You are on page 1of 11

PENDAHULUAN

Perlakuan daging sebelum, saat dan sesudah pemotongan sangat menentukan ada
tidaknya pencemaran. Standar Nasional Indonesia (SNI) mensyaratkan, jumlah mikroba dalam
daging segar harus kurang dari 1 juta. Daging segar juga harus bebas dari E.
coli, Salmonella dan Coliform. Namun kenyataan di lapangan menunjukkan sebaliknya. Hingga
saat ini daging yang dijual di pasar swalayan dan pasar tradisional masih banyak yang
terkontaminasi oleh mikroba patogen. Untuk itu, penyediaan daging yang halal, sehat dan aman
dikonsumsi masyarakat menjadi upaya yang sangat penting, dimulai dari rantai pertama yang
menjadi titik kritis pencemaran, yaitu RPH. RPH yang memenuhi standar kualitas, jaminan
kehalalan serta kehigienisan daging akan meningkatkan efisiensi penanganan daging yang dijual
produsen ke konsumen. Rumah Potong Hewan juga menjadi kunci penting dalam rantai produksi
dan distribusi daging. RPH yang berkualitas bisa mengurangi kerugian akibat penjualan daging
yang tercemar oleh mikroba patogen dan bisa mencegah penyebaran penyakit dari hewan ke
manusia (zoonisis).
Upaya ini merupakan komitmen pemerintah dalam menindaklanjuti semua peraturan
perundangan yang terkait dengan aspek kesehatan, agama dan kesejahteraan hewan yang telah
sesuai dengan ketentuan badan kesehatan hewan dunia (OIE), dimana Indonesia adalah
anggotanya. Saat ini beberapa RPH di Indonesia telah memiliki sertifikasi mutu yang dilakukan
oleh pihak ketiga yang independen. Namun sertifikasi mutu belum mencakup prinsip
kesejahteraan hewan secara keseluruhan di setiap rantai pasokannya (supply chain). Berdasarkan
kondisi tersebut dan guna menjamin ketersediaan pasokan daging sapi dan keterjangkauan harga,
terdapat beberapa solusi yang diputuskan oleh Pemerintah Indonesia saat ini, yang terbagi
menjadi tiga solusi.








A. PEMBAHASAN
Penyakit Brucellosis (Keluron Menular)

Brucellosis adalah penyakit keluron menular pada hewan yang disebakan oleh bakteri
Brucella abortus yang menyerang sapi, domba, kambing, babi, dan hewan /ternak lainnya.
Brucellosis bersifat zoonosa artinya penyakit tersebut menular dari hewan ke manusia.

1.1 Patogenesis
Permulaan infeksi brucellosis terjadi pada
kelenjar limfe supramamaria. Pada uterus, lesi
pertama terlihat pada jaringan ikat antara kelenjar
uterus mengarah terjadinya endometritis ulseratif,
kotiledon kemudian terinfeksi disertai terbentuknya
eksudat pada lapisan allantokhorion. Brucella banyak
terdapat pada vili khorion, karena terjadi
penghancuran jaringan, seluruh vili akan rusak
menyebabkan kematian fetus dan abortus. Jadi kematian fetus adalah gangguan fungsi plasenta
disamping adanya endotoksin. Fetus biasanya tetap tinggal di uterus selama 24-72 jam setelah
kematian. Selaput fetus menderita oedematous dengan lesi dan nekrosa.

1.2 Gejala Klinis Bruscellosis Pada Sapi
Janin yang mati akibat penyakit Brucella Abortus, Demam dan keguguran (keluron).
Untuk sapi betina yang diduga menderita Brucellosis karena : Sapi dara bunting pertama
mengalami keguguran pada usia kebuntingan 5-7 bulan, Sapi betina dewasa produktif mengalami
keguguran pada usia 5-7 bulan, Sapi betina dewasa pernah diketahui mengalami keguguran pada
usia kebuntingan 5-7 bulan dan setelah dilakukan 3-4 kali inseminasi buatan belum bunting lagi.
Pada sapi jantan dewasa terutama yang dipilih sebagi donor semen atau yang dipakai sebagai
pejantan kawin alam. Sapi jantan lainnya pada kelompok ternak tertentu yang menderita orkiditis
dan atau epididimitis.



1.3 Diagnosa Brucella abortus (pemeriksaan ante-mortem)
Pemeriksaan penyakit brucellosis ini didasakan pada gejala klinis dan uji di laboratorium.
Pemeriksaan berdasarkan gejala klinis yaitu adanya abortus dan hygroma pada persendian lutu
dan data epidemiologi.

1.3 Diagnosa Brucella abortus (pemeriksaan post-mortem)
Pemeriksaan di laboratorium, dengan melakukan uji serologis, yaitu Rose Bengal Plate
Test (RBPT, sebagai uji skrining). Sera yang bereaki positif pada RBPT kemudian dilanjutkan
dengan uji Serum Aglutinasi Test (SAT), Complement Fixation test (CFT) atau Enzyme-Linked
Immuno Sorbent Assay (ELISA). Pad sapi perah sering menggunakan uji Milk Ring Test yaitu
memeriksa air susu. Hewan yang bereaksi positif pada uji-uji serologis diatas disebut reactor
brucellosis. Sedangkan isolosai kuman penyebab dapat diperoleh dari leleran yang keluar dari
kelamin betina, fetus yang diabortus, cairan dari persendian yang mengalami peradangan dan
limfoglandula

B. PEMBAHASAN
SEPTICEMIA EPIZOOTICA (SE)/NGOROK

Penyakit SE adalah penyakit menular terutama pada kerbau, sapi, babi dan kadang-
kadang pada domba, kambing dan kuda yang disebabkan oleh bakteri Pasteurella multocida tipe
tertentu. Penyakit biasanya berjalan secara akut , dengan angka kematian yang tinggi, terutama
pada penderita yang telah menunjukkan tanda-tanda klinik yang jelas. Sesuai dengan namanya,
pada kerbau dalam stadium terminal akan menunjukkan gejala-gejala ngorok (mendengkur),
disamping adanya kebengkakan busung pada daerah-daerah submandibula dan leher bagian
bawah. Gambaran seksi pada ternak memamah biak menunjukkan perubahan-perubahan sepsis.
Penyebab penyakit SE adalah bakteri Pasteurella multocida yang berbentuk cocobacillus yang
mempunyai ukuran yang sangat halus dan bersifat bipoler.





2.1 Pathogenesis
Infeksi berlangsung melalui saluran pencernaan dan pernafasan. Gerbang utama
pemasukan pasteurella rupanya terletak di daerah tonsil. Pembengkakan daerah tekak merupakan
gejala awal dari penyakit. Pada hewan-hewan yang sangat rentan, misalnya kerbau muda yang
tidak kebal, septicemia akan segera terjadi dengan bakterimia pasif yang bersifat terminal.
Meskipun beberapa protein yang berdifat toksik dalam jumlah kecil telah ditemukan dalam
kuman pasteurela, eksotoksin yang konvensional tidak pernah berhasil ditunjukkan adanya.
Gejala-gejala dan lesi bersifat konsisten dengan kejaan endotoksin yang ditemukan dalam jumlah
banyak dan berbentuk lipopolisakarida. Pada hewan yang sepenuhnya rentan, kematian dapat
terjadi dalam waktu 24 jam setelah terjadinya infeksi. Beberapa sapi asia asli memiliki ketahanan
yang lebih tinggi, dan jalan penyakit pada sapi-sapi tersebut menjadi kurang cepat, dengan
kematian terjadi setelah 3 atau 4 hari.

2.2 Diagnosa Brucella abortus (pemeriksaan ante-mortem)
Pemeriksaan berdasarkan gejala klinis pada kerbau ditandai dengan kedunguan, salivsi,
serta demam yang mencapai sekitar 40-410C. Pada waktu penyakit berkembang penderita
terlihat berbaring, malas bergerak, serta mengalami kesukaran bernafas. Penyakit dengan bentuk
tenggorokan yang umum, ditandai dengan busung yang meluas kedaerah leher bagian ventral
sampai ke gelambir dan kadang-kadang juga satu atau dua kaki muka. Pada penderita yang
sepenuhnya rentan, busung bersifat difus, dengan batas tepi yang meluas. Tekanan pembuluh
darah balik menurun dan dalam keadaan terminal diikuti dengan shock endotoksin. Kuman
pasteurela dapat diisolasi dari tinja, kemih, air susu, dan saliva sebelum selama hewan dalam
keadaan sekarat. Dalam keadaan demikian penderita merupakan sumber penularan bagi hewan
yang lain.
Terlihat adanya busung pada glottis dan jaringan-jaringan perilaringeal maupun peritracheal.
Perdarahan titik mungkin terlihat pada selaput lender organ-organ tubuh, sedangkan cairan busung tidak
tercampur darah. Kelenjar limfe yang terdapat di dalam rongga dada dan perut Nampak mengalami
bendungan. Bendungan yang bervariasi terdapat pada saluran pencernaan, mulai dari abomasum sampai
usus besar. Diare berat berdarah dijumpai setelah injeksi lipopolisakarida kuman serotype B:2 yang
dimurnikan. Mungkin zat tersebut yang bertanggung jawab atas terjadinya lesi dalam usus serta gejala-
gejala pada kejadian lapangan.

2.3 Diagnosa Brucella abortus (pemeriksaan post-mortem)
Pemeriksaan berdasarkan uji laboratorium yaitu : fibrinogen darah meningkat semejak gejala
mulai tampak. Dalam percobaan infeksi terhadap hewan percobaan, adanya kuman di dalam
darah (bakterimia), yang hanya dapat dikenal secara penanaman kuman, dan tidak secara
mikrodkopik, terjadi dalam waktu 12 jam. Hewan yang sangat rentan, misalnya kerbau, biasanya
mengalami kematian dalam waktu 24 jam setelah terjadinya infeksi.
Pemeriksaan Secara Laboratorium apabila busung tekak dijumpai, diagnosis segera dapat
ditentukan berdasarkan gejala-gejala klinis. Kasus yang tidak disertai dengan pembengkakan
daerah tekak dan leher mungkin terkacaukan dengan antraks, sampar sapi atau pasteurellosis
yang disebabkan oleh kuman pasteurela serotype yang lain. Penderita hamper selalu mengalami
kematian pada fase bakterimia. Pasteurela dapat ditemukan pada sediaan apus darah atau eksudat
jaringan yang mengalami perubahan patologik, misalnya cairan busung, cairan perikard, dan
sebagainya. Kuman dapat dilihat dengan jelas, dengang pewarnaan Romanowsky, sedangkan di
laboratorium yang paling banyak digunakan adalah pewarnaan Leishman yang diencerkan.
Uji presipitasi secara agar gel double diffusion dan teknik fluoresen antibody telah
digunakan dalam penentuan diagnosis. Galur kuman serotype B:2 dan E:2 merupakan biotipe
tersendiri secara mofologik, sifat biakan maupun sifat-sifat biokimiawinya. Kedua serotype
tersebut hanya dapat dibedakan secara uji serologik.

C. PEMBAHASAN
PENYAKIT MULUT DAN KUKU (PMK)

Penyakit mulut kuku adalah penyakit akut dan sangat menular pada: sapi, kerbau, babi,
kambing, domba dan hewan berkuku genap lainnya. Sedangkan hewan berkuku satu (kuda dll.)
kebal terhadap virus ini.

3.1 Patogenesis
Jalur utama infeksi pada ruminansia adalah melalui penghirupan (secara aerosol) tetapi
konsumsi pakan yang terinfeksi, inokulasi dengan vaksin yang tercemar, inseminasi dengan
semen yang tercemar dan kontak dengan peralatan ternak yang tercemar semuanya dapat
menimbulkan infeksi. Pada hewan yang terinfeksi melalui saluran pernafasan, replikasi awal
virus berlangsung pada faring, diikuti oleh viremia yang
menyebar ke jaringan dan organ yang lain sebelum
mulainya penyakit klinis. Pengeluaran virus mulai sekitar
24 jam sebelum mulainya penyakit klinis dan berlangsung
selama beberapa hari. Virus PMK dapat tinggal dalam
faring beberapa jenis hewan sampai beberapa lama setelah
sembuh. Pada sapi virus dapat dideteksi sampai 2 tahun
setelah terinfeksi, pada domba sampai sekitar 6 bulan.
Kemenetapan virus tidak terjadi pada babi. Uap air yang dikeluarkan oleh hewan yang terinfeksi
mengandung sejumlah besar virus, khusunya yang dihasilkan oleh babi. Sejumlah besar virus
juga dikeluarkan dalam susu (Fenner, 2011.)

3.2 Gejala klinis pemeriksaan ante-mortem
Gejala yang ditimbulkan bervariasi tergantung pada kondisi dan factor virulensi dari
Penyakit mulut dan kuku tersebut. Gejala klinis yang mula mula terlihat antara lain suhu tubuh
meningkat dan akan terlihat jelas pada sapi yang masih muda. Kenaikan ini akibat dari fase
viremia dari virus picorna virus. Dan biasanya suhu tersebut akan turun setelah terbentuknya
lepuh-lepuh.
Lepuh-lepuh tersebut dapat ditemukan didalam mulut sehingga menyebabkan
meningkatnya saliva dalam mulut sehingga terbentuk busa disekitar bibir.
Lepuh tersebut juga dapat ditemukan pada ambing yang menyebabkan produksi susu turun dan
kadang dapat menyebabkan keguguran. Pada tracak biasanya lepuh terjadi bersamaan dengan
proses yang terjadi didalam mulut. Lepuh yang terjadi menyebabkan rasa sakit atau nyeri pada
hewan yang menderita, sehingga menyebabkan hewan tersebutmalas bergerak dan hanya mau
berbaring. Kesembuhan dari lesi yang tidak mengalami komplikasi akan berlangsung dengan
cepat berkisar antara 1-2minggu, namun apabila ada infeksi skunder maka kesembuhan akan
tertunda.





3.3 Diagnosa PMK (pemeriksaan post-mortem)
Diagnosis dari penyakit mulut dan kuku didasarkan pada gejala klinis yang ditimbulkan.
Selain itu dilakukan koleksi sampel pada hewan yang menderita untuk diperiksa dilaboratorium.
Sampel isolasi dapat diambil melalui cairan lepuh, keropeng bekas lepuh, dan sampel darah
(Anonim1., 2008).

PEMBAHASAN
AVIAN INFLUENZA

Influenza burung atau avian influenza atau dikenal dengan flu burung, merupakan
penyakit infeksi akibat virus influenza tipe A yang biasa mengenai unggas. Virus influenza
sendiri termasuk adalam famili orthomyxovirus yang terdiri dari 3 tipe yaitu tipe A, tipe B dan
tipe C. Virus influenza tipe B dan C dapat menyebabkan penyakit pada manusia dengan gejala
ringan dan tidak fatal sehingga tidak terlalu menjadi masalah. Virus influeza tipe A dibedakan
menjadi banyak sub tipe berdasarkan petanda berupa tonjolan protein pada permukaan sel virus.
Ada 2 protein petanda pada virus influenza tipe A yaitu protein hemaglutini yang dilambangkan
dengan H dan protein neuraminidase yang dilambangkan dengan N. Ada 15 macam protein H,
yaitu H1-H15, sedangkan N terdiri dari 9 macam yaitu N1-N9. Kombinasi dari kedua protein ini
bisa menghasilkan banyak sekali varian sub tipe dari virus influenza tipe A.

4.1 Patogenesis
Penyebaran virus avian influenza (AI) terjadi melalui udara (droplet infection) dimana
virus dapat tertanam pada membran mukosa yang melapisi saluran napas atau langsung
memasuki alveoli (tergantung dari ukuran droplet). Virus yang tertanam pada membran mukosa
akan terpajan mukoprotein yang mengandung asam sialat yang mengikat virus. Reseptor spesifik
yang dapat berikatan dengan virus influenza berkaitan dengan spesies dari mana virus berasal.

4.2 Gejala klinis pemeriksaan ante-mortem
Pemeriksaan berdasarkan gejala perubahan fisiologis unggas : Jengger, pial, kulit perut,
yang tidak ditumbuhi bulu berwarna biru keunguan (sianosis), kadang-Kadang ada cairan dari
mata dan hidung, pembengkakan dl daerah bagian muka dan kepala, pendarahan di bawah kulit
(sub kutan), Pendarahan titik (plechie) pada daerah dada, kaki dan telapak kaki. Batuk bersin dan
ngorok serta nggas mengalami diare dan kematian tinggi.

4.3 Diagnosa Avian Influenza (pemeriksaan post-mortem)
Pemeriksaan dilakukan berdasarkan uji lanboratorium, diantaranya yaitu : Uji konfirmasi;
kultur dan identivikasi virus H5N1. Uji real time nested PCR untuk H5. Uji serologi :
Imunofluorenscence (IFA) test : ditemukan antigen positif dengan mengunakan antibody
monoklonal influenza A H5N1. Uji netralisasi : didapatkan kenaikan titer antibody spesifk
influenza A H5N1 sebanyak 4 kali paired serum dengan uji netralisasi. Uji penapisan : Rapid test
untuk medeteksi influenza A, HI Test dengan darah kuda untuk mendeteksi H5N1,
Enzim immunoassay (ELISA) untuk mendeteksi H5N1.
Pemeriksaan lain : hematologi : hemoglobin, leukosit, trombosit, hitung jenis leukosit,
total limfosit. Umumnya ditemukan leukopeni, limfositosis ringan dan trombositopenia. Kimia :
Albumin/globulin, SGOT/SGPT, ureum, kreatinin, kreatin kinase, analisa gas darah. Umumnya
dijumpai penurunan albumin, peningkatan SGOT/SGPT, peningkatan ureum dan kreatinin,
peningkatan kreatinin kinase, analisa gas darah dapat normal atau abnormal. Kelainan
laboratorium sesuai dengan perjalanan penyakit dan komplikasi yang ditemukan. Pemeriksaan
radiologi : pemeriksaan foto thoraks PA dan lateral (bila diperlukan). Dapat ditemukan gambaran
infiltrat di paru yang menunjukan bahwa kasus ini adalah pneumonia.

PEMBAHASAN
NEWCASTLE DESEASE (ND)




Kesim[ilam

Pemeriksaan Ante-Post Mortem
Pemeriksaan Kesehatan Ante Mortem

Pemerikasaan ante mortem adalah pemeriksaan kesehatan setiap ekor sapi, ternak atau
unggas yang akan dipotong. Pemeriksaan ante mortem dilakukan dengan mengamati dan
mencatat ternak sapi sebelum disembelih yang meliputi jumlah ternak, jenis kelamin,
keadaan umum, serta kelainan yang tampak.

Hasil akhir pemeriksaan ini dapat dibagi tiga kelompok :
1. Ternak yang dipotong secara reguler adalah ternak yang memenuhi syarat normal.
2. Ternak yang ditolak yaitu ternak yang menderita suatu penyakit menular, masih
produktif dan betina bunting
3. Ternak yang menderita kelainan lokal seperti fraktur, abses, neoplasma dan ternak yang
kondisinya meragukan (Arka dkk, 1988).
Pemeriksaan Kesehatan Post-Mortem

Pemeriksaan daging post-mortem adalah pemeriksaan kesehatan daging setelah dipotong
terutama pada pemeriksaan karkas, kelenjar limfe, kepala pada bagian mulut, lidah, bibir,
dan otot masseter dan pemeriksaan paru-paru, jantung, ginjal, hati, serta limpa.

Maksud dilakukan pemeriksaan post-mortem adalah untuk membuang dan mendeteksi
bagian yang abnormal serta pengawasan apabila ada pencemaran oleh kuman yang
berbahaya, untuk memberikan jaminan bahwa daging yang diedarkan masih layak untuk
dikonsumsi.

Pemeriksaan post-mortem yang dilakukan antara lain pemeriksaan karkas pada
limfoglandula, pemeriksaan kepala yaitu pada bibir, mulut, otot masseter, dan pemeriksaan
organ dalam seperti paru-paru, jantung, ginjal, hati, serta limpa. Pemeriksaan ini
merupakan pemeriksaan rutin yang dilakukan dengan intensitas normal setiap hari. Jika
terdapat abnormalitas pada karkas, organ visceral atau bagian-bagian karkas lainnya dapat
dikonsumsi, diproses lebih lanjut atau tidak (Soeparno, 1992).

Menurut Arka dkk (1985), keputusan hasil akhir pemeriksaan dapat digolongkan atas :
1. Karkas serta organ tubuh yang sehat diteruskan kepasaran untuk konsumsi masyarakat.
2. Karkas serta organ-organ tubuh yang mencurigakan ditahan untuk pemeriksaan yang
lebih seksama.
3. Bagian-bagian yang sakit dan abnormal secara lokal hendaknya diiris dan disingkirkan
sedangkan selebihnya dapat diteruskan ke pasaran umum.
4. Karkas dan organ-organ tubuh yang sakit dan abnormal secara umum atau keseluruhan
atau seluruh karkas dan organ-organ tubuh tersebut disingkirkan semua.
5. Karkas dan organ tubuh yang sehat yang akan diteruskan ke pasar umum diberikan cap
BAIK.

Sumber: Prof. IB. Arka, Guru Besar FKH Universitas Udayana


DAFTAR PUSTAKA

Bahri, Syamsul. Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Keamanan Pangan Asal Ternak di
Indonesia IVARTAZOA Vol. 16 No . / Th. 2006
Direktorat Kesmavet Dirjen Peternakan Departemen Pertanian, Pedoman teknis Kegiatan
Penataan RPH Tahun Anggaran 2010
http://septinalove.blogspot.com/2010/03/rumah-potong-hewan-rph-sapi.html
http://www.bsn.go.id/news_detail.php?news_id=743
http://higiene-pangan.blogspot.com/2008/10/product-safety-di-rph.html
http://www.hijauku.com/2011/09/29/jamin-keamanan-pangan-sejak-dini-mulai-dari-rph/
http://disnak.sumbarprov.go.id/index.php?disnak=berita&j=1&id=108
http://agriternak.blogspot.com/2011/03/pedoman-pemotongan-ternak.html
http://agriternak.blogspot.com/2011/03/pedoman-pengangkutan-ternak-ke-rph.html
http://karantina.deptan.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=175:penyelen
ggaraan-kesejahteraan-hewan&catid=45:opini
http://duniaveteriner.com/2009/04/simpul-kritis-hewan-kurban/print





DAFTAR PUSTAKA
Jawetz, M, 1996,Mikrobiologi Kedokteran, 270-272, EGJ, Jakarta
http://edis.ifas.ufl.edu/VM026
http://www.indomedia.com/bpost/012007/22/kalsel/lbm7.htm






Anonim1., 2008. Penyakit Mulut dan Kuku. http://www.vet-klinik.com/Peternakan/Penyakit-
mulut-dan-kuku.html. Diakses Pada Tanggal; 2/12/2011 4:15:02
Anonim2., 2009. Leaflet PMK. Departemen Pertanian. Direktorat Jenderal Bina Produksi
Peternakan. Direktorat Kesehatan Hewan. Kesiagaan Darurat PMK (Emergency Center for
FMD).

You might also like