darah per tahun
Jumlah anak usia sekolah dasar diperkirakan 21% dari
jumlah penduduk, dengan demikian kerugian akibat cacingan
pada anak usia tersebut: 21% x 16 060 000 liter = 3 372 600
liter darah per tahun
Dari angka di atas, bila diperhitungkan secara kese-
luruhan, maka total kerugian atau kehilangan dana akibat
cacingan lebih kurang Rp. 500.000.000.000,- dan lebih dari
20 juta liter darah setiap tahun.
Jumlah tersebut sangat besar, apalagi kalau dikaitkan
dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat Indonesia yang
lebih dari 30 juta jiwa berada di bawah garis kemiskinan.
Oleh karena itu peran masyarakat dalam menunjang keber-
hasilan penanggulangan dan pencegahan cacingan sangat
penting. Mendidik anak berdefekasi di WC dan mencuci
tangan sebelum makan akan sangat mengurangi angka
kejadian cacingan, sehingga negara dapat menghemat dana,
dan mungkin dapat dialokasikan untuk meningkatkan derajat
pendidikan dan kemakmuran masyarakat miskin.
Penutup
Di masa mendatang diharapkan masyarakat lebih sadar
dan mau berbenah diri lalu bangun dari kondisi terlena,
lengah dan kurang perhatian bahkan meremehkan penyakit
parasitik yang sebenarnya mengancam kehidupan kita.
Tindakan nyata yang dapat dilakukan oleh masyarakat,
pemerintah maupun tenaga kesehatan dalam penanggulangan
dan pencegahan berbagai penyakit parasitik, adalah
memutus lingkaran hidup parasit. Hal itu dapat dilakukan
mulai dari tingkat individu berupa pengobatan penderita
sampai dengan tingkat masyarakat, yaitu meningkatkan
kesadaran untuk berbudaya hidup bersih dan sehat. Untuk
mencapai hal itu, maka peran masyarakat peduli kesehatan
misalnya kader posyandu, usaha kesehatan sekolah dan
lembaga swadaya masyarakat menjadi penting dan sangat
diharapkan. Bila kesadaran dan kewaspadaan masyarakat
sudah tinggi, maka keterlambatan diagnosis dan terapi
terhadap penyakit parasitik seperti yang telah diuraikan di
atas tidak akan terjadi lagi.
Daftar Pustaka
1. Sardjono TW. Neglected tropical diseases (NTDs), Why do we
neglect them? Joint National Congress of PETRI, PERPARI &
PKWI, Bandung, 30 August 2 September 2007.
2. Supari SF. Laporan Menkes kepada Presiden dalam rangka
Peringatan Hari Malaria Sedunia ke -1, 8 Mei 2008. Pusat
Komunikasi Publik Sekretariat Jenderal Departemen Kesehatan
Republik Indonesia. Diunduh dari puskom.publik@yahoo.co.id.
Diakses 28 Agustus 2008.
3. Samsuridjal. Konsensus penanganan malaria. Perhimpunan
Dokter Spesialis Penyakit Dalam (PAPDI). KOPAPDI Manado,
Agustus 2003.
4. Sardjono TW, Fitri LE. Malaria, mekanisme terjadinya penyakit
dan pedoman penanganannya. Buku Ajar Mahasiswa. Malang:
Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya, 2005.
5. Kasper LH, Boothroyd JC. Toxoplasma gondii and toxoplasmo-
sis. In: Warren KS. Immunology and molecular biology of para-
sitic infections. Philadelphia: Blackwell Scientific Publications;
1993:269-301.
6. Spronk GD. Practitioners approach to ovine abortion. Catalog
pipestone veterinary supply. Archive of sheep articles. http://
www.pipevet.com/articles.htm, 2000. Diakses 13 September 2008
7. Fan CK, Su KE, Wu GH, Chiou HY. Seroepidemiology of Toxo-
plasma gondii Infection among two mountain aboriginal popu-
lation and south east asian laborers in Taiwan. J Parasitol
2002;88(22):411-4.
8. Ghasemian M, Maraghi Sh, Saki J, Pedram M. Determination of
antibodies (IgG, IgM) against Toxoplasma gondii in patients with
cancer. Iranian J Parasitol. 2007:2(4):1-6.
9. Sardjono TW, Hidayat A, Aulanniam, Irfan M. Zat anti Toxo-
plasma pada ibu yang melahirkan bayi cacat di beberapa rumah
sakit di Kodya Malang selama tahun 1997. Maj Kedokt Ind.
1998:48(11):431-5.
10. Sardjono TW, Aulanniam, Hidayat A, Irfan M. Keberadaan Toxo-
plasma gondii di jaringan plasenta dideteksi dengan teknik PCR
dan hubungannnya dengan cacat bawaan. Maj Kedokt Trop Indon.
2000;11(1):6-16.
11. Sardjono TW, Nurseta T,Wahyudi I. Hubungan antara kadar
antibodi Toxoplasma pada ibu-ibu hamil dengan kejadian abortus
spontan di RSUD dr Saiful Anwar Malang. Semiloka Nasional
Parasitologi, Batu, 9-11 Februari 2001.
12. Sardjono TW, Soewarto S, Mudjiwiyono, Muhammad L. The
evidence of toxoplasmosis in spontaneous abortion cases in Dr.
Saiful Anwar Hospital detected by serological, histopathological
and PCR analyses. Maj Kedokt Unibraw. 2002:18(2):77-82.
13. Dorry P, Casman C, Sani R, Vercruysee J. Toxoplasmosis in goats:
a sero-epidemiological study in peninsular Malaysia. Ann trop
med and parasitology. 1993;87(4):407-10.
14. Sharif M, Gholami Sh, Ziaei H, Daryani A, Laktarashi B, Ziapour
SP,et al. Seroprevalence of Toxoplasma gondii in cattle, sheep
and goats slaughtered for food in Mazandaran province, Iran,
during 2005. Vete J. 2007;174(2):422-4.
15. Priyana A. Antigenisitas Toxoplasma gondii galur lokal dan RH
serta aspek pemanfaatannya dalam sero-diagnostik
toksoplasmosis. Diunduh dari Research Report from JKPKBPPK
http://digilib.litbang.depkes.go.id./go.php, 2005. Diakses 14 Sep-
tember 2008
16. Dubey JP, Huong LT, Lawson BWL, Subekti DT, Tassi P, Cabaj
W, et al. T. gondii in free-range chickens: seroprevalence and
isolation of Toxoplasma gondii from free-range chickens from
Ghana, Indonesia, Italy, Poland and Vietnam. J of Parasitology
2008;94:68-71.
17. Suwanti LT, Suprihati E, Mufasirin. Prevalensi toksoplasmosis
pada ayam di beberapa pasar di Surabaya. Media Kedokteran Hewan.
2006;22(1).
18. Tamma P, Sherwin JR. Toxoplasmosis. Ped Rev. 2007;28:470-1.
19. Depkes RI. Gebrak malaria. Pedoman pelaksanaan kasus malaria
di Indonesia. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan. Jakarta: 2006.
20 Depkes RI. Pedoman pengendalian cacingan. Lampiran Keputusan
Menteri Kesehatan. No:424/MENKES/SK/VI/2006. 19 Juni 2006.
Diunduh dari http://www.depkes.go.id. Diakses tanggal 28 Agustus
2008.
SS
301

You might also like