You are on page 1of 2

Badai Tidak Sama Dengan Krisis

Baru saja keluar dari kampus (Rabu, 16 Des 2009, pkl. 15.40 WIB) terlihat
mendung yang amat gelap. Saya sudah memperkirakan akan terjadi hujan lebat
lagi hari ini. Namun dengan percaya diri penuh, saya memberanikan beranjak
pulang kerumah. Ketika mengantar seseorang ke ‘tempat tinggal’nya, saya sudah
disambut dengan gerimis. Ketika itu, banyak pengendara terlihat panik, entah
karena mendung yang sangat pekat atau karena ada hal lain, tetapi terlihat
perbedaan yang mencolok antara kepanikan ketika itu dibandingkan dengan
kepanikan karena hal lain. Setelah proses pengantaran selesai, saya kemudian
melanjutkan perjalanan pulang ke rumah.

Ketika sedang ‘asyik’ berkendara roda dua menuju kerumah, tiba-tiba saja hujan
yang sangat deras dengan angin kencang (kemudian disebut sebagai ‘badai’)
menemani perjalanan saya. Mungkin hal ini juga dialami oleh teman-teman yang
lain. Saya kemudian dihadapkan pada dua pilihan yang sama-sama populer (disukai
banyak orang), yang pertama, berhenti kemudian berteduh di tempat teduh di
pinggir jalan menunggu sampai badai benar-benar mereda, atau yang kedua, yakni
berbekal modal yang memadai (motor dalam kondisi ‘fit’, mantel hujan dan stamina
jiwa raga masih oke) dengan sedikit hati-hati melahap derasnya badai.

Dengan perlengkapan yang memadai, akhirnya saya memilih pilihan kedua yakni
meneruskan perjalanan. Awalnya lalu-lintas lancar-lancar saja, namum ketika badai
mulai kencang dan lalu-lintas makin padat (karena jam pulang kerja), kondisi
dengan seketika berubah menjadi kemacetan dimana-mana. Pohon yang
bertumbangan dan banjir menjadi kendala utama perjalanan saya. Perjalanan
pulang yang biasanya 30 menit (dengan jarak + 15 km) berubah menjadi 90 menit.
Kalau saya yang naik motor saja terjadi pemborosan waktu 3 kali lipat, bagaimana
dengan yang naik mobil. Jadi sudah dapat dipastikan saya akan tiba dirumah lebih
cepat dengan naik kendaraan roda dua dibandingkan jika naik kendaraan roda
empat.

Yang saya tekankan sebenarnya bukan cerita saya pulang menuju rumah, tetapi
mencoba menganalogi sebuah kasus pada peristiwa ekonomi yang pernah kita
semua alami.
Kemudian kita analogikan beberapa istilah diatas kedalam istilah ekonomi,

1. Badai = Krisis Ekonomi


2. Kendaraan Roda Dua = Usaha Mikro Kecil
3. Kendaraan Roda Empat = Usaha Menengah Besar
4. Pengendara = Investor
5. Banjir dan Pohon Tumbang = Kerusakan Sistem Perekonomian (Banking
crises, default, dll)
6. Polisi Lalu-Lintas = Pengatur Stabilitas Perekonomian (BI, Depkeu, dll)
(karena saya tidak melihat ada polisi yang mengatur, maka tidak disebutkan
polisi diatas)
7. Panik = Perilaku Investor Ketika Terjadi Gejolak

Berdasarkan analogi diatas dapat kita ketahui, bahwa ketika ada kondisi yang
luar biasa (kemungkinan terjadi shocks), maka para pelaku ekonomi akan
dengan cepat merespon peristiwa tersebut, walaupun terdapat kemungkinan
adanya asymmetric information. Dalam hal ini tindakan apa yang dapat
dilakukan?. Jika anda sebagai investor, baik usaha mikro-kecil ataupun
menengah-besar, Apa yang akan anda lakukan ketika dihadapkan pada pilihan
seperti diatas, berhenti atau berjalan terus (dengan perlengkapan yang sudah
dipersiapkan tentunya)?.

Tidak semua hal diatas dapat menggambarkan kondisi krisis yang sebenarnya.
Tapi yang terpenting yakni sekuat apa ekonomi kita ketika krisis menerjang?.

Crises are not about the size of storm, but are about fundamentals.

You might also like