Pneumothorax adalah keadaan dimana terdapat udara atau gas dalam
rongga pleura. Pada kondisi normal, rongga pleura tidak terisi udara sehingga paru-paru dapat leluasa mengembang terhadap rongga dada. (3)
Rongga pleura adalah rongga yang terletak diantara selaput yang melapisi paru-paru dan rongga dada. (4)
Pneumotoraks adalah suatu keadaan terdapatnya udara atau gas di dalam pleura yang menyebabkan kolapsnya paru yang terkena (5). Tersering disebabkan oleh ruptur spontan pleura visceralis yang menimbulkan kebocoran udarake rongga torak. Pneumotorak dapat terjadi berulang kali (6).
Udara dalam kavum pleura ini dapat ditimbulkan oleh : a) Robeknya pleura visceralis sehingga saat inspirasi udara yang berasal dari alveolus akanmemasuki kavum pleura. Pneumothorax jenis ini disebut sebagai closed pneumothorax. Apabila kebocoran pleura visceralis berfungsi sebagai katup, maka udara yang masuk saatinspirasi tak akan dapat keluar dari kavum pleura pada saat ekspirasi. Akibatnya, udarasemakin lama semakin banyak sehingga mendorong mediastinum kearah kontralateral danmenyebabkan terjadinya tension pneumothorax b) .Robeknya dinding dada dan pleura parietalis sehingga terdapat hubungan antara kavumpleura dengan dunia luar. Apabila lubang yang terjadi lebih besar dari 2/3 diameter trakea,maka udara cenderung lebih melewati lubang tersebut dibanding traktus respiratorius yangseharusnya. Pada saat inspirasi, tekanan dalam rongga dada menurun sehingga udara dari luar masuk ke kavum pleura lewat lubang tadi dan menyebabkan kolaps pada paru ipsi lateral.Saat ekspirasi, tekanan rongga dada meningkat, akibatnya udara dari kavum pleura keluar melalui lubang tersebut. Kondisi ini disebut sebagai open pneumothorax (3,6,7,9)
Klasifikasi Menurut penyebabnya, pneumotoraks dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu (2,5) : 1. Pneumotoraks spontan Yaitu setiap pneumotoraks yang terjadi secara tiba- tiba. Pneumotoraks tipe ini dapat diklasifikasikan lagi ke dalam dua jenis, yaitu: a. Pneumotoraks spontan primer, yaitu pneumotoraks yang terjadi secara tiba-tiba tanpa diketahui sebabnya atau tanpa penyakit dasar yang jelas. Lebih sering pada laki-laki muda sehat dibandingkan wanita. Timbul akibat ruptur bulla kecil (12 cm) subpleural, terutama di bagian puncak paru. b. Pneumotoraks spontan sekunder, yaitu pneumotoraks yang terjadi dengan didasari oleh riwayat penyakit paru yang telah dimiliki sebelumnya, Tersering pada pasien bronkitis dan emfisema yang mengalami ruptur emfisema subpleura atau bulla. Penyakit dasar lain: Tb paru, asma lanjut, pneumonia, abses paruatau Ca paru. fibrosis kistik, penyakit paru obstruktik kronis (PPOK), kanker paru-paru, asma, dan infeksi paru. 2. Pneumotoraks traumatik, Yaitu pneumotoraks yang terjadi akibat adanya suatu trauma, baik trauma penetrasi maupun bukan, yang menyebabkan robeknya pleura, dinding dada maupun paru (2,5) . Pneumotoraks tipe ini juga dapat diklasifikasikan lagi ke dalam dua jenis, yaitu : a. Pneumotoraks traumatik non-iatrogenik, yaitu pneumotoraks yang terjadi karena jejas kecelakaan, misalnya jejas pada dinding dada, barotrauma. b. Pneumotoraks traumatik iatrogenik, yaitu pneumotoraks yang terjadi akibat komplikasi dari tindakan medis. Pneumotoraks jenis ini pun masih dibedakan menjadi dua, yaitu : 1) Pneumotoraks traumatik iatrogenik aksidental Adalah suatu pneumotoraks yang terjadi akibat tindakan medis karena kesalahan atau komplikasi dari tindakan tersebut, misalnya pada parasentesis dada, biopsi pleura. 2) Pneumotoraks traumatik iatrogenik artifisial (deliberate) Adalah suatu pneumotoraks yang sengaja dilakukan dengan cara mengisikan udara ke dalam rongga pleura. Biasanya tindakan ini dilakukan untuk tujuan pengobatan, misalnya pada pengobatan tuberkulosis sebelum era antibiotik, maupun untuk menilai permukaan paru. (2,5)
Dan berdasarkan jenis fistulanya, maka pneumotoraks dapat diklasifikasikan ke dalam tiga jenis, yaitu (8) : 1. Pneumotoraks Tertutup (Simple Pneumothorax) Pada tipe ini, pleura dalam keadaan tertutup (tidak ada jejas terbuka pada dinding dada), sehingga tidak ada hubungan dengan dunia luar. Tekanan di dalam rongga pleura awalnya mungkin positif, namun lambat laun berubah menjadi negatif karena diserap oleh jaringan paru disekitarnya. Pada kondisi tersebut paru belum mengalami re-ekspansi, sehingga masih ada rongga pleura, meskipun tekanan di dalamnya sudah kembali negatif. Pada waktu terjadi gerakan pernapasan, tekanan udara di rongga pleura tetap negatif. 2. Pneumotoraks Terbuka (Open Pneumothorax), Yaitu pneumotoraks dimana terdapat hubungan antara rongga pleura dengan bronkus yang merupakan bagian dari dunia luar (terdapat luka terbuka pada dada). Dalam keadaan ini tekanan intrapleura sama dengan tekanan udara luar. Pada pneumotoraks terbuka tekanan intrapleura sekitar nol. Perubahan tekanan ini sesuai dengan perubahan tekanan yang disebabkan oleh gerakan pernapasan (8) . Pada saat inspirasi tekanan menjadi negatif dan pada waktu ekspirasi tekanan menjadi positif (8) . Selain itu, pada saat inspirasi mediastinum dalam keadaan normal, tetapi pada saat ekspirasi mediastinum bergeser ke arah sisi dinding dada yang terluka (sucking wound) (2).
3. Pneumotoraks Ventil (Tension Pneumothorax) Adalah pneumotoraks dengan tekanan intrapleura yang positif dan makin lama makin bertambah besar karena ada fistel di pleura viseralis yang bersifat ventil. Pada waktu inspirasi udara masuk melalui trakea, bronkus serta percabangannya dan selanjutnya terus menuju pleura melalui fistel yang terbuka (8). Waktu ekspirasi udara di dalam rongga pleura tidak dapat keluar . Akibatnya tekanan di dalam rongga pleura makin lama makin tinggi dan melebihi tekanan atmosfer. Udara yang terkumpul dalam rongga pleura ini dapat menekan paru sehingga sering menimbulkan gagal napas (2).
Sedangkan menurut luasnya paru yang mengalami kolaps, maka pneumotoraks dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu (8) : 1. Pneumotoraks parsialis, yaitu pneumotoraks yang menekan pada sebagian kecil paru (< 50% volume paru). 2. Pneumotoraks totalis, yaitu pneumotoraks yang mengenai sebagian besar paru (> 50% volume paru)
A. Etiologi Etiologi Trauma thorax kebanyakan diakibatkan oleh kecelakaan lalu lintas yang umumnya berupa trauma tumpul. Trauma tajam terutama disebabkan oleh tikaman dan tembakan. Trauma pada bagian ini juga sering disertai dengan cedera pada tempat lain misalnya abdomen, kepala, dan ekstremitas sehingga merupakan cedera majemuk. Kelainan yang sering timbul secara umum pada setiap trauma thorax baik tajam maupun tumpul yaitu (3) : a. Kulit : dan jaringan lunak : luka, memar, dan emfisema subkutis b. Tulang : fraktur costa, sternum, pernapasan paradoksal. c. Pleura :Pneumothorax, hemothoraxhemopneumothorax, kilothorax, serothorax d. Jaringan paru: traumatic wet lug e. Mediastinum: pneumomediastinum, robekan esofagus, robekan bronkus f. Jantung: hemoperikardium, luka jantung (3).
C. Patofisiologi Paru-paru dibungkus oleh pleura parietalis dan pleura visceralis. Di antara pleura parietalis danvisceralis terdapat cavum pleura. Cavum pleura normal berisi sedikit cairan serous jaringan.Tekanan intrapleura selalu berupa tekanan negatif. Tekanan negatif pada intrapleura membantu dalam proses respirasi. Proses respirasi terdiri dari 2 tahap : fase inspirasi dan fase eksprasi. Padafase inspirasi tekanan intrapleura : -9 s/d -12 cmH2O; sedangkan pada fase ekspirasi tekananintrapleura: -3 s/d -6 cmH2O. Pneumotorak adalah adanya udara pada cavum pleura. Adanya udara pada cavum pleura menyebabkan tekanan negatif pada intrapleura tidak terbentuk. Sehingga akan mengganggu padaproses respirasi. Pneumotorak dapat dibagi berdasarkan penyebabnya (6,7,9) : 1. Pneumotorak spontan Oleh karena : primer (ruptur bleb), sekunder (infeksi, keganasan), neonatal 2. Pneumotorak yang di dapat Oleh karena : iatrogenik, barotrauma, trauma Pneumotorak dapat dibagi juga menurut gejala klinis: 1. Pneumotorak simple : tidak diikuti gejala shock atau pre-shock 2. Tension Pnuemotorak : diikuti gejala shock atau pre-schock Pneumotorak dapat dibagi berdasarkan ada tidaknya dengan hubungan luar menjadi : 1.Open pneumotorak 2.Closed pneumotorak
Secara garis besar ke semua jenis pneumotorak mempunyai dasar patofisiologi yang hampir sama. Pneumotorak spontan, closed pneumotorak, simple pneumotorak, tension pneumotorak, dan open pneumotorak. Pneumotorak spontan terjadi karena lemahnya dinding alveolus dan pleura visceralis. Apabila dinding alveolus dan pleura viceralis yang lemah ini pecah, maka akan ada fistel yang menyebabkan udara masuk ke dalam cavum pleura. Mekanismenya pada saat inspirasi rongga dada mengembang, disertai pengembangan cavum pleura yang kemudian menyebabkan paru dipaksa ikut mengembang, seperti balon yang dihisap. Pengembangan paru menyebabkan tekanan intraalveolar menjadi negatif sehingga udara luar masuk. Pada pneumotorak spontan,paru-paru kolpas, udara inspirasi ini bocor masuk ke cavum pleura sehingga tekanan intrapleura tidak negatif. Pada saat inspirasi akan terjadi hiperekspansi cavum pleura akibatnya menekan mediastinal ke sisi yang sehat. Pada saat ekspirasi mediastinal kembali lagi ke posisi semula.Proses yang terjadi ini dikenal dengan mediastinal flutter (6,7,9). Pneumotorak ini terjadi biasanya pada satu sisi, sehingga respirasi paru sisi sebaliknya masihbisa menerima udara secara maksimal dan bekerja dengan sempurna. Terjadinya hiperekspansi cavum pleura tanpa disertai gejala pre-shock atau shock dikenal dengan simple pneumotorak. Berkumpulnya udara pada cavum pleura dengan tidak adanya hubungan dengan lingkungan luar dikenal dengan closed pneumotorak .Pada saat ekspirasi, udara juga tidak dipompakan balik secara maksimal karena elastic recoil dari kerja alveoli tidak bekerja sempurna. Akibatnya bilamana proses ini semakin berlanjut,hiperekspansi cavum pleura pada saat inspirasi menekan mediastinal ke sisi yang sehat dan saat ekspirasi udara terjebak pada paru dan cavum pleura karena luka yang bersifat katup tertutup terjadilah penekanan vena cava,shunting udara ke paru yang sehat, dan obstruksi jalan napas.Akibatnya dapat timbulah gejala pre-shock atau shock oleh karena penekanan vena cava.Kejadian ini dikenal dengan tension pneumotorak(6,7,9). Pada open pneumotorak terdapat hubungan antara cavum pleura dengan lingkunga luar. Open pneumotorak dikarenakan trauma penetrasi. Perlukaan dapat inkomplit (sebatas pleura parietalis)atau komplit (pleura parietalis dan visceralis). Bilamana terjadi open pneumotorak inkomplit pada saat inspirasi udara luar akan masuk ke dalam cavum pleura. Akibatnya paru tidak dapat mengembang karena tekanan intrapleura tidak negatif. Efeknya akan terjadi hiperekspansi cavumpleura yang menekan mediastinal ke sisi paru yang sehat. Saat ekspirasi mediastinal bergeser kemediastinal yang sehat. Terjadilah mediastinal flutter. Bilamana open pneumotorak komplit maka saat inspirasi dapat terjadi hiperekspansi cavum pleura mendesak mediastinal ke sisi paru yang sehat dan saat ekspirasi udara terjebak pada cavum pleura dan paru karena luka yang bersifat katup tertutup. Selanjutnya terjadilah penekanan vena cava,shunting udara ke paru yang sehat, dan obstruksi jalan napas. Akibatnya dapat timbulah gejala pre-shock atau shock oleh karena penekanan vena cava. Kejadian inidikenal dengan tension pneumotorak (6,7,9). D. Diagnosis Dari anamnesis Sulit bernafas yang timbul mendadak dengan disertai nyeri dada yang terkadang dirasakan menjalar ke bahu. Dapat disertai batuk dan terkadang terjadi hemoptisis. Perlu ditanyakan adanya penyakit paru atau pleura lain yang mendasari pneumotorak, dan menyingkirkan adan yapenyakit jantung. Gejala Gejalanya sangat bervariasi, tergantung kepada jumlah udara yang masuk ke dalam rongga pleura dan luasnya paru-paru yang mengalami kolaps (mengempis) (10) . Gejalanya bisa berupa: -Nyeri dada tajam yang timbul secara tiba-tiba, dan semakin nyeri jika penderita menarik nafas dalam atau terbatuk. - Sesak nafas - Dada terasa sempit - Mudah lelah - Denyut jantung yang cepat - Warna kulit menjadi kebiruan akibat kekurangan oksigen. Gejala-gejala tersebut mungkin timbul pada saat istirahat atau tidur. Gejala lainnya yang mungkin ditemukan: - Hidung tampak kemerahan - Cemas, stres, tegang - Tekanan darah rendah (hipotensi) (10). Pemeriksaan fisik Sesak nafas dan takikardi yang dapat disertai sianosis pada pneumotorak ventil atau ada penyakit dasar paru. Inspeksi : Dapat terjadi pencembungan pada sisi yang sakit (hiper ekspansi dinding dada), Pada waktu respirasi, bagian yang sakit gerakannya tertinggal, Trakea dan jantung terdorong ke sisi yang sehat , deviasi trakhea, ruang interkostal melebar, Palpasi : Pada sisi yang sakit, ruang antar iga dapat normal atau melebar, Iktus jantung terdorong ke sisi toraks yang sehat , Fremitus suara melemah atau menghilang pada sisi yang sakit Perkusi : Suara ketok pada sisi sakit, hipersonor sampai timpani dan tidak menggetar, Batas jantung terdorong ke arah toraks yang sehat, apabila tekanan intrapleura tinggi, Pada tingkat yang berat terdapat gangguan respirasi/sianosis, gangguanvaskuler/syok. Auskultasi : Pada bagian yang sakit, suara napas melemah sampai menghilang, Suara vokal melemah dan tidak menggetar serta bronkofoni negative (5,8).
Pemeriksaan Penunjang 1. Foto Rntgen Gambaran radiologis yang tampak pada foto rntgen kasus pneumotoraks antara lain (11):
a. Bagian pneumotoraks akan tampak lusen, rata dan paru yang kolaps akan tampak garis yang merupakan tepi paru. Kadang-kadang paru yang kolaps tidak membentuk garis, akan tetapi berbentuk lobuler sesuai dengan lobus paru. b. Paru yang mengalami kolaps hanya tampak seperti massa radio opaque yang berada di daerah hilus. Keadaan ini menunjukkan kolaps paru yang luas sekali. Besar kolaps paru tidak selalu berkaitan dengan berat ringan sesak napas yang dikeluhkan. c. Jantung dan trakea mungkin terdorong ke sisi yang sehat, spatium intercostals melebar, diafragma mendatar dan tertekan ke bawah. Apabila ada pendorongan jantung atau trakea ke arah paru yang sehat, kemungkinan besar telah terjadi pneumotoraks ventil dengan tekanan intra pleura yang tinggi. d. Pada pneumotoraks perlu diperhatikan kemungkinan terjadi keadaan sebagai berikut (5) : 1) Pneumomediastinum, terdapat ruang atau celah hitam pada tepi jantung, mulai dari basis sampai ke apeks. Hal ini terjadi apabila pecahnya fistel mengarah mendekati hilus, sehingga udara yang dihasilkan akan terjebak di mediastinum. 2) Emfisema subkutan, dapat diketahui bila ada rongga hitam dibawah kulit. Hal ini biasanya merupakan kelanjutan dari pneumomediastinum. Udara yang tadinya terjebak di mediastinum lambat laun akan bergerak menuju daerah yang lebih tinggi, yaitu daerah leher. Di sekitar leher terdapat banyak jaringan ikat yang mudah ditembus oleh udara, sehingga bila jumlah udara yang terjebak cukup banyak maka dapat mendesak jaringan ikat tersebut, bahkan sampai ke daerah dada depan dan belakang. 3) Bila disertai adanya cairan di dalam rongga pleura, maka akan tampak permukaan cairan sebagai garis datar di atas diafragma Foto R pneumotoraks (PA), bagian yang ditunjukkan dengan anak panah merupakan bagian paru yang kolaps2. Analisa Gas Darah 2. Analisis gas darah arteri dapat memberikan gambaran hipoksemi meskipun pada kebanyakan pasien sering tidak diperlukan. Pada pasien dengan gagal napas yang berat secara signifikan meningkatkan mortalitas sebesar 10%. 3. CT-scan thorax CT-scan toraks lebih spesifik untuk membedakan antara emfisema bullosa dengan pneumotoraks, batas antara udara dengan cairan intra dan ekstrapulmoner dan untuk membedakan antara pneumotoraks spontan primer dan sekunder. Komplikasi dapat berupa hemopneumotorak, pneumomediastinum dan emfisemakutis, fistel bronkopleural dan empiema.
E. Penatalaksanaan E 1. Penatalaksanaan Pneumothoraks (Umum) Tujuan utama penatalaksanaan pneumotoraks adalah untuk mengeluarkan udara dari rongga pleura dan menurunkan kecenderungan untuk kambuh lagi. Pada prinsipnya, penatalaksanaan pneumotoraks adalah sebagai berikut : Primary Survey Airway Assessment : perhatikan patensi airway dengar suara napas perhatikan adanya retraksi otot pernapasan dan gerakan dinding dada Management : inspeksi orofaring secara cepat dan menyeluruh, lakukan chin-lift dan jaw thrust, hilangkan benda yang menghalangi jalan napas Observasi dan Pemberian O2 Apabila fistula yang menghubungkan alveoli dan rongga pleura telah menutup, maka udara yang berada didalam rongga pleura tersebut akan diresorbsi. Laju resorbsi tersebut akan meningkat apabila diberikan tambahan O2 (2) . Observasi dilakukan dalam beberapa hari dengan foto toraks serial tiap 12-24 jam pertama selama 2 hari . Tindakan ini terutama ditujukan untuk pneumotoraks tertutup dan terbuka (8) . re-posisi kepala, pasang collar-neck lakukan cricothyroidotomy atau traheostomi atau intubasi (oral / nasal) Breathing Assesment Periksa frekwensi napas Perhatikan gerakan respirasi Palpasi toraks Auskultasi dan dengarkan bunyi napas Management: Lakukan bantuan ventilasi bila perlu Lakukan tindakan bedah emergency untuk atasi tension pneumotoraks, open pneumotoraks, hemotoraks, flail chest Circulation Assesment Periksa frekwensi denyut jantung dan denyut nadi Periksa tekanan darah Pemeriksaan pulse oxymetri Periksa vena leher dan warna kulit (adanya sianosis) Management Resusitasi cairan dengan memasang 2 iv lines Torakotomi emergency bila diperlukan Operasi Eksplorasi vaskular emergency Tindakan Bedah Emergency 1. Krikotiroidotomi 2. Trakheostomi 3. Tube Torakostomi 4. Torakotomi 5. Eksplorasi vascular
E 2. Penatalaksanaan Pneumothoraks (Spesifik) E 2.a. Pneumotoraks Simpel Adalah pneumotoraks yang tidak disertai peningkatan tekanan intra toraks yang progresif. Ciri: Paru pada sisi yang terkena akan kolaps (parsial atau total) Tidak ada mediastinal shift PF: bunyi napas , hyperresonance (perkusi), pengembangan dada
Penatalaksanaan: WSD E 2.b. Pneumotoraks Tension Adalah pneumotoraks yang disertai peningkatan tekanan intra toraks yang semakin lama semakin bertambah (progresif). Pada pneumotoraks tension ditemukan mekanisme ventil (udara dapat masuk dengan mudah, tetapi tidak dapat keluar). Ciri: Terjadi peningkatan intra toraks yang progresif, sehingga terjadi : kolaps total paru, mediastinal shift (pendorongan mediastinum ke kontralateral), deviasi trakhea , venous return hipotensi & respiratory distress berat. Tanda dan gejala klinis: sesak yang bertambah berat dengan cepat, takipneu, hipotensi, JVP , asimetris statis & dinamis Merupakan keadaan life-threatening tdk perlu Ro
Penatalaksanaan: 1. Dekompresi segera: large-bore needle insertion (sela iga II, linea mid- klavikula) 2. WSD
E 2.c. Open Pneumothorax Terjadi karena luka terbuka yang cukup besar pada dada sehingga udara dapat keluar dan masuk rongga intra toraks dengan mudah. Tekanan intra toraks akan sama dengan tekanan udara luar. Dikenal juga sebagai sucking-wound . Terjadi kolaps total paru. Penatalaksanaan: 1. Luka tidak boleh ditutup rapat (dapat menciptakan mekanisme ventil) 2. Pasang WSD dahulu baru tutup luka 3. Singkirkan adanya perlukaan/laserasi pada paru-paru atau organ intra toraks lain. 4. Umumnya disertai dengan perdarahan (hematotoraks)
Penatalaksanaan WSD Water Seal Drainage (WSD) adalah Suatu sistem drainage yang menggunakan water seal untuk mengalirkan udara atau cairan dari cavum pleura ( rongga pleura).
TUJUANNYA: Mengalirkan / drainage udara atau cairan dari rongga pleura untuk mempertahankan tekanan negatif rongga tersebut Dalam keadaan normal rongga pleura memiliki tekanan negatif dan hanya terisi sedikit cairan pleura / lubrican. Perubahan Tekanan Rongga Pleura Tekanan Istirahat Inspirasi Ekspirasi -Atmosfir 760 760 760 -Intrapulmoner 760 757 763 -Intrapleural 756 750 756 INDIKASI PEMASANGAN WSD : Hemotoraks, efusi pleura Pneumotoraks ( > 25 % ) Profilaksis pada pasien trauma dada yang akan dirujuk Flail chest yang membutuhkan pemasangan ventilator
KONTRA INDIKASI PEMASANGAN : Infeksi pada tempat pemasangan Gangguan pembekuan darah yang tidak terkontrol (6,7,9)
Tindakan Dekompresi Hal ini sebaiknya dilakukan seawal mungkin pada kasuspneumotoraks yang luasnya >15%. Pada intinya, tindakan inibertujuan untuk mengurangi tekanan intra pleura dengan membuathubungan antara rongga pleura dengan udara luar dengan cara (2) : a. Menusukkan jarum melalui dinding dada terus masuk rongga pleura, dengan demikian tekanan udara yang positif di rongga pleura akan berubah menjadi negatif karena mengalir ke luar melalui jarum tersebut (2,8) . b. Membuat hubungan dengan udara luar melalui kontra ventil : 1) Dapat memakai infus set Jarum ditusukkan ke dinding dada sampai ke dalam rongga pleura, kemudian infus set yang telah dipotong pada pangkal saringan tetesan dimasukkan ke botol yang berisi air. Setelah klem penyumbat dibuka, akan tampak gelembung udara yang keluar dari ujung infus set yang berada di dalam botol (8) . 2) Jarum abbocath Jarum abbocath merupakan alat yang terdiri dari gabungan jarum dan kanula. Setelah jarum ditusukkan pada posisi yang tetap di dinding toraks sampai menembus ke rongga pleura, jarum dicabut dan kanula tetap ditinggal. Kanula ini kemudian dihubungkan dengan pipa plastik infus set. Pipa infuse ini selanjutnya dimasukkan ke botol yang berisi air. Setelah klem penyumbat dibuka, akan tampak gelembung udara yang keluar dari ujung infuse set yang berada di dalam botol (8) . 3) Pipa water sealed drainage (WSD) Pipa khusus (toraks kateter) steril, dimasukkan ke rongga pleura dengan perantaraan troakar atau dengan bantuan klem penjepit. Pemasukan troakar dapat dilakukan melalui celah yang telah dibuatdengan bantuan insisi kulit di sela iga ke-4 pada lineamid aksilaris atau pada linea aksilaris posterior. Selainitu dapat pula melalui sela iga ke-2 di garis midklavikula. Setelah troakar masuk, maka toraks kateter segera dimasukkan ke rongga pleura dan kemudian troakar dicabut, sehingga hanya kateter toraks yang masih tertinggal di rongga pleura. Selanjutnya ujung kateter toraks yang ada di dada dan pipa kaca WSD dihubungkan melalui pipa plastik lainnya. Posisi ujung pipa kaca yang berada di botol sebaiknya berada 2 cm di bawah permukaan air supaya gelembung udaradapat dengan mudah keluar melalui perbedaan tekanan tersebut (5,8) . Penghisapan dilakukan terus-menerus apabila tekanan intrapleura tetap positif. Penghisapan ini dilakukan dengan memberi tekanan negatif sebesar 10-20 cm H2O, dengan tujuan agar paru cepat mengembang. Apabila paru telah mengembang maksimal dan tekanan intra pleura sudah negative kembali, maka sebelum dicabut dapat dilakukuan ujicoba terlebih dahulu dengan cara pipa dijepit atau ditekuk selama 24 jam. Apabila tekanan dalam rongga pleura kembali menjadi positif maka pipa belum bias dicabut. Pencabutan WSD dilakukan pada saat pasien dalam keadaan ekspirasi maksimal (2) .
Pengobatan Tambahan 1. Apabila terdapat proses lain di paru, maka pengobatan tambahan ditujukan terhadap penyebabnya. Misalnya : terhadap proses TB paru diberi OAT, terhadap bronkhitis dengan obstruksi saluran napas diberi antibiotik dan bronkodilator (8) . 2. Istirahat total untuk menghindari kerja paru yang berat . 3. Pemberian antibiotik profilaksis setelah setelah tindakan bedah dapat dipertimbangkan, untuk mengurangi insidensi komplikasi, seperti emfisema (5) . Rehabilitasi (8) . 1. Penderita yang telah sembuh dari pneumotoraks harus dilakukan pengobatan secara tepat untuk penyakit dasarnya. 2. Untuk sementara waktu, penderita dilarang mengejan, batuk atau bersin terlalu keras. 3. Bila mengalami kesulitan defekasi karena pemberian antitusif, berilah laksan ringan. 4. Kontrol penderita pada waktu tertentu, terutama kalau ada keluhan batuk, sesak napas. 2. STATUS ASMATIKUS Status asmatikus adalah kegawatan medis dimana gejala asma tidak membaik pada pemberian bronkodilator inisial di unit gawat darurat. Biasanya, gejala muncul beberapa hari setelah infeksi virus di saluran napas, diikuti pajanan terhadap alergen atau iritan, atau setelah beraktivitas saat udara dingin. Seringnya, pasien telah menggunakan obat-obat antiinflamasi. Pasien biasanya mengeluh rasa berat di dada, sesak napas yang semakin bertambah, batuk kering dan mengi dan penggunaan beta-agonis yang meningkat (baik inhalasi maupun nebulisasi) sampai hitungan menit. Prevalensi dan severity kasus asma semakin meningkat, sejalan dengan peningkatan kasus asma yang membutuhkan perawatan rumah sakit dan kematian akibat status asmatikus. Status asmatikus biasanya lebih sering terjadi pada kelompok dengan sosialekonomi yang rendah, karena mereka jarang kontrol ke dr. spesialis, yang meningkatkan resiko status asmatikus. Pasien yang terlambat mendapatkan perawatan medis, khususnya perawatan dengan steroid sistemik, memiliki resiko kematian yang besar. Pasien dengan kondisi penyerta (misal: penyakit paru restriksi, CHF, deformitas dinding dada) memiliki resiko kematian yang lebih besar karena status asmatikus, demikian juga perokok yang biasanya terkena PPOK.
Diagnosis Gambaranklinis Status Asmatikus : Penderitatampaksakitberatdansianosis. Sesaknafas, bicaraterputus-putus. Banyakberkeringat, bilakulitkeringmenunjukkankegawatansebabpenderitasudahjatuhdalamdehidrasiberat. Pada keadaan awal kesadaran penderita mungkin masih cukup baik, tetapi lambat laun dapat memburuk yang diawali dengan rasa cemas, gelisah kemudian jatuh ke dalam koma. Merencanakan pengobatan asma akut Serangan asma ditandai dengan gejala sesak nafas, batuk, mengi ataupun kombinasi dari gejal diatas. Derajat serangan dapat ringan sampai dengan berat yang mengancam nyawa. Serangan bersifat akut. Tujuan pengobatan asma untuk : 1. menghilangkan obstruksi dengan segera. 2. mengatasi hipoksia 3. mengembalikan fungsi paru ke normal secepat mungkin 4. mencegah serangan berikutnya 5. memberikan edukasi agar penderita dan keluarga dapat mengatasi pada awal sebelum dibawa ke dokter. Klasifikasi derajat beratnya asma
Pasien asma harus dirujuk bila Pasien dengan resiko tinggi untuk kematian karena asma Serangan asma beratAPE <60% nilai prediksi Respon bronkodilator tidak segera Tidak ada perubahan dalam 2-6 jam penggunaan kortikodteroid Gejala asma semakin memburuk
Protap penanganan status asmatikus di RS Dr. Soetomo Setelah diagnosis ditegakkan segera diikuti dengan langkah langkah sebagai berikut 1. Menetapkan beratnya penyakit dan beratnya terapi dengan menggunakan predictor index scoring system Tanda-tanda fisik Score 0 Score 1 Nadi < 120 mmHg >120 mmHg Pernapasan <30x/menit >30x/menit Pulsus paradoxus <18 mmHg >18 mmHg PEFR >120l/mnt <120l/mnt Sesak napas Ringan Berat Retraksi Tidak ada Ada Wheezing Ringan berat
Catatan: bila score lebih dari 4 harus masuk rumah sakit Bila ada silent chestmerupakan tanda bahaya
Mengatasi Keadaan Gawat a. Infus RL : D5 = 3: 1 dengan tetesan sesuai kebutuhan rehidrasi. b. Oksigen 2 4 l/m melalui nasal prong. c. Aminofilin bolus 5-6 mg / kgBB i.v pelan selama 20-30 menit dilanjutkan maintenance 20 mg/kgBB/hari diberikan secara drip. d. Terbutalin 0,25 mg / 6 jam subcutan atau I.V. atau orciprenalin 0,25 mg / 6 jam subcutan atau I.V. pelan (penelitian terakhir tidak berbeda bermakna9) e. Hidrocortison sodium suksinat 4 mg / kgBB / 4 jam I.V ( 200 mg / 4 jam I.V. ) bisa juga memakai dexamethason 20 mg / 6 jam I.V. selain itu dapat digunakan 160 mg methilprednisolon dalam dosis terbagi 4 kali per hari, kortikosteroid diberikan sampai membaik secara klinis dan laboratoris. Disamping parenteral diberikan juga Prednison peroral 3 x 10 mg per hari sampai keadaan membaik diberhentikan secara tappering off. f. Antibiotik bila jelas ada infeksi Oksitetrasiklin 2 x 100 mg I. M. atau Amoxillin / Ampicillin 2 x 1 g I.V. atau golongan antibiotik yang sesuai dngan sumber infeksinya. g. Menilai hasil tindakan dan terapi Dengan keadaan klinis ( scoring) dan secara laboratoris yaitu pemeriksaan faal paru, analisa gas darah , elektrolit, leukosit dan eosinofil serta monitoring EKG.
Pemeriksaan selama terapi 1 Pemeriksaan fisik lengkap 2 Pemeriksaan radiologi yaitu thoraks foto PA dan lateral 3 Pemeriksaan EKG 4 Pemeriksaan faal paru yaitu PEFR, FEV1, FVC 5 Analisa gas darah 6 Pemeriksaan elektrolit 7 Pemeriksaan darah lengkap , urine lengkap, feses lengkap 8 Pemeriksaan kimia darah 9 Pemeriksaan berat jenis plasma 10 Pemeriksaan sputum 11 Biakan darah bila perlu 18 12 Kadar aminofillin dalam darah ( 12 jam setelah terapi bolus ) Pemeriksaan analisis gas darah arteri sebaiknya dilakukan pada : Serangan asma akut berat Membutuhkan perawatan rumah sakit Tidak respon dengan pengobatan/memburuk Ada komplikasi antara lain pneumonia, pneuomothorax dll Pada keadaan dibawah ini analisis gas darah mutlak dilakukan: Mengancam jiwa Tidak respon terhadap pengobatan/memburuk Gagal napas Sianosis, kesadaran menurun dan gelisah Tindak lanjut Bila terjadi kegagalan terapi a. Asidosis respiratorik Ventilasi diperbaiki Pemberian Nabic b. Hipoksia berat ( PaO2 < 50 mmHg ) Pemberian O2 4- 6 L/m dengan venturi mask c. Gagal napas akut alat bantu napas ( ventilator mekanik ) syarat : apneu kenaikan PaCO2 > 5 mmHg / jam disertai asidosis . respiratorik akut Nilai absolut PaCO2 > 50 mmHg disertai asidosis . respiratorik akut Hipoksia refrakter walau sudah diberi O
Algoritma penatalaksanaan asma di rumah sakit
Penilaian awal Riwayat dan pemeriksaan fisik (auskultasi, otot bantu napas, denyut jantung, frekuensi napas) dan bila mungkin faal paru (APE atau VEP 1 , saturasi O 2 ). AGD dan pemeriksaan lain atas indikasi Pengobatan awal oksigenasi dengan kanul nasal inhalasi agonis beta 2 kerja singkat (nebulisasi setiap 20 menit dalam satu jam) atau agonis beta2 injeksi ( terbutalin 0,5 cc subkutan atau adrenalin 1/1000 0,3 cc subkutan) kortikosteroid sistemik : - serangan asma berat - tidak responsegera dengan bronkodilator - dalam pengobatan kortikosteroid oral Respon baik Respon baik dan stabil dalam 60 menit Pemeriksaan fisik normal APE>70% predikdi/nila terbaik Saturasi O2 >90% (95% pada anak) Penilaian ulang setelah 1 jam Pemeriksaan fisik, saturasi O2 dan pemeriksaan lain atas indikasi Serangan asma ringan Serangan asma sedang/ berat Serangan asma mengancm jiwa Respon tidak sempurna Resiko tinggi distress Pemeriksaan fisik : gejala ringan sedang APE> 50% tetapi <70% Saturasi O2 tidak perbaikan Respon buruk dalam 1 jam Resiko tinggi disstres Pemeriksaan fisik : berat, gelisah dan kesadaran menurun APE<30% PaCO2 > 45% PaO2 < 60% Dirawat di ICU Inhalasi agonis beta2 anti-kolinergik Kortikosteroid IV Pertimbangkan agonis beta 2 injeksi SC/IM/IV Terapi oksigen menggunakan masker venturi Aminofilin drip Mungkin perlu intubasi dan ventilasi mekanik Dirawat di RS Inhalasi agonis beta2 anti-kolinergik Kortikosteroid sistemik Aminofilin drip Terai oksigen pertimbangkan kanul nasal atau masker venturi Pantau APE, sat O2, nadi, kadar teofilin Pulang Pengobatan dilanjutkan dengan inhalasi agonis beta2 Membutuhkan kortikosteroid oral Edukasi penderita - Memakai obat yang benar - Ikuti rencana pengonatan sekanjutnya
Farmakologi AGONIS BETA ADRENERGIK Penggunaan obat reseptor beta 2 adrenergik pada otot polos bronkus menstimulasi enzym adenylate cyclase compleks intracelluler, menghasilkan peningkatan produksi cyclic adenosine monophosphates (cAMP), hal ini menyebabkan relaksasi otot polos, menghambat degranulasi sel mast, dan stimulasi mucociliary transport. Variasi dari beta 2 adrenergik menyebabkan perbedaan action, duration of actions, dan efek samping. Adrenalin dapat diberikan secara inhalasi dan injeksi 0.1-0,5 ml dari pengenceran 1:1000 subkutan, telah digunakan sejak lama sebagai terapi awal dari asma. Adrenalin merupakan non selektif simpatomimetik yang dapat menstimulus reseptor alfa, beta-1, beta-2. kerugiannya adalah stimulasi sistem kardiovaskular, durasi aksi yang 19 singkat, dan mempercepat terjadinya takifilaksis. Adrenalin harus diberikan secara hati-hati pada pasien tua, pada pasien tua, takikardia sebelum perawatan. Isoproterenol menstimulasi baik beta-1 dan beta-2 reseptor. Menyebabkan takikardi dan hipotensi dalam rangka bronkodilator. Isoproterenol biasanya diberikan aerosol (3 s/d 7 kali inspirasi dalam, dalam bentuk solusio 1:1000 atau 1:200) bisa juga diberikan intravena pada pasien anak dan dewasa. Pada pasien asma muda tanpa ada kelainan kardiovaskular terapi awal adalah adrenalin 0,2 sampai 0,5 ml dari pengenceran 1:1000 sub kutan setiap 20 menit selama 3 kali pemberian, lanjutkan dengan 0,5 ml isoproterenol dari pengenceran 1:200 nebuliser setiap 20 menit selama 3 kali pemberian. Ataupun biasa menggunakan aerosol beta2 agonis (albuterol 2,5 mg, metaproterenol 15 mg, terbutalin 1,5-2,5 mg, isoetharine 2-5 mg) diberikan secara nebuliser setiap 15 sampai 30 menit. Ketika menggunakan nebuliser encerkan dengan normal saline sampai konsentrasi 2 tau 3 cc. Semua beta adrenergik mempunyai efek pada kardiovaskular (berupa takikardi, palpitasi, aritmia dan hipertensi) dan cerebral (berupa gelisah, tremor, nausea dizziness, dan nervous).
METHILXANTHINES Theofilin dan ethylenediamine salt aminnophyline sangat berguna dalam terapi asma akut. Mekanisme aksi dijelaskan dengan inhibitor cytoplasmic enzyme phosphodiesterase yang mengkatalisis metabolisme cAMP. Efek utama theofilin adalah relaksasi otot polos bronkhial . efek lain memperbaiki kontraksi diafragma, meningkatkan transport mucociliar, menghambat pelepasan mediator hipersensitivitas dan menurunkan tekanan arteri pulmonal. Theofilin ataupun aminofilin pada akut asma dapat diberikan bolus intravena kemudian dilanjutkan dalam drip. Konsentrasi dalam plasma harus dipertahankan pada 10 sampai 20 ug/ml, toksikasi akan uncul bila konsentrasi dalam plasma melebihi 20 ug/ml. tanda toksikasi meliputi CNS dan GI termasuk gelisah, nyeri kepala, mual dan muntah, diare. Pada konsentrasi aminofilin yang sangat tinggi pada plasam dapat menyebabkan aritmia, gangguan kesadaran dan akhirnya meninggal. Distribusi aminofilin sangat cepat melalui kompartemen extraceluler. Dosis aminofilin 1 mg/kgBB menaikan konsentrasi dalam serum plasma sebesar 2 ug/ml. Sekitar 85% dari dosis theofilin di degradasi di hepar oleh Cytokrom P450 dan selebihnya diekresikan melalui urine. Hal yang dapat menurunkan metabolisme adalah usia tua, congestive heart failure, dan gangguan fungsi hepar sedangkan obat-obatan yang dapat menurunkan metabolisme aminofilin adalah propranolol, erytromisin dan cimetidin. Yang meningkatkan metabolisme adalah kebiasaan merokok, dan barbiturat.
KORTIKOSTEROID Kortikosteroid saat ini digunakan secara luas pada asma bila beta agonis dan methyl xanthin telah tak mampu. Mekanisme aksi melibatkan efek anti inflamasi, inhibisi asam arakhidonat meningkatkan efek beta agonis dan menurunkan permeabilitas endotel vaskular sehingga mencegah terjadinya edema. Dosis terapi kortikosteroid pada asma kontroversial dan sampai saat ini belum ada kesepakatan. Fanta dkk 1 mendemonstrasikan bahwa kortikosteroid infus (hydrocortison, bolus 2 mg/kg bb dilanjutkan drip 0,5 mg/kg jam infus) bersama dengan penggunaan bolus aminofilin dan beta 2 agonis menghasilkan perbaikan yang bermakna dengan pengukuran FEV1 dalam 12 jam perawatan. Haskell dkk melakukan penelitian bahwa penggunaan Methylprednisolone 15 mg setiap 6 jam tidak menunjukkan keefektifan tetapi pasien yang mendapat 40mg menunjukkan perbaikan yang bermakna pada perawatan hari kedua dan pada pasien yang mendapat 125 mg mendapat perbaikan sejak hari pertama. Efek samping dari penggunaan kortikosteroid intravena dosis tinggi adalah hiperglikemia dan akut psikosis sehingga dihindarkan penggunaan pada penderita diabetes mellitus, perdarahan GI track, presdisposisi untuk terjadinya infeksi. Pada terapi jangka lama penggunaan kortikosteroid adalah meningkatkan katabolisme, retensi garam dan air, cushing sindroma, osteoporosis dan pernah dilaporkan adanya fraktur patologis vertebra dan necrosis kaput femur. Olehkarena komplikasi sistemik yang begitu berat maka saat ini mulai dikembangkan preparat inhaler ataupun nebuliser untuk menggantikan preparat kortikosteroid sistemik.
ANTIKHOLINERGIK Atropin dan preparat antikolinergik lain mempunyai efek bronkodilator yang rendah. Mekanisme yang disuga kuat adalah inhibitor vagal bronkoconstriction. Pak dan rekan meneliti pada penderita kronik obstruksi bahwa 0,025-0,05 mg/kg BB atropin inhalasi via nebuliser menghasilkan perbaikan jalan nafas tetapi efek samping yang dihasilkan sangatlah besar berupa : pengeringan membran mukosa, dysphoria, tachycardia, nyeri kepala dan gangguan buang air kencing. Oleh karena efek samping yang begitu besar saat ini dikembangkan Ipatropin bromida nebuliser menggantikan atropin karena preparat Ipatropin bromida mempunyai efek samping yang lebih kecil.
CHROMOLIN Cromolin adalah sel mast stabiliser yang berguna untuk profilaksis asma. Biasanya digunakan pada asma dengan faktor pencetusnya olahraga. Cromolin tidak efektif pada serangan asma yang bersifat akut karena pada penggunaan inhaler pernah dilaporkan terjadi bronkhokontriksi.
ANTIBIOTIK Antibiotik tidak rutin digunakan pada serangan asma akut, karena antibiotik tidak dapat mengurangi efek bronkokonstriksi. Tetapi setelah serangan asma apabila dijumpai sputum yang purulent haruslah diperiksa secara teliti karena bisa jadi inducer dari serangan asma adalah adanya fokus infeksi saluran nafas.
ALFA-ADRENERGIK ANTAGONIS Walaupun alfa-adrenergik antagonis mempunyai efek bronkodilator tetapi efek samping adanya hipotensi sangatlah besar sehingga jarang digunakan pada serangan akut.
IMUNOTERAPI Imunoterapi sangat membantu pada asma dengan trigger jelas atau asma dengan causa alergi, terutama pada anak meskipun pada orang dewasa penelitian yang dilakukan tidak menujukkan hasil yang signifikan. Imunoterapi tidak mempunyai peranan dalam manajemen asma akut tetapi berperan untuk mencegah reaksi anfilaksis.
3. PPOK Eksaserbasi Akut Eksaserbasi akut pada PPOK berarti timbulnya perburukan dibandingkan dengan kondisi sebelumnya.Definisi eksaserbasi akut pada PPOK adalah kejadian akut dalam perjalanan alami penyakit dengan karakteristik adanya perubahan basal sesak napas, batuk, dan/atau sputum yang diluar batas normal dalam variasi hari ke hari (GOLD, 2009). Penyebab eksaserbasi akut dapat primer yaitu infeksi trakeobronkial (biasanya karena virus), atau sekunder berupa pneumonia, gagal jantung, aritmia, emboli paru, pneumotoraks spontan, penggunaan oksigen yang tidak tepat, penggunaan obat-obatan (obat antidepresan, diuretik) yang tidak tepat, penyakit metabolik (diabetes melitus, gangguan elektrolit), nutrisi buruk, lingkungan memburuk atau polusi udara, aspirasi berulang, serta pada stadium akhir penyakit respirasi (kelelahan otot respirasi) (PDPI, 2003). Selain itu, terdapat faktor-faktor risiko yang menyebabkan pasien sering menjalani rawat inap akibat eksaserbasi.Menurut penelitian Kessler dkk.(1999) terdapat faktor prediktif eksaserbasi yang menyebabkan pasien dirawat inap.Faktor risiko yang signifikan adalah Indeks Massa Tubuh yang rendah (IMT<20 kg/m2) dan pada pasien dengan jarak tempuh berjalan enam menit yang terbatas (kurang dari 367 meter). Faktor risiko lainnya adalah adanya gangguan pertukaran gas dan perburukan hemodinamik paru, yaitu PaO265 mmHg, PaCO2>44 mmHg, dan tekanan arteri pulmoner rata-rata (Ppa) pada waktu istirahat > 18 mmHg. Lamanya rawat inap setiap pasien bervariasi.Iglesia dkk.(2002) mendapatkan faktor prediktif pasien dirawat inap lebih dari 3 hari, yaitu rawat inap pada saat akhir minggu, adanya kor pulmonale, dan laju pernapasan yang tinggi. Gejala eksaserbasi 1. Batuk makin sering/ hebat 2. Produksi sputum bertambah banyak 3. Sputum berubah warna 4. Sesak napas bertambah 5. Keterbatasan aktivitas bertambah 6. Terdapat gagal napas akut pada gagal napas kronik 7. Kesadaran menurun Gejala utama berupa peningkatan sesak, produksi sputum meningkat, dan adanya perubahan konsistensi atau warna sputum.Menurut Anthonisen dkk. (1987), eksaserbasi akut dapat dibagi menjadi tiga tipe, yaitu tipe I (eksaserbasi berat) apabila memiliki 3 gejala utama, tipe II (eksaserbasi sedang) apabila hanya memiliki 2 gejala utama, dan tipe III (eksaserbasi ringan) apabila memiliki 1 gejala utama ditambah adanya infeksi saluran napas atas lebih dari 5 hari, demam tanpa sebab lain, peningkatan batuk, peningkatan mengi atau peningkatan frekuensi pernapasan > 20% baseline, atau frekuensi nadi > 20% baseline (Vestbo, 2006). Penatalaksanaan PPOK Eksaserbasi Akut Prinsip penatalaksanaan PPOK eksaserbasi akut adalah mengatasi segera eksaserbasi yang terjadi dan mencegah terjadinya kematian. Risiko kematian dari eksaserbasi sangat berhubungan dengan terjadinya asidosis respiratorik, adanya komorbid, dan kebutuhan akan alat ventilasi (GOLD, 2009). Penanganan eksaserbasi akut dapat dilaksanakan di rumah (untuk eksaserbasi yang ringan) atau di rumah sakit (untuk eksaserbasi sedang dan berat).Penatalaksanaan eksaserbasi akut di rumah sakit dapat dilakukan secara rawat jalan atau rawat inap dan dilakukan di poliklinik rawat jalan, ruang rawat inap, unit gawat darurat, atau ruang ICU (PDPI, 2003). Prinsip penatalaksanaan eksaserbasi PPOK 1. Optimalisasi penggunaan obat-obatan a. Bronkodilator o Agonis 2 kerja singkat kombinasi dengan antikolinergik melalui inhalasi (nebuliser) (bukti A) o Xantin intravena (bolus dan drip) (bukti B) b. Kortikosteroid sistemik (bukti A) c. Antibiotik o Golongan makrolid baru (Azitromisin, Roksitromisin, Klaritromisin) o Golongan kuinolon respirasi o Sefalosporin generasi III/IV d. Mukolitik e. Ekspektoran f. Terapi oksigen g. Terapi nutrisi h. Rehabilitasi fisis dan respirasi i. Evaluasi progresifiti penyakit j. Edukasi Indikasi Rawat : 1. Peningkatan gejala (sesak, batuk) saat tidak beraktivitas 2. PPOK dengan derajat berat 3. Terdapat tanda-tanda sianosis dan atau edema 4. Disertai penyakit komorbid lain 5. Sering eksaserbasi 6. Didapatkan aritmia 7. Diagnosyik yang belum jelas 8. Usia lanjut 9. Infeksi saluran nafas berta 10. Gagal nafas akut pada gagal nafas kronik
Indikasi rawat ICU 1. Sesak berta setelah penanganan adekuat di ruang gawat darurat atau ruang rawat 2. Kesadaran menurun, letargi atau kelemahan otot-otot respirasi 3. Setelah pemberian oksigen tetapi terjadi hipoksemia atau perburukan PaO2 < 50 mmHg atau PaCO 2 > 50 mmHg memerlukan ventilasi mekanis (invasive atau non invasif) 4. Memerlukan penggunaan ventilasi mekanis invasive 5. Ketidakstabilan hemodinamik
Algoritme penatalaksanaan PPOK eksaerbasi akut di rumah dan pelayanan kesehatanprimer / Puskesmas
ALGORITMA PENATALAKSANAAN PPOK EKSASERBASI AKUT DI RUMAH SAKIT
Bronkodilator - Nilai berat gejala (kesadaran, frekuensi napas, pemeriksaan fisis) - Analisis gas darah - Foto thorak 1. Terapi oksigen 2. Bronkodilator - Inhalasi/nebulizer a. Agonis 2
b. Antikolinergik - Intravena : metilxantin, bolus dan drip 3. Antibiotic 4. Kortikosteroid sistemik 5. Diuretik bila ada retensi cairan Mengancam jiwa (gagal napas akut) Tidak mengancam jiwa ICU Ruang rawat Bronkodilator yang lebih dipilih pada terapi eksaserbasi PPOK adalah short-acting inhaled B2- agonists. Jika respon segera dari obat ini belum tercapai, direkomendasikan menambahkan antikolinergik, walaupun bukti ilmiah efektivitas kombinasi ini masih kontroversial.Walaupun penggunaan klinisnya yang luas, peranan metilxantin dalam terapi eksaserbasi masih kontroversial. Sekarang metilxantin (teofilin, aminofilin) dipertimbangkan sebagai terapi lini kedua, ketika tidak ada respon yang adekuat dari penggunaan short-acting inhaled B2-agonists. Tidak ada penelitian klinis yang mengevaluasi penggunaan long-acting inhaled B2-agonists dengan/tanpa inhalasi glukokortikosteroid selama eksaserbasi (GOLD, 2009). Bila rawat jalan B2-agonis dan antikolinergik harus diberikan dengan peningkatan dosis.Inhaler masih cukup efektif bila digunakan dengan cara yang tepat, nebulizer dapat digunakan agar bronkodilator lebih efektif. Hati-hati dengan penggunaan nebulizer yang memakai oksigen sebagai kompresor, karena penggunaan oksigen 8-10 liter untuk menghasilkan uap dapat menyebabkan retensi CO2.Golongan xantin dapat diberikan bersama-sama dengan bronkodilator lainnya karena mempunyai efek memperkuat otot diafragma.Dalam perawatan di rumah sakit, bronkodilator diberikan secara intravena dan nebulizer, dengan pemberian lebih sering perlu monitor ketat terhadap timbulnya palpitasi sebagai efek samping bronkodilator (PDPI, 2003). Kortikosteroid Kortikosteroid oral/intravena direkomendasikan sebagai tambahan terapi pada penanganan eksaserbasi PPOK.Dosis pasti yang direkomendasikan tidak diketahui, tetapi dosis tinggi berhubungan dengan risiko efek samping yang bermakna.Dosis prednisolon oral sebesar 30-40 mg/hari selama 7-10 hari adalah efektif dan aman (GOLD, 2009). Menurut PDPI (2003), kortikosteroid tidak selalu diberikan tergantung derajat berat eksaserbasi. Pada eksaserbasi derajat sedang dapat diberikan prednison 30 mg/hari selama 1-2 minggu, pada derajat berat diberikan secara intravena. Pemberian lebih dari dua minggu tidak memberikan manfaat yang lebih baik, tetapi lebih banyak menimbulkan efek samping. Antibiotik Berdasarkan bukti terkini yang ada, antibiotik harus diberikan kepada (GOLD, 2009): a. Pasien eksaserbasi yang mempunyai tiga gejala kardinal, yaitu peningkatan volume sputum, sputum menjadi semakin purulen, dan peningkatan sesak b. Pasien eksaserbasi yang mempunyai dua gejala kardinal, jika peningkatan purulensi merupakan salah satu dari dua gejala tersebut c. Pasien eksaserbasi yang memerlukan ventilasi mekanik.
Pemilihan antibiotik disesuaikan dengan pola kuman setempat dan komposisi kombinasi antibiotik yang mutakhir. Pemberian antibiotik di rumah sakit sebaiknya per drip atau intravena, sedangkan untuk rawat jalan bila eksaserbasi sedang sebaiknya diberikan kombinasi dengan makrolid, dan bila ringan dapat diberikan tunggal. Antibiotik yang dapat diberikan di Puskesmas yaitu lini I: Ampisilin, Kotrimoksasol, Eritromisin, dan lini II: Ampisilin kombinasi Kloramfenikol, Eritromisin, kombinasi Kloramfenikol dengan Kotrimaksasol ditambah dengan Eritromisin sebagai Makrolid (PDPI, 2003).
Terapi Oksigen Pada eksaserbasi akut terapi oksigen merupakan hal yang pertama dan utama, bertujuan untuk memperbaiki hipoksemia dan mencegah keadaan yang mengancam jiwa, dapat dilakukan di ruang gawat darurat, ruang rawat atau di ICU. Tingkat oksigenasi yang adekuat (PaO2>8,0 kPa, 60 mmHg atau SaO2>90%) mudah tercapai pada pasien PPOK yang tidak ada komplikasi, tetapi retensi CO2 dapat terjadi secara perlahan-lahan dengan perubahan gejala yang sedikit sehingga perlu evaluasi ketat hiperkapnia. Gunakan sungkup dengan kadar yang sudah ditentukan (ventury mask) 24%, 28% atau 32%. Perhatikan apakah sungkup rebreathing atau non-rebreathing, tergantung kadar PaCO2 dan PaO2. Bila terapi oksigen tidak dapat mencapai kondisi oksigenasi adekuat, harus digunakan ventilasi mekanik (PDPI, 2003).
Ventilasi Mekanik Tujuan utama penggunaan ventilasi mekanik pada PPOK eksaserbasi berat adalah mengurangi mortalitas dan morbiditas, serta memperbaiki gejala. Ventilasi mekanik terdiri dari ventilasi intermiten non invasif (NIV), baik yang menggunakan tekanan negatif ataupun positif (NIPPV), dan ventilasi mekanik invasif dengan oro-tracheal tube atau trakeostomi. Dahulukan penggunaan NIPPV, bila gagal dipikirkan penggunaan ventilasi mekanik dengan intubasi. Penggunaan NIV telah dipelajari dalam beberapa Randomized Controlled Trials pada kasus gagal napas akut, yang secara konsisten menunjukkan hasil positif dengan angka keberhasilan 80-85%. Hasil ini menunjukkan bukti bahwa NIV memperbaiki asidosis respiratorik, menurunkan frekuensi pernapasan, derajat keparahan sesak, dan lamanya rawat inap (GOLD, 2009).
Komplikasi Komplikasi yang dapat terjadi pada PPOK adalah gagal napas kronik, gagal napas akut pada gagal napas kronik, infeksi berulang, dan kor pulmonale. Gagal napas kronik ditunjukkan oleh hasil analisis gas darah berupa PaO2<60 mmHg dan PaCO2>50 mmHg, serta pH dapat normal. Gagal napas akut pada gagal napas kronik ditandai oleh sesak napas dengan atau tanpa sianosis, volume sputum bertambah dan purulen, demam, dan kesadaran menurun. Pada pasien PPOK produksi sputum yang berlebihan menyebabkan terbentuk koloni kuman, hal ini memudahkan terjadi infeksi berulang. Selain itu, pada kondisi kronik ini imunitas tubuh menjadi lebih rendah, ditandai dengan menurunnya kadar limfosit darah. Adanya kor pulmonale ditandai oleh P pulmonal pada EKG, hematokrit>50 %, dan dapat disertai gagal jantung kanan (PDPI, 2003).
4. Kardiak Tamponade Kardiak Tamponande adalah sindrom klinis yang disebabkan oleh akumulasi cairan dalam rongga perikardium, sehingga pengisian ventrikel berkurang. Kardiak Tamponande adalah keadaan darurat medis. Keseluruhan risiko kematian tergantung pada kecepatan diagnosis, perawatan yang diberikan, dan penyebab yang mendasari tamponade tersebut. Tamponade jantung adalah kompresi jantung yang terjadi ketika darah atau cairan menumpuk di ruang antara miokardium (otot jantung) dan perikardium (kantung menutupi luar dari jantung). Patofisiologi perikardium, yang merupakan membran yang mengelilingi jantung, terdiri dari 2 lapisan. Perikardium parietal tebal adalah lapisan berserat luar; perikardium viseral tipis adalah lapisan serosa bagian dalam. Ruang perikardial biasanya berisi 20-50 mL cairan. Efusi perikardial dapat serosa, serosanguineous, hemoragik, atau chylous. 3 fase perubahan hemodinamik pada tamponade. 1. Tahap I: akumulasi cairan perikardial menyebabkan peningkatan kekakuan ventrikel, memerlukan tekanan pengisian yang lebih tinggi. Selama fase ini, tekanan ventrikel kiri dan kanan mengisi lebih tinggi dari tekanan intrapericardial. 2. Tahap II: Dengan akumulasi cairan lebih lanjut, tekanan perikardial meningkat di atas tekanan ventrikel mengisi, sehingga curah jantung berkurang. 3. Fase III: Penurunan lanjut dalam output jantung terjadi, yang karena equilibrium perikardial dan ventrikel kiri (LV) mengisi tekanan. Proses patofisiologis yang mendasari untuk pengembangan tamponade adalah nyata berkurang karena tekanan diastolik mengisi distending transmural tidak cukup untuk mengatasi tekanan intrapericardial meningkat. Takikardia adalah respon jantung awal untuk perubahan ini untuk mempertahankan curah jantung.
Aliran balik vena sistemik juga diubah selama tamponade. Karena jantung adalah dikompresi seluruh siklus jantung karena tekanan intrapericardial meningkat, aliran balik vena sistemik terganggu dan runtuhnya ventrikel kanan dan kanan atrium terjadi. Karena tempat tidur vaskular paru adalah sirkuit yang luas dan memenuhi persyaratan, darah preferentially terakumulasi di sirkulasi vena, dengan mengorbankan LV mengisi. Hal ini menyebabkan cardiac output berkurang dan aliran balik vena.
Jumlah cairan perikardial diperlukan untuk merusak jantung diastolik mengisi tergantung pada tingkat akumulasi cairan dan kepatuhan perikardium. Akumulasi cepat sesedikit 150 mL cairan dapat mengakibatkan peningkatan yang ditandai dalam tekanan perikardial dan sangat dapat menghambat cardiac output [2], sedangkan 1000 mL cairan dapat terakumulasi selama periode yang lebih lama tanpa efek signifikan pada pengisian diastolik jantung . Hal ini disebabkan adaptif peregangan perikardium dari waktu ke waktu. Sebuah perikardium lebih sesuai dapat memungkinkan akumulasi cairan yang cukup selama periode yang lebih lama tanpa menghina hemodinamik.
Penyebab Dalam kondisi ini, darah atau cairan terkumpul dalam perikardium. Hal ini untuk mencegah ventrikel dari memperluas sepenuhnya. Tekanan berlebih dari cairan mencegah jantung dari berfungsi normal.
Tamponade jantung dapat terjadi karena:
* Membedah aneurisma aorta (toraks) * Stadium akhir kanker paru-paru * Serangan jantung (infark miokard akut) * Jantung operasi * Perikarditis disebabkan oleh infeksi bakteri atau virus * Luka ke jantung
Penyebab potensial lainnya termasuk:
* Tumor jantung * Hypothyroidism * Kegagalan ginjal * Penempatan garis pusat * Terapi radiasi dada * Terbaru prosedur jantung invasif * Operasi jantung terbuka terbaru * Eritematosus sistemik lupus
Gejala
* Kecemasan, kegelisahan * Nyeri dada o Memancar ke leher, bahu, punggung, atau perut o Sharp, menusuk o diperparah dengan bernapas dalam atau batuk * Kesulitan bernapas * Ketidaknyamanan, kadang-kadang lega dengan duduk tegak atau bersandar ke depan * Pingsan, pusing * Pucat, abu-abu, atau kulit biru * Palpitasi * Cepat pernapasan * Pembengkakan pada perut atau daerah lain
Gejala lainnya yang mungkin terjadi dengan gangguan ini:
* Pusing * Mengantuk * Tekanan darah rendah * Lemah atau tidak ada pulsa
Ujian dan Tes
Tidak ada tes laboratorium khusus yang mendiagnosa tamponade. Echocardiogram biasanya digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis.
Tanda: * Tekanan darah bisa turun (pulsus paradoks) ketika orang menghirup dalam-dalam * Pernapasan dapat cepat * Denyut jantung dapat lebih dari 100 (normal adalah 60 sampai 100 denyut per menit) * Suara jantung adalah pingsan selama pemeriksaan dengan stetoskop * Pembuluh darah abnormal Leher dapat diperpanjang (buncit), tetapi tekanan darah mungkin rendah * Pulsa perifer mungkin lemah atau tidak ada
Pengobatan Tamponade jantung adalah kondisi darurat yang membutuhkan rawat inap. Cairan di sekitar jantung harus dikuras. Pericardiocentesis adalah prosedur yang menggunakan jarum untuk mengeluarkan cairan dari kantung perikardial, jaringan yang mengelilingi jantung. Suatu prosedur untuk memotong dan menghapus bagian dari perikardium (pericardiectomy bedah atau jendela perikardial) juga dapat dilakukan. Cairan diberikan untuk menjaga tekanan darah normal sampai pericardiocentesis dapat dilakukan. Obat-obat yang meningkatkan tekanan darah juga dapat membantu mempertahankan kehidupan pasien. Pasien dapat diberikan oksigen. Hal ini mengurangi beban kerja pada jantung dengan mengurangi permintaan jaringan untuk aliran darah. Penyebab tamponade harus diidentifikasi dan diobati.
Prognosis Tamponade adalah hidup-mengancam jika tidak diobati. Hasilnya sering baik jika kondisi ini segera diobati, tetapi tamponade mungkin akan kembali.
Kemungkinan Komplikasi Gagal jantung Edema paru Kematian
5. Infark Miokard Akut (IMA) Infark Miokard Akut (IMA) merupakan gangguan aliran darah ke jantung yang menyebabkan sel otot jantung mati. Aliran darah di pembuluh darah terhenti setelah terjadi sumbatan koroner akut, kecuali sejumlah kecil aliran kolateral dari pembuluh darah di sekitarnya. Daerah otot di sekitarnya yang sama sekali tidak mendapat aliran darah atau alirannya sangat sedikit sehingga tidak dapat mempertahankan fungsi otot jantung, dikatakan mengalami infark.12 Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (ST Elevation Myocardial Infarct) merupakan bagian dari spektrum sindrom koroner akut (SKA) yang terdiri atas angina pektoris tak stabil, IMA tanpa elevasi ST, dan IMA dengan elevasi ST.11 Infark miokard akut dengan elevasi ST (STEMI) terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak akibat oklusi trombus pada plak aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya. Trombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi injuri vaskuler, dimana injuri ini dicetuskan oleh faktor-faktor seperti merokok, hipertensi, dan akumulasi lipid.11 Faktor risiko biologis infark miokard yang tidak dapat diubah yaitu usia, jenis kelamin, ras, dan riwayat keluarga, sedangkan faktor risiko yang masih dapat diubah, sehingga berpotensi dapat memperlambat proses aterogenik, antara lain kadar serum lipid, hipertensi, merokok, gangguan toleransi glukosa, dan diet yang tinggi lemak jenuh, kolesterol, serta kalori.13 Setiap bentuk penyakit arteri koroner dapat menyebabkan IMA. Penelitian angiografi menunjukkan bahwa sebagian besar IMA disebabkan oleh trombosis arteri koroner. Gangguan pada plak aterosklerotik yang sudah ada (pembentukan fisura) merupakan suatu nidus untuk pembentukan trombus. Infark terjadi jika plak aterosklerotik mengalami fisur, ruptur, atau ulserasi, sehingga terjadi trombus mural pada lokasi ruptur yang mengakibatkan oklusi arteri koroner. Penelitian histologis menunjukkan plak koroner cenderung mengalami ruptur jika fibrous cap tipis dan inti kaya lipid (lipid rich core). Gambaran patologis klasik pada STEMI terdiri atas fibrin rich red trombus, yang dipercaya menjadi dasar sehingga STEMI memberikan respon terhadap terapi trombolitik. Berbagai agonis (kolagen, ADP, epinefrin, serotonin) memicu aktivasi trombosit pada lokasi ruptur plak, yang selanjutnya akan memproduksi dan melepaskan tromboksan A2 (vasokonstriktor lokal yang poten). Selain itu, aktivasi trombosit memicu perubahan konformasi reseptor glikoprotein IIb/IIIa. Reseptor mempunyai afinitas tinggi terhadap sekuen asam amino pada protein adhesi yang terlarut (integrin) seperti faktor von Willebrand (vWF) dan fibrinogen, dimana keduanya adalah molekul multivalen yang dapat mengikat 2 platelet yang berbedasecara simultan, menghasilkan ikatan platelet dan agregasi setelah mengalami konversi fungsinya. Kaskade koagulasi diaktivasi oleh pajanan tissue activator pada sel endotel yang rusak. Faktor VII dan X diaktivasi, mengakibatkan konversi protombin menjadi trombin, yang kemudian mengkonversi fibrinogen menjadi fibrin. Arteri koroner yang terlibat akan mengalami oklusi oleh trombus yang terdiri atas agregat trombosit dan fibrin. Penyebab lain infark tanpa aterosklerosis koronaria antara lain emboli arteri koronaria, anomali arteri koronaria kongenital, spasme koronaria terisolasi, arteritis trauma, gangguan hematologik, dan berbagai penyakit inflamasi sistemik. A. Klasifikasi IMA Infark Miokard Akut diklasifikasikan berdasar EKG 12 sandapan menjadi - Infark miokard akut ST-elevasi (STEMI) : oklusi total dari arteri koroner yang menyebabkan area infark yang lebih luas meliputi seluruh ketebalan miokardium, yang ditandai dengan adanya elevasi segmen ST pada EKG. - Infark miokard akut non ST-elevasi (NSTEMI) : oklusi sebagian dari arteri koroner tanpa melibatkan seluruh ketebalan miokardium, sehingga tidak ada elevasi segmen ST pada EKG.
B. Gejala dan Tanda IMA Gambaran klinis infark miokard umumnya berupa nyeri dada substernum yang terasa berat, menekan, seperti diremas-remas dan terkadang dijalarkan ke leher, rahang, epigastrium, bahu, atau lengan kiri, atau hanya rasa tidak enak di dada. IMAsering didahului oleh serangan angina pektoris pada sekitar 50% pasien. Namun, nyeri pada IMA biasanya berlangsung beberapa jam sampai hari, jarang ada hubungannya dengan aktivitas fisik dan biasanya tidak banyak berkurang dengan pemberian nitrogliserin, nadi biasanya cepat dan lemah, pasien juga sering mengalami diaforesis. Pada sebagian kecil pasien (20% sampai 30%) IMA tidak menimbulkan nyeri dada. Silent AMI ini terutama terjadi pada pasien dengan diabetes mellitus dan hipertensi serta pada pasien berusia lanjut.
C. Diagnosis IMA Diagnosis IMA dengan elevasi segmen ST ditegakkan berdasarkan anamnesis nyeri dada yang khas dan gambaran EKG adanya elevasi ST >2 mm, minimal pada 2 sandapan prekordial yang berdampingan atau >1 mm pada 2 sandapan ekstremitas. Pemeriksaan enzim jantung terutama troponin T yang meningkat akan memperkuat diagnosis.
D. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik menunjukkan pasien tampak cemas dan tidak bisa beristirahat (gelisah) dengan ekstremitas pucat disertai keringat dingin. Kombinasi nyeri dada substernal >30 menit dan banyak keringat merupakan kecurigaan kuat adanya STEMI.
E. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan laboratorium harus dilakukan sebagai bagian dalam tatalaksana pasien STEMI tetapi tidak boleh menghambat implementasi terapi reperfusi. Pemeriksaan petanda kerusakan jantung yang dianjurkan adalah creatinin kinase (CK) MB dan cardiac specific troponin (cTn) T atau cTn I, yang dilakukan secara serial. cTn digunakan sebagai petanda optimal untuk pasien STEMI yang disertai kerusakan otot skeletal karena pada keadaan ini juga akan diikuti peningkatan CKMB. Terapi reperfusi diberikan segera mungkin pada pasien dengan elevasi ST dan gejala IMA serta tidak tergantung pada pemeriksaan biomarker. Peningkatan nilai enzim diatas dua kali nilai batas atas normal menunjukkan adanya nekrosis jantung. 1) CKMB meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan kembali normal dalam 2-4 hari. Operasi jantung, miokarditis, dan kardioversi elektrik dapat meningkatkan CKMB. 2) cTn : ada dua jenis yaitu cTn T dan cTn I. Enzim ini meningkat setelah 2 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan cTn T masih dapat dideteksi setelah 5-14 hari sedangkan cTn I setelah 5-10 hari. Pemeriksaan enzim jantung yang lain yaitu mioglobin, creatinine kinase (CK), Lactic dehydrogenase (LDH). Reaksi non spesifik terhadap injuri miokard adalah leukositosis polimorfonuklear yang dapat terjadi dalam beberapa jam setelah onset nyeri dan menetap selama 3-7 hari. Leukosit dapat mencapai 12.000-15.000/ul. Pemeriksaan EKG 12 sandapan harus dilakukan pada semua pasien dengan nyeri dada atau keluhan yang dicurigai STEMI, dalam waktu 10 menit sejak kedatangan di IGD sebagai landasan dalam menentukan keputusan terapi reperfusi. Jika pemeriksaan EKG awal tidak diagnostik untuk STEMI tetapi pasien tetap simptomatik dan terdapat kecurigaan kuat STEMI, EKG serian dengan interval 5-10 menit atau pemantauan EKG 12 sandapan secara kontinyu harus dilakukan untuk mendeteksi potensi perkembangan elevasi segmen ST. EKG sisi kanan harus diambil pada pasien dengan STEMI inferior, untuk mendeteksi kemungkinan infark ventrikel kanan.
F. Tatalaksana IMA Tatalaksana IMA dengan elevasi ST mengacu pada data-data dari evidence based berdasarkan penelitian randomized clinical trial yang terus berkembang ataupun konsensus dari para ahli sesuai pedoman (guideline). Tujuan utama tatalaksana IMA adalah mendiagnosis secara cepat, menghilangkan nyeri dada, menilai dan mengimplementasikan strategi reperfusi yang mungkin dilakukan, memberi antitrombotik dan anti platelet, memberi obat penunjang. Terdapat beberapa pedoman (guideline) dalam tatalaksana IMA dengan elevasi ST yaitu dari ACC/AHA tahun 2009 dan ESC tahun 2008, tetapi perlu disesuaikan dengan kondisi sarana/fasilitas di masing-masing tempat dan kemampuan ahli yang ada.
H. Tatalaksana awal - Tatalaksana Pra Rumah Sakit Kematian di luar rumah sakit pada STEMI sebagian besar diakibatkan adanya fibrilasi ventrikel mendadak, yang terjadi dalam 24 jam pertama onset gejala dan lebih dari separuhnya terjadi pada jam pertama, sehingga elemen utama tatalaksana pra hospital pada pasien yang dicurigai STEMI antara lain7,11,16 : 1. Pengenalan gejala oleh pasien dan segera mencari pertolongan medis. 2. Pemanggilan tim medis emergensi yang dapat melakukan tindakan resusitasi 3. Transportasi pasien ke rumah sakit yang mempunyai fasilitas ICCU/ICU serta staf medis dokter dan perawat yang terlatih. 4. Melakukan terapi reperfusi Keterlambatan terbanyak pada penanganan pasien disebabkan oleh lamanya waktu mulai onset nyeri dada sampai keputusan pasien untuk meminta pertolongan. Hal ini dapat diatasi dengan cara edukasi kepada masyarakat oleh tenaga profesional kesehatan mengenai pentingnya tatalaksana dini. Pemberian fibrinolitik pre hospital hanya bisa dikerjakan jika ada paramedik di ambulans yang sudah terlatih untuk menginterpretasikan EKG dan managemen STEMI serta ada kendali komando medis online yang bertanggung jawab pada pemberian terapi.
Tatalaksana di ruang emergensi Tujuan tatalaksana di IGD adalah mengurangi/menghilangkan nyeri dada, mengidentifikasi cepat pasien yang merupakan kandidat terapi reperfusi segera, triase pasien risiko rendah ke ruangan yang tepat di rumah sakit dan menghindari pemulangan cepat pasien dengan STEMI.
Tatalaksana umum 1) Oksigen : suplemen oksigen harus diberikan ada pasien dengan saturasi oksigen <90%. Pada semua pasien STEMI tanpa komplikasi dapat diberikan oksigen selama 6 jam pertama. 2) Nitrogliserin : Nitrogliserin sublingual dapat diberikan dengan aman dengan dosis 0,4 mg dan dapat diberikan sampai 3 dosis dengan interval 5 menit. - Morfin : sangat efektif dalam mengurangi nyeri dada dan merupakan analgesik pilihan dalam tatalaksana STEMI. Morfin dapat diberikan dengan dosis 2-4 mg dan dapat diulang dengan interval 5-15 menit sampai dosis total 20 mg. - Aspirin : merupakan tatalaksana dasar pada pasien yang dicurigai STEMI dan efektif pada spektrum sindroma koroner akut. Inhibisi cepat siklooksigenase trombosit yang dilanjutkan reduksi kadar tromboksan A2 dicapai dengan absorpsi aspirin bukal dengan dosis 160-325 mg di ruang emergensi. Selanjutnya diberikan peroral dengan dosis 75- 162 mg. - Penyekat Beta : Jika morfin tidak berhasil mengurangi nyeri dada, pemberian penyekat beta intravena dapat efektif. Regimen yang biasa diberikan adalah metoprolol 5 mg tiap 2-5 menit sampai total 3 dosis, dengan syarat frekuensi jantung > 60 kali permenit, tekanan darah sistolik > 100 mmHg, interval PR < 0,24 detik dan ronki tidak lebih dari 10 cm dari diafragma. Lima belas menit setelah dosis IV terakhir dilanjutkan dengan metoprolol oral dengan dosis 50 mg tiap 6 jam selama 48 jam, dan dilanjutkan dengan 100 mg tiap 12 jam.
Tatalaksana di rumah sakit ICCU 1) Aktivitas : pasien harus istirahat dalam 12 jam pertama 2) Diet : pasien harus puasa atau hanya minum cair dengan mulut dalam 4-12 jam karena risiko muntah dan aspirasi segera setelah infark miokard. 3) Sedasi : pasien memerlukan sedasi selama perawatan untuk mempertahankan periode inaktivitas dengan penenang. Diazepam 5mg, oksazepam 15-30 mg, atau lorazepam 0,5-2 mg, diberikan 3-4 kali/hari 4) Saluran pencernaan (bowels) : istirahat di tempat tidur dan efek menggunakan narkotik untuk menghilangkan rasa nyeri sering mengakibatkan konstipasi, sehingga dianjurkan penggunaan kursi komod di samping tempat tidur, diet tinggi serat, dan penggunaan pencahar ringan secara rutin seperti dioctyl sodium sulfosuksinat (200 mg/hari). I. Komplikasi IMA 1) Disfungsi Ventrikular
Ventrikel kiri mengalami perubahan serial dalam bentuk ukuran, dan ketebalan pada segmen yang mengalami infark dan non infark. Proses ini disebut remodelling ventricular yang sering mendahului berkembangnya gagal jantung secara klinis dalam hitungan bulan atautahun pasca infark. Pembesaran ruang jantung secara keseluruhan yang terjadi dikaitkan dengan ukuran dan lokasi infark, dengan dilatasi terbesar pasca infark pada apeks ventrikel kiri yang mengakibatkan penurunan hemodinamik yang nyata, lebih sering terjadi gagal jantung dan prognosis lebih buruk.
2) Gangguan Hemodinamik Gagal pemompaan (pump failure) merupakan penyebab utama kematian di rumah sakit pada STEMI. Perluasan nekrosis iskemia mempunyai korelasi dengan tingkat gagal pompa dan mortalitas, baik pada awal (10 hari infark) dan sesudahnya.
3) Syok kardiogenik Syok kardiogenik ditemukan pada saat masuk (10%), sedangkan 90% terjadi selama perawatan. Biasanya pasien yang berkembang menjadi syok kardiogenik mempunyai penyakit arteri koroner multivesel.
4) Infark ventrikel kanan Infark ventrikel kanan menyebabkan tanda gagal ventrikel kanan yang berat (distensi vena jugularis, tanda Kussmaul, hepatomegali) dengan atau tanpa hipotensi.
5) Aritmia paska STEMI Mekanisme aritmia terkait infark mencakup ketidakseimbangan sistem saraf autonom, gangguan elektrolit, iskemi, dan perlambatan konduksi di zona iskemi miokard.
6) Ekstrasistol ventrikel Depolarisasi prematur ventrikel sporadis terjadi pada hampir semua pasien STEMI dan tidak memerlukan terapi. Obat penyekat beta efektif dalam mencegah aktivitas ektopik ventrikel pada pasien STEMI.
7) Takikardia dan fibrilasi ventrikel Takikardi dan fibrilasi ventrikel dapat terjadi tanpa bahaya aritmia sebelumnya dalam 24 jam pertama. 8) Fibrilasi atrium 9) Aritmia supraventrikular 10) Asistol ventrikel 11) Bradiaritmia dan Blok 12) Komplikasi Mekanik Ruptur muskulus papilaris, ruptur septum ventrikel, ruptur dinding ventrikel.
J. Prognosis Terdapat beberapa sistem untuk menentukan prognosis paska IMA11 : 1) Klasifikasi Killip berdasarkan pemeriksaan fisik bedside sederhana, S3 gallop, kongesti paru dan syok kardiogenik
Tabel 2. Klasifikasi Killip pada Infark Miokard Akut
2) Klasifikasi Forrester berdasarkan monitoring hemodinamik indeks jantung dan pulmonary capillary wedge pressure (PCWP)
Tabel 3. Klasifikasi Forrester untuk Infark Miokard Akut
3) TIMI risk score adalah sistem prognostik paling akhir yang menggabungkan anamnesis sederhana dan pemeriksaan fisik yang dinilai pada pasien STEMI yang mendapat terapi fibrinolitik. Tabel 4. TIMI Risk Score untuk STEMI
Terapi pada pasien STEMI Terapi reperfusi Reperfusi dini akan memperpendek lama oklusi koroner, meminimalkan derajat disfungsi dan dilatasi vetrikel, serta mengurangi kemungkinan pasien STEMI berkembang menjadi pump failure atau takiaritmia ventrikular yang maligna. Sasaran terapi reperfusi adalah door to needle time untuk memulai terapi fibrinolitik dapat dicapai dalam 30 menit atau door to balloon time untuk PCI dapat dicapai dalam 90 menit. Waktu onset gejala untuk terapi fibrinolitik merupakan prediktor penting terhadap luas infark dan outcome pasien. Efektivitas obat fibrinolitik dalam menghancurkan trombus tergantung waktu. Terapi fibrinolitik yang diberikan dalam 2 jam pertama (terutama dalam jam pertama) dapat menghentikan infark miokard dan menurunkan angka kematian. Pemilihan terapi reperfusi dapat melibatkan risiko perdarahan pada pasien. Jika terapi reperfusi bersama-sama (tersedia PCI dan fibrinolitik), semakin tinggi risiko perdarahan dengan terapi fibrinolitik, maka semakin kuat keputusan untuk memilih PCI. Jika PCI tidak tersedia, maka terapi reperfusi farmakologis harusmempertimbangkan manfaat dan risiko. Adanya fasilitas kardiologi intervensi merupakan penentu utama apakah PCI dapat dikerjakan. - Percutaneous Coronary Interventions (PCI) Intervensi koroner perkutan (angioplasti atau stenting) tanpa didahului fibrinolitik disebut PCI primer (primary PCI). PCI efektif dalam mengembalikan perfusi pada STEMI jika dilakukan beberapa jam pertama infark miokard akut. PCI primer lebih efektif dari fibrinolitik dalam membuka arteri koroner yang tersumbat dan dikaitkan dengan outcome klinis jangka pendek dan jangka panjang yang lebih baik.11,16 PCI primer lebih dipilih jika terdapat syok kardiogenik (terutama pada pasien < 75 tahun), risiko perdarahan meningkat, atau gejala sudah ada sekurang-kurangnya 2 atau 3 jam jika bekuan darah lebih matur dan kurang mudah hancur dengan obat fibrinolitik. Namun, PCI lebih mahal dalam hal personil dan fasilitas, dan aplikasinya terbatas berdasarkan tersedianya sarana, hanya di beberapa rumah sakit. - Fibrinolitik Terapi fibrinolitik lebih baik diberikan dalam 30 menit sejak masuk (door to needle time < 30 menit) bila tidak terdapat kontraindikasi. Tujuan utamanya adalah merestorasi patensi arteri koroner dengan cepat. Terdapat beberapa macam obat fibrinolitik antara lain tissue plasminogen activator (tPA), streptokinase, tenekteplase (TNK), reteplase (rPA), yang bekerja dengan memicu konversi plasminogen menjadi plasmin yang akan melisiskan trombus fibrin. Aliran di dalam arteri koroner yang terlibat digambarkan dengan skala kualitatif sederhana dengan angiografi, disebut thrombolysis in myocardial infarction (TIMI) grading system :
1) Grade 0 menunjukkan oklusi total (complete occlusion) pada arteri yang terkena infark. 2) Grade 1 menunjukkan penetrasi sebagian materi kontras melewati titik obstruksi tetapi tanpa perfusi vaskular distal. 3) Grade 2 menunjukkan perfusi pembuluh yang mengalami infark ke arah distal tetapi dengan aliran yang melambat dibandingkan aliran arteri normal. 4) Grade 3 menunjukkan perfusi penuh pembuluh yang mengalami infark dengan aliran normal.
Target terapi reperfusi adalah aliran TIMI grade 3 karena perfusi penuh pada arteri koroner yang terkena infark menunjukkan hasil yang lebih baik dalam membatasi luasnya infark, mempertahankan fungsi ventrikel kiri, dan menurunkan laju mortalitas,11 selain itu, waktu merupakan faktor yang menentukan dalam reperfusi, fungsi ventrikel kiri, dan prognosis penderita. Keuntungan ini lebih nyata bila streptokinase diberikan dalam 6 jam pertama setelah timbulnya gejala, dengan anjuran pemberian streptokinase sedini mungkin untuk mendapatkan hasil yang semaksimal mungkin. Indikasi terapi fibrinolitik : Kelas I : 1) Jika tidak ada kontraindikasi, terapi fibrinolitik harus dilakukan pada pasien STEMI dengan onset gejala < 12 jam dan elevasi ST > 0,1 mV pada minimal 2 sandapan prekordial atau 2 sandapan ekstremitas 2) Jika tidak ada kontraindikasi, terapi fibrinolitik diberikan pada pasien STEMI dengan onset gejala < 12 jam dan LBBB baru atau diduga baru.
Kelas II a 1) Jika tidak ada kontraindikasi, dipertimbangkan terapi fibrinolitik pada pasien STEMI dengan onset gejala < 12 jam dan EKG 12 sandapan konsisten dengan infark miokard posterior. 2) Jika tidak ada kontraindikasi, dipertimbangkan terapi fibrinolitik pada pasien STEMI dengan onset mulai dari < 12 jam sampai 24 jam yang mengalami gejala iskemi yang terus berlanjut dan elevasi ST 0,1 mV pada sekurang-kurangnya 2 sandapan prekordial yang berdampingan atau minimal 2 sandapan ekstremitas.
Fibrinolitik dianggap berhasil jika terdapat resolusi nyeri dada dan penurunan elevasi segmen ST > 50% dalam 90 menit pemberian fibrinolitik. Fibrinolitik tidak menunjukkan hasil pada graft vena, sehingga pada pasien paska CABG datang dengan IMA, cara reperfusi yang lebih disukai adalah PCI. Kontraindikasi terapi fibrinolitik : Kontraindikasi absolut 1) Setiap riwayat perdarahan intraserebral 2) Terdapat lesi vaskular serebral struktural (malformasi AV) 3) Terdapat neoplasia ganas intrakranial 4) Strok iskemik dalam 3 bulan kecuali strok iskemik akut dalam 3 jam 5) Dicurigai diseksi aorta 6) Perdarahan aktif atau diastasis berdarah (kecuali menstruasi) 7) Trauma muka atau kepala tertutup yang bermakna dalam 3 bulan Kontraindikasi relatif 1) Riwayat hipertensi kronik berat, tak terkendali 2) Hipertensi berat tak terkendali saat masuk ( TDS >180 mmHg atau TDS>110 mmHg) 3) Riwayat strok iskemik sebelumnya >3 bulan, dementia, atau diketahui patologi intrakranial yang tidak termasuk kontraindikasi 4) Resusitasi jantung paru traumatik atau lama (>10menit) atau operasi besar (<3 minggu) 5) Perdarahan internal baru dalam 2-4 minggu 6) Pungsi vaskular yang tak terkompresi 7) Untuk streptase / anisreplase : riwayat penggunaan >5 hari sebelumnya atau reaksi alergi sebelumnya terhadap obat ini 8) Kehamilan 9) Ulkus peptikum aktif
10) Penggunaan antikoagulan baru : makin tinggi INR makin tinggi risiko perdarahan. Obat Fibrinolitik 1) Streptokinase : merupakan fibrinolitik non-spesifik fibrin. Pasien yang pernah terpajan dengan SK tidak boleh diberikan pajanan selanjutnya karena terbentuknya antibodi. Reaksi alergi tidak jarang ditemukan. Manfaat mencakup harganya yang murah dan insidens perdarahan intrakranial yang rendah. 2) Tissue Plasminogen Activator (tPA, alteplase) : Global Use of Strategies to Open Coronary Arteries (GUSTO-1) trial menunjukkan penurunan mortalitas 30 hari sebesar 15% pada pasien yang mendapatkan tPA dibandingkan SK. Namun, tPA harganya lebih mahal disbanding SK dan risiko perdarahan intrakranial sedikit lebih tinggi. 3) Reteplase (retevase) : INJECT trial menunjukkan efikasi dan keamanan sebanding SK dan sebanding tPA pada GUSTO III trial dengan dosis bolus lebih mudah karena waktu paruh yang lebih panjang. 4) Tenekteplase (TNKase) : Keuntungannya mencakup memperbaiki spesisfisitas fibrin dan resistensi tinggi terhadap plasminogen activator inhibitor (PAI-1). Laporan awal dari TIMI 1- B menunjukkan tenekteplase mempunyai laju TIMI 3 flow dan komplikasi perdarahan yang sama dibandingkan dengan tPA. Terapi fibrinolitik pada STEMI akut merupakan salah satu terapi yang manfaatnya sudah terbukti, tetapi mempunyai beberapa risiko seperti perdarahan. Perdarahan diklasifikasikan oleh American College of Surgeons' Advanced Trauma Life Support (ATLS) menjadi : - Kelas I : melibatkan hingga 15% dari volume darah, tidak ada perubahan dalam tanda- tanda vital dan tidak diperlukan resusitasi cairan. - Kelas II : melibatkan 15-30% dari volume darah total, ditandai dengan takikardi (denyut jantung cepat) dan penyempitan perbedaan antara tekanan darah sistolik dan diastolik. Transfusi darah biasanya tidak diperlukan. - Kelas III : melibatkan hilangnya 30-40% dari volume sirkulasi darah yang ditandai penurunan tekanan darah pasien, peningkatan denyut jantung, hipoperfusi perifer (syok). Resusitasi cairan dengan kristaloid dan transfusi darah biasanya diperlukan. - Kelas IV : melibatkan hilangnya> 40% dari volume sirkulasi darah. Batas kompensasi tubuh tercapai dan resusitasi agresif diperlukan untuk mencegah kematian.
Terapi lainnya ACC/AHA dan ESC merekomendasikan dalam tata laksana semua pasien dengan STEMI diberikan terapi dengan menggunakan anti-platelet (aspirin, clopidogrel, thienopyridin), anti-koagulan seperti Unfractionated Heparin (UFH) / Low Molecular Weight Heparin (LMWH), nitrat, penyekat beta, ACE-inhibitor, dan Angiotensin Receptor Blocker.
1) Anti trombotik Antiplatelet dan antitrombin yang digunakan selama fase awal STEMI berperan dalam memantapkan dan mempertahankan patensi arteri koroner yang terkait infark. Aspirin merupakan antiplatelet standar pada STEMI. Menurut penelitian ISIS-2 pemberian aspirin menurunkan mortalitas vaskuler sebesar 23% dan infark non fatal sebesar 49%. Inhibitor glikoprotein menunjukkan manfaat untuk mencegah komplikasi trombosis pada pasien STEMI yang menjalani PCI. Penelitian ADMIRAL membandingkan abciximab dan stenting dengan placebo dan stenting, dengan hasil penurunan kematian, reinfark, atau revaskularisasi segera pada 20 hari dan 6 bulan pada kelompok abciximab dan stenting. Obat antitrombin standar yang digunakan dalam praktek klinis adalah unfractionated heparin (UFH). UFH intravena yang diberikan sebagai tambahan terapi regimen aspirin dan obat trombolitik spesifik fibrin relatif, membantu trombolisis dan memantapkan serta mempertahankan patensi arteri yang terkait infark. Dosis yang direkomendasikan adalah bolus 60 U/kg (maksimum 4000U) dilanjutkan infus inisial 12 U/kg perjam (maksimum 1000 U/jam). Activated partial thromboplastin time selama terapi pemeliharaan harus mencapai 1,5-2 kali. Pasien dengan infark anterior, disfungsi ventrikel kiri berat, gagal jantung kongestif, riwayat emboli, trombus mural pada ekokardiografi 2 dimensi atau fibrilasi atrial merupakan risiko tinggi tromboemboli paru sistemik dan harus mendapatkanterapi antitrombin kadar terapetik penuh (UFH atau LMWH) selama dirawat, dilanjutkan terapi warfarin minimal 3 bulan.
2) Thienopiridin Clopidogrel (thienopiridin) berguna sebagai pengganti aspirin untuk pasien dengan hipersensitivitas aspirin dan dianjurkan untuk pasien dengan STEMI yang menjalani reperfusi primer atau fibrinolitik.7,8 Penelitian Acute Coronary Syndrome (ACOS) registry investigators mempelajari pengaruh clopidogrel di samping aspirin pada pasien STEMI yang mendapat perawatan dengan atau tanpa terapi reperfusi, menunjukkan penurunan kejadian kasus jantung dan pembuluh darah serebral (kematian, reinfark non fatal, dan stroke non fatal). Manfaat dalam penurunan kematian terbesar pada kelompok pasien tanpa terapi reperfusi awal (8%), yang memiliki angka kematian 1 tahun tertinggi (18%).
3) Penyekat Beta Penyekat beta pada pasien STEMI dapat memberikan manfaat yaitu manfaat yang terjadi segera jika obat diberikan secara akut dan yang diberikan dalam jangka panjang jika obat diberikan untuk pencegahan sekunder setelah infark. Penyekat beta intravena memperbaiki hubungan suplai dan kebutuhan oksigen miokard, mengurangi nyeri, mengurangi luasnya infark, dan menurunkan risiko kejadian aritmia ventrikel yang serius. Terapi penyekat beta pasca STEMI bermanfaat untuk sebagian besar pasien termasuk yang mendapatkan terapi inhibitor ACE, kecuali pada pasien dengankontraindikasi (pasien dengan gagal jantung atau fungsi sistolik ventrikel kiri sangat menurun, blok jantung, hipotensi ortostatik, atau riwayat asma).
4) Inhibitor ACE Inhibitor ACE menurunkan mortalitas pasca STEMI dan memberikan manfaat terhadap penurunan mortalitas dengan penambahan aspirin dan penyekat beta. Penelitian SAVE, AIRE, dan TRACE menunjukkan manfaat inhibitor ACE pada pasien dengan risiko tinggi (pasien usia lanjut atau infark anterior, riwayat infark sebelumnya, dan atau fungsi ventrikel kiri menurun global). Kejadian infark berulang juga lebih rendah pada pasien yang mendapat inhibitor ACE menahun pasca infark. Inhibitor ACE harus diberikan dalam 24 jam pertama pada pasien STEMI. Pemberian inhibitor ACE harus dilanjutkan tanpa batas pada pasien dengan bukti klinis gagal jantung, pada pasien dengan pemeriksaan imaging menunjukkan penurunan fungsi ventrikel kiri secara global, atau terdapat abnormalitas gerakan dinding global, atau pasien hipertensif.