You are on page 1of 18

REFERAT

KEHAMILAN EKTOPIK TERGANGGU








Disusun Oleh:
Nurul Faizatul Amira Bt Ab Mutalib
10-2012-228

Dokter Pembimbing
Dr. Afra, SpOG


FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
KEPANITERAAN ILMU KEBIDANAN DAN KANDUNGAN
RUMAH SAKIT BAKTHI YUDHA, DEPOK
24 JUNI 2013 31 AGUSTUS 2013
PENDAHULUAN

Blastokista biasanya berimplantasi pada lapisan endometrium rongga rahim. Implantasi di
tempat lain dianggap sebagai kehamilan ektopik. Hal ini berasal dari bahasa Greek ektopos
yaitu keluar dari tempat.
Meskipun kehamilan ektopik masih merupakan penyebab utama yang mengancam jiwa pada
trimester pertama, kecurigaan tinggi terhadap informasi klinis yang didapatkan dan prosedur
diagnostik yang modern sekarang menyebabkan diagnosis dan pengobatan dapat dilakukan pada
tanda-tanda awal gejala. Manajemen kehamilan ektopik telah berubah secara dramatis selama
bertahun-tahun. Antaranya adalah terapi medis dengan metotreksat sistemik, intervensi yang
ditargetkan secara spesifik untuk trofoblas yang sedang berproliferasi, dan sekarang ada juga
yang melakukan operasi. Namun, operasi tetap menjadi pilihan pertama ketika terjadinya ruptur
yang menyebabkan perdarahan intraperitoneal, kegagalan terapi medis, dan kasus-kasus di mana
terapi medis merupakan kontraindikasi.
Diagnosis dini dan pemilihan terapi yang optimal adalah kunci untuk pencegahan komplikasi,
pengendalian biaya dan mengurangkan kadar kematian.








PEMBAHASAN
I. Definisi
1. Kehamilan ektopik ialah kehamilan di mana sel telur yang dibuahi berimplantasi dan
tumbuh di luar endometrium kavum uterus. Termasuk dalam kehamilan kehamian
ektopik ialah kehamilan tuba, kehamilan ovarial, kehamilan intraligamenter, kehamilan
servikal, dan kehamilan abdominal primer atau sekunder.
1

2. Berasal dari bahasa Greek, ektopos yang bermaksud keluar dari tempatnya.
2

3. Kehamilan ekstrauterin tidak sinonim dengan kehamilan ektopik, karena kehamilan di
pars interstitialis tuba dan kanalis servikalis termasuk kehamilan intrauterin, tetapi jelas
bersifat ektopik.
1


II. Insiden
Angka kejadian kehamilan ektopik dari tahun ke tahun cenderung meningkat. Kejadian
kehamilan ektopik tidak sama di antara senter pelayanan kesehatan. Hal ini bergantung pada
kejadian salpingitis seseorang. Di Indonesia kejadian sekitar 5-6 per seribu kehamilan. Di Rumah
Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta, angka kejadian kehamilan ektopik pada tahun 1987
ialah 153 di antara 4.007 persalinan, atau 1 di antara 26 persalinan. Angka ini kurang lebih sama
dengan angka pada tahun 1971-1975. Sebagian besar kehamilan ektopik berlokasi di tuba,
teruma di ampula tuba.
1,3
Berdasarkan lokasi terjadinya, kehamilan ektopik dapat dibagi menjadi 5 berikut ini:
Kehamilan tuba: meliputi >95% yang terdiri atas pars ampularis (55%), pars ismika
(25%), pars fimbriae (17%), dan pars interstitialis (2%).
Kehamilan ektopik lain (<5%): antara lain terjadi di serviks uterus, ovarium, atau
abdominal. Untuk kehamilan abdominal lebih sering merupakan kehamilan abdominal
sekunder di mana semula merupakan kehamilan tuba yang kemudian abortus dan
meluncur ke abdomen dari ostium tuba pars abdominalis (abortus tubaria) yang
kemudian embrio/buah kehamilannya mengalami reimplantasi di kavum abdomen,
misalnya di mesenterium/mesovarium atau di omentum.
Kehamilan intraligamenter: jumlahnya sangat sedikit.
Kehamilan heterotopik: merupakan kehamilan ganda di mana satu janin berada di kavum
uteri sedangkan yang lain merupakan kehamilan ektopik. Kejadian sekitar satu per
15,000-40,000 kehamilan.
Kehamilan ektopik bilateral: kehamilan ini pernah dilaporkan walaupun sangat jarang
terjadi.
3


III. Etiologi
Etiologi kehamilan ektopik sudah banyak disebutkan karena secara patofisiologi mudah
dimengerti sesuai dengan proses awal kehamilan sejak pembuahan sampai nidasi Bila nidasi
terjadi di luar kavum uteri atau di luar endometrium, maka terjadilah kehamilan ektopik. Dengan
demikian, faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya hambatan dalam nidasi embrio ke
endometrium menjadi penyebab kehamilan ektopik ini. Faktor-faktor yang disebutkan adalah
sebagai berikut:
Faktor tuba
Adanya peradangan atau infeksi pada tuba menyebabkan lumen tuba menyempit atau
buntu. Keadaan uterus yang mengalami hipoplasia dan saluran tuba yang berkelok-kelok
panjang dapat menyebabkan fungsi silia tuba tidak berfungsi dengan baik. Juga pada
keadaan pascaoperasi rekanalisasi tuba dapat merupakan predisposisi terjadinya
kehamilan ektopik. Faktor tuba yang lain ialah adanya kelainan endometriosis tuba atau
divertikel saluran tuba yang bersifat kongenital. Adanya tumor di sekitar saluran tuba,
misalnya mioma uteri atau tumor ovarium yang menyebabkan perubahan bentuk dan
patensi tuba, juga dapat menjadi etiologi kehamilan ektopik.
Faktor abnormalitas dari zigot
Apabila tumbuh terlalu cepat atau tumbuh dengan ukuran besar, maka zigot akan
tersendat dalam perjalanan pada saat melalui tuba, kemudian terhenti dan tumbuh di
saluran tuba.
Faktor ovarium
Bila ovarium memproduksi ovum dan ditangkap oleh tuba yang kontralateral, dapat
membutuhkan proses khusus atau wakyu yang lebih panjang sehingga kemungkinan
terjadinya kehamilan ektopik lebih besar.
Faktor hormonal
Pada akseptor, pil KB yang hanya mengandung progesteron dapat mengakibatkan
gerakan tuba melambat. Apabila terjadinya pembuahan dapat menyebabkan terjadinya
kehamilan ektopik.
Faktor lain
Termasuk di sini antara lain adalah pemakai IUD di mana proses peradangan yang dapat
timbul pada endometrium dan endosalping dapat menyebabkan terjadinya kehamilan
ektopik. Faktor umur penderita yang sudah menua dan faktor perokok juga sering
dihubungkan dengan terjadinya kehamilan ektopik.
3

IV. Patologi
Pada proses awal kehamilan apabila embrio tidak bisa mencapai endometrium untuk proses
nidasi, maka embrio dapat tumbuh di saluran tuba dan kemudian akan mengalami beberapa
proses seperti pada kehamilan umumnya. Karena tuba bukan merupakan suatu media yang baik
untuk pertumbuhan embrio atau mudigah, maka pertumbuhan dapat mengalami beberapa
perubahan dalam bentuk berikut ini:
Hasil konsepsi mati dini dan diresorbsi
Pada implantasi secara kolumner, ovum yang dibuahi cepat mati karena vaskularisasi
kurang dan dengan mudah terjadi resorbsi total. Dalam keadaan ini penderita tidak
mengeluh apa-apa, hanya haidnya terlambat untuk beberapa hari.
Abortus ke dalam lumen tuba (abortus tubaria)
Perdarahan yang terjadi karena pembukaan pembuluh-pembuluh darah oleh vili korialis
pada dinding tuba di tempat implantasi dapat melepaskan mudigah dari dinding tersebut
bersama-sama dengan robeknya pseudokapsularis. Pelepasan ini dapat terjadi sebagian
atau seluruhnya, bergantung pada derajat perdarahan yang timbul. Bila pelepasan
menyeluruh, mudigah dengan selaputnya dikeluarkan dalam lumen tuba dan kemudian
didorong oleh darah ke arah ostium tuba pars abdominalis. Frekuensi abortus dalam tuba
bergantung pada implantasi telur yang dibuahi. Abortus ke lumen tuba lebih sering
terjadi pada kehamilan pars ampularis, sedangkan penembusan dinding tuba oleh vili
korialis ke arah peritoneum biasanya terjadi pada kehamilan pars ismika. Perbedaan ini
disebabkan oleh lumen pars ampularis yang lebih luas sehingga dapat mengikuti lebih
mudah pertumbuhan hasil konsepsi jika dibandingkan dengan bagian ismus dengan
lumen sempit.
Pada pelepasan hasil konsepsi yang tidak sempurna pada abortus, perdarahan akan terus
berlangsung, dari sedikit-sedikit oleh darah, sehingga berubah menjadi mola kruenta.
Perdarahan yang berlangsung terus menyebabkan tuba membesar dan kebiru-biruan
(hemosalping), dan selanjutnya darah mengalir ke rongga perut melalui ostium tuba.
Darah ini akan berkumpul di kavum Douglasi dan akan membentuk hematokel
retrouterina.
Ruptur dinding tuba
Ruptur tuba sering terjadi bila ovum berimplantasi pada ismus dan biasanya pada
kehamilan muda. Sebaliknya, ruptur pada pars interstitialis terjadi pada kehamilan yang
lebih lanjut. Faktor utama yang menyebabkan ruptur ialah penembusan vili korialis ke
dalam lapisan muskularis tuba terus ke peritoneum. Ruptur dapat terjadi secara spontan
atau karena trauma ringan seperti koitus dan pemeriksaan vaginal. Dalam hal ini akan
terjadi perdarahan dalam rongga perut, kadang-kadang sedikit, kadang-kadang banyak,
sampai menimbulkan syok dan kematian. Bila pseudokapsularis ikut pecah, maka terjadi
pula perdarahan dalam lumen tuba. Darah dapat mengalir ke dalam rongga perut melalui
ostiumtuba abdominal.
Bila pada abortus dalam tuba ostium tuba tersumbat, ruptur sukender dapat terjadi.
Dalam hal ini dinding tuba, yang telah menipis oleh invasi trofoblas, pecah karena
tekanan darah dalam tuba. Kadang-kadang ruptur terjadi di arah ligamentum itu. Jika
janin terus hidup, terdapat kehamilan intraligamenter.
Pada ruptur ke rongga perut seluruh janin dapat keluar dari tuba, tetapi bila robekan tuba
kecil, perdarahan terjadi tanpa hasil konsepsi dikeluarkan dari tuba. Perdarahan dapat
berlangsung terus sehingga penderita akan cepat jatuh dalam keadaan anemia atau syok
oleh karena hemoragia. Darah tertampung pada rongga perut akan mengalir ke kavum
Douglasi yang makin lama makin banyak dan akhirnya dapat memenuhi rongga
abdomen. Bila penderita tidak dioperasi dan tidak meninggal karena perdarahan, nasib
janin bergantung pada kerusakan yang diderita dan tuanya kehamilan. Bila janin mati
dan masih kecil, dapat diresorbsi seluruhnya, bila besar, kelak dapat diubah menjadi
litopedion.
Janin yang dikeluarkan dari tuba dengan masih diselubungi oleh kantong amnion dan
dengan plasenta masih utuh, kemungkinan tumbuh terus dalam rongga perut, sehingga
akan terjadi kehamilan abdominal sekunder. Untuk mencukupi kebutuhan makanan bagi
janin, plasenta dari tuba akan meluaskan implantasinya ke jaringan sekitarnya, misalnya
ke sebagian uterus, ligamentum latum, dasar panggul, dan usus.
3

V. Gambaran Klinik
Gejala klasik kehamilan ektopik adalah nyeri pada perut atau pelvis dan perdarahan
pervaginam dengan tes kehamilan positif. Namun, gejala ini bervariasi dari ringan sampai parah,
tidak sensitif maupun spesifik untuk diagnosis kehamilan ektopik.

Gambaran klinik kehamilan tuba yang belum terganggu tidak khas dan penderita maupun
dokternya biasanya tidak mengetahui adanya kelainan dalam kehamilan, sampai terjadinya
abortus tuba atau ruptur tuba. Pada umumnya penderita menunjukkan gejala-gejala kehamilan
muda, dan mungkin merasa nyeri sedikit di perut bagian bawah yang tidak seberapa dihiraukan.
Pada pemeriksaan vaginal uterus membesar dan lembek walaupun mungkin tidak sebesar tuanya
kehamilan. Tuba yang mengandung hasil konsepsi karena lembeknya sukar diraba pada
pemeriksaan bimanual. Pada pemeriksaan USG sangat membantu menegakkan diagnosis
kehamilan ini apakah intrauterin atau kehamilan ektopik. Untuk itu setiap ibu yang
memeriksakan kehamilan sebaiknya dilakukan pemeriksaan USG.
Apabila kehamilan ektopik mengalami penyulit atau terjadi ruptur pada tuba tempat lokasi
nidasi kehamilan ini akan memberikan gejala dan tanda yang khas yaitu timbulnya sakit perut
mendadak yang kemudian disusul dengan syok atau pingsan. Ini adalah pertanda khas terjadinya
kehamilan ektopik yang terganggu.
Walau demikian, gejala dan tanda kehamilan tuba terganggu sangat berbeda-beda, dari
perdarahan yang tiba-tiba dalam rongga perut sampai terdapatnya gejal yang tidak jelas,
sehingga sukar dibuat diagnosisnya. Gejala dan tanda bergantung pada lamanya kehamilan
ektopik terganggu, abortus atau ruptur tuba, tuanya kehamilan, derajat perdarahan yang terjadi,
dan keadaan umum penderita sebelum hamil.
Nyeri merupakan keluhan utama pada kehamilan ektopik terganggu. Pada ruptur tuba nyeri
perut bagian bawah terjadi secara tiba-tiba dan intensitasnya disertai dengan perdarahan yang
menyebabkan penderita pingsan dan masuk ke dalam syok. Biasanya pada abortus tuba nyeri
tidak seberapa hebat dan tidak terus-menerus. Rasa nyeri mula-mula terdapat pada satu sisi,
tetapi, setelah darah mausk ke dalam rongga perut, rasa nyeri menjalar ke bagian tengah atau ke
seluruh perut bawah. Darah dalam rongga perut dapat merangsang diafragma, sehingga
menyebabkan nyeri bahu dan bila membentuk hematokel retrouterina, menyebabkan nyeri
defekasi.
Perdarahan pervaginam merupakan tanda penting kedua pada kehamilan ektopik yang
terganggu. Hal ini menunjukkan kematian janin, dan berasal dari kavum uteri karena pelepasan
desidua. Perdarahan yang berasal dari uterus biasanya tidak banyak dan berwarna cokelat tua.
Frekuensi perdarahan dikemukan dari 51 hingga 93%. Perdarahan berarti gangguan
pembentukan human chorionic gonadotropin. Jika plasenta mati, desidua dapat dikeluarkan
seluruhnya.
Amenorea merupakan juga tanda yang penting pada kehamilan ektopik walaupun penderita
sering menyebutkan tidak jelasnya ada amenorea, karena gejala dan tanda kehamilan ektopik
terganggu bisa langsung terjadi beberapa saat setelah terjadinya nidasi pada saluran tuba yang
kemudian disusul dengan ruptur tuba karena tidak bisa menampung pertumbuhan mudigah
selanjutnya. Lamanya amenorea bergantung pada kehidupan janin, sehingga dapat bervariasi.
Sebagian penderita tidak mengalami amenorea karena kematian janin terjadi sebelum haid
berikutnya. Hal ini menyebabkan frekuensi amenorea yang dikemukakan berbagai penulis
berkisar 23 hingga 97%.
Pada kehamilan ektopik terganggu ditemukan pada pemeriksaan vaginal bahwa usaha
menggerakkan serviks uteri menimbulkan rasa nyeri, yang disebut dengan nyeri goyang (+) atau
slinger pijn (bahasa Belanda). Demikian pula kavum Douglasi menonjol dan nyeri pada perabaan
oleh karena terisi oleh darah. Pada abortus tuba biasanya teraba dengan jelas suatu tumor di
samping uterus dalam berbagai ukuran dengan konsistensi agak lunak. Hematokel retrouterina
dapat diraba sebagai tumor di kavum Douglasi. Pada ruptur tuba dengan perdarahan banyak
tekanan darah dapat menurun dan nadi meningkat, perdarahan lebih banyak lagi menimbulkan
syok.
Kehamilan ektopik terganggu sangat bervariasi, dari yang klasik dengan gejala perdarahan
mendadak dalam rongga perut dan ditandai oleh abdomen akut sampai gejala-gejala yang samar-
samar, sehingga sukar membuat diagnosis. Pemeriksaan USG dapat dilakukan secara
perabdominal atau pervaginam. Umumnya kita akan mendapatkan gambaran uterus yang tidak
ada kantong gestasinya dan mendapatkan bangunan massa hiperekoik yang tidak beraturan, tidak
berbatas tegas, dan di sekitarnya didapati cairan bebas gambaran darah intraabdominal). Gambar
USG kehamilan ektopik sangat bervariasi bergantung pada usia kehamilan, ada tidaknya
gangguan kehamilan (ruptur, abortus) serta banyak dan lamanya perdarahan intraabdomen.
Diagnosis pasti kehamilan ektopik secara USG hanya bisa ditegakkan bila terlihat kantong
gestasi berisi mudigah/janin hidup yang letaknya di luar kavum uteri. Namun, gambaran ini
hanya dijumpai pada 5-10% kasus.
Sebagian besar kehamilan ektopik tidak memberikan gambaran yang spesifik. Uterus
mungkin besarnya normal atau mengalami sedikit pembesaran yang tidak sesuai dengan usia
kehamilan. Endometrium menebal ekogenik sebagai akibat reaksi desidua. Kavum utei sering
berisi cairan eksudat yang diproduksi oleh sel-sel desidua, yang pada pemeriksaan terlihat
sebagai struktur cincin anekoik yang disebut kantong gestasi palsu (pseudogestational sac).
Berbeda dengan kantong gestasi yang sebenarnya, kantong gestasi palsu letaknya simetris di
kavum uteri dan tidak menunjukkan struktur cincin ganda.
Seringkali dijumpai massa tumor di daerah adneksa, yang gambarannya sangat bervariasi.
Mungkin terlihat kantong gestasi yang masih utuh dan berisi mudigah, mungkin hanya berupa
massa ekogenik dengan batas ireguler, ataupun massa kompleks yang terdiri atas sebagian
ekogenik dan anekoik. Gambaran massa yang tidak spesifik ini mungkin sulit dibedakan dari
gambaran yang disebabkan oleh peradangan adneksa, tumor ovarium, ataupun massa
endometrioma. Pada 15-20% kasus kehamilan ektopik tidak dijumpai adanya massa di adneksa.
Perdarahan intraabdomen yang terjadi akibat kehamilan ektopik terganggu juga tidak
memberikan gambaran spesifik, bergantung pada banyak dan lamanya proses perdarahan.
Gambarannya dapat berupa massa anekoik di kavum Douglasi yang mungkin meluas sampai ke
bagian atas rongga abdomen. Bila sudah terjadi bekuan darah, gambaran berupa massa ekogenik
yang tidak homogen. Gambaran perdarahan akibat kehamilan ektopik sulit dibedakan dari
perdarahan atau cairan bebas yang terjadi oleh sebab lain, seperti endometriosis pelvik,
peradangan pelvik, asites, pus, kista pecah, dan perdarahan ovulasi.
Bila kita tidak mempunyai fasilitas USG diagnosis dapat dibantu ditegakkan dengan
melakukan pemeriksaan pungsi kavum Douglasi (kuldosentesis) di mana jendalan darah yang
melayang-layang di kavum Douglasi terisap saat dilakukan pungsi.
3,4

VI. Diagnosis
1. Tes kehamilan
Yang dimaksud dengan tes kehamilan dalam hal ini ialah reaksi imunologik untuk
mengetahui ada atau tidaknya hormon Human Chorionic Gonadotropin (hCG) dalam air
kemih. Tes kehamilan dilakukan jika hemodinamik pasien stabil dan bukan merupakan
kasus emergensi.

Jaringan trofoblas kehamilan ektopik menghasilkan hCG dalam kadar yang lebih rendah
daripada kehamilan intrauterin normal, oleh sebab itu dibutuhkan tes yang mempunyai
tingkat sensitifitas yang tinggi. Apabila tes hCG mempunyai sensitifitas 25iu/l, maka 90-
100% kehamilan ektopik akan memberi hasil yang positif. Tes kehamilan dengan
antibodi monoklonal mempunyai nilai sensitiftas + 50 mIU/ml dan dalam penelitian
dilaporkan 90-96% kehamilan ektopik memberikan hasil yang positif. Suatu hal yang
perlu diingat adalah faktor sensitifitas dipengaruhi oleh berat jenis air kemih yang
diperiksa. Yang lebih penting adalah tes kehamilan tidak dapat membedakan.
1,5

2. Kuldosentesis
Suatu cara pemeriksaan untuk mengetahui apakah dalam kavum Douglai ada darah. Cara
ini sangat berguna dalam membantu membuat diagnosis kehamilan ektopik terganggu.
Teknik kuldosentesis dapat dilaksanakan dengan urutan berikut:
Penderita dibaringkan dalam posisi litotomi
Vulva dan vagina dibersihkan dengan antiseptik
Spekulum dipasang dan bibir belakang porsio dijepit dengan cunam serviks, dengan
traksi ke depan sehingga forniks posterior tampak.
Jarum spinal No.18 ditusukkan ke dalam kavum Douglasi dan dengan semprit 10ml
dilakukan pengisapan.
Bila pada pengisapan ditemukan darah, maka isinya disemprotkan pada kain kasa dan
diperhatikan apakah darah yang dikeluarkan merupakan:
o Darah segar berwarna merah yang dalam beberapa menit akan membeku,
darah ini berasal dari arteri atau vena yang tertusuk.
o Darah tua berwarna cokelat sampai hitam yang tidak membeku, atau yang
berupa bekuan kecil-kecil, darah ini menunjukkan adanya hematokel
retrouterina.
3


3. Ultrasonografi
Aspek yang terpenting dalam penggunaan ultrasonografi pada penderita yang diduga
mengalami kehamilan ektopik ialah evaluasi uterus. Atas dasar pertimbangan bahwa
kemungkinan kehamilan ektopik yang terjadi bersama-sama kehamilan intrauterin 1:30
000 kasus, maka dalam segi praktis dapat dikatakan bahwa apabila dalam pemeriksaan
ultrasonografik ditemukan kantung gestasi intrauterin, kemungkinan kehamilan ektopik
dapat disingkirkan.
Kesalahan diagnostik dapat terjadi kalau dalam kavum uterus ditemukan kantung gestasi
palsu (pseudosac). Beberapa faktor penyebab ditemukannya pseudosac adalah
terdapatnya darah dalam kavum uterus, decidual lining pada uterus, proliferasi
endometrium yang amat tebal dan edem pada wanita yang tidak hamil.
Setelah selesai melakukan evaluasi uterus, langkah berikutnya adalah evaluasi adneksa.
Diagnosis pasti kehamilan ektopik melalui pemeriksaan ultrasonografik ialah apabila
ditemukan kantung gestasi di luar uterus yang di dalamnya tampak denyut jantung janin.
Hal ini hanya terdapat pada + 5% kasus kehamilan ektopik. Walaupun demikian, hasil ini
masih harus diyakni lagi bahwa ia bukan berasal dari kehamilan intrauterin pada kasus
uterus bikornis.
1

4. Laparoskopi
Hanya digunakan sebagai alat bantu diagnostik terakhir untuk kehamilan ektopik apabila
hasil penilaian prosedur diagnostik yang lain meragukan. Melalui prosedur laparoskopik,
alat kandungan bagian dalam dapat dinilai. Secara sistematis dinilai keadaan uterus,
ovarium, tuba, kavum Douglasi, dan ligamentum latum. Adanya darah dalam rongga
pelvis mungkin mempersulit visualisasi alat kandungan, tetapi hal ini menjadi indikasi
untuk dilakukan laparotomi.
3

VII. Pengelolaan
Penanganan kehamilan ektopik pada umumnya adalah laparotomi. Dalam tindakan demikian,
beberapa hal harus diperhatikan dan dipertimbangkan yaitu kondisi penderita saat itu, keinginan
penderita akan fungsi reproduksinya, lokasi kehamilan ektopik, kondisi anatomik organ pelvis,
kemampuan teknik bedah mikro dokter operator, dan kemampuan teknologi fertilisasi invitro
setempat. Hasil pertimbangan ini menentukan apakah perlu dilakukan salpingektomi pada
kehamilan tuba, atau dapat dilakukan pembedahan konservatif dalam arti hanya dilakukan
salpingostomi atau reanastomosis tuba. Apabila kondisi penderita buruk, misalnya dalam
keadaan syok, lebih baik dilakukan salpingektomi.
Pada kasus kehamilan ektopik di pars ampularis tuba yang belum pecah pernah dicoba ditangani
dengan menggunakan kemoterapi untuk menghindari tindakan pembedahan. Kriteria kasus yang
diobati dengan cara ini ialah:
Kehamilan di pars ampularis tuba belum pecah
Diameter kantong gestasi < 4cm
Perdarahan dalam rongga perut < 100ml
Tanda vital baik dan stabil
Obat yang digunakan ialah metotreksat 1mg/kg I.V. dan faktor sitrovorum 0,1mg/kg I.M.
berselang-seling setiap hari selama 8 hari. Dari seluruh 6 kasus yang diobati, satu kasus
dilakukan salpingektomi pada hari ke-12 karena gejala abdomen akut, sedangkan 5 kasus
berhasil diobati dengan baik.
3

VIII. Macam Kehamilan Ektopik
1. Kehamilan Pars Interstitialis Tuba
Kehamilan ektopik ini terjadi bila ovum bernidasi pada pars interstitialis tuba. Keadaan ini
jarang terjadi dan hanya 1% dari semua kehamilan tuba. Ruptur pada keadaan ini terjadi pada
kehamilan lebih tua, dapat mencapai akhir bulan keempat. Perdarahan yang terjadi sangat
banyak dan bila tidak segera dioperasi, akan menyebabkan kematian.
Tindakan operasi yang dilakukan adalah laparotomi untuk membersihkan isi kavum abdomen
dari darah dan sisa jaringan konsepsi serta menutup sumber perdarahan dengan melakukan
irisan baji (wedge resection) pada kornu uteri di mana tuba pars interstitialis berada. Perlu
diperhatikan pasca tindakan ini untuk kehamilan berikutnya.

2. Kehamilan Ektopik Ganda
Sangat jarang kehamilan ektopik berlangsung bersamaan dengan kehamilan intrauterin.
Keadaan ini disebut kehamilan ektopik ganda (combined ectopic pregnancy). Frekuensinya
berkisar 1 di antara 15.000-40.000 persalinan. Di Indonesia dilaporkan sudah ada beberapa
kasus.
Pada umumnya diagnosis kehamilan dibuat pada waktu operasi kehamilan ektopik yang
terganggu. Pada laparotomi ditemukan selain kehamilan ektopik, uterus yang membesar
sesuai dengan tuanya kehamilan, dan 2 korpora lutea. Pengamatan lebih lanjut adanya
kehamilan intrauterin menjadi lebih jelas. Setelah laparotomi untuk mengelola kehamilan
ektopiknya kehamilan intrauterin dapat berlanjut seperti kehamilan lainnya.

3. Kehamilan Ovarial
Kehamilan ovarial primer sangat jarang terjadi. Diagnosis kehamilan tersebut ditegakkan atas
dasar 4 kriterium dari Spiegelberg, yakni:
Tuba pada sisi kehamilan harus normal
Kantong janin harus berlokasi pada ovarium
Kantong janin dihubungkan dengan uterus oleh ligamentum ovari propium
Jaringan ovarium yang nyata harus ditemukan dalam dinding kantong janin
Kriteria tersebut sebenarnya sukar dipenuhi karena kerusakan jaringan ovarium, pertumbuhan
trofoblas yang luas, dan perdarahan menyebabkan topografi kabur, sehingga pengenalan
implantasi permukaan ovum sukar ditentukan dengan pasti. Diagnosis yang pasti diperoleh bila
kantong janin kecil, dikelilingi oleh jaringan ovarium dengan trofoblas memasuki alat tersebut.
Pada kehamilan ovarial biasanya terjadi ruptur pada kehamilan muda dengan akibat perdarahan
dalam perut. Hasil konsepsi dapat pula mengalami kematian sebelumnya, sehingga tidak terjadi
ruptur, ditemukan benjolan dengan berbagai ukuran, yang terdiri atas jaringan ovarium yang
mengandung darah, vili korialis, dan mungkin juga selaput mudigah.
4. Kehamilan Servikal
Kehamilan servikal pun sangat jarang terjadi. Bila ovum berimplantasi dalam kanalis
servikalis, maka akan terjadi perdarahan tanpa nyeri pada kehamilan muda. Jika kehamilan
berlangsung terus, serviks membesar dengan ostium uteri eksternum terbuka sebagian.
Kehamilan servikal jarang melampaui 12 minggu dan biasanya diakhiri secara operatif oleh
karena perdarahan, sehingga untuk menghentikan perdarahan diperlukan histerektomi totalis.
Rubin (1911) mengajukan kriteria kehamilan servikal sebagai berikut:
Kelenjar serviks harus ditemukan di seberang tempat implantasi plasenta
Tempat implantasi plasenta harus di bawah arteria uterina atau di bawah peritoneum
viserale uterus
Janin/mudigah tidak boleh terdapat di daerah korpus uterus
Implantasi plasenta di serviks harus kuat
Kesulitan dalam penilaian kriteria Rubin ialah bahwa harus dilakukan histerektomi atau
biopsi jaringan yang adekuat. Oleh sebab itu, Paalman dan McElin (1959) membuat kriteria
klinik sebagai berikut:
Ostium uteri internum tertutup
Ostium uteri eksternum terbuka sebagian
Seluruh hasil konsepsi terletak dalam endoserviks
Perdarahan uterus setelah fase amenorea tanpa disertai rasa nyeri
Serviks lunak, membesar, dapat lebih besar dari fundus uteri, sehingga terbentuk
hour-glass uterus.

5. Kehamilan Ektopik Kronik (Hematokel)
Istilah kehamilan ektopik kronik di sini dipakai karena pada keadaan ini anatomi sudah
kabur, sehingga biasanya tidak dapat ditentukan apakah kehamilan ini kehamilan abdominal,
kehamilan tubo-ovarial atau kehamilan intraligamenter yang janinnya telah mati disertai
adanya gumpalan darah yang semula berasal dari perdarahan ruptur kantong gestasi yang
kemudian perdarahan tersebut berhenti dan menggumpal dalam bentuk kantong jendalan
darah. Penderita tidak merasakan sakit lagi, tetapi pada pemeriksaan fisik dan USG
didapatkan massa yang berisi jendalan-jendalan darah seperti tersebut di atas.
Kehamilan ektopik kronik pada umumnya terjadi setelah ruptur tuba atau abortus tuba dan
selanjutnya janin dapat tumbuh terus karena mendapat cukup zat-zat makanan dan oksigen
dari plasenta yang dapat meluaskan insersinya pada jaringan sekitarnya, seperti tuba, uterus,
dan dinding panggul, usus. Bila janin tetap tumbuh membesar dapat bertahan hidup sebagai
kehamilan abdominal. Pada ibu yang mendambakan punya anak melalui kehamilan ini pada
umumnya akan meminta pada dokter untuk tetap mempertahankan kelangsungan kehidupan
kehamilannya walaupun kadang-kadang merasa sakit. Dengan pengobatan simptomatis
keluhan sakit ini berkurang dan pertumbuhan janin dapat berlangsung terus. Kehamilan ini
merupakan komplikasi obstetrik yang mempunyai morbiditas dan mortalitas janin yang
tinggi dan sangat membahayakan ibu sehingga tidak bijaksana bila kita menemukan
kehamilan abdominal masih berupaya untuk mempertahankan sampai genap bulan.
Dianjurkan bila diagnosis kehamilan abdominal sudah tegak harus dilakukan laparotomi
untuk pengambilan/penghentian kehamilan tersebut.
Frekuensi kehamilan abdominal lanjut sangat jarang. Dilaporkan bahwa di rumah sakit Dr.
Cipto Mangunkusumo dari tahun 1967 hingga tahun 1972, ditemukan 1 kasus kehamilan
ektopik lanjut di antara 1.065 persalinan. Berbagai penulis mengemukakan angka-angka
untuk kehamilan abdominal sebagai berikut. Cross dan kawan-kawan (1951) 1 di antara
2.207 persalinan, King (1954) di antara 5.000 persalinan, dan Crowford dan Ward (1957) 1
di antara 3.161 persalinan.
Gambaran klinik pada kehamilan ektopik lanjut bergantung pada keadaan janin yang
biasanya terletak dalam kantong janin, umumnya tidak baik dan sebagian besar meninggal.
Selain itu, sering ditemukan kelainan kongenital karena sempitnya ruangan untuk tumbuh.
Bila janin meninggal setelah mencapai umur tertentu, sukar untuk diresorbsi, sehingga akan
mengalami supurasi, mumifikasi, kalsifikasi, atau adipocere. Pada supurasi bila kantong janin
pecah infeksi bisa menyebar; jika penderita tidak meninggal maka ada kemungkinan bahwa
bagian-bagian janin dikeluarkan melewati rektum, kandung kencing, atau dinding perut,
bergantung pada lokus minoris resistensi yang terbentuk. Pada keadaan lain janin menjadi
mummi atau litopedion, dan tinggal bertahun-tahun di perut.
Karena tipisnya kantong janin, penderita merasakan gerakan janinnya lebih jelas daripada
kehamilan dalam uterus. Jika janin hidup terus, maka setiap waktu kantong janin dapat sobek
dengan kemungkinan timbulnya perdarahan yang banyak dalam perut. Kehamilan mungkin
pula berlangsung sampai cukup bulan. Jika saat ini tercapai, penderita merasa mules seperti
akan bersalin (spurious labour), dan janin tidak lama kemudian meninggal.
Diagnosis ditegakkan dengan melakukan anamnesis yang tidak jarang memberi petunjuk
adanya kehamilan muda yang disertai dengan perdarahan dan nyeri perut bagian bawah.
Penderita merasakan bahwa kehamilan ini tidak berjalan seperti biasa, gejala gastrointestinal
nyata, dan gerakan anak dirasakan lebih nyeri.
Pada kehamilan lebih lanjut pada pemeriksaan abdomen sering ditemukan kelainan letak
janin. Bagian-bagian janin teraba lebih jelas di bawah kulit, walaupun pada multipara dan
perempuan dengan dinding perut yang tipis kesan tersebut kadang-kadang juga diperoleh.
Kontraksi Braxton-Hicks pada tumor berisi janin tidak dapat ditimbulkan seperti pada
kehamilan dalam uterus.
Pada pemeriksaan vaginal sering kali didapatkan serviks terletak tinggi di vagina dan
biasanya tidak seberapa besar dan lembek seperti pada kehamilan intrauterin. Benda sebesar
tinju kecil berhubungan dengan serviks tidak jarang ditemukan di samping atau di depan
tumor berisi janin. Benda itu ialah uterus. Bahwa tumor itu benar uterus, dapat dibuktikan
dengan timbulnya kontraksi bila penderita diberi suntikan 1 satuan oksitosin intramuskulus.
Pemeriksaan dengan foto rontgen sering menunjukkan janin dalam letak melintang, miring,
atau dalam sikap dan lokasi yang abnormal. Pada pemeriksaan ulangan lokasi janin tetap
sama. Pada saat ini pemeriksaan dengan ultrasonografi sangat membantu dalam diagnostik
kehamilan ektopik lanjut.
Pengelolaan pada kehamilan ektopik lanjut dengan janin hidup, dengan pecahnya kantong
janin selalu ada bahaya perdarahan dalam rongga perut. Hal ini dapat timbul setiap waktu.
Maka dari itu, setelah diagnosis dibuat, perlu segera dilakukan operasi tanpa memandang
tuanya kehamilan. Persediaan darah paling sedikit 1 liter karena perdarahan yang sangat
banyak dapat terjadi bila plasenta tanpa disengaja untuk sebagian dilepas. Hemostatis tempat
implantasi plasenta pada kehamilan ektopik lanjut tidak ada karena alat-alat sekitar uterus
tidak mengandung otot yang dapat menutup pembuluh darah pada bekas implantasi plasenta,
seperti pada kehamilan intrauterin. Jika janin sudah meninggal, operasi perlu juga dilakukan,
akan tetapi keadaannya tidak begitu mendesak. Setelah dinding perut dibuka, selaput janin
dipotong pada daerah yang mengandung sedikit pembuluh darah, janin dikeluarkan hati-hati,
dan dihindarkan tarikan yang berlebihan pada tali pusat. Tali pusat dipotong dekat pada
plasenta dan plasenta pada umumnya ditinggalkan.
Plasenta di sini tidak seperti pada kehamilan intrauterin berimplantasi pada dasar yang
setelah plasenta diangkat, tidak berkontraksi dan menutup pembuluh-pembuluh darah yang
terbuka. Maka, jika plasenta diangkat, timbul perdarahan terus-menerus. Oleh sebab itu,
umumnya plasenta ditinggalkan.
Plasenta hanya dikeluarkan bila berimplantasi pada alat yang bersama-sama dapat
dikeluarkan dengan pengikatan pembuluh-pembuluh darah. Dengan meninggalkan plasenta
dalam rongga perut ada kemungkinan terjadi infeksi, supurasi, perlekatan, luka perut terbuka,
atau kadang-kadang ileus. Walaupun demikian, sikap meninggalkan plasenta masih dapat
dipertanggungjawabkan karena pengeluaran plasenta menimbulkan perdarahan demikian
banyaknya, sehingga penderita dapat meninggal pada waktu operasi.
Luka dinding perut ditutup tanpa meninggalkan drain, kecuali bila ada supurasi atau
perdarahan yang tidak banyak tetapi difus. Plasenta yang ditinggalkan dalam rongga perut
lambat laun mengecil karena resorbsi, tetapi hal ini memerlukan waktu beberapa tahun.
3



DAFTAR PUSTAKA

1. Winkjosastro H, Saifuddin AB, Rachimhadhi T. Ilmu Bedah Kebidanan. Edisi pertama,
cetakan kedelapan. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2010.
2. Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC, Rouse DJ, Spong CY. Williams
Obstetrics. 23
rd
ed. USA: The McGraw-Hill Companies; 2010.
3. Saifuddin AB, Rachimhadhi T, Wiknjosastro GH. Ilmu Kebidanan Sarwono
Prawirohardjo. Edisi 4. Jakarta: PT Bina Pustaka; 2010.
4. Gibbs RS, Karlan BY, Arthur FH, Nygaard I. Danforths Obstetrics and Gynecology. 10
th

edition. Lippincott Williams & Wilkins; 2008.
5. Pernoll ML. Obstetrics & Gynecology. 10
th
edition. USA: The McGraw-Hill Companies;
2001.

You might also like