You are on page 1of 6

Ekonomi Hijau Berbasis Ekologi Tropis

Oleh: IGG Maha Adi



Program Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Lingkungan Hidup-UNEP (2010)
mendefinisikan ekonomi hijau adalah bentuk perekonomian yang menghasilkan
peningkatan kesejahteraan manusia dan keadilan sosial, pada saat yang sama
mengurangi risiko lingkungan dan kelangkaan ekologis. Secara singkat dapat
dikatakan bahwa ekonomi hijau adalah ekonomi yang rendah karbon, efisien
sumberdaya, dan inklusif secara sosial. Di dalam ekonomi hijau, pertumbuhan dan
lapangan kerja didorong oleh investasi pemerintah dan swasta yang bertujuan untuk
mengurangi emisi karbon dan polusi, meningkatkan efisiensi energi dan sumberdaya
alam, dan mencegah terjadinya kehilangan keanekaragaman hayati dan jasa-jasa
lingkungan.

Negara peserta konferensi Rio+20, maju maupun berkembang, sepaham untuk
bersama meninggalkan perekonomian yang bersandar kepada bahan bakar fosil, padat
emisi gas rumah kaca dan tidak berkeadilan sosial, menuju sistem yang inklusif secara
sosial, ramah lingkungan, dan efisien dalam penggunaan sumberdaya alam.

Bagaimana cara menuju ekonomi hijau, menurut studi UNEP tahun 2011 berbeda pada
setiap negara, tergantung modal sumberdaya alam dan modal manusia, dan tingkat
pembangunannya. Beberapa negara telah mencapai pembangunan sumberdaya
manusia yang tinggi, tetapi mengorbankan sumberdaya alam, kualitas lingkungan, dan
tingkat emisi gas rumah kaca mereka. Tantangan untuk negara-negara seperti ini
adalah mengurangi ecological footprint mereka, tanpa mengorbankan kualitas
sumberdaya manusianya. Beberapa negara lain mampu mempertahankan ecological
footprint mereka tetap rendah, tetapi membutuhkan peningkatan pelayanan dan
kesejahteraan materi kepada masyarakatnya. Tantangan yang mereka hadapi adalah
tidak meningkatkan ecological footprint mereka secara drastis.

Salah satu prinsip yang penting di dalam mengembangkan ekonomi hijau adalah
membangun kebijakan yang memahami dan selaras dengan ruang hidup (biosfer)
tempat bangsa dan rakyat Indonesia tinggal dan berkembang, yaitu ekonomi yang
berbasis pada realitas-realitas geografis dan dinamika di dalamnya. Sebuah kebijakan
berbasis ekologi tropis (ekotropika)

Basis ekotropika
Berbasis ekotropika artinya mempertimbangkan semua kenyataan potensi yang ada
berdasarkan kondisi-kondisi riil dan dinamika antar komponen fisik, biologi, sosial
budaya, ekonomi dan manusia di daerah tropis, sebagai kesatuan yag saling
mempengaruhi.

Dalam ekotropika, terdapat setidaknya empat realitas dan dinamika penting yang saling
mempengaruhi yaitu realitas geologi-geografis, realitas ekosistem, dinamika politik,
sosial dan budaya, dan yang menentukan adalah pilihan kebijakan ekonomi-politik
yang diambil oleh pemerintah. Keempat faktor itu membawa implikasi berbeda menuju
ekonomi hijau.

Realitas Geologis-Geografis
Indonesia terletak di pertemuan tiga lempeng dunia yang memiliki aktivitas magma
sangat tinggi, sehingga memiliki ratusan gunung api aktif. Realitas ini membawa banyak
konsekuensi antara lain kekayaan sumber energi geotermal dan tingkat kesuburan
tanah yang cukup tinggi.

Proses geologis membentuk ruang hidup Indonesia sebagai kepulauan yang dipisahkan
laut, sehingga bentuk pengembangan simpul-simpul energi yang cocok adalah
beragam, berskala kecil, tersebar dan mandiri. Energi listrik yang dihasilkan oleh
Perusahaan Listrik Negara-PLN dapat memasok industri besar dan industri lain yang
ekstensif-energi, tetapi kampung dan dusun dapat diterangi oleh energi mikrohidro,
panel surya, atau kincir angin, yang dipanen langsung dari lingkungan. Ibu-ibu di
pegunungan yang jauh, dapat memasak dengan biomassa dari pembakaran sampah
dan feses ternak, bukan dipasok dengan listrik dari luar daerahnya yang sangat jauh
yang ditarik oleh jaringan tegangan tinggi yang sangat mahal, dan memakai basis
energi hidrokarbon yang mencemari lingkungan.

Realitas Ekosistem
Realitas geologis-geografis juga membentuk realitas ekosistem asli Indonesia yaitu
ekosistem tropis. Ekosistem adalah ruang hidup beragam spesies dengan
lingkungannya yang saling mempengaruhi. Kenyataan ekosistem tropis mengatakan
dengan jelas, bahwa negara di dalam lintang 10 derajat ke utara dan selatan dari garis
katulistiwa memiliki suhu yang hangat dan iklim yang ideal untuk pertumbuhan mahkluk
hidup. Kondisi iklim mempengaruhi tingkat keanekaragaman hayati yang sangat tinggi
dibandingkan kawasan manapun di dunia, baik teresterial maupun laut.

Interaksi komponen geologis dan geografis membuat Indonesia berlimpah dengan
kawasan hutan hujan tropis, cahaya matahari, hujan, angin, dan biomassa. Artinya,
Indonesia tidak akan pernah kekurangan bahan baku energi bila lingkungan hidupnya
terjaga. Bila hutan dan tanah dijaga, maka air terjun akan selalu mengalir deras untuk
memutar turbin mikrohidro, dan cahaya matahari dan hujan di daerah tropis akan
membuat hutan terus tumbuh dan menghasilkan biomassa yang dapat diolah menjadi
energi. Prinsip keragaman ini akan mempertinggi ketahan energi nasional, selaras
dengan dengan prinsip utama ketahanan ekosistem yaitu semakin beragam spesies
makin kuat ekosistem itu.

Realitas ekosistem tropis lainnya adalah kenyataan bahwa jumlah spesies daerah tropis
sangat tinggi, walaupun jumlah populasi tiap spesies rendah. Ada dua konsekuensi
kondisi ini, yaitu bahan baku bio-energi tersedia melimpah, tetapi alamnya tidak cocok
untuk mengembangkan tanaman monokultur dalam hamparan yang sangat luas.
Membuka satu juta hektare hutan untuk perkebunan sawit dalam satu hamparan
misalnya, sangat membahayakan ekosistem tropis karena jumlah keanekaragaman
jenis yang hilang akan sangat tinggi dibandingkan kawasan beriklim sedang dan dingin.
Boleh jadi, di antara yang hilang itu adalah bahan baku energi yang potensial. Artinya
membuka hutan dalam skala massif untuk perkebunan kelapa sawit, sama saja dengan
meningkatkan jumlah karbon di udara dan membuat Indonesia bertambah rentan
terhadap dampak perubahan iklim

Ekspansi kerusakan htuan hujan tropis di Indonesia terus meningkat. Data Statistik
Kehutanan Indonesia 2011 yang dirilis Kementerian Kehutanan tahun 2012,
menghitung luas lahan kritis ini mencapai 27,29 juta hektare. Membiarkan lahan kritis
di daerah tropis sangat merugikan karena kehilangan lapiran mineral penting dan air
akan sangat tinggi saat musim hujan, dan terjadi kerusakan unsur hara pada saat
kemarau panjang. Bila pemerintah ingin mendorong ekspor hasil perkebunan dan
mendapatkan devisa tinggi dari ekspansi minyak kelapa sawit dengan cara yang ramah
lingkungan, solusi terbaik adalah melepaskan hak penggunaan lahan kritis bekas hutan
ini untuk perkebunan skala besar, bukan dengan membuka hutan tropis baru atau lahan
gambut tebal yang merupakan penyerap dan penahan karbon (carbon capture dan
carbon sink).

Membuka hutan tropis dan gambut tebal untuk perkebunan, membawa konsekuensi
lepasnya karbon dalam volume tinggi ke udara dan berkurangnya kemampuan
penyerapan karbon, dan menunjukkan bahwa bahwa pengelolaan lingkungan hidup di
Indonesia tidak berbasis ilmu pengetahuan.

Dinamika Sosial Budaya
Manusia adalah dinamisator lingkungan paling kuat. Buku Guns, Germs and Steel
karya geografer Jared Diamond menyimpulkan bahwa posisi geografis mempengaruhi
perilaku dan dinamika sosial masyarakat. Hasil kebudayaan dan peradaban manusia
seperti arsitektur, ekonomi, transportasi, bahasa, berbagai bentuk kepercayaan dan
keyakinan, seni pertunjukan, makanan, pakaian, olahraga, dan sebagainya, semua
memiliki akar pada realitas geografis di seluruh dunia. Untuk mengeksplorasi
sumberdaya alam di sekitarnya manusia harus menyesuaikan dirinya dengan
lingkungan, dan dinamika penyesuaian melalui ilmu pengetahuan dan teknologi inilah
yang membentuk peradaban.

Energi merupakan salah satu pembentuk peradaban, dan Indonesia mengembangkan
peradabannya sebagai replika model-model peradaban Barat yang berbasis energi
hidrokarbon. Pilihan teknologi, ketrampilan, metode, manajemen, dikembangkan
mengikuti gaya Barat sebagai patron, sehingga ruang untuk mengembangan energi
baru dan terbarukan tidak mendapatkan tempat di dalam pembangunan Indonesia
selama puluhan tahun. Masyarakat kota dan pinggir kota yang boros energi dan
terbatasnya pilihan-pilihan yang disediakan untuk masyarakat, menyebabkan dinamika
sosial masyarakat perkotaan dan sub-urban di Indonesia membutuhkan energi dalam
volume yang tinggi dan tersedia dengan segera, yaitu energi berbasis hidrokarbon,
sehingga terus dieksplorasi secara masif.

Pilihan Politik-Ekonomi
Pilihan kebijakan politik-ekonomi pemerintah sangat mempengaruhi masa transisi
menuju ekonomi hijau. Pertumbuhan ekonomi rendah karbon sebagai salah satu
indikator utama ekonomi hijau, memiliki prasyarat utama untuk berhasil yaitu
keterlibatan pemerintah lebih besar.

Berbeda dengan mazhab ekonomi liberal dan neo-liberal yang menekan peran
pemerintah hingga sekecil-kecilnya dan menyerahkan perekonomian sepenuhnya
kepada pasar, maka ekonomi hijau membutuhkan kehadiran pemerintah secara aktif
mendukung inkubator bisnis berbasis ekonomi hijau.

Studi proyek percontohan ekonomi hijau oleh UNEP tahun 2010 tetang feed-in tarif
listrik energi terbarukan di Kenya, pertanian organik di Uganda, pemanfaatan hutan
berkelanjutan di Nepal, India, dan tata kota berkelanjutan di Brasil, menyimpulkan
adanya pola yang sama, yaitu intervensi pemerintah melalui kebijakan, insentif,
evaluasi dan monitoring, serta investasi. Di dalam proyek di lima negara itu,
pemerintah mengambil peran multifaset sebagai regulator, fasilititator, advokator
sekaligus investor. Pemerintah berkepentingan besar untuk memastikan inkubator
proyek percontoh itu berhasil bertahan hidup, sebelum melepas mereka bertarung
dalam pasar. Menyusun kebijakan lalu membiarkan para pemain ekonomi hijau
bertarung dengan para pemain ekonomi konvensional berbasis energi hidrokarbon,
hanya akan membunuh semua proyek ekonomi hijau, bahkan sebelum sempat
dirumuskan bentuknya.

.

You might also like