Professional Documents
Culture Documents
OLEH : KEUMALAHAYATI
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya sampaikan kehadirat Allah SWT bahwa saya telah menyelesaikan
artikel yang berjudul: Kekerasan pada istri dalam rumah tangga Berdampak Terhadap
Kesehatan reproduksi. Walaupun masih jauh dari kesempurnaan, namun saya bersyukur
dapat selesai tepat waktu dan untuk itu kami mengharapkan saran yang bersifat mem-
Pada kesempatan yang berbahagia ini kami ucapkan terima kasih kepada:
1. Ibu Rr. Tutik Sri Hariyati, SKp. MARS selaku koordinator mata ajar Sistem
Dengan segala kerendahan hati kami berharap artikel ini berguna dan bermanfaat bagi
yang memerlukannya.
Penulis
DAFTAR ISI
I. PENDAHULUAN................................................................................................ 1
A. Latar Belakang..................................................................................................... 1
B. Tujuan Penulisan.................................................................................................. 5
II. PEMBAHASAN................................................................................................. 6
Rumah tangga...................................................................................................... 9
A. Kesimpulan .................................................................................................... 18
B. Saran ............................................................................................................. 18
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tindak kekerasan di dalam rumah tangga (domestic violence) merupakan jenis kejahatan
yang kurang mendapatkan perhatian dan jangkauan hukum. Tindak kekerasan di dalam
rumah tangga pada umumnya melibatkan pelaku dan korban diantara anggota keluarga
di dalam rumah tangga, sedangkan bentuk tindak kekerasan bisa berupa kekerasan fisik
dan kekerasan verbal (ancaman kekerasan). Pelaku dan korban tindak kekerasan
didalam rumah tangga bisa menimpa siapa saja, tidak dibatasi oleh strata, status sosial,
Tindak kekerasan pada istri dalam rumah tangga merupakan masalah sosial yang serius,
akan tetapi kurang mendapat tanggapan dari masyarakat dan para penegak hukum
karena beberapa alasan, pertama: ketiadaan statistik kriminal yang akurat, kedua: tindak
kekerasan pada istri dalam rumah tangga memiliki ruang lingkup sangat pribadi dan
(sanctitive of the home), ketiga: tindak kekerasan pada istri dianggap wajar karena hak
suami sebagai pemimpin dan kepala keluarga, keempat: tindak kekerasan pada istri
dalam rumah tangga terjadi dalam lembaga legal yaitu perkawinan. (Hasbianto, 1996)
Perspektif gender beranggapan tindak kekerasan terhadap istri dapat dipahami melalui
produk sosial, dengan demikian nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat turut
membentuk prilaku individu artinya apabila nilai yang dianut suatu masyarakat bersifat
nilai tersebut dalam kehidupan keluarga adalah dominasi suami atas istri.
Mave Cormack dan Stathern (1990) menjelaskan terbentuknya dominasi laki-laki atas
perempuan ditinjau dari teori nature and culture. Dalam proses transformasi dari
kultural laki-laki ditempatkan pada posisi lebih tinggi dari perempuan, karena itu
memiliki legitimasi untuk menaklukan dan memaksa perempuan. Dari dua teori ini
Sebagian besar perempuan sering bereaksi pasif dan apatis terhadap tindak kekerasan
yang dihadapi. Ini memantapkan kondisi tersembunyi terjadinya tindak kekerasan pada
istri yang diperbuat oleh suami. Kenyataan ini menyebabkan minimnya respon
masyarakat terhadap tindakan yang dilakukan suami dalam ikatan pernikahan. Istri
semakin yakin pada anggapan yang keliru, suami dominan terhadap istri. Rumah
tangga, keluarga merupakan suatu institusi sosial paling kecil dan bersifat otonom,
sehingga menjadi wilayah domestik yang tertutup dari jangkauan kekuasaan publik.
mengatur dan menegakkan rumah tangga sehingga terbebas dari jangkauan kekuasaan
publik.
sistematis pada tingkat nasional. Laporan dari institusi pusat krisis perempuan,
kekerasan sudah menikah dan pelakunya selalu suami mereka. Mitra Perempuan (2005)
80% dari perempuan yang melapor pelakunya adalah para suami, mantan suami, pacar
laki-laki, kerabat atau orang tua, 4,5% dari perempuan yang melapor berusia dibawah
memanfaatkan pelayanan mengalami lebih dari satu jenis kekerasan (fisik, fisiologi,
seksual, kekerasan ekonomi, dan pengabaian), hampir 17% kasus tersebut berpengaruh
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Rifka Annisa Womsis Crisis Centre (RAWCC,
1995) tentang kekerasan dalam rumah tangga terhadap 262 responden (istri)
kekerasan fisik. Tingkat pendidikan dan pekerjaan suami (pelaku) menyebar dari
Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi (S2); pekerjaan dari wiraswasta, PNS, BUMN,
ABRI. Korban (istri) yang bekerja dan tidak bekerja mengalami kekerasan termasuk
Hasil penelitian kekerasan pada istri di Aceh yang dilakukan oleh Flower (1998)
mengidentifikasi dari 100 responden tersebut ada 76 orang merespon dan hasilnya 37
orang mengatakan pernah mengalami tindak kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan
berupa psikologis (32 orang), kekerasan seksual (11 orang), kekerasan ekonomi (19
orang), kekerasan fisik (11 orang). Temuan lain sebagian responden tidak hanya
mengalami satu kekerasan saja. Dari 37 responden, 20 responden mengalami labih dari
satu kekerasan, biasanya dimulai dengan perbedaan pendapat antara istri (korban)
dengan suami lalu muncul pernyataan-pernyataan yang menyakitkan korban, bila situasi
Dari penelitian ini terungkap bahwa sebagai suami yang melakukan tindak kekerasan
kepada istri meyakini kebenaran tindakannya itu, karena prilaku istri dianggap tidak
menurut kepada suami, melalaikan pekerjaan rumah tangga, cemburu, pergi tanpa
pamit. Hal ini diyakini oleh pihak istri, sehingga mereka mengalami kekerasan dari
Penelitian yang mengkaitkan tindak kekerasan pada istri yang berdampak pada
psikologi tindak kekerasan pada istri dalam rumah tangga menyebabkan gangguan
seksual atau tindak kekerasan terhadap istri mempengaruhi kesehatan seksual istri. Jadi
tindak kekerasan dalam konteks kesehatan reproduksi dapat dianggap tindakan yang
mengancam kesehatan seksual istri, karena hal tersebut menganggu psikologi istri baik
kekerasan pada istri dalam rumah tangga berdampak terhadap kesehatan reproduksi.
B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum: mampu memahami secara menyeluruh tentang tindak kekerasan pada
diberikan.
2. Tujuan Khusus:
a. Dapat mengidentifikasi bentuk tindakan kekerasan dan kategori pada istri dalam
rumah tangga.
rumah tangga.
d. Dapat menjelaskan dampak tindak kekerasan pada istri terhadap kesehatan repro-
duksinya.
segala tindakan kekerasan yang dilakukan terhadap perempuan yang berakibat atau
psikologis terhadap perempuan, baik perempuan dewasa atau anak perempuan dan
Kekerasan dalam rumah tangga menurut Undang-undang RI no. 23 tahun 2004 adalah
kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan atau penelantaran
rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau pe-
Tindakan kekerasan terhadap istri dalam rumah tangga merupakan salah satu bentuk
kekerasan yang seringkali terjadi pada perempuan dan terjadi di balik pintu tertutup.
Tindakan ini seringkali dikaitkan dengan penyiksaan baik fisik maupun psikis yang
Tindak kekerasan terhadap istri dalam rumah tangga terjadi dikarenakan telah diyakini
bahwa masyarakat atau budaya yang mendominasi saat ini adalah patriarkhi, dimana
laki-laki adalah superior dan perempuan inferior sehingga laki-laki dibenarkan untuk
Di samping itu, terdapat interpretasi yang keliru terhadap stereotipi jender yang
umumnya lebih kuat. Sesuai dengan yang dinyatakan oleh Sciortino dan Smyth, 1997;
dukungan sosial dan kultur (budaya) dimana istri di persepsikan orang nomor dua dan
bisa diperlakukan dengan cara apa saja. Hal ini muncul karena transformasi
pengetahuan yang diperoleh dari masa lalu, istri harus nurut kata suami, bila istri
mendebat suami, dipukul. Kultur di masyarakat suami lebih dominan pada istri, ada
tindak kekerasan dalam rumah tangga dianggap masalah privasi, masyarakat tidak boleh
Saat ini dengan berlakunya undang-undang anti kekerasan dalam rumah tangga disetujui
tahun 2004, maka tindak kekerasan dalam rumah tangga bukan hanya urusan suami istri
tetapi sudah menjadi urusan publik. Keluarga dan masyarakat dapat ikut mencegah dan
Menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tindak kekerasan terhadap istri dalam
1. Kekerasan fisik
Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka
berat. Prilaku kekerasan yang termasuk dalam golongan ini antara lain adalah
ini akan nampak seperti bilur-bilur, muka lebam, gigi patah atau bekas luka lainnya.
hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya
kehendak.
3. Kekerasan seksual
Kekerasan jenis ini meliputi pengisolasian (menjauhkan) istri dari kebutuhan batinnya,
Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal
menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib
dari kekerasan jenis ini adalah tidak memberi nafkah istri, bahkan menghabiskan uang
Rumah tangga
Strauss A. Murray mengidentifikasi hal dominasi pria dalam konteks struktur masya-
rakat dan keluarga, yang memungkinkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga
wanita (istri) ketergantungan terhadap suami, dan ketika suami kehilangan pekerjaan
Istri yang tidak bekerja, menjadikannya menanggung beban sebagai pengasuh anak.
Ketika terjadi hal yang tidak diharapkan terhadap anak, maka suami akan menyalah-kan
konsep wanita sebagai hak milik bagi laki-laki menurut hukum, mengakibatkan kele-
luasaan laki-laki untuk mengatur dan mengendalikan segala hak dan kewajiban wanita.
Laki-laki merasa punya hak untuk melakukan kekerasan sebagai seorang bapak
Posisi wanita sebagai istri di dalam rumah tangga yang mengalami kekerasan oleh
ditunda atau ditutup. Alasan yang lazim dikemukakan oleh penegak hukum yaitu
adanya legitimasi hukum bagi suami melakukan kekerasan sepanjang bertindak dalam
Kesehatan reproduksi menurut ICPD (1994) adalah suatu keadaan sejahtera fisik,
mental dan sosial secara utuh, tidak semata-mata bebas dari penyakit atau kecacatan
dalam semua hal yang berkaitan dengan sistem reproduksi, serta fungsi dan prosesnya.
Masalah kesehatan perempuan merupakan masalah penting dan serius karena sejak dua
dekade terakhir Angka Kematian Ibu (AKI) tidak pernah turun. Berdasarkan hasil
penelitian SKRT (2000) AKI sebesar 396 / 100000, Aborsi tidak aman berkontribusi
terhadap AKI : 11-17 % (Herdayati, 2002), bisa mencapai 50 % (Azrul Azwar, 2003).
Angka aborsi 2-2,3 juta/tahun (Utomo, 2001), pelaku Aborsi 87 % wanita kawin,
lebih parah dibanding efek fisiknya. Rasa takut, cemas, letih, kelainan stress post
traumatic, serta gangguan makan dan tidur merupakan reaksi panjang dari tindak
kekerasan. Namun, tidak jarang akibat tindak kekerasan terhadap istri juga meng-
akibatkan kesehatan reproduksi terganggu secara biologis yang pada akhirnya meng-
akibatkan terganggunya secara sosiologis. Istri yang teraniaya sering mengisolasi diri
Sehubungan dengan dampak tindak kekerasan terhadap kehidupan seksual dan repro-
duksi perempuan, penelitian yang dilakukan oleh Rance (1994) yang dikutip oleh Heise,
Moore dan Toubia (1995) kekerasan dan dominasi laki-laki dapat membatasi dan
membentuk kehidupan seksual dan reproduksi perempuan. Selain itu, laki-laki juga
sangat berpengaruh dalam pengambilan keputusan tentang alat kontrasepsi yang dipakai
oleh pasangannya. Selanjutnya penelitian yang dilakukan di Norwegia oleh Schei dan
Bakketeig (1989) yang dikutip oleh Heise, Moore dan Toubia (1995) juga menyatakan
bahwa perempuan yang tinggal dengan pasangan yang suka melakukan tindak
dengan yang tinggal dengan pasangan/suami normal ; bahkan problem gineko-logis ini
Tindak kekerasan terhadap istri perlu diungkap untuk mencari alternatif pemberdayaan
bagi istri agar terhindar dari tindak kekerasan yang tidak semestinya terjadi demi
wanita dapat mengalami menopause lebih awal, dapat mengalami penurunan libido,
Di seluruh dunia satu diantara empat perempuan hamil mengalami kekerasan fisik dan
seksual oleh pasangannya. Pada saat hamil, dapat terjadi keguguran / abortus, persalinan
Pada saat bersalin, perempuan akan mengalami penyulit persalinan seperti hilangnya
kontraksi uterus, persalinan lama, persalinan dengan alat bahkan pembedahan. Hasil
dari kehamilan dapat melahirkan bayi dengan BBLR, terbelakang mental, bayi lahir
Dampak lain yang juga mempengaruhi kesehatan organ reproduksi istri dalam rumah
tangga diantaranya adalah perubahan pola fikir, emosi dan ekonomi keluarga. Dampak
terhadap pola fikir istri. Tindak kekerasan juga berakibat mempengaruhi cara berfikir
korban, misalnya tidak mampu berfikir secara jernih karena selalu merasa takut,
cenderung curiga (paranoid), sulit mengambil keputusan, tidak bisa percaya kepada apa
yang terjadi. Istri yang menjadi korban kekerasan memiliki masalah kesehatan fisik dan
mental dua kali lebih besar dibandingkan yang tidak menjadi korban termasuk tekanan
(www.depkes.go.id).
Dampak terhadap ekonomi keluarga. Dampak lain dari tindakan kekerasan meskipun
tidak selalu adalah persoalan ekonomi, menimpa tidak saja perempuan yang tidak
bekerja tetapi juga perempuan yang mencari nafkah. Seperti terputusnya akses ekono-mi
secara mendadak, kehilangan kendali ekonomi rumah tangga, biaya tak terduga untuk
Dampak terhadap status emosi istri. Istri dapat mengalami depresi, penyalahgunaan /
pemakaian zat-zat tertentu (obat-obatan dan alkohol), kecemasan, percobaan bunuh diri,
Isu penindasan terhadap wanita terus menerus menjadi perbincangan hangat. Salah
KDRT nyaring disuarakan organisasi, kelompok atau bahkan negara yang meratifikasi
Terhadap Perempuan yang dilahirkan PBB tanggal 20 Desember 1993 dan telah di
Perjuangan penghapusan KDRT berangkat dari fakta banyaknya kasus KDRT yang
terjadi dengan korban mayoritas perempuan dan anak-anak. Hal ini berdasarkan
Tanggal 22 September 2004 merupakan tanggal bersejarah bagi bangsa Indonesia. Pada
kekerasan dalam rumah tangga yaitu pertama faktor pembelaan atas kekuasaan laki-laki
ketergantungan terhadap suami, dan ketika suami kehilangan pekerjaan maka istri
mengalami tindakan kekerasan. Ketiga, faktor beban pengasuhan anak dimana istri yang
tidak bekerja, menjadikannya menanggung beban sebagai pengasuh anak. Ketika terjadi
hal yang tidak diharapkan terhadap anak, maka suami akan menyalah-kan istri sehingga
tejadi kekerasan dalam rumah tangga. Keempat yaitu faktor wanita sebagai anak-anak,
dimana konsep wanita sebagai hak milik bagi laki-laki menurut hukum, mengakibatkan
keleluasaan laki-laki untuk mengatur dan mengendalikan segala hak dan kewajiban
wanita. Laki-laki merasa punya hak untuk melakukan kekerasan sebagai seorang bapak
melakukan kekerasan terhadap anaknya agar menjadi tertib, Kelima faktor orientasi
peradilan pidana pada laki-laki, dimana posisi wanita sebagai istri di dalam rumah
tangga yang mengalami kekerasan oleh suaminya, diterima sebagai pelanggaran hukum,
sehingga penyelesaian kasusnya sering ditunda atau ditutup. Alasan yang lazim
dikemukakan oleh penegak hukum yaitu adanya legitimasi hukum bagi suami
pemerataan. Pembangunan negara yang diongkosi utang luar negeri, dan merajalelanya
perilaku kolusi dan korupsi pada semua lini pemerintahan, telah meremukkan sendi-
sendi perekonomian bangsa. Tak kurang 70% penduduk Indonesia berada di bawah
garis kemiskinan. Mereka tidak mampu menghidupi diri secara layak karena negara
menjadi salah satu pemicu orang berbuat nekat melakukan kejahatan, termasuk
Dari sisi hukum, ketiadaan sanksi yang tegas dan membuat jera pelaku telah
yang dihukum ringan, pelaku perzinaan yang malah dibiarkan, dan lain lain. Dari sisi
orang berduit saja. Lahirlah kebodohan secara sistematis pada masyarakat. dan
rendah.
Untuk persoalan ini, dibutuhkan penerapan hukum yang menyeluruh oleh negara.
Kalau tidak akan terjadi ketimpangan. Sebagai contoh sulit untuk menghilangkan
pelacuran, kalau faktor ekonomi tidak diperbaiki. Sebab, tidak sedikit orang melacur
karena persoalan ekonomi. Kekerasaan dalam rumah tangga, kalau hanya dilihat dari
istri harus mengabdi kepada suami, pastilah timpang. Padahal dalam Islam, suami
diwajibkan berbuat baik kepada istri. Kekerasaan yang dilakukan oleh suami seperti
menyakiti fisiknya bisa diberikan sanksi diyat. Disinilah letak penting tegaknya hukum
kekerasan dalam rumah tangga dan menurut pasal 12 ayat (1) menyelenggarakan
advokasi dan sosialisasi tentang kekerasan dalam rumah tangga juga menjadi tanggung
jawab pemerintah. Namun, nyatanya, sosialisasi dan advokasi kekerasan dalam rumah
tangga masih minim. Masih banyak masyarakat yang belum mengetahui apalagi
berbagai persepsi.
Sehubungan dengan banyaknya hal baru dalam UU PKDRT yang tidak ditemukan
dalam UU lain, seperti perlindungan sementara dan perintah perlindungan, juga adanya
tindak pidana berupa jenis kekerasan lain di luar kekerasan fisik, diperlukan pendidikan
dan pelatihan yang memadai bagi aparat penegak hukum dan pekerja sosial untuk
menyamakan persepsi.
Di samping itu, diperlukan sosialisasi yang memadai bagi masyarakat luas, terutama
bagi para pihak yang berpotensi melakukan KDRT, sebagai upaya pencegahan. Bagi
pihak yang mungkin menjadi korban KDRT, sosialisasi perlu, agar bila terjadi KDRT,
kekerasan, seperti kekerasan ekonomi dan kekerasan sosial. Selain itu, diperlukan
undangan bisa saling mendukung dan tidak saling bertentangan, supaya UU PKDRT
Penegakan hukum UU PKDRT tidak akan terlepas dari penegakan hukum pada
yang diatur dalam UU PKDRT hanya akan berupa law in book (teori) belaka, sedangkan
dalam law in action (praktik) akan sulit terwujud. Oleh karena itu, supremasi hukum
harus ditegakkan.
Disini perawat dapat berperan dengan fokus meningkatkan harga diri korban,
kekerasan.
A. KESIMPULAN
1. Tindak kekerasan dalam rumah tangga merupakan jenis kejahatan yang kurang
berupa kekerasan fisik, psikis, seksual, dan verbal serta penelantaran rumah tangga.
2. Faktor yang mendorong terjadinya tindak kekerasan pada istri dalam rumah tangga
ekonomi, beban pengasuhan anak, wanita sebagai anak-anak, dan orientasi peradilan
mempengaruhi psikologis ibu sehingga terjadi gangguan pada saat kehamilan dan
4. Implikasi keperawatan yang harus dilakukan adalah sesuai dengan peran perawat
masalah publik ditandai laporan kasus KDRT semakin meningkat setiap tahunnya
dan pelaku mendapat hukuman pidana walaupun saat ini kultur Indonesia masih
dominasi laki-laki.
B. SARAN
menyadarkan dan membuka mata serta hati untuk tidak berdiam diri bila ada kasus
Meningkatkan peran perawat untuk ikut serta menangani kasus KDRT dan menekan
dampak yang terjadi pada kesehatan repsoduksinya dengan memfasilitasi setiap Rumah
kondisi psikisnya.
DAFTAR PUSTAKA
Abrar Ana Nadhya, Tamtari Wini (Ed) (2001). Konstruksi Seksualitas Antara Hak
dan Kekuasaan. Yogyakarta: UGM.
Dep. Kes. RI. (2003). Profil Kesehatan Reproduksi Indonesia 2003. Jakarta: Dep.
Kes. RI
Kompas. (2007). Kekerasan Rumah Tangga Bukan Lagi Urusan Suami Istri. Diambil
pada tanggal 25 Maret 2007 dari http://kompas.com.
Monemi Kajsa Asling et.al. (2003). Violence Againts Women Increases The Risk Of
Infant and Child Mortality: a case-referent Study in Niceragua. The
International Journal of Public Health, 81, (1), 10-18.
WHO. (2006). Menggunakan Hak Asasi Manusia Untuk Kesehatan Maternal dan
Neunatal: Alat untuk Memantapkan Hukum, Kebijakan, dan Standar
Pelayanan. Jakarta: Dep. Kes. RI.
____ . (2007). Dampak Kekerasan dalam Rumah Tangga Bagi Wanita. Diambil pada
tanggal 25 Maret 2007 dari www.depkes.go.id.