You are on page 1of 27

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1.1 Latar Belakang Masalah
Aktor-aktor politik Islam yang terlibat dalam panggung politik di
Indonesia pasca reformasi semakin kompleks. Tidak hanya organisasi-organisasi
Islam lokal tetapi juga organisasi yang berafiliasi dengan jaringan politik Islam
internasional seperti Al Qaeda, Salafi/Wahabi, Ikhwanul Muslimin, Jamaah
Tabligh, dan Hizbut Tahrir. Keberadaan mereka sebagai bentuk gerakan
transnasional keagamaan memberikan warna tersendiri bagi perpolitikan
Indonesia.
Hizbut Tahrir Indonesia merupakan bentuk dari gerakan transnasional
keagamaan karena Hizbut Tahrir Indonesia merupakan bagian dari Hizbut Tahrir
secara internasional yang didirikan oleh Taqiyudin An Nabhani di Al Quds pada
tahun 1953. Secara global, Hizbut Tahrir saat ini aktif di 40 negara di berbagai
belahan dunia di wilayah Timur Tengah, Afrika, Asia Tengah, Asia Selatan, Asia
Tenggara, dan di negara-negara Barat.
1

Pemahaman Islam yang dibawa Hizbut Tahrir dari tempat asalnya ke
Indonesia, bagi sebagian pihak, dinilai merupakan suatu ancaman bagi keutuhan
Indonesia yang mempunyai tingkat pluralitas yang tinggi.
2
Hal ini beralasan

1
Cohen, Ariel. Hizbut-Tahrir: An Emerging Threat to U.S. Interests in Central Asia. The Heritage
Foundation. 30 May 2003. Yang diakses dari http://www.heritage.org/
research/reports/2003/05/hizb-ut-tahrir-an-emerging-threat-to-us-interests-in-central-asia pada
tanggal 2 Maret 2014.
2
Bagi sebagian pihak, Hizbut Tahrir dianggap sebagai sarana untuk mempererat silahturahmi
sesama Muslim. Bagi sebagian pihak lainnya, seperti NU, menganggap Hizbut Tahrir ancaman
2

karena paham Islamisme Hizbut Tahrir cenderung kaku dalam berinteraksi dengan
nilai-nilai lokal atau pun nilai-nilai Barat yang masuk ke Indonesia. Hal ini
berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah
yang melakukan asimilasi antara budaya lokal dan nilai-nilai Islam dan
menghasilkan Islam yang khas ke-Indonesia-an.
Hizbut Tahrir adalah organisasi yang mempertahankan khas keislamannya
dengan menempatkan nilai-nilai Islam sebagai anti tesis terhadap nilai-nilai Barat
yang mendominasi dunia. Hizbut Tahrir berpandangan bahwa pemikiran-
pemikiran Barat hanya akan membuat umat Islam semakin terpuruk. Oleh karena
itu, Hizbut Tahrir berusaha mengembalikan umat Islam pada nilai-nilai Islam dan
menerapkannya secara menyeluruh dalam berbagai aspek kehidupan serta
menolak pemikiran-pemikiran non-Islam. Berdasarkan tulisan William E. Shepard
typologi ideologi Islam Hizbut Tahrir termasuk dalam label Islam radikal.
3

Hizbut Tahrir mempunyai tujuan besar yaitu menyatukan seluruh identitas
Islam di seluruh dunia di bawah satu otoritas tunggal khilafah Islamiyah yang
dalam kehidupannya menerapkan hukum Islam secara menyeluruh seperti yang
dicontohkan oleh Nabi Muhammad pada abad ketujuh. Alasan inilah membuat
Hizbut Tahrir dilarang di beberapa negara seperti di Arab Saudi, Jerman, Turki,
Rusia, Kazakstan dan Bangladesh karena pemahaman Hizbut Tahrir dianggap
radikal karena dapat membahayakan eksistensi negara tersebut.

bagi keutuhan NKRI yang telah banyak ditulis oleh tokoh-tokoh besar NU dalam karya seperti
buku ilusi negara Islam.
3
William E. Shepard. Islam and Ideology: Toward Typology. International Journal of Middle East
Studies. Vol. 19. No. 3 (Aug., 1987). Hal. 9-12
3

Meskipun pemahaman dan tujuan Hizbut Tahrir di seluruh dunia adalah
sama tetapi metode Hizbut Tahrir dalam prakteknya di setiap negara berbeda-
beda, tergantung pada situasi politik negara dimana Hizbut Tahrir berada. Hizbut
Tahrir tercatat pernah melakukan kudeta di Yordania pada tahun 1969 dan 1971,
di Irak pada tahun 1976, di Mesir tahun 1974 dan di Tunisia pada tahun 1970-an.
Oleh karena itu, Hizbut Tahrir menjadi organisasi terlarang di negara tersebut.
4

Di Indonesia, Hizbut Tahrir pertama kali dibawa oleh ulama HT asal
Australia yang bernama Abdurahman Albagdadi. Albagdadi datang ke Indonesia
dalam memenuhi undangan dari Pesantren Al-Ghazali di Cirebon pada tahun
1982. Pada saat itu terjadi pengawasan ketat atas setiap pergerakan politik di
Indonesia oleh pemerintah. Selain itu terdapat aturan yang mewajibkan seluruh
organisasi di Indonesia berlandaskan Pancasila. Hal ini tentunya bertentangan
dengan pemikiran Hizbut Tahrir yang menganggap tidak menerima ideologi
selain Islam dan lebih memilih bergerak secara bawah tanah dengan mengadakan
pengajian secara diam-diam di masjid-masjid, kampus, dan rumah-rumah
masyarakat untuk menyebarkan pemahamannya.
Seiring perkembangan politik di Indonesia, Hizbut Tahrir mulai
mendapatkan tempat dan ruang untuk bergerak. Transisi politik Indonesia pada
tahun 1998, yang disebut sebagai era Reformasi, menjadi tonggak penting bagi
Indonesia karena momen tersebut melahirkan demokrasi serta menandakan
runtuhnya sistem sentralisasi dan ototarian Era Orde Baru. Banyak kebijakan
dibuat yang sejalan dengan semangat demokrasi, diantaranya adalah pergantian

4
Ashad Said Ali. 2012. Ideologi Gerakan Pasca-Reformasi. Jakarta: LP3S
4

dari hegemonic system party menjadi sistem multi partai, dihapusnya UU No. 8
tahun 1985 dan amandemen UUD 1945 pasal 28E ayat 3. Perubahan tersebut
menjadi dasar bagi kebebasan berpolitik di Indonesia yang pada masa sebelumnya
dibatasi oleh pemerintah Orde Baru. Hal ini menjadi kesempatan emas dan ruang
yang luas bagi politik Islam atau Islamisme untuk tumbuh di Indonesia, termasuk
Hizbut Tahrir.
Kehadiran demokrasi di Indonesia turut mempengaruhi metode pergerakan
Hizbut Tahrir. Pada tanggal 29 Juni 2011, Hizbut Tahrir mendeklarasikan dirinya
sebagai partai politik Islam yang menamai dirinya dengan Hizbut Tahrir Indonesia
(HTI) meskipun demikian mereka tidak pernah mengikuti pemilu.
5
Dalam
pergerakan politiknya, Hizbut Tahrir Indonesia menggunakan kebebasan dalam
berdemokrasi seperti mendirikan media massa sendiri dalam rangka menggiring
opini publik untuk mendukung khilafah dan menolak nilai-nilai non Islam. Selain
itu juga, Hizbut Tahrir mengadakan seminar-seminar besar untuk menyebarkan
pemahammnya seperti Koferensi Khilafah.
Keberadaan Hizbut Tahrir di Indonesia menjadi tantangan bagi Pancasila
sebagai ideologi bangsa Indonesia di era Reformasi karena paham khilafah
Islamiyah Hizbut Tahrir dapat menjadi anti tesis bagi Pancasila dan konsep
nation-state di Indonesia yang telah dianggap final. Hal ini menjadi menarik
karena perbenturan pemikiran antara nilai Islam dan nilai lokal Indonesia
memasuki babak baru dengan panggung yang baru tetapi tetap berakar pada

5
BBC. 2011. Hizbut Tahrir Nyatakan Diri Partai Politik. Yang diakses dari
http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2011/06/110629_hizbutahrir.shtml?utm_source=
twitterfeed&utm_medium=twitter pada tanggal 2 Maret 2014.
5

permasalahan yang sama.
6
Sama seperti yang dikatakan Samuel Huttington dan
Kurshid Ahmad menggambarkan Islam dalam kontemplasi politik global sebagai
berbenturan peradaban dan pemikiran antara Islam dan nilai-nilai Barat dalam
mempertahankan status quo dari masing-masing pemikiran.
7

Dari pemaparan singkat ini, maka penulis mengambil judul permasalahan
yaitu GERAKAN POLITIK ISLAM HIZBUT TAHRIR INDONESIA ERA
PASCA REFORMASI

1.2 Perumusan Masalah
Islam, bagi pemeluknya, bukan hanya suatu ajaran yang mengatur ritual
dalam hubungan suatu individu dan Tuhan-nya semata tetapi Islam juga mengatur
segala aspek kehidupan bagi umatnya yang berdasarkan Al Quran dan Hadist.
Jadi, Islam tidak mengenal konsep sekulerisme. Namun demikian, dalam
implementasi nilai-nilai Islam sangat dipengaruhi oleh keadaan lingkungan
dimana Islam itu tumbuh. Hal ini yang menyebabkan perbedaan dalam corak dan
gerakan politik Islam di seluruh dunia. Sebagai contoh, corak Islam di Indonesia
dan di Palestina sangat jauh berbeda. Hal ini juga dipengaruhi oleh ijtihad
terhadap nilai-nilai Islam.
Pemahaman Hizbut Tahrir tidak bisa terlepas dari pandangan Taqiyuddin
An-Nabhani terhadap Islam dan lingkungannya. Taqiyuddin merupakan tokoh
utama dibalik beridirinya Hizbut Tahrir. Dasar pemikiran Taqiyuddin dalam

6
Jeffrey Haynes. Transnational Religious Actors and International Order. Perspective. Vol. 17,
No. 2. 2009
7
Samuel Hutington. 1993. The Clash of Civilization?. Foreign Affairs. Vol. 71, No. 3. Lihat juga
Khurshid Ahmad. 1983. Nature of Islamic resurgence in "Voices of resurgent Islam". Oxford
University Press
6

mendirikan Hizbut Tahrir adalah rasa prihatinnya atas penjajahan tanah Palestina
oleh Barat serta mulai pudarnya nilai-nilai Islam dan terpuruknya negara-negara
mayoritas Islam yang disebabkan oleh budaya dan pemikiran-pemikiran Barat
yang menguasai dunia Islam. Lebih jauh, Taqiyuddin berpendapat penjajahan
yang dilakukan oleh Barat pada masa Kolonial masih berlangsung hingga saat ini
dengan menggunakan kapitalisme dan demokrasi yang telah membuat negara-
negara Islam terpuruk dan mengalami ketertinggalan dari Barat.
Taqiyuddin percaya dengan kembali kepada nilai-nilai Islam dan
meninggalkan paham yang berasal dari Barat akan membuat negara-negara Islam
bangkit dari keterpurukan. Hal ini dapat diwujudkan dengan membentuk khilafah
dan dipercaya sebagai solusi dari permasalahan yang dihadapi oleh negara-negara
Islam serta dapat mengembalikan kejayaan Islam seperti masa Nabi Muhammad
pada abad ketujuh. Oleh karena itu, Hizbut Tahrir dalam tujuan besarnya adalah
berupaya mendirikan khilafah dunia dimana umat Islam di seluruh dunia bersatu
dalam satu komando yang disebut sebagai darul Islam serta menjalankan hukum-
hukum Islam secara menyeluruh seperti Islam pada masa khilafah. Selain itu juga,
Hizbut Tahrir mempunyai pandangan anti-Barat.
8

Pemahaman Taqiyuddin ini tidak berbeda dengan Sayid Qutb dan Al
Mawduddi yang termasuk dari pemahaman Islam radikal. Baik Qutb, Mawduddi,
dan Taqiyuddin menilai ijtihad sebagai nilai mutlak dan bukan dijadikan sebagai
gerbang dalam menerima nilai-nilai Barat. Mereka berusaha untuk
mempertahankan kekhasan Islam dengan menerapkan nilai-nilai Islam secara

8
Ali, Ashad Said. 2012. Ideologi Gerakan Pasca-Reformasi. Jakarta: LP3S
7

menyeluruh dalam kehidupan, seperti yang dikatakan oleh Sayid Qutb bahwa
Islam merupakan agama yang fleksibel tetapi tidak berubah. Ini berarti Islam
dijadikan sebagai sumber hukum yang mengatur kehidupan publik dan kehidupan
personal. Mawduddi menambahkan bahwa Islam dapat dijadikan sebagai paham
tandingan ditengah-tengah dominasi Barat.
9

Politik Islam yang diasung oleh Hizbut Tahrir Indonesia bertujuan untuk
mewujudkan tatanan sosial, ekonomi dan politik yang islami. Hal ini
merupakan tantangan bagi Indonesia mengingat Indonesia merupakan negara
dengan penduduk pemeluk agama Islam terbesar di dunia dan Indonesia juga
merupakan negara yang memiliki tingkat pluralitas kebudayaan, suku, bangsa, dan
agama yang tinggi. Untuk memelihara persatuan dalam tingkat pluralitas yang
tinggi, Indonesia menetapkan Pancasila sebagai dasar negara. Sistem
pemerintahan yang diterapkan Indonesia berupa religius sekuler yang tercermin
dari bunyi sila pertama dari Pancasila yang menyebutkan Tuhan Yang Maha Esa
sebagai arti dari ketuhanan yang luas.
10

Secara umum gerakan politik Hizbut Tahrir ingin mendirikan dan
membangun kembali kejayaan Khilafah di dunia dan melakukan pemurnian
agama bagi kaum Islam di dunia terhadap pengaruh-pengaruh politik, agama,
budaya dan kebiasaan Barat. Maka dari pemaparan diatas, penulis mencoba

9
William E. Shepard. Ibid.
10
Istilah religius sekuler diambil dari tulisan William E. Shepard yang berarti pemisahan negara
dan agama di dalam kehidupan publik, namun konstitusi negara mengakui adanya Ketuhanan.
Meskipun demikian, Ketuhanan disini diartikan secara luas dan tidak berdasarkan agama tertentu.
Lihat William E. Shepard. Islam and Ideology: Toward Typology. International Journal of Middle
East Studies. Vol. 19. No. 3 (Aug., 1987).
8

mengarahkan penelitian ini dan mengajukan pertanyaan peneilitian Bagaimana
Gerakan Politik Islam Hizbut Tahrir Indonesia Era Pasca Reformasi?

Ruang Lingkup
Penelitian ini difokuskan terhadap tingkat analisa dari penelitian, yaitu
gerakan politik Islam Hizbut Tahrir Indonesia. Penelitian ini dibatasi waktu yaitu
Indonesia pada era reformasi.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui lebih dalam mengenai gerakan
politik Islam Hizbut Tahrir Indonesia pada era reformasi. Tujuan penelitian dapat
diuraikan sebagai berikut:
1. Mengetahui secara mendalam mengenai Hizbut Tahrir Indonesia.
2. Mengetahui sistem politik di Indonesia pada era reformasi.
3. Mengetahui peran Hizbut Tahrir di dalam pentas politik Indonesia.
Kegunaan Penelitian
Dalam penelitian ini penulis dapat memberikan informasi dan pemikiran
bagi pihak-pihak yang berkepentingan. Dengan adanya penelitian ini, penulis
memaparkan permasalahan penelitian dengan tepat agar lebih mudah dipahami
serta dapat menambah pengetahuan sekaligus dan dengan adanya penelitian ini
diharapkan dapat menjadi tambahan bahan yang berguna dalam memperluas
khazanah ilmu pengetahuan serta dapat menjadi sumber informasi bagi pihak-
pihak yang melakukan penelitian yang sama dan sebagai sarana pengembangan
ilmu yang diperoleh penulis selama mengikuti pendidikan di Perguruan Tinggi.
9

1.3 Kerangka Teori
Di antara fenomena yang disadari oleh sebagian pengkaji teori-teori politik
secara umum, adalah: adanya hubungan yang erat antara timbulnya pemikiran-
pemikiran politik dengan perkembangan kejadian-kejadian historis. Jika fenomena
itu benar bagi suatu jenis atau madzhab pemikiran tertentu, dalam bidang
pemikiran apapun, hal itu bagi pertumbuhan dan perkembangan teori-teori politik
Islam amatlah jelas benarnya. Teori-teori ini terutama pada fase-fase
pertumbuhan pertamanya berkaitan amat erat dengan kejadian-kejadian sejarah
Islam. Hingga hal itu harus dilihat seakan-akan keduanya adalah seperti dua sisi
dari satu mata uang. Atau dua bagian yang saling melengkapi satu sama lain. Sifat
hubungan di antara keduanya berubah-ubah: terkadang pemikiran-pemikiran itu
tampak menjadi penggerak terjadinya berbagai kejadian, dan terkadang pula
kejadian-kejadian itu menjadi pendorong atau rahim yang melahirkan pendapat-
pendapat itu. Kadang-kadang suatu teori hanyalah sebuah bias dari kejadian yang
berlangsung pada masa lalu. Atau suatu kesimpulan yang dihasilkan melalui
perenungan atas suatu pendapat yang telah diakui pada masa sebelumnya. Atau
bisa pula hubungan itu berbentuk lain.
Karena adanya hubungan antara dua segi ini, segi teoretis dan realistis,
maka jelaslah masing-masing dari kedua hal itu tidak dapat dipahami tanpa
keberadaan yang lain. Metode terbaik untuk mempelajari teori-teori ini adalah
dengan mengkajinya sambil diiringi dengan realitas-realitas sejarah yang
berkaitan dengannya. Secara berurutan sesuai dengan fase-fase perkembangan
historisnya yang sekaligus merupakan runtutan alami dan logisnya. Sehingga
10

dapat dipahami hakikat hubungan yang mengkaitkan antara dua segi, dapat
memperjelas pendapat-pendapat, dan dapat menunjukkan bumi yang menjadi
tempat tumbuhnya masing-masing pemikiran hingga berbuah, dan mencapai
kematangannya.
Dalam penelitian ini, penulis mencoba mengkaji permasalahan diangkat
dengan menggunakan teori Politik Islam. Banayk pendapat para ahli mengenai
perkembangan politik Islam, pada kesempatan ini penulis mencoba mengupas
perkembangan Hizbut Tahrir di Indonesia menggunakan teori teori Politik Islam
yang disampaikan oleh Olivier Roy dalam bukunya The Failure of Political Islam,
Kurshid Ahmad dalam bukunya The Nature of Islamic Resurgence, M Ayoob
dalam bukunya Political Islam Image and Reality dan William E Shepard dalam
bukunya Islam and Ideology Toward Typologi.
Asumsi telah menginspirasi banyak diskusi di Barat mengenai politik
Islam selama dekade terakhir dan setengah-terutama karena 9/11. Ini adalah: satu,
bahwa Islam politik, seperti Islam itu sendiri, adalah monolitik; dua, bahwa politik
Islam sebagai agama kekerasan; dan, tiga, bahwa pembauran agama dan politik
adalah unik untuk Islam. Asumsi ini adalah palsu. Selain itu, meskipun argumen
dapat dibuat bahwa ada sejumlah varietas politik Islam transnasional, manifestasi
transnasional seperti membentuk bagian yang sangat kecil dari kegiatan
sebagaimana dimaksud Islam.
Kita harus mulai dengan definisi istilah "Politik Islam," atau "Islamisme,"
yaitu, Islam sebagai ideologi politik dan bukan sebagai konstruk agama atau
teologi. Pada tingkat yang paling dasar, penganut Politik Islam percaya bahwa
11

"Islam sebagai badan iman memiliki sesuatu yang penting untuk mengatakan
tentang bagaimana politik dan masyarakat harus diatur dalam dunia Muslim
kontemporer dan diterapkan dengan cara tertentu."
11
Namun, generalisasi ini tidak
tidak membawa kita lebih jauh dalam menjelaskan kegiatan politik yang
dilakukan atas nama Islam. Definisi yang lebih analitis berguna adalah bahwa
yang diberikan oleh ilmuwan politik Guilian Denoeux, yang menulis Islamisme
sebagai "bentuk instrumentalization Islam oleh individu, kelompok dan organisasi
yang mengejar tujuan politik. Ini memberikan tanggapan politik terhadap
tantangan sosial saat ini dengan membayangkan masa depan, fondasi yang
beristirahat pada penempatan kembali, konsep diciptakan kembali dipinjam dari
tradisi Islam. "
12

Penempatan kembali dari masa lalu, "penemuan tradisi" dalam hal
romantis dari gagasan mitos zaman keemasan terletak di jantung instrumentalisasi
dari Islam. Ini adalah penemuan tradisi yang menyediakan alat untuk de-
historicizing Islam dan memisahkannya dari berbagai konteks di mana ia telah
berkembang selama masa seribu empat ratus tahun. Dari konteks ini Islam
memungkinkan Islamis dalam teori untuk mengabaikan milieus sosial, ekonomi,
dan politik di mana komunitas Muslim ada. Hal Ini menyediakan Islamis alat
ideologis yang kuat yang dapat mereka gunakan untuk "membersihkan"
masyarakat Muslim dari "kekotoran" dan "penambahan-penambahan" yang tak
terelakkan dari proses sejarah, tetapi yang mereka lihat sebagai alasan penurunan
Muslim.

11
Fuller, Graham. 2003. The Future of Political Islam. New York: Palgrave, 2003 halaman. xi.
12
Denoeux Guilain. 2002. The Forgotten Swamp: Navigating Political Islam, Middle East
Policy, vol. 9. Hal 61.
12

Namun, konteks memiliki cara menegaskan kembali dirinya atas teori
abstrak ketika upaya dilakukan untuk menempatkan teori dalam praktek. Ini
adalah apa yang telah terjadi dengan Islamisme. Dalam prakteknya, tidak ada dua
Islamisms yang sama karena mereka ditentukan oleh konteks di mana mereka
beroperasi. Apa yang bekerja di Mesir tidak akan bekerja di Indonesia. Apa yang
bekerja di Arab Saudi tidak akan bekerja di Turki. Siapa pun akrab dengan
keragaman Muslim dunia-nya, karakteristik sosial-ekonomi, budaya, sistem
politik, dan lintasan dari pembangunan-intelektual terikat untuk menyadari bahwa
manifestasi politik Islam, seperti praktek Islam itu sendiri, adalah berpengaruh
pada konteks tertentu, hasil interpenetrasi ajaran agama dan budaya lokal,
termasuk budaya politik.
13

Memang benar bahwa ada kosa kata Islam yang melampaui batas-batas
politik. Namun, kosakata ini biasanya digunakan untuk melayani tujuan tertentu
dalam pengaturan diskrit. Dengan demikian, meskipun idiom Islam mungkin
tampak sama di mana-mana bagi pengamat, hal itu berbeda dari pengaturan ke
pengaturan. Sebagai antropolog Dale Eickelman dan James Piscatori ilmuwan
politik mencatat, politik menjadi "Muslim" dengan "seruan ide dan simbol, yang
Muslim dalam konteks yang berbeda mengidentifikasi sebagai 'Islam.
14

Ini menjadi jelas bahwa imajinasi politik Islam sangat ditentukan oleh
konteks ketika kita melihat wacana politik dan, yang lebih penting, kegiatan
berbagai gerakan Islam. Jamaat-i-Islami adalah gerakan spesifik Pakistan dan

13
Olivier Roy, The Failure of Political Islam, dalam Carol Volk [Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1996], p. vii
14
Eickelman Dale F. dan James Piscatori,. 1996. Muslim Politics . Princeton, NJ: Princeton
University Press. hal. 4
13

Gerakan Islamic Salvation adalah gerakan spesifik di Aljazair. Strategi dari
Ikhwanul Muslimin, yang didirikan di Mesir dan memiliki cabang di berbagai
negara Arab, berbeda dari satu negara ke negara. Varian Mesir, Yordania, dan
Suriah telah mengadopsi strategi politik yang sangat berbeda dalam menanggapi
tantangan lokal. Memang, induk organisasi di Mesir sendiri telah bermutasi dari
waktu ke waktu, kepemimpinannya di awal 1980-an tegas menolak ide-ide yang
lebih radikal dan militan yang terkait dengan Sayyid Qutb, ideolog utamanya dari
tahun 1960-an.
Penerimaan Islam sebagai bagian integral pembentukan identitas di
sebagian besar negara-negara Muslim mungkin dihindari, tetapi hal itu membuka
gerbang untuk intrusi Islam ke dalam proses politik postkolonial. Daya tarik
politik Islam meningkat sebagai mana elit pemerintahan gagal mewujudkan janji-
janji mereka pada kemajuan ekonomi, partisipasi politik, dan martabat pribadi
untuk populasi yang muncul dari perbudakan kolonial. Hal ini di era ini, dari
tahun 1950 hingga tahun 1970-an, bahwa politik Islam, seperti yang kita kenal
sekarang. Abul Ala Mawdudi di Pakistan dan Sayyid Qutb di Mesir, baik
pendukung negara Islam dan penentang nasionalisme sekuler, menjadi intelektual
pembawa standar yang paling utama.
RADICAL Islamisme oleh "Islamisme radikal" atau sering disebut
"fundamentalis." Bentuk ini ditampilkan oleh Sayed Abul A'la Maududi dan
tulisan-tulisan berikutnya oleh Sayyid Qutb,
15
dan dalam derajat hanya sedikit
lebih rendah oleh Imam Khomeini dan para pemimpin Iran lainnya. Seperti

15
Shepard William E. 2009. Islam and Ideology Toward Typologi. Cambridge Unicersity Press.
Inggris. Hal 314
14

modernis, tetapi bahkan makin keras, Islam radikal mengklaim bahwa Islam
adalah untuk semua aspek sosial maupun kehidupan pribadi. Mereka setuju
dengan kaum modernis bahwa Islam adalah fleksibel dan Islami "takhayul" harus
dihilangkan. Mereka juga menerima kebutuhan untuk ijtihad mutlak, tetapi
mereka cenderung kurang dalam melakukan itu dan mereka menekankan bahwa
hal itu harus dilakukan dengan cara yang otentik Islam, bukan sebagai sarana
rahasia meniru Barat. Mawdudi mengatakan, "Tujuan dan objek ijtihad bukanlah
untuk menggantikan hukum Tuhan dengan hukum buatan manusia. tujutan
nyatanya adalah untuk memahami UU MA."
16
Sayyid Qutb mengatakan bahwa
Islam adalah "fleksibel" tetapi tidak "berubah-ubah" dan menekankan bahwa
"jika ada teks otoritatif (nass), maka teks yang menentukan dan tidak ada ruang
untuk ijtihad. Jika tidak ada nass, kemudian datang waktu untuk ijtihad, harus
dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip yang ditetapkan metode Allah sendiri . "
Secara konsisten dengan hal ini, Islam radikal cenderung menerima lebih
dari ijtihad masa lalu para ulama dan kurang menekankan kegagalan masyarakat
dalam masa pra-modern dan distorsi yang disebabkan oleh colonialism Barat.
Dalam hal ini tampak serupa dengan tujuan awal Hizbut Tahrir berdiri yaitu
Hizbut Tahrir bermaksud membangkitkan kembali umat Islam dari kemerosotan
yang amat parah, membebaskan umat dari ide-ide, sistem perundang-undangan,
dan hukum-hukum kufur, serta membebaskan mereka dari cengkeraman dominasi
dan pengaruh negara-negara Negara Barat. Hizbut Tahrir bermaksud juga
membangun kembali Daulah Khilafah Islamiyah di muka bumi, sehingga hukum

16
Ahmad Khursid. 1975. The Islamic Law and Constitution, Edisi ke 5 .slamic Publications Ltd..
Lahore .hal. 72.
15

yang diturunkan Allah SWT dapat diberlakukan kembali. Mereka juga sangat
menekankan kekhasan Islam.
Mawdudi menolak untuk mereka yang ingin mengidentifikasi Islam
dengan "demokrasi," "komunisme", atau "diktator" dengan alasan bahwa hasil
identifikasi tersebut dari "keyakinan bahwa kita sebagai umat Islam bisa
mendapatkan kehormatan atau rasa hormat kecuali kita mampu menunjukkan
bahwa agama kita menyerupai kepercayaan modern. "
17
Mereka cenderung
menolak istilah-istilah seperti" sosialisme Islam, "dan Khomeini bahkan menolak
untuk memasukkan kata" demokrasi "dalam nama Republik Islam Iran.
18

Sebaliknya, Mujahidin-i Khalq, misalnya, berbicara tentang "Demokrasi Republik
Islam Iran." Perhatian untuk kekhasan dapat memanifestasikan dirinya dalam
sebuah desakan hukum Islam jelas berbeda, seperti hukuman hadd. Lebih halus,
meskipun, kekhasan dicapai dengan menekankan bahwa Islam secara keseluruhan
adalah sistem yang berbeda dan terintegrasi, sehingga bahkan jika unsur-unsur
individu tampaknya tidak khas, tempat mereka di sistem Islam membuat mereka
berbeda. konsisten dengan pendekatan ini, beberapa mengatakan bahwa hukuman
seperti memotong tangan pencuri harus dilakukan pada hanya setelah masyarakat
yang benar-benar Islam diberlakukan.
19

Sesuai dengan keprihatinan ini untuk kebenaran dan kekhasan, Islam
radikal kurang dalam penekanan pada apologetik. Dalam prakteknya ini mungkin
hanya perbedaan tingkatan, tetapi niat itu lebih dari itu. Mawdudi dan Sayyid

17
Ibid. Hal 118
18
Algar Hamid.1981. Islam and Revolution, Hamid Algar. Mizan Press, Berkeley. Hal 55
19
Mitchell, R. P. 1969. The Society of the Muslim Brothers Oxford University Press, Londin. Hal 240-41.
16

Qutb melihat "inferioriti kompleks" dalam modernis apologetics.
20
terutama,
mereka cenderung tanpa kompromi pada minoritas non-Muslim. Mawdudi secara
terbuka menyerang "persamaan di depan hukum" sebagai seorang sham dan
pembela ketentuan Islam untuk status dzimmi.
21
Lebih dari yang lain, kelompok
Islam radikal menekankan pentingnya menempatkan syariat ke dalam praktek.
Hal ini tidak hanya untuk diketahui dan dihormati, tetapi hukum yang akan
diberlakukan dan dipatuhi. Aktivitas Hizbut Tahrir adalah mengemban dakwah
Islam dalam rangka melakukan transformasi sosial di tengah-tengah situasi
masyarakat yang rusak sehingga diubah menjadi masyarakat Islam. Hal ini sejalan
dengan konsep yang di munculkan oleh qutb tentang menekankan semua aspek
Islam terhadap semua subjek masyarakat, bukan hanya masyarakat Islam tapi
seluruh masyarakat yang berada dalam wilayah mayoritas Islam seperti di
Indonesia. Hizbut Tahrir ,encoba Upaya untuk menempuh hal ini dengan tiga
cara:
1. Mengubah ide-ide yang ada saat ini menjadi ide-ide Islam. Dengan
begitu, ide-ide Islam diharapkan dapat menjadi opini umum di tengah-
tengah masyarakat, sekaligus menjadi persepsi mereka yang akan
mendorong mereka untuk merealisasikan dan mengaplikasikan ide-ide
tersebut sesuai dengan tuntutan Islam.
2. Mengubah perasaan yang berkembang di tengah-tengah masyarakat
menjadi perasaan Islam. Dengan begitu, mereka diharapkan dapat
bersikap ridha terhadap semua perkara yang diridhai Allah, dan

20
Loc.cit Mawdudi, The Islamic Law, Hal 118
21
Ibid. Hal 265-268
17

sebaliknya, marah dan benci terhadap semua hal yang dimurkai dan
dibenci oleh Allah.
3. Mengubah interaksi-interaksi yang terjadi di tengah masyarakat
menjadi interaksi-interaksi yang Islami, yang berjalan sesuai dengan
hukum-hukum Islam dan pemecahan-pemecahannya. Seluruh aktivitas
atau upaya yang dilakukan Hizbut Tahrir di atas adalah aktivitas atau
upaya yang bersifat politisdalam makna yang sesungguhnya.
Artinya, Hizbut Tahrir menyelesaikan urusan-urusan masyarakat
sesuai dengan hukum-hukum serta pemecahannya secara syar. Sebab,
secara syar, politik tidak lain mengurus dan memelihara urusan-
urusan masyarakat (umat) sesuai dengan hukum-hukum Islam dan
pemecahannya.

DI Iran, hal ini, pada kenyataannya, adalah beban utama Khomeini di
dalam pemerintahan.
22
Islam Pada titik ini, meskipun, ada variasi yang signifikan
dari strategi. Beberapa lebih bersedia untuk menerima pendekatan gradualis
undang-undang Islam dan untuk bekerja sama dengan orang-orang dari
pendekatan ideologis lainnya. Di Mesir pada tahun 1984, beberapa Ikhwanul
Muslimin terpilih ke parlemen sebagai anggota Wafd, partai sekuler terkemuka
era pra-Nasser. Islam radikal lain yang lebih berorientasi aksi kekerasan atau
revolusioner, seperti dalam revolusi Iran atau pembunuhan Anwar Sadat.

22
Loc.cit.Islam and Revolution. Hal 27-165
18

Islam radikal masih sangat modern dan banyak menerima pengaruh dari
Barat. Dalam beberapa hal ini tidak mengherankan karena muncul terutama
sebagai reaksi terhadap tren westernisasi, dan reaksi biasanya mengambil
beberapa karakteristik terhadap apa mereka bereaksi. Paling jelas, ia tidak
memiliki kesulitan menerima teknologi material modern, seperti peran perekam
kaset dalam revolusi Iran dan benturan senjata modern dalam perang Iran-Irak
secara dramatis digambarkan. Bahkan, hadits yang dikutip di atas oleh 'Azzam
("Kau tahu tentang hal-hal duniawi terbaik Anda") mengacu pada konteks untuk
penyerbukan kurma, soal teknologi pertanian. Di luar ini, bagaimanapun, Islam
radikal telah mampu menerima dan menggunakan secara efektif banyak metode
modern organisasi politik dan sosial yang berasal dari Barat dan beradaptasi pada
setidaknya beberapa ide politik Baratdan simbolnya. Republik Islam Iran
memiliki partai politik, pemilu, dan parlemen, dan "Crusade for Construction"
(Jihad-i Sazandegi) setidaknya mengingatkan Peace Corps US Domestik.
Organisasi pemuda dan koperasi dikembangkan oleh Ikhwanul Muslimin di Mesir
sebagai contoh lain. Dalam ranah konsep ideologis, Khomeini mungkin telah
menolak "demokrasi" tapi dia menerima "republik," dan kemampuan para
pemimpin Iran untuk menggunakan dunia populis dan ketiga retorika revolusioner
terkenal. Mawdudi mengatakan bahwa "Muslim adalah judul Partai Revolusioner
Internasional yang diselenggarakan oleh Islam" dan jihad yang mengacu pada
"perjuangan revolusioner," sementara Sayyid Qutb berbicara dalam konteks
semacam itu menggambarkan Islam sebagai "proklamasi universal pembebasan
manusia. "
19

Meskipun Islam radikal mencoba untuk menghindari mengikuti model
Barat, model ini tidak diragukan lagi sangat berpengaruh pada mereka dan
menyebabkan beberapa variasi di antara mereka. Jadi Mawdudi kadang-kadang
dikatakan lebih "kapitalis" dan Sayyid Qutb lainnya "sosialis," dan perbedaan
serupa tampaknya telah muncul di Iran. Terutama penting adalah kenyataan
bahwa Islam radikal menerima gagasan kemajuan. Dengan semangat mereka
untuk mengikuti Sunnah Nabi, mereka umumnya dituduh ingin memutar balik
waktu ke abad ketujuh Saudi, tapi ini adalah kesalahpahaman serius. Mereka tidak
hanya menginginkan kemajuan tetapi bersikeras bahwa Islam adalah cara untuk
mendapatkannya. Khomeini, misalnya, menjelaskan Islam sebagai "Progres-
sive,"
23
dan Mawdudi mengatakan, "kita dapat mempercepat perjalanan
selanjutnya untuk kemajuan hanya pada kekuatan nilai-nilai moral yang
diucapkan oleh Islam." Bahkan, jauh dari mencerminkan penolakan gagasan
kemajuan, semangat mereka mencerminkan penerimaan itu, karena ide kemajuan
memotong tanah dari bawah salah satu pembenaran tradisional yang paling umum
untuk tidak bertindak, pandangan bahwa penurunan historis lebih atau kurang tak
terelakkan sehingga ideal "zaman keemasan" Nabi tidak dapat direalisasikan di
kemudian waktu. Radikal Islamis pasti ingin membatalkan banyak efek dari
"kemajuan," gaya Barat tapi ini tidak sama dengan ingin memutar kembali jarum
jam.
Aktivisme sosial dan politik Islam radikal juga memperlihatkan orientasi
jauh lebih duniawi daripada di kalangan umat Islam yang saleh di masa lalu, dan

23
Ibid hal30
20

mereka mencolok ditandai oleh apa yang disebut Weber "asketisisme duniawi
batin." Hal ini harus disimpan dalam perspektif, meskipun. Mereka tidak peduli
untuk hal-hal dunia lain, dan sampai batas tertentu penekanan mereka pada hal-hal
duniawi adalah fungsi dari fakta bahwa hal ini terutama dalam lingkup duniawi
bahwa sekularisme telah menyebut Islam dipertanyakan. Kemampuan Islam
radikal Syi'ah, khususnya, untuk menggabungkan perhatian dunia lain dengan
tindakan duniawi dalam kemartiran telah secara dramatis menunjukkan di jalan-
jalan kota dan di medan perang. Aktivitas politik Hizbut Tahrir ini juga tampak
dalam upayanya melakukan pergolakan pemikiran dan perjuangan politiknya.
Pergolakan pemikiran Hizbut Tahrir ini dapat terlihat dalam upayanya untuk
senantiasa melakukan perlawanan terhadap ide-ide dan aturan-aturan kufur serta
penentangannya terhadap ide-ide yang salah, akidah-akidah yang rusak, atau
pemahaman-pemahaman yang keliru. Semua itu dilakukan dengan berupaya
membongkar kerusakannya, menampakkan kekeliruannya, dan menjelaskan solusi
hukum-hukum Islam dalam masalah tersebut.
Sementara itu, perjuangan politik Hizbut Tahrir dapat terlihat dalam
upayanya menentang orang-orang imperialis Barat dalam rangka melepaskan
umat Islam dari belenggu kekuasaan mereka, membebaskan umat Islam dari
tekanan dan pengaruhnya,serta mencabut akar-akar pemikiran, kebudayaan,
politik, ekonomi, maupun militer dari seluruh negeri-negeri Islam.
Dengan demikian, aktivitas Hizbut Tahrir secara keseluruhan
merupakan aktivitas yang bersifat politik, baik di lingkungan sistem kekuasaan
yang tidak Islami ataupun di dalam naungan sistem pemerintahan Islam.
21

Dapat dicatat dalam melewati "Protestan" dua lainnya kecenderungan
Islam radikal. Salah satunya adalah kecenderungan yang jelas untuk mendesak
sebuah etos kerja "Weberian", dan yang lainnya adalah kecenderungan untuk
"menyederhanakan" simbol system Islam dengan berkonsentrasi pada unsur-unsur
dasar tertentu. Kedua saham dengan modernisme Islam, tetapi dalam kasus yang
terakhir motivasi berbeda. Sedangkan modernisme menyederhanakan sistem
simbol untuk kepentingan "fleksibilitas," Islam radikal melakukannya lebih untuk
kepentingan keaslian. Melihat dasar-dasar seperti di bawah ancaman, ia berharap
untuk memperkuat mereka dan berhubungan dengan segala sesuatu lebih tegas
kepada mereka. Bahkan, jarak kecenderungannya mungkin lebih
"merasionalisasi" daripada untuk menyederhanakan sistem simbol.
Kecenderungan untuk melihat Islam sebagai "sistem" juga modern. Secara
tradisional, ketentuan politik Syariah dipahami sebagai perintah kewajiban pada
penguasa bukan sebagai "sistem".
24
terkait dengan ini adalah kecenderungan kuat
untuk "reify" Islam, yang WC Smith berpendapat adalah fenomena modern.
"modernitas" dari Islam radikal terkait dengan fakta bahwa dalam dunia Sunni
Islam radikal cenderung menjadi "orang awam," dan dengan demikian mungkin
tidak begitu menyadari sepenuhnya sebagai ulama dari kompleksitas dan sumber
daya dari tradisi masa lalu. Di antara Syi'ah, di sisi lain, telah dipimpin oleh
ulama, sebagian karena "gerbang ijtihad" tidak ditutup antara Syi'ah. Hal ini
mungkin telah membuat ShiCi ulama sedikit lebih fleksibel dalam penafsiran,
tetapi lebih penting lagi telah memberikan mereka otoritas lebih atas pengikut

24
Hodgson, Marshall . 1974. The Venture of Islam, Conscience and History in a World Civilization, Vol. 3, The Gunpowder
Empires and Modern Times . University of Chicago Press. Chicago. Hal 389.
22

mereka dan memungkinkan mereka untuk menjaga independensi jauh lebih besar
dari pemerintah westernisasi daripada yang mungkin untuk rekan-rekan Sunni
mereka. Fakta bahwa Islam radikal Syi'ah adalah ulama yang dipimpin berarti
bahwa ia memiliki rootage lebih besar dalam tradisi masa lalu dan cenderung
dalam arah "neo-tradisionalis".

1.4 D efinisi Konsepsional
Definisi gerakan politik dalam buku Kamus Istilah Politik Kotemporer
adalah suatu siasat politik untuk mengadakan perubahan-perubahan pada lembaga
politik oleh partai.
25
Gerakan politik merupakan feed back dalam suatu sistem
politik. Hal ini sejalan dengan pengertian gerakan politik dalam ilmu komunikasi
yaitu gerakan politik merupakan suatu reaksi dari masyarakat terhadap aksi dari
pemerintah dalam suatu tatanan politik negara.
Gerakan politik yang berdasarkan dan bertujuan dalam menegakan nilai-
nilai Islam maka gerakan politik tersebut adalah gerakan politik Islam. Dalam
beberapa literatur, gerakan politik Islam dibagi menjadi beberapa macam gerakan
politik tetapi mempunyai tujuan yang sama, yaitu menegakan syariat Islam. Ada
tiga macam gerakan politik Islam diantaranya fundamentalis, revival, dan pan
Islam.
Khilafah adalah suatu sistem pemerintahan yang pernah diterapkan oleh
Nabi Muhammad ketika hijrah ke Madinah yang kemudian dilanjutkan oleh para
sahabat nabi. Dasar dari sistem pemerintahan khilafah adalah Al Quran dan Hadist

25
Akbar Kaelola. 2009. Kamus Istilah Politik Kotemporer. Jogja:Cakrawala.
23

dan tidak mengenal konsep sekulerisme. Khilafah adalah kepemimpinan umat
dalam suatu daulah Islam yang universal di muka bumi yang dipimpin oleh
khalifah yang telah di-baiat oleh umat.

1.5 Definisi Operasional
1. Negara
Menurut Harold D. Laswell, definisi negara dapat dirumuskan dalam
dalam kalimat who gets what, when, and how?. Berdasarkan definisi tersebut
maka pengertian negara ditekankan pada aspek fungsionalnya. Indonesia setelah
era Orba, identifikasi negara mengalami perubahan yang sangat drastis. Jika pada
era Orba Pancasila dijadikan alat legitimasi oleh negara dalam mencapai
tujuannya maka pada era reformasi fungsi Pancasila dikembalikan kembali
sebagai ideologi negara. Selain itu juga, negara menjamin kebebasan
masyarakatnya untuk mengeluarkan pendapat, berserikat dan berkumpul. Dengan
demikian dapat dikatakan Indonesia menerapkan sistem demokrasi konstitusi.
Namun, dalam kenyataanya dalam berdemokrasi masyarakat Indonesia belum
dewasa. Hal ini dapat dilihat dari masih kuatnya pengaruh tokoh dalam
masyarakat dalam suatu organisasi kemasyarakatan sehingga aspirasi yang
disuarakan sering kali merupakan kepentingan individu. Selain itu, fungsi negara
yang seharusnya menjadi wadah bagi masyarakat untuk mencapai tujuannya
menjadi alat untuk mencari keuntungan ekonomi melalui birokrasi.
2. Islam
24

Pertama-tama harus dibedakan antara Islam sebagai doktrin, dengan Islam
sebagai sebuah Umat. Hal ini sama seperti membedakan Islam ambengan dan
Islam santri pada masyarakat Jawa. Pada dasarnya sifat Islam adalah hadir
dimana-mana dengan menjadikan Islam sebagai pedoman hidup. Karena sifanya
inilah terjadi perbedaan pandangan terhadap Islam oleh umat Islam sendiri yang
dipengaruhi oleh faktor sosiologis, kultural, dan intelektual.
26
Hal ini akan
mempengaruhi posisi Islam dalam politik, apakah Islam dipandang sebagai
doktrin yang memerlukan itjihad yang rumit dan memandang nilai-nilai Islam
perlu diterapkan dalam politik atau memandang Islam sebagai agama yang
universal.
Dalam penelitian ini Islam di posisikan dalam pengertian society
(masyarakat). Jadi, yang termasuk dalam umat Islam disini adalah yang berada
dalam society. Hal ini sesuai dengan konsep negara yang demokrasi dimana Islam
dipandang sebagai society mempunyai kekuatan untuk menekan negara dan
adanya pergesekan antar kelompok masyarakat lainnya dalam mencapai
tujuannya.

1.6 Hipotesis
Berdasarkan pada rumusan masalah dan mengacu pada kerangka teori
yang penulis ajukan, penulis merumuskan hipotesa bahwa Gerakan Politik
Islam Hizbut Tahrir Indonesia Dipengaruhi Oleh Keadaan Sistem Politik
Indonesia.

26
Edi Asnawi. 2013. Ibid.
25

Penelitian ini terdiri dua variabel, yaitu variabel independen dan dependen.
Variabel independen dalam penelitian ini adalah sistem politik Indonesia pasca
reformasi dengan indikator sebagai berikut:
1. Amandemen UUD 1945 pasal 28E ayat 3 memberikan ruang kepada setiap
warga negara untuk menyuarakan pendapat dan memberi kebebasan untuk
berserikat dan berkumpul.
2. Demokrasi dan globalisasi berpengaruh besar terhadap keadaan sistem
politik Indonesia.
3. Indonesia memiliki tingkat pluralitas yang tinggi, hal ini berimbas pada
mudahnya gesekan antar kepentingan yang terjadi di Indonesia.
Sedangkan variabel dependen dalam penelitian ini adalah gerakan politik
Islam Hizbut Tahrir dengan indikator sebagai berikut:
1. Gerakan politik Islam dari Hizbut Tahrir berdasarkan dari pemahaman
Islam dari pemikiran Taqiyuddin sebagai tokoh pendirinya.
2. Hizbut Tahrir berpandangan bahwa pemikiran yang tidak berdasarkan Al
Quran dan Hadist adalah haram termasuk demokrasi dan Pancasila.
3. Hizbut Tahrir menolak konsep sekulerisasi.

1.7 Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif. Tujuan dari penelitian
kualitatif ini adalah menggambarkan realita empirik di balik fenomena secara
mendalam, rincian dan tuntas. Keirl dan Miller dalam Moleong menjelaskan
penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang
26

secara fundamental bergantung pada pengamatan, manusia, kawasannya sendiri,
dan berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bahasanya dan
peristilahannya.
27

Adapun jenis penelitian berdasarkan tingkat eksplanasinya adalah
penelitian deskriptif. Menurut Whitney dalam Moh. Nazir bahwa metode
deskriptif adalah pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat. Penelitian
deskriptif mempelajari masalah-masalah dalam masyarakat, serta tata cara yang
berlaku dalam masyarakat serta situasi-situasi tertentu, termasuk tentang
hubungan-hubungan, kegiatain-kegiatan, sikap-sikap, pandangan-pandangan, serta
proses-proses yang sedang berlangsung dan pengaruh-pengaruh dari suatu
fenomena.
28

1.8 Teknik Pengumpulan Data
Teknik yang digunakan adalah menghubungkan teori dengan data-data
yang didapatkan melalui riset perpustakaan (library research). Data-data tersebut
didapatkan dari buku-buku, jurnal, majalah, surat kabar dan sumber lainnya
(document analysis). Selain itu, penulis juga menggunakan sarana internet dalam
proses pengumpulan data yang berkaitan dan relevan dengan permasalahan yang
dibahas dalam penelitian ini.
1.9 Sistematika Penulisan
Penulisan terhadap penelitian akan dituangkan dalam sistematika yang
tersusun dalam lima bab yang masing-masing terdiri dari sub bab.
Sistematika dimaksud adalah sebagai berikut:

27
Lexy J Moleong. 2004. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda Karya
28
Moh. Nazir. Ph. D. 2003. Metode Penelitian. Jakarta: PT. Ghalia Indonesia
27

Bab I merupakan Bab Pendahuluan, yang terdiri dari sub bahasan: Latar
belakang; permasalahan; tujuan penelitian; kerangka pemikiran; asumsi dan
hipotesa; metode penelitian; dan sistematika penulisan.
Bab II merupakan Bab Sistem Politik Indonesia Pasca Reformasi yang terdiri dari
sub bahasan demokrasi, Pancasila, sistem politik Orde Baru dan Reformasi,
pergerakan politik Islam pada Orde Baru dan Reformasi.
Bab III merupakan Bab Hizbut Tahrir yang terdiri dari sub bahasan sejarah hizbut
tahrir, pemikiran politik Islam hizbut tahrir, sejarah masuknya Hizbut Tahrir ke
indonesia.
Bab IV merupakan Bab Gerakan Politik Hizbut Tahrir Indonesia yang terdiri dari
sub bahasan Konferensi Khilafah, penggiringan opini menggunakan media massa.
Bab V merupakan Bab Penutup, yakni berisi kesimpulan hasil penelitian.

You might also like