Professional Documents
Culture Documents
( : )
Artinya: Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk
dan cahaya (yang menerangi). (QS. Al-Maaidah: 44)
Allah SWT juga berfirman:
( :
)
Artinya: Dan Kami telah memberikan kepadanya Kitab Injil sedang didalamnya (ada)
petunjuk dan cahaya (yang menerangi), dan membenarkan kitab yang sebelumnya, yaitu
Kitab Taurat. Dan menjadi petunjuk serta pengajaran untuk orang-orang yang bertakwa.
(QS. Al-Maaidah: 46)
Fungsi yang sama juga diberikan kepada Al-Quran. Sebagaimana firman Allah
SWT:
( : )
1
Makalah ini disusun oleh Muhammad Hamdi untuk memenuhi salah satu syarat penerimaan mahasiswa
Pascasarjana Institut Ilmu Al-Quran Jakarta.
2
Artinya: Dan Sesungguhnya Kami telah berikan kepada Musa Al-Kitab (Taurat), maka
janganlah kamu (Muhammad) ragu menerima (Al-Quran itu) dan Kami jadikan Al-Kitab
(Taurat) itu petunjuk bagi Bani Israil. (QS. As-Sajdah: 23)
Allah SWT juga berfirman:
( : )
Artinya: Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran
sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan
pembeda (antara yang hak dan yang bathil). (QS. Al-Baqarah: 185)
Sebagian petunjuk Al-Quran tersebut adalah mengenai hukum. Ulama dengan
berbagai mazhabnya yang berbeda-beda telah sepakat bahwa manusia tidak bisa terlepas
dari hukum dalam kehidupannya sehari-hari, baik hukum yang mengatur hubungan
manusia dengan Tuhannya (ibadah) ataupun yang mengatur hubungan antar sesamanya
(muamalah).
2
Allah SWT berfirman:
( : )
Artinya: Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa
kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah
wahyukan kepadamu. (QS. An-Nisaa: 105)
Himpunan hukum-hukum yang kaitannya dengan segala yang bersumber dari
manusia, baik berupa perkataan atau perbuatan itu disebut dengan fiqh, di mana Al-
Quran sebagai dasar dan sumber pertamanya.
3
Selain Al-Quran, terdapat juga sumber-sumber lainnya seperti As-Sunnah
(hadits), ijma dan qiyas. Kemudian ulama mengkaji setiap dalil-dalil tersebut dalam
rangka menegaskan bahwa dalil-dalil tersebut merupakan dasar hukum (hujjah) syariat
yang harus diikuti. Ulama juga mengkaji tentang syarat-syarat mengambil dalil (istidlal),
macam-macamnya, sampai tentang siapa orang yang mampu menghasilkan hukum dari
dalilnya. Selanjutnya himpunan kajian-kajian itu disebut dengan ushul fiqh.
4
Ilmu Ushul Fiqh itu sendiri baru tumbuh pada abad kedua Hijriyah. Orang
pertama yang membukukan Ilmu Ushul Fiqh adalah Al-Imam Muhammad bin Idris Asy-
2
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, Daar ar-Rasyid, 2008, hal. 11
3
Ibid.
4
Ibid. hal. 12
3
Syafii (wafat tahun 204 H.) dalam kitabnya yang bernama Ar-Risalah. Oleh karena itu
masyhur di kalangan ulama bahwa Asy-Syafii adalah peletak pertama Ilmu Ushul Fiqh.
5
B. PEMBAHASAN MASALAH
1. PENGERTIAN USHUL FIQH DAN DALIL
a. Pengertian Ushul Fiqh
Kata ushul fiqh merupakan susunan yang terdiri dari dua kata, yaitu
ushul (
) dan al-fiqh (
yang bermakna
seperti
yang bermakna
( )
( )
Artinya: Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu)
dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai
membacakannya maka ikutilah bacaannya itu.
Kata quranahu pada ayat di atas dalam hal ini berarti juga qiraatahu
(bacaannya/cara membacanya). Jadi kata itu adalah mashdar menurut wazan
15
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Al-Fiqh, Daar Ar-Rasyid, 2008, hal. 19
16
Ibid. hal. 19-20
17
http://id.wikipedia.org/wiki/Ushul_fiqh (diakses pada hari Senin, 27 Februari 2012 pukul 22.09 WIB)
18
M. Quraish Shihab, Lentera Al-Quran, Mizan Pustaka, Bandung, 2008, cet. ke-1, hal. 21
6
(konjugasi) fulan dengan vokal u seperti ghufran dan syukran. Kita
dapat mengatakan qaratuhu qiraatan atau qaratuhu quranan, artinya sama saja.
Maqru (apa yang dibaca) dinamakan quran (bacaan), karena isim maful (obyek)
di sini diberi nama dengan mashdar (kata benda)nya.
19
Kata Al-Quran juga bisa berasal dari fiil madhi
setelah ayat
setelah ayat:
24
Prof. Dr. Rachmat Syafei, MA,Ilmu Ushul Fiqh, CV.Pustaka Setia, Bandung, 1999, hal.50
25
Tajuddin Abdul Wahhab bin Ali As-Subuki, Jam al-Jawami, Daar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut,
2003, cet. ke-2, hal. 21
26
Dr. Subhi As-Shalih, Mabahits fii Ulum al-Quran, Daar al-Ilm li al-Malayin, Beirut, 1988, cet. ke-
17, hal. 21
27
Jalaluddin Al-Bulqini berpendapat bahwa riwayat ahad adalah qiraah-nya tiga Imam yakni Abu
Jafar Al-Madani, Yakub Al-Hadhrami dan Khalaf bin Hisyam. (Jalaluddin As-Suyuthi; Al-Itqan fii
Ulum al-Quran; hal. 163)
8
Artinya: Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Quran dengan berbahasa
Arab, agar kamu memahaminya. (QS. Yusuf: 2)
( :
Artinya: Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab,
untuk kaum yang mengetahui. (QS. Fushshilat: 3)
Tentang ke-bahasa Arab-an al-Qur'an ini, Imam Asy-Syafi'i mengemukakan di
dalam Ar-Risalah-nya sebagai berikut: "Yang wajib atas orang-orang yang pandai
ialah hendaknya mereka itu tidak berpendapat (mengatakan sesuatu) kecuali karena
mereka telah mengetahui. Dan memang ada pula orang yang berkata di dalam
masalah ilmu yang sekiranya mereka mau menahan diri tidak mengatakannya akan
lebih baik baginya dan lebih selamat, insya Allah."
29
Karena Al-Quran itu berbahasa Arab, maka terjemahannya bukanlah Al-
Quran dan apabila kita shalat dengan membaca terjemahan Al-Quran, maka
shalatnya menjadi tidak sah. Diriwayatkan dari Abu Hanifah bahwa diperbolehkan
shalat dengan membaca terjemahan Al-Quran.
30
Namun demikian, terdapat perbedaan pendapat apakah di dalam Al-Quran
mencakup bahasa lain selain Arab? Mengenai hal ini, Ibn Abbas dan Ikrimah
berpendapat bahwa di dalam Al-Quran terdapat bahasa lain selain bahasa Arab
dengan hujjah (bukti) bahwa di dalam Al-Quran terdapat kata
31
yang
merupakan bahasa India, kata
32
dengan
bahasa Romawi.
34
28
Abdul Azhim Az-Zarqani, Manahilul Irfan fii Ulum al-Quran, Daar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut,
2003, cet. ke-1, hal 17
29
Muhammad bin Idris Asy-Syafii, Ar-Risalah, Maktabah Al-Halabi, Mesir, 1940, cet. ke-1, hal. 36
30
Ali Hasabullah, Ushul at-Tasyri al-Islami, Daar al-Fikr al-Arabi, Kairo, 1997, cet. ke-7, hal. 14
31
Al-Quran surat An-Nuur (24) ayat 35
32
Al-Quran surat Al-Fiil (105) ayat 4
9
Ulama yang berpendapat bahwa di dalam Al-Quran tidak terdapat bahasa
ajam (selain Arab), adalah berlandaskan ayat-ayat di atas. Adapun kata
, dan
36
. Manthuq terbagi
menjadi nash, zhahir, muawwal dan mujmal.
Apabila kata tersebut telah jelas dan tidak bisa diarahkan ke arti lain,
maka disebut nash, seperti jika kita berkata: Budi telah datang, maka kalimat
tersebut bisa dipahami bahwa yang datang adalah sosok yang bernama Budi,
bukan Andi atau yang lain. Sebagaimana dalam firman Allah:
( : )
Artinya: maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi)
apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna. (QS.
Al-Baqarah: 196)
Pada ayat di atas, sepuluh hari ditegaskan dengan kamilah (yang
sempurna). Penegasan ini menghilangkan kemungkinan sepuluh diartikan
dengan bilangan dibawahnya.
37
Contoh lain adalah firman Allah:
( :)
33
Al-Quran surat Al-Israa (17) ayat 35
34
Abu al-Hasan Ali bin Muhammad Al-Amidi, Al-Ihkam fii Ushul al-Ahkam, Daar al-Kitab al-Arabi,
Beirut, 1404 H, juz 1 hal. 79
35
Ibid., hal. 80
36
Artinya: maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" (QS.
Al-Israa (17): 23)
37
Manna Khalil Al-Qattan, Mabahits fii Ulum al-Quran, Maktabah Wahbah, Kairo, tt., cet. ke-7, hal.
242.
10
Artinya: Muhammad itu adalah utusan Allah. (QS. Al-Fath: 29)
Apabila kata tersebut bisa diarahkan ke arti lain yang kuat, maka
disebut zhahir, seperti kata
untuk
arti tempat buang air dinamakan dengan muawwal.
38
Di antara contoh zhahir adalah firman Allah berikut:
( : )
Artinya: Dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. (QS.
Al-Baqarah: 222).
Pada ayat di atas, thuhr (suci) bisa berarti berhentinya darah haid, bisa
juga berarti mandi. Penggunaan kata thuhr untuk arti mandi adalah zhahir
karena arti itulah yang kuat. Sedangkan thuhr diartikan dengan berhentinya
darah adalah lemah.
39
Contoh tawil yaitu firman Allah:
( :)
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan
shalat, maka basuhlah mukamu (QS. Al-Maaidah: 6)
Kata qumtum diartikan dengan artinya yang lemah hendak
mengerjakan shalat, meskipun artinya yang kuat adalah telah mengerjakan
shalat.
38
Hasan Al-Atthar, Hasyiyah al-Atthar ala Syarh Jam al-Jawami, Daar al-Kutub al-Ilmiyah,
Beirut, tanpa tahun, juz 2, hal. 87-88
39
Op. Cit., hal. 243
11
Apabila kata itu memiliki arti yang seimbang dengan arti lainnya maka
disebut mujmal.
40
Seperti kata
Artinya: Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya
perkataan "ah". (QS. Al-Israa: 23)
Keharaman memukul orang tua lebih besar dari keharaman mengatakan ah
yang diucapkan pada ayat di atas, karena memukul lebih menyakitkan daripada
mengatakan ah.
Apabila hukum yang terkandung sama dengan yang diucapkan, maka
disebut lahnul khithab, seperti keharaman membakar harta anak yatim yang
tercakup dalam
( :)
Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara
zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya. (QS. An-Nisaa:
10)
Keharaman membakar harta anak yatim sama dengan memakannya, karena
keduanya sama merusaknya.
41
Sedangkan mafhum mukhlalafah adalah makna (hukum) yang tidak
sesuai dengan yang diucapkan, seperti pada ayat
40
Op. Cit.
41
Ibid.
12
( :)
Artinya: Jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka
periksalah dengan teliti. (QS. Al-Hujurat: 6)
Dari kata fasiq di atas dipahami bahwa jika yang datang adalah orang yang
tidak fasik, maka informasi yang dia bawa tidak wajib diteliti.
Contoh lain adalah firman Allah berikut:
( :)
Artinya: Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalak) itu sedang hamil,
maka berikanlah kepada mereka nafkahnya. (QS. Ath-Thalaq: 6)
Berarti apabila isteri yang ditalak itu tidak hamil, maka tidak wajib memberi
nafkah.
42
b. Haqiqat dan Majaz
Haqiqat secara bahasa berasal dari kata al-haqq (
) yang berarti
sesuatu yang tetap dan wajib, lawan dari kata al-bathil (
).
Secara istilah, haqiqat adalah penggunaan kata untuk arti yang telah
diletakkan untuknya. Ulama sepakat bahwa haqiqat terdapat dalam Al-Quran.
Sedangkan majaz adalah penggunaan kata untuk arti yang tidak diletakkan untuk
kata tersebut. Mayoritas ulama berpendapat bahwa dalam Al-Quran terdapat majaz.
Sekelompok orang, di antaranya Azh-Zhahiriyyah
43
dan Ibn al-Qash
44
dari golongan
Syafiiyah, menolak keberadaan majaz dalam Al-Quran.
45
Seperti kata
diletakkan.
42
Manna Khalil Al-Qattan, Mabahits fii Ulum al-Quran, Maktabah Wahbah, Kairo, tt., cet. ke-7, hal.
245-246
43
Azh-Zhahiriyyah adalah salah satu aliran mazhab fiqh. Mazhab ini mengikuti pendapat Dawud bin Ali
Abu Sulaiman Al-Ashbihani yang lahir di Kufah tahun 200 H dan wafat di Baghdad tahun 270 H/883
M.
44
Ahmad bin Abi Ahmad Ath-Thabari, seorang faqih bermazhab Syafii , wafat tahun 335 H.
45
Abdurrahman bin Abi Bakr Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Itqan fii Ulum al-Quran, Ar-Risalah, Beirut,
2008, cet. ke-1, hal. 494
13
Apabila
Artinya: pada hari yang menjadikan anak-anak beruban. (QS. Al-Muzammil: 17)
Ayat di atas menyebutkan bahwa yang menjadikan anak-anak beruban
adalah hari. Hakikatnya yang menjadikan mereka beruban adalah Allah.
Majaz fi al-mufrad atau disebut juga majaz lughawi adalah
penggunaan kata dengan arti yang tidak diletakkan untuknya. Majaz ini banyak
jenisnya di antaranya pembuangan kata, seperti firman Allah:
48
. Dalam ayat itu terdapat kata yang terbuang. Kira-kira asalnya adalah
49
. Pada ayat tersebut, diucapkan kata
yang berarti 30 hari, namun yang dimaksud disini adalah sebagian dari 30 hari.
Ulama lain membagi haqiqat dan majaz menjadi lughawiyah, urfiyah dan
syariyah. Seperti kata shalat menurut bahasa berari doa dan menurut syara
berarti perkataan dan perbuatan yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan
46
Abdurrahman bin Abu Bakr Jalaluddin As-Suyuthi, seorang alim dan penulis. Lahir di Kairo tahun
849 H/1445 M dan wafat tahun 911 H/1505 M. Di antara kitab karyanya adalah Al-Jami Ash-Shaghir,
Al-Asybah wa An-Nazhair, Ad-Durr Al-Mantsur dan salah satu penyusun Tafsir Jalalain bersama
Jalaluddin Al-Mahalli.
47
Yang dimaksud syibih fiil disini adalah mashdar, isim fail, isim maful dan sifat musyabbihat.
48
Artinya: Dan tanyalah (penduduk) negeri yang kami berada disitu. QS. Yusuf (12) ayat 82.
49
Artinya: Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka
hendaklah ia berpuasa pada bulan itu. QS. Al-Baqarah (2) ayat 185.
14
salam. Pemakaian kata shalat untuk arti doa disebut haqiqat lughawiyah dan
juga majaz syariyah. Pemakaian kata shalat untuk arti perkataan dan perbuatan
yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam disebut haqiqat syariyah
dan majaz lughawiyah.
Misal lainnya adalah seperti kata khabar menurut bahasa berarti berita,
sedangkan menurut urf (kebiasaan) ahli nahwu adalah isim yang dibaca rafa yang
jatuh setelah mubtada. Pemakaian khabar untuk arti berita disebut haqiqat
lughawiyah dan majaz urfiyah. Pemakaian khabar untuk arti isim yang dibaca
rafa yang jatuh setelah mubtada dinamakan haqiqat urfiyah dan majaz
lughawiyah.
c. Khash dan Am
Suatu lafal adakalanya diletakkan untuk satu arti tertentu, atau untuk suatu
arti yang berbilang (baca: banyak). Yang pertama disebut dengan khash (khusus),
sedangkan yang kedua disebut am (umum).
1). Khash
a). Pengertian Khash
Khash adalah lafal yang digunakan untuk menunjukkan satu arti yang
tunggal. Baik berupa sosok seseorang seperti kata Muhammad, berupa
macam seperti kata laki-laki atau berupa sebuah jenis seperti kata hewan.
Baik diletakkan untuk arti zat seperti contoh-contoh di atas, ataupun berupa
sifat seperti kata ilmu atau bodoh. Dan baik kata tersebut memiliki satuan
bagian di dalamnya, seperti contoh-contoh diatas, ataupun tidak, seperti kata
matahari dan bulan. Serta, baik kesatuan arti tersebut bersifat hakiki,
seperti contoh-contoh tadi, ataupun tidak, sebagaimana kata yang
menunjukkan bilangan yang terbatas, seperti kata dua, tiga, lima,
sepuluh dan lain-lain.
50
Asy-Syaikh Abdul Wahhab Khallaf memasukkan lafal muthlaq,
muqayyad, amr dan nahi ke dalam kategori khash.
51
b). Hukum-Hukum Khash
50
Ali Hasabullah, Ushul al-Tasyri al-Islami, Daar al-Fikr al-Arabi, Kairo, 1997, Cet. ke-7, Hal. 182
51
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Daar al-Rasyid, 2008, Hal. 178
15
Jika ditemukan lafal khash dalam suatu nash, maka ia pasti menunjukkan
arti yang dicakupnya tersebut, selama tidak ada dalil yang mengarahkannya
ke arti lain. Dengan demikian, arti tiga hari dalam firman Allah
( : )
Artinya: maka berpuasa tiga hari (QS. Al-Baqarah: 196)
adalah lafal khash karena tidak mungkin diarahkan ke arti dua, empat
atau bilangan lain. Penunjukkan arti (dilalah) semacam ini disebut qathi
(pasti).
52
2). Am
a). Pengertian Am
Am adalah lafal yang menunjukkan atas tercakupnya seluruh satuan ke
dalamnya tanpa dibatasi dengan jumlah tertentu. Kata seluruh akad dalam
contoh : untuk keabsahan seluruh akad, disyaratkan kecakapan dari orang
yang mengadakan akad tersebut, adalah am yang menunjukkan atas
tercakupnya seluruh akad tanpa terbatas pada akad tertentu.
Contoh lain dari lafal am adalah sabda Nabi yang diriwayatkan Al-
Baihaqi
53
berikut,
dan
( : )
52
Op. Cit., hal. 182
53
Abu Bakr Ahmad bin Al-Husain bin Ali Al-Baihaqi (384-458 H/994-1066 M), salah seorang ahli
hadis.
54
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Daar al-Rasyid, 2008, hal. 169
16
Artinya: Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah
diperbuatnya (QS. Al-Muddatsir: 38)
( : )
Artinya: Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk
kamu (QS. Al-Baqarah: 29)
(2). Isim marifat dengan Alif-Lam Jinsiyah, baik mufrad atau jama, seperti:
( : )
Artinya: Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri,
potonglah tangan keduanya. (QS. Al-Maaidah: 38)
( : )
Artinya: Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan
ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula)
dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya. (QS. An-Nisaa: 7)
(3) Isim Maushul, seperti firman Allah SWT:
( : )
Artinya: Orang-orang yang meninggal dunia di antara kamu dengan
meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan
dirinya (ber-'iddah) empat bulan sepuluh hari. (QS. Al-Baqarah: 234)
(4) Isim Syarat, seperti:
( : )
Artinya: Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya)
di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu. (QS. Al-
Baqarah: 185)
( : )
Artinya: Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan, niscaya
kamu akan diberi pahalanya dengan cukup sedang kamu sedikitpun tidak
akan dianiaya. (QS. Al-Baqarah: 272)
( : )
17
Artinya: Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan
kamu. (QS. An-Nisaa: 78)
(5) Isim Nakirah yang berada dalam rangkaian kalimat nafi (negatif), nahi
(larangan) atau syarat (kalimat perandaian/jika-maka), seperti:
( : )
Artinya: Di kala mereka berkata: Allah tidak menurunkan sesuatupun
kepada manusia". (QS. Al-Anam: 91)
( : )
Artinya: Janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan
yang lain. (QS. Al-Hujuraat: 11)
( : )
Artinya: Jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita,
maka periksalah dengan teliti. (QS. Al-Hujuraat: 6)
c). Hukum-Hukum Am
Mayoritas ulama berpendapat bahwa redaksi-redaksi am itu mencakup
semua parsialnya. Pendapat ini merupakan yang terkuat dengan argumen
sebagai berikut:
(1). Ketercakupan semua parsial ke dalam redaksi am bisa segera dimengerti
oleh lawan bicara (mukhatab). Dengan demikian, jika ada seseorang
yang mematuhi sebuah perintah yang bersifat umum dengan
memasukkan semua jenisnya, maka ia tidak disalahkan, bahkan jika ia
hanya mengutamakan sebagian saja, maka ia akan dicela. Apabila ada
seorang majikan berkata kepada pelayannya: Berikanlah uang kepada
semua orang yang masuk ke rumahku!, kemudian si pelayan
memberikan uang kepada setiap orang yang masuk ke rumahnya tanpa
membedakan tetangga, kerabat, orang dekat atau orang jauh, maka sang
majikan tidak bisa menyalahkannya dengan bertanya: kenapa kau
berikan kepada orang jauh?. Namun jika si pelayan hanya memberikan
uang kepada tetangga dekat saja dan tidak memberikannya kepada
tetangga jauh, maka sang majikan bisa menyalahkannya, dan si pelayan
tidak bisa beralasan: seperti inilah yang saya pahami dari perintah
anda.
(2). Al-Quran memberlakukannya demikian, seperti dalam firman Allah
SWT:
18
( : )
Artinya: Dan mereka tidak menghormati Allah dengan penghormatan
yang semestinya, di kala mereka berkata: "Allah tidak menurunkan
sesuatupun kepada manusia." Katakanlah: "Siapakah yang menurunkan
kitab (Taurat) yang dibawa oleh Musa sebagai cahaya dan petunjuk bagi
manusia. (QS. Al-Anam: 91)
Jika kata
( : )
Artinya: Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka
untuk) anak-anakmu, yaitu: bagian seorang anak lelaki sama dengan
bagian dua orang anak perempuan. (QS. An-Nisaa: 11)
Sampai Abu Bakar mencabutnya dengan mengutip sabda Rasulullah
SAW,
Artinya: Kami, golongan para nabi, (hartanya) tidak diwaris
d). Pengkhususan Am
Pengkhususan am (takhsis al-am) adalah pembatasan keumuman
hukum yang terdapat dalam lafal am bahwa hukum tersebut hanya berlaku
pada sebagian parsialnya saja, tidak mencakup keseluruhannya.
55
Seperti
sabda Nabi SAW:
55
Ibid, hal. 173
19
Artinya: Tidak ada potong tangan dalam (pencurian) yang kurang dari
seperempat dinar.
mengkhususkan keumuman ayat:
( : )
Artinya: Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah
tangan keduanya. (QS. Al-Maaidah: 38)
Syafiiyah berpendapat bahwa semua nash yang am telah di-takhsis
kecuali sedikit saja ditemui nash-nash yang am yang tidak di-takhsis, dan
dalalah-nya am yang tidak di-takhsis adalah bersifat zhanniy. Sementara
Hanafiyah berpendapat bahwa dalalah-nya am yang tidak di-takhsis adalah
bersifat qathiy.
56
d. Muthlaq dan Muqayyad
1). Pengertian Muthlaq
Muthlaq adalah sesuatu yang menunjukkan makna tanpa terbatas.
57
Muthlaq terjadi dalam sebuah ungkapan yang berupa isim nakirah dalam
susunan kalimat positif.
58
Contoh muthlaq adalah firman Allah SWT,
( : )
Artinya: maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak (QS. Al-
Mujadilah: 3)
Ayat di atas menunjukkan akan tuntutan memerdekakan budak tanpa
memandang jumlahnya, satu orang budak atau lebih. Dan tanpa memandang
sifatnya, budak yang beriman ataupun bukan. Tuntutannya hanyalah
memerdekakan apa saja yang dinamakan budak.
59
Fakhruddin Ar-Razi (wafat tahun 606 H) dalam kitabnya, Al-Mahshul fii
Ilmi al-Ushul, memasukkan pembahasan muthlaq dan muqayyad dalam bab am
dan khash.
2). Pengertian Muqayyad
56
Ibid, hal. 171
57
Tajuddin Abdul Wahhab bin Ali As-Subuki, Jam al-Jawami, Daar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut,
2003, cet. ke-2, hal. 53
58
Abu al-Hasan Ali bin Muhammad Al-Amidi, Al-Ihkam fii Ushul al-Ahkam, Daar al-Kitab Al-Arabi,
Beirut, 1404 H, juz 3 hal. 5
59
Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, Daar al-Fikr al-Arabi, Kairo, tt., hal. 170
20
Muqayyad adalah sesuatu yang menunjukkan makna yang terbatas. Baik
terbatas oleh sifat, keadaan, tujuan akhir, syarat, atau apapun batasannya, tanpa
memandang jumlahnya.
60
Contoh muqayyad yang dibatasi dengan sifat adalah firman Allah SWT,
( : )
Artinya: maka ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman
(QS. An-Nisaa: 92)
Contoh muqayyad yang dibatasi dengan syarat adalah firman Allah SWT
tentang kaffarat (tebusan) dalam pelanggaran sumpah,
( : )
Artinya: Barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka
kaffaratnya puasa selama tiga hari. (QS. Al-Maaidah: 89)
Berpuasa tiga hari dibatasi dengan syarat tidak menemukan hamba
sahaya, makanan, dan pakaian bagi orang miskin.
Contoh muqayyad dengan batasan akhir (ghayah) adalah,
( : )
Artinya: Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam. (QS.
Al-Baqarah (2): 187)
Dengan demikian, masa berpuasa dibatasi hingga datangnya malam,
maka tidak boleh puasa wishal (puasa tanpa berbuka).
61
3). Hukum-Hukum Muthlaq dan Muqayyad
Jika ditemukan teks Al-Quran berupa muthlaq dan muqayyad, maka
adakalanya kedua hukumnya sama, adakalanya berbeda.
Jika hukum keduanya sama dan penyebabnya juga sama, maka hukum
yang terdapat di dalam muthlaq diarahkan pada hukum yang terdapat dalam
muqayyad, sehingga hukum yang berlaku adalah hukum yang terdapat di dalam
muqayyad. Contohnya ayat,
... ( : )
60
Ibid.
61
Ibid., hal. 170-171
21
Artinya: Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi (QS.
Al-Maaidah: 3)
Dan ayat,
( : )
Artinya: Katakanlah: Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan
kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya,
kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi.
(QS. Al-Anam: 145)
Darah yang terdapat dalam Surat Al-Maidah adalah muthlaq, tanpa
dibatasi. Sedangkan darah dalam Surat Al-Anam adalah muqayyad, dibatasi
dengan mengalir. Maka, yang dimaksud dengan darah yang diharamkan
dalam Surat Al-Maidah adalah darah yang mengalir, sebagaimana yang
ditetapkan dalam Surat Al-Anam. Karena hukum dalam kedua ayat tersebut
adalah sama, yaitu keharaman suatu makanan. Dan sebabnya juga sama, yaitu
darah. Seandainya yang diharamkan adalah darah secara mutlak, maka batasan
mengalir menjadi tidak berfungsi.
62
Jika hukum keduanya sama namun penyebabnya berbeda, maka terdapat
perselisihan pendapat ulama. Para pengikut Asy-Syafii berpendapat bahwa
hukum yang terdapat di dalam muthlaq juga diarahkan pada hukum yang
terdapat dalam muqayyad. Seperti firman Allah SWT tentang tebusan (kaffarah)
pembunuhan tersalah (khatha),
( : )
Artinya: Dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah
(hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta
membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya. (QS. An-Nisaa: 92)
Dan firman Allah SWT tentang tebusan (kaffarah) zhihar
63
,
62
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Daar al-Rasyid, 2008, hal. 179
63
Zhihar adalah ucapan seorang suami yang menyamakan isterinya dengan mahramnya dalam hal
keharaman bersetubuh atau semisalnya, seperti ucapan suami kepada isterinya: engkau bagiku
seperti punggung ibuku. (Zakaria Al-Anshari, Fath al-Wahhab, Daar al-Fikr, Beirut, 1994, juz 2,
hal. 113)
22
( : )
Artinya: Orang-orang yang men-zhihar isteri mereka, kemudian mereka
hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya)
memerdekakan seorang hamba sahaya sebelum kedua suami isteri itu
bercampur. (QS. Al-Mujadilah : 3)
Hukum kedua ayat di atas adalah sama, yakni memerdekakan hamba
sahaya. Tetapi penyebabnya berbeda. Yang pertama disebabkan oleh
pembunuhan secara tersalah, sedangkan penyebab yang kedua adalah zhihar.
Hamba sahaya dalam kaffarah pembunuhan dibatasi dengan beriman,
sedangkan hamba sahaya kaffarah zhihar bersifat mutlak. Maka hukum yang
terdapat dalam muthlaq diarahkan ke hukum muqayyad. Dalam hal ini,
memerdekakan hamba sahaya yang dimaksud dalam kaffarah zhihar adalah
hamba sahaya yang beriman.
Para pengikut Abu Hanifah menolak pendapat tersebut. Mereka
mengatakan bahwa muthlaq tersebut tidak bisa diarahkan ke muqayyad, karena
jika demikian, maka sama saja dengan menambah-nambahi nash.
64
Selain itu,
perbedaan penyebab terkadang mengakibatkan perbedaan pula dalam redaksi
penyampaian. Sehingga mereka berpendapat bahwa muthlaq dalam kondisi
seperti ini dibiarkan berlaku sesuai kemutlakannya. Dan muqayyad berlaku
sesuai taqyid (batasan)nya. Kebanyakan pengikut Malik juga bependapat
demikian.
65
Jika hukum keduanya berbeda namun penyebabnya sama, maka muthlaq
tidak bisa diarahkan pada muqayyad, kecuali terdapat dalil. Seperti ayat,
( :
)
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan
shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku. (QS. Al-
Maaidah: 6)
Dan ayat,
64
Abu Ishaq Ibrahim Asy-Syairazi, Al-Luma, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Jakarta, 2011, cet. ke-1,
hal. 71
65
Op. cit., hal. 179-180
23
( : )
Artinya: maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); usaplah
mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. (QS. Al-Maidah: 6)
Penyebab kedua ayat di atas adalah sama, yakni bersuci sebelum shalat.
Namun hukum keduanya berbeda. Yang pertama membasuh tangan dan yang
kedua adalah mengusapnya.
Menurut riwayat dari Hanafiyah, muthlaq dalam contoh ini diarahkan
pada muqayyad. Sehingga mengusap tangan ketika tayammum wajib sampai
siku, karena terdapat dalil hadits yang diriwayatkan oleh Ibn Umar bahwa
Rasulullah SAW bersabda:
Artinya: Tayammum itu ada dua pukulan (usapan). Satu pukulan untuk wajah,
dan satu pukulan untuk dua tangan sampai dua siku. (HR. Ath-Thabarani)
Dan ini juga merupakan mazhab kebanyakan Asy-Syafiiyyah.
Adapun Malikiyah dan Hanabilah membiarkan muthlaq dalam contoh
ini dalam kemutlakannya. Sehingga mereka mewajibkan mengusap tangan
ketika tayammum hingga sampai pergelangan tangan saja, karena menurut
mereka hadits tersebut tidak shahih.
66
Jika ditemukan satu buah muthlaq dan dua buah atau lebih muqayyad
maka muthlaq tidak bisa diarahkan kepada salah satu muqayyad tersebut. Seperti
puasa dalam kaffarah (tebusan) zhihar yang dibatasi dengan berturut-turut
dalam ayat,
( : )
Artinya: Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya)
berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. (QS. Al-
Mujadilah: 4)
Dan puasa untuk dam haji tamattu
67
dibatasi dengan terpisah dalam ayat,
( : )
66
Ali Hasabullah, Ushul at-Tasyri al-Islami, Daar al-Fikr al-Arabi, Kairo, 1997, cet. ke-7, hal. 200
67
Tamattu adalah melaksanakan ihram umrah dari miqatnya, dan setelah selesai umrah kemudian
melaksanakan ihram untuk haji dari Makkah di bulan-bulan haji. Pelaku tamattu dikenakan denda
haji yang disebut dengan dam. (Syihabuddin Ahmad Ibn Hajar Al-Haitami, Tuhfah al-Muhtaj fii
Syarh al-Minhaj, Al-Maktbah al-Tijariyah al-Kubra, Mesir, 1983, juz 4, hal. 148)
24
Artinya: Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak mampu),
maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila
kamu telah pulang kembali. (QS. Al-Baqarah: 196)
Dua ayat di atas adalah muqayyad dengan masing-masing batasan yang
berbeda. Sedangkan puasa dalam kaffarah (tebusan) pelanggaran sumpah
berbentuk muthlaq, yaitu dalam ayat,
( : )
Artinya: Barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka
kaffarah-nya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kaffarah
sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). (QS. Al-
Maaidah: 89)
Dalam kondisi seperti ini, muthlaq dalam puasa karena pelanggaran
sumpah tidak bisa diarahkan pada puasa kaffarah zhihar yang harus dilakukan
secara berturut-turut, juga tidak bisa diarahkan pada puasa haji tamattu yang
harus dilakukan secara terpisah. Akan tetapi, muthlaq-nya puasa pelanggaran
sumpah dibiarkan berlaku tersendiri.
68
e. Musytarak dan Mutaradif
1). Pengertian Musytarak
Musytarak adalah suatu kata yang menunjukkan dua makna atau lebih.
Seperti kata
(al-ain) yang berarti matahari, air yang mengalir, mata, dan emas, dan
lain sebagainya.
Penyebab terjadinya bermacam-macam arti ini adalah terkadang karena
adanya perbedaan suku-suku dalam berbahasa Arab. Suku pertama memakai kata
A, misalnya, untuk arti ini. Suku kedua memakai kata A untuk arti itu. Dan
suku ketiga menggunakannya untuk arti anu. Sehingga terjadilah banyak
peletakan makna atau arti.
Dan terkadang juga disebabkan karena pada mulanya ada satu kata
tertentu yang digunakan sebagai majas. Tetapi kemudian majas ini menjadi
terkenal sehingga menjadi haqiqat urfiyah. Kemudian kata tersebut memiliki
68
Op. cit., hal. 71
25
beberapa arti yang semua arti itu tidak tercakup dalam sekali penggunaan dalam
kalimat.
69
2). Pengertian Mutaradif
Mutaradif adalah banyaknya kata yang menunjukkan pada satu nama
dengan melihat pada satu arti. Seperti kata
(al-asad) dan
(al-laits)
yang berarti singa,
(al-hinthah) dan
(al-julus) dan
( : )
Artinya: Demi malam apabila telah hampir meninggalkan gelapnya. (QS. At-
Takwir: 17)
Kata
(al-ain)
arti haqiqatnya adalah mata (penglihatan). Adapun kata
(al-ain)
diartikan dengan matahari atau emas adalah majaz.
75
Di antara yang menolak keberadaan mutaradif adalah Tsalab dan Ibn
Faris
76
dengan alasan bahwa jika memang mutaradif itu ada dalam sebuah
bahasa, maka akan menghilangkan faedah, karena dengan menggunakan salah
satu kata yang disangka mutaradif itu akan membuat kata lainnya menjadia sia-
sia. Selain itu, beberapa kata yang disangka sebagai mutaradif sesungguhnya di
sana terdapat perbedaan zat atau sifatnya. Seperti kata
(al-insan) dan
(al-quud) dan
( : )
Artinya: Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk
Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan
ucapkanlah salam penghormatan kepadanya. (QS. Al-Ahzab: 56)
Shalawat dari Allah berarti rahmat, dari malaikat berarti istighfar dan
dari orang mukmin berarti doa. Dalam ayat di atas, seluruh makna shalawat itu
terkumpul dalam satu penggunaan dalam kalimat.
Sementara ulama yang menolaknya menjawab bahwa ayat di atas tidak
terdapat terkumpulnya seluruh makna musytarak di dalamnya. Karena konteks
ayat tesebut adalah kewajiban bagi seorang mukmin untuk mengikuti Allah dan
malaikat-Nya dalam ber-shalawat. Dan oleh karena itu harus terjadi persamaan
arti shalawat. Sebab jika dikatakan: sesungguhnya Allah merahmati Nabi dan
malaikat ber-istighfar untuk Nabi. Wahai orang-orang mukmin, berdoalah untuk
Nabi, maka terjadi kerancuan. Dengan demikian bisa diketahui bahwa makna
shalawat di sana adalah sama.
78
Abu al-Hasan Ali bin Muhammad Al-Amidi, Al-Ihkam fii Ushul al-Ahkam, Daar al-Kitab al-
Arabi, Beirut, 1404 H, juz 1 hal. 46-47
79
Beliau adalah Muhammad bin Ath-Thayyib Al-Baqillani Al-Asyari Al-Maliki
80
Beliau adalah Abul Hasan Abdul Jabbar bin Ahmad Al-Hamdani Al-Mutazili Asy-Syafii
81
Op. cit., hal. 59-60
28
Di antara ulama yang menolak tercakupnya seluruh makna lafal yang
musytarak dalam sebuah penggunaan bahasa adalah Abu al-Hasan Al-Bashri
82
dan Al-Karkhi
83
.
Jika di dalam nash ditemukan lafal yang musytarak antara maknanya
secara bahasa (lughawi) dan maknanya secara istilah syariat (syari), maka
yang dimaksud adalah makna syari. Seperti lafal shalat yang secara bahasa
berarti doa dan secara istilah berarti suatu ibadah tertentu. Maka dalam firman
Allah SWT:
( : )
Artinya: Dan dirikanlah shalat. (QS. Al-Baqarah: 43)
Yang dimaksud adalah arti doa secara istilah syari bukan artinya secara
bahasa.
f. Amr dan Nahi
1) Pengertian Amr
Amr secara bahasa berarti perintah, lawan dari nahi. Amr adalah ucapan
yang menuntut adanya perbuatan, dari orang yang memiliki derajat tinggi kepada
orang yang lebih rendah. Jika perintah tersebut bukan berupa ucapan, maka
dinamakan amr secara majas.
84
Al-Amidi
85
, Ar-Razi
86
, Abu Ishaq Asy-Syairazi
87
, As-Samani
88
, Ibn
Ash-Shabbagh
89
, dan kelompok Mutazilah mensyaratkan amr dari orang yang
lebih tinggi atau merasa tinggi derajatnya kepada orang yang lebih rendah
derajatnya.
90
Jika tuntutan perbuatan itu dari orang yang sederajat, maka disebut
82
Beliau adalah Muhammad bin Ali Ath-Thayyib Abu al-Hasan Al-Bashri. Seorang ahli sastra dari
golongan Mutazilah. Wafat di Baghdad pada tahun 436 H.
83
Beliau adalah Ubaidullah bin Al-Husain. Seorang pemimpin Hanafiyah di Irak. Lahir tahun 260 H
dan wafat 340. (Catatan kaki (tahqiq) oleh Syeikh Ahmad Izu Inayah dalam kitab Irsyad al-Fuhul
karya Asy-Syaukani, Daar al-Kitab al-Arabi, 1999, cet. ke1, juz 1, hal. 60)
84
Abu Ishaq Ibrahim Asy-Syairazi, Al-Luma, Daar al-Kutub al-Islamiyah, Jakarta, 2011, cet. ke-1,
hal. 30
85
Saifuddin Abu al-Hasan Ali bin Muhammad Ats-Tsalabi Al-Amidi. Seorang pakar Ushul Fiqh yang
bermazhab Hanbali kemudian beralih menjadi bermazhab Asy-Syafii. Wafat tahun 631 H.
86
Abu Abdillah Muhammad bin Umar At-Taimi Ar-Razi, dijuluki Fakhruddin. Penulis kitab tafsir
Mafaatiih al-Ghaib yang terkenal. Wafat tahun 606 H./1210 M.
87
Abu Ishaq Ibrahim bin Ali Asy-Syairazi Al-Fairuzabadi. Seorang faqih mazhab Asy-Syafii. Penulis
kitab Al-Luma dalam Ushul Fiqh. Wafat tahun 476 H./1083 M.
88
Abdullah bin Muhammad bin As-Sayyid. Termasuk seorang ulama bahasa dan adab. Wafat tahun
521 H.
89
Abdu As-Sayyid bin Muhammad. Seorang faqih mazhab Asy-Syafii. Wafat tahun 477 H.
90
Tajuddin Abdul Wahhab bin Ali As-Subuki, Jam al-Jawami, Daar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut,
2003, cet. ke-2, hal. 40
29
iltimas. Sedangkan jika tuntutannya berasal dari yang lebih rendah kepada yang
lebih tinggi derajatnya, maka disebut sual.
91
Al-Ghazali dan Ibnu As-Subuki
(wafat 771 H.) mengatakan bahwa amr tidak harus berasal dari orang yang lebih
tinggi derajatnya.
Menurut Al-Ghazali, amr adalah sebuah ucapan yang menuntut
kepatuhan orang yang diperintahkan untuk melakukan apa yang diperintahkan.
92
Al-Balkhi (w. 319 H) dan mayoritas golongan Mutazilah
mendefinisikan amr dengan: ucapan
.
93
2) Pengertian Nahi
Nahi secara bahasa berarti larangan.
94
Secara istilah, nahi adalah ucapan
yang menuntut ditinggalkannya suatu perbuatan oleh orang yang lebih rendah.
95
Nahi memiliki shighat yang menunjukkan arti larangn yakni
(jangan kamu lakukan!). Golongan Asyariyah
96
mengatakan bahwa nahi tidak
memilki shighat.
97
3) Hukum-Hukum Yang Berkaitan dengan Amr dan Nahi
a). Kewajiban melaksanakan amr dan keharaman nahi
Mayoritas ulama berpendapat bahwa amr bersifat wajib dan tidak
menunjukkan hukum yang lain kecuali disertai qarinah (indikator yang
mengalihkan dari hukum asal). Hal ini diperkuat dengan beberapa faktor
berikut:
- Allah SWT memerintahkan malaikat untuk bersujud kepada Adam dengan
firman-Nya:
91
Jalaluddin Muhammad bin Ahmad al-Mahalli, Syarh Al-Waraqat, Indonesia, hal. 50-51
92
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, Al-Mustashfa, Daar al-Fikr, tanpa tahun, juz 1,
hal. 411
93
Abu al-Hasan Ali bin Muhammad Al-Amidi, Al-Ihkam fii Ushul al-Ahkam, Daar al-Kitab al-
Arabi, Beirut, 1404 H, juz 2, hal. 154
94
Muhammad bin Ali Asy-Syaukani, Irsyad al-Fuhul, Daar al-Kitab al-Arabi, 1999, cet. ke1, juz 1,
hal. 278
95
Abu Ishaq Ibrahim Asy-Syairazi, Al-Luma, Daar al-Kutub al-Islamiyah, Jakarta, 2011, cet. ke-1,
hal. 45
96
Asyariyah adalah mazhab atau aliran dalam masalah aqidah atau ilmu kalam. Mazhab ini dinisbatkan
kepada pendirinya yaitu Abu al-Hasan Ali bin Ismail Al-Asyari. Wafat tahun 324 H.
97
Op. cit.
30
( : )
Artinya: Sujudlah
kamu kepada Adam! (QS. Al-Baqarah: 34)
Dan Allah mencela Iblis yang tidak mematuhi perintah dan mengusirnya
dari surga. Allah SWT berfirman:
( : )
Artinya: Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di
waktu Aku menyuruhmu?" (QS. Al-Araaf: 12)
- Allah SWT mengecam suatu kaum dan mengancam mereka karena tidak
mematuhi perintah-Nya dalam firman-Nya:
( : - )
Artinya: Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Rukuklah, niscaya
mereka tidak mau rukuk. Kecelakaan yang besarlah pada hari itu bagi
orang-orang yang mendustakan. (QS. Al-Mursalaat: 48-49)
- Allah mengancam dengan siksa kepada orang yang melawan perintah-Nya
dan perintah Rasul-Nya, seperti dalam firman-Nya:
( : )
Artinya: Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan
melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke
dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang
menghinakan. (QS. An-Nisaa: 14)
Ini hanya beberapa ayat saja. Dan tentunya masih banyak ayat yang serupa di
mana perintah wajib disertai dengan janji jika dilaksanakan, dan ancaman
jika ditinggalkan.
98
Selain mununjukkan hukum wajib, amr juga bisa berfungsi untuk menakut-
nakuti. Seperti dalam contoh,
( : )
Artinya: Perbuatlah apa yang kamu kehendaki. (Fusshilat: 40)
98
Ali Hasabullah, Ushul at-Tasyri al-Islami, Daar al-Fikr al-Arabi, Kairo, 1997, cet. ke-7, hal. 187
31
Atau untuk melemahkan, seperti firman Allah SWT:
( : )
Artinya: Katakanlah: "(Kalau demikian), maka datangkanlah sepuluh surat-
surat yang dibuat-buat yang menyamainya. (QS. Hud: 13)
Atau membolehkan, seperti dalam ayat:
( : )
Artinya: Dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah
berburu. (QS. Al-Maaidah: 2)
99
Bahkan amr dengan shighat
memiliki 20 makna.
100
Sedangkan nahi,
menurut Al-Ghazali, memiliki 7 makna.
101
Nahi dengan sendirinya menuntut
akan haramnya melakukan perbuatan yang dilarang. Seperti dalam ayat:
( : )
Artinya: Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum
mereka beriman. (QS. Al-Baqarah: 221)
Ayat tersebut berfaedah haramnya pernikahan laki-laki muslim dengan
perempuan musyrik.
Pendapat lainnya, seperti dari golongan Asyariyah, mengatakan bahwa nahi
tidak menunjukkan haram atau lainnya kecuali dengan dalil.
102
b). Amr dilakukan dengan berulang-ulang
Pada dasarnya, redaksi kata perintah (shighat amr) itu bersifat mutlak. Dalam
arti shighat amr digunakan dengan tanpa memberikan petunjuk bahwa
perintah itu cukup dilaksanakan satu kali atau harus dilaksanakan berulang
kali. Pendapat ini merupakan pilihan Hanafiyah, Al-Amidi
103
, Al-Juwaini
104
,
dan lain-lain.
105
99
Abu Ishaq Ibrahim Asy-Syairazi, Al-Luma, Daar al-Kutub al-Islamiyah, Jakarta, 2011, cet. ke-1,
hal. 30
100
Abdul Aliy Muhammad bin Nizhamuddin Al-Anshari, Fawatih ar-Rahmut, Daar al-Fikr, tanpa
tahun, juz 1, hal. 372
101
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, Al-Mustashfa, Daar al-Fikr, tanpa tahun, juz
1, hal. 418
102
Abu Ishaq Ibrahim Asy-Syairazi, Al-Luma, Daar al-Kutub al-Islamiyah, Jakarta, 2011, cet. ke-1,
hal. 45
103
Lihat catatan kaki nomor 84
32
Abu Ishaq Al-Isfirayini
106
mengatakan bahwa mayoritas Syafiiyyah
berpendapat bahwa shighat amr menuntut adanya satu kali perbuatan saja.
Sedangkan Asy-Syairazi
107
berpendapat bahwa amr menuntut adanya
perbuatan yang berulang kali sepanjang usia jika memungkinkan. Yang
dimaksud dengan jika memungkinkan di sini adalah di luar waktu tidur,
buang hajat atau kondisi mendesak manusiawi lainnya.
Sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa amr menuntut adanya perbuatan
yang berulang-ulang jika digantungkan dengan syarat. Seperti dalam firman
Allah SWT:
( : )
Artinya: Dan jika kamu junub maka mandilah. (QS. Al-Maaidah : 6)
Atau dihubungkan dengan sifat yang tetap. Seperti dalam firman Allah SWT:
( : )
Artinya: Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap
malam. (QS. Al-Israa: 78)
Namun mayoritas ulama menganggap bahwa kewajiban yang berulang dalam
ayat-ayat di atas muncul karena adanya hubungan antara hukum dengan
sebab yang berulang, bukan karena digantungkan pada syarat atau sifat. Jika
sebabnya berulang, maka hukum juga berulang. Dalam hal ini jika terjadi
junub, maka harus mandi. Jika junub lagi, maka mandi lagi, dan seterusnya.
Oleh karena itu, amr yang semata-mata digantungkan dengan syarat atau
sifat, tidak menjadikan kewajiban yang berulang kali. Seperti ucapan seorang
majikan kepada pelayannya: Jika engkau melewati pasar, belilah daging!,
atau ucapan seorang suami kepada isterinya: Jika engkau masuk ke rumah,
talaklah dirimu sendiri!. Si pelayan tidak harus selalu membeli daging setiap
104
Abdul Malik bin Abdillah Al-Juwaini Asy-Syafii. Seorang ahli fiqih yang dikenal dengan nama
Imam Al-Haramain. Wafat tahun 478 Hijriyah di Naisabur
105
Muhammad bin Ali Asy-Syaukani, Irsyad al-Fuhul, Daar al-Kitab al-Arabi, 1999, cet. ke1, juz 1,
hal. 255
106
Abu Ishaq Al-Isfirayini Ibrahim bin Muhammad bin Ibrahim. Seorang ahli ushul fiqh bermazhab
Syafii. dan salah seorang mujtahid di masanya. Wafat tahun 418 H
107
Abu Ishaq Ibrahim bin Ali bin Yusuf Asy-Syairazi. Seorang ahli fiqih bermazhab Syafii. Beliau
menulis banyak karya, di antaranya adalah Al-Muhadzzab dalam bidang fiqih dan Al-Luma dalam
bidang ushul fiqh. Wafat tahun 476 Hijriyah di Baghdad
33
ia melewati pasar, sebagaimana sang isteri tidak bisa mentalak dirinya sendiri
setiap ia memasuki rumah.
108
c). Amr dilakukan dengan segera
Mereka yang berpendapat bahwa amr harus dilaksanakan secara berulang-
ulang juga berpendapat bahwa amr harus dilaksanakan dengan segera.
Karena itu mereka mewajibkan untuk menghabiskan waktu dengan bergegas
melaksanakannya setelah amr itu diterima.
Ulama lainnya mengatakan bahwa adakalanya amr itu dibatasi oleh waktu
yang panjang atau yang sempit. Untuk amr yang dibatasi oleh waktu yang
panjang, maka boleh menunda pelaksanaannya hingga menjelang waktu itu
berakhir.
Dan adakalanya amr tidak dibatasi oleh waktu tertentu seperti perintah
membayar kafarat (tebusan) dalam hadis Nabi SAW kepada seorang laki-laki
dari dusun yang puasanya batal sebab berhubungan badan:
( )
Puasalah dua bulan berturut-turut. (HR. Ibn Majah)
Atau perintah meng-qadha puasa dalam firman Allah SWT:
( : )
Artinya: maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang
ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. (QS. Al-Baqarah: 185)
Maka amr yang seperti ini boleh ditunda pelaksanaannya. Dan inilah
pendapat yang shahih dari golongan Hanafiyah, Asy-Syafii dan murid-
muridnya. Ar-Razi dan Al-Amidi dari golongan Syafiiyah memilih pendapat
ini.
Sedangkan Malikiyah, Hanabilah dan Abu Al-Hasan Al-Karkhi
109
dari
golongan Hanafiyah mewajibkannya segera. Sehingga menundanya adalah
berdosa.
110
d). Amr atas sesuatu adalah nahi atas lawannya
Mayoritas ulama ushul dari golongan Syafiiyah dan Hanafiyah serta ulama
ahli hadits berpendapat bahwa sesuatu jika diperintahkan maka perintah itu
108
Ali Hasabullah, Ushul at-Tasyri al-Islami, Daar al-Fikr al-Arabi, Kairo, 1997, cet. ke-7, hal. 189
109
Lihat catatan kaki nomor 82
110
Abdul Aliy Muhammad bin Nizhamuddin Al-Anshari, Fawatih ar-Rahmut, Daar al-Fikr, tanpa
tahun, juz 1, hal. 387
34
adalah larangan (nahi) terhadap hal sebaliknya atau lawannya. Baik
kebalikannya itu satu, seperti perintah untuk beriman berarti larangan dari
kekafiran, dan perintah untuk bergerak berarti larangan dari diam. Ataupun
sesuatu tersebut memiliki kebalikan yang banyak. Seperti perintah untuk
berdiri berarti larangan dari duduk, tiduran, sujud dan lain sebagainya. Jika
perintah tersebut bersifat wajib, maka larangannya bersifat haram. Dan jika
perintah tersebut bersifat sunnah, maka larangannya menjadi makruh.
Pendapat lainnya dikatakan bahwa perintah atas sesuatu bukan berarti
larangan terhadap kebalikannya. Pendapat ini dipilih oleh Al-Juwaini dan Al-
Ghazali.
Seperti halnya amr, larangan terhadap suatu perbuatan adalah perintah untuk
melakukan hal sebaliknya.
Golongan Mutazilah sepakat bahwa perintah atas sesuatu bukan larangan
dari lawannya. Begitu pula larangan dari sesuatu bukanlah perintah atas
lawannya.
Ar-Razi mengemukakan bahwa amr atas sesuatu menuntut akan kemakruhan
lawannya meskipun amr-nya bersifat wajib, dan nahi atas sesuatu menuntut
kesunnahan lawannya meskipun nahi-nya bersifat haram.
111
C. KESIMPULAN
Al-Quran sebagai sumber hukum Islam merupakan dalil pertama dalam
pengambilan hukum (istidlal). Para ulama membahas dan mengkaji dalil-dalil hukum
dalam sebuah ilmu yang dinamakan Ushul Fiqh. Pembahasan Ilmu Ushul Fiqh tidak hanya
Al-Quran sebagai dalil hukum, namum mencakup juga dalil-dalil lainnya seperti As-
Sunnah, ijma dan qiyas.
Penulis membatasi permasalahannya hanya pada petunjuk kata atau lafal dalam
Al-Quran terhadap hukum. Petunjuk kata atau lafal tersebut kemudian diistilahkan dengan
manthuq dan mafhum, musytarak dan mutaradif, haqiqat dan majaz, dan lain sebagainya.
Dan masing-masing dari istilah-istilah tersebut bisa memiliki dampak terhadap hukum
yang dihasilkan. Apa yang penulis uraiakan merupakan sebagian kecil dari luasnya
cakupan kajian Ilmu Ushul Fiqh dan sempitnya pengetahun penulis. Namun diharapkan
bisa memberikan manfaat terhadap siapapun yang membacanya.
111
Muhammad bin Ali Asy-Syaukani, Irsyad al-Fuhul, Daar al-Kitab al-Arabi, 1999, cet. ke1, juz 1,
hal. 263-264
35
DAFTAR PUSTAKA
- Al-Quran dan Terjemahnya; Departemen Agama RI; 1990
- Al-Amidi, Abu al-Hasan Ali bin Muhammad; Al-Ihkam fii Ushul al-Ahkam; Daar al-
Kitab al-Arabi; Beirut; 1404 H
- Al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad; Al-Mustashfa; Daar al-Fikr;
tanpa tahun
- Al-Qattan, Manna Khalil; Mabahits fii Ulum al-Quran; Maktabah Wahbah; Kairo;
tanpa tahun; Cet. ke-7
- An-Najjar, Taqiyuddin Abu al-Baqa Ibn; Syarh Al-Kawkab Al-Munir; Maktabah al-
Abikan; 1997; cetakan ke-2
- As-Shalih, Subhi, Dr.; Mabahits fii Ulum al-Quran; Daar al-Ilm li al-Malayin;
Beirut; 1988; cet. ke-17
- As-Subuki, Tajuddin Abdul Wahhab bin Ali; Jam al-Jawami; Daar al-Kutub al-
Ilmiyah; Beirut; 2003; cet. ke-2
- As-Suyuthi, Abdurrahman bin Abi Bakr Jalaluddin; Al-Itqan fii Ulum al-Quran; Ar-
Risalah; Beirut; 2008; cet. ke-1
- Asy-Syairazi, Abu Ishaq Ibrahim; Al-Luma; Dar al-Kutub al-Islamiyah; Jakarta;
2011; cet. ke-1
- Asy-Syaukani, Muhammad bin Ali; Irsyad al-Fuhul; Daar al-Fikr; Beirut; 1992
- Az-Zarqani, Abdul Azhim; Manahil al-Irfan fii Ulum al-Quran; Daar al-Fikr;
Beirut
36
- Hasabullah, Ali; Ushul al-Tasyri al-Islami; Daar al-Fikr Al-Arabi; Kairo; 1997; Cet.
ke-7
- http://pustaka.abatasa.com/pustaka/detail/ushul-fiqih/allsub/120/sumber-hukum.html
(diakses Kamis, 1 Maret 2012 pukul 20.14 WIB)
- http://www.kotasantri.com/mimbar.php?aksi=Cetak&sid=149
- http://id.wikipedia.org/wiki/Ushul_fiqh
- Khallaf, Abdul Wahhab; Ilmu Ushul Al-Fiqh; Daar Al-Rasyid; 2008
- Muhammad, Abdul Aliy bin Nizhamuddin Al-Anshari, Fawatih ar-Rahmut, Daar al-
Fikr, tanpa tahun
- Shihab, M. Quraish; Lentera Al-Quran; Mizan; Bandung; 2008; Cet. 1
- Shihab, M. Quraish; Mukjizat Al-Quran; Mizan Pustaka; Bandung; 2007; Cet. ke-2
- Syafei, Rachmat, Prof, Dr, MA; Ilmu Ushul Fiqh; CV.Pustaka Setia; Bandung; 1999
- Zahrah, Muhammad Abu; Ushul Al-Fiqh; Daar al-Fikr al-Arabi, Kairo, tanpa tahun