You are on page 1of 45

1

I. Skenario
Nn. A, 20 tahun, pasien rawat inap di bangsal penyakit dalam RSMH tiba-tiba
mengeluh pusing, keringat dingin, sesak napas lalu tidak sadar setelah beberapa menit
sebelumnya dilakukan tes kulit terhadap ceftriaxone, dimana obat tadi direncanakan
akan disuntikkan ke pasien tersebut. Riwayat pernah makan kaplet amoxicillin 7 bulan
yang lalu yang diresepkan dokter karena infeksi tenggorokan yang dialaminya namun
tidak ada keluhan selama makan obat tersebut. Menurut penuturan kakaknya, adiknya
tersebut bila makan ikan laut atau udang keluar bentol-bentol merah dan gatal. Kakak
perempuannya mempunyai riwayat asma. Ibunya sering berobat ke dokter karena
penyakit ekzema yang diterimanya.
Pemeriksaan Fisik:
Keadaan umum: kesadaran spoor; suhu 36,8

C; tekanan darah 60 mmHg, palpasi;


frekuensi napas 36x/menit; frekuensi nadi 120x/menit, regular. Saturasi Oksigen 60%.
Keadaan spesifik: auskultasi paru terdengar wheezing, frekuensi denyut jantung
120x/menit, regular.
Pemeriksaan Laboratorium:
Hb 12,5 gr%, leukosit 11.000/mm
3
, diff. count: 0/4/7/70/18/1, LED: 10 mm/jam.

II. Klarifikasi Istilah
1. Ceftriaxon : Sefalosporin generasi ketiga semisintetik yang resisten terhadap -
laktamase dan efektif terhadap sebagian besar bakteri gram positif dan gram negatif
yang biasa dipakai dalam garam natrium.
2. Amoxicilin : Turunan semisintetik ampisilin yang efektif terhadap spektrum luas
bakteri gram positif dan gram negative.
3. Kaplet (Kapsul tablet) : Bentuk tablet yang dibungkus dalam lapisan gula dan
biasanya diberi zat warna yang menarik.
4. Asma : Serangan dispneu paroksismal berulangdisertai mengi akibat kontraksi
spasmodic bronchi.
5. Ekzema : Dermatitis papulo vesikular yang terasa gatal pada awalnya, ditandai
edema yang disebabkan eksudat serosa di epidermis dan infiltrate radang di dermis
basalis dan disertai vaskulasi dan krusta dengan sisik dan kemudian mengalami
likenifikasi menebal, ditandai dengan psoriasis serta gangguan pigmentasi.
2

6. Infeksi : Invasi dan multiplikasi mikroorganisme jaringan tubuh, terutama yang
menyebabkan cedera seluler local akibat metabolism yang kompetitif, toksin,
replikasi intraseluler, respon antigen-antibodi.
7. Sopor : Tidur yang terlalu dalam atau abnormal.
8. Saturasi Oksigen : Ukuran seberapa banyak persentase Oksigen yang mampu
dibawa oleh Hb.
9. Wheezing : Suara bersuit yang dibuat saat bernapas (fase akhir ekspirasi).
10. LED : Kecepatan sedimentasi eritrosit dalam darah yang belum membeku dengan
satuan mm/jam.

III. Identifikasi Masalah
1. Nn. A, 20 tahun, mengeluh pusing, berkeringat dingin, sesak napas lalu tidak sadar
setelah beberapa menit sebelumnya dilakukan tes kulit terhadap obat ceftriaxon,
yang rencananya akan disuntikkan pada pasien tersebut.
2. Riwayat obat-obatan : Nn. A pernah makan kaplet amoxicillin 7 bulan yang lalu
karena infeksi tenggorokan, namun tidak ada keluhan sealama makan obat tersebut.
3. Riwayat atopi : Nn. A mengalami bentol-bentol merah dan gatal bila makan ikan
laut atau udang.
4. Riwayat atopi keluarga : Kakak perempuan Nn. A mempunyai riwayat asma dan ibu
Nn. A memiliki riwayat ekzema
5. Pemeriksaan fisik
6. Pemeriksaan laboratorium

IV. Analisis Masalah
1. Nn. A, 20 tahun, mengeluh pusing, berkeringat dingin, sesak napas lalu tidak sadar
setelah beberapa menit sebelumnya dilakukan tes kulit terhadap obat ceftriaxon,
yang rencananya akan disuntikkan pada pasien tersebut.
a. Apa hubungan obat ceftriaxon dengan gejala-gejala yang dialami Nn. A?
Pada kasus Nn. A ini, telah terjadi reaksi hipersensitifitas tubuh terhadap obat
ceftriaxon. Sehingga Nn.A mengalami syok anafilaktik. Syok anafilaktik
merupakan salah satu kasus emergensi yang diakibatkan reaksi hipersensitivitas
antara antigen dan antibodi tubuh. Antigen yang bersangkutan terikat pada
antibodi dipermukaan sel mast sehingga terjadi degranulasi, pengeluaran
histamin dan zat vasoaktif lain. Keadaan ini menyebabkan peningkatan
3

permeabilitas dan dilatasi kapiler menyeluruh. Terjadi hipovolemia relatif
karena vasodilatasi yang mengakibatkan syok, sedangkan peningkatan
permeabilitas kapiler menyebabkan udem.
Pusing
Pusing disebabkan oleh gangguan pada otak karena memburuknya aliran
darah pada arteri yang bertugas untuk mengirim zat gizi dan oksigen, dalam
hal ini karena terjadinya hipotensi. Gangguan terutama pada otak kecil, yang
bertugas mengontrol segala macam perintah atau impuls yang berasal dari
mata, dan bagian tubuh lain. Selain itu gangguan juga terjadi pada alat
kontrol organ keseimbangan yang terdapat di dalam telinga dengan
mekanisme yang serupa.
Keringat dingin
Terjadinya syok anafilaktik menyebabkan tekanan arteri berkurang.
Kemudian baroreseptor arteri (sinus karotikus dan arkus aorta) dan reseptor
regangan vaskuler merespon penurunan tersebut dengan memberikan
stimulus kepada saraf simpatis. Saraf simpatis inilah yang akan merangsang
kelenjar keringat untuk mengekskresikan keringat.
Sesak napas
Saat terjadi syok anafilaktik, antigen (obat Ceftriaxon) akan ditangkap oleh
IgE lalu IgE ini akan melekat pada sel-sel imun, salah satunya basophil dan
sel mast. Kedua sel ini lalu akan mengeluarkan Histamin sebagai mediator
inflamasi. Histamin memiliki efek bronkospasme pada bronkus yang
menyebabkan sesak napas.
Pelepasan dari histamine oleh sel mast/basofil kontraksi dari otot polos
bronkus spasme bronkus sesak nafas
Tidak sadar
Keadaan tidak sadar pada syok anafilaksis diakibatkan oleh gangguan dari
sistem sirkulasi. Gangguan yang paling mencolok yaitu hipotensi. Hipotensi
dapat terjadi sebagai akibat dari dua faktor, pertama akibat terjadinya
vasodilatasi pembuluh darah perifer dan kedua akibat meningkatnya
permeabilitas kapiler sehingga selain resistensi pembuluh darah menurun,
juga banyak cairan intravascular yang keluar ke ruang interstisial sehingga
terjadi hipovolemia relative. Hipotensi ini akan menyebabkan tekanan
4

perfusi jaringan menurun lalu berakhir pada hipoksia jaringan, termasuk
otak. Inilah yang menyebabkan terjadinya penurunan kesadaran.

b. Jelaskan aspek farmakologi dari obat ceftriaxon! (indikasi, kontra indikasi,
dosis, efek samping, cara kerja)
Indikasi
Infeksi-infeksi yang disebabkan oleh patogen yang sensitif terhadap
Ceftriaxone, seperti: infeksi saluran nafas, infeksi THT, infeksi saluran kemih,
sepsis, meningitis, infeksi tulang, sendi dan jaringan lunak, infeksi intra
abdominal, infeksi genital (termasuk gonore), profilaksis perioperatif, dan
infeksi pada pasien dengan gangguan pertahanan tubuh.
Kontraindikasi
Hipersensitif terhadap cephalosporin dan penicillin (sebagai reaksi alergi
silang).
Dosis
Dewasa : 1 - 2 gram satu kali sehari. Pada infeksi berat yang disebabkan
organisme yang moderat sensitif, dosis dapat dinaikkan sampai 4 gram satu
kali sehari.
Efek Samping
Reaksi hipersensitivitas (urticaria, pruritus, ruam, reaksi parah seperti
anaphylaxis bisa terjadi); Efek GI (diare, N/V, diare/radang usus besar);
Efek lainnya (infeksi candidal)
Dosis tinggi bisa dihubungkan dengan efek CNS (encephalopathy,
convulsion); Efek hematologis yang jarang; pengaruh terhadap ginjal dan
hati juga terjadi.
Perpanjangan PT (prothrombin time), perpanjangan APTT (activated partial
thromboplastin time), dan atau hypoprothrombinemia (dengan atau tanpa
pendarahan) dikabarkan terjadi, kebanyakan terjadi dengan rangkaian sisi
NMTT yang mengandung cephalosporins.
Cara Kerja
Menghasilkan efek bakterisidal dengan menghambat sintesis dinding kuman.
5

2. Riwayat obat-obatan : Nn. A pernah makan kaplet amoxicillin 7 bulan yang lalu
karena infeksi tenggorokan, namun tidak ada keluhan sealama makan obat tersebut.
a. Jelaskan aspek farmakologi dari obat amoxicillin! (indikasi, kontra indikasi,
dosis, efek samping, cara kerja)
Indikasi
Untuk pengobatan infeksi yang disebabkan oleh bakteri yang peka pada kulit
& jaringan lunak, saluran nafas, genitourinari, gonore.
Infeksi saluran pernafasan kronik dan akut: pneumonia, faringitis (tidak
untuk faringitis gonore), bronkitis, langritis.
Infeksi sluran cerna: disentri basiler.
Infeksi saluran kemih: gonore tidak terkomplikasi, uretritis, sistitis,
pielonefritis.
Infeksi lain: septikemia, endokarditis.
Kontra Indikasi
Penderita hipersensitif atau mempunyai riwayat hipersensitif terhadap antibiotik
beta laktam (penicilin dan cephalosporin).
Dosis
Dewasa : 250- 500 mg tiap 8 jam.
Efek Samping
Pada pasien yang hipersensitif dapat terjadi reaksi alergi seperti urtikaria, ruam
kulit, pruritus, angio edema dan gangguan saluran cerna seperti diare, mual,
muntah, glositis dan stomatitis
Cara Kerja
Amoksisilin merupakan senyawa penisilin semi sintetik dengan aktivitas anti
bakteri spectrum luas yang bersifat bakterisid. Obat ini tidak membunuh bakteri
secara langsung tetapi dengan cara mencegah bakteri membentuk semacam
lapisan yang melekat disekujur tubuhnya, yaitu dinding sel. Lapisan ini
berfungsi sangat vital yaitu untuk melindungi bakteri dari perubahan lingkungan
dan menjaga agar tubuh bakteri tidak tercerai-berai. Bakteri tidak akan mampu
bertahan hidup tanpa lapisan ini. Ampisilin efektif terhadap sebagian bakteri
gram-positif dan beberapa gram-negatif yang patogen. Bakteri patogen yang
6

sensitif terhadap amoksisilin adalah Staphylococci, Streptococci, Enterococci, S.
pneumoniae, N. gonorrhoeae, H. influenzae, E. coli dan P. mirabilis.
Amoksisilin kurang efektif terhadap spesies Shigella dan bakteri penghasil beta-
laktamase.

b. Adakah hubungan antara ceftriaxone dan amoxicillin? Jelaskan!
Untuk hubungan interaksi obat antara keduanya tidak ada. Ceftriaxone dan
Amoxicilin merupakan antibiotik spektrum luas. Amoxicillin merupakan
antibiotik spektrum luas turunan dari penicillin yang sering digunakan untuk
pemakaian oral sedangkan ceftriaxone merupakan antibiotik spektrum luas,
salah satu cephalosporin generasi ke-3 yang digunakan untuk pemakaian
parenteral. Ceftriaxone dan amoxicilin sama-sama memiliki cincin -lactam
yang penting untuk aktivitas antimikroba.

c. Mengapa Nn. A tidak mengalami keluhan seperti pada penggunaan obat
ceftriaxone selama mengonsumsi amoxicillin?

Golongan penisilin dan sefalosporin sama-sama memiliki cincin beta
laktam dengan rantai samping yang mirip. Cincin beta laktam inilah yang
dikaitkan sebagai determinan antigen utama untuk reaksi alergi yang dimediasi
oleh Ig E.
Sesuai dengan tahap reaksi alergi, awalnya terjadi fase sensitisasi terlebih
dahulu ketika pasien memakan kaplet amoxicillin. Yaitu waktu yang dibutuhkan
untuk pembentukan IgE sampai diikatnya oleh reseptor spesifik pada permukaan
mastosit dan basofil. Alergen yang masuk lewat kulit, mukosa, saluran nafas
atau saluran makan di tangkap oleh Makrofag. Makrofag segera
mempresentasikan antigen tersebut kepada Limfosit T, dimana ia akan
7

mensekresikan sitokin (IL-4, IL-13) yang menginduksi Limfosit B berproliferasi
menjadi sel Plasma (Plasmosit). Sel plasma memproduksi Immunoglobulin E
(IgE) spesifik untuk antigen tersebut. IgE ini kemudian terikat pada reseptor
permukaan sel Mast (Mastosit) dan basofil. Sampai selanjutnya terjadi fase
aktivasi, yaitu waktu selama terjadinya pemaparan ulang dengan antigen yang
sama.
Kemudian akibat kemiripan cincin beta laktam golongan sefalosporin
dengan penisilin, pada paparan obat ceftriaxone terjadi reaksi silang alergi.
Yaitu reaksi alergi dimana alergen atau antigen paparan sebelumnya memiliki
struktur mirip dengan yang sekarang sehingga menimbulkan reaksi.
Walaupun sebenarnya penelitian terbaru menyebutkan bahwa hanya
sefalosporin generasi pertama (seperti cephalothin, cephalexin, cefadroxil, dan
cefazolin) yang menyebabkan kejadian reaksi silang yang bermakna pada
golongan penisilin karena struktur rantai samping yang mirip. Sedangkan
generasi kedua dan ketiga (seperti cefprozil, cefuroxime, ceftazidime,
cefpodoxime, dan ceftriaxone) memiliki struktur rantai samping yang agak
sedikit berbeda sehingga tidak meningkatkan resiko terjadinya reaksi silang
alergi, namun tetap tidak menutup kemungkinan terjadinya reaksi silang.

3. Riwayat atopi : Nn. A mengalami bentol-bentol merah dan gatal bila makan ikan
laut atau udang.
a. Bagaimana mekanisme bentol-bentol merah dan gatal pada Nn. A bila dia
makan ikan laut atau udang? (berdasarkan pada kandungannya)
Bentol-bentol merah dan gatal bila makan ikan laut seperti yang dialami oleh
Nn.A adalah karena reaksi alergi terhadap makanan tersebut. Alergi makanan
adalah respon abnormal tubuh terhadap suatu makanan yang dicetuskan oleh
reaksi spesifik pada sistem imun dengan gejala yang spesifik pula (reaksi
hiprsensitifitas tipe 1).
Alergen yang terdapat pada makanan adalah komponen utama terjadinya
alergi makanan. Alergen ini berupa protein yang tidak rusak pada saat proses
memasak, dan tidak rusak pada saat berada di keasaman lambung. Protein yang
paling sering menyebabkan reaksi alergi tersebut adalah parvalbumin.
Akibatnya alergen dapat melenggang mulus di dalam tubuh masuk ke peredaran
8

darah mencapai organ yang menjadi targetnya guna menimbulkan reaksi alergi.
Mekanisme terjadinya alergi makanan melibatkan sistem imun dan
herediter/keturunan.
Alergi makanan merupakan reaksi hipersensitif yang artinya sebelum reaksi
alergi terhadap alergen pada makanan muncul, seseorang harus pernah terkena
alergen yang sama sebelumnya. Pada saat pertama kali terkena, alergen akan
merangsang limfosit (bagian dari sel darah putih) untuk memproduksi antibodi
(IgE) terhadap alergen tersebut. Antibodi ini akan melekat pada sel Mast
jaringan tubuh manusia (fase sensitisasi). Jika kelak orang tersebut memakan
makanan yang sama maka antibodi ini akan menyuruh sel Mast untuk
melepaskan histamin dan berbagai mediator lainnya (fase aktivasi). Histamin
inilah yang akan menyebabkan bentol dan warna kemerahan pada kulit,
perangsangan saraf sensorik, peningkatan permeabilitas kapiler, dan kontraksi
otot polos (fase efektor).

4. Riwayat atopi keluarga : Kakak perempuan Nn. A mempunyai riwayat asma dan ibu
Nn. A memiliki riwayat ekzema
a. Adakah hubungan riwayat atopi pada keluarga dengan keluhan Nn. A sekarang?
Jelaskan!
Perkembangan sistem imun dan kemampuannya untuk mengembangkan
respon imun dalam bentuk reaksi alergi sudah terbentuk sejak dini pada masa
gestasi. Berbagai region kromosom terkait dengan atopi dan asma, terutama
dengan lokus pada kromosom 5, 6, 11, 12, 13, dan 16. Kromosom 5q31-36 yang
mengandung gen sitokin IL-3, IL-4, IL-5, IL-13, dan GM-CSF yang
diekpresikan oleh sel Th-2 menunjukkan peran penting faktor genetik pada
penyakit alergi.
Atopi adalah kecendrungan genetik untuk memproduksi antibodi IgE
ketika terpapar alergen. Suatu studi epidemiologi keluarga menyokong kejadian
alergi, bahwa faktor genetik berpengaruh pada keluarga atopi. Bila salah satu
orang tua mempunyai sifat alergi, maka 25 % - 40% anak akan menderita alergi.
Bila kedua orang tua mempunyai alergi maka resiko anak memiliki alergi adalah
50-70%.


9

5. Pemeriksaan fisik
a. Apa interpretasi dan mekanisme abnormal dari hasil pemeriksaan fisik?
Keadaan umum : kesadaran sopor; suhu 36,8

C; tekanan darah 60 mmHg,


palpasi; frekuensi napas 36x/menit; frekuensi nadi 120x/menit, regular.
Saturasi Oksigen 60%.
Data pada
kasus
Nilai normal Interpretasi Keterangan
Kesadaran Sopor Compos mentis Abnormal Penrunan
kesadaran
Suhu 36,8

C 36,5-37,5

C Normal
Tekanan darah 60 mmHg 120/80 mmHg Abnormal Hipotensi
RR 36x/menit 16-24 x/menit Abnormal Takipneu
PR 120x/menit 60-100x/menit Abnormal Meningkat
SaO
2
60% 95-100% Abnormal Menurun

Mekanisme Abnormal
Sopor
Allergen (ceftriaxon) berikatan dengan IgE spesifik di sel mast/basofil
terlepasnya mediator (histamine) vasodilatasi tahanan pembuluh darah
perifer menurun hipovolemia relative cardiac output menurun
perfusi oksigen ke otak menurun penurunan kesadaran (sopor)

Tekanan darah : Hipotensi
Allergen (ceftriaxon) berikatan dengan IgE spesifik di sel mast/basofil
terlepasnya mediator (histamine) vasodilatasi perifer, meningkatnya
permeabilitas kapiler tahanan pembuluh darah perifer menurun, dan
banyak cairan intravascular keluar ke ruang interstisial hipovolemia
relative hipotensi

Frekuensi napas : Takipneu
Allergen (ceftriaxon) berikatan dengan IgE spesifik di sel mast/basofil
Pelepasan dari histamine oleh sel mast/basofil kontraksi dari otot polos
pada bronkus spasme bronkus sesak napas
10


Frekuensi nadi : Meningkat
Allergen (ceftriaxon) berikatan dengan IgE spesifik di sel mast/basofil
terlepasnya mediator (histamine) vasodilatasi tahanan pembuluh darah
perifer menurun Hipovolemia relative terjadi mekanisme kompensasi
untuk meningkatkan cardiac output dan memperbaiki perfusi ke jaringan
serta organ-organ vital frekuensi jantung meningkat frekuensi denyut
nadi juga meningkat

Saturasi Oksigen menurun
Pada kasus ini, hanya sedikit oksigen yang mampu dibawa Hb karena
dampak dari adanya bronkospasme sehingga pernapasan menjadi terganggu.
Bronkospasme ini menyebabkan oksigen yang dapat masuk ke saluran
pernapasan hanya sedikit. Sehingga sedikit juga oksigen yang bisa diikat
oleh Hb.

Keadaan spesifik : auskultasi paru terdengar wheezing, frekuensi denyut
jantung 120x/menit, regular.
Data pada
kasus
Nilai normal Interpretasi Keterangan
Auskultasi paru Wheezing Tidak ada Abnormal Mengi
HR 120 x/menit 60-100 x/menit Abnormal Takikardi

Mekanisme abnormal
Auskultasi paru : wheezing
Allergen (ceftriaxon) berikatan dengan IgE spesifik di sel mast/basofil
terlepasnya mediator (histamine) kontraksi dari otot polos pada bronkus
spasme bronkus terdengar wheezing pada pemeriksaan

HR : takikardi
Allergen (ceftriaxon) berikatan dengan IgE spesifik di sel mast/basofil
terlepasnya mediator (histamine) vasodilatasi tahanan pembuluh darah
perifer menurun Hipovolemia relative terjadi mekanisme kompensasi
11

untuk meningkatkan cardiac output dan memperbaiki perfusi ke jaringan
serta organ-organ vital frekuensi jantung meningkat

b. Bagaimana cara pemeriksaan saturasi oksigen?
Saturasi O2 dapat diukur menggunakan alat non-invasive yang disebut
Oksimetri Nadi (Pulse Oximetry). Caranya adalah dengan memasang alat ini
pada ujung jari atau daun telinga. Alat ini akan mendeteksi saturasi oksigen
dalam arteri dan dapat mendeteksi hipoksemia sebelum tanda dan gejala klinis
muncul.


6. Pemeriksaan laboratorium
Hb 12,5 gr%, leukosit 11.000/mm
3
, diff. count: 0/4/7/70/18/1, LED: 10 mm/jam.
a. Apa interpretasi dan mekanisme abnormal dari hasil pemeriksaan laboratorium?
Data pada
kasus
Nilai normal Interpretasi Keterangan
Hb 12,5 gr% 12 16 gr% Normal
Leukosit 11.000/mm
3
5.000-10.000/mm
3
Abnormal Leukositosis
Diff. Count
- Basofil
- Eosinofil

0
4

0-1
0-5

Normal
Normal



12

- Neutrofil batang
- Neutrofil segmen
- Monosit
- Limfosit
7
70
18
1
0-3
40-60
20-45
2-6
Meningkat
Meningkat
Menurun
Menurun

Neutrofilia
LED 10 mm/jam 0-15 mm/jam Normal

Mekanisme Abnormal
Leukositosis dan Neutrofilia
Sel mast diaktifkan apabila terjadi cross linking atau bridging dari
molekul FceRI oleh ikatan antigen dengan Ig E yang menempati molekul
tersebut. Pengaktifan sel mast menghasilkan reaksi biologik sebagai berikut :
(i) terjadi sekresi sel mast, zat zat yang telah terbentuk dan disimpan dalam
granula akan dilepaskan keluar secara eksositosis/degranulasi. (ii) sel mast
mensintesa lipid mediator secara enzimatik dari precursor yang tersimpan di
dalam membran sel. (iii) sel mast membentuk dan mensekresi sitokin. Pada
proses degranulasi sel mast terjadi pelepasan mediator kimia yang berkaitan
dengan manifestasi klinik alergi. Mediator ini dilepaskan segera setelah sel
mast teraktivasi (1 30 menit), dan menimbulkan respon segera. Histamin
sebagai mediator utama yang dihasilkan oleh sel mast bersifat kemoaktran
terhadap neutrofil. (ii) mediator yang baru disintesa pada waktu aktivasi
(newly synthesized), termasuk lipid mediator dan sitokin. Mediator ini
dilepaskan 24 jam setelah sel mast teraktivasi. Beberapa di antaranya yang
bersifat kemoaktran terhadap neutrofil adalah LTB4 dan PAF (Platelet
Activating Factor).

7. Diagnosis
a. Bagaimana cara penegakan diagnosis pada kasus ini dan pemeriksaan penunjang
lain apa saja yang diperlukan?
Diagnosis anafilaksis ditegakkan berdasarkan adanya gejala klinis sistemik
yang muncul beberapa detik atau menit setelah pasien terpajan oleh allergen
atau faktor pencetusnya. Gejala yang timbul dapat ringan seperti pruritus atau
urtikaria sampai kepada gagal napas atau syok anafilaktik yang mematikan.
Prioritas pertama dalam pemeriksaan fisik harus menilai jalan nafas pasien,
13

pernapasan, sirkulasi, dan kecukupan pemikiran (misalnya, kewaspadaan,
orientasi, koherensi pemikiran).
Hasil pemeriksaan pada kasus Nn. A berupa:
Keadaan umum dan vital sign:
Kesadaran : Sopor
Suhu : 36,8o C
TD : 60 mmHg (hipotensi)
RR : 36 x/menit (takipneu)
PR : 120 x/menit, regular
Saturasi O
2
: 60% (menurun)
Pemeriksaan Traktus Respiratorius
Auskultasi : wheezing
Pemeriksaan kardiovaskular
HR : 120 x/menit (takikardi)
Penelitian laboratorium biasanya tidak diperlukan dan jarang membantu.
Namun, jika diagnosis tidak jelas, terutama dengan sindrom berulang, atau jika
penyakit lain perlu disingkirkan, studi laboratorium berikut mungkin
diperintahkan dalam situasi tertentu:
Plasma / urin histamin dan serum tryptase (dapat membantu mengkonfirmasi
diagnosis anafilaksis)
24 jam kadar asam 5-hidroksiindolasetat urin (jika sindrom karsinoid adalah
pertimbangan)
Uji kulit, in vitro imunoglobulin E (IgE) tes, atau keduanya dapat digunakan
untuk menentukan stimulus yang menyebabkan reaksi anafilaksis. Studi
tersebut dapat meliputi:

b. Apa DD dan WD pada kasus ini?
WD pada kasus Nn. A ini adalah syok anafilaktik. Beberapa keadaan yang
menyerupai reaksi anafilaktik sebagai diagnosis bandingnya, seperti :
Reaksi vasovagal
Reaksi vasovagal sering dijumpai setelah pasien mendapat suntikan. Pasien
tampak pingsan, pucat dan berkeringat. Tetapi dibandingkan dengan reaksi
anafilaktik, pada reaksi vasovagal nadinya lambat dan tidak terjadi sianosis.
14

Meskipun tekanan darahnya turun tetapi masih mudah diukur dan biasanya
tidak terlalu rendah seperti anafilaktik.
Infark miokard akut
Pada infark miokard akut gejala yang menonjol adalah nyeri dada, dengan
atau tanpa penjalaran. Gejala tersebut sering diikuti rasa sesak tetapi tidak
tampak tanda-tanda obstruksi saluran napas. Sedangkan pada anafilaktik
tidak ada nyeri dada.
Reaksi hipoglikemik
Reaksi hipoglikemik disebabkan oleh pemakaian obat antidiabetes atau
sebab lain. Pasien tampak lemah, pucat, berkeringat, sampai tidak sadar.
Tekanan darah kadang-kadang menurun tetapi tidak dijumpai tanda-tanda
obstruksi saluran napas. Sedangkan pada reaksi anafilaktik ditemui obstruksi
saluran napas.

c. Apa saja etiologi pada kasus ini?
Etiologi syok anafilaktik pada kasus Nn. A ini adalah obat-obatan, yaitu
ceftriaxone.

d. Apa epidemiologi pada kasus ini?
Di Indonesia, khususnya di Bali, angka kematian dari kasus anafilaksis
dilaporkan 2 kasus/10.000 total pasien anafilaksis pada tahun 2005, dan
mengalami peningkatan menjadi 4 kasus/10.000 total pasien anafilaksis di tahun
2006. Sedangkan di US, angka kejadian anafilaksis berat antara 1-3 kasus/
10.000 penduduk, paling banyak akibat penggunaan golongan penisilin dengan
kematian terbanyak setelah 60 menit penggunaan obat. Insiden anafilaksis
diperkirakan 1-2/ 10.000 penduduk dengan mortalitas sebesar 1-3/ 1 juta
penduduk.

e. Apa saja faktor risiko pada kasus ini?
Seseorang dengan penyakit atopi seperti asma, eksim, atau rinitis alergi
mempunyai risiko tinggi anafilaksis yang disebabkan oleh makanan, lateks, dan
agen radiokontras. Mereka ini tidak mempunyai risiko yang lebih besar terhadap
obat injeksi ataupun sengatan. Suatu studi pada anak dengan anafilaksis
15

menemukan bahwa 60% memiliki riwayat penyakit atopi sebelumnya. Lebih
dari 90% dari anak yang meninggal karena anafilaksis menderita asma.Orang
dengan kelainan yang disebabkan oleh jumlah sel mast yang terlalu banyak pada
jaringannya (mastositosis) atau orang dengan status sosioekonomi yang lebih
tinggi, memiliki risiko yang lebih besar.Semakin lama waktu sejak terakhir kali
terpapar pada agen penyebab anafilaksis, maka semakin rendah risiko terjadi
reaksi yang baru (Hygiene hypothesis).

f. Apa manifestasi klinis pada kasus ini?
Gejala permulaan : Pusing
Sistem Respirasi : Bronkospasme, dispneu, wheezing, takipneu
Sistem Kardiovaskular : Hipotensi, diaphoresis, sincope penurunan
kesadaran, hipoksia, takikardi, palpitasi

g. Bagaimana patofisiologi pada kasus ini?
Patofisiologi Syok Anafilaktik yang dialami Nn. A melibatkan 3 fase, yaitu:
Fase Sensitisasi, yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan Ig E
sampai diikatnya oleh reseptor spesifik pada permukaan mastosit dan
basofil. Alergen yang masuk lewat kulit, mukosa, saluran nafas atau saluran
makan di tangkap oleh Makrofag. Makrofag segera mempresentasikan
antigen tersebut kepada Limfosit T, dimana ia akan mensekresikan sitokin
(IL-4, IL-13) yang menginduksi Limfosit B berproliferasi menjadi sel
Plasma (Plasmosit). Sel plasma memproduksi Immunoglobulin E (Ig E)
spesifik untuk antigen tersebut. Ig E ini kemudian terikat pada receptor
permukaan sel Mast (Mastosit) dan basofil.
Riwayat konsumsi Amoxicilin 7 bulan yang lalu merupakan fase
sensitisasi penisilin.
Fase Aktivasi, yaitu waktu selama terjadinya pemaparan ulang dengan
antigen yang sama. Mastosit dan basofil melepaskan isinya yang berupa
granula yang menimbulkan reaksi pada paparan ulang . Pada kesempatan
lain masuk alergen yang sama ke dalam tubuh. Sel mast diaktifkan apabila
terjadi cross linking atau bridging dari molekul FceRI oleh ikatan antigen
dengan Ig E dan memicu terjadinya reaksi segera yaitu pelepasan mediator
16

vasoaktif antara lain histamin, serotonin, bradikinin dan beberapa bahan
vasoaktif lain dari granula yang di sebut dengan istilah Preformed mediators.
Ikatan antigen-antibodi merangsang degradasi asam arakidonat dari
membran sel yang akan menghasilkan Leukotrien (LT) dan Prostaglandin
(PG) yang terjadi beberapa waktu setelah degranulasi yang disebut Newly
formed mediators.
Pada kasus, dilakukan uji kulit terhadap 16eutrophil16. Ceftriaxon
merupakan golongan sefalosporin. Sekitar 10% orang yang alergi
terhadap penisilin juga alergi terhadap sefalosporin karena keduanya
memiliki struktur molekul yang serupa.
Fase Efektor, adalah waktu terjadinya respon yang kompleks (anafilaksis)
sebagai efek mediator yang dilepas mastosit atau neutroph dengan aktivitas
farmakologik pada organ organ tertentu. Histamin memberikan efek
bronkokonstriksi, meningkatkan permeabilitas kapiler yang nantinya
menyebabkan edema, sekresi mucus dan vasodilatasi. Serotonin
meningkatkan permeabilitas vaskuler dan Bradikinin menyebabkan
kontraksi otot polos. Platelet activating factor (PAF) berefek
bronchospasme dan meningkatkan permeabilitas vaskuler, agregasi dan
aktivasi trombosit. Beberapa faktor kemotaktik menarik eosinofil dan
neutrofil. Prostaglandin yang dihasilkan menyebabkan bronchokonstriksi,
demikian juga dengan Leukotrien.
Pada kasus Nn.A, di fase inilah timbul gejala-gejala syok anafilaktik
seperti sesak napas, tidak sadar serta tanda-tanda syok anafilaktik seperti
hipotensi, takipneu, takikardi, saturasi O
2
menurun, wheezing.









17

h. Apa tatalaksana pada kasus ini?


i. Bagaimana pencegahan pada kasus ini?
Pencegahan merupakan langkah terpenting dalam penatalaksanaan syok
anafilaktik terutama yang disebabkan oleh obat-obatan. Melakukan anamnesis
riwayat alergi penderita dengan cermat akan sangat membantu menentukan
etiologi dan faktor risiko anafilaksis. Individu yang mempunyai riwayat
penyakit asma dan orang yang mempunyai riwayat alergi terhadap banyak obat,
mempunyai resiko lebih tinggi terhadap kemungkinan terjadinya syok
anafilaktik. Melakukan skin test bila perlu juga penting, namun perlu diperhatian
bahwa tes kulit negatif pada umumnya penderita dapat mentoleransi pemberian
18

obat-obat tersebut, tetapi tidak berarti pasti penderita tidak akan mengalami
reaksi anafilaksis. Orang dengan tes kulit negatif dan mempunyai riwayat alergi
positif mempunyai kemungkinan reaksi sebesar 1-3% dibandingkan dengan
kemungkinan terjadinya reaksi 60%, bila tes kulit positif. Dalam pemberian obat
juga harus berhati-hati, encerkan obat bila pemberian dengan jalur subkutan,
intradermal, intramuskular, ataupun intravena dan observasi selama pemberian.
Pemberian obat harus benar-benar atas indikasi yang kuat dan tepat. Hindari
obat-obat yang sering menyebabkan syok anafilaktik. Catat obat penderita pada
status yang menyebabkan alergi. Jelaskan kepada penderita supaya menghindari
makanan atau obat yang menyebabkan alergi. Hal yang paling utama adalah
harus selalu tersedia obat penawar untuk mengantisipasi reaksi anfilaksis serta
adanya alat-alat bantu resusitasi kegawatan. Desensitisasi alergen spesifik
adalah pencegahan untuk kebutuhan jangka panjang.

j. Apa komplikasi pada kasus ini?
Komplikasi pada kasus Nn. A dapat berakibat sampai kematian akibat obstruksi
jalan napas dan/atau syok. Kerusakan otak dan gangguan jantung juga dapat
terjadi pada kasus syok anafilaktik.

k. Bagaimana prognosis pada kasus ini?
Bila penanganan cepat, klinis masih ringan dapat membaik dan tertolong.
Penanganan yang cepat, tepat, dan sesuai dengan kaedah kegawatdaruratan,
reaksi anafilaksis jarang menyebabkan kematian. Namun reaksi anafilaksis
tersebut dapat kambuh kembali akibat paparan antigen spesifik yang sama.
Maka dari itu perlu dilakukan observasi setelah terjadinya serangan anafilaksis
untuk mengantisipasi kerusakan sistem organ yang lebih luas lagi.
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi prognosis dari reaksi
anafilaksis yang akan menentukan tingkat keparahan dari reaksi tersebut, yaitu
umur, tipe alergen, atopi, penyakit kardiovaskular, penyakit paru obstruktif
kronis, asma, keseimbangan asam basa dan elektrolit, obat-obatan yang
dikonsumsi seperti -blocker dan ACE Inhibitor, serta interval waktu dari mulai
terpajan oleh alergen sampai penanganan reaksi anafilaksis dengan injeksi
adrenalin.
19

Functionam : bonam
Vitam : dubia ad bonam

l. Apa SKDI pada kasus ini?
Reaksi anafilaktik : 4A
Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan melakukan
penatalaksanaan penyakit tersebut secara mandiri dan tuntas. Kompetensi yang
dicapai pada saat lulus dokter.

V. Hipotesis
Nn. A, 20 tahun, syok anafilatik akibat alergi obat ceftriaxone.

VI. Sintesis
1. Hipersensitivitas
Pada dasarnya tubuh kita memiliki imunitas alamiah yang bersifat non-
spesifik dan imunitas spesifik. Imunitas spesifik ialah sistem imunitas humoral yang
secara aktif diperankan oleh sel limfosit B, yang memproduksi 5 macam
imunoglobulin (IgG, IgA, IgM, IgD dan IgE) dan sistem imunitas seluler yang
dihantarkan oleh sel limfosit T, yang bila mana ketemu dengan antigen lalu
mengadakan differensiasi dan menghasilkan zat limfokin, yang mengatur sel-sel
lain untuk menghancurkan antigen tersebut.
Bilamana suatu alergen masuk ke tubuh, maka tubuh akan mengadakan
respon. Bilamana alergen tersebut hancur, maka ini merupakan hal yang
menguntungkan, sehingga yang terjadi ialah keadaan imun. Tetapi, bilamana
merugikan, jaringan tubuh menjadi rusak, maka terjadilah reaksi hipersensitivitas
atau alergi.
Reaksi hipersentsitivitas memiliki 4 tipe reaksi seperti berikut:
a. Reaksi Tipe I
b. Reaksi Tipe II
c. Reaksi Tipe III
d. Reaksi Tipe IV

20

Mekanisme Berbagai Gangguan Yang Diperantarai Secara Imunologis
Tipe Mekanisme Imun Gangguan Prototipe
I Tipe Anafilaksis Alergen mengikat silang antibodi IgE
pelepasan amino vasoaktif dan mediator
lain dari basofil dan sel mast rekrutmen
sel radang lain
Anafilaksis, beberapa
bentuk asma bronkial
II Antibodi
terhadap Antigen
Jaringan
Tertentu
IgG atau IgM berikatan dengan antigen
pada permukaan sel fagositosis sel
target atau lisis sel target oleh komplemen
atau sitotosisitas yang diperantarai oleh
sel yang bergantung antibody
Anemia hemolitik
autoimun, eritro-
blastosis fetalis, pe-
nyakit Goodpasture,
pemfigus vulgaris
III Penyakit
Kompleks Imun
Kompleks antigen-antibodi mengak-
tifkan komplemen menarik perhatian
nenutrofil pelepasan enzim lisosom,
radikal bebas oksigen, dan lain-lain
Reahsi Arthua, serum
sickness, lupus erite-
matosus sistemik, ben-
tuk tertentu glomeru-
lonefritis akut
IV Hipersensitivitas
Selular (Lambat)
Limfosit T tersensitisasi pelepasan
sitokin dan sitotoksisitas yang diper-
antarai oleh sel T
Tuberkulosis,
dermatitis kontak,
penolakan transplan
a. Tipe I : Reaksi Anafilaksis
Di sini antigen atau alergen bebas akan bereaksi dengan antibodi, dalam hal
ini IgE yang terikat pada sel mast atau sel basofil dengan akibat terlepasnya
histamin. Keadaan ini menimbulkan reaksi tipe cepat.
Patofisiologi :
Pajanan awal terhadap antigen tertentu (alergan) merangsang induksi sel T
CD4+ tipe T
H
2. Sel CD4+ ini berperan penting dalam pathogenesis
hipersensitivitas tipe I karena sitokin yang disekresikannya (khususnya IL-4 dan
IL-5) menyebabkan diproduksimya IgE oleh sel B, yang bertindak sebagai
faktor pertumbuhan untuk sel mast, serta merekrut dan mengaktivasi eosinofil.
Antibodi IgE berikatan pada reseptor Fc berafinitas tinggi yang terdapat pada sel
mast dan basofil; begitu sel mast dan basofil dipersenjatai, individu yang
21

bersangkutan diperlengkapi untuk menimbulkan hipersensitivitas tipe I. Pajanan
yang ulang terhadap antigen yang sama mengakibatkan pertautan-silang pada
IgE yang terikat sel dan pemicu suatu kaskade sinyal intrasel sehingga terjadi
pelepasan beberapa mediator kuat. Mediator primer untuk respon awal
sedangkan mediator sekunder untuk fase lambat.
Respon awal, ditandai dengan vasodilatasi, kebocoran vaskular, dan spasme
otot polos, yang biasanya muncul dalam rentang waktu 5-30 menit setelah
terpajan oleh suatu alergan dan menghilang setelah 60 menit;

Reaksi fase lambat, yang muncul 2-8
jam kemudian dan berlangsung selama
beberapa hari. Reaksi fase lambat ini
ditandai dengan infiltrasi eosinofil
serta sel peradangan akut dan kronis
lainnya yang lebih hebat pada jaringan
dan juga ditandai dengan
penghancuran jaringan dalam bentuk
kerusakan sel epitel mukosa.
Mediator Primer
Histamin, yang merupakan
mediator primer terpenting,
menyebabkan meningkatnya
22

permeabilitas vaskular, vasodilatasi, bronkokontriksi, dan meningkatnya sekresi
mukus. Mediator lain yang segera dilepaskan meliputi adenosin (menyebabkan
bronkokonstriksi dan menghambat agregasi trombosit) serta faktor kemotaksis
untuk neutrofil dan eosinofil. Mediator lain ditemukan dalam matriks granula
dan meliputi heparin serta protease netral (misalnya, triptase). Protease
menghasilkan kinin dan memecah komponen komplemen untuk menghasilkan
faktor kemotaksis dan inflamasi tambahan (misalnya, C3a).
Mediator Sekunder
Leukotrien C
4
dan D
4
merupakan agen vasoaktif dan spasmogenik yang
dikenal paling poten; pada dasra molar, agenini beberapa ribu kali lebih aktif
daripada histamin dalam meningkatkan permeabilitas vaskular dan alam
menyebabkan kontraksi otot polos bronkus. Leukotrien B
4
sangat
kemotaktik untuk neutrofil, eosinofil, dan monosit.
Prostaglandin D
2
adalah mediator yang paling banyak dihasilkan oleh jalur
siklooksigenasi dalam sel mast. Mediator ini menyebabkan bronkospasme
hebat serta meningkatkan sekresi mukus.
Faktor pengaktivasi trombosit merupakan mediator sekunder lain,
mengakibatkan agregasi trombosit, pelepasan histamin dan bronkospasme.
Mediator ini juga bersifat kemotaltik untuk neutrofil dan eosinofil.
Sitokin yang diproduksi oleh sel mast (TNF, IL-1, IL-4, IL-5 dan IL-6) dan
kemokin berperan penting pada reaksi hipersensitivitas tipe I melalui
kemampuannya merekrut dan mengaktivasi berbagai macam sel radang.
TNF merupakan mediator yang sangat poten dalam adhesi, emigrasi, dan
aktivasi leukosit. IL-4 juga merupakan faktor pertumbuhan sel mast dan
diperlukan untuk mengendalikan sintesis IgE oleh sel B.
Ringkasan kerja mediator sel mast pada hipersensitivitas tipe I
Kerja Mediator
Infiltrasi sel Sitokin (misalnya, TNF)
Leukotrien B
4

Faktor kemotaksis eosinofil pada anafilaksis
Faktor kemotaksis neutrofil pada anafilaksis
Faktor pengaktivasi trombosit
23

Vasoaktif (vasodilatasi,
meningkatkan per-
meabilitas vaskular)
Histamin
Faktor pengaktivasi trombosit
Leukotrien C
4
, D
4
, E
4
Protease netral yang mengaktivasi komplemen dan kinin
Prostaglandin D
2

Spasme otot polos Leukotrien C
4
, D
4
, E
4
Histamin
Prostaglandin
Faktor pengaktivasi trombosit
Karena inflamasi merupakan komponen utama reaksi lambat dalam
hipersensitivitas tipe I, biasanya pengendaliannya memerlukan obat
antiinflamasi berspektrum luas, seperti kortikoid.
Manifestasi Klinis :
Reaksi tipe I dapat terjadi sebagai suatu gangguan sistemik atau reaksi
lokal. Pemberian antigen protein atau obat (misalnya, bias lebah atau penisilin)
secara sistemik (parental) menimbulkan anafilaksis sistemik. Dalam beberapa
menit setelah pajanan, pada pejamu yang tersensitisasi akan muncul rasa gatal,
urtikaria (bintik merah dan bengkak), dan eritems kulit, diikuti oleh kesulitan
bernafas berat yang disebabkan oleh bronkokonstriksi paru dan diperkuat
dengan hipersekresi mukus. Edema laring dapat memperberat persoalan dengan
menyebabkan obstruksi saluran pernafasan bagian atas. Selain itu, otot semua
saluran pencernaan dapat terserang, dan mengakibatkan vomitus, kaku perut,
dan diare. Tanpa intervensi segera, dapat terjadi vasodilatasi sistemik (syok
anafilaktik), dan penderita dapat mengalami kegagalan sirkulasi dan kematian
dalam beberapa menit.
Reaksi lokal biasanya terjadi bila antigen hanya terbatas pada tempat
tertentu sesuai jalur pemajanannya, seperti di kulit (kontak, menyebabkan
urtikaria), traktus gastrointestinal (ingesti, menyebabkan diare), atau paru
(inhalasi, menyebabkan bronkokonstriksi).


24

b. Tipe II : reaksi sitotoksik
Hipersensitivitas tipe II diperantarai oleh antibodi yang diarahkan untuk
melawan antigen target pada permukaan sel atau komponen jaringan lainnya.
Respon hipersensitivitas disebabkan oleh pengikatan antibodi yangdiikuti salah
satu dari tiga mekanisme bergantung antibodi, yaitu:
Respon yang bergantung komplemen
Komplemen dapat memerantarai hipersensitivitas tipe II melalui dua
mekanisme: lisis langsung dan opsonisasi. Pada sitotoksisitas yang diperantarai
komplemen, antibodi yang terikat pada antigen permukaan sel menyebabkan
fiksasi komplemen pada permukaan sel yang selanjutnya diikuti lisis melalui
kompleks penyerangan membran. Sel yang diselubungi oleh antibodi dan
fragmen komplemen C3b (teropsonisasi) rentan pula terhadap fagositosis. Sel
darah dalam sirkulasi adalah yang paling sering dirusak melalui mekanisme ini,
meskipun antibodi yang terikat pada jaringan yang tidak dapat difagosit dapat
menyebabkan fagositosis gagal dan jejas. Secara klinis, reaksi yang diperantarai
oleh antibodi terjadi pada keadaan sebagai berikut:
Reaksi transfusi, sel darah merah dari seorang donor yang tidak suai
dirusak setelah diikat oleh antibodi resipien yang diarahkan untuk melawan
antigen darah donor.
Eritroblastosis fetalis karena inkompaktibnilitas antigen rhesus; antigen
materal yang melawan Rh
pada seorang ibu Rh-negatif
yang telah tersensitisasi akan
melewati plasenta dan
menyebabkan kerusakan sel
darah merahnya sendiri.
Anemia hemolitik autoimun,
agranulositosis, atau
trombositopenia yang
disebabkan oleh antibodi
yang dihasilkan oleh seorang
individu yang menghasilkan antibodi terhadap sel darah merahnya sendiri.
25

Reaksi obat, antibodi diarahkan untuk melawan obat tertentu (atau
metabolitnya)byang secara nonspesifik diadsorpsi pada permukaan sel
(contohnya adalah hemolisis yang dapat terjadi setelah pemberian
penisilin).
Pemfigus vulgaris disebabkan oleh antibody terhadap protein desmosom
yang menyebabkan terlepasnya taut antarsel epidermis.
Sitotoksisitas Selular Bergantung Antibodi
Bentuk jejas yang diperantarai
antibodi ini meliputi pembunuhan
melalui jenis sel yang membawa
reseptor untuk bagian Fc IgG;
sasaran yang diselubungi oleh
antibodi dilisis tanpa difagositosis
ataupun fiksasi komplemen. ADCC
dapat diperantarai oleh berbagai
macam leukosit, termasuk neutrofil,
eosinofil, makrofag, dan sel NK.
Meskipn secara khusus ADCC diperantarai oleh antibodi IgG, dalm kasus
tertentu (misalnya, pembunuhan parasit yang diperantarai oleh eosinofil) yang
digunakaan adalah IgE.
Disfungsi sel yang diperantarai oleh antibodi





Pada beberapa kasus, antibodi yang diarahkan untuk melawan reseptor
permukaan sel merusak atau mengacaukan fungsi tanpa menyebabkan jejas sel
atau inflamasi. Oleh karena itu, pada miastenia gravis, antibodi terhadap
reseptor asetilkolin dalm motor end-plate otot-otot rangka mengganggu
26

transmisi neuromuskular disertai kelemahan otot. Sebaliknya, antibodi dapat
merangsang fungsi otot. Pada penyakit Graves, antibodi terhadap reseptor
hormon perangsang tiroid (TSH) merangsang epitel tiroid dan menyebabkan
hipertiroidisme.
c. Tipe III : reaksi imun kompleks
Hipersensitivitas tipe III diperantarai oleh pengendapan kompleks antigen-
antibodi (imun), diikuti dengan aktivitas komplemen dan akumulasi leukosit
polimorfonuklear. Kompleks imun
dapat melibatkan antigen eksogen
seperti bakteri dan virus, atau
antigen endogen seperti DNA.
Kompleks imun patogen terbentuk
dalam sirkulasi dan kemudian
mengendap dalam jaringan
ataupun terbentuk di daerah
ekstravaskular tempat antigen
tersebut tertanam (kompleks imun
in situ).
Jejas akibat kompleks imun
dapat bersifat sistemik jika
kompleks tersebut terbentuk dalam
sirkulasi mengendap dalam
berbagai organ , atau terlokalisasi
pada organ tertentu (misalnya,
ginjal, sendi, atau kulit) jika
kompleks tersebut terbentuk dan
mengendap pada tempat khusus.
Tanpa memperhatikan pola
distribusi, mekanisme terjadinya
jejas jarungan adalah sama;
namun, urutan kejadian dan
kondisi yang menyebabkan terbentuknya kompleks imun berbeda.
27

Penyakit Komplek Imun Sistemik
Patogenesis penyakit kompleks imun sistemik dapat dibagi menjadi tiga
tahapan: (1) pembentukan kompleks antigen-antibodi dalam sirkulasi dan (2)
pengendapan kompleks imun di berbagai jaringan, sehingga mengawali (3)
reaksi radang di berbagai tempat di seluruh tubuh.
Patofisiologi
Kira-kira 5 menit setelah protein asing (misalnya, serum antitetanus kuda)
diinjeksikan, antibodi spesifik akan dihasilkan; antibodi ini bereaksi dengan
antigen yang masih ada dalam sirkulasi untuk membentuk kompleks antigen-
antibodi (tahap pertama). Pada tahap kedua, kompleks antigen-antibodi yang
terbentuk dalam sirkulasi mengendap dalam berbagai jaringan. Dua faktor
penting yang menentukan apakah pembentukan kompleks imun menyebabkan
penyakit dan pengendapan jaringan:
Ukuran kompleks imun. Kompleks yang sangat besar yang terbentuk pada
keadaan jumlah antibodi yang berlebihan segera disingkirkan dari sirkulasi
oleh sel fagosit mononuklear sehingga relatif tidak membahayakan.
Kompleks paling patogen yang terbentuk selama antigen berlebih dan
berukuran kecil atau sedang, disingkirkan secara lebih lambat oleh sel
fagosit sehingga lebih lama berada dalam sirkulasi.
Status sistem fagosit mononuklear. Karena normalnya menyaring keluar
kompleks imun, makrofag yang berlebih atau disfungsional menyebabkan
bertahannya kompleks imun dalam sisrkulasi dan meningkatkan
kemungkinan pengendapan jaringan.
Faktor lain yang mempengaruhi pengendapan kompleks imun yaitu muatan
kompleks (anionic vs kationik), valensi antigen, aviditas antibodi, afinitas
antigen terhadap berbagai jaringan, arsitektur tiga dimensi kompleks tersebut,
dan hemodinamika pembuluh darah yang ada.tempat pengendapan kompleks
imun yang disukai adalah ginjal, sendi, kulit, jantung, permukaan serosa, dan
pembulah darah kecil. Lokasinya pada ginjal dapat dijelaskan sebagian melalui
fungsi filtrasi glomerulus, yaitu terperangkapnya kompleks dalam sirkulasi pada
glomerulus. Belum ada penjelasan yang sama memuaskan untuk lokalisasi
kompleks imun pada tempat predileksi lainnya.
28

Untuk kompleks yang meninggalkan sirkulasi dan mengendap di dalam
atau di luar dinding pembuluh darah, harus terjadi peningkatan permeabilitas
pembuluh darah. Hal ini mungkin terjadi pada saat kompleks imun berkaitan
dengan sel radang melalui reseptor Fc dan C3b dan memicu pelepasan mediator
vasoaktif dan/ atau sitokin yang meningkatkan permeabilitas. Saat kompleks
tersebut mengendap dalam jaringan, terjadi tahap ketiga, yaitu reaksi radang.
Selama tahap ini (kira-kira 10 hari setelah pemberian antigen), muncul
gambaran klinis, seperti demam, utikaria, artralgia, pembesaran kelenjar getah
bening, dan proteinuria.
Di mana pun kompleks imun mengendap, kerusakan jaringannya serupa.
Aktivitas komplemen oleh kompleks imun merupakan inti patogenesis jejas,
melepaskan fragmen yang aktif secara biologis seperti anafilatoksin (C3a dan
C5a), yang meningkatkan permeabilitas pembuluh darah dan bersifat
kemotaksis untuk leukosit polimorfonuklear. Fagositosis kompleks imun oleh
neutrofil yang terakumulasi menimbulkan pelepasan atau produksi sejumlah
substansi proinflamasi tambahan, termasuk proataglandin, peptida vasodilator,
dan substansi kemotaksis, serta enzim lisosom yang mampu mencerna membran
basalis, kolagen, elastin, dan kartilago. Kerusakan jaringan juga diperantarai
oleh radikal bebas oksigen yang dihasilkan oleh neutrofil teraktivasi. Kompleks
imun dapat pula menyebabkan agregasi trombosit dan mengaktivasi faktor
Hageman; kedua reaksi ini meningkatkan proses peradangan dan mengawali
pembentukan mikrotrombus yang berperan pada jejas jaringan melalui iskemia
lokal. Lesi patologis yang dihasilkan disebut dengan vasokulitis jika terjadi pada
pembuluh darah, glomerulonefritis jika terjadi di glomerulus ginjal, arthritis jika
terjadi di sendi, dan seterusnya.
Jelasnya hanya antibodi pengikat komplemen (yaitu IgG dan IgM) yang
dapat menginduksi lesi semacam itu. Karena IgA dapat pula mengaktivasi
komplemen melalui jalur alternatif, kompleks yang mengandung IgA dapat pula
menginduksi jejas jaringan. Peran penting komplemen dalam patogenesis jejas
jaringan didukung oleh adanya pengamatan bahwa pengurangan kadar
komplemen serum secara eksperimental akan sangat menurunkan keparahan
lesi, demikian pula yang terjadi pada neutrofil. Selama fase aktif penyakit,
konsumsi komplemen menurunkan kadar serum.

29

d. Tipe IV : Reaksi tipe lambat
Pada reaksi hipersensitivitas tipe I, II dan III yang berperan adalah antibodi
(imunitas humoral), sedangkan pada tipe IV yang berperan adalah limfosit T
atau dikenal sebagai imunitas seluler. Imunitas selular merupakan mekanisme
utama respon terhadap berbagai macam mikroba, termasuk patogen intrasel
seperti Mycobacterium tuberculosis dan virus, serta agen ekstrasel seperti
protozoa, fungi, dan parasit. Namun, proses ini juga dapat mengakibatkan
kematian sel dan jejas jaringan, baik akibat pembersihan infeksi yang normal
ataupun sebagai respon terhadap antigen sendiri (pada penyakit autoimun).
Hipersensitivitas tipe IV diperantarai oleh sel T tersensitisasi secara khusus
bukan antibodi dan dibagi lebih lanjut menjadi dua tipe dasar: (1)
hipersensitivitas tipe lambat, diinisiasi oleh sel T CD4+, dan (2) sitotoksisitas
sel langsung, diperantarai olehsel T CD8+. Pada hipersensitivitas tipe lambat,
sel T CD4+ tipe T
H
1 menyekresi sitokin sehingga menyebabkan adanya
perekrutan sel lain, terutama makrofag, yang merupakan sel efektor utama. Pada
sitotoksisitas seluler, sel T CD8+ sitoksik menjalankan fungsi efektor.
Hipersensitivitas tipe lambat (DTH-Delayed-Tipe Hypersensitivity)
Contoh klasik DTH adalah reaksi tuberkulin. Delapan hingga 12 jam
setelah injeksi tuberkulin intrakutan, muncul suatu area eritema dan indurasi
setempat, dan mencapai puncaknya (biasanya berdiameter 1 hingga 2 cm) dalam
waktu 24 hingga 72 jam (sehingga digunakan kata sifat delayed [lambat/
tertunda]) dan setelah itu akan mereda secara perlahan.secara histologis , reaksi
DTH ditandai dengan penumpukan sel helper-T CD4+ perivaskular (seperti
manset) dan makrofag dalam jumlah yang lebih sedikit. Sekresi lokal sitokin
oleh sel radang mononuklear ini disertai dengan peningkatan permeabilitas
mikrovaskular, sehingga menimbulkan edema dermis dan pengendapan fibrin;
penyebab utama indurasi jaringan dalam respon ini adalah deposisi fibrin.
Respon tuberkulin digunakan untuk menyaring individu dalam populasi yang
pernah terpejan tuberkulosis sehingga mempunyai sel T memori dalam sirkulasi.
Lebih khusus lagi, imunosupresi atau menghilangnya sel T CD4+ (misalnya,
akibat HIV) dapat menimbulkan respon tuberkulin yang negatif, bahkan bila
terdapat suatu infeksi yang berat.
30

Patofisiologi
Limfosit CD4+ mengenali antigen peptida dari basil tuberkel dan juga
antigen kelas II pada permukaan monosit atau sel dendrit yang telah memproses
antigen mikobakterium tersebut. Proses ini membentuk sel CD4+ tipe T
H
1
tersensitisasi yang tetap berada di dalam sirkulasi selama bertahun-tahun. Masih
belum jelas mengapa antigen tersebut mempunyai kecendurungan untuk
menginduksi respon T
H
1, meskipun lingkungan sitokin yang mengaktivasi sel T
naf tersebut tampaknya sesuai. Saat dilakukan injeksi kutan tuberkulin
berikutnya pada orang tersebut, sel memori memberikan respon kepada antigen
yang telah diproses pada APC dan akan diaktivasi (mengalami transformasi dan
proliferasi yang luar biasa), disertai dengan sekresi sitokin T
H
1. Sitokin T
H
1
inilah yang akhirnya bertanggungjawab untuk mengendalikan perkembangan
respon DHT. Secara keseluruhan, sitokin yang paling bersesuaian dalam proses
tersebut adalah sebagai berikut:
IL-12 merupakan suatu sitokin yang dihasilkan oleh makrofag setelah
interaksi awal dengan basil tuberkel. IL-12 sangat penting untuk induksi
DTH karena merupakan sitokin utama yang mengarahkan diferensiasi sel
T
H
1; selanjutnya, sel T
H
1 merupakan sumber sitokin lain yang tercantum di
bawah. IL-12 juga merupakan penginduksi sekresi IFN- oleh sel T dan sel
NK yang poten.
IFN- mempunyai berbagai macam efek dan merupakan mediator DTH yang
paling penting. IFN- merupakan aktivator makrofag yang sangat poten,
yang meningkatkan produksi makrofag IL-12. Makrofag teraktivasi
mengeluarkan lebih banyak molekul kelas II pada permukaannya sehingga
meningkatkan kemampuan penyajian antigen. Makrofag ini juga mempunyai
aktivitas fagositik dan mikrobisida yang meningkat, demikian pula dengan
kemampuannya membunuh sel tumor. Makrofag teraktivasi menyekresi
beberapa faktor pertumbuhan polipeptida, termasuk faktor pertumbuhan
yang berasal dari trombosit (PDGF) dan TGF-, yang merangsang
proliferasi fibroblas dan meningkatkan sintesis kolagen. Secara ringkas,
aktivitas IFN- meningkatkan kemampuan makrofag untuk membasmi agen
penyerangan; jika aktivasi makrofag terus berlangsung, akan terjadi fibrosis.
31

IL-2 menyebabkan proliferasi sel T yang telah terakumulasi pada tempat
DTH. Yang termasuk dalam infiltrat ini adalah kira-kira 10% sel CD4+ yang
antigen-spesifik, meskipun sebagian besar adalah sel T penonton yang
tidak spesifik untuk agen penyerang asal.
TNF dan limfotoksin adalah sitokin yang menggunakan efek pentingnya
pada sel endotel: (1) meningkatnya sekresi nitrit oksida dan prostasiklin,
yang membantu peningkatan aliran darah melalui vasodilatasi local; (2)
meningkatnya pengeluaran selektin-E, yaitu suatu molekul adhesi yang
meningkatkan perlekatan sel mononuklear; dan (3) induksi dan sekresi
faktor kemotaksis seperti IL-8. Perubahan ini secara bersama memudahkan
keluarnya limfosit dan monosit pada lokasi terjadinya respon DHT.

2. Syok anafilaktik
Syok anafilaktik merupakan salah satu manifestasi klinik dari anafilaksis yang
ditandai dengan adanya hipotensi yang nyata dan kolaps sirkulasi darah. Istilah
syok anafilaktik menunjukkan derajat kegawatan, tetapi terlalu sempit untuk
menggambarkan anafilaksis secara keseluruhan, karena anfilaksis yang berat dapat
terjadi tanpa adanya hipotensi, dimana obstruksi saluran napas merupakan gejala
utamanya.
Justru gejala yang terakhir ini sering terjadi dan bahkan ada laporan yang
menyatakan kematikan karena anafilaksi dua pertiga disebabkan oleh obstruksi
saluran napas (terutama pada usia muda), dan sisanya oleh kolaps kardiovaskular
(terutama usia lanjut).
Ciri khas yang pertama dari anafilaksis adalah gejala yang timbul beberapa
detik sampai beberapa menit setelah pasien terpajan oleh alergen atau faktor
pencetus non alergen seperti zat kimia, obat atau kegiatan jasmani. Ciri kedua yaitu
anafilaksis merupakan reaksi sitemik, sehingga melibatkan banyak organ yang
gejalanya timbul serentak atau hampir serentak.
Insiden
Anafilaksis memang jarang dijumpai, tetapi paling tidak dilaporkan lebih dari
500 kematian terjadi setiap tahunnya karena antibiotik golongan beta laktam,
khususnya penisilin. Penisilin menyebabkan reaksi yang fatal pada 0,002%
pemakaian.
32

Selanjutnya penyebab reaksi anafilaktoid yang tersering adalah pemakaian
media kontras untuk pemeriksaan radiologik. Media kontras menyebabkan reaksi
yang mengancam nyawa pada 0,1% dan reaksi yang fatal terjadi antara 1:10.000
dan 1:50.000 prosedur intravena. Kasus kematian berkurang setelah dipakainya
media kontras yang hipoosmokular.
Kematian karena uji kulit dan imunoterapi juga pernah dilaporkan. Enam
kasus kematian karena uji kulit dan 24 kasus imunoterapi terjadi selama tahun 1959
sampai tahun 1984. Penelitian lain melaporkan 17 kematian karena imunoterapi
selama periode 1985 sampai 1989.
Mekanisme dan penyebab anafilaksis karena obat
Berbagai mekanisme terjadinya anafilaksis, baik melalui mekanisme IgE
maupun melalui non-IgE. Tentu saja selain obat ada juga penyebab anafilaksis yang
lain seperti makanan, kegiatan jasmati, sengatan tawon, faktor fisis seperti udara
yang panas, air yang dingin pada kolam renang dan bahkan sebgaian anafilaksis
penyebabnya tidak diketahui.
Anafilaksis (melalui IgE)
Antibiotik (penisilin, sefalosporin)
Ekstrak alergen (bisa tawon, polen)
Obat (glukokortikoid, thiopentalm sekainikolin)
Enzim (kemopapain, tripsin)
Serum heterolog (antitoksin tetanus, globulin antilimfosit)
Protein manusia (insulin, vasipresin, serum)
Anafilaktoid (tidak melaui IgE)
Zat penglepas histamin secara langsung
Obat (opiat, vankomisin, kurare)
Cairan hipertonik (media radiokontras, menitol)
Obat lain (dekstran, fluoresens)
Aktivasi komplemen
Protein manusia (imunoglobulin, dan produk darah lainnya)
Bahan dialisis
Modulasi metabolisme asam arakidonat
Asam asetilsalisilat
33

Antiinflamasi nonsteroid

Diagnosis
Diagnosis anafilaksis ditegakkan berdasarkan adanya gejala klinik sistematik
yang muncul beberapa detik atau menit setelah pasien terpajan oleh alergen atau
faktor pencetusnya. Gejala yang timbul dapat ringan seperti pruritus atau urtikaria
sampai kepada gagal napas atau syok anafilaktik yang mematikan. Karena itu
mengenal tanda-tanda dini sangat diperlukan agar pengobatan dapat segera
dilakukan. Tetapi kadang-kadang gejala anafilaksisw yang berat seperti syok
anafilaktik atau gagal napas dapat langsung muncul tanpa tanda-tanda awal.
Sistem Gejala dan tanda
Umum
Prodormal
Lesu, lemah, rasa tak enak yang sukar
dilukiskan, rasa tak enak di dada dan perut,
rasa gatal di hidung dan palatum
Pernapasan
Hidung
Laring
Lidah
Bronkus
Hidung gatal, bersin, dan tersumbat
Rasa tercekik, suara serak, sesak napas,
stridor, edema, spasme.
Edema.
Batuk,sesak, mengi, spasme.
Kardiovaskular Pingsan sinkop, palpitasi, takikardia,
hipotensi sampai syok, aritmia.
Kelainan EKG : gelombang T datar, terbalik,
atau tanda-tanda infark miokard.
Gastro Intestinal Disfagia, mual, muntah, kolik, diare yang
kadang-kadang disertai darah, peristaltik usus
meninggi
Kulit Urtika, angiodema, di bibir, muka atau
ekstremitas
Mata Gatal, lakrimasi
Sususnan Saraf Pusat Gelisah, kejang

34

Gejala-gejala di atas dapat timbul pada satu orga saja, tetapi pula muncuk
gejala pada beberapa organ secara serentak atau hampir serentak. Kombinasi gejala
yang sering dijumpai adalah urtikaria atau angioedema yang disertai ganggaun
pernapasan baik karena edema laring atau spasme bronkus. Kadang-kadang
didapatkan kombinasi urtikaria dengan gangguan kardiovaskular seperti syok yang
berat sampai tejadi penurunan kesadaran. Setiap manifestasi sistem kardiovaskular,
pernapasan atau kulit juga bisa disertai gejala mual, muntah, kolik usus, diare yang
berdarahm kejang uterus atau perdarahan vagina.
Terapi
Tanpa memandang beratnya gejala anafikasis, sekali diagnosis sudah
ditegakkan pemberian epinefrin tidak boleh ditunda-tunda. Hal ini karena cepatnya
mula penyakit dan lamanya gejala anafilaksis berhubungan erat dnegan kematian.
Dengan demikian sangat masuk akal bila epinefrin 1:1000 yang diberikan adalah
0,01 ml/kgBB sampai mencapai maksimal 0,3 ml subkutan (SK) dan dapat
diberikan setiap 15-20 menit sampai 3-4 kali seandainya gejala penyakit bertambah
buruk atau dari awalnya kondisi penyakitnya sudah berat, suntikan dapat diberikan
secara intramuskular (IM) dan bahkan kadangkadang dosis epinefrin dapat
dinaikan sampai 0,5 ml sepanjang pasien tidak mengidap kelainan jantung.
Bila pencetusnya adalah alergen seperti pada suntikan imunoterapi, penisilin,
atau sengatan serangga, segera diberikan suntikan infiltrasi epinefrin 1:1000 0,1-0,3
ml di bekas tempat suntikan untuk mengurangi absorpsi alergan tadi. Bila mungkin
dipasang torniket proksimal dari tempat suntikan dan kendurkan setiap 10 menit.
Torniket tersebut dapat dilepas bila keadaan sudah terkendali. Selanjutnya dua hal
penting yang harus segera diperhatikan dalam memberikan terapi pada pasien
anafilaksis yaitu mengusahakan: 1). Sistem pernapasan yang lancar, sehingga
oksigenasi berjalan baik; 2). Sistem kardiovaskular yang juga harus berfungsi baik
sehingga perfusi jaringan memadai.
Meskipun prioritas pengobatan ditujukan kepada sistem pernapasa dan
kardiovaskular, tidak berarti pada organ lain tidak perlu diperhatikan tau diobati.
Prioritas ini berdasarkan kenyataan bahwa kematian pada anafilaksis terutama
disebabakan oleh tersumbatnya saluran napas atau syok anafilaksis.


35

Sistem Pernapasan
1. Memelihara saluran napas yang memadai. Penyebab terseirng kematian pada
anafilaksis adalah tersumbatnya saluran napas baik karena edema larings atau
spasme bronkus. Pada kebanyakan kasus, suntikan epinefrin sudah memadai
untuk mengatasi keadaan tersebut. Tetapi pada edema larings kadang-kadang
diperlukan tidakan trakeostomi. Tindakan intubasi trakea pada pasien dengan
edema larings tidak saja sulit tetapi juga seing menambah beratnya obstruksi.
Karena pipa endotrakeal akan mengiritasi dinding larings. Bila saluran napas
tertutup sama sekali hanya tersedia waktu 3 menit untuk bertindak. Karena
trakeostomi hanya dikerjakan oleh dokter ahli atau yang berpengalaman maka
tindakan yang dapat dilakukan dengan segera adalah melakukan punksi
membran krikotiroid dengan jarum besar. Kemudian pasien segera dirujuk ke
rumah sakit.
2. Pemberian oksigen 4-6 l/menit sangat penting baik pada gangguan pernapasan
maupun kardiovaskular.
3. Bronkodilator diperlukan bila terjadi obstruksi saluran napas bagian bawah
seperti pada gejala asma atau status asmatikus. Dalam hal ini dapat diberikan
larutan salbutamol atau agonis beta-2 lainnya 0,25 cc - 0,5 cc dalam 2-4 ml
NaCl 0,9% diberikan melalui nebulisasi atau aminofilin 5-6 mg/kgBB yang
diencerkan dalam 20 cc dekstrosa 5% atau NaCl 0,9% dan diberikan perlahan-
lahan sekitar 15 menit.
Sistem Kardiovaskular
1. Gejala hipotensi atau syok yang tidak berhasil dengan pemberian epinefrin
menandakan bahwa telah terjadi kekurangan cairan intravaskular. Pasien ini
membutuhkan cairan intravena secara cepat baik dengan cairan kristaloid
(NaCl 0,9%) atau koloid (plasma, dextran). Dianjurkan untuk memberikan
cairan koloid 0,5 1 L dan sisanya dalam bentuk cairan kristaloid. Cairan
koloid ini tidak saja mengganti cairan intracaskular yang merembes ke luar
pembuluh darah atau yang terkumpul di jaringan splangnikus, tetapi juga
dapat menarik cairan ekstravaskular untuk kembali ke intravaskular.
2. Oksigen mutlak harus diberikan di samping pemantauan sistem kardiovaskular
dan pemberian natrium bikarbonat bila terjadi asidosis metabolik
36

3. Kadang-kadang diperlukan CVP (central venous pressure). Pemasangan CVP
ini selain untuk memantau kebutuhan cairan dan menghindari kelebihan
pemberian cairan juga dapat dipakai untuk pemberian obat yang bila bocor
dapat merangsang jaringan sekitarnya.
4. Bila tekanan darah masih belum teratasi dengan pemberian cairan, para ahli
sependapat untuk memberikan vasop[resor melalui cairan infus intravena.
Dengan cara melarutkan 1 ml epinefrin 1:1000 dalam 250 ml dektrosa
(konsentrasi 4 mg/ml) diberikan dengan infus 1-4 mg/menit atau 15-60
mikrodrio/menit (dengan infus mikrodrip), bila diperlukan dosis dapat
dinaikan sampai maksimum 10 mg/dl.
Pencegahan
Pasien yang pernah mengalami reaksi anafilaksis mempunyai resiko untuk
memperoleh reaksi yang sama bila terpajan oleh pencetus yang sama. Pasien ini
harus dikenali, diberikan peringatan dan bila perlu diberi tanda peringatan pada
pinggang atau dompetnya. Kadang-kadang kepada pasien diberikan bekal suntikan
adrenalin yang harus dibawa kemanapun ia pergi. Hal ini terutama bila pencetusnya
tersebut sering timbul tidak terduga seperti pada sengatan tawon atau anafilaksis
idiopatik.
Pasien asma dan penyakit jantung bila mendapat serangan anafilaksis bisa jauh
lebih berat, oleh karena itu setiap pasien asma atau jantung harus memperoleh
pengobatan yang optimal. Pasien yang mempunyai resiko anafilaksis dianjurkan
untuk tidak memakai obat-obat penyekat beta karena bila terjadi reaksi anafilaksis
pengobatannya sulit. Sebaiknya obat-obat substitusi pengganti obat penyekat beta
tersebut.

3. Fisiologi Imun (Mekanisme Pertahanan Tubuh)
a. Mekanisme imun
Imunitas atau kekebalan adalah sistem mekanisme pada organisme yang
melindungi tubuh terhadap pengaruh biologis luar dengan mengidentifikasi dan
membunuh patogen serta sel tumor. Sistem ini mendeteksi berbagai macam
pengaruh biologis luar yang luas, organisme akan melindungi tubuh
dari infeksi, bakteri, virus sampai cacing parasit, serta menghancurkan zat-zat
asing lain dan memusnahkan mereka dari sel organisme yang sehat
37

dan jaringan agar tetap dapat berfungsi seperti biasa. Deteksi sistem ini sulit
karena adaptasi patogen dan memiliki cara baru agar dapat menginfeksi
organisme. Organisme uniselular seperti bakteri dimusnahkan oleh system
enzim yang melindungi terhadap infeksi virus.
b. Peran sel imun
Didalam tubuh kita terdapat mekanisme perlindungan yang dinamakan
sistem imun. Ia dirancang untukmempertahankan tubuh kita terhadap jutaan
bakteri, mikroba, virus, racun dan parasit yang setiap saat menyerang tubuh
kita. Sistem imun terdiri dari ratusan mekanisme dan proses yang berbeda
yang semuanya siap bertindak begitu tubuh kita diserang oleh berbagai bibit
penyakit seperti virus, bakteri, mikroba, parasit dan polutan. Sebagai contoh
adalah cytokines yang mengarahkan sel-sel imun ke tempat infeksi, untuk
melakukan proses penyembuhan.
c. Sel-Sel dalam sistem imun
Fagosit monokulear
Sistem fagosit monokulear terdiri atas monosit dalam sirkulasi dan makrofag
dalam jaringan.
- Monosit
Selama hematopoiesis dalam sumsum tulang, sel progenitor
granulosit/monosit berdiferensiasi menjadi premonosit yang
meninggalkan sumsum tulang dan masuk kedalam sirkulasi untuk
selanjutnya berdiferensiasi menjadi monosit matang dan berperan dalam
berbagai fungsi. Monosit adalah fagosit yang didistribusikan secara luas
sekali di organ limfoid dan organ lainnya.
- Makrofag
Monosit yang seterusnya hidup dalam jaringan sebagai makrofag
residen, berbentuk khusus yang tergantung dari alat/jaringan yang
ditempati, dan dinamakan sesuai dengan lokasi jaringan sebagai berikut:
1. Usus : makrofag intestinal
2. Kulit : sel dendritik atau sel langerhans
3. Paru ; makrofag alveolar, sel langerhans
4. Jaringan ikat ; histiosit
5. Hati : sel kuppfer
6. Ginjal : sel mesangial
38

7. Otak : sel microglia
8. Tulang : osteoklas
Makrofag di aktifkan oleh berbagai rangsanggan, dapat memakan,
menangkap, mencerna anti gen eksogen, seluruh mikro organisme,
partikel tidak larut dan bahan endogen seperti sel penjamu yang cedera
atau mati.
Makrofag sel utama fagositosis. Terdiri dari 2 macam : makrofag bebas
dan makrofag fiksasi (tinggal di organ). Sel makrofag sebagai sel APC
(Antigen Presenting Cell) yang mempunyai molekul MHC. MHC kelas
I aken mengaktivasi sel Tc, Kelas II mengaktivasi sel Th, MHC kelas
III menstimulasi sistem komplemen.

Fagosit polimorfonuklear
Fagosit polimorfonuclear atau polimorf atau granulosit dibentuk dalam
sumsum tulang dalam kecepatan 8 juta/menit dan hidup selama 2-3 hari,
sedang monosit/makrofag dapat hidup untuk beberapa bulan sampai tahun.
Granulosit merupakan sekitar 60-70% dari seluruh jumlah sel darah
putihnormal dan dapat keluar dari pembuluh darah. Granulosit dibagi menurut
pewarnaan histologik menjadi neutrofil dan eosinofil.
- Neutrofil
Merupakan sebagian besar dari leukosit dalam sirkulasi. Biasanya
hanya berada dalam sirkulasi kurang dari 7-10 jam sebelum bermigrasi
ke jaringan, dan hidup selama beberapa hari dalam jaringan. Neutrofil
mempunyai reseptor untuk IgGdan komplemen
- Eosinofil
Merupakan 2-5% dari sel darah putih orang sehat tannpa alergi. Seperti
neutrofil, eosinofil juga dapat berfungsi sebagai fagosit. Eosinofil dapat
pula di rangsang untuk degranulasi seperti halnya dengan sel mast dan
basofil serta melepas mediator. Eosinofil juga berperan dalam imunitas
parasit dan memiliki berbagai reseptor. Fungsi utama eosinofil adalah
melawan infeksi parasit dan dapat juga memakan antigen antibody.

Sel lain :
39

- Sel dendritik : menyajikan antigen yang terikat protein MHC kelas II
- Sel Langerhans : menyajikan antigen yang terikat protein MHC kelas
II

d. Organ Organ dalam Sistem Imun (Organ Limfoid)
Berdasarkan fungsinya :
1. Organ Limfoid Primer : organ yang terlibat dalam sintesis/ produksi sel
imun, yaitu kelenjar timus dan susmsum tulang.
2. Organ Limfoid Sekunder : organ yang berfungsi sebagai tempat
berlangsungnya proses-proses reaksi imun. Misalnya : nodus limfe, limpa,
the loose clusters of follicles, peyer patches, MALT (Mucosa Assosiated
Lymphoid Tissue), tonsil.
RES (Reticuloendothelial System): bagian sistem imun yang terdiri dari sel-
sel fagosit yang terdapat pada reticular connective tissue terutama adalah
monosit dan makrofag.
Human Lymphoid Sistem :
Terdiri dari : Pembuluh limfatik, Organ limfoid, sel dan Jaringan imun, dan
limfe (cairan sistem limfoid)
e. Mekanisme Kerja Sel Imun
1. NK cell (Natural Killer Cell)
Bekerja secara non-spesifik (tanpa pengenaan lebih lanjut), tapi buka sel
fagositik. Bekerja dengan cara kontak langsung dengan sel terinfeksi. NK
cell disebut sebagai immune surveylence (seperti polisi dalam tubuh).
Ketika NK cell menempel pada sel terinfeksi, maka golgi dari NK cell
akan mensekresi protein killer (perforin). Perforin ini akan membentuk
suatu jembatan antara NK cell dengan sel terinfeksi, melalui jembatan
ini terjadi pengeluaran elektrolit berlebih dari sel terinfeksi yang
menyebabkan litik osmotik. Peristiwa penyerangan dengan jembatan ini
disebut membrane attack complex.
2. Sel B
Secara umum berfungsi sebagai APC. Sel B akan menerima antigen
kemudian melalui MHC kelas II, antigen ini disajikan ke permukaan sel
40

untuk mengaktivasi sel T helper. Sel T helper akan mensekresikan sitokin
yang dapat menstimulasi sel B berproliferasi menjadi sel memori, selain
itu juga mengaktifkan sel B untuk menjadi sel plasma penghasil antibodi.
3. Sel T
Setelah sel B berikatan dengan sel T helper, sel T helper tidak bisa
langsung teraktivasi tanpa adanya stimulasi dari Co-stimulatory sitokin. Di
antara yang termasuk sitokin adalah : IL (Interleukin I,II,..dst); interferon
,,; Tumor Necrosis Factor; Prostaglandin, dll.
4. Non Specific Killer Cells
Yaitu : NK cell dan LAK cell; ADCC (K) cell; Activated macrophage;
Eosinophils (diaktivasi oleh IgE karena IgE mentriger/memicu eosinofil
untuk mengeliminasi cacing).

f. Respon imun humoral dan seluler
Respon imun alamiah tidak memiliki spesifisitas dan memori sehingga
pertahanan tidak meningkat dengan adanya infeksi berulang. Respon ini
diperankan oleh sel fagosit dan sel NK dengan menggunakan faktor soluble
yaitu lisosom, komplemen, acute phase proteins (CRP), dan interferon.
Mikroorganisme yang masuk dalam tubuh akan melalui dua mekanisme
pertahanan utama, yaitu efek destruksi oleh enzim yang bersifat bakterisidal
dan mekanisme fagositosis oleh sel-sel fagosit (gambar 4). Sel fagosit akan
mengenali berbagai mikroorganisme. Mekanisme ini akan menimbulkan
respon inflamasi akibat migrasi sel-sel yang terlibat dalam respon imun serta
mengakibatkan vasodilatasi.
Respon imun adaptif terjadi melalui identifikasi dan pengenalan terhadap
adanya stimulus, misalnya bakteri dan virus. Respon ini memiliki tiga karakter
utama, yaitu spesifik, memori, dan intensitas yang bervariasi. Komponen
respon imun spesifik terdiri dari respon imun humoral dan respon imun
seluler.
1. Respon Imun Humoral
Respon imun humoral diawali dengan diferensiasi limfosit B menjadi satu
populasi (klon) sama yang memproduksi antibodi spesifik dan limfosit B
memori. Antibodi akan berikatan dengan antigen untuk mengaktivasi
41

komplemen yang mengakibatkan hancurnya antigen tersebut. Tiga elemen
penting dalam respon imun humoral, yaitu: antibodi, reseptor sel T (T cell
receptors), dan molekul MHC (Major Histocompatibility Complex).7,19
Antibodi berfungsi untuk pertahanan host karena menjadikan
mikroorganisme infektif sebagai target, merekrut mekanisme efektor host
yang dapat merusak, menetralkan toksin, dan menyingkirkan antigen asing
dari sirkulasi. TCR berinteraksi bukan dengan antigen secara keseluruhan,
tetapi dengan segmen pendek dari asam amino (antigen peptida). Fungsi
TCR adalah untuk mengikat dan mengenali kompleks antigen spesifik
dengan molekul MHC. MHC berfungsi untuk menentukan kemampuan
sistem imun seseorang dalam membedakan self dan nonself, mengatur
berbagai interaksi antara berbagai jenis sel yang terlibat dalam respon
imun, dan menentukan kemampuan individu untuk bereaksi terhadap
antigen spesifik dan kecenderungan untuk menderita kelainan imunologik.

2. Respon Imun Seluler
Antibodi tidak dapat menjangkau mikroorganisme yang berkembang biak
intraseluler. Oleh karena itu, sistem imunitas tubuh mengaktivasi limfosit
T untuk menghancurkan mikroorganisme tersebut. Setelah antigen
eksogen diproses oleh APC, akan terbentuk fragmen peptida yang
kemudian dapat berinteraksi dengan TCR bersamaan membentuk
kompleks dengan MHC. Limfosit T mengeluarkan subsetnya, yaitu Th
(CD4), untuk mengenal antigen bekerja sama dengan MHC kelas II.
Antigen endogen dihasilkan oleh tubuh inang. Sebagai contoh adalah
protein yang disintesis virus dan protein yang disintesis oleh sel kanker.
Antigen endogen dirombak menjadi fraksi peptida yang selanjutnya
berikatan dengan MHC kelas I pada retikulum endoplasma. Limfosit T
mengeluarkan subsetnya, yaitu Tc (CD8), untuk mengenali antigen
endogen untuk berikatan dengan MHC kelas I. Sel Th1. Pada dasarnya,
respon imun alamiah dan adaptif bekerja saling melengkapi. Sel-sel imun
saling berinteraksi dalam regulasi sistem imun.

g. Respon Imun terhadap Alergen dan Iritan
42

Faktor yang terpenting dalam reaksi anafilaktik adalah IgE, yang disebut
antibodi homostitotropik atau reagin. IgE mempunyai sifat khas yang tidak
dimiliki oleh imunoglobulin kelas lain yang afinitasnya tinggi pada mastosit
(sel mast) dan basofil melalui reseptor Fc pada permukaan sel bersangkutan
yang mengikat fragmen Fc IgE. Sekali terikat, IgE dapat melekat pada
permukaan mastosit dan basofil selama beberapa minggu dan IgE yang terikat
inilah yang berperan besar pada reaksi anafilaktik. Selain IgE, IgG4 diketahui
mempunyai kemampuan serupa, tetapi dengan afinitas yang jauh lebih rendah.
Penelitian-penelitian terakhir mengungkapkan bahwa berbagai jenis limfokin
dan sitokin dengan peran multi fungsi juga dilepaskan pada reaksi ini sebagai
akibat aktivitas mastosit oleh IgE. IL-3 dan IL-4 mungkin mempunyai dampak
autokrin pada sel mast bersangkutan dan substansi ini bersama-sama dengan
sitokin yang lain meningkatkan produksi IgE oleh sel B. Disamping itu,
beberapa jenis sitokin lain, termasuk produk golongan gen IL-8/IL-9, berperan
dalam proses kemotaksis dan aktifitas sel-sel inflamasi di daerah terjadinya
alergi.
Apabila IgE yang melekat pada mastosit atau basofil, mengalami
pemaparan ulang pada alergen spesifik yang dikenalnya, maka alergen akan
diikat oleh IgE demikian rupa sehingga alergen tersebut membentuk jembatan
antara 2 molekul IgE pada permukaan sel (crosslinking). Crosslinking hanya
terjadi dengan antigen yang bivalen atau multivalen tetapi tidak terjadi dengan
antigen univalen. Crosslinking yang sama hanya dapat terjadi bila fragmen Fc-
IgE bereaksi dengan anti IgE, atau bila reseptor Fc dihubungkan satu dengan
lain oleh anti reseptor Fc. Crosslinking merupakan mekanisme awal atau
sinyal untuk degranulasi sel mast atau basofil.
Segera setelah ada sinyal pada membran sel, terjadi serangkaian reaksi
biokimia intraseluler secara berurutan menyerupai kaskade, dimulai dengan
aktivitas enzim metiltransferase dan serine esterase, diikuti dengan
perombakan fosfatidilinositol menjadi inositol trifosfat (IP3), pembentukan
diasilgliserol dan peningkatan ion Ca2+ intrasitoplasmatik. Reaksi-reaksi
biokimia ini menyebabkan terbentuknya zat-zat yang memudahkan fusi
membran granula sehingga terjadi degranulasi. Degranulasi mengakibatkan
pelepasan mediator-mediator yang sebelumnya telah ada di dalam sel
misalnya histamin, heparin, faktor kemotaktik neutrofil (neutrophil
43

chemotactic factor = NCF), platelet activating factor (PAF), maupun
pembentukan berbagai mediator baru. Diantara mediator baru yang dibentuk
adalah slow reacting substances anapltylaxis yang terdiri atas substansi-
substansi dengan potensi spasmogenik dan vasodilatasi yang kuat yaitu
leukotrien LTB4, LTC4, dan LTD4, disamping beberapa jenis prostaglandin
dan tromboksan. Mediator-mediator tersebut mempunyai dampak langsung
pada jaringan, misalnya histamin menyebabkan vasodilatasi, peningkatan
permeabilitas vaskular, penyempitan bronkus, edema pada mukosa, dan
hipersekresi.
Iritan yang mengenai tubuh akan memicu sel mast untuk melepaskan
neuropeptida substansi P yang akan merangsang serabut saraf C (n.trigeminus)
sehingga timbul nyeri. Substansi P terletak dalam sel saraf yang terpencar di
seluruh tubuh sel dan dalam sel endokrin khusus di usus. Neuropeptida ini
dapat menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah dan merupakan
neurotransmiter rasa nyeri, raba, dan temperatur.



















44

VII. Kerangka Konsep























VIII. Kesimpulan
Nn. A, 20 tahun, mengalami syok anafilaktik et causa reaksi hipersensitifitas tipe I
terhadap obat Ceftriaxon.







Skin Test Ceftriaxon
(Fase aktivasi)
Mediator Inflamasi
keluar
Gejala
- Pusing
- Keringat dingin
- Sesak napas
- Tidak sadar
Tanda
- Sopor
- Takikardi
- Takipneu
- Hipotensi
- SaO
2
menurun
- Wheezing

Riwayat konsumsi
Amoxicilin
(Fase sensitisasi)
Syok Anafilaktik
Skin Test Ceftriaxon
(Fase aktivasi)
Mediator Inflamasi
keluar
Gejala
- Pusing
- Keringat dingin
- Sesak napas
- Tidak sadar
Tanda
- Sopor
- Takikardi
- Takipneu
- Hipotensi
- SaO
2
menurun
- Wheezing

Riwayat konsumsi
Amoxicilin
(Fase sensitisasi)
45

DAFTAR PUSTAKA

Bartawidjaja, Karnen Garna. 2012. Imunologi Dasar edisi ke-10. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI.
Ho, Marry T., dan Samsudin, Sonny. 1990. Resusitasi Kardiopulmoner dan Syok. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Price, Sylvia Anderson dan Willson, Lorraine McCarty. 2003. Patofisiologi: Konsep Klinis
Proses-proses Penyakit, Ed 6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Rab, Prof.Dr. H tabrani. 2000. Pengatasan Shock. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Sudoyo A, et al. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu
Penyakit Dalam FKUI.
Wahab, A. Samik dan Julia, Madarina. 2002. Sistem Imun, Imunisasi, dan Penyakit Imun.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

You might also like