You are on page 1of 9

ANALISA PERUBAHAN GARIS PANTAI TIKU, KABUPATEN AGAM SUMATERA

BARAT
Hadi Sofyan
1
, Semeidi Husrin
1
dan Nasir Sudirman

1

1
J l. Raya Padang-Painan Km.16, Teluk Bungus
Peneliti Pada Loka Penelitian Sumber Daya dan Kerentanan Pesisir, Balitbang KP, KKP
Email: hadikl99@yahoo.com




Abstrak
Pantai Tiku yang terletak di Kabupaten Agam merupakan pantai dengan karakteristik yang sangat
menarik karena berhadapan langsung dengan Samudera Indonesia. Fenomena menarik ini dimana
adanya erosi dan akresi di Pantai Tiku. Bahkan akresi yang terjadi di salah satu segmen menunjukkan
kemajuan yang cukup signifikan yang mengakibatkan pendangkalan atau sedimentasi di segmen
tersebut. Paper ini akan mensimulasikan perubahan garis pantai yang terjadi di Pantai Tiku dengan
menggunakan software one line model yaitu GENESIS. Garis pantai yang dimodelkan sepanjang 40
kmini dibagi menjadi beberapa segmen sehingga terlihat adanya akresi atau erosi yang terjadi di
segmen-segmen tersebut. Data-data yang digunakan berupa data angin harian selama 5 tahun yang
akan menghasilkan perioda gelombang dan tinggi gelombang di Pantai Tiku. Dari pemodelan
didapatkan hasil yang menunjukkan adanya penggabungan garis pantai dan Pulau Tapi yang
diakibatkan adanya transpor sedimen yang cukup banyak di segmen ini.
Kata Kunci : GENESIS, one line model, Pantai Tiku, tranpor sedimen, akresi, erosi


SHORELINE CHANGES ANALYSIS IN TIKU, AGAM WEST SUMATR

A
ABSTRACT
Tiku beach is located in Agam is a beach with a very attractive characteristics, directly in front of
Indonesian Ocean. This interesting phenomenon are the erosion and accretion in Tiku Beach.
Accretion that occurred in one of the segments showed significant progress resulting sedimentation.
This paper will simulate shoreline changes occurring in Tiku Beach using one-line model software,
GENESIS. Shoreline which is modelled around 40 km, divided into several segments, that it looks the
accretion or erosion that occurs in those segments. Daily wind data for 5 years is used which is result
wave period and wave height at Tiku Beach. Obtained from the modelling results indicate the
incorporation of coastline and Tapi Island due to some sedimentation transport in this segment.
Keywords: GENESIS, one-line models, Tiku Beach, sediment tranport, accretion, erosion






LATAR BELAKANG

Wilayah Sumatera Barat menurut hasil penelitian
pada tahun 2011 (Ramdhan et al., 2011)
memperlihatkan bahwa terdapat variasi yang cukup
tinggi dalam hal tingkat kerentanan pesisir terhadap
bencana erosi di antara daerah-daerah di sepanjang
pesisir Sumatera Barat (Gambar 1). Daerah
sepanjang pesisir Sumatera Barat mengalami erosi
dan akresi secara bersamaan. Penyebab erosi pantai
diyakini penduduk diakibatkan oleh satu faktor
yaitu tingginya gelombang yang menghantam
pantai. Namun, di tempat lain yang tidak jauh dari
pantai yang tererosi, akresi pantai justru terjadi. Hal
ini tentu saja menimbulkan hipotesa bahwa
sebenarnya pasir yang terosi berpindah ke pantai
yang pasirnya mengalami akresi. Hal ini didukung
oleh fakta bahwa di daerah ini, intervensi manusia
relatif kecil kecuali pesisir Kota Padang dan
Pariaman dimana infrastruktur berupa groin dan
dinding laut sangat umumditemukan.

Daerah yang mengalami erosi meliputi daerah-
daerah sebagai berikut: Muara Sasak ke selatan,
sebelah Utara Muara Air Bangis, Sekitar Muara
Masang, Ujung Labung dan sebelah Utara Kota
Padang. Erosi terbesar dialami oleh Desa Sasak dan
Ujung Labung di mana desa tersebut sudah
bergeser hingga 1 km sejak tahun 1980an (sumber:
hasil wawancara)


.
Gambar. 1: Wilayah yang mengalami erosi/akresi
di Sumatera Barat

Daerah akresi sebagian besar terjadi di daerah
Pariaman, Agam bagian Selatan (Muara mati) dan
Pasaman Barat (Muara Sikabau hingga Maligi). Di
daerah-daerah ini, tumpukan pasir hingga lebih dari
60 mjelas terlihat dan kondisi ini tidak banyak
berubah meskipun terjadi di musim badai. Daerah
daerah yang stabil meliputi daerah daerah yang
berada di dalam teluk di mana tebing-tebing
berbatu membatasi teluk ini. Daerah-daerah seperti
ini dapat dijumpai di perairan Teluk Air Bangis dan
sekitarnya.

Selain aspek fisik seperti gelombang, angin, curah
hujan dan pasang surut, aspek lainnya sangat
berperan besar dalam menentukan kerentanan
pesisir adalah aktifitas manusia. Contoh dari
tingginya peran manusia dalammenentukan tingkat
kerentanan pesisir adalah di Tanjung Mutiara, Tiku,
Kabupaten Agam.

Daerah Tanjung Mutiara pada awalnya merupakan
sebuah tempat di mana nelayan dapat berlabuh
dengan tenang. Namun sejak pembangunan
dermaga pada tahun 2008, kenyamanan tersebut
sudah tidak dapat lagi dirasakan karena kolam
pelabuhan sudah beralih fungsi menjadi tumpukan
pasir. Hal ini tentu saja sangat mengganggu
kehidupan dan perekonomian setempat karena
akresi pasir terjadi pada tempat yang tidak
semestinya.


Gambar. 2: Wilayah Tanjung Mutiara, Tiku yang
mengalami akresi setelah pembangunan dermaga


TUJUAN

Tujuan penelitian ini untuk mengidentifikasi
fenomena akresi dan erosi yang terjadi di Pantai
Tiku, Agam Sumatera Barat. Lalu dilakukan
analisa perubahan garis pantai dan pada akhirnya
mudah-mudahan penelitian ini bisa dimanfaatkan
sebagai bahan rekomendasi untuk mengurangi erosi
dan akresi di Pantai Tiku.
METODOLOGI

Secara umummetodologi penelitian diperlihatkan
dalam Gambar 3.




















Gambar. 3: Metodologi penelitian secara umum

- Metoda pengolahan data angin (hindcasting)
Angin yang bertiup dapat menimbulkan gelombang
laut karena adanya gangguan berupa gaya gesek
oleh angin pada permukaan air laut. Oleh karena
itu, data angin dapat digunakan untuk
memperkirakan tinggi dan arah gelombang di
lokasi kajian. Data angin dalam pekerjaan ini
diperlukan sebagai masukan dalam peramalan
gelombang (proses hindcasting). Data angin yang
dimaksud adalah data angin (jam- jaman) di sekitar
lokasi penelitian selama minimal 5 tahun ke
belakang. Contohnya untuk data angin Kabupaten
Agam diperoleh dari Stasiun Tabing (05229.96
LS, 100216.77 BT) milik Badan Meteorologi
dan Geofisika (sekarang BMKG, Badan
Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika) dari
tahun 2007 hingga 2011. Data angin diolah secara
statistik dan disajikan secara visual dalam bentuk
mawar angin atau windrose untuk melihat
distribusi kekuatan angin dan arahnya. Contoh dari
mawar angin untuk BMKG Tabing dapat dilihat
pada Gambar 4. Selanjutnya peramalan gelombang
dilakukan mengikuti metoda yang diberikan dalam
"Shore Protection Manual" (Coastal Engineering
Research Center, US Army Corps of Engineer)
edisi 1984 yang praktis dan merupakan acuan
standar bagi praktisi pekerjaan-pekerjaan
pengembangan, perlindungan, dan pelestarian
pantai.

Gambar. 4: Mawar angin BMKG Tabing

Untuk melakukan peramalan gelombang di suatu
perairan diperlukan masukan berupa data angin dan
peta batimetri. Interaksi antara angin dan
permukaan air menyebabkan timbulnya gelombang
(istilah lebih tepatnya adalah gelombang akibat
angin atau wind waves, untuk membedakan jenis
gelombang yang ditimbulkan oleh angin ini dengan
misalnya, gelombang akibat kapal, dan
sebagainya). Selain itu, peta perairan lokasi dan
sekitarnya juga diperlukan untuk menentukan
besarnya fetch atau kawasan pembentukan
gelombang.

- Perhitungan Fetch Efektif
Fetch adalah daerah pembentukan gelombang yang
diasumsikan memiliki kecepatan dan arah angin
yang relatif konstan. Adanya kenyataan bahwa
angin bertiup dalam arah yang bervariasi atau
sembarang, maka panjang fetch diukur dari titik
pengamatan dengan interval 5
o
. Panjang fetch
dihitung untuk 8 arah mata angin dan ditentukan
berdasarkan rumus berikut:
(1)
dimana:
Lf
i

: panjang fetch ke-i
i
: sudut pengukuran fetch ke-i
i : jumlah pengukuran fetch

Jumlah pengukuran i untuk tiap arah mata angin
tersebut meliputi pengukuran-pengukuran dalam
wilayah pengaruh fetch (22.5
0
searah jarum jam
dan 22.5
0
berlawanan arah jarum jam) seperti pada
Gambar 5. Contoh Fetch terukur untuk daerah studi
Mulai
- Survey
- Studi
Pustaka


Literat

Perumusan
Masalah
Analisis

- Data Angin
jam-jaman
- Data
Gelombang


Analisis Perubahan
Garis Pantai


Literatur
Kesimpulan
sekitar Tiku, Kabupaten Agam dapat dilihat pada
Gambar 6.


Gambar 5: Daerah pengaruh fetch dan kedalaman
untuk arah utara



Gambar 6: Daerah pembentukan gelombang (fetch)
untuk perairan Tiku

- Peramalan gelombang
Pembentukan gelombang di laut dalam dianalisa
dengan formula-formula empiris yang diturunkan
dari model parametrik berdasarkan spektrum
gelombang JONSWAP (Shore Protection Manual,
1984). Prosedur peramalan tersebut berlaku baik
untuk kondisi fetch terbatas (fetch limited
condition) maupun kondisi durasi terbatas
(duration limited condition) sebagai berikut:
(2)

dalam persamaan tersebut, adalah faktor tekanan
angin, dimana U
A
dan U
10

dalam m/detik.
Hubungan antara Tp dan Ts diberikan sebagai
Ts =0.95 Tp.


Persamaan tersebut di atas hanya berlaku hingga
kondisi gelombang telah terbentuk penuh (fully
developed sea condition), sehingga tinggi dan
perioda gelombang yang dihitung harus dibatasi
dengan persamaan empiris berikut
(3)
dimana:
H
m0
Tp =perioda puncak gelombang
=tinggi gelombang signifikan menurut energi
spektral

Hasil perhitungan gelombang disajikan dalam
bentuk tabel dan diagram waverose. Waverose
menyatakan prosentase kejadian gelombang
berdasarkan arah dan tingginya. Dari pengamatan
waverose bulanan (Lihat lampiran) maka dapat
disimpulkan distribusi gelombang perbulan yang
dominan didominasi arah tertentu. Untuk studi di
perairan Tiku, Kabupaten Agam, arah gelombang
dominan sesuai dengan arah angin dominan yaitu
dari arah Barat (Gambar 7).





Gambar. 7: Mawar gelombang untuk Tiku,
Kabupaten Agam

Selanjutnya, gelombang rencana untuk desain
dermaga ditetapkan dengan cara sebagai berikut:
a. Dari hasil pasca-kiraan gelombang, diambil
tinggi gelombang yang terbesar dengan periodanya
untuk tiap arah yang mendatangkan gelombang,
tiap tahun.
b. Dari tabel tersebut untuk tiap tahun diambil
gelombang terbesar, tanpa memperhatikan arah
gelombang.
c. Dilakukan analisa harga ekstrim berdasarkan
data gelombang terbesar tahunan yang telah
tersusun dari langkah sebelumnya. Analisa
frekuensi adalah kejadian yang diharapkan terjadi,
rata-rata sekali setiap N tahun atau dengan
perkataan lain tahun berulangnya N tahun.
d. Dengan cara analisa harga ekstrim yang
didasarkan pada tinggi gelombang ini, informasi
mengenai perioda gelombang belum tersedia.
Perioda gelombang ditentukan dari hubungan
antara gelombang dan perioda gelombang seperti
pada Gambar 8


Gambar 8: Scatter diagram hubungan tinggi dan
perioda gelombang (H Vs. T) untuk Tiku


Metoda Analisis Perubahan Garis Pantai
Fenomena perubahan garis pantai dalam jangka
waktu yang panjang dapat diperkirakan dengan
pemodelan numerik, baik itu model satu garis (one
line model) atau pun multi garis. Salah satu model
yang banyak digunakan untuk pemodelan
perubahan garis pantai adalah GENESIS
(GENEralize model for SI

mulating Shorline
change). Genesis adalah model satu garis (one line
model) yang sederhana namun cukup baik untuk
mensimulasikan perubahan garis pantai pada
perairan terbuka yang disebabkan oleh dinamika
transport sedimen sejajar pantai. Data yang
dibutuhkan GENESIS adalah :
Peta batimetri lokasi dalam bentuk diskritisasi
bentangan garis pantai untuk menentukan grid
numerik. Posisi garis pantai dinyatakan sebagai
jarak dalam arah laut lepas (offshore) pada setiap
titik titik grid yang diukur dari baseline.
Data gelombang hasil peramalan yang diperoleh
dari analisis data angin.
Data posisi struktur yang ada atau akan
direncanakan seperti seawall, groin, breakwater
dan bila ada beach fill (beach nourishment)
ataupun pengerukan.
Data sedimen yaitu ukuran butiran (D
50

) yang
diperoleh dari hasil analisis lab.
Secara garis besar, masukan yang diperhitungkan
dalam simulasi mencakup dua hal, yaitu masukan
yang tetap dan masukan yang dapat diubah
nilainya. Masukan yang tetap adalah masukan yang
selama simulasi tidak mengalami perubahan dan
selalu sama dari waktu kewaktu sedangkan
masukan yang dapat diubah nilainya adalah
parameter-parameter yang mempunyai nilai
interval tertentu. Adapun masukan-masukan untuk
GENESIS adalah sbb:

- Baseline
Baseline atau sumbu koordinat yang dibuat dan
diusahakan sejajar dengan garis pantai, dengan
harapan agar dapat meminimalkan kesulitan dalam
pemodelan struktur nantinya.

- Garis pantai dan ukuran grid
Garis pantai yang dipakai adalah garis yang
mengacu pada HWS, yang merupakan elevasi
tertinggi muka air laut setempat.



Gambar. 9: Ilustrasi masukan GENESIS

Ukuran grid dipilih berdasarkan panjang garis
pantai yang disimulasikan. Untuk meminimalkan
kesalahan yang terjadi akibat keterbatasan Program
GENESIS maka penambahan garis pantai ke kanan
dan kiri domain pemodelan dapat dilakukan.

- Bangunan pantai yang ada
Data bangunan pantai menjadi masukan yang tetap
sepanjang simulasi dengan asumsi bahwa tidak
terjadi penambahan struktur bangunan baru dan
bangunan pantai yang ada tidak mengalami
keruntuhan kecuali dalam hal permeabilitasnya.
Bangunan pantai dapat berupa sebuah breakwater,
sebuah jetty, timbunan, tembok laut, dsb.

- Orientasi sudut datang gelombang
Sudut datang gelombang dinyatakan sebagai arah
gelombang datang yang berdasarkan hasil
hindcasting pada proses sebelumnya. Dalam proses
kalibrasi, orientasi sudut datang gelombang dapat
diputar kearah positif yaitu berlawanan dengan arah
jarum jam maupun kearah negatif yaitu searah
jarum jam, untuk mendapatkan hasil yang
diinginkan.

- Perbandingan tinggi gelombang
Parameter tinggi gelombang dapat diubah-ubah
untuk mendapatkan hasil yang paling mendekati
dengan kondisi lapangan. Namun karena tidak
disediakannya data untuk kalibrasi, perbandingan
tinggi gelombang bernilai 1, yang berarti sesuai
dengan hasil proses hindcasting.

- Nilai k1 dan k2
Nilai k
1
dan k
2
adalah parameter yang memang
menjadi parameter kalibrasi, karena nilai k
1
dan k
2

akan berbeda-beda untuk setiap kasus dan lokasi
yang berbada pula. Namun demikian, nilai k
1

direkomendasikan kurang dari 0.58 (penelitian
Kraus et al., 1982). Sedangkan parameter k
2

memiliki harga dalam rentang 0.5 sampai 1.5 kali
k
1

.


- Ukuran butiran
Ukuran butiran pasir pada lokasi simulasi dapat
diketahui dari survei langsung di lapangan, yaitu
hasil dari pengukuran laboratorium (grain size
analisis). Apabila data ini tidak tersedia
pendekatan ukuran butiran yang ada dapat didekati
sesuai anjuran dari Gravens et al. (1991) dengan
menggunakan hubungan empirik antara batimetri
dan ukuran butiran pasir.

- Depth of closure
Depth of closure (Dc) adalah kedalaman perairan
dimana tidak dimungkinkannya lagi terjadi
transport sedimen. Untuk mendapatkan hasil yang
akurat penentuan nilai parameter ini memerlukan
penelitian lebih lanjut. Namun menurut hasil
penelitian, umumnya depth of closure berkisar
antara 6 sampai 8 meter untuk perairan terbuka di
Atlantik dan 8 sampai 12 meter di pantai Pasifik.

- Tinggi berm
Tinggi berm adalah ketinggian dimana masih
memungkinkan terjadinya transport sedimen.
Tinggi berm biasanya diwakili oleh tunggang
pasang yang terjadi di lokasi.


Hasil dan Analisis

Model evolusi pantai yang digunakan dalam
penelitian ini adalah one line model dari GENESIS.
Kajian dilakukan terhadap model perubahan satu-
garis yang dikembangkan Gravens, Kraus, dan
Hanson (1989). Model ini diberi nama GENESIS
(Generalized model for Simulating Shoreline
Change). Model perubahan garis pantai yang
dipakai pada programGENESIS ini tergolong ke
dalam evolusi jangka panjang (Long Term
Evolution), yang terjadi dalam orde tahunan atau
puluhan tahun.

Asumsi dasar pada one line model adalah:
Transport sedimen terjadi di surf zone; terdapat
batasan tempat berlangsungnya transport sedimen;
longshore transport terjadi akibat aksi gelombang
pecah; bentuk profil pantai adalah konstan; detail
struktur terinci di seputar pantai dapat diabaikan;
dan evolusi garis pantai menggunakan
kecenderungan jangka panjang.

Persamaan pengatur untuk model perubahan garis
pantai yang telah disederhanakan adalah

( )
1
0
B C
y Q
q
t D D x

= =

+

(6)

Dimana
D
B
D
=elevasi berm
C
=closure depth
y =perubahan garis pantai arah tegak lurus pantai
Q =debit longshore sediment transport
q =debit sedimen arah offshore

Persamaan empirik yang digunakan untuk
menghitung debit longshore sediment transport di
model GENESIS adalah
(7)

Dimana:
H =tinggi gelombang (m)
Cg = kecepatan grup gelombang dari teori
gelombang linear (m/s)
b =sufiks b menandakan kondisi gelombang pecah

bs

=sudut datang gelombang dari garis acuan

Gambar 10: Daerah pemodelan untuk GENESIS



Gambar 11: Breakwater dan dermaga yang
tertimbun pasir
5



Gambar 12: Tetrapod ini semestinya menahan aksi
gelombang, kini tertimbun pasir

Pelabuhan Tiku ini sudah berdiri sejak zaman
Kolonial Belanda. Pulau Tapi yang merupakan
sebuah pulau kecil tepat di depat Tanjung Mutiara
saat ini kondisinya sudah tersambung oleh sebuah
tombolo. Di sebelah utara dermaga Tiku hingga
Muara Panas, jejak erosi yang cukup signifikan
terlihat jelas seperti bekas Bungker Jepang yang
sudah ditelan gelombang sejauh 100 mdari bibir
pantai saat ini. Di sebelah selatan dermaga Tiku,
keadaan sebaliknya terjadi di mana proses akresi
terlihat jelas seperti lokasi bekas Bunker Jepang
yang sudah jauh berada di daratan (>100 m).
Tingginya proses akresi dan erosi di sekitar
dermaga Tiku merupakan dasar yang sangat
penting untuk memahami fenomena fisik sekitar
dermaga Tiku.



Gambar 13: Bunker Jepang di Selatan Dermaga
menandakan tingginya sedimentasi di daerah ini



Gambar 14: Bunker Jepang di Utara dermaga
menandakan tingginya erosi di bagian ini

Analisis GIS berdasarkan peta-peta Peta topografi
US Army tahun 1955 skala 1:50.000, Peta
administrasi digital Kabupaten Agamberdasarkan
peta rupa bumi BAKOSURTANAL 1976 dan Citra
Landsat ETM+path/row 127060 tahun 2003 yang
dilakukan oleh PT Anirindo Mitra, (2007)
memperlihatkan bahwa Abrasi pantai di Utara
dermaga telah menghilangkan daratan seluas 1143
Ha, sementara di bagian selatan dermaga akresi
pantai hanya menambah 220 Ha.

Karakteristik gelombang di Tiku
Dari morfologi pantainya, jelas terlihat bahwa
daerah Tiku dan sekitarnya didominasi oleh
transpor sedimen sejajar pantai (longshore
transport). Namun, hal ini masih perlu dibuktikan
dengan analisis karakteristik gelombang sebagai
salah satu penggerak terjadinya transport sediment.
Untuk memahami perilaku gelombang di suatu
daerah, data batimetri dan data gelombang yang
dapat diprediksi dari data angin mutlak diperlukan.
Data batimetri didapat dari Dinas Kelautan dan
Perikanan Kabupaten Agam seperti terlihat pada
Gambar 15. Sementara itu, untuk peramalan
gelombang data angin yang dikumpulkan dari
stasiun BMKG Tabing dari tahun 2007 2011
menjadi rujukkan untuk proses hindcasting
gelombang.



Gambar 15: Batimetri Tiku, Tanjung Mutiara,
Kabupaten Agam

Selanjutnya dengan menggunakan data periode dan
tinggi gelombang, input ini dimasukkan ke dalam
program GENESIS dan didapatkan hasil seperti
terlihat pada Gambar 16.




Gambar 16: Perbandingan Perubahan Garis Pantai
selama 30 tahun



Terlihat dengan jelas perubahan garis pantai yang
cukup signifikan pada Gambar 16. Lokasi yang
paling banyak mengalami kemajuan garis pantai
berada pada grid 19 dengan kemajuan sebesar 97
meter. Grid 19 ini tepatnya lokasi bergabungnya
daratan dengan Pulau Tapi. Dari simulasi ini
memang terdapat perbedaan dengan kenyataan
sebenarnya dimana kondisi nyata daratan yang
tergabung ke Pulau Tapi mencapai lebih dari 100
meter. Sementara di bagian lain terjadi kemunduran
garis pantai di beberapa titik. Dari daerah
pemodelan selama 30 tahun sepanjang 4 km,
didapatkan data transpor sedimen sebanyak
3.16E+04 m
3

.

Kesimpulan

Dari diskusi di atas, beberapa hal penting terkait
karakteristik kerentanan fisik di Tiku, Kabupaten
Agam dapat disimpulkan sebagai berikut:

Erosi dan akresi terjadi di lokasi yang dipisahkan
oleh Pulau Tapi di mana dermaga Tiku sedang
dibangun. Hambatan dalam proses pembangunan
dermaga Tiku karena tingginya sedimantasi di
lokasi pelabuhan diduga karena konstruksi penahan
gelombang yang menghambat laju tranport
sediment sejajar pantai.
Tersambungnya Pulau Tapi menjadi tombolo
juga cukup menarik untuk dikaji. Dari hasil
pemodelan GENESIS selama 30 tahun didapatkan
hasil yang mendekati dengan kejadian sebenarnya
dimana terjadinya kemajuan garis pantai mendekat
ke Pulau Tapi sekitar 100 meter.
Pemahaman akan karateristik hidrodinamika di
Tiku akan sangat bermanfaat bagi para perencana
sebagai masukkan dalam proses evaluasi untuk
pembangunan dermaga ini.


Saran
Terdapat banyak hal yang dapat dilakukan di masa
yang akan datang untuk kesempurnaan penelitian di
Tiku, Kabupaten Agam. Beberapa di antaranya
adalah sbb:

Data-data untuk proses validasi model masih
perlu untuk diperbanyak. Hal ini terkait dengan
tingkat variasi lokasi penelitian yang ternyata lebih
dinamis.
Pemodelan hidrodinamika perlu dilakukan untuk
melihat pengaruh arus pasang surut terhadap laju
sedimentasi
Kajian geodinamika pada daerah daerah yang
mengalami erosi terus-menerus (sebelah Utara
Tiku) dan daerah yang mengalami akresi terus
menerus (sebelah Selatan Tiku) sangat diperlukan
mengingat kerentanan daerah in terhadap aktifitas
tektonik cukup tinggi. Dengan Pemahaman akan
karateristik hidrodinamika di Tiku akan sangat
bermanfaat bagi para perencana sebagai masukkan
jika proses evaluasi untuk pembangunan dermaga
ini akan dilanjutkan.


Referensi
Dean R.G., & Dalrymple, R.A., (1991), Water
Wave Mechanics for Engineers and Scientists,
World Scientific Publishing, N.J.
Gornitz, V. N., R. C. Daniels, T. W. White, and K.
R. Birdwell, 1994. The development of a coastal
assessment database: Vulnerability to sea-level rise
in the U.S. southeast. Journal of Coastal Research
12:327-338.
Gravens, BM., Kraus, NC., dan Hanson, H.
(1989): GENESIS ( Generalized model for
Simulating Shoreline Change), Report 2 workbook
and systemusers manual
Ramdhan, M., Husrin, S., Kusumah, G.,
Cendikia,L., dan Try Altanto (2012): Kerentanan
Pesisir di Kawasan Timur Sumatera Berdasarkan
Karakteristik dan Geodinamika Pantai, Laporan
teknis, LPSDKP.
PT Anirindo Mitra Konsultan (2007): Profil
daerah rawan bencana dan penanggulangannya di
Kabupaten Agam, slide presentasi PT Anirindo
Mitra Konsultan
Ramdhan, M., Husrin, S., Nasir, S., dan Try
Altanto (2011): Studi kerenatanan pesisir terhadap
perubahan iklim di pesisir sumatera barat dan
sekitarnya, Laporan teknis, LPSDKP.
Subarya, C., M. Chlieh, L. Prawirodirdjo, J.-P.
Avouac, R. McCaffrey, Y. Bock, K. Sieh,A.J.
Meltzner, and D.H. Natawidjaja - Plate boundary
deformation associated with the great Aceh-
Andaman earthquake. Nature, Vol 440, 2 March
2006, doi:10.1038/nature04522
U.S.Army Corps of Engineers (USAC), (1984),
Shore protection Manual, Coastal Engineering
Research Center, Vicksburg, Mississippi, US.
Zubaidah, S (1990): Identifiksasi kerugian
kawasan pantai akibat kenaikan muka air laut,
Puslitbang Permukiman, TimPeneliti ITB.

You might also like