You are on page 1of 24

1

ABSTRACT


This study is aimed to investigate the influence of executive compensation on profit
management practice held in manufacture company registere in BEI in 2010. Research
sample is of 70 manufacture companies. Independent variable used is executive
compensation calculated based on ln total compensation amount including salary, bonus and
benefits to executive parties. Dependent variable used is profit management measured using
discretionary accrual. Company size and leverage are the control variable. Company sizes
are measured using total asset natural logarythm while leverage is based on ratio between
total duties on total asset. Hypothetc test uses multilinear regression and showing the result
that executive compensation is not influencing on profit management practice, but there is
indication on executive compensation negatively influencing on profit management practice.
While company sizes found to have negative significant influence on profit management
practice, and in contrast, leverage has no influence on profit management practice.

Keywords: earning management, executive compensation, company size, leverage.

PENDAHULUAN
Kompensasi eksekutif erat kaitannya dengan hubungan keagenan dan konflik
keagenan antara principal dan agent. Penerapan Good Corporate Governance dilandaskan
pada adanya teori agensi yang menjelaskan hubungan atara manajer dengan pemilik. Emirzon
(2007) menggambakan bahwa hubungan keagenan timbul karena adanya kontrak yang
ditetapkan oleh principal/pemilik dengan agen/manajemen. Manajemen sebagai agen secara
moral bertanggung jawab untuk mengoptimalkan kekayaan pemilik dan sebagai imbalannya,
manajer akan memperoleh kompensasi sesuai dengan kontrak yang sudah ditetapkan
sebelumnya.
Berbagai konflik kepentingan dalam perusahaan baik antara manajer dengan
pemegang saham, manajer dengan kreditur atau antara pemegang saham, manajer dengan
kreditur disebabkan oleh adanya hubungan keagenan (agency relationship). Permasalahan
yang muncul dalam hubungan keagenan menurut Eisenhardt (1989) dalam Komari dan Faizal
(2007) adalah asumsi sifat dasar manusia (self interest, bounded rationality, risk aversion)
2

sehingga yang menjadi tekanan teori keagenan adalah organisasi (adanya konflik tujuan antar
anggota) dan informasi (sebagai komoditas yang dapat dibeli). Moral hazard dari pihak agen
mendorong agen untuk memaksimalkan keuntungannya sendiri dengan cara melakukan
praktik manajemen laba dengan tujuan untuk memperoleh bonus atau kompensasi dalam
bentuk lain apabila eksekutif/agen mampu mencapai target yang ditetapkan oleh perusahaan.
Dengan adanya sifat dasar manusia ini maka pihak prinsipal perlu melakukan pengendalian
agar agen melakukan pekerjaan sesuai dengan tugas dan wewenang yang telah diberikan.
Menurut Traichal dkk (1999) usaha untuk meminimumkan atau mengontrol konflik
antara agen dan prinsipal salah satunya adalah struktur kompensasi. Penerapan sistem
kompensasi diharapkan mampu menarik dan mempertahankan karyawan yang kompeten
sekaligus mengkaitkan keputusan manajemen dengan maksimisasi nilai kemakmuran
pemegang saham (Komari dan Faizal, 2007). Pihak principal dapat membatasi divergensi
kepentingannya dengan memberikan tingkat insentif yang layak kepada agen dan bersedia
mengeluarkan biaya pengawasan untuk mencegah hazard dari agen. Dengan sistem
kompensasi yang tepat bagi eksekutif diharapkan eksekutif tidak berusaha memaksimalkan
keuntungan pribadinya dan tetap terfokus pada tujuan utama perusahaan.
Penelitian mengenai hubungan kompensasi eksekutif dengan manajemen laba
diantaranya adalah penelitian Healy (1985) dalam Bergstresser dan Philippon (2006) dalam
yang menemukan bukti bahwa manajer memanipulasi pendapatan untuk memainkan bonus
yang diperolehnya. Selain itu Healy juga menemukan bukti bahwa kebijakan akrual manajer
terkait dengan insentif nonlinear yang terkandung dalam bonus kontraknya.
Di Indonesia penelitian mengenai pengaruh kompensasi eksekutif terhadap
manajemen laba salah satunya adalah penelitian Suryatiningsih dan Siregar tahun 2008.
Suryatiningsih dan Siregar (2008) meneliti kompensasi eksekutif secara spesifik dengan
menghitung skema bonus direksi pada Badan Usaha Milik Negara. Hasil penelitiannya adalah
3

bahwa skema bonus direksi BUMN memberikan insentif kepada direksi untuk melakukan
manajemen laba.
Penelitian ini merupakan replikasi dari penelitian yang dilakukan oleh Suryatiningsih
dan Siregar (2008). Adapun perbedaan penelitian ini dengan penelitian Suryatiningsih dan
Siregar (2008) terletak pada sampel penelitian dan cara perhitungan kompensasi eksekutif.
Sampel pada penelitian ini adalah perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI pada tahun
2010, sedangkan cara perhitungan kompensasi eksekutif didapat dari logaritma natural
penjumlahan gaji, bonus, dan tunjangan eksekutif.
Penelitian ini bertujuan untuk menemukan bukti empiris mengenai pengaruh
kompensasi eksekutif dengan praktik manajemen laba pada perusahaan manufaktur yang
terdapat di BEI pada tahun 2010. Penelitian ini diharapkan memberi manfaat bagi pihak
internal maupun eksternal perusahaan. Bagi perusahaan penelitian ini dapat digunakan
sebagai pertimbangan bagi perusahaan dalam memutuskan jumlah kompensasi yang tepat
bagi eksekutif sehingga tidak memotivasi praktik manajemen laba yang dilakukan oleh
eksekutif. Bagi investor, penelitian ini dapat berfungsi untuk memberikan pandangan
mengenai praktik manajemen laba yang dilakukan oleh eksekutif sebagai agen, sehingga
dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan investor dalam memutuskan keputusan
investasi.

LANDASAN TEORI
Kompensasi Eksekutif
Garry Dessler (1997) mendefinisikan kompensasi sebagai segala bentuk pembayaran
atau imbalan yang diberikan kepada karyawan oleh perusahaan sebagai balas jasa atas
kontribusi mereka kepada perusahaan. Menurut Mondy dan Neo (1998) balas jasa kepada
karyawan dapat berupa kompensasi finansial dan kompensasi non finansial. Kompensasi
4

eksekutif biasanya berupa gaji dasar, bonus tahunan, opsi atau saham untuk menghargai
kinerja jangka panjang mereka, tunjangan dan proyek kesepakatan kontrol (Tonn, 2008).
Dessler (1997), lebih lanjut menyatakan bahwa ada dua cara utama dalam melakukan
pembayaran keuangan langsung kepada karyawan, yakni pembayaran berdasarkan waktu dan
kinerja. Gaji dasar umumnya biaya tetap yang sudah ditetapkan oleh perusahaan, namun juga
dapat ditentukan oleh kinerja karyawan tersebut. Secara komprehensif sistem penggajian
dapat diartikan sebagai upaya untuk mengembangkan sekumpulan prosedur yang
memungkinkan organisasi untuk menarik, menahan dan memotivasi pegawai yang
berkualitas serta untuk mengendalikan biaya pembayarannya (Mitchel, 1994). Secara khusus
Sherman dan Bahlander (1992) dalam Fatma (2010) menerangkan bahwa sasaran dari
penggajian adalah :
(1) Untuk memberi imbalan kepada pegawai yang berprestasi,
(2) Untuk memberi daya saing dalam pasar tenaga kerja,
(3) Untuk mempertahankan pegawai dengan gaji yang layak,
(4) Untuk memberi motivasi kepada pegawai untuk berprestasi,
(5) Untuk mengendalikan anggaran biaya,
(6) Untuk mengikat pegawai pegawai baru,
(7) Untuk mengurangi perputaran pegawai yang tidak perlu
Komari dan Faisal (2007) berpendapat program kompensasi dimaksudkan untuk
mengurangi konflik kepentingan antara pemilik dengan manajemen karena adanya
maksimisasi nilai perusahaan (melalui program kompensasi) berarti juga meningkatkan
kesejahteraan manajemen. Pihak manajemen yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah
pihak direksi, namun karena di dalam laporan tahunan kompensasi yang dilaporkan adalah
penyatuan kompensasi antara pihak direksi dan pihak komisaris, maka kompensasi eksekutif
yang digunakan untuk penelitian ini adalah kompensasi direksi dan komisaris.
5

Dapat disimpulkan bahwa sistem kompesasi memiliki unsur feedback dengan kinerja
eksekutif sehingga komite remunerasi dalam perusahaan memiliki kewajiban untuk
memutuskan sistem remunerasi/kompensasi yang sepadan dengan tugas dan tanggungjawab
eksekutif agar keseimbangan dan kestabilan perusahaan dapat terjaga dengan baik.

Manajemen Laba
Definisi manajemen laba menurut Sulistyanto (2008) adalah perilaku manajer untuk
bermain-main dengan komponen-komponen akrual yang discretionary untuk menentukan
besar kecilnya laba, sebab akuntansi memang menyediakan berbagai alternatif serta metode
yang bisa dimanfaatkan.
Ada alasan mendasar mengapa manajer malakukan manajemen laba. Alasan-alasan
seperti harga pasar saham suatu perusahaan secara signifikan dipengaruhi oleh laba, risiko,
dan spekulasi sehingga perusahaan yang labanya selalu mengalami kenaikan dari periode ke
periode secara konsisten akan mengakibatkan resiko perusahaan ini mengalami penurunan
lebih besar dibandingkan prosentase kenaikan laba (Sulistyanto, 2008). Penelitian Scott
(2000) di NewJersey mengemukakan bahwa manajer kemungkinan terlibat dalam beragam
pola-pola pengelolaan laba di antaranya: (1) kepalang basah (taking a bath) merupakan
tindakan menggeser biaya discretionary accrual perioda mendatang ke perioda kini dan atau
menggeser pendapatan akrual diskresioner periode kini ke periode mendatang, (2)
meminimumkan laba ketika laba sebelum keputusan akrual lebih kecil daripada batas bawah
(bogey) atau melebihi batas atas (cap), (3) memaksimumkan laba ketika laba sebelum
keputusan akrual melebihi batas bawah tetapi tidak melebihi batas atas, dan (4) perataan laba
(income smoothing). Hal inilah yang mengakibatkan banyak perusahaan yang melakukan
pengelolaan dan pengaturan laba sebagai salah satu upaya untuk mengurangi resiko. Tujuan
manajemen laba adalah untuk mengelabuhi pemakai laporan keuangan.
6

Menurut Healy dan Wahlen dalam Riduwan (2001) bahwa earning management
terjadi ketika para manajer menggunakan keputusannya dalam pelaporan keuangan dan
dalam melakukan penyusunan transaksi untuk mengubah laporan keuangan baik untuk
menimbulkan gambaran yang salah bagi stakeholder tentang kinerja ekonomis perusahaan,
ataupun untuk mempengaruhi hasil kontraktual yang bergantung pada angka-angka akuntansi
yang dilaporkan.
Manajer sebagai pihak yang lebih superior dalam mengungkapkan informasi
perusahaan menjadikan sebuah kesenjangan antara manajer dan shareholders (Sulistyanto
dan Prapti, 2003). Kesenjangan informasi ini akan cenderung mendorong manajer untuk
berperilaku opportunis, manajer hanya akan mengungkapkan informasi tertentu jika ada
manfaat yang diperolehnya. DuCharme et al., 2000 dalam Sulistyanto dan Prapti (2003)
memaparkan bahwa manajemen laba dapat dilakukan dengan income creasing, yaitu
menggeser pendapatan masa depan (future earning) dengan pendapatam sekarang (current
earnings) dan biaya sekarang (current cost) menjadi biaya masa depan (future cost), sehingga
laba pada periode bersangkutan akan dilaporkan lebih tinggi dari yang seharusnya dan tidak
mencerminkan nilai fundamental perusahaan yang sebenarnya. Beberapa peneliti dalam
literatur/jurnal ekonomi memfokuskan penelitiannya pada praktik manajemen laba melalui
usaha para eksekutif untuk mengolah pendapatan menjadi lebih tinggi sehingga para
eksekutif mendapatkan manfaat berupa bonus yang diberikan oleh perusahaan (Bergstresser
dan Philippon, 2006).
Pekerjaan komite remunerasi adalah untuk memperkerjakan, memberhentikan,
mengkompensasi CEO dan untuk menyiapkan penasehat (Jensen, 1993). Pentingnya teori
remunerasi sangatlah jelas, jika tidak dibentuk komite remunerasi, ada sebuah kesempatan
bagi para eksekutif senior untuk memberikan penghargaan kepada dirinya dengan permintaan
7

gaji yang sangat tinggi yang tidak kongruen dengan kepentingan para pemegang saham
(Conyon dan Freeman, 2002).
Selain pemberikan remunerasi dalam bentuk rupiah, banyak perusahaan memberikan
remunerasi dalam bentuk opsi saham. Kepemilikan saham oleh eksekutif perusahaan
memberikan gambaran adanya penghargaan terhadap hak suara yang dimiliki oleh para
eksekutif perusahaan dan dapat menentukan porsi kontrol. Jensen dan Meckling (1976)
dalam Alves (2007) menyatakan bahwa kompensasi merupakan salah satu cara yang dapat
digunakan untuk menyatukan kepentingan antara manajer dan pemilik. Tentu saja ini berlaku
bagi perusahaan yang memberikan kompensasi kepada eksekutif berupa opsi atau hak
membeli saham. Selanjutnya Jensen dan Murphy menyatakan bahwa pembayaran atas kinerja
karyawan dapat meningkatkan keefektifan pemegang saham. Karena dengan memiliki saham
yang lebih besar, kepentigan CEO akan selaras dengan kepemilikan pemilik. Dalam kasus
seperti ini tuntutan atas kompensasi insetif menjadi berkurang

PERUMUSAN HIPOTESIS
Kompensasi eksekutif adalah salah satu alat yang masih dianggap efektif untuk
meningkatkan kinerja perusahaan (Komari dan Faizal, 2007). Disebut efektif karena ketika
para eksekutif pada sebuah perusahaan diberikan kompensasi yang sesuai dengan tugas dan
tanggungjawabnya, akan timbul kepercayaan dari diri eksekutif kepada perusahaan tempat ia
bekerja sehingga eksekutif akan berusaha memaksimalkan keahlian serta sumber daya yang
dimilikinya.
Umumnya para eksekutif akan berharap bahwa kinerja mereka berdampak positif
pada kinerja perusahaan sehingga eksekutif yang sudah mencapai prestasi kerja tertentu
mengharapkan level kompensasi tertentu pula. Kompensasi yang diberikan oleh perusahaan
tidak hanya mendorong para eksekutif untuk berusaha memaksimalkan kinerjanya dan
8

memberikan nilai tambah bagi perusahaan, bagi eksekutif yang opportunistic sistem
kompensasi yang tidak tepat memunculkan moral hazard eksekutif tersebut dan pada
akhirnya eksekutif melakukan praktik manajemen laba. Intensitas manajemen laba
berhubungan dengan desain kontrak kompensasi. Pada beberapa perusahaan besaran bonus
tergantung pada jumlah laba dibagi, sehingga direksi yang oportunis akan berusaha mencapai
jumlah laba dibagi tertentu, untuk dapat memaksimalkan penerimaan bonus mereka akan
melakukan manajemen laba (Purwati, 2010).
Sistem kompensasi dihitung beradasarkan kebutuhan setiap anggotanya. Namun
seringkali perusahaan menganggap kompensasi sebagai sebuah biaya yang harus ditekan
sehingga kompensasi yang diberikan kurang sesuai dengan kebutuhan/harapan eksekutif
tersebut. Dengan sistem kompensasi yang tidak sesuai harapan dan ditambah sifat dasar yang
dimiliki manusia (moral hazard), eksekutif akan berusaha mencari tambahan pendapatan
yang lain dengan cara yang tidak benar. Keadaan tersebut akan mendorong para eksekutif
untuk melakukan praktik manajemen laba dengan tujuan untuk memaksimisasi kepentingan
pribadinya. Balsam (1998) di USA menemukan bahwa adanya hubungan positif antara
kontrak kompensasi dengan discretionary accruals sebagai proksi manajemen laba.
Skema pemberian kompensasi berdasarkan laba merupakan cara yang paling popular
dalam memberikan penghargaan kepada eksekutif perusahaan, maka adalah logis apabila
manajer yang remunerasinya didasarkan pada tingkat laba akan memanipulasi laba tersebut
untuk memaksimalkan penerimaan remunerasinya (Suryatiningsih dan Siregar, 2008).
Burgstahler and Dichev (1997) berpendapat bahwa income smoothing akan menjadi
akal bagi manajer untuk mendapatkan bonus isentif yang terkait dengan pemenuhan target
pendapatan perusahaan.


9

Suryatiningsih dan Siregar (2008) dalam penelitiannya menemukan bahwa pada
BUMN yang meggunakan laba sebagai ukuran kinerja diduga akan memberikan insentif bagi
direksi untuk melakukan manajemen laba untuk memperoleh bonus yang lebih tinggi.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa besar kecilnya kompensasi yang
diterima oleh eksekutif berpengaruh terhadap praktik manajemen laba, sehingga perumusan
hipotesis penelitian ini adalah

H
1=
Jumlah kompensasi eksekutif berpengaruh negatif terhadap praktik manajemen laba

METODE PENELITIAN
Populasi dan sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI
pada tahun 2010. Pengambilan sampel pada penelitian ini dilakukan secara purposive
sampling. Adapun kriteria yang ditetapkan dalam pemilihan sampel adalah:
1. Perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI selama tahun 2010.
2. Perusahaan tersebut mengeluarkan annual report tahun 2010.
3. Data yang tersedia lengkap mengenai jumlah kompensasi eksekutif dan data-data
lainnya yang terkait dengan perhitungan manajemen laba.
Jenis data yang digunakan adalah data sekunder berupa laporan tahunan perusahaan
manufaktur. Data perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI selama tahun 2010
didapatkan dari ICMD, sedangkan laporan tahunan didapatkan dari website Bursa Efek
Indonesia (www.idx.co.id) dan dari website perusahaan terkait.
Variabel independen yang digunakan adalah jumlah kompensasi yang diberikan
perusahaan kepada eksekutif (komisaris dan direksi) pada tahun tersebut. Mengingat nilai
kompensasi eksekutif pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI memiliki interval
10

yang sangat luas maka dilakukan transformasi data ke dalam bentuk logaritma natural.
Perhitungan kompensasi didapat dari logaritma natural penjumlahan rupiah antara gaji,
bonus, tunjangan. Perumusannya adalah sebagai berikut:
KE
it
= ln(GJ
it
+ BNS
it
+ TUNJ
it
)
Keterangan :
KE
it =
Jumlah kompensasi eksekutif perusahaan i pada tahun t
GJ
it =
Gaji yang diberikan kepada eksekutif perusahaan i pada tahun t
BNS
it =
Bonus yang diberikan kepada eksekutif perusahaan i pada tahun t
TUNJ
it =
Tunjangan yang diberikan kepada eksekutif perusahaan i pada tahun t
Variabel dependen dalam penelitian ini adalah manajemen laba. Penggunaan
discretionary accruals sebagai proksi manajemen laba dihitung dengan menggunakan model
Dechow, Sloan dan Swenny (1995) yang memiliki rumus sebagai berikut:
TACC
it
= EXBT
it
OCF
it

Kemudian dilakukan estimasti model Dechow, Sloan dan Swenney (1995)
NDACC
it
=
1
(1 / Aset
it
-
1
) +
2
(Rev
it
Rec
it
) +
3
PPE
t
+ e

Persamaan NDACC
it
diestimasi setiap tahun untuk industri manufaktur. Selanjutnya akrual
diskrisioner diestimasi sebagai berikut:
DACC
it
= TACC
it
- NDACC
it
Keterangan :
DACC
it
= Discretionary Accruals perusahaan i pada periode ke t
NDACC
it
= Non Discretionary Accruals perusahaan i pada periode ke t
TACC
it
= Total akrual perusahaan i pada periode ke t
EXBT
it
= Laba bersih perusahaan i pada periode ke -t
11

OCF
it
= Aliran kas dari aktivitas operasi perusahaan i pada periode ke t
Asset
it-1
= Total aktiva perusahaan i pada periode ke t -1
Revt = Perubahan pendapatan perusahaan i pada periode ke t(diskala dengan Asset
it-1)

PPE
t
= Aktiva tetap perusahaan pada periode ke t (diskala dengan Asset
it-1)

Rec
t
= Perubahan piutang perusahaan i pada periode ke t (diskala dengan Asset
it-1)

e = error terms

Dalam penelitian ini digunakan dua variabel kontol, yaitu:
1. Ukuran Perusahaan (SIZE)
Ukuran perusahaan juga seringkali mengarah pada biaya politis, jika sebuah
perusahaan besar juga memiliki profitabilitas tinggi, maka biaya politisnya semakin
besar (Watts dan Zimmerman, 1990 dalam Suryatiningsih dan Siregar, 2008). Selain
itu dengan profitabilitas tinggi biasanya pajak yang ditanggung perusahaan juga
tinggi. Untuk mengantisipasi kemungkinan motivasi manajemen laba untuk
menghindari biaya politis dan pajak yang tinggi maka penelitian ini akan
menggunakan ukuran perusahaan sebagai variabel control. Sebagaimana Reitenga dkk
(2002) dalam Suryatiningsih dan Siregar (2008), ukuran perusahaan diestimasi
dengan menggunakan ln total asset. Logaritma natural dilakukan untuk mengatasi
distribusi variabel residual yang tidak normal.
2. Leverage
Untuk mengantisipasi adanya motivasi manajemen laba untuk menghindari
pelanggaran kontrak hutang, penelitian ini memasukkan leverage sebagai variabel
kontrol (Lobo dan Zou, 2001). Sebagaimana dalam Suryatiningsih dan Siregar (2008),
leverage ini dihitung berdasarkan rasio antara total kewajiban terhadap total aktiva
(DTA). Adanya indikasi perusahaan melakukan manajemen laba untuk menghindari
12

pelanggaran perjanjian utang dapat dilihat melalui kemampuan perusahaan tersebut
untuk melunasi kewajibannya dengan menggunakan asset yang dimiliki (Halia,
Karmel dan Rudolf, 2005). Perusahaan yang memiliki tingkat leverage tinggi diduga
melakukan manajemen laba agar terhindar dari tekanan hutang.

Teknik dan Langkah Analisis
Teknik analisis penelitian ini menggunakan regresi linier berganda. Langkah-
langkah penelitian dilakukan dengan cara:
1. Menghitung manajemen laba
Perhitungan manajemen laba menggunakan model Dechow, Sloan dan Swenney
(1995) yang menggunakan discretionary accruals sebagai proksi manajemen laba.
2. Statistik deskriptif
Pengujian statistik deskriptif diperlukan untuk mengetahui gambaran perusahaan
sampel.
3. Uji data (uji asumsi klasik)
Menurut Gujarati (2003) dalam Ghozali (2005) pengujian data dilakukan dengan uji
asumsi klasik yang bertujuan untuk memastikan bahwa hasil penelitian valid,
dengan data yang digunakan secara teori tidak bias, konsisten, dan penaksiran
koefisien regresinya efisien. Prasyarat dilakukannya analisis regresi adalah
melakukan pengujian data dengan pengujian asumsi klasik. Uji asumsi klasik
dilakukan dalam empat tahap,yaitu:
Uji Normalitas
Uji normalitas bertujuan untuk menguji normal atau tidaknya distribusi dalam
model regresi pada variabel pengganggu atau variabel residual (Ghozali, 2005). Uji
normalitas dilakukan dengan uji statistic Kolmogorov-Smirnov.
13

Uji Multikolinearitas
Multikolinearitas merupakan suatu keadaan dimana terdapat hubungan yang
sempurna antara beberapa atau semua variabel independen dalam model regresi.
Uji Heteroskedastisitas
Dilakukan dengan tujuan untuk menguji apakah dalam model regresi terjadi
ketidak samaan variance dari residual satu pengamatan ke pengamatan yang lain
(Ghozali, 2005). Jika variance dari suatu pengamatan ke pengamatan lain tetap maka
disebut homoskedastisitas. Untuk menguji semua kelompok sampel apakah bebas
dari masalah Heteroskedastisitas maka digunakan uji Glejser.
4. Uji Hipotesis
Isu yang digunakan dalam penelitian ini jumlah kompensasi yang diputuskan untuk
diberikan kepada eksekutif berpengaruh pada praktik manajemen laba suatu
perusahaan. Secara rumus, dpat dituliskam sebagai berikut:
DACC
it
= +
1
KE + SIZE + LEV

+
Keterangan:
DACC
it
= Manajemen Laba
= konstanta

1


=

koefisien regresi
KE = jumlah kompensasi eksekutif perusahaan i pada tahun t
SIZE = Ukuran perusahaan
LEV = Leverage
= error
Hipotesis statistik penelitian ini adalah:
H
0
:
1 =
0
H
1
:
1
0
14

HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Penentuan Sampel Penelitian
Populasi dalam penelitian ini merupakan perusahaan manufaktur yang terdaftar di
Bursa Efek Indonesia pada tahun 2010. Sampel diambil dengan menggunakan metode
purposive sampling dengan keterangan sebagai berikut;
Tabel 1. Penetuan Sampel Penelitian
Keterangan Jumlah
Jumlah perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI tahun 2010
147
Perusahaan yang tidak mengeluarkan annual report
(28)
Laporan keuangan perusahaan yang tidak menggunakan satuan
rupiah
(4)
Perusahaan yang tidak mempunyai kelengkapan data penelitian
(45)
Jumlah sampel yang digunakan
70

Dari jumlah sampel tersebut prosentase terbesar adalah perusahaan Automotive and Allied
Products yaitu sebesar 15,7%. Sejumlah 45 perusahaan tidak mengungkapkan informasi
mengenai jumlah kompensasi dan data-data lainnya sehingga perusahaan-perusahaan tersebut
tidak dimasukkan dalam sampel penelitian.

Statistik Deskriptif
Dari data yang diperoleh, berikut disajikan statistic deskriptif data sampel penelitian :
15


Tabel 2. Statistik Deskriptif
Variabel
Penelitian
Minimum Maximum Mean
Std.
Deviation
Manajemen Laba -3.730 3.810 -0.013 0.655
Kompensasi
eksekutif (ln)
20.133 24.834 22.432 1.223
Ukuran
Perusahaan(ln)
20.160 30.650 27.380 1.756
Leverage 0.001 0.836 0,431 0.212
Sumber : Data diolah 2012
Nilai rata-rata (mean) manajemen laba sebesar 0,013 dan angka ini negatif, artinya
pada tahun 2010 sebagian besar perusahaan manufaktur di Indonesia melakukan praktik
manajemen laba dengan pola meminimalkan labanya. Laba diminimalkan dengan indikasi
bahwa pada periode berikutnya perusahaan dapat memaksimalkan labanya untuk
mendapatkan bonus. Meskipun rata-rata kompensasi negatif, tidak semua perusahaan
melakuan manajemen laba dengan pola meminimalkan labanya karena pada hasil deskriptif
statistik menunjukkan nilai maksimum manajemen laba sebesar 3,81 dan nilainya positif,
sehingga masih ada beberapa perusahaan yang melakukan praktik manajemen laba dengan
pola memaksimalkan labanya.
Rata-rata kompensasi eksekutif sebesar 22,432 dan apabila dirupiahkan maka setara
dengan Rp 11.252 juta. Nilai kompensasi eksekutif paling tinggi 24,83 setara dengan Rp
60,339 juta dan kompensasi eksekutif terendah sebesar 20,13 atau setara dengan Rp 553 juta.
Rata-rata ukuran perusahaan (SIZE) manufaktur di Indonesia sebesar 27,380, angka ini
setara dengan asset perusahaan sebesar Rp 2.311.266 juta. Nilai rata-rata leverage sebesar
16

sebesar 0,431 atau aebesar 43,10% yang berarti bahwa rata-rata kemampuan perusahaan
manufaktur di Indonesia untuk memenuhi kewajiban dalam bentuk asset cukup baik yaitu
sebesar 43,10%. Nilai leverage paling tinggi adalah 0,836 atau sebesar 83,60%. Ini artinya
bahwa sebagian asset perusahaan didominasi oleh kewajiban. Setelah menghilangkan 3 rasio
leverage yang ekstrim (diatas 80%) maka diperoleh rata-rata leverage yang lebih baik yaitu
sebesar 0,389 atau 38,90%. Nilai maksimum leverage setelah menghilangkan 3 rasio yang
ekstri

Pengujian Hipotesis
Sebelum dilakukan pengujian dengan regresi berganda, terlebih dahulu dilakukan uji
asumsi klasik terhadap data penelitian. Berdasarkan pengujian normalitas menggunakan Uji
Kolmogornov Smirnov menghasilkan signifikansi yang nilainya di atas = 0,05 sehingga
dapat disimpulkan bahwa residual dalam penelitian ini berdistribusi normal. Dari uji
multikolinearitas, hasil tolerance dan VIF juga tidak ditemukan penyimpangan sehingga data
bebas dari multikolinearitas. Sedangkan hasil uji heterokedastitas juga menunjukkan tidak
adanya masalah heterokedastitas dalam model regresi. Oleh karena itu disimpulkan bahwa
model regresi yang digunakan dalam penelitian ini adalah nilai parametrik yang sahih. Hasil
pengujian asumsi klasik secara detail dapat dilihat di lampiran 3.
Berikut ini adalah ringkasan hasil uji regresi berganda untuk menguji pengaruh
kompensasi eksekutif terhadap praktik manajemen laba :
17


Tabel 3. Hasil Uji Regresi
Variabel penelitian
Koefisien
regresi t Sig.
Konstanta 4,026 3,674 0,006
Kompensasi eksekutif -0,055 -0,732 0,467
Ukuran perusahaan -0,111 -2,103 0,039
Leverage 0,123 0,349 0,728
R
2
=

0,135 Adjusted R
2
=0,095; F = 3,425 ; Sig=0,022
Sumber : Data diolah, 2012
Dari hasil uji regresi linear berganda didapat nilai hitung F sebesar 3,425 dengan
signifikansi 0,022 (di bawah 0,05) maka disimpulkan bahwa kompensasi eksekutif, ukuran
perusahaan dan leverage secara bersama-sama berpengaruh terhadap praktik manajemen laba
yang dilakukan oleh perusahaan. Besarnya Adjusted R
2
sebesar 0,095, hal ini berarti variasi
praktik manajemen laba dapat dijelaskan oleh variasi kompensasi eksekutif, ukuran
perusahaan dan leverage sebesar 9,50%. Sedangkan sisanya, sebesar 90,50% dijelaskan oleh
sebab-sebab lain di luar model penelitian ini.
Dari tiga variabel independen yang digunakan dalam penelitian, secara parsial
kompensasi eksekutif tidak berpengaruh secara signifikan terhadap praktik manajemen laba,
dimana kompensasi eksekutif memiliki nilai signifikansi 0,467 (di atas 0,05). Sehingga
hipotesis dalam penelitian ini ditolak. Meskipun demikian ada indikasi bahwa kompensasi
eksekutif berpengaruh terhadap praktik manajemen laba yang dilakukan oleh perusahaan.
Dilihat dari hasil koefisien regresi kompensasi eksekutif yang bernilai negatif, menunjukkan
apabila kompensasi eksekutif suatu perusahaan rendah maka ada indikasi bahwa praktik
18

manajemen laba yang dilakukan perusahaan tersebut tinggi, namun hasil penelitian
menunjukkan pengaruhnya tidak signifikan.
Hal ini diduga karena proporsi kompensasi pada perusahaan-perusahaan di Indonesia
lebih banyak didominasi oleh gaji dan tunjangan-tunjangan yang sifatnya cenderung tetap,
sedangkan proporsi kompensasi yang bersifat variabel dan dapat di-manage seperti bonus
sangatlah kecil. Hal ini memunculkan kondisi dimana eksekutif menjadi kurang tertarik untuk
melakukan praktik manajemen laba karena kompensasi tetap memiliki jumlah lebih besar
dibandingkan kompensasi yang bersifat variabel. Dengan kata lain bagaimanapun kinerja
jangka pendek perusahaan, eksekutif tetap akan mendapatkan gaji dan tunjangan yang lebih
besar daripada jumlah bonus yang didapat. Sehingga eksekutif menjadi kurang termotivasi
untuk melakukan praktik manajemen laba. Oleh karena itu baik kinerja perusahaan
mengalami peningkatan atau penurunan, kondisi ini tidak akan mempengaruhi praktik
manajemen laba perusahaan apabila proporsi kompensasi masih didominasi oleh komponen
kompensasi yang bersifat tetap seperti gaji dan tunjangan.
Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Suryatiningsih dan Siregar (2008)
yang menemukan adanya kompensasi eksekutif yang dihitung menggunakan skema bonus
direksi BUMN memberikan insentif kepada direksi untuk melakukan manajemen laba
melalui discretionary accrual untuk memaksimalkan bonus yang diterimanya. Perbedaan
hasil antara penelitian ini dan penelitian sebelumnya dimungkinkan karena perbedaan cara
menghitung kompensasi eksekutif dimana pada penelitian ini menggunakan logaritma natural
kompensasi eksekutif sedangkan penelitian Suryatiningsih dan Siregar menggunakan skema
bonus dalam perhitungan kompensasi eksekutif, perbedaan sampel penelitian juga menjadi
salah satu alasan perbedaan hasil penelitian.
Gao, dkk (2002) juga menunjukkan bahwa intensitas manajemen laba yang diukur
dengan nilai absolute discretionary accruals yang diskala dengan total asset, berhubungan
19

dengan kontrak kompensasi. Perbedaan hasil penelitian ini dengan penelitian-penelitian Gao,
dkk (2000) dapat dimungkinkan karena desain kontrak kompensasi antara perusahaan di
Indonesia dengan perusahaan di luar negeri berbeda antara proporsi kompensasi tetap dan
kompensasi variabelnya.
Dua variabel kontrol yang digunakan dalam penelitian ini adalah ukuran perusahaan
dan leverage. Dari hasil uji regresi ditemukan bahwa ukuran perusahaan berpengaruh
signifikan terhadap praktik manajemen laba yang dilakukan oleh perusahaan. Ada indikasi
apabila ukuran perusahaan kecil maka praktik manajemen labanya tinggi. Hal ini diduga
karena secara psikologis perusahaan yang kecil cenderung ingin diakui keberadaannya di
masyarakat. Sedangkan praktik manajemen laba yang dilakukan oleh perusahaan besar
diketahui rendah. Dalam penelitian ini asset menjadi salah satu item dalam pengukuran
manajemen laba sehingga asset menjadi memiliki pengaruh yang signifikan dalam praktik
manajemen laba. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Suryatiningsih
dan Siregar (2008), Rahmawati dan Baridwan (2006), Veronica dan Utama (2005) yang
menyatakan bahwa ukuran perusahaan berpengaruh secara signifikan terhadap manajemen
laba.
Sebaliknya, sebagai variabel kontrol leverage ditemukan tidak berpengaruh signifikan
terhadap praktik manajemen laba. Hal ini dikarenakan secara umum sampel penelitian
memiliki rata-rata nilai leverage sebesar 38,90%, angka rata-rata ini didapat setelah
menghilangkan 3 nilai leverage yang ekstrem. Selaim itu diduga bahwa kreditur juga bukan
salah satu pihak yang menekan eksekutif untik melakukan manajemen laba sehingga leverage
menjadi tidak signifikan dalam pengaruhnya terhadap praktik manajemen laba yang
dilakukan oleh perusahaan. Alasan lain seperti perjanjian hutang mungkin tidak digunakan
dalam salah satu unsur debt-covenant juga mengakibatkan leverage memiliki pengaruh yang
20

tidak signifikan terhadap manajemen laba seperti yang telah diungkapkan Suryatiningsih dan
Siregar (2008).
Hasil penelitian ini konsisten dengan penelitian yang dilakukan oleh Suryatiningsih
dan Siregar (2008) yang menemukan bahwa ukuran perusahaan berpengaruh terhadap praktik
manajemen laba sedangkan leverage diketemukan tidak berpengaruh signifikan terhadap
praktik manajemen laba.. Namun tidak konsisten dengan penelitian Halim, Carmel dan
Rudolf (2005) yang menyatakan bahwa ukuran perusahaan tidak berpengaruh signifikan
terhadap praktik manajemen laba sendangkan yang memiliki pengaruh yang signifikan
terhadap praktik manajemen laba adalah leverage. Ketidakkonsistenan hasil dikarenakan
perbedaan cara hitung.

PENUTUP
Kesimpulan
Dari pembahasan sebelumnya ditemukan bahwa kompensasi eksekutif tidak
berpengaruh terhadap praktik manajemen laba yang dilakukan oleh perusahaan, namun ada
indikasi bahwa kompensasi eksekutif memiliki pengaruh yang negatif terhadap praktik
manajemen laba. Selanjutnya sebagai variabel kontrol, ukuran perusahaan yang diproksikan
dengan total asset perusahaan berpengaruh terhadap praktik manajemen laba yang dilakukan
oleh perusahaan. Sebaliknya, leverage memiliki pengaruh yang tidak signifikan terhadap
praktik manajemen laba yang dilakukan perusahaan.
Sebagai implikasi teoritis, hasil penelitian ini masih belum konsisten dengan
penelitian-penelitian sebelumnya. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Suryatiningsih dan
Siregar (2008) yang menemukan adanya pengaruh antara kompensasi eksekutif yang dihitung
berdasarkan skema bonus berpengaruh terhadap praktik manajemen laba. Balsam (1998) di
USA juga menemukan bahwa adanya hubungan positif antara kontrak kompensasi dengan
21

discretionary accruals sebagai proksi manajemen laba. Selain itu Gao, dkk (2002) adanya
hubungan antara akrual diskrisioner dengan manajemen laba. Perbedaan hasil penelitian
dimungkinkan karena adanya perbedaan cara hitung, perbedaan sampel yang digunakan dan
perbedaan sistem kontrak kompensasi yang diterapkan di perusahaan manufaktur dan
BUMN, selain itu perbedaan struktur kompensasi eksekutif di Indonesia dengan kontrak
kompensasi yang diterapkan di luar negeri juga menjadi salah satu sebab perbedaan
penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya yang dilakukan di luar negeri. Di
Indonesia kontrak kompensasi cenderung didominasi oleh komponen-komponen kompensasi
yang sifatnya tetap. Namun penelitian ini mendukung penelitian Suryatiningsih dan Siregar
(2008) yang menunjukkan hasil bahwa sebagai variabel kontrol size ditemukan berpengaruh
terhadap praktik manajemen laba perusahaan, sedangkan leverage ditemukan tidak
berpengaruh terhadap manajemen laba perusahaan.
Oleh karena itu sebagai implikasi terapan, perusahaan-perusahaan manufaktur
disarankan untuk dapat mempertimbangkan struktur kompensasi yang diberikan kepada
eksekutif. Perusahaan dapat mempertimbangkan untuk memberikan kompensasi variabel
yang pengukurannya berdasarkan kinerja perusahaan, sehingga eksekutif termotivasi untuk
meningkatkan kinerja perusahaan. Namun perusahaan perlu menyadari pemberian
kompensasi yang bersifat variabel, seperti bonus dan opsi saham, mengandung resiko praktik
manajemen laba yang dilakukan oleh eksekutif. Untuk itu perusahaan harus lebih selektif
dalam menerapkan kontrak kompensasinya.
Terkait dengan investor, hasil penelitian ini dapat memberikan masukan kepada
investor untuk lebih mempertimbangkan ukuran perusahaan yang dikaitkan dengan praktik
manajemen laba yang dilakukan perusahaan. Dalam hal ini sebaiknya investor memilih
perusahaan besar dalam pengambilan keputusan investasi, karena tingkat praktik manajemen
laba perusahaan besar itu rendah.
22

Keterbatasan dan Saran
Adapun keterbatasan dalam penelitian ini adalah kompensasi yang digunakan adalah
kompensasi dalam jumlah keseluruhan baik gaji, tunjangan maupun bonus. Data pada
perusahaan manufaktur di Indonesia tidak memisahkan antara kompensasi yang bersifat tetap
dan variabel. Kompensasi yang dicantumkan adalah kompensasi dalam bentuk rupiah
sedangkan untuk kompensasi non rupiah data pada perusahaan manufaktur Indonesia kurang
memadai. Selain itu teknik estimasi dalam pembagian total akrual diskrisioner dan non
diskrisioner mengandung measurement error seperti yang diungkapkan oleh Suryatinigsih
dan Siregar (2008) .
Bertumpu pada keterbatasan yang dihadapi oleh peneliti, maka diberikan beberapa
saran untuk meningkatkan mutu penelitian selanjutnya. Untuk penelitian selanjutnya dapat
mempertimbangkan untuk melekukan penelitian pada lembaga keuangan karena informasi
yang diberikan pada lembaga keuangan cenderung lebih lengkap dibandingkan pada
perusahaan manufaktur. Apabila data memungkinkan, sangatlah tepat apabila kompensasi
diproksikan menggunakan kompensasi yang bersifat variabel dan dapat di-manage seperti
bonus dan opsi saham.

DAFTAR PUSTAKA
Aboody, David dan Ron Kasznik, 2000, "CEO Stock Option Awards and The Timing of
Corporate Voluntary Disclosure", Journal of Accounting and Economics, 29.

Agrawal, A. dan G.N. Mandelker, 1987, "Managerial Incentives and Corporate Investment
and Financing Decisions, Journal of Finance, 42

Alves, Sandra. 2009. The Association between Executive Stock Options and Corporate
Governance: Study in Portugal. Instituto Superior de Contabilidade e Administrao.
Portugal.

Astika, I.D.P., 2008. Perilaku Eksekutif dalam Menentukan Return Ekspektasian melalui
Program Opsi Saham Karyawan. Jurnal Riset Akuntansi Indonesia.
Vol.11/No.3/September 2009, hal. 327-347.

23

Asyik, N.F. 2006. Dampak Pernyataan Nilai Wajar Opsi Saham pada Pengaruh Magnituda
Kompensasi Program Opsi Saham Karyawan(POSK) terhadap Pengelolaan Laba.
Simposium Nasional Akuntansi 9 Padang.

Balsam S., 1998. Discretionary Accounting Choices and CEO Compensations. Contemporary
Accounting Research 15 (3), page 229-529

Bergester, Daniel and Thomas Phillippon, 2006, CEO Incentives and Earnings
Management. Journal of Financial Economics 80, 511-529.

Burgstahler, D., and I. Dichev. 1997. "Earnings Management to Avoid Earnings
Decreases and Lcs.ses."Journal of Accounting and Economics 24 (I): 99-126.

Conyon, M. J., & Freeman, R. B. 2002. Shared Modes of Compensation and Firm
Performance: UK evidence, Working Paper, Centre for Economic Performance,
London School of Economics and Political Science.

Core, J.E.; W.R., Guay. 2000. Stock Options Plans for Non-executives Employees. Journal of
Financial Economics 61, 253-287.

Dechow, PatriciaM., Richard G. Sloan, dan Amy P Sweeney. 1995. Detecting Earning
Management. The Accounting Review 70. Page 192-226.

Dessler, Gary, 1997, Manajemen Sumber Daya Manusia, Alih Bahasa : Benyamin
Molan,Penyunting Triyana Iskandarsyah, Edisi ke-7, Prenhalindo, Jakarta

Fatma, Bayu. 2010. Pengaruh Penerapan Mekanisme Good Corporate Governance
Terhadap Manajemen Laba dan Konsekuensi Manajemen Laba terhadap Kinerja
Keuangan. Skripsi Universitas Diponegoro.

Gaver, J., and K. Gaver. 1993. Additional Evidence on the Association Between the
Investment Opportunity Set and Corporate Financing, Dividend, and Compensation
Policies. Journal of Accounting and Economics 16 (January/April/July): 125-60.

Gao, Pengjie dan Ronald E. Shrives , Earning Management and Executive Compensation: a
Case of Overdose of Option and Underdose of Salary, 2002

Ghozali, Imam. 2005. Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS. Edisi ket iga.
Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro

Gujarati, Damodar. 2003. Basic Econometrics. Foutrh Edition. NewYork: MC. Graw-Hill
Inc. Jakarta: Erlangga.

Halim, Julia, Karmel Meiden, Rudolf Lumban T., 2005. Pengaruh Manajemen Laba pada
Tingkat Pengungkapan Laporan Keuangan pada Perusahaan Manufaktur yang
Termasuk dalam Indeks LQ-45. SNA VIII/ Solo/ 15-16 Sept. 2005, hal. 117-135.

Jensen, M. C., & Murphy, K. J. 1990. Performance Pay and Top Management Incentives.
Journal of Political Economy, 98(2), 225-264.

24

Jensen, M. 1993. The Modern Industrial Revolution, Exit, and The Failure of Internal
Control Mechanism, Journal of Finance, 48, 831-857.

Komari, Nurul dan Faisal. 2007. Analisis Hubungan Struktur Corporate Governance dan
Kompensasi Eksekutif.Jurnal Keuangan dan Perbankan XI/No.2/Mei 2007,
hal.213-224

Lobo, Gerald J. dan Jian Zhou (2001), Disclosure Quality And Earnings Management,
Social Science Research Network Electronic Paper Collection.

Mondy, R.W. & Noe, R.M. (1998). Human Resource Management. Sixth Edition, Allyn&
Bacon Inc, USA.

Purwati, Lilik. 2010. Kecakapan Manajerial, Skema Bonus, Manajemen Laba dan Kinerja
Perusahaan. Jurnal Aplikasi Manajemen VIII, no. 2, Mei 2010, hal. 430-436

Rahmawati. 2006. Model Penelitian Manajemen Laba pada Industri Perbankan Publik di
Indonesia dan Pengaruhnya terhadap Kinerja Perbankan. Artikel yang dipresentasikan
pada Seminar Bulanan Jurusan Akuntansi FE-UNS tanggal 27 Mei 2006

Scott, W.R. 2000. Financial Accounting Theory. Prentice Hall International, Inc. New
Jersey.

Suryatiningsih, N. dan Siregar, S.V. 2008. Pengaruh Skema Bonus Direksi terhadap
Aktivitas Manajemen Laba (Studi Empiris pada Badan Usaha Milik Negara) periode
2003-2006. Simposium Nasional Akuntansi II-Pontianak. Juli 2008.

Swenney, A.P. Debt Covenant violations and Managers accounting response. Journal of
Accounting and Economics.

Sulistyanto, Sri dan Meniek S. 2003. Stock Options, Akankah Mnedorong Eksekutif
menjadi Opportunis?. Jurnal Akuntansi dan Bisnis, Vol.1/No.2/Maret 2003, ISSN:
1412-775x.

Talha, ,Muhammad, Abdullah Sallehudin and Sukor Masaud. 2009. A Study of Directors
Remuneraation and Board Commite in Malaysia, Jo

Tonn, R. 2008. The Brave New World of Executive Compensations Plans. Colorado Springs
Bussines Journal. Jully 25

Veronica, Sylvia dan Siddarta Utama. 2005. Pengaruh Struktur Kepemilikan, Ukuran
Perusahaan, dan Praktik Corporate Governance terhadap Pengelolaan Laba (Earning
Management. Simposium Nasional Akuntansi VIII.

You might also like