You are on page 1of 8

CIA Sewa Organisasi Tentara Bayaran Blackwater

pasukan keamanan swasta dari Blackwater Worldwide berpartisipasi dalam operasi-operasi CIA yang paling
sensitif, termasuk penggerebekan-penggerebakan para tersangka militan di  Iraq dan Afghanistan, lapor
suratkabar New York Times seperti dikutip Reuters, Jumat.

Peran Blackwater di Afghanistan bermula di awal tahun 2002 ketika CIA menyewa perusahaan keamanan
swasta itu untuk mengamankan sekeliling tempat kantor CIA di Hotel Ariana, Kabul, tulis suratkabar AS
yang akrab disebut "The Times" itu dalam lamannya www.nytimes.com.

Kemudian, dibawah nama baru Xe Services, Blackwater disewa lagi untuk melindungi kantor CIA di Baghdad
setelah invasi pimpinan AS ke Irak setahun sebelumnya.

Menurut the Times, peran Blackwater di kedua mandala operasi itu berubah tajam manakala para
pengawalnya mulai memberikan jasa keamanan untuk para agen lapangan CIA, kadang-kadang itu
dilakukan selama misi ofensif bersama pasukan khusus Delta Force atau Navy Seals.

Penyergapan terhadap para tersangka pemberontak di Irak, yang dikenal dengan operasi "snatch and grab"
(ciduk dan tangkap), mulai dilakukan hampir setiap malam di sepanjang tahun-tahun terburuk dalam
perang itu, antara 2004 dan 2006.

The Times mengutip beberapa mantan pengawal Blackwater bahwa operasi penangkapan dan pembunuhan
militan Irak dan Afghanistan menjadi rutin dilakukan setiap hari, dimana kadang-kadang personel
Blackwater menjadi mitra dalam misi-misi tersebut, lebih dari sekedar memberi kawalan kepada para
perwira CIA.

Nama Blackwater mendadak kondang dalam Perang Iraq setelah penembakan September 2007 dimana
pasukan bayaran itu didakwa membunuh 14 warga sipil Irak tak bersenjata, saat mereka mengawal
rombongan diplomat AS menembus kota Baghdad.

Seorang pengawal bayaran terbukti bersalah dalam pembantaian yang berkaitan dengan penembakan  yang
juga melukai 20 orang itu.  Lima pengawal lainnya menjadi terdakwa.

The Times melaporkan bahwa pada Agustus tahun ini, CIA masih juga menyewa kontraktor Blackwater
dalam sebuah program rahasia untuk melacak dan membunuh para pemimpin senior Alqaeda.

Program ini bernilai jutaan dolar AS, namun tidak pernah berhasil menangkap atau membunuh seorang pun
anggota militan, demikian surat kabar yang bermarkas di Los Angeles itu

Kebencian Terhadap Islam, Sumber Ketidakadilan

“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran)
karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah  sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum,
mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan
bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al
Maidah : 8)

Ketika Bibit Chandra dijebloskan kedalam sel, ribuan orang bereaksi keras atas peristiwa ini. Demo besar-
besaran membela Bibit Chandra terjadi diseantero wilayah Indonesia. Tekanan terhadap pihak kepolisian
yang melakukan penahanan terhadap Bibit Chandra demikian kuatnya. Semua orang membicarakan
rekayasa yang dilakukan oleh Polisi terhadap Bibit dan Chandra.

Begitu pula dalam kasus Prita dan Nek Minah, media massa mengangkat berita tersebut sebagai contoh
kasus bahwa aparat penegak hukum, baik Polisi, Jaksa maupun Hakim, telah bertindak tidak adil dan zholim
dalam menangani kasus tersebut.

Akan tetapi ketika begitu aparat hukum berlaku yang sama terhadap orang-orang yang dituduh sebagai
teroris. Media massa menjadi mandul tak berdaya. Ketika mereka yang dituduh teroris satu persatu
ditembak mati tanpa ampun, mulai dari Dr. Azhari, Ibrahim, Soesilo, Syaifuddin Zuhri bin Jaelani,
Muhammad Syahrir bin Jaelani, Air Setiawan, Eko Joko Sarjono, hingga Noordin M Top. Tanpa perlu proses
hukum, mereka langsung dieksekusi mati.

Ratusan orang yang ditangkap dengan tuduhan yang direkayasa dan dipaksakan, sebagaimana yang dialami
oleh Ustadz Abu Bakar Ba’asyir, Ustad Abu Jibril, Muhammad Jibril dan yang lainnya terus terjadi dan justru
menjadikan Polisi sebagai salah satu institusi yang paling berprestasi dan membuat harum nama Kepolisian.

Sikap dan dukungan media massa dan masyarakat awam sangat berbeda dalam merespon kasus-kasus
yang bernuansa ketimpangan hukum semata dengan kasus-kasus yang bernuansa teorisme. Dalam kasus-
kasus yang menyangkut persoalan ketimpangan hukum, media massa begitu menggebu-gebu
memberitakan dan memberikan dukungan terhadap orang-orang yang dizholimi tersebut. Jargon
penegakkan hukum yang tidak adil menggema diseantero bumi.

Akan tetapi, media massa dan masyarakat awam bungkam seribu bahasa ketika yang mengalami ketidak-
adilan tersebut adalah orang-orang yang dituduh sebagai teroris. Bahkan media massa dan masyarakat
awam, justru membenarkan dan bersorak gembira ketika orang-orang yang dituduh teroris tersebut satu
persatu tersungkur tertembus timah panas. Berbagai komentar yang menyanjung aparat hukum dilontarkan
media massa dan masyarakat awam, mereka beramai-ramai memberikan dukungan kepada Kepolisian
dengan mengacungkan jempol dan pembunuhan keji tersebut dianggap prestasi luar biasa. Tindakan
sewenang-wenang aparat kepolisian justru dianggap sebagai prestasi oleh media massa dan masyarakat.

Prestasi Polisi dalam memberantas “terorisme” ini diwujudkan oleh institusi kepolisian dengan memberikan
posisi jabatan strategis dan kenaikan pangkat yang cepat bagi personil-personil yang terlibat dalam “perang
terhadap terorisme”.

Inilah cerminan masyarakat yang terjajah secara pemikiran. Mereka bereaksi keras hanya pada kasus-kasus
yang secara emosional menguras perasaan. Ini cermin dari masyarakat sinetron, yang bersikap atas dasar
emosi sesaat dan posisi protagonis sang aktor.

Namun Allah SWT berkehendak lain. Yang tadinya disanjung-sanjung serta dipuji dan dipuja oleh sebagian
besar orang, justru kemudian menjadi sebuah bahan cemooh dan kapiran. Apa yang selama ini dianggap
prestasi, justru kemudia terbuka dimata semua orang cara kerja yang penuh dengan rekayasa. Hilang sudah
puja dan puji.

Sikap aparat hukum, media massa maupun masyarakat awam yang satu barisan dalam menghadapi para
mujahidin, lebih didasarkan pada kebencian yang mendalam terhadap pejuang-pejuang Islam tersebut.
Mereka telah menggunakan issu terorisme untuk memfitnah para mujahidin untuk membangkitkan
kebencian masyarakat luas kepada agama Allah.

Kebencian yang mendalam terhadap Islam dari golongan musyrikin, kafirin dan munafiqin yang ada
ditengah-tengah umat Islam inilah yang menyebabkan mereka bersikap tidak adil.

Namun makar mereka ini dibalas oleh Allah SWT hanya dalam waktu sekejap
Keluarga Peduli ‘Kaleng Rombeng’

Mereka berdakwah di tengah orang-orang kalah yang baunya bisa membuat muntah-muntah.

Remaja kumal itu memungut bangkai ayam di tempat sampah. Lalu mengorek-ngorek dan membuang
belatung dari daging busuk tersebut. Ketika tepergok dan ditanya untuk apa daging bangkai busuk diambil,
dengan polos ia menjawab, ‘’Saya pingin makan ayam, Bu.’’

Masya Allah! Wulan Sari setengah terisak, nyaris tak sanggup meneruskan kisah tragis si pemulung remaja
binaannya. Hening pun mencekam di forum diskusi pegiat pembinaan anak jalanan di ruang rapat Dewan
Dakwah Islamiyah, Jakarat Pusat, Senin (23/2) lalu.

Setelah bersusah payah menahan airmatanya agar tak tumpah, barulah wanita berjilbab pink itu mampu
melanjutkan ceritanya.

Sudah hampir 5 tahun, Sari dan suami menjadi sahabat keluarga pemulung di TPA (tempat pembuangan
akhir) Bantar Gebang, Bekasi, Jawa Barat. Meskipun keluarganya tinggal di perumahan Kemang Pratama,
Bekasi, Sari tekun menyambangi ‘’orang-orang sampah’’ yang berjarak 15 km dari rumahnya.

Kepedulian Sari tertantang oleh aksi pemurtadan yang dilakukan sebuah yayasan eksklusif di Bantar
Gebang. ‘’Yayasan itu sangat tertutup. Mereka rutin mengundang warga pemulung yang semuanya muslim,
untuk dilunturkan keyakinannya dengan imbalan sembako,’’ ungkap wanita asal Malang, Jawa Timur, ini.
Di tengah perkampungan para pemulung, Sari lalu mendirikan mushola dan menyelenggarakan TPA.
‘’TPA yang saya dirikan bukan tempat pembuangan sampah, melainkan Taman Pendidikan Al Qur’an,’’
katanya sambil tersenyum. Dia menggaji orang untuk menjadi marbot dan guru. ‘’Nyari relawan yang
betah lama, susah. Mereka umumnya tidak tahan bau sampah, sampai muntah-muntah’’ katanya sambil
tersenyum kecut.

Untuk menarik anak-anak agar mau ngaji, Sari kadang membagikan bingkisan. Demikian juga untuk
memancing orangtua mereka mengikuti majelis taklim, tempo-tempo disediakan sembako.

‘’Tapi, tentu saja saya sendirian tidak bisa menyaingi sembako pemberian yayasan kristen itu,’’ kata Sari.
Toh, ia tetap berusaha membantu kebutuhan warga, agar jangan sampai kelaparan. ‘’Mereka mengaku,
pernah makan daging babi ketika diundang yayasan itu, karena lapar,’’ ungkapnya miris.

Alhamdulillah, berkat keikhlasan dan sikapnya yang sangat keibuan, dakwah Sari diterima masyarakat
setempat. Meskipun bantuan kebutuhan pokok yang diberikannya tak sebesar iming-iming yayasan
pemurtadan. Bahkan kini, Sari sudah membuka TPA di tiga tempat di seputar TPA Bantar Gebang. Ratusan
jumlah santrinya. Warga pun tak lagi tergiur pada undangan pemurtadan berkedok kemanusiaan.

Seperti Keluarga Sari, Irianti Dewi sekeluarga juga menyedekahkan sebagian hidupnya untuk ‘’orang-
orang kalah’’. Sudah beberapa tahun, ia dengan dukungan Ustadz Salimin Dani, Syaikh Sulaeman
Zachawerus, dan Mak Duleh serta Ustadz Romli Qomaruddin dari Pusdiklat Dewan Da’wah Tambun,
membina anak-anak jalanan yang biasa mangkal di seputar Stasiun KA Bekasi. Nomor ponselnya pun
sudah dihafal semua anjal ini.

Anak-anak itu diberinya tempat mukim. Selain mendapat bantuan kebutuhan sehari-hari, anjal (anak
jalanan) juga dididik. Baik lewat sekolah formal maupun pengajian. Termasuk secara rutin dipesantrenkan.

‘’Sedihnya, sudah begitu ada Ustadz yang tidak mendukung kami. Beliau bilang, ‘ngapaian kita ngurusin
kaleng rombeng’. Akibatnya, ada donatur yang menghentikan bantuannya,’’ tutur Irianti Dewi.

Menurut Irianti, problem anjal juga dilestarikan oleh sikap mental ekspolitatif, baik dari keluarga si anak
jalanan maupun dinas pemerintah. ‘’Kebanyakan anjal dijadikan aset bagi orangtuanya untuk mengemis
atau mengamen. Sehari mereka ditarget mendapat Rp 20 ribu sampai Rp 30 ribu. Kalau kurang dari itu,
dimarahi dan dipukul,’’ ungkap aktivis Dewan Da’wah Bekasi ini.

Ia memberi contoh, ada pengemis cilik bisu. Tapi orangtuanya tidak mau si anak dididik berlatih
berkomunikasi, karena setiap hari ia bisa setor hasil ngemis Rp 30 ribu. ‘’Mungkin bapak dan emaknya
berharap tujuh saudaranya juga bisu semua, agar bisa dieksploitasi,’’ geram Irianti.

Anjal diam-diam juga menjadi object proyek bagi dinas sosial. Mereka ditampung dan dilembagakan oleh
oknum kantor dinas sosial atau pendidikan, untuk menadahi kucuran dana proyek. Setelah duit cair, rumah
penampungan anjal bubar jalan.

Modus lainnya, anjal digaruk dari jalanan lalu dikirim ke tempat penampungan. Mereka didaftar, lalu
dimintakan anggaran belanjanya ke pusat. Uang turun, anjal dilepas.

Karena itu, pembina anjal ‘’Sahabat Anak Puspita’’ Durensawit, Jakarta Timur, Aang Ali Kohar, mengajak
realistis saja. ‘’Kita tidak mungkin meng-cover semua persoalan anjal. Pemerintah lah yang mestinya lebih
wajib peduli dan berbuat, termasuk mendukung inisiatif warga yang peduli anjal,’’ kata lelaki asal Kediri
yang sudah 9 tahun menjadi ‘’Syaikh Abu Anjal’’.

Aang mengaku, tanpa didampingi istrinya, ia tak bakal kuat bertahan berkubang bersama anjal. Sebab,
menjadi aktivis pembina anjal, dituntut harus all out sekeluarga. ‘’Kalau tangung-tanggung, bisa frustrasi
sendiri. Kecuali bila kita memang mau sekadar mroyekin,’’ katanya.
Gara-gara Berjilbab, Karyawati Rumah Sakit di PHK

Meski Indonesia negara dengan mayoritas umat Islam yang mencapai 88 persen, namun ternyata
kondisinya sangat memprihatinkan bahkan tertindas oleh minoritas Nasrani Katholik dan Kristen yang
hanya 10 persen. Terbukti umat Islam ingin menjalankan ibadah agamanya saja dilarang keras.
 
Seperti yang dialami tiga orang karyawati yang bekerja di Rumah Sakit Mitra Internasional (RSMI) milik
Nasrani di Jatinegara, Jakarta Timur. Mereka terancam akan di PHK jika tetap mengenakan jilbab dan
lengan panjang. Mereka adalah para karyawati di bidang tenaga medis perawat yakni Suharti, Wiwin
Winarti dan Sutiyem.
 
“Memang sejak 1 Desember lalu, ketiganya telah kami skors dan sekarang dalam proses  PHK. Sebab
mereka nekad melakukan indisipliner dengan mengenakan jilbab,” ungkap HR Manajer RSMI, Warno
Hidayat yang didampingi Deputi CEO RSMI Dr Handayani.
 
Menurut Warno, tindakan pimpinan RSMI tersebut bukanlah suatu diskriminasi terhadap umat Islam yang
akan menjalankan ibadahnya dan pelanggaran HAM berat, sebab tindakan pihak RSMI telah sesuai dengan
sertifikasi dari MUI. Apalagi ketiganya sudah berkali-kali diperingatkan agar jangan mengenakan jilbab
yang tidak sesuai dengan selera RSMI, meski ketiga tenaga medis itu telah bekerja dan berjasa selama 15
tahun di rumah sakit milik Nasrani tersebut. 
 
Sedangkan pengacara ketiganya, Muhammad Luthfie Hakim menegaskan, pihak RSMI terkesan melakukan
manipulasi sertifikasi dari MUI, sebab mengharuskan semua karyawatinya memasukkan kerudung ke
dalam bajunya sehingga masih terlihat auratnya. Sedangkan bagian medis tidak boleh mengenakan lengan
panjang.
 
“Padahal dalam point-point penjabaran sertifikasi seragam dari MUI, tidak ada satupun yang menjelaskan
cara pemakaian kerudung atau jilbab,” tegas pengacara senior tersebut.
 
Sementara itu Komisioner Komnas HAM, Johny Nelson Simanjuntak, setelah menerima pengaduan ketiga
karyawati yang terancam di PHK itu Senin (7/12) lalu menegaskan, tindakan pimpinan RSMI jelas
merupakan pelanggaran HAM dan bersikap diskriminatif  bahkan melanggar UUD 1945. Sebab itu sudah
menyangkut keyakinan seseorang dalam beribadah dan harus dihormati sebab dijamin UU.
 

“Dalam waktu dekat Komnas HAM akan memanggil pihak pimpinan RSMI untuk dimintai keterangannya,
karena sudah diindikasikan melakukan diskriminasi dan pelanggaran HAM,” tegas Johny Nelson
Simanjuntak.

You might also like