ANALISIS KERENTANAN MASYARAKAT TERHADAP BENCANA ROB
STUDI KASUS KOTA SEMARANG
TESIS
DANANG INSITA PUTRA 1 2010 02 03 006
PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN BENCANA
JAKARTA 2012 2
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Keamanan nasional merupakan perwujudan konsep keamanan menyeluruh (comprehensif security) yang menempatkan keamanan sebagai konsep multi-dimensi yang mengharuskan negara menyiapkan beragam aktor keamanan untuk mengelolanya (IDSPS, 2008). Aktor- aktor keamanan tersebut masing-masing memiliki fungsi dan tugas spesifik untuk menangani dimensi keamanan yang spesifik pula. Keragaman ancaman keamanan nasional kontemporer dan sifat dari penangkalan dan serangan yang asimetris merupakan faktor utama kebutuhan akan kerangka yang komprehensif tersebut. Pada awalnya pengertian keamanan identik dengan dunia militer. Fenomena ini tampaknya sejalan dengan dominasi pendekatan realis di dalam sistem internasional. Kondisi ini terus berlangsung hingga puluhan tahun dan mencapai puncaknya pada masa Perang Dingin dimana dunia terbagi ke dalam dua kutub berbeda yang saling beroposisi di bawah dua negara adidaya, Amerika Serikat (AS) dan Uni Soviet. Dengan berakhirnya Perang Dingin dan menguatnya berbagai isu non-militer, pengertian keamanan mengalami perubahan. Keamanan tidak lagi identik dengan isu-isu militer namun juga isu-isu non- militer, seperti kemiskinan, Hak Asasi Manusia (HAM), ketersediaan pangan dan lain-lain. Seiring perubahan tersebut, di dalam pengertian keamanan lahir istilah Human Security (Keamanan Insani). Salah satu pendekatan keamanan nasional adalah pendekatan pembangunan berkelanjutan (sustainable human development). Pendekatan pembangunan berkelanjutan merupakan salah satu pendekatan yang menekankan pada ancaman non-militer atas human security dan ancaman atas human survival yang berasal dari persoalan- 3 persoalan seperti, pertumbuhan populasi global, migrasi, jurang ekonomi dan kesempatan, penyakit, degradasi lingkungan drug trafficking dan terorisme. Pendekatan pembangunan yang berkelanjutan adalah pendekatan utama dalam perencanaan dan pembangunan kota, dikarenakan pembangunan kota tidak dapat hanya berkutat pada pembangunan fisik (infrastruktur) namun juga pembangunan manusia sebagai unsur pembentuk kota. Pendekatan pembangunan kota yang berkelanjutan menawarkan pandangan yang luas atas human security, yang juga menekankan pada aspek distributif dari pembangunan dan fakta bahwa banyak persoalan yang muncul berakar pada kesenjangan sosio-ekonomi dan ketidakadilan sosial (Sariffuddin, 2009). Bagi pendekatan ini, pembangunan dan keamanan harus berjalan seiring dan saling melengkapi. Tanpa adanya keadilan sosial dan ekonomi akan sulit untuk menciptakan keamanan dan stabilitas di tengah-tengah masyarakat. Selain itu pendekatan ini tidak saja melihat keamanan sebagai sebuah kondisi dimana tidak terjadinya gejolak sosial, namun juga keamanan dipahami sebagai sebuah kondisi dimana individu dapat memenuhi kebutuhan dasarnya, bebas dari beragam ancaman dan hidup secara manusiawi. Dengan kata lain, sebuah kondisi dikatakan aman jika seorang individu dapat bersekolah, hidup sehat dan bebas dari serangan penyakit, memiliki rumah layak huni, memiliki akses yang baik atas ekonomi dan lain sebagainya tanpa memperhitungkan terjadi atau tidaknya gejolak sosial jika seandainya kebutuhan-kebutuhan dasar di atas terpenuhi atau tidak (Widodo, 2006). Perkembangan suatu kota dipengaruhi antara lain oleh tingkat pertumbuhan penduduknya yang berbanding lurus dengan kebutuhan lahan di perkotaan tersebut. Oleh karena itu, tingkat kepadatan di kawasan perkotaan cenderung lebih tinggi dari pada dikawasan rural karena tingkat aktivitas penduduk di perkotaan yang cenderung lebih tinggi. 4 Perkembangan daerah urban mengubah lahan dengan tutupan vegetasi menjadi permukaan yang kedap air dengan kapasitas penyimpanan air yang kecil atau tidak ada sama sekali. Aktivitas yang paling dominan terhadap penggunaan lahan adalah aktivitas permukiman. Aktivitas ini memiliki tingkat kebutuhan lebih dari 50% dari total lahan yang ada, sehingga sekarang banyak bermunculan kawasan pemukiman dengan konsep vertikal untuk mengurangi permasalahan akan keterbatasan lahan pemukiman. Pemanfaatan ruang di perkotaan sudah sangat padat dan sarat akan konflik kepentingan pemanfaatan lahan. Daya dukung lingkungan seluruh wilayah pun telah terancam karena saat ini lebih dari 50 persen wilayah perkotaan di Jawa diidentifikasi rawan krisis air (kekurangan air atau rawan banjir) (Novitaningtyas, 2008). Bencana yang sering terjadi akibat pemanfaatan lahan perkotaan adalah banjir. Banjir adalah bencana akibat kesalahan manusia yang paling sering terjadi dan merata di Indonesia. Dampaknya dapat terjadi dalam lingkup lokal (terjadi hanya di satu kelurahan atau desa), atau dapat juga dalam lingkup yang lebih luas. Bencana banjir merupakan kejadian alam yang dapat terjadi setiap saat dan sering mengakibatkan kerugian jiwa, harta dan benda. Banjir dari tinjauan ekologis merupakan peristiwa fisik yang terjadi di lingkungan hidup manusia dan mempengaruhi kehidupan manusia (Khadiyanto, 1988). Banjir dapat terjadi karena hujan yang terus menerus dan saluran tidak dapat menampung air sehingga meluap. Tetapi banjir dapat pula disebabkan oleh pasang air laut yang masuk ke wilayah daratan, banjir genangan ini biasa dikenal dengan rob. Bencana rob adalah genangan air pada bagian daratan pantai yang terjadi pada saat air laut pasang. Rob menggenangi bagian daratan pantai atau tempat yang lebih rendah dari muka air laut pasang tinggi (high water level). Perubahan tata guna lahan terutama di wilayah pantai dituding merupakan salah satu sebab semakin luasnya cakupan rob yang masuk 5 ke daratan dalam satu dasawarsa terakhir, disamping sebab-sebab alamiah lainnya. Perubahan tata guna lahan dimana dahulu di wilayah pantai digunakan sebagai lahan tambak, rawa dan sawah yang secara alami dapat menampung pasang air laut telah berubah menjadi lahan permukiman, kawasan industri, dan pemanfatan lainnya. Perubahan tersebut dengan menggunakan cara reklamasi atau menguruk tambak, rawa dan sawah, sehingga air pasang laut tidak tertampung lagi. Air tersebut kemudian menggenangi kawasan yang lebih rendah lainnya. Secara umum dampak kenaikan air laut adalah tergenangnya dataran rendah, meningkatnya erosi pantai dan menimbulkan interusi air laut ke daratan. Untuk kawasan permukiman dampak tidak langsung dari naiknya air laut adalah adanya perubahan kualitas air, turunnya produktifitas pertanian serta perpindahan penduduk. Bencana tersebut juga terjadi di Kota Semarang yang merupakan ibukota Provinsi Jawa Tengah terutama di wilayah pesisir pantai utara. Kota Semarang merupakan salah satu kota di Indonesia yang mengalami ancaman karena kenaikan air laut pasang (rob). Kota Semarang sebagai salah satu kota metropolitan memiliki wilayah laut, dengan garis pantai sepanjang 13.6 km, yang memanjang di bagian utara kota (Sarbidi,2002). Wilayah pesisir Kota Semarang tersusun oleh aluvium muda dengan kompresibilitas tanah yang tinggi sehingga mengalami proses pemampatan secara lami akibat beban lapisan tanah di atasnya dan gangguan dari aktivitas manusia, proses ini mempercepat terjadinya penurunan muka tanah (Murdohardono, 2006). Selain itu beberapa kawasan pesisirnya tiap tahun mengalami penurunan tanah mencapai 10 cm seperti di Kecamatan Genuk, Kecamatan Semarang Timur dan Kecamatan Semarang Utara (Kodoatie dalam BBC Indonesia, 2007). Kondisi ini memperluas daerah di Kota Semarang yang terkena bencana rob. 6 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana ditetapkan untuk membangun sistem penanggulangan bencana yang terencana, terkoordinasi dan menyeluruh dengan tetap menghargai budaya lokal, membangun kemitraan publik dan swasta, mendorong kesetiakawanan dan kedermawanan, serta menciptakan perdamaian dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Lahirnya Undang-Undang tentang Penanggulangan Bencana ini merubah paradigma penanggulangan bencana yang dulunya reaktif menjadi preventif dengan menitikberatkan pada pengurangan risiko bencana. Salah satu faktor penting yang harus dianalisis dalam upaya pengurangan risiko bencana yakni penilaian kerentanan wilayah terhadap bencana yang akan terjadi. Kerentanan ditujukan pada upaya mengidentifikasi dampak terjadinya bencana berupa jatuhnya korban jiwa maupun kerugian ekonomi dalam jangka pendek yang terdiri dari hancurnya permukiman infrastruktur, sarana dan prasarana serta bangunan lainnya, maupun kerugian ekonomi jangka panjang berupa terganggunya roda perekonomian akibat trauma maupun kerusakan sumber daya alam lainnya. Analisis kerentanan pada prinsipnya merupakan potret wilayah yang= difokuskan pada kondisi fisik kawasan dan dampak kondisi sosial ekonomi masyarakat lokal (Diposaptono,2005).
1.2 Perumusan Masalah Terjadinya bencana di suatu daerah secara tidak langsung memiliki potensi untuk mengubah tatanan nilai-nilai sosial masyarakat. Untuk mendapatkan gambaran mengenai besarnya dampak sosial akibat terjadinya bencana di Kota Semarang dilihat dari perilaku adaptasi masyarakat terhadap dalam merespon bencana banjir yang ada di lingkungannya. Sesuai dengan model pressure state respond, besar dugaan bahwa kekuatan eksternal (pressure) sangat besar namun kemampuan internal (state) tidak bisa meresponnya dengan baik. Kondisi tersebut ditunjukkan oleh sangat padatnya permukiman, kumuh, dan 7 penurunan kualitas lingkungan hidup. Padahal, sebelumnya permukiman tersebut merupakan permukiman nelayan yang bebas banjir dan rob dan tidak ada permukiman illegal, namun sekarang memiliki kondisi sebaliknya. Tingkat kerentanan di suatu wilayah menurut Bappenas (2006) menjadi suatu hal penting untuk diketahui sebagai salah satu faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya bencana karena kerentanan memperlihatkan kondisi dari suatu komunitas atau masyarakat yang mengarah atau menyebabkan ketidakmampuan dalam menghadapi ancaman bahaya. Sehingga wilayah yang memiliki tingkat kerentanan yang tinggi akan menjadi wilayah yang semakin rawan terhadap bencana. Kerawanan wilayah pesisir terhadap bencana rob akan menimbulkan risiko bagi masyarakat berupa gangguan aktivitas, kegelisahan, wabah penyakit, kematian, pengungsian, kerusakan atau kehilangan harta. Rob adalah banjir yang terjadi akibat pasang surut air laut menggenangi lahan/kawasan yang lebih rendah dari permukaan air laut rata-rata (mean sea level). Genangan rob dapat berlangsung berhari-hari, bahkan satu minggu terus menerus dengan tinggi lama genangan bervariasi Adanya gaya gravitasi dimana air akan mengalir ke daerah yang paling rendah dan mengisi seluruh ruang yang ada pada bagian yang lebih rendah (Ali, 2010). Fenomena alam inilah yang menyebabkan air laut menggenangi beberapa tempat rendah pada kawasan pantai Kota Semarang. Berbagai pemasalahan ekologis yang terjadi di Kota Semarang tidak terlepas dari pertumbuhan dan perkembangan kota maupun dampak perubahan alam global. Kota Semarang sebagai wilayah penelitian mengalami permasalahan fisik lingkungan seperti banjir, rob maupun penurunan muka tanah (land subsidence). Prediksi pada beberapa tahun ke depan bahwa beberapa bagian wilayah Pesisir Kota Semarang akan terendam air laut 8 akibat penurunan tanah tentu saja menciptakan kerentanan wilayah tersebut, baik dari aspek sosial ekonomi hingga fisik lingkungannya. Akibat dari rob ini mengakibatkan penurunan tanah yang cepat sehingga masyarakat dari tahun-ketahun harus menaikkan rumahnya, selain itu rob telah merusak sarana dan pra sarana umum, kerugian material yang tidak sedikit. Rob yang terjadi di Kota Semarang menyebabkan dampak-dampak negatif baik dalam aspek fisik, sosial, ekonomi maupun lingkungan. Dampak fisik adalah kerusakan pada sarana-sarana umum dan kantor-kantor pelayanan publik sedangkan dampak sosial mencakup kematian, risiko kesehatan, trauma mental, menurunnya perekonomian, terganggunya kegiatan pendidikan (anak- anak tidak dapat pergi ke sekolah), terganggunya aktivitas kantor pelayanan publik, kekurangan bahan pokok, energi, air bersih, dan kebutuhan-kebutuhan dasar lainnya. Adapun dampak ekonomi mencakup kehilangan materi, gangguan kegiatan ekonomi (orang tidak dapat pergi kerja, terlambat bekerja, atau transportasi komoditas terhambat, dan lain- lain). Dampak lingkungan mencakup pencemaran air (oleh bahan pencemar yang dibawa oleh rob) atau tumbuhan di sekitar sungai yang rusak akibat terbawa rob (Ali, 2010). Rob yang menggenangi permukiman dan pertokoan di Kota Lama Semarang dalam jangka waktu yang lama telah mereduksi pertumbuhan ekonomi di wilayah tersebut. Hal ini ditandai dengan semakin banyaknya unit-unit ruko atau bangunan yang ditinggalkan. Kerugian lain yang terbilang sangat besar adalah rusaknya jejak-jejak historis berupa bangunan-bangunan kuno peninggalan Belanda sebagai situs budaya yang harus dilindungi keutuhannya (Bakti, 2010) 9
GAMBAR 1.1
PETA SEBARAN ROB DAN AMBLESAN TANAH KOTA SEMARANG Sumber: Kesbanglinmas Kota Semarang, 2010 10
Berdasarkan data dari Bappeda Kota Semarang, dapat diketahui bahwa sampai dengan tahun 2010, bencana rob di Kota Semarang menyebabkan kerugian harta benda dikarenakan rusaknya infrastruktur dan tempat usaha warga. Kerugian mayoritas warga terutama di daerah pesisir adalah penurunan pendapatan masyarakat dikarenakan tambak yang terkena dampak rob sehingga tidak bisa digunakan sebagian maupun rusak sama sekali. Fakta diatas juga diperkuat dengan data dari LSM Bintari mengenai dampak rob di sektor petanian dan perikanan di Kota Semarang tahun 2007 pada tabel 1.1, yang menunjukan bahwa produksi perikanan darat/ tambak sejak tahun 1997 sampai dengan tahun 2006 mengalami penurunan yang signifikan. Tabel 1.1 Perbandingan Jumlah Produksi Perikanan Darat/Tambak Tahun 1997 dan 2006 No. Jenis Produksi (ton) Selisih Juta (Rp) Selisih 2006 1997 2006 1997 1. Bandeng 251,8 839,5 -587,7 2.079.850 2.938.351 -858.501 2. Belanak 9,3 52,6 -43,3 73.800 268.908 -195.108 3. Udang 166,7 1.210,5 -1.043,8 5.440.725 12.102.267 - 6.661.542 4. Lainnya 29 262,9 -233,9 149.550 629.711 -480.161 Jumlah 456,8 4.326,5 -3.905,7 7.743.925 15.939.237 - 8.195.312 Sumber: LSM Bintari, 2007
Akibat lain dari rob yang paling mudah dikenali terlihat pada fisik bangunan rumah penduduk di wilayah pesisir Kota Semarang. Akibat dari rob, membuat pemilik rumah harus mengeluarkan biaya tambahan untuk terus-menerus meninggikan lantai bangunan dalam jangka waktu 1-3 tahun. Setiap 1-3 tahun, penduduk yang terkena dampak rob berarti harus menyisihkan bukan saja biaya, namun juga waktu dan prioritas lain di dalam rumah tangga tersebut. Sampai dengan saat ini telah banyak penelitian-penelitian yang telah dilakukan untuk mengetahui dampak kenaikan air laut dan upaya- 11 upaya penanganan yang dilakukan Pemerintah Kota Semarang. Kenyataan sampai sekarang rob masih saja terjadi dan masyarakat juga masih tetap tinggal di daerah rob. Penelitian ini sangat penting dilakukan sebagai salah satu upaya menyajikan potret kerentanan masyarakat Kota Semarang yang dapat digunakan sebagai landasan dalam memberikan rekomendasi penanggulangan bencana, yang diakibatkan oleh bencana rob. Merujuk pada model pressure-release penelitian ini dilakukan untuk memotret kondisi pressure sebagai landasan untuk menskenariokan release. Berdasarkan pada permasalahan tersebut, dapat dirumuskan pertanyaan penelitian Bagaimanakah kerentanan masyarakat Kota Semarang terhadap bencana banjir dan rob?. Atas dasar pertanyaan tersebut tentunya perlu suatu pengkajian analisis kerentanan masyarakat terhadap ancaman bencana rob dengan tujuan sebagai upaya pengurangan risiko bencana wilayah Kota Semarang demi menjaga kelangsungan pembangunan berkelanjutannya.
1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1 Maksud Penelitian Maksud dari penelitian ini adalah mengkaji kerentanan masyarakat di Kota Semarang terhadap bencana banjir dan rob. Dari penelitian ini, diharapkan dapat diketahui kondisi kerentanan wilayah terhadap bencana serta alternatif strategi dalam mengatasi kerentanan bencana tersebut. 1.3.2 Tujuan Penelitian Untuk mendukung maksud dari penelitian ini maka dirumuskan beberapa tujuan yang perlu dilakukan dalam penelitian ini. Adapun tujuan yang dapat diambil yaitu : 1.3.2.1 Mengidentifikasi karakteristik masyarakat Kota Semarang; 1.3.2.2 Mengidentifikasi wilayah rentan dan dampaknya; 12 1.3.2.3 Menganalisis kerentanan masyarakat terhadap bencana rob di wilayah Kota Semarang; 1.3.2.4 Menentukan kategori kerentanan masyarakat terhadap bencana rob di Kota Semarang; 1.3.2.5 Menyusun arahan dan rekomendasi dalam pengembangan Kota Semarang berdasarkan kondisi kerentanan tersebut.
1.4 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup dalam studi ini dibedakan menjadi dua yaitu ruang lingkup substansial yang berisi mengenai materi-materi yang akan dibahas dalam studi ini, serta ruang lingkup wilayah yang menjelaskan batasan wilayah studi yang menjadi obyek penelitian. 1.4.1 Lingkup Materi Ruang lingkup ini secara umum terkait dengan lingkup substansial yang akan dibahas dalam penelitian ini. Adapun pada pembahasan ini, lingkup materi dalam penelitian ini dibatasi oleh beberapa hal, yaitu: 1.4.1.1 Pembangunan berkelanjutan yaitu paradigma pembangunan yang muncul dikarenakan adanya krisis alam secara global baik di negara maju maupun berkembang. Menurut WCED (1987), pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa harus mengorbankan kemampuan generasi mendatang dalam memenuhi kebutuhannya sendiri. 1.4.1.2 Pengurangan risiko bencana yaitu Kerangka kerja konseptual yang terdiri dari elemen-elemen yang dipandang mempunyai kemungkinan untuk meminimalkan kerentanan dan risiko bencana di seluruh masyarakat, untuk menghindari (pencegahan) atau membatasi (mitigasi dan kesiapsiagaan) dampak merugikan yang ditimbulkan bahaya, dalam konteks luas pembangunan 13 berkelanjutan.Kerangka kerja pengurangan risiko bencana terdiri dari bidang aksi sebagai berikut: 1.4.1.2.1 Kesadaran dan pengkajian risiko, termasuk analisis bahaya dan analisis kerentanan/kapasitas; 1.4.1.2.2 Pengembangan pengetahuan, termasuk pendidikan, pelatihan, penelitian dan informasi; 1.4.1.2.3 Komitmen publik dan kerangka kerja institusional, termasuk aksi kelembagaaan, kebijakan, perundangan dan komunitas; 1.4.1.2.4 Penerapan langkah-langkah, termasuk pengelolaan lingkungan, perencanaan penggunaan lahan dan tata kota, perlindungan fasilitas penting, penerapan sains dan teknologi, kemitraan dan jejaring, dan instrumen finansial; 1.4.1.2.5 Sistem peringatan dini termasuk peramalan, penyebaran peringatan, tindakan-tindakan kesiapsiagaan dan kapasitas untuk memberikan reaksi.
1.4.1.3 Analisis risiko bencana yaitu metodologi untuk menentukan sifat dan cakupan risiko dengan melakukan analisis terhadap potensi bahaya dan mengevaluasi kondisi-kondisi kerentanan yang ada yang dapat menimbulkan suatu potensi ancaman atau kerugian bagi penduduk, harta benda, penghidupan dan lingkungan tempat mereka tergantung. Proses untuk melakukan suatu pengkajian risiko didasarkan pada suatu tinjauan tentang ciri-ciri teknis bahaya, seperti lokasi, intensitas, frekuensi dan probabilitas mereka, serta pada analisis tentang dimensi fisik, sosial dan ekonomi dari kerentanan dan keterpaparan, serta pertimbangan khusus pada kapasitas penyesuaian (coping capacity) yang terkait dengan skenario-skenario risiko (Triutomo, 2009). 14 1.4.1.4 Analisis Kerentanan yaitu suatu proses yang menghasilkan pengertian akan jenis dan tingkat kerentanan dari manusia, harta benda/hak milik dan lingkungan terhadap efek dari ancaman tertentu pada waktu tertentu. Proses tersebut adalah mengidentifikasi kondisi fisik, sosial dan ekonomi yang rawan terhadap dampak suatu ancaman (CBDRM, 2004).
1.4.2 Ruang Lingkup Wilayah Ruang lingkup ini merupakan pembatasan wilayah studi yang akan diamati berdasarkan kerawanan bencana tersebut. Pembatasan wilayah studi ini didasarkan pada kondisi kerawanan di wilayah pesisir Kota Semarang. Adapun ruang lingkup wilayah makro yakni wilayah pesisir Kota Semarang yakni kecamatan-kecamatan yang berbatasan dengan perairan Laut Jawa. Wilayah makro tersebut terdiri atas 6 kecamatan yaitu mencakup Kecamatan Tugu, Kecamatan Semarang Barat, Kecamatan Semarang Utara, Kecamatan Genuk, Kecamatan Semarang Timur, dan Kecamatan Gayamsari. 1.5 Manfaat Penelitian Studi ini akan menyajikan potret kondisi masyarakat di Kota Semarang dan bentuk mitigasi dan kemampuan mereka dalam menghadapi perubahan lingkungan yang diakibatkan oleh bencana banjir demi keberlanjutan kehidupannya. Pada prinsipnya, penelitian ini merupakan salah satu tahap dalam proses penyesuaian penduduk agar dapat berkelanjutan. Secara keilmuan, penelitian ini memiliki manfaat sebagaipembuktian bahwa masyarakat telah memiliki pola adaptasinya sendiri dalam menghadapi bencana yang mungkin muncul di lingkungannya. Disamping itu penelitian ini juga bisa membuktikan faktor- faktor yang menyebabkan masyarakat dapat beradaptasi. 15
GAMBAR 1.2 PETA BATAS ADMINSITRASI KOTA SEMARANG 16 Sumber: Bappeda Kota Semarang, 2011 17
Sedangkan dari aspek praktis, penelitian ini dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1.5.1 Manfaat bagi Masyarakat Lokal Hasil Penelitian ini diharapkan masyarakat akan mengetahui tentang risiko bencana yang dapat terjadi di wilayahnya sehingga dapat melakukan tindakan-tindakan yang bersifat preventif agar dapat mengurangi dampak yang dapat ditimbulkan oleh bencana tersebut. Manfaat ini dapat disampaikan dengan perantara Pemerintah Kota ketika bersosialisasi terhadap masyarakat ataupun masyarakat yang mengetahui produk penelitian ini secara langsung. 1.5.2 Manfaat bagi Pemerintah Kota Semarang Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi pertimbangan dan masukan bagi pemerintah Kota Semarang dalam perencanaan berdasarkan pada risiko bencana. Adanya penelitian ini diharapkan pula agar dapat meningkatkan peran aktif pemerintah Kota Semarang dalam upaya mitigasi bencana di wilayahnya.
18 BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pembangunan Berkelanjutan 2.1.1 Definisi Pembangunan Berkelanjutan Paradigma pembangunan berkelanjutan muncul karena adanya krisis alam secara global baik di negara maju maupun berkembang. Banyak pandangan yang menyatakan bahwa masalah tersebut timbul karena terjadi cara pandang yang keliru di masa terdahulu yaitu pemikiran tentang antroposentrisme. Cara pandang ini mengedepankan kebutuhan manusia dan memposisikan alam sebagai sebuah sumberdaya yang dapat dieksploitasi secara besar-besaran karena alam memiliki kemampuan memperbaiki dirinya. Pandangan ini menjadikan alam rusak, banyak sumber daya yang tereksploitasi tanpa ada usaha pemulihan kembali. Permasalahan lingkungan hidup akibat cara pandang antroposentrisme telah melahirkan beberapa teori yang menentangnya yaitu ekosentrisme dan biosentrisme. Pada intinya kedua teori ini mengedepankan alam sebagai sebuah objek yang perlu dilestarikan dan diposisikan sejajar dengan manusia. Definisi tentang pembangunan berkelanjutan dapat bermacam- macam tergantung interpretasi dan tujuan yang akan dicapai. Akan tetapi, definisi yang dikemukakan oleh Komisi Dunia tentang Lingkungan Hidup dan Pembangunan atau World Commision on Environmental and Development = WCED (1987) sering dijadikan rujukan. Menurut komisi itu, pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa harus mengorbankan kemampuan generasi mendatang dalam memenuhi kebutuhannya sendiri. 19 2.1.2 Hakekat Pembangunan Berkelanjutan Apa hakekat pembangunan berkelanjutan sebenarnya? Hakekat itu dapat kita turunkan dari definisi pembangunan itu sendiri. Pembangunan dapat diartikan sebagai suatu usaha untuk memenuhi kebutuhan dasar rakyat dengan lebih baik (Soemarwoto, 1983). Berdasarkan definisi tersebut, hakekat pembangunan sebenarnya adalah pemenuhan kebutuhan dan dalam konteks yang lebih riil adalah peningkatan kesejahteraan yang baik. Ide sederhana dari pembangunan berkelanjutan sendiri berdasarkan hakekatnya dapat dikatakan sebagai suatu usaha untuk menjamin kesejahteraan generasi sekarang dan generasi selanjutnya. Kesejahteraan menjadi inti dari pembangunan yang selama ini didengung- dengungkan, karena pada dasarnya objek pembangunan itu sendiri adalah manusia yang berperan sebagai penikmat sekaligus pelaksana pembangunan. Jika kesejahteraan manusia terjamin maka besar kemungkinan keberlanjutan lingkungan hidup akan terjamin begitupula sebaliknya (Sariffuddin, 2010). Pembangunan ditekankan pada tiga lingkup utama yaitu manusia (people), ekonomi dan masyarakat. Namun dalam setiap pembahasannya penekanan terhadap ekonomi lebih banyak dibahas terutama pada sektor produktivitas yang memberikan lapangan kerja dan kekayaan. Aspek lain yang dibahas adalah pembangunan manusia, dimana manusia sebagai inti pembangunan yaitu menekankan pada kehidupan anak-anak (penyediaan kesehatan dan lain-lain), pendidikan, harapan hidup, kesejahteraan, keadilan (social equity) dan persamaan kesempatan (equal opportunity). Lebih lanjut, pembahasan pembangunan berkelanjutan juga mengenai sistem kelembagaan terkait dengan negara, wilayah, institusi dan yang baru-baru ini adalah organisasi kemasyarakatan yang lebih dikenal dengan modal sosial (social capital) (Edward, 1999, p. 25). Pemikiran tersebut sesuai dengan pandangan bahwa pembangunan berkelanjutan lahir dari 20 pemikiran developmentalis yaitu lebih mengedepankan pemenuhan kebutuhan secara ekonomi (Keraf, 2002). Pembangunan berkelanjutan merupakan konsep pembangunan yang holistik tidak hanya menempatkan manusia sebagai satu-satunya unsur yang bertanggungjawab tetapi juga dipengaruhi oleh kebijakan. Kondisi internal menjadi modal dasar (Asset-based) yang mencerminkan suatu kondisi masyarakat kota yang berinteraksi sesamanya, dengan lingkungan hidup sebagai ruang dan sebagai penyedia kebutuhan dan ekonomi sebagai suatu usaha/aktivitas dalam pemenuhan kebutuhan (Metter, 1999: 8). Sedangkan kebijakan berperan sebagai pedoman yang mengarahkan kondisi masyarakat menuju suatu keberlanjutan secara sosial, ekonomi, dan lingkungan hidup. Sehingga keberlanjutan suatu kota dipengaruhi oleh kondisi internal kota yang berperan sebagai modal dasar (integrasi sosial, ekonomi, dan lingkungan hidup) dipengaruhi oleh kebijakan sebagai pengatur kelangsungan aktivitas internal kota. Suatu kota yang berkelanjutan mesti memiliki basis ekonomi yang kuat, keseimbangan lingkungan yang terpelihara, keadilan sosial dan kekentalan komunitas. Adapun prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan sebagai berikut:
Tabel 1.1 Prinsip-Prinsip Pembangunan Kota Berkelanjutan No Prinsip Dasar Kota yang tidak Berkelanjutan Kota yang berkelanjutan 1. Pertumbuhan ekonomi Kompetisi, mengutamakan industri besar, hanya aktivitas bisnis tertentu yang dikembangkan Peningkatan kemampuan SDM kurang diperhatikan Terlalu banyak peraturan dan birokrasi Tidak ada tax insentive bagi pengelolaan pembangunan yang berwawasan lingkungan Orientasi formalisme dan fungsionalisme Kerjasama strategis dan aneka industri dan bisnis
SDM sangat diperhatikan
Deregulasi dan debirokratisasi
Dirintis adanya tax insentive bagi pengelolaan pembangunan yang berwawasan lingkungan 21 Orientasi sistemik dan humanisme 2. Keserasian Lingkungan Penggunaan sumber-sumber daya alam secara berkelebihan; Pencemaran lingkungan; Tata guna lahan tunggal Kurang koordinasi dengan sistem transportasi Taman-taman dan kawasan lindung beralih fungsi Kepadatan tinggi tidak terkendali Konservasi sumber daya alam
Pencegahan pencemaran Tata guna lahan campuran Koordinasi dengan sistem transportasi Penciptaan taman-taman dan kelestarian kawasan lindung Kepadatan tinggi dibatasi di area-area tertentu saja 3. Kekentalan Komunitas Disparitas yang meningkat antar berbagai kelompok pendapatan Kecenderungan eksklusivisme Masyarakat patembayan (Gessellschaft) Pengurangan kesenjangan ekonomi
Kebersamaan/ solidaritas sosial Masyarakat paguyuban (Gemeinschaft) 4. Pola Kemitraan Kurang terjalin pola kemitraan antar pemerintah, swasta dan masyarakat Jalinan yang kuat antara pemerintah, swasta dan masyarakat 5. Peran Serta Penduduk Peran serta penduduk sangat terbatas Jalinan yang kuat antara pemerintah, swasta, dan masyarakat 6. Sistem Pemerintahan Terlalu terpusat (sentralisasi) Otonomi daerah (desentralisasi) Sumber: Research Triangle Institute, 1996 dalam Budiharjo, 1997
2.2. Manajemen bencana Bencana adalah sesuatu yang tak terpisahkan dalam sejarah manusia. Manusia bergumul dan terus bergumul agar bebas dari bencana (free from disaster). Dalam pergumulan itu, lahirlah praktek mitigasi, seperti mitigasi banjir, mitigasi kekeringan (drought mitigation), dan lain sebagainya. Jonatan A. Lassa secara menarik mencoba menuliskan sejarah penanggulangan bencana sejak jaman purbakala. Menurut Lassa (2004), usaha pengurangan risiko bencana paling kuno dilakukan di Mesir, praktek mitigasi kekeringan sudah berusia lebih dari 4000 tahun. Konsep tentang Early Warning System untuk kelaparan (famine) dan kesiap- siagaan (preparedness) dengan lumbung raksasa yang disiapkan selama tujuh tahun pertama kelimpahan dan digunakan selama tujuh tahun kekeringan 22 sudah lahir pada tahun 2000 BC, sesuai keterangan kitab Kejadian, dan tulisan-tulisan Yahudi Kuno. Konsep manajemen bencana mengenai pencegahan (Prevention) atas bencana atau kutukan penyakit (plague), pada abad-abad non- peradababan selalu diceritakan ulang dalam simbol-simbol seperti korban, penyangkalan diri dan pengakuan dosa. Early warning kebanyakan didasarkan pada Astrologi atau ilmu Bintang. Tak heran mengapa kata bencana (DISASTER) secara etimologis berasal dari kata DIS yang berarti sesuatu yang tidak enak (unfavorable) dan ASTRO yang berarti bintang (stars). Dis-astro berarti an event precipitated by stars (peristiwa jatuhnya bintang-bintang ke bumi) (Zebrowski, 1997 dalam Lassa, 2004). 2.2.1 Definisi bencana Kamus Bahasa Indonesia yang dikeluarkan Pusat Bahasa Kementerian Pendidikan Nasional mengartikan bencana adalah sesuatu yang menyebabkan (menimbulkan kesusahan, kerugian atau penderitaan. Bencana juga dapat dipahami sebagai malapetaka atau kecelakaan. Bencana juga dapat diartikan sebagai gangguan, godaan atau tipuan. Bencana Alam diartikan sebagai kecelakaan yang disebabkan oleh alam seperti gempa bumi, angin besar dan banjir. Dan bencana ekologis diartikan sebagai bencana yang merusak keseimbangan lingkungan atau sistem ekologi Dalam UU No. 24 tahun 2007 Bencana (Disaster) didefinisikan sebagai: suatu peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis (UU No. 24 / 2007). 23 Banyak definisi bencana lain yang dikeluarkan oleh berbagai organisasi atau institusi; baik local maupun internasional. World Health Organization menjelaskan dampak bencana terhadap kesehatan sebagai berikut: A disaster is any occurrence that causes damage, ecological disruption, loss of human life, or deterioration of health and health services on a scale sufficient to warrant an extraordinary response from outside the affected community or area;
Bencana adalah kejadian yang menyebabkan kerusakan, gangguan ekologis, hilangnya nyawa manusia, atau kerusakan pelayanan kesehatan dan kesehatan pada skala yang cukup untuk menjamin respon yang luar biasa dari luar komunitas atau daerah yang terkena dampak. (WHO, 1995)
United Nations International Strategy for Disaster Reduction (UN- ISDR) menyusun suatu definisi standar tentang bencana yang dimutakhirkan pada tanggal 31 Maret 2004, sebagai berikut: A serious disruption of the functioning of a community or a society causing widespread human, material, economic or environmental losses which exceed the ability of the affected community or society to cope using its own resources (ISDR, 2004)
Suatu gangguan serius terhadap keberfungsian suatu masyarakat sehingga menyebabkan kerugian yang meluas pada kehidupan manusia dari segi materi, ekonomi atau lingkungan dan yang melampaui kemampuan masyarakat tersebut untuk mengatasi dengan menggunakan sumberdaya mereka sendiri(ISDR, 2004)
Definisi standar internasional ini lebih lengkap. Rumusan ISDR memposisikan kemampuan manusia atau komunitas untuk mengatasinya dengan menggunakan sumber dayanya sendiri. Implikasi praktis dari rumusan UNISDR kemudian adalah seberapapun besar ancaman bencana yang ada, selama komunitas mampu mengatasinya secara mandiri dan mampu memulihkan diri secara cepat, maka tak bisa dikatakan bencana. 24 De Guzman, konsultan Asian Disaster Reduction Center, dalam analisisnya berjudul Towards Total Disaster Risk Management Approach menyebutkan: Essentially, disasters are human-made. For a catastrophic event, whether precipitated by natural phenomena or human activities, assumes the state of a disaster when the community or society affected fails to cope Pada dasarnya, semua bencana pada hakekatnya adalah akibat dari tindakan atau ketidakbertindakan manusia. Lebih jauh dia menganalisis bahwa suatu peristiwa katastropik, baik yang ditimbulkan oleh gejala alam ataupun diakibatkan oleh kegiatan manusia, baru menjadi keadaan bencana ketika masyarakat yang terkena tidak mampu untuk menanggulangi. (Emmanuel M. de Guzman, Towards Total Disaster Risk Management Approach, 2002).
2.2.2 Aspek dasar terjadinya suatu bencana Mengacu kepada definisi UN-ISDR maka definisi bencana mengandung tiga aspek dasar, meliputi: terjadinya peristiwa atau gangguan yang mengancam dan merusak (hazard), peristiwa atau gangguan tersebut mengancam kehidupan, penghidupan, dan fungsi dari masyarakat, ancaman tersebut mengakibatkan korban dan melampaui kemampuan masyarakat untuk mengatasi dengan sumber daya mereka. Bencana (disaster) merupakan fenomena yang terjadi akibat kolektifitas atas komponen bahaya (hazard) yang mempengaruhi kondisi alam dan lingkungan, serta bagaimana tingkat kerentanan (vulnerability) dan kemampuan (capacity) suatu komunitas dalam mengelola ancaman (Departemen Komunikasi dan Informatika, Jurnal Dialog Kebijakan Publik, Politik Bumi dan Manajemen Bencana, 2008): Pertama, Bahaya (hazard); adalah suatu kondisi, secara alamiah maupun karena ulah manusia, yang berpotensi menimbulkan kerusakan atau kerugian dan kehilangan jiwa manusia. Bahaya berpotensi menimbulkan bencana, tetapi tidak semua bahaya selalu menjadi bencana; 25 Kedua, kerentanan (Vulnerability); adalah sekumpulan kondisi dan atau suatu akibat keadaan (faktor fisik, sosial, ekonomi dan lingkungan) yang berpengaruh buruk terhadap upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan bencana. Faktor kerentanan meliputi: Fisik: Kekuatan bangunan struktur (rumah, jalan, jembatan) terhadap ancaman bencana; Sosial: kondisi demografi (jenis kelamin, usia, kesehatan, gizi, perilaku masyarakat) terhadap ancaman bencana; Ekonomi: Kemampuan finansial masyarakat dalam menghadapi ancaman di wilayahnya; Lingkungan: Tingkat ketersediaan/kelangkaan sumberdaya (lahan, air, udara) serta kerusakan lingkungan yan terjadi. Ketiga, kapasitas (Capacity); Adalah kekuatan dan potensi yang dimiliki oleh perorangan, keluarga dan masyarakat yang membuat mereka mampu mencegah, mengurangi, siap-siaga, menanggapi dengan cepat atau segera pulih dari suatu kedaruratan dan bencana. Keempat, risiko (Risk); adalah besarnya kerugian atau kemungkinan terjadi korban manusia, kerusakan dan kerugian ekonomi yg disebabkan oleh bahaya tertentu di suatu daerah pada suatu waktu tertentu. Semakin tinggi nilai ancaman dan nilai kerentanan maka risiko terjadinya bencana semakin tinggi. Untuk mengurangi risiko bencana perlu melakukan peningkatan nilai kerentanan (vulnerability) menjadi kapasitas (capacity) dengan melakukan penguatan kapasitas di dalam masyarakat dalam mengelola lingkungan, mengenal ancaman, mengetahui dampak yang dapat ditimbulkan oleh faktor-faktor yang mengakibatkan terjadinya bencana. Hubungannya risiko bencana dalam Badan koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana (Bakornas PB), Pengenalan Karakteristik Bencana dan Upaya Mitigasinya di Indonesia, edisi II (2007) dapat dirumuskan sebagai berikut : Risiko = Bahaya x Kerentanan Kemampuan
26 2.2.3 Perubahan Paradigma Disaster Management Dalam beberapa tahun terakhir ini berkembang sebuah cara melihat bencana. Bencana tidak lagi dilihat sebagai suatu kejadian tiba-tiba yang tidak dapat diprediksi. Bencana dipandang sebagai sebuah fase dalam satu siklus kehidupan normal manusia yang dipengaruhi dan mempengaruhi keseluruhan kehidupan itu sendiri. Cara memandang ini disebut sebagai Disaster Management (DM). Secara konseptual, ada beberapa definisi DM, antara lain: sebagai perspektif penanganan bencana dimana pembangunan (atau kegiatan normal) dipandang sebagai sebuah kondisi dan konteks didalam mana bencana itu terjadi dan karenanya respon terhadap bencana ditempatkan atau sebagai sebuah terminologi kolektif yang meliputi seluruh aspek perencanaan untuk kesiapan dan mitigasi, maupun untuk penanganan dampak pasca bencana (respon darurat). Dalam definisi diatas, terlihat bahwa ada beberapa hal kunci yang terkandung dalam perspektif DM yakni: keterkaitan bencana dengan pembangunan. Perspektif ini memberikan perhatian yang berimbang terhadap masalah-masalah dalam proses sebelum bencana terjadi maupun pasca bencana. Sebelum bencana terjadi, kegiatan ditujukan untuk menghindari bencana atau minimal mengurangi dampak buruk suatu bencana. Setelah bencana terjadi atau dalam kondisi darurat, kegiatan ditujukan untuk membantu pemenuhan kebutuhan dasar korban bencana). Lebih penting lagi, perspektif DM berusaha untuk menganalisa dan menitikberatkan pada keterkaitan antara dua tahap tersebut dalam konteks kehidupan masyarakat. Dengan demikian DM bergerak antara dua aliran utama kerja dalam masyarakat, yakni pembangunan dan bantuan kemanusiaan. Pembangunan misalnya, seringkali dianggap jalan untuk membebaskan orang dari kemiskinan, sedangkan bantuan kemanusiaan dipandang sebagai upaya untuk menyelamatkan hidup seseorang atau sekelompok 27 orang yang tertimpa dampak suatu bencana. Sehingga terkesan adanya pemisahan atau putusnya sebuah keterkaitan dialektis antara pembangunan dengan bencana dan dampaknya. Pemisahan ini dianggap tidak memadai lagi untuk perkembangan konteks bencana dewasa ini, terutama untuk menilai dan merespon bencana dan krisis yang berulang. Lebih sering tejadi, sebuah bencana, bahkan yang disebut sebagai bencana alam sekalipun, merupakan dampak dari suatu fenomena atau proses pembangunan itu sendiri, misalnya masalah kerusakan lingkungan dan pemanasan global. Harga dari kerusakan yang terjadi karena bencana juga sudah terlalu besar (dari segi keuangan, mutu hidup dan lingkungan serta emosi). Dampak suatu bencana tertentu meningkatkan ancaman akan terjadinya bencana berikutnya dan menurunkan kemampuan masyarakat untuk bertahan dari dampak buruknya. Sehingga dari sisi internal, masyarakat yang rentan terhadap bencana yang berulang dan ancaman yang meningkat mengembangkan strategi hidupnya, untuk bertahan dalam krisis terus menerus, dan bukan lagi untuk mencapai mutu kehidupan yang lebih baik. Dengan demikian, upaya untuk meningkatkan taraf hidup dengan kerja-kerja penanganan dampak bencana (respon darurat) tidak dapat dipisahkan begitu saja. Upaya penanganan bencana yang lebih dititikberatkan pada fase ketika tidak sedang terjadi bencana ini biasanya disebut sebagai penanganan risiko bencana (Disaster Risk Management). Dua perspektif yang berbeda, sebagai perbandingan antara paradigma lama dan paradigma baru dalam penanganan bencana dapat dilihat pada Tabel 2.1.
28 TABEL 2.1 PERSPEKTIF MANAJEMEN PENANGGULANGAN BENCANA Perspektif Lama Perspektif Baru Bencana dilihat sebagai kejadian yang berdiri sendiri Bencana merupakan bagian dari proses pembangunan yang normal Kurang menganalisa hubungan- hubungan dengan kondisi masyarakat pada keadaan normal Analisa terhadap kondisi masyarakat pada keadaan normal merupakan faktor yang mendasar dalam mengenali bencana Dominasi solusi teknis, hukum, dan berorientasi stabilisasi Menekankan pada solusi yang merubah struktur hubungan dalam masyarakat yang menjadi penyebab masyarakat lebih rentan terhadap bencana Institusi yang terlibat dalam intervensi sangat terpusat, dengan tingkat partisipasi masyarakat korban sangat rendah Institusi yang terlibat tersebar, sehingga masyarakat menjadi pemeran utama dalam penyusunan strategi, dimana masyarakat tidak dipandang sebagai korban tapi sebagai mitra Lembaga pelaksana kurang dapat dipercaya dan kurang transparan kepada masyarakat Menekankan kepercayaan dan transparasi dalam pelaksanaan Intervensi dilakukan setelah terjadi bencana Mitigasi merupakan tujuan utama Tujuan intervensi adalah mengembalikan keadaan sebelum terjadi bencana Bencana dilihat sebagai kesempatan untuk transformasi menuju kondisi yang lebih baik Sumber: CBDRM FKPB, 2004 2.3 Pengurangan Risiko Bencana dan Analisis Risiko Pengurangan risiko bencana (PRB) merupakan sebuah konsep yang luas dan relatif baru. Ada beberapa definisi berbeda dari istilah ini dalam literatur teknis, tetapi PRB secara umum dipahami sebagai 29 pengembangan dan penerapan secara luas dari kebijakan-kebijakan, strategi-strategi dan praktik-praktik untuk meminimalkan kerentanan dan risiko bencana di masyarakat. PRB adalah sebuah pendekatan sistematis untuk mengidentifikasi, mengkaji dan mengurangi risiko- risiko bencana. PRB bertujuan untuk mengurangi kerentanan-kerentanan sosial-ekonomi terhadap bencana dan menangani bahaya-bahaya lingkungan maupun bahaya-bahaya lain yang menimbulkan kerentanan. 2.3.1 Pengurangan Risiko Bencana PRB merupakan tanggung jawab lembaga-lembaga yang bergerak dalam bidang pembangunan maupun lembaga lembaga bantuan kemanusiaan dan PRB harus menjadi bagian terpadu dari pekerjaan organisasi semacam ini, bukan sekedar kegiatan tambahan atau kegiatan terpisah yang dilakukan satu-dua kali saja. Oleh karenanya, upaya PRB sangatlah luas. Dalam setiap sektor dari kerja pembangunan dan bantuan kemanusiaan terdapat peluang untuk melaksanakan prakarsa-prakarsa Pengurangan Risiko Bencana (Twigg, 2007). Pertanyaan yang seringkali diajukan adalah Apa itu risiko?. Risiko adalah hal yang tidak akan pernah dapat dihindari pada suatu kegiatan / aktivitas yang idlakukan manusia, termasuk aktivitas proyek pembangunan dan proyek konstruksi. Karena dalam setiap kegiatan, seperti kegiatan konstruksi, pasti ada berbagai ketidakpastian (uncertainty). Faktor ketidakpastian inilah yang akhirnya menyebabkan timbulnya risiko pada suatu kegiatan. Para ahli mendefinisikan risiko antara lain William and Heins (1985) mendefinisikan risiko sebagai suatu variasi dari hasil hasil yang dapat terjadi selama periode tertentu pada kondisi tertentu. Sedangkan William Smith mendefinisikan risiko sebagai sebuah potensi variasi sebuah hasil dan Siahaan (1995) menjelaskan risiko sebagai kombinasi probabilita suatu kejadian dengan konsekuensi atau akibatnya. 30 Perbedaan pendapat mengenai difinisi risiko ini mungkin disebabkan perbedaan bidang keilmuan para ahli tersebut diatas.
Gambar 2.x Konsep Dasar Risiko Sumber: GTZ, 2009
Secara umum diketahui bahwa risiko adalah hal-hal yang belum terjadi, tapi bisa dipahami melalui ilmu pengetahuan maupun melalui pengetahuan dari sejarah masa lalu. Trieschman, Gustavon, Hoyt, (2001) mengemukakan beberapa macam risiko yaitu risiko statis dan risiko dinamis dengan berdasarkan sejauh mana ketidakpastian berubah karena perubahan waktu. Berdasarkan teori ini ada dua macam risiko yaitu: Pertama, Risiko Statis. Yaitu risiko yang asalnya dari masyarakat yang tidak berubah yang berada dalam keseimbangan stabil. Risiko statis dapat bersifat murni ataupun spekulatif. Contoh risiko spekulasi statis: Menjalankan bisnis dalam ekonomi stabil. Contoh risiko murni statis: Ketidakpastian dari terjadinya sambaran petir, angin topan, dan kematian secara acak (secara random). Dan kedua yaitu risiko dinamis, yaitu risiko yang timbul karena terjadi perubahan dalam masyarakat. Risiko dinamis 31 dapat bersifat murni ataupun spekulatif. Contoh sumber risiko dinamis: urbanisasi, perkembangan teknologi, dan perubahan undang undang atau perubahan peraturan pemerintah. Risiko bencana adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada suatu wilayah dan kurun waktu tertentu yang dapat berupa kematian , luka, sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau kehil angan harta, dan gangguan kegiatan masyarakat (Bakornas PB, 2007). Sebagaimana dijelaskan diatas mengenai bencana, analisis risiko bencana merupakan gabungan dari analisis bahaya dan analisis kerentanan bencana yang ada (Gambar 2.x).
Gambar 2.x Konsep Dasar Risiko Sumber: Working Concept Disaster Risk Management, GTZ, 2009 2.3.2 Analisis Risiko Bencana Analisis Risiko bukanlah proses yang dilakukan hanya satu kali dan bersifat statis, melainkan sebuah proses dinamis yang terus-menerus serta menyesuaikan diri dengan kerentanan perubahan, bahaya dan risiko. Untuk mengidentifikasi bahaya lebih efektif dilakukan secara partisipatif dengan melibatkan kelompok masyarakat. Untuk menganalisis risiko serta 32 memperkirakan dan menilai kemungkinan terjadinya bencana dan potensi kerusakan yang mungkin dari suatu bencana perlu mempertimbangkan sejarah serta strategi adaptif masyarakat sekitar, seperti digambarkan pada gambar 2.x .
Gambar 2.x Masukan dan Keluaran dari Analisis Risiko Sumber: Working Concept Disaster Risk Management, GTZ, 2009
Pengukuran analisis risiko dapat menggunakan matriks risiko untuk menggabungkan variabel kemungkinan dan variabel dampak untuk mendapatkan skor risiko. Skor risiko dapat digunakan untuk membantu pengambilan keputusan dan membantu dalam menentukan tindakan apa yang harus mengambil dalam keseluruhan risiko. Bagaimana skor risiko berasal dapat dilihat dari matriks resiko sampel dan tabel skor risiko ditunjukkan di bawah ini. Empat tingkat tingkat risiko atau skor ditampilkan dalam matriks dan tabel yang terdapat di bawah.
33
www.austrac.gov.au/elearning_aml..._14.html
www.austrac.gov.au/elearning_aml..._14.html
Untuk merumuskan rekomendasi yang implementif di tingkat masyarakat dengan tujuan untuk untuk mengurangi kerentanan dan meningkatkan kapasitas masyarakat, setiap analisis risiko yang disusun harus dapat menampung semua anspirasi stakeholders, menggunakan 34 variabel yang terukur dan masuk akal, serta mengintegrasikannya dengan rencana-rencana pembangunan wilayah. 2.3.3 Peran Masyarakat dalam Pengurangan Risiko Bencana Dalam manajemen tanggap darurat yang konvensional, masyarakat dipandang lebih dari aspek ruang: kelompok-kelompok orang yang tinggal di daerah yang sama atau tinggal berdekatan dengan risiko- risiko yang sama. Pandangan ini mengabaikan dimensi-dimensi penting lain dari masyarakat yang berkaitan dengan kepentingan, nilai-nilai, kegiatan-kegiatan dan struktur- struktur yang sama (Twigg, 2007). Masyarakat merupakan sesuatu yang kompleks dan seringkali tidak berbentuk satu kesatuan. Di antara orang-orang yang tinggal di suatu daerah yang sama ada perbedaan- perbedaan dalam hal kekayaan, status sosial dan pekerjaan, dan mungkin pula ada pembagian- pembagian lain yang lebih serius di dalam masyarakat. Seseorang dapat menjadi anggota beberapa masyarakat yang berbeda pada saat yang sama, terhubungkan dengan masing-masing masyarakat ini oleh faktor-faktor berbeda seperti tempat tinggal, pekerjaan, status ekonomi, gender, agama atau kesamaan hobi. Masyarakat adalah sesuatu yang dinamis: orang dapat berkumpul bersama untuk tujuan-tujuan tertentu yang sama dan berpisah kembali segera setelah tujuan-tujuan ini tercapai. Faktor-faktor ini menyebabkan sulit bagi kita untuk mengidentifikasikan dengan jelas masyarakat yang kita dampingi. Dari perspektif bahaya, dimensi ruang merupakan suatu unsur yang mendasar dalam mengidentifikasikan masyarakat yang menghadapi risiko, tetapi kesamaan tempat tinggal ini harus dihubungkan dengan pemahaman akan perbedaan-perbedaan, keterkaitan dan dinamika sosial- ekonomi di wilayah berisiko tersebut, tidak hanya untuk mengidentifikasikan kelompok- kelompok rentan tetapi juga untuk memahami berbagai faktor berbeda yang 35 turut menciptakan kerentanan. Usaha-usaha, layanan layanan dan infrastruktur masyarakat juga harus turut dipertimbangkan. John Twigg dalam papernya yang berjudul Karakteristik Masyarakat yang Tahan Bencana juga menuliskan mengenai keberadaan masyarakat yang sejatinya tidaklah terpisah dari lingkungannya. Tingkat ketahanan masyarakat juga dipengaruhi oleh kapasitas di luar masyarakat bersangkutan, terutama oleh layanan penanggulangan bencana tetapi juga oleh layanan- layanan sosial dan administratif lainnya, oleh infrastruktur publik dan jaringan hubungan-hubungan sosial- ekonomi dan politik dengan dunia yang lebih luas. Sedikit banyak semua masyarakat praktis tergantung pada penyedia layanan eksternal. Bagian lingkungan yang mendukung dalam tabel-tabel pada catatan panduan ini mencoba mengidentifikasikan beberapa dari pengaruh-pengaruh luar ini. 2.4 Kerentanan masyarakat Keberadaan bencana pada dasarnya tidak diharapkan oleh pihak manapun. Akan tetapi ketika bencana merupakan hal yang mungkin terjadi, maka tindakan yang dapat dilakukan adalah dengan meningkatkan kesigapan ketika terjadi bencana dan kesiapsiagaan ketika tidak atau belum terjadi bencana. Hal tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa bencana datang dengan tanpa dapat diperkirakan sebelumnya. Model atau perkiraan terhadap bencana susulan hanya dapat dilakukan bila pernah terjadi kejadian sebelumnya. Dalam menghadapi ancaman bencana tersebut, terdapat berbagai kelompok masyarakat dalam menanggapinya. Di sebagian masyarakat terdapat kelompok yang menyikapi dengan tindakan yang sesuai dengan prosedur keselamatan yang telah ditetapkan. Namun di sebagian lain terdapat kelompok masyarakat yang belum siap dan sigap ketika terjadi bencana. Hal tersebut merupakan kerentanan di mana kondisi masyarakat mengarah atau menyebabkan ketidakmampuan dalam menghadapi ancaman bencana (Sumekto). 36 2.4.1 Pengertian kerentanan dan analisis kerentanan Kerentanan menurut terminologi UN-ISDR adalah kondisi-kondisi yang ditentukan oleh faktor fisik, sosial, ekonomi, dan lingkungan atau proses-proses, yang meningkatkan kerentanan masyarakat terhadap dampak bahaya. Hal-hal yang menyebabkan suatu masyarakat hidup dalam kondisi yang rentan antara lain dikarenakan ketidakpedulian terhadap kerentanan, atau dengan kata lain tidak peduli atau kurang pengetahuan akan adanya risiko-risiko bencana yang ada di sekitarnya. Faktor yang lain yaitu adanya keterbatasan kepentingan, otoritas, dan kemampuan untuk mengubah kondisi yang ada. Hal ini dapar dilihat pada masyarakat yang hidup di bantaran sungai karena keterbatasan akses terhadap sumber daya yang ada. Berdasarkan beberapa penelitian, hal-hal yang menyebabkan masyarakat hidup di bantaran sungai lebih dominan dikarenakan faktor ekonomi. Dengan kata lain bahwa, masyarakat yang hidup di bantaran sungai terutama di kota-kota besar terpaksa atau dipaksa tinggal disana. Kondisi ini pasti berbeda dengan kehidupan masyarakat bantaran Sungai Barito maupun Batanghari yang benar-benar merupakan budaya selama berabad-abad dikarenakan menggantungkan hidupnya dari sungai. Faktor lain yang menyebabkan masyarakat terus- menerus hidup dalam kondisi rentan yaitu kurangnya ataupun kadang- kadang tidak ada pilihan alternatif yang lebih baik secara fisik, sosial, ekonomi, dan politik. 2.4.2 Kerentanan dan Ketahanan terhadap bencana Istilah ketahanan dan kerentanan adalah dua sisi dari satu mata uang yang sama, tetapi keduanya adalah istilah yang relatif. Kita harus mengkaji individu-individu, masyarakat-masyarakat dan sistem- sistem mana yang rentan atau tahan terhadap bencana, dan sampai sejauh mana. Seperti kerentanan, ketahanan juga kompleks dan memiliki banyak aspek. Dibutuhkan berbagai segi atau lapisan ketahanan yang berbeda untuk 37 menangani beragam tekanan yang berbeda dengan tingkat keparahan yang berbeda- beda pula. Banyak upaya telah dilakukan untuk mendefinisikan ketahanan. Berbagai macam definisi dan konsep akademis yang ada dapat membingungkan. Agar operasional, lebih mudah bila kita bekerja dengan definisi-definisi luas dan karakteristik-karakteristik yang umum dipahami. Dengan pendekatan ini, sistem atau ketahanan masyarakat dapat dipahami sebagai: kapasitas untuk menyerap tekanan atau kekuatan-kekuatan yang menghancurkan, melalui perlawanan atau adaptasi; kapasitas untuk mengelola, atau mempertahankan fungsi-fungsi dan struktur-struktur dasar tertentu, selama kejadian- kejadian yang mendatangkan malapetaka; kapasitas untuk memulihkan diri atau melenting balik setelah suatu kejadian (Twigg, 2007). Ketahanan pada umumnya dipandang sebagai suatu konsep yang lebih luas daripada kapasitas karena konsep ini memiliki makna yang lebih tinggi daripada sekedar perilaku, strategi-strategi dan langkah-langkah pengurangan serta manajemen risiko tertentu yang biasa dipahami sebagai kapasitas. Walaupun begitu, sulit untuk memisahkan antara konsep-konsep ini dengan jelas. Dalam penggunaan sehari-hari, kapasitas dan kapasitas bertahan seringkali memiliki arti yang sama dengan ketahanan. Fokus pada ketahanan berarti memberikan penekanan yang lebih besar pada apa yang dapat dilakukan oleh masyarakat bagi diri mereka sendiri dan pada cara-cara untuk memperkuat kapasitas mereka, alih-alih memusatkan perhatian pada kerentanan mereka terhadap bencana atau kebutuhan- kebutuhan mereka dalam situasi darurat (Twigg, 2007). 2.4.3 Faktor-Faktor Kerentanan Dalam menentukan faktor-faktor kerentanan, langkah pertama yang perlu dilakukan yaitu melakukan pemetaan (maping) terhadap kondisi wilayah penelitian. Pemetaan kerentanan adalah suatu proses yang 38 menghasilkan pengertian akan jenis dan tingkat kerentanan dari manusia, harta benda dan lingkungan terhadap efek dari ancaman tertentu pada waktu tertentu. Proses ini lebih pada mengidentifikasi kondisi fisik, sosial dan ekonomi yang rawan terhadap dapak suatu ancaman. Suatu proses partisipasi untuk mengidentifikasi unsur-unsur risiko pada setiap ancaman, dan untuk menganalisa akar masalah adanya unsur-unsur risiko tersebut. Pemetaan kerentanan adalah proses perkiraan kerentanan pada ancaman- ancaman yang potensial dengan cara (1.) Mengidentifikasi unsur-unsur risiko pada setiap type ancaman (2). Menganalisa akar masalah adanya unsur-unsur risiko tersebut. Beberapa aspek pada analisis kerentanan menurut Sumekto (2006) yang ada di masyarakat, antara lain: 2.4.3.1 Kerentanan fisik. Kerentanan fisik (infrastruktur) menggambarkan perkiraan tingkat kerusakan terhadap fisik (infrastruktur) bila ada faktor berbahaya (hazard) tertentu. Berbagai indikator yang merupakan sumber kerentanan fisik adalah sebagai berikut: persentase kawasan terbangun; kepadatan bangunan; persentase bangunan konstruksi darurat; jaringan listrik; rasio panjang jalan; jaringan telekomunikasi; jaringan PDAM; dan jalan KA, maka permukiman yang berada di kawasan bahaya alam (gempa bumi tektonik dan kawasan banjir) dapat dikatakan berada pada kondisi yang sangat rentan karena persentase kawasan terbangun, kepadatan bangunan, sementara di lain pihak persentase jaringan listrik, rasio panjang jalan, jaringan telekomunikasi, jaringan PDAM masih rendah. 2.4.3.2 Kerentanan ekonomi. Kerentanan ekonomi menggambarkan besarnya kerugian atau rusaknya kegiatan ekonomi (proses ekonomi) yang terjadi bila terjadi ancaman bahaya. Indikator yang dapat kita lihat menunjukkan tingginya tingkat kerentanan ini misalnya adalah persentase rumah tangga yang 39 bekerja di sektor rentan (sektor jasa dan distribusi) dan persentase rumah tangga miskin di daerah rentan bencana rob. 2.4.3.3 Kerentanan sosial. Kerentanan sosial menunjukkan perkiraan tingkat kerentanan terhadap keselamatan jiwa penduduk apabila ada bahaya. Dari beberapa indikator antara lain kepadatan penduduk, laju pertumbuhan penduduk, persentase penduduk usia tua-balita dan penduduk wanita, maka dapat diketahui kawasan rawan bencana memiliki kerentanan sosial tertentu. Belum lagi jika kita melihat kondisi sosial saat ini yang semakin rentan terhadap bencana non-alam (man-made disasters), seperti rentannya kondisi sosial masyarakat terhadap dampak bencana rob karena tingginya angka pengangguran juga tekanan ekonomi. 2.4.3.4 Kerentanan lingkungan. Kerentanan lingkungan menggambarkan kondisi suatu wilayah yang rawan bencana. Kondisi geografis dan geologis suatu wilayah serta data statistik kebencanaan merupakan indikator kebencanaan. Kota Semarang termasuk salah satu wilayah yang memiliki kerentanan lingkungan cukup tinggi. Indikasi suatu daerah merupakan lingkungan yang rawan adalah dekat dengan sumber ancaman dengan kapasitas masyarakat yang masih rendah dalam menghadapi bencana. Adanya kerentanan masyarakat dan ancaman bencana menjadikan kapasitas masyarakat mutlak untuk dikembangkan. Hal tersebut didasarkan pada pemikiran bahwa bencana akan menjadi sebuah hal yang marjin ketika masyarakat mempunyai kemampuan dan kapasitas untuk mengantisipasi dampaknya dengan baik. Semakin besar kemampuan masyarakat dalam mengelola bencana maka akan semakin kecil dampak kerugian yang ditimbulkannya. Hal seperti itulah yang dirintis dalam pengurangan risiko bencana. Secara struktural penanggulangan bencana pada saat ini masih bersifat sentralistik. Meskipun struktur kelembagaan seperti ini masih tetap 40 berlaku, namun seiring dengan adanya reformasi dan otonomi daerah hal tersebut mulai bergeser dengan berubahnya paradigma politik dan pemerintahan. Hal tersebut juga semakin bergeser sejalan dengan menguatnya paradigma pengurangan risiko kebencanaan. Pada buku Instruments and approaches in risk analysis faktor- faktor kerentanan juga dibagi menjadi 4 (empat) faktor yaitu: fisik, ekonomi, sosial, dan lingkungan dengan indikator-indikator yang bisa digunakan sesuai dengan karakteristik wilayah penelitian (gambar 2.x).
Gambar 2.x Masukan dan Keluaran dari Analisis Risiko Sumber: Working Concept Disaster Risk Management, GTZ, 2009 41 Kategorisasi yang berbeda dari kerentanan oleh berbagai penulis dapat membantu dalam pemahaman yang lebih baik kompleksitasnya dapat dilihat pada tabel 2.x di bawah ini. TABEL 2.X KATEGORISASI KERENTANAN DARI BEBERAPA PENULIS Sumber: Global Crisis Solutions
2.4.4 Kerentanan dari Perspektif Penataan Ruang 42 Kerentanan tersebut selalu terkait dengan konsteks ruang yang sekiranya akan terkena dampak kerawanan yang terjadi (Miladan, 2009). Definisi ruang berdasarkan pada UU No. 26 Tahun 2007 merupakan wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya. Dalam undang-undang tersebut tertuang pula beberapa subtansi yang bertujuan dalam peningkatan kapasitas fisik dan non fisik wilayah tersebut. Adapun substansi tersebut tertuang dalam tata ruang yakni wujud struktur ruang dan pola ruang. Atas dasar tersebut maka dalam penentuan variabel kerentanan suatu wilayah juga harus ada keterkaitannya dengan lingkup penataan ruang secara komprehensif. Pada substansi Undang-Undang Penataan Ruang No. 26 Tahun 2007 beberapa elemen yang dapat dikaitkan dengan kerentanan bencana yakni elemen struktur ruang dan elemen pola ruang. Elemen tersebut terkait dengan kondisi fisik wilayah, sedangkan untuk kondisi sosial masyarakat yang terkait langsung dengan elemen kerentanan bencana belum terjabarkan secara jelas di dalam undang- undang tersebut (Miladan, 2009). Adapun substansi yang perlu diperhatikan dalam penataan ruang dihubungkan dengan kerentanan bencana yakni terkandung aspek fisik yang meliputi susunan pusat-pusat permukiman dan sistem jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat serta aspek lingkungan meliputi kawasan lindung dan budidaya di wilayah, dan aspek kawasan strategis wilayah. Sedangkan aspek sosial dan ekonomi tidak secara detail menjabarkan aspek kerentanan bencana. Atas dasar-dasar tersebut maka beberapa elemen tata ruang berdasarkan prespektif Undang-Undang Penataan Ruang yang dapat dikaitkan dengan kerentanan bencana adalah sebagai berikut ini: 43 Pertama, aspek fisik yang meliputi prasarana dasar dan fasilitas perkotaan. Adapun variabel-variabel yang terkait dengan aspek diatas meliputi prasarana dasar, misalnya jaringan jalan, jaringan listrik, jaringan air bersih, jaringan telekomunikasi, jaringan Persampahan, jaringan drainase, dan lain-lain serta sarana/fasilitas umum, meliputi perdagangan dan jasa, pendidikan, kesehatan, dan lain-lain. Kedua, aspek lingkungan yang terkait dengan keberadaan kawasan lindung dan kawasan budidaya. Adapun variabel-variabel terkait dengan kerentanan yakni: Kawasan lindung, meliputi kawasan hutan lindung, kawasan bergambut, kawasan resapan air, kawasan sempadan pantai, dan lain-lain. Serta kawasan budidaya, meliputi perdagangan dan jasa, pendidikan, kesehatan,dan lain- lain.
2.4.5 Analisis Kerentanan Analisis kerentanan bencana sebagai satu proses dinamis, berkelanjutan dari pihak- pihak (individu dan organisasi) yang mampu menilai bahaya dan resiko yang mereka hadapi dan menentukan apa yang seharusnya dilakukan terhadap bahaya dan resikonya. Pengkajian kerentanan juga mencakup suatu sarana pengumpulan data yang terstruktur yang diarahkan untuk pemahaman tingkat potensi ancaman, kebutuhan, dan sumber daya yang dapat segera terpenuhi. Pengkajian tersebut mencakup dua kategori informasi umum. Pertama, informasi infrastruktur yang relatif statis yang memberikan dasar-dasar untuk menentukan tingkat pembangunan, tipe-tipe keuntungan dan kerugian fisik yang dihadapi oleh masyarakat yang bertempat tinggal di suatu wilayah dan suatu peta bencana dari struktur yang tersedia, seperti: jalan dan rumah sakit yang bermanfaat pada saat tanggap darurat. Kedua, mencakup data sosio-ekonomi yang relatif dinamis yang menunjukkan sebab dan tingkat kerentanan, perubahan demografi dan tipe-tipe aktivitas ekonomi. 44 Berdasarkan Kant (1994) dalam buku Kesiapan Bencana ada tiga alasan utama mengapa penilaian (assessment) kerentanan itu begitu penting bagi kesiapsiagaan bencana (disaster preparedness). Pertama, penilaian kerentanan yang akurat berfungsi sebagai suatu sarana untuk menginformasikan kepada para pembuat keputusan tentang kegunaan dari pendekatan tingkat lokal dan nasional terhadap kesiapan bencana. Kedua, para pembuat keputusan seharusnya sadar akan potensi-potensi bencana di negara masing-masing. Sedangkan pada dimensi ancaman bencana dan tingkat kesiapsiagaan atau ketidaksiapsiagaan perlu dipahami secara penuh. Ketiga, pengkajian kerentanan harus berfungsi berdasarkan basis yang bersifat berkelanjutan (sustainable habits) memonitor gejala-gejala dari kondisi infrastruktur, sosio-ekonomi, dan fisik di negara-negara yang rawan terhadap bencana. Dengan pemahaman ini, upaya awal untuk mengembangkan suatu data dasar melalui pengkajian kerentanan harus menjadi landasan bagi perawatan dan perbaikan media informasi penting demi tujuan perencanaan pembangunan (Kent, 1994). 2.4.5 Klasifikasi Variabel Penelitian Kerentanan terhadap bencana rob Rob adalah kejadian/fenomena alam dimana air laut masuk ke wilayah daratan, terutama saat air laut mengalami pasang. Intrusi air laut tersebut dapat melalui sungai, saluran drainase atau aliran bawah tanah. Rob dapat muncul karena dinamika alam atau kegiatan manusia. Dinamika alam yang dapat menyebabkan rob adalah adanya perubahan elevasi pasang surut air laut. Sedangkan yang diakibatkan oleh kegiatan manusia misalnya dikarenakan oleh penyedotan air tanah yang berlebihan, pengerukan alur pelayaran, reklamasi pantai, dan lain-lain (Wahyudi dkk, 2001). Pada beberapa kawasan di wilayah pesisir yang rawan tergenang akibat kenaikan permukaan air laut muncul berbagai kerentanan bencana bagi masyarakat pesisir maupun lingkungan pesisir tersebut. Menurut Harmoni dalam Miladan, 2010 beberapa permasalahan tersebut akan dapat 45 menimbulkan beberapa akibat antara lain: Pertama, Kerusakan infrastruktur (jaringan listrik, jaringan telepon, jaringan PDAM, fasilitas umum dan sebagainya) Bencana rob akibat kenaikan air laut akan merusak infrastruktur yang ada di wilayah tersebut. Kerusakan tersebut terjadi karena infrastruktur tersebut akan tergenang oleh air laut yang menyebabkan kerusakan fisik pada infrastruktur yang ada. Kerusakan infrastruktur tersebut tentunya akan menelan biaya yang cukup besar untuk upaya perbaikannya maupun perawatan pasca bencana tersebut jika terjadi. Adanya hal ini merupakan kerentanan-kerentanan fisik yang dapat menghambat pengembangan wilayah pesisir yang berkelanjutan. Kedua, Kerusakan kawasan-kawasan strategis. Pada wilayah pesisir seringkali terdapat beberapa wilayah/kawasan yang memiliki peran strategis dalam perkembangan maupun keberlanjutan wilayah pesisir tersebut. Pada hal ini sebagai contoh yakni kawasan mangrove dan kawasan terumbu karang. Jika terjadi bencana rob tersebut tentu saja kawasan ini merupakan salah satu kawasan yang akan terkena dampaknya secara langsung. Kemungkinan besar akan terjadi kerusakan habitat- habitat tersebut. Hal ini tentu saja akan dapat menyebabkan kerugian yang cukup besar bagi keberlanjutan wilayah pesisir. Disisi lain kawasan strategis yang lainnya yakni kawasan-kawasan yang memiliki nilai historis. Pada umumnya kota-kota di Wilayah Pesisir Indonesia berkembang sejak zaman kolonial sehingga banyak peninggalan sejarah yang berada di wilayah pesisir. Melihat kondisi tersebut tentunya bencana tersebut dapat pula mengancam kawasan-kawasan ini, sehingga akan mengakibatkan terjadinya kerentanan lingkungan. Ketiga, keterancaman masyarakat pesisir. Keterencaman masyarakat pesisir ini dapat dilihat melalui dua aspek yakni kerentanan kehilangan nyawa/timbulnya penyakit maupun kerentanan kehilangan aset- aset harta benda yang dimiliki oleh mereka. Adapun kerentanan kehilangan nyawa/timbulnya penyakit yang dapat mengancam kehidupan masyarakat 46 pesisir merupakan keterancaman yang paling utama. Jika bencana tersebut benar terjadi maka masyarakat pesisir harus berfikir agar dapat berpindah untuk menyelamatkan diri. Namun pada kenyataannya seringkali masyarakat terkendala dalam menghadapi/mengantisipasi bencana tersebut. Hal ini karena disebabkan oleh beberapa faktor seperti halnya kemiskinan maupun nilai strategis dari wilayah pesisir sehingga masyarakat enggan untuk meninggalkan wilayah tersebut. Pada sisi lain, masyarakat juga tidak ingin meninggalkan aset-aset harta benda (tanah, rumah maupun lahan tempat bekerja/tempat usaha dan lain-lain) yang mereka miliki akibat tergenang. Kehilangan aset-aset tersebut tentu saja akan menimbulkan kesengsaraan dan menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat. Analisis kerentanan dalam penelitian ini mencoba memotret tingkat kemungkinan kerugian atau kerusakan pada suatu wilayah oleh suatu bahaya/ancaman. Dalam hal ini spesifik bencana rob, yang dianggap sebagai bahaya fisik yang langsung di tingkat lokal. Seringkali, persepsi terhaap suatu peristiwa rob berbeda antara satu orang dengan yang lain, maupun antar komunitas, tergantung pada sejauh mana orang yang terkena, tingkat ekonomi, pendapatan dan properti, peran sosial, dan lain sebagainya. Seringkali, terjadi sebuah peristiwa alam yang ekstrim dianggap adalah bagian dari kehidupan normal bagi penduduk lokal yang telah menjadi terbiasa dan menjelaskan peristiwa tersebut sebagai "takdir Tuhan". Diperlukan langkah-langkah dalam analisis kerentanan yang sesuai untuk dapat menganalisis persepsi yang berbeda dan faktor-faktor yang mempengaruhi tersebut.
Beberapa pertanyaan yang dapat diajukan ke masyarakat antara lain adalah, berapa volume air akan menembus ke dalam rumah, dan seberapa parah kerusakan yang diakibatkan hal itu? Bagaimana kerusakan infrastruktur yang rusak akibat rob? Berapa banyak tambak maupun 47 pertanian yang rusak karena rob? Dan seberapa besar kerugian yang disebabkan dari kerusakan tersebut? Serta akibat rob terhadap kondisi perekonomian masyarakat setempat? Dari pertanyaan-pertanyaan tersebut diatas bisa dirumuskan faktor-faktor yang dapat digunakan sebagai indikator mengukur tingkat kerentanan masyarakat akibat dari rob di wilayah penelitian. Pada buku Instruments and Approaches in Risk Analysis secara menarik dijelaskan mengenai langkah-langkah dalam studi dampak mengukur elemen-elemen yang rentan terhadap bencana (Gambar 2.x). Pada kajian dampak tersebut wilayah yang berwarna abu-abu berkaitan dengan unsur-unsur fisik (kerentanan fisik). Dalam hal ini kerentanan sosial diabaikan, karena dianggap bahwa kerusakan yang dominan dan dapat dihitung dalam bentuk uang adalah kerusakan-kerusakan fisik, misalnya kerusakan bangunan, rumah, jalan, jembatan, tambak, lahan pertanian, serta sarana prasarana dasar). Faktor-faktor kerentanan merupakan faktor yang mempengaruhi kerentanan pada suatu kelompok populasi dan dasar hidup mereka atau hasil dalam kerentanan. Untuk mengevaluasi kerentanan atau memperkirakan tingkat kerentanan yang relevan, perlu untuk mendefinisikan indikator. Indikator untuk menentukan kerentanan sangat tergantung kuat pada lingkungan politik, sosial dan ekonomi regional dan nasional. Inilah sebabnya mereka harus dikembangkan dari awal dalam setiap konteks proyek baru. Selain itu, pengalaman telah menunjukkan bahwa mengukur dan memperkirakan kerentanan pada skala yang berbeda (lokal, nasional, daerah) melibatkan masalah dan tantangan yang berbeda- beda pula, sehingga indikator juga dapat berbeda tergantung pada apakah mereka ditetapkan untuk (lokal) mikro, meso atau tingkat makro. Dalam pedoman ini, fokusnya adalah pada tingkat lokal dan meso (GTZ, 2011). 48
Gambar 2.x Analisis Elemen-Elemen Kerentanan Sumber: Working Concept Disaster Risk Management, GTZ, 2009 2.5 Kerangka Pikir Penelitian Penanggulangan bencana tidak terlepas terhadap analisis tentang risiko bencana yang ada. Risiko bencana sendiri merupakan hasil perpaduan antara kerawanan bencana dan kerentanan bencana seperti yang telah terjabarkan diatas. Berdasarkan definisi tersebut analisis kerentanan bencana memiliki peran penting dalam penilaian risiko bencana. Pada asumsi bahwa terdapat kerawanan yang tinggi pada suatu wilayah namun kerentanan bencananya tergolong rendah karena tidak/sedikit aktivitas yang ada di wilayah tersebut tentu saja risiko bencana yang ditimbulkan tidak terlalu signifikan dalam dilakukan suatu upaya pengurangan risiko bencana 49
Gambar 2.6 Kerangka Pikir Penelitian Sumber: Penyusun, 2012 50
Pada hal ini kerentanan terhadap bencana bersifat penilaian terhadap dampak yang ditimbulkan dari suatu sumber bencana yang ada. Kerentanan adalah suatu keadaan yang ditimbulkan oleh kegiatan manusia (hasil dari proses-proses fisik, sosial, ekonomi, dan lingkungan) yang mengakibatkan peningkatan kerawanan masyarakat terhadap bahaya. Oleh karena itu, penelitian ini mencoba mengkaji kerentanan masyarakat terhadap bencana rob sebagai dasar merumuskan alternatif strategi kebijakan. Skema kerangka pikir penelitian dapat dilhat pada Gambar 2.6.
BAB III 51 GAMBARAN UMUM WILAYAH DAN METODE PENELITIAN
3.1. Kondisi Fisik Alam Kota Semarang Kota Semarang terletak di kawasan pantai utara Pulau Jawa, yang sangat pesat perkembangannya. Hal ini karena dipengaruhi kondisi bahwa Kota Semarang sebagai Ibukota Provinsi Jawa Tengah. Kota ini terletak antara garis 6o 50 - 7o 10 LS dan garis 109o 50 - 110o 35 BT, dan dalam RTRW Kota Semarang, secara administratif dibatasi oleh: Sebelah Utara: Laut Jawa; Sebelah Timur: Kabupaten Demak; Sebelah Selatan: Kabupaten Semarang; dan Sebelah Barat: Kabupaten Kendal. Kota Semarang memiliki topografi datar hingga berbukit (Gambar 2.2); topografi datar berada di wilayah pantai dengan kemiringan lereng 0-2% dan elevasi kurang dari 3.5 meter dari muka laut rata-rata (msl); sedangkan topografi berbukit berada di sebelah selatan dari topografi datar dengan kemiringan lereng 2-40% dan elevasi 90-200 meter msl. Letak geografi Kota Semarang ini dalam koridor pembangunan Jawa Tengah dan merupakan simpul empat pintu gerbang, yakni koridor pantai Utara, koridor Selatan ke arah kota-kota dinamis seperti Kabupaten Magelang, Surakarta yang dikenal dengan koridor Merapi-Merbabu, koridor Timur ke arah Kabupaten Demak/Grobogan dan Barat menuju Kabupaten Kendal. Dalam perkembangan dan pertumbuhan Jawa Tengah, Semarang sangat berperan, terutama dengan adanya pelabuhan, jaringan transport darat (jalur kereta api dan jalan) serta transport udara yang merupakan potensi bagi simpul transport Regional Jawa Tengah dan kota transit Regional Jawa Tengah. Posisi lain yang tak kalah pentingnya adalah kekuatan hubungan dengan luar Jawa, secara langsung sebagai pusat wilayah nasional bagian tengah. (http://www.semarangkota.go.id). 52
Gambar 3.1 Posisi Kota Semarang terhadap daerah sekitarnya Sumber: Google Earth, 2011 dan Citra Landsat ETM+, 2011
Elevasi topografi berada pada ketinggian antara 0,75 m sampai sekitar 350 m diatas permukaan laut. Kondisi topografi menciptakan potensi panorama yang indah dan ekosistem yang lebih beragam. Ketinggian 0.75- 90.5 termasuk dalam kawasan Pusat Kota Semarang (Dataran Rendah Semarang Bagian Utara) yang di wakili oleh titik tinggi di Daerah Pantai Pelabuhan Tanjung Mas, Simpang Lima, Candibaru. Sedangkan ketinggian 90.5-348 terletak pada daerah pinggir Kota Semarang, yang terbesar disepanjang arah mata angin yang diwakili oleh titik tinggi yang berlokasi di Jatingaleh dan Gombel, Semarang Selatan, Tugu, Mijen dan Gunungpati (Sumber: Bappeda Kota Semarang, 2009/Draft Dokumen RTRW Semarang 2010-2030). Adapun dari kondisi lereng wilayah Kota Semarang dapat dilihat pada Peta Gambar 3.2 53
Gambar 3.2 Peta Kelerengan Kota Semarang Sumber: Bappeda Kota Semarang, 2011 54 3.1.1 Administrasi Kota Semarang Kota Semarang secara adminitratif terbagai kedalam 16 kecamatan dan 177 kelurahan. Kecamatan-kecamatan tersebut adalah : 1. Kecamatan Semarang Barat, 2. Kecamatan Semarang Timur, 3. Kecamatan Semarang Tengah, 4. Kecamatan Semarang Utara, 5. Kecamatan Semarang Selatan, 6. Kecamatan Candisari, 7. Kecamatan Gajahmungkur, 8. Kecamatan Gayamsari, 9. Kecamatan Pedurungan, 10. Kecamatan Genuk, 11. Kecamatan Tembalang, 12. Kecamatan Banyumanik, 13. Kecamatan Gunungpati, 14. Kecamatan Mijen, 15. Kecamatan Ngaliyan, 16. Kecamatan Tugu. Pembagian kecamatan di Kota Semarang dapat dilihat pada gambar 3.3. 3.1.2 Sejarah Pertumbuhan Kota Semarang Dalam sejarah pertumbuhan Kota Semarang pada awalnya berada di wilayah pesisirnya yang berbatasan dengan Laut Jawa. Sejarah Semarang berawal pada daerah pesisir yang bernama Bergota (Pragota/Plagota) dan merupakan bagian dari kerajaan Mataram Kuno. Sejarah Kota Semarang pada masa kolonial digunakan sebagai pusat perdagangan dan basis militer oleh Belanda. Secara umum awal mula dari pertumbuhan Kota Semarang dipengaruhi fase pertumbuhan dan perkembangan wilayah pesisir Kota Semarang. Secara morfologi perkembangan fisik Kota Semarang mengalami beberapa variasi bentuk morfologi lahan. Menurut Van Bemmelen, seorang ahli geologi Belanda, mengemukakan bahwa garis Pantai Utara Pulau Jawa pada jaman dahulu terletak beberapa kilometer menjorok ke daratan saat ini. Hal ini juga berlaku di wilayah pesisir Kota Semarang seperti terlihat pada Gambar 3.4. 55
Gambar 3.3 Peta Wilayah Kota Semarang Sumber: Bappeda Kota Semarang, 2011 56 Kondisi ini terjadi karena adanya laju pengendapan lumpur yang membuat endapan tanah baru bergerak dengan kecepatan 8m per tahun. Pembentukan daratan tersebut sebenarnya sudah dimulai jauh sebelum tahun 1695. Pada tahun 1478, garis pantai sudah sampai kawasan Imam Bonjol, Gendingan, dan Jurnatan, kawasan endapan lumpur tersebut kelak disebut sebagai Kota Bawah, sedangkan kawasan perbukitan Candi kelak disebut Kota Atas (Budiman dalam Purwanto,2005).
Gambar 3.4 Kondisi Pantai Semarang pada Abad-10 Sumber: Bappeda Kota Semarang, 2010
Adapun fase endapan tersebut menurut Purwanto (2005) dapat dirunut sebagai berikut: Pertama, pada Tahun 900-an endapan lumpur tersebut berasal dari Demak yang mengalir melalui sungai Kali Garang. Bentuk dari garis pantai berada pada garis perbukitan Bergota merupakan garis pantai pada saat itu. Kedua, Tahun 900 s/d 1500 merupakan masa permulaan endapan alluvial. Endapan dimulai dari sedimentasi endapan lumpur dari daerah muara yang 57 berasal dari Kali Kreo, Kali Kripik dan Kali Garang. Kemudian fase perkembangan yang ketiga, selain terjadi perubahan morfologi lahan tersebut, sejarah wilayah pesisir Kota Semarang pada awalnya merupakan pelabuhan dan di depannya terdapat gugusan pulau-pulau kecil. Akibat pengendapan, gugusan tersebut sekarang menyatu membentuk daratan. Rata-rata kemajuan garis pantai Kota Semarang dapat dilihat pada Tabel 3.1. Bagian Kota Semarang Bawah yang dikenal sekarang ini dahulu merupakan laut. Pelabuhan tersebut diperkirakan berada di daerah Pasar Bulu sekarang dan memanjang masuk ke Pelabuhan Simongan, tempat armada Laksamana Cheng Ho bersandar pada tahun 1405 Masehi.
Gambar 3.4 Perkembangan Garis Pantai Semarang 1841 - 1991 Sumber: Bappeda Kota Semarang, 2010
Awal perkembangan Kota Semarang berpusat di wilayah pesisirnya pada muara kali Semarang berkembang ke arah daratan di sekitar pusat tersebut dan memiliki arah perkembangan kota yang terpencar (urban sprawl). Kemudian Tawang G a r is p a n t a i 1 8 4 7
Garis pan tai 1 9 4 0 G a r i s p a n ta i 1 9 9 1 581 m 93 Tahun 303 m 51 Tahun 0 0,45 0,9 U L . A . U . T J . A . W . A 58 mulai berkembang di kawasan yang telah dibangun prasarana jalan pada zaman Belanda yakni seperti halnya Jalan Pandanaran. Batas Kota Semarang mulai lagi melebar sejak awal tahun 1950 pemukiman di Krobokan, Seroja, Pleburan, Jangli, Mrican mulai berkembang pesat. Pusat perdagangan juga mulai bermunculan seperti pasar Johar, Bulu, Dargo, Karangayu dan Pasar Langgar. Sarana transportasi modern juga semakin lengkap dengan adanya stasiun Bubakan dan juga daerah Srondol/Banyumanik berkembang menjadi pusat perdagangan, industri dan pemukiman (Purwanto,2005). TABEL 3.1 RATA-RATA KEMAJUAN GARIS PANTAI KOTA SEMARANG Rentang Tahun Kemajuan Garis Pantai Rata-rata (tahun) 1695 1719 100 m 4,16 m 1719 1847 700 m 5,46 m 1847 1892 700 m 15,55 m 1892 1921 300 m 10,34 m 1921 1940 200 m 10,52 m Sumber: Bappeda Kota Semarang, 2010
Perkembangan Kota Semarang mulai berkembang menjadi suatu pusat aktivitas dalam skala regional maupun nasional dengan adanya dukungan dari jaringan jalan yang mulai dikembangkan di Kota Semarang. Hal ini karena kecenderungan dari masyarakat untuk mendapatkan aksesibilitas yang mudah. Dengan adanya pertumbuhan masyarakat di Kota Semarang membutuhkan ruang-ruang yang digunakan sebagai kawasan pemukiman. Dalam hal ini mulailah berkembang kawasan pemukiman yang ada di Kota Semarang. Pada awalnya pemukiman di Kota Semarang terpusat di Kawasan pesisirnya (Miladan, 2010). Dengan tumbuhnya Kota Semarang mulai muncul berbagai permasalahan degradasi lingkungan teruama di bagian utara yang berbatasan langsung dengan Laut Jawa. Dalam hal ini terjadinya bencana rob maupun banjir di Kota Semarang menjadikan kawasan pesisir Kota semarang tidak menjadi 59 prioritas dalam perkembangan pemukiman. Kondisi yang ada pada saat ini untuk kawasan Kota Lama sebagai kawasan bangunan cagar budaya yang merupakan aset Kota Semarang jika dilihat dari kondisi fisik lahannya sudah mengalami degradasi lingkungan yang parah akibat rob maupun land subsidental (penurunan muka tanah) serta penanganan yang salah. Dengan semakin parahnya kerusakan lingkungan di daerah pesisir Kota Semarang, maka pengembangan pemukiman mulai merambah kawasan selatan Kota Semarang yang memiliki karakteristik topografi kondisi berbukit. Pengembangan pemukiman yang mengarah ke kawasan selatan dipandang sebagai inisiasi masyarakat untuk menghindari kerusakan lingkungan di kawasan pesisir Kota Semarang. Sebenarnya dengan kondisi ini pula kurang sesuai dengan adanya banyak pengembangan pemukiman di daerah perbukitan Kota Semarang. Hal ini terkait dengan siklus ekologis/air yang ada di Kota Semarang dimana arah alirannya dari kawasan perbukitan menuju kawasan pesisir Kota Semarang. disamping itu, karakteristik tanah di Semarang bagian selatan relatif labil dengan ditandai banyaknya bencana longsor. Dengan semakin meningkatnya peruntukan lahan terbangun akan meningkatkan risiko terjadinya bencana longsor (Gambar 3.5). Dengan berkurangnya daerah resapan air di kawasan perbukitan Kota Semarang tentu saja memperparah degradasi lingkungan yang terjadi di wilayah pesisir Kota Semarang dengan semakin meningkatnya kuantitas dan intensitas longsor, banjir dan rob di Kota Semarang (Miladan, 2010). 3.1.3 Kondisi Geomorfologi Kota Semarang Kondisi ini terkait dengan kondisi pembentukkan lahan di wilayah pesisir Kota Semarang. Pada hal ini struktur tanah di wilayah pesisir tersebut mempunyai kelandaian 0 - 2 % bertekstur halus, berpasir (lempung pasir) yang mudah digali dan efektivitas tanah 9 cm ke atas. Struktur geologi wilayah tersebut merupakan dataran rendah dengan struktur geologi berupa struktur batuan endapan (alluvium) yang berasal dari endapan sungai sehingga mengandung pasir dan lempung (RTRWP Kota Semarang, 2009). 60
61 62
Berdasarkan tingkat permeabilitasnya, wilayah pesisir tersebut terbagi atas tingkat permeabilitas kedap (tidak permeabel), rendah, sedang dan tinggi. Untuk memperjelas kondisi tersebut dapat dijabarkan pada Tabel 3.2 berikut ini. TABEL 3.2 TINGKAT PERMEABILITAS KOTA SEMARANG Tingkat Permeabilitas Nilai Permeabilitas (liter/m 2 /hr) Kecamatan Tidak permeabel 0,04 87,5 Semarang Barat Rendah 4 2,037 Tugu dan Genuk Sedang 4,037 122,000 Genuk, Semarang Utara, Semarang Barat, dan Tugu Tinggi 8,149 203,735 - Sumber: RTRWP Kota Semarang, 2010 3.1.4 Kondisi Klimatologi Klimatologi merupakan keberadaan iklim yang ada di suatu wilayah. Kondisi iklim terkait dengan rata-rata curah hujan, temperatur udara, kelembaban udara, arah angin maupun kisaran rata-rata matahari. Kota Semarang memiliki iklim tropis dengan dua jenis musim, yaitu musim kemarau dan musim penghujan yang secara rata-rata berganti setiap kurang lebih 6 bulanan. Musim kemarau terjadi pada kisaran Bulan Juni sampai November sedangkan hujan di Kota Semarang turun pada Bulan Desember sampai Mei. Temperatur udara kota ini berkisar antara 25,80 C sampai dengan 29,30 C, dengan kelembaban udara rata-rata berkisar dari 62% sampai dengan 84%. Sedangkan curah hujan yang terjadi di Kota Semarang antara 1500 mm per tahun sampai 3000 mm per tahun dan sejak tahun 1963 sampai dengan 1995 curah hujan efektif konstan, yaitu rata-rata 2398,76 mm per tahun. Untuk arah angin sebagian besar bergerak dari arah tenggara menuju barat laut, dengan kecepatan rata-rata berkisar antara 5,7 km/jam. Sedangkan kisaran radiasi Matahari rata-rata Kota Semarang ialah 5-10,5 jam/hari dengan 63 penyinaran minimum rata-rata 5 jam/hari bila musim hujan. Radiasi sinar Matahari maksimum 10,5 jam/hari (RTRW, 2009). 3.2 Kondisi Perekonomian Penduduk Kota Semarang Kinerja kesejahteraan dan pemerataan ekonomi Kota Semarang selama periode tahun 2005-2009 dapat dilihat dari indikator pertumbuhan PDRB, laju inflasi, PDRB per kapita, dan angka kriminalitas yang tertangani. Perkembangan kinerja pembangunan pada kesejahteraan dan pemerataan ekonomi adalah sebagai berikut : Pertama, Pertumbuhan PDRB yang merupakan indikator untuk mengetahui kondisi perekonomian secara makro yang mencakup tingkat pertumbuhan sektor- sektor ekonomi dan tingkat pertumbuhan ekonomi pada suatu daerah. Laju Pertumbuhan PDRB Kota Semarang atas dasar harga berlaku selama periode 2005-2009 mengalami pertumbuhan yang meningkat. PDRB Atas Dasar Harga Berlaku pada tahun 2005 sebesar Rp. 26.624.244,17 sampai dengan tahun 2009 mencapai sebesar Rp. 39.429.568.000,-. TABEL 2.6 NILAI DAN KONTRIBUSI SEKTOR DALAM PDRB 2005 S.D. 2009
64
Sumber: BPS Kota Semarang, 2010 Dari tabel tersebut, kontribusi sektor usaha terbesar terhadap PDRB Kota Semarang adalah sektor perdagangan, hotel dan restoran dan sektor Industri Pengolahan dan sektor usaha bangunan. Pada tahun 2009 kontribusi masing- masing sektor usaha tersebut adalah sebagai berikut : Perdagangan, Hotel dan Restoran sebesar 29,86 %, industri pengolahan sebesar 24,52 %, dan sektor bangunan sebesar 19,27%. Hal tersebut menggambarkan bahwa aktivitas ekonomi masyarakat Kota Semarang didominasi oleh sektor perdagangan, hotel dan restoran, sektor industri pengolahan dan sektor bangunan. Peningkatan Laju Pertumbuhan PDRB berimplikasi terhadap kondisi perekonomian Kota Semarang secara makro yang ditunjukan dengan Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE). LPE Kota Semarang periode 2005-2009 mengalami pertumbuhan yang positif. Pada tahun 2005 tercatat sebesar 5,14%, kemudian meningkat sebesar 5,71 %, pada tahun 2006, 5,98 % pada tahun 2007, dan 6,03 % pada tahun 2008. Sedangkan pada tahun 2009, pertumbuhan ekonomi kota Semarang tercatat sebesar 5,47 %. Pertumbuhan ekonomi Kota Semarang terjadi penurunan pada tahun 2009 sebesar 0,56 % dari 6,03 % pada tahun 2008 menjadi 5,47 % pada tahun 2009. Penurunan ini lebih dipengaruhi adanya kondisi perekonomian global seperti kebijakan pasar bebas (Asean-China Free Trade Area/ACFTA), kenaikan BBM dan TDL.
65
GAMBAR 3.X Grafik Laju Pertumbuhan Ekonomi Kota Semarang Sumber: BPS Kota Semarang, 2010 Kedua, Laju inflasi merupakan ukuran yang dapat menggambarkan kenaikan/penurunan harga dari sekelompok barang dan jasa yang berpengaruh terhadap kemampuan daya beli masyarakat. Laju inflasi Kota Semarang selama periode tahun 2005-2009 mengalami pertumbuhan yang fluktuatif. Pada tahun 2005 sebesar 16,46 %, tahun 2006 sebesar 6,08 %, tahun 2007 mencapai 6,75 %, tahun 2008 sebesar 10,34 % dan tahun 2009 sebesar 3,19 %. Besaran laju inflasi yang terjadi lebih diakibatkan pada permintaan masyarakat akan bahan kebutuhan pokok. 2005 2006 2007 2008 2009 PDRB Kota Semarang 5.14 5.71 5.98 6.03 5.47 4.6 4.8 5 5.2 5.4 5.6 5.8 6 6.2 PDRB Kota Semarang 66
GAMBAR 3.X Grafik Laju Pertumbuhan Ekonomi Kota Semarang Sumber: BPS Kota Semarang, 2010 Ketiga, kenaikan pendapatan per kapita. Selama periode tahun 2005- 2009 PDRB Perkapita Kota Semarang mengalami pertumbuhan yang positif. PDRB Perkapita atas dasar harga berlaku, pada tahun 2005 sebesar Rp. 14.947.472,59 pada tahun 2006 sebesar Rp.17.067.350,89, pada tahun 2007 sebesar Rp.19.394.727,40, pada tahun 2008 sebesar Rp.21.352.860,09, dan tahun 2009 sebesar Rp.23.889.579,87. PDRB per kapita atas dasar harga konstan tahun 2000 dari tahun ke tahun juga menunjukkan peningkatan. Pada tahun 2005 sebesar Rp. 10.534.628,92,-, pada tahun 2006 sebesar Rp.11.045.072,76,-, pada tahun 2007 sebesar Rp.11.591.578,22, pada tahun 2008 sebesar Rp.11.897.251,91, dan pada tahun 2009 sebesar Rp. 12.338.639,96.
GAMBAR 3.X Grafik Perkembangan PDRB atas dasar Harga Berlaku Sumber: BPS Kota Semarang, 2010
Keempat adalah Indek Pembangunan Manusia. IPM merupakan salah satu ukuran yang dapat digunakan untuk melihat upaya dan kinerja pembangunan dengan dimensi yang lebih luas karena memperlihatkan kualitas penduduk dalam hal kelangsungan hidup, intelektualias dan standar hidup layak. IPM disusun dari tiga komponen yaitu lamanya hidup, yang diukur dengan harapan hidup pada saat lahir ; tingkat pendidikan, diukur dengan kombinasi antara melek huruf pada penduduk dewasa dan rata-rata lama sekolah ; serta tingkat kehidupan yang layak dengan ukuran pengeluaran perkapita (purchasing power parity). Pada tahun 2009 IPM Kota Semarang telah mencapai skor 76,90, angka tersebut menempati urutan kedua dibawah Kota Surakarta, namun masih jauh diatas angka rata-rata Provinsi Jawa Tengah sebesar 72,10. Selengkapnya IPM Kota Semarang dapat dilihat pada Grafik 3.x di bawah ini. 14,947,473 17,067,351 19,394,727 21,352,860 23,889,580 0 5,000,000 10,000,000 15,000,000 20,000,000 25,000,000 30,000,000 2005 2006 2007 2008 2009 PDRB perkapita PDRB perkapita 68
GAMBAR 3.X Grafik Perkembangan Indek Pembangunan Manusia Kota Semarang Sumber: BPS Kota Semarang, 2010
3.3 Kondisi Sosial Kota Semarang Jumlah Penduduk Kota Semarang pada tahun 2008 menurut Bappeda dan BPS Kota Semarang adalah sebesar 1.481.640 jiwa, yang terdiri dari 735.457 penduduk laki-laki dan 746.183 penduduk perempuan (Tabel 2.4). Laju pertumbuhan penduduk di Kota Semarang pada tahun 2008 adalah 1.85%. Kecamatan yang paling padat penduduknya adalah Kecamatan Semarang Selatan sebesar 14.458 orang per km2, sedangkan yang paling kecil adalah Kecamatan Mijen dan Kecamatan Tugu, sebesar 850 orang per km2, dapat dilihat pada Tabel 2.5.
74 74.5 75 75.5 76 76.5 77 77.5 2005 2006 2007 2008 2009 A x i s
T i t l e Axis Title IPM Kota Semarang IPM Kota Semarang 69 Tabel 3.4 Jumlah Penduduk Kota Semarang per Kecamatan Tahun 2010 Kecamatan Banyaknya Penduduk Laki-laki Perempuan Jumlah Mijen 24.804 24.119 48.923 Gunungpati 32.720 32.745 65.465 Banyumanik 60.616 61.239 121.855 Gajah Mungkur 30.942 30.726 61.668 Semarang Selatan 42.839 42.752 85.591 Candisari 38.380 39.557 77.937 Tembalang 64.127 62.881 127.008 Pedurungan 81.242 82.320 163.562 Genuk 40.219 40.381 80.600 Gayamsari 35.010 35.772 70.782 Semarang Timur 40.047 41.700 81.747 Semarang Utara 61.366 65.399 126.765 Semarang Tengah 36.086 38.142 74.228 Semarang Barat 79.076 80.349 159.425 Tugu 13.449 13.527 26.976 Ngaliyan 54.543 54.574 109.117 Jumlah 735.466 746.183 1481.649 Sumber: BPS Kota Semarang, 2010 Tabel 3.5 Kepadatan Penduduk Kota Semarang 2010 Kelurahan Luas Wilayah (km) Jumlah Rumah Tangga Jumlah Penduduk Kepadatan Penduduk Mijen 57,55 13.212 125.212 850 Gunungpati 54,11 22.449 87.449 1.210 Banyumanik 25,69 33.646 127.646 4.743 Gajah Mungkur 9,07 14.599 30.599 6.799 Semarang Selatan 5,92 20.265 117.265 14.458 Candisari 6,54 16.498 76.498 11.917 Tembalang 44,20 35.920 99.92 2.873 Pedurungan 20,72 39.292 131.292 7.894 Genuk 27,39 20.338 86.33800 2.943 70 Gayamsari 6,18 16.471 40.471 11.453 Semarang Timur 7,70 22.189 99.189 10.616 Semarang Utara 10,97 28.727 135.727 11.556 Semarang Tengah 6,14 19.458 39.458 12.089 Semarang Barat 21,74 36.654 131.654 7.333 Tugu 31,78 6.896 115.896 849 Ngaliyan 37,99 27.306 163.306 2.872 Jumlah 373,69 373.920 1607.92 3.965 Sumber: BPS Kota Semarang, 2010
Pembangunan pada fokus kejahteraan sosial meliputi indikator angka melek huruf, angka rata-rata lama sekolah, angka partisipasi kasar, angka pendidikan yang ditamatkan, angka partisipasi murni, angka kelangsungan hidup bayi, angka usia harapan hidup, persentase penduduk yang memiliki lahan, dan rasio penduduk yang bekerja. Kinerja pembangunan kesejahteraan sosial Kota Semarang periode 2005-2009 pada masing-masing indikator sebagai berikut : Pertama yaitu aspek pendidikan masyarakat. Pembangunan pendidikan pada dasarnya ditujukan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Sasarannya adalah terciptanya sumber daya manusia yang berkualitas melalui peningkatan mutu pendidikan, perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan bagi semua masyarakat, tercapainya efektifitas dan efisiensi penyelenggaraan pendidikan, serta tercukupinya sarana dan prasarana pendidikan.
TABEL 2.7 71 Pembangunan Kesejahteraan Sosial Indikator Pendidikan No. Uraian Tahun 2005 2006 2007 2008 2009 1. Angka Melek Huruf 95,10 95,85 95,94 99,30 99,47 2. Rata Lama Sekolah 9,60 9,80 9,80 9,17 9,20 3. Angka Partisipasi Kasar SD/MI 102,54 105,87 112,76 105,79 105,27 SLTP/MTs 89,94 97,14 103,12 89,21 114,19 SMA/SMK/MA 89,35 88,71 100,76 90,39 116,96 4. Angka Partisipasi Murni SD/MI 86,64 89,6 88,36 89,21 89,68 SLTP/MTs 66,76 71,27 66,70 65,84 79,01 SMA/SMK/MA 62,76 63,84 88,80 62,71 79,97 5. Angka Pendidikan yang Ditamatkan 90,97% 89,90% 96,72% 96,51% 96,51% 6. Penduduk Tamat Sekolah 1.291.294 1.289.175 1.406.873 1.429.890 1.455.249 7. Jumlah Penduduk 1.419.478 1.434.025 1.454.594 1.481.640 1.507.826 Sumber: Diolah dari Dinas Pendidikan Kota Semarang, 2010
Beberapa keberhasilan pembangunan bidang pendidikan dapat dilihat dari Angka Melek Huruf (AMH), Rata Lama Sekolah, Angka Partisipasi Kasar (APK), Angka Partisipasi Murni (APM) dan Angka Pendidikan yang ditamatkan. AMH adalah persentase penduduk usia 10 tahun ke atas yang dapat membaca dan menulis huruf latin. AMH tahun 2005 sebesar 95,10 %, tahun 2006 sebesar 95,85 %, tahun 2007 sebesar 95,54 %, tahun 2008 sebesar 99,30 % dan sampai dengan tahun 2009 angka melek huruf sebesar 99,47 %. Angka pendidikan yang ditamatkan pada seluruh jenjang pendidikan baik SD, SLTP dan SLTA selama 5 tahun menunjukkan peningkatan dari 90,97% tahun 2005 menjadi 96,51%. 72 Kedua yaitu indikator kesehatan. Selama kurun waktu 5 tahun (2005- 2009) kondisi pembangunan Kesehatan menunjukkan perubahan yang fluktuatif, hal ini dapat dilihat dari beberapa indikator bidang kesehatan. Angka kelangsungan hidup bayi selama 5 tahun menurun dari 98,08 % pada tahun 2005 menjadi 81,40 % tahun 2009. Demikian pula Angka persentase gizi buruk mengalami peningkatan dari tahun 2005 sebesar 0,019 % menjadi 0,04 % tahun 2009. TABEL 2.7 Pembangunan Kesejahteraan Sosial Indikator Kesehatan No. Uraian Tahun 2005 2006 2007 2008 2009 1. Angka Kelangsungan hidup /1000 kelahiran hidup 98,08 80,29 81,32 80,29 81,40 2. Angka usia harapan hidup 71,80 71,9 71,9 72 72,1 3. Persentase gizi buruk 0,019% 0,017% 0,04% 0,033% 0,04& Sumber: Diolah dari Dinas Kesehatan Kota Semarang, 2010
Penurunan angka kelengsungan hidup dan peningkatan angka gizi buruk lebih disebabkan adanya penyakit bawaan dan wabah penyakit yang disebabkan oleh vektor binatang seperti Demam Berdarah. Upaya pengembangan paradigma hidup sehat harus menjadi perhatian utama agar wabah penyakit menulular tidak terulang. Namun demikian secara keseluruhan Angka Usia harapan Hidup Kota Semarang di Kota Semarang sebesar 72,1 jauh melebihi angka harapan hidup nasional sebesar 69,0 tahun. Indikator ketiga yaitu kemiskinan. Selama kurun waktu 5 tahun (2005- 2009) jumlah penduduk miskin mengalami pertumbuhan yang fluktuatif, jumlah penduduk miskin tahun 2005- 2008 mengalami peningkatan peningkatan, tahun 2005 sebanyak 94.246 jiwa, tahun 2006 sebanyak 246.448 jiwa, tahun 2007 sebanyak 306.700 jiwa dan tahun 2008 sebanyak 491.747 jiwa, namun pada tahun 2009 mengalami penurunan menjadi sebesar 398.009 jiwa. Begitu pula 73 ratio penduduk miskin terhadap jumlah penduduk kota Semarang semakin meningkat selama 4 tahun terakhir (2005-2008), tahun 2007 sebesar 6,64%, tahun 200617,19%, tahun 2007 sebesar 21,08%, tahun 2008 sebanyak 33,19%, namun tahun 2009 menurun menjadi sebesar 26,41%. Berikut gambaran perkembangan penduduk miskin kota Semarang selama 5 tahun (2005-2009) : TABEL 2.8 Pembangunan Kesejahteraan Sosial Indikator Kemiskinan Uraian Tahun 2005 2006 2007 2008 2009 Penduduk Miskin 94.246 246.448 306.700 491.747 398.009 Jumlah Penduduk 1.419.478 1.434.025 1.454.594 1.481.640 1.506.924 Rasio 6,64% 7,19% 21,08% 33,19% 26,41% Sumber: Diolah dari Bappeda Kota Semarang, 2010
Penurunan jumlah dan rasio penduduk miskin sebesar 6,78% disebabkan berbagai program penanggulangan kemiskinan di Kota Semarang semakin menyentuh masyarakat miskin (tepat sasaran). Ketepatan tersebut didukung oleh adanya identifikasi dan verifikasi berdasarkan indikator dan kriteria kemiskinan yang disusun sesuai dengan kondisi lokalitas daerah yang semakin mendekati kenyataan. Kedepan diperlukan upaya untuk melakukan unifikasi data kemiskinan agar proses percepatan penanggulangan kemiskinan dapat dilakukan dengan tepat. Optimalisasi peran masayarakat untuk turut serta dalam menyalurkan program Corpotate Social Responsibility (CSR) perlu didorong terus menerus. Indikator keempat yaitu kepemilikan tanah. Berdasarkan sumber dari Kantor Pertanahan Kota Semarang tahun 2010, persentase luas lahan bersertifikat yang tercatat di Kota Semarang mencapai angka rasio 72,8 %, sedangkan untuk rasio kepemilikan tanah mencapai 40,30. Dilihat dari jumlah 74 kepemilikan tanah yang mempunyai sertifikat, menggambarkan bahwa kesadaran masyarakat akan pentingnya tertib administrasi pertanahan yang berarti kepemilikan sertifikat tanah sebagai legalitas atas tanah yang dimiliki semakin menjadi penting. Indikator kelima yaitu kesempatan kerja. Angka kesempatan kerja dapat dihitung dari jumlah penduduk yang bekerja dibanding dengan angkatan kerja dalam satu wilayah. Rasio penduduk yang bekerja mengalami peningkatan, tahun 2005 sebesar 64,32 %, tahun 2006 sebesar 64,38%, tahun 2007 sebesar 88,61%, tahun 2008 sebesar 88,51%, namun pada tahun 2009 mengalami penurunan sebesar 7,70% atau menjadi sebesar 81,44%. Penurunan ratio penduduk yang bekerja lebih diakibatkan karena meningkatnya angkatan kerja yang tidak seimbang dengan pertumbuhan lapangan kerja. Oleh karena itu diperlukan upaya perluasan lapangan kerja sebagai upaya mengatasi pengangguran. Berikut gambaran perkembangan ratio penduduk yang bekerja selama 5 tahun (2005-2009) seperti tercantum dalam tabel dibawah ini :
TABEL 3.8 Aspek Kesejahteraan Sosial Indikator Penduduk Bekerja Uraian Tahun 2005 2006 2007 2008 2009 Penduduk Bekerja 465.695 537.791 663.053 658.729 563.565 Angkatan Kerja 724.048 748.302 748.302 744.239 692.019 Rasio 64,32% 88,61% 88,61% 88,51% 81,44% Sumber: Diolah dari Dinaskertrans Kota Semarang, 2010
3.4 Kondisi Fisik Buatan Kota Semarang 75 3.4.1 Kondisi Pekerjaan umum Indikator pertama dalam aspek fisik buatan yaitu indikator pekerjaan umum yang meliputi sarana dan prasarana penunjang kota, dapat dilihat pada Tabel 3.9 di bawah ini. TABEL 3.9 Aspek Fisik Buatan Indikator Pekerjaan Umum Uraian Tahun 2005 2006 2007 2008 2009 Proporsi panjang jaringan jalan dalam kondisi baik 44,87% 44,87% 61,02% 43,83% 44,01% Rasio tempat ibadah per satuan penduduk 1,96 2,03 2,05 2,11 2,16% Persentase rumah tinggal bersanitasi 30,25% 35% 38,89% 40,89% 45,85% Rasio TPU per 1000 penduduk 412,72 408,50 402,7 395,40 388,77 Rasio TPS per satuan penduduk 576,63 623,51 623,56 638,54 694,55 Rasio rumah layak huni 0,0024 0,0032 0,0047 0,0061 0,007 Rasio permukiman layak huni 0,105 0,125 0,186 0,210 0,256 Panjang jalan dilalui roda 4 (km) 2.762,62 2.762,62 2.771,54 2.778,29 2.778,29 Panjang jalan kota dalam kondisi baik (>40 km/jam) 44,03% 44,03% 44,03% 42,93% 43,04% Sempedan sungai yang dipakai bangunan liar 40% 46% 49% 51% 52% Drainase dalam kondisi baik 49% 52% 53% 55% 57% Pembangunan talud sebagai pencegah banjir 5 Ha 5 Ha 6 Ha 6 Ha 7 Ha Luas irigasi dalam kondisi baik 45% 48% 49% 49% 65% Persentase kawasan kumuh 1,5% 2% 2% 2,41% 1,66% Sumber: Diolah dari Dinas PU Kota Semarang, 2010
76 Indikator kedua yaitu kinerja pembangunan pada pelayanan urusan perumahan di Kota Semarang selama periode 2005-2009 dihitung dari persentase jumlah rumah tangga yang telah menggunakan air bersih terhadap jumlah seluruh rumah tangga. Pada tahun 2005 sebesar persentase jumlah rumah tangga yang telah menggunakan air bersih sebesar 12,63% meningkat menjadi 12,96% pada tahun 2009. Persentase jumlah rumah tangga yang memiliki sanitasi terhadap jumlah rumah tangga tahun 2005 sebesar 30,25% meningkat menjadi 48,85% pada tahun 2009. Persentase jumlah rumah tangga yang menggunakan listrik terhadap jumlah rumah tangga tahun 2005 sebesar 89,24% meningkat menjadi 98,28% tahun 2009, jumlah rumah layak huni terhadap jumlah rumah tahun 2005 sebesar 10,50% menjadi 25,60% pada tahun 2009. TABEL 3.9 Aspek Fisik Buatan Indikator Perumahan Uraian Tahun 2005 2006 2007 2008 2009 Persentase jumlah rumah tangga pengguna air bersih/jumlah seluruh rumah tangga 12,63% 12,28% 12,74% 12,85% 12,96% Persentase jumlah rumah tangga bersanitasi/ jumlah seluruh rumah tangga 30,25% 35% 38,89% 40,89% 48,85% Persentase jumlah rumah tangga pengguna listri/ jumlah seluruh rumah tangga 89,24% 92,90% 97,7% 98% 98,28% Persentase luas lingkungan permukiman kumuh/luas wilayah 1,5% 1,85% 2% 2,41% 1,66% Persentase rumah layak huni/jumlah seluruh rumah 10,50% 12,50% 18,60% 21% 25,60% Sumber: Diolah dari Dinas Tata Kota & Perumahan Kota Semarang, 2010
77 Kondisi kualitas jalan terhadap panjang jalan selama 5 tahun terakhir (2005-2009) menunjukkan perkembangan yang fluktuatif, ratio kondisi jalan dalam keadaan baik terhadap jumlah panjang jalan tahun 2005 sebesar 44,87%, tahun 2006 sebesar 44,87%, tahun 2007 sebesar 61,02%, tahun 2008 menurun menjadi sebesar 43,83% , tahun 2009 sebesar 44,01%, perubahan kondisi kualitas jalan ini dipengaruhi oleh iklim, dimana pada saat musim hujan banyak terjadi genangan air. Selain itu juga akibat terjadinya rob khususnya di sepanjang jalan daerah utara Kota Semarang. Persentase rumah tinggal bersanitasi tahun 2005 sebesar 30,25% menjadi 45,85% pada tahun 2009. Kondisi kinerja pembangunan Sanitasi selama 5 tahun (2005-2009) dapat dilihat dari presentase sanitasi rumah tinggal pada tahun 2006 sebesar 30,25%, meningkat hingga mencapai 45,85%, pada tahun 2009. Rasio pembuangan sampah (TPS) per satuan penduduk tahun 2005 sebesar 576,63 menjadi 694,55 tahun 2009, rasio rumah layak huni tahun 2005 sebesar 0,0024 menjadi 0,0070 pada tahun 2009. Luas kawasan kumuh per luas wilayah selama tahun 2005-2008 menagalami peningkatan dari sebesar 1,5 % menjadi 2,41%, namun turun pada tahun 2009 sebesar 1,66 %. Peningkatan luas kawasan kumuh lebih disebabkan oleh menurunnya kualitas lingkungan akibat rob dan meningkatnya migrasi penduduk yang tidak berketrampilan dari daerah/kota lain ke Kota Semarang, sedangkan penurunan 1,66% dipengaruhi oleh adanya program pemugaran rumah kumuh. Indikator ketiga yaitu penataan ruang Kota Semarang. Kinerja pembangunan pelayanan urusan penataan ruang tahun 2005- 2009 dilihat dari ratio luas ruang terbuka hijau terhadap luas wilayah ber Hak Pengelolaan Lahan (HPL) dan atau Hak Guna Bangun. Pada Tahun 2005 mencapai sebesar 1,1 dan mengalami penurunan menjadi 1,06 pada tahun 2009. Jumlah bangunan ber- IMB pada tahun 2005 sebesar 49,73% meningkat menjadi 55,01% pada tahun 2009. Persentase tersebut terus meningkat secara signifikan hingga tahun 2009 sebesar 55,01 %. Hal ini menunjukan semakin tingginya kesadaran masyarakat mematuhi regulasi pendirian bangunan dan semakin membaiknya pelayanan 78 yang diberikan pemerintah daerah. Namun demikian upaya peningkatan kesadaran masyarakat terhadap kepatuhan terhadap regulasi tataruang dan bangunan perlu diibangi dengan pelayanan perijinan yang lebih baik. Berikut gambaran perkembangan pembangunan pelayanan umum bidang penataan ruang selama periode 2005-2009 sebagaimana tabel 3.10 berikut : TABEL 3.10 Aspek Fisik Buatan Indikator Penataan Ruang Uraian Tahun 2005 2006 2007 2008 2009 Luas ruang terbuka hijau/Luas wilayah ber HPL / HGB 1,1 1,09 1,08 1,07 1,06 Jumlah bangunan ber IMB / Jumlah Bangunan 49,73% 51,34% 52,62% 53,85% 55,01% Sumber: Diolah dari Dinas Tata Kota & Perumahan Kota Semarang, 2010 Prioritas pengembangan wilayah Kota Semarang terbagi dalam empat wilayah pengembangan dan masing-masing dibagi dalam beberapa bagian wilayah kota, dan masing-masing bagian wilayah kota mempunyai skala prioritas pengembangan. Prioritas pengembangan itu meliputi: perdagangan, perkantoran, jasa, pendidikan, olahraga, transportasi, industri, pemukiman, pertanian, dan pengembangan Kota Baru di wilayah Kecamatan Mijen. Penggunaan lahan di wilayah pesisir Kota Semarang sangat bervariatif namun secara garis besar dapat dibedakan menjadi penggunaan lahan sawah dan lahan kering/non sawah. Pemanfaatan lahan sebagai tanah sawah seluas 602 Ha dan tanah kering seluas 110076,11 Ha. Kondisi ini memperkuat justifikasi bahwa aktivitas perkotaan lebih dominan di wilayah pesisir Kota Semarang karena sedikitnya luasan lahan sawah.
79 3.5 Ancaman Bencana di Kota Semarang Berdasarkan data dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Semarang, bencana dapat dikategorisasikan menurut waktu terjadinya, bencana di Kota Semarang yang dikelompokkan menjadi: bencana periodik (bencana yang terjadi secara berkala dan dapat diprediksi, seperti banjir rob, kekeringan, KLB Demam berdarah) dan bencana sporadis (bencana yang terjadi secara tiba-tiba dan tidak dapat diprediksi, seperti tanah longsor, banjir bandang, wabah, epidemi). Sumber data statistik kebencanaan di Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat (Kesbang dan Linmas) terdapat ancaman bencana yang meresahkan yaitu tanah longsor, kekeringan dan banjir. Selain itu, di Kota Semarang juga terdapat ancaman berupa erosi, abrasi-sedimentasi, tsunami, wabah Demam Berdarah, wabah flu burung, kegagalan teknologi (RAD, 2010). 3.5.1 Banjir Banjir merupakan peristiwa terbenamnya daratan karena peningkatan volume air akibat hujan besar, luapan air sungai atau pecahnya bendungan. Banjir juga dapat terjadi di daerah yang gersang dengan daya serap tanah terhadap air yang buruk atau jumlah curah hujan melebihi kapasitas serapan air. Seperti pada Gambar 3.7. Banjir di Kota Semarang mengancam daerah bawah karena sebagai daerah hilir, dengan sendirinya merupakan daerah limpahan debit air dari sungai yang melintas dan mengakibatkan terjadinya banjir pada musim penghujan. Kondisi ini diperparah oleh karakteristik kontur wilayah berbukit dengan perbedaan ketinggian yang sangat curam sehingga curah hujan yang terjadi di daerah hulu akan sangat cepat mengalir ke daerah hilir (BPBD Kota Semarang, 2010). Banjir di Kota Semarang terjadi disamping karena faktor alam juga karena ulah tangan manusia, diantaranya karena banyaknya sampah yang dibuang sembarangan ke dalam saluran air (selokan) dan sungai yang menyebabkan selokan dan sungai menjadi tersumbat sehingga aliran air terhambat dan menjadi meluap dan menggenang. Yang kedua, kurangnya daya serap tanah terhadap air karena tanah telah tertutup oleh aspal jalan raya dan bangunan-bangunan 80 yang jelas tidak tembus air, sehingga air tidak mengalir dan hanya menggenang. Faktor alam lainnya adalah karena curah hujan yang tinggi dan tanah tidak mampu meresap air, sehingga luncuran air sangat deras dan tidak dapat diserap/dialirkan dengan baik. 3.5.2 Tanah Longsor Tanah Longsor adalah salah satu bencana alam yang paling merusak pemukiman serta prasarana manusia di seluruh dunia setiap tahunnya. Tanah Longsor merupakan istilah umum, yang mencakup berbagai corak gerakan tanah, longsoran batu, jatuhan batu, yang meluncur ke bawah lantaran pengaruh gaya tarik bumi (gravitasi). Meski bisa saja tanah longsor terjadi berantai dengan gempa bumi,banjir dan letusan gunung api, namun tanah longsor secara lokal dan terpisah banyak terjadi ketimbang bencana - bencana yang telah disebutkan diatas. Bahkan dalam jangka waktu tertentu menyebabkan lebih banyak kerugian dibanding bencana-bencana lain itu. Peristiwa tanah longsor yang terjadi di Kota Semarang pada umumnya terdapat pada daerah dengan kondisi geologi yang tidak stabil dan seringkali dipicu oleh terjadinya hujan deras yang melebihi titik tertinggi. Tanah longsor biasanya menyebabkan terganggunya fungsi infrastruktur umum seperti jalan (BPBD Kota Semarang, 2010). 3.5.3 Kekeringan Perubahan iklim global berpengaruh terhadap kondisi iklim di Jawa Tengah. Musim kemarau menjadi lebih panjang daripada musim hujan sehingga menyebabkan kekeringan di daerah dengan cadangan air tanah yang minimum. Sebagian besar daerah yang mengalami kekeringan terdapat di Semarang atas. Dampak kekeringan adalah gagal panen, peningkatan kematian vegetasi, percepatan pelapukan tanah dan peningkatan penyakit tropis seperti malaria dan demam berdarah (BPBD Kota Semarang, 2010). 3.5.4 Angin Puting Beliung 81 Angin puting beliung, angin puyuh, angin ribut atau angin leysus merupakan sebutan untuk angin kencang yang skala intensitasnya rendah (F0 dan F1). Angin putting beliung terjadi karena adanya perbedaan tekanan udara yang sangat ekstrim, biasanya terjadi pada musim hujan atau saat mendung, sehingga terbentuk angin disertai putaran yang kencang dan berpotensi menimbulkan kerusakan. Putaran angin yang kencang tersebut berbentuk melingkar dengan radius antara 5 hingga 10 m dan kecepatan mencapai 20 hingga 30 knot. Angin putting beliung yang masuk kategori tornado lemah mempunyai ciri bisa menyebabkan kematian kurang dari 5%, memiliki tenggang waktu 1 sampai dengan 10 menit dengan kecepatan angin kurang dari 110 mph. Berdasarkan data dari Badan Meterologi dan Geofisika yang dirangkum oleh Badan Kesbang dan Linmas Kota Semarang, data yang berhasil dihimpun tercatat bahwa bencana angin puting beliung ini tergolong baru dan sudah merusak pohon, fasilitas umum dan rumah penduduk bahkan nyawa manusia. 3.2.5 Wabah, Epidemi, dan Kejadian Luar Biasa Wabah adalah kejadian tersebarnya penyakit pada daerah yang luas dan pada banyak orang. Epidemi adalah penyakit yang timbul sebagai kasus baru pada suatu populasi tertentu manusia, dalam suatu periode waktu tertentu, dengan laju yang melampaui laju "ekspektasi" (dugaan), yang didasarkan pada pengalaman mutakhir. Kejadian Luar Biasa (KLB) adalah salah satu status yang diterapkan di Indonesia untuk mengklasifikasikan peristiwa merebaknya suatu wabah penyakit (BPBD Kota Semarang, 2010). Kriteria tentang Kejadian Luar Biasa adalah suatu kejadian dinyatakan luar biasa jika ada unsur timbulnya suatu penyakit menular yang sebelumnya tidak ada atau tidak dikenal, peningkatan kejadian penyakit/kematian terus- menerus selama tiga kurun waktu berturut-turut menurut jenis penyakitnya (jam, hari, minggu), peningkatan kejadian penyakit/kematian dua kali lipat atau lebih dibandingkan dengan periode sebelumnya (jam, hari, minggu, bulan, tahun), dan jumlah penderita baru dalam satu bulan menunjukkan kenaikan dua kali li pat atau 82 lebih bila dibandingkan dengan angka rata-rata perbulan pada tahun sebelumnya (BPBD Kota Semarang, 2010). Berdasarkan laporan dari puskesmas pada tahun 2005 didapatkan penyakit infeksi menular seksual sebesar 113 kasus. Sedangkan data cakupan IMS dari Rumah Sakit pada tahun 2005 didapatkan 187 kasus yang terdiri atas : Candidiasis 61 kasus, Candyloma Acuminata 23 kasus, Gonorrhea 57 kasus, Herpes Genitalis 26 kasus, Herpes Simplex Virus 14 kasus, Siphilis 4 kasus dan Trichoma Vaginalis 2 kasus. Data ini belum dapat menggambarkan seluruh kasus IMS yang ada karena hanya 1 puskesmas yaitu Puskesmas Mangkang dan 10 RS yang rutin melaporkan data tersebut. Jumlah kasus HIV yang ditemukan tahun 2005 sebagian besar didapat dari hasil skrining sero survei pada kelompok perilaku resiko tinggi sebanyak 773 orang (Wanita Penjaja Seks (WPS) langsung 520 orang, WPS tidak langsung 97 orang, Napi 129 orang, IDU 20 orang) dan laporan rumah sakit. Dari survei tersebut ditemukan kasus HIV sebanyak 75 orang : 50 orang dari hasil VCT, 23 orang dari hasil sero survei dan 2 orang dari laporan Rumah Sakit. Jumlah ini meningkat 55 orang dibandingkan tahun sebelumnya. Sedangkan untuk kasus AIDS sebanyak 11 kasus (3 orang meninggal), meningkat 4 orang dibandingkan tahun sebelumnya. Untuk itu telah dilakukan upaya pencegahan dan pemberantasan penyakit menular untuk mengurangi resiko penularan dan penurunan kejadian sakit di masyarakat diantaranya melalui peran Komisi Penanggulangan AIDS Daerah (KPAD) dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) tentang pencegahan dan pemberantasan HIV/AIDS. Selain itu juga, melalui pendirian klinik VCT di beberapa Rumah Sakit seperti RSUP Karyadi, RSUD Tugurejo, RSUD Kota Semarang dan RS Panti Wilasa Citarum. Dari hasil skrining darah di PMI terhadap virus HIV selama tahun 2005 telah diperiksa darah donor sejumlah 26.439 orang. Dari jumlah tersebut yang positif HIV/AIDS sebanyak 9 (0,03%). 3.5.6 Kegagalan Teknologi 83 Pertumbuhan jumlah kendaraan pribadi di Kota Semarang yang tidak sebanding dengan perkembangan jalan menyebabkan kepadatan arus lalu lintas di sejumlah ruas jalan. Pertumbuhan sepeda motor di Kota Semarang meningkat 47,86 persen dan mobil pribadi 181.46 persen. Berdasarkan data Laboratorium Transportasi Jurusan Teknik Sipil Universitas Katolik (Unika) Soegijapranata Semarang, pertumbuhan sepeda motor pada September 2005 sebanyak 28.612 unit, sedangkan pada Maret 2007 sebanyak 42.305 unit. Hal ini menunjukkan dalam kurun waktu sekitar dua tahun terjadi kenaikan jumlah sepeda motor sekitar 13.696 unit. Pertumbuhan ini diimbangi dengan meningkatnya jumlah mobil pribadi, seperti sedan, station wagon, dan jeep. Pada September 2005 ada 2.724 mobil dan pada Maret 2007 ada 7.667 mobil. Peningkatan itu cukup tinggi, yaitu 4.943 mobil. Pada tahun 2006, jumlah korban meninggal akibat kecelakaan lalu lintas mencapai 4.580 orang. Jumlah ini turun dibandingkan tahun sebelumnya yang berjumlah 4.700 jiwa. Meski demikian, hingga triwulan pertama 2007, terjadi kenaikan sebesar 0,4 persen. Berdasarkan jumlah korban ini, 70-80 persen disebabkan oleh sepeda motor.
3.5.7 Abrasi Abrasi adalah proses pengikisan pantai oleh tenaga gelombang laut dan arus laut yang bersifat merusak. Kerusakan garis pantai akibat abrasi dipacu oleh terganggunya keseimbangan alam daerah pantai. Walaupun abrasi bisa disebabkan oleh gejala alami, namun manusia sering disebut sebagai penyebab utama abrasi. Dampak abrasi adalah berkurangnya luas daratan di pantai dan rusaknya aset wilayah yang bernilai tinggi seperti permukiman, kawasan wisata, pertambakan maupun pelabuhan (BPBD Kota Semarang, 2010). Kerusakan akibat abrasi di Kota Semarang paling besar terjadi di Kecamatan Genuk dengan perkiraan dampak seluas 32 km 2 kemudian Kecamatan Tugu dengan luasan 30 km 2 .
Untuk detail kerusakan akibat dari abrasi dapat dilihat pada Tabel 3.7. 84 TABEL 3.7 PRODUK KERUSAKAN PANTAI AKIBAT ABRASI No. Lokasi Dampak Panjang Pantai Abrasi Mangrove Panjang (km) Luas (km 2 ) Panjang (km) Luas (km 2 ) 1 Kec. TUGU 3.5 2.25 30 1.5 2.25 2 Kec. SMG UTR 5.56 1 10 1 1 3 Kec. SMG BRT 8.94 0.5 20 0.5 0.3 4 Kec. GENUK 7.0 0.8 32 0.75 0.45 Sumber: BPBD Kota Semarang, 2010
3.5.8 Rob Banjir pasang surut atau yang lebih dikenal dengan istilah rob merupakan permasalahan yang sering terjadi pada daerah yang memiliki pantai yang landai dan elevasi permukaan tanah yang tidak jauh lebih tinggi dari pasang laut tertinggi. adalah banjir yang terjadi karena naiknya air laut dan menggenangi daratan ketika air laut mengalami pasang. Pasang-surut air laut adalah faktor utama yang menyebabkan banjir ini. Namun demikian, untuk kondisi atau tempat tertentu, yaitu di daerah terbangun, banjir pasang surut ini terjadi menyusul penurunan muka tanah yang terjadi di tempat tersebut. Banjir pasang-surut terjadi karena air laut naik ketika pasang. Kenaikan air laut terjadi perlahan-lahan sesuai dengan gerak pasang air laut. Ketinggian air banjir sesuai dengan ketinggian air laut pasang. Selanjutnya genangan banjir ini bergerak turun ketika air laut surut. Selain itu, waktu kedatangan dan ketinggian banjir ini berubah-ubah mengikuti irama pasang-surut air laut. Demikian pula dengan luas daerah genangan atau daerah-daerah yang akan tergenang pada suatu waktu tertentu dapat diprediksi berdasarkan prediksi ketinggian air laut pasang.
3.7 Metode Penelitian Metode penelitian merupakan serangkaian langkah-langkah yang digunakan dalam penelitian untuk mencapai tujuan penelitian. Metode pada 85 penelitian ini ini terbagi atas pendekatan studi dan metode pelaksanaan studi. Berikut ini akan dijelaskan lebih rinci tentang metode penelitian ini. 3.7.1 Pendekatan Penelitian Penelitian ini karena bersifat positivistik yang dibatasi oleh variabel - variabel tertentu yang kemudian dicek pada kondisi lapangan. Variabel-variabel penelitian sudah ditentukan sejak awal sehingga penelitian sudah memiliki batasan dan ruang lingkup secara jelas. Pendekatan ini lebih menekankan pada pembangunan pemahaman berdasarkan teori-teori/literatur-literatur yang sudah ada. Latar belakang teori merupakan inti dari pendekatan ini. Pembuktian tersebut dilakukan dengan cara menurunkan konsep-konsep pemikiran menjadi parameter-parameter dan variabel-variabel secara operasional. Namun di sisi lain, penelitian ini juga akan menjaring opini atau preferensi warga tentang bencana rob. Kuat dugaan bahwa prinsip-prinsip tersebut tidak sepenuhnya ideal seperti teorinya. Penelitian ini dilakukan dengan realitas tunggal, konkrit, teramati, dan dapat difragmentasi (Williams,1988). Pernyataan tersebut mendukung penelitian ini karena melihat suatu bagian parsial dari sebuah fenomena bencana rob. Pengamatan parsial ini mengenai dampak bencana rob terhadap masyarakat yang dapat menyebabkan beberapa wilayah Kota Semarang tergenang. Selain itu penelitian ini dilakukan secara objektifitas karena sudah ditentukan dahulu variabel-variabel yang akan diuji di lapangan. 3.7.2 Proses Penelitian dan Alat Analisis Proses penelitian berawal dari masalah dan ingin menjawab permasalahan tersebut. Untuk memahami permasalahan dengan baik, maka peneliti mempelajari teori Pengurangan Risiko Bencana dalam kaitannya dengan analisis risiko dan analisis kerentanan sebagai dasar pemahamannya. Kemudian, pemahaman literatur dibandingkan dengan studi sebelumnya. Perbandingan ini menghasilkan beberapa permasalahan yang dirumuskan dalam sebuah hipotesis yang ingin dibuktikan. Begitupula, rumusan masalah yang akan dijawab 86 melalui pertanyaan penelitian (research question). Adapun teknik analisis yang digunakan adalah sebagai berikut: Pertama, Teknik Analisis Deskriptif Kualitatif. Metode kualitatif secara deskriptif maupun sebab-akibat digunakan dengan cara mendeskripsikan atau menjelaskan secara mendalam tentang kondisi kerentanan masyarakat akibat bencana rob. Meskipun teknik analisis ini bersifat kualitatif, namun tidak menjadi teknik analisis dominan. Teknik ini digunakan untuk memahami lebih luas wilayah studi dengan wawancara dan observasi. Sehingga teknik ini bukan untuk mencari makna dan nilai-nilai yang terkandung di dalam informasi tertentu. Kedua,Teknik Analisis Deskriptif Kuantitatif. Analisis deskriptif kuantitatif merupakan analisis yang bersifat kuantitatif karena menggunakan angka-angka sebagai dasar melakukan analisis/ penilaian. Menurut Danim (2002), studi deskriptif (descriptive research) dimaksudkan untuk menjelaskan suatu situasi atau area populasi tertentu yang bersifat faktual secara sistematis dan akurat serta dimaksudkan untuk memotret fenomena individual, situasi, atau kelompok tertentu yang terjadi secara kekinian dan akurat. Ketiga, Statistik Deskriptif Statistik adalah metode ilmiah untuk menyusun, meringkas dan menyajikan dan menganalisa data sehingga dapat ditarik kesimpulan yang benar dan dapat dibuat keputusan yang masuk akal berdasarkan data tersebut. Teknik ini dilakukan pada penilaian aspek-aspek kerentanan sehingga dapat dilakukan pembobotan aspek mana yang lebih kuat terhadap kerentanan masyarakat terhadap bencana rob. 3.7.3 Tahapan Penelitian Tahapan penelitian merupakan suatu kesatuan sistem yang digunakan untuk memecahkan masalah dalam penelitian. Tahapan dalam metode penelitian ini secara garis besar terdiri dari tahap pengumpulan data, tahap pengolahan, dan tahap analisis. 3.7.3.1 Tahap Pengumpulan Data 87 Pada tahap ini dengan mengumpulkan data-data sekunder dari instansi- instansi terkait dan pengamatan langsung di lapangan sebagai penguatan data sekunder yang tidak didapatkan. Adapun dalam hal ini teknik pengumpulan data tersebut secara garis besar dapat dijabarkan berikut ini : Pengumpulan data sekunder Pengumpulan data ini dapat dilakukan sebelum melakukan survei primer. Pengumpulan data sekunder ini dengan mengumpulkan data dari sumbersumber sekunder berupa kajian teoritis mengenai kerentanan bencana, data kerusakan akibat rob, maupun telaah dokumen yang ada. Teknik pengumpulan data sekunder yang pertama yaitu melalui kajian literatur ini bersifat data normatif yang merupakan batasan atau teori yang terkait dengan mitigasi bencana dan analisis kerentanan bencana terhadap bencana rob. Teknik berikutnya yaitu melalui survei instansi yang dilakukan untuk mendapatkan datadata melalui instansi yang terkait dengan penelitian ini. Instansi tersebut yakni diantaranya Bappeda, BPBD, DKP, Dinas Tata Kota maupun BPS. Data-data yang dicari berupa fisik wilayah pesisir, kondisi sosial ekonomi masyarakat, infrastruktur wilayah pesisir dan sebagainya. Teknik berikutnya yaitu melalui telaah dokumen teknik yang terkait dengan kerentanan bencana perubahan iklim. Dokumen tersebut dipahami berdasar pada materi-materi yang dapat digunakan dalam penelitian. Dokumen tersebut dapat berupa situs- situs di internet bertema penanggulangan bencana, kerentanan serta bidang-bidang lain yang relevan terhadap penelitian ini. Pengumpulan data primer, teknik ini dilakukan melalui survei primer dengan melakukan observasi langsung di lapangan. Cara yang dapat dilakukan ketika survei primer, yakni pertama, wawancara yang dilakukan guna melengkapi data-data sekunder yang belum didapatkan. Wawancara (interview) adalah situasi peran antar-pribadi bersemuka (face-to-face), ketika seseorang yakni pewawancara mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang dirancang untuk memperoleh jawaban-jawaban yang relevan dengan masalah studi, kepada responden (Kerlinger, 2000). Adapun poin pertanyaannya yakni pemahaman masyarakat tentang isu bencana rob, dampak akibat bencana rob, bentuk 88 kekerabatan yang telah/akan dilakukan dalam rangka penanganan bencana tersebut, serta sikap masyarakat jika bencana tersebut terjadi. Pengambilan sampelnya dengan menggunakan teknik sampel bertujuan (purposive sampling). Teknik ini dilakukan dengan mengambil koresponden- koresponden yang sekiranya mengetahui karakteristik populasi tersebut. Pada penelitian ini walaupun sampel yang diambil sekiranya relatif kecil kuantitasnya namun wawancara ditujukan pada stakeholders kunci (stakeholders masing- masing kecamatan) yang sekiranya paham terhadap hal ini dengan pertimbangan informasi signifikan dan ringkas. Pedoman/aturan yang digunakan yakni jika sudah terjadi pengulangan informasi maka penarikan sampel sudah bisa dihentikan. Sampel kunci berada pada stakeholders kecamatan dan kelurahan yang daerahnya diprediksi terkena dampak tersebut dan tidak menutup kemungkinan wawancara dilanjutkan melalui snowballing berdasarkan arahan stakeholders tersebut. Dalam studi ini, setidaknya dilakukan wawancara terhadap stakeholders kecamatan yang terkena dampak langsung akibat bencana rob (Kecamatan Tugu, Kecamatan Semarang Barat, Kecamatan Semarang Utara, Kecamatan Genuk, dan Kecamatan Gayamsari). Teknik yang kedua yaitu melalui pengamatan langsung (direct observation). Cara ini dilakukan dengan melakukan pengamatan langsung kondisi fisik. Hal ini dilengkapi kamera digital, lembar pengamatan, maupun alat tulis. 3.7.3.2 Tahap Pengolahan Data yang telah didapat, selanjutnya direkapitulasi. Adapun langkah- langkah yang dilakukan adalah sebagai berikut ini: Pertama, tahap pengelompokan data. Tahap ini merupakan pengolahan data dengan cara mengelompokkan data sesuai analisis yang ingin dilakukan. Data yang didapat secara garis besar dibagi menjadi 5 kategori kerentanan. Kedua, tahap verifikasi data, tahapan ini bertujuan untuk mengetahui validitas data yang diperoleh dari hasil survey. Verifikasi ini dilakukan terhadap data sekunder yang didapat. Data sekunder tersebut dapat ditanyakan kepada informan maupun mengadakan 89 crosscheck di lapangan. Ketiga, tahap penyajian. Hasil olahan data yang dilakukan perlu ditampilkan secara representatif dan informatif, tujuannya adalah agar mudah dipahami dan dimengerti maksud yang disajikan. 3.7.3.3 Tahap Analisis Pada penelitian ini, kerangka analisis disusun berdasarkan tujuan penelitian yang sudah dirumuskan sebelumnya. Pada tahap awal, dilakukan analisis kerentanan masyarakat dengan input 4 (empat) komponen kerentanan: fisik, sosial, lingkungan, dan ekonomi. Setiap komponen dinilai kemudian disimpulkan kerentanannnya melalui prinsip progression of vulnerability. Selanjutnya, tahap kedua adalah menggali preferensi masyarakat terhadap empat komponen tersebut. Hal ini dilakukan untuk memahami makna kerentanan dari masyarakat serta mengetahui seberapa besar dampak masing-masing aspek ke dalam masyarakat. Terakhir, tahap ketiga adalah mendialogkan tahap 1 dan tahap 2 dengan prinsip progression of safety secara deskriptif kualitatif. Kemudian, menyimpulkan alternatif strategi penanganan bencana rob di Kota Semarang. Untuk mencapai tujuan penelitian ini maka tahapan analisis yang dilakukan adalah sebagai berikut: Pertama, Analisis Perkembangan Kerentanan Akibat Bencana Rob. Analisis ini dilakukan untuk mengetahui karakteristik kerentanan masyarakat berdasarkan empat aspek yaitu fisik, sosial, lingkungan, dan ekonomi. Identifikasi kondisi fisik bertujuan untuk menggambarkan perkiraan tingkat kerusakan terhadap fisik (infrastruktur) bila ada faktor berbahaya (hazard) tertentu. Identifikasi kondisi sosial bertujuan untuk menggambarkan perkiraan tingkat kerentanan terhadap keselamatan jiwa penduduk apabila ada bahaya berdasarkan indikator-indikator antara lain kepadatan penduduk, laju pertumbuhan penduduk, persentase penduduk usia tua-balita dan penduduk wanita. Identifikasi kondisi lingkungan menggambarkan kondisi suatu wilayah yang rawan bencana dengan didasarkan pada kondisi geografis dan geologis 90 suatu wilayah serta data statistik kebencanaan merupakan indikator kebencanaan. Kemudian yang terakhir identifikasi kondisi ekonomi menggambarkan besarnya kerugian atau rusaknya kegiatan ekonomi (proses ekonomi) yang terjadi bila terjadi ancaman bahaya. Indikator yang dapat kita lihat menunjukkan tingginya tingkat kerentanan ini misalnya adalah persentase rumah tangga yang bekerja di sektor rentan (sektor jasa dan distribusi) dan persentase rumah tangga miskin di daerah rentan bencana rob. Pada analisis ini menggunakan alat analisis Pressure and Release Model (PAR). Model ini dikembangkan pertama kali oleh Blaikie dalam At Risk (1994), yang kemudian digunakan secara luas oleh LSM-LSM, lembaga-lembaga penangananan bencana serta lembaga-lembaga PBB. Di Indonesia, masih sangat sedikit lembaga yang mengenal model ini. Paradigma penanggulangan bencana yang ditawarkan disini adalah bahwa Bencana terjadi karena pertemuan antara dua realitas: adanya ancaman/bahaya (hazard) dan kerentanan (kondisi tidak aman atau tepatnya kerapuhan) pada sisi yang lain. Fungsi matematisnya adalah fungsi perkalian yakni bahwa bila ada ancaman atau Hazard tak peduli bersifat alamiah atau bersifat natural namun kerentanan adalah nol (tidak ada komunitas yang rentan) maka tidak mungkin ada bencana, dan sebaliknya bila ada kerentanan yang besar tetapi bila tidak ada hazard (ancaman) maka juga tidak mungkin terjadi bencana. Tsunami, Cyclone atau Banjir yang terhebat sekalipun tak mungkin menghancurkan kehidupan manusia sepanjang kita mampu mereduksi atau bahkan menghilangkan kerentanan alias kerapuhan. Pengertian atau formulasi di atas agak sulit dimengerti karena seringkali tidak terdapat komunitas yang memiliki kerentanan nol atau ancaman nol pada waktu yang bersamaan. Yang terjadi adalah bahwa selalu ada ancaman dengan tingkat kerentanan yang ada dan bervariasi pada waktu yang bersamaan. Oleh karena itu pada umumnya orang terjatuh atau dengan mudahnya percaya pada 91 paradigma bencana yang melihat bencana hanya semata-mata alam, atau cenderung berpikir parsial atau dikotomi bencana alam melawan manusia. Dari argumentasi yang mau diangkat dalam model ini adalah bahwa tidak ada yang namanya bencana alam, karena memang tidak ada bencana alam (natural disasters). Yang ada hanyalah natural hazards (ancaman alam). Ancaman atau Hazard ini akan menjadi bencana apabila ia sudah bertemu dengan realitas yang namanya kondisi kerapuhan (unsafe condition). Dan yang namanya kerapuhan bukanlah sesuatu yang sudah ada dengan sendi rinya dalam masyarakat, tetapi karena susuatu yang terus- menerus diproduksi atau direproduksi dalam proses yang masyarakat kenal sebagai pembangunan (CBDRM, 2004). Yang harus diperhitungkan dalam menggunakan alat analisis ini adalah dengan sangat mudah untuk menyalahkan Negara (akar masalahnya bias anti Negara). Dimaklumi bahwa bukan hanya Negara dan pemodal saja yang mampu menciptakan dan memelihara atau memproduksi kerentanan/ kerapuhan. Masyarakat dengan kebiasaan dan pola hidup tertentu dapat juga menjadi akar masalah dalam kerentanan.
Analisis PAR memberikan gambaran yang lebih jelas tentang hubungan antara ancaman dengan kerentanan masyarakat yang menyebabkan bencana. Model ini menekankan pada petingnya memperhatikan proses-proses dari aspek fisik, sosial, ekonomi, dan lingkungan yang merupakan akar kerentanan dalam masyarakat. Ide dari model ini adalah, sebuah penanganan bencana yang efektif pada dasarnya merupakan pengurangan kerentanan menuju pada kondisi aman terhadap ancaman bencana. Pilihan-pilihan pengurangan kerentanan bisa beragam, sekali lagi berdasarkan dinamika ancaman dan kerentanan dalam masyarakat itu (CBDRM, 2004).
92
Kondisi tidak aman (unsafe condition) merupakan gejala yang terlihat langsung sebagai kerentanan. Pendorong dinamis (dynamic pressure) merupakan kondisi dalam masyarakat, baik yang inheren maupun yang merupakan akibat dari pengaruh luar, yang menyebabkan sebuah kondisi tidak aman menjadi lebih langgeng; atau dalam beberapa kasus merupakan penyebab dari kondisi tidak aman itu sendiri. Akar masalah (root causes) merupakan faktor penyebab, dimana secara langsung maupun tidak langsung menciptakan pendorong dinamis, dan pada gilirannya menciptakan kondisi tidak aman. Biasanya akar masalah ini terletak pada ideologi serta proses-proses sosio- ekonomi politik. Kedua, analisis preferensi masyarakat terhadap kerentanan akibat bencana rob. Analisis ini merupakan bentuk preferensi masyarakat terhadap kerentanan akibat bencana rob. Analisis ini dilakukan untuk menemukenali sistem nilai masyarakat dalam mendefinisikan kerentanan dan bencana rob. Tahap ini merupakan proses penggalian makna kerentanan dari masyarakat, yaitu masyarakat mendefinisikan sendiri makna kerentanan berdasarkan lima aspek yaitu: fisik, sosial, lingkungan, dan ekonomi. Input data pada analisis ini dari hasil wawancara dengan masyarakat. Pada saat wawancara, masyarakat diberikan stimulas (pancingan) agar mereka mendefinisikan kerentanan. Tahap ini sangat penting dilakukan karena preferensi mereka sangat menentukan perilaku dan perlakuannya terhadap aspek-aspek kerentanan. Proses analisis 93 yang dilakukan berupa deskripsi preferensi masyarakat secara deskriptif kualitatif. Output dari analisis ini berupa makna kerentanan dari masyarakat. Prinsip penelitian fenomenologis lebih berperan pada analisis ini. Seperti pada analisis kerentanan masyarakat (pendekatan objektif). Pada analisis preferensi masyarakat terhadap kerentanan juga diperinci menurut setiap aspek. Pada analisis preferensi masyarakat terhadap kerentanan, penilaian ini menggunakan prinsip penilaian preferensi oleh Sariffuddin (2009) dan kemudian dimodifikasi untuk penilaian kerentanan masyarakat yaitu didasarkan pada jumlah responden yang menjawab. Setiap responden dinilai kerentanannya berdasarkan aspek-aspek yang sudah dirumuskan diatas. Begitupula preferensi/cara pandangnya terhadap kerentanan. Ilustrasi output analisis ini tergambar pada tabel berikut: TABEL 3.x CONTOH PENILAIAN KERENTANAN MASYARAKAT AKIBAT BENCANA ROB DARI PREFERENSI MASYARAKAT
Aspek Kerentanan Ketidakrentanan ekonomi Masyarakat tidak memiliki pekerjaan tetap, bekerja tidak terstruktur dan tidak teratur Warga memiliki pekerjaan tetap, bekerja secara terstruktur dan teratur
80,00% 20,00%
80,00% 20,00%
100% 50% 50% 100% Sumber: Sariffuddin, 2009 Keterangan: Penilaian objektif kerentanan akibat bencana rob
Penilaian preferensi kerentanan akibat bencana rob
94 Penilaian aspek-aspek kerentanan diatas didasarkan pada penilaian objektif dan subjektif. Penilaian objektif ditunjukkan oleh warna HIJAU yaitu peneliti menilai langsung setiap responden menurut informasi dari dokumen dan data sekunder lainnya. Kemudian, peneliti mengelompokkan ke dalam variabel kerentanan dan ketidakrentanan. Variabel-variabel kerentanan menjadi rujukan penilaian ini. Sedangkan, warna MERAH menunjukkan penilaian subjektif warga (melalui preferensinya) terhadap kerentanan. Pada tahap ini peneliti hanya merumuskan preferensi masyarakat terhadap kerentanan. Setiap responden menilai dan mendefinisikan sendiri makna kerentanan di wilayahnya akibat dari bencana rob. Adapun nilai persentase (20,00% & 80,00%) menunjukkan penilaian responden yang menilai. Jumlah warga yang nilainya mengarah ke kerentanan dijumlahkan dan kemudian dipersentasekan, begitupula sebaliknya. Proses ini sangat penting dilakukan untuk memahami kerentanan masyarakat akibat bencana rob dan sistem nilai yang berlaku. Melalui strategi ini diharapkan dapat diketahui dampak bencana rob dan kerentanan masyarakat dari dua sudut pandang yang berbeda. Ketiga Analisis Perkembangan Keamanan masyarakat akibat bencana rob. Analisis ini merupakan respon dari analisis perkembangan kerentanan yang dibuat berdasarkan output dari kedua analisis sebelumnya yang juga berdasarkan empat aspek yaitu fisik, sosial, lingkungan, dan ekonomi. Kondisi aman (safe condition) merupakan suatu cara pandang untuk mereduksi kerentanan masyarakat akibat bencana rob. Reduksi pendorong dinamis merupakan analisis untuk mengurangi kondisi rentan dalam masyarakat, baik yang inheren maupun yang merupakan akibat dari pengaruh luar, yang menyebabkan sebuah kondisi tidak aman akibat bencana rob. Tahapan selanjutnya adalah menjawab akar masalah (root causes) yang merupakan faktor penyebab utama kerentanan akibat bencana rob. 95
Pada proses analisis ini tidak terlepas dari penetapan aspek dan indikator- indikator kerentanannya. Pengelompokkan dan pemilihan indikator kerentanan dijabarkan dari sintesis beberapa elemen yang tertuang dalam beberapa teori yang sudah dijelaskan pada bab sebelumnya. Berdasar pada beberapa ketentuan/aturan/arahan yang termuat dalam berbagai hal tersebut serta ketersediaan data di lapangan maka kerentanan bencana dapat dikategorikan dalam 4 (empat) aspek, yaitu kerentanan fisik, kerentanan sosial, kerentanan ekonomi, dan kerentanan lingkungan.
96 97 BAB IV ANALISIS KERENTANAN MASYARAKAT KOTA SEMARANG TERHADAP BENCANA ROB
Bab ini penyusun akan menganalisis akan kerentanan masyarakat, makna kerentanan masyarakat dan kemampuannya untuk mendukung ketahanan terhadap bencana rob. Pada bagian pertama (sub bab 4.1) menjelaskan mengenai dampak dari bencana rob serta prediksi ke depannya. Kemudian pada bagian kedua (sub bab 4.2) mengungkap tingkat dan karakteristik kerentanan masyarakat. Kemudian, bagian ketiga (Sub bab 4.3) membahas preferensi masyarakat mengenai kerentanan. Masyarakat mendefinisikan sendiri makna kerentanan terhadap bencana rob. Dalam sub bab ini akan terlihat cara pandang masyarakat yang akan mempengaruhi setiap perilaku dan intervensi mereka terhadap kondisi lingkungan tempat tinggal mereka. Pada bagian akhir (sub bab 4.4) menilai kemampuan masyarakat untuk mendukung budaya aman terhadap bencana rob sesuai dengan prinsip-prinsipnya. 4.1 Jangkanan dan Prediksi Kerusakan akibat bencana Rob 4.1.1 Jangkauan Bencana Rob Banjir pasang (rob) ini terjadi karena pasang air laut yang relatif lebih tinggi daripada ketinggian permukaan tanah di suatu kawasan. Biasanya terjadi pada kawasan di sekitar pantai. Penurunan tanah disebabkan empat hal, yaitu eksploitasi air tanah berlebihan, proses pemampatan lapisan sedimen (yang terdiri dari batuan muda) ditambah pembebanan tinggi oleh bangunan di atasnya serta pengaruh gaya tektonik. Dampak penurunan tanah dapat dilihat adanya luasan genangan rob yang semakin besar. Berdasarkan hasil survei lapangan dan Peta Hidrologi Kota Semarang dari Rencana Tata Ruang Wilayah tahun 2010-2030 diperoleh data bahwa beberapa wilayah pesisir Kota Semarang mengalami permasalahan intrusi air laut/rob. Adapun penjabaran sebagai berikut ini (RTRWP Kota Semarang, 2009) yaitu Kecamatan Tugu yang merupakan daerah aliran sungai Kali 98 Mangkang, Kali Beringin, Kali Tambakromo dan Klai delik, bahaya luapan air laut pada daerah tambak yang berdekatan dengan kawasan pantai. Pada kecamatan ini produktivitas air kecil dengan jenis tanah aluvial. Dari hasil pengukuran salinitas pada sumur penduduk di Desa Mangkang Kulon masih tawar (salinitas 0 ppt), sehingga belum terjadi intrusi air laut. Kecamatan Semarang Utara : Termasuk akuifer produktif dengan penyebaran luasan mencapai 310 liter /detik (Kelurahan Tanjung Mas, Bandarharjo dan Kuningan). Kondisi ini berpotensi mengakibatkan timbulnya genangan air laut/rob, kedalaman air sumur rata-rata 3 10 meter, ketinggian rata-rata 20 60 cm lama genangan 2,5-7 jam, penetrasi air laut mencapai 11 15 meter pada 3,5 km dari garis pantai dengan kedalaman air payau 110 meter. Kecamatan Gayamsari memiliki potensi air tanah tinggi dengan penyebaran luasan mencapai 510 liter/detik. Kondisi ini berpotensi mengakibatkan timbulnya genagan air laut/rob, kedalaman air sumur rata-rata 310 meter, ketinggian rata-rata 0,51 cm lama genangan 12 hari, dengan demikian rawan terjedinya penetrasi air yang mengakibatkan intrusi air laut pada daerah ini. Kecamatan Semarang Barat : Termasuk akuifer produktif dengan penyebaran luasan mencapai 5 liter /detik. Kondisi ini berpotensi mengakibatkan timbulnya genangan air laut/rob, kedalaman air sumur rata-rata 310 meter, ketinggian rata-rata 2060 cm lama genangan 2,5-7 jam. Sehingga rawan terjadinya penetrasi air yang berdampak pada intrusi air laut. Kecamatan Genuk yang termasuk kawasan dengan akifer produktif sedang, dengan penyebaran luas mencapai 5 liter/detik di Kelurahan Terboyo Wetan dan Terboyo Kulon dan Kelurahan Trimulyo. Sangat berpotensi terjadinya genangan rob dengan ketinggian mencapai 0,51 meter dengan lama genangan 12 hari. Kawasan sepanjang Sungai Banjir Kanal Timur sumber air berkurang akibat terjadiya pendangkalan dasar sungai akibat sedimentasi, dan karena rendahnya derajat kemiringan sungai terhadap permukaan air laut sehingga mengakibatkan air sungai meluap ke darat. Kawasan permukiman yang berada di wilayah pesisir terancam genangan sebagai akibat kenaikan muka air laut. Kawasan tersebut saat ini dihuni hampir 300 ribu penduduk Kota Semarang. Diperkirakan total luasan yang tergenang hampir 7.500 Hektar. Berikut ini adalah kelurahan- kelurahan 99 dan total luasan di setiap kecamatan yang tergenang akiabat banjir rob pada Tabel 4.x. Tabel 4.x Daerah yang Tergenang Akibat Banjir Rob Kecamatan Kelurahan Area Tergenang (km 2 ) Genuk Trimulyo, Terboyo Kulon 18,92 Tugu Mangkang Kulon, Mangunharjo, Jerakah, Tugurejo 19,52 Semarang Utara Panggung Lor, Bandarharjo, Tanjung Emas 14,81 Semarang Barat Tawangsari, Tambakharjo 12,87 Gayamsari Tambak Rejo 2,57 Sumber: Setiadi dan Kunarso, 2009
4.1.2 Prediksi Dampak Bencana Rob Berdasarkan peta kerawanan Diposaptono (2009), diketahui adanya prediksi bahwa wilayah pesisir Kota Semarang yang tergenang setelah kenaikan paras muka air laut dalam 20 tahun mendatang sebesar 16 cm yakni seluas 2672,2 Ha. Sedangkan berdasarkan Miladan (2009) berdasarkan interprestasi data SIG yang ada diketahui bahwa dari 6 Kecamatan Pesisir Kota Semarang hanya 5 kecamatan yang diprediksikan sebagian wilayahnya akan tergenang banjir dan rob akibat kenaikan permukaan air laut. Kecamatan- kecamatan tersebut yakni Kecamatan Genuk, Kecamatan Gayamsari, Kecamatan Semarang Barat, Kecamatan Semarang Utara, dan Kecamatan Tugu. Sedangkan Kecamatan Semarang Timur yang juga termasuk pada Kecamatan Pesisir Kota Semarang diprediksi pada 20 tahun mendatang belum terjadi kerawanan tersebut. Dari kecamatan-kecamatan tersebut, tidak seluruh wilayahnya tergenang namun hanya di beberapa kelurahan saja terutamanya yang berada/berbatasan langsung dengan Laut Jawa (Miladan, 2009).
Tabel 4.1 100 Prediksi Wilayah yang Tergenang Rob pada 2029 Kecamatan Kelurahan Luas Genangan % Tergenang Tugu Mangkang Kulon 287,456 52,82 Mangunharjo 326,171 70,74 Mangkang Wetan 192,232 47,49 Randu Garut 291,243 61,04 Karang Anyar 230,103 55,79 Tugu Rejo 305,982 53,02 Jerakah 55,927 39,01 Semarang Utara Tanjung Mas 197,311 51,32 Bandarharjo 110,752 49,70 Panggung Lor 45,827 23,99 Semarang Barat Tawangsari 62,036 17,12 Tambakharjo 212,279 39,74 Genuk Terboyo Kulon 155,611 56,39 Trimulyo 127,983 38,60 Gayamsari Tambakrejo 2,754 3,63 Sumber: Miladan, 2009 Dilihat dari luasan masing-masing kecamatan, terdapat beberapa kecamatan yang hampir sebagian dari wilayahnya tergenang. Khusus pada Kecamatan Gayamsari karena kecamatan ini tidak berbatasan langsung dengan Laut Jawa maka luasan yang diprediksi tergenang tidak terlalu luas dibanding dengan kecamatan-kecamatan lainnya (Miladan, 2009). Pada Kecamatan Gayamsari, genangan tersebut mengancam Desa Tambakrejo seluas 3,754 Ha. Sedangkan kecamatan yang mengalami kerawanan paling tinggi yakni Kecamatan Tugu dengan prediksi luasan genangan banjir dan rob seluas 1689,113 Ha. Kecamatan ini diprediksi memiliki tingkat kerawanan paling tinggi karena penggunaan lahan di bagian utara dari kecamatan i ni didominasi oleh lahan pertambakan dan juga kondisi topografi yang lebih datar dan landai dibandingkan dengan kecamatan- kecamatan lainnya. Pada Kecamatan Tugu tidak terdapat lahan yang memiliki kemiringan lebih dari 25%. Adanya kondisi tersebut yang menyebabkan kerawanan kecamatan ini paling tinggi dibandingkan dengan kecamatan- kecamatan lainnya. Selain Kecamatan 101 Tugu yang memiliki potensi kerawanan tinggi, pada Kecamatan Semarang Utara dan Kecamatan Genuk kerawanan bencana tersebut perlu diperhatikan secara seksama karena pada kecamatan- kecamatan ini banyak terdapat pemusatan aktivitas penduduk yang utamanya sebagai kawasan pemukiman (Miladan, 2009). Berdasarkan data peta penggunaan lahan Kota Semarang , juga dapat digunakan analisis overlay dengan peta sebaran rob juga bisa diketahui prediksi peresentase penggunaan lahan yang akan terganggu dan hilang pada tahun 2029. Dalam Miladan (2009), penulis secara menarik menggunakan teknik overlay untuk mengetahui prediksi penggunaan lahan yang akan hilang pada Tahun 2029 tersebut, maka dipastikan Kota Semarang maupun masyarakat wilayah tersebut akan kehilangan aset-aset mereka jika tidak ada strategi dalam mengatasi permasalahan tersebut. Dalam perkiraan tersebut, lahan terluas yang akan hilang yakni kawasan industri seluas 893,24 Ha. Penggunaan Lahan yang Akan Hilang Akibat Bencana Rob pada Tahun 2029 No. Penggunaan Lahan Luas (ha) 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12 13. 14. 15. 16. 17. Bandara Campuran (perdagangan, permukiman) Industri Instalasai pengolahan limbah Konservasi Penumpukan Olahraga dan rekreasi Pelabuhan laut Pergudangan Perkantoran Permukiman Pertanian lahan basah PLTU Pusat Pendaratan Ikan (PPI) Jalan Taman Tambak 158.65 1,89 893,24 13,17 285,09 59,19 100,32 18,25 36,28 11,92 203,52 79,78 0,25 16,21 0,03 18,06 776,34
Total
2.672,21 Sumber: Miladan, 2009
Bakti (2010) juga melakukan prediksi mengenai dampak sebaran dan kerusakan akibat bencana rob sapai dengan tahun 2030. Berdasarkan analisis 102 yang menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG) didapatkan Apabila Tahun 2000 luas wilayah genangan rob adalah sekitar 2.670 hektar dengan volume air laut yang masuk mencapai sekitar 4.109.844 m 3 . Setelah terjadi penurunan muka tanah selama 10 tahun, maka diperkirakan pada Tahun 2010 genangan Rob akan meluas hingga 3.438 hektar dengan volume genangan sekitar 17.029.219 m 3 . Berdasarkan analisis diperkirakan pada Tahun 2030, bila tanpa adanya usaha penanggulangan, maka rob akan merendam daratan seluas 4.846 hektar dengan volume mencapai 59.110.917 m 3 . Tabel 4.2 Prediksi Luasan dan Volume Genangan Rob di Kota Semarang Tahun Luas (ha) Volume (m 3 ) 2000 2010 2030 1.752 3.438 4.846 4.109.844 17.029.219 59.110.917 Sumber: Bakti, 2010
4.2 Analisis Kerentanan Masyarakat Penilaian kerentanan masyarakat merujuk pada aspek-aspek pembentuk kerentanan yang terdiri dari fisik, sosial, ekonomi dan lingkungan. Penilaian fisik lebih menitikberatkan pada penilaian kerentanan fisik buatan yaitu kepadatan bangunan dan kondisi infrastruktur tergenang. Kemudian, penilaian ekonomi yaitu pada tingkat kemiskinan dan kepemilikan lahan. Penilaian aspek sosial dilakukan melalui indikator penduduk rentan dan kepadatan penduduk. Selanjutnya, penilaian lingkungan dimaksudkan untuk mengetahui kerentanan masyarakat dilihat dari indikator luasan hutan mangrove dan kawasan fungsional di Kota Semarang.
4.2.1 Analisis Kerentanan Fisik Analisis kerentanan fisik meliputi analisis mengenai kondisi fisik terbangun di wilayah Kota Semarang yang dinilai rentan terhadap bencana rob. 103 Adapun beberapa indikator yang akan dianalisis dapat dijelaskan sebagai berikut ini. 4.2.1.1 Kawasan Terbangun Indikator pertama untuk menilai kerentanan fisik kawasan yaitu persentase kawasan terbangun terutama di wilayah yang termasuk pesisir Kota Semarang yang terletak di bagian utara. Pada analisis ini akan dilihat berdasarkan data dari Bappeda dan BPS Kota Semarang. Berdasarkan data dalam RDTRK Kota Semarang Tahun 2011 - 2031 dapat diketahui bahwa jumlah bangunan yang tergenang adalah sebanyak 2.385 unit dan tersebut tersebar di 5 kecamatan. Namun sebagian besar bangunan yang tergenang tersebut berlokasi di Kecamatan Semarang Utara dan Kecamatan Semarang Barat. Berdasarkan data dari Bappeda Kota Semarang, sebagian besar bangunan-bangunan tersebut dulunya relatif aman dari bencana rob. Dengan kata lain bahwa kawasan tersebut sebagian besar adalah kawasan genangan rob yang baru, artinya masih dalam jangka waktu 2 5 tahun terakhir. TABEL 4.1 JUMLAH BANGUNAN YANG TERGENANG TAHUN 2009 Kecamatan Kelurahan Bangunan Tergenang Tugu Mangkang Kulon 157 Mangunharjo 240 Mangkang Wetan 373 Randu Garut 96 Karang Anyar 79 Tugu Rejo 77 Jerakah 10 Semarang Utara Tanjung Mas 1.038 Bandarharjo 50 Panggung Lor 28 Semarang Barat Tawangsari 123 Tambakharjo 49 Genuk Terboyo Kulon 13 Trimulyo 52 Gayamsari Tambakrejo 0 Sumber: Diolah dari Semarang dalam Angka 2009 104
Gambar 4.1 Grafik Jumlah Bangunan Tergenang Akibat Bencana Rob 2009 Sumber: Analisis Penyusun, 2012 Berdasarkan data yang didapat dari instansi terkait dapat diketahui bahwa Kecamatan Semarang Utara merupakan kecamatan dengan jumlah bangunan tergenang terbanyak. Kondisi geografis Kecamatan Semarang Utara yang berbatasan langsung dengan laut. Kepadatan di Kecamatan Semarang Utara relatif padat karena pada kecamatan ini merupakan kawasan campuran pemukiman, industri, budaya, perdagangan maupun sarana transportasi (pelabuhan). Pada kecamatan ini pula terdapat kelurahan yang memiliki jumlah bangun tergenang terbanyak pula yakni Kelurahan Tanjung Mas. Pada Kelurahan Tanjung Mas tersebut jumlah bangunan yang tergenang terdapat 1.038 unit. Sedangkan kelurahan yang tidak memiliki kerentanan bangunan berdasarkan data bangunan eksisting pada RDTRK Kota Semarang Tahun 2011-2031 yakni terdapat di Kelurahan Terboyo Wetan dan Kelurahan Tambakrejo. Pada Kelurahan Terboyo Wetan mayoritas merupakan kawasan tambak. Sedangkan pada Kelurahan Tambakrejo, wilayah tergenang yang ada 1032 1116 172 65 0 0 200 400 600 800 1000 1200 Tugu Semarang Utara Semarang Barat Genuk Gayamsari Kecamatan Total Bangunan Tergenang 105 hanya sekitar 3,75 Ha dan keberadaannya saat ini diperuntukkan sebagai lahan pertambakan/terbuka hijau. Berdasarkan data diatas juga dapat diketahui persentase jumlah bangunan yang tergenang dilihat dari total seluruh bangunan pada 5 kecamatan diatas. Dengan persentase terbesar yaitu di Kecamatan Tugu dengan 22,60%. Untuk selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 4.x di bawah. Tabel 4.x Anslisis Kerentanan Fisik Indikator Bangunan Tergenang Kecamatan Jumlah Bangunan Tergenang Jumlah Total Bangunan Persentase (%) Tugu 1.032 4.566 22,60 Semarang Utara 1.116 28.024 3,98 Semarang Barat 172 37.086 0,46 Genuk 65 13.845 0,47 Gayamsari 0 13.030 0,00 Sumber: Analisis Penyusun, 2012 Berdasarkan data yang didapat, dapat diketahui bahwa jumlah bangunan yang tergenang semakin meningkat secara signifikan mulai dari tahun 2005 sampai dengan tahun 2009. Pada tahun 2005, jumlah bangunan yang tergenang hanya sekitar 1.006 bangunan dan tersebar di 5 kecamatan dan pada 2009 bangunan yang tergenang menjadi 2.385 buah (Gambar 4.2).
Gambar 4.2 Jumlah Bangunan Tergenang di Kota Semarang 2005-2009
0 500 1000 1500 2000 2500 3000 2005 2006 2007 2008 2009 Bangunan Tergenang 106 Kondisi rumah sebenarnya dapat merepresentasikan karakter dan kemampuan perekonomian penghuninya. Masyarakat yang mampu secara finansial memiliki kondisi rumah yang lebih layak dibandingkan yang kurang mampu. Namun kondisi bangunan juga seringkali berbanding lurus terbalik dengan kepadatan bangunan kawasan. Semakin padat suatu kawasan, rata- rata kondisi bangunan juga semakin buruk. Hal ini dikarenakan penduduk yang mampu secara finansial akan memilih untuk menempati kawasan yang nyaman artinya tidak terlalu padat dan lebih memiliki aksesibilitas yang lebih baik. Kawasan yang terlalu padat juga memiliki kerentanan yang relatif tinggi, terutama terkait bencana kebakaran yang sering terjadi karena hal-hal kecil, seperti hubungan pendek arus listrik atau kompor meledak. Ketinggian suatu rumah di wilayah pesisir Kota Semarang juga dapat merepresentasikan kapasitas ekonomi rumah tangga. Hal ini disebabkan oleh kebutuhan rutin tiap minimal 5 tahun sekali untuk meninggikan rumah dikarenakan bencana rob yang juga semakin sering dan semakin tinggi. Biaya tanah urug saat ini adalah kurang lebih Rp. 135.000,- per colt (pick up). Minimal 1 rumah ukuran 6 m x 12 m membutuhkan 5 8 colt setiap 5 tahunnya (Sariffuddin, 2009). Jika halaman dan jalan menuju rumah juga ditinggikan paling sedikit ditambah 4 colt. Sehingga kebutuhan tanah urug setiap lima tahun ada 12 colt atau seharga Rp. 1.620.000,-. Kebutuhan itu masih ditambah semen untuk plester dan sebagainya sehingga menurut masyarakat menghabiskan Rp. 5.000.000,- per lima tahun. Angka demikian termasuk besar bagi masyarakat di pesisir Kota Semarang dikarenakan pendapatan mereka yang rata-rata hanya sebagai buruh industri. 4.2.1.2 Kondisi Infrastruktur Dasar Indikator kedua yaitu mengidentifikasi kondisi infrastruktur dasar di daerah pesisir Kota Semarang yang rentan terhadap bencana rob. Infrastruktur dasar yang dianalisis meliputi jalan, listrik, dan air bersih. Ketiga infrastruktur dasar ini dipilih antara lain dikarenakan dianggap mewakili kebutuhan dasar masyarakat, disamping itu terganggunya akses masyarakat terhadap jalan, listrik, dan air bersih karena bencana rob akan mengganggu kesejahteraan masyarakat secara umum. 107 Analisis infrastruktur dasar yang pertama adalah memperbandingkan antara panjang jalan yang tergenang akibat bencana rob dengan panjang jalan yang ada di wilayah tersebut yang dalam hal ini panjang jalan tiap kelurahan yang ada. Jalan yang termasuk disini adalah jalan yang merupakan jalan dengan perkerasan, tidak termasuk jalan lingkungan. Dengan perbandingan tersebut nantinya dapat diketahui tingkat kerentanan prasarana jalan yang ada.
Tabel 4.2 Analisis Indikator Fisik Indikator Jalan Kecamatan Kelurahan Panjang Jalan (m) Jalan Tergenang (m) % Tugu Mangkang Kulon 29.636,70 1.493,77 5,04 Mangunharjo 25.376,24 4.307,37 16,97 Mangkang Wetan 30.938,84 3.718,48 12,02 Randu Garut 29.900,81 313,18 1,05 Karang Anyar 44.208,19 3.967,26 8,97 Tugu Rejo 34.895,31 385,40 1,10 Jerakah 20.211,16 4.691,58 23,21 Semarang Utara Tanjung Mas 114.734,81 40.540,66 35,33 Bandarharjo 57.258,88 16.952,85 29,61 Panggung Lor 79.853,77 4.890,79 6,12 Semarang Barat Tawangsari 117.488,06 15.305,43 13,03 Tambakharjo 45.432,84 2.360,58 5,20 Genuk Terboyo Kulon 20.161,72 3.589,20 17,80 Trimulyo 45.717,89 13.000,27 18,44 Gayamsari Tambakrejo 25.550,46 1.275,87 4,99 Sumber: Diolah dari Semarang dalam Angka 2009 Berdasarkan data diatas dapat diketahui bahwa Kecamatan Semarang Utara memiliki ruas jalan yang paling panjang terkena dampak bencana rob, yaitu sepanjang 62.384,30 meter dari total panjang jalan 251.847,57 meter atau sekitar 24,77%. Sebagian besar ruas jalan yang tergenang terletak di Kelurahan Tanjung Mas yang merupakan jalan-jalan utama terutama untuk kegiatan industri, perdagangan, dan distribusi barang ke pelabuhan yaitu sepanjang 40.540,66 meter. Apabila dilihat dari persentase per kelurahan, 108 selain 2 kelurahan di Kecamatan Semarang Utara yaitu Tanjung Mas dan Bandarharjo, Kelurahan Tawangsari di Kecamatan Semarang Barat memberi kontribusi terbesar terhadap panjang jalan tergenang secara keseluruhan. Pada kelurahan-kelurahan ini lebih banyak tersedia akses prasarana jalan karena pada kelurahan-kelurahan ini banyak terdapat lokasi industri, pemukiman maupun fasilitas umum. Keberadaan lokasi dan aktivitas tersebut tentunya membutuhkan kemudahan akses jalan. Berdasarkan peta jaringan jalan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Semarang 2011 2031, kawasan utara Kota Semarang dilewati jalan arteri primer patai utara jawa yang menghubungkan Kota Semarang dengan kota-kota lain di Pulau Jawa, yaitu Kota Demak di bagian timur dan Kabupaten Kendal di bagian barat. Arteri primer tersebut membelah Kota Semarang melewati kecamatan-kecamatan yang memiliki kerentanan tinggi terhadap bencana rob. Beberapa kali jalur tersebut tidak dapat dilalui dikarenakan rob, terutama di Kecamatan Tugu dan Kecamatan Semarang Utara.
109
Analisis infrastruktur dasar yang kedua yaitu peresentase kerentanan pengguna listrik PLN akibat bencana rob dengan didasarkan pada data dari BPS Kota Semarang. Karena data untuk kerentanan pengguna listrik akibat bencana rob tidak tersedia, penyusun mencoba membuat perhitungan perkiraan dengan menggunakan data jumlah bangunan dan persentase bangunan yang tergenang. Perhitungan ini menggunakan asumsi bahwa masing-masing bangunan memiliki jaringan listrik sendiri. Tentu pendekatan ini memiliki kelemahan, namun penyusun mencoba meminimalisasikan pendekatan di tingkat kecamatan, sehingga angka persentase diharapkan dapat mendekati kenyataan di lapangan. Tabel 4.x Persentase Kerentanan Pengguna Listrik di Pesisir Kota Semarang Kecamatan Pengguna Listrik PLN % Bangunan Tergenang Pengguna Listrik Tergenang Persentase (%) Tugu 3653 22,60 826 43,72 Semarang Utara 22.419 3,98 893 46,79 Semarang Barat 29.669 0,46 138 7,21 Genuk 11.076 0,47 52 2,73 Gayamsari 10.424 0,00 0 0,00 Sumber: Diolah dari Semarang dalam Angka 2009 Pada tabel diatas dapat diketahui bahwa Kecamatan Semarang Utara dan Kecamatan Semarang Barat merupakan pengguna sambungan listrik PLN yang paling besar diantara kecamatan-kecamatan lainnya di wilayah pesisir Kota Semarang. Namun dilihat dari persentase kerentanan terhadap bencana rob secara total di Kota Semarang, Kecamatan Tugu memiliki persentase lebih besar (43,72%) dibandingkan dengan Kecamatan Semarang Barat (7,21%). Hal ini dikarenakan letak geografis Kecamatan Tugu yang hampir seluruhnya terletak di bagian utara dan berbatasan langsung dengan laut. 110
Gambar 4.x Analisis Jaringan Listrik Kota Semarang Di sebelah utara Semarang juga terdapat pembangkit listrik tenaga gas dan uap Tambak Lorok yang menopang suplai listrik di Jawa dan Bali. Sampai sekarang, PLTUG Tambak Lorok relatif aman dari dampak bencana rob dikarenakan letaknya yang relatif tinggi, namun dengan penurunan tanah dan kenaikan air laut yang mengakibatkan semakin luasnya dampak rob, harus diwaspadai kemungkinan PLTUG Tambak Lorok terendam rob. Pada sebelah timur PLTUG Tambak Lorok, tepatnya di Kecamatan Genuk, membentang Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET) yang menyalurkan tenaga listrik ke bagian lain Kota Semarang dan kota-kota lainnya. Di beberapa lokasi, seperti misalnya Kelurahan Terboyo Kulon, saluran-saluran ini seringkali terendam oleh rob, namun sampai sekarang belum ada kerugian yang signifikan yang diakibatkan oleh rob, dikarenakan perawatan dilaksanakan rutin oleh pihak PLN. 111 Analisis selanjutnya didasarkan pada kerentanan pada jaringan air bersih PDAM yang ada pada wilayah tergenang berdasarkan data pada Tahun 2009. Analisis ini didasarkan bahwa jaringan PDAM akan memiliki kerentanan terkait keberadaan air yang merupakan kebutuhan pokok bagi kehidupan manusia. Berdasarkan survey di lapangan didapatkan bahwa wilayah pesisir Kota Semarang merupakan wilayah yang rentan terhadap air bersih. Hal ini seringkali terkait dengan keberadaan air tanah yang seringkali telah bercampur dengan air laut karena terjadinya proses intrusi air laut ke lapisan tanah sehingga tidak bisa lagi digunakan. Kondisi seperti ini juga terjadi di Wilayah Pesisir Kota Semarang dimana beberapa bagian kawasannya kondisi air tanahnya bercampur dengan air laut (intrusi air laut/asin). Dengan adanya kondisi seperti ini tentunya penyediaan jaringan air bersih yang dilayani oleh PDAM merupakan solusi untuk mendapatkan akses air bersih di Wilayah Pesisir Kota Semarang. Berdasarkan pada kondisi eksisting, diketahui bahwa masih banyak rumah tangga/penduduk yang masih memanfaatkan air tanah sebagai sumber air bersih mereka. Hal ini juga tentu saja memperparah kondisi instrusi air laut di wilayah pesisir tersebut. Kondisi masyarakat yang masih menggunakan air tanah ini tentunya sangat rentan terhadap kerawanan bencana kenaikan air laut dikarenakan penurunan permukaan tanah. Jika wilayah tersebut tergenang tentunya akses terhadap penggunaan air bersih yang berasal dari air tanah semakin rentan/terancam. Hal ini berbeda jika banyak penduduk yang memanfaatkan jaringan perpipaan PDAM tentu kerentanan itu dapat lebih rendah karena akses air bersih tersebut masih dapat terpenuhi. Atas dasar tersebut maka penilaian kerentanan jaringan PDAM ini dapat menjadi salah satu indikator kerentanan di Wilayah Pesisir Kota Semarang. Untuk mempermudah analisis kerentanan jaringan PDAM ini maka digunakan analisis terhadap data pengguna jaringan PDAM di 5 kecamatan di pesisir Kota Semarang. Pada penelitian ini pula, karena tidak ada data pasti jumlah pengguna jaringan PDAM di wilayah tergenang maka perlu disusun asumsi jumlah pengguna jaringan PDAM di wilayah tersebut. Asumsi ini didasari pula karena wilayah tergenang tersebut, merupakan beberapa kawasan dari kelurahan- kelurahan pesisir yang ada (tidak seluruh wilayah 112 administrasi masing-masing kelurahan tergenang). Pada proses analisis ini karena lingkup data yang tersedia skala kecamatan maka perlu dilakukan asumsi jumlah pengguna jaringan PDAM di wilayah tergenang melalui perbandingan jumlah bangunan yang ada di wilayah rawan genangan tersebut dengan jumlah bangunan di kecamatan masing-masing. Pendekatan ini dirasa yang paling sesuai dalam penyusunan asumsi tersebut karena adanya pemikiran bahwa tiap bangunan pasti membutuhkan air bersih untuk kebutuhan sehari-hari penghuni/penduduknya. Atas dasar tersebut maka jumlah pengguna jaringan PDAM di wilayah rawan genangan tersebut dapat dihitung. Tabel 4.x Persentase Kerentanan Pengguna PDAM di Pesisir Kota Semarang Kecamatan Pengguna PDAM Jumlah KK % Bangunan Tergenang Jumlah Pengguna PDAM tergenang Tugu 4.147 6.778 22,60 937 Semarang Utara 20.529 28.715 3,98 818 Semarang Barat 28.437 36.696 0,46 132 Genuk 14.133 19.619 0,47 66 Gayamsari 16.156 21.078 0,00 0 Sumber: Diolah dari Semarang dalam Angka 2009 Berdasarkan analisis diatas, dapat diketahui bahwa pengguna PDAM di Kecamatan Tugu paling rentan terhadap bencana rob, dengan total genangan sebanyak 937 pengguna air bersih PDAM terendam, sedangkan Kecamatan Genuk dan Gayamsari masih relatif aman. Berdasarkan observasi di lapangan, diketahui bahwa keengganan masyarakat menggunakan pasokan air bersih dari PDAM dikarenakan aliran air PDAM yang tidak pasti (kadang hidup dan lebih sering mati). Beberapa warga juga mengatakan bahwa lebih baik menggunakan air tanah untuk keperluan sehari-hari (mandi, cuci, kakus) dan membeli untuk memasak dan air minum karena air PDAM tidak bisa diandalkan oleh mereka. 4.2.2 Analisis Kerentanan Sosial 113 Analisis ini merupakan analisis terhadap kerentanan kondisi sosial masyarakat terhadap bencana rob. Analisis ini dilakukan untuk memotret kondisi sosial yang berpengaruh terhadap kerentanan masyarakat terhadap bencana rob di Kota Semarang. Analisis ini didasarkan pada variabel-variabel yang telah ditentukan dalam metodologi yakni variabel kepadatan penduduk, ,jumlah penduduk rentan, dan organisasi kemasyarakatan dalam penanggulangan bencana. Variabel kepadatan penduduk dipilih dikarenakan kawasan yang memiliki kepadatan tinggi akan berbanding lurus dengan kerentanan terhadap bencana. Bencana disini antara lain kebakaran maupun penyakit akibat rob yang akan sangat cepat tersebar dikarenakan bangunan yang sangat rapat antara satu dengan lainnya. Kemudian indikator penduduk rentan, seperti wanita, balita, dan orang tua dikarenakan kelompok tersebut relatif lebih rentan apabila terjadi bencana rob. Analisis-analisis tersebut untuk lebih lengkapnya dijabarkan sebagaimana berikut. 4.2.2.1 Kepadatan Penduduk Analisis ini merupakan analisis terhadap tingkat kepadatan penduduk pada kawasan yang diprediksi akan tergenang akibat bencana rob di Wilayah Pesisir Kota Semarang. Seperti halnya analisis sebelumnya, oleh karena data kepadatan penduduk yang tersedia hanya dalam lingkup terkecil kecamatan, maka kepadatan penduduk dalam analisis ini diasumsikan melalui perbandingan antara jumlah bangunan yang ada di wilayah tergenang dengan jumlah bangunan yang ada. Hasil persentase dari jumlah bangunan tersebut kemudian dikalikan dengan jumlah penduduk kecamatan yang akan menghasilkan jumlah penduduk di wilayah tergenang. Asumsi jumlah penduduk tergenang tersebut kemudian dibagi dengan luas wilayah tergenang pada masing-masing kecamatan. Berdasarkan dasar pemikiran tersebut maka dapat dihasilkan tingkat kerentanan pada tiap-tiap kecamatan berdasarkan kepadatan penduduk.
Tabel 4.x Analisis Kerentanan Sosial Indikator Kepadatan Penduduk 114 Kecamatan Bangunan Tergenang (%) Jumlah Penduduk (jiwa) Jumlah penduduk tergenang (jiwa) Area Tergenang (km 2 ) Kepadatan area tergenang (jiwa/km 2 ) Tugu 22.60 27.598 6.238 18,92 329.69 Semarang Utara 3.98 127.359 5.072 19,52 259.83 Semarang Barat 0.46 160.117 743 14,81 50.14 Genuk 0.47 83.106 390 12,87 30.32 Gayamsari 0.00 73.878 0 2.,7 0.00
Berdasarkan penilaian kerentanan dalam Tabel 4.x diketahui bahwa kerentanan kepadatan penduduk yang tergolong tinggi terletak di kawasan tergenang yang berada di Kecamatan Tugu, meskipun secara umum jumlah penduduk di kecamatan tersebut tidak terlalu besar.
Penyusun juga mencoba melakukan analisis kepadatan penduduk dengan menggunakan Peta Kepadatan Penduduk dari Bappeda Kota Semarang. Berdasarkan analisis peta tersebut dapat diketahui bahwa yang termasuk kriteria kepadatan tinggi adalah Kecamatan Semarang Utara. Hal ini terjadi karena jumlah penduduknya cukup besar namun wilayah administratifnya tidak terlalu luas. Selain itu pula, kondisi yang mendukung terjadi kerentanan tinggi ini karena kenyataan yang ada bahwa sebaran 115 bangunan di kecamatan ini cukup padat yang berimplikasi terhadap banyaknya penduduk yang mendiami di kawasan tergenang pada kelurahan ini. Kecamatan Semarang Utara memiliki sebaran bangunan yang cukup padat karena terdapat permukiman Puri Anjasmoro dan kawasan perumahan elite di sekitar Pantai Marina. 4.2.1.1 Kelompok Rentan Kriteria penduduk rentan pertama yang akan dianalisis yaitu penduduk usia tua. Termasuk dalam kriteria tua disini menggunakan standar dari Badan Pusat Statistik (BPS) yaitu umur 65 tahun ke atas. Pada analisis ini secara konsep analisis sama seperti halnya penentuan kerentanan pada kepadatan penduduk. Dalam analisis ini diperbandingkan antara jumlah penduduk usia tua dan penduduk yang ada di wilayah tergenang sehingga menghasilkan persentase penduduk usia tua di wilayah tersebut. Adapun asumsi yang ada bahwa semakin persentase penduduk usia tua tersebut tentunya kerentanannya akan lebih tinggi. Pada analisis ini juga didasarkan pada lingkup wilayah administratif kecamatan. Hal ini karena data yang tersedia dalam proses analisis ini berupa data penduduk usia tua di level kecamatan. Adapun untuk jumlah penduduk usia tua yang ada di wilayah tergenang juga dilakukan asumsi berdasarkan persentase bangunan yang tergenang seperti halnya analisis-analisis sebelumnya. Tabel 4.x Analisis Kerentanan Sosial Indikator Penduduk Rentan Usia Tua Kecamatan Bangunan Tergenang (%) Jumlah pdd usia tua (jiwa) Jumlah pdd usia tua di daerah tergenang (jiwa) Jml pdd wil tergenang (jiwa) Penduduk usia tua di wil tergenang (%) Tugu 22.60% 1.556 352 6.238 5.64% Semarang Utara 3.98% 9.091 362 5.072 7.14% Semarang Barat 0.46% 10.645 49 743 6.65% Genuk 0.47% 3.845 18 390 4.63% Gayamsari 0.00% 4.263 0 0 0.00%
116 Berdasarkan analisis kerentanan kelompok rentan usia tua yang telah dijabarkan pada Tabel 4.x diketahui bahwa kerentanan penduduk usia tua yang ada di wilayah rawan genangan tersebut yang paling rentan adalah di wilayah Kecamatan Semarang Utara. Pada hasil analisis kerentanan tersebut kerentanan rata-rata masih di bawah 10% sehingga belum ada kerentanan penduduk usia tua pada kategori kerentanan tinggi. Kondisi ini didasarkan bahwa jumlah penduduk usia tua di wilayah tergenang per kecamatan tersebut tidak terlalu tinggi. Analisis indikator penduduk rentan berikutnya yaitu analisis kerentanan kelompok rentan wanita. Pada saat bencana alam, kaum perempuan termasuk kelompok yang paling rentan terhadap berbagai dampak negatif yang ditimbulkannya. Sebagai contoh, kurangnya fasilitas kesehatan di tempat- tempat pengungsian dapat menimbulkan masalah-masalah kesehatan reproduksi perempuan. Bagi mereka yang sedang hamil dan menyusui, tinggal di pengungsian dengan makanan dan sanitari yang tidak memadahi bisa membahayakan kesehatan sang ibu dan anak. Berbagai kebutuhan yang dibutuhkan perempuan seperti pembalut, baju dalam, pakaian untuk beribadah, pil kontrasepsi, dan sebagainya juga sulit didapatkan, mengingat bantuan untuk korban bencana biasanya terfokus pada makanan dan pakaian. Contoh lain adalah terbatasnya alat-alat untuk memasak di tempat pengungsian menyebabkan kaum perempuan harus menghabiskan banyak waktu untuk memasak sehingga mengurangi mobilitas mereka untuk mendapatkan akses pekerjaan dan rumah (employment and housing access). Di tambah lagi, peran perempuan dan lelaki dalam kultur tradisional di masyarakat yang seolah-olah mendikte bahwa perempuan harus menjadi penjaga utama (primary caretakers) untuk para korban bencana; seperti anak-anak, orang- orang yang terluka dan lansia, menambah beban perempuan semakin berat. Konsep analisis ini sama seperti penentuan kerentanan pada penduduk usia tua. Analisis ini memperbandingkan antara jumlah penduduk wanita dan penduduk yang ada di wilayah tergenang sehingga menghasilkan persentase penduduk wanita di wilayah tersebut. Tabel 4.x 117 Analisis Kerentanan Sosial Indikator Penduduk Rentan Wanita Kecamatan Bangunan Tergenang (%) Jumlah penduduk wanita Jumlah wanita di daerah tergenang Jml pdd wil tergenang Penduduk wanita di wil tergenang (%) Tugu 22.60% 11118 2513 6238 40.29% Semarang Utara 3.98% 52474 2090 5072 41.20% Semarang Barat 0.46% 64494 299 743 40.28% Genuk 0.47% 33195 156 390 39.94% Gayamsari 0.00% 29616 0 0 0.00%
Berdasarkan pada analisis kerentanan yang telah dijabarkan pada Tabel 4.x diatas diketahui bahwa kerentanan penduduk wanita yang ada di wilayah rawan genangan tersebut yakni rata-rata pada kategori kerentanan tinggi karena berada diatas 25%. Kondisi ini yang ada bahwa jumlah penduduk wanita di wilayah tergenang tiap kelurahan tersebut hampir seimbang dengan jumlah penduduk pria. Adanya hal tersebut yang menjadikan dasar kerentanan ini tinggi. Selain kerentanan tinggi terdapat pula satu kecamatan yang termasuk dalam kategori kerentanan rendah. Hal ini karena pada kawasan tergenang pada Kecamatan Gayamsari tersebut tidak terdapat komposisi penduduk wanita yang diperkuat dengan data tidak ada bangunan pada kawasan tergenang di wilayah kecamatan tersebut. Analisis selanjutnya untuk mengetahui indikator kerentanan sosial indikator penduduk rentan yaitu melalui analisis kelompok rentan balita. Konsep analisis ini sama seperti penentuan kerentanan pada penduduk usia tua dan wanita. Dalam hal ini yang diperbandingkan yakni antara jumlah penduduk balita dan penduduk yang ada di wilayah tergenang sehingga menghasilkan persentase penduduk balita di wilayah tersebut. Pada analisis ini juga didasarkan pada lingkup wilayah administratif kecamatan. Hal ini karena data yang tersedia dalam proses analisis ini berupa data penduduk anak-anak pada level kecamatan. Dengan adanya berbagai pemikiran tersebut, analisis yang dilakukan hampir sama dengan analisis kerentanan penduduk usia tua dan wanita. 118 Tabel 4.x Analisis Kerentanan Sosial Indikator Penduduk Rentan Balita Kecamatan Bangunan Tergenang (%) Jumlah penduduk balita Jumlah balita di daerah tergenang Jml pdd wil tergenang Penduduk balita di wil tergenang (jiwa) Tugu 22.60% 993 224 6238 3.60% Semarang Utara 3.98% 4159 166 5072 3.27% Semarang Barat 0.46% 6263 29 743 3.91% Genuk 0.47% 2890 14 390 3.48% Gayamsari 0.00% 2820 0 0 0.00%
Berdasarkan pada analisis kerentanan yang telah dijabarkan pada Tabel diatas diketahui bahwa kerentanan penduduk usia balita yang ada di wilayah rawan genangan tersebut yakni kerentanan rendah karena masih di bawah 10%. Kondisi ini tentunya didasarkan bahwa jumlah penduduk usia balita di wilayah tergenang tiap kecamatan tersebut tidak banyak jika dibandingkan dengan jumlah penduduk yang ada. 4.2.3 Analisis Kerentanan Ekonomi Analisis ini merupakan analisis terhadap kerentanan kondisi ekonomi masyarakat akibat bencana rob. Analisis ini dilakukan terhadap kondisi ekonomi masyarakat terutama di wilayah pesisir Kota Semarang yang berpengaruh terhadap kerentanan masyarakat ketika terjadi bencana rob. Analisis ini didasarkan pada indikator kerentanan ekonomi yang telah ditentukan yaitu indikator tingkat kemiskinan dan status kepemilikan lahan. Indikator tingkat kemiskinan ini dipilih karena kondisi kemiskinan penduduk akan berpengaruh pada cara pandang masyarakat serta pola adaptasi dan mitigasi dalam menyikapi bencana rob yang akan terjadi. Sedangkan status kepemilikan lahan sangat berpengaruh terhadap kepemilikan aset oleh penduduk yang akan terancam hilang akibat bencana tersebut. Adanya keterancaman aset ini tentunya berpengaruh terhadap kondisi ekonomi masyarakat. Pada analisis tingkat kemiskinan ini seperti halnya analisis-analisis sebelumnya juga didasarkan pada persentase bangunan yang ada di wilayah 119 tergenang. Hal ini karena tidak ada data pasti jumlah penduduk miskin di wilayah tergenang, sehingga penentuan jumlah tersebut dilakukan berdasarkan pada sebaran bangunan yang ada. Dari sebaran tersebut kemudian dikomparasikan dengan jumlah penduduk miskin di kecamatan yang ada. Adanya ketersediaan data tersebut, tentunya penentuan penilaian kerentanan juga didasarkan pada persentase penduduk miskin dengan jumlah penduduk yang ada di wilayah tergenang pada level kecamatan.
Tabel 4.x Analisis Kerentanan Ekonomi Indikator Tingkat Kemiskinan Kecamatan Bangunan Tergenang (%) Jumlah pdd Jumlah pdd tergenang Jumlah pdd miskin Jumlah pdd miskin tergenang Pdd miskin tergenang (%) Tugu 22,60 27.598 6.238 4.930 1.114 17,86 Semarang Utara 3,98 127.359 5.072 16.517 658 12,97 Semarang Barat 046 160.117 743 16.540 77 10,33 Genuk 0,47 83.106 390 9.610 45 11,56 Gayamsari 0,00 73.878 0 7.652 0 0,00
Atas hasil penilaian kerentanan di atas diketahui bahwa tingkat kerentanan penduduk miskin di Wilayah Pesisir Kota Semarang pada tingkatan kerentanan sedang dikarenakan masih di bawah 25%. Hal ini dikarenakan persentase penduduk miskin di wilayah rawan genangan kenaikan air laut pada Tahun 2009 tidak terlalu besar dibandingkan jumlah penduduk secara keseluruhan pada wilayah tersebut. Kerentanan tertinggi di Kecamatan Tugu dengan persentase penduduk miskin tergenang sebesar 17,86% kemudian Semarang Utara dengan 12,97%. Kemiskinan dan kerentanan akibat bencana rob di Kota Semarang ibarat lingkaran setan yang sulit untuk diputuskan. Sebagaimana kita ketahui wilayah pesisir merupakan daerah kantong-kantong kemiskinan yang sudah sejak dulu ada. Disatu sisi bencana rob mengakibatkan 120 hidup masyarakat miskin akan semakin menderita, namun di sisi lain, masyarakat tidak memiliki pilihan lain dikarenakan keterbatasan finansial yang mereka miliki. Indikator kerentanan aspek ekonomi berikutnya yaitu indikator kepemilikan lahan yang tergenang akibat bencana rob di Kota Semarang. Pada analisis ini diharapkan dapat melakukan penilaian terhadap kerentanan status kepemilikan lahan baik milik masyarakat dan swasta maupun pemerintah. Pada analisis ini diasumsikan jika kepemilikan lahan yang dimiliki oleh masyarakat tergolong tinggi/banyak maka tingkat kerentanan kepemilikan lahan tersebut akan tergolong tinggi. Kondisi ini didasarkan bahwa semakin banyak aset yang dimiliki oleh masyarakat maupun swasta pada wilayah tergenang maka kerugian yang akan dirasakan akan lebih besar dan juga dampak sosial ekonomi akan lebih besar dibandingkan jika status kepemilikan lahannya milik pemerintah. Hal ini dikarenakan fokus penelitian ini adalah mengukur kerentanan masyarakat akibat bencana rob. Adapun status lahan yang dimiliki oleh pemerintah pada wilayah tergenang tersebut meliputi kawasan bandar udara, Kawasan Instalasi Pengolahan Limbah Cair (WWTP), kawasan olahraga dan rekreasi, kawasan pelabuhan laut, kawasan perkantoran, kawasan PLTU Tambak Lorok, Kawasan Pendaratan Ikan (PPI) dan taman-taman kota. Sedangkan kawasan selain yang tersebut di atas, kepemilikannya merupakan milik masyarakat dan swasta. Analisis ini juga dilakukan berdasarkan status lahan di kawasan tergenang yang dibatasi oleh lingkup administratif kecamatan. Pembatasan lingkup administratif kecamatan tersebut didasarkan pada ketersediaan data serta untuk mempermudah penilaian kerentanan yang dilakukan. Tabel 4.x Analisis Kerentanan Ekonomi Indikator Kepemilikan Lahan Kecamatan Lahan Tergenang (km 2 ) Lahan milik Pemerintah (km 2 ) Non Pemerintah (km 2 ) Persentase (%) Tugu 18.92 3.66 15.26 80.63 Semarang Utara 19.52 3.78 15.74 74.84 Semarang Barat 14.81 2.87 11.94 41.51 Genuk 12.87 2.49 10.38 75.94 121 Gayamsari 2.57 0.50 2.07 41.50
Berdasarkan analisis dan penilaian yang dilakukan diketahui bahwa pada wilayah pesisir Kota Semarang rata-rata status kepemilikan lahannya memiliki tingkat kerentanan tinggi. Hal ini dikarenakan memang banyaknya lahan yang dimiliki oleh pihak masyarakat maupun swasta pada wilayah yang tergenang tersebut. Sedangkan untuk lahan yang memiliki kerentanan di bawah 50% hanya berada di Kecamatan Semarang Barat dan Gayamsari. Hal ini dikarenakan lahan yang dimiliki pemerintah cukup luas disamping luasan bencana rob yang relatif tidak sebesar daerah-daerah lain. Pada Kecamatan Seamrang Barat terdapat areal Bandara Ahmad Yani yang cukup luas, kemudian Kawasan Olahraga dan Rekreasi Marina yang juga cukup luas. Sedangkan pada Kecamatan Gayamsari, karena kawasan yang tergenang tidak terlalu luas jika dibandingkan dengan kecamatan lain dan pada kawasan tergenang tersebut hanya terdapat sedikit lahan industri, lahan konservasi dan prasarana jalan sehingga aset lahan yang dimiliki pemerintah juga relatif cukup cukup besar. 4.1.4 Analisis Kerentanan Lingkungan Pada analisis ini merupakan penilaian kerentanan terhadap kondisi lingkungan yang ada akibat adanya bencana rob di Wilayah Pesisir Kota Semarang. Pada analisis ini didasarkan antara lain terhadap indikator kawasan hutan mangrove. Dari analisis indikator tersebut diharapakan dapat mengukur tingkat kerentanan lingkungan akibat bencana rob di Kota Semarang. Analisis kawasan hutan mangrove didasarkan pada keberadaan hutan mangrove yang ada di Wilayah Pesisir Kota Semarang sebagai salah satu barrier atau penghalang masuknya air pasang ke daratan. Pada analisis ini, kerusakan hutan mangrove di wilayah pesisir dinilai sebagai salah satu bentuk kerentanan yang akan mengakibatkan bencana rob. Berdasarkan data yang didapat dari Rencana Tata Ruang Wilayah Pesisir (RTRWP) Kota Semarang Tahun 2009-2028 diketahui bahwa pada Wilayah Pesisir Kota Semarang terdapat beberapa sebaran Kawasan Hutan Mangrove seperti ditampilkan pada Tabel 4.X di bawah ini. 122
Tabel 4.x Analisis Kerentanan Lingkungan Indikator Luasan Mangrove Kecamatan Luasan Mangrove (ha) Tugu 31.63 Semarang Utara 14.62 Semarang Barat 0 Genuk 30.2 Gayamsari 17.08 Total 93.53
Panjang garis pantai Semarang adalah 25 km. Tebal ideal mangrove untuk perlindungan pesisir adalah 100 meter, sehingga luas total ideal mangrove untuk pesisir Kota Semarang adalah 250 hektar. Pada saat ini Kota Semarang hanya memiliki 37% dari total luas ideal konservasi mangrove. Dengan persentase tersebut, kenaikan SLR sebesar 21 cm (CC-ROM IPB, 2010) menyebabkan 40% lahan tambak saat ini akan tergenang. dengan total 123 kerugian sekitar 7.2 Milyar pertahun. Dengan pediksi yang lebih ekstrim dimana SLR akan meningkat sebesar 38 cm (DKP, 2008), maka 75% lahan tambak saat ini akan tergenang dengan total kerugian mencapai 13,2 Milyar pertahun. Luas mangrove di Kota Semarang menunjukkan trend yang terus menurun. Dalam 50 tahun yang akan datang diestimasikan bahwa Kota Semarang hanya memiliki 18% dari total luas ideal konservasi mangrove yang disarankan. Atau dengan kata lain luas konservasi mangrove turun setengah dari saat ini. Pada situasi ini, kenaikan SLR sebesar 21 cm menyebabkan 50% lahan tambak saat ini akan tergenang dengan total kerugian sekitar 9 Milyar pertahun. Dengan pediksi yang lebih ekstrim dimana SLR akan meningkat sebesar 38 cm, maka 90% lahan tambak yang ada saat ini akan tergenang dengan total kerugian sebesar 16,3 Milyar pertahun (DKP, 2008). Indikator kedua yaitu indikator kawasan fungsional Kota Semarang. Berdasarkan data dari tata guna lahan dan rencana pola ruang Kota Semarang didapatkan bahwa di wilayah pesisir Kota Semarang terdapat kawasan- kawasan fungsional yang memiliki nilai strategis baik dari sisi ekonomi maupun historis.
124 Disamping itu pada bagian utara Kota Semarang terdapat sejumlah kawasan industri, terutama di Kecamatan Genuk dan Kecamatan Tugu. Berdasarkan proyeksi kenaikan muka air laut, kawasan industri tersebut juga akan tergenang. Jenis industri ini terdiri dari berbagai macam, mulai dari industri rumah tangga, industri kecil, sampai industri besar. Jika kawasan industri ini tergenang maka akan mengakibatkan beberapa dampak, diantaranya (Setiadi dan Kunarso, 2009): (1) aktivitas produksi yang ada akan terhambat; (2) kegiatan ekspor-impor akan terganggu; (3) kawasan pesisir tidak menarik lagi menarik sebagai lokasi berinvestasi; (4) berkurangnya permintaan tenaga kerja di sektor industri; dan (5) menurunnya PAD Kota Semarang.
Berdasarkan analisis diatas dapat disusun Proses Perkembangan Kerentanan (progression of vulnerability) masyarakat akibat bencana rob yang dijelaskan pada tabel di bawah ini: Tabel 4.x Proses Perkembangan Kerentanan Masyarakat akibat Bencana Rob Di Kota Semarang
Aspek Unsafe Condition Dynamic Pressure Root Cause Fisik Kepadatan bangunan yang relatif padat di daerah pesisir.
Peningkatan jumlah bangunan yang cukup signifikan sejak tahun 2005 Laju urbanisasi sebagai buruh industri Menurunnya daya dukung tanah
Kurangnya sosialisasi penataan ruang kawasan Kurangnya lapangan kerja di daerah penyangga Kota Semarang
Terputusnya akses jalan arteri primer yang menghubungkan Kota Semarang dengan daerah lain.
Tidak optimalnya fungsi Terminal Terboyo sebagai terminal antar kota antar provinsi. Terhambatnya akses distribusi barang.
Konstruksi jalan yang kurang adaptif terhadap bencana rob
Ancaman kerusakan jaringan listrik kawasan. Terendamnya instalasi- instalasi utama untuk menyalurkan listrik Kurangnya perencanaan jaringan listrik jangka panjang dengan mempertimbangkan ancaman rob 125 Minimnya pasokan air bersih dari PDAM. Kerusakan jaringan pipa PDAM karena terendam rob. Kurangnya perencanaan jaringan air bersih PDAM jangka panjang dengan mempertimbangkan ancaman rob
Sosial Kepadatan penduduk di Kecamatan Semarang Utara yang relatif besar. Peruntukan lahan kecamatan Semarang Utara yang mayoritas diperuntukkan sebagai permukiman. Perencanaan Tata Ruang Wilayah Kota Semarang yang tidak mempertimbangkan aspek rob dan penurunan daya dukung tanah. Kerentanan penduduk rentan wanita di wilayah studi rata-rata 40%. Komposisi penduduk wanita yang hampir sama dengan penduduk pria Kurangnya sosialisasi penguatan peran wanita Ekonomi Persentase penduduk miskin tergenang tertinggi di Kecamatan Tugu (17,86%) dan Kecamatan Semarang Utara (12,97%). Banyakya kantong- kantong kemiskinan di wilayah pesisir. Kurangnya akses masyarakat miskin kepada sumberdaya memperparah kerentanan terhadap bencana rob. Kurangnya pemberian akses terutama modal kepada masyarakat miskin Tingginya kerentanan ekonomi dengan indikator kepemilikan lahan. Sebagaian besar Kepemilikan lahan yang tergenang di wilayah studi merupakan milik pribadi/swasta Tidak adanya penataan kawasan pesisir dengan pengaturan kepemilikan lahan. Lingkungan Rusaknya hutan mangrove di pesisir Kota Semarang. Proyek reklamasi pantai di utara Kota Semarang. Kurangnya perencanaan untuk rehabilitasi mangrove Semarang.
126
3.6 Penilaian Bahaya yang Berisiko Tinggi Penilaian resiko didasari dengan dua penilaian ancaman yaitu dengan menilai probabiltas yaitu kemungkinan terjadinya bencana dan dampak kerugian atau kerusakan ditimbulkan. Hasil penilaian kemudian diplot ke dalam matriks pemilihan risiko. Berdasarkan Buku Pedoman Penilaian Risiko yang disusun oleh BNPB dan UNDP disusun indikator sebagai berikut: TABEL 3.X SKALA PROBABILITAS Angka Level Kemungkinan Spesifikasi Kejadian 5 Sangat pasti Hampir dipastikan 100% terjadi tahun depan 4 Hampir pasti 10-100% terjadi tahun depan atau sekali dalam 10 tahun mendatang 3 Mungkin 1-10% terjadi tahun depan atau sekali dalam 100
tahun 2 Kemungkinan Kecil Kurang dari sekali dalam 100 tahun 1 Tidak Pasti Sama sekali tidak terjadi Sumber: UNDP, 2007 TABEL 3.X SKALA DAMPAK 127 Angka Level Kemungkinan Spesifikasi Kejadian 5 Sangat parah Hampir dipastikan 100% wilayah hancur dan lumpuh total 4 Parah 50 75% wilayah hancur/ lumpuh 3 Cukup parah 10-50% wilayah hancur 2 Ringan Kurang 10% wilayah yang terkena 1 Tidak parah Sama sekali tidak parah Sumber: UNDP, 2007
Dikarenakan fokus penelitian ini untuk merumuskan kerentanan masyarakat terhadap bencana rob, oleh karena itu dalam melihat preferensi masyarakat terhadap bencana dilakukan di wilayah pesisir yang terkena dampak rob, yaitu Kecamatan Genuk, Kecamatan Gayamsari, Kecamatan Semarang Timur, Kecamatan Semarang Utara, Kecamatan Semarang Barat, dan Kecamatan Tugu dengan hasilnya adalah sebagai berikut: TABEL 3.X PENILAIAN BAHAYA Jenis Ancaman Bahaya P D Banjir 5 4 Longsor 4 3 Kekeringan 2 2 Rob 5 2 Angin Putting Beliung 1 2 Sumber: Hasil Olahan Penulis, 2012
Perhitungan diatas menggunakan angka rata-rata dengan metode pembulatan untuk mendapatkan angka skoring tanpa angka di belakang koma. Setelah didapatkan angka untuk skala kemungkinan dan skala kerusakan dapat diploting ke dalam matrik sekala tingkat bahaya untuk medapatkan gambaran mengenai tingkat bahaya di Kota Semarang berdasarkan preferensi masyarakat. 128