You are on page 1of 52

Pneumothorax

Pneumothorax adalah keadaan dimana terdapat udara atau gas dalam


rongga pleura. Pada kondisi normal, rongga pleura tidak terisi udara sehingga
paru-paru dapat leluasa mengembang terhadap rongga dada.
(3)

Rongga pleura adalah rongga yang terletak diantara selaput yang
melapisi paru-paru dan rongga dada.
(4)

Pneumotoraks adalah suatu keadaan terdapatnya udara atau gas di
dalam pleura yang menyebabkan kolapsnya paru yang terkena
(5).
Tersering
disebabkan oleh ruptur spontan pleura visceralis yang menimbulkan kebocoran
udarake rongga torak. Pneumotorak dapat terjadi berulang kali
(6).

Udara dalam kavum pleura ini dapat ditimbulkan oleh :
a) Robeknya pleura visceralis sehingga saat inspirasi udara yang berasal
dari alveolus akanmemasuki kavum pleura. Pneumothorax jenis ini
disebut sebagai closed pneumothorax. Apabila kebocoran pleura
visceralis berfungsi sebagai katup, maka udara yang masuk saatinspirasi
tak akan dapat keluar dari kavum pleura pada saat ekspirasi. Akibatnya,
udarasemakin lama semakin banyak sehingga mendorong mediastinum
kearah kontralateral danmenyebabkan terjadinya tension pneumothorax
b) .Robeknya dinding dada dan pleura parietalis sehingga terdapat
hubungan antara kavumpleura dengan dunia luar. Apabila lubang yang
terjadi lebih besar dari 2/3 diameter trakea,maka udara cenderung lebih
melewati lubang tersebut dibanding traktus respiratorius yangseharusnya.
Pada saat inspirasi, tekanan dalam rongga dada menurun sehingga udara
dari luar masuk ke kavum pleura lewat lubang tadi dan menyebabkan
kolaps pada paru ipsi lateral.Saat ekspirasi, tekanan rongga dada
meningkat, akibatnya udara dari kavum pleura keluar melalui lubang
tersebut. Kondisi ini disebut sebagai open pneumothorax
(3,6,7,9)


Klasifikasi Menurut penyebabnya, pneumotoraks dapat dikelompokkan
menjadi dua, yaitu
(2,5)
:
1. Pneumotoraks spontan Yaitu setiap pneumotoraks yang terjadi secara tiba-
tiba. Pneumotoraks tipe ini dapat diklasifikasikan lagi ke dalam dua jenis,
yaitu:
a. Pneumotoraks spontan primer, yaitu pneumotoraks yang terjadi secara
tiba-tiba tanpa diketahui sebabnya atau tanpa penyakit dasar yang
jelas. Lebih sering pada laki-laki muda sehat dibandingkan wanita.
Timbul akibat ruptur bulla kecil (12 cm) subpleural, terutama di bagian
puncak paru.
b. Pneumotoraks spontan sekunder, yaitu pneumotoraks yang terjadi
dengan didasari oleh riwayat penyakit paru yang telah dimiliki
sebelumnya, Tersering pada pasien bronkitis dan emfisema yang
mengalami ruptur emfisema subpleura atau bulla. Penyakit dasar lain:
Tb paru, asma lanjut, pneumonia, abses paruatau Ca paru. fibrosis
kistik, penyakit paru obstruktik kronis (PPOK), kanker paru-paru, asma,
dan infeksi paru.
2. Pneumotoraks traumatik, Yaitu pneumotoraks yang terjadi akibat adanya
suatu trauma, baik trauma penetrasi maupun bukan, yang menyebabkan
robeknya pleura, dinding dada maupun paru
(2,5)
.
Pneumotoraks tipe ini juga dapat diklasifikasikan lagi ke dalam dua jenis,
yaitu :
a. Pneumotoraks traumatik non-iatrogenik, yaitu pneumotoraks yang terjadi
karena jejas kecelakaan, misalnya jejas pada dinding dada, barotrauma.
b. Pneumotoraks traumatik iatrogenik, yaitu pneumotoraks yang terjadi akibat
komplikasi dari tindakan medis. Pneumotoraks jenis ini pun masih
dibedakan menjadi dua, yaitu :
1) Pneumotoraks traumatik iatrogenik aksidental Adalah suatu
pneumotoraks yang terjadi akibat tindakan medis karena
kesalahan atau komplikasi dari tindakan tersebut, misalnya pada
parasentesis dada, biopsi pleura.
2) Pneumotoraks traumatik iatrogenik artifisial (deliberate) Adalah
suatu pneumotoraks yang sengaja dilakukan dengan cara
mengisikan udara ke dalam rongga pleura. Biasanya tindakan ini
dilakukan untuk tujuan pengobatan, misalnya pada pengobatan
tuberkulosis sebelum era antibiotik, maupun untuk menilai
permukaan paru.
(2,5)

Dan berdasarkan jenis fistulanya, maka pneumotoraks dapat
diklasifikasikan ke dalam tiga jenis, yaitu
(8)
:
1. Pneumotoraks Tertutup (Simple Pneumothorax) Pada tipe ini, pleura dalam
keadaan tertutup (tidak ada jejas terbuka pada dinding dada), sehingga
tidak ada hubungan dengan dunia luar. Tekanan di dalam rongga pleura
awalnya mungkin positif, namun lambat laun berubah menjadi negatif
karena diserap oleh jaringan paru disekitarnya. Pada kondisi tersebut paru
belum mengalami re-ekspansi, sehingga masih ada rongga pleura,
meskipun tekanan di dalamnya sudah kembali negatif. Pada waktu terjadi
gerakan pernapasan, tekanan udara di rongga pleura tetap negatif.
2. Pneumotoraks Terbuka (Open Pneumothorax), Yaitu pneumotoraks
dimana terdapat hubungan antara rongga pleura dengan bronkus yang
merupakan bagian dari dunia luar (terdapat luka terbuka pada dada).
Dalam keadaan ini tekanan intrapleura sama dengan tekanan udara luar.
Pada pneumotoraks terbuka tekanan intrapleura sekitar nol. Perubahan
tekanan ini sesuai dengan perubahan tekanan yang disebabkan oleh
gerakan pernapasan
(8)
. Pada saat inspirasi tekanan menjadi negatif dan
pada waktu ekspirasi tekanan menjadi positif
(8)
. Selain itu, pada saat
inspirasi mediastinum dalam keadaan normal, tetapi pada saat ekspirasi
mediastinum bergeser ke arah sisi dinding dada yang terluka (sucking
wound)
(2).

3. Pneumotoraks Ventil (Tension Pneumothorax) Adalah pneumotoraks
dengan tekanan intrapleura yang positif dan makin lama makin bertambah
besar karena ada fistel di pleura viseralis yang bersifat ventil. Pada waktu
inspirasi udara masuk melalui trakea, bronkus serta percabangannya dan
selanjutnya terus menuju pleura melalui fistel yang terbuka
(8).
Waktu
ekspirasi udara di dalam rongga pleura tidak dapat keluar . Akibatnya
tekanan di dalam rongga pleura makin lama makin tinggi dan melebihi
tekanan atmosfer. Udara yang terkumpul dalam rongga pleura ini dapat
menekan paru sehingga sering menimbulkan gagal napas
(2).

Sedangkan menurut luasnya paru yang mengalami kolaps, maka
pneumotoraks dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu
(8)
:
1. Pneumotoraks parsialis, yaitu pneumotoraks yang menekan pada sebagian
kecil paru (< 50% volume paru).
2. Pneumotoraks totalis, yaitu pneumotoraks yang mengenai sebagian besar
paru (> 50% volume paru)

A. Etiologi
Etiologi Trauma thorax kebanyakan diakibatkan oleh kecelakaan lalu lintas yang
umumnya berupa trauma tumpul. Trauma tajam terutama disebabkan oleh
tikaman dan tembakan. Trauma pada bagian ini juga sering disertai dengan
cedera pada tempat lain misalnya abdomen, kepala, dan ekstremitas sehingga
merupakan cedera majemuk. Kelainan yang sering timbul secara umum pada
setiap trauma thorax baik tajam maupun tumpul yaitu
(3)
:
a. Kulit : dan jaringan lunak : luka, memar, dan emfisema subkutis
b. Tulang : fraktur costa, sternum, pernapasan paradoksal.
c. Pleura :Pneumothorax, hemothoraxhemopneumothorax, kilothorax,
serothorax
d. Jaringan paru: traumatic wet lug
e. Mediastinum: pneumomediastinum, robekan esofagus, robekan bronkus
f. Jantung: hemoperikardium, luka jantung
(3).


C. Patofisiologi
Paru-paru dibungkus oleh pleura parietalis dan pleura visceralis. Di antara
pleura parietalis danvisceralis terdapat cavum pleura. Cavum pleura normal
berisi sedikit cairan serous jaringan.Tekanan intrapleura selalu berupa tekanan
negatif. Tekanan negatif pada intrapleura membantu dalam proses respirasi.
Proses respirasi terdiri dari 2 tahap : fase inspirasi dan fase eksprasi. Padafase
inspirasi tekanan intrapleura : -9 s/d -12 cmH2O; sedangkan pada fase ekspirasi
tekananintrapleura: -3 s/d -6 cmH2O. Pneumotorak adalah adanya udara pada
cavum pleura. Adanya udara pada cavum pleura menyebabkan tekanan negatif
pada intrapleura tidak terbentuk. Sehingga akan mengganggu padaproses
respirasi.
Pneumotorak dapat dibagi berdasarkan penyebabnya (6,7,9) :
1. Pneumotorak spontan Oleh karena : primer (ruptur bleb), sekunder
(infeksi, keganasan), neonatal
2. Pneumotorak yang di dapat Oleh karena : iatrogenik, barotrauma,
trauma
Pneumotorak dapat dibagi juga menurut gejala klinis:
1. Pneumotorak simple : tidak diikuti gejala shock atau pre-shock
2. Tension Pnuemotorak : diikuti gejala shock atau pre-schock
Pneumotorak dapat dibagi berdasarkan ada tidaknya dengan hubungan luar
menjadi :
1.Open pneumotorak
2.Closed pneumotorak

Secara garis besar ke semua jenis pneumotorak mempunyai dasar
patofisiologi yang hampir sama.
Pneumotorak spontan, closed pneumotorak, simple pneumotorak, tension
pneumotorak, dan open pneumotorak. Pneumotorak spontan terjadi karena
lemahnya dinding alveolus dan pleura visceralis. Apabila dinding alveolus dan
pleura viceralis yang lemah ini pecah, maka akan ada fistel yang menyebabkan
udara masuk ke dalam cavum pleura. Mekanismenya pada saat inspirasi rongga
dada mengembang, disertai pengembangan cavum pleura yang kemudian
menyebabkan paru dipaksa ikut mengembang, seperti balon yang dihisap.
Pengembangan paru menyebabkan tekanan intraalveolar menjadi negatif
sehingga udara luar masuk. Pada pneumotorak spontan,paru-paru kolpas, udara
inspirasi ini bocor masuk ke cavum pleura sehingga tekanan intrapleura tidak
negatif. Pada saat inspirasi akan terjadi hiperekspansi cavum pleura akibatnya
menekan mediastinal ke sisi yang sehat. Pada saat ekspirasi mediastinal
kembali lagi ke posisi semula.Proses yang terjadi ini dikenal dengan mediastinal
flutter (6,7,9).
Pneumotorak ini terjadi biasanya pada satu sisi, sehingga respirasi paru
sisi sebaliknya masihbisa menerima udara secara maksimal dan bekerja dengan
sempurna.
Terjadinya hiperekspansi cavum pleura tanpa disertai gejala pre-shock
atau shock dikenal dengan simple pneumotorak. Berkumpulnya udara pada
cavum pleura dengan tidak adanya hubungan dengan lingkungan luar dikenal
dengan closed pneumotorak .Pada saat ekspirasi, udara juga tidak dipompakan
balik secara maksimal karena elastic recoil dari kerja alveoli tidak bekerja
sempurna. Akibatnya bilamana proses ini semakin berlanjut,hiperekspansi
cavum pleura pada saat inspirasi menekan mediastinal ke sisi yang sehat dan
saat ekspirasi udara terjebak pada paru dan cavum pleura karena luka yang
bersifat katup tertutup terjadilah penekanan vena cava,shunting udara ke paru
yang sehat, dan obstruksi jalan napas.Akibatnya dapat timbulah gejala pre-shock
atau shock oleh karena penekanan vena cava.Kejadian ini dikenal dengan
tension pneumotorak(6,7,9).
Pada open pneumotorak terdapat hubungan antara cavum pleura dengan
lingkunga luar. Open pneumotorak dikarenakan trauma penetrasi. Perlukaan
dapat inkomplit (sebatas pleura parietalis)atau komplit (pleura parietalis dan
visceralis). Bilamana terjadi open pneumotorak inkomplit pada saat inspirasi
udara luar akan masuk ke dalam cavum pleura. Akibatnya paru tidak dapat
mengembang karena tekanan intrapleura tidak negatif. Efeknya akan terjadi
hiperekspansi cavumpleura yang menekan mediastinal ke sisi paru yang sehat.
Saat ekspirasi mediastinal bergeser kemediastinal yang sehat. Terjadilah
mediastinal flutter. Bilamana open pneumotorak komplit maka saat inspirasi
dapat terjadi hiperekspansi cavum pleura mendesak mediastinal ke sisi paru
yang sehat dan saat ekspirasi udara terjebak pada cavum pleura dan paru
karena luka yang bersifat katup tertutup. Selanjutnya terjadilah penekanan
vena cava,shunting udara ke paru yang sehat, dan obstruksi jalan napas.
Akibatnya dapat timbulah gejala pre-shock atau shock oleh karena penekanan
vena cava. Kejadian inidikenal dengan tension pneumotorak (6,7,9).
D. Diagnosis
Dari anamnesis Sulit bernafas yang timbul mendadak dengan disertai
nyeri dada yang terkadang dirasakan menjalar ke bahu. Dapat disertai batuk dan
terkadang terjadi hemoptisis. Perlu ditanyakan adanya penyakit paru atau pleura
lain yang mendasari pneumotorak, dan menyingkirkan adan yapenyakit jantung.
Gejala
Gejalanya sangat bervariasi, tergantung kepada jumlah udara yang masuk
ke dalam rongga pleura dan luasnya paru-paru yang mengalami kolaps
(mengempis)
(10)
.
Gejalanya bisa berupa:
-Nyeri dada tajam yang timbul secara tiba-tiba, dan semakin nyeri jika
penderita menarik nafas dalam atau terbatuk.
- Sesak nafas
- Dada terasa sempit
- Mudah lelah
- Denyut jantung yang cepat
- Warna kulit menjadi kebiruan akibat kekurangan oksigen.
Gejala-gejala tersebut mungkin timbul pada saat istirahat atau tidur.
Gejala lainnya yang mungkin ditemukan:
- Hidung tampak kemerahan
- Cemas, stres, tegang
- Tekanan darah rendah (hipotensi)
(10).
Pemeriksaan fisik Sesak nafas dan takikardi yang dapat disertai sianosis
pada pneumotorak ventil atau ada penyakit dasar paru.
Inspeksi : Dapat terjadi pencembungan pada sisi yang sakit (hiper
ekspansi dinding dada), Pada waktu respirasi, bagian yang sakit
gerakannya tertinggal, Trakea dan jantung terdorong ke sisi yang sehat ,
deviasi trakhea, ruang interkostal melebar,
Palpasi : Pada sisi yang sakit, ruang antar iga dapat normal atau
melebar, Iktus jantung terdorong ke sisi toraks yang sehat , Fremitus
suara melemah atau menghilang pada sisi yang sakit
Perkusi : Suara ketok pada sisi sakit, hipersonor sampai timpani dan tidak
menggetar, Batas jantung terdorong ke arah toraks yang sehat, apabila
tekanan intrapleura tinggi, Pada tingkat yang berat terdapat gangguan
respirasi/sianosis, gangguanvaskuler/syok.
Auskultasi : Pada bagian yang sakit, suara napas melemah sampai
menghilang, Suara vokal melemah dan tidak menggetar serta bronkofoni
negative
(5,8).

Pemeriksaan Penunjang
1. Foto Rntgen Gambaran radiologis yang tampak pada foto rntgen kasus
pneumotoraks antara lain
(11):

a. Bagian pneumotoraks akan tampak lusen, rata dan paru yang kolaps
akan tampak garis yang merupakan tepi paru. Kadang-kadang paru
yang kolaps tidak membentuk garis, akan tetapi berbentuk lobuler
sesuai dengan lobus paru.
b. Paru yang mengalami kolaps hanya tampak seperti massa radio opaque
yang berada di daerah hilus. Keadaan ini menunjukkan kolaps paru
yang luas sekali. Besar kolaps paru tidak selalu berkaitan dengan berat
ringan sesak napas yang dikeluhkan.
c. Jantung dan trakea mungkin terdorong ke sisi yang sehat, spatium
intercostals melebar, diafragma mendatar dan tertekan ke bawah.
Apabila ada pendorongan jantung atau trakea ke arah paru yang sehat,
kemungkinan besar telah terjadi pneumotoraks ventil dengan tekanan
intra pleura yang tinggi.
d. Pada pneumotoraks perlu diperhatikan kemungkinan terjadi keadaan
sebagai berikut
(5)
:
1) Pneumomediastinum, terdapat ruang atau celah hitam pada
tepi jantung, mulai dari basis sampai ke apeks. Hal ini terjadi
apabila pecahnya fistel mengarah mendekati hilus, sehingga
udara yang dihasilkan akan terjebak di mediastinum.
2) Emfisema subkutan, dapat diketahui bila ada rongga hitam
dibawah kulit. Hal ini biasanya merupakan kelanjutan dari
pneumomediastinum. Udara yang tadinya terjebak di mediastinum
lambat laun akan bergerak menuju daerah yang lebih tinggi, yaitu
daerah leher. Di sekitar leher terdapat banyak jaringan ikat yang
mudah ditembus oleh udara, sehingga bila jumlah udara yang
terjebak cukup banyak maka dapat mendesak jaringan ikat
tersebut, bahkan sampai ke daerah dada depan dan belakang.
3) Bila disertai adanya cairan di dalam rongga pleura, maka akan
tampak permukaan cairan sebagai garis datar di atas diafragma
Foto R pneumotoraks (PA), bagian yang ditunjukkan dengan
anak panah merupakan bagian paru yang kolaps2. Analisa Gas
Darah
2. Analisis gas darah arteri dapat memberikan gambaran hipoksemi
meskipun pada kebanyakan pasien sering tidak diperlukan. Pada
pasien dengan gagal napas yang berat secara signifikan
meningkatkan mortalitas sebesar 10%.
3. CT-scan thorax
CT-scan toraks lebih spesifik untuk membedakan antara emfisema
bullosa dengan pneumotoraks, batas antara udara dengan cairan intra
dan ekstrapulmoner dan untuk membedakan antara pneumotoraks
spontan primer dan sekunder.
Komplikasi dapat berupa hemopneumotorak, pneumomediastinum
dan emfisemakutis, fistel bronkopleural dan empiema.

E. Penatalaksanaan
E 1. Penatalaksanaan Pneumothoraks (Umum)
Tujuan utama penatalaksanaan pneumotoraks adalah untuk
mengeluarkan udara dari rongga pleura dan menurunkan kecenderungan untuk
kambuh lagi. Pada prinsipnya, penatalaksanaan pneumotoraks adalah sebagai
berikut :
Primary Survey
Airway
Assessment :
perhatikan patensi airway
dengar suara napas
perhatikan adanya retraksi otot pernapasan dan gerakan dinding dada
Management :
inspeksi orofaring secara cepat dan menyeluruh, lakukan chin-lift dan
jaw thrust, hilangkan benda yang menghalangi jalan napas
Observasi dan Pemberian O2
Apabila fistula yang menghubungkan alveoli dan rongga pleura telah
menutup, maka udara yang berada didalam rongga pleura tersebut
akan diresorbsi. Laju resorbsi tersebut akan meningkat apabila
diberikan tambahan O2
(2)
. Observasi dilakukan dalam beberapa hari
dengan foto toraks serial tiap 12-24 jam pertama selama 2 hari .
Tindakan ini terutama ditujukan untuk pneumotoraks tertutup dan
terbuka
(8)
.
re-posisi kepala, pasang collar-neck
lakukan cricothyroidotomy atau traheostomi atau intubasi (oral / nasal)
Breathing
Assesment
Periksa frekwensi napas
Perhatikan gerakan respirasi
Palpasi toraks
Auskultasi dan dengarkan bunyi napas
Management:
Lakukan bantuan ventilasi bila perlu
Lakukan tindakan bedah emergency untuk atasi tension
pneumotoraks, open pneumotoraks, hemotoraks, flail chest
Circulation
Assesment
Periksa frekwensi denyut jantung dan denyut nadi
Periksa tekanan darah
Pemeriksaan pulse oxymetri
Periksa vena leher dan warna kulit (adanya sianosis)
Management
Resusitasi cairan dengan memasang 2 iv lines
Torakotomi emergency bila diperlukan
Operasi Eksplorasi vaskular emergency
Tindakan Bedah Emergency
1. Krikotiroidotomi
2. Trakheostomi
3. Tube Torakostomi
4. Torakotomi
5. Eksplorasi vascular

E 2. Penatalaksanaan Pneumothoraks (Spesifik)
E 2.a. Pneumotoraks Simpel
Adalah pneumotoraks yang tidak disertai peningkatan tekanan intra toraks yang
progresif.
Ciri:
Paru pada sisi yang terkena akan kolaps (parsial atau total)
Tidak ada mediastinal shift
PF: bunyi napas , hyperresonance (perkusi), pengembangan dada

Penatalaksanaan: WSD
E 2.b. Pneumotoraks Tension
Adalah pneumotoraks yang disertai peningkatan tekanan intra toraks yang
semakin lama semakin bertambah (progresif). Pada pneumotoraks tension
ditemukan mekanisme ventil (udara dapat masuk dengan mudah, tetapi tidak
dapat keluar).
Ciri:
Terjadi peningkatan intra toraks yang progresif, sehingga terjadi : kolaps
total paru, mediastinal shift (pendorongan mediastinum ke kontralateral),
deviasi trakhea , venous return hipotensi & respiratory distress berat.
Tanda dan gejala klinis: sesak yang bertambah berat dengan cepat,
takipneu, hipotensi, JVP , asimetris statis & dinamis
Merupakan keadaan life-threatening tdk perlu Ro

Penatalaksanaan:
1. Dekompresi segera: large-bore needle insertion (sela iga II, linea mid-
klavikula)
2. WSD

E 2.c. Open Pneumothorax
Terjadi karena luka terbuka yang cukup besar pada dada sehingga udara
dapat keluar dan masuk rongga intra toraks dengan mudah. Tekanan intra toraks
akan sama dengan tekanan udara luar. Dikenal juga sebagai sucking-wound .
Terjadi kolaps total paru.
Penatalaksanaan:
1. Luka tidak boleh ditutup rapat (dapat menciptakan mekanisme ventil)
2. Pasang WSD dahulu baru tutup luka
3. Singkirkan adanya perlukaan/laserasi pada paru-paru atau organ intra
toraks lain.
4. Umumnya disertai dengan perdarahan (hematotoraks)

Penatalaksanaan WSD
Water Seal Drainage (WSD) adalah Suatu sistem drainage yang
menggunakan water seal untuk mengalirkan udara atau cairan dari cavum
pleura ( rongga pleura).

TUJUANNYA:
Mengalirkan / drainage udara atau cairan dari rongga pleura untuk
mempertahankan tekanan negatif rongga tersebut
Dalam keadaan normal rongga pleura memiliki tekanan negatif dan
hanya terisi sedikit cairan pleura / lubrican.
Perubahan Tekanan Rongga Pleura
Tekanan Istirahat Inspirasi Ekspirasi
-Atmosfir 760 760 760
-Intrapulmoner 760 757 763
-Intrapleural 756 750 756
INDIKASI PEMASANGAN WSD :
Hemotoraks, efusi pleura
Pneumotoraks ( > 25 % )
Profilaksis pada pasien trauma dada yang akan dirujuk
Flail chest yang membutuhkan pemasangan ventilator

KONTRA INDIKASI PEMASANGAN :
Infeksi pada tempat pemasangan
Gangguan pembekuan darah yang tidak terkontrol
(6,7,9)

Tindakan Dekompresi
Hal ini sebaiknya dilakukan seawal mungkin pada kasuspneumotoraks
yang luasnya >15%. Pada intinya, tindakan inibertujuan untuk
mengurangi tekanan intra pleura dengan membuathubungan antara
rongga pleura dengan udara luar dengan cara
(2)
:
a. Menusukkan jarum melalui dinding dada terus masuk rongga pleura,
dengan demikian tekanan udara yang positif di rongga pleura akan
berubah menjadi negatif karena mengalir ke luar melalui jarum
tersebut
(2,8)
.
b. Membuat hubungan dengan udara luar melalui kontra ventil :
1) Dapat memakai infus set Jarum ditusukkan ke dinding dada sampai ke
dalam rongga pleura, kemudian infus set yang telah dipotong pada
pangkal saringan tetesan dimasukkan ke botol yang berisi air. Setelah
klem penyumbat dibuka, akan tampak gelembung udara yang keluar
dari ujung infus set yang berada di dalam botol
(8)
.
2) Jarum abbocath Jarum abbocath merupakan alat yang terdiri dari
gabungan jarum dan kanula. Setelah jarum ditusukkan pada posisi
yang tetap di dinding toraks sampai menembus ke rongga pleura,
jarum dicabut dan kanula tetap ditinggal. Kanula ini kemudian
dihubungkan dengan pipa plastik infus set. Pipa infuse ini selanjutnya
dimasukkan ke botol yang berisi air. Setelah klem penyumbat dibuka,
akan tampak gelembung udara yang keluar dari ujung infuse set yang
berada di dalam botol
(8)
.
3) Pipa water sealed drainage (WSD) Pipa khusus (toraks kateter) steril,
dimasukkan ke rongga pleura dengan perantaraan troakar atau
dengan bantuan klem penjepit. Pemasukan troakar dapat dilakukan
melalui celah yang telah dibuatdengan bantuan insisi kulit di sela iga
ke-4 pada lineamid aksilaris atau pada linea aksilaris posterior.
Selainitu dapat pula melalui sela iga ke-2 di garis midklavikula. Setelah
troakar masuk, maka toraks kateter segera dimasukkan ke rongga
pleura dan kemudian troakar dicabut, sehingga hanya kateter toraks
yang masih tertinggal di rongga pleura. Selanjutnya ujung kateter
toraks yang ada di dada dan pipa kaca WSD dihubungkan melalui pipa
plastik lainnya. Posisi ujung pipa kaca yang berada di botol sebaiknya
berada 2 cm di bawah permukaan air supaya gelembung udaradapat
dengan mudah keluar melalui perbedaan tekanan tersebut
(5,8)
.
Penghisapan dilakukan terus-menerus apabila tekanan intrapleura
tetap positif. Penghisapan ini dilakukan dengan memberi tekanan
negatif sebesar 10-20 cm H2O, dengan tujuan agar paru cepat
mengembang. Apabila paru telah mengembang maksimal dan tekanan
intra pleura sudah negative kembali, maka sebelum dicabut dapat
dilakukuan ujicoba terlebih dahulu dengan cara pipa dijepit atau
ditekuk selama 24 jam. Apabila tekanan dalam rongga pleura kembali
menjadi positif maka pipa belum bias dicabut. Pencabutan WSD
dilakukan pada saat pasien dalam keadaan ekspirasi maksimal
(2)
.

Pengobatan Tambahan
1. Apabila terdapat proses lain di paru, maka pengobatan tambahan
ditujukan terhadap penyebabnya. Misalnya : terhadap proses TB paru
diberi OAT, terhadap bronkhitis dengan obstruksi saluran napas diberi
antibiotik dan bronkodilator
(8)
.
2. Istirahat total untuk menghindari kerja paru yang berat .
3. Pemberian antibiotik profilaksis setelah setelah tindakan bedah dapat
dipertimbangkan, untuk mengurangi insidensi komplikasi, seperti
emfisema
(5)
.
Rehabilitasi
(8)
.
1. Penderita yang telah sembuh dari pneumotoraks harus dilakukan
pengobatan secara tepat untuk penyakit dasarnya.
2. Untuk sementara waktu, penderita dilarang mengejan, batuk atau
bersin terlalu keras.
3. Bila mengalami kesulitan defekasi karena pemberian antitusif, berilah
laksan ringan.
4. Kontrol penderita pada waktu tertentu, terutama kalau ada keluhan
batuk, sesak napas.
2. STATUS ASMATIKUS
Status asmatikus adalah kegawatan medis dimana gejala asma tidak membaik pada
pemberian bronkodilator inisial di unit gawat darurat. Biasanya, gejala muncul beberapa hari
setelah infeksi virus di saluran napas, diikuti pajanan terhadap alergen atau iritan, atau setelah
beraktivitas saat udara dingin. Seringnya, pasien telah menggunakan obat-obat antiinflamasi.
Pasien biasanya mengeluh rasa berat di dada, sesak napas yang semakin bertambah, batuk kering
dan mengi dan penggunaan beta-agonis yang meningkat (baik inhalasi maupun nebulisasi)
sampai hitungan menit.
Prevalensi dan severity kasus asma semakin meningkat, sejalan dengan peningkatan
kasus asma yang membutuhkan perawatan rumah sakit dan kematian akibat status asmatikus.
Status asmatikus biasanya lebih sering terjadi pada kelompok dengan sosialekonomi yang
rendah, karena mereka jarang kontrol ke dr. spesialis, yang meningkatkan resiko status
asmatikus.
Pasien yang terlambat mendapatkan perawatan medis, khususnya perawatan dengan
steroid sistemik, memiliki resiko kematian yang besar. Pasien dengan kondisi penyerta (misal:
penyakit paru restriksi, CHF, deformitas dinding dada) memiliki resiko kematian yang lebih
besar karena status asmatikus, demikian juga perokok yang biasanya terkena PPOK.

Diagnosis
Gambaranklinis Status Asmatikus :
Penderitatampaksakitberatdansianosis.
Sesaknafas, bicaraterputus-putus.
Banyakberkeringat,
bilakulitkeringmenunjukkankegawatansebabpenderitasudahjatuhdalamdehidrasiberat.
Pada keadaan awal kesadaran penderita mungkin masih cukup baik, tetapi lambat laun
dapat memburuk yang diawali dengan rasa cemas, gelisah kemudian jatuh ke dalam
koma.
Merencanakan pengobatan asma akut
Serangan asma ditandai dengan gejala sesak nafas, batuk, mengi ataupun kombinasi dari gejal
diatas. Derajat serangan dapat ringan sampai dengan berat yang mengancam nyawa. Serangan
bersifat akut.
Tujuan pengobatan asma untuk :
1. menghilangkan obstruksi dengan segera.
2. mengatasi hipoksia
3. mengembalikan fungsi paru ke normal secepat mungkin
4. mencegah serangan berikutnya
5. memberikan edukasi agar penderita dan keluarga dapat mengatasi pada awal sebelum dibawa
ke dokter.
Klasifikasi derajat beratnya asma

Pasien asma harus dirujuk bila
Pasien dengan resiko tinggi untuk kematian karena asma
Serangan asma beratAPE <60% nilai prediksi
Respon bronkodilator tidak segera
Tidak ada perubahan dalam 2-6 jam penggunaan kortikodteroid
Gejala asma semakin memburuk

Protap penanganan status asmatikus di RS Dr. Soetomo Setelah diagnosis ditegakkan segera
diikuti dengan langkah langkah sebagai berikut
1. Menetapkan beratnya penyakit dan beratnya terapi dengan menggunakan predictor index
scoring system
Tanda-tanda fisik Score 0 Score 1
Nadi < 120 mmHg >120 mmHg
Pernapasan <30x/menit >30x/menit
Pulsus paradoxus <18 mmHg >18 mmHg
PEFR >120l/mnt <120l/mnt
Sesak napas Ringan Berat
Retraksi Tidak ada Ada
Wheezing Ringan berat

Catatan: bila score lebih dari 4 harus masuk rumah sakit
Bila ada silent chestmerupakan tanda bahaya

Mengatasi Keadaan Gawat
a. Infus RL : D5 = 3: 1 dengan tetesan sesuai kebutuhan rehidrasi.
b. Oksigen 2 4 l/m melalui nasal prong.
c. Aminofilin bolus 5-6 mg / kgBB i.v pelan selama 20-30 menit dilanjutkan maintenance 20
mg/kgBB/hari diberikan secara drip.
d. Terbutalin 0,25 mg / 6 jam subcutan atau I.V. atau orciprenalin 0,25 mg / 6 jam subcutan atau
I.V. pelan (penelitian terakhir tidak berbeda bermakna9)
e. Hidrocortison sodium suksinat 4 mg / kgBB / 4 jam I.V ( 200 mg / 4 jam I.V. ) bisa juga
memakai dexamethason 20 mg / 6 jam I.V. selain itu dapat digunakan 160 mg
methilprednisolon dalam dosis terbagi 4 kali per hari, kortikosteroid diberikan sampai
membaik secara klinis dan laboratoris. Disamping parenteral diberikan juga Prednison peroral
3 x 10 mg per hari sampai keadaan membaik diberhentikan secara tappering off.
f. Antibiotik bila jelas ada infeksi
Oksitetrasiklin 2 x 100 mg I. M. atau Amoxillin / Ampicillin 2 x 1 g I.V. atau golongan
antibiotik yang sesuai dngan sumber infeksinya.
g. Menilai hasil tindakan dan terapi
Dengan keadaan klinis ( scoring) dan secara laboratoris yaitu pemeriksaan faal paru, analisa
gas darah , elektrolit, leukosit dan eosinofil serta monitoring EKG.

Pemeriksaan selama terapi
1 Pemeriksaan fisik lengkap
2 Pemeriksaan radiologi yaitu thoraks foto PA dan lateral
3 Pemeriksaan EKG
4 Pemeriksaan faal paru yaitu PEFR, FEV1, FVC
5 Analisa gas darah
6 Pemeriksaan elektrolit
7 Pemeriksaan darah lengkap , urine lengkap, feses lengkap
8 Pemeriksaan kimia darah
9 Pemeriksaan berat jenis plasma
10 Pemeriksaan sputum
11 Biakan darah bila perlu 18
12 Kadar aminofillin dalam darah ( 12 jam setelah terapi bolus )
Pemeriksaan analisis gas darah arteri sebaiknya dilakukan pada :
Serangan asma akut berat
Membutuhkan perawatan rumah sakit
Tidak respon dengan pengobatan/memburuk
Ada komplikasi antara lain pneumonia, pneuomothorax dll
Pada keadaan dibawah ini analisis gas darah mutlak dilakukan:
Mengancam jiwa
Tidak respon terhadap pengobatan/memburuk
Gagal napas
Sianosis, kesadaran menurun dan gelisah
Tindak lanjut
Bila terjadi kegagalan terapi
a. Asidosis respiratorik
Ventilasi diperbaiki
Pemberian Nabic
b. Hipoksia berat ( PaO2 < 50 mmHg )
Pemberian O2 4- 6 L/m dengan venturi mask
c. Gagal napas akut
alat bantu napas ( ventilator mekanik )
syarat :
apneu
kenaikan PaCO2 > 5 mmHg / jam disertai asidosis . respiratorik akut
Nilai absolut PaCO2 > 50 mmHg disertai asidosis . respiratorik akut
Hipoksia refrakter walau sudah diberi O

Algoritma penatalaksanaan asma di rumah sakit






























Penilaian awal
Riwayat dan pemeriksaan fisik (auskultasi, otot bantu napas, denyut
jantung, frekuensi napas) dan bila mungkin faal paru (APE atau VEP
1
,
saturasi O
2
). AGD dan pemeriksaan lain atas indikasi
Pengobatan awal
oksigenasi dengan kanul nasal
inhalasi agonis beta 2 kerja singkat (nebulisasi setiap 20 menit
dalam satu jam) atau agonis beta2 injeksi ( terbutalin 0,5 cc
subkutan atau adrenalin 1/1000 0,3 cc subkutan)
kortikosteroid sistemik :
- serangan asma berat
- tidak responsegera dengan bronkodilator
- dalam pengobatan kortikosteroid oral
Respon baik
Respon baik dan stabil
dalam 60 menit
Pemeriksaan fisik
normal
APE>70%
predikdi/nila terbaik
Saturasi O2 >90%
(95% pada anak)
Penilaian ulang setelah 1 jam
Pemeriksaan fisik, saturasi O2 dan pemeriksaan lain atas indikasi
Serangan asma ringan Serangan asma sedang/ berat Serangan asma mengancm jiwa
Respon tidak sempurna
Resiko tinggi distress
Pemeriksaan fisik :
gejala ringan sedang
APE> 50% tetapi
<70%
Saturasi O2 tidak
perbaikan
Respon buruk dalam 1 jam
Resiko tinggi disstres
Pemeriksaan fisik :
berat, gelisah dan
kesadaran menurun
APE<30%
PaCO2 > 45%
PaO2 < 60%
Dirawat di ICU
Inhalasi agonis beta2
anti-kolinergik
Kortikosteroid IV
Pertimbangkan agonis
beta 2 injeksi SC/IM/IV
Terapi oksigen
menggunakan masker
venturi
Aminofilin drip
Mungkin perlu intubasi
dan ventilasi mekanik
Dirawat di RS
Inhalasi agonis beta2
anti-kolinergik
Kortikosteroid
sistemik
Aminofilin drip
Terai oksigen
pertimbangkan kanul
nasal atau masker
venturi
Pantau APE, sat O2,
nadi, kadar teofilin
Pulang
Pengobatan
dilanjutkan dengan
inhalasi agonis beta2
Membutuhkan
kortikosteroid oral
Edukasi penderita
- Memakai obat yang
benar
- Ikuti rencana
pengonatan
sekanjutnya













Farmakologi
AGONIS BETA ADRENERGIK
Penggunaan obat reseptor beta 2 adrenergik pada otot polos bronkus menstimulasi enzym
adenylate cyclase compleks intracelluler, menghasilkan peningkatan produksi cyclic adenosine
monophosphates (cAMP), hal ini menyebabkan relaksasi otot polos, menghambat degranulasi sel
mast, dan stimulasi mucociliary transport. Variasi dari beta 2 adrenergik menyebabkan
perbedaan action, duration of actions, dan efek samping.
Adrenalin dapat diberikan secara inhalasi dan injeksi 0.1-0,5 ml dari pengenceran 1:1000
subkutan, telah digunakan sejak lama sebagai terapi awal dari asma. Adrenalin merupakan non
selektif simpatomimetik yang dapat menstimulus reseptor alfa, beta-1, beta-2. kerugiannya
adalah stimulasi sistem kardiovaskular, durasi aksi yang 19
singkat, dan mempercepat terjadinya takifilaksis. Adrenalin harus diberikan secara hati-hati pada
pasien tua, pada pasien tua, takikardia sebelum perawatan.
Isoproterenol menstimulasi baik beta-1 dan beta-2 reseptor. Menyebabkan takikardi dan
hipotensi dalam rangka bronkodilator. Isoproterenol biasanya diberikan aerosol (3 s/d 7 kali
inspirasi dalam, dalam bentuk solusio 1:1000 atau 1:200) bisa juga diberikan intravena pada
pasien anak dan dewasa.
Pada pasien asma muda tanpa ada kelainan kardiovaskular terapi awal adalah adrenalin 0,2
sampai 0,5 ml dari pengenceran 1:1000 sub kutan setiap 20 menit selama 3 kali pemberian,
lanjutkan dengan 0,5 ml isoproterenol dari pengenceran 1:200 nebuliser setiap 20 menit selama 3
kali pemberian. Ataupun biasa menggunakan aerosol beta2 agonis (albuterol 2,5 mg,
metaproterenol 15 mg, terbutalin 1,5-2,5 mg, isoetharine 2-5 mg) diberikan secara nebuliser
setiap 15 sampai 30 menit. Ketika menggunakan nebuliser encerkan dengan normal saline
sampai konsentrasi 2 tau 3 cc.
Semua beta adrenergik mempunyai efek pada kardiovaskular (berupa takikardi, palpitasi,
aritmia dan hipertensi) dan cerebral (berupa gelisah, tremor, nausea dizziness, dan nervous).

METHILXANTHINES
Theofilin dan ethylenediamine salt aminnophyline sangat berguna dalam terapi asma
akut. Mekanisme aksi dijelaskan dengan inhibitor cytoplasmic enzyme phosphodiesterase yang
mengkatalisis metabolisme cAMP. Efek utama theofilin adalah relaksasi otot polos bronkhial .
efek lain memperbaiki kontraksi diafragma, meningkatkan transport mucociliar, menghambat
pelepasan mediator hipersensitivitas dan menurunkan tekanan arteri pulmonal.
Theofilin ataupun aminofilin pada akut asma dapat diberikan bolus intravena kemudian
dilanjutkan dalam drip. Konsentrasi dalam plasma harus dipertahankan pada 10 sampai 20 ug/ml,
toksikasi akan uncul bila konsentrasi dalam plasma melebihi 20 ug/ml. tanda toksikasi meliputi
CNS dan GI termasuk gelisah, nyeri kepala, mual dan muntah, diare. Pada konsentrasi aminofilin
yang sangat tinggi pada plasam dapat menyebabkan aritmia, gangguan kesadaran dan akhirnya
meninggal.
Distribusi aminofilin sangat cepat melalui kompartemen extraceluler. Dosis aminofilin 1
mg/kgBB menaikan konsentrasi dalam serum plasma sebesar 2 ug/ml. Sekitar 85% dari dosis
theofilin di degradasi di hepar oleh Cytokrom P450 dan selebihnya diekresikan melalui urine.
Hal yang dapat menurunkan metabolisme adalah usia tua, congestive heart failure, dan gangguan
fungsi hepar sedangkan obat-obatan yang dapat menurunkan metabolisme aminofilin adalah
propranolol, erytromisin dan cimetidin. Yang meningkatkan metabolisme adalah kebiasaan
merokok, dan barbiturat.

KORTIKOSTEROID
Kortikosteroid saat ini digunakan secara luas pada asma bila beta agonis dan methyl
xanthin telah tak mampu. Mekanisme aksi melibatkan efek anti inflamasi, inhibisi asam
arakhidonat meningkatkan efek beta agonis dan menurunkan permeabilitas endotel vaskular
sehingga mencegah terjadinya edema.
Dosis terapi kortikosteroid pada asma kontroversial dan sampai saat ini belum ada kesepakatan.
Fanta dkk 1 mendemonstrasikan bahwa kortikosteroid infus (hydrocortison, bolus 2 mg/kg bb
dilanjutkan drip 0,5 mg/kg jam infus) bersama dengan penggunaan bolus aminofilin dan beta 2
agonis menghasilkan perbaikan yang bermakna dengan pengukuran FEV1 dalam 12 jam
perawatan.
Haskell dkk melakukan penelitian bahwa penggunaan Methylprednisolone 15 mg setiap 6
jam tidak menunjukkan keefektifan tetapi pasien yang mendapat 40mg menunjukkan perbaikan
yang bermakna pada perawatan hari kedua dan pada pasien yang mendapat 125 mg mendapat
perbaikan sejak hari pertama.
Efek samping dari penggunaan kortikosteroid intravena dosis tinggi adalah hiperglikemia
dan akut psikosis sehingga dihindarkan penggunaan pada penderita diabetes mellitus, perdarahan
GI track, presdisposisi untuk terjadinya infeksi. Pada terapi jangka lama penggunaan
kortikosteroid adalah meningkatkan katabolisme, retensi garam dan air, cushing sindroma,
osteoporosis dan pernah dilaporkan adanya fraktur patologis vertebra dan necrosis kaput femur.
Olehkarena komplikasi sistemik yang begitu berat maka saat ini mulai dikembangkan preparat
inhaler ataupun nebuliser untuk menggantikan preparat kortikosteroid sistemik.

ANTIKHOLINERGIK
Atropin dan preparat antikolinergik lain mempunyai efek bronkodilator yang rendah.
Mekanisme yang disuga kuat adalah inhibitor vagal bronkoconstriction. Pak dan rekan meneliti
pada penderita kronik obstruksi bahwa 0,025-0,05 mg/kg BB atropin inhalasi via nebuliser
menghasilkan perbaikan jalan nafas tetapi efek samping yang dihasilkan sangatlah besar berupa :
pengeringan membran mukosa, dysphoria, tachycardia, nyeri kepala dan gangguan buang air
kencing. Oleh karena efek samping yang begitu besar saat ini dikembangkan Ipatropin bromida
nebuliser menggantikan atropin karena preparat Ipatropin bromida mempunyai efek samping
yang lebih kecil.

CHROMOLIN
Cromolin adalah sel mast stabiliser yang berguna untuk profilaksis asma. Biasanya
digunakan pada asma dengan faktor pencetusnya olahraga. Cromolin tidak efektif pada serangan
asma yang bersifat akut karena pada penggunaan inhaler pernah dilaporkan terjadi
bronkhokontriksi.

ANTIBIOTIK
Antibiotik tidak rutin digunakan pada serangan asma akut, karena antibiotik tidak dapat
mengurangi efek bronkokonstriksi. Tetapi setelah serangan asma apabila dijumpai sputum yang
purulent haruslah diperiksa secara teliti karena bisa jadi inducer dari serangan asma adalah
adanya fokus infeksi saluran nafas.

ALFA-ADRENERGIK ANTAGONIS
Walaupun alfa-adrenergik antagonis mempunyai efek bronkodilator tetapi efek samping
adanya hipotensi sangatlah besar sehingga jarang digunakan pada serangan akut.

IMUNOTERAPI
Imunoterapi sangat membantu pada asma dengan trigger jelas atau asma dengan causa
alergi, terutama pada anak meskipun pada orang dewasa penelitian yang dilakukan tidak
menujukkan hasil yang signifikan. Imunoterapi tidak mempunyai peranan dalam manajemen
asma akut tetapi berperan untuk mencegah reaksi anfilaksis.






3. PPOK Eksaserbasi Akut
Eksaserbasi akut pada PPOK berarti timbulnya perburukan dibandingkan dengan kondisi
sebelumnya.Definisi eksaserbasi akut pada PPOK adalah kejadian akut dalam perjalanan alami
penyakit dengan karakteristik adanya perubahan basal sesak napas, batuk, dan/atau sputum yang
diluar batas normal dalam variasi hari ke hari (GOLD, 2009).
Penyebab eksaserbasi akut dapat primer yaitu infeksi trakeobronkial (biasanya karena virus),
atau sekunder berupa pneumonia, gagal jantung, aritmia, emboli paru, pneumotoraks spontan,
penggunaan oksigen yang tidak tepat, penggunaan obat-obatan (obat antidepresan, diuretik) yang
tidak tepat, penyakit metabolik (diabetes melitus, gangguan elektrolit), nutrisi buruk, lingkungan
memburuk atau polusi udara, aspirasi berulang, serta pada stadium akhir penyakit respirasi
(kelelahan otot respirasi) (PDPI, 2003).
Selain itu, terdapat faktor-faktor risiko yang menyebabkan pasien sering menjalani rawat inap
akibat eksaserbasi.Menurut penelitian Kessler dkk.(1999) terdapat faktor prediktif eksaserbasi
yang menyebabkan pasien dirawat inap.Faktor risiko yang signifikan adalah Indeks Massa
Tubuh yang rendah (IMT<20 kg/m2) dan pada pasien dengan jarak tempuh berjalan enam menit
yang terbatas (kurang dari 367 meter). Faktor risiko lainnya adalah adanya gangguan pertukaran
gas dan perburukan hemodinamik paru, yaitu PaO265 mmHg, PaCO2>44 mmHg, dan tekanan
arteri pulmoner rata-rata (Ppa) pada waktu istirahat > 18 mmHg.
Lamanya rawat inap setiap pasien bervariasi.Iglesia dkk.(2002) mendapatkan faktor prediktif
pasien dirawat inap lebih dari 3 hari, yaitu rawat inap pada saat akhir minggu, adanya kor
pulmonale, dan laju pernapasan yang tinggi.
Gejala eksaserbasi
1. Batuk makin sering/ hebat
2. Produksi sputum bertambah banyak
3. Sputum berubah warna
4. Sesak napas bertambah
5. Keterbatasan aktivitas bertambah
6. Terdapat gagal napas akut pada gagal napas kronik
7. Kesadaran menurun
Gejala utama berupa peningkatan sesak, produksi sputum meningkat, dan adanya perubahan
konsistensi atau warna sputum.Menurut Anthonisen dkk. (1987), eksaserbasi akut dapat dibagi
menjadi tiga tipe, yaitu tipe I (eksaserbasi berat) apabila memiliki 3 gejala utama, tipe II
(eksaserbasi sedang) apabila hanya memiliki 2 gejala utama, dan tipe III (eksaserbasi ringan)
apabila memiliki 1 gejala utama ditambah adanya infeksi saluran napas atas lebih dari 5 hari,
demam tanpa sebab lain, peningkatan batuk, peningkatan mengi atau peningkatan frekuensi
pernapasan > 20% baseline, atau frekuensi nadi > 20% baseline (Vestbo, 2006).
Penatalaksanaan PPOK Eksaserbasi Akut
Prinsip penatalaksanaan PPOK eksaserbasi akut adalah mengatasi segera eksaserbasi yang terjadi
dan mencegah terjadinya kematian. Risiko kematian dari eksaserbasi sangat berhubungan dengan
terjadinya asidosis respiratorik, adanya komorbid, dan kebutuhan akan alat ventilasi (GOLD,
2009). Penanganan eksaserbasi akut dapat dilaksanakan di rumah (untuk eksaserbasi yang
ringan) atau di rumah sakit (untuk eksaserbasi sedang dan berat).Penatalaksanaan eksaserbasi
akut di rumah sakit dapat dilakukan secara rawat jalan atau rawat inap dan dilakukan di
poliklinik rawat jalan, ruang rawat inap, unit gawat darurat, atau ruang ICU (PDPI, 2003).
Prinsip penatalaksanaan eksaserbasi PPOK
1. Optimalisasi penggunaan obat-obatan
a. Bronkodilator
o Agonis
2
kerja singkat kombinasi dengan antikolinergik melalui inhalasi (nebuliser)
(bukti A)
o Xantin intravena (bolus dan drip) (bukti B)
b. Kortikosteroid sistemik (bukti A)
c. Antibiotik
o Golongan makrolid baru (Azitromisin, Roksitromisin, Klaritromisin)
o Golongan kuinolon respirasi
o Sefalosporin generasi III/IV
d. Mukolitik
e. Ekspektoran
f. Terapi oksigen
g. Terapi nutrisi
h. Rehabilitasi fisis dan respirasi
i. Evaluasi progresifiti penyakit
j. Edukasi
Indikasi Rawat :
1. Peningkatan gejala (sesak, batuk) saat tidak beraktivitas
2. PPOK dengan derajat berat
3. Terdapat tanda-tanda sianosis dan atau edema
4. Disertai penyakit komorbid lain
5. Sering eksaserbasi
6. Didapatkan aritmia
7. Diagnosyik yang belum jelas
8. Usia lanjut
9. Infeksi saluran nafas berta
10. Gagal nafas akut pada gagal nafas kronik

Indikasi rawat ICU
1. Sesak berta setelah penanganan adekuat di ruang gawat darurat atau ruang rawat
2. Kesadaran menurun, letargi atau kelemahan otot-otot respirasi
3. Setelah pemberian oksigen tetapi terjadi hipoksemia atau perburukan PaO2 < 50 mmHg
atau PaCO
2
> 50 mmHg memerlukan ventilasi mekanis (invasive atau non invasif)
4. Memerlukan penggunaan ventilasi mekanis invasive
5. Ketidakstabilan hemodinamik







Algoritme penatalaksanaan PPOK eksaerbasi akut di rumah
dan pelayanan kesehatanprimer / Puskesmas













ALGORITMA PENATALAKSANAAN PPOK EKSASERBASI
AKUT DI RUMAH SAKIT

















Bronkodilator
- Nilai berat gejala (kesadaran, frekuensi napas,
pemeriksaan fisis)
- Analisis gas darah
- Foto thorak
1. Terapi oksigen
2. Bronkodilator
- Inhalasi/nebulizer
a. Agonis
2

b. Antikolinergik
- Intravena : metilxantin, bolus dan drip
3. Antibiotic
4. Kortikosteroid sistemik
5. Diuretik bila ada retensi cairan
Mengancam jiwa (gagal
napas akut)
Tidak mengancam jiwa
ICU Ruang rawat
Bronkodilator yang lebih dipilih pada terapi eksaserbasi PPOK adalah short-acting inhaled B2-
agonists. Jika respon segera dari obat ini belum tercapai, direkomendasikan menambahkan
antikolinergik, walaupun bukti ilmiah efektivitas kombinasi ini masih kontroversial.Walaupun
penggunaan klinisnya yang luas, peranan metilxantin dalam terapi eksaserbasi masih
kontroversial. Sekarang metilxantin (teofilin, aminofilin) dipertimbangkan sebagai terapi lini
kedua, ketika tidak ada respon yang adekuat dari penggunaan short-acting inhaled B2-agonists.
Tidak ada penelitian klinis yang mengevaluasi penggunaan long-acting inhaled B2-agonists
dengan/tanpa inhalasi glukokortikosteroid selama eksaserbasi (GOLD, 2009).
Bila rawat jalan B2-agonis dan antikolinergik harus diberikan dengan peningkatan dosis.Inhaler
masih cukup efektif bila digunakan dengan cara yang tepat, nebulizer dapat digunakan agar
bronkodilator lebih efektif. Hati-hati dengan penggunaan nebulizer yang memakai oksigen
sebagai kompresor, karena penggunaan oksigen 8-10 liter untuk menghasilkan uap dapat
menyebabkan retensi CO2.Golongan xantin dapat diberikan bersama-sama dengan bronkodilator
lainnya karena mempunyai efek memperkuat otot diafragma.Dalam perawatan di rumah sakit,
bronkodilator diberikan secara intravena dan nebulizer, dengan pemberian lebih sering perlu
monitor ketat terhadap timbulnya palpitasi sebagai efek samping bronkodilator (PDPI, 2003).
Kortikosteroid
Kortikosteroid oral/intravena direkomendasikan sebagai tambahan terapi pada penanganan
eksaserbasi PPOK.Dosis pasti yang direkomendasikan tidak diketahui, tetapi dosis tinggi
berhubungan dengan risiko efek samping yang bermakna.Dosis prednisolon oral sebesar 30-40
mg/hari selama 7-10 hari adalah efektif dan aman (GOLD, 2009). Menurut PDPI (2003),
kortikosteroid tidak selalu diberikan tergantung derajat berat eksaserbasi. Pada eksaserbasi
derajat sedang dapat diberikan prednison 30 mg/hari selama 1-2 minggu, pada derajat berat
diberikan secara intravena. Pemberian lebih dari dua minggu tidak memberikan manfaat yang
lebih baik, tetapi lebih banyak menimbulkan efek samping.
Antibiotik
Berdasarkan bukti terkini yang ada, antibiotik harus diberikan kepada (GOLD, 2009):
a. Pasien eksaserbasi yang mempunyai tiga gejala kardinal, yaitu peningkatan
volume sputum, sputum menjadi semakin purulen, dan peningkatan sesak
b. Pasien eksaserbasi yang mempunyai dua gejala kardinal, jika peningkatan
purulensi merupakan salah satu dari dua gejala tersebut
c. Pasien eksaserbasi yang memerlukan ventilasi mekanik.

Pemilihan antibiotik disesuaikan dengan pola kuman setempat dan komposisi
kombinasi antibiotik yang mutakhir. Pemberian antibiotik di rumah sakit sebaiknya per
drip atau intravena, sedangkan untuk rawat jalan bila eksaserbasi sedang sebaiknya
diberikan kombinasi dengan makrolid, dan bila ringan dapat diberikan tunggal.
Antibiotik yang dapat diberikan di Puskesmas yaitu lini I: Ampisilin, Kotrimoksasol,
Eritromisin, dan lini II: Ampisilin kombinasi Kloramfenikol, Eritromisin, kombinasi
Kloramfenikol dengan Kotrimaksasol ditambah dengan Eritromisin sebagai Makrolid
(PDPI, 2003).

Terapi Oksigen
Pada eksaserbasi akut terapi oksigen merupakan hal yang pertama dan utama, bertujuan untuk
memperbaiki hipoksemia dan mencegah keadaan yang mengancam jiwa, dapat dilakukan di
ruang gawat darurat, ruang rawat atau di ICU. Tingkat oksigenasi yang adekuat (PaO2>8,0 kPa,
60 mmHg atau SaO2>90%) mudah tercapai pada pasien PPOK yang tidak ada komplikasi, tetapi
retensi CO2 dapat terjadi secara perlahan-lahan dengan perubahan gejala yang sedikit sehingga
perlu evaluasi ketat hiperkapnia. Gunakan sungkup dengan kadar yang sudah ditentukan (ventury
mask) 24%, 28% atau 32%. Perhatikan apakah sungkup rebreathing atau non-rebreathing,
tergantung kadar PaCO2 dan PaO2. Bila terapi oksigen tidak dapat mencapai kondisi oksigenasi
adekuat, harus digunakan ventilasi mekanik (PDPI, 2003).

Ventilasi Mekanik
Tujuan utama penggunaan ventilasi mekanik pada PPOK eksaserbasi berat adalah
mengurangi mortalitas dan morbiditas, serta memperbaiki gejala. Ventilasi mekanik
terdiri dari ventilasi intermiten non invasif (NIV), baik yang menggunakan tekanan
negatif ataupun positif (NIPPV), dan ventilasi mekanik invasif dengan oro-tracheal tube
atau trakeostomi. Dahulukan penggunaan NIPPV, bila gagal dipikirkan penggunaan
ventilasi mekanik dengan intubasi. Penggunaan NIV telah dipelajari dalam beberapa
Randomized Controlled Trials pada kasus gagal napas akut, yang secara konsisten
menunjukkan hasil positif dengan angka keberhasilan 80-85%. Hasil ini menunjukkan
bukti bahwa NIV memperbaiki asidosis respiratorik, menurunkan frekuensi
pernapasan, derajat keparahan sesak, dan lamanya rawat inap (GOLD, 2009).

Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada PPOK adalah gagal napas kronik, gagal napas akut
pada gagal napas kronik, infeksi berulang, dan kor pulmonale. Gagal napas kronik
ditunjukkan oleh hasil analisis gas darah berupa PaO2<60 mmHg dan PaCO2>50
mmHg, serta pH dapat normal. Gagal napas akut pada gagal napas kronik ditandai oleh
sesak napas dengan atau tanpa sianosis, volume sputum bertambah dan purulen,
demam, dan kesadaran menurun. Pada pasien PPOK produksi sputum yang berlebihan
menyebabkan terbentuk koloni kuman, hal ini memudahkan terjadi infeksi berulang.
Selain itu, pada kondisi kronik ini imunitas tubuh menjadi lebih rendah, ditandai
dengan menurunnya kadar limfosit darah. Adanya kor pulmonale ditandai oleh P
pulmonal pada EKG, hematokrit>50 %, dan dapat disertai gagal jantung kanan (PDPI,
2003).

4. Kardiak Tamponade
Kardiak Tamponande adalah sindrom klinis yang disebabkan oleh akumulasi cairan dalam
rongga perikardium, sehingga pengisian ventrikel berkurang. Kardiak Tamponande adalah
keadaan darurat medis. Keseluruhan risiko kematian tergantung pada kecepatan diagnosis,
perawatan yang diberikan, dan penyebab yang mendasari tamponade tersebut. Tamponade
jantung adalah kompresi jantung yang terjadi ketika darah atau cairan menumpuk di ruang antara
miokardium (otot jantung) dan perikardium (kantung menutupi luar dari jantung).
Patofisiologi
perikardium, yang merupakan membran yang mengelilingi jantung, terdiri dari 2 lapisan.
Perikardium parietal tebal adalah lapisan berserat luar; perikardium viseral tipis adalah lapisan
serosa bagian dalam. Ruang perikardial biasanya berisi 20-50 mL cairan. Efusi perikardial dapat
serosa, serosanguineous, hemoragik, atau chylous.
3 fase perubahan hemodinamik pada tamponade.
1. Tahap I: akumulasi cairan perikardial menyebabkan peningkatan kekakuan ventrikel,
memerlukan tekanan pengisian yang lebih tinggi. Selama fase ini, tekanan ventrikel kiri
dan kanan mengisi lebih tinggi dari tekanan intrapericardial.
2. Tahap II: Dengan akumulasi cairan lebih lanjut, tekanan perikardial meningkat di atas
tekanan ventrikel mengisi, sehingga curah jantung berkurang.
3. Fase III: Penurunan lanjut dalam output jantung terjadi, yang karena equilibrium
perikardial dan ventrikel kiri (LV) mengisi tekanan.
Proses patofisiologis yang mendasari untuk pengembangan tamponade adalah nyata
berkurang karena tekanan diastolik mengisi distending transmural tidak cukup untuk mengatasi
tekanan intrapericardial meningkat. Takikardia adalah respon jantung awal untuk perubahan ini
untuk mempertahankan curah jantung.

Aliran balik vena sistemik juga diubah selama tamponade. Karena jantung adalah dikompresi
seluruh siklus jantung karena tekanan intrapericardial meningkat, aliran balik vena sistemik
terganggu dan runtuhnya ventrikel kanan dan kanan atrium terjadi. Karena tempat tidur vaskular
paru adalah sirkuit yang luas dan memenuhi persyaratan, darah preferentially terakumulasi di
sirkulasi vena, dengan mengorbankan LV mengisi. Hal ini menyebabkan cardiac output
berkurang dan aliran balik vena.

Jumlah cairan perikardial diperlukan untuk merusak jantung diastolik mengisi tergantung pada
tingkat akumulasi cairan dan kepatuhan perikardium. Akumulasi cepat sesedikit 150 mL cairan
dapat mengakibatkan peningkatan yang ditandai dalam tekanan perikardial dan sangat dapat
menghambat cardiac output [2], sedangkan 1000 mL cairan dapat terakumulasi selama periode
yang lebih lama tanpa efek signifikan pada pengisian diastolik jantung . Hal ini disebabkan
adaptif peregangan perikardium dari waktu ke waktu. Sebuah perikardium lebih sesuai dapat
memungkinkan akumulasi cairan yang cukup selama periode yang lebih lama tanpa menghina
hemodinamik.

Penyebab
Dalam kondisi ini, darah atau cairan terkumpul dalam perikardium. Hal ini untuk mencegah
ventrikel dari memperluas sepenuhnya. Tekanan berlebih dari cairan mencegah jantung dari
berfungsi normal.

Tamponade jantung dapat terjadi karena:

* Membedah aneurisma aorta (toraks)
* Stadium akhir kanker paru-paru
* Serangan jantung (infark miokard akut)
* Jantung operasi
* Perikarditis disebabkan oleh infeksi bakteri atau virus
* Luka ke jantung

Penyebab potensial lainnya termasuk:

* Tumor jantung
* Hypothyroidism
* Kegagalan ginjal
* Penempatan garis pusat
* Terapi radiasi dada
* Terbaru prosedur jantung invasif
* Operasi jantung terbuka terbaru
* Eritematosus sistemik lupus

Gejala

* Kecemasan, kegelisahan
* Nyeri dada
o Memancar ke leher, bahu, punggung, atau perut
o Sharp, menusuk
o diperparah dengan bernapas dalam atau batuk
* Kesulitan bernapas
* Ketidaknyamanan, kadang-kadang lega dengan duduk tegak atau bersandar ke depan
* Pingsan, pusing
* Pucat, abu-abu, atau kulit biru
* Palpitasi
* Cepat pernapasan
* Pembengkakan pada perut atau daerah lain

Gejala lainnya yang mungkin terjadi dengan gangguan ini:

* Pusing
* Mengantuk
* Tekanan darah rendah
* Lemah atau tidak ada pulsa

Ujian dan Tes

Tidak ada tes laboratorium khusus yang mendiagnosa tamponade. Echocardiogram biasanya
digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis.

Tanda:
* Tekanan darah bisa turun (pulsus paradoks) ketika orang menghirup dalam-dalam
* Pernapasan dapat cepat
* Denyut jantung dapat lebih dari 100 (normal adalah 60 sampai 100 denyut per menit)
* Suara jantung adalah pingsan selama pemeriksaan dengan stetoskop
* Pembuluh darah abnormal Leher dapat diperpanjang (buncit), tetapi tekanan darah mungkin
rendah
* Pulsa perifer mungkin lemah atau tidak ada

Pemeriksaan lainnya mungkin termasuk:

* Dada CT atau MRI dada
* Dada x-ray
* Angiografi koroner
* EKG

Pengobatan
Tamponade jantung adalah kondisi darurat yang membutuhkan rawat inap.
Cairan di sekitar jantung harus dikuras. Pericardiocentesis adalah prosedur yang
menggunakan jarum untuk mengeluarkan cairan dari kantung perikardial, jaringan yang
mengelilingi jantung.
Suatu prosedur untuk memotong dan menghapus bagian dari perikardium
(pericardiectomy bedah atau jendela perikardial) juga dapat dilakukan.
Cairan diberikan untuk menjaga tekanan darah normal sampai pericardiocentesis dapat
dilakukan. Obat-obat yang meningkatkan tekanan darah juga dapat membantu
mempertahankan kehidupan pasien.
Pasien dapat diberikan oksigen. Hal ini mengurangi beban kerja pada jantung dengan
mengurangi permintaan jaringan untuk aliran darah.
Penyebab tamponade harus diidentifikasi dan diobati.

Prognosis
Tamponade adalah hidup-mengancam jika tidak diobati. Hasilnya sering baik jika kondisi ini
segera diobati, tetapi tamponade mungkin akan kembali.

Kemungkinan Komplikasi
Gagal jantung
Edema paru
Kematian

5. Infark Miokard Akut (IMA)
Infark Miokard Akut (IMA) merupakan gangguan aliran darah ke jantung yang
menyebabkan sel otot jantung mati. Aliran darah di pembuluh darah terhenti setelah
terjadi sumbatan koroner akut, kecuali sejumlah kecil aliran kolateral dari pembuluh
darah di sekitarnya. Daerah otot di sekitarnya yang sama sekali tidak mendapat aliran
darah atau alirannya sangat sedikit sehingga tidak dapat mempertahankan fungsi otot
jantung, dikatakan mengalami infark.12
Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (ST Elevation Myocardial
Infarct) merupakan bagian dari spektrum sindrom koroner akut (SKA) yang terdiri atas
angina pektoris tak stabil, IMA tanpa elevasi ST, dan IMA dengan elevasi ST.11
Infark miokard akut dengan elevasi ST (STEMI) terjadi jika aliran darah koroner
menurun secara mendadak akibat oklusi trombus pada plak aterosklerotik yang sudah
ada sebelumnya. Trombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi injuri vaskuler,
dimana injuri ini dicetuskan oleh faktor-faktor seperti merokok, hipertensi, dan
akumulasi lipid.11
Faktor risiko biologis infark miokard yang tidak dapat diubah yaitu usia, jenis
kelamin, ras, dan riwayat keluarga, sedangkan faktor risiko yang masih dapat diubah,
sehingga berpotensi dapat memperlambat proses aterogenik, antara lain kadar serum
lipid, hipertensi, merokok, gangguan toleransi glukosa, dan diet yang tinggi lemak
jenuh, kolesterol, serta kalori.13
Setiap bentuk penyakit arteri koroner dapat menyebabkan IMA. Penelitian angiografi
menunjukkan bahwa sebagian besar IMA disebabkan oleh trombosis arteri koroner.
Gangguan pada plak aterosklerotik yang sudah ada (pembentukan fisura) merupakan
suatu nidus untuk pembentukan trombus.
Infark terjadi jika plak aterosklerotik mengalami fisur, ruptur, atau ulserasi,
sehingga terjadi trombus mural pada lokasi ruptur yang mengakibatkan oklusi arteri
koroner.
Penelitian histologis menunjukkan plak koroner cenderung mengalami ruptur jika
fibrous cap tipis dan inti kaya lipid (lipid rich core). Gambaran patologis klasik pada
STEMI terdiri atas fibrin rich red trombus, yang dipercaya menjadi dasar sehingga
STEMI memberikan respon terhadap terapi trombolitik.
Berbagai agonis (kolagen, ADP, epinefrin, serotonin) memicu aktivasi trombosit
pada lokasi ruptur plak, yang selanjutnya akan memproduksi dan melepaskan
tromboksan A2 (vasokonstriktor lokal yang poten). Selain itu, aktivasi trombosit
memicu perubahan konformasi reseptor glikoprotein IIb/IIIa. Reseptor mempunyai
afinitas tinggi terhadap sekuen asam amino pada protein adhesi yang terlarut (integrin)
seperti faktor von Willebrand (vWF) dan fibrinogen, dimana keduanya adalah molekul
multivalen yang dapat mengikat 2 platelet yang berbedasecara simultan, menghasilkan
ikatan platelet dan agregasi setelah mengalami konversi fungsinya.
Kaskade koagulasi diaktivasi oleh pajanan tissue activator pada sel endotel yang
rusak. Faktor VII dan X diaktivasi, mengakibatkan konversi protombin menjadi
trombin, yang kemudian mengkonversi fibrinogen menjadi fibrin. Arteri koroner yang
terlibat akan mengalami oklusi oleh trombus yang terdiri atas agregat trombosit dan
fibrin.
Penyebab lain infark tanpa aterosklerosis koronaria antara lain emboli arteri
koronaria, anomali arteri koronaria kongenital, spasme koronaria terisolasi, arteritis
trauma, gangguan hematologik, dan berbagai penyakit inflamasi sistemik.
A. Klasifikasi IMA
Infark Miokard Akut diklasifikasikan berdasar EKG 12 sandapan menjadi
- Infark miokard akut ST-elevasi (STEMI) : oklusi total dari arteri koroner yang
menyebabkan area infark yang lebih luas meliputi seluruh ketebalan
miokardium, yang ditandai dengan adanya elevasi segmen ST pada EKG.
- Infark miokard akut non ST-elevasi (NSTEMI) : oklusi sebagian dari arteri
koroner tanpa melibatkan seluruh ketebalan miokardium, sehingga tidak ada
elevasi segmen ST pada EKG.

B. Gejala dan Tanda IMA
Gambaran klinis infark miokard umumnya berupa nyeri dada substernum yang terasa
berat, menekan, seperti diremas-remas dan terkadang dijalarkan ke leher, rahang,
epigastrium, bahu, atau lengan kiri, atau hanya rasa tidak enak di dada. IMAsering
didahului oleh serangan angina pektoris pada sekitar 50% pasien. Namun, nyeri pada
IMA biasanya berlangsung beberapa jam sampai hari, jarang ada hubungannya dengan
aktivitas fisik dan biasanya tidak banyak berkurang dengan pemberian nitrogliserin,
nadi biasanya cepat dan lemah, pasien juga sering mengalami diaforesis. Pada sebagian
kecil pasien (20% sampai 30%) IMA tidak menimbulkan nyeri dada. Silent AMI ini
terutama terjadi pada pasien dengan diabetes mellitus dan hipertensi serta pada pasien
berusia lanjut.

C. Diagnosis IMA
Diagnosis IMA dengan elevasi segmen ST ditegakkan berdasarkan anamnesis
nyeri dada yang khas dan gambaran EKG adanya elevasi ST >2 mm, minimal pada 2
sandapan prekordial yang berdampingan atau >1 mm pada 2 sandapan ekstremitas.
Pemeriksaan enzim jantung terutama troponin T yang meningkat akan memperkuat
diagnosis.

D. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik menunjukkan pasien tampak cemas dan tidak bisa beristirahat
(gelisah) dengan ekstremitas pucat disertai keringat dingin. Kombinasi nyeri dada
substernal >30 menit dan banyak keringat merupakan kecurigaan kuat adanya STEMI.

E. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium harus dilakukan sebagai bagian dalam tatalaksana
pasien STEMI tetapi tidak boleh menghambat implementasi terapi reperfusi.
Pemeriksaan petanda kerusakan jantung yang dianjurkan adalah creatinin kinase (CK)
MB dan cardiac specific troponin (cTn) T atau cTn I, yang dilakukan secara serial. cTn
digunakan sebagai petanda optimal untuk pasien STEMI yang disertai kerusakan otot
skeletal karena pada keadaan ini juga akan diikuti peningkatan CKMB.
Terapi reperfusi diberikan segera mungkin pada pasien dengan elevasi ST dan gejala
IMA serta tidak tergantung pada pemeriksaan biomarker. Peningkatan nilai enzim
diatas dua kali nilai batas atas normal menunjukkan adanya nekrosis jantung.
1) CKMB meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam
10-24 jam dan kembali normal dalam 2-4 hari. Operasi jantung, miokarditis, dan
kardioversi elektrik dapat meningkatkan CKMB.
2) cTn : ada dua jenis yaitu cTn T dan cTn I. Enzim ini meningkat setelah 2 jam bila ada
infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan cTn T masih dapat dideteksi
setelah 5-14 hari sedangkan cTn I setelah 5-10 hari.
Pemeriksaan enzim jantung yang lain yaitu mioglobin, creatinine kinase (CK),
Lactic dehydrogenase (LDH). Reaksi non spesifik terhadap injuri miokard adalah
leukositosis polimorfonuklear yang dapat terjadi dalam beberapa jam setelah onset
nyeri dan menetap selama 3-7 hari. Leukosit dapat mencapai 12.000-15.000/ul.
Pemeriksaan EKG 12 sandapan harus dilakukan pada semua pasien dengan nyeri
dada atau keluhan yang dicurigai STEMI, dalam waktu 10 menit sejak kedatangan di
IGD sebagai landasan dalam menentukan keputusan terapi reperfusi. Jika pemeriksaan
EKG awal tidak diagnostik untuk STEMI tetapi pasien tetap simptomatik dan terdapat
kecurigaan kuat STEMI, EKG serian dengan interval 5-10 menit atau pemantauan EKG
12 sandapan secara kontinyu harus dilakukan untuk mendeteksi potensi perkembangan
elevasi segmen ST. EKG sisi kanan harus diambil pada pasien dengan STEMI inferior,
untuk mendeteksi kemungkinan infark ventrikel kanan.

F. Tatalaksana IMA
Tatalaksana IMA dengan elevasi ST mengacu pada data-data dari evidence based
berdasarkan penelitian randomized clinical trial yang terus berkembang ataupun
konsensus dari para ahli sesuai pedoman (guideline).
Tujuan utama tatalaksana IMA adalah mendiagnosis secara cepat,
menghilangkan nyeri dada, menilai dan mengimplementasikan strategi reperfusi yang
mungkin dilakukan, memberi antitrombotik dan anti platelet, memberi obat penunjang.
Terdapat beberapa pedoman (guideline) dalam tatalaksana IMA dengan elevasi ST yaitu
dari ACC/AHA tahun 2009 dan ESC tahun 2008, tetapi perlu disesuaikan dengan
kondisi sarana/fasilitas di masing-masing tempat dan kemampuan ahli yang ada.

H. Tatalaksana awal
- Tatalaksana Pra Rumah Sakit
Kematian di luar rumah sakit pada STEMI sebagian besar diakibatkan adanya
fibrilasi ventrikel mendadak, yang terjadi dalam 24 jam pertama onset gejala dan lebih
dari separuhnya terjadi pada jam pertama, sehingga elemen utama tatalaksana pra
hospital pada pasien yang dicurigai STEMI antara lain7,11,16 :
1. Pengenalan gejala oleh pasien dan segera mencari pertolongan medis.
2. Pemanggilan tim medis emergensi yang dapat melakukan tindakan resusitasi
3. Transportasi pasien ke rumah sakit yang mempunyai fasilitas ICCU/ICU serta
staf medis dokter dan perawat yang terlatih.
4. Melakukan terapi reperfusi
Keterlambatan terbanyak pada penanganan pasien disebabkan oleh lamanya
waktu mulai onset nyeri dada sampai keputusan pasien untuk meminta pertolongan.
Hal ini dapat diatasi dengan cara edukasi kepada masyarakat oleh tenaga profesional
kesehatan mengenai pentingnya tatalaksana dini.
Pemberian fibrinolitik pre hospital hanya bisa dikerjakan jika ada paramedik di
ambulans yang sudah terlatih untuk menginterpretasikan EKG dan managemen STEMI
serta ada kendali komando medis online yang bertanggung jawab pada pemberian
terapi.

Tatalaksana di ruang emergensi
Tujuan tatalaksana di IGD adalah mengurangi/menghilangkan nyeri dada,
mengidentifikasi cepat pasien yang merupakan kandidat terapi reperfusi segera, triase
pasien risiko rendah ke ruangan yang tepat di rumah sakit dan menghindari
pemulangan cepat pasien dengan STEMI.

Tatalaksana umum
1) Oksigen : suplemen oksigen harus diberikan ada pasien dengan saturasi oksigen
<90%. Pada semua pasien STEMI tanpa komplikasi dapat diberikan oksigen selama 6
jam pertama. 2) Nitrogliserin : Nitrogliserin sublingual dapat diberikan dengan aman
dengan dosis 0,4 mg dan dapat diberikan sampai 3 dosis dengan interval 5 menit.
- Morfin : sangat efektif dalam mengurangi nyeri dada dan merupakan analgesik pilihan
dalam tatalaksana STEMI. Morfin dapat diberikan dengan dosis 2-4 mg dan dapat
diulang dengan interval 5-15 menit sampai dosis total 20 mg.
- Aspirin : merupakan tatalaksana dasar pada pasien yang dicurigai STEMI dan efektif
pada spektrum sindroma koroner akut. Inhibisi cepat siklooksigenase trombosit yang
dilanjutkan reduksi kadar tromboksan A2 dicapai dengan absorpsi aspirin bukal dengan
dosis 160-325 mg di ruang emergensi. Selanjutnya diberikan peroral dengan dosis 75-
162 mg.
- Penyekat Beta : Jika morfin tidak berhasil mengurangi nyeri dada, pemberian
penyekat beta intravena dapat efektif. Regimen yang biasa diberikan adalah metoprolol
5 mg tiap 2-5 menit sampai total 3 dosis, dengan syarat frekuensi jantung > 60 kali
permenit, tekanan darah sistolik > 100 mmHg, interval PR < 0,24 detik dan ronki tidak
lebih dari 10 cm dari diafragma. Lima belas menit setelah dosis IV terakhir dilanjutkan
dengan metoprolol oral dengan dosis 50 mg tiap 6 jam selama 48 jam, dan dilanjutkan
dengan 100 mg tiap 12 jam.

Tatalaksana di rumah sakit
ICCU
1) Aktivitas : pasien harus istirahat dalam 12 jam pertama
2) Diet : pasien harus puasa atau hanya minum cair dengan mulut dalam 4-12 jam
karena risiko muntah dan aspirasi segera setelah infark miokard.
3) Sedasi : pasien memerlukan sedasi selama perawatan untuk mempertahankan
periode inaktivitas dengan penenang. Diazepam 5mg, oksazepam 15-30 mg, atau
lorazepam 0,5-2 mg, diberikan 3-4 kali/hari
4) Saluran pencernaan (bowels) : istirahat di tempat tidur dan efek menggunakan
narkotik untuk menghilangkan rasa nyeri sering mengakibatkan konstipasi, sehingga
dianjurkan penggunaan kursi komod di samping tempat tidur, diet tinggi serat, dan
penggunaan pencahar ringan secara rutin seperti dioctyl sodium sulfosuksinat (200
mg/hari).
I. Komplikasi IMA
1) Disfungsi Ventrikular

Ventrikel kiri mengalami perubahan serial dalam bentuk ukuran, dan ketebalan pada
segmen yang mengalami infark dan non infark. Proses ini disebut remodelling
ventricular yang sering mendahului berkembangnya gagal jantung secara klinis dalam
hitungan bulan atautahun pasca infark. Pembesaran ruang jantung secara keseluruhan
yang terjadi dikaitkan dengan ukuran dan lokasi infark, dengan dilatasi terbesar pasca
infark pada apeks ventrikel kiri yang mengakibatkan penurunan hemodinamik yang
nyata, lebih sering terjadi gagal jantung dan prognosis lebih buruk.

2) Gangguan Hemodinamik
Gagal pemompaan (pump failure) merupakan penyebab utama kematian di rumah sakit
pada STEMI. Perluasan nekrosis iskemia mempunyai korelasi dengan tingkat gagal
pompa dan mortalitas, baik pada awal (10 hari infark) dan sesudahnya.

3) Syok kardiogenik
Syok kardiogenik ditemukan pada saat masuk (10%), sedangkan 90% terjadi selama
perawatan. Biasanya pasien yang berkembang menjadi syok kardiogenik mempunyai
penyakit arteri koroner multivesel.

4) Infark ventrikel kanan
Infark ventrikel kanan menyebabkan tanda gagal ventrikel kanan yang berat (distensi
vena jugularis, tanda Kussmaul, hepatomegali) dengan atau tanpa hipotensi.

5) Aritmia paska STEMI
Mekanisme aritmia terkait infark mencakup ketidakseimbangan sistem saraf autonom,
gangguan elektrolit, iskemi, dan perlambatan konduksi di zona iskemi miokard.



6) Ekstrasistol ventrikel
Depolarisasi prematur ventrikel sporadis terjadi pada hampir semua pasien STEMI dan
tidak memerlukan terapi. Obat penyekat beta efektif dalam mencegah aktivitas ektopik
ventrikel pada pasien STEMI.

7) Takikardia dan fibrilasi ventrikel
Takikardi dan fibrilasi ventrikel dapat terjadi tanpa bahaya aritmia sebelumnya dalam
24 jam pertama.
8) Fibrilasi atrium
9) Aritmia supraventrikular
10) Asistol ventrikel
11) Bradiaritmia dan Blok
12) Komplikasi Mekanik
Ruptur muskulus papilaris, ruptur septum ventrikel, ruptur dinding ventrikel.

J. Prognosis
Terdapat beberapa sistem untuk menentukan prognosis paska IMA11 :
1) Klasifikasi Killip berdasarkan pemeriksaan fisik bedside sederhana, S3 gallop,
kongesti paru dan syok kardiogenik

Tabel 2. Klasifikasi Killip pada Infark Miokard Akut


2) Klasifikasi Forrester berdasarkan monitoring hemodinamik indeks jantung dan
pulmonary capillary wedge pressure (PCWP)


Tabel 3. Klasifikasi Forrester untuk Infark Miokard Akut


3) TIMI risk score adalah sistem prognostik paling akhir yang menggabungkan
anamnesis sederhana dan pemeriksaan fisik yang dinilai pada pasien STEMI yang
mendapat terapi fibrinolitik.
Tabel 4. TIMI Risk Score untuk STEMI

Terapi pada pasien STEMI
Terapi reperfusi
Reperfusi dini akan memperpendek lama oklusi koroner, meminimalkan derajat
disfungsi dan dilatasi vetrikel, serta mengurangi kemungkinan pasien STEMI
berkembang menjadi pump failure atau takiaritmia ventrikular yang maligna.
Sasaran terapi reperfusi adalah door to needle time untuk memulai terapi fibrinolitik
dapat dicapai dalam 30 menit atau door to balloon time untuk PCI dapat dicapai dalam
90 menit.
Waktu onset gejala untuk terapi fibrinolitik merupakan prediktor penting terhadap luas
infark dan outcome pasien. Efektivitas obat fibrinolitik dalam menghancurkan trombus
tergantung waktu. Terapi fibrinolitik yang diberikan dalam 2 jam pertama (terutama
dalam jam pertama) dapat menghentikan infark miokard dan menurunkan angka
kematian.
Pemilihan terapi reperfusi dapat melibatkan risiko perdarahan pada pasien. Jika terapi
reperfusi bersama-sama (tersedia PCI dan fibrinolitik), semakin tinggi risiko
perdarahan dengan terapi fibrinolitik, maka semakin kuat keputusan untuk memilih
PCI. Jika PCI tidak tersedia, maka terapi reperfusi farmakologis
harusmempertimbangkan manfaat dan risiko. Adanya fasilitas kardiologi intervensi
merupakan penentu utama apakah PCI dapat dikerjakan.
- Percutaneous Coronary Interventions (PCI)
Intervensi koroner perkutan (angioplasti atau stenting) tanpa didahului fibrinolitik
disebut PCI primer (primary PCI). PCI efektif dalam mengembalikan perfusi pada
STEMI jika dilakukan beberapa jam pertama infark miokard akut. PCI primer lebih
efektif dari fibrinolitik dalam membuka arteri koroner yang tersumbat dan dikaitkan
dengan outcome klinis jangka pendek dan jangka panjang yang lebih baik.11,16 PCI
primer lebih dipilih jika terdapat syok kardiogenik (terutama pada pasien < 75 tahun),
risiko perdarahan meningkat, atau gejala sudah ada sekurang-kurangnya 2 atau 3 jam
jika bekuan darah lebih matur dan kurang mudah hancur dengan obat fibrinolitik.
Namun, PCI lebih mahal dalam hal personil dan fasilitas, dan aplikasinya terbatas
berdasarkan tersedianya sarana, hanya di beberapa rumah sakit.
- Fibrinolitik
Terapi fibrinolitik lebih baik diberikan dalam 30 menit sejak masuk (door to needle time < 30
menit) bila tidak terdapat kontraindikasi. Tujuan utamanya adalah merestorasi patensi arteri
koroner dengan cepat. Terdapat beberapa macam obat fibrinolitik antara lain tissue plasminogen
activator (tPA), streptokinase, tenekteplase (TNK), reteplase (rPA), yang bekerja dengan
memicu konversi plasminogen menjadi plasmin yang akan melisiskan trombus fibrin.
Aliran di dalam arteri koroner yang terlibat digambarkan dengan skala kualitatif
sederhana dengan angiografi, disebut thrombolysis in myocardial infarction (TIMI)
grading system :

1) Grade 0 menunjukkan oklusi total (complete occlusion) pada arteri yang
terkena infark.
2) Grade 1 menunjukkan penetrasi sebagian materi kontras melewati titik
obstruksi tetapi tanpa perfusi vaskular distal.
3) Grade 2 menunjukkan perfusi pembuluh yang mengalami infark ke arah distal
tetapi dengan aliran yang melambat dibandingkan aliran arteri normal.
4) Grade 3 menunjukkan perfusi penuh pembuluh yang mengalami infark dengan
aliran normal.

Target terapi reperfusi adalah aliran TIMI grade 3 karena perfusi penuh pada arteri
koroner yang terkena infark menunjukkan hasil yang lebih baik dalam membatasi
luasnya infark, mempertahankan fungsi ventrikel kiri, dan menurunkan laju
mortalitas,11 selain itu, waktu merupakan faktor yang menentukan dalam reperfusi,
fungsi ventrikel kiri, dan prognosis penderita. Keuntungan ini lebih nyata bila
streptokinase diberikan dalam 6 jam pertama setelah timbulnya gejala, dengan anjuran
pemberian streptokinase sedini mungkin untuk mendapatkan hasil yang semaksimal
mungkin.
Indikasi terapi fibrinolitik :
Kelas I : 1) Jika tidak ada kontraindikasi, terapi fibrinolitik harus dilakukan pada pasien
STEMI dengan onset gejala < 12 jam dan elevasi ST > 0,1 mV pada minimal 2 sandapan
prekordial atau 2 sandapan ekstremitas
2) Jika tidak ada kontraindikasi, terapi fibrinolitik diberikan pada pasien STEMI
dengan onset gejala < 12 jam dan LBBB baru atau diduga baru.

Kelas II a
1) Jika tidak ada kontraindikasi, dipertimbangkan terapi fibrinolitik pada pasien STEMI
dengan onset gejala < 12 jam dan EKG 12 sandapan konsisten dengan infark miokard
posterior.
2) Jika tidak ada kontraindikasi, dipertimbangkan terapi fibrinolitik pada pasien STEMI
dengan onset mulai dari < 12 jam sampai 24 jam yang mengalami gejala iskemi yang
terus berlanjut dan elevasi ST 0,1 mV pada sekurang-kurangnya 2 sandapan prekordial
yang berdampingan atau minimal 2 sandapan ekstremitas.

Fibrinolitik dianggap berhasil jika terdapat resolusi nyeri dada dan penurunan elevasi
segmen ST > 50% dalam 90 menit pemberian fibrinolitik. Fibrinolitik tidak
menunjukkan hasil pada graft vena, sehingga pada pasien paska CABG datang dengan
IMA, cara reperfusi yang lebih disukai adalah PCI.
Kontraindikasi terapi fibrinolitik :
Kontraindikasi absolut
1) Setiap riwayat perdarahan intraserebral
2) Terdapat lesi vaskular serebral struktural (malformasi AV)
3) Terdapat neoplasia ganas intrakranial
4) Strok iskemik dalam 3 bulan kecuali strok iskemik akut dalam 3 jam
5) Dicurigai diseksi aorta
6) Perdarahan aktif atau diastasis berdarah (kecuali menstruasi)
7) Trauma muka atau kepala tertutup yang bermakna dalam 3 bulan
Kontraindikasi relatif
1) Riwayat hipertensi kronik berat, tak terkendali
2) Hipertensi berat tak terkendali saat masuk ( TDS >180 mmHg atau TDS>110 mmHg)
3) Riwayat strok iskemik sebelumnya >3 bulan, dementia, atau diketahui patologi
intrakranial yang tidak termasuk kontraindikasi
4) Resusitasi jantung paru traumatik atau lama (>10menit) atau operasi besar (<3
minggu)
5) Perdarahan internal baru dalam 2-4 minggu
6) Pungsi vaskular yang tak terkompresi
7) Untuk streptase / anisreplase : riwayat penggunaan >5 hari sebelumnya atau reaksi
alergi sebelumnya terhadap obat ini
8) Kehamilan
9) Ulkus peptikum aktif

10) Penggunaan antikoagulan baru : makin tinggi INR makin tinggi risiko perdarahan.
Obat Fibrinolitik
1) Streptokinase : merupakan fibrinolitik non-spesifik fibrin. Pasien yang pernah
terpajan dengan SK tidak boleh diberikan pajanan selanjutnya karena terbentuknya
antibodi. Reaksi alergi tidak jarang ditemukan. Manfaat mencakup harganya yang
murah dan insidens perdarahan intrakranial yang rendah.
2) Tissue Plasminogen Activator (tPA, alteplase) : Global Use of Strategies to Open
Coronary Arteries (GUSTO-1) trial menunjukkan penurunan mortalitas 30 hari sebesar
15% pada pasien yang mendapatkan tPA dibandingkan SK. Namun, tPA harganya lebih
mahal disbanding SK dan risiko perdarahan intrakranial sedikit lebih tinggi.
3) Reteplase (retevase) : INJECT trial menunjukkan efikasi dan keamanan sebanding
SK dan sebanding tPA pada GUSTO III trial dengan dosis bolus lebih mudah karena
waktu paruh yang lebih panjang.
4) Tenekteplase (TNKase) : Keuntungannya mencakup memperbaiki spesisfisitas fibrin
dan resistensi tinggi terhadap plasminogen activator inhibitor (PAI-1). Laporan awal
dari TIMI 1- B menunjukkan tenekteplase mempunyai laju TIMI 3 flow dan komplikasi
perdarahan yang sama dibandingkan dengan tPA.
Terapi fibrinolitik pada STEMI akut merupakan salah satu terapi yang manfaatnya
sudah terbukti, tetapi mempunyai beberapa risiko seperti perdarahan. Perdarahan
diklasifikasikan oleh American College of Surgeons' Advanced Trauma Life Support
(ATLS) menjadi :
- Kelas I : melibatkan hingga 15% dari volume darah, tidak ada perubahan dalam tanda-
tanda vital dan tidak diperlukan resusitasi cairan.
- Kelas II : melibatkan 15-30% dari volume darah total, ditandai dengan takikardi
(denyut jantung cepat) dan penyempitan perbedaan antara tekanan darah sistolik dan
diastolik. Transfusi darah biasanya tidak diperlukan.
- Kelas III : melibatkan hilangnya 30-40% dari volume sirkulasi darah yang ditandai
penurunan tekanan darah pasien, peningkatan denyut jantung, hipoperfusi perifer
(syok). Resusitasi cairan dengan kristaloid dan transfusi darah biasanya diperlukan.
- Kelas IV : melibatkan hilangnya> 40% dari volume sirkulasi darah. Batas kompensasi
tubuh tercapai dan resusitasi agresif diperlukan untuk mencegah kematian.

Terapi lainnya
ACC/AHA dan ESC merekomendasikan dalam tata laksana semua pasien dengan
STEMI diberikan terapi dengan menggunakan anti-platelet (aspirin, clopidogrel,
thienopyridin), anti-koagulan seperti Unfractionated Heparin (UFH) / Low Molecular
Weight Heparin (LMWH), nitrat, penyekat beta, ACE-inhibitor, dan Angiotensin
Receptor Blocker.

1) Anti trombotik
Antiplatelet dan antitrombin yang digunakan selama fase awal STEMI berperan dalam
memantapkan dan mempertahankan patensi arteri koroner yang terkait infark. Aspirin
merupakan antiplatelet standar pada STEMI. Menurut penelitian ISIS-2 pemberian
aspirin menurunkan mortalitas vaskuler sebesar 23% dan infark non fatal sebesar 49%.
Inhibitor glikoprotein menunjukkan manfaat untuk mencegah komplikasi trombosis
pada pasien STEMI yang menjalani PCI. Penelitian ADMIRAL membandingkan
abciximab dan stenting dengan placebo dan stenting, dengan hasil penurunan
kematian, reinfark, atau revaskularisasi segera pada 20 hari dan 6 bulan pada kelompok
abciximab dan stenting.
Obat antitrombin standar yang digunakan dalam praktek klinis adalah unfractionated
heparin (UFH). UFH intravena yang diberikan sebagai tambahan terapi regimen aspirin
dan obat trombolitik spesifik fibrin relatif, membantu trombolisis dan memantapkan
serta mempertahankan patensi arteri yang terkait infark. Dosis yang direkomendasikan
adalah bolus 60 U/kg (maksimum 4000U) dilanjutkan infus inisial 12 U/kg perjam
(maksimum 1000 U/jam). Activated partial thromboplastin time selama terapi
pemeliharaan harus mencapai 1,5-2 kali.
Pasien dengan infark anterior, disfungsi ventrikel kiri berat, gagal jantung kongestif,
riwayat emboli, trombus mural pada ekokardiografi 2 dimensi atau fibrilasi atrial
merupakan risiko tinggi tromboemboli paru sistemik dan harus mendapatkanterapi
antitrombin kadar terapetik penuh (UFH atau LMWH) selama dirawat, dilanjutkan
terapi warfarin minimal 3 bulan.

2) Thienopiridin
Clopidogrel (thienopiridin) berguna sebagai pengganti aspirin untuk pasien dengan
hipersensitivitas aspirin dan dianjurkan untuk pasien dengan STEMI yang menjalani
reperfusi primer atau fibrinolitik.7,8
Penelitian Acute Coronary Syndrome (ACOS) registry investigators mempelajari
pengaruh clopidogrel di samping aspirin pada pasien STEMI yang mendapat perawatan
dengan atau tanpa terapi reperfusi, menunjukkan penurunan kejadian kasus jantung
dan pembuluh darah serebral (kematian, reinfark non fatal, dan stroke non fatal).
Manfaat dalam penurunan kematian terbesar pada kelompok pasien tanpa terapi
reperfusi awal (8%), yang memiliki angka kematian 1 tahun tertinggi (18%).

3) Penyekat Beta
Penyekat beta pada pasien STEMI dapat memberikan manfaat yaitu manfaat yang
terjadi segera jika obat diberikan secara akut dan yang diberikan dalam jangka panjang
jika obat diberikan untuk pencegahan sekunder setelah infark. Penyekat beta intravena
memperbaiki hubungan suplai dan kebutuhan oksigen miokard, mengurangi nyeri,
mengurangi luasnya infark, dan menurunkan risiko kejadian aritmia ventrikel yang
serius.
Terapi penyekat beta pasca STEMI bermanfaat untuk sebagian besar pasien termasuk
yang mendapatkan terapi inhibitor ACE, kecuali pada pasien dengankontraindikasi
(pasien dengan gagal jantung atau fungsi sistolik ventrikel kiri sangat menurun, blok
jantung, hipotensi ortostatik, atau riwayat asma).

4) Inhibitor ACE
Inhibitor ACE menurunkan mortalitas pasca STEMI dan memberikan manfaat terhadap
penurunan mortalitas dengan penambahan aspirin dan penyekat beta. Penelitian SAVE,
AIRE, dan TRACE menunjukkan manfaat inhibitor ACE pada pasien dengan risiko
tinggi (pasien usia lanjut atau infark anterior, riwayat infark sebelumnya, dan atau
fungsi ventrikel kiri menurun global). Kejadian infark berulang juga lebih rendah pada
pasien yang mendapat inhibitor ACE menahun pasca infark.
Inhibitor ACE harus diberikan dalam 24 jam pertama pada pasien STEMI. Pemberian inhibitor
ACE harus dilanjutkan tanpa batas pada pasien dengan bukti klinis gagal jantung, pada pasien
dengan pemeriksaan imaging menunjukkan penurunan fungsi ventrikel kiri secara global, atau
terdapat abnormalitas gerakan dinding global, atau pasien hipertensif.

You might also like