Strategi Penanggulangan dan Pencegahan Penyakit Parasitik di Masyarakat Teguh Wahju Sardjono Laboratorium Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya, Malang 297 Pendahuluan Sampai saat ini penyakit infeksi masih merupakan masalah kesehatan utama di dunia, terutama di negara tropis dan sedang berkembang, termasuk di Indonesia. Diperkirakan 51% kematian akibat penyakit infeksi di dunia disebabkan oleh tiga penyakit utama yang dikenal sebagai the big three, yaitu tuberkulosis, HIV/AIDS dan malaria. Ketiga penyakit tersebut menyebabkan lebih dari 500 juta morbiditas dan lebih dari 5 juta mortalitas di dunia setiap tahun. Sisanya yaitu masing-masing sebanyak 20% disebabkan oleh sekelompok penyakit yang disebut neglected tropical dis- eases (NTD) dan 29% disebabkan oleh infeksi lain. 1 Di antara penyakit infeksi tersebut, ternyata hingga saat ini penyakit parasitik terkesan kurang mendapat perhatian dari masyarakat. Hal itu mungkin karena umumnya penyakit parasitik bersifat kronis dan tidak mengancam jiwa, sehingga masyarakat umum bahkan tenaga kesehatan, termasuk dokter juga cenderung mengabaikannya. 1 Pada makalah ini akan dibahas penyakit parasitik penting, tetapi kurang mendapat perhatian yaitu malaria, toxoplasmosis dan cacing usus. Malaria Walaupun termasuk salah satu dari the big three, ma- laria relatif kurang mendapat perhatian dibandingkan HIV/ AIDS dan tuberkulosis. Di seluruh dunia, setiap tahun lebih dari 500 juta penderita malaria dan lebih dari satu juta diantaranya meninggal dunia. Sekitar 45% penduduk di In- donesia mempunyai risiko tertular malaria karena dari 576 kabupaten/kota, 424 (73,6%) di antaranya termasuk daerah endemis malaria. Berdasarkan hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga 2001, penderita malaria di Indonesia sekitar 15 juta orang dengan kematian rata-rata 38 000 orang per tahun. 2 Malaria juga termasuk salah satu dari re-emerging di- sease, karena sejak sekitar 30 tahun yang lampau malaria sudah dikatakan berhasil dikendalikan, namun sekarang angka kejadiannya meningkat kembali. Di Indonesia, setelah pelaksanaan program Komando Pemberantasan Malaria bekerjasama dengan United Nations Educational, Scien- tific and Cultural Organization pada tahun 1960-an, Jawa dan Bali sudah dinyatakan bebas malaria namun dalam beberapa tahun terakhir ini angka kejadian malaria meningkat hampir di seluruh wilayah Indonesia. Morbiditas malaria pernah mengalami penurunan. Di Jawa-Bali annual parasite index (API) pada tahun 2000 sebesar 0.81 turun menjadi 0,15 pada tahun 2004. Di luar Jawa-Bali, API pada tahun 2000 sebesar 31.09 turun menjadi 20,57 pada tahun 2004. Meskipun demikian, daerah dengan angka kejadian malaria klinis tinggi masih dilaporkan dari kawasan timur Indonesia yaitu Papua, Maluku, Nusa Tenggara Timur dan Sulawesi serta di Kalimantan Barat, Bangka Belitung, Sumatera Selatan, Bengkulu dan Riau. Setelah krisis moneter pada tahun 1997, Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 7, Juli 2009 298 angka kejadian malaria di berbagai daerah di Indonesia meningkat. Sejak tahun 1997-2005 dilaporkan kejadian luar biasa dengan jumlah 32 987 penderita dan 559 kematian akibat malaria. 3 Kematian akibat malaria terutama disebabkan Plasmo- dium falciparum dengan berbagai komplikasinya seperti malaria otak, gagal ginjal akut, edema paru dan perdarahan. Case fatality rate (CFR) akibat malaria berat berkisar 10- 20%. Jumlah kasus malaria impor juga makin bertambah seiring dengan makin mudahnya sarana transportasi dan meningkatnya migrasi penduduk. Meningkatnya resistensi parasit terhadap obat anti malaria serta resistensi nyamuk terhadap insektisida menambah sulitnya pemberantasan malaria. Sayangnya, di dalam kurikulum beberapa pusat pendidikan kedokteran saat ini, malaria justru kurang mendapat perhatian yang serius sehingga keterampilan dan pengalaman dokter serta petugas kesehatan dalam pena- talaksanaan malaria juga ikut berkurang. 3 Jadi, meningkatnya kembali insidens malaria ini tidak lepas dari perilaku, peran dan perhatian masyarakat. Gejala spesifik malaria biasanya dimulai dengan menggigil yang diikuti demam dan berkeringat, namun di daerah endemik gejala yang spesifik sering tidak muncul. Pada kasus ringan, malaria sering hanya menunjukkan gejala seperti flu biasa, sehingga oleh pasien tidak terlalu dirasakan mengganggu kehidupan sehari-hari. Dengan minum obat anti flu atau obat penurun panas lain yang dijual di pasaran bebas, pasien sudah merasa sembuh dan dapat beraktivitas kembali seperti biasa. Pasien baru datang ke dokter bila kondisinya sudah parah, sehingga tidak jarang berakhir dengan kematian. Komplikasi malaria berat yang sering terjadi dan menyebabkan kematian adalah malaria otak (cerebral ma- laria), gagal ginjal akut, edema paru akut, anemia dan perdarahan, yang ironisnya diagnosis justru sering ditegakkan dengan terlambat. Anak-anak, individu yang tidak memiliki kekebalan terhadap malaria karena berasal dari daerah non-endemik, merupakan kelompok yang berisiko tinggi untuk menderita malaria berat. 4 Dari pengalaman klinis di Malang, tidak jarang didapatkan kasus malaria yang tidak terduga dan justru terdeteksi secara tidak sengaja/kebetulan yaitu pada pemeriksaan darah rutin. Sering juga terjadi kesalahan atau kelambatan diagnosis karena tidak adanya data penunjang pemeriksaan laboratorium yang memadai. Contoh: 1) kasus yang semula diduga sebagai infeksi bakteri, baru terdeteksi sebagai malaria setelah pasien mendapat terapi berbagai macam antibiotik, tetapi tidak mendapatkan hasil yang nyata; 2) malaria dengan panas tinggi disertai diare disangka demam tifoid; 3) pasien dengan demam dan hitung sel trombosit yang rendah didiagnosis sebagai demam berdarah dengue (DBD) ternyata pada pemeriksaan darah terdapat parasit malaria, dan 4) pasien dengan demam disertai koma dan kejang, didiagnosis sebagai radang otak (meningitis) ternyata malaria otak. Hal yang lebih parah adalah, setelah diketahui bahwa pasien menderita malaria, ternyata obat anti- malaria tidak tersedia di apotik. Masalah yang kompleks tersebut menunjukkan bahwa perhatian dan kewaspadaan kita terhadap malaria sangat rendah. Masyarakat tidak datang ke dokter kecuali bila sudah dalam keadaan parah. Dokter tidak waspada terhadap kemungkinan bahwa pasien menderita malaria, sehingga ia tidak meminta pemeriksaan khusus malaria ke laboratorium. Laboratorium klinik tidak memeriksa darah melalui pemeriksaan rutin yang menggunakan mata karena mereka mengandalkan alat canggih yang dapat memberi hasil lebih cepat. Apotek tidak menyediakan obat malaria karena selain jarang ada resep yang masuk juga karena harganya murah. Tentu saja dalam upaya meningkatkan tingkat kesehatan masyarakat, lingkaran setan tersebut harus diputus. Semua pihak yaitu masyarakat maupun tenaga kesehatan harus meningkatkan peran, perhatian, kepedulian dan kewas- padaannya. Kalau tidak, maka masyarakat akan makin banyak yang menjadi korban. Toxoplasmosis Toksoplasmosis adalah penyakit yang disebabkan oleh Toxoplasma gondii, parasit yang hanya dapat hidup di dalam sel hospesnya. Sumber utama penyakit tersebut adalah kucing dan binatang sejenisnya (Family Feliidae). T. gondii mempunyai tiga stadium, yang ketiga-tiganya mampu menginfeksi hospesnya, yaitu trofozoit atau takizoit, kista atau bradizoit dan ookista. Stadium takizoit adalah bentuk yang aktif dan vegetatif, yang dapat menembus semua sel yang berinti. Stadium kista adalah stadium resisten yang terbentuk dalam sel jaringan hospes, sedangkan ookista adalah bentuk resisten yang ada di alam bebas. 5 Pada fase akut, seekor kucing yang terinfeksi dapat mengeluarkan hingga 100 juta ookista per hari bersama tinjanya. Dalam 1-3 hari ookista tersebut sudah berkembang menjadi bentuk infektif dan dapat tetap bertahan sampai beberapa tahun di atas tanah dalam kondisi infektif. Manusia dan binatang vertebrata selain kucing dapat terinfeksi melalui makanan yang tercemar ookista, seperti sayuran atau buah-buahan segar yang tidak dicuci bersih. Ookista yang tertelan oleh hewan selain kucing di dalam tubuh akan berubah menjadi takizoit dan menginfeksi semua sel tubuh yang berinti. Bila sistem kekebalan tubuh hospes bekerja dengan baik maka takizoit akan membuat pertahanan diri dengan berubah menjadi bentuk kista di dalam jaringan. Oleh karena itu hewan selain kucing dapat menjadi penderita sekaligus sebagai hospes perantara. Pada manusia, infeksi juga bisa terjadi akibat konsumsi daging hewan yang terinfeksi dan mengandung kista, yang tidak sempurna dimasaknya. Masa tunas penyakit ini pada orang dewasa berkisar antara 5-23 hari. Infeksinya dapat mengenai semua organ seperti paru, otot, liver, jantung, kelenjar getah bening dan. Pada individu dengan tingkat kekebalan yang baik umumnya toxoplasmosis tidak Strategi Penanggulangan dan Pencegahan Penyakit Parasitik Strategi Penanggulangan dan Pencegahan Penyakit Parasitik Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 7, Juli 2009 299 menimbulkan gejala yang nyata. Kalaupun ada, gejala biasanya tidak khas, seperti flu (flu-like syndrome), batuk dan pembesaran kelenjar leher. Pada individu dengan status kekebalan yang rendah, toxoplasmosis dapat menyebabkan kondisi sakit yang parah bahkan sampai kematian. Infeksi akut T.gondii pada ibu hamil dapat menyebabkan tokso- plasmosis kongenital. Di Amerika Serikat setiap tahun diperkirakan terdapat 400-4000 kasus toksoplasmosis kongenital, dengan spektrum gejala berupa kemunduran mental, kejang, kebutaan dan kematian. Gejala klinis berupa trias klasik, yaitu hidrosefalus, pengapuran pada otak dan khorioretinitis terjadi pada lebih kurang 10% dari kasus infeksi kongenital. Dampak toksoplasmosis tidak hanya akan dirasakan dalam bidang kesehatan, tetapi juga di bidang sosio ekonomi. Infeksi T.gondii pada hewan ternak dapat menurunkan produktivitas yang sangat berarti dan kerugian materi yang besar. Risiko abortus pada biri-biri bunting yang terinfeksi T.gondii dapat mencapai 5-50%. Infeksi yang terjadi pada kebuntingan 2 bulan pertama dapat berakibat terabsorbsinya janin, sedang infeksi pada pertengahan dan akhir kebun- tingan dapat menyebabkan abortus, lahir mati atau anak yang lahir dalam kondisi lumpuh. 6 Karena gejala klinis toksoplasmosis umumnya tidak jelas dan tidak spesifik, maka prevalensi toksoplasmosis biasanya didasarkan atas hasil pemeriksaan serologik dengan hasil yang sangat bervariasi, rata-rata 50%. Survei seroepi- demiologi di Asia Tenggara menunjukkan angka 26,7% di kepulauan Taiwan, 14,7% di Thailand, 11,3% di Filipina, dan 42.9% di Indonesia. Tampaknya ada pengaruh etnis yang membedakan prevalensi toksoplasmosis pada penduduk Indonesia yang lebih tinggi dibanding penduduk kepulauan Taiwan, Thailand dan Filipina. 7 Seroprevalensi toxoplasmo- sis pada 1693 penduduk di Jakarta yang berumur 20-85 tahun adalah 70%, tanpa perbedaan laki-laki (71%) dan perempuan (69%). Di Iran, seroprevalensi IgG pada penderita kanker adalah 45,2% sedangkan pada kelompok kontrol (orang sehat) adalah 36,5%. 8 Laporan survei di kalangan ibu hamil di berbagai tempat menunjukkan angka seroprevalensi yang bervariasi, yaitu 45% pada ibu hamil, 44,6% dan 36.8% pada ibu hamil dengan dan tanpa riwayat kegagalan kehamilan di India; 41.3% di Polandia, 18,2% - 40,6% di Taiwan dan 16% - 51% di Perancis. Dari penelitian yang dilakukan di enam rumah sakit di Malang diperoleh data bahwa selama dua tahun (1996-1998), kelahiran bayi dengan cacat bawaan adalah 79 kasus dari 14 610 kelahiran (0.54 %). Kasus kelahiran dengan cacat bawaan yang terbanyak terjadi di RS Dr. Saiful Anwar, yaitu 51 kasus dari 6468 (0.79%) kelahiran. Dalam penelitian tersebut, hanya 54 (68,35%) dari 79 kasus yang bersedia diambil sebagai subyek penelitian, 32 kasus (59,26%) mengalami cacat ba- waan di daerah kepala dan wajah, antara lain congenital hydrocephalus (15 kasus/27,78%), anencephaly (7 kasus/ 12.96%), sumbing bibir, sumbing bibir dan langit-langit, kelai- nan daerah wajah dan mata, masing-masing 3 kasus (5,56%), cacat yang mengenai berbagai sistem organ 5 kasus (9,26%), mikrosefalus dan ensefalokel masing-masing 1 kasus (1.85%). Dari 54 ibu yang melahirkan bayi cacat tersebut ter- nyata 57.7% menunjukkan IgG Toxoplasma positif. .09,10 Dari penelitian lebih lanjut didapatkan seroprevalensi tokso- plasma pada ibu yang mengalami abortus spontan adalah 53,48%. Prevalensi tersebut ternyata tidak bermakna bila di- bandingkan dengan prevalensi pada ibu yang melahirkan bayi normal. 11,12 Kenyataan itu menunjukkan kejadian tokso- plasmosis pada manusia di Malang cukup tinggi dan lebih kurang sama dengan di tempat lain, yaitu lebih dari 50%. Penelitian pada hewan menunjukkan insiden tokso- plasmosis pada kambing di Malaysia sebesar 35% dengan insidens tertinggi (50%) di peternakan kecil di Selangor dan yang terendah (20%) di peternakan daerah Melaka dan Negeri Sembilan. 13 Di Iran dilaporkan bahwa dengan menggunakan indirect immnunoflluoresence antibody test (IFAT), antibodi T,gondii ditemukan pada 30% dari 400 domba, 35% dari 588 kambing, dan 0% dari 290 sapi. 14 Seroprevalensi T. gondii pada ayam yang dipelihara bebas dapat menjadi indikator yang bagus untuk menilai kondisi sanitasi lingkungan terhadap pencemaran T.gondii, karena ayam mengambil makanan langsung dari tanah. Di Jakarta, Priyana 15 berhasil mengisolasi T.gondii galur lokal dari sampel darah dan jantung ayam buras (Gallus gallus domesticus) yang terinfeksi untuk diteliti tingkat virulensi dan pemanfaatan serodiagnosis toksoplasmosis. Dubey et al. 16 melaporkan dengan menggunakan modified aggliutination test (MAT) diketahui antibodi T.gondii positif pada 41 (64%) dari 64 ayam asal Ghana, 24 (24.4%) dari 98 ayam asal Indonesia, 10 (12,5%) dari 80 ayam asal Italia, 6 (30%) dari 20 ayam asal Polandia dan 81(24,2%) dari 330 ayam asal Vietnam. Dengan teknik bioassay T.gondii hidup dapat diisolasi dari jantung dan otak ayam, yaitu 2 kasus dari Ghana, 3 kasus dari Itali, 1 kasus dari Indonesia, 2 kasus dari Polandia, dan 1 kasus dari Vietnam. Penelitian di Surabaya menunjukkan bahwa 30% dari 50 ayam yang diteliti, yaitu 24% dari 25 ekor ayam petelur dan 36% dari 25 ekor ayam kampung mengandung T.gondii. Parasit tersebut berhasil diisolasi dari otak dan daging ayam yang dijual di pasar Surabaya. 17 Berdasarkan data di atas masyarakat patut waspada terhadap penularan toksoplasmosis pada manusia melalui makanan sehari-hari. Karena seroprevalensi pada ayam dan kambing cukup tinggi, maka pencegahan dapat dilakukan dengan menghindari konsumsi daging yang tidak dimasak dengan baik. Sebaiknya jangan makan sate ayam atau kambing setengah matang dan bila makan lalapan sayur atau buah segar, cucilah bersih-bersih sebelum dimakan. Bila mau berkebun, terutama ibu hamil hendaknya menggunakan sarung tangan dan bila mungkin hindari kontak dengan anak kucing dan tanah yang mungkin tercemar kotoran kucing. 18 Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 7, Juli 2009 Strategi Penanggulangan dan Pencegahan Penyakit Parasitik A B A B 300 Penyakit Cacing Usus Penyakit cacing usus (cacingan) adalah contoh lain dari penyakit parasitik yang ditularkan melalui makanan. Cacingan terutama yang disebabkan oleh nematoda juga termasuk salah satu dari kelompok penyakit tropik yang terabaikan (NTD). Penyakit tersebut tersebar luas di seluruh dunia. Diperkirakan lebih dari satu miliar penduduk dunia terinfeksi Ascaris lumbricoides dan sekitar 500 juta terinfeksi Trichu- ris trichiura. Bersama cacing lain (cacing tambang) mereka digolongkan dalam kelompok soil transmitted helminths/ STH (cacing yang ditularkan melalui tanah). Sumber penyakit itu yang sekaligus sebagai penderita adalah manusia juga, terutama anak-anak usia sekolah dasar dan yang tinggal di pedesaan. Kebiasaan anak defekasi secara bebas di atas tanah (tidak di WC), menjamin berlangsungnya siklus hidup cacing ini dengan sempurna. Cacing dewasa yang tinggal di dalam usus setelah kawin akan memproduksi telur yang dikeluarkan bersama tinja. Infeksi pada manusia terjadi melalui makanan, sayuran atau tangan yang tercemar telur cacing tersebut. Cacing tambang memerlukan tanah untuk proses menetasnya telur menjadi larva yang siap menginfeksi dengan menembus kulit, misalnya kaki yang tidak memakai sandal/ sepatu. Di Indonesia angka infeksi STH masih cukup tinggi, tetapi intensitas infeksi bervariasi antar daerah. Hasil survei cacingan pada murid sekolah dasar pada tahun 1986-1991 menunjukkan prevalensi sekitar 60-80%, sedangkan untuk semua umur berkisar 40-60%. Hasil Survei Subdit Diare tahun 2002 dan 2003 di 40 sekolah dasar di 10 provinsi menunjukkan prevalensi 2,2-96,3%. Keberadaan cacing di dalam usus manusia dapat mempengaruhi proses pemasukan (intake), pencernaan (digestive), penyerapan (absorbtion), dan metabolisme makanan. Pada kasus ringan cacingan memang tidak menimbulkan gejala nyata, tetapi pada kasus infeksi berat dapat berakibat fatal. Ascaris dapat bermigrasi ke or- gan lain, menyebabkan peritonitis akibat perforasi usus dan ileus obstruksi akibat bolus yang dapat berakhir dengan kematian. Trichuris dapat menyebabkan prolapsus rekti. Cacing tambang dapat menyebabkan anemia yang berat, namun penderita tidak merasakan gejala yang berarti karena proses yang berjalan kronis. 19 Infeksi cacing usus yang berakibat menurunnya status gizi penderita juga akan menurunkan daya tahan tubuh penderita sehingga memudahkan infeksi penyakit lain, termasuk HIV/AIDS, tuberkulosis dan malaria. Secara kumulatif, cacingan dapat menimbulkan kerugian zat gizi berupa kalori dan protein serta kehilangan darah yang sangat berarti. Di Indonesia, kerugian akibat kehilangan kalori/pro- tein dan darah tersebut bila dihitung dengan jumlah penduduk 220.000.000 dapat diperkirakan sebagai berikut: 20 Kerugian Karena Infeksi Cacing Gelang Pada tahun 2006, bila di Indonesia berpenduduk 220 000 000, didapatkan prevalensi cacingan 60% dengan jumlah rata-rata kandungan per orang 6 ekor cacing maka kehilangan karbohidrat karena cacing gelang diperkirakan sebanyak: (220 000 000 x 60% x 6 x 0,14 gram) : 1000 = 110 880 kg tepung per hari Karena 0,8 gram tepung (karbohidrat) setara dengan 1 gram beras, maka per hari kerugian tersebut setara dengan 138.660 kg beras. Bila dihitung dalam rupiah dengan harga beras Rp 3 000/kg, maka kerugian uang yang diperkirakan adalah 138 660 kg beras x 365 hari x Rp 3 000,- = Rp. 151 767 000 000,- per tahun. Bila harga beras sekarang (2008) dihitung Rp. 5000,- per kg, maka angka tersebut menjadi Rp 252 945 000 000,- Jika seekor cacing menghabiskan 0,035 gram protein sehari, maka perkiraan protein yang hilang untuk seluruh penduduk adalah: (220 000 000 x 60% x 6 x 0,035 gram) : 1000 = 27 720 kg protein per hari. Bila diperhitungkan bahwa 1 gram daging sapi mengan- dung 0,19 gram protein, maka kerugian daging sapi adalah 145 895 kg per hari. Bila dihitung dengan rupiah, dengan perkiraan harga daging sapi Rp 30 000/ kg, maka kerugian uang yang diperkirakan 145 895 kg x 365 hari x Rp 30 000 = Rp 1 597 550 250 000,- per tahun. Jumlah anak usia sekolah dasar diperkirakan sebanyak 21% dari jumlah penduduk, dengan demikian kerugian yang diakibatkan oleh cacingan pada anak tersebut adalah: 1. Karbohidrat= 21% x Rp. 151 767 000 000= Rp 31 871 070 000 2. Protein= 21% x Rp 1 597 550 250000 = Rp 335 485 552 500 Jadi, total kerugian akibat infeksi cacing gelang adalah: Rp 367 356 622 500 setiap tahun. Kerugian Karena Infeksi Cacing Tambang Cacing tambang tinggal di dalam usus halus manusia dan makan atau mengisap darah penderita setiap hari. Bila seorang penderita mengandung 50 ekor cacing di dalam ususnya, maka perkiraan jumlah kehilangan darah pada penduduk Indonesia perhari adalah: 220 000 000 x 10% x 0,2cc x 50 ekor = 220 000 000 cc darah = 220 000 liter darah /hari Untuk satu tahun penderita cacingan akan kehilangan darah sebanyak 220 000 liter x 365 hari = 80 300 000 liter darah per tahun Bila jumlah anak usia sekolah dasar diperkirakan sebanyak 21% dari jumlah penduduk, maka kerugian yang akibat: 21% x 80 300 000 liter = 16 863 000 liter darah per tahun Kerugian Karena Cacing Cambuk Bila seorang penderita mengadung 100 cacing di dalam ususnya, maka perkiraan jumlah kehilangan darah akibat cacing cambuk sehari adalah: Strategi Penanggulangan dan Pencegahan Penyakit Parasitik Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 7, Juli 2009 220 000 000 x 40% x 0,005 cc x100 = 44 000 000 cc darah = 44 000 liter darah per hari Kehilangan darah selama setahun: 44 000 liter x 365 hari = 16 060 000 liter darah per tahun Jumlah anak usia sekolah dasar diperkirakan 21% dari jumlah penduduk, dengan demikian kerugian akibat cacingan pada anak usia tersebut: 21% x 16 060 000 liter = 3 372 600 liter darah per tahun Dari angka di atas, bila diperhitungkan secara kese- luruhan, maka total kerugian atau kehilangan dana akibat cacingan lebih kurang Rp. 500.000.000.000,- dan lebih dari 20 juta liter darah setiap tahun. Jumlah tersebut sangat besar, apalagi kalau dikaitkan dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat Indonesia yang lebih dari 30 juta jiwa berada di bawah garis kemiskinan. Oleh karena itu peran masyarakat dalam menunjang keber- hasilan penanggulangan dan pencegahan cacingan sangat penting. Mendidik anak berdefekasi di WC dan mencuci tangan sebelum makan akan sangat mengurangi angka kejadian cacingan, sehingga negara dapat menghemat dana, dan mungkin dapat dialokasikan untuk meningkatkan derajat pendidikan dan kemakmuran masyarakat miskin. Penutup Di masa mendatang diharapkan masyarakat lebih sadar dan mau berbenah diri lalu bangun dari kondisi terlena, lengah dan kurang perhatian bahkan meremehkan penyakit parasitik yang sebenarnya mengancam kehidupan kita. Tindakan nyata yang dapat dilakukan oleh masyarakat, pemerintah maupun tenaga kesehatan dalam penanggulangan dan pencegahan berbagai penyakit parasitik, adalah memutus lingkaran hidup parasit. Hal itu dapat dilakukan mulai dari tingkat individu berupa pengobatan penderita sampai dengan tingkat masyarakat, yaitu meningkatkan kesadaran untuk berbudaya hidup bersih dan sehat. Untuk mencapai hal itu, maka peran masyarakat peduli kesehatan misalnya kader posyandu, usaha kesehatan sekolah dan lembaga swadaya masyarakat menjadi penting dan sangat diharapkan. Bila kesadaran dan kewaspadaan masyarakat sudah tinggi, maka keterlambatan diagnosis dan terapi terhadap penyakit parasitik seperti yang telah diuraikan di atas tidak akan terjadi lagi. Daftar Pustaka 1. Sardjono TW. Neglected tropical diseases (NTDs), Why do we neglect them? Joint National Congress of PETRI, PERPARI & PKWI, Bandung, 30 August 2 September 2007. 2. Supari SF. Laporan Menkes kepada Presiden dalam rangka Peringatan Hari Malaria Sedunia ke -1, 8 Mei 2008. Pusat Komunikasi Publik Sekretariat Jenderal Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Diunduh dari puskom.publik@yahoo.co.id. Diakses 28 Agustus 2008. 3. Samsuridjal. Konsensus penanganan malaria. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam (PAPDI). KOPAPDI Manado, Agustus 2003. 4. Sardjono TW, Fitri LE. Malaria, mekanisme terjadinya penyakit dan pedoman penanganannya. Buku Ajar Mahasiswa. Malang: Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya, 2005. 5. Kasper LH, Boothroyd JC. Toxoplasma gondii and toxoplasmo- sis. In: Warren KS. Immunology and molecular biology of para- sitic infections. Philadelphia: Blackwell Scientific Publications; 1993:269-301. 6. Spronk GD. Practitioners approach to ovine abortion. Catalog pipestone veterinary supply. Archive of sheep articles. http:// www.pipevet.com/articles.htm, 2000. Diakses 13 September 2008 7. Fan CK, Su KE, Wu GH, Chiou HY. Seroepidemiology of Toxo- plasma gondii Infection among two mountain aboriginal popu- lation and south east asian laborers in Taiwan. J Parasitol 2002;88(22):411-4. 8. Ghasemian M, Maraghi Sh, Saki J, Pedram M. Determination of antibodies (IgG, IgM) against Toxoplasma gondii in patients with cancer. Iranian J Parasitol. 2007:2(4):1-6. 9. Sardjono TW, Hidayat A, Aulanniam, Irfan M. Zat anti Toxo- plasma pada ibu yang melahirkan bayi cacat di beberapa rumah sakit di Kodya Malang selama tahun 1997. Maj Kedokt Ind. 1998:48(11):431-5. 10. Sardjono TW, Aulanniam, Hidayat A, Irfan M. Keberadaan Toxo- plasma gondii di jaringan plasenta dideteksi dengan teknik PCR dan hubungannnya dengan cacat bawaan. Maj Kedokt Trop Indon. 2000;11(1):6-16. 11. Sardjono TW, Nurseta T,Wahyudi I. Hubungan antara kadar antibodi Toxoplasma pada ibu-ibu hamil dengan kejadian abortus spontan di RSUD dr Saiful Anwar Malang. Semiloka Nasional Parasitologi, Batu, 9-11 Februari 2001. 12. Sardjono TW, Soewarto S, Mudjiwiyono, Muhammad L. The evidence of toxoplasmosis in spontaneous abortion cases in Dr. Saiful Anwar Hospital detected by serological, histopathological and PCR analyses. Maj Kedokt Unibraw. 2002:18(2):77-82. 13. Dorry P, Casman C, Sani R, Vercruysee J. Toxoplasmosis in goats: a sero-epidemiological study in peninsular Malaysia. Ann trop med and parasitology. 1993;87(4):407-10. 14. Sharif M, Gholami Sh, Ziaei H, Daryani A, Laktarashi B, Ziapour SP,et al. Seroprevalence of Toxoplasma gondii in cattle, sheep and goats slaughtered for food in Mazandaran province, Iran, during 2005. Vete J. 2007;174(2):422-4. 15. Priyana A. Antigenisitas Toxoplasma gondii galur lokal dan RH serta aspek pemanfaatannya dalam sero-diagnostik toksoplasmosis. Diunduh dari Research Report from JKPKBPPK http://digilib.litbang.depkes.go.id./go.php, 2005. Diakses 14 Sep- tember 2008 16. Dubey JP, Huong LT, Lawson BWL, Subekti DT, Tassi P, Cabaj W, et al. T. gondii in free-range chickens: seroprevalence and isolation of Toxoplasma gondii from free-range chickens from Ghana, Indonesia, Italy, Poland and Vietnam. J of Parasitology 2008;94:68-71. 17. Suwanti LT, Suprihati E, Mufasirin. Prevalensi toksoplasmosis pada ayam di beberapa pasar di Surabaya. Media Kedokteran Hewan. 2006;22(1). 18. Tamma P, Sherwin JR. Toxoplasmosis. Ped Rev. 2007;28:470-1. 19. Depkes RI. Gebrak malaria. Pedoman pelaksanaan kasus malaria di Indonesia. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Jakarta: 2006. 20 Depkes RI. Pedoman pengendalian cacingan. Lampiran Keputusan Menteri Kesehatan. No:424/MENKES/SK/VI/2006. 19 Juni 2006. Diunduh dari http://www.depkes.go.id. Diakses tanggal 28 Agustus 2008. SS 301