Pro 1. Tidak efektifnya penyelesaian masalah pemilu oleh MK karena banyaknya kasus pemilu yang disidangkan oleh MK. 2. Pemilukada itu rezim pemilu daerah sehingga menjadi kewenangan MA tetapi apabila rezim pemilu nasional itu kewenangan MK. 3. Untuk menghemat biaya dan efisien waktu 4. Solusi Kesempatan untuk memperbaiki kewenangan MA dan MK melalui amandemen kelima dan revisi UU No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan UU No. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Prinsip speedytrial ,mengenai peradilan yang murah Kontra 1. Pasal 24A UUD NRI 1945 bahwa Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang 2. Pasal 24C UUD NRI 1945 bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum 3. Pasal 10 ayat 1 UU No. 8 tahun 2011 tentang Perubahan atas UU No. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk : a. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negera Republik Indonesia Tahun 1945 b. memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 c. memutus pembubaran partai politik; dan d. memutus perselisihan tentang hasil pemilihan. 4. Pasal 31 ayat (1) bahwa UU No. 5 tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung bahwa Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji peraturan perundang- undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang. 5. Meski ada pernyataan bahwa jauh lebih efisien jika pihak penggugat di daerah cukup mendaftarkan gugatannya ke pengadilan tinggi (PT) setempat. Jika ditangani MK, penggugat harus datang ke Jakarta sehingga memakan waktu dan biaya yang besar. 6. Pernyataan ini mudah saja dibantahkan karena saat ini untuk mendaftarkan perkara ke MK bisa lewat onlinemelalui situs MK. Jika sidang tidak bisa ke Jakarta maka bisa dilakukan melalui teleconfrence. Jangan kolot bung ini zaman sudah maju. Jika ingin diajukan ke MA atau peradilan dibawah MA tentu saja akan memakai dana lagi. Maka sama saja bila diajukan ke MA. MK tentu setuju saja apabila tugasnya dikurangi tetapi masalahnya disini adalah tanggung jawab. Karena MK dinilai mampu menangani tugas ini. Apakah ada asalan terselubung MA mangajukan untuk menangani pemilukada kembali. 7. Sengketa atau perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah (pemilukada) sebagaimana yang terjadi dalam praktik pemilukada di Indonesia, pada dasarnya merupakan sengketa hukum (rechtsstrijd). Secara teoretikal, sengketa hukum (rechtsstrijd) sekaligus pula merupakan sengketa kepentingan (belangenstrijd). Dalil ini melandasi pemikiran, bahwa tiap aturan hukum yang dirumuskan secara umum didasarkan pada suatu tindakan menimbang-nimbang (afweging, penimbangan) kepentingan individual dan/atau kolektif. Peradilan perselisihan hasil pemilukada di Indonesia sebagai peradilan kontentius merupakan peradilan yang menurut hukum positif Indonesia berada di bawah kompetensi Mahkamah Konstitusi, terutama semenjak tahun 2008, pembentuk undang-undang (DPR dan Presiden) melalui Pasal 236C perubahan Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mengatur, bahwa : penanganan sengketa hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh Mahkamah Agung dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi paling lama sejak UU ini diundangkan. 8. Pada tanggal 29 Oktober 2008 Mahkamah Agung secara resmi menyerahkan perkara Pemilukada yang sedang ditanganinya. Dalam serah terima tersebut, juga disepakati bahwa perkara-perkara yang sudah terlanjur disidangkan oleh Mahkamah Agung tetap dilanjutkan. 9. Terkait dengan penyelesaian secara yudisial terhadap perkara-perkara perselisihan hasil pemilukada ini, ada 2 (dua) peraturan yang mengatur tentang Hukum Acara yang menjadi landasan hukumnya, yaitu : 10. 1) Hukum Acara Mahkamah Konstitusi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi ini merupakan Hukum Acara yang bersifat umum (lex generalis); dan 2) Hukum Acara Penyelesaian Perselisihan Pemilukada sebagaimana diatur dalam PMK Nomor 15 Tahun 2008. Hukum Acara ini merupakan Hukum Acara yang bersifat khusus (lex specialis). 11. Kesimpulan 12. Sengketa atau perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah (pemilukada) sebagaimana yang terjadi dalam praktik pemilukada di Indonesia, pada dasarnya merupakan sengketa hukum (rechtsstrijd), dan sengketa hukum (rechtsstrijd) ini sekaligus pula merupakan sengketa kepentingan (belangenstrijd). Mahkamah Konstitusi memiliki Hukum Acara yang digunakan dalam memeriksa, mengadili dan memutuskan perkara perselisihan hasil pemilukada di Indonesia. Hukum Acara Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilukada ini diatur dalam : Hukum Acara Mahkamah Konstitusi sebagaimana dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003; Hukum Acara Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilukada sebagaimana dituangkan dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 15 Tahun 2008. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi sebagaimana dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 merupakan kaidah hukum formil/prosedural yang bersifat umum (lex generalis), dan Hukum Acara Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilukada sebagaimana dituangkan dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 15 Tahun 2008 merupakan kaidah hukum formil/prosedural yang bersifat khusus (lex specialis). Peran Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara yang mempunyai kewajiban menjaga tegaknya konstitusi dan demokrasi semakin penting. Berdasarkan ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 10 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi jis Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, salah satu kewenangan konstitusional Mahkamah Konstitusi (MK) adalah memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum dan pemilukada. Pasal 236C Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2008 menetapkan bahwa penanganan sengketa hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah oleh Mahkamah Agung dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi paling lama 18 (delapan belas) bulan sejak undang-undang ini diundangkan. Kemudian pada 29 Oktober 2008, Ketua Mahkamah Agung dan Ketua Mahkamah Konstitusi menandatangani Berita Acara Pengalihan Wewenang Mengadili, sebagai pelaksanaan Pasal 236C undang-undang tersebut. Dengan demikian, secara formil kewenangan Mahkamah Konstitusi bertambah, di samping menyelesaikan perkara perselisihan hasil pemilu, Mahkamah Konstitusi juga memiliki kewenangan untuk menyelesaikan perselisihan hasil pemilukada di Indonesia. Melengkapi pengaturan tentang mekanisme persidangan dalam penyelesaian sengketa/perselisihan Pemilukada, Mahkamah Konstitusi membentuk Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah. Jika harus dilakukan amandemen maka tidak bisa memenuhi dilakukannya amandemen yaitu keadaan yang mendesak dan konstitusi terancam serta hal-hal yang lama belum diatur serta adanya kebutuhan baru.