You are on page 1of 16

LAPORAN REFRESHING

KEJANG







DISUSUN OLEH :
Fadhli Kamal Huda
200873065
PEMBIMBING:
dr.Adre Mayza, Sp.S

FAKULTAS KESEHATAN DAN KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
BAGIAN ILMU SARAF RS ISLAM JAKARTA
2014


BAB I
Pendahuluan

Kejang adalah perubahan fungsi otak mendadak dan sementara sebagai akibat dari
aktifitas neuronal yang abnormal dan sebagai pelepasan listrik serebral yang berlebihan.
Aktivitas ini bersifat dapat parsial atau vokal, berasal dari daerah spesifik korteks serebri,
atau umum, melibatkan kedua hemisfer otak. Manifestasi jenis ini bervariasi, tergantung
bagian otak yang terkena.
Penyebab kejang mencakup factor-faktor perinatal, malformasi otak congenital, factor
genetic, penyakit infeksi (ensefalitis, meningitis), penyakit demam, gangguan metabilisme,
trauma, neoplasma, toksin, gangguan sirkulasi, dan penyakit degeneratif susunan saraf.
Kejang disebut idiopatik bila tidak dapat ditemukan penyebabnya.
Epilepsi adalah gangguan yang ditandai dengan kejang yang kronik, kejang yang
terutama berasal dari serebri menunjukkan disfungsi otak yang mendasarinya. Epilepsy
sendiri bukan suatu penyakit

Definisi
Kejang adalah gerakan otot tonik atau klonik yang involuntar yang merupakan
serangan berkala, disebabkan oleh lepasnya muatan listrik neuron kortikal secara berlebihan.
Kejang tidak secara otomatis berarti epilepsi. Dengan demikian perlu ditarik garis pemisah
yang tegas : manakah kejang epilepsi dan mana pula kejang yang bukan epilepsi? Tetanus,
histeri, dan kejang demam bukanlah epilepsi walaupun ketiganya menunjukkan kejang
seluruh tubuh. Cedera kepala yang berat, radang otak, radang selaput otak, gangguan
elektrolit dalam darah, kadar gula darah yang terlalu tinggi, tumor otak, stroke, hipoksia,
semuanya dapat menimbulkan kejang. Kecuali tetanus, histeri, hal-hal yang tadi, kelak di
kemudian hari dapat menimbulkan epilepsi.
Insiden
Sedikitnya kejang terjadi sebanyak 3% sampai 5% dari semua anak-anak sampai usia 5 tahun,
kebanyakan terjadi karena demam.
Klasifikasi
Pada tahun 1981, The International League Against Epilepsy (ILAE) membuat suatu sistem
klasifikasi internasional kejang epileptik yang membagi kejang menjadi dua kelompok besar
yaitu Kejang Parsial (fokal atau lokal) dan Kejang Generalisata. Kejang parsial kemudian
dibagi lagi menjadi Parsial Sederhana, Parsial Kompleks, dan Parsial yang menjadi
Generalisata sekunder. Adapun yang termasuk kejang generalisata yaitu Lena (Tipikal atau
Atipikal), mioklonik, klonik, tonik, tonik-klonik, dan kejang atonik.
1. Kejang Parsial (Partial-onset Seizure)
Kejang Parsial bermula dari area fokus tertentu korteks serebri,
2. Kejang Generalisata (Generalized-onset Seizure)
Kejang Generalisata berawal dari kedua hemisfer serebri. Bisa bermula dari talamus
dan struktur subkortikal lainnya. Pada EEG ditemukan kelainan secara serentak pada
kedua hemisfer. Kejang generalisata memberikan manifetasi bilateral pada tubuh dan
ada gejala penurunan kesadaran. Kejang generalisata diklasifikasikan menjadi atonik,
tonik, klonik, tonik klonik atau absence seizure. Beberapa penyakit yang memberikan
gambaran kejang generalisata antara lain : Benign Neonatal Convulsion, Benign
Myoclonic Epilepsy, Childhood Absence Epilepsy, Juvenille Absence Epilepsy,
Juvenille Myoclonic Epilepsy.
Kejang tonik adalah kekakuan kontraktur pada otot-otot, termasuk otot pernafasan.
Kejang klonik berupa gemetar yang bersifat lebih lama. Jika keduanya muncul secara
bersamaan maka disebut kejang tonik klonik (kejang Grand Mal).
Sebagian kejang yang lain sulit dikelompokkan pada salah satunya dimasukkan
sebagai kejang tidak terklasifikasi (Unclassified Seizure). Cara pengelompokan ini
masih diterima secara luas.
Jenis-Jenis Kejang
A. Kejang Parsial
Kejang Parsial Sederhana
1. Kesadaran tidak terganggu; dapat mencakup satu atau lebih hal berikut ini:
Tanda-tanda motoriskedutaan pada wajah. Tangan, atau salah satu sisi tubuh :
umumnya gerakan kejang yang sama.
Tanda atau gejala otonomikmuntah berkeringan, muka merah, dilatasi pupil.
Gejala somatosensoris atau sensoris khusus-mendengar musik, merasa seakan jatuh
dari udara, parestesia.
Gejala psikikdejavu, rasa takut, sisi panoramic.

Kejang parsial komplesk
1. Terdapat gangguan kesadaran. Walaupun pada awalnya sebagai kejang parsial simpleks.
2. Dapat mencakup otomatisme atau gerakan aromaticmengecapkan bibir, mengunyah,
gerakan mencongkel yang berulang-ulang pada tangan dan gerakan tangan lainnya.
3. Dapat tanpa otomatismetatapan terpaku.

B. Kejang Umum (Konvulsif atau Non-Konvulsif)
Kejang Absens
1. Gangguan kewaspadaan dan responsivitas.
2. Ditandai dengan tatapan terpaku yang umumnya berlangsung kurang dari 15 detik.
3. Awitan dan khiran cepat, setelah itu kembali waspada dan berkonsentrasi penuh.
4. Umumnya dimulai pada usia antara 4 dan 14 tahun dan sering sembuh dengan sendirinya
pada usia 18 tahun.

Kejang Mioklonik
Kedutaan-kedutaan involunter pada otot atau sekelompok otot yang terjadi mendadak

Kejang MioklonikLanjutan
1. Sering terlihat pada orang sehat selama tidur, tetapi bila patologik, berupa kedutaan-
kedutaan sinkron dari leher, bahu, lengan atas dan kaki.
2. Umumnya berlangusung kurang dari 15 detik dan terjadi didalam kelompok.
3. Kehilangan kesadaran hanya sesaat

Kejang Tonik-Klonik
1. Diawali dengan hilangnya kesadaran dan saat tonik, kaku umum pada otot ektremitas,
batang tubuh, dan wajah, yang langsung kurang dari 1 menit.
2. Dapat disertai dengan hilangnya kontrol kandung kebih dan usus.
3. Tidak adan respirasi dan sianosis
4. Saat tonik diikuti dengan gerakan klonik pada ekstremitas atas dan bawah.
5. letargi, konfusi, dan tidur dalam fase postical



Kejang Atonik
1. Hilangnya tonus secara mendadak sehingga dapat menyebabkan kelopak mata turun,
kepala menunduk atau jatuh ketanah.
2. Singkat, dan terjadi tampa peringatan.

Status Epileptikus
1. Biasanya. Kejang tonik-klonik umum yang terjadi berulang.
2. Anak tidak sadar kembali diantara kejang.
3. Potensial untuk depresi pernapasan, hipotensi, dan hipoksia
4. memerlukan pengobatan medis darurat dengan segera

Fisiologi dan Patofisiologi
Tiap neuron yang aktif melepaskan muatan listriknya. Fenomena elektrik ini adalah wajar.
Manifestasi biologiknya ialah merupakan gerak otot atau suatu modalitas sensorik,
tergantung dari neuron kortikal mana yang melepaskan muatan listriknya. Bilamana neuron
somatosensorik yang melepaskan muatannya, timbullah perasaan protopatik atau
propioseptif. Demikian pula akan timbul perasaan panca indera apabila neuron daerah korteks
pancaindera melepaskan muatan listriknya.
Secara fisiologis, suatu kejang merupakan akibat dari serangan muatan listrik terhadap
neuron yang rentan di daerah fokus epileptogenik. Diketahui bahwa neuron-neuron ini sangat
peka dan untuk alasan yang belum jelas tetap berada dalam keadaan terdepolarisasi. Neuron-
neuron di sekitar fokus epileptogenik bersifat GABA-nergik dan hiperpolarisasi, yang
menghambat neuron epileptogenik. Pada suatu saat ketika neuron-neuron epileptogenik
melebihi pengaruh penghambat di sekitarnya, menyebar ke struktur korteks sekitarnya dan
kemudian ke subkortikal dan struktur batang otak.
Dalam keadaan fisiologik neuron melepaskan muatan listriknya oleh karena potensial
membrannya direndahkan oleh potensial postsinaptik yang tiba pada dendrit. Pada keadaan
patologik, gaya yang bersifat mekanik atau toksik dapat menurunkan potensial membran
neuron, sehingga neuron melepaskan muatan listriknya dan terjadi kejang.


Penyakit-penyakit yang Menyebabkan Kejang
Penyakit-penyakit yang menyebabkan kejang dapat dikelompokkan secara sederhana menjadi
penyebab kejang epileptik dan penyebab kejang non-epileptik. Penyakit epilepsi akan dibahas
tersendiri sementara kelompok non-epileptik terbagi lagi menjadi penyakit sistemik, tumor,
trauma, infeksi, dan serebrovaskuler.
a. Sistemik
Metabolik : Hiponatremia, Hipernatremia,
Hiponatremia
Hiponatremia terjadi bila :
a). Jumlah asupan cairan melebihi kemampuan ekskresi,
b). Ketidakmampuan menekan sekresi ADH (mis : pada kehilangan cairan melalui
saluran cerna atau gagal jantung atau sirosis hati atau pada SIADH = Syndrom of
Inappropriate ADH-secretion). Hiponatremia dengan gejala berat (mis : penurunan
kesadaran dan kejang) yang terjadi akibat adanya edema sel otak karena air dari
ektrasel masuk ke intrasel yang osmolalitas-nya lebih tinggi digolongkan sebagai
hiponatremia akut (hiponatremia simptomatik). Sebaliknya bila gejalanya hanya
ringan saja (mis : lemas dan mengantuk) maka ini masuk dalam kategori kronik
(hiponatremia asimptomatik).
Langkah pertama dalam penatalaksanaan hiponatremia adalah mencari sebab
terjadinya hiponatremia melalui anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan
penunjang. Langkah selanjutnya adalah pengobatan yang tepat sasaran dengan koreksi
Na berdasarkan kategori hiponatremia-nya.
Hipernatremia
Hipernatremia terjadi bila kekurangan air tidak diatasi dengan baik misalnya pada
orang dengan usia lanjut atau penderita diabetes insipidus. Oleh karena air keluar
maka volume otak mengecil dan menimbulkan robekan pada vena menyebabkan
perdarahan lokal dan subarakhnoid.
Setelah etiologi ditetapkan, maka langkah penatalaksanaan berikutnya ialah mencoba
menurunkan kadar Na dalam plasma ke arah normal. Pada diabetes insipidus, sasaran
pengobatan adalah mengurangi volume urin. Bila penyebabnya adalah asupan Na
berlebihan maka pemberian Na dihentikan.
b. Intoksikasi
Penegakan diagnosa pasti penyebab keracunan cukup sulit karena diperlukan sarana
laboratorium toksikologi sehingga dibutuhkan autoanamnesis dan alloanamnesis yang
cukup sermat serta bukti-bukti yang diperoleh di tempat kejadian. Selanjutnya pada
pemeriksaan fisik harus ditemukan dugaan tempat masuknya racun. Penemuan klinis
seperti ukuran pupil mata, frekuensi napas dan denyut jantung mungkin dapat
membantu penegakan diagnosis pada pasien dengan penurunan kesadaran.
Pemeriksaan penunjang berupa analisa toksikologi harus dilakukan sedini mungkin
dengan sampel berupa 50 ml urin, 10 ml serum, bahan muntahan, feses. Pemeriksaan
lain seperti radiologis, laboratorium klinik, dan EKG juga perlu dilakukan. Adapun
standar penatalaksanaan dari intoksikasi yaitu stabilisasi, dekontaminasi, eliminasi,
dan pemberian antidotum. Sementara gejala yang sering menjadi penyerta atau
penyulit adalah gangguan cairan, elektrolit, dan asam-basa ; gangguan irama jantung ;
methemoglobinemia ; hiperemesis ; distonia ; rabdomiolisis ; dan sindrom
antikolinergik.

c. Tumor
Kira-kira 10% dari semua proses neoplasmatik di seluruh tubuh ditemukan pada
susunan saraf dan selaputnya, 8% di antaranya berlokasi di ruang intrakranial dan 2%
sisanya di ruang kanalis spinalis. Dengan kata lain 3-7 dari 100.000 orang penduduk
mempunyai neoplasma saraf primer. Urutan frekuensi neoplasma intrakranial yaitu :
Glioma (41%), Meningioma (17%), Adenoma hipofisis (13%), Neurilemoma /
neurofibroma (12%), Neoplasma metastatik dan neoplasma pembuluh darah serebral.
Pembagian tumor dalam kelompok benigna dan maligna tidak berpengaruh secara
mutlak bagi tumor intrakranial oleh karena tumor benigna secara histologik dapat
menduduki tempat yang vital, sehingga menimbulkan kematian dalam waktu singkat.

Simptomatologi tumor intrakranial dapat dibagi dalam :
1. Gangguan kesadaran akibat tekanan intrakranial yang meninggi
Selain menempati ruang, tumor intrakranial juga menimbulkan perdarahan
setempat. Penimbunan katabolit di sekitar jaringan tumor menyebabkan jaringan
otak bereaksi dengan menimbulkan edema yang juga bisa diakibatkan penekanan
pada vena sehingga terjadi stasis. Sumbatan oleh tumor terhadap likuor sehingga
terjadi penimbunan juga meningkatkan tekanan intrakranial.
TIK yang meningkat menimbulkan gangguan kesadaran dan menifestasi disfungsi
batang otak yang dinamakan:
(a) sindrom unkus / kompresi diensefalon ke lateral ;
(b) sindrom kompresi sentral restrokaudal terhadap batang otak ; dan
(c) herniasi serebelum di foramen magnum. Sebelum tahap stupor atau koma
tercapai, TIK yang meninggi sudah menimbulkan gejala-gejala umum.

2. Gejala-gejala umum akibat tekanan intrakranial yang meninggi
A. Sakit kepala = Akibat peningkatan CBF setelah terjadi penumpukan PCO2
serebral terutama setelah tidur. Lonjakan TIK juga akibat batuk, mengejan atau
berbangkis.
B. Muntah = Akibat peningkatan TIK selama tidur malam karena PCO2 serebral
meningkat. Sifat muntah proyektil atau muncrat dan tidak didahului mual.
C. Kejang = Kejang fokal dapat merupakan manifestasi pertama tumor
intrakranial pada 15% penderita. Meningioma pada konveksitas otak sering
menimbulkan kejang fokal sebagai gejala dini. Kejang umum dapat timbul
sebagai manifestasi tekanan intrakranial yang melonjak secara cepat, terutama
sebagai menifestasi glioblastoma multiforme. Kejang tonik yang sesuai dengan
serangan rigiditas deserebrasi biasanya timbul pada tumor di fossa kranii posterior
dan secara tidak tepat dinamakan oleh para ahli neurologi dahulu sebagai
cerebellar fits.
D. Gangguan mental = Tumor serebri dapat mengakibatkan demensia, apatia,
gangguan watak dan intelegensi, bahkan psikosis, tidak peduli lokalisasinya.
E. Perasaan abnormal di kepala = Rasa seperti enteng di kepala, pusing atau
tujuh keliling. Mungkin sehubungan dengan TIK yang meninggi. Sehingga
karena samarnya maka kebanyakan dari keluhan semacam ini tidak dihiraukan
oleh pemeriksa dan dianggap keluhan fungsional.

3. Tanda-tanda lokalisatorik yang menyesatkan
Suatu tumor intrakranial dapat menimbulkan manifastasi yang tidak sesuai dengan
fungsi tempat yang didudukinya berupa :
a) Kelumpuhan saraf otak
b) Refleks patologik yang positif pada kedua sisi
c) Gangguan mental
d) Gangguan endokrin
e) Ensefalomalasia

4. Tanda-tanda lokalisatorik yang benar
Defisit serebral dibangkitkan oleh tumor di daerah fungsional yang khas berupa
monoparesis, hemiparesis, hemianopia, afasia, anosmia dan seterusnya.
I. Simptom fokal dari tumor di lobus frontalis : sakit kepala, gangguan mental,
kejang tonik fokal, katatonia, anosmia
II. Simptom fokal dari tumor di daerah pre-sentral : kejang fokal pada sisi
kontralateral, hemiparesis kontralateral, paraparese, gangguan miksi
III. Simptom fokal dari tumor di lobus temporalis : hemianopsia kuadran atas
kontralateral dengan tinitus, halusinasi auditorik, dan afasia sensorik beserta
apraksia
IV. Simptom fokal dari tumor di lobus parietalis : serangan Jackson sensorik,
astereognosia dan ataksia sensorik, thalamic over-reaction, hemianopsia
kuadran bawah homonim yang kontralateral, agnosia, afasia sensorik, serta
apraksia
V. Simptom fokal dari tumor di lobus oksipitalis
VI. Simptom fokal dari tumor di korpus kalosum

5.Tanda-tanda fisik diagnostik pada tumor intrakranial
(a).Papil edema ;
(b).Pada anak ukuran kepala membesar dan sutura teregang, perkusi = bunyi
kendi rengat, auskultasi = ada bising ;
(c).Hipertensi intrakranial bradikardi & TD sistemik yang meningkat
progresif = dapat dianggap sebagai kompensasi penanggulangan iskemik
(d).Irama dan frekuensi pernafasan berubah



d. Trauma
Kejang dapat terjadi setelah cedera kepala dan harus segera diatasi karena akan
menyebabkan hipoksia otak dan kenaikan tekanan intrakranial serta memperberat
edem otak. Mula-mula berikan diazepam 10 mg intravena perlahan-lahan dan dapat
diulangi sampai 3 kali bila masih kejang. Bila tidak berhasil dapat diberikan fenitoin
15 mg/kgBB secara intravena perlahan-lahan dengan kecepatan tidak melebihi 50
mg/menit.

e. Infeksi
Infeksi pada susunan saraf dapat berupa meningitis atau abses dalam bentuk empiema
epidural, subdural, atau abses otak. Klasifikasi lain membahas menurut jenis kuman
yang mencakup sekaligus diagnosa kausal
1) Infeksi viral
2) Infeksi bakterial
3) Infeksi spiroketal
4) Infeksi fungal
5) Infeksi protozoal
6) Infeksi metazoal

f. Serebrovaskuler
Stroke mengacu kepada semua gangguan neurologik mendadak yang terjadi akibat
pembatasan atau terhentinya aliran darah melalui sistem suplai arteri otak. Istilah
stroke biasanya digunakan secara spesifik untuk menjelaskan infark serebrum. CVA
(Cerebralvascular accident) dan serangan otak sering digunakan secara sinonim untuk
stroke. Konvulsi umum atau fokal dapat bangkit baik pada stroke hemoragik maupun
strok non-hemoragik.
Stroke sebagai diagnosis klinis untuk gambaran manifestasi lesi vaskuler serebral
dapat dibagi dalam :
1) Transient ischemic attack,
2) Stroke in evolution,
3) Completed stroke, yang bisa dibagi menjadi tipe hemoragik dan tipe non
hemoragik

g. Epilepsi
Kata epilepsi berasal dari kata Yunani epilambanein yang berarti serangan.
Epilepsi bukanlah suatu penyakit, tetapi gejala yang dapat timbul karena penyakit.
Epilepsi ialah manifestasi gangguan otak dengan berbagai etiologi namun dengan
gejala tunggal yang khas, yaitu seragan berkala yang disebabkan oleh lepas muatan
listrik neuron kortikal secara berlebihan kronik otak dengan ciri timbulnya gejala-
gejala yang datang dalam serangan-serangan, berulang-ulang yang disebabkan lepas
muatan listrik abnormal sel-sel saraf otak, yang bersifat reversibel. 2, 8
Klasifikasi serangan pada epilepsi dapat dibagi menjadi dua kelompok utama yaitu
parsial dan umum. Kejang parsial kemudian dibagi menjadi parsial sederhana, parsial,
kompleks, dan parsial dengan umum sekunder.
I. Serangan parsial (fokal, lokal) kesadaran tak berubah
A. Serangan parsial sederhana (kesadaran tetap baik)
1. Dengan gejala motorik
2. Dengan gejala somatosensorik atau sensorik khusus
3. Dengan gejala autonom
4. Dengan gejala psikis
B.Serangan parsial kompleks (kesadaran menurun)
1. Berasal sebagai parsial sederhana dan berkembang ke penurunan kesadaran
2.Dengan penurunan kesadaran sejak awitan
II. Serangan umum (konvulsif atau non-konvulsif)
A. 1. Absence
2. Absence tak khas
B. Mioklonik
C. Klonik
D. Tonik
E. Tonik-klonik
F. Atonik
III. Serangan epilepsi tak terklasifikasikan misalnya : gerakan ritmis pada mata,
gerakan mengunyah dan berenang.
Diagnosis
Pada umumnya, seseorang yang mengalami hanya satu kali serangan kejang tidak
akan diberi terapi epilepsi dahulu. Namun jika dalam waktu satu tahun terjadi lebh
dari satu serangan maka perlu dipertimbangkan untuk mulai dengan obat-obat
antiepilepsi. Diagnosis epilepsi biasanya dapat dibuat dengan cukup pasti dari
anamnesis lengkap, terutama mengenai gambaran serangan, hasil pemeriksaan umum
dan neurologik serta elektroensefaligrafi (EEG).
Terapi
Obat anti epilepsi (Antiepileptic Drug / AED) digolongkan berdasarkan mekanisme
kerjanya.
1. Sodium channel blockers : Fenitoin, Fosfenitoin, Oxcarbazepine, Zonisamide,
Clobazam, Fenobarbital, Felbamate, Topiramate
2. Calsium inhibitors : Fenitoin, Fosfenitoin, Clobazam, Fenobarbital, Felbamate
3. GABA enhancers : Clobazam, Clonazepam, Fenobarbital, Tiagabine, Vigabatrin,
Gabapentin, Topiramate
4. Glutamate blocker : Lamotrigine, Fenobarbital, Topiramate
5. Carbonic anhydrase inhibitor : Topiramate
6. Hormon
7. dan obat-obat lain yang belum diketahui pasti mekanisme kerjanya : Primidine,
Valproate, Levetiracetam.


Prognosis
Prognosis epilepsi bergantung kepada beberapa hal, di antaranya jenis epilepsi, faktor
penyebab, saat pengobatan dimulai, dan ketaatan minum obat. Pada umumnya
prognosis epilepsi cukup menggembirakan. Pada 50-70% penderita epilepsi serangan
dapat dicegah dengan obat-obatan, sedangkan sekitar 50% pada suatu waktu akan
dapat berhenti minum obat. Serangan epilepsi primer, baik yang bersifat kejang umum
maupun serangan lena (ngelamun) atau absence mempunyai prognosis terbaik.
Sebaliknya epilepsi yang serangan pertamanya mulai pada usia 3 tahun atau yang
disertai kelainan neurologik dan atau retardasi mental mempunyai prognosis relatif
jelek.

Uji Laboratorium dan Diagnostik
1. Elektroensefalogram (EEG) dipakai untuk membantu menetapkan jenis dan focus dan
kejang.
1.1. Diagnosis epilepsy tidak hanya tergantung pada temuan EEG yang abnormal
1.2. Tidur lebih disukai selama EEG, meskipun sedasi dengan pemantauan mungkin
dindakasikan
2. Pemindaian CTmenggunakan kajian sinar-X yang masih lebih sensitive dan biasanya
untuk mendeteksi perbedaan kerapatan jaringan.
3. MRI ( Magnetic Resonance imaging) menghasilkan bayangan dengan lapangan
magnetik dan gelombang radio, berguna untuk memperlihatkan daerah-daerah otak
(regio fossa posterior dan regio sella) yang tidak terlihat jelas apabila menggunakan
pemindaian CT.
4. PET (Pemindaian positron emission temography)untuk mengevaluasi kejang yang
membandel dan membantu menetapkan lokasi lesi, perubahan metabolic, atau aliran
darah dalam otak (mencakup suntikan radioisotop secara IV).
5. Potensial yang membangkitkandigunakan untuk menentukan integritas jalur sensoris
dalam otak (respons yang tidak ada atau tertunda atau mengindikasikan keadaan yang
patologik).
6. Uji laboratorium berdasarkan riwayat anak dan hasil pemeriksaan.
6.1. Punksi lumbal untuk menganalisis cairan serebrospinalterutama dipakai untuk
menyingkirkan kemungkinan infeksi.
6.2. Hitung daerah lengkapuntuk menyingkirkan infeksi sebagai penyebab; dan pada
kasus yang diduga disebabkan trauma, dapat mengevaluasi haematokit dan jumlah
trombosit.
6.3. Panel elektrolitserum elektrolit, Ca total, dan magnesium serum seringkali
diperiksa pada saat pertama kali terjadi kejang, dan pada anak yang berusia kurang
dari 3 bulan, dengan penyebab elektrolit dan metabolic lebih lazim ditemuai (uji
glukosa darah dapat bermamfaat pada bayi atau anak kecil dengan kejang yang
berkepanjangan untuk menyingkirkan kemungkinan hipoglikemia).
6.4. Skrining toksisk dari serum dan urindigunakan untuk menyingkirkan
kemungkinan keracunan.
6.5. Pemantauan kadar obat antiepileptikdigunakan pada fase awal penatalaksanaan
dan jika kepatuhan pasien diragukan.

Terapi Kejang
Penanganan kejang secara modern bermula dari tahun 1850 dengan pemberian Bromida,
dengan dasar teori bahwa epilepsi disebabkan oleh suatu dorongan sex yang berlebih. Pada
tahun 1910, kemudian digunakan Fenobarbital yang awalnya dipakai untuk menginduksi
tidur, kemudian diketahui mempunyai efek antikonvulsan dan menjadi obat pilihan selama
bertahun-tahun. Sejumlah obat lain yang juga digunakan sebagai pengganti Fenobarbital
termasuk Pirimidone, dan Fenitoin yang kemudian menjadi first line drug epilepsi utama
untuk penanganan kejang parsial dan generalisata sekunder. Pada tahun 1968, Karbamazepin
awalnya digunakan untuk neuralgia trigeminal, kemudian pada tahun 1974 digunakan untuk
kejang parsial. Etosuksimid telah digunakan sejak 1958 sebagai obat utama untuk
penanganan absence seizures tanpa kejang tonik klonik generalisata. Valproate mulai
digunakan 1960 dan saat ini sudah tersedia di seluruh dunia dan menjadi drug of choice pada
epilepsy primer generalisata dan kejang parsial.
1. Fenobarbital
Merupakan obat antiepilepsi atau antikonvulsi yang efektif. Toksisitasnya relatif
rendah, murah, efektif, dan banyak dipakai. Dosis antikonvulsinya berada di bawah
dosis untuk hipnotis. Ia merupakan antikonvulsan yang non-selektive. Manfaat
terapeutik pada serangan tonik-klonik generalisata (grand mall) dan serangan fokal
kortikal.

2. Primidon
Efektif untuk semua jenis epilepsy kecuali absence. Efek antikonvulsi ditimbulkan
oleh primidon dan metabolit aktifnya.
3. Hidantoin
Yang termasuk dalamm golongan ini adalah fenitoin, mefenitoin, dan etotoin.
Fenitoin : Fenitoin adalah obat primer untuk semua bangkitan parsial dan bangkitan
tonik-klonik, kecuali bangkitan absence (absence seizure). Fenitoin tidak sedative
pada dosis biasa. Berbeda dengan fenobarbital, obat ini juga efektif pada beberapa
kasus epilepsy lobus temporalis.
4. Karbamazepine
Termasuk dalam golongan iminostilbenes. Manfaat terapeutik ialah untuk Epilepsi
lobus temporalis, sendiri atau kombinasi dengan bangkitan generalisata tonik-klonik
(GTCS).
5. Etosuksimid
Obat ini dipakai untuk bangkitan absence. Efek antikonvulsi pada binatang sama
halnya dengan trimetadion. Proteksi terhadap pentilentetrazol, akan menaikkan nilai
ambang serangan. Manfaat terapeutik ialah terhadap bengkitan absence.
6. Asam valproat (Valproic acid)
Asam valproat dipakai untuk berbagai jenis serangan atau bangkitan. Efek sedasinya
minimal, efek terhadap SSP lain juga minimal. Terhadap Pentilen tetrazol, potensi
asam valproat lebih besar daripada etosuksimid, tapi lebih kecil pada fenobarbital.
Asam valproat lebih bermanfaat untuk bangkitan absence daripada terhadap bangkitan
umum tonik-klonik.

Prognosis
Kejang adalah suatu masalah neurologik yang relative sering dijupai. Sekitar 10%
populasi akan mengalami paling sedikit satu kali kejang seumur hidup mereka,
dengan insiden paling tinggi terjadi pada masa anak-anak dini dan lanjut usia (setelah
usia 60 tahun), dan 0,3% sampai 0,5% akan didiagnosa mengidap epilepsi
(berdasarkan kriteria dua kali kejang tanpa pemicu)







DAFTAR PUSTAKA

Mardjono, Mahar, Prof. Neurologi Klinis Dasar. Dian Rakyat. Jakarta: 2006
Budiman, Gregory. Basic Neuroanatomical Pathways. Second Edition. FKUI.
Jakarta: 2009.
Dewanto, George, dkk. Panduan Praktis Diangnosis dan Tata Laksana Penyakit Saraf.
EGC. Jakarta: 2009.

You might also like