You are on page 1of 9

Posted April 7th, 2009 by aeconomic.

love
Tugas Kuliah Lainnya
PERANAN PERS DALAM MASYARAKAT DEMOKRATIS DI INDONESIA PADA MASA
ORDE BARU DAN REFORMASI
Negara demokrasi adalah negara yang mengikutsertakan partisipasi rakyat dalam pemerintahan
serta menjamin terpenuhinya hak dasar rakyat dalam kehidupan berbangsa, dan bernegara. Salah
satu hak dasar rakyat yang harus dijamin adalah kemerdekaan menyampaikan pikiran, baik
secara lisan maupun tulisan.
Pers adalah salah satu sarana bagi warga negara untuk mengeluarkan pikiran dan pendapat serta
memiliki peranan penting dalam negara demokrasi. Pers yang bebas dan bertanggung jawab
memegang peranan penting dalam masyarakat demokratis dan merupakan salah satu unsur bagi
negara dan pemerintahan yang demokratis. Menurut Miriam Budiardjo, bahwa salah satu ciri
negara demokrasi adalah memiliki pers yang bebas dan bertanggung jawab.
Pengertian Pers
Ada 2 pengertian tentang pers, yaitu sbb :
1. dalam arti sempit ; Pers adalah media cetak yang mencakup surat kabar, koran, majalah,
tabloid, dan buletin-buletin pada kantor berita.
2. dalam arti luas ; Pers mencakup semua media komunikasi, yaitu media cetak, media audio
visual, dan media elektronik. Contohnya radio, televisi, film, internet, dsb.
Perkembangan Pers di Indonesia
Sejarah perkembangan pers di Indonesia tidak terlepas dari sejarah politik Indonesia. Pada masa
pergerakan sampai masa kemerdekaan, pers di Indonesia terbagi menjadi 3 golongan, yaitu pers
Kolonial, pers Cina, dan pers Nasional.
Pers Kolonial adalah pers yang diusahakan oleh orang-orang Belanda di Indonesia pada masa
kolonial/penjajahan. Pers kolonial meliputi surat kabar, majalah, dan koran berbahasa Belanda,
daerah atau Indonesia yang bertujuan membela kepentingan kaum kolonialis Belanda.
Pers Cina adalah pers yang diusahakan oleh orang-orang Cina di Indonesia. Pers Cina meliputi
koran-koran, majalah dalam bahasa Cina, Indonesia atau Belanda yang diterbitkan oleh golongan
penduduk keturunan Cina.
Pers Nasional adalah pers yang diusahakan oleh orang-orang Indonesia terutama orang-orang
pergerakan dan diperuntukkan bagi orang Indonesia. Pers ini bertujuan memperjuangkan hak-
hak bangsa Indonesia di masa penjajahan. Tirtohadisorejo atau Raden Djokomono, pendiri surat
kabar mingguan Medan Priyayi yang sejak 1910 berkembang menjadi harian, dianggap sebagai
tokoh pemrakarsa pers Nasional.
Adapun perkembangan pers Nasional dapat dikategorikan menjadi beberapa peiode sbb :
1. Tahun 1945 1950-an
Pada masa ini, pers sering disebut sebagai pers perjuangan. Pers Indonesia menjadi salah satu
alat perjuangan untuk kemerdekaan bangsa Indonesia. Beberapa hari setelah teks proklamasi
dibacakan Bung Karno, terjadi perebutan kekuasaan dalam berbagai bidang kehidupan
masyarakat, termasuk pers. Hal yang diperebutkan terutama adalah peralatan percetakan.
Pada bulan September-Desember 1945, kondisi pers RI semakin kuat, yang ditandai oleh mulai
beredarnya koran Soeara Merdeka (Bandung), Berita Indonesia (Jakarta), Merdeka, Independent,
Indonesian News Bulletin, Warta Indonesia, dan The Voice of Free Indonesia.
2. Tahun 1950 1960-an
Masa ini merupakan masa pemerintahan parlementer atau masa demokrasi liberal. Pada masa
demokrasi liberal, banyak didirikan partai politik dalam rangka memperkuat sistem pemerintah
parlementer. Pers, pada masa itu merupakan alat propaganda dari Par-Pol. Beberapa partai
politik memiliki media/koran sebagai corong partainya. Pada masa itu, pers dikenal sebagai pers
partisipan.
3. Tahun 1970-an
Orde baru mulai berkuasa pada awal tahun 1970-an. Pada masa itu, pers mengalami depolitisasi
dan komersialisasi pers. Pada tahun 1973, Pemerintah Orde Baru mengeluarkan peraturan yang
memaksa penggabungan partai-partai politik menjadi tiga partai, yaitu Golkar, PDI, dan PPP.
Peraturan tersebut menghentikan hubungan partai-partai politik dan organisasi massa terhadap
pers sehingga pers tidak lagi mendapat dana dari partai politik.
4. Tahun 1980-an
Pada tahun 1982, Departemen Penerangan mengeluarkan Peraturan Menteri Penerangan No. 1
Tahun 1984 tentang Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Dengan adanya SIUPP, sebuah
penerbitan pers yang izin penerbitannya dicabut oleh Departemen Penerangan akan langsung
ditutup oleh pemerintah. Oleh karena itu, pers sangat mudah ditutup dan dibekukan kegiatannya.
Pers yang mengkritik pembangunan dianggap sebagai pers yang berani melawan pemerintah.
Pers seperti ini dapat ditutup dengan cara dicabut SIUPP-nya.
5. Tahun 1990-an
Pada tahun 1990-an, pers di Indonesia mulai melakukan repolitisasi lagi. Maksudnya, pada tahun
1990-an sebelum gerakan reformasi dan jatuhnya Soeharto, pers di Indonesia mulai menentang
pemerinah dengan memuat artikel-artikel yang kritis terhadap tokoh dan kebijakan Orde Baru.
Pada tahun 1994, ada tiga majalah mingguan yang ditutup, yaitu Tempo, DeTIK, dan Editor.
6. Masa Reformasi (1998/1999) sekarang
Pada masa reformasi, pers Indonesia menikmati kebebasan pers. Pada masa ini terbentuk UU
Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Era reformasi ditandai dengan terbukanya keran kebebasan
informasi. Di dunia pers, kebebasan itu ditunjukkan dengan dipermudahnya pengurusan SIUPP.
Sebelum tahun 1998, proses untuk memperoleh SIUPP melibatkan 16 tahap, tetapi dengan
instalasi Kabinet BJ. Habibie proses tersebut melibatkan 3 tahap saja.
Berdasarkan perkembangan pers tersebut, dapat diketahui bahwa pers di Indonesia senantiasa
berkembang dan berubah sejalan dengan tuntutan perkembangan zaman.
Pers di Indonesia telah mengalami beberapa perubahan identitas. Adapun perubahan-perubahan
tersebut adalah sbb :
Tahun 1945-an, pers di Indonesia dimulai sebagai pers perjuangan.
Tahun 1950-an dan tahun 1960-an menjadi pers partisan yang mempunyai tujuan sama dengan
partai-partai politik yang mendanainya.
Tahun 1970-an dan tahun 1980-an menjadi periode pers komersial, dengan pencarian dana
masyarakat serta jumlah pembaca yang tinggi.
Awal tahun 1990-an, pers memulai proses repolitisasi.
Awal reformasi 1999, lahir pers bebas di bawah kebijakan pemerintahan BJ. Habibie, yang
kemudian diteruskan pemerintahan Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri, hingga
sekarang ini.
Fungsi dan Peranan Pers dalam Masyarakat Demokratis Indonesia
Pers atau media amat dibutuhkan baik oleh pemerintah maupun rakyat dalam kehidupan
bernegara. Pemerintah mengharapkan dukungan dan ketaatan masyarakat untuk menjalankan
program dan kebijakan negara. Sedangkan masyarakat juga ingin mengetahui program dan
kebijakan pemerintah yang telah, sedang, dan akan dilaksanakan.
Dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Pasal 33 disebutkan mengenai fungsi pers, dalam
hal ini pers nasional. Adapun fungsi pers nasional adalah sbb :
1. Sebagai wahana komunikasi massa.
Pers nasional sebagai sarana berkomunikasi antarwarga negara, warga negara dengan
pemerintah, dan antarberbagai pihak.
2. Sebagai penyebar informasi.
Pers nasional dapat menyebarkan informasi baik dari pemerintah atau negara kepada warga
negara (dari atas ke bawah) maupun dari warga negara ke negara (dari bawah ke atas).
3. Sebagai pembentuk opini.
Berita, tulisan, dan pendapat yang dituangkan melalui pers dapat menciptakan opini kepada
masyarakat luas. Opini terbentuk melalui berita yang disebarkan lewat pers.
4. Sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol serta sebagai lembaga ekonomi.
UU No. 40 Tahun 1999 Pasal 2 menyebutkan : Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud
kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum.
Dapat disimpulkan bahwa fungsi dan peranan pers di Indonesia antara lain sbb :
1. media untuk menyatakan pendapat dan gagasan-gagasannya.
2. media perantara bagi pemerintah dan masyarakat.
3. penyampai informasi kepada masyarakat luas.
4. penyaluran opini publik.
Peraturan Perundang-undangan tentang Kebebasan Pers di Indonesia
Hak masyarakat atau warga negara Indonesia untuk mengeluarkan pikiran secara lisan, atau
tulisan mendapat jaminan dalam UUD 1945 Pasal 28, yang berbunyi ;
Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan
sebagainya ditetapkan dengan Undang-Undang.
Selain itu, kebebasan pers di Indonesia memiliki landasan hukum yang termuat didalam
ketentuan-ketentuan sbb :
1. Pasal 28 F, yang menyatakan setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh
informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari,
memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan
menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
2. Ketetapan MPR RI No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, yang antara lain
menyatakan bahwa setiap orang berhak berkomunikasi dan memperoleh informasi.
3. Pasal 19 Piagam PBB tentang Hak Asasi Manusia yang berbunyi, Setiap orang berhak atas
kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hak ini termasuk kebebasan memiliki
pendapat tanpa gangguan, dan untuk mencari, menerima, dan menyampaikan informasi dan buah
pikiran melalui media apa saja dan dengan tidak memandang batas-batas wilayah.
sumber artikel :
www.shvoong.com
Pendidikan Kewarganegaraan Untuk SMA/MA Kelas XII
sumber gambar :
www.kompas.com
www.budpar.go.id
SEJARAH PERS INDONESIA
BEBERAPA hari setelah teks proklamasi dibacakan Bung Karno, dari kota sampai ke pelosok
telah terjadi perebutan kekuasaan dalam berbagai bidang, termasuk pers. Yang direbut terutama
adalah peralatan percetakan. Perebutan kekuasan semacam ini telah terjadi di perusahaan koran
milik Jepang yakni Soeara Asia (Surabaya), Tjahaja (Bandung) dan Sinar Baroe (Semarang).
Dan pada tanggal 19 Agustus 2605 koran-koran tersebut telah terbit dengan mengutamakan
berita sekitar Indonesia Merdeka. Dalam koran-koran Siaran Istimewa itu telah dimuat secara
mencolok teks proklamasi. Kemudian beberapa berita penting seperti "Maklumat Kepada
Seluruh Rakyat Indonesia", "Republik Indonesia Sudah Berdiri", "Pernyataan Indonesia
Merdeka", "Kata Pembukaan Undang-Undang Dasar", dan lagu "Indonesia Raya".
Di bulan September sampai akhir tahun 1945, kondisi pers RI semakin kuat, yang ditandai oleh
mulai beredarnya Soeara Merdeka (Bandung) dan Berita Indonesia (Jakarta), Merdeka,
Independent, Indonesian News Bulletin, Warta Indonesia, dan The Voice of Free Indonesia. Di
masa itulah koran dipakai alat untuk mempropagandakan kemerdekaan Indonesia. Sekalipun
masih mendapat ancaman dari tentara Jepang, namun dengan penuh keberanian mereka tetap
menjalankan tugasnya. Dalam masa klas pertama di tahun 1947, pers kita terbagi dua. Golongan
pertama tetap bertugas di kota yang diduduki Belanda. Dan golongan kedua telah mengungsi ke
pedalaman yang dikuasai RI. Sekalipun aktif di wilayah musuh, yang selalu dibayangi ancaman
pemberedelan dan bersaing dengan koran Belanda, golongan pertama tetap menerbitkan koran
yang berhaluan Republikein. Yang terkenal di masa itu antara lain Merdeka, Waspada, dan
Mimbar Umum. Demikian pula yang bergerilya ke pedalaman, dengan peralatan dan bahan
seadanya, koran mereka senantiasa menjaga agar jiwa revolusi tetap menyala. Di masa itu telah
beredar koran kaum gerilya, yakni Suara Rakjat, Api Rakjat, Patriot, Penghela Rakjat, dan
Menara. Koran-koran ini dicetak di atas kertas merang atau stensil dengan perwajahan yang
sangat sederhana.
Pemberedelan pertama
Kondisi pers kita sesudah proklamasi, memang jauh berbeda dibanding di masa penjajahan
Belanda dan Jepang. Di masa itu orang enggan membaca koran, lantaran beritanya melulu untuk
kepentingan penguasa. Sedang pada masa kemerdekaan, koran apa saja selalu menjadi rebutan
masyarakat. Sehari setelah beberapa koran mengabarkan berita tentang pembacaan teks
proklamasi, maka hari-hari berikutnya masyarakat mulai memburunya. Mereka tampaknya tidak
mau ketinggalan barang seharipun dalam mengikuti berita perkembangan negaranya yang baru
merdeka itu. Minat baca semakin meningkat dan orang mulai sadar akan kebutuhannya terhadap
media massa. Suasana seperti ini tentunya berdampak positif bagi para pengelola media masa di
masa itu. Usaha penerbitan koran pun mulai marak kembali, yang konon diramaikan oleh irama
gemercaknya suara alat cetak intertype atau mesin roneo. Sementara itu para kuli tinta yang
sibuk kian kemari memburu berita, semakin banyak jumlahnya. Untuk menertibkan dan
mempersatukan mereka, pada tahun 1946 atas inisiatif para wartawan telah dilangsungkan
kongres di Solo. Dalam kongres itu telah dibentuk persatuan wartawan dan Mr. Sumanang,
ditunjuk sebagai ketuanya.
Tercatat beberapa peristiwa penting dalam sejarah pers di masa revolusi yakni di tahun yang
sama telah didirikan Sari Pers di Jakarta oleh Pak Sastro dan kantor berita Antara dibuka
kembali, setelah selama tiga tahun dibekukan Jepang. Kantor Sari Pers setiap hari mencetak
ratusan koran stensilan yang memuat berbagai berita penting dari seluruh tanah air.
Mengikuti berita surat kabar di masa itu, memang mengasyikkan dan sekaligus mendebarkan.
Dari hari ke hari beritanya silih berganti, dari pertempuran dan perundingan, sampai
pembangunan serta kabar berita yang penuh suka dan duka. Seperti berita di tahun 1945.
Indonesia Merdeka telah disambut luapan gembira, namun di bulan November muncul berita
duka, yakni tentara Inggris telah membantai ribuan rakyat dan para pejuang kita serta
membumihanguskan kota Surabaya. Di tahun 1946 rakyat kita telah memperingati hari
proklamasi dengan sangat meriah sebanyak dua kali, yakni pada tanggal 17 Februari, ketika
Indonesia Merdeka baru berumur setengah tahun dan tanggal 17 Agustus. Tahun 1946 ditutup
dengan munculnya berita musibah yang memenuhi halaman-halaman koran, yakni pembunuhan
40.000 rakyat Sulsel oleh Gerombolan Westerling pada tanggal 11 Desember. Tindakan kejam
ini dilakukan pihak Belanda untuk melancarkan jalan menuju terbentuknya negara boneka
Indonesia Timur.
Berita yang menggembirakan tahun 1948 adalah diselenggarakannya Pesta Pekan Olahraga
Nasional pertama di Solo secara meriah pada tanggal 9 September. Namun berita-berita PON itu
tiba-tiba sirna oleh terjadinya Peristiwa Madiun pada tanggal 18 September di kota yang sama.
Memasuki tahun 1948 situasi dan kondisi negara RI memang mulai diwarnai oleh suasana
perpecahan. Di masa itu semakin terasa ada dua golongan yang saling bertentangan yakni
golongan kanan (Front Nasional) dan golongan ekstrem kiri (komunis) yang disebut FDR (Front
Demokrasi Rakyat). Puncak konflik ini ditandai oleh meletusnya pemberontakan Peristiwa
Madiun yang didalangi oleh PKI Muso. Peristiwa ini sempat mengguncang pemerintah. Betapa
tidak, sementara rakyat kita sedang sibuk menghadapi agresi Belanda, tiba-tiba PKI menusuk
dari belakang. Pidato Presiden Soekarno yang berbunyi: "Pilih Soekarno-Hatta atau Muso
dengan PKI-nya" sempat menjadi berita utama dalam setiap koran. Di masa penuh konflik inilah
untuk pertama kalinya terjadi pemberedelan koran dalam sejarah pers RI. Tercatat beberapa
koran dari pihak FDR seperti Patriot, Buruh, dan Suara Ibu Kota telah dibreidel pemerintah.
Sebaliknya, pihak FDR membalas dengan membungkam koran Api Rakjat yang menyuarakan
kepentingan Front Nasional. Sementara itu fihak militer pun telah memberedel Suara Rakjat
dengan alasan terlalu banyak mengeritik pihaknya.
Hubungan pemerintah dan pers
Pada tahun 1946, pihak pemerintah mulai merintis hubungan dengan pers. Di masa itu telah
disusun peraturan yang tercantum dalam Dewan Pertahanan Negara Nomor 11 Tahun 1946 yang
mengatur soal percetakan, pengumuman, dan penerbitan. Kemudian diadakan juga beberapa
perubahan aturan yang tercantum dalam Wetboek van Strafrecht (UU bikinan Belanda), seperti
drukpersreglement tahun 1856, persbreidel ordonnantie 1931 yang mengatur tentang kejahatan
dari pers, penghinaan, hasutan, pemberitaan bohong dan sebagainya. Namun upaya ini
pelaksanaannya tertunda karena invasi dari pihak Belanda. Barulah setelah Indonesia
memperoleh kedaulatannya di tahun 1949, pembenahan dalam bidang pers dilanjutkan kembali.
Di saat itu telah terjadi peristiwa bersatunya kembali golongan insan pers yang bergerak di kota
yang dikuasai Belanda dengan golongan yang bergerak di daerah gerilya. Hubungan itu meliputi
soal perundang-undangan, kebijaksanaan pemerintah terhadap kepentingan pers dalam hal aspek
sosial ekonomi maupun aspek politisnya.
Dalam UUD pasal 19 contohnya, telah dicantumkan kalimat, setiap orang berhak atas kebebasan
mempunyai dan mengeluarkan pendapat. Pelaksanaan UUD pasal 19 tersebut telah diusulkan
dalam sidang Komite Nasional Pusat Pleno VI Yogya tanggal 7 Desember 1949 yang intinya,
Pemerintah RI agar memperjuangkan pelaksanaan kebebasan pers yang mencakup memberi
perlindungan kepada pers nasional, memberi fasilitas yang dibutuhkan perusahaan surat kabar,
dan mengakui kantor berita Antara sebagai kantor berita nasional yang patut memperoleh
fasilitas dan perlindungan.
Usulan di atas kemudian dijawab. Pemerintah RI sudah mulai merencanakan segala peraturan
mengenai pers dan berupaya sekerasnya untuk melaksanakan hak asasi demokrasi. Hubungan
antara pemerintah dan pers lebih dipererat dengan cara membentuk Panitia Pers pada tanggal 15
Maret 1950, penambahan halaman koran, persediaan kertas dan bahan-bahan yang diperlukan,
tanpa ada ikatan apapun yang mengurangi kemerdekaan pers. Untuk meningkatkan nilai dan
mutu jurnalistik, maka para wartawan diberi kesempatan untuk memperdalam ilmunya. Dan
diupayakan pula agar kedudukan kantor berita Antara lebih terasa sebagai mitra dari para
pengelola surat kabar.
Upaya di atas telah memungkinkan terciptanya iklim pers yang tertib dan menguntungkan semua
pihak. Jumlah perusahaan koran pun dari tahun ke tahun semakin meningkat. Buktinya dalam
kurun waktu empat tahun sesudah 1949, jumlah surat kabar berbahasa Indonesia, Belanda, dan
Cina naik, dari 70 menjadi 101 buah. Sekalipun demikian bukan berarti mutu jurnalistiknya ikut
meningkat. Untuk itu, Ruslan Abdulgani dalam tulisannya "Pers Nasional dan Funksi Sosialnya"
telah menulis sebagai berikut, "Mempertinggi mutu journalistiek pada umumnja harus diartikan
mempertinggi kwaliteit apa jang ditulis: hal ini dapat ditjapai bila wartawan berkesempatan
tjukup memperlengkapi dirinja dengan pengetahuan tentang keadaan jang hendak ditulis, dan
pelbagai ilmu pengetahuan seperti ilmu politik, sociologie, ekomomi, psychologie, sedjarah dan
ketatanegaraan".
Sejarah Pers Sumbar Dialih Orang Lalu
Semenjak tanggal 1 Januari dan rencananya hingga 31 Desember 2007
setiap hari menerbitkan semacam kilas balik perjalanan sejarah pers
nasional. Dan dua kegiatan itu menjadi gong yang ditalu dengan
nyaring oleh hoofdredacteur-nya yang paling gemilang di kurun itu:
Raden Mas Tirto Adhi Surjo. Sepanjang pembacaan saya terhadap sejarah pers (dan
pers juga identik dengan penerbitan), dan juga hasil bacaan saya
terhadap disertasi Sudarmoko yang dipertahankannya di Universitas
Leiden, Belanda (2005) dan beberapa artikel Suryadi yang juga mengajar
di Universitas Leiden, mengesankan, semenjak abad-19, pertumbuhan surat
kabar dan dunia penerbitan di Minangkabau (Sumatra Barat) sangat
signifikans.Minangkabau memang merupakan kota pers tertua di Sumatra, dan termasuk kota
Indonesia yang awal mengenal surat kabar. Ketika di tempat lain di pulau ini orang baru
mengenal naskah (manuscript) beraksara Jawi yang berisi sastra pagan,
di Padang orang (Minangkabau) sudah membolak-balik halaman kertas lebar
bernama surat kabar yang berisi informasi dari luar dunia lokalnya,
tulis Suryadi (lihat di http://www.ranah-minang.com).Dari catatan sejarah dan tarikh keberadaan
dunia pers di Sumatra Barat, tampaknya, kehadiran surat kabar Medan Prijaji (1907) yang lahir
di Bandung (Jawa Barat) masih muda dibanding surat-surat
kabar yang sudah terbit di Minangkabau sebelumnya. Dan kita tidak mengetahui pula, siapa atau
lembaga apa yang memutuskan dan melegetimasi satu abad pers di Indonesia ini dimulai
hitungan tahun 1907? Selanjutnya, di mana suara sejarahwan Sumatra Barat
yang jumlahnya tidak sedikit itu: Apa sesungguhnya yang terjadi di
negeri ini, sehingga fakta sejarah bisa saja diubah dan diklaim sesuka
hati?
Berteriaklah kita sekuat tenaga, bahwa pada
pertengahan abad-19 orang Minanglabau sudah baca koran, dan banyak
surat kabar yang terbit di sini, dan lain sebagainya, jelas tak ada
gunanya.
Para sejarahwan yang bertebaran di Unand dan UNP, dan di perguruan
tinggi di kota-kota lainnya, yang diharapkan bisa menjelaskan duduk
perkara fakta sejarah ini, tampaknya lebih tertarik menyelesaikan
proyek penelitiannya yang tidak akan pernah habis-habisnya.
Diterbitkan di: Oktober 13, 2007
HARIAN Jurnal Nasional yang terbit di Jakarta,
Sejarah
Sejarah pembredelan koran soetra oemoem di suraba- ya oleh belanda. isinya dianggap
menghasut. peme- rintah punya kuasa mencabut ijin penerbitan jika mengganggu ketertiban
umum.
HARI ini, hampir 60 tahun yang lalu. Pada tanggal 23 Juni 1933, Gubernur Jenderal De Jonge
menurunkan satu perintah: koran Soeara Oemoem di Surabaya dibredel. Seorang wartawan
bernama Tjindar Boemi lima bulan sebelumnya menerbitkan sebuah tulisan tentang
pemberontakan di atas kapal De Zeven Provincien. Isinya dianggap "menghasut".
Yang menarik ialah bahwa tindakan itu tidak terjadi mendadak. Dalam buku Beberapa Segi
Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia yang diterbitkan oleh Proyek Penelitian Pengembangan
Penerangan Deppen pada tahun 1980, disebutkan bagaimana titah Gubernur Jenderal itu bermula
dari laporan Procureur Generaal pada tanggal 10 Februari 1933.
Dalam laporan itu disebut adanya perintah kepada yang berwajib di Surabaya untuk menahan
Tjindar Boemi. Juga untuk "mendengar keterangan" dari pimpinan Soeara Oemoem, dr.
Soetomo, dan menyuruhnya "menandatangani pernyataan setia".
Ternyata, di zaman kolonial itu, perintah macam itu tak bisa dengan serta-merta efektif. Pada
tanggal 3 Maret, Raad van Indie, semacam dewan perwakilan masa itu, menyatakan tak setuju
bila dr. Soetomo harus menandatangani pernyataan setia. Raad van Indie menyarankan tindakan
terhadap dr. Soetomo "ditunggu saja" sampai pemeriksaan terhadap Tjindar Boemi selesai.
Menghadapi reaksi ini, pihak Procureur Generaal meminta Gubernur Jenderal, penguasa tertinggi
di Hindia Belanda waktu itu, menerapkan peraturan pembredelan pers atau Persbreidel
Ordonnantie. Tak lupa, di dalam saran itu disertakan kutipan dari sebuah tulisan di Soeara
Oemoem yang dinilai "bisa mengganggu ketertiban umum".
Empat hari kemudian, Raad van Indie akhirnya juga menyarankan agar peraturan pembredelan
pers itu dikenakan terhadap koran yang dipimpin dr. Soetomo. Maka, dibredellah Soeara
Oemoem.
Penting rasanya untuk disebut bahwa pembredelan hanya bisa berlangsung selama delapan hari.
Pasal 2 dari Persbreidel Ordonnantie menyebutkan bahwa Gubernur Jenderal berhak melarang
pencetakan, penerbitan, dan penyebaran sebuah surat kabar paling lama delapan hari. Jika
sesudah terbit koran itu masih dinilai mengganggu "ketertiban umum", larangan terbit bisa jadi
lebih lama, tapi tidak lebih lama dari 30 hari berturut-turut.
Zaman itu tampaknya memang zaman yang keras bagi pers, tetapi bukan suatu masa yang kacau
kepastian. Buku sejarah yang diterbitkan oleh proyek penelitian dan pengembangan Deppen itu
menegaskan hal itu, "Dengan adanya ketentuan itu, maka pihak surat kabar yang terkena tidak
menunggu-nunggu tak menentu ...."
Larangan terbit yang mendadak-sontak juga tak ada. "Paling tidak," tulis buku yang redakturnya
adalah Sejarawan Abdurrachman Surjomihardjo itu pula, "tidak dilakukan begitu saja ... seperti
geledek di siang bolong."
Dengan jelas buku itu bahkan menyebutkan bahwa prosedur di zaman De Jonge lebih "rapi"
daripada "yang terjadi sekarang" -- meskipun penilaian bahwa tulisan-tulisan tertentu
"mengganggu ketertiban umum" sangat sepihak sifatnya. Semuanya, tulis buku sejarah itu,
"hanya dilakukan oleh pihak penguasa dan tidak adanya kesempatan membela diri".
Hari ini, sekitar 60 tahun yang lampau, mungkin bukan hari yang baik untuk belajar dari sejarah.
Atau mungkin setiap generasi mempunyai pukulan-pukulannya sendiri. September 1957, ada 10
surat kabar dan tiga kantor berita serentak ditutup.
Tetapi pembredelan yang luas yang pertama kalinya terjadi dalam sejarah pers Indonesia itu --
dilakukan oleh penguasa militer Jakarta Raya -- hanya berlangsung selama 23 jam.
Betapapun, suatu babak baru tampaknya telah mulai: ada yang mencicipi enaknya dan ada yang
mencicipi pahitnya. Pada 1 Oktober 1958 apa yang pernah berlaku di zaman penjajahan fasisme
Jepang diberlakukan lagi di zaman kemerdekaan: setiap penerbitan harus mempunyai Surat Izin
Terbit (SIT). Sebuah buku, Garis Perkembangan Pers Indonesia, yang diterbitkan oleh Serikat
Penerbit Suratkabar pada tahun 1971 menyebut hal itu dengan muram, "Sejak 1 Oktober 1958,
Sejarah Pers Indonesia memasuki periode hitam."
"Tanggal 1 Oktober 1958," tulis buku itu, "dapat dikatakan sebagai tanggal matinya kebebasan
pers di Indonesia. Surat kabar yang masih terbit sesudah itu harus mengikuti kehendak penguasa.
Setiap waktu SIT dapat dicabut oleh Penguasa .... Sejak itu pers Indonesia bukan lagi sebagai
salah satu lembaga demokrasi ...."
Agaknya begitulah. Tanggal 24 Februari 1965, Menteri Penerangan membredel serentak 21 surat
kabar. Alasan: mereka dituduh bersimpati kepada sesuatu yang terlarang, yakni "Badan
Pendukung Sukarnoisme", sebuah organisasi yang menentang PKI. Dengan kata lain: mereka
tidak sejalan dengan kehendak yang berkuasa. Mereka telah bersikap (untuk memakai tuduhan
yang secara sepihak sering dilontarkan waktu itu) "kontrarevolusioner". Mereka harus "dibabat".
Tidak ada lagi kepastian. Tidak ada lagi hak, bahkan untuk membeli diri. Sekian puluh tahun
yang lalu, sekian puluh tahun kemudian ....
Studi Pers Indonesia Kontemporer
STUDI atas pers Indonesia boleh dikata masih sedikit. Untuk melihat faktanya, tidak pasti
setahun sekali ada satu terbitan yang mengupas secara serius tentang Pers Indonesia. Yang lebih
sering muncul merupakan kumpulan tulisan tentang pers atau biografi seorang jurnalis Indonesia.
Menyebut yang paling akhir sekali, boleh disebut nama David T. Hill (1994), atau sebelumnya
ada Harsono Suwardi (1993), Bambang Sadono (1993), Daniel Dhakidae (1991) -(tidak/belum?
dipublikasikan); Francois Raillon (1985); Amir Effendi Siregar (1983), Edward C. Smith (1983)
Oey Hong Lee (1971). Dan tak dapat dilupakan lupa karya Tribuana Said (1988) yang mengisi
kekosongan literatur tentang sejarah pers Indonesia, sementara karya Ahmat Adam (1984 &
1993) belum banyak bisa diakses publik. Semua yang terbit di atas banyak memberikan tekanan
pada perkembangan pers Indonesia setelah kemerdekaan 1945. Kecuali Edward Smith, Ahmat
Adam dan Oey Hong Lee, seluruhnya memfokuskan diri pada periode pers Indonesia pada masa
Orde Baru.
Apakah arti penting studi atas diri pers Indonesia ini?Berefleksi Menilai Diri Studi yang
dilangsungkan pada obyek studi apa pun tak ada korelasi langsung dengan perkembangan
obyeknya itu sendiri. Penelaahan masuk ke masalah obyek lewat seperangkat metodologi, tidak
dengan sendirinya menggeser arti ontologis obyek tersebut, yang dalam hal ini ada pers
Indonesia. Tetapi ini tidak mengurangi arti penting perlunya suatu kajian atas diri pers Indonesia.
Studi selain sebagai suatu cara pandang melihat masalah, bisa juga jadi bahan refleksi mendalam
bagi obyek tersebut.
Sadar tak sadar, media adalah pembuat realitas ke hadapan pemirsanya. Ialah yang mengkreasi
simbol-simbol, atau membahasakan realitas yang ditangkapnya dan menuangkannya dalam
rangkaian berita dan bahasa foto. Sadar atau tidak hal ini menghasilkan suatu ideologi tertentu di
dalam produksi teks-teksnya. Thamrin Amal Tomagola (1990) misalnya membedah ideologi dari
majalah wanita dan memerinci diskursus yang berlangsung di dalamnya. Studi terhadap diri pers
ini, adalah suatu kritik intern ataupun ekstern atas kehadiran lembaga pers di tengah masyarakat,
yang juga bersinggungan dengan hal kekuasaan, dalam pengertian yang luas. Dengan merunut
sejumlah karya yang telah disebutkan di atas, rasanya masih bisa dilihat banyak lubang-lubang
jika kita ingin merekonstruksi kisah tentang pers Indonesia ini. Dan sayang sekali misalnya,
karya almarhum Abdurrachman Surjomihardjo dan kawan-kawan, tak sempat berbuah lebih
banyak, karena karya asalnya sendiri kini tak dapat diakses publik untuk suatu alasan politis di
masa lalu (awal 80-an) Padahal karya yang berjudul Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers
Indonesia (kerja sama LIPI dan Deppen) belumlah tuntas dalam memetakan sejarah pers
Indonesia, atau dahulu bisa disebut sebagai Pers Hindia Belanda. Dan masih banyak pekerjaan
rumah sebenarnya, yang ditinggalkan oleh buku tersebut. Misalnya saja sejauh ini tak banyak
orang menuliskan studi tentang pers daerah, atau pers di Indonesia Timur.
Atau meminjam sebutan David Hill, banyak pers pinggiran (Marginal Presses) saat ini, yang
sering luput dari perhatian pemerhati studi pers Indonesia, yaitu publikasi khusus atau pers STT,
Pers Mahasiswa, Pers Lokal Berbahasa Indonesia, Pers Lokal Berbahasa Daerah, Pers Islam,
Pers Berbahasa Inggris, dan Pers Berbahasa Tionghoa. Bibliografi tentang Pers Indonesia pun
saat ini hanya diwakili oleh dua karya, yaitu Mastini Hardjoprakoso (1978, serial Asian Mass
Communication Research and Information Centre) dan Evert-Jan Hoogerwerf (1990 dalam
proyek KITLV). Penyusunan koleksi surat kabar di dalam negeri hanya diwakili oleh karya
Mastini Hardjoprakoso (1984)."HB Jassin" untuk Pers Beruntunglah dunia sastra yang memiliki
seorang HB Jassin dan kini karyanya sudah melembaga sebagai Pusat Dokumentasi Sastra HB
Jassin. Apakah ada yang punya perhatian serupa untuk dunia pers, dan membangun suatu
lembaga yang serius untuk itu? Mengutipkan pendapat HB Jassin sendiri (Pamusuk Eneste,
1987), "Bagi saya pekerjaan dokumentasi ini telah memberikan semangat dan kegembiraan
karena telah membuahkan hasil-hasil studi berupa pembicaraan dan kritik sastra, antologi dan
kompilasi..." Dan selanjutnya ia menambahkan,
"Dengan adanya dokumentasi kita menjadi kenal masalah-masalah, kita juga menjadi kenal
sejarah, latar belakang dan para pengarang sastra. Dokumentasi adalah alat untuk
memperpanjang ingatan, memperdalam dan memperluasnya." Dengan memperhatikan segala
kritik yang ditujukan kepada Jassin, serta dengan mempertimbangkan distingsi dunia sastra dan
pers, maka hendak dikatakan di sini bahwa dokumentasi untuk pers adalah mutlak, dan untuk itu
perlu ada suatu lembaga khusus yang menangani hal itu. Dan dari situ bisa dimulai suatu studi
yang serius atas diri pers Indonesia. Persoalan pers Indonesia pun tak semata soal teks-teksnya,
soal kode etik, efek pemberitaan, kaitan dengan pembangunan, tapi juga dapat meluas dalam
pandangan relasinya dengan kelembagaan ataupun bidang lain dalam hidup manusia ini. Satu
yang telah disebut di depan misalnya, bagaimana media massa membentuk realitas yang
akhirnya ditangkap oleh pemirsanya. Hal lain yang juga menarik untuk dikaji adalah meninjau
ulang paradigma pembangunan yang sekarang ini dominan dalam pers. Perubahan paradigma
pembangunan yang ada sekarang, serta juga bagaimana media merefleksikan fakta di lapangan
yang bisa mendukung atau menolak paradigma dominan tersebut (Everett Rogers ed, 1985).
Yang tak kurang disentuh oleh banyak orang adalah biografi kritis dari sejumlah tokoh pers masa
kini. Orang-orang seperti Mochtar Lubis, Rosihan Anwar, A. Azia, BM Diah, SK Trimurti, Ani
Loebis, Herawati Diah, dan terakhir Toeti Azis, telah dibuatkan biografi atas diri mereka masing-
masing. Tetapi semuanya masih merupakan kisah para jurnalis dalam periode pers masa revolusi
kemerdekaan, dan dengan demikian kental juga dunia politik atas diri mereka masing-masing.
Namun tepat itu yang ditunjuk oleh Daniel Dhakidae (1991), bahwa saat ini sudah selesai
jurnalisme politik, dan selamat datang industri jurnalisme. Hal ini belum tercerminkan dalam
biografi dari sejumlah "jurnalis masa kini". Kemajuan-kemajuan pers yang terjadi saat ini,
berikut juga dengan kemundurannya hanya akan terlihat ketika pendokumentasian kita cukup
lengkap untuk itu. Dan itu misalnya bisa dipakai untuk menilai bagaimana penanganan
kekuasaan terhadap diri pers masa kini. Dengan demikian studi yang serius untuk soal pers
Indonesia adalah suatu agenda yang terlupa saat kini. Padahal kritik ke dalam, refleksi diri,
sambil mencatatkan pertumbuhan dan perkembangan pers masa kini akan menghasilkan manfaat
bagi banyak orang karenanya. Jangan-jangan kita kembali lompat terlalu jauh dalam media
habbit ini, melompat ke media elektronik dan asyik bergumul di sana, dan lupa bahwa media
cetak punya agenda banyak yang belum tuntas dipermasalahkan.
click link
341 clicks
Untuk dapat merequest file lengkap yang dilampirkan pada setiap judul, anda harus menjadi
special member, klik Register untuk menjadi free member di Indoskripsi.
Semua Special Member dapat mendownload data yang ada di download area.
NB: Ada kemungkinan data yang diposting di website ini belum ada filenya, karena dikirim oleh
member biasa dan masih menunggu konfirmasi dari member yang bersangkutan. Untuk
memastikan data ada atau tidak silahkan login di download area.
CARI CONTENT WEB :
00630254746815 UTF-8
Telusuri

one.indoskripsi.co

FREE JOURNAL UNTUK MELENGKAPI REFERENSI KARYA ILMIAH ANDA,
FREE? KLIK DISINI
HOT DOWNLOAD MAKALAH, FULL PAPER? KLIK DISINI
PELUANG KERJA UNTUK FRESH GRADUATE, MAHASISWA TINGKAT AKHIR,
BARU LULUS KULIAH? KLIK DISINI
BUTUH BEASISWA STUDY, BEASISWA PENELITIAN, INFO BEASISWA
TERBARU? KLIK DISINI
INGIN KULIAH S2 JARAK JAUH? KLIK DISINI



Jika tertarik untuk memasang iklan di website ini, silahkan klik menu contact
Silahkan baca syarat dan ketentuannya

You might also like