You are on page 1of 181

CERMIN DUNIA KEDOKTERAN

Edisi Khusus
Menyambut :
LIMA WINDU FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
20 Agustus 1952
20 Agustus 1992
KAMI CINTA ALMAMATER
KUMPULAN MAKALAH
PAKET KEGIATAN ILMIAH:
Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Kedokteran (KPPIK)
Simposium Satelit : Coronary Heart Disease Update
Simposium Satelit : Pola makan untuk mencegah kegemukan
Semiloka : Metode Kontrasepsi Efektif Terpilih
Peristiwa ulang tahun sering dirayakan orang; padahal, setiap ulang ta-
hun berarti penambahan usia, semakin tua; dan ketuaan adalah sesuatu yang
sedapat mungkin dihindari. Orang berusaha unt uk tetap muda, tetap aktif dan
berguna.
Lalu, apa sebenarnya tujuan perayaan ulang tahun ? Sebagian alasannya,
mungkin karena peristiwa ulang tahun merupakan kesempatan
unt uk berhenti
sejenak, merenungkan kembali dan menghitung-hitung apa yang telah dikerja-
kan, berapa jauh perjalanan yang telah ditempuh, mensyukuri keberhasilan dan
mempelajari kesalahan/kekeliruan yang telah diperbuat agar tidak terulang lagi
di kemudian hari. Hal-hal seperti itulah yang membuat kita semakin arif, dan
lebih berhati-hati merencanakan langkah selanjutnya.
Semoga dalam semangat di atas, perayaan ulang tahun ke empatpuluh
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara diselenggarakan, antara lain
dengan mengadakan berbagai acara ilmiah, yaitu Kursus Penyegar dan Pe-
nambah Ilmu Kedokteran dan beberapa Simposium Satelit.
Cermin Dunia Kedokteran merasa sangat beruntung karena dapat ikut
serta mensukseskan perayaan ini, melalui penerbitan naskah-naskah ilmiah
yang dibahas dalam berbagai pertemuan tersebut. Kami telah berusaha sekuat
tenaga untuk dapat menerbitkan dengan selengkap-lengkapnya dan tepat waktu;
hal ini tidak lepas dari kesediaan para penyumbang naskah untuk menyelesai-
kan makalahnya dengan tepat waktu pula; sekiranya ternyata terdapat beberapa
hal yang kurang sesuai, Redaksi Cermin Dunia Kedokteran mohon maaf, karena
hal itu sama sekali di luar kehendak kami.
Segenap Redaksi Cermin Dunia Kedokteran mengucapkan selamat ulang
tahun bagi seluruh CivitasAcademica Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara, semoga dengan perayaan ini, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara semakin disegani dan berjaya.
Redak si
2
Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992
REDAKSI KEHORMATAN
KETUA PENGARAH

Prof. DR. Kusumanto Setyonegoro


Prof. Dr. B. Chandra
Dr Gen L.H.
Guru Besar Ilmu Kedokteran Jiwa Guru Besar llmu Penyakit Saraf
KETUA PENYUNTING
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Jakarta
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga,
Surabaya
Dr Budi Riyanto W

Prof. Dr. R.P. Sidabutar


PELAKSANA
Gum Besar llmu Penyakit Dalam

Prof. Dr. R. Budhi Darmojo


Sriwidodo
Sub Bagian Ginjal dan Hipertensi
Bagian llmu Penyakit Dalam
Guru Besar Bmu Penyakit Dalam
Fakuhas Kedokteran Universitas Diponegoro,
TATA USAHA
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Semarang
Sigit Hardiantoro
Jakarta
Prof. Dr. Sudarto Pringgoutomo
ALAMAT REDAKSI Guru Besar Bmu Patologi Anatomi

Drg. I. Sadrach
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Lembaga Penelitian Universitas Trisakti,
Majalah Cermin Dunia Kedokteran
P.O. Box 3105 Jakarta 10002
Jakarta
Jakarta
Teip.4892808

Prof. DR. Sumarmo Poorwo Soe-


Fax. 4893549, 4891502
darmo
DR. Arini Setiawati
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan
Bagian Farmakologi
NOMOR IJIN
Kesehatan, Departemen Kesehatan RI,
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
151/SK/DITJEN PPG/STT/1976
Tanggal 3 Juli 1976
Jakarta
Jakarta
PENERBIT
DEWAN REDAKSI
Grup PT Kalbe Farina

DR. B. Setiawan Ph.D Drs. Victor S. Ringoringo, SE, MSc.


PENCETAK
Drs. Oka Wangsaputra Dr. PJ. Gunadi Budipranoto
PT Midas Surya Grafindo DR. Ranti Atmodjo
PETUNJUK UNTUK PENULIS
DR. Susy Tejayadi
Cermin Dunia Kedokteran menerima naskah yang membahas berbagai
aspek kesehatan, kedokteran dan farmasi, juga hasil penelitian di bidang-
bidang tersebut.
Naskah yang dikirimkan kepada Redaksi adalah naskah yang khusus untuk
diterbitkan oleh Cermin Dunia Kedokteran; bila telah pemah dibahas atau
dibacakan dalam suatu pertemuan ilmiah, hendaknya diberi keterangan menge-
nai name, tempat dan said berlangsungnya pertemuan tersebut.
Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris; bila menggunakan
bahasa Indonesia, hendaknya mengikuti kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang
berlaku. Istilah medis sedapat mungkin menggunakan istilah bahasa Indonesia
yang bake, atau diberi padanannya dalam bahasa Indonesia. Redaksi
berhak
mengubah susunan bahasa tanpa mengubah isinya. Setiap naskah hams
di-
semi dengan abstrak dalam bahasa
Indonesia. Untuk memudahkan para pem-
baca yang tidak berbahasa Indonesia lebih baik bila disertai jugs dengan abstrak
dalam bahasa Inggris. Bila tidak ads, Redaksi berhak membuat sendiri abstrak
berbahasa Inggris untuk karangan tersebut.
Naskah diketik dengan spasi ganda di alas kertas putih benrkuran kuarto/
folio, sate muka, dengan menyisakan cukup niangan di kanan-kirinya, lebih
disukai bila panjangnya kira-kira 6 - 10 halaman kuarto. Nama (para) pe-
ngarang ditulis lengkap, disertai keterangan lembaga/fakultas/institut tempat
bekerjanya. Tabel/skema/grafikflustrasi yang melengkapi naskah dibuat sejelas-
jelasnya dengan tinta hitam agar dapat langsung direproduksi, diberi nomor
sesuai dengan unitan pemunculannya dalam naskah dan disertai keterangan
yang jelas.
Bila terpisah dalam lembar lain, hendaknya ditandai
untuk meng-
hindari kemungkinan tertukar. Kepustakaan diberi nomor unit sesuai dengan
pemunculannya dalam naskah; disusun menurut ketentuan dalam
Cummulated
Index Medicus dan/atau
Uniform Requirements for Manuscripts Submitted
to Biomedical Journals (Ann Intern Med 1979; 90 : 95-9).
Contoh :
Basmajian JV, Kirby RL. Medical Rehabilitation. 1st ed. Baltimore, London:
William and Wilkins, 1984. Hal 174-9.
Weinstein L, Swartz MN. Pathogenetic properties of invading microorganisms.
Dalam: Sodeman WA Jr, Sodeman WA, eds. Pathologic
physiology: Mecha-
nisms of diseases. Philadelphia:
WB Saunders, 1974 : 457-72.
Sri Oemijati.
Masalah dalam pemberantasan filariasis di Indonesia. Cermin
Dunia Kedokt. 1990; 64 : 7-10.
Bila pengarang
enam orang atau kurang, sebutkan semua; bila tujuh atau
lebih,
sebutkan hanya tiga yang pertama dan tambahkan dkk.
Naskah dikirimkan ke alamat : Redaksi
Cermin Dunia Kedokteran
PO Box 3105
Jakarta 10002
Pengarang yang naskahnya telah disetujui untuk
diterbitkan, akan diberitahu
secara tertulis.
Naskah yang tidak dapat diterbitkan hanya dikembalikan
bila disettai dengan
amplop beralamat (pengarang)
lengkap dengan perangko yang cukup.
Tulisan dalam majalah ini merupakan pandangan/pendapat masing-masing penulis
dan tidak selalu merupakan pandangan atau kebijakan instansi/lembaga/bagian tempat
kerja si penulis.
Daftar Isi :
2. Editorial
Gawat Darurat Penyakit Paru
5. Beberapa Aspek Bedah Onkologi Humala Ilut agalung
7.
Penerapan Biopsi Aspirasi Jarum Halus dalam Deteksi Dini Kanker Gani W Tambunan
10. Strategi Deteksi Kanker Payudara Stadium Awal Gani W Tambunan,
Jok o S Luk it o, Soek imin
14.
Karsinoma Serviks Uteri Deteksi Dini dan Penanggulangannya M Fauzie Sahil
Visum dan Hukum dalam Kedokteran Kehakiman
17. Permasalahan Visum et Repertum Amar
Singh
22.
Hukum Kesehatan :
The New Frontier
Amri Amir
25. Pengambilan dan Pengawetan Barang Bukti Pemeriksaan secara Laboratoris Kriminalistls P Emma Sit ompul
Gawat Darurat Bedah
28. Akut Abdomen pada Alat Pencemaan Orang Dewasa S Soewandi
31. Trauma Wajah, Luka Bakar, dan Luka Avulsi Buchari Kasim
35. Trauma Toraks Harry Soedj at mik o
Update I (Pediatri)
39. Penatalaksanaan Demam Berdarah Dengue Syahril Pasaribu
44.
Mekanisme Diare Infeksius Akut Atan Baas Sinuhaji, All Sutanto
47. Kendala Penanganan Infeksi Saluran Pematuauan Akut (ISPA) H Ridwan Muchtar Daulay
Penyakit Hati dan Tukak Lambung
53. Vaksinasi terhadap Hepatitis B EN Kosasih, / Sukiman
Infeksi, Perdarahan dan Hipertensi pada Obstetri Ginekologi
57. Infeksi dalam Kehamilan dan Persalinan Rush P Barus
60. Perdarahan Hamil Tua dan Perdarahan Postpartum John Slamet Khoman
64.
Penanganan Kasus Perdarahan Hamil Muda Daulat Sibuea
67. Hipertensi dalam Kehamilan/Preeklamsi dan Eklamsi (Gestosis) Hasdiana Hasan
Penyakit Kardiovaskular dan Penanganannya
72. Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Jantung Koroner di Indonesia HA Adin St Bagindo
76. Pola PayahJantung di Rumah Sakit Dr Pimgadi Medan T
Renardi Haroen, Gont ar A Siregar
Gawat Darurat Penyakit Syaraf
79. Status Epileptikus LBM Sitorus
82. Penatalaksanaan Memar Otak (Contusio Cerebri) Syawalludin Nasution, Adril A
Hak im
84. Koma A Sjukri Batubara
88. Stroke Hemoragik : Perdarahan Intrascrebral Darulk ut ni Nasut ion
Gawat Darurat Penyakit Paru
90. Hemoptisis Masif 11 Luhur Soeroso, H Sugito, RS
Parhusip, Sumari, Usman
95. Efusi Pleura Masif
Sugito, LS Soeroso, RS Parhusip, Zainuddin Amir, Rusyda N
98. Benda Asing di Saluran Nafas Sugito, //MM Tarigan, LS Soeroso, RS Parhusip
Update II (Diagnostik)
101.
Penatalaksanaan Malaria Berat Masa Kini Endang Haryanti Gani
105. Perkembangan Teknologi Radiologi dalam Diagnosis Berbagai Penyakit Sahat Sianipar
109.
Asma Noktumal Rusli Pelly
112. Metabolit Oksigen Radikal Babas dan Kcrusakan Jaringan Pangaribuan Siregar
Update HI (Penyakit Kulit dan Kelamin)
116. Diagnosis dan Penatalaksanaan Dermatofitosis Mansur A Nasut ion, Kamallah Muis, Juwono, Tapi S Niari
119. Manifestasi Klinis Infeksi HIV Namyo O Hutapea, Mansur A Nasution, Rosiana R Ramsi
124. Penatalaksanaan Gejala Duh Tubuh Uretra Mansur A Nasution, Zulilham
126. Alergi dan Iritasi Kulit pada Keadaan Sehari-hari Diana Nasution
Kursus dan Demonstrasi RJP
128. Resusitasi Jantung, Paru dan Otak Oloan SM Siahaan
Makalah Lain
138.
Pengiriman dan Pengelolaan Jaringan untuk Diagnostik Histopatologik Joko S Luk it o, II Soek imin, Delyuzar,
T
Kemala lnt an
141. Toxoplasmosis dan Infertilitas Maria Irene robing
147. Berbagai Aspek Deteksi Dini Karsinoma Paru
Luhur Soeroso, Gani W Tambunan
150. Laboratorium Diagnostik Malaria Masa Kini Makmur Husaini
Simposium Satelit : Coronary Heart Disease Update
152.
Patofisiologi dan Penatalaksanaan
Penyakit Jantung Koroner T Bahry Anwar, Sut omo Kasiman
157. Penggunaan Ca Antagonists dalam Penatalaksanaan Penyakit Jantung Koroner Sutomo Kasiman, T Nahry Anwar, T Renardi
Haroen
Simposium Satelit : Pola Makan untuk Mencegah Kegemukan
161. Interkonversi Zat-zat Kimia dalam Tubuh Pangaribuan Siregar
Semiloka : Metode Kontrasepsi Efektif Terpilih
165. Program Menjaga Mutu Pelayanan Kontrasepsi Mantap Hasty RPO Sitompul
171. Pemantauan Aspek Non Medik Pelayanan Kontrasepsi Mantap Raja Malem Kaban
174. Pencegahan Infeksi pada Metode Kontrasepsi Efektif Terpilih (MKET) Maciste Lumbanraj a
Humala Hutagalung
Bagian Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara/Rumah Sakit Dr. Pirngadi, Medan
PENDAHULUAN
Penanganan penyakit keganasan melibatkan berbagai disiplin
ilmu dan pemeriksaan, pengobaran dan kontrol tidal lagi di-
tangani oleh seorang dokter.
Karakteristik dari kelompok yang khusus menangani pe-
nyakit keganasan ini ialah tidak ada lagi dasar pemikiran hie-
rarkis; pertukaran pikiran dan bebas mengeluaran pendapat un-
tuk membahas dari berbagai aspek serta memilih alternati f
terbaik pola penanggulangan penyakit keganasan, merupakan
faktor penting untuk meningkatkan fungsi kelompok pena-
nganan penyakit kanker. Pada tulisan ini dikemukakan berbagai
pola pemeriksaan tumor yang mendasar sebelum berlanjut pada
tindakan pengobatan.
POLAPEMERIKSAAN PENYAKIT KANKER
1) Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik merupakan cara yang klasik dan
penting dalam diagnosis tumor. Dengan cara ini dapat diketahui
letak dan diameter tumor serta hubungannya dengan jaringan
atau organ sekitarnya. Diameter ditentukan dengan mengukur
diameter terbesar tumor. Kecepatan membesar tumor dapat di
ukur dengan menentukan diameter. Sebenarnya kecepatan per-
tumbuhan tumor harus diukur menurut volume.
Hubungan tumor harus dinyatakan deskriptif : bebas bergerak,
atau melengket dengan jaringan sekitarnya. Konfigurasi kulit
yang menutup tumor juga penting dinyatakan. Misalnya pada
kanker payudara stadium lanjut sering terlihat konfigurasi kulit
seperti kulit jeruk, bisul dan tukak.
Palpasi kelenjar getah bening regional dilakukan cermat
dengan pola tertentu untuk mengetahui kemungkinan adanya
metastasis.
2) Pemeriksaan sitologi/histopatologi
Tumor yang letaknya dalam, diusahakan diperiksa melalui
fine needle aspiration biopsy (bipsi aspirasi jarum halus), true-
cut needle biopsy, bone marrow punction ataupun biopsi insisi/
eksisi. Pemeriksaan jaringan dengan cara di atas perlu dilaku-
kan, selain untuk diagnostik kanker, juga untuk menentukan
subtipe tumor karena ada kaitannya dengan pola pengobatan.
3) Pemeriksaan sifat kimiawi atau biologis
Reaksi hormon atau sitostatika terhadap sel tumor penting
diketahui untuk kepentingan terapi.
Kalau mungkin pada setiap jenis tumor di lokasi tertentu
dibuat saru skema pola penanggulangan mulai dari diagnosis
sampai pada terapi yang disebut protokol penanggulangan tu-
mor. Biasanya protokol ini merupakan kesepakatan dari ke-
lompok atau tim kanker berdasarkan pengalaman dan kutipan
dari berbagai kepustakaan. Hal ini penting sekali untuk men-
yatukan "bahasa" dari berbagai disiplin ilmu yang terkait.
Sebagai langkah permulaan cara penanggulangan tumor
adalah mengenal dan mengaplikasi sistem T.N.M. (T = Tumor,
N = metastasis pada nodeatau kelenjar getah bening regionbal,
M = Metastasis pada organ jauh). Secara bertahap sistem YNM
pada setiap tumor ganas sudah harus
dimanfaatkan. Sistem
TNM merupakan petunjuk stadium tumor semakin lanjut : T
(0, 1, 2, 3, 4), N (0, 1, 2, 3) dan M (0, 1).
POLA PENGOBATAN
Pola pengobatan yang baik adalah pola pengobatan yang
memberi penyembuhan komplit atau penyembuhan untuk
jangka waktu lama, komplikasi paling ringan dan mutilasi
Cermin Dunia Kedok t eran, Edisi Khusus No. 80, 1992 5
paling sedikit. Untuk itu perlu diketahui bentuk mutilasi yang
mungkin timbul, gangguan psikis karena operasi, kemungkinan
pemakaian alat-alat tehnik revalidasi (contoh : pemakaian
payudara palsu, hilang pita suara diganti suara perut).
Dari uraian di atas dapat dipahami pentingnya kelompok/tim
penanggulangan kanker dalam tukar menukar pikiran atau
informasi
mengenai berbagai penyakit kanker dan mem-
bandingkannya dengan pengalaman kelompok lain untuk memilik
alternatif protokol yang paling baik.
ASPEK BEDAH MENGURANGI RESIDIF
Berkaitan sifat biologis dari sel kanker, perlu diperhari-
kan berbagai aspek bedah untuk mengurangi residif lokal atau
penyebaran kanker waktu operasi.
1) Mencegah anestesi lokal
Sel ganas yang terlepas sangat mudah masuk ke dalam
pembuluh darah yang diinfiltrasi cairan anastesi, karena tusukan
jarum atau perubahan tekanan dalam jaringan.
2) Massa tumor tidak boleh
ditekan-tekan
Pada waktu tumor ditekan, sel tumor gampang terlepas dan
masuk ke dalam pembuluh limfe atau pembuluh darah atau
melalui cerah jaringan masuk ke permukaan tumor dan invasi ke
jaringan sekitarnya.
3)
Jaringan tidak boleh ditarik
Pada waktu operasi, jaringan tidak boleh ditarik-tarik karena
daya regang massa tumor terbatas dan mudah terkoyak. Melalui
jaringan rusak ini sel ganas mudah terlepas dan menyebar se-
hingga dapat terjadi kontaminasi di permukaan luka operasi. Juga
tumor sebaiknya dikeluarkan in toto atau dengan jaringan
pembungkus setebal 2 cm dan tidak terpotong-potong. Diseksi
tumor tidak boleh dilakukan secara tumpul dan harus secara
tajam. Jaringan yang seolah-olah batas tumor tidak boleh di-
percayai.
4) Pengangkatan kelenjar getah bening
Jaringan tumor beserta kelenjar getah bening bila mungkin
diangkat bersama-sama dan dianggap sebagai tumor. Luka bekas
eksisi percobaan juga harus ikut, hams dianggap dan ditanggu-
langi sebagai tumor.
5)
Permukaan berupa tukak
Permukaan tumor berupa tukak dan luka operasi harus
ditutup secara hermetis dan bila tak mungkin harus
dibakar
dengan koagulasi, sehingga jaringan vital tidak terkontaminasi
sel tumor.
6) Reseksi usus
Usus yang direseksi karena tumor ganas, sebaiknya dibilas
dengan cairan anti sel kanker seperti sublimat, cairan hipochlorit
dengan konsentrasi tertentu; pemakaian cairan ini harus hati-hati
karena sifatnya sangat beracun; demikian juga luka operasi, dan
instrumen harus dicuci dengan cairan anti sel kanker sebelum
ditutup.
7) Radiasi
Dengan indikasi khusus dapat dilakukan radiasi sebelum
dan sesudah operasi untuk memperkecil kemungkinan residif
lokal. Penyinaran sebelum operasi dilakukan dalam hal tertentu
bertujuan mengantipasi kesalahan yang mungkin terjadi atau
sudah terjadi sebelum tumor ditanggulangi, misalnya biopsi
yang dilakukan dengan anestesi infiltratif, operasi terdahulu
yang dilakukan tidak radikal. Penyinaran preoperatif sebagai
fase pertama penanggulangan karsinoma rektum dan karsino-
ma esofagus tidak termasuk dalam kategori ini.
Penyinaran sesudah operasi terutama dilakukan apabila
selama operasi ada kontaminasi atau pada spesimen ada darah.
KEPUSTAKAAN
1. del Regato JA, Sputj HJ. Dalam : aekerman and Regato;s Cancer Diagnosis,
Treatment andPrognosis. 5th Ed. St. Louis : CV Mosby Co 1977 : 820-76.
2. Linsk JA, Franzen S. The Breast : Diagnosis and management. Fine Needle
Aspiration biopsy for Clinieian. LippineouCo 1986.
3. Orel SR, Sterret GF, Walters MI, Whitaker D. Manual and Atlas of fine-
Needle Aspiration Cytology. Churehill Livingstone, 1986.
4. Tambunan G. Penuntun Biopsi Aspirasi Janrm Halus. Aspek Klinik dan
Sitologi Neoplasma. Jakarta : Hipokrates, 1990.
5. Tjindrambumi D. Penangan Kanker Payudara Dini dan Lanjut. Naskah
Simposium Tumor Ganas
pada Wanita. Bagian Patologi Anatomik, Fakultas
Kedokteran UI.
6
Cermin Dunia Kedok t eran, Edisi Khusus No. 80, 1992
Penerapan Biopsi Aspirasi Jarum Halus
dalam Deteksi Dini Kanker
Gani W. Tambunan
Bagian Pat ologi Anat omik Fak ult as Kedok t eran Universit as Sumat era Ut ara
Rumah Sak it Dr. Pirngadi, Medan
ABSTRAK
Biopsi aspirasi jarum halus (BAJAH), bukan merupakan alat diagnostik bar'.
Di negara Barat metode ini dipergunakan sebagai prosedur diagnostik rutin tumor.
Di Indonesia, BAJAH semakin banyak dipergunakan dalam pelayanan onkologik.
Pengetrapan BAJAH sebagai diagnostik pendahuluan dari berbagai tumor, mempunyai
dampak positif pada aspek deteksi dini kanker, menejemen tumor, pengelola rumah
sakit dan bagi pasien sendiri. Keberadaan alat canggih berguna membantu diagnosis
kanker, tetapi sifatnya selektif. Untuk memperoleh basil yang optimal dari biopsi
aspirasi diperlukan kerja sama kelompok klinis, radiologis dan patologis.
Teknik biopsi aspirasi sederhana, murah, cepat dan akurat dan dapat
dipergunakan hampir pada semua tumor baik yang letaknya superfisial maupun yang
terletak di rongga tubuh.
PENDAHULUAN
Walaupun teknologi radioterapi semakin maju dan berbagai
jenis obat penyakit kanker semakin maju dan semakin banyak di
pasaran, upaya penanggulangan penyakit kanker lebih banyak
diarahkan pada deteksi dini penyakit tersebut. Penyakit kanker
dapat dideteksi sedini mungkin dengan mempergunakan Bede-
retan alat diagnostik, mulai dari alat sederhana sampai pada alat
canggih. Pemeriksaan fisik merupakan alat diagnostik klasik dan
sederhana.
Kombinasi fisik diagnostik dengan biopsi aspirasi jarum
halus (BAJAH) merupakan alat diagnostik yang efektif dan
efrsien(
1,2.3.
> .
Kedua alat diagnostik sederhana ini Bering dilupa-
kan atau kurang mendapat perhatian karena larut dalam ke-
beradaan alat canggih seperti ultrasonografi (USG),
CT Scan
I
dan
image magnetic resonance (IMR). Keberadaan alat canggih
banyak
membantu dalam diagnosis berbagai tumor, namun
sifatnya selektif karena biaya mahal(
2
).
Pada makalah ini dikemukakan peranan biopsi aspirasi
jarum halus dalam deteksi dini kanker dengan penekanan pada
aspek perkembangan, keterlibatan, teknik dan nilai diagnosis
sitologi pada klinik.
PERKEMBANGAN
Akhir-akhir ini alat diagnostik biopsi aspirasi jarum halus
(BAJAH) semakin luas dipergunakan baik sebagai diagnosis
preoperatif maupun sebagai diagnosis konfirmatif berbagai
kanker"). Konsep diagnosis BAJAH, pertama sekali
dikemukakan oleh Martin dan Ellis (1926) di Memorial Hos-
pital,
New York(
o
. Tiga tahun kemudian (1933) Stewart
mengemukakan berbagai masalah yang berkaitan dengan
aspek sitopatologi. Dua puluh tahun setelah publikasi Martin
dan Ellis, di Eropah, terutama di negara Scandinavia, penggu-
naan biopsi aspirasi sebagai prosedur diagnostik pendahuluan
tumor, maju lebih pesat dibandingkan dengan negara asalnya.
Franzen, Soderstorm, Zajicek dari Swedia dan Cardozo dari
Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992 7
Belanda, dikenal sebagai pakar biopsi aspirasi generasi pertama
di Eropa
a3
.
Melalui "murid-murid Scandinavia", metode biopsi
aspirasi tersebar ke negara lain seperti Australia.
Di Indonesia, biopsi aspirasi semakin banyak dikenal dan
dipergunakan untuk diagnosis pendahuluan tumor
on
. Di bebe-
rapa pusat pemeriksaan kanker, biopsi aspirasi semakin
banyak dipergunakan. Di Bagian Patologi Anatomik Fakultas
Kedokteran USU, Medan, biopsi aspirasi diperkenalkan
sebagai prosedur diagnostik tumor sejak tahun 1980. Pala
saat ini konsep BAJAH diterima dan dipergunakan sebagai
prosedur diagnosis pendahuluan berbagai tumor di RS. Dr.
Pirngadi dan di berbagai Rumah Sakit ataupun Klinik swasta
di Medan.
KAITAN DENGAN DISIPLIN ILMU LAIN
Untuk menentukan tumor neoplasia atau nonneoplasia dan
tumor jinak atau tumor ganas tersedia berbagai alat diagnosis
mulai dari alat sederhana sampai dengan alat canggih. Alternatif
pilihan tergantung pada letak dan kondisi tumor disertai
pertimbangan efisiensi dan efektivitasnya. Penanganan tumor
melibatkan berbagai disiplin ilmu. Demikian juga penetrapan
BAJAH sebagai salah satu prosedur diagnostik tumor,
memerlukan kerja sama yang erat antara disiplin ilmu kelompok
klinisi (bedah, penyaldt dalam, pulmonologi, THT, kesehatan
anak,kulitdan kelamin),radiologidan patologi
(2.8)
..Keberhasilan
metode biopsi aspirasi tergantung pads integrasi disiplin ilmu
tersebut. Sehubungan dengan itu perlu diperhatikan beberapa
aspek pads penerapan biopsi aspirasi dalam diagnosis kanker.
1. Aspek klinis
Pengamatan klinisi yang cermat tentang sasaran biopsi
aspirasi baik pada tumor yang letaknya superfisial
(palpable
rumor) maupun tumor di dalam rongga tubuh
(nonpalpable)
diperlukan untuk memperoleh basil optimal.
Tumor yang letaknya superfisial dapat dilakukan langsung
biopsi aspirasi tanpa kombinasi pemeriksaan lain. Pada tumor
difus dan letaknya dalam sering diperlukan pemeriksaan radiologi.
Tumor yang letaknya di rongga tubuh yaitu di rongga dada dan
abdomen memerlukan pemeriksaan radiologi.
Dokter umum yang bekerja di Rumah Sakit ataupun
Puskesmas yang diharapkan menjadi ujung tombak penemu
dini kanker, tidak mustahil dilatih dan mahir meaakukan
biopsi aspirasi pads tumor yang letaknya superfisial. Dengan
demikian kesempatan menemukan kanker sedini mungkin
lebih besar.
2. Aspek radiologi
Kemajuan teknolgi radiologi yang pesat dan merupakan
mitra utama biopsi aspirasi, terutama pads tumor yang terletak
di rongga dada dan rongga abdomen. Keberadaan fluoroskop-
TV, ultrasonogram dan
CT Scan sangat bermanfaat dalam
menuntun ujung jarum sampai mencapai massa tumor. Kemajuan
teknlogi laboratorium, tersedianya pewarnaan dif-quik dan
ditopang kerja sama patologist dan radiologist, sitologi biopsi
dapat dilakukan lebih efektif dan efisien.
3. Aspek Patologi
Di berbagai rumah sakit atau insitut, biopsi aspirasi dilaku-
kan di laboratorium patologi. Dengan demikian patologist
bukan hanya duduk di muka mikroskop memeriksa jaringan,
tapi juga memeriksa pasien. Cara ini lebih praktis. Apabila pads
pemeriksaan sediaan halms aspirat pertama belum memadai,
biopsi aspirasi dapat diulang pads waktu hampir bersamaan.
Dengan demikian waktu dapat dihemat dan akurasi diagnosis
lebih akurat. Billa biopsi aspirasi dilakukan dokter lain yang
bukan patologist, maka informasi singkat data klinis sangat
diperlukan dalam membantu membuat keputusan terutama
kasus yang meragukan.
KEUNTUNGAN BAJAH
Penggunaan biopsi aspirasi dalam diagnosis tumor
mempunyai dampak yang menguntungkan baik ditinjau dari
segi menejemen tumor, pelayanan onkologik rumah sakit
maupun bagi pasien.
Dampak dalam menejemen tumor
Ditinjau dari segi menejpmen tumor, biopsi aspirasi mem-
beri dampak menguntungkan :
1) Menejemen tumor lebih sederhana.
2) Penggunaan alat canggih lebih selektif.
3) Tindakan biopsi yang tidak menguntungkan dapat dihin-
dari.
4) Alternatif pengobatan dapat dilakukan segera.
Dampak terhadap pelayanan rumah sakit
Teknik dan peralatan biopsi aspirasi yang sederhana, murah
dan cepat memberi dampak yang menguntungkan bagi
pengelolaan rumah sakit, terutama rumah sakit pemerintah :
1) Pelayanan onkologik dapat ditingkatkan
2) Biaya operasional rumah sakit menurun
Dampak terhadap pasien
Teknik sederhana, murah, cepat dan tidak menimbulkan
efek samping yang berarti, memberi dampak yang menguntung-
kan sbb. :
1) Biaya pemeriksaan lebih murah
2) Hasil pemeriksaan cepat, rasa cemas dan sires dipersingkat
3) Keinginan pasien konsultasi pada dokter meningkat dan
kesempatan menemukan kanker sedini mungkin lebih luas
4)
Pasien mendapat pengobatan segera.
KETERBATASAN BAJAH
Harus disadari bahwa jangkauan sitologi biopsi aspirasi
terbatas(
2
").
1) Luasnya invasi tumor tidak dapat ditentukan.
2) Subtipe kanker tidak selalu dapat diidentifikasi.
3) Dapat terjadi negatif palsu.
4) Harus ada kerja sama klinisi dengan patologis.
8 Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992
INDIKASI BAJAH
Paola hampir semua tumor dapat dilakukan biopsi aspirasi,
baik yang letaknya superfisial
palpable ataupun tumor yang
terletak di dalam rongga tubuh unpalpable dengan indikasi :
1) Preoperatif biopsi aspirasi pads tumor sangkaan maligna
operable. Tu juannya adalah untuk diagnosis dan menrrntukan
pola tindakan bedah selanjutnya.
Sebagai contoh tumor payudara dan kelenjar tiroid.
2) Maligna inoperable. Biopsi
aspirasi merupakan diagnosis
konfirmatif.
3) Diagnosis konfirmatif tumor "rekuren" dan metastasis.
4) Membedakan tumor kistik, solid
dan peradangan.
5) Mengambil spesimen untuk kultur dan penelitian.
TEHNIK BIOPSI ASPIRASI
Teknik biopsi aspirasi mencakup kegiatan mulai dari
pendekatan pasien, mempersiapkan peralatan, mengambil
aspirat tumor dan membuat sediaan
m
.
a) Persiapan alat
Alat yang dipergunakan terdiri dari tabung suntik plastik
ukuran 10 ml, jarum halus, gagang pemegang tabung suntik,
kaca objek dan desinfektan alkohol atau betadin.
b) Pendekatan pasien
Dengan ramah pasien dianamnesis singkat. Wawancara
singkat ini dibuat sedemikian rupa, sehingga pasien tidak takut
atau stres dan bersedia menjalani biopsi aspirasi.
Biopsi dilakukan dengan kelembutan hati dan rasa tanggung
jawab terhadap sesama manusia.
c) Pengambilan aspirat tumor
1)Tumor dipegang lembut
2) Jarum diinsersi segera ke dalam tumor.
3) Piston di dalam tabung suntik ditarik ke arah proksimal;
tekanan di dalam tabung menjadi negatif; jarum manuver
mundur-maju. Dengan cara demikian sejumlah sel massa tumor
masuk ke dalam lumen jarum suntik.
4) Piston dalam tabung dikembalikan pads posisi semula
dengan cara melepaskan pegangan.
S) Aspirat dikeluarkan dan dibuat sediaan hapus, dikeringkan
di udara dan dikirimkan ke laboratorium pusat pemeriksaan
kanker.
Pemahaman teknik dan aspek lain BAJAH tercantum
pada buku Penuntun Biopsi Aspirasi Jarum Halus
8
).
DIAGNOSIS SITOLOGIK BIOPSI ASPIRASI DAN NILAI
KLINIK
1. Posisif maligna disebut Posistif
2. Kelainan jinak disebut Negatif
3. Mencurigakan maligna disebut Suspek
4.
Tidak dapat diinterpretasi disebut Inkonklusif
1)
Sitologi positif merupakan "mandat" untuk melakukan
tindakan lebih lanjut antara lain survei metastasis, menentukan
stadium, memilih alat diagnostik lain bila diperlukan dan
mendiskusikan pola pengobatan.
2) Sitologi negatif atau kelainan jinak, belum dapat menying-
kirkan adanya kanker; perlu dipikirkan kern ungkinan negatif
palsu. Negatif palsu dapat terjadi karena kesalahan teknis, se-
hingga sejumlah sel tumor tidak terdapat pads sediaan. Bila
terdapat diskrepansi sitologi dan data klinik, alternatif tindakan
terbaik adalah biopsi bedah; akan tetapi, pads kasus sitologi
negatif dengan spesifikasi kelainan dan cocok dengan gambaran
klinik, maka pola pengobatan dapat ditentukan.
3)
Sitologi suspek, mungkin memerlukan pemeriksaan lain
sebelum pengobatan antara lain pemeriksaan potongan beku
ataupun
sitologi
imprint
atau kerokan durant e operasionam.
4) Inkonklusif dapat terjadi karena kesalahan teknikatau
karena
situasi tumor, misalnya mudah berdarah, reaksi jaringan ikat
banyak atau tumor terlalu kecil, sehingga sulit memperoleh
sel tumor. Dalam praktek, sitologi inkonklusif meningkatkan
negatif palsu.
KEPUSTAKAAN
1.
Frable WJ, Frable MA Thin needle aspiration biopsy. The diagnosis head
neck tumors revisited Cancer 1979, 43 : 1541-8.
2.
Linsk JA, Franzen S. Fine needle aspiration for the clinician. Philadelphia :
J.B. Lippincott Co, 1986.
3.
Drell SR, Sterret GF, Walters MI, Whitaker D. Manual and atlas of Fine needle
aspiration cytology. Churchill Livingstone, 1986.
4. Zajicek J. The aspiration smear. In : Koss. Diagnostic cytology and
its
histopathology bases. Ed. II, vol 2. Lippincott
1978, p. 1048-68.
5. TambunanGW.Beberapacatatanmengenaibiopsiaspirasitumor.Pengalaman
pada 468 kasus. Naskah KONAS VII, Ujung Pandang, 1984.
6. Marthin HE, Ellis EB. Biopsy by needle puncture and aspiration. Ann Surg
1930; 92 : 169-181.
7. Tambunan GW. Sitologi aspirasi dalam tatalaksana limfadenopati. Khusus
li mfoma malignum. Naskah Simposium Lekemia dan Lmmfoma II, Medan
1989.
8. Tambunan GW. Teknik
Biopsi
Aspirasi.
Penuntun Biopsi Aspirasi Jarum
Halus. Aspek Klinikdan Sitologi NeoplasmaJakarta : Percetakan Hipokrates
1990.
9. Hajdu SI, Melamed MR. Limitation of aspiration cytology in the diagnostic
of primary neoplasm. Acta Cytol 1984, 28 : 337-45.
Cermin Dunia Kedok t eran, Edisi Khusus No. 80, 1992 9
Strategi Deteksi Kanker Payudara
Stadium Awal
Gani W Tambunan, Joko S Lukito, Soekimin
Laboratorium Patologi Anatokik
Fak ult as Kedok t eran Universit as Sumat era Ut ara / Rumah Sak it Dr. Pirngadi, Medan
ABSTRAK
Sebagian besar kanker payudara ditemukan oleh penderita sendiri, yang berarti
pads kondisi stadium lanjut inoperabel. Oleh karena ukuran tumor umumnya berpengaruh
terhadap prognosis, maka penanggulangan diprioritaskan pads upaya menemukan
tumor ini dalam ukuran kecil asimtomatik dengan cara : (1) pemeriksaan payudara
sendiri (SARARI) dan (2) pemeriksaan payudara secara klinik (SARANIK) oleh
dokter, bidan ataupun paramedis yang terlatih. Apabila pada kedua pemeriksaan ini
ditemukan nodul, maka pemeriksaan dilanjutkan dengan (3) sitologi biopsi aspirasi
dengan/tanpa (4) mamografi ataupun (5) biopsi bedah. Prosedur, teknik dan peralatan
sitologi biopsi aspirasi sangat sederhana dan murah dengan ketepatan diagnosis yang
tinggi. Kombinasi sitologi biopsi aspirasi dan mamografi memberikan ketetapan diagnosis
alternatif, apabila biopsi aspirasi tidak dapat dilakukan atau gagal memberi informasi
yang akurat.
PENDAHULUAN
Tumor payudara hampir selalu memberi kesan menakutkan
bagi wanita. Bahkan banyak para pakar sependapat bahwa setiap
nodul pads payudara dianggap sebagai kanker terutama pads
wanita golongan risiko tinggi walaupun kemungkinan tumor
jinak tidak dapat diabaikan. Pendapat yang "berlebihan" ini
dapat dipahami, mengingat insiden kanker payudara tinggi
tidak hanya di negara sedang berkembang, tapi juga di negara
maju. Di Indonesia kanker payudara berada pada urutan ke dua
dari jenis kanker yang ada dan lebih kurang 60 - 80% ditemukan
pads stadium lanjut yang berkaibat fatal').
Tingkat pertumbuhan atau stadium kanker payudara
ditentukaan tumor, penyebaran pads kelenjar getah bening di
daerah ketiak ataupun supraklavikuler dan organ lain misalnya
paru, hati dan tulang. Semakin kecil tumor, kemungkinan
penyebaran tumor semakin kecil dan tindakan bedah kuratif
dapat diharapkan walaupun sifatnya "sulit diramalkan" karena
kemungkinan mikrometastasis tidak dapat diabaikan(
2
. Oleh
sebab itu penanggulangan kanker payudara dewasa ini
diprioritaskan path upaya menemukan kankerpada ukuran sekecil
mungkin.
Tujuan tulisan ini adalah untuk mengemukakan berbagai
pendekatan sederhana untuk menemukan kanker payudara
pads stadium awal secara efektif dan efieisn.
ETIOLOGI
Penyebab kanker payudara belum jelas diketahui, namun
pengaruh hormonal merupakan faktor yang utama. Apabila
pads wanita berusia kurang dari 35 tahun dilakukan kastrasi
ovarium ataupun adrenal, maka risiko kanker payudara pads
wanita tersebut lebih kecil dibanding dengan wanita biasa. Wanita
yang menarkhe pads usia sebelum 11 tahun dan wanita yang
sulit dapat anak, insiden kanker payudaranya lebih tinggi
dibanding wanita normal.
1
0 Cermin Dunia Kedok t eran, Edisi Khusus No. 80, 1992
Faktor luar, antara lain
kemungkinan makanan,
diduga ada
kaitannya
dengan insiden kanker payudara. Insiden kanker
payudara
pads wanita Jepang lebih rendah dibanding wanita
Barat
Golongan risiko
Golongan risiko sering membantu dalam diagnosis karsinoma
payudara.
Yang dimaksud dengan golongan risiko adalah
kelompok
wanita yang mempunyai kemungkinan lebih tinggi
terjangkit penyakit kanker payudara, dengan kriteria :
1)
Wanita berusia di atas 40 tahun
2) Orang tua (ibu) menderita kanker payudara
3) Saudara (kakak, adik) menderita kanker payudara
4)
Pernah menderita kanker pads salah satu payudara
5) Penderita tumor jiank payudara
6) Kehamilan pertama terjadi sesudah usia 35 tahun.
PERTUMBUHAN
Kanker payudara 95% merupakan karsinoma,'berasal dari
epitel saluran dan kelenjar payudara. Pertumbuhan dimulai di
dalam
duktus ataupun kelenjar lobulus yang
disebut karsinoma
noinvasif. Kemudian tumor menerobos ke luar dinding duktus
ataukelenjar di daerah lobulus dan invasi ke dalam stroma, yang
dikenal dengan nama karsinoma invasif. Pada pertumbuhan
selanjutnya tumor meluas menuju fasia otot pektoralis ataupun
daerah kulit yang menimbulkan perlengketan-perlengketan.
Pada kondisi demikian, tumor dikategorikan stadium lanjut
inoperabel.
Penyebaran tumor terjadi melalui pembuluh getah
bening, deposit dan tumbuh di kelenjar getah bening, sehingga
kelenjar getah bening aksiler ataupun
supraklavikuler mem-
besar.
Kemudian melalui pembuluh darah, tumor menyebar
ke
organ jauh antara lain pare, hati, tulang dan otak. Akan tetapi
dari penelitian para pakar, mikrometastasis pads organ jauh
dapat
juga terjadi tanpa didahului penyebaran limfogen(
2
).
Beberapa penulis mengemukakan konsep bahwa karsinoma
payudara
merupakan penyakit sistemik; walaupun tumor kecil,
namun
kemungkinan mikrometastasis tidak dapat diabaikan.
Namun demikian, stadium dan prognosis karsinoma payu-
dara
pads umumnya ditentukan berdasarkan ukuran tumor,
luas
invasi pads payudara, keterlibatan kelenjar getah bening
aksiler ataupun supraklavikuler dan metastasis ke organ jauh.
Semakin kecil ukuran tumor, tingkat pertumbuhan/stadium
semakin rendah dan prognosis lebih baik.
Faktor daya tangkal tubuh
Karsinoma payudara sebagian meluas progresif, sebagian
tumbuh laten bertahun-tahun dan bahkan ada pula yang meng-
alami regresi (Townsend). Kejadian ini diduga ada kaitannya
dengan
faktor daya pertahanan tubuh yang disponsori jaringan
limfoid.
Defek reaksi limfosit pads kelenjar getah bening di
ila
mempercepat pertumbuhan tumor dan prognosis lebih
uruk. Di samping itu ketergantungan tumor terhadap hormon
rterutama estrogen berpengaruh terhadap pertumbuhan tumor.
GEJALA KLINIK
Keluhan utama penderita adalah pembengkakan payudara.
Perasaan sakit jarang terjadi, kalaupun ada Baru muncul pads
tingkat pertumbuhan yang lanjut. Oleh karena keluhan sakit
tidak ada, pasien tidak merasa perlu pergi berobat, sehingga
tumor dibiarkan tumbuh tanpa menyadari bahaya yang akan
terjadi. Itulah sebabnya sebagian besar (60-80%) penderita
kanker payudara ditemukan pads tingkat pertumbuhan lanjut
inoperabel.
Pada situasi demikian sering ditemukan tumor melengket
dengan kulit atau kelihatan seperti bisul atau borok disertai
pembengkakan kelenjar getah bening di ketiak ataupun di
leher. Pada keadan penyakit demikian, pengobatan biasanya
hanya bersifat paliatif. Pengobatan kuratif dapat dilakukan
apabila tumor ditemukan pads ukuran kecil atau stadium dini.
METODE DETEKSI DINI
Walaupun kemajuan pengobatan kanker dengan sitostatika
semakin meningkat, namun penemuan tumor pada stadium dini
merupakan faktor penting dalam penanggulangan kanker
payudara. Sebagian besar kanker payudara ditemukan oleh
pasien sendiri, artinya tumor dalam tingkat pertumbuhan
lanjut. Untuk menemukan tumor ini pads stadium awal diper-
lukan inisiatif pasien dan pemeriksaan medis :
1) Pemeriksaan payudara sendiri (SARARI)
Pemeriksaan payudara sendiri ternyata terbukti dapat
menemukan tumor pads ukuran kecil. Dengan pola pemeriksaan
tertentu payudara diperiksa sendiri setiap bulan 5-7 hari
sesudah haid berhenti. Pemeriksaan payudara sendiri waktu
sedang mandi sangat efektif karena dengan mempergunakan
sabun benjolan lebih mudah teraba. Apabila teraba benjolan
walaupun kecil dan tidak sakit, apalagi pads wanita golongan
risiko tinggi, segera diperiksakan pads dokter keluarga ataupun
dokter di Rumah Sakit/Puskesmas. Menurut penelitian para
ahli, SARARI sangat bernilai dalam deteksi kanker payudara
sedini mungkin(
2
'
4
>.
2) Pemeriksaan payudara oleh
secara klinis (SARANIS)
Dokter umum merupakan ujung tombak dalam
penaggulangan kesehatan masyarakat; diperkirakan mempunyai
kesempatan luas untuk menemukan kanker payudara ukuran
kecil.
Kesempatan ini mungkin, apabila pads setiap wanita
yang berusia lebih dari 40 tahun atau wanita yang termasuk
golongan risiko tinggi, walaupun dia datang karena penyakit
lain, dilakukan pemeriksaan payudara secara klinis (SARANIS)
oleh dokter, bidan atau paramedis wanita merupakan strategi
untuk menerobos kendala "budaya rasa malu kalau diperiksa
dokter pria yang sering terjadi di klin ik atau puskesmas. Beberapa
penulis melaporkan bahwa spesialis kandungan tidak jarang
menemukan tumor payudara pads ukuran kecil.
SARANIS dilakukan sistematis dengan
langkah-langkah
sebagai berikut :
1) Pasien duduk berhadapan dengan petugas medis, diamati
Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992
1 1
simetrisasi atau perubahan bentuk kedua payudara.
2) Kedua tangan pasien diangkat ke atas kepala sambil
memperhatikan simetrisasi ataupun perubahan gerakan kedua
payudara. Adanya tarikan pada kulit merupakan pertanda
kern ungkinan keganasan.
Untuk
melihat lebih jelas, tarikan kulit yang
menutup
massa ditekan di antara dua jari tangan dan terjadi
dimpling sign.
3) Palpasi kelenjar getah bening di daerah aksiler dilakukan
dengan tangan penderita diletakkan santai di alas tangan
pemeriksa.
4)
Pada posisi fleksi kepala, daerah
supraklavikuler dipalpasi
dengan cermat untuk melihat kemungkinan pembesaran
kelenjar getah bening.
5) Pada posisi supine,
kedua payudara dipalpasi sistematis mulai
daerah pinggir sampai ke daerah areola payudara. Palpasi
lebih intensif di daerah kuadran lateral atas, karena di daerah
ini lebih sering dijumpai karsinoma. Nodul lebih jelas teraba
apabila di atas kulit payudara dilapukan sabun sambil dipalpasi.
3) Pemeriksaan mamografi
Mamografi adalah foto payudara dengan mempergunakan
alat khusus. Teknik sederhana, tidak sakit dan tidak ada
suntikan kontras. Dengan cara ini kanker payudara ukuran kecil
0.5 cm dapat diteksi; bahkan cara ini dapat dipergunakan sebagai
alat skrining massal terutama golongan risiko tinggi walaupun
tumomya tidak teraba.
Apabila pads SARARI atau pemeriksaan SARADIS
ditemukan benjolan pads payudara, pemeriksaan dilanjutkan
dengan mamografi. Pemeriksaan mamografi dilanjutkan
dengan pemeriksaan patologik : sitologi biopsi aspirasi ataupun
biopsi bedah. Ketepatan diagnosis mamografi lebih kurang 80%.
Indikasi lain mamografi adalah para wanita golongan risiko
dengan keluhan bahwa dari puting susu keluar cairan coklat atau
campurdarah. Akhir-akhirini munculalatmutahirxeromamografi
yang mempunyai kemampuan deteksi lebih akurat.
USG sering dipergunakan untuk diagnosis kista pads
payudara. Akan tetapi dengan adanya sitologi aspirasi pema-
kaian USG makin berkurang.
4) Biopsi aspirasi
Pemeriksaan sitologi biopsi aspirasi jarum sering diper-
gunakan sebagai prosedur diagnosis berbagai tumor termasuk
tumor payudara dengan indikasi
o,61
:
1)
Diagnosis preoperatif tumor yang klinik diduga maligna.
2)
Diagnosis konfirmatif klinik tumor maligna ataupun tumor
rekuren.
3)
Diagnosis tumor nopnneoplastik ataupun neoplastik.
4)
Mengambil bahan aspirat untuk kultur ataupun bahan
penelitian.
Teknik dan peralatan sangat sederhana, murah dan cepat
serta tidak ada komplikasi yang berarti. Dengan mempergunakan
jarum halus dan semprit plastik 10 ml, bahan ekstrak jaringan
diambil, dibuat sediaan hapus dan diwarnai dengan MGG.
Dalam beberapa menit (15-30 menit) diagnosis preoperatif
dapat ditentukan dan dalam waktu yang singkat tindakan lanjut
dapat ditentukan. Akurasi diagnostik sitologi BAJAH 80-96%
dan dengan kombinasi mamografi akurasi diagnostik
meningkat menjadi 98.7%
0.7
).
Sitologi positif merupakan mandat untuk
survai metastasis
dan rencana pengobatan. Akan tetapi sitologi negatif, belum
dapat di
p
er
g
unakan seba
g
ai oettangan untuk menentukan
terapi oleh karena kemungkinan negatif palsu dapat terjadi.
Pada kasus demikian perlu diperhatikan aspek klinik. apabila
aspek klinik sesuai dengan sitologi negatif maka tindakan
bedah dapat dilakukan. Sebaliknya pads kasus di mana sitologi
negatif tidak sesuai dengan klinik hams dilakukan pemeriksaan
biopsi bedah. Aplikasi prosedur diagnosis sitologi aspirasi
pada tumor payudara, memungkinkan manajemen lebih
sederhana.
Kista merupakan salah satu indikasi sitologi biopsi
aspirasi. Cairan kista jernih biasanya jinak dan apabila cairan
dievakuasi seluruhnya, kista tidak teraba (kolaps) dan sering
tidak muncul kembali. Akan tetapi bila cairan kista coklat atau
campur darah dan cepat berulang, maka perlu dilakukan
pemeriksaan lain seperti mamografi dan biopsi.
5)
True-cut
Jaringan diperoleh dengan mempergunakan jarum kaliber
besar yang dilengkapi alat pemotong jaringan. Pengambilan
jaringan dilakukan di bawah anastesi lokal ataupun umum.
Metode ini tidak banyak dipakai lagi oleh karena adanya sitologi
biopsi aspirasi.
6) Biopsi terbuka
Biopsi terbuka (open biopsy)
adalah prosedur pengambilan
jaringan dengan jalan operasi kecil, eksisi ataupun insisi yang
dilakukan sebagai diagnosis preoperatif ataupun
durante
operationam.
Di rumah sakit yang tidak mempunyai fasilitas
sitologi aspirasi atau mamografi, maka pads setiap benjolan
payudara terbuka dilakukan biopsi terbuka.
Biopsi insisi
durante operationam dan pemeriksaan
histopatologi jaringan dengan teknik pemotongan beku
(frozen
section)
dilakukan untuk mengetahui sifat tumor jinak atau
ganas. Dalam waktu yang singkat (5-10 menit) sifat tumor
dapat ditentukan dan tindakan bedah dapat dilakukan dalam
satu tahap.
KEPUSTAKAAN
1. Thomas JF, Fitharris BM, Redding
WH dkk. Clinical examination,
xeromammografi and fine needle aspiration cytology in diagnosis of breast
tumours. BMJ. 1978; 2: 1139-1147.
2. Tjindarbumi D. Penanganan kanker payudara
dini dan lanjut. Naskah
simposium tumor
ganas pada wanita.
Bagian Patologi Fakultas Kedokteran
UI, Jakarta, 1987.
3.
Philip J, Harris G, Flaherti C, Joslin CAF. Clinical measure to assess the
practice and efficiency of breast self-examination. Cancer 1986; 58 : 973-7.
4. Strax P. Strategy (motivation) for detection early breast cancer. Cancer 1980;
46:926-9.
1 2
Cermin Dunia Kedok t eran, Edisi Khusus
No. 80, 1992
S. Oertel YC. Fine needle aspiration of breast. Butterworth 1987.
8. Tambunan GW. Karsinoma payudara. Dalam : Diagnosis dan Tatalaksana
6. Drell SR, Sterret GF, Walters MNI, Whitaker D.
Manual and Atlas of Fine Sepuluh Jenis Kanker Terbanyak di Indonesia, Handoyo (ed), Jakarta;
Needle Aspiration Cytology.
Churchill Livingstone 1986. p. 87-113. Penerbit Buku Kedokteran EGC, 1991.
r
7. Tambunan GW. Penuntun biopsi aspirasi jarum
halus. Aspek klinik dan 9. Townsend CM. Management of breast cancer. Surgery and ajuvant therapy.
sitologi neoplasma. Jakarta;
Penerbit Hipokrates, 1990.
Clinical Symposia 1987; 39 : 1-32Ciba-Geigy.
Cermin Dunia Kedok t eran, Edisi Khusus No. 80, 1992 1 3
Karsinoma Serviks Uteri Deteksi
Dini dan Penanggulangannya
M. Fauzie Sahli
Sub Bagian Onkologi Ginekologi Bagian Obstetri & Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
Rumah Sakit Dr Pirngadi, Medan
PENDAHULUAN
Kanker kandungan masih menempati urutan teratas dari
seluruh kanker yang menyerang kaum wanita. Menurut data
Departemen Kesehatan di Indonesia saat ini kanker leher rahim
menempati urutan pertama dari seluruh kanker yang menyerang
penduduk Indonesia. Di samping jumlah penderitanya yang
cukup banyak, ternyata lebih dari separuh penderita kanker leher
rahim ini datang ke fasilitas pengobatan sudah dalam tingkat
(stadium) lanjut. Akibatnya penderita kanker leher rahim ini
memerlukan fasilitas pengobatan yang khusus serta biaya yang
mahal, sebaliknya angka kesembuhan atau ketahanan hidup
lima tahunnya sangat rendah yaitu berkisar antara 20 40%.
Ada dua faktor
pokok yang sangat membantu dalam pe-
nanggulangankanker leher rahim ini yaitu :

Pertama, perjalanan perkembangan penyakit ini telah dapat


diketahui; sebelum menjadi kanker ternyata penyakit kanker
leher rahim ini didahului oleh adanya lesi prakanker yang disebut
Cervical Intraepthelial Neoplasia (CIN) atau Neoplasia Intra-
epitel Serviks (NIS). Lesi prakanker ini berlangsung cukup lama
yaitu memakan waktu antara 10 20 tahun.
Kedua, telah ditemukan metode untuk mendeteksi perubah-
an serviks uteri pads keadaan prakanker dengan pemeriksaan
yang sederhana, murah dan tidak menimbulkan perasaan sakit
yang dikenal dengan nama pemeriksaan Pap smear atau Tes Pap.
Dengan adanya kedua faktor tersebut di atas, kita dapat
melakukan usaha-usaha untuk menemukan kelainan pada ser-
viks uteri dalam tahap prakanker, sehingga kejadian karsinoma
serviks uteri dapat dicegah.
LESI PRAKANKER (NEOPLASIA INTRAEPITEL
SERVIKS)
Secara histopatologi karsinoma serviks terdini dari 2 jenis,
yaitu: jenis karsinoma epidermoid (95%) dan jenis adenokar-
sinoma (5%). Proses perubahan sel kolumner endoserviks men-
jadi sel skuamosa ektoserviks terjadi secara fisiologik pads
setiap wanita yang disebut sebagai proses metaplasia. Karena
adanya faktor-faktor risiko yang bertindak sebagai ko-karsino-
gen, proses metaplasia fisiologis ini dapat berubah menjadi
proses displasia yang bersifat patologis.
Adanya proses displasia inilah yang dinamakan sebagai lesi
prakanker atau disebut sebagai Cervical Intraepithelial Neo-
plasia (CIN) atau Neoplasia Intraepitel Serviks (NIS).
Lesi prakanker serviks tersebut di atas dibagi menjadi :
CIN I : sesuai dengan displasia ringan.
CIN II sesuai dengan displasia sedang.
CIN III : sesuai dengan displasia berat.
Sehingga perkembangan kanker leher rahim dapat digambarkan
sebagai berikut :
CIN I > CIN II > CIN III > CIS > Ca invasif.
CIS =
Carcinoma Insitu.
Lamanya waktu yang diperlukan untuk perkembangan dari
CIN I atau displasia ringan sampai menjadi karsinoma
insitu
dapat dilihat pads tabel 1.
Tabel 1. Waktu yang Diperlukan oleh Penderita Displasia untuk MenJadi
Karsinoma Insitu
Tingkat Displasia Waktu (bulan)
sangat ringan
ringan
sedang
berat
82 (t 7tahun)
58 ( 5 tahun)
38 ( 3 tahun)
12 ( 1 tahun)
Untuk dapat mendeteksi adanya perubahan epitel serviks
14 Cermin Dunia Kedokteran, Edisi KhususNo. 80, 1992
pads masa lesi prakanker ini maka setiap ibu yang sudah pernah
melakukan hubungankelamin, diharuskan men jalani pemeriksaan
Pap smear paling sedikit sekali setahun sampai berusia 65 tahun,
taepa menunggu adanya keluhan atau gejala lain.
Diagnosis
1)
Melakukan pemeriksaan
Pap smear secara rutin setiap ta-
hun terhadap ibu-ibu
sejak mulai melakukan hubungan
seksual
sampai berusia 65 tahun.
,' 2) Jika didapatkan hasil
Pap smear
yang abnormal, harus di-
lakukan pemeriksaan kolposkopi dan biopsi terarah
untuk pe-
meriksaan histopatologi.
Teknik pemeriksaan Pap smear :
Dua hari menjelang pemeriksaan, ibu dilarang melakukan
senggama
maupun memakai obat-obatan yang dimasukkan ke
dalam Hang senggama. Waktu yang baik untuk pemeriksaan
adalah beberapa hari setelah selesai menstruasi.
Ibu dalam posisi litotomi, dipasang spekulum vagina tanpa
menggunakan
pelicin, dan tanpa melakukan periksa dalam se-
belumnya. Setelah portio ditampakkan, maka spatula Ayre di-
tempelkan pads portio uteri dengan bagian yang lebih panjang
dimasukkan
ke dalam canalis cervicalis, lalu spatula diputar 180
searah
jarum jam. Lendir yang didapat dioleskan pads objek
gelas, lalu difiksasi atau direndam dalam larutan alkohol 96%.
Sediaan
dapatdikirim secara basah (tetap direndam dalam alkohol)
atau
dikirim secara kering dengan mengeringkan sediaan setelah
direndam dalam alkohol lk. setengah jam.
Selanjutnya sediaan tadi dikirim ke Ahli Patologi Anatomi
untuk diperiksa.
Adapun jawaban yang akan kita peroleh dari ahli Patologi
anatomi biasanya adalah :
Kelas I
:
Normal.
Kelas II : Sel atipik/proses radang.
Kelas III :
Mencurigakan ganas (Displasia ringan, sedang dan
berat).
l Kelas IV :
Dijumpai sel ganas jumlah sedikit.
Kelas V :
Dijumpai sel ganas jumlah banyak.
Keterangan : Kelas
I dan II, tergolong smear yang negatif.
-
Kelas III, mencurigakan ganas, yang hams dijajaki lebih
lanjut dengan pemeriksaan kolposkopi dan biopsi. Di dalam
kelas III inilah lesi
prakanker biasanya terdeteksi.
Kelas IV dan V, tergolong
smear yang positif.
Akhir-akhir ini dengan adanya kemajuan interpretasi peme-
riksaan Pap smear,
seorang patolog telah dapat langsung meng-
interpretasikan hasil Pap smear
tanpa menggunakan kelas-kelas
'seperti di atas; sehingga jawaban hasil pemeriksaan
Pap smear
saat ini wring kita jumpai sebagai berikut :
1.
2.
3.
4.
5.
i6.
7.
8.
Jika di jumpai hasil yang abnormal yaitu mulai dari kelas III
ke atas (displasia ringan dan selanjutnya), maka pasien harus
melakukan pemeriksaan kolposkopi dan biopsi untuk memasti-
kan diagnosis dan penanganan selanjutnya. Pemeriksaan sitologi
Pap smear
yang abnormal tidak boleh dijadikan dasar untuk
pengobatan, sehingga perlu dilakukan biopsi untuk pemeriksaan
histopatologi yang merupakan pemeriksaan final untuk mene-
gakkan diagnosis; barulah berdasarkan hasil pemeriksaan histo-
patologi tersebut dilakukan tindakan pengobatan.
Ada beberapa kasus yang tidak hanya memerlukan biopsi
serviks tetapi juga memerlukan bedah konisasi diagnostik.
Indikasi bedah konisasi diagnostik :
1. Lesi tidak tampak seluruhnya dengan pemeriksaan
kolposkopi.
2. Lesi dicurigai berada di endoserviks.
3. Kesenjangan antara hasil
Pap smear dan basil histopatologi
sediaan biopsi.
Pengobatan lesi prakanker :
Pada keadaan CIN I dan CIN II, jika lesinya kecil dapat di-
lakukan krioterapi, namun jika lesinya luas
dilakukan tindakan
elektrokoagulasi.
Pada CIN III, jika fungsi reproduksi masih dibutuhkan,
dapat dilakukan bedah konisasi, dan jika fungsi reproduksi sudah
tidak dibutuhkan lagi, dilakukan histerektomi simpel.
KARSINOMA SERVIKS UTERI
Karsinoma serviks uteri merupakan perkembangan lanjut
dari Neoplasia Intraepitel Serviks (NIS); di sini jelas dijumpai
sel-sel ganas pads epitel serviks, bahkan telah menginvasi ke
dalam stroma serviks.
Penyebab
Sampai saat ini penyebab kanker leher rahim belum diketahui
secara pasti. Namun sudah ditemukan beberapa faktor risiko
yang ada pads wanita yang memudahkan terserangnya kanker
leher rahim.
Di samping itu juga karena akhir-akhir ini kejadian kanker
leher rahim banyak dikaitkan dengan infeksi dari
Human Pa-
pilloma Virus (HPV), yang penularannya melalui hubungan
seksual (Sexually transmitted diseases),
maka timbul istilah
-
adanya pria risiko tinggi untuk menimbulkan kanker leher rahim
pads isterinya.
Yang tergolong wanita risiko tinggi adalah :
1.
Kawin/bersenggama pertama kali pads usia di bawah 20
tahun, terutama jika di bawah 16 tahun.
2. Sosial ekonomi yang rendah.
3. Higiene seksual yang tidak baik.
4. Sering ganti pasangan seksual.
5. Sering melahirkan dengan jarak yang pendek.
Yang tergolong pria risiko tinggi adalah :
1.
Riwayat adanya kanker penis (alat kelamin).
2. Riwayat kanker leher rahim pada isteri.
3. Sosial ekonomi rendah.
4.
Menderita penyakit hubungan seksual, terutama kondiloma
penis.
Normal smear.
Atipik/proses radang.
Displasia ringan.
Displasia sedang.
Displasia berat.
Karsinoma insitu.
Karsinoma mikroinvasif.
Karsinoma invasif.
Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992
15
Cejala klinik
Lesi prakanker dan lesi kanker stadium awal sering tidak
menampakkan gejala yang menyolok. Sering mengalami kepu-
tihan yang biasanya dianggap sebagai hal yang normal. Dapat
mengalami perdarahan pasca senggama
(contact bleeding),
kadang-kadang keluar cairan berbau busuk dari vagina. Path
keadaan lanjut dapat terjadi menometrorhagia, nyeri panggul/
lumbosakral, badan pucat dan kurus, edema tungkai, hematuri
atau melena, gejala-gejala metastasis di tempat lain.
Biasanya kematian disebabkan oleh karena gagal ginjal
yang disebabkan obstruksi ureter bagian distal oleh massa tumor.
Stadium klinik
Stadium 0 : Karsinoma insitu.
Stadium I : Proses terbatas path uterus, ekstensi ke korpus uteri
tidak diperhitungkan.
Ia : Proses belum terdeteksi secara klinis. Diagnosis
ditegakkan berdasarkan pemeriksaan patologi.
Ia.1.:Minimal stromal invasion.
Ia.2 : Invasi proses dengan kedalaman 5 mm atau kurang,
dari membrana basalis, dan penjalaran secara horizontal 7 mm
atau kurang.
Ib : Proses lebih besar dari Ia.2.
Stadium II : Proses telah menginvasi keluar uterus, tapi belum
mencapai dinding panggul dan sepertiga distal vagina.
IIa : Tanpa invasi ke parametrium.
IIb :, Dengan invasi ke parametrium.
Stadium III : Proses menyebar ke dinding panggul, dan/atau
melibatkan sepertiga distal vagina, dan/atau menyebabkan
hidronefrosis atau gangguan fungsi ginjal.
IIIa : Proses melibatkan sepertiga distal vagina, tanpa ekstensi
ke dinding panggul.
IIIb : Proses sampai ke dinding panggul, dan/atau menye-
babkan hidronefrosis, atau gangguan fungsi ginjal.
Stadium IVa : Proses menginvasi ke mukosa kandung kemih
atau rektum, dan/atau ekstensi keluar pelvis minor.
Stadium IVb : Metastasis jauh.
Diagnosis
Ditegakkan :
1)
Pemeriksaan Pap smear rutin.
2)
Kolposkopi.
3)
Biopsi dengan/tanpa kolposkopi.
4) Konisasi.
5) Gejala klinik.
Diagnosis pasti adalah berdasarkan hasil pemeriksaan histo-
patologi hasil biopsi atau konisasi.
Pengobatan
Path stadium insitu dan stadium Ia dengan
early stromal
invasion, di mana fungsi reproduksi masih dibutuhkan dapat
dilakukan bedah konisasi. Namun jika fungsi reproduksi tidak
dibutuhkan lagi, harus dilakukan ekstrafasial histerektomi.
Path stadium Ib sampai IIa, dilakukan histerektomi radikal
dan limfadenektomi pelvis. Bagi penderita stadium IbIIa
dengan kontraindikasi tindakan operasi, dapat diberikan terapi
radiasi.
Sedangkan path stadium IIb dan seterusnya tindakan pem-
bedahan sudah tidak mungkin dilakukan lagi
(inoperable), se-
hingga pads kasus-kasus ini pengobatan yang diberikan adalah
radioterapi, kemoterapi atau gabungan antara radioterapi dan
kemoterapi.
KEPUSTAKAAN
1. Azis MF, Syamsuddin S, KamponoN. Cervical
Intraepithelial Neoplasia and
its management.
Indon J Oncol 1990; 2: 47-55.
2.
Berek IS, Hacker NF. Practical Gynecologic Oncology, Baltimore: Williams
& Wilkins, 1989.
3. Disaia PJ, Creasman WT. Clinical Gynecologic Oncology, St Louis: CV
Mosby, 1981.
4.
Gusberg SB, Shingleton HM, Deppe G. Female Genital Cancer. New York:
Churchill Livingstone, 1988.
5. McGuire WL.
Gynecologic Oncology. Boston: Martinus Nijhoff Publ,
1983.
6. Syamsuddin S. Manual Prekanker dan
Kanker Serviks Uterus. Bagian
Obstetri dan
Ginekologi Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, Jakarta,
1985.
It is when we forget ourselves that we do things that will be
remembered
1 6 Cermin Dunia Kedok t eran, Edisi Khusus No. 80, 1992
Visum dan Hukum dalam Kedokteran Kehakiman
Permasalahan Visum et Repertum
Dr. H. Amar Singh
Bagian Ilmu Kedokteran Kehakiman
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara - Medan
ABSTRAK
Dibicarakan berbagai masalah visum et repertum yang dihadapi oleh peminta
(penyidik), pembuat (dokter) dan pemakai (pengadilan).
Diusahakan berbagai cara pendekatan baik kepada famili korban maupun
kalangan penegak hukum supaya hambatan-hambatan dapat ditekan seminimal
mungkin agar penegak hukum dapat manfaat dari visum et repertum dalam penyelesaian
perkara pidana, demi tegaknya keadilan di masyarakat. Salah satu altematif untuk
mengatasi masalah-masalah yang timbul ialah perlu adanya jalinan kerjasama yang
baik dan efektif di antara kalangan yang terlibat dalam visum, sehingga pelayanan
visum et repertum oleh dokter kepada penegak hukum dapat mendapai sasaran yang
dikehendaki.
PENDAHULUAN
Kita mengetahui pada dasarnya pelayanan visum et
repertum (selanjutnya disebut visum) dapat dibagi atas dua
bagian besar yaitu : visum untuk orang hidup dan visum untuk
orang yang telah meninggal. Yang terakhir ini disebut visum
mayat atau visum jenazah yaitu visum yang dibuatoleh dokter
atas permintaan yang berwenang pada orang yang meninggal
karena kekerasan, luka-luka, keracunan/diduga keracunan,
kematian yang sebabnya mencurigakan dan lain-lain makar
yang membinasakan nyawa manusia. Hal ini telah berlangsung
sejak dahulu diatur dalam undang-undang ayat 2 dan Staatsblad
tahun 1937 No. 350.
Pada dasarnya setiap dokter yang bekerja di Indonesia
dapat dimintakan bantuan untuk membuat visum baik untuk
orang hidup maupun untuk jenazah. Umumnya pembuatan
visum jenazah dilakukan oleh dokter rumah sakit Pemerintah.
Selanjutnya dengan makin berkembangnya pelayanan kese-
hatan kepada masyarakat dimana makin banyak pula muncul
rumah sakit-rumah sakit bare di samping rumah sakit swasta,
rumah sakit Pertamina, rumah sakit ABRI dan lain-lain, terlihat
pula adanya kecenderungan pelayanan visum dilakukan oleh
rumah sakir-rumah sakit di atas. Pada waktu ini sebagian
visum orang hidup telah banyak diterbitkan oleh rumah sakit-
rumah sakit yang dikemukakan di atas, dan begitu pula telah
ada visum jenazah yang diterbitkan oleh sebagian rumah sakit
tersebut biarpun visum jenazah yang diterbitkannya tidak
berdasarkan pemeriksaan yang lengkap melalui bedah mayat
(otopsi). Dalam undang-undang memang tidak diatur ke mana
permintaan visum harus dimintakan/ditujukan. Yang ada hanyalah
peraturan yang menyatakan anal visum dibuat oleh dokter, visum
itu sudah merupakan alat bukti yang sah di pengadilan, tanpa
membedakan kedudukan dokter tersebut maupun keahliannya.
Agaknya semua orang memahami bahwa tidak mudah
melakukan bedah mayat untuk visum jenazah. Banyak hambatan
yang harus diatasi. Pada kertas kerja ini kami akan
mengemuka-
kan beberapa masalah yang dihadapi dokter dalam menerbitkan
visum jenazah, berikut masalah yang dihadapi dokter sesudah
visum diterbitkan.
Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992 1 7
Sebuah visum baru dapat diterbitkan bila : pertama, ada
kasus: kedua, ada yang meminta visum; ketiga, ada yang membuat
visum (kalangan dokter); keempat, ada famili korban yang
berkepentingan, dan akhirnya dipakainyavisum oleh pengadilan.
Untuk memudahkan melihat permasalahannya, pads kertas
kerja ini masalahnya kami bagi menurut :
1.
Permasalahan antara dokter dengan instansi yang miminta
visum.
2. Permasalahan antara dokter dengan famili korban/
masyarakat.
3. Permasalahan antara dokter dengan kalangan pengadilan.
4. Permasalahan biaya visum.
Kemudian karena Bagian Kedokteran Kehakiman dianggap
pula oleh kalangan dokter sebagai tempat konsultasi mengenai
permasalahan yang bersangkut paut dengan pelayanan kesehatan
yang menyangkut bidang hukum, maka balakangan ini sering
pula ditanyakan kaitannya antara surat keterangan yang dibuat
atau harus diisi dokter untuk kepentingan asuransi. Hal ini
dapat dimengerti karena akhir-akhir ini perasuransian (khusus
asuransi jiwa dan kesehatan) berkembang dengan subur/
bertambah banyak.
Semakin banyak orang yang menjadi nasabah asuransi
dengan sendirinya semakin banyak pula kalangan dokter yang
terlibat dalam membuat surat keterangan bila terjadi sesuatu
pads nasabah (seperti luka-luka atau meninggal), kepada dokter
diminta untuk mengisi formulir-formulir dari kalangan
asuransi yang ia sendiri tidak tabu sejauh mana ia (dokter) terlibat
dalam hubungan pihak asuransi dan nasabahnya.
Akhirnya Bagian Kedokteran Kehakiman mengharapkan
diadakan pertemuan ilmiah yang dapat mengidentifikasi masalah
yang dihadapi masing-mas ing instansi yang terlibat dalam visum
et repertum, dan juga dapat menceritakan beberapa jalan keluar
yang disepakati bersama dalam menempuh kebijaksanaan
untuk mengatasi beberapa masalah yang ada selama ini.
PERMASALAHAN
1. Permintaan visum et repertum datang terlambat
Biarpun ia (dokter), tabu pengiriman jenazah ke Bagian
Ilmu Kedokteran Kehakiman pada umumnya adalah untuk
masalah permintaan visum, tetapi dokter tidak dapat melaku-
kan pemeriksaan sebelum datang permintaan visum dari yang
berwenang. Bila permintaan visum telah datang barulah dokter
melakukan tugasnya dengan memanggil famili korban untuk
menerangkan apa yang akan dilakukan dokter pads janazah.
Pada kesempatan ini kami merasa perlu mengemukakan
tingkatan tindakan dokter dalam menyiapkan visum :
Segera setelah permintaan visum datang, dokter yang bertugas
akan memanggil famili korban dan menerangkan akan dilaku-
kan pemeriksaan lengkap pada tubuh korban dengan melakukan
bedah mayat. Bila familinya dapat memahami dan menyetujui
(hal ini jarang) maka pada famili terdekat dimintakan untuk
memaraf suatu surat yang telah disiapkan oleh Bagian Kedok-
teran Kehakiman yang isinya persetujuan untuk dilakukan
bedah mayat. Cara ini terpaksa ditempuh dokter Bagian
Kedokteran Kehakiman karena sering terjadi datang famili
korban yang lain, yang keberatan bila dilakukan atau telah
dilaksanakan bedah mayat.
Bila famili korban keberatan (hat ini sering terjadi),
maka pihak dokter berusaha meyakinkan familinya bahwa
pembuatan visum untuk kepentingan famili korban juga.
Dokter melaksanakan itu adalah atas permintaan penyidik.
Dokter menjelaskan kepada famili korban bahwa tidak ada
jaringan korban yang diambil baik untuk percobaan ataupun
dijadikan obat, kecuali pada beberapa kasus bila diperlukan
pemeriksaan lebih lanjut untuk pemeriksaan Patologi Anatomi,
pemeriksaan keracunan, memang ada yang diambil sedikit
dari jaringan tubuh si korban.
Bila keberatan didasari alasan keagamaan maka dicoba
pula pendekatan secara keagamaan sejauh yang dikuasi
dokter; khususnya untuk yang beragama Islam, dokter
mengingatkan adanya fatwa Majelis Pertimbangan Kesehatan
dan Syara; No. 4 Tabun 1955 yang mengatakan bedah mayat
itu mubah/boleh hukumnya
(2
.
Malah tidak jarang dokter
mengingatkan famili korban pada pasal 222 KUHP yang
mengatakan : Barang siapa yang menghalang-halangi bedah
mayat untuk pengadilan dapat dipidana penjara selama 9
bulan. Seterusnya diingatkan pula pada kasus kecelakaan lalu
lintas dengan visum dokter, famili korban (ahli waris) akan
dapat mengurus santunan asuransi sebesar Rp. 2.000.000,- (dua
juta rupiah). Dengan usaha ini kadang-kadang famili korban
dapat memahami dan menyetujui dokter melakukan bedah
mayat; tetapi sering pula famili korban tetap tidak setuju. Matra
jalan yang ditempuh dokter adalah menyuruh famili korban
menghadap Polisi yang meminta visum untuk mengusahakan
pencabutan permintaan visum.
Karena Kantor Polisi tidak dekat dari rumah sakit malah
kadang-kadang permintaan dari luar kota maka tidak mudah
bagi famili korban untuk mengusahakan pencabutan visum.
Polisi kadang-kadang menyatakan pada famili korban untuk
mengadakan kompromi saja dengan dokter; pokoknya polisi
perlu visum, terserah dokter mau melakukannya dengan
bedah mayat atau dengan melakukan pemeriksaan luar saja.
Sudah jelas ini salah. Tetapi begitu kenyataan yang dihadapi
dokter.
Bila ada surat persetujuan dari Polisi untuk mencabut
kembali permintaan visum, jenazah dapat diserahkan dokter
kepada famili korban. Bila famili korban dengan paksa meng-
ambil korban dari kamar jenazah; dalam hal ini terpaksa
dokter menyuruh familinya menandatangani sebuah surat
pernyataan bahwa semua risiko atas pengambilan jenazah
ditanggung famili korban. Pada kasus pembunuhan/disangka
pembunuhan yang perkaranya pasti sampai ke sidang peng-
adilan, maka visum pasti tidak akan ada.
Juga bila permintaan visum datang terlambat, sering dokter
sulit menghadapi famili korban. Dalam hal ini sering petugas
di Bagian Kedokteran Kehakiman yang mengejar pihak
Kepolisian untuk segera menyampaikan permintaan visum ke
rumah sakit.
1 8
Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992
2. Permintaan visum telah datang, famili korban tidak ada
Hal ini sering pula dihadapi dokter, seperti pads korban
kecelakaan lalu lintas, mati tiba-tiba dan tidak disangka-sangka
di luar rumah, korban pembunuhan dan lain-lain. Mayat diantar
ke rumah sakit disertai dengan visum atau permintaan visum
datang kemudian. Dokter tidak bisa segera melakukan
pemeriksaan karena sering menjadi persoalan besar, terutama
bila famili korban ternyata keberatan. Penungguan ini
kadang-kadang bisa berhari-hari.
Sebelum ada kamar pendingin di rumah sakit (Bagian
Kedokteran Kehakiman Fakultas Kedokteran USU) hal ini
betul-betul menjadi problem karena mayat segera membusuk
dan tanda-tanda/kelainan-kelainan yang mingkin didapat
pada tubuh korban sebagai penyebab kematian korban menjadi
kabur atau hilang sama sekali. Pemeriksaan secara ilmiah tidak
dapat dilakukan lagi, pemeriksaan secara ilmiah tidak dapat
dilakukan lagi, pemeriksaan jaringan untuk kelainan Patologi
Anatomi tidak ada gunanya lagi karena jaringan sudah mengalami
lisis (membusuk); tetapi sesudah kamar pendingin mayat ada
di Bagian Kedokteran Kehakiman hal ini dapat diatasi.
Persoalannya adalah sampai berapa hari dokter dapat menunggu.
Kapasitas kamar pendingin mayat yang ada sekarang hanya
untuk 2 kasus. Bila banyak kasus datang sekaligus, maka
problem yang sama timbul kembali.
Dokter di Bagian Kedokteran Kehakiman tidak berani
mengambil keputusan misalnya setelah 2 hari famili korban
tidak ada, jenazah dapat diperiksa, karena tidak ada pegangan/
ketentuan yang disetujui Direktur Rumah Sakit, Dekan Fakultas
Kedokteran USU, Dinas Kesehatan Kotamadya dan /Walikota
sebagai pedoman yang dapat dipakai dokter menghadapi
masyarakat.
3. Permintaan visum ada, jenazah tidak ada
Hal ini misalnya pada korban kecelakaan lalu lintas dan
sebab kernatian lain yang jenazahnya sudah dibawa ke rumah/
ke rumah sosial/ke rumah sakit luar lainnya.
Ada yang meminta supaya dokter datang ke rumah korban/
ke rumah sosial untuk memeriksa dan membuat visum. Umumnya
famili meminta supaya dilakukan pemeriksaan luar saja. Tentu
hal ini tidak mungkin dilakukan.
Sejauh itu memang belum ada suatu kesepakatan dokter
dengan Kepolisian untuk mengatasi hal ini.
4. Permintaan visum et repertum yang kurang/tidak
Iengkap
Dari kenyataan selama ini, sering permintaan visum dari yang
berwenang bila diteliti tidak atau kurang lengkap; kadang-
kadang tidak ada nomor, tanggal ataupun keterangan yang
lengkap mengenai korban, kadang-kadang malah tidak ditanda
tangani.
Kadang-kadang permintaan visum malah datang dari
dokter; biasanya hal ini terjadi karena Polisi meminta visum pads
dokter di daerah/Puskesmas; karena dokter tersebut tidak dapat
melaksanakan bedah mayat (baik karena fasilitas atau keberatan
mengerjakaninya), maka dokter tersebut mengirim jenazah ke
Rumah Sakit Dr. Pirngadi Medan untuk pemeriksaan,
sementara permintaan visum belum ditukar melalui pihak
yang berwenang. Atau pihak Kepolisian meminta visum untuk
korban yang dirawat di Badian Bedah, bila korban tersebut
akhirnya meninggal, sering Bagian Bedah melan j utkan permintaan
visum ke Bagian Kedokteran Kehakiman.
Kecuali bila permintaan visum diperbaharui kembali oleh
Polisi untuk dibuatkan visum jenazah pada korban yang
sekarang telah meninggal, dokter Bagian kedokteran
Kehakiman tidak akan melakukan pemeriksaan dan biasanya
jenazah diserahkan saja pada famili korban.
5. Masalah dari famili korban
Biarpun masalah yang dihadapi dokter dengan famili
korban telah ditemukan sebagian, di bawah ini kami kemukakan
masalah lainnya yang dihadapi dokter dengan famili korban :
1) Bersedia diperiksa hanya tubuh korban bagian luar saja (asal
tidak melukai tubuh korban).
Inilah permintaan yang paling banyak dari kalangan
masyarakat. Mereka menyadari perlunya visum, tetapi tidak
mengizinkan dokter membedah korban untuk membuat visum.
2) Bersedia diperiksa tetapi seperlunya saja.
Pada kebanyakan kasus sekarang timbul pula kecende-
rungan ini misalnya bila pada korban kecelakaan lalu lintas telah
jelas pecah pada bagian kepala, famili korban dengan sangat
memohon kepada dokter agar pemeriksaan dilakukan pada bagian
kepala saja, jangan lagi dibuka pads bagian rongga dada
dan rongga perut si korban.
Untuk sebagian besar kalangan dalam masyarakat hal
demikian agaknya masuk akal, kalau sudah jelas ruda paksa
itu yang menyebabkan kematian. Tetapi dokter paling tidak
terikat pada tiga hal yang mengharuskannya melakukan
pemeriksaan lengkap :
a) Secara ilmiah kematian korban hanya dapat ditentukan
dengan pemeriksaan lengkap.
Dengan pemeriksaan yang terbatas dapat dinyatakan
bahwa belum tentu sebab kematian korban seperti yang
dicantumkan dalam visum benar, mungkin oleh sebab lain
yaitu pada bagian tubuh yang tidak diperiksa.
2) Ketentuan dari Polisi sendiri yaitu Instruksi Kapolri
No. Pol E/IX/75 yang menyatakan yang dimaksud dengan
visum jenazah adalah pemeriksaan lengkap dari tubuh korban').
3) Permintaan visum dari Kepolisian biasanya ditulis : Mohon
dilakukan pemeriksaan luar/luar dan dalam. Umumnya pihak
Kepolisian tidak jelas-jelas menentukan mana yang akan
dilakukan dokter. Bila tidak dicoret, maka dokter beranggapan
harus dilakukan pemeriksaan lengkap. Kebijaksanaan ini
ditempuh karena bila tidak ada visum sama sekali tentu
akan merugikan famili korban/masyarakat/penegak hukum.
BagianKedokteranKehakimanFK-USU pemah mengajukan
suatu usul agar pada kasus-kasus tertentu terutama kecelakaan
lalu lintas) dapat dilakukan pemeriksaan terbatas atau pemeriksaan
luar jenazah korban
@)
. Tetapi usul demikian tidak dapat disetujui
pusat pendidikan Bagian Kedokteran Kehakiman yang lain
di Indonesia.
Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992 1 9
6. Masalah yang dihadapi dokter di sidang pengadilan
Dari sekian banyak visum yang diterbitkan, pada beberapa
kasus masih dianggap perlu memanggil dokter sebagai saksi ahli
di dalam sidang pengadilan yang umumnya berhubungan dengan
visum yang dibuatnya.
Biarpun tidak ada data lengkap tentang pengalaman
dokter sebagai saksi ahli di sidang pengadilan, tetapi pada
kesempatan ini kami merasa perlu mengemukakan pengalam-
an kami dan beberapa sejawat dokter lain di sidang pengadilan.
1) Panggilan saksi ahli (dokter).
Pada pengalaman kami selama ini dalam pemanggilan
saksi ahli, kami mendapat dua cara pemanggilan :
a) Berdasarkan perintah.
Dalam hal pemanggilan seperti ini, kalangan dokter merasa
di bawah perintah pengadilan. Bila diteliti cara pemanggilan ini,
ini, seakan-akan pengadilan menganggap kedudukan saksi ahli
sama dengan tertuduh, sebab kelihatannya formulir yang diisi
untuk memanggil saksi ahli sama dengan formulir pemanggilan
saksi biaya.
b) Bernada minta bantuan.
Dalam cara pemanggilan seperti ini dokter merasa bantuan-
nya diperlukan di sidang pengadilan.
2)
Waktu pemanggilan dan waktu sidang.
a) Pada beberapa kasus pemanggilan terlalu dekat dengan
waktu sidang, sehingga dokter tidak sempat mengumpulkan
dan mempelajari data dan keterangan yang diperlukan.
b) Waktu sidang seringkali tidak sesuai dengan waktu yang
dicantumkan dalam formulir pemanggilan.
Dapat diketahui waktu dokter terutama adalah untuk
pelayanan kesehatan. Bila waktu sidang tidak sesuai dengan
jadwal yang ditentukan, tentu ini merugikan orang sakit yang
memerlukan bantuan dokter.
3) Dalam persidangan
Pada umumnya dalam persidangan yang diminta adalah
keterangan dokter sehubungan dengan visum yang dibuatnya,
tetapi tidak jarang pula diminta keterangan saksi ahli yang
tidak berhubungan langsung dengan visum yang dibuatnya.
Tetapi hal yang paling menggelisahkan dokter adalah pertanyaan
hakim ataupun jaksa yang kadang-kadang menganggap dokter
sebagai tertuduh dalam persidangan tersebut, atau pertanyaan-
pertanyaan diajukan sedemikian rupa menjuruskan kepada se-
suatu yang dikehendaki hakim atau jaksa. Malah kadang-
kadang beban suatu keputusan yang penting seakan-akan digeser
ke pundak dokter. Tentu hal demikian tidak mengenakkan,
karena kehadirannya ke sidang pengadilan adalah memberikan
keterangan sebagai saksi ahli tentang visum yang dibuatnya.
Sering pertanyaan-pertanyaan tertulis dokter dalam visum
yang tidak jelas baru ditanyakan di sidang pengadilan. Alangkah
baiknyabila hal-hal yang tidak jelas dalam visum dapatditanyakan
sebelum sidang dibuka, sehingga dalam sidang pengadilan yang
diminta adalah kesaksian dokter sebagai saksi ahli yang benar-
benar diperlukan penjelasannya.
Pet-1u kami kemukakan di sini, kadang-kadang dokter
sampai dibentak dalam sidang pengadilan, suatu hal yang tidak
mesti terjadi.
4.
Selain hal di atas, permasalahan lain adalah mengenai
biaya perjalanan dokter. Bila sidang pengadilan berada di kota
yang sama tentu tidak akan menjadi masalah yang besar; tetapi
dokter sering pula diminta hadir pada sidang pengadilan
di luar kota.
DISKUSI
Dari masalah yang dikemukakan di atas tampak bahwa
masih ada hambatan yang harus diatasi dalam menerbitkan
visum jenazah di daerah ini. Gambaran yang sama sesungguh-
nya terdapat juga
,
di lain-lain daerah di Indonesia.
Pada kasus-kasus yang akhirnya perkaranya sampai ke
pengadilan, hal ini akan merugikan famili korban dan juga
bagi kalangan hukum karena visum sebagai pengganti
corpus
delicti tidak ada. Suatu kenyataan lain yang perlu kami kemuka-
kan di sini selain banyaknya kasus yang tidak jadi diperiksa
di Bagian Kedokteran Kehakiman FK-USU/RS. Dr. Pirngadi
Medan adalah banyak visum yang telah dibuat dan kelihatannya
tidak dipersiapkan oleh yang meminta visum mauupun oleh
kalangan pengadilan.
Kepada Kepolisian Kota Besar Medan dan Sekitarnya
kami telah memberitahukan dan mengirim surat resmi bahwa
bagi visum yang diperlukan segera siap, petugas kepolisian
dapat mengambilnya ke Bagian Kedokteran Kehakiman
sesudah 2 minggu korban diperiksa dokter. Yang menghe-
rankan kami adalah selama beberapa tahun terakhir ini setelah
kebijaksanaan di atas diambil, kelihatannya hanya sebagian
kecil saja dari visum yang telah dibuat yang diambil petugas
kepolisian. Sebagian besar yang lain tidak diambil dan me-
numpuk di Bagian Kedokteran Kehakiman . Seperti dikemu-
kakan sebelumnya untuk menyiapkan sebuah visum banyak
tantangan dan hambatan yang harus diatasi dokter, banyak
tenaga dan alat-alat yang harus dipakai.
Diperlukan suatu
kerjasama yang lebih baik agar pelayanan visum kepada penegak
hukum dapat lebih ditingkatkan.
Mengen-ai prosedur pencabutan visum di Medan belum
terlaksana dengan baik. Agaknya hal ini dapat dimengerti
karena yang berhak mencabut visum et repertum adalah
instansi yang lebih tinggi dari yang meminta visum semula
(
').
Menurut hemat kami kerjasama yang balk antara dokter
dengan penyidik perlu ditingkatkan sehingga hambatan antara
dokter-polisi dan famili korban lebih mudah diatasi. Banyak
masalah dapat diatasi bila ada jalinan kerja sama yang
baik terutama antara dokter dan kalangan yang meminta
visum.
Misalnya dalam famili korban hendaknya dihadapi
oleh pihak kepolisian, karena sesungguhnya dokter hanyalah
pelaksana bantuan kepada penegak hukum. Bila penegak
hukum menganggap perlu hares ada visum untuk korban yang
telah meninggal tersebut, seharusnya polisi secara tegas
20 Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992
menjelaskan kepada famili korban. Lagi pula ini sesuai dengan
Instruksi Kapolri No. Pol/E//20/IX/75 yang menyatakan
seharusnya polisi yang meminta visum harus di tempat waktu
dokter melakukan pemeriksaan.
Dengan demikian selain
keamanan setempat dijaga, juga pihak kepolisian dapat se-
gera mengetahui sebab kematian sebelum visum diterbitkan
(biasanya selesai sesudah 2 minggu). Pada kasus yang mati
tiba-tiba karena penyakitnya, orang yang telah ditahan karena
disangka terlibat dalam kematian korban dapat dibebaskan,
sebaliknya dapat bertindak cepat menahan seseorang bila
sebab kematian korban jelas karena kekerasan.
Mengenai masalah dengan kalangan pengadilan menurut
hemat kami dapat dijalin pengertian yang lebih bail:. Kalangan
dokter akan dapat menyadari kekurangan pelayanan yang
diberikannya selama ini bila kalangan pengadilan menyam-
paikan kekurangan-kekurangan yang didapatnya pada visum
.yang dibuat oleh dokter. Begitu pula keluhan-keluhan yang
dialami dokter selama sidang pengadilan hendaknya dapat
dimengerti oleh kalangan pengadilan.
Tentang biaya untuk menerbitkan visum, kami sangat
mengharapkan dapat dicarikan jalan keluarnya, sehingga
visum dapat diselesaikan dokter tanpa menggelisahkan
inasyarakat.
Mengenai hambatan dari masyarakat, dengan penerangan
dan pendekatan manusiawi dari semua pihak, kami yakin
pads saatnya akan dapat diterima oleh masyarakat.
KESIMPULAN
1) Visum et repertum jenazah mempunyai kecenderungan
bertambah banyak setiap tahun. Masih banyak hambatan
yang dihadapi dokter dalam melakukan bedah mayat untuk
menerbitkan visum et repertum jenazah.
2)
Hambatan terutama dihadapi dokter dari kalangan masya-
rakat yang belum menyadari bagaimana seharusnya visum et
repertum jenazah dipersiapkan.
3) Sampai sekarang belum terdapat suatu kerja sama yang
memadai, efektif dan serasi antara dokter dengan kepolisian,
terutama dalam menghadapi masalah dan hambatan dari
famili korban tentang pencabutan kembali permohonan visum
dan pengamanan setempat.
4) Demikian pula kedudukan dokter sebagai saksi ahli di
sidang pengadilan, tampaknya belum berjalan dengan baik, baik
cara pemanggilan, jam sidang, perlakuan di sidang pengadilan
dan juga biaya yang dihadapi dokter untuk datang dan pulang
dari sidang.
5) Sampai sekarang belpm dapat ditentukan siapa yang
menanggung biaya untuk menerbitkan visum.
6) Begitu pula belum ada ketentuan berapa hari dokter hams
menunggu untuk melakukan bedah mayat pads korban yang
tidak atau belum datang familinya dan demikian pula tentang
biaya penguburan jenazah yang tidak/belum datang faliminya.
SARAN
Diperlukan satu jalinan kerjasama yang baik dan efektif di
antara kalangan yang terlibat dalam visum, sehingga pelayanan
visum et repertum oleh dokter kepada penegak hukum dapat
mencapai sasaran yang dikehendaki.
Untuk menghadapi famili korban, sangat diperlukan
penempatan petugas Polri di kamar jenazah. Hendaknya
dapat dikeluarkan suatu keputusan bersama sampai berapa
hari dokter dapat menunggu kapan pencabutan dapat dilakukan
baik untuk kasus yang menunggu pencabutan visum maupun
korban yang tidak ada familinya.
Akhimya menurut pendapat kami adanya suatu Lembaga
Kedokteran Kehakiman tingkat Sumatera Utara dimana segala
unsur yang berkepentingan dengan visum duduk dalam instansi
ini, dapat merupakan wadah dalam menjalin kerjasama di
antara kalangan yang berkepentingan dengan visum.
KEPUSTAKAAN
1. Amri Amir et al. Pelayanan visum et repertum di Sumatera Utara dan daerah
Istimewa Aceh tahun 1976
sampai
1978, Bagian Kedokteran Kehakiman
FK-USUIRS. Dr. Pimgadi Medan, 1990.
2. Majelis Pertimbangan Kesehatan dan Syara' Kementerian KesehatanRepublik
Indonesia. Soal Bedah Mayat. Fatwa No. 4/1955, Jembatan, Jakarta, 1955.
3. Instruksi Kapolri No. Pol. Inst/E/20/IX/75 tentang Tata Cara Permohonan
dan Pencabutan Visum et Repertum.
4. Amri Amir, Amri Amiruddin. Pelayanan Visum et Repertum jenazah dengan
pemeriksaan luar dan pemeriksaan sebagian, Kongres IAPI VI, Denpasar,
1979.
5. Panel Diskusi Tatalaksana Visum et Repertum, Kongres Nasional IAOPI IV,
Bandung, 1975.
Cermin Dunia Kedok t eran, Edisi Khusus No. 80, 1992 2 1
Hukum Kesehatan :
The New Frontiers
Am?' Amir
Bagian Kedok t eran Kehakiman, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara,
Medan
PENDAHULUAN
Tulisan ini kami turunkan dalam rangka menyongsong dan
memperingati Hari Ulang Tahun Fakultas Kedokteran USU yang
ke 40. Biarpun judul yang dikemukakan di alas secara disiplin
ilmu tidak ada kaitannya atau kalau dilihat dari tujuannya
malah "berlainan arah" dengan bidang Ilmu Kedokteran Ke-
hakiman, namun kami sengaja menurunkan tulisan ini setelah
dalam beberapa tahun ini terlibat dalam pengembangan disiplin
Hukum Kedokteran/Hukum Kesehatan melalui organisasi Per-
himpunan Hukum Kesehatan Indonesia (PERHUKI).
Bila dilihat secara global, kedua ilmu ini (Ilmu Kedokteran
Kehakiman dan Hukum Kedokteran/Kesehatan) adalah sama-
sama termasuk dalam kelompok bidang ilmu yang men jembatani
disiplin ilmu hukum dan ilmu kedokteran. Tetapi bila ditinjau
dari tujuannya akan terlihat perbedaan.
Tujuan Ilmu Kedokteran Kehakiman (Kedokteran Foren-
sik) adalah penggunaan pengetahuan dan keterampilan ilmu
kedokteran untuk kepentingan hukum dan peradilan. Ini melibat-
kan bantuan dokter dalam melayani pemeiiksaan korban untuk
pembuatan visum et repertum, sebagai saksi ahli di sidang peng-
adilan, penentuan identitas jenazah yang sudah tidak utuh lagi
(misalnya hanya tinggal tulang belulang), penentuan telah be-
rapa lama luka terjadi atau telah berapa lama korban meninggal,
penentuan sebab dan cara kematian korban tindak kekerasan dan
kematian yang tidak wajar, tentarig perkosaan, pemeriksaan
korban keracunan dan lain-lain. Dalam bidang ini termasuk pula
Odontologi Forensik dan Psikiatri Forensik.
Dalam bidang Hukum Kedokteran/Hukum Kesehatan yang
dibicarakan adalah tentang ketentuan hukum yang mengatur
pelayanan di bidang kesehatan. Yang dibicarakan dan dikem-
bangkan di sini antara lain hubungan dokter-pasien, malpraktek
kedokteran, hak dan kewajiban dokter, hak dan kewajiban pasien,
perjan jian tindakan medik, euthanasia, transplantasi organ tubuh
manusia, abortus provokatus,bayi tabung, tanggung jawab hukum
rumah sakit, dokter dan perawat, aspek hukum dalam penelitian
kedokteran dan lain-lain. Semua ini bertujuan agar pelayanan di
bidang kesehatan tidak menyalahi ketentuan hukum yang ber-
laku. Jadi jelasnya demi keamanan pelay.a.an di bidang kese-
hatan, baik untuk kepentingan dokter sebagai pemberi jasa (health
provider)
maupun untuk kepentingan pasien atau masyarakat
pada umumnya sebagai penerima jasa medik.
Selama ini pengetahuan Hukum Kedokteran/Hukum Kese-
hatan tidak pernah diberikan secara formal di Fakultas Ke-
dokteran karena sampai sekarang memang belum masuk dalam
kurikulum pendidikan di fakultas kedokteian negeri. Tetapi kini
kalangan kesehatan mulai menyadari bahwa dokter dan petugas
lain di bidang kesehatan perlu pula memahami dan menguasai
pengetahuan ini.
Untuk itu pulalah kami pada kesempatan ini yaitu dalam
menyongsong dan merayakan Hari Ulkang Tahun Fakultas
KedokteranUSU Medan mengemukakan tulisan di bidang hukum
Kesehatan.
STAR TREK
Kami mencoba membandingkan Hukum Kesehatan dengan
penjelajahan ruang angkasa yang pada zaman sekarang kita
anggap the new frontier.
Penjelajahan ke ruang angkasa bukan jalan pikiran orang
sekarang saja, dari zaman dahulu pikiran untuk menjelajahi
ruang angkasa sudah dipunyai oleh manusia, demikian pula
dengan Hukum Kesehatan. Aturan pelayanan di bidang ke-
sehatan ini diterapkan untuk melayani orang-orang yang me-
merlukan bantuan. Tidak mungkin kalangan kesehatan berbuat
sesukanya tanpa ada peraturan yang disepakati olch kedua belah
pihak, yaitu kalangan health provider
(para pelayan di bidang
kesehatan) dengan pemakai jasa di bidang kesehatan (pasien).
2 2 Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992
Dalam hukum tcrtua
yang terkodefikasi dinyatakan bahwa
Raja Hamurabi (1728 1689 SM) dari Babylonia tclah mcngc-
luarkan Code dimana terdapat ketentuan yang berbunyi : "if the
doct or performs a major operation or cure a sick eye, he shall
receive ten shekels of silver. If the patient is freed man, he shall
pay five shekels. If he is a slave, then his master shall pay two
shek els on his behalf But if the patient lost his life or an eye in an
operat ion, then the doctor's hands were cut offIf the patient was
a slave, t he doct or was only bound to make good the loss by
get t ing the owner a new slave".
Di India pads kurun waktu yang lebih kurang bcrsamaan ada
ketentuan :
1) Umur minimal untuk dapat dikawinkan bagi scorang wanita
adalah 12 tahun.
2) Lamanya kehamilan bcrkisar antara 9 12 bulan haid
dengan rata-rata 10 bulan.
THE NEWFRONTIER
Untuk membuktikan Hukum Kesehatan adalah pengetahu-
an yang relatif baru, dapat ditanya kepada diri kita sendiri,
seberapa jauh masing-masing kita tclah memahami Hukum Ke-
sehatan ini. Untuk sebagian besar kita, istilah Hukum Kesehatan
(Health Law) atau Hukum Kedokteran (Medical Law) sampai
beberapa tahun yang lalu masih kedengaran anch. Selama ini
kita hanya tahu dengan Ilmu Kedokteran Kehakiman (Forensic
Medicine).
Ali Said SH, Ketua Mahkamah Agung pernah mcnulis
bahwa Hukum Kedokteran/Kesehatan merupakan cabang Ilmu
Hukum yang relatif masih muds usia. Sebetiulnya bukan Indo-
nesia saja yang menganggap Hukum Kesehatan dan Hukum Ke-
dokteran ini baru. Kebangkitan Hukum Kedokteran terjadi se-
telah diadakan Kongres Dunia tentang Hukum Kedokteran di
Ghent (Belgia) tahun 1967. Bidang ini kemudian berkembang
pesat di Negeri Belanda dan Eropa pads umumnya, bcgitu juga
di negara maju lainnya.
Banyak alasan mengapa bidang ini berkembang dengan
pesat. Dua di antaranya yang pokok adalah : 1. makin me-
ningkatnya tuntutan di bidang pelayanan kesehatan, disertai de-
ngan berkembang dan majunya bidang pengobatan dan diagnos-
tik yang kebanyakan menggunakan alat-alat canggih yang tidak
dikenal selama ini; dan 2. kesadaran hukum masyarakat juga
semakin men ingkat. Tuntutan alas kegagalan pelayanan di bidang
kesehatan kini bukan hal yang jarang terjadi.
Banyak pelayanan bidang kesehatan yang merupakan hal
yang baru sama sekali dan memerlukan aturan dan dukungan di
bidang hukum. Beberapa contoh misalnya tentang transplantasi
organ tubuh manusia seperti jantung, paru, ginjal, hati dan lain-
lain, perkembangan pengertian mati, mati otak atau mati batang
otak, bayi tabung, sewa rahim, ganti kelamin, rckayasa genetika,
transfer embrio, operasi plastik dan lain-lain.
Masalahnya adalah se jauh mana kita harus mendalami hukum
kesehatan agar tidak ketinggalan dalam perkembangan di dunia
kedokteran. Mungkin tidak semua topik di dalam bidang hukum
kesehatan harus kita pahami. Tempi ada beberapa topik dan
masalah yang harus kita ketahui dan pahami dari sekarang.
PERKEMBANGAN HUKUMKESEHATAN DI INDO-
NESIA
Kehadiran Hukum Kedokteran dan Hukum Kesehatan di
Indonesia dimulai sejak awal tahun 80 an, dimana beberapa
tokoh kesehatan dan hukum yang mengikuti World Congress of
Health Law di Ghent tahun 1982, tergerak untuk mengem-
bangkan bidang ini di Indonesia. Pada awalnya dibentuk Kelom-
pok Studi untuk Hukum Kedoktcran di Universitas Indonesia;
selanjutnya berkembang menjadi sebuah organisasi bernama
Perhimpunan untuk Hukum Kedokteran tahun 1983 di Jakarta.
Pada kongres pertama organisasi ini pads tahun 1987 alas
petunjuk dan saran dari Menteri Kehakiman dan Dirjen Depar-
temen Kesehatan pada saat itu, organisasi ini dikembangkan dari
yang semula bergerak dalam pengembangan Hukum Kedokteran
(Medical Law) menjadi lebih luas meliputi Hukum Kesehatan
(Health Law). Dalam pengertian ini Hukum Kedokteran menjadi
bagian dari Hukum Kesehatan.
Hukum Kesehatan mencakup semua ketentuan hukum yang
langsung berhubungan dengan pemeliharaan kesehatan (health
care) sedangkan Hukum Kedokteran adalah semua ketentuan-
ketentuan hukum yang berhubungan dengan bidang medik.
Prof. DR. Rang, salah seorang pakar hukum kesehatan di Negeri
Belanda mengatakan : hukum kesehatan adalah semua aturan-
aturan hukum dan hubungan-hubungan kedudukan hukum yang
langsung berkembang dengan atau yang menentukan situasi
kesehatan di dalam mana manusia berada.
Sejak itu organisasi ini disebut Perhimpunan Hukum Kese-
hatan Indonesia dengan kependekan tetap seperti semula yaitu
PERHUKI. Organisasi ini dengan cepat mengembangkan sa-
yapnya ke berbagai daerah di Indonesia. Pada waktu ini organi-
sasi ini telah mempunyai perwakilan di banyak daerah Tingkat I
di Indonesia. PERHUKI Wilayah Sumatera Utara sampai kini
telah mengadakan 8 kali Temu Ilmiah membicarakan dan
mengupas berbagai topik dalam hukum kesehatan dengan
mengundang pembicara tamu atau pakar dalam bidang ini dari
Pusat maupun dari Luar Negeri. Temyata minat dari kalangan
kesehatan dan hukum dalam bidang ini mendapat tempat yang
baik.
PENUTUP
Pengetahuan ini dengan cepat berkembang; dapat dilihat
dari mulainya bidang ini diajarkan secara formal dalam kuriku-
lum pendidikan di Fakultas Kedokteran maupun di Fakultas Hu-
kum. Dalam beberapa tahun terakhir ini beberapa topik yang di-
anggap perlu telah pula diberikan kepada mahasiswa Fakultas
Kedokteran USU yang dikaitkan dalam mata kuliah Kedokteran
Foreksik. Sejak tahun 1991, di Fakultas Kedokteran swasta
(UISU Medan) secara resmi tercantum dalam kurikulum pen-
didikan sebagai mata kuliah pilihan.
Di Fakultas Hukum USU Medan, walaupun belum diberi-
kan mata kuliah Hukum Kesehatan, tetapi telah banyak tulisan
akhir (skripsi) yang dibuat oleh mahasiswa dengan topik-topik
yang berkaitan dengan Hukum Kesehatan. Fred Ameln dalam
buku Kapita Selecta Hukum Kedokteran mencantumkan Hukum
Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992
23
Kedokteran/Hukum Kesehatan telah diberikan secara resmi di
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Fakultas Hukum Uni-
versitas Katholik Parahyangan Bandung dan di Fakultas Ke-
dokteran Universitas Trisakti. Pada saat ini mungkin beberapa
Fakultas Kedokteran Swasta yang lain juga telah mulai men-
cantumkan Hukum Kesehatan/Hukum Kedokteran sebagai salah
satu mata kuliah.
Dengan demikian dapat dilihat bahwa kalangan kedokteran
dan hukum sudah menyadari pengetahuan ini sudah saatnya
dikembangkan atau dikuasai semua pihak yang terkait agar
pelayanan di bidang kesehatan mendapat dukungan yang se-
imbang antara kemajuan di bidang kesehatan itu sendiri dengan
kemajuan dalam ketentuan-ketentuan dan peraturan-peraturan
hukum yang mengatur agar pelayanan kesehatan itu dapat ber-
jalan dengan baik, baik untuk kepentingan masyarakat yang
menggunakan jasa maupun bagi para pemberi pelayanan ke-
sehatan.
KEPUSTAKAAN
1.
Ameln F. Kapita Selekta Hukum Kedokteran. Grafikatama Jaya, 1991.
2.
Ameln F. Perkembangan Hukum Kedokteran di Indonesia, Naskah lengkap
Musyawarah Kerja Ikatan Dokter Indonesia XI. Medan, 1987.
3. HandokoTjondroputranto.PandanganKomparatifinengenaillmuKedokteran
Kehakiman dan Hukum Kedokteran. Pertemuan llmiah Hukum Kedokteran.
Medan, 1986. a
4.
Amri Amir. Organisasi dan kegiatan PERHUKI Wilayah Sumatera Utara.
Kursus Dasar Hukum Kesehatan Angkatan I. Medan, 1989.
2 4 Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992
Pengambilan dan Pengawetan
Barang Bukti untuk Pemeriksaan
Secara Laboratoris Kriminalistik
Letkol POI P. Emma Sitompul, SH.
Kepala Laboratorium Kriminal Kepolisian RI Cabang Medan
DAHULUAN
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah
yebabkan perubahan social dalam masyarakat dengan
implikasinya, baik positif maupun negatif. Modemisasi
membuka alam pikiran manusia dengan meningkatnya
lektualitas dan kesadaran hukum masyarakat. Dampak
atif dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
but antara lain adalah meningkatnya kejahatan yang
i dengan munculnya modus operandi yang mengguna-
teknologi baru.
Secara umum kecenderungan peningkatan kejahatan ini
dilihat dari segi kualitas dan kuantitas kejahatan yang
inkan pads mobilitas kejahatan, ruang gerak, sasaran
pun pengorganisasiannya. Kedua fenomena di atas akan
pakan tantangan dal am upayapenegakan hukum, khususnya
sistim deteksi dan pembuktian tindak pidana. Tantangan
hanya mungkin dapat dijawab dengan penggunaan ilmu
getahuan dan teknologi dalam penyidikan kasus tindak pi-
Barang bukti mati (physical evidence) pads hakekatnya
saksi diam yang selalu ada dalam setiap tindak pidana
terjadi dan saksi diam ini sebenamya adalah saksi
rig paling jujur. Peranan barang bukti dalam tindak pidana
dapat diketahui dengan pasti sebagai alat kejahatan,
yek kejahatan dan sebagai petunjuk setelah terjadinya suatu
atan, oleh sebab itu pengambilan dan pengawetan barang
yang benar akan mempermudah pemeriksaan barang bukti
sebut dan tidak akan menimbulkan kesulitan yang
mpengaruhi penyidikan lebih lanjut.
PENGAMBILAN DAN PENGAWETAN BARANG BUKTI
Pengambilan dan pengawetan barang bukti dalam kasus
yang berbeda akan memerlukan teknik atau cara yang berbeda
pula. Ada beberapa cara pengambilan dan pengawetan barang
bukti yaitu :
I) Pengambilan dan pengawetan barang bukti darah.
A. Barang bukti yang diperlukan :
1) Darah yang berasal dari sikorban, kemudian didapatkan
pada :
-
Pakaian/diri sikorban
-
Pakaian/diri sipelaku
-
Di tempat kejadian
-
Senjata/alat yang dipergunakan
2)
Darah yang berasal dari sipelaku/penjahat mungkin ditemu-
kan seperti pada ad. 1.
3) Keterangan/Laporan Polisi
Keadaan darah sikorban di tempat kejadian dapat
dipergunakan dalam memberikan interpretasi, informasi dan
rekonstruksi mengenai jalannya peristiwa. Keterangan-keterangan
itu meliputi :

Pemancaran/mengalirnya darah.
-
Bentuk-bentuk tetesan darah.
-
Area/luas darah yang menempel baik pada sikorban dan
pakaiannya ataupun pads sitersangka.
B.
Pengambilan barang bukti darah.
Darah pada diri dan pakaian korban dari peristiwa
pembunuhan, serangan ataupun kejahatan lainnya dengan
kekerasan fisik, biasanya adalah darah sikorban sendiri.
1)
Pengambilan darah yang berada di tempat yang tidak mungkin
Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80,1 992 25
dibongkar/diangkat, diusahakan dengan mengerik bagian yang
akan diambil dengan alat yang bersih.
2) Darah yang melekat pads pakaian.
-
Cegah pakaian tersebut dari kontaminasi.

Jika perlu dipotong hindarkan pemotongan pads bekas


tembusan peluru, pilau atau benda lainnya.
C.
Pengawetan Barang Bukti Darah.
1) Noda darah yang masih basah pada pakaian atau pada benda-
benda basah yang bernoda darah dapat dibiarkan mengering dan
jangan dijemur dengan sinar matahari.
2) Noda darah yang sudah kering tidak perlu dilarutkan
dengan zat/larutan tertentu.
II. Pengambilan dan pengawetan barang bukti pads kasus tindak
pidana yang mempergunakan Senjata Api.
A. Barang bukti yang diperlukan
1) Senjata Api
2) Anak Peluru
3) Selongsong Peluru
4) Mesiu
5) Peluru
6) Pecahan logam yang diperlukan ada hubungannya dengan
senjata api
B. Pengambilan Barang Bukti pada senjata api.
1) Senjata Api
a) Pada senjata api mungkin ditemukan sidik jari dari orang
yang menggunakan senjata tersebut.
Memungut senjata api di TKP jangan ceroboh, harus hati-
hati dan jangan sampai merusak/menghilangkan sidik jari terse-
but atau menambah sidik jari.
b)
Pada ujung laras senjata api mungkin didapati sisa-sisa
mesiu, darah, sobekan kain ataupun kulit/rambut/daging, maka
hams dijaga jangan sampai rusak/hilang atau ujung larasnya
kemasukan kotoran-kotoran lain.
2) Anak Peluru
Anak peluru bukti mungkin didapatkan di tubuh korban
atau di sekitar TKP. Anak peluru yang ditemukan jangan sampai
mengalami perubahan. Anak peluru diambil dengan mengguna-
kan telunjuk dan ujung ibu jari memegang pada kedua ujung
anak peluru tersebut, jangan pada badannya.
3) Selongsong Peluru
Selongsong peluru yang ditemukan jangan sampai mengalami
perubahan terutama pads bahagian
dasar (pantatnya).
4) Mesiu
Sisa mesiu yang ditemukan sangat besar artinya terutama
dalam peristiwa pembunuhan atau bunuh diri. Mesiu yang
ditemukan diambil dengan cara memberikan parafin pada tangan
atau dengan menggunakan asam nitrat 5%.
5) Peluru
Peluru mungkin didapatkan karena peluru tersebut belum
dipakai. Peluru yang ditemukan di pistol tidak perlu dikeluarkan.
6) Pecahan logam
Pecahan logam yang diambil, kasus yang ada hubungannya
dengan senjata api, atau peluru.
C. Pengambilan Barang Bukti pada kasus senjata api.
1) Senjata Api
Untuk mengawetkan sidik jari pada senjata api, ikatkanlah
senjata api tersebut pada sehelai karton tebal dan benang.
Untuk mengawetkan sisa mesiu pada ujung laras, tutuplah
laras dengan kain atau kertas dan diikat dengan tali, kain atau
kertas tersebut jangan dimasukkan ke dalam lubang laras.
2) Anak peluru dan selongsong peluru, pecahan logam
Untuk pengawetan anak peluru, selongsong dan pecahan
logam yang ditemukan, maka pisahkan masing-masing barang
bukti tersebut dan masukkan ke dalam kotak yang telah dilapisi
kapas.
3) Mesiu
Mesiu yang telah diambil dengan menggunakan parafin dan
asam nitrat dimasukkan dalam kantong plastik dan kemudian
dibungkus.
4) Peluru
Peluru yang ditemukan di dalam senjata tidak perlu
dikeluarkan. Untuk senjata api berisi peluru, selongsong peluru
dan peluru yang tidak meledak. Berilah tanda peluru, selongsong
peluru sesuai dengan kamar silinder yang telah diberi nomor dan
pemberian nomor tersebut berlawanan dengan arah putaran
silinder.
III. Pengambilan dan Pengawetan Barang Bukti pada Kasus
Keracunan.
A. Barang Bukti yang diperlukan
Sebelum mencari dan mengumpulkan barang bukti di tempat
kejadian, usahakanlah terlebih dahulu mengetahui urutan-urutan
perisitiwanya.
-
Waktu terjadinya
-
Jarak waktu antara makan/minum dengan mulai timbulnya
gejala kelainan pads sikorban
-
Gejala itu sendiri
-
Usaha apa yang telah dilakukan pada sikorban.
Selanjutnya barn melangkah untuk mencari/mengumpulkan
barang bukti yang erat hubungannya dan peristiwanya yaitu :
1) Makanan/minuman yang dimakan/diminum koban
2) Muntahan korban
3) Isi lambung korban
4) Jaringan tubuh korban
B. Pengambilan Barang Bukti
Ambillah barang bukti yang benar-benar sangat erat
hubungannya dengan peristiwa yang telah diketahui. Kerjakan
semuanya dengan teliti dan seksama agar barang bukti tidak
ternodai keasliannya yaitu dengan cam :
1)
Tempatkan tiap-tiap jenis barang bukti dalam tempat yang
terpisah
2)
Hindarkan pemakaian botol/stoples bekas
C. Pengawetan Barang Bukti
Untuk menghindari rusaknya keaslian dari pads barang
bukti dibutuhkan pengawetan. Pengawet dipakai yaitu alkohol
95%.
2 6 Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80. 1992
IV. Pengambilan dan Pengawetan Barang Bukti Sperma.
A. Barang Bukti yang diperlukan
1) Noda-noda pada pakaian korban, sprei dan lain-lain.
2) Cairan yang dikeluarkan dari dalam vagina
B. Pengambilan Barang Bukti Sperma
Barang bukti cairan yang dikeluarkan dari dalam vagina
harus dilakukan dengan pertolongan dokter
C. Pengawetan Barang Bukti
Barang bukti yang mengandung noda-noda air mani dibiar-
kan kering di udara dan ditaruh di tempat yang bersih.
LAIN-LAIN
Barang bukti yang akan dikirim untukpemeriksaan sebaiknya
dibungkus atau dimasukkan dalam wadah tertentu, atau kotak
dan kemudian dibungkus dengan kertas serta diikat dengan tali
atau benang, kemudian diberi lak dan label barang bukti.
Pengiriman barang bukti untuk pemeriksaan diusahakan
dengan cepat dan rahasia atau sedapat mungkin dengan kurir.
Hambatan yang sering ditemukan pads pemeriksaan barang
bukti antar lain disebabkan oleh :
Barang Bukti yang dikirim telah mengalami perubahan/
terkontaminasi.
Pengambilan contoh Barang Bukti tidak mewakili
keseluruhan barang bukti.
-
Terjadinya pengurangan atau penambahan barang bukti.
KEPUSTAKAAN
1. Kirk L. P. Crime Investigation. 2nd Ed. Malabar, Florida; Robert E
Krieger Publ. co. 1985.
2. Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia. Buku Petunjuk Pengumpulan
Pengiriman dan Pengamanan Barang Bukti untuk Pemeriksaan Laboratoris
Kriminalistis. Jakarta, 1977.
Cermin Dunia Kedokieran, Edisi Khusus No. 80, 1992 2 7
Gawat Darurat Bedah
Akut Abdomen pada Alat
Pencernaan Orang Dewasa
S. Soewandi
Bagian Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan
Akut abdomen merupakan sebuah terminologi yang me-
nunjukkan adanya keadaan darurat dalam abdomen yang dapat
berakhir dengan kematian bila tidak ditanggulangi dengan
pembedahan.
Keadaan darurat dalam abdomen dapat disebabkan karena
perdarahan, peradangan, perforasi atau obstruksi pada alat pen-
cemaan. Peradangan bisa primer karena peradangan alat pencer-
naan seperti pada appendisitis atau sekunder melalui suatu pen-
cemaran peritoneum karena perforasi tukak lambung, perforasi
dari Payer's patch,pada typhus abdominalis atau perforasi akibat
trauma.
Pada akut abdomen, apapun penyebabnya, gejala utama
yang menonjol adalah nyeri akut pada daerah abdomen. Kadang-
kadang penyebab utama sudah jelas seperti pada trauma abdo-
men berupa vulnus abdominis penetrans namun kadang-kadang
diagnosis akut abdomen baru dapat ditegakkan setelah pemerik-
saan fisik serta pemeriksaan tambahan berupa pemeriksaan labo-
ratorium serta pemeriksaan radiologi yang lengkap dan masa
observasi yang ketat.
Ditinjau dari lokasi nyeri dapat dibuat tabel diagnosis ban-
ding (Tabel 1).
Nyeri abdomen dan perdarahan merupakan suatu malape-
taka yang sangat besar bagi seorang penderita yang menderita
akut abdomen alat pencernaan pada orang dewasa. Oleh karena
itu dokter yang memberikan pertolongan pertama harus me-
mastikan dengan segera 1. diagnosis kerja sementara, 2. meng-
ambil langkah-langkah untuk membuktikan kebenaran diagno-
sis dan 3. mengambil langkah-langkah penanggulangan yang
tepat selama pembuktian kebenaran diagnosis.
Untuk penegakan diagnosis diperlukan pengumpulan data
dengan mengadakan penelitian terhadap penderita melalui pe-
meriksaan fisik penderita secara sistematis yang dimulai dengan
anamnesis penderita ditambah dengan pemeriksaan tambahan
28 Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992
dan khusus. Bila penderita tidak sadar atau terlalu sakit bisa di-
lakukan anamnesa keluarga (allo-anamnesa).
Tabel 1. Diagnosis Banding Akut Abdomen
Anamnesis
Pada suatu penyakit bedah darurat anamnesis merupakan
pemeriksaan yang sangat panting. Bahan-bahan utama yang
dapat diperoleh melalui anamnesis yang memberikan informasi
sangat berharga pads proses penegakan diagnosis adalah :
A. Lokasi nyeri
Di atas telah diberikan daftar kemungkinan diagnosis ban-
dingdari penyakit-penyakit berdasarkan lokasi.
B. Radiasi perasaan nyeri
Kadang-kadang informasi mengenai cara penyebaran rasa
nyeri (radiasi perasaan nyeri) dapat memberikan petunjuk me-
ngenai asal-usul atau lokasi penyebab nyeri itu.
Nyeri yang berasal dari saluran empedu menjalar ke sam-
ping sampai bagian bawah scapula kanan. Nyeri karena appen-
dicitis dapat mulai dari daerah epigastrium untuk ketnudian ber-
pindah ke kwadran kanan bawah. Nyeri dari daerah rektum dapat
menetap di daerah punggung bawah.
C. Bentuk rasa nyeri
Nyeri pada akut abdomen dapat berbentuk nyeri terus-
menerus atau berupa kolik.
D.
Perubahan fisiologi alat pencernaan
1. Nafsu makan, mual, muntah
Defekasi teratur, mencret, obstipasi

Perut kembung, serangan kolik


4. Sudah berapa lama semua perubahan ini berlangsung
E. Perubahan anatomi
. Adanya benjolan neoplasma

Adanya luka akibat trauma

Adanya bekas operasi apa, bilamana.


Pemeriksaan fisik dilaksanakan dengan memeriksa dulu ke-
adaan umum penderita (status generalis) untuk evaluasi keadaan
sistim pemafasan, sistim kardiovaskuler dan sistim saraf yang
merupakan sistim vital untuk kelangsungan kehidupan.
Pemeriksaan keadaan lokal (status lokalis abdomen) pads
derita dilaksapakan secara sistematis dengan inspeksi, pal-
1, perkusi dan auskultasi. Tanda-tanda khusus pala akut
omen tergantung pada penyebabnya seperti trauma, pera-
gan, perforasi atau obstruksi.
Inspeksi
Tanda-tanda khusus pada trauma daerah abdomen adalah :
Penderita kesakitan. Pernafasan dangkal karena nyeri di
rah abdomen.
Penderita pucat, keringat dingin.
Bekas-bekas trauma pads dinding abdomen, memar, luka,
laps omentum atau usus.
Kadang-kadang pada trauma tumpul abdomen sukar di-
ukan tanda-tanda khusus, maka harus dilakukan pemeriksa-
berulang oleh dokter yang sama untuk mendeteksi kern ungkin-
terjadinya perubahan pada pemeriksaan fisik.
Pada ileus obstruksi terlihat distensi abdomen bila obstruksi
nya rendah, dan bila orangnya kurus kadang-kadang terlihat
talsis usus (Darm-steifung).
Keadaan nutrisi penderita.
B. Palpasi
a) Akut abdomen memberikan rangsangan pads peritoneum
melalui peradangan atau iritasi peritoneum secara lokal atau
umum tergantung dari luasnya daerah yang terkena iritasi.
b)
Palpasi akan menunjukkan 2 gejala :
1. Perasaan nyeri
2. Kejang otot (muscular rigidity, defense musculaire)
1. Perasaan nyeri
Perasaan nyeri yang memang sudah ada terus menerus
akan bertambah pads waktu palpasi sehingga dikenal gejala
nyeri tekan dan nyeri lepas. Pada peitonitis lokal akan timbul
rasa nyeri di daerah peradangan pads penekanan dinding abdo-
men di daerah lain.
2. Kejang otot (defense musculaire, muscular rigidity)
Kejang otot ditimbulkan karena rasa nyeri pads peritonitis
diffusa yang karena rangsangan palpasi bertambah sehingga
secara refleks terjadi kejang otot.
C. Perkusi
Perkusi pads akut abdomen dapat menunjukkan 2 hal.
1)
Perasaan nyeri oleh ketokan pads jari. Ini disebut sebagai
nyeri ketok.
2) Bunyi timpani karena meteorismus disebabkan distensi
usus yang berisikan gas pads ileus obstruksi rendah.
D. Auskultasi
Auskultasi tidak memberikan gejala karena pada akut abdo-
men terjadi perangsangan peritoneum yang secara refleks akan
mengakibatkan ileus paralitik.
E. Pemeriksaan rectal toucher atau perabaan rektum dengan
jari telunjuk juga merupakan pemeriksaan rutin untuk mende-
teksi adanya trauma pads rektum atau keadaan ampulla recti
apakah berisi faeces atau teraba tumor.
Setelah data-data pemeriksaan fisik terkumpul diperlukan
juga pemeriksaan tambahan berupa :
1. Pemeriksaan laboratorium
A) Pemeriksaan darah rutin
Pemeriksaan Hb diperlukan untuk base-line databila terjadi
perdarahan terus menerus. Demikian pula dengan pemeriksaan
hematokrit.
Pemeriksaan leukosit yang melebihi 20.000/mm tanpa ter-
dapatnya infeksi menunjukkan adanya perdarahan cukup banyak
terutama pads kemungkinan ruptura lienalis.
Serum amilase yang meninggi menunjukkan kemungkinan
adanya trauma pankreas atau perforasi usus halus. Kenaikan
transaminase menunjukkan kemungkinan trauma pads hepar.
B) Pemeriksaan urine rutin
Menunjukkan adanya trauma pads saluran kemih bila
dijumpai hematuri. Urine yang jernih belum dapat menyingkir-
kan adanya trauma pada saluran urogenital.
2. Pemeriksaan radiologi
A) Foto thoraks
Selalu harus diusahakan pembuatan foto thoraks dalam
posisi tegak untuk menyingkirkan adanya kelainan pada thoraks
atau trauma pads thoraks.
Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992 2 9
Hams juga diperhatikan adanya udara bebas di bawah
diafragma atau adanya gambaran usus dalam rongga thoraks
pada hernia diafragmatika.
B)
Plain abdomen foto tegak
Akan memperlihatkan udara bebas dalam rongga perito-
neum, udara bebas retroperitoneal dekat duodenum, corpus
alienum, perubahan gambaran usus.
C) IVP (Intravenous Pyelogram)
Karena alasan biaya biasanya hanya dimintakan bila ada
persangkaan trauma pada ginjal.
D) Pemeriksaan Ultrasonografi dan CT-scan
Bereuna sebagai pemeriksaan tambahan pada penderita
yang belum dioperasi dan disangsikan adanya trauma pada hepar
dan retroperitoneum.
3. Pemeriksaan khusus
A)
Abdominal paracentesis
Merupalcan pemeriksaan tambahan yang sangat berguna
untuk menentukan adanya perdarahan dalam rongga perito-
neum. Lebih dari 100.000 eritrosit/mm dalam larutan NaCl yang
keluar dari rongga peritoneum setelah dimasukkan 100200 ml
larutan NaCl 0.9% selama 5 menit, merupakan indikasi untuk
laparotomi.
B) Pemeriksaan laparoskopi
Dilaksanakan bila ada akut abdomen untuk mengetahui
langsung sumber penyebabnya.
C)
Bila dijumpai perdarahan dan anus perlu dilakukan rekto-
sigmoidoskopi.
D)
Pemasangan nasogastric tube (NGT) untuk memeriksa cair-
an yang keluar dari lambung pads trauma abdomen.
Dari data yang diperoleh melalui anamnesis, pemeriksaan
fisik, pemeriksaan tambahan dan pemeriksaan khusus dapat di-
adakan analisis data untuk memperoleh diagnosis kerja dan
masalah-masalah sampingan yang perlu diperhatikan. Dengan
demikian dapat ditentukan tujuan pengobatan bagi penderita dan
langkah-langkah yang diperlukan untuk mencapai tujuan peng-
obatan.
TUJUAN PENGOBATAN
Dapat dibagi dua :
1)
Penyelamatan jiwa penderita
2)
Meminimalisasi kemungkinanterjadinyacacaddalam fungsi
fisiologis alat pencemaan penderita.
Biasanya langkah-langkah itu terdiri dari :
1)
Tindakan penanggulangan darurat
A)
Berupa tindakan resusitasi untuk memperbaiki sistim per-
nafasan dan kardiovaskuler yang merupakan tindakan penyela-
matan jiwa penderita. Bila sistim vital penderita sudah stabil
dilakukan tindakan lanjutan berupa (B) dan (C).
B)
Restorasi keseimbangan cairan dan elektrolit.
C) Pencegahan infeksi dengan pemberian antibiotika.
2) Tindakan penanggulangan definitif
Tujuan pengobatan di sini adalah :
1)
Penyelamatan jiwa penderita dengan menghentikan sumber
perdarahan.
2)
Meminimalisasi cacad yang mungkin terjadi dengan cara :
30
Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992
a.
menghilangkan sumber kontaminasi.
b.
meminimalisasi kontaminasi yang telah terjadi dengan
membersihkan rongga peritoneum.
c.
mengembalikan kontinuitaspassage usus dan menyelamat-
kan sebanyak mungkin usus yang sehat untuk meminimalisasi
cacad fisiologis.
Tindakan untuk mencapai tujuan ini berupa operasi dengan
membuka rongga abdomen yang dinamakan laparotomi.
Laparotomi eksplorasi darurat
A) Tindakan sebelum operasi
1.
Keadaan umum sebelum operasi setelah resusitasi sedapat
mungkin harus stabil. Bila ini tidak mungkin tercapai karena
perdarahan yang sangat besar, dilaksanakan operasi langsung
untuk menghentikan sumber perdarahan.
2.
Pemasangan NGT (nasogastric
tube)
3. Pemasangan dauer-katheter
4.
Pemberian antibiotika secara parenteral pads penderita
dengan persangkaan perforasi usus, shock berat atau trauma
multipel.
5. Pemasangan
thorax-drain
pads penderita dengan fraktur
iga, haemothoraks atau pneumothoraks.
B) Insisi laparotomi untuk eksplorasi sebaiknya insisi median
atau para median panjang.
C) Langkah-langkah pada laparotomi darurat adalah :
1. Segera mengadakan eksplorasi untuk menemukan sumber
perdarahan.
2. Usaha menghentikan perdarahan secepat mungkin.
Bila perdarahan berasal dari organ padat penghentian per-
darahan dicapai dengan tampon abdomen untuk sementara.
Perdarahan dari arteri besar hams dihentikan dengan peng-
gunaan klem vaskuler.
Perdarahan dari vena besar dihentikan dengan penekanan
langsung.
3. Setelah perdarahan berhenti dengan tindakan darurat diberi-
kan kesempatan pads anestesi untuk memperbaiki volume darah.
4. Bila terdapat perforasi atau laserasi usus diadakan penutup-
an lubang perforasi atau reseksi usus dengan anastomosis.
5. Diadakan pembersihan rongga peritoneum dengan irigasi
larutan NaCl fisiologik.
6. Sebelum rongga peritoneum ditutup harus diadakan eksplo-
rasi sistematis dari seluruh organ dalam abdomen mulai dari
kanan atas sampai kiri bawah dengan memperhatikan daerah
retroperitoneal duodenum dan bursa omentalis.
7. Bila sudah ada kontaminasi rongga peritoneum digunakan
drain dan subkutis serta kutis dibiarkan terbuka.
KEPUSTAKAAN
1.
Baker RJ. Acute abdominal pain. Manual of Surgical Therapeutics. 5th ed.
Asian Ed. Boston: Little, Brown and Co, p. 97-110.
2.
Darin JC. Abdominal injury. Manual of Surgical Therapeutics. 5th ed. Asian
Ed. Boston: Little, Brown and Co, p. 26-32.
3.
Dennis C. Intestinal Obstruction. Shaftan & Gardner Quick Reference to
Surgical Emergencies. Lippincott. p. 201-206.
4.
Gleysteen JJ, Condon RE. Intestinal Obstruction.
Manual of Surgical
Therapeutics. 5th ed. Asian Ed. Boston: Little, Brown and Co, p. 117-135.
Trauma Wajah, Luka Bakar dan
Luka Avulsi
Buchari Kasim
Bagian Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik, Medan
PENDAHULUAN
Dalam gawat darurat bedah, kasus terutama saat ini adalah
lukaakibatkecelakaan. Di antara kasus-kasus kecelakaan, trauma
wajah, luka bakar dan luka avulsi merupakan kasus yang sehari-
dijumpai dalam pelayanan kesehatan dasar, namun jenis
luka
ini
mempunyai masalah yang dapat menimbulkan cacat
deformitas).
Sesuai dengan perkembangan ilmu bedah dan meningkat-
ya kebutuhan masyarakat, pengelolaan trauma pada daerah
ukaan luar tubuh ini seyogyanya mengikuti pola dasar
ngelolaan secara bedah plastik.
Penyegaran pengetahuan dalam pengelolaan ketiga jenis
ma ini yang setiap saat kemungkinan dijumpai dalam gawat
t bedah, diharapkan dapat dimanfaatkan dan diterapkan
am pelayanan kesehatan masyarakat di daerah yang semakin
eningkat kebutuhannya dan semakin maju.
JUAN PENGELOLAAN
Tujuan pengelQlaan luka wajah, luka bakar dan luka avulsi
am gawat darurat bedah, walaupun prioritas pertama me-
yelamatkan hidup
(life saving) penderita, tetapi tindakan yang
t
dan mantap pada awal kedaruratan akan sekaligus me-
elamatkan kehidupan (life saving) penderita di kemudian hari.
Pada masa dini kecelakaan, secara bedah plastik sudah di-
'
bangkan pengelolaan yang tepat agar dapat dihindari atau
urangi kemungkinan timbulnya cacat yang akan meng-
ggu mutu kehidupan penderita, Walaupun penderita disc-
titan dari mortalitas pads awal gawat darurat bedah, tetapi
kemudian mendapat morbiditas berupa cacat, akan
nggangu kenyamanan psikologik dan lingkungan sosial
idupannya seperti keluarga atau masyarakat sekitarnya.
Dalam tujuan pengelolaan ketiga jenis trauma ini, aspek
ososial penderita mutlak diperhatikan, apalagi dalam pela
-
yanan kebutuhan masyarakat yang semakin menuntut nilai-
nilai kesempurnaan dan kecanggihan.
TRAUMA
WAJAH
Tergantung besamya gaya kecelakaan dari luar, trauma
wajah sering bersamaan dengan cedera kepala (trauma capitis).
Jika prioritas pertama kedaruratan bedah yang mengancam
nyawa penderita sudah dapat disingkirkan, seperti gangguan
pernafasan dan perdarahan yang hebat, penanganan luka wajah
diarahkan kepada :
1. Luka jaringan lunak
(soft tissue wound).
Penanganan di sini bertujuan utama mengembalikan bentuk
dan penampilan wajah yang seminimal mungkin menimbulkan
cacat dan keluhan estetik.
2.
Luka jaringan keras, dikenal sebagai patah tulang rahang
wajah
(maxillofacial fracture).
Tujuan utama penanganan adalah mengembalikan fungsi
pengunyahan (mastikasi) di samping masalah estetik wajah.
Tergantung besarnya gaya, luka wajah dapat timbul sekali-
gus mengenai jaringan lunak dan jaringan keras.
Luka Jaringan Lunak
Penanganan luka wajah, sepanjang mengenai penjahitan
luka, masih dapat ditangguhkan kecuali dalam hal penderita atau
keluarga sangat cemas terhadap luka dan cacat wajah. Umumnya
luka masih dapat dijahit primer dalam waktu 2436 jam, meng-
ingat pendarahan di wajah cukup baik dan proses penyembuhan
luka wajah lebih cepat.
Setiap luka wajah diperlakukan secara eksklusif dan indi-
viduil. Penjahitan dan penempatan garis luka, kadang-kadang
memerlukan daya kreasi dari dokter dalam menyesuaikan de-
ngan garis keserasian wajah. Walaupun luka relatif kecil, tetapi
jika terletak pads daerah strategis seperti kelopak mata, hidung,
bibir, dahi dan pipi akan sangat mempengaruhi penampilan dan
Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992 31
keserasian komposisi wajah di kemudian hari.
Beberapa pegangan
dacar bedah plastik dapat digunakan
dalam menangani luka wajah :
-
Asepsis.
Debridement,
bersihkan seluruh kotoran dan benda asing.
-
Hemostasis, sedemikian rupa sehingga setetes darahpun
tidak bersisa sesudah dijahit.

Hemat jaringan, hanya jaringan yang nekrosis saja yang


boleh dieksisi dari pinggir luka.

Atraumatik, seluruh tindakan bedah dengan cara dan bahan


atraumatik.

Approksimasi, penjahitan kedua belah sisi pinggir luka


secara tepat dan teliti.
Non tensi, tidak boleh ada tegangan dan tarikan pinggir luka
sesudah dijahit. Benang hanya berfungsi pemegang.
Eksposur; luka sesudah dijahit sebaiknya dibiarkan terbuka
karena penyembuhan dan perawatan luka lebih balk, kecuali
ditakutkan ada perdarahan di bawah luka yang harus ditekan
(pressure).
Jahitan luka wajah dibuka hari ke lima, sedangkan pada
kelopak mata hari ke tiga; bila lebih lama timbul
stitching mark.
Umumnya luka wajah dianggap sembuh, sesudah proses
jaringan parut matang, minimal 6 bulan. Tarikan pinggir luka
masih berlangsung 34 minggu. Luka yang sudah di jahit sesudah
masa jahitan primer atau luka yang sudah sembuh tetapi me-
merlukan revisi sekunder secara bedah plastik sebaiknya dalam
masa minimal 6 bulan, sesudah evaluasi matangnya parut.
Patah Tulang Rahang Wajah
Adanya daya yang lebih hebat menyebabkan cedera tulang
kepala dan/atau fraktur maxillo facial. Khusus fraktur
maxillo
facial dapat diketahui dengan pemeriksaan raba kontinuitas,
simetri dan gerakan oklusi rongga mulut.
Bantuan pemeriksaan rontgenologik, terutama dengan po-
sisi Waters (mento-occipital
'
s view)
dapat mengkonfirmasi ada-
nya patch tulang rahang wajah.
Tindakan bedah masih dapat dilakukan dalam masa 510
hari sesudah edema wajah menyurut, sampai 34 minggu tim-
bulnya callus.
Prinsip tindakan operasi adalah reposisi melalui sayatan ter-
batas pada wajah dan fiksasi seperti intermaxillary wiring atau
mini plate.
LUKA BAKAR
Dalam klinis luka bakar yang serius adalah :
1. Luka bakar luas 20 80%.
2. Luka bakar listrik, kimiawi dan inhalasi.
3. Luka bakar mengenai daerah strategis : tangan, wajah,
daerah sekitar persendian/gerak tubuh, perineum, tap
p
k kaki dan
payudara.
Penanganan luka bakar secara bedah plastik meliputi tiga
masalah :
1)
Tindakan resusitasi gawat darurat untuk menyelamatkan
nyawa penderita.
2)
Pengobatan luka setempat untuk menghindari infeksi sekun-
32
Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992
der dan mempercepat penyembuhan dengan skin grafting
serta
mengurangi cacat di kemudian hari.
3)
Penilaian psikologikpenderitadankeluargadenganprakiraan
mengenai mortalitas dan morbiditas.
DIAGNOSIS
Menegakkan diagnosis luka bakar pada hakekatnya meng-
adakan penilaian beratnya luka bakar, apakah luka bakar tersebut
ringan, sedang dan berat.
Penilaian beratnya akan menentukan apakah penderita :
a.
Cukup berobat jalan.
b.
Perlu rawat nginap biasa.
c.
Perlu rawat nginap dengan penanganan lebih serius dan
dirujuk.
Penilaian ini tergantung dari beberapa faktor :
1. Luas.
2. Dalam.
3.
Lokalisasi.
4. Penyebab.
5. Usia.
6.
Adanya trauma ikutan atau penyakit lain.
7. Lamanya kejadian.
1) Taksiran luas
Taksiran secara kasar dapat berdasarkan "aturan sembilan",
namun untuk lebih teliti digunakan semacam formulir yang siap
diisi dari
Lund-Browder chart.
2) Penentuan dalam
Tergantung penyebab dan lamanya kontak, dari dalamnya
luka bakar dapat direncanakan pengobatan setempat dan progno-
sis morbiditas :
Tingkat I : Superficial burn; akan sembuh dengan epitelisasi
walau tanpa tindakan khusus. Sembuh dalam masa 7 10 hari.
Tingkat II :
a)
Superficial partial thickness burn, akan sembuh seperti
tingkat I melalui epitelisasi dalam masa 24 minggu dengan obat
topikal.
b) Deep partial thickness burn,
akan sembuh melalui jaringan
granulasi. Jika terletak pada daerah strategis dipersiapkan segera
untuk skin grafting
dalam masa 1 2 minggu. Membiarkan luka
granulasi sembuh berlama-lama, akan menimbulkan keloid dan
kontraktur.
Tingkat III : Full thickness burn;
penyembuhan melalui
jaringan granulasi dan epitelisasi hanya berasal dari pinggir luka.
Untuk luka bakar ini mutlak dipersiapkan
skin grafting sesegera
mungkin.
Jaringan granulasi yang dibiarkan sembuh sendiri dengan
epitilisasi yang lama akan menimbulkan jaringan parut hiper-
trofik/keloid dan pada daerah persendian akan timbul kontraktur.
Hal ini dapat dihindari bila dalam masa 1 2 minggu luka bakar
dilakukan skin grafting.
3) Lokalisasi
Dari lokalisasi dapat ditaksir kecenderungan penyulit dari
cacat di kemudian hari.
Jika mengenai daerah kritis dan strategis, walaupun luas
relatif kecil perlu dipikirkan kemungkinan memerlukan
skin
grafting secara dini.
Luka bakar daerah leher dan wajah dalam masa gawat
darurat dapat menimbulkan edema tenggorokan.
4) Penyebab
Dari anamnesis penyebab dapatdiperkirakan dalamnya luka
bakar. Penyebab uap panas dan nyala seperti pakaian terbakar,
cairan panas; tergantung dari lamanya kontak dan temperatur-
nya biasanya tingkat I dan II. Langsung kena api dapat sampai
tingkat II.
Inhalasi uap panas pada bencana kebakaran dapat menye-
babkan gangguan jalan pernafasan.
Luka bakar listrik dan kimiawi selalu tingkat III dan hampir
mutlak memerlukan tindakan operatif.
5) Usia
Hati-hati pada usia di bawah 3 tahun dan di alas 60 tahun.
Pada anak-anak luka bakar mempunyai masalah tersendiri baik
dalam taksiran luas dan pemberian cairan maupun tentang
kemungkinan cacat pads usia pertumbuhan. Pada usia lanjut
diperhatikan penyakit ikutan lainnya dan masalah resusitasi
cairan dalam gawat darurat harus lebih teliti.
Dari usia dan luas luka bakar, dapat ditaksir mortalitas
penderita.
6) Adanya Trauma atau Penyakit Lain
Adanya trauma lain dan penyakit lain akan memberatkan
penderita luka bakar.
7) Lamanya Kejadian
Lamanya antara kejadian dan penanganan sangat penting
dalam penghitungan resusitasi cairan yang harus diberikan dalam
24 jam pertama.
PENANGANAN LUKA BAKAR
1) Secara Umum
a) Resusitasi gangguan pernapasan oleh inhalasi, edema jalan
pemafasan atau syok.
b) Resusitasi cairan pada penderita dengan luas luka bakar
lebih 20% atau menunjukkan gejala syok.
Pemberian cairan secara praktis dapat menggunakan For-
mula Parkland Hospital; 24 jam pertama diberikan dalam tiga
porsi larutan Ringer Laktat sejumlah : 4 mlBerat Badan/prosen-
tasi luas.
Dapat juga menurut Aturan Evans.
c) Mempertahankansirkulasi perifer, terutama pads l uka daerah
Langan dan kaki. Kedua tungkai dianjurkan lebih tinggi. Jika
sirkulasi perifer terganggu mungkin dilakukan : Escharatomi.
d) Pemberian analgesik, pencegahan tetanus dan pemberian
antibiotika.
2) Pengobatan Luka Setempat
a) Debridement luka, gelembung tingkat II jangan dipecah.
b) Pengolesan obat topikal yang mengandung antibakterial
4seperti silver sulfadiazine atau larutan 0,5% Ag-Nitrat; peng -
obatan dapat terbuka atau tertutup.
c) Perawatan hidroterapi, mempercepat timbulnya jaringan
granulasi.
d) Skin grafting.
Perlu dipertimbangkan saat yang tepat untuk melakukan
skin grafting guna menghindari/mengurangi timbulnya cacat
dan kontraktur yang sangat mengganggu kehidupan penderita.
Memperbaiki cacat hebat di kemudian, jauh lebih sulit dan ku-
rang efisien dibandingkan melakukan pads saat langsung se-
sudah keadaan gawat darurat diatasi.
Perkiraan Mortalitas dan Morbiditas
Pada saat-saat pertama penderita atau keluarga mengalami
gangguan psikologik tentang mortalitasdan morbiditas. Keluhan
ini sangat tergantung dari keadaan sosial individu. Di samping
prognosis yang buruk untuk luas luka bakar di alas 75%, persen-
tase keselamatan penderita berdasar usia dan luas dapat dihitung
sebagai berikut :
100 (usia + luas)
Formula ini hanya berlaku untuk penderita usia di atas 10
tahun.
Kemungkinan cacat dan morbiditas dapat diperkirakan
pada luka bakar listrik dan kimiawi, luka bakar tingkat III lainnya
atau luka bakar yang mengenai daerah strategis tubuh, terutama
sekitar persendian, walaupun luasnya relatif kecil. Untuk meng-
hindarkan morbiditas yang berat ini dilakukan tindakan mem-
percepatpenyembuhan luka sedini mungkin secara bedah plastik
menggunakan skin grafting atauflap.
Rekonstruksi sesudah timbulnya penyulit seperti keloid dan
kontraktur secara teknologi canggihpun merupakanoperasi yang
rumit dan menimbulkan ketidakpuasan penderita atau keluarga.
LUKA AVULSI
Dengan meningkatnya mobilitas kendaraan bermotor dan
mesin industri, pada kecelakaan sering timbul luka avulsi pada
permukaan luar tubuh. Luka avulsi adalah terangkatnya jaringan
lunak lapisan yang lebih dalam sehingga jaringan yang terangkat
tersebut mengalami devitalisasi dan tidak
viable untuk dijahitkan
kembali.
Kasus yang sering dijumpai adalah luka avulsi kulit kepala
akibat putaran mesin yang menyangkut rambut atau kecelakaan
pada daerah cruris sehingga tampak tulang (bone expose).
Tindakan gawat daruratnya adalah menghentikan penda-
rahan dan menutup bagian yang terluka; secara permanen mem-
butuhkan skin grafting untuk menutup luka avulsi,flap kulitatau
flap otot pada bagian bone expose.
PENUTUP
Telah dibicarakan pengelolaan kasus-kasus gawat darurat
bedah oleh kecelakaan sehari-hari yang menimbulkan trauma
wajah, luka bakar dan luka avulsi.
Dalam pengelolaan ketiga jenis kasus ini, secara bedah
plastik dipertimbangkan sekaligus di samping untuk menyela-
matkan nyawa penderita; pads saat yang
tepat dan dini diper-
Cermin Dunia Kedok t eran, Edisi Khusus No. 80, 1992 33
siapkan tindakan yang bcrupaya mengurangi dan kalau perlu
menghindari sedapat mungkin timbulnya cacat penampilan tu-
buh yang dapat mengganggu mutu kehidupan penderita di
kemudian hari.
KEPUSTAKAAN
1.
Barret BM. Manual of Patient Care in Plastic Surgery. Boston: Little-Brown,
1982.
2.
Cook J, Sankaram B, Wasuna AE. General Surgery at the Distric Hospital.
Geneva: WI1O & New Delhi: Yaypee Brothers, 1989.
3.
Goldin J11. Plastic Surgery. Pocket Consultant. Oxford: Blackwell Scient
Puhl, 1987.
4.
Goodman A. Soft Tissue Injuries to the Face. In: Papel ID, Nachlas NE (Ed).
Facial Plastic and Reconstructive Surgery. St. Louis: Mosby Year Book,
1982; pp. 449-459.
5.
Kasim B. Rekonstruksi trauma wajah. Simposium Trauma Muka PIT III
IKABI, Semarang, 1985.
6.
Najarian JS, Delaney JO. Emergency Surgery. Trauma-Shock-Sepsis-Burn.
Chicago: Year Book Medical Publ, 1983.
7.
Oluweasanmi JO. Plastic Surgery in the Tropics. London: Maxmillan Inter-
national College Edition, 1979.
8.
Willital CH. Chirurgische Erstversorgung. Muenchen: Urban-Schwarzen-
berg, 1982.
r
o \ <
0
n
.)*o
-
u
)
-
-
-
IT1 pU 11C)
34
Cermin Dunia Kedokieran, Edisi Khusus No. 80, 1992
Harry Soedjatmiko
Sub Bagian Bedah Toraks, Bagian Ilmu Bedah
Fakutas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan
NDAHULUAN
Dengan semakin meningkatnya teknologi dan industri di
gara kita terutama kendaraan bermotor serta peningkatan
inalitas,
maka akan meningkat pula angka kejadian dari
ma toraks. Di Amerika Serikat, penderita trauma secara
uruhan mendekati 70 juta jiwa setiap tahunnya dengan
nghabiskandanakira-kira
100 milyar dolar setahun, dan 1 dari
kematian oleh trauma disebabkan oleh truma toraks
m
. Schulpen
mengemukakan jumlah terbanyak penderita trauma adalah
golongan umur 16 - 25 tahun dengan angka kematian 35%
da yang disertai dengan trauma toraks dan 18% tanpa
uma toraks(
2)
,
sedang Glinz W mendapatkan pendeeita
uma tumpul toraks bersamaan dengan trauma lainnya,
to 51% dengan trauma kapitis, 20% dengan trauma ab-
en, 38% dengan fraktur ekstremitas, 12% dengan fraktur
silo-fasial, 13% dengan fraktur pelvis dan 6% dengan
tur tulang belakang
m
Pneumotoraks, hemotoraks, pneumo-mediastinum dan emfis-
subkutis merupakan manifestasi klinik yang paling sering
pati pada penderita-penderita dengan trauma toraks
@)
. Pada
man ganda sering terjadi adanya truma toraks, dan truma
s harus ditangani secepatnya karena dapat menyebabkan
ksi
otak dan jantung yang berakibat fatal. Dalam penata-
naan trauma harus selalu diingat ABC yaitu airway, breath-
dan circulation, agar kemungkinan adanya truma toraks
terlupakan. Juga penting sekal i dilakukan pengamatan yang
at terhadap fungsi kardiovaskuler.
MBAGIAN TRUMA TORAKS
msc,'s>
.
Truma dinding toraks,
fraktur iga dan sternum
flail chest
emfisema subkutis
II. Kelainan pada rongga pleura,
1. pneumotoraks
2. hemotoraks
III. Cedera jaringan paru,
trumatic wet lung
IV. Kerusakan pada mediastinum,
1. ruptura trakea dan bronkus utama
2. ruptura esofagus
3. truma pada jantung
4.
ruptura aorta
V.
Hernia diafragma traumatika
FRAKTUR IGA DAN STERNUM
Manifestasi klinis cedera dinding dada ini tergantung dari
akibatnya terhadap fungsi respirasi dan kardiovaskuler; fraktur
tulang iga sederhana yang dialami oleh penderita truma toraks
dengan penurunan faal paru mungkin akan mengakibatkan
gangguan fungsi respirasi dan kardiovaskuler yang cukup
berat.
Fraktur iga dan sternum sering merupakan akibat dari
truma tumpul toraks, dapat dijumpai mulai dari fraktur jenis
sederhana (greenstick, simple, isolated) hingga fraktur iga
jamak
(multiple
o.
')
.
BorrieJ
)
membuat pembagian fraktur iga men-
jadi :
a) Simple (isolated),
merupakan fraktur iga tanpa kerusakan
yang berarti dari jaringan lainnya.
b) Compound,
truma menembus kulit dan merobek pleura
parietalis di bawahnya yang disertai fraktur iga.
c) Complicated,
fragmen dari fraktur iga menyebabkan
cedera organ visera.
d) Pahtologic,
neoplasma atau kista tulang iga sebagai pe-
nyebab dari fraktur iga.
Ketnungkinan terjadinya cedera paru lebih besar path pen-
derita anak-anak dan dewasa muda karena iga masih lentur
Cermin Dunia Kedok t eran, Edisi Khusus No. 80, 1992 35
hingga dibutuhkan trauma yang lebih kuat untuk menyebabkan
terjadinya pada fraktur iga
(6)
.
Bila terdapat graktur iga 1 dan 2
pada hemitoraks kiri dan pada foto toraks PA didapati pelebaran
mediastinum, dianjutkan secepatnya melakukan aortografi olch
karcna mungkin tclah terjadi ruptura aorta(''.
Letak fraktur iga tergantung dari arah benturan dan leng-
kungan iga, Hinton dan Steiner mengamati fraktur iga sebagai
berikut
m
:
a)
Iga 5 dan 9 mcncerima akibat benturan yang paling berat.
b)
Trauma tidak langsung, terjadi akibat mendekatnya kcdua
ujung tulang iga schingga kelcngkungan iga bertambah dan
letak fraktur biasanya bagian tengah.
c)
Trauma langsung, menyebabkan fraktur satu atau lebih
tulang iga pada tempat benturan dan sering (ragmen fraktur
merobek pleura serta jaringan paru.
d)
Faktur tunggal biasanya end-to-end,
fraktur jamak mungkin
overlapoing.
Fraktur sternum lebih sering terjadi pada persendian ma-
nubriosternal, dapat rbentuk fraktur yang sederhana dengan
prognosis baik hingga bentuk fraktur yang
overlapping yang
sering bersamaan dengan fraktur iga dan cedera toraks lainnya
serta keadaan penderita yang cukup serius(
6
). Tanda klinis dapat
berupa pernafasan ccpat dan dangkal, krepitasi dan rasa sakit
pada daerah fraktur serta emfisema subkutis.
Penatalaksanaan
Fraktur iga dan sternum sederhana hanya memerlukan
pengobatan simpotatis dengan pemberian analgetika dan mu-
kolitika, namun pada fraktur sternum yang overlapping
dibu-
tuhkan fiksasi
(o
.
Dilakukan suntikan blok saraf interkostal pada fraktur iga
untuk mengurangi rasa sakit agar batuk dan bernafas dalam
tidak terhalangi. Pada fase akut tidak dilakukan pembebatan
dengan plester karena dapat mengganggu mekanisme per-
nafasan
o)
.
FLAIL CHEST
Terjadi oleh adanya tiga atau lebih fraktur iga multipel,
dapat tanpa atau dengan fraktur sternum
(9)
, sehingga menye-
babkan :
a)
segmen yang mengambang akan bergerak ke dalam selama
fase inspirasi dan bergerak ke luar selama fase ekspirasi, se-
hingga udara inspirasi terbanyak memasuki paru kontralateral
dan banyak udara ini akan masuk pada paru ipsilateral selama
fase ekspirasi; keadaan ini disebut dengan respirasi
pendelluft.
b)
pergerakan ke dalam dari segmen yang mengambang akan
menerkan paru-paru di bawahnya sehingga mengganggu
pengembangan paru ipsilateral.
c)
mediastinum terdorong ke arah kontralateral selama fase
inspirasi oleh adanya peningkatan tekanan negatif hemitoraks
kontralateral selama fase ini, sehingga pengembangan paru
kontralateral juga akan terganggu.
d) pergerakan mediastinum di alas akan mengganggu
venous
return jantung.
36
Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus
No. 80, 1992
Dinding dada mengambang
(flail chest) ini sering disertai
dengan hemotoraks, pneutoraks, hemoperikardium maupun
hematoma paru yang akan member-at keadaan pendcrita
(
'
9)
.
Penatalaksanaan
Segera dilakukan traksi pada bagian dinding dada yang
mengambang, bila keadaan penderita stabil dapat dilakukan
stabilisasi dinding dada secara operatif.
EMFISEMA SUBKUTIS
Dapat disebabkan olch adanya cedera saluran pernafasan
atau segmen fraktur iga yang merobek paru-paru dan dapat
disertai dcngan adanya pneutoraks maupun pneutoraks de-
sakan
o
)
Penatalaksanaan
Emfisema subkutis yang tcrbatas di daerah toraks tidak
memerlukan tindakan karena dapat diabsorbsi dalam 2 hingga
4 minggu; bila terdapat penumotoraks dilakukan pemasangan
water seal drainage.
Emfisema subkutis yang luas harus dicurigai disebabkan
cedera dari saluran pernafasan yang mungkin memerlukan
tindakan torakotomi untuk memperbaikinya.
PNEUMOTORAKS
Terdiri dari :
a.
pneumotoraks tertutup
b.
pneumotoraks terbuka
PNEUMOTORAKS TERTUTUP
Dapat terjadi karena fragmen fraktur iga merobek paru,
namun dapat pula terjadi tanpa adanya fraktur iga, dimana
truma terjadi pada fase inspirasi dengan glotis tertutup dan daya
tahan alveoli terlampaui.
Pneumotoraks tertutup dengan adanya mekanisme pentil
akan menyebabkan udara terperangkap pada rongga pleura se-
hingga tekanan rongga pleura akan lebih besar dari udara at-
mosfir dan disebut sebagai pneumotoraks desakan (tension pneu-
mothorax).
Pneumotoraks desakan dapat menyebabkan pendorongan
mediastinum ke arah kontralateral yang dapat mengakibatkan
terjepitnya venacava sehingga dapat mengganggu venous
return
jantung.
Penatalaksanaan
Pemasangan
water seal drainage pada penderita penumo-
toraks bergantung kepada :~ 10, 11)
a)
beratnya gangguan pernafasan
b)
disertai pneumotoraks desakan
c)
pneumotoraks bilateral
d)
disertai hemotoraks
e)
selama observasi pneumotoraks bertambah luas
f)
bila diperlukan pemakaian ventilator
g) bila diperlukan anestesi umum
PNEUMOTORAKS TERBUKA
Pneumotoraks terbuka dapat disebabkan oleh trauma
tumpul maupun trauma tajam, rongga pleura mempunyai te-
kanan yang sama dengan udara atmosfir dan dari lubang luka
pada dinding dada akan terdengar suara hisapan udara selama
fase inspirasi yang disebut sebagai sucking chest wound.
Pada keadaan ini jugs akan terdapat respirasi yang pen-
delluf
a5
), karena selama fase inspirasi paru ipsilateral akan kun-
1
cup dan selama fase ekspirasi paru akan sedikit mengembang, hal
ini menandakan bahwa selama fase ekspirasi udara dari paru kon-
tralateral
masuk ke paru ipsilateral.
'
Penatalaksanaan
Luka dinding dada segera dijahit dan dipasang
water seal
:drainage.
HEMOTORAKS
Hemotoraks maupun hemopneumotoraks adalah merupa-
kan keadaan yang paling sering dijumpai pada penderita
'trauma toraks, pada lebih dari 80% penderita dengan trauma
toraks didapati adanya darah pads rongga pleura".
Sumber perdarahan dapat berasal dari adanya cedera pada
paru-paru, robeknya arteri mamaria interna maupun pembuluh
darah besar lainnya seperti aorta dan bena kava.
Bila darah pada rongga pleura mencapai 1500 ml atau lebih
-akan menyebabkan kompresi pads paru ipsilateral dan dapat
mengakibatkan hipoksia
o.5)
. Perdarahan masif pada hemotoraks
yang disertai hipoksia karena hipoventilasi dapat mempercepat
kematian penderita.
Penatalaksanaan
Segera dipasang water seal drainage untuk mengukur jum-
lah darah mula-mula dan perdarahan setiap jam.
Indikasi torakotomi pada hemotoraks adalah bila perdarahan
mula-mula lebih dari 1500 ml atau perdarahan lebih dari 3 - 5 ml/
kg BB/jam selama 4 jam berturut-turut pada masa observasi(
5 8
).
TRAUMATIC WET LUNG
Burford dan Burbank yang memperkenalkan istilah ini di
tahun 1944
0>
; yaitu terjadinya kelainan pada paru-paru akibat
trauma dinding dada dan paru-paru. Kelainan yang terjadi adalah
bertambahnya cairan intersisial dan intraalveolar paru; tran-
sudasi alveolar ini merupakan akibat dari anoksia. Penulis lain
menyebutkan sebagai Dan Nang lung, white lung syndrome,
kontusio pare
)
.
Penatalaksanaan
Membersihkan jalan nafas dengan aspirasi maupun
bronkoskopi, mempertahankan mekanisme batuk, blok interkostal
bila terdapat fraktur iga agar batuk tidak terhalang. Brewer dan
kasan-kawan menganjurkan dilakukan IPPB pada penderita
traumatic wet lung").
RUPTUR TRAKEA DAN BRONKUS UTAMA
Ruptur trakea dan bronkus utama dapat disebabkan oleh
trauma tajam maupun truma tumpul. Pada trauma tumpul ruptur
terjadi pada saat glotis tertutup dan terdapat peningkatan yang
hebat dan mendadak dari tekanan saluran trakeobronkial yang
melewati batas elastisitas saluran trakeobronkial ini.
Kemungkinan kejadian ruptura bronkus utama meningkat
pada trauma tumpul toraks yang disertai dengan fraktur iga 1
sampai 3, lokasi tersering adalah pada daerah karina dan per-
cabangan bronkus".
Pneumotoraks, pneumomediastinum, emfisema subkutan
dan hemoptisis dapat merupakan gejala dari ruptura ini.
Penatalaksanaan
Dilakukan pemasangan water seal drainage pads pneumo-
toraksnya, bronkoskopi untuk membantu diangosis dan mencari
lokasi rupturanya. Kemudian dilakukan torakotomi untuk re-
parasi kerusakan saluran trakeobronkial.
RUPTUR ESOFAGUS
Lebih sering terjadi pads trauma tajam dibanding trauma
tumpul toraks
0)
, dan lokasi ruptura oleh karena trauma tumpul
paling sering pada 1/3 bagian bawah esofagus
o
).
Akibat ruptura esofagus akan terjadi kontaminasi rongga
mediastinum oleh cairan saluran pencernaan bagian atas se-
hingga terjadi mediastinitis yang akan memperburuk keadaan
penderitanya.
Pada foto toraks akan terlihat adanya pneumomediastinum
dan hidrotoraks, yang paling sering adalah hidrotoraks kiri
o8
.
Penatalaksanaan
Pemeriksaan foto toraks dengan bubur barium atau dengan
mempergunakan esofagoskopi dapat mengetahui lokasi dari
ruptura esofagus ini, dan dilakukan torakotomi untuk reparasi
operatif.
TRUMA JANTUNG
Kontusio miokardium terdapat path 20% penderita dengan
trauma toraks yang berat
o)
, trauma tajam yang mengenai jantung
akan menyebabkan tamponade jantung dengan gejala trias
Beck yaitu distensi vena leher, hipotensi dan menurunirya suara
jantung"'
15)
.
Penatalaksanaan
Segera dilakukan perikardiosintesis untuk mengurangi
tamponade dan diikuti torakotomi untuk mencari serta meng-
hentikan sumber perdarahan.
Trauma tajam daerah prekordial, parastemal kiri dan kanan
harus dicurigai mengenai jantung dan segera dilakukan eksplo-
rasi torakotomi sebelum keadaan penderita memburuk
o)
.
RUPTUR AORTA
Ruptur aorta sering menyebabkan kematian penderitanya,
dan lokasi ruptura tersering adalah di bagian proksimal arteri
subklavia kiri dekat ligamentum arteriosum
)
.
Hanya kira-kira
15% dari penderita trauma toraks dengan ruptura aorta ini
dapat mencapai rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan(
8
).
Kecurigaan adanya ruptur aorta dari foto toraks bila di-
dapatio.
16)
a) mediastinum yang melebar
b) fraktur iga 1 dan 2
c) trakea terdorong ke kanan
d) gambaran aorta kabur
Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992 37
e)
penekanan bronkus utama kiri
f)
gambaran pipa lambung (NGT) pada esofagus yang ter-
dorong ke kanan.
Penatalaksanaan
Diagnosis dapat ditegakkan dengan melakukan aortografi
dan ekokardiorgrafi, reparasi operatif dilakukan dengan torako-
tomi dan dengan bantuan cardiopulmonaru bypass.
HERNIA DIAFRAGMATIKA TRAUMATIKA
Kejadian hernia diafragmatika traumatika kiri 9 kalai lebih
banyak dibanding hernia diafragmatika kanan
el
, hal ini terjadi
karena adanya hepar di sebelah kanan. De Maeseneer M dan
kawan-kawan melaporkan hernia diafrabmatika traumatika pada
diafragma kanan dengan hemisasi dari lobus kanan hepar pada
penderita dengan trauma tumupul abdomen
11
.
Organ abdomen yang dapat mengalami herniasi antara
lain gaster, omentum, usus halus, kolon, limpa'dan hepar. Juga
dapat terjadi hernia inkarserata maupun strangulata dari saluran
cerna yang mengalami herniasi ke rongga toraks ini.
Hernia diafragmatika akan menyebabkan gangguan kar-
diopulmoner karena terjadi penekanan paru dan terdorongnya
mediastinum ke arah kontralateral.
Dan pemeriksaan fisik didapati gerakan pernafasan yang
tertinggal, perkusi pekak, fremitus menghilang, suara pernafas-
an menghilang dan mungkin terdengat bising usus pada hemi-
toraks yang sakit.
Pada foto toraks dengan pemakaian pipa lambung Levin dan
bubur barium akan terlihat pipa lambung dan bubur barium ini
pada hemitoraks yang sakit.
Penatalaksanaan
Dibutuhkan tindakan operasi segera untuk reparasi robekan
diafragma dengan insisi torako-abdomina
1

1.6,
'
>
KEPUSTAKAAN
1.
Hiyama DT. Thoracic trauma. In : The Mont Reid Surgical Handbook,
Hiyama DT (Ed), 2nd ed, Boston : Mosby Year Book, 143, 1990.
2.
SchulpenTMJ, Doesburg Wil, Lemmens WAJ, Gerritsen SM. Epidemiol-
ogy and Prognostic Sign of Chest Injury Patient, Injury, 1986; 17 : 305.
3.
Glinz W. Priorities in Diagnosis and Treatment of Blunt Chest Injuries,
Injury, 1986; 17 : 318.
4.
Mattox KL, Allen MK. Penetrating Wounds of The Torax, Injury, 1986; 17
: 313.
5.
Brown AH, Guzman F. Cardiothoracic Trauma. In : Cardiothoracic Hand-
book, London; Butterworth & Co 127, 1988.
6.
Trinkle JK, Grover FL. Blunt Trauma to the Chest Wall. In : International
Trend in General Thoracic Surgery, Philadelphia : WB Saunders Company,
1987; 231:2.
7.
Borne J. Management of Thoracic Emergencies. 3rd ed, New York :
Appleton-Century-Croft, 1980.
8.
Locke T. Smith G. Thoracic Trauma. In : Cardiothoracic Surgery, The
Medicine Group Ltd, 1650, 1989.
9.
Adkin PC, Corso PJ, Hill JL. Chest Wall Trauma. In : Thorracic Trauma,
Daughtry DWC (Ed). Boston : Little, Brown and Company, 1980, 39.
10.
Deslauriers J. Piraux
M. Diagnosis and Management of Spontaneous
Pneumothorax in The Young Adult : Rule of Parietal Pleurectomy. In :
International Trends in General Thoracic Surgery, The Philadephia;
CV Mosby 6, 119, 1990.
1 I.
Rivarola CH. Tension Penumothorax. In : Intemational Trends in General
Thoracic Surgery, Philadelphia; CV Mosby Co, 6, 153, 1990.
12. Clarke DB, Thoracic Injuries. In : Hamilton Bailey
'
s Emergency Surgery,
Duddley HAF (Ed), 11th ed, Bristol; John Wright & Sons Lth, 225, 1986.
13.
Carr RE. Injuries to The Pulmonary Parenchyma and Basculature in
Thoracic Trauma. Daughtry DWC (Ed), Boston; Little, Brown and Com-
pany, 53, 1980.
14.
Deslauriers J. Bronchial Rupture. In : International Trends in General
Thoracic Surgery, Philadelphia; WB Saunders Co, 246, 1987.
15.
Tavares S et al. Management of Penetrating Cardiac Trauma : The Role of
Emergency Room Thoracotomy. Ann Thorac Surg. 1984; 39.
16.
Langlois J, De Bnix JL, Binet JP, Khoury W. Traumatic Aortic Rupture. In
: International Trends in General Thoracic Surgery, Philadelphia; WB.
Saunders Co 273, 1987.
17.
De Maeseneer M, Vandendriessche M, Scohoofs E, De Hert S. Right
Diaphragmatic Rupture Following Blunt Abdominal In jury -a Case Report,
Injury 1985; 16 : 389.
It is the unforeseen that always happens
38 Cermin Dunia Kedok t eran, Edisi Khusus No. 80, 1992
Update I (Pediatri)
Penatalaksanaan
Demam Berdarah Dengue
Syahril Pasaribu
Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan
PENDAHULUAN
Demam berdarah dengue (Dengue hemorrhagic fever) adalah
penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh 4 (empat) serotipe
virus dengue dan secara klinis ditandai dengan adanya manifes-
tasi perdarahan dan dapat berkembang men jadi renjatan (Dengue
Shock
Syndrome) yang berakibat fatal. Trombositopeni yang
bersamaan dengan hemokonsentrasi merupakan gambaran yang
selalu ditemukan. Pertama sekali ditemukan di Filipina pada
tahun 1953, Thailand (1958), Malaysia, Singapura dan Viet Nam
pada tahun 1953 - 1964.
Di Indonesia, pertama sekali dijump i di Surabaya pada
tahun 1968 dan kemudian disusul dengan daerah-daerah yang
lain(
2)
. Jumlah penderita menunjukkan kecenderungan mening-
kat dari tahun ke tahun, dan penyakit ini banyak terjadi di kota-
kota yang padat penduduknya. Akan tetapi dalam tahun-tahun
terakhir ini, penyakit ini juga berjangkit di daerah pedesaan(
3)
.
Penyakit ini umumnya mengenai anak yang berumur 1-15
tahun, akan tetapi belakangan ini terlihat bahwa golongan umur
> 15 tahun semakin banyak yang menderita Demam Berdarah
Dengue dimana proporsinya berubah dari 4.3% pada tahun 1968
menjadi 26.2% pada tahun 1988(
4
).
Serotipe virus Dengue (DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan
bEN-4) secara antigenik sangat mirip satu dengan lainnya,
tetapi tidak dapat menghasilkan proteksi silang yang lengkap
setelah terinfeksi oleh salah satu tipe. Di Kotamadya Medan
berdasarkan isolasi virus pada tahun 1975-1988 ditemukan
DEN-2 dan DEN-3(
4
).
Penelitian di Indonesia menunjukkan
bahwa DEN-3 merupakan serotipe virus yang dominan dan yang
menyebabkan kasus yang berat.
Penyakit ini ditularkan melalui gigikan nyamuk Aedes
aegypti, A. albopictus, A. polynesiensis dan beberapa spesies
A. scuttellaris
a)
, akan tetapi di Indonesia penularan adalah me-
lalui A. aegypti dan A. albopictus
(5)
.
PATOFISIOLOGI DAN PATOGENESIS
Fenomena patofisiologi utama yang menentukan beratnya
penyakit dan membedakan Demam berdarah dengue dengan
Dengue klasik ialah tingginya permeabilitas dinding pembuluh
darah, menurunnya volume plasma, terjadinya hipotensi,
trombositopenia dan diatese hemoragik. Mcningginya nilai
hematokrit pada penderita dengan renjatan, menimbulkan duga-
an bahwa renjatan terjadi sebagai akibat kebocoran plasma ke
daerah ekstravaskular melalui kapiler yang rusak dengan akibat
menurunnya volume plasma dan meningginya nilai hematokrit.
Mekanisme sebenarnya tentang patofisiologi dan patogenesis
Demam berdarah dengue, hingga kini belum diketahui secara
pasti, tetapi sebagian menganut
the secondary heterologous
infection hypothesis
yang mengatakan bahwa demam berdarah
dengue dapat terjadi apabila seseorang setelah infeksi dengue
pertama mendapat infeksi berulang dengan tipe virus yang ber-
beda dalam jangka waktu tertentu yang diperkirakan 6 bulan
sampai 5 tahun
(2)
.
Patogenesis terjadinya renjatan berdasarkan hipotese in-
feksi sekunder
o)
. (Gambar 1).
Pada penderita dengan renjatan berat, volume plasma dapat
berkurang sampai lebih dari 30% dan berlangsung 24-48 jam.
Renjatan yang tidak ditanggulangi secara adekuat akan me-
nimbulkan anoksi jaringan, asidosis metabolik dan kematian
(2)
.
Sebab lain dari kematian adalah perdarahan saiuran cerna yang
hebat, yang biasanya timbul setelah renjatan berlangsung lama
dan tidak dapat diatasi.
Trombositopenia merupakan kelainan hematologis yang
ditemukan pada sebagian besar penderita Demam Berdarah
Dengue. Nilai trombosit mulai menurun pada masa demam dan
mencapai nilai terendah pada masa renjatan. Kemudian jumlah
trombosit secara cepat meningkat pada masa konvalesen dan
nilai normal biasanya tcrcapai sampai hari ke-10 sejak timbulnya
Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992 39
penyakit.
Kelainan sistim koagulasi juga mempunyai peranan se-
bagai penyebab perdarahan pada penderita Demam Berdarah
Dengue. Beberapa faktor koagulasi menurun, termasuk faktor
II, V, VII, IX, XII dan Fibrinogen. Perubahan faktor koagulasi
ini antara lain disebabkan oleh kerusakan hepar yang fungsinya
terganggu karena aktivasi sistim koagulasi.
Pembekuan intra-vaskular menyeluruh (PIM/DIC) secara
potensial dapat juga terjadi pada penderita Demam Berdarah
Dengue dengan atau tanpa renjatan. Renjatan pada PIM akan
saling mempangaruhi, sehingga penyakit akan memasuki renjatan
yang irreversible disertai perdarahan hebat, terlibatnya organ-
organ vital dan berakhir dengan kematian. Diagnosis PIM di-
tegakkan atas dasar :
1. Adanya penyakit yang mendasari
2. Klinis adanya perdarahan spontan
3. Laboratorium
DIAGNOSIS
Diagnosis Demam berdarah dengue dan !criteria beratnya
penyakit didasarkan pada patokan WHO (1975).
Diagnosis klinis berdasarkan adanya :
1)
Demam tinggi, mendadak, berlangsung 2 7 hari, kemudian
turun dengan cepat.
2)
Manifestasi perdarahan dapat berupa :
-
Uji tourniquet positip
-
Petekhia, purpura, ekimosis dan perdarahan konjungtiva
-
Epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis, melena dan
hematuri.
Manifestasi perdarahan seperti tersebut di atas tidak semua-
nya harus muncul pada seorang penderita. Uji tourniquet positip
sebagai manifestasi perdarahan teringan dapat dinilai sebagai
presumptive test olch karma uji tourniquet positip pada hari-hari
pertama demam terdapat pada sebagian bcsar kasus. Namun uji
tourniquet positip dapat juga terjadi pada penyakit lain seperti
infeksi virus (Campak, Dcmam chikunguya) dan beberapa in-
feksi bakteri seperti Demam tifoid dan Sepsis.
6) Pembesaran hati (Hcpatomcgali), umumnya dapat diketahui
pada permulaan penyakit dan nyeri tekan string kali ditemukan
tanpa adanya ikterus. Kewaspadaan perlu ditingkatkan pada
anak yang hatinya semula tidak teraba pada saat masuk ke rumah
sakit, kemudian selama rawatan hatinya membesar dan atau
pada anak yang selama rawatan menunjukkan semakin besar-
nya hari dan kenyal, karena keadaan ini menunjukkan ke arah
terjadinya renjatan.
7)
Renjatan pada anak mempunyai manifestasi berupa kulit
pucat, dingin dan lembab terutama pada ujung jari kaki, tangan
dan hidung, sedangkan kuku menjadi biru dan sianosis sekitar
mulut
l
. Anak yang semula rewel, cengeng dan gelisah, lambat
laun kesadarannya menurun menjadi apati, sopor dan koma
(2)
.
Tekanan nadi menyempit menjadi 20 mmHg atau kurang"
1
dan
oligouria sampai anurie
l
.
Hal ini biasanya terjadi pada scat atau
setelah demam turun, yaitu diantara hari ke-3 dan ke-7 sakit.
Lama renjatan pendek, penderita dapat meninggal dalam waktu
12 24 jam atau menyembuh.
Penatalaksanaan renjatan yang tidak adekuat akan menim-
bulkan komplikasi asidosis metabolik, hipoksia jaringan, per-
darahan gastro-intestinal yang hebat dengan prgnosis buruk.
Penderita menyembuh dalam waktu 2 3 hari, dan selera makan
yang bertambah merupakan petunjuk baiknya prognosis
(23)
.
Gejala klinis lain yang dapat menyertai penderita Demam
berdarah dengue adalah anoreksia, lemah, mual, muntah, diare
atau konstipasi, kejang-kejang dan sakit perut. Dulu keluhan
sakit perut yang hebat sering kali timbul mendahului perdarahan
gastro-intestinal dan renjatan. Akan tetapi belakangan ini terlihat
bahwa nyeri perut ini string dijumpai tanpa diikuti oleh perda-
rahan gastro-intestina1
(89
).
Diagnosis laboratorium yang menyokoag
1) Trombositopeni di bawah 100.000/ul biasanya ditemukan
antara hari ke-3 sampai ke-7 sakit, baik pada penderita Demam
berdarah dengue yang disertai dengan renjatan atau tidak.
2) Hemokonsentrasi, berupapeningkatan nilai hematokrit yang
merupakan indikator yang peka akan terjadinya renjatan, se-
hingga perlu diulang secara periodik; kenaikan nilai hematokrit
yang lebih 20%, menunjang diagnosis Dcmam berdarah dengue.
Contoh : Nilai Ht nertama = 30% dan kedua = 389;) Kenaikan nilai
Derajat beratnya penyakit :
1)
Derajatl: Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satu-
nya manifestasi perdarahan adalah uji tourniquet positip.
2) Derajat II :
Derajat I disertai perdarahan spontan di kulit dan
atau perdarahan lain.
3) Derajat 111: Ditemukannya kegagalan sirkulasi, yaitu nadi
cepat dan lemah, tekanan nadi menyempit (<20 mmHg) atau
40
Cermin Dunia Kedo/aeran, Edisi Khusus No. 80, 1992
potensi (tekanan sistolik menurun sampai 80 mmHg atau
urang) disertai dengan kulit yang dingin, lembab dan penderita
njadi gelisah.
Derajat IV :
Renjatan berat dengan nadi tidak dapat diraba
tekanan darah tidak terukur.
Diagnosis Demam Berdarah Dengue harus didasarkan atas
gejala demam disertai satu atau lebih gejala klinik lainnya, dan
tambah dengan adanya trombositopeni serta hemokonsentrasi.
edangkan pada penderita Demam Berdarah Dengue dengan
njatan, diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya renjatan,
*lemam atau riwayat demam, trombositopeni dan hemokon-
$entrasi
,2.3.7
).
Kewaspadaan menegakkan diagnosis dini penyakit ini
sangat penting oleh karena :
1) Satu dari tiga penderita Demam Berdarah Dengue akan
jatuh ke dalam renjatan.
2) Angka kematian yang tinggi sekitar 30%, diakibatkan renjat-
merupakan gambaran yang menakutkan dan memerlukan pe-
natalaksanaan secara khusus.
3) Penderita yang jatuh ke dalam renjatan pada waktu sedang
dirawat, mempunyai prognosis yang lebih baik.
PENGOBATAN
I.
Demam berdarah dengue tanpa renjatan :
1) Pemberian cairan, banyak minum, 1.5 - 2.0 liter/24 jam (air
teh, gula, sirop, susu dan lain-lain), dapat pula diberikan larutan
garam gula (oralit).
Indikasi pemberian cairan intra vena pads penderita tanpa
renjatan ialah :
a) Apabila penderita terus menerus muntah, sehingga tidak
mungkin pemberian cairan per oral.
b) Hematokrit bertendensi terus meningkat pada pemeriksaan
serial. Cairan yang diberikan adalah Ringer laktat dan Dextrose
5% dalam 0.45% Saline. Jumlah cairan yang diberikan, disesuai-
kan dengan kebutuhan cairan pada penderita gastroenteritis
dengan derajat dehidrasi sedang.
c) Adanya perdarahan spontan, kesadaran menurun, kejang,
pre-syok.
2)
Obat-obatan :
a) Anti piretika : Golongan Acetaminophen 10 mg/kgBB/kali.
b) Anti konvulsan : Apabila timbul kejang, diatasi dengan
pemberian :
-
Diazepam 0.5 mg/kgBB/kali/IV dan dapat diulang bila
perlu.
Phenobarbital 75 mg bila usia > 1 tahun dan 50 mg pada umur
<1 tahun secara intra muskular. Bila dalam waktu 15 menit
kejang tidak berhenti, dapat diulang dengan dosis 3 mg/kgBB/IM
atau pada anak > 1 tahun 50 mg dan <1 tahun 30 mg, namun harus
diperhatikan apakah ada depresi pernafasan.
3)
Pemantauan - keadaan umum, nadi, tekanan darah, suhu,
pernafasan dan monitoring Hemoglobin, Hematokrit dan trom-
bosit(
3
).
II. Demam Berdarah Dengue dengan renjatan (DSS) :
1) Penggantiancairan; -PadaDBDderajat IVdiberikan Ringer
laktat intravena secara diguyur dan kalau perlu dengan semprit
diberikan sebanyak 100-200 ml. Sedangkan pads DBD derajat
III diberikan Ringer Laktat 20 ml/kgBB/jam secara intravena.
Apabila renjatan telah teratasi, nadi sudah jelas teraba, maka
kecepatan tetesan cairan dikurangi menjadi 10 ml/kgBB/jam.
Oleh karena kebocoran plasma dapat berlangsung 24 - 48 jam,
maka pemberian cairan intravena dipertahankan walaupun tanda-
tanda vital telah menunjukkan perbaikan yang nyata, disertai
dengan pemeriksaan hematokrit secara periodik. Kecepatan cair-
an selanjutnya disesuaikan dengan gejala klinis dan nilai hema-
tokrit.
Pada renjatan berat, atau renjatan berulang segera dipasang
kateter vena sentralis (CVP) untuk mencegah pemberian cairan
yang berlebihan. CVP dipertahankan antara 5 - 8 cm air. Bila
CVP <5 cm air, maka tetesan cairan Ringer laktat dipercepat. Di
samping itu perlu fdicari penyebab renjatan yang lain dan pende-
rita diberikan plasma seperti plasma biasa, plasma segar, plasma
segar yang dibekukan, plasma kaya trombosit atau cairan
pengganti plasma seperti Haemacel, Subtosan, atau Dextran
dengan kecepatan 10 - 20 ml/kgBB/jam. Pemberian cairan ini
kita pertahankan sampai ditemukan perbaikan tanda-tanda vital
dan penurunan nilai hematokrit. Cairan intravena harus dihenti-
kan apabila nilai hematokrit turun <40 dan nafsu makan mem-
baik. Adanya urine menunjukkan baiknya sirkulasi cairan. Se-
cara umum tidak diperlukan lagi pemberian cairan 48 jam setelah
renjatan teratasi.
Indikasi pemberian transfusi darah ialah penderita dengan
perdarahan gastro-intestinal hebat, yang dapat diduga bila nilai
hematokrit dan hemoglobin menurun, sedangkan perdarahannya
sendiri tidak terlihat.
2) Obat-obatan :
a) Antibiotika;
Ampisillin tunggal 100-200 mg/kgBB/hari
atau dikombinasi dengan Gentamisin 5 mg/kgBB/hari. Anti-
biotika lain diberikan atas dasar pertimbangan klinis dan basil tes
kepekaan
c
'
>
.
b)
Kortikosteroid masih kontroversial, akan tetapi dapat dibe-
rikan pada DBD dengan ensefalopati untuk mengurangi edema
otak, meninggikan ambang kejang dan diharapkan dapat men-
cegah pulmonary leakage,
mempunyai efek inotropik positip
terhadap jantung dan adanya vasodilatasi.
Jenis obat yang dapat diberikan adalah : Deksametason 1
mg/kgBB dilanjutkan dengan 0.2 mg/kgBB/6 jam, atau Hidro-
kortison 25-50 mg/kgBB/hari(
I.3
).
c)
Dypiridamole (Persantin); merupakan zat anti agregasi in
vitro, in vivo merupakan zat antitrombotik, yaitu dengan cara
menghambat enzim fosfodiesterase (PDE) dalam trombosit.
Dosisnya 2-3 mg/kgBB/hari dibagi dalam 6 dosis
r
'
>
.
d)
Oksigen untuk mencegah hipoksia dan terjadinya oksidasi
yang tidak lengkap, yang mengakibatkan lakto-asidosis. Pem-
berian melalui masker 5 - 8 liter/menit, atau melalui kateter
sampai di nano-faring 3 - 5 liter/menit
3

7>
.
e)
Koreksi asam basa dengan bikarbonas natrikus. Cara pem-
berian adalah : 0.3 X Berat Badan X Defisit Basa. Tetapi kalau
fasilitas pemeriksaan analisa gas darah tidak ada, dan penderita
menunjukkan pernafasan Kussmaull, Bikarbonas natrikus dibe-
Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992 41
rikan dengan dosis 12 mEq/kgBB, diencerkan dalam jumlah
yang sama banyak dengan Dektrose 5%, disuntikkan secara
perlahan-lahan).
f) Penanggulangan Over Loading; pada sebagian besar kasus,
pemberian cairan yang banyak dapat menimbulkan over loading
yang dapat terlihat dengan adanya edema palpebra dan tetap
tingginyanilai CVP. Pada keadaan tersebut diberikan Dopamine
dosis rendah yaitu 1.5 10 mcg/kgBB/menit. Dengan demikian
diharapkan penurunan after load, terjadinya vasodilatasi pembu-
luh darah ginjal, di camping efek inotropik positip pada jantung.
Selain itu dapat diberikan diuretika berupa Furesemid (LasixO ),
dosis 1 4 mg/kgBB/IV 12 kali/hari. Bila perlu dapat dikom-
binasikan dengan Cedilanid 0.03 mg/kgBB/hari dalam 3 4
dosis(').
g) Sedatif; yang dianjurkan adalah Chloral hidrat oral atau
rektal dengan dosis 12.5 50 mg/kgBB (tidak lebih 1 gram) dosis
tunggal
r
'
)
.
Kami di bagian IKA FK-USU memakai Diazepam
pada penderita DBD yang disertai dengan kejang, dan men-
dapatkan hasil yang baik.
h) Heparin; pada penderita dengan
prolonged shock, PIM
diperkirakan merupakan penyebab utama perdarahan hebat
(khususnya perdarahan gastrointestinal). Hal ini dibuktikan
dengan kadar trombosit dan fibrinogen yang rendah disertai
peninggian kadar FDP dan kelainan hemostatik. Dalam keadaan
ini pemberian heparin dapat dipertimbangkan dan dapat diberi
dengan dosis 0.51 ml/kgBB setiap 4 jam~
3)
.
3) Pemantauan
Pada semua penderita Demam Berdarah Dengue berat se-
cara rutin dipantau frekuensi jantung dan nafas, gambaran EKG
yang dilengkapi dengan sistem alarm. Pemantauan lain secara
bed-side
adalah pengukuran tekanan darah, CVP dan imbang
cairan.
Hal-hal lain yang perlu diperhatikan pada penderita Demam
berdarah dengue berat adalah :
-
Foto toraks, untuk melihat efusi pleura atau perikardial.
-
Pemeriksaan elektrolit.
-
Evaluasi kadar Hemoglobin, nilai hematokrit, trombosit,
waktu perdarahan dan pembekuan, fibrinogen semi kuantitatip.
Bila mungkin, diperiksa pula studi koagulasi, terutama plasma
prothrombine time (PPT) dan plasma thromboplastin time with
koalin (PTTK) untuk mendeteksi PIM/DUC.
-
Analisis gas darah.
Pemberian nutrisi yang adekuat. Umumnya penderita De-
mam berdarah dengue disertai perdarahan gastro-intestinal,
sehingga perlu diberikan nutrisi parenteral total.
Pemberian cairan, jenis dan jumlahnya. Frekuensi dan
keluaran kencing perlu dicatat(
2.3.
'
)
.
PERA' WATAN
1) Indikasi rawat nginap :
-
DBD derajat II, III dan IV.
-
DBD derajat I dengan hiperpireksia, kejang, intake tidak
cukup, serta kecenderungan kenaikan hematokrit.
2) Hal-hal yang perlu diperhatikan :
a) Tempat/kamar perawatan diusahakan terpisah dengan
42 Cermin Dunia Kedok t eran, Edisi Khusus No. 80, 1992
penderita penyakit lain. Seyogyanya dalam kamar yang bebas
nyam uk.
b) Hindarkan dari kemungkinan terjadinya dekubitus dengan
menyelang-nyeling posisi tidur.
c) Kebersihan perorangan penting diperhatikan, terutama
kebersihan kulit dan mulut penderita.
PELAPORAN
Setiap penderita tersangka Demam Berdarah Dengue perlu
segera dilaporkan ke Dinas Kesehatan Dati II setempat, untuk
diambil tindakan pemberantasan vektor di rumah penderita dan
sekitarnya guna mencegah penularan selanjutnya. Pelaporan
resmi dilaksanakan dengan mengirim formulir pelaporan spesi-
men Demam Berdarah Dengue.
LABORATORIUM
1) Pemeriksaan trombosit.
2)
Pemeriksaan hematokrit; nilai normal untuk anak adalah 33
38 vol%.
3a) Pemeriksaan serologi dengan tes HI (Hemagglutinasi Inhi-
bisi) yakni untuk mengetahui adanya peninggian titer antibodi.
Untuk ini dibutuhkan 2 spesimen pada masa akut dan kon-
valesen.
Interpretasi (kriteria WHO) tes HI :
1) Pada infeksi primer, titer antibodi HI pada masa akut, yaitu
apabila serum diperoleh sebelum hari ke-4 sakit adalah kurang
dari 1:20 dan titer akan naik 4X atau lebih pada masa kon-
valesensi, namun tidak akan melebihi 1:2560.
2) Pada infeksi sekunder, bukti adanya infeksi baru (recent
dengue infection) ditandai dengan titer antibodi HI kurang dari
1:20 pada masa akut, sedangkan pada masa konvalesensi, titer
bernilai sama atau lebih besar dari 1:2560 atau apabila titer
antibodi akut sama atau lebih besar dari 1:20 dan titer akan naik
4X atau lebih pada masa konvalesensi.
3) Persangkaan adanya infeksi sekunder yang baru terjadi
(presumptive diagnosis) ditandai oleh titer antibodi HI yang
sama atau lebih besar dari 1:1280 pada masa akut, dalam hal ini
diperlukan kenaikan titer IX atau lebih pada masa kon-
valesensi
U,2,3,7)
Tabel. Interpretasi tes HI
Titer Antibodi
Akut
Interpretasi
Konvalesensi
< :
20 > 4x < 1:2560 Infeksi primer
< : 20 > 4x > 2560
Infeksi sekunder
> : 20 > 4x Infeksi sekunder
> : 1280 tetap atau naik Infeksi sekunder
(baru terjadi)
3b) Pemeriksaan serologi dengan Dengue Blot
Merupakan modifikasi dari ELIS A dan hanya membutuhkan
waktu 3 jam untuk mengetahui hasilnya. Pemeriksaan ini dapat
dilakukan sekali saja pada fase akut atau dua kali bersamaan
dengan fase konvalesen. Hasil pemeriksaan dua kali adalah lebih
baik dari pada satu kali. Dengue Blot mempunyai sensitivitas
80.9% dan spesifisitas 97.2%'
0)
. Penelitian yang dilakukan oleh
Faisal Yatim Lubis(") dari LitBangKes menunjukkan bahwa
sensitivitas untuk 1 spesimen 4863% dan untuk 1 pasang spe-
simen 21-51%. Sedangkan spesifisitas untuk 1 spesimen 1393%
dan untuk 2 spesimen 4598%. Pemeriksaan Dengue Blot ini
sangat bermanfaat untuk konfirmasi KLB/Wabah DBD, karena
praktis dan hasilnya cepat diketahui. Hasil pemeriksaan Dengue
Blot (baik yang positip atau negatip) hanya bersifat presumtif
(dugaan kuat) dan bukan definitif (pasti).
KEPUSTAKAAN
1. World Health Organization. Dengue Hemorrhagic Fever; Diagnosis, Treat-
ment and Control: 158. 1986.
2.
Sumanno. Dengue Hemorrhagic Fever (gambaran klinis, aspek serologic
dan virologis). Simposium Kedaruratan pada Anak: 83103. Denpasar 19
Maret 1983.
3. Departemen Kesehatan RI. Demam Berdarah Dengue, Diagnosis dan
Pengelolaan penderita. Pentaloka DHF : 125 Cipayung 1417 Nopember
1984.
4.
SurosoT. Demam Berdarah Dengue. Di dalam Konsep Laporan Pertemuan
POKJA Demam Berdarah Dengue (DBD) Ciloto, 1416 Maret 1991.
5.
Palada P. Demam Berdarah Dengue dalam Simposium Demam Berdarah:
14. Ujung Pandang 9 April 1988.
6. Suvatte V. Dengue Hemorrhagic Fever. Hematological abnormalities and
pathogenesis. In Ghai O.P (ed) : New developments in pediatric research;
I: 447 Interprint, New Delhi, India 1977.
7. Aunojo D. Pengelolaan Demam Berdarah Dengue Berat. Naskah Lengkap
Simposium Pengelolaan Kegawatan pada Anak: 5464. Semarang 5 April
1986.
8. Sri Rezeki Harun. Demam Berdarah Denguepada Anak. MDK 1991; 10(8):
1419.
9. Pasaribu S, Lubis CP. Demam Berdarah Dengue di Bangsal Anak Rumah
Sakit Dr. Pimgadi Medan. MKN 1990; Edisi Khusus (4): 235240.
10.
Lai OF, Chan YC, Ngoh BL, Tan HC. Evaluation of a Commercial Enzyme
Immunoassay (Dengue Blot) for the Diagnosis of Dengue Virus Infection.
Diagnostic Biotechnology (Pte) Ltd Singapore.
11. Lubis FY. Hasil Uji Coba Perbandingan Dengue Blot Test dengan H.I Test.
Di dalam Konsep Laporan Pertemuan POKJA Demam Berdarah Dengue
(DBD) Ciloto, 1416 Maret 1991.
12.
Sumarsono. Demam Berdarah Dengue pada Dewasa. Di dalam Konsep
Laporan Pertemuan POKJA Demam Berdarah Dengue (DBD) Ciloto,
1416 Maret 1991.
Cermin Dunia Kedok t eran, Edisi Khusus No.
80, 1992 43
Mekanisme Diare Infektisius
Akut
Atan Baas Sinuhaji, A.H. Sutanto
Bagian Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
Rumah Sakit Dr Pirngadi, Medan
ABSTRAK
Diare Infeksius Akut dapat disebabkan oleh sejumlah virus, bakteri dan parasit.
Untuk dapat menimbulkan diare, mekanisme apapun yang digunakan oleh mikro-
organisme patogen tersebut, haruslah terjadi gangguan absorpsi/reabsorpsi cairan yang
terdapat di lumen usus dan meningkatnya secara berlebihan sekresi kelenjar-kelenjar
saluran cerna atau kombinasi keduanya.
Karena itu tanpa memandang penyebab diare, umumnya akibat yang terjadi adalah
oleh karena kehilangan cairan, elektrolit, basa dan makanan melalui tinja penderita.
PENDAHULUAN
Diare merupakan salah satu manifestasi gangguan fungsi
saluran cerna. Pada keadaan diare, jumlah air dalam tinja akan
meningkat, demikian juga volume tinja. Juga akan dijumpai
perubahan tinja baik dalam konsistensi, warna dan bau. Defi-
nisi yang tepat dari diare masih sulit dikemukakan. Umumnya
frekwensi pengeluaran, bentuk dan konsistensi tinja tergantung
terutama pada diet yang bervariasi antara satu masyarakat de-
ngan masyarakat lainnya.
Pada umumnya diare didefinisikan sebagai pengeluaran
tinja yang cair dengan frekuensi sekurang-kurangnya 3 kali
sehari. Bagaimanapun dalam hal ini, konsistensi lebih diuta-
makan dibandingkan dengan frekuensi pengeluaran tinja.
Pengeluaran tinja yang sering tetapi dengan konsistensi baik,
seperti
misalnya pads bayi yang hanya mendapat ASI, tidak
dianggap sebagai diare. Kebanyakan tinja penderita diare akan
cair (watery diarrhoea), kadang-kadang dijumpai darah/lendir
dalam tinja (dysentery form).
Umumnya episode diare adalah akut, datang tiba-tiba dan
sembuh dalam beberapa hari. Pada keadaan-keadaan tertentu,
dapat berlangsung terus sampai berminggu-minggu, keadaan ini
disebut dengan
persistent diarrhoea".
Pada tulisan ini, pembicaraan selanjutnya akan dibatasi pada
diare infeksius akut (diare akut yang disebabkan mikroorgan-
isme patogen seperti virus, bakteri dan parasit).
FUNGSI DAN STRUKTUR SALURAN CERNA
Fungsi utama saluran cerna, seperti juga permukaan mukosa
saluran-saluran lain yang terdapat pada manusia, adalah sebagai
pemisah (interface)
antara bahan-bahan yang dimasukkan dari
dunia luar dengan milieu interior
m
. Dalam menjalankan posisi-
nya yang penting tersebut, saluran cerna akan bekerja dan me-
mainkan peranannya sebagai unsur perlindungan
(protective
role) dengan dua cars yaitu :
1. Sebagai barrier
terhadap bahan-bahan patogen (seperti vi-
rus, bakteri, parasit, toksin, bahan-bahan allergenik dan lain-
lain).
2.
Menseleksi pemasukan bahan-bahan yang diperlukan tu-
buh; dengan perkataan lain mengambil dan menyerap cairan/
makanan yang dibutuhkan tubuh untuk berfungsi, bertambah dan
mengganti bagian yang rusak.
Karaena itu cairan/makanan yang tidak diserap, sel-sel usus yang
tua dan rusak, toksin-toksin, bahan-bahan patogen dan material-
material lain akan dibuang oleh saluran cerna keluar dari tubuh
44
Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992
dalam bentuk tinja.
Makanan dan minuman yang dimakan sering terkontami-
nasi dengan bahan-bahan patogen, tetapi tubuh akan dilindungi
oleh mekanisme pertahanan yang terdapat di saluran cerna.
Mekanisme pertahanan tersebut dapat bersifat spesifik (imuno-
logik) dan non-spesifik (non-imunologik)(
3)
(Tabel 1). Protein
dari makanan yang diserap tetapi tidak menguntungkan tubuh
akan diblok oleh mekanisme pertahanan tadi, demikian juga
mikroorganisme patogen akan diinaktifasi bahkan dibunuh.
Tabel 1.
Komponen barrier usus
Mekanisme Non-Imunologik
Intraluminal
Asam lambung
Akt~tas proteolitik
Motilitas usus
Permukaan
mukosa
Musin
Membrane microvilli
Mekanisme Imunologik
Gut associated lymphoid tissue
Secretory IgA
Cell Mediated Immunity
Saluran cerna, mulai dari mulut sampai ke anus, bentuknya
tidak lebih sebagai suatu tabung. Sepanjang saluran cerna ini,
bermuara sejumlah kelenjar yang akan mensekresikan cairan
yang berfungsi untuk pencemaan. Cairan yang disekresikan ini
jauh lebih banyak jumlahnya dibandingkan dengan caftan yang
berasal dari makanan dan minuman
t21
. Di camping itu, struktur
usus halus didesain sedemikian rupa, sehingga membentuk per-
mukaan yang luas untuk tempat kontak antara cairan/makanan
yang terdapat di lumen usus dengan jaringan di dinding usus,
sehingga absorpsi yang maksimal dapat terjadi. Hal ini di-
mungkinkan karena permukaan usus halus yang menghadap ke
lumen, mengandung sejumlah lipatan-lipatan yang ditutupi oleh
sel-sel khusus yang disebut enterosit di mana sel ini berfungsi
untuk sekresi digesti dan absorpsi. Sel-sel ini umumya singkat,
setiap 3-4 hari sekali sel-sel ini akan diganti. Enterosit-enterosit
ini ditutupi lagi oleh brush like filament (microvilli), yang se-
lanjutnya akan menambah luas permukaan usus. Ditaksir luas
permukaan usus yang sehat sekitar 2000 m
2
atau seluas lapang-
an sepak bola. Karena itu tak mengherankan bila penyerapan
makanan paling banyak di usus halus, demikian juga air
s
`
)
.
Kolon, selain berfungsi untuk reservoir juga berfungsi dalam
penyerapan air. Lebih 90% air yang sampai/terdapat di kolon
akan diserap
1
") (label 2). Karena itu tinja yang normal hanya
mengandung sedikit air, lebih kurang 100-200 ml sehari.
Tabel 2.
Jumlah air yang diserap oleh segmen-segmen usus
Segmen
usus
Volume cairan
dijumpai
(I/hart)
Volume cairan
dijumpai
(I/hart)
Persentase
penyerapan
(%)
Jejunum
Ileum
Colon
9
4 5
1 2
4 5
3 4
0.9
1.8
50
75 80
90
CARA MIKROORGAMSME MENYEBABKAN MARE
Pada keadaan diare akan dijumpai peningkatan volume
caftan dalam tin ja
m
.
Hal ini terjadi karena adanya gangguan usus
untuk mengabsorpsi/reabsorpsi cairan yang terdapat di lumen
usus dan meningkatnya secara berlebih-lebihan sekresi dari ke-
lenjar-kelenjar pencernaan ke lumen usus ataupun kombinasi
kedua-duanya. Akibatnya akan terjadi kehilangan cairan, elek-
trolit dan basa dalam jumlah yang besar melalui tinja, sehingga
gejala-gejala dehidrasi, gangguan keseimbangan elektrolit dan
asam basa akan dijumpai.
Berdasarkan keterangan di alas, diare secara garis besar da-
pat dibagi Was Absorptive diarrhoea dan Secretory diarrhoea.
Sebenarnya pembagian ini tidak begitu tegas karena sering
mikroorganisme yang menyebabkan absorptive diarrhoea,
juga
dapat menyebabkan secretory diarrhoea(
o
.
Untuk dapat menimbulkan diare, bakteri enteropatogen yang
tertelan haruslah survive melewati asam lambung, berproliferasi
di lumen usus, membentuk kolonisasi pads usus halus/besar,
kemudian melekat (adherent) pada enterosit dan mensekresikan
enterotoksin. Mikroorganisme ini selanjutnya menginvasi mu-
kosa usus, multiplikasi dalam mukosa diikuti dengan pemben-
tukan sekretagogue dan sitotoksin
ta,
"
Secara garis besar bakteri enteropatogen menyebabkan
diare dengan 4 cara yaitu
tb)
:
1) Kolonisasi dan melekatnya bakteri ke permukaan usus,
sehingga terjadi destruksi microvilli dan kerusakan enterosit
(adherent).
2) Setelah mengadakan kolonisasi, bakteri akan mensekresi
enterotoksin yang akan mengikat reseptor spesifik di mukosa
usus. Akibatnya terjadi peningkatan mediator intraselluler
(adenosine 3-5 cyclic phosphate ataupun guanosine mono-
phosphate) yang akan menyebabkan perubahan transport air dan
elektrolit, tanpa adanya perubahan morfologi usus (toxigenic).
3) Bakteri enteropatogen yang menginvasi mukosa usus akan
menyebabkan timbulnya radang dan ulkus. Enterosit dihancur-
kan dalam jumlah yang banyak, pembuluh darah akan ruptur,
lekosit rusak. Sehingga timbul/pengeluaran darah dan pus ber-
sama tinja (invasive).
4)
Sekresi sitotoksin yang menyebabkan kerusakan mukosa
usus (cyroroxic).
Berdasarkan hal-hal di atas, maka virulensi bakteri entero-
patogen tergantung dari kesanggupan bakteri tersebut melewati
asam lambung dan kesanggupan menghasilkan ke-empat me-
kanisme di atas. Juga hams diingat, bakteri enteropatogen sering
menimbulkan diare dengan menggunakan lebih dari satu me-
kanisme tadi secara simultan
tb)
(Tabel 3).
Salah satu jenis virus enteropatogen yang sering menye-
babkan diare adalah Rotavirus. Infeksi Rotavirus ini umumnya
mengenai jejunum, tetapi dapatdifus menyebar mengenai seluruh
usus halus sehingga menimbulkan diare yang hebat. Virus ini
menimbulkan diare dengan cara menginvasi epitel villi sehingga
terjadi kerusakan sel yang matur"
.7.8)
Sel yang matur ini akan
diganti oleh sel immatur yang berasal dari proliferasi sel-sel
kripta. Sel immatur ini mempunyai kapasitas absorpsi yang
Cermin Dunia Kedokteran, Edisi
Khusus No. 80, 1992 45
Tabel 3.
Mekanisme Patogenik dart Bakteri Enteropatogen
Adherent Toxigenic Invasive Cytotoxic
Enteropatho-
genic E. coli
Enterohemo-
rrhagic E. soli
Shigella
Enterotoxigenic
E. coli
Y. enterocolitica
Aeromonas
V. cholera dan
non-O' vibrio
serogroup
Shigella
Salmonella
Y. enterocolitica
C. jejuni
V. parahaemo-
lyticus
Shigella
Enteropatho-
genic E. coli
Enterohemo-
rrhagic E. coil
C. difficile
kurang dibandingkan dengan sel matur, juga aktifitas disakari-
dase yang terdapat di sel immatur ini masih kurang sehingga
terjadi gangguan pencernaan karbohidrat"
1
.
Parasit yang sering menyebabkan diare
adalah Giardia
lamblia dan Cryptosporidium.
Bagaimana sebenarnya kedua
parasit enteropatogen ini menyebabkan diare, masih belum jelas;
mungkin dengan melibatkan satu atau lebih mekanisme di bawah
ini :
1.
Bekerja sebagai barier mekanik sehingga mengganggu
absorpsi.
2. Kerusakan langsung pada mukosa usus.
3. Pembentukan eksotoksin.
4. Menimbulkan reaksi imunologik.
5. Mengubah pattern
yang normal dari motilitas usus.
MANFAAT DARI SEGI PRAKTIS
Proses yang terjadi pads diare, sebenamya dapat dipandang
dari dua aspek. Pertama, secara alamiah, diare merupakan me-
kanisme pertahanan tubuh. Karena air yang keluar begitu banyak
akan bekerja sebagai pembersih usus (cleaning effect).
Dengan
demikian bahan-bahan patogen (virus, bakteri, parasit, toksin,
bahan-bahan allergenik dan lain-lain) akan dikeluarkan dari
saluran cerna, sehingga membatasi efek selanjutnya dari bahan-
bahan tersebut
l
. Berdasarkan hal tersebut, pemberian obat-obat
spasmolitik harus dihindarkan pads penderita diare karena dapat
menyebabkan overgrowth bakteri, megakolon toksik, ileus pa-
ralitik dan lain-lain
lo
.
Di samping itu diare, apapun penyebabnya, akan menye-
babkan kehilangan cairan dan elektrolit dari tubuh. Kehilangan
tersebut dapat merupakan hal yang serius bahkan mengancam
nyawa penderita, bila proses berlan jut menjadi dehidrasi berat,
renjatan dan komplikasi lain yang dapat timbul pads diare (se-
perti asidosis, gangguan keseimbangan elektrolit, gagal ginjal
dan lain-lain). Tidak kalah pentingnya adalah kehilangan ma-
kanan melalui tinja, sehingga bila diare berlangsung lama, dapat
terjadi kurang kalori protein.
Mengingat akibat-akibat tadi, maka prioritas utama peng-
obatan diare adalah rehidrasi secepat mungkin dengan pem-
berian cairan elektrolit, diikuti dengan pemberian makanan se-
telah tercapai rehidrasi.
Pemeriksaan makroskopis tinja dapat membantu meng-
identifikasi kasus yang termasuk
invasive diarrhoea. Bila di-
jumpai darah/pus dalam tinja, kemungkinan menderita shigella
dysentry.
Bila kelihatan sakit berat, dapat diberikan antimikroba
sebagai tambahan pemberian cairan elektrolit.
KEPUSTAKAAN
1. WHO/CDD/SER/80.2.Rev.2.1990 : A
Manual for the treatment of
diarrhoeas. For use by physicians and other senior health worker.
2.
Byme WJ. The gastrointestinal tract. In: Behnnan RE, Kliegman R. Nelson
Essentials of Pediatrics. Philadelphia: W.B. Saunders Company. 1990; pp.
377-410.
3. Israel EJ, Walher WA. Host defense development in gut and related disor-
ders. Pediatr. Clin. North. Am. 1988; 35: 115.
4.
Bardhan PK. Pathophysiology of acute infectious watery diarrhoea. Interna-
tional training course on Diarrhoeal disease : Clinical Aspect, Dhaka. 414
December 1988.
5. Kerzner B. Pathogenesis of diarrhoea. Epidemiology and management of
diarrhoea in children of S.E. Asia. 1st Ross Round Table Asian Edition.
Excerpta Medica, Asia Pacific Congress Series No. 34. pp. 65-71, 1984.
6.
Cohen MB. Etiology and mechanisms of acute infectious diarrhoea in infants
in the United States. J. Pediatr. 1991; 118: S 34-39.
7.
Saniel MC. Mechanisms of diarrhoea. Acute Diarrhoeas: their management
and prevention. Ministry of Health, the Philippine Pediatric Society and the
Kabalitkat
ng Pamilyang Pilipino Foundation, Inc. pp. 16-19, 1985.
8.
Hamilton JR. The Pathophysiological basis for viral diarrhoea : A Progress
Report. J. Pediatr. Gastroenterol. Nutr. 1990; 11: 150-4.
46 Cermin Dunia Kedok t eran, Edisi Khusus
No. 80, 1992
Kendala Penanganan
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA)
H. Ridwan Muchtar Daulay
Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan
PENDAHULUAN
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA), diare dan kurang
gizi merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada
anak di negara maju dan berkembang, terutama pads usia di
bawah 5 tahun.
ISPA merupakan penyebab morbiditas utama pads negara
maju; tidak demikian keadaannya pada negara berkembang di
mana morbiditasnya relatif lebih kecil. Mortalitas yang tinggi
pada umumnya akibat ISPA bawah yang berat. Keadaan-keadaan
ini
merupakan penalar bagi kita agar segera memikirkan dan
melaksanakan program pencegahan dan pemberantasan ISPA
sesuai dengan usaha WHO pads tahun-tahun terakhir ini.
Perumusan masalah seperti definisi, klasifikasi ISPA dis-
ertai pengumpulan data, hipotesis dan kesimpulan merupakan
kunci utama untuk berhasilnya program ini.
Tulisan ini mencoba menguraikan kendala penanganan
Infeksi Saluran Pernafasan Akut pads bayi dan anak.
DEFINISI
ISPA merupakan penyakit infeksi saluran nafas yang secara
anatomi dibedakan atas saluran nafas atas mulai dari hidung
sampai dengan taring dan saluran nafas bawah mulai dari laring
sampai dengan alveoli beserta adnexanya, akibat invasi
infecting
agents
yang mengakibatkan reaksi inflamasi saluran nafas yang
terlibat.
Hingga saat ini telah dikenal lebih dari 300 jenis bakteri
dan virus sebagai penyebab ISPA. Berdasarkan definisi ini
diagnosis ISPA ditegakkan dengan pembuktian jenis
infecting
agent
dan adanya inflamasi saluran nafas. Pembuktian ini
membutuhkan pemeriksaan laboratorium yang tidak sederhana
sehingga tidak praktis diterapkan pada saat ini di Indonesia dan
kadangkala di negara maju.
Klinik ISPA merupakan bangkitan tanda dan gejala akut
akibat inflamasi saluran nafas karena adanya invasi infecting
agent.
Dikatakan bangkitan baru bila tanda dan gejala tersebut
terjadi sekurang-kurangnya setelah 48 jam bebas gejala bangkit-
an akhir dan berlangsung tidak lebih dari 14 hari.
Definisi praktis sangat didambakan; dengan pemeriksaan
klinis sederhana berupa penglihatan, pendengaran dan perabaan,
indentifikasi penyakit dapat diterapkan.
KLASIFIKASI DAN PATOGENESIS
Klasifikasi ISPA dibedakan berdasarkan anatomi, etiologi,
berat ringannya ataupun gabungan sesamanya seperti yang
diajukan International Classification of Diseases (ICD). Klasi-
fikasi ICD-revisi 9 berdasarkan anatomi, etiologi dan fungsi
hanya dapat diterapkan tenaga kesehatan formal seperti dokter
Puskesmas dan Rumah Sakit yang mempunyai sarana pen-
dukung, tidak sesuai dengan usaha penanggulangan ISPA di
Indonesia saat ini. WHO (1985) mengajukan konsep perubahan
klasifikasi ISPA berupa ICD-revisi 10 yang lebih menggam-
barkan perkembangan penanggulangan ISPA di Indonesia saat
ini.
Klasifikasi berdasarkan etiologi sangat ideal. Dengan me-
ngetahui etiologinya dapat diketahui pola kuman atau virus
penyebab serta pola mikrobiologi untuk terlaksananya usaha
pencegahan dan penanggulangan yang akurat sehingga ter-
wujudnya rasionalisasi penggunaan antibiotika di satu pihak dan
merupakan kendala bagi para ahli terutama di Indonesia di pihak
lain.
Berdasarkan klasifikasi anatomis dibedakan alas rhinitis,
faringitis, tonsilitis, laringitis, trakheitis, bronkitis, bronkiolitis,
pneumonia, abses pulmonum dan empiema.
Klasifikasi sederhana berupa tanda dan gejala ISPA yang
mudah dikenal untuk mengetahui tindakan selanjutnya apakah
Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992
47
harus diberi antibiotika, dapat dirawat di rumah atau harus di-
rujuk ke Rumah Sakit.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia menggunakan
pedoman klasifikasi ISPA untuk petugas kesehatan sesuai de-
ngan klasifikasi sederhana WHO berupa ISPA ringan, sedang
dan berat(
2
).
Pada dasamya terjadinya ISPA bawah merupakan kom-
plikasi ISPA atas kecuali pads bayi baru lahir
3
.
MORBIFDITAS DAN MORTALITAS
Morbiditas ISNA lebih banyak pads negara maju; tidak
demikian keadaannya dengan diare, pads negara berkembang
morbiditasnya 4 - 5 kali lebih besar dari negara maje). Di
Indonesia morbiditas ISNA di pedesaan relatif lebih rendah dari
perkotaan.
Hasil survei Kesehatan Rumah Tangga tahun 1980 dan 1986
di Indonesia memperlihatkan ISPA atas dan bawah merupakan
penyebab utama morbiditas dan mortalitas bayi dan anak balita.
Survei tahun 1986 menunjukkan, 25,7% penduduk menderita
ISPA dengan penyebaran 42,4% pada anak di bawah 1 tahun,
40,6% pada usia 1- 4 tahun dan 32,5% pada anak berumur 5 -
14 tahun
(4
). Penelitian terhadap 877 anak balita di Pondok Pinang
Jakarta sejak 1 April 1970 sampai dengan 31 Maret 1971 ditemui
dari 3121 episode penyakit, 1428 (45,3%) disebabkan ISPA
A5
.
Dari 12 besar penyakit anak di Rumah Sakit Dr. Kariadi Se-
marang (1979) ISPA menduduki tempat ke dua setelah penyakit
saluran cerna
(6)
.
Untuk daerah Sumatera Utara basil survei Kesehatan Ru-
mah Tangga pada tahun 1972, ISPA atas menduduki tempat
pertama (16,5%), sedang ISPA bawah pada urutan ke enam yaitu
5,2%('). Dari 15.960 pengunjung Poliklinik Anak Sakit Rumah
Sakit Dr. Pimgadi Medan pada tahun 1981, 65,60% anak men-
derita ISPA atas dan 19,74% ISPA bawah(
E
). Soemardi Umar dick
(1983) juga melaporkan kejadian ISPA bawah di ruang rawat
mondok Rumah Sakit Dr. Pirngadi Medan pada tahun 1981 dan
1982 adalah 29,2%; 49,23% daripadanya adalah penderita
bronkopneumonia yang merupakan 20,39% dari seluruh ISPA
bawah.
Mortalitas ISPA yang pasti sampai saat ini belum diketahui.
Kematiannya kebanyakan akibat bronkopneumonia dan bron-
kiolitis. Pada negara berkembang diperkirakan 20-25% kemati-
an anak Balita diakibatkan ISPA
0

10)
. Mortalitas ISPA di Amerika
Utara 0,5% per 1000 anak di bawah usia 1 tahun, dan 3-8 per
1000 anak usia 1-5 tahun
l,11)
; sedangkan laporan dari berbagai
negara berkembang berkisar 10-44 per 1000 anak di bawah 1
tahun dan 3-8 per 1000 pada anak berusia antara 1-5 tahun
o.9.11
)
Dari data ini diperkirakan angka kematian akibat ISPA perseribu
penduduk 100-200 kali lebih tinggi di negara berkembang dari-
pada negara maju.
Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga tahun 1980, 19,9%
kematian penduduk akibat ISPA bawah, 22,1% pada bayi ber-
umur 0-1 tahun dan 28,1% pada anak berumur 1-4 tahun
z
;
basil survei 1986 mortalitas ISPA seluruhnya termasuk difteri,
pertusis dan campak pada seluruh penduduk 13,7%, 22,1% pada
48
Cermin Dunia Kedok t eran, Edisi Khusus No. 80, 1992
bayi berusia 0-1 tahun dan 35,0% pads anak 1-4 tahun
o)
.
Penelitian BIKA FKUSU Rumah Sakit Dr. Pirngadi Medan
oleh Fuad Arsyad (1981-1982) menunjukkan mortalitas pender-
ita bronkopneumonia yang dirawat mondok adalah 41,46% sedang
Charles Hutasoit (1985-1989) melaporkan 46,99%, tidak ter-
masuk neonatus yang
dirawat di Sub-Bagian
-
Perinatologi"
'4)
FAKTOR-FAKTOR
YANG MUNGKIN
MEMPENGA-
RUHI
Cuaca dan Musim
Di negara dengan 4 musim, kejadian ISPA cenderung
meningkat pads musim dingin"
)
; di negara tropis yang umum-
nya mempunyai 2 musim ISPA 2 atau 3 kali lebih sering terjadi
pada musim hujan
l16.17
)
Kepadatan penduduk
David Morley (1973) menekankan, yang
paling bertanggung
jawab terhadap terjadinya ISPA adalah kepadatan penghuni di
dalam atau di luar rumah; dikatakannya meningkatnya kejadian
ISPA pada musim-musim tertentu bukan diakibatkan perubahan
cuaca atau musim").
Di Inggris kejadian infeksi RSV pada anak lebih sering
pada anak yang mempunyai saudara dibandingkan dengan yang
tidak; disebutkan juga puncak kejadian ISPA berhubungan
dengan masa masuknya anak sekolah kembali setelah masa
libur"
)
.
Umur dan Jenis Kelamin
Anak berusia di bawah 2 tahun mempunyai risiko mendapat
ISPA lebih besar daripada anak yang lebih tua. Keadaan ini
mungkin karena pada anak di bawah usia 2 tahun imunitasnya
belum sempuma dan lumen saluran nafasnya relatip sempit.
Kejadian ISPA atas tidak ada bedanya antara anak laki-kaki
dengan perempuan, sedang ISPA bawah pada umur kurang dari
6 tahun lebih sering pada anak laki-laki"
Keadaan Nutrisi dan Anemia
Sejauh mana hubungan nutrisi dan anemnia terhadap kejadi-
an ISPA belum diketahui dengan jelas. Menurut David Morley
(1973) karena hubungan nutrisi dengan ISPA belum jelas; apa-
bila gizi jelek tidak diperhitungkan, kekurangan gizi di negara
berkembang tidak dapat dianggap sebagai penyebab utama dari
tingginya angka kematian ISPA.
Anemia terutama anemia defisiensi besi yang sering ditemui
pada bayi dan anak di Indonesia mempunyai hubungan timbal
balik dengan ISPA.
ETIOLOGI
Walaupun penyebab ISPA beranekaragam namun penyebab
terbanyak adalah infeksi virus dan bakteri. Penyebab infeksi ini
dapat sendirian atau bersama-sama secara simultan. Penyebab
ISPA akibat infeksi virus berkisar 90-95% terutama ISPA atas.
Kendatipun demikian peranan bakteri belum dapat disingkirkan.
Data penelitian ISPA kebanyakan berasal dari negara-ne-
gara barat walaupun sebenarnya penyakit ini merupakan ma-
salah penting di negara-negara tropis.
Penelitian di negara maju dan beberapa daerah perkotaan
negara sedang berkembang membuktikan bahwa ISPA bawah
juga diakibatkan infeksi virus
p7.2
'
.21>
. Turner dkk (1987) me-
laporkan dari 98 anak yang menderita pneumonia di Amerika
39% disebabkan infeksi virus, dan 19% oleh bakteri 53% dari-
padanya dijumpai juga infeksi virus(
22
).
Penyebab ISPA yang pasti pads negara berkembang belum
diketahui. Fakta menunjukkan bahwa bakteri patogen meru-
pakan penyebab ISPA bawah yang berat baik primer maupun
sekunder. Virus respiratorik memegang peranan pads fase per-
tama
o.23>
.
WHO melaporkan dari anak-anak yang menderita
ISPA berat yang dirawat di Rumah Sakit di 7 negara sedang ber-
kembang dan belum mendapat antibiotika ternyata basil pungsi
parunya 60% positif terhadap bakterP. Dijumpainya kultur
darah yang positif dan adanya perbaikan klinis akibat pemberian
antibiotika terhadap anak yang menderita pneumonia, secara
tidak langsung
menyokong penyebab infeksinya adalah
bakteri e
,
'
s.26>
Dan data di atas diperkirakan penyebab pneumonia berat
[ada negara sedang berkembang 50% oleh karena infeksi bakteria
dan sensitif terhadap pemberian antibiotika.
Bakteri
Peranan bakteri sebagai penyebab ISPA lebih sulit ditentu-
kan karena bakteri juga dapat ditemui pads anak-anak yang tidak
menderita ISPA
(19
). H. influensa, streptokokkus, dan pneumo-
kokkus merupakan bakteri patogen yang banyak ditemui, diikuti
dengan stafilokokus aureus dan streptokokkus beta hemolitikus.
Di negara berkembang penyebab utama ISPA berat pada
anak adalah S. pneumonia dan H. influenzae(1.'
1.'6.2.2s.2s.Th
penye-
bab ISPA berat lain adalah S. aureus, B. pertusis, M. pneumonia,
Chlamydia dan Branhemella catarrhalis. M. pneumonia dan B.
pertusis dapat menyebabkan epidemi dan umumnya basil kultur
hapusan tenggorok pads anak usia sekolah hasilnya negatip
kecuali
M. pneumonia 1015% basil biakan positip
(
'). Pala
masa neonatus bakteri penyebab ISPA yang paling sering adalah
S. aureus, E. coli di samping Stafilokokkus agalactiae (grup B),
S. pneumonia, Pseudomonas dan Klebsiella
a28>
.
Ong dkk mendapatkan hanya 15,4% biakan bakteri positif
dari nasal swab.
Soejono, Moeljono ST dkk (1975) memperoleh
stafilokokkus 36,1% pads anak berumur di bawah 1 tahun dan
4,8% pads anak berumur di atas 1 tahun yang menderita
bronkopneumonia
a29
j,
sedangkan Tatty, H. Moeljono ST dkk
(1980) dengan melakukan biakan nasofaring penderita ISPA me-
nemukan S. aureus 5,06%, S. albus 5,06%, ALfa streptokokkus
34,18% dan Beta streptokokkus 8,86%
0
>
Virus
Virus-virus yang sering menyebabkan ISPA adalah virus
Influenzae A, B, C, virus Parainfluenzae 1, 2, 3, 4, virus Respi-
ratory Syncytial (RSV), Adenovirus, Rhinovirus dan Entero-
virus. Virus yang sering dilaporkan sebagai penyebab ISPA ba-
wah adalah RSV, Parainfluenzae dan Adenovirus
o.
"
.
'
6.4.23.25,27>
Virus Influenzae C menyebabkan ISPA dengan gejala
ringan, virus Influenzae A sering menimbulkan demam tinggi,
kejang dan pneumonia pada bayi dan virus Influenzae B me-
nyerang anak yang lebih besar dengan gejala influenzae disertai
nyeri perut. Virus Parainfluenzae tipe 1 dan 2 menimbulkan
gejala mirip croup,
tipe 3 sering menyerang bayi berumur di
bawah 6 bulan dengan gejala mirip bronkiolitis dan pneumonia.
Adenovirus serotipe 1, 2, 5 sering menimbulkan ISPA bawah
yang berat sedangkan serotipe 3, 4, 7 sering menyebabkan
faringitis pads anak dengan umur yang lebih tua. Virus lain
misalnya virus morbili dapat menyebabkan ISPA yang apabila
diikuti infeksi bakteri akan menyebabkan ISPA bawah yang
berat (pneumonia). Ong dkk (1977) dengan melakukan biakan
paranasal swab menemui virus sebagai penyebab ISPA adalah
47,7% dan Bakteria, 15,4%
01>
.
PENGELOLAAN
Mengingat pencegahan lebih baik dari pengobatan maka
sebaiknya pengelolaan ISPA dilaksanakan secara menyeluruh
meliputi penyuluhan kesehatan yang baik, menggalakkan imu-
nisasi dan penatalaksanaan penderita secara medik sebagaimana
lazimnya. Walaupun morbiditas ISPA bawah relatif lebih kecil
dari ISPA atas namun fasilitas klinik yang dibutuhkan dalam
penanganannya sangat tinggi. Selayaknyalah pemberantasan
ISPA bawah diprioritaskan dengan menitik beratkan usaha
penekanan morbiditas ISPA bawah baik sebagai lanjutan ISPA
atas atau tidak dan mortalitasnya.
Penyuluhan Kesehatan
Penyuluhan kesehatan berperan mengurangi risiko morta-
lity ISPA berupa bayi berat badan lahir rendah, gizi kurang,
kebiasaan ibu merokok dan keengganan ibu menyusukan bayi-
nya. Penyuluhan ini penting sekali bagi ibu-ibu sebagai tenaga
kesehatan non-formal untuk mengenal ISPA ringan, sedang dan
berat untuk pengelolaan penderita selanjutnya.
Imunisasi
Peningkatan cakupan imunisasi penyakit ISPA dengan
menggalakkan imunisasi difteri, pertusis dan morbili sangat
berberan dalam usaha pemberantasan ISPA.
PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan penderita dilaksanakan tenaga medik
(formal) dengan prosedur medik berupa diagnosis, pengobatan
dan rujukan serta tenaga non-medik dimulai tingkat ibu rumah
tangga sampai dengan kaderkesehatan desa dengan menggunakan
pedoman dan klasifikasi sederhana.
Diagnosis
Umumnya diagnosis ditegakkan secara klinik walaupun
diagnosis etiologik sangat menentukan keberhasilan pengobat-
an. Pemeriksaan bakteriologik dan penunjang lainnya dapat
membedakan penyebabnya bakteri atau virus.
Tidak spesifiknya gejala klinik, basil biakan oro dan naso-
faring yang positif terhadap S. pneumonia dan H. influenzae,
basil kultur bakteri yang positif akibat kontaminasi, kultur darah
yang hanya sebagian kecil positif dan kultur aspirat pungsi paru
yang sulit dilakukan dan invasif walaupun merupakan metoda
paling baik untuk menentukan etiologi, semuanya merupakan
Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992
49
masalah. Untuk mengatasinya harus difikirkan pengembangan
pemeriksaan serologis terhadap
S. pneumoniadan H. influenzae
berupa pemeriksaan antigen, antibodi dan CRP. Pemeriksaan
CRP berguna untuk membedakan penyebab ISPA bakteri atau
virus.
Untuk mengetahui virus sebagai penyebab dapat dilakukan
pemeriksaan kultur walaupun umumnya sangat sulit dilakukan.
Sediaan berasal dari hapusan tenggorok, hidung, aspirat naso-
faring atau dari serum pada masa akut dan konvalesen. Kultur ini
dilakukan pada embrio ayam, ginjal monyet, Hela/Hep 2 cells
atau human lung
fibroblast.
Pemeriksaan mikroskop elektron, imunofloresen, enzim,
redioimmunoassay, haemagglutination, haernadsorption
dan
deteksi IgM spesifik membutuhkan waktu lebih singkat sehingga
deteksi virus secara dini dapat dilakukan untuk mencegah penye-
baran dan penggunaan antibiotika yang tidak rasional.
Pengobatan
Pengobatan meliputi pengobatan penunjang dan antibiotika.
Penyebab ISPA atas yang terbanyak adalah infeksi virus maka
pemberian antibiotika pads infeksi ini tidaklah rasional kecuali
pada sinusitis, tonsilitis eksudatif, faringitis eksudatif dan radang
telinga tengah
l
).
KEADAAN DAN KENDALA ISPA PADA BAYI DAN
ANAK
Pneumonia
Diagnosis Rumah Sakit merupakan diagnosis klinik; bila di-
ikuti pemeriksaan radiologik paru dan analisa gas darah, diagno-
sis anatomik dan fungsional dapat ditegakkan.
Tanda klinik berupa panas, sesak nafas dengan frekuensi
pernafasan yang bertambah dan adanya retraksi suprasternal,
interkostal dan epigastrium disertai ronki basah halus nyaring.
Penelitian Marjanis Said (1980) pads anak dengan bron-
kopneumonia berat menemui frekuensi pernafasan dan jantung
meningkat, ronki basah halus nyaring pada semua penderita,
gelisah 60%, gangguan kesadaran 56,6% dan sianosis 53,3%.
Hasil analisis gas darah menunjukkan hipoksemi pada semua
penderita dan setelah pemberian oksigen sebanyak 3 1/menit
masih ditemui 42,4% penderita hipoksemi. Peneliti juga me-
nemui insufisiensi dan kegagalan ventilasi dan asidosis meta-
bolik pads 44,4%. Tanda klinik yang mempunyai korelasi baik
terhadap adanya hipoksi dan penurunan saturasi oksigen adalah
sianosis(
32)
. Penelitian ini menunjukkan, walaupun terapi kausal
sangat didambakan namun terapi suportif tidak dapat diabaikan.
Penyuluhan terhadap keluarga dan tenaga kesehatan non-
formal sangat diperlukan sehingga mereka mengenal ISPA
ringan, sedang dan berat untuk tindakan selanjutnya.
Pertanda untuk perujukan penderita ISPA bagi tenaga non-
medis adalah frekuensi pernafasan lebih dari 50 kali/menit dan
adanya retraksi dada(
33
)
Penyebab pneumonia di negara berkembang kebanyakan
adalah bakteri terutama S. pneumonia dan H. influenzae maka
WHO menggariskan pemberian antibiotika terhadap ISPA sedang
dan berat berupa penisilin, kotrimoksazol atau amoksisilin
(28)
.
50 Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992
Alan Tumbelaka dkk (1987) membandingkan pengobatan
pneumonia berat pads anak berumur 2 bulan 2 tahun dengan
kotrimoksazol dan kombinasi ampisilin dan kloramfenikol de-
ngan hasil pengobatan yang tidak bermakna, masing-masing
93,2% dan 91,0%
04
).
Diagnosis etiologik belum pernah dilaporkan, sebaiknya
dilakukan walaupun merupakan tantangan akibat sulit mahal
untuk dilaksanakan. Para ahli menduga pneumonia yang terjadi
pads stadium awal morbili biasanya diakibatkan invasi virus
morbili;
bila terjadi pada stadium rekonvalensi dialdbatkan
infeksi bakteri sekunder. Cissy B. Kartasasmita dkk (1987)
melaporkan hasil penelitian terhadap 142 anak berumur 6 bulan
9 tahun dengan pneumonia morbili ternyata 77% pneumonia
terjadi pada stadium awal dengan 27% leukositosis dan 23%
pada stadium rekonvalensi dengan 53% leukositosis(
3s
)
Bronkiolitis
Williams dan Phelan (1975) menyatakan bronkiolitis umum-
nya dijumpai antara usia 1 6 bulan(
19)
. Penyebab utamanya 86%
oleh karena infeksi RSV dan dapat juga oleh virus Parainfluen-
zae
m
. Banyak laporan kepustakaan menyatakan bahwa anak
yang sembuh dari ISPA sebagian akan meninggalkan gejala sisa
yang bersifat sementara atau menetap. Gejala sisa ini merupakan
faktor risiko untuk terjadinya penyakit paru kronis di masa men-
datang. Gejala sisa yang ditimbulkan bronkiolitis tidak hanya
terbatas pada asthma tapi dapat berupa obstruksi, emfisema,
infeksi berulang dan atelektase akibat necrotizing bronkiolitis
akibat infeksi adeno virus. Kemungkinan keadaan ini tidak ter-
lepas dari faktor ras dan sosio-ekonomi(36.37.3s)
Bentuk lain adalah bronkiolitis obliterans, akibat kerusakan
jaringan otot, elastis dan epitel bronkiolus pada penyembuhan
nantinya akan terbentuk fibrosis yang mengakibatkan obliterasi
lumen bronkiolus. Keadaan ini diakibatkan oleh infeksi virus
Influenzae, Rubeola, Adeno virus dan inhalasi gas-gas
toksik(
36.37,38)
.
Bronkitis Akut
Infeksi bronkus ditandai dengan adanya demam, batuk pro-
duktif, pilek serta tanda-tanda radang pads saluran nafas atas dan
ronki basah kasar tidak nyaring. Menurut kepustakaan penyebab
bronkitis akut pada umumnya adalah virus.
Pemeriksaan kadar CRP (C-reaktive Protein) dapat digunakan
sebagai test penyaring untuk menentukan penyebab. Untuk
menguji kebenarannya sebaiknya dikonfirmasi dengan kultur
bakteri dan pemeriksaan virus. Penelitian-penelitian mendatang
untuk validitas virus sebagai penyebab bronkitis akut sangat
diharapkan sehingga penggunaan antibiotika yang tidak rasional
dapat dihindari.
Nastiti N Rahajoe dkk (1987) mendapatkan dari 60 anak
yang umurnya berkisar 1 12 tahun menderita bronkitis akut
ternyata, penderita terbanyak pada umur 1 3 tahun (58,33%),
secararadiologis telah disingkirkan adanya pneumonia (93,02%)
dan tidak bertentangan dengan infeksi virus, pemeriksaan CRP
normal, leukosit kurang dari 10.000/mm
3
(90%) dan suhu tubuh
kurang dari 38,3 C sebanyak 75,50%
04
).
Laringitis akut non difterika
Umumnya ditemukan pads usia 1 3 tahun
t19.
'
0l
,
manifes-
tasinya berupa laringitis supra atau sub-glotis dan dapat meng-
akibatkan obstruksi saluran nafas alas menyebabkan keadaan
darurat medik yang mengancam jiwa anak.
Diagnosis etiologik belum ada yang melaporkannya se-
dangkan diagnosis klinik di Rumah Sakit tidak menjadi per-
masalahan.
Prognosis dapat dipengaruhi umur penderita. Makin muda
usia anak makin kecil ukuran laringnya makin berat pula gejala
yang ditimbulkannya
o11
Untuk mencegah obstruksi laring yang berat pads awal
penyakit diberikan kortikosteroid dan antibiotika dan bila
obstruksi telah terjadi sebaiknya dilakukan intubasi atau tra-
keostomi.
Pengamatan dan penatalaksanaannya yang tepat sangat
diharapkan terlebih-lebih lagi sampai saat ini pencegahan de-
ngan cara imunisasi belum ditemukan.
Laringitis akut difterika
Seperti laryngitis nondifterika, laryngitis ini sangat cepat
menimbulkan gawat anak.
Diagnosis klinik di Rumah Sakit selalu dikonfirmasi dengan
pemeriksaan basil kultur yang disertai pemeriksaan test sensiti-
vitas.
Untuk mencegah angka kematian yang lebih besar dibu-
tuhkan diagnosis dini yang segera diikuti dengan pemberian
ADS dan antibiotika.
Faringitis dan Tonsilitis karena streptokokkus
Adanya kemungkinan korelasi faringitis dan tonsilitis
streptokokkus ini dengan sakit jantung rematik sehingga kedua
infeksi ini hams selalu ditanggapi dengan serius.
Pertusis
Rendahnya cakupan imunisasi DPT dan sedikitnya pene-
muan diagnosa pertusis merupakan suatu keadaan yang sumir.
Permasalahan yang timbul apakah gambaran atau manifestasi
klinis pertusis saat sekarang ini telah mengalami perubahan.
Syafitri Siregar dkk (1987) melakukan pemeriksaan kultur
dan pengukuran S-IgA usap nasofaring terhadap 21 anak ter-
sangka pertusis dan 28 anak kelompok kontrol, temyata S-IgA
positif pada penderita tersangka pertusis dibandingkan dengan
basil biakan kuman berbeda bermakna 58,1% dan 25%. Dengan
demikian untuk menegakkan diagnosis pertusis pada biakan
kuman yang negatip sebaiknya dilakukan.pengukuran S-IgA
l42l
.
KESIMPULAN
Telah diutarakan kepustakaan ISPA pads bayi dan anak di
Indonesia dengan membandingkannya dengan kepustakaan ba-
rat. Ternyata morbiditas dan mortalitas ISPA bayi dan anak di
Indonesia masih tinggi.
Kendala yang ditemui antara lain belum ditemukannya pola
bakteriologi, mikrobiologi dan virologi sehingga penggunaan
antibiotika yang rasional belum terlaksana sebagaimana mesti-
nya. Kendala lain yang juga berperan tapi belum semua ter-
ungkapkan adalah faktor-faktor yang mempengaruhi morbiditas
dan mortalitas ISPA.
Adanyapenyakit-penyakit ISPA yang sembuh dengan gejala
sisa yang merupakan faktor risiko untuk terjadinya penyakit paru
kronis di masa mendatang menjadi tantangan bagi kita semua.
Sangat dibutuhkan penelitian-penelitian berikutnya untuk
mengungkapkan kendala-kendala yang dihadapi pada program
pemberantasan ISPA dalam usaha menurunkan angka kematian
bayi dan anak untuk menunjang program pcmerintah di tahun
2000 mendatang.
KEPUSTAKAAN
1. WHO. A Programme for Controlling Acute Respiratory Infections in
Children : Memorandum from a WHO Meeting Bull WHO 1984; 62:
47-58.
2. WHO. Case Management of Acute respiratory Infections in Children in
Developing Countries. WHO/RSD/85.15. Rev 1.
3. Smith MHD.
Bacterial Pneumonias. dalam Kendig's Disorders of the
Respiratory Tract in Children, WB Saunders, 1977. pp 378-401.
4. L Ratna Budiarso dkk (eds). Presiding Survei Kesehatan Rumah Tangga
1986. Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan. Departemen Ke-
sehatan, 1987.
5. Saroso JS, Supamadi, Retnawati, Manikoro. A Longitudinal Survey of
Diseases Occuring in Children Under 5 Yeras Age In Pondok Pinang,
Jakarta, Paediatr Indon 1972; 12: 469-478.
6. Moeljono S Trastotenojo.
Beberapa masalah dan perspektif kesehatan
anak di Indonesia. Pidato pengukuhan penerimaan Guru Besar Tetap
Universitas
Diponegoro, 1981.
7. Kanwil Depkes RI, Propinsi Sumatera Utara. Tinjauan epidemiologi pe-
nyakit
saluran nafas bagian alas di Propinsi Sumatera Utara. Pertemuan
Ilmiah Sehari Penanggulangan Penyakit Saluran Nafas Atas dan Rongga
Mulut. Medan, 1983.
8. SoemardiUmardkk. KejadianPenyakitlnfeksiSaluran Nafas diPoliklinik
Anak Sakit
RS. Dr.
Pimgadi Medan: Konas IDPI ke III, Medan 1983.
9.
WHO. Clinical Management of Acute Respiratory Infections in Children:
A WHO Memorandum. Bull WHO 1981; 59: 707-16.
10. WHO. Global Medium-Term Programme, Acute Respiratory Infections,
Seventh General Programme of Work Covering the Period 1984-1989,
WHO TRI/ARI/MTP/83.1, Geneva, September 1983.
11.
WHO. Research on Acute Respiratory Infections, Advisory Committee on
Medical Research, ACMR 24/82.13, Geneva, October 1982.
12.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia (1980), Survey Kesehatan
Rumah Tangga, Data Statistik, hal 27-81, 92-104.
13. Hutasoit C,
Mardiana K.Dj, Daulay RM, Lubis HM, Siregar Z. Bronko-
pneumonia dengan Morbili pada bayi dan anak yang dirawat di RS. Dr.
Pimgadi Medan. KONIKA VIII, Ujung
Pandang 1990.
14.
Fuad Arsyad, Rusdid jas, Siregar Z, Siregar H. Kejadian Bronkopneumonia
di Bagian Bmu Kesehatan Anak FK. USU/RS Dr. Pimgadi Medan. KONAS
Ke III IDPI, Medan, 1983.
15. WHO. Viral Respiratory Infections, WHO Techn Rep Ser, 642, 1980.
16.
Herrero L. Respiratory Infection in Central America, Pediatr Res 1983; 17:
1035-1038.
17. Reeves WC, Dillman L, Quiroz E, Centano R. Opportunities for studies of
children
'
s respiratory infection in Panama, Pediatr Res 1983; 17: 1045-9.
18.
Morley D. Acute Respiratory Infections. dalam: Paediatric Priorities in the
Developing World, Butterworths & Co Ltd, 1973.
19.
Williams HE, Phelan PD. Respiratory illness in children. 1st ed. Ozford-
London-Edinburg-Melboume: Blackwell Scient Publ.
20. Sutmoller F, Naccimento JP. Studies on Acute Respiratory Infections in
Brazil (A Status Report) Pediatr Res 1983; 17: 1038-40.
21. Denny FW, Clyde WA. Acute Respiratory Tract Infection: An Overview,
Pediatric Research, 1983; 17: 1026-1029.
22. Tumer RB et al. Pneumonia in paediatric outpatients: Cause and clinical
Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992
51
manifestations, J. Pediatr 1987; 111: 194-200.
23. Steinhoff MC, John TJ. Acute Respiratory Infections of Children in India,
Paediatr Res 1983; 17: 1032-5.
24. Mc Cord C, Kielmann AA. Successful Programme for Medical Auxiliaries
Treating Childhood Diarrhoea and Pneumonia, Tropical Doctor 1978; 8:
220-225.
25. Riley I et al. Status of Research on Acute Respiratory Infections in Children
in Papua New Guinea, Pediatr Res 1983; 47: 1041-3.
26. Weissenbacher MC. Opportunities for studies of children's respiratory
infections in Argentina, Pediatr Res 1983; 17: 1058-60.
27. Duenas A. Opportunities for Studies on Acute Respiratory Infections in
Children of Columbia, Pediatr Res 1983; 17: 1058-1060.
28. WHO. Antigen Detection in Bagterial
Respiratory Infections in Children.
WHO/RSD/87.39.
29.
Soejono, Moeljono ST, Harsoyo N. Treatment of
bronchopneumonia with
spiramycine (rovamycine). Paediatr Indon 1976; 16: 396-402.
30. Tatty H, Moeljono ST, Soemantri Ag, Moedrik T. Bacteriological pattern
in respiratory tract infection in Children (unpublished,
1983).
31. Ong SB, Thong ML, Tay LK. Viruses and bacteria associated with acute
respiratory illnesses in young children in general practice. SE Asian J Trop
Med Pub Hit 1978; 9: 98-102.
32. Mardjanis Said et al. Acid-Base Balance and Blood Gas Analysis in
Bronchopneumonia in Infancy and Childhood. Paediatr Indon 1980; 20:
68-76.
33.
Kartasasmita CB, Widjajaningsih, Alisjahbana A, Rarasati. Infeksi Salur-
an Pemafasan Akut: Bilakahseorang penderita hams dirujuk oleh petugas
kesehatan di pedesaan (dukun paraji?). KONIKA VII, Jakarta 1987.
34. Tumbelaka AR, M. Harjono Abdoerrachman, Bulan Ginting Munthe.
Pengobatan bronkopneumonia dupleks pads anak dengan Trimetoprim
dan Sulfametoksazol. KONIKA VII, Jakarta 1987.
35. Kartasasmita CB, Dedi Rachmadi. Beberapa aspek dari Bronkopneumonia
pada ai ak dengan campak. KONIKA VII, Jakarta 1987.
36. Phelan PD,
Landau LI, Olinsku. A respiratory illness in children 2nd ed.
Oxford, London, Melbourne: Blackwell Scient Pub, 1982.
37. Kendig E, Chemick V. Disorders of the Respiratory tract in Children. 4th
ed. St. Louis, London, Toronto: WB Saunders Co, 1983.
38. Kattan M. Long-Term Sequelae of Respiratory illness infancy and child-
hood. Pediat Clin N Am, 1979; 26: 525.
39. Rahajoe NN, Rahajoe N, Marjanis Said, Siti
Rozanah. Gambaran bronki-
tis pada anak. Peranan CRP dalam penyaringan etiologi. KONIKA VII,
Jakarta 1987.
40. Krugman S, Katz SL. Infections diseases of children. 7th ed. St. Louis,
Toronto, London: C.V Mosby Co, 1981.
41. Moffet HL. Paediatrics infections diseases. A problem oriented
apprqach.
2nd ed. Philadelphia, Toronto: JB LippincouCo, 1981.
42. Siregar S, Harahap F,
MatondangCS, dkk. Pengukuran kadar sekret IgA
untuk membantu menegakkan diagnosis pertusis. KONIICA VII,
Jakarta
1987.
5fe who asks a question is a fool for five minutes,
he who does not, remains a fool forever
(Chinese proverb)
52 Cermin Dunia Kedok t eran, Edisi Khusus No. 80, 1992
Penyakit Hati dan Tukak Lambung
Vaksinasi terhadap Hepatitis B
E.N. Kosaslh*, I. Suklman**
Bagian Patologi Klinik, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
Rumah Sakit Dr Pirngadi, Medan
ABSTRAK
Kekerapan hepatitis B adalah tinggi di Asia. Di Indonesia (1981) kekerapan Hepatitis
B Antigen (= HBsAg) positif ditambah kekerapan Hepatitis B Antibodi (= HBsAb)
positif, cukup tinggi : 51,6% (5,5% + 46,1%), sedangkan mahasiswa baru (1982) USU :
53% (16% HBsAg+, 37% HBsAb+). Golongan risiko tinggi akan kontak dengan virus
hepatitis B, perlu mendapat vaksinasi karena kecenderungan keterkaitan HBsAg-emia,
hepatitis kronik, cirrhosis hepatis dan hepatoma.
Dikenal dua jenis vaksin : berasal dari plasma dan rekombinan berasal dari sel ragi.
Kedua-duanya aman, memberikan imunogenisitas hampir sama. Faktor harga meng-
hambat pelaksanaan vaksinasi secara luas.
Pada orang normal : titer HBsAb (cara EIA) dianggap cukup protektif bila minimal
10 IU/1. Pengalaman penulis utama : 47 orang sehat (26 pria, 21 wanita, usia 2 66 tahun)
di antara pasien pribadi yang telah divaksinasi (Engerix B) memberi keberhasilan
terbentuknya HBsAb (cara EIA) pada 44 kasus (93,6%) dengan titer antibodi rata-rata
429,4 IU/l. Kebanyakan tergolong respons sedang (= 101 1000 IU/1) kecuali satu kasus
dengan respons lemah (= 10 100 IU/1). Tiga kasus negatif, menjadi responsif lemah
setelah suntikan ke 4.
PENDAHULUAN
Epidemiologi hapatitis B
Bagian dunia yang endemisitasnya tinggi untuk hepatitis B
adalah terutama di Asia, misalnya daratan Cina, Vietnam, Korea,
di mana 50 70% dari penduduk berusia antara 30 sampai 40
tahun pemah kontak dengan virus hepatitis B (HBV) dan sekitar
10 15% menjadi pengidap Hepatitis B surface Antigen
(HBsAg)(') . Pengidap HBsAg terbagi dalam 2 golongan : tanpa
' Guru Besar Pat ologi Klinik , Spesialis Penyak it Dalam, Fellow Int . Soc.
Hemat ology, Anggot a Amer. Soc. Clin. Pat h., Anggot a Board of St udy CHS
(Jak art a) bidang Pat ologi Klinik , Ket ua Program St udi Pat ologi Klinik .
*' Spesialis Pat ologi Klinik , Fellow Int . Soc. Hemat ology, Kepala Bagian
Pat ologi Klinik .
adanya tanda-tanda hepatitis kronik (pengidap asimtomatik) dan
disertai tanda-tanda hapatitis kronik. Golongan terakhir ini yang
berjumlah sekitar 10 30% dari pengidap, harus berhati-hati
karena adanya peluang untuk menjadi sirosis hepatis dan ke-
mudian hepatoma
o
).
Indonesia (1981) digolongkan sebagai negara dengan ka-
tegori endemisitas sedang sampai tinggi, kekerapan rata-rata
5.5% dengan variasi 3,5 sampai 9,1%
0,3
). Pada umumnya di luar
Jawa kekerapan lebih tinggi
(3).
Di pulau Samosir dan pulau Nias
dengan cara penentuan HBsAg yang lama kurang peka (cara
CIE = Counter Immuno-Electrophoresis) di antara orang yang
tampak sehat (masing-masing 224 kasus dan 312 kasus), sudah
mencapai masing-masing 4,3% dan 7,7% pada tahun 1972. Pada
Cermin Dunia Kedokteran,
Edisi Khusus No. 80, 1992 53
tes ulangan dengan cara yang lebih peka 1AHA (Immune
adherence Hemagglutination) oleh WHO Immunology Centre
Singapore, memberikan hasil HBsAg positif pads 10,5% di
antara penduduk pulau Samosir
t4
' Pada tahun 1982 dengan
menggunakan cara yang lebih peka survai di antara mahasiswa
yang baru masuk USU, berusia antara 18 dan 23 tahun adalah
16% HBsAg positif (cara PHA), sedangkan 37% HBsAb positif
(ca as rPHA) (
5)
. Pada tahun 1985 dengan cara pemeriksaan yang
kini lazim digunakan dan menupakan yang paling peka yang
pernah digunakan di Medan, (cara EIA = Enzyme Immuno-
Assay), didapat kekerapan HBsAg positif sebesar 6% di antara
donor darah Rumah Sakit Dr. Pirngadi Medan (200 orang).
Exposure rate (pernah kontak) hepatitis B untuk suatu go-
logan penduduk dihitung dengan menjumlahkan kekerapan
HBsAg positif dengan kekerapan HBsAb positif.
Exposure rate
untuk Indonesia berdasarkan survei di 9 kota besar dengan
pemeriksaan HBsAg cara PHAdan HBsAb cara rPHA (kedua
cara relatif kurang peka dibandingkan dengan cara EIA) adalah
rata-rata 5,5% (HBsAg +) + 46,1% (HBsAb +) = 51,6% pads
tahun 1981(
5
). Exposure rate mahasiswa baru USU (1982)
adalah 16% + 37% = 53%.
Di Eropa dan Amerika Serikat kekerapan pengidap antigen
hepatitis B adalah sangat kecil sekitar yaitu 0,5 1 per-mil dan
kebanyakan terdiri dari pecandu obat suntik narkotik.
Cara penularan hepatitis B
Dugaan semula bahwa penularan hepatitis B terutama ka-
rena transfusi darah (darah donor mengandung HBsAg) dan
melalui alat-alat suntik yang tecemar HBsAg tidak sepenuhnya
benar. Ternyata banyak kasus-kasus hepatitis B penularannya
dengan cara lain seperti melalui darah, air ludah, cairan mani,
tinja, dan berbagai cairan tubuh lain dari penderita hepatitis B.
Kontak erat dalam waktu yang lama merupakan salah satu faktor
penentu penularan.
Penularan dapat terjadi melalui/akibat:
-
Hubungan kelamin dengan penderita/pengidap.
Menggunakan peralatan yang tercemar/seperti alat suntik,
tindik anak telinga, akupunktur, tato.
Benda-benda yang dipergunakan bersama penderita dapat
melukai tubuh, misalnya sikat gigi, alat pencukur, sisir, glinting
kuku.
Kontak dengan cairan tubuh atau getah tubuh penderita
melalui luka-luka di kulit atau selaput lendir mata dan mulut.
Bayi yang dilahirkan dari ibu yang menderita hepatitis B
(penularan secara vertikal).
VAKSIN HEPATITIS B
Jenis vaksin
Pada tahun 1982 telah berhasil dibuat vaksin hepatitis B dari
partikel HBsAg murni yang dipisahkan dari plasma. Vaksin
terdiri dari HBsAg yang telah di-inaktifkan dan tidak lagi in-
feksius. Setelah dikenal penyakit AIDS, vaksin rekombinan
berasal dari sel ragi (yeast) dipasarkan sejak 1986. Vaksin viral
noninfeksius ini mengandung protein HBsAg yang dihasilkan
oleh sel-sel ragi: Saccharomyces cerevisiae.
54 Cermin Dunia Kedok t eran, Edisi Khusus No. 80, 1992
Evaluasi intensif bidang epidemiologik, virologik dan se-
rologik meunjukkan bahwa vaksin berasal dari plasma tidak
menularkan AIDS
(9.1)
Kedua jenis vaksin dapat digunakan de-
ngan aman dan mempunyai Jaya imunogenisitas hampir sama.
Vaksin berasal dari sel ragi memberi persentase imunogenisitas
agak kurang pads orang tua dibandingkan dengan vaksin berasal
dari plasma
(1W.
Walaupun demikian banyak orang masih enggan
menggunakan vaksin berasal dari plasma walaupun vaksin jenis
ini memberikan geometric mean titer antibodi lebih tinggi dan
harganya lebih ekonomis. Titer antibodi yang lebih tinggi mem-
beripeluang untuk waktu proteksi yang lebih lama dan bukan
berperan terhadap gaya imunogenitas
(lo).
Vaksin hepatitis B ini
memberi proteksi terhadap HBV dari semua subtipe yang di-
kenal.
Vaksin dalam
vial disimpan pads suhu antara 28 derajat C.
Jangan dibekukan, karena vaksin akan rusak. Perhatikan masa
daluwarsanya.
Pilihan Vaksin Hepatitis B & Dosisnya (I I M S, 1991)
Nama dagang &
Pembuat Vaksin
Golongan
Antigen protein
per dosis
Asa!
Vaksis
Engerix-B
SmithKline
Biological
H B Vax II
Merck
Sharp & Dohme
Hevac B Pasteur
PasteurMerieux
Hepaccine B
Cheil Sugar
Hepa B Korea
Korea Green Cross
Dewasa
Bayi-anak
sampai 10 tahun
Dewasa
anak < 11 thn
bayi
Dewasa
Bayianak < 11 thn
Dewasa
Bayianak < 11 thn
Dewasa
Bayianak < 11 thn
1 ml = 20 mcg
0,5 ml = 10 mcg
1 ml = 10 mcg
0,5 ml = 5 mcg
0,25 ml = 2,5 mcg
1 ml = 5 mcg HBsAg
0,5 ml = 2,5 mcg HBsAg
1 ml = 3 mcg HBsAg
0,5 ml = 1,5 mcg HBsAg
1
ml = 20 mcg HBsAg
0,5 ml = 10 mcg HBsAg
Ragi
Ragi
Plasma
Plasma
Plasma
INDIKASI VAKSINASI
Mengingat keterkaitan : HBsAg-emia menjadi > hepati-
tis kronik menjadi > sirosis hepatic menjadi > karsinoma
hepato-seluler, maka pencegahan hepatitis B dengan cara vaksi-
nasi
pre-exposure prophylaxis adalah yang paling baik. Hal ini
berlaku untuk semua umur. Terutama diprioritaskan. bayi dan
anak-anak yang tergolong risiko tinggi. Hal ini didasarkan ke-
pada kecenderungan bahwa infeksi HBV mengakibatkan keada-
an kronik, terutama pads bayi, yaitu 90% atau lebih, sedangkan
pads anak-anak dan orang dewasa masing-masing 2030 % dan
510%.
Vaksinasi aktif perlu diberikan kepada mereka yang belum/
kurang memiliki kekebalan terhadap hepatitis B (HBsAb nega-
tif atau positif dengan titer kurang dari 10 IU/1) yang dianggap
kurang protektif, sedangkan risiko akan kontak dengan virus
hepatitis B adalah tinggi atau sedang.
Mereka yang perlu divaksinasi
Pekerja bidang kesehatan/kedokteran, terutama bila ada pe-
luang bagian tubuhnya tertusuk oleh jarum atau benda tajam :
Dokter spesialis ,bedah, spesialis T.H.T., dokter umum, dokter
beserta semua pegawai yang bekerja di laboratorium, unit he-
modialisis, din
g
s transfusi darah dan unit bedah mayat. Pegawai
paramedik : perawat, bidan, teknisi. Pegawai non medik, misal-
nya
di bagian binatu, pembersihan dan lain-lain.

Pasien yang sering mendapat transfusi darah/komponen


darah seperti penderita hemofilia, talasemia, anemia aplastik dan
sebagainya.
Mereka yang bepergian ke daerah endemik dan atau mereka
yang sering ada kontak seksual ekstra-marital dengan partner
yang berganti-ganti.
Kontak dalam keluarga dengan penderita hepatitis B akutJ
kronik/pengidap, terutama bila merupakan suami/isteri.

Bayi lahir dari ibu yang mengidap HBsAg.


Pemakaian secara luas masih jauh dari yang diharapkan karena
mahalnya harga vaksin.
Sejak tahun 1987 1991 Departemen Kesehatan telah
melaksanakan pilot project vaksinasi hepatitis B di pulau Lom-
bok di mana kekerapan HBsAg-emia tertinggi di Indonesia.
CARA PEMBERIAN
PRE-EXPOSURE PROPHYLAXIS
Vaksinasi primer
Orang dewasa : tiap suntikan : 1 dosis penuh (1 ampul = 1
ml). Suntikan pertama : hari yang dipilih, suntikan ke dua : 1
bulan kemudian, suntikan ke tiga : 6 bulan setelah suntikan
pertama.
Adakalanya diberikan dengan cara yang lebih cepat : mi-
salnyapadadugaan ancaman penularan risiko tinggi; pads vaksi-
nasi ini suntikan yang ke tiga diberikan 2 bulan (tidak 6 bulan)
setelah injeksi pertama. Cara penyuntikan berselang satu bulan
ini merupakan anjuran bila memakai vaksin Hepaccine B buatan
Cheil Sugar yang berasal dari plasma.
Bayi baru lahir dan anak hingga umur 10 tahun : tiap
suntikan : 1/2 dosis orang dewasa. Suntikan pertama : hari yang
dipilih, suntikan ke dua : 1 bulan kemudian, suntikan ke tiga : 6
bulan setelah suntikan pertama.
Untuk vaksin H B Vax II, (MSD) dianjurkan 2,5 mcg se-
bagai dosis untuk bayi baru lahir sampai anak usia 10 tahun,
sedangkan anak dari usia 10 tahun hingga dewasa 5 mcg.
Untuk vaksin Hevac B Pasteur yang berasal dari plasma cara
pemberian vaksinasi sedikit berbeda : suntikan pertama dan ke
dua dengan berselang waktu satu bulan, sedangkan yang ke tiga
satu tahuti kemudian. Pada bayi yang lahir dari ibu pengidap :
dosis orang dewasa 3 kali berturut-turut dengan berselang waktu
satu bulan.
POST-EXPOSURE PROPHYLAXIS
Bagian tubuh terluka yang berhubungan langsung dengan
darah, cairan tubuh lain atau sekret dari pengidap HBsAg : perlu
segera mendapat vaksinasi pasif dengan hepatitis B immuno-
globulin sebanyak 0,06 ml/kg berat badan dalam waktu 24 jam
dan selanjutnya dalam waktu 7 hari dimulai suntikan vaksin
hepatitis B seperti biasa atau ke tiga suntikan diberikan berselang
waktu satu bulan.
Bayi yang lahir dari ibu pengidap HBsAg : Hari pertama
diberikan suntikan (i.m.) vaksinasi pasif : 0,5 ml hepatitis B
immunoglobulin. Vaksinasi aktif fdiberikan berturut-turut pada
usia : 7 hari,1 bulan dan 6 bulan atau sesuai petunjuk dari pabrik
pembuat vaksin.
Vaksinasi booster
Pada umumnya vaksinasi booster
tidak diperlukan dalam
waktu 5 tahun setelah vaksinasi primer. Mereka yang memiliki
titer antibodi < 10 IU/l cukup mendapat vaksinasi booster satu
kali.
Tempat dan cara injeksi
Pada orang dewasa dianjurkan agar vaksin disuntikkan pads
musculus deltoid. Tempat penyuntikan ini lebih memberikan
keberhasilan vaksinasi dari pads suntikan di bokong di mana
vaksin sering terserap ke jaringan lemak. Pada bayi sebaiknya
dipilih paha bagian antero-lateral.
Pada pasien dengan kecenderungan berdarah misalnya
hemofilia, suntikan dapat diberikan subkutan. Cara ini dapat
memberikan lebih banyak reaksi lokal dan kadang-kadang ter-
bentuk nodules. Maka dari itu suntikan subkutan ini hanya di-
berikan kepada mereka yang ada kecenderungan perdarahan.
Kriteria keberhasilan
Sebagai tanda keberhasilan vaksinasi adalah terdapatnya
antibodi terhadap hepatitis B, sekitar satu bulan setelah suntikan
ke tiga. Titer antibodi yang biasanya dianggap protektif terhadap
infeksi HBV adalah minimal 101U/1. Titer 10 100 IU/1 setelah
vaksinasi dianggap sebagai respons lemah, sedangkan titer
antara 101 1000 IU/1 : respons sedang dan titer > 1000 IU/l
dianggap sebagai respons kuat
(8)
.
Gangguan daya imun
Mereka yang sedang dalam pengobatan imunosupresif atau
dalam keadaan gangguan daya imun termasuk gagal ginjal yang
memerlukan hemodialisis secara berkala, memerlukan dosis
vaksin lebih tinggi dan hasilnya sering kurang baik. Pasien
hemodialisis dianjurkan menggunakan vaksin 4 kali lebih pekat
dari pada dosis orang dewasa normal. Dengan dosis vaksin yang
tinggi ini pun keberhasilan hanya mencapai 40 60%.
Kontraindikasi
Hanya demam tinggi yang merupakan kontraindikasi pem-
berian vaksinasi. Sudah tentu vaksinasi tidak diberikan kepada
penderita/pengidap Hepatitis B virus dan mereka yang sudah
memiliki antibodi terhadap hepatitis B dalam titer yang cukup
tinggi. Maka dari itu pemberian vaksinasi didahului dengan pe-
meriksaan terhadap HBsAg dan HBsAb dan bila mungkin di-
periksa jugs HBcAb, karena pada window period hanya HBcAb
positif yang merupakan satu-satunya petanda terkenanya infeksi
HBV. Apabila salah satu tes tersebut di atas memberikan basil
positif, maka vaksinasi tidak diberikan.
Kehamilan pada wanita golongan risiko tinggi atau sedang
tidak merupakan kontra-indikasi karena vaksin rekombinan
maupun vaksin berasal dari plasma tidak mengandung zat in-
Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992 55
feksius yang akan berpengaruh terhadap ibu dan perkembangan
fetus".
Efek samping
Hampir tidak ada atau minimal, hanya berupa rasa sakit
lokal di tempat injeksi. Adakalanya ada reaksi seperti demam
subfebril, rasa lemas, capai, sakit kepala, sakit pada sendi-sendi
dan tulang, rasa mual, puling. Jarang sekali ada urtikaria atau
rash
dan sangat jarang timbul hipersisitivitis atau reaksi anafi-
laksis yang pernah dijumpai beberapa jam setelah suntikan.
KEBERHASILAN VAKSINASI
Antibodi tidak selalu terbentuk/terukur setelah rampungnya
vaksinasi. Menurut pembuat vaksin Engerix B, keberhasilan
vaksinasi dicapai sekitar 90 95% pada orang yang tampak
normal. Penulis utama telah melakukan vaksinasi di antara
pasien pribadi dengan menggunakan vaksin Engerix B pads 47
orang sehat,26 pria dan 21 wanita, usia bervariasi antara 2 sampai
66 tahun (rata-rata 29,7 tahun)(
6)
. HBsAg dan HBsAb diperiksa
dengan cara E.I.A yang kini lazim digunakan.
Keberhasilan terbentuknya HBsAb setelah vaksinasi ber-
jumlah 44 kasus atau 93,6% dengan titer HBsAb rata-rata 429,4
IU/l. Perincian : 43 kasus tergolong respons imunogenisitas
sedang dengan variasi titer antibodi antara 150 912 IU/l; satu
kasus tergolong respons imunogenisitas lemah : titer antibodi 20
IU/I. Tiga kasus negatif tersebut setelah mendapat suntikan ke 4
memberikan respons dengan titer antibodi rendah, rata-rata 42,3
IU/I, berkisar antara 27 sampai 57 IU/I yang berarti tergolong
respons lemah(
6
).
KEPUSTAKAAN
1. Merck, Sharp
& Dohme. Hepatitis B Prevention : Mass immunisation
called for. Asian Medical News, July 9, 1991.
2. Sulaiman HA. Hepatitis dan permasalahannya menjelang tahun 2000.
Pidato pengukuhan Guru Besar Universitas Indonesia, Mei 1992.
3. Sulaiman HA. Infeksi virus hepatitis B, sirosis hati dan karsinoma hepato-
seluler. Disertasi Kobe University School of Medicine, 1989.
4. Kosasih EN, Sembiring P. Hepatitis B Antigen Determination (CIE) in
Medan. Acta Medica Indonesiana, 1977; VIII: 72-74.
5. Kosasih EN, Sukiman I. Pemeriksaan laboratorium imunologik membantu
penenwan diagnosa hepatitis. Simp. Peny. Hati, Fakultas Kedokteran USU,
23 Peb. 1983.
6. Kosasih EN. tidak dipublikasi, 1992.
7. Simons MJ, Kosasih EN, Wright R, Noerjasin B, Yap EH, Nishioka K.
Epidemiological Aspects of Hepatitis B agent Infection in Indonesian
Ethnic Groups. Kongres Nasional Pertama, Perhimpunan Hematologi dan
Transfusi Darah Indonesia. Jakarta, 1974.
8. Jilg W, Lorbeer B, Schmidt M, Wilske B, Zoulek G, Deinhardt F. Clinical
evaluation
of a recombinant hepatitis B vaccine. Lancet 1984; II: 1174-5.
9. HollingerFB.Hepatitis B Vaccines-to switch or not to switch, JAMA SEA,
8-10, Aug. 1987.
10. Center for Diseases Control, Department of Health and Human Services.
Update on Hepatitis B Prevention : Recommendations of the Immunization
Practices Advisory Committee. Ann Intern Med, 1987; 107: 353-7.
56
Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992
Infeksi, Perdarahan dan Hipertensi pada
Obstetri Ginekologi
Infeksi dalam Kehamilan dan
Persalinan
Rusli P. Barus
Bagian Obstetri dan Ginekologi, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
Rumah Sakit Dr Pirngadi, Medan
PENDAHULUAN
Infeksi merupakan penyakit yang sering menyerang ibu,
baik pads masa kehamilan maupun pada saat persalinan. Infeksi
ini dapat terjadi oleh karena faktor penanganan persalinan yang
kurang adekuat dan kurang bebas hama. Dilaporkan bahwa
infeksi merupakan salah satu dari tiga penyebab kematian pads
ibu hamil dan bersalin, selain perdarahan dan tekanan darah
tinggi.
Pada makalah ini dibatasi pembicaraan mengenai ketuban
pecah dini dan partus terlantar yang sering di jumpai pada bagian
Kebidanan RS Dr. Pirngadi Medan.
KETUBAN PECAH DINI
Definisi
Ketuban Pecah Dini (KPD; Premature Rupture of the
Membrane = PROM; Amniorrhexis) ialah robeknya selaput
ketuban pads setiap saat sebelum persalinan mulai atau sebelum
in partu.
Insidens
-
RS Dr. Pirngadi Medan (1982) : 2,27% dari seluruh persa-
linan.
RS Hasan Sadikin Bandung (1979) : 5,05%.
RS Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta (1988) : 11,22%.
Etiologi/Faktor Predisposisi
Sampai saat ini penyebab KPD belum diketahui secara pasti,
tetapi berbagai penulis menyebutkan beberapa faktor predis-
posisi, antara lain :
1) Faktor selaput ketuban.
2) Faktor infeksi.
3) Faktor perubahan tekanan intrauterin yang mendadak.
4) Faktor yang berhubungan dengan kebidanan dan gineko-
logi, seperti : multigravida, pernah mengalami KPD pada per-
salinan yang lalu, perdarahan antepartum, hamil ganda, hi-
dramnion, malposisi, disproporsi sefalo-pelvik, umur lebih dari
35 tahun, trauma vagina, dan lain-lain.
5) Faktor sosio ekonomi yang rendah, seperti : defisiensi gizi,
vitamin C.
6) Faktor antagonismus golongan darah A, B, O.
7) Faktor merokok.
8) Faktor keturunan.
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan :
1) Anamnesis : keluar air dari vagina.
2) Pemeriksaan klinis, antara lain :
- Pemeriksaan klinis langsung yaitu melihat air ketuban ke-
luar.
- Pemeriksaan inspekulo, air ketuban mengalir keluar dari
kanalis servikalis (bila perlu dengan tekanan ringan pada fundus
uteri).
- Periksa dalam, secara asepsis meraba tidak adanya selaput
ketuban.
3) Pemeriksaan laboratorium :
-
Tes kristalisasi/tes arborisasi air ketuban.
-
Tes pH air ketuban dengan kertas indikator (air ketuban
bersifat alkalis dengan pH 7,0 - 7,5).
- Suntikan zat warna intraamnion, pengecatan lemak, lanugo,
pengukuran kadar glukosa dan fruktosa, pemeriksaan sitologi sel
skuamosa janin).
4) Pemeriksaan dengan ultrasonografi, menilai banyaknya air
ketuban, umur kehamilan, dan posisi janin.
Cermin Dunia Kedok t eran, Edisi Khusus No. 80, 1992 57
Penanganan
Prosedur penanganan KPD :
1)
Penderitadirawat dirumahsakit,istirahatmutlakdanbokong
ditinggikan, sedapat mungkin hindari periksa dalam.
2) Diberikan antibiotika profilaksis atau terapi sedini mungkin
(suntikan PP 1,2 juta IU).
3)
Pemantauan denyut jantung janin, pengamatan tanda-tanda
infeksi dan tanda-tanda mulainya persalinan.
4)
Pemeriksaan USG untuk konfirmasi diagnostik.
5)
Jika ada tanda-tanda korio-amnionitis dan bila pelvic score
> 5 langsung dilakukan induksi persalinan tanpa memandang
tuanya kehamilan. Jika persalinan belum selesai dalam waktu
6 8 jam sebaiknya dilakukan tindakan operatif. Bila
pelvic
score <
5, persalinan diakhiri dengan sectio Caesarea (SC).
Bagan Penanganan KPD
A. Viable for life : ? 37 minggu/BB 2500 gram
a) Observasi yang baik selama 8 12 jam.
b) Lalu dilakukan induksi partus bila belum ada tanda
in partu.
c) Anak letak lintang dan letak sungsang langsung SC.
B. Non-viable for life : < 37 minggu/BB < 2500 gram
a)
Jika maturitas paru belum matang, dirawat dan diusahakan
agar kehamilan dapat dilanjutkan sampai berumur 37 minggu.
b) Jika maturitas paru sudah matang, dilakukan induksi partus
setelah observasi 24 jam.
c)
Bila induksi partus gagal, dilakukan SC.
d)
Sementara menunggu, diberikan :

Suntikan PP 1,2 juta IU perhari, kalau perlu diberi anti-


biotika oral seperti Amoksisilin 500 mg 3x/hari.
-
Vitamin C dosis tinggi.

Spasmolitik/tokolitik, plasento-tropik.
Catalan :
1) KPD dengan umur kehamilan < 26 minggu (BB 500 gram)
sebaiknya langsung dilakukan induksi/terminasi kehamilan
(survival rate mendekati nol).
2) Tanda-tanda utama korio-amnionitis adalah : suhu
38C,
air ketuban purulen dan berbau busuk, lekosit > 15.000/mm
3
.
Tanda-tanda lain adalah : takikardi, nyeri tekan Uterus, dan lain-
lain.
Komplikasi
-
Infeksi/sepsis.

Kematian janin karena infeksi dan/atau prematuritas.


PARTUS TERLANTAR
Pendahuluan
Persalinan di Indonesia masih banyak ditolong oleh dukun,
ditolong sendiri, atau oleh suaminya. Telah lama diketahui
bahwa kira-kira 80% penduduk Indonesia tinggal di pedesaan,
dan kebanyakan dari mereka menerima pelayanan kebidanan/
persalinan dari dukun. Mereka tidak mengetahui mekanisme
persalinan. Pertolongan dilakukan berdasarkan pengalaman yang
didapat turun temurun, dan di samping itu mereka kurang me-
ngetahui
keadaan persalinan yang bersifat patologik sehingga
dalam merujukan penderita ke rumah sakit, sudah dalam keadaan
terlantar.
Keadaan inilah yang meninggikan angka morbiditas
dan mortal itas ibu dan anak. Hal tersebut di atas dapat juga terjadi
bila persalinan ditolong oleh penolong persalinan lain yang tidak
trampil.
Definisi
Partus terlantar adalah suatu keadaan fase akhir dari suatu
persalinan yang macet dan berlangsung lama, sehingga me-
nimbulkan komplikasi terhadap ibu maupun anak.
Etiologi
Penyebab partus terlantar adalah multikompleks, yang ber-
hubungan dengan pengawasan pada waktu hamil dan penata-
laksanaan pertolongan persalinan. Penatalaksanaan persalinan
yang tidak adekuat bisa disebabkan oleh :
ketidaktahuan
-
ketidaksabaran
-
keterlambatan merujuk.
Diagnosis
Gejala klinis, antara lain :
1)
Tanda-tanda kelelahan ibu :

dehidrasi dan kadang-kadang sampai syok, gangguan ke-


seimbangan cairan dan elektrolit
nadi cepat dan lemah

meteorismus
febris
his lemah sampai hilang
oliguria.
2)
Tanda-tanda infeksi intrauterin/intrapartum :

air ketuban yang keluar berwarna keruh kehijau-hijauan


atau keruh kecoklatan dan berbau.

suhu badan naik (> 38C); leukosit > 15.000/mm


3
.
3) Tanda-tanda gawat janin :

denyut jantung janin mula-mula meninggi, lalu menurun


sampai hilang.

air ketuban bercampur mekonium.


Palpasi :
-
his lemah sampai hilang.
-
gerakan janin lemah sampai hilang.
-
kadang dapat dijumpai tanda-tanda RUI.
Auskultasi :
-
denyut jantung janin melemah sampai hilang.
-
adanya meteorismus.
Periksa dalam :
Dijumpai kaput suksadaneum yang besar dan air ketuban
berwarna keruh kehijau-hijauan sampai kekuning-kuningan
serta berbau (meconium stain).
Komplikasi
1) Ibu :
Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit.
-
Dapat terjadi PPH.
Infeksi sampai sepsis.
-
Robekan jalan lahir.
58 Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus
No. 80, 1992
Fistula vesikovaginal dan/atau rektovaginal, vesikovaginal, KEPUSTAKAAN
vesikokel, rektokel, dan prolapsus uteri.
1. Cunningham FG, Mc Donald PC, Gant NF. Williams Obstetrics, 8th Ed.
2) Anak :
Anak lahir dalam keadaan asfiksi sehingga menimbulkan
2.
Ch 38. Pretenn and posttemi pregnancy and inappropriate fetal growth.
Harger JH, Hsing AW, Toumola RE et al. Risk factor for preterm rupture
cacat otak yang menetap.
of fetal membranes : A multicenter case-control study. Am J Obstet
Gawat janin sampai meninggal.
Gynecol 1990; 163(1): 130-7.
3. Larsen JW. Premature amniorrhexis. Obstet Gynecol Ann 1979; 8.
Penatalaksanaan 4. Medical Committee Bagian Obstetri
dan
Ginekologi FK-USU/RS Dr
1) Perawatan pendahuluan :
Pimgadi Medan. Ketuban Pecah Dini (Premature Rupture of The Mem-
Pemberian infus cairan untuk rehidrasi cepat dalam 1 jam,
5.
branes = PROM).
POGI. Konsep Standar Pelayanan Medis Obsgin, Bagian I, Surakarta, Juni
diberikan larutan dextrose 5% sebanyak 1 liter dan larutan
1991.
Laktat-Ringer sebanyak 500 ml (2 : 1).
6. Sarkawi W, Roeshadi RH, Simanjuntak P. Ketuban Pecah Dini (KPD)
Penicillin procain 1,2 juta IU/im.
dengan kehamilan prematur (Laporan Kasus). Pros Pertemuan Bmiah
Kortison asetat 100200 mg im.
Tahunan Pertama POGI, Jakarta, 26-27 Juni 1981.
7. Sarkawi W. Hasil penelitian ketuban pecahdini di RS Dr. Pimgadi Medan.
Dievaluasi kembali setelah rehidrasi 1 jam.
Skripsi Bagian Obstetri danGinekologi FK-USU/RS Dr. PimgadiMedan,
2) Mengakhiri persalinan :
1983.
8. Simanjuntak P, Hutapea H, Tanjung MT, Roeshadi
RH.
Antibiotik

Mengakhiri persalinan partus terlantar tergantung kepada :


penyebab kemacetan
pro-
filaksis dalam kebidanan. Naskah Lengkap Simposium Antibiotik, Pang-
kalan Brandan, Makalah
17, 1980.
status presens penderita
9. Sinaga B, Reksoprodjo M. Meninjau ketuban pecah dini sebagai kasus
keadaan janin (fetal distress atau tidak).
rujukan di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo. Kumpulan Makalah
Tindakan yang mungkin dilakukan antara lain adalah
10.
POGI Jaya di PTP-V POGI.
Siregar D,Iskandar
FR,
HasanB. Tinjauan penatalaksanaan ketuban pecah
augmentasi partus, ekstraksi vakum, ekstraksi forceps, sectio
dini. Naskah Lengkap Sidang Bmiah KOGI-IV Yogyakarta, 10-15 Juni
caesarea, sectio caesarea-histerektomi, atau operasi Porro. 1979.
Cermin Dunia Kedo/aeran, Edisi Khusus No. 80, 1992
'
59
Perdarahan Hamil Tua dan
Perdarahan Postpartum
Dr. John Slamet Khoman
Bagian Obstetri dan Ginekologi
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
Rumah Sakit Dr. Pirngadi, Medan
PENDAHULUAN
Salah satu masalah penting dalam bidang obstetri dan
ginekologi adalah masalah perdarahan. Walaupun angka ke-
matian maternal telah menurun secara dramati dengan adanya
pemeriksaan-pemeriksaan dan perawatan kehamilan dan per-
salinan di rumah sakit dan adanya fasilitas transfusi darah,
namun kematian ibu akibat perdarahan masih tetap merupakan
faktor utama dalam kematian maternal.
Perdarahan dalam bidang obstetri hampir selalu berakibat
fatal bagi ibu maupun janin, terutama jika tindakan pertolongan
terlambat dilakukan, atau jika komponennya tidak dapat segera
digunakan. Oleh karena itu, tersedianya sarana dan perawatan
sarana yang memungkinkan penggunaan darah dengan segera,
merupakan kebutuhan mutlak untuk pelayanan obstetri yang
layak.
Perdarahan obstetri dapat terjadi setiap saat, baik selama
kehamilan, persalinan, maupun masa nifas. Oleh karena itu,
setiap perdarahan yang terjadi dalam masa kehamilan, persalinan
dan nifas harus dianggap sebagai suatu keadaan akut dan serius,
karena dapat membahayakan ibu dan janin. Setiap wanita hamil,
dan nifas yang mengalami perdarahan, harus segera dirawat dan
ditentukan penyebabnya, untuk selanjutnya dapat diberi per-
tolongan dengan tepat.
PERDARAHAN HAMIL TUA
A. PLASENTA PREVIA
Definisi
Plasentaprevia ialah plasenta yang letaknya abnormal,
yaitu pads segmen bawah rahim sehingga dapat menutupi se-
bagian atau seluruh ostium uteri intemum.
Faktor Predisposisi
1. Multiparitas dan umur lanjut (> 35 tahun)
60 Cermin Dania Kedok t eran, Edisi Khusus
No. 80, 1992
2.
Defek vaskularisasi desicua oleh peradangan dan atrofi
3.
Cacat/jaringan parut pads endometrium oleh bekas-bekas
pembedahan (SC, kuret, dan lain-lain)
4.
Khorion leve persistens
5.
Korpus luteum bereaksi terlambat
6. Konsepsi dan nidasi terlambat
7.
Plasenta besar pads hamil ganda dan eritropblastosis atau
hidrops fetalis.
Klasifikasi Klinis
1.
Plasenta previa totalis : seluruh ostium uteri intemum ter-
tutup oleh plasenta.
2.
Plasenta previa lateralis/parsialis : sebagian ostium uteri
intemum tertutup oleh plasenta.
3.
Plasenta previa marginalia : pinggir bawah plasenta berada
tepat pada pinggir ostium uteri intern urn.
Insidens
Satu di antara 125 persalinan terdaftaran (0,8%) di RSCM
Jakarta pada tahun 1971 - 1975, sedangkan di RS Dr. Pirngadi
Medan 2,64% atau 1 diantara 38 persalinan.
Gejala Klinis
1)
Gejala utama plasenta previa adalah perdarahan tanpa
sebab, tanpa rasa nyeri dan biasanya berulang (painless, cause-
less, recurrent bleeding),
darahnya berwarna merah segar.
2) Bagian terdepan janin tinggi
(floating), sering dijumpai
kelainan letak janin.
3) Perdarahan pertama
(first bleeding)
biasanya tidak banyak
dan tidak fatal, kecuali bila dilakukan periksa dalam sebelumnya,
sehingga pasien sempat dikirim ke rumah sakit. Tetapi per-
darahan berikutnya
(recurrent bleeding) biasanya lebih banyak.
4) Janin biasanya masih baik.
Diagnosis
1) Gejala klinis
2) Pemeriksaan ultrasonografi (USG)
3) Periksa dalam di atas meja operasi; infus atau transfusi darah
telah dipasang (double set up) :
a) Inspekulo (pemeriksaan dengaqn sepkillum)
b) Meraba forniks, mulai dari forniks posterior, apa ada ter-
aba tahanan lunak (ban talan) an tara bagian terdepan janin dengan
jari kita.
c) Jan dimasukkan hati-hati kedalam ostium uteri internum
(intraservikal) untuk meraba adanya jaringan plasenta.
Pananganan
Semua pasien dengan perdarahan pervaginam pads ke-
hamilan trimester ke tiga, dirawat di rumah sakit tanpa periksa
dalam (toucher vagina). Bila pasien dalam keadaan syok karena
perdarahan yang banyak, hams segera diperbaikan keadaan
umumnya dengan pemberian infus atau transfusi darah.
Selanjutnya penanganan plasenta previa tergantung ke-
pada :
keadaan umum pasien, kadar Hb
jumlah perdarahan yang terjadi
umur kehamilan/taksiran BB janin
jenis plasenta previa
paritas dan kemajuan persalinan.
1. Penanganan Ekspektatif
Kriteria :
-
Umur kehamilan kurang dari 37 minggu
-
Perdarahan sedikit
-
Belum ada tanda-tanda persalinan
-
Keadaan umum pasien baik, kadar Hb 8 gr% atau lebih
Rencana penanganan :
Istirahat baring mutlak
Infus Dextrose 5% dan elektrolit
Spasmolitik, tokolitik, plasentotropik, roboransia
Periksa Hb, HCT, COT, golongan darah
Pemeriksaan USG
Awasi perdarahan terus menerus, tekanan darah (tensi),
nadi dan denyut jantung janin
Apabila ada tanda-tanda plasenta previa, tergantung ke-
adaan, pasien dirawat sampai kehamilan 37 minggu, selanjutnya
penanganan secara aktif.
2. Penanganan Aktif :
Kriteria :

Umur kehamilan (masa gestasi) > 37 minggu, BB janin >


2500 gram
Perdarahan banyak, 500 ml atau lebih
Ada tanda-tanda persalinan

Keadaan umum pasien tidak baik, ibu anemik, Hb < 8%.


Untuk menentukan tindakan selanjutnya, SC atau partus
pervaginam, dilakukan pemeriksaan dalam (VT) di kamarbedah,
infus/tranfusi darah sudah dipasang. Umumnya dilakukan SC.
Partus pervaginam dilakukan pads plasenta previa marginalis
dan enak sudah meninggal. Tetapi bila perdarahan banyak,
segera SC.
Tindakan versi Braxton Hicks dengan pemberat atau pe-
masangan cunam Willet-Gausz dengan pemberat untuk meng-
hentikan perdarahan (kompresi atau tamponade bokong dan
kepala janin terbadap plasenta) hanya dilakukan pads keadaan
darurat, anak masih kecil atau sudah mati, dan tidak ada fasilitas
untuk melakukan operasi.
Komplikasi
1. Perdarahan dan syok
2. Infeksi
3. Laserasi serviks
4. Plasenta akreta
Prognosis
Ibu :
Dengan adanya fasilitas diagnose dini (USG), transfusi
darah, tehnik anestesi dan operasi yang baik dengan indikasi SC
yang lebih liberal, prognosis ibu cukup baik. Prognosis kurang
balk jika penolong melakukan VT di luar rumah sakit dan
mengirim pasien sangat terlambat dan tanpa infus.
Anak
Kamatian janin umumnya disebabkan prematuritas.
B. SOLUSIO PLASENTA
Definisi
Solusio plasenta adalah terlepasnya plasenta yang letak-
nya normal sebelum janin lahir.
Insidens
Berkisar diantara 1 per 78 sampai 206 persalinan. Di RSCM
Jakarta (1968 - 1971) : 2,1% dari seluruh persalinan.
Etilogi/Faktor Predisposisi
1. Hipertensi dalam kehamilan (penyakit hipertensi menahun,
preeklamsia, eklamsia)
2. Multiparitas, umur ibu yang tua
3. Tali pusat pendek
4. Uterus yang tiba-tiba mengecil (hidramnion, gemelli anak
ke-2)
5. Tekanan pads vena cava inferior
6. Defisiensi gizi, defisiensi asam folat
7.
Trauma.
Klasifikasi Klinis
1. A.Solusio plasenta ringan
B. Solusio plasenta sedang
C. Solusio plasenta berat
2. A.Solusio plasenta totalis : plasenta terlepas seluruhnya
B.Solusio plasenta partialis : plasenta terlepas sebagian.
3. A.Perdarahan tersembunyi/terselubung (concealed) : 20%
B. Perdarahan keluar pervaginam (revealed) " 80%.
Gejala klinik (Klasik)
1.
Perdarahan pervaginam disertai rasa nyeri di perut yang
terus menerus, wama darah merah kehitaman.
Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992 61
2.
Uterus tegang seperti papan (uterus enbois, wooden uterus).
3. Palpasi janin sulit
4. Auskultasi djj sering negatif
5. KU pasien lebih buruk dari jumlah darah yang keluar
6. Sering terjadi renjatan (hipobvolemik dan neurogenik)
7.
Pasien kelihatan pucar, sejak, gelisah dan kesakitan.
Catalan :
Pada gejala solusio plasenta ringan dengan gejala tidak menonjol,
harur hati-
hati, kerena anak bisa mati.
Diagnosis
1.
Gejala klinis
2. Periksa dalam (VT) : ketuban menonjol walaupun tidak ada
his
3.
Pemeriksaan USG
4.
Plasenta kelihatan cekung atau lebih tipis di tempat adanya
hematom (diagnopsa setelah plasenta lahir).
Penanganan
1.
Pasien dirawat di rumah sakit, istirahat baring, mengukur
keseimbangan cairan.
2.
KU segera diperbaiki segera diberikan infus dan transfusi
darah segar.
3.
Pemeriksaan laboratorium : Hb, HCT, COT, golongan
darah, kadar fibrinogen plasma, urine lengkap, fungsi ginjal.
4.
Jika anak hidup dan sudah viable, dilakukan SC.
5.
Pasien gelisah dan mengerang kesakitan, diberikan suntikan
analgetika (petidin, morfin).
6.
Persalinan dipercepat denganamniotomi danoksitosin drips.
7.
Jika dalam 6 jam persalinan belum selesai, dilakukan SC.
8. a. Bila sudah terjadi gangguan pembekuan darah (COT)
> 30 menit), diberikan darah segar dalam jumlah besar, kalau
perlu fibrinogen intravena, monitor berkala dengan pemeriksaan
COT dan Hb.
b.
Jika KU pasien kurang baik dengan kadar Hb yang rendah
(< 8 g%) dengan fasilitas transfusi darah yang sangat terbatas,
pertimbangkan untuk SC histerektomi atau operasi PORRO.
c. Couvelaire
uterus dengan atonia dilakukan histerektomi.
Komplikasi
a)
Yang terjadi segera (immediate)
adalah perdarahan dan
renjatan.
b) Yang terjadi kemudian
(delayer) :
1) Uterus couvelaire =
utero=placental-apoplexy
2)
Gangguan pembekuan darah (hipo atau a-fibrinogenemi,
DIC)
3) Gagal ginjal akut :
rental cortical necrosis

Lower nephron necrosis dengan gejala proteinuria, oliguria


dan nauria.
6) Infeksi pelbvis.
7)
sinfrom Sheehan (nekrose kelenjar hipofise).
Prognosis
Mu:
Baik, kalau persalinan sudah selesai dalam batas waktu 6
jam sejak saat mulai terjadinya keadaan patologik solusio plasenta
62 Cermin Dunia Kedok t eran, Edisi Khusus No. 80, 1992
dan pasien segera mendapat transfusi darah segar.
Anak
Pada solusio plasenta berat, 100% janin mengalami ke-
matian; pads solusio plasenta ringan dan sedang, kematian
janin tergantung pada luasnya plasenta yang terlepas, umur
kehamilan dan cepatnya pertolongan.
PERDARAHAN POSTPARTUM
Definisi
Perdarahan postpartum adalah perdarahan pervaginam 500
ml atau lebih, sesudah anak lahir.
Klasifikasi Klinis
1) PerdarahanPascaPersalinan Dini
(Early Postpartum Haemor
rhage, atau Perdarahan Postpartum Primer, atau Perdarahan
Pasca Persalinan Segera).
2)
Perdarahan masa nifas (PPH kasep atau Perdarahan Persali-
nan Sekunder atau Perdarahan Pasca Persalinan Lambat, atau
Late PPH).
Insidens
Rumah Sakit Dr. Pirngadi Medan (1965 - 1969) : 5,1%.
Etiologi
1. Atonia uteri (> 75%)
2. Robekan (laserasi, luka) jalan lahir
3.
Retensio plasenta dan sisa plasenta
4. Gangguan pembekuan darah (koagulopati)
Catalan :
Kemungkinanpenyebab perdarahan
yang lain dalam persalinanseperti : inver-
iso uteri, perlukan vulva
(hematoma, robekan perineum/luka episiotomi), per-
lukan vagina (kolpaporrhexis dan lain-lain), perlu mendapat perhatian.
Predisposisi atonia uteri :
1) Grandemultipara
2)
Uterus yang terlalu regang (hidramnion, hamil ganda, anak
sangat besar (BB > 4000 gram).
3)
Kelainan uterus (uterus bicornis, mioma uteri, bekas op-
erasi).
4)
Plasenta previa dan solutio plasenta (perdarahan antepar-
turn).
5) Partus lama (exhausted mother).
6) Partus precipitatus.
7)
Hipertensi dalam kehamilan (Gestosis).
8) Infeksi uterus.
9) Anemi berat.
10)
Penggunaan oksitosin yang berlebihan dalam persalinan
(induksi partus).
11)
Riwayat PPH sebelumnya atau riwayat plasenta manual.
12)
Pimpinan kala III yang salah, dengan memijit-mijit dan
mendorong-dorong uterus sebelum plasenta terlepas.
13) IUFD yang sudah lama, penyakit hati, emboli air ketuban
(koagulopati).
14) Tindakan operatif dengan anestesi umum yang terlalu
dalam.
Gejala Klinis
1)
Perdarahan pervaginam yang terus menerus setelah bayi
lahir.
2)
Pucat, mungkin ada tanda-tanda syok, tekanan darah rendah,
denyut nadi cepat dan kecil, ekstremitas dingin, gelisah, mual,
dan lain-lain).
Diagnosis
1) Berdasarkan gejala klinis :
a) Perdarahan yang langsung terjadi setelah anak lahir tetapi
plasenta belum lahir.'Biasanya disebabkan oleh robekan jalan
lahir.
Warna darah merah segar.
b)
Perdarahan setelah plasenta lahir, biasanya disebabkan oleh
atonia uteri.
2)
Palpasi uterus : fundus uteri tinggi di atas pusat, uterus
lembek, kontraksi uterus tidak baik merupakan tanda atonia
uteri.
3) Memeriksa uri dan ketuban, apakah lengkap atau tidak
kotiledon atau selaput ketubannya.
4)
Eksplorasi kavum uteri, apakah ada bekuan darah, sisa uri
dan selaput ketuban, robekan rahim atau plasenta suksenturiata
(anak plasenta).
5) Inspekulo : robekan pada serviks, vagina dan varises yang
pecah.
6)
Laboratorium : Hb, HCT, COT, kadar fibrinogen, tes he-
moragik, dan lain-lain.
Penanganan
1)
Hentikan perdarahan.
2) Cegah/atasi syok.
3) Ganti darah yang hilang : diberi infus cairan (larutan garam
fisiologis, plasma ekspander, Dextran-L, dan sebagainya), trans-
fusi darah, kalau perlu oksigen.
ATONIA UTERI
1)
Masase uterus + pemberian utero tonika (infus oksitosin 10
IU s/d 1001U dalam 500 ml Dextrose 5%, 1 ampul Ergometrin
i.v., yang dapat diulang 4 jam kemudian, suntikan prostaglandin.
2) Kompresi bimanuil
3) Tampon utero-vaginal secara lege antis, tampon diangkat
24 jam kemudian.
4) Tindakan operatif :
a) ligasi arteri uterina
b) ligasi arteri hipogastrika
c) histerektomi
Catalan :
a) dan b) untuk yang masih menginginkan anak. Tindakan yang bersifat semen-
tara untukmengurangi perdarahan menunggutindakan operatifdapat dilakukan
metode Ilenke! (menjepit cabang arteri uterina melalui vagina, kiri dan kanan)
atau kompresi aorta abdominalis.
ROBEKAN/LASERASI JALAN LAHIR
Segera lakukan reparasi, robekan dilihat secara a vuedengan
spekulum, dan dilihat dengan cermat.
Catalan :
Kolpaporrhexis dan hematoma yang besar dan tinggi (hematoma supralevato-
rial, parabaginal, ligamentum latom, ekstraperitonea!) kemungkinan memer-
lukan tindakan bedah/laparotomi.
RETENSIO PLASENTA/SISA PLASENTA
1) Retensio plasenta tanpa perdarahan masih dapat menunggu.
Sementara itu kandung kemih dikosongkan, masase uterus dan
suntikan oksitosin (i.v. atau i.m. atau melalui infus) dan botch
dicoba perasat Crede secara lege artis. Jika tidak berhasil, di-
lakukan plasenta manuel.
2) Setelah plasenta manuel, diberi suntikan ergometrin 3 hari
berturut-turut. Jika ada keraguan jaringan plasenta yang ter-
tinggal, maka pads hari ke-4 dilakukan kerokan.kurentase
dengan kuret tumpul ukuran besar didahuli suntikan/infus ok-
sitosin.
3) Plasenta kaptiva atau inkarserata diberi suntikan oksitosin
intraserviks untuk menambah pembukaan serviks dan diberi
anestesi umum untuk melahirkan plasenta dengan memakai alat
cunam ovum atau cara manuel.
4)
Plasenta manuel segera dilakukan jika :
a) Perdarahan kala-III lebih dari 200 ml
b) Penderita dalam narkosa
c) Riwayat PPH habitualis
5) Plasenta akreta, inkreta dan perkreta ditolong dengan his-
terektomi.
6) Sisa plasenta dikeluarkan dengan kerokan.
7) Penderita diberikan uterotonika, analgetika,m roboransia,
dan antibiotika.
KEPUSTAKAAN
1. Brooks C. Management of obstetrics emergency, Primary postpartum
hemorrhage. J Paed. Obstet. Gynecol. 1940; 16 (2).
2. Heller L. Gawat darurat obstetri dan
ginekologi (Ed. : Petrus Adrianto)
Jakarta : EGC Penerbit Buku
Kedokteran 1986.
3. Mochtar
R,
Simanjuntak P, Kwee Bing Kiong. Perdarahan postpartum
di RSUP
Medan. Naskah Lengkap KOGI-I POGI, Jakarta, 1970.
4.
Moeloek FA. Perdarahan dalam obstetri dan ginekologi. Kedaruratan
dan kegawatan
medik-II Jakarta : FKUI 1982.
5. PB POGI. Konsep DasarPelayanan Medis
Obstetri-Ginekologi,Surakarta,
Juni 1991.
6. Pritchard-Mac Donald.
Williams Obstetrics. Sixteen Ed. New York :
Appleton-Century-Crofts 1980.
7. Purwandianto A, Sampuma B.
Kedaruratan medik, pedoman penata-
laksanaan praktis. Edisi Ketiga
Jakarta : Binarupa Aksara 1981.
8. Samil RS. Postpartum Hemorrhage, Causes, Prophulaxis and Manage-
ment. J Paed. Obstet, Gynecol. 1988; 16 (4).
9. Seto Martohoesodo.
Gangguan dalam kala III persalinan. Buku Ilmu
Kebidanan, Sarwono Prawirohardjo
(Editor Ketua), Jakarta : Yayasan
Bina Pustaka 1976.
10. Simanjuntak, P. Perdarahan
Postpartum. Bahan Penataran Bidan Rumah
Sakit di RS Dr. Pimgadi Medan.
11. Harahap
RE. Penyakit serta kelainan plasenta dan selaput janin. Ilmu
Kebidanan, Prawirohardjo, S (Editor Ketua),
YayasanBina Pustaka Jakarta,
1976.
12. Khoman JS. Plasenta
previa di RS Dr. Pimgadi Medan. Skripsi, 1983.
13. Rachman
IA. Kedaruratan dalam bidang ilmu
kebidanan pada praktek
sehari-hari.
Maj Kedokt Kel 1981; 1 (1).
14. Simanjuntak
P, Albar E, Kaban RM. Plasenta previa dan
solusio plasenta
di Medan. Naskah Lengkap
KOGI-I POGI, Jakarta, 1970.
Cermin Dunia Kedok t eran, Edisi Khusus No. 80,
1992 63
Penanganan Kasus Perdarahan
Hamil Muda
Daulat Sibuea
Bagian Obstetri & Ginekologi, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
Rumah Sakit Dr Pirngadi, Medan
PENDAHULUAN
Salah satu penyebab kematian ibu (maternal) pads masa
hamil muda (umur kehamilan kurang dari 28 minggu) adalah
perdarahan (pervaginam).
Setiap kejadian perdarahan (pervaginam) harus ditangani
segera dengan cara yang baik. Dengan demikian hilangnya darah
yang berkepanjangan dicegah. Hilangnya banyak darah dalam
kurun waktu yang relatif singkat akan berbahaya bagi ibu dan
kehamilannya; bahaya ini semakin parah jika timbul kemudian
infeksi.
Sehubungan dengan besarnya bahaya tersebut, maka setiap
kejadian perdarahan pads masa hamil muda harus segera dikon-
sultasikan kepada dokter. Peringatan ini harus selalu diberikan
pada setiap ibu hamil yang datang memeriksakan kehamilan-
nya.
ETIOLOGI
1) Abortus
2) Mola hydatidosa
3)
Kehamilan ektopik terganggu
4) Kelainan di serviks uteri (trauma, polip, karsinoma)
5)
Kelainan di vagina (trauma, varises, karsinoma)
6)
Kelainan vulva (trauma, varises, karsinoma).
GAMBARANKLINIS
Perdarahan yang banyak dalam waktu yang relatif singkat,
akan mengakibatkan volume darah intravaskular berkurang;
untuk menjaga aliran darah ke organ-organ vital (otak, jantung,
pare), pembuluh darah ke organ usus, uterus, ginjal, otot, kulit
mengalami konstriksi (vasokonstriksi) dan frekuensi denyut
jantung semakin meningkat. Perdarahan yang berkepanjangan
tanpa penanganan yang baik akan menimbulkan hipoksi pem-
buluh darah organ-organ. Pembuluh darah yang mengalami
64 Cermin
Dunia Kedok t eran, Edisi Khusus No. 80, 1992
hipoksi berubah dari vasokonstriksi menjadi vasodilatasi,
akibatnya aliran darah intravaskular semakin lambat, sehingga
terjadi kegagalan fungsi organ-organ tubuh.
Perubahan-perubahan yang terjadi akibat perdarahan ini
ditandai dari gambaran klinis berupa syok (hemorrhagic shock)
(tabel 1).
Tabel 1. Gambaran klinissyok hemoragis dan hubunganny a dengan infus
cairan (darah) intravena""
PENANGANAN
Jika perdarahan (pervaginam) sudah sampai menimbulkan
gejala klinis syok, tindakan pertama ditujukan untuk perbaikan
keadaan umum. Tindakan selanjutnya adalah untuk menghenti-
kan sumber perdarahan.
Tahap Pertama :
Tujuan dari penanganan tahap pertama adalah, agar pende-
rita tidak jatuh ke tingkat syok yang lebih berat, dan keadaan
umumnya ditingkatkan menuju keadaan yang lebih balk. Dengan
keadaan umum yang lebih balk (stabil), tindakan tahap ke dua
umumnya akan berjalan dengan baik pula.
Pada penanganan tahap pertama dilakukan berbagai ke-
giatan, berupa :
1) Memantau tanda-tanda vital (mengukur tekanan darah,
frekuensi denyut nadi, frekuensi pernafasan, dan suhu badan).
2) Pengawasan pernafasan
Jika ada tanda-tanda gangguan pernafasan (adanya takipnu,
sianosis), saluran nafas harus bebas dari hambatan. Dan diberi
oksigen melalui kateter nasal dengan kecepatan 45 1 per menit.
3) Selama beberapa menit pertama, penderita dibaringkan
dengan posisi Trendelenburg.
4) Pemberian infus cairan (darah) intravena.
Pada tahap pertama dapat diberikan infus cairan : campuran
Dekstrose 5% dengan NaCl 0,9%, Ringer laktat.
5) Pengawasan jantung.
Fungsi jantung dapat dipantau dengan elektrokardiografi
dan dengan pengukuran tekanan vena sentral.
6) Pemeriksaan laboratorium.
Pemeriksaan darah lenekan, golongan darah, jenis Rhesus,
teskesesuaian darah penderita dengan darah donor (cross match),
pemeriksaan pH darah, pO
2
, pCO
2
darah arterial.
Jika dari pemeriksaan ini dijumpai tanda-tanda anemia sedang
sampai berat, infus cairan diganti dengan transfusi darah atau
infus cairan bersamaan dengan transfusi darah. Darah yang
diberikan dapat berupa eritrosit (packed red celO; jika sudah
ti mbul gangguan pembekuan darah, sebaiknya diberi darah segar.
Jika sudah timbul tanda-tanda asidosis harus segera dikoreksi.
Tahap kedua
Setelah keadaan umum penderita stabil, penanganan tahap
ke dua dilakukan. Penanganan tahap ke dua meliputi mene-
gakkan diagnosis dan tindakan menghentikan perdarahan yang
mengancam jiwa ibu.
Tindakan menghentikan perdarahan ini dilakukan berda-
sarkan etiologinya.
ABORSI IMMINENS
Kasus aborsi imminens ditangani secara konservatif dengan
tujuan mengusahakan agar kehamilan dapat berlanjut sampai
cukup bulan.
ABORSI INSIPIENS
Kasus aborsi insipiens ditangani secara aktif dengan tujuan
menghentikan perdarahan dengan mengeluarkan konsepsi.
ABORSI INKOMPLETUS
Kasus aborsi inkompletus ditangani secara aktif dengan tu-
juan menghentikan perdarahan dengan mengeluarkan sisa-sisa
konsepsi.
ABORSI KOMPLETUS
Kasus aborsi kompletus umumnya mengalami perdarahan
pervaginam sedikit-sedikit, cukup ditangani menurut tahapan
pertama saja.
ABORSI TERTUNDA( MISSED ABORTION)
Kasus aborsi tertunda umumnya tidak menunjukkan gejala
perdarahan pervaginam. Tetapi jika konsepsi yang telah mati
tertahan selama lebih dari 5 minggu akan menimbulkan ganggu-
an pembekuan darah karena hipofibrinogenemia. Untuk meng-
hindari komplikasi ini, sebaiknya konsepsi segera dikeluarkan.
ABORSI INFEKSIOSA (ABORSI SEPTIK)
Kasus aborsi yang disertai dengan infeksi disebut dengan
aborsi infeksiosa. Jika proses infeksinya semakin berat, akan
berlanjut dengan aborsi septik. Kasus-kasus aborsi septik prog-
nosisnya sangat jelek. Untuk menghindari komplikasi ini, se-
baiknya konsepsi segera dikeluarkan.
PENGELUARAN KONSEPSI
Pengeluaran konsepsi dapat dilakukan pervaginam ataupun
perabdominal.
Pengeluaran konsepsi pervaginam
I) Pada umur kehamilan sampai 12 minggu
1) Penderita diberi infus cairan dekstrose 5% ditambah oksito-
sin 510IU.
2) Penderita diberi anestesi umum atau anestesi lokal (blok
paraservikal).
3) Konsepsi dikeluarkan dari uterus dengan peralatan abortus
tang dan sendok kuret.
4) Setelah konsepsi keluar seluruhnya, diberi suntikan metil
ergonovine 0,2 mg intramuskular dan infus oksitosin dilanjutkan
sampai 8 jam post kuretase.
II) Pada umur
k ehamilan lebih dari 12 minggu
1)
Penderita diberi infus cairan dekstrose 5% ditambah oksito-
sin 5 -10 IU dengan kecepatan 4 tetes permenit dinaikkan setiap
15 30 menit dengan 4 tetes. Penambahan tetesan dilanjutkan
sampai konsepsi keluar seluruhnya.
2)
Jika ternyata hanya sebagian konsepsi yang keluar, bagian
jaringan plasenta yang tertinggal dikeluarkan dengan peralatan
abortus tang dan sendok kuret. Sebelum tindakan kuretase di-
lakukan, terlebih dahulu penderita diberi anestesi umum atau
anestesi lokal.
3) Setelah konsepsi keluar seluruhnya, diberi suntikan metil
ergonovine 0,2 mg intramuskuler dan infus oksitosin dilan jutkan
sampai 8 jam post kuretase.
III.
Pada kasus aborsi tertunda
Penderita diberi infus cairan dekstrose 5% ditambah oksito-
sin 510 IU, dengan prosedur seperti ad. II; atau dengan pem-
berian prostaglandin jika tersedia, yang hasilnya lebih baik dari
infus cairan berisi oksitosin, atau dengan infus cairan oksitosin
dapat dikombinasi dengan pemakaian laminaria intraservikal.
Tindakan selanjutnya sama seperti prosedur ad II-2, dan ad
II-3.
Cermin Dunia Kedok t eran, Edisi Khusus No. 80, 1992 65
IV. Pada kasus aborsi infeksiosa dan aborsi septik
Sebelum tindakan pengeluaran konsepsi dilakukan, terlebih
dahulu diberi antibiotika spektrum lebar (luas).
Prosedur pengeluaran konsepsi sama seperti ad. I atau ad. II.
Pengeluaran konsepsi perabdominal
Untuk kasus aborsi dengan umur kehamilan lebih dari 12
minggu yang gagal dikeluarkan pervaginam dapat dipertim-
bangkan melakukan laparotomi dan dilanjutkan dengan histero-
tomi atau histerektomi. Tindakan histerektomi khususnya diper-
timbangkan pada kasus aborsi infeksiosa atau aborsi septik.
Penanganan tahap kedua Molahidatidosa :
Pada kasus Molahidatidosa pengeluaran jaringan mola-
hidatidosa pervaginam dilakukan seperti prosedur penanganan
tahap kedua kasus aborsi (ad II). Khusus untuk kasus Mola-
hidatidosa risiko tinggi (kasus molahidatidosa berumur 35 tahun
atau lebih, sudah punya anak 23 orang), pengeluaran jaringan
Molahidatidosa dipertimbangkan perabdominal (histerektomi).
Setelah jaringan
Molahidatidosa keluar seluruhnya pem-
berian profilaksis khemoterapi dapat dipertimbangkan. Obat-
obat khemoterapi seperti methotrexate, dan actinomycin D
adalah merupakan obat-obat yang suing dipakai. Selanjutnya
kasus-kasus ini dipantau selama 2 tahun.
Penanganan tahap kedua Kehamilan Ektopik Terganggu :
Pada kasus kehamilan ektopik terganggu pengeluaran kon
-
sepsi perabdominal. Oleh karena tempat nidasi konsepsi umum-
nya terletak di tuba Fallopii, pengeluaran konsepsi ini disebut
dengan Salpingektomi.
Penanganan tahap kedua Kelainan Serviks, Vagina dan
Vulva :
Kasus-kasus perdarahan akibat kelainan serviks uteri, va-
gina dan vulva yang bersamaan dengan kehamilan dapat di-
lakukan secara konservatif. Kehamilan dijaga agar dapat ber-
lanjut sampai cukup bulan, kecuali pads karsinoma.
PENUTUP
Sudah dibicarakan penanganan umum kasus-kasus perda-
rahan hamil muds. Pemahaman dan peningkatan keterampilan
penanganan akan menurunkan angka kesakitan dan kematian
ibu.
KEPUSTAKAAN
1. Cavanagh
D, Woods RE, O'Connor TCF, Knuppel RA. Obstetric Emergen-
cies. Third Ed. Philadelphia: Harper & Row Publ.
2.
Novak ED, Jones GS, Jones HW. Novak's Textbook of Gynecology, Ninth
Ed. The William & Wilkins Co.
3.
Prawiroharjo S, Wiknjosastro H,
Sumapraja
S, Saifuddin AB. Ilmu Ke-
bidanan. Edisi Pertama. Jakarta: Yayasan
Bina Pustaka, 1976.
66
Cermin Dunia Kedok t eran, Edisi Khusus
No. 80, 1992
Hipertensi dalam Kehamilan/
Preeklam si dan Eklamsi
(Gestosis)
Hasdiana Hasan
Bagian Obstetri &
Ginekologi, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
Rumah Sakit Dr Pirngadi, Medan
PENDAHULUAN
Sampai sekarang penyakit hipertensi dalam kehamilan
(HDK) masih merupakan masalah kebidanan yang belum dapat
dipecahkan dengan tuntas. HDK adalah salah satu dari trias
penyebab utama kematian ibu di camping perdarahan dan in-
feksi.
Penanganan kasus HDK atau Gestosis atau EPH Gestosis
masih tetap merupakan kontroversi karena sampai saat ini etiol-
ogi dan patofisiologi penyakit HDK masih belum jelas diketahui,
sehingga penanganan yang definitif belum mungkin dijalankan
dengan sempurna. Hanya tenninasi kehamilan yang dapat di-
anggap sebagai terapi yang definitif.
DEFINISI
HDK adalah komplikasi kehamilan setelah kehamilan 20
minggu yang ditandai dengan timbulnya hipertensi, disertai
salah satu dari : edema, proteinuria, atai - edua-duanya.
KLASIFIKASI
Batasan yang dipakai The Committee on Terminology of
the American College of Obstetrics and Gynecology (1972)
adalah sebagai berikut :
A. HDK sebagai penyulit yang berhubungan langsung dengan
kehamilan :
1)
Pre-eklamsia
2)
Eklamsia
B.
HDK sebagai penyulit yang tidak berhubungan langsung
dengan kehamilan :
Hipertensi kronik.
C. Pre-eklamsia/eklamsiapadahipertensikronik/superimposed.
D.
Transient hypertension.
E.
HDK yang tidak dapat dikiasifikasikan.
DEFINISI DAN KRITERIA
1) Hipertensi ialah :
a) bila tekanan darah sistolik
140 mmHg dan/atau tekanan
darah diastolik > _ 90 mmHg.
b) atau kenaikan tekanan darah sistolik
30 mmHg.
c) atau kenaikan tekanan darah diastolik ? 15 mmHg.
Untuk mengukur tekanan darah yang pertama dilakukan dua
kali setelah istirahat duduk 10 menit. Pengukuran tekanan darah
ini harus dilakukan sekurang-kurangnya 2 kali dengan selang
waktu 6 jam dan ibu dalam keadaan istirahat.
2) Edema
Akumulasi cairan ekstra vaskuler secara menyeluruh,
dengan kriteria :
a) Adanya pitting edema
di daerah pretibia, dinding abdomen,
lumbosakral, wajah dan tangan setelah bangun pagi.
b) Kenaikan berat badan melebihi 500 gram/minggu atau 2000
gr/bulan atau 13 kg/seluruh kehamilan.
3) Proteinuria
Adanya proteinuria dalam urine :
a) Melebihi 0,3 gram/liter dalam 24 jam.
b) Melebihi 1 gram/liter dalam dua kali pengambilan urine
selang 6 jam secara acak, atau
c) Pemeriksaan kualitatif .- 2+ pads pengambilan urine secara
acak.
Urine hams diambil dengan kateter atau porsi tengah (mid-
stream urine/MSU).
4) Pre-eklamsia
Ialah timbulnya hipertensi disertai proteinuria dan/atau
edema akibat kehamilan, setelah umur kehamilan 20 minggu
atau segera setelah persalinan. Gejala ini dapat timbul sebelum
20 minggu bila terjadi penyakit trofoblas.
5) Eklamsia
Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992
67
Ialah timbulnya kejang pada penderita pre-eklamsia yang
disusul dengan koma. Kejang ini bukan akibat dari kelainan
neurologik.
6) Hipertensi kronik
Hipertensi yang menetap oleh sebab apapun, yang ditemu-
kan pada umur kehamilan kurang dari 20 minggu, atau hipertensi
yang menetap setelah 6 minggu pasca persalinan.
7) Superimposed
pre-eklamsia/eklamsia
Ialah timbulnya pre-eklamsia atau eklamsia pada hipertensi
kronik.
8) Transient hypertension
lalah hipertensi dalam kehamilan pada wanita yang tekanan
darahnya normal sebelum hamil dan tidak mempunyai gejala-
gejala hipertensi kronik atau pre-eklamsia atau eklamsia. Gejala
ini akan hilang setelah 10 hari pasca persalinan.
ETIOLOGI
Tidak diketahui dengan pasti. Pre-eclampsia, the disease of
theories (Zweifel, 1916).
Faktor predisposisi :
1) Primigravida atau nullipara, terutama pada umur reproduksi
ekstrem, yaitu remaja dan umur 35 tahun ke atas.
2) Multigravida dengan kondisi klinis :
a) Kehamilan ganda dan hidrops fetalis.
b) Penyakit vaskuler termasuk hipertensi esensial kronik dan
diabetes mellitus.
c) Penyakit-penyakit ginjal.
3) Hiperplasentosis :
Molahidatidosa,kehamilan ganda, hi drops fetalis, bay i besar,
diabetes mellitus.
4) Riwayat keluarga pernah pre-eklamsia atau eklamsia.
5)
Obesitas dan hidramnion.
6) Gizi yang kurang dan anemi.
7) Kasus-kasus dengan kadar asam urat yang tinggi, defisiensi
kalsium, defisiensi asam lemak tidak jenuh, kurang antioksidans.
PATOGENESIS
Belum diketahui dengan pasti. Proses iskemik uteroplasen-
ter menyebabkan vasospasmus arteriole/kapiler secara umum
sehingga menimbulkan kelainan patologis pada organ-organ
vital.
PRE-EKLAMSIA RINGAN
Kriteria
1) Tekanan darah > 140/90 mmHg atau tekanan darah sistolik
naik > 30 mmHg atau kenaikan tekanan darah diastolik > 15
mmHg tetapi < 160/110 mmHg.
2)
Edema dan/atau
3) Proteinuria, setelah kehamilan 20 minggu.
Pencegahan
Karena etiologi belum pasti, faktor predisposisi harus
dihindari/diperkecil. Pemeriksaan antenatal harus teratur, clan
cukup istirahat dan diet yang sesuai.
Pengobatan
A. Rawat jalan :
-
Banyak istirahat (baring/tidur miring).
-
Makanan cukup protein, rendah karbohidrat, rendah lemak
dan garam.

Sedativa : phenobarbital 3 x 30 mg per hari/oral atau diaze-


pam 3 x 2 mg per hari/oral (7 hari).
-
Roboransia (vitamin dan mineral).
TIDAK BOLEH DIBERIKAN DIURETIKUM ATAU
ANTIHIPERTENSI.
-
Periksa ulang 1 x 1 minggu.
Pemeriksaan Laboratorium : Hb, hematokrit, trombosit,
asam urat, urine lengkap (m.s.u), fungsi hati, fungsi ginjal.
B. Penderita baru dirawat :
1) Setelah 2 minggu pengobatan rawat jalan tidak menunjuk-
kan adanya perbaikan gejala-gejala pre-eklamsi.
2) Kenaikan berat badan ibu ? 1 kg per minggu selama 2 kali
berturut-turut.
3) Kalau setelah 1 minggu dirawat tidak jelas terjadi perbaikan,
penderita dimasukkan ke golongan PE berat, atau kalau dijumpai
salah satu atau lebih gejala PE berat.
Persalinan :
Penderita PE ringan yang mencapai normotensif selama
perawatan, persalinannya ditunggu sampai 40 minggu. Lewat
TTP dilakukan induksi partus.
Penderita PE ringan yang tekanan darahnya turun selama
perawatan tetapi belum mencapai normotensif, terminasi keha-
milan dilakukan pada kehamilan 37 minggu.
Catatan :
1) Pre-eklamsia ringan bukan berarti risiko kurang terhadap
ibu dan janin, sebab pre-eklamsia ringan pun mungkin menjadi
pre-eklamsia berat atau eklamsia pada waktu yang singkat.
2) Tekanan darah saja tidak dapat dipakai sebagai parameter
untuk menentukan ringan-beratnyapenyakit, sebab tekanan darah
135/85 pun pada seorang wanita dapat menyebabkan kejang,
sedangkan wanita lain dengan tekanan darah 180/120 belum
tentu menderita kejang.
3) Sebaiknya pre-eklamsia ringan dirawat di rumah sakit jika
fasilitas memungkinkan.
PRE-EKLAMSIA BERAT
Kriteria :
Kalau dijumpai satu atau lebih tanda/gejala berikut :
1)
Tekanan darah 160/110 mmHg.
2)
Proteinuria lebih 5 gram/24 jam atau kualitatif 3+/4+.
3) Oliguria
500 ml/24 jam.
4)
Nyeri kepala frontal atau gangguan penglihatan.
5)
Nyeri epigastrium.
6)
Edema paru atau sianosis.
7)
Pertumbuhan janin intrauterin yang terlambat (IUFGR).
8) HELLP syndrome
(H = Hemolysis; EL = Elevated Liver
enzymes; LP = Low Platelet counts).
68 Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992
Penanganan:
I. PE berat dengan kehamilan > 37 minggu
1 . Pengobatan medisinalis :
Rawat :
a) Istirahat mutlak/isolasi.
b) Diet rendah gram.
c) Suntikan sulfas magnesikus :
Loading dose : 4 g 20% iv. (20% dalam 20 ml) selama 4 5
menit (1 g/menit), dan 8 g 40% dalam 10 ml im., 4 g di bokong
kiri dan 4 g di bokong kanan (sebaiknya dicampur dengan
lidonest untuk mengurangi rasa sakit), yang diteruskan dengan
4 g tiap 4 jam (maintenance dose).
d) Infus dextrose 5% 1 liter diselingi dengan Ringer laktat
500 ml (2 : 1).
e) Kateter menetap.
f) Empat jam setelah pemberian MgSO
4
tekanan darah dikon-
trol, jika tekanan darah sistolik 180 mmHg atau diastolik 120
mmHg diberikan suntikan Catapres 1 ampul im. Tekanan da-
rah tidak boleh diturunkan secara drastis, sebaiknya tekanan
diastolik berkisar antara 90100 mmHg.
g)
Diuretikum tidak diberikan kecuali jika ada :
edema paru
gagal jantung kongestif
edema anasarka.
Syarat pemberian MgSO
4
:
-
Hams tersedia antidotum MgSO
4
, yaitu Calcium Gluconas
10% diberikan iv. pelan-pelan (3 menit).
Refleks patella (+) kuat.
-
Frekuensi pernafasan > 16 x/menit.
-
Produksi urine > 100 ml dalam 4 jam sebelumnya (0,5 ml/
kgbb/jam).
Pemberian MgSO
4
sampai 20 gr tidak perlu mempertim-
bangkan diuresis.
2. Pengobatan obstetrik :
a)
Belum inpartu :
Dilakukan induksi persalinan segera sesudah pemberian
MgSO
4
kedua.
Dilakukan amniotomi dan drip oksitosin dengan syarat :
pelvik skor Bishop 5.
SC dilakukan bila :
-
Syarat drip tidak dipenuhi.
-
12 jam sejak drip oksitosin anal( belum lahir.
-
Pada primi cenderung SC.
b) Inpartu :
Fase laten : 6 jam tidak masuk fase aktif, dilakukan SC.
Fase aktif :
-
amniotomi, kalau perlu drip oksitosin.
bila 6 jam pembukaan belum lengkap, dilakukan SC.
c) Kala II dipercepat, bila syarat partus pervaginam dipenuhi,
dilakukan EV/EF.
d) Persalinan harus sudah selesai kurang dari 12 jam setelah
dilakukan amniotomi dan drip oksitosin; jika dalam 6 jam tidak
menunjukkan kemajuan yang nyata, pertimbangkan SC.
e) Ergometrin tidak boleh diberikan kecuali ada PPH oleh
atonia uteri.
f) Pemberian MgSO
4
dapat diberikan sampai 24 jam pasca
persalinan kalau tekanan darah masih tinggi.
MgSO
4
dihentikan bila :
-
Ada tanda-tanda intoksikasi.
-

Dalam 8 jam pasca persalinan sudah normotensif.


Catatan : Pemberian pertama MgSO4 sampai 20 gram (pem-
berian ke 3) tidak perlu menilai diuresis.
II.
PE berat dengan kehamilan < 37 minggu tanpa tanda
impending eclampsia
1) Pengobatan medisinal :
Pemberian MgSO
4
selama 1 x 24 jam dimulai dengan
loading dose
yang diteruskan dengan suntikan 4 g MgSO
4
tiap 4
jam.
2) Pengobatan obstetrik :
Kalau setelah 24 jam tidak terjadi perbaikan maka dilakukan
terminasi kehamilan.
MgSO
4
dihentikan bila sudah dicapai tanda-tanda pre-eklamsi
ringan. Selama perawatan konservatif, observasi dan evaluasi
sama seperti perawatan pre-eklamsi berat 37 minggu, hanya di
sini penderita boleh pulang jika selama 3 hari perawatan tetap
dalam keadaan PE ringan.
Impending Eklamsia :
Tanda-tanda : PE berat disertai gejala-gejala : nyeri kepala
hebat, gangguan visus, muntah-muntah, nyeri epigastrium, ke-
naikan prograsif tekanan darah (sistolik > 200 mmHg).
Penanganan : SC.
EKLAMSIA
Detinisi
Eklamsia adalah kelainan akut pada wanita hamil, dalam
persalinan atau nifas yang ditandai dengan timbulnya kejang dan
atau koma. Sebelumnya wanita tadi menunjukkan gejala-gejala
pre-eklamsia (kejang-kejang timbul bukan akibat kelainan neu-
rologik).
Prinsip penanganan :
Penanganan eklamsia sama dengan pre-eklamsia berat.
Terminasi kehamilan dilakukan 48 jam setelah stabilisasi (lihat
lampiran).
PENANGANAN:
A. Pengobatan Medisinal
1) MgSO
4
a. Loading dose :
-
4 g MgSO
4
dalam larutan 20 ml (20%) iv. selama 5 menit.
8 g MgSO
4
dalam larutan 10 ml (40%) im. (bokong kiri 4 g,
dan bokong kanan 4 g).
b. Maintenance dose :
Tiap 4 jam diberikan 4 g im. bila tidak ada kontra indikasi (24
jam setelah kejang terakhir/pasca persalinan).
c. Bila kejang berulang diberikan MgSO
4
20% 2 g iv; diberikan
sekurang-kurangnya 20 menit setelah pemberian terakhir.
Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992
69
Bila setelah diberi dosis tambahan masih tetap kejang dapat
diberikan amobarbital 3 5 mg/kgbb iv. pelan-pelan.
2) Infus Dextrose 5% 1 liter kemudian dilanjutkan dengan
Ringer Laktat. Jumlah cairan dalam 24 jam sekitar 2000 ml,
berpedoman kepada diuresis, insensible water loss dan CVP.
3) Antibiotika : dengan dosis yang cukup.
4) Perawatan pada serangan kejang :
-
Dirawat di kamar isolasi yang cukup terang.
-
Masukkan sudip Iidah (tong spatel) ke dalam mulut pen-
derita.
-
Kepala direndahkan, lendir diisap dari daerah orofaring.

Fiksasi badan pada tempat tidur harus cukup kendor guna


menghindari fraktur.
-
Pemberian O
Z
-
Dipasang kateter menetap (Foley kateter).
5) Perawatan pada penderita koma :
Monitoring kesadaran dan dalamnya koma memakai
Glasgow-Pittsburg Coma Scale.
Perlu diperhatikan pencegahan dekubitus dan makanan
penderita.
Pada koma yang lama (> 24 jam), makanan melalui hidung
(NGT = Naso Gastric Tube; Neus Sonde Voeding).
6) Diuretikum dan antihipertensi sama seperti pre-eklamsia
berat.
7) Kardiotonikum (Cedilanid) jika ada indikasi.
8)
Tidak ada respons terhadap penanganan konservatif, per-
timbangkan seksio sesarea.
B. Pengobatan Obstetrik :
1)
Semua kehamilan dengan eklamsia hares diakhiri tanpa
memandang umur kehamilan dan keadaan janin.
2) Terminasi kehamilan.
Sikap dasar : Bila sudah terjadi "stabilisasi" (pemulihan)
hemodinamika dan metabolisme ibu, yaitu 4 8 jam setelah
salah satu atau lebih keadaan di bawah ini :
setelah pemberian obat anti kejang terakhir.
setelah kejang terakhir.
setelah pemberian obat-obat anti hipertensi terakhir.
penderita mulai sadar (responsif dan orientasi).
3)
Bila anak hidup, SC dapat dipertimbangkan.
Perawatan Pasca Persalinan
1)
Bila persalinan terjadi pervaginam, pengawasan tanda-
tanda vital dilakukan sebagaimana lazimnya.
2)
Pemeriksaan laboratorium dikerjakan setelah 1 x 24 jam
persalinan.
3)
Biasanya perbaikan segera terjadi setelah 24 48 jam pasca
persalinan.
Prognosis
Ditentukan oleh kriteria EDEN :
1) Koma yang lama (6 jam atau lebih).
2) Nadi di atas 120 x permenit.
3) Suhu 30C (103F).
4) Tekanan darah sistolik di atas 200 mmHg.
5)
Proteinuria lebih 10 g/liter.
6) Kejang lebih 10 hari.
70 Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992
7) Tidak ada edema.
8) Kegagalan sistem kardiovaskular :
edema pulmonum
sianosis
rendah atau menurunnya tekanan darah
-
rendahnya tekanan nadi.
10)
Gangguan keseimbangan elektrolit.
11)
Kegagalan pengobatan :
-
untuk menghentikan kejang
untuk menghasilkan urine 30 ml/jam atau 700 ml/24 jam

untuk menimbulkan hemodilusi dengan menurunkan nilai


hematokrit (Ht) dengan 10%.
Bila didapatkan satu atau lebih dari gejala tersebut di atas,
prognosis ibu buruk
HIPERTENSI KRONIK DALAMKEHAMILAN
Definisi
Adanya hipertensi yang persisten oleh sebab apapun juga
yang ditemukan pada umur kehamilan kurang dari 20 minggu
atau hipertensi persisten setelah 6 minggu pasca persalinan.
Diagnosis klinik
Diagnosis hipertensi kronik pada kehamilan ditegakkan
berdasarkan gejala-gejala sebagai berikut :
a)
Adanya riwayat hipertensi sebelum kehamilan atau di-
dapatkan hipertensi pada kehamilan kurang dari 20 minggu.
b)
Ditemukan kelainan organik, misalnya : pembesaran jan-
tung, kelainan ginjal, dan sebagainya.
c)
Umur ibu di atas 30 tahun dan umumnya multigravida.
d) Bila terjadi superimposed preeclampsia,
maka didapatkan :
tekanan darah sistolik lebih dari 200 mmHg.

adanya perubahan-perubahan pada pembuluh darah retina


berupa eksudasi, perdarahan, dan penyempitan.
e) Retensi air dan natrium tidak menonjol. Jarang didapatkan
edema dan proteinuria.
fj Hipertensi masih temp didapatkan sampai 6 bulan pasca
persalinan.
Pemeriksaan Laboratorium
a) Pemeriksaan urine :
sediman
protein

kultur
b) BUN, kreatinin serum
c) Elektrolit serum
d) ECG
e) Foto thorax.
Pengelolaan
A. Pengobatan Medisinal
a)
Istirahat di rumah, dengan tirah baring miring, 1 jam pagi
hari, 1 jam siang hari.
b)
Phenobarbital 3 x 30 mg atau diazepam 3 x 2 mg sebagai
sedasi selama 1 minggu.
c)
Bila dengan perawatan di atas tekanan darah diastolik temp
di atas 90 mmHg, maka dapat diberi obat-obat hipertensi, yaitu:

Methyldopa 5002000 mg perhari atau hydralazine40200


mg perhari, atau clonidine (terapi awal : 1/2 tablet 23 kali
sehari).

Bila tekanan darah belum turun, dapat ditambah propanolol


(Inderal). Dosis permulaan : 10 mg, 4 x sehari, dinaikkan
menjadi 40 mg 4 x sehari.
d)
Bila terjadi pseudotoleransi terhadap obat-obatantihipertensi,
dapat diberikan HCT 50 mg oral 2 hari sekali.
e) Bila terjadi
superimposed preeclampsialeclampsia, maka
pengobatan disesuaikan dengan pengobatan preeklamsia/
eklamsia.
B.
Pengobatan Obstetrik
Pengobatan hipertensi kronik maupun
superimposed, di-
sesuaikan dengan pengobatan obstetrik pada preeklamsia/
eklamsia.
Obat-obat anti hipertensi diberikan bila :
1)
Tekanan darah diastolik ? 110 mmHg.
2)
Tekanan darah sistolik
180 mmHg.
3)
Tekanan darah tetap > . 160/110 mmHg setelah istirahat
baring
(bedrest)
dan diberi sedativa selama 1248 jam.
4) Tekanan darah diastolik 90 100 mmHg pada kehamilan
trimester kedua.
Komplikasi
Gaga] gin jai, gagal jantung, edema paru-paru, kelainan
pembekuan darah, perdarahan otak, kematian janin.
KEPUSTAKAAN
1.
Angsar MD, Simanjuntak P, Handaya S. Pedoman pengelolaan hipertensi
dalam kehamilan di Indonesia. Satgas Gestosis POGI, Ed I, 1985.
2.
Angsar MD dkk. Pedoman diagnosis dan terapi RSUD Dr. Soetomo Sura-
baya, 1988.
3.
Mac Gillivray J. Preeclampsia, the hypertensive diseases of pregnancy. WB
Saunders Co [ad, 1983.
4.
Prawirohardjo S. Preekaamsia dan eklamsia. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka,
1976.
5. Pritchard JA et at. Hypertensive disorders in pregnancy. William Obstetrics,
17th Ed. 1985.
6. Simanjuntak P dkk. Penanganan preeklamsi
dan eklamsi. Medical
Committee Bag. Obgin FK-USU/RSU. Dr. Pimgadi Medan, 1979.
7.
Simanjuntak P. Pedoman penanganan hipertensi dalam kehamilan, Kongres
Nasional IBI ke-IX, Medan, 1985.
Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992
71
Penyakit Kardiovaskuler dan Penanganannya
Pencegahan dan
Penanggulangan Penyakit
Jantung Koroner di Indonesia
H.A. Adin St Bagindo DTM&H
Divisi Kardiologi Bagian/UPF llmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
Rumah Sakit Dr Pirngadi, Medan
PENDAHULUAN
Pembangunan kesehatan bertujuan agar setiap penduduk
mampu untuk hidup sehat sehingga dapat mewujudkan derajat
kesehatan masyarakat yang optimal.
Tinggi atau rendahnya derajat kesehatan masyarakat secara
garis besar dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan, perilaku
dan kebiasaan hidup, tersedianya upaya pelayanan dan bawaan
biologik. Yang besar pengaruhnya adalah faktor lingkungan dan
perilaku serta kebiasaan hidup masyarakat. Di Indonesia pe-
ningkatan laju pembangunan termasuk meningkatnya pula upaya
kesehatan telah menimbulkan dampak di berbagai bidang, baik
yang positif maupun yang negatif, seperti perubahan pola pe-
nyakit dan lain-lain.
Pada masa mendatang Indonesia akan beralih dari negara
agraris menjadi negara industri dengan segala konsekuensi pe-
rubahan gaya hidup dan lingkungan. Transisi demografi saat ini
sedang berlangsung, demikian pula transformasi kesehatan
lingkungan dan semua ini dikenal sebagai masalah kesehatan
baru. Angka harapan hidup yang saat ini mencapai 64 tahun
cenderung semakin meningkat, pola penyakit menjadi cam-
puran, dominasi penyakit-openyakit menular dan infeksi mulai
digeser oleh penyakit-penyakit degeneratif termasuk penyakit
jantung koroner. Untuk mengantisipasi hal tersebut dewasa ini
sedang berkembang Gerakan Kesehatan Masyarakat Baru (New
Public Health Movement) yang lebih mengutamakan upaya
promotif dan preventif secara aktif bagi 85% kelompok masya-
rakat yang majoritas dinyatakan sehat tetapi sebenarnya belum
tentu sehat.
Penyakit Jantung Koroner umumnya bersifat menahun dan
banyak mengenai kelompok usia produktif. Survai Kesehatan
Rumah Tangga pada tahun 1986 menunjukkan bahwa penyakit
jantung merupakan penyebab kematian ke tiga terbesar (9,7%)
sesudah radang akut saluran nafas bagian bawah dan diare,
sedangkan pads tahun 1972 masih berada di urutan ke-11.
Tujuan pembangunan kesehatan adalah tercapainya ke-
mampuan untuk hidup sehat bagi setiap penduduk agar dapat
mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal sebagai
salah satu unsurkesejahteraan umum dari tujuan nasional. Untuk
mencapai tujuan ini, upaya kesehatan dilaksanakan melalui
pendekatan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Upaya
kuratif untuk penyakit jantung koroner memerlukan teknologi
tinggi serta biaya mahal, yang akan sulit dipikul secara nasional;
oleh karena itu upaya preventif dan promotifnya perlu lebih
mendapatkan perhatian.
Penyakit jantung yang utama adalah Penyakit Jantung
Koroner (PJK) yang patologinya didasarkan pads proses
aterosklerosis (pengerasan dan penebalan dinding pembuluh
darah) yang dilatar belakangioleh berbagai faktor risiko.
Yang terpenting di antara faktor risiko yang dapat dimodi-
fikasi adalah kebiasaan merokok, kelebihan kolesterol, tekanan
darah tinggi, diabetes mellitus, obesitas, kurang olahraga, dan
stres. Semua faktor risiko ini erat kaitannya dengan gaya, ke-
biasaan dan lingkungan hidup seseorang.
Hipertensi mencapai angka kejadian 1125% pada usia
4554 tahun dan meningkat bersamaan dengan bertambahnya
umur. Penyakit ini sangaterat kaitannya dengan konsumsi garam
dalam makanan. Untuk memecahkan masalah yang sudah nyata
ini serta menghadapi tantangan pada waktu yang akan datang,
perlu dikenali dulu macam ragam masalahnya dan disusun pokok-
pokok pencegahan dan penanggulangan yang tepat guna.
MASALAH
Pola umum pencegahan dan penanggulangan masalah Pe-
nyakit Jantung Koroner harus bertitik tolak dari analisis faktor-
faktor yang mempengaruhi, di antaranya :
72 Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992
1. Masalah Kependudukan
Saat ini sedang terjadi perubahan struktur kependudukan,
angka kematian sudah menurun mendekati keadaan di negara-
negara maju, angka kelahiran telah berhasil diturunkan secara
konsisten mengarah ke keadaan negara maju.
Dengan menurunnya angka kematian, umur harapan hidup
meningkat, telah mencapai 64 tahun saat ini. Kemajuan di bidang
kesehatan mengakibatkan proporsi dan jumlah penduduk yang
mencapai usia tua akan meningkat; pada tahun 2000 nanti
diperkirakan akan terdapat kurang lebih 16 juta penduduk usia
lanjut, dan golongan usia ini banyak mempunyai penyakit dege-
neratif atau menahun, termasuk penyakit jantung koroner.
Dengan keberhasilan program KB proporsi penduduk usia
anak di bawah 15 tahun akan menurun dan penduduk usia kerja
produktif akan meningkat sejalan dengan kemajuan pembangun-
an industri yang diikuti pula dengan arus urbanisasi yang
meningkat; maka proporsi penduduk yang tinggal di perkotaan
akan meningkat pula mencapai 40% pads tahun 2000. Penduduk
perkotaan ini cenderung mengikuti pola hidup negara maju yang
rentan terhadap penyakit jantung koroner.
2. Masalah Penyakit
Keberhasilan pembangunan, modernisasi pads umumnya
dan keberhasilan pemberantasan penyakit menular pads
khususnya menyebabkan timbulnya perubahan pola penyakit.
Dalam jangka waktu hampir 10 tahun terakhir penyakit-
penyakit kardiovaskular menempati urutan ke tiga sebagai pe-
nyebab kematian, sedangkan pada tahun 1972 adalah 1,11%
(urutan ke-11). Proporsi kekerapan penyakit jantung juga
meningkatkan dari 5,2% menjadi 6,3% pads SKRT 1986 (urutan
ke-8). Secara singkat angka-angka beberapa penyakit kardio-
vaskular (dikutip dari Simposium Penyakit Kardiovaskular ba-
dan Litbangkes 1981) adalah sebagai berikut :
a)
Angka kematian rata-rata penyakit jantung koroner untuk
golongan umur 40-45 tahun adalah 4 per 1000/tahun, golongan
umur 55-64 tahun 10 per 1000/tahun dan untuk golongan 65
tahun ke atas sebesar 20/1000. SKRT 1986 menunjukkan bahwa
penyakit jantung menempati urutan ke tiga (9,9%) pads go-
longan usia 15-54 tahun, urutan pertama (24,1%) pads golongan
usia di atas 45 tahun.
Pengalaman di Rumah Sakit Jantung Harapan Kita me-
nunjukkan bahwa Penyakit Jantung Koroner (PJK) semakin
banyak mengenai golongan usia yang lebih muda. Di perusa-
haan-perusahaan perminyakan PJK juga dilaporkan semakin
meningkat.
b) Angka kejadian hipertensi dalam masyarakat berdasarkan
berbagai survai berkisar antara 5-15% dan hanya 25% dari
penderita di perkotaan yang mendapat pengobatan. Pada go-
longan umur 45-54 tahun angka kejadiannya sebesar 11-25%
dan meningkat dengan pertambahan umur.
3.
Masalah Perilaku dan Peran Serta Masyarakat
Penyakit Jantung Koroner sangat erat kaitannya dengan
perilaku dan kebiasaan masyarakat. Modernisasi telah me-
nyebabkan lapisan tertentu masyarakat menempuh gaya hidup
dengan ciri-ciri sedentary living, pola makan yang berlebihan
lemak,
refined carbohydrates, kebiasaan merokok yang kuat
serta kesibukan sehari-hari yang ketat, terikat waktu dan terburu-
buru sehingga memacu terjadinya penyakit jantung koroner lebih
dini. Pola hidup yang tegang dan konsumsi garam juga memacu
terjadinya hipertensi.
Khusus tentang merokok, penelitian di RS Jantung Harapan
Kita menemukan bahwa pads pria penderita serangan jantung
mendadak faktor risiko utamanya adalah merokok, yaitu 66-70%.
Data dari berbagai penelitian di Indonesia menunjukkan variasi
persentase perokok pads pria antara 40-98% dan pads wanita
antara 2-10%. Kebiasaan merokok pads kelompok remaja di
Jakarta adalah 49% pads pelajar pria dan 8,8% pads pelajar
wanita. Kebiasaan merokok pada petugas kesehatan juga cukup
tinggi. Sebagian terbesar masyarakat yang tidak merokok tidak
berani menegur orang didekatnya.
Yang menggembirakan, dalam dasawarsa 1980, peran serta
masyarakat yang dipelopori oleh Yayasan Jantung Indonesia
semakin meningkat. Upaya promotif, preventif dan rehabilitatif
diwujudkan melalui Klub Jantung Sehat dan kelompok Panutan
Tidak Merokok. Dalam tahun 1991 Departemen Kesehatan juga
telah mewajibkan pencantuman peringatan bahaya merokok
pada kemasan rokok dan di fasilitas-fasilitas Departemen Ke-
sehatan.
Disadari bahwa perubahan gaya hidup bukan suatu hal yang
mudah dilakukan karena banyak hambatan dan kendalanya.
Khususnya dalam hal merokok, pemerintah sendiri masih mem-
punyai kepentingan karena pemasukan yang sangat besar dan
pajak dan cukai tembakau. Sebaliknya dan segi makanan dan
ketenangan hidup, masih banyak pola makanan etnik dan ke-
biasaan hidup di Indonesia yang cukup sehat ditinjau dan penya-
kit jantung.
4. Masalah Pendidikan
Meskipun jumlah penduduk yang mampu membaca dan
menulis sudah jauh meningkat, namun informasi yang benar
mengenai penyakit jantung masih sangat terbatas diketahui
masyarakat, khususnya mengenai faktor-faktor risikonya.
Pendidikan formal dan pendidikan keluarga yang merupa-
kan wahana untuk mempersiapkan generasi penerus yang dapat
diandalkan dari segi kecerdasan dan fisik saat ini cenderung
dipengaruhi pula oleh perubahan-perubahan gaya hidup yang
diperoleh akibat globalisasi informasi melalui media massa.
Pendidikan olah raga di sekolah-sekolah kurang menekankan
praktek fisik untuk menjadikan ini suatu kebiasaan hidup sejak
dini. Hal ini terkait pula dengan kurikulum pendidikan secara
keseluruhan dan sangat terbatasnya sarana untuk berlatih olah-
raga dengan baik. Kelangkaan bibit-bibit dengan keadaan fisik
yang balk juga sangat dirasakan dalam rekrutmen calon-calon
Akademi Angkatan Bersenjata.
Penurunan kondisi fisik pada sebagian anak-anak dan re-
maja akan lebih diperburuk lagi dengan penurunan kualitas gizi
aldbat kebiasaan menikmati makanan layanan cepat dan men-
coba mencari jatidiri dengan meniru orang Barat dalam ke-
biasaan merokok dan minum alkohol.
Kemampuan tenaga kesehatan untuk menangani penyakit
Cermin Dunia Kedok t eran, Edisi Khusus No. 80, 1992 73
jantung koroner secara khusus masih kurang memadai.
S. Masalah Lingkungan
Lingkungan hidup masyarakat Indonesia tidak terlepas dari
kondisi social, ekonomi dan budaya bangsa Indonesia yang ber-
ada dalam masa transisi dari masyarakat agraris, tradisional dan
berbelakang menuju masyarakat industri, modem dan maju. Di
satu pihak lingkungan hidup mencerminkan keterbelakangan
dengan kepadatanpenduduk yang berlebihan, sanitasi lingkungan
yang tidak memadai dan sarana kesehatan yang belum men-
cukupi; di lain pihak tercermin budaya hidup barat, pencemaran
industri dan urbanisasi dengan urban slumnya
terutama di kota-
kota besar. Kondisi geografis Indonesia berupa kepulauan me-
rupakan tantangan dan hambatan untuk pelayanan yang me-
madai, meskipun perkembangan bidang telekomunikasi dan
informasi telah menyebabkan globalisasi informasi termasuk
yang membantu perubahan gaya hidup ke arah yang negatif.
6.
Masalah Upaya Pelayanan
Upaya pelayanan khusus PJK yang terprogram secara na-
sional belum ada. Kegiatan pelayanan yang ada saat ini umum-
nya belum mencakup bidang promotif, preventif, kuratif dan
rehabilitasi secara menyeluruh. Dalam bidang penyakit jantung
pelayanan masih berorientasi kuratif. Pelayanan spesialistik
dengan dukungan sarana yang memadai hanya terdapat di Ru-
mah Sakit Jantung Harapan Kim, pads Rumah Sakit tipe A
(RSCM dan Rumah Sakit Dr. Soetomo) dan beberapa Rumah
Sakit kelas B. Di sebagian terbesar Rumah Sakit kelas B dan C
pelayanan untuk penyakit jantung koroner pada umumnya belum
diselenggarakan secara memadai.
Ilmu pengetahuan dan teknologi kardiovaskular adalah bi-
dang yang sangat banyak mendapat perhatian di negara-negara
maju. Banyak konsep-konsep mutakhir dalam bidang diagnostik
dan pengobatan telah diajukan namun pada umumnya belum ada
teknologi yang secara mendasar dapat menanggulangi penyakit
jantung yang sudah manifes secara tuntas.
Pengobatan untuk hipertensi sudah semakin mullah, namun
masih tetap mahal. Beberapa konsep untuk mengurangi mortali-
tas pada PJK seperti trombolisis, pembedahan pintas koroner dan
PTCA telah luas dipergunakan namun semua ini belum secara
berarti memperpanjang harapan hidup.
Diagnostik penyakit jantung koroner secara invasif (kate-
terisasi jantung) saat ini barn dapat dilakukan secara rutin di
beberapa rumah sakit di Jakarta, dan Surabaya, dan secara
terbatas di Semarang dan Padang. Bedah Jantung secara teratur
baru dapat dilakukan di Rumah Sakit Jantung Harapan Kita, dan
dalam volume lebih kecil di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangun-
kusumo, Jakarta, Rumah Sakit Dr. Soetomo Surabaya dan Ru-
mah Sakit Gatot Subroto, dan secara terbatas di dua Rumah Sakit
Swasta lain. Tindakan invasif (angioplasti dan vulvuloplasti
balon) juga barn dapat dilakukan pada rumah sakit tertentu. Jelas
ini tidak memadai dibandingkan kebutuhan/masalah yang sudah
dikemukakan sehingga daftar tunggu penderita sangat panjang,
bahkan banyak yang berobat ke luar negeri.
Unit koroner intensif pada umumnya sudah terdapat pada
Rumah sakit kelas B dan beberapa Rumah Sakit Swasta. Biaya
74
Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992
pembedahan dan perawatan di ruang intensif, termasuk biaya
rujukan,
masih sangat tinggi. Sebagai contoh biaya operasi
jantung koroner di RS Jantung Harapan Kita rata-rata
15 juta
rupiah per pasien.
7. Masalah Ketenagaan
Penanggulangan penyakit jantung memerlukan tenaga-te-
naga yang trampil. Di camping terbatasnya tenaga, penyebaran-
nya juga tidak merata. Jumlah dokter spesialis penyakit jantung
dan pembuluh darah, yang saat ini
150 orang, masih sangat se-
dikit dibandingkan besamya kebutuhan. Jumlah tenaga dokter
spesialis bedah jantung yang aktif bar' 8 orang di Jakarta dan
Surabaya; dari mereka ini beserta tenaga pendukungnya dapat
disusun 23 tim bedah jantung. Pendidikan dokter spesialis
jantung, dokter bedah jantung dan ahli anestesi jantung masih
sangat sedikit keluarannya; hal ini antara lain karena belum ada
pola dan program penempatan tenaga yang resmi.
Tenaga perawat yang terlatih dalam bidang penyakit jantung
juga masih langka dan pendidikan khusus untuk itu baru ada
secara terbatas di RS Jantung Harapan Kita dan RS Dr. Cipto
Mangunkusumo Jakarta.
Tenaga ahli epidemiologi dan peneliti profesional bidang
kardiovaskular belum ada, demikian juga tenaga ahli yang
mengkhususkan
dalam bidang preventif promotif seperti
pendidik kesehatan, ahli kedokteran olahraga, dan lain-lain.
Dengan keadaan yang ada sekarang dan kecenderungan
peningkatan kebutuhannya jelaslah bahwa pengadaan tenaga
tidak akan memadai.
8.
Masalah Pembiayaan
Pembiayaan yang diperlukan untuk pelayanan penyakit
jantung sangat mahal, khususnya bila dilihat dari segi pelayanan
kuratif dan rehabilitatif. Hal ini disebabkan karena ongkos peng-
adaan dan pemeliharaan teknologi yang canggih itu memang
mahal. Biaya pemeriksaan invasif (kateterisasi jantung) berkisar
antara 12
juta rupiah perpasien, diagnostik non invasif dengan
ekokardiografi antara
50 ribu sampai 125 ribu rupiah. Ongkos
operasi jantung koroner rata-rata
15 juta rupiah per pasien (di
Amerika Serikat US$ 40.000 dan di Australia Aus $
25.000).
Pembiayaan ini tidak akan mampu dipikul oleh pemerintah
maupun masyarakat saja. Di RS Jantung Harapan Kita tidak
sampai 10% dari pasien yang sudah menjalani kateterisasi jan-
tung dan mempunyai indikasi operasi yang akhirnya bisa di-
operasi. Masalah yang terbesar akhirnya adalah biaya.
POKOK-POKOK PENCEGAHAN DAN PENANGGU-
LANGAN MASALAH PENYAKIT JANTUNG KORONER
1. Pencegahan Primer dan Upaya Promotif
a) Tujuan :
Pencegahan primer dan upaya promotif bertujuan untuk
mencegah terjadinya proses patologis yang mendasari penyakit
jantung koroner. Pencegahan primer pada penyakit jantung
koroner terutama untuk :
1. mencegah timbulnya aterosklerosis, dengan cara mem-
berantas faktor-faktor risiko.
2.
mencegah timbulnya hipertensi dengan membatasi kon-
sumsi garam.
b)
Kegiatan-kegiatan yang perlu dijalankan untuk pencegahan
primer, antara lain adalah :
1. Melakukan pendidikan dan penyuluhan kepada masyarakat
luas mengenai faktor-faktor risiko penyakit jantung koroner.
2.
Meningkatkan pembinaan pola hidup sehat, termasuk di
dalamnya kebersihan perorangan dan lingkungan, tidak me-
rokok, memeriksakan tekanan darah secara teratur, makanan
seimbang, menjaga berat badan ideal, mengendalikan sires dan
olahraga teratur.
3.
Meningkatkan upaya memperbaiki lingkugan hidup.
2. Pencegahan sekunder dan tersier
a) Tujuan :
Pencegahan sekunder bertujuan untuk mencegah timbulnya
serangan ulang atau progresifitas penyakit. Pencegahan tersier
bertujuan untuk mencegah kematian atau cacad.
b) Kegiatan-kegiatan yang perlu dijalankan :
1. Pada penyakit jantung koroner :
-
Penggunaan aspirin dan meneruskan penanggulangan faktor
risiko.

Menyebarluaskan informasi tentang tanda-tanda serangan


jantung.

Memperbanyak orang yang mampu melakukan Bantuan


Hidup Dasar
(Resusitasi).
2.
Pada hipertensi :

Penggunaan obat-obatan dan meneruskan penanggulangan


faktor risiko.
3.
Rehabilitasi
a)
Rehabilitasi bertujuan untuk mengembalikan penderita se-
jauh mungkin ke tingkat kualitas hidup yang setinggi-tingginya
yang dapat dicapai.
b)
Rehabilitasi mencakup rehabilitasi fisik/medik, dan psiko-
sosial yang mencakup kemampuan untuk bekerja dan melakukan
kegiatan sosial lainnya.
PENUTUP
Mengingat besar dan luasnya masalah penyakit jantung ini
di Indonesia, maka berhasilnya seluruh upaya pencegahan dan
penanggulangannya sangat ditentukan oleh keikutsertaan seluruh
unsur-unsur terkait, baik jajaran organisasi Departemen Kese-
hatan, lintas sektoral,organisasi-organisasi masyarakat danbadan-
badan internasional.
Upaya pencegahan dan promotif yang berdaya guna yang
dilaksanakan sejak dini, akan dapat mencegah timbulnya pe-
nyakit jantung koroner yang lebih berat dan luas di kalangan
bangsa Indonesia pada waktu mendatang. Dengan demikian
dapat dikurangi penderitaan yang berkelanjutan dan dapat di-
hemat biaya pembangunan nasional.
KEPUSTAKAAN
Materi SeminarNasional Pencegahan dan
Penanggulangan Penyakit Kardio-
vaskuler (CVD), WHO-Depkes RI Cisarua Bogor 27 April s/d 1 Mei 1992
sebagai berikut :
1.
Adhyatma. Sambutan Menteri Kesehatan RI pads
Pembukaan Seminar
Nasional Pencegahan dan Penanggulangan
Penyakit Kardiovaskuler Ci-
sarua Bogor, 27 April 1992.
2. Broto Wasisto. Kebijaksanaan
Pembangunan Jangka Panjang Bidang
Kesehatan dan Implikasinya untuk Pengembangan
Program Kardio-
vaskuler.
3.
Boedhi Dannojo, R. Setianto B, Sutedjo, Kusmana D, Andradi, Supari F,
Salam R. A Study of baseline risk factors for Coronary Heart Disease :
Results of Population Screening in A Developing Country.
4. Gani A. Peranan Swasta dalam Pembiayaan
Kesehatan.
5. Gyarfas I. Cardiovascular
Diseases in Developing and Industrialized
Countries: WHO's CVD Programme.
6. Hanafiah A.
Perkembangan Iptek Kardiovaskuler dan Kecenderungan
Kebutuhan untuk Indonesia.
7. Kalangie MS. Penyakit Kardiovaskuler, suatu konsekwensi negatif dari
perubahan sosio budaya
yang tidak terencana.
8. Rai MK. Pembiayaan Kesehatan di Indonesia dalam berbagai
perubahan
kebijaksanaan ekonomi dan
moneter.
9. Rilantono LI. Penyakit Kardiovaskuler dan Kecenderungannya
di Indo-
nesia.
10.
Soema S. Pembiayaan Kesehatan melalui Asuransi Kesehatan Penyakit
Kardiovaskular.
11.
Soedarmo SP. Transisi demografi dan Transisi epidemiologi
dan dam-
paknya terhadap Penyakit Kardiovaskular.
Cermin Dunia Kedok t eran, Edisi Khusus No. 80, 1992
75
Pola Payah Jantung
di Rumah Sakit Dr Pirngadi Medan
T. Renardi Haroen, Gontar A. Siregar
Laboratorium/UPF Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Mara
Rumah Sakit Dr Pirngadi, Medan
PENDAHULUAN
Dari penelitian yang dilakukan di Indonesia, terlihat adanya
perubahan pola penyakit kardiovaskular selama dua dekade
terakhir ini'
)
, yang diduga akibat adanya perubahan gaya hidup,
kebiasaan makanan penduduk di berbagai daerah di Indonesia.
Data yang diperoleh berbeda menurut bahan penelitian dan saat
penelitian tersebut dilakukan. Penelitian ini kami lakukan untuk
menambah perbendaharaan data penyakit jantung di Indonesia,
khususnya di Medan dan sekitarnya, sekaligus mengantisipasi
kemungkinan perubahan pola penyakit jantung di masa menda-
tang.
MATERI DAN METODA
Dilakukan penelitian retrospektif terhadap 852 penderita
payah jantung, rawat nginap di Laboratorium Ilmu Penyakit
Dalam RS Dr. Pirngadi Medan, sejak Januari 1984 Desember
1988 berdasarkan rekaman Enedis yang tersedia.
Diagnosis payah jantung ditegakkan berdasarkan anamne-
sis, pemeriksaan fisik, laboratorium, radiologi, elektrokardio-
grail dan ekokardiografi terhadap penderita. Kriteria diagnostik
yang dipergunakan untuk masing-masing kelompok kelainan
jantung pads penelitian ini adalah kriteria yang telah umum
diterima(
25,4
).
HASIL
Dan 852 penderita yang diteliti terdapat 526 orang pria
(61.74%) dan wanita 326 orang (38.26%). Umur penderita ber-
kisar antara 1584 tahun dengan umur rata-rata 55 14 tahun dan
dengan kelompok usia terbanyak : 55 64 tahun (32.9%).
Urutan distribusi payah jantung menurut penyebabnya da-
pat dilihat pads gambar 1. Dari berbagai penyebab payah jan-
tung pada penelitian ini didapatkan bahwa penyakit jantung
76 Crmin Dunia Kedok t eran, Edisi Khusus No. 80, 1992
koroner dari tahun ke tahun cenderung meningkat (gambar 2),
yang secara statistik berbeda bermakna (r = 0.9; p < 0.001)
(Gambar 3); terdapat peningkatan umur dari tahun ke tahun
walaupun secara statistik tidak berbeda bermakna (r = 0.74; TB)
(Gambar 4).
Gambar 5 menunjukkan bahwa penyakit jantung hiper-
tensi menurun dari tahun ke tahun (r = -0.89; p < 0.05).
Angka kematian payah jantung pads penelitian ini secara
keseluruhan adalah 18.8%; angka kematian payah jantung koro-
ner meningkat dari tahun ke tahun (Gambar 6), yang secara
statistik berbeda bermakna (r = 0.97; p < 0.01) (Gambar 7).
PEMBAHASAN
Penelitian ini menunjukkan bahwa separuh kasus payah
jantung disebabkan oleh penyakit jantung pulmonik. Hal ini
memperlihatkan bahwa penyakit jantung pulmonik masih me-
DIAGRAMPENYEBAB PAYAHJANTUNG
rupakan masalah yang cukup besar terutama di negara-negara
sedang berkembang, sebagaimana dikemukakan oleh Padmavati
(1970). (dikutip dari Seminar Penyakit Kardiovaskular, 1981).
Juga terlihat adanya peningkatan penyakit jantung koroner
dari tahun ke tahun, hal ini kemungkinan sehubungan dengan
perubahan pola makan dan gaya hidup
o
". Dari data ini perlu
adanya penanggulangan yang efektif dan efisien.
Aspek lain dari penelitian ini memperlihatkan payah jantung
hipertensi mempunyai angka kejadian (25.1%) yang tidak ber-
beda dengan penyakit jantung hipertensi hasil penelitian yang
dilakukan oleh Hanif et al, 1978 (24.1%) di Sumatera Barat, akan
tetapi lebih besar dari yang dilaporkan Adam 1976 (12.0%) di
Bandung, sedang angka kematian payah jantung hipertensi
cenderung menurun dari tahun ke tahun. Hal ini memberikan
gambaran adanya kemungkinan peranan edukasi dan kepatuhan
yang bertambah dari penderita, namun hal ini masih memerlukan
penelitian yang lebih lanjut.
KESIMPULAN
Penyakit jantung pulmonik masih merupakan penyebab
utama dari payah jantung, sedang penyakit jantung koroner
cenderung meningkat dari tahun ke tahun yang berbeda dengan
payah jantung hipertensi. Adanya kecenderungan kematian yang
meningkat akibat penyakit jantung koroner memerlukan upaya
penanggulangan yang lebih dini.
Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992 77
KEPUSTAKAAN
2. Sokolow M, Mcfroy MB. Cardiac Failure in Clinical Cardiology, erd ed.
Singapore: Maruzen Asian Edition 1981. p. 32464.
3. Friedberg CK. Congestive Heart Failure. In: Diseases of the Heart 2nd ed.
Philadelphia and London 1956. p. 124-293.
4.
Krupp MA, Chatton MJ. Congestive Heart Failure. In: Current Medical
Diagnosis and Treatment. Singapore: Maruzen Asian Ed, Lange Medical
1. R. Boedhi Darmojo. The Present Picture of Cardiovascular Disease in

Publ Maruzen Asia 1984..p. 40316.


Indonesia, Gizi Indonesia; 1987: 11/12.
5. Padvati. Seminar Penyakit Kardiovaskular. Jakarta,
2829 September 1981.
78 Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992
Gawat Darurat Penyakit Syaraf
Status Epileptikus
LBM Sitorus
Bagian Neurologi, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
Rumah Sakit Dr Pirngadi, Medan
ABSTRACT
Status epilepticus is a medical emergency. Recent experimental studies have shown
that permanent brain damage can occur after only 60 minutes of uncontrolled seizure
activity. Cardiac arrythmias are a common cause of death. Other complications, include
rhabdomyolysis, acute tubular necrosis and neurogenic pulmonary edema. The manage-
ment is divided into three phases : stabilization of the patient, termination of the seizures
and diagnostic evaluation.
PENDAHULUAN
Banyaknya jenis status epileptikus sesuai dengan bentuk
klinis epilepsi : status petitmal, status psikomotor dan lain-lain.
Di sini khusus dibicarakan status epileptikus dengan kejang
tonik-klonik umum.
Definisi : status epileptikus adalah bangkitan epilepsi yang
berlangsung terus menerus selama lebih dari tiga puluh menit
tanpa diselingi oleh masa sadar.
Biasanya bila status epileptikus tidak bisa diatasi dalam satu
jam, sudah akan terjadi kerusakan jaringan otak yang permanen.
Oleh karena itu gejala ini harus dapat dikenali dan ditanggulangi
secepat mungkin. Rata-rata 15% penderita meninggal, walaupun
pengobatan dilakukan secara tepat. Lebih kurang 60 80%
penderita yang bebas dari kejang setelah lebih dari 1 jam akan
menderita cacad neurologis atau berlanjut menjadi penderita
epilepsi.
GAMBARAN KLINIS
Epilepsi fokal dengan manifestasi kejang otot lokal sampai
separuh tubuh, gerakan adversif mata dan kepala, sering me-
rupakan awal dari status epileptikus. Keluarga penderita yang
melihat kejadian ini akan dapat menceritakannya kembali
dengan jelas. Enampuluh sampai delapanpuluh persen status
epileptikus dimulai dengan gejala-gejala fokal. Kejang menjadi
bilateral dan umum akibat penyebaran lepas muatan listrik yang
terus menerus dari fokus pada suatu hemisfer ke hemisfer lain.
Kejang tonik akan diikuti oleh sentakan otot atau kejang klonik.
Proses ini berlangsung terus, sambung-menyambung tanpa di-
selingi oleh fase sadar.
Dalam bentuk klinis seperti ini penderita berada dalam ke-
adaan status epileptikus.
ETIOLOGI
Status epileptikus tonik-klonik, banyak berasal dari
insult
akut pada otak dengan suatu fokus serangan.
Penyebab status epileptikus yang banyak diketahui adalah,
in fark otak mendadak, anoksia otak, bermacam-macam gangguan
metabolisme, tumor otak, menghentikan kebiasaan minuman
keras secara mendadak, atau berhenti makan obat anti kejang.
Jarang status epileptikus disebabkan oleh penyakit degenerasi
sel-sel otak, menghentikan penggunaan penenang dengan men-
dadak, pasca anestesi dan cedera perinatal.
Penderita yang sebelumnya tidak mempunyai riwayat
epilepsi, mungkin mempunyai riwayat trauma kepala, radang
otak, tumor, penyakit pembuluh darah otak. Kelainan-kelainan
ini terutama yang terdapat pada lobus frontalis, lebih sering
Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992
79
menimbulkan status epileptikus, dibandingkan dcngan lokasi
lain pada otak.
Penderita yang mempunyai riwayat epilepsi, dcngan sen-
dirinya mempunyai faktor pcncctus tertentu. Umumnya karena
tidak teratur makan obat atau menghentikan obat sekehendak
hatinya. Faktor pencetus lain yang harus diperhatikan adalah
alkohol, keracunan kehamilan, uremia dan lain-lain.
PATOFISIOLOGI
Suatu lepas muatan simpatis akan menyebabkan naiknya
tekanan darah dan bertambahnya denyut jantung. Autoregulasi
peredaran darah otak hilang, mengakibatkan turunnya resistensi
serebrovaskuler. Aliran darah ke otak sangat bertambah didorong
oleh tingginya tekanan darah dan tidak adanya mekanisme
autoregulasi. Sebaliknya tekanan darah sistemik akan turun, bila
kejang berlangsung terus dan mengakibatkan turunnya tekanan
perfusi, yang selanjutnya menyebabkan iskemi otak. Hal ini dan
berbagai faktor lain akan menyebabkan hipoksi sel-sel otak.
Kejang otot yang luas dan melibatkan otot pernafasan,
selain
mengganggu pernafasan secara mekanis juga menye-
babkan inhibisi pada pusat pernafasan di medulla oblongata. Di
samping itu kegiatan lepas muatan saraf otonom menyebabkan
sekresi bronkus berlebihan dan aspirasi, mengakibatkan ganggu-
an difusi oksigen melalui dinding alveolus.
Perubahan fisiologis lain yang paling penting ialah adanya
penggunaan enersi yang sangat banyak. Neuron yang terus
menerus terpacu menyebabkan bertambahnya metabolisme otak
secara berlebihan, sehingga persediaan senyawa fosfat enersi
tinggi terkuras. Hipotensi dan hipoksi akan memperburuk keada-
an, yang berakhir dengan kematian sel-sel neuron. Selanjutnya
hal ini dapat mengakibatkan aritmi jantung, hipoksi otak yang
berat dan kematian. Kejang otot dan gangguan otoregulasi lain,
juga menimbulkan komplikasi kerusakan otot, edema paru dan
nekrosis tubuler mendadak.
Status epileptikus yang berlangsung lama menimbulkan
kelainan yang sama dengan apa yang terjadi pada hipoglikemia
berat atau hipoksi. Sel-sel neuron yang mengalami iskemi selalu
terdapat di daerah sektor Sommer hipokampus, lapisan 3, 4 dan
6 korteks serebri, kornu Ammon, amigdala, talamus dan sel-sel
Purkinje.
PENATALAKSANAAN DAN PENGOBATAN
Status epileptikus tipe grandmal ini merupakan gawat da-
rurat neurologic. Hams diatasi secepat mungkin untuk meng-
hindarkan kematian atau cedera saraf permanen.
Biasanya dilakukan 3 tahap tindakan :
1. Stabilisasi penderita.
2. Menghentikan kejang.
3. Menegakkan diagnosis.
Stabilisasi penderita
Tahap ini meliputi usaha-usaha mempertahankan dan
memperbaiki fungsi vital yang mungkin terganggu; member-
sihkan udara dan jalan pernafasan, serta memberikan oksigen.
80 Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992
Dalam keadaan tcrtcntu, tcrutama bila kejang sudah lama atau
ada hambatan saluran pemafasan, harus dilakukan intubasi.
Tekanan darah dipertahankan, diberikan garam fisiologis dan
bila perlu diberi vasopressor.
Darah diambil untuk pemeriksaan darah lengkap, gula da-
rah, elektrolit, ureum, kreatinin dan bagi penderita epilepsi di-
periksa kadar obat dalam scrum darahnya. Harus diperiksa gas-
gas darah arteri, untuk melacak adanya asidosis metabolik dan
kemampuan oksigenasi darah. Asidosis dikoreksi dengan bikar-
bonat intravena. Segera diberi 50 ml glukosa 50% intravena,
diikuti pemberian tiamin 100 milligram intramuskuler.
Menghentikan kejang
Usaha mengakhiri kejang dilakukan segera sesudah tahap
stabilisasi selesai. Tindakan ini dimulai dengan pemberian bolus
diazepam, 2 mg/menit, masing-masing 10 mg. Pemberian bolus
diazepam dilanjutkan sampai jumlah 50 mg, sementara itu per-
nafasan dimonitor terus. Biasanya kejang sudah dapat diatasi.
Bila pemberian diazepam yang waktu paruhnya hanya se-
kitar 15 menit belum berhasil, diberikan fenitoin yang bekerja
lebih lama, mempunyai waktu paruh selama 24 jam. Fenitoin
diberikan secara intravena, dilarutkan dalam garam fisiologis,
dengan dosis 18 mg/kg berat badan, dengan kecepatan kurang
dari 50 mg/menit. Efek samping aritmi jantung sering timbul
pada pemberian fenitoin yang terlalu cepat atau lebih dari 50 mg/
menit, bukan karena jumlah fenitoin yang diberikan.
Diazepam dan fenitoin dapat menekan pernafasan, terutama
bila pemberian terlalu cepat. Oleh karena itu selama pemberian
obat ini harus dilakukan monitoring ECG dan pernafasan.
Bila kejang masih terus berlangsung sesudah 20 menit
pemberian fenitoin, intubasi harus dilakukan. Selanjutnya diberi
fenobarbital sampai kejang berhenti atau dosis seluruhnya men-
capai 20 mg/kg berat badan. Fenobarbital juga diberikan per
infus dengan kecepatan maksimum 100 mg/menit. Selama
pemberian fenobarbital harus diperhatikan kemungkinan
gangguan pernafasan dan turunnya tekanan darah.
Apabila tahap pemberian fenobarbital belum berhasil meng-
hentikan kejang, maka ahli saraf harus memikirkan tindakan
resusitasi otak melalui anestesi dengan pemberian pentobarbital
atau amobarbital. Takaran obat yang diberikan disesuaikan
sampai tercapai aktivitas otak yang dikenal dengan outburst
suppression patternpada rekaman EEG. Dosis ini dipertahankan
selama tiga jam, agar otak mempunyai waktu yang cukup untuk
membangkitkan homeostasis dan melawan kejang berkelan-
jutan.
Di tempat-tempat yang tidak mempunyai sarana pemberian
obat secara intravena atau tidak ada fasilitas resusitasi, dapat
diberikan pertolongan pertama dengan pemberian paraldehid
ke dalam otot atau rektum. Suntikan paraldehid masing-masing
5 mg ke dalam kedua otot bokong setiap 3 jam, atau paraldehid
10% dalam larutan garam fisiologis, sebanyak 5 ml melalui
rektum.
Menegakkan diagnosis
Dalam tahap ini bukan diagnosis epilepsi yang dicari, me-
lainkan upaya untuk mencari apa yang menjadi latar belakang
timbulnya status epileptikus. Tahap ini sedikit banyak tumpang
tindih dengan tahap stabilisasi penderita. Selama dilakukan
usaha untuk mempertahankan dan memperbaiki fungsi vital,
alloanamnesis dilakukan untuk memperoleh keterangan me-
ngenai riwayat penyakit sebelumnya. Adanya kemungkinan
riwayat epilepsi, penggunaan alkohol, obat penenang, trauma,
radang otak dan penyakit lain yang ada kaitannya dengan status
epileptikus. Tahap ini sangat penting untuk menentukan progno-
sis di samping keberhasilan tahap sebelumnya.
KEPUSTAKAAN
1. Aminoff MJ, Simon RP. Status epilepticus : causes, clinical features and
consequenes in 98 patients. Am J Med 1980; 69: 657.
2. Black TP. Therapy
for status epilepticus. Clin Neurophannacol 1983; 6: 255.
3. Delgado - Escueta AV, Westerlain C, Treiman DM, Portner RS. Current
concepts in neurology : Management of status epilepticus. N Engl J Med
1982; 306: 1337-40.
4. Johnson MH, Jones SN. Status epilepticus, hypothermia and metabolic chaos
is aman with agenesis of the corpus callosum. J Neurol
Neurosurg Psychiat
1985; 48: 480-483.
5.
Jasper HH, Ward AA, Pope A. Basic Mechanism of Epilepsies. Boston: Little
Brown & Company 1969.
6. Noel P, Comil A, Chailly P,
Flamen - Durand J. Mesial temporal hae-
morrhage, consequence of status epilepticus. J Neurosurg Psychiat 1977; 40:
932-935.
7. Shorvon SD. Neurological Emergencies. Butterworths: Current Medical
Literature Ltd 1989.
Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992 81
Penatalaksanaan Contusio
Cerebri
Syawalluddin Nasution, Adril A. Hakim
Bagian Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
Rumah Sakit Dr Pirngadi, Medan
PENDAHULUAN
Akhir-akhir ini jumlah kendaraan bermotor makin bertam-
bah dan tidak sebanding dengan peningkatan sarana jalan yang
tersedia, di samping jumlah manusianya juga makin bertambah;
akibatnya angka kecelakaan lalu lintas yang menyebabkan ce-
dera kepala juga ikut meningkat. Dari 2063 penderita kecelaka-
an lalu lintas yang dirawat di RSCM Jakarta pada tahun 1983
ternyata 35,9% mengalami memar otak (contusio cerebri).
Berat ringannya cedera kepala tergantung pada kekuatan,
arah, dan tempat benturan. Pada daerah frontal dan oksipital
dimana terdapat otot, kekuatan benturan bisa dikurangi dengan
adanya otot-otot tersebut.
Pada contusio cerebri, daerah yang mengalami cedera men-
jadi-lunak, nekrosis, dan didapati adanya pelebaran pembuluh
darah, serta perdarahan kecil di samping hilangnya respons ter-
hadap rangsangan fisiologis. Kerusakan jaringan otak ini me-
nyebabkan gangguan peredaran darah otak (cerebral blood flow)
dan keadaan ini memperburuk hipoksi otak yang menimbulkan
acidosis lokal, edema otak, gangguan autoregulasi dan pening-
gian tekanan intrakranial. Kondisi di atas menyebabkan adanya
defisit neurologis.
PENATALAKSANAAN
Perdefinisi dapat dikatakan bahwa memar otak adalah per-
darahan otak tanpa gangguan kontinuitas jaringan yang dise-
babkan cedera kepala.
Gangguan kesadaran dapat dipantau dengan memperguna-
kan Glasgow Coma Scale. Dengan melihat skor GCS tadi dapat
dinilai apakah penderita dalam kondisi membaik atau sebalik-
nya. Pemeriksaan
CT Scan kepala sangat dianjurkan bila fasili-
tas
merhungkinkan, terutama bila ada kecurigaan timbulnya
82 Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992
hematom intrakranial.
Sewajarnya penderita contusio cerebri dirawat di ICU de-
ngan fasilitas yang memadai.
Pernafasan
Ditujukan untuk membebaskan jalan nafas dan menjamin
ventilasi yang baik.

bersihkan lendir, muntah, atau darah dari jalan nafas.


pasang endotracheal tube.
kalau perlu lakukan tracheostomi.
pemberian 0
2
secara intermiten.
Sirkulasi
Dalam waktu 24 jam pertama tekanan darah dan nadi harus
dikontrol secara ketat; tiap 15 menit pada 4 jam pertama dan
sesudah itu tiap 30 menit. Bila tekanan darah turun, nadi naik
berarti shock; bila tekanan darah naik, nadi melambat berarti
tekanan intrakranial meninggi; sedangkan bila tekanan darah
naik, nadi naik berarti permulaan dari hiperkapnia.
Bila ada, shock diberantas dengan pemberian infus.
Pemberian cairan dan elektrolit
Masukan cairan dibatasi untuk menghindari menghebatnya
edema otak, jumlah cairan diberikan sekedar pengganti cairan
yang hilang melalui pernafasan, kulit dan saluran kencing. Pada
3 4 hari pertama dapat diberikan cairan sebanyak 1 1,5 liter
dalam bentuk infus berupa cairan glukose 10% sebanyak 1 2
kolf, dan 1 kolf NaCl 0,9%. Kemudian secara bertahap jumlah ini
dinaikkan meqjadi 1500 2000 ml, terbagi atas cairan glukose
dan NaCl (3 :
'
1).
Pemberian makanan
Diberikan makanan personde; biasanya sesudah 48 jam
sesuai dengan terdengarnya peristaltik usus. Jumlah makanan
diperhitungkan sesuai dengan cairan, elektrolit dan kalori yang
dibutuhkan dihitung bersama dengan cairan infus.
Hari pertama diberikan larutan glukose 10% sebanyak 100
ml tiap 2 jam. Hari berikutnya dapat diberikan susu dengan cair-
an yang lama. Pemberian protein 100 g/hari untuk 4 5 hari,
kemudian 400 g/hari, disertai makanan cair.
Pemberian anti edema
Upaya mencegah menghebatnya edema otak, kecuali me-
lalui perbaikan ventilasi, pembatasan cairan yang masuk juga
dipergunakan obat baik perinfus maupun parenteral. Mannitol
20%; 500 ml diberikan perinfus selama 30 menit per 24 jam.
Gliserol 10%; 500 ml diberikan perinfus selama 6 8 jam per 24
jam secara intermiten.
Peranan kortikosteroid sebagai obat untuk mencegah pe-
ninggian tekanan intrakranial masih dipertanyakan, namun
pemakaian kortikosteroid dapat menstabilkan membran sel dan
lisosomal, menghambat aggregasi trombosit, melindungi sel
endotel kapiler dari pengaruh faktor toksis, dan memelihara me-
tabolisme prostaglandin di tingkat sel. Preparat dexamethason
mula-mula diberikan 10 mg intravena, kemudian 5 mg tiap 6 jam
selama 2 hari pertama, diteruskan 5 mg/8 jam pada hari ke 3. 5
mg/12 jam pada hari ke 4 dan 5 mg/hari pada hari ke 5.
Pemberian obat-obatan
Bila suhu tubuh penderita mcningkat, diturunkan dengan
jalan mengkompres, dan mcmbcri antipiretika, di camping me-
nutupi penderita dengan selimut tipis, dan memperlancar aliran
angin dalam ruangan.
Pemberian analgetik pada kasus yang kesakitan, baik karena
luka maupun karena fraktur yang dialaminya.
Keadaan gaduh gelisah dapat disebabkan karena nyeri,
kandung kencing yang penuh, atau karena tekanan intrakranial
yang meninggi. Pemberian minor tranquilizer cukup membantu,
namun tidak jarang terpaksa dikombinasikan dengan major
tranquilizer dosis rendah.
KEPUSTAKAAN
1. Beks JWF. Pathophysiology of Head Injuries. Neurona 1988; 7(1).
2. Capita Selecta Kedokteran U.I.
3. Jennet B. Diagnosis and Management of Head Trauma. Journal of Neuro-
trauma, July 1991.
4. Markam S. Kumpulan MakalahNeurologi. Bagian Neurologi FKUI.
5. MinderhoudJP. Medical Management of Head Injuries. Neurona 1988; 7(1).
6. Sutanto dkk. Defisit neurologi pada penderita kecelakaan lalu li mas tanpa
atau dengan memakai helm dirawat di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.
Kumpulan Naskah Lengkap, Kongres IDASI Ujung Pandang, 1988.
Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992 83
Koma
A. Sjukri Batubara
Bagian Neurologi, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
Rumah Sakit Dr Pirngadi, Medan
PENDAHULUAN
Kira-kira 10% kasus-kasus gawat darurat yang dijumpai
dalam praktek sehari-hari di RSU adalah kasus gawat darurat
saraf, dan tersering (3%) adalah koma. Maka penyakit saraf
mempunyai reputasi dalam penanganan kasus-kasus gawat da-
rurat.
Gangguan kesadaran merupakan suatu proses kerusakan
fungsi otak yang berat, yang dapat membahayakan kehidupan.
Pada proses ini susunan saraf pusat terganggu fungsi utamanya
mempertahankan kesadaran. Gangguan kesadaran ini dapat di-
sebabkan beraneka ragam penyebab baik primer intrakranial
ataupun ekstrakranial, yang mengakibatkan kerusakan struktu-
ral/metabolik di tingkat korteks serebri, batang otak atau kedua-
nya. Bergantung pada kerusakannya, gejala utama yang timbul
dapat berupa : obtundasi, stupor, semicoma dan coma.
Penanggulangan koma sangat tergantung pads patologi
dasarnya serta patofisiologi gangguan kesadaran. Hal ini sangat
sulit, apalagi jika riwayat penyakit dan perkembangan gejala
fisik sebelumnya tak jelas diketahui.
PATOFISIOLOGI
Gangguan kesadaran dapat dibagi dua :
1. Gangguan derajat (kuantitas,
arousal, wakefulness) kesa-
daran.
2. Gangguan isi (kualitas, awareness, alertness)
kesadaran.
Kesadaran ditentukan oleh interaksi kontinu antara fungsi
korteks serebri termasuk ingatan, berbahasa dan kepintaran
(kualitas), denganascending reticular activating system (ARAS)
(kuantitas) yang terletak mulai dari pertengahan bagian atas
pons. ARAS menerima serabut-serabut saraf kolateral dari
jaras-jaras sensoris dan melalui thalamic relay nuclei
dipancar-
kan secara difus ke kedua korteks serebri. ARAS bertindak
84 Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992
sebagai suatu off-on switch,
untuk menjaga korteks serebri tetap
sadar (awake).
Maka apapun yang dapat mengganggu interaksi
ini, apakah lesi supratentorial, subtentorial dan metabolik akan
mengakibatkan menurunnya kesadaran.
Karena ARAS terletak sebagian di atas tentorium serebeli
dan sebagian lagi di bawahnya, maka ada tiga mekanisme
patofisiologi timbulnya koma : 1. Lesi supratentorial, 2. Lesi
subtentorial, 3. Proses metabolik.
Koma supratentorial
1) Lesi mengakibatkan kerusakan difus kedua hemisfer se-
rebri, sedang batang otak tetap normal. Ini disebabkan proses
metabolik.
2) Lesi struktural supratentorial (hemisfer).
Adanya massa yang mengambil tempat di dalam kranium
(hemisfer serebri) beserta edema sekitarnya misalnya tumor
otak, abses dan hematom mengakibatkan dorongan dan per-
geseran struktur di sekitarnya; terjadilah : 1. Hemiasi girus
singuli, 2. Hemiasi transtentorial sentral, 3. Herniasi unkus.
1.
Herniasi girus singuli
Hemiasi girus singuli di bawah falx serebri ke arah kon-
tralateral
menyebabkan tekanan pads pembuluh darah serta
jaringan otak, mengakibatkan iskemi dan edema.
2. Herniasi transtentorial/sentral
Hemiasi transtentorial atau sentral adalah basil akhir dari
proses desak ruang rostrokaudal dari kedua hemisfer serebri dan
nukli basalis; secara berurutan mereka menekan diensefalon,
mesensefalon, pons dan medula oblongata melalui celah ten-
torium.
3) Herniasi unkus
Hemiasi unkus terjadi bila lesi menempati sisi lateral fossa
kranii media atau lobus temporalis; lobus temporalis mendesak
unkus dan girus hipokampus ke arah garis tengah dan ke atas
tepi bebas tentorium; akhirnya menekan n.Ifi.di mesensefalon
ipsilateral, kemudian bagian lateral mesensefalon dan seluruh
mesensefalon.
Koma infratentorial
Ada dua macam lesi infratentorial yang menyebabkan
koma.
1) Proses di dalam batang otak sendiri yang merusak ARAS
atau/serta merusak pembuluh darah yang mendarahinya dengan
akibat iskemi, perdarahan dan nekrosis. Misalnya pads stroke,
tumor, cedera kepala dan sebagainya.
2) Proses di luar batang otak yang menekan ARAS.
a. Langsung menekan pons.
b. Hemiasi ke atas dari serebelum dan mesensefalon melalui
celah tentorium dan menekan tegmentum mesensefalon.
c. Herniasi ke bawah dari serebelum melalui foramen magnum
dan menekan medula oblongata.
Dapat disebabkan oleh tumor serebelum, perdarahan se-
rebelum dan sebagainya.
Koma metabolik
Proses metabolik melibatkan batang otak dan kedua he-
misfer serebri. Koma disebabkan kegagalan difus dari meta-
bolisme sel saraf.
1)
Ensefalopati metabolik primer.
Penyakitdegenerasi serebri yang menyebabkan terganggunya
metabolisme sel saraf dan glia. Misalnya penyakit Alzheimer.
2)
Ensefalopati metabolik sekunder.
Koma terjadi bila penyakit ekstraserebral melibatkan meta-
bolisme otak, yang mengakibatkan kekurangan nutrisi, ganggu-
an keseimbangan elektrolit ataupun keracunan.
Pada koma metabolik ini biasanya ditandai gangguan sistim
motorik simetris dan tetap utuhnya refleks pupil (kecuali pasien
mempergunakan glutethimide atau atropin), juga utuhnya
gerakan-gerakan ekstraokuler (kecuali pasien mempergunakan
barbiturat).
PEMBAGIAN DERAJAT KESADARAN
Koma bukan penyakit melainkan hanya sebuah gejala, car-
min dari proses kerusakan otak berat yang setiap saat berubah-
ubah; oleh karena itu diperlukan pengamatan serial dari waktu
ke waktu. Koma adalah suatu keadaan tidak ada respons dengan
rangsangan nyeri kuatpun. Agar penilaian derajat kesadaran
dapat lebih objektif, Jennett & Teasdale (1974) memasyarakat-
kan Skala Koma Glasgow (SKG). Pada SKG ini, dinilai kemam-
puan pasien untuk memperlihatkan tiga tes fungsi saraf, yaitu :
Respons membuka mata, Respons motorik dan Respons verbal.
Tingkat kesadaran didapat dari basil penjumlahan ketiga basil tes
tersebut (Tabel 1).
Kecuali pads keadaan mata tertutup karena bengkak, endo-
tracheal/tracheostomi. Pada respons motorik yang , dipakai
lengan yang baik/tidak parese. Kesadaran terbaik 15 SKG dan
terburuk 3 SKG. Koma disetarafkan dengan 8 SKG. Obtundation
(somnolen) 13 SKG(
3
'
6
'
4
).
Tabel 1. Skala Koma Glasgow
PEMERIKSAAN PASIEN KOMA
Tujuan pemeriksaan pasien koma adalah untuk menentukan
letak proses patologi, apakah di hemisfer, batang otak atau di
keduanya, dan penyebabnya.
Anamnesis
sangai penting tapi jarangbisa didapat. Trauma,
penyakit sebelumnya, adiksi obat, alkohol dan gangguan psikis
perlu diketahui.
Pemeriksaan fisik
1. Tanda vital, keadaan jalan nafas, sistim pernafasan dan
kardiovaskuler.
2.
Kulit : tanda trauma, penyakit hati, bekas injeksi, fenomena
emboli, sianosis, cherry red dan sebagainya:
3. Kepala : Battle's sign, racoon eyes, nyeri tekan, krepitasi,
perdarahan dari hidung dan telinga.
4. Leber, dada, perut, anggota gerak, pinggul dan rektum
diperiksa secara lazim.
5.
Pernafasan, fetor hepatikus, bau ketoasidosis, bau liquor,
uremia, alkohol dan sebagainya.
Pemeriksaan saraf
1. Observasi, posisi tidur : alamiah atau posisi tertentu.
Menguap, menelan, berarti batang otak masih utuh. Mata terbuka
dan rahang tergantung (mulut terbuka) berarti gangguan ke-
sadaran berat.
2. Derajat kesadaran ditentukan dengan SKG.
3. Pola pemafasan.
a) Cheyne-Stokes dan central hyperventilation dapat dilihat
pads gangguan metabolik dan lesi struktural di beraneka ragam
tempat di otak dan tidak dapat menunjukkan tingkat anatomi lesi
yang menyebabkan koma.
b) Ataxia dan gasping paling sering dilihat pads lesi ponto-
meduler.
c) Depressed, pola pernafasan tidak efektif,
dangkal dan lam-
bat disebabkan oleh lesi medula oblongata, atau diakibatkan
obat-obatan.
4. Posisi kepala dan mata
Pada lesi hemisfer, kepala dan kedua mata melirik ke arah
lesi dan menjauh dari hemiparesis, lesi di pons kebalikannya.
Pada Iesi di talamus dan mesensefalon bagian atas, kedua mata
Cermin Dunia Kedok t eran, Edisi Khusus No. 80, 1992 85
melirik ke arah hidung.
5. Funduskopi.
Papil edema menandakan peninggian tekanan intrakranial.
Perdarahan subhyaloid, biasanya menandakan ruptur
aneurisma atau malformasi arteriovena.
6. Pupil.
Diperhatikan besar, bentuk dan refleks cahaya direk dan
indirek.
a) Midposition (35 mm) dan refleks cahaya negatif keru-
sakan mesensefalon (pusat refleks pupil di mesensefalon).
b) Refleks pupil normal, refleks kornea dan gerakan bola mata
tidak ada koma metabolik dan obat-obatan seperti barbiturat.
c) Dilatasi pupil unilateral dan refleks cahaya negatif menan-
dakan penekanan n.I1I oleh hernia unkus lobus temporalis se-
rebri. Kedua pupil dilatasi dan refleks cahaya negatif bisa juga
oleh anoksi, keracunan atropin dan glutethimide.
d) Pupil kecil dan refleks cahaya positif disebabkan kerusakan
pons seperti infark atau perdarahan. Opiat dan pilokarpin juga
menyebabkan pinpoint pupil dan refleks cahaya positif.
Bila dengan rangsang nyeri pads kuduk pupil berdilatasi,
berarti bagian bawah batang otak masih utuh.
7. Gerakan bola mata.
Khas untuk lesi batang otak.
a) Gerakan bola mata spontan.
1. Pada koma metabolik, kedua mata bergerak spontan dan
lambat dari satu sisi ke sisi lainnya. Ini berarti batang otak masih
utuh.
2. Retractory nystagmus ciri kerusakan tegmentum mesense-
falon.
3. Convergence nyst agmus ciri kerusakan mesensefalon.
4. Ocular bobbing ciri kerusakan caudal pontin.
5. Nyst agmoid j erk ing of a single eye ciri kerusakan mid-
pontine-lower pontine.
6. Seesaw nystagmus
ciri lesi di regio ventrikel III dan bukan
di batang otak.
Gejala tersebut dapat menunjukkan lokasi lesi struktural
penyebab koma.
b) Gerakan bola mata refleks.
Tes-tes yang lazim dilakukan :
1. Doll
'
s head maneuver (refleks okulosefalik).
Bila refleks ini tidak normal, berarti ada lesi struktural di
tingkat mesensefalon-pons. Obat-obat ototoksik atau barbiturat
dapat menghalangi refleks ini.
2. Tes kalori (refleks okulovestibular).
Bila kedua mata melirik ke arah telinga yang diirigasi air
dingin, berarti batang otak masih utuh; bila kedua mata tidak
bergerak/tidak simetris berarti kerusakan struktural mesensefa-
lon-pons. Obat-obat ototoksik dapat menghalangi refleks ini.
8. Respons motoris.
a) Spontan.
1. Kejang, kejang fokal mempunyai arti lokasi dari proses
patologi struktural. Kejang umum tidak mempunyai arti lokasi.
Kejang multifokal berarti koma disebabkan proses metabolik.
2. Myoclonic jerk dan asterixis
(flapping tremor) berartiensefa-
lopati metabolik.
b) Gerakan-gerakan refleks.
Ditimbulkan dengan rangsang nyeri (penekanan supraor-
bita).
1. Gerakan dekortikasi fleksi dan aduksi lengan dan ekstensi
tungkai. Bisa simetris, bisa tidak. Ini artinya lesi hemisfer difus
atau persis di batas dengan mesensefalon. (nilai 3 pads respons
motorik SKG).
2. Gerakan deserebrasi ekstensi, aduksi dan rotasi interns
lengan dan ekstensi tungkai. (nilai 2 pads respons motorik
SKG).
KEADAAN-KEADAAN PSEUDOCOMA
1. Psychogenic unresponsiveness.
Pasien kelihatannya tidak ada reaksi, tapi pads pemeriksaan
saraf tidak dijumpai kelainan.
2. The lock ed-in syndrome.
Lesi di basis pons akibat infark batang otak yang memutus
jaras kortikobulbar dan kortikospinal, tapi jaras yang mengatur
kedip mata dan gerakan bola mata vertikal, juga ARAS tetap
utuh. Pasien sanggup berkomunikasi dengan kedipan mata(awake
dan
alert).
3.
Persistent vegetative state.
Koma akibat hipoksifiskemi/lesi struktural, setelah 24
minggu kembali wakeful tapi tidak aware. Membuka mata
spontan. EEG kembali normal, batang otak dan otonom ber-
fungsi normal. Keadaan ini dapat menetap bertahun-tahun.
Ciri-ciri diagnostik
Koma metabolik :
Refleks pupil dan gerakan bola mata baik.
-
Pernafasandepressed atau Cheyne-Stokes.
-
Anggota gerak hipotonus/refleks simetris.
Hemiasi :
-
Hemiparesis dan papil edema.
-
Bertahap hilangnya fungsi n.I1I atau ada ciri-ciri kerusakan
batang otak.
Lesi (lokal) batang otak :
Gangguan pergerakan bola mata dan tetraplegia sejak per-
mulaan.
PENGELOLAAN PASIEN KOMA
Tindakan pengobatan segera :
1. Pastikan jalan pernafasan baik. Intubasi dan pernafasan
buatan bila perlu.
2. Pasang IV catheter.
3.
Mengambil darah untuk pemeriksaan rutin dan toksin bila
perlu.
4. Bila ada kemungkinan ensefalopati Wernicke, ben thiamin
100 mg IV untuk mencegah kekurangan akut karena penggunaan
dextrose.
5.
Ben 50 ml dextrose 50% dalam air IV.
6.
Bila koma karena kelebihan dosis opiat, beri naloxone 0.4
mg IV setiap 510 menit, sampai pasien sadar.
Tindakan terhadap proses spesifik.
86 Cermin Dunia Kedok t eran, Edisi Khusus No. 80, 1992
Umpamanya trauma, infeksi, tumor dan sebagainya.
Perawatan lanjutan (nursing care) :
1. Mempertahankan fungsi sistim kardiovaskular adekuat.
2. Mempertahankan fungsi sistim pernafasan adekuat.
3. Posisi dan kulit, ubah posisi tiap 1-2 jam.
4. Makanan dimulai dengan makanan IV, kemudian bila
situasi telah stabil atau koma 2-3 hari, barn dim ulai tube feeding.
5. Perawatan bowel, mencegah diare; sering memeriksa
rektum.
6. Perawatan kandung kemih,
three-way catheter dipasang
menetap, suing diirigasi,
clamp buka tiap 3-4 jam.
Penanggulangan edema serebri dan peninggian tekanan
intrakranial
Sejumlah proses (trauma, perdarahan, infark, tumor dan se-
bagainya) akan
mengakibatkan edema serebri yang meninggi-
kan
tekanan intrakranial dan menyebabkan herniasi jaringan
otak. Dalambanyak
hal, bertambah buruknya keadaan disebab-
kan edema serebri dan edema ini kemungkinan besar adalah
reversibel.
Pengobatan edema serebri merupakan tindakan penyela-
matan hidup, sampai dicapainya pengobatan yang mengoreksi
proses patologi spesifik.
1. Hindari cairan hipotonik.
2. Hiperventilasi.
3. Mannitol 20% dosis 1.0 gr/kg IV dihabiskan dalam waktu
10-30 menit. Diulang 12 jam kemudian. Pemberian lebih dua
kali kurang efektif. Efek antiedema serebrinya segera dan ber-
akhir setelah beberapa jam.
4.
Steroid, dexamethason dosis 10-100 mg IV dan kemudian
4 mg IV tiap 6 jam. Efek antiedema serebrinya dimulai dalam
4-6 jam dan maksimal pada 24 jam.
KESIMPULAN
Telah diuraikan peranan pemeriksaan saraf pads pasien
koma dan urutan tindakan yang hams segera dilakukan untuk
keselamatan hidup.
KEPUSTAKAAN
1. Adam RD, Victor M. Principles of Neurology. 3th Ed. Singapore: McGraw-
Hill Book Co, 1985.
2. Aquino TM. Coma and alterations in consciousness. Dalam: Manual of
Neurologic Therapeutics with essentials of diagnosis, Ed MA Samuels
(ed.). Boston: Little, Brown and Co, 1978.
3. Bates D. Coma and brain death. Current Opinion in Neurology and
Neurosurgery. London: Current Science Ltd, 1991.
4. Friedman WA. Head injuries. Ciba clinical symposia 1983; 35: 1-32.
5. Gilroy J, Meyer JS. Medical Neurology. McMillan Publ. Co. Inc, 1975.
6. Harrison MJG. Coma. Medicine International, 1987; 2: 1908-11.
7. Harrison MJG. Diagnosis of brain death. Medicine International 1987, 2:
1912-14.
8. Plum F, Posner JB. The Diagnosis of Stupor and Coma. FA Davis Co,
1966.
9. Sharvon SD. Neurological Emergencies. London: Current Medical
Literature Ltd, 1989.
10.
Simon RP et al. Clinical Neurology. Lange Medical Book Prentice-Hall
International Inc, 1989.
Lampiran
Tabel 2. Diagnose Akhir pada 386 pasien dengan Koma yang Tidak
Diketahui Sebabnya
m
Supratentorial Mass Lesions 69
Epidural hematoma 2
Subdural hematoma 21
Intracerebral hematoma 33
Cerebral infarct 5
Brain tumor 5
Brain abscess 3
II. Subtentorial Lesions 52
Brainstem infact
37
Brainstem tumor 2
Brainstem hemorrhage 7
Cerebellar hemorrhage
4
Cerebellar abscess 2
III. Metabolic
and Diffuse Cerebral Disorders 261
Anoxia or ischemia 51
Concussion and postictal state 9
Infection (Meningitis and encephalitis) 11
Subarachnoid hemorrhage 10
Exogenous toxins 99
Endogenous toxins and deficiencies 81
IV. Psychiatric Disorders 4
Cermin Dunia Kedok t eran, Edisi Khusus No. 80,
1992 87
Stroke Hemoragik :
Perdarahan
Intraserebral
Darulkutni Nasution
Bagian Neurologi
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan
ABSTRACTS
Stroke, especially intraccerebral hemorrhage, is one of the neurologic emergencies
cases, but in the management still controversial. Strict indications for the surgical removal
of intracerebral hemorrhage by craniotomy are not avarilable. However, there are
two indications for acute surgery : 1) a patient with an intracerebral hemorrage that is
located in a superficial location and 2) a hemorrhage into the cerebellum. The role of
surgery in intraccrebral hemorrhage may be revived by the recent advent of stereotactic
techniques to remove intracranial blood.
PENDAHULUAN
Sebenarnya semua jenis stroke, baik hemoragik maupun
non-hemoragik termasuk gawat darurat neurologi pada fase
akut. Memang sebagian penderita dapat dirawat dengan pe-
rawatan biasa yaitu istirahat, pemeriksaan laboratorium rutin
dan ECG, observasi dan perawatan beberapa hari, fisioterapi
dan rehabilitasi, kemudian dipulangkan atau dirawat di rumah.
Tetapi untuk sebagian besar memerlukan perawatan intensif
pada fase akut, oleh karena sebenarnya stroke bukanlah suatu
untreatable disease seperti disangkakan beberapa dokter, tetapi
hams dipahami benar-benar proses penyakit ini, agar dapat
dihindari kerusakan jaringan otak yang lebih luas.
Hams diingat bahwa : 1) kerusakan jaringan otak akibat
stroke, tidaklah langsung menyebabkan kematian neuron, tetapi
sering progressivitasnya berlangsung dalam beberapa jam
pertama setelah kejadian, sehingga kemungkinan untuk pen-
cegahan dengan pengobatan progressif bisa didapati pada
beberapa kasus. 2) jaringan otak sekitar neuron yang mati
mengalami gangguan fungsional dapat dipertahankan sehingga
dapat berfungsi kembali setelah terjadi penyembuhan. 3) edema
serebri dan vasospasme kadang-kadang dapat diatasi dan diobati.
88 Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992
Walaupun belum ada pengobatan yang secara sempurna dapat
memperbaiki kerusakan jaringan otak
akibat st rok e, namun
pengobatan intensif sedini mungkin, akan memberikan harapan
hidup dan penyembuhan yang lebih baik.
Pada kesempatan ini dipilih
stroke hemoragik, khususnya
perdarahan intraserebral (PIS) sebagai topik untuk gawat darurat
neurologi, oleh karena belakangan ini sering dipertanyakan
oleh pars dokter, bahkan keluarga penderita mengenai
kemungkinan tindakan operatif pads penderita PIS ini.
PERDARAHAN INTRASEREBRAL
Perdarahan intraserebral umumnya diartikan sebagai per-
darahan dalam parenkin otak dengan pembentukan hematoma
fokal.
Etiologi
Kebanyakan PIS disebabkan oleh hipertensi, sehingga teori
aneurisma Charcot-Bouchard (1868) masih dianut untuk pa-
tofisiologi sebagian PIS. Akan tetapi, kira-kira 50% penderita
PIS akut tidak mempunyai riwayat hipertensi dan basil pe-
ngobatan yang baik terhadap hipertensi menyebabkan me-
nurunnya prevalensi pads penderita PIS dengan mantap dari
tahun ke tahun, antara 1945 - 1976 dari 98% menjadi 81%,
kemudian terus menurun sampai 1987 dari 80% menjadi kira-
kira46%. Oleh karena itu, belakangan ini etiologi PIS dibagi dua
yaitu
Hypertensive Intracerebral Hemorrhage danNon-hyperten-
sive Intracerebral Hemorrhage.
Yang termasuk Honhyperten-
sive Intracerebral Hemorrhage
adalah Cerebral amyloid
angiopaty (CAA), pemakai anti koagulansia/thrombolitik, neo-
plasma, drug abuse,
aneurisma/AVM, idiopatik dan lain-lain.
DIAGNOSIS
Diagnosis PIS harus dipertimbangkan jika seorang dengan
faktor risiko perdarahan seperti hipertensi,
bleeding diathesis,
pengobatan dengan antikoagulansia atau pemakai kokain, tiba-
tiba mendapat serangan gangguan neurologik fokal selama beber-
apa menit tanpa didahului tanda-tanda peringatan. Adanya tanda
peninggian tekanan intra-kranial seperti sakit kepala, muntah
dan penurunan kesadaran akan mendukung diagnosis PIS.
PIS harus dikonfirmasi dengan
neuroimaging yaitu
head CT
Scan,
yang tidak hanya menunjukkan ukuran, lokasi dan tempat
hematom, tetapi juga memberikan informasi tentang perluasan
hematom ke sistem ventrikel, adanya edema sekitar hematom
dan adanya shift
atau pendorongan. Jika tidak ada CT Scan, harus
dilakukan pungsi lumbal atau arteriografi serebral untuk alat
bantu diagnostik, atau ditunggu sampai keadaan penderita
stabil lalu dikirim ke tempat fasilitas CT Scan.
PENGOB ATAN
Pengobatan pada prinsipnya konservatif, belum ada per-
sesuaian atau indikasi yang tegas mengenai pembedahan pada
stroke hemoragik.
Tindakan pertama adalah mempertahankan jalan nafas
yang baik dan pengobatan terhadap hipertensi jika sangat tinggi,
tetapi hams dihindari penurunan yang berlebihan sehingga
mengganggu autoregulasi dan pergusi jaringan otak.
Edema otak harus diatasi jika mengakibatkan penurunan
kesadaran atau mengancam herniasai, dianjurkan
forced hyper-
ventilation, pemberian mannitol atau glyserol, sedangkan kon-
tikosteroid tidak dianjurkan oleh karena banyak menimbulkan
komplikasi.
Gangguan koagulasi harus dikoreksi,
fresh frozen plasma,
vitamin K, protamine dan transfusi
platelet dapat diberikan
tergantung defisit koabulasinya. Untuk PIS akibat pemakaian
streptokinase, urokinase dengan atau tanpa heparin, dapat di-
berikan protomine dan epsilon-amino-caproic acid, sedangkan
untuk warfarin dapat diberikan vitamin K atau
fresh frozen
plasma.
Penggunaan antikonvulsan rutin nampaknya tidak diper-
lukan, tetapi banyak pasien dengan perdarahan kortikal atau
subkortikal diberikan antikonvulsan walaupun tidak kejang.
Belum ada suatu penelitian yang memastikan kelebihan
tindakan operatif pada HIS dibandingkan dengan pengobatan
konservatif.
Dari suatu penelitian yang melibatkan 52 orang
penderita PIS yang tidak sadar atau dengan defisit neurologik
yang berat dibagi atas kelompok operatif dan konservatif, ter-
nyata hanya penderita dengan skala koma Glasgow 7 - 10 yang
mendapat perbaikan dengan tindakan operatif, tetapi perbaikan
fungsi neurologik jelek. Juga terlihat perluasan hematom ke
ventrikel dan penurunan skala koma Glasgow pada kelompok
bedah. F. Gotoh dan N. Tanahashi dari Jepang melaporkan dari
500 penderita PIS yang dirawat secara konservatif dibandingkan
dengan kasus yang lama dengan tindakan operatif, ternyata
tidak ada perbedaan antara kedua kelompok tersebut dan disim-
pulkan bahwa indikasi tindakan operatif terutama pads kasus
yang berat untuk life saving.
Sampai saat ini secara umum hanya
ada 2 indikasi untuk tindakan operatif : 1) PIS dengan lokasi
superfisial seperti lobus frontalis, temporalis dan occipitalis jika
kondisi klinisnya membahayakan kehidupan untuk life saving,
2) perdarahan serebellum dengan ukuran lebih dari 3 cm; karena
perjalanan klinisnya sukar diramalkan, harus segera dioperasi
sebelum ada tanda-tanda kompresi batang otak yang berat.
Peranan tindakan operatif diharapkan akan lebih balk lagi
dengan dikembangkannya belakangan ini teknik stereotaktik
dengan tujuan dasar memperkecil invasi bedah.
PROGNOSIS
Secara umum mortalitas 26 - 50%, bertambah jelek pads
perdarahan dithalamus dan serebellum dengan diamter lebih dari
3 cm dan perdarahan pontine yang lebih dari 1 cm. Prognosis
lebih baik pads perdarahan lobar dengan mortalitas kira-kira 6 -
30%. Jika diukur dengan volume mortalitas kurang dari 10%
pads perdarahan yang kurang dari 20mm3 dan 90% pada per-
darahan yang lebih dari 60 mm3.
Gejala neurologis permulaan serangan juga merupakan
tanda prognostik penting, mortalitas bertambah jelek pads pasien
yang tidak sadar pada
onset penyakit, perdarahan yang luas
dan dalam serta dengan perluasan ke ventrikel. Dilaporkan pula
bahwa penderita PIS dengan SKG lebih dari 9, perdarahan
kecil dan pulse pressure
kurang dari 40 mm Hg, kemungkinan
survival
dalam waktu 30 hari adalah 98%, tetapi pasien dengan
koma dan perdarahan luas serta
pulse pressure lebih dari 65
mmHg, kemungkinan survival
dalam 30 hari adalah 8%.
KEPUSTAKAAN
1. Caplan LR. Intracerebral haemorrhage Lancet 1992; 339 : 656-58.
2.
Earnest MP. Emergency Diagnosis and Management of Brain Infarctions and
Hemorrhages. in : Earnest MP. Neulorogic Emergencies, Churchill Living-
stone, 1983.
3.
Feldmann E. Intracerebral hemorrhage. Stroke 1991; 22 : 684-91.
4.
Gotoh F, Tanahashi N. Emergency Management of Stroke : The Problem Of
Acute Cerebral Ilemorrhafe, World Congress Of Neurology, India, 1989.
5. Kase CS, Mohr JP. General features of intracerebral hemorrhage, in : Bamett
HJM, Mohr JP, Stein BM, Yatsu FM (eds) : Stroke, New York : Churchill
Livingstone, Inc, 1986, pp 497-523.
6. Marshall J. Should spontaneous cerebral haematomas be
evacuated andif so
when?. In : Warlow C, Garfield J (eds). Dilemmas in the managementof the
neurological patient, Churchill Livingstone, London, 1984.
Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992
89
Gawat Darurat Penyakit Paru
Hemoptisis Masif
H. Luhur Soeroso, H. Sugito, R.S. Parhusip, Sumarl, Usman
Bagian Ilmu Penyakit Paru Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utaral
UPF, Paru Rumah Sakit Dr Pirngadi, Medan
ABSTRAK
Pada tulisan ini dibicarakan hal-hal mengenai etiologi, patofisiologi, diagnosis
serta penanggulangan hemoptisis masif, baik secara konservatif maupun operatif dan
pencegahan khsusu melalui tindakan endobronkial dan endovaskuler. Bahan-bahan
ilmiah ini dikutip dari pengalaman-pengalaman pakar ilmu penyakit paru nasional serta
pakar-pakar internasional.
Kita
mengetahui, bahwa mengenai masalah hemoptisis masif ini masih di-
dapatkan perbedaan pendapat antara suatu pusat medis dengan pusat medis lainnya.
Maka dari itu peristiwa pelik ini harus kita waspadai secermat mungkin guna mencegah
resiko yang membahayakan jiwa penderita.
PENDAHULUAN
Hemoptisis atau batuk darah adalah ekspektorasi darah
atau dahak mengandung darah, berasal dari saluran nafas di
bawah pita suara(
o
. Hemoptisis harus dibedakan dengan epis-
taksis atau hematemesis, baik secara anamnesis, pemeriksaan
fisik atau pemeriksaan laboratorium.
Hemoptisis merupakan salah satu gejala yang menyebab-
kan penderita segera datang berobat, karena bagi masyarakat
awam hemoptisis merupakan pertanda bahwa penyakit yang
dideritanya cukup membahayakan dan akan membawa maut
baginya.
Dalam tulisan ini akan dijelaskan hemoptisis masif, karena
hemoptisis
masif merupakan keadaan gawat dalam bidang
medis dan perlu segera ditanggulangi. Komplikasi yang sering
terjadi adalah asfiksia, kehilangan darah yang banyak dalam
waktu singkat, serta penyebaran penyakit ke bagian paru yang
sehat. Asfiksia merupakan penyebab kematian terbanyak dari
hemoptisis masif. Dalam tulisan ini akan dibahas batasan,
etiologi, kekerapan, patofisiologi dan diagnosis serta penang-
gulangan hemoptisis masif.
BATASAN
Dalam menetapkan kriteria sedang hemoptisis masif, masih
dijumpai perbedaan di antara satu pusat medis dengan pusat
medis lainnya, terutama dalam hal menentukan volume darah
yang dikeluarkan dalam periode tertentu. Menurut Edward dkk
dan J.A. Wedzicha, hemoptisis masif adalah batuk disertai darah,
dengan volume darah antara 200 ml s/d 600 ml yang berlangsung
16 jam s/d 24 jam
t2.3t
.
Di bagian Paru FK-UI/RS. Persahabatan Jakarta dipakai 3
kriteria untuk menyatakan hemoptisis masif yang memerlukan
tindakan bedah karena akan mengancam kelangsungan hidup
penderita(
l
).
1) Bila penderita mengalami batuk darah lebih dari 600 ml per
24 jam - dan dalam pengamatan batuk darah tidal( berhenti.
2) Bila penderita batuk darah kurang dari 600 ml per 24 jam dan
pada pemeriksaan laboratorium menunjukkan kadar Hb kurang
dari 10 g%, sedangkan batuk darah masih berlangsung terus.
3) Penderita dengan batuk darah kurang dari 600 ml per 24 jam,
tetapi lebih dari 250 ml per 24 jam, kadar Hb lebih dari 10 g%,
dan pada pengamatan selama 48 jam dengan pengobatan konser-
90
Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992
vatif perdarahan tidak berhenti lama sekali.
Kritena lain yang biasa dipakai oleh penulis untuk menyatakan
hemoptisis masif adalah sbb(1) :
a) Batuk darah lebih dari 200 ml per 24 jam
b) Batuk darah 600 ml atau lebih per 24 jam
c)
Batuk darah yang menyehabkan obstruksi jalan nafas men-
dadak atau batuk darah yang menetap sehingga menimbulkan
anemi atau hipotensi sehingga merlukakan tranfusi darah.
d) Batuk darah yang cukup banyak sehingga memerlukan
tranfusi darah, atau terjadi retensi darah dalam alveoli dan
saluran nafas disertai gangguan faal paru yang progresif.
ETIOLOGI
Etiologi hemoptisis, baik masif maupun tidak, secara garis
besar dapat dikelompokkan atas 6 kelompok utama(")
1.
Trauma dan benda acing
2.
Kelainan kardiovaskular
3. Radang dan infeksi
4. Blood dyscrasias
5. Sindrom komprsi
6. Idiopatik
Penyebab terpenting dari hemoptisis masif adalah).
1) Tumor
a.
Karsinoma
b.
Adenoma
c. Metastasis endobronkial dari massa tumor ekstratorakal
2) Infeksi
a.
Aspergilloma
b.
Bronkiektasis (terutama pada lobus atas)
c.
Abses paru
d.
Tuberkulosis paru
3)
Infark paru
4) Udem paru
Terutama disebabkan oleh mitral stenosis
5) Perdarahan paru
a. Sistemik lupus eritematosus
b. Goodpasture's syndrome
c.
Idiophatic pulmonary haemosiderosis
d. Behcet's syndrome
6) Cedera pads dada/truma
a. Kontusio pulmonal
b. Transbronkial biopsi
c. Transtorakal biopsi memakai jarum
7)
Kelainan pembuluh darah
a. Malformasi arteriovena
b. Hereditary haemorrhagic teleangiectasis
8) Bleeding diathesis
Biasanya dibuktikan adanya perdarahan di tempat lain, di
luar paru.
KEKERAPAN
Untuk negara yang mempunyai kekerapan tuberkulosis
tinggi, maka penyakit ini merupakan penyebab tersering ter-
jadinya hemoptisis masif. Kekerapan batuk darah penderita
tuberkulosis kira-kira 20%, pada penderita bronkiektasis kira-
kira 45% dan pada penderita tumor kira-kira 10%. Pada suatu
chest clinic kekerapan batuk darah berkisar antara 10%-15%,
bahkan ada sampai 38% dari seluruh kunjungan
(
'
)
.
PATOFISIOLOGI
Mekanisme terjadinya batuk darah adalah sbb. (Wolf,
1977) :
1.
Radang mukosa
Pada trakeobronkitis akut atau kronis, mukosa yang kaya
pembuluh darah menjadi rapuh, sehingga trauma yang
ringan sekalipun sudah cukup untuk menimbulkan batuk darah.
2. Infark paru
Biasanya disebabkan oleh emboli paru atau inflasi mikro-
organisme pada pembuluh darah, seperti infeksi coccus, virus
dan infeksi oleh jamur.
3. Pecahnya pembuluh darah vena atau kapiler
Distensi pembuluh darah akibat kenaikan tekanan darah
intraluminal seperti pada dekompensasi kordis kiri akut dan
mitral stenosis. Pada mitral stenosis, perdarahan dapat terjadi
akibat pelebaran vena bronkialis.
4. Kelainan membran alveolokapiler
Akibat adanya reaksi antibodi terhadap membran, seperti
pada Goodpastures syndrome
5. Perdarahan kavitas tuberkulosis
Pecahnya pembuluh darah dinding kavitas tuberkulosis
yang dikenal dengan aneurisma Rasmussen; pemekaran pem-
buluh darah ini berasal dari cabang pembuluh darah bronkial.
Perdarahan pads bronkiektasis disebabkan pemekaran pembu-
luh darah cabang bronkial.
Diduga hal ini terjadi disebabkan adanya anastomosis
pembuluh darah bronkial dan pulmonal. Pecahnya pembuluh
darah pulmonal dapat menimbulkan hemoptisis masif.
6.
Invasi tumor ganas
7.
Cedera dada
Akibat benturan dinding dada, maka jaringan paru akan
mengalami transudasi ke dalam alveoli dan keadaan ini akan
memacu terjadinya batuk darah.
DIAGNOSIS
Diagnosis dapat ditegakkan dengan melakukan urutan
pemeriksaan sebagai berikut
o1
.
1. Anamnesis teliti
Perlu dipastikan apakah penderita benar-benar mengalami
batuk darah bukan epitaksis atau muntah darah. Muntah darah
karena varises esofagus atau ulkus peptikum dapat menyerupai
batuk darah. Untuk membedakan antara batuk darah dengan
muntah darah dapat dipergunakan petunjuk sebagai berikut :
Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992
91
Hal-hal yang perlu ditanyakan(
4
) :
a)
Batuk dan ekspektorasi dahak bersifat mukopurulen atau
purulen
Batuk dengan dahak purulen atau mukopurulen menun-
jukkan adanya infeksi seperti bronkitis, pneumoni atau abses
paru serta bronkiektasis, yang semuanya dapat menyebabkan
batuk darah.
b.
Riwayat kelainan katup jantung
Adanya riwayat kelainan katup jantung, akan mengarah-
kan kecurigaan terhadap kemungkinan adanya stenosis katup
mitral; dalam keadaan demikian darah yang dibatukkan berasal
dari anastomosis vena bronkopulmonal yang terdapat di dinding
bronkus.
c. Batuk darah yang menyertai cedera dada
Adanya cedera dada akan menyebabkan pecahnya pem-
buluh darah trakeobronkial atau pecahnya kista paru, akan
menimbulkan batuk darah.
d.
Perdarahan di tempat lain serempak dengan batuk darah
Keadaan ini akan menunjukkan adanya diatesa hemoragik
atau diskrasia darah
e. Perokok berat yang telah berlangsung lama
Adanya batuk darah pada penderita yang merokok dan telah
berlangsung lama serta berumur lebih dari 40 tahun, akan meng-
arahkan perhatian kita terhadap proses keganasan di paru.
f. Sakit pads tungkai atau adanya pembengkakan serta sakit
dada
Adanya batuk darah disertai dengan keluhan sakit di tungkai
atau adanya edema akan mengarahkan perhatian terhadap ada-
nya infark paru; untuk keadaan demikian, batuk darah meru-
pakan petunjuk adanya penyakit dengan risiko tinggi
g. Hematuri yang disertai dengan batuk darah
Adanya batuk darah disertai hematuri akan menimbulkan
kecurigaan kita adanya kelainan yang disebabkan oleh
Wegener
'
s granulomatosis, Goodpastures syndrome atauLupus
erythematosus.
PEMERIKSAN FISIK
Path pemeriksaan fisik hendaklah dicari gejala/tanda lain di
luar paru yang dapat mendasari terjadinya batuk darah, antara
lain :
1) Jari tabuh
Tanda ini menunjukkan adanya karsinoma paru, bron-
kiekasis, abses paru yang bersifat kronis.
2) Bising sistolik dan opening snap
92
Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992
Tanda ini merupakan pertanda penyakit katup mitral.
3)
Pembesaran kelenjar limfe
Pembesaran kelenjar servikal, skalenus dan supraklavikula
dapat terjadi akibat anal( sebar karsinoma bronkus.
4)
Ulserasi septum nasalis
Kerusakan septum nasalis merupakan pertanda adanya
penyakit granulomatosis.
5)
Teleangiektasi
Teleangiektasi di bibir dan mukosa mcrupakan pertanda
adanya penyakit Rendu-Osler-Weber.
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Pada keadaan darurat, pemeriksaan laboratorium dapat
dibatasi pads pemeriksaan Hb yang kemudian diikuti dengan
pemeriksaan darah rutin, urine dan tinja. Pemeriksaan pem-
bekuan darah meliputi protrombin dan partial thromboplastine
time
dilakukan bila memang diperlukan.
Pemeriksaan sputum berupa pemeriksaan Gram, BTA, kul-
tur bakteri, jamur perlu dilakukan untuk mendeteksi adanya
infeksi yang mendacari terjadinya batuk darah tersebut. Pe-
meriksaan sitologi sputum dilakukan bila ada kecurigaan ter-
hadap keganasan. Pemeriksaan ini ditujukan terutama pada
penderita dengan risiko besar untuk mendapat kanker paru,
seperti pada laki-laki perokok berat usia di atas 40 tahun,
meskipun foto toraks tampak normal
(4.6)
.
PEMERIKSAAN FOTO TORAKS
Foto toraks dalam posisi PA dan lateral hendaklah dibuat
pada setiap penderita hemoptisis masif, ditambah dengan dalam
posisi lordotik dan oblik dengan tujuan untuk mendapatkan
diagnosis lebih khusus.
Gambaran opasitas dapat menunjukkan tempat dan
kemungkinan penyebab. Konfigurasi katup mitral sertaKerley B
Line
akan menyokong diagnosis stenosis mitralis dan hipertensi
pulmonal
@)
.
Pemeriksaan tomografi kadang-kadang diperlukan untuk
kasus tertentu seperti untuk menentukan adanya kavitas paru,
adanya massa padat serta adenopati di daerah mediastinum dan
hillus.
PEMERIKSAAN BRONKOSKOPI
Batuk darah masif merupakan indikasi kuat untuk pe-
meriksaan bronkoskopi. Bronkoskopi dilakukan untuk meng-
evaluasi hemoptisis masif terutama pada orang tua di mana
foto toraks tidak memperlihatkan kelainan, terlebih-lebih bila
terdapat riwayat perokok berat. Hal ini sangat penting, meng-
ingat pada stadium dini, kanker paru yang menyebabkan batuk
darah masif dapat disembuhkan dengan tindakan bedah raja.
Pemeriksaan bronkoskopi yang tidak memperlihatkan kelainan
belum dapat menyingkirkan kemungkinan adanya tumor ganas
paru
>
.
Dikenal 2 macam bronkoskop, yaitu bronkoskop serat
optik dan bronkoskop metal yang kaku; masing-masing jenis
bronkoskop mempunyai kelebihan dan kekurangan. Dalam
mencari sumber perdarahan pads lobus superior, bronkoskop
Berta optik jauh lebih unggul, sedangkan bronkoskop metal
sangat bermanfaat dalam membersihkan jalan nafas dari bekuan
darah serta mengambil benda acing, di samping itu dapat melaku-
kan penamponan dengan balon khusus di tempat dimana ter-
jadinya perdarahan.
Pada keadaan yang mendesak pemeriksaan bronkoskopi
perlu dilakukan di meja operasi dengan maksud untuk mem-
permudah intervensi bedah kalau diperlukan(".
PEMERIKSAANLAINNYA
Pemeriksaan bronkografi kadang-kadang diperlukan untuk
menentukan ada atau beratnya suatu bronkiektasi bila pads foto
toraks tidak terdeteksi. Bronkografi biasanya dilakukan setelah
perdarahan berhenti karena bekuan darah akan menghalangi zat
kontras di samping bahan kontras yang dipergunakan dapat
merangsang terjadinya batuk, ini akan mempermudah terjadi-
nya aspirasi bekuan darah pads saat inspirasi untuk memulai
batuk. Pada beberapa keadaan pemeriksaan angiografi atau
skening perfusi paru. juga diperlukan untuk mengetahui ada
tidaknya emboli paru
o,6
)
PENANGGULANGAN HEMOPTISIS MASIF
Pengobatan hemoptisis masif tergantung pada volume darah
yang dibatukkan, penyebab perdarahan serta kondisi penderita.
Tujuan pengobatan :
1. Mencegah terjadinya asfiksi
2. Menghentikan perdarahan
3. Mengobati penyakit yang mendasarinya
Penderita hemoptisis masif perlu mendapatkan perhatian
khusus, mengingat komplikasi perdarahan dapat berakibat fatal.
Untuk itu penderita harus dirawat, karena tidak dapat diramalkan
apakah perdarahan akan berhenti secara spontan atau akan
terus berlangsung.
Ada dua tindakan penanganan hemoptisis masif, yaitu
tindakan konservatif dan tindakan operatif.
1. Tindakan konservatif
Tindakan ini dilakukan apabila penderita menolak dioperasi,
adanya kontra indikasi pembedahan, sumber perdarahan dengan
pemeriksaan bronkoskopi tidak ada atau belum jelas dalam
pengamatan lebih lanjut, darah keluar menunjukkan kecende-
rungan untuk berhenti.
Dalam perawatan dilakukan tindakan :
a. Mencegah asfiksi
Menenangkan penderita sehingga perdarahan lebih mudah
berhenti. Penderita perlu diberi tahu agar tidak takut untuk
membatukkan darah yang ada di saluran nafasnya. Penderita
dengan refleks batuk masih baik dan keadaan umum baik, dapat
diletakkan dalam posisi duduk atau setengah duduk, apabila
dianggap perlu, dipasang pipa endotrakeal dan dilakukan peng-
isapan bekuan darah.
Penderita dengan refleks batuk yang tidak adekuat, dile-
takkan dalam posisi tidur miring ke sisi mana diduga asal
perdarahan dan sedikit trendelenburg untuk mencegah
aspirasi darah ke paru yang sehat.
Bila terdapat tanda penyumbatan jalan nafas, dilakukan
pengisapan. Pengisapan dengan bronkoskop akan lebih baik
tetapi memerlukan keahlian khusus dan kadang-kadang di-
perlukan pemasangan balon Forgarty.
Penderita dinasihati untuk tidak menahan batuknya, tetapi
bila batuknya terlalu sering, keras dan paroksismal dapat
mengakibatkan perdarahan sukar berhenti. Untuk mengurangi
kekerapan batuk dapat diberikan kodein 15-30 mg setiap 3 s/d 4
jam.
Penderita hemoptisis masif pads umumnya gelisah dan
ketakutan, sehingga berusaha menahan batuknya. Untuk me-
nenangkannya dapat diberikan sedatif agar lebih kooperatif,
seperti luminal dengan dosis 15-60 mg/hari.
Cara tradisional seperti meletakkan es di dada penderita
atau minum air garam dapat memberi efek psikologis pads
penderita.
b. Menghentikan perdarahan
Pasang IV line atau IVFD untuk jalur pemberian obat dan
penggantian cairan. Pemberian hemostatika belum jelas man-
faatnya pads penderita hemoptisis masif, demikian pula
penggunaan koagulan tidak rasional mengingat batuk darah
masif bukan disebabkan gangguan pembekuan darah (Karsono,
G. 1877).
Karbozokrom,asam traneksamat dikatakan mempunyai efek
antara lain : - memperkuat dinding kapiler, - menaik(an retensi
kapiler, - menurunkan permeabilitas kapiler dan - mempercepat
pembekuan darah bila suhu darah tubuh di bawah 37C . Apabila
obat di atas benar bermanfaat seperti yang dinyatakan, maka
penggunaan obat ini adalah tepat, mengingat perdarahan pads
hemoptisis masif diakibatkan pecahnya pembuluh darah.
2. Tindakan operatif
Ada sejumlah laporan tentang keberhasilan tindakan bedah
dalam mengatasi hemoptisis masif. Crocco dkk memperlihat-
kan keberhasilan pembedahan dalam mengurangi mortalitas
hemoptisis masif dibandingkan dengan cara konservatif, Conlan
dkk melaporkan penurunan mortalitas dari 31,8% menjadi 17,6%
akibat hemoptisis masif dengan bantuan pembedahan.
Tindakan pembedahan merupakan tindakan cukup ampuh
dalam menanggulangi hemoptisis masif apabila bleeding point
telah diketahui dengan baik. Tindakan pembedahan dipikirkan
apabila ada indikasi;kriteria hemoptisis masif yang memerlukan
tindakan-tindakan bedah yang segera adalah sebagai berikut
i
') :
1. Bila dari anamnesis tidak didapatkan sesak nafas pads
waktu olah raga atau kerja, maka faal paru dianggap cukup balk.
2. Pada keadaan normal, kapasitas pare kanan kira-kira 55%
dal. paru kiri 45%, dalam keadaan sakit kapasitas paru sehat
dapat diperhitungkan dari foto toraks.
3.
Bila memungkinkan dilakukan pemeriksaan faal paru.
Toleransi penderita dianggap bukup bila pada pemeriksaan
faal paru yang tertinggal dengan kapasitas lebih dari 40% dan
FEY-1 lebih dari 60%.
Sebelum pembedahan, sebaiknya lebih dahulu dilakukan
pemeriksaan bronkoskopi untuk menentukan sumber perda-
Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992 93
rahan. Jika sumber perdarahan belum dapat ditentukan, maka di-
lakukan pemeriksaan bronkoskopi ulangan.
PENANGGULANGAN HAMOPTISIS RUTIN
1) Memperbaiki keadaan umum penderita('
.4)
Pemberian oksigen
Pemberian oksigen tidak selalu diperlukan dan hanya ber-
manfaat bila jalan nafas telah bebas dari sumbatan bekuan
darah.
Pemberian cairan rehidrasi
Transfusi darah
Memperbaiki keseimbangan asam-basa.
2.
Mengobati penyakit yang mendasari
Terapi konservatif dilakukan apabila pasien menolak di-
operasi asal perdarahan dengan pemeriksaan bronkoskopi tidak
atau belum jelas diketahui, dalam pengamatan perdarahan
cenderung berhenti. Pada penderita seperti ini diusahakan
mencari penyebab agar dapat diberi pengobatan kausal.
PENANGGULANGAN HEMOPTISIS MASIF SECARA
KHUSUS
Garton dkk mengemukakan dua can untuk mengatasi per-
darahan akibat hemoptisis masif langsung pada sumber per-
darahannya.
1. Mellaui endobronkial
Swersky berhasil mengatasi perdarahan masif pada pender-
ita kistik fibrosis dengan menggunakan balon kateter serta se-
kaligus melakukan irigasi dengan bahan vasokonstriktor, seperti
adrenalin
t3
>.
Tsukumoto T dkk melakukan infus tetapi pada penderita
hemoptitis masif yang mengancam jiwa. Setelah lokasi per-
darahan diketahui, melalui saluran aspirasi bronkoskop di-
masukkan sebanyak 5-10 ml thrombin dengan kadar 10.000 U/
ml atau dikombinasi dengan cairan fibrinogen 2% sebanyak 5-
10 ml dan didiamkan selama 5 menit. Setelah diyakini telah
terjadi hemostatis, bronkoskop dicabut. Dari 33 penderita yang
diteliti dan dijajaki selama 5 tahun, ternyata infus terapi cukup
berhasil pads 31 pasien.
Perdarahan pads saluran nafas dapat pula diatasi secara
termodinamik intrabronkial, yaitu dengan mempergunakan
sinar Laser melalui bantuan bronkoskop(
810
)
2. Melalui endosvaslular
Transkateter embolisasi arteri bronkialis adalah cara ter-
baru; merupakan tindakan yang khusus dalam mengatasi he-
moptisis masif.
Whoey dkk melaporkan terapi embolisasi
untuk pertama kali pads tahun 1976(
9
). Dengan bantuan ar-
teriografi bronkial akan tampak gambaran hipervas kularisasi di
daerah kabitas dan mungkin juga bersama-sama akan tampak
aneurisma dari cabang arteri bronkialis.
Terapi embolisasi dilakukan dengan memasukkan bahan
emboli ke dalam cabang arteri bronkialis dan basil yang baik
akan terlihat dengan menghilangnya hipervakulatisasi dan
aneurisma. Bahan embolisasi dapat berupa gelatin (Gelfoam),
94
Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992
polivinil alkohol (Ivalon), alkohol absolutdan ginaturco atel-coil
emboli; yang sering dipakai Gelfoam("). Ulfacker dkk (1985)
melaporkan sebanyak 85% penderita hemoptisis masif berhasil
dikontrol perdarahannya setelah tindakan embolosas
i
(
3
). Be-
berapa peneliti mendapatkan perdarahan berulang sekitar 20%
setelah embolisasi berhasil pada penderita hemoptisis
masif(9.9.t)
Perdarahan berulang dapat terjadi sewaktu-waktu dalam
interval beberapa hari sampai dengan beberapa tahun
t3>
. Ter-
jadinya perdarahan berulang dapat disebabkan antara lain
karena :
a. Embolisasi tidak adekuat
b. Terjadinya rekamalisasi arteri bronkialis
c. Lokasi embolisasi tidak tepat
d.
Terjadi revaskularisasi
e. Terjadinya sistem kolateral arteri ekstrapulmonal, misalnya
proses keganasan, infeksi kronis, aspergillosis paru.
f. Keparahan penyakit yang mendasari
Komplikasi terapi embolisasi dapat berupa cedera medulla
spinalis, infark bronkus primer, kolitis iskemik yang fatal; per-
nah dilaporkan terjadi fistel esofagobronkia'
t3>
.
PROGNOSIS
Prognosis baik bila :
1) Penderita tidak mendapatkan penyakit dari penyakit lain.
2)
Hemoptisis masif yang terjadi dapat diketahui sumber per-
darahannya, dan dengan segera dapat dilakukan tindakan pem-
bedahan.
KEPUSTAKAAN
1. Yunus F. Hemoptisis, Maj Kedok Indon 1987; 37 (10) : 527-31.
2.
Haponik EF, Chin R. Haemoptysis; clinicians perspective. Chest 1990;
97 (2) : 469-75.
3. Wedziche JA. Management massicr haemoptysis. Resp. Medicine 1990;
84:9-12.
4. Zagelbaum GL. Haemoptysis in : Manual of Acutc Respiratory Care. Asia
Ed. 1982, 123-28.
5. Moxham et al. Symptom and signs in Respiratory disease. Medicine
Intemat, Vol. 1, Par East Ed. 1991; 4 (14) : 3644-49.
6. Hinshaw HC, Murray IF. Diagnostic Procedure. In : Disease of Chest. 4th
ed. Philadelpia; WB Saunders & Co, 1980, 1-152.
7. Laderle FA et al. Bronchoscopy to evaluate haemoptysis in olderman
with nonsuspicious chest rontgenogram. Chest 1990; 95 (5) : 1045-7.
8. Bense L. Intrabronchial selective coagulative treatment of haemoptysis.
Chest 1990; 97 : 990-6.
9. Hedzdroff NT et al. Tranccatheter bronchial artery embolization in multi-
modality management of massive haemoptysis. Chest 1990; 97 (6) :
1494-96.
10. Tomoi Tsukamoto et al. Treatment of heamoptysis patients by thrombin
and fibrinogen-thrombin infusion therapy using afibro optic broncho-
scope. Chest 1989; 96 : 473-6.
11. Katoh C et al. Recurrent beleeding after embolization in patients with
haemoptysis.
Efusi Pleura Masif
Sugito, LS Soeroso, RS Parhusip, Zainuddin Amir, Rusyda N
Bagian Ilmu Penyakit Paru, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utaral
UPF Paru Rumah Sakit Dr. Pirngadi, Medan
ABSTRAK
Efusi Pleura Masif masih sering dijumpai, dan untuk menetapkan diagnosisnya
tidaklah begitu sukar. Namun demikian mencari penyebabnya tidaklah mudah, karena
memerlukan pemeriksaan-pemeriksaan penunjang yang agak banyak.
Akibat adanya carian yang cukup banyak dalam rongga pleura, maka kapasitas paru
akan berkurang dan di samping itu juga menyebabkan pendorongan organ-organ me-
diastinum, termasuk jantung. Hal ini mengakibatkan insufisiensi pernafasan dan juga
dapat mengakibatkan gangguan pada jantung dan sirkulasi darah.
Diperlukan penatalaksanaan yang bail( dalam menanggulangi efusi pleura masif
ini, yaitu pengeluaran cairan dengan segera serta pengobatan terhadap penyebabnya
sehingga hasilnya akan memuaskan.
PENDAHULUAN
Efusi pleura adalah penumpukan cairan di dalam rorigga
pleura yang disebabkan oleh proses eksudasi atau transudasi
yang berlebihan dari permukaan pleura. Efusi pleura bukanlah
merupakan suatu diagnosis penyakit
(o
, tetapi suatu gejala pe-
nyakit serius yang dapat
'
mengancam jiwa
(2)
.
Efusi pleura masif adalah penumpukan cairan pleura yang
mencapai lebih 2/3 hemitoraks(
3
). Berbagai penyakit bisa me-
nimbulkan efusi pleura masif, namun yang paling sering
ditemukan karena proses keganasan dan tuberkulosis.
Diagnosis efusi pleura masif pada umumnya dapat ditegak-
kan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisis, tetapi
kadang-kadang memerlukan pemeriksaan foto toraks. Untuk
diagnosis pasti perlu dilakukan tindakan torakosentesis, evaluasi
cairan pleura, biopsi pleura dan prosedur diagnostik lainnya
(
'
,3.0)
.
Berikut akan dibahas mekanisme terjadinya efusi pleura,
diagnosis dan penatalaksanaan efusi pleura masif.
MEKANISME
Dalam keadaan normal rongga pleura mengandung
kurang lebih 10-20 ml cairan dengan konsentrasi protein
rendah, terdapat di antara pleura viseralis dan parietalis yang
berfungsi sebagai pelicin agar gerakan kedua pleura tidak
terganggu. Cairan ini dibentuk oleh kapiler pleura parietalis
dan direabsorsi oleh kapiler dan pembuluh getah bening pleura
viseralis. Keseimbangan ini tergantung pada tekanan hidrostatik,
dan direabsorpsi oleh kapiler dan pembuluh getah bening pleura
dan penyaluran cairan pleura oleh saluran getah bening
o
'
4
). Pada
keadaan patologis rongga pleura dapat menampung beberapa
liter cairan dan udara
(
"
3
)
Efusi pleura dapat timbul bila terjadi peningkatan tekanan
hidrostatik sistemik, penurunan tekanan osmotik koloid darah
akibat hipoproteinemia, kerusakan dinding pembuluh darah atau
dalam rongga pleura pada atelektasis yang luas, gangguan pe-
nyerapan kembali carian pleura oleh saluran pembuluh getah
bening, hipersensitif terhadap tuberkuloprotein, robeknya
pembuluh darah atau saluran getah bening dan carian asites dapat
mengalir melalui pembuluh getah bening diafragma atau defeks
makroskopik pada diafragma
(
'"
3

0
Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992 95
DIAGNOSIS
Anamnesis dan gejala klinis
Keluhan utama penderita adalah nyeri dada sehingga pen-
derita
membatasi pergerakan rongga dada dengan bernapas
pendek atau tidur miring ke sisi yang sakit
@)
. Selain itu sesak
napas terutama bila berbaring ke sisi yang sehat disertai batuk-
batuk dengan atau tanpa dahak. Berat ringannya sesak napas ini
ditentukan oleh jumlah cairan efusi. Keluhan yang lain adalah
sesuai dengan penyakit yang mendasarinya
m
.
Pemeriksaan fisis
Pada pemeriksaan fisik toraks didapatkan dada yang terkena
cembung selain melebar dan kurang bergerak pads pernapasan.
Fremitus vokal melemah, redup sampai pekak pada perkusi, dan
suara napas lemah atau menghilang. Jantung dan mediastinum
terdorong ke sisi yang sehat . Bila tidak ada pendorongan, sangat
mungkin disebabkan oleh keganasan(
w
)
Pemeriksaan radiologik
Pemeriksaan radiologis mempunyai nilai yang tinggi dalam
mendiagnosis efusi pleura, tetapi tidak mempunyai nilai apapun
dalam menentukan penyebabnya. Secara radiologis jumlah
cairan yang kurang dari 100 ml tidak akan tampak dan baru jelas
bila jumlah cairan di atras 300 ml
(
'
.5
)
Foto toraks dengan posisi Posterioe Anterior akan memper-
jelas kemungkinan adanya efusi pleura masif. Pada sisi yang sakit
tampak perselubungan masif dengan pendorongan jantung dan
mediastinum ke sisi yang sehat .
TORAKOSENTESIS
Tujuan torakosentesis (punksi pleura) di samping sebagai
diagnostik juga sebagai terapeutik
o
).
PEMERIKSAAN CAIRAN PLEURA
Makroskopis dan bau
Cairan efusi berwarna serous (jarang serohemoragis), ini
biasanya karena infeksi tuberkulosis, bila keruh kekuning-
kuningan akibat infeksi non tuberkulosis, keruh susu dengan
endapan di dasar karena empiema, keruh susu dengan krim di
bagian atas karena chylotoraks, keruh kehijau-hijauan karena
arthritis rematoid, kental karena mesothelioma, merah tengguli
karena sindrom hepatopulmonal, hemoragis karena karsinoma,
truma dan infark paru dan bau busuk umumnya karena infeksi
anaerobik
.0
)
Mikroskopis
Kumpulan lebih kurang 10 ml, cairan untuk pemeriksaan
mikroskopik. Bila ditemukan dominan neutrofil polimorf me-
nunjukkan suatu inflamasi bakterial dan bila jumlahnya sangat
banyak menunjukkan empiema. Efusi dengan sel limfosit per-
dominan merupakan tanda khas untuk tuberkulosis tapi dapat
juga dijumpai pada efusi pleura kronis dengan sebab apapun.
Eosinofil yang banyak sekali biasanya menunjukkan adanya
perdarahan dalam rongga pleura, karena keganasan atau pe-
96 Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992
nyakit jaringan penyokong
o)
.
Bila pads pemeriksaan pertama tidak dapat ditegakkan
diagnosis,
pemeriksaan sitologi sebaiknya diulang sampai
dengan tiga kali
8>
.
Untuk menentukan etiologi cairan pleura, biopsi pleura
memberikan basil yang lebih baik dibandingkan sitologi carian.
Biopsi dapat dilakukan secara buta dengan jarum Cope, Vim
Silverman atau Abrams. Biopsi yang berulang sebanyak 2-3
kali akan memberikan angka positip yang lebih tinggi('
3
'
)
.
Biokimia
Secara biokimia carian pleura dibagi alas transudar dan
eksudat (Label 1).
Di samping pemeriksaan di atas diperiksa juga kadar pH
(normal 7,64). pH < 7,30 dapat dijumpai pada penyakit TBC,
infeksi non TBC, penyakit kolagen, dan neoplasma". Kadar
glukosa yang rendah (40mg%) ditemukan karena proses
infeksi dan keganasan(
9
).
Akhir-akhir ini diperkenaikan pemeriksaan biokimia diag-
nostik antara lain pemeriksaan Cytokine
yang meliputi
Interleukin-1 (IL-1), Interleukin-2 (IL-2) serta gamma Inter-
ferop (IFN-Y) dan nemeriksaan Adenosine Deaminase (ADA)""'
-Ribera dkk"
3
)
di Spanyol mendapatkan kadar gamma inter-
feron yang tinggi pada efusi pleura tuberkulosis sebesar 91,2
U/ml (rata-rata 2,4-413 u/ml), sedangkanShimokata dkk(" ) di
Nagoya mendapatkan 73/ml rata-rata 1,5 - 410 U/ml untuk efusi
pleura tuberkulosis dan sebesar < 1,0 U/ml untuk efusi pleura
karena
karsinoma (p < 0,01). Banales dkk' di Mexico
mengemukakan peranan pemeriksaan Adenosine Deaminase
sebagai
marker dengan sensitifitas 98% dan spesifisitas 96%
untuk efusi pleura tuberkulosis dengan batasan 70 lU/liter.
Torakoskopi atau pleroskopi dapat secara langsung
melihat pleura dan dapat melakukan biopsi pada permukaan
pleura yang abnormal. Pemeriksaan ini dapat dilakukan dengan
mempergunakan torakoskop kaku atau dengan bronkoskopi
serat optik dengan anestesi topikal. Torakoskopi baru dikerjakan
bila pemeriksaan sitologi cairan pleura maupun biopsi pleura
tidak memberikan hasil"). Demikian juga tindakan prosedur di-
agnostik lainnya yang bersifat invasif seperti biopsi pleura ter-
buka dikerjakan bila pemeriksaan sitologi cairan dan biopsi
pleura tidak menemukan tanda keganasan).
PENGOBATAN
Efusi pleura masif harus segera mendapatkan tindakan
pengobatan karena cairan pleura akan menekan organ-organ
vital
dalam rongga dada dan dapat menimbulkan kematian
secara tiba-tiba(
2.5.0
.
Beberapa macam pengobatan atau tindakan yang dapat
dilakukan pada efusi pleura masif adalah sebagai berikut :
1) Obati penyakit yang mendasarinya
t5>
.
2) Torakosentesis - keluarkan cairan seperlunya hingga
sesak - berkurang (lega); jangan lebih 1-1,5 liter pads setiap
kali aspirasi(
2
), Zangelbaum dan Pare menganjurkan jangan
lebih 1.500 ml dengan waktu antara 20-30 menit(
9
). Torakosen-
tesis ulang dapat dilakukan pada hari berikutnya.
Torakosentesis untuk tujuan diagnosis setiap waktu dapat
dikerjakan, sedangkan untuk tujuan terapeutik pads efusi pleura
tuberkulosis dilakukan atas beberapa indikasi
t6>
:
a) Adanya keluhan subjektif yang berat misalnya nyeri dada,
perasaan tertekan pada dada.
b) Cairan sudah mencapai sela iga ke-2 atau lebih, sehingga
akan mendorong dan menekan jantung dan alat mediastinum
lainnya, yang dapat menyebabkan kematian secara tiba-tiba.
c) Suhu badan dan keluhan subjektif masih ada, walaupun
sudah melewati masa 3 minggu. Dalam hal seperti ini biasanya
cairan sudah berubah menjadi pyotoraks.
d) Penyerapan cairan yang terlambat dan waktu sudah mendekati
6 minggu, namun cairan masih tetap banyak.
3)
Jika efusi yang akan dikeluarkan jumlahnya banyak, lebih
baik dipasang selang dada (chest tube), sehingga cairan dapat
dialirkan dengan lambat tapi sempurna. Tidaklah bijaksana
mengeluarkan lebih dari 500 ml cairan sekaligus. Selang dapat
diklem selama beberapa jam sebelum 500 ml lainnya dikeluar-
kan. Drainase yang terlalu cepat akan menyebabkan distres pads
pasien dan di samping itu dapat timbul edema paru
t3s>
.
4) Pleurodesis dimaksudkan untuk menutup rongga pleura
sehingga akan mencegah penumpukan cairan pluera kembali.
Hal ini dipertimbangkan untuk efusi pleura yang rekuren seperti
pads efusi karena keganasan
o.4.5.
'
>
Sebelum dilakukan pleurode-
sis cairan dikeluarkan terlebih dahulu melalui selang dada dan
paru dalam keadaan mengembang
t5>
.
Pleurodesis dilakukan dengan memakai bahan sklerosis
yang dimasukkan ke dalam rongga pleura. Efektifitas dari bahan
ini tergantung pada kemampuan untuk menimbulkan fibrosis dan
obliterasi kapiler pleura
>
. Bahan-bahan yang dapat dipergunakan
untuk keperluan pleurodesis iini yaitu : Bleomisin, Adriamisin,
Siklofosfamid, Mustard, Thiotepa, 5 Fluro urasil, perak nitrat,
talk, Corynebacterium parvum dan tetrasiklin
tt.2,3,45,7>
Tetrasiklin merupakan salah satu obat yang juga digunakan
pada pleurodesis, harga murah dan mudah didapat dimana-mana.
Setelah tidak ada lagi cairan yang keluar masukkanlah tetrasiklin
sebanyak 500 mg yang sudah dilarutkan dalam 20-30 ml larutan
garam fisiologis ke dalam rongga pleura, selanjutnya diikuti
segera dengan 10 ml larutan garam fisiologis untuk pencucian
selang dada
t4.5>
dan 10 ml lidokain 2% untuk mengurangi rasa
sakit atau dengan memberikan golongan narkotik 1,5-1 jam
sebelum dilakukan pleurodesis. Kemudian kateter diklem
selama 6 jam, ada juga yang melakukan selama 30 menit dan
selama itu postsi penderita diubah-ubah agar tetrasiklin ter
distribusi di seluruh rongga pleura
t2,4>
. Bila dalam 24-48 jam
cairan tidak keluar lagi selang dada dicabut
t4,5>
5) Pengobatan pembedahan mungkin diperukan untuk :
a) Hematoraks terutama setelah trauma
t5>
b) Empiema
t5>
c) Pleurektomi yaitu mengangkat pleura parietalis; tindakan
ini jarang dilakukan kecuali pads efusi pleura yang telah menga-
lami kegagalan setelah mendapat tindakan WSD, pleurodesis
kimiawi, radiasi dan kemoterapi sistemik, penderita dennan
prognosis yang
buruk atau pada empiema atau hemotoraks yang
tak diobati
t5>
.
d) Ligasi duktus torasikus, atau pleuropritoneal shunting
yaitu menghubungkan rongga pleura dengan rongga peritoneum
sehingga cairan pleura mengalir ke rongga peritoneum. Hal ini
dilakukan terutama bila tindakan torakosentesis maupun pleu-
rodesis tidak memberikan hasil yang memuaskan; misalnya
tumor atau trauma pads kelenjar getah bening
t5
'> .
KEPUSTAKAAN
1. Crof J, Douglas A. Respiratory Diseases, 3rd ed, Oxford : Blackwell
Scientific Publ, 1981. pp 308-328.
2. Asril Bahar. Penyakit-penyakit pleura. Dalam : Ilmu Penyakit Dalam Jilid
II Jakarta : balai Penerbit FKUI, 1990, hal 785-805.
3. Hinshaw HC, Murray JE. Disorder of the Pleura. In : Disease of the Chest.
4th ed. WB Saunders Co, 1980. pp 833-903.
4. Leahy B, Stretton TB. Pleural Diseases. Medicine International, (De-
sember) 1982; (22-24) : 1036-1041.
5.
Stark JE, Shneerson JM, Higenbottam T, Milstein BB. Manual of the Chest.
1 st ed. London : Churchill Livingstone, 1989 (terjemahan Binarupa Aksara
Jakarta) hal. 198-213.
6. Rasmin Rasyid. Pleuritis eksudativa tuberkulosa. MKI 1987; 37(10) :
541-4.
7. Prakash UBS. Malignant pleural effusions, Postgrad Med 1986; 80 :
201-8.
8. Iles PB, Ogilvie C. Pleural aspiration and biopsy. BrMed; 8 March 1980,
pp 693-5.
9. Zangelbaum GL, Pare JAP. Clinical procedure and techniques in acute
respiratory care. Asian ed. Boston : Little, Brown and Co, 1982; pp 259-68.
10.
Ward PCJ. Pleural fluid data. Medical Current 1984; 37-40.
11. Shimokata, Saka H, Murate, Hasegawa Y, Hasegawa T. Cytokine content
in pleural effusion, Chest 1991; 99 (5) : 1103-7.
12. Banales L, Pineda PR, Fitzgerald JM, Rubio H, Selam M, Lezaman MS.
Adenosin Deaminase in the diagnosis of tuberculous pleural effusions.
Chest (February) 1991; 99 (2) : 355-7.
13. Ribera E, Ocana L, Vazquez JMM, Rossell M, Espanol T, Ruaibal A. High
level of interferon gamma in tuberculous pleural effusions. Chest 1988; 93
(2) : 388-11.
Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992
97
Benda Asing di Saluran Nafas
Sugito, HMM Tarigan, LS Soeroso, RS Parhusip
Bagian Ilmu Penyakit Paru, Fakultas Kedokteran Sumatera Utara
UPF Paru Rumah Sakit Dr Pirngadi, Medan
ABSTRAK
Kasus-kasus terinhalasi benda asing di saluran nafas terutama terjadi pads
anak. Untuk menegakkan diagnosis tidaklah begitu sukar, bila kita waspada terhadap
gejala-gejala yang timbul dan juga terutama bila pads anamnesis ada batuk-batuk, sesak
nafas dan mengi sesudah penderita tersedak ketika makan.
Beratnya gejala yang timbul tergantung dari lokalisasi, besar dan jenis benda
asing tersebut. Jenis kacang-kacangan menimbulkan gejala peradangan yang hebat,
akibat zat-zat yang dikeluarkan, dan dikenal sebagai
vegetal atau arachidic bronchitis.
Apabila kasus-kasus benda asing ini cepat didiagnosis dan ditanggulangi
dengan baik, maka hasilnya juga baik dan kerusakan paru dapat dihindarkan.
PENDAHULUAN
Benda asing pads saluran nafas adalah suatu hal yang
sering juga dijumpai pads anak-anak. Anal( laki-laki terinhalasi
benda asing dua kali lebih banyak daripada anak perempuan,
dan kira-kira 80% dari penderita adalah anak-anak di bawah
umur 4 tahun. Kacang tanah dan kacang kacangan lainnya yang
dapat dimakan, merupakan kasus yang terbanyak didapat dan
letaknya di bronkhus kanan sedikit lebih banyak daripada
di bronkhus kid.
GEJALA
Gejala klinis yang terjadi tergantung dari letak benda
asing tersebut di saluran nafas. Gejala-gejala ini penting
untuk diketahui, supaya diagnosis dapat ditegakkan secepatnya
untuk mencegah kerusakan saluran nafas yang lebih parah.
Terdapat 5 tanda-tanda klinis yang penting yaitu :
1) Wheezy bronchitis (asma)
Batuk-batuk, wheeze dan demam adalah gejala yang
umum pads penderita terinhalasi benda asing. Diagnosis wheezy
98
Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992
bronchitis
haruslah dipertanyakan lebih dalam pada anak-anak,
bila hal ini terjadi tiba-tiba tanpa didahului oleh gejala selesma,
atau bila sebelumnya tidak ada serangan seperti ini, atau
tidak terdapat riwayat alergi serta bila rhonkhi pada inspirasi
dan ekspirasi yang tidak menyeluruh pada kedua paru.
2) Resolusi yang gaga) dari infeksi akut
Bila benda asing tidak segera diambil, maka infeksi
saluran nafas yang akut terjadi di bagian distal dari obstruksi.
Infeksi ini manifestasinya sepertipneumonia,tetapi pada beberapa
kasus dapat sebagai infeksi saluran nafas yang tidak spesifik.
Resolusi yang lama dan tidak sempuma dari suatu pneu-
monia, lebih-lebih bila disertai dengan atelektasis paru, harus
dicurigai disebabkan oleh benda asing.
3)
Batuk khronis yang disertai dengan hemoptisis
Batuk khronis atau berulang dengan disertai hemoptisis
pada anak-anak tanpa penyakit paru suppurativa yang khronis,
sangat mungkin disebabkan oleh benda asing, lebih-lebih bila
terdapat juga atelektasis pada segmen atau lobus.
Biji rumput-rumputan adalah penyebab utama dari gam-
baran klinis ini dan biasanya biji-biji ini masuk ke bronchial
tree, sehingga tidak terlihat sewaktu pemeriksaan bronkhoskopi.
4) Batuk khronis disertai dengan gambaran atelektasis
Pads anak-anak dengan batuk khronis yang disertai gam-
baran atelektasis segmen atau lobar, haruslah waspada terhadap
adanya benda asing. Bila perbaikan secara klinis maupun
radiologis tidak nyata sesudah pengobatan dengan antibiotika
dan drainase postural, maka pemeriksaan bronkhoskopi harus
dilakukan.
5)
Kegagalan pernafasan
Beberapa penderita keadaan penyakitnya berlanjvt
menyebabkan kegagalan pernafasan akut. Secara anamnestis
diperoleh keterangan tentang kegagalan pengobatan infeksi
saluran nafas yang akut, di mana terdapat juga benda asing di
dalamnya.
Pads pemeriksaan radiologis tampak gambaran atelektasis
dari salah satu lobus dan adanya hiperinflasi pada paru lainnya.
Kegagalan pernafasan terjadi karenaberkurangnya ventilasi
secara akut.
RADIOLOGI
Beberapa bends asing bersifat radio-apaque, tetapi banyak
yang tidak. Pads penderita obstruksi bronkhus dapat terlihat
adanya gambaran hiper-inflasi atau atelektasis.
Walaupun pada pemeriksaan radiologis terdapat gambaran
yang normal, tetapi bila terdapat riwayat adanya inhalasi benda
asing, maka pemeriksaan brokhoskopi harus dilakukan.
Manifestasi terdapatnya benda asing di saluran nafas dapat
berbeda-beda seperti yang terlihat pads
gambar 1.
KASUS
{ Dari tahun 1977 - 1982 terdapat 5 kasus anak yang dikirim
ke Bagian Paru FK USU/R.S Pirngadi/B.P.4 Medan. Dan basil
pemeriksaan didapati basil sebagai berikut :
Kasus I
Seorang anak laki-laki berumur 51/2 tahun dikirim dari
Bagian Anak R.S. Pirngadi Medan, dengan keluhan batuk-batuk
dan demam. Dari anamnesis diperoleh keterangan bahwa 1 tahun
yang lalu os. tertelan sekrup sepeda. Selama 1 tahun ini os.
mengeluh batuk dan demam berulang-ulang Berta sesak nafas
yang ringan, dan selama ini jugs terus berobat tetapi tidak pernah
sembuh.
Pemeriksaan dilanjutkan dengan membuat foto thorax,
dan terlihat suatu benda asing di bronkhus utama kiri. Juga
terdapat atelektasis pada paru kiri lapangan atas dan tengah dan
bayangan jantung tentarik ke kiri.
Pads pemeriksaan bronkhoskopi tampak adanya obstruksi
bronkhus utama kiri oleh jaringan granulasi; Dengan per-
antaraan
scoop bends asing tersebut dapat dikeluarkan dari
jaringan granulasi tersebut. Ternyata benda asing tersebut
memang sekrup sepeda.
Kasus II.
Seorang anak laki-laki berumur 2 tahun, dirawat di
Bagian Anak RS Pirngadi dengan batuk dan sesak nafas. Batuk
dan sesak timbul sesudah os. makan kacang. Pada pemeriksaan
juga terdengat wheeze. Dua hari kemudian os. dikirim ke Bagian
Paru.
Pads pemeriksaan foto thoraks terdapat gambaran emfi-
sema pada paru kanan. Pada pemeriksaan bronkhsokopi
tampak edema larings, rima glotis sembab dan tertutup oleh
sekret warna putih, demikian juga trakhea penuh dengan
sekret putih dan pads bronkhus utama kanan maupun kiri
tidak tampak adanya kacang.
Kemudian sekret dibersihkan dengan jalan diaspirasi dan
os. tampak membaik beberapa hari kemudian. Selama perawatan
os. diberikan antibiotika dan kortikosteroid.
Kasus III
Seorang anak laki-laki berumur 31/2 tahun dikonsulkan
dari Bagian THT RS. Pirngadi Medan dengan keluhan sesak
nafas. Sesak nafas ini timbul setelah kakak os. memberikan
sepotong jambu klutuk. Di Bagian THT telah dilakukan
laringoskopi tetapi tak berhasil dikeluarkan.
Pads pemeriksaan os. sesak dan terdengar wheeze pada
parunya. Terdapat gambaran emfisematous pada paru kanan
dalam pemeriksaan foto thoraks.
Pads pemeriksaan bronkhoskopi tampak mukosa trakhea
dan bronchus hiperaemis dan sedikit edematous. Terlihat
adanya benda asing pada bronkhus utama kanan, dan diambil
dengan
scoop.
Benda asing tersebut temyata sepotong jambu
klutuk, seperti keterangan yang didapat dari anamnesis. Beberapa
hari kemudian penderita berangsur balk.
Kasus
IV
Seorang anak laki-laki berumur 10 bulan, dikonsulkan
dari Bagian Anak RS. Pirngadi ke BagianParu dengan keluhan
batuk dan sesak nafas. Dari anamnesis didapat keterangan
Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992 99
bahwa 2 hari yang lalu os. diberi makan kacang oleh kakaknya,
sesudah itu lalu os. batuk dan sesak nafas.
Pads pemeriksaan terlihat os. sesak nafas dan terdengar
wheeze pada parunya.
Pemeriksaan foto thoraks terlihat bayangan emfisematous
pada paru kanan, lalu dilakukan pemeriksaan bronkhoskopi.
Tampak trakhea dan bronkhus utama kanan dan dikeluarkan
dengan scoop temyata kacang tejin.
Beberapa hari kemudian os.berangsur-angsur balk.
Kasus V
Seorang anak perempuan berumur 2 tahun dikonsulkan
dari Bagian THT RS. Pimgadi Medan ke Bagian Paru. Os.
batuk-batuk dan sesak nafas. Dari anamnesis diperoleh kete-
rangan bahwa os. menjadi batuk dan sesak nafas setelah makan
kacang dua hari yang lalu.
Pads pemeriksaan terlihat os. sesak dan batuk-batuk serta
terdengar wheeze pada parunya. Telah dilakukan laringoskopi di
Bagian THT tetapi tak berhasil. Pada pemeriksaan foto thoraks
terlihat gambaran emfisematous pads kedua paru. Kemudian
dilakukan pemeriksaan bronkhoskopi, terlihatlah larynx, trakhea
dan bronkhus hiperemis dan oedematous. Pads trakhea terlihat
benda asing dan dikeluarkan dengan scoop dan ternyata adalah
kacang.
DISKUSI
Diagnosis biasanya tidaklah sukar bila si anak segera datang
sesudah inhalasi terjadi. Wheeze adalah gejala yang menonjol,
di samping batuk dan sesak nafas, di mana corpus
alienum
menyebabkan obstruksi dan hiperinflasi paru. Haruslah selalu
waspada akan adanya benda asing pada saluran nafas anak,
bila is dengan tiba-tiba mendapat
wheezing, sedangkan
sebelumnya tidak pemah menderita asma. ,
Keterlambatan menegakkan diagnosis, biasanya disebabkan
karena dokter tidak waspada terhadap gejala-gejala tersebut,
seperti yang dialami oleh penderita I. Hal-hal yang lain adalah
bila kejadian inhalasi tidak terlihat oleh orang tua si anak atau
si
penjaga anak. Keadaan ini meliputi kira-kira 40% kasus
yang mengalami keterlambatan diagnosis dan hal ini lebih
sering dialami pada anak-anak yang berumur lebih dari 5 tahun,
karena pengawasan terhadap si anak memang sudah berkurang.
Pads kira-kira 50% dari kasus hal ini disebabkan oleh orang
tua si penderita tidak mengambil perhatian yang serius terhadap
terjadinya batuk atau tersedak sewaktu anak makan atau adanya
makanan dalam mulut si anak. Dan sisanya kira-kira 10%, karena
dokter gagal menyatakan adanya benda asing dalam saluran
nafas seperti yang dilaporkan oleh orang tua si anak, dan
menyatakannya sebagai asma atau infeksi saluran nafas saja.
Mengenai ringan atau beratnya gejala, tergantung dari
lokalisasi, besar dan jenis benda asing tersebut. Gejala-gejala ini
100 Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992
semakin berat dan akut bila disertai reaksi peradangan yang
disebabkan oleh benda asing itu dan oleh zat-zat yang
dikeluarkannya seperti misalnya dari jenis kacang-kacangan
dan dikenal sebagai vegetal atau
arachidic bronchitis seperti
yang terlihat pada kasus IV dan V.
Pads kasus I letak dari corpus alienum adalah di bronkhus
kiri, sedang pada kasus III dan IV terletak di bronkhus kanan
dan pada kasus ke V letak corpus alienum tersebut berada di
trachea. Hanya pada kasus ke II tidak dapat ditentukan adanya
benda asing tersebut.
Berdasarkan anatomi bronkhus, maka bronkhus kiri letak-
nya lebih datar dibandingkan bronkhus kanan, sehingga
kemungkinan tersangkutnya benda asing akan lebih banyak di
bronkhus kanan daripada bronkhus kiri. Demikian juga halnya
kasus-kasus yang dijumpai di sini.
Jenis kacang-kacangan ternyata merupakan kasus yang
terbanyak dari benda asing pads saluran nafas, tidak jelas mengapa
demikian tetapi kemungkinan adalah karena kegemaran
anak-anak akan kacang, sehingga kasus kecelakaannya juga
lebih banyak.
Apabila kasus-kasus terinhalasi benda asing ini cepat
didiagnosis dan dengan penanggulangan yang baik, umumnya
mempunyai prognosis yang baik. Keterlambatan diagnosis dan
penanggulangan akan mengakibatkan terjadinya kerusakan
yang irreversibel pada paru.
KESIMPULAN
Telah dibicarakan kasus-kasus benda asing pads saluran
nafas dengan penyebab yang berbeda-beda, demikian juga
manifestasi kliniknya. Pads kasus pertama penyebabnya adalah
sekrup sepeda dan pada kasus keempat dan kelima serta
mungkin juga pada kasus ke dua penyebabnya adalah kacang
dan pada kasus ketiga penyebabnya adalah jambu klutuk.
Pada kasus pertama dengan gejala batuk yang khronis
sedangkan kasus yang lainnya adalah dengan gejala yang akut.
Keterlambatan diagnosis telah terjadi pada kasus pertama,
karena si dokter gagal untuk menyatakan adanya bends asing
dalam saluran nafas.
Bila dari anamnesis diperoleh keterangan adanya kecela-
kaan benda asing pada saluran nafas, haruslah dilakukan
pemeriksaan foto thoraks dan bronkhoskopi.
Beberapa hari kernudian sipenderita berangsur-angsur baik
dan dibolehkan pulang.
KEPUSTAKAAN
1.
Crefton, Douglass. Respiratory diseases 2nd ed, Blackwell, 1975. 379, 387,
695.
2.
Hinshaw Diseases of the chest. 3rd ed Saunders - Igaku Shoin, 1969. 232 -
8.
3. Hinshaw, Murray Diseases of the Chest. 4th Ed. Holt - Saunders, 1980.607,
610-1.
4.
Netter, The Ciba Collection. Volume 7. Respiratory system, 1979. 271-3.
5.
Nelson Textbook of Pediatrics. loth Ed Saunders, 1975.
6. Williams, Phelan Respiratory illness in children. Blackwell Scient Publ,
1975.252-9.
Update II (Diagnostik)
Penatalaksanaan Malaria Berat
Masa Kini
Endang Haryanti Gani
Bagian Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan
PENDAHULUAN
Dalam Sistim Kesehatan Nasional, malaria merupakan pe-
nyakit menular yang perlu diperhatikan karena selain menye-
babkan angka kesakitan dan angka kematian yang tinggi, juga
sewaktu-waktu dapat menyebabkan wabah.
Menurut laporan terakhir WHO, akhir-akhir ini terlihat
gambaran penderita malaria yang meningkat, khususnya di ne-
gara dunia ke tiga. Setiap tahun diperkirakan 150 juta orang
menderita penyakit malaria, 95% disebabkan oleh
Plasmodium
falciparum dan Plasmodium viva.e . Infeksi Plasmodium falci-
parum sering menimbulkan komplikasi malaria berat terutama
pads penderita yang non-imun. Malaria falciparum berat me-
rupakan keadaan darurat medik yang perlu penanganan segera
karena dengan derajat parasitemia lebih dari 2% akan menim-
bulkan komplikasi organ
(2
.
Angka kematian malaria serebral di Indonesia cukup tinggi
yaitu berkisar 21,5% 30,5%
0.4>
. Namun di beberapa daerah
non-endemik, penyakit malaria sudah hampir dilupakan baik
dari segi diagnostik maupun pengobatannya. Komplikasi mala-
ria berat sering disalahtafsirkan sebagai penyakit lain sehingga
pengobatan yang tepat sering terlambat. Berbagai usaha telah
dilaksanakan dalam menanggulangi penyakit malaria ini, tetapi
masih belum berhasil baik. Beberapa kendala umum pads pena-
talaksanaan penderita malaria antara lain :
1) Kualitas pemeriksaan laboratorium serta kecepatan me-
negakkan diagnostik malaria kurang memadai.
2) Pengetahuan para dokter dan petugas kesehatan lainnya
tentang penatalaksanaan malaria perlu disegarkan kembali.
3)
Penyediaan obat-obat malaria khususnya untuk penderita
malaria berat perlu mendapat perhatian dalam hal jenis maupun
kualitasnya.
4) Kemampuan melakukan ru j ukan penderita malaria sehingga
diperoleh ketepatan diagnosis maupun kecepatan pemberian
pengobatan yang tepat.
5) Adanya laporan resistensi di berbagai negara.
MANIFESTASI KLINIK
Malaria adalah pen yakit infeksi yang disebabkan oleh Plas-
modium yang mempunyai gambaran klinis yang khas : demam
periodik, anemia dan splenomegali.
Kriteria malaria berat
e
:
Kriteria parasitologis : jika jumlah eritrosit yang mengan-
dung parasit > 5% atau jika ditemukan skizon dalam darah tepi.
Kriteria klinis :
1) Anemia berat : Hb < 6 g % atau hematokrit < 18%.
2) Malaria serebral : kesadaran menurun s/d koma, ense-
falopati, P. falciparum positif.
3) Kegagalan ginjal : Kreatinin > 3 mg %, urine < 400 ml/
24 jam.
4) Ikterik : Bilirubin > 3 mg %
5)
Hipertermi
: Suhu rektal > 39C
6) Black water fever : Hemoglobinuria
7) Malaria algid : Shock dan hipovolemi
8) Gangguan elektrolit dan cairan
9) Edema paru
10) Hipoglikemi : kakar gula darah < 40 mg %
11)
Gangguan perdarahan
Bila ditemukan gambaran khas malaria disertai oleh satu
atau lebih kriteria klinis di atas maka yang bersangkutan men-
derita malaria berat.
DIAGNOSA BANDING
to
Pada diagnosis malaria diperlukan anamnesis rinci tentang:
asal penderita, apakah dari daerah endemik malaria, riwayat be-
pergian ke daerah endemik malaria, riwayat pengobatan kuratif
Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992 101
maupun preventif terhadap malaria.
Diagnosis banding malaria serebral :
1)
Infeksi otak (meningitis, ensefalitis)
Path malaria serebral hasil pemeriksaan cairan serebrospi-
nalis normal dan hasil pemeriksaan
Plasmodium falciparum
positif.
2)
Penyakit pembuluh darah otak (stroke hemoragik/non-
hemoragik)
Pada malaria serebral, demam timbul sebelum kelainan
neurologik, sedangkan pads penderita stroke, demam timbul se-
telah kelainan neurologik dan biasanya dijumpai lateralisasi.
3)
Penyakit endokrin/metabolik (diabetes dan timid)
Koma diabetik dapat diketahui dari pemeriksaan gula dash.
Koma hipotiroid dan krisis tiroid dapat diketahui dari gejala
klinik yang lain.
Diagnosis banding malaria biliosa :
1) Hepatitis
Penderita hepatitis hampir selalu didahului oleh gejala
prodromal dan bila ikterik biasanya demamnya turun, sedangkan
pads malaria, ikterus terjadi bersama demam.
2) Kolesistitis
Biasanya disertai riwayat kolik, lekositosis dan peningkatan
dan alkalifosfatase.
3) Abses hati amubik
Hepatomegali tanpa splenomegali, tegang otot rektus ka-
rena sangat nyeri, lekositosis berat dengan PMN sangat me-
ningkat tapi monosit tidak, berkeringat sore hari, hemaglutinasi
amuba positif dan spesifik, foto sinar-X sangat membantu.
Diagnosis banding malaria dengan hipertermia :
1)
Sepsis karena bakteri
Terjadi lekositosis PMN(Poly morphonuclear) sedang pads
malaria biasanya terjadi lekopeni dan monositosis.
2)
Typhus abdominalis
3)
Virus
Misalnya pads DHF, timbul nyeri otot, kurva demam 7 hari
berbentuk pelana, nadi pelan, limfadenitis, bercak kulit, lekopenia
berat tanpa splenomegali.
PENATALAKSANAAN MALARIA BERAT DAN MA-
LARIA
SEREBRAL
m
A) Pengobatan Spesifik
Di sini diperlukan obat anti malaria yang mempunyai Jaya
membunuh parasit secara cepat dan bertahan cukup lama di darah
untuk dapat menurunkan derajat parasitemia.
1 . Kinin HCI
Diberikan dalam larutan infus 10 ml/kgbb NaCl 0.9% atau
dextrosa 5%. Dosis loading
16,7 mg basa/kgbb atau 20 mg
bentuk garam/kgbb dalam 4 jam pertama; dosis biasa : 8,3 mg
basa/kgbb atau 10 mg bentuk garam/kgbb dalam 4 jam pertama.
Diteruskan dengan 8,3 mg basa/kgbb dalam 4 jam, diulang
tiap 8 jam, sampai penderita dapat menelan tablet untuk kemu-
dian diselesaikan pengobatannya per oral sampai hari ketujuh.
Dosis maksimal : 2000 mg/24 jam, sampai 13.000 mg selama 7
102 Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992
hari untuk berat badan 60 kg atau lebih.
Kinin HC1 sebaiknya tidak diberikan intramuskuler karena
absorpsi yang, tidak menentu dan sering mengakibatkan abses,
juga sebaiknya tidak diberikan intravena bolus karena efek
toksik pads jantung dan saraf. Apabila harus diberikan IV, cara-
nya diencerkan dengan 30-50 ml. cairan isotonis dan pemberian
IV lambat selama 15-20 menit.
Dosis loading tidak diberikan kepada penderita yang dalam
48 jam sebelumnya sudah diberi kina; dalam hal ini langsung
digunakan dosis biasa. Juga pada penderita gagal hati dan gagal
ginjal.
2. Kinidin glukonat
Bila kinin HC1 tidak tersedia, kinidin cukup aman dan efektif
sebagai obat anti malaria. Dosis loading 15 mg basa/kgbb di-
larutkan dalam cairan isotonis diberikan dalam 4 jam pertama,
diteruskan dengan 7,5 mg basa/kgbb dalam 4 jam, tiap 8 jam dan
dilanjutkan per oral setelah penderita sadar.
3. Klorokuin
Diberikan dalam larutan infus 10 ml/kgbb NaCl 0.9% atau
dextrosa 5%. Dosis : 5 mg basa/kgbb dalam 4 jam, diulang setiap
1 224 jam sampai mencapai dosis total 25 mg basa/kgbb dalam
3 hari.
Pemberian klorokuin secara parenteral tidak dianjurkan
karena toksisitasnya.
4. Amodiakuin
Dosis loading
10 mg/kgbb dalam 500 ml cairan, untuk 4 jam.
Kemudian 5 mg/kgbb dalam 500 ml cairan/hari selama 3 hari
)
.
5. Meflokuin (4-kuinolin metanol)
Tidak tersedia kemasan parenteral. Diberikan per sonde
karena absorpsinya cepat. Dosis : 18-20 mg/kgbb atau 750-1250
mg. dosis tunggal/terbagi. Sebaiknya obat ini dikombinasikan
dengan sulfadoksin dan pirimetamin untuk mencegah resistensi.
Uji coba kombinasi obat ini di Thailand memberikan cure rate
96% dibandingkan dengan meflokuin sendiri 93%
(80
. Meflokuin
juga efektif untuk terapi Plasmodium falciparum yang resisten
terhadap kinin (R I/R II) dan cross resistensi antara kinin dan
meflokuin pads Plasmodium falciparum in vivo sangat rendah(
9
).
6.
Qinghaosu (artemether oil, artesunate solution)
Dipakai pads pengobatan malaria serebral di Cina dan
Thailand dengan pemberian per sonde, IM ataupun I.V. Dosis
suspensi 1,5 g diberikan dalam 2 hari. Artesunate IV/IM dosis 4
mg/kgbb hari I, dilanjutkan dengan 2 mg/kgbb pads hari ke
2 dan 3(").
7.
Halofantrin (9 fenantrenmetanol)
Dosis 3 x 250 mg/hari selama 3 hari.
B) Tindakan mengatasi komplikasi
a) Gejala serebral
Diberikan antikonvulsan :
- Diazepam IV 10 mg, intrarektal 0,5-1 mg/kgbb.
- Paraldehid 0,1 mg/kgbb.
Chlorpromazin IV 50-100 mg.
- Fenobarbital 3,5 mg/kgbb.
Pemakaian Kortikosteroid tidak dian jurkan lagi pada edema
serebral sebab deksamethason justru memperpanjang koma,
menimbulkan komplikasi pneumonia dan perdarahan gastro
intestinal
t3
"
Heparin tidak dipakai untuk mengatasi koagulasi intra-
vaskular sebab manifestasi perdarahan pada malaria berat di-
sebabkan karena trombositopeni atau penurunan faktor koagu-
lasi.
Teori tentang proses koagulasi dan adhesi dengan dinding
endothel
pembuluh darah belum terbukti.
Pada penderita malaria, viskositas darah rendah oleh karena
anemi, jadi dextran tidak diperlukan di sini. Selain itu dextran
sering menyebabkan reaksi anafilaktik.
b) Gangguan fungsi ginjal
Sebelum menentukan cara perawatan perlu diketahui ter-
lebih dahulu apakah gejala gangguan fungsi ginjal ini bersifat
prerenal atau renal (nekrosis tubuler). Gangguan
prerenal ter-
jadi karena dehidrasi > 50% sedangkan gangguan
renal karena
nekrosis tubuler akut 5-10%. Urin yang lebih pekat (BJ > 1,015)
tanpa kelainan mikroskopik menunjukkan hanya terjadi de-
hidrasi saja.
Tatalaksana bertujuan untuk mencegah iskemi dengan
mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit darah; 1000 ml
infus normal saline
untuk 8 jam, kalau produksi urin < 200 ml,
diberikan lagi cairan 1000 ml/8 jam ditambah furosemid 40-80
ml. Bila produksi urin dalam 16 jam < 200 ml maka kebutuhan
cairan dihitung dari jumlah urin + 500 ml cairan/24 jam. Selain
normal saline
dapat dipakai dextrosa 5%.
Pertahankan Kalium plasma < 7 meq./l; lakukan
monitor
EKG.
Batasi protein 20-30 g/hari dan karbohidrat 200 mg/hari.
Perhatikan : ureum, kreatinin darah, BJ & volume urin,
gejala edema paru dan ukur tekanan darah tiap 30 menit.
c) Anemia Berat
Bila Hb < 6 g % atau hematokrit < 20% atau jumlah eritrosit
< 2 juta/mm
3
diberikan tranfusi darah whole blood 10-20 ml/
kgbb atau
packed cell 5-10 ml/kgbb. Diberikan obat anti anemi
yaitu asam folat 5 mg selama 3-4 minggu.
d) Malaria biliosa
Dosis kinin diturunkan 5 mg/kgbb per infus.
Bila ikteriknya disebabkan hemolisis intravaskular, kinin
diganti dengan klorokuin dengan dosis 5 mg/kgbb.
Bila terjadi anoreksia berat diberikan glukosa 10% IV atau
makanan sonde.
Bila ada hipoprothrombinemia diberi vitamin K 10 mg IV
selama 3 hari.
Monitoring fungsi hati.
Kurangi lemak, diet kaya karbohidrat dan protein.
e) Malaria algid
Ciri khas : hipotensi, kulit dingin, dilatasi perifer, fungsi
jaringan terganggu/rusak karena kekurangan cairan.
Tatalaksana bertujuan memperbaiki gangguan hemodinamik:
Berikan 11 plasm a atau normal saline+
dextran dalam waktu
1/2 - 1 jam. Bila tidak ada perbaikan tekanan darah, diberikan
lagi 1 (normal saline
atau glukosa isotonis dengan tetes lambat,
ulangi bila dianggap perlu.
Berikan kortikosteroid 100 mg iv atau im setiap 8 jam masa
kritis, kemudian ulangi dengan dosis rendah.
Bila tensi tidak dapat dinaikkan dengan pemberian steroid
dan cairan, dapat dipakai dopamin; bila shock
sudah diatasi,
pengobatan anti malaria dapat dimulai.
f) Black water fever
Ciri khas : demam menggigil, ikterik, hemoglobinuria.
Tatalaksana :
Bed rest
total dan perawatan intensif.
Muntah dan hiccup ditolong dengan menghisap butiran es.
Bila Hb < 6 g % atau jumlah eritrosit < 2 juta/mm
3
maka
diberikan 1 1 darah segar/24 jam, kalau perlu diulang.

Hindari penggunaan kinin, bila tidak ada resistensi pakailah


klorokuin atau amodiakuin atau Fansidar.

Diet non protein (maks. 20 g/hari) dan garam dibatasi,


berikan glukosa per oral.
g) Edema paru
Ciri khas : sesak nafas dan sianosis, batuk-batuk, sputum
berbuih/berdarah, ronki basah yang difus.
Tatalaksana :
Mengurangi beban jantung kanan dengan tidur setengah
duduk, furosemid IV dan venaseksi 250 ml darah serta pemberi-
an 0
2
.
Pemberian cairan dibatasi.
h)
Gangguan keseimbangan elektrolit dan asam-basa
1. Hiperkalemia
Berikan regular insulin 10 unit bersama 50 ml dextrosa 40%;
atau 10 ml kalsium glukonat 10% IV pelan-pelan. Alternatif lain
berikan resonium A, 15 g/8 jam atau resonium enema 30 g/8 jam.
Monitor
kalium darah dan gula darah.
2. Hipokalemia
Bila serum kalium 3-3,5 mEq/1 diberikan KC1 per infus 25
mEq; Bila serum kalium 2-2,9 mEq/l diberikan KCl per infus 50
mEq.t. Pemberian KC1 jangan melebihi 100 mEq/hari dan tidak
diberikan secara IV bolus.
3. Hiponatremia
Terjadi pads malaria serebral melalui diare dan muntah atau
kemungkinan terjadi SAHAD (sindroma abnormalitas hormon
anti diuretik).
Menghitung kebutuhan Natrium: BB (kg) x 60% x defisit
Na (mEq/1)
1 liter NaCl 0.9% = 154 mEq; 1 g NaCl puyer = 17 mEq
4. Asidosis
Bila terjadi acidosis setelah gangguan fungsi ginjal,
pemasukan cairan harus dibatasi.
Menghitung kebutuhan Natrium bikarbonat : 1/3 BB (kg) x
defisit bikarbonat =.......
ml 8,4% NaHCO
3
i) Hipoglikemi
Bila kadar gula darah kurang dari 40 mg % maka diberikan
50m1 glukosa40% IV, dilanjutkan dengan glukosa 10% per infus
selama 4-6 jam.
Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992 103
KEPUSTAKAAN
j) Hiperparasitemia
Exchange tranfusion
dilakukan pads penderita dengan pa-
rasitemia > 10% dan ada gejala komplikasi berat seperti black
water fever, DIC dan memburuknya gejala neurologis. Diper-
lukan darah segar 510 liter.
RINGKASAN
Malaria berat biasanya disebabkan infeksi Plasmodium
falciparum dengan parasitemia > 5% dan atau disertai kom-
plikasi malaria serebral, anemi berat, ikterik, gagal ginjal akut,
udema paru, dan hemoglobinuria. Penatalaksanaan malaria berat
tergantung dari komplikasi yang menyertainya. Pertimbangkan
diagnosis banding.
Pengobatan anti malaria bertujuan untuk mengurangi para-
sitemia secara cepat. Pemberian kinin per infus merupakan obat
pilihan utama. Kinin tidak dipakai pads Black water fever dan
dosisnya diturunkan bila ada gagal ginjal dan kelainan fungsi
hati.
Penanganan yang segera dan tepat merupakan kunci keber-
hasilan dari pengobatan malaria berat.
1. WHO Regional Publications South East Asian series no. 9. Clinical
Management of Acute Malaria, 1990.
2. Soeharyo Hadisaputro, Ketut Ardana, Abdul Djamil. Pole Klinik dan
Pengelolaan Malaria Berat di RSU RAKanini Jepara, Jawa Tengah.
Kumpulan makalah simposium malaria, Jakarta, 2 Mei 1991.
3. Hoffman SL, Rustama D,
Punyabi
NH, et al. High-Dose Dexamethasone in
Quinine-TreatedPatients with Cerebral Malaria. J Infect Dis 1988.
4. Harianto PN, Alwi
Datau
E. Presentasi klinik komplikasi dan mortalitas
Malaria Serebral di RS Bethesda, Minahasa. Naskah Lengkap Kopapdi
VIII di Yogyakarta, 1990.
5.
Buku Pedoman Pemberantasan Malaria no. 16. Penatalaksanaan Malaria
Beret di RS dan Puskesmas. Dirjen P3M dan PLM, 1991.
6. Harianto PN. Malaria Berat, manifestasi klinik dan penatalaksanaannya.
7. Geoffrey Gill. Modem drug therapy. Malaria. Medicine Digest Asia. (May)
1986; 4(5): 28-34.
8. K. Thimasam, S. Pinichpongse, S. Malikul dkk. Double blind comparative
study of Fansimef and Larian for the curative treatment of P. falciparum
infections in Thailand. Southeast Asian J Trop Med Publ Health 1990
(Sept.); 21(3).
9. Harinasuta, Bunnog, Lassere. Southeast Asian J Trop Med Publ Health
(Des.) 1990; 21(4).
10. Warrel DA, Looareesuwam S, Warrell MJ et al. Dexamethasone proves
deleterious in Cerebral Malaria. N. Engl J. Med. 1982.
11. White NJ, Deborah W, Crawley J, dkk. Comparison of artemether and
chloroquine for severe malaria in Gambian children. Lancet 1992; 339.
It is part of the cure to wish to be cured
(Seneca)
104 Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992
Perkembangan Teknologi Radiologi
dalam Diagnosis Berbagai Penyakit
Sahat Sianipar
Bagian Radiologi
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan
ABSTRACK
Dibicarakan secara singkat mengenai perkembangan teknologi radiologi mulai dari
zaman Rontgen sampai masa canggih sekarang ini. Dibicarakan juga mengenai peranan
berbagai peralatan radiologi; dengan demikian rujukan ke bagian Radiologi akan dapat
lebih mencapai sasaran yang diinginkan, sebab makin tepat suatu rujukan makin dekat
kepada diagnose.
Catatan khusus diberikan kepada dua alat yang baru untuk pertama kali digunakan
di daerah ini.
Terakhir dibicarakan alat apa dan tindakan apa yang dapat dilakukan di Medan,
khususnya di RSVP H. ADAM MALIK.
PENDAHULUAN
Pernanan radiologi dalam membantu mendignosis berbagai
penyakit sekarang ini sudah merupakan suatukebutuhan; dengan
bantuan radiologi berbagai penyakit dapat dijelaskan dan
bahkan dapat ditunjukkan.
Tulisan ini bermaksud memberi gambaran singkat me-
ngenai perkembangan teknologi radiologi serta aplikasi klinik-
nya; dengan demikian rujuakn ke bagian radiologi mengenai
sesuatu penyakit dapat lebih mencapai sasaran.
PERKEMBANGAN TEKNOLOGI RADIOLOGI
Sinar Rontgen ditemukan oleh Wilhelm Conrad Rontgen
pads tahun 1895. Sinar tersebut dinamakan sinar X karena
waktu itu jenis sinar tersebut belum diketahui. Baru setelah
pengetahuan ,mengenai radiofisika makin maju, diketahuilah
bahwa sinar tersebut tergolong ke dalam spektrum elektro mag-
netis. Pada waktu itu pemakaian sinar X di bidang kedokteran
masih sangat sederhana baik di bidang diagnostik maupun di
bidang terapi. Pada masa itu untuk disiplin ilmu ini digunakan
istilah Rontgenologi.
Sekitar pertengahan abad ini teknologi radiologi makin
dikembangkan dan dipermodern. Berbagai teknik pemeriksaan
pasien ditemukan; sebagian dengan menggunakan bahan kon-
tras, baik yang bersifat intervensional maupun yang bukan.
Di samping itu energi lain yang bukan sinar X turut mempe-
rkuat barisan radiologi seperti nuclear energy misalnya; pada
masa ini mulai dipakai isitilah Radiologi.
Masa sekarang adalah masa canggih; di samping pemakaian
slat konvensional digunakan alat canggih seperti DSA, CT Scan
dan MRI. Sebagian alat dioperasikan dengan bantuan komputer
dan dilengkapi dengan berbagai tambahan yang lain seperti video
recorder, cinema film dan lain-lain. Di beberapa pusat radio-
logi,
mulai digunakan istilah Radiology/Medical Imaging. Di
bawah ini digambarakan secara skematis tindakan-tindakan
medis yang dilakukan di bidang radiologi.
ERA RONTGENOLOGI
Tindakan medis yang dilakukan masih sangat terbatas.
ERA RADIOLOGI
I. RADIODIAGNOSTIK
Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992 105
1.
Konvensionla (general)
2.
Special procedure

Angiography (general)
Angiocardiography

P.T.C. (Percutaneous Transhepatic Cholangiography)


E.R.C.P.
(Endoscopy and Retrograde Cholangio Pan-
creatography)
Ventriculography
-
Pneumoencephalography
Myelography
Retrograde Pyelography
Lymphography
Hysterosalphyngography
-
Bronchography
Fistulography
3. Nuclear Medicine
II. RADIOTHERAPY
Secara garis besar diberikan dengan tiga cara :
I
'Sumber sinar dengan obyek mempunyai jarak
Energy rendah
Energy sedang
Energy tinggi (Megavoltage)
2). Plesiot heraphy
Sumber sinar rapat dengan obyek. Biasanya diberikan ra-
dium atau radon dalam tubes
atau bentuk jarum.
Cara pemberian
Intracavitary
Applikasi
Implantasi
3) Internal therapy
Terapi ini menggunakan
radioactive isotope yang dilabel
dengan persenyawaan tertentu. Energi adalah sinar gamma,
partikel beta atau keduanya sekaligus.
Diberikan secara parenteral.
RADIOLOGIIMEDICALIMAGING
Pada prinsipnya era ini merupakan kelanjutan dari era radi-
ologi dengan tambahan beberapa peralatan baru disertai berbagai
tambahan canggih.
I. RADIOLOGI
II. U.S.G.
III. C.T. SCAN
IV. D.S.A.
V.
NUCLEAR MEDICINE
VI. M.R.I.
USG dan CT Scan tidak dibicarakan karena alat ini untuk
daerah ini sudah cukup dikenal dan pemakaiannyapun sudah
cukup lama. Akan dibicarakan secara singkat mengenai DSA dan
Nuclear Medicine, sedangkan MRI hanya disinggung sedikit
saja.
106
Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992
D.S.A. (DIGITAL SUBSTRACTION ANGIOGRAPHY)
Teknik arterial puncture adalah sama yaitu
percutaneous
arterial catheterization
menurut Seldinger.
Alat semuanya dijalankan secara computerized.
Dilakukan
tahapan
acquisition dan processing
dan nanti diikuti dengan
display.
Dengan cara ini dapat dipilih moment opname yang
diinginkan dan suatu region of interest
dapat digambarkan dan
diamati lebih teliti. Sebagai contoh kaliber dari arteri dapat
diukur dan angka dapat langsung dibaca.
Sistem recording dilakukan dengan cara : computer
memory, dipindahkan ke film khusus,
video recorder,
cinema film
atau conventional film chager.
APLIKASI KLINIK
1)
SELECTIVE ARTERIOGRAPHY
Arteri-arteri :
Renal, Coeliac axis, Mesenterica superior dan
inferior
dan cabang Arcus Aorta.
Arteri kecil-kecil :
Mammaria interna, Thyroid axis, Cos-
tocervical, intercostal, lumbal dan bahkan arteri yang sangat
kecil : bronchial dan adrenal.
2)
SUPER SELECTIVE CATHETERIZATION
Istilah ini digunakan untuk kateterisasi dari cabang Coeliac
axis yaitu aplenoc, hepatic dan gastroduodenal.
Tindakan ini sering dilakukan dalam rangka embolisasi.
3)
ANGIOCARDIOGRAPHY
Ini dilakukan bekerjasama dengan ahli penyakit jantung dan
ahli bedah jantung.
NUCLEAR MEDICINE IMAGING
Sebenarnya bukan hal yang baru. di berbagai negara
sudah lama digunakan. Namun untuk daerah ini benar-benar
masih barang baru.
Alat yang digunakan adalah :
ANGER (GAMMA CAMERA SCINTIGRAPHY)
Prinsip : Bahan radioaktif yang dilabel dengan persenyawaan
tertentu dimasukkan ke dalam rubuh. Pergi ke organ-organ
mengikuti aliran darah. Scan dan
gamma camera akan me-
nangkap photon yang dipancarkan oleh radionuklid yang ada
dalam tubuh. Dirubah jadi
light pulse (voltage signal) dan akhir-
nya menjadi iamge
sesuai dengan distribusi radionuklid yang
ada dalam tubuh. Dengan bantuan komputer dapat juga di-
lakukan perhitungan secara matematis dan juga penggambaran
grafik.
Umumnya digunakan isotop berikut : Technetium 99 m,
Iodine 123 dan 131, xenon 133, Gallium 67 dan 68, Indium
111 dan 113, Thallium 201.
Labelling :

DPTA (Diethylenetriamine-pentacetic acid)


-
DMSA (2, 3 - Dimercaptosuccinid acid).
APLIKASI KLINIK
1)
Cerebrovascular System
=
Normal Brain Scan
Radionuclide Angiogram
Static Images
Abnormal Brain Scan
Neoplasm
Cerebrovascular Occlusive Disease
Cerebral Death
Inflamatory Disease

Trauma
Fungsionla Brain Imaging
Cerebrospinal Fluid Imaging

Communicating Hydrocephalus
DSF leaks

Shunt Patency
2)
Thyroid and Parathyroid
Iodine Uptake Test
= Special Test of Thyroid Function

Normal Thyroid Images

Abnormal Images :
Ectopic thyroid
Thyroid Nodules
Multi nodular glands
Diffuse Toxic Goiter
Thyroiditis
Thyroid Ca
= I 131 Therapy in Thyroid Disease/Ca.
Parathyroid Imaging
3) Cardiovascular System
Myocardial Infarct Imaging
= Myocardial Perfusion Scintigraphy
Thallium Exercise Imaging
Spect Thallium Imaging
Resting Thallium Scintigraphy
=
Test of Cardiac Funtion
4)
Respiratory System
=
Pulmonary Embolism
= COPD
5)
Gastrointestinal System
Liver - Spleen Imaging
Gastrointestinal Bleeding
Hepatobiliary Imaging
Gastroesophageal Funtion
=
Esophageal Transit
=
Gastroesophageal Reflux
Gastric Emptying
6) Skeletal System
= Metastasic disease
= Primary tumor
= Trauma
Inflamatory disease
7) Genitourinary System
Radionuclide : Tc 99 m
Labelling : DTPA, DMSA
DSMA : Lambat bersih dari darah. Konsentrasi renal cortex
tinggi. Digunakan apabila diingin
high resolution image of the
renal cortex.
DTPA : Renal perfusion & Imaging
Aplikasi Klinik :
Anatomy Variant
= Intrarenal Mass
Vascular Abnormality
=
Renovascular Hypertension
Obstructive Urophathy
=
Evalution of Renal Transplant
8) Lain-lain :
Gallium 67
Tumor
Inflamatory

Immunosuppressed Patient
Osteomyelitis
= Indium labeled leucocytes
Osteomyelitis

Immunosuppressed Patient
MRI (MAGNETIC RESONANCE IMAGING)
Ini benar-benar barang baru. Publikasi pertama mengenai
M.R.I. path
human brain
untuk pertama kali diterbitkan pada
tahun 1978. Pemakaian pada penderita mulai sekitar tahun 1980.
Dengan MRI dapat dilakukan berbagai pemeriksaan dengan
ketelitian yang melebihi pemeriksaan yang lain.
APA YANG DAPATDILAKUKAN DI MEDAN
Sesuai dengan rencana pemerintah dalam meningkatkan
kesehatan Nasional telah dibangun sebuah R.S type A bertempat
di J1. Bunga Lau 17 Medan Tuntungan yaitu RSUP H. ADAM
MALIK. Sesuai dengan tipenya RS ini diperlengkapi dengan
peralatan yang cukup memenuhi syarat. Disamping untuk pe-
layanan masyarakat RS ini dimaksudkan sebagai RS pendidikan
F.K. USU Medan:
UPF Radiologi RSUP H. Adam Malik Medan dilengkapi
dengan :
1.
FLUORORADIOGRAPHY
2. SKULL UNIT
3.
UROLOGY UNIT
4. DENTAL UNIT (PANORAMIC)
5. U.S.G.
6. ANGIOCARDIOGRAPHUY UNIT (D.S.A.)
7. C.T. SCAN
8. GAMMA CAMERA
9.
X RAY PORTABLE (C ARM DAN NON C ARM)
KESIMPULAN
Telah dibicarakan secara singkat mengenai perkembangan
teknologi radiologi dan peranannya di bidang kedokteran serta
apa yang dapat dilaksanakan di Medan. Dibicarakan mengenai
peralatan yang baru serta indikasi pemakaiannya.
Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992 107
KEPUSTAKAAN 3. Najean Y. Medicine Nucleaire Ellipses. Paris 1990.
4. Sopha Medical Paris : DSA, CT. Scan and Gamma Camera Operating
Manual.
5. Schild 1111. MRI, Berlin : National Druckhaus 1991.
1. Meredith WJ, Massey JB. Fundamental Physics of Radiology, Bristol : John

6. Sutton D. A Textbook of Radiology and Imaging, 3rd ed. Churchill Living-


Wright & Sons 1972.
stone, 1980.
2.
Mettler FS, Guibertcu MJ. Essentials of Nuclear Medicine Imaging, 3rd

7. Vorthuisen AI. Ten Years of Cinical MR. Medica Mundi 1991; 35 (2) :
ed. WB. Saunders Co 1991.
55-62.
108 Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992
Asma Nokturnal
Rusli Pelly
Subbagian Pulmonologi Bagian I/mu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utaral
Rumah Sakit Umum Pusat Dr Pirngadi, Medan
PENDAHULUAN
Selama hampir tiga abad sejak asma pertama kali ditemukan,
diketahui bahwa penderita asma sering mengalami serangan
pada waktu malam hari, sehingga mengganggu tidur penderita.
Dan suatu survai diketahui bahwa hampir 90% penderita
mengalami gejala noktumal yaitu serangan pada malam hari
yang cukup berat sehingga membangunkan penderita dari
tidurnya.
Banyak ahli menganggapnya sebagai karakteristik
penyakit ini dan bahkan mempertanyakan diagnosis asma
jika gejala nokturnal ini tidak ada. Asma sesungguhnya dapat
disebut penyakit noktumal.
Penderita asma nokturnal mempunyai gejala yang khas
yaitu terbangun antara jam 3.00 dan jam 5.00 subuh dengan
batuk-batuk, wheezing dan sesak nafas dan tidak dapat tidur
kembali tanpa bantuan bronkodilator aerosol. Dalam tulisan
ini akan dibahas mengenai prevalensi, patogenesis dan patofisi-
ologi dan pengobatan asma noktumal,
EPIDEMIOLOGI
Asma noktural inipenting karena kebanyakan kematian
disebabkan serangan asma pada malam hari; mengganggu
tidur dan dapat mengganggu penampilan pada pagi harinya
(2)
.
Dari survai di Inggris didapati prevalensi asma nokturnal ber-
kisar antara 61% dan 74%; dilaporkan pula 74% penderita yang
terbangun satu kali dalam seminggu, 64% penderita terbangun
sekurang-kurangnya tiga kali dalam seminggu dan 26%
melaporkan terbangun setiap malam
o)
.
Penderita tanpa asma noktumal umumnya mempunyai
frekuensi faktor pencetus alergi dan monalergi yang lebih ren-
dah, tetapi tidak ada tanda-tanda yang dominan yang dapat mem-
bedakan penderita ini dari penderita yang terbangun tengah
malamm
>
.
PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI
A. Variasi diurnal faal paru
Variassi diurnal (variasi circadian, ritme circadian) adalah
perubahan-perubahan saluran nafas atau bronkhus sepanjang
hari sehingga menyebabkan perubahan-perubahan faal .paru
dengan keutuhan yang maksimum pads waktu sore hari pk. 16.00
dan penyempitan maksimum pads waktu subuh pk. 4.00. Path
orang sehat, foal paru yang maksimal didapati antara pk. 15.00
dan pk. 16.00; duabelas jam kemudian pads pk. 4.00 subuh faal
paru turun sampai kepada tingkat terendah (faal pare yang
minimal). Perbedaan rata-rataPeakExbiratoryFlowRate(PEFR)
yang maksimal dan yang minimal pads orang normal sekitar
8,3%. Sebaliknya pada penderita asma perbedaan PEFR yang
maksimal dan minimal adalah 550,9%
(49
. jadi pads penderita
asma ritme cirdadian ini jauh lebih besar daripada orang
normal. Montplaisir dkk mengukur FEV 1 sebelum tidur 67%
predicted sedangkan nilai pads waktu serangan noktumal
34,2% predicted
d5
j.
Asma noktumal tidak hanya ditandai oleh obstruksi bronkus
yang lebih besar dan hipoksia tetapi juga oleh pertambahan
respon otot polos bronkus dan pentbahan reaktivitas bronkus
yaitu hiperreaktivitas bronkus yang menyebabkan penunman
FEV 1 yang maksimal antara tengah malam dan jam 4.00 subuh(
6
).
B. Mekanisme Asma Nokturnal
1. Pengaktifan sekresi sel mast oleh alergen
Pengaktifan sel mast tidak saja menimbulkan reaksi asma
awal dengan obstruksi bronkus tetapi pads beberapa penderita
dapat memperbeat serangan asma 6 jam kemudian yang dikenal
sebagai reaksi asma lambat. Reaksi asma lambat ini merupakan
karakteristik asma kronis. Telah banyak bukti yang menun-
jukkan bahwa alergen memegang perangan dalam patogenesis
Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992 109
asma nokturnal
c
').
David dick memaparkan penderita dengan debu gandum,
maka timbul asma akut dan wheezing kambuh kembali malam
hari selam aseminggu berikutnya, sungguhpun siang hari faal
parunya normal). Cockroft
o
) memperlihatkan pemaparan pada
dua penderita dengan alergen, terjadi reaksi lambat pads kedua-
nya dan asma nokrutnal timbul malam harinya dan kambuh
selama beberapa hari berikutnya. Sesungguhnya para peneliti
ini mendapatkan bahwa alergen meningkatkan reaktivitas bronkus,
perubahan maksimalnya terjadi pada waktu seranganasma noktur-
nal dan peningkatan hiperreaktivitas bronkus bertahan bahan
walaupun wheezing malam hari telah hilang dan FEV 1 telah
kembali normal. Para peneliti ini berkesimpulan bahwa reaktivi-
tas bronkus non spesifik dan meningkat terhadap pemaparan satu
antigen yang mengakibatkan respon asma lambat, dapat me-
nyebabkan asma nokturnal. Penyebab asma nokturnal yang
rekuren dan persisten ini selalu sukar didapat, bahkan dengan
pertanyaan-pertanyaan yang teliti kepada pasien; oleh karena itu
penting di ingat bahwa pemaparan tunggal terhadap alergen dapat
memulai deretan peristiwa yang menjurus ke pada peningkatan
obstruksi dan hiperreaktivitas bronkus. Selanjutnya perubahan-
perubahan ini dapat bertahan untuk beberapa hari setelah pem-
aparan antigen tunngal. Selain itu derajat obstruksi akan menjadi
lebih berat bila pemaparan antigen terjadi pada malam har'
t
').
Proses lain yang mendukung reaksi alergi ini adalah
kontrol saraf autonom terhadap sekresi sel mast, penurunan
kadar katekolamin malam hari dan tingginya tonus saraf sim-
patis menyokong pelepasan mediator-mediator sel mast
m
.
2.
Pengaruh t idur
Pengaruh tidur dalam patogenesis asma noktural telah
menarik perhatian para peneliti dan hasilnya masih diperten-
tangkan. Lopes berkesimpulan bahwa pads orang normal, se-
waktu tidur terjadi kenaikanresistensi bronkus 230% dibandingkan
pads waktu bangun(" ). Perubahan resistensi ini mungkin ber-
hubungan dengan kenaikan tonus otot bronkus bagian alas
sehingga menyebabkan bertambahnya kerja pernafasan selama
tidur. Jika hal ini terjadi pads penderita asma maka obstruksi
bronkus akan menjadi lebih besar lagi.
Clark dan Hetzel meneliti variasi diurnal faal paru pads
pekerja-pekerja dengan asma dan mendapatkan vanasi diurnal
peak flow rate ada hubungannya dengan tidur tapi tidak dengan
waktunya
t
'
Z
.
Bila pekerja-pekerja mengubah bekerja pada
malam hari, maka serangan asma terjadi pads waktu tidur
siang hari. Peneliti-peneliti lain mendapatkan hasil yang ber-
tentangan mengenai pengaruh tidur dan pengaruh variasi
diurnal atau riime circadian pada malam hari; oleh karena itu
ada yang berkesimpulan bahwa pengaruh ritme circadian pads
jam 3.00 subuh pada peak expiratory flow rate ialah karena
selalu dalam face yang sama dengan waktu tidur, sedangkan
tidur tidak menyebabkan asma nokturnal. Kesimpulannya
ialah bahwa tidur memegang peranan dalam penyempitan
saluran nafas, tetapi bukanlah yang terpenting
(
" ).
3.
Pengaruh pembersih mukosilier
Penyumbatan lendir membantu obstruksi bronkus pads
penderita asma. Begitu juga retensi sekresi bronkus pads
malam hari juga membantu gejala-gejala nokturnal asma
yang tidak berat. Dan penelitian diketahui bahwa berkurang-
nya pembersih mukosilier ini terutama pads malam had
14
)
Retensi sekresi ini tampaknya dihubungkan dengan tidur dan
bukan dengan variasi diurnal. Perlu penelitian lebih lanjut untuk
menentkkan apakah fenomena ini lebih berat pada penderita
asma dan apakah membantu untuk
wheezing
malam hari.
4. Posisi berbaring
Penderita asma yang berbaring dalam posisi telentang
akan mengalami gangguan faal paru yang progresif dan PEFR
turun 13% selama 2 jam dan 24% selama 4 jam berbaring.
Gangguan ini reversibel dan akan kembali normal setelah 1,5
jam. jadi dapat disimpulkan bahwa berbaring dalam posisi te-
lentang untuk jangka waktu yang lama menyebabkan serangan
asma nokturnal, walaupun mekanismenya belum jelas"
5. Refluks gastro-oesophageal
Fenomena ini terutama terjadi pada waktu banuan pada
orang-orang non asma. Pembersihnya cepat pads siang hati,
tetapi pads penderita oesophagitis selalu terjadi rfluks pada
malam hari karena aktivitas otot oesophagus berkurang dan
pembersihan asam diperlambat. Refluks nokturenal dapat
menimbulkan serangan asma dan pengobatan rfluks pada
penderita asma dapat memperbaiki pernafasan
(
'
S
)
6. Pendingin udara (air cooling)
Perubahan temperatur dan kandungan uap air karena per-
tambahan ventilasi dapat menyebabkan serangan asma selama
melakukan exercise; hasil penelitian menunjukkan bahwa pend-
ingin udara juga dapat menyebabkan obstruksi bronkus pada
malam hari(
6
> .
7.
Ritme circadin hormon dan Tonus vagus
Dan penelitian diketahui bahwa asma noktural ada hu-
bungannya dengan rtme circadian hormon dalam darah dan
tonus parasimpatis".
Mulanya dipikirkan bahwa kortisol
dalam darah memegang peranan dalam menyebabkan serangan
asma noktural oleh karena vanasi diurnal kadarnya yang
terendah didapati antara pk 24.00 dan pk. 1.00, tetapi ternyata
peranan kortisol darah tidaklahbesar
t16
). Penelitian selanjutnya
menunjukkan bahwa ada hubungan antara perubahan kadar
katekolamin pads malam hari bersamaan dengan penurunan
PEFR noktural dan penurunan yang terendah didapati pads
pk. 4.00
m
). Selain itu ada pula hubungan terbalik antara
keadaan histamin dengan PEFR yaitu bahwa keadaan histamin
naik pads pk. 4.00 bersamaan dengan penurunan PEFR
oo
, dapat
disimpulkan bahwa berkurangnya kadar epinephrin plasma
pads waktu subuh menyebabkan terjadinya nokturnal wheezing.
Epinephrin adalah suatu beta adrenergic agonist yang kuat
dan dapat membuat relaksasi otot polos bronkhus; Selain itu
110
Cermin Dunia Kedok t eran, Edisi Khusus No. 80, 1992
epinephrin dapat pula mencegah pelepasan histamin dan me-
diator-mediator lain dari sel mast dan selanjutnya dapat me-
ngurangi bronkokonstriksi. jadi perubahan circadian epinephrin
dalam darah membangkitkan asma malam hari dengan
mengurangi bronkodilatasi dan membantu pelepasan mediator
bronkogenik dari sel mast.
Ada juga bukti bahwa tonus cholonergik juga meningkat
pada malam hari dan menyebabkan asma nokturnal
1t8
. Pe-
ningkatan tonus cholinergik itu mungkin juga efek lanjut dari
penurunan kadar adrenalin yang menyebabkan berkurangnya
inhibisi adrenergik
<tgl
. Pengurangan epinephrin pads malam
hari
mengakibatkan peninggian kadar asetilkholin yang
mengakibatkan bertambahnya respon pads penderita asma
yang hiperresponif terhadap neurotransmitter ini(
t9
).
Kambuhnya serangan asma pads malam hari adalah
merupakan sifat dari asma dan bukan keistimewaan akibat
ritme circadian kadar epinephrin dan tonus vagus. Faktor-faktor
lain seperti pendinginan saluran nafas, tidur, berkurangnya
pembersihan mukus, refluks gastro-oesophageal dan sebagai-
nya juga turut membantu wheezing nokturnal, tetapi bukanlah
faktor yang penting. Jadi asma nokturnal itu adalah akibat dari
interaksi yang kompleks dari beberapa faktor endogen dan
faktor lingkungan
t19l
.
KESIMPULAN
Untuk pengobatan asma nokturnal :
1.
Mencegah faktor pencetus, seperti pemaparan antigen, gas-
tro-oesophageal refluks, dan sebagainya.
2. Mengurangi hiperreaktivitas bronkus dengan kortikosteroid
inhalasi.
3.Mencegah bronkokonstriksi dengan
slow-release theophyline,
slow-release beta agonist
atau obat antikholonegik inhalasi(
w
).
Ada anggapan bahwa
oral slow release theophyline lebih efektif
daripada
oral slow release beta agonist
(21
). Hal ini mungkin
karena teotilin mempunyai kerja tambahan selain dari bronko-
dilator. Dari penelitian yang belakangan ini diketahui bahwa
feofilin dapat mencegah terjadinya udem yang merupakan hal
yang penting tetapi selalu diabaikan sebagai mekanisme
dacar
asma nokturnal(
22
).
KEPUSTAKAAN
2.
Cochrane GM. Asthma death at night. In : Barnes PJ, Levy J (ed) Nocturnal
asthma. London : The Royalk Society of Medicine 1984; 11 : 15.
3.
Warwick MT. Epidemiologi of noctural asthma. Am J Med 1988; 85.
4. Hetzel MR, Cark TJH. Comparison of nonnal adn asthmatic circadian
rhythm in peal expiratory flow rate. Thorax 1980; 35 : 732-8.
5. Montplaisir J, Walsh J, Mallo JL. Nocturnal asthma feature of attacks,
sleep and breathing pattern. Am Rev Respir Dis 1982; 125 : 18-22.
6. Chen WY, Chai H. Airway cooling and nocturnal asthma. Chext 1982; 81
: 675-80.
7. Davies RJ, Green M. Schofield NM. Recurrent nocturnal asthma after
exposure to grain dust. Am Respir Dis 1976; 114: 1011-9.
8.
Cockrcrof DW, Hoeppner VH, Werner GD. Recurrence nocturnal asthma
afterbronchoprovocation
with westemred cedar sand : association with
acute increase in nonallergy bronchial responsiveness. Clin Allerg 1984;
414 : 61-8.
9. Cervais P, Reinberg A, Cervais L et al. Twebty-four hour rhythm in the
bronchial hyperreactivity to house dust in asthmatic. J. Allerg Clin Immu-
nol 1977; 59 : 207-213.
10.
Barnes P, Fitzgerald G, Brown M, Dollergy L. Nocturnal asthma and
changes in circulating epinephrine, histamin and cortisol. N Engl J Med
1980; 303 : 263-7.
11. Lopes JM, Tabochnik E, Muller NL, Levison H, Bryan AD : Total airway
resistance and respiratory muscle activity during sleep. J Appl Physiol
1983; 54 : 773-7.
12. Clark THJ, Hetzel MR. Diurnal variation of asthma. Br J Dis Chest 1977;
71:87-92.
13. Hetzej MR, Clark TJH. Does sleep cause nocturnal asthma ? Thorax 1979;
34 : 749-54.
14. Bateman JRM, Pavia D. Clark SW. The retention of lung secretion during
the night in nonnal subject. Uni Sci Mol Med 1978; 55 : 523-527.
15.
Popping H. The role of posture, mucociliary clearance and gastro-
oesophageal reflux in nocturnal asthma. Lung Respir 1988; IV (2) : 9-19.
16.
Soutar CA, Costeew J, Ijaduala 0 et al. Nocturnal and morning asthma.
Relation to plasma corticosteriod and response to cortisol infusion. Thorax
1975; 30 - 436-440.
17.
Barnes PJ, Firzgerald GA, Dollergy CT. Circadian variation in adrenergic
responses in asthmatic subjects. Clin Sci 1982; 62 : 349-54.
18.
Barnes PJ. Neural control of human airways in healthy and disease. Am
RecRespir Dis 1986; 134: 1284-314.
19.
Busse WW. Pathogenesis and pathophysiology of nocturnal asthma. Am
J Med 1988; 85.
20
Barnes R. Circadin rhythm and airways function. Lung Resp 1988; 5 : 2.
21. Barnes PJ, Greening AP, Neville L, Timmers J, Poole G W. Single dose slow
release aminophylline at night prevents nocturnal asthma. Lancet
1982; 1 : 299-30.
22.
Prauwels R, van Reuterghem D, van der Straeten M, Johannesson N,
Persson OGA. The effect of theophylline and euproflyleneon allergen
induced bronchoconstriction. J. Allerg Clin Immunol 1985; 76 : 583-590.
23.
de VriesK, Gant 11, booy Noord H, One NGM. Changes during 24 hours in
the lung finction and histamin hiperreactivity of the bronchial tree in
asthmatic and bronchitis patients. Int Arch allerg Appl Immunol : 20 :
93-101 : 1962.
1. Mc Faden Er, Asthma : A Nocturnal disease. Am. J. Med. 1988; 85.
Cermin Dunia Kedok t eran, Edisi Khusus No. 80,
1992 111
Metabolit Oksigen Radikal Bebas
dan Kerusakan Jaringan
Pangaribuan Siregar
Bagian Biokimia Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan
ABSTRAK
Oksigen dibutuhkan untuk kehidupan sel, akan tetapi ironisnya oksigen dapat pula
menyebabkan kematian sel. Bila jaringan yang mengalami hipoksia diberi perfusi
oksigen, dapat menyebabkan terjadinya kerusakan yang lebih berat. Hal ini disebabkan
oleh terbentuknya superoksida (OZ) suatu oksigen radikal bebas yang sangat sitotoksik.
Sumber-sumber yang memungkinkan terbentuknya superoksida ini, mekanisme
bagaimana superoksida mengadakan perusakan sel Berta beberapa senyawa kimia yang
dapat digunakan sebagai scavenger
superoksida akan dibicarakan dalam tulisan ini.
PENDAHULUAN
Oksigen dibutuhkan oleh tubuh akan tetapi oksigen juga
dapat menyebabkan kerusakan jaringan tubuh. Bila oksigen (0 2
)
mengalami reduksi univalen maka akan terbentuk superoksida
yaitu ion oksigen radikal (OZ) yang sangat sitotoksik (Friedo-
vich, 1975). Superoksida terbentuk apabila Flavin tereduksi
(reduced Flavin)
mengalami reoksidasi univalen oleh molekul
0
2
. Flavin dalam bentuk FAD (Flavin Adenin Dinukleotida) dan
FMN (Flavin Mono Nukleotida) terutama dijumpai sebagai
koenzim untuk enzim-enzim erobik dehidrogenase seperti Xan-
thine dehidrogenase (oksidase).
Dalam keadaan jaringan mengalami kekurangan oksigen
(hipoksia), maka jumlah Flavin tereduksi akan meningkat. Bila
jaringan seperti ini mendapat suplai oksigen yang cukup banyak
secara tiba-tiba maka suiperoksida dapat terbentuk dalam jumlah
yang cukup banyak untuk menyebabkan terjadinya kerusakan
pada jaringan dengan akibat-akibatnya.
METABOLISME OKSIGEN(0
2
)
Oksigen di dalam tubuh diperlukan :
112
Cermin Dunia Kedok t eran, Edisi Khusus
No. 80, 1992
Pada setiap penambahan elektron kepada molekul 0
2
akan
dihasilkan senyawa yang sangat reaktif di dalam keberadaan I-i .
Penambahan satu elektron pertama kepada molekul 0
2
akan
menyebabkan terbentuknya anion radikal superoksida (O2).
Elektron yang kedua akan menghasilkan H
2
O
2
dan elektron yang
ketiga menghasilkan hidroksil radikal (OH*).
Biasanya sitokhrom oksidase akan menghalangi senyawa
radikal ini dengan mengadakan interaksi dengan molekul-molekul
di sekitarnya atau akan dieliminir oleh enzim-enzim pembersih
(scavenger enzymes) seperti superoksida dismutase (SOD), kata-
lase atau glutation peroksidase.
Dalam keadaan normal oksigen akan bertindak sebagai
akseptor terakhir dari elektron pada rantai pemafasan sel (Re-
spiratory Chain) dan bersama-sama dengan 2 H* akan mem-
bentuk 1 molekul H
2
O. Respiratory Chain (RC) adalah suatu
rangkaian (sequence) reaksi enzimatik yang bertujuan untuk
mengeliminasi elektron yang ditarik dari suatu zat (substrat).
Enzim-enzim yang bertanggungjawab atas terselenggaranya
RC adalah enzim dari kelompok dehidrogenase anerobik, de-
hidrogenase erobik (yang FAD dependent)
dan sitokhrom
(Gambar 1).
Superoxide dismutase dijumpai pads hampir semua jaringan dan
terdapat pada kompartemen-kompartemen sel yang berbeda-
beda seperti sitosol dan mitokondria. Enzim ini mempunyai
fungsi seolah-olah mencegah terjadinya pengaruh merusak dari
superoksida yang terbentuk.
HIPOKSIA
Apabila terjadi iskemi maka jaringan akan mengalami
hipoksi. Keadaan ini dapat menyebabkan terjadinya perubahan
komposisi komponen-komponen yang normal dari sel. Banyak
senyawa akan mengalami degradasi, beberapa jenis enzim ter-
ganggu fungsinya dan banyak zat berada dalam bentuk tereduksi.
Flavin yang dalam keadaan cukup oksigen dapat meng-
adakan autooksidasi, pads keadaan hipoksia akan tetap berada
dalam keadaan tereduksi (FpH
2
).
Akibat terjadinya hipoksi maka xantin oksidase
yangFlavin
dependent
banyak terdapat dalam bentuk yang tereduksi.
Xantjn oksidase berfungsi untuk mengkatalisasi reaksi
pemecahan xantin menjadi asam urat. Hipoxantin dan xantin
sebagai basil degradasi ATP akan menumpuk.
ATP
> ADP > AMP > hipoxantin > xantin
Asam lemak akan menumpuk sebagai akibat pemecahan
fosfolipida. Kesemua zat ini adalah substrat terhadap oksigen.
HIPOKSI DAN REPERFUSI OKSIGEN
Hears dkk (1973) menunjukkan bahwa perfusi terhadap
jantung yang iskemi dengan cairan anoksik tidak menimbulan
kerusakan miokard ataupun gangguan enzimatik selain daripada
kerusakan yang ditimbulkan oleh iskemi itu sendiri; akan tetapi
sebaliknya, bila miokard yang iskemi itu diperfusi dengan oksi-
gen maka segera akan terjadi pelepasan enzim yang banyak dan
terjadi kerusakan ultrastruktur miokard. Floyd (1984) juga mem-
buktikan bahwa reaksi kimia dan kerusakan jaringan otak tidak
akan terjadi hanya oleh iskemi (hipoksi), tetapi bila diberi reper-
fusi oksigen akan terjadi kerusakan.
Reperfusi terhadap miokard yang iskemik juga disertai
dengan gangguan fungsional seperti pengembalian yang tidak
sempurna aliran darah ke daerah yang terkena infark (Kloner
dkk, 1974), perpan jangan waktu an tarakontraksi miokard(Braun-
wald dkk, 1982) arrythmia (Manning, 1984) atau gangguan
fungsi endotel seperti menurunnya permeabilitas pada arteri-
arteri koroner (Ku dkk, 1982).
Penggunaan bahan farmakologik seperti SOD (Ambrosio
dkk, 1984), SOD bersama catalase (Jolly dkk, 1984), fluosol
(Forman dkk, 1985) atau adenosine (Olafson dkk, 1987) pads
saat reperfusi ternyata dapat mengurangi besamya ukuran infark
dan ini menunjukkan bahwa kerusakan-kerusakan di atas (selain
yang disebabkan oleh iskemi itu sendiri) dapat dipastikan terjadi
oleh karena reperfusi oksigen. Jika dalam keadaan hipoksi, di-
berikan reperfusi oksigen maka secara tiba-tiba banyak sekali
Cermin Dunia Kedok t eran, Edisi Khusus No. 80,
1992 113
Menurut Floyd jaringan otak sangat rentah terhadap keru-
sakan oleh oksigen radikal karena jaringan otak sangat kaya akan
asam lemak tidak jenuh
(peroxidizable fatty acid)
dan sangat
sedikit mengandung enzim pelindung (protective enzyme).
?eroksidasi asam lemak merupakan suatu reaksi berantai
yang akan menghasilkan radikal bebas (alkyl radical) R* dan
ROO* secara terus-menerus yang akan menyebabkan terjadinya
peroksidasi selanjutnya. Proses tersebut dapat digambarkan
sebagai berikut.
RH + OH*
> R* + H
2
O
R* + 0
2
> ROO*
ROO* + RH > ROOH + R*
Reaksi di atas akan terus berlangsung secara siklus berantai
dan baru dapat berakhir apabila dua bush gugus radikal saling
berinteraksi membentuk satu ikatan non radikal seperti
R*+R* --> RR
ROO* + ROO*
> ROOR + 0
2
Oksigen radikal bebas akan menyerang protein jaringan
dengan berbagai cam. Salah satu di antaranya adalah dengan
mengadakan interaksi dengan gugus tiol (SH) yakni suatu
gugus yang sangat rentan terhadap gugusan radikal bebas yang
menyebabkan terganggunya konformasi protein tersebut.
Bila yang terserang adalah enzim maka enzim tersebut akan
kehilangan aktivitas katalitiknya, sedangkan bila yang terserang
adalah protein yang menyusun struktur membran sel maka akti-
vitas membran sel akan mengalami gangguan seperti rusaknya
reseptor-reseptor pada membran dan berubahnya sifat permea-
bilitas membran (Gambar 3).
oksigen yang mengalami reduksi univalen. Hal ini akan menye-
babkan terbentuknya superoksida dan metabolit oksigen radikal
lainnya. Xantin oksidase yang tereduksi akan mengalami oksidasi
univalen dan akan terbentuk superoksida (OZ).
Oleh karena pada saat yang bersamaan terdapat juga xantin
yang cukup banyak maka oksidasi univalen terhadap xantin
oksidase juga akan terus berlangsung dan produksi superoksida
terus meningkat (Gambar 2).
Gambar 2. Pembentukan Superoksida
Tubuh tidak dapat mengeliminasi metabolit oksigen radikal
tersebut secara sempurna dan terjadilah kerusakan-kerusakan
jaringan yang disebabkan oleh metabolit oksigen radikal yang
berlebihan itu.
MEKANISME TERJADINYA KERUSAKAN OLEH
RADIKAL BEBAS
Beberapa teori mengenai mekanisme kerusakan oleh oksi-
gen radikal telah dikemukakan oleh pars ahli.
Oksigen radikal bebas akan menyebabkan terjadinya
degradasi komponen jaringan termasuk kolagen, proteoglycan
dan glycosaminoglycan. Sebagai akibatnya hubungan interselu-
ler akan terganggu dan kelompok sel tidak dapat lagi berfungsi
dalam suatu kesatuan kerjasama (konsert). Rusaknya jaringan
kolagen akan memutuskan hubungan respon kontraksi sel miokard
yang mengakibatkan makin beratnya disfungsi jantung. Selain
itu kolagenase yang lepas dari lekosit sebagai akibat aktivasi oleh
oksigen radikal akan memperburuk keadaan.
Kontos (1986) menyebutkan bahwa sekali oksigen radikal
terbentuk maka mereka akan bereaksi dengan asam lemak tidak
jenuh dari membran sel, protein, enzim dan DNA. Kerusakan sel
saraf di otak terjadi sebagai akibat terganggunya aktivitas listrik.
Kontos juga menyatakan dugaannya bahwa kerusakan endotel
pembuluh darah dan otot polosnya disebabkan oleh dilatasi dari
arteriol otak dan rusaknya
blood-brain barrier.
114
Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992
USAHAPENCEGAHAN
Zat yang dapat bertindak sebagai pembersih (scavenger)
oksigen radikal bebas, telah terbukti dapat mengurangi keru-
sakan yang diakibatkan oleh oksigen radikal. Dismutase su-
peroksida temyata telah menunjukkan basil yang memuaskan
dalam mengurangi besarnya kerusakan jaringan akibat oksigen
radikal bebas. Vitamin E, suatu antioksidan juga mempunyai
kemampuan untuk bertindak sebagai scavenger, namun untuk
dapat mencegah kerusakan jaringan, sebelum terjadinya iskemi
diperlukan kadar yang harus cukup tinggi di dalam darah dan di
tempat terjadinya kerusakan.
Zat-zat yang mengandung gugusan tiol (Sulfhidril = SH)
seperti yang dijumpai pads glutation peroksidase, mempunyai
kemampuan untuk memperkecil kerusakan yang disebabkan
oleh oksigen radikal bebas. GugusSH inidengan segera bereaksi
dengan oksigen radikal bebas sehingga mengurangi kesempatan-
nya untuk merusak komponen sel lainnya yang telah disebutkan
di atas.
02+SH > O
2
+S*
Gugus SH ini juga dapat mengganggu peroksidasi terhadap
asam lemak sehingga kerusakan jaringan dapat dikurangi.
R*+ SH
> RH+S*
Senyawa lain yang mengandung SH yang perlu mendapat
perhatian akan kegunaannya sebagai scavenger oksigen radikal
dan radikal bebas lainnya, di antaranya adalah N-2-mercaptopro
pionylglycine, N-acetylcysteine dan captopril.
Pendekatan lain adalah upaya mengurangi penghasilan
oksigen radikal bebas, seperti penggunaan allopurinol yang da-
pat menghambat kerja xantin oksidase. Penggunaan allopurinol
yang juga memerlukan kadar yang cukup tinggi, akan lebih
berguna bila ditujukan kepada jaringan-jaringan yang memang
telah tinggi kadar xantin oksidasenya seperti otot jantung
(Ginsberg).
PENUTUP
Telah dibicarakan metabolisme oksigen serta pembentukan
oksigen radikal bebas serta akibat-akibat yang dapat ditimbulkan
oleh oksigen radikal bebas.
Juga telah disinggung beberapa hal yang mungkin dapat
mengurangi kerusakan jaringan yang diakibatkan oleh oksigen
radikal bebas.
Diharapkan tulisan ini dapat memperluas cakrawala ilmu
kits semua, terutama para praktisi yang selalu dhadapkan ke-
pada keadaan penderita yang memerlukan terapi reperfusi
dengan oksigen.
KEPUSTAKAAN
1. Albertus B et al. Molecular Biology of the Cell. New York: Garland Publ Inc.
1983.
2. Harper HA et al. Review of Physiological Chemistry. Los Altos California:
Lange Medical Publ. 1985.
3. Lehninger LA. Biochemistry. New York: W.$. Saunders, 1985.
4. Murray RK, Granner DK, Mayes PA, Rodwell VW. Harpers Biochemistry;
22nd ed. Norwalk: Connecticut: Appleton & Lange, 1990.
5. Mullane KM. Oxygen-derived Free Radicals and Reperfusion injury of the
Heart. In: New Frontiers in
Cardiovascular Therapy. Sonnenblick EH,
Laragh JH, Lesch M (eds.), 1989.
6. Zylke J. (Contr Ed). Studying Oxygen's life-and-death roles if taken or
reintroduced into tissue. JAMA SEA 1988; 4(7): 9-11.
Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992 115
Update III (Penyakit Kulit dan Kelamin)
Diagnosis dan Penatalaksanaan
Dermatofitosis
Mansur A Nasution, Kamaliah Muis, Juwono, Tap! S. Niarl
Bagian/UPF lima Penyakit Kulit dan Kelamin, Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara/Rumah Sakit Dr. Pirngadi, Medan
PENDAHULUAN
Penyakit infeksi jamur di kulit mempunyai prevalensi tinggi
di Indonesia, khususnya Medan, oleh karena negara. kita ber-
iklim tropis dan kelembabannya tinggi. Dermatofitosis adalah
infeksi jamur superfisial yang disebabkan genus dermatofita,
yang dapat mengenai kulit, rambut dan kuku. Manifestasi klinis
bervariasi dapat menyerupai penyakit kulit lain sehingga
selalu menimbulkan diagnosis yang keliru dan kegagalan dalam
penataklaksanaannya. Diagnosis dapat ditegakkan secara klinis
dan identifikasi laboratorik.
Pengobatan dapat dilakukan secara topikal dan sistemik.
Pada masa kini banyak pilihan obat untuk mengatasi dermatofi-
tosis, baik dari golongan antifungal konvensional atau antifungal
terbaru. Pengobatan yang efektif ada kaitannya dengan daya
tahan seseorang, faktor lingkungan dan agen penyebab.
DIAGNOSIS
Untuk menegakkan diagnosis dermatofitosis dapat dilakukan
dari manifestasi klinis, lampu wood dan identifikasi laboratorik.
GAMBARAN KLINIS
Berdasarkan lokalisasi, dermatofitosis terdiri dari :
I) Tinea Kapitis
Merupakan infeksi jamur pada kulit kepala dan rambut.
Penderita terbanyak anak-anak usia sekolah dan biasanya
menghilang setelah pubertas. Penularan dapat melalui hewan
peliharaan dan dapat dari manusia ke manusia.
Ada tiga bentuk manifestasi klinis :
a) Bentuk Gray patch : lesi inflamasi ringan multipel dan
bersisik, rambut mudah putus, warna rambut menjadi abu-abu,
mudah dicabut dari akarnya, kemudian terjadi alopesia.
b) Bentuk Black Dot ringworm : tampak alopesia dengan
titik-titik hitam di tengahnya, yang terdiri dari batang rambut
116 Cermin Dunia Kedok t eran, Edisi Khusus No.
80, 1992
yang patah tepat pads permukaan kulit atau di bawah permukaan
kulit kepala.
c) Kerion Selsi : dimulai dengan ruam eritematosa, skuama,
papel, disertai rambut yang putus, dapat disertai peradangan
akutberupa indurasi yang mengeluarkan pus, keadaan ini disebut
sebagai kerion selsi. Pada penyembuhan akan menimbulkan
jaringan parut yang menetap.
Diagnosis Banding
Alopesia areata, dermatitis seboroik, pioderma, psoriasis
dan trichotilomania.
2) Tinea Korporis
Suatu infeksi jamur pads kulit halus tanpa rambut (glabrous
skin)
di daerah leher, wajah, lengan dan bokong. Sering dijumpai
pads orang dewasa.
Manifestasi klinis berupa lesi anuler dengan tepi polisiklis.
Pada daerah tepi tampak vesikel-vesikel kecil dengan skuama
halus dan aktif. Di sini dijumpai daerah penyembuhan sentral.
Rasa gatal bertambah pads waktu berkeringat.
Bentuk lain tinea korporis ialah tinea imbrikata. Lesi berupa
plakat, polisiklis atau bulat dengan susunan skuama membentuk
lingkaran konsentris tersusun seperti atap genting dan meng-
hadap ke sentral.
Diagnosis Banding
Pitiriasis rosea, psoriasis vulgaris, pemfigus foliaseus dan
eksema numuler.
3) Tinea Kruris
Lesi dijumpai pads daerah Bela paha, anogenital dan pubis.
Ruam letaknya simetris pada lipatan paha kin dan kanan, berupa
makula atau plak yang eritema, pinggir aktif, bentuk polisiklis
dengan penyembuhan sentral. Ruam dapat meluas sampai ke
skrotum, pubis, bokong dan paha.
Diagnosis Banding
Kandidiasis, eritrasma dan dermatitis seboroika
4) Tinea Manus et Pedis
Predileksi jamur ini pada kulit telapak tangan dan kaki,
punggung tangan dan kaki, jari tangan dan kaki serta daerah
interdigitalis. Sering mengenai orang dewasa yang setiap hari
memakai sepatu tertutup, orang yang bekerja di tempat basah
seperti ibu rumah tangga, petani.
Secara klinis dikenal tiga bentuk :
a)
Bentuk intertriginosa
Tampak lesi bentuk maserasi, deskuamasi dan erosi, ber-
wama putih dan basah di sela-sela jari.
Bila penyakit kronik terlihat fisura (retak-retak) yang
nyeri bila tersentuh atau kena air sabun.
b) Bentuk vesikuler akut
Dijumpai vesikel dan bula di bawah kulit terutama pada
telapak kaki bagian tengah kemudian meluas. Sering disertai
infeksi sekunder, keluhan penderita di sini berupa perasaan gatal
dan sakit.
c) Bentuk hiperkeratotik
Tampak pengelupasan kulit terus-menerus disertai eritama
dan hiperkeratosis. Bila hiperkeratosis hebat dapat timbul
fisura yang dalam. Daerah yang paling sering dikenai adalah
telapak tangan dan kaki.
Diagnosis Banding
Dermatitis kontak, pustulosis palmo plantaris, pioderma dan
psoriasis pustulosa.
5)
Tinea Barbae
Predileksi pads daerah jenggot, kumis dan jambang. Sering
mengenai orang dewasa yang bekerja sebagai pemerah susu
ataupun petani. Ruam berupa papel eritema, skuama dan dapat
melebar ke pinggir dengan bentuk polisiklis. Dapat berlanjut
menjadi folikulitis; jenggot, kumis atau jambang akan putus-
putus.
Diagnosis Banding
Sikosis barbae, mikosis dalam dankarbunkel.
6) Tinea Unguium (Onikomikosis)
Infeksi jamur dermatofita pada kuku. Sering mengenai orang
dewasa, seining dengan tinea manus dan pedis. Kuku terlihat
menjadi rusak dan rapuh serta warnanya menjadi suram. Per-
mukaan menebal, di bawah kuku tampak detritus yang
mengandung elemen-elemen jamur. Bila infeksi ringan terlihat
bercak-bercak putih dan kasar di permukaan kuku.
Diagnosis Banding
Onikodistrofi oleh kandidiasis, onikodistrofi oleh trauma
daft psoriasis kuku.
LAMPU WOOD
Dinilai fluoresensi warna yang dipantulkan oleh ruam.
IDENTIFIKASI LABORATORIK
1) Pemeriksaan Langsung
Sediaan dari bahan kerokan (kulit, rambut dan kuku) dengan
larutan KOH 10-30% atau pewamaan Gram. Denganpemeriksaan
mikroskopis akan terlihat elemen jamur dalam bentuk hipa
panjang, spora dan artrospora.
2) Pembiakan
Tujuan pemeriksaan cara ini untuk mengetahui spesies
jamur penyebab, dilakukan bila perlu.
Bahan sediaan kerokan ditanam dalam agar Sabouroud
dekstrose; untuk mencegah pertumbuhan bakteri dapat ditam-
bahkan antibiotika (misalnya khloramfenikol) ke dalam media
tersebut. Perbenihan dieramkan pads suhu 24 - 30C. Pembacaan
dilakukan dalam waktu 1 - 3 minggu. Koloni yang tumbuh
diperhatikan mengenai wama, bentuk, permukaan dan ada atau
tidaknya hipa.
3)
Histpopatologik
Untuk menegakkan diagnosis dermatofitosis, tidakbermakna.
4) Serologik
Pemeriksaan cara ini tidak bermanfaat untuk dermatofitosis.
PENATALAKSANAAN
Pengobatan terhadap dermatofitosis dapat dilakukan
dengan cara topikal dan sistemik. Keberhasilan suatu peng-
obatan tergantung dari faktor predisposisi, faktor penderita dan
faktor obat; di sini lain perlu diketahui penyakit infeksi jamur
sering kambuh dan mengalami infeksi.
Pada masa kini terdapat berbagai macam obat untuk
pengobatan dermatofitosis, baik dari golongan konvensional dan
antifungal terbaru. Untuk memilih obat yang tepat perlu di-
pertimbangkan mengenai efektifitas obat, cara kerja, spektrum,
efek samping dan segi kosmetik.
Bila infeksi ringan cukup diberikan obat topikal kecuali
pads infeksi kronis dan luas, di rambut dan kuku diperlukan
obat sistemik.
Obat Topikal
Suatu obat topikal harus memenuhi kriteria :
1) Bersifat antifungal aktif
2) Dapat berpenetrasi ke dalam kulit
3) Bekerja aktif di dalam dan di luar sel
4) Mempunyai daya tahan terhadap hasil-hasil metabolisme
5) Tidal( menimbulkan sensibilisasi
Obat topikal ini terdiri dari :
1) Golongan Antifungal Konvensional
Obat yang termasuk ini antara lain :
Salep Whitfield

Castelani's paint
Asam Undesilinat
Kerja obat-obat ini sebagai keratolitik, antifungal dan anti-
bakteri. Obat-obat ini mempunyai spektum sempit, dan
penggunaannya terbatas hanya untuk infeksi di kulit.
2) Golongan Antifungal Terbaru; antara lain : Tolnaftate,
Cermin Dunia Kedok t eran, Edisi Khusus No. 80, 1992 117
Tolsildat, Haloprogin, Cyclopirox olamine, Naftifine,
Imidazole (miconazole, ketokonazole, clortrimazole, econazole,
dtl).
Obat-obat baru ini mempunyai spektrum luas dan kerjanya
fungisidal.
Cara pemakaian obat-obat topikal ini dilakukan dengan
mengoleskan obat tersebut 1 - 2 kali sehari minimal selama 3
minggu.
Obat Sistemik
1) Golongan Antifungal Konvensional
Griseofulvin
Telah dipakai untuk mengatasi dermatofitosis sejak 30
tahun.
Obat ini berasal dari sejenis penicillium. Kerja obat ini
fungistatik. Telah dilaporkan obat ini menimbulkan resistensi
terhadap dermatofitosis.
Pemberian pads anak-anak 10 - 20 mg/kg bb sehari, pads
orang dewasa 500 - 1000 mg sehari atau 330 mg griseofulvin
ultra micronized sekali sehari. Obat ini diberikan pads
waktu makan dengan diet tinggi lemak untuk mempertinggi
absorbsi.
2) Golongan Antifungal Terbaru
Ketoconazole
Merupakan antifungal oral pertama yang berspektrum luas
untuk mengatasi dermatofitosis. Kerja obat ini fungistatik.
Pemberian 200 mg sehari pads waktu makan. Lama pemberian
tergantung kepada lokalisasi dermatofitosis tersebut. Dosis anal(
di atas usia 2 tahun 3,3 - 6,6 mg/kg BB sehari. Merupakan
kontraindikasi untuk wanita hamil, kelainan fungsi hati dan hi-
persensitivitas terhadap ketoconazole.
Golongan Triazole
* Itraconazole
Obat ini mempunyai daya kerja spektrum luas. Pemberian
100 mg sehari selama 15 hari, efektif untuk tinea corporis dan
tinea cruris. Sedang untuk infeksi palmoplantar diberikan 100
mg sehari selama 30 hari.
*
Fluconazole
Efektif untuk pengobatan terhadap dermatofitosis di kulit.
Terbinafine
Obat ini analog dengan naftifine. Efek samping minimal
dibandingkan dengan griseofulvin. Pemberian dengan dosis 2 x
250 mg sehari.
KESIMPULAN
Manifestasi klinis dermatofitosis bervariasi, sehingga sulit
dibedakan dengan penyakit kulit lain, hal ini menyebabkan
diagnosis keliru dan penatalaksanaan selalu gagal.
Diagnosis dermatofitosis dapat ditegakkan melalui ma-
nifestasi klinis, lampu Wood dan identifikasi laboratorik.
Penatalaksanaan dapat ditempuh dengan cara pengobatan
topikal dan oral.
KEPUSTAKAAN
1. Agusni I, Kasansengari SU. Gambaran klinis penyakit-penyakit jamur su-
perfisial pads kulit. Dalam : Kumpulan Naskah Simposium Dennato
Mikologi. Departemen Emu Penyakit Kulit dan kelamin F.K. UNAIR RS
Dr, Soetomo Surabaya, 1982.
2. BudimuljaU. Penyakit Jamur Kulit dalam Kumpulan
makalahSeminar dan
Lokakarya Dennatomikosis : Diagnosis dan Penatalaksanaan. Bagian Emu
Penyakit Kulit
dan
Kelamin F.K. U.I.
Jakarta, 1992.
3.
Harahap M. Pengobatan Dennato mikosis superfisial masa kini. Dalam
Kumpulan Makalah
Simposium Penyakit Jamur MUKER IDI XI. Bagian
Penyakit Kulit dan Kelamin FK. USU RS. Dr. Pimgadi Medan, 1987.
4. Jacobs HP, Nall L. Antifungal Drug Therapy. New York : Marcel Dekker, Inc.
1990.
5. Nasution MA. Dennatofitosis ditinjau dari sudut epidemiologi dan pe-
nanggulangannya. Dalam : Kumpulan Makalah Simposium PenyakitJamur.
MUKER IDI XI. Bagian Penyakit Kulit dan Kelamin FK. USU RS Dr.
Pimgadi Medan, 1987.
6. Nasution MA. Penyakit kulit karena jamur. Dalam : Harahap M(ed). Penyakit
Kulit. Jakarta : P.T. Gramedia. 1990.
7. Rippon JW. Medical Mycology, 2nd ed. London : W.B. Saunders Co. 1982.
118
Cermin Dunia Kedok t eran, Edisi Khusus No. 80, 1992
Manifestasi Klinis I nfeksi HI V
Namyo O. Hutapea, Mansur A. Nasution, Rosniana R. Rams(
Bagian
Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
Rumah Sakit Dr Pirngadi, Medan
PENDAHULUAN
CDC melaporkan pada bulan Juni 1981 5 kasus homo-
seksual di California yang menderita penyakit PCP (Pneumo
-
cystis carinii Pneumonia); selanjutnya pada bulan Juli dilaporkan
26 kasus PCP dan Sarcoma Kaposi pada homoseksual di New
York. Pada semua penderita tersebut ternyata dijumpai gangguan
respons immuno sellular, terbukti dengan penurunan jumlah set
T. (T.
helper phenot ype)
(
'~
z3.
`
1
Kedua laporan kasus ini me-
rupakan
laporan pertama yang dikenal sebagai penderita AIDS
(Acquired Immune Deficiency Syndrome). Penyebab sindrom
ini ialah jenis Retro virus yang pada mulanya disebut HTLV
(Human T-lyrnphotropic Virus Type III). Laporan lain menya-
takan bahwa Retro virus yang sama berhubungan dengan AIDS
dikenal sebagai LAV (Lymphadenopathy associated Virus) atau
ARV (AidsRelated Virus). Sekarang disebut sebagai HIV
(Human
ImmunoDefciency Virus)
h1.Z 3.4.51
. Infeksi dapat ditularkan melalui
transfusi darah ataupun melalui penetrasi sewaktu mengadakan
hubungan seksual
1
'''
1
Dan aspek epidemiologik, AIDS dijumpai pada laki-laki
homoseksual aktif yang melakukan hubungan seksual, anak dari
ibu yang terkena infeksi HIV, yang tercemar oleh darah ataupun
produk darah, disebabkan pemakaian bersama jarum yang
digunakan secara IV atau akibat transfusi darah. Sebanyak 70%
penderita AIDS di Amerika Serikat dijumpai pada laki-laki
homoseksual ataupun biseksual dan proporsi ini lebih tinggi di
Inggris
t
'"
6
'
7
'
81
. Kasus-kasus heteroseksual dijumpai di Afrika
Tengah dan Amerika Serikat; sedangkan di Prancis kelompok
demikian merupakan 1/3 dari jumlah kasus yang dijumpai.
Penularan AIDS di Afrika Tengah tampaknya disebabkan hu-
bungan heteroseksual dengan jumlah yang sama pada pria dan
wanita(').
Pola penularan menyerupai infeksi virus Hepatitis B yang
menyebar melalui darah dan hubungan seksual, dengan demi-
kian AIDS dapat merupakan penyakit yang ditularkan melalui
hubungan seksual
o.6.7
)
Tabel 1. Kelompok-kelompok yang mempunyai risikomemperoleh AIDS
a
)
Kelompok
Aktivitas yang
menyebabkan penularan
1. Pria homoseksual Pasangan seksual yang banyak, hubung-
2. Pasangan seksual wanita
an seksual secara anal.
Hubungan seksual melalui vagina dengan
3. Anak-anak dari ibu yang
pasangan yang telah terinfeksi.
Penularan melalui plasenta.
4.
terinfeksi
Ketagihan obat dengan Penggunaan jarum secara IV.
5.
pemakaian secara
IV
Hemopillia Unsurdarahyangdiproduksi(FaktorVlH).
6. Penerima transfusi darah
Darah donor yang telah terinfeksi (biasa-
7. Orang-orang asal Haiti
nya dengan beberapa kali transfusi).
Penularan secara homo ataupun hetero-
8. Afrika Tengah
seksual.
Terutama disebabkan penyebaran secara
heteroseksual.
MANIFESTASI KLINIK
AIDS merupakan keadaan immunosupresi yang disebabkan
retrovirus yang dikenal sebagai HIV. Virus ini menyerang sub-
sistem limfosit darah perifer yaitu sel T helper yang mengatur
fungsi sistim immunitas selluler; sel yang telah terinfeksi kehi-
langan fungsinya dan mati prematur''
61
Kekurangan/gangguan imunitas selular menyebabkan se-
seorang peka terhadap infeksi mikroorganisme oportunistik se-
perti virus, protozoa dan fungus. Kekurangan imunitas selular
dapat menyebabkan timbul kelompok tumor tertentu seperti
Sarcoma Kaposi, limpoma non Hodgkin"''
6
'
1
; akhir-akhir ini
muncul penyakit lain dengan spektrum luas yang bukan dise-
babkan infeksi oportunistik, akan tetapi muncul sebagai akibat
langsung maupun tidak langsung yang disebabkan infeksi virus.
Cermin Dunia Kedok t eran, Edisi Khusus No. 80, 1992 119
Yang umum dijumpai adalah PGL (Persistent Generalized Lym-
phadenopathy);
sebagian dari penderita ini (5-25%) akan ber-
kembang menjadi AIDS
.0
.
Hubungan antara gangguan prodromal dan munculnya
manifestasi AIDS tidak jelas diketahui. Sebagian besar penderita
-PGL nampaknya tidak menunjukkan manifestasi AIDS selama
observasi 3-4 tahun. Jadi sebenarnya perjalanan penyakit tidak
jelas diketahui, terutama disebabkan infeksi ini mengalami masa
laten"
.6
). Infeksi oportunistik merupakan gambaran umum tidak
adanya kesanggupan penderita untuk mengatasi infeksi secara
normal. Jadi penderita AIDS dapat menderita infeksi virus her-
pes simpleks dengan ulkus yang persisten, sedangkan pads orang
normal lain terbatas dengan ruam berupa vesikel yang segera
menghilang
U.63
)
Keadaan yang sama akan menyebabkan plak Candidiasis di
dalam rongga mulut~'
6
~
AIDS hams diingat/dipertimbangkan bila seseorang pasien
gagal mengatasi infeksi, yang dalam keadaan normal akan segera
dapat diatasi"".
PERJALANAN INFEKSI HIV
Infeksi dapat terjadi akut dengan serokonversi. Setelah me-
lewati
masa laten akan timbul PGL (Persistent Generalized
Lymphadenopathy)
yang diikuti munculnya ARC (AIDS Related
Complex)
dan akhirnya menjadi AIDS dengan disertai infeksi
oportunistik. Tetapi hams diingat bahwa tidak semua penderita
AIDS akan didahului oleh manifestasi dini dan banyak penderita
PGL atau ARC tidak akan berkembang menjadi AIDS"
.6
)
ARC (AIDS Related Complex)
ARC ialah infeksi dengan tanda-tanda infeksi HIV tanpa
adanya infeksi oportunistik ataupun tumor; diuraikan sebagai
kesatuan dari tanda-tanda dengan kelainan laboratorium. Hal
penting yang memisahkan pembagian antara PGL dan ARC ialah
mengenai perbedaan prognosis antara PGL yang relatif jinak
dengan ARC yang mempunyai kemungkinan berkembang
menjadi AIDS.
Tanda-tandanya berupa lemah sekali, malaise, berat badan
turun > 10%, diarhea > 1 bulan, demam, berkeringat waktu
malam hari; disertai gejala-gejala Candidiasis rongga mulut,
Leukoplakia, PGL, Splenomegali dan Eczema/folliculitis.
Kelainan laboratorium yang dijumpai berupa Limfopeni,
trombositopenia, T helper menurun
Diagnosis ARC ditegakkan cukup bila penderita mempu-
nyai satu tanda dan satu gejala serta satu kelainan laboratorium.
Infeksi HIV
HIV ternyata menginfeksi
.
T
helper lymphocyte
dan mung-
kin virus terns menerus membentuk tunas pada permukaan set,
yang menyebabkan viremi yang persisten"
5.6
)
Virus dapat diisolasi dari semen dan saliva, daya meng-
infeksi dari semen mungkin dapat terjadi, sedangkan saliva be-
lum dapat dibuktikan"
)
.
Dianggap bahwa virus ditularkan me-
lalui pemindahan sedikit darah pada waktu hubungan seksual.
Perdarahan yang lebih banyak sebagai yang terjadi pada pria
120 Cermin Dunia Kedok t eran, Edisi Khusus No. 80, 1992
homoseksual menyebabkan penularan relatif lebih mudah. Pe-
nularan dapat terjadi pada hubungan seksual yang aktif dan pasif,
walaupun studi epidemiologis menunjukkan risiko yang lebih
besar dengan hubungan seksual pasif"
.6

7
).
Infeksi HIV yang
terjadi pada istri dari penderita hemophilia ataupun wanita pa-
sangan seksual dari penderita AIDS telah membuktikan bahwa
hubungan seksual melalui vagina dapat menularkan virus dari
pria kepada wanita"
.63
).
Penularan virus dari wanita ke pria mungkin terjadi secara
epidemiologis tetapi belum dapat dibuktikan secara virologis'
7
.
AIDS
Masalah klinis AIDS disebabkan oleh immunodefisiensi
selular yang menyebabkan timbul infeksi oportunistik dan tu-
mor'
6
)
A.
Kelainan pare
)
Merupakan salah satu manifestasi AIDS, sehingga diperlu-
kan upaya menegakkan diagnosa yang tepat karena merupakan
dasar penatalaksanaan penderita AIDS".
PCP (Pneumocystic Carinii Pneumonia)
[
'
)
PCP merupakan masalah infeksi yang umum pads AIDS
dan merupakan diagnosis kemungkinan utama setiap kelainan
pam yang berupa infiltrat difus dalam hubungan AIDS. Keluhan
penderita biasanya dyspnoe yang bertambah, disertai bentuk
tanpa dahak. Lama keluhan dari beberapa minggu hingga bebe-
rapa bulan. Variasinya berhubungan erat dengan tingkat imuno-
supresi dari penderita.
Sebagian penderita ( 30%) mempunyai keluhan nyeri
pleura di bagian tengah dada dan pads umumnya disertai keluhan
ketidaksanggupan menarik napas panjang akibat rasa nyeri dan
batuk. Sering disertai demam tingkat rendah dan menonjol pads
sore hari serta banyak keringat waktu malam.
Pemeriksaan sering tidak menunjukkan kelainan kecuali
peningkatan frekuensi pernapasan, akan tetapi stigmata lain dari
AIDS hams diperhatikan terutama Candidiasis rongga mulut,
Sarcoma kaposi, leukoplakia.
Pemeriksaan Rontgen dada menunjukkan karakteristik
berupa kelainan perihilar sebagai manifestasi dini; kemudian
disusul kelainan berupa gambaran bayangan pada bagian (zona)
tengah dan bawah, kadang-kadang disertai kelainan pads daerah
supra diafragma pads fase lanjut. Bayangan pads umumnya
simetris dan efusi pleura jarang terlihat.
Penting diketahui bahwa basil pemeriksaan sinar tembus
menunjukkan keadaan yang normal pads tingkat dini PCP.
Defisiensi imunitas dapat menunda munculnya respons infla-
masi sehingga infeksi pulmonal hanya disertai tanda-tanda yang
minimal pads pemeriksaan sinar tembus.
Untuk memeriksa serta menegakkan diagnosis PCP, pilihan
utama ialah menggunakan FOB (Fibre Optic Bronchoscopy),
dengan TBB (Trans Bronchial Biopsy) dari jaringan alveolar. Di
samping itu juga BAL (Broncho Alveolar Lavage) dapat di-
gunakan untuk pemeriksaan sitologi terhadap bahan alveolar.
Penggunaan FOB dapat menopang diagnosis sebagian besar
kasus. Kegagalan melaksanakan bronchoskopi mengakibatkan
kegagalan dalam menegakkan diagnosis AIDS.
Diagnosis Diferensial
1) CMV (Cytomegalo Virus)")
Umumnya CMV dapat diisolasi dari pare PCP dan juga
umum dijumpai pada berbagai organ pada penderita AIDS. CMV
dapat merupakan patogen pada paru secara perimer dengan
menunjukkan kelainan berupa pneumonia atipikal yang secara
klinis tidak dapat dibedakan dari PCP, walaupun anamnestis
dijumpai lebih pendek daripada PCP.
Pemeriksaan sinar tembus dapat menunjukkan gambaran
yang sama walaupun bayangan retikuler yang meluas ke arah
perifer paru lebih khas pada CMV.
Diagnosis ditegakkan dengan TBB paru untuk pemeriksaan
histologis dan BAL dengan hasil pembiakan virus yang positif
untuk CMV.
2) Mycobacterium spp
)
Mikobakterium atipikal terutama Mycobacterium avium
intra sellular (MAI), bergantung pada distribusi secara geografi.
Karenarespons selularsedikit, meskipun organisme sangatbanyak
dalam jaringan, tanda-tanda klinis hanya sedikit dan mungkin
juga tidak kelihatan kelainan rontgenologis.
M. tuberculosis mempunyai tingkat patogen yang tertinggi
dan muncul dengan tanda infeksi secara klinis pada penderita
AIDS yang dini.
3) Candida albicans")
Infeksi candida yang invasif umum terjadi pada AIDS dan
terutama mengenai sistim saluran pencernaan. Tetapi ada juga
dijumpai pneumonitis candida yang invasif, walaupun sangat
jarang, ditandai dengan infeks i akut disertai kelainan yang
timbul cepat pada daerah tengah dan bawah. Pemeriksaan
rontgenologis juga disertai hipoksia berat.
Diagnosis ditegakkan dengan biakan dari BAL dan pe-
meriksaan sitologis menunjukkan Candida dalam makrofag
alveolar.
4)
Sarcoma Kaposi (KS)")
KS dapat menyerang organ dalam, kecuali otak, KS pada
paru disertai dengan kelainan rontgenologis dan hipoksia. De-
mam tidak begitu sering terjadi pada KS bila dibandingkan
dengan PCP, dan pemeriksaan rontgenologis dari paru me-
nunjukkan kelainan unilateral atau nodular dari pada difus.
Infiltrat pleura dapat terjadi dengan efusi pleura unilateral.
Diagnosis sangat sulit ditegakkan dengan cara TBB,
walaupun plak KS pada mukosa bronchial dapat dilihat pada
pemeriksaan bronchoskopi. Pemeriksaan efusi pleura harus di-
sertai dengan biopsi pleura untuk melihat kemungkinan adanya
KS.
Dan pemeriksaan bedah mayat dibuat kesimpulan bahwa
KS paru relatif umum dijumpai pada penderita dengan kelainan
kulit.
B) Kelainan saluran pencernaan
t
'
)
Berupa infeksi atau tumor non-spesifik. Gejala umumnya
berupa diare dan berat badan menurun di mana pun tempat dan
jenis infeksi. Tanda klinis mungkin tidak ada ataupun sedikit dan
diagnosis ditegakkan secara mikrobiologik.
Masalah diagnosis pads saluran pencemaan penderita AIDS
ialah untuk membedakan para penderita dengan gejala ARC
yang terdapat di saluran pencernaan, dengan penderita AIDS
yang terkena infeksi yang menimbulkan gejala-gejala tersebut.
1) Candida spp )
Umum dijumpai di rongga mulut dan orofaring, merupakan
tanda-tanda tingkat prodromal (ARC).
Secara klinis, Candidiasis oral dikenal dengan adanya plak
pads selaput lendir mulut (selaput ini dapat dipisahkan). Infeksi
candida pads AIDS dapat meluas ke esofagus disertai plak
candida yang menyebar ke lambung.
Hal ini tidak menunjukkan keluhan-keluhan rasa tidak enak
pads daerah retrosternal sewaktu meneguk minuman.
2) Cryptosporidiosis
t
'
)
Dapat menyebabkan diare yang tidak dapat diobati dengan
cara konvensional dengan anti diare; infeksi ini menyebabkan
keadaan menjadi fatal, disertai gejala-gejala yang terus menerus
selama berbulan-bulan.
3) Salmonella, Shigella dan Enterobacteria lain[')
Salmonella typhimurium sexing merupakan masalah klinis
pads AIDS. Bakteri ini merupakan intraselular fakultatif pato-
gen, serta membutuhkan sistim imuno selular yang berfungsi
untuk meniadakannya.
Pada penderita AIDS, infeksi ringan saja dapat menyebab-
kan enteritis yang diikuti oleh bakteremi yang dapat menetap
serta yang tidak dapat diobati dengan kemoterapi. Infeksi Salmo-
nellaatau Shigella yang menyebabkan bakteremi yang menetap
biasanya terjadi melalui makanan hasil peternakan yang tidak
sempurna dimasak. Walaupun Giardia lamblia
dan Entamoeba
histolytica
merupakan infeksi yang umum pada homoseksual,
organisme ini tidak menimbulkan risiko khusus pads penderita
AIDS.
4) Keluarga Virus Herpes
[
"
)
Setelah Candidiasis dalam rongga mulut maka infeksi
daerah perianal oleh virus herpes simpleks tipe 2 merupakan
infeksi umum pada saluran pencernaan homoseksual penderita
AIDS; infeksi herpes simpleks tipe 2 merupakan ulkus yang
menetap yang disertai edema di sekitar ulkus pads daerah anal.
Dapat terjadi perdarahan yang disertai tenesmus, akan tetapi
infeksi herpes virus daerah perianal tidak menyebabkan diare.
Infeksi dapat meluas ke kanal anus dan ke dalam rektum.
Lesi dapat meluas ke daerah bokong serta memberi gambaran
yang tidak khas.
5) Infeksi Cytomegalo Virus (CMV)
t1
)
CMV memasuki usus besar pads penderita AIDS, menye-
babkan kolitis CMV. Infeksi ini menyebabkan diare berulang
disertai perdarahan bersama faeses, merasa sakit di abdomen/
merasa perih dan disertai demam. Pemeriksaan sinar tembus
menunjukkan dilatasi usus besar.
Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan histologis dan
biopsi rektum dengan kolonoskopi, yang menunjukkan masuk-
nya CMV dengan typical inclusion bodies di dalam lapisan otot
halus.
Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992 121
Biakan CMV dapat positif dan bahan pemeriksaan berupa
faeses, urine dan darah. Selama serangan akut dengan infeksi
yang berlanjut dapat terjadi diare khronis dan disertai penurunan
berat badan dan demam yang rendah serta menetap.
CMV dapat menyerang sistim pencemaan bagian atas yang
menyebabkan ulserasi pada esofagus. Ulkus dapat hingga 5 cm
yang menyebabkan disphagia.
6)
Sarcoma Kaposi Saluran pencernaan
t
'
)
Sarcoma Kaposi pertama sekali dikenal sebagai tumor kulit,
tetapi sebenarnya merupakan tumor multifokal yang berasal dari
endotel yang dapat dijumpai di mana saja termasuk sistem pen-
cernaan.
Sarcoma Kaposi dapat dijumpai pada seluruh bagian alat
pencernaan mulai dari mulut hingga anus. Lesi pada alat pen-
cemaan sering dijumpai pads palatum.
Kebanyakan lesi KS pads traktus digestivus bersifat tenang,
sering berupa nodul pads dinding selaput lendir ataupun berupa
plak sarcoma kaposi tanpa ulserasi. Pada sebagian penderita
akan timbul infiltrasi pada alat pencemaan, menyebabkan kolik
perut yang menimbulkan perasaan nyeri, ulserasi selaput lendir
yang disertai perdarahan, striktura usus dan pada kasus berat
menyerupai kolitis ulserasi.
Sarkoma Kaposi terletak agak lebih dalam pads sub-mukosa
di dalam lapisan otot, sehingga dibutuhkan biopsi yang dalam;
biopsi superfisial hanya akan menunjukkan tanda peradangan
khronis.
C) Kelainan susunan
saraf pusat (SSP)(')
SSP merupakan organ ke tiga terbesar yang mengalami
infeksi organisme oportunistik patogen atau tumor pada pende-
rita AIDS. Infeksi yang umum terjadi disebabkan Cryptococcus
berupa meningitis dan bila terjadi tidak disertai fotofobia dan
kekakuan leher, tetapi selalu disertai demam, sakit kepala dan
ataxia.
Sebagaimana infeksi lain yang terjadi pads penderita AIDS,
tanda penyakit bersifat atipis. Toxoplasmosis pada AIDS me-
rupakan infeksi yang seluruhnya terletak pads SSP yang me-
nyebabkan abses intraserebral pada otak yang disertai tanda-
tanda klinis.
Gambaran klinis selanjutnya sering disertai AIDS ensefa-
lopati, suatu keadaan yang menyerupai dimentia presenil yang
dapat terjadi pads 40% penderita AIDS yang mapan.
Masalah klinis SSP dibagi atas(') :
1. Lesi fokal
2. Lesi difus
3. Lesi pads retina
1) Lesi fokal
Pemeriksaan CT scan dapat melihat massa dari lesi dise-
babkan edema serebral ataupun ensefalitis yang umum terjadi
pada penderita AIDS dan biasanya disebabkan abses Toxoplasma
gondii.
Abses ini dapat multipel yang menunjukkan gejala ke-
lainan traktus piramidalis atau dengan epilepsf fokal maupun
umum. Lesi toxoplasmasis tidak selalu disertai dengan rinitis
toxoplasma; perlu dibedakan dari B cell limfoma dan Abses
kandidal.
122 Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992
2)
AIDS Encephalopathy
)
Pada penderita AIDS yang mapan dapat terjadi tanda-tanda
demensia dengan perubahan kepribadian, kehilangan ingatan
masa dekat dan masa lalu.
Pemeriksaan
CT scan menunjukkan atrofi yang jelas pada
massa putih dan massa kelabu disertai dilatasi ventrikel. Atrofi
berjalan terus dan dapat menyebabkan epilepsi grand mal
di
samping demensia. Keadaan demikian disebut AIDS encephalo-
pathy,
dan tidak ada hubungan dengan infeksi oportunis.
Pada sindrom ini dapat diketemukan RNA dan DNA-HIV
pada sel otak, sehingga ensefalopati dapat merupakan infeksi
virus AIDS primer pada SSP.
Infeksi oportunistik SSP kadang-kadang disertai ensefalo-
pati, terutama meningitis yang disebabkan Cryptococcus dan
ensefalitis yang disebabkan CMV yang mungkin masih dapat
diobati;
maka caftan otak harus diperiksa sebelum diagnosis
AIDS encephalopathy ditegakkan.
Tidak ada pengobatan efektif untuk AE hingga saat ini dan
keadaan demikian dapat terjadi di sekitar 40% penderita AIDS.
Tidak diketahui apakah pada infeksi HIV asimtomatik akan
terjadi ensefalopati setelah jangka waktu yang lama.
3) Lesi retina
Lesi fundus merupakan kelainan klinis yang penting pada
AIDS. Lesi yang umum ialah :
1) Cotton Wool Spot,
merupakan eksudat lembut yang muncul
tiba-tiba, menetap selama sekitar 6 minggu dan mungkin dapat
dilihat di bagian mana saja pads retina. Lesi ini dapat terjadi pads
penderita AIDS yang manapun dan timbul sebelum infeksi
oportunis atau tumor. Lesi ini jarang mengganggu ketajaman
penglihatan dan bersifat benigna. Patogenesis lesi belum dike-
tahui, tetapi menyerupai keadaan yang dijumpai pada penderita
vaskulitis.
2) Tajam penglihatan yang berkurang pads penderita AIDS
merupakan indikasi pemeriksaan mata; terbanyak disebabkan
retinitis CMV.
Infeksi oportunis lain dari retina jarang terjadi, akan tetapi
dapat menyebabkan gangguan penglihatan serta perubahan pada
retina; misalnya infeksi candida pads retina dapat menyebabkan
abses serebral.
D. Manifestasi AIDS pada kulit(
l
)
Manifestasi di kulit terbagi dua :
1. Sarkoma Kaposi
2. Infeksi kulit yang disebabkan imunosupresi
Sarkoma Kaposi diperkirakan sebanyak 25% pads penderita
AIDS dini, dan sekitar 10% akan timbul setelah infeksi oportu-
nistik.
Lesi kulit yang dapat dicatat hingga saat ini tertera pads
tabel 2.
1)
Sarkoma Kaposi
SarkomaKaposi merupakan tumor yang terbanyakdijumpai
pada penderita AIDS; walaupun secara primer merupakan
tumor kulit, pada penderita AIDS traktus digestivus merupakan
tempat yang utama.
Sarkoma Kaposi merupakan tumor yang berasal dari sel
endotelial, multifokal. Tumor bersifat invasif lokal dengan efek
okupasi ruangan lebih nyata dari invasi. Setiap bagian kulit dapat
terlibat. Tumor biasanya berupa lesi berwarna ungu pada kulit
dan jaringan subkutis, padat, tidak nyeri, tidak gatal dan umum-
nya meninggi dari kulit sekitarnya. Lesi dapat berkembang
hingga mencapai 1 cm dalam waktu 710 hari. Lesi biasanya
multipel dan jarang berdiameter lebih 5 cm walaupun lesi dapat
menyatu pada masa lanjut. Beberapa lesi dapat berupa makula
kecil.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan biopsi; dapat dijumpai
sel berbentuk spindel,
intra cellular clefts, serta ektravasasi butir
darah merah yang patognomonis untuk Sarkoma Kaposi.
Lesi dini mempunyai tanda minimal sehingga diagnosis
untuk lesi makula Sarkoma Kaposi sangat suliL
2)
Infeksi Kulit
a) Herpes simpleks, terutama dengan distribusi perianal, se-
dangkan HSV peri-oral tidak umum menjadi masalah.
b) Herpes (Varisella) Zoster, umumnya dijumpai pads masa
prodromal, tidak biasa dijumpai pads AIDS yang mapan.
c)
Molluscum Contagiosum, umumnya dijumpai di wajah dan
agak sulit memberantasnya, digunakan liq. Nitrogen atau 5%
phenol secara lokal; lesi ini tidak membahayakan.
d) Infeksi jamur, dapat diobati dengan obat-obat anti jamur.
3) Kelainan non-spesifik
Lesi kulit yang menyebar menyebabkan gambaran atipis
dan diagnosis sebaiknya ditopang oleh biopsi dari pads hanya se-
cara klinis. Funginemia dari semua kasus dapat menyebabkan
lesi
kulit, terutama oleh cryptococcusis dan histoplasmosis.
Setiap lesi yang atipis pada penderita AIDS harus dibiopsi, bila
diagnosis klinis meragukan. Lesi yang non-spesifik di kulit pada
penderita AIDS terutama berupa eksema seborrhoik dan folli-
kulitis pada wajah.
Eksema timbul pads penderita tanpa menunjukkan pemah
menderita penyakit kulit sebelumnya, menyerang wajah dan
nyata dengan sisik-sisik yang tebal pads lipatan kulit.
Eksema atopi dapat muncul pads penderita yang mem-
punyai sifat atopi, eksem, atau asthma pads masa
kanak-kanak.
KEPUSTAKAAN
1.
Miller D, Weber J, Green J. The Management of AIDS patients. London: Mac
Milian Press Ltd, 1987.
2. Centers for Disease Control.
Pneumocystis Carinii Pneumonia. MMWR
1981; 30: 250.
3. Goulieb MS, Scraff R, Schanker MM et al.
PneumocystisCarinii Pneumonia
and mucosal candidiasis in previously healthy homosexual man. Evidence of
a new acquired Cellular
Immuno-deficiency. N. Engl. J. Med 1981; 305:
1425.
4. Masur E, Micheles MA, Green JB et al. An
outbreak
of community acquired
Pneumocystis Carinii pneumonia. Initial manifestation of Cellular Immu-
nodysfunction. N. Engl. Med 1981; 305: 1439.
5.
Coffin et al. Human immunodeficiency Viruses. Science 1986; 232: 697.
6.
Saerde MA, Volberding PA. The Medical Management of AIDS. Philadel-
phia, London, Toronto, Sydney: WB Saunders Coy, 1988.
7. Goldert JJ, Blattner WD. The
Epidemiology of AIDS and Related Condition.
In:
AIDS, etiology, diagnosis, treatment and prevention.
De vitaVT, Hellman.
S, Resenberg SA. (eds.). Sydney: JB Lippincott, 1983.
8.
Centers for Disease Control. Update on Acquired Immunodeficiency Syn-
drome (AIDS). MMWR 1982; 31: 507.
Cermin Dunia Kedok t eran, Edisi Khusus No. 80, 1992 123
Penatalaksanaan Gejala Duh
Tubuh Uretra
Mansur A. Nasution, Zulilham
Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara Rumah Sakit Dr. Pirngadi, Medan
PENDAHULUAN
Duh tubuh uretra
(urethral discharge) merupakan suatu
simptom berupa keluarnya cairan dari uretra baik mukous
ataupun serous. Secara umum duh tubuh uretra ini bisa bersifat
fisiologis
misalnya pada prostaturia dan spermaturia dan bisa
bersifat patologis misalnya pads uretritis gonore dan uretritis non
spesifik (uretritis non gonore). Gonore dan uretritis non spesifik
keduanya termasuk dalam penyakit menular seksual (PMS)
insidensnya meningkat setiap tahun, dan sering dijumpai ber-
samaan.
Penatalaksanaan duh tubuh uretra tergantung pada diagno-
sis gonore atau uretritis non spesifik.
GONORE
Secara umum mencakup semua penyakit yang disebabkan
oleh infeksi gonokokkus (Neisseria gonorrhoe).
ETIOLOGI
Bakteri gonokokkus ditemukan oleh Albert Neiser pads
tahun 1879 dan baru diumumkan pads tahun 1882. Bentuk-
nya diplokokkus seperti biji kopi dan bersifat gram negatif,
tidak tahan lama di udara bebas, cepat mati dalam keadaan
kering dan tidak tahan di atas suhu 39C, dan tidak tahan
terhadap desinfektan.
Pada tahun 1976 CDC di Amerika Serikat menemukan
Neisseria gonore penghasil penisilinase (NGPP) dari penderita
gonore yang pernah bertugas di Vietnam dan pads tahun yang
sama diketemukan NGPP di Belanda dari seorang pramugari
penerbangan yang pernah berkencan dengan seorang Filipina.
Pada tahun 1980 Wijaya di Jakarta menemukan kasus NGPP
pads satu lokasi pelacuran. Pada tahun 1981 Hutapea bekerja
sama dengan State's Serum Institutes Copenhagen
melaporkan
adanyaNGPP di Medan. Dan pada tahun yang sama Nasution dan
124
Cermin Dunia Kedok t eran, Edisi Khusus No. 80, 1992
Iswara melaporkan bahwa di Medan 16,7% penyebab gonore
adalah NGPP. Pada saat ini lebih dari 50% penderita gonore
disebabkan NGPP.
GAMBARAN KLINIS
Masa tunas sangat singkat, pada pria umumnya bervariasi
antara 1 5 hari, kadang-kadang lebih lama. Pada wanita sulit
ditentukan karena pads umumnya bersifat asimtomatik.
Pada pria yang sering adalah uretritis.anterior akuta dengan
keluhan berupa rasa gatal dan panas di bagian distal uretra,
disuria, polakisuri, dari ujung uretra keluar duh tubuh seromu-
kopurulen yang kadang-kadang disertai darah. Perasaan nyeri
waktu ereksi.
Pada pemeriksaan tampak orificium uretra eksternum
merah dan odematus.
Pada wanita keluhan hanya berupa keputihan dan perasaan
gatal.
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Pada sediaan langsung dengan pewarnaan gram akan
ditemukan gonokokkus gram negatif intraseluler dan kadang
kadang bisa ekstraseluler.
Pembiakan (terutama untuk wanita) menggunakan :
1. Media transport (Media Stuart)
2. Media pertumbuhan (Media Thayer Martin)
Sedangkan identifikasi NGPP dilakukan dengan tes jodometri
atau asidometrik pada koloni yang tumbuh pada pembiakan.
DIAGNOSIS
Gambaran klinis ditunjang pemeriksaan laboratorium.
URETRITIS NON SPESIFIK
Uretritis yang penyebanya bukan gonokokkus.
ETIOLOGI
1. Klamidia trakomatis - 30 - 50%
2. Ureaplasma urealitikum - 30 - 50%
3. Trikomonas vaginalis - jarang
4. Kandida albikans - jarang
5. Virus herpes simpleks - jarang
6. Tak diketahui - 20%
GAMBARAN KLIMS
Masa inkubasi beberapa hari sampai beberapa minggu (1 -
5
minggu); keluhan hampir serupa dengan uretritis gonore,
hanyaduh tubuhnya lebih encerdan kadang-kadang hanya berupa
bercak-bercak kuning pada waktu pagi pada celama dalam.
PEMERIKSAAN LABORATORIUM:
Pemeriksaan langsung, tidak dapat dilakukan kecuali untuk
Kandida albikans dan T. vaginalis.
Pembiakan (Klamidia dan U. urealitikum)
1) Media transport (Bufer fosfat +
fetal calf serum + and
biotika)
2) Media pertumbuhan (Mc. Coy).
Pemeriksaan secara Elisa
Serologis
DIAGNOSIS
Ditegakkan berdasarkan gambaran klinis yang ditunjang
pemeriksaan laboratorium.
PENATALAKSANAAN DUH TUBUH
Penatalaksanaan duh tubuh uretra adalah dengan mem-
perhatikan fasilitas laboratorium yang ada untuk menemukan
penyebabnya : bila penunjang laboratorium baik, maka pe-
natalaksanaan duh tubuh uretra pertama kali ditujukn untuk
uretritis gonore, Bilakemudian ternyata ditemukan juga uretritis
non gonore maka pengobatannya baru dilaksanakan setelah
infeksi gonore diatasi.
Akan tetapi bila kita melihat laporan CDC (Centers for
Disease Control) 1989 pola penatalaksanaan uretritis gonore
mengalami beberapa perubahan-perubahan disebabkan oleh :
1. Tingginya insidens infeksi klamidia bersamaan dengan
gonore (25 - 50%).
2. Kesukaran tehnik pemeriksaan klamidia.
3.
Makin tingginya insidens NGPP (lebih dari 50%).
4.
Makin tingginya gonokokkus yang resisten terhadap tetra-
siklin.
Mengingat hal tersebut, CDC (1989) menganjurkan agar
pada pengobatan uretritis gonore tidak diberikan lagi penisilin
atau derivatnya, dan di samping itu diberikan juga obat untuk
UNS (klamidia) secara bersamaan, yaitu Ceftriaxone 250 mg im
atau Spektinomycin 2 gr im atau Ciprofloxacin 500 mg oral,
ditambah dengan Doksisiklin 2 x 100 mg selama 7 hari, atau
Tetrasiklin 4 x 500 mg selama 7 hari, atau Eritromisin 4 x 500
mg selama 7 hari.
Standar pengobatan di atas banyak dipakai di Amerika
Serikat, Kanada, Skandinavia dan beberapa negara di Eropah,
uretra belum ada dan belum seragam. Yang panting obat tersebut
murah dan ampuh.
Pada pertemuan ilmiah untuk melakukan suatu Standar-
disasi Diagnostik dan Penatalaksanaan PMS (Jakarta 1990) pe-
natalaksanaan duh tubuh uretra dibagi atas penatalaksanaan
terhadap gonore dan U.N.S.
Untuk gonore pads rumah-rumah sakit serta Puskesmas
masih dipakai Penisilin dengan dosis bervariasi antara 2,4 juta
I.U. - 4,8 juta I.U. mendapat penyakit tersebut dari WTS lokal.
Sedangkan untuk U.N.S. diberikan : Tetrasiklin 4 x 500 mg
selama 7 hari, atau Eritromisin 4 x 500 mg selama 7 hari, atau
Doksisiklin 2 x 100 mg selama 7 hari.
Tetapi kenyataannya, praktek pribadi/swasta lebih banyak
menggunakan tiamfenikol; pads saat ini penggunaan paket dosis
tiamfenikol perlu diperpanjang : hari I : 2,5 - 3,5 g. dosis tunggal,
dilanjutkan hari II - X : 3 x 500 mg.
Di Indonesia (1988) uji cobs klinis untuk pengobatan duh
tubuh uretra dengan tiamfenikol berhasil baik (lebih dari 90%).
Di samping itu kepada penderita dianjurkan :
1. Tidak melakukan kontak seksual
2. Tidak minum alkohol
3.
Tidak makan makanan yang dapat mengiritasi selaput lendir
uretra seperti kambing dan makanan dari laut.
KEPUSTAKAAN
1.
WHO. Consultative Group Current treatment in the control of STD (WHO
UDT 83. 433).
2. CDC STS treatment guideline, Sept. 1989.
3. S. Daili. Gonore dan penatalaksanaan duh tubuh uretra pada umumnya.
Kursus
penyegarPMSBali, 18 Oktober. IUVDT Bangkok 19 Oktober 1987.
4. Nasution MA, Iswara R. PPNG in North Sumatra. IUVDT, Bangkok 19
Oktober 1987.
5. Judanarso J. Infeksi Chlamydia pada genitalia. Simposium PMS, Bali 18
Oktober 1987.
6. Nasution MA, Roesyanto ID, Sutanto LA. Treatment of Urethritis go-
norrhoea and non gonorrhoea with thiamphenicol, 8th Regional Conference
of Dermatology Bali 16 Ju
Cermin Dunia Kedok t eran, Edisi Khusus No. 80, 1992 125
Alergi dan Iritasi Kulit pada
Keadaan Sehari-hari
Dr. Diana Nasution
Bagian
Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara/Rumah Sakit Dr. Pirngadi, Medan
ABSTRAK
Jika dilihat sepintas alergi dan iritasi kulit dapat mirip satu dengan lainnya. Dan
sudut dermatologi terdapat perbedaan di antara keduanya yang dapat membantu klta
menangani pasien-pasien yang menderita alergi dan iritasi kulit.
Dalam makalah ini dibicarakan beberapa contoh alergi dan iritasi kulit yang
dapat dijumpai dalam kehidupan sehari-hari, antara lain :
1.
Alergi terhadap perhiasan
2.
Reaksi kulit terhadap sabun dan detergensia
3.
Kepekaan terhadap sepatu, bahan pengawet, pakaian dan cat rambut.
PENDAHULUAN
Istilah alergi menunjukkan suatu reaksi yang berubah
(alergi) terhadap suatu bahan tertentu (alergen) yang melibat-
kan sistem imun tubuh; hanya terjadi pads orang-orang tertentu.
Iritasi kulit disebabkan oleh suatu bahan dapat terjadi pads
setiap orang, tidak melibatkan sistem imun tubuh dan ada be-
berapa faktor-faktor tertentu yang memegang peranan seperti
keadaan permukaan kulit, lamanya bahan bersentuhan dengan
kulit, usia pasien, adanya oklusi dan konsentrasi dari bahan.
Adakalanya suatu bahan kimiawi mempunyai kedua sifat
ini yaitu dapat menyebabkan reaksi alergis dan suatu respons
iritasi pads kulit; sebagai contoh : sabun yang berisi zat warns
atau parfum sebagai alergen jika disertai dengan mencuci beru-
lang-ulang dapat menyebabkan iritasi kulit.
Untuk membedakan reaksi kulit yang alergis dan iritasi kulit
dapat dilakukan percobaan tempel.
ALERGI TERHADAP PERHIASAN DAN LOGAMLAIN
Pads orang-orang tertentu dapat terjadi kelainan kulit setelah
mernakai perhiasan tertentu misalnya anting-anting, kalung,
jam tangan dan sebagainya. Kemungkinan penyebabnya adalah
126 Cermin Dunia Kedok t eran, Edisi Khusus
No. 80, 1992
nikel yang banyak terdapat dalam benda-benda logam antara lain
jam Langan, perhiasan, jepitan rambut, penggulung rambut,
gunting, cincin, mata uang, kepala ikat pinggang, bingkai kaca,
mata dan sebagainya. Di Amerika diperkirakan kepekaan
terhadap nikel ini mencakup 10% dari penduduk dan terdapat
lebih banyak pads wanita dari pads pria dengan perbandingan
2 : 1. Hal ini disebabkan oleh karena wanita lebih banyak
memakai perhiasan dibandingkan dengan pria.
Keringat dapat memperhebat dermatitis oleh nikel ini,
gejala berupa rasa gatal dan mencucuk dapat timbul 15-20
menit setelah bersentuhan dengan kulit dan gejala-gejala kulit
dapat timbul dalam waktu satu jam. Apabila tidak berkeringat,
pasien yang sama dapat memakai perhiasan yang mengandung
nikel ini untuk beberapa jam tanpa adanya gejala.
Diagnosis dermatitis oleh nikel ini amat mudah oleh karena
is timbul pada tempat kulit berkontak dengan logam tersebut.
Apabila kontak dihilangkan maka gejala pada kulit akan sembuh
dalam beberapa hari. Di samping itu untuk memperkuat diagno-
sis dapat dilakukan uji tempel.
Untuk mendeteksi apakah suatu perhiasan berisi nikeldapat
dilakukan tes dengan dimetil-glioksim. Di samping itu jika
seorang yang peka terhadap nikel tetap ingin memakai per-
hiasannya tersebut, disarankan untuk melapisi perhiasan tersebut
dengan cat kuku yang berwana netral atau menyemprotkan
dengan bahan yang berisi kortikosteroid dan mengharuskan
pasien agar memakainya dalam keadaan sekitar yang sejuk untuk
menghindari keringat.
REAKSI KULIT TERHADAP BAHAN PENGAWET
Reaksi kulit terhadap bahan pengawet yang terdapat di
dalam kosmetika dan oba-obat oles, dapat berupa dermatitis
(eksema) dengan tanda-tanda kulit kering, bersisik, merah, ber-
lepuh sampai basah atau retak-retaknya kulit. Reaksi bisa ringan
atau berat dan biasanya disertai dengan rasa terbakar dan gatal.
Reaksi dapat timbul sebagai urtika atau kadang-kadang berupa
pembengkakan lokal.
Sering terjadi timbulnya reaksi kulit pada pemakaian per-
tama kali dari obat oles atau kosmetika pada kulit yang terluka
atau sedang mengalami iritasi.
Sedangkan bahan pengawet makanan dan obat-obatan
per-oral dapat menyebabkan reaksi kulit yang bersifat alergis
dan dapat menyebabkan terjadinya sensitisasi. Beberapa contoh
bahan pengawet di dalam kosmetika atau obat oles kulit : metil-
paraben, propil paraben, imidazolidinilurea, butil-paraben, qua-
ternium-15, formaldehid, Katon-cG, asam sorbic, Vit. E dan
Vit. c.
Terdapatnya bahan pengawet pada berbagai macam produk-
produk yang dipakai sehari-hari maka sudah tentu amat sulit
dihindari. Salah satu cara untuk mengetahui penyebab kelainan
kulit oleh pemakaian kosmetika atau obat kulit lainnya yaitu
dengan percobaan tempel.
REAKSI KULIT TERHADAP SABUN DAN DETERGEN
Reaksi kulit terhadap pemakaian sabun dan detergen dapat
terjadi berdasarkan iritasi kulit akibat pemakaian yang ber-
lebihan.
Terjadinya iritasi kulit oleh pemakaian sabun
kemungkinan disebabkan oleh sifat alkalis sabun disertai dengan
daya menghapus minyak dari kulit dan sifat iritasi dari asam
lemak. Dapat juga terjadi kelainan kulit oleh karena alergi ter-
hadap bahan-bahan yang terdapat di dalam sabun seperti pewangi,
zat warna, bahan-bahan antimikroba dan sebagainya.
Pernah dilaporkan terjadinya depigmentasi kulit oleh
pemakaian sabun yang mengandung fenol.
Sabun sebagai iritan utama dapat merupakan faktor yang
memperlambat penyembuhan dari eksema pada tangan. Untuk
menghindari reaksi iritasi ini, kurangi pemakaian sabun.
KEPEKAAN KULIT TERHADAP SEPATU
Reaksi akergi kulit terhadap sepatu dapat berasal dari bahan
dasarnya yaitu kulit hewan yang telah diproses dengan bahan-
bahan tertentu seperti cat, bahan pengawet, bahan antimikroba
dan anti jamur, khrom, karet, bahan perekat, anti oksodan dan
bahan-bahan lainnya.
Reaksi kulit terhadap sepatu paling sering terjadi pada
mereka yang banyak berkeringat dan pads keadaan sekitar yang
panas dan lembab. Penting diperhatikan ialah bahwa sepatu
harus dipakai dalam keadaan kering.
Alergi terhadap sepatu ini sering mirip dengan gambaran
eksema, infeksi jamur dan penyakit kulit yang disebut psoriasis.
Terapi yang tepat didapat dengan mengetahui
penyebabnya
yaitu dengan tes tempel kulit.
REAKSI KULIT TERHADAP PAKAIAN
Reaksi kulit terhadap pakaian paling sering terjadi pada
pakaian yang terbuat dari bahan dasar yang mudah diregang.
Sebagai bahan Penyebab yaitu adanya bahan karet di dalam kain
dan bahan-bahan kimiawi lainnya'yang terdapat di dalam karet
tersebut, juga serat-serat sintesis yang bersifat elastis. Semua
bahan-bahan ini mengandung bahan tambahan yang bersifat
sebagai
sensitizer
dan dapat menyebabkan reaksi alergi pads
kulit.
REAKSI KULIT TERHDAP CAT RAMBUT
Kepekaaan kulit terhadap cat rambut sebagian besar dise-
babkan oleh bahan kimiawi paraphenilendiamin (PPD) yaitu
zat warna dalam pewarna rambut yang permanen. Jika seorang
menjadi alergis terhadap PPD, maka is juga peka terhadap
bahan-bahan yang secara kimiawi mempunyai ikatan yang
sama melalui suatu proses sensitisasi silang.
Jadi bila alergis terhadap PPD, maka juga alergis terhadap
pewarna dari bahan anilin, Azo yang banyak dipakai untuk
memberi warna gelap pads pakaian (hitam, biru,.cokklat dan
abu-abu). Juga dapat terjadi kepekaan terhadap obat-obat peng-
hilang rasa seperti prokain, benzokain.
Kurang lebih 1/4 dari mereka yang peka terhadap PPD juga
peka terhadap prokain dan benzokain. Jadi orang yang peka
terhadap PPD jangan lupa memberi tabu dokter gigi anda se-
hubungan adanya kemungkinan pemakaian anastesi untuk
pencabutan gigi. Sebagai ganti prokain dan benzokain dapat
dipakai xylocaine dan mepivacaine.
Tabir surya yang mengandung PABS dapat juga bereaksi
silang dengan PPD, orang yang peka terhadap PPD hendaknya
menggunakan tabir surya yang bebas PABA.
KESIMPULAN
Telah dibicanakan beberapa kemungkinan alergi dan iritasi
kulit yang dapat dijumpai dalam keadaan sehari-hari. Untuk
menghindarinya perlu pengenalannya. Uji Tempel Kulit banyak
membantu dalam hal memperjelas diagnosis.
KEPUSTAKAAN
1. Adams. Occupational skin disease. 2nd ed. Saunders, 1990.
2. Corbett JF. Hair dye toxicity. Berlin : Springer-Verlag,
1990.
3. Groin E. Contact Dermatitis. Edinburgh : Churchill Livingstone, 1980.
4. Fisher A A. contact dermatitis. 3rd ed. Philadelphia : Lea & Febiger, 1986.
5. MaibachH J Gellin GA. Occupational &Industrial Dermatology. Yearbook
Medical Publishers, 1982.
Cermin Dunia Kedok t eran, Edisi Khusus No. 80, 1992 127
Kursus dan Demonstrasi RIP
Resusitasi Jantung, Paru, dan
Otak
Oloan SM Siahaan
UPF Anestesi Fakultas Kedokteran Universitas Suniatera Utara
Rumah Sakit Umum Pusat Dr Pirngadi Klas A, Medan
PENDAHULUAN
Tidak semua penderita yang mengalami cardic arrest di-
resusitasi, melainkan hanya yang mungkin untuk hidup lama
tanpa meninggalkan kelainan-kelainan di otak. Jadi resusitasi
ialah usaha mengembalikan fungsi pernafasan dan/atau sirkulasi
dan penanganan akibat henti nafas (respiratory arrest) dan/atau
henti jantung (cardiac arrest) pads orang, di mana fungsi terse-
but gagal total oleh suatu sebab yang memungkinkan untuk hidup
normal selanjutnya bila kedua fungsi tersebut bekerja kembali.
Jadi bukan pada akhir suatu stadium agonal, di mana karena
memburuknya keadaan umum, pusat penting dan organ semakin
buruk dan akhirnya gagal total; atau pada orang yang pusat di
otaknya sudah mengalami kerusakan karena sebab-sebab per-
nafasan/sirkulasi sehingga tidak ada lagi kemungkinan untuk
hidup.
Keberhasilan resusitasi dimungkinkan oleh adanya waktu
tertentu diantara mati klinis dan mati biologis. Mati klinis terjadi
bila dua fungsi penting yaitu pernafasan dan sirkulasi mengalami
kegagalan total. Jika keadaan ini tidak cepat ditolong, maka akan
terjadi mati biologis yang irreversibel. Setelah tiga menit mati
klinis (jadi tanpa oksigenisasi), resusitasi dapat menyembuhkan
75% kasus klinis tanpa gejala sisa. Setelah empat menit persen-
tase menjadi 50% dan setelah lima menit 25%. Maka jelaslah
waktu yang sedikit itu harus dapat dimanfaatkan sebaik mung-
kin.
Di camping mati klinis dan biologis dikenal juga istilah mati
sosial yaitu keadaan di mana pernafasan dan sirkulasi terjadi
spontan atau secara buatan, namun telah mengalami aktifitas
kortikal yang abnormal (perubahan EEG), penderita dalam
keadaan sopor atau koma tanpa kemungkinan untuk sembuh;
jadi dalam keadaan vegetatif.
Agar suatu resusitasi berhasil maksimal tentu saja me-
merlukan operator yang cekatan dan trampil. Waktu satu menit
sangat berguna dan lebih balk memberikan resusitasi pada orang
yang "sedang meninggal" daripada yang "telah ineninggal".
FASE-FASE RESUSITASI KARDIO PULMONER
RKP dibagi, terutama untuk memudahkan latihari dan
mengingat, dalam fase dan langkah sebagai berikut :
FASE I : Tunjangan hidup dasar (Basic Life Support) yaitu
prosedur pertolongan darurat mengatasi obstruksi jalan nafas,
henti nafas dan henti jantung, dan bagaimana melakukan RKP
secara benar.
Terdiri dari :
A
(airway) : menjaga jalan nafas tetap terbuka.
B
(breathing) : ventilasi paru dan oksigenisasi yang adekuat.
C (circulation) : mengadakan sirkulasi buatan dengan kom-
presi jantung paru (KJL),
FASE II : Tunjangan hidup lanjutan (Advance Life Support);
yaitu tunjangan hidup dasar ditambah dengan :
D
(drugs) : pemberian obat-obatan termasuk cairan.
E
(EKG) : diagnosis elektrokardiografis secepat mungkin
setelah dimulai KJL, untuk mengetahui apakah ada fibrilasi
ventrikel, asistole atau
agonal ventricular complexes.
F (fibrillation treatment) :
tindakan untuk mengatasi fibrilasi
ventrikel.
FASE III : Tunjangan hidup terus-menerus
(Prolonged Life
Support).
G (Gauge) : Pengukuran dan pemeriksaan untuk monitoring
penderita secara terus menerus, dinilai, dicari penyebabnya dan
kemudian mengobatinya.
H (Head) :
tindakan resusitasi untuk menyelamatkan otak dan
sistim saraf dari kerusakan lebih lanjut akibat terjadinya henti
jantung, sehingga dapat dicegah terjadinya kelainan neurologik
yang permanen.
H (Hipotermi) : Segera dilakukan bila tidak ada perbaikan
1 28 Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992
fungsi susunan saraf pusat yaitu pada suhu antara 30 32C.
H (Humanizat ion) : Harus diingat bahwa korban yang ditolong
adalah manusia yang mempunyai perasaan, karena itu semua
tindakan hendaknya berdasarkan perikemanusiaan.
I (Intensive care) : perawatan intensif di ICU, yaitu : tunjang-
an ventilasi : trakheostomi, pernafasan dikontrol terus menerus,
sonde lambung, pengukuran pH, pCO
2
bila diperlukan, dan
tunjangan sirkulasi, mengendalikan kejang.
FASEI : TUNJANGAN HIDUPDASAR
Adalah prosedur pertolongan darurat, termasuk di dalamnya
pengenalan henti jantung (cardiac arrest) dan henti napas (re-
spiratory arrest) dan bagaimana melakukan RKP yang tepat
untuk menyelamatkan nyawa sampai korban dapat dibawa atau
tunjangan hidup Ian jutan sudah tersedia. Di sini termasuk langkah-
langkah ABC dari RKP :
A (Airway) : Jalan nafas terbuka.
B (Breathing) : Pernapasan, pernapasan buatan RKP.
C (Circulation) : Sirkulasi, sirkulasi buatan.
Indikasi tunjangan hidup dasar terjadi karena :
1. Henti napas.
2. Henti jantung, yang dapat terjadi karena :
a.
Kolaps kardiovaskular
b.
Fibrilasi ventrikel atau
c.
Asistole ventrikel.
Pernapasan buatan
Membuka jalan napas dan pemulihan pernapasan adalah
dasar pemapasan buatan.
Cara mengetahui adanya sumbatan jalan napas dan apne :
Lihat gerakan dada dan perut

dengar dan rasakan aliran udara melalui mulut atau hidung.


Pada sumbatan total dengan pernapasan spontan, tidak terasa/
terdengar aliran udara melalui mulut/hidung dan ada kesukaran
bernapas dan berlebihan, hingga menggunakan otot pernapasan
tambahan, adanya retraksi interkostal, supraklavikula dan ruang
suprastemal.
Pada sumbatan sebagian dengan pernapasan spontan/buat-
an, ada bunyi aliran udara, misalnya :
snoring (karena sumbatan
pada jaringan lunak hipofaring),
crowing (karena laringospasme),
gurgling (karena benda asing) atau
wheezing (karena obstruksi
bronkhial).
Kegagalan pernapasan (apne) ditandai dengan kurang atau
hilangnya usaha bernapas, tidak adanya gerakan dada atau perut
bagian atas, dan tidak adanya aliran udara melalui hidung atau
mulut.
Jalan napas (airway) :
Berhasilnya resusitasi tergantung dari cepatnya pembukaan
jalan napas. Caranya ialah segera menekuk kepala korban ke
belakang sejauh mungkin, posisi terlentang kadang-kadang su-
dah cukup menolong karena sumbatan anatomis akibat lidah
jatuh ke belakang dapat dihilangkan. Kepala harus dipertahankan
dalam posisi ini.
Bila tindakan ini tidak menolong, maka rahang bawah
ditarik ke depan. Caranya :
Tarik mendibula ke depan dengan ibu jari sambil,
-
mendorong kepala ke belakang dan kemudian,
-
buka rahang bawah untuk memudahkan bernapas melalui
mulut atau hidung.
Penarikan rahang bawah paling bail( dilakukan bila pe-
nolong berada pada bagian puncak kepala korban. Bila korban
tidak mau bernapas spontan, penolong harus pindah ke samping
korban untuk segera melakukan pernapasan buatan mulut ke
mulut atau mulut ke hidung.
Pernapasan (breathing) :
Dalam melakukan pernapasan mulut ke mulut penolong
menggunakan satu tangan di belakang leher korban sebagai
ganjalan agar kepala tetap tertarik ke belakang, tangan yang lain
menutup hidung korban (dengan ibujari dan telunjuk) sambil
turut menekan dahi korban ke belakang. Penolong menghirup
napas dalam kemudian meniupkan udara ke dalam mulut korban
dengan kuat. Ekspirasi korban adalah secara pasif, sambil diper-
hatikan gerakan dada waktu mengecil. Siklus ini diulang satu kali
tiap lima detik selama pemapasan masih belum adekuat.
Pernapasan yang adekuat dinilai tiap kali tiupan oleh pe-
nolong, yaitu diperhatikan :
-
gerakan dada waktu membesar dan mengecil
-
merasakan tahanan waktu meniup dan isi paru korban waktu
mengembang
-
dengan suara dan rasakan udara yang keluar waktu ekspirasi.
Tiupan pertama ialah 4 kali tiupan cepat, penuh, tanpa
menunggu paru korban mengecil sampai batas habis.
Teknik mulut hidung kadang-kadang lebih efektif terutama
bila mulut korban sukar dibuka, atau luka berat di mulut. Cara-
nya sama dengan mulut ke mulut hanya tiupan dilakukan melalui
hidung sedangkan mulut korban ditutup. Sebaliknya, pads tiupan
ke hidung, mulut korban dibuka sewaktu ekspirasi karena langit-
langit mulut (soft palate) dapat mengakibatkan sumbatan di
daerah nasofaring; tiupan diulang satu kali tiap lima detik
(Gambar 1 dan 2).
Pada penderita yang mendapat laringektomi maka tiupan
dapat langsung ke lubang. Di sini tidak perlu penarikan kepala
ataupun penarikan rahang bawah, yang perlu
.
adalah menutup
mulut dan hidung penderita waktu meniup agar udara tidak
keluar.
Anak dan bayi :
Di sini mulut penolong dapat menutup seluruh mulut dan
hidung anak dan volume udara yang ditiup lebih kecil. Tiupan
untuk anak lebih lembut, pada hayi cukup meniup dengan pipi.
Tiupan diulang satu kali tiap tiga detik. Hati-hati waktu menarik
kepala bayi ke belakang karena lehemya masih lunak hingga
malah dapat menyumbat jalan napas.
Bila ada kecurigaan patah tulang leher, pembukaan jalan
napas hanya dengan menarik rahang bawah ke depan.
Benda asing (foreign bodies) :
Penolong tidak perlu mencari benda asing di jalan napas;
usaha pertama waktu meniup paru akan menunjukkan adanya
sumbatan jalan napas; di sini jalan napas hams segera diber-
sihkan.
Cermin Dunia Kedok t eran, Edisi Khusus No. 80,
1992 129
Gambar 1. Metode 1 penolong
Gambar 2. Metode 2 penolong
Caranya : Korban dimiringkan, pundak ditopang oleh lutut
penolong. Mulut korban dibuka paksa dengan teknik jempol
telunjuk disilangkan (Gambar 3)..Kemudian masukkan telun-
juk/dengan jari tengah mulai dari pipi ke arah dasar lidah sampai
tenggorokan, dengan gerakan menyapu. Ulangi beberapa kali
sampai bersih. Bila perlu bantu laringoskop. Bila belum berhasil,
atau terjepit di belakang epiglottis, maka segeralah balikkan kor-
ban ke arah penolong, dan kemudian berikan pukulan keras ke
punggung penderita, lalu coba lagi mengambil dengan tangan.
Bila masih gagal, lakukan pungsi krikoiroid dan masukkan pipa
endotrakhea ukuran 6 mm untuk dewasa. Prosedur ini sebaiknya
130
Cermin Dunia Kedok t eran, Edisi Khusus No. 80, 1992
Gam bar 3.
dilakukan dengan alat dan petugas yang terlatih.
Lambung kembung (gastric distension) :
Keadaan ini dapat terjadi pada pernapasan buatan, sering
pada anak; disebabkan karena tekanan terlalu besar atau jalan
napas tersumbat.
Bahayanya adalah regurgitasi, berkurangnya volume paru
karena diafragma meninggi dan kemungkinan ruptur garter.
Untuk mencegah hal ini, miringkan kepala dan badan korban dan
kemudian tekan perut di antara pusat dan iga terbawah.
Sirkulasi buatan :
Sering disebut juga dengan Kompresi, Jantung Luar (KJL).
Henti jantung (cardiac arrest) ialah terhentinya jantung dan
peredaran darah secara tiba-tiba, pada seseorang yang tadinya
tidak apa-apa; merupakan keadaan darurat yang paling gawat.
Sebab-sebab henti jantung :
- Afiksi dan hipoksi
Serangan jantung
Syok listrik
Obat-obatan
-
Reaksi sensitifitas
-
Transfusi darah
Kateterisasi jantung
Anestesi.
Untuk mencegah mati biologis (cerebral death), pertolong-
an hams diberikan dalam 3-4 menit setelah hilangnya sirkulasi.
Bila terjadi henti jantung yang tidak diduga, maka langkah-
langkah ABC dari tunjangan hidup dasar harus segera dilakukan,
termasuk pernapasan dan sirkulasi buatan.
Henti jantung diketahui dari :
hilangnya denyut nadi pada arteri besar
korban tidak radar
korban tampak seperti mati

hilangnya gerakan bernapas atau megap-megap.


Pada henti jantung yang tidak diketahui, penolong pertama-tama
membuka jalan napas dengan menarik kepala ke belakang. Bila
korban tidak bernapas, segera ti up paru korban 35 kali, lalu raba
denyut a. carotis. Perabaan a. carotis lebih dianjurkan karena :
1.-
Penolong sudah berada di daerah kepala korban untuk me-
lakukan pernapasan buatan.
2. Daerah leher biasanya terbuka, tidak perlu melepaskan pa-
kaian korban.
3. Arteri karotis adalah sentral dan kadang-kadang masih ber-
denyut sekalipun daerah perifer lainnya tidak teraba lagi.
Di rumah sakit dapat juga coba diraba pada a. femoralis dan
daerah prekordial untuk merasakan denyut apikal.
Bila teraba kembali denyut nadi, teruskan ventilasi. Bila
denyut nadi hilang atau diragukan, maka ini adalah indikasi
untuk memulai sirkulasi buatan dengan KJL. Tekanan dilakukan
secara ritmis pada bagian bawah tulang dada, tapi tidak di atas
prosesus xidofeus (Gambar 4).
penolong. Bila ada 2 orang penolong (Gambar : Salah satu berada di camping
korban dan melakukan KJL sedang yang lainnya tetap di arah kepala korban,
menarik kepala korban ke belakang dan melakukan pemapasan buatan. KJL
untuk 2 orang adalah 60 kali/menit.
Bila dilakukan tanpa terputus cara ini dapat mempertahankan aliran darah
dan tekanan darah yang adekuat, menghindari kelelahan si penolong, mudah
dihitung yaitu 1 kali/detik, dan diperoleh sirkulasi dan ventilasi optimum dengan
menyelipkan I tiupan ke pare korban dalam 5 kali kompresi tanpa berhenti (ratio
5 : I). Apabila korban sudah diintubasi, maka peniupan pare lebih mudah dan
jumlah kompresi dapat ditingkatkan sampai 60 kali/menit.
Bila hanya ada 1 orang (Gambar 6), penolong hams melakukan pema-
pasan dan sirkulasi buatan dengan ratio 2 : 15.
Caranya : 2 kali peniupan pare secara cepat, sesudah 15 kompresi jantung.
Karena hams berhenti untuk melakukan peniupan pare maka kecepatan 15
kompresi adalah 80 kompresi/menit (1 kali kompresi dalam detik). Dua kali
peniupan pare hams dilakukan dengan cepat, dalam waktu 5 6 detik tanpa ha-
ms menunggu ekshalasi penuh.
Bayi dan anak :
Untuk anak kecil hanya dipakai sate Langan, untuk bayi hanya dipakai ujung
telunjuk dan jari tengah. Ventrikel bayi dan anak kecil terletak lebih tinggi dalam
rongga dada, jadi tekanan hams dilakukan di bagian tengah tulang dada. Bahaya
robeknya hati lebih besar pads anak karena dada lebih lunak dan hati terletak le-
Gambar 4a.
Selama henti jantung, KJL yang dilakukan dengan baik
dapat menghasilkan tekanan sistolik sampai 100 mm Hg, tapi
diastolik not, dan tekanan rata-rata di a. carotis jarang melebihi
40 mm Hg; aliran darah a. carotis akibat KJL pada penderita
henti jantung hanya mencapai sampai dari normal.
KJL selalu harus disertai pernapasan buatan.
Teknik KJL
Agar KJL efektif, tulang dada bagian bawah hams ditekan minimal 3'/
z
sampai 5 cm (pada dewasa), dan korban hams diletakkan pada alas yang keras dan
datar. Bila korban di tempat tidur, gunakan papan sebagai alas; tetapi jangan
tertunda karena menunggu alas. Kompresi hams teratur, lancar (smooth) dan
tidak terputus-putus.
Karena sirkulasi buatan selalu hams disertai dengan pemapasan buatan,
maka lebih baik ada 2 orang penolong. Tapi dapat juga dilakukan den gan 1 orang
Gambar 4b.
bih tinggi di bawah tulang dada bawah dan xifoid. Tekanan : Pada bayi 1 2 cm,
pada tulang dada, anak kecil 2 4 cm. Jumlah kompresi : antara 80 100 kali/
menit dengan napas buatan secepat mungkin tiap 5 kali kompresi.
Penarikan kepala bayi dan anak ke belakang akan mengangkat punggung-
nya. Jadi bilamelakukan kompresi maka punggung si anak hams diganjal dengan
Langan, sedang Langan yang lain melakukan kompresi jantung.
Memeriksa efektifitas KPR
Selama melakukan KPR maka reaksi pupil harus diperiksa
secara periodik, karena ini adalah petunjuk yang paling balk dari
oksigenisasi dan aliran darah yang adekuat terhadap otak. Bila
pupil dilatasi tapi masih ada refleks cahaya, maka keadaannya
lebih baik.
Denyut a. karotis harus diperiksa secara periodik selama
KPR untuk mengetahui efektifitas KJL atau kembalinya denyut
Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992 131
Gambar 4e. Kompresi jantung luar anak
jantung spontan. Ini harus dilakukan setelah 1 menit KPR dan
selanjutnya tiap beberapa menit.
Pukulan prekordial (precardial thump) :
Dapat dilakukan oleh semua orang bila denyut nadi hilang
pada orang dewasa, pada keadaan :
1. Henti jantung yang disaksikan (misalnya sewaktu melaku-
kan Tunjangan Hidup Dasar).
2. Pasien yang dimonitor (misalnya pasien yang mendapat
Tunjangan Hidup Lanjutan di ICU).
3. Blok atrioventrikular yang diketahui (pada Tun jangan Hidup
Lanjutan).
Tidak dianjurkan pada kasus henti jantung yang mungkin
sudah mengalami hipoksi atau anoksi, dan pada anak-anak.
Dalam melakukan pukulan prekordial, harus diperhatikan :
1. pukulan harus 1 kali saja, keras, cepat pada bagian tengah
tulang dada, dipukul dengan bagian bawah kepalan tangan dari
setinggi 20 30 cm (Gambar 4).
2. pukulan dilakukan dalam jangka waktu 1 menit setelah henti
jantung.
3. bila tidak ada respon segera dilakukan Tunjangan Hidup
Dasar, pukulan tidak perli diulang.
Teknik pada henti jantung yang disaksikan :
tarik kepala korban ke belakang untuk membuka jalan napas
sambil meraba a. carotis.
-
bila tidak ada denyut nadi, lakukan pukulan prekordial.
-
bila korban tidak bernapas, berikan inflasi paru 4 kali dengan
cepat.
bila nadi dan pernapasan tidak pulih, segera lakukan RKP.
Teknik untuk pasien yang
dimonitor :
(pada pasien yang tiba-tiba mendapat fibrilasi ventrikel, asistole
atau takhikardi ventrikel tanpa denyut nadi).

berikan 1 kali pukulan prekordial.


132
Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992
Gambar 4d. Kompresi jantung luar
Gambar 5.
cepat periksa alat monitor untuk ritme jantung dan sekaligus
raba denyut a. carotis.
bila temyata ada fibrilasi ventrikel atau takikardi ventrikel
disertai hilangnya denyut nadi, lakukan defibrilasi
(counter shock)
secepat mungkin.
bila denyut tidak ada, tarik kepala ke belakang dan berikan
4 kali inflasi paru secara cepat dan penuh.
raba denyut carotis lagi.
Gambar 6.
bila tidak ada denyut nadi, mulailah RKP.
Hal-hal yang harus diperhatikan
1) RKP jangan berhenti lebih dari 5 detik dengan alasan apapun
kecuali pada keadaan-keadaan :
-
kesulitan melakukan intubasi; inipun maksimal 15 detik.
- bila ingin naik/turun tangga, jangan lebih dari 15 detik.
2) Tidak perlu memindahkan penderita ke tempat yang lebih
baik, kecuali bila is sudah stabil.
3) Jangan menekan prosesus xifoideus pada ujung tulang dada,
karena dapat berakibat robeknya hati.
4)
Di antara tiap kompresi, tangan harus melepas tekanan tetapi
melekat path sternum, jari-jari jangan menekan iga korban.
5) Hindarkan
.
gerakan yang menyentak. Kompresi harus lem-
but, teratur dan tidak terputus (50% relaksasi).
6) Perhatikan komplikasi yang mungkin terjadi karena RKP,
misalnya : patah tulang dada, terpisahnya iga dan rawan iga,
pneumotorik, hematotorak, kontusio paru, robeknya had, lam-
bung, emboli lemak dan sebagainya.
FASE II : TUNJANGAN HIDUP LANJUTAN
Terdiri atas Tunjangan Hidup Dasar, ditambah langkah-
langkah :
D (drugs) :
Pemberian obat-obatan, dimana termasuk di dalamnya :
- pengobatan definitif, termasuk pemberoan obat-obat untuk
koreksi asidosis dan memelihara irama jantung dan sirkulasi.
- pemberian cairan intervena.
-
penggunaan alat-alat tambahan, misalnya intubasi endo-
trakheal airway, ventilator, oksigen dan sebagainya.
- stabilisasi kondisi penderita.
E (electrocardiograph) :
Diagnosis elektrokardiografis untuk mengetahui adanya
fibrilasi ventrikel, asistole atau agonal ventricle complexes, dan
monitoring.
F (fibrillation treatment) :
Tindakan defibrilasi untuk mengatasi fibrilasi ventrikel.
Pemberian obat-obatan :
Umumnya diperlukan untuk penderita yang mendapat RKP.
Intubasi trakhea dan pemberian 0
2
tinggi adalah penting untuk
mengurangi hipoksemi. Tidak ada bukti bahwa paru akan rusak
dengan pemberian 0
2
konsentrasi tinggi, bila digunakan dalam
waktu kurang dari 24 jam.
Obat-obatan sebaiknya diberikan intravena agar cepat
mencapai sistim kardiovaskular. Pemberian intrakardial hanya
terbatas pada epinefrin, pada awal henti jantung sebelum jalan
intravena tersedia.
Obat-obatan dibagi 2 golongan yaitu :
1. Penting, yaitu : Sodium bikarbonat, Epinephrine, Sulfat
Atropin, Lidokain, Morphin sulfat, Kalsium Khlorida; oksigen
juga dianggap obat yang penting.
2. Berguna
(useful) yaitu obat-obat vasoaktif (Levarterenol),
Isoproterenol (Metaraminol), Propranolol dan Korticosteroid.
Bicarbonas Natricus :
Penting untuk melawan metabolik asidosis. Diberikan iv. dengan dosis
awal : 1 mEq/kg BB, baik berupa bolus ataupun dalam infus setelah selama
periode 10 menit. Dapat jugs diberikan intrakardial
o
). Begitu sirkulasi spontan
yang efektif tercapai, pemberian hams dihentikan karena bisa terjadi metabolik
alkalosis, takhiaritmia dan hiperosmolalitas. Bila ada fibrilasi ventrikel, maka
hams diberikan setelah defribilasi. Bila belum ada sirkulasi yang efektif maka
ulangi lagi pemberian dengan dosis yang lama. Pada penderita yang dirawat,
pemberian sebaiknya berdasarkan basil pemeriksaan gas darah arteri dan pH.
Pemberian hams diikuti ventilasi yang efektif untuk mengeluarkan CO
2
dalam darah arteri. Bila pemeriksaan gas darah dan pH tidak tersedia, maka obat
ini dapat diberikan nap 10 menit, dengan dosis
'
/
2
dosis awal. Metabolik alkalo-
sis dan hiperosmolalitas karena kelebihan pemberian hams dihindarkan.
Obat ini tidak boleh dipakai sendiri dalam kasus-kasus asistole ventrikel,
fibrilasi ventrikel yang persisten. Dalam keadaan ini dosis ulangan epinephrin
dan Bicarbonas Natricus hams diberikan selama melakukan KJL dan pemapas-
an buatan. Pemakaian kombinasi akan mengubah asistole ventrikel menjadi
fibrilasi ventrikel yang kemudian dapat dilakukan defibrilasi. Pemakaian kedua
obat selama fibrilasi ventrikel memperbaiki keadaan miokardium dan memu-
dahkan efektifitas defibrilasi.
Apinephrine :
Walau dalam percobaan epinephrine dapat menghasilkan fibrilasi ventri-
kel, tapi kerjanya dalam memperbaiki aktifitas listrik dalam keadaan asistole
dan memudahkan defibrilasi dalam fibrilasi ventrikel dapat dibuktikan juga.
Epinephrine menambah kontraktilitas miokard, meninggikan tekanan perfusi,
menurunkan ambang defribrilasi, dan dalam beberapa kasus memperbaiki kon-
traktilitas miokard dalam disosiasi elektromekanis.
Dosis :
'
/
2 ml dari larutan 1/1000 dilarutkan dalam 10 ml, atau 5 ml dad
larutan 1/1000, hams diberikan iv. setiap 5 menit selama usaha resusitasi.
Pemberian intrakardial hanya dilakukan oleh tenaga terlatih, bila terdapat
kesulitan dalam memberikan iv.
Sulfas Atropin :
Mengurangi tonus vagus, memudahkan konduksi atrioventrikular dan
mempercepat denyut jantung pada keadaan sinus bradikardi.
Paling berguna dalam mencegah arrest pada keadaan sinus bradikardi
Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1 992
133
sekunder karena infark miokard, terutama bila ada hipotensi. S.A. diindikasikan
pada sinus bradikardi (< 60 kalilmenit) bila disertai dengan kontraksi ventrikel
prematur atau tekanan sistolik < 90 mm Hg. Juga digunakan pada blok atrioven-
trikuler derajat tinggi bila disertai dengan bradikardi.
Ia tidak berguna pada bradikardi ventrikel ektopik bila aktifitas atrium ti-
dak
ada.
Dosis yang dianjurkan '/= mg, diberikan iv.
sebagaibolus dandiulang dalam
interval 5 menit sampai tercapai denyit nadi > 60/menit. Dosis total tidak boleh
melebihi 2 mg kecuali pada blok atriventrikuler derajat 3 yang membutuhkan
dosis lebih besar.
Lidocaine :
Meninggikan ambangfibrilasi dan mempunyai efek atriaritmi dengan cara
meninggikan ambang stimulasi listrik dart ventrikel selama diastole. Pada dosis
terapeutik biasa, tidak ada perubahan bennakna dart
kontraktilitas miokard,
tekanan arteri sistemik, atau periode refrakter absolut. Obat ini terutama efektif
menekan iritabilitas sehingga mencegah kembalinya fibrilasi ventrikel setelah
defibrilasi yang berhasil. Ia juga efektif mengontrol denyut ventrikel prematur
yang multifokal dan episode takhikardi ventrikel.
Dosis : 50 100 mg
diberikan iv. sebagai bolus, pelan-pelan dan bisa
diulang bila perlu. Dapat dilanjutkan dengan infus kontinu 13 mg/menit,
biasanya tidak lebih dart 4
mg/menit, berupa lidocaine 500 ml dextrose 5%
larutan (I mghnl). Lidocaine tidak berguna pada keadaan asistole.
Morphin Sulfa:
Bukan indikasi pada RKP, tapi penting pada kasus-kasus infark miokard
untuk mengurangi nyeri dan pads pengobatan edema pare.
Untuk mengurangi nyeri pada miokard infark akut, 1 ml (3 mg) sampai
1
'
/
=
ml (4,5 mg) diberikan iv. tiap 5 sampai 30 menit (kalauperlu). Pengalaman
menunjukkan bahwa dosis kecil tapi sering
menghasilkan efek yang diinginkan
dan menghindari depresi pemapasan.
Kalsium
Khlorida :
Menambah kontraktilitas miokard, memperpanjang sistole dan memudah-
kan perangsangan
ventrikel. Pemberian iv. yang terlalu cepat akan menekan
pembentukan impuls sinus, hingga dapat terjadi kematian tiba-tiba, terutama
pada penderita yang mendapat digitalisasi.
Calchlorida berguna pads kolaps kardiovaskular yang berat (karena di-
sosiasi elektromekanis); is dapat berguna memperbaiki ritme listrik dalam kasus
asistole dan memudahkan defibrilasi listrik.
Dosis kalsium yang dibutuhkan henti jantung darurat sukar ditentukan.
Dosis yang dianjurkan adalah 2,5 ml
sampai 5 ml dart larutan 10% (3,4 sampai
6,8 mEq Ca). Kalau perlu dapat diberikan iv. sebagai bolus dengan interval 10
menit.
Ca-glukonat lebih sukar terionisasi. Bila dipakai, dosisnya adalah
10 ml,
dari larutan 10% (4,8 mEq). Dosis besar ulangan dapat meninggikan kadar
kalsium darah dengan efek yang merugikan; tidak boleh diberikan bersama
dengan
Bicarbonas Natricus karena dapat menggumpal.
Cara lain pemberian obat -obat an :
Bila memberikan obat-obatan secara iv. maka epinephrine (1 2 mg/l O ml
aquadest) atau lidocaine (50 100 mg/10 ml aquadest) cukup efektif bila di-
berikan langsung ke dalam trakhea bronkhus melalui pipa endotrakheal. Untuk
obat RKP lain, belum ditemukan cara lain.
S.A. 2 mg atau lidocaine 300 mg secara intramuskuler cukup efektif untuk
mengontrol disritmia, tapi memerlukan sirkulasi spontan yang adekuat.
Obat-obat vasoaklif (levart erenol, met arminol) :
Pemberian obat-obatan vasokonstriktor perifer yang kuat mendapat tan-
tangan dart beberapa ahli karena kemungkinan pengurangan aliran darah se-
rebral, jantung dan ginjal. Pilihan vasokonstriktor dan obat-obat inotropik positif
belum dapat diterima semua orang, tetapi selama KJL dan periode post resusitasi,
tekanan darah hams dipertahankan.
Kolaps pembuluh darah perifer,, klinis ditandai dengan hipotensi dan hi-
Ian gnya vasokonstriksi perifer, dapat diatasi levarterenol (Levophed ) bitartrate
dalam konsentrasi 16 mg/ml atau metaraminol bitartrate (Aramine) dalam
konsentrasi 0,4 mg/ml dextrose dalam air secara iv.; metariminol dapat diberikan
secara iv. sebagai bolus dengan dosis 25 mg tiap 5 10 menit.
Pemberian kontinu dibutuhkan untuk menjaga tekanan darah dan urine
out put
agar
tetap baik. Obat-obat ini adalah vasokonstriktor kuat dan berefek
inotropik positif terhadap jantung. Tenttama berguna bila tahanan perifer sis-
temik rendah.
134 Cermin Dunia Kedok t eran, Edisi Khusus No. 80, 1992
Isoprot erenol
Merupakan obat pilihan untuk pengobatan segera (bradikardi hebat karena
complet e heart block ). Ia diberikan dalam infus dengan jumlah 2 sampai 20 mg/
menit (1 10 ml larutan dart 1 mg dalam 500 ml dextrose 5%), dan diatur untuk
meninggikan
denyut jantung sampai kira-kira 60 kali/menit. Juga bergunauntult
sinus bradikardi berat yang tidak berhasil diatasi dengan Atropine.
Propranolol
Suatubet a-adrenergic block er yang efek anti aritmianya terbukti berguna
untuk kasus-kasus takhikardi ventrikel yang berulang atau fibrilasi ventrikel
berulang dimana ritme jantung tidak dapat dipelihara dengan Lidocaine.
Dosis umumnya adalah 1 mg iv, dapat diulang sampai total 3 mg, dengan
pengawasan yang ketat.
Pemakaian hams hati-hati pada penderita dengan COPD dan kegagalan
jantung.
Kort ik ost eroid
Sekarang lebih disukai Kordikosteroid sintetis (5 mg/kg BB methyl predni-
solon sodium succinate atau 1 mg/kg BB dexamethasone fosfat) untuk peng-
obatan syok kardiogenik ataushock lung
akibat henti jantung. Bila ada kecuri-
gaan edema otak setelah henti jantung, 60 -100 mg methyl prednisolon sodium
succinate tiap 6 jam akan menguntungkan. Bila ada komplikasi pans seperti
pneumonia post aspirasi, maka digunakan dexamethasone fosfat 4 8 mg tiap 6
jam.
Obat-obat lain
Diuretik kuat, hipothermia dan controlled hyperventilation akan berguna
untuk mencegah edema otak yang mungkin terjadi setelah resusitasi berhasil.
Diuretik kuat (furosemid dan ethacrinic acid) dalam dosis 40 -200 mg akan
membantu diuresis; hiporosmolalitas akan bertambah berat.
Perlengkapan pembantu dan tehnik-tehnik khusus :
Perlengkapan pembantu (tambahan) tidak mutlak perlu untuk
RKP. dapat dipakai bila tersedia, tapi oleh tenaga-tenaga terlatih.
Tunjangan Hidup Dasar tidak usah menunggu perlengkapan.
Perlengkapan pembantu untuk jalan napas dan ventilasi, antara lain :
Oksigen, dipakai secepat mungkin bila ada, karena udara ekspirasi pe-
nolong hanya mengandung 1617% oksigen. Hipoksia akan mengakibatkan
metabolisme asisdosis, yang sering menyulitkan pengobatan kimia dan listrik.
Oropharyngeal airway
Stube
Masker
Bag valve mask devices dan bellows
Intubasi endotrakhea :
Oksigen paru korban dengan peniupan udara ekhalasi dart penolong sebaik-
nya menggunakan alat seperti pipa endotrakhea. Peniupan pant yang adekuat
membutuhkan tekanan faring yang tinggi; Tekanan ini menekan lambung hingga
memudahkan regurgitasi dengan bahaya aspirasi isi lambung ke dalam pans.
Indikasi intubasi endotrakhea termasuk :
hentijantung
henti napas
bila penolong tidak bisa meniup korban dengan cara biasa
korban tidak dapat melindungi jalan napasnya sendiri (coma, arefleksia)
atau
ventilasi pant yang berkepanjangan.
Alat pernapasan buat an mekanis :
Jangan memakai alas yang biasa (IPPB, PNPB) karena KJL yang efektif
akan menghentikan siklus inflasi terlalu cepat, lebih baik dipakai alat yang time
cycled atau yang diatur secara manual (dengan tangan).
Alat-alat seperti ini hams :
-
Menghasilkan aliran 100 lhnenit atau lebih dan mempunyai katup peng-
aman bila tekanan inspirasi mencapai 50 cm H
2
O.
Menghasilkan oksigen 100%.
Tetap bekerja baik pada benmacam suhu lingkungan.
Alat penghisap (suct ion).
Naso gastric tube untuk dekompresi lambung.
Alat -alat t ambahan unt uk sirk ulasi buat an :
Papan/alas keras : cukup bila bentkuran panjang dari punggung sampai
pinggang korban dan selebar tempat tidur.
-
Kompresor dada mekanis baik manual/otomatis.
Kompresi jantung dalam (Int ernalcardiac compression) hanya diindikasikan
bila JUL tidak efektif.
Keadaan-keadaan ini ialah :
Luka tembus ke jantung dan lain-lain luka tembus thorak
tamponade jantung
emfisema berat hingga terdapat barrel chest type
deformitas dada/tulang punggung.
Tindakan ini hanya dilakukan oleh dokter yang terlatih, ada perlengkapan
dan fasilitas. Caranya : Thorakotomi dilakukan pada sela iga ke 5 kiri, dan
kantung perikardium dibuka agar dapat melakukan kompresi jantung langsung
secara manual.
Tension pneumot horax diatasi dengan menusuk jarum besar di daerah
pneumathoraxnya pada ruang interkostal 2,5 cm dari garis tengah, bila tepat
segera pasang wat er seal drainage.
Electrocardiographic monitoring :
Harus segera dilakukan pada semua pasien yang mengalami
gejala/kemungkinan serangan atau kolaps yang tiba-tiba. Ke-
banyakan kematian mendadak setelah infark miokard disebab-
kan karena gangguan listrik, terutama setelah/beberapa jam
setelah kerusakan miokard atau iskhemi berat.
Pada saat kritis ini pasien harus dimonitor terus menerus.
Walaupun perubahan irama jantung dapat terjadi mendadak, ke-
adaan ini dapat dicegah dengan pengobatan dan
early detection.
Petugas harus dapat mengenal paling sedikit disritmia ECG
sebagai berikut :
1) Cardiac standstill (asistole ventrikel)
2) Bradikardi (denyut kurang dari 60 kali/menit)
3) Beda antara irama supra ventrtkular dan ventrikular
4) Kontraksi ventrikular prematur (frekuensi. multifokal dan
R on T)
5) Takhikardi ventrikular
6) Fibrilasi ventrikel
7) Semua derajat blok atrioventrikular
8) Flutter dan fibrilasi atrium.
Defibrilasi (defibrillation treatment)
Fibrilasi ventrikel terutama terjadi karena insufisiensi ko-
roner, efek samping obat electrocution,
hampir tenggelam, kate-
terisasi jantung pads jantung yang sensitif atau sewaktu usaha
resusitasi karena asistole.
Pada fibrilasi ventrikel, kerja jantung sulit kembali normal
bila tanpa pengobatan defibrilasi. Voltage rendah dapat menim-
bulkan fibrilasi, sedangkan voltage tinggi yang sesuai dengan
dapat mengakhiri fibrilasi. Cam paling efektif untuk mengakhiri
fibrilasi ventrikel adalah
electric counter shock; ini dapat dila-
kukan dengan arus searah (direct current) atau arus bolak-balik
(alternating current). Counter shock dengan arus searah lebih
efektif pada jantung yang besar, juga pada pasien yang hipo-
thermi.
Sebelum melakukan
counter shock jantung hams teroksi-
genisasi baik. Tenaga yang dianjurkan untuk
direct ext ernal
counter shock
adalah 20 watt sekon atau lebih pada dewasa dan
100 watt sekon pads anak. Defibrilasi dengan arus bolak-balik
pada dewasa perlu 500 1000 volt dengan 0,1 0,25 detik, juga
harus dipakai kabel yang
heavy duty untuk mencegah penurun-
an ampere.
Dianjurkan pemakaian energi tinggi karena kegagalan pada
counter shock
yang pertama akan memperlambat mulainya
sirkulasi spontan. Pemakaian'counter
shock
energi tinggi dari
luar tidak akan mengakibatkan kerusakan jantung atau
mengganggu kontraksi spontan.
Teknik : oleskan pasta pada elektroda,
juga pada kulit, dapat juga diguna-
kan kasa yang dibasahi dengan saline.
Letakkan satu elektroda tepat di bawah klavikula kanan, dan elektroda yang
kedua di sekitar apex jantung, di bawah puling susu kin. Tekan dengan baik.
Orang-orang lain yang membantu resusitasi diminta untuk
menghindarkan kon-
tak dengan pasien atau tempat tidumya. Lalu hidupkan defibrilator, pegangan
elektroda harus tetap baik. Bila beberapa count er shock
gaga] mengakhiri fibri-
lasi
ventrikel, pemberian epinephrine, bikarbonat dan kompresi jantung hams
diulang.
Bila dipakai defibrilasi anus bolak-balik maka syok yang diberikan secara
seri lebih berguna. Pada fibrilasi ventrikel
yang int ract able, diberikan obat-obat
antiaritmi: Lidocaine (Xylocaine) sekarang lebih disukai, dosis 1 mg/kg 1313 iv,
sate dua menit kemudian count er shock diulangi.
Obat anti aritmi yang lain
adalah Quinidine dan prokainamid, keduanya dosis 1 3 mg/kg 1313.
Usaha untuk mengakhiri fibrilasi ventrikel
harus dilanjutkan sampai ber-
basil atau bila sudah ada tanda kematian otak. Bberapa penderita berhasil dengan
fungsi saraf normal setelah 1 2 jam fibrilasi ventrikel.
Bil a fibrilasi ventrikel atau takhikardi ventrikel terjadi ketika pasien sedang
dalam monitor (misalnya di ICCU/ICU),
maka count er shock dapat dilakukan
segera oleh perawat terlatih tanpa hams melakukan pemapasan
buatan dan KJL.
Setelah fibrilasi, ECG dapat memberi
gambaran asostole, abnormal EKG
complexes atau EKG normal. KJL hams tetap dilanjutkan selama denyut carotis
atau
femoralis masih belum ada, tanpa hams melihat gambaran EKG. Pada
asistole, RKP disertai dengan pemberian epinephrine atau
katekholamine lain
dan bikarbonat.
Bila ada gambaran EKG complexes tapi disertai hipotensi
yang lama atau
tidak teraba denyut, dapat diberikan kardiotonica, seperti Kalsium chlorida 500
mgtiap 3 5 menit iv. atau Ca. gluconate 10 ml, larutan 10%), dan/atau
vasopressor (misalnya Norepinephrin dalam infus) dan obat-obat alkanilisasi.
FASE III : TUNJANGAN
HIDUP TERUS MENERUS
G (gauge) : Pengukuran-pengukuran :
Tindakan selanjutnya ialah melakukan monitoring
terus
menerus keadaan, terutama yang berhubungan dengan ke-
gawatannya, dan dilakukan pemeriksaan untuk evaluasi dan
mencari penyebab keadaan gawat tadi, dan mengobatinya.
Mo-
nitoring dilakukan terutama untuk menilai fungsi-fungsi perna-
pasan, peredaran darah dan susunan saraf.
H (Head) : Resusttas otak :
Tindakan selanjutnya merupakan resusitasi untuk menye-
lamatkan otak dan sistim saraf akibat
cardiac arrest dari ke-
rusakan-kerusakan lebih lanjut, sehingga tercegah kelainan
neurologik yang permanen.
H (hypothermia)
H (humanization)
Hams diingat bahwa korban yang ditolong adalah manusia,
yang mempunyai perasaan sedih, takut, kesepian, marah dan
sebagainya. Oleh karena itu semua tindakan, seperti lazimnya
tindakan medik, hendaknya didasarkan perikemanusiaan.
I (intensive care) :
Dapat dilakukan di ICU
(General ICU) yang dapat dibagi
menjadi ICU dewasa dan ICU anak, atau dalam
Special Care
Unit, seperti ICCU,
Burn Unit, Neonatal Unit, Renal unit dan
sebagainya.
RESUSITASI OTAK
Dalam prakteknya langkah G-H-I sesuai dengan
Brain orient ed prolonged
lifesupport .
Kerusakan otak yang terjadi akibat iskhemi terutama berupa ganggu-
an metabolisme, edema yang bila tidak ditanggulangi dengan balk akan me-
Cermin Dunia Kedok t eran, Edisi Khusus No. 80, 1992 135
nyebabkan infark serebri yang menyebabkan kelainan neurologik permanen.
Mean arterial pressure (MAP) diusahakan untuk tidak kurang dari 80 mmHg.
Tekanan darah dinaikkan untuk waktu singkat (1 5) menit antara MAP 110
130 mmHg untuk memperoleh reflow promoting melalui penambahan volume
darah dengan larutan atau larutan koloid atau infus dopamine.
Hipertensi yang terlalu lama hams dicegah karena akan memperburuk
keadaan dengan timbulnya vasogenic cerebral edema dan kenaikan tekanan in-
trakranial.
Hipotensi juga hams dihindarkan karena memperburuk no reflow
phenomena. CVP dipasang dan diusahakan tidak kurang dari 10 cm H
2
0.
Penderita dilumpuhkan dengan neuro muscular blocker untuk mencegah
batuk dan mengedan yang akan meninggikan tekanan intrakranial. Tabung endo-
trakheal dipasang, pemapasan diatur dengan mesin pemapasan, sehingga terjadi
hiperventilasi, pCO
2
dipertahankan antara 23 -35 torr dan PaO
2
di atas 100 torr,
dengan memperhatikan kemungkinan terjadinya keracunan oksigen pada paw.
0
2
90100% dapat diberikan selama 12 jam kemudian diikuti dengan 50%. pH
darah dipertahankan antara 7,3 -7,6 dengan tetap berusaha mencegah pemberian
alkali yang berlebihan.
Suhu badan dimonitor dan diusahakan tetap normothennis. Hiperthermia
akan menyebabkan hipermetabolisme dan menambah edema, suhu badan di atas
41C dapat menyebabkan kerusakan saraf yang permanen; keadaan ini hams
segera diatasi dengan pendinginan pennukaan tubuh dibantu dengan obat-obat
vasodilatasi dan depresi hipothalamus, seperti : chlorpromazine, barbiturat dan
lain-lain.
Kecuali pada bayi kecil, penurunan suhu yang mungkin terjadi tanpa
disengaja tidak membutuhkan pengobatan kecuali pencegahan terhadap meng-
gigil dengan antishivering agent. Meskipun hasil penyelidikan masih diragukan,
hipothermi sampai suhu badan 32 36C dianggap mengurangi metabolisme
otak dan mencegah edema. Hipotermia yang disengaja masih sering dilakukan
untuk melindungi otak pada operasi otak.
Hematokrit dipertahankan antara 30 40%. Hemodilusi ringan lebih di-
sukai daripada hemokonsentrasi untuk memperbaiki mikrosirkulasi.
Transport glukosa melalui blood brain barrier
sangat mungkin terganggu
oleh karena itu infus glukosa, parenteral atau
tube feeding harus segera dimulai.
Infus yang diberikan dapat berupa glukosa 5 10% dalam NaCl 0,25 0,5%
ditambah dengan kalium, asam amino dan vitamin. Jumlah kalori hams cukup
dan kadar glukosa darah boleh dibiarkan agak tinggi, antara 100 300 mm%
karena kerusakan otak biasanya disebabkan karena kekurangan kalori akibat
meningkatnya kebutuhan dan katabolisme.
Dexamethason 1 mg/kg diikuti dengan 0,2 mg/kg tiap 6 jam, atau metil
prednisolon 5 mg/kg diikuti dengan 1 mg/kg tiap 6 jam. Khasiat steroid dalam
mencegah kerusakan otak memang belum dibuktikan, tetapi umumnya dianggap
akan terjadi stabilisasi membran, mengusir radikal bebas, mengurangi produksi
cairan serebrospinal secara periodik dan meninggikan ambang kejang.
EEG diperiksa secara periodik dengan monitor
EEG. Kejang yang terjadi,
baik yang tampak secara klinis atau pada EEG diberantas dengan barbiturat,
dilatin atau diazepam; dapat pula diberikan untuk menurunkan metabolisme
tingkat neuron, sekaligus mencegah atau mengurangi terjadinya kejang dan
hiperaktifitas EEG karena hipennetabolisme; bila mungkin digunakan EEG
khusus dengan sistim komputer yang dapat segera mengetahui kejang serta
perubahan derajat kesadaran.
Apabila belum tampak perbaikan derajat coma dan secara klinis diduga
masih ada edema serebri, dapat dilakukan advanced brain monitoring;
tekanan
intrakranial dimonitor
dengan kateter ventrikel. Apabila terdapat peningkatan
tekanan intrakranial dari 15 torr yang dapat mengganggu tekanan perfusi di otak
atau diduga keras adanya serebral edema maka langkah yang dapat dilakukan
adalah :
1) Dengan kurarisasi yang adekuat pemapasan dibuat lebih hiperventilasi
dengan PaCO
2
antara 20 25 torr, yang akan menurunkan volume darah
intrakranial.
2) Drainase cairan serebro spinalis dengan perlahan-lahan.
3) Osmotherapi, misalnya dengan memberikan infus :
a) Mannitol 0,25 1 g/kgbb dan apabila dilanjutkan, dengan 0,3 g/kgbb/jam.
b)
Gliserol 10% (dalam 5% dextrosa atau 0,5% NaCl) diberikan 1 g/kg/2 jam
dan dilanjutkan menurut kebutuhan.
Gliserol lebih disukai dibandingkan dengan mannitol karena kurang me-
nyebabkan rebound phenomenon. Glukosa hipertonik mempunyai pula sedikit
efek osmotherapi. Dextran dan albumin dapat pula mengurangi cairan otak
dengan meningkatkan tekanan onkotik.
4) Barbiturat (Thiopental atau Pentobarbital) diberikan iv 1 3 mg/kgbb dan
136 Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992
dapat diulang menurut kebutuhan. Pada bayi dan anak kecil dapat diberikan dosis
yang lebih tinggi, yaitu 3 5 mg/kgbb.
Methohexital dan phenobarbital belum dicoba dipergunakan akan tetapi
diduga mempunyai efek yang sama dengan obat-obat tadi, yaitu menurunkan
metabolisme dengan memperbaiki perfusi, menekan hipermetabolisme karena
sekresi katekholamin, mencegah destmksi dinding sel karena sekresi oleh zat-zat
kimia radikal yang bebas, secara langsung mengurangi edema intra dan ekstra
sellular, memperbaiki metabolisme sel-sel otak sehingga tetap bisa hidup, men-
cegah dan menekan kejang, hiperaktifitas dan laktoasidosis, menurunkan te-
kanan intrakranial.
Barbiturate loading, yaitu pemberian barbiturat berupa Thiopental dengan
dosis tinggi 30 50 mg/kgbb, telah dicoba dengan hasil yang memuaskan; akan
tetapi ini hams diikuti dengan pengawasan ketat, mengingat bahwa Thiopental
dalam dosis biasa bersifat depresi peredaran darah terutama pada jantung yang
telah sakit, mengurangi iritabilitas jantung dan menyebabkan hipotensi, aritmi
dan henti jantung yang berulang. Bleyaert membuktikan bahwa dengan pem-
berian Thiopental 90 mg/kgbb pads otak monyet yang sudah mengalami iskhe-
mia selama 15 dan 5 menit, maka dapat terjadi penyembuhan neurologis. Bila
pemberian terlambat menjadi 30 60 menit sesudah iskhemia, maka terjadi
penyembuhan. Bila Thiopental diberikan 120 mg/kgbb, pada 30 60 menit
sesudah iskhemia, maka dapat juga terjadi penyembuhan neurologis.
Kesimpulan Bleyaert, makin cepat pemberian Thiopental dan makin besar
dosis maka lebih balk penyembuhan neurologis. Tetapi dosis optimal belum
diketahui. Bagaimana mekanismenya masih jelas, mungkin karena penurunan
metabolisme oksidasi otak, aliran darah otak dan tekanan intrakranial.
Micheafelderpada percobaanriya dengan monyet, memberikan Thiopental
14 mg/kgbb kemudian 7 mg/kgbb tiap 2 jam dan memperoleh hasil yang sama.
5) Hipoermi (hanya pada anak besar dan orang dewasa) suhu badan di-
turunkan sampai 30 32C, pendinginan permukaan tubuh dengan penggunaan
selimut khusus yang dialiri cairan dingin dari alat. Dengan cara ini diharapkan
terjadi penurunan metabolisme, pengarangan edema dan melindungi aktivitas
enzim-enzim menghambat penurunan ATP dan penimbunan
asam laktat.
Computerized Axial Tomography (CAT Scan) telah banyak digunakan
sebagai pengganti arteriografi yang sangat berbahaya pada penderita-penderita
dalam keadaan gawat. Dengan cara ini dapat segera diketahui adanya gangguan
dalam otak berupa massa seperti hematoma intrakranial atau tumor.
Monitoring lainnya yang telah dicoba ialah kateterisasi vena cerebralis dan
mengukur kadar zat asam, asam laktat, glukosa dan lain-lain. Selain itu telah
dicoba pula untuk mengukur cerebral blood floew, mengukur pH dan asam laktat
dari cairan cerebrospinalis, yang hasil-hasilnya belum memuaskan.
AWAL DAN PENGAKHIRAN RKP
Resusitasi dilakukan pada infark jantung yang memberikan
electric death, serangan Adam Stokes, hipoksia akut, keracunan
dan kelebihan obat-obatan, electrocution, vagal reflex,
tenggelam
dan kecelakaan lain yang kemungkinan hidup lebih lama. Pada
acute respiration distress reoksigenasi harus segera dimulai.
Bila henti jantung telah berlangsung lebih dari 10 menit, mungkin
resusitasi tidak bisa memulihkan penderita ke status SSP sebe-
lum henti jantung; bila ragu saat terjadinya henti jantung, segera
saja lakukan RKP. Tidak perlu resusitasi pada stadium terminal
suatu penyakit yang tidak bisa disembuhkan.
Keputusan untuk memulai dan mengakhiri usaha resusitasi
adalah masalah med is, tergantung pada pertimbangan penafsiran
status serebral dan kardiovaskular penderita. Kriteria terbaik
adanya sirkulasi serebral dan adekuat adalah reaksi pupil, tingkat
kesadaran, gerakan dan pernapasan spontan dan refleks. Keadaan
tidak radar yang dalam tanpa pernapasan spontan dan pupil tetap
dilatasi 15 30 menit, biasanya menandakan kematian serebral
dan usaha-usaha resusitasi selanjutnya biasanya sia-sia. Kema-
tian jantung sangat mungkin terjadi bila tidak ada aktivitas
elektrokardiografi ventrikuler secara berturut-turut selama 10
menit atau lebih sesudah RKP yang tepat, termasuk terapi obat.
Pada anak atau pads keadaan istimewa, resusitasi harus di-
lanjutkan lebih lama.
Tanda prognostik yang baik ialah cepat kembalinya refleks
mata dan traktus respiratorius bagian atas. Bila sirkulasi telah
spontan dan tekanan darah lebih dari 60 ton, kompresi jantung
dapat dihentikan; ulangi KJL bila perlu.
Kemajuan-kemajuan di bidang resusitasi telah memberi
berbagai definisi kematian :
1) Mati Klinis : hilangnya peredaran darah dan gerakan per-
napasan disertai hentinya aktivitas korteks serebri, tapi bersifat
sementara dan reversibel.
2) Mati biologic : peredaran darah dan pernapasan dapat di-
pertahankan secara spontan atau buatan, tetapi kegiatan korteks
serebri tidak dapat dikembalikan dan bersifat irriversibel.
3) Mati sosial : peredaran darah dan pernapasan dapat diper-
tahankan secara spontan/buatan, aktivitas korteks serebri masih
ada tapi abnormal, kesadaran penderita menurun/koma, dalam
keadaan vegetatif yang tidak mungkin dikembalikan.
KESIMPULAN
Bagian anestesi suatu rumah sakit atau fakultas kedokteran
yang mendidik calon ahli anesthesiologi dapat dipakai sebagai
pusat pendidikan resusitasi bagi para dokter dan paramedik.
Tenaga medik dapat efektif melakukan resusitasi bila telah ber-
partisipasi dalam suatu kursus yang mencakup praktek pada
manikin dan terlatih dalam pemeliharaan jalan napas dan venti-
lasi buatan pads pasien-pasien yang dibius di bawah supervisi
ahli anesthesiologi. Kota-kota besar memerlukan adanya emer-
gency unit dengan jaringan yang luas, yang dapat mengambil
tindakan lebih awal dalam resusitasi dan usaha-usaha menolong
kehidupan di tempat kejadian, selama transportasi dan di rumah
sakit.
KEPUSTAKAAN
1. Snow JC. Manual of Anesthesia. Boston, Tokyo: Little, Brown andCo. 2nd
ed. Igaku Shoin Ltd, 1980.
2. Lee JA, Atkinson RS. A Synopsis of Anesthesia, ELBS andBirstol: John
Wright & Sons Ltd, 7th ed, 1975.
3.
Catron DG. The Anesthesiologist Hand Book. Baltimore, London, Tokyo:
University Park Press, 1977.
4.
Brooks SM. Basic facts of Body Water and Ions. New York: Springer Publ
Co Inc, 2nd ed, 1977.
5. Wylie WD, Chusvhill-David son HC. A practice of Anesthesia. 7th ed. WB
Saunders Co, 1960.
6. Collins WJ. Principle of Anesthesiology, 2nd ed. Philadelphia: Lee &
Febinger, 1976.
7. Donovan JEO, Galbally. Manual of Intensive Care, Dep Resuscitation, Sint
Vincent Hiospital, Melbourne Australia.
8.
Nunn JF. Applied Respiratory Physiology with special reference to Anes-
thesia, 3th ed. London: Butterworth & Co, 1972.
9.
Wood-Smith FC, Fickers MD, Stewart HC. Drugs in Anesthesia Practice,
4th ed. London & Bonston: Butterworth, 1973.
10. Goundsonzian NG, Agop Kermanian MD. Physiology for Anesthesiology,
3th ed. Appleton Century Crofts, 1977.
11. Safar. Cardio Pulmonary Resuscitation.
12. Standards for Cardio Pulmonary Resuscitation (CPR) and Emergency
Cardiac Care (ECG), Suppl JAMA (Feb) 1974; 227(7).
13. Sunatrio. Resusitasi Kardio Pulmoner, Medika 1978; 4(8): 335-45.
14. Kasim YA. Cardio Pulmonary Cerebral Resuscitation pads anak. Critical
care pediatrics. Berita Klinik IDAI 1980; 6(1).
15. Lichtiger M, Moya F. CPR, Introduction to the practice of Anesthesia, 2nd
ed. 520.
16. Bleyaert AL et al. Thiopental amelioration of brain damage after global
ischemia in monkeys, Anesthesiology 1978; 49: 390-8.
17. Michenfelder YD et al. Cerebral protection by barbiturate anesthesia, Arch
Neurol 1978; 33: 345-50.
18. Kurikulum Inti Pendidikan Dokter Indonesia (KIPDI) tahun 1984.
Cermin Dunia Kedok t eran, Edisi Khusus No. 80, 1992 137
Makalah Lain
Pengiriman dan Pengelolaan
Jaringan untuk Diagnosis
Penyakit secara Histopatologik
Joko, S. Lukito, H. Soekimin, Delyuzar, T. Kemala Intan
Laboratorium Patologi-Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan
PENDAHULUAN
Minat para klinisi untuk memeriksakan jaringan baik yang
diperoleh dengan cara biopsi atau operasi semakin meningkat.
Pengelolaan jaringan tersebut umumnya sudah memadai, namun
masih ada jaringan yang pengelolaannya tidak memadai se-
hingga bahan tersebut tidak sempurna sampai ke laboratorium
patologi. Data yang lengkap, pengelolaan jaringan yang baik
akan sangat membantu menegakkan diagnosis oleh laboratorium
patologi.
Informasi yang kurang, sediaan yang tidak adekuat dan
pengelolaan jaringan yang tidak baik akan memberikan basil
yang kurang sempurna dari Patologi-Anatomi.
Maksud dari tulisan ini mengemukakan beberapa faktor
yang perlu menjadi perhatian para klinisi pengelolaan spesimen/
sediaan biopsi atau operasi.
PENGIRIMAN FORMULIR
Formulir permintaan pemeriksaan Patologi-Anatomi berisi
identitas penderita yaitu nama, kelamin, umur, serta alamat.
Lokasi jaringan dan cara jaringan diambil misalnya biopsi,
operasi, kerokan, insisi, oleh karena lokasi yang berbeda akan
membuat interpretasi yang berbeda pula. Kesimpulan dan saran
dan Patologi juga akan berbeda apabila bahan tersebut diambil
secara biopsi dengan suatu operasi radikal, misalnya mastek-
tomi, atau pengangkatan uterus beserta adnexanya.
Keterangan klinik pemeriksaan penunjang laboratorium,
foto,
USG, dan diagnosis sementara sangat diperlukan untuk
melengkapi data yang akurat sehingga membantu diagnosis pa-
tologinya.
Misalnya kelainan tulang hendaknya disertai dengan
foto rontgen dari tulang tersebut.
Untuk menentukan apakah batas sayatan operasi telah bebas
dan tumor, hendaknya klinisi membuat tanda-tanda mana
bagian atas, bawah, kiri, kanan permukaan atau dasar dari tumor
138 Cermin Dunia Kedok t eran, Edisi Khusus No.
80, 1992
dengan menggunakan sutra, cat gut
atau tinta cina. Terutama
untuk lambung, usus, mana yang bagian anal dan mana bagian
kaudal; ovarium kanan atau kiri.
PENGIRIMAN SPESIMEN
Bahan operasi dan biopsi sebaiknya seluruhnya dikirim ke
laboratorium Patologi atau dipilih bagian yang paling represen-
tatif. Apabilaklinisi ingin membandingkan diagnosis yang dibuat
oleh laboratorium Patologi bersangkutan, klinisi dapat meminta
kembali bahan tersebut setelah selesai diperiksa maupun slide
mikroskopiknya, baik untuk diperiksakan ke laboratorium lain
atau sebagai kenang-kenangan pasien.
Beberapa cara pengiriman :
1)
Bahan operasi dari usus, sebaiknya kotorannya dicuci dahulu
dan ikatannya dibuka, juga kalau jaringannya banyak mengan-
dung darah oleh karena akan menghalangi bahan fiksasi ke
jaringan sehingga jaringan akan cepat lisis.
2) Apabila bahan terlalu besar maka jaringan tersebut harus
dipotong lameller dengan jarak 4 5 mm tapi bagian bawahnya
tidak sampai lepas agar dapat direkonstruksi kembali.
3)
Bila uterus yang dikirim maka pemotongan lameller harus
sesuai dengan porosnya.
4)
Apabila yang dikirim berupa kista misalnya dari thyroid atau
testis, dapat dikeluarkan dahulu isinya dan dicatat cairan yang
dibuang mengenai warna, banyak dan konsistensinya.
5)
Jaringan yang banyak dan besar sebaiknya bagian bawahnya
diganjal dengan kain kasa supaya jaringan tidak melekat dengan
dasar botol sehingga fiksasi tidak dapat masuk ke dalam jaringan.
Namun apabila tidak mungkin dikirim maka dapat dilakukan
beberapa pemotongan sample yang dapat mewakili organ ter-
sebut.
Setelah bahan operasi dimasukkan ke dalam botol (stoples)
kaca, atau plastik sebaiknya tutup botol dilak atau ditutup dengan
plaster supaya bahan fiksatif tidak tumpah di jalan. Jangan lupa
memberikan label yang ditulisi identitas pasien dan nama bahan
yang dikirim agar tidak tertukar dengan bahan lain.
FIKSASI
Maksud dan tujuan fiksasi adalah mempertahankan morfo-
logi jaringan atau scl tubuh seperti dalam keadaan hidup; se-
hingga untuk mencapai maksud tersebut bahan fiksasi harus
dapat:
1)
Menghentikan proses enzimatik sel tubuh secepatnya untuk
mencegah autolisis; autolisis adalah pengrusakan sel sendiri se-
sudah terjadi kematian sel, disebabkan oleh kerja enzim yang
terdapat di dalam sel itu sendiri.
Autolisis ini dapatdihambatdengan mendinginkan jaringan
dalam ternperatur di bawah 0C atau dalam udara panas lebih dari
57C, namun dalam suhu kamar akan dipercepat. Selain auto-
lisis, kerusakan jaringan dapat terjadi akibat bakteri, baik di-
sebabkan oleh bakteri yang ada (septikemi) ataupun bakteri ko-
mensial.
2) Mengkoagulasi protein jaringan sehingga menjadikan sel
insoluble
yang mencegah masuk atau keluarnya zat-zat dalam
sel.
3) Membuat jaringan mudah diwarnai.
Jaringan harus dimasukkan ke dalam larutan fiksasi secepat
mungkin setelah diambil dari tubuh, apalagi bila organ tersebut
mudah membusuk misalnya otak, hati, paru, usus dan organ
dalam lainnya; jangan ditunggu sampai operasi selesai. Daya
penetrasi larutan fiksasi juga terbatas. Formalin akan menembus
jaringan sedalam 22,5 cm dalam waktu 24 jam. Sedang jaring-
an lunak lebih cepat dan lebih dalam penetrasinya. Oleh karena
itu bila jaringan cukup besar maka jaringan ini harus dipotong
lameller dengan jarak 45 cm, tapi bagian bawahnya tidak
sampai dipotong lepas agar dapat direkonstruksi kembali.
Banyaknya larutan fiksasi minimal jaringan dapat berenang
di dalamnya dan yang ideal jumlah larutan 10 x besar jaringan.
Bahan fiksasi
1) Formaldehid
Formaldehid adalah suatu gas yang larut dalam air. Larutan
ini bersifat asam dan tersedia dalam bentuk formaldehid 40%
atau formalin, namun dengan konsentrasi ini tidak dapat dipakai
untuk fiksasi karena terlalu cepat mengeraskan jaringan. Sebagai
larutan fiksasi harus dicampurkan dalam air biasa atau larutan
garam fisiologis, dengan perbandingan 1 bagian formalin dengan
9 bagian pelarut menjadi formal saline 10% atau lebih dikenal
dengan formalin 10%. Untuk penyimpanan dalam jumlah besar
dan waktu yang lama maka formal saline 10% harus diberi garam
buffer atau magnesium atau kalsium karbonat supaya tidak
terjadi pembentukan endapan asam formik. Formalin mempu-
nyai bau yang tidak enak dan dapat mengiritasim kulit, selaput
lendir dan mata. Oleh karena itu dianjurkan memakai sarung
tangan dengan udara terbuka waktu kita sedang mengelola ma-
teri berformalin.
2) Alkohol
Merupakan larutan dengan daya dehidrasi yang kuat dan
menyebabkan pengerasan dan pcngerutan jaringan. Alkohol
dapat mengkoagulasi protein dan.presipitasi glukogen dan me-
larutkan lemak.
Fungsi alkohol yang utama adalah sebagai bahan fiksasi
sediaan sitologi namun dalam keadaan terpaksa dapat digunakan
sebagai fiksasi sediaan histopatologi. Hal ini disebabkan daya
tembus alkohol yang kurang baik oleh karena jaringan cepat
menjadi keras dan mengkerut sehingga sediaan sukar dipulas.
BEBERAPA CARA PENGIRIMAN
1) Fiksasi basah (Wet fixation)
Maksud dari fiksasi basah adalah sediaan segar yang baru
saja diperoleh segera dicelupkan ke dalam fiksasi selama 3040
menit. Kemudian dikirim ke laboratorium Patologi-Anatomi
serta botol perendamnya.
Untuk mengatasi risiko pengiriman yang sulit dengan botol
yang berisi cairan yang mungkin tumpah, maka setelah sediaan
tersebut difiksasi selama 30 menit, dikeluarkan dari cairan dan
dikeringkan di udara kamar. Setelah kering sediaan dapat dimasuk-
kan ke dalam tabung atau di dalam karton yang telah disiapkan.
Bahan fiksasi sebaiknya digunakan alkohol yang mudah didapat.
Fiksasi yang mula-mula digunakan adalah campuran larut-
an diethylether (ether) dan ethanol ethyl alkohol 95% dalam per-
bandingan satu banding satu tapi karena ether dapat menimbul-
kan bahaya dan bau yang merangsang sekarang jarang dipakai.
Alkohol (ethanol) 95% selalu tersedia di Puskesmas, R.S.
ataupun Praktek swasta, merupakan cairan fiksatif yang ideal.
Sedang methanol; isopropanol, propanol dan alkohol denaturasi
juga dapat dipakai sebagai alternatif ke dua. Pengerutan metha-
nol lebih kecil dibanding dengan ethanol. Oleh karena itu me-
thanol 100% mempunyai pengaruh yang sama seperti ethanol
95%. Isopropanol lebih banyak menyebabkan pengerutan di-
bandingkan dengan methanol dan ethanol maka dianjurkan
isopropanol 80% untuk bahan pengganti ethanol 95%. Alkohol
denaturasi adalah campuran ethanol methanol dan isopropanol
dan perbandingan 90:5:5 dan dilarutkan sampai 95%.
2) Fiksasi pelapis (coating fixative)
Zat-zat ini adalah campuran dari alkohol basa yang mem-
fiksasi sel-sel dan bahan seperti lilin yang membentuk lapisan
pelindung yang tipis di atas sel.
a) Aerosol yang dipakai dengan cara menyemprotkannya
pada sediaan. Hair spray dengan kadar alkohol tinggi dan tidak
mengandung inolin atau bahan minyak lain dapat digunakan
sebagai bahan pengganti, namun hasilnya tidak begitu me-
muaskan..
b) Liquid basa diteteskan di atas sediaan sesegera mungkin.
Larutan polietilen glikol (carbonat 1540) adalah fiksasi pelapis
yang dapat dipersiapkan di laboratorium.
c) Mempersiapkan preparat sitologi yang lain.
1. Dahak (sputum)
Pengambilan sputum yang terbaik apabila malam hari sebe-
lumnya diberikan ekspektoran; pagi hari penderita disuruh tank
nafas dalam-dalam kemudian membatukkannya secara kuat
Cermin Dunia Kedok t eran, Edisi Khusus No. 80, 1992 139
expulsif supaya kita dapatkan sekret bronchus.
Apabila diperkirakan dapat diperiksa dengan segera maka
sputum tidak perlu difiksasi. Kemudian dipilih sputum yang
berdarah atau padat; kalau tidak ada yang kental maka cairan
sputum sebagian dihisap airnya dengan kertas absorban dan
dihapus ke-objek glass dan difiksasi dengan alkohol 95%.
Apabila jarak laboratorium jauh maka sputum dimasukkan
dalam tempat penampung yang sudah diisi terlebih dahulu de-
ngan alkohol 50-70%. Jangan dipergunakan alkohol 95% karena
dapat mengakibatkan terjadinya pengerasan jaringan.
Sputum tidak perlu
dicentrifuge dan pengambilan yang
terbaik pada waktu pagi hari selama 3 hari berturut-turut.
2.
Smear bronchus cairan pleura dan cairan ascites
Objek glass harus dipersiapkan terlebih dahulu dengan
memberikan lapisan albumin (Mayer
'
s albumin) atau putih telur
di atas objek glass dan dikeringkan di udara kamar.
Cairan yang diperoleh dari bronchoskopi atau bronchial
brushing
dan bronchial washing kita centrifuge
selama 10 menit
dengan kecepatan 800 rpm dan endapannya dioleskan ke objek
glass yang sudah diberi albumin dan langsung dicelupkan ke
dalam alkohol 95%. Apabila laboratorium jauh maka untuk
fiksasi cairan ini ditambah dengan 50% ethyl alkohol dalam
jumlah yang sama.
3. Smear lambung
Sel-sel dari lambung dan duodenum amat mudah meng-
alami proses enzimatik yang akan merusak set. Sebelum intubasi
dilakukan maka sudah dipersiapkan botol yang mengandung
95% etil alkohol 1/4 sampai 1/3 volume botol. Botol tersebut
diletakkan dalam batu es di satu tempat, temperatur yang rendah
akan menghalangi proses enzimatik.
4. Smear urine
Untuk pemeriksaan sitologi urine tidak diambil urine per-
tama pagi hari oleh karena penimbunan garam pada malam hari
Bagan Pemotongan Organ
Uterus
1 40
Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992
dapat mengkristal dan merusak sel epitel. Sampel terbaik diper-
oleh
mid stream dan setelah dilakukan dehidrasi.
Dehidrasi dapat dilakukan dengan pemberian air minum 2
sampai 3 gelas dalam 2 jam, kemudian penderita disuruh lari-lari
atau loncat-loncat di tempat.
Kemudian urine dicentrifuge, sebaiknya ditambahkan 12
Mayer
'
s albumin selama 15 menit, dengan kecepatan 1500 rpm.
Apabila laboratorium jauh maka pada urine dapat ditambahkan
50% ethyl alkohol dalam jumlah yang sama.
5.
Cairan cerebrospinal
Cairan yang diperoleh secara pinksi sebanyak 23 ml
langsung dioleskan di atas objek glass yang sudah diberi albu-
min.
Apabila laboratorium jauh maka cairan ini dapat difiksasi
dengan etil alkohol 50% dalam jumlah yang sama.
KEPUSTAKAAN
1.
Drury RAB, Wellington EA. Carlton's Histological Technique. 4th Ed. New
York: Oxford University Press, 1967.
2.
Farmer ER, Hodd AF. Pathology of the Skin. Prentice Hall International Inc.
1990.
3.
Hopps HC. Principle of Pathology, 2nd Ed. New York: Appleton -Century -
Croft. 1964.
4.
Koss LG. Diagnostic Cytology and its Histopatologic Basic. 3rd Ed. Phila-
delphia: Lippicott, 1979.
5. Lubis HMDN. Peranan Perawat dalam mempersiapkan sediaan Patologi.
Naskah lengkap penataran Perawat. Medan.
6. Tambunan G. Penuntun biopsi aspirasi. Jarum halus, Aspek klinik dan
sitologi neoplasma. Jakarta: Penerbit HIPOKRATES, 1990.
Toxoplasmosis dan Infertilitas
Maria Irene Tobing
Bagian Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
Rumah Sakit Dr Pirngadi, Medan
PENDAHULUAN
Berdasarkan beberapa laporan, penyakit toxoplasmosis ter-
sebar di seluruh dunia, termasuk Indonesia antara lain ditemukan
di Sumatera Utara, khususnya di Medan.
Banyak keluarga di Indonesia memelihara kucing dan
anjing sampai puluhan ekor. Salah satu risikonya ialah men-
dapat Zoonosis berupa bermacam kuman antara lain protozoa
penyebab disentri dan toxoplasmosis.
Toxoplasmosis telah lama diketahui sebagai penyebab utama
kelainan kongenital pada bayitoxoplasmosis kongenital, abor-
tus, lahir mati dan prematuritas serta toxoplasmosis akuasita
pada orang dewasa.
Akhir-akhir ini dilaporkan bahwa infeksi oleh kuman
TORCH (Toxoplasmosis, Rubella, Cytomegalo virus, Herpes
Simplex) pada wanita, yang biasanya menyebabkan infeksi sub
klinis (silent infection), dapat menyebabkan kemandulan (inter-
filitas); 70% wanita infertil ternyata terinfeksi oleh kuman
TORCH.
Hal tersebut termasuk salah satu kendala pembangunan
manusia Indonesia seutuhnya sebagai perwujudan sumber daya
manusia yang berkualitas baik dan pembinaan keluarga kecil
bahagia dengan dua anal( yang berkualitas baik. Untuk mencapai
hal ini maka diperlukan suatu persiapan yang mantap, dimulai
sebelum pernikahan serta perlu diadakan penelitian yang lebih
mendalam, sehingga dapat diadakan pencegahan, deteksi dini
dan pengobatan secepatnya.
Toxoplasmosis disebabkan oleh Toxoplasma gondii sebagai
penyakit zoonosis yaitu infeksi pada manusia dan binatang.
Toxoplasma gondii termasuk spesies dari kelas sporozoa (Co-
cidia), pertama kali ditemukan pada binatang pengerat Cten-
odactylus gundi di Afrika Utara (Tunisia) oleh Nicolle dan
Manceaux pada tahun 1908. Tabun 1928
Toxoplasma gondii
ditemukan pada manusia pertama kali oleh Castellani, Yanku,
kemudian oleh Torres, dan mengklasifikasikan parasit tersebut
sebagai suatu "encefalon".
Hospes definitif adalah kucing dan Filidae, dan hospes
perantaranya adalah manusia dan mamalia lainnya serta be-
berapa jenis burung.
MORFOLOGI DAN DAUR HIDUP
Toxoplasma gondii
mempunyai tiga bentuk, yaitu :
1)
Ookista, dibentuk dalam mukosa usus kucing melalui
gameto-gametogoni (reproduksi seksual), dikeluarkan melalui
tinja, dan di tanah akan membentuk dua sporakista dan masing-
masing membentuk 4 sporozoid. Ookista menjadi matang dalam
1
5 hari menjadi sporozoid infektif. Seekor kucing mengeluar-
kan 10 juta ookista/hari dalam 2 minggu. Ookista mati dalam
suhu 4550C atau dikeringkan, dicampur formalin, amonia
atau larutan iodium.
2) Takizoit (tachyzoid trofozoit yang membelah cepat).
Bentuk ini ditemukan pada infeksi akut. Trofozoit ini dibebas-
kan dari ookista dan kista ke aliran darah dan masuk ke berbagai
organ di tubuh dan akan menjadi :
3)
Kista, yang terbentuk dalam jaringan tubuh hospes peran-
tara, berisi bradizoit (trofozoit yang membelah perlahan), jadi
tidak dibentuk stadium seksual tetapi stadium istirahat (kista).
Kista ditemukan pada infeksi menahun terutama di otak,
otot skeletal dan otot jantung dan dapat menetap seumur hidup.
Di otak kista berbentuk lonjong atau bulat, di otot mengikuti
bentuk sel otot. Trofozoid dan kista jaringan terdapat di semua
binatang hospes perantara dan pada kucing sebagai hospes de-
finitif (complete host).
Trofozoid berbentuk serupa bulan sabit dengan satu ujung
yang runcing dan ujung lain yang agak membulat. Panjangnya
48 u dan mempunyai satu inti yang letaknya kira-kira di tengah.
Trofozoid berkembang biak dalam sel secara endodiogoni. Bila
sel penuh dengan trofozoid, maka sel akan pecah, trofozoid
memenuhi sel-sel di sekitarnya atau difagositosis oleh makrofag,
Cermin Dunia Kedokeran, Edisi Khusus No. 80, 1992 141
i
sel tersebut dinamakan pseudokista dan dapat ditemukan dalam
waktu lama. Kista dibentuk di dalam sel hospes bila trofozoid
yang
membelah telah membentuk dinding.
Ukuran kista berbeda-beda, yang kecil mengandung bebe-
rapa organisme, yang besar 200 u mengandung kira-kira 3000
organisme.
TRANSMISI PENYAKIT (CARA INFEKSI)
a)
Toxoplasmosis kongenital, transmisi Toxoplasma gondii
ke janin in utero melalui plasenta, bila ibunya mendapat infeksi
primer waktu hamil.
b)
Toxoplasmosis akuisita; infeksi terjadi bila makan daging
mentah atau kurang matang (sate), kalau daging tersebut me-
ngandung kista atau trofozoid
Toxoplasma gondii.
c)
Infeksi di laboratorium binatang percobaan yang mengan-
dung Toxoplasma gondii,
melalui jarum suntik dan alat laborato-
rium lain yang terkontaminasi. Wanita hamil tidak dianjurkan
bekerja di lingkungan yang mengandung
Toxoplasma gondii
hidup.
Pernah dilaporkan adanya infeksi dengan
Toxoplasma gon-
dii waktu mengerjakan autopsi.
Walaupun infeksi dengan Toxoplasma gondii banyak
ditemukan pada manusia dan berbagai spesies mamalia lainnya,
tetapi hanya kucing dan binatang sejenisnya (Felidae) yang
dapat mengeluarkan ookista melalui tinjanya. Transmisi melalui
bentuk ookista menyerahkan infeksi Toxoplasma gondii pada
orang yang tidak senang makan daging atau terjadi pada binatang
herbivora. Serangga, moluska dan cacing tanah dapat berperan
sebagai
transport host.
PATOGENESIS
Invasi kista atau ookista terjadi di usus; parasit memasuki sel
atau difagositosis, berkembang biak dalam sel dan menyebabkan
sel hospes pecah dan menyerang sel-sel lain. Dengan adanya
parasit di dalam makrofag dan limfosit, maka penyebaran secara
hematogen dan limfogen ke seluruh tubuh mudah terjadi.
Trofozoid dapat menyerang semua organ dan jaringan tubuh
hospes (manusia) yaitu semua sel yang berinti termasuk garnet,
bahkan zygote sehingga terjadi kegagalan fertilisasi.
Kistadibentuk j ika sudah ada kekebalan dan dapat ditemukan
di berbagai alat dan jaringan, mungkin untuk seumur hidup.
Kerusakan yang terjadi pada jaringan tubuh, tergantung
pada :
1.
Umur; pada bayi kerusakannya lebih berat dari orang de-
wasa
2. Virulensi strain Toxoplasma
3. Jumlah parasit
4. Organ yang diserang.
Lesi susunan saraf pusat (S SP) dan mata biasanya lebih berat
dan permanen, oleh karena jaringan ini tidak mempunyai kemam-
puan untuk ber-regenerasi. Kelainan SSP berupa nekrosis yang
disertai dengankalsifikasi; penyumbatanakuaduktus Sylviikarena
ependimitis mengakibatkan hidrosefalus pada bayi.
Pada infeksi akut retina terdapat reaksi radang fokal dengan
142 Cermin Dunia Kedok t eran, Edisi Khusus No. 80, 1992
edema dan infiltrasi leukosit dan menyebabkan kerusakan fokal;
pads proses penyembuhan terjadi sikatriks dengan atrofi retina
dan koroid disertai pigmentasi.
ASPEK KLINIS
1)
Toxoplasmosis akuisita
a)
Toxoplasmosis akuisita pada orang sehat asimptomatis,
biasanya sembuh sempurna; dapat dijumpai non febrile dissemi-
nated lymphadenopathy yang menyerupai infeksi mononukleo-
sis; gejala berat seperti ensefalitis, miokarditis dan pneumonia
jarang terjadi.
b) Toxoplasmosis akuisita pada orang menderita immuno-
defisiensi; keadaan ini menyebabkan penyakit menjadi berat dan
fatal, disebabkan oleh infeksi primer atau reakti vasi infeksi laten.
2) Toxoplasmosis Kongenital
Terjadi akibat masuknya Toxoplasma melewati sawar
plasenta pada 2030% wanita hamil dengan infeksi primer.
Ada 4 bentuk :
a)
Neonatus dilahirkan dengan gejala
b)
Gejala timbul dalam minggu atau bulan-bulan pertama
c)
Gejala sisa atau relaps penyakit yang tidak terdiagnosis
selama anak dan remaja
d)
Infeksi subklinis.
Kuman TORCH (Toxoplasmosis, Rubella, Cytomegalo
virus,
Herpes simplex virus) merupakan salah satu penyebab
Penyakit Radang Panggul (PRP) pada wanita; wanita dengan
PRP tanpa keluhan disebut subklinis, tetapi akibat yang ditim-
bulkan adalah kemandulan (infertilitas). Pengalaman di Makmal
Terpadu Immunoendokrinologi FK-UI pada tahun 19891990
membuktikan bahwa hampir 70% wanita infertil, terutama in-
fertil sekunder ternyata terinfeksi dengan kuman TORCH.
Banyak wanita infertil tidak mempunyai keluhan, tidak
mempunyai riwayat infeksi, tetapi pada pemeriksaan labora-
torium terdapat positif terinfeksi kuman TORCH, sehingga di-
perkirakan bahwa banyak kasus infeksi subklinis berlalu tanpa
terdiagnosis.
Perlu diduga adanya infeksi subklinis, bila :
a. Dijumpai adanya penyumbatan/perlengketan tuba, meski-
pun tidak ada riwayat infeksi.
b. Riwayat kehamilan ektopik.
c.
Ditemukan perlengketan genitalia interna pada saat la-
paraskopi maupun laparatomi.
d.
Wanita dengan fluor vagina mukopurulen tanpa keluhan
PRP.
Wanita yang seksual aktif.
Wanita yang sistitis berulang.
Wanita dengan riwayat adneksitis.
DIAGNOSIS
1. Pemeriksaan trofozoit langsung.
2. Isolasi parasit.
3.
Pemeriksaan fetus.
4. Histologis.
5.
Serologis
Sabin Feldman Dye Test
-
Indirect Fluorescent Antibody Test (IFA)
-
1gM Fluorescent Antibody
-
Indirect Haemaglutination Test
-
Complement Fixation Test

Toxoplasmin Skin Test, Agglutination Test


-
ELISA (IgM Enzym Linked Immunosorbent Assay)
Double Sandwich IgM ELISA.
1gM Immunosorbent Agglutination Assay (IgM ISAGA).
Serodiagnostik ini adalah kombinasi cara DS IgM ELISA
dan Direct Agglutination Test; false positive tidak dijumpai,
lebih sensitif dan lebih spesifik daripada IgM IFA Test. Metode
ini yang dianjurkan akhir-akhir ini.
Diagnosis kuman TORCH
Biasanya dipakai serodiagnosis cara Double Sandwich IgM
ELISA. Metode yang dipakai adalah dengan teknik Imuno
ELISA, dengan teknik sandwich untuk IgG dan teknik
antibody
captur untuk IgM. Penilaian reaksi IgG untuk menilai tanda
infeksi lampau, sedangkan reaksi IgM untuk menilai tanda
infeksi baru atau reaktivasi.
Antibodi IgG akan berada dalam waktu cukup lama, sampai
bertahun-tahun. Banyak yang menganggap bahwa bila IgG
meningkat terus, wanita tersebut sudah kebal dan tidak perlu di-
berikan pengobatan. Anggapan tersebut tidak seluruhnya benar.
IgG yang meningkat menunjukkan dalam tubuh manusia ada
kuman, kuman tersebut tersembunyi di dalam sel (terkapsul).
TERAPI
Indikasi pengobatan :
-
Wanita hamil dengan infeksi aktif
-
Toxoplasmosis kongenital, simptomatik atau asimptomatik
Toxoplasmosis dengan immunodefisiensi
-
Toxoplasmosis yang mendapat terapi immunosupresi
-
Toxoplasmosis dengan neoplasma, kelainan vaskuler ko-
lagen, atau transplantasi organ
Wanita dengan silent infection
oleh kuman TORCH.
Obat-obat yang digunakan :
1. Pyrimethamine
2. Sulfonamide : Sulfadiazine/Trisulfa
3. Kombinasi 1 dan 2
4.
Sulfamethoxazole Trimethoprim
5. Spiramycin.
PENCEGAHAN
Pencegahan infeksi pads wanita hamil karena hampir 90%
wanita yang terinfeksi selama kehamilan tidak merasa sakit.
Diagnosis berdasarkan pcmeriksaan serologis.
Pencegahan infeksi pada fetus dilakukan dengan pengobatan
kepada wan ita ham ii yang baru mendapat infeksi dengan harapan
akan mencegah penyebaran infeksi ke fetus. Pengobatan dengan
Spiramycin hampir 60% menurunkan frekuensi transmisi
Toxoplasma, tapi tidak mengubah perjalanan infeksi.
Pemeriksaan atas wanita hamil.
Sebaiknya semua wanita menjelang hamil diperiksa, atau
segera setelah kehamilan 1012 minggu. Wanita seronegatif
akan di test lagi pada kehamilan 2022 minggu untuk mengetahui
infeksi akut, dan test ke tiga dilakukan dekat atau waktu aterm
untuk mengetahui semua wanita yang mendapat infeksi primer
selama kehamilan.
PENGOBATAN
Menggunakan kombinasi imuno terapi dan zat anti mikroba.
Sebagai imunomodulator dipakai isoprinosin atau levamisol;
antimikrobal Idindamisin atau spiramisin, sedangkan antivirus
adalah asiklovir. Pengobatan dengan antimikrobal dapat juga
dengan Pirimethamin dan Sulfadiazin atau Trisulfa.
EPIDEMIOLOGI
Toxoplasma gondii tersebar luas di seluruh dunia, tetapi
variasi serokonversi adalah sesuai dengan geografi dan kebiasa-
an makan. Secara alami ditemukan pada herbivora, omnivora
dan karnivora, termasuk semua mamalia dan beberapa jenis bu-
rung. Hospes definitif kucing dan Filidae mengeluarkan ookista
melalui tinja. Jumlah kucing mempengaruhi tinggi rendahnya
prevalensi zat anti Toxoplasma gondii di daerah tersebut. Pada
daerah yang tidak ditemukan kucing, tidak ditemukan infeksi
toxoplasma pads manusia dan binatang Iainnya. Di Irian Jaya
.
kelihatan adanya korelasi tersebut; Di daerah yang tidak ditemu-
kan kucing prevalensinya 2% sedangkan yang ada kucing 14
34%(
3
).
Cermin Dunia Kedok t eran, Edisi Khusus No. 80,
1992 143
Prevalensi zat anti Toxoplasma gondii pada umumnya me-
ningkat dengan umur dan lebih tinggi di daerah rendah dengan
iklim tropik daripada di pegunungan dan negeri dingin. Pre-
valensi di Perancis tinggi, mungkin disebabkan kebiasaan se-
tempat memakan daging kurang matang. Survai mengenai zat
anti menunjukkan bahwa 20 80% dari berbagai golongan pen-
duduk telah mendapat infeksi Toxoplasma. Di Daerah tropis,
insiden infeksi yang paling tinggi pada anak-anak dengan sum-
ber penularan utama tanah yang terkontaminasi dengan ookista
sekitar rumah. Contohnya di Costa Rica 30% anak-anak telah
mendapat infeksi sebelum umur 5 tahun. Prevalensi zat anti
Toxoplasma gondii
pada binatang di Indonesia adalah : pada
kucing = 3573%, babi 1136%, kambing 1161% dan anjing
75% serta ternak lain kurang dari 10%.
Di Indonesia prevalensi zat anti
Toxoplasma gondii yang
positif pada manusia berkisar antara 2%. Pada orang Eskimo 1%
dan di El Salvador, Amerika Tengah 90%. Paris 87%, Perancis
55%, USA 30%, Jepang 25%, Singapura 25%, Jakarta 1012,5%.
Prevalensi pada babi di Jakarta 28%, kucing 72,7%, anjing
75,6%
0)
.
Kejadian pertama infeksi pada ibu/matemal selama keha-
milan ditaksir 6 per 1000 kehamilan di USA. Pada studi perspek-
tif diperkirakan 44 infeksi per 1000 kehamilan selama40 minggu.
Lebih kurang 45% wanita hamil dengan infeksi akuisita tanpa
pengobatan akan melahirkan bayi dengan infeksi kongenital.
Keadaan Toxoplasmosis di suatu daerah dipengaruhi oleh
banyak faktor, seperti : kebiasaan makan daging kurang matang,
adanya kucing yang dipelihara sebagai binatang kesayangan,
adanya tikus dan burung sebagai hospes perantara yang meru-
pakan binatang buruan kucing, adanya sejumlah vektor seperti
lipas atau lalat yang dapat memindahkan ookista dari tinja ku-
cing ke makanan. Cacing tanah juga berperan untuk memin-
dahkan ookista dari lapisan dalam ke permukaan tanah.
Makan daging kurang matang merupakan cara transmisi
yang penting untuk Toxoplasma gondii; transmisi
melalui
ookista tidak dapat diabaikan. Seekor kucing dapat mengeluar-
kan sampai 10 juta butir ookista sehari selama 2 minggu. Ookista
matang dalam 15 hari dan dapat hidup lebih dari setahun di
tanah yang panas dan lembab. Transmisi ini memungkinkan
infeksi Toxoplasma gondii
pada orang yang tidak senang makan
daging (kurang matang) atau terjadi pada binatang herbivora.
PROBLEMDAN PEMECAHANNYA
Infeksi toxoplasma pada manusia di suatu daerah dipenga-
ruhi oleh banyak faktor seperti tersebut di atas. Permasalahan
timbul apabila daur hidup
Toxoplasma gondii
tidak terputus oleh
adanya pola hidup yang terbuka antara manusia dengan kucing
dan binatang lain serta kehidupan budaya setempat.
Toxoplasmosis pada manusia dewasa bukanlah penyakit
yang berakibat fatal, malah sering asimptomatik atau infeksi
subklinis yang hanya diketahui dari pemeriksaan darah terhadap
zat anti Toxoplasma gondii
(IgG), tetapi akibatnya terutama pada
wanita atau hewan betina sangat besar.
Wanita hamil yang terkena infeksi primer pada kehamilan
144
Cermin Dunia Kedok t eran, Edisi Khusus No. 80, 1992
trimester I & II akan melahirkan anak dengan Toxoplasma
kongenital yang fatal; sedangkan jika pads trimester-III akan
menimbulkan kelainan kongenital, misalnya hidrosefalus, ka-
rioretinitis, konvulsi dan kalsifikasi serebral (sindrome sabin).
Tidak jarang kelainan timbul setelah beberapa minggu/bulan
kemudian.
Kira-kira 60% bayi yang terinfeksi toxoplasma
in-utero
akan lahir tanpa gejala(
s
).
Bayi terinfeksi lainnya mungkin abor-
tus atau lahir mati atau prematur. Kimball menyatakan adanya
hubungan Toxoplasmosis menahun dengan abortus sporadis,
tidak dengan abortus habitualis.
Prevalensi Toxoplasma kongenital adalah satu dari 3000
4000 kelahiran, tetapi dapat juga 46 dalam 100 kelahiran.
Prevalensi zat anti Toxoplasma gondii
positif terdapat ham-
pir di seluruh propinsi di Indonesia (lihat tabel 1) dengan basil
antara 2% (5163)%.
Tabel 1. Gambaran Toxoplasma gondii
pada manusia di Indonesia(
=
)
No. Daerah penelitian
Jumlah
Penelitian
Titer
(orang)
positif
1. Surabaya
Yamamato et al. (1970)
1 : 256
2.
Keresek - Clarke et al.
(1973a) 1:32
3. Yogyakarta -
Clarke etal. (19736) 1:32
4.
Jakarta 90 Partono et al. (1975)
1 : 256
5. Lindu 484
Clarke etal. (1975a) 1 : 256
6. Palu
1.166 Cross et al. (1975a) 1 : 256
7. Sumatera Utara 969 Cross et al.
(1975b) 1 : 256
8. Kalimantan Barat
- Cross etal. (1975b) 1 : 256
9.
Boyolali - Cross etal.
(1975b) 1 : 256
10.
Kalimantan Selatan - Durfee et al. (1976) 1 : 256
11. Sulawesi Utara - Cross et al.
(1976) 1 : 256
12. Obano (Irian Jaya)
188 Gandahusada (1980) 1 : 256
Toxoplasmosis merupakan penyebab nomor 2 kebutaan
pada anak-anak.
Toxoplasmosis akuisita dapat ditemukan pada orang sehat
dengan gejala yang sedikit/asimptomatik atau kadang dengan
gejala ringan berupa non febrile disseminated lymphadeno-
phathy, tetapi bisa juga gejala berat seperti encephalitis, myo-
carditis dan pneumonia.
Toxoplasmosis akuisita pada penderita immunodefisiensi
(AIDS) akan manifes dengan gejala-gejala encephalitis, khorio-
retinitis, myocarditis, pneumonia yang lebih berat, bahkan bisa
terjadi infeksi menyeluruh dengan akibat fatal. Kira-kira 30%
dari penderita Toxoplasmosis zat anti positif dan menderita
AIDS menyebabkan gejala ensefalitis yang manifes berkem-
bang jadi berat karena reaktivasi dari infeksi laten; dan kira-kira
25% pasien AIDS di Berlin, Brussels dan Paris dan 510% pa-
sien di USA mempunyai gejala ensefalitis toxoplasmitik.
Toxoplasmosis juga bertambah berat, jika pasien mendapat
transplantasi organ, umpamanya hati yang telah terinfeksi atau
terjadi reaktivasi infeksi laten (penerima transplantasi sum-sum
tulang).
Akhir-akhir ini dilaporkan bahwa infeksi subklinis/
asimptomatik yang disebabkan oleh kuman TORCH (Toxo-
plasmosis, Rubella, Cytomegalo virus dan Herpes Simplexe
virus) menyebabkan infertilitas (kemandulan) pads seorang
wanita. TORCH menyerang garnet bahkan zygote sehingga
menyebabkan kegagalan fertilisasi
m
. Pengalaman di makmal
terpadu Immunoendokrinologi FK UI tahun 19891990 mem-
buktikan, bahwa hampir 70% wanita infertil tidak memiliki ke-
luhan, tidak mempunyai riwayat infeksi, tetapi pads pemeriksa-
an laboratorium positif terinfeksi dengan TORCH, sehingga
dipikirkan bahwa banyak kasus infeksi-subklinis berlalu tanpa
terdiagnosis.
Penelitian titer zat anti Toxoplasma gondii pada wanita
hamil pemelihara kucing atau kebiasaan makan daging setengah
matang menunjukkan bahwa titer IgG ibu tinggi.
Penelitian titer zat anti Toxoplasma gondii pada penyakit
mata di Jakarta, ditemukan prevalensi tertinggi pada khorio-
retinitis (60%) dan penyakit mata lainnya 17%. Kazdan me-
ngatakan bahwa penyebab ureitis terbanyak disebabkan Toxo-
plasmosis kongenital.
Penelitian zat anti Toxoplasma gondii pads anak hidro-
sefalus menemukan 10,6% zat anti yang positif 1 : 256 (Gan-
dahusada S, Mahjuddin, 1981) dan penelitian Syahril Pasaribu
terhadap kasus hidrosefalus menemukan titer zat anti IgG 1: 200
pads masing-masing kasus
o
> .
Penelitian titer zat anti Toxoplasma gondii pads anak
gangguan perkembangan (0 12 tahun) (retardasi mental, sin-
droma Down, cerebral palsy), kejang, kelainan mata, tidak akan
mendapat basil yang diharapkan, karena pemeriksaan sering
sudah terlambat, karena sebaiknya anak diperiksa sebelum umur
1 tahun, sedangkan untuk diagnosis pasti dibutuhkan penilaian
dari kurva-titer untuk melihat kenaikan titer yang jelas.
Mengingat Indonesia adalah negara tropic, akan memper-
mudah perkembangan penyakit parasiter seperti Toxoplasmo-
sis(
9
).
Prevalensi pads laki-laki lebih besar daripada wanita, seperti
di Irian Jaya laki-laki 31,6% dan di Palu 13%. Hal ini disebabkan
kehidupan sosio-budaya di daerah tersebut, laki-laki sering ber-
ada di luar, sering berburu dan lebih dekat berhubungan dengan
ternak, selain kebiasaan memakan daging setengah matang.
Prevalensi zat anti Toxoplasma pads orang Cina 7% dan
orang pribumi Indonesia 18%
<10>
. Di Bag. IKA RSPM, penelitian
atas paramedis dan dokter wanita menunjukkan 61,58% dengan
titer IgG positif dan 1,92% dengan titer IgM positif
tt>
Melihat hal-hal tersebut di atas, perlu diadakan tindakan-
tindakan pencegahan selain pengobatan yang telah ada :
a)
Deteksi dini
Skrining pads wanita hamil, yaitu memeriksa titer zat anti
Toxoplasma yang mulai hamil, dan diulang 23 minggu ke-
mudian pads wanita yang seronegatif. Sebaiknya dilakukan pads
wanita sebelum hamil.
Dianjurkan agar calon suami-isteri menjalani pemeriksaan
serodiagnosis sebelum pernikahan.
Setiap wanita infertil primer/sekunder dengan gejala in-
feksi-infeksi subklinis, sebaiknya dilakukan serodiagnosis ter-
hadap Toxoplasmosis, kuman TORCH (Toxoplasma, Rubella,
Cytomegalo virus dan Herpes simplex virus).
Melakukan diagnosis prenatal, seperti memeriksa darah
fetus langsung terhadap kontaminasi darah ibu, mengisolasi
parasit dengan mengokulasi darah fetus pads tikus (mice); atau-
pun pemeriksaan serologic dari IgM(Immunosorbent assay) dan
IgG
(dye test), ultrasound examination, dan lain-lain.

Memeriksa titer zat anti Toxoplasma IgG pads anak bebe-


rapa kali dalam tahun pertama dan memeriksa IgM pads neo-
natus. Biasanya IgG yang diperiksa karena lebih mudah dan
murah, sedangkan IgM hanya dilihat pads bulan-bulan pertama
saja dan lebih mahal dan sukar ditemukan (hanya 25%).
Setiap bayi dengan gejala meningoensefalitis yang disertai
gejala sepsis, hepatomegali, ikterus dan sebagainya, harus
diperiksa titer antibodi Toxoplasma.
Tiap anak atau orang dewasa dengan immunodefisiensi oleh
obat imunodepresi, kortikosteroid jangka panjang ataupun pe-
nyakit AIDS, harus diperiksa terhadap Toxoplasma untuk men-
deteksi timbulnya reaktivasi infeksi kronik.
b) Pencegahan
Terutama pada wanita hamil.
Memelihara kebersihan lingkungan dan kucing binatang
peliharaan.

Jangan terlalu banyak memelihara binatang terutamakucing


dan lakukan vaksinasi yang teratur.

Wanita hamil jangan berdekatan dengan kucing.

Memasak daging sampai cukup matang (70C).

Mencuci dengan baik semua makanan yang tidak dimasak.


Mencuci tangan sebelum makan dan setelah memegang
daging mentah pada waktu memasak.
Memakai sarung tangan jika berkebun.
Mencegah kontaminasi lalat dan lipas pads makanan.

Karena binatang reservoir banyak tersebar di seluruh Indo-


nesia maka perlu diadakan penelitian prevalensi reservoir pe-
nyebarannya.
c) Pengobatan
Wanita hamil dengan infeksi aktif.

Toxoplasmosis kongenital (dengan atau tanpa gejala pads


bayi).
Pasien immunodefisiensi dengan Toxoplasmosis.
Wanita dengan infeksi kuman TORCH
(silent infection).
Bayi dengan IgG yang meningkaL
KEPUSTAKAAN
1. Lazuardi S et al. Toxoplasmosis Kongenital MKI (Agu.) 1989; 39(8):
464-72.
2. Baziad Ali. Penyakit Radang Panggul (PRP). FK-UI Jakarta,
Mei 1991.
3. Soh Chin Thack. Congenital Toxoplasmosis, Simposium Masalah Zoo-
nosis & Gastroenteritis yang disebabkan Parasit, Medan,
Feb. 1991.
4. Juwono R. Perkembangan diagnostik dan Indikasi pengobatan Toxoplas-
mosis, Naskah lengkap KOPAPDI VII,
Ujung Pandang, 1987.
5. Couvrer J, Desmonts G et al. Prophylaxis of Congenital toxoplasmosis,
Effects of Spiramycin on placental infection, J Antimicrob
Chemotherap
1988; 22: 193-200.
6.
Lumongga S. Kebutaan pada anak. Ophthalmol. Indon. 1985; 9: 16-20.
7. TjokronegoroA. Berbagai aspek lmunologis pads sistemreproduksi wanita,
Kuliah Utama PTP-VII, POGI, Surabaya.
8. PasaribuS. Toxoplasmosis Kongenital. Simposium Masalah Zoonosis dan
Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992 145
Gastroenteritis yang disebabkan Parasit, Medan, 16 Febr. 1991.
9.
Adhyatma. Kebijaksanaan Penyakit Parasiter di Indonesia. Cermin Dunia
Kedokteran 1990: 1-4.
10.
Partono F, Cross JH. Toxoplasmosis antibodies in Indonesia and Chinese
Medical Students in Jakarta, Southeast Asian J. Trop. Med. Pub. Hlth.1975;
6: 472-476.
11.
Lubis CP et al. Pemeriksaan Toxoplasmosis pada paramedis dan dokter
wanita di Lab. IKA
FK-USU, KONIKA-VII, Jakarta, 1987.
12. Salma Ma
'
ruf. Toxoplasmosis
di Indonesia, Maj Parasitol Indon vol. 3,
Edisi khusus, 1990.
146
Cermin Dunia Kedok t eran, Edisi
Khusus No. 80,
Beberapa Aspek Deteksi Dini
Karsinoma Paru
Luhur Soeroso, Gani W Tambunan
Bagian Pulmonologi dan Patologi Anatomik Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara Rumah Sakit Dr. Pirngadi, Medan
ABSTRAK
Karsinoma paru yang dijuluki penyakit moderen semakin meningkat. Sebagian
besar tumor ini ditemukan pads stadium lanjut. Karsinoma paru erat hubungannya
dengan merokok dan polusi udara. Pengenalan klinis yang cermat disertai pemeriksaan
radiologis, bronkhoskopi sekaligus sitologi brush dan biopsi, merupakan cara yang
biasa dipergunakan untuk menemukan tumor ini sedini mungkin. Tumor yang
letaknya di perifer dan sulit dicapai bronkhoskop, altematif alat diagnostik terbaik
adalah biopsi aspirasi transtorakal. apabila dengan cara ini gagal untuk memperoleh
spesimen, pilihan lain adalah biopsi dengan teknik mediastigostomi dan torakotomi.
Pada kasus yang diduga karsinoma paru dengan pembengkakan kelenjar getah
bening supraklavikuler, biopsi aspirasi sering merupakan kunci diganostik di camping
menentukan stadium tumor.
PENDAHULUAN
Kanker pare merupakan penyakit modern dan universal.
Sebelum perang dunia ke dua karsinoma paru jarang dijumpai.
Setelah perang dunia ke dua (1950) karsinoma pare semakin
meningkat terutama pads pria. Di negara maju, di antara
penyakit kanker, karsinoma paru merupakan penyebab
kematian terbanyak pads pria, sedang pads wanita merupakan
urutan ke tiga setelah karsinoma buah dada dan kolorektal.
Di Indonesia, karsinoma paru semakin meningkat dan
sebagian besar menimbulkan kematian. Insiden karsinoma
paru berhubungan erat dengan perokok, polusi udara dan
adanya cacat paru.
Pengamatan klinis yang cermat dan pemeriksaan
radiologik yang teliti dan dilanjutkan dengan pemeriksaan
bronkhoskopi sekaligusbiopsi ataupun sitologi
brush merupakan
cara yang optimal untuk diagnosis karsinoma paru. Cara ini
diperkirakan dapat menemukan karsinoma sedini mungkin.
Kemajuan teknologi diagnostik dan terapetik diharapkan
dapat meningkatkan angka harapan hidup pasien. Pada
makalah ini dikemukakan berbagai aspek yang berkaitan
dengan diagnosis dini karsinoma paru.
Cermin Dunia Kedok t eran, Edisi Khusus No. 80,
1992 147
ETIOLOGI
Terjadinya karsinoma paru berkaitan erat dengan rokok,
polusi udara dan adanya cacat pads paru. Lebih kurang 80%
pasien karinoma paru diperkirakan karena rokok. Tar
yang
dihasilkan rokok merupakan bahan karsinogenik, melengket
pada mukosa saluran nafas dan dalam waktu yang lama
menimbulkan perubahan sel epitel : silia epitel menghilang,
sel cadangan hiperplasia dan mengalami metaplasia sel skuamos.
Lambat laun sel epitel berubah dalam bentuk displasia dan
kemudian menjadi karsinoma dalam bentuk berbagai tipe
histopatologi.
Polusi udara atau perubahan lingkungan juga dikenal
sebagai faktor penyebab karsinoma para. Buruh yang bekerja
di pabrik asbes, nikel dan tambang, insiden karsinoma paru
meningkat. Cacat di paru misalnya parut karena kaverne yang
menyembuh merupakan tempat yang potensial timbul
karsinoma.
KLASIFIKASI HISTOPATOLOGI
Dalam penanganan paru, tipe histopatologi penting diketa-
hui, sebab ada kaitannya dengan aspek klinis yaitu terapi dan
prognosis. Klasifikasi histopatologi yang diajukan oleh WHO
dan WP-L (Working Party Lung Cancer System), pada dasarnya
sama :
1.
Karsinoma sel skuamos
2.
Karsinoma sel kecil
3.
Karsinoma sel besar
4.
Adenokarsinoma
Karsinoma sel skuamos lebih banyak di daerah hilus dan
erat kaitannya dengan rokok. Karsinoma sel kecil sifatnya
agresif, akan tetapi lebih peka terhadap radioterapi ataupun
khemoterapi. Adenokarsinoma lebih banyak di daerah perifer
dan sering asimtomatik.
MANIFESTASI KLINIK
Sebagian besar karsinoma paru ditemukan pads stadium
lanjut dengan simtom bervariasi. Penemuan dalam kondisi
asimtomatik sangat menguntungkan dari segi penanganan dan
prognosis.
SIMTOM
Simtom karsinoma paru tergantung pads letak tumor, karakter
biologis dan tingkatpertumbuhan/penyebaran tumor. Batuk iritatif
merupakan simtom permulaan, terutama tumor yang terletak
di daerah hilus. Batuk sering campur darah. Sesak nafas
dengan nafas nyaring
(wheezing) dapat terjadi karena obstruksi
bronkhus berkaliber besar. Serangan pneumonitis disertai
demam dapat terjadi selama beberapa minggu. Rasa sakit di
dada merupakan manifestasi atelektasis karena obstruksi total.
Kira-kira 25% karsinoma paru asimtomatik dan ditemukan
secara kebetulan. Sebagian besar merupakan adenokarsinoma
yang letaknya di perifer. Penyumbatan bronkhioli tidak
menimbulkan simtom. Akan tetapi bila tumor meluas sentrifugal
akan timbul efusi pleura dengan gejala sesak nafas dan sakit.
148 Cermin Dunia Kedok t eran, Edisi Khusus No.
80, 1992
Massa tumor yang terletak di apeks pare, dapat menekan
atau invasi ke pleksus brakhialis dengan simtom sakit pads
bahu, lengan dan sindrom Horner yang melibatkan saraf
simpatikus. Karsinoma ini disebut Pancoast's tumor
dan gejala
yang timbul disebut sindrom Pancoast.
Bila tumor mengalami metastasis, timbul gejala klinik
yang bervariasi tergantung pada organ yang terlibat seperti
hati, tulang dan susunan saraf pusat dengan gejala neurologik.
DIAGNOSIS
Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang diarahkan pads
manifestasi klinik dapat memberi petunjuk kemungkinan
karsinoma para.
PEMERIKSAAN FISIK
Pada pemeriksaan fisik, jari tangan berbentuk tabuh,
bentuk dinding toraks berubah dan trakhea mengalami deviasi.
Kadang-kadang tumor di daerah perifer meluas pads dinding
toraks dan muncul berupa penonjolan.
Pembesaran kelenjar getah bening di leher dan aksila
merupakan manifestasi metastasis karsinoma paru dan dalam
keadaan tertentu merupakan kunci untuk diagnostik tumor.
Adanya suara nafas nyaring mirip asma bronkhial merupakan
simtom karsinoma para.
Pada stadium lanjut, muncul gejala klinik lebih berat : suara
parau, sindrom Homer, sindrom vena cava, sindrom Pancoast
dan gejala neurologik.
RADIOLOGI
Pemeriksaan fluoroskopi atau foto paru merupakan alat
diagnostik menentukan. Perselubungan di paru sering mis-
diagnosis dengan proses spesifik tuberkulosis paru. Bila
pengobatan spesifik selama 4-8 minggu tidak membawa
perbaikan, sebaiknya dipikirkan kemungkinan karsinoma paru.
Perselubungan disertai kalsifikasi lebih banyak disebabkan
kelainan jinak. Pada kasus yang meragukan dianjurkan
pemeriksaan CT Scan.
BRONKHOSKOPI
Tumor yang letaknya di bronkhus merupakan indikasi
untuk bronkhoskopi. Dengan mempergunakan seperangkat
alat bronkhoskop fiberoptik, perubahan mukosa bronkhus
dapat dievaluasi berupa benjolan atau gumpalan daging.
Dalam waktu yang bersamaan dilakukan sitologi
brush dan
biopsi pads massa tumor untuk diagnosis dan identifikasi tipe
karsinoma.
Tumor yang letaknya di bronkhus kaliber besar atau sedang,
pemeriksaan bronkhoskopi tidak banyak menemukan kesulitan.
Akan tetapi bila tumor terletak di perifer, ujung bronkhoskop
sulit
mencapai massa tumor,pada kasus demikian, altematif
paling balk adalah biopsi aspirasi jarum halus transtorakal.
BIOPSI ASPIRASI TRANSTORAKAL
Metode biopsi aspirasi transtorakal merupakan salah satu
altematif untuk diagnosis karsinoma paru terutama yang letaknya
di perifer. Prosedur dan teknik sederhana dengan akurasi
diagnostik tinggi. Dengan ban tuan fluoroskopposisi tumordalam
rongga dada dapat ditentukan dan insersi jarum tidak sulit
dilakukan. Kemajuan teknologi radiologi, memungkinkan biopsi
aspirasi lebih mudah dilakukan dengan tuntunan fluoroskop-
TV. Pada kasus yang riskan, sering didahului pemeriksaan
Cf Scan
dan kemudian insersi jarum dapat dilakukan sampai mencapai
sasaran yang tepat. Pada kasus demikian terdapat kerjasama
yang baik antara radiologist dan patologist.
Apabila pada palpasi kelenjar getah bening teraba nodul
besaratau kecil di supraklavikuler, biopsi aspirasi sangat berguna
untuk menentukan kemungkinan ada metastasis karsinoma
paru. Pada kasus tertentu, di mana bronkhoskopi atau biopsi
aspirasi transtorakal sulit dilakukan, biopsi aspirasi kelenjar
getah bening ini merupakan kunci diagnostik.
MEDIASTINOSTOMI DAN TORAKOTOMI
Kedua metode ini dilakukan untuk biopsi massa tumor,
apabila bronkhoskopi atau biopsi aspirasi gagal memperoleh
spesimen.
Stadium
Sebelum pengobatan biasa ditentukan stadium berda
g
arkan
sistem TNM. Klasifikasi stadium sistem TNM yang sering
dipakai adalah menurut AJC
(American Joint Cancer for Stag-
ing) sbb. :
Stadium occult : TxNoMo
Stadium I T1NoMo, T1N1Mo, T2NoMo
Stadium II : T2N1Mo
Stadium III : T3 dengan setiap N dan M
N2 dengan setiap T dan M
Ml dengan setiap T dan N.
KEPUSTAKAAN
1. Alsagaff YH. Pendekatan baru dari diagnosa dan klasifiikasi kanker para.
Suatu penelitian eksperimental komparatif mumi. Disertasi memperoleh
gelar Doktor. Universitas Airlangga, Surabaya 1988.
2. Greco FA, Hande KR. Lung
Cancer : management progress and prospect.
Lederle Laboratorium, 1982.
3. Hakim T. Peranan bedah pada penatalaksanaan nodul pant soliter. Kanker
dan penatalaksanaannya. Naskah Muktamar Nasional III Perhimpunan Ahli
Bedah Tumor Indonesia, Jakarta 1987 : 49-58.
4. Malberger E, Lemberg S.
Transthoracic fine needle aspiration biopsy cytol-
ogy. A study from 221 cases. Acta Cytol 1981; 25 : 675-7.
5. Tambunan GW. Penuntun Biopsi Aspirasi Jarum Halus. Aspek klinik dan
Sitologi Neoplasma. Penerbit Jakarta : Hipokrates, 1990.
6. TambunanGW. Karsinoma paru. Dalam : Diagnosis dan Tatalaksana Sepuluh
Jenis Kanker Terbannyak di Indonesia. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran
EGC, 1991 : 126-148.
Cermin Dunia Kedok t eran, Edisi Khusus No. 80,1992 14 9
Laboratorium Diagnostik Malaria
Masa Kini
Makmur Husaini
Bagian Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
Rumah Sakit Dr Pirngadi, Medan
PENDAHULUAN
Penyakit malaria sudah dikenal lebih seabad yang lalu.
Banyak hal yang sudah terungkap akan tetapi masih banyak yang
masih perlu mendapat perhatian karena masih banyak negara
yang belum terbebas dari penyakit ini. Banyak hal yang belum
terungkap baik tentang parasitologi, klinik, terapi, epidemiologi
dan juga diagnostiknya.
Penemuan parasit Plasmodiumyang beredar pada darah tepi
hingga saat ini masih merupakan diagnosis pasti yang tak terban-
tahkan. Akan tetapi untuk memastikan bahwa seseorang tidak
mengandung parasit ini dalam darahnya akan menjadi sukar
karena mungkin parasit sedikit sekali beredar di darah tepi atau
dalam jaringan hati atau tidak jarang juga tidak dijumpai parasit
karena kekurangan dalam teknik pemeriksaan, pewamaan dan
juga teknisi pemeriksa kurang trampil. Sejak awal abad ini pe-
meriksaan laboratorium untuk menunjukkan adanya Plasmodia
pads darah tepi sudah menggunakan Metode Giemsa yang sen-
sitifitas dan spesifisitasnya cukup baik sehingga masih terus
dipakai sampai scat ini.
Akhir-akhir ini banyak penelitian yang dilakukan untuk
mendapatkan metode pemeriksaan laboratorium diagnostik
malaria yang lebili baik dari yang sudah ada. Hingga saat ini
masih terus diteliti metode-metode baru yang sesuai, lebih peka,
lebih mudah pelaksanaannya dan lebih murah.
Kemajuan yang pekat dari imunologi dan bioteknologi juga
menyumbangkan keikutsertaannya dalam laboratorium diag-
nostik malaria yang pada mulanya adalah merupakan usaha
untuk menemukan vaksin terhadap malaria.
LABORATORIUMDIAGNOSTIK MALARIA
1) Metode Giemsa
Metoda ini menggunakan pewarnaan Giemsa yang klasik.
Dipakai larutan Giemsa pekat
(stock solution) yang diencerkan
150 Cermin Dunia Kedok t eran, Edisi Khusus No. 80, 1992
menjadi 5 -15% tergantung pada keperluannya.
a. Pewarnaan cepat sediaan darah tebal :
Larutan Giemsa pengenceran 15% atau 3 tetes
stock solution
untuk 1 ml buffer
pH 6.6 6.8.
Pewarnaan selama 5 10 menit.

Cuci dan keringkan untuk dilihat di bawah mikroskop.


b. Pewarnaan standard sediaan darah tebal :
Larutan Giemsa 5% atau dengan 1
tetes stock solution untuk
1 ml buffer pH 7.1.
Pewarnaan selama 45 menit.
Cuci dan keringkan.
c. Pewarnaan standard sediaan darah tipis
Fiksasi dilakukan dengan metanol.
Larutan Giemsa 5% atau 1 tetes stock solution untuk 1 ml
buffer pH 7.1.
Pewarnaan selama 30 menit.
Cuci dan keringkan.
2) Field' s staining
Pewarnaan ini menggunakan 2 jenis larutan yang pewar-
naannya berlangsung cepat. Larutan Field A
mengandung
methylene blue dan Azure blue dalam buffer. Larutan
Field B
mengandung eosin dalam buffer.
Dilakukan dengan mencelupkan sediaan darah tersebut
pads larutan B selama 10 30 detik, kemudian mencucinya
dengan air dan berikutnya dicelupkan pada larutan A selama 3
5 detik, dicuci dan dikeringkan.
Pewarnaan ini berlangsung cepat dan sering dipergunakan
di lapangan pada waktu survai.
3)
J.S.B. Staining
Metode ini menggunakan dua larutan pewarna yang di-
lakukan berurutan seperti penggunaan Field
'
s staining. Larut-
an I berisi Polychromed methylene blue dan disodium hydrogen
phosphate
(Na2HPO4). Larutan II bcrupa larutan eosin dalam
air.
Cara kerja :
Slide
apusan darah dicelupkan ke dalam larutan II selama
1 2 detik.
Dicuci dcngan air pH 6.2 6.6.
Dicelupkan pada larutan I sclama 40 45 detik.
Dicuci dcngan air buffer
pH 6.2 6.6 3 4 kali.
4) Wright's staining
Metode ini menggunakan Wright
'
s solution tanpa
pengenceran. Kerjanya mudah, tetapi kurang baik untuk pewar-
naan Plasmodium.
5) QBC
System (Quantitative Buffy Coat analysis system)
Alat dan pewarnaan dengan
Acridine Orange diperkenalkan
tahun 1983 untuk pemeriksaan darah putih, kern udian dikem-
bangkan pads tahun 1988 untuk pemeriksaan parasit darah dan
juga untuk malaria. Tahun 1989 Perrone menggunakan peralatan
fluoresens sederhana menggantikan alat fluoresens yang biasa.
Kepekaan dan spesifisitasnya mengimbangi metode kon-
vensional Giemsa dan lebih unggul dalam penggunaan waktu
dan mudah kerjanya (Jataporn 1990).
Cara kerja :
-
Digunakan pipa kapiler yang biasa untuk pemeriksaan
hematokrit yang sebelumnya dilapisi dengan pewarna
Acridine
Orange.

Pipa ditutup dengan lempeng plastik sesuai besar pipa dan


diberi penutup ujung pipa.
-
Sediaan disentrifuse selama 5 menit.
-
Sediaan diperiksa di bawah mikroskop fluoresens; eritrosit
yang mengandung parasit akan kelihatan berfluoresens karena
mengambil pewarna.
6) Immunodiagnosis
Path dasarnya penggunaan imunologi untuk diagnosis ada-
lah menemukan antibodi spesifik malaria ataupun menemukan
antigen malaria, yang larut dalam darah.
a) Untuk mendeteksi antibodi :
Untuk melengkapi reaksi antigen-antibodi, dipakai antigen
yang sudah diketahui, yang biasanya diperoleh dari darah pen-
derita yang sudah diketahui mengandung parasit, darah monyet
yang sudah dijangkiti dengan plasmodium, atau parasit dari hasil
kultur yang terus menerus.
Teknik yang dipakai antara lain :
Indirect Fluorescence Antibody (IFA).

Indirect Haemagglut inat ion (IHA).

Enzyme Link ed Immunosorbent Assay (ELISA).

Radio-immune Assay.
Schizont-infected Cell Agglutination Test (SICA).
b)
Untuk mendeteksi antigen :
Dipergunakan metode pengembangan antibodi spesifik
dengan latar belakang antigen yang ada di darah dengan cara
bioteknologi hibridoma, DNA probe, dan lain-lain.
PEMILIHAN METODE PEMERIKSAAN
Banyak metode pcmcriksaan laboratorium untuk diagnostik
malaria yang tclah diperkenalkan dan digunakan. Untuk hal ini
tergantung pada kebutuhan apa hasil dari diagnosis itu diper-
gunakan.
Umumnya hasil dari pemeriksaan laboratorium untuk diag-
nosis dipergunakan untuk keperluan :
1.
Menentukan pengobatan terhadap penderita
2. Penclitian Epidemiologi
3.
Penclitian Parasitologi
4. Penclitian Imunologi.
Untuk keperluan pengobatan dan perawatan biasanya dibu-
tuhkan hasil yang cepat dan dapat segera diberikan pengobatan;
untuk kasus-kasus di klinik yang jumlahnya tidak banyak dapat
digunakan metode Giemsa.
Untuk keperluan penclitian epidemiologi yang biasanya
melibatkan banyak sampel darah dan umumnya hasilnya tidak
dibutuhkan segera, dapat dipakai metode Field
'
s staining atau
QBC system. Penelitian parasitologi biasanya bersama dengan
penelitian epidemiologi.
Pada penelitian imunologi tujuan utamanya adalah untuk
mendapatkan vaksin malaria, pads pemeriksaan imunologi yang
diperiksa adalah antigen terlarut maupun antibodi yang kadang-
kadang munculnya dalam darah penderita agak terlambat meng-
ikuti proses pembentukannya, walaupun kepekaan cara hibri-
doma dapat mendeteksi 1 parasit dalam 1.000.000 eritrosit.
KEPUSTAKAAN
1.
Bruce Chwau LI. DNA probes for malaria diagnosis. Lancet 1984; 1: 795.
2. Cohen S, Warren KS. Immunology of Parasitic Infections, 2nd ed. Blackwell,
1982. 460 465.
3. Craig. Faust's Tect book of Parasitology.
4. Jaturapom Pomsilapatip
et al. Detection of Plasmodia in acridine orange
stained capillary tubes (The QBC System), Southeast Asian J Trop Med
Public Health vol 21 no 4 December 1990; 21(4): 34540.
5. Dep Kes RI, Dit Jen PPM PLP. Malaria. 7. Pemeriksaan parasit malaria
secara mikroskopis. 1983.
6. Dep Kes RI, Dit Jen PPM PLP. Malaria, 9. Test resistensi in vivo dan in vitro
Plasmodiumfalciparwn, 1983.
7.
Thomas T Ho. A rapid and simple method for diagnosis of malaria utilizing
the QBC Malaria test, Proc. Simposium Malaria, Jakarta, 1991.
Cermin Dunia Kedoiaeran, Edisi Khusus No. 80, 1992 151
Simposium Satelit : CorouaryHeart Disease Update
Patofisiologi dan
Penatalaksanaan Penyakit
Jantung Koroner
T. Bahry Anwar, Sutomo Kasiman
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan, Indonesia
PENDAHULUAN
Penyakit jantung koroner adalah suatu penyakit jantung
yang disebabkan karena kelainan pembuluh darah koroner. Salah
satu penyebab utamanya adalah aterosklerosis koroner yaitu
r
proses penimbunan lemak dan jaringan fibrin, gangguan fungsi
dan struktur pembuluh darah yang mengakibatkan berkurang
-
nya aliran darah ke miokard. Faktor risiko yang mempengaruhi
terjadinya aterosklerosis adalah kolesterol darah
yang meninggi,
diet, hipertensi, merokok, diabetes melitus, obesitas, jeniskelamin,
umur, kurang latihan dan keturunan.
PATOGENESIS ATEROSKLEROSIS
Menurut kelompok studi WHO (1958), aterosiderosis ada-
lah suatu kombinasi perubahan tunika intima pembuluh darah
arteri yang bervariasi, yang terdiri dari penimbunan setempat
lemak, kompleks karbohidrat, darah dan produk darah, jaringan
fibrosa, penimbunan kalsium bersama-sama dengan perubahan
tunika media.
Seperti diketahui struktur normal dinding arteri terdiri dari
tunika intima, tunika media dan tunika adventisia. Pada proses
aterosklerosis prinsipnya yang terlibat adalah tunika intima
walaupun perubahan sekunder dapat juga dijumpai pads tunika
media. Tiga tipe lesi aterosklerosis klasik yang dapat dijumpai
adalah garis lemak, plak fibrosa dan lesi kompleks. Garis lemak
ditandai oleh penimbunan lemak setempat, sejumlah kecil sel
otot polos intima dan tidak menyebabkan obstruksi ataupun ge-
jala. Garis lemak ini bersifat reversibel dan dapat menjadi plak
fibrosa. Plak fibrosa adalah lesi yang karakteristik, nampak
keputihan dan menonjol ke dalam lumen arteri. Plak fibrosa
dapat berkembang menjadi lesi kompleks yaitu plak fibrosa yang
berubah karena adanya perdarahan, fibrosis dan kalsifikasi,
ulserasi ataupun trombosis. Sifat khan lesi ini adalah kalsifikasi
dan sering dihubungkan dengan kejadian oklusi.
152
Cermin Dunia Kedokteran, Edisi
Khusus No. 80, 1992
Aterosklerosis merupakan spektrum dari reaksi arteri akibat
beberapa faktor yang mempengaruhi dinding pembuluh darah
dan menyebabkan kelainan melalui mekanisme yang berbeda
pada subyek yang berbeda bahkan tempat yang berbeda pads
subyek yang sama.
Teori dan mekanisme terbentuknya aterosklerosis :
1. Mekanisme Infiltrasi Lipid
Teori ini menerangkan bahwa plasma protein termasuk
LDL dan VLDL secara kontinu masuk ke dalam pembuluh darah
melalui endotel. LDL yang berlebihan akan tertimbun di dalam
dinding arteri. Produk dari metabolisme lipoprotein ini ter-
utama kolesterol bebas; kolesterol bebas dan kolesterol ester
akan menyebabkan reaksi fibrokalsifikasi.
2. Permeabilitas
Tunika Intima dan Kerusakan Sel
Endotel
Perubahan permeabilitas tunika intima terhadap lipoprotein
dan kerusakan sel endotel merupakan faktor penting terbentuk-
nya aterosklerosis. Dari percobaan diketahui bahwa kerusakan
endotel dapat disebabkan oleh panas, dingin, mekanik (kateter)
yang mempercepat proses aterosklerosis pads keadaan hiper-
kolesterolemi.
Kerusakan endotel ataupun perubahan permeabilitas juga
dapat terjadi akibat aglutinasi platelet
yang melepaskan vaso-
aktif amin, dari area yang mengalami stres hemodinamik, hi-
pertensi dan kompleks antigen-antibodi.
3.
Mekanisme Trombogenik
Perkembangan lebih lan jut proses aterosklerostik dapat me-
nyebabkan oklusi total yang erat hubungannya dengan ruptur
plak, agregasi platelet,
terbentuknya trombus serta vasospasme
koroner. Ruptur plak akan menyebabkan pelepasan ATP dan
ADP dari sel-sel yang rusak. ATP dan ADP mengaktifkan
platelet sehingga terjadi adesi.
Platelet kemudian melepaskan
tromboksan A2 dan terutama ADP yang mengaktifkan
platelet di
sekitarnya untuk beragregasi dan membentuk gumpalan trombus
(Gambar 1).
4.
Mekanisme Hemodinamik
Mekanisme ini menerangkan hubungan lokalisasi dan
pembentukan aterosklerosis. Plak ateroma terutama sering di-
dapatkan di daerah percabangan pembuluh darah. Pada pembu-
luh darah koroner, ateroma lebih jelas pads bagian proksimal dari
tiga cabang utama epikardial arteri koronaria yang jelas bergerak
pads setiap denyut jantung. Arteri penderita hipertensi me-
nunjukkan
peningkatan permeabilitas terhadap molekul lipo-
protein. Faktor mekanis ini dapat mempengaruhi perubahan
tunika intima dan merangsang pembentukan mikro-trombi.
5. Perdarahan Kapiler
Teori Wintemitz (1938) menerangkan bahwa lipid pads lesi
aterosklerotik berasal dari perdarahan berulang pads plak akibat
ruptur kapiler lumen pembuluh darah maupun vasa vasorum.
Walaupun mekanisme ini tidak ada hubungannya dengan per-
mulaan pembentukan lipid akan tetapi mekanisme ini dapat me-
nambah penimbunan lipid dan fibrosis pads plak
yang
sudah
terbentuk.
Paterson menjelaskan bahwa frekuensi dan adanya per-
darahan kapiler dalam plak merupakan mekanisme untuk ter-
jadinya obstruksi akut arteri koroner.
6. Migrasi Lipofag (Makrofag)
Teori ini diperkuat oleh Leary; penimbunan kolesterol
pads arteri adalah akibat lipofag yang beredar dalam darah me-
lakukan penetrasi pads tunika intima. Sel ini diduga melakukan
penetrasi ke dalam endotelium atau melekat pads permukaan
sehingga menutupi endotelium.
PATOFISIOLOGI PENYAKIT JANTUNG KORONER
Fase penyakit jantung koroner dapat diketahui berdasarkan
hubungan antara gejala klinis dengan patologi endotelium yang
dapat dilihat secara angioskopi. Pada permulaan penyakit akan
tampak lapisan lemak pads permukaan pembuluh darah. Bila lesi
melebar akan menyebabkan obstruksi parsial oleh plak yang
permukaannya licin. Bila plak bertambah besar aliran koroner
akan berkurang dan menyebabkan angina stabil. Beberapa plak
akan mengalami ulserasi dan menyebabkan kumpulan
platelet
pads tempat tersebut. Kumpulan
platelet tersebut akan meng-
akibatkan lepasnya vasokonstriktor koroner secara periodik dari
aliran darah dan menyebabkan angina yang laju
(accelerated
angina)
yaitu bentuk peralihan dari angina stabil ke angina tak
stabil. Bila emboli yang lepas cukup besar akan menyebabkan
kematian yang mendadak.
Kumpulan
platelet
yang menempel dapat membentuk
trombus kecil. Bila trombus cukup besar dan menyebabkan
obstruksi total akan menjadi infark miokard. Setelah terjadi
infark, trombus akan lisis oleh proses endogen. Ulserasi endo-
telium menyembuh dalam beberapa minggu. Proses penyem-
buhan kadang-kadang tidak seluruhnya sempurna, seringkali
trombus yang tersisa membentuk sumbatan dalam pembuluh
darah sehingga timbul kembali angina stabil. Plak tersebut dapat
ruptur kembali, dan seterusnya.
Jadi mekanisme pencetus yang mengubah status seorang
penderita dengan gejala klinis stabil menjadi gawat seperti infark
miokard akut sangat berhubungan erat dengan patogenesis ate-
rosklerosis, agregasi platelet,trombosis intra koroner serta vaso-
spasme koroner.
Maka bagi penderita penyakit koroner dengan aliran darah
koroner terganggu, penanganan utamanya adalah revaskularisasi
dan reperfusi, baik secara mekanik maupun medikamentosa.
Cermin Dunia Kedok t eran, Edisi Khusus No. 80,1992 153
PENGENALANDAN PENATALAKSANAANPENYAKIT
JANTUNG KORONER
Iskemi miokard akibat aterosklerosis koroner dapatdiketahui
pads sebagian besar penderita karena menyebabkan rasa tak enak
di dada atau sakit dada yang disebut angina pektoris. Angina
pektoris adalah rasa sakit iskemik sebagai akibat dari iskemi
miokard yang terjadi sementara dan dirasakan penderita sebagai
sakit dada.
Beberapa ciri rasa sakit angina yang sangat berguna untuk
menegakkan diagnosis :
A. Lokalisasi
Sakit dada biasanya dirasakan maksimal di daerah mid-
sternal, tetapi dapat saja di lain tempat antara rahang dan
epigastrium.
Penjalaran rasa sakit dapat ke lengan dan pergelangan kiri,
leher, punggung, lengan dan pergelangan kanan dan rahang
bawah.
B. Sifat
Sakit yang terlokalisasi baik bukanlah angina pektoris. Rasa
sakit biasanya difus, dan dapat digambarkan dengan tangan
terkepal atau tangan terbuka yang menekan dada. Istilah yang
dipakai adalah rasa sakit, rasa tertekan, rasa ketat, rasa berat dan
rasa diremas; kadang-kadang angina hanya terasa seperti masuk
angin.
Rasa terbakar, rasa diiris dan rasa tajam biasanya menunjuk-
kan sakit dada yang lebih superfisial dan tidak khas untuk sakit
iskemik.
C.
Lamanya
Angina biasanya singkat; biasanya karena penderita ber-
usaha menghindari faktor pencetus atau mengatasi serangan
154 Cermin
Dunia Kedok t eran, Edisi Khusus No. 80, 1992
dengan nitrat. Serangan yang khas biasanya berlangsung 20 30
menit. Bila lama biasanya suatu serangan infark miokard.
D. Gejala Penyerta
Kecemasan, keringat dingin dan sesak nafas dapat me-
nyertai angina. Kadang-kadang rasa sesak merupakan satu-
satunya gejala tanpa adanya angina.
E. Faktor Pencetus
Aktifitas fisik, udara dingin, perubahan suhu yang men-
dadak, rasa cemas dan emosional, merokok, makan, kegiatan
sanggama.
F. Faktor Pembebas
Sakit karena latihan biasanya hilang segera dengan istirahat.
Respon terhadap nitrogliserin sublingual biasanya menguatkan
diagnosis angina pektoris. Faktor pembebas lainnya adalah pijat
sinus karotis, menahan nafas dan tindakan Valsava.
Dalam klinik dikenal berbagai jenis angina, tetapi untuk
kepentingan penatalaksanaan semuanya dibagi dalam 2 kelom-
pok besar saja, yaitu angina pektoris stabil dan angina pektoris
tidak stabil. Khusus mengenai angina yang baru timbul seringkali
dikelompokkan dalamfirst onset angina. Untuk angina jenis ini
perlu observasi sekurang-kurangnya 24 jam untuk memastikan
apakah masuk kelompok angina pektoris stabil atau angina
pektoris tidak stabil.
A. ANGINA PEKTORIS STABIL
Definisi
Angina pektoris stabil adalah rasa sakit iskemik yang di-
cetuskan oleh aktifitas tanpa perubahan dalam frekuensi, inten-
sitas dan lamanya angina maupun faktor-faktor pencetusnya
dalam 30 hari terakhir.
Klasifikasi
1) Aktifitas sehari-hari tidak menimbulkan angina
Angina baru timbul pads aktifitas berat, tergesa-gesa cepat
atau berkepanjangan.
2) Aktifitas sehari-hari terganggu sedikit
Angina timbul waktu jalan atau naik tangga dengan cepat,
jalan mendaki, jalan atau naik tangga setelah makan atau di hawa
dingin, jalan melawan angin atau selagi stres/emosi, berjalan
lebih dari 2 blok ( 400 m) dan naik tangga satu tingkat pads
kecepatan dan kondisi normal.
3) Aktifitas sehari-hari sangat terganggu
Angina dapat timbul setelah jalan 2 blok atau naik tangga
satu tingkat pada kecepatan dan kondisi normal.
4)
Tidak mampu melakukan aktifitas apapun tanpa angina
Angina dapat timbul sewaktu istirahat.
Diagnosis
1)
Riwayat sakit dada yang khas angina.
2)
Adanya perubahan EKG yang sesuai dengan iskemi se-
waktu sakit dada.
Tindakan
1) Umum/non-farmakologis
Pengendalian faktor-faktor risiko dan menghindari faktor-
faktor pencetus.
2) Farmakologis
Pemberian obat-obat nitrat, betabloker maupun antagonis
kalsium.
3) Stratifikasi : sires test
Bila diperlukan dapat dilakukan pemeriksaan thalium 201
atau angiografi.
4)
Indikasi angiografi koroner
-
Angina kelas III - IV
Umur di bawah 40 tahun
Hasil stress test
menunjukkan prognosis yang kurang baik
- Angina dengan aritmia yang diduga karena iskemia.
7) Intervensi
Tergantung pada basil angiografi koroner, dapat dilakukan
revaskularisasi berupa angioplasti koroner atau bedah pintas
koroner.
8) Indikasi PTCA
Absolut :
-
Lesi diskret pada 1 atau 2 pembuluh darah koroner
-
Re-stenosis yang berulang
Relatif :
Stenosis proksimal pada 3 pembuluh darah koroner
-
Lesi kompleks bila teknis memungkinkan
7)
Indikasi CABG :
-
Penyakit left main branch
Penyakit 3 pembuluh darah koroner yang ekstensif
PTCA secara teknis tidak memungkinkan
PTCA yang gagal.
B.
ANGINA PEKTORIS TIDAK STABIL
Definisi
Angina pektoris tidak stabil adalah suatu sindrom klinik dari
rasa sakit iskemik yang mencakup suatu spektrum yang Was dari
berbagai presentasi klinis dengan perburukan pola gejala angina
tanpa bukti adanya nekrosis miokard.
Terminologi
Preinfarction angina, preinfarction syndrome, impending
myocardial infarction, Prinzmetal
'
s angina, variant angina,
status anginosus, intermediate coronary thrombosis, acute
coronary insufficiency, crescendo angina, accelerated angina,
progressive angina, unstable angina.
Ciri-ciri
1)
Adanya peningkatan frekuensi, intensitas dan lamanya angina
dengan atau berkurangnya respon terhadap nitrat.
2)
Timbul sewaktu istirahat atau sewaktu melakukan aktivitas
ringan.
Yang termasuk angina pektoris tidak stabil adalah
new
onset angina, progressive/crescendo angina, variant (Prinz-
metal) angina, post-infarction angina
tidak terkontrol dalam
24-28 jam; lakukan angiografi, bila perlu dipasang IAPB
(Infra
Aortic
Balloon Pump) terlebih dahulu.
Diagnosis
1)
Adanya riwayat sakit dada yang khas angina sesuai dengan
ciri-ciri di atas.
2) Ditemukannya perubahan EKG yang sesuai dengan iskemia
pada waktu sakit.
Tindakan umum
a) Tirah baring di CVCU sampai angina terkontrol atau bebas
angina 24 jam.
b) Oksigen 2-4 liter permenit.
c)
Pasang ivline (Dextrose 5%/NaCl 0,9%).
d) Atasi rasa sakit dengan
-
Nitrat sublingual, dilanjutkan oral nitrat; bila belum ter-
kontrol dilanjutkan dengan
- Nitrogliserin iv dititrasi mulai dari 5 ug per menit ditingkat-
kan 5 ug setiap 5 menit sampai rasa sakit hilang (rata-rata 100 ug)
atau
- Isosorbid dinitrat: masukkan 20 mg dan 80 ml dextrose 5%
ke dalam buret mikrodrip. Jalankan/titrasi infus sampai rasa sakit
hilang lalu dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 2 mg/perjam.
Bila sakit timbul lagi, titrasi infus lagi sampai rasa sakit hilang,
lalu teruskan dengan dosis pemeliharaan 4 mg/jam dan seterus-
nya.
e)
Tranquilizer ringan seperti diazepam 5 mg/8 jam.
1)
Beta bloker merupakan pilihan pertama bila tidak ada kon-
traindikasi.
3) Indikasi Angiografi koroner
-
Angina yang refrakter terhadap pengobatan
-
Angina pasta infark
4)
Intervensi angioplasti koroner atau bedah pintas koroner
sesuai indikasi.
5) Indikasi PTCA
- Indikasi pada 1 atau 2 pembuluh darah koroner
Re-stenosis yang berulang.
6) Indikasi CABG
- Penyakit left main branch
-
Penyakit 3 pembuluh darah koroner
- PTCA secara teknis tidak mungkin
-
PTCA yang gagal.
C. INFARK MIOKARD AKUT
Ciri-ciri
1)
Adanya nyeri dada khas yaitu nyeri dada yang berat dan
menetap sekurang-kurangnya 20 menit lamanya.
2)
Nyeri dada khas adalah rasa sakit atau tertindih, terjepit,
terbakar atau kualitas sejenis dengan lokasi retrostemal atau
prekordial dengan atau tanpa penjalaran ke leher, bahu, lengan
atau punggung. Juga dapat disertai tanda-tanda aktivasi sistem
saraf otonom berupa pucat, keringat dan vasokonsriksi perifer.
Penderita biasanya ada dalam rasa takut.
Bila sarana pemeriksaan lebih lanjut tidak tersedia sudah
dapat langsung dirujuk.
Diagnosis
1) Rasa sakit dada yang khas untuk iskemi miokard.
2) Kelainan EKG yang khas yaitu berupa elevasi segmen ST
atau perubahan gelombang T (T tinggi) hiperakut atau T inversi
Cermin Dunia Kedokteran, Edisi
Khusus No. 80, 1992 1 55
dalam.
3)
Kenaikan kadar enzim jantung.
Tindakan
1)
Tenangkan penderita.
2)
Usahakan untuk dirawat di ruang intensif koroner.
3) Berikan nitrat sublingual.
4) Berikan oksigen.
5)
Pasang kanula intravena.
6) Aspirin oral 150 - 300 mg.
7) Diazepam 5 mg iv; bila perlu diberi morfin 2,5-5 mg iv atau
petidin 25-50 mg. bila nyeri hebat atau belum hilang dengan
nitrat. Bila nadi lambat jangan diberikan morfin.
8) Bila ada defibrilator dekatkan pads penderita.
9) Rekaman EKG dan pemeriksaan lazim diulangi setelah
12-24 jam.
10) Pemberian trombolisis bila nyeri baru berlangsung 6 jam
atau bila nyeri dada menetap.
Dasar kerja trombolisis adalah melarutkan trombolisis akut
yang terjadi di pembuluh darah. Trombolisis generasi pertama
adalah streptokinase dan urokinase sedangkan generasi ke dua
"adalah tPA (tissue plasminogen activator, APSAC (anisolated
plasminogen activation complex)
dan prourokinase.
Trombolisis dapat diberikan segera tanpa menunggu basil
pemeriksaan lazim, bila ada riwayat khas dan elevasi segmen
ST bermakna pads 2 sadapan atau lebih. Dosis streptokinase
diberikan 1.5 juta unit dalam larutan NaCl 0,9% sampai 100 ml
dan diinfus selama 1 jam dengan mikrodrip, dan sebaiknya di-
berikan hidrokortison 100 mg iv sebelum pemberian strepto-
kinase, dilanjutkan dengan heparinisasi setelah pemberian
streptokinase.
Penyulitnya adalah hipotensi, perdarahan dan reaksi alergi
akut.
Kontra indikasi pemberian trombolisis adalah terutama
yang barn menjalani pembedahan, pendarahan cerebral dan
gastro intestinal, hipertensi yang tidak terkontrol.
Tissue Plasminogen Activator (rt-PA) diberikan sebagai
bert'kut: 10 mg. bolus tunggal, 50 mg. diinfus selama 1 jam dan
sisanya 40 mg. diberikan selama 2 jam. Jumlah total 100 mg.
Pemberian APSAC 30 mikro bolus dalam 5 menit.
11) Beta bloker secara iv seperti atenolol dan metoprolol bila
diberikan secara dini dapat menurunkan mortalitas dengan
mencegah perluasan infark, mencegah ruptur dalam 24 jam per-
tama; tetapi tidak boleh diberikan pads bradikardi, hipotensi
gagal jantung dan alma.
12) Pengobatan dan tindakan terhadap penyulit seperti aritmia
(fibrilasi ventrikel, takikardi ventrikel, aritmi
supraventrikuler,
sinus bradikardi, blok atrioventrikuler), gagal jantung, nyeri
dada berkepanjangan atau berulang, perikarditis.
13)
Lama perawatan biasanya 10-40 hari; dengan trombolisis
biasanya lebih singkat, edukasi penderita mengenai aktiftas dan
rehabilitasi,penanggulangan faktor risiko, Cara-cara penggunaan
obat. Pengobatan waktu pulang yang standard adalah aspirin dan
beta bloker.
RINGKASAN
Pengenalan dasar patofisiologi penyakit jantung koroner
perlu bagi klinikus karena berhubungan dengan penatalaksana-
annya.
Pada dasarnya patofisiologi yang terjadi pads
penyakit
jantung koroner adalah interaksi antara elemen darah, dinding
pembuluh darah dan substansi vasoaktif. Mekanisme pencetus
kegawatan iskemik miokard berhubungan erat dengan robeknya
plak, agregasi platelet, pembentukan trombus Berta spasme ko-
roner. Tiga aspek penatalaksanaan yang perlu
dipertimbangkan
adalah menghambat agregasi platelet, menghambat pemben-
tukan trombus dan vasodilatasi.
KEPUSTAKAAN
1. Forrester JS,
Hickey A, Litvock F, Greendest W.
Angioplasty. In: Cardio-
logy Update, New York: Elsevier, 1990.
2. Gribbin B. Angina Pectoris
in Cardiovascular Disease, Singapore: PG
International, 1988.
3. Helfant RH. Stable Angina Pectoris, Circulation 1989; 82, Suppl. (3).
4. Hurst WJ. The Heart, Arteries andVeins. Mc Craw Hill-Co, 1990.
5. Joseph
SA. Importance of the
pharmacological profile of
thrombolytic
agents: Clinical Practice. Am J Cardiol 1991; 67 (3E): 7.
6. Lie KI, Becker AE. Classification of Angina.
In: What is Angina?
Symposium in the Hague, Netherlands 1981, AB Hassle Swedia 1983.
7. Netter FH, Heart
Vol
5, The Ciba
Collection of Medical Blustrations, New
York: Ciba, 1981.
8. Angina Pektoris. POKJA,
Bagian Kardiologi FKUI, 1991.
9. Ross R. The
pathogenesis
of atherosclerosis: Past, present
and future.
Circulation 1985; 72 B.
10.
Shah PK, Forrester IS. Pathophysiology
of acute coronary syndromes,
Am J Cardio 1991; 68: 16C 23C.
It is not what you eat t hat causes ulcers, it is what
'
s eat ing you
It is not work t hat kills
men, it is worry
156 Cermin Dunia Kedok t eran, Edisi Khusus
No. 80, 1992
Penggunaan Antagonis Kalsium
dalam Penatalaksanaan Penyakit
Jantung Koroner
Sutomo Kasiman, T. Bahry Anwar, T. Renardi Haroen
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan
PENDAHULUAN
Antagonis kalsium yang relatif sudah lama dikenal peng-
gunaannya sebenarnya sudah menjalani masa pengembangan
yang cukup panjang. Berbagai penelitian/percobaan yang telah
dilakukan antara lain sejak 1882, kira-kira 100 tahun yang lalu
oleh Sidney Ringer telah menunjukkan peranan ion Ca" ter-
hadap kontraksi miokard. Bukti-bukti lain menyusul dalam dua
dekade ini mengenai pengaruh bahan-bahan obat terhadap peran
ion
Ca" ini seperti telah ditunjukkan oleh Prof. Albrecht
Fleckenstein 1964 yang telah memberikan sumbangannya dalam
pengembangan antagonis kalsium dalam klinik.
Kita belum lupa bahwa pengenalan konsep reseptor alfa dan
beta adrenergik yang diawali oleh Raymond Ahlquist, pem-
bagian subdivisi dari kedua reseptor di atas, konsep reseptor
histamin H1 & H2 disusul dengan pengembangan obat-obat yang
selektif dan bahkan spesifik yang bekerja pads reseptor-reseptor
tersebut. Obat-obat tersebut di atas secara dramatis menunjukkan
efek farmakologis yang positif. Pada dua dekade lalu kita melihat
obat-obat penghambat beta yang banyak dipakai, mula-mula
sekali digunakan untuk an tihipertensi dan st able anginapectoris,
dan dalam beberapa tahun berikutnya, digunakan untuk berbagai
spektrum penyakit. Pada dekade ini, dengan meningkatnya
pengetahuan tentang mekanisme kontraksi dan relaksasi dari
obat jantung, maka kita lebih mengetahui kaitan ion Ca" dalam
proses tersebut.
Dan riwayat di atas tidak dapat dipungkiri lagi bahwa sejak
tahun 1980 obat-obat antagonis kalsium ini sudah masuk dalam
golongan obat-obat kardiovaskular. Misalnya nifedipin yang di-
bicarakan kali ini pads selesainya studi pertamapada tahun 1971,
barn menunjukkan efek anti angina saja. Selain dari penggunaan
kardiovaskular,
berbagai penelitian sedang dijalankan terhadap
penggunaan lain dari antagonis kalsium ini.
Bila dihadapkan pads hasil penelitian ilmiah, seringkali se
-
orang dokter berada pads situasi yang agak sulit, karena bagai-
manapun yang dihadapinya adalah bagaimana mengobati pen-
derita. Klinisi ini hams melakukan dulu berbagai pemeriksaan
mendalam dan atas dasar inilah is membuat kesimpulan klinis.
Tetapi sering kali juga is dihadapkan pads keadaan dimana hams
segera mengambil keputusan tanpa pemeriksaan yang lengkap.
Untuk hal kedua inilah barangkali patut selalu diulang masalah
konsep dasar beberapabahan obat yang banyak diteliti pada masa
ini.
ISTILAH
Berbagai nama diberikan untuk kelompok antagonis kal-
sium ini; dimulai dengan
Calcium antagonist, Calcium channel
block ers, Calcium block ing agent s, Calcium influx block ers,
Calcium ent ry block ers
ataupun slow channel block ers.
PERANAN Ca" ION PADA JANTUNG DAN PEMBULUH
DARAH
Fungsi optimumh jantung dan pembuluh darah tergantung
dari sesuainya jumlah kalsium dalam sel miokard dan pembuluh
darah. Sewaktu depolarisasi, peningkatan membran potensial
yang tiba-tiba berhubungan dengan lewatnya Na' dan Ca" ke
dalam sel. Ion Ca" berasal dari ruang ekstra seluler atau dari
tempat penyimpanannya di dalam membran.
Influx dari ion Ca" ini lebih lambat daripada ion Na' dan
melalui saluran khusus
Ca Channels. Sebagian besar ion Ca"
yang masuk ke dalam sel (mediator kalsium) langsung ke ter-
minal cistern dari sarcoplasmic reticulum.
Banyaknya ion Ca"
yang dilepaskan ke dalam sel sesuai dengan
banyaknya ion Ca'
yang masuk ke membran sel tetapi sedikit lebih tinggi. Pening-
katan ion Ca" intraseluler ini panting karena kontraksi terjadi
Cermin Dunia Kedok t eran, Edisi Khusus No. 80, 1992 157
apabila konsentrasi Ca** mencapai 10' mole.
Sebelumnya kita melihat bahwa satuan fungsionil dari sis-
tim kontraksi miokard adalah sarkomer. Pada tiap sarkomer
terdapat protein kontraktil yang tersusun berupa filamen tebal
dan tipis yang dikenal sebagai myosin dan actin. Pada waktu
kontraksi filamen actin bergeser ke dekat filamen myosin; per-
pindahan ini tergantung dari suatu interaksi biokemis. Untuk hal
tersebut dibutuhkan suatu jembatan penghubung antara actin
dan myosin. Energi yang dibutuhkan untuk itu dilepaskan pads
waktu hidrolisis ATP. Untuk hal tersebut dibutuhkan pula
ATP-ase yang terletak pads molekul myosin.
Induksi ion Ca** guna aktivasi dari ATP-ase myosin ini
secara langsung dan sangat kompleks, termasuk di dalamnya
interaksi antara ion Ca** dengan regulator protein yaitu troponin
dan tropomyosin; bila kalsium kurang, regulator protein ini
akan mencegah aktivasi ATP-ase myosin oleh actin. Bila jumlah
Ca** cukup efek penghambatan dari troponin dan tropomyosin
ini terhalang dan actin mengaktivasi enzim ini. Dengan cukup-
nya ATP untuk dihidrolisis, ATP-ase myosin diaktivasi dan
dengan adanya berbagai co-faktor seperti Mg*',
maka per-
tukaran dari diastole ke sistole tergantung sekali pads adanya
Ca** ion yang bebas di dalam sel di atas kadar ambang ter-
tentu.
Ion Ca** yang tersedia di dalam sel tidak saja mengubah
sistole ke diastole dan sebaliknya, tetapi juga bertanggung jawab
terhadap kuatnya kontraksi miokard. Pemecahan ATP untuk
energi kontraksi bergantung pads konsentrasi ion Ca**. Ion
Ca** ini dengan demikian mengatur proses pemecahan ATP,
terutama metabolisme kerja oksidasi, juga jumlah oksigen yang
dibutuhkan. Dengan meningkatnya kebutuhan oksigen, maka
Ca intrasel dan juga kontraksi bertambah. Sebaliknya, pads
insuffisiensi koroner, suplai oksigen berkurang karena aliran
darah kurang; dengan demikian pengurangan kebutuhan oksigen
dengan mengurangi Ca intraseluler merupakan hal yang penting.
KONTRAKSI
MIOKARD
Dengan antagonis kalsium hal tersebut terdahulu dapat
dicapai dengan cara menghambat influx Ca** melalui membran.
Selain itu antagonis kalsium ini melindungi sel miokard dari
penumpukan Ca** dan dengan sendirinya mencegah peningkat-
an kebutuhan oksigen sewaktu exercise hal ini merupakan tam-
bahan risiko pads penderita insuffisiensi koroner.
KERJA ANTAGONIS KALSIUM
Kerja utama antagonis kalsium adalah vasodilatasi arte-
riolar, efek inotropik-chronotropik negatif pads jantung, dan
mempengaruhi konduksi atrioventrikular (tabel 1). Antagonis
kalsium dapat juga menghambat agregasi platelet (Greer et al.
1986, Atkinson M.J. 1989) tetapi penggunaan klinisnya belum
begitu jelas benar.
ANTAGONIS KALSIUM
DAN ISKEMI MIOKARD
Antagonis kalsium mempunyai cara yang kompleks sejauh
yang dibicarakan mengenai pengurangan
ischemic-reperfusion-
induced inj ury :
158
Cermin Dunia Kedok t eran, Edisi Khusus
No. 80, 1992
1)
Karena obat-obat ini adalah dilator koroner, is dapat mem-
perbaiki suplai oksigen pads daerah yang cedera, serta memulai
mengeluarkan H* dan produk samping lainnya dari glikolisis
anerobik.
2)
Obat ini mempunyai efek
energy-sparing karena: a) men-
dilatasi pembuluh perifer, b) mengurangi kontraktilitas, dan
c) dengan phenylalkilamine dan benzothiazepine mereka me-
ngurangi frekuensi denyut jantung.
3)
Mengurangi kehilangan
adenosine precursors (de Jong et
al, 1982).
4)
Mempunyai efek protektif langsung pads sel endotel.
5)
Melambatkan pelepasan enzim lisosom. (Ichihara et al,
1987).
6)
Inhibisi agregasi
platelet (Ikeda et al, 1981).
7) Mengurangi
reperfusion induced arrhythmia.
8)
Menguatkan efek protektif langsung pada sarcolemma (Daly
et al, 1985).
9)
Melambatkan akumulasi Ca** selama postischemic reper-
fusion :
a.
Bila digunakan sebagai profilaksis
b.
Lamanya serangan
ischemic tidal lebih dari 60 menit.
10)
Mempunyai efek protektif pads mitochondria (Nayler et al,
1980).
PEMBULUH KORONER
Pada sel otot polos pembuluh darah koroner penghambatan
influx Ca** pads transmembran oleh antagonis kalsium mengu-
rangi tonus pembuluh darah. Dengan demikian antagonis kal-
sium ini mendilatasi bukan saja arteriol tetapi juga pembuluh
epikardial yang besar. Hal ini telah ditunjukkan oleh peneliti
terdahulu pads model-model percobaan. Perlu diperhatikan pula
bahwa bukan hanya arteriol yang dilatasi tetapi juga dibutuhkan
dilatasi dari pembuluh koroner utama, karena bila pembuluh
yang lebih besar tidak turut dilatasi akan terjadi suatu pengu-
rangan aliran ke daerah iskhemi yang menyebabkan kekurang-
an oksigen yang lebih banyak (steal phenomenon).
Beberapa antagonis kalsium mempunyai efek tersebut di
atas sehingga sangat berguna untuk pengobatan spasme koroner.
PEMBULUH PERIFER
Pada otot polos pembuluh darah perifer antagonis kalsium
mengurangi tonus pembuluh darah dan menimbulkan vasodi-
latasi. Akibat kurangnya tahanan pembuluh perifer, secara tidak
langsung
mempengaruhi pengurangan kebutuhan oksigen
dengan mengurangi
afterload dan secara langsung pads hi-
pertensi menurunkan tekanan darah.
kalsium sebagaimana halnya vasodilator, tetapi kali ini kita
melihat manfaatnya pads penyakit jantung koroner sebagaimana
dibicarakan di atas tadi.
Peningkatan kalsium intraseluler merupakan hal yang ber-
tanggung jawab terhadap terjadinya kerusakan miokard yang
mengalami iskhemi (Katz dan Reuter, 1979). Selain itu semua
kelompok antagonis kalsium: dihydropyridine, papaverine, dan
diltiazem dipergunakan:juga pads sindrom iskhemi miokard
(angina Prinzmetal, unstable angina, dan chronic stable angina).
Beberapa aritmi jantung dapat diatasi dengan verapamil dan
obat-obat verapamil-like tetapi tidak oleh dihydropyridine se-
cara umum (Singh et al 1983). Antagonis kalsium dipergunakan
juga pads hipertrofi jantung (Lida et al 1983) tetapi pengalaman
klinis di bidang ini sangat terbatas.
PENUTUP
Banyak alasan mengapa antagonis kalsium dipergunakan
pads penyakit jantung koroner. Obat ini bersifat hemat energi,
melambatkan masuknya Ca", mengurangi kelebihan noradre-
nalin, merupakan dilator koroner, menghambat agregasi platelet,
dan melindungi integritas mikrovaskular. Berbicara mengenai
sifat-sifat ini semua, tampaknya antagonis kalsium mampu untuk
menghambat proses kerusakan akibat iskemi; hasilnya adalah :
adalah :
a. mengurangi luasnya infark; dan
b.. memanjangkan waktu bagi intervensi lainnya - termasuk
penggunaan trombolitik; dan angioplasti - dapat dilaksanakan.
KEPUSTAKAAN
1. Fleckenstein A. History of calcium antagonists. Circ Res 1983; (suppl. 1):
3-16.
2. Greer IA, Walker JJ, McLaren M, Calder AA, Forbes CD. Inhibition of
whole blood platelet aggregation by nicardipine, and synergism with
prostacyclin in vitro. Thromb Res. 1986; 41: 509-18.
3. Russi EW, Ahmad T. Calcium and calcium antagonists in airway disease.
A Review. Chest 1984; 86: 475-82.
4. Singh BN, Nadamanee K, Baky SH. Calcium antagonist: Clinical use in
the treatment of arrythmias. Drugs 1983; 25: 125-53.
PEMBANGKIT DAN PENGHANTARAN RANGSANG
Pengertian tentang proses elektrofisiologi pads saat eksitasi
sel sangat penting untuk memahami bagaimana terjadinya arit-
mia dan bagaimana obat-obat anti aritmia bekerja.
Dalam struktur jantung terdapat dua jenis action potential
yang masing-masing berbeda peranannya, termasuk di dalamnya
kecepatan konduksi dan kuatnya potensi rangsang. Hal tersebut
tergantung dari arus ion yang berbeda yang mungkin juga
mempergunakan
channel yang berbeda pula (fast and slow
channels)
pads sel membran sehingga menghasilkan fast and
slow response action potential juga.
Fast response action potential terutama sekali dibawa oleh
ion Na'; hanya tampak pads sel dengan resting potential yang
tinggi, sedang slow response action potential, tergantung sekali
pads ion Ca", timbul hanya pads sel dengan resting potential
yang rendah.
Secara fisiologis sistem Na yang cepat ini bertanggung
jawab terhadap eksitasi dari miokard atrial dan ventrikel serta
juga sistem konduksi interventrikel. Pada sel SA dan AV node
influks kalsium yang lambat ini adalah yang menentukan kece-
patan konduksi rangsang. Keadaan inilah yang memungkinkan
adanya antiaritmia spesifik dari jenis-jenis antagonis kalsium.
Pada keadaan tertentu ion Ca" juga memainkan peranan
penting dalam pengembangan potensial aksi pads Purkinye
Fibre
yang dapat menimbulkan berbagai aritmia (extra systole,
reentry tachycardia). Dalam hal ini antagonis kalsium meng-
hambat influx Ca" yang lambat sehingga dapat menekan slow
response action potential.
JENIS-JENIS ANTAGONIS KALSIUM
Telah disebut bahwa obat-obat kardiovaskular pads tahun
1990-an ini telah memasukkan antagonis kalsium di dalam
deretannya sebagai satu kelas tersendiri. Sebagaimana dengan
perkembangan berbagai jenis obat-obatan, keadaannya menjadi
makin kompleks. Kita bukan saja membahas berbagai makalah
mengenai hal ini tetapi juga menyangkut struktur kimiawi bahan
ini; space filling models, sesuai dengan kelompoknya obat-
obatan ini memberikan efek tertentu yang sama, tetapi kenyataan
bahwa secara kualitatif dan kuantitatif masing-masing berbeda.
Di Amerika Serikat beberapa jenis kelompok ini yang dite-
rima untuk dipasarkan yaitu Nifedipine, Verapamil, Diltiazem,
Felodipine, Nicardipine dan lain-lain. Obat-obat ini diperguna-
kan untuk pengobatan variant (spasme) angina pectoris, dan juga
stable angina. Selain ini verapamil telah diizinkan secara pa-
renteral untuk dipakai pads supraventricular arrythmia. Pema-
saran obat ini tentulah setelah melihat data klinis kuantitatif.
Secara eksperimental obat-obat ini telah digunakan untuk ber-
bagai efek sebagaimana dapat kita lihat kemungkinan pengguna-
an pada Tabel 2.
INDIKASI PEMAKAIAN KLIMS
Pada tabel 2 ditunjukkan indikasi klinik dari penggunaan
antagonis kalsium yang sudah kita kenal berdasar kerja dari
antagonis kalsium yang telah diuraikan di alas. Pengobatan
hipertensi merupakan kegunaan utama saat ini dari antagonis
Cermin Dunia Kedok t eran, Edisi Khusus No. 80, 1992 159
5. Willis AL, Nagel B, Churchill V. et al. Antiatherosclerotic effects of
nicardipine and nifedipine in cholesterol-fed rabbits. Atherosclerosis
1985; 5: 250-5.
6. Sorkin, EM, Clissold SP, Brogden RN. Nifedipine: A review of its
pharmacodynamic and pharmacokinetic properties, and therapeutic effi-
cacy in ischemic heart disease, hypertension and related cardiovascular
disorders. Drugs 1985; 30: 182-274.
7. Sutomo Kasiman. Penggunaan antagonis kalsium secara klinis. Naskah
Simposium Kalsium Antagonis. Medan, 19 Nop. 1984.
8.
Lichtlen PR. The role of calcium antagonists in the treatment of coronary
artery disease. Naskah Simposium Kalsium Antagonis. Medan 19 Nop.
1984.
9.
Atkinson MJ (ed). Calcium Antagonists and Atherosclerosis. 4th Inter-
national Symposium on Calcium Antagonists. Round table discussion.
Florence 25 May 1989.
10.
Nayler WG (Ed). Calcium Antagonists. Academic Press 1988.
11.
Omae T, Zanchetti A (Eds). How should elderly hypertensive patients be
treated? Tokyo: Springer Verlag, 1989.
1 60
Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992
Simposium Satelit : Pola Makan Untuk
Mencegah Kegemukan
Interkonversi Zat-zat Kimia di
dalam Tubuh
Pangaribuan Siregar
Bagian Biokimia, Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara,
Rumah Sakit Dr Pirngadi, Medan
ABSTRAK
Tubuh memperoleh energi/kalori dari makanan yang dimakan. Untuk menjaga agar
jangan terjadi defisiensi ataupun gangguan kesehatan lainnya, makanan yang dimakan
haruslah sesuai dengan kebutuhan tubuh baik dalam jumlah kalori maupun komposisi
zatnya. Kelebihan kalori yang terdapat dalam makanan yang dimakan, terutama makan-
an yang dominan karbohidratnya dapat menyebabkan terjadinya kegemukan, sedangkan
makanan yang mengandung kadar lemak yang tinggi sering menimbulkan berbagai
kelainan kardiovaskuler.
Interkonversi antar zat-zat kimia di dalam tubuh yang berkaitan dengan hal-hal
tersebut di atas akan dibicarakan dalam makalah ini.
PENDAHULUAN
Tubuh memerlukan nutrien yang cukup untuk menyediakan
keperluan energi yang dibutuhkan sehari-hari. Nutrien terdiri
dari hidrat arang, lemak dan protein dalam proporsi yang ber-
variasi.
Berat badan yang konstan dalam keadaan kebutuhan energi
yang tidak terganggu, menunjukkan di dalam nutrien terdapat
cukup energi. Pada keadaan energi yang setimbang (energy
equilibrium), pemas ukan energi harus samadengan penggunaan-
nya.
Energi yang dibutuhkan oleh tubuh sangat tergantung pada
kecepatan metabolisme basal, efek termoginik, aktivitas fisik
serta suhu sekitar.
Kebutuhan tubuh akan energi rata-rata dapat dilihat pada
tabel 1.
KEBUTUHAN BAHAN MAKANAN
Kebutuhan hidrat arang
Glukosa adalah hidrat arang spesifik yang dibutuhkan oleh
jaringan, akan tetapi jumlahnya di dalam nutrien tidak men-
cukupi kebutuhan. Namun hidrat arang lain seperti amilum,
glikogen, fruktosa, sakarosa dan galaktosa yang terdapat dalam
nutrien dapat diobah menjadi glukosa, baik melalui proses pen-
cernaan ataupun sesudah berada di dalam hati.
Glukosa juga dapat dibentuk di dalam tubuh dari gliserol
yang berasal dari lemak dan asam-asam amino glikogenik yang
berasal dari protein melalui proses glukoneogenesis.
Kebutuhan minimal hidratarang perhari dalam nutrien untuk
mencegah agar tidak terjadi ketosis dan kehilangan protein otot
tubuh, adalah 50 100 g.
Kebutuhan serat
Serat dalam nutrien dibutuhkan untuk menahan air dan
memperbesar volume sewaktu makanan bergerak sepanjang
saluran cerna.
Nutrien yang banyak mengandung serat yang tidak larut
dapat mencegah terjadinya divertikulosis, kanker usus besar,
penyakit kardiovaskuler, hemoroid dan diabetes mellitus; se-
dangkan nutrien yang mengandung banyak serat yang larut akan
Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992 161
i
Tabel 1.Kebutuhan kalori menurut beratbadan (BB) dan aktivitas*)
Golongan Umur Kebutuhan
(tahun) Kalori
Laki-laki :
remaja, dewasa
10 12 2600
1315 0.97MxA
1619 1.02MxA
2039 1.00Mx A
40 49 0.95 M x A
50 59 0.90 M x A
6069 0.80Mx A
70+ 0.70MxA
Wanita :
remaja, dewasa
10 - 12 2350
1315
1.13FxA
16-19 1.05FxA
20-39 1.00Fx A
40-49 0.95FxA
5059
0.90FxA
6069 0.80Fx A
70+ 0.70FxA
Anak-anak :
<1
1090
1 3 1360
46
1830
7-9 2190
Keterangan :
M = BB x46 kalori = kebutuhan
kalori laki-laki pads BB tersebut.
F = BB x 40 kalori = kebutuhan kalori wanita pada BB tersebut.
A = indeks aktivitas :
ringan = 0. 90, sedang = 1 . 00 dan aktif = 1 . 1 7
*) Sumber : FAO/WHO 1 973; Energy and Protein Requirements No. 52/522
FAO Rome
memperlambat pengosongan lambung dan menyebabkan per-
lambatan kenaikan kadar glukosa darah sesudah makan.
Kebutuhan lemak
Selain untuk memperbaiki rasa makanan, lemak mempu-
nyai dua fungsi esensial; yaitu pertama bertindak sebagai pem-
bawa (vehicle)
vitamin-vitamin yang larut dalam lemak dan ke
dua, sebagai pemasok asam lemak esensial - asam linoleat, asam
linolenat dan asam arakidonat
(polyunsaturated fatty acid) yaitu
asam lemak yang tidak dapat disintesis di dalam tubuh.
Lemak dalam nutrien yang mengandung kadar asam lemak
tidak jenuh yang tinggi merupakan faktor utama dalam me-
nurunkan kadar kolesterol darah dan dikatakan mempunyai arti
penting dalam mencegah penyakit jantung koroner.
Nutrien dengan kadar lemak terutama dengan kadar asam
lemak jenuh yang tinggi dapat menyebabkan penyakit jantung
koroner, kanker payudara dan kanker usus besar.
Kebutuhan protein
Protein dibutuhkan sebagai sumber nitrogen dan asam amino.
Semua protein yang terkandung dalam nutrien diabsorbsi se-
bagai asam amino.
Ada 20 jenis asam amino, (9 di antaranya tidak dapat
disintesis oleh tubuh) yang dibutuhkan untuk sintesis protein
162 Cermin Dunia Kedokteran, Edisi
Khusus No. 80, 1992
tertentu dan senyawa-senyawa yang mengandung nitrogen, se-
perti purin, pirimidin dan hem.
Pada umumnya, energi yang dibutuhkan olch tubuh hanya
sekitar 12% raja yang berasal dari protein.
Kebutuhan vitamin dan mineral
Vitamin dan mineral adalah nutrien yang dibutuhkan hanya
dalam jumlah yang sangat kecil, akan tetapi mempunyai peran
yang penting dalam proses metabolisme.
Sebagian besar vitamin dan seluruh mineral harus diperoleh
dari makanan.
Nutrien yang dikonsumsi haruslah sesuai dengan kebutuhan
tubuh untuk dapat mencegah terjadinya penyakit defisiensi dan
gangguan kesehatan. Ketidaktahuan dan keadaan ekonomi yang
jelck merupakan penyebab utama kegagalan pemenuhan kebu-
tuhan nutrien yang wajar.
Di pihak lain beberapa penyakit tertentu string pula dise-
babkan oleh karena kelebihan pemasukan nutrien ke dalam
tubuh. Kegemukan (obesitas), disebabkan oleh karena kelebihan
pemasukan energi dan sering disertai dengan gejala Diabetes
Mellitus yang non-insulin dependen. Atcrosklerosis dan pe-
nyakit jantung koroner string disebabkan oleh makanan yang
mengandung kadar lemak dan asam lemak jenuh yang tinggi;
kanker payudara, kanker usus besar, kanker prostat berhubungan
erat dengan pemasukan makanan yang tinggi kadar lemaknya.
Hipertensidan penyakit-penyaki t serebrovaskuler berkaitan
dengan pemasukan garam dan mineral yang terlalu tinggi.
INTERKONVERSI BAHAN NUTRIEN
Bahan makanan yang diabsorbsi dari usus akan mengalami
metabolisme untuk menghasilkan energi dan zat-zat lain yang
dibutuhkan oleh tubuh.
Glukosa
Glukosa akan dimetabolisir melalui proses glikolisis dan
berlanjut ke Tri Carboxylic Acid (TCA) Cycle untuk meng-
hasilkan energi dan zat-zat lainnya yang dibutuhkan.
Dalam proses glikolisis akan terbentuk hasil antara seperti
Gliseraldehida-3-fosfat, asam piruvat dan dihidroksi-aseton-
fosfat. Di dalam TCA Cycle terbentuk hasil antara seperti asetil-
co-A, asam sitrat dan oksaloasetat.
Zat-zat antara ini akan menjadi penghubung antara meta-
bolisme glukosa dengan metabolisme asam lemak (Gambar 1).
Dari Gambar 1 terlihat bahwa bila konsumsi hidrat arang ber-
lebihan dibandingkan dengan pemakaian energi di dalam tubuh
maka kelebihan tersebut dapat disalurkan ke jalur lipogenesis
untuk disimpan dalam bentuk lemak.
Bila keadaan seperti ini torus berlanjut maka terjadilah
kelebihan berat badan (obesitas).
Percobaan pada hewan menunjukkan bahwa binatang per-
cobaan dengan cepat menjadi gemuk apabila diberi diit makan-
an yang kandungan karbohidratnya dominan. Hal ini membukti-
kan di dalam tubuh betapa mudahnya karbohidrat dikonversi
menjadi lemak.
Proses lipogenesis di dalam tubuh bahkan akan menjadi
lebih cepat apabila karbohidrat yang dikonsumsi adalah saka-
rosa, oleh karma fruktosa (sebagai hasi I hidrol i sis sakarosa) akan
membypass
titik kontrol proses glikolisis yaitu fosfofruktoki-
nase (yang merupakan "rate limiting enzyme') (Cambar 2).
Jadi status nutrien adalah faktor utama yang mengatur ke-
cepatan proses lipogenesis di dalam tubuh. Kecepatan lipogene-
sis akan menjadi tinggi bila diit mengandung karbohidrat yang
tinggi dan sebaliknya lipogenesis akan menjadi lambat bila diit
mengandung karbohidrat yang rendah, kadar lemak yang tinggi
atau bila ada defisiensi insulin (misalnya pada Diabetes Melli-
tus).
Asam lemak
Lemak yang terdapat dalam makanan diabsorbsi dalam
bentuk asam lemak, gliserol, atau gliserida. Asam lemak dan
gliserol akan menempuh jalur metabolismenya masing-masing.
Proses lipolisis di jaringan adiposa juga akan menyebabkan
dibebaskannya asam lemak ke dalam darah. Kedua hal tersebut
di atas akan menyebabkan meningkatnya kadar asam lemak di
dalam darah dan ini akan menyebabkan proses lipogenesis ter-
ham bat.
Path proses metabolisme asam lemak, selain energi akan
dihasilkan zat antara asetil-co-A dalam jumlah yang cukup besar
melalui oksidasi beta. Jika asam lemak banyak dimetabolisir
untuk memenuhi jumlah energi yang dibutuhkan tubuh maka
kadar asetil-co-A akan sangat meningkat di dalam tubuh. Keada-
an ini memungkinkan terjadinya pembentukan zat-zat lain yang
Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992 163
bahan bakunya adalah asetil-co-A di antaranya adalah kolesterol
serta hormon-hormon steroid.
Asam amino
Asam-asam amino yang diabsorbsi dari usus akan meng-
alami metabolisme menurut jalur metabolismenya masing-
masing. Dari proses metabolisme asam amino ini akan dihasilkan
ammoniak (NH
3
) dan zat antara yang jenisnya cukup banyak).
Ammoniak adalah zat yang sangat sitotoksik terutama ter-
hadap jaringan otak sehingga harus segera dinetralisir menjadi
ureum di hepar, untuk kemudian diekskresikan melalui ginjal.
Kelebihan pemasukan protein melalui makanan jelas akan
memperberat kerja dari hdpar dan ginjal (Gatnbar 3).
PENUTUP
Tclah dibahas tentang kebutuhan energi tubuh dan kaitan-
nya dengan komposisi zat di dalam makanan.
Juga dibicarakan interkonversi antara zat-zat di dalam tubuh
melalui proses metabolisme serta kemungkinan-kemungkinan
terjadinya gangguan kesetimbangan susunan zat-zat kimia tubuh
yang dapat menyebabkan keadaan yang abnormal.
Dianjurkan untuk pencegahan agar tidak terjadi keadaan
yang abnormal di dalam tubuh untuk menjaga keseimbangan
komposisi bahan-bahan yang terdapat dalam makanan yang
dimakan.
KEPUSTAKAAN
1. Albertus Bet al. Molecular Biology of the Cell. New York: Garland Publ. Inc,
1983.
2.
Bagian Gizi R.S. Cipto Mangunkusumo dan Persatuan Ahli Gizi Indonesia.
Penuntun Diit. Jakarta: P.T. Gramedia, 1980.
3. Grundy SM. Cholesterol and Coronary Heart Disease, Future Directions;
JAMA (SEA) 1991; 7(4): 47-53.
4.
Harper HA. Review of Physiological Chemistry; Lange Medical Publ.
California: Los Altos, 1985.
5. Murray RK, Granner DK, Mayes PA, Rodwell VW. Harpers Biochemistry;
Norwalk; Connecticut: Appleton & Lange, 1990.
164
Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992
Semiloka :
Metode Kontrasepsi Efektif Terpilih
Program Menjaga Mutu
Pelayanan Kontrasepsi Mantap
Hesty RPO Sitompul
Perk umpulan
Kontrasepsi Mantap Indonesia, Cabang Sumatera Utara, Medan
PENDAHULUAN
Tujuan operasional Gerakan Keluarga Berencana Nasional
di Indonesia adalah untuk mewujudkan Norma Keluarga Kecil
Bahagia dan Sejahtera, serta untuk mengendalikan pertumbuhan
penduduk yang lebih diutamakan pads pengembangan sumber
dayamanusia.Untuk mencapai tujuan tersebutdiselenggarakanlah
antara lain pelayanan kontrasepsi yang lebih diarahkan pads
metoda kontrasepsi yang bersifat jangka panjang dan mantap,
yakni IUD, susuk, dan kontrasepsi mantap. Ketiga metoda kon-
trasepsi ini dikenal dengan nama Metoda Kontrasepsi Efektif
Terpilih (MKET).
Oleh karena kedudukan yang khas, maka dalam kegiatan-
kegiatan kontap, PKMI telah menggariskan kebijakan pokok
yang meliputi :
a) Menghindari keresahan masyarakat.
b) Mengutamakan azas sukarela.
c) Mengutamakan mutu pelayanan.
d) Mendukung kebijakan penduduk tanpa pertumbuhan.
Kebijakan yang mengutamakan mutu pelayanan dianggap
penting dengan maksud untuk lebih memasyarakatkan pelayan-
an kontap. Sebagai suatu tindak pembedahan walaupun hanya
pembedahan minor, kontap selalu berhadapan dengan pelbagai
risiko. Risiko ini dapat diperkecil jika pelayanan kontap dilak-
sanakan dengan mutu yang baik. Pada tahap awal, pengertian
mutu pelayanan lebih dititik beratkan pads aspek klinik, seperti
ketrampilan dan kemampuan operator, efek samping minimal,
tersedianya fasilitas kesehatan yang lengkap, dan lain-lain. Pel-
bagai kegiatan telah dilaksanakan oleh PKMI dalam rangka
upaya meningkatkan mutu pelayanan, misalnya penyediaan
konseling, program pemantauan mutu, dan lain-lain. Asumsi
yang dianut adalah bahwa dengan baiknya mutu pelayanan,
maka kontap akan lebih memasyarakat.
PENGERTIAN TENTANG PELAYANAN KONTAP
YANG BERMUTU
Telah sama diketahui bahwa salah satu faktor penting yang
harus diperhatikan dalam menyelenggarakan pelayanan kon-
trasepsi mantap adalah yang menyangkut mutu pelayanan kon-
trasepsi mantap tersebut. Setidak-tidaknya ada empat peranan
mutu terhadap pelayanan dalam kontrasepsi mantap yakni :
1)
Mengurangi terjadi risiko.
Kontrasepsi mantap memang berbeda dengan pelbagai cara
kontrasepsi lainnya yang dikenal. Sebagai suatu tindakan pem-
bedahan, kontrasepsi mantap memang mempunyai risiko ter-
tentu yakni berupa akibat sampingan dan ataupun komplikasi
yang muncul karena tindakan pembedahan yang dilakukan.
Akibat yang tidak diinginkan ini, hanya dapat dihindari jika
pelayanan kontrasepsi mantap diselenggarakan dengan mutu
yang tinggi.
2) Mencegah timbulnya penyesalan.
Hal lainnya yang membedakan kontrasepsi mantap dengan
pelbagai cara kontrasepsi lainnya ialah bahwa cara kontrasepsi
mantap tidak memungkinkan suatu pasangan untuk mempunyai
keturunan lagi. Agar tidak timbul penyesalan di kemudian hari,
maka pelayanan hams dapat menjelaskan dengan lengkap segala
hal tentang kontrasepsi mantap. Ini berarti pelayanan kontrasepsi
mantap hams diselenggarakan dengan mutu yang tinggi dalam
arti harus terdapat pelayanan konseling di dalamnya.
3) Mencegah timbulnya tantangan
Karena masih ditemukannya sebagian anggota masyarakat
yang belum dapat menerimanya, cara kontrasepsi mantap belum
masuk dalam program KeluargaBerencanaNasional. Agarkelom-
pok yang belum dapat menerima ini tidak sampai menentang,
haruslah dapat dibuktikan bahwa kontrasepsi mantap tersebut
adalah cara yang aman, tidak berbahaya dan disenangi oleh
Cermin Dunia Kedok t eran, Edisi Khusus No. 80, 1992 165
masyarakat. Ini berarti pelayanan kontrasepsi mantap tersebut
hams pula diselenggarakan dengan mutu yang tinggi.
4) Meningkatkan penerimaan masyarakat
Hal lainnya yang penting dari mutu pelayanan kontrasepsi
mantap ini adalah yang menyangkut penerimaan masyarakat
terhadap pelayanan kontrasepsi mantap.
Apabila dapat dibuktikan pelayanan kontrasepsi mantap
adalah pelayanan yang baik, aman, mudah, praktis dan disenangi
oleh masyarakat, dapatlah diharapkan makin meningkatnya
penerimaan masyarakat terhadap kontrasepsi mantap. Apabila
keadaan yang membantu ini dapat diwujudkan, maka pads
gilirannya akan membantu mempercepat tercapainya tujuan
Program Keluarga Berencana di tanah air.
Untuk dapat menjaga dan meningkatkan mutu pelayanan
tersebut, banyak hal yang hams diupayakan. Secara sederhana
pelbagai upaya tersebut dapat dibedakan atas lima macam
yakni:
1)
Tenaga pelaksana
Upaya pertama yang harus dilaksanakan untuk dapat menye-
lenggarakan pelayanan yang bermutu ialah yang menyangkut
tenaga pelaksananya. Untuk ini ditetapkanlah bahwa pelayanan
kontrasepsi mantap hanya boleh diselenggarakan oleh tenaga
pelaksana yang telah mendapatkan latihan. Latihan yang seperti
ini diselenggarakan oleh PKMI melalui sebelas Pusdiklitbang-
nya yang tersebar di seluruh Indonesia.
2) Sarana kerja
Upaya ke dua yang hams dilaksanakan ialah yang me-
nyangkut sarana kerja. Disebutkan bahwa pelayanan kontrasepsi
mantap hanya boleh diselenggarakan oleh suatu fasilitas yang
memiliki sarana yang memadai.
Untuk memenuhi persyaratan ini, kepada setiap fasilitas
kesehatan yang akan menyelenggarakan pelayanan kontrasepsi
mantap mungkin dapat diberi bantuan renovasi, penambahan
peralatan medis dan peralatan non medis.
3) Tata cara
Agar mutu pelayanan dapat dipelihara, maka tata cars pe-
layanan haruslah sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.
Ada dua macam tata cara pelayanan non medis termasuk pela-
yanan konseling.
Untuk ini pelbagai hal telah diupayakan, mulai dari melatih
tenaga pelaksana, melengkapkan sarana kerja serta menyedia-
kan pelbagai buku panduan yang dibagikan kepada semua pihak
yang menyelenggarakan pelayanan kontrasepsi mantap.
4)
Rujukan
Hal lainnya yang diupayakan untuk dapat menjamin mutu
pelayanan adalah yang menyangkut rujukan. Maksudnya ialah
untuk mendukung.pelayanan sehingga jika kebetulan terjadi hal-
hal yang tidak diinginkan, akan dapat segera diatasi.
5) Pemantauan
Upaya ke lima yang dilakukan adalah menyangkut peman-
tauan pelayanan kontrasepsi mantap yang diselenggarakan.
Dengan adanya pemantauan ini dapatlah diharapkan, di satu
pihak dilakukannya pelbagai upaya pencegahan, dan di pihak
lain, dilakukan pula upaya peningkatan sehingga pelayanan
kontrasepsi mantap tetap berada dalam mutu yang tinggi.
166 Cermin Dunia Kedok t eran, Edisi Khusus No. 80, 1992
Ke lima upaya pokok ini saling berkaitan dan mempenga-
ruhi yang kesemuanya harusdilaksanakan untuk dapat menjamin
penyelenggaraan pelayanan kontrasepsi mantap yang bermutu.
Unsur-unsur kunci yang terdapat pads pengertian ini ada-
lah :
1.
Pilihan metoda kontrasepsi
2. Kemudahan pelayanan
3. Informasi yang diberikan kepada calon akseptor
4. Kesesuaian tindakan dengan standar yang telah disepakati
5. Hubungan internasional dengan akse
p
tor
6. Pengayoman.
Indikator yang mencakupkeenam unsurkunci yang dimaksud
dalam pengertian di atas :
a) Pilihan metoda kontrasepsi
Tersedianya berbagai metoda kontrasepsi
Koordinasi antara pelaksana gerakan KB Nasional
Tersedianya kontap pria dan wanita
Tersedianya fasilitas rujukan
Tersedianya informasi yang cukup tentang pelayanan KB.
b) Kemudahan pelayanan
Biaya yang terjangkau oleh akseptor

Jarak ke fasilitas pelayanan yang terjangkau

Pelayanan yang teratur


Prosedur yang mudah, tidak berbelit-belit/lama.
c) Informasi yang diberikan kepada calon akseptor
Calon akseptor memahami bahwa pads pokoknya kontap
adalah permanen.
Calon akseptor memahami tentang cara, manfaat dan risiko
kontap, serta tentang perawatan pra/pasca tindakan.
Akseptor serta pasangannya mengerti dan menandatangani
informed consent.
d) Kualitas tindakan
Operator mendapat sertifikat dari Pusdiklitbang PKMI
Prosedur dilaksanakan sesuai panduan PKMI
-
Jumlah kunjungan karena komplikasi terekam dengan
lengkap
Morbiditas dan mortalitas terekam dengan lengkap
Tingkat kegagalan diketahui.
e) Hubungan internal dengan akseptor
Akseptor menyatakan kepuasannya
Keluhan akseptor
Rumor negatif tentang pelayanan kontap
Rujukan calon akseptor dari akseptor yang puas.
f)
Pengayoman

Jumlah kunjungan tindak lanjut


Laporan tentang semua komplikasi
Pengobatan/rujukan komplikasi
Upaya mengatasi masalah/komplikasi.
Khusus dalam pelayanan kontap, mutu pelayanan dikatakan
baik bila memenuhi faktor-faktor tersebut di bawah ini.
1.
Indikator mutu pelayanan
Untuk menentukan indikator mutu pelayanan kontrasepsi
mantap tidaklah mudah. Sebagai penanganan, ada beberapa
indikator yang dapat dipergunakan yakni :
a) Jumlah kasus dengan keluhan
Suatu fasilitas pelayanan kontrasepsi mantap disebut mem-
punyai mutu pelayanan yang baik, jika fasilitas tersebut tidak
mempunyai kasus dengan keluhan.
Ke dalam pengertian keluhan yang dimaksud di sini ter-
masuk keluhan subjektif yang ada kaitannya dengan pelayanan
kontrasepsi mantap yang dialami oleh kasus tersebut.
Angkakasus dengan keluhan tersebut dapatdihitung dengan
mempergunakan rumus sebagai berikut :
b) Jumlah kasus yang tidak dapat diselesaikan
Suatu fasilitas pelayanan kontrasepsi mantap disebut mem-
punyai mutu pelayanan yang baik jika fasilitas tersebut tidak
pernah mengalami kasus tindakan tubektomi dan vasektomi
yang
tidak berhasil diselesaikan. Adapun yang dimaksud dengan
kasus yang tidak dapat diselesaikan di sini ialah kasus-kasus
yang karena satu dan lain hal menyebabkan dokter tidak dapat
menyelesaikan pembedahan tubektomi dan vasektomi yang
sedang dilakukan.
Angka kasus yang tidak dapat diselesaikan tersebut dapat
dihitung dengan mempergunakan rumus sebagai berikut :
c) Jumlah kasus dengan akibat sampingan/komplikasi
Suatu fasilitas pelayanan kontap disebut mempunyai mutu
pelayanan yang baik jika fasilitas tersebut tidak pernah menga-
lami kasus dengan akibat sampingan/komplikasi. Adapun yang
dimaksud dengan akibat sampingan/komplikasi di sini ialah
setiap kelainan dan atau gangguan yang dialami oleh penderita
sebagai akibat pelayanan kontrasepsi mantap yang dialaminya.
Sebenarnyaakibatsampingan/komplikasidapatterjadi setiap
waktu, namun dalam pelayanan kontrasepsi mantap yang dipen-
tingkan ialah akibat sampingan/komplikasi yang timbul dalam
waktu 24 hari terhitung dari saat pembedahan.
Tergantung dari berat ringannya, akibat sampingan/kom-
plikasi secara umum dapat dibedakan atas dua macam yakni :
1) Akibat sampingan/komplikasi berat
Disebut sebagai akibat sampingan/komplikasi berat jika
kasus yang mengalami akibat sampingan/komplikasi tersebut
membutuhkan perawatan tinggal.
2) Akibat sampingan/komplikasi ringan
Disebut sebagai akibat sampingan/komplikasi ringan jika
kasus yang mengalami akibat sampingan/komplikasi tersebut
tidak membutuhkan perawatan tinggal.
Angka akibat sampingan/komplikasi dapat dihitung dengan
mempergunakan rumus sebagai berikut :
d) Jumlah kasus dengan kegagalan
Suatu fasilitas pelayanan kontap disebut mempunyai mutu
pelayanan yang baik jika fasilitas tersebut tidak pernah menga-
lami kasus dengan kegagalan. Adapun yang dimaksud dengan
kegagalan di sini ialah berfungsinya kembali sistem reproduksi
sehingga pasangan yang mengikuti cara kontrasepsi mantap
tersebut mempunyai keturunan lagi.
Sebenamya kegagalan yang seperti ini dapat segera dike-
tahui jika setelah pembedahan dilakukan pemeriksaan keadaan
saluran telur dan atau mani. Dalam praktek hal ini jarang di-
lakukan, atau mungkin ada kelainan khusus pada saluran, se-
hingga kegagalan tidak cepat diketahui.
Angka kegagalan dapat dihitung dengan mempergunakan
rumus sebagai berikut :
Tentang angka kegagalan ini ada dua pendapat yang
ditemukan. Pada negara-negara yang telah maju angka kega-
galan ini dimasukkan ke dalam angka komplikasi sedangkan
pads negara-negara yang
sedang berkembang angka kegagalan
ini dipisahkan dari angka komplikasi. Dimasukkan atau tidak-
nya angka kegagalan ke dalam angka komplikasi erat hubungan-
nya dengan kemampuan menemukan kegagalan tersebut sedini
mungkin yakni dalam waktu 42 hari setelah tindakan pembe-
dahan. Pada negara yang telah maju kemampuan untuk me-
nemukan tersebut dimiliki dan karena itulah angka kegagalan
dimasukkan ke dalam angka komplikasi, sedangkan pada negara
yang sedang berkembang, kemampuan yang dimiliki amat ter-
batas dan karena itulah angka kegagalan dipisahkan dari angka
komplikasi.
e)
Jumlah kasus dengan kematian
Suatu fasilitas pelayanan kontrasepsi mantap disebut mem-
punyai mutu pelayanan yang baik jika fasilitas tersebut tidak
pemah mengalami kasus dengan kematian. Pada dasarnya ke-
matian adalah akibat lanjut atau sama dengan komplikasi berat.
Kematian yang dimaksudkan di sini adalah yang ada hubung-
annya dengan pelayanan kontrasepsi mantap dan yang terjadi
dalam waktu 42 hari setelah tindakan dilakukan.
Angka kematian dapat dihitung dengan mempergunakan
rumus sebagai berikut :
Dari lima indikator yang dikenal ini, yang sering dipergu-
nakan dalam praktek sehari-hari hanya empat saja yakni jumlah
Cermin Dunia Kedokteran, Edisi
Khusus No. 80, 1992 167
kasus yang tidak dapat diselesaikan, jumlah kasus dengan efek
sampingan/komplikasi, jumlah kasus dengan kegagalan serta
jumlah kasus dengan kematian.
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi mutu pelayanan
Baik atau tidaknya mutu pelayanan kontrasepsi mantap
yang diselenggarakan oleh fasilitas pelayanan kontrasepsi man-
tap, dipengaruhi oleh pelbagai faktor. Pelbagai faktor yang di-
maksud secara umum dapat dibedakan atas tiga macam yakni :
a. Tenaga pelaksana
Hal pertama yang harus diperhatikan pada pemantauan
adalah yang menyangkut tenaga pelaksana. Baik tidaknya mutu
pelayanan sangat ditentukan oleh terlatih atau tidaknya tenaga
pelaksana yang menyelenggarakan pelayanan tersebut. Standar
yang berlaku ialah setiap fasilitas pelayanan sekurang-kurang-
nya memiliki 1 orang dokter (umum, ahli kebidanan & kan-
dungan, ahli bedah) dan dua orang paramedik yang telah men-
dapatkan latihan khusus dalam bidang kontrasepsi mantap dan
secara khusus ditugaskan mengelola program kontrasepsi
mantap.
b. Sarana kerja
Hal ke dua yang harus diperhatikan pada pemantauan adalah
menyangkut sarana kerja yang dimiliki. Baik atau tidaknya mutu
pelayanan sangat ditentukan pula oleh sarana kerja yang dimaksud.
Sarana tersebut secara umum dapat dibedakan atas dua macam
yakni sarana medis dan sarana non medis.
Kumpulkan data tentang kelengkapan tersebut terutama
yang menyangkut sarana pertolongan pertama dan fasilitas pe-
nunjangnya. Selanjutnya kumpulkan pula data tentang cara
menggunakan serta cara merawatnya. Adanya suatu sarana
belum berarti menjamin baiknya mutu pelayanan, kecuali jika
sarana tersebut dapat dipergunakan secara tepat dan benar.
c.
Tata cara
Hal ke tiga yang harus diperhatikan pada pemantauan ada-
lah yang menyangkut tata cara pelayanan yang diselenggarakan;
baik atau tidak mutu pelayanan sangat ditentukan pula oleh tata
cara pelayanan ini.
Secara umum tata cara pelayanan yang perlu diperhatikan
dapat dibedakan atas 5 macam yakni :
1) Tata cara pelayanan konseling
Apakah pelayanan konseling ada atau tidak. Jika ada apakah
dilaksanakan secara benar. Bagaimana tentang informed consent
apakah diisi secara benar dan lengkap.
2)
Tata cara pelayanan pra-bedah
Apakah anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan labo-
ratorium telah dilakukan secara benar. Apakah antisepsis telah
dilakukan secara benar. Apakah diberikan nasehat pra-bedah.
3) Tata cara pembedahan
Apakah pembedahan dilakukan secara benar, bagaimana
aspek antisepsis selama pembedahan. Bagaimana premedikasi
dan anestesinya. Bagaimana pula dokter dan paramedisnya.
4) Tata cara pelayanan pasca bedah
Apakah pelayanan pasca bedah dilakukan secara benar.
Apakah diberikan nasehat pasca bedah.
5) Tata cara pelayanan kunjungan ulang
168 Cermin Dunia Kedok t eran, Edisi Khusus
No. 80, 1992
Apakah ada pelayanan kunjungan ulang. Apakah pelayanan
yang diberikan telah benar.
Sekalipun ketiga faktor ini sama pentingnya, namun jika
diketahui bahwa pelayanan tersebut pada dasarnya adalah suatu
upaya yang dilakukan oleh manusia, jelaslah bahwa yang ter-
penting adalah yang menyangkut tenaga pelaksananya yakni
dokter serta paramedis yang menyelenggarakan pelayanan kon-
tap tersebut.
Bertitik tolak dari keadaan yang seperti ini, segeralah mudah
dipahami bahwa untuk dapat menjamin mutu pelayanan yang
baik, persiapan yang menyangkut tenaga pelaksana haruslah
dapat dilakukan dengan sebaik-baiknya. Ditinjau dari sudut
manajemen, program pemantauan ini sekalipun dapat berdiri
sendiri, namun secara keseluruhan merupakan bagian dari pro-
gram kontrasepsi mantap. Dengan perkataan lain, program pe-
mantauan kontrasepsi mantap merupakan sub-sistem dari sistem
program kontrasepsi mantap.
Suatu program kontrasepsi mantap (sistem) yang tidak
memiliki program pemantauan (sub-sistem), tidaklah dapat di-
sebutkan sebagai suatu program (sistem) yang baik.
FAKTOR-FAKTOR PENDUKUNG DAN PENGHAMBAT
Berdasarkan pengertian dan indikator-indikator yang di-
uraikan di atas, serta informasi yang diperoleh mengenai situasi
nyata
yang
ada di Pusdiklitbang dan fasilitas pelayanan kontap
saat ini, maka lokakarya mencoba mengidentifikasi faktor-
faktor yang mempengaruhi kualitas pelayanan kontap saat ini di
Indonesia, baik faktor-faktor pendukung, maupun faktor-faktor
yang menghambat. Di bawah ini faktor-faktor tersebut diuraikan
secara singkat sebagai berikut :
KEBIJAKAN/DUKUNGAN POLITIS
Faktor Pendukung Faktor Penghambat
Pemerintah menyediakan Jumlah akseptor masih se-
dana untuk kontap

dikit (Vasektomi)
Sikap agamawan mem- Tingginya alih tugas di ka-
baik

langan dokter penyedia pe-


- PKMI merekomendasi- layanan kontap
kan anestesi lokal Banyak ex-trainee tidak me-
- Dukungan terhadap tim laksanakan pelayanan
mobil

Koordinasi kurang
-
Kontap belum masuk pro-
gram resmi Pemerintah
Cara seleksi talon trainee
Beban kerja Puskesmas
SUMBER DAYA
Faktor
Pendukung
Faktor Penghambat
Fasilitas pelayanan sudah Tidak ada tenaga purnawaktu
direnovasi dan dilengkapi

untuk kontap di fasilitas pe-


- Berbagai panduan sudah layanan
tersedia Penyegaran kurang
PKMI sudah mempunyai Maintenance kurang
cabang di seluruh Indo- - Pengisian rekam medik ku-
nesia rang
PENGELOLAAN
Faktor Pendukung
Faktor Penghambat
- Banyak tenaga telah di-
- Tidak ada jadwal khusus un-
latih, program pemantau-

tuk pelayanan kontap


an dan supervisi sudah - Jumlah kasus untuk latihan
ada dan mempertahankan ke-
- Sistem pencatat/pelapor-
trampilan kurang
an kontap sudah ada
Rumor negatif
Reimbursement terlambat
- Fasilitas kurang dimanfaat-
kan
- Panduan tidak dilaksanakan
dengan bail(
- Rekam medik tidak diisi se-
bagaimana mestinya.
PELATIHAN
Faktor Pendukung Faktor Penghambat
- Sudah ada 11 Pusdiklit- - Kurikulum tidak dilaksana-
bang

kan twat azas


- Sudah ada panduan diklat - Prosedur standar tidak dilak-
- Pelatihan konselor ada sanakan
- Jumlah yang dilatih - Pemeriksaan pratindakan ti-
cukup banyak

dak memadai
-
Prosedur antiseptik tidak
dipenuhi
-
Masih ada mortalitas
- Morbiditas cukup tinggi
-
Tingkat kegagalan
-
Keluhan akseptor
Ex-trainee kurang mampu/
kurang percaya diri
-
Konselor kurang berfungsi se-
bagaimana harusnya
- Teknik bervariasi
- Rekam medik tidak diisi se-
bagaimana harusnya
- Metodologi pelatihan kurang
relevan
- Bahanpelatihan,buku,audio
visual tidak ada.
PENUTUP
Untuk mencapai hasil yang memuaskan seperti apa yang
telah diuraikan di atas, perlu untuk memperbaiki dan mening-
katkan kemampuan para pelaksana pemberi pelayanan kontap
sebagai berikut :
a)
Pelatihan untuk petugas lapangan
- Memperbaiki identifikasi dan seleksi calon akseptor
Kerjasama petugas lapangan dengan konselor
- Identifikasi dini komplikasi yang mengancam nyawa.
b) Pelatihan untuk paramedik
-
Nasehat pasca tindakan
-
Kemampuan dalam memberikan anestesi lokal
-
Teknik antiseptik yang betul
- Identifikasi komplikasi yang mengancam nyawa
-
Membina hubungan interpersonal dengan akseptor
Sikap positif dalam masalah pencatatan dan pelaporan.
c) Pelatihan untuk dokter
-
Pemeriksaan pra tindakan
- Mengutamakan anestesi lokal
-
Teknik antiseptik yang betul
- Penanganan kedaruratan
-
Membina hubungan interpersonal dengan akseptor.
d) Pelatihan untuk pelatih
-
Metodologi yang relevan untuk pelatihan
-
Presentasi dengan video/film
-
Melatih teknik yang sesuai dengan panduan
-
Metodologi untuk kunjungan setempat dan pemantauan.
e) Pelatihan tindak lanjut di fasilitas setempat
-
Mengenal masalah pads setiap aspek pelayanan
-
Observasi teknik antiseptik dan tindak bedah
-
Jika perlu retraining
-
Mengembangkan langkah-langkah untuk meningkatkan
mutu.
f) Rekomendasi untuk Pusdiklitbang
-
Penyusunan standar
pre
dan post test
-
Kerjasama dan koordinasi lebih baik dengan BKKBN dan
Departemen Kesehatan dalam masalah-masalah pelatihan, on-
site training, dan pengawasan.
Untuk segala surat-menyurat,
pergunakan Alamat lengkap Anda
dengan mencantumkan
Kode Pos
ke alamat kami :
CERMIN DUNIA KEDOKTERAN
P.O. Box 3105, JAKARTA 10002
Cermin Dunia Kedok t eran, Edisi Khusus
No. 80, 1992 169
g) Rekomendasi lain
Kebijakan nasional yang menekankan perlunya memberi-
kan pelayanan yang bermutu di samping tujuan kuantitatif.
-
Perlu pelatihan penyegaran untuk para ex-trainee yang aktif
-
Koordinasi yang lebih baik antara petugas lapangan dan
konselor.
Perlu penelitian tentang seberapa besar ex-trainee yang se-
sungguhnya melakukan pelayanan kontap.
Melakukan penelitian operasional untuk meningkatkan
efisiensi pelatihan kontap tanpa mengorbankan kualitas.
Meninjau kembali kriteria sertifikat seorang
trainee, ter-
masuk tentang jumlah minimum tindakan yang dilakukan selama
dan pasca pelatihan.
-
Meninjau kembali kurikulum pelatihan.
-
Memperbaiki dan membakukan pelaporan tentang kom-
plikasi berat dan kematian, dan menganalisa kasus-kasus ter
-
sebut.
Menjelaskan peran Pusdiklitbang dalam upaya meningkat-
kan mutu pelayanan.

Memperbaiki prosedur pemilihan calon trainee, sehingga


hanya mereka yang akan melaksanakan pelayanan yang diberi
prioritas untuk dilatih.
KEPUSTAKAAN
1.
Panduan Pendidikan & Pelatihan Kontap; PKMI; Agustus 1985.
2. Panduan Pendayagunaan Petugas Lini Lapangan dalam Meningkatkan Pela-
yanan Kontrasepsi Mantap; PKMI; 1989.
3. Panduan Program Menjaga Mutu Pelayanan Kontrasepsi Mantap; PKMI;
Mei 1991.
4. Kumpulan Makalah Seminar Program Menjaga Mutu Pelayanan MKET;
PKMI; September 1991.
170 Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992
Pemantauan Aspek Non Medik
Pelayanan Kontrasepsi Mantap
Radja Malem Kaban
Perkumpulan Kontrasepsi Mantap Indonesia Cabang Sumatera Utara, Medan
PENDAHULUAN
Dalam sistim pelayanan kontrasepsi mantap, salah satu
unsur yang penting untuk mempertahankan atau bahkan me-
ningkatkan mutu pelayanan ialah pemantauan pelaksanaan sis-
ti
m pelayanan itu sendiri.
Ada tiga hal pokok dalam sistim tersebut, yaitu :
1) Pelaksanaan pelayanan di klinik kontrasepsi mantap.
2) Pelayanan rujukan.
3) Masalah pembiayaan termasuk pembayaran dana bantuan
pelayanan (reimbursement).
Alur pelayanan di klinik kontrasepsi mantap dapat digam-
barkan seperti bagan 1.
Penerimaan dan Pendaftaran
Pelayanan Konseling
Pelayanan screening
Prabedah
(termasuk pemeriksaan laboratorik)
Persiapan Prabedah
Pelayanan Pembedahan
Pelayanan Pascabedah
Pelayanan Kunjungan Ulang
Bagan 1. Alur pelayanan kontrasepsi mantap di klinik kontrasepsi man-
tap
Dalam setiap bagian dari alur pelayanan kontrasepsi mantap
tersebut tiga macam faktor yang menentukan mute pelayanan
dan harus dipantau ialah faktor :
tenaga pelaksana
sarana
tata-cara pelayanan.
Secara keseluruhan sistim pelayanan kontrasepsi mantap
mencakup dua aspek, yaitu aspek medik dan non medik. Jikalau
kita akan melakukan pemantauan salah satu atau kedua aspek
tersebut, maka setiap bagian dari alur pelayanan kontrasepsi
mantap harus dikaji mana yang termasuk aspek non medik dan
mana yang bukan, mencakup faktor tenaga pelaksan, sarana
kerja, dan tata-cara pelayanan. Selanjutnya untuk menentukan
mutu dari masing-masing faktor, sebelumnya harus ditentukan
terlebih dahulu kriteria standar, dan hal ini harus diketahui dan
dipahami oleh petugas pemantau.
PENERIMAAN DAN PENDAFTARAN
a) Tenaga
Harus ada tenaga administrasi terlatih yang dapat melak-
sanakan pekerjaan penerimaan dan pendaftaran calon peserta
kontrasepsi mantap, serta mencatat dan melaporkan pelayanan
kontrasepsi mantap. Tenaga ini tidak harus tenaga khusus, ka-
rena dapat pula dirangkap oleh tenaga paramedik pendamping
dokter.
b) Sarana kerja
Sarana kerja tempat penerimaan dan pendaftaran meliputi :
1) ruang tunggu, lengkap dengan kursi tunggu dan alat peraga
tentang kontrasepsi mantap termasuk poster, leaflet, flipchart
dan lain-lain.
2) ruang pendaftaran lengkap dengan meja, kursi, lemari kartu,
Cermin Dunia Kedok t eran, Edisi Khusus No. 80, 1992 171
dan kartu status kontrasepsi mantap.
c) Tata-cara pelayanan
Petugas harus memahami tata-cara pelayanan mulai dari
saat calon akseptor datang, manfaat alat peraga, cara mengajukan
pertanyaan, menjelaskan, mencatat ke dalam status, jenis status,
cara penyimpanan status, dan cara membuat laporan.
PELAYANAN KONSELING
a) Tenaga
Harus ada tenaga konselor yang terlatih untuk menyeleng-
garakan pelayanan konseling kontrasepsi mantap.
b) Sarana kerja
Sarana kerja pelayanan konseling meliputi :
1) Ruang khusus untuk pelayanan konseling, yang diatur
dengan menjamin privacy, suasana nyaman dan sejuk, ling-
kungannya tidak terlalu gaduh, jauh dari suara yang dapat
mengganggu, dan dihindari adanya orang lain yang keluarmasuk
ruangan tersebut.
2) Meja dan kursi.
3) Alat peraga untuk digunakan dalam pelayanan konseling
termasuk poster, leaflet, flipchart, dan sebagainya.
4) Formulir permohonan dan persetujuan pelayanan kontra-
sepsi mantap.
c) Tata-cara pelayanan
Petugas harus memahami tata-cara pelayanan konseling
mencakup : saat pelayanan konseling (prabedah/pasca bedah),
tujuan konseling, pelaksanaan dan teknik konseling dan pela-
poran Berta rujukan konseling.
PELAYANAN PRABEDAH
Pengertian pelayanan prabedah termasuk pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan laboratorik. Sebenarnya dalam pelayanan pra-
bedah aspek medis lebih menonjol daripada aspek nonmedik,
namun beberapa sarana kerja termasuk dalam aspek nonmedik,
misalnya seperti :
1) Ruang (kamar) periksa
2) Meja tulis dan kursi untuk tugas pencatatan
3) Lemari reagen
4) Leaflet nasehat prabedah.
PERSIAPAN PRABEDAH DAN PELAYANAN PEMBE-
DAHAN
Dalam persiapan prabedah dan pelayanan pembedahan,
lebih menonjol aspek medik daripada aspek nonmedik. Beberapa
sarana kerja yang termasuk aspek nonmedik ialah :
1) Ruang ganti pakaian untuk dokter, paramedik, dan calon
peserta kontrasepsi mantap.
2) Lemari pakaian dan gantungan pakaian.
3) Sepatu/sandal untuk operasi.
4) Tempat/ruangan untuk alat sterilisator/autoclave.
5) Lemari obat.
6) Lemari obat alai-alat.
PELAYANAN PASCABEDAH
Aspek medis juga lebih menonjol dalam pelayanan pasca-
bedah daripada aspek nonmedik. Beberapa sarana kerja yang
termasuk aspek nonmedik ialah :
1)
Ruangan pascabedah lengkap dengan tempat tidur.
2)
Leaflet
nasehat pascabedah untuk peserta kontrasepsi man-
tap.
3)
Formulir rujukan.
PELAYANAN KUNJUNGAN ULANG
Pelayanan kunjungan ulang juga lebih menekankan aspek
medik. Sarana kerja berupa kamar periksa dapat menggunakan
kamar periksa pelayanan prabedah asal alur pasien dapat diatur
agar tidak bercampur dengan pemeriksaan prabedah. Demikian
Pula kartu status, meja, kursi, dan alat-alat lainnya pada umum-
nya tidak memerlukan sarana khusus.
PELAYANAN RUJUKAN
Aspek nonmedik dalam pelayanan rujukan lebih banyak
ditekankan pads masalah tata-cara pelayanan daripada masalah
tenaga dan sarana kerja. Faktor sarana kerja yang mungkin
berperan ialah masalah transportasi dan pembiayaan.
TEKNIK PEMANTAUAN DI LAPANGAN
Memahami kriteria standar yang mencakup masalah tenaga,
sarana kerja dan tata-cara pelayanan kiranya belum cukup bagi
petugas pemantau untuk dapat melakukan tugas pemantauan
dengan baik seperti yang diharapkan. Masalah berikutnya ialah
bagaimana cara pemantauan itu dilakukan di lapangan. Teknik
pemantauan di lapangan menjadi amat penting terutama untuk
memantau tata-cara pelayanan, sehingga dapat diketahui hal-hal
yang menyimpang dari prosedur standar. Hal ini tidak selalu
mudah dilakukan oleh petugas pemantau karena beberapa
alasan, seperti :
Yang dipantau pada umumnya petugas medik (dokter atau
paramedik) yang dapat dikatakan satu profesi dengan petugas
pemantau.
Petugas pemantau pada umumnya seorang dokter (petugas
medik) yang usianya Bering tidak berbeda jauh dengan yang
dipantau.
Oleh karena pemantau dan yang dipantau berasal dari pro-
fesi yang sama, dapat timbul asumsi bahwa untuk hal-hal medik
tertentu tidak perlu dipantau karena dianggap sudah lazim, jadi
asumsinya petugas yang dipantau pasti sudah mahir akan hal itu,
padahal belum tentu benar.
Oleh karena alasan-alasan tersebut di alas, dapat timbul pe-
rasaan enggan dalam diri pemantau untuk melakukan tugasnya
dengan benar karena rasa tidak enak untuk menunjuk kesalahan-
kesalahan yang dilakukan oleh yang dipantau.
Selain itu, memang teknik-teknik pemantau di lapangan tidak
selalu dimiliki oleh petugas pemantau.
Dalam prinsip, petugas pemantau harus beranggapan bahwa
172 Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992
yang dipantau itu tidak melakukan tata-cara pelayanan dengan
balk, sampai terbukti bahwa dia melakukannya dengan baik.
Untuk pembuktian, tidak cukup hanya dengan tanya-jawab atau
mendengarkan uraian saja, namun harus dili hat sendiri bagaimana
petugas yang dipantau itu melakukannya termasuk melihat sen-
diri alat-alat maupun catatan-catatan yang ditulis dalam kartu
status dan laporan (dapat dilakukan secara random/acak). Kejelian
pemantau sangat diperlukan. Contoh: seorang petugas yang
dimilikinya selalu digunakan untuk sterilisasi alat-alat. Dalam
pemantauan harus dilihat apakah benar pada bagian luar dasar
autoclave terdapat bagian-bagian yang hangus.
PENUTUP
Dalam melaksanakan pemantauan di lapangan selain men-
catat masalah tenaga pelaksana, maka data yang harus dicatat
ialah tentang :
1) Kelengkapan sarana
2) Cara menggunakan sarana
3)
Cara merawat sarana
yang harus dilaksanakan secara tepat dan benar.
Kalau diingat bahwa tujuan pemantauan itu ialah untuk
mempertahankan bahkan meningkatkan muiu, maka perasaan
enggan dalam dui petugas pemantau seharusnya dihilangkan.
Pemantauan memang untuk mencari kesalahan, menunjukkan
kesalahan itu, tetapi untuk diperbaiki. Masalahnya ialah
bagaimana pemantauan itu dilakukan, bagaimana kesalahan itu
diberitahukan tanpa menimbulkan rasa tidak enak bagi yang
dipantau, sehingga bersama-sama dapat dicari alternatif penye-
lesaian masalah, dan akhirnya tujuan pemantauan tercapai.
It is not doing the thing we like that makes fife happy,
it is the learning to like the thing we have to do
Cermin Dunia Kedok t eran, Edisi Khusus No. 80, 1992 173
Pencegahan Infeksi pada Metode
Kontrasepsi Efektif Terpilih
(
MKET)
Maciste Lumbanraja
Perk umpulan Kontrasepsi Mantap Indonesia, C
'
abang Sumatera Utara, Medan
ABSTRAK
Sebagaimana diketahui pelayanan KB masa kini sudah bertambah luas dan salah
satu penyebabnya adalah makin diterimanya metode kontrasepsi oleh keluarga dan
masyarakat umumnya.
Di antara beberapa jenis metode kontrasepsi yang tersedia pada saat ini, MKET
(
Metode Kontrasepsi Efektif Terpilih) adalah kontrasepsi yang dianggap efektif, murah,
mudah didapat. Termasuk MKET adalah AKDR, Norplant dan Kontrasepsi Mantap
wanita (Tubektomi) dan pria (Vasektomi).
Namun demikian, agar kontrasepsi tersebut tidak menjadi bumerang pads masa
yang akan datang, perlu dijaga dan ditingkatkan mutu pelayanan kontrasepsi tersebut.
Khususnya jika ditinjau upaya yang ditujukan terhadap pelayanan kontrasepsi mantap
(tubektomi dan vasektomi) peranan menjaga mutu tersebut amatlah penting. Penye-
babnya bukan saja karena cara kontap merupakan tindakan pembedahan dan karena itu
dapat mengundang munculnya risiko, tetapi juga karena memang cara kontap yang
dimaksud sampai saat ini belum dapat diterima oleh sebagian anggota masyarakat.
Dengan demikian apabila pelayanan kontap dilaksanakan tanpa memperhatikan aspek
mutu, mudah diperkirakan akan munculnya pelbagai persoalan.
Salah satu faktor penting untuk menjaga dan meningkatkan mutu pelayanan kon-
trasepsi adalah pencegahan infeksi. Dahulu perhatian hanya ditujukan kepada infeksi
pasca bedah. Sekarang perlu perhatian pencegahan infeksi antara akseptor, akseptor
petugas dan sebaliknya, mikro organisme, jasad penyebab infeksi termasuk bak1.c. i
(kuman), virus, fungus (jamur) dan parasit.
Dibicarakan cara-cara pencegahan infeksi, siklus transmisi penyakit, tujuan pen-
cegahan infeksi pada KB, jenis-jenis antiseptik dan penerapannya pads pelayanan KB
khususnya MKET.
PENDAHULUAN
Pelayanan KB bertambah luas, oleh karena itu perlu men-
sekarang, perlu perhatian pencegahan infeksi antara akseptor,
jaga dan meningkatkan mutu. Salah satu faktor penting ialah
akseptor-petugas dan sebaliknya.
pencegahan infeksi.
Untuk itu dibicarakan pengetahuan dasar penyebaran
Dahuluperhatian
hanyaditujukan pada infeksi pasca bedah;
infeksi, dan pencegahannya pada pelayanan KB.
174 Cermin Dunia Kedok t eran, Edisi Khusus No. 80, 1992
DEFINISI-DEFINISI
Mikro organisme; jasad penyebab infeksi termasuk : bak-
teri (kuman), virus, fungus (jamur), parasit. Bakteri, guna pen-
cegahannya dibagi atas :
- vegetatif (mis. stafilokok)
-
miko bakteri (tuberkulosa)
-
endospora (tetanus, gangren).
Prot ect ive barrier (perisai pencegahan) dapat bersifat fisis,
mekanis, kimiawi.
Mencegah infeksi dari :
-
akseptor - akseptor
petugas - akseptor, dan sebaliknya.
Asepsis/teknik asepsis
- Usaha-usaha untuk mencegah mikroorganisme masuk ke
dalam tubuh.
-
Mengurangi/menghilangkan mikroorganisme pada animate
(kulit, jaringan tubuh) dan inanimate objects (instrumen).
Antisepsis
- Pencegahan infeksi dengan mematikan/mencegah turn-
buhnya mikroorganisme path animate.
Dekontaminasi
- Proses membuat inanimate/instrumen menjadi lebih aman
dikelola oleh petugas.
Cleaning/Pembersihan
Proses pembersihan animate dan inanimate dari kotoran
(darah, cairan tubuh, tanah atau debu).
Disinfeksi
- Proses menghilangkan sebagian besar mikroorganisme dari
inanimate. High level disinfection (HLD) dengan air mendidih
atau zat kimia menghilangkan semua kuman kecuali endospora.
Sterilisasi
- Proses mematikan semua mikroorganisme termasuk endo-
spora pada inanimate objects.
Disease transmission circle
Untuk pencegahan, perlu memotong lingkaran
TUJUAN
Pencegahan infeksi path KB ditujukan untuk mengurangi
infeksi yang menyebabkan antara lain :
infeksi luka
abses abdominal atau skrotal
gangren, tetanus
penyebaran virus.
Menggunakan protective barrier adalah cara efektif untuk
mencegah penularan penyakit termasuk :
a. cuci tangan
b. memakai sarung tangan
c. cairan antiseptik
d. dekontaminasi, cleaning, disinfeksi, sterilisasi.
ad.a) Cuci tangan perlu pads saat sebelum memeriksa aksep-
tor, sebelum memakai sarung tangan, sesudah tangan terkon-
taminasi (darah, cairan tubuh), sesudah lepas sarung tangan.
Mikroorganisme tumbuh path air yang tidak mengalir, oleh
karena itu cuci tangan dengan air bersih yang mengalir, jangan
cuci dengan air dalam baskom, walaupun diberi cairan antisep-
tik, gunakan alcoholic handrub dan keringkan dengan lap yang
bersih keying.
ad.b) Sarong tangan
-
HLD dapat dipakai untuk VT, IUD.
-
Steril dipakai untuk operasi, minilap, norplant, vasektomi.
-
Sarong yang tebal bersih untuk membersihkan instrumen.
ad.c) Antisepsis
Path IUD, Norplant, Minilap, vasektomi perlu :
- cuci tangan, sarung tangan
- bersihkan kulit akseptor dengan antiseptik.
Antiseptik jangan dipakai untuk disinfeksi instrumen, ke-
cuali alcohol dan jodium yang disinfeksi.
Macam-macam antiseptik :
-
Alkohol 60% - 90%
-
Cetrimide, chlorhexidin (Savlon)
-
Choorhexidin Gluconate (Hibiscrub)
- Parachlorometaxylenol (Dettol)
- Hexachlorophen (pHisohex)
-
Iodines (tincture, lugol)
-
Ioduphors (Betadine).
Alkohol solusi untuk cuci tangan (alcoholic handscrub) di-
buat sebagai berikut :
- Alkohol (60% - 90%) 100 ml
+ Glycerin, sorbitol 2 ml
tiga kali dipakai 3 5 ml.
ad.d) Pengelolaan instrumen
Dasar pencegahan infeksi :
- buang alat-alat disposable
Cermin Dunia Kedok t eran, Edisi Khusus No. 80, 1992 175
dekontaminasi
-
cleaning
sterilisasi atau
-
HLD
Dekontaminasi
Chloride 0,5% 10 mm
Cuci & Cleaning
Sterihsasi
HLD
t
Autodlave Dry Heat Boil Chemical
121 C (250F) 170C 20min rendam 20min
20 min tak 60 min
dibungkus
30 min dibungkus
PENCEGAHAN INFEKSI PADA PEMA-
SANGAN DAN PENGELUARAN AKDR
LATAR BELAKANG
Sebagaimana diketahui, banyak akseptor AKDR yang drop
out
karena infeksi; dari data yang ada ternyata 20% pemakai
AKDR mengalami infeksi. Salah satu penyebabnya adalah
pemasangan AKDR yang tidak steril.
Potensi timbulnya infeksi pads pemakai AKDR dapat
meningkat terutama di daerah dengan prevalensi infeksi STD
seperti gonorea dan khlamidia tinggi. Namun demikian dengan
proses pencegahan infeksi yang baik dan dianjurkan, petugas
kesehatan dapat mengurangi risiko timbulnya infeksi pasca pe-
masangan AKRD dan bahaya penularan infeksi, bahkan penular-
an hepatitis B atau AIDS kepada akseptor, pembantu petugas
kesehatan atau petugas kesehatan sendiri.
Dengan proses pencegahan infeksi yang sederhana, praktis
dan feasible semua fasilitas kesehatan dapat melakukan pen-
cegahan infeksi pads pemakai AKDR, walaupun tanpa otokiaf
atau sterilisator. Fasilitas kesehatan (klinik) demikian tidak perlu
menyediakan instrumen dan sarung tangan steril, cukup dengan
HLD (boiling).
CUCI TANGAN DAN SARUNG TANGAN
1) Cuci tangan dilkukan sebelum :
memeriksa/kontak langsung dengan akseptor
memakai sarung tangan steril/HLD untuk pemasangan dan
pengeluaran AKDR.
2) Cuci tangan dilakukan sesudah :
tangan terkontaminasi; misalnya memegang objek termasuk
instrumn yang telah terkontaminasi dengan mikroorganisme,
atau menyentuh selaput lendir, darah dan cairan tubuh (sekresi
dan ekskresi).
menanggalkan sarung tangan.
176 Cermin Dunia Kedok t eran, Edisi Khusus No. 80, 1992
3) Sepasang sarung tangan dipakai untuk setiap akseptor untuk
mencegah kontaminasi silang.
Sarung tangan yang digunakan :
Dok
'
ter/Bidan : waktu melakukan periksa dalam atau pe-
masangan dan pengeluaran AKDR, dapat dipakai sarung tangan
yang bersih yang disuci hamakan secara HLD (tidak perlu sarung
tangan steril).
Staf pembersihan : cukup menggunakan sarung tangan tebal
untuk membersihkan instrumen dan alat pembedahan lainnya
serta semua permukaan yang terkontaminasi.
Untuk mengurangi risiko transmisi penyakit dari instrumen,
sarung tangan dan alat-alat lain yang terkontaminasi, lakukanlah
pembersihan sebagai berikut :
-
Bersihkan sisa-sisa kotoran dan dekontaminasi
-
Cuci dan pembilasan
-
Suci hama secara HLD atau
Sterilisasi.
Contoh pemasangan AKDR (Cu-T) di klinik di mana tidak
tersedia sarung tangan steril kecuali secara HLD dan tidak ada
pembantu :
1) Sebelum memakai sarung tangan bukalah sebagian pem-
bungkus AKDR pads pangkalnya.
2) Pakai sarung Langan, desinfeksi vulva, masukkan spekulum
ke dalam vagina, sucihama vagina dan serviks 23 kali.
3) Pasang tenakulum pads serviks depan, lakukan
sondage
untuk mengetahui ukuran dan posisi uterus.
4) Masih di dalam pembungkus masukkan sebagian pendo-
rong AKDR ke dalam insertor.
5) Dengan ibu jari dan telunjuk kiri pada kedua ujung sayap
AKDR, bengkokkan sayap AKDR sampai bertemu pads kedua
ujungnya.
6) Insertorditarik sedikit, sambilmengangkat ujungnya, ujung
sayap AKDR yang bersatu tadi masuk ke dalam insertor.
7) Cocokkan jarak antara cincin insertordengan ujunginsertor
sesuai dengan ukuran uterus dengan cara mendorong insertor
melalui cincin yang terfiksir.
8) Masukkan AKDR ke dalam uterus sesuai dengan posisi
uterus.
9) Buka tenakulum dan spekulum
'
USAHA-USAHA PENCEGAHAN INFEKSI PADA IN-
SERSI AKDR
Untuk mengurangi risiko timbulnya infeksi pasca pema-
sangan AKDR, hams diusahakan suatu lingkungan yang bebas
infeksi antara lain :
1) Keluarkan calon akseptor yang dalam anamnesis dan pe-
meriksaan fisik mempunyai risiko STD (Sexually Transmitted
Disease).
2) Cucilah tangan dengan air sabun sebelum dan sesudah pe-
masangan.
3) Bila mungkin suruhlah calon akseptor membersihkan alat
genitalia sebelum periksa dalam untuk staining.
4) Pakailah instrumen dan sarung tangan yang disucihama
secara HLD atau steril.
5) Desinfeksi vagina dan serviks dengan larutan antiseptik
sebelum pemasangan AKDR.
6) Pasangkan AKDR ke dalam insertor di dalam bungkusan
yang steril.
7) Gunakan teknik insersi no touch untuk mengurangi risiko
kontaminasi uterus.
8) Buanglah bahan-bahan kotor (train kasa, kapas dan sarung
tangan disposable) sesudah pemasangan AKDR.
9) Dekontaminasi instrumen dan alat-alat lainnya yang dapat
dipakai kembali segera setelah pemasangan AKDR.
USAHA-USAHA PENCEGAHAN INFEKSI PADA PE-
NGELUARAN AKDR
Walaupun jarang menyebabkan infeksi panggul, pengeluar-
an AKDR hams dilakukan sebagaimana pencegahan infeksi
pada pemasangannya. Untuk mengurangi risiko terhadap dokter
dan pembantunya pads saat pengeluaran AKDR, beberapa pe-
tunjuk di bawah ini :
1) Cuci tangan dengan air sabun/antiseptik sebelum dan se-
sudah setiap prosedur.
2) Kalau mungkin, akseptor diminta membersihkan alat geni-
talia sebelum periksa dalam.
3) Gunakanlah instrumen dan sarung tangan (sepasang) yang
bersih dan sucihama secara HLD atau steril.
4) Desinfeksi dengan antiseptik serviks dan vagina sebelum
prosedur.
5) Buanglah bahan-bahan kotor (kasa, kapas dan sarung tangan
disposable) ke dalam tempat/kontener yang disediakan.
6)
Dekontaminasi instrumen dan alat-alat lain segera setelah
selesai dipakai.
PENCEGAHAN INFEKSIPADAPEMBE
DAHAN MINILAP DAN LAPAROSKOPI
LATAR BELAKANG
Ribuan bahkan ratusan ribu prosedur kontap minilap dan
laparoskopi telah dilakukan tanpa komplikasi infeksi yang se-
rius. Namun demikian infeksi yang sangat berbahaya selalu
mengancam dan dapat terjadi pads kedua prosedur tersebut, ter-
masuk tetanus, gangren dan sepsis. Infeksi lainnya yang biasa
terjadi namun tidak begitu berbahaya termasuk infeksi luka
pembedahan yang ringan. Oleh karena tetanus dan gangren di-
sebabkan oleh bakteri berspora, maka perlengkapan instrumen
dan alat-alat pembedahan hams dalam keadaan steril, karena
sterilisasi adalah satu-satunya cara yang dapat membunuh
endospora bakteri. Bila fasilitas sterilisasi tidak tersedia,
high
level desinfection
(HLD) dengan merebus adalah suatu alternatif.
SUMBER INFEKSI
Sumber infeksi mungkin berasal dari :
1. Teknik pembedahan yang salah.
2. Alat-alat pembedahan yang tidak sucihama.
3.
Cuci tangan/scrubbing yang tidak sempurna dan sarung
tangan yang bocor.
4. Kamar bedah, fasilitas cuci tangan dan persediaan air bersih
yang tidak memadai.
5. Akseptor/penderita.
6. Team bedah dan staf kamar bedah lainnya.
PENCEGAHAN INFEKSI
Teknik asepsis :
1) Teknik pembedahan yang baik.
2)
Mengurangi risiko timbulnya infeksi melalui alat-alat pem-
bedahan, sarung tangan dan peralatan lainnya; setelah selesai
pembedahan peralatan-peralatan tersebut harus didekontami-
nasi, dibersihkan dan disterilkan atau direbus (HLD).
Penting diingat :
1) Di samping sterilisasi alat-alat atau merebus (HLD), pem-
bersihan untuk mengeluarkan kotoran-kotoran dan bahan-bahan
organik dari perlengkapan pembedahan adalah cara yang paling
efektif untuk mengurangi risiko timbulnya infeksi tetanus dan
gangren.
2) Staf kamar bedah yang diduga infeksius atau mengalami lesi
atau luka di daerah terbuka (muka, lengan dan tangan) sebaiknya
tidak diikutsertakan dalam pembedahan atau berada dalam kamar
bedah.
Cuci t angan/scrubbing dan sarung tangan
Cuci tangan yang sempuma dan memakai sarung tangan
yang baik adalah kunci untuk memperkecil risiko infeksi ter-
hadap akseptor, staf kamar bedah dan team pembedahan. Cuci
tangan mungkin suatu tindakan sederhana yang paling penting
dalam pencegahan infeksi. Menggosok semua permukaan
tangan yang dilumuri dengan air sabun atau antiseptik akan
mengeluarkan bahkan membunuh banyak organisme.
Cuci tangan dilakukan :
Sebelum :
-
memeriksa/kontak langsung dengan akseptor/penderita
memasang sarung tangan steril
Sesudah :
memegang objek termasuk alat-alat bedah yang mungkin
telah terkontaminasi dengan mikroorganisme.
menyentuh selaput lendir, darah atau cairan tubuh lainnya
(cairan sekresi atau ekskresi).
menanggalkan sarung tangan, karena mungkin saja sarung
tangan telah mengalami kebocoran kecil yang tidak tampak
dengan mata telanjang.
Scrubbing (Surgical handscrub) :
Petugas operasi (dokter, paramedik dan teknisi) harus
membersihkan tangan (scrub) selama 35 menit dengan anti-
septik (Betadine, Savlon dan lain sebagainya).
Bila hanya sabun dan air yang tersedia, dianjurkan untuk
menggunakan alkohol (6090%) untuk pembilasan.
Setelah memakai topi dan masker penutup mulut, scrubbing
dilakukan sebelum menggunakan gaun operasi dan sarung
tangan. Idealnya setiap operator dan asisten harus cuci tangan/
scrubbing sebelum setiap pembedahan. Apabila jumlah pasien
Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992 177
yang dilayani banyak, scrubbing yang terlalu sering mungkin
akan menyebabkan iritasi pads lengan; dalam hal ini dianjurkan
scrubbing sekali dalam 1 jam atau setelah 45 kasus, untuk
mencegah rekolonisasi mikroorganisme pads kulit.

Scrubbing juga dianjurkan sesudah melakukan pembedah-


an kasus yang diduga terinfeksi sebelum meninggalkan kamar
bedah dengan algsan apapun atau bila sarung tangan bocor.
Sarung tangan :
1) Pakailah sarung tangan (disposable atau tidak) yang disuci-
hamakan secara HLD pads saat pemasangan elevator uterus.
2) Pakailah sepasang sarung tangan steril pada waktu pembe-
dahan (bila sterilisator tidak tersedia, cukup secara HLD).
3)
Pakailah sepasang sarung tangan yang bersih dan tebal
untuk membersihkan instrumen, alat-alat pembedahan lainnya
dan barang-barang lainnya yang terkontaminasi.
4)
Jangan menggunakan sarung tangan yang bocor/robek.
Memproses instrumen, sarung tangan dan alat-alat pem-
bedahan lainnya yang sudah terpakai.
1) Selesai pembedahan, sarung tangan masih terpasang, buang-
lah semua bahan-bahan yang terkontaminasi (kain kasa, kapas
dan lain-lain) ke dalam kantong plastik tertutup atau kontener
tertutup.
2) Instrumen dan sarung tangan yang telah mengalami kontak
langsung dengan darah dan cairan tubuh harus langsung di-
bersihkan (dekontaminasi) dengan larutan desinfektan (larutan
chlorine 0,5%). Dekontaminasi laparoskop, cumber cahayafibre
optic dengan kain lap lembut yang dicelupkan ke dalam larutan
alkohol 60% 90% untuk mengeluarkan sisa-sisa darah dan
bahan-bahan organik lainnya.
3) Meja operasi, standar instrumen dan standar lampu yang
mungkin telah terkontaminasi dengan cairan tubuh hams diber-
sihkan (dekontaminasi) dulu sebelum dipakai.
4) Bersihkanlah benar-benar semua instrumen, wrung tangan
dan kain-kain operasi dengan air sabun/detergen sebelum di-
sterilkan.
5) Akhirnya instrumen, sarung tangan dan kain-kain operasi
harus disterilkan. Bila fasilitas sterilisasi tidak tersedia, semua
peralatan tersebut disucihamakan secara HLD (boiling).
Sterilisasi, suatu proses yang dapat membunuh semua
mikroorganisme termasuk endospora bakteri, adalah cara yang
dianjurkan untuk mensucihamakan instrumen dan alat-alat
pembedahan lainnya yang berhubungan langsung dengan aliran
darah dan jaringan di bawah kulit.
Kamar bedah
Lokasi kamar bedah sebaiknya tersendiri dengan pintu-
pintu yang dapat dikunci dan jauh dari keramaian/lalu lintas di
klinik atau rumah sakit.
1) Mempunyai cukup penerangan.
2) Lantai/ubin yang mudah dibersihkan.
3) Dijaga agar bebas dari debu dan serangga.
4) Air-condition kalau mungkin.
5) Mempunyai fasilitas cuci tangan dengan persediaan air
bersih.
6) Mempunyai kamar tukar pakaian yang dekat dengan kamar
178 Cermin Dunia Kedo/aeran, Edisi Khusus No. 80, 1992
bedah tanpa melalui area lalu lintas yang ramai atau terkonta-
minasi tinggi seperti : bangsal dan kamar terapi.
7) Kontener-kontener tertutup atau kantongan plastik tempat
pembuangan bahan-bahan/sampah yang terkontaminasi, harus
tersedia.
Mengurangi risiko kontaminasi di dalam kamar bedah :
1) Menjaga seminimal mungkin lalu lintas dan jumlah orang
selama pembedahan.
2)
Pintu tertutup untuk menjaga masuknya orang-orang yang
tidak berkepentingan, mengurangi lalu lintas orang dan aliran
udara.
3) Alat-alat bedah yang bersih dan kotor disimpan terpisah.
4) Akseptor/penderita masuk kamar bedah dan meja operasi
tanpa melalui tempat instrumen yang bersih atau steril disiapkan
atau disimpan.
Persiapan prabedah untuk akseptor/penderita
Oleh karena kulit tidak dapat disterilkan, pembersihan
prabedah atas daerah operasi dengan larutan antiseptik dapat
mengurangi mikroorganisme dari kulit akseptor yang dapat
menimbulkan kontaminasi dan akhirnya infeksi.
1) Calon akseptor mandi sebelum pembedahan. Bila hal ini
tidak mungkin, sebelum memasuki kamar bedah, seorang staf
membersihkan kulit daerah operasi dengan air sabun.
2)
Rambut kulit perut dan pubes tidak perlu dicukur kecuali
mengganggu daerah operasi. Bila perlu, cukurlah rambut segera
sebelum pembedahan untuk mengurangi waktu pertumbuhan
bakteri pada kulit.
3)
Sapukan antiseptik (ump. larutan Betadine) di atas daerah
operasi mulai dari tengah dan bergerak ke samping perut.
Pakaian/baju operasi untuk akseptor staf kamar bedah
Kamar bedah harus selalu bersih, akseptor dan staf kamar
bedah hams memakai pakaian yang bersih.
1) Akseptor harus memakai pakaian/gaun yang bersih.
2) Staf kamar bedah termasuk staf pembersihan harus ganti
baju/gaun yang bersih, topi dan masker sebelum memasuki
kamar bedah.
3) Masker harus menutupi hidung dan mulut dan harus diganti
baru kalau basah.
4) Topi harus menutupi semua rambut.
5) Sepatu harus ditutupi atau diganti dengan sepatu yang
khusus dipakai dalam kamar bedah.
Beberapa nasehat untuk pencegahan infeksi
Prabedah:
1) Pilihlah calon akseptor yang kecil risikonya untuk infeksi
dan perlekatan/peradangan panggul, dan tidak kurang gizi dan
terlalu gemuk.
2) Bila mungkin calon akseptor disuruh mandi dan member-
sihkan alat genitalia dan dinding perut sebelum memasuki kamar
bedah.
3) Sebelum memasang elevator uterus atau manipulator, ser-
viks dan vagina dibersihkan dengan antiseptik beberapa kali.
Bila antiseptik (Betadine) yang digunakan, biarkan 12 menit
untuk memberi waktu kepada jodium yang bebas dan waktu
kontak untuk membunuh mikroorganisme.
4) Cuci tangan/scrubbing
yang sempurna dengan larutan
antiseptik dan air sebelum setiap pembedahan.
5) Bersihkanlah dinding perut dengan larutan antiseptik pada
daerah operasi, khususnya daerah umbilikus.
Staf pembedahan :
1) Jagalah agar lalu lintas dan jumlah orang berada dalam
kamar bedah seminimal mungkin.
2) Pakailah pakaian yang khusus untuk kamar bedah.
3) Gunakanlah instrumen, sarung tangan dan peralatan bedah
lainnya yang bersih, steril atau HLD.
4) Pilihlah teknik pembedahan yang baik dengan trauma ja-
ringan dan perdarahan seminimal mungkin.
Pasca bedah :
1) Buanglah semua bahan-bahan yang terkontaminasi (train
kasa, kapas sarung tangan disposable) ke dalam kontener yang
tertutup rapat.
2) Bersihkan (dekontaminasi) semua instrumen dan peralatan
lainnya segera setelah siap dipakai atau sebelum disterilkan.
3) Bersihkan (dekontaminasi) meja operasi, standarinstrumen,
dan lampu dan semua permukaan yang terkontaminasi selama
pembedahan.
4)
Cucilah tangan sesudah menanggalkan sarung tangan.
Memelihara lingkungan kamar bedah yang aman
Mempertahankan lingkungan yang aman, bebas infeksi
adalah suatu proses yang membutuhkan latihan yang berkelan-
jutan dari staf kamar bedah dengan supervisi yang baik. Dengan
mengingat persyaratan dan perlakuan yang telah ditetapkan,
semua jenis infeksi pasca bedah termasuk penularan HBV dan
HIV dapat dicegah. Namun demikian persyaratan dan perlakuan
tersebut di atas harus diterapkan tanpa pamrih sebelum, sedang
dan sesudah setiap prosedur pembedahan. Kelemahan satu titik
pada hal-hal yang rutin dapat menimbulkan bahaya pads pro-
sedur selanjutnya.
PENCEGAHAN INFEKSI PADA KON-
TAP PRIA VASEKTOMI
Di berbagai negara di dunia vasektomi semakin populer dan
meningkat jumlahnya sebagai kontrasepsi mantap. Setiap tahun
jumlah akseptor vasektomi terus meningkat dan aman. Namun
demikian, bila prosedur pembedahannya tidak benar, infeksi
yang berbahaya bahkan mengancam jiwa akseptor seperti te-
tanus, gangren, dan sepsis skrotal serta abdominal dapat saja
terjadi. Untuk mencegah hal-hal tersebut, teknik aseptik yang
balk termasuk teknik pembedahan yang benar dapat mengurangi
risiko transmisi penyakit yang mungkin berasal dari instrumen,
sarung tangan dan peralatan lainnya yang tidak sucihama se-
belumnya. Oleh karena itu semua peralatan tersebut harus dide-
kontaminasi, dibersihkan dan disterilkan atau HLD sebelum dan
sesudah setiap pembedahan.
Proses pencegahan infeksi pads kontap vasektomi lama
seperti yang dilakukan kontap wanita minilap dan laparoskopi,
termasuk :
1.
Cuci tangan/scrub dan sarung tangan.
2.
Memproses instrumen, sarung tangan dan peralatan lainnya.
3.
Persyaratan kamar bedah yang baik.
4. Dan lain-lain.
SELEKSI KASUS/AKSEPTOR
Untuk mengurangi risiko komplikasi pasca bedah, penyakit
kulit/scrotum atau
sexually transmitted disease seperti gonorea
dan chlamidia harus diobati dulu sebelum vasektomi. Penyakit-
penyakit lain yang dapat mempersulit pembedahan dan me-
ningkatkan risiko timbulnya infeksi antara lain :
1) Varikokel yang luas
2) Hernia inguinalis
3) Filariasis
4) Bekas luka/keloid
5) Bekas pembedahan skrotum
6) Massa intraskrotal
7) Anemia berat
8) Penyakit darah/kelainan sistim perdarahan
9) Diabetes mellitus (harus terkontrol sebelum operasi)
10) Penyakit jantung.
PERSIAPAN PRABEDAH UNTUK AKSEPTOR
Pembersihan kulit scrotum dengan larutan antiseptik akan
mengurangi jumlah mikroorganisme kulit yang dapat meng-
akibatkan kontaminasi pada
.
luka operasi dan menimbulkan
infeksi.
1.
Calon akseptor mandi dahulu dan memakai pakaian yang
longgar sebelum ke klinik. Bersihkan daerah operasi scrotum,
penis dan lipat paha dengan air sabun sebelum memasuki kamar
.
operasi.
2. Bersihkan dan scrub daerah operasi dengan larutan anti-
septik yang tersedia (umpama Betadine) mulai dari Langan
dengan gerakan sirkuler. Biankan 2 menit.
TEKMK PEMBEDAHAN
Gunakanlah teknik pembedahan yang dapat mengurangi
risiko infeksi :
-
insisi kecil
-
anestesi lokal yang cukup
-
manipulasi janingan yang hati-hati
hemostasis
perhatikan teknik aseptik.
Salah satu komplikasi yang mu,,gkin terjadi adalah he-
matoma scrotum akibat hemostasis yang tidak baik, balk pads
pembedahan "satu insisi" atau "2 insisi". Untuk mengurangi
risiko ini kini telah dikembangkan "vasektomi tanpa pisau"
(VTP) yang pertama-tama dikembangkan di RRC.
PENCEGAHAN INFEKSI PASCA BEDAH
Serupa dengan prosedur kontap wanita lainnya.
Cermin Dunia Kedolaeran, Edisi Khusus No. 80, 1992 179
PENCEGAHAN INFEKSI PADA PEMA-
SANGAN DAN PENGELUARAN NOR-
PLANT
LATAR BELAKANG
Dengan diterimanya sistem Implant kontrasepsi Norplant di
Amerika Serikat dan 17 negara lainnya, diharapkan penggunaan
Norplant akan sangat meningkat dalam beberapa tahun men-
datang.
Kini, dari hasil-hasil
trial
yang dilaporkan, masalah
infeksi hanya terbatas pada infeksi ringan kurang dari 1%, dan
jarang terjadi abses yang sampai menjadi penyebab pengeluaran
norplant. Walaupun pemasangan dan pengeluaran norplant
subdermal suatu pembedahan ringan, namun teknik aseptik dan
teknik pembedahan yang baik dapat mencegah meningkatnya
infeksi pada daerah insersi norplant.
Infeksi yang terjadi, walaupun ringan adalah penyebab
utama penularan virus hepatitis B dan AIDS kepada akseptor,
petugas kesehatan dan staf klinik, terutama petugas pember-
sihan. Untuk mengurangi risiko tersebut, bahan-bahan yang
terkontaminasi darah harus dibuang di tempat yang telah diten-
tukan, dan semua instrumen, sarung tangan dan peralatan lainnya
harus didekontaminasi, dibersihkan dan disterilkan atau secara
HLD (High Level Desinfection).
Disamping sterilisasi/HLD instrumen dan alat-alat bedah
lainnya, pembersihan kulit lengan akseptor juga tidak kalah
pentingnya untuk mencegah infeksi dan mengurangi risiko tim-
bulnya infeksi tetanus dan gangren.
Cara-cara cuci tangan, pemasangan sarung tangan, pem-
bersihan instrumen dan peralatan lainnya serupa dengan prose-
dur yang dilakukan pada pembedahan kontap dan pemasangan
AKDR.
Persiapan prabedah untuk akseptor :
1)
Sebelum memasuki kamar bedah lengan dan tangan aksep-
tor dibersihkan dengan air sabun (lebih balk larutan antiseptik),
kemudian dibilas dan dikeringkan dengan handuk bersih.
2) Akseptor dapat memakai bajunya sendiri asalkan bersih.
3) Daerah operasi dibilas dengan antiseptik yang tersedia
umpama Betadine secara sirkuler mulai dari tengah, biarkan
selama 2 menit karena Betadine bekerjanya lambat.
Untuk mencegah infeksi pada saat pemasangan dan pe-
ngeluaran Norplant, lakukanlah urutan-urutan langkah berikut :
Insersi implant
Persiapan :
1) Cuci tangan dengan air sabun.
2) Meja operasi dan support
lengan ditutup dengan kain bersih.
3) Tidurkan akseptor dengan lengan di alas, direntangkan di
alas meja/support lengan.
4)
Bersihkan dan bilas lengan akseptor.
Persiapan daerah insersi :
1)
Letakkan sepotong kain bersih yang kering di bawah lengan
akseptor.
2) Bersihkan daerah operasi dengan salah satu larutan anti-
septik berikut :
-
Jodium 23% diikuti dengan alkohol 6090%
Betadine
Alkohol 6090%
4% chlorhexidine (Hibitane)
-
Savlon
-
atau antiseptik lain yang tersedia di klinik.
3) Dengan menggunakan kapas atau kain kasa yang telah
dicelupkan ke dalam larutan antiseptik, daerah operasi disapu
mulai dari tengah dan bergerak ke arah luar dengan gerakan
sirkuler. Daerah insersi terbaik adalah bagian medial lengan
alas kira-kira 68 cm di was lipatan siku.
Insersi yang aseptik :
1) Siapkan tempat instrumen. Bukalah pembungkusnya tanpa
menyentuhnya.
2) Dengan hati-hati bukalah kantongan berisi kapsul Norplant.
Jangan sampai implant jatuh di alas pembungkus instrumen, ka-
rena kontak dengan kapas atau kain dapat menyebabkan implant
lebih reaktif, lebih peka sehingga menyebabkan adhesi dan
keloid karena partikel-partikel kecil dari kapas akan melekat
pada kapsul silastik.
3) Pakailah sarung tangan yang disucihamakan secara HLD
tanpa mengandung talkum.
4) Insersi 6 kapsul Norplant. Sewaktu memasukkan trokar,
tidak boleh menyentuh bagian trokar yang masuk ke dalam
bawah kulit.
5) Setelah insersi, sapukanlah sedikit larutan antiseptik di atas
daerah insersi.
6) Bila infeksi terjadi, rawatlah luka operasi dengan peng-
obatan yang sesuai.
7) Bila terjadi abses (dengan atau tanpa tanda-tanda ekspulsi
implant), keluarkanlah semua implants.
Pengeluaran implant
Semua urutan-urutan langkah sama dengan pemasangan
Implant.
Pemeliharaan trokar
Trokar yang digunakan untuk insersi Norplant harus dijaga
selalu tajam untuk mengurangi risiko infeksi yang disebabkan
oleh trauma jaringan.
1) Periksalah trokar setiap 10 insersi.
2) Bila tumpul, asahlah dengan batu pengasah yang halus.
3) Hindarkan pengasahan yang berlebihan agar ujungnya tidak
rusak.
4) Mungkin setelah 100 insersi, trokar harus diganti, bukan
lagi diasah.
KEPUSTAKAAN
1. Infection Prevention for Family Planning Service Programs. JHPIEGO Publ
1991.
2. Panduan Program Menjaga Mutu Pelayanan Kontrasepsi Mantap PKMI, Mei
1991.
180
Cermin Dunia Kedok t eran, Edisi Khusus No. 80, 1992

You might also like