You are on page 1of 13

DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN ASMA AKUT

I. Pendahuluan
Asma adalah penyakit saluran nafas yang saat ini akan meningkat kekerapannya baik di
negara berkembang maupun di negara industri maju pada tingkat sosial ekonommi menengah
maupun di negara industri maju pada tingkat sosial ekonomi menengah ke atas dan golongan
usia muda. Penyebab peningkatan kekerapan tersebut sepenuhnya tidak dapat dipahami tetapi
diduga faktor linkungan khususnya paparan alergen baik di dalam ruangan (indoor allergen
exposure) maupun alergen luar rungan, perubahan cara hidup, kebiasaan makanan dan lain-lain.
Denngan berkembanganya penelitian dan pengetahuan mengenai asma saat ini, berbagai
pandangan mengenai asma dirangkum dalam suatu definisi kerja. Secara definisi asma adalah
gangguan inflamasi kronis jalan nafas dengan melibatkan sel inflamasi, yang mengakibatkan
terjadinya hiperreaktivitas bronkus (HBR) dalam berbagai tingkat sehingga menimbulkan gejala
yang biasanya berhubungan dengan beratnya HBR, obstruksi jalan nafas dapat reversibel baik
secara spontas maupun dengan pengobatan (NHLBI, 1992).
Walaupun diagnosis dan pengobatan pada kebanyakan penderita umumnya mudah dan
pada sebagian kasus sering memberikan hasil pengobatan yang tidak memuaskan, bahkan pada
sebagian penderita lainnya makin berat dan sukar mengendalikan serangan asmanya.
Ada tiga masalah yang sering dijumpai di klinik antara lain :
1. Masalah diagnosis
Kira-kira sepertiga penderita asma kronis tidak terdiagnosis sebagai asma bronkial.
Sebaliknya banyak penderita penyakit paru diobati sebagai asma.
2. Penilaian Beratnya Penyakit
Kesalahan menilai derajat dan beratnya penyakit berakibat kepada pengobatan yang
tidak adekuat. Hal ini merupakan masalah terbesar yang mengakibatkan
undertreatment atau overtreatment
3. Masalah Pengobatan
Umumnya kesalahan pernilaian (assessment) beratnya penyakit, kurangnya
pengetahuan mengenai obat-obat anti asma dan acara pemakaian yang tepat dan
rasional disamping adanya ketidakpatuhan penderita sendiri (patient compliance)

II. Manisfestasi Klinik

1. Bising mengi (wheezing) yang terdengar dengan atau tanpa steteskop.
2. Batuk produktif sering di malam hari
3. Sesak nafas dan dada terasa tertekan
4. Rasa terikat di dada
Keempat gejala tersebut sangat bervariasi dari yang sangat ringan hingga sangat berat.
Ciri yang terpenting yang membedakan antara asma dengan penyakit obstruktif jalan nafas
lainnya adalah sifat paroksismal mengikuti irama sirkardian yaitu membaik/berkurang pada siang
hari dan memburuk pada malam hari.


III. Diagnosis
Diagnosis asma bronkial pada kebanyakan penderita muda ditegakkan berdasarkan :
1. Manifestasi klinis
2. Riwayat penyakit sekarang dan dahulu
3. Riwayat keluarga dan riwayat adanya alergi (atopi)
4. Identifikasi faktor-faktor pencetus serangan
5. Pemeriksaan fisik
6. Laboratorium :
a. Darah : terutama eosinofil, IgE total, IgE spesifik
b. Sputum : eosinofil, dpiral Curshman, Kristal Charcot leyden
7. Foto thoraks
8. Tes kulit terhadap alergen tertentu
9. Uji provokasi bronkus dengan metakolin, histamin dan allergen spesifik
10. Uji faal paru dengan spirometri atau alat Peak Flow Meter untuk melihat adanya
osbstruksi jalan nafas dan menilai reversibilitas saluran nafas

IV. Diagnosis Banding
Underdiagnosis paling sering terjadi pada asma anak dan balita seperti pada kasus
berikut:
a. Benda asing di saluran nafas atas dan bawah
b. Laringotrakeomalasia
c. Tumor atau limfadenopati
d. Trakeo atau bronkostenosis
e. Bronkiolitis virus
f. Fibrosis kistik
g. Aspirasi
h. Edema paru akut
Pada dewasa :
a. Penyakit Paru Obstruksi kronis
b. Bronkritis kronik
c. Gagal Jantung Kongestif
d. Batuk akibat lain-lain (seperti penggunaan obat-obat betablocker atau ACE Inhibitor)
e. Disfungsi laring
f. Obstruksi Mekanik (misalnya tumor)
g. Emboli paru

Tabel 1. KLASIFIKASI BERAT/RINGANNYA ASMA BERDASARKAN GAMBARAN
KLINIS
(Sumber : Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan Asma di Indonesia, 2003)

V. Program Penatalaksanaan Asma
Tujuan penaltalaksanaan asma adalah untuk :
a. Menyembuhkan dan mengendalikan gejala asma
b. Mencegah kekambuhan
c. Mengusahakan tercapainya fungsi paru senormal mungkin serta mempertahankannya.
d. Mengusahakan aktifitas sehari-hari pada tingkat normal termasuk melakukan exercice
e. Menghindarkan efek samping obat asma
f. Mencegah terjadinya obstruksi jalan nafas yang irreversibel


Rancangan penatalaksanaan asma :
1. Pendidikan penderita untuk memahami penyakitnya
2. Melakukan penilaian dan pemantauan beratnya asma dengan pemeriksaan fungsi paru
berkala
3. Mencegah dan mengendalikan faktor pencetus asma
4. Menetapkan rencana pemberian obat-obatan jangka panjang
5. Menetapkan rencana pengobatan saat eksaserbasi atau serangan akut
6. Mengusahakan korntrol yang teratur dan meningkatkan kebugaran jasmani

VI. Medikasi Asma
(Sumber : Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan Asma di Indonesia, 2003)

Medikasi asma bertujuan untuk mengatasi dan mencegah gejala obstruksi jalan nafas,
terdiri atas pengontrol (Controllers) dan pelega (Reliever).

6.1. Pengontrol (Controllers)
Pengontrol adalah medikasi asma jangka panjang untuk mengontrol asma, diberikan
setiap hari untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma terkontrol pada asma persisten.
Pengontrol sering disebut pencegah, yang termasuk obat pengontrol adalah :
a. Kortikosteroid inhalasi
b. Kortikosteroid sistemik
c. Sodium kromogilat
d. Nedokromil sodium
e. Metilsantin
f. Agonis beta-2 kerja lama, inhalasi
g. Agonis beta-2 kerja lama, oral
h. Leukotrien modifiers
i. Antihistamin generasi ke-2 (antagonis H1)
j. Lain-lain

6.2. Pelega (Reliever)
Prinsipnya untuk dilatasi jalan nafas melalui relaksasi otot polos bronkus, memperbaiki
dan atau menghambat bronkronstriksi yang berkaitan dengan gejala akut seperti mengi, rasa
berat di dada dan batuk, tidak memperbaiki inflamasi jalan nafas atau menurunkan hiperesponsif
jalan nafas. Obat-obatan yang termasuk pelega adalah :
a. Agonis beta-2 kerja singkat
b. Kortikosteroid sistemik (steroid sistemik digunakan sebagai obat pelega bila
pengunaan bronkodilator yang lain sudah optimal tetapi hasil belum tercapai,
pengunaannya dikombinasikan dengan bronkodilator lain).
c. Antikolinergik
d. Aminofilin
e. Adrenalin




6.3. Rute Pemberian Medikasi
Medikasi asma dapat diberikan melalui berbagai cara yaitu inhalasi oral, dan parenteral
(Subkutan, intramuscular, intravena). Kelebihan pemberian medikasi langsung ke jalan nafas
(inhalasi) adalah :
a. Lebih ekfektif untuk dapat mencapai konsenstrasi tinggi di jalan nafas
b. Efek sistemik minimal atau dihindarkan
c. Beberapa obat (antikolirnegik melalui inhalasi, karena tidak terabsorpsi pada
pemberian oral (antikolinergik dan kromolin). Waktu kerja bronkodilator adalah lebih
cepat bila diberikan inhalasi daripada oral.
Macam-macam cara pemberian obat inhalasi :
a. Inhalasi dosis terukur (IDT)/metered-dose inhaler (MDI)
b. IDT dengan alat bantu (spacer)
c. Breath-actuated MDI
d. Dry powder inhaler (DPI)
e. Trubuhaler
f. Nebuliser

6.4. Obat-obatan Asma
6.4.1. Pengontrol
6.4.1.1.Glukokortikosteroid Inhalasi
Adalah medikasi jangka panjang yang paling efektif untuk mengontrol asma. Berbagai
penelitian menunjukkan penggunaan steroid inhalasi menghasilkan perbaikan faal paru,
menurunkan hiperesponsif jalan nafas, mengurangi gejala, mengurangi frekuensi dan berat
serangan dan memperbaiki kualitas hidup. Steroid inhalasi adalah pilihan bagi pengobatan asma
persisten (ringan sampai berat). Steroid inhalasi ditoleransi dengan baik dan aman pada dosis ang
direkomendasikan.
Kerja steroid melalui berbagai mekanisme antara lain :
a. Menghambat metabolisme asam arakidonat sehingga mempengaruhi produksi
leukotrien dan prostaglandin.
b. Mengurangi kebocoran mikrovaskuler
c. Mencegah migrasi langsung sel-sel inflamasi
d. Menghambat produksi sitokin
e. Meningkatkan kepekaan reseptor beta pada otot polos bronkus
f. Kortikosteroid inhalasi efektif dan aman untuk pengobatan asma kronis
g. Kortikosteroid sistemik efektif untuk mengatasi serangan asma berat
h. Pemberian kortikosteroid oral jangka pendek pada asma eksaserbasi akut dapat
mencegah terjadinya status asmatikus. Dosis dewasa 30-60 mg/hari, anak-anak 1-2
mg/kg/hari.
Ada 3 golonngan steroid inhalasi yang sering dipakai yaitu :
a. Golongan Beklometason dipropionat
b. Budesonide
c. Fluktikason


Tabel 2. DOSIS GLUKOKORTIKOID INHALASI DAN PERKIRAAN KESAMAAN
POTENSI
(Sumber : Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan Asma di Indonesia, 2003)



6.4.1.2.Glukokortikoid Sistemik
Cara pemberian melalui oral atau parenteral. Kemungkinan digunakan sebagai pengontrol
pada keadaan asama persisten berat (setiap hari atau selan hari), tetapi penggunaannya terbatas
mengingat risiko efek sistemik. Efek samping sistemik penggunaan glukokortikoid
oaral/parenteral jangka panjang adalah osteoporosis, hipertensi, diabetes, supresi aksis adrenal
pituitary hipotalamus, katarak, galukoma, obesiatas, penipisan kulit, striae dan kelemahan otot.

6.4.1.3.Kromolin
Terdapat 2 jenis kromolin yaitu :
a. Sodium Kromoglikat
- Adalah obat anti sinlamasi non steroid, dapat dipberikan secara inhalasi
- Cara kerjanya menstabilkan membrane sel mast dan meghambat pelepasan
mediator yang diperantarai oleh IgE.
- Manfaatny anyata pada asma alergi
b. Sodium Nedokromil
- Mempunyai kekuatan 4 5 kali dari sodium kromiglikat
- Pengobatan jangka panjang dapat menurunkan HBR, memperbaiki gejala dan
fungsi paru.

6.4.1.4.Metilsantin
Teofilin adalah bronkodilator yang juga mempunyai efek esktrapulmoner seperti
antiinflamasi. Efek bronkodilatasi berhubungan dengan hambatan fosfodiesterase yang dapat
terjadi pada konsentrasi tinggi (>10 mg/dl), sedangkan efek antiinflamasi melalui mekanisme
yang belum jelas terjadi pada konsentrasi rendah (5-10 mg/dl). Teofilin juga digunakan sebagai
bronkodilator tambahan pada serangan asma berat. Sebagai pelega, teofilin/aminofilin oral
diberikan bersama dengan beta-2 kerja singkat, sebagai alternative bronkodilator jika
dibutuhkan.
6.4.1.5.Agonis beta-2 kerja lama
Termasuk di dalam agonis beta-2 kerja lama inhalasi adalah salmeterol dan formoterol
yang mempunyai kerja lama (>12 jam). Kerja dari agonis beta-2 jangka panjang yaitu relaksasi
oto polos, meningkatkan pembersihan mukosilier, menurunkan permeabilitas pembuluh darah
dan memodulasi pelepasan mediator sel mast dan basofil.

6.4.2. Pelega (reliever)
6.4.2.1.Agonis Beta-2 Kerja Singkat
Termasuk dalam golongan ini adalah salbutamol, terbutalin, fenoterol, dan prokaterol
yang telah beredar di Indonesia. Mempunyai waktu kerja yang cepat. Lama kerja umumnya 4 6
jam. Bentuk aerosol atau inhalasi memebrikan efek bronkodilatasi yang sama atau bahkan lebih
baik dari bentuk oral. Sedangkan efek samping kardiovaskuler, termor, dan hipokalemi lebih
sedikit karena menggunakan dosis yang jauh lebih kecil dan pemberiannya secara lokal.
Peningkatan frekuensi pamakaian agonis beta-2 mencerminkan perburukkan asma dan
merupakan indikasi pemebrian steroid oral atau inhalasi.

6.4.2.2.Metilsantin
Termasuk dalam bronkodilator walau efek bronkodilatasinya lebih lemah dibandingkan
agonis beta-2 kerja singkat. Teofilin sebagai komponen utama metilsantin mempunyai efek
bronkodilatasi dan efek ekstra pulmoner antara lain meningkatkan kontraktilitas diafragma.
Teofilin mempunyai efek bronkodilator yang erat kaitannya dengan konsentrasi di dalam serum
(kadar puncak 8 15 g/mL), efek samping dapat ditekan dengan memantau kadarnya terutam
pada pengobatan jangka panjang.
Efek samping teofilin antara lain nausea, muntah, kejang, takikardi dan aritmia. Karena
efek samping tersbut, obat ini merupakan pilihan ketiga setelah agonis beta-2 steroid inhalasi.

6.4.2.3.Antikolinergik
Mekanisme kerjanya dengan cara memblok efek pelepasan asetilkolin dan saraf
kolinergik pada jalan nafas. Menimbulkan bornkodilatasi dengan menurunkan tonus kolinergik
vagal instrinsik, selain itu juga menghambat refleks bronkokonstriksi yang disebabkan iritan.
Pada asma efek bronkodilatasi antikolinergik inhalasi kurang kuat dan lebih lambat
dibandingkan agonis beta-2 kerja singkat, dibutuhkan 30 60 menit untuk mencapai efek
maksimum.Obat ini lebih bermanfaat pada PPOK yakni bronchitis kronis dan empisema
maupun penyakit saluran nafas perifer.

6.4.2.4.Adenalin
Dapat sebagai pilihan pada asma eksserbasi sedang sampai berat, bila tidak tersedia
agonis beta-2, atau tidak respon dengan agonis beta-2 kerja singkat. Pemberian secara subkutan
harus dilakukan nati-hati pada penederita usia lanjut atau dengan gangguan kardiovaskular.
Pemberian intravena dapat diberikan beila dibutuhkan, tetapi harus dengan pengawasan ketat.





SEDIAAN DAN DOSIS OBAT PENGONTROL ASMA



SEDIAAN DAN DOSIS OBAT PENGONTROL ASMA
(LANJUTAN)

Medikasi Sediaan Obat Dosis Dewasa Dosis
anak
Keterangan
Steroid Inhalasi
Flutikason propionat
IDT 50, 125
mcg/semprot
125 500
mcg/hari
50 125
mcg/hari
Dosis bergantung kepada
derajat berat asma
Budesonide IDT, turbuhaler
100 800
mcg/hari
100 200
mcg/hari
Sebaiknya diberikan
dengan spacer
Beklometason
dipropionat
IDT, rotacap,
rotahaler, rotadisk
100 800
mcg/hari
100 200
mcg/hari


SEDIAAN DAN DOSIS OBAT PELEGA UNTUK MENGATASI GEJALA ASMA

VII. Penatalaksanaan Asma Akut
Serangan asma bervariasi dari ringan sampai berat bahakan dapat bersifata fatal atau
mengncam jiwa. Seringnya serangan asama menunjukkan penanganan asam sehari-hari yang
kurang tepat. Penilaian berat serangan merupankan kunci pertama dalam penanganan serangan
akut. Langkah berikutnya adalah memebrikan pengobatan yang tepat, selanjutnya menilai
respons pengobatanm dan berikutnya memahami tindakan apa yang sebaiknya dilakukan pada
penederita (pulang, observasi, rawat inap, intubasi, mmbutuhkan ventilator, ICU dan lain-lain).

KLASIFIKASI BERAT SERANGAN ASMA AKUT



7.1. Pengobatan Awal
a. Berikan oksigen 4 6 liter/menit untuk mempertahankan saturasi O2 > 90%
b. Inhalasi beta-2 agonis (salbutamol 5 mg atau fenoterol 2,5 mg atau terbutalin 10 mg)
setiap 20 menit dalam satu jam.
c. Dapat juga diberikan beta-2 agonis subkutan atau intravena (terbutalin 0,25 mg atau
salbutamol 0,25 mg) dalam D5% pelan-pelan. Dapat juga diberikan adrenalin 0,3 mL
subkutan, dapt diulang 3x dalam satu jam.
d. Berikan aminofilin bolus 5 6 mg/kg BB, bila sudah menggunakan aminofilin
sebelumnya (<12 jam) berikan dosis.
e. Berikan Kortikosteroid seistemik iv hidrokortison sodium suksinat 100 250 mg atau
30 60 mg metilprednisolon stiap 6 jam sampai gejala teratasi kemudian diteruskan
pemberian oral 30 60 mg/hari.
f. Antibiotik diberikan bila ada indikasi
g. Pemberian cairan yang berimbang untuk mengaasi dehidrasi
h. Obat mukolitik perinhalasi dapat diberikan bila jelas restensi sputum
i. Fisioterpai dada dapat membantu pasien yang mempunyai hipersekresi mucus yang
berat sebagai penyebab utama eksaserbasi.
j. Obat sedasi tidak dianjurkan
k. Antihistamin tidak mempunyai peran yang terbukti bermanfaat dalam pengobatan
asma akut.

7.2. Penilaian Ulang
Terdapat 3 respon penatalaksanaan asma akut di rumah sakit, yaitu :
a. Respon baik, bila setelah 60 menit pemeriksaan fisik normal, APE>70% (300
liter/menit), maka penderita diperbolehkan pulang,
b. Respon kurang, apabila dalam 60 menit pemriksaan fisik menunjukkan gejala ringan
sedang, APE>50%, tetapi <70%, Saturasi O2 tidak perbaikan.
c. Respon Buruk dalam 1 jam, apabila pemeriksaan fisik menunjukkan kea rah berat,
pasein gelisah dan kesadaran menurun, APE <30%, PaCO2> 45 mmHg, PaO2 < 60
mmHg. Pasien harus dirawat di ruangan ICU, dan kemungkinan dipertimbangkan
untuk dilakukan intubasi dan vetntilasi mekanik.
Pemeriksaan analisis gas darah arteri (AGDA) sebaiknya dilakukan pada :
a. Serangan asma akut berat
b. Membutuhkan perawatan rumah sakit
c. Tidak respon dengan pengobatan/memburuk
d. Ada komplikasi antara lain pneumonia, pneumotoraks dan lain-lain
Pada keadaan fasilitas rumah sakit tidak memungkinkan pemeriksaan analisis gas darah
tidak perlu dilakukan. Pada keadaan di bawah ini analisis gas darah mutlak dilakukan yaitu :
a. Mengancam jiwa
b. Tidak respons dengan pengobatan/memburuk
c. Gagal nafas
d. Sianosis, kesdaran menurun dan gelisah.

PENATALAKSANAAN SERANGAN ASMA DI RUMAH SAKIT




DAFTAR PUSTAKA
1. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. (2003). Asma : Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan di Indonesia. Buku Pedoman. Jakarta, Indonesia.
2. Rengganis, I. (2008). Diagnosis dan Tatalaksana Asma Bronkial. Tinjauan Pustaka. Majalah
Kekoteran Indonesia, 58, 11; 444 451.
3. Tulak, A.D. (2005). Diagnosis dan Penatalaksanaan Asma. Tinjauan Pustaka. Jakarta :
Pelarihan Penanggulangan Gawat Darurat Medik RSUD Kota Bekasi 2005.

You might also like