You are on page 1of 11

1

KONSTELASI POLITIK PADA MASA PERCOBAAN DEMOKRASI


(1950-1957)
Tsabit Azinar Ahmad

A. Pendahuluan
Masa-masa awal kemeredekan merupakan salah satu masa yang labil dalam
berbagai hal. Dalam bidang politik, tahun-tahun pertama kemerdekaan merupakan
masa peralihan ketika terbentuk pemerintahan Indonesia yang baru dan tekanan
kekuatan luar, yaitu Belanda dan perpolitikan global pasca perang dunia kedua.
Daam bidang sosial, perubahan sosial akibat kemerdekaan terjadi. Dalam bidang
ekonomim kondisi ekonomi mengalami ketidakstabilan. Setelah Indonesia
menyatakan diri sebagai wilayah sendiri dengan dileburkannya Republik
Indonesia Serikat, Indonesia memasuki satu masa baru yakni masa ketika
Indonesia mencari format baru dalam sistem pemerintahan dan politik. Masa
pencarian ini disebut pula dengan masa percobaan demokrasi.
Masa percobaan demokrasi merupakan satu tahapan ketika Indonesia masih
mencari format pemerintahan dan sistem politik yang sesuai dengan kondisi
Indonesia. Masa ini berlangsung pada 1950-1957 ketika pada masa itu sistem
pemerintahan bersifat liberal ketika sistem pemerintahan menggunakan sistem
parlementer. Masa antara tahun 1950-1957 merupakan satu periode yang berbeda
dengan situasi politik pada masa Orde Lama maupun Orde Baru. Periode
Demokrasi Parlementer merupakan masa paling dinamis saat mania bangsa
Indonesia mulai bereksprimen dengan demokrasi. Sistem parlementer multi partai
dengan kekuatan berimbang memicu persaingan antar berbagai faksi politik untuk
saling menjatuhkan. Hal itu terbaca melalui polemik terbuka dan keras antar surat
kabar di Jakarta masa itu.
Dalam makalah ini akan dipaparkan berkaitan dengan bagaimaman kondisi
perpolitikan pada masa percobaan demokrasi serta bagaimana dampak yang
dihasilkannya.
2

B. Kondisi Politik Indonesia Sebelum Masa Percobaan Demokrasi


Kondisi perpolitikan di Indonesia senantiasa mengalami pasang surut dan
dinamika. Pada tahun-tahun pertama kemerdekaan, kondisi politik di Indonesia
masih sangat labil. Hal ini dikarenakan masih banyaknya aktivitas yang dilakukan
baik oleh Indonesia sendiri atau oleh pihak luar berkaitan dengan status
pascakemerdekaan. Pihak Indonesia sendiri masih sibuk dengan segala urusan
yang berkaitan dengan pemindahan kekuasaan serta upaya-upaya untuk segera
berbenah diri guna membangun negara. Dari pihak luar, setelah menangnya blok
sekutu atas blok poros, ada keinginan dari pihak pemenang perang dunia untuk
mengawal Indonesia yang baru lahir. Akan tetapi hal ini menjadi satu kesempatan
bagi pihak Belanda untuk kembali lagi ke Indonesia. Akibatnya, masih terdapat
campur tangan dari pihak luar terhadap Indonesia. Selain itu, kebijakan-kebijakan
dalam bidang politik pada masa ini masih belum dapat dikatakan bersifat benar-
benar lepas dari pengaruh Belanda, aplagi ditambah adanya agresi militer I dan II
serta perjanjian-perjanjian yang telah mengubah sistem konstitusi dan struktur
perpolitikan nasional. Praktis pada masa ini Indonesia masih belum menemukan
“jati dirinya”.
Pada masa-masa awal kemerdekaan, Indonesia cenderung bersifat
kompromistis walaupun beberapa langkah radikal dilakukan. Puncak dari sifat
kompromis Indonesia adalah dengan diadakannya Konferensi Meja Bundar
(KMB) yang dilaksanakan di Den Haag pada 23 Agustus 1949 dan selesai pada 2
November 1949. Konferensi ini diikuti oleh Republik Indonesia, Bijeenkomst
voor Federaal Overleg (BFO), dan Belanda. Kesepakatan ini disaksikan juga
oleh United Nations Commission for Indonesia (UNCI) sebagai perwakilan PBB.
Dari KMB ini dihasilkan beberapa kesepakatan yaitu (1) didirikannya negara
Republik Indonesia Serikat, (2) penyerahan kedaulatan (baca “pemulihan
kedaulatan”) kepada Republik Indonesia Serikat, serta (3) didirikannya Uni antara
Republik Indonesia Serikat dan Kerajaan Belanda. Adanya Republik Indonesia
Serikat merupakan satu bentuk campur tangan dari pihak luar yang sangat besar
terhadap Indonesia. Akan tetapi campur tangan tersebut pada akhirnya dapat
diminimalisir keberadaannya dengan adanya kesadaran untuk bersatu dari rakyat
Indonesia. Kesadaran untuk bersatu ini nampak pada kesediaan dari negara-negara
3

bagian di RIS untuk menyatukan komando serta berbagai aksi yang dilakukan
oleh rakyat berkaitan dengan upaya untuk mengubah sistem pemerintahan
menjadi unitaris.
Sebelum Republik Indonesia Serikat dinyatakan bubar, pada saat itu terjadi
demo besar-besaran menuntut pembuatan suatu Negara Kesatuan. Maka melalui
perjanjian antara tiga negara bagian, Negara Republik Indonesia, Negara
Indonesia Timur, dan Negara Sumatera Timur dihasilkan perjanjian pembentukan
Negara Kesatuan pada tanggal 17 Agustus 1950. Sejak 17 Agustus 1950, Negara
Indonesia diperintah dengan menggunakan Undang-Undang Dasar Sementara
Republik Indonesia 1950 yang menganut sistem kabinet parlementer.

C. Konstelasi Politik pada Masa Percobaan Demokrasi


Kondisi Indonesia pada akhir tahun 1950-an, dilihat dari kaca mata
sekarang, adalah Indonesia yang semrawut kondisi sosial, politik, dan
ekonominya. Pada masa pascakemerdekaan itulah, Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang masih "bayi", untuk pertama kalinya, mencoba menerapkan sistem
demokrasi parlementer dalam kehidupan politiknya. Dan diduga, seandainya tidak
banyak "rongrongan" terhadap demokrasi parlementer yang dilaksanakan saat itu,
niscaya bentuk demokrasi itulah yang tampaknya akan terus terpakai sampai
sekarang. Ide bahwa pemerintahan Indonesia harus menganut sistem demokrasi
parlementer sebenarnya telah ada di benak tokoh-tokoh pergerakan sejak awal
kemerdekaan. Buktinya adalah lahirnya Maklumat Wakil Presiden (Wapres) X
pada 16 Oktober 1945. Isi maklumat Hatta itu adalah membangun sistem banyak
partai dan menggusur kekuasaan rangkap presiden--sebagai penguasa eksekutif
dan legislatif sekaligus--sebelum MPR dan DPR dibentuk. Komite Nasional
Indonesia Pusat (KNIP) pun difungsikan sebagai lembaga legislatif
(Poesponegoro dan Notosusanto [et.al], 1984)
Kemudian setelah Negara Kesatuan Republik Indonesia diberkalukan
kembali pada 17 Agustus 1950, terjadi perubahan-perubahan dalam berbagai
bidang, khususnya dalam bidnag politik. Menurut amanat UUDS, pemerintahan
RI berdasarkan sistem demokrasi parlementer dengan kabinet dan menteri-
menteri yang bertanggung jawab ke parlemen. Perdana menteri pertama
4

pascapenyerahan kedaulatan itu adalah Mohammad Natsir, dari Masyumi.


Sedangkan, Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS) merupakan kelanjutan
dari DPR RIS, yang kebanyakan anggotanya adalah orang Federal yang mewakili
daerah atau negara bagian pada masa RIS.
Pada masa ini, terjadi satu pesta demokrasi yang pertama di Indonesia, yaitu
pemilihan umum yang berlangsung secara bebas dan rahasia. Pada masa ini pula
Hatta menyatakan mundur sebagai wakil presiden di mana jabatan ini akan terus
kosong sampai sekitar awal dekade 1970-an setelah pemilu yang kedua.
Mundurnya Hatta sebagai wakil presiden menjadi salah atu dinamika politik yang
menunjukkan kurva menanjak. Hatta yang pada masa itu adalah satu dari sedikit
pendukung sistem parlementer, menjadi kaum yang minoritas ketika terjadi
euphoria menuju demokrasi terpimpin.
Sistem kabinet seperti yang telah dijelaskan di atas adalah sistem
parlementer, di mana kabinet bertanggung jawab kepada parlemen. Pada masa itu
ada beberapa kabinet yang pernah memeirntah di Indonesia, yaitu kabinet
Muhammad Natsir (6 September 1950-20 Maret 1951), Sukiman (April 1951-
Februari 1952), Wilopo (April 1952 -Juni 1953), Ali Sastroamidjojo (Juni 1953-
Juli 1955), Burhanudin Harahap (Agustus 1955-Maret 1956), Ali Sastroamidjojo
(Maret 1956-Maret 1957), dan Djuanda sampai Juli 1959 (Poesponegoro dan
Notosusanto [et.al], 1984; Ricklefs, 2005).
Kabinet pertama dari masa demokrasi parlementer adalah kabinet yan
dipimpin oleh Muhammd Natsir sebagai Perdana Menteri. Natsir yang mendapat
dukungan penuh dari masyumi yang berkoalisi dengan PSI setelah usaha koalisi
dengan PNI gagal. Pada masa itu Indonesia diterima sebagai anggota PBB. Tugas
utama dari kabinet in adalah usaha untuk mengembalikan Irian ke tangan
indonesia. Kegagalan dari partai ini disebabkan karena mosi tidak percaya dari
parlemen. PNI yang kala itu sebagai partai terbesar kedua dalam Parlemen
menolak turut serta dalam kabinet karena kedudukan yang diberikan tidak sesuai.
Karena penolakan tersebut, inti kabinet diisi kalangan Masyumi dan para menteri
yang ahli di bidangnya (zaken kabinet) dan berasal dari luar partai politik. Namun,
dalam perjalanannya kabinet ini tidak dapat melanjutkan kerjanya, salah satunya
oleh karena kegagalan dalam perundingan soal Irian dengan Belanda dan mosi
5

Hadikusumo, dari PNI tentang pencabutan DPRS dan DPRDS yang diterima oleh
Parlemen. Tak pelak, Kabinet Natsir jatuh dan menyerahkan mandatnya kepada
Presiden.
Kabinet kedua adalah kabinet Sukiman. Kabinet ini berkoalisi dengan
Masyumi dan PNI. Kabinet sukiman menjadi paling terkenal karena usahanya
ynag serius untuk menumpas PKI. Kegagalan Sukiman dalam menangani masalah
pemberontakan kahar muzakar di sulawesi sangat melemahkan kekuasaannya.
Adapun penyebab dari jatuhnya kabinet ini adalah ditandatanganinya persetujuan
bantuan ekonomi dan persenjataan dari Amerika kepada Indonesia atas dasar
MSA. Hal ini menimbulkan pertentangan dengan program kabinet dalam hal
politik luar negeri yang bebas aktif, dengan ditandatanganinya menimbulkan
tafsiran bahwa indonesia condong ke blok barat.
Setelah jatuhnya kabinet Sukiman, terbentuklah Kabinet Wilopo (April
1952-Juni 1953). Kabinet ini merupakan koalisi dari Masyumi dan PNI. Program
kabinet ini adalah untuk mempersiapkan pelaksanaan pemilu. Sedangkan politik
luar negeri ditujukan untuk penyelesaian hubungan indonesia-belanda dan
pengembalian irian barat. Tetapi dalam perjalanannya, banyak sekali hambatan
yaitu timbulnya provinsialisme dan separatisme, hal ini muncul karena adanya
rasa kekecewaan terhadap pemerintah pusat. Kabinet ini kehilangan kepercayaan
akibat kegagalan demobilisasinya. Tanggal 2 juni 1953 Wilopo mengembalikan
mandat kepada presiden.
Kabinet berikutnya adalah Ali Sastroamidjojo (Juni 1953-Juli 1955) yang
merupakan hasil koalisi dari PNI, NU, serta partai-partai kecil, sedangkan PSI dan
Masyumi tidak mendapatkan tempat di kabinet namun dua orang simpatisan PKI
dimasukkan. Kabinet ini menekankan pada indonesianisasi perekonomian dan
memberi dukungan pada penguasa pribumi. Salah satu kesuksesan kabinet ini
adalah terselenggaranya Konfrensi Asia-Afrika. Pada masa ini berbagai
permasahan, seperti pemberontakan-pemberontakan daerah yang belum juga
berhasil dipadamkan serta persiapan menghadapi pemilu yang pertama.
Kabinet Ali Sastroamidjojo atau yang dikenal juga dengan kabinet Ali-
Wongso merupakan kabinet yang paling lama bertahan. Jatuhnya popularitas
6

kabinet ini karena permasalahan dengan angkatan darat serta banyaknya kasus
korupsi dan keadaan perekonomian yang semakin memburuk.
Kabinet Burhanudin Harahap (Agustus 1955-Maret 1956) adalah pengganti
dari kabinet Ali. Kabinet ini merupakan hasil koalisi dari masyumi, PSI dan NU.
Pada masa kabinet ini dilakukan pemilihan umum pertama di Indonesia. Lebih
dari 37 juta orang memberikan suara mewakili 91,5 % dari para pemilih yang
terdaftar. Kabinet inipun tidak bertahan lama. Akibat dari banyaknya mutasi yang
dilakukan di beberapa kementerian membuat beberapa pertai menarik dukungan
sehingga pada 3 Maret 1956 Burhanudin Harahap jatuh.
Setelah Burhanudin Harahap, presiden kembali mempercayakan kabinet
kepada Ali Sastroamidjojo (Maret 1956-Maret 1957). Dia bertekad membentuk
koalisi PNI-Masyumi-NU dan mengesampingkan PSI dan PKI. Kabinet ini
memiliki program lima tahun yang didalamnya memuat tentang pembebasan Irian
Barat, pembentukan daerah-daerah otonom, serta mewujudkan ekonomi nasional.
Dalam pelaksanaanya, kabinet tersebut mengalami perpecahan sehingga tidak
dapat bekerja maksimal. Permasalahan yang muncul pada kabinet-kabinet
sebelumnya sepertinya memuncak pada masa kabinet Ali II ini, permasalah
tentara serta militer, pemberontakan-pemberontakan daerah (separatis) semakin
jelas terlihat. Kondisi masyarakat saat itu sudah terpolularkan, Jakarta yang
menjadi pusat pemerintahan sudah tidak mendapat kepercayaan dari daerah diluar
Jawa. Para politisi sibuk dengan urusan partai masing-masing sehingga yang
terjadi adalah politik saling menjatuhkan. Berbagai hal diatas membuat sistem
demokrasi perlementer tersebut sudah tidak dapat dipertahankan lagi.

Partai Politik dan Pemilu


Selain itu pada masa percobaan demokrasi tersebut banyak bermunculan
partai-partai yang mewakili ideologi-ideologi tertentu seperti PNI (Partai Nasional
Indonesia) yang mewakili kalangan nasionalis dan demokrastis, basisnya adalah
dalam birokrasi dan kalangan pegawai kantor, PSI (Partasi Sosialis Indonesia)
yang mewakili masyarakat sosialis, Masyumi, NU, Parkindo (Kristen) yang
mewakili golongan agamis, serta PKI (Partai Komunis Indonesia) yang mewakili
7

ideologi komunis, partisannya adalah kaum buruh perkotaan dan buruh


perusahaan pertanian.
Momentum paling demokratis pada masa itu tentu saja adalah pelaksanaan
pemilu yang bebas dan rahasia berhasil dilaksanakan ada masa perdana menteri
Burhanudin Harahap. Pemilu itu sendiri merupakan program kabinet-kabinet
sebelumnya, yang tak pernah terlaksana. Dan, pemilu tahun 1955 itu telah
memunculkan kembali harapan rakyat Indonesia akan kemakmuran dan
kesejahteraan yang tak muncul sejak RI diproklamasikan tahun 1945.
Menjelang pemilu, pertarungan ideologi pun semakin meruncing. Ideologi
politik yang paling besar dan berpengaruh ketika itu adalah Islam,
Nasionalisme, dan Komunisme. Partai Komunis Indonesia (PKI) yang runtuh
setelah Pemberontakan Madiun tahun 1948 bangkit dengan cepat. PKI tampil
lebih korporatif dan memanfaatkan pertarungan antara Islam dan Nasionalis.
Kondisi politik yang penuh pertikaian elite, keadaan ekonomi yang parah,
serta sektor strategis dan modal yang dikuasai asing membuat PKI cepat
meraih massa. Selain itu, ketakutan kemenangan Masyumi pada pemilu 1955 itu
juga membuat PKI mudah mendapat teman dari pihak Nasionalis, setidaknya dari
elite yang khawatir Masyumi akan mendirikan negara Islam.
Pemilu 1955 bertujuan untuk memilih anggota-anggota DPR dan dewan
konstituante. Lebih dari 39 juta orang memberikan suara dan mewakili 91,5% dari
para pemilih yang terdaftar. Pemilihan umum ini menawarkan pilihan yang bebas
di kalangan partai-partai yang tak terbatas, yang kesemuanya berkampanye
dengan penuh semangat. Oleh karena itu, hasil-hasil pemilihan umum tersebut
dapat menunjukkan kesetiaan-kesetiaan politik pada saat itu.
Pemilihan umum tersebut menimbulkan beberapa kekecewaan dan kejutan.
Jumlah partai bertambah banyak, dengan jumlah partai 28 yang mendapatkan
kurssi, padahal sebelumnya hanya 20 partai yang mendapatkan kursi. Akan tetapi
hanya empat partai yang mendapat lebih dari delapan kursi, yakni PNI, Masyumi,
NU, dan PKI. Dilkalangan partai-partai “empat besar” ini hampir terjadi jalan
buntu. Partai yang terbsar hanya menguasai 22% kursi DPR. Beberapa pemimpin
Masyumi merasa bahwa kemajuan Islam menuju kekuasaan nasional kini
terhalang dan bahwa perhatian mereka seharusnya dialihkan untuk
8

mengintensifkan Islam di tingkat rakyat jelata. Akan tetapi para para pemimpin
NU sangat gembira atas hasil yang menambah kursi DPR medeka dari 8 menjadi
45 kursi. Penampilan PKI sangat mengejutkan kalangan elit Jakarta dan membuat
PNI makin cemas akan ancaman potensial yang ditimbulkan oleh PKI (Ricklefs,
2005:496).

Tabel 1. Hasil Pemilu 1955 (Sumber: Ricklefs, 2005:496)


Partai Suara yang % Suara Kursi % Kursi
Sah yang Sah Parlemen Parlemen
PNI 8.434.653 22,3 57 22,2
Masyumi 7.903.886 20,9 57 22,2
NU 6.955.141 18,4 45 17,5
PKI 6.176.914 16,4 39 15,2
PSII 1.091.160 2,9 8 3,1
Parkindo 1.003.325 2,6 8 3,1
Partai Katolik 770.740 2,0 6 2,3
PSI 753.191 2,0 5 1,9
Murba 199.588 0,5 2 0,8
Lain-lain 4.496.701 12,0 30 11,7
Jumlah 37.758.299 100 257 100

Hasil Pemilu 1955 itu memang akhirnya sangat mencerminkan ideologi


yang menonjol dari empat partai besar waktu itu: PNI, Masyumi, NU, dan PKI.
Sedangkan kabinet pertama yang dihasilkan pemilu itu adalah Kabinet pimpinan
Ali Sastroamidjojo dari PNI.

Konferensi Asia Afrika


Konferensi Asia Afrika merupakan suatu pertemuan negara-negara yang
berada di kawaan Asia dan Afrika untuk saling bertukar pendapat dan
merundingkan permasalahan yang dihadapi bersama. Permasalahan yang
dibincangkan dalam KAA berkaitan dengan amsalah kerjasama ekonomi,
kerjasama budaya, hak asasi manusia dan menentukan nasib sendiri, masalah
9

negara-negara yang belum merdeka dan masalah perdamaian dunia dan kerja
sama internasional, yakni Rodhesia (Federasi Afrika Tengah) karena pergol;akan
politik. Peserta konferensi Asia Afrika tersebut adalah Afganistan, Ethiopia,
Filipina, India, Indonesia, Irak, Iran, Jepang, Kamboja, Laos, Lebanon, Lybia,
Mesir, Myanmar, Nepal, Pakistan, Pantai Emas, Saudi Arabia, Sri Lanka, Sudan,
Syiria, Thailand, Tiongkok, Turki, Vietnam Utara, Vietnam Selatan, Yaman, dan
Yordania (Poeponegoro dan Nugroho [et.al], 1984).
Dalam pelaksanaannya, KAA memiliki tujuan utama yaitu untuk
mewujudkan perdamaian dunia dan ketentraman hidup antarbangsa-bangsa Asia-
Afrika. Spesifikasi tujuan KAA adalah (1) memajukan kerjasama dan hubungan
bertetangga dengan baik, (2) mempertimbangkan masalah-masalah sosial,
ekonomi, kebudayaan negara-negara anggota, (3) mempertimbangkan masalah-
masalah khusus bangsa-bangsa Asia-Afrika, (4) meninjau keuddukan asia serta
rakyatnya di dunia ini serta sumbangan bagi perdamaian dan kerja sama dunia
(Sekretariat Negara, 1986)
Pelaksanaan KAA adalah pada tanggal 18-25 April 1955 di Bandung.
Adapun alasan pelaksanaan KAA ini adalah (1) adanya persaman dalam banyak
bidang dan keadaan yang dianggap saling melengkapi sehingga dapat dijadika
satu kesatuan, (2) munculnya permasalahan-permasalahan yang harus diatasi
bersama. Dengan alasan tersebut, pemipin negara Indonesia (Ali Sastroamidjojo),
India (Jawaharlal Nehru), Myanmar (U Nu), dan Sri Lanka (Sir John Kotelawala)
pasca konferensi Pancanegara I (Kolombo, 28 april-2 Mei 1954) dan konferensi
Pancanegara II (Bogor, 28-29 Desember 1954) sepakat untuk mengadakan
Konferensi Asia Afrika dengan mengundang 30 negara untuk turut berpartisipasi
di dalamnya. Akan tatapi dalam pelaksanaannya hanya 29 negara yang hadir.
Hasil dari KAA adalah dengan diputuskannya sepuluh keputusan yang
disebut Dasasila Bandung. Dengan adanya Dasasila Bandung ini, berarti satu
lembaran baru dalam sejarah perkembangan tata kehidupan internasional
mengalami perubahan karena dengan dilaksanakannya KAA yang pada waktu itu
sedang terjadi persaingan antara Uni Sovyet dan Amerika Serikat muncul satu
kekuatan baru, yakni Asia dan Afrika.
10

Akhir Masa Percobaan Demokrasi


Setelah Pemilu menghasilkan DPR dan Konstituante, keadaan ternyata
bertambah buruk, tak seperti yang diharapkan rakyat. Pertikaian
antarmiliter, pergolakan daerah melawan pusat, dan ekonomi yang semrawut
tetap membuat masa depan tampak suram. Masalah yang menghadang Kabinet itu
datang dari para panglima daerah, yang menuding pusat tidak memperhatikan
kesejahteraan prajurit daerah. Mereka pun didukung Masyumi dan PSI. Lalu
pada tahun 1956, timbul beberapa pemberontakan militer yang gagal, yang
diatur bekas Pejabat KSAD Kolonel Zulkifli Lubis. Para pendukungnya
mengkritik bahwa Kabinet telah melalaikan negara, dan mereka mengarahkan
perlunya diktator militer.
Akhir tahun 1956, keadaan pun bertambah buruk. Panglima militer di
beberapa daerah mengambil alih kekuasaan dari pimpinan sipil. Mereka menilai
Jakarta terlalu sentralistis, korup, mengabaikan luar Jawa, serta banyak tuduhan
lainnya. Mereka juga memaksa Kabinet Ali mundur, dan mendukung kembalinya
Hatta--yang mengundurkan diri dari jabatan wakil presiden pada 1 Desember
1956--untuk memimpin kabinet baru. Kelompok itu disebut-sebut berhubungan
dengan militer kelompok Zulkifli Lubis, Masyumi, PSI, dan Parkindo. Inti
tuntutan mereka sebenarnya adalah kembalinya dwitunggal Soekarno--Hatta ke
kekuasaan. Pada tahun itulah, Soekarno sudah mulai mendesak dikuburkannya
demokrasi liberal dan diganti dengan demokrasi terpimpin. Konsep Soekarno itu
kemudian diumumkan secara luas di halaman Istana Merdeka pada 21 Februari
1957. Intinya adalah demokrasi terpimpin, perlunya Kabinet Kaki Empat, dan
pembentukan Dewan Nasional. Konsep itu menjadi perdebatan sekaligus
pertentangan di DPR. Soalnya, hanya Konstituante yang berwenang mengubah
sistem pemerintahan dan susunan ketatanegaraan secara radikal. Cuma, dalam
pandangan Soekarno, Konstituante terlalu lambat menyelesaikan rancangan UUD,
dan sepertinya akan gagal.
Tetapi tahun 1957, percobaan demokrasi mengalami kegagalan, hal itu
disebabkan karena dasar untuk dapat membangun demokrasi perwakilan hampir
tidak ditemukan. Penyebabnya antara lain karena kebanyakan rakyat indonesia
kebanyakan masih buta huruf, miskin, terbiasa dengan kekuasaan yang otoriter
11

dan paternalistik, dan tersebar di kepulauan yang sangat luas/dalam posisi yang
sulit untuk memaksa pertanggungjawaban atas perbuatan para politisi di jakarta.
Selain itu pada tahun 1957, korupsi tersebar luas, kesatuan terancam, keadilan
sosial belum tercapai, msalah-masalah ekonomi belum terpecahkan dan harapan
dari revolusi belum tercapai.
Ada berbagai masalah yang dihadapi juga terjadi dalam bidang ekonomi,
sosial, politik dan militer. Pada bidang ekonomi ada kepentingan-kepentingan
non-indonesia mempunai arti penting, misalnya saja belanda dan cina. Selain itu
karena lambatnya pemulihan ekonomi menyebabkan terjadinya inflasi, sehingga
biaya hidup melinjat sampai 100% dan sektor kemasyarakatan menderita. Dalam
bidang demografi jumlah meningkat tajam sehingga produksi pangan meningkat
tetapi tidak cukup. Sehingga untuk mengatasi itu pemerintah melakukan impor.
Dalam bidang perdagangan jaringan perdagangan luas tetapi tidak mempunyai
dukungan politk dan sebagian kaum borjuis indonesia masih berpegang teguh
kepada agama islam yang jaringan perdagangannya tidak begitu luas dan
dukungan politiknya terbatas. Dalam bidang pendidikan ini diberi prioritas utama
dan jumlah lembaga pendidikan meningkat luas. Sementara itu dalam bidang
militer terdapat perpecahan dalam tubuh tentara.

D. Penutup
Masa percobaan demokrasi merupakan satu masa ketika di dalamnya banyak
terjadi aktivitas politik yang bebas. Hal ini dikarenakan maa ini merupakan masa
demokrasi liberal dan menganut sistem parlementer. Akan tetapi berbagai
dinamika politik ini pada akhirnya telah membawa serangkaian kegagalan
merugina di berbagai bidang.

Daftar Pustaka
Poesponegoro, Marwati Djoned dan Nugroho Notosusanto (et.al). 1984. Sejarah
Nasional Indonesia Jilid V. Jakarta: Balai Pustaka.
Ricklefs, M.C. 2005. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: Serambi
Sekretariat Negara Indonesia. 1986. 30 Yahun Indonesia Merdeka. Jakarta: PT
Citra Lamtoro Gung Persada.

You might also like