You are on page 1of 72

Ditemukan kunci permainan parasit malaria mengelabui sistem

kekebalan tubuh
Lebih dari satu juta orang meninggal setiap tahun dari penyakit malaria yang disebabkan oleh strain
yang berbeda dari parasit Plasmodium yang ditularkan oleh nyamuk Anopheles. Dunia medis belum
menemukan vaksin yang efektif melawan parasit mematikan ini, dan terutama menyerang wanita hamil
dan anak-anak di bawah usia lima tahun. Dengan mencari tahu bagaimana penyakit berbahaya ini
menghindari sistem kekebalan tubuh, para peneliti dari Universitas Ibrani Yerusalem kini telah
membuka jalan bagi pengembangan pendekatan baru untuk menyembuhkan infeksi akut ini.
Setelah memasuki aliran darah, parasit Plasmodium bereproduksi di dalam sel darah merah dan
mengangkut protein ke permukaan mereka. Sel-sel ini menjadi lengket dan melekat pada dinding
pembuluh darah, menghalangi darah merah dan merusak tubuh manusia. Sistem kekebalan tubuh
biasanya mengidentifikasi protein ini sebagai benda asing dan menciptakan antibodi untuk melawan
penyakit ini.
Yang paling mematikan dari lima strain Plasmodium adalah Plasmodium falciparum, yang
menyebabkan lebih dari 90% dari kematian yang terkait dengan malaria. Strain canggih ini dapat
menipu sistem kekebalan tubuh dengan mengungkapkan hanya satu protein dari 60 jenis protein yang
harusnya di buang oleh tubuh. Sementara sistem kekebalan tubuh sibuk bertempur dengan protein
tersebut, parasit beralih ke protein lain yang tidak dikenal oleh sistem kekebalan tubuh, sehingga
menghindari respon antibodi dan pemulihan kembali dari infeksi.
Dalam penelitian yang dilakukan di Departemen Mikrobiologi dan Genetika Molekuler di Institut
Penelitian Medis Israel-Kanada, dan Pusat Kuvin untuk Studi Penyakit Menular dan Tropis di
Universitas Ibrani-Hadassah Medical School, Dr Ron Dzikowski dan seorang mahasiswa peneliti Inbar
Avraham mengungkapkan untuk pertama kalinya mekanisme genetik yang memungkinkan parasit
untuk selektif dengan hanya menampilkan satu protein sambil menyembunyikan protein lain dari sistem
kekebalan tubuh.
Dengan menggabungkan metode bioinformatic dan genetik, para peneliti mengidentifikasi urutan DNA
yang unik ditemukan di daerah pengatur dari keluarga gen yang menyandikan permukaan protein.
Mereka menunjukkan bahwa kemampuan parasit untuk mengekspresikan hanya satu gen sementara
menyembunyikan 59 lainnya tergantung pada urutan ini. Penelitian menunjukkan bahwa dengan
mengganggu peran regulasi dari urutan DNA akan mungkin untuk mencegah Plasmodium falciparum
dari menyembunyikan sebagian besar gen yang merusak dari sistem kekebalan tubuh.
Menurut Dr Dzikowski, Hasil ini adalah terobosan besar dalam memahami kemampuan parasit untuk
menyebabkan kerusakan pemahaman ini bisa menyebabkan strategi untuk mengganggu kemampuan
ini dan memberikan sistem kekebalan tubuh kesempatan untuk membersihkan infeksi dan mengatasi
penyakit. Parasit pintar ini tahu bagaimana untuk menggunakan topeng untuk menghindari serangan
kekebalan, namun penemuan kami bisa mengarah pada cara-cara baru untuk mencegahnya dari
melanjutkan permainan berbahaya ini.



bagan kekebalan terhadap malaria

di 5:11 AM 0 komentar
Label: malaria. kekebalan pada malaria
Saturday, November 29, 2008
Malaria : Kekebalan
Kekebalan pada malaria merupakan suatu keadaan kebal terhadap infeksi dan berhubungan dengan proses-proses
penghancuran parasit atau terbatasnya pertumbuhan dan perkembangbiakan. Pada malaria mungkin terdapat
kekebalan bawaan (alam) dan kekebalan didapat.

Kekebalan bawaan pada malaria merupakan suatu sifat genetik yang sudah ada pada hospes, tidak berhubungan
dengan infeksi sebelumnya, misalnya : manusia tidak dapat diinfeksi oleh parasit malaria pada burung atau binatang
pengerat; orang Negro di Afrika Barat relatif kebal terhadap P.vivax oleh karena mempunyai golongan darah Duffy (-
), mungkin Duffy (+) merupakan reseptor untuk P. Vivax; orang yang mengandung Hb S heterozigot lebih kebal
terhadap infeksi P. falciparum oleh karena pada tekanan O2 yang lebih rendah dalam kapiler alat-alat dalam Hb S
dapat mengubah bentuk eritrosit (bentuk sabit) dan parasitnya tidak dapat hidup serta mudah difagositosis. Demikian
pula pada orang dengan beta-thalassemia dan hemoglobin fetal yang menetap (Hb F); definisi G-6-PD pada eritrosit
dapat melindungi organ terhadapinfeksi berat P. falciparum.
di 12:24 AM 3 komentar
Label: malaria. kekebalan pada malaria
Tuesday, November 4, 2008
Malaria and biosafety
Pengambilan darah untuk diagnosis malaria mempunyai resiko. Virus hepatitis B, virus HIV dan kuman patogen
lainnya dapat ditularkan dengan pengunaan lanset (alat tusuk untuk pengambilan darah), jarum semprit dan dan alat-
alat lain yang tidak dibersihkan atau disterilisasi dengan sempurna.

Bila harus dilakukan pemeriksaan darah, seharusnya digunakan lanset atau jarum yang sekali pakai (disposable)
atau alat yang telah disterilkan secara seksama. Sediaan darah seyogyanya ditangani menurut pedoman standar
mengenai biosafety.
di 12:21 AM 0 komentar
Label: malaria and biosafety
Monday, November 3, 2008
Malaria : Diagnosis
Diagnosis pasti infeksi malaria dilakukan dengan menemukan parasit dalam darah yang diperiksa dengan mikroskop.
Peranan diagnosis laboratorium terutama untuk menunjang penanganan klinis.

Manfaat penunjang laboratorium adalah :
Untuk diagnosis kasus pada kegagalan obat.
Untuk penyakit berat dengan komplikasi.
Untuk mendeteksi penyakit tanpa penyulit di daerah yang tidak stabil atau daerah dengan transmsi rendah dan penting
untuk daerah yang ada infeksi P.falciparum dan P.vivax secara bersamaan, sebab pengobatan keduanya berbeda.
Tekhnik diagnosis :
Mikroskop cahaya. Sediaan darah dengan pulasan Giemsa adalah merupakan dasar dari pemeriksaan dengan
mikroskop cahaya. Pemeriksaan sediaan darah tebal dilakukan dengan memeriksa 100 lapangan mikroskopis
dengan pembesaran 500-600 kali yang setara dengan 0,20 L darah. Jumlah parasit dapat dihitung per lapangan
mikroskopis.

Metode semi kuantitaf untuk hitung parasit (parasite count) pada sediaan darah tebal adalah sebagai berikut :

+ = 1 10 parasit per 100 lapangan
++ = 11 100 parasit per 100 lapangan
+++ = 1-10 parasit per 1 lapangan
++++ = >10 parasit per 1 lapangan
+++++ = >100 parasit per 1 lapangan, setara dengan 40.000 parasit / L

Hitung parasit dapat juga dilakukan dengan menghitung jumlah parasit per 200 leukosit dalam sediaan darah tebal
dan jumlah leukosit rata-rata 8000 / L darah, sehingga densitas parasit dapat dihitung sebagai berikut :
Parasit / L darah = (Jumlah parasit yang dihitung 8000)/(jumlah leukosit yang dihitung (200))

Sayang sekali bahwa diagnosis mikroskopis secara rutin kadang-kadang kurang bermutu atau tidak dapat dilakukan
pada sistem pelayanan kesehatan di daerah perifer. Walaupun teknolginya sederhana dan biayanya relatif murah,
diagnosis mikroskopis ini tetap memerlukan infrastruktur yang memadai untuk pengadaan dan pemeliharaannya,
serta untuk melatih tenaga mikroskopik dan mempertahankan mutu.

Tekhnik mikroskopis lain.
Berbagai jenis upaya telah dilakukan untuk meningkatkan sensitivitas teknik mikroskopis yang konvensional,
diantaranya :

Teknik QBC (Quantitavie Buffy Coat) dengan pulasan jingga akridin (acridine orange) yang berfluoresensi dengan
pemeriksaan mikroskop fluoresen merupakan salah satu hasil usaha ini, tetapi masih belum dapat digunakan secara
luas seperti pemeriksaan sediaan darah tebal dengan pulasan Giemsa menggunakan mikroskop cahaya biasa.

Teknik Kawamoto merupakan modifikasi teknik pulasan jingga akridin yang memulas sediaan darah bukan dengan
giemsa tetapi dengan akridin dan diperiksa dengan mikroskop cahaya yang diberi lampu halogen.

Metode lain tanpa mikroskop.
Beberapa metode untukmendeteksi parasit malaria tanpa mengguankan mikroskop telah dikembangkan denan
maksud untuk mndeteksi parasit lebih baik daripada dengan mikroskop cahaya. Metode ini mendeteksi protein atau
asam nukleat yang berasal dari parasit.

Teknik dip-stick mendeteksi secara imuno-enzimatik suatu protein kaya histidine II yang spesifik parasit (immuno
enzymatic detection of the parasite spesific histidine rich protein II). Tes spesifik untuk plasmodium falciparum telah
dicoba pada beberapa negara, antara lain di Indonesia. Tes ini sederhana dan cepat karena dapat dilakukand alam
waktu 10 menit dan dapat dilakukan secara massal. Selain itu, tes ini dapat dilakukan oleh petugas yang tidak
terampil dan memerlukan sedikti latihan. Alatnya sederhana, kecil dan tidak memerlukanaliran listrik.
Sunday, November 2, 2008
Malaria : Patofisiologi
Patofisiologi pada malaria belum diketahui dengan pasti. Berbagai macam teori dan hipotesis telah dikemukakan.
Perubahan patofisiologi pada malaria terutama berhubungan dengan gangguan aliran darah setempat sebagai akibat
melekatnya eritrosit yang mengandung parasit pada endotelium kapiler. Perubahan ini cepat reversibel pada mereka
yang dapat tetap hidup (survive). Peran beberapa mediator humoral masih belum pasti, tetapi mungkin terlibat dalam
patogenesis terjadinya demam dan peradangan. Skizogoni eksoeritrositik mungkin dapat menyebabkan reaski
leukosit dan fagosit, sedangkan sporozoit dan gametosit tidak menimbulkan perubahan patofisiologik.

Patofisiologi malaria adalah multifaktorial dan mungkin berhubungan dengan hal-hal sebagai berikut :

a. Penghancuran eritrosit. Penghancuran eritrosit ini tidak saja dengan pecahnya eritrosit yang mengandung
parasit, tetapi juga oleh fagositosis eritrosit yang mengandung parasit dan yang tidak mengandung parasit, sehingga
menyebabkan anemia dan anoksia jaringan. Dengan hemolisis intra vaskular yang berat, dapat terjadi
hemoglobinuria (blackwater fever) dan dapat mengakibatkan gagal ginjal.

b. Mediator endotoksin-makrofag. Pada saat skizogoni, eirtosit yang mengandung parasit memicu makrofag yang
sensitif endotoksin untuk melepaskan berbagai mediator yang berperan dalam perubahan patofisiologi malaria.
Endotoksin tidak terdapat pada parasit malaria, mungkin berasal dari rongga saluran cerna. Parasit malaria itu sendiri
dapat melepaskan faktor neksoris tumor (TNF). TNF adalah suatu monokin , ditemukan dalam darah hewan dan
manusia yang terjangkit parasit malaria. TNF dan sitokin lain yang berhubungan, menimbulkan demam, hipoglimeia
dan sindrom penyakit pernafasan pada orang dewasa (ARDS = adult respiratory distress syndrome) dengan
sekuestrasi sel neutrofil dalam pembuluh darah paru. TNF dapat juga menghancurkan plasmodium falciparum in vitro
dan dapat meningkatkan perlekatan eritrosit yang dihinggapi parasit pada endotelium kapiler. Konsentrasi TNF dalam
serum pada anak dengan malaria falciparum akut berhubungan langsung dengan mortalitas, hipoglikemia,
hiperparasitemia dan beratnya penyakit.

c. Sekuestrasi eritrosit yang terinfeksi. Eritrosit yang terinfeksi plasmodium falciparum stadium lanjut dapat
membentuk tonjolan-tonjolan (knobs) pada permukaannya. Tonjolan tersebut mengandung antigen malaria dan
bereaksi dengan antibodi malaria dan berhubungan dengan afinitas eritrosit yang mengandung plasmodium
falciparum terhadap endotelium kapiler darah dalam alat dalam, sehingga skizogoni berlangsung di sirkulasi alat
dalam, bukan di sirkulasi perifer. Eritrosit yang terinfeksi, menempel pada endotelium kapiler darah dan membentuk
gumpalan (sludge) yang membendung kapiler dalam alam-alat dalam.

Protein dan cairan merembes melalui membran kapiler yang bocor (menjadi permeabel) dan menimbulkan anoksia
dan edema jaringan. Anoksia jaringan yang cukup meluas dapat menyebabkan kematian. Protein kaya histidin P.
falciparum ditemukan pada tonjolan-tonjolan tersebut, sekurang-kurangnya ada empat macam protein untuk
sitoaherens eritrosit yang terinfeksi plasmodium P. falciparum.

Sunday, November 2, 2008
Malaria : Patofisiologi
Patofisiologi pada malaria belum diketahui dengan pasti. Berbagai macam teori dan hipotesis telah dikemukakan.
Perubahan patofisiologi pada malaria terutama berhubungan dengan gangguan aliran darah setempat sebagai akibat
melekatnya eritrosit yang mengandung parasit pada endotelium kapiler. Perubahan ini cepat reversibel pada mereka
yang dapat tetap hidup (survive). Peran beberapa mediator humoral masih belum pasti, tetapi mungkin terlibat dalam
patogenesis terjadinya demam dan peradangan. Skizogoni eksoeritrositik mungkin dapat menyebabkan reaski
leukosit dan fagosit, sedangkan sporozoit dan gametosit tidak menimbulkan perubahan patofisiologik.

Patofisiologi malaria adalah multifaktorial dan mungkin berhubungan dengan hal-hal sebagai berikut :

a. Penghancuran eritrosit. Penghancuran eritrosit ini tidak saja dengan pecahnya eritrosit yang mengandung
parasit, tetapi juga oleh fagositosis eritrosit yang mengandung parasit dan yang tidak mengandung parasit, sehingga
menyebabkan anemia dan anoksia jaringan. Dengan hemolisis intra vaskular yang berat, dapat terjadi
hemoglobinuria (blackwater fever) dan dapat mengakibatkan gagal ginjal.

b. Mediator endotoksin-makrofag. Pada saat skizogoni, eirtosit yang mengandung parasit memicu makrofag yang
sensitif endotoksin untuk melepaskan berbagai mediator yang berperan dalam perubahan patofisiologi malaria.
Endotoksin tidak terdapat pada parasit malaria, mungkin berasal dari rongga saluran cerna. Parasit malaria itu sendiri
dapat melepaskan faktor neksoris tumor (TNF). TNF adalah suatu monokin , ditemukan dalam darah hewan dan
manusia yang terjangkit parasit malaria. TNF dan sitokin lain yang berhubungan, menimbulkan demam, hipoglimeia
dan sindrom penyakit pernafasan pada orang dewasa (ARDS = adult respiratory distress syndrome) dengan
sekuestrasi sel neutrofil dalam pembuluh darah paru. TNF dapat juga menghancurkan plasmodium falciparum in vitro
dan dapat meningkatkan perlekatan eritrosit yang dihinggapi parasit pada endotelium kapiler. Konsentrasi TNF dalam
serum pada anak dengan malaria falciparum akut berhubungan langsung dengan mortalitas, hipoglikemia,
hiperparasitemia dan beratnya penyakit.

c. Sekuestrasi eritrosit yang terinfeksi. Eritrosit yang terinfeksi plasmodium falciparum stadium lanjut dapat
membentuk tonjolan-tonjolan (knobs) pada permukaannya. Tonjolan tersebut mengandung antigen malaria dan
bereaksi dengan antibodi malaria dan berhubungan dengan afinitas eritrosit yang mengandung plasmodium
falciparum terhadap endotelium kapiler darah dalam alat dalam, sehingga skizogoni berlangsung di sirkulasi alat
dalam, bukan di sirkulasi perifer. Eritrosit yang terinfeksi, menempel pada endotelium kapiler darah dan membentuk
gumpalan (sludge) yang membendung kapiler dalam alam-alat dalam.

Protein dan cairan merembes melalui membran kapiler yang bocor (menjadi permeabel) dan menimbulkan anoksia
dan edema jaringan. Anoksia jaringan yang cukup meluas dapat menyebabkan kematian. Protein kaya histidin P.
falciparum ditemukan pada tonjolan-tonjolan tersebut, sekurang-kurangnya ada empat macam protein untuk
sitoaherens eritrosit yang terinfeksi plasmodium P. falciparum.
medical science
Rabu, 16 Februari 2011
malaria
1. Definisi
Malaria merupakan penyakit infeksi akut hingga kronik yang disebabkan oleh satu atau lebih spesies
Plasmodium, ditandai dengan panas tinggi bersifat intermitten, anemia, dan hepato-splenomegali.
Untuk memastikan diagnosis diperlukan pemeriksaan darah tepi (apusan tebal atau tipis) untuk
konfirmasi adanya parasit Plasmodium.

2. Epidemiologi
Malaria terjadi di sebagian besar daerah tropis di dumia. Plasmodium Falciparum lebih banyak terdapat
di Afrika, New Guinea, dan Haiti; Plasmodium vivax lebih umum ditemukan di Amerika Tengah.
Prevalensi kedua spesies ini rata-rata sama antara di Amerika selatan, Negara bagian Amerika, Asia
timur, dan kepulauan Oceania.




Epidemiologi malaria bersifat kompleks dan bisa sangat besar didalam area geografi yang sempit.
Secara klasik endemis didefinisikan dalam istilah of parasitemia rates atau secara palpasi dinyatakan
sebagai spleen rates pada anak-anak usia 29 tahun sebagai hipoendemik (<10%), mesoendemic (11
50%), hiperendemik (5175%), and holoendemik (>75%). Di daerah holoendemik dan hiperendemik
dimana transmisi P. falciparum sangat hebat sekali, orang kemungkinan bisa tergigit nyamuk lebih
banyak dalam sehari dan terinfeksi secara berulang kali dalam hidupnya.
Indonesia adalah salah satu negara yang masih beresiko malaria karena sampai 2007 masih terdapat 396
kabupaten (80 persen) endemis malaria. Pada 2008 terdapat 1,62 juta kasus malaria klinis dan 2009
menjadi 1,14 juta kasus, selain itu jumlah penderita positif malaria (hasil pemeriksaan mikroskop
terdapat kuman malaria) pada 2008, 266 ribu kasus dan masih 199 ribu kasus pada 2009.
Pada tahun 2010, Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari mengingatkan bahwa 424 kabupaten/kota dari
495 kabupaten/kota yang ada merupakan endemis malaria. Sekitar 45 persen penduduk Indonesia
berisiko tertular penyakit malaria. Jumlah tersebut diperkirakan karena masih banyaknya daerah
endemis untuk malaria di Indonesia.
Menurut Menkes Siti Fadilah, daerah endemis tinggi dengan Annual Parasite Incidence [API] lebih dari
lima per seribu tersebar di provinsi Maluku, Maluku Utara, Papua, Papua Barat, Sumatera Utara dan
Nusa Tenggara Timur. Sedang wilayah di provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Bangka Belitung,
Kepulauan Riau, Jambi, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Barat,
Jawa Tengah dan Jawa Barat termasuk daerah endemis sedang dengan API satu hingga lima per seribu.
Hanya sebagian daerah di Jawa, Kalimantan dan Sulawesi yang termasuk daerah endemis rendah
dengan API kurang dari satu per 1000 sementara daerah nonendemis hanya ada di DKI Jakarta, Bali dan
Kepulauan Riau.


3. Etiologi
Malaria disebabkan oleh protozoa darah yang termasuk ke dalam genus Plasmodium. Plasmodium ini
merupakan protozoa obligat intraseluler. Pada manusia terdapat 4 spesies yaitu Plasmodium vivax,
Plasmodium falciparum, Plasmodium malariae dan Plasmodium ovale. Plasmodium falciparum
merupakan penyebab infeksi berat bahkan dapat menimbulkan kematian. Keempat spesies Plasmodium
yang terdapat di Indonesia yaitu P. vivax menimbulkan malaria vivax disebut juga sebagai malaria
tertiana. P. malariae merupakan penyebab malaria malariae atau malaria kuartana. P. ovale
merupakan penyebab malaria ovale, sedangkan P. falciparum menyebabkan malaria falsiparum
atau malaria tropika.
Seorang dapat terinfeksi lebih dari satu jenis Plasmodium, dikenal sebagai infeksi campuran/majemuk
(mixed infection). Pada umumnya dua jenis Plasmodium yang paling sering dijumpai yaitu campuran
antara Plasmodium falciparum dan Plasmodium vivax atau Plasmodium malariae. Kadang dijumpai tiga
jenis plasmodium sekaligus tapi hal ini jarang sekali terjadi. Infeksi campuran biasanya terdapat di
daerah dengan angka penularan tinggi. Akhir- akhir ini di beberapa daerah dilaporkan kasus malaria
yang telah resisten klorokuin, bahkan juga resisten terhadap pirimetamin-sulfadoksin.
Penyakit ini jarang ditemui pada bulan-bulan pertama kehidupan, tetapi pada anak-anak yang berumur
beberapa tahun dapat terjadi serangan malaria tropika yang berat, bahkan tertian dan kuartana dan
dapat menyebabkan kematian terutama pada anak dengan gangguan gizi
Malaria dapat ditularkan melalui penularan (1) alamiah (natural infection melalui gigitan nyamuk
anopheles, (2) penularan bukan alamiah yaitu malaria bawaan (congenital) dan penularan secara
mekanik melalui transfuse darah atau jarum suntik. Sumber infeksi adalah orang yang sakit malaria,
baik dengan gejala maupun tanpa gejala klinis.
Nyamuk Anopheles menyukai air yang bersih dan tidak terpolusi, ritme gigitan menggigit pada malam
hari dan beristirahat di dalam dan luar ruangan (tergantung pada spesies). Selain itu, lebih menyukai
warna yang lebih gelap. Nyamuk betina dengan satu makanan darah dapat membuahkan 50 150 butir
telur. Anopheles spp. memiliki morfologi sebagai berikut:
Dewasa Bercak pucat dan gelap pada sayapnya dan beristirahat di kemiringan 45 derajat suatu
permukaan.





Larva beristirahat secara paralel dengan permukaan air.





Panjang telur kurang-lebih 1 mm dan memiliki pelampung di kedua sisinya.




Tahapan telur menjadi dewasa membutuhkan 6 10 hari. Metamorfosis sempurna meliputi tahap telur,
larva, kepompong, dan dewasa.
Perbedaan Nyamuk anopheles dengan nyamuk lainnya





4. Siklus Hidup Plasmodium
Parasit malaria memerlukan dua hospes untuk siklus hidupnya, yaitu manusia dan nyamuk anopheles
betina.
4.1 Siklus Pada Manusia
Pada waktu nyamuk anopheles infektif mengisap darah manusia, sporozoit yang berada dalam kelenjar
liur nyamuk akan masuk ke dalam peredaran darah selama kurang lebih 30 menit. Setelah itu sporozoit
akan masuk ke dalam sel hati dan menjadi tropozoit hati. Kemudian berkembang menjadi skizon hati
yang terdiri dari 10.000 sampai 30.000 merozoit hati. Siklus ini disebut siklus eksoeritrositer yang
berlangsung selama kurang lebih 2 minggu. Pada P. vivax dan P. ovale, sebagian tropozoit hati tidak
langsung berkembang menjadi skizon, tetapi ada yang memjadi bentuk dorman yang disebut hipnozoit.
Hipnozoit tersebut dapat tinggal di dalam sel hati selama berbulan-bulan sampai bertahun-tahun. Pada
suatu saat bila imunitas tubuh menurun, akan menjadi aktif sehingga dapat menimbulkan relaps
(kambuh).
Merozoit yang berasal dari skizon hati yang pecah akan masuk ke dalam peredaran darah dan
menginfeksi sel darah merah. Di dalam sel darah merah, parasit tersebut berkembang dari stadium
tropozoit sampai skizon (8-30 merozoit). Proses perkembangan aseksual ini disebut skizogoni.
Selanjutnya eritrosit yang terinfeksi skizon) pecah dan merozoit yang keluar akan menginfeksi sel darah
merah lainnya. Siklus inilah yang disebut dengan siklus eritrositer. Setelah 2-3 siklus skizogoni darah,
sebagian merozoit yang meninfeksi sel darah merah dan membentuk stadium seksual yaitu gametosit
jantan dan betina.
4.2 Siklus Pada Nyamuk Anopheles Betina
Apabila nyamuk Anopheles betina menghisap darah yang mengandung gametosit, di dalam tubuh
nyamuk, gamet jantan dan gamet betina melakukan pembuahan menjadi zigot. Zigot ini akan
berkembang menjadi ookinet kemudian menembus dinding lambung nyamuk. Di luas dinding lambung
nyamuk ookinet akan menjadi ookista dan selanjutnya menjadi sporozoit yang nantinya akan bersifat
infektif dan siap ditularkan ke manusia.
Masa inkubasi atau rentang waktu yang diperlukan mulai dari sporozoit masuk ke tubuh manusia
sampai timbulnya gejala klinis yang ditandai dengan demam bervariasi, tergantung dari spesies
Plasmodium. Sedangkan masa prepaten atau rentang waktu mulai dari sporozoit masuk sampai parasit
dapat dideteksi dalam darah dengan pemeriksaan mikroskopik.





5. Patogenesis Malaria
Patogenesis malaria akibat dari interaksi kompleks antara parasit, inang dan lingkungan. Plasmodium
berikatan dengan glikoporin, suati protein membrane eritrosit. Eritrosit terinfeksi plasmodium
bergantung pada kemampuan plasmodium dan pengaruh protein knobs. Adanya ikatan antigen dengan
glikoporin merangsanga antibody, antibody ini bekerja dalam sel.







Patogenesis lebih ditekankan pada terjadinya peningkatan permeabilitas pembuluh darah daripada
koagulasi intravaskuler. Selama skizogoni, sirkulasi perifer menerima pigmen malaria dan produk
samping parasit, seperti membran dan isi sel-sel eritrosit. Pigmen malaria tidak toksik, tetapi
menyebabkan tubuh mengeluarkan produk-produk asing dan respon fagosit yang intensif. Makrofag
dalam system retikuloendotelial dan dalam sirkulasi menangkap pigmen dan menyebabkan warna agak
kelabu pada sebagian besar jaringan dan organ tubuh. Pirogen dan racun lain yang masuk ke sirkulasi
saat skizogoni, diduga bertanggung jawab mengaktifkan kinin vasoaktif dan kaskade pembekuan darah.
Parasit malaria melepaskan semacam endotoksin yang mengakibatkan aktivasi jaras sitokin. Sel-sel dari
makrofag dan monosit juga mungkin endothelium terstimulasi untuk melepaskan sitokin. Pada awalnya
dihasilkan tumor necrosis factor (TNF) dan interleukin-1 (IL-1) yang kemudian menginduksi
pe;epasan sitokin-sitokin proinflamatoris ;ain termasuk interleukin-6 (IL-6) dan interleukin-8(IL-8).
Pirogen endogen (IL-1) dapat diidentifikasi dalam darah pada saat terjadi krisis malaria. Pecahnya
eritrosit juga diikuti pelepasan kalium, fosforilasi glukosa, proses oksidasi hemoglobin, rusaknya globin.
Juga terjadi perlekatan mekanis eritrosit yang mengandung skizon pada endothelium.
Demam mulai muncul bersamaan dengan pecahnya skizon darah yang mengeluarkan bermacam-macam
antigen. Antigen ini akan merangsang sel-sel makrofag, monosit atau limfosit yang mengeluarkan
bermacam-macam sitokin diantaranya TNF. TNF akan dibawa ke hipotalamus yang merupakan pusat
pengatur suhu tubuh dan terjadi demam. Proses skizogoni pada keempat plasmodium memerlukan
waktu yang berbeda-beda, P.falciparum memerlukan waktu 36-48 jam, P.vivax/ovale 48 jam, dan
P.malariae 72 jam. Demam pada P. falciparum dapat terjadi setiap hari, P. vivax/ovale selang waktu
sehari, dan P. malariae demam timbul selang waktu 2 hari.
Anemia terjadi karena pecahnya sel darah merah yang terinfeksi maupun yang tidak terinfeksi.
P.falciparum menginfeksi semua jenis sel darah merah, sehingga anemia dapat terjadi pada infeksi
akut dan kronis. P.vivax dan P.ovale hanya menginfeksi sel darah merah muda yang jumlahnya 2 % dari
seluruh jumlah sel darah merah. Sedangkan P.malariae menginfeksi sel darah merah tua yang
jumlahnya 1% dari seluruh sel darah merah, sehingga anemia yang disebabkan oleh P.vivax. P.ovale dan
P.malariae terjadi pada keadaan kronis. Beratnya anemi tidak sebanding dengan parasitemia
menunjukkan adanya kelainan eritrosit selain yang mengandung parasit. Hal ini diduga akibat adanya
toksin malaria yang menyebabkan gangguan fungsi eritrosit dan sebagian eritrosit pecah melalui limpa
sehingga parasit keluar. Faktor lain yang menyebabkan terjadinya anemia mungkin karena
terbentuknya antibodi terhadap eritrosit. Suatu bentuk khusus anemia hemolitik pada malaria adalah
Black Water Fever, yaitu bentuk malaria berat yang disebabkan oleh Plasmodium falciparum, ditandai
oleh hemolisis intravascular berat, hemoglobinuria, kegagalan ginjal akut akibat nekrosis tubulus,
disertai angka kematian yang tinggi.





Splenomegali: Limpa dapat membesar pada serangan akut. Limpa mengalami pembesaran dan
pembendungan. Pada titik ini, kapsul tipis dan mudah robek, dan pulpa mengalir sebagian. Sesudah
beberapa tahun, kapsul menebal dan pulpa fibrotik; splenomegali menjadi ireversibel. Dalam limpa
dijumpai banyak parasit dalam makrofag dan sering terjadi fagositosis dari eritrosit yang terinfeksi
maupun yang tidak terinfeksi. Pembesaran limpa begitu khas untuk tujuan epidemiologis untuk
menentukan indeks prevalensi, penyebaran, dan intensitas malaria. Pada malaria kronis terjadi
hyperplasia dari retikulosit diserta peningkatan makrofag. Pada sindrom pembesaran limpa di daerah
tropis atau penyakit pembesaran limpa pada malaria kronis biasanya dijumpai bersama dengan
peningkatankadar IgM. Peningkatan antibody terhadap malaria ini mungkin menimbulkan respons
imunologis yang tidak lazim pada malaria kronis.
Hepatomegali: Hepatomegali juga lazim ditemukan pada malaria. Sel kupffer terisi dengan hemozoin
coklat sampai hitam, dan sel parenkim dengan hemosiderin kuning. Sebagai akibatnya hati menjadi
berwarna kecoklatan agak kelabu atau kehitaman. Pada malaria kronis terjadi infiltrasi difus oleh sel
mononukleus pada periportal yang meningkat sejalan dengan berulangnya serangan malaria.
Hepatomegali dengan infiltrasi sel mononukleus merupakan bagian dari syndrome pembesaran hati di
daerah tropis.
Mungkin ada nekrosis sentrilobular yang dapat dihubungkan dengan hipoksemia. Fungsi hati biasanya
tidak secara serius terganggu, walaupun bilirubin terkonjugasi, SGOT/SGPT, dan fosfatase alkali dapat
meningkat. Albumin serum dapat menurun, dan hamper selalu ada peningkatan absolute globulin
serum. Uji serologis positif palsu untuk sifilis lazim ada.
Organ lain yang sering diserang oleh malaria adalah otak dan ginjal. Pada malaria serebral otak
berwarna kelabu akibat pigmen malaria, sering diserang edema hyperemia. Pendarahan berbentuk
petekia tersebar pada substansi putih otak dan dapat menyebar sampai ke sumsum tulang belakang.
Pada pemeriksaan mikroskopik, sebagian besar dari pembuluh darah kecil dan menengah dapat terisi
eritrosit yang telah mengandung parasit dan dapat dijumpai pembekuan fibrin, dan dapat terdapat
reaksi selular pada ruang perivaskular yang luas. Terserangnya pembuluh darah oleh malaria tidak saja
terbatas pada otak tetapi juga dapat dijumpai pada jantung atau saluran cerna atau ditempat lain dari
tubuh, yang berakibat pada berbagai manifestasi klinik.
Pada ginjal selain terjadi pewarnaan oleh pigmen malaria juga dijumpai salah satu atau dua proses
patologis yaitu nekrosis tubulus akut dan atau membranoproliverative glomerulonefritis. Nekrosis
tubulus akut dapat terjadi bersama dengan hemolisis massif dan hemoglobinuria pada black water fever
tetapi dapat juga terjadi tanpa hemolisis, akibat kurangnya aliran darah karena hipovolemia dan
hiperviskositas darah. P.falciparum menyebabkan nefritis sedangkan P.malariae menyebabkan
glomerulonefritis kronik dan syndrome nefrotik.
Pada malaria berat mekanisme patogenesisnya berkaitan dengan invasi merozoit ke dalam eritrosit
sehingga menyebabkan eritrosit yang mengandung parasit mengalami perubahan struktur dan
biomolekular sel untuk mempertahankan kehidupan parasit. Perubahan tersebut meliputi mekanisme,
diantaranya transport membran sel, sitoadherensi, sekuestrasi dan resetting.
Sitoadherensi merupakan peristiwa perlekatan eritrosit yang telah terinfeksi P. falciparum pada
reseptor di bagian endotelium venule dan kapiler. Selain itu eritrosit juga dapat melekat pada eritrosit
yang tidak terinfeksi sehingga terbentuk roset.
Resetting adalah suatu fenomena perlekatan antara sebuah eritrosit yang mengandung merozoit
matang yang diselubungi oleh sekitar 10 atau lebih eritrosit non parasit, sehingga berbentu seperti
bunga. Salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya resetting adalah golongan darah dimana
terdapatnya antigen golongan darah A dan B yang bertindak sebagai reseptor pada permukaan eritrosit
yang tidak terinfeksi.
Menurut pendapat ahli lain, patogenesis malaria adalah multifaktorial dan berhubungan dengan hal-hal
sebagai berikut:
1. Penghancuran eritrosit
Fagositosis tidak hanya pada eritrosit yang mengandung parasit tetapi juga terhadap eritrosit yang
tidak mengandung parasit sehingga menimbulkan anemia dan hipoksemia jaringan. Pada hemolisis
intravascular yang berat dapat terjadi hemoglobinuria (black white fever) dan dapat menyebabkan
gagal ginjal.
2. Mediator endotoksin-makrofag
Pada saat skizogoni, eritrosit yang mengandung parasit memicu makrofag yang sensitive endotoksin
untuk melepaskan berbagai mediator. Endotoksin mungkin berasal dari saluran cerna dan parasit
malaria sendiri dapat melepaskan faktor nekrosis tumor (TNF) yang merupakan suatu monokin,
ditemukan dalam peredaran darah manusia dan hewan yang terinfeksi parasit malaria. TNF dan sitokin
dapat menimbulkan demam, hipoglikemia, dan sndrom penyakit pernapasan pada orang dewasa.
3. Sekuestrasi eritrosit yang terluka
Eritrosit yang terinfeksi dengan P.falciparum menjadi terasing dalam kapiler visceral tempat skizogoni
terjadi. Pengasingan (sequestrasi) eritrosit terinfeksi P.falciparum matang dalam mikrosirkulasi
tampaknya patogenetik yang penting. Diyakini bahwa eritrosit yang terinfeksi P.falciparum menjadi
kurang bisa berubah bentuk dibanding sel normal; maka tidak mudah melintasi pembuluh kapiler.
Bukti penelitian menunjukkan bahwa struktur seperti benjolan, elekron-dense pada membrane eritrosit
yang terinfeksi penting untuk mengarahkan ligan adhesi ke reseptor sitoadheren sel endotel seperti CD-
36 dan mungkin ICAM-1, tetapi sekarang tampaknya benjolan ini tidak perlu untuk sitoadheren. Lebih
jauh, protein membrane eritrosit yang terinfeksi dengan berat 270 kD yang baru ditemukan, sekuestrin,
tampaknya mengikat khusus pada CD-36. Pengamatan ini menunjukkan lebih jauh bahwa CD-36 adalah
reseptor utama untuk ligan parasit pada endotel vascular. Akhirnya, eritrosit yang terinfeksi menempel
pada endothelium dan membentuk gumpalan yang mengandung kapiler yang bocor dan menimbulkan
anoksia dan edema jaringan.
Pertama parasit dalam sel darah merah (PRBCs) menempel pada reseptor yang diekspresikan oleh sel
endotel mikrovaskular di otak, diantaranya molekul adhesi intracellular 1 (ICAM1), melalui ekspresi
membrane protein 1 (EMP1) pada permukaan eritrosit yang mengandung Plasmodium falciparum.
Ketika merozoit dikeluarkan dari PRBCs 4 jam kemudian, glycosylphosphatidylinositol (GPI) parasit,
yang mana dikeluarkan kedalam aliran darah atau nampak di membran parasit, berfungsi sebagai
pathogen yang berhubungan dengan bentuk molekuler dan toksin, dengan cara demikian menginduksi
respons inflamasi. Respons fase akut local kemudian terjadi, yang mana mengaktifkan produksi sitokin
dan chemokin endotel dan local, dan ini hasil dari peningkatan ekspresi molekul adhesi sel endotel.
Dalam waktu 24 jam kemudian, siklus ini dipertahankan dan dieksaserbasi, memperlihatkan
peningkatan jumlah parasit dan ikatan PRBCs pada sel endotel yang membangkitkan ekspresi molekul
adhesi.
GPI dapat juga berfungsi sebagai ligand CD1 yang dibatasi sel natural killer T (NKT), yang
menyebabkan aktivasinya. Pengaktifan sel NKT dapat mengatur differensiasi sel T CD 4 menjadi sel T
helper 1 (Th1) atau Th2, tergantung pada lokus kompleks natural killer yang diekspresikan sehingga
teraktivasi. Ditambah lagi, chemokin membangkitkan monosit dan netrofi ( walaupun netrofiltidak
diketahui menginfiltrasi mikrovaskuler otak pada sesorang dengan serebral malaria). Pengaktifan
monosit dapat juga berdiferensiasi menjadi makrofag dan beristirahat di mikrovaskuler otak.
Aktivasi makrofag local menghasilkan lebih banyak chemokin, yang mana dikeluarkan secara sistemik,
dengan demikian mengakibatkan penambahan infiltrasi sel, sekuestrasi PRBCs dan mengeluarkan
mikropartikel. Lebih banyak mikropartikel platelet, sel endotel, dan monosit dikeluarkan, yang mana
menyebabkan penyebaran pro-inflamasi dan pro-koagulan. Akhirnya, menyebabkan kerusakan endotel,
kemungkinan pendarahan perivascular, jejas axonal, dan neurotransmitter dan terjadi gangguan
metabolik.



6. Manifestasi Klinis
Secara klinis, gejala malaria infeksi tunggal pada pasien non-imun terdiri atas beberapa serangan
demam dengan interval tertentu (paroksisme), yang diselingi oleh suatu periode bebas demam (periode
laten. Sebelum demam pasien biasanya merasa lemah, nyeri kepala, tidak ada nafsu makan, mual atau
muntah. Pada pasien dengan infeksi majemuk/campuran (lebih dari satu jenis Plasmodium atau satu
jenis Plasmodium tetapi infeksi berulang dalam waktu berbeda), maka serangan demam terus menerus
(tanpa interval), sedangkan pada pejamu yang imun gejala klinisnya minimal.
Periode paroksisme biasanya terdiri dari tiga stadium yang berurutan yakni stadium dingin (cold stage),
stadium demam (hot stage) dan stadium berkeringat (sweating stage) Paroksisme ini biasanya jelas
terlihat pada orang dewasa tapi jarang dijumpai pada usia muda. Pada anak dibawah 5 tahub, stadium
dingin seringkali bermanifestasi sebagai kejang. Serangan demam yang pertama didahului oleh masa
inkubasi (intrinsic). Masa inkubasi bervariasi antara 9-30 hari tergantung padaspesies parasit, paling
pendek pada Plasmodium falciparum dan paling panjang pada Plasmodium malariae. Masa inkubasi ini
juga tergantung pada intensitas infeksi, pengobatan yang pernah didapat sebelumnya, dan derajat
imunitas pejamu. Pada malaria akibat transfuse darah, masa inkubasi Plasmodium falciparum adalah 10
hari, Plasmodium vivax 16 hari dan Plasmodium malariae 40 hari atau lebih setelah transfuse. Masa
inkubasi pada penularan secara alamiah pada masing-masing spesies parasit, untuk Plasmodium
falciparum 12 hari, Plasmodium vivax dan Plasmodium ovale 13-17 hari, dan Plasmodium malariae 28-
30 hari. Setelah lewat masa inkubasi, pada anak besar dan orang dewasa timbul gejala demam yang
terbagi dalam tiga stadium yaitu:
Periode dingin
Stadium ini diawali dengan gejala menggigil atau perasaan yang sangat dingin. Gigi gemeretak dan
pasien biasanya menutupi tubuhnya dengan segala macam pakaian dan selimut yang tersedia. Nadi
cepat tetapi lemah, bibir dan jari-jari pucat atau sianosis, kulit kering dan pucat, pasien mungkin
muntah dan pada pasien mungkin muntah dan pada anak sering terjadi kejang. Stadium ini berlangsung
antara 15 menit sampai 1 jam.
Periode demam
Setelah merasa kedinginan, pada stadium ini pasien merasa kepanasan. Muka merah, kulit kering dan
terasa sangat panas seperti terbakar, nyeri kepala, seringkali terjadi mual dan muntah, nadi menjadi
kuat lagi. Biasanya pasien menjadi kuat lagi. Biasanya pasien menjadi sangat haus dan suhu badan
dapat meningkat sampai 410 C atau lebih. Stadium ini berlangsung antara 2-12 jam. Demam disebabkan
oleh karena pecahnya skizon dalam sel darah merah yang telah matang dan masuknya merozoit darah
ke dalam aliran darah. Pada Plasmodium vivax dan Plasmodium ovale, skizon dari tiap generasi menjadi
matang setiap 48 jam sekali, sehingga timbul demam setiap hari ketiga terhitung dari serangan demam
sebelumnya. Pada Plasmodium malariae, demam terjadi pada 72 jam (setiap hari keempat), sehingga
disebut malaria kuartana. Pada Plasmodium falciparum, setiap 24-48 jam.


grafik demam malaria

Periode berkeringat
Pada stadium ini pasien berkeringat banyak sekali, tempat tidurnya basah, kemudian suhu badan
menurun dengan cepat, kadang-kadang sampai dibawah normal.
Gejala tersebut diatas tidak selalu sama pada setiap pasien, tergantung pada spesies parasit, berat
infeksi dan usia pasien. Gejala klinis yang berat biasanya terjadi pada malaria tropika yang disebabkan
oleh adanya kecenderungan parasit (bentuk tropozoit dan skizon) untuk berkumpul pada pembuluh
darah organ tubuh tetentu seperti otak, hati, dan ginjal, sehingga menyebabkan tersumbatnya
pembuluh darah organ-organ tersebut. Gejala mungkin berupa koma, kejang sampai gangguan fungsi
ginjal. Kematian paling sering disebabkan oleh malaria jenis ini. Black watwr fever yang merupakan
komplikasi berat, adalah munculnya hemoglobin pada urin sehingga menyebabkan warna urin berwarna
tua atau hitam. Gejala lain dari Black water fever adalah ikterus dan muntah berwarna seperti
empedu. Black water fever biasanya dijumpai pada mereka yang menderita infeksi Plasmodium
falciparum berulang. Dengan infeksi yang cukup berat.
Didaerah yang tinggi tingkat endemisitasnya (hiper atau holoendemik), pada orang dewasa seringkali
tidak dijumpai gejala klinis walaupun darahnya mengandung parasit malaria. Hal ini disebabkan
imunitas yang telah timbul pada mereka karena infeksi berulang. Limpa biasanya membesar pada
serangan pertama yang berat atau setelah beberapa serangan dalam periode yang cukup lama. Dengan
pengobatan yang baik, limpa secara berangsur-angsur akan mengecil kembali.

Malaria tanpa komplikasi
Pada daerah hiper atau holoendemik, control malaria efektif sehingga serangan malaria akut sering
terjadi pada anak usia 6 bulan sampai 5 tahun, secara bertahap menginduksi imunitas secara aktif.
Pada anak besar yang sudah mendapat imunitas, maka gejala klinisnya menjadi lebih ringan. Infeksi
akut dapat terjadi pada anak besar yang mendapat kemoprofilaksis yang tidak sempurna atau lupa
minum obat saat masuk ke daerah endemis malaria. Pada daerah hipoendemik malaria,semua usia
dapat terserang malaria.
Anak pada mulanya menjadi letargik, mengantuk atau gelisah, anoreksia, pada anak besar dapat
mengeluh nyeri kepala dan mual. Demam selalu dijumpai tetapi bervariasi. Muntah, nyeri perut dan
diare agak jarang dijumpai. Pembesaran hati sering dijumpai pada anak. Pada serangan akut,
pembesaran hati biasanya terjadi pada awal perjalanan penyakit (pada akhir minggu pertama) dan
lebih sering terjadi daripada pembesaran limpa.
Hati biasanya lunak dan terus membesar sesuai dengan progresivitas penyakit, namun fungsinya
jarang terganggu dibandingkan dengan orang dewasa. Ikterus dapat dijumpai pada beberap anak,
terutama berhubungan dengan hemolisis. Kadar transaminase darah sedikit meningkat untuk waktu
singkat.
Limpa yang membesar umumnya dapat diraba pada minggu kedua; pembesaran limpa progresif
sesuai dengan perjalanan penyakit. Pada anak yang telah mengalami serangan berulang, limpa dapat
sangat besar dengan konsistensi keras. Anemia merupakan akibat penting malaria tropika pada anak.
Pada infeksi akut,beratnya anemia berhubungan lansung dengan derajat parasitemia.
Malaria ovale mempunya gejala klinis lebih ringan daripada malaria tertian. Pada hari terakhir masa
inkubasi, anak menjadi gelisah, anoreksia sedangkan anak besar mengeluh nyeri kepala dan nausea.
Demam periodic tiap 48 jam tetapi stadium dingin dan menggigil jarang dijumpai pada bayi dan balita.
Selama periode demam, anak selalu merasa dingin dan menggigil dalam waktu singkat. Demam sering
terjadi pada sore hari. Pada anak jarang terjadi parasitemia berat, terdapat pada kurang dari 2%.
Malaria tertian dan ovale jarang disertai anemia berat. Hati pada umumnya membesar dan teraba pada
akhir minggu pertama. Bilirubin total dapat meningkat tetapi jarang disertai ikterus, sedangkan kadar
transaminase sedikit meningkat untuk waktu singkat. Limpa bertambah besar selama serangan dan
dapat teraba pada mingu kedua. Kejang dapat terjadi saat demam tinggi pada usia 6 bulan sampai 5
tahun. Kematian pada anak sangat jarang terjadi, tetapi dapat terjadi bila disertai penyakit lain yang
berat, gizi buruk, dan anemia berat. Pada malaria tertian dan ovale bentuk dormant dari parasit dapat
tetap berada dalam hati dan dapat menyebabkan relaps. Relaps dapat terjadi pada kasus yang
mendapat pengobatan hanya obat skizontosida saja.
Gambaran klinis malaria kuartana menyerupai malaria tertian, hanya periode demam terjadi tiap 72
jam. Sindrom nefrotik dapat terjadi pada usia 2 samapi 12 tahun dengan puncak pada usia 5-7 tahun.
Dijumpai edema berat, proteinuria berat yang menetap, hipoproteinuria berat dan asites. Serum
albumin kurang dari 2 gr/dL bahkan pada 95% kurang dari 1gr/dL. Tekanan darah biasanya normal dan
tidak jelas adanya azotemia dan hematuria.
Anak-anak dibawah usia 5 tahun sebagian besar mengalami efek berat dari malaria karena mereka
belum memiliki imunitas terhadap parasit. Infeksi berat dapat menyebabkan kematian pada anak
dalam waktu beberapa jam. Malaria dalam kehamilan dapat berupa infeksi asimptomatik sampai infeksi
berat yan membutuhkan terapi. Di area yang transmisi malarianya stabil sebagian besar wanita telah
memiliki imunitas alami yang biasanya infeksi tidak menimbulkan gejala selama kehamilan. Di
beberapa area utama malaria, infeksi malaria berhubungan dengan anemia pada ibu dan adanya parasit
dalam plasenta yang mengakibatkan berat badan lahir rendah (BBLR), yang mempengaruhi
pertumbuhan dan kematian bayi. Di area malaria yang transmisinya tidak stabil, wanita memiliki
sedikit imunitas dan berisiko mengalami malaria berat dan kematian.




Malaria berat
Malaria berat adalah malaria yang disebabkan oleh Plasmodium falciparum yang menyerang berbagai
organ dengan gejala dan tanda yang bervariasi. Penyakit ini menyebabkan 90% dari mortalitas yang
berkaitan dengan infeksi P. falciparum di seluruh dunia, sehingga WHO menetapkan kriteria standar
untuk diagnosis dini dan penanganan penyakit malaria berat untuk mengurangi angka kematian.
Malaria berat adalah malaria yang disebabkan oleh Plasmodium falciparum stadium aseksual. Malaria
dengan disertai satu atau lebih kelainan seperti tertera dibawah ini merupakan malaria berat, antara
lain:
1. Malaria serebral, derajat kesadaran menurun (delirium, stupor, koma)
2. Anemia berat, kadar hemoglobin kurang dari sama dengan 5 g/dL
3. Dehidrasi, gangguan asam basa (asidosis metabolic) dan gangguan elektrolit
4. Hipoglikemia berat
5. Gagal ginjal
6. Edema paru berat
7. Kegagalan sirkulasi (Algid malaria)
8. Kecenderungan terjadinya pendarahan
9. Hiperpireksia/hyperthermia
10. Hemoglobinuria/ Black water fever
11. Ikterus
12. Hiperparasitemia
Angka kematian malaria berat dalam penelitian Halim ID,dkk adalah 4% yang terjadi pada penderita
malaria serebral dan malaria algid. Angka tersebut lebih rendah bila dibandingkan dengan penelitian di
Gambella Ethiopia Barat yang dilakukan pada tahun 1998-1999 dengan angka kematian sebesar 22% dan
kebanyakan kematian terjadi dalam 24 jam pertama. Demikian pula angka kematian malaria berat di
Kenya sekitar 10% dengan kematian terjadi sebanyak 27% dalam 48 jam pertama. Pada penelitian di
Myanmar tahun 1995 ditemukan angka kematian terbanyak terjadi dalam 24 jam pertama sebesar 57%.
Pada penelitian di Rumah Sakit Umum Prof. Dr. RD Kandou Manado 1991-2000 ditemukan 67 kasus
dengan angka kematian sebesar 17,2%.11 Pada penelitian Schellenberg et al di Kenya mendapatkan
bahwa penderita malaria berat yang dirawat di rumah sakit sebagian besar bertempat tinggal dekat
rumah sakit dengan jarak kurang dari 5 km (31,6%), jarak 5-10 km sebanyak 22,6%, jarak 10-15 km
sebanyak 21%, jarak 15-20 km sebanyak 14,8%,dan jarak lebih dari 25 km sebanyak 5%. Dikatakan juga,
meskipun dengan penggunaan antimalaria secara parenteral dan penanganan komplikasi malaria yang
intensif, angka kematian dari malaria serebral masih sekitar 25-50% dan akan terjadi cacat neurologik
sebesar 10%. Jika tidak ditangani dengan baik malaria serebral akan meninggal dalam 24-72 jam.
Tanda dan gejala klinis malaria berat dapat berbeda menurut umur dan letak geografis serta berbeda
dalam hal frekuensi penularan penyakit malaria. Malaria serebral merupakan bentuk malaria berat yang
sering ditemukan di Gambia, sedangkan malaria falciparum dengan anemia berat sering ditemukan
pada anak-anak di Papua New Guinea. Demikian juga pada penelitian di Gambella didapatkan bahwa
malaria falciparum dengan anemia yang berat paling sering ditemukan dengan jumlah sekitar
33%. Pendapat ini didukung oleh penelitian Ejov et al di Myanmar pada tahun 1995 yang mendapatkan
penderita malaria berat yang disertai dengan anemia sebesar 75% dari seluruh penderita. Pada
penelitian ini kami menemukan bahwa malaria falciparum dengan hiperparasitemia yang terbanyak
sekitar 49% dan diikuti oleh malaria falciparum dengan anemia berat. Hal itu mungkin disebabkan
adanya faktor dari imunitas atau kekebalan yang terdapat pada anak-anak yang berada di daerah
endemis.




Malaria Serebral
Malaria serebral merupakan komplikasi berat dari malaria falciparum dan menyebabkan kematian bila
tidak cepat diobati. Keadaan ini merupakan kegawatan akut yang memerlukan penanganan segera.
Penanganannya adalah memberantas parasitemia, mengurangi edema serebri, mengatasi kejang,
memperbaiki keseimbangan cairan dan elektrolit, dan perawatan yang baik.
Pada penelitian Halim ID,dkk ditemukan angka kematian malaria serebral sebesar 24% (sebanyak 5
penderita dari 21 penderita malaria serebral yang dirawat). Hal itu kemungkinan disebabkan
terlambatnya penderita dibawa berobat, dengan lama perawatan rata-rata 2,2 hari dan beratnya
komplikasi yang sudah terjadi. Hal itu sesuai dengan angka kematian penderita malaria serebral pada
penelitian anak-anak di Afrika tahun 1998 sebesar 18,6%.
Pada malaria serebral, kesadaran anak apatis sampai koma. Tanda neurologic yang penting pada
malaria serebral adalah gangguan upper motor neuron yang simetris dan batang otak. Pendarahan dan
eksudat pada retina dijumpai pada beberapa kasus namun lebih jarang dibandingkan orang dewasa.
Delirium, halusinasi atau mengamuk sangat jarang pada anak. Pemeriksaan cairan serebrospinal
biasanya dalam batas normal. Pada sebagian besar malaria serebral disertai anemia berat dan
parasitemia berat. Kadang-kadang jumlah parasitemia didalam darah tepi rendah yang mungkin
disebabkan oleh pengobatan antimalaria yang tidak adekuat atau berada didalam kapiler organ dalam.
Hati dan limpa sering dapat diraba. Edema paru dijumpai pada 10% kasus anak, sedangkan oliguria dan
azotemia jarang ditemukan pada anak dibandingkan dengan orang dewasa. Pemeriksaan EEG terdapat
kelainan yang tidak spesifik.
Malaria serebral adalah malaria falciparum yang disertai kejang dan koma, tanpa penyebab lain lain
dari koma. Gejala paling dini dari malaria serebral anak-anak umumnya adalah demam (37,50 -410 C),
selanjutnya tidak bisa makan atau minum, sering mengalami rasa mual dan batuk, jarang diare.
Riwayat gejala yang mendahului koma dapat sangat singkat, umumnya 1-2 hari. Anak-anak yang sering
kehilangan kesadaran setelah demam harus diperkirakan mengalami malaria serebral, terutama jika
koma menetap lebih dari setengah jam setelah kejang. Dalamnya koma dapat dinilai sesuai dengan
skala koma Glasgow (GCS) atau modifikasi khusus pada anak yaitu skala koma Blantyre, melalui
pengamatan terhadap respons rangsangan bunyi atau rasa nyeri yang standar, ketukan (knuckle) iga
pada dada anak dan jika tidak ada respons lakukan tekanan kuat pada kuku ibu jari dengan pensil pada
posisi mendatar. Selalu singkirkan dan atasi kemungkinan hipoglikemia. Skala koma dapat digunakan
berulang kali untuk menilai ada kemajuan atau kemunduran. Kejang biasanya terjadi pada sebelum
atau sesudah timul koma. Hal ini secara bermakna berhubungan dengan morbiditas dan gejala sisa.
Sekelompok anak yang dapat ertahan hidup setelah menderita malaria serebral kurang lebih 10%
mengalami gejala sisa neurologic yang menetap. Selama periode penyemuhan, gejala sisa dapat
berbentuk hemiparesis, ataksia serebelar, kebutaan kortikal, hipotonia berat, retardasi mental,
kekakuan yang menyeluruh atau afasia.

Skala Koma Blantyre
Penilaian Spontan Nilai
Pergerakan mata Terarah (misalnya mengikuti wajah ibunya) 1
Tidak terarah 0
Respons verbal Menangis yang wajar 2
Menangis yang tidak wajar atau merintih 1
Tidak ada 0
Respons motorik Rangsangan nyeri setempat (ketuk iga atau sternum) 2
Menarik tungkai dari sumber nyeri (tekan kuat pada kuku dengan pensil) 1
Respons yang tidak spesifik 0
Jumlah 0-5
Pada skala koma Blantyre disebut unrousable coma bila jumlah nilai 3

Anemia
Anemia merupakan penyebab penting dari angka kematian dan kesakitan pada penderita yang
mengalami infeksi malaria berat dan merupakan salah satu komplikasinya di wilayah endemis. Dalam
penelitian Halim dkk, anemia pada tingkatan manapun tidak menimbulkan kematian, namun bila
anemia disertai dengan adanya komplikasi dari malaria berat lainnya akan dapat mengakibatkan
kematian. Hal itu sama dengan penelitian yang dilakukan di Gambia dan juga yang dilakukan di
Gambella. Umur dari 148 penderita antara 1 tahun 2 bulan dan 12 tahun 8 bulan dengan ratarata 6
tahun 4 bulan. Grebe menemukan penderita sebagian besar berumur 1-5 tahun sebanyak 110 penderita
(87%) dan berumur di atas 5 tahun sebanyak 17 penderita (13%) dengan umur rata-rata 36,7 bulan.
Pada penelitian Ejov et al tahun 1995 di Myanmar mendapatkan bahwa angka kesakitan malaria berat
ditemukan terbanyak pada anak yang berumur 5-9 tahun.
Derajat anemia tergantung dari derajat dan lama parasitemia terjadi. Pada beberapa pasien, serangan
malaria berulang yang tidak diobati secara adekuat akan menyebabkan anemia normokrom sebagai
akibat perubahan eritropoetik di dalam sumsum tulang. Walaupun parasitemia tidak berat, didalam
darah perifer sudah tampak sel leukosit monosit berpigmen. Seorang anak yang mendadak menderita
anemia berat seringkali berhubungan dengan hiperparasitemia. Anemia dapat pula terjadi akibat
penghancuran eritrosit yang mengandung parasit. Anak dengan anemia berat dapat menderita
takikardia dan dispneu. Anemia turut berperan dalam (1) gejala serebral yaitu bingung, gelisah, koma
dan pendarahan retina, (2) gejala kardiopulmonal yaitu irama derap, gagal jantung, hepatomegali dan
edema paru. Pada penelitian di RSUP Manado selama 2 tahun (1997-1998) ditemukan anemia
(Hb<10gr%) sebanyak 38,35%.

Dehidrasi, Gangguan Asam-Basa (asidosis metaolik) dan Gangguan Elektrolit
Gejala klinis dehidrasi sedang sampai berat adalah penurunan perfusi perifer, rasa haus, penurunan
berat badan 3-4%, nafas cepat dan dalam, penurunan turgor kulit, peningkatan kadar ureum darah (6,5
mmol/L atau 40 mg/dL), asidosis metabolic pada pemeriksaan urin, kadar natrium urin rendah dan
sedimen normal, merupakan tanda terjadinya dehidrasi dan bukan gagal ginjal.

Hipoglikemia Berat
Hipoglikemia dapat terjadi pada malaria berat, terutama pada anak kecil di bawah 3 tahun dengan
gejala kejang, hiperparasitemia, penurunan kesadaran atau dengan gejala yang lebih ringan seperti
berkeringat, kulit teraba dingin dan lembab serta naoas tidak teratur.
Hipoglikemi berhubungan dengan hiperinsulinemia yang diinduksi oleh malaria dan kina. Gejala
hipoglikemia serupa dengan malaria serebral. Hipoglikemia pada anak adalah keadaan di mana kadar
glukosa darah turun menjadi 40 mg/dL atau lebih rendah. Pada penderita yang sadar dapat timbul
hipoglikemia dengan gejala klasik rasa cemas, berkeringat, dilatasi pupil, sesak napas, pernapasan sulit
dan berbunyi, oliguria, rasa dingin, takikardia dan pening. Gambaran ini dapat berkembang menjadi
penurunan kesadaran, kejang umum, ekstensi, syok dan koma.
Gagal Ginjal
Jarang terdapat pada anak dengan malaria terutama pada anak kecil. Demikian juga oliguria jarang
dijumpai pada anak kecil bila dibandingka dengan anak besar. Kadar ureum serum sedikit meningkat
kira-kira 10% pada anak lebih dari 5 tahun. Seringkali gagal ginjal disebabkan oleh dehidrasi yang tidak
diobati adekuat. Pada orang dewasa dapat pula disertai nekrosis tubular akut; bagaimana
mekanismenya belum diketahui. Gagal injal pada umumnya bersifat reversible.

Edema Paru Akut
Pada kasus malaria serebral dapat dijumpai anemia berat dan parasitemia berat. Frekuensi napas
meningkat dan dijumpai krepitasi serta ronki yang menyebar. Gejala edema paru seringkali timbul
beberapa hari setelah pemberian obat antimalaria, pada umumnya terjadi bersamaan dengan
hiperparasitemia, gagal ginjal, hipoglikemia dan asidosis. Apabila kita menemukan peninkatan
frekuensi napas, harus dibedakan antara edema paru yang diakibatkan oleh pemberian cairan yang
berlebihan atau bronkopeneumonia. Sebagai akibat edema paru dapat terjadi hipoksia yang
mengakibatkan kejang dan penurunan kesadaran serta kematian.

Kegagalan Sirkulasi (Algid Malaria)
Hipotensi lebih banyak dilaporkan pada malaria berat dewasa dan jarang dijumpai pada anak.
Malaria Algid adalah malaria falsiparum yang disertai syok oleh karena adanya septicemia kuman gram
negative. Penderita malaria berat pada anak dapat jatuh keadaan kolaps dengan tekanan darah sistoli
kurang dari 50 mmHg pada posisi berbaring, kulit teraba dingin, lembab, sianotik, konstriksi vena
perifer, denyut jantung lemah dan cepat. Di beberapa Negara berkembang gambaran klinis ini sering
berhubungan dengan septicemia gram negative yang berkomplikasi. Kolaps sirkulasi juga terlihat pada
penderita dengan edema paru atau asidosis metabolic dan diikuti dengan pendarahan gastrointestinal
yang hebat. Dehidrasi dengan hipovolemik juga menyebabkan hipotensi. Tempat yang mungkin
berkaitan dengan infeksi harus diperiksa misalnya paru paru, saluran kemih, meningitis, tempat
suntikan intravena, jalur intravena.

Kecenderungan Terjadi Perdarahan
Pendarahan yang sering dijumpai adalah pendarahan gusi, epistaksis, ptechiae dan pendarahan
subkonjungtiva. Apabila terjadi DIC akan timbul pendarahan yang lebih hebat yaitu melena dan
hematemesis. DIC pada umunya terjadi pada seseorang yang tidak mempunyai imunitas pada malaria.
Kecendeungan terjadi pendarahan ditandai dengan perpanjangan waktu pendarahan, trombositopenia
dan menurunnya factor koagulasi. Pendarahan spontan dari saluran cerna terjadi pada kira kira 10%
malaria serebral.

Hiperpireksia /Hipertermia
Hiperpireksia lebih banyak dijumpai pada anak daripada dewasa dan seringkali berhubungan dengan
kejang, delirium dan koma, maka pada malaria monitor suhu berkala sangat dianjurkan. Hiperpireksia
adalah keadaan dimana suhu tubuh meningkat menjadi 420C atau lebih dan dapat menyebabkan gejala
sisa neurologic yang menetap.

Hemoglobinuria/ Black Water Fever
Hemolisis intravascular massif dengan hemoglobinuria merupakan komplikasi komplikasi malaria yang
jarang terjadi pada anak. Hamper seluruh kasus hemoglobinuria berkaitan dengan defisiensi G6PD pada
pasien dengan infeksi malaria. Pada kasus ini, hemolisis akan berhenti setelah pecahnya eritrosit tua.


Ikterus
Manifestasi ikterus sering dijumpai pada orang dewasa namun bila ditemukan pada anak prognosanya
jelek.

Hiperparasitemia
Pada penderita yang nonimun, densitas parasit parasit > 5% dan adanya skizontaemia yang berhubungan
dengan malaria berat. Penderita dengan parasitemia berat akan meningkatkan terjadinya resiko
komplikasi berat.

7. Diagnosis
Diagnosis malaria ditegakkan seperti diagnosis penyakit lainnya berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan laboratorium. Diagnosis pasti infeksi malaria ditegakkan dengan pemeriksaan
sediaan darah secara mikroskopik atau tes diagnostic cepat.
1. Anamnesis
Keluhan utama, yaitu demam, menggigil, berkeringat dan dapat disertai sakit kepala, mual,
muntah, diare, nyeri otot dan pegal-pegal.
Riwayat berkunjung dan bermalam lebih kurang 1-4 minggu yang lalu ke daerah endemik malaria.
Riwayat tinggal di daerah endemik malaria.
Riwayat sakit malaria.
Riwayat minum obat malaria satu bulan terakhir.
Riwayat mendapat transfusi darah.
Selain hal-hal tersebut di atas, pada tersangka anak malaria berat, dapat ditemukan keadaan di bawah
ini:
Gangguan kesadaran dalam berbagai derajat.
Keadaan umum yang lemah.
Kejang-kejang.
Panas sangat tinggi.
Mata dan tubuh kuning.
Perdarahan hidung, gusi, tau saluran cerna.
Nafas cepat (sesak napas).
Muntah terus menerus dan tidak dapat makan minum.
Warna air seni seperti teh pekat dan dapat sampai kehitaman.
Jumlah air seni kurang bahkan sampai tidak ada.
Telapak tangan sangat pucat.
2. Pemeriksaan Fisik
Demam (37,5oC)
Kunjunctiva atau telapak tangan pucat
Pembesaran limpa
Pembesaran hati
Pada anak tersangka malaria berat ditemukan tanda-tanda klinis sebagai berikut:
Temperature rectal 40oC.
Nadi capat dan lemah.
Tekanan darah sistolik <70 mmHg pada orang dewasa dan <50 mmHg pada anak-anak.
Frekuensi napas >35 kali permenit pada orang dewasa atau >40 kali permenit pada balita, dan >50
kali permenit pada anak dibawah 1 tahun.
Penurunan kesadaran.
Manifestasi perdarahan: ptekie, purpura, hematom.
Tanda-tanda dehidrasi.
Tanda-tanda anemia berat.
Sklera mata kuning.
Pembesaran limpa dan atau hepar.
Gagal ginjal ditandai dengan oligouria sampai anuria.
Gejala neurologik: kaku kuduk, refleks patologis positif.

3. Pemeriksaan Laboratorium
a. Pemeriksaan dengan mikroskopik
Sebagai standar emas pemeriksaan laboratoris demam malaria pada anak adalah mikroskopik untuk
menemukan parasit di dalam darah tepi. Pemeriksaan darah tetes tebal (identifikasi
plasmodium/tingkat parasitemia) dan tipis dengan pewarnaan Giemsa untuk menentukan:
Ada/tidaknya parasit malaria.
Spesies dan stadium Plasmodium
Kepadatan parasit
- Semi kuantitatif:
(-) : tidak ditemukan parasit dalam 100 LPB
(+) : ditemukan 1-10 parasit dalam 100 LPB
(++) : ditemukan 11-100 parasit dalam 100 LPB
(+++) : ditemukan 1-10 parasit dalam 1 LPB
(++++): ditemukan >10 parasit dalam 1 LPB
- Kuantitatif
Jumlah parasit dihitung permikroliter darah pada sediaan darah tebal (leukosit) atau sediaan darah
tipis (eritrosit).
Contoh:
Bila dijumpai 1500 parasit per 200 leukosit, sedangkan jumlah leukosit 8000/uL maka hitung parasit
8000/200 x 1500 parasit = 60.000 parasit/uL.
Bila dijumpai 50 parasit per 1000 eritrosit = 5%. Bila jumlah eritrosit 450.000 maka hitung parasit =
450.000/1000x50 = 225.000 parasit/uL



Gambar Tetes darah tebal dan tipis

Plasmodium falciparum menyerang semua bentuk eritrosit mulai dari retikulosit sampai eritrosit yang
telah matang. Pada pemeriksaan darah tepi baik hapusan maupun tetes tebal terutama dijumpai
parasit muda bentuk cincin (ring form). Juga dijumpai gametosit dan pada kasus berat yang biasanya
disertai komplikasi, dapat dijumpai bentuk skizon. Pada kasus berat, parasit dapat menyerang sampai
20% eritrosit. Bentukseksual/gametosit muncul dalam waktu satu minggu dan dapat sampai beberapa
bulan setelah sembuh. Tanda-tanda parasit malaria yang khas pada sediaan tipis, gametositnya
berbentuk pisan dan terdapat bintik Maurer pada sel darah merah. Pada sediaan darah tebal dapat
dijumpai gametosit berbentuk pisang, banyak sekali bentuk cincin tanpa bentuk lain dewasa (star in
the sky), terdapat balon merah di sisi luar gametosit.



Plasmodium falciparum

Plasmodium vivax terutama menyerang retikulosit. Pada pemeriksaan darah tepi bik hapusan tipis
maupun tebal biasanya dijumpai semua bentuk parasit aseksual dari bentuk ringan sampai skizon.
Biasanya menyerang kurang dari 2% eritrosit. Tanda-tanda parasit malaria yang khas pada sediaan
darah tipis, dijumpai sel darah merah membesar, terdapat titik Schuffner pada sel darah merah dan
sitoplasma amuboid (terutama pada tropozoit yang sedang berkembang dan bayangan merah di sisi luar
gametosit





Plasmodium vivax

Plasmodium malariae terutama menyerang eritrosit yang telah matang. Pada sediaan hapusan darah
perifer tipis maupun tetes tebal dapat dijumpai semua bentuk parasit aseksual. Biasanya parasit
menyerang kurang dari 1% dari jumlah eritrosit. Parasit pada sediaan darah tepi tipis berbenyuk khas
seperti pita (band form), skizon berbentuk bunga ros(rosette form), tropozoit kecil bulat dan kompak
beisi pigmenyang menumpuk, kadang-kadang menutupi sitoplasma/inti atau keduanya.


Plasmodium malariae

Untuk penderita tersangka malaria berat perlu memperhatikan hal-hal sebaga berikut:
Bila pemeriksaan sediaan darah pertama negative, perlu diperiksa ulang setiap 6 jam sampai 3 hari
berturut-turut.
Bila hasil pemeriksaan sediaan darah tebal selama 3 hari berturut-turut tidak ditemukan parasit
maka diagnosis malaria disingkirkan

b. Pemeriksaan dengan tes diagnostik cepat (Rapid Diagnostic Test)
Mekanisme kerja tes ini berdasarkan deteksi antigen parasit malaria, dengan menggunakan metoda
immunokromatografi dalam bentuk dipstik. Tes ini sangat bermanfaat pada unit gawat darurat, pada
saat terjadi kejadian luar biasa dan didaerah terpencil yang tidak tersedia fasilitas laoratorium serta
untuk survey tertentu.
Tes yang tersedia di pasaran saat ini mengandung:
HRP-2 (Histidin rich protein 2) yan diproduksi oleh tropozoit, skizon dan gametosit muda
Plasmodium falciparum.
Enzim parasite lactate dehydrogenase (p-LDH) dan aldolase yang diproduksi oleh parasit bentuk
aseksual atau seksual Plasmodium falciparum, P.vivax, dan P.malariae.



Kemampuan rapid test yang beredar pada umumnya ada 2 jenis yaitu:
Single yang mampu mendiagnosis hanya infeksi Plasmodium falciparum
Combo yang mampu mendiagnosis infeksi P.falciparum dan non falciparum
Oleh karena tekhnologi ini baru memasuki industry maka sngat perlu untuk memperhatikan kemampuan
sensitivitas dan spesifisitas dari alat ini. Dianjurkan untuk menggunakan rapid test dengan kemampuan
minimal sensitivity 95% dan spesifisity 95%. Hal yang penting lainnya adalah penyimpanan RDT ini
sebaiknya dalam lemari es tetapi tidak dalam frezer pendingin.
c. Tes serologi
Tes serologis yang digunakan untuk diagnosis malaria adlah IFA (indirect fluorescent antibody test), IHA
(indirect hemaglutination test) dan ELISA ( Enzyme linked immunosorbent assay). Kegunaan tes ini
untuk diagnosis malaria akutsanat terbatas, karena baru akan positif beberapa hari setelah parasit
malaria ditemukan dalam darah. Jadi sampai saat ini tes serologi merupakan cara terbaik untuk
diagnosis epidemiologi. Pada daerah endemis atau pernah endemis, tes serologi berguna untuk:
Menentukan berapa lama endemisitas berlangsung
Menentukan perubahan derajat transmisi malaria
Menentukan daerah malaria dan focus transmisi
Sedangkan di daerah non endemis, tes serologi digunakan untuk:
Skrining donor darah.
Menyingkirkan diagnosis malaria pada kasus demam sedangkan pada pemeriksaan darah tidak
ditemukan parasit.
Menentukan kasus dan mengidentifikasi spesies parasit malaria bila cara lain tidak berhasil.
Tekhnik diagnostic lainnya adalah pemeriksaan QBC (quantitative buffy coat), dengan menggunakan
tabung kapiler dan pulasan jingga akridin kemudian diperiksa dibawah mikroskop fluoresens. Tekhnik
mutahir lain dikembangkan saat ini menggunakan pelacak DNA probe untuk deteksi antigen.
d. Pemeriksaan penunjang untuk malaria berat:
Hemoglobin dan hematokrit
Hitung jumlah leukosit, trombosit
Kimia darah lain (gula darah, serum bilirubin, SGOT & SGPT, alkali fosfatase, albumin/globulin,
ureum, kreatinin, natrium dan kalium, analisis gas darah)
EKG
Foto thoraks
Analisis cairan serebrospinalis
Biakan darah dan uji serologi
Urinalisis

8. Pengobatan Malaria
Obat anti malaria yang tersedia di Indonesia antara lain klorokuin, sulfadoksin-pirimetamin, kina,
primakuin, serta derivate artemisin. Klorokuin merupakan obat antimalaria standar untuk profilaksis,
pengobatan malaria klinis dan pengobatan radikal malaria tanpa komplikasi dalam program
pemberantasan malaria, sulfadoksin-pirimetamin digunakan untuk pengobatan radikal penderita
malaria falciparum tanpa komplikasi. Kina merupakan obat anti malaria pilihan untuk pengobatan
radikal malaria falciparum tanpa komplikasi. Selain itu kina juga digunakan untuk pengobatan malaria
berat atau malaria dengan komplikasi. Primakuin digunakan sebagai obat antimalaria pelengkap pada
malaria klinis, pengobatan radikal dan pengobatan malaria berat. Artemisin digunakan untuk
pengobatan malaria tanpa atau dengan komplikasi yang resisten multidrugs.(14).
Beberapa obat antibiotika dapat bersifat sebagai antimalaria. Khusus di Rumah Sakit, obat tersebut
dapat digunakan dengan kombinasi obat antimalaria lain, untuk mengobati penderita resisten
multidrugs. Obat antibiotika yang sudah diujicoba sebagai profilaksis dan pengobatan malaria
diantaranya adalah derivate tetrasiklin, kloramfenikol, eritromisin, sulfametoksazol-trimetoprim dan
siprofloksasin. Obat-obat tersebut digunakan bersama obat anti malaria yang bekerja cepat dan
menghasilkan efek potensiasi antara lain dengan kina.

Penatalaksanaan Malaria tanpa komplikasi
Obati anak secara rawat jalan dengan obat antimalaria lini1. Terapi yang direkomendasikan WHO
sekarang adalah kombinasi antara artemisinin sebgai obat lini 1. Klorokuin dan sulfadoksin pirimetamin
tidak lagi menjadi obat anti malaria lini 1 maupun ke2 karena tingginya angka resistensi obat ini
terhadap malaria falciparum. Berikan pengobatan 3 hari dengan memberikan regimen yang dapat
dipilih dibawah ini.
- Artesunat ditambah amodiakuin
Tablet terpisah 50 mg artesunat dan 153 mg Amodiakuin basa
Artesunat: 4 mg/KgBB/dosis tunggal selama 3 hari
Amodiakuin: 10 mg/KgBB/dosis tunggal selama 3 hari
- Dehidroartemisinin ditambah piperakuinin
Dehidroartemisinin: 2-4 mg/kgBB
Piperakuin: 16-32 mg/kgBB/dosis tunggal
Obat kombinasi ini diberikan selama 3 hari
- Artesunat ditambah sulfadoksin pirimetamin
Artesunat tablet terpisah 50 mg dan 500 mg sulfadokasin atau 25 mg pirimetamin
Dosis artesunat 4 mg/kgBB dosis tunggal selama 3 hari
SP 25 mg/kgBB dosis tunggal
- Artemeter atau lumefantrin
tablet kombinasi yang mengandung 20 ng artemeter dan 120 lumefantrin
Artemeter: 3,2 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis
Lumefantrin: 20 mg/kgBB
Tablet kombinasi ini dibagi dalam 2 dosis dan diberikan selama 3 hari
- Amodiakuin ditambah Sulfadoksin pirimetamin
Tablet terpisah 153 mg Amodiakuin dan 500 mg Sulfadoksin atau 25 mg pirimetamin
Amodiakuin: 10 mg/kgBB/ dosis tunggal
SP: 25 mg/kgBB/dosis tunggal
Untuk malaria falciparum, khusus untuk usia >1 tahun tambahkan primakuin 0,75 mg/kgBB/ dosis
tunggal selama 1 hari. Untuk vivax, ovale dan malariae tambahkana primakuin 0,25 mg/kgBB/dosis
tunggal selama 14 hari.
Tindak lanjut
Minta ibu untuk kunjungan ulang jika demam menetap setelah obat diminum berturut-turut dalam 3
hari atau lebih awal jika kondisi anak memburuk. Ibu juga harus kembali lagi jika demam timbul lagi.
Jika hal ini terjadi, periksa apakah anak memang minum obatnya dan ulangi apusan darah. Jika obat
tidak diminum ulangi pengobatan. Jika obat telah diberikan, namun hapusan darah masih positif
berikan obat antimalaria lini ke 2. Lakukan penilaian ulang pada anak untuk mengetahui dengan jelas
kemungkinan lain penyebab demam. Jika demam timbul pada pengobatan lini ke 2 minta ibu untuk
kunjungan ulang untuk menilai kembali penyebab lain demam.
Menurut keputusan menteri kesehatsn Indonesia tahun 2007, ditetapkan pengobatan malaria yaitu:
a. Pengobatan malaria falciparum
Lini pertama: Artesunat+Amodiakuin+Primakuin
dosis artesunat= 4 mg/kgBB (dosis tunggal), amodiakuin= 10 mg/kgBB (dosis tunggal), primakuin= 0,75
mg/kgBB (dosis tunggal).
Apabila pemberian dosis tidak memungkinkan berdasarkan berat badan anak, pemberian obat dapat
diberikan berdasarkan golongan umur. Dosis makasimal penderita dewasa yan dapat diberikan untuk
artesunat dan amodiakuin masing-masing 4 tablet, 3 tablet untuk primakuin.



Tabel 2. Pengobatan Lini Pertama Malaria Falciparum Menurut Kelompok Umur.

Hari
Jenis obat Jumlah tablet perhari menurut kelompok umur
0-1 bln 2-11 bln 1-4 th 5-9 th 10-14 th 15 th

I Artesunat 1 2 3 4
Amodiakuin 1 2 3 4
Primakuin - - 1 2 2-3

II Artesunat 1 2 3 4
Amodiakuin 1 2 3 4

III Artesunat 1 2 3 4
Amodiakuin 1 2 3 4

Kombinasi ini digunakan sebagai pilihan utama untuk pengobatan malaria falciparum. Pemakaian
artesunat dan amodiakuin bertujuan untuk membunuh parasit stadium aseksual, sedangkan primakuin
bertujuan untuk membunuh gametosit yang berada di dalam darah.
Pengobatan lini kedua malaria falciparum diberikan bila pengobatan lini pertama tidak efektif.
Lini kedua: Kina+Doksisiklin/Tetrasiklin+Primakuin
Dosis kina=10 mg/kgBB/kali (3x/hari selama 7 hari), doksisiklin= 4 mg/kgBB/hr (dewasa, 2x/hr selama
7 hari), 2 mg/kgBB/hr (8-14 th, 2x/hr selama 7 hari), tetrasiklin= 4-5 mg/kgBB/kali (4x/hr selama 7
hari).
Apabila pemberian dosis obat tidak memungkinkan berdasarkan berat badan anak, pemberian obat
dapat diberikan berdasarkan golongan umur.
Tabel 3. Pengobatan Lini Kedua Untuk Malaria falciparum
Hari Jenis obat Jumlah tablet perhari menurut kelompok umur
0-11 bln 1-4 th 5- 9 th 10-14 th 15 th

I Kina * 3x 3x1 3x 3x2-3
Doksisiklin - - - 2x1** 2x1***
Primakuin - 1 2 2-2

II-VII Kina * 3x 3x1 3x 3x2-3
Doksisiklin - - - 2x1** 2x1***
* : dosis diberikan per kgBB
** : 2x50 mg doksisiklin
*** : 2x100 mg doksisiklin
b. Pengobatan malaria vivax dan malaria ovale
Lini pertama: Klorokuin+Primakuin
Kombinasi ini digunakan sebagai piliha utama untuk pengobatan malaria vivax dan ovale. Pemakaian
klorokuin bertujuan membunuh parasit stadium aseksual dan seksual. Pemberian primakuin selain
bertujuan untuk membunuh hipnozoit di sel hati, juga dapat membunuh parasit aseksual di eritrosit(3).
Dosis total klorokuin= 25 mg/kgBB (1x/hr selama 3 hari), primakuin= 0,25 mg/kgBB/hr (selama 14 hari).
Apabila pemberian dosis obat tidak memungkinkan berdasarkan berat badan anak obat dapat diberikan
berdasarkan golongan umur, sesuai dengan tabel.
Tabel 4. Pengobatan Malaria vivax dan Malaria ovale
Hari Jenis obat Jumlah tablet menurut kelompok umur (dosis tunggal)
0-1 bln 2-11 bln 1-4 th 5-9 th 10-14 th 15 th

I Klorokuin 1 2 3 3-4
Primakuin - - 1

II Klorokuin 1 2 3 3-4
Primakuin - - 1

III Klorokuin 1/8 1 1 2
Primakuin - - 1
IV-XIV Primakuin - - 1

Pengobatan efektif apabila sampai dengan hari ke 28 setelah pemberian obat, ditemukan keadaan
sebagai berikut: klinis sembuh (sejak hari keempat) dan tidak ditemukan parasit stadium aseksual sejak
hari ketujuh(3). Pengobatan tidak efektif apabila dalam 28 hari setelah pemberian obat:
Gejala klinis memburuk dan parasit aseksual positif, atau
Gejala klinis tidak memburuk tetapi parasit aseksual tidak berkurang atau timbul kembali setelah
hari ke-14.
Gejala klinis membaik tetapi parasit aseksual timbul kembali antara hari ke-15 sampai hari ke-28
(kemungkinan resisten, relaps atau infeksi baru).
Pengobatan malaria vivax resisten klorokuin
Lini kedua: Kina+Primakuin
Dosis kina= 10 mg/kgBB/kali (3x/hr selama 7 hari), primakuin= 0,25 mg/kgBB (selama 14 hari).
Dosis obat juga dapat ditaksir dengan menggunakan tabel dosis berdasarkan golongan umur sebagai
berikut:
Tabel 5. Pengobatan Malaria vivax Resisten Klorokuin

Hari
Jenis obat Jumlah tablet perhari menurut kelompok umur
0-1 bln 2-11 bln 1-4 th 5-9 th 10-14 th 15 th
1-7 Kina * * 3x 3x1 3x2 3x3
1-14 Primakuin - - 1
*: dosis diberikan per kgBB
Pengobatan malaria vivax yang relaps
Sama dengan regimen sebelumnya hanya dosis primakuin yang ditingkatkan. Dosis klorokuin diberikan 1
kali perhari selama 3 hari, dengan dosis total 25 mg/kgBB dan primakuin diberikan selama 14 hari
dengan dosis 0,5 mg/kgBB/hari. Dosis obat juga dapat ditaksir dengan menggunakan tabel dosis
berdasarkan golongan umur.
Tabel 6. Pengobatan Malaria vivax yang Relaps

Hari
Jenis obat Jumlah tablet menurut kelompok golongan umur
0-1 bln 2-11 bln 1-4 th 5-9 th 10-14 th 15 th

1 Klorokuin 1 2 3 3-4
Primakuin - - 1 1 2

2 Klorokuin - 2 3 3-4
Primakuin - - 1 1 2

3 Klorokuin 1/8 1 1 2
Primakuin - - 1 1 2
14-14 Primakuin - - 1 1 2

c. Pengobatan malaria malariae
Klorokuin 1 kali perhari selama 3 hari, dengan dosis total 25 mg/kgBB. Klorokuin dapat membunuh
parasit bentuk aseksual dan seksual P. malariae. Pengobatan dapat juga diberikan berdasarkan
golongan umur anak.
Tabel 7. Pengobatan Malaria Malariae

Hari
Jenis obat Jumlah tablet menurut kelompok golongan umur
0-1 bln 2-11 bln 1-4 th 5-9 th 10-14 th 15 th
I Klorokuin 1 2 3 3-4
II Klorokuin 1 2 3 3-4
III Klorokuin 1/8 1 1 2


Penatalaksanaan Malaria dengan komplikasi (Malaria Berat)
Tindakan gawat darurat-harus dilakukan dalam waktu satu jam pertama
- Bila ada hipoglikemia atasi sesuai dengan tatalaksana hipoglikemia
- Atasi kejang sesuai dengan tatalaksana kejang
- Perbaiki gangguan sirkulasi darah
- Jika anak tidak sadar, pasang pipa nasogastrik dan isap isi lambung secara teratur untuk mencegah
risiko pneumonia aspirasi
- Atasi anemia berat
- Mulai pengobatan dengan obat anti malaria yang efektif.
Pengobatan anti malaria
Obat antimalaria di Indonesia adalah klorokuin, primakuin, kina pirimetamin dan sulfadoksin. Obat
anti malaria dapat digolongkan dalam 5 kelompok, yaitu:
1. Skizontisida jaringan primer
Obat anti malaria yang tergolong kelompok ini dapat membunuh parasit stedium praeritrositer dalam
beberapa hari sehingga parasit masuk ke dalam eritrosit, jadi digunakan sebagai profilaksis kausal.
Contoh: proguanil, pirimetamin
2. Skizontisida jaringan sekunder
Kelompok obat ini dapat membunuh parasit siklus praeritrositer Plasmodium vivax dan Plasmodium
ovale dan digunakan untuk pengobatan radikal sebagai anti relaps. Contoh: primakuin
3. Skizontisida darah
Kelompok obat antimalaria yang membunuh parasit stadium eritrositik pada malaria akut (disertai
gejala klinik) pada semua spesies plasmodium. Contoh: kuinin, klorokuin, proguanil dan pirimetamin
4. Gametositosida
Obat kelompok gametosida berfungsi menghancurkan semua bentuk seksual terasuk gametosida
Plasmodium falciparum, contoh primakuin sebagai gameosida keempat spesies, sedangkan kuinin dan
klorokuin sebagai gametosida untuk P. vivax, P. malariae dan P. ovale
5. Sporontosida
Sporontosida dapat mencegah atau menghambat gametosit dalam darah untuk membentuk ookista dan
sporozoit dalam nyamuk Anopheles. Contoh: primakuin, proguanil.



Jika konfirmasi apusam darah untuk malaria membutuhkan waktu lebih dari satu jam, mulai berikan
pengobatan malaria sebelum diagnosis dipastikan atau sementara gunakan RDT.
WHO merekomendasikan artesunat, dimana Jadwal pemberian Artesunat IV yaitu untuk Jam ke-0, Jam
ke-12, Jam ke-24 Artesunate 2.4 mg/kg. Kemudian tiap 24 jam: Artesunate 2.4 mg/kg perhari sampai
pasien dapat mentoleransi pengobatan oral. Artesunat dapat diberikan secara IM dengan dosis yang
sama dengan IV. Untuk pengobatan Malaria berat, dapat diberikan Arthemeter IM jika injeksi Artesunat
tidak tersedia. Jam ke-0 Artemether 3.2 mg/kg H24 Artemether 1.6 mg/kg setiap 24 jam sampai
pengobatan oral bisa ditoleransi. Gunakan semprit 1 ml untuk memberikan volume suntikan yang kecil
Untuk pengobatan malaria berat lainnya dapat diberikan Kina (IV), dimana pada jam ke-0
sampai jam ke-4, 20 mg/kg dalam cairan NaCL diberikan lebih dari 4 jam (lebih baik dipilih pemberian
dalam burette) . Jam ke-8, 10 mg/kg diberikan lebih dari 2 jam dan ini diulang tiap 8 jam (Jam ke 16,
jam ke 24 dan seterusnya, total dosis harian 30 mg/kg) sampai anak bisa minum obat. Kemudian
berikan dosis oral untuk menyelesaikan 7 hari pengobatan atau berikan 1 dosis SP bila tidak ada
resistensi. Jika ada resistensi SP berikan dosis penuh terapi kombinasi artemisin. Dosis awal kina
diberikan hanya bila ada pengawasan ketat dari perawat terhadap pemberian infuse dan pengaturan
tetesan infuse. Jika ini tidak memungkinkan lebih aman untuk memberikan obat kina intramuskuler.
Kina intramuskuler diberikan jika obat kina melalui infuse tidak dapat diberikan. Quinine dihidroklorida
dapat diberikan dalamm dosis yang sama melalui suntikan intramuskuler. Berikan aram kina 10
mg/kgBB IM dan ulangi setiap 8 jam. Larutan parenteral harus diencerkan sebelum digunakan karena
akan lebih mudah untuk diserap dan tidak nyeri.

Perawatan penunjang
Pada anak yang tidak sadar:
- Jaga jalan nafas
- Posisi miring untuk menghindari aspirasi
- Ubah posisi pasien tiap setiap 2 jam
o Pasien harus berbaring dialas yang kering
o Perhatikan titik-titik yang tertekan
Lakukan tindakan pencegahan berikut dalam pemberian cairan:
- Jika dehidrasi
- Selama rehidrasi, pantau tanda kelebihan cairan. Tanda yang paling mudah adlah pembesaran hati.
Tanda lainnya adalah irama derap, fine cracles (ronki) pada dasar paru dan atau peningkatan JVP.
Edema kelopak mata merupakan tanda yang berguna.
- Jika, setelah rehidrasi dieresis kurang dari 1 ml/kgBB/jam, berikan furosemid intravena dengan
dosis awal 1 mg/kgBB. Jika tidak ada reaksi, gandakan dosis dengan interval tiap jam hingga maksimal
8 mg/kgBB (diberikan selama 15 menit).
- Pada anak tanpa dehidrasi, pastikan anak mendapatkan cairan sesuai kebutuhan.
Hindari menggunakan obat-obatan tambahan yang tidak berguna dan membahayakan seperti
kortikosteroid (dan obat anti radan lainnya), heparin, adrenalin, prostasiklin dan sikosporin.

Terapi untuk komplikasi khusus
a. Koma
Untuk mengukur tingkat kesadaran dapat digunakan Glasgow Coma Scale pada dewasa dan Blantyre
Coma Scale pada anak 5 tahun.
1) Cek gula darah , hipoglikemia = < 2.2 mmol/l; < 40 mg/100ml
2) Lihat tanda-tanda meningitis, diantaranya kaku kuduk: jika ada, pertimbangkan untuk lumbal pungsi
(LP) dan mulai pemberian antibiotic IV. Jangan lakukan LP jika ada tanda peningkatan TIK diantaranya
pupil anisokor, pupil tidak reaktif, bradikardia atau nafas tidak teratur. Jika tidak bisa melakukan LP
tapi sudah yakin ada meningitis, maka mulailah pemberian antibiotic.
3) Observasi secara teratur, awal setiap jam sampai pasien stabil dan kemudian tiap 4 jam, ini meliputi
gula darah, nadi, tekanan darah, kesadaran.
4) Monitor dan catat input dan output cairan, sebaiknya dipasang kateter urin. Saat urin kurang dari
0.5ml/kg/jam atau ada tanda-tanda dehidrasi, pertimbangkan untuk pemberian cairan bolus. Cairan
Normal Salin awalnya 20 ml/kg pada anak-anak.Ini dapat diulang maksimal 40ml/kg pada anak-anak.
Observasi tanda-tanda oedema paru dan auskultasi dada untuk mendengarkan krepitasi (oedema paru).
Jika ada pertimbangkan pemberian furosemid 1mg/kgBB.
5) Observasi kejang, jika ada kejang sebaiknya diterapi.
6) Monitor parasitaemia setiap 6-12 jam sampai negatif
7) Cek haemoglobin atau haematocrit setiap 24 jam
8) Berikan asuhan keperawatan yang baik
9) Masukkan NGT dan kosongkan isi lambung
10) Pertimbangkan untuk mulai pemberian makanan pada hari ke-2 pada anak-anak dan hari.
b. Anemia Berat
Anemia berat ditandai dengan pucat yang sangat pada tangan, sering diikuti dengan denyut nadi yang
x=cepat. Kesulitan vernafas, kebingungan atau gelisah. Tanda gagal jantung seperti irama Gallop,
pembesaran hati dan edema paru bisa ditemukan.
Berikan transfusi darah sesegera mungkin kepada:
- Hb < 5 gr/dL atau Hct kuramg dari 15%
- Hct > 15%, atau Hb > 5 gr/dL dengan tanda2 sebagai berikut:
o Dehidrasi, shok, penurunan kesadaran, pernafasan kismaull, gagal jantung, parasitemia yang sangat
tinggi.
Berikan PRC 10 ml/kgBB selama 3-4 jam. Jika tidak tersedia PRC berikan WB 20 ml/kgBB dalam wwaktu
3-4 jam.
Periksa nafasdan nadi setiap 15 menit, jika salah satnya mengalaami kenaikan, berikan transfuse
dengan tetesan yang lebih lambat. Jika ada bukti kelebihan cairan karena transfusi darah, berikan
furosemid intravena 1-2 mg/kgBB hingga jumlah maksimal 20 mg/kgBB. Setelah transfuse jika Hb tetap
rendah ulangi transfuse. Pada anak dengan gizi buruk kelebihan cairan merupakan komplikasi yang
umum dan serius. Berikan fresh whole blood 10 ml/kgBB hanya sekali.
c. Hipoglikemia
Gula darah < 2,5 mmol/liter atau < 45 mg/dl lebih sering terjadi pada pasien umur < 3 tahun, yang
mengalami kejang atau hiperparasitemia dan pasien koma. Periksa glukosa plasma setiap 4 jam pada
pasien tidak sadar. Berikan pasien hipoglikemia dengan Dextrose 50%, 1 ml per kgBB lebih dari 10
menit. Perhatikan bahwa hipoglikemia dapat kambuh dengan cepat. Hal ini penting untuk memastikan
bahwa hipoglikemia, syok atau penyakit yang berbeda seperti meningitis bukanlah penyebab kesadaran
berubah. Kemungkinan hipoglikemia lebih tinggi pada anak-anak dan pengobatan dengan pengobatan
kina. Juga, periksa glukosa darah jika ada penurunan tingkat kesadaran.
d. Meningitis
Jika ada keraguan tentang diagnosis malaria serebral, pungsi lumbal harus dilakukan untuk
menyingkirkan meningitis bakteri, asalkan tidak ada kontraindikasi. Meningitis harus diperhatikan jika
slide negatif untuk bentuk aseksual P. falciparum, pasien shock atau jika ada leukositosis dan / atau
pergeseran ke kiri dalam jumlah sel putih (karena ini bukan fitur-fitur umum malaria berat ), atau jika
ada tanda-tanda keterlibatan meningeal seperti leher kaku. Cairan cerebrospinal berawan (CSF),
berarti meningitis jadi pengobatan awal (idealnya) dengan sefalosporin generasi ke-3 (dewasa
ceftriaxone IV 2000 mg BD, anak-anak 80mg/kg BD). Jika mungkin, CSF harus dikirim untuk jumlah sel,
glukosa dan tingkat protein, Gram dan BTA dan budaya. Gram stain dan kultur (CSF dan darah) adalah
yang paling penting.
e. Jaundice
Pasien dengan malaria berat bisa sangat kuning, karena hemolisis intravaskular sel darah merah dan
disfungsi hati. Ini adalah tanda prognosis, tetapi tidak ada terapi spesifik.
f. Blackwater Fever
Haemoglobinuria karena hemolisis intravaskular dikaitkan dengan terapi kina dan defisiensi G6PD.
Transfusi darah segar bertujuan untuk mempertahankan hematokrit di atas 20%. Tidak ada terapi
spesifik. terapi antimalaria tidak harus dihentikan.
g. Shock
Hipotensi berat (tekanan darah sistolik di bawah 80 mmHg) adalah temuan jarang pada malaria berat
dan jika syok septik hadir harus dicurigai. Sumber infeksi mungkin harus dicari, jika sama sekali tidak
diketahui maka darah harus diambil dan terapi antibiotik empiris yang mencakup organisme gram
negatif harus dijalankan (misalnya untuk orang dewasa ceftriaxone 2 g BD, untuk anak-anak 80mg/kg
BD atau 1 g cefotaxime untuk orang dewasa dan TID 25mg/kg, dengan atau tanpa dosis tunggal
gentamisin 4 mg / kg). Pemberian cairan (pada orang dewasa 1 L NSS;. Pada anak 20ml/kg NSS (koloid
jauh lebih mahal dan tidak memiliki keuntungan besar) harus diberikan. Jika ini tidak meningkatkan
tekanan darah, pasien mungkin akan memerlukan terapi vasopresor (dopamin, noradrenalin) dan harus
dirujuk ke rumah sakit. Sementara itu harus dilanjutkan sampai tekanan darah rata-rata (diastolik BP +
1 / 3 * (diastolik sistolik) di atas 60 hingga 70 mmHg. Pada syok septik tanpa bantuan obat-obatan
vasopresor dan kemungkinan untuk intubasi/ventilasi, keseimbangan antara resusitasi cairan dan
dekompensasi kadang-kadang tidak dapat dicapai.
h. DIC
Disseminated intravascular coagulation (DIC) dapat dicurigai bila terdapat perdarahan spontan dan
oozing dari tempat venepuncture. Hal ini sangat jarang pada malaria berat (5%), tapi sangat sering
pada septicaemia. Untuk therapy, 10 mg vitamin K diberikan intravenously (secara lambat) 24 jam
untuk 3 hari. Diagnosisdapat ditegakkan dengan pengukuran clotting times dalam blood, tapi hal ini
tidak essentialpada setiap situasi. Terapi tambahan tidak direkomendasikan.
g. Kejang
Terapi segera dengan diazepam dan cek gula darah. Dewasa 10 mg IV setelah 5 menit, Anak 0.3 mg/kg
IV, atau pemberian rectal 0.5 mg/kg
Kejang lebih sering terjadi pada anak-anak daripada orang dewasa dengan malaria berat. Profilaksis
untuk kejang tidak direkomendasikan (pedoman WHO 2006). Fenobarbital 20 mg / kg pada anak-anak
Kenya dikaitkan dengan peningkatan mortalitas, mungkin dari depresi pernapasan. kejang berulang
pada orang dewasa dapat diobati dengan fenobarbital IM 7 mg / kg, jika tersedia. Pada anak-anak
fenitoin IV 18 mg / kg selama 20 menit (dewasa 5mg/kg) adalah pilihan.

9. Pencegahan
Pemakaian obat anti malaria
Semua anak dari daerah non-endemik apabila masuk ke daerah endemic malaria, maka 2 minggu
sebelumnya sampai dengan 4 minggu setelah keluar dari daerah endemic malaria, tiap minggu
diberikan obat anti malaria.
a. Klorokuin basa 5 mg/kgBB (8,3 mg garam) maksimal 300 mg basa sekali seminggu atau
b. Fansidar atau Suldox dengan dasar pirimetamin 0,50-0,75 mg/kgBB atau Sulfadoksin 10-15
mg/kgBB sekali seminggu (hanya untuk umur 6 bulan atau lebih)
Menghindari dari gigitan nyamuk
o Memakai kelambu atau kasa anti nyamuk
Penggunaan kelambu dalam pengendalian malaria adalah dalam rangka melindungi pemakai kelambu
dari gigitan dan membunuh yang hinggap di kelambu untuk mencegah terjadinya penularan.
Sasaran penggunaan dan pembagian kelambu
a. Lokasi
- Daerah atau desa endemis tinggi malaria
- Desa terpencil
- Desa/dusun terjadi KLB
- Di daerah yang penyemprotan rumah tidak efektif
b. Penduduk
- Ibu hamil
- Bayi dan anak balita
- Keluarga miskin
Jenis kelambu yang digunakan dalam pengendalian malaria adalah
a. Kelambu celup
Kelambu celup adalah jenis kelambu nylon atau katun yang dicelup dengan insektisida tertentu yang
berguna mencegah gigitan nyamuk dan membunuh nyamuk yang hinggap pada kelambu tersebut.

b. Kelambu Berinsektisida (LLITN=Long Lasting Insecticide Treated Net)
Kelambu LLITN adalah kelambu yang serat benangnya bercampur insektisida tertentu kemudian
dipintal menjadi benang dan dibuat rajutan kelambu sehingga insektisida bertahan lama pada kelambu
tersebut. Insektisida dapat bertahan lama sampai 5 tahun yaitu masih efektif membunuh nyamuk,
meskipun dicuci 20 kali.
Sejak November 2004, WHO merekomendasikan LLITN untuk program pengendalian malaria. Kelambu
ini lebih mahal tetapi dibandingkan kelambu celup (Impregnated Bed Net/IBN), kelambu ini relative
lebih mudah, karena tidak perlu celup ulang setiap 6 bulan dan efektifitasnya bertahan sampai 5 tahun.


o Menggunakan obat pembunuh nyamuk dan menyemprot obat nyamuk sebelum malam
o Pakailah pakaian pelindung
o Meminimalkan paparan nokturnal.
o DEET penolak serangga atau minyak kayu putih aroma lemon dapat diterapkan pada kulit untuk
cegah gigitan
o Memakai pakaian lengan panjang dan celana panjang jika berada di luar pintu atau di luar rumah
setelah matahari terbenam.

Vaksin malaria
Vaksin malaria merupakan tindakan yang diharapkan dapat membantu mencegah penyakit ini, tetapi
adanya bermacam-macam stadium pada perjalanan penyakit malaria menimbulkan kesulitan
pembuatannya. Penelitian pembuatan vaksin malaria ditujukan pada 2 jenis vaksin, yaitu
o Proteksi terhadap ketiga stadium parasit: a) Sporozoit yang berkembang dalam nyamuk dan
menginfeksi manusia, b) Merozoit yang menyerang eritrosit, dan c) Gametosit yang menginfeksi nyamuk
o Rekayasa genetika atau sintesis polipeptida yang relevan. Jadi, pendekatan pembuatan vaksin yang
berbeda-beda mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masin, tergantung tujuan mana yang akan
dicapai. Vaksin sporozoit Plasmodium falciparum merupakan vaksin yang pertama kali diuji coba, dan
apabila telah berhasil, dapat mengurangi morbiditas dan mortalitas malaria tropika terutama pada
anak dan ibu hamil. Dalam waktu dekat akan diuji coba vaksin dengan rekayasa genetika.

Konsep memori imunologik dan transfer imunitas lewat serum atau imunoglobulin tampaknya berperan
pada proses terbentuknya kekebalan terhadap malaria. Individu yang sudah terpapar Plasmodium
dalam waktu yang lama mungkin sudah lebih dulu membangun imunitas sehingga gejala infeksi tidak
begitu nyata, walaupun dari analisis darah tebal sudah ditemukan Plasmodium. Selain itu apabila serum
darah seorang dewasa yang sudah sering terpapar Plasmodium diberikan kepada orang lain yang belum
pernah terpapar, maka resipien serum itu akan memperoleh sejumlah imunitas.
Karena itu, prinsip vaksinasi adalah membuat seseorang yang tidak pernah terpapar Plasmodium
menjadi imun dengan cara memaparkannya pada Plasmodium yang dilemahkan. Dalam hal ini sporozoit
adalah bentuk yang terpenting karena sesuai dengan bentuk Plasmodium yang dimasukkan nyamuk ke
dalam tubuh manusia. Konsep ini sudah dicoba pada tahun 1970-an dengan melemahkan sporozoit
lewat radiasi, namun kendala perbedaan spesies Plasmodium yang amat bervariasi membuat konsep ini
tidak terlalu berkembang pada saat itu. Sedangkan pada masa sekarang, permasalahan utama adalah
resistensi parasit yang berkembang dengan cepat.
Selain pada fase sporozoit, ada kemungkinan konsep vaksin bekerja pada tahap lain dalam siklus hidup
Plasmodium. Secara teoritis setiap tahap perkembangan Plasmodiumdalam tubuh manusia dapat
dibuatkan vaksin. Vaksin preeritrositer (hepatik) dibuat berdasarkan konsep penghambatan pelepasan
trofozoit dari skizon hati, yaitu dengan menginduksi limfosit T sitotoksik untuk merusak sel-sel hati
yang terinfeksi. Vaksin eritrositer diharapkan dapat menghambat multiplikasi trofozoit yang dilepaskan
skizon hati atau mencegah invasi trofozoit menuju eritrosit. Ada pula konsep pembuatan vaksin yang
mampu mencegah perlekatan eritrosit ke dinding pembuluh darah. Fase seksual juga dapat dijadikan
dasar pengembangan vaksin. Fase ini tidak berperan imunologis pada manusia, namun berperan dalam
mencegah penularan lebih lanjut lewat nyamuk.





Pengembangan vaksin malaria pada saat ini ditujukan untuk dua kelompok besar. Yang pertama kepada
populasi di daerah endemik malaria, dan yang kedua ditujukan untuk turis dari negara nonendemik
yang berkunjung ke negara endemik. Sebenarnya saat ini malaria pada turis dapat dicegah dengan
pengobatan kemoprofilaksis; namun pertimbangan efek samping, kepatuhan, kontraindikasi, dan
kenyamanan; cukup membuat para turis dan calon turis mengharapkan alternatif pencegahan malaria
yang lebih baik.
Berikut ini adalah beberapa kandidat vaksin malaria yang pernah diuji.
Pada tahun 1987 dikembangkan kandidat vaksin SPf66, dengan menggunakan antigen permukaan
sporozoit dan merozoit Plasmodium falciparum. Uji klinik terhadap vaksin ini gagal di fase III, di mana
efektivitasnya turun dari 75% menjadi 60%.
CSP adalah vaksin terhadap Plasmodium falciparum yang menggunakan rekombinan terhadap
komposisi protein permukaan sporozoit (circumsporozoite protein) yang berikatan dengan toksin
Pseudomonas aeruginosa. Uji klinik terhadap vaksin ini gagal di fase I, karena efek protektifnya tidak
begitu kuat.
Vaksin multifase NYVAC-Pf7 yang mengkombinasikan 7 antigenP.falciparum. Vaksin ini mengandung
CSP dan PfSSP2 (antigen permukaan sporozoit) yang berfungsi protektif pada fase sporozoit; 4 antigen
LSA1 (beberapa di antaranya AMA-1, antigen serin, MSP-1) yang protektif di fase eritrositer; dan 1
antigen fase seksual (Pfs25). Uji klinik terhadap vaksin ini gagal memicu terbentuknya antibodi
protektif pada manusia.
RTS,S merupakan kandidat vaksin rekombinan yang mengandung protein permukaan sporozoit
P.falciparum dari fase preeritrositer yang digabungkan dengan antigen permukaan virus hepatitis B;
sehingga diharapkan imunogenisitasnya meningkat. Bahan adjuvan yang teruji klinis cukup baik
imunogenisitasnya adalah monofosforil A dan QS21 (SBAS2). Hasil uji efektivitas kandidat vaksin ini
cukup baik, terutama bagi anak-anak. Efektivitas vaksin pada anak-anak ditemukan sebesar 53% untuk
adjuvan AS01E (Bejon et.al; 2008) dan 65.2% untuk adjuvan AS02D (Abdulla et.al; 2008).
PvRII (Plasmodium vivax region II) merupakan kandidat vaksin yang ditujukan untuk mengikat
protein reseptor untuk P.vivax; yaitu antigen Duffy.
Sanaria PfSPZ adalah kandidat vaksin lainnya yang menggunakan sel utuh Plasmodium falciparum
yang dilemahkan sebagai pemicu respons imunitas. Prinsip dasarnya sama dengan metode yang iradiasi
nyamuk yang mengandung Plasmodium falciparum untuk melemahkan parasit, yang pernah
dikembangkan pada tahun 1970-an.

10. Prognosis
Prognosis malaria yang disebabkan oleh P.vivax pada umumnya baik, tidak menyebabkan kematian,
walaupun apabila tidak diobati infeksi rata-rata dapat berlangsung sampai 3 bulan atau lebih lama oleh
karena mempunyai sifat relaps, sedangkan P.malariae dapat berlangsung sangat lama dengan
kecenderungan relaps, pernah dilaporkan sampai 30-50 tahun. Infeksi Plasmodium falciparum tanpa
penyulit berlangsung sampai satu tahun. Infeksi Plasmodium falciparum dengan penyulit prognosis
menjadi buruk, apabila tidak ditanggulangi secara cepat dan tepat bahkan dapat meninggal terutama
pada gizi buruk. WHO mengemukakan indicator prognosis buruk apabila:
Indikator klinis
o Umur 3 tahun atau kurang
o Koma yang berat
o Kejang berulang
o Refleks kornea negative
o Deserebrasi
o Dijumpai disfungsi organ (gagal ginjal, edema paru)
o Terdapat pendarahan retina
Indikator Laboratorium
o Hiperparasitemia (>250.000/ml atau >5%)
o Schizontemia dalam darah perifer
o Leukositosis
o PCV (packed cell volume) <15%
o Hemoglobin <5g/dL
o Glukosa darah <40 mg/dL
o Ureum >60 mg/dL
o Glukosa liquour serebrospinalis rendah
o Kreatinin>3,o mg/dL
o Lactat dalam liquor serebrospinalis meningkat
o SGOT meningkat >3 kali normal
o Antitrombin rendah
o Peningkatan kadar plasma 5-nukleotidase















6.4.1. MALARIA (TIDAK BERAT/TANPA KOMPLIKASI)
Diagnosis
Demam (suhu badan 37.5 C) atau riwayat demam, dan
Apusan darah positif atau tes diagnosis cepat (RDT) positif untuk malaria. Tidak ada tanda di bawah ini
yang ditemukan pada pemeriksaan:
o perubahan kesadaran
o anemia berat (hematokrit < 15% atau hemoglobin < 5 g/dl)
o hipoglikemia (gula darah < 2.5 mmol/liter atau < 45 mg/dl)
o gangguan pernapasan
o ikterik.
Catatan: jika anak yang tinggal di daerah malaria mengalami demam, tetapi
tidak mungkin untuk melakukan konfirmasi dengan apusan darah, obati anak
untuk malaria.
Tatalaksana
Obati anak secara rawat jalan dengan obat anti malaria lini pertama, seperti yang direkomendasikan
pada panduan nasional. Terapi yang direkomendasikan WHO saat ini adalah kombinasi artemisinin
sebagai obat lini pertama (lihat rejimen yang dapat digunakan di halaman berikut). Klorokuin dan
Sulfadoksin-pirimetamin tidak lagi menjadi obat anti malaria lini pertama
maupun kedua karena tingginya angka resistensi terhadap obat ini di banyak negara untuk Malaria
falsiparum.
Berikan pengobatan selama 3 hari dengan memberikan rejimen yang dapat dipilih di bawah ini :
Artesunat ditambah amodiakuin. Tablet terpisah 50 mg artesunat dan 153 mg amodiakuin basa (saat
ini digunakan dalam program nasional)
o Artesunat : 4 mg/kgBB/dosis tunggal selama 3 hari
o Amodiakuin : 10 mg-basa/kgBB/dosis tunggal selama 3 hari;
Dehidroartemisinin ditambah piperakuin (fixed dose combination).
o Dosis dehidroartemisin: 2-4 mg/kgBB, dan piperakuin: 16-32 mg/kgBB/dosis tunggal. Obat kombinasi ini
diberikan selama tiga hari.
Artesunat ditambah sulfadoksin/pirimetamin (SP). Tablet terpisah 50 mg artesunat dan 500 mg
sulfadoksin/25 mg pirimetamin:
o Artesunat : 4 mg/kgBB/dosis tunggal selama 3 hari
o SP : 25 mg (Sulfadoksin)/kgBB/dosis tunggal
Artemeter/lumefantrin. Tablet kombinasi yang mengandung 20 mg artemeter dan 120 mg lumefantrin:
o Artemeter : 3.2 mg/kgBB/hari, dibagi 2 dosis
o Lumefantrin : 20 mg/kgBB
o Tablet kombinasi ini dibagi dalam dua dosis dan diberikan selama 3 hari.
Amodiakuin ditambah SP. Tablet terpisah 153 mg amodiakuin basa dan 500 mg sulfadoksin/25 mg
pirimetamin
o Amodiakuin : 10 mg-basa/kgBB/dosis tunggal
o SP : 25 mg (Sulfadoksin)/kgBB/dosis tunggal
Untuk Malaria falsiparum khusus untuk anak usia > 1 tahun tambahkan primakuin 0.75 mg-
basa/kgBB/dosis tunggal selama 1 hari. Untuk vivax, ovale dan malariae tambahkan primakuin basa 0.25
mg/kgBB/hari dosis tunggal selama 14 hari.
Komplikasi
Anemia (tidak berat)
Pemberian zat besi pada malaria dengan anemia ringan tidak dianjurkan, kecuali bila disebabkan oleh
defisiensi besi. Jangan beri zat besi pada anak dengan gizi buruk pada fase akut.
Tindak lanjut
Minta ibu untuk kunjungan ulang jika demam menetap setelah obat diminum berturut-turut dalam 3 hari,
atau lebih awal jika kondisi anak memburuk. Ibu juga harus kembali jika demam timbul lagi.
Jika hal ini terjadi: periksa apakah anak memang minum obatnya dan ulangi apusan darah. Jika obat
tidak diminum, ulangi pengobatan. Jika obat telah diberikan namun hasil apusan darah masih positif,
berikan obat anti-malaria lini kedua. Lakukan penilaian ulang pada anak untuk mengetahui dengan jelas
kemungkinan lain penyebab demam (lihat bagian-bagian lain dari bab
ini).
Jika demam timbul setelah pemberian obat anti malaria lini kedua (kina dan doksisiklin untuk usia >8
tahun), minta ibu untuk kunjungan ulang untuk menilai kembali penyebab lain demam.

6.4.2. MALARIA DENGAN KOMPLIKASI (MALARIA BERAT):
DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA
Malaria berat, yang disebabkan oleh Plasmodium falciparum, cukup serius mengancam jiwa anak.
Penyakit ini diawali dengan demam dan muntah yang sering. Anak bertambah parah dengan cepat dalam
waktu 1-2 hari, menjadi koma (malaria serebral) atau syok, atau mengalami kejang, anemia berat dan
asidosis.
Diagnosis
Anamnesis
Menjelaskan perubahan perilaku, penurunan kesadaran dan kondisi yang sangat lemah (prostration).
Pemeriksaan
Demam
Letargis atau tidak sadar
Kejang umum
Asidosis (ditandai dengan timbulnya napas yang dalam dan berat)
Lemah yang sangat, sehingga anak tidak bisa lagi berjalan atau duduk tanpa bantuan
Ikterik
Distres pernapasan, edema paru
Syok
Kecenderungan untuk terjadi perdarahan
Sangat pucat.
Pemeriksaan Laboratorium
anemia berat (hematokrit < 15%; hemoglobin < 5 g/dl)
hipoglikemia (glukosa darah < 2.5 mmol/liter atau < 45 mg/dl).
Pada anak yang mengalami penurunan kesadaran dan/atau kejang, lakukan pemeriksaan glukosa darah.
Selain itu, pada semua anak yang dicurigai malaria berat, lakukan pemeriksaan:
Tetes tebal (dan apusan darah tipis untuk identifikasi spesies)
Hematokrit
Bila dicurigai malaria serebral (misalnya pada anak yang mengalami koma tanpa sebab yang jelas) dan
bila tidak ada kontra-indikasi, lakukan pungsi lumbal untuk menyingkirkan meningitis bakteri
(lihat lampiran A 1.4). Jika meningitis bakteri tidak dapat disingkirkan, beri pula pengobatan untuk hal ini
(lihat bagian 6.5).
Jika hasil temuan klinis mencurigai malaria berat dan hasil asupan darah negatif, ulangi apusan darah.
Tatalaksana
Tindakan gawat darurat harus dilakukan dalam waktu satu jam pertama:
Bila terdapat hipoglikemia atasi sesuai dengan tatalaksana hipoglikemia
Atasi kejang sesuai dengan tatalaksana kejang
Perbaiki gangguan sirkulasi darah (lihat gangguan pada keseimbangan cairan di bagian selanjutnya)
Jika anak tidak sadar, pasang pipa nasogastrik dan isap isi lambung secara teratur untuk mencegah
risiko pneumonia aspirasi
Atasi anemia berat (lihat bagian selanjutnya)
Mulai pengobatan dengan obat anti malaria yang efektif (lihat bawah).
Pengobatan Antimalaria
Jika konfirmasi apusan darah untuk malaria membutuhkan waktu lebih dari satu jam, mulai berikan
pengobatan antimalaria sebelum diagnosis dapat dipastikan atau sementara gunakan RDT.
Artesunat intravena. Berikan 2.4 mg/kgBB intravena atau intramuskular, yang diikuti dengan 2.4 mg/kg
IV atau IM setelah 12 jam, selanjutnya setiap hari 2.4 mg/kgBB/hari selama minimum 3 hari sampai anak
bisa minum obat anti malaria per oral. Bila artesunat tidak tersedia bisa diberikan alternatif pengobatan
dengan:
Artemeter intramuskular. Berikan 3.2 mg/kg IM pada hari pertama, diikuti dengan 1.6 mg/kg IM per
harinya selama paling sedikit 3 hari hingga anak bisa minum obat. Gunakan semprit 1 ml untuk
memberikan volume suntikan yang kecil.
Kina-dehidroklorida intravena. Berikan dosis awal (20 mg/kgBB) dalam cairan NaCl 0.9% 10 ml/kgBB
selama 4 jam. Delapan jam setelah dosis awal, berikan 10 mg/kgBB dalam cairan IV selama 2 jam dan
ulangi tiap 8 jam sampai anak bisa minum obat. Kemudian, berikan dosis oral untuk menyelesaikan 7 hari
pengobatan atau berikan satu dosis SP bila tidak ada resistensi terhadap SP tersebut. Jika ada resistensi
SP, berikan dosis penuh terapi kombinasi artemisinin. Dosis awal kina diberikan hanya bila ada
pengawasan ketat dari perawat terhadap pemberian infus dan pengaturan tetesan infus. Jika ini tidak
memungkinkan, lebih aman untuk memberi obat kina intramuskular.
Kina intramuskular. Jika obat kina melalui infus tidak dapat diberikan, quinine dihydrochloride dapat
diberikan dalam dosis yang sama melalui suntikan intramuskular. Berikan garam kina 10 mg/kgBB IM
dan ulangi setiap 8 jam. Larutan parenteral harus diencerkan sebelum digunakan, karena akan lebih
mudah untuk diserap dan tidak begitu nyeri.

6.4.2. MALARIA DENGAN KOMPLIKASI (MALARIA BERAT):
PERAWATAN PENUNJANG, KOMPLIKASI, PEMANTAUAN
Perawatan Penunjang
Pada anak yang tidak sadar:
Jaga jalan napas
Posisi miring untuk menghindari aspirasi
Ubah posisi pasien setiap 2 jam
o Pasien harus berbaring di alas yang kering
o Perhatikan titik-titik yang tertekan.
Lakukan tindakan pencegahan berikut dalam pemberian cairan:
Jika dehidrasi, lihat bagian 5.2.1.
Selama rehidrasi, pantau tanda kelebihan cairan. Tanda yang palingudah adalah pembesaran hati.
Tanda lainnya adalah irama derap, fine crackles (ronki) pada dasar paru dan/atau peningkatan JVP.
Edema kelopak mata merupakan tanda yang berguna.
Jika, setelah rehidrasi, diuresis kurang dari 1 ml/kgBB/jam, berikan furosemid intravena dengan dosis
awal 1 mg/kgBB. Jika tidak ada reaksi, gandakan dosis dengan interval tiap jam hingga maksimal 8
mg/kgBB (diberikan selama 15 menit).
Pada anak tanpa dehidrasi, pastikan anak mendapatkan cairan sesuai kebutuhan.
Hindari menggunakan obat-obatan tambahan yang tidak berguna dan membahayakan seperti
kortikosteroid (dan obat anti radang lainnya), heparin, adrenalin, prostasiklin dan siklosporin.
Komplikasi
Malaria serebral (koma)
Nilailah derajat kesadaran sesuai dengan AVPU atau PGCS.
Berikan perawatan seksama dan beri perhatian khusus pada jalan napas, mata, mukosa, kulit dan
kebutuhan cairan.
Singkirkan penyebab lain koma yang dapat diobati (misalnya hipoglikemia, meningitis bakteri).
Kejang umumnya terjadi sebelum dan sesudah koma. Jika timbul kejang, berikan antikonvulsan.
Bila terdapat syok segera lakukan tatalaksana syok.
Bila dicurigai adanya sepsis, berikan antibiotik yang sesuai.
Anemia Berat
Anemia berat ditandai dengan kepucatan yang sangat pada telapak tangan, sering diikuti dengan denyut
nadi cepat, kesulitan bernapas, kebingungan atau gelisah. Tanda gagal jantung seperti irama derap,
pembesaran hati dan, terkadang, edema paru (napas cepat, fine basal cracklesdalam pemeriksaan
auskultasi) bisa ditemukan.
Berikan transfusi darah sesegera mungkin (lihat bagian 10.6.4) kepada:
o semua anak dengan hematokrit 15% atau Hb 5 g/dl
o anak yang aneminya tidak berat (hematokrit >15%; Hb > 5 g/dl) dengan tanda berikut:
dehidrasi
syok
penurunan kesadaran
pernapasan Kusmaull
gagal jantung
parasitamia yang sangat tinggi (>10% sel darah merah mengandung parasit).
Berikan packed red cells (10 ml/kgBB), jika tersedia, selama 34 jam. Jika tidak tersedia, berikan darah
utuh segar (fresh whole blood) 20 ml/kgBB selama 34 jam.
Periksa frekuensi napas dan denyut nadi setiap 15 menit. Jika salah satunya mengalami kenaikan,
berikan transfusi dengan lebih lambat. Jika ada bukti kelebihan cairan karena transfusi darah, berikan
furosemid intravena (12 mg/kgBB) hingga jumlah maksimal 20 mg/kgBB.
Setelah transfusi, jika Hb tetap rendah, ulangi transfusi.
Pada anak dengan gizi buruk, kelebihan cairan merupakan komplikasi yang umum dan serius.
Berikan fresh whole blood 10 ml/kgBB hanya sekali.
Hipoglikemia
Hipoglikemia (gula darah: < 2.5 mmol/liter atau < 45 mg/dl) lebih sering terjadi pada pasien umur < 3
tahun, yang mengalami kejang dan/atau hiperparasitemia, dan pasien koma.
Berikan 5 ml/kgBB glukosa 10% IV secara cepat. Periksa kembali glukosa darah dalam waktu 30 menit
dan ulangi pemberian glukosa (5 ml/kgBB) jika kadar glukosa rendah (< 2.5 mmol/litre atau < 45 mg/dl).
Cegah agar hipoglikemia tidak sampai parah pada anak yang tidak sadar dengan memberikan glukosa
10% intravena. Jangan melebihi kebutuhan cairan rumatan untuk berat badan anak (lihatbagian 10.2).
Jika anak menunjukkan tanda kelebihan cairan, batasi cairan parenteral; ulangi pemberian glukosa 10%
(5 ml/kgBB) dengan interval yang teratur.
Bila anak sudah sadar dan tidak ada muntah atau sesak, stop infus dan berikan makanan/minuman per
oral sesuai umur. Teruskan pengawasan kadar glukosa darah dan obati sebagaimana mestinya.
Distres Pernapasan (Asidosis)
Distres pernapasan ditandai dengan pernapasan yang cepat dan dalam (Kusmaull) kadang disertai
dengan tarikan dinding dada bagian bawah. Hal ini disebabkan oleh asidosis metabolik (sering lactic
acidosis) dan sering terjadi pada pasien malaria serebral atau anemia berat. Atasi penyebab reversibel
asidosis, terutama dehidrasi dan anemia.
Pemantauan
Anak dengan kondisi ini harus berada dalam observasi yang sangat ketat.
Pantau dan laporkan segera bila ada perubahan derajat kesadaran, kejang, atau perubahan perilaku
anak.
Pantau suhu badan, denyut nadi, frekuensi napas, tekanan darah setiap 6 jam, selama setidaknya dalam
48 jam pertama.
Pantau kadar gula darah setiap 3 jam hingga anak sadar sepenuhnya.
Periksa tetesan infus secara rutin.
Catat semua cairan masuk (termasuk cairan intravena) dan cairan keluar.











Malaria

Oleh Harun Alrasyid (10101001032)

RESUME

Malaria adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh protozoa obligat intraseluler
dari genus Plasmodium. Malaria pada manusia dapat disebabkan oleh Plasmodium
malariae,Plasmodium vivax, Plasmodium falciparum dan Plasmodium ovale. Seseorang dapat
terinfeksi lebih dari satu jenis Plasmodium, dikenal sebagai infeksi campuran/majemuk
(mixed infection). Menurut Laporan Badan Kesehatan Dunia tahun 2010, terdapat 225 juta
kasus malaria dan diperkirakan 781 000 meninggal pada tahun 2009. Data ini mengalami
penurunan dari 233 juta kasus dan 985 000 kematian pada tahun 2000. Manusia yang
tergigit nyamuk infektif akan mengalami gejala sesuai dengan jumlah sporozoit, kualitas
plasmodium, dan daya tahan tubuhnya. Beberapa faktor yang berinteraksi dalam kejadian
dan penularan penyakit malaria, antara lain: Faktor Host (Manusia), Faktor Agent
(Plasmodium), dan Faktor Lingkungan. Malaria dapat ditularkan melalui 2 cara yaitu cara
alamiah dan bukan alamiah. Pencegahan dapat dilakukan melalui pendekatan berbasis
masyarakat dan pendekatan berbasis pribadi. Obat yang dipakai untuk pengobatan malaria
di Indonesia adalah klorokuin, primakuin, kina pirimetamin, dan sulfadoksin.


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG
Malaria merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang dapat
menyebabkan kematian terutama pada kelompok risiko tinggi yaitu bayi, anak balita, ibu hamil,
selain itu malaria secara langsung menyebabkan anemia dan dapat menurunkan produktivitas
kerja
1
.

Gambar 1. Daerah Penyebaran Penyakit Malaria (Sumber www.who.int)

Malaria adalah penyakit yang mengancam kehidupan yang disebabkan oleh parasit yang
ditularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk yang terinfeksi. Pada tahun 2009, diperkirakan
malaria menyebabkan 781 000 kematian, sebagian besar terjadi pada anak-anak di Afrika.
Menurut Laporan Badan Kesehatan Dunia tahun 2010, terdapat 225 juta kasus malaria dan
diperkirakan 781 000 meninggal pada tahun 2009. Data ini mengalami penurunan dari 233 juta
kasus dan 985 000 kematian pada tahun 2000. Sebagian besar kematian terjadi di antara anak
yang tinggal di Afrika di mana seorang anak meninggal setiap 45 detik akibat malaria dan
penyakit ini menyumbang sekitar 20% dari semua kematian anak di dunia
2
.
Di Indonesia, hingga akhir 2008 kasus malaria menunjukkan kecenderungan menurun,
namun masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. Berdasarkan data Departemen
Kesehatan Indonesia baik API (Annual Parasite Incidence) maupun AMI (Annual Malaria
Incidence) menunjukan penurunan selama periode 2000-2008. API pada tahun 2000 berada
pada angka 0,81 per 1000 penduduk terus turun hingga 0,15 per 1000 penduduk pada tahun
2004. Angka ini meningkat menjadi 0,19 pada tahun 2006, untuk kemudian kembali turun pada
angka 0,16 per 1000 penduduk pada tahun 2007-2008. Hal yang sama terjadi pada AMI. Pada
periode 2000-2004 AMI cenderung menurun dari 31,09 menjadi 21,2 per 1000 penduduk
kemudian hingga tahun 2008 turun menjadi 18,82 per 1000 penduduk. Kemudian berdasarkan
data dari Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi Kementerian Kesehatan RI Tahun 2010,
angka AMI turun hingga 12,27 per 1000 penduduk
3,4
.
Provinsi Sumatera Selatan adalah daerah endemis malaria, dimana tahun 2009 terdapat 7
kabupaten endemis malaria sedang dan 8 kabupaten/kota lainnya digolongkan pada daerah
endemis rendah. Satu kota diantara daerah endemis rendah yaitu Kota Palembang adalah
daerah bebas malaria dalam arti kasus yang ada adalah kasus impor dari kabupaten lain
(Kabupaten Banyuasin). Angka kesakitan malaria dari tahun 2003 ke tahun 2004 menurun
secara drastis. Hal ini disebabkan Kabupaten Bangka dan Belitung berpisah dari Povinsi
Sumatera Selatan. Kedua Kabupaten tersebut adalah penyumbang kasus malaria paling tinggi.
Angka kesakitan (malaria klinis) per 1000 penduduk di Provinsi Sumatera Selatan tahun 2009
(AMI) adalah 8,45 dengan kematian (CFR 0,27%), dengan jumlah sediaan darah yang
diperiksa / ABER ( Annual Blood Examination rate) 0,42 % dan persentase dari sediaan darah
yang positif dari seluruh sediaan darah yang diperiksa (SPR) 21,9 %
5
.
Angka kesakitan (malaria klinis) per 1000 penduduk di kabupaten/kota Provinsi Sumatera
Selatan dalam tahun 2009 tertinggi adalah di Kabupaten Ogan Komering Ulu 27,07 (7.217
kasus), Kabupaten Lahat 22,08 (7.531 kasus), Kota Lubuk Linggau 17,88 (3.326 kasus),
sedangkan terendah di Kabupaten Ogan Ilir 0,34 (130 kasus)
5
.

1.2 RUMUSAN MASALAH

1. Apa yang dimaksud dengan penyakit malaria ?
2. Bagaimana etiologi dari penyakit malaria ?
3. Bagaimana daur hidup plasmodium ?
4. Bagaimana epidemiologi dan transmisi dari penyakit malaria ?
5. Bagaimanakah patogenesis dan patologi penyakit malaria ?
6. Bagaimana riwayat alamiah dan manifestasi klinik dari malaria ?
7. Bagaimana cara mencegah penyakit malaria ?
8. Bagaimana cara mengobati penyakit malaria ?

1.3 TUJUAN
1. Mengetahui etiologi dari penyakit malaria
2. Mengetahui daur hidup dari protozoa plasmodium sebagai parasit malaria agar dapat
melakukan intervensi dalam melakukan pencegahan penyakit
3. Mengenal epidemiologi, transmisi, patogenesis dan patologi malaria
4. Memahami riwayat alamiah penyakit dan manifestasi klinik dari penyakit malaria untuk
mengenali gejala penyakit malaria
5. Mengetahui cara pencegahan dan pengobatan penyakit malaria


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ETIOLOGI
Malaria adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh protozoa obligat intraseluler
dari genus Plasmodium. Malaria pada manusia dapat disebabkan oleh Plasmodium
malariae(Laveran, 1888), Plasmodium vivax (Grosi dan Felati, 1890), Plasmodium
falciparum (Weich, 1897) dan Plasmodium ovale (Stephens, 1992)
6
.

Gambar 2. Nyamuk Anopheles (Diadapsi dari Google.com)
Malaria disebabkan oleh parasit sporozoa Plasmodium yang ditularkan melalui gigitan
nyamuk anopheles betina infektif. Sebagian besar nyamuk anopheles akan menggigit pada
waktu senja atau malam hari, pada beberapa jentik nyamuk puncak gigitannya adalah tengah
malam sampai fajar. Pada manusia, Plasmodium terdiri dari 4 spesies, yaitu Plasmodium
falcifarum, Plasmodium vivax, Plasmodium malariae, dan Plasmodium ovale. Plasmodium
falcifarummerupakan penyebab penyakit infeksi berat bahkan dapat menimbulkan kematian.
Keempat spesies Plasmodium yang terdapat di Indonesia, yaitu Plasmodium falciparum yang
menyebabkan malaria tropika, Plasmodium vivax yang menyebabkan malaria
tetiana,Plasmodium malariae yang menyebabkan malaria quartana dan Plasmodium ovale yang
menyebabkan malaria ovale
7, 8
.
Seseorang dapat terinfeksi lebih dari satu jenis Plasmodium, dikenal sebagai infeksi
campuran/majemuk (mixed infection). Pada umumnya paling banyak dijumpai dua jenis
Plasmodium, yaitu campuran antara Plasmodium falcifarum dan Plasmodium
vivax tauPlasmodium malariae. Kadang-kadang dijumpai tiga jenis plasmodium sekaligus,
meskipun hal ini jarang sekali terjadi. Infeksi campuran biasanya terdapat di daerah dengan
angka penularan tinggi. Akhir-akhir ini di beberapa daerah dilaporkan kasus malaria yang telah
resisten terhadap Klorokuin, bahkan juga resisten terhadap Pirimetamin-Sulfadoksin. Penyakit
ini jarang ditemui pada bulan-bulan pertama kehidupan, tetapi pada anak yang berumur
beberapa tahun dapat terjadi seranga malaria tropika yang berat, bahkan tetiana dan kuartana
dan dapat menyebabkan kematian terutama pada anak dengan gangguan gizi
8
.

2.2 DAUR HIDUP PLASMODIUM
Dalam daur hidupnya Plasmodium mempunyai 2 hospes, yaitu vertebrata dan
nyamuk. Siklus aseksusal di dalam hospes vertebrata dikenal sebagai skizogeni, sedangkan
siklus seksual yang membentuk sporozoit di dalam nyamuk sebagai sporogoni. Siklus seksual
dimulai dengan bersatunya gamet jantan dan gamet betina untuk membentuk ookinet dalam
perut nyamuk. Ookinet akan menembus dinding lambung untuk membentuk kista di selaput luar
lambung nyamuk. Waktu yang diperlukan sampai pada proses ini adalah 8-35 hari, tergantung
pada situasi lingkungan dan jenis parasitnya. Pada tempat inilah kista akan membentuk ribuan
sporozoit yang terlepas dan kemudian tersebar ke seluruh organ nyamuk termasuk kelenjar
ludah nyamuk. Pada kelenjar inilah sporozoit menjadi matang dan siap ditularkan bila nyamuk
menggigit manusia
7,8
.
Manusia yang tergigit nyamuk infektif akan mengalami gejala sesuai dengan jumlah
sporozoit, kualitas plasmodium, dan daya tahan tubuhnya. Sporozoit akan memulai stadium
eksoeritrositer dengan masuk ke dalam sel hati. Di hati sporozoit matang menjadi skizon yang
akan pecah dan melepaskan merozoit jaringan. Merozoit akan memasuki aliran darah dan
menginfeksi eritrosit untuk memulai siklus eritrositer. Merozoit dalam erotrosit akan mengalami
perubahan morfologi yaitu : merozoit -> bentuk cincin -> trofozoit -> merozoit. Proses
perubahan ini memerlukan waktu 2-3 hari. Di antara merozoit-merozoit tersebut akan ada yang
berkembang membentuk gametosit untuk kembali memulai siklus seksual menjadi mikrogamet
(jantan) dan makrogamet (betina). Siklus tersebut disebut masa tunas instrinsik. Eritrosit yang
terinfeksi biasanya pecah yang bermanifestasi pada gejala klinis. Jika ada nyamuk yang
menggigit manusia yang terinfeksi ini, maka gametosit yang ada pada darah manusia akan
terhisap oleh nyamuk. Dengan demikian, siklus seksual pada nyamuk dimulai, demikian
seterusnya penularan malaria
7,8
.


Gambar 3. Siklus hidup Plasmodium penyebab Penyakit Malaria (diadaptasi dari www.dpd.cdc.gov/dpdx.)

2.3 EPIDEMIOLOGI DAN TRANSMISI MALARIA
EPIDEMIOLOGI
Malaria merupakan penyakit endemis atau hiperendemis di daerah tropis maupun
subtropis dan menyerang negara dengan penduduk padat. Diperkirakan prevalensi malaria di
seluruh dunia berkisar antara 160-400 juta kasus. Batas dari penyebaran malaria adalah
64
o
lintang utara (Rusia) dan 32
o
lintang selatan (Argentina). Ketinggian yang memungkinkan
parasit hidup adalah 400 meter di bawah permukaan laut (Laut Mati) dan 2600 meter di atas
permukaan laut (Bolivia). Plasmodium vivax mempunyai distribusi geografis yang paling luas,
mulai dari daerah yang beriklim dingin, subtropik sampai ke daerah tropis, kadang-kadang
dijumpai di Pasifik Barat. Plasmodium falcifarum tertama menybabkan malaria di Afrika dan
daerah-daerah tropis lainnya
8
.



Gambar 4. Triad Epidemiologi Penyakit Malaria (Diadaptasi dari www.google.com)

Kembali berpedoman pada prinsip ilmu epidemiologi, maka epidemiologi malaria adalah
sebuah ilmu yang mempelajari faktor-faktor yang menentukan distribusi malaria pada
masyarakat dan menggunakannya untuk menanggulangi penyakit tersebut. Beberapa faktor
yang berinteraksi dalam kejadian dan penularan penyakit malaria, antara lain:
Faktor Host (Manusia)
Secara umum dapat dikatakan bahwa setiap orang dapat terkena penyakit malaria.
Perbedaan prevalensi menurut umur dan jenis kelamin karena berkaitan dengan perbedaan
tingkat kekebalan dan frekuensi keterpaparan gigitan nyamuk. Faktor-faktor yang
mempengaruhi kerentanaan seseorang adalah
1. Ras atau suku bangsa. Di Afrika, apabila prevalensi hemoglobin S (HbS) cukup tinggi,
penduduknya lebih rentan terhadap infeksi P.falcifarum. penyelidikan terakhir menunjukkan
bahwa HbS menghambat P.falcifarum baik sewaktu invasi maupun berkembang biak.
2. Kurangnya suatu enzim tertentu. Kurangnya enzim G6PD (Glucosa 6-Phosphat
Dehydrogenase) memberikan perlindungan terhadap infeksi P.Falcifarum yang berat. Walaupun
demikian, kurangnya enzim ini merugikan ditinjau dari segi pengobatan dengan golongan
Sulfonamid dan Primakuin oleh karena dapat terjadi hemolisis darah. Defisiensi enzim G6PD ini
merupakan penyakit genetik dengan manifestasi utama pada perempuan.
3. Kekebalan pada manusia terjadi apabila tubuh mampu menghancurkan Plasmodium yang
masuk atau menghalangi perkembangannya
6,8
.
Faktor Agent (Plasmodium)
Penyakit malaria adalah suatu penyakit akut atau sering kronis yang disebabkan oleh
parasit genus plasmodium (Class Sporozoa). Sifat-sifat spesifik parasit berbeda-beda untuk
setiap spesies malaria dan hal ini mempengaruhi terjadinya manifestasi klinis dan penularan.
Faktor Lingkungan
Beberapa faktor lingkungan yang cukup ideal mendukung keberadaan penyakit malaria
di Indonesia, antara lain: lingkungan fisik (suhu, kelembaban udara, curah hujan, ketinggian,
angin), lingkungan biologik dan lingkungan sosial-budaya.



TRANSMISI
Malaria dapat ditularkan melalui 2 cara yaitu cara alamiah dan bukan alamiah.
1. Penularan secara alamiah (natural infection), melalui gigitan nyamuk anopheles.
2. Penularan bukan alamiah, dapat dibagi menurut cara penularannya, ialah
a. Malaria bawaan (kongenital), disebabkan adanya kelainan pada sawar plasenta sehingga tidak
ada penghalang infeksi dari ibu kepada bayi yang dikandungnya. Selain melalui plasenta
penularan dari ibu ke bayi melalui tali pusat.
b. Penularan secara mekanik terjadi melalui transfusi darah atau jarum suntik. Penularan melalui
jarum suntik banyak terjadi pada para pecandu obat bius yang menggunakan jarum suntik yang
tidak steril. Infeksi malaria melalui transfusi hanya menghasilkan siklus eritrositer karena tudak
melalui sporozoit yang memerlukan siklus hati sehingga diobati dengan mudah.
c. Penularan secara oral, pernah dibuktikan pada ayam (Plasmodium gallinasium), burung dara
(Plasmodium relection) dan monyet (Plasmodium knowlesi).
Pada umumnya sumber infeksi malaria pada manusia adalah manusia lain yang sakit
malaria, baik dengan gejala maupun tanpa gejala klimis
8
.

2.4 PATOGENESIS DAN PATOLOGI
Patogenesis malaria lebih ditekankan pada terjadinya peningkatan permeabilitas
pembuluh darah dari pada koagulasi intravaskular. Oleh karena skizogeni menyebabkan
kerusakan eritrosit. Akan terjadi anemia. Beratnya anemia yang tidak sebanding dengan
parasitemia menunjukan adanya kelainan eritrosit selain yang mengandung parasit. Pada
percobaan binatang dibuktikan adanya gangguan transportasi natrium sehingga keluar dari
eritrosit yang mengandung parasit dan tanpa parasit malaria. Diduga terdapat toksin malaria
yang menyebabkan gangguan fungsi eritrosit dan sebagaian eritrosit pecah saat melalui limfa
dan keluarlah parasit
8
.
Faktor lain yang menyebabkan terjadinya anemia mungkin karena
terbentuknya antibodi terhadap eritrosit. Suatu bentuk khusus anemia hemolitik pada malaria
adalah black water fever, adalah suatu bentuk malaria berat yang disebabkan
oleh Plasmodium falcifarum, yang ditandai oleh adanya hemolisis intravaskuler berat,
hemoglobinuria, kegagalan ginjal mendadak sebagai akibat nekrosis tubulus, disertai angka
kematian yang tinggi. Telah lama dicurigai bahwa Kina dapat memprovokasi terjadinya black
water fever. Sebagai tambahan, kasus meninggal yang disebabkan malaria selalu menunjukkan
adanya perubahan yang menonjol dari retikuloendotelial dan mungkin juga melibatkan berbagai
sistem organ
8
.
Limfa membesar, mengalami pembendungan dan pigmentasi sehingga mudah pecah.
Dalam limfa dijumpai banyak parasit dalam makrofag dan sering terjadi fagositosis dari eritrosit
yang terinfeksi maupun yang tidak terinfeksi. Pada malaria kronis terjadi hiperplasi dari
retikulum disertai peningkatan makrofag. Pada sindrom pembesaran limfa di daerah tropis atau
penyakit pembesaran limfa pada malaria kronis biasanya dijumpai bersama dengan
peningkatan kadar IgM. Peningkatan antibodi terhadap malaria ini mungkin menimbulkan
respons imunologis yang tidak lazim pada malaria kronis. Pada malaria juga terjadi pembesaran
hepar, sel Kuffer seperti sel dalam sistem retikuloendotelial terlibat dalam respon fagositosis.
Sebagai akibatnya hati menjadi berwarna kecoklatan agak kelabu atau kehitaman. Pada
malaria kronis terjadi infiltasi difus oleh sel mononukleus pada periportal yang meningkat
sejalan dengan berulangnya serangan malaria. Hepatomegali dengan infiltrasi sel mononukleus
merupakan bagian dari sindrom pembesaran hati di daerah tropis. Nekrosis sentrilobulus terjadi
pada syok
8
.

2.5 RIWAYAT ALAMIAH PENYAKIT

Gejala klinis malaria meliputi keluhan dan tanda klinis merupakan petunjuk yang
penting dalam diagnosa malaria. Gejala klinis ini dipengaruhi oleh jenis/strain
plasmodium, imunitas tubuhdan jumlah parasit yang menginfeksi. Malaria sebagai
penyakit infeksi yang disebabkan oleh plasmodium mempunyai gejala utama yaitu demam. Di
duga terjadinya demam berhubungan dengan proses skizogoni (pecahnya merozoit/skizon),
atau akhir-akhir ini dihubungkan dengan pengaruh GPI (glycosyl phosphatidylinositol) atau
terbentuknya sitokin dan atau toksin lainnya. Pada beberapa penderita demam tidak terjadi
misalnya pada daerah hiperendemik, banyak orang dengan parasitemia tanpa gejala. Berat
ringannya manifestasi malaria tergantung jenis plasmodium yang menyebabkan infeksi
8
.

Tabel 1. Karakteristik Spesies Plasmodium



Sumber : (Harijanto, 1999
6)
)




Gejala klasik yaitu terjadinya Trias Malaria (Malaria proxysm) secara berurutan :
a. Periode dingin
Mulai menggigil, kulit dingin dan kering, penderita sering membungkus diri dengan selimut atau
sarung dan pada saat menggigil sering seluruh badan bergetar dan gigi-gigi saling terantuk,
pucat sampai sianosis seperti orang kedinginan. Periode ini berlangsung 15 menit sampai 1 jam
diikuti dengan meningkatnya temperatur.
b. Periode panas
Penderita muka merah, kulit panas dan kering, nadi cepat, dan panas badan tetap tinggi sampai
40
o
C atau lebih, penderita. Periode ini lebih lama dari fase dingin, dapat sampai 2 jam atau
lebih, diikuti dengan keadaan berkeringat.
c. Periode berkeringat
Penderita berkeringat mulai dari temporal, diikuti seluruh tubuh, sampai basah, temperatur
turun, penderita merasa cape dan sering tertidur. Bila penderita bangun akn merada sehat dan
dapat melakukan pekerjaan biasa
6
.
Dikenal beberapa kaadaan klinik dalam perjalan infeksi malaria yaitu :
a. Serangan primer (Periode Klinis)
Yaitu keadaan mulai dari akhir masa inkubasi dan mulai terjadi serangan paroksimal yang terdiri
dari dingin/menggigil; panas dan berkeringat. Serangan paroksimal ini dapat pendek atau
panjang tergantung dari perbanyakan parasit dan keadaan imunitas penderita.
b. Periode laten
Yaitu periode tanpa gejala dan tanpa parasitemia selama terjadinya infeksi malaria. Biasanya
terjadi diantara dua keadaan paroksismal.

c. Recrudescense
Yaitu berulangnya gejala klinik dan parasitemia dalam masa 8 minggu sesudah berakhirnya
serangan primer.
d. Recurrence
Yaitu berulangnya gejala klinik atau parasitemia setelah 24 minggu berakhirnya serangan
primer.
e. Relapse atau Rechute
Ialah berlangnya gejala klinik atau parasitemia yang lebih lama dari wakti diantara serangan
periodik dari infeksi primer
6
.
2.6 PENCEGAHAN
a. Berbasis Masyarakat
1. Pola Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) masyarakat harus selalu
ditingkatkan melalui penyuluhan kesehatan, pendidikan kesehatan, diskusi kelompok
maupun kampanye masal untuk mengurangi tempat sarang nyamuk (Pemberantasan
Sarang Nyamuk, PSN). Kegiatan PSN meliputi menghilangkan genangan air kotor, di
antaranya dengan mengalirkan air atau menimbun atau mengeringkan barang atau
wadah yang memungkinkan sevagai tempat air tergenang.
2. Melakukan identifikasi dan menemukan penderita sedini mungkin akan
membantu dalam pencegahan penularan yang lebih besar (outbreaks)
3. Melakukan penyemprotan yang efektif dan efisien melalui kajian mendalam
tentang bionomik anopheles seperti waktu kebiasaan menggigit, jarang terbang, dan
resistensi terhadap insektisida
7
.
b. Berbasis Pribadi
1. Pencegahan gigitan nyamuk seperti :
Tidak keluar rumah anra senja dan malam hari, bila terpaksa gunakan pakaiaan yang
menutupi dan berwarna terang
Menggunakan repelan yang mengandung dimetilftalat atau zat antinyamuk lain
Membuat konstuksi rumah yang tahan nyamuk dengan memasang kasa antinyamuk pada
ventilasi udara atau jendela
Menggunakan kelambu yang mengandung insektisida (insecticide-treated mosquito net, ITN)
2. Pengobatan profilaksis bila memasuki daerah endemik meliputi :
Pada daerah dimana plasmodiumnya masih sensitif dengan klorokuin, diberikan klorokuin 300
mg basa dan 500 mg klorokuin fosfat untuk orang dewasa, seminggu 1 tablet, dimulai 1 minggu
sebelum masuk kr daerah tersebut sampai 4 minggu setelah meninggalkan tempat tersebut
Pada daerah resistensi klorokuin, pasien memerlukan pengobatan supresif, yaitu dengan
meflokuin 5 mg/kgBB/minggu atau doksisiklin 100 mg/hari atau sulfadoksin 500 mg/pirimetamin
25 mg (Suldox
R
), 3 tablet sekali minum.
3. Informasi tentang donor darah. Calon donor darah yang datang ke daerah
endemik dan berasal dari daerah nonendemik serta tidak menunjukkan gejala klinis
malaria, boleh mendonorkan darahnya selama 6 bulan sejak ia datang.
2.7 PENGOBATAN
Pengobatan malaria menurut keperluannya dibagi menjadi pencegahan bila obat
diberikan sebelum infeksi terjadi, pengobatan supresif bila obat diberikan untuk mencegah
timbulnya gejala klinis, pengobatan kuratif untuk pengobatan infeksi yang sudah terjadi terdiri
dari serangan akut dan radikal, dan pengobatan untuk mencegah transmisi/penularan bila obat
digunakan terhadap gametosit dalam darah
6,8
.
Pengobatan malaria dpat dilakukan secara rawat jalan atau rawat inap. Protokol untuk
pengobatan malaria rawat jalan/rawat inap sebagai berikut:
1. Klorokuin basa diberikan total 25 mg/kgBB selama 3 hari, dengan perincian
sebagai berikut : hari pertama 10 mg/kgBB (max. 600 mg basa), 6 jam kemudian
dilanjutkan dengan 10 mg/kgBb (max. 600 mg basa) dan 5 mg/kgBB pada 24 jam (max.
300 mg basa) + Primakuin 1 hari. Atau hari I dan II maisng-masing 10 mg/kgBB dan hari
III 5 mg/kgBB + Primakuin 1 hari.
2. Bila dengan pengobatan butir 1 ternyata pada hari ke IV masih demam atau hari
ke VIII masih dijumpai parasit dalam darah maka diberikan:
a. Kina Sulfat 30 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis, selama 7 hari atau
b. Fansidar atau suldox dengan dasar dosis pirimetamin 1-1,5 mg/kgBb atau sulfadoksin
20-30 mg/kgBB single dose (usia di atas 6 bulan)
3. Bila dengan pengobatan butir 2 pada hari IV masih demam atau hari ke VIII
masih dijumpai parasit maka :
a. Tetrasiklin HCl 50 mg.kgBB/kali, sehari 4 kali selama 7 hari + fansidar/suldox bila belum
mendapat medapat pengobatan butir 2a atau
b. Tetrasiklin HCl + kina sulfat bila sebelumnya mendapatkan pengobatan butir 2b. Dosis kina dan
fansidar/suldox sesuai butir 2a dan 2b (tetrasiklin hanya diberikan pada umur 8 tahun atau
lebih)
Obat yang dipakai untuk pengobatan malaria di Indonesia adalah klorokuin, primakuin,
kina pirimetamin, dan sulfadoksin. Obat antimalaria yang masih sangat terbatas di Indonesia
adalah Meflokuin, Halofantrin, Qinghaosu
6
.




BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Malaria merupakan penyakit yang masih menjadi permasalahan dalam kesehatan
masyarakat. Meskipun prevalensi penyakit malaria di dunia maupun di Indonesia menurun,
namun angka mortilitas dan morbiditas cukup tinggi khususnya pada daerah endemis seperti
daerah tropis dan subtropis. Jika ditinjau dari angka kejadian malaria di dunia maka angka
terbesar dialami oleh Afrika selatan di mana seorang anak meninggal setiap 45 detik akibat
malaria dan penyakit ini menyumbang sekitar 20% dari semua kematian anak di dunia Malaria
adalah penyakit yang mengancam kehidupan yang disebabkan oleh parasit yang ditularkan ke
manusia melalui gigitan nyamuk yang terinfeksi. Pada dasarnya penyakit malaria dapat dicegah
dengan melakukan intervensi dan perilaku hidup bersih dan sehat. Pengobatan dilakukan
berdasarkan tingkat kepeluan dengan menggunakan obat anti malaria seperti klorokuin,
primakuin, kina pirimetamin, dan sulfadoksin.
3.2 SARAN
Kita tidak perlu khawatir jika sakit, karena setiap penyakit ada obatnya. Namun jika tidak
terkena penyakit itu lebih baik. Penyakit malaria adalah salah satu penyakit reemerging, yakni
penyakit yang menular kembali secara massal, sehingga menjadi ancaman serius bagi
masyarakat. Pada dasarnya jika kita melakukan perilaku hidup bersih dan sehat serta menjaga
alam sekitar maka itu sudah lebih dari cukup untuk menghindarkan diri dari malaria. Namun
apabila menemukan gejala-gejala awal malaria segeralah ke puskesmas atau rumah sakit
terdekat untuk penanganan dan pengobatan lanjutan.


KEPUSTAKAAN

1. Depkes. Epidemiologi Malaria di Indonesia. Buletin Data dan Informasi Kesehatan. Jakarta,
Pusat Data dan Informasi Kesehatan, 2011.
2. World Health Organization. Malaria Fact sheet N94.WHO Media centre, 2011.
3. Depkes. Profil Kesehatan Indonesia 2008. Jakarta, Pusat Data dan Informasi Kesehatan,
2009.
4. Depkes. Indikator Kesehatan Indonesia 2005-2009. Jakarta, Pusat Data dan Informasi
Kesehatan, 2009.
5. Depkes. Profil Kesehatan Provinsi Sumatera Selatan 2010. Palembang, Pusat Data dan
Informasi Kesehatan, 2010.
6. Harijanto N. Malaria-Epidemiologi, Patogenesis, Manifestasi Klinis &
Penanganan.Jakarta,EGC, 1999.
7. Widoyono. Penyakit Tropis. Jakarta,Erlangga, 2008.
8. Rampengan. Penyakit Infeksi Pada Anak. Jakarta, EGC, 2007.
9. Paul D.Hoepricb. and M.Colin Jordan. Infectous Diseases. 1989
www.cdc.gov
www.who.int
www.google.com
mohon maaf, untuk pengobatan malaria saat ini (sejak tahun
2005) sudah memakai Artemisinin Based Combination Therapy
(ACT) dikarenakan klorokuin sudah resisten di beberapa daerah di
Indonesia.. bisa dilihat pada World Malaria Report atau
www.eliminasi.blogspot.com

You might also like