You are on page 1of 6

79 Volume 2 Nomor 2 April 2012

TINJAUAN PUSTAKA
Penanganan Luka Bakar di
Ruang Perawatan Intensif Anak
Dzulfkar
PENDAHULUAN
Luka bakar hingga saat ini masih merupakan salah
satu penyebab morbiditas dan mortalitas pada anak.
Di Amerika, lebih dari 2 juta orang mengalami luka
bakar setiap tahun. Sekitar 700.000 dirawat di unit
gawat darurat dan 50.000 membutuhkan perawatan
di rumah sakit. Luka bakar menempati peringkat
ketiga penyebab mortalitas di seluruh dunia.
1,2
Luka bakar diklasifkasikan berdasarkan etiologi,
kedalaman serta luasnya luka bakar yang menentukan
gejala klinis serta beratnya luka bakar.
1,3
Luka
bakar menyebabkan terjadinya hipermetabolisme
akibat stimulasi sitokin-sitokin berlebihan yang
menyebabkan meningkatnya respons stres akibat
proses infeksi. Proses infamasi umumnya meningkat
segera setelah trauma terjadi dan bertahan sekitar 5
minggu paska trauma. Respons metabolisme yang
terjadi diantaranya peningkatan suhu, kebutuhan O
2
,
glukosa serta peningkatan produksi CO
2
. Komplikasi
yang terjadi pada pasien luka bakar antara lain, gagal
napas, syok dan infeksi sistemik ke berbagai organ
yang dapat menyebabkan kematian. Seringkali pasien
luka bakar mengalami syok akibat kehilangan banyak
cairan atau sepsis, sehingga diperlukan pemantauan
hemodinamik ketat. Tatalaksana penanganan luka
bakar di ruang perawatan intensif harus bersifat
holistik yang mencakup tatalaksana jalan napas dan
oksigenasi, resusitasi cairan, pemberian antibiotika,
tatalaksana nutrisi, penanganan nyeri hingga
perawatan luka untuk menurunkan mortalitas.
1-4
EPIDEMIOLOGI
Sekitar 2/3 pasien luka bakar adalah anak-anak
berusia di bawah 4 tahun yang sebagian besar adalah
akibat luka lepuh. Di Amerika, anak berusia 6 bulan
hingga 2 tahun banyak mengalami tersiram air panas
misalnya tumpahan kopi atau makanan panas lainnya
dan 1030% akibat kekerasan.
1
KLASIFIKASI
Derajat keparahan luka bakar ditentukan
berdasarkan luas, kedalaman dan etiologi.
Berdasarkan etiologinya dapat dibagi menjadi 3, yaitu
termal, luka bakar listrik, dan luka bakar kimiawi.
Etiologi
Termal
Luka bakar akibat panas, umumnya terjadi akibat
meningkatnya suhu yang mengakibatkan kematian
sel. Pada keadaan ini dapat menyebabkan luka lepuh
akibat terpapar zat panas.
1
Luka bakar listrik
Luka bakar listrik umumnya terjadi akibat aliran
listrik yang menjalar ke tubuh.
1

Luka bakar kimiawi
Luka bakar ini terjadi akibat paparan zat yang
bersifat asam maupun basa. Karakteristik keduanya
memiliki perbedaan dalam hal kedalaman luka bakar
yang terjadi. Luka bakar akibat paparan zat yang
bersifat basa umumnya mengakibatkan luka yang
Intensive Care Unit Anak
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran
Rumah Sakit Umum Daerah dr. Hasan Sadikin
Jl. Pasteur 38, Bandung
Korespondensi : dzulfkar_dlh@yahoo.com
80 Majalah Kedokteran Terapi Intensif
Klasifkasi kedalaman luka bakar dapat dijabarkan sebagai berikut :
1,5
Tabel -1. Klasifkasi luka bakar berdasarkan kedalamannya
Derajat 1 Derajat 2 (partial thickness) Derajat 3 (deep partial thickness)
Penyebab Sinar matahari, air panas, Cairan panas Cairan panas, kontak dengan,
luka bakar kilat cairan kimiawi
Warna Merah muda/Merah Merah muda/Merah pucat Coklat tua, Tampak vena
Permukaan Kering Lembab, Terbentuk bula Kering dan tidak elastik
Rasa nyeri Nyeri Sangat nyeri Tidak berasa
Kedalaman Epidermis Epidermis dan sebagian Epidermis, dermis, dan struktur
dermis lebih dalam
Gambar 1: Persentase luka bakar pada anak
4
lebih dalam dibandingkan akibat zat asam. Hal ini
disebabkan zat basa akan menyatu dengan jaringan
lemak di kulit sehingga menyebabkan kerusakan
jaringan yang lebih progresif, sedangkan luka bakar
akibat asam akan menyebabkan koagulasi protein.
1
Kedalaman
Kedalaman luka bakar ditentukan oleh tingginya
suhu yang menyebabkan cedera, lamanya paparan dan
ketebalan kulit. Apabila luka bakar derajat 1 hanya
melibatkan epidermis yang umumnya disebabkan
salah satunya akibat paparan sinar matahari dan
dapat mengalami penyembuhan cepat. Luka bakar
derajat 2 mengenai permukaan superfsial dermis
disebut pula dengan partial thickness burn yang
ditandai dengan terbentuknya bula dan umumnya
sembuh kurang dari 21 hari. Pada luka bakar derajat
3 melibatkan kerusakan yang lebih dalam seperti
persyarafan bahkan mengenai tulang.
1
Luasnya Luka Bakar
Penilaian luasnya luka bakar memilki peranan
yang sangat penting dalam menentukan luasnya
luka bakar yang terjadi yang berpengaruh terhadap
banyaknya terapi cairan yang diberikan. Luas luka
bakar ditentukan berdasarkan total body surface
area (TBSA). Metode yang seringkali dipakai untuk
menentukan luas luka bakar adalah mengacu pada
rule of nine untuk dewasa. Sedangkan pada anak
digunakan lund browder chart.
1
kepala dan
leher 9%
dada
dan
setiap lengan 9%
setiap kaki
18%
Prosentase dipengaruhi oleh pertumbuhan tubuh
Usia
Bagian Tubuh
kepala
paha
dari kaki bawah
Sumber : Jeschke
4
Penanganan Luka Bakar di Ruang Perawatan Intensif Anak
81 Volume 2 Nomor 2 April 2012
Dzulfkar
PATOGENESIS
Kulit memiliki struktur laminar yang tersusun
oleh epidermis yang merupakan lapisan paling luar,
dan dermis pada bagian dalam. Lapisan dermis terdiri
dari folikel rambut, kelenjar keringat dan kelenjar
minyak. Kulit berfungsi sebagai termoregulator
dan memiliki fungsi proteksi terhadap kehilangan
cairan, kerusakan mekanik maupun infeksi. Secara
anatomis, kulit terdiri dari epidermis yang tersusun
dari keratinosit, melanosit dan sel langerhans.
Lapisan dermis terdiri dari protein struktural dan sel-
sel yang bertanggung jawab menyokong kekuatan
tight junction kulit.
Cedera kulit akibat panas akan menyebabkan
terbentuknya 3 area kerusakan kulit yaitu zona s,
hiperemia yang disebabkan peningkatan aliran darah
akibat proses infamasi, zona stasis yang terletak
pada lapisan kedua yang bersifat iskemik, dan zona
ketiga yaitu zona koagulasi.
Bila luka bakar yang terjadi luas (>40%) dapat
menyebabkan hilangnya cairan intravaskular
berlebihan sehingga dapat menyebabkan syok
hipovolemik maupun distributif. Hal ini dapat
menyebabkan peningkatan afterload dan menurunkan
kontraktilitas jantung.
5,7
TATALAKSANA
Tatalaksana penanganan luka bakar di ruang
perawatan intensif membutuhkan pendekatan
holistik. Tidak jarang pasien luka bakar dirawat
di ruang perawatan intensif untuk dilakukan
pemantauan hemodinamik. Tatalaksana di ruang
perawatan intensif adalah sebagai berikut:
1,6
Mempertahankan Jalan Napas
Trauma jalan napas merupakan penyebab
kematian terbanyak pada pasien luka bakar. Cedera
jalan napas akibat luka bakar dapat menyebabkan
obstruksi, hipoksia bahkan kematian. Telah
dilaporkan bahwa trauma inhalasi akan meningkatkan
mortalitas pasien luka bakar sebanyak 20% yang
berpotensi menyebabkan pneumonia. Patogenesis
terjadinya trauma inhalasi adalah akibat cedera
panas yang berlangsung 12 jam setelah terjadinya
luka bakar yang menyebabkan obstruksi jalan napas
bagian atas.
1,9
Pasien luka bakar seringkali mengalami berbagai
penyulit termasuk terjadinya trauma inhalasi,
sehingga membutuhkan perawatan khusus untuk
rumatan jalan napas di ruang perawatan intensif,
apakah hanya sebatas pemantauan hemodinamik atau
bahkan membutuhkan bantuan ventilasi mekanik.
Berikut adalah indikasi intubasi pada pasien luka
bakar :
1
Luka bakar di wajah
Deposit karbon dan perubahan struktur akibat infa-
masi di faring dan rongga hidung
Terdapat tumpukan karbon pada dahak
Stridor dan suara parau
Retraksi dan sesak napas
Penurunan kesadaran
Penyakit paru restriktif sekunder akibat luka bakar
derajat berat
Pada pasien luka bakar pemberian O
2
dan
pembersihan jalan napas merupakan komponen
penting dalam tatalaksana jalan napas. Komponen
lain yang tidak kalah pentingnya antara lain adalah
hisap lendir berkala dan fsioterapi dada. Isap lendir
berkala sebaiknya dilakukan setelah memposisikan
pasien 45
o
. Sebelumnya pasien dilakukan
preoksigenasi dengan O
2
100%. Apabila belum
dilakukan preoksigenasi, sebaiknya dilakukan isap
lendir berkala selama kurang lebih 15 detik. Namun
yang harus diwaspadai adalah stimulasi nervus
vagus, terdapatya iritasi mukosa nasotrakea, trauma,
dan bradikardi.
1
Trauma inhalasi pada jalan napas bagian bawah
dapat menyebabkan infeksi trakea dan bronkus
akibat zat-zat kimia sehingga menyebabkan spasme
jalan napas. Dalam hal ini dapat digunakan aerosol
yang bersifat simpatomimetik yang menyebabkan
relaksasi otot bronkus dan menstimulasi clearance
mucociliary. Terapi inhalasi ini dapat diberikan
setiap 2-4 jam sekali tergantung klinis pasien.
9
Bilas bronkus digunakan untuk mengurangi
sekret sehingga dapat mengurangi risiko infeksi
sekunder. Tatalaksana bilas bronkhus yang dilakukan
di Shriners Hospital adalah sebagai berikut:
9
Pemberian O
2
lembab untuk mempertahankan satu-
rasi O
2
>90%
Latihan batuk dan menarik napas setiap 2 jam
Fisioterapi dada setiap 4 jam
Nebulisasi dengan 3 cc N-asetilsistein 20% + salbu-
tamol setiap 4 jam
Sebagai alternatif dapat diberikan nebulisasi dengan
Heparin 5000 unit dalam 3cc NaCl 0,9% setiap 4
jam
Isap lendir berkala
Penilaian fungsi paru sebelum pasien dipulangkan
dan pada saat kontrol
Edukasi pasien dan orang tua pasien berkaitan den-
gan trauma inhalasi yang terjadi
Resusitasi Cairan
Resusitasi cairan merupakan tatalaksana utama
pada saat fase awal penanganan luka bakar terutama
82 Majalah Kedokteran Terapi Intensif
pada 24 jam pertama. Pemberian cairan yang adekuat
akan mencegah syok yang disebabkan karena
kehilangan cairan berlebihan pada luka bakar.
7,10
Luka bakar dapat menyebabkan berbagai
perubahan parameter anatomis, imunologis bahkan
fsiologis tubuh. Luka bakar dapat menyebabkan
hilangnya cairan intravaskular melalui luka atau
jaringan yang tidak mengalami cedera. Hilangnya
cairan umumnya terjadi dalam 24 jam pertama setelah
cedera. Teknik resusitasi cairan pada luka bakar terus
mengalami perkembangan. Prinsip resusitasi cairan
luka bakar mengacu pada rumus Parkland yaitu :
1,10
4 cc/kg/luas permukaan tubuh + cairan rumatan
Cairan rumatan dapat digunakan dekstrosa 5%
dalam ringer laktat yang jumlahnya disesuaikan
dengan berat badan :
10 Kg: 100 mL/kg
11-20 Kg: 1000 mL + (Berat badan 10 Kg) x
50 mL
>20 Kg: 1500 mL + (Berat badan 20 Kg) x 20 mL
Pemberian cairan ini diberikan 24 jam pertama,
50% diberikan 8 jam pertama dan 50% diberikan 16
jam berikutnya. Formula ini telah digunakan secara
luas sejak 40 tahun yang lalu untuk terapi cairan pada
luka bakar selama 24 jam pertama setelah trauma,
namun penelitian terbaru mengatakan bahwa formula
Parkland tidak dapat memprediksi kehilangan cairan
secara akurat khususnya pada pasien dengan luka
bakar luas, akibatnya pasien seringkali mendapatkan
jumlah cairan lebih sedikit dibandingkan seharusnya.
Hal ini sesuai dengan penelitian Cancio dkk yang
melaporkan bahwa penggunaan formula Parkland
menyebabkan penurunan kebutuhan cairan pada
84% pasien. Penelitian ini juga menyebutkan
jumlah cairan yang diberikan pada pasien luka bakar
tidak hanya memperhatikan luas serta kedalaman
luka, namun harus diperhatikan apakah pasien ini
membutuhkan bantuan ventilasi mekanik atau tidak
karena diperkirakan hal ini dapat meningkatkan
kebutuhan cairan.
10
Metode lain resusitasi cairan dikembangkan
oleh Baxter pada tahun 1979, ia memberikan teknik
resusitasi cairan pada 954 pasien luka bakar dengan
menggunakan formulasi cairan 3,7 4,3 mL/Kg/total
luas permukaan tubuh (TLPT) dan didapatkan hasil
sekitar 70% yaitu 438 dewasa dan 516 anak-anak
mengalami keluaran yang baik. Formulasi lain terapi
cairan menurut gavelstron menggunakan rumus :
(5000 mL x LPT yang mengalami luka bakar) + (2000
mL x TLPT)

Protokol saat ini melanjutkan pemberian resusitasi
cairan dengan menggunakan formulasi 2 4 mL/kg /%
LPT selama 24 jam pertama. Setelah pemberian terapi
cairan, dilakukan pemantauan tanda kelebihan cairan
yaitu terdapatnya gangguan hemodinamik pasien
seperti sesak napas, hepatomegali atau terdapatnya
ronkhi basah halus pada basal paru. Pemantauan ini
kerap kali harus dilakukan karena pemberian cairan
berlebihan akan menyebabkan terjadinya edema
yang merupakan komplikasi akibat pemberian cairan
resusitasi dan berpotensi menimbulkan kompikasi
misalnya abdominal compartement syndrome dan
edema paru.
11
Antibiotika yang sesuai
Pasien luka bakar terutama luka bakar luas
berpotensi mengalami infeksi sekunder maupun
sepsis sehingga berpotensi meningkatkan mortalitas.
Penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat
terhadap 175 pasien luka bakar luas dikatakan bahwa
infeksi berhubungan dengan disfungsi multiorgan
yang dapat menimbulkan kematian pada 36%
pasien.
12
Infeksi sekunder pada luka bakar terutama
disebabkan oleh bakteri gram positif terutama
staflokokus yang berdomisili di kelenjar keringat dan
folikel rambut, perubahan kondisi akibat luka bakar
akan mempercepat pertumbuhan bakteri, sedangkan
infeksi bakteri gram negatif umumnya disebabkan
karena translokasi dari kolon karena berkurangnya
aliran darah mesenterika. Selain itu kondisi pasien
diperberat akibat penurunan respons limfosit T
sitotoksik, maturasi mieloid yang menyebabkan
terganggunya aktivitas netrofl dan makrofag. Tujuan
penanganan luka adalah mempercepat epitelisasi
sehingga dapat mengurangi risiko infeksi sekunder.
Sepsis seringkali menyertai luka bakar,
13
Menurut Centre for Disease Control (CDC),
infeksi luka bakar adalah keadaan apabila:
Terdapat perubahan kesadaran pasien yaitu menjadi
tampak letargis, hipotermia, hipertermia maupun
tanda-tanda syok
Perubahan pada luka yang terjadi misalnya warna
maupun bau
Pada pemeriksaan kultur jaringan positif mengan
dung mikroorganisme
Pemberian antibiotik proflaksis sebenarnya tidak di-
anjurkan, namun antibiotik proflaksis dapat direko-
mendasikan pada keadaan:
Pencegahan selulitis sehingga memerlukan an-
Penanganan Luka Bakar di Ruang Perawatan Intensif Anak
83 Volume 2 Nomor 2 April 2012
Dzulfkar
tibiotika antistreptokokal
Pemberian obat anti jamur oral atau enteral un-
tuk mencegah kandidiasis
Pemberian obat-obatan perioperatif
Pemberian antibiotika spektrum luas pada
keadaan syok sepsis
Pemberian antibiotika yang umum digunakan
adalah silver sulfadiazine yang memiliki potensi
antimikroba yang paling baik, namun memiliki efek
toksisitas dan memperlambat proses penyembuhan
luka.
Dukungan Nutrisi
Pada keadaan luka bakar terlebih pada luka bakar
derajat luas, terjadi hipermetabolisme akibat respons
stres berlebihan. Hal ini akan mengakibatkan pasien
akan mengalami keadaan malnutrisi, dan lambatnya
proses penyembuhan. Keadaan hipermetabolisme
dapat bertahan sekitar 12 bulan setelah cedera.
Keadaan ini berhubungan dengan luasnya luka bakar,
dan berkaitan dengan stres yang terjadi. Pada anak
kebutuhan kalori mencakup 60%-70% karbohidrat,
15%-20% lemak, sedangkan protein harus terpenuhi
2,5-4gram/kgbb/hari. Apabila diberikan asupan
berlebih dapat menyebabkan peningkatan produksi
CO
2
yang dapat memperberat fungsi paru dan dapat
meperlambat proses penyapihan ventilator. Di
samping itu pemberian karbohidrat berlebihan akan
menyebabkan disfungsi hepar, hiperglikemia sehingga
dapat memicu dehidrasi akibat meningkatnya
diuresis. Pemantauan proses metabolisme dilakukan
melalui pemantauan kadar gula darah, albumin,
elektrolit, fungsi hati dan ginjal.
7,10
Analgetika dan Sedatif
Luka bakar dapat menimbulkan rasa nyeri
terlebih lagi pada luka bakar luas. Nyeri tersebut
akan sangat mengganggu proses emosi dan fsiologi
anak. Sehingga diperlukan analgetika dan sedatif
yang dapat mengontrol nyeri agar anak menjadi
nyaman. Derajat luka bakar akan menentukan nyeri
yang ditimbulkannya. Pada luka bakar superfsial,
persyarafaan masih utuh sehingga pergerakan
maupun sentuhan akan sangat memicu rasa nyeri.
Sedangkan luka bakar luas dan dalam (deep partial
thickness) beberapa persarafan bahkan hampir
seluruh saraf mengalami kerusakan, akibatnya
pasien tidak begitu merasakan rangsangan nyeri.
Namun hal yang harus diperhatikan adalah apabila
sekeliling luka mengalami kemerahan yang dapat
menimbulkan nyeri. Luka bakar jenis full thickness,
seluruh persarafan telah mengalami kerusakan, oleh
sebab itu respons terhadap rasa nyeri sama sekali
tidak ada, namun daerah sekeliling luka masih
berespons terhadap rangsang nyeri.
14
Seringkali anak yang mengalami luka bakar,
rangsangan sekecil apapun mampu menstimulasi
pusat nyeri sehingga akan menimbulkan nyeri
kronik dan nyeri neuropatik. Nyeri neuropatik
terjadi sekunder akibat kerusakan saraf. Hal ini
dapat menyebabkan kurangnya respons terhadap
analgetika sehingga dibutuhkan obat-obatan sedatif.
14

Analgetika yang diberikan pada anak yang mengalami
nyeri akibat luka bakar adalah parasetamol dan anti
infamasi non steroid (AINS). Namun bila dengan
pengobatan oral masih tidak berespons, dapat
diberikan obat analgetika intravena.
Obat - obat analgetika sebaiknya memiliki
persyaratan sebagai berikut:
1
Mudah diberikan
Dapat ditoleransi dengan baik
Memiliki onset kerja singkat namun memiliki efek
samping minimal
Penanganan nyeri pada anak mencakup terapi
farmakologik dan non farmakologik. Terapi
farmakologik dilakukan dengan pemberian analgetika
spesifk yaitu pemberian parasetamol asetaminofen
obat Parasetamol adalah derivat paraaminofenol
yang dapat bekerja secara sentral dan perifer untuk
mengatasi rasa nyeri.
1
Obat anti infamasi non steroid memiliki sifat analge-
tika dan antipiretik melalui hambatan sintesis prosta-
glandin dan tromboksan.
1

Opioid Memiliki efek analgetika melalui reseptor
opioid sentral dan perifer.
1
Morfn memiliki efek sekitar 10 20 menit setelah
diberikan melalui jalur intravena dengan dosis
0,1mg/Kg. Dosis morfn yang diberikan pada anak
>5 tahun yaitu 20 mikrogram/Kg diberikan secara
bolus dilanjutkan dengan titrasi 4-8 mikrogram/kg/
Tabel 2. Perhitungan kebutuhan kalori pada luka bakar adalah sebagai berikut :
11
Usia (tahun) Kebutuhan kalori
0-1 2100 kkal/m2/LPT + 1000 kkal/m2/LPT
1-11 1800 kkal/m2/LPT + 1300 kkal/m2/LPT
12-18 1500 kkal/m2/LPT + 1500 kkal/m2/LPT
84 Majalah Kedokteran Terapi Intensif
jam. Pada saat diberikan morfn, harus dilakukan
pemantauan pernapasan dan saturasi O
2
.
1
Oxycodone merupakan opioid semisintetis yang
memiliki bioavailabilitas lebih baik dibandingkan
morfn. Oxycodone dapat diberikan dengan dosis
0,2mg/Kg secara per oral maupun intravena.
1
Fentanyl merupakan analgetika narkotik dengan
potensi lebih tinggi dibandingkan dengan morfn.
Memiliki kemampuan larut lemak yang tinggi
dan mula kerja cepat (12 menit). Durasi kerjanya
mencapai 60 menit dan dosis yang diberikan adalah
1520 mikrogram/Kg.
1

Agonis a2 Adrenergic umumnya diberikan pada anak
yang tidak berespons terhadap pemberian analgetika.
Dalam hal ini dapat digunakan klonidin yang diberi-
kan dengan cara menghambat jalur korda spinalis.
Dosis yang diberikan 13 mikrogram/Kg diberikan
3 kali sehari secara oral atau intravena.
Perawatan Luka
Perawatan luka merupakan salah satu tatalaksana
yang perlu diperhatikan dalam penanganan
luka bakar. Karena tidak jarang luka yang tidak
dibersihkan dengan baik dapat memicu infeksi
sekunder. Cleansing dan debridement merupakan
tindakan rutin yang harus dilakukan. Bilas luka dapat
menggunakan sabun dan air bersih atau clorhexidin
atau NaCl 0,9%. Setelah dibersihkan, diberikan
antibiotika topikal yang kemudian menutup luka
dengan kasa steril untuk mengurangi risiko infeksi
sekunder. Antibiotik topikal dapat diberikan sehari 2
kali sambil dilakukan ganti balutan.
1

Tujuan utama perawatan luka adalah mencegah
infeksi dan melindungi luka terhadap terjadinya
infeksi sekunder. Bula yang terbentuk apabila
berukuran <2cm dapat dibiarkan tetap utuh,
sedangkan bula yang besar harus dipecahkan
kemudian dilakukan debridement. Pasien luka bakar
yang dirawat umumnya dilakukan skin graft dalam
15 hari setelah trauma. Tindakan ini terbukti dapat
mengurangi risiko sepsis.
1,4,16
KESIMPULAN
Luka bakar masih merupakan penyebab penting
morbiditas dan mortalitas pada anak. Komplikasi
terbanyak akibat luka bakar antara lain adalah gagal
nafas, syok dan komplikasi sistemik ke berbagai
organ. Tatalaksana yang dilakukan mencakup
tatalaksana holistik yang mencakup rumatan jalan
napas, terapi cairan, dukungan nutrisi, pemberian
antibiotika, penanggulangan nyeri akibat luka bakar
dengan obat-obat antinyeri dan perawatan luka.
DAFTAR PUSTAKA
Kasten, Kevin, Makley, Kagan RJ. In : Burn and 1.
inhalation injuries. In: Fuhrman BP, Zimmerman
JJ, Carcillo JA, Clark RSB, Relvas M, Rotta AT,
et al eds. Prediatric critical care. 4
th
ed. Philadel-
phia: Elsevier Sounders; 2011. p. 1489 - 99
Saffe JR. The pnehomenon of fuid creep in 2.
acute burn resuscitation. J Burn C. 2005; 28(3):
328-92.
Klein MB, Hayden, Elson, Nathens AB, The 3.
association between fuid administration and
outcome following major burns. Annal Surg.
2007;245(4):622-7.
Jeschke MG, Mlcak RP, Finnerty CC, Nor- 4.
bury WB. Burn size determines the infamma-
tory and hypermetabolic response. Crit Care J.
2007;11(1):1-11.
Gandhi I, Lord D, Enoch S. Management of pain 5.
in children with burns. Int J Paed. 2010; 12(3):
1-7.
Gomez R, Leopoldo C. Management of burn 6.
wounds in the emergency department. Emerg
Med Clin N. 2007;12:135-46.
Sheridan RL. Sepsis in pediatric burn patients. 7.
Paed Crit Care. 2005;6(3):112-7.
Tricklebank F. Modern trends in fuid theraphy 8.
of burns. Burns. 2009;35:757-67.
Mcalk, Sumano. Respireatory management of 9.
inhalation injury. Burns. 2007;33:2-13.
Klein, Herndon. Burn. Paed Crit Rev. 10.
2004;25(14):411-7.
Reed, JL and WJ Pomerantz. Emergency manage- 11.
ment of pediatric burns. Pediatric Emergency Care.
21 (2): Feb,2005: 118-129
Abu R. Mortality of burn injuries. Burns. 12.
2005;10(6):439-43.
Avni T. Prophylactic antibiotics for burns pa- 13.
tients: systematic review and meta-analysis. Brit
Med J. 2010;340: 241.
Summer GJ, Runtillo KA.Burn injury pain: the 14.
continuing challenge. J Pain. 2007;8(7):533-48.
Sheridan RL. Burns. Crit Care Med. 2002; 15.
30(11): 500-11.
Latenzer BA. Critical care of the burn patient 16.
the frst 48 hours. Crit Care Med. 2009;97(10):
2823-7.
Penanganan Luka Bakar di Ruang Perawatan Intensif Anak

You might also like