Professional Documents
Culture Documents
Edisi Khusus
Menyambut :
LIMA WINDU FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
20 Agustus 1952
20 Agustus 1992
KAMI CINTA ALMAMATER
KUMPULAN MAKALAH
PAKET KEGIATAN ILMIAH:
Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Kedokteran (KPPIK)
Simposium Satelit : Coronary Heart Disease Update
Simposium Satelit : Pola makan untuk mencegah kegemukan
Semiloka : Metode Kontrasepsi Efektif Terpilih
Peristiwa ulang tahun sering dirayakan orang; padahal, setiap ulang ta-
hun berarti penambahan usia, semakin tua; dan ketuaan adalah sesuatu yang
sedapat mungkin dihindari. Orang berusaha unt uk tetap muda, tetap aktif dan
berguna.
Lalu, apa sebenarnya tujuan perayaan ulang tahun ? Sebagian alasannya,
mungkin karena peristiwa ulang tahun merupakan kesempatan
unt uk berhenti
sejenak, merenungkan kembali dan menghitung-hitung apa yang telah dikerja-
kan, berapa jauh perjalanan yang telah ditempuh, mensyukuri keberhasilan dan
mempelajari kesalahan/kekeliruan yang telah diperbuat agar tidak terulang lagi
di kemudian hari. Hal-hal seperti itulah yang membuat kita semakin arif, dan
lebih berhati-hati merencanakan langkah selanjutnya.
Semoga dalam semangat di atas, perayaan ulang tahun ke empatpuluh
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara diselenggarakan, antara lain
dengan mengadakan berbagai acara ilmiah, yaitu Kursus Penyegar dan Pe-
nambah Ilmu Kedokteran dan beberapa Simposium Satelit.
Cermin Dunia Kedokteran merasa sangat beruntung karena dapat ikut
serta mensukseskan perayaan ini, melalui penerbitan naskah-naskah ilmiah
yang dibahas dalam berbagai pertemuan tersebut. Kami telah berusaha sekuat
tenaga untuk dapat menerbitkan dengan selengkap-lengkapnya dan tepat waktu;
hal ini tidak lepas dari kesediaan para penyumbang naskah untuk menyelesai-
kan makalahnya dengan tepat waktu pula; sekiranya ternyata terdapat beberapa
hal yang kurang sesuai, Redaksi Cermin Dunia Kedokteran mohon maaf, karena
hal itu sama sekali di luar kehendak kami.
Segenap Redaksi Cermin Dunia Kedokteran mengucapkan selamat ulang
tahun bagi seluruh CivitasAcademica Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara, semoga dengan perayaan ini, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara semakin disegani dan berjaya.
Redak si
2
Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992
REDAKSI KEHORMATAN
KETUA PENGARAH
Drg. I. Sadrach
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Lembaga Penelitian Universitas Trisakti,
Majalah Cermin Dunia Kedokteran
P.O. Box 3105 Jakarta 10002
Jakarta
Jakarta
Teip.4892808
Pemancaran/mengalirnya darah.
-
Bentuk-bentuk tetesan darah.
-
Area/luas darah yang menempel baik pada sikorban dan
pakaiannya ataupun pads sitersangka.
B.
Pengambilan barang bukti darah.
Darah pada diri dan pakaian korban dari peristiwa
pembunuhan, serangan ataupun kejahatan lainnya dengan
kekerasan fisik, biasanya adalah darah sikorban sendiri.
1)
Pengambilan darah yang berada di tempat yang tidak mungkin
Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80,1 992 25
dibongkar/diangkat, diusahakan dengan mengerik bagian yang
akan diambil dengan alat yang bersih.
2) Darah yang melekat pads pakaian.
-
Cegah pakaian tersebut dari kontaminasi.
1.6,
'
>
KEPUSTAKAAN
1.
Hiyama DT. Thoracic trauma. In : The Mont Reid Surgical Handbook,
Hiyama DT (Ed), 2nd ed, Boston : Mosby Year Book, 143, 1990.
2.
SchulpenTMJ, Doesburg Wil, Lemmens WAJ, Gerritsen SM. Epidemiol-
ogy and Prognostic Sign of Chest Injury Patient, Injury, 1986; 17 : 305.
3.
Glinz W. Priorities in Diagnosis and Treatment of Blunt Chest Injuries,
Injury, 1986; 17 : 318.
4.
Mattox KL, Allen MK. Penetrating Wounds of The Torax, Injury, 1986; 17
: 313.
5.
Brown AH, Guzman F. Cardiothoracic Trauma. In : Cardiothoracic Hand-
book, London; Butterworth & Co 127, 1988.
6.
Trinkle JK, Grover FL. Blunt Trauma to the Chest Wall. In : International
Trend in General Thoracic Surgery, Philadelphia : WB Saunders Company,
1987; 231:2.
7.
Borne J. Management of Thoracic Emergencies. 3rd ed, New York :
Appleton-Century-Croft, 1980.
8.
Locke T. Smith G. Thoracic Trauma. In : Cardiothoracic Surgery, The
Medicine Group Ltd, 1650, 1989.
9.
Adkin PC, Corso PJ, Hill JL. Chest Wall Trauma. In : Thorracic Trauma,
Daughtry DWC (Ed). Boston : Little, Brown and Company, 1980, 39.
10.
Deslauriers J. Piraux
M. Diagnosis and Management of Spontaneous
Pneumothorax in The Young Adult : Rule of Parietal Pleurectomy. In :
International Trends in General Thoracic Surgery, The Philadephia;
CV Mosby 6, 119, 1990.
1 I.
Rivarola CH. Tension Penumothorax. In : Intemational Trends in General
Thoracic Surgery, Philadelphia; CV Mosby Co, 6, 153, 1990.
12. Clarke DB, Thoracic Injuries. In : Hamilton Bailey
'
s Emergency Surgery,
Duddley HAF (Ed), 11th ed, Bristol; John Wright & Sons Lth, 225, 1986.
13.
Carr RE. Injuries to The Pulmonary Parenchyma and Basculature in
Thoracic Trauma. Daughtry DWC (Ed), Boston; Little, Brown and Com-
pany, 53, 1980.
14.
Deslauriers J. Bronchial Rupture. In : International Trends in General
Thoracic Surgery, Philadelphia; WB Saunders Co, 246, 1987.
15.
Tavares S et al. Management of Penetrating Cardiac Trauma : The Role of
Emergency Room Thoracotomy. Ann Thorac Surg. 1984; 39.
16.
Langlois J, De Bnix JL, Binet JP, Khoury W. Traumatic Aortic Rupture. In
: International Trends in General Thoracic Surgery, Philadelphia; WB.
Saunders Co 273, 1987.
17.
De Maeseneer M, Vandendriessche M, Scohoofs E, De Hert S. Right
Diaphragmatic Rupture Following Blunt Abdominal In jury -a Case Report,
Injury 1985; 16 : 389.
It is the unforeseen that always happens
38 Cermin Dunia Kedok t eran, Edisi Khusus No. 80, 1992
Update I (Pediatri)
Penatalaksanaan
Demam Berdarah Dengue
Syahril Pasaribu
Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan
PENDAHULUAN
Demam berdarah dengue (Dengue hemorrhagic fever) adalah
penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh 4 (empat) serotipe
virus dengue dan secara klinis ditandai dengan adanya manifes-
tasi perdarahan dan dapat berkembang men jadi renjatan (Dengue
Shock
Syndrome) yang berakibat fatal. Trombositopeni yang
bersamaan dengan hemokonsentrasi merupakan gambaran yang
selalu ditemukan. Pertama sekali ditemukan di Filipina pada
tahun 1953, Thailand (1958), Malaysia, Singapura dan Viet Nam
pada tahun 1953 - 1964.
Di Indonesia, pertama sekali dijump i di Surabaya pada
tahun 1968 dan kemudian disusul dengan daerah-daerah yang
lain(
2)
. Jumlah penderita menunjukkan kecenderungan mening-
kat dari tahun ke tahun, dan penyakit ini banyak terjadi di kota-
kota yang padat penduduknya. Akan tetapi dalam tahun-tahun
terakhir ini, penyakit ini juga berjangkit di daerah pedesaan(
3)
.
Penyakit ini umumnya mengenai anak yang berumur 1-15
tahun, akan tetapi belakangan ini terlihat bahwa golongan umur
> 15 tahun semakin banyak yang menderita Demam Berdarah
Dengue dimana proporsinya berubah dari 4.3% pada tahun 1968
menjadi 26.2% pada tahun 1988(
4
).
Serotipe virus Dengue (DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan
bEN-4) secara antigenik sangat mirip satu dengan lainnya,
tetapi tidak dapat menghasilkan proteksi silang yang lengkap
setelah terinfeksi oleh salah satu tipe. Di Kotamadya Medan
berdasarkan isolasi virus pada tahun 1975-1988 ditemukan
DEN-2 dan DEN-3(
4
).
Penelitian di Indonesia menunjukkan
bahwa DEN-3 merupakan serotipe virus yang dominan dan yang
menyebabkan kasus yang berat.
Penyakit ini ditularkan melalui gigikan nyamuk Aedes
aegypti, A. albopictus, A. polynesiensis dan beberapa spesies
A. scuttellaris
a)
, akan tetapi di Indonesia penularan adalah me-
lalui A. aegypti dan A. albopictus
(5)
.
PATOFISIOLOGI DAN PATOGENESIS
Fenomena patofisiologi utama yang menentukan beratnya
penyakit dan membedakan Demam berdarah dengue dengan
Dengue klasik ialah tingginya permeabilitas dinding pembuluh
darah, menurunnya volume plasma, terjadinya hipotensi,
trombositopenia dan diatese hemoragik. Mcningginya nilai
hematokrit pada penderita dengan renjatan, menimbulkan duga-
an bahwa renjatan terjadi sebagai akibat kebocoran plasma ke
daerah ekstravaskular melalui kapiler yang rusak dengan akibat
menurunnya volume plasma dan meningginya nilai hematokrit.
Mekanisme sebenarnya tentang patofisiologi dan patogenesis
Demam berdarah dengue, hingga kini belum diketahui secara
pasti, tetapi sebagian menganut
the secondary heterologous
infection hypothesis
yang mengatakan bahwa demam berdarah
dengue dapat terjadi apabila seseorang setelah infeksi dengue
pertama mendapat infeksi berulang dengan tipe virus yang ber-
beda dalam jangka waktu tertentu yang diperkirakan 6 bulan
sampai 5 tahun
(2)
.
Patogenesis terjadinya renjatan berdasarkan hipotese in-
feksi sekunder
o)
. (Gambar 1).
Pada penderita dengan renjatan berat, volume plasma dapat
berkurang sampai lebih dari 30% dan berlangsung 24-48 jam.
Renjatan yang tidak ditanggulangi secara adekuat akan me-
nimbulkan anoksi jaringan, asidosis metabolik dan kematian
(2)
.
Sebab lain dari kematian adalah perdarahan saiuran cerna yang
hebat, yang biasanya timbul setelah renjatan berlangsung lama
dan tidak dapat diatasi.
Trombositopenia merupakan kelainan hematologis yang
ditemukan pada sebagian besar penderita Demam Berdarah
Dengue. Nilai trombosit mulai menurun pada masa demam dan
mencapai nilai terendah pada masa renjatan. Kemudian jumlah
trombosit secara cepat meningkat pada masa konvalesen dan
nilai normal biasanya tcrcapai sampai hari ke-10 sejak timbulnya
Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992 39
penyakit.
Kelainan sistim koagulasi juga mempunyai peranan se-
bagai penyebab perdarahan pada penderita Demam Berdarah
Dengue. Beberapa faktor koagulasi menurun, termasuk faktor
II, V, VII, IX, XII dan Fibrinogen. Perubahan faktor koagulasi
ini antara lain disebabkan oleh kerusakan hepar yang fungsinya
terganggu karena aktivasi sistim koagulasi.
Pembekuan intra-vaskular menyeluruh (PIM/DIC) secara
potensial dapat juga terjadi pada penderita Demam Berdarah
Dengue dengan atau tanpa renjatan. Renjatan pada PIM akan
saling mempangaruhi, sehingga penyakit akan memasuki renjatan
yang irreversible disertai perdarahan hebat, terlibatnya organ-
organ vital dan berakhir dengan kematian. Diagnosis PIM di-
tegakkan atas dasar :
1. Adanya penyakit yang mendasari
2. Klinis adanya perdarahan spontan
3. Laboratorium
DIAGNOSIS
Diagnosis Demam berdarah dengue dan !criteria beratnya
penyakit didasarkan pada patokan WHO (1975).
Diagnosis klinis berdasarkan adanya :
1)
Demam tinggi, mendadak, berlangsung 2 7 hari, kemudian
turun dengan cepat.
2)
Manifestasi perdarahan dapat berupa :
-
Uji tourniquet positip
-
Petekhia, purpura, ekimosis dan perdarahan konjungtiva
-
Epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis, melena dan
hematuri.
Manifestasi perdarahan seperti tersebut di atas tidak semua-
nya harus muncul pada seorang penderita. Uji tourniquet positip
sebagai manifestasi perdarahan teringan dapat dinilai sebagai
presumptive test olch karma uji tourniquet positip pada hari-hari
pertama demam terdapat pada sebagian bcsar kasus. Namun uji
tourniquet positip dapat juga terjadi pada penyakit lain seperti
infeksi virus (Campak, Dcmam chikunguya) dan beberapa in-
feksi bakteri seperti Demam tifoid dan Sepsis.
6) Pembesaran hati (Hcpatomcgali), umumnya dapat diketahui
pada permulaan penyakit dan nyeri tekan string kali ditemukan
tanpa adanya ikterus. Kewaspadaan perlu ditingkatkan pada
anak yang hatinya semula tidak teraba pada saat masuk ke rumah
sakit, kemudian selama rawatan hatinya membesar dan atau
pada anak yang selama rawatan menunjukkan semakin besar-
nya hari dan kenyal, karena keadaan ini menunjukkan ke arah
terjadinya renjatan.
7)
Renjatan pada anak mempunyai manifestasi berupa kulit
pucat, dingin dan lembab terutama pada ujung jari kaki, tangan
dan hidung, sedangkan kuku menjadi biru dan sianosis sekitar
mulut
l
. Anak yang semula rewel, cengeng dan gelisah, lambat
laun kesadarannya menurun menjadi apati, sopor dan koma
(2)
.
Tekanan nadi menyempit menjadi 20 mmHg atau kurang"
1
dan
oligouria sampai anurie
l
.
Hal ini biasanya terjadi pada scat atau
setelah demam turun, yaitu diantara hari ke-3 dan ke-7 sakit.
Lama renjatan pendek, penderita dapat meninggal dalam waktu
12 24 jam atau menyembuh.
Penatalaksanaan renjatan yang tidak adekuat akan menim-
bulkan komplikasi asidosis metabolik, hipoksia jaringan, per-
darahan gastro-intestinal yang hebat dengan prgnosis buruk.
Penderita menyembuh dalam waktu 2 3 hari, dan selera makan
yang bertambah merupakan petunjuk baiknya prognosis
(23)
.
Gejala klinis lain yang dapat menyertai penderita Demam
berdarah dengue adalah anoreksia, lemah, mual, muntah, diare
atau konstipasi, kejang-kejang dan sakit perut. Dulu keluhan
sakit perut yang hebat sering kali timbul mendahului perdarahan
gastro-intestinal dan renjatan. Akan tetapi belakangan ini terlihat
bahwa nyeri perut ini string dijumpai tanpa diikuti oleh perda-
rahan gastro-intestina1
(89
).
Diagnosis laboratorium yang menyokoag
1) Trombositopeni di bawah 100.000/ul biasanya ditemukan
antara hari ke-3 sampai ke-7 sakit, baik pada penderita Demam
berdarah dengue yang disertai dengan renjatan atau tidak.
2) Hemokonsentrasi, berupapeningkatan nilai hematokrit yang
merupakan indikator yang peka akan terjadinya renjatan, se-
hingga perlu diulang secara periodik; kenaikan nilai hematokrit
yang lebih 20%, menunjang diagnosis Dcmam berdarah dengue.
Contoh : Nilai Ht nertama = 30% dan kedua = 389;) Kenaikan nilai
Derajat beratnya penyakit :
1)
Derajatl: Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satu-
nya manifestasi perdarahan adalah uji tourniquet positip.
2) Derajat II :
Derajat I disertai perdarahan spontan di kulit dan
atau perdarahan lain.
3) Derajat 111: Ditemukannya kegagalan sirkulasi, yaitu nadi
cepat dan lemah, tekanan nadi menyempit (<20 mmHg) atau
40
Cermin Dunia Kedo/aeran, Edisi Khusus No. 80, 1992
potensi (tekanan sistolik menurun sampai 80 mmHg atau
urang) disertai dengan kulit yang dingin, lembab dan penderita
njadi gelisah.
Derajat IV :
Renjatan berat dengan nadi tidak dapat diraba
tekanan darah tidak terukur.
Diagnosis Demam Berdarah Dengue harus didasarkan atas
gejala demam disertai satu atau lebih gejala klinik lainnya, dan
tambah dengan adanya trombositopeni serta hemokonsentrasi.
edangkan pada penderita Demam Berdarah Dengue dengan
njatan, diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya renjatan,
*lemam atau riwayat demam, trombositopeni dan hemokon-
$entrasi
,2.3.7
).
Kewaspadaan menegakkan diagnosis dini penyakit ini
sangat penting oleh karena :
1) Satu dari tiga penderita Demam Berdarah Dengue akan
jatuh ke dalam renjatan.
2) Angka kematian yang tinggi sekitar 30%, diakibatkan renjat-
merupakan gambaran yang menakutkan dan memerlukan pe-
natalaksanaan secara khusus.
3) Penderita yang jatuh ke dalam renjatan pada waktu sedang
dirawat, mempunyai prognosis yang lebih baik.
PENGOBATAN
I.
Demam berdarah dengue tanpa renjatan :
1) Pemberian cairan, banyak minum, 1.5 - 2.0 liter/24 jam (air
teh, gula, sirop, susu dan lain-lain), dapat pula diberikan larutan
garam gula (oralit).
Indikasi pemberian cairan intra vena pads penderita tanpa
renjatan ialah :
a) Apabila penderita terus menerus muntah, sehingga tidak
mungkin pemberian cairan per oral.
b) Hematokrit bertendensi terus meningkat pada pemeriksaan
serial. Cairan yang diberikan adalah Ringer laktat dan Dextrose
5% dalam 0.45% Saline. Jumlah cairan yang diberikan, disesuai-
kan dengan kebutuhan cairan pada penderita gastroenteritis
dengan derajat dehidrasi sedang.
c) Adanya perdarahan spontan, kesadaran menurun, kejang,
pre-syok.
2)
Obat-obatan :
a) Anti piretika : Golongan Acetaminophen 10 mg/kgBB/kali.
b) Anti konvulsan : Apabila timbul kejang, diatasi dengan
pemberian :
-
Diazepam 0.5 mg/kgBB/kali/IV dan dapat diulang bila
perlu.
Phenobarbital 75 mg bila usia > 1 tahun dan 50 mg pada umur
<1 tahun secara intra muskular. Bila dalam waktu 15 menit
kejang tidak berhenti, dapat diulang dengan dosis 3 mg/kgBB/IM
atau pada anak > 1 tahun 50 mg dan <1 tahun 30 mg, namun harus
diperhatikan apakah ada depresi pernafasan.
3)
Pemantauan - keadaan umum, nadi, tekanan darah, suhu,
pernafasan dan monitoring Hemoglobin, Hematokrit dan trom-
bosit(
3
).
II. Demam Berdarah Dengue dengan renjatan (DSS) :
1) Penggantiancairan; -PadaDBDderajat IVdiberikan Ringer
laktat intravena secara diguyur dan kalau perlu dengan semprit
diberikan sebanyak 100-200 ml. Sedangkan pads DBD derajat
III diberikan Ringer Laktat 20 ml/kgBB/jam secara intravena.
Apabila renjatan telah teratasi, nadi sudah jelas teraba, maka
kecepatan tetesan cairan dikurangi menjadi 10 ml/kgBB/jam.
Oleh karena kebocoran plasma dapat berlangsung 24 - 48 jam,
maka pemberian cairan intravena dipertahankan walaupun tanda-
tanda vital telah menunjukkan perbaikan yang nyata, disertai
dengan pemeriksaan hematokrit secara periodik. Kecepatan cair-
an selanjutnya disesuaikan dengan gejala klinis dan nilai hema-
tokrit.
Pada renjatan berat, atau renjatan berulang segera dipasang
kateter vena sentralis (CVP) untuk mencegah pemberian cairan
yang berlebihan. CVP dipertahankan antara 5 - 8 cm air. Bila
CVP <5 cm air, maka tetesan cairan Ringer laktat dipercepat. Di
samping itu perlu fdicari penyebab renjatan yang lain dan pende-
rita diberikan plasma seperti plasma biasa, plasma segar, plasma
segar yang dibekukan, plasma kaya trombosit atau cairan
pengganti plasma seperti Haemacel, Subtosan, atau Dextran
dengan kecepatan 10 - 20 ml/kgBB/jam. Pemberian cairan ini
kita pertahankan sampai ditemukan perbaikan tanda-tanda vital
dan penurunan nilai hematokrit. Cairan intravena harus dihenti-
kan apabila nilai hematokrit turun <40 dan nafsu makan mem-
baik. Adanya urine menunjukkan baiknya sirkulasi cairan. Se-
cara umum tidak diperlukan lagi pemberian cairan 48 jam setelah
renjatan teratasi.
Indikasi pemberian transfusi darah ialah penderita dengan
perdarahan gastro-intestinal hebat, yang dapat diduga bila nilai
hematokrit dan hemoglobin menurun, sedangkan perdarahannya
sendiri tidak terlihat.
2) Obat-obatan :
a) Antibiotika;
Ampisillin tunggal 100-200 mg/kgBB/hari
atau dikombinasi dengan Gentamisin 5 mg/kgBB/hari. Anti-
biotika lain diberikan atas dasar pertimbangan klinis dan basil tes
kepekaan
c
'
>
.
b)
Kortikosteroid masih kontroversial, akan tetapi dapat dibe-
rikan pada DBD dengan ensefalopati untuk mengurangi edema
otak, meninggikan ambang kejang dan diharapkan dapat men-
cegah pulmonary leakage,
mempunyai efek inotropik positip
terhadap jantung dan adanya vasodilatasi.
Jenis obat yang dapat diberikan adalah : Deksametason 1
mg/kgBB dilanjutkan dengan 0.2 mg/kgBB/6 jam, atau Hidro-
kortison 25-50 mg/kgBB/hari(
I.3
).
c)
Dypiridamole (Persantin); merupakan zat anti agregasi in
vitro, in vivo merupakan zat antitrombotik, yaitu dengan cara
menghambat enzim fosfodiesterase (PDE) dalam trombosit.
Dosisnya 2-3 mg/kgBB/hari dibagi dalam 6 dosis
r
'
>
.
d)
Oksigen untuk mencegah hipoksia dan terjadinya oksidasi
yang tidak lengkap, yang mengakibatkan lakto-asidosis. Pem-
berian melalui masker 5 - 8 liter/menit, atau melalui kateter
sampai di nano-faring 3 - 5 liter/menit
3
7>
.
e)
Koreksi asam basa dengan bikarbonas natrikus. Cara pem-
berian adalah : 0.3 X Berat Badan X Defisit Basa. Tetapi kalau
fasilitas pemeriksaan analisa gas darah tidak ada, dan penderita
menunjukkan pernafasan Kussmaull, Bikarbonas natrikus dibe-
Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992 41
rikan dengan dosis 12 mEq/kgBB, diencerkan dalam jumlah
yang sama banyak dengan Dektrose 5%, disuntikkan secara
perlahan-lahan).
f) Penanggulangan Over Loading; pada sebagian besar kasus,
pemberian cairan yang banyak dapat menimbulkan over loading
yang dapat terlihat dengan adanya edema palpebra dan tetap
tingginyanilai CVP. Pada keadaan tersebut diberikan Dopamine
dosis rendah yaitu 1.5 10 mcg/kgBB/menit. Dengan demikian
diharapkan penurunan after load, terjadinya vasodilatasi pembu-
luh darah ginjal, di camping efek inotropik positip pada jantung.
Selain itu dapat diberikan diuretika berupa Furesemid (LasixO ),
dosis 1 4 mg/kgBB/IV 12 kali/hari. Bila perlu dapat dikom-
binasikan dengan Cedilanid 0.03 mg/kgBB/hari dalam 3 4
dosis(').
g) Sedatif; yang dianjurkan adalah Chloral hidrat oral atau
rektal dengan dosis 12.5 50 mg/kgBB (tidak lebih 1 gram) dosis
tunggal
r
'
)
.
Kami di bagian IKA FK-USU memakai Diazepam
pada penderita DBD yang disertai dengan kejang, dan men-
dapatkan hasil yang baik.
h) Heparin; pada penderita dengan
prolonged shock, PIM
diperkirakan merupakan penyebab utama perdarahan hebat
(khususnya perdarahan gastrointestinal). Hal ini dibuktikan
dengan kadar trombosit dan fibrinogen yang rendah disertai
peninggian kadar FDP dan kelainan hemostatik. Dalam keadaan
ini pemberian heparin dapat dipertimbangkan dan dapat diberi
dengan dosis 0.51 ml/kgBB setiap 4 jam~
3)
.
3) Pemantauan
Pada semua penderita Demam Berdarah Dengue berat se-
cara rutin dipantau frekuensi jantung dan nafas, gambaran EKG
yang dilengkapi dengan sistem alarm. Pemantauan lain secara
bed-side
adalah pengukuran tekanan darah, CVP dan imbang
cairan.
Hal-hal lain yang perlu diperhatikan pada penderita Demam
berdarah dengue berat adalah :
-
Foto toraks, untuk melihat efusi pleura atau perikardial.
-
Pemeriksaan elektrolit.
-
Evaluasi kadar Hemoglobin, nilai hematokrit, trombosit,
waktu perdarahan dan pembekuan, fibrinogen semi kuantitatip.
Bila mungkin, diperiksa pula studi koagulasi, terutama plasma
prothrombine time (PPT) dan plasma thromboplastin time with
koalin (PTTK) untuk mendeteksi PIM/DUC.
-
Analisis gas darah.
Pemberian nutrisi yang adekuat. Umumnya penderita De-
mam berdarah dengue disertai perdarahan gastro-intestinal,
sehingga perlu diberikan nutrisi parenteral total.
Pemberian cairan, jenis dan jumlahnya. Frekuensi dan
keluaran kencing perlu dicatat(
2.3.
'
)
.
PERA' WATAN
1) Indikasi rawat nginap :
-
DBD derajat II, III dan IV.
-
DBD derajat I dengan hiperpireksia, kejang, intake tidak
cukup, serta kecenderungan kenaikan hematokrit.
2) Hal-hal yang perlu diperhatikan :
a) Tempat/kamar perawatan diusahakan terpisah dengan
42 Cermin Dunia Kedok t eran, Edisi Khusus No. 80, 1992
penderita penyakit lain. Seyogyanya dalam kamar yang bebas
nyam uk.
b) Hindarkan dari kemungkinan terjadinya dekubitus dengan
menyelang-nyeling posisi tidur.
c) Kebersihan perorangan penting diperhatikan, terutama
kebersihan kulit dan mulut penderita.
PELAPORAN
Setiap penderita tersangka Demam Berdarah Dengue perlu
segera dilaporkan ke Dinas Kesehatan Dati II setempat, untuk
diambil tindakan pemberantasan vektor di rumah penderita dan
sekitarnya guna mencegah penularan selanjutnya. Pelaporan
resmi dilaksanakan dengan mengirim formulir pelaporan spesi-
men Demam Berdarah Dengue.
LABORATORIUM
1) Pemeriksaan trombosit.
2)
Pemeriksaan hematokrit; nilai normal untuk anak adalah 33
38 vol%.
3a) Pemeriksaan serologi dengan tes HI (Hemagglutinasi Inhi-
bisi) yakni untuk mengetahui adanya peninggian titer antibodi.
Untuk ini dibutuhkan 2 spesimen pada masa akut dan kon-
valesen.
Interpretasi (kriteria WHO) tes HI :
1) Pada infeksi primer, titer antibodi HI pada masa akut, yaitu
apabila serum diperoleh sebelum hari ke-4 sakit adalah kurang
dari 1:20 dan titer akan naik 4X atau lebih pada masa kon-
valesensi, namun tidak akan melebihi 1:2560.
2) Pada infeksi sekunder, bukti adanya infeksi baru (recent
dengue infection) ditandai dengan titer antibodi HI kurang dari
1:20 pada masa akut, sedangkan pada masa konvalesensi, titer
bernilai sama atau lebih besar dari 1:2560 atau apabila titer
antibodi akut sama atau lebih besar dari 1:20 dan titer akan naik
4X atau lebih pada masa konvalesensi.
3) Persangkaan adanya infeksi sekunder yang baru terjadi
(presumptive diagnosis) ditandai oleh titer antibodi HI yang
sama atau lebih besar dari 1:1280 pada masa akut, dalam hal ini
diperlukan kenaikan titer IX atau lebih pada masa kon-
valesensi
U,2,3,7)
Tabel. Interpretasi tes HI
Titer Antibodi
Akut
Interpretasi
Konvalesensi
< :
20 > 4x < 1:2560 Infeksi primer
< : 20 > 4x > 2560
Infeksi sekunder
> : 20 > 4x Infeksi sekunder
> : 1280 tetap atau naik Infeksi sekunder
(baru terjadi)
3b) Pemeriksaan serologi dengan Dengue Blot
Merupakan modifikasi dari ELIS A dan hanya membutuhkan
waktu 3 jam untuk mengetahui hasilnya. Pemeriksaan ini dapat
dilakukan sekali saja pada fase akut atau dua kali bersamaan
dengan fase konvalesen. Hasil pemeriksaan dua kali adalah lebih
baik dari pada satu kali. Dengue Blot mempunyai sensitivitas
80.9% dan spesifisitas 97.2%'
0)
. Penelitian yang dilakukan oleh
Faisal Yatim Lubis(") dari LitBangKes menunjukkan bahwa
sensitivitas untuk 1 spesimen 4863% dan untuk 1 pasang spe-
simen 21-51%. Sedangkan spesifisitas untuk 1 spesimen 1393%
dan untuk 2 spesimen 4598%. Pemeriksaan Dengue Blot ini
sangat bermanfaat untuk konfirmasi KLB/Wabah DBD, karena
praktis dan hasilnya cepat diketahui. Hasil pemeriksaan Dengue
Blot (baik yang positip atau negatip) hanya bersifat presumtif
(dugaan kuat) dan bukan definitif (pasti).
KEPUSTAKAAN
1. World Health Organization. Dengue Hemorrhagic Fever; Diagnosis, Treat-
ment and Control: 158. 1986.
2.
Sumanno. Dengue Hemorrhagic Fever (gambaran klinis, aspek serologic
dan virologis). Simposium Kedaruratan pada Anak: 83103. Denpasar 19
Maret 1983.
3. Departemen Kesehatan RI. Demam Berdarah Dengue, Diagnosis dan
Pengelolaan penderita. Pentaloka DHF : 125 Cipayung 1417 Nopember
1984.
4.
SurosoT. Demam Berdarah Dengue. Di dalam Konsep Laporan Pertemuan
POKJA Demam Berdarah Dengue (DBD) Ciloto, 1416 Maret 1991.
5.
Palada P. Demam Berdarah Dengue dalam Simposium Demam Berdarah:
14. Ujung Pandang 9 April 1988.
6. Suvatte V. Dengue Hemorrhagic Fever. Hematological abnormalities and
pathogenesis. In Ghai O.P (ed) : New developments in pediatric research;
I: 447 Interprint, New Delhi, India 1977.
7. Aunojo D. Pengelolaan Demam Berdarah Dengue Berat. Naskah Lengkap
Simposium Pengelolaan Kegawatan pada Anak: 5464. Semarang 5 April
1986.
8. Sri Rezeki Harun. Demam Berdarah Denguepada Anak. MDK 1991; 10(8):
1419.
9. Pasaribu S, Lubis CP. Demam Berdarah Dengue di Bangsal Anak Rumah
Sakit Dr. Pimgadi Medan. MKN 1990; Edisi Khusus (4): 235240.
10.
Lai OF, Chan YC, Ngoh BL, Tan HC. Evaluation of a Commercial Enzyme
Immunoassay (Dengue Blot) for the Diagnosis of Dengue Virus Infection.
Diagnostic Biotechnology (Pte) Ltd Singapore.
11. Lubis FY. Hasil Uji Coba Perbandingan Dengue Blot Test dengan H.I Test.
Di dalam Konsep Laporan Pertemuan POKJA Demam Berdarah Dengue
(DBD) Ciloto, 1416 Maret 1991.
12.
Sumarsono. Demam Berdarah Dengue pada Dewasa. Di dalam Konsep
Laporan Pertemuan POKJA Demam Berdarah Dengue (DBD) Ciloto,
1416 Maret 1991.
Cermin Dunia Kedok t eran, Edisi Khusus No.
80, 1992 43
Mekanisme Diare Infektisius
Akut
Atan Baas Sinuhaji, A.H. Sutanto
Bagian Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
Rumah Sakit Dr Pirngadi, Medan
ABSTRAK
Diare Infeksius Akut dapat disebabkan oleh sejumlah virus, bakteri dan parasit.
Untuk dapat menimbulkan diare, mekanisme apapun yang digunakan oleh mikro-
organisme patogen tersebut, haruslah terjadi gangguan absorpsi/reabsorpsi cairan yang
terdapat di lumen usus dan meningkatnya secara berlebihan sekresi kelenjar-kelenjar
saluran cerna atau kombinasi keduanya.
Karena itu tanpa memandang penyebab diare, umumnya akibat yang terjadi adalah
oleh karena kehilangan cairan, elektrolit, basa dan makanan melalui tinja penderita.
PENDAHULUAN
Diare merupakan salah satu manifestasi gangguan fungsi
saluran cerna. Pada keadaan diare, jumlah air dalam tinja akan
meningkat, demikian juga volume tinja. Juga akan dijumpai
perubahan tinja baik dalam konsistensi, warna dan bau. Defi-
nisi yang tepat dari diare masih sulit dikemukakan. Umumnya
frekwensi pengeluaran, bentuk dan konsistensi tinja tergantung
terutama pada diet yang bervariasi antara satu masyarakat de-
ngan masyarakat lainnya.
Pada umumnya diare didefinisikan sebagai pengeluaran
tinja yang cair dengan frekuensi sekurang-kurangnya 3 kali
sehari. Bagaimanapun dalam hal ini, konsistensi lebih diuta-
makan dibandingkan dengan frekuensi pengeluaran tinja.
Pengeluaran tinja yang sering tetapi dengan konsistensi baik,
seperti
misalnya pads bayi yang hanya mendapat ASI, tidak
dianggap sebagai diare. Kebanyakan tinja penderita diare akan
cair (watery diarrhoea), kadang-kadang dijumpai darah/lendir
dalam tinja (dysentery form).
Umumnya episode diare adalah akut, datang tiba-tiba dan
sembuh dalam beberapa hari. Pada keadaan-keadaan tertentu,
dapat berlangsung terus sampai berminggu-minggu, keadaan ini
disebut dengan
persistent diarrhoea".
Pada tulisan ini, pembicaraan selanjutnya akan dibatasi pada
diare infeksius akut (diare akut yang disebabkan mikroorgan-
isme patogen seperti virus, bakteri dan parasit).
FUNGSI DAN STRUKTUR SALURAN CERNA
Fungsi utama saluran cerna, seperti juga permukaan mukosa
saluran-saluran lain yang terdapat pada manusia, adalah sebagai
pemisah (interface)
antara bahan-bahan yang dimasukkan dari
dunia luar dengan milieu interior
m
. Dalam menjalankan posisi-
nya yang penting tersebut, saluran cerna akan bekerja dan me-
mainkan peranannya sebagai unsur perlindungan
(protective
role) dengan dua cars yaitu :
1. Sebagai barrier
terhadap bahan-bahan patogen (seperti vi-
rus, bakteri, parasit, toksin, bahan-bahan allergenik dan lain-
lain).
2.
Menseleksi pemasukan bahan-bahan yang diperlukan tu-
buh; dengan perkataan lain mengambil dan menyerap cairan/
makanan yang dibutuhkan tubuh untuk berfungsi, bertambah dan
mengganti bagian yang rusak.
Karaena itu cairan/makanan yang tidak diserap, sel-sel usus yang
tua dan rusak, toksin-toksin, bahan-bahan patogen dan material-
material lain akan dibuang oleh saluran cerna keluar dari tubuh
44
Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992
dalam bentuk tinja.
Makanan dan minuman yang dimakan sering terkontami-
nasi dengan bahan-bahan patogen, tetapi tubuh akan dilindungi
oleh mekanisme pertahanan yang terdapat di saluran cerna.
Mekanisme pertahanan tersebut dapat bersifat spesifik (imuno-
logik) dan non-spesifik (non-imunologik)(
3)
(Tabel 1). Protein
dari makanan yang diserap tetapi tidak menguntungkan tubuh
akan diblok oleh mekanisme pertahanan tadi, demikian juga
mikroorganisme patogen akan diinaktifasi bahkan dibunuh.
Tabel 1.
Komponen barrier usus
Mekanisme Non-Imunologik
Intraluminal
Asam lambung
Akt~tas proteolitik
Motilitas usus
Permukaan
mukosa
Musin
Membrane microvilli
Mekanisme Imunologik
Gut associated lymphoid tissue
Secretory IgA
Cell Mediated Immunity
Saluran cerna, mulai dari mulut sampai ke anus, bentuknya
tidak lebih sebagai suatu tabung. Sepanjang saluran cerna ini,
bermuara sejumlah kelenjar yang akan mensekresikan cairan
yang berfungsi untuk pencemaan. Cairan yang disekresikan ini
jauh lebih banyak jumlahnya dibandingkan dengan caftan yang
berasal dari makanan dan minuman
t21
. Di camping itu, struktur
usus halus didesain sedemikian rupa, sehingga membentuk per-
mukaan yang luas untuk tempat kontak antara cairan/makanan
yang terdapat di lumen usus dengan jaringan di dinding usus,
sehingga absorpsi yang maksimal dapat terjadi. Hal ini di-
mungkinkan karena permukaan usus halus yang menghadap ke
lumen, mengandung sejumlah lipatan-lipatan yang ditutupi oleh
sel-sel khusus yang disebut enterosit di mana sel ini berfungsi
untuk sekresi digesti dan absorpsi. Sel-sel ini umumya singkat,
setiap 3-4 hari sekali sel-sel ini akan diganti. Enterosit-enterosit
ini ditutupi lagi oleh brush like filament (microvilli), yang se-
lanjutnya akan menambah luas permukaan usus. Ditaksir luas
permukaan usus yang sehat sekitar 2000 m
2
atau seluas lapang-
an sepak bola. Karena itu tak mengherankan bila penyerapan
makanan paling banyak di usus halus, demikian juga air
s
`
)
.
Kolon, selain berfungsi untuk reservoir juga berfungsi dalam
penyerapan air. Lebih 90% air yang sampai/terdapat di kolon
akan diserap
1
") (label 2). Karena itu tinja yang normal hanya
mengandung sedikit air, lebih kurang 100-200 ml sehari.
Tabel 2.
Jumlah air yang diserap oleh segmen-segmen usus
Segmen
usus
Volume cairan
dijumpai
(I/hart)
Volume cairan
dijumpai
(I/hart)
Persentase
penyerapan
(%)
Jejunum
Ileum
Colon
9
4 5
1 2
4 5
3 4
0.9
1.8
50
75 80
90
CARA MIKROORGAMSME MENYEBABKAN MARE
Pada keadaan diare akan dijumpai peningkatan volume
caftan dalam tin ja
m
.
Hal ini terjadi karena adanya gangguan usus
untuk mengabsorpsi/reabsorpsi cairan yang terdapat di lumen
usus dan meningkatnya secara berlebih-lebihan sekresi dari ke-
lenjar-kelenjar pencernaan ke lumen usus ataupun kombinasi
kedua-duanya. Akibatnya akan terjadi kehilangan cairan, elek-
trolit dan basa dalam jumlah yang besar melalui tinja, sehingga
gejala-gejala dehidrasi, gangguan keseimbangan elektrolit dan
asam basa akan dijumpai.
Berdasarkan keterangan di alas, diare secara garis besar da-
pat dibagi Was Absorptive diarrhoea dan Secretory diarrhoea.
Sebenarnya pembagian ini tidak begitu tegas karena sering
mikroorganisme yang menyebabkan absorptive diarrhoea,
juga
dapat menyebabkan secretory diarrhoea(
o
.
Untuk dapat menimbulkan diare, bakteri enteropatogen yang
tertelan haruslah survive melewati asam lambung, berproliferasi
di lumen usus, membentuk kolonisasi pads usus halus/besar,
kemudian melekat (adherent) pada enterosit dan mensekresikan
enterotoksin. Mikroorganisme ini selanjutnya menginvasi mu-
kosa usus, multiplikasi dalam mukosa diikuti dengan pemben-
tukan sekretagogue dan sitotoksin
ta,
"
Secara garis besar bakteri enteropatogen menyebabkan
diare dengan 4 cara yaitu
tb)
:
1) Kolonisasi dan melekatnya bakteri ke permukaan usus,
sehingga terjadi destruksi microvilli dan kerusakan enterosit
(adherent).
2) Setelah mengadakan kolonisasi, bakteri akan mensekresi
enterotoksin yang akan mengikat reseptor spesifik di mukosa
usus. Akibatnya terjadi peningkatan mediator intraselluler
(adenosine 3-5 cyclic phosphate ataupun guanosine mono-
phosphate) yang akan menyebabkan perubahan transport air dan
elektrolit, tanpa adanya perubahan morfologi usus (toxigenic).
3) Bakteri enteropatogen yang menginvasi mukosa usus akan
menyebabkan timbulnya radang dan ulkus. Enterosit dihancur-
kan dalam jumlah yang banyak, pembuluh darah akan ruptur,
lekosit rusak. Sehingga timbul/pengeluaran darah dan pus ber-
sama tinja (invasive).
4)
Sekresi sitotoksin yang menyebabkan kerusakan mukosa
usus (cyroroxic).
Berdasarkan hal-hal di atas, maka virulensi bakteri entero-
patogen tergantung dari kesanggupan bakteri tersebut melewati
asam lambung dan kesanggupan menghasilkan ke-empat me-
kanisme di atas. Juga hams diingat, bakteri enteropatogen sering
menimbulkan diare dengan menggunakan lebih dari satu me-
kanisme tadi secara simultan
tb)
(Tabel 3).
Salah satu jenis virus enteropatogen yang sering menye-
babkan diare adalah Rotavirus. Infeksi Rotavirus ini umumnya
mengenai jejunum, tetapi dapatdifus menyebar mengenai seluruh
usus halus sehingga menimbulkan diare yang hebat. Virus ini
menimbulkan diare dengan cara menginvasi epitel villi sehingga
terjadi kerusakan sel yang matur"
.7.8)
Sel yang matur ini akan
diganti oleh sel immatur yang berasal dari proliferasi sel-sel
kripta. Sel immatur ini mempunyai kapasitas absorpsi yang
Cermin Dunia Kedokteran, Edisi
Khusus No. 80, 1992 45
Tabel 3.
Mekanisme Patogenik dart Bakteri Enteropatogen
Adherent Toxigenic Invasive Cytotoxic
Enteropatho-
genic E. coli
Enterohemo-
rrhagic E. soli
Shigella
Enterotoxigenic
E. coli
Y. enterocolitica
Aeromonas
V. cholera dan
non-O' vibrio
serogroup
Shigella
Salmonella
Y. enterocolitica
C. jejuni
V. parahaemo-
lyticus
Shigella
Enteropatho-
genic E. coli
Enterohemo-
rrhagic E. coil
C. difficile
kurang dibandingkan dengan sel matur, juga aktifitas disakari-
dase yang terdapat di sel immatur ini masih kurang sehingga
terjadi gangguan pencernaan karbohidrat"
1
.
Parasit yang sering menyebabkan diare
adalah Giardia
lamblia dan Cryptosporidium.
Bagaimana sebenarnya kedua
parasit enteropatogen ini menyebabkan diare, masih belum jelas;
mungkin dengan melibatkan satu atau lebih mekanisme di bawah
ini :
1.
Bekerja sebagai barier mekanik sehingga mengganggu
absorpsi.
2. Kerusakan langsung pada mukosa usus.
3. Pembentukan eksotoksin.
4. Menimbulkan reaksi imunologik.
5. Mengubah pattern
yang normal dari motilitas usus.
MANFAAT DARI SEGI PRAKTIS
Proses yang terjadi pads diare, sebenamya dapat dipandang
dari dua aspek. Pertama, secara alamiah, diare merupakan me-
kanisme pertahanan tubuh. Karena air yang keluar begitu banyak
akan bekerja sebagai pembersih usus (cleaning effect).
Dengan
demikian bahan-bahan patogen (virus, bakteri, parasit, toksin,
bahan-bahan allergenik dan lain-lain) akan dikeluarkan dari
saluran cerna, sehingga membatasi efek selanjutnya dari bahan-
bahan tersebut
l
. Berdasarkan hal tersebut, pemberian obat-obat
spasmolitik harus dihindarkan pads penderita diare karena dapat
menyebabkan overgrowth bakteri, megakolon toksik, ileus pa-
ralitik dan lain-lain
lo
.
Di samping itu diare, apapun penyebabnya, akan menye-
babkan kehilangan cairan dan elektrolit dari tubuh. Kehilangan
tersebut dapat merupakan hal yang serius bahkan mengancam
nyawa penderita, bila proses berlan jut menjadi dehidrasi berat,
renjatan dan komplikasi lain yang dapat timbul pads diare (se-
perti asidosis, gangguan keseimbangan elektrolit, gagal ginjal
dan lain-lain). Tidak kalah pentingnya adalah kehilangan ma-
kanan melalui tinja, sehingga bila diare berlangsung lama, dapat
terjadi kurang kalori protein.
Mengingat akibat-akibat tadi, maka prioritas utama peng-
obatan diare adalah rehidrasi secepat mungkin dengan pem-
berian cairan elektrolit, diikuti dengan pemberian makanan se-
telah tercapai rehidrasi.
Pemeriksaan makroskopis tinja dapat membantu meng-
identifikasi kasus yang termasuk
invasive diarrhoea. Bila di-
jumpai darah/pus dalam tinja, kemungkinan menderita shigella
dysentry.
Bila kelihatan sakit berat, dapat diberikan antimikroba
sebagai tambahan pemberian cairan elektrolit.
KEPUSTAKAAN
1. WHO/CDD/SER/80.2.Rev.2.1990 : A
Manual for the treatment of
diarrhoeas. For use by physicians and other senior health worker.
2.
Byme WJ. The gastrointestinal tract. In: Behnnan RE, Kliegman R. Nelson
Essentials of Pediatrics. Philadelphia: W.B. Saunders Company. 1990; pp.
377-410.
3. Israel EJ, Walher WA. Host defense development in gut and related disor-
ders. Pediatr. Clin. North. Am. 1988; 35: 115.
4.
Bardhan PK. Pathophysiology of acute infectious watery diarrhoea. Interna-
tional training course on Diarrhoeal disease : Clinical Aspect, Dhaka. 414
December 1988.
5. Kerzner B. Pathogenesis of diarrhoea. Epidemiology and management of
diarrhoea in children of S.E. Asia. 1st Ross Round Table Asian Edition.
Excerpta Medica, Asia Pacific Congress Series No. 34. pp. 65-71, 1984.
6.
Cohen MB. Etiology and mechanisms of acute infectious diarrhoea in infants
in the United States. J. Pediatr. 1991; 118: S 34-39.
7.
Saniel MC. Mechanisms of diarrhoea. Acute Diarrhoeas: their management
and prevention. Ministry of Health, the Philippine Pediatric Society and the
Kabalitkat
ng Pamilyang Pilipino Foundation, Inc. pp. 16-19, 1985.
8.
Hamilton JR. The Pathophysiological basis for viral diarrhoea : A Progress
Report. J. Pediatr. Gastroenterol. Nutr. 1990; 11: 150-4.
46 Cermin Dunia Kedok t eran, Edisi Khusus
No. 80, 1992
Kendala Penanganan
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA)
H. Ridwan Muchtar Daulay
Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan
PENDAHULUAN
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA), diare dan kurang
gizi merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada
anak di negara maju dan berkembang, terutama pads usia di
bawah 5 tahun.
ISPA merupakan penyebab morbiditas utama pads negara
maju; tidak demikian keadaannya pada negara berkembang di
mana morbiditasnya relatif lebih kecil. Mortalitas yang tinggi
pada umumnya akibat ISPA bawah yang berat. Keadaan-keadaan
ini
merupakan penalar bagi kita agar segera memikirkan dan
melaksanakan program pencegahan dan pemberantasan ISPA
sesuai dengan usaha WHO pads tahun-tahun terakhir ini.
Perumusan masalah seperti definisi, klasifikasi ISPA dis-
ertai pengumpulan data, hipotesis dan kesimpulan merupakan
kunci utama untuk berhasilnya program ini.
Tulisan ini mencoba menguraikan kendala penanganan
Infeksi Saluran Pernafasan Akut pads bayi dan anak.
DEFINISI
ISPA merupakan penyakit infeksi saluran nafas yang secara
anatomi dibedakan atas saluran nafas atas mulai dari hidung
sampai dengan taring dan saluran nafas bawah mulai dari laring
sampai dengan alveoli beserta adnexanya, akibat invasi
infecting
agents
yang mengakibatkan reaksi inflamasi saluran nafas yang
terlibat.
Hingga saat ini telah dikenal lebih dari 300 jenis bakteri
dan virus sebagai penyebab ISPA. Berdasarkan definisi ini
diagnosis ISPA ditegakkan dengan pembuktian jenis
infecting
agent
dan adanya inflamasi saluran nafas. Pembuktian ini
membutuhkan pemeriksaan laboratorium yang tidak sederhana
sehingga tidak praktis diterapkan pada saat ini di Indonesia dan
kadangkala di negara maju.
Klinik ISPA merupakan bangkitan tanda dan gejala akut
akibat inflamasi saluran nafas karena adanya invasi infecting
agent.
Dikatakan bangkitan baru bila tanda dan gejala tersebut
terjadi sekurang-kurangnya setelah 48 jam bebas gejala bangkit-
an akhir dan berlangsung tidak lebih dari 14 hari.
Definisi praktis sangat didambakan; dengan pemeriksaan
klinis sederhana berupa penglihatan, pendengaran dan perabaan,
indentifikasi penyakit dapat diterapkan.
KLASIFIKASI DAN PATOGENESIS
Klasifikasi ISPA dibedakan berdasarkan anatomi, etiologi,
berat ringannya ataupun gabungan sesamanya seperti yang
diajukan International Classification of Diseases (ICD). Klasi-
fikasi ICD-revisi 9 berdasarkan anatomi, etiologi dan fungsi
hanya dapat diterapkan tenaga kesehatan formal seperti dokter
Puskesmas dan Rumah Sakit yang mempunyai sarana pen-
dukung, tidak sesuai dengan usaha penanggulangan ISPA di
Indonesia saat ini. WHO (1985) mengajukan konsep perubahan
klasifikasi ISPA berupa ICD-revisi 10 yang lebih menggam-
barkan perkembangan penanggulangan ISPA di Indonesia saat
ini.
Klasifikasi berdasarkan etiologi sangat ideal. Dengan me-
ngetahui etiologinya dapat diketahui pola kuman atau virus
penyebab serta pola mikrobiologi untuk terlaksananya usaha
pencegahan dan penanggulangan yang akurat sehingga ter-
wujudnya rasionalisasi penggunaan antibiotika di satu pihak dan
merupakan kendala bagi para ahli terutama di Indonesia di pihak
lain.
Berdasarkan klasifikasi anatomis dibedakan alas rhinitis,
faringitis, tonsilitis, laringitis, trakheitis, bronkitis, bronkiolitis,
pneumonia, abses pulmonum dan empiema.
Klasifikasi sederhana berupa tanda dan gejala ISPA yang
mudah dikenal untuk mengetahui tindakan selanjutnya apakah
Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992
47
harus diberi antibiotika, dapat dirawat di rumah atau harus di-
rujuk ke Rumah Sakit.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia menggunakan
pedoman klasifikasi ISPA untuk petugas kesehatan sesuai de-
ngan klasifikasi sederhana WHO berupa ISPA ringan, sedang
dan berat(
2
).
Pada dasamya terjadinya ISPA bawah merupakan kom-
plikasi ISPA atas kecuali pads bayi baru lahir
3
.
MORBIFDITAS DAN MORTALITAS
Morbiditas ISNA lebih banyak pads negara maju; tidak
demikian keadaannya dengan diare, pads negara berkembang
morbiditasnya 4 - 5 kali lebih besar dari negara maje). Di
Indonesia morbiditas ISNA di pedesaan relatif lebih rendah dari
perkotaan.
Hasil survei Kesehatan Rumah Tangga tahun 1980 dan 1986
di Indonesia memperlihatkan ISPA atas dan bawah merupakan
penyebab utama morbiditas dan mortalitas bayi dan anak balita.
Survei tahun 1986 menunjukkan, 25,7% penduduk menderita
ISPA dengan penyebaran 42,4% pada anak di bawah 1 tahun,
40,6% pada usia 1- 4 tahun dan 32,5% pada anak berumur 5 -
14 tahun
(4
). Penelitian terhadap 877 anak balita di Pondok Pinang
Jakarta sejak 1 April 1970 sampai dengan 31 Maret 1971 ditemui
dari 3121 episode penyakit, 1428 (45,3%) disebabkan ISPA
A5
.
Dari 12 besar penyakit anak di Rumah Sakit Dr. Kariadi Se-
marang (1979) ISPA menduduki tempat ke dua setelah penyakit
saluran cerna
(6)
.
Untuk daerah Sumatera Utara basil survei Kesehatan Ru-
mah Tangga pada tahun 1972, ISPA atas menduduki tempat
pertama (16,5%), sedang ISPA bawah pada urutan ke enam yaitu
5,2%('). Dari 15.960 pengunjung Poliklinik Anak Sakit Rumah
Sakit Dr. Pimgadi Medan pada tahun 1981, 65,60% anak men-
derita ISPA atas dan 19,74% ISPA bawah(
E
). Soemardi Umar dick
(1983) juga melaporkan kejadian ISPA bawah di ruang rawat
mondok Rumah Sakit Dr. Pirngadi Medan pada tahun 1981 dan
1982 adalah 29,2%; 49,23% daripadanya adalah penderita
bronkopneumonia yang merupakan 20,39% dari seluruh ISPA
bawah.
Mortalitas ISPA yang pasti sampai saat ini belum diketahui.
Kematiannya kebanyakan akibat bronkopneumonia dan bron-
kiolitis. Pada negara berkembang diperkirakan 20-25% kemati-
an anak Balita diakibatkan ISPA
0
10)
. Mortalitas ISPA di Amerika
Utara 0,5% per 1000 anak di bawah usia 1 tahun, dan 3-8 per
1000 anak usia 1-5 tahun
l,11)
; sedangkan laporan dari berbagai
negara berkembang berkisar 10-44 per 1000 anak di bawah 1
tahun dan 3-8 per 1000 pada anak berusia antara 1-5 tahun
o.9.11
)
Dari data ini diperkirakan angka kematian akibat ISPA perseribu
penduduk 100-200 kali lebih tinggi di negara berkembang dari-
pada negara maju.
Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga tahun 1980, 19,9%
kematian penduduk akibat ISPA bawah, 22,1% pada bayi ber-
umur 0-1 tahun dan 28,1% pada anak berumur 1-4 tahun
z
;
basil survei 1986 mortalitas ISPA seluruhnya termasuk difteri,
pertusis dan campak pada seluruh penduduk 13,7%, 22,1% pada
48
Cermin Dunia Kedok t eran, Edisi Khusus No. 80, 1992
bayi berusia 0-1 tahun dan 35,0% pads anak 1-4 tahun
o)
.
Penelitian BIKA FKUSU Rumah Sakit Dr. Pirngadi Medan
oleh Fuad Arsyad (1981-1982) menunjukkan mortalitas pender-
ita bronkopneumonia yang dirawat mondok adalah 41,46% sedang
Charles Hutasoit (1985-1989) melaporkan 46,99%, tidak ter-
masuk neonatus yang
dirawat di Sub-Bagian
-
Perinatologi"
'4)
FAKTOR-FAKTOR
YANG MUNGKIN
MEMPENGA-
RUHI
Cuaca dan Musim
Di negara dengan 4 musim, kejadian ISPA cenderung
meningkat pads musim dingin"
)
; di negara tropis yang umum-
nya mempunyai 2 musim ISPA 2 atau 3 kali lebih sering terjadi
pada musim hujan
l16.17
)
Kepadatan penduduk
David Morley (1973) menekankan, yang
paling bertanggung
jawab terhadap terjadinya ISPA adalah kepadatan penghuni di
dalam atau di luar rumah; dikatakannya meningkatnya kejadian
ISPA pada musim-musim tertentu bukan diakibatkan perubahan
cuaca atau musim").
Di Inggris kejadian infeksi RSV pada anak lebih sering
pada anak yang mempunyai saudara dibandingkan dengan yang
tidak; disebutkan juga puncak kejadian ISPA berhubungan
dengan masa masuknya anak sekolah kembali setelah masa
libur"
)
.
Umur dan Jenis Kelamin
Anak berusia di bawah 2 tahun mempunyai risiko mendapat
ISPA lebih besar daripada anak yang lebih tua. Keadaan ini
mungkin karena pada anak di bawah usia 2 tahun imunitasnya
belum sempuma dan lumen saluran nafasnya relatip sempit.
Kejadian ISPA atas tidak ada bedanya antara anak laki-kaki
dengan perempuan, sedang ISPA bawah pada umur kurang dari
6 tahun lebih sering pada anak laki-laki"
Keadaan Nutrisi dan Anemia
Sejauh mana hubungan nutrisi dan anemnia terhadap kejadi-
an ISPA belum diketahui dengan jelas. Menurut David Morley
(1973) karena hubungan nutrisi dengan ISPA belum jelas; apa-
bila gizi jelek tidak diperhitungkan, kekurangan gizi di negara
berkembang tidak dapat dianggap sebagai penyebab utama dari
tingginya angka kematian ISPA.
Anemia terutama anemia defisiensi besi yang sering ditemui
pada bayi dan anak di Indonesia mempunyai hubungan timbal
balik dengan ISPA.
ETIOLOGI
Walaupun penyebab ISPA beranekaragam namun penyebab
terbanyak adalah infeksi virus dan bakteri. Penyebab infeksi ini
dapat sendirian atau bersama-sama secara simultan. Penyebab
ISPA akibat infeksi virus berkisar 90-95% terutama ISPA atas.
Kendatipun demikian peranan bakteri belum dapat disingkirkan.
Data penelitian ISPA kebanyakan berasal dari negara-ne-
gara barat walaupun sebenarnya penyakit ini merupakan ma-
salah penting di negara-negara tropis.
Penelitian di negara maju dan beberapa daerah perkotaan
negara sedang berkembang membuktikan bahwa ISPA bawah
juga diakibatkan infeksi virus
p7.2
'
.21>
. Turner dkk (1987) me-
laporkan dari 98 anak yang menderita pneumonia di Amerika
39% disebabkan infeksi virus, dan 19% oleh bakteri 53% dari-
padanya dijumpai juga infeksi virus(
22
).
Penyebab ISPA yang pasti pads negara berkembang belum
diketahui. Fakta menunjukkan bahwa bakteri patogen meru-
pakan penyebab ISPA bawah yang berat baik primer maupun
sekunder. Virus respiratorik memegang peranan pads fase per-
tama
o.23>
.
WHO melaporkan dari anak-anak yang menderita
ISPA berat yang dirawat di Rumah Sakit di 7 negara sedang ber-
kembang dan belum mendapat antibiotika ternyata basil pungsi
parunya 60% positif terhadap bakterP. Dijumpainya kultur
darah yang positif dan adanya perbaikan klinis akibat pemberian
antibiotika terhadap anak yang menderita pneumonia, secara
tidak langsung
menyokong penyebab infeksinya adalah
bakteri e
,
'
s.26>
Dan data di atas diperkirakan penyebab pneumonia berat
[ada negara sedang berkembang 50% oleh karena infeksi bakteria
dan sensitif terhadap pemberian antibiotika.
Bakteri
Peranan bakteri sebagai penyebab ISPA lebih sulit ditentu-
kan karena bakteri juga dapat ditemui pads anak-anak yang tidak
menderita ISPA
(19
). H. influensa, streptokokkus, dan pneumo-
kokkus merupakan bakteri patogen yang banyak ditemui, diikuti
dengan stafilokokus aureus dan streptokokkus beta hemolitikus.
Di negara berkembang penyebab utama ISPA berat pada
anak adalah S. pneumonia dan H. influenzae(1.'
1.'6.2.2s.2s.Th
penye-
bab ISPA berat lain adalah S. aureus, B. pertusis, M. pneumonia,
Chlamydia dan Branhemella catarrhalis. M. pneumonia dan B.
pertusis dapat menyebabkan epidemi dan umumnya basil kultur
hapusan tenggorok pads anak usia sekolah hasilnya negatip
kecuali
M. pneumonia 1015% basil biakan positip
(
'). Pala
masa neonatus bakteri penyebab ISPA yang paling sering adalah
S. aureus, E. coli di samping Stafilokokkus agalactiae (grup B),
S. pneumonia, Pseudomonas dan Klebsiella
a28>
.
Ong dkk mendapatkan hanya 15,4% biakan bakteri positif
dari nasal swab.
Soejono, Moeljono ST dkk (1975) memperoleh
stafilokokkus 36,1% pads anak berumur di bawah 1 tahun dan
4,8% pads anak berumur di atas 1 tahun yang menderita
bronkopneumonia
a29
j,
sedangkan Tatty, H. Moeljono ST dkk
(1980) dengan melakukan biakan nasofaring penderita ISPA me-
nemukan S. aureus 5,06%, S. albus 5,06%, ALfa streptokokkus
34,18% dan Beta streptokokkus 8,86%
0
>
Virus
Virus-virus yang sering menyebabkan ISPA adalah virus
Influenzae A, B, C, virus Parainfluenzae 1, 2, 3, 4, virus Respi-
ratory Syncytial (RSV), Adenovirus, Rhinovirus dan Entero-
virus. Virus yang sering dilaporkan sebagai penyebab ISPA ba-
wah adalah RSV, Parainfluenzae dan Adenovirus
o.
"
.
'
6.4.23.25,27>
Virus Influenzae C menyebabkan ISPA dengan gejala
ringan, virus Influenzae A sering menimbulkan demam tinggi,
kejang dan pneumonia pada bayi dan virus Influenzae B me-
nyerang anak yang lebih besar dengan gejala influenzae disertai
nyeri perut. Virus Parainfluenzae tipe 1 dan 2 menimbulkan
gejala mirip croup,
tipe 3 sering menyerang bayi berumur di
bawah 6 bulan dengan gejala mirip bronkiolitis dan pneumonia.
Adenovirus serotipe 1, 2, 5 sering menimbulkan ISPA bawah
yang berat sedangkan serotipe 3, 4, 7 sering menyebabkan
faringitis pads anak dengan umur yang lebih tua. Virus lain
misalnya virus morbili dapat menyebabkan ISPA yang apabila
diikuti infeksi bakteri akan menyebabkan ISPA bawah yang
berat (pneumonia). Ong dkk (1977) dengan melakukan biakan
paranasal swab menemui virus sebagai penyebab ISPA adalah
47,7% dan Bakteria, 15,4%
01>
.
PENGELOLAAN
Mengingat pencegahan lebih baik dari pengobatan maka
sebaiknya pengelolaan ISPA dilaksanakan secara menyeluruh
meliputi penyuluhan kesehatan yang baik, menggalakkan imu-
nisasi dan penatalaksanaan penderita secara medik sebagaimana
lazimnya. Walaupun morbiditas ISPA bawah relatif lebih kecil
dari ISPA atas namun fasilitas klinik yang dibutuhkan dalam
penanganannya sangat tinggi. Selayaknyalah pemberantasan
ISPA bawah diprioritaskan dengan menitik beratkan usaha
penekanan morbiditas ISPA bawah baik sebagai lanjutan ISPA
atas atau tidak dan mortalitasnya.
Penyuluhan Kesehatan
Penyuluhan kesehatan berperan mengurangi risiko morta-
lity ISPA berupa bayi berat badan lahir rendah, gizi kurang,
kebiasaan ibu merokok dan keengganan ibu menyusukan bayi-
nya. Penyuluhan ini penting sekali bagi ibu-ibu sebagai tenaga
kesehatan non-formal untuk mengenal ISPA ringan, sedang dan
berat untuk pengelolaan penderita selanjutnya.
Imunisasi
Peningkatan cakupan imunisasi penyakit ISPA dengan
menggalakkan imunisasi difteri, pertusis dan morbili sangat
berberan dalam usaha pemberantasan ISPA.
PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan penderita dilaksanakan tenaga medik
(formal) dengan prosedur medik berupa diagnosis, pengobatan
dan rujukan serta tenaga non-medik dimulai tingkat ibu rumah
tangga sampai dengan kaderkesehatan desa dengan menggunakan
pedoman dan klasifikasi sederhana.
Diagnosis
Umumnya diagnosis ditegakkan secara klinik walaupun
diagnosis etiologik sangat menentukan keberhasilan pengobat-
an. Pemeriksaan bakteriologik dan penunjang lainnya dapat
membedakan penyebabnya bakteri atau virus.
Tidak spesifiknya gejala klinik, basil biakan oro dan naso-
faring yang positif terhadap S. pneumonia dan H. influenzae,
basil kultur bakteri yang positif akibat kontaminasi, kultur darah
yang hanya sebagian kecil positif dan kultur aspirat pungsi paru
yang sulit dilakukan dan invasif walaupun merupakan metoda
paling baik untuk menentukan etiologi, semuanya merupakan
Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992
49
masalah. Untuk mengatasinya harus difikirkan pengembangan
pemeriksaan serologis terhadap
S. pneumoniadan H. influenzae
berupa pemeriksaan antigen, antibodi dan CRP. Pemeriksaan
CRP berguna untuk membedakan penyebab ISPA bakteri atau
virus.
Untuk mengetahui virus sebagai penyebab dapat dilakukan
pemeriksaan kultur walaupun umumnya sangat sulit dilakukan.
Sediaan berasal dari hapusan tenggorok, hidung, aspirat naso-
faring atau dari serum pada masa akut dan konvalesen. Kultur ini
dilakukan pada embrio ayam, ginjal monyet, Hela/Hep 2 cells
atau human lung
fibroblast.
Pemeriksaan mikroskop elektron, imunofloresen, enzim,
redioimmunoassay, haemagglutination, haernadsorption
dan
deteksi IgM spesifik membutuhkan waktu lebih singkat sehingga
deteksi virus secara dini dapat dilakukan untuk mencegah penye-
baran dan penggunaan antibiotika yang tidak rasional.
Pengobatan
Pengobatan meliputi pengobatan penunjang dan antibiotika.
Penyebab ISPA atas yang terbanyak adalah infeksi virus maka
pemberian antibiotika pads infeksi ini tidaklah rasional kecuali
pada sinusitis, tonsilitis eksudatif, faringitis eksudatif dan radang
telinga tengah
l
).
KEADAAN DAN KENDALA ISPA PADA BAYI DAN
ANAK
Pneumonia
Diagnosis Rumah Sakit merupakan diagnosis klinik; bila di-
ikuti pemeriksaan radiologik paru dan analisa gas darah, diagno-
sis anatomik dan fungsional dapat ditegakkan.
Tanda klinik berupa panas, sesak nafas dengan frekuensi
pernafasan yang bertambah dan adanya retraksi suprasternal,
interkostal dan epigastrium disertai ronki basah halus nyaring.
Penelitian Marjanis Said (1980) pads anak dengan bron-
kopneumonia berat menemui frekuensi pernafasan dan jantung
meningkat, ronki basah halus nyaring pada semua penderita,
gelisah 60%, gangguan kesadaran 56,6% dan sianosis 53,3%.
Hasil analisis gas darah menunjukkan hipoksemi pada semua
penderita dan setelah pemberian oksigen sebanyak 3 1/menit
masih ditemui 42,4% penderita hipoksemi. Peneliti juga me-
nemui insufisiensi dan kegagalan ventilasi dan asidosis meta-
bolik pads 44,4%. Tanda klinik yang mempunyai korelasi baik
terhadap adanya hipoksi dan penurunan saturasi oksigen adalah
sianosis(
32)
. Penelitian ini menunjukkan, walaupun terapi kausal
sangat didambakan namun terapi suportif tidak dapat diabaikan.
Penyuluhan terhadap keluarga dan tenaga kesehatan non-
formal sangat diperlukan sehingga mereka mengenal ISPA
ringan, sedang dan berat untuk tindakan selanjutnya.
Pertanda untuk perujukan penderita ISPA bagi tenaga non-
medis adalah frekuensi pernafasan lebih dari 50 kali/menit dan
adanya retraksi dada(
33
)
Penyebab pneumonia di negara berkembang kebanyakan
adalah bakteri terutama S. pneumonia dan H. influenzae maka
WHO menggariskan pemberian antibiotika terhadap ISPA sedang
dan berat berupa penisilin, kotrimoksazol atau amoksisilin
(28)
.
50 Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992
Alan Tumbelaka dkk (1987) membandingkan pengobatan
pneumonia berat pads anak berumur 2 bulan 2 tahun dengan
kotrimoksazol dan kombinasi ampisilin dan kloramfenikol de-
ngan hasil pengobatan yang tidak bermakna, masing-masing
93,2% dan 91,0%
04
).
Diagnosis etiologik belum pernah dilaporkan, sebaiknya
dilakukan walaupun merupakan tantangan akibat sulit mahal
untuk dilaksanakan. Para ahli menduga pneumonia yang terjadi
pads stadium awal morbili biasanya diakibatkan invasi virus
morbili;
bila terjadi pada stadium rekonvalensi dialdbatkan
infeksi bakteri sekunder. Cissy B. Kartasasmita dkk (1987)
melaporkan hasil penelitian terhadap 142 anak berumur 6 bulan
9 tahun dengan pneumonia morbili ternyata 77% pneumonia
terjadi pada stadium awal dengan 27% leukositosis dan 23%
pada stadium rekonvalensi dengan 53% leukositosis(
3s
)
Bronkiolitis
Williams dan Phelan (1975) menyatakan bronkiolitis umum-
nya dijumpai antara usia 1 6 bulan(
19)
. Penyebab utamanya 86%
oleh karena infeksi RSV dan dapat juga oleh virus Parainfluen-
zae
m
. Banyak laporan kepustakaan menyatakan bahwa anak
yang sembuh dari ISPA sebagian akan meninggalkan gejala sisa
yang bersifat sementara atau menetap. Gejala sisa ini merupakan
faktor risiko untuk terjadinya penyakit paru kronis di masa men-
datang. Gejala sisa yang ditimbulkan bronkiolitis tidak hanya
terbatas pada asthma tapi dapat berupa obstruksi, emfisema,
infeksi berulang dan atelektase akibat necrotizing bronkiolitis
akibat infeksi adeno virus. Kemungkinan keadaan ini tidak ter-
lepas dari faktor ras dan sosio-ekonomi(36.37.3s)
Bentuk lain adalah bronkiolitis obliterans, akibat kerusakan
jaringan otot, elastis dan epitel bronkiolus pada penyembuhan
nantinya akan terbentuk fibrosis yang mengakibatkan obliterasi
lumen bronkiolus. Keadaan ini diakibatkan oleh infeksi virus
Influenzae, Rubeola, Adeno virus dan inhalasi gas-gas
toksik(
36.37,38)
.
Bronkitis Akut
Infeksi bronkus ditandai dengan adanya demam, batuk pro-
duktif, pilek serta tanda-tanda radang pads saluran nafas atas dan
ronki basah kasar tidak nyaring. Menurut kepustakaan penyebab
bronkitis akut pada umumnya adalah virus.
Pemeriksaan kadar CRP (C-reaktive Protein) dapat digunakan
sebagai test penyaring untuk menentukan penyebab. Untuk
menguji kebenarannya sebaiknya dikonfirmasi dengan kultur
bakteri dan pemeriksaan virus. Penelitian-penelitian mendatang
untuk validitas virus sebagai penyebab bronkitis akut sangat
diharapkan sehingga penggunaan antibiotika yang tidak rasional
dapat dihindari.
Nastiti N Rahajoe dkk (1987) mendapatkan dari 60 anak
yang umurnya berkisar 1 12 tahun menderita bronkitis akut
ternyata, penderita terbanyak pada umur 1 3 tahun (58,33%),
secararadiologis telah disingkirkan adanya pneumonia (93,02%)
dan tidak bertentangan dengan infeksi virus, pemeriksaan CRP
normal, leukosit kurang dari 10.000/mm
3
(90%) dan suhu tubuh
kurang dari 38,3 C sebanyak 75,50%
04
).
Laringitis akut non difterika
Umumnya ditemukan pads usia 1 3 tahun
t19.
'
0l
,
manifes-
tasinya berupa laringitis supra atau sub-glotis dan dapat meng-
akibatkan obstruksi saluran nafas alas menyebabkan keadaan
darurat medik yang mengancam jiwa anak.
Diagnosis etiologik belum ada yang melaporkannya se-
dangkan diagnosis klinik di Rumah Sakit tidak menjadi per-
masalahan.
Prognosis dapat dipengaruhi umur penderita. Makin muda
usia anak makin kecil ukuran laringnya makin berat pula gejala
yang ditimbulkannya
o11
Untuk mencegah obstruksi laring yang berat pads awal
penyakit diberikan kortikosteroid dan antibiotika dan bila
obstruksi telah terjadi sebaiknya dilakukan intubasi atau tra-
keostomi.
Pengamatan dan penatalaksanaannya yang tepat sangat
diharapkan terlebih-lebih lagi sampai saat ini pencegahan de-
ngan cara imunisasi belum ditemukan.
Laringitis akut difterika
Seperti laryngitis nondifterika, laryngitis ini sangat cepat
menimbulkan gawat anak.
Diagnosis klinik di Rumah Sakit selalu dikonfirmasi dengan
pemeriksaan basil kultur yang disertai pemeriksaan test sensiti-
vitas.
Untuk mencegah angka kematian yang lebih besar dibu-
tuhkan diagnosis dini yang segera diikuti dengan pemberian
ADS dan antibiotika.
Faringitis dan Tonsilitis karena streptokokkus
Adanya kemungkinan korelasi faringitis dan tonsilitis
streptokokkus ini dengan sakit jantung rematik sehingga kedua
infeksi ini hams selalu ditanggapi dengan serius.
Pertusis
Rendahnya cakupan imunisasi DPT dan sedikitnya pene-
muan diagnosa pertusis merupakan suatu keadaan yang sumir.
Permasalahan yang timbul apakah gambaran atau manifestasi
klinis pertusis saat sekarang ini telah mengalami perubahan.
Syafitri Siregar dkk (1987) melakukan pemeriksaan kultur
dan pengukuran S-IgA usap nasofaring terhadap 21 anak ter-
sangka pertusis dan 28 anak kelompok kontrol, temyata S-IgA
positif pada penderita tersangka pertusis dibandingkan dengan
basil biakan kuman berbeda bermakna 58,1% dan 25%. Dengan
demikian untuk menegakkan diagnosis pertusis pada biakan
kuman yang negatip sebaiknya dilakukan.pengukuran S-IgA
l42l
.
KESIMPULAN
Telah diutarakan kepustakaan ISPA pads bayi dan anak di
Indonesia dengan membandingkannya dengan kepustakaan ba-
rat. Ternyata morbiditas dan mortalitas ISPA bayi dan anak di
Indonesia masih tinggi.
Kendala yang ditemui antara lain belum ditemukannya pola
bakteriologi, mikrobiologi dan virologi sehingga penggunaan
antibiotika yang rasional belum terlaksana sebagaimana mesti-
nya. Kendala lain yang juga berperan tapi belum semua ter-
ungkapkan adalah faktor-faktor yang mempengaruhi morbiditas
dan mortalitas ISPA.
Adanyapenyakit-penyakit ISPA yang sembuh dengan gejala
sisa yang merupakan faktor risiko untuk terjadinya penyakit paru
kronis di masa mendatang menjadi tantangan bagi kita semua.
Sangat dibutuhkan penelitian-penelitian berikutnya untuk
mengungkapkan kendala-kendala yang dihadapi pada program
pemberantasan ISPA dalam usaha menurunkan angka kematian
bayi dan anak untuk menunjang program pcmerintah di tahun
2000 mendatang.
KEPUSTAKAAN
1. WHO. A Programme for Controlling Acute Respiratory Infections in
Children : Memorandum from a WHO Meeting Bull WHO 1984; 62:
47-58.
2. WHO. Case Management of Acute respiratory Infections in Children in
Developing Countries. WHO/RSD/85.15. Rev 1.
3. Smith MHD.
Bacterial Pneumonias. dalam Kendig's Disorders of the
Respiratory Tract in Children, WB Saunders, 1977. pp 378-401.
4. L Ratna Budiarso dkk (eds). Presiding Survei Kesehatan Rumah Tangga
1986. Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan. Departemen Ke-
sehatan, 1987.
5. Saroso JS, Supamadi, Retnawati, Manikoro. A Longitudinal Survey of
Diseases Occuring in Children Under 5 Yeras Age In Pondok Pinang,
Jakarta, Paediatr Indon 1972; 12: 469-478.
6. Moeljono S Trastotenojo.
Beberapa masalah dan perspektif kesehatan
anak di Indonesia. Pidato pengukuhan penerimaan Guru Besar Tetap
Universitas
Diponegoro, 1981.
7. Kanwil Depkes RI, Propinsi Sumatera Utara. Tinjauan epidemiologi pe-
nyakit
saluran nafas bagian alas di Propinsi Sumatera Utara. Pertemuan
Ilmiah Sehari Penanggulangan Penyakit Saluran Nafas Atas dan Rongga
Mulut. Medan, 1983.
8. SoemardiUmardkk. KejadianPenyakitlnfeksiSaluran Nafas diPoliklinik
Anak Sakit
RS. Dr.
Pimgadi Medan: Konas IDPI ke III, Medan 1983.
9.
WHO. Clinical Management of Acute Respiratory Infections in Children:
A WHO Memorandum. Bull WHO 1981; 59: 707-16.
10. WHO. Global Medium-Term Programme, Acute Respiratory Infections,
Seventh General Programme of Work Covering the Period 1984-1989,
WHO TRI/ARI/MTP/83.1, Geneva, September 1983.
11.
WHO. Research on Acute Respiratory Infections, Advisory Committee on
Medical Research, ACMR 24/82.13, Geneva, October 1982.
12.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia (1980), Survey Kesehatan
Rumah Tangga, Data Statistik, hal 27-81, 92-104.
13. Hutasoit C,
Mardiana K.Dj, Daulay RM, Lubis HM, Siregar Z. Bronko-
pneumonia dengan Morbili pada bayi dan anak yang dirawat di RS. Dr.
Pimgadi Medan. KONIKA VIII, Ujung
Pandang 1990.
14.
Fuad Arsyad, Rusdid jas, Siregar Z, Siregar H. Kejadian Bronkopneumonia
di Bagian Bmu Kesehatan Anak FK. USU/RS Dr. Pimgadi Medan. KONAS
Ke III IDPI, Medan, 1983.
15. WHO. Viral Respiratory Infections, WHO Techn Rep Ser, 642, 1980.
16.
Herrero L. Respiratory Infection in Central America, Pediatr Res 1983; 17:
1035-1038.
17. Reeves WC, Dillman L, Quiroz E, Centano R. Opportunities for studies of
children
'
s respiratory infection in Panama, Pediatr Res 1983; 17: 1045-9.
18.
Morley D. Acute Respiratory Infections. dalam: Paediatric Priorities in the
Developing World, Butterworths & Co Ltd, 1973.
19.
Williams HE, Phelan PD. Respiratory illness in children. 1st ed. Ozford-
London-Edinburg-Melboume: Blackwell Scient Publ.
20. Sutmoller F, Naccimento JP. Studies on Acute Respiratory Infections in
Brazil (A Status Report) Pediatr Res 1983; 17: 1038-40.
21. Denny FW, Clyde WA. Acute Respiratory Tract Infection: An Overview,
Pediatric Research, 1983; 17: 1026-1029.
22. Tumer RB et al. Pneumonia in paediatric outpatients: Cause and clinical
Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992
51
manifestations, J. Pediatr 1987; 111: 194-200.
23. Steinhoff MC, John TJ. Acute Respiratory Infections of Children in India,
Paediatr Res 1983; 17: 1032-5.
24. Mc Cord C, Kielmann AA. Successful Programme for Medical Auxiliaries
Treating Childhood Diarrhoea and Pneumonia, Tropical Doctor 1978; 8:
220-225.
25. Riley I et al. Status of Research on Acute Respiratory Infections in Children
in Papua New Guinea, Pediatr Res 1983; 47: 1041-3.
26. Weissenbacher MC. Opportunities for studies of children's respiratory
infections in Argentina, Pediatr Res 1983; 17: 1058-60.
27. Duenas A. Opportunities for Studies on Acute Respiratory Infections in
Children of Columbia, Pediatr Res 1983; 17: 1058-1060.
28. WHO. Antigen Detection in Bagterial
Respiratory Infections in Children.
WHO/RSD/87.39.
29.
Soejono, Moeljono ST, Harsoyo N. Treatment of
bronchopneumonia with
spiramycine (rovamycine). Paediatr Indon 1976; 16: 396-402.
30. Tatty H, Moeljono ST, Soemantri Ag, Moedrik T. Bacteriological pattern
in respiratory tract infection in Children (unpublished,
1983).
31. Ong SB, Thong ML, Tay LK. Viruses and bacteria associated with acute
respiratory illnesses in young children in general practice. SE Asian J Trop
Med Pub Hit 1978; 9: 98-102.
32. Mardjanis Said et al. Acid-Base Balance and Blood Gas Analysis in
Bronchopneumonia in Infancy and Childhood. Paediatr Indon 1980; 20:
68-76.
33.
Kartasasmita CB, Widjajaningsih, Alisjahbana A, Rarasati. Infeksi Salur-
an Pemafasan Akut: Bilakahseorang penderita hams dirujuk oleh petugas
kesehatan di pedesaan (dukun paraji?). KONIKA VII, Jakarta 1987.
34. Tumbelaka AR, M. Harjono Abdoerrachman, Bulan Ginting Munthe.
Pengobatan bronkopneumonia dupleks pads anak dengan Trimetoprim
dan Sulfametoksazol. KONIKA VII, Jakarta 1987.
35. Kartasasmita CB, Dedi Rachmadi. Beberapa aspek dari Bronkopneumonia
pada ai ak dengan campak. KONIKA VII, Jakarta 1987.
36. Phelan PD,
Landau LI, Olinsku. A respiratory illness in children 2nd ed.
Oxford, London, Melbourne: Blackwell Scient Pub, 1982.
37. Kendig E, Chemick V. Disorders of the Respiratory tract in Children. 4th
ed. St. Louis, London, Toronto: WB Saunders Co, 1983.
38. Kattan M. Long-Term Sequelae of Respiratory illness infancy and child-
hood. Pediat Clin N Am, 1979; 26: 525.
39. Rahajoe NN, Rahajoe N, Marjanis Said, Siti
Rozanah. Gambaran bronki-
tis pada anak. Peranan CRP dalam penyaringan etiologi. KONIKA VII,
Jakarta 1987.
40. Krugman S, Katz SL. Infections diseases of children. 7th ed. St. Louis,
Toronto, London: C.V Mosby Co, 1981.
41. Moffet HL. Paediatrics infections diseases. A problem oriented
apprqach.
2nd ed. Philadelphia, Toronto: JB LippincouCo, 1981.
42. Siregar S, Harahap F,
MatondangCS, dkk. Pengukuran kadar sekret IgA
untuk membantu menegakkan diagnosis pertusis. KONIICA VII,
Jakarta
1987.
5fe who asks a question is a fool for five minutes,
he who does not, remains a fool forever
(Chinese proverb)
52 Cermin Dunia Kedok t eran, Edisi Khusus No. 80, 1992
Penyakit Hati dan Tukak Lambung
Vaksinasi terhadap Hepatitis B
E.N. Kosaslh*, I. Suklman**
Bagian Patologi Klinik, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
Rumah Sakit Dr Pirngadi, Medan
ABSTRAK
Kekerapan hepatitis B adalah tinggi di Asia. Di Indonesia (1981) kekerapan Hepatitis
B Antigen (= HBsAg) positif ditambah kekerapan Hepatitis B Antibodi (= HBsAb)
positif, cukup tinggi : 51,6% (5,5% + 46,1%), sedangkan mahasiswa baru (1982) USU :
53% (16% HBsAg+, 37% HBsAb+). Golongan risiko tinggi akan kontak dengan virus
hepatitis B, perlu mendapat vaksinasi karena kecenderungan keterkaitan HBsAg-emia,
hepatitis kronik, cirrhosis hepatis dan hepatoma.
Dikenal dua jenis vaksin : berasal dari plasma dan rekombinan berasal dari sel ragi.
Kedua-duanya aman, memberikan imunogenisitas hampir sama. Faktor harga meng-
hambat pelaksanaan vaksinasi secara luas.
Pada orang normal : titer HBsAb (cara EIA) dianggap cukup protektif bila minimal
10 IU/1. Pengalaman penulis utama : 47 orang sehat (26 pria, 21 wanita, usia 2 66 tahun)
di antara pasien pribadi yang telah divaksinasi (Engerix B) memberi keberhasilan
terbentuknya HBsAb (cara EIA) pada 44 kasus (93,6%) dengan titer antibodi rata-rata
429,4 IU/l. Kebanyakan tergolong respons sedang (= 101 1000 IU/1) kecuali satu kasus
dengan respons lemah (= 10 100 IU/1). Tiga kasus negatif, menjadi responsif lemah
setelah suntikan ke 4.
PENDAHULUAN
Epidemiologi hapatitis B
Bagian dunia yang endemisitasnya tinggi untuk hepatitis B
adalah terutama di Asia, misalnya daratan Cina, Vietnam, Korea,
di mana 50 70% dari penduduk berusia antara 30 sampai 40
tahun pemah kontak dengan virus hepatitis B (HBV) dan sekitar
10 15% menjadi pengidap Hepatitis B surface Antigen
(HBsAg)(') . Pengidap HBsAg terbagi dalam 2 golongan : tanpa
' Guru Besar Pat ologi Klinik , Spesialis Penyak it Dalam, Fellow Int . Soc.
Hemat ology, Anggot a Amer. Soc. Clin. Pat h., Anggot a Board of St udy CHS
(Jak art a) bidang Pat ologi Klinik , Ket ua Program St udi Pat ologi Klinik .
*' Spesialis Pat ologi Klinik , Fellow Int . Soc. Hemat ology, Kepala Bagian
Pat ologi Klinik .
adanya tanda-tanda hepatitis kronik (pengidap asimtomatik) dan
disertai tanda-tanda hapatitis kronik. Golongan terakhir ini yang
berjumlah sekitar 10 30% dari pengidap, harus berhati-hati
karena adanya peluang untuk menjadi sirosis hepatis dan ke-
mudian hepatoma
o
).
Indonesia (1981) digolongkan sebagai negara dengan ka-
tegori endemisitas sedang sampai tinggi, kekerapan rata-rata
5.5% dengan variasi 3,5 sampai 9,1%
0,3
). Pada umumnya di luar
Jawa kekerapan lebih tinggi
(3).
Di pulau Samosir dan pulau Nias
dengan cara penentuan HBsAg yang lama kurang peka (cara
CIE = Counter Immuno-Electrophoresis) di antara orang yang
tampak sehat (masing-masing 224 kasus dan 312 kasus), sudah
mencapai masing-masing 4,3% dan 7,7% pada tahun 1972. Pada
Cermin Dunia Kedokteran,
Edisi Khusus No. 80, 1992 53
tes ulangan dengan cara yang lebih peka 1AHA (Immune
adherence Hemagglutination) oleh WHO Immunology Centre
Singapore, memberikan hasil HBsAg positif pads 10,5% di
antara penduduk pulau Samosir
t4
' Pada tahun 1982 dengan
menggunakan cara yang lebih peka survai di antara mahasiswa
yang baru masuk USU, berusia antara 18 dan 23 tahun adalah
16% HBsAg positif (cara PHA), sedangkan 37% HBsAb positif
(ca as rPHA) (
5)
. Pada tahun 1985 dengan cara pemeriksaan yang
kini lazim digunakan dan menupakan yang paling peka yang
pernah digunakan di Medan, (cara EIA = Enzyme Immuno-
Assay), didapat kekerapan HBsAg positif sebesar 6% di antara
donor darah Rumah Sakit Dr. Pirngadi Medan (200 orang).
Exposure rate (pernah kontak) hepatitis B untuk suatu go-
logan penduduk dihitung dengan menjumlahkan kekerapan
HBsAg positif dengan kekerapan HBsAb positif.
Exposure rate
untuk Indonesia berdasarkan survei di 9 kota besar dengan
pemeriksaan HBsAg cara PHAdan HBsAb cara rPHA (kedua
cara relatif kurang peka dibandingkan dengan cara EIA) adalah
rata-rata 5,5% (HBsAg +) + 46,1% (HBsAb +) = 51,6% pads
tahun 1981(
5
). Exposure rate mahasiswa baru USU (1982)
adalah 16% + 37% = 53%.
Di Eropa dan Amerika Serikat kekerapan pengidap antigen
hepatitis B adalah sangat kecil sekitar yaitu 0,5 1 per-mil dan
kebanyakan terdiri dari pecandu obat suntik narkotik.
Cara penularan hepatitis B
Dugaan semula bahwa penularan hepatitis B terutama ka-
rena transfusi darah (darah donor mengandung HBsAg) dan
melalui alat-alat suntik yang tecemar HBsAg tidak sepenuhnya
benar. Ternyata banyak kasus-kasus hepatitis B penularannya
dengan cara lain seperti melalui darah, air ludah, cairan mani,
tinja, dan berbagai cairan tubuh lain dari penderita hepatitis B.
Kontak erat dalam waktu yang lama merupakan salah satu faktor
penentu penularan.
Penularan dapat terjadi melalui/akibat:
-
Hubungan kelamin dengan penderita/pengidap.
Menggunakan peralatan yang tercemar/seperti alat suntik,
tindik anak telinga, akupunktur, tato.
Benda-benda yang dipergunakan bersama penderita dapat
melukai tubuh, misalnya sikat gigi, alat pencukur, sisir, glinting
kuku.
Kontak dengan cairan tubuh atau getah tubuh penderita
melalui luka-luka di kulit atau selaput lendir mata dan mulut.
Bayi yang dilahirkan dari ibu yang menderita hepatitis B
(penularan secara vertikal).
VAKSIN HEPATITIS B
Jenis vaksin
Pada tahun 1982 telah berhasil dibuat vaksin hepatitis B dari
partikel HBsAg murni yang dipisahkan dari plasma. Vaksin
terdiri dari HBsAg yang telah di-inaktifkan dan tidak lagi in-
feksius. Setelah dikenal penyakit AIDS, vaksin rekombinan
berasal dari sel ragi (yeast) dipasarkan sejak 1986. Vaksin viral
noninfeksius ini mengandung protein HBsAg yang dihasilkan
oleh sel-sel ragi: Saccharomyces cerevisiae.
54 Cermin Dunia Kedok t eran, Edisi Khusus No. 80, 1992
Evaluasi intensif bidang epidemiologik, virologik dan se-
rologik meunjukkan bahwa vaksin berasal dari plasma tidak
menularkan AIDS
(9.1)
Kedua jenis vaksin dapat digunakan de-
ngan aman dan mempunyai Jaya imunogenisitas hampir sama.
Vaksin berasal dari sel ragi memberi persentase imunogenisitas
agak kurang pads orang tua dibandingkan dengan vaksin berasal
dari plasma
(1W.
Walaupun demikian banyak orang masih enggan
menggunakan vaksin berasal dari plasma walaupun vaksin jenis
ini memberikan geometric mean titer antibodi lebih tinggi dan
harganya lebih ekonomis. Titer antibodi yang lebih tinggi mem-
beripeluang untuk waktu proteksi yang lebih lama dan bukan
berperan terhadap gaya imunogenitas
(lo).
Vaksin hepatitis B ini
memberi proteksi terhadap HBV dari semua subtipe yang di-
kenal.
Vaksin dalam
vial disimpan pads suhu antara 28 derajat C.
Jangan dibekukan, karena vaksin akan rusak. Perhatikan masa
daluwarsanya.
Pilihan Vaksin Hepatitis B & Dosisnya (I I M S, 1991)
Nama dagang &
Pembuat Vaksin
Golongan
Antigen protein
per dosis
Asa!
Vaksis
Engerix-B
SmithKline
Biological
H B Vax II
Merck
Sharp & Dohme
Hevac B Pasteur
PasteurMerieux
Hepaccine B
Cheil Sugar
Hepa B Korea
Korea Green Cross
Dewasa
Bayi-anak
sampai 10 tahun
Dewasa
anak < 11 thn
bayi
Dewasa
Bayianak < 11 thn
Dewasa
Bayianak < 11 thn
Dewasa
Bayianak < 11 thn
1 ml = 20 mcg
0,5 ml = 10 mcg
1 ml = 10 mcg
0,5 ml = 5 mcg
0,25 ml = 2,5 mcg
1 ml = 5 mcg HBsAg
0,5 ml = 2,5 mcg HBsAg
1 ml = 3 mcg HBsAg
0,5 ml = 1,5 mcg HBsAg
1
ml = 20 mcg HBsAg
0,5 ml = 10 mcg HBsAg
Ragi
Ragi
Plasma
Plasma
Plasma
INDIKASI VAKSINASI
Mengingat keterkaitan : HBsAg-emia menjadi > hepati-
tis kronik menjadi > sirosis hepatic menjadi > karsinoma
hepato-seluler, maka pencegahan hepatitis B dengan cara vaksi-
nasi
pre-exposure prophylaxis adalah yang paling baik. Hal ini
berlaku untuk semua umur. Terutama diprioritaskan. bayi dan
anak-anak yang tergolong risiko tinggi. Hal ini didasarkan ke-
pada kecenderungan bahwa infeksi HBV mengakibatkan keada-
an kronik, terutama pads bayi, yaitu 90% atau lebih, sedangkan
pads anak-anak dan orang dewasa masing-masing 2030 % dan
510%.
Vaksinasi aktif perlu diberikan kepada mereka yang belum/
kurang memiliki kekebalan terhadap hepatitis B (HBsAb nega-
tif atau positif dengan titer kurang dari 10 IU/1) yang dianggap
kurang protektif, sedangkan risiko akan kontak dengan virus
hepatitis B adalah tinggi atau sedang.
Mereka yang perlu divaksinasi
Pekerja bidang kesehatan/kedokteran, terutama bila ada pe-
luang bagian tubuhnya tertusuk oleh jarum atau benda tajam :
Dokter spesialis ,bedah, spesialis T.H.T., dokter umum, dokter
beserta semua pegawai yang bekerja di laboratorium, unit he-
modialisis, din
g
s transfusi darah dan unit bedah mayat. Pegawai
paramedik : perawat, bidan, teknisi. Pegawai non medik, misal-
nya
di bagian binatu, pembersihan dan lain-lain.
Spasmolitik/tokolitik, plasento-tropik.
Catalan :
1) KPD dengan umur kehamilan < 26 minggu (BB 500 gram)
sebaiknya langsung dilakukan induksi/terminasi kehamilan
(survival rate mendekati nol).
2) Tanda-tanda utama korio-amnionitis adalah : suhu
38C,
air ketuban purulen dan berbau busuk, lekosit > 15.000/mm
3
.
Tanda-tanda lain adalah : takikardi, nyeri tekan Uterus, dan lain-
lain.
Komplikasi
-
Infeksi/sepsis.
meteorismus
febris
his lemah sampai hilang
oliguria.
2)
Tanda-tanda infeksi intrauterin/intrapartum :
kultur
b) BUN, kreatinin serum
c) Elektrolit serum
d) ECG
e) Foto thorax.
Pengelolaan
A. Pengobatan Medisinal
a)
Istirahat di rumah, dengan tirah baring miring, 1 jam pagi
hari, 1 jam siang hari.
b)
Phenobarbital 3 x 30 mg atau diazepam 3 x 2 mg sebagai
sedasi selama 1 minggu.
c)
Bila dengan perawatan di atas tekanan darah diastolik temp
di atas 90 mmHg, maka dapat diberi obat-obat hipertensi, yaitu:
0
Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992 95
DIAGNOSIS
Anamnesis dan gejala klinis
Keluhan utama penderita adalah nyeri dada sehingga pen-
derita
membatasi pergerakan rongga dada dengan bernapas
pendek atau tidur miring ke sisi yang sakit
@)
. Selain itu sesak
napas terutama bila berbaring ke sisi yang sehat disertai batuk-
batuk dengan atau tanpa dahak. Berat ringannya sesak napas ini
ditentukan oleh jumlah cairan efusi. Keluhan yang lain adalah
sesuai dengan penyakit yang mendasarinya
m
.
Pemeriksaan fisis
Pada pemeriksaan fisik toraks didapatkan dada yang terkena
cembung selain melebar dan kurang bergerak pads pernapasan.
Fremitus vokal melemah, redup sampai pekak pada perkusi, dan
suara napas lemah atau menghilang. Jantung dan mediastinum
terdorong ke sisi yang sehat . Bila tidak ada pendorongan, sangat
mungkin disebabkan oleh keganasan(
w
)
Pemeriksaan radiologik
Pemeriksaan radiologis mempunyai nilai yang tinggi dalam
mendiagnosis efusi pleura, tetapi tidak mempunyai nilai apapun
dalam menentukan penyebabnya. Secara radiologis jumlah
cairan yang kurang dari 100 ml tidak akan tampak dan baru jelas
bila jumlah cairan di atras 300 ml
(
'
.5
)
Foto toraks dengan posisi Posterioe Anterior akan memper-
jelas kemungkinan adanya efusi pleura masif. Pada sisi yang sakit
tampak perselubungan masif dengan pendorongan jantung dan
mediastinum ke sisi yang sehat .
TORAKOSENTESIS
Tujuan torakosentesis (punksi pleura) di samping sebagai
diagnostik juga sebagai terapeutik
o
).
PEMERIKSAAN CAIRAN PLEURA
Makroskopis dan bau
Cairan efusi berwarna serous (jarang serohemoragis), ini
biasanya karena infeksi tuberkulosis, bila keruh kekuning-
kuningan akibat infeksi non tuberkulosis, keruh susu dengan
endapan di dasar karena empiema, keruh susu dengan krim di
bagian atas karena chylotoraks, keruh kehijau-hijauan karena
arthritis rematoid, kental karena mesothelioma, merah tengguli
karena sindrom hepatopulmonal, hemoragis karena karsinoma,
truma dan infark paru dan bau busuk umumnya karena infeksi
anaerobik
.0
)
Mikroskopis
Kumpulan lebih kurang 10 ml, cairan untuk pemeriksaan
mikroskopik. Bila ditemukan dominan neutrofil polimorf me-
nunjukkan suatu inflamasi bakterial dan bila jumlahnya sangat
banyak menunjukkan empiema. Efusi dengan sel limfosit per-
dominan merupakan tanda khas untuk tuberkulosis tapi dapat
juga dijumpai pada efusi pleura kronis dengan sebab apapun.
Eosinofil yang banyak sekali biasanya menunjukkan adanya
perdarahan dalam rongga pleura, karena keganasan atau pe-
96 Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992
nyakit jaringan penyokong
o)
.
Bila pads pemeriksaan pertama tidak dapat ditegakkan
diagnosis,
pemeriksaan sitologi sebaiknya diulang sampai
dengan tiga kali
8>
.
Untuk menentukan etiologi cairan pleura, biopsi pleura
memberikan basil yang lebih baik dibandingkan sitologi carian.
Biopsi dapat dilakukan secara buta dengan jarum Cope, Vim
Silverman atau Abrams. Biopsi yang berulang sebanyak 2-3
kali akan memberikan angka positip yang lebih tinggi('
3
'
)
.
Biokimia
Secara biokimia carian pleura dibagi alas transudar dan
eksudat (Label 1).
Di samping pemeriksaan di atas diperiksa juga kadar pH
(normal 7,64). pH < 7,30 dapat dijumpai pada penyakit TBC,
infeksi non TBC, penyakit kolagen, dan neoplasma". Kadar
glukosa yang rendah (40mg%) ditemukan karena proses
infeksi dan keganasan(
9
).
Akhir-akhir ini diperkenaikan pemeriksaan biokimia diag-
nostik antara lain pemeriksaan Cytokine
yang meliputi
Interleukin-1 (IL-1), Interleukin-2 (IL-2) serta gamma Inter-
ferop (IFN-Y) dan nemeriksaan Adenosine Deaminase (ADA)""'
-Ribera dkk"
3
)
di Spanyol mendapatkan kadar gamma inter-
feron yang tinggi pada efusi pleura tuberkulosis sebesar 91,2
U/ml (rata-rata 2,4-413 u/ml), sedangkanShimokata dkk(" ) di
Nagoya mendapatkan 73/ml rata-rata 1,5 - 410 U/ml untuk efusi
pleura tuberkulosis dan sebesar < 1,0 U/ml untuk efusi pleura
karena
karsinoma (p < 0,01). Banales dkk' di Mexico
mengemukakan peranan pemeriksaan Adenosine Deaminase
sebagai
marker dengan sensitifitas 98% dan spesifisitas 96%
untuk efusi pleura tuberkulosis dengan batasan 70 lU/liter.
Torakoskopi atau pleroskopi dapat secara langsung
melihat pleura dan dapat melakukan biopsi pada permukaan
pleura yang abnormal. Pemeriksaan ini dapat dilakukan dengan
mempergunakan torakoskop kaku atau dengan bronkoskopi
serat optik dengan anestesi topikal. Torakoskopi baru dikerjakan
bila pemeriksaan sitologi cairan pleura maupun biopsi pleura
tidak memberikan hasil"). Demikian juga tindakan prosedur di-
agnostik lainnya yang bersifat invasif seperti biopsi pleura ter-
buka dikerjakan bila pemeriksaan sitologi cairan dan biopsi
pleura tidak menemukan tanda keganasan).
PENGOBATAN
Efusi pleura masif harus segera mendapatkan tindakan
pengobatan karena cairan pleura akan menekan organ-organ
vital
dalam rongga dada dan dapat menimbulkan kematian
secara tiba-tiba(
2.5.0
.
Beberapa macam pengobatan atau tindakan yang dapat
dilakukan pada efusi pleura masif adalah sebagai berikut :
1) Obati penyakit yang mendasarinya
t5>
.
2) Torakosentesis - keluarkan cairan seperlunya hingga
sesak - berkurang (lega); jangan lebih 1-1,5 liter pads setiap
kali aspirasi(
2
), Zangelbaum dan Pare menganjurkan jangan
lebih 1.500 ml dengan waktu antara 20-30 menit(
9
). Torakosen-
tesis ulang dapat dilakukan pada hari berikutnya.
Torakosentesis untuk tujuan diagnosis setiap waktu dapat
dikerjakan, sedangkan untuk tujuan terapeutik pads efusi pleura
tuberkulosis dilakukan atas beberapa indikasi
t6>
:
a) Adanya keluhan subjektif yang berat misalnya nyeri dada,
perasaan tertekan pada dada.
b) Cairan sudah mencapai sela iga ke-2 atau lebih, sehingga
akan mendorong dan menekan jantung dan alat mediastinum
lainnya, yang dapat menyebabkan kematian secara tiba-tiba.
c) Suhu badan dan keluhan subjektif masih ada, walaupun
sudah melewati masa 3 minggu. Dalam hal seperti ini biasanya
cairan sudah berubah menjadi pyotoraks.
d) Penyerapan cairan yang terlambat dan waktu sudah mendekati
6 minggu, namun cairan masih tetap banyak.
3)
Jika efusi yang akan dikeluarkan jumlahnya banyak, lebih
baik dipasang selang dada (chest tube), sehingga cairan dapat
dialirkan dengan lambat tapi sempurna. Tidaklah bijaksana
mengeluarkan lebih dari 500 ml cairan sekaligus. Selang dapat
diklem selama beberapa jam sebelum 500 ml lainnya dikeluar-
kan. Drainase yang terlalu cepat akan menyebabkan distres pads
pasien dan di samping itu dapat timbul edema paru
t3s>
.
4) Pleurodesis dimaksudkan untuk menutup rongga pleura
sehingga akan mencegah penumpukan cairan pluera kembali.
Hal ini dipertimbangkan untuk efusi pleura yang rekuren seperti
pads efusi karena keganasan
o.4.5.
'
>
Sebelum dilakukan pleurode-
sis cairan dikeluarkan terlebih dahulu melalui selang dada dan
paru dalam keadaan mengembang
t5>
.
Pleurodesis dilakukan dengan memakai bahan sklerosis
yang dimasukkan ke dalam rongga pleura. Efektifitas dari bahan
ini tergantung pada kemampuan untuk menimbulkan fibrosis dan
obliterasi kapiler pleura
>
. Bahan-bahan yang dapat dipergunakan
untuk keperluan pleurodesis iini yaitu : Bleomisin, Adriamisin,
Siklofosfamid, Mustard, Thiotepa, 5 Fluro urasil, perak nitrat,
talk, Corynebacterium parvum dan tetrasiklin
tt.2,3,45,7>
Tetrasiklin merupakan salah satu obat yang juga digunakan
pada pleurodesis, harga murah dan mudah didapat dimana-mana.
Setelah tidak ada lagi cairan yang keluar masukkanlah tetrasiklin
sebanyak 500 mg yang sudah dilarutkan dalam 20-30 ml larutan
garam fisiologis ke dalam rongga pleura, selanjutnya diikuti
segera dengan 10 ml larutan garam fisiologis untuk pencucian
selang dada
t4.5>
dan 10 ml lidokain 2% untuk mengurangi rasa
sakit atau dengan memberikan golongan narkotik 1,5-1 jam
sebelum dilakukan pleurodesis. Kemudian kateter diklem
selama 6 jam, ada juga yang melakukan selama 30 menit dan
selama itu postsi penderita diubah-ubah agar tetrasiklin ter
distribusi di seluruh rongga pleura
t2,4>
. Bila dalam 24-48 jam
cairan tidak keluar lagi selang dada dicabut
t4,5>
5) Pengobatan pembedahan mungkin diperukan untuk :
a) Hematoraks terutama setelah trauma
t5>
b) Empiema
t5>
c) Pleurektomi yaitu mengangkat pleura parietalis; tindakan
ini jarang dilakukan kecuali pads efusi pleura yang telah menga-
lami kegagalan setelah mendapat tindakan WSD, pleurodesis
kimiawi, radiasi dan kemoterapi sistemik, penderita dennan
prognosis yang
buruk atau pada empiema atau hemotoraks yang
tak diobati
t5>
.
d) Ligasi duktus torasikus, atau pleuropritoneal shunting
yaitu menghubungkan rongga pleura dengan rongga peritoneum
sehingga cairan pleura mengalir ke rongga peritoneum. Hal ini
dilakukan terutama bila tindakan torakosentesis maupun pleu-
rodesis tidak memberikan hasil yang memuaskan; misalnya
tumor atau trauma pads kelenjar getah bening
t5
'> .
KEPUSTAKAAN
1. Crof J, Douglas A. Respiratory Diseases, 3rd ed, Oxford : Blackwell
Scientific Publ, 1981. pp 308-328.
2. Asril Bahar. Penyakit-penyakit pleura. Dalam : Ilmu Penyakit Dalam Jilid
II Jakarta : balai Penerbit FKUI, 1990, hal 785-805.
3. Hinshaw HC, Murray JE. Disorder of the Pleura. In : Disease of the Chest.
4th ed. WB Saunders Co, 1980. pp 833-903.
4. Leahy B, Stretton TB. Pleural Diseases. Medicine International, (De-
sember) 1982; (22-24) : 1036-1041.
5.
Stark JE, Shneerson JM, Higenbottam T, Milstein BB. Manual of the Chest.
1 st ed. London : Churchill Livingstone, 1989 (terjemahan Binarupa Aksara
Jakarta) hal. 198-213.
6. Rasmin Rasyid. Pleuritis eksudativa tuberkulosa. MKI 1987; 37(10) :
541-4.
7. Prakash UBS. Malignant pleural effusions, Postgrad Med 1986; 80 :
201-8.
8. Iles PB, Ogilvie C. Pleural aspiration and biopsy. BrMed; 8 March 1980,
pp 693-5.
9. Zangelbaum GL, Pare JAP. Clinical procedure and techniques in acute
respiratory care. Asian ed. Boston : Little, Brown and Co, 1982; pp 259-68.
10.
Ward PCJ. Pleural fluid data. Medical Current 1984; 37-40.
11. Shimokata, Saka H, Murate, Hasegawa Y, Hasegawa T. Cytokine content
in pleural effusion, Chest 1991; 99 (5) : 1103-7.
12. Banales L, Pineda PR, Fitzgerald JM, Rubio H, Selam M, Lezaman MS.
Adenosin Deaminase in the diagnosis of tuberculous pleural effusions.
Chest (February) 1991; 99 (2) : 355-7.
13. Ribera E, Ocana L, Vazquez JMM, Rossell M, Espanol T, Ruaibal A. High
level of interferon gamma in tuberculous pleural effusions. Chest 1988; 93
(2) : 388-11.
Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992
97
Benda Asing di Saluran Nafas
Sugito, HMM Tarigan, LS Soeroso, RS Parhusip
Bagian Ilmu Penyakit Paru, Fakultas Kedokteran Sumatera Utara
UPF Paru Rumah Sakit Dr Pirngadi, Medan
ABSTRAK
Kasus-kasus terinhalasi benda asing di saluran nafas terutama terjadi pads
anak. Untuk menegakkan diagnosis tidaklah begitu sukar, bila kita waspada terhadap
gejala-gejala yang timbul dan juga terutama bila pads anamnesis ada batuk-batuk, sesak
nafas dan mengi sesudah penderita tersedak ketika makan.
Beratnya gejala yang timbul tergantung dari lokalisasi, besar dan jenis benda
asing tersebut. Jenis kacang-kacangan menimbulkan gejala peradangan yang hebat,
akibat zat-zat yang dikeluarkan, dan dikenal sebagai
vegetal atau arachidic bronchitis.
Apabila kasus-kasus benda asing ini cepat didiagnosis dan ditanggulangi
dengan baik, maka hasilnya juga baik dan kerusakan paru dapat dihindarkan.
PENDAHULUAN
Benda asing pads saluran nafas adalah suatu hal yang
sering juga dijumpai pads anak-anak. Anal( laki-laki terinhalasi
benda asing dua kali lebih banyak daripada anak perempuan,
dan kira-kira 80% dari penderita adalah anak-anak di bawah
umur 4 tahun. Kacang tanah dan kacang kacangan lainnya yang
dapat dimakan, merupakan kasus yang terbanyak didapat dan
letaknya di bronkhus kanan sedikit lebih banyak daripada
di bronkhus kid.
GEJALA
Gejala klinis yang terjadi tergantung dari letak benda
asing tersebut di saluran nafas. Gejala-gejala ini penting
untuk diketahui, supaya diagnosis dapat ditegakkan secepatnya
untuk mencegah kerusakan saluran nafas yang lebih parah.
Terdapat 5 tanda-tanda klinis yang penting yaitu :
1) Wheezy bronchitis (asma)
Batuk-batuk, wheeze dan demam adalah gejala yang
umum pads penderita terinhalasi benda asing. Diagnosis wheezy
98
Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992
bronchitis
haruslah dipertanyakan lebih dalam pada anak-anak,
bila hal ini terjadi tiba-tiba tanpa didahului oleh gejala selesma,
atau bila sebelumnya tidak ada serangan seperti ini, atau
tidak terdapat riwayat alergi serta bila rhonkhi pada inspirasi
dan ekspirasi yang tidak menyeluruh pada kedua paru.
2) Resolusi yang gaga) dari infeksi akut
Bila benda asing tidak segera diambil, maka infeksi
saluran nafas yang akut terjadi di bagian distal dari obstruksi.
Infeksi ini manifestasinya sepertipneumonia,tetapi pada beberapa
kasus dapat sebagai infeksi saluran nafas yang tidak spesifik.
Resolusi yang lama dan tidak sempuma dari suatu pneu-
monia, lebih-lebih bila disertai dengan atelektasis paru, harus
dicurigai disebabkan oleh benda asing.
3)
Batuk khronis yang disertai dengan hemoptisis
Batuk khronis atau berulang dengan disertai hemoptisis
pada anak-anak tanpa penyakit paru suppurativa yang khronis,
sangat mungkin disebabkan oleh benda asing, lebih-lebih bila
terdapat juga atelektasis pada segmen atau lobus.
Biji rumput-rumputan adalah penyebab utama dari gam-
baran klinis ini dan biasanya biji-biji ini masuk ke bronchial
tree, sehingga tidak terlihat sewaktu pemeriksaan bronkhoskopi.
4) Batuk khronis disertai dengan gambaran atelektasis
Pads anak-anak dengan batuk khronis yang disertai gam-
baran atelektasis segmen atau lobar, haruslah waspada terhadap
adanya benda asing. Bila perbaikan secara klinis maupun
radiologis tidak nyata sesudah pengobatan dengan antibiotika
dan drainase postural, maka pemeriksaan bronkhoskopi harus
dilakukan.
5)
Kegagalan pernafasan
Beberapa penderita keadaan penyakitnya berlanjvt
menyebabkan kegagalan pernafasan akut. Secara anamnestis
diperoleh keterangan tentang kegagalan pengobatan infeksi
saluran nafas yang akut, di mana terdapat juga benda asing di
dalamnya.
Pads pemeriksaan radiologis tampak gambaran atelektasis
dari salah satu lobus dan adanya hiperinflasi pada paru lainnya.
Kegagalan pernafasan terjadi karenaberkurangnya ventilasi
secara akut.
RADIOLOGI
Beberapa bends asing bersifat radio-apaque, tetapi banyak
yang tidak. Pads penderita obstruksi bronkhus dapat terlihat
adanya gambaran hiper-inflasi atau atelektasis.
Walaupun pada pemeriksaan radiologis terdapat gambaran
yang normal, tetapi bila terdapat riwayat adanya inhalasi benda
asing, maka pemeriksaan brokhoskopi harus dilakukan.
Manifestasi terdapatnya benda asing di saluran nafas dapat
berbeda-beda seperti yang terlihat pads
gambar 1.
KASUS
{ Dari tahun 1977 - 1982 terdapat 5 kasus anak yang dikirim
ke Bagian Paru FK USU/R.S Pirngadi/B.P.4 Medan. Dan basil
pemeriksaan didapati basil sebagai berikut :
Kasus I
Seorang anak laki-laki berumur 51/2 tahun dikirim dari
Bagian Anak R.S. Pirngadi Medan, dengan keluhan batuk-batuk
dan demam. Dari anamnesis diperoleh keterangan bahwa 1 tahun
yang lalu os. tertelan sekrup sepeda. Selama 1 tahun ini os.
mengeluh batuk dan demam berulang-ulang Berta sesak nafas
yang ringan, dan selama ini jugs terus berobat tetapi tidak pernah
sembuh.
Pemeriksaan dilanjutkan dengan membuat foto thorax,
dan terlihat suatu benda asing di bronkhus utama kiri. Juga
terdapat atelektasis pada paru kiri lapangan atas dan tengah dan
bayangan jantung tentarik ke kiri.
Pads pemeriksaan bronkhoskopi tampak adanya obstruksi
bronkhus utama kiri oleh jaringan granulasi; Dengan per-
antaraan
scoop bends asing tersebut dapat dikeluarkan dari
jaringan granulasi tersebut. Ternyata benda asing tersebut
memang sekrup sepeda.
Kasus II.
Seorang anak laki-laki berumur 2 tahun, dirawat di
Bagian Anak RS Pirngadi dengan batuk dan sesak nafas. Batuk
dan sesak timbul sesudah os. makan kacang. Pada pemeriksaan
juga terdengat wheeze. Dua hari kemudian os. dikirim ke Bagian
Paru.
Pads pemeriksaan foto thoraks terdapat gambaran emfi-
sema pada paru kanan. Pada pemeriksaan bronkhsokopi
tampak edema larings, rima glotis sembab dan tertutup oleh
sekret warna putih, demikian juga trakhea penuh dengan
sekret putih dan pads bronkhus utama kanan maupun kiri
tidak tampak adanya kacang.
Kemudian sekret dibersihkan dengan jalan diaspirasi dan
os. tampak membaik beberapa hari kemudian. Selama perawatan
os. diberikan antibiotika dan kortikosteroid.
Kasus III
Seorang anak laki-laki berumur 31/2 tahun dikonsulkan
dari Bagian THT RS. Pirngadi Medan dengan keluhan sesak
nafas. Sesak nafas ini timbul setelah kakak os. memberikan
sepotong jambu klutuk. Di Bagian THT telah dilakukan
laringoskopi tetapi tak berhasil dikeluarkan.
Pads pemeriksaan os. sesak dan terdengar wheeze pada
parunya. Terdapat gambaran emfisematous pada paru kanan
dalam pemeriksaan foto thoraks.
Pads pemeriksaan bronkhoskopi tampak mukosa trakhea
dan bronchus hiperaemis dan sedikit edematous. Terlihat
adanya benda asing pada bronkhus utama kanan, dan diambil
dengan
scoop.
Benda asing tersebut temyata sepotong jambu
klutuk, seperti keterangan yang didapat dari anamnesis. Beberapa
hari kemudian penderita berangsur balk.
Kasus
IV
Seorang anak laki-laki berumur 10 bulan, dikonsulkan
dari Bagian Anak RS. Pirngadi ke BagianParu dengan keluhan
batuk dan sesak nafas. Dari anamnesis didapat keterangan
Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992 99
bahwa 2 hari yang lalu os. diberi makan kacang oleh kakaknya,
sesudah itu lalu os. batuk dan sesak nafas.
Pads pemeriksaan terlihat os. sesak nafas dan terdengar
wheeze pada parunya.
Pemeriksaan foto thoraks terlihat bayangan emfisematous
pada paru kanan, lalu dilakukan pemeriksaan bronkhoskopi.
Tampak trakhea dan bronkhus utama kanan dan dikeluarkan
dengan scoop temyata kacang tejin.
Beberapa hari kemudian os.berangsur-angsur balk.
Kasus V
Seorang anak perempuan berumur 2 tahun dikonsulkan
dari Bagian THT RS. Pimgadi Medan ke Bagian Paru. Os.
batuk-batuk dan sesak nafas. Dari anamnesis diperoleh kete-
rangan bahwa os. menjadi batuk dan sesak nafas setelah makan
kacang dua hari yang lalu.
Pads pemeriksaan terlihat os. sesak dan batuk-batuk serta
terdengar wheeze pada parunya. Telah dilakukan laringoskopi di
Bagian THT tetapi tak berhasil. Pada pemeriksaan foto thoraks
terlihat gambaran emfisematous pads kedua paru. Kemudian
dilakukan pemeriksaan bronkhoskopi, terlihatlah larynx, trakhea
dan bronkhus hiperemis dan oedematous. Pads trakhea terlihat
benda asing dan dikeluarkan dengan scoop dan ternyata adalah
kacang.
DISKUSI
Diagnosis biasanya tidaklah sukar bila si anak segera datang
sesudah inhalasi terjadi. Wheeze adalah gejala yang menonjol,
di samping batuk dan sesak nafas, di mana corpus
alienum
menyebabkan obstruksi dan hiperinflasi paru. Haruslah selalu
waspada akan adanya benda asing pada saluran nafas anak,
bila is dengan tiba-tiba mendapat
wheezing, sedangkan
sebelumnya tidak pemah menderita asma. ,
Keterlambatan menegakkan diagnosis, biasanya disebabkan
karena dokter tidak waspada terhadap gejala-gejala tersebut,
seperti yang dialami oleh penderita I. Hal-hal yang lain adalah
bila kejadian inhalasi tidak terlihat oleh orang tua si anak atau
si
penjaga anak. Keadaan ini meliputi kira-kira 40% kasus
yang mengalami keterlambatan diagnosis dan hal ini lebih
sering dialami pada anak-anak yang berumur lebih dari 5 tahun,
karena pengawasan terhadap si anak memang sudah berkurang.
Pads kira-kira 50% dari kasus hal ini disebabkan oleh orang
tua si penderita tidak mengambil perhatian yang serius terhadap
terjadinya batuk atau tersedak sewaktu anak makan atau adanya
makanan dalam mulut si anak. Dan sisanya kira-kira 10%, karena
dokter gagal menyatakan adanya benda asing dalam saluran
nafas seperti yang dilaporkan oleh orang tua si anak, dan
menyatakannya sebagai asma atau infeksi saluran nafas saja.
Mengenai ringan atau beratnya gejala, tergantung dari
lokalisasi, besar dan jenis benda asing tersebut. Gejala-gejala ini
100 Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992
semakin berat dan akut bila disertai reaksi peradangan yang
disebabkan oleh benda asing itu dan oleh zat-zat yang
dikeluarkannya seperti misalnya dari jenis kacang-kacangan
dan dikenal sebagai vegetal atau
arachidic bronchitis seperti
yang terlihat pada kasus IV dan V.
Pads kasus I letak dari corpus alienum adalah di bronkhus
kiri, sedang pada kasus III dan IV terletak di bronkhus kanan
dan pada kasus ke V letak corpus alienum tersebut berada di
trachea. Hanya pada kasus ke II tidak dapat ditentukan adanya
benda asing tersebut.
Berdasarkan anatomi bronkhus, maka bronkhus kiri letak-
nya lebih datar dibandingkan bronkhus kanan, sehingga
kemungkinan tersangkutnya benda asing akan lebih banyak di
bronkhus kanan daripada bronkhus kiri. Demikian juga halnya
kasus-kasus yang dijumpai di sini.
Jenis kacang-kacangan ternyata merupakan kasus yang
terbanyak dari benda asing pads saluran nafas, tidak jelas mengapa
demikian tetapi kemungkinan adalah karena kegemaran
anak-anak akan kacang, sehingga kasus kecelakaannya juga
lebih banyak.
Apabila kasus-kasus terinhalasi benda asing ini cepat
didiagnosis dan dengan penanggulangan yang baik, umumnya
mempunyai prognosis yang baik. Keterlambatan diagnosis dan
penanggulangan akan mengakibatkan terjadinya kerusakan
yang irreversibel pada paru.
KESIMPULAN
Telah dibicarakan kasus-kasus benda asing pads saluran
nafas dengan penyebab yang berbeda-beda, demikian juga
manifestasi kliniknya. Pads kasus pertama penyebabnya adalah
sekrup sepeda dan pada kasus keempat dan kelima serta
mungkin juga pada kasus ke dua penyebabnya adalah kacang
dan pada kasus ketiga penyebabnya adalah jambu klutuk.
Pada kasus pertama dengan gejala batuk yang khronis
sedangkan kasus yang lainnya adalah dengan gejala yang akut.
Keterlambatan diagnosis telah terjadi pada kasus pertama,
karena si dokter gagal untuk menyatakan adanya bends asing
dalam saluran nafas.
Bila dari anamnesis diperoleh keterangan adanya kecela-
kaan benda asing pada saluran nafas, haruslah dilakukan
pemeriksaan foto thoraks dan bronkhoskopi.
Beberapa hari kernudian sipenderita berangsur-angsur baik
dan dibolehkan pulang.
KEPUSTAKAAN
1.
Crefton, Douglass. Respiratory diseases 2nd ed, Blackwell, 1975. 379, 387,
695.
2.
Hinshaw Diseases of the chest. 3rd ed Saunders - Igaku Shoin, 1969. 232 -
8.
3. Hinshaw, Murray Diseases of the Chest. 4th Ed. Holt - Saunders, 1980.607,
610-1.
4.
Netter, The Ciba Collection. Volume 7. Respiratory system, 1979. 271-3.
5.
Nelson Textbook of Pediatrics. loth Ed Saunders, 1975.
6. Williams, Phelan Respiratory illness in children. Blackwell Scient Publ,
1975.252-9.
Update II (Diagnostik)
Penatalaksanaan Malaria Berat
Masa Kini
Endang Haryanti Gani
Bagian Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan
PENDAHULUAN
Dalam Sistim Kesehatan Nasional, malaria merupakan pe-
nyakit menular yang perlu diperhatikan karena selain menye-
babkan angka kesakitan dan angka kematian yang tinggi, juga
sewaktu-waktu dapat menyebabkan wabah.
Menurut laporan terakhir WHO, akhir-akhir ini terlihat
gambaran penderita malaria yang meningkat, khususnya di ne-
gara dunia ke tiga. Setiap tahun diperkirakan 150 juta orang
menderita penyakit malaria, 95% disebabkan oleh
Plasmodium
falciparum dan Plasmodium viva.e . Infeksi Plasmodium falci-
parum sering menimbulkan komplikasi malaria berat terutama
pads penderita yang non-imun. Malaria falciparum berat me-
rupakan keadaan darurat medik yang perlu penanganan segera
karena dengan derajat parasitemia lebih dari 2% akan menim-
bulkan komplikasi organ
(2
.
Angka kematian malaria serebral di Indonesia cukup tinggi
yaitu berkisar 21,5% 30,5%
0.4>
. Namun di beberapa daerah
non-endemik, penyakit malaria sudah hampir dilupakan baik
dari segi diagnostik maupun pengobatannya. Komplikasi mala-
ria berat sering disalahtafsirkan sebagai penyakit lain sehingga
pengobatan yang tepat sering terlambat. Berbagai usaha telah
dilaksanakan dalam menanggulangi penyakit malaria ini, tetapi
masih belum berhasil baik. Beberapa kendala umum pads pena-
talaksanaan penderita malaria antara lain :
1) Kualitas pemeriksaan laboratorium serta kecepatan me-
negakkan diagnostik malaria kurang memadai.
2) Pengetahuan para dokter dan petugas kesehatan lainnya
tentang penatalaksanaan malaria perlu disegarkan kembali.
3)
Penyediaan obat-obat malaria khususnya untuk penderita
malaria berat perlu mendapat perhatian dalam hal jenis maupun
kualitasnya.
4) Kemampuan melakukan ru j ukan penderita malaria sehingga
diperoleh ketepatan diagnosis maupun kecepatan pemberian
pengobatan yang tepat.
5) Adanya laporan resistensi di berbagai negara.
MANIFESTASI KLINIK
Malaria adalah pen yakit infeksi yang disebabkan oleh Plas-
modium yang mempunyai gambaran klinis yang khas : demam
periodik, anemia dan splenomegali.
Kriteria malaria berat
e
:
Kriteria parasitologis : jika jumlah eritrosit yang mengan-
dung parasit > 5% atau jika ditemukan skizon dalam darah tepi.
Kriteria klinis :
1) Anemia berat : Hb < 6 g % atau hematokrit < 18%.
2) Malaria serebral : kesadaran menurun s/d koma, ense-
falopati, P. falciparum positif.
3) Kegagalan ginjal : Kreatinin > 3 mg %, urine < 400 ml/
24 jam.
4) Ikterik : Bilirubin > 3 mg %
5)
Hipertermi
: Suhu rektal > 39C
6) Black water fever : Hemoglobinuria
7) Malaria algid : Shock dan hipovolemi
8) Gangguan elektrolit dan cairan
9) Edema paru
10) Hipoglikemi : kakar gula darah < 40 mg %
11)
Gangguan perdarahan
Bila ditemukan gambaran khas malaria disertai oleh satu
atau lebih kriteria klinis di atas maka yang bersangkutan men-
derita malaria berat.
DIAGNOSA BANDING
to
Pada diagnosis malaria diperlukan anamnesis rinci tentang:
asal penderita, apakah dari daerah endemik malaria, riwayat be-
pergian ke daerah endemik malaria, riwayat pengobatan kuratif
Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992 101
maupun preventif terhadap malaria.
Diagnosis banding malaria serebral :
1)
Infeksi otak (meningitis, ensefalitis)
Path malaria serebral hasil pemeriksaan cairan serebrospi-
nalis normal dan hasil pemeriksaan
Plasmodium falciparum
positif.
2)
Penyakit pembuluh darah otak (stroke hemoragik/non-
hemoragik)
Pada malaria serebral, demam timbul sebelum kelainan
neurologik, sedangkan pads penderita stroke, demam timbul se-
telah kelainan neurologik dan biasanya dijumpai lateralisasi.
3)
Penyakit endokrin/metabolik (diabetes dan timid)
Koma diabetik dapat diketahui dari pemeriksaan gula dash.
Koma hipotiroid dan krisis tiroid dapat diketahui dari gejala
klinik yang lain.
Diagnosis banding malaria biliosa :
1) Hepatitis
Penderita hepatitis hampir selalu didahului oleh gejala
prodromal dan bila ikterik biasanya demamnya turun, sedangkan
pads malaria, ikterus terjadi bersama demam.
2) Kolesistitis
Biasanya disertai riwayat kolik, lekositosis dan peningkatan
dan alkalifosfatase.
3) Abses hati amubik
Hepatomegali tanpa splenomegali, tegang otot rektus ka-
rena sangat nyeri, lekositosis berat dengan PMN sangat me-
ningkat tapi monosit tidak, berkeringat sore hari, hemaglutinasi
amuba positif dan spesifik, foto sinar-X sangat membantu.
Diagnosis banding malaria dengan hipertermia :
1)
Sepsis karena bakteri
Terjadi lekositosis PMN(Poly morphonuclear) sedang pads
malaria biasanya terjadi lekopeni dan monositosis.
2)
Typhus abdominalis
3)
Virus
Misalnya pads DHF, timbul nyeri otot, kurva demam 7 hari
berbentuk pelana, nadi pelan, limfadenitis, bercak kulit, lekopenia
berat tanpa splenomegali.
PENATALAKSANAAN MALARIA BERAT DAN MA-
LARIA
SEREBRAL
m
A) Pengobatan Spesifik
Di sini diperlukan obat anti malaria yang mempunyai Jaya
membunuh parasit secara cepat dan bertahan cukup lama di darah
untuk dapat menurunkan derajat parasitemia.
1 . Kinin HCI
Diberikan dalam larutan infus 10 ml/kgbb NaCl 0.9% atau
dextrosa 5%. Dosis loading
16,7 mg basa/kgbb atau 20 mg
bentuk garam/kgbb dalam 4 jam pertama; dosis biasa : 8,3 mg
basa/kgbb atau 10 mg bentuk garam/kgbb dalam 4 jam pertama.
Diteruskan dengan 8,3 mg basa/kgbb dalam 4 jam, diulang
tiap 8 jam, sampai penderita dapat menelan tablet untuk kemu-
dian diselesaikan pengobatannya per oral sampai hari ketujuh.
Dosis maksimal : 2000 mg/24 jam, sampai 13.000 mg selama 7
102 Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992
hari untuk berat badan 60 kg atau lebih.
Kinin HC1 sebaiknya tidak diberikan intramuskuler karena
absorpsi yang, tidak menentu dan sering mengakibatkan abses,
juga sebaiknya tidak diberikan intravena bolus karena efek
toksik pads jantung dan saraf. Apabila harus diberikan IV, cara-
nya diencerkan dengan 30-50 ml. cairan isotonis dan pemberian
IV lambat selama 15-20 menit.
Dosis loading tidak diberikan kepada penderita yang dalam
48 jam sebelumnya sudah diberi kina; dalam hal ini langsung
digunakan dosis biasa. Juga pada penderita gagal hati dan gagal
ginjal.
2. Kinidin glukonat
Bila kinin HC1 tidak tersedia, kinidin cukup aman dan efektif
sebagai obat anti malaria. Dosis loading 15 mg basa/kgbb di-
larutkan dalam cairan isotonis diberikan dalam 4 jam pertama,
diteruskan dengan 7,5 mg basa/kgbb dalam 4 jam, tiap 8 jam dan
dilanjutkan per oral setelah penderita sadar.
3. Klorokuin
Diberikan dalam larutan infus 10 ml/kgbb NaCl 0.9% atau
dextrosa 5%. Dosis : 5 mg basa/kgbb dalam 4 jam, diulang setiap
1 224 jam sampai mencapai dosis total 25 mg basa/kgbb dalam
3 hari.
Pemberian klorokuin secara parenteral tidak dianjurkan
karena toksisitasnya.
4. Amodiakuin
Dosis loading
10 mg/kgbb dalam 500 ml cairan, untuk 4 jam.
Kemudian 5 mg/kgbb dalam 500 ml cairan/hari selama 3 hari
)
.
5. Meflokuin (4-kuinolin metanol)
Tidak tersedia kemasan parenteral. Diberikan per sonde
karena absorpsinya cepat. Dosis : 18-20 mg/kgbb atau 750-1250
mg. dosis tunggal/terbagi. Sebaiknya obat ini dikombinasikan
dengan sulfadoksin dan pirimetamin untuk mencegah resistensi.
Uji coba kombinasi obat ini di Thailand memberikan cure rate
96% dibandingkan dengan meflokuin sendiri 93%
(80
. Meflokuin
juga efektif untuk terapi Plasmodium falciparum yang resisten
terhadap kinin (R I/R II) dan cross resistensi antara kinin dan
meflokuin pads Plasmodium falciparum in vivo sangat rendah(
9
).
6.
Qinghaosu (artemether oil, artesunate solution)
Dipakai pads pengobatan malaria serebral di Cina dan
Thailand dengan pemberian per sonde, IM ataupun I.V. Dosis
suspensi 1,5 g diberikan dalam 2 hari. Artesunate IV/IM dosis 4
mg/kgbb hari I, dilanjutkan dengan 2 mg/kgbb pads hari ke
2 dan 3(").
7.
Halofantrin (9 fenantrenmetanol)
Dosis 3 x 250 mg/hari selama 3 hari.
B) Tindakan mengatasi komplikasi
a) Gejala serebral
Diberikan antikonvulsan :
- Diazepam IV 10 mg, intrarektal 0,5-1 mg/kgbb.
- Paraldehid 0,1 mg/kgbb.
Chlorpromazin IV 50-100 mg.
- Fenobarbital 3,5 mg/kgbb.
Pemakaian Kortikosteroid tidak dian jurkan lagi pada edema
serebral sebab deksamethason justru memperpanjang koma,
menimbulkan komplikasi pneumonia dan perdarahan gastro
intestinal
t3
"
Heparin tidak dipakai untuk mengatasi koagulasi intra-
vaskular sebab manifestasi perdarahan pada malaria berat di-
sebabkan karena trombositopeni atau penurunan faktor koagu-
lasi.
Teori tentang proses koagulasi dan adhesi dengan dinding
endothel
pembuluh darah belum terbukti.
Pada penderita malaria, viskositas darah rendah oleh karena
anemi, jadi dextran tidak diperlukan di sini. Selain itu dextran
sering menyebabkan reaksi anafilaktik.
b) Gangguan fungsi ginjal
Sebelum menentukan cara perawatan perlu diketahui ter-
lebih dahulu apakah gejala gangguan fungsi ginjal ini bersifat
prerenal atau renal (nekrosis tubuler). Gangguan
prerenal ter-
jadi karena dehidrasi > 50% sedangkan gangguan
renal karena
nekrosis tubuler akut 5-10%. Urin yang lebih pekat (BJ > 1,015)
tanpa kelainan mikroskopik menunjukkan hanya terjadi de-
hidrasi saja.
Tatalaksana bertujuan untuk mencegah iskemi dengan
mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit darah; 1000 ml
infus normal saline
untuk 8 jam, kalau produksi urin < 200 ml,
diberikan lagi cairan 1000 ml/8 jam ditambah furosemid 40-80
ml. Bila produksi urin dalam 16 jam < 200 ml maka kebutuhan
cairan dihitung dari jumlah urin + 500 ml cairan/24 jam. Selain
normal saline
dapat dipakai dextrosa 5%.
Pertahankan Kalium plasma < 7 meq./l; lakukan
monitor
EKG.
Batasi protein 20-30 g/hari dan karbohidrat 200 mg/hari.
Perhatikan : ureum, kreatinin darah, BJ & volume urin,
gejala edema paru dan ukur tekanan darah tiap 30 menit.
c) Anemia Berat
Bila Hb < 6 g % atau hematokrit < 20% atau jumlah eritrosit
< 2 juta/mm
3
diberikan tranfusi darah whole blood 10-20 ml/
kgbb atau
packed cell 5-10 ml/kgbb. Diberikan obat anti anemi
yaitu asam folat 5 mg selama 3-4 minggu.
d) Malaria biliosa
Dosis kinin diturunkan 5 mg/kgbb per infus.
Bila ikteriknya disebabkan hemolisis intravaskular, kinin
diganti dengan klorokuin dengan dosis 5 mg/kgbb.
Bila terjadi anoreksia berat diberikan glukosa 10% IV atau
makanan sonde.
Bila ada hipoprothrombinemia diberi vitamin K 10 mg IV
selama 3 hari.
Monitoring fungsi hati.
Kurangi lemak, diet kaya karbohidrat dan protein.
e) Malaria algid
Ciri khas : hipotensi, kulit dingin, dilatasi perifer, fungsi
jaringan terganggu/rusak karena kekurangan cairan.
Tatalaksana bertujuan memperbaiki gangguan hemodinamik:
Berikan 11 plasm a atau normal saline+
dextran dalam waktu
1/2 - 1 jam. Bila tidak ada perbaikan tekanan darah, diberikan
lagi 1 (normal saline
atau glukosa isotonis dengan tetes lambat,
ulangi bila dianggap perlu.
Berikan kortikosteroid 100 mg iv atau im setiap 8 jam masa
kritis, kemudian ulangi dengan dosis rendah.
Bila tensi tidak dapat dinaikkan dengan pemberian steroid
dan cairan, dapat dipakai dopamin; bila shock
sudah diatasi,
pengobatan anti malaria dapat dimulai.
f) Black water fever
Ciri khas : demam menggigil, ikterik, hemoglobinuria.
Tatalaksana :
Bed rest
total dan perawatan intensif.
Muntah dan hiccup ditolong dengan menghisap butiran es.
Bila Hb < 6 g % atau jumlah eritrosit < 2 juta/mm
3
maka
diberikan 1 1 darah segar/24 jam, kalau perlu diulang.
Angiography (general)
Angiocardiography
Trauma
Fungsionla Brain Imaging
Cerebrospinal Fluid Imaging
Communicating Hydrocephalus
DSF leaks
Shunt Patency
2)
Thyroid and Parathyroid
Iodine Uptake Test
= Special Test of Thyroid Function
Abnormal Images :
Ectopic thyroid
Thyroid Nodules
Multi nodular glands
Diffuse Toxic Goiter
Thyroiditis
Thyroid Ca
= I 131 Therapy in Thyroid Disease/Ca.
Parathyroid Imaging
3) Cardiovascular System
Myocardial Infarct Imaging
= Myocardial Perfusion Scintigraphy
Thallium Exercise Imaging
Spect Thallium Imaging
Resting Thallium Scintigraphy
=
Test of Cardiac Funtion
4)
Respiratory System
=
Pulmonary Embolism
= COPD
5)
Gastrointestinal System
Liver - Spleen Imaging
Gastrointestinal Bleeding
Hepatobiliary Imaging
Gastroesophageal Funtion
=
Esophageal Transit
=
Gastroesophageal Reflux
Gastric Emptying
6) Skeletal System
= Metastasic disease
= Primary tumor
= Trauma
Inflamatory disease
7) Genitourinary System
Radionuclide : Tc 99 m
Labelling : DTPA, DMSA
DSMA : Lambat bersih dari darah. Konsentrasi renal cortex
tinggi. Digunakan apabila diingin
high resolution image of the
renal cortex.
DTPA : Renal perfusion & Imaging
Aplikasi Klinik :
Anatomy Variant
= Intrarenal Mass
Vascular Abnormality
=
Renovascular Hypertension
Obstructive Urophathy
=
Evalution of Renal Transplant
8) Lain-lain :
Gallium 67
Tumor
Inflamatory
Immunosuppressed Patient
Osteomyelitis
= Indium labeled leucocytes
Osteomyelitis
Immunosuppressed Patient
MRI (MAGNETIC RESONANCE IMAGING)
Ini benar-benar barang baru. Publikasi pertama mengenai
M.R.I. path
human brain
untuk pertama kali diterbitkan pada
tahun 1978. Pemakaian pada penderita mulai sekitar tahun 1980.
Dengan MRI dapat dilakukan berbagai pemeriksaan dengan
ketelitian yang melebihi pemeriksaan yang lain.
APA YANG DAPATDILAKUKAN DI MEDAN
Sesuai dengan rencana pemerintah dalam meningkatkan
kesehatan Nasional telah dibangun sebuah R.S type A bertempat
di J1. Bunga Lau 17 Medan Tuntungan yaitu RSUP H. ADAM
MALIK. Sesuai dengan tipenya RS ini diperlengkapi dengan
peralatan yang cukup memenuhi syarat. Disamping untuk pe-
layanan masyarakat RS ini dimaksudkan sebagai RS pendidikan
F.K. USU Medan:
UPF Radiologi RSUP H. Adam Malik Medan dilengkapi
dengan :
1.
FLUORORADIOGRAPHY
2. SKULL UNIT
3.
UROLOGY UNIT
4. DENTAL UNIT (PANORAMIC)
5. U.S.G.
6. ANGIOCARDIOGRAPHUY UNIT (D.S.A.)
7. C.T. SCAN
8. GAMMA CAMERA
9.
X RAY PORTABLE (C ARM DAN NON C ARM)
KESIMPULAN
Telah dibicarakan secara singkat mengenai perkembangan
teknologi radiologi dan peranannya di bidang kedokteran serta
apa yang dapat dilaksanakan di Medan. Dibicarakan mengenai
peralatan yang baru serta indikasi pemakaiannya.
Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992 107
KEPUSTAKAAN 3. Najean Y. Medicine Nucleaire Ellipses. Paris 1990.
4. Sopha Medical Paris : DSA, CT. Scan and Gamma Camera Operating
Manual.
5. Schild 1111. MRI, Berlin : National Druckhaus 1991.
1. Meredith WJ, Massey JB. Fundamental Physics of Radiology, Bristol : John
7. Vorthuisen AI. Ten Years of Cinical MR. Medica Mundi 1991; 35 (2) :
ed. WB. Saunders Co 1991.
55-62.
108 Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992
Asma Nokturnal
Rusli Pelly
Subbagian Pulmonologi Bagian I/mu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utaral
Rumah Sakit Umum Pusat Dr Pirngadi, Medan
PENDAHULUAN
Selama hampir tiga abad sejak asma pertama kali ditemukan,
diketahui bahwa penderita asma sering mengalami serangan
pada waktu malam hari, sehingga mengganggu tidur penderita.
Dan suatu survai diketahui bahwa hampir 90% penderita
mengalami gejala noktumal yaitu serangan pada malam hari
yang cukup berat sehingga membangunkan penderita dari
tidurnya.
Banyak ahli menganggapnya sebagai karakteristik
penyakit ini dan bahkan mempertanyakan diagnosis asma
jika gejala nokturnal ini tidak ada. Asma sesungguhnya dapat
disebut penyakit noktumal.
Penderita asma nokturnal mempunyai gejala yang khas
yaitu terbangun antara jam 3.00 dan jam 5.00 subuh dengan
batuk-batuk, wheezing dan sesak nafas dan tidak dapat tidur
kembali tanpa bantuan bronkodilator aerosol. Dalam tulisan
ini akan dibahas mengenai prevalensi, patogenesis dan patofisi-
ologi dan pengobatan asma noktumal,
EPIDEMIOLOGI
Asma noktural inipenting karena kebanyakan kematian
disebabkan serangan asma pada malam hari; mengganggu
tidur dan dapat mengganggu penampilan pada pagi harinya
(2)
.
Dari survai di Inggris didapati prevalensi asma nokturnal ber-
kisar antara 61% dan 74%; dilaporkan pula 74% penderita yang
terbangun satu kali dalam seminggu, 64% penderita terbangun
sekurang-kurangnya tiga kali dalam seminggu dan 26%
melaporkan terbangun setiap malam
o)
.
Penderita tanpa asma noktumal umumnya mempunyai
frekuensi faktor pencetus alergi dan monalergi yang lebih ren-
dah, tetapi tidak ada tanda-tanda yang dominan yang dapat mem-
bedakan penderita ini dari penderita yang terbangun tengah
malamm
>
.
PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI
A. Variasi diurnal faal paru
Variassi diurnal (variasi circadian, ritme circadian) adalah
perubahan-perubahan saluran nafas atau bronkhus sepanjang
hari sehingga menyebabkan perubahan-perubahan faal .paru
dengan keutuhan yang maksimum pads waktu sore hari pk. 16.00
dan penyempitan maksimum pads waktu subuh pk. 4.00. Path
orang sehat, foal paru yang maksimal didapati antara pk. 15.00
dan pk. 16.00; duabelas jam kemudian pads pk. 4.00 subuh faal
paru turun sampai kepada tingkat terendah (faal pare yang
minimal). Perbedaan rata-rataPeakExbiratoryFlowRate(PEFR)
yang maksimal dan yang minimal pads orang normal sekitar
8,3%. Sebaliknya pada penderita asma perbedaan PEFR yang
maksimal dan minimal adalah 550,9%
(49
. jadi pads penderita
asma ritme cirdadian ini jauh lebih besar daripada orang
normal. Montplaisir dkk mengukur FEV 1 sebelum tidur 67%
predicted sedangkan nilai pads waktu serangan noktumal
34,2% predicted
d5
j.
Asma noktumal tidak hanya ditandai oleh obstruksi bronkus
yang lebih besar dan hipoksia tetapi juga oleh pertambahan
respon otot polos bronkus dan pentbahan reaktivitas bronkus
yaitu hiperreaktivitas bronkus yang menyebabkan penunman
FEV 1 yang maksimal antara tengah malam dan jam 4.00 subuh(
6
).
B. Mekanisme Asma Nokturnal
1. Pengaktifan sekresi sel mast oleh alergen
Pengaktifan sel mast tidak saja menimbulkan reaksi asma
awal dengan obstruksi bronkus tetapi pads beberapa penderita
dapat memperbeat serangan asma 6 jam kemudian yang dikenal
sebagai reaksi asma lambat. Reaksi asma lambat ini merupakan
karakteristik asma kronis. Telah banyak bukti yang menun-
jukkan bahwa alergen memegang perangan dalam patogenesis
Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992 109
asma nokturnal
c
').
David dick memaparkan penderita dengan debu gandum,
maka timbul asma akut dan wheezing kambuh kembali malam
hari selam aseminggu berikutnya, sungguhpun siang hari faal
parunya normal). Cockroft
o
) memperlihatkan pemaparan pada
dua penderita dengan alergen, terjadi reaksi lambat pads kedua-
nya dan asma nokrutnal timbul malam harinya dan kambuh
selama beberapa hari berikutnya. Sesungguhnya para peneliti
ini mendapatkan bahwa alergen meningkatkan reaktivitas bronkus,
perubahan maksimalnya terjadi pada waktu seranganasma noktur-
nal dan peningkatan hiperreaktivitas bronkus bertahan bahan
walaupun wheezing malam hari telah hilang dan FEV 1 telah
kembali normal. Para peneliti ini berkesimpulan bahwa reaktivi-
tas bronkus non spesifik dan meningkat terhadap pemaparan satu
antigen yang mengakibatkan respon asma lambat, dapat me-
nyebabkan asma nokturnal. Penyebab asma nokturnal yang
rekuren dan persisten ini selalu sukar didapat, bahkan dengan
pertanyaan-pertanyaan yang teliti kepada pasien; oleh karena itu
penting di ingat bahwa pemaparan tunggal terhadap alergen dapat
memulai deretan peristiwa yang menjurus ke pada peningkatan
obstruksi dan hiperreaktivitas bronkus. Selanjutnya perubahan-
perubahan ini dapat bertahan untuk beberapa hari setelah pem-
aparan antigen tunngal. Selain itu derajat obstruksi akan menjadi
lebih berat bila pemaparan antigen terjadi pada malam har'
t
').
Proses lain yang mendukung reaksi alergi ini adalah
kontrol saraf autonom terhadap sekresi sel mast, penurunan
kadar katekolamin malam hari dan tingginya tonus saraf sim-
patis menyokong pelepasan mediator-mediator sel mast
m
.
2.
Pengaruh t idur
Pengaruh tidur dalam patogenesis asma noktural telah
menarik perhatian para peneliti dan hasilnya masih diperten-
tangkan. Lopes berkesimpulan bahwa pads orang normal, se-
waktu tidur terjadi kenaikanresistensi bronkus 230% dibandingkan
pads waktu bangun(" ). Perubahan resistensi ini mungkin ber-
hubungan dengan kenaikan tonus otot bronkus bagian alas
sehingga menyebabkan bertambahnya kerja pernafasan selama
tidur. Jika hal ini terjadi pads penderita asma maka obstruksi
bronkus akan menjadi lebih besar lagi.
Clark dan Hetzel meneliti variasi diurnal faal paru pads
pekerja-pekerja dengan asma dan mendapatkan vanasi diurnal
peak flow rate ada hubungannya dengan tidur tapi tidak dengan
waktunya
t
'
Z
.
Bila pekerja-pekerja mengubah bekerja pada
malam hari, maka serangan asma terjadi pads waktu tidur
siang hari. Peneliti-peneliti lain mendapatkan hasil yang ber-
tentangan mengenai pengaruh tidur dan pengaruh variasi
diurnal atau riime circadian pada malam hari; oleh karena itu
ada yang berkesimpulan bahwa pengaruh ritme circadian pads
jam 3.00 subuh pada peak expiratory flow rate ialah karena
selalu dalam face yang sama dengan waktu tidur, sedangkan
tidur tidak menyebabkan asma nokturnal. Kesimpulannya
ialah bahwa tidur memegang peranan dalam penyempitan
saluran nafas, tetapi bukanlah yang terpenting
(
" ).
3.
Pengaruh pembersih mukosilier
Penyumbatan lendir membantu obstruksi bronkus pads
penderita asma. Begitu juga retensi sekresi bronkus pads
malam hari juga membantu gejala-gejala nokturnal asma
yang tidak berat. Dan penelitian diketahui bahwa berkurang-
nya pembersih mukosilier ini terutama pads malam had
14
)
Retensi sekresi ini tampaknya dihubungkan dengan tidur dan
bukan dengan variasi diurnal. Perlu penelitian lebih lanjut untuk
menentkkan apakah fenomena ini lebih berat pada penderita
asma dan apakah membantu untuk
wheezing
malam hari.
4. Posisi berbaring
Penderita asma yang berbaring dalam posisi telentang
akan mengalami gangguan faal paru yang progresif dan PEFR
turun 13% selama 2 jam dan 24% selama 4 jam berbaring.
Gangguan ini reversibel dan akan kembali normal setelah 1,5
jam. jadi dapat disimpulkan bahwa berbaring dalam posisi te-
lentang untuk jangka waktu yang lama menyebabkan serangan
asma nokturnal, walaupun mekanismenya belum jelas"
5. Refluks gastro-oesophageal
Fenomena ini terutama terjadi pada waktu banuan pada
orang-orang non asma. Pembersihnya cepat pads siang hati,
tetapi pads penderita oesophagitis selalu terjadi rfluks pada
malam hari karena aktivitas otot oesophagus berkurang dan
pembersihan asam diperlambat. Refluks nokturenal dapat
menimbulkan serangan asma dan pengobatan rfluks pada
penderita asma dapat memperbaiki pernafasan
(
'
S
)
6. Pendingin udara (air cooling)
Perubahan temperatur dan kandungan uap air karena per-
tambahan ventilasi dapat menyebabkan serangan asma selama
melakukan exercise; hasil penelitian menunjukkan bahwa pend-
ingin udara juga dapat menyebabkan obstruksi bronkus pada
malam hari(
6
> .
7.
Ritme circadin hormon dan Tonus vagus
Dan penelitian diketahui bahwa asma noktural ada hu-
bungannya dengan rtme circadian hormon dalam darah dan
tonus parasimpatis".
Mulanya dipikirkan bahwa kortisol
dalam darah memegang peranan dalam menyebabkan serangan
asma noktural oleh karena vanasi diurnal kadarnya yang
terendah didapati antara pk 24.00 dan pk. 1.00, tetapi ternyata
peranan kortisol darah tidaklahbesar
t16
). Penelitian selanjutnya
menunjukkan bahwa ada hubungan antara perubahan kadar
katekolamin pads malam hari bersamaan dengan penurunan
PEFR noktural dan penurunan yang terendah didapati pads
pk. 4.00
m
). Selain itu ada pula hubungan terbalik antara
keadaan histamin dengan PEFR yaitu bahwa keadaan histamin
naik pads pk. 4.00 bersamaan dengan penurunan PEFR
oo
, dapat
disimpulkan bahwa berkurangnya kadar epinephrin plasma
pads waktu subuh menyebabkan terjadinya nokturnal wheezing.
Epinephrin adalah suatu beta adrenergic agonist yang kuat
dan dapat membuat relaksasi otot polos bronkhus; Selain itu
110
Cermin Dunia Kedok t eran, Edisi Khusus No. 80, 1992
epinephrin dapat pula mencegah pelepasan histamin dan me-
diator-mediator lain dari sel mast dan selanjutnya dapat me-
ngurangi bronkokonstriksi. jadi perubahan circadian epinephrin
dalam darah membangkitkan asma malam hari dengan
mengurangi bronkodilatasi dan membantu pelepasan mediator
bronkogenik dari sel mast.
Ada juga bukti bahwa tonus cholonergik juga meningkat
pada malam hari dan menyebabkan asma nokturnal
1t8
. Pe-
ningkatan tonus cholinergik itu mungkin juga efek lanjut dari
penurunan kadar adrenalin yang menyebabkan berkurangnya
inhibisi adrenergik
<tgl
. Pengurangan epinephrin pads malam
hari
mengakibatkan peninggian kadar asetilkholin yang
mengakibatkan bertambahnya respon pads penderita asma
yang hiperresponif terhadap neurotransmitter ini(
t9
).
Kambuhnya serangan asma pads malam hari adalah
merupakan sifat dari asma dan bukan keistimewaan akibat
ritme circadian kadar epinephrin dan tonus vagus. Faktor-faktor
lain seperti pendinginan saluran nafas, tidur, berkurangnya
pembersihan mukus, refluks gastro-oesophageal dan sebagai-
nya juga turut membantu wheezing nokturnal, tetapi bukanlah
faktor yang penting. Jadi asma nokturnal itu adalah akibat dari
interaksi yang kompleks dari beberapa faktor endogen dan
faktor lingkungan
t19l
.
KESIMPULAN
Untuk pengobatan asma nokturnal :
1.
Mencegah faktor pencetus, seperti pemaparan antigen, gas-
tro-oesophageal refluks, dan sebagainya.
2. Mengurangi hiperreaktivitas bronkus dengan kortikosteroid
inhalasi.
3.Mencegah bronkokonstriksi dengan
slow-release theophyline,
slow-release beta agonist
atau obat antikholonegik inhalasi(
w
).
Ada anggapan bahwa
oral slow release theophyline lebih efektif
daripada
oral slow release beta agonist
(21
). Hal ini mungkin
karena teotilin mempunyai kerja tambahan selain dari bronko-
dilator. Dari penelitian yang belakangan ini diketahui bahwa
feofilin dapat mencegah terjadinya udem yang merupakan hal
yang penting tetapi selalu diabaikan sebagai mekanisme
dacar
asma nokturnal(
22
).
KEPUSTAKAAN
2.
Cochrane GM. Asthma death at night. In : Barnes PJ, Levy J (ed) Nocturnal
asthma. London : The Royalk Society of Medicine 1984; 11 : 15.
3.
Warwick MT. Epidemiologi of noctural asthma. Am J Med 1988; 85.
4. Hetzel MR, Cark TJH. Comparison of nonnal adn asthmatic circadian
rhythm in peal expiratory flow rate. Thorax 1980; 35 : 732-8.
5. Montplaisir J, Walsh J, Mallo JL. Nocturnal asthma feature of attacks,
sleep and breathing pattern. Am Rev Respir Dis 1982; 125 : 18-22.
6. Chen WY, Chai H. Airway cooling and nocturnal asthma. Chext 1982; 81
: 675-80.
7. Davies RJ, Green M. Schofield NM. Recurrent nocturnal asthma after
exposure to grain dust. Am Respir Dis 1976; 114: 1011-9.
8.
Cockrcrof DW, Hoeppner VH, Werner GD. Recurrence nocturnal asthma
afterbronchoprovocation
with westemred cedar sand : association with
acute increase in nonallergy bronchial responsiveness. Clin Allerg 1984;
414 : 61-8.
9. Cervais P, Reinberg A, Cervais L et al. Twebty-four hour rhythm in the
bronchial hyperreactivity to house dust in asthmatic. J. Allerg Clin Immu-
nol 1977; 59 : 207-213.
10.
Barnes P, Fitzgerald G, Brown M, Dollergy L. Nocturnal asthma and
changes in circulating epinephrine, histamin and cortisol. N Engl J Med
1980; 303 : 263-7.
11. Lopes JM, Tabochnik E, Muller NL, Levison H, Bryan AD : Total airway
resistance and respiratory muscle activity during sleep. J Appl Physiol
1983; 54 : 773-7.
12. Clark THJ, Hetzel MR. Diurnal variation of asthma. Br J Dis Chest 1977;
71:87-92.
13. Hetzej MR, Clark TJH. Does sleep cause nocturnal asthma ? Thorax 1979;
34 : 749-54.
14. Bateman JRM, Pavia D. Clark SW. The retention of lung secretion during
the night in nonnal subject. Uni Sci Mol Med 1978; 55 : 523-527.
15.
Popping H. The role of posture, mucociliary clearance and gastro-
oesophageal reflux in nocturnal asthma. Lung Respir 1988; IV (2) : 9-19.
16.
Soutar CA, Costeew J, Ijaduala 0 et al. Nocturnal and morning asthma.
Relation to plasma corticosteriod and response to cortisol infusion. Thorax
1975; 30 - 436-440.
17.
Barnes PJ, Firzgerald GA, Dollergy CT. Circadian variation in adrenergic
responses in asthmatic subjects. Clin Sci 1982; 62 : 349-54.
18.
Barnes PJ. Neural control of human airways in healthy and disease. Am
RecRespir Dis 1986; 134: 1284-314.
19.
Busse WW. Pathogenesis and pathophysiology of nocturnal asthma. Am
J Med 1988; 85.
20
Barnes R. Circadin rhythm and airways function. Lung Resp 1988; 5 : 2.
21. Barnes PJ, Greening AP, Neville L, Timmers J, Poole G W. Single dose slow
release aminophylline at night prevents nocturnal asthma. Lancet
1982; 1 : 299-30.
22.
Prauwels R, van Reuterghem D, van der Straeten M, Johannesson N,
Persson OGA. The effect of theophylline and euproflyleneon allergen
induced bronchoconstriction. J. Allerg Clin Immunol 1985; 76 : 583-590.
23.
de VriesK, Gant 11, booy Noord H, One NGM. Changes during 24 hours in
the lung finction and histamin hiperreactivity of the bronchial tree in
asthmatic and bronchitis patients. Int Arch allerg Appl Immunol : 20 :
93-101 : 1962.
1. Mc Faden Er, Asthma : A Nocturnal disease. Am. J. Med. 1988; 85.
Cermin Dunia Kedok t eran, Edisi Khusus No. 80,
1992 111
Metabolit Oksigen Radikal Bebas
dan Kerusakan Jaringan
Pangaribuan Siregar
Bagian Biokimia Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan
ABSTRAK
Oksigen dibutuhkan untuk kehidupan sel, akan tetapi ironisnya oksigen dapat pula
menyebabkan kematian sel. Bila jaringan yang mengalami hipoksia diberi perfusi
oksigen, dapat menyebabkan terjadinya kerusakan yang lebih berat. Hal ini disebabkan
oleh terbentuknya superoksida (OZ) suatu oksigen radikal bebas yang sangat sitotoksik.
Sumber-sumber yang memungkinkan terbentuknya superoksida ini, mekanisme
bagaimana superoksida mengadakan perusakan sel Berta beberapa senyawa kimia yang
dapat digunakan sebagai scavenger
superoksida akan dibicarakan dalam tulisan ini.
PENDAHULUAN
Oksigen dibutuhkan oleh tubuh akan tetapi oksigen juga
dapat menyebabkan kerusakan jaringan tubuh. Bila oksigen (0 2
)
mengalami reduksi univalen maka akan terbentuk superoksida
yaitu ion oksigen radikal (OZ) yang sangat sitotoksik (Friedo-
vich, 1975). Superoksida terbentuk apabila Flavin tereduksi
(reduced Flavin)
mengalami reoksidasi univalen oleh molekul
0
2
. Flavin dalam bentuk FAD (Flavin Adenin Dinukleotida) dan
FMN (Flavin Mono Nukleotida) terutama dijumpai sebagai
koenzim untuk enzim-enzim erobik dehidrogenase seperti Xan-
thine dehidrogenase (oksidase).
Dalam keadaan jaringan mengalami kekurangan oksigen
(hipoksia), maka jumlah Flavin tereduksi akan meningkat. Bila
jaringan seperti ini mendapat suplai oksigen yang cukup banyak
secara tiba-tiba maka suiperoksida dapat terbentuk dalam jumlah
yang cukup banyak untuk menyebabkan terjadinya kerusakan
pada jaringan dengan akibat-akibatnya.
METABOLISME OKSIGEN(0
2
)
Oksigen di dalam tubuh diperlukan :
112
Cermin Dunia Kedok t eran, Edisi Khusus
No. 80, 1992
Pada setiap penambahan elektron kepada molekul 0
2
akan
dihasilkan senyawa yang sangat reaktif di dalam keberadaan I-i .
Penambahan satu elektron pertama kepada molekul 0
2
akan
menyebabkan terbentuknya anion radikal superoksida (O2).
Elektron yang kedua akan menghasilkan H
2
O
2
dan elektron yang
ketiga menghasilkan hidroksil radikal (OH*).
Biasanya sitokhrom oksidase akan menghalangi senyawa
radikal ini dengan mengadakan interaksi dengan molekul-molekul
di sekitarnya atau akan dieliminir oleh enzim-enzim pembersih
(scavenger enzymes) seperti superoksida dismutase (SOD), kata-
lase atau glutation peroksidase.
Dalam keadaan normal oksigen akan bertindak sebagai
akseptor terakhir dari elektron pada rantai pemafasan sel (Re-
spiratory Chain) dan bersama-sama dengan 2 H* akan mem-
bentuk 1 molekul H
2
O. Respiratory Chain (RC) adalah suatu
rangkaian (sequence) reaksi enzimatik yang bertujuan untuk
mengeliminasi elektron yang ditarik dari suatu zat (substrat).
Enzim-enzim yang bertanggungjawab atas terselenggaranya
RC adalah enzim dari kelompok dehidrogenase anerobik, de-
hidrogenase erobik (yang FAD dependent)
dan sitokhrom
(Gambar 1).
Superoxide dismutase dijumpai pads hampir semua jaringan dan
terdapat pada kompartemen-kompartemen sel yang berbeda-
beda seperti sitosol dan mitokondria. Enzim ini mempunyai
fungsi seolah-olah mencegah terjadinya pengaruh merusak dari
superoksida yang terbentuk.
HIPOKSIA
Apabila terjadi iskemi maka jaringan akan mengalami
hipoksi. Keadaan ini dapat menyebabkan terjadinya perubahan
komposisi komponen-komponen yang normal dari sel. Banyak
senyawa akan mengalami degradasi, beberapa jenis enzim ter-
ganggu fungsinya dan banyak zat berada dalam bentuk tereduksi.
Flavin yang dalam keadaan cukup oksigen dapat meng-
adakan autooksidasi, pads keadaan hipoksia akan tetap berada
dalam keadaan tereduksi (FpH
2
).
Akibat terjadinya hipoksi maka xantin oksidase
yangFlavin
dependent
banyak terdapat dalam bentuk yang tereduksi.
Xantjn oksidase berfungsi untuk mengkatalisasi reaksi
pemecahan xantin menjadi asam urat. Hipoxantin dan xantin
sebagai basil degradasi ATP akan menumpuk.
ATP
> ADP > AMP > hipoxantin > xantin
Asam lemak akan menumpuk sebagai akibat pemecahan
fosfolipida. Kesemua zat ini adalah substrat terhadap oksigen.
HIPOKSI DAN REPERFUSI OKSIGEN
Hears dkk (1973) menunjukkan bahwa perfusi terhadap
jantung yang iskemi dengan cairan anoksik tidak menimbulan
kerusakan miokard ataupun gangguan enzimatik selain daripada
kerusakan yang ditimbulkan oleh iskemi itu sendiri; akan tetapi
sebaliknya, bila miokard yang iskemi itu diperfusi dengan oksi-
gen maka segera akan terjadi pelepasan enzim yang banyak dan
terjadi kerusakan ultrastruktur miokard. Floyd (1984) juga mem-
buktikan bahwa reaksi kimia dan kerusakan jaringan otak tidak
akan terjadi hanya oleh iskemi (hipoksi), tetapi bila diberi reper-
fusi oksigen akan terjadi kerusakan.
Reperfusi terhadap miokard yang iskemik juga disertai
dengan gangguan fungsional seperti pengembalian yang tidak
sempurna aliran darah ke daerah yang terkena infark (Kloner
dkk, 1974), perpan jangan waktu an tarakontraksi miokard(Braun-
wald dkk, 1982) arrythmia (Manning, 1984) atau gangguan
fungsi endotel seperti menurunnya permeabilitas pada arteri-
arteri koroner (Ku dkk, 1982).
Penggunaan bahan farmakologik seperti SOD (Ambrosio
dkk, 1984), SOD bersama catalase (Jolly dkk, 1984), fluosol
(Forman dkk, 1985) atau adenosine (Olafson dkk, 1987) pads
saat reperfusi ternyata dapat mengurangi besamya ukuran infark
dan ini menunjukkan bahwa kerusakan-kerusakan di atas (selain
yang disebabkan oleh iskemi itu sendiri) dapat dipastikan terjadi
oleh karena reperfusi oksigen. Jika dalam keadaan hipoksi, di-
berikan reperfusi oksigen maka secara tiba-tiba banyak sekali
Cermin Dunia Kedok t eran, Edisi Khusus No. 80,
1992 113
Menurut Floyd jaringan otak sangat rentah terhadap keru-
sakan oleh oksigen radikal karena jaringan otak sangat kaya akan
asam lemak tidak jenuh
(peroxidizable fatty acid)
dan sangat
sedikit mengandung enzim pelindung (protective enzyme).
?eroksidasi asam lemak merupakan suatu reaksi berantai
yang akan menghasilkan radikal bebas (alkyl radical) R* dan
ROO* secara terus-menerus yang akan menyebabkan terjadinya
peroksidasi selanjutnya. Proses tersebut dapat digambarkan
sebagai berikut.
RH + OH*
> R* + H
2
O
R* + 0
2
> ROO*
ROO* + RH > ROOH + R*
Reaksi di atas akan terus berlangsung secara siklus berantai
dan baru dapat berakhir apabila dua bush gugus radikal saling
berinteraksi membentuk satu ikatan non radikal seperti
R*+R* --> RR
ROO* + ROO*
> ROOR + 0
2
Oksigen radikal bebas akan menyerang protein jaringan
dengan berbagai cam. Salah satu di antaranya adalah dengan
mengadakan interaksi dengan gugus tiol (SH) yakni suatu
gugus yang sangat rentan terhadap gugusan radikal bebas yang
menyebabkan terganggunya konformasi protein tersebut.
Bila yang terserang adalah enzim maka enzim tersebut akan
kehilangan aktivitas katalitiknya, sedangkan bila yang terserang
adalah protein yang menyusun struktur membran sel maka akti-
vitas membran sel akan mengalami gangguan seperti rusaknya
reseptor-reseptor pada membran dan berubahnya sifat permea-
bilitas membran (Gambar 3).
oksigen yang mengalami reduksi univalen. Hal ini akan menye-
babkan terbentuknya superoksida dan metabolit oksigen radikal
lainnya. Xantin oksidase yang tereduksi akan mengalami oksidasi
univalen dan akan terbentuk superoksida (OZ).
Oleh karena pada saat yang bersamaan terdapat juga xantin
yang cukup banyak maka oksidasi univalen terhadap xantin
oksidase juga akan terus berlangsung dan produksi superoksida
terus meningkat (Gambar 2).
Gambar 2. Pembentukan Superoksida
Tubuh tidak dapat mengeliminasi metabolit oksigen radikal
tersebut secara sempurna dan terjadilah kerusakan-kerusakan
jaringan yang disebabkan oleh metabolit oksigen radikal yang
berlebihan itu.
MEKANISME TERJADINYA KERUSAKAN OLEH
RADIKAL BEBAS
Beberapa teori mengenai mekanisme kerusakan oleh oksi-
gen radikal telah dikemukakan oleh pars ahli.
Oksigen radikal bebas akan menyebabkan terjadinya
degradasi komponen jaringan termasuk kolagen, proteoglycan
dan glycosaminoglycan. Sebagai akibatnya hubungan interselu-
ler akan terganggu dan kelompok sel tidak dapat lagi berfungsi
dalam suatu kesatuan kerjasama (konsert). Rusaknya jaringan
kolagen akan memutuskan hubungan respon kontraksi sel miokard
yang mengakibatkan makin beratnya disfungsi jantung. Selain
itu kolagenase yang lepas dari lekosit sebagai akibat aktivasi oleh
oksigen radikal akan memperburuk keadaan.
Kontos (1986) menyebutkan bahwa sekali oksigen radikal
terbentuk maka mereka akan bereaksi dengan asam lemak tidak
jenuh dari membran sel, protein, enzim dan DNA. Kerusakan sel
saraf di otak terjadi sebagai akibat terganggunya aktivitas listrik.
Kontos juga menyatakan dugaannya bahwa kerusakan endotel
pembuluh darah dan otot polosnya disebabkan oleh dilatasi dari
arteriol otak dan rusaknya
blood-brain barrier.
114
Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992
USAHAPENCEGAHAN
Zat yang dapat bertindak sebagai pembersih (scavenger)
oksigen radikal bebas, telah terbukti dapat mengurangi keru-
sakan yang diakibatkan oleh oksigen radikal. Dismutase su-
peroksida temyata telah menunjukkan basil yang memuaskan
dalam mengurangi besarnya kerusakan jaringan akibat oksigen
radikal bebas. Vitamin E, suatu antioksidan juga mempunyai
kemampuan untuk bertindak sebagai scavenger, namun untuk
dapat mencegah kerusakan jaringan, sebelum terjadinya iskemi
diperlukan kadar yang harus cukup tinggi di dalam darah dan di
tempat terjadinya kerusakan.
Zat-zat yang mengandung gugusan tiol (Sulfhidril = SH)
seperti yang dijumpai pads glutation peroksidase, mempunyai
kemampuan untuk memperkecil kerusakan yang disebabkan
oleh oksigen radikal bebas. GugusSH inidengan segera bereaksi
dengan oksigen radikal bebas sehingga mengurangi kesempatan-
nya untuk merusak komponen sel lainnya yang telah disebutkan
di atas.
02+SH > O
2
+S*
Gugus SH ini juga dapat mengganggu peroksidasi terhadap
asam lemak sehingga kerusakan jaringan dapat dikurangi.
R*+ SH
> RH+S*
Senyawa lain yang mengandung SH yang perlu mendapat
perhatian akan kegunaannya sebagai scavenger oksigen radikal
dan radikal bebas lainnya, di antaranya adalah N-2-mercaptopro
pionylglycine, N-acetylcysteine dan captopril.
Pendekatan lain adalah upaya mengurangi penghasilan
oksigen radikal bebas, seperti penggunaan allopurinol yang da-
pat menghambat kerja xantin oksidase. Penggunaan allopurinol
yang juga memerlukan kadar yang cukup tinggi, akan lebih
berguna bila ditujukan kepada jaringan-jaringan yang memang
telah tinggi kadar xantin oksidasenya seperti otot jantung
(Ginsberg).
PENUTUP
Telah dibicarakan metabolisme oksigen serta pembentukan
oksigen radikal bebas serta akibat-akibat yang dapat ditimbulkan
oleh oksigen radikal bebas.
Juga telah disinggung beberapa hal yang mungkin dapat
mengurangi kerusakan jaringan yang diakibatkan oleh oksigen
radikal bebas.
Diharapkan tulisan ini dapat memperluas cakrawala ilmu
kits semua, terutama para praktisi yang selalu dhadapkan ke-
pada keadaan penderita yang memerlukan terapi reperfusi
dengan oksigen.
KEPUSTAKAAN
1. Albertus B et al. Molecular Biology of the Cell. New York: Garland Publ Inc.
1983.
2. Harper HA et al. Review of Physiological Chemistry. Los Altos California:
Lange Medical Publ. 1985.
3. Lehninger LA. Biochemistry. New York: W.$. Saunders, 1985.
4. Murray RK, Granner DK, Mayes PA, Rodwell VW. Harpers Biochemistry;
22nd ed. Norwalk: Connecticut: Appleton & Lange, 1990.
5. Mullane KM. Oxygen-derived Free Radicals and Reperfusion injury of the
Heart. In: New Frontiers in
Cardiovascular Therapy. Sonnenblick EH,
Laragh JH, Lesch M (eds.), 1989.
6. Zylke J. (Contr Ed). Studying Oxygen's life-and-death roles if taken or
reintroduced into tissue. JAMA SEA 1988; 4(7): 9-11.
Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992 115
Update III (Penyakit Kulit dan Kelamin)
Diagnosis dan Penatalaksanaan
Dermatofitosis
Mansur A Nasution, Kamaliah Muis, Juwono, Tap! S. Niarl
Bagian/UPF lima Penyakit Kulit dan Kelamin, Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara/Rumah Sakit Dr. Pirngadi, Medan
PENDAHULUAN
Penyakit infeksi jamur di kulit mempunyai prevalensi tinggi
di Indonesia, khususnya Medan, oleh karena negara. kita ber-
iklim tropis dan kelembabannya tinggi. Dermatofitosis adalah
infeksi jamur superfisial yang disebabkan genus dermatofita,
yang dapat mengenai kulit, rambut dan kuku. Manifestasi klinis
bervariasi dapat menyerupai penyakit kulit lain sehingga
selalu menimbulkan diagnosis yang keliru dan kegagalan dalam
penataklaksanaannya. Diagnosis dapat ditegakkan secara klinis
dan identifikasi laboratorik.
Pengobatan dapat dilakukan secara topikal dan sistemik.
Pada masa kini banyak pilihan obat untuk mengatasi dermatofi-
tosis, baik dari golongan antifungal konvensional atau antifungal
terbaru. Pengobatan yang efektif ada kaitannya dengan daya
tahan seseorang, faktor lingkungan dan agen penyebab.
DIAGNOSIS
Untuk menegakkan diagnosis dermatofitosis dapat dilakukan
dari manifestasi klinis, lampu wood dan identifikasi laboratorik.
GAMBARAN KLINIS
Berdasarkan lokalisasi, dermatofitosis terdiri dari :
I) Tinea Kapitis
Merupakan infeksi jamur pada kulit kepala dan rambut.
Penderita terbanyak anak-anak usia sekolah dan biasanya
menghilang setelah pubertas. Penularan dapat melalui hewan
peliharaan dan dapat dari manusia ke manusia.
Ada tiga bentuk manifestasi klinis :
a) Bentuk Gray patch : lesi inflamasi ringan multipel dan
bersisik, rambut mudah putus, warna rambut menjadi abu-abu,
mudah dicabut dari akarnya, kemudian terjadi alopesia.
b) Bentuk Black Dot ringworm : tampak alopesia dengan
titik-titik hitam di tengahnya, yang terdiri dari batang rambut
116 Cermin Dunia Kedok t eran, Edisi Khusus No.
80, 1992
yang patah tepat pads permukaan kulit atau di bawah permukaan
kulit kepala.
c) Kerion Selsi : dimulai dengan ruam eritematosa, skuama,
papel, disertai rambut yang putus, dapat disertai peradangan
akutberupa indurasi yang mengeluarkan pus, keadaan ini disebut
sebagai kerion selsi. Pada penyembuhan akan menimbulkan
jaringan parut yang menetap.
Diagnosis Banding
Alopesia areata, dermatitis seboroik, pioderma, psoriasis
dan trichotilomania.
2) Tinea Korporis
Suatu infeksi jamur pads kulit halus tanpa rambut (glabrous
skin)
di daerah leher, wajah, lengan dan bokong. Sering dijumpai
pads orang dewasa.
Manifestasi klinis berupa lesi anuler dengan tepi polisiklis.
Pada daerah tepi tampak vesikel-vesikel kecil dengan skuama
halus dan aktif. Di sini dijumpai daerah penyembuhan sentral.
Rasa gatal bertambah pads waktu berkeringat.
Bentuk lain tinea korporis ialah tinea imbrikata. Lesi berupa
plakat, polisiklis atau bulat dengan susunan skuama membentuk
lingkaran konsentris tersusun seperti atap genting dan meng-
hadap ke sentral.
Diagnosis Banding
Pitiriasis rosea, psoriasis vulgaris, pemfigus foliaseus dan
eksema numuler.
3) Tinea Kruris
Lesi dijumpai pads daerah Bela paha, anogenital dan pubis.
Ruam letaknya simetris pada lipatan paha kin dan kanan, berupa
makula atau plak yang eritema, pinggir aktif, bentuk polisiklis
dengan penyembuhan sentral. Ruam dapat meluas sampai ke
skrotum, pubis, bokong dan paha.
Diagnosis Banding
Kandidiasis, eritrasma dan dermatitis seboroika
4) Tinea Manus et Pedis
Predileksi jamur ini pada kulit telapak tangan dan kaki,
punggung tangan dan kaki, jari tangan dan kaki serta daerah
interdigitalis. Sering mengenai orang dewasa yang setiap hari
memakai sepatu tertutup, orang yang bekerja di tempat basah
seperti ibu rumah tangga, petani.
Secara klinis dikenal tiga bentuk :
a)
Bentuk intertriginosa
Tampak lesi bentuk maserasi, deskuamasi dan erosi, ber-
wama putih dan basah di sela-sela jari.
Bila penyakit kronik terlihat fisura (retak-retak) yang
nyeri bila tersentuh atau kena air sabun.
b) Bentuk vesikuler akut
Dijumpai vesikel dan bula di bawah kulit terutama pada
telapak kaki bagian tengah kemudian meluas. Sering disertai
infeksi sekunder, keluhan penderita di sini berupa perasaan gatal
dan sakit.
c) Bentuk hiperkeratotik
Tampak pengelupasan kulit terus-menerus disertai eritama
dan hiperkeratosis. Bila hiperkeratosis hebat dapat timbul
fisura yang dalam. Daerah yang paling sering dikenai adalah
telapak tangan dan kaki.
Diagnosis Banding
Dermatitis kontak, pustulosis palmo plantaris, pioderma dan
psoriasis pustulosa.
5)
Tinea Barbae
Predileksi pads daerah jenggot, kumis dan jambang. Sering
mengenai orang dewasa yang bekerja sebagai pemerah susu
ataupun petani. Ruam berupa papel eritema, skuama dan dapat
melebar ke pinggir dengan bentuk polisiklis. Dapat berlanjut
menjadi folikulitis; jenggot, kumis atau jambang akan putus-
putus.
Diagnosis Banding
Sikosis barbae, mikosis dalam dankarbunkel.
6) Tinea Unguium (Onikomikosis)
Infeksi jamur dermatofita pada kuku. Sering mengenai orang
dewasa, seining dengan tinea manus dan pedis. Kuku terlihat
menjadi rusak dan rapuh serta warnanya menjadi suram. Per-
mukaan menebal, di bawah kuku tampak detritus yang
mengandung elemen-elemen jamur. Bila infeksi ringan terlihat
bercak-bercak putih dan kasar di permukaan kuku.
Diagnosis Banding
Onikodistrofi oleh kandidiasis, onikodistrofi oleh trauma
daft psoriasis kuku.
LAMPU WOOD
Dinilai fluoresensi warna yang dipantulkan oleh ruam.
IDENTIFIKASI LABORATORIK
1) Pemeriksaan Langsung
Sediaan dari bahan kerokan (kulit, rambut dan kuku) dengan
larutan KOH 10-30% atau pewamaan Gram. Denganpemeriksaan
mikroskopis akan terlihat elemen jamur dalam bentuk hipa
panjang, spora dan artrospora.
2) Pembiakan
Tujuan pemeriksaan cara ini untuk mengetahui spesies
jamur penyebab, dilakukan bila perlu.
Bahan sediaan kerokan ditanam dalam agar Sabouroud
dekstrose; untuk mencegah pertumbuhan bakteri dapat ditam-
bahkan antibiotika (misalnya khloramfenikol) ke dalam media
tersebut. Perbenihan dieramkan pads suhu 24 - 30C. Pembacaan
dilakukan dalam waktu 1 - 3 minggu. Koloni yang tumbuh
diperhatikan mengenai wama, bentuk, permukaan dan ada atau
tidaknya hipa.
3)
Histpopatologik
Untuk menegakkan diagnosis dermatofitosis, tidakbermakna.
4) Serologik
Pemeriksaan cara ini tidak bermanfaat untuk dermatofitosis.
PENATALAKSANAAN
Pengobatan terhadap dermatofitosis dapat dilakukan
dengan cara topikal dan sistemik. Keberhasilan suatu peng-
obatan tergantung dari faktor predisposisi, faktor penderita dan
faktor obat; di sini lain perlu diketahui penyakit infeksi jamur
sering kambuh dan mengalami infeksi.
Pada masa kini terdapat berbagai macam obat untuk
pengobatan dermatofitosis, baik dari golongan konvensional dan
antifungal terbaru. Untuk memilih obat yang tepat perlu di-
pertimbangkan mengenai efektifitas obat, cara kerja, spektrum,
efek samping dan segi kosmetik.
Bila infeksi ringan cukup diberikan obat topikal kecuali
pads infeksi kronis dan luas, di rambut dan kuku diperlukan
obat sistemik.
Obat Topikal
Suatu obat topikal harus memenuhi kriteria :
1) Bersifat antifungal aktif
2) Dapat berpenetrasi ke dalam kulit
3) Bekerja aktif di dalam dan di luar sel
4) Mempunyai daya tahan terhadap hasil-hasil metabolisme
5) Tidal( menimbulkan sensibilisasi
Obat topikal ini terdiri dari :
1) Golongan Antifungal Konvensional
Obat yang termasuk ini antara lain :
Salep Whitfield
Castelani's paint
Asam Undesilinat
Kerja obat-obat ini sebagai keratolitik, antifungal dan anti-
bakteri. Obat-obat ini mempunyai spektum sempit, dan
penggunaannya terbatas hanya untuk infeksi di kulit.
2) Golongan Antifungal Terbaru; antara lain : Tolnaftate,
Cermin Dunia Kedok t eran, Edisi Khusus No. 80, 1992 117
Tolsildat, Haloprogin, Cyclopirox olamine, Naftifine,
Imidazole (miconazole, ketokonazole, clortrimazole, econazole,
dtl).
Obat-obat baru ini mempunyai spektrum luas dan kerjanya
fungisidal.
Cara pemakaian obat-obat topikal ini dilakukan dengan
mengoleskan obat tersebut 1 - 2 kali sehari minimal selama 3
minggu.
Obat Sistemik
1) Golongan Antifungal Konvensional
Griseofulvin
Telah dipakai untuk mengatasi dermatofitosis sejak 30
tahun.
Obat ini berasal dari sejenis penicillium. Kerja obat ini
fungistatik. Telah dilaporkan obat ini menimbulkan resistensi
terhadap dermatofitosis.
Pemberian pads anak-anak 10 - 20 mg/kg bb sehari, pads
orang dewasa 500 - 1000 mg sehari atau 330 mg griseofulvin
ultra micronized sekali sehari. Obat ini diberikan pads
waktu makan dengan diet tinggi lemak untuk mempertinggi
absorbsi.
2) Golongan Antifungal Terbaru
Ketoconazole
Merupakan antifungal oral pertama yang berspektrum luas
untuk mengatasi dermatofitosis. Kerja obat ini fungistatik.
Pemberian 200 mg sehari pads waktu makan. Lama pemberian
tergantung kepada lokalisasi dermatofitosis tersebut. Dosis anal(
di atas usia 2 tahun 3,3 - 6,6 mg/kg BB sehari. Merupakan
kontraindikasi untuk wanita hamil, kelainan fungsi hati dan hi-
persensitivitas terhadap ketoconazole.
Golongan Triazole
* Itraconazole
Obat ini mempunyai daya kerja spektrum luas. Pemberian
100 mg sehari selama 15 hari, efektif untuk tinea corporis dan
tinea cruris. Sedang untuk infeksi palmoplantar diberikan 100
mg sehari selama 30 hari.
*
Fluconazole
Efektif untuk pengobatan terhadap dermatofitosis di kulit.
Terbinafine
Obat ini analog dengan naftifine. Efek samping minimal
dibandingkan dengan griseofulvin. Pemberian dengan dosis 2 x
250 mg sehari.
KESIMPULAN
Manifestasi klinis dermatofitosis bervariasi, sehingga sulit
dibedakan dengan penyakit kulit lain, hal ini menyebabkan
diagnosis keliru dan penatalaksanaan selalu gagal.
Diagnosis dermatofitosis dapat ditegakkan melalui ma-
nifestasi klinis, lampu Wood dan identifikasi laboratorik.
Penatalaksanaan dapat ditempuh dengan cara pengobatan
topikal dan oral.
KEPUSTAKAAN
1. Agusni I, Kasansengari SU. Gambaran klinis penyakit-penyakit jamur su-
perfisial pads kulit. Dalam : Kumpulan Naskah Simposium Dennato
Mikologi. Departemen Emu Penyakit Kulit dan kelamin F.K. UNAIR RS
Dr, Soetomo Surabaya, 1982.
2. BudimuljaU. Penyakit Jamur Kulit dalam Kumpulan
makalahSeminar dan
Lokakarya Dennatomikosis : Diagnosis dan Penatalaksanaan. Bagian Emu
Penyakit Kulit
dan
Kelamin F.K. U.I.
Jakarta, 1992.
3.
Harahap M. Pengobatan Dennato mikosis superfisial masa kini. Dalam
Kumpulan Makalah
Simposium Penyakit Jamur MUKER IDI XI. Bagian
Penyakit Kulit dan Kelamin FK. USU RS. Dr. Pimgadi Medan, 1987.
4. Jacobs HP, Nall L. Antifungal Drug Therapy. New York : Marcel Dekker, Inc.
1990.
5. Nasution MA. Dennatofitosis ditinjau dari sudut epidemiologi dan pe-
nanggulangannya. Dalam : Kumpulan Makalah Simposium PenyakitJamur.
MUKER IDI XI. Bagian Penyakit Kulit dan Kelamin FK. USU RS Dr.
Pimgadi Medan, 1987.
6. Nasution MA. Penyakit kulit karena jamur. Dalam : Harahap M(ed). Penyakit
Kulit. Jakarta : P.T. Gramedia. 1990.
7. Rippon JW. Medical Mycology, 2nd ed. London : W.B. Saunders Co. 1982.
118
Cermin Dunia Kedok t eran, Edisi Khusus No. 80, 1992
Manifestasi Klinis I nfeksi HI V
Namyo O. Hutapea, Mansur A. Nasution, Rosniana R. Rams(
Bagian
Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
Rumah Sakit Dr Pirngadi, Medan
PENDAHULUAN
CDC melaporkan pada bulan Juni 1981 5 kasus homo-
seksual di California yang menderita penyakit PCP (Pneumo
-
cystis carinii Pneumonia); selanjutnya pada bulan Juli dilaporkan
26 kasus PCP dan Sarcoma Kaposi pada homoseksual di New
York. Pada semua penderita tersebut ternyata dijumpai gangguan
respons immuno sellular, terbukti dengan penurunan jumlah set
T. (T.
helper phenot ype)
(
'~
z3.
`
1
Kedua laporan kasus ini me-
rupakan
laporan pertama yang dikenal sebagai penderita AIDS
(Acquired Immune Deficiency Syndrome). Penyebab sindrom
ini ialah jenis Retro virus yang pada mulanya disebut HTLV
(Human T-lyrnphotropic Virus Type III). Laporan lain menya-
takan bahwa Retro virus yang sama berhubungan dengan AIDS
dikenal sebagai LAV (Lymphadenopathy associated Virus) atau
ARV (AidsRelated Virus). Sekarang disebut sebagai HIV
(Human
ImmunoDefciency Virus)
h1.Z 3.4.51
. Infeksi dapat ditularkan melalui
transfusi darah ataupun melalui penetrasi sewaktu mengadakan
hubungan seksual
1
'''
1
Dan aspek epidemiologik, AIDS dijumpai pada laki-laki
homoseksual aktif yang melakukan hubungan seksual, anak dari
ibu yang terkena infeksi HIV, yang tercemar oleh darah ataupun
produk darah, disebabkan pemakaian bersama jarum yang
digunakan secara IV atau akibat transfusi darah. Sebanyak 70%
penderita AIDS di Amerika Serikat dijumpai pada laki-laki
homoseksual ataupun biseksual dan proporsi ini lebih tinggi di
Inggris
t
'"
6
'
7
'
81
. Kasus-kasus heteroseksual dijumpai di Afrika
Tengah dan Amerika Serikat; sedangkan di Prancis kelompok
demikian merupakan 1/3 dari jumlah kasus yang dijumpai.
Penularan AIDS di Afrika Tengah tampaknya disebabkan hu-
bungan heteroseksual dengan jumlah yang sama pada pria dan
wanita(').
Pola penularan menyerupai infeksi virus Hepatitis B yang
menyebar melalui darah dan hubungan seksual, dengan demi-
kian AIDS dapat merupakan penyakit yang ditularkan melalui
hubungan seksual
o.6.7
)
Tabel 1. Kelompok-kelompok yang mempunyai risikomemperoleh AIDS
a
)
Kelompok
Aktivitas yang
menyebabkan penularan
1. Pria homoseksual Pasangan seksual yang banyak, hubung-
2. Pasangan seksual wanita
an seksual secara anal.
Hubungan seksual melalui vagina dengan
3. Anak-anak dari ibu yang
pasangan yang telah terinfeksi.
Penularan melalui plasenta.
4.
terinfeksi
Ketagihan obat dengan Penggunaan jarum secara IV.
5.
pemakaian secara
IV
Hemopillia Unsurdarahyangdiproduksi(FaktorVlH).
6. Penerima transfusi darah
Darah donor yang telah terinfeksi (biasa-
7. Orang-orang asal Haiti
nya dengan beberapa kali transfusi).
Penularan secara homo ataupun hetero-
8. Afrika Tengah
seksual.
Terutama disebabkan penyebaran secara
heteroseksual.
MANIFESTASI KLINIK
AIDS merupakan keadaan immunosupresi yang disebabkan
retrovirus yang dikenal sebagai HIV. Virus ini menyerang sub-
sistem limfosit darah perifer yaitu sel T helper yang mengatur
fungsi sistim immunitas selluler; sel yang telah terinfeksi kehi-
langan fungsinya dan mati prematur''
61
Kekurangan/gangguan imunitas selular menyebabkan se-
seorang peka terhadap infeksi mikroorganisme oportunistik se-
perti virus, protozoa dan fungus. Kekurangan imunitas selular
dapat menyebabkan timbul kelompok tumor tertentu seperti
Sarcoma Kaposi, limpoma non Hodgkin"''
6
'
1
; akhir-akhir ini
muncul penyakit lain dengan spektrum luas yang bukan dise-
babkan infeksi oportunistik, akan tetapi muncul sebagai akibat
langsung maupun tidak langsung yang disebabkan infeksi virus.
Cermin Dunia Kedok t eran, Edisi Khusus No. 80, 1992 119
Yang umum dijumpai adalah PGL (Persistent Generalized Lym-
phadenopathy);
sebagian dari penderita ini (5-25%) akan ber-
kembang menjadi AIDS
.0
.
Hubungan antara gangguan prodromal dan munculnya
manifestasi AIDS tidak jelas diketahui. Sebagian besar penderita
-PGL nampaknya tidak menunjukkan manifestasi AIDS selama
observasi 3-4 tahun. Jadi sebenarnya perjalanan penyakit tidak
jelas diketahui, terutama disebabkan infeksi ini mengalami masa
laten"
.6
). Infeksi oportunistik merupakan gambaran umum tidak
adanya kesanggupan penderita untuk mengatasi infeksi secara
normal. Jadi penderita AIDS dapat menderita infeksi virus her-
pes simpleks dengan ulkus yang persisten, sedangkan pads orang
normal lain terbatas dengan ruam berupa vesikel yang segera
menghilang
U.63
)
Keadaan yang sama akan menyebabkan plak Candidiasis di
dalam rongga mulut~'
6
~
AIDS hams diingat/dipertimbangkan bila seseorang pasien
gagal mengatasi infeksi, yang dalam keadaan normal akan segera
dapat diatasi"".
PERJALANAN INFEKSI HIV
Infeksi dapat terjadi akut dengan serokonversi. Setelah me-
lewati
masa laten akan timbul PGL (Persistent Generalized
Lymphadenopathy)
yang diikuti munculnya ARC (AIDS Related
Complex)
dan akhirnya menjadi AIDS dengan disertai infeksi
oportunistik. Tetapi hams diingat bahwa tidak semua penderita
AIDS akan didahului oleh manifestasi dini dan banyak penderita
PGL atau ARC tidak akan berkembang menjadi AIDS"
.6
)
ARC (AIDS Related Complex)
ARC ialah infeksi dengan tanda-tanda infeksi HIV tanpa
adanya infeksi oportunistik ataupun tumor; diuraikan sebagai
kesatuan dari tanda-tanda dengan kelainan laboratorium. Hal
penting yang memisahkan pembagian antara PGL dan ARC ialah
mengenai perbedaan prognosis antara PGL yang relatif jinak
dengan ARC yang mempunyai kemungkinan berkembang
menjadi AIDS.
Tanda-tandanya berupa lemah sekali, malaise, berat badan
turun > 10%, diarhea > 1 bulan, demam, berkeringat waktu
malam hari; disertai gejala-gejala Candidiasis rongga mulut,
Leukoplakia, PGL, Splenomegali dan Eczema/folliculitis.
Kelainan laboratorium yang dijumpai berupa Limfopeni,
trombositopenia, T helper menurun
Diagnosis ARC ditegakkan cukup bila penderita mempu-
nyai satu tanda dan satu gejala serta satu kelainan laboratorium.
Infeksi HIV
HIV ternyata menginfeksi
.
T
helper lymphocyte
dan mung-
kin virus terns menerus membentuk tunas pada permukaan set,
yang menyebabkan viremi yang persisten"
5.6
)
Virus dapat diisolasi dari semen dan saliva, daya meng-
infeksi dari semen mungkin dapat terjadi, sedangkan saliva be-
lum dapat dibuktikan"
)
.
Dianggap bahwa virus ditularkan me-
lalui pemindahan sedikit darah pada waktu hubungan seksual.
Perdarahan yang lebih banyak sebagai yang terjadi pada pria
120 Cermin Dunia Kedok t eran, Edisi Khusus No. 80, 1992
homoseksual menyebabkan penularan relatif lebih mudah. Pe-
nularan dapat terjadi pada hubungan seksual yang aktif dan pasif,
walaupun studi epidemiologis menunjukkan risiko yang lebih
besar dengan hubungan seksual pasif"
.6
7
).
Infeksi HIV yang
terjadi pada istri dari penderita hemophilia ataupun wanita pa-
sangan seksual dari penderita AIDS telah membuktikan bahwa
hubungan seksual melalui vagina dapat menularkan virus dari
pria kepada wanita"
.63
).
Penularan virus dari wanita ke pria mungkin terjadi secara
epidemiologis tetapi belum dapat dibuktikan secara virologis'
7
.
AIDS
Masalah klinis AIDS disebabkan oleh immunodefisiensi
selular yang menyebabkan timbul infeksi oportunistik dan tu-
mor'
6
)
A.
Kelainan pare
)
Merupakan salah satu manifestasi AIDS, sehingga diperlu-
kan upaya menegakkan diagnosa yang tepat karena merupakan
dasar penatalaksanaan penderita AIDS".
PCP (Pneumocystic Carinii Pneumonia)
[
'
)
PCP merupakan masalah infeksi yang umum pads AIDS
dan merupakan diagnosis kemungkinan utama setiap kelainan
pam yang berupa infiltrat difus dalam hubungan AIDS. Keluhan
penderita biasanya dyspnoe yang bertambah, disertai bentuk
tanpa dahak. Lama keluhan dari beberapa minggu hingga bebe-
rapa bulan. Variasinya berhubungan erat dengan tingkat imuno-
supresi dari penderita.
Sebagian penderita ( 30%) mempunyai keluhan nyeri
pleura di bagian tengah dada dan pads umumnya disertai keluhan
ketidaksanggupan menarik napas panjang akibat rasa nyeri dan
batuk. Sering disertai demam tingkat rendah dan menonjol pads
sore hari serta banyak keringat waktu malam.
Pemeriksaan sering tidak menunjukkan kelainan kecuali
peningkatan frekuensi pernapasan, akan tetapi stigmata lain dari
AIDS hams diperhatikan terutama Candidiasis rongga mulut,
Sarcoma kaposi, leukoplakia.
Pemeriksaan Rontgen dada menunjukkan karakteristik
berupa kelainan perihilar sebagai manifestasi dini; kemudian
disusul kelainan berupa gambaran bayangan pada bagian (zona)
tengah dan bawah, kadang-kadang disertai kelainan pads daerah
supra diafragma pads fase lanjut. Bayangan pads umumnya
simetris dan efusi pleura jarang terlihat.
Penting diketahui bahwa basil pemeriksaan sinar tembus
menunjukkan keadaan yang normal pads tingkat dini PCP.
Defisiensi imunitas dapat menunda munculnya respons infla-
masi sehingga infeksi pulmonal hanya disertai tanda-tanda yang
minimal pads pemeriksaan sinar tembus.
Untuk memeriksa serta menegakkan diagnosis PCP, pilihan
utama ialah menggunakan FOB (Fibre Optic Bronchoscopy),
dengan TBB (Trans Bronchial Biopsy) dari jaringan alveolar. Di
samping itu juga BAL (Broncho Alveolar Lavage) dapat di-
gunakan untuk pemeriksaan sitologi terhadap bahan alveolar.
Penggunaan FOB dapat menopang diagnosis sebagian besar
kasus. Kegagalan melaksanakan bronchoskopi mengakibatkan
kegagalan dalam menegakkan diagnosis AIDS.
Diagnosis Diferensial
1) CMV (Cytomegalo Virus)")
Umumnya CMV dapat diisolasi dari pare PCP dan juga
umum dijumpai pada berbagai organ pada penderita AIDS. CMV
dapat merupakan patogen pada paru secara perimer dengan
menunjukkan kelainan berupa pneumonia atipikal yang secara
klinis tidak dapat dibedakan dari PCP, walaupun anamnestis
dijumpai lebih pendek daripada PCP.
Pemeriksaan sinar tembus dapat menunjukkan gambaran
yang sama walaupun bayangan retikuler yang meluas ke arah
perifer paru lebih khas pada CMV.
Diagnosis ditegakkan dengan TBB paru untuk pemeriksaan
histologis dan BAL dengan hasil pembiakan virus yang positif
untuk CMV.
2) Mycobacterium spp
)
Mikobakterium atipikal terutama Mycobacterium avium
intra sellular (MAI), bergantung pada distribusi secara geografi.
Karenarespons selularsedikit, meskipun organisme sangatbanyak
dalam jaringan, tanda-tanda klinis hanya sedikit dan mungkin
juga tidak kelihatan kelainan rontgenologis.
M. tuberculosis mempunyai tingkat patogen yang tertinggi
dan muncul dengan tanda infeksi secara klinis pada penderita
AIDS yang dini.
3) Candida albicans")
Infeksi candida yang invasif umum terjadi pada AIDS dan
terutama mengenai sistim saluran pencernaan. Tetapi ada juga
dijumpai pneumonitis candida yang invasif, walaupun sangat
jarang, ditandai dengan infeks i akut disertai kelainan yang
timbul cepat pada daerah tengah dan bawah. Pemeriksaan
rontgenologis juga disertai hipoksia berat.
Diagnosis ditegakkan dengan biakan dari BAL dan pe-
meriksaan sitologis menunjukkan Candida dalam makrofag
alveolar.
4)
Sarcoma Kaposi (KS)")
KS dapat menyerang organ dalam, kecuali otak, KS pada
paru disertai dengan kelainan rontgenologis dan hipoksia. De-
mam tidak begitu sering terjadi pada KS bila dibandingkan
dengan PCP, dan pemeriksaan rontgenologis dari paru me-
nunjukkan kelainan unilateral atau nodular dari pada difus.
Infiltrat pleura dapat terjadi dengan efusi pleura unilateral.
Diagnosis sangat sulit ditegakkan dengan cara TBB,
walaupun plak KS pada mukosa bronchial dapat dilihat pada
pemeriksaan bronchoskopi. Pemeriksaan efusi pleura harus di-
sertai dengan biopsi pleura untuk melihat kemungkinan adanya
KS.
Dan pemeriksaan bedah mayat dibuat kesimpulan bahwa
KS paru relatif umum dijumpai pada penderita dengan kelainan
kulit.
B) Kelainan saluran pencernaan
t
'
)
Berupa infeksi atau tumor non-spesifik. Gejala umumnya
berupa diare dan berat badan menurun di mana pun tempat dan
jenis infeksi. Tanda klinis mungkin tidak ada ataupun sedikit dan
diagnosis ditegakkan secara mikrobiologik.
Masalah diagnosis pads saluran pencemaan penderita AIDS
ialah untuk membedakan para penderita dengan gejala ARC
yang terdapat di saluran pencernaan, dengan penderita AIDS
yang terkena infeksi yang menimbulkan gejala-gejala tersebut.
1) Candida spp )
Umum dijumpai di rongga mulut dan orofaring, merupakan
tanda-tanda tingkat prodromal (ARC).
Secara klinis, Candidiasis oral dikenal dengan adanya plak
pads selaput lendir mulut (selaput ini dapat dipisahkan). Infeksi
candida pads AIDS dapat meluas ke esofagus disertai plak
candida yang menyebar ke lambung.
Hal ini tidak menunjukkan keluhan-keluhan rasa tidak enak
pads daerah retrosternal sewaktu meneguk minuman.
2) Cryptosporidiosis
t
'
)
Dapat menyebabkan diare yang tidak dapat diobati dengan
cara konvensional dengan anti diare; infeksi ini menyebabkan
keadaan menjadi fatal, disertai gejala-gejala yang terus menerus
selama berbulan-bulan.
3) Salmonella, Shigella dan Enterobacteria lain[')
Salmonella typhimurium sexing merupakan masalah klinis
pads AIDS. Bakteri ini merupakan intraselular fakultatif pato-
gen, serta membutuhkan sistim imuno selular yang berfungsi
untuk meniadakannya.
Pada penderita AIDS, infeksi ringan saja dapat menyebab-
kan enteritis yang diikuti oleh bakteremi yang dapat menetap
serta yang tidak dapat diobati dengan kemoterapi. Infeksi Salmo-
nellaatau Shigella yang menyebabkan bakteremi yang menetap
biasanya terjadi melalui makanan hasil peternakan yang tidak
sempurna dimasak. Walaupun Giardia lamblia
dan Entamoeba
histolytica
merupakan infeksi yang umum pada homoseksual,
organisme ini tidak menimbulkan risiko khusus pads penderita
AIDS.
4) Keluarga Virus Herpes
[
"
)
Setelah Candidiasis dalam rongga mulut maka infeksi
daerah perianal oleh virus herpes simpleks tipe 2 merupakan
infeksi umum pada saluran pencernaan homoseksual penderita
AIDS; infeksi herpes simpleks tipe 2 merupakan ulkus yang
menetap yang disertai edema di sekitar ulkus pads daerah anal.
Dapat terjadi perdarahan yang disertai tenesmus, akan tetapi
infeksi herpes virus daerah perianal tidak menyebabkan diare.
Infeksi dapat meluas ke kanal anus dan ke dalam rektum.
Lesi dapat meluas ke daerah bokong serta memberi gambaran
yang tidak khas.
5) Infeksi Cytomegalo Virus (CMV)
t1
)
CMV memasuki usus besar pads penderita AIDS, menye-
babkan kolitis CMV. Infeksi ini menyebabkan diare berulang
disertai perdarahan bersama faeses, merasa sakit di abdomen/
merasa perih dan disertai demam. Pemeriksaan sinar tembus
menunjukkan dilatasi usus besar.
Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan histologis dan
biopsi rektum dengan kolonoskopi, yang menunjukkan masuk-
nya CMV dengan typical inclusion bodies di dalam lapisan otot
halus.
Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992 121
Biakan CMV dapat positif dan bahan pemeriksaan berupa
faeses, urine dan darah. Selama serangan akut dengan infeksi
yang berlanjut dapat terjadi diare khronis dan disertai penurunan
berat badan dan demam yang rendah serta menetap.
CMV dapat menyerang sistim pencemaan bagian atas yang
menyebabkan ulserasi pada esofagus. Ulkus dapat hingga 5 cm
yang menyebabkan disphagia.
6)
Sarcoma Kaposi Saluran pencernaan
t
'
)
Sarcoma Kaposi pertama sekali dikenal sebagai tumor kulit,
tetapi sebenarnya merupakan tumor multifokal yang berasal dari
endotel yang dapat dijumpai di mana saja termasuk sistem pen-
cernaan.
Sarcoma Kaposi dapat dijumpai pada seluruh bagian alat
pencernaan mulai dari mulut hingga anus. Lesi pada alat pen-
cemaan sering dijumpai pads palatum.
Kebanyakan lesi KS pads traktus digestivus bersifat tenang,
sering berupa nodul pads dinding selaput lendir ataupun berupa
plak sarcoma kaposi tanpa ulserasi. Pada sebagian penderita
akan timbul infiltrasi pada alat pencemaan, menyebabkan kolik
perut yang menimbulkan perasaan nyeri, ulserasi selaput lendir
yang disertai perdarahan, striktura usus dan pada kasus berat
menyerupai kolitis ulserasi.
Sarkoma Kaposi terletak agak lebih dalam pads sub-mukosa
di dalam lapisan otot, sehingga dibutuhkan biopsi yang dalam;
biopsi superfisial hanya akan menunjukkan tanda peradangan
khronis.
C) Kelainan susunan
saraf pusat (SSP)(')
SSP merupakan organ ke tiga terbesar yang mengalami
infeksi organisme oportunistik patogen atau tumor pada pende-
rita AIDS. Infeksi yang umum terjadi disebabkan Cryptococcus
berupa meningitis dan bila terjadi tidak disertai fotofobia dan
kekakuan leher, tetapi selalu disertai demam, sakit kepala dan
ataxia.
Sebagaimana infeksi lain yang terjadi pads penderita AIDS,
tanda penyakit bersifat atipis. Toxoplasmosis pada AIDS me-
rupakan infeksi yang seluruhnya terletak pads SSP yang me-
nyebabkan abses intraserebral pada otak yang disertai tanda-
tanda klinis.
Gambaran klinis selanjutnya sering disertai AIDS ensefa-
lopati, suatu keadaan yang menyerupai dimentia presenil yang
dapat terjadi pads 40% penderita AIDS yang mapan.
Masalah klinis SSP dibagi atas(') :
1. Lesi fokal
2. Lesi difus
3. Lesi pads retina
1) Lesi fokal
Pemeriksaan CT scan dapat melihat massa dari lesi dise-
babkan edema serebral ataupun ensefalitis yang umum terjadi
pada penderita AIDS dan biasanya disebabkan abses Toxoplasma
gondii.
Abses ini dapat multipel yang menunjukkan gejala ke-
lainan traktus piramidalis atau dengan epilepsf fokal maupun
umum. Lesi toxoplasmasis tidak selalu disertai dengan rinitis
toxoplasma; perlu dibedakan dari B cell limfoma dan Abses
kandidal.
122 Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992
2)
AIDS Encephalopathy
)
Pada penderita AIDS yang mapan dapat terjadi tanda-tanda
demensia dengan perubahan kepribadian, kehilangan ingatan
masa dekat dan masa lalu.
Pemeriksaan
CT scan menunjukkan atrofi yang jelas pada
massa putih dan massa kelabu disertai dilatasi ventrikel. Atrofi
berjalan terus dan dapat menyebabkan epilepsi grand mal
di
samping demensia. Keadaan demikian disebut AIDS encephalo-
pathy,
dan tidak ada hubungan dengan infeksi oportunis.
Pada sindrom ini dapat diketemukan RNA dan DNA-HIV
pada sel otak, sehingga ensefalopati dapat merupakan infeksi
virus AIDS primer pada SSP.
Infeksi oportunistik SSP kadang-kadang disertai ensefalo-
pati, terutama meningitis yang disebabkan Cryptococcus dan
ensefalitis yang disebabkan CMV yang mungkin masih dapat
diobati;
maka caftan otak harus diperiksa sebelum diagnosis
AIDS encephalopathy ditegakkan.
Tidak ada pengobatan efektif untuk AE hingga saat ini dan
keadaan demikian dapat terjadi di sekitar 40% penderita AIDS.
Tidak diketahui apakah pada infeksi HIV asimtomatik akan
terjadi ensefalopati setelah jangka waktu yang lama.
3) Lesi retina
Lesi fundus merupakan kelainan klinis yang penting pada
AIDS. Lesi yang umum ialah :
1) Cotton Wool Spot,
merupakan eksudat lembut yang muncul
tiba-tiba, menetap selama sekitar 6 minggu dan mungkin dapat
dilihat di bagian mana saja pads retina. Lesi ini dapat terjadi pads
penderita AIDS yang manapun dan timbul sebelum infeksi
oportunis atau tumor. Lesi ini jarang mengganggu ketajaman
penglihatan dan bersifat benigna. Patogenesis lesi belum dike-
tahui, tetapi menyerupai keadaan yang dijumpai pada penderita
vaskulitis.
2) Tajam penglihatan yang berkurang pads penderita AIDS
merupakan indikasi pemeriksaan mata; terbanyak disebabkan
retinitis CMV.
Infeksi oportunis lain dari retina jarang terjadi, akan tetapi
dapat menyebabkan gangguan penglihatan serta perubahan pada
retina; misalnya infeksi candida pads retina dapat menyebabkan
abses serebral.
D. Manifestasi AIDS pada kulit(
l
)
Manifestasi di kulit terbagi dua :
1. Sarkoma Kaposi
2. Infeksi kulit yang disebabkan imunosupresi
Sarkoma Kaposi diperkirakan sebanyak 25% pads penderita
AIDS dini, dan sekitar 10% akan timbul setelah infeksi oportu-
nistik.
Lesi kulit yang dapat dicatat hingga saat ini tertera pads
tabel 2.
1)
Sarkoma Kaposi
SarkomaKaposi merupakan tumor yang terbanyakdijumpai
pada penderita AIDS; walaupun secara primer merupakan
tumor kulit, pada penderita AIDS traktus digestivus merupakan
tempat yang utama.
Sarkoma Kaposi merupakan tumor yang berasal dari sel
endotelial, multifokal. Tumor bersifat invasif lokal dengan efek
okupasi ruangan lebih nyata dari invasi. Setiap bagian kulit dapat
terlibat. Tumor biasanya berupa lesi berwarna ungu pada kulit
dan jaringan subkutis, padat, tidak nyeri, tidak gatal dan umum-
nya meninggi dari kulit sekitarnya. Lesi dapat berkembang
hingga mencapai 1 cm dalam waktu 710 hari. Lesi biasanya
multipel dan jarang berdiameter lebih 5 cm walaupun lesi dapat
menyatu pada masa lanjut. Beberapa lesi dapat berupa makula
kecil.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan biopsi; dapat dijumpai
sel berbentuk spindel,
intra cellular clefts, serta ektravasasi butir
darah merah yang patognomonis untuk Sarkoma Kaposi.
Lesi dini mempunyai tanda minimal sehingga diagnosis
untuk lesi makula Sarkoma Kaposi sangat suliL
2)
Infeksi Kulit
a) Herpes simpleks, terutama dengan distribusi perianal, se-
dangkan HSV peri-oral tidak umum menjadi masalah.
b) Herpes (Varisella) Zoster, umumnya dijumpai pads masa
prodromal, tidak biasa dijumpai pads AIDS yang mapan.
c)
Molluscum Contagiosum, umumnya dijumpai di wajah dan
agak sulit memberantasnya, digunakan liq. Nitrogen atau 5%
phenol secara lokal; lesi ini tidak membahayakan.
d) Infeksi jamur, dapat diobati dengan obat-obat anti jamur.
3) Kelainan non-spesifik
Lesi kulit yang menyebar menyebabkan gambaran atipis
dan diagnosis sebaiknya ditopang oleh biopsi dari pads hanya se-
cara klinis. Funginemia dari semua kasus dapat menyebabkan
lesi
kulit, terutama oleh cryptococcusis dan histoplasmosis.
Setiap lesi yang atipis pada penderita AIDS harus dibiopsi, bila
diagnosis klinis meragukan. Lesi yang non-spesifik di kulit pada
penderita AIDS terutama berupa eksema seborrhoik dan folli-
kulitis pada wajah.
Eksema timbul pads penderita tanpa menunjukkan pemah
menderita penyakit kulit sebelumnya, menyerang wajah dan
nyata dengan sisik-sisik yang tebal pads lipatan kulit.
Eksema atopi dapat muncul pads penderita yang mem-
punyai sifat atopi, eksem, atau asthma pads masa
kanak-kanak.
KEPUSTAKAAN
1.
Miller D, Weber J, Green J. The Management of AIDS patients. London: Mac
Milian Press Ltd, 1987.
2. Centers for Disease Control.
Pneumocystis Carinii Pneumonia. MMWR
1981; 30: 250.
3. Goulieb MS, Scraff R, Schanker MM et al.
PneumocystisCarinii Pneumonia
and mucosal candidiasis in previously healthy homosexual man. Evidence of
a new acquired Cellular
Immuno-deficiency. N. Engl. J. Med 1981; 305:
1425.
4. Masur E, Micheles MA, Green JB et al. An
outbreak
of community acquired
Pneumocystis Carinii pneumonia. Initial manifestation of Cellular Immu-
nodysfunction. N. Engl. Med 1981; 305: 1439.
5.
Coffin et al. Human immunodeficiency Viruses. Science 1986; 232: 697.
6.
Saerde MA, Volberding PA. The Medical Management of AIDS. Philadel-
phia, London, Toronto, Sydney: WB Saunders Coy, 1988.
7. Goldert JJ, Blattner WD. The
Epidemiology of AIDS and Related Condition.
In:
AIDS, etiology, diagnosis, treatment and prevention.
De vitaVT, Hellman.
S, Resenberg SA. (eds.). Sydney: JB Lippincott, 1983.
8.
Centers for Disease Control. Update on Acquired Immunodeficiency Syn-
drome (AIDS). MMWR 1982; 31: 507.
Cermin Dunia Kedok t eran, Edisi Khusus No. 80, 1992 123
Penatalaksanaan Gejala Duh
Tubuh Uretra
Mansur A. Nasution, Zulilham
Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara Rumah Sakit Dr. Pirngadi, Medan
PENDAHULUAN
Duh tubuh uretra
(urethral discharge) merupakan suatu
simptom berupa keluarnya cairan dari uretra baik mukous
ataupun serous. Secara umum duh tubuh uretra ini bisa bersifat
fisiologis
misalnya pada prostaturia dan spermaturia dan bisa
bersifat patologis misalnya pads uretritis gonore dan uretritis non
spesifik (uretritis non gonore). Gonore dan uretritis non spesifik
keduanya termasuk dalam penyakit menular seksual (PMS)
insidensnya meningkat setiap tahun, dan sering dijumpai ber-
samaan.
Penatalaksanaan duh tubuh uretra tergantung pada diagno-
sis gonore atau uretritis non spesifik.
GONORE
Secara umum mencakup semua penyakit yang disebabkan
oleh infeksi gonokokkus (Neisseria gonorrhoe).
ETIOLOGI
Bakteri gonokokkus ditemukan oleh Albert Neiser pads
tahun 1879 dan baru diumumkan pads tahun 1882. Bentuk-
nya diplokokkus seperti biji kopi dan bersifat gram negatif,
tidak tahan lama di udara bebas, cepat mati dalam keadaan
kering dan tidak tahan di atas suhu 39C, dan tidak tahan
terhadap desinfektan.
Pada tahun 1976 CDC di Amerika Serikat menemukan
Neisseria gonore penghasil penisilinase (NGPP) dari penderita
gonore yang pernah bertugas di Vietnam dan pads tahun yang
sama diketemukan NGPP di Belanda dari seorang pramugari
penerbangan yang pernah berkencan dengan seorang Filipina.
Pada tahun 1980 Wijaya di Jakarta menemukan kasus NGPP
pads satu lokasi pelacuran. Pada tahun 1981 Hutapea bekerja
sama dengan State's Serum Institutes Copenhagen
melaporkan
adanyaNGPP di Medan. Dan pada tahun yang sama Nasution dan
124
Cermin Dunia Kedok t eran, Edisi Khusus No. 80, 1992
Iswara melaporkan bahwa di Medan 16,7% penyebab gonore
adalah NGPP. Pada saat ini lebih dari 50% penderita gonore
disebabkan NGPP.
GAMBARAN KLINIS
Masa tunas sangat singkat, pada pria umumnya bervariasi
antara 1 5 hari, kadang-kadang lebih lama. Pada wanita sulit
ditentukan karena pads umumnya bersifat asimtomatik.
Pada pria yang sering adalah uretritis.anterior akuta dengan
keluhan berupa rasa gatal dan panas di bagian distal uretra,
disuria, polakisuri, dari ujung uretra keluar duh tubuh seromu-
kopurulen yang kadang-kadang disertai darah. Perasaan nyeri
waktu ereksi.
Pada pemeriksaan tampak orificium uretra eksternum
merah dan odematus.
Pada wanita keluhan hanya berupa keputihan dan perasaan
gatal.
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Pada sediaan langsung dengan pewarnaan gram akan
ditemukan gonokokkus gram negatif intraseluler dan kadang
kadang bisa ekstraseluler.
Pembiakan (terutama untuk wanita) menggunakan :
1. Media transport (Media Stuart)
2. Media pertumbuhan (Media Thayer Martin)
Sedangkan identifikasi NGPP dilakukan dengan tes jodometri
atau asidometrik pada koloni yang tumbuh pada pembiakan.
DIAGNOSIS
Gambaran klinis ditunjang pemeriksaan laboratorium.
URETRITIS NON SPESIFIK
Uretritis yang penyebanya bukan gonokokkus.
ETIOLOGI
1. Klamidia trakomatis - 30 - 50%
2. Ureaplasma urealitikum - 30 - 50%
3. Trikomonas vaginalis - jarang
4. Kandida albikans - jarang
5. Virus herpes simpleks - jarang
6. Tak diketahui - 20%
GAMBARAN KLIMS
Masa inkubasi beberapa hari sampai beberapa minggu (1 -
5
minggu); keluhan hampir serupa dengan uretritis gonore,
hanyaduh tubuhnya lebih encerdan kadang-kadang hanya berupa
bercak-bercak kuning pada waktu pagi pada celama dalam.
PEMERIKSAAN LABORATORIUM:
Pemeriksaan langsung, tidak dapat dilakukan kecuali untuk
Kandida albikans dan T. vaginalis.
Pembiakan (Klamidia dan U. urealitikum)
1) Media transport (Bufer fosfat +
fetal calf serum + and
biotika)
2) Media pertumbuhan (Mc. Coy).
Pemeriksaan secara Elisa
Serologis
DIAGNOSIS
Ditegakkan berdasarkan gambaran klinis yang ditunjang
pemeriksaan laboratorium.
PENATALAKSANAAN DUH TUBUH
Penatalaksanaan duh tubuh uretra adalah dengan mem-
perhatikan fasilitas laboratorium yang ada untuk menemukan
penyebabnya : bila penunjang laboratorium baik, maka pe-
natalaksanaan duh tubuh uretra pertama kali ditujukn untuk
uretritis gonore, Bilakemudian ternyata ditemukan juga uretritis
non gonore maka pengobatannya baru dilaksanakan setelah
infeksi gonore diatasi.
Akan tetapi bila kita melihat laporan CDC (Centers for
Disease Control) 1989 pola penatalaksanaan uretritis gonore
mengalami beberapa perubahan-perubahan disebabkan oleh :
1. Tingginya insidens infeksi klamidia bersamaan dengan
gonore (25 - 50%).
2. Kesukaran tehnik pemeriksaan klamidia.
3.
Makin tingginya insidens NGPP (lebih dari 50%).
4.
Makin tingginya gonokokkus yang resisten terhadap tetra-
siklin.
Mengingat hal tersebut, CDC (1989) menganjurkan agar
pada pengobatan uretritis gonore tidak diberikan lagi penisilin
atau derivatnya, dan di samping itu diberikan juga obat untuk
UNS (klamidia) secara bersamaan, yaitu Ceftriaxone 250 mg im
atau Spektinomycin 2 gr im atau Ciprofloxacin 500 mg oral,
ditambah dengan Doksisiklin 2 x 100 mg selama 7 hari, atau
Tetrasiklin 4 x 500 mg selama 7 hari, atau Eritromisin 4 x 500
mg selama 7 hari.
Standar pengobatan di atas banyak dipakai di Amerika
Serikat, Kanada, Skandinavia dan beberapa negara di Eropah,
uretra belum ada dan belum seragam. Yang panting obat tersebut
murah dan ampuh.
Pada pertemuan ilmiah untuk melakukan suatu Standar-
disasi Diagnostik dan Penatalaksanaan PMS (Jakarta 1990) pe-
natalaksanaan duh tubuh uretra dibagi atas penatalaksanaan
terhadap gonore dan U.N.S.
Untuk gonore pads rumah-rumah sakit serta Puskesmas
masih dipakai Penisilin dengan dosis bervariasi antara 2,4 juta
I.U. - 4,8 juta I.U. mendapat penyakit tersebut dari WTS lokal.
Sedangkan untuk U.N.S. diberikan : Tetrasiklin 4 x 500 mg
selama 7 hari, atau Eritromisin 4 x 500 mg selama 7 hari, atau
Doksisiklin 2 x 100 mg selama 7 hari.
Tetapi kenyataannya, praktek pribadi/swasta lebih banyak
menggunakan tiamfenikol; pads saat ini penggunaan paket dosis
tiamfenikol perlu diperpanjang : hari I : 2,5 - 3,5 g. dosis tunggal,
dilanjutkan hari II - X : 3 x 500 mg.
Di Indonesia (1988) uji cobs klinis untuk pengobatan duh
tubuh uretra dengan tiamfenikol berhasil baik (lebih dari 90%).
Di samping itu kepada penderita dianjurkan :
1. Tidak melakukan kontak seksual
2. Tidak minum alkohol
3.
Tidak makan makanan yang dapat mengiritasi selaput lendir
uretra seperti kambing dan makanan dari laut.
KEPUSTAKAAN
1.
WHO. Consultative Group Current treatment in the control of STD (WHO
UDT 83. 433).
2. CDC STS treatment guideline, Sept. 1989.
3. S. Daili. Gonore dan penatalaksanaan duh tubuh uretra pada umumnya.
Kursus
penyegarPMSBali, 18 Oktober. IUVDT Bangkok 19 Oktober 1987.
4. Nasution MA, Iswara R. PPNG in North Sumatra. IUVDT, Bangkok 19
Oktober 1987.
5. Judanarso J. Infeksi Chlamydia pada genitalia. Simposium PMS, Bali 18
Oktober 1987.
6. Nasution MA, Roesyanto ID, Sutanto LA. Treatment of Urethritis go-
norrhoea and non gonorrhoea with thiamphenicol, 8th Regional Conference
of Dermatology Bali 16 Ju
Cermin Dunia Kedok t eran, Edisi Khusus No. 80, 1992 125
Alergi dan Iritasi Kulit pada
Keadaan Sehari-hari
Dr. Diana Nasution
Bagian
Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara/Rumah Sakit Dr. Pirngadi, Medan
ABSTRAK
Jika dilihat sepintas alergi dan iritasi kulit dapat mirip satu dengan lainnya. Dan
sudut dermatologi terdapat perbedaan di antara keduanya yang dapat membantu klta
menangani pasien-pasien yang menderita alergi dan iritasi kulit.
Dalam makalah ini dibicarakan beberapa contoh alergi dan iritasi kulit yang
dapat dijumpai dalam kehidupan sehari-hari, antara lain :
1.
Alergi terhadap perhiasan
2.
Reaksi kulit terhadap sabun dan detergensia
3.
Kepekaan terhadap sepatu, bahan pengawet, pakaian dan cat rambut.
PENDAHULUAN
Istilah alergi menunjukkan suatu reaksi yang berubah
(alergi) terhadap suatu bahan tertentu (alergen) yang melibat-
kan sistem imun tubuh; hanya terjadi pads orang-orang tertentu.
Iritasi kulit disebabkan oleh suatu bahan dapat terjadi pads
setiap orang, tidak melibatkan sistem imun tubuh dan ada be-
berapa faktor-faktor tertentu yang memegang peranan seperti
keadaan permukaan kulit, lamanya bahan bersentuhan dengan
kulit, usia pasien, adanya oklusi dan konsentrasi dari bahan.
Adakalanya suatu bahan kimiawi mempunyai kedua sifat
ini yaitu dapat menyebabkan reaksi alergis dan suatu respons
iritasi pads kulit; sebagai contoh : sabun yang berisi zat warns
atau parfum sebagai alergen jika disertai dengan mencuci beru-
lang-ulang dapat menyebabkan iritasi kulit.
Untuk membedakan reaksi kulit yang alergis dan iritasi kulit
dapat dilakukan percobaan tempel.
ALERGI TERHADAP PERHIASAN DAN LOGAMLAIN
Pads orang-orang tertentu dapat terjadi kelainan kulit setelah
mernakai perhiasan tertentu misalnya anting-anting, kalung,
jam tangan dan sebagainya. Kemungkinan penyebabnya adalah
126 Cermin Dunia Kedok t eran, Edisi Khusus
No. 80, 1992
nikel yang banyak terdapat dalam benda-benda logam antara lain
jam Langan, perhiasan, jepitan rambut, penggulung rambut,
gunting, cincin, mata uang, kepala ikat pinggang, bingkai kaca,
mata dan sebagainya. Di Amerika diperkirakan kepekaan
terhadap nikel ini mencakup 10% dari penduduk dan terdapat
lebih banyak pads wanita dari pads pria dengan perbandingan
2 : 1. Hal ini disebabkan oleh karena wanita lebih banyak
memakai perhiasan dibandingkan dengan pria.
Keringat dapat memperhebat dermatitis oleh nikel ini,
gejala berupa rasa gatal dan mencucuk dapat timbul 15-20
menit setelah bersentuhan dengan kulit dan gejala-gejala kulit
dapat timbul dalam waktu satu jam. Apabila tidak berkeringat,
pasien yang sama dapat memakai perhiasan yang mengandung
nikel ini untuk beberapa jam tanpa adanya gejala.
Diagnosis dermatitis oleh nikel ini amat mudah oleh karena
is timbul pada tempat kulit berkontak dengan logam tersebut.
Apabila kontak dihilangkan maka gejala pada kulit akan sembuh
dalam beberapa hari. Di samping itu untuk memperkuat diagno-
sis dapat dilakukan uji tempel.
Untuk mendeteksi apakah suatu perhiasan berisi nikeldapat
dilakukan tes dengan dimetil-glioksim. Di samping itu jika
seorang yang peka terhadap nikel tetap ingin memakai per-
hiasannya tersebut, disarankan untuk melapisi perhiasan tersebut
dengan cat kuku yang berwana netral atau menyemprotkan
dengan bahan yang berisi kortikosteroid dan mengharuskan
pasien agar memakainya dalam keadaan sekitar yang sejuk untuk
menghindari keringat.
REAKSI KULIT TERHADAP BAHAN PENGAWET
Reaksi kulit terhadap bahan pengawet yang terdapat di
dalam kosmetika dan oba-obat oles, dapat berupa dermatitis
(eksema) dengan tanda-tanda kulit kering, bersisik, merah, ber-
lepuh sampai basah atau retak-retaknya kulit. Reaksi bisa ringan
atau berat dan biasanya disertai dengan rasa terbakar dan gatal.
Reaksi dapat timbul sebagai urtika atau kadang-kadang berupa
pembengkakan lokal.
Sering terjadi timbulnya reaksi kulit pada pemakaian per-
tama kali dari obat oles atau kosmetika pada kulit yang terluka
atau sedang mengalami iritasi.
Sedangkan bahan pengawet makanan dan obat-obatan
per-oral dapat menyebabkan reaksi kulit yang bersifat alergis
dan dapat menyebabkan terjadinya sensitisasi. Beberapa contoh
bahan pengawet di dalam kosmetika atau obat oles kulit : metil-
paraben, propil paraben, imidazolidinilurea, butil-paraben, qua-
ternium-15, formaldehid, Katon-cG, asam sorbic, Vit. E dan
Vit. c.
Terdapatnya bahan pengawet pada berbagai macam produk-
produk yang dipakai sehari-hari maka sudah tentu amat sulit
dihindari. Salah satu cara untuk mengetahui penyebab kelainan
kulit oleh pemakaian kosmetika atau obat kulit lainnya yaitu
dengan percobaan tempel.
REAKSI KULIT TERHADAP SABUN DAN DETERGEN
Reaksi kulit terhadap pemakaian sabun dan detergen dapat
terjadi berdasarkan iritasi kulit akibat pemakaian yang ber-
lebihan.
Terjadinya iritasi kulit oleh pemakaian sabun
kemungkinan disebabkan oleh sifat alkalis sabun disertai dengan
daya menghapus minyak dari kulit dan sifat iritasi dari asam
lemak. Dapat juga terjadi kelainan kulit oleh karena alergi ter-
hadap bahan-bahan yang terdapat di dalam sabun seperti pewangi,
zat warna, bahan-bahan antimikroba dan sebagainya.
Pernah dilaporkan terjadinya depigmentasi kulit oleh
pemakaian sabun yang mengandung fenol.
Sabun sebagai iritan utama dapat merupakan faktor yang
memperlambat penyembuhan dari eksema pada tangan. Untuk
menghindari reaksi iritasi ini, kurangi pemakaian sabun.
KEPEKAAN KULIT TERHADAP SEPATU
Reaksi akergi kulit terhadap sepatu dapat berasal dari bahan
dasarnya yaitu kulit hewan yang telah diproses dengan bahan-
bahan tertentu seperti cat, bahan pengawet, bahan antimikroba
dan anti jamur, khrom, karet, bahan perekat, anti oksodan dan
bahan-bahan lainnya.
Reaksi kulit terhadap sepatu paling sering terjadi pada
mereka yang banyak berkeringat dan pads keadaan sekitar yang
panas dan lembab. Penting diperhatikan ialah bahwa sepatu
harus dipakai dalam keadaan kering.
Alergi terhadap sepatu ini sering mirip dengan gambaran
eksema, infeksi jamur dan penyakit kulit yang disebut psoriasis.
Terapi yang tepat didapat dengan mengetahui
penyebabnya
yaitu dengan tes tempel kulit.
REAKSI KULIT TERHADAP PAKAIAN
Reaksi kulit terhadap pakaian paling sering terjadi pada
pakaian yang terbuat dari bahan dasar yang mudah diregang.
Sebagai bahan Penyebab yaitu adanya bahan karet di dalam kain
dan bahan-bahan kimiawi lainnya'yang terdapat di dalam karet
tersebut, juga serat-serat sintesis yang bersifat elastis. Semua
bahan-bahan ini mengandung bahan tambahan yang bersifat
sebagai
sensitizer
dan dapat menyebabkan reaksi alergi pads
kulit.
REAKSI KULIT TERHDAP CAT RAMBUT
Kepekaaan kulit terhadap cat rambut sebagian besar dise-
babkan oleh bahan kimiawi paraphenilendiamin (PPD) yaitu
zat warna dalam pewarna rambut yang permanen. Jika seorang
menjadi alergis terhadap PPD, maka is juga peka terhadap
bahan-bahan yang secara kimiawi mempunyai ikatan yang
sama melalui suatu proses sensitisasi silang.
Jadi bila alergis terhadap PPD, maka juga alergis terhadap
pewarna dari bahan anilin, Azo yang banyak dipakai untuk
memberi warna gelap pads pakaian (hitam, biru,.cokklat dan
abu-abu). Juga dapat terjadi kepekaan terhadap obat-obat peng-
hilang rasa seperti prokain, benzokain.
Kurang lebih 1/4 dari mereka yang peka terhadap PPD juga
peka terhadap prokain dan benzokain. Jadi orang yang peka
terhadap PPD jangan lupa memberi tabu dokter gigi anda se-
hubungan adanya kemungkinan pemakaian anastesi untuk
pencabutan gigi. Sebagai ganti prokain dan benzokain dapat
dipakai xylocaine dan mepivacaine.
Tabir surya yang mengandung PABS dapat juga bereaksi
silang dengan PPD, orang yang peka terhadap PPD hendaknya
menggunakan tabir surya yang bebas PABA.
KESIMPULAN
Telah dibicanakan beberapa kemungkinan alergi dan iritasi
kulit yang dapat dijumpai dalam keadaan sehari-hari. Untuk
menghindarinya perlu pengenalannya. Uji Tempel Kulit banyak
membantu dalam hal memperjelas diagnosis.
KEPUSTAKAAN
1. Adams. Occupational skin disease. 2nd ed. Saunders, 1990.
2. Corbett JF. Hair dye toxicity. Berlin : Springer-Verlag,
1990.
3. Groin E. Contact Dermatitis. Edinburgh : Churchill Livingstone, 1980.
4. Fisher A A. contact dermatitis. 3rd ed. Philadelphia : Lea & Febiger, 1986.
5. MaibachH J Gellin GA. Occupational &Industrial Dermatology. Yearbook
Medical Publishers, 1982.
Cermin Dunia Kedok t eran, Edisi Khusus No. 80, 1992 127
Kursus dan Demonstrasi RIP
Resusitasi Jantung, Paru, dan
Otak
Oloan SM Siahaan
UPF Anestesi Fakultas Kedokteran Universitas Suniatera Utara
Rumah Sakit Umum Pusat Dr Pirngadi Klas A, Medan
PENDAHULUAN
Tidak semua penderita yang mengalami cardic arrest di-
resusitasi, melainkan hanya yang mungkin untuk hidup lama
tanpa meninggalkan kelainan-kelainan di otak. Jadi resusitasi
ialah usaha mengembalikan fungsi pernafasan dan/atau sirkulasi
dan penanganan akibat henti nafas (respiratory arrest) dan/atau
henti jantung (cardiac arrest) pads orang, di mana fungsi terse-
but gagal total oleh suatu sebab yang memungkinkan untuk hidup
normal selanjutnya bila kedua fungsi tersebut bekerja kembali.
Jadi bukan pada akhir suatu stadium agonal, di mana karena
memburuknya keadaan umum, pusat penting dan organ semakin
buruk dan akhirnya gagal total; atau pada orang yang pusat di
otaknya sudah mengalami kerusakan karena sebab-sebab per-
nafasan/sirkulasi sehingga tidak ada lagi kemungkinan untuk
hidup.
Keberhasilan resusitasi dimungkinkan oleh adanya waktu
tertentu diantara mati klinis dan mati biologis. Mati klinis terjadi
bila dua fungsi penting yaitu pernafasan dan sirkulasi mengalami
kegagalan total. Jika keadaan ini tidak cepat ditolong, maka akan
terjadi mati biologis yang irreversibel. Setelah tiga menit mati
klinis (jadi tanpa oksigenisasi), resusitasi dapat menyembuhkan
75% kasus klinis tanpa gejala sisa. Setelah empat menit persen-
tase menjadi 50% dan setelah lima menit 25%. Maka jelaslah
waktu yang sedikit itu harus dapat dimanfaatkan sebaik mung-
kin.
Di camping mati klinis dan biologis dikenal juga istilah mati
sosial yaitu keadaan di mana pernafasan dan sirkulasi terjadi
spontan atau secara buatan, namun telah mengalami aktifitas
kortikal yang abnormal (perubahan EEG), penderita dalam
keadaan sopor atau koma tanpa kemungkinan untuk sembuh;
jadi dalam keadaan vegetatif.
Agar suatu resusitasi berhasil maksimal tentu saja me-
merlukan operator yang cekatan dan trampil. Waktu satu menit
sangat berguna dan lebih balk memberikan resusitasi pada orang
yang "sedang meninggal" daripada yang "telah ineninggal".
FASE-FASE RESUSITASI KARDIO PULMONER
RKP dibagi, terutama untuk memudahkan latihari dan
mengingat, dalam fase dan langkah sebagai berikut :
FASE I : Tunjangan hidup dasar (Basic Life Support) yaitu
prosedur pertolongan darurat mengatasi obstruksi jalan nafas,
henti nafas dan henti jantung, dan bagaimana melakukan RKP
secara benar.
Terdiri dari :
A
(airway) : menjaga jalan nafas tetap terbuka.
B
(breathing) : ventilasi paru dan oksigenisasi yang adekuat.
C (circulation) : mengadakan sirkulasi buatan dengan kom-
presi jantung paru (KJL),
FASE II : Tunjangan hidup lanjutan (Advance Life Support);
yaitu tunjangan hidup dasar ditambah dengan :
D
(drugs) : pemberian obat-obatan termasuk cairan.
E
(EKG) : diagnosis elektrokardiografis secepat mungkin
setelah dimulai KJL, untuk mengetahui apakah ada fibrilasi
ventrikel, asistole atau
agonal ventricular complexes.
F (fibrillation treatment) :
tindakan untuk mengatasi fibrilasi
ventrikel.
FASE III : Tunjangan hidup terus-menerus
(Prolonged Life
Support).
G (Gauge) : Pengukuran dan pemeriksaan untuk monitoring
penderita secara terus menerus, dinilai, dicari penyebabnya dan
kemudian mengobatinya.
H (Head) :
tindakan resusitasi untuk menyelamatkan otak dan
sistim saraf dari kerusakan lebih lanjut akibat terjadinya henti
jantung, sehingga dapat dicegah terjadinya kelainan neurologik
yang permanen.
H (Hipotermi) : Segera dilakukan bila tidak ada perbaikan
1 28 Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992
fungsi susunan saraf pusat yaitu pada suhu antara 30 32C.
H (Humanizat ion) : Harus diingat bahwa korban yang ditolong
adalah manusia yang mempunyai perasaan, karena itu semua
tindakan hendaknya berdasarkan perikemanusiaan.
I (Intensive care) : perawatan intensif di ICU, yaitu : tunjang-
an ventilasi : trakheostomi, pernafasan dikontrol terus menerus,
sonde lambung, pengukuran pH, pCO
2
bila diperlukan, dan
tunjangan sirkulasi, mengendalikan kejang.
FASEI : TUNJANGAN HIDUPDASAR
Adalah prosedur pertolongan darurat, termasuk di dalamnya
pengenalan henti jantung (cardiac arrest) dan henti napas (re-
spiratory arrest) dan bagaimana melakukan RKP yang tepat
untuk menyelamatkan nyawa sampai korban dapat dibawa atau
tunjangan hidup Ian jutan sudah tersedia. Di sini termasuk langkah-
langkah ABC dari RKP :
A (Airway) : Jalan nafas terbuka.
B (Breathing) : Pernapasan, pernapasan buatan RKP.
C (Circulation) : Sirkulasi, sirkulasi buatan.
Indikasi tunjangan hidup dasar terjadi karena :
1. Henti napas.
2. Henti jantung, yang dapat terjadi karena :
a.
Kolaps kardiovaskular
b.
Fibrilasi ventrikel atau
c.
Asistole ventrikel.
Pernapasan buatan
Membuka jalan napas dan pemulihan pernapasan adalah
dasar pemapasan buatan.
Cara mengetahui adanya sumbatan jalan napas dan apne :
Lihat gerakan dada dan perut
Radio-immune Assay.
Schizont-infected Cell Agglutination Test (SICA).
b)
Untuk mendeteksi antigen :
Dipergunakan metode pengembangan antibodi spesifik
dengan latar belakang antigen yang ada di darah dengan cara
bioteknologi hibridoma, DNA probe, dan lain-lain.
PEMILIHAN METODE PEMERIKSAAN
Banyak metode pcmcriksaan laboratorium untuk diagnostik
malaria yang tclah diperkenalkan dan digunakan. Untuk hal ini
tergantung pada kebutuhan apa hasil dari diagnosis itu diper-
gunakan.
Umumnya hasil dari pemeriksaan laboratorium untuk diag-
nosis dipergunakan untuk keperluan :
1.
Menentukan pengobatan terhadap penderita
2. Penclitian Epidemiologi
3.
Penclitian Parasitologi
4. Penclitian Imunologi.
Untuk keperluan pengobatan dan perawatan biasanya dibu-
tuhkan hasil yang cepat dan dapat segera diberikan pengobatan;
untuk kasus-kasus di klinik yang jumlahnya tidak banyak dapat
digunakan metode Giemsa.
Untuk keperluan penclitian epidemiologi yang biasanya
melibatkan banyak sampel darah dan umumnya hasilnya tidak
dibutuhkan segera, dapat dipakai metode Field
'
s staining atau
QBC system. Penelitian parasitologi biasanya bersama dengan
penelitian epidemiologi.
Pada penelitian imunologi tujuan utamanya adalah untuk
mendapatkan vaksin malaria, pads pemeriksaan imunologi yang
diperiksa adalah antigen terlarut maupun antibodi yang kadang-
kadang munculnya dalam darah penderita agak terlambat meng-
ikuti proses pembentukannya, walaupun kepekaan cara hibri-
doma dapat mendeteksi 1 parasit dalam 1.000.000 eritrosit.
KEPUSTAKAAN
1.
Bruce Chwau LI. DNA probes for malaria diagnosis. Lancet 1984; 1: 795.
2. Cohen S, Warren KS. Immunology of Parasitic Infections, 2nd ed. Blackwell,
1982. 460 465.
3. Craig. Faust's Tect book of Parasitology.
4. Jaturapom Pomsilapatip
et al. Detection of Plasmodia in acridine orange
stained capillary tubes (The QBC System), Southeast Asian J Trop Med
Public Health vol 21 no 4 December 1990; 21(4): 34540.
5. Dep Kes RI, Dit Jen PPM PLP. Malaria. 7. Pemeriksaan parasit malaria
secara mikroskopis. 1983.
6. Dep Kes RI, Dit Jen PPM PLP. Malaria, 9. Test resistensi in vivo dan in vitro
Plasmodiumfalciparwn, 1983.
7.
Thomas T Ho. A rapid and simple method for diagnosis of malaria utilizing
the QBC Malaria test, Proc. Simposium Malaria, Jakarta, 1991.
Cermin Dunia Kedoiaeran, Edisi Khusus No. 80, 1992 151
Simposium Satelit : CorouaryHeart Disease Update
Patofisiologi dan
Penatalaksanaan Penyakit
Jantung Koroner
T. Bahry Anwar, Sutomo Kasiman
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan, Indonesia
PENDAHULUAN
Penyakit jantung koroner adalah suatu penyakit jantung
yang disebabkan karena kelainan pembuluh darah koroner. Salah
satu penyebab utamanya adalah aterosklerosis koroner yaitu
r
proses penimbunan lemak dan jaringan fibrin, gangguan fungsi
dan struktur pembuluh darah yang mengakibatkan berkurang
-
nya aliran darah ke miokard. Faktor risiko yang mempengaruhi
terjadinya aterosklerosis adalah kolesterol darah
yang meninggi,
diet, hipertensi, merokok, diabetes melitus, obesitas, jeniskelamin,
umur, kurang latihan dan keturunan.
PATOGENESIS ATEROSKLEROSIS
Menurut kelompok studi WHO (1958), aterosiderosis ada-
lah suatu kombinasi perubahan tunika intima pembuluh darah
arteri yang bervariasi, yang terdiri dari penimbunan setempat
lemak, kompleks karbohidrat, darah dan produk darah, jaringan
fibrosa, penimbunan kalsium bersama-sama dengan perubahan
tunika media.
Seperti diketahui struktur normal dinding arteri terdiri dari
tunika intima, tunika media dan tunika adventisia. Pada proses
aterosklerosis prinsipnya yang terlibat adalah tunika intima
walaupun perubahan sekunder dapat juga dijumpai pads tunika
media. Tiga tipe lesi aterosklerosis klasik yang dapat dijumpai
adalah garis lemak, plak fibrosa dan lesi kompleks. Garis lemak
ditandai oleh penimbunan lemak setempat, sejumlah kecil sel
otot polos intima dan tidak menyebabkan obstruksi ataupun ge-
jala. Garis lemak ini bersifat reversibel dan dapat menjadi plak
fibrosa. Plak fibrosa adalah lesi yang karakteristik, nampak
keputihan dan menonjol ke dalam lumen arteri. Plak fibrosa
dapat berkembang menjadi lesi kompleks yaitu plak fibrosa yang
berubah karena adanya perdarahan, fibrosis dan kalsifikasi,
ulserasi ataupun trombosis. Sifat khan lesi ini adalah kalsifikasi
dan sering dihubungkan dengan kejadian oklusi.
152
Cermin Dunia Kedokteran, Edisi
Khusus No. 80, 1992
Aterosklerosis merupakan spektrum dari reaksi arteri akibat
beberapa faktor yang mempengaruhi dinding pembuluh darah
dan menyebabkan kelainan melalui mekanisme yang berbeda
pada subyek yang berbeda bahkan tempat yang berbeda pads
subyek yang sama.
Teori dan mekanisme terbentuknya aterosklerosis :
1. Mekanisme Infiltrasi Lipid
Teori ini menerangkan bahwa plasma protein termasuk
LDL dan VLDL secara kontinu masuk ke dalam pembuluh darah
melalui endotel. LDL yang berlebihan akan tertimbun di dalam
dinding arteri. Produk dari metabolisme lipoprotein ini ter-
utama kolesterol bebas; kolesterol bebas dan kolesterol ester
akan menyebabkan reaksi fibrokalsifikasi.
2. Permeabilitas
Tunika Intima dan Kerusakan Sel
Endotel
Perubahan permeabilitas tunika intima terhadap lipoprotein
dan kerusakan sel endotel merupakan faktor penting terbentuk-
nya aterosklerosis. Dari percobaan diketahui bahwa kerusakan
endotel dapat disebabkan oleh panas, dingin, mekanik (kateter)
yang mempercepat proses aterosklerosis pads keadaan hiper-
kolesterolemi.
Kerusakan endotel ataupun perubahan permeabilitas juga
dapat terjadi akibat aglutinasi platelet
yang melepaskan vaso-
aktif amin, dari area yang mengalami stres hemodinamik, hi-
pertensi dan kompleks antigen-antibodi.
3.
Mekanisme Trombogenik
Perkembangan lebih lan jut proses aterosklerostik dapat me-
nyebabkan oklusi total yang erat hubungannya dengan ruptur
plak, agregasi platelet,
terbentuknya trombus serta vasospasme
koroner. Ruptur plak akan menyebabkan pelepasan ATP dan
ADP dari sel-sel yang rusak. ATP dan ADP mengaktifkan
platelet sehingga terjadi adesi.
Platelet kemudian melepaskan
tromboksan A2 dan terutama ADP yang mengaktifkan
platelet di
sekitarnya untuk beragregasi dan membentuk gumpalan trombus
(Gambar 1).
4.
Mekanisme Hemodinamik
Mekanisme ini menerangkan hubungan lokalisasi dan
pembentukan aterosklerosis. Plak ateroma terutama sering di-
dapatkan di daerah percabangan pembuluh darah. Pada pembu-
luh darah koroner, ateroma lebih jelas pads bagian proksimal dari
tiga cabang utama epikardial arteri koronaria yang jelas bergerak
pads setiap denyut jantung. Arteri penderita hipertensi me-
nunjukkan
peningkatan permeabilitas terhadap molekul lipo-
protein. Faktor mekanis ini dapat mempengaruhi perubahan
tunika intima dan merangsang pembentukan mikro-trombi.
5. Perdarahan Kapiler
Teori Wintemitz (1938) menerangkan bahwa lipid pads lesi
aterosklerotik berasal dari perdarahan berulang pads plak akibat
ruptur kapiler lumen pembuluh darah maupun vasa vasorum.
Walaupun mekanisme ini tidak ada hubungannya dengan per-
mulaan pembentukan lipid akan tetapi mekanisme ini dapat me-
nambah penimbunan lipid dan fibrosis pads plak
yang
sudah
terbentuk.
Paterson menjelaskan bahwa frekuensi dan adanya per-
darahan kapiler dalam plak merupakan mekanisme untuk ter-
jadinya obstruksi akut arteri koroner.
6. Migrasi Lipofag (Makrofag)
Teori ini diperkuat oleh Leary; penimbunan kolesterol
pads arteri adalah akibat lipofag yang beredar dalam darah me-
lakukan penetrasi pads tunika intima. Sel ini diduga melakukan
penetrasi ke dalam endotelium atau melekat pads permukaan
sehingga menutupi endotelium.
PATOFISIOLOGI PENYAKIT JANTUNG KORONER
Fase penyakit jantung koroner dapat diketahui berdasarkan
hubungan antara gejala klinis dengan patologi endotelium yang
dapat dilihat secara angioskopi. Pada permulaan penyakit akan
tampak lapisan lemak pads permukaan pembuluh darah. Bila lesi
melebar akan menyebabkan obstruksi parsial oleh plak yang
permukaannya licin. Bila plak bertambah besar aliran koroner
akan berkurang dan menyebabkan angina stabil. Beberapa plak
akan mengalami ulserasi dan menyebabkan kumpulan
platelet
pads tempat tersebut. Kumpulan
platelet tersebut akan meng-
akibatkan lepasnya vasokonstriktor koroner secara periodik dari
aliran darah dan menyebabkan angina yang laju
(accelerated
angina)
yaitu bentuk peralihan dari angina stabil ke angina tak
stabil. Bila emboli yang lepas cukup besar akan menyebabkan
kematian yang mendadak.
Kumpulan
platelet
yang menempel dapat membentuk
trombus kecil. Bila trombus cukup besar dan menyebabkan
obstruksi total akan menjadi infark miokard. Setelah terjadi
infark, trombus akan lisis oleh proses endogen. Ulserasi endo-
telium menyembuh dalam beberapa minggu. Proses penyem-
buhan kadang-kadang tidak seluruhnya sempurna, seringkali
trombus yang tersisa membentuk sumbatan dalam pembuluh
darah sehingga timbul kembali angina stabil. Plak tersebut dapat
ruptur kembali, dan seterusnya.
Jadi mekanisme pencetus yang mengubah status seorang
penderita dengan gejala klinis stabil menjadi gawat seperti infark
miokard akut sangat berhubungan erat dengan patogenesis ate-
rosklerosis, agregasi platelet,trombosis intra koroner serta vaso-
spasme koroner.
Maka bagi penderita penyakit koroner dengan aliran darah
koroner terganggu, penanganan utamanya adalah revaskularisasi
dan reperfusi, baik secara mekanik maupun medikamentosa.
Cermin Dunia Kedok t eran, Edisi Khusus No. 80,1992 153
PENGENALANDAN PENATALAKSANAANPENYAKIT
JANTUNG KORONER
Iskemi miokard akibat aterosklerosis koroner dapatdiketahui
pads sebagian besar penderita karena menyebabkan rasa tak enak
di dada atau sakit dada yang disebut angina pektoris. Angina
pektoris adalah rasa sakit iskemik sebagai akibat dari iskemi
miokard yang terjadi sementara dan dirasakan penderita sebagai
sakit dada.
Beberapa ciri rasa sakit angina yang sangat berguna untuk
menegakkan diagnosis :
A. Lokalisasi
Sakit dada biasanya dirasakan maksimal di daerah mid-
sternal, tetapi dapat saja di lain tempat antara rahang dan
epigastrium.
Penjalaran rasa sakit dapat ke lengan dan pergelangan kiri,
leher, punggung, lengan dan pergelangan kanan dan rahang
bawah.
B. Sifat
Sakit yang terlokalisasi baik bukanlah angina pektoris. Rasa
sakit biasanya difus, dan dapat digambarkan dengan tangan
terkepal atau tangan terbuka yang menekan dada. Istilah yang
dipakai adalah rasa sakit, rasa tertekan, rasa ketat, rasa berat dan
rasa diremas; kadang-kadang angina hanya terasa seperti masuk
angin.
Rasa terbakar, rasa diiris dan rasa tajam biasanya menunjuk-
kan sakit dada yang lebih superfisial dan tidak khas untuk sakit
iskemik.
C.
Lamanya
Angina biasanya singkat; biasanya karena penderita ber-
usaha menghindari faktor pencetus atau mengatasi serangan
154 Cermin
Dunia Kedok t eran, Edisi Khusus No. 80, 1992
dengan nitrat. Serangan yang khas biasanya berlangsung 20 30
menit. Bila lama biasanya suatu serangan infark miokard.
D. Gejala Penyerta
Kecemasan, keringat dingin dan sesak nafas dapat me-
nyertai angina. Kadang-kadang rasa sesak merupakan satu-
satunya gejala tanpa adanya angina.
E. Faktor Pencetus
Aktifitas fisik, udara dingin, perubahan suhu yang men-
dadak, rasa cemas dan emosional, merokok, makan, kegiatan
sanggama.
F. Faktor Pembebas
Sakit karena latihan biasanya hilang segera dengan istirahat.
Respon terhadap nitrogliserin sublingual biasanya menguatkan
diagnosis angina pektoris. Faktor pembebas lainnya adalah pijat
sinus karotis, menahan nafas dan tindakan Valsava.
Dalam klinik dikenal berbagai jenis angina, tetapi untuk
kepentingan penatalaksanaan semuanya dibagi dalam 2 kelom-
pok besar saja, yaitu angina pektoris stabil dan angina pektoris
tidak stabil. Khusus mengenai angina yang baru timbul seringkali
dikelompokkan dalamfirst onset angina. Untuk angina jenis ini
perlu observasi sekurang-kurangnya 24 jam untuk memastikan
apakah masuk kelompok angina pektoris stabil atau angina
pektoris tidak stabil.
A. ANGINA PEKTORIS STABIL
Definisi
Angina pektoris stabil adalah rasa sakit iskemik yang di-
cetuskan oleh aktifitas tanpa perubahan dalam frekuensi, inten-
sitas dan lamanya angina maupun faktor-faktor pencetusnya
dalam 30 hari terakhir.
Klasifikasi
1) Aktifitas sehari-hari tidak menimbulkan angina
Angina baru timbul pads aktifitas berat, tergesa-gesa cepat
atau berkepanjangan.
2) Aktifitas sehari-hari terganggu sedikit
Angina timbul waktu jalan atau naik tangga dengan cepat,
jalan mendaki, jalan atau naik tangga setelah makan atau di hawa
dingin, jalan melawan angin atau selagi stres/emosi, berjalan
lebih dari 2 blok ( 400 m) dan naik tangga satu tingkat pads
kecepatan dan kondisi normal.
3) Aktifitas sehari-hari sangat terganggu
Angina dapat timbul setelah jalan 2 blok atau naik tangga
satu tingkat pada kecepatan dan kondisi normal.
4)
Tidak mampu melakukan aktifitas apapun tanpa angina
Angina dapat timbul sewaktu istirahat.
Diagnosis
1)
Riwayat sakit dada yang khas angina.
2)
Adanya perubahan EKG yang sesuai dengan iskemi se-
waktu sakit dada.
Tindakan
1) Umum/non-farmakologis
Pengendalian faktor-faktor risiko dan menghindari faktor-
faktor pencetus.
2) Farmakologis
Pemberian obat-obat nitrat, betabloker maupun antagonis
kalsium.
3) Stratifikasi : sires test
Bila diperlukan dapat dilakukan pemeriksaan thalium 201
atau angiografi.
4)
Indikasi angiografi koroner
-
Angina kelas III - IV
Umur di bawah 40 tahun
Hasil stress test
menunjukkan prognosis yang kurang baik
- Angina dengan aritmia yang diduga karena iskemia.
7) Intervensi
Tergantung pada basil angiografi koroner, dapat dilakukan
revaskularisasi berupa angioplasti koroner atau bedah pintas
koroner.
8) Indikasi PTCA
Absolut :
-
Lesi diskret pada 1 atau 2 pembuluh darah koroner
-
Re-stenosis yang berulang
Relatif :
Stenosis proksimal pada 3 pembuluh darah koroner
-
Lesi kompleks bila teknis memungkinkan
7)
Indikasi CABG :
-
Penyakit left main branch
Penyakit 3 pembuluh darah koroner yang ekstensif
PTCA secara teknis tidak memungkinkan
PTCA yang gagal.
B.
ANGINA PEKTORIS TIDAK STABIL
Definisi
Angina pektoris tidak stabil adalah suatu sindrom klinik dari
rasa sakit iskemik yang mencakup suatu spektrum yang Was dari
berbagai presentasi klinis dengan perburukan pola gejala angina
tanpa bukti adanya nekrosis miokard.
Terminologi
Preinfarction angina, preinfarction syndrome, impending
myocardial infarction, Prinzmetal
'
s angina, variant angina,
status anginosus, intermediate coronary thrombosis, acute
coronary insufficiency, crescendo angina, accelerated angina,
progressive angina, unstable angina.
Ciri-ciri
1)
Adanya peningkatan frekuensi, intensitas dan lamanya angina
dengan atau berkurangnya respon terhadap nitrat.
2)
Timbul sewaktu istirahat atau sewaktu melakukan aktivitas
ringan.
Yang termasuk angina pektoris tidak stabil adalah
new
onset angina, progressive/crescendo angina, variant (Prinz-
metal) angina, post-infarction angina
tidak terkontrol dalam
24-28 jam; lakukan angiografi, bila perlu dipasang IAPB
(Infra
Aortic
Balloon Pump) terlebih dahulu.
Diagnosis
1)
Adanya riwayat sakit dada yang khas angina sesuai dengan
ciri-ciri di atas.
2) Ditemukannya perubahan EKG yang sesuai dengan iskemia
pada waktu sakit.
Tindakan umum
a) Tirah baring di CVCU sampai angina terkontrol atau bebas
angina 24 jam.
b) Oksigen 2-4 liter permenit.
c)
Pasang ivline (Dextrose 5%/NaCl 0,9%).
d) Atasi rasa sakit dengan
-
Nitrat sublingual, dilanjutkan oral nitrat; bila belum ter-
kontrol dilanjutkan dengan
- Nitrogliserin iv dititrasi mulai dari 5 ug per menit ditingkat-
kan 5 ug setiap 5 menit sampai rasa sakit hilang (rata-rata 100 ug)
atau
- Isosorbid dinitrat: masukkan 20 mg dan 80 ml dextrose 5%
ke dalam buret mikrodrip. Jalankan/titrasi infus sampai rasa sakit
hilang lalu dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 2 mg/perjam.
Bila sakit timbul lagi, titrasi infus lagi sampai rasa sakit hilang,
lalu teruskan dengan dosis pemeliharaan 4 mg/jam dan seterus-
nya.
e)
Tranquilizer ringan seperti diazepam 5 mg/8 jam.
1)
Beta bloker merupakan pilihan pertama bila tidak ada kon-
traindikasi.
3) Indikasi Angiografi koroner
-
Angina yang refrakter terhadap pengobatan
-
Angina pasta infark
4)
Intervensi angioplasti koroner atau bedah pintas koroner
sesuai indikasi.
5) Indikasi PTCA
- Indikasi pada 1 atau 2 pembuluh darah koroner
Re-stenosis yang berulang.
6) Indikasi CABG
- Penyakit left main branch
-
Penyakit 3 pembuluh darah koroner
- PTCA secara teknis tidak mungkin
-
PTCA yang gagal.
C. INFARK MIOKARD AKUT
Ciri-ciri
1)
Adanya nyeri dada khas yaitu nyeri dada yang berat dan
menetap sekurang-kurangnya 20 menit lamanya.
2)
Nyeri dada khas adalah rasa sakit atau tertindih, terjepit,
terbakar atau kualitas sejenis dengan lokasi retrostemal atau
prekordial dengan atau tanpa penjalaran ke leher, bahu, lengan
atau punggung. Juga dapat disertai tanda-tanda aktivasi sistem
saraf otonom berupa pucat, keringat dan vasokonsriksi perifer.
Penderita biasanya ada dalam rasa takut.
Bila sarana pemeriksaan lebih lanjut tidak tersedia sudah
dapat langsung dirujuk.
Diagnosis
1) Rasa sakit dada yang khas untuk iskemi miokard.
2) Kelainan EKG yang khas yaitu berupa elevasi segmen ST
atau perubahan gelombang T (T tinggi) hiperakut atau T inversi
Cermin Dunia Kedokteran, Edisi
Khusus No. 80, 1992 1 55
dalam.
3)
Kenaikan kadar enzim jantung.
Tindakan
1)
Tenangkan penderita.
2)
Usahakan untuk dirawat di ruang intensif koroner.
3) Berikan nitrat sublingual.
4) Berikan oksigen.
5)
Pasang kanula intravena.
6) Aspirin oral 150 - 300 mg.
7) Diazepam 5 mg iv; bila perlu diberi morfin 2,5-5 mg iv atau
petidin 25-50 mg. bila nyeri hebat atau belum hilang dengan
nitrat. Bila nadi lambat jangan diberikan morfin.
8) Bila ada defibrilator dekatkan pads penderita.
9) Rekaman EKG dan pemeriksaan lazim diulangi setelah
12-24 jam.
10) Pemberian trombolisis bila nyeri baru berlangsung 6 jam
atau bila nyeri dada menetap.
Dasar kerja trombolisis adalah melarutkan trombolisis akut
yang terjadi di pembuluh darah. Trombolisis generasi pertama
adalah streptokinase dan urokinase sedangkan generasi ke dua
"adalah tPA (tissue plasminogen activator, APSAC (anisolated
plasminogen activation complex)
dan prourokinase.
Trombolisis dapat diberikan segera tanpa menunggu basil
pemeriksaan lazim, bila ada riwayat khas dan elevasi segmen
ST bermakna pads 2 sadapan atau lebih. Dosis streptokinase
diberikan 1.5 juta unit dalam larutan NaCl 0,9% sampai 100 ml
dan diinfus selama 1 jam dengan mikrodrip, dan sebaiknya di-
berikan hidrokortison 100 mg iv sebelum pemberian strepto-
kinase, dilanjutkan dengan heparinisasi setelah pemberian
streptokinase.
Penyulitnya adalah hipotensi, perdarahan dan reaksi alergi
akut.
Kontra indikasi pemberian trombolisis adalah terutama
yang barn menjalani pembedahan, pendarahan cerebral dan
gastro intestinal, hipertensi yang tidak terkontrol.
Tissue Plasminogen Activator (rt-PA) diberikan sebagai
bert'kut: 10 mg. bolus tunggal, 50 mg. diinfus selama 1 jam dan
sisanya 40 mg. diberikan selama 2 jam. Jumlah total 100 mg.
Pemberian APSAC 30 mikro bolus dalam 5 menit.
11) Beta bloker secara iv seperti atenolol dan metoprolol bila
diberikan secara dini dapat menurunkan mortalitas dengan
mencegah perluasan infark, mencegah ruptur dalam 24 jam per-
tama; tetapi tidak boleh diberikan pads bradikardi, hipotensi
gagal jantung dan alma.
12) Pengobatan dan tindakan terhadap penyulit seperti aritmia
(fibrilasi ventrikel, takikardi ventrikel, aritmi
supraventrikuler,
sinus bradikardi, blok atrioventrikuler), gagal jantung, nyeri
dada berkepanjangan atau berulang, perikarditis.
13)
Lama perawatan biasanya 10-40 hari; dengan trombolisis
biasanya lebih singkat, edukasi penderita mengenai aktiftas dan
rehabilitasi,penanggulangan faktor risiko, Cara-cara penggunaan
obat. Pengobatan waktu pulang yang standard adalah aspirin dan
beta bloker.
RINGKASAN
Pengenalan dasar patofisiologi penyakit jantung koroner
perlu bagi klinikus karena berhubungan dengan penatalaksana-
annya.
Pada dasarnya patofisiologi yang terjadi pads
penyakit
jantung koroner adalah interaksi antara elemen darah, dinding
pembuluh darah dan substansi vasoaktif. Mekanisme pencetus
kegawatan iskemik miokard berhubungan erat dengan robeknya
plak, agregasi platelet, pembentukan trombus Berta spasme ko-
roner. Tiga aspek penatalaksanaan yang perlu
dipertimbangkan
adalah menghambat agregasi platelet, menghambat pemben-
tukan trombus dan vasodilatasi.
KEPUSTAKAAN
1. Forrester JS,
Hickey A, Litvock F, Greendest W.
Angioplasty. In: Cardio-
logy Update, New York: Elsevier, 1990.
2. Gribbin B. Angina Pectoris
in Cardiovascular Disease, Singapore: PG
International, 1988.
3. Helfant RH. Stable Angina Pectoris, Circulation 1989; 82, Suppl. (3).
4. Hurst WJ. The Heart, Arteries andVeins. Mc Craw Hill-Co, 1990.
5. Joseph
SA. Importance of the
pharmacological profile of
thrombolytic
agents: Clinical Practice. Am J Cardiol 1991; 67 (3E): 7.
6. Lie KI, Becker AE. Classification of Angina.
In: What is Angina?
Symposium in the Hague, Netherlands 1981, AB Hassle Swedia 1983.
7. Netter FH, Heart
Vol
5, The Ciba
Collection of Medical Blustrations, New
York: Ciba, 1981.
8. Angina Pektoris. POKJA,
Bagian Kardiologi FKUI, 1991.
9. Ross R. The
pathogenesis
of atherosclerosis: Past, present
and future.
Circulation 1985; 72 B.
10.
Shah PK, Forrester IS. Pathophysiology
of acute coronary syndromes,
Am J Cardio 1991; 68: 16C 23C.
It is not what you eat t hat causes ulcers, it is what
'
s eat ing you
It is not work t hat kills
men, it is worry
156 Cermin Dunia Kedok t eran, Edisi Khusus
No. 80, 1992
Penggunaan Antagonis Kalsium
dalam Penatalaksanaan Penyakit
Jantung Koroner
Sutomo Kasiman, T. Bahry Anwar, T. Renardi Haroen
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan
PENDAHULUAN
Antagonis kalsium yang relatif sudah lama dikenal peng-
gunaannya sebenarnya sudah menjalani masa pengembangan
yang cukup panjang. Berbagai penelitian/percobaan yang telah
dilakukan antara lain sejak 1882, kira-kira 100 tahun yang lalu
oleh Sidney Ringer telah menunjukkan peranan ion Ca" ter-
hadap kontraksi miokard. Bukti-bukti lain menyusul dalam dua
dekade ini mengenai pengaruh bahan-bahan obat terhadap peran
ion
Ca" ini seperti telah ditunjukkan oleh Prof. Albrecht
Fleckenstein 1964 yang telah memberikan sumbangannya dalam
pengembangan antagonis kalsium dalam klinik.
Kita belum lupa bahwa pengenalan konsep reseptor alfa dan
beta adrenergik yang diawali oleh Raymond Ahlquist, pem-
bagian subdivisi dari kedua reseptor di atas, konsep reseptor
histamin H1 & H2 disusul dengan pengembangan obat-obat yang
selektif dan bahkan spesifik yang bekerja pads reseptor-reseptor
tersebut. Obat-obat tersebut di atas secara dramatis menunjukkan
efek farmakologis yang positif. Pada dua dekade lalu kita melihat
obat-obat penghambat beta yang banyak dipakai, mula-mula
sekali digunakan untuk an tihipertensi dan st able anginapectoris,
dan dalam beberapa tahun berikutnya, digunakan untuk berbagai
spektrum penyakit. Pada dekade ini, dengan meningkatnya
pengetahuan tentang mekanisme kontraksi dan relaksasi dari
obat jantung, maka kita lebih mengetahui kaitan ion Ca" dalam
proses tersebut.
Dan riwayat di atas tidak dapat dipungkiri lagi bahwa sejak
tahun 1980 obat-obat antagonis kalsium ini sudah masuk dalam
golongan obat-obat kardiovaskular. Misalnya nifedipin yang di-
bicarakan kali ini pads selesainya studi pertamapada tahun 1971,
barn menunjukkan efek anti angina saja. Selain dari penggunaan
kardiovaskular,
berbagai penelitian sedang dijalankan terhadap
penggunaan lain dari antagonis kalsium ini.
Bila dihadapkan pads hasil penelitian ilmiah, seringkali se
-
orang dokter berada pads situasi yang agak sulit, karena bagai-
manapun yang dihadapinya adalah bagaimana mengobati pen-
derita. Klinisi ini hams melakukan dulu berbagai pemeriksaan
mendalam dan atas dasar inilah is membuat kesimpulan klinis.
Tetapi sering kali juga is dihadapkan pads keadaan dimana hams
segera mengambil keputusan tanpa pemeriksaan yang lengkap.
Untuk hal kedua inilah barangkali patut selalu diulang masalah
konsep dasar beberapabahan obat yang banyak diteliti pada masa
ini.
ISTILAH
Berbagai nama diberikan untuk kelompok antagonis kal-
sium ini; dimulai dengan
Calcium antagonist, Calcium channel
block ers, Calcium block ing agent s, Calcium influx block ers,
Calcium ent ry block ers
ataupun slow channel block ers.
PERANAN Ca" ION PADA JANTUNG DAN PEMBULUH
DARAH
Fungsi optimumh jantung dan pembuluh darah tergantung
dari sesuainya jumlah kalsium dalam sel miokard dan pembuluh
darah. Sewaktu depolarisasi, peningkatan membran potensial
yang tiba-tiba berhubungan dengan lewatnya Na' dan Ca" ke
dalam sel. Ion Ca" berasal dari ruang ekstra seluler atau dari
tempat penyimpanannya di dalam membran.
Influx dari ion Ca" ini lebih lambat daripada ion Na' dan
melalui saluran khusus
Ca Channels. Sebagian besar ion Ca"
yang masuk ke dalam sel (mediator kalsium) langsung ke ter-
minal cistern dari sarcoplasmic reticulum.
Banyaknya ion Ca"
yang dilepaskan ke dalam sel sesuai dengan
banyaknya ion Ca'
yang masuk ke membran sel tetapi sedikit lebih tinggi. Pening-
katan ion Ca" intraseluler ini panting karena kontraksi terjadi
Cermin Dunia Kedok t eran, Edisi Khusus No. 80, 1992 157
apabila konsentrasi Ca** mencapai 10' mole.
Sebelumnya kita melihat bahwa satuan fungsionil dari sis-
tim kontraksi miokard adalah sarkomer. Pada tiap sarkomer
terdapat protein kontraktil yang tersusun berupa filamen tebal
dan tipis yang dikenal sebagai myosin dan actin. Pada waktu
kontraksi filamen actin bergeser ke dekat filamen myosin; per-
pindahan ini tergantung dari suatu interaksi biokemis. Untuk hal
tersebut dibutuhkan suatu jembatan penghubung antara actin
dan myosin. Energi yang dibutuhkan untuk itu dilepaskan pads
waktu hidrolisis ATP. Untuk hal tersebut dibutuhkan pula
ATP-ase yang terletak pads molekul myosin.
Induksi ion Ca** guna aktivasi dari ATP-ase myosin ini
secara langsung dan sangat kompleks, termasuk di dalamnya
interaksi antara ion Ca** dengan regulator protein yaitu troponin
dan tropomyosin; bila kalsium kurang, regulator protein ini
akan mencegah aktivasi ATP-ase myosin oleh actin. Bila jumlah
Ca** cukup efek penghambatan dari troponin dan tropomyosin
ini terhalang dan actin mengaktivasi enzim ini. Dengan cukup-
nya ATP untuk dihidrolisis, ATP-ase myosin diaktivasi dan
dengan adanya berbagai co-faktor seperti Mg*',
maka per-
tukaran dari diastole ke sistole tergantung sekali pads adanya
Ca** ion yang bebas di dalam sel di atas kadar ambang ter-
tentu.
Ion Ca** yang tersedia di dalam sel tidak saja mengubah
sistole ke diastole dan sebaliknya, tetapi juga bertanggung jawab
terhadap kuatnya kontraksi miokard. Pemecahan ATP untuk
energi kontraksi bergantung pads konsentrasi ion Ca**. Ion
Ca** ini dengan demikian mengatur proses pemecahan ATP,
terutama metabolisme kerja oksidasi, juga jumlah oksigen yang
dibutuhkan. Dengan meningkatnya kebutuhan oksigen, maka
Ca intrasel dan juga kontraksi bertambah. Sebaliknya, pads
insuffisiensi koroner, suplai oksigen berkurang karena aliran
darah kurang; dengan demikian pengurangan kebutuhan oksigen
dengan mengurangi Ca intraseluler merupakan hal yang penting.
KONTRAKSI
MIOKARD
Dengan antagonis kalsium hal tersebut terdahulu dapat
dicapai dengan cara menghambat influx Ca** melalui membran.
Selain itu antagonis kalsium ini melindungi sel miokard dari
penumpukan Ca** dan dengan sendirinya mencegah peningkat-
an kebutuhan oksigen sewaktu exercise hal ini merupakan tam-
bahan risiko pads penderita insuffisiensi koroner.
KERJA ANTAGONIS KALSIUM
Kerja utama antagonis kalsium adalah vasodilatasi arte-
riolar, efek inotropik-chronotropik negatif pads jantung, dan
mempengaruhi konduksi atrioventrikular (tabel 1). Antagonis
kalsium dapat juga menghambat agregasi platelet (Greer et al.
1986, Atkinson M.J. 1989) tetapi penggunaan klinisnya belum
begitu jelas benar.
ANTAGONIS KALSIUM
DAN ISKEMI MIOKARD
Antagonis kalsium mempunyai cara yang kompleks sejauh
yang dibicarakan mengenai pengurangan
ischemic-reperfusion-
induced inj ury :
158
Cermin Dunia Kedok t eran, Edisi Khusus
No. 80, 1992
1)
Karena obat-obat ini adalah dilator koroner, is dapat mem-
perbaiki suplai oksigen pads daerah yang cedera, serta memulai
mengeluarkan H* dan produk samping lainnya dari glikolisis
anerobik.
2)
Obat ini mempunyai efek
energy-sparing karena: a) men-
dilatasi pembuluh perifer, b) mengurangi kontraktilitas, dan
c) dengan phenylalkilamine dan benzothiazepine mereka me-
ngurangi frekuensi denyut jantung.
3)
Mengurangi kehilangan
adenosine precursors (de Jong et
al, 1982).
4)
Mempunyai efek protektif langsung pads sel endotel.
5)
Melambatkan pelepasan enzim lisosom. (Ichihara et al,
1987).
6)
Inhibisi agregasi
platelet (Ikeda et al, 1981).
7) Mengurangi
reperfusion induced arrhythmia.
8)
Menguatkan efek protektif langsung pada sarcolemma (Daly
et al, 1985).
9)
Melambatkan akumulasi Ca** selama postischemic reper-
fusion :
a.
Bila digunakan sebagai profilaksis
b.
Lamanya serangan
ischemic tidal lebih dari 60 menit.
10)
Mempunyai efek protektif pads mitochondria (Nayler et al,
1980).
PEMBULUH KORONER
Pada sel otot polos pembuluh darah koroner penghambatan
influx Ca** pads transmembran oleh antagonis kalsium mengu-
rangi tonus pembuluh darah. Dengan demikian antagonis kal-
sium ini mendilatasi bukan saja arteriol tetapi juga pembuluh
epikardial yang besar. Hal ini telah ditunjukkan oleh peneliti
terdahulu pads model-model percobaan. Perlu diperhatikan pula
bahwa bukan hanya arteriol yang dilatasi tetapi juga dibutuhkan
dilatasi dari pembuluh koroner utama, karena bila pembuluh
yang lebih besar tidak turut dilatasi akan terjadi suatu pengu-
rangan aliran ke daerah iskhemi yang menyebabkan kekurang-
an oksigen yang lebih banyak (steal phenomenon).
Beberapa antagonis kalsium mempunyai efek tersebut di
atas sehingga sangat berguna untuk pengobatan spasme koroner.
PEMBULUH PERIFER
Pada otot polos pembuluh darah perifer antagonis kalsium
mengurangi tonus pembuluh darah dan menimbulkan vasodi-
latasi. Akibat kurangnya tahanan pembuluh perifer, secara tidak
langsung
mempengaruhi pengurangan kebutuhan oksigen
dengan mengurangi
afterload dan secara langsung pads hi-
pertensi menurunkan tekanan darah.
kalsium sebagaimana halnya vasodilator, tetapi kali ini kita
melihat manfaatnya pads penyakit jantung koroner sebagaimana
dibicarakan di atas tadi.
Peningkatan kalsium intraseluler merupakan hal yang ber-
tanggung jawab terhadap terjadinya kerusakan miokard yang
mengalami iskhemi (Katz dan Reuter, 1979). Selain itu semua
kelompok antagonis kalsium: dihydropyridine, papaverine, dan
diltiazem dipergunakan:juga pads sindrom iskhemi miokard
(angina Prinzmetal, unstable angina, dan chronic stable angina).
Beberapa aritmi jantung dapat diatasi dengan verapamil dan
obat-obat verapamil-like tetapi tidak oleh dihydropyridine se-
cara umum (Singh et al 1983). Antagonis kalsium dipergunakan
juga pads hipertrofi jantung (Lida et al 1983) tetapi pengalaman
klinis di bidang ini sangat terbatas.
PENUTUP
Banyak alasan mengapa antagonis kalsium dipergunakan
pads penyakit jantung koroner. Obat ini bersifat hemat energi,
melambatkan masuknya Ca", mengurangi kelebihan noradre-
nalin, merupakan dilator koroner, menghambat agregasi platelet,
dan melindungi integritas mikrovaskular. Berbicara mengenai
sifat-sifat ini semua, tampaknya antagonis kalsium mampu untuk
menghambat proses kerusakan akibat iskemi; hasilnya adalah :
adalah :
a. mengurangi luasnya infark; dan
b.. memanjangkan waktu bagi intervensi lainnya - termasuk
penggunaan trombolitik; dan angioplasti - dapat dilaksanakan.
KEPUSTAKAAN
1. Fleckenstein A. History of calcium antagonists. Circ Res 1983; (suppl. 1):
3-16.
2. Greer IA, Walker JJ, McLaren M, Calder AA, Forbes CD. Inhibition of
whole blood platelet aggregation by nicardipine, and synergism with
prostacyclin in vitro. Thromb Res. 1986; 41: 509-18.
3. Russi EW, Ahmad T. Calcium and calcium antagonists in airway disease.
A Review. Chest 1984; 86: 475-82.
4. Singh BN, Nadamanee K, Baky SH. Calcium antagonist: Clinical use in
the treatment of arrythmias. Drugs 1983; 25: 125-53.
PEMBANGKIT DAN PENGHANTARAN RANGSANG
Pengertian tentang proses elektrofisiologi pads saat eksitasi
sel sangat penting untuk memahami bagaimana terjadinya arit-
mia dan bagaimana obat-obat anti aritmia bekerja.
Dalam struktur jantung terdapat dua jenis action potential
yang masing-masing berbeda peranannya, termasuk di dalamnya
kecepatan konduksi dan kuatnya potensi rangsang. Hal tersebut
tergantung dari arus ion yang berbeda yang mungkin juga
mempergunakan
channel yang berbeda pula (fast and slow
channels)
pads sel membran sehingga menghasilkan fast and
slow response action potential juga.
Fast response action potential terutama sekali dibawa oleh
ion Na'; hanya tampak pads sel dengan resting potential yang
tinggi, sedang slow response action potential, tergantung sekali
pads ion Ca", timbul hanya pads sel dengan resting potential
yang rendah.
Secara fisiologis sistem Na yang cepat ini bertanggung
jawab terhadap eksitasi dari miokard atrial dan ventrikel serta
juga sistem konduksi interventrikel. Pada sel SA dan AV node
influks kalsium yang lambat ini adalah yang menentukan kece-
patan konduksi rangsang. Keadaan inilah yang memungkinkan
adanya antiaritmia spesifik dari jenis-jenis antagonis kalsium.
Pada keadaan tertentu ion Ca" juga memainkan peranan
penting dalam pengembangan potensial aksi pads Purkinye
Fibre
yang dapat menimbulkan berbagai aritmia (extra systole,
reentry tachycardia). Dalam hal ini antagonis kalsium meng-
hambat influx Ca" yang lambat sehingga dapat menekan slow
response action potential.
JENIS-JENIS ANTAGONIS KALSIUM
Telah disebut bahwa obat-obat kardiovaskular pads tahun
1990-an ini telah memasukkan antagonis kalsium di dalam
deretannya sebagai satu kelas tersendiri. Sebagaimana dengan
perkembangan berbagai jenis obat-obatan, keadaannya menjadi
makin kompleks. Kita bukan saja membahas berbagai makalah
mengenai hal ini tetapi juga menyangkut struktur kimiawi bahan
ini; space filling models, sesuai dengan kelompoknya obat-
obatan ini memberikan efek tertentu yang sama, tetapi kenyataan
bahwa secara kualitatif dan kuantitatif masing-masing berbeda.
Di Amerika Serikat beberapa jenis kelompok ini yang dite-
rima untuk dipasarkan yaitu Nifedipine, Verapamil, Diltiazem,
Felodipine, Nicardipine dan lain-lain. Obat-obat ini diperguna-
kan untuk pengobatan variant (spasme) angina pectoris, dan juga
stable angina. Selain ini verapamil telah diizinkan secara pa-
renteral untuk dipakai pads supraventricular arrythmia. Pema-
saran obat ini tentulah setelah melihat data klinis kuantitatif.
Secara eksperimental obat-obat ini telah digunakan untuk ber-
bagai efek sebagaimana dapat kita lihat kemungkinan pengguna-
an pada Tabel 2.
INDIKASI PEMAKAIAN KLIMS
Pada tabel 2 ditunjukkan indikasi klinik dari penggunaan
antagonis kalsium yang sudah kita kenal berdasar kerja dari
antagonis kalsium yang telah diuraikan di alas. Pengobatan
hipertensi merupakan kegunaan utama saat ini dari antagonis
Cermin Dunia Kedok t eran, Edisi Khusus No. 80, 1992 159
5. Willis AL, Nagel B, Churchill V. et al. Antiatherosclerotic effects of
nicardipine and nifedipine in cholesterol-fed rabbits. Atherosclerosis
1985; 5: 250-5.
6. Sorkin, EM, Clissold SP, Brogden RN. Nifedipine: A review of its
pharmacodynamic and pharmacokinetic properties, and therapeutic effi-
cacy in ischemic heart disease, hypertension and related cardiovascular
disorders. Drugs 1985; 30: 182-274.
7. Sutomo Kasiman. Penggunaan antagonis kalsium secara klinis. Naskah
Simposium Kalsium Antagonis. Medan, 19 Nop. 1984.
8.
Lichtlen PR. The role of calcium antagonists in the treatment of coronary
artery disease. Naskah Simposium Kalsium Antagonis. Medan 19 Nop.
1984.
9.
Atkinson MJ (ed). Calcium Antagonists and Atherosclerosis. 4th Inter-
national Symposium on Calcium Antagonists. Round table discussion.
Florence 25 May 1989.
10.
Nayler WG (Ed). Calcium Antagonists. Academic Press 1988.
11.
Omae T, Zanchetti A (Eds). How should elderly hypertensive patients be
treated? Tokyo: Springer Verlag, 1989.
1 60
Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992
Simposium Satelit : Pola Makan Untuk
Mencegah Kegemukan
Interkonversi Zat-zat Kimia di
dalam Tubuh
Pangaribuan Siregar
Bagian Biokimia, Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara,
Rumah Sakit Dr Pirngadi, Medan
ABSTRAK
Tubuh memperoleh energi/kalori dari makanan yang dimakan. Untuk menjaga agar
jangan terjadi defisiensi ataupun gangguan kesehatan lainnya, makanan yang dimakan
haruslah sesuai dengan kebutuhan tubuh baik dalam jumlah kalori maupun komposisi
zatnya. Kelebihan kalori yang terdapat dalam makanan yang dimakan, terutama makan-
an yang dominan karbohidratnya dapat menyebabkan terjadinya kegemukan, sedangkan
makanan yang mengandung kadar lemak yang tinggi sering menimbulkan berbagai
kelainan kardiovaskuler.
Interkonversi antar zat-zat kimia di dalam tubuh yang berkaitan dengan hal-hal
tersebut di atas akan dibicarakan dalam makalah ini.
PENDAHULUAN
Tubuh memerlukan nutrien yang cukup untuk menyediakan
keperluan energi yang dibutuhkan sehari-hari. Nutrien terdiri
dari hidrat arang, lemak dan protein dalam proporsi yang ber-
variasi.
Berat badan yang konstan dalam keadaan kebutuhan energi
yang tidak terganggu, menunjukkan di dalam nutrien terdapat
cukup energi. Pada keadaan energi yang setimbang (energy
equilibrium), pemas ukan energi harus samadengan penggunaan-
nya.
Energi yang dibutuhkan oleh tubuh sangat tergantung pada
kecepatan metabolisme basal, efek termoginik, aktivitas fisik
serta suhu sekitar.
Kebutuhan tubuh akan energi rata-rata dapat dilihat pada
tabel 1.
KEBUTUHAN BAHAN MAKANAN
Kebutuhan hidrat arang
Glukosa adalah hidrat arang spesifik yang dibutuhkan oleh
jaringan, akan tetapi jumlahnya di dalam nutrien tidak men-
cukupi kebutuhan. Namun hidrat arang lain seperti amilum,
glikogen, fruktosa, sakarosa dan galaktosa yang terdapat dalam
nutrien dapat diobah menjadi glukosa, baik melalui proses pen-
cernaan ataupun sesudah berada di dalam hati.
Glukosa juga dapat dibentuk di dalam tubuh dari gliserol
yang berasal dari lemak dan asam-asam amino glikogenik yang
berasal dari protein melalui proses glukoneogenesis.
Kebutuhan minimal hidratarang perhari dalam nutrien untuk
mencegah agar tidak terjadi ketosis dan kehilangan protein otot
tubuh, adalah 50 100 g.
Kebutuhan serat
Serat dalam nutrien dibutuhkan untuk menahan air dan
memperbesar volume sewaktu makanan bergerak sepanjang
saluran cerna.
Nutrien yang banyak mengandung serat yang tidak larut
dapat mencegah terjadinya divertikulosis, kanker usus besar,
penyakit kardiovaskuler, hemoroid dan diabetes mellitus; se-
dangkan nutrien yang mengandung banyak serat yang larut akan
Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992 161
i
Tabel 1.Kebutuhan kalori menurut beratbadan (BB) dan aktivitas*)
Golongan Umur Kebutuhan
(tahun) Kalori
Laki-laki :
remaja, dewasa
10 12 2600
1315 0.97MxA
1619 1.02MxA
2039 1.00Mx A
40 49 0.95 M x A
50 59 0.90 M x A
6069 0.80Mx A
70+ 0.70MxA
Wanita :
remaja, dewasa
10 - 12 2350
1315
1.13FxA
16-19 1.05FxA
20-39 1.00Fx A
40-49 0.95FxA
5059
0.90FxA
6069 0.80Fx A
70+ 0.70FxA
Anak-anak :
<1
1090
1 3 1360
46
1830
7-9 2190
Keterangan :
M = BB x46 kalori = kebutuhan
kalori laki-laki pads BB tersebut.
F = BB x 40 kalori = kebutuhan kalori wanita pada BB tersebut.
A = indeks aktivitas :
ringan = 0. 90, sedang = 1 . 00 dan aktif = 1 . 1 7
*) Sumber : FAO/WHO 1 973; Energy and Protein Requirements No. 52/522
FAO Rome
memperlambat pengosongan lambung dan menyebabkan per-
lambatan kenaikan kadar glukosa darah sesudah makan.
Kebutuhan lemak
Selain untuk memperbaiki rasa makanan, lemak mempu-
nyai dua fungsi esensial; yaitu pertama bertindak sebagai pem-
bawa (vehicle)
vitamin-vitamin yang larut dalam lemak dan ke
dua, sebagai pemasok asam lemak esensial - asam linoleat, asam
linolenat dan asam arakidonat
(polyunsaturated fatty acid) yaitu
asam lemak yang tidak dapat disintesis di dalam tubuh.
Lemak dalam nutrien yang mengandung kadar asam lemak
tidak jenuh yang tinggi merupakan faktor utama dalam me-
nurunkan kadar kolesterol darah dan dikatakan mempunyai arti
penting dalam mencegah penyakit jantung koroner.
Nutrien dengan kadar lemak terutama dengan kadar asam
lemak jenuh yang tinggi dapat menyebabkan penyakit jantung
koroner, kanker payudara dan kanker usus besar.
Kebutuhan protein
Protein dibutuhkan sebagai sumber nitrogen dan asam amino.
Semua protein yang terkandung dalam nutrien diabsorbsi se-
bagai asam amino.
Ada 20 jenis asam amino, (9 di antaranya tidak dapat
disintesis oleh tubuh) yang dibutuhkan untuk sintesis protein
162 Cermin Dunia Kedokteran, Edisi
Khusus No. 80, 1992
tertentu dan senyawa-senyawa yang mengandung nitrogen, se-
perti purin, pirimidin dan hem.
Pada umumnya, energi yang dibutuhkan olch tubuh hanya
sekitar 12% raja yang berasal dari protein.
Kebutuhan vitamin dan mineral
Vitamin dan mineral adalah nutrien yang dibutuhkan hanya
dalam jumlah yang sangat kecil, akan tetapi mempunyai peran
yang penting dalam proses metabolisme.
Sebagian besar vitamin dan seluruh mineral harus diperoleh
dari makanan.
Nutrien yang dikonsumsi haruslah sesuai dengan kebutuhan
tubuh untuk dapat mencegah terjadinya penyakit defisiensi dan
gangguan kesehatan. Ketidaktahuan dan keadaan ekonomi yang
jelck merupakan penyebab utama kegagalan pemenuhan kebu-
tuhan nutrien yang wajar.
Di pihak lain beberapa penyakit tertentu string pula dise-
babkan oleh karena kelebihan pemasukan nutrien ke dalam
tubuh. Kegemukan (obesitas), disebabkan oleh karena kelebihan
pemasukan energi dan sering disertai dengan gejala Diabetes
Mellitus yang non-insulin dependen. Atcrosklerosis dan pe-
nyakit jantung koroner string disebabkan oleh makanan yang
mengandung kadar lemak dan asam lemak jenuh yang tinggi;
kanker payudara, kanker usus besar, kanker prostat berhubungan
erat dengan pemasukan makanan yang tinggi kadar lemaknya.
Hipertensidan penyakit-penyaki t serebrovaskuler berkaitan
dengan pemasukan garam dan mineral yang terlalu tinggi.
INTERKONVERSI BAHAN NUTRIEN
Bahan makanan yang diabsorbsi dari usus akan mengalami
metabolisme untuk menghasilkan energi dan zat-zat lain yang
dibutuhkan oleh tubuh.
Glukosa
Glukosa akan dimetabolisir melalui proses glikolisis dan
berlanjut ke Tri Carboxylic Acid (TCA) Cycle untuk meng-
hasilkan energi dan zat-zat lainnya yang dibutuhkan.
Dalam proses glikolisis akan terbentuk hasil antara seperti
Gliseraldehida-3-fosfat, asam piruvat dan dihidroksi-aseton-
fosfat. Di dalam TCA Cycle terbentuk hasil antara seperti asetil-
co-A, asam sitrat dan oksaloasetat.
Zat-zat antara ini akan menjadi penghubung antara meta-
bolisme glukosa dengan metabolisme asam lemak (Gambar 1).
Dari Gambar 1 terlihat bahwa bila konsumsi hidrat arang ber-
lebihan dibandingkan dengan pemakaian energi di dalam tubuh
maka kelebihan tersebut dapat disalurkan ke jalur lipogenesis
untuk disimpan dalam bentuk lemak.
Bila keadaan seperti ini torus berlanjut maka terjadilah
kelebihan berat badan (obesitas).
Percobaan pada hewan menunjukkan bahwa binatang per-
cobaan dengan cepat menjadi gemuk apabila diberi diit makan-
an yang kandungan karbohidratnya dominan. Hal ini membukti-
kan di dalam tubuh betapa mudahnya karbohidrat dikonversi
menjadi lemak.
Proses lipogenesis di dalam tubuh bahkan akan menjadi
lebih cepat apabila karbohidrat yang dikonsumsi adalah saka-
rosa, oleh karma fruktosa (sebagai hasi I hidrol i sis sakarosa) akan
membypass
titik kontrol proses glikolisis yaitu fosfofruktoki-
nase (yang merupakan "rate limiting enzyme') (Cambar 2).
Jadi status nutrien adalah faktor utama yang mengatur ke-
cepatan proses lipogenesis di dalam tubuh. Kecepatan lipogene-
sis akan menjadi tinggi bila diit mengandung karbohidrat yang
tinggi dan sebaliknya lipogenesis akan menjadi lambat bila diit
mengandung karbohidrat yang rendah, kadar lemak yang tinggi
atau bila ada defisiensi insulin (misalnya pada Diabetes Melli-
tus).
Asam lemak
Lemak yang terdapat dalam makanan diabsorbsi dalam
bentuk asam lemak, gliserol, atau gliserida. Asam lemak dan
gliserol akan menempuh jalur metabolismenya masing-masing.
Proses lipolisis di jaringan adiposa juga akan menyebabkan
dibebaskannya asam lemak ke dalam darah. Kedua hal tersebut
di atas akan menyebabkan meningkatnya kadar asam lemak di
dalam darah dan ini akan menyebabkan proses lipogenesis ter-
ham bat.
Path proses metabolisme asam lemak, selain energi akan
dihasilkan zat antara asetil-co-A dalam jumlah yang cukup besar
melalui oksidasi beta. Jika asam lemak banyak dimetabolisir
untuk memenuhi jumlah energi yang dibutuhkan tubuh maka
kadar asetil-co-A akan sangat meningkat di dalam tubuh. Keada-
an ini memungkinkan terjadinya pembentukan zat-zat lain yang
Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992 163
bahan bakunya adalah asetil-co-A di antaranya adalah kolesterol
serta hormon-hormon steroid.
Asam amino
Asam-asam amino yang diabsorbsi dari usus akan meng-
alami metabolisme menurut jalur metabolismenya masing-
masing. Dari proses metabolisme asam amino ini akan dihasilkan
ammoniak (NH
3
) dan zat antara yang jenisnya cukup banyak).
Ammoniak adalah zat yang sangat sitotoksik terutama ter-
hadap jaringan otak sehingga harus segera dinetralisir menjadi
ureum di hepar, untuk kemudian diekskresikan melalui ginjal.
Kelebihan pemasukan protein melalui makanan jelas akan
memperberat kerja dari hdpar dan ginjal (Gatnbar 3).
PENUTUP
Tclah dibahas tentang kebutuhan energi tubuh dan kaitan-
nya dengan komposisi zat di dalam makanan.
Juga dibicarakan interkonversi antara zat-zat di dalam tubuh
melalui proses metabolisme serta kemungkinan-kemungkinan
terjadinya gangguan kesetimbangan susunan zat-zat kimia tubuh
yang dapat menyebabkan keadaan yang abnormal.
Dianjurkan untuk pencegahan agar tidak terjadi keadaan
yang abnormal di dalam tubuh untuk menjaga keseimbangan
komposisi bahan-bahan yang terdapat dalam makanan yang
dimakan.
KEPUSTAKAAN
1. Albertus Bet al. Molecular Biology of the Cell. New York: Garland Publ. Inc,
1983.
2.
Bagian Gizi R.S. Cipto Mangunkusumo dan Persatuan Ahli Gizi Indonesia.
Penuntun Diit. Jakarta: P.T. Gramedia, 1980.
3. Grundy SM. Cholesterol and Coronary Heart Disease, Future Directions;
JAMA (SEA) 1991; 7(4): 47-53.
4.
Harper HA. Review of Physiological Chemistry; Lange Medical Publ.
California: Los Altos, 1985.
5. Murray RK, Granner DK, Mayes PA, Rodwell VW. Harpers Biochemistry;
Norwalk; Connecticut: Appleton & Lange, 1990.
164
Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992
Semiloka :
Metode Kontrasepsi Efektif Terpilih
Program Menjaga Mutu
Pelayanan Kontrasepsi Mantap
Hesty RPO Sitompul
Perk umpulan
Kontrasepsi Mantap Indonesia, Cabang Sumatera Utara, Medan
PENDAHULUAN
Tujuan operasional Gerakan Keluarga Berencana Nasional
di Indonesia adalah untuk mewujudkan Norma Keluarga Kecil
Bahagia dan Sejahtera, serta untuk mengendalikan pertumbuhan
penduduk yang lebih diutamakan pads pengembangan sumber
dayamanusia.Untuk mencapai tujuan tersebutdiselenggarakanlah
antara lain pelayanan kontrasepsi yang lebih diarahkan pads
metoda kontrasepsi yang bersifat jangka panjang dan mantap,
yakni IUD, susuk, dan kontrasepsi mantap. Ketiga metoda kon-
trasepsi ini dikenal dengan nama Metoda Kontrasepsi Efektif
Terpilih (MKET).
Oleh karena kedudukan yang khas, maka dalam kegiatan-
kegiatan kontap, PKMI telah menggariskan kebijakan pokok
yang meliputi :
a) Menghindari keresahan masyarakat.
b) Mengutamakan azas sukarela.
c) Mengutamakan mutu pelayanan.
d) Mendukung kebijakan penduduk tanpa pertumbuhan.
Kebijakan yang mengutamakan mutu pelayanan dianggap
penting dengan maksud untuk lebih memasyarakatkan pelayan-
an kontap. Sebagai suatu tindak pembedahan walaupun hanya
pembedahan minor, kontap selalu berhadapan dengan pelbagai
risiko. Risiko ini dapat diperkecil jika pelayanan kontap dilak-
sanakan dengan mutu yang baik. Pada tahap awal, pengertian
mutu pelayanan lebih dititik beratkan pads aspek klinik, seperti
ketrampilan dan kemampuan operator, efek samping minimal,
tersedianya fasilitas kesehatan yang lengkap, dan lain-lain. Pel-
bagai kegiatan telah dilaksanakan oleh PKMI dalam rangka
upaya meningkatkan mutu pelayanan, misalnya penyediaan
konseling, program pemantauan mutu, dan lain-lain. Asumsi
yang dianut adalah bahwa dengan baiknya mutu pelayanan,
maka kontap akan lebih memasyarakat.
PENGERTIAN TENTANG PELAYANAN KONTAP
YANG BERMUTU
Telah sama diketahui bahwa salah satu faktor penting yang
harus diperhatikan dalam menyelenggarakan pelayanan kon-
trasepsi mantap adalah yang menyangkut mutu pelayanan kon-
trasepsi mantap tersebut. Setidak-tidaknya ada empat peranan
mutu terhadap pelayanan dalam kontrasepsi mantap yakni :
1)
Mengurangi terjadi risiko.
Kontrasepsi mantap memang berbeda dengan pelbagai cara
kontrasepsi lainnya yang dikenal. Sebagai suatu tindakan pem-
bedahan, kontrasepsi mantap memang mempunyai risiko ter-
tentu yakni berupa akibat sampingan dan ataupun komplikasi
yang muncul karena tindakan pembedahan yang dilakukan.
Akibat yang tidak diinginkan ini, hanya dapat dihindari jika
pelayanan kontrasepsi mantap diselenggarakan dengan mutu
yang tinggi.
2) Mencegah timbulnya penyesalan.
Hal lainnya yang membedakan kontrasepsi mantap dengan
pelbagai cara kontrasepsi lainnya ialah bahwa cara kontrasepsi
mantap tidak memungkinkan suatu pasangan untuk mempunyai
keturunan lagi. Agar tidak timbul penyesalan di kemudian hari,
maka pelayanan hams dapat menjelaskan dengan lengkap segala
hal tentang kontrasepsi mantap. Ini berarti pelayanan kontrasepsi
mantap hams diselenggarakan dengan mutu yang tinggi dalam
arti harus terdapat pelayanan konseling di dalamnya.
3) Mencegah timbulnya tantangan
Karena masih ditemukannya sebagian anggota masyarakat
yang belum dapat menerimanya, cara kontrasepsi mantap belum
masuk dalam program KeluargaBerencanaNasional. Agarkelom-
pok yang belum dapat menerima ini tidak sampai menentang,
haruslah dapat dibuktikan bahwa kontrasepsi mantap tersebut
adalah cara yang aman, tidak berbahaya dan disenangi oleh
Cermin Dunia Kedok t eran, Edisi Khusus No. 80, 1992 165
masyarakat. Ini berarti pelayanan kontrasepsi mantap tersebut
hams pula diselenggarakan dengan mutu yang tinggi.
4) Meningkatkan penerimaan masyarakat
Hal lainnya yang penting dari mutu pelayanan kontrasepsi
mantap ini adalah yang menyangkut penerimaan masyarakat
terhadap pelayanan kontrasepsi mantap.
Apabila dapat dibuktikan pelayanan kontrasepsi mantap
adalah pelayanan yang baik, aman, mudah, praktis dan disenangi
oleh masyarakat, dapatlah diharapkan makin meningkatnya
penerimaan masyarakat terhadap kontrasepsi mantap. Apabila
keadaan yang membantu ini dapat diwujudkan, maka pads
gilirannya akan membantu mempercepat tercapainya tujuan
Program Keluarga Berencana di tanah air.
Untuk dapat menjaga dan meningkatkan mutu pelayanan
tersebut, banyak hal yang hams diupayakan. Secara sederhana
pelbagai upaya tersebut dapat dibedakan atas lima macam
yakni:
1)
Tenaga pelaksana
Upaya pertama yang harus dilaksanakan untuk dapat menye-
lenggarakan pelayanan yang bermutu ialah yang menyangkut
tenaga pelaksananya. Untuk ini ditetapkanlah bahwa pelayanan
kontrasepsi mantap hanya boleh diselenggarakan oleh tenaga
pelaksana yang telah mendapatkan latihan. Latihan yang seperti
ini diselenggarakan oleh PKMI melalui sebelas Pusdiklitbang-
nya yang tersebar di seluruh Indonesia.
2) Sarana kerja
Upaya ke dua yang hams dilaksanakan ialah yang me-
nyangkut sarana kerja. Disebutkan bahwa pelayanan kontrasepsi
mantap hanya boleh diselenggarakan oleh suatu fasilitas yang
memiliki sarana yang memadai.
Untuk memenuhi persyaratan ini, kepada setiap fasilitas
kesehatan yang akan menyelenggarakan pelayanan kontrasepsi
mantap mungkin dapat diberi bantuan renovasi, penambahan
peralatan medis dan peralatan non medis.
3) Tata cara
Agar mutu pelayanan dapat dipelihara, maka tata cars pe-
layanan haruslah sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.
Ada dua macam tata cara pelayanan non medis termasuk pela-
yanan konseling.
Untuk ini pelbagai hal telah diupayakan, mulai dari melatih
tenaga pelaksana, melengkapkan sarana kerja serta menyedia-
kan pelbagai buku panduan yang dibagikan kepada semua pihak
yang menyelenggarakan pelayanan kontrasepsi mantap.
4)
Rujukan
Hal lainnya yang diupayakan untuk dapat menjamin mutu
pelayanan adalah yang menyangkut rujukan. Maksudnya ialah
untuk mendukung.pelayanan sehingga jika kebetulan terjadi hal-
hal yang tidak diinginkan, akan dapat segera diatasi.
5) Pemantauan
Upaya ke lima yang dilakukan adalah menyangkut peman-
tauan pelayanan kontrasepsi mantap yang diselenggarakan.
Dengan adanya pemantauan ini dapatlah diharapkan, di satu
pihak dilakukannya pelbagai upaya pencegahan, dan di pihak
lain, dilakukan pula upaya peningkatan sehingga pelayanan
kontrasepsi mantap tetap berada dalam mutu yang tinggi.
166 Cermin Dunia Kedok t eran, Edisi Khusus No. 80, 1992
Ke lima upaya pokok ini saling berkaitan dan mempenga-
ruhi yang kesemuanya harusdilaksanakan untuk dapat menjamin
penyelenggaraan pelayanan kontrasepsi mantap yang bermutu.
Unsur-unsur kunci yang terdapat pads pengertian ini ada-
lah :
1.
Pilihan metoda kontrasepsi
2. Kemudahan pelayanan
3. Informasi yang diberikan kepada calon akseptor
4. Kesesuaian tindakan dengan standar yang telah disepakati
5. Hubungan internasional dengan akse
p
tor
6. Pengayoman.
Indikator yang mencakupkeenam unsurkunci yang dimaksud
dalam pengertian di atas :
a) Pilihan metoda kontrasepsi
Tersedianya berbagai metoda kontrasepsi
Koordinasi antara pelaksana gerakan KB Nasional
Tersedianya kontap pria dan wanita
Tersedianya fasilitas rujukan
Tersedianya informasi yang cukup tentang pelayanan KB.
b) Kemudahan pelayanan
Biaya yang terjangkau oleh akseptor
dikit (Vasektomi)
Sikap agamawan mem- Tingginya alih tugas di ka-
baik
Koordinasi kurang
-
Kontap belum masuk pro-
gram resmi Pemerintah
Cara seleksi talon trainee
Beban kerja Puskesmas
SUMBER DAYA
Faktor
Pendukung
Faktor Penghambat
Fasilitas pelayanan sudah Tidak ada tenaga purnawaktu
direnovasi dan dilengkapi
dak memadai
-
Prosedur antiseptik tidak
dipenuhi
-
Masih ada mortalitas
- Morbiditas cukup tinggi
-
Tingkat kegagalan
-
Keluhan akseptor
Ex-trainee kurang mampu/
kurang percaya diri
-
Konselor kurang berfungsi se-
bagaimana harusnya
- Teknik bervariasi
- Rekam medik tidak diisi se-
bagaimana harusnya
- Metodologi pelatihan kurang
relevan
- Bahanpelatihan,buku,audio
visual tidak ada.
PENUTUP
Untuk mencapai hasil yang memuaskan seperti apa yang
telah diuraikan di atas, perlu untuk memperbaiki dan mening-
katkan kemampuan para pelaksana pemberi pelayanan kontap
sebagai berikut :
a)
Pelatihan untuk petugas lapangan
- Memperbaiki identifikasi dan seleksi calon akseptor
Kerjasama petugas lapangan dengan konselor
- Identifikasi dini komplikasi yang mengancam nyawa.
b) Pelatihan untuk paramedik
-
Nasehat pasca tindakan
-
Kemampuan dalam memberikan anestesi lokal
-
Teknik antiseptik yang betul
- Identifikasi komplikasi yang mengancam nyawa
-
Membina hubungan interpersonal dengan akseptor
Sikap positif dalam masalah pencatatan dan pelaporan.
c) Pelatihan untuk dokter
-
Pemeriksaan pra tindakan
- Mengutamakan anestesi lokal
-
Teknik antiseptik yang betul
- Penanganan kedaruratan
-
Membina hubungan interpersonal dengan akseptor.
d) Pelatihan untuk pelatih
-
Metodologi yang relevan untuk pelatihan
-
Presentasi dengan video/film
-
Melatih teknik yang sesuai dengan panduan
-
Metodologi untuk kunjungan setempat dan pemantauan.
e) Pelatihan tindak lanjut di fasilitas setempat
-
Mengenal masalah pads setiap aspek pelayanan
-
Observasi teknik antiseptik dan tindak bedah
-
Jika perlu retraining
-
Mengembangkan langkah-langkah untuk meningkatkan
mutu.
f) Rekomendasi untuk Pusdiklitbang
-
Penyusunan standar
pre
dan post test
-
Kerjasama dan koordinasi lebih baik dengan BKKBN dan
Departemen Kesehatan dalam masalah-masalah pelatihan, on-
site training, dan pengawasan.
Untuk segala surat-menyurat,
pergunakan Alamat lengkap Anda
dengan mencantumkan
Kode Pos
ke alamat kami :
CERMIN DUNIA KEDOKTERAN
P.O. Box 3105, JAKARTA 10002
Cermin Dunia Kedok t eran, Edisi Khusus
No. 80, 1992 169
g) Rekomendasi lain
Kebijakan nasional yang menekankan perlunya memberi-
kan pelayanan yang bermutu di samping tujuan kuantitatif.
-
Perlu pelatihan penyegaran untuk para ex-trainee yang aktif
-
Koordinasi yang lebih baik antara petugas lapangan dan
konselor.
Perlu penelitian tentang seberapa besar ex-trainee yang se-
sungguhnya melakukan pelayanan kontap.
Melakukan penelitian operasional untuk meningkatkan
efisiensi pelatihan kontap tanpa mengorbankan kualitas.
Meninjau kembali kriteria sertifikat seorang
trainee, ter-
masuk tentang jumlah minimum tindakan yang dilakukan selama
dan pasca pelatihan.
-
Meninjau kembali kurikulum pelatihan.
-
Memperbaiki dan membakukan pelaporan tentang kom-
plikasi berat dan kematian, dan menganalisa kasus-kasus ter
-
sebut.
Menjelaskan peran Pusdiklitbang dalam upaya meningkat-
kan mutu pelayanan.