Professional Documents
Culture Documents
Judul:
KEWENANGAN HAKIM KOMISARIS
Dibuat Oleh:
Nama : Leo Jimmi Agustinus
Nomor Urut Absen : 018
Nomor Mahasiswa : 0906581290
PASCASARJANA S.2
Program Studi Ilmu Hukum, Hukum dan Sistem Peradilan Pidana, Reguler
UNIVERSITAS INDONESIA
2009
1
KEWENANGAN HAKIM KOMISARIS
2
Lembaga Pemasyarakatan. Menurut Prof. Mardjono Reksodiputro Hakim Komisaris
hendaknya tetap merupakan bagian dari hakim saja, sehingga tidak diperlukan
kantornya tersendiri.
Di negara Amerika Serikat dalam hal dilakukannya penyitaan dan penyadapan maka
prosedurnya hal tersebut haruslah diajukan dulu kepada hakim komisaris melalui
Penuntut Umum.
Sedangkan menurut pendapat dari kalangan negara-negara barat, seharusnya
penyidik diberikan kewenangan yang luas untuk melakukan proses penyitaan dan
penyadapan.
Menurut Prof. Mardjono Reksodiputro, hakim komisaris ini dapat diperlukan dalam
hal-hal tertentu yaitu :
a. Penyitaan (Pasal 74 Rancangan UU KUHAP)
Penyitaan adalah penyimpanan dari barang tersebut dibawah kewenangan atau
hanya berada dalam kekuasaan Negara. Bahwa terdapat RUU Penyitaan yang
harus disinkronkan dengan Rancangan UU KUHAP.
b. Penyadapan (Pasal 83 Rancangan UU KUHAP).
Penyadapan terdapat dua macam yaitu :
1. Penyadapan yang harus dilakukan dengan mempunyai ijin seperti
penyadapan telepon.
Apabila dalam pelaksanaannya tidak ada mendapatkan ijin dalam melakukan
penyadapan maka proses penyadapan tidak dapat diajukan ke pengadilan untuk
dilakukan pembuktian.
Contoh : di Amerika Serikat, apabila proses penyadapan dilakukan tanpa adanya
ijin dengan menggunakan kabel telepon yang dimasukkan ke dalam tape dimana
akhirnya terdapat bagian-bagian dari yang telah disadap dirasa tidak pantas untuk
disiarkan secara umum seperti urusan pribadi, maka kemudian hakim akan menilai
hal-hal mana dari yang telah disadap yang masuk dalam hal yang dipersangkakan
dan bagian mana yang tidak termasuk dalam yang dipersangkakan maka bagian
tersebut harus di hapus dan harus ada pengawasannya. Apabila hal tersebut tidak
dilakukan maka akan melanggar privasi seseorang karena di Amerika Serikat
privasi merupakan hal yang penting.
Apabila dalam pembuktian didapat fakta bahwa alat bukti diperoleh secara illegal
maka perkara tersebut dapat dibatalkan / Exclusionary rule (berkaitan dengan
privasi). Bagian–bagian yang dibatalkan tersebut dapat dikaitan dengan “the legal
evidence” maupun keseluruhan perkara tersebut.
3
Perkara yang gugur tersebut merupakan hukuman bagi yang berpekara.
2. Penyadapan dengan sepengetahuan atasan / tanpa ijin.
Penyitaan dan penyadapan ini merupakan alat yang ampuh untuk membuktikan
Kejahatan Oleh Organisasi (KOO) dan Kejahatan Terhadap Organisasi (KTO). Di
karenakan KOO dan KTO termasuk kejahatan yang serius sehingga memerlukan
penanganan yang khusus atau special measure.
Menurut Prof. Mardjono Reksodiputro dalam proses penyitaan dan penyadapan
yang berkaitan dengan Bank harus dipedomani bahwa haruslah mendapatkan ijin
dari Hakim Komisaris, namun jangan disamakan untuk semua jenis kejahatan,
harus ada kelonggaran perlakuan terhadap kejahatan tertentu seperti: KOO, KTO.
Exclusionary Rules merupakan suatu aturan yang menyatakan apabila salah satu
prosedur tidak dilalui, maka berdampak akan membatalkan suatu kasus.
Terdapat RUU mengenai Perampasan Aset… (Non-Conviction Based Asset For
Teitan) yang merupakan konsep dari semangat anti korupsi, dimana perampasan
terhadap barang dapat dilakukan tanpa mendapat putusan dari pengadilan yaitu
terutama dalam hal untuk barang-barang yang bersifat “Kontraban” seperti barang-
barang Narkoba, barang-barang selundupan.
Dalam system common law proses perampasan dapat dilakukan tanpa mendapat
putusan dari pengadilan.
Di Indonesia perampasan merupakan bentuk pidana yaitu pidana tambahan (pasal 10
KUHP), sehingga harus ada putusan bersalah dari pengadilan.
Masalah-masalah tentang “STAR” (Stolen Aset Recovery) yaitu mengambil kembali
uang yang telah dicuri dari Negara :
a. Alat kita untuk mengambil suatu aset disuatu Negara yang dikuasai oleh
hukum negara yang bersangkutan.
b. Adanya asas “ Resiprositas” atau timbal balik, contohnya : kita
mengambil asset ke Thailand, maka Thailand juga dapat diperbolehkan
mengambil asset di Indonesia.
Ada pendapat yang menyatakan bahwa dalam KUHAP tidak ada sanksi bagi penegak
hukum. Menurut Prof. Mardjono Reksodiputro tidak setuju dengan pendapat tersebut,
karena kalau ada sanksi harus dicantumkan dalam hukum materiil.
Hukuman yang seharusnya diberikan kepada penegak hukum yang melanggar
peraturan KUHAP konsekuensinya ada pada perkaranya yaitu berupa perkara yang
diajukan batal.
4
5