You are on page 1of 36

1

TINJAUAN USHUL FIQH TERHADAP PETUNJUK KATA


DALAM AL-QURAN
1


A. LATAR BELAKANG MASALAH
Manusia diciptakan oleh Allah SWT dengan dianugerahi akal, di mana dengan
akal inilah manusia mampu berpikir dan memilih. Sehingga setiap tindakan dan perbuatan
manusia didasarkan atas pertimbangan akalnya. Hanya saja manusia tetap membutuhkan
pedoman atau petunjuk untuk menggunakan akalnya supaya manusia tidak secara liar
berpikir dan memilih yang pada akhirnya akan mengantarkan dan menjerumuskan
manusia itu sendiri ke jalan yang tidak seharusnya ditempuh.
Untuk itulah Allah SWT mengutus para nabi yang diberikan wahyu. Allah SWT
juga menurunkan kitab-kitab kepada beberapa nabi. Kitab-kitab tersebut berfungsi sebagai
petunjuk kepada umat yang diturunkannya. Allah SWT berfirman:

( : )
Artinya: Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk
dan cahaya (yang menerangi). (QS. Al-Maaidah: 44)

Allah SWT juga berfirman:

( :
)
Artinya: Dan Kami telah memberikan kepadanya Kitab Injil sedang didalamnya (ada)
petunjuk dan cahaya (yang menerangi), dan membenarkan kitab yang sebelumnya, yaitu
Kitab Taurat. Dan menjadi petunjuk serta pengajaran untuk orang-orang yang bertakwa.
(QS. Al-Maaidah: 46)
Fungsi yang sama juga diberikan kepada Al-Quran. Sebagaimana firman Allah
SWT:

( : )

1
Makalah ini disusun oleh Muhammad Hamdi untuk memenuhi salah satu syarat penerimaan mahasiswa
Pascasarjana Institut Ilmu Al-Quran Jakarta.

2

Artinya: Dan Sesungguhnya Kami telah berikan kepada Musa Al-Kitab (Taurat), maka
janganlah kamu (Muhammad) ragu menerima (Al-Quran itu) dan Kami jadikan Al-Kitab
(Taurat) itu petunjuk bagi Bani Israil. (QS. As-Sajdah: 23)

Allah SWT juga berfirman:

( : )
Artinya: Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran
sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan
pembeda (antara yang hak dan yang bathil). (QS. Al-Baqarah: 185)
Sebagian petunjuk Al-Quran tersebut adalah mengenai hukum. Ulama dengan
berbagai mazhabnya yang berbeda-beda telah sepakat bahwa manusia tidak bisa terlepas
dari hukum dalam kehidupannya sehari-hari, baik hukum yang mengatur hubungan
manusia dengan Tuhannya (ibadah) ataupun yang mengatur hubungan antar sesamanya
(muamalah).
2
Allah SWT berfirman:

( : )
Artinya: Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa
kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah
wahyukan kepadamu. (QS. An-Nisaa: 105)
Himpunan hukum-hukum yang kaitannya dengan segala yang bersumber dari
manusia, baik berupa perkataan atau perbuatan itu disebut dengan fiqh, di mana Al-
Quran sebagai dasar dan sumber pertamanya.
3

Selain Al-Quran, terdapat juga sumber-sumber lainnya seperti As-Sunnah
(hadits), ijma dan qiyas. Kemudian ulama mengkaji setiap dalil-dalil tersebut dalam
rangka menegaskan bahwa dalil-dalil tersebut merupakan dasar hukum (hujjah) syariat
yang harus diikuti. Ulama juga mengkaji tentang syarat-syarat mengambil dalil (istidlal),
macam-macamnya, sampai tentang siapa orang yang mampu menghasilkan hukum dari
dalilnya. Selanjutnya himpunan kajian-kajian itu disebut dengan ushul fiqh.
4

Ilmu Ushul Fiqh itu sendiri baru tumbuh pada abad kedua Hijriyah. Orang
pertama yang membukukan Ilmu Ushul Fiqh adalah Al-Imam Muhammad bin Idris Asy-

2
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, Daar ar-Rasyid, 2008, hal. 11
3
Ibid.
4
Ibid. hal. 12

3

Syafii (wafat tahun 204 H.) dalam kitabnya yang bernama Ar-Risalah. Oleh karena itu
masyhur di kalangan ulama bahwa Asy-Syafii adalah peletak pertama Ilmu Ushul Fiqh.
5


B. PEMBAHASAN MASALAH
1. PENGERTIAN USHUL FIQH DAN DALIL
a. Pengertian Ushul Fiqh
Kata ushul fiqh merupakan susunan yang terdiri dari dua kata, yaitu
ushul (

) dan al-fiqh (

). Kata ushul adalah bentuk plural dari kata


ashl (

) yang secara bahasa berarti sesuatu di mana sesuatu yang lain


dibangun di atasnya. Seperti akar merupakan ashl dari pohon, dan pondasi adalah
ashl dari dinding.
6

Secara istilah, ashl dipergunakan untuk empat arti, yaitu ar-rajih (yang kuat),
al-mustash-hab (berlangsungnya hukum sebagaimana keadaan sebelumnya), kaidah
atau dalil.
7

Sedangkan kata al-fiqh secara bahasa berarti memahami atau mengetahui.
Secara istilah, al-fiqh adalah mengetahui hukum-hukum syariat yang ditetapkan
melalui metode ijtihad. Seperti mengetahui bahwa niat dalam wudhu adalah wajib,
shalat witir adalah sunnah dan lain sebagainya.
Yang dimaksud hukum-hukum syariat adalah wajib, sunnah, mubah, haram,
makruh, sah dan batal.
8

Adapun ushul fiqh adalah dalil-dalil di mana fiqh dibangun di atasnya.
9
Ilmu
ushul fiqh adalah ilmu tentang kaidah-kaidah dan kajian-kajian yang dapat sampai
kepada pengambilan hukum-hukum syariat dari dalil-dalilnya yang terperinci.
10

Dari definisi di atas dapat diketahui bahwa obyek kajian ushul fiqh adalah
dalil-dalil syariat secara komprehensif (kulli) di mana hukum-hukum ditetapkan
dengannya. Sedangkan obyek kajian fiqh adalah perbuatan mukallaf

dari segi
hukum-hukum yang ditetapkan terhadapnya.

5
Ibid. hal. 15-16
6
Abdul Malik bin Abdillah Al-Juwaini Imam Al-Haramain, Al-Waraqat, Indonesia, hal. 7
7
Abdul Aliy Muhammad bin Nizhamuddin Al-Anshari, Fawatih ar-Rahmut, Daar al-Fikr, tanpa
tahun, juz 1, hal. 8
8
Abu Ishaq Ibrahim Asy-Syairazi, Al-Luma, Daar al-Kutub al-Islamiyah, Jakarta, 2011, cet. ke-1,
hal. 23
9
Ibid., hal. 24
10
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, Daar ar-Rasyid, 2008, hal. 12

4

Jadi kajian ulama ushul fiqh adalah tentang qiyas dan argumentasinya, lafal
am (umum) dan segala yang dibatasinya, perintah (amr) dan petunjuknya, dan lain
sebagainya. Sedangkan kajian ulama fiqh adalah shalatnya seorang mukallaf,
puasanya, hajinya, jual-belinya, pembunuhannya, pencuriannya dan lain sebagainya
untuk mengetahui hukum syariat dari masing-masing perbuatan tersebut.
11

Al-Ghazali (wafat tahun 505 H.) dalam kitabnya, Al-Mustashfa, menghimpun
kajian ushul fiqh ke dalam empat poros, yaitu: hukum, dalil, metode penggalian
hukum dan mujtahid.
12


b. Pengertian Dalil
Kata dalil merupakan kata berkonjugasi

yang bermakna

seperti

yang bermakna

. Secara bahasa dalil berarti al-mursyid atau penunjuk


atau sesuatu yang menghasilkan petunjuk.
13

Para ahli fiqh menggunakan kata dalil dalam arti sesuatu yang dapat
mencapai pada pengetahuan ataupun dugaan. Sedangkan ulama ushul membedakan
antara yang dapat mencapai pada pengetahuan dengan yang mencapai pada dugaan.
Jika sesuatu itu dapat mencapai pengetahuan (keyakinan), maka dinamakan dalil.
Dan jika mencapai pada dugaan (zhann), maka dinamakan ammarah.
14

Adapun secara terminologis para ulama ushul berbeda dalam mendefinisikan
dalil hukum. Asy-Syaukani (wafat tahun 1250 M.) dalam kitabnya, Irsyad al-Fuhul,
menyebutkan bahwa dalil ialah:
apapun yang dapat mencapai pada berita yang dicari dengan menggunakan
pemikiran yang benar.
Definisi yang sama dikemukakan oleh Al-Amidi (wafat tahun 631 H.) dan Ar-Razi
(wafat tahun 606 H.).
Sedangkan Abdul Wahab Khallaf (wafat tahun 1956 M./1375 H.) menyebutkan,
menurut istilah, yang dimaksud dengan dalil hukum ialah:

11
Ibid.
12
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, Al-Mustashfa, Daar al-Fikr, tanpa tahun, juz
1, hal. 8
13
Taqiyuddin Ibn An-Najjar Al-Hanbali, Syarh Al-Kawkab Al-Munir, Maktabah al-Abikan, 1997,
cet. ke-2, jilid 1 hal. 51
14
Abu al-Hasan Ali bin Muhammad Al-Amidi, Al-Ihkam fii Ushul al-Ahkam, Daar al-Kitab al-
Arabi, Beirut, 1404 H, juz 1 hal. 27

5

segala sesuatu yang dapat dijadikan petunjuk dengan menggunakan pikiran yang
benar untuk menetapkan hukum syara yang bersifat amali, baik secara qathi
maupun secara zhanni.
15

Dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa pada dasarnya yang disebut
dengan dalil hukum ialah segala sesuatu yang dapat dijadikan alasan atau pijakan
yang dapat dipergunakan dalam usaha menemukan dan menetapkan hukum syara
atas dasar pertimbangan yang benar dan tepat.
Adapun yang dimaksud dengan dalil-dalil syariat adalah Al-Kitab (Al-
Quran), As-Sunnah (hadits), ijma, dan qiyas. Inilah empat dalil syariat yang
disepakati oleh mayoritas ulama. Sedangkan dalil-dalil lainnya menjadi perselisihan,
yaitu istihsan, al-mashlahah al-mursalah, istish-hab, urf, mazhab shahabat dan
syariat umat terdahulu.
16

Penulis bermaksud membatasi kajian masalah tentang Al-Quran sebagai dalil
syariat- dari segi petunjuk lafal-lafalnya terhadap hukum.

2. AL-QURAN
a. Pengertian Al-Quran
Secara bahasa Al-Quran adalah bentuk mashdar dari kata

(qaraa-yaqrau-qiraaatan wa quranan) yang berarti bacaan atau


sesuatu yang dibaca berulang-ulang
17
. M. Quraish Shihab mengartikannya dengan
bacaan yang mencapai puncak kesempurnaan.
18

Arti Al-Quran secara bahasa ini dapat kita jumpai dalam Al-Quran surah Al-
Qiyamah ayat 17 dan 18 berikut,

( )

( )
Artinya: Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu)
dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai
membacakannya maka ikutilah bacaannya itu.
Kata quranahu pada ayat di atas dalam hal ini berarti juga qiraatahu
(bacaannya/cara membacanya). Jadi kata itu adalah mashdar menurut wazan

15
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Al-Fiqh, Daar Ar-Rasyid, 2008, hal. 19
16
Ibid. hal. 19-20
17
http://id.wikipedia.org/wiki/Ushul_fiqh (diakses pada hari Senin, 27 Februari 2012 pukul 22.09 WIB)
18
M. Quraish Shihab, Lentera Al-Quran, Mizan Pustaka, Bandung, 2008, cet. ke-1, hal. 21

6

(konjugasi) fulan dengan vokal u seperti ghufran dan syukran. Kita
dapat mengatakan qaratuhu qiraatan atau qaratuhu quranan, artinya sama saja.
Maqru (apa yang dibaca) dinamakan quran (bacaan), karena isim maful (obyek)
di sini diberi nama dengan mashdar (kata benda)nya.
19

Kata Al-Quran juga bisa berasal dari fiil madhi

(qara-a) yang berarti


himpunan atau kumpulan karena Al-Quran terdiri dari himpunan surat dan ayat.
Untuk itu, satu surat saja sudah dapat disebut Al-Quran karena di dalamnya
terdapat kumpulan huruf, kata dan ayat-ayat.
20
Al-Quran dikhususkan sebagai nama
bagi kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, sehingga Al-Quran
menjadi nama khas kitab itu, sebagai nama diri. Dan secara gabungan, kata itu
dipakai untuk nama Al-Quran secara keseluruhan, begitu juga untuk sebagian ayat-
ayatnya. Maka jika kita mendengar orang membaca sebagian ayat Al-Quran, kita
boleh mengatakan bahwa ia sedang membaca Al-Quran.
Pendapat lain tentang arti Al-Quran secara harfiah dikemukakan oleh Asy-
Syafii
21
. Beliau mengatakan bahwa Al-Quran bukan berasal dari kata qara-a
atau dari kata lainnya. Karena seandainya berasal dari qara-a, maka setiap yang
dibaca adalah al-Quran. Akan tetapi, Al-Quran adalah sebuah nama yang memang
dipilih bagi kitab Allah, sebagaimana Taurat dan Injil.
Sedangkan Al-Asyari
22
berpendapat bahwa Al-Quran berasal dari kata
qarana (

) yang berarti menggabungkan atau mengumpulkan, karena surat-


surat dan ayat-ayat terkumpul, serta satu huruf dengan huruf lainnya dan satu ayat
dengan ayat lainnya tergabung di dalamnya.
23

Adapun secara terminologi, terdapat perbedaan ulama dalam mendefinisikan
Al-Quran. Ulama ushul mendefinisikannya dengan:
Kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dalam bahasa Arab
yang dinukilkan kepada generasi sesudahnya secara mutawatir, membacanya

19
Manna Khalil Al-Qattan, Mabahits fii Ulum al-Quran, Maktabah Wahbah, Kairo, tt., cet. ke-7,
hal. 14-15
20
Abu al-Hasan Ali bin Muhammad Al-Amidi, Al-Ihkam fii Ushul al-Ahkam, Daar al-Kitab al-
Arabi, Beirut, 1404 H, juz 1 hal. 63
21
Muhammad bin Idris Asy-Syafii. Imam mazhab yang telah masyhur. Wafat tahun 204 H.
22
Abu al-Hasan Ali bin Ismail Al-Asyari. Imam kelompok Asyariyah, mazhab dalam masalah aqidah
atau ilmu kalam. Wafat tahun 324 H.
23
Dr. Subhi As-Shalih, Mabahits fii Ulum al-Quran, Daar al-Ilm li al-Malayin, Beirut, 1988, cet. ke-
17, hal. 18

7

merupakan ibadah, tertulis dalam mushaf , dimulai dari surat al-Fatihah dan ditutup
dengan surat an-Nas.
24

Ibnu As-Subuki (wafat 771 H) dalam mendefinisikannya dengan:
Lafal yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai mukjizat dengan
satu surat darinya, dan bernilai ibadah dengan membacanya.
25

Dr. Subhi As-Shalih mendefinisikan Al-Quran sebagai berikut:
Kalam Allah SWT yang merupakan mukjizat yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW dan ditulis di mushaf serta diriwayatkan dengan mutawatir di
mana membacanya termasuk ibadah. Beliau menambahkan bahwa definisi ini
disepakati oleh ulama-ulama ushul, fiqh dan bahasa Arab.
26

Dari beberapa definisi di atas dapat dianalisa bahwa Al-Quran memiliki
unsur-unsur yang menjadi ciri khas yakni:
Al-Quran merupakan kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
SAW, sehingga tidak dinamakan Al-Quran seperti Zabur, Taurat dan Injil
Al-Quran merupakan mukjizat yang membacanya merupakan ibadah, sehingga
hadis qudsi dan mansukhut tilawah (ayat Al-Quran yang telah dihapus) tidak
dinamakan Al-Quran meskipun termasuk kalam Allah
Al-Quran diriwayatkan secara mutawatir, sehingga bacaan yang tidak
mutawatir tidak dinamakan Al-Quran, baik diriwayatkan secara masyhur seperti
qiraahnya Ibnu Masud menambahkan kata

setelah ayat

(QS. Al-Baqarah(2): 196), ataupun yang diriwayatkan secara


ahad
27
seperti qiraahnya Ibnu Masud juga yakni menambahkan kata


setelah ayat:

24
Prof. Dr. Rachmat Syafei, MA,Ilmu Ushul Fiqh, CV.Pustaka Setia, Bandung, 1999, hal.50
25
Tajuddin Abdul Wahhab bin Ali As-Subuki, Jam al-Jawami, Daar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut,
2003, cet. ke-2, hal. 21
26
Dr. Subhi As-Shalih, Mabahits fii Ulum al-Quran, Daar al-Ilm li al-Malayin, Beirut, 1988, cet. ke-
17, hal. 21
27
Jalaluddin Al-Bulqini berpendapat bahwa riwayat ahad adalah qiraah-nya tiga Imam yakni Abu
Jafar Al-Madani, Yakub Al-Hadhrami dan Khalaf bin Hisyam. (Jalaluddin As-Suyuthi; Al-Itqan fii
Ulum al-Quran; hal. 163)


8

(QS. Al-Baqarah(2): 184)


28

b. Bahasa Al-Quran
Al-Quran diturunkan dengan menggunakan bahasa Arab. Cukuplah ayat-ayat
Al-Quran berikut ini sebagai bukti ke-bahasa Arab-annya:
( : )


Artinya: Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Quran dengan berbahasa
Arab, agar kamu memahaminya. (QS. Yusuf: 2)
( :


Artinya: Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab,
untuk kaum yang mengetahui. (QS. Fushshilat: 3)
Tentang ke-bahasa Arab-an al-Qur'an ini, Imam Asy-Syafi'i mengemukakan di
dalam Ar-Risalah-nya sebagai berikut: "Yang wajib atas orang-orang yang pandai
ialah hendaknya mereka itu tidak berpendapat (mengatakan sesuatu) kecuali karena
mereka telah mengetahui. Dan memang ada pula orang yang berkata di dalam
masalah ilmu yang sekiranya mereka mau menahan diri tidak mengatakannya akan
lebih baik baginya dan lebih selamat, insya Allah."
29

Karena Al-Quran itu berbahasa Arab, maka terjemahannya bukanlah Al-
Quran dan apabila kita shalat dengan membaca terjemahan Al-Quran, maka
shalatnya menjadi tidak sah. Diriwayatkan dari Abu Hanifah bahwa diperbolehkan
shalat dengan membaca terjemahan Al-Quran.
30

Namun demikian, terdapat perbedaan pendapat apakah di dalam Al-Quran
mencakup bahasa lain selain Arab? Mengenai hal ini, Ibn Abbas dan Ikrimah
berpendapat bahwa di dalam Al-Quran terdapat bahasa lain selain bahasa Arab
dengan hujjah (bukti) bahwa di dalam Al-Quran terdapat kata
31

yang
merupakan bahasa India, kata
32

bahasa Persia, juga kata


33

dengan
bahasa Romawi.
34


28
Abdul Azhim Az-Zarqani, Manahilul Irfan fii Ulum al-Quran, Daar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut,
2003, cet. ke-1, hal 17
29
Muhammad bin Idris Asy-Syafii, Ar-Risalah, Maktabah Al-Halabi, Mesir, 1940, cet. ke-1, hal. 36
30
Ali Hasabullah, Ushul at-Tasyri al-Islami, Daar al-Fikr al-Arabi, Kairo, 1997, cet. ke-7, hal. 14
31
Al-Quran surat An-Nuur (24) ayat 35
32
Al-Quran surat Al-Fiil (105) ayat 4

9

Ulama yang berpendapat bahwa di dalam Al-Quran tidak terdapat bahasa
ajam (selain Arab), adalah berlandaskan ayat-ayat di atas. Adapun kata

, dan

tersebut adalah kata-kata yang sama digunakan oleh beberapa


bahasa.
35

3. PETUNJUK DARI SEGI KATA
a. Manthuq dan Mafhum
1). Manthuq
Manthuq adalah makna yang ditunjukkan oleh lafazh sesuai pada
tempat pengucapannya, seperti keharaman tafif (berkata ah) kepada kedua
orang tua yang ditunjukkan oleh ayat


36
. Manthuq terbagi
menjadi nash, zhahir, muawwal dan mujmal.
Apabila kata tersebut telah jelas dan tidak bisa diarahkan ke arti lain,
maka disebut nash, seperti jika kita berkata: Budi telah datang, maka kalimat
tersebut bisa dipahami bahwa yang datang adalah sosok yang bernama Budi,
bukan Andi atau yang lain. Sebagaimana dalam firman Allah:
( : )


Artinya: maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi)
apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna. (QS.
Al-Baqarah: 196)
Pada ayat di atas, sepuluh hari ditegaskan dengan kamilah (yang
sempurna). Penegasan ini menghilangkan kemungkinan sepuluh diartikan
dengan bilangan dibawahnya.
37

Contoh lain adalah firman Allah:
( :)



33
Al-Quran surat Al-Israa (17) ayat 35
34
Abu al-Hasan Ali bin Muhammad Al-Amidi, Al-Ihkam fii Ushul al-Ahkam, Daar al-Kitab al-Arabi,
Beirut, 1404 H, juz 1 hal. 79
35
Ibid., hal. 80
36
Artinya: maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" (QS.
Al-Israa (17): 23)
37
Manna Khalil Al-Qattan, Mabahits fii Ulum al-Quran, Maktabah Wahbah, Kairo, tt., cet. ke-7, hal.
242.

10

Artinya: Muhammad itu adalah utusan Allah. (QS. Al-Fath: 29)

Apabila kata tersebut bisa diarahkan ke arti lain yang kuat, maka
disebut zhahir, seperti kata

bisa diartikan -dengan arti yang kuat-


untuk kotoran manusia, dan diartikan pula dengan arti yang lemah- untuk
tempat buang air. Penggunaan kata

untuk arti kotoran manusia ini


dinamakan zhahir.
Apabila kata tersebut diarahkan untuk artinya yang lemah (marjuh),
maka disebut muawwal. Pada contoh di atas, penggunaan kata

untuk
arti tempat buang air dinamakan dengan muawwal.
38

Di antara contoh zhahir adalah firman Allah berikut:
( : )


Artinya: Dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. (QS.
Al-Baqarah: 222).
Pada ayat di atas, thuhr (suci) bisa berarti berhentinya darah haid, bisa
juga berarti mandi. Penggunaan kata thuhr untuk arti mandi adalah zhahir
karena arti itulah yang kuat. Sedangkan thuhr diartikan dengan berhentinya
darah adalah lemah.
39

Contoh tawil yaitu firman Allah:
( :)


Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan
shalat, maka basuhlah mukamu (QS. Al-Maaidah: 6)
Kata qumtum diartikan dengan artinya yang lemah hendak
mengerjakan shalat, meskipun artinya yang kuat adalah telah mengerjakan
shalat.

38
Hasan Al-Atthar, Hasyiyah al-Atthar ala Syarh Jam al-Jawami, Daar al-Kutub al-Ilmiyah,
Beirut, tanpa tahun, juz 2, hal. 87-88
39
Op. Cit., hal. 243

11

Apabila kata itu memiliki arti yang seimbang dengan arti lainnya maka
disebut mujmal.
40
Seperti kata

bisa berarti haid, bisa pula berarti


suci. Kedua arti tersebut sama kuat.
2). Mafhum
Mafhum adalah kebalikan dari manthuq, yakni makna yang
ditunjukkan oleh lafazh bukan pada tempat pengucapannya. Mafhum terbagi
menjadi mafhum muwafaqah dan mafhum mukhalafah.
Apabila makna (hukum) yang terkandung sesuai dengan yang
diucapkan (manthuq), maka disebut mafhum muwafaqah. Selanjutnya mafhum
muwafaqah terbagi lagi menjadi fahwal khitab dan lahnul khitab.
Apabila hukum yang terkandung lebih besar dari yang diucapkan,
maka disebut fahwal khithab, seperti keharaman memukul orang tua yang
terkandung dalam
( :)


Artinya: Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya
perkataan "ah". (QS. Al-Israa: 23)
Keharaman memukul orang tua lebih besar dari keharaman mengatakan ah
yang diucapkan pada ayat di atas, karena memukul lebih menyakitkan daripada
mengatakan ah.
Apabila hukum yang terkandung sama dengan yang diucapkan, maka
disebut lahnul khithab, seperti keharaman membakar harta anak yatim yang
tercakup dalam
( :)


Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara
zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya. (QS. An-Nisaa:
10)
Keharaman membakar harta anak yatim sama dengan memakannya, karena
keduanya sama merusaknya.
41

Sedangkan mafhum mukhlalafah adalah makna (hukum) yang tidak
sesuai dengan yang diucapkan, seperti pada ayat

40
Op. Cit.
41
Ibid.

12

( :)


Artinya: Jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka
periksalah dengan teliti. (QS. Al-Hujurat: 6)
Dari kata fasiq di atas dipahami bahwa jika yang datang adalah orang yang
tidak fasik, maka informasi yang dia bawa tidak wajib diteliti.
Contoh lain adalah firman Allah berikut:
( :)


Artinya: Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalak) itu sedang hamil,
maka berikanlah kepada mereka nafkahnya. (QS. Ath-Thalaq: 6)
Berarti apabila isteri yang ditalak itu tidak hamil, maka tidak wajib memberi
nafkah.
42

b. Haqiqat dan Majaz
Haqiqat secara bahasa berasal dari kata al-haqq (

) yang berarti
sesuatu yang tetap dan wajib, lawan dari kata al-bathil (

).
Secara istilah, haqiqat adalah penggunaan kata untuk arti yang telah
diletakkan untuknya. Ulama sepakat bahwa haqiqat terdapat dalam Al-Quran.
Sedangkan majaz adalah penggunaan kata untuk arti yang tidak diletakkan untuk
kata tersebut. Mayoritas ulama berpendapat bahwa dalam Al-Quran terdapat majaz.
Sekelompok orang, di antaranya Azh-Zhahiriyyah
43
dan Ibn al-Qash
44
dari golongan
Syafiiyah, menolak keberadaan majaz dalam Al-Quran.
45

Seperti kata

apabila digunakan untuk arti binatang buas yakni


singa, maka dinamakan haqiqat, karena untuk arti itulah kata

diletakkan.

42
Manna Khalil Al-Qattan, Mabahits fii Ulum al-Quran, Maktabah Wahbah, Kairo, tt., cet. ke-7, hal.
245-246
43
Azh-Zhahiriyyah adalah salah satu aliran mazhab fiqh. Mazhab ini mengikuti pendapat Dawud bin Ali
Abu Sulaiman Al-Ashbihani yang lahir di Kufah tahun 200 H dan wafat di Baghdad tahun 270 H/883
M.
44
Ahmad bin Abi Ahmad Ath-Thabari, seorang faqih bermazhab Syafii , wafat tahun 335 H.
45
Abdurrahman bin Abi Bakr Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Itqan fii Ulum al-Quran, Ar-Risalah, Beirut,
2008, cet. ke-1, hal. 494

13

Apabila

digunakan untuk arti lelaki pemberani, maka dinamakan majaz,


karena awalnya

tidak diletakkan untuk arti tersebut.


Ulama beragam dalam membagi majaz. Jalaluddin As-Suyuthi
46
dalam
kitabnya Al-Itqan fii Ulum al-Quran membagi majaz menjadi dua, yaitu majaz fi
at-tarkib dan majaz fi al-mufrad. Majaz fit tarkib atau disebut juga dengan majaz al-
isnad atau majaz al-aqli adalah penyandaran fiil (kata kerja, verb) atau syibih fiil
47

kepada kata yang tidak sesuai untuknya. Seperti firman Allah:
( :)


Artinya: pada hari yang menjadikan anak-anak beruban. (QS. Al-Muzammil: 17)

Ayat di atas menyebutkan bahwa yang menjadikan anak-anak beruban
adalah hari. Hakikatnya yang menjadikan mereka beruban adalah Allah.
Majaz fi al-mufrad atau disebut juga majaz lughawi adalah
penggunaan kata dengan arti yang tidak diletakkan untuknya. Majaz ini banyak
jenisnya di antaranya pembuangan kata, seperti firman Allah:

48
. Dalam ayat itu terdapat kata yang terbuang. Kira-kira asalnya adalah

. Jenis lainnya yaitu pengucapan keseluruhan, namun yang dikehendaki


adalah sebagian (ithlaq al-kulli wa iradat al-juz), seperti firman Allah:

49
. Pada ayat tersebut, diucapkan kata


yang berarti 30 hari, namun yang dimaksud disini adalah sebagian dari 30 hari.
Ulama lain membagi haqiqat dan majaz menjadi lughawiyah, urfiyah dan
syariyah. Seperti kata shalat menurut bahasa berari doa dan menurut syara
berarti perkataan dan perbuatan yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan

46
Abdurrahman bin Abu Bakr Jalaluddin As-Suyuthi, seorang alim dan penulis. Lahir di Kairo tahun
849 H/1445 M dan wafat tahun 911 H/1505 M. Di antara kitab karyanya adalah Al-Jami Ash-Shaghir,
Al-Asybah wa An-Nazhair, Ad-Durr Al-Mantsur dan salah satu penyusun Tafsir Jalalain bersama
Jalaluddin Al-Mahalli.
47
Yang dimaksud syibih fiil disini adalah mashdar, isim fail, isim maful dan sifat musyabbihat.
48
Artinya: Dan tanyalah (penduduk) negeri yang kami berada disitu. QS. Yusuf (12) ayat 82.
49
Artinya: Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka
hendaklah ia berpuasa pada bulan itu. QS. Al-Baqarah (2) ayat 185.

14

salam. Pemakaian kata shalat untuk arti doa disebut haqiqat lughawiyah dan
juga majaz syariyah. Pemakaian kata shalat untuk arti perkataan dan perbuatan
yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam disebut haqiqat syariyah
dan majaz lughawiyah.
Misal lainnya adalah seperti kata khabar menurut bahasa berarti berita,
sedangkan menurut urf (kebiasaan) ahli nahwu adalah isim yang dibaca rafa yang
jatuh setelah mubtada. Pemakaian khabar untuk arti berita disebut haqiqat
lughawiyah dan majaz urfiyah. Pemakaian khabar untuk arti isim yang dibaca
rafa yang jatuh setelah mubtada dinamakan haqiqat urfiyah dan majaz
lughawiyah.

c. Khash dan Am
Suatu lafal adakalanya diletakkan untuk satu arti tertentu, atau untuk suatu
arti yang berbilang (baca: banyak). Yang pertama disebut dengan khash (khusus),
sedangkan yang kedua disebut am (umum).
1). Khash
a). Pengertian Khash
Khash adalah lafal yang digunakan untuk menunjukkan satu arti yang
tunggal. Baik berupa sosok seseorang seperti kata Muhammad, berupa
macam seperti kata laki-laki atau berupa sebuah jenis seperti kata hewan.
Baik diletakkan untuk arti zat seperti contoh-contoh di atas, ataupun berupa
sifat seperti kata ilmu atau bodoh. Dan baik kata tersebut memiliki satuan
bagian di dalamnya, seperti contoh-contoh diatas, ataupun tidak, seperti kata
matahari dan bulan. Serta, baik kesatuan arti tersebut bersifat hakiki,
seperti contoh-contoh tadi, ataupun tidak, sebagaimana kata yang
menunjukkan bilangan yang terbatas, seperti kata dua, tiga, lima,
sepuluh dan lain-lain.
50

Asy-Syaikh Abdul Wahhab Khallaf memasukkan lafal muthlaq,
muqayyad, amr dan nahi ke dalam kategori khash.
51

b). Hukum-Hukum Khash

50
Ali Hasabullah, Ushul al-Tasyri al-Islami, Daar al-Fikr al-Arabi, Kairo, 1997, Cet. ke-7, Hal. 182
51
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Daar al-Rasyid, 2008, Hal. 178

15

Jika ditemukan lafal khash dalam suatu nash, maka ia pasti menunjukkan
arti yang dicakupnya tersebut, selama tidak ada dalil yang mengarahkannya
ke arti lain. Dengan demikian, arti tiga hari dalam firman Allah

( : )
Artinya: maka berpuasa tiga hari (QS. Al-Baqarah: 196)
adalah lafal khash karena tidak mungkin diarahkan ke arti dua, empat
atau bilangan lain. Penunjukkan arti (dilalah) semacam ini disebut qathi
(pasti).
52

2). Am
a). Pengertian Am
Am adalah lafal yang menunjukkan atas tercakupnya seluruh satuan ke
dalamnya tanpa dibatasi dengan jumlah tertentu. Kata seluruh akad dalam
contoh : untuk keabsahan seluruh akad, disyaratkan kecakapan dari orang
yang mengadakan akad tersebut, adalah am yang menunjukkan atas
tercakupnya seluruh akad tanpa terbatas pada akad tertentu.
Contoh lain dari lafal am adalah sabda Nabi yang diriwayatkan Al-
Baihaqi
53
berikut,

Artinya: Barangsiapa yang melempar pedangnya, maka dia selamat.


Lafal

(barangsiapa yang melempar) adalah am yang menunjukkan


atas tercakupnya setiap orang yang melemparkan pedangnya tanpa
terkecuali.
54


b). Redaksi Am
Banyak redaksi yang digunakan untuk menujukkan keumumam suatu
lafal, di antaranya yaitu:
(1). Kata

dan

yang berarti seluruhnya. Seperti:


( : )

52
Op. Cit., hal. 182
53
Abu Bakr Ahmad bin Al-Husain bin Ali Al-Baihaqi (384-458 H/994-1066 M), salah seorang ahli
hadis.
54
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Daar al-Rasyid, 2008, hal. 169


16

Artinya: Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah
diperbuatnya (QS. Al-Muddatsir: 38)

( : )
Artinya: Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk
kamu (QS. Al-Baqarah: 29)
(2). Isim marifat dengan Alif-Lam Jinsiyah, baik mufrad atau jama, seperti:

( : )
Artinya: Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri,
potonglah tangan keduanya. (QS. Al-Maaidah: 38)

( : )
Artinya: Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan
ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula)
dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya. (QS. An-Nisaa: 7)
(3) Isim Maushul, seperti firman Allah SWT:

( : )
Artinya: Orang-orang yang meninggal dunia di antara kamu dengan
meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan
dirinya (ber-'iddah) empat bulan sepuluh hari. (QS. Al-Baqarah: 234)
(4) Isim Syarat, seperti:

( : )
Artinya: Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya)
di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu. (QS. Al-
Baqarah: 185)

( : )
Artinya: Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan, niscaya
kamu akan diberi pahalanya dengan cukup sedang kamu sedikitpun tidak
akan dianiaya. (QS. Al-Baqarah: 272)

( : )

17

Artinya: Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan
kamu. (QS. An-Nisaa: 78)
(5) Isim Nakirah yang berada dalam rangkaian kalimat nafi (negatif), nahi
(larangan) atau syarat (kalimat perandaian/jika-maka), seperti:

( : )
Artinya: Di kala mereka berkata: Allah tidak menurunkan sesuatupun
kepada manusia". (QS. Al-Anam: 91)

( : )
Artinya: Janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan
yang lain. (QS. Al-Hujuraat: 11)

( : )
Artinya: Jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita,
maka periksalah dengan teliti. (QS. Al-Hujuraat: 6)
c). Hukum-Hukum Am
Mayoritas ulama berpendapat bahwa redaksi-redaksi am itu mencakup
semua parsialnya. Pendapat ini merupakan yang terkuat dengan argumen
sebagai berikut:
(1). Ketercakupan semua parsial ke dalam redaksi am bisa segera dimengerti
oleh lawan bicara (mukhatab). Dengan demikian, jika ada seseorang
yang mematuhi sebuah perintah yang bersifat umum dengan
memasukkan semua jenisnya, maka ia tidak disalahkan, bahkan jika ia
hanya mengutamakan sebagian saja, maka ia akan dicela. Apabila ada
seorang majikan berkata kepada pelayannya: Berikanlah uang kepada
semua orang yang masuk ke rumahku!, kemudian si pelayan
memberikan uang kepada setiap orang yang masuk ke rumahnya tanpa
membedakan tetangga, kerabat, orang dekat atau orang jauh, maka sang
majikan tidak bisa menyalahkannya dengan bertanya: kenapa kau
berikan kepada orang jauh?. Namun jika si pelayan hanya memberikan
uang kepada tetangga dekat saja dan tidak memberikannya kepada
tetangga jauh, maka sang majikan bisa menyalahkannya, dan si pelayan
tidak bisa beralasan: seperti inilah yang saya pahami dari perintah
anda.
(2). Al-Quran memberlakukannya demikian, seperti dalam firman Allah
SWT:

18

( : )
Artinya: Dan mereka tidak menghormati Allah dengan penghormatan
yang semestinya, di kala mereka berkata: "Allah tidak menurunkan
sesuatupun kepada manusia." Katakanlah: "Siapakah yang menurunkan
kitab (Taurat) yang dibawa oleh Musa sebagai cahaya dan petunjuk bagi
manusia. (QS. Al-Anam: 91)
Jika kata

(manusia) dan kata

(sesuatu) tidak mencakup


semua jenisnya, maka penurunan kitab (Taurat) kepada Nabi Musa tidak
tepat untuk dijadikan alasan penolakan dan bantahan terhadap ucapan
mereka.
(3). Kesepakatan Sahabat dan para ahli bahasa dalam memberlakukan Al-
Kitab dan As-Sunnah atas keumuman lafal-lafalnya, kecuali jika
ditemukan dalil yang mengkhususkannya. Oleh sebab itu, mereka
berdalil -bahwa Fatimah mewarisi harta Rasulullah SAW- dengan ayat:

( : )
Artinya: Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka
untuk) anak-anakmu, yaitu: bagian seorang anak lelaki sama dengan
bagian dua orang anak perempuan. (QS. An-Nisaa: 11)
Sampai Abu Bakar mencabutnya dengan mengutip sabda Rasulullah
SAW,


Artinya: Kami, golongan para nabi, (hartanya) tidak diwaris
d). Pengkhususan Am
Pengkhususan am (takhsis al-am) adalah pembatasan keumuman
hukum yang terdapat dalam lafal am bahwa hukum tersebut hanya berlaku
pada sebagian parsialnya saja, tidak mencakup keseluruhannya.
55
Seperti
sabda Nabi SAW:


55
Ibid, hal. 173

19

Artinya: Tidak ada potong tangan dalam (pencurian) yang kurang dari
seperempat dinar.
mengkhususkan keumuman ayat:

( : )
Artinya: Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah
tangan keduanya. (QS. Al-Maaidah: 38)
Syafiiyah berpendapat bahwa semua nash yang am telah di-takhsis
kecuali sedikit saja ditemui nash-nash yang am yang tidak di-takhsis, dan
dalalah-nya am yang tidak di-takhsis adalah bersifat zhanniy. Sementara
Hanafiyah berpendapat bahwa dalalah-nya am yang tidak di-takhsis adalah
bersifat qathiy.
56

d. Muthlaq dan Muqayyad
1). Pengertian Muthlaq
Muthlaq adalah sesuatu yang menunjukkan makna tanpa terbatas.
57

Muthlaq terjadi dalam sebuah ungkapan yang berupa isim nakirah dalam
susunan kalimat positif.
58
Contoh muthlaq adalah firman Allah SWT,

( : )
Artinya: maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak (QS. Al-
Mujadilah: 3)
Ayat di atas menunjukkan akan tuntutan memerdekakan budak tanpa
memandang jumlahnya, satu orang budak atau lebih. Dan tanpa memandang
sifatnya, budak yang beriman ataupun bukan. Tuntutannya hanyalah
memerdekakan apa saja yang dinamakan budak.
59

Fakhruddin Ar-Razi (wafat tahun 606 H) dalam kitabnya, Al-Mahshul fii
Ilmi al-Ushul, memasukkan pembahasan muthlaq dan muqayyad dalam bab am
dan khash.
2). Pengertian Muqayyad

56
Ibid, hal. 171
57
Tajuddin Abdul Wahhab bin Ali As-Subuki, Jam al-Jawami, Daar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut,
2003, cet. ke-2, hal. 53
58
Abu al-Hasan Ali bin Muhammad Al-Amidi, Al-Ihkam fii Ushul al-Ahkam, Daar al-Kitab Al-Arabi,
Beirut, 1404 H, juz 3 hal. 5
59
Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, Daar al-Fikr al-Arabi, Kairo, tt., hal. 170

20

Muqayyad adalah sesuatu yang menunjukkan makna yang terbatas. Baik
terbatas oleh sifat, keadaan, tujuan akhir, syarat, atau apapun batasannya, tanpa
memandang jumlahnya.
60

Contoh muqayyad yang dibatasi dengan sifat adalah firman Allah SWT,

( : )
Artinya: maka ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman
(QS. An-Nisaa: 92)
Contoh muqayyad yang dibatasi dengan syarat adalah firman Allah SWT
tentang kaffarat (tebusan) dalam pelanggaran sumpah,

( : )
Artinya: Barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka
kaffaratnya puasa selama tiga hari. (QS. Al-Maaidah: 89)
Berpuasa tiga hari dibatasi dengan syarat tidak menemukan hamba
sahaya, makanan, dan pakaian bagi orang miskin.
Contoh muqayyad dengan batasan akhir (ghayah) adalah,


( : )
Artinya: Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam. (QS.
Al-Baqarah (2): 187)
Dengan demikian, masa berpuasa dibatasi hingga datangnya malam,
maka tidak boleh puasa wishal (puasa tanpa berbuka).
61

3). Hukum-Hukum Muthlaq dan Muqayyad
Jika ditemukan teks Al-Quran berupa muthlaq dan muqayyad, maka
adakalanya kedua hukumnya sama, adakalanya berbeda.
Jika hukum keduanya sama dan penyebabnya juga sama, maka hukum
yang terdapat di dalam muthlaq diarahkan pada hukum yang terdapat dalam
muqayyad, sehingga hukum yang berlaku adalah hukum yang terdapat di dalam
muqayyad. Contohnya ayat,

... ( : )

60
Ibid.
61
Ibid., hal. 170-171

21

Artinya: Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi (QS.
Al-Maaidah: 3)
Dan ayat,

( : )
Artinya: Katakanlah: Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan
kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya,
kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi.
(QS. Al-Anam: 145)
Darah yang terdapat dalam Surat Al-Maidah adalah muthlaq, tanpa
dibatasi. Sedangkan darah dalam Surat Al-Anam adalah muqayyad, dibatasi
dengan mengalir. Maka, yang dimaksud dengan darah yang diharamkan
dalam Surat Al-Maidah adalah darah yang mengalir, sebagaimana yang
ditetapkan dalam Surat Al-Anam. Karena hukum dalam kedua ayat tersebut
adalah sama, yaitu keharaman suatu makanan. Dan sebabnya juga sama, yaitu
darah. Seandainya yang diharamkan adalah darah secara mutlak, maka batasan
mengalir menjadi tidak berfungsi.
62

Jika hukum keduanya sama namun penyebabnya berbeda, maka terdapat
perselisihan pendapat ulama. Para pengikut Asy-Syafii berpendapat bahwa
hukum yang terdapat di dalam muthlaq juga diarahkan pada hukum yang
terdapat dalam muqayyad. Seperti firman Allah SWT tentang tebusan (kaffarah)
pembunuhan tersalah (khatha),

( : )
Artinya: Dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah
(hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta
membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya. (QS. An-Nisaa: 92)
Dan firman Allah SWT tentang tebusan (kaffarah) zhihar
63
,

62
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Daar al-Rasyid, 2008, hal. 179
63
Zhihar adalah ucapan seorang suami yang menyamakan isterinya dengan mahramnya dalam hal
keharaman bersetubuh atau semisalnya, seperti ucapan suami kepada isterinya: engkau bagiku
seperti punggung ibuku. (Zakaria Al-Anshari, Fath al-Wahhab, Daar al-Fikr, Beirut, 1994, juz 2,
hal. 113)

22

( : )
Artinya: Orang-orang yang men-zhihar isteri mereka, kemudian mereka
hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya)
memerdekakan seorang hamba sahaya sebelum kedua suami isteri itu
bercampur. (QS. Al-Mujadilah : 3)
Hukum kedua ayat di atas adalah sama, yakni memerdekakan hamba
sahaya. Tetapi penyebabnya berbeda. Yang pertama disebabkan oleh
pembunuhan secara tersalah, sedangkan penyebab yang kedua adalah zhihar.
Hamba sahaya dalam kaffarah pembunuhan dibatasi dengan beriman,
sedangkan hamba sahaya kaffarah zhihar bersifat mutlak. Maka hukum yang
terdapat dalam muthlaq diarahkan ke hukum muqayyad. Dalam hal ini,
memerdekakan hamba sahaya yang dimaksud dalam kaffarah zhihar adalah
hamba sahaya yang beriman.
Para pengikut Abu Hanifah menolak pendapat tersebut. Mereka
mengatakan bahwa muthlaq tersebut tidak bisa diarahkan ke muqayyad, karena
jika demikian, maka sama saja dengan menambah-nambahi nash.
64
Selain itu,
perbedaan penyebab terkadang mengakibatkan perbedaan pula dalam redaksi
penyampaian. Sehingga mereka berpendapat bahwa muthlaq dalam kondisi
seperti ini dibiarkan berlaku sesuai kemutlakannya. Dan muqayyad berlaku
sesuai taqyid (batasan)nya. Kebanyakan pengikut Malik juga bependapat
demikian.
65

Jika hukum keduanya berbeda namun penyebabnya sama, maka muthlaq
tidak bisa diarahkan pada muqayyad, kecuali terdapat dalil. Seperti ayat,

( :
)
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan
shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku. (QS. Al-
Maaidah: 6)
Dan ayat,

64
Abu Ishaq Ibrahim Asy-Syairazi, Al-Luma, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Jakarta, 2011, cet. ke-1,
hal. 71
65
Op. cit., hal. 179-180

23

( : )
Artinya: maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); usaplah
mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. (QS. Al-Maidah: 6)
Penyebab kedua ayat di atas adalah sama, yakni bersuci sebelum shalat.
Namun hukum keduanya berbeda. Yang pertama membasuh tangan dan yang
kedua adalah mengusapnya.
Menurut riwayat dari Hanafiyah, muthlaq dalam contoh ini diarahkan
pada muqayyad. Sehingga mengusap tangan ketika tayammum wajib sampai
siku, karena terdapat dalil hadits yang diriwayatkan oleh Ibn Umar bahwa
Rasulullah SAW bersabda:


Artinya: Tayammum itu ada dua pukulan (usapan). Satu pukulan untuk wajah,
dan satu pukulan untuk dua tangan sampai dua siku. (HR. Ath-Thabarani)
Dan ini juga merupakan mazhab kebanyakan Asy-Syafiiyyah.
Adapun Malikiyah dan Hanabilah membiarkan muthlaq dalam contoh
ini dalam kemutlakannya. Sehingga mereka mewajibkan mengusap tangan
ketika tayammum hingga sampai pergelangan tangan saja, karena menurut
mereka hadits tersebut tidak shahih.
66

Jika ditemukan satu buah muthlaq dan dua buah atau lebih muqayyad
maka muthlaq tidak bisa diarahkan kepada salah satu muqayyad tersebut. Seperti
puasa dalam kaffarah (tebusan) zhihar yang dibatasi dengan berturut-turut
dalam ayat,

( : )
Artinya: Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya)
berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. (QS. Al-
Mujadilah: 4)
Dan puasa untuk dam haji tamattu
67
dibatasi dengan terpisah dalam ayat,

( : )

66
Ali Hasabullah, Ushul at-Tasyri al-Islami, Daar al-Fikr al-Arabi, Kairo, 1997, cet. ke-7, hal. 200
67
Tamattu adalah melaksanakan ihram umrah dari miqatnya, dan setelah selesai umrah kemudian
melaksanakan ihram untuk haji dari Makkah di bulan-bulan haji. Pelaku tamattu dikenakan denda
haji yang disebut dengan dam. (Syihabuddin Ahmad Ibn Hajar Al-Haitami, Tuhfah al-Muhtaj fii
Syarh al-Minhaj, Al-Maktbah al-Tijariyah al-Kubra, Mesir, 1983, juz 4, hal. 148)

24

Artinya: Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak mampu),
maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila
kamu telah pulang kembali. (QS. Al-Baqarah: 196)
Dua ayat di atas adalah muqayyad dengan masing-masing batasan yang
berbeda. Sedangkan puasa dalam kaffarah (tebusan) pelanggaran sumpah
berbentuk muthlaq, yaitu dalam ayat,

( : )
Artinya: Barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka
kaffarah-nya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kaffarah
sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). (QS. Al-
Maaidah: 89)
Dalam kondisi seperti ini, muthlaq dalam puasa karena pelanggaran
sumpah tidak bisa diarahkan pada puasa kaffarah zhihar yang harus dilakukan
secara berturut-turut, juga tidak bisa diarahkan pada puasa haji tamattu yang
harus dilakukan secara terpisah. Akan tetapi, muthlaq-nya puasa pelanggaran
sumpah dibiarkan berlaku tersendiri.
68

e. Musytarak dan Mutaradif
1). Pengertian Musytarak
Musytarak adalah suatu kata yang menunjukkan dua makna atau lebih.
Seperti kata

(al-quru) yang digunakan untuk arti haid dan suci, kata


(al-ain) yang berarti matahari, air yang mengalir, mata, dan emas, dan
lain sebagainya.
Penyebab terjadinya bermacam-macam arti ini adalah terkadang karena
adanya perbedaan suku-suku dalam berbahasa Arab. Suku pertama memakai kata
A, misalnya, untuk arti ini. Suku kedua memakai kata A untuk arti itu. Dan
suku ketiga menggunakannya untuk arti anu. Sehingga terjadilah banyak
peletakan makna atau arti.
Dan terkadang juga disebabkan karena pada mulanya ada satu kata
tertentu yang digunakan sebagai majas. Tetapi kemudian majas ini menjadi
terkenal sehingga menjadi haqiqat urfiyah. Kemudian kata tersebut memiliki

68
Op. cit., hal. 71

25

beberapa arti yang semua arti itu tidak tercakup dalam sekali penggunaan dalam
kalimat.
69

2). Pengertian Mutaradif
Mutaradif adalah banyaknya kata yang menunjukkan pada satu nama
dengan melihat pada satu arti. Seperti kata

(al-asad) dan

(al-laits)
yang berarti singa,

(al-hinthah) dan

(al-qamh) yang berarti gandum,


(al-julus) dan

(al-quud) yang berarti duduk, dan lain sebagainya.


70

Dengan kata lain, mutaradif adalah beberapa kata yang memiliki arti yang sama
atau disebut sinonim, kebalikan dari musytarak.
3). Hukum-Hukum Musytarak dan Mutaradif
Terdapat perbedaan pendapat tentang keberadaan musytarak dan
mutaradif. Sebagian berpendapat bahwa musytarak itu ada dalam sebuah bahasa.
Sebagian yang lain mengatakan bahwa tidak ada musytarak dalam bahasa.
Yang berpendapat akan adanya musytarak dalam bahasa juga terpecah
lagi. Sebagian berpendapat bahwa musytarak itu boleh saja ada dalam bahasa.
Sebagian yang lain mengatakan bahwa keberadaan musytarak itu wajib.
71

Dalil keberadaan musytarak adalah firman Allah SWT:

( : )
Artinya: Demi malam apabila telah hampir meninggalkan gelapnya. (QS. At-
Takwir: 17)
Kata

(asas) pada ayat di atas adalah musytarak antara datang dan


perginya malam.
Mazhab Asy-Syafii menyatakan bahwa musytarak termasuk bagian dari
am, sedangkan am itu sendiri tidak terlarang keberadaannya dalam kalam
Allah.
72


69
Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, Daar al-Fikr al-Arabi, Kairo, tt., hal. 178
70
Muhammad bin Ali Asy-Syaukani, Irsyad al-Fuhul, Daar al-Kitab al-Arabi, 1999, cet. ke1, juz 1,
hal. 56
71
Ibid, hal. 57
72
Abu al-Hasan Ali bin Muhammad Al-Amidi, Al-Ihkam fii Ushul al-Ahkam, Daar al-Kitab al-
Arabi, Beirut, 1404 H, juz 1 hal. 45

26

Di antara yang menolak keberadaan musytarak adalah Tsalab
73
, Al-
Abhari dan Al-Balkhi
74
. Mereka mengatakan bahwa apa yang dianggap
musytarak sebenarnya adalah haqiqat dan majaz. Seperti kata

(al-ain)
arti haqiqatnya adalah mata (penglihatan). Adapun kata

(al-ain)
diartikan dengan matahari atau emas adalah majaz.
75

Di antara yang menolak keberadaan mutaradif adalah Tsalab dan Ibn
Faris
76
dengan alasan bahwa jika memang mutaradif itu ada dalam sebuah
bahasa, maka akan menghilangkan faedah, karena dengan menggunakan salah
satu kata yang disangka mutaradif itu akan membuat kata lainnya menjadia sia-
sia. Selain itu, beberapa kata yang disangka sebagai mutaradif sesungguhnya di
sana terdapat perbedaan zat atau sifatnya. Seperti kata

(al-insan) dan

(al-basyar), yang berarti manusia. Atau terdapat perbedaan kondisi


sebelumnya, seperti kata

(al-quud) dan

(al-julus) yang berarti


duduk, di mana yang pertama bermakna duduk dari kondisi berdiri dan yang
kedua duduk dari kondisi berbaring.
77

Al-Amidi, sebagai salah satu ulama yang menerima keberadaan
musytarak dan mutaradif, mengatakan bahwa tidak tertolak secara akal jika ada
seseorang yang meletakkan dua kata yang berbeda untuk satu arti kemudian
orang-orang lainnya menyepakatinya. Atau ada suatu suku yang menggunakan
satu kata untuk satu arti, sedangkan suku lainnya menggunakan kata tersebut
untuk arti yang lain, kemudian sedemikian rupa kedua arti tersebut menjadi

73
Beliau adalah Abu al-Abbas Ahmad bin Yahya bin Zaid. Imamnya penduduk Kufah dalam bidang
bahasa dan nahwu. Wafat di Baghdad tahun 291 H. (Catatan kaki Syeikh Ahmad Izu Inayah dalam
kitab Irsyad al-Fuhul karya Muhammad bin Ali Asy-Syaukani, Daar al-Kitab al-Arabi, 1999, juz 1,
hal. 57)
74
Beliau adalah Abdullah bin Ahmad bin Mahmud Al-Kabi (273 319 H), salah seorang imam dari
golongan Mutazilah. (Catatan kaki (tahqiq) Alawi Abu Bakr Muhammad As-Saqqaf dalam kitab
Al-Luma karya Asy-Syairozi, Daar al-Kutub al-Islamiyah, Jakarta, 2011, cet. ke-1, hal. 30)
75
Hasan Al-Atthar, Hasyiyah al-Atthar ala Syarh Jam al-Jawami, Daar al-Kutub al-Ilmiyah,
Beirut, tanpa tahun, juz 1, hal. 382
76
Beliau adalah Ahmad bin Faris Zakaria Al-Qazwini Al-Maliki. Seorang ahli bahasa. Wafat di al-
Rayy pada tahun 395 H. (Catatan kaki (tahqiq) oleh Syeikh Ahmad Izu Inayah dalam kitab Irsyad al-
Fuhul karya Asy-Syaukani, Daar al-Kitab al-Arabi, 1999, cet. ke1, juz 1, hal.57)
77
Muhammad bin Ali Asy-Syaukani, Irsyad al-Fuhul, Daar al-Kitab al-Arabi, 1999, cet. ke1, juz 1,
hal. 56-57

27

tersebar dan terkenal. Dan dengan adanya mutaradif, akan semakin memperluas
bahasa dan memperbanyak pilihan cara menyampaikan apa yang dituju. Karena
boleh jadi akan terjadi kesulitan mencapai tujuan dalam berbahasa jika hanya
terdapat satu pilihan kata. Dengan adanya pilihan kata yang lain, akan
memudahkan tujuan tersebut.
78

Terdapat perbedaan pendapat mengenai tercakupnya dua arti atau lebih
lafal musytarak dalam sebuah penggunaan bahasa. Asy-Syafii, Al-Qadhi Abu
Bakr Al-Baqillani
79
(wafat 403 H.), dan Al-Qadhi Abdul Jabbar
80
(wafat 415 H.)
berpendapat dengan kebolehan tercakupnya dua arti atau lebih musytarak dalam
penggunaan bahasa. Pendapat ini diikuti oleh mayoritas ulama dan banyak imam
ahli bayt.
81
Dalilnya adalah firman Allah SWT berikut,

( : )
Artinya: Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk
Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan
ucapkanlah salam penghormatan kepadanya. (QS. Al-Ahzab: 56)
Shalawat dari Allah berarti rahmat, dari malaikat berarti istighfar dan
dari orang mukmin berarti doa. Dalam ayat di atas, seluruh makna shalawat itu
terkumpul dalam satu penggunaan dalam kalimat.
Sementara ulama yang menolaknya menjawab bahwa ayat di atas tidak
terdapat terkumpulnya seluruh makna musytarak di dalamnya. Karena konteks
ayat tesebut adalah kewajiban bagi seorang mukmin untuk mengikuti Allah dan
malaikat-Nya dalam ber-shalawat. Dan oleh karena itu harus terjadi persamaan
arti shalawat. Sebab jika dikatakan: sesungguhnya Allah merahmati Nabi dan
malaikat ber-istighfar untuk Nabi. Wahai orang-orang mukmin, berdoalah untuk
Nabi, maka terjadi kerancuan. Dengan demikian bisa diketahui bahwa makna
shalawat di sana adalah sama.

78
Abu al-Hasan Ali bin Muhammad Al-Amidi, Al-Ihkam fii Ushul al-Ahkam, Daar al-Kitab al-
Arabi, Beirut, 1404 H, juz 1 hal. 46-47
79
Beliau adalah Muhammad bin Ath-Thayyib Al-Baqillani Al-Asyari Al-Maliki
80
Beliau adalah Abul Hasan Abdul Jabbar bin Ahmad Al-Hamdani Al-Mutazili Asy-Syafii
81
Op. cit., hal. 59-60

28

Di antara ulama yang menolak tercakupnya seluruh makna lafal yang
musytarak dalam sebuah penggunaan bahasa adalah Abu al-Hasan Al-Bashri
82

dan Al-Karkhi
83
.
Jika di dalam nash ditemukan lafal yang musytarak antara maknanya
secara bahasa (lughawi) dan maknanya secara istilah syariat (syari), maka
yang dimaksud adalah makna syari. Seperti lafal shalat yang secara bahasa
berarti doa dan secara istilah berarti suatu ibadah tertentu. Maka dalam firman
Allah SWT:

( : )
Artinya: Dan dirikanlah shalat. (QS. Al-Baqarah: 43)
Yang dimaksud adalah arti doa secara istilah syari bukan artinya secara
bahasa.
f. Amr dan Nahi
1) Pengertian Amr
Amr secara bahasa berarti perintah, lawan dari nahi. Amr adalah ucapan
yang menuntut adanya perbuatan, dari orang yang memiliki derajat tinggi kepada
orang yang lebih rendah. Jika perintah tersebut bukan berupa ucapan, maka
dinamakan amr secara majas.
84

Al-Amidi
85
, Ar-Razi
86
, Abu Ishaq Asy-Syairazi
87
, As-Samani
88
, Ibn
Ash-Shabbagh
89
, dan kelompok Mutazilah mensyaratkan amr dari orang yang
lebih tinggi atau merasa tinggi derajatnya kepada orang yang lebih rendah
derajatnya.
90
Jika tuntutan perbuatan itu dari orang yang sederajat, maka disebut

82
Beliau adalah Muhammad bin Ali Ath-Thayyib Abu al-Hasan Al-Bashri. Seorang ahli sastra dari
golongan Mutazilah. Wafat di Baghdad pada tahun 436 H.
83
Beliau adalah Ubaidullah bin Al-Husain. Seorang pemimpin Hanafiyah di Irak. Lahir tahun 260 H
dan wafat 340. (Catatan kaki (tahqiq) oleh Syeikh Ahmad Izu Inayah dalam kitab Irsyad al-Fuhul
karya Asy-Syaukani, Daar al-Kitab al-Arabi, 1999, cet. ke1, juz 1, hal. 60)
84
Abu Ishaq Ibrahim Asy-Syairazi, Al-Luma, Daar al-Kutub al-Islamiyah, Jakarta, 2011, cet. ke-1,
hal. 30
85
Saifuddin Abu al-Hasan Ali bin Muhammad Ats-Tsalabi Al-Amidi. Seorang pakar Ushul Fiqh yang
bermazhab Hanbali kemudian beralih menjadi bermazhab Asy-Syafii. Wafat tahun 631 H.
86
Abu Abdillah Muhammad bin Umar At-Taimi Ar-Razi, dijuluki Fakhruddin. Penulis kitab tafsir
Mafaatiih al-Ghaib yang terkenal. Wafat tahun 606 H./1210 M.
87
Abu Ishaq Ibrahim bin Ali Asy-Syairazi Al-Fairuzabadi. Seorang faqih mazhab Asy-Syafii. Penulis
kitab Al-Luma dalam Ushul Fiqh. Wafat tahun 476 H./1083 M.
88
Abdullah bin Muhammad bin As-Sayyid. Termasuk seorang ulama bahasa dan adab. Wafat tahun
521 H.
89
Abdu As-Sayyid bin Muhammad. Seorang faqih mazhab Asy-Syafii. Wafat tahun 477 H.
90
Tajuddin Abdul Wahhab bin Ali As-Subuki, Jam al-Jawami, Daar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut,
2003, cet. ke-2, hal. 40

29

iltimas. Sedangkan jika tuntutannya berasal dari yang lebih rendah kepada yang
lebih tinggi derajatnya, maka disebut sual.
91
Al-Ghazali dan Ibnu As-Subuki
(wafat 771 H.) mengatakan bahwa amr tidak harus berasal dari orang yang lebih
tinggi derajatnya.
Menurut Al-Ghazali, amr adalah sebuah ucapan yang menuntut
kepatuhan orang yang diperintahkan untuk melakukan apa yang diperintahkan.
92

Al-Balkhi (w. 319 H) dan mayoritas golongan Mutazilah
mendefinisikan amr dengan: ucapan

(lakukanlah!) dari seseorang kepada


orang yang berada di bawahnya, atau ucapan lain yang berfungsi sama dengan

.
93

2) Pengertian Nahi
Nahi secara bahasa berarti larangan.
94
Secara istilah, nahi adalah ucapan
yang menuntut ditinggalkannya suatu perbuatan oleh orang yang lebih rendah.
95

Nahi memiliki shighat yang menunjukkan arti larangn yakni


(jangan kamu lakukan!). Golongan Asyariyah
96
mengatakan bahwa nahi tidak
memilki shighat.
97

3) Hukum-Hukum Yang Berkaitan dengan Amr dan Nahi
a). Kewajiban melaksanakan amr dan keharaman nahi
Mayoritas ulama berpendapat bahwa amr bersifat wajib dan tidak
menunjukkan hukum yang lain kecuali disertai qarinah (indikator yang
mengalihkan dari hukum asal). Hal ini diperkuat dengan beberapa faktor
berikut:
- Allah SWT memerintahkan malaikat untuk bersujud kepada Adam dengan
firman-Nya:

91
Jalaluddin Muhammad bin Ahmad al-Mahalli, Syarh Al-Waraqat, Indonesia, hal. 50-51
92
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, Al-Mustashfa, Daar al-Fikr, tanpa tahun, juz 1,
hal. 411
93
Abu al-Hasan Ali bin Muhammad Al-Amidi, Al-Ihkam fii Ushul al-Ahkam, Daar al-Kitab al-
Arabi, Beirut, 1404 H, juz 2, hal. 154
94
Muhammad bin Ali Asy-Syaukani, Irsyad al-Fuhul, Daar al-Kitab al-Arabi, 1999, cet. ke1, juz 1,
hal. 278
95
Abu Ishaq Ibrahim Asy-Syairazi, Al-Luma, Daar al-Kutub al-Islamiyah, Jakarta, 2011, cet. ke-1,
hal. 45
96
Asyariyah adalah mazhab atau aliran dalam masalah aqidah atau ilmu kalam. Mazhab ini dinisbatkan
kepada pendirinya yaitu Abu al-Hasan Ali bin Ismail Al-Asyari. Wafat tahun 324 H.
97
Op. cit.

30

( : )
Artinya: Sujudlah

kamu kepada Adam! (QS. Al-Baqarah: 34)
Dan Allah mencela Iblis yang tidak mematuhi perintah dan mengusirnya
dari surga. Allah SWT berfirman:

( : )
Artinya: Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di
waktu Aku menyuruhmu?" (QS. Al-Araaf: 12)
- Allah SWT mengecam suatu kaum dan mengancam mereka karena tidak
mematuhi perintah-Nya dalam firman-Nya:

( : - )
Artinya: Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Rukuklah, niscaya
mereka tidak mau rukuk. Kecelakaan yang besarlah pada hari itu bagi
orang-orang yang mendustakan. (QS. Al-Mursalaat: 48-49)
- Allah mengancam dengan siksa kepada orang yang melawan perintah-Nya
dan perintah Rasul-Nya, seperti dalam firman-Nya:

( : )
Artinya: Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan
melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke
dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang
menghinakan. (QS. An-Nisaa: 14)

Ini hanya beberapa ayat saja. Dan tentunya masih banyak ayat yang serupa di
mana perintah wajib disertai dengan janji jika dilaksanakan, dan ancaman
jika ditinggalkan.
98

Selain mununjukkan hukum wajib, amr juga bisa berfungsi untuk menakut-
nakuti. Seperti dalam contoh,

( : )
Artinya: Perbuatlah apa yang kamu kehendaki. (Fusshilat: 40)


98
Ali Hasabullah, Ushul at-Tasyri al-Islami, Daar al-Fikr al-Arabi, Kairo, 1997, cet. ke-7, hal. 187

31

Atau untuk melemahkan, seperti firman Allah SWT:

( : )
Artinya: Katakanlah: "(Kalau demikian), maka datangkanlah sepuluh surat-
surat yang dibuat-buat yang menyamainya. (QS. Hud: 13)

Atau membolehkan, seperti dalam ayat:

( : )
Artinya: Dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah
berburu. (QS. Al-Maaidah: 2)
99

Bahkan amr dengan shighat

memiliki 20 makna.
100
Sedangkan nahi,
menurut Al-Ghazali, memiliki 7 makna.
101
Nahi dengan sendirinya menuntut
akan haramnya melakukan perbuatan yang dilarang. Seperti dalam ayat:

( : )
Artinya: Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum
mereka beriman. (QS. Al-Baqarah: 221)
Ayat tersebut berfaedah haramnya pernikahan laki-laki muslim dengan
perempuan musyrik.
Pendapat lainnya, seperti dari golongan Asyariyah, mengatakan bahwa nahi
tidak menunjukkan haram atau lainnya kecuali dengan dalil.
102


b). Amr dilakukan dengan berulang-ulang
Pada dasarnya, redaksi kata perintah (shighat amr) itu bersifat mutlak. Dalam
arti shighat amr digunakan dengan tanpa memberikan petunjuk bahwa
perintah itu cukup dilaksanakan satu kali atau harus dilaksanakan berulang
kali. Pendapat ini merupakan pilihan Hanafiyah, Al-Amidi
103
, Al-Juwaini
104
,
dan lain-lain.
105


99
Abu Ishaq Ibrahim Asy-Syairazi, Al-Luma, Daar al-Kutub al-Islamiyah, Jakarta, 2011, cet. ke-1,
hal. 30
100
Abdul Aliy Muhammad bin Nizhamuddin Al-Anshari, Fawatih ar-Rahmut, Daar al-Fikr, tanpa
tahun, juz 1, hal. 372
101
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, Al-Mustashfa, Daar al-Fikr, tanpa tahun, juz
1, hal. 418
102
Abu Ishaq Ibrahim Asy-Syairazi, Al-Luma, Daar al-Kutub al-Islamiyah, Jakarta, 2011, cet. ke-1,
hal. 45
103
Lihat catatan kaki nomor 84

32

Abu Ishaq Al-Isfirayini
106
mengatakan bahwa mayoritas Syafiiyyah
berpendapat bahwa shighat amr menuntut adanya satu kali perbuatan saja.
Sedangkan Asy-Syairazi
107
berpendapat bahwa amr menuntut adanya
perbuatan yang berulang kali sepanjang usia jika memungkinkan. Yang
dimaksud dengan jika memungkinkan di sini adalah di luar waktu tidur,
buang hajat atau kondisi mendesak manusiawi lainnya.
Sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa amr menuntut adanya perbuatan
yang berulang-ulang jika digantungkan dengan syarat. Seperti dalam firman
Allah SWT:

( : )
Artinya: Dan jika kamu junub maka mandilah. (QS. Al-Maaidah : 6)

Atau dihubungkan dengan sifat yang tetap. Seperti dalam firman Allah SWT:

( : )
Artinya: Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap
malam. (QS. Al-Israa: 78)

Namun mayoritas ulama menganggap bahwa kewajiban yang berulang dalam
ayat-ayat di atas muncul karena adanya hubungan antara hukum dengan
sebab yang berulang, bukan karena digantungkan pada syarat atau sifat. Jika
sebabnya berulang, maka hukum juga berulang. Dalam hal ini jika terjadi
junub, maka harus mandi. Jika junub lagi, maka mandi lagi, dan seterusnya.
Oleh karena itu, amr yang semata-mata digantungkan dengan syarat atau
sifat, tidak menjadikan kewajiban yang berulang kali. Seperti ucapan seorang
majikan kepada pelayannya: Jika engkau melewati pasar, belilah daging!,
atau ucapan seorang suami kepada isterinya: Jika engkau masuk ke rumah,
talaklah dirimu sendiri!. Si pelayan tidak harus selalu membeli daging setiap

104
Abdul Malik bin Abdillah Al-Juwaini Asy-Syafii. Seorang ahli fiqih yang dikenal dengan nama
Imam Al-Haramain. Wafat tahun 478 Hijriyah di Naisabur
105
Muhammad bin Ali Asy-Syaukani, Irsyad al-Fuhul, Daar al-Kitab al-Arabi, 1999, cet. ke1, juz 1,
hal. 255
106
Abu Ishaq Al-Isfirayini Ibrahim bin Muhammad bin Ibrahim. Seorang ahli ushul fiqh bermazhab
Syafii. dan salah seorang mujtahid di masanya. Wafat tahun 418 H
107
Abu Ishaq Ibrahim bin Ali bin Yusuf Asy-Syairazi. Seorang ahli fiqih bermazhab Syafii. Beliau
menulis banyak karya, di antaranya adalah Al-Muhadzzab dalam bidang fiqih dan Al-Luma dalam
bidang ushul fiqh. Wafat tahun 476 Hijriyah di Baghdad

33

ia melewati pasar, sebagaimana sang isteri tidak bisa mentalak dirinya sendiri
setiap ia memasuki rumah.
108

c). Amr dilakukan dengan segera
Mereka yang berpendapat bahwa amr harus dilaksanakan secara berulang-
ulang juga berpendapat bahwa amr harus dilaksanakan dengan segera.
Karena itu mereka mewajibkan untuk menghabiskan waktu dengan bergegas
melaksanakannya setelah amr itu diterima.
Ulama lainnya mengatakan bahwa adakalanya amr itu dibatasi oleh waktu
yang panjang atau yang sempit. Untuk amr yang dibatasi oleh waktu yang
panjang, maka boleh menunda pelaksanaannya hingga menjelang waktu itu
berakhir.
Dan adakalanya amr tidak dibatasi oleh waktu tertentu seperti perintah
membayar kafarat (tebusan) dalam hadis Nabi SAW kepada seorang laki-laki
dari dusun yang puasanya batal sebab berhubungan badan:

( )
Puasalah dua bulan berturut-turut. (HR. Ibn Majah)
Atau perintah meng-qadha puasa dalam firman Allah SWT:

( : )
Artinya: maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang
ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. (QS. Al-Baqarah: 185)
Maka amr yang seperti ini boleh ditunda pelaksanaannya. Dan inilah
pendapat yang shahih dari golongan Hanafiyah, Asy-Syafii dan murid-
muridnya. Ar-Razi dan Al-Amidi dari golongan Syafiiyah memilih pendapat
ini.
Sedangkan Malikiyah, Hanabilah dan Abu Al-Hasan Al-Karkhi
109
dari
golongan Hanafiyah mewajibkannya segera. Sehingga menundanya adalah
berdosa.
110

d). Amr atas sesuatu adalah nahi atas lawannya
Mayoritas ulama ushul dari golongan Syafiiyah dan Hanafiyah serta ulama
ahli hadits berpendapat bahwa sesuatu jika diperintahkan maka perintah itu

108
Ali Hasabullah, Ushul at-Tasyri al-Islami, Daar al-Fikr al-Arabi, Kairo, 1997, cet. ke-7, hal. 189
109
Lihat catatan kaki nomor 82
110
Abdul Aliy Muhammad bin Nizhamuddin Al-Anshari, Fawatih ar-Rahmut, Daar al-Fikr, tanpa
tahun, juz 1, hal. 387

34

adalah larangan (nahi) terhadap hal sebaliknya atau lawannya. Baik
kebalikannya itu satu, seperti perintah untuk beriman berarti larangan dari
kekafiran, dan perintah untuk bergerak berarti larangan dari diam. Ataupun
sesuatu tersebut memiliki kebalikan yang banyak. Seperti perintah untuk
berdiri berarti larangan dari duduk, tiduran, sujud dan lain sebagainya. Jika
perintah tersebut bersifat wajib, maka larangannya bersifat haram. Dan jika
perintah tersebut bersifat sunnah, maka larangannya menjadi makruh.
Pendapat lainnya dikatakan bahwa perintah atas sesuatu bukan berarti
larangan terhadap kebalikannya. Pendapat ini dipilih oleh Al-Juwaini dan Al-
Ghazali.
Seperti halnya amr, larangan terhadap suatu perbuatan adalah perintah untuk
melakukan hal sebaliknya.
Golongan Mutazilah sepakat bahwa perintah atas sesuatu bukan larangan
dari lawannya. Begitu pula larangan dari sesuatu bukanlah perintah atas
lawannya.
Ar-Razi mengemukakan bahwa amr atas sesuatu menuntut akan kemakruhan
lawannya meskipun amr-nya bersifat wajib, dan nahi atas sesuatu menuntut
kesunnahan lawannya meskipun nahi-nya bersifat haram.
111


C. KESIMPULAN
Al-Quran sebagai sumber hukum Islam merupakan dalil pertama dalam
pengambilan hukum (istidlal). Para ulama membahas dan mengkaji dalil-dalil hukum
dalam sebuah ilmu yang dinamakan Ushul Fiqh. Pembahasan Ilmu Ushul Fiqh tidak hanya
Al-Quran sebagai dalil hukum, namum mencakup juga dalil-dalil lainnya seperti As-
Sunnah, ijma dan qiyas.
Penulis membatasi permasalahannya hanya pada petunjuk kata atau lafal dalam
Al-Quran terhadap hukum. Petunjuk kata atau lafal tersebut kemudian diistilahkan dengan
manthuq dan mafhum, musytarak dan mutaradif, haqiqat dan majaz, dan lain sebagainya.
Dan masing-masing dari istilah-istilah tersebut bisa memiliki dampak terhadap hukum
yang dihasilkan. Apa yang penulis uraiakan merupakan sebagian kecil dari luasnya
cakupan kajian Ilmu Ushul Fiqh dan sempitnya pengetahun penulis. Namun diharapkan
bisa memberikan manfaat terhadap siapapun yang membacanya.


111
Muhammad bin Ali Asy-Syaukani, Irsyad al-Fuhul, Daar al-Kitab al-Arabi, 1999, cet. ke1, juz 1,
hal. 263-264

35













DAFTAR PUSTAKA
- Al-Quran dan Terjemahnya; Departemen Agama RI; 1990
- Al-Amidi, Abu al-Hasan Ali bin Muhammad; Al-Ihkam fii Ushul al-Ahkam; Daar al-
Kitab al-Arabi; Beirut; 1404 H
- Al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad; Al-Mustashfa; Daar al-Fikr;
tanpa tahun
- Al-Qattan, Manna Khalil; Mabahits fii Ulum al-Quran; Maktabah Wahbah; Kairo;
tanpa tahun; Cet. ke-7
- An-Najjar, Taqiyuddin Abu al-Baqa Ibn; Syarh Al-Kawkab Al-Munir; Maktabah al-
Abikan; 1997; cetakan ke-2
- As-Shalih, Subhi, Dr.; Mabahits fii Ulum al-Quran; Daar al-Ilm li al-Malayin;
Beirut; 1988; cet. ke-17
- As-Subuki, Tajuddin Abdul Wahhab bin Ali; Jam al-Jawami; Daar al-Kutub al-
Ilmiyah; Beirut; 2003; cet. ke-2
- As-Suyuthi, Abdurrahman bin Abi Bakr Jalaluddin; Al-Itqan fii Ulum al-Quran; Ar-
Risalah; Beirut; 2008; cet. ke-1
- Asy-Syairazi, Abu Ishaq Ibrahim; Al-Luma; Dar al-Kutub al-Islamiyah; Jakarta;
2011; cet. ke-1
- Asy-Syaukani, Muhammad bin Ali; Irsyad al-Fuhul; Daar al-Fikr; Beirut; 1992
- Az-Zarqani, Abdul Azhim; Manahil al-Irfan fii Ulum al-Quran; Daar al-Fikr;
Beirut

36

- Hasabullah, Ali; Ushul al-Tasyri al-Islami; Daar al-Fikr Al-Arabi; Kairo; 1997; Cet.
ke-7
- http://pustaka.abatasa.com/pustaka/detail/ushul-fiqih/allsub/120/sumber-hukum.html
(diakses Kamis, 1 Maret 2012 pukul 20.14 WIB)
- http://www.kotasantri.com/mimbar.php?aksi=Cetak&sid=149
- http://id.wikipedia.org/wiki/Ushul_fiqh
- Khallaf, Abdul Wahhab; Ilmu Ushul Al-Fiqh; Daar Al-Rasyid; 2008
- Muhammad, Abdul Aliy bin Nizhamuddin Al-Anshari, Fawatih ar-Rahmut, Daar al-
Fikr, tanpa tahun
- Shihab, M. Quraish; Lentera Al-Quran; Mizan; Bandung; 2008; Cet. 1
- Shihab, M. Quraish; Mukjizat Al-Quran; Mizan Pustaka; Bandung; 2007; Cet. ke-2
- Syafei, Rachmat, Prof, Dr, MA; Ilmu Ushul Fiqh; CV.Pustaka Setia; Bandung; 1999
- Zahrah, Muhammad Abu; Ushul Al-Fiqh; Daar al-Fikr al-Arabi, Kairo, tanpa tahun

You might also like