You are on page 1of 17

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kemampuan untuk mengganti atau memperbaiki jaringan yang rusak atau bahkan seluruh bagian
tubuh merupakan impian dari para dokter. Transplantasi adalah memindahkan alat atau jaringan
tubuh dari satu orang ke orang lain. Hal tersebut merupakan tindakan pilihan bila suatu alat atau
jaringan tubuh yang vital rusak dan tidak dapat diperbaiki lagi akibat proses penyakit. Hukum
transplantasi adalah bahwa tandur akan diterima bila resipien dan donor memiliki gen
histokompatibilitas tertentu yang sama (Baratawidjaja, 2010).
Pada skenario kali ini dituntut untuk membahas mengenai transfusi darah beserta resiko, efek
samping, dan mekanismenya, transplantasi organ meliputi mekanisme serta pandangan dari
berbagai aspek, dan imunodefisiensi yang telah dipaparkan di skenario di bawah ini. Berikut skenario
yang akan dibahas:
Pak Eko datang ke rumah Pak Andi menyampaikan kabar bahwa istri Pak Eko, sedang dirawat di
rumah sakit karena gagal ginjal dan perlu mendapatkan transfusi darah karena kadar hemoglobinnya
terus menurun. Pak Andi pernah membaca bahwa beberapa penyakit bisa ditularkan melalui
transfusi, seperti hepatitis, malaria, sifilis bahkan HIV/AIDS. Apakah tidak beresiko untuk istri Pak Eko
ya? Pak Eko menyatakan bahwa transfusi hanya bersifat sementara. Dokter berharap istri Pak Eko
bisa menjalani operasi cangkok ginjal. Tapi tidak mudah mendapatkan organ donor. Karena kalau
tidak cocok, akan ditolak oleh tubuh penerima. Padahal, tubuh istri Pak Eko makin lemah.
Menurut dokter, daya imunnya juga terus menurun, baik karena perkembangan penyakit, diet yang
ketat maupun terapi yang harus diterimanya. Pak Andi kembali teringat anak tetangganya yang
imunisasinya tidak berhasil juga dikatakan anak tersebut mempunyai daya imun yang lemah. Apakah
sama ya dengan istri Pak Eko? Pak Eko meminta Pak Andi mau mendonorkan darahnya. Tetapi Pak
Andi ragu-ragu karena dahulu pernah terjadi saudaranya saat mendapat transfusi tiba-tiba gatal-
gatal dan sesak nafas. Kata dokter itu karena darahnya tidak cocok. Ada juga kasus ibu guru di
sekolah Pak Andi yang pernah mengalami keguguran yang oleh dokter dikatakan karena darah janin
dan darah ibunya tidak cocok. Sebenarnya yang tidak cocok apanya ya?

B. Rumusan Masalah
1. Apakah transfusi darah beresiko untuk istri Pak Eko?
2. Apakah lemahnya imun berpengaruh pada keberhasilan cangkok ginjal?
3. Apa saja penyebab darah transfusi tidak cocok bagi resipiennya?

C. Tujuan
a. Untuk mengetahui informasi yang terkait dengan transplantasi organ, termasuk indikasi,
kontra indikasi dan faktor yang mempengaruhi transplantasi organ.
b. Untuk mengetahui informasi yang terkait dengan transfusi darah, termasuk indikasi, kontra
indikasi, syarat, faktor yang mempengaruhi, risiko, serta dampak dari transfusi darah.
c. Untuk mengetahui patofisiologi dan penyakit terkait imunodefisiensi.

D. Manfaat
1. Mengetahui informasi yang terkait dengan transplantasi organ, termasuk indikasi, kontra
indikasi dan faktor yang mempengaruhi transplantasi organ.
2. Mengetahui informasi yang terkait dengan transfusi darah, termasuk indikasi, kontra indikasi,
syarat, faktor yang mempengaruhi, resiko, serta dampak dari transfusi darah.
3. Mengetahui patofisiologi dan penyakit terkait imunodefisiensi.

BAB II
STUDI PUSTAKA

Transplantasi
Transplantasi adalah memindahkan alat atau jaringan tubuh dari satu ke orang lain (Bratawidjaja,
2010).
Jenis-jenis cangkok berdasarkan asal dari alat jaringan tubuh yang didonorkan:
1. Autograft : memakai jaringan sendiri, misal kulit
2. Isograft : transfer jaringan dari donor yang identik secara genetik (monozigot)
3. Allograft : donor dari individu berbeda tapi spesies sama
4. Xenograft : donor dari spesies yang berbeda, misal babi
Dasar genetik transplantasi:
Histokompatibel dan histoinkompatibel
Antigen Histokompatibel Mayor : gen yang menentukan apakah tandur dapat diterima
Antigen Histokompatibel Minor : gen yang eksperesinya lebih lemah daripada mayor.
Merupakan sasaran penolakan awitan lambat
Antigen Histokompatibel non-MHC
Mekanisme penolakan transplantasi:
1. Sistem seluler : berlangsung sesuai respons CMI. Gejala timbul setelah terjadi
vaskularisasi. Terjadi invasi sel tandur oleh sel-sel limfosit dan monosit melalui pembuluh darah.
Menimbulkan kerusakan pembuluh darah dan diikuti oleh nekrosis jaringan tandur.
2. Sistem humoral : sel tandur dihancurkan melalui hipersensitivitas tipe 2 yang melibatkan
antibodi humoral.
Pencegahan penolakan transplantasi:
a. Antigen Rhesus : tipe antigen Rh yang ditentukan sebekum transfusi dan reaksi transfusi
yang berhubungan dengan Rh dapat mencegah reaksi transfusi resipien Rh- dengan darah RH+
b. ABO typing
c. Cross Matching dan Tissue Typing
Cross matching: pemeriksaan serum resipien untuk memeriksa adanya antibodi
yangpreformed terhadap antigen/HLA donor, untuk mencegah reaksi penolakan hiperakut
Tissue Typing: identifikasi antigen MHC-1 dan MHC-2
d. Seleksi resipien: usia lanjut, sepsis berat, osteoporosis, kecenderungan perdarahan, banyaknya
spesifisitas yang dimiliki bersama oleh donor dan resipien
Jenis-jenis penolakan:
Penolakan hiperakut: terjadi dalam beberapa menit atau jam setelah transplantasi. Diakibatkan
oleh antibodi yang sudah dimiliki resipien terhadap organ donor
Penolakan akut: penolakan yang biasa terjadi dalam waktu 10 hari. Karena organ tandur yang
mismatch dan pengobatan imunosupresif yang kurang
Penolakan tersembunyi dan lambat: disertai endapan Ig dan C3 subendotel di membran basal
glomerulus, mungkin ditimbulkan oleh kompleks imun atau pembentukan kompleks dengan antigen
larut asal ginjal yang dicangkokkan
Penolakan kronis: hilangnya fungsi organ yang dicangkokkan secara perlahan dalam beberapa
bulan-tahun sesudah organ berfungsi secara normal. Disebabkan oleh sensitivitas yang timbul
terhadap antigen tandur atau oleh timbulnya intoleransi terhadap sel T
Organ - organ yang dapat ditransplantasi:


Ginjal
Jantung
Hati
Kornea
Kulit
Pankreas
Sumsum tulang
Sel punca


Transfusi


Transfusi darah merupakan transplantasi jaringan hidup yang mengandung banyak sumber manusia
yang kompleks yang juga membawa potensi efek samping yang tidak diinginkan pada penerima atau
resipien. Beberapa risiko transfusi sekarang telah diketahui namun ada juga yang belum. Untuk itu
perlu penilaian yang teliti dari risiko-risiko yang ada.
Transfusi darah berdasarkan sumber darah donor dibedakan menjadi dua :
1. Allotransfusi atau darah berasal dari orang lain.
2. Autotransfusi atau darah berasal dari resipien sendiri.
Sedangkan indikasi transfusi darah adalah :
a. Penggantian volume darah karena kehilangan darah akut.
b. Kekurangan eritrosit
c. Defisiensi faktor koagulasi
d. Berkurangnya jumlah leukosit atau trombosit
e. Open heart surgery
f. Transfuse tukar
IMUNOLOGI DARAH
Antigen adalah zat yang dikenali sebagai benda asing dalam tubuh dan akan menimbulkan
respon imun melalui dibentuknya antibodi yang bereaksi spesifik terhadap antigen tersebut.
Antibodi yang diproduksi oleh tubuh sebagai reaksi imun adalah immunoglobulin (Ig) dan terdiri atas
dua macam : IgM dan IgG.
Ekspresi gen pada permukaan sel, dalam hal ini sel darah, menjadi antigen apabila sel
tersebut dimasukkan ke dalam sirkulasi individu lain seperti pada proses transfusi. Hal ini dapat
menimbulkan respon imun dari tubuh resipien. Respon imun terhadap antigen sel darah individu lain
ini disebut aloimunisasi.
EFEK SAMPING TRANSFUSI
Saat ini transfusi darah sudah menjadi jauh lebih aman, namun masih terdapat beberapa
efek samping yang tetap terjadi meskipun dari pemeriksaan sebelumnya dinyatakan bahwa darah
tersebut cocok. Efek samping ini dibagi menjadi tiga kelompok :4-10
Immune-mediated reactions, dibagi menjadi immediate dan delayed.
Nonimmunologic reactions
Efek ini disebabkan oleh sifat fisik dan kimia dari komponen darah yang disimpan dan bahan
aditifnya.
Infeksi

Immune Mediated Reactions
Transfusi komponen darah dapat menstimulasi imunologi dan efek lain pada
pasien. Terdapat beberapa efek imuniologis dan efek lainnya termasuk stimulasi aloantibodi
terhadap antigen plasma sel dan protein plasma, transfer pasif antibodi terhadap antigen yang
sama, transfer pasif sel efektor imun (limfosit), dan transmisi agen infeksius yang mempengaruhi
sistem imun (contohnya HIV). Reaksi antigen-antibodi menyebabkan berbagai peristiwa yang
dimediasi imun, termasuk hemolisis, reaksi alergi, dan anafilaksis. Transfusi juga dapat menimbulkan
imunosupresi, meskipun mekanismenya masih kontroversial.4,9
Kecepatan pembersihan eritrosit yang ditransfusikan pada pasien dipengaruhi faktor
humoral, yaitu isoantibodi dan alloantibody atau karena kombinasi mekanisme imun humoral dan
selular. Meskipun faktor yang mempengaruhi proses ini kompleks, kecepatan pembersihan eritrosit
yang ditransfusikan dapat diperkirakan dengan pengetahuan tentang antigen yang terlibat.
Beberapa faktor yang menentukan kecepatan bersihan eritrosit dari sirkulasi pada respon alloimun
meliputi :4,9
o Konsentrasi antibodi dalam plasma
o Rentang suhu tertentu di mana antibodi bekerja secara efektif
o Klas dan subklas antibodi
o Densitas antigen eritrosit
Immediate Hemolytic Transfusion Reactions/ Reaksi Hemolitik Intravascular
Terjadi bila terdapat komplemen yang terikat pada permukaan sel donor yang menyebabkan
serangan kompleks (C5-9) dan melisiskan eritrosit donor. Penyebab yang paling sering adalah
inkompatibilitas ABO. Aktivasi dan fiksasi komplemen menyebabkan destruksi eritrosit dan
melepaskan agen vasoaktif (C5a) dan materi prokoagulan, sejumlah besar kompleks imun dibentuk.
Bisa juga terjadi gagal ginjal karena deposisi kompleks imun dan hipoperfusi. 4,9
Delayed Hemolytic Transfusion Reactions/ Reaksi Hemolitik Ekstravaskular
Disebabkan oleh IgG yang diproduksi setelah paparan terhadap antigen asing melalui transfusi dan
kehamilan. Paling sering terjadi pada sistem Rhesus dan beberapa antigen seperti Kell, Kidd, dan
Duffy. Reaksi ini timbul 3-10 hari sesudah transfusi.
Hemolytic Disease of the Newborn
Inkompatibilitas antara ibu dan janin terjadi bila ibu memiliki Rh negatif sedangkan ayah memiliki Rh
positif, sehingga dapat dipastikan bahwa janin memiliki Rh positif. 6,9

Tabel 5. Pola penurunan Rhesus
Destruksi trombosit
Mayoritas disebabkan oleh antibodi terhadap HLA pada leukosit dan beberapa kasus disebabkan
oleh antigen trombosit spesifik. Reaksi ini dapat dicegah dengan penggunaan filter leukoreduksi. 4,5
Reaksi demam nonhemolitik
Reaksi ini ditandai dengan demam dan menggigil disertai dengan peningkatan suhu 1C. Diagnosa
ditegakkan bila semua kemungkinan demam pada pasien sudah disingkirkan. Mekanismenya
mungkin disebabkan oleh antibodi terhadap leukosit dan antigen HLA sehingga pasien dengan
riwayat transfusi berulang dan multipara mempunyai risiko yang lebih tinggi. Pencegahannya adalah
penggunaan filter leukoreduksi pada komponen darah. Insidennya dapat dikurangi dengan
memberikan premedikasi antipiretik.5,9
Reaksi alergi
Reaksi hipersensitivitas ini timbul terhadap komponen protein plasma donor berupa timbulnya
urtikaria. Reaksi ringan dapat diatasi dengan menghentikan transfusi sementara dan memberikan
antihistamin (difenhidramin 50 mg oral ataupun intramuskular).9
Reaksi anafilaktik
Terjadi pada resipien dengan defisiensi IgA sehingga individu dengan defisiensi IgA sebaiknya
menerima plasma dengan kondisi yang sama atau komponen darah yang sudah dicuci.5
Gejalanya meliputi sesak, batuk, mual dan muntah, hipotensi, bronkospasme, kehilangan kesadaran,
gagal napas, dan syok.5
Bila terjadi reaksi ini transfusi harus segera dihentikan dan pasien diberikan epinefrin. Pada kasus
berat diperlukan pemberian steroid.4,5
Transfusion-related acute lung injury
Terjadi bila pada plasma donor mengandung antibodi anti-HLA dalam titer yang tinggi yang
menyebabkan agregasi leukosit pada pembuluh darah pulmoner dan melepaskan mediator
vasodilatasi.4
Pada pasien timbul gejala demam, menggigil, batuk kering, sesak, dan hipotensi 4-6 jam setelah
transfusi. Ada foto roentgen thoraks ditemukan edema pulmoner nonkardiogenik dan infiltrat
interstisial bilateral. 4
Terapinya suportif dan prognosisnya bonam, pasien biasanya sembuh.4



















Mekanisme Dasar Transplantasi Organ dan Konsekuensinya Terhadap Sistem Imunitas


BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Transplantasi adalah memindahkan alat atau jaringan tubuh dari satu orang ke orang lain
(Baratawidjaja, 2006). Tranplantasi ginjal telah menjadi terapi pengganti utama pada pasien gagal
ginjal tahap akhir hampir di seluruh dunia. Manfaat transplantasi ginjal sudah terbukti lebih baik
dibandingkan dengan dialisis terutama dalam hal perbaikan kualitas hidup (Susalit, 2007).
Berikut ini adalah permasalahan dalam skenario 3:
Pak Eko datang ke rumah Pak Andi, mengabarkan bahwa istri Pak Eko sedang dirawat di Rumah Sakit
karena gagal ginjal, dan sedang membutuhkan transfusi darah karena kadar hemoglobinnya terus
menurun. Pak Andi pernah membaca, bahwa beberapa penyakit dapat ditularkan melalui transfusi,
seperti hepatitis, malaria, sifilis, bahkan HIV/AIDS. Dokter berharap istri Pak Eko bisa menjalani
operasi cangkok ginjal. Tapi tidak mudah untuk mendapatkan organ donor, karena jika tidak cocok,
akan ditolak oleh tubuh penerima.
Daya imun istri Pak Eko terus menurun, baik karena perkembangan penyakit, diet yang ketat,
maupun terapi yang harus diterimanya. Ada anak tetangga Pak Andi yang imunisasinya tidak berhasil
akibat dikatakan daya imun anak tersebut lemah. Pak Eko meminta Pak Andi untuk mendonorkan
darahnya, tetapi Pak Andi ragu-ragu karena dulu pernah terjadi saudaranya saat mendapatkan
transfusi tiba-tiba gatal dan sesak nafas. Ada juga kasus ibu guru di sekolah Pak Andi yang pernah
mengalami keguguran yang oleh dokter dikatakan karena darah janin dan ibunya tidak cocok.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Gagal ginjal perlu transfusi darah karena kadar Hb terus menurun.
a. Jenis produk darah yang ditransfusikan pada pasien gagal ginjal.
b. Mekanisme penurunan Hb akibat gagal ginjal.
2. Beberapa penyakit bisa ditularkan melalui transfusi.
a. Prosedur transfusi darah.
b. Mekanisme penularan penyakit melalui transfusi.
3. Operasi cangkok ginjal apabila organ donornya tidak cocok akan ditolak oleh tubuh penerima.
a. Prosedur transplantasi organ.
b. Tinjauan aspek bioetika dan humaniora transplantasi organ.
c. Mekanisme penolakan pada transplantasi organ.
4. Daya imun terus menurun karena perkembangan penyakit, diet yang ketat, dan terapi.
a. Faktor penyebab imunodefisiensi.
b. Mekanisme penurunan daya imun akibat perkembangan penyakit, diet yang ketat, dan terapi.
5. Imunisasi anak tidak berhasil karena daya imun anak yang lemah.
a. Mekanisme kegagalan imunisasi akibat imunodefisiensi.
6. Akibat mendapatkan transfusi timbul gatal-gatal dan sesak nafas.
a. Reaksi dan komplikasi dari transfusi.
b. Mekanisme reaksi dan komplikasi transfusi.
7. Keguguran terjadi akibat darah janin dan ibunya tidak cocok.
a. Mekanisme abortus akibat ketidakcocokan rhesus.
C. TUJUAN PENULISAN
Menjelaskan imunohematologi dan transplantasi organ.
Menjelaskan gangguan sistem imun (hipersensitivitas dan imunodefisiensi).
Menjelaskan aspek etik dan hukum/legal transplantasi.
D. MANFAAT PENULISAN
Mahasiswa mampu menjelaskan imunohematologi dan transplantasi organ.
Mahasiswa mampu menjelaskan gangguan sistem imun (hipersensitivitas dan imunodefisiensi).
Menjelaskan aspek etik dan hukum/legal tranplantasi.
E. HIPOTESIS
Transplantasi organ akan mencapai angka keberhasilan yang semakin tinggi apabila hubungan
kekerabatan antara donor dengan resipien semakin dekat.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Gagal Ginjal
Gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang
ireversibel, pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis
atau transplantasi ginjal. Pada stadium paling dini penyakit ginjal kronik, terjadi kehilangan daya
cadang ginjal (renal reserve), dimana LFG (Laju Filtrasi Glomerulus) masih normal. Kemudian
perlahan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif. Sampai pada LFG 60%, masih dalam tahap
asimtomatik tetapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Pada LFG 30%, mulai
terjadi keluhan pada pasien seperti nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan kurang, dan
penurunan berat badan. Sampai pada LFG dibawah 30%, pasien memperlihatkan tanda dan gejala
uremia yang nyata, seperti anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan
kalsium, pruritus, mual, muntah, dan lainnya. Pasien juga mudah terkena infeksi seperti infeksi
saluran kemih, saluran nafas, maupun infeksi saluran cerna. Juga terjadi gangguan keseimbangan air
dan elektrolit. Jika LFG dibawah 15% akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius, dan pasien
sudah memerlukan terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy), antara lain dialisis atau
transplantasi ginjal. Pada stadium ini sudah dapat dikatakan sampai pada stadium gagal ginjal
(Suwitra, 2007).
Pasien dengan gagal ginjal kronis berat hampir selalu mengalami anemia. Penyebab terpenting dari
hal ini adalah berkurangnya sekresi eritropoietin ginjal, yang merangsang sumsum tulang untuk
memproduksi eritrosit. Jika ginjal mengalami kerusakan berat, ginjal tidak mampu memproduksi
eritropoietin dalam jumlah cukup, sehingga mengakibatkan penurunan produksi eritrosit dan
menimbulkan anemia (Guyton dan Hall, 2007).
B. Transfusi
Calon donor harus mendapat informed consent serta penjelasan mengenai risiko transfusi.
Pengujian yang dilakukan pada darah donor meliputi: penetapan golongan darah berdasarkan ABO
dan Rhesus, uji antibodi (dilakukan pada donor yang pernah mendapat transfusi atau hamil), dan uji
terhadap penyakit infeksi, yaitu HBsAg, anti HCV, tes serologi untuk sifilis, dan tes antibodi HIV.
Uji cocok silang (crossmatch) terdiri dari serangkaian prosedur yang dilakukan pra-transfusi untuk
memastikan seleksi darah yang tepat untuk pasien serta mendeteksi antibodi ireguler dalam serum
pasien. Terdapat 2 jenis uji cocok silang. Major Crossmatch Test menguji reaksi antara eritrosit donor
dengan serum resipien, sedangkan Minor Crossmatch Test menguji reaksi antara serum
donor dengan eristrosit resipien. Crossmatch mayor dilakukan pada tes pratransfusi,
sedangkan minor dilakukan sebagai tes rutin pada darah donor setelah pengumpulan darah.
Reaksi transfusi yang tidak diharapkan ditemukan pada 6,6% pasien yang menjalani transfusi.
Demam. Dapat disebabkan oleh antibodi leukosit, antibodi trombosit, atau senyawa pirogen. Untuk
menghindarinya dapat dilakukan uji pencocokan leukosit antara donor dan resipien.
Reaksi Alergi. Renjatan anafilaktik timbul pada 1 dari 20.000 transfusi. Reaksi alergi ringan yang
menyerupai urtikaria timbul pada 3% transfusi. Reaksi anafilaktik yang berat terjadi akibat interaksi
antara IgA pada darah donor dengan anti-IgA spesifik pada plasma resipien.
Reaksi hemolitik. Terjadi akibat destruksi eritrosit akibat inkompatibilitas darah. Reaksi hemolitik
juga dapat terjadi karena transfusi eritrosit yang rusak, injeksi air ke dalam sirkulasi, transfusi darah
yang lisis, pemanasan berlebihan, darah beku, darah yang terinfeksi, transfusi darah dengan tekanan
tinggi. Jika seseorang ditransfusi dengan darah atau janin memiliki struktur antigen eritrosit yang
berbeda dengan donor atau ibunya, maka dapat terbentuk antibodi pada tubuh resipien darah atau
janin tersebut, sehingga antibodi menyerang dan merusak eritrosit.
Penularan penyakit. Virus, seperti HIV, hepatitis B, dan hepatitis C serta bakteri dapat
mengkontaminasi eritrosit dan trombosit sehingga dapat menyebabkan infeksi dan sepsis setelah
transfusi.
Kontaminasi. Risiko terjadinya kontaminasi berhubungan langsung dengan lamanya penyimpanan.
Cedera paru akut (TRALI). Berupa manifestasi hipoksemia akut dan cedera pulmoner bilateral yang
terjadi 6 jam setelah transfusi. Manifestasi klinis yang ditemui adalah dispnea, takipnea, demam,
takikardi, hipo-/hipertensi, dan leukemia akut sementara. Mekanisme yang mungkin menjadi
penyebab salah satunya adalah reaksi antara neutrofil resipien dengan antibodi donor yang
mempunyai HLA atau antigen neutrofil spesifik; akibatnya terjadi peningkatan permeabilitas kapiler
pada sirkulasi mikro di paru (Djoerban, 2007).
C. Imunodefisiensi
Defisiensi imun dapat primer dengan dasar genetik yang relatif jarang dan sekunder yang lebih
sering terjadi dan ditimbulkan oleh berbagai faktor sesudah lahir. Penyakit defisiensi imun tersering
mengenai limfosit, komplemen dan fagosit.
Defisiensi imun juga dapat dibagi menjadi defisiensi imun nonspesifik (defisiensi komplemen,
interferon dan lisozim, sel NK, dan sistem fagosit) dan defisiensi imun spesifik (defisiensi kongenital
atau primer, defisiensi imun spesifik fisiologik, dan defisiensi imun didapat atau sekunder).
Defisiensi komplemen dan interferon serta lisozim didapat disebabkan oleh depresi sintesis,
misalnya sirosis hati dan malnutrisi protein/kalori. Sedangkan defisiensi sel NK didapat terjadi akibat
imunosupresi atau radiasi. Defisiensi sistem fagosit ditekankan terhadap sel PMN, yang dapat
berupa defisiensi kuantitatif dan kualitatif. Defisiensi kuantitatif berupa neutropenia atau
granulositopenia dapat disebabkan oleh penurunan produksi atau peningkatan destruksi. Defisiensi
kuantitatif adalah berupa penurunan fungsi fagosit seperti kemotaksis, menelan/memakan, dan
membunuh mikroba intraseluler.
Defisiensi imun spesifik fisiologik dapat berupa kehamilan, usia tahun pertama, dan usia lanjut.
Sedangkan defisiensi imun didapat atau sekunder merupakan defisiensi sekunder yang paling sering
ditemukan. Defisiensi tersebut mengenai fungsi fagosit dan limfosit akibat infeksi, malnutrisi, terapi
sitotoksik, dan lainnya. (tabel selengkapnya dilampirkan)
Malnutrisi. Malnutrisi dan defisiensi besi dapat menimbulkan depresi sistem imun terutama pada
imunitas seluler. Nutrisi buruk untuk jangka waktu lama dapat menghilangkan sel lemak yang
biasanya melepas hormone leptin yang merangsang sistem imun.
Infeksi. Campak dan virus lain dapat menginfeksi tubuh dan menginduksi supresi DTH sementara.
Jumlah sel T dalam sirkulasi dan respons limfosit terhadap antigen dan mitogen menurun.
Obat, trauma, tindakan kateterisasi dan bedah. Antibiotik dapat menekan sistem imun. Obat
sitotoksik dapat mengganggu kemotaksis neutrofil. Sedangkan steroid dalam dosis tinggi dapat
menekan fungsi sel T dan inflamasi.
Penyinaran. Penyinaran dosis tinggi menekan seluruh jaringan limfoid, sedangkan dosis rendah
dapat menekan aktivitas sel Ts secara selektif.
Kehilangan immunoglobulin. Defisiensi Ig dapat terjadi akibat kehilangan protein yang berlebihan
seperti pada penyakit ginjal dan diare. Pada sindrom nefrotik ditemukan kehilangan protein dan
penurunan IgG dan IgA yang berarti, sedangkan IgM normal. (Baratawidjaja, 2006).
D. Imunohematologi dan Transplantasi Organ
Sebelum transplantasi organ dilakukan, beberapa aspek yang perlu ditinjau adalah aspek etik,
hukum, dan agama (Etikomedikolegal transplantasi).
Menurut segi hukum, tranplantasi organ, jaringan dan sel tubuh dipandang sebagai tindakan mulia
dalam upaya menyehatkan dan mensejahterakan manusia, walaupun ini tindakan ini melawan
hukum pidana yaitu tindak pidana penganiayaan. Tetapi karena adanya alasan pengecualian
hukuman, atau paham melawan hukum secara material, maka perbuatan tersebut tidak lagi
diancampidana, dan dapat dibenarkan (Hanafiah dan Amir, 1999).
Menurut segi etik, transplantasi merupakan upaya terakhir untuk menolong seorang pasien dengan
kegagalan fungsi salah satu organ tubuhnya. Tindakan ini wajib dilakukan apabila ada indikasi,
berdasarkan beberapa pasal dalam KODEKI yaitu pasal 2, pasal 7D, dan pasal 11 (Hanafiah dan Amir,
1999).
Dari segi agama (Islam), transplantasi organ diperbolehkan, selama tidak membahayakan donor dan
tidak ada tujuan komersialisasi (jual-beli organ) (Anonim, 2009).
Permasalahan yang timbul dalam transplantasi adalah penolakan alat atau jaringan tubuh donor
oleh resipien.
Penolakan dibagi menjadi 2:
1. Penolakan pertama dan kedua
Sel Th dan Tc resipien mengenal antigen MHC alogenik, sehingga memacu imunitas humoral
dan membunuh sel sasaran. Makrofag juga dikerahkan ke tempat tandur atas pengaruh limfokin
yang dihasilkan oleh Th.
2. Penolakan hiperakut, akut, dan kronik
a. Penolakan hiperakut: tejadi dalam beberapa menit sampai jam setelah transplantasi. Disebabkan
oleh destruksi olehantibodi yang sudah ada pada resipien akibat transplantasi/transfusi darah atau
kehamilan sebelumnya. Antibodimengaktifkan komplemen yang menimbulkan edem dan
perdarahan interstitial dalam jaringan tandur sehingga mengurangi aliran darah ke seluruh jaringan.
b. Penolakan akut: pada resipien yang sebelumnya tidak disensitasi terhadap tandur. Terjadi sesudah
beberapa minggu sampai bulan setelah tandur tidak berfungsi sama sekali dalam waktu 5-21 hari.
c. Penolakan kronik: hilangnya fungsi organ yang dicangkokkan secara perlahan beberapa bulan
setelah berfungsi normal. Disebabkan oleh sensitivitas yang timbul terhadap antigen tandur karena
timbulnya intoleransi terhadap sel T, terkadang juga diakibatkan sesudah pemberian imunosupresan
dihentikan. (Baratawidjaja, 2006).
Faktor yang berperan pada keberhasilan transplantasi ginjal, yaitu faktor yang berkaitan dengan
donor dan resipien, faktor imunologi, faktor penanganan pra dan peri-operatif, serta faktor pasca-
operatif.
Faktor terkait donor. Transplantasi ginjal dapat memanfaatkan ginjal donor hidup yang sehat atau
ginjal donor jenazah. Pemeriksaan persiapan calon donor hidup dilakukan secara bertahap (tabel
dilampirkan). Dengan prosedur penjaringan dan evaluasi, dipastikan bahwa donor ikhlas, dalam
keadaan sehat dan mampu menjalani operasi nefrektomi, serta mampu hidup normal dengan satu
ginjal setelah melakukan donasi, dan donor tidak boleh mengidap penyakit ginjal.
Faktor terkait resipien. Harus dipastikan terlebih dahulu apakah pasien memang sudah mengalami
gagal ginjal tahap akhir. Risiko dan tingkat keberhasilan transplantasi juga dipengaruhi berbagai
faktor tertentu, seperti usia dan kondisi umum resipien.
Faktor imunologi. Pada transplantasi ginjal, sistem histokompatibilitas yang berperan adalah
kesesuaian sistem golongan darah ABO dan HLA (human leucocyte antigen). Golongan darah ABO
donor dan resipien harus sama agar tidak terjadi rejeksi vaskuler. Sedangkan ginjal transplan
direjeksi terutama karena adanya protein pada membran sel yang dikode oleh MHC (Major
Histocompatibility Complex). MHC menempati lengan pendek kromosom 6. Dengan obat
imunosupresan, dilaporkan ketahanan hidup 1 tahun dari saudara dengan HLA identik 90-95%,
saudara dengan haplo-identik 70-80%, dan saudara dengan haplo-negatif 60-70% (Susalit, 2007).
E. Mekanisme Penolakan Transplantasi Organ
Golongan darah dan molekul MHC diantara berbagai individu berbeda. Reaksi penolakan dapat
dikurangi dengan menggunakan anggota keluarga sebagai donor, tissue typing, dan obat
imunosupresi.
Reaksi penolakan ditimbulkan oleh sel Th resipien yang mengenal antigen MHC alogenik dan memicu
imunitas humoral (antibodi). Sel CTL/Tc juga mengenal antigen MHC alogenik dan membunuh sel
sasaran. Kemungkinan lain juga bahwa makrofag dikerahkan ke tempat tandur atas pengaruh
limfokin dari sel Th sehingga menimbulkan kerusakan. Reaksi tersebut sesuai dengan reaksi tipe IV
dari Gell dan Coombs/DTH.
Urutan kejadian yang dapat terjadi selama penolakan tandur adalah: 1) dilakukan transplantasi; 2)
sel dendritik atau makrofag yang ada di dalam tandur (passenger leucocytes) meninggalkan tandur
dan merangsang sel T resipien dengan segera; 3) sel T resipien diaktifkan dan membunuh sel donor
dalam tandur; dan 4) sel donor yang dibunuh melepas antigen donor, yang dapat dimakan fagosit
resipien yang kemudian mempresentasikannya ke sel T resipien melalui molekul MHC II
(Baratawidjaja, 2006).

BAB III
PEMBAHASAN
Pada keadaan gagal ginjal, produksi eritropoietin, yaitu hormon yang merangsang eritropoiesis
menurun, sehingga terjadi penurunan kadar Hb, akibatnya terjadi keadaan anemia. Jenis produk
darah yang ditransfusikan kepada pasien gagal ginjal, seperti pada pasien dengan anemia lainnya
adalah Packed Red Blood Cell (P-RBC).
Beberapa penyakit dapat ditularkan melalui transfusi darah, karena virus dan bakteri dapat
mengkontaminasi eritrosit dan trombosit. Eritrosit dan trombosit berpatogen ini juga akan
menyebabkan timbulnya penyakit pada tempat dimana ia ditransfusikan. Sebelum pelaksanaan
transfusi darah, terlebih dahulu dicek keadaan donor, mulai dari keadaan umum, skrining darah
untuk memastikan bebas dari penyakit menular, dan tes uji silang untuk mencocokkan darah donor
dengan resipien. Sementara pasien harus termasuk dalam indikasi transfusi.
Tranplantasi organ menurut kaidah bioetika dan humaniora boleh dilakukan, asalkan sesuai dengan
indikasi, sebagai jalan terakhir, ada persetujuan, dan agama Islam mensyaratkan bahwa organ tidak
boleh diperjual-belikan.
Reaksi penolakan pada transplantasi diperankan oleh sel Th yang kemudian merangsang sel Tc dan
mekanisme imunitas humoral (antibodi), yang kemudian bekerja dengan tujuan destruksi sel
sasaran. Selain itu makrofag sebagai imunitas nonspesifik juga berperan dalam proses destruksi. Sel
imun resipien bekerja menolak antigen donor, sebaliknya, sel imun donor juga menolak antigen
resipien. Pada intinya, penolakan terjadi dari dua belah pihak, baik resipien maupun donor.
Faktor penyebab imunodefisiensi secara umum adalah kelainan genetika dan defek kromosom yang
menyebabkan imunodefisiensi primer, berbagai keadaan tertentu seperti kehamilan, usia lanjut, dan
usia tahun pertama yang mengakibatkan imunodefisiensi fisiologis, dan malnutrisi, infeksi, obat-
obatan, dan penyinaran, yang mengakibatkan imunodefisiensi sekunder/didapat. Mekanisme
imunodefisiensi pada pasien dalam kasus akibat perkembangan penyakit terjadi sebagai konsekuensi
dari gagal ginjal itu sendiri. Gangguan filtrasi menyebabkan terbuangnya protein, yang dibutuhkan
sebagai bahan untuk membuat antibodi. Ketiadaan bahan ini menyebabkan defisiensi antibodi, yang
menyebabkan pertahanan melemah. Diet pada pasien gagal ginjal juga merupakan salah satu faktor
penyebab imunodefisiensi, karena pasien yang gagal ginjal biasanya diberikan diet rendah protein
agar kerja filtrasi ginjal tidak terlalu berat. Padahal, protein dibutuhkan untuk pembentukan
antibodi. Konsekuensi dari defisiensi protein adalah defisiensi antibodi, sehingga terjadi
imunodefisiensi. Sedangkan efek terapi juga dapat menimbulkan imunodefisiensi. Hal ini timbul
akibat pemakaian obat-obatan untuk terapi gagal ginjal yang mempunyai sifat imunonosupresif,
misalnya kortikosteroid. Mekanisme imunosupresan sendiri antara lain menghambat respon imun
primer, seperti pengolahan antigen oleh APC, sintesis limfokin, dan proliferasi dan diferensiasi sel
imun. Karena itu, pada pasien transplantasi organ, untuk meminimalisir reaksi penolakan, digunakan
obat-obatan imunosupresan.
Kegagalan imunisasi dapat terjadi akibat imunodefisiensi. Imunisasi berdasar pada mekanisme
latihan terhadap antigen yang masuk. Apabila pada saat latihan saja sistem imun telah
mengalami defisiensi, sangat mungkin sekali pada saat infeksi antigen yang sebenarnya (virus atau
bakteri yang sebenarnya dan tidak dilemahkan atau dimatikan) sistem imun tidak dapat menghadapi
antigen tersebut dengan baik.
Reaksi dan komplikasi dari transfusi dapat berupa reaksi hemolitik, reaksi panas atau demam, dan
reaksi alergi. Pada pasien, reaksi yang berupa gatal-gatal dan sesak nafas adalah mekanisme alergi
yang merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I, yaitu reaksi anafilaksis dengan perantara IgE. Gatal
adalah efek penekanan saraf oleh histamin, sedangkan pada bronkus, histamin menyebabkan
bronkokonstriksi sehingga timbul gejala sesak nafas.
Kemungkinan penyebab terjadinya abortus yang terjadi pada ibu guru di sekolah Pak Andi adalah
janin merupakan kehamilan kedua, dan anak pertama yang lahir mempunyai rhesus (+). Sementara
jika ibu mempunyai rhesus (-), maka ibu akan membentuk antibodi terhadap eritrosit Rh (+),
sehingga pada kehamilan berikutnya ibu telah mempunyai antibodi Rh(+) yang meningkat. Hal ini
kemudian menyebabkan eritroblastosis fetalis, yaitu janin mengalami hemolisis. Karena itu, janin
mengalami abortus di dalam uterus.
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Transplantasi organ dapat menimbulkan penolakan, kecuali apabila molekul MHC antara donor
dan resipien identik. Semakin mirip molekul MHC antara donor dan resipien, maka risiko terjadinya
penolakan semakin kecil.
2. Imunodefisiensi mempunyai tiga penyebab: kongenital (biasanya akibat faktor genetik), fisiologik,
dan didapat (biasanya akibat pengaruh dari luar)
B. SARAN
1. Sebaiknya segera dilakukan tindakan pertolongan bagi istri Pak Eko (transfusi).
2. Sebaiknya dilakukan transplantasi ginjal setelah menemukan organ donor yang cocok. Jika belum
menemukan maka sementara dapat dilakukan hemodialisis.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2009. KH Maruf Amin: Jual Beli Organ Haram Hukumnya. Diakses
dari http://forum35.wordpress.com/2007/10/08/kh-maruf-amin-ketua-fatwa-mui-jual-beli-organ-
haram-hukumnya/
Baratawidjaja, Karnen G. 2006. Imunologi Dasar Edisi Ke Tujuh. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Djoerban, Zubairi. 2007. Dasar-Dasar Transfusi Darah dalam Sudoyo, Aru W. Setiyohadi, Bambang.
Alwi, Idrus. Simadibrata K, Marcellus. Setiati, Siti. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
Guyton, Arthur C. Hall, John E. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta: EGC.
Hanafiah, M. Jusuf. Amir, Amri. 1999. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan. Jakarta: EGC.
Susalit, Endang. 2007. Transplantasi Ginjal dalam Sudoyo, Aru W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus.
Simadibrata K, Marcellus. Setiati, Siti. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
Suwitra, Ketut. 2007. Penyakit Ginjal Kronik dalam Sudoyo, Aru W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus.
Simadibrata K, Marcellus. Setiati, Siti. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI
Lampiran 1
Faktor-faktor yang dapat menimbulkan defisiensi imun sekunder
Faktor Komponen yang kena
Proses penuaan Infeksi meningkat, penurunan respon terhadap
vaksinasi, penurunan respon sel T dan B serta
perubahan dalam kualitas respon
Malnutrisi Malnutrisi protein-kalori dan kekurangan elemen gizi
tertentu (besi, seng/Zn); sebab tersering defisiensi
imun sekunder.
Mikroba imunosupresif Contohnya: malaria, virus, campak, terutama HIV,
mekanismenya melibatkan penurunan fungsi sel T dan
APC
Obat imunosupresif Steroid
Obat sitotoksik/iradiasi Obat yang banyak digunakan terhadap tumor, juga
membunuh sel penting dari sistem imun termasuk stem
cell, progenitor neutrofil dan limfosit yang cepat
membelah dalam organ limfoid
Tumor Efek direk dari tumor terhadap sistem imun melalui
pelepasan molekul imunoregulatori imunosupresif
(TNF-)
Penyakit seperti diabetes Diabetes sering berhubungan dengan infeksi
Trauma Infeksi meningkat, diduga berhubungan dengan
pelepasan molekul imunosupresif seperti
glukokortikoid
Lain-lain Depresi, penyakit Alzheimer, penyakit celiac,
sarkoidosis, penyakit limfoproliferatif,
makroglobulinemia Waldenstrom, anemia aplastik,
neoplasia.
(Baratawidjaja, 2006)
Lampiran 2
Proses evaluasi calon donor hidup
1. Penjaringan donor
Edukasi resipien tentang donor hidup dan jenazah
Anamnesis dan penjaringan donor
Konfirmasi kesamaan golongan darah ABO
Pemeriksaan tissue typing dan crossmatch
Pilih calon donor yang paling sesuai
Edukasi calon donor tentang proses evaluasi dan donasi
2. Evaluasi donor
Anamnesis dan pemeriksaan fisik lengkap
Pemeriksaan laboratorium:
Darah lengkap, kimia darah, HBsAg, anti HCV, CMV, VDRL, HIV, tes toleransi glukosa (jika ada
riwayat diabetes), hemostasis, tes kehamilan
Urinalisis, kultur urin, tes klirens kreatinin, ekskresi protein dalam urin 24 jam
Foto toraks, EKG, tes treadmill (usia >50 tahun), pielografi IV
Evaluasi psikiatrik
Arteriografi ginjal
Tes crossmatch sebelum transplantasi
(Susalit, 2007).

You might also like