You are on page 1of 27

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Obesitas
Obesitas adalah suatu keadaan yang melebihi dari berat badan relatif
seseorang, sebagai akibat penumpukan zat gizi terutama karbohidrat, lemak dan
protein. Kondisi ini disebabkan oleh ketidak seimbangan antara konsumsi kalori dan
kebutuhan energi, dimana konsumsi terlalu banyak dibandingkan dengan kebutuhan
atau pemakaian energi (Krisno, 2002).
Obesitas merupakan kondisi ketidaknormalan atau kelebihan akumulasi
lemak pada jaringan adiposa. Obesitas tidak hanya berupa kondisi dengan jumlah
simpanan kelebihan lemak, namun juga distribusi lemak di seluruh tubuh. Distribusi
lemak dapat meningkatkan risiko yang berhubungan dengan berbagai macam
penyakit degeneratif (WHO 2000).
Obesitas adalah suatu keadaan ketidakseimbangan antara energi yang masuk
dengan energi yang keluar dalam jangka waktu yang lama. Banyaknya konsumsi
energi dari makanan yang dicerna melebihi energi yang digunakan untuk
metabolisme dan aktivitas sehari-hari. Kelebihan energi ini akan disimpan dalam
bentuk lemak dan jaringan lemak sehingga dapat berakibat pertambahan berat badan.
Obesitas yang muncul pada remaja cenderung berlanjut hingga dewasa sampai 50-
70%. Ukuran untuk menentukan seseorang obesitas umumnya dipakai indeks
berdasarkan berat badan dalam kilogram dibagi tinggi badan dalam meter kwadrat,
8
Universitas Sumatera Utara
disebut dengan indeks massa tubuh (IMT) atau body mass index (BMI) (WHO,
2006).

2.2. Pengukuran dan Klasifikasi Obesitas
Indeks Massa Tubuh (IMT) merupakan indeks pengukuran sederhana untuk
kekurangan berat (underweight), kelebihan berat (overweight), dan
kegemukan/obesitas dengan membandingkan berat badan dengan tinggi badan
kuadrat. Cut off point dalam pengklasifikasian obesitas adalah IMT _ 30.00.
Berdasarkan IMT, obesitas dibagi menjadi tiga kategori, yakni: obesitas tingkat I
dengan IMT 30.00-34.99; obesitas tingkat II dengan IMT 35.00-39.99; dan obesitas
tingkat III dengan IMT _ 40.00. Cut off point obesitas di Asia Pasifik memiliki
kriteria lebih rendah daripada kriteria WHO pada umumnya. Cut off point obesitas
pada penduduk Asia Pasifik adalah IMT 25.00. Berdasarkan cut off point obesitas
pada penduduk Asia Pasifik, obesitas dibagi menjadi dua kategori, yaitu: obesitas
tingkat I dengan IMT 25.00-29.99 dan obesitas tingkat II dengan IMT 30.00.
Berdasarkan distribusi lemak, obesitas dibedakan menjadi dua jenis, yakni obesitas
sentral dan obesitas umum (WHO 2000).
Mengukur lemak tubuh secara langsung sangat sulit dan sebagai pengukur
pengganti dipakai body mass index (BMI) atau indeks massa tubuh (IMT) untuk
menentukan berat badan lebih dan obesitas pada remmaja dan dewasa. IMT
merupakan indikator yang paling sering digunakan dan praktis untuk mengukur
tingkat populasi berat badan lebih dan obes pada orang dewasa. Untuk penelitian
Universitas Sumatera Utara
epidemiologi digunakan IMT atau indeks Quetelet, yaitu berat badan dalam kilogram
(kg) dibagi tinggi dalam meter kuadrat (m
2
WHO 2006 mengklasifikasikan IMT sebagai berikut (Tabel 2.1):
). Saat ini IMT merupakan indikator yang
paling bermanfaat untuk menentukan berat badan lebih atau obes:

Tabel 2.1. Klasifikasi Berat Badan Lebih dan Obesitas Berdasarkan BMI
Menurut WHO
Klasifikasi
BMI(kg/m
2
Prinsip cut-off points
)
Kurang gizi <18,50
Normal 18,50 24,99
Kegemukan 25,00
Pra-obes 25,00 29,99
Obes 30,00
Obes klas I 30,00 34,99
Obes klas II 35,00 39,99
Obes klas III 40,00
Sumber: diadapsi dari WHO ( 1995, 2000, 2004)

Sedangkan klasifikasi obesitas berdasarkan IMT untuk orang Asia menurut
WHO sebagai berikut :
Tabel 2.2. Klasifikasi Berat Badan Lebih dan Obesitas Berdasarkan BMI
Menurut WHO Untuk Orang Asia
Klasifikasi
BMI (kg/m
2
)
Prinsip cut-off points
Kurang gizi <18,50
Normal 18,50 22,99
Berat badan berlebih 23,00
Resiko obes 23,00 24,9
Obes I 25 29,9
Obes II 30,0
Sumber: diadapsi dari WHO ( 1995, 2000, 2004)



Universitas Sumatera Utara

2.3. Penyebab Obesitas
Obesitas terjadi karena adanya ketidakseimbangan antara energi yang masuk
dengan energy yang keluar dan merupakan akumulasi simpanan energy yang
berubah menjadi lemak (Pritasari, 2006). Dengan meningkatnya usia kecepatan
metabolism juga mulai menurun mulai usia 30 tahun, bila aktivitas fisik juga
berkurang maka timbunan lemak menjadi kegemukan. Penyebab lain obesitas
menurut Syarif (2002) adalah multifaktorial, genetik dan lingkungan yang
berinteraksi terus menerus:
a. Faktor Genetik
Parental fatness merupakan factor genetic yang berperanan besar. Bila kedua
orangtua obesitas, 80% anaknya menjadi obesitas; bila salah satu orang tua
obesitas, kejadian obesitas menjadi 40% dan bila kedua orangtua tidak obesitas,
kejadian obesitas 14%.
b. Faktor Lingkungan
1. Faktor Nutrisi
Peranan nutrisi dimulai sejak dalam kandungan yaitu jumlah lemak tubuh
dan pertumbuhan bayi dipengaruhi oleh berat badan ibu. Sedangkan
kenaikan berat badan dan lemak anak dipengaruhi oleh: waktu pertama kali
mendapat makanan padat, asupan tinggi kalori dari karbohidrat dan lemak
serta kebiasaan mengkonsumsi makanan yang mengandung energy tinggi
seperti makanan siap saji dan camilan.
Universitas Sumatera Utara
2. Aktifitas Fisik
Aktifitas fisik anak saat ini cenderung menurun karena lebih banyak
bermain di dakam rumah dibandingkan di luar rumah.
3. Sosial Ekonomi
Perubahan pengetahuan, sikap, pperilaku dan gaya hidup serta peningkatan
pendapatan mempengaruhi pemilihan jenis dan jumlah makanan yang
dikonsumsi.
Misnadiarly (2007) melaporkan bahwa terjadinya obesitas dapat dipengaruhi
oleh faktor umur dan jenis kelamin. Meskipun sering terjadi pada semua umur,
obesitas sering dianggap kelainan pada umur pertengahan. Obesitas yang muncul
pada tahun pertama kehidupan biasanya disertai dengan perkembangan rangka yang
cepat. Anak yang obesitas cenderung menjadi obesitas pada saat remaja dan dewasa.
J enis kelamin tampaknya ikut berperan dalam timbulnya obesitas. Meskipun
dapat terjadi pada kedua jenis kelamin, tetapi obesitas lebih umum dijumpai pada
wanita terutama setelah kehamilan dan pada saat menopause. Mungkin juga obesitas
pada wanita disebabkan karena pengaruh faktor endokrin, karena kondisi ini
muncul pada saat adanya perubahan hormonal tersebut di atas(Misnadiarly, 2007).
Agoes dan Maria (2003) menyatakan bahwa bila remaja mengkonsumsi
makanan dengan kandungan energi sesuai yang dibutuhkan tubuhnya maka tidak
ada energi yang disimpan. Sebaliknya remaja dalam mengkonsumsi energi melebihi
kebutuhan tubuh maka kelebihan enegi akan disimpan sebagai cadangan energi.
Universitas Sumatera Utara
Cadangan energi secara berkesinambungan ditimbun setiap hari yang akhirnya
menimbulkan obesitas.
Kondisi psikologis dan keyakinan seseorang berpengaruh terhadap asupan
makanan. Faktor stabilitas emosi berkaitan dengan obesitas. Keadaan obesitas
merupakan dampak dari pemecahan masalah emosi yang dalam, dan ini merupakan
suatu pelindung bagi yang bersangkutan. Dalam kedaan semacam ini menghilangkan
obesitas tanpa menyediakan pemecahan masalah yang tepat, justru akan
memperberat masalah (Misnadiarly, 2007).

2.4. Konsekuensi Obesitas terhadap Kesehatan
Konsekuensi obesitas terhadap kesehatan sangat bervariasi mulai dari
kematian premature sampai kualitas hidup yang rendah. Umumnya obesitas dikaitkan
dengan Non Communicable Diseases seperti CVD, kanker, dan berbagai gangguan
psikososial. Untuk memberi gambaran yang jelas dikelompokkan sebagai berikut
(Soegih, 2009):
Tabel 2.3. Resiko Relative (RR) terjadinya Masalah Kesehatan yang
Berhubungan dengan Obesitas
Resiko relatif
meningkat tajam
Resiko relatif
meningkat sedang
Resiko relatif
meningkat ringan
RR 3 RR 2-3 RR >1-<2
- Diabetes mellitus
- Resistensi insulin
- Hipertensi
- Dislipidemia
- Sleep apnoe
- Kandung empedu
- PJ K
- Osteoartritis
- Hiperurisemia
- Gout
- Gangguan fertilitas
- Low back pain
- Kanker
- Abnormal hormone
reproduksi
- Sindrom polikistik
ovarium
- Defek pada bayi dari
ibu yang obes
Sumber : Khaodar dan Blackburn, 2005 dengan modifikasi
Universitas Sumatera Utara
Wiramihardja (2007) menyatakan, bahwa orang dewasa yang obesitas
berisiko untuk mengendap bebeapa penyakit kronis non infeksi tertentu. Beresiko
artinya bila dibandingkan dengan orang berbadan normal, penderita obesitas lebih
berpeluang untuk mengindap penyakit non infeksi tersebut. Penyakit kronis non
infeksi yang menjadi resiko kegemukan atau disebut penyakit penyerta obesitas
terbagi dalam golongan yang tidak membahayakan tetapi tidak mengganggu, dan
golongan yang membahayakan. Golongan penyakit ppenyerta obesitas yang tidak
membahayakan tetapi menggangu adalah gangguan pernafasan, nyeri tulang,
gangguan kulit, dan ketidaksuburan. Sedangkan golongan penyakit penyerta obesitas
yang membahayakan adalah :
1. Gangguan jantung dan pembuluh darah (hipertensi, stroke, PJ K)
2. Resisten terhadap hormone insulin (DM Tipe 2)
3. Kanker usus dan beberapa kanker yang berkaitan dengan hormone
4. Penyakit hati dan kantung empedu

2.5. Pencegahan Obesitas
Prinsip pencegahan obesitas adalah menurunkan berat badan dengan cara
menciptakan defisit energi dengan mengurangi konsumsi energi atau menambah
penggunaan energi melalui olahraga yang teratur (Wiramihardja, 2007).
Aktif berolah raga adalah salah satu cara menurunkan berat badan di
samping berdiit mengurangi makanan berlemak dan gula. Tetapi remaja gemuk
merasa malu ikut olah raga, dan sikap yang demikian akan membuat badan tetap atau
Universitas Sumatera Utara
malah bertambah gemuk. Cara lain menurunkan berat badan adalah dengan cara
berdiit, tetapi diit yang ketat juga berbahaya terhadap kesehatan karena selain
mengurangi konsumsi energi juga mengurangi konsumsi zat-zat gizi lainnya. Oleh
karena itu, dalam menjalankan program diit, maka ahli gizi atau dokter perlu
dimintakan nasehatnya (Depkes RI, 2000).
Barasi (2010) menambahkan bahwa pencegahan obesitas dapat dilakukan
dengan melalui pendekatan diet dan gaya hidup dengan mengintegrasikan :
perubahan perilaku, pengaturan diet dan peningkatan aktivitas fisik. Pencegahan
dapat dilakukan pada tingkat individu dan tingkat komunitas. Adapun pencegahan
obesitas pada tingkat individu antara lain :
Mengubah pemilihan makanan menjadi lebih sehat, dan berimbang
Menurunkan asupan energi total sehingga sebanding dengan pengeluaran
energi melalui pengurangan ukuran porsi makan
Mengatur pemilihan kudapan yang lebih sehat
Melakukan lebih banyak aktivitas fisik.
Sedangkan pencegahan obesitas pada tingkat komunitas berupa kebijakan
yang mendukung upaya pencegahan tingkat individu, diantaranya adalah :
Kebijakan tentang pencantuman label makanan untuk memudahkan
masyarakat mendapatkan makanan sehat
Industri makanan memperkecil ukuran hidangan
Membatasi iklan promosi makanan yang kurang menyehatkan
Universitas Sumatera Utara
Mendorong aktivitas berjalan, bersepeda, dan olahraga lain dengan
memperhatikan keamanan/keselamatan di jalan raya dan lingkungan
perkotaan.

2.6. Konsumsi dan Tingkat Kecukupan Zat Gizi
Konsumsi zat gizi sehari-hari dipengaruhi oleh ketersediaan bahan pangan
dalam keluarga. Ketersediaan bahan makanan dalam rumah tangga tergantung dari
pendidikan, kemampuan untuk membeli dan ketersediaan bahan makanan di pasaran
dan produksi (Tabor, et al, 2000). Konsumsi makanan berpengaruh terhadap status
gizi seseorang. Status gizi yang optimal apabila tubuh memperoleh cukup zat-zat gizi
yang dapat digunakan secara efisien (Almatsier, 2003).
Kebutuhan energi bervariasi tergantung aktivitas fisik. Seseorang yang
kurang aktif dapat menjadi kelebihan berat badan atau obesitas walaupun asupan
energi lebih rendah dari kebutuhan energi yang direkomendasikan. Hasil penelitian
di Barat menunjukkan bahwa rata-rata konsumsi energi orang gemuk sama atau
sedikit lebih kecil dari konsumsi energi rata-rata penduduk yang berbadan normal.
Tetapi penggunaan energinya lebih rendah daripada rata-rata orang yang berbadan
normal. Mereka lebih tidak aktif sehingga keseimbangan energinya tetap surplus
(Wiramihardja, 2007).
Kecukupan gizi adalah rata-rata asupan gizi harian yang cukup untuk
memenuhi kebutuhan gizi bagi hampir semua (97,5%) orang sehat dalam kelompok
umur, jenis kelamin dan fisiologis tertentu. Nilai asupan harian zat gizi yang
Universitas Sumatera Utara
diperkirakan dapat memenuhi kebutuhan gizi mencakup 50% orang sehat dalam
kelompok umur, jenis kelamin dan fisiologis tertentu disebut dengan kebutuhan gizi
(Hardinsyah dan Tampubolon 2004).
Kecukupan energi dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu umur, jenis
kelamin, ukuran tubuh, status fisiologis, kegiatan, efek termik, iklim dan adaptasi.
Untuk kecukupan protein dipengaruhi oleh faktor-faktor umur, jenis kelamin, ukuran
tubuh, status fisiologi, kualitas protein, tingkat konsumsi energi dan adaptasi
(Hardinsyah dan Tampubolon 2004). Angka kecukupan energi dan zat gizi untuk
usia mahasiswa yang digunakan dalam penelitian ini seperti terlihat pada Tabel 2.4.
Tabel 2.4. Angka Kecukupan Energi dan Protein untuk
Mahasiswa
Usia(thn) Energi
(kkal/hr)
Protein
(g/hr)
Laki-Laki
16-18 2600 65
19-29 2550 60
Wanita
16-18 2200 50
19-29 1900 50
Sumber: WNPG VIII, 2004

Untuk menilai kecukupan konsumsi pangan maka didekati dengan
menghitung tingkat kecukupan gizinya atau besarnya persentase angka kecukupan
gizi. Pada penelitian ini tingkat kecukupan konsumsi zat gizi dinyatakan sebagai
tingkat kecukupan energi, protein, karbohidrat, lemak dan serat. Angka kecukupan
gizi adalah nilai yang menunjukkan jumlah zat gizi yang diperlukan tubuh untuk
Universitas Sumatera Utara
hidup sehat setiap hari bagi hampir semua populasi menurut kelompok umur, jenis
kelamin dan kondisi fisiologis tertentu seperti kehamilan dan menyusui.
Angka kecukupan gizi berguna sebagai nilai rujukan yang digunakan untuk
perencanaan dan penilaian konsumsi makanan dan asupan gizi bagi orang sehat, agar
tercegah dari defisiensi ataupun kelebihan asupan zat gizi (IOM 2002 dalam Muhilal
& Hardinsyah 2004). Tingkat kecukupan energi dinyatakan sebagai hasil
perbandingan antara konsumsi energi aktual (Susenas) dengan kecukupan energi
yang direkomendasikan oleh WNPG tahun 2004, dan dinyatakan dalam persen.
Demikian pula untuk menghitung tingkat kecukupan protein, dinyatakan sebagai
perbandingan antara konsumsi protein aktual dengan kecukupan protein yang
direkomendasikan WNPG. Perhitungan tingkat kecukupan gizi dirumuskan sebagai
berikut :
a. Tingkat kecukupan energi
TKE =[(Konsumsi energi aktual)/(Angka kecukupan energi)] x 100%
b. Tingkat kecukupan protein
TKP : [(Konsumsi protein aktual)/(Angka kecukupan protein)] x 100%
Selanjutnya dari perhitungan tersebut tingkat kecukupan energi dan protein
diklasifikasikan menurut Departemen Kesehatan sebagaimana dikutip oleh Badan
Ketahanan Pangan (2006) yaitu: (1) TKE: <70% adalah defisit berat, (2) TKE: 70 -
79% adalah defisit sedang, (3) TKE: 80 89% adalah defisit ringan, (4) TKE: 90 -
119% adalah normal, dan (5) TKE >120% adalah kelebihan.
Universitas Sumatera Utara
Karbohidrat merupakan zat gizi utama sumber energi bagi tubuh.
Dalam1gram karbohidrat menghasilkan 4 kalori (almatsier, 2003). Terpenuhinya
kebutuhan tubuh akan karbohidrat menentukan jumlah energi yang tersedia bagi
tubuh setiap hari. Menurut Pedoman Umum Gizi Seimbang (PUGS) kecukupan
karbohidrat yang baik adalah setengah dari kebutuhan energi (50-60%). J ika lebih
dari itu, kemungkinan zat-zat lain akan sulit terpenuhi kebutuhannya (Depkes, 2002).
Lemak terdiri dari fosfolipid, sterol, dan trigliserida. Sebagian besar lemak
(99%) terdiri dari trigliserid yang terdiri dari asam lemak dan gliserol (Hardinsyah &
Tambunan 2004). Fungsi lemak dan minyak dalam makanan adalah membantu
penyerapan vitamin A, D, E, K, menambah energi dan melezatkan makanan. Lemak
dikelompokkan menjadi 3 menurut tingkat pencernaanya asam lemak jenuh yang
sulit dicerna, asam lemak tidak jenuh tunggal yang mudah dicerna, dan asam lemak
tidak jenuh ganda yang paling mudah dicerna (Depkes, 2002).
Lemak merupakan penyumbang energi terbesar dibandingkan zat gizi
lainnya. 1 gram lemak mengandung 9 kkal, dibandingkan karbohidrat dan protein
yang menghasilkan 4 kkal per gramnya. Anjuran konsumsi lemak tidak melebihi
30% dari total energi yang dianjurkan (Soedjiningsih, 2004).
Penilaian jumlah dan jenis makanan yang di konsumsi individu menurut Hadi
(2003) dan Gibson (1990), dapat dikelompokkan menjadi :
1. Mengingat makanan (food recall) yang dimakan oleh individu selama 24 jam
sebelum dilakukan wawancara. Contoh makanan (food model) dapat dipakai
sebagai alat bantu. J umlah bahan makanan yang dikonsumsi diperkirakan atau
Universitas Sumatera Utara
dihitung dengan ukuran rumah tangga yang kemudian dikonversikan ke dalam
ukuran berat. Pemakaian metode food recall ini digunakan untuk mengukur rata-
rata konsumsi makanan dan zat gizi kelompok masyarakat yang jumlahnya besar.
2. Pencatatan makanan yang dimakan (food records) oleh individu dalam jangka
waktu tertentu, jumlahnya ditimbang dan diperkirakan dengan ukuran rumah
tangga.
3. Frekuensi konsumsi makanan (food frequency questionaire) adalah recall
makanan yang dimakan pada waktu lalu. Kuesioner terdiri dari daftar bahan
makanan dan frekuensi makan. Cara ini merekam keterangan tentang berapa kali
konsumsi bahan makanan dalam sehari, seminggu, sebulan, tiga bulan atau jangka
waktu tertentu.
4. Riwayat makan (dietary history) yaitu mencatat apa saja yang dimakan dalam
waktu lama. Cara ini memerlukan petugas wawancara yang terlatih. Periode yang
diukur biasanya adalah selama 6 bulan atau 1 tahun yang lalu. Metode wawancara
ini merupakan modifikasi dari cara recall 24 jam untuk dapat memperoleh
informasi tentang makanan yang dikonsumsi, frekuensi dan kebiasaan makan.

2.7. Serat Makanan (Dietary Fiber)
Secara fisiologis serat makanan didefinisikan sebagai karbohidrat yang
resisten terhadap hidrolisis oleh enzim pencernaan manusia (karena itu tidak dapat
dicerna) dan lignin. Termasuk didalamnya adalah selulosa, hemiselulosa, pektin,
lignin, gum, -glukan, fruktan dan resistant starch. Para ahli mengelompokkan serat
Universitas Sumatera Utara
makanan sebagai salah satu jenis polisakarida yang lebih lazim disebut karbohidrat
kompleks. Karbohidrat ini terbentuk dari beberapa gugusan gula sederhana yang
bergabung menjadi satu membentuk rantai kimia panjang. Akibatnya, rantai kimia
tersebut sangat sukar dicerna oleh enzim pencernaan (Arisman, 2004).
Serat makanan sering juga disebut sebagai unavailable carbohydrate,
sedangkan yang tergolong sebagai available carbohydrate adalah gula, pati dan
dekstrin, karena zat-zat tersebut dapat dihidrolisa dan diabsorpsi manusia, yang
kemudian di dalam tubuh diubah menjadi glukosa dan akhirnya menjadi energi atau
disimpan dalam bentuk lemak (Muchtadi, 2005).
Berdasarkan kelarutannya dalam air, serat dapat diklasifikasikan menjadi
serat larut (hemiselulosa, pektin, gum, psillium, -glukan, dan musilages) dan serat
tidak larut (selulosa, hemiselulosa, dan lignin). Sifat kelarutan ini sangat menentukan
pengaruh fisiologis serat pada proses-proses di dalam pencernaan dan metabolisme
zat-zat gizi (Arisman, 2004).
Serat makanan (fiber) terdapat di dalam bahan makanan nabati, seperti
sayuran dan buah-buahan, merupakan bagian tumbuhan (dinding sel, daun, kulit
buah, selaput biji-bijian, dan lain-lain) yang memiliki struktur berupa karbohidrat
kompleks. Serat makanan dapat diperoleh dari berbagai sumber makanan, seperti:
1. Serealia
Serealia adalah bahan pangan dari tanaman yang termasuk famili rumput-
rumputan (Gramineae), diantaranya padi (Oryza sativa L.), gandum
(Triticum sp.), jagung (Zea mays), dan sorgum (Sorghum vulgare L.). Serealia
Universitas Sumatera Utara
memiliki dua jenis serat, yakni serat larut air dan serat tidak larut air. Kandungan
serat tidak larut air, yakni selulosa dan hemiselulosa terdapat pada kulit luar biji
dan endospermanya. Sedangkan serat larut air, yakni musilages dan gum
terdapat pada endospermanya. Serealia yang mengandung serat, yakni oat,
gandum, jagung, beras, dan beras merah (Sediaoetama, 2008).
2. Kacang-kacangan
Bahan nabati dari golongan kacang-kacangan yang biasa dikonsumsi meliputi
kacang kedelai, kacang tanah, kacang merah, kacang tolo, serta kacang hijau
(Sulistijani, 2001).
3. Sayuran
Sayuran merupakan bagian tanaman yang dapat dikonsumsi dalam keadaan
mentah maupun matang. Bahan nabati ini sangat dibutuhkan dan harus
dikonsumsi setiap hari sesuai dengan jumlah dan komposisi yang seimbang.
Selain itu, sayuran bermanfaat bagi kesehatan tubuh karena kaya akan
kandungan vitamin, mineral dan serat. Beberapa contoh sayuran, antara lain
bayam, kangkung, daun pepaya, brokoli, tomat, paprika, bawang putih, bawang
merah, asparagus dan jamur (Sulistijani, 2001).
4. Buah-buahan
Buah-buahan sangat dianjurkan untuk dikonsumsi setiap hari. Selain dikonsumsi
dalam bentuk segar, buah-buahan juga dapat diolah dalam bentuk jus atau
dihidangkan bersama dengan sayuran. Buah-buahan sebaiknya dikonsumsi pada
saat perut sedang kosong. Tujuannya adalah agar penyerapan zat-zat tersebut
Universitas Sumatera Utara
tidak terhambat oleh kehadiran makanan lain, juga untuk menghindari
fermentasi di dalam kolon. Beberapa contoh buah-buahan yang mengandung
serat, antara lain apel, pir, jeruk, lemon, strawberi, mangga, anggur, pepaya, dan
pisang (Sediaoetama, 2008).
Konsumsi serat makanan adalah jumlah asupan dan jenis bahan pangan
sumber serat yang dikonsumsi per hari (Sulistijani, 2001). Walaupun konsumsi serat
makanan berpengaruh positif bagi tubuh dan sangat dianjurkan, namun harus
memperhatikan nilai kecukupannya bagi tubuh. Sebab, mengkonsumsi serat
makanan secara berlebihan akan berdampak negatif bagi tubuh. Tubuh akan
mengalami defisiensi mineral dan perut menjadi kembung. Kondisi ini terjadi akibat
menumpuknya serat di dalam kolon sehingga menyebabkan fermentasi serat di
dalam kolon. Fermentasi ini lalu memicu timbulnya gas, seperti gas metan, hidrogen,
dan karbondioksida di dalam sekum dan kolon yang terbentuk dari kerja enzim-
enzim bakteri yang memetabolisme serat. J umlah gas yang dihasilkan tergantung dari
serat makanan yang dikonsumsi dan flora bakterial (Isselbacher, 2000).
Kelebihan volume serat juga dapat mengurangi absorpsi mineral, seng, besi
dan kalsium. Meskipun ada bakteri di dalam usus besar yang berangsur-angsur akan
beradaptasi dengan adanya asupan serat makanan. Namun, asupan serat yang terlalu
tinggi tetap tidak dapat menghilangkan rasa kembung di dalam perut. Lebih jauh
Wirakusumah (2001), menambahkan bahwa konsumsi serat makanan yang terlalu
banyak dapat menghalangi absorpsi vitamin B12, A, D, E, dan K, oleh karena adanya
pektin. Terhalangnya absorpsi vitamin sering dijumpai pada para vegetarian. Asam
Universitas Sumatera Utara
fitat di dalam lambung para vegetarian ini mampu mengikat serat. Defisiensi
vitamin-vitamin itu sendiri bermula dari serat makanan yang larut air mengikat dan
menyingkirkan asam empedu yang berfungsi mencerna lemak di dalam tubuh
(Sulistijani, 2001).
Rekomendasi untuk Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang pasti untuk
konsumsi serat makanan belum ada. Namun, untuk diet 2000 kalori pada orang
dewasa, paling sedikit 1000 sampai 2000 kalori harus berasal dari karbohidrat
kompleks. Diet serat yang dianjurkan adalah 25 sampai 30 gram per hari untuk orang
dewasa dan 10 sampai 15 gram untuk anak-anak cukup untuk pemeliharaan tanpa
efek negatif terhadap kesehatan (Baliwati et al, 2004).
Tabel 2.5. Angka Kebutuhan Serat yang Dianjurkan (Per Orang Per Hari)
Golongan Umur Serat (gram)
Laki-laki
14-18 tahun 38 gram
19-21 tahun 38 gram
Perempuan 25 gram
14-18 tahun 25 gram
19-21 tahun
Sumber : National Academy Sciences (2007)

2.8. Aktivitas Fisik
Aktivitas fisik merupakan salah satu bentuk penggunaan energi dalam tubuh.
Oleh karena itu berkurangnya aktivitas akibat dari kehidupan tang semakin modern
dengan kemajuan teknologi yang mutakhir akan menimbulkan kegemukan.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Caspersen dkk, (1985) dalam PAGAC Report (2008), olahraga
merupakan subkategori dari aktivitas fisik yang dirancang, berstruktur, dan diulangi
serta bertujuan untuk memperbaiki satu atau lebih komponen fitness fisik. Olahraga
dan latihannya sering juga dikenal sebagai aktivitas fisik waktu lapang dengan tujuan
primer untuk menjaga fitness fisik, tingkat prestasi fisik atau kesehatan.
Aktivitas fisik dilaporkan merupakan 20-40% total pengeluaran energi.
Energi yang digunakan untuk aktivitas fisik sangat ditentukan oleh jenis aktivitas dan
lama waktu melakukan aktivitas tersebut. Aktivitas yang melibatkan kerja otot dan
dilakukan lebih lama akan memerlukan energi lebih besar (Dwiriani, 2008).
Gaya hidup yang kurang menggunakan aktivitas fisik akan berpengaruh
terhadap kondisi tubuh seseorang. Aktivitas fisik diperlukan untuk membakar energi
dalam tubuh. Bila pemasukan energi berlebihan dan tidak diimbangi dengan aktivitas
fisik yang seimbang akan memudahkan seseorang untuk menjadi gemuk
(Wirakusumah, 2001).
Aktifitas fisik remaja diukur sebagai pengeluaran kalori (caloric cost), tetapi
tidak selalu sesuai karena keuntungan dan efek kesehatan aktivitas fisik melalui
pengeluaran energi sebagai contoh lari dengan suatu intensitas tertentu, sedangkan
pengeluaran energi rendah contohnya latihan peregangan tidak berhubungan dengan
besarnya penegeluaran kalori (Subardja, 2004).
Aktivitas fisik remaja atau usia sekolah pada umumnya memiliki tingkatan
aktivitas fisik sedang, sebab kegiatan yang sering dilakukan adalah belajar di
sekolah. Kegiatan belajar yang mereka lakukan mulai pukul 07.00- 13.00 WIB.
Universitas Sumatera Utara
Tingkat aktivitas remaja laki-laki dan remaja perempuan sangat berbeda, untuk
remaja laki-laki tingkat aktivitasnya lebih tinggi dari pada perempuan. Remaja laki-
laki aktivitas fisiknya lebih berat, sebab pada usia tersebut sedang memprioritaskan
olah raga seperti hiking, sepak bola, tenis, dan berenang. Sedangkan untuk remaja
perempuan aktivitasnya lebih ringan dari remaja laki-laki seperti megerjakan
pekerjaan rumah, merawat tanaman, berdandan dan sebagainya (Subardja, 2004).
Peningkatan rata-rata pemakaian energi sebanyak 418,4 kJ (100 kkal) per hari
oleh satu populasi akan dicapai hanya dengan meningkatkan aktivitas fisik mereka
(Azwar, 2004). Aktivitas fisik tingkat sedang seperti berjalan kaki selama tiga jam
seminggu, didapati sangat mengurangi insidens dan risiko terjadinya pelbagai
penyakit kronik, terutama diabetes mellitus tipe 2, obesitas, hipertensi, penyakit
kardivaskuler, depresi, kegelisahan dan banyak jenis kanker (Chakravarthy et al,
2002).

2.9. Uang Saku
Pemberian uang saku kepada anak merupakan bagian dari pengalokasian
pendapatan keluarga kepada anak untuk keperluan harian, mingguan atau bulanan,
baik untuk keperluan jajan maupun keperluan lainnya, seperti untuk alat tulis,
menabung dan lain-lain. Pemberian uang saku ini memberikan pengaruh kepada anak
untuk belajar mengelola dan bertanggung jawab atas uang saku yang dimilikinya
(Thoha, 2003).
Universitas Sumatera Utara
Salah satu alasan penting yang menyebabkan anak mengkonsumsi makanan
yang lebih beragam adalah peningkatan pendapatan yang dalam hal ini adalah uang
saku (Kurniawan,2000). Berdasarkan hasil penelitian Yuflida (2001) diketahui
bahwa besar uang jajan berhubungan dengan frekuensi jajan. Dengan uang saku yang
berlebih memberikan peluang pada seseorang untuk membeli dan mengonsumsi
makanan lebih banyak ragamnya dan kuantitasnya.

2.10. Pengaruh Konsumsi Energi dan Lemak terhadap Obesitas
Obesitas disebabkan oleh konsumsi energi yang melebihi kebutuhan sehari-
hari untuk memelihara dan memulihkan kesehatan, proses tumbuh kembang dan
melakukan aktifitas jasmani, yang berlangsung secara terus menerus dalam jangka
waktu yang cukup lama. Faktor makanan ini merupakan faktor yang terpenting untuk
terjadinya kegemukan. Banyaknya pilihan jenis makanan, tersedianya makanan
sepanjang hari dan metode pengawetan makanan yang semakin canggih
berpengaruh terhadap tingginya asupan energy (Barasi, 2007).
Apabila konsumsi energi melebihi dari yang dibutuhkan, maka jaringan
adiposa meningkat disertai dengan peningkatan kadar leptin dalam peredaran darah.
Leptin kemudian merangsang anorexigenic center di hipotalamus agar menurunkan
produksi Neuro Peptide Y (NPY), sehingga terjadi penurunan nafsu makan.
Demikian pula sebaliknya bila kebutuhan energi lebih besar dari konsumsi
energi, maka jaringan adiposa berkurang dan terjadi rangsangan pada orexigenic
center di hipotalamus yang menyebabkan peningkatan nafsu makan. Pada sebagian
Universitas Sumatera Utara
besar penderita obesitas terjadi resistensi leptin, sehingga tingginya kadar leptin tidak
menyebabkan penurunan nafsu makan (Harrison, 2003).

Penelitian Croezen (2007) menunjukkan, pola makan yang tidak teratur pada
remaja seperti tidak sarapan pagi, asupan alkohol, dan rendahnya aktivitas fisik
menyebabkan obesitas pada masa remaja (Indeks Massa Tubuh/IMT meningkat).
Penelitian desain potong lintang tersebut mengikut sertakan 25.000 remaja laki-laki
dan perempuan menemukan bahwa faktor yang paling berhubungan dengan obesitas
adalah tidak sarapan pagi. Toshcke (2007) menyatakan, adanya peningkatan berat
badan pada masa pertumbuhan dan pubertas merupakan faktor risiko terjadinya
obesitas dewasa. Penelitan kohor tersebut mengikut sertakan 505 anak laki-laki dan
perempuan, menemukan obesitas usia 7 dan 11 tahun berkaitan erat dengan
terjadinya obesitas setelah 23 tahun kemudian.
Almatsier (2003) menyatakan, bahwa keseimbangan energi dicapai bila
energi yang masuk ke dalam tubuh melalui makanan sama dengan energi yang
dikeluarkan. Keadaan ini akan menghasilkan berat badan ideal/normal. Kelebihan
energi terjadi apabila konsumsi energi melalui makanan melebihi energi yang
dikeluarkan. Kelebihan energi ini akan diubah menjadi lemak tubuh. Akibatnya,
terjadi berat badan lebih atau kegemukan. Kegemukan bisa disebabkan oleh
kebanyakan makan dalam hal jenis karbohidrat, lemak maupun protein, tetapi juga
karena kurang gerak.
Perubahan budaya makan ternyata dapat menyokong kecendrungan terjadinya
kegemukan khususnya di negara maju dan pada sebagian masyarakat perkotaan di
Universitas Sumatera Utara
negara berkembang. Kebiasaan makan keluarga suka ditiru olek anak anak, misalnya
makan berlebihan, frekuensi makan sering, kelebihan snack dan makan di luar waktu
makan (Wirakusumah, 2001).
2.11. Pengaruh Konsumsi Serat terhadap Obesitas
Individu dengan intake tinggi serat beresiko lebih rendah secara signifikan
untuk mengembangkan penyakit jantung koroner, stroke, hipertensi, diabetes,
obesitas, dan penyakit pencernaan tertentu. Meningkatnya asupan serat menurunkan
tekanan darah dan kadar kolesterol serum. Peningkatan asupan serat larut
meningkatkan glikemia dan sensitivitas insulin pada individu non-diabetes dan
diabetes. Serat suplementasi pada orang obesitas secara signifikan meningkatkan
penurunan berat badan (
Peningkatan asupan serat makanan bermanfaat untuk pengobatan obesitas dan
diabetes melitus. Makanan kaya serat biasanya mengenyangkan tanpa kandungan
kalori yang banyak. Diet normal yang disuplementasikan dengan serat berbentuk gel,
seperti guar gum meningkatkan rasa kenyang karena memperlambat waktu
pengosongan lambung. Studi-studi panjang sebelumnya telah menjelaskan kegunaan.
Studi jangka panjang belakangan
Anderson J W, et al 2009).
telah mengkonfirmasi manfaat dari serat kental
sebagai tambahan untuk pengobatan diet reguler obesitas. Terlepas dari efek yang
bermanfaat selama pembatasan kalori, serat makanan dapat meningkatkan beberapa
penyimpangan metabolisme yang terlihat pada obesitas. Gel pembentuk serat sangat
efektif dalam mengurangi peningkatan kolesterol LDL tanpa mengubah fraksi HDL.
Efek ini mungkin berhubungan dengan bahan pembentuk gel dari serat yang
Universitas Sumatera Utara
mengarah ke peningkatan viskositas dari lapisan unstirred sehingga menunda proses
penyerapan (

Anderson J W, et al 2009).
2.12. Pengaruh Aktivitas Fisik dengan Obesitas
Apabila melakukan aktivitas fisik, hormon dan hasil metabolisme akan
meningkat di darah dan jaringan tubuh serta aktivitas otot menghasilkan panas dan
peningkatan suhu inti yang juga dikenal sebagai hiperthermia akibat olahraga
(exercise induced hyperthermia, EIH). Menurut Radomski (1998), banyak faktor
yang mempengaruhi regulasi pelepasan hormon sewaktu berolahraga, seperti
intensitas dan durasi olahraga, fitness fisik subjek, kekurangan oksigen dan
ketersediaannya sewaktu olahraga, serta perubahan asidosis dan hasil metabolisme
yang bersirkulasi. Namun, satu faktor yang sering kurang diperhatikan adalah EIH.
Peningkatan metabolisme membakar lemak di tubuh dan membebaskan panas
Hemmingsson (2006), dalam penelitiannya melaporkan adanya hubungan
antara aktivitas fisik dan IMT bervariasi bergantung kepada status obesitas
responden. Aktivitas fisik memberi efek yang baik terhadap IMT kelompok
responden yang obese berbanding kelompok responden yang bukan obes. Dimana
tingkat aktivitas yang berat lebih memberi efek terhadap IMT responden yang obese
dibanding tingkat aktivitas yang rendah dengan obesitas. Sedangkan menurut
Petersen, L (2004), melaporkan bahwa thermogenesis dari aktivitas fisik yang ringan
dan sedang memberi rintangan dalam peningkatan berat badan. Apabila seseorang itu
memang sudah tergolong sebagai underweight, aktivitas fisik yang terlalu banyak
Universitas Sumatera Utara
akan mengurangi penyimpanan energi pada badannya dan menyebabbkan
underweight.
Satu studi yang dilakukan pada tikus yang obese akibat diet, menunjukkan
bahwa olahraga memberi efek pada jaras sentral yang meregulasi homeostasis energi.
Pada tikus yang obese akibat diet ini, aktivitas berlari roda mengurangi penumpukan
lemak di adiposit secara selektif tanpa meningkatkan kebutuhan energi. Efek ini
mungkin diakibatkan sinyal yang dihasilkan oleh aktivitas olahraga seperti
interleukin-6, asam lemak dan panas yang memberi efek umpan balik ke otak untuk
regulasi sistem neuropeptida sentral yang berperan dalam regulasi homeostasis
energi (Patterson & Levin, 2007).
Penggunaan energi setiap hari pada setiap individu bervariasi berdasarkan
aktivitas yang dilakukannya. Misalnya, seorang yang duduk menggunakan energi
basal yang sangat rendah, dapat meningkatkan kebutuhan kalori harian sebanyak 500
kalori dengan berenang selama satu jam. Apabila pengambilan energi harian
melebihi permintaan jumlah energi, kelebihan energi itu akan disimpan sebagai
trigliserida di jaringan adiposa. Apabila penggunaan kalori melebihi kalori yang
disediakan melalui diet, cadangan energi akan di ubah dan ini akan menyebabkan
penurunan berat badan. Hal ini berpengaruh dalam arti penghitungan kalori dalam
program pengaturan berat badan melalui olahraga. Pada seorang yang underweight,
penggunaan kalori yang meningkat akibat aktivitas fisik yang terlalu tinggi akan
mula membakar otot-ototnya sebagai pengganti lemak dan akan memperparah lagi
keadaannya (Martini, 2006).
Universitas Sumatera Utara
2.13. Landasan Teori
Faktor penyebab terjadinya obesitas adalah faktor genetik, faktor hormonal,
penyakit tertentu, faktor lingkungan, psikologi, gaya hidup, sosial ekonomi dan
aktivitas fisik.
Menurut Syarif (2003) obesitas terjadi karena ketidakseimbangan asupan
energi dengan keluaran energi sehingga terjadi kelebihan energi yang selanjutnya
disimpan dalam bentuk jaringan lemak. Asupan energi yang berlebihan disebabkan
oleh konsumsi yang melebihi kebutuhan. Pengeluaran energi yang rendah
disebabkan oleh rendahnya metabolisme tubuh, aktivitas fisik dan efek termogenesis
makanan.
Perubahan pola makan yaitu kecenderungan mengkonsumsi makanan dengan
kalori berlebihan disertai kurangnya aktivitas fisik menyebabkan kejadian obesitas
cenderung meningkat (Malfeis et al., 2001).
Obesitas terjadi pada individu yang mempunyai kebiasaan makan lebih
banyak terutama makanan yang berlemak dan mempunyai pengeluaran energi yang
lebih rendah dibandingkan pada individu yang mempunyai berat badan normal.
Lemak sering dianggap sebagai faktor yang berperan besar dalam terjadinya obesitas.
Lemak merupakan makronutrien paling padat energi. J ika asupan lemak tidak diatur
maka akan terjadi konsumsi energi berlebihan. Asupan energi dan lemak yang
berlebihan menjadi salah satu penyebab obesitas (Wahlqvist, 1997). Mekanisme
yang menjelaskan terjadinya obesitas disajikan pada Gambar 2.1.

Universitas Sumatera Utara

























Gambar 2.1. Mekanisme Terjadinya Obesitas (Wahlqvist, 1997).











Tin
gkat
Pen

Sosi
al
k

Asupan
Energi
Tinggi

Gay
a Hidup

Fak
tor
Lin



Psi

Asupa
n lemak
Tinggi
H
orm

Obesitas
kti


en

en


Universitas Sumatera Utara
Kejadian
Obesitas
- Uang Saku
- Asupan energi
- Asupan protein
- Asupan karbohidrat
- Asupan lemak
- Asupan serat
Aktivitas Fisik
2.14. Kerangka Konsep Penelitian
Berdasarkan landasan teori di atas, kerangka konsep penelitian disajikan pada
Gambar 2.2.
Variabel Independen Variabel Dependen









Gambar 2.2. Kerangka Konsep Penelitian


Universitas Sumatera Utara

You might also like