You are on page 1of 307

1

DI DADAKU
ISLAM
MENYALA Oleh: Abay Abu Hamzah

NYALA PERTAMA: MENYINARI HATI


Percik 1: Memahat Iman
Percik 2: Menyibak Tirai

NYALA KEDUA: MENERANGI SEMESTA


Percik 3: Mengejar Ilmu
Percik 4: Bersegera
Percik 5: Berbagi Cahaya
Percik 6: Terus Melangkah

NYALA KETIGA: MENUJU CAHAYA


Percik 7: Merancang Kematian
Percik 8: Menang

2
***
untuk Yenni,
di tahun ke empat pernikahan kita.
banyak tawa yang kita lalui bersama
banyak jerih yang kita lewati berdua
padamu aku belajar banyak hal;
tentang diri, tentang pencipta, tentang
semesta,
tentang cinta, tentang surga
bersama,
kita akan terus merajut cinta
yang akan kita jaga
hingga kedua kaki kita
seutuhnya berpijak di surga
***

3
DAFTAR ISI
Persembahan
Seribu Salam
Daftar Isi
Pendahuluan: Di Dadaku Islam Menyala

NYALA PERTAMA: MENYINARI HATI

Percik 1: Memahat Iman


• Seteguh Bilal
• Beriman di Atas Pasir
• Memahat di Atas Karang
• Islam Saja, Lain Tidak

Percik 2: Menyibak Tirai


• Cinta yang Tak Hadir di Setiap Hati
• Semerbak Wangi dari Madinah
• Bisik Rindu dari Andalusia

NYALA KEDUA: MENERANGI SEMESTA

Percik 3: Mengejar Ilmu


• Belajar dari Asy-Syafi’i
• Taman Surga

Percik 4: Bersegera
• Benar dan Ikhlas
• Secepat Hanzalah
• Cerdas Beribadah

Percik 5: Berbagi Cahaya

4
• Dongeng Umat Terbaik
• Belajar dari Abu Dzarr
• Menyempurnakan Ikhtiyar

Percik 6: Terus Melangkah


• Jalan Ini Berduri
• Ujian Cinta

NYALA KETIGA: MENUJU CAHAYA

Percik 7: Merancang Kematian

Percik 8: Menang
• Semesta dalam Teduh
• Akhir Cerita Kita

Tentang Penulis

5
SISTEMATIKA BUKU

NYALA PERTAMA: MENYINARI HATI

Percik 1: Memahat Iman


Seteguh Bilal
Beriman di Atas Pasir
Memahat di Atas Karang
Islam Saja, Lain Tidak

Percik 2: Menyibak Tirai


Cinta yang Tak Hadir di
Setiap Hati
Semerbak Wangi dari
Madinah
Bisik Rindu dari Andalusia

NYALA KEDUA: MENERANGI SEMESTA

Percik 3: Mengejar Ilmu


Belajar dari Asy-Syafi’i
Taman Surga

Percik 4: Bersegera
Benar dan Ikhlas
Secepat Hanzalah
Cerdas Beribadah

Percik 5: Berbagi Cahaya


Dongeng Umat Terbaik

6
Belajar dari Abu Dzarr
Menyempurnakan Ikhtiyar

Percik 6: Terus Melangkah


Jalan Ini Berduri
Ujian Cinta

NYALA KETIGA: MENUJU CAHAYA

Percik 7: Merancang Kematian

Percik 8: Menang
Semesta dalam Teduh
Akhir Cerita Kita

7
JazaakumuLlah

Sembah sujud saya haturkan kepada Allah,


atas raga, atas jiwa, atas indra, atas segala
karunia. Tidaklah saya bisa menyelesaikan
naskah ini melainkan atas izinMu ya Allah.
Karena itu, jagalah keikhlasan hati hamba,
taburilah karya kecil ini dengan kebenaran
dan cahayaMu, agar bisa memberi manfaat
bagi siapapun yang berkenan membacanya,
terlebih lagi kepada yang menuliskannya.

Shalawat serta salam, akan tetap tercurah


kepada junjungan saya Rasulullah Shallallahu
’Alaihi Wasallam. Terimakasih ya Nabi, atas
risalah yang kau wariskan pada kami.
Terimakasih ya Rasul, atas segala jerihmu
untuk menyinari kegelapan dunia ini, atas
segala darahmu yang tertumpah demi
menyelamatkan kami. Tak ada yang bisa kami
lakukan untuk membalas segala jerih, peluh,
air mata dan darahmu, selain hanya

8
senandung syahdu dari lisan dan hati kami:
Allahumma Shalli ’Ala Muhammad, Ya Allah
limpahkanlah shalawat atas junjungan kami
nabi Muhammad saw.

Kepada sepasang suami isteri yang


membesarkan dan mendidik dengan segala
keterbatasan. Abdullah dan Noor Jaliyyah,
Abah dan Mama saya tercinta. Semoga Allah
memberkahi setiap sisi kehidupan kalian. Maaf
jika anak bandel ini sering membuat kalian
susah dan menangis. Tak ada yang bisa saya
lakukan untuk Abah dan Mama tercinta,
kecuali senandung doa kepada Allah,
Rabbighfirly waliwalidayya warhamhuma
kama rabbayani shagira, Tuhanku ampunilah
aku dan kedua orangtuaku, dan peliharalah
mereka berdua sebagaimana mereka
memeliharaku di waktu kecil.

Berjuta terima kasih kepada kedua mertua


yang luar biasa, Ramdani dan Rawiyah, yang
telah mendidik dan membesarkan seorang

9
gadis kecil hingga dewasa, kemudian dengan
lapang dada mempercayakan penjagaan
berikutnya kepadaku. Semoga Allah
membalasnya dengan yang lebih baik.

Salam sayang untuk empat adik manisku,


Amalia Rismawati, berjilbab ya sayang.
Maulida Wulandari, selamat datang di dunia
para Penggenggam Bara Islam. Muhammad
Syawwal dan Muhammad Nazar Ridhani,
teruskan perjuangan kakak ya.

Terimakasih juga saya haturkan kepada Mbak


Ratih Ayuningrum yang dengan sabar
membimbing saya menyelesaikan naskah ini.
Semoga Allah selalu memudahkan urusan
Mbak, JazaakiLlaah bil-Jannah...

Kepada para asatidz yang telah membangun


karakter diri saya sebagai seorang Muslim,
Ustadzah Fithri yang telah mendoakan saya
dengan doa yang sangat mulia, ”Semoga
kamu jadi seorang pengemban dakwah.” Juga
kepada Ustadz Wahyudi Abu Najwa, Ustadz

10
Agus Abu Ghina, Ustadz Yusuf Abu Fikri,
Ustadz Agung, Ustadz Firman Saladin, dan
para asatidz sekalian, semoga Allah membalas
kalian dengan yang lebih baik daripada apa
yang dilintasi matahari dari terbit hingga
tenggelamnya. Begitulah balasan Allah
kepada seseorang yang mengantarkan
hidayah melalui lisannya. Dan lisan kalian
telah mengantarkan hidayah pada hatiku.

Segenap cinta saya haturkan kepada para


penerus: Tri, Pariadi (salam untuk isteri Antum
ya akh, ukhti Ni’mah Faizah), Amin, Iman,
Fadli, Hendra, Adi dan juga Hairan. Juga
kepada adik-adik hebat di Komunitas Islam
Satu (K1S), Arsani, Rahmani, Fauzi, Chandra,
Hakim, Jumadi, Wanda, Eko, Hasmi, Faris,
Luthfi, Ayub, Musthafa, Teguh, Riyadi, Amin,
dan Ghazali.

Salam untuk adik-adik pasca mentoring PBSID


FKIP Unlam 2007, Gesit, Sofyan, Ijonk, Fauzil,

11
Ramdhani, Thayyib, Rizali, afwan kalau ada
yang tidak sempat disebutkan ya...

Salam ukhuwah juga saya bingkiskan untuk


Amalliani, Nunu, Atikah, Desi Mtk08, Niah,
Diana, Ina, Ka Silmi, Ka Nayla (jazakillah
kalimat dahsyatnya), Ka Mia (saya tunggu
buku pian berikutnya), Ka Rifda (afwan belum
sempat memenuhhi undangan soft launching
di radio Abdi Persada), juga para akhawat
yang sering ke rumah untuk ikut pengajian
isteri saya, Mardiana, Ami, Ratna, Syarifah,
dan juga Hadijah, afwan jika kami sekeluarga
kurang baik dalam memuliakan tamu.

Para penerus perjuangan di MyMaticz: Erna,


Dyah, MU-NJ-MJ (Maria Ulfah, Noor Jennah dan
Miftahul Jannah), Azmah, dan pengurus
lainnya yang tidak bisa saya sebutkan satu-
persatu.

Salam untuk sahabat seperjuangan yang


tumbuh mekar beriringan, Hendra Salim
(salam untuk Bu Dokter, hehe), Meydi, Elham

12
dan Nita isterinya (kapan nih bisa ke
Banjarmasin lagi buat reunian?), Eko dan Dyah
isterinya (semoga Allah selalu menyertai
antum sekeluarga, afwan kami jarang
berkunjung), serta Abduh dan Adien isterinya
(Akh, saya tunggu koreksi dari antum untuk
karya-karya saya). Juga untuk teman-teman di
Masjid kampus, Syahdan, Fitriyadie, Harry dan
Aisyah isterinnya, Fadlan, Izhar, Juki, Ali, Yadi,
Agus Salim, dkk. Salam juga untuk teman-
teman di Prodi Pendidikan Matematika FKIP
Unlam, dan seluruh keluarga besar FKIP
Unlam.

Kepada guru-guru di SMAN 1 Mataraman, Pak


Max dan Bu Rusdiah, Bu Kamaliah dan Pak
Yusuf, Bu Rina, Bu Palupi, Bu Mar, Pak Yusuf
(guru matematika), Pak Jur, dan semua guru
yang kucinta, terimakasih atas ilmu yang
diberikan kepadaku. Juga kepada dosen-dosen
yang kusayangi, Pak Karim, Pak Iskandar, Pak
Profesor Sutarto, Pak Faif, Pak Rusli
(Allahuyarham, ternyata penduduk langit lebih

13
menginginkanmu Guru, semoga Allah
memberikan tempat terbaik untukmu, atas
segala ilmu yang kau berikan pada mahasiswa
yang bandel ini) juga untuk Pak Tono, Pak
Ansori, Bu Ati, Bu Ani, Bu Fajriah, Bu Akmil, Bu
Diana, Bu Agni, Bu Mastinah, dan Bu Aisyah.
Semuanya, jazakumuLlah bil-Jannah...

Terakhir dan teristimewa, kepada isteriku


Noor Yenni, terimakasih kuhaturkan atas cinta
yang kau berikan dengan tulus. Terimakasih
atas segala inspirasi. Terimakasih atas setiap
diskusi di sepanjang perjalanan
bersepedamotor. Sayang, bersamamu aku jadi
semakin mengerti siapa diriku di hadapan
Tuhan.

Kecup sayang untuk kedua titipan Allah pada


kami, Muhammad Nawfa Hamzah sang calon
da’i dan Muhammad Alif Alfatih sang calon
ilmuwan. Anak-anakku, semoga melalui
tangan kalianlah kota Roma jatuh ke

14
pangkuan Islam, seperti yang dijanjikan
Rasulullah.

Kepada semua sahabat yang namanya tak


bisa kusebutkan satu persatu, salam untuk
kalian semua. Kepada siapapun yang
mencintaiku, aku mencintai kalian karena
Allah.

Dengan cinta yang menggebu,

Abay Abu Hamzah

15
DI DADAKU ISLAM MENYALA
(Sebuah Pendahuluan)

Siapa yang masih ingat film Kiamat Sudah


Dekat? Beberapa fragmen di film itu
memberikan pelajaran yang sangat berharga
buat saya. Tak jarang, saya mengutip salah
satu adegannya untuk saya sampaikan di
hadapan audiens-audiens saya.

Dalam film itu, diceritakan Andre Taulani


sedang meminta izin kepada Pak Haji Dedy
Mizwar untuk berpacaran dengan anaknya.
Pak haji yang memahami bahwa tidak ada
pacaran dalam Islam, jelas saja menolak
keinginan Andre. Pak haji inginnya langsung
menikah saja. Mendengar itu, jelas saja Andre
girang. Sayang kegirangan Andre tidak
berlangsung lama, karena sesaat setelah itu
Pak Haji langsung memulai pembicaraan
tentang syarat-syaratnya.

16
Baik. Pasti kalian ingin tahu apa saja syarat-
syaratnya. Saya tidak ingat semuanya, hanya
yang pertama saja, yaitu beragama Islam.

”Agama kamu Islam kan?” tanya Pak Haji.

Saya mengira Andre akan menjawab dengan


enteng, ”Iya dong pak Haji...” tetapi ternyata
tidak. Muka Andre terlihat bingung. Kikuk. Dia
lalu menangkup kedua telapak tangannya di
dada sambil menganggukkan kepala, ”Maaf,
sebentar Pak Haji,” katanya seraya berbalik
arah dan mengambil dompet di saku
belakangnya. Kemudian dia mengeluarkan
sebuah benda seukuran kartu nama. Setelah
itu senyum di wajahnya kembali merekah.

”Iya Pak Haji, agama saya Islam. Maaf, saya


lupa Pak Haji, maklum biasanya yang ngurus
KTP supir keluarga saya, itupun lima tahun
sekali Pak Haji...”

InnaliLlah... ternyata Islam bagi Andre di film


itu hanyalah sebatas status di KTP, yang

17
setara dengan 25 Pebruari 1986 dan RT 5 No
34 A. Ya, Islam bagi tokoh yang diperankan
Andre itu tak lebih dari sekedar salah satu
data yang perlu dimasukkan untuk menuh-
menuhin kolom di KTP. Itu saja, tidak lebih.

Khawatirnya, masih banyak di antara kita


yang mungkin masih berpikiran tak jauh beda
dengan tokoh di film itu. Menjadikan Islam tak
lebih dari sekedar status. Bahkan sebagai
statuspun kadang Islam tak benar-benar
diingat, seperti tokoh kita tadi. Betapa
rendahnya Islam bagi mereka, jika tempatnya
hanya di dalam KTP yang dimasukkan ke
dalam dompet, dan dompet diletakkan di saku
belakang celana kita.

Saya sangat khawatir jika masih banyak


Muslim yang tak menjadikan Islam istimewa
bagi mereka, karena itu melalui buku
sederhana ini saya ingin bercerita kepada
para pembaca, bahwa Islam itu letaknya
bukan di saku belakang celana kita. Saya ingin

18
berbagi, agar kita semua menyadari bahwa
Islam itu semestinya di letakkan di hati, dan
selayaknya ia menyala di sana. Karena itulah,
buku sederhana ini saya beri judul Di Dadaku
Islam Menyala.

Buku ini saya bagi menjadi tiga bagian yang


saya sebut Nyala. Nyala pertama, MENYINARI
HATI, akan mengajak kita semua berpikir
tentang diri dan alam semesta. Dari sini kita
akan membuktikan kebenaran Islam secara
logis agar bisa meyakini Islam dengan
keyakinan yang bulat utuh. Di sini kita akan
belajar untuk beriman dengan berpikir, kita
akan belajar mencintai Islam dan kita akan
belajar untuk percaya diri dengan identitas
keislaman kita.

Bangga dengan identitas keislaman saja tentu


belum cukup untuk menjadi Muslim sejati.
Harus ada tindakan berikutnya yang kita
lakukan setelah pe-de dengan keislaman kita.
Untuk itu kita akan melaju ke Nyala kedua,

19
MENERANGI SEMESTA. Di sini kita akan belajar
bersama untuk membuktikan kecintaan kita
pada Islam dengan cara mengejar ilmu
sehaus pengembara, mengamalkannya
sekuat daya, dan menyebarkannya sepenuh
jiwa. Ada satu bekal yang harus kita miliki
dalam mempelajari, mengamalkan dan
menyebarkan Islam. Bekal itu bernama
istiqamah Dengan begitu, kita tidak sekedar
menjadi Muslim dalam tataran konsep
(sekedar meyakini dan mencintai saja), tetapi
kita juga telah menjadi Muslim dalam tataran
praktis (mengamalkannya).

Di Nyala ketiga nanti, MENUJU CAHAYA,


InsyaaLlah kita akan diingatkan kembali
bahwa perjuangan kita bukanlah perjuangan
tanpa akhir. Allah telah menjanjikan dua
kemenangan bagi kita, sebagai akhir dari
cerita kita.

Jika kata-kata yang dicetak tebal saya


kumpulkan dalam satu skema, jadinya

20
InsyaaLlah seperti yang saya sajikan di bawah
ini,

(Nyala I, Membangun Pondasi)


meyakini islam  mencintai Islam

(Nyala II, Setelah Membangun Pondasi)


 mempelajari Islam  mengamalkan
Islam
 menyebarkan Islam  istiqamah

(Nyala III, Akhir)


 merancang mati  menang

Tanda anak panah menunjukkan bahwa poin


satu dengan lainnya merupakan tahapan yang
saling berkait-kaitan. Tujuh poin itu saya
kelompokkan dalam tiga Nyala, Nyala I
merupakan pondasi, Nyala II merupakan tiga
kewajiban kita setelah kita membangun
pondasi yang kokoh itu, dan Nyala III
merupakan pembahasan tentang akhir cerita
kita.

21
Kepada kalian yang sedang mencari
kebenaran, saya berharap buku ini bisa
memberikan jawaban yang memuaskan dan
mencerahkan. Kepada sahabat semua yang
sudah sejak lama menapaki jalan ini,
InsyaaLlah buku ini akan tetap bermanfaat
buat kita, setidaknya formulasi materi yang
saya sajikan di buku ini bisa membantu dalam
menyampaikan kebenaran Islam dalam
diskusi-diskusi, pengajian-pengajian,
mentoring-mentoring, dan lain sebagainya.

Selamat menekuri lembar demi lembar buku


sederhana ini. Semoga kita menemukan
serpihan-serpihan manfaat yang bisa kita
himpun menjadi sebuah pemahaman yang
berharga.

Banjarmasin, Syawwal 1430,


Sahabatmu di Jalan Allah

Abay Abu Hamzah

22
Nyala Pertama

MENYINARI HATI

23
Nyala Pertama
MENYINARI HATI
***
Banyak orang yang beriman,
tetapi hanya sedikit
yang memahami keimanannya.
***

1
Memahat Iman
Seteguh Bilal
Beriman di Atas Pasir
Memahat di Atas Karang
Islam Saja, Lain Tidak

2
Menyibak Tirai
Cinta yang Tak Hadir di Setiap Hati
Semerbak Wangi dari Madinah
Bisik Rindu dari Andalusia

24
Saya sengaja memberi judul MENERANGI HATI
pada Nyala Pertama ini. Karena sepanjang
pembahasan di bagian ini, kita akan banyak
berbincang tentang diri kita. Kita akan banyak
belajar mengenali siapa kita, untuk apa kita
berada di sini, dan mau kemana kita setelah
ini? Ya, semua itu tentang diri. Berbicara
tentang diri, berarti kita juga berbicara
tentang rajanya diri: hati. Karena itulah Nyala
pertama ini berjudul Menerangi Hati.
Jika kita berada di suatu perkampungan,
kemudian ada orang yang menanyakan pada
kita mengenai asal kita, sedang apa kita di
sana, dan mau kemana kita, lalu kita
menjawab ketiga pertanyaan itu dengan ‘tidak
tahu’, jangan salahkan siapa-siapa jika kita
dikeroyok oleh massa, atau setidaknya diusir
dari kampung itu. Karena kita tidak bisa
menjelaskan dari mana kita, sedang apa di
sana, dan mau kemana setelah itu, maka
adalah wajar jika orang beranggapan bahwa
kita adalah orang jahat, atau bahkan orang

25
gila. Ya, bukankah orang gila memang tidak
mengerti darimana mereka berasal, untuk apa
mereka ada di sini, dan mau kemana setelah
ini?
Maka, mari kita bercengkerama tentang tiga
pertanyaan mendasar itu; dari mana kita
sebelum berada di dunia ini, untuk apa kita
berada di dunia ini, dan mau kemana kita
setelah meninggalkan dunia ini.
Tiga pertanyaan besar tersebut harus dijawab
dengan sempurna. Jika kita tidak bisa
menjawabnya, mungkin kita adalah orang gila.

26
Percik 1:
Memahat Iman

1. Seteguh Bilal
2. Beriman di Atas Pasir
3. Memahat di Atas Karang
4. Islam Saja, Lain Tidak

27
1
SETEGUH BILAL

Saat itu matahari sedang berada di atas


kepala. Seorang budak hitam dari Habasyah,
tengah terbaring tak berdaya di padang pasir.
Di dadanya, sebongkah batu besar cukup
menyesakkan nafasnya. Udara padang pasir
terasa membakar dengan perlahan, membuat
lapis demi lapis kulitnya terkelupas. Umayyah
bin Khalaf tengah terkekeh sombong ketika
melihat bilur-bilur di badan Bilal akibat
cambukan yang menderanya. Setiap kali
Umayyah mengangkat cambuknya, maka
yang terangkat tak cuma cambuk itu saja,
kulit dan daging Bilal juga ikut terangkat,
bersamaan dengan darah segar yang
menyembur dari lukanya yang menganga.

Hanya satu yang diminta oleh majikan kafir


itu, Bilal kembali kepada agama nenek
moyangnya. Agar Bilal kembali menyembah

28
tiga ratus enam puluh berhala yang dipasang
di sekeliling ruangan dalam Ka’bah. Alangkah
sesaknya nafas. Alangkah pedihnya cambukan
itu. Alangkah sakitnya ketika kulit dan daging
tercerabut. Alangkah ganasnya matahari.
Tetapi, setiap kali Umayyah memaksanya
untuk kembali kafir, Bilal hanya menjawabnya
dengan ”Ahad…, Ahad…” seolah cambukan
Umayyah tak sedikit pun menggentarkannya.

Alangkah menakjubkan. Seorang budak yang


belum lama beriman, ternyata mampu
mempertahankan keimanannya meskipun
harus dipanggang di bawah terik matahari.
Ada kekuatan apa yang sebenarnya berada di
balik ketegaran Bilal bin Rabah?

Kekuatan yang aneh. Kekuatan yang menurut


orang-orang kafir Quraisy mampu
memisahkan orangtua dengan anaknya,
mampu memisahkan suami dengan isterinya.
Kekuatan yang melebihi sihirnya para tukang
tenung. Kekuatan yang begitu menggugah,

29
jauh melampaui syair-syair perang yang
didendangkan oleh suku Aus dan Khazraj di
Yatsrib. Kekuatan itulah yang membuat Bilal
bin Rabah seperti tidak merasakan apa-apa
saat cambuk Umayyah berkali-kali
menderanya.

Jika kita masih belum mampu menemukan


jawaban rahasia kekuatan Bilal, maka
fragmen sejarah berikut ini, InsyaaLlah
mampu menjelaskannya pada kita.

Saat itu perang Mu’tah tengah berkecamuk


dengan ganasnya. Dari segi jumlah pasukan,
perang ini jelas tidak seimbang. Tiga ribu
prajurit Islam, harus menghadapi pasukan
gabungan Romawi yang jumlahnya dua ratus
ribu tentara bersenjata lengkap. Bisa
dibayangkan. Secara hitungan matematis
saja, jika jatuhnya korban dari masing-masing
pasukan sama-sama tiga ribu orang, itu
berarti telah menghabiskan seluruh pasukan
Islam, tetapi masih menyisakan seratus

30
sembilan puluh tujuh ribu pasukan Romawi.
Dari perbandingan itu, setiap Mukmin harus
menghadapi enam puluh tujuh orang kafir.
Bisa dibayangkan betapa tidak seimbangnya
perang itu.

Adalah wajar, jika sebelum keberangkatan


mereka, Rasulullah sampai menyebutkan tiga
orang panglima perang. Panglima pertama
adalah Zaid bin Haritsah, jika dia syahid, maka
pasukan dipimpin oleh Ja’far bin Abdul
Muthallib. Jika Ja’far syahid, maka pasukan
diambil-alih oleh Abdullah bin Rawahah,
seorang ahli syair yang gubahannya selalu
menusuk-nusuk lembut ke dalam hati.

Tak berapa lama setelah perang dimulai, Zaid


bin Haritsah telah gugur sebagai syuhada.
Segera setelah itu, ar-rayah dipegang oleh
Ja’far bin Abdul Muthallib. Tak lama berselang,
Ja’far segera menyusul Zaid. Maka sesuai
perintah Rasulullah, pasukan dipimpin oleh
Abdullah bin Rawahah, itu pun tak sempat

31
lama. Karena Abdullah bin Rawahah juga
segera menyusul kedua pendahulunya menuju
Allah.

Beruntung, dalam pasukan itu ada seorang


lelaki yang belum lama memeluk Islam. Abu
Sulaiman nama kuniyahnya, Pedang Allah
nama laqabnya, dan Khalid bin Walid nama
sebenarnya. Lelaki inilah yang saat masih kafir
berhasil mengalahkan kaum Muslimin pada
perang Uhud. Kini, Ia berada bersama pasukan
yang dulu diperanginya. Menarik sekali. Tetapi
justru karena dulu ia pernah memerangi kaum
Muslimin, ia merasa malu dan tidak layak
menjadi panglima perang menggantikan
Abdullah bin Rawahah yang telah pergi
menuju Allah. Namun, para sahabat
mempercayakan kepemimpinan padanya.

Keadaan berubah. Dengan strateginya yang


cerdik, ia berhasil mengelabui pasukan
Romawi. Ia menukar posisi para Mujahidin.
Pasukan yang sebelumnya berada di sayap

32
kanan, ditukar dengan pasukan dari sayap kiri.
Begitupun pasukan di barisan depan,
ditukarnya dengan pasukan yang berada di
belakang. Pasukan yang kini berada di barisan
belakang, diperintahnya membuat suara
berisik, menghamburkan debu ke udara, dan
membuat kuda-kuda meringkik kencang.

Cerdas. Strategi itu menimbulkan kesan


bahwa kaum Muslimin mendapat tambahan
pasukan. Karena posisi pasukan yang satu
ditukar dengan pasukan di sisi lainnya, maka
pasukan musuh menemukan wajah-wajah
baru dari pasukan Muslim. Mereka berpikir
bahwa itu adalah pasukan tambahan dari
Madinah. Debu-debu yang beterbangan, suara
berisik dan ringkikan kuda, membuat kesan
pasukan Mukmin bertambah banyak.

Melihat itu, balatentara Romawi berpikir logis.


Jika dengan jumlah pasukan yang hanya tiga
ribu saja, mereka sudah kewalahan
menghadapinya, bagaimana jika kaum

33
Muslimin mendapat tambahan pasukan? Tentu
mereka akan kehabisan nafas untuk
menghadapi kaum Muslimin. Tanpa
memikirkan gengsi, mereka lebih memilih lari
tunggang-langgang meninggalkan medan
perang. Kemenangan berada di pihak kaum
Muslimin, tanpa harus meneruskan
peperangan. Sungguh cerdik Khalid bin Walid.

Ada banyak pelajaran yang dapat kita ambil


dari kisah heroik tersebut. Salah satunya
adalah syair Abdullah bin Rawahah yang
terpatri dalam sejarah.

”Wahai manusia. Tidaklah kita


memerangi mereka karena banyaknya
jumlah kita, atau karena persenjataan
kita. Demi Allah, kita hanya memerangi
mereka karena Islam ini, yang mana
Allah telah memuliakan kita
dengannya.” (Abdullah bin Rawahah)

Syair Abdullah bin Rawahah ini seolah


menjawab kebingungan kita tentang kekuatan

34
rahasia Bilal bin Rabah. Ummat Islam tidaklah
mampu bertahan karena banyaknya pasukan
atau canggihnya persenjataan, melainkan
hanya karena keimanan itu sendiri. Keimanan
itulah yang membuat deraan cambuk
Umayyah bin Khalaf menjadi tidak berarti.
Keimanan itu juga yang menjadikan sesaknya
nafas karena terhimpit batu seolah tidak
terasa. Keimanan itu juga yang membuat
sobekan-sobekan daging Bilal seolah tak
berbekas. Kekuatan itu, Iman.

Tapi bagaimana ceritanya, keimanan mampu


menjadi kekuatan yang teramat dahsyat?
Bagaimana ceritanya, sebuah doktrin bisa
menggugah hati seorang budak untuk
menahan siksaan berat untuk
mempertahankannya? Kita bisa saja
mengatakan bahwa kita meyakini sesuatu,
tetapi keyakinan itu mungkin akan luntur jika
dihadapkan pada kalungan celurit di leher
kita. Kita bisa saja mengklaim bahwa kita
beriman, tapi jika harus berhadapan dengan

35
moncong senapan, belum tentu bisa
mempertahankannya. Kita bisa saja mengaku
memeluk Islam, tapi jika harus berhadapan
dengan kursi listrik, atau alat pencabut kuku,
dan mungkin tiang gantungan, bisa jadi
keislaman itu akan tergadai. Tidak usah jauh-
jauh, dengan sekardus mie instan pun, sudah
banyak keimanan yang tergadaikan.

    


  


Di antara manusia ada yang mengatakan:
"Kami beriman kepada Allah dan hari
kemudian," pada hal mereka itu
Sesungguhnya bukan orang-orang yang
beriman. (TQS. Al-Baqarah: 8)

Memang, keimanan kita mungkin akan


tergadai dengan berbagai rintangan tersebut.
Tetapi itu hanya terjadi jika keimanan kita
adalah keimanan yang rapuh. Namun, tentu

36
saja kita akan mempertahankannya meski
harus mempertaruhkan nyawa, jika keimanan
yang kita miliki, dibangun di atas pondasi
yang kokoh, yang bisa
dipertanggungjawabkan secara logis.
Keimanan seperti ini mampu bertahan jika
dihadapkan dengan logika orang waras.

Jika kita saja tidak bisa menemukan bukti


bahwa Islam adalah agama yang benar, lalu
bagaimana mungkin kita siap mengorbankan
nyawa kita untuk memperjuangkannya? Kisah
heroik Bilal bin Rabah, Zaid bin Haritsah, Ja’far
bin Abdul Muthallib, Abdullah bin Rawahah
dan Khalid bin Walid, tentu tidak akan terjadi
seandainya mereka tidak menemukan bukti
kebenaran risalah Islam ini.

Juga, tidak mungkin orang dari suku Ghifar


dan suku Aslam datang berbondong-bondong
untuk memeluk Islam, jika mereka tidak
menemukan bukti kebenaran Islam. Tidak
mungkin Abu Sufyan berbalik menjadi

37
pembela Islam jika ia tidak menemukan bukti
kebenaran akidah Islam. Tentu, keputusan
mereka untuk berbalik membela agama yang
dulu diperanginya, dikarenakan akal mereka
tak mampu menolak bukti kebenarannya.

Sungguh, Islam adalah akidah yang tidak


hanya benar menurut al-Quran. Tetapi ia juga
pasti benar menurut standar-standar
universal. Orang non-muslim pun, jika saja
mau menggunakan standar-standar universal,
tentu akan mengakui kebenaran akidah Islam.
Hanya saja kebanyakan dari mereka
bersembunyi di balik slogan ’kebenaran
relatif’. Sayang sekali.

   


 
  
 
 
  
 


38
  
  
Apabila dikatakan kepada mereka:
"Berimanlah kamu sebagaimana orang-orang
lain telah beriman." Mereka menjawab: "Akan
berimankah kami sebagaimana orang-orang
yang bodoh itu telah beriman?" Ingatlah,
sesungguhnya merekalah orang-orang yang
bodoh; tetapi mereka tidak tahu (TQS. Al-
Baqarah: 13)

***

39
2
BERIMAN DI ATAS PASIR

Selama ini, jika kita bercerita tentang bukti


kebenaran Islam, kita selalu membahasnya
dari sudut pandang Islam. Itu memang tidak
salah. Tetapi bukti-bukti yang kita ajukan tidak
akan berlaku jika disuguhkan kepada orang
yang telah memeluk agama tertentu, atau
seorang atheis sekali pun.

Kita sering mengatakan bahwa bukti


kebenaran Islam adalah ayat ”Innad-diina
’indallahil-Islaam”. Ayat itu tidak keliru, dan
memang satu-satunya agama yang diridhai di
sisi Allah adalah Islam. Tetapi apakah orang
non-Muslim mau menerima argumen yang
seperti itu? Jika kita memaksa mereka percaya
dengan kabar dari al-Quran, maka dengan
logika yang sama, seharusnya kita juga harus
menerima jika orang Kristen mengatakan

40
bahwa Yesus adalah anak Allah, karena Injil
menjelaskannya seperti itu.

Tentu kita tidak bisa menerimanya. Karena


kabar bahwa Yesus adalah anak Allah, ada
pada Injil yang isinya tidak kita yakini
kebenarannya. Nah, jika kita tidak bisa
mempercayai mereka karena mereka
bersandar pada Injil, bukankah wajar jika
mereka pun tak bisa mempercayai kita jika
kita bersandar pada al-Qur’an?

Jika kita ingin menguji kebenaran masing-


masing agama, tentu harus ada standar
universal yang disepakati. Standar itu
haruslah diakui oleh semua pihak. Sejauh ini,
standar yang sama-sama diakui itu adalah
akal, logika.

Baik. Mungkin sebagian kalangan akan


menolak tawaran tersebut. Karena bagi
mereka, keimanan bukanlah sesuatu yang
harus dibahas dengan akal. Keimanan adalah
pembenaran yang bersifat pasti. Tidak peduli

41
logika bisa menerimanya atau tidak. Jika iman
bertentangan dengan akal, maka akal harus
dikalahkan. Begitu kata mereka.

Bahwa keimanan adalah pembenaran yang


bersifat pasti dan tak ada keraguan di
dalamnya, tentu kita sepakat. Masalahnya,
bagaimana mungkin kita bisa menemukan
pembenaran yang bersifat pasti, jika kita
dipaksa meyakini tanpa disertai pembuktian.
Kalau keimanan tak perlu pembuktian logis,
maka akan sangat banyak bermunculan
keyakinan baru yang tidak bisa diterima oleh
akal. Dan ketika kita memvonis aliran itu sesat
karena tidak bisa diterima oleh akal, apa
jadinya jika mereka menjawab dengan
jawaban yang sama ”Keimanan adalah
pembenaran yang bersifat pasti, tak perlu
logika bisa menerimanya atau tidak”

Karena itu, dengan standar yang universal,


tentu siapapun akan mengakui keimanan

42
mana yang benar dan keimanan mana yang
keliru.

Rapuhnya Akidah Mereka

Kalau kita amati, setidaknya ada empat


landasan sesorang beriman. Dari empat
alasan itu, tiga di antaranya adalah landasan
yang rapuh. Tiga landasan rapuh itu adalah
karena keturunan, karena ketentraman, dan
karena keajaiban.

Jika saja landasan keimanan adalah


keturunan, maka beruntunglah orang yang
terlahir dari rahim seorang Muslimah. Tapi
bagaimana dengan bayi yang lahir dari rahim
seorang wanita Nashrani, Yahudi, atau bahkan
wanita musyrik? Apakah bayi-bayi itu berdosa
lantaran terlahir dari rahim seorang non-
Muslim? Memangnya, siapa yang menentukan
mereka lahir dari rahim seorang musyrik?
Apakah mereka sendiri yang mau? Tidak!
Allah-lah yang menentukan dari rahim siapa
mereka lahir. Allah yang mengatur semuanya.

43
Lalu, apakah Allah akan menghukum
seseorang karena perbuatan-Nya sendiri?
tidak!

Setiap manusia yang terlahir, selalu berada


dalam fithrah. Selalu berada dalam keimanan
kepada Allah dan Rasul-Nya.

  


   
 
 

 
  
   
  
 
 
  
”Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu
mengeluarkan keturunan anak-anak Adam
dari sulbi mereka dan Allah mengambil
kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya
berfirman): "Bukankah Aku Ini Tuhanmu?"

44
mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban
kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan
yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu
tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (Bani
Adam) adalah orang-orang yang lengah
terhadap Ini (keesaan Tuhan)" (TQS. Al-A’raf:
172)

Kalau begitu, kita tidak bisa menjadikan garis


keturunan sebagai landasan iman. Karena
seperti kata group musik Raihan, iman tak
dapat diwarisi dari seorang ayah yang
bertaqwa.

Ada juga orang yang beriman karena


keajaiban. Misalnya karena melihat ada pohon
yang berbaris membentuk kalimah syahadah.
Sebagai seorang Muslim, memang kita harus
menyikapinya sebagai bukti kebesaran Allah.
Namun, keajaiban semacam itu tidak bisa kita
jadikan landasan dalam keimanan kita.
Kenapa? Karena setiap keyakinan pasti
melahirkan keajaiban.

45
Kalau kita konsisten dengan keajaiban sebagai
landasan iman, kita pasti akan mengubah
keyakinan setiap kali melihat keajaiban. Hindu
juga punya keajaiban, karenanya jangan
bingung jika melihat ada penganut agama
Hindu yang mampu bertapa lama tanpa
makan. Budha juga punya keajaiban, Kristen,
Shinto, Sikh, bahkan Sai Baba sekalipun
memiliki keajaiban. Lalu, jika semua
keyakinan memiliki keajaiban, apakah ini
menandakan semua keyakinan benar? Tidak.

Selain karena keturunan dan keajaiban, ada


juga orang yang beriman karena merasakan
ketentraman dalam beribadah. Mereka
menganggap bukti kebenaran agama Islam
adalah adanya ketentraman ketika beribadah.
Padahal kalau kita mau jujur, ketentraman
dalam beribadah tidak hanya bisa didapatkan
di dalam Islam. Lihatlah orang Budha dalam
bersemedi, pastilah mereka mendapatkan
ketentraman dalam ibadahnya. Lihat pula
orang Kristen, ketika mereka menyanyikan

46
lagu-lagu rohani, tentunya mereka diselimuti
oleh ketentraman jiwa. Begitu pula dengan
orang Yahudi ketika membenturkan kepada di
tembok ratapan, atau Majusi ketika
menyembah api, atau masyarakat arab pra-
Islam yang menyembah-nyembah 360 berhala
di dalam Ka’bah. Semuanya merasakan
ketentraman dalam ibadahnya. Lalu, untuk
kesekian kalinya saya bertanya, apakah ini
berarti semua agama benar? Tidak, tentu saja
tidak! Karena kebenaran adalah sesuatu yang
mutlak, ia hanya ada satu di dunia ini. Jika
sesuatu terbukti benar, maka segala yang
bertentangan dengannya adalah salah.
Ketenteraman hanyalah sekedar penambah
keimanan, bukan landasan awal keimanan.

  


 

 

 
 

47
”Dia-lah yang Telah menurunkan
ketenteraman ke dalam hati orang-orang
mukmin untuk menambah keimanan di
samping keimanan mereka.” (TQS. Al-Fath: 4)

Keturunan, keajaiban, dan ketenteraman


bukanlah standar kebenaran sebuah agama
atau keyakinan. Semua landasan tersebut
tidak bisa dipertanggungjawabkan. Beriman di
atas pondasi yang rapuh tersebut hanya akan
melahirkan keimanan yang rapuh pula.
Keimanan yang dibangun adalah keimanan
yang mudah roboh, mudah bergoyang, mudah
hancur, mudah lebur. Keyakinan kita harus
dibangun di atas landasan yang kokoh, tidak
akan goyang ketika ditiup angin, tidak akan
remuk ketika diterpa badai. Maka, jika
landasannya kuat, keimanan yang dibangun di
atasnya pun akan kokoh, sekokoh karang,
bahkan jauh lebih kokoh lagi.

 
 
 

48
  
   

”Dan perumpamaan kalimat (iman) yang
buruk seperti pohon yang buruk, yang Telah
dicabut dengan akar-akarnya dari permukaan
bumi; tidak dapat tetap (tegak) sedikitpun.”
(TQS. Ibrahim: 26)

***

49
3
MEMAHAT DI ATAS KARANG

Jejak-jejak Tuhan

Manusia dan hewan (misalnya ayam) sama-


sama memiliki kebutuhan jasmani dan naluri.
Manusia bisa makan, ayam juga. Manusia
bisa mencintai, ayam juga. Manusia bisa
marah, takut, kesakitan, dan lainnya, ayam
juga. Lantas, apa bedanya manusia dengan
ayam? Akal. Akal yang membedakan kita
dengan makhluk-makhluk lainnya. Karena itu,
poin pembeda ini harus betul-betul kita
optimalkan dalam menjalani kehidupan. Jika
kita tidak menggunakannya, apa bedanya kita
dengan ayam?

Hanya saja, yang sering jadi masalah adalah,


banyak orang yang kebablasan dalam
menggunakan akalnya. Sampai-sampai akal
mereka mencoba memikirkan hal-hal yang
tidak mampu dipikirkannya. Ini tidak mungkin

50
bisa dilakukan, karena akal kita hanya bisa
memikirkan apa yang terindra saja, tidak
lebih.

Pernah lihat film-film atau sinetron sejenis


Misteri Ilahi? Nah, itulah contoh orang yang
kebablasan menggunakan akalnya, entah
dapat ilmu dari mana mereka bisa
menggambarkan wujud malaikat, jin, surga
dan neraka. Ngawur!

Peran akal kita sangat terbatas, ia hanya


mampu memikirkan keberadaan Tuhan, tapi
tidak akan bisa memikirkan bagaimana wujud
Tuhan. Karena itu, mari kita gunakan akal kita
sebagaimana mestinya, untuk mencari
keberadaan Tuhan semesta. Itu saja.

Rasulullah pernah bertanya tentang iman


kepada seorang lelaki Badwi. Badwi adalah
suku yang sangat terbelakang di masyarakat
Arab.

51
”Bagaimana caramu membuktikan
keberadaan Allah?” tanya sang Nabi

”Dari kotoran unta ini.” jawabnya lugu.

Sangat sederhana. Seseorang beriman


berdasarkan taraf berpikirnya, begitupun
dalam mengambil amtsilah (permisalan), dia
menjadikan kotoran unta sebagai sarana
untuk membuktikan keberadaan Allah. Ini
bukan sebentuk penghinaan. Memisalkannya
dengan kotoran unta adalah sebuah analogi
cerdas. Adanya kotoran unta, tentu
menunjukkan adanya unta itu sendiri. Jejak.
Itulah yang bisa kita jadikan bukti untuk
mengetahui keberadaan sesuatu.

Sewaktu kafir, Abu Sufyan juga menggunakan


kotoran unta sebagai sarana investigasi untuk
mengetahui darimana sebuah rombongan
berasal. Kotoran unta yang ditinggalkan oleh
tunggangan rombongan itu dibelah oleh Abu
Sufyan. Sangat cerdik, karena buah yang
dimakan unta tersebut tidak bisa dicerna

52
secara sempurna, sehingga sebagiannya
masih berbentuk buah utuh. ”Ini adalah
gandum madinah, pastilah unta tersebut baru
saja pulang dari Madinah.” begitu logikanya.

Sekali lagi, jejak. Itulah yang akan menuntun


kita menuju pembuktian keberadaan Allah.
Begitu banyak jejak di alam semesta ini yang
bisa kita jadikan sarana untuk membuktikan
keberadaan sang Pencipta. Insya Allah, akan
kita kaji bersama jejak-jejak Tuhan di alam
semesta ini.

Lihatlah Dirimu

  
 

”Dan pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu
tidak memperhatikan?”
(TQS. Adz-Dzariyat: 21)

53
Kalau kita mau menemukan Tuhan, sesekali
bercerminlah. Lihat betapa sempurnanya
wajah kita. Alis mata yang tebal menghitam,
sorot mata yang tajam, hidung yang
mancung, bibir yang seksi, dan (maaf) jerawat
yang menghiasinya. Lalu pejamkanlah mata,
bayangkan milyaran sel saraf sedang bekerja
dalam tubuh kita. Gerakkan mulut kita, maka
bayangkanlah berapa otot yang tengah
bekerja menggerakkannya. Bayangkan pula
sel-sel darah yang setiap mili-detiknya
dipompa oleh jantung ke seluruh tubuh.
Bayangkan pula betapa rumitnya sistem kerja
otak kita. Coba ingat sesuatu di masa lalumu,
maka milyaran saraf sedang bekerja
membongkar memori yang terpendam entah
di otak bagian yang mana. Masukkan
sepotong roti ke dalam mulutmu, kunyahlah.
Bayangkan berapa sel yang bekerja untuk itu.
Lalu ketika makanan itu telah masuk ke dalam
perutmu, bayangkan pula betapa rapinya
kerja organ-organ pencernaan kita, yang

54
membuat makanan sekeras apapun menjadi
hancur lebur.

Setelah itu, jawab satu pertanyaan sederhana


ini: mampukah semua itu bekerja dengan
sendirinya tanpa ada yang mengaturnya?

Lalu keluarlah di malam hari. Tengadahkan


kepalamu ke langit malam yang indah.
Lihatlah bintang di sebelah sana. Indah sekali
bukan? Lihat pula bulan yang bercahaya
lembut itu, cantik sekali kan? Coba paksakan
matamu menembus angkasa yang lebih jauh
lagi. Oh, tentu saja tidak bisa. Kalau begitu,
cukup dengan membaca buku astronomi saja.
Milyaran bintang tengah melayang tanpa tali
di angkasa. Lihat planet yang thawaf
mengelilingi matahari di tata surya kita ini.
Pernahkah semuanya bertabrakan? Apakah
mereka memiliki mata sehingga tidak
bertabrakan? Tidak, mereka tidak memiliki
mata untuk melihat, tapi mereka memiliki
garis edar masing-masing yang membuat

55
mereka tak pernah saling bertabrakan. Lalu,
siapakah yang menentukan garis edar itu?
Apakah planet-planet itu punya akal untuk
menentukannya sendiri?

  





  
 
 
Dan dialah yang Telah menciptakan malam
dan siang, matahari dan bulan. masing-
masing dari keduanya itu beredar di dalam
garis edarnya. (TQS. Al-Anbiya’: 33)

Maka kerdillah diri kita melihat semua itu.


Bagi yang hatinya masih berjalan di atas
fitrah, tentu akan tersentuh melihat fenomena
menakjubkan ini. Ketika dia ditanya siapa
yang mengatur semua ini, tentulah dia akan
menjawab: Tuhan!

56
Lalu Siapa Tuhan?

Mari kita coba bandingkan beberapa agama


yang dominan di dunia ini. Tak perlu dengan
dalil naqli dulu. Karena jika kita menggunakan
dalil al-Qur’an atau as-Sunnah dalam
membandingkan kebenaran agama, berarti
kita tidak fair, karena kita menggunakan
standar yang sudah khas agama tertentu.
Akan lebih adil jika kita membandingkannya
dengan standar-standar yang universal, yang
bisa diakui kebenarannya oleh Muslim atapun
bukan. Fair bukan?

Karakter Dasar Manusia

Ada tiga karakter khas manusia yang tidak


akan pernah berubah, meski zaman silih
berganti. Tiga karakter itu adalah lemah,
tergantung dan terbatas.

Manusia tidak bisa menentukan sesuatu


apapun atas dirinya, apalagi yang berada di
luar dirinya. Kita tidak tahu, kenapa kita lahir

57
sebagai seorang laki-laki atau perempuan.
Yang kita tahu, kita terlahir seperti ini, tanpa
ada kuasa kita untuk menentukannya. Kita
juga tidak bisa menentukan mau memiliki
wajah mirip Ariel Peterpan, Aura Kasih,
Angelina Jolie atau Tukul Arwana.

Lihatlah kawan, untuk menentukan nasib diri


saja kita tak bisa, apalah lagi nasib orang di
luar kita? Bukankah ini menunjukkan manusia
memang lemah?

Manusia juga selalu membutuhkan sesuatu di


luar dirinya. Manusia butuh bernafas, ia
tergantung pada udara. Manusia butuh
makan, ia tergantung pada nasi, buah, dan
lainnya. Ini semua menunjukkan
ketergantungan manusia pada sesuatu di luar
dirinya. Manusia tidak bisa hidup tanpa yang
lain.

Manusia pun memiliki batas-batas tertentu


atas dirinya. Kita tak bisa tumbuh melebihi
kadar yang ada. Kita tak bisa seenaknya

58
menambah atau mengurangi umur kita. Bulu
mata kita tumbuh tak pernah melebihi rambut
kepala. Begitulah kadar-kadar yang
ditentukan atas kita. Manusia terbatas.

Sebagaimana kita bahas sebelumnya,


manusia yang lemah, tergantung dan terbatas
tidak mungkin ada dengan sendirinya, pasti
ada sesuatu yang menciptakannya. Pencipta
itulah yang kita sebut sebagai Tuhan.

Karena manusia memiliki sifat dasar lemah,


tergantung dan terbatas. Maka tentu kita
memerlukan Tuhan yang memiliki sifat tidak
lemah, tidak tergantung dan tidak terbatas.

Tuhan harus satu. Mungkin ada yang


mengklaim bahwa standar ini adalah standar
yang tidak fair, karena jelas-jelas Islam
mengakui keesaan Tuhan. Tapi kalau kita kaji
lebih jernih, standar ini adalah standar
universal yang bisa dipertanggungjawabkan
secara ilmiah.

59
Kenapa Tuhan harus Esa? Jika Tuhan lebih dari
satu, berarti dia tergantung, dia masih
memerlukan tuhan-tuhan lainnya untuk
menciptakan, memelihara atau memusnahkan
manusia.

Dengan standar ini, beberapa keyakinan


ataupun agama sudah terdiskualifikasi.
Agama-agama pemuja Tuhan yang tidak Esa
seperti trinitas Kristen, atau dewa-dewa Hindu
Budha, jelas terdiskualifikasi. Bayangkan saja
jika memang ada Tuhan ayah, ibu dan anak.
Berarti Tuhan masih memiliki ketergantungan
pada yang lain. Bahkan Tuhan masih memiliki
naluri seksual, buktinya dia punya anak dan
isteri. Ini jelas tidak mungkin!

Bayangkan pula jika ada Tuhan pencipta,


kemudian ada Tuhan lain yang tugasnya
memelihara, lalu ada Tuhan ketiga yang
bertugas menghancurkannya, lalu apa jadinya
ciptaan? Begitu Tuhan pencipta menciptakan
sesuatu, dipelihara oleh Tuhan pemelihara,

60
eh..tiba-tiba dimusnahkan oleh Tuhan
penghancur. Kapan jadinya?

Jika Tuhan lebih dari satu, mereka juga harus


rapat bahkan berdebat untuk melakukan
sesuatu. Mereka berdebat apakah si anu
masuk surga atau neraka. Tuhan-tuhan itu
akan bersitegang membahas penciptaan
sesuatu. Karena itu, bahwa Tuhan harus Esa,
itu adalah syarat universal yang harus
dipenuhi oleh setiap keyakinan.

Nah, mari kita persempit lingkup pembahasan


kita. Jika agama-agama pemuja Tuhan tidak
Esa sudah di diskualifikasi, maka kita buktikan
saja kebenaran agama Islam ini. Jika terbukti
agama Islam benar, maka yang lain pasti
salah. Namun, jika Islam terbukti salah, maka
kita masih harus mencari agama lain yang
teruji benar.

Menguji Islam

Manusia memiliki tiga potensi kehidupan

61
(thaqatul-hayawiyah), yaitu kebutuhan
jasmani, naluri, dan akal. Kebutuhan jasmani
dan naluri masing-masing memerlukan
penyaluran. Ketika lapar, maka
pemenuhannya adalah dengan makan. Ketika
mengantuk, penyalurannya adalah dengan
tidur. Begitupula ketika kita sedang
merasakan cinta, maka penyalurannya adalah
dengan cara memadu cinta bersama orang
yang kita cintai tersebut.

Manusia dengan karakter dasar lemah,


tergantung dan terbatas, tentu tidak bisa
menjalani kehidupan ini tanpa ada suatu
panduan dari Tuhan. Alam semesta akan
mengalami kekacauan, karena sifat dasar
manusia memerlukan pemenuhan yang saling
bertentangan.

Karena Tuhan yang menciptakan manusia dan


alam semesta, tentunya Tuhan pula yang
paling tahu tentang ciptaan-Nya. Tuhan pasti
menurunkan aturan sebagai panduan hidup

62
bagi manusia. Masalahnya, mungkinkah
Tuhan turun langsung ke bumi untuk
memandu manusia? Ini jelas tidak mungkin.
Karena jika Tuhan bisa diindera, berarti dia
tidak berbeda dengan makhluk-Nya.

Nah, disinilah letak perlunya seorang rasul.


Tuhan perlu mengirimkan utusan-Nya kepada
manusia, dan utusan itu harus dari jenis
manusia pula. Karena ini terkait kesamaan
sifat dasar antara utusan itu dengan kaum
yang diserunya. Cara termudah menguji
kebenaran suatu agama adalah dengan
menguji kebenaran risalah yang dibawa oleh
sang utusan tersebut. Jika risalahnya terbukti
benar, maka benarlah sang utusan, dan benar
pula segala yang dibawanya. Sebaliknya, jika
risalahnya terbukti salah atau bukan dari
Tuhan, maka jelas dia bukan seorang utusan,
dan tentu segala yang dibawanya adalah
dusta semata.

Menguji Al-Quran

63
Ada tiga kemungkinan sumber al-Quran. Yang
pertama al-Quran itu adalah buatan
Muhammad, kemungkinan kedua, al-Qur’an
adalah buatan orang Arab lainnya, dan yang
ketiga al-Quran adalah kalamullah.

             
              
           
           
     
     
      
         
        
Bahkan mereka mengatakan: "Muhammad
Telah membuat-buat Al Quran itu",
Katakanlah: "(Kalau demikian), Maka
datangkanlah sepuluh surat-surat yang
dibuat-buat yang menyamainya, dan
panggillah orang-orang yang kamu sanggup
(memanggilnya) selain Allah, jika kamu

"memang orang-orang yang benar


(TQS. Huud: 13 )

64
Kemungkinan pertama jelas terbantah,
setidaknya oleh dua alasan. Gaya bahasa al-
qur’an yang jauh berbeda dengan gaya
bahasa hadits dan Rasulullah adalah orang
yang buta baca tulis.

   


 
“...Andaikata (kamu pernah membaca dan
menulis), benar-benar ragulah orang yang
mengingkari(mu)” (TQS. Al-‘Ankabut: 48)

Kemungkinan kedua, bahwa al-Quran buatan


orang Arab, juga jelas terbantahkan.
Bukankah sudah berkali-kali al-Quran sendiri
yang menantang orang kafir untuk membuat
yang serupa dengannya. Jika saja al-Quran
adalah buatan orang Arab, tentunya para
jawara syair yang dikumpulkan orang-orang
Quraisy, pasti bisa menandinginya.

Tetapi ternyata tidak! Segenap daya mereka


kerahkan untuk membuat syair serupa al-
Quran, tetap mereka tak bisa menandinginya.

65
Jelas, ini membuktikan bahwa al-Quran
bukanlah buatan orang Arab?

  


 
 
 
 


 
   
 
Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan
tentang Al Quran yang Kami wahyukan
kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah
satu surat (saja) yang semisal Al Quran itu
dan ajaklah penolong-penolongmu selain
.Allah, jika kamu orang-orang yang benar
(TQS. Al-Baqarah: 23 )

Masih adakah kemungkinan lain, selain al-


Qur’an adalah kalamullah? Mungkin saja,
mungkin saja ada orang bukan Arab yang
mengajarkannya kepada Muhammad. Begitu

66
tuduh orang Quraisy pada masa itu. Tetapi,
orang dengan kecerdasan yang tidak terlalu
tinggi pun tahu bahwa hal ini jelas tidak
mungkin. Al-Quran berbahasa Arab, para ahli
syair Arab tidak bisa menandinginya. Apalagi
orang yang bukan Arab.

Sehingga, tidak ada kemungkinan lain, selain


bahwa al-Quran memang benar-benar
kalamullah.

Konseksuensinya

Konsekuensi dari pembuktian kebenaran al-


Quran adalah, bahwa setiap yang disampaikan
oleh al-Quran adalah kebenaran mutlak.
Karena ia berasal dari Tuhan yang Maha Esa.
Dari al-Quran kita tahu, bahwa Tuhan yang
wajib dan patut disembah adalah Allah, dan
Allah saja.

   


  



67





  
  
 
”Dialah Allah yang tiada Tuhan selain Dia,
raja, yang Maha suci, yang Maha Sejahtera,
yang Mengaruniakan Keamanan, yang Maha
Memelihara, yang Maha Perkasa, yang Maha
Kuasa, yang memiliki segala Keagungan,
Maha Suci Allah dari apa yang mereka
persekutukan” (TQS. Al-Hasyr: 23)

Dari al-Quran pula kita mengimani perkara-


perkara ghaib, semisal malaikat, surga,
neraka, qadha dan qadar, rasul dan kitab
terdahulu.

   


  
   
   

68
 


 
 

 

 
 
  

 
 
Alif laam miim. Kitab (Al Quran) Ini tidak ada
keraguan padanya; petunjuk bagi mereka
yang bertaqwa. (yaitu) mereka yang beriman
kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat,
dan menafkahkan sebahagian rezki yang kami
anugerahkan kepada mereka. Dan mereka
yang beriman kepada Kitab (Al Quran) yang
telah diturunkan kepadamu dan kitab-kitab
yang telah diturunkan sebelummu, serta
mereka yakin akan adanya (kehidupan)

69
akhirat. (TQS. Al-Baqarah: 1-4)

Dari sana, terbukti bahwa agama ini, agama


Islam, adalah satu-satunya agama yang bisa
dipertanggungjawabkan secara logis. Maka,
jika kebenaran agama dibangun dengan
argumen universal, logika manakah yang bisa
membantahnya?

  


  
  
 
 
 
 
”Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah
Telah membuat perumpamaan kalimat yang
baik (kalimat tauhid) seperti pohon yang baik,
akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke
langit, Pohon itu memberikan buahnya pada
setiap musim dengan seizin Tuhannya.” (TQS.
Ibrahim: 24)

70
Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah,
dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah
utusan Allah.

***

71
4
ISLAM SAJA, LAIN TIDAK

Saat itu BE-DEMA Unlam bekerjasama dengan


Universitas Paramadina, mengadakan seminar
mengenang pemikiran-pemikiran Nurcholis
Madjid. Mengusung tema “Nurcholis Madjid
Memorial Lecturer.” Seminar yang
menghadirkan pembicara-pembicara liberal
itu mampu menyedot massa yang cukup
banyak.

Saya sendiri ikut khusyuk dalam barisan kursi


peserta, menyimak pemaparan demi
pemaparan para pembicara. Poin yang paling
saya ingat sampai sekarang adalah statement
Zainul Kamal (salah seorang pembicara, dosen
Paramadina), tanpa merasa berdosa dia
mengatakan “Surga itu tidak hanya untuk
ummat Islam, ummat agama lain yang shalih
juga berhak masuk surga!”.

Mendengar statement itu saya tergelitik, lebih

72
tepatnya terhenyak. Kok bisa pemeluk agama
lain masuk surga? Maka, ketika diberikan
kesempatan untuk bertanya, saya pun
memberanikan diri mengacungkan jari.
Beruntung, moderator mengizinkan saya
bertanya.

Setelah mikrofon ada dalam genggaman, saya


pun melontarkan pertanyaan yang
membuahkan tawa dari sebagian besar
peserta.

“Pak Zainun Kamal, kalau Bapak mengatakan


bahwa pemeluk agama lain juga bisa masuk
surga, lantas kenapa Bapak masih menjadi
Muslim? Bukankah menjadi Muslim itu berat?
Harus shalat, harus puasa. Nah, daripada
susah-susah, mending Bapak murtad saja, toh
tetap bisa masuk surga…”

Gemuruh tawa meledak dari arah peserta.


Sementara merah padam menghiasi wajah
orang yang saya ajukan pertanyaan tersebut.

73
Mengingat kejadian itu, saya ingin tertawa.
Seringkali orang-orang liberal yang mengaku
mencerahkan pemikiran ummat itu berbicara
kontradiktif. Di satu kesempatan, mereka
mencaci-maki otensitas al-Qur’an. Tapi di saat
yang bersamaan, jika ada ayat al-Qur’an yang
bersesuaian dengan pendapat liberal mereka,
maka mereka memakai al-Qur’an lagi. Kan
lucu?

   


 
 
 
 
 
  
 
Mereka sekali-kali tidak mempunyai
pengetahuan tentang hal itu, begitu pula
nenek moyang mereka. alangkah buruknya
kata-kata yang keluar dari mulut mereka;
mereka tidak mengatakan (sesuatu) kecuali
dusta. (TQS. Al-Kahfi: 5)

74
Tapi bukan itu fokus pembicaraan saya dalam
tulisan ini. saya hanya ingin menyoroti apakah
benar pemeluk agama selain Islam bisa masuk
surga. Hanya saja, saya ini bukan mujtahid
yang mampu menghasilkan berbagai
kesimpulan sendiri. Saya ini plagiator, suka
mencomot-comot pendapat orang, yang
menurut saya pendapat itu bersandar kepada
al-Qur’an dan sunnah. Jadi mohon maaf ya.

Hanya Islam

Saya selalu mengutip analogi yang


dikemukakan oleh Salim A. Fillah dalam
membahas status amal orang kafir. Menurut
Salim A. Fillah, orang beramal itu seperti
perlombaan lari. Tentu saja setiap peserta
memiliki nomor punggung (atau nomor dada).
Ketika peluru sudah ditembakkan ke udara,
semua peserta berlari sekencang-kencangnya.
Tiba-tiba, ada seorang yang berlari dengan
sangat cepat, bahkan mengalahkan yang
lainnya. Hanya saja, ia tidak memiliki nomor

75
punggung. Dengan kata lain, dia bukan
peserta. Dan ternyata, lelaki yang tidak
memiliki nomor punggung itulah yang
pertama kali sampai garis finish. Ya, dia
mengalahkan yang lainnya. Anggap saja Anda
jurinya. Pertanyaannya, apakah Anda akan
memenangkan lelaki yang tidak bernomor
punggung itu? Tentu tidak kan? Lha wong dia
tidak terdaftar, dia bukan peserta.

Begitu juga dengan amal orang-orang kafir.


Biar secepat apapun mereka berlari mengejar
pahala, sebesar apapun mereka menyumbang
untuk pembangunan masjid, seberapa lama
pun ia bertahajjud, tetap saja ibadahnya tidak
akan diterima, karena dia tidak terdaftar
sebagai peserta dalam kompetisi amal ini.
Itulah bedanya amal seorang Muslim dengan
amal orang kafir. Lalu apa yang menjadi
standar terdaftar atau tidaknya seseorang?
Jawabannya tentu kita sudah tahu, itulah
syahadah. Yaitu kesaksian bahwa tiada Tuhan
selain Allah, dan Nabi Muhammad adalah

76
utusan Allah. Di situlah pendaftarannya.


 
 


  
  
“Mereka itu adalah orang-orang yang lenyap
(pahala) amal-amalnya di dunia dan akhirat,
dan mereka sekali-kali tidak memperoleh
penolong.”
(TQS. Ali ‘Imron : 22)

Kesaksian Yang Membebaskan

KH. Hafizh Abdurrahman pernah mengutip


ucapan salah seorang panglima Islam yang
datang membebaskan sebuah negeri.
Panglima itu berkata “ Ji’tukum li-uharrirukum
min ‘ibaadatil-‘ibaad, li’ibaadati
rabbul-‘ibaad”. Artinya, aku datang pada
kalian, untuk membebaskan kalian dari

77
penghambaan terhadap manusia, menuju
penghambaan terhadap Tuhannya manusia.

Ya, syahadat kita adalah kesaksian yang


memerdekakan, kesaksian yang
membebaskan. Ia membebaskan kita dari
penyembahan terhadap hamba, menuju
penghambaan yang murni kepada Allah saja.

Laa ilaaha, yang artinya tiada Tuhan, adalah


kalimat yang membebaskan kita dari segala
macam penghambaan tak berdasar. Entah itu
kepada pohon, kepada matahari, kepada
makhluk halus, atau bahkan kepada nafsu
pribadi. Islam datang untuk membebaskan
kita dari semua itu. Agar kita menjadi jiwa-jiwa
yang merdeka, yang bebas dari segala
belenggu diri. Tapi kalimat Laa ilaaha, tidak
boleh berhenti sampai di sana. Karena jika ada
suatu penafian (peniadaan), harus ada
pengitsbatan (penegasan). Maka kita pun
melanjutkannya dengan Illallaah, kecuali
Allah.

78
Ya, tiada Tuhan kecuali Allah. Tiada Dzat yang
layak diibadahi selain Allah. Tiada Dzat yang
boleh ditakuti selain Allah. Tiada yang
mengatur, kecuali Allah. Tiada yang
menghidupkan, tiada yang mematikan, tiada
yang memberi makan, tiada yang
menurunkan hujan, tiada…tiada…, kecuali
Allah saja!

Maka, ketika seorang manusia telah bersaksi


bahwa tiada Tuhan selain Allah, dialah yang
kita sebut sebagai seorang orang yang
beriman. Tapi tidak semua orang beriman bisa
dikatakan Muslim. Kenapa? Karena Muslim
adalah sebutan khusus orang Islam saja, tidak
lain.

Kenapa harus bingung? Tidak setiap Mu’min


termasuk Muslim. Bukankah pemahaman
seperti ini sudah lazim di kalangan ulama-
ulama terdahulu. Justru sebuah kesalahan jika
kita menyamakan antara Mu’min dengan
Muslim, karena definisi Islam telah jelas, yaitu

79
agama yang diturunkan Allah kepada
Nabi Muhammad, yang mengatur urusan
manusia dengan Allah, dengan
sesamanya, dan dengan dirinya sendiri
(Hafizh Abdurrahman, Diskursus Islam Politik
Spiritual).

Coba kita kaji definisi Islam tersebut. Islam


adalah agama yang diturunkan oleh Allah,
batasan ini telah menutup rapat-rapat bagi
agama lain yang tidak diturunkan Allah,
seperti Hindu, Budha, Sikh, Kaharingan, dan
lainnya.

Tapi, cukupkah sampai di situ? Tidak! Karena


agama yang diturunkan Allah ada tiga, yaitu
Yahudi, Nasrani dan Islam itu sendiri. lalu,
batasan berikutnya adalah ‘diturunkan
kepada Nabi Muhammad’. Artinya agama
yang diturunkan Allah kepada Nabi Daud,
Sulaiman, Musa, Isa, dan lainnya, bukanlah
Islam. Sehingga kita tidak bisa mengatakan
bahwa nabi Adam itu orang Muslim, atau Nabi

80
Yusuf itu Muslim. Tapi, sebutan yang tepat
untuk Nabi-nabi terdahulu adalah sebatas
Mu’min, bukan Muslim.

Kesamaan antara Nabi Muhammad dengan


nabi-nabi terdahulu, adalah sama-sama
menyebarkan agama tauhid! Mengesakan
Allah Subhanahu Wata’ala. Itu saja. Tapi untuk
syariat, Allah menurunkannya berbeda-beda.
Kepada Nabi Musa, Allah menurunkan risalah
Yahudi. Kepada Nabi Isa, Allah menurunkan
risalah Nasrani. Dan kepada Nabi Muhammad,
Allah menurunkan risalah Islam.

 
 
  

Bagi tiap-tiap ummat, telah Kami tetapkan


syari'at tertentu yang mereka lakukan,
(TQS. Al-Hajj : 67)

Ya, itulah Islam! Agar tidak salah paham saja

81
sih. Karena selama ini kita sering
sembarangan menyebutkan antara Muslim
dengan Mukmin. Semoga dengan ini,
kesalahpahaman itu bisa lurus kembali. Amin.

Menjadi Muslim

Agar bisa disebut Muslim, maka kita harus


menjadikan Islam sebagai satu-satunya
syariat atau aturan yang berlaku dalam
mengatur hidup kita. Bukan yang lain. Bagian
mana saja dari Islam yang kita jadikan
panduan? Semuanya! Tidak boleh kita
menjadikan satu ayat sebagai pedoman, dan
meninggalkan ayat yang lain. Kita harus
menjadikan Islam sebagai pengatur dalam
segala urusan kita. Entah itu urusan ibadah,
urusan mu’amalah, maupun urusan pribadi
kita. Tidak satu pun yang tidak di atur dalam
Islam. Seujung kuku sekalipun.

Yang membedakan Islam dengan agama yang


lain adalah adanya pengaturan terhadap
urusan di luar ibadah mahdhah. Kalau agama

82
lain hanya mengatur seputar gereja, kuil, hari
raya, dan ritual-ritual, maka Islam tidak hanya
mengatur masalah shalat, puasa, naik haji,
dan ibadah mahdhah lainnya, tetapi Islam
juga mengatur urusan perdagangan,
pendidikan, pergaulan, ekonomi, politik,
militer, kesehatan, dan lain sebagainya.
Sementara agama lain, menyerahkan
pengaturan urusan ini kepada individu
masing-masing.

Disinilah letak kesempurnaan Islam. Ia


mengatur dari bangun tidur sampai bangun
negara. Islam mengatur dari masuk WC
sampai masuk surga. Tak ada satu pun yang
luput dari pengaturan Islam.

Karena itu, kalau kita mau menjadi Muslim,


maka tidak ada pilihan lain bagi kita, kecuali
menggunakan sistem peribadatan Islam. Tidak
ada pilihan lain bagi kita, kecuali berbusana
dengan pakaian yang disyariatkan oleh Islam,
berjual beli dengan jual-beli yang dihalalkan,

83
memakan makanan yang dihalalkan,
berinteraksi dengan lawan jenis sebagaimana
yang diatur oleh Islam. Wallahu A’lam.

***

84
Percik 2:
Menyibak Tirai

5. Cinta yang Tak Hadir di


Setiap Hati
6. Semerbak Wangi dari
Madinah
7. Bisik Rindu dari Andalusia

85
5
CINTA YANG TAK HADIR DI
SETIAP HATI

Antara Dua Cinta

The Zikr pernah mempopulerkan nasyid yang


berjudul Antara Dua Cinta, Saujana kemudian
menggubah aransemennya, dan hingga kini
masih terus mengalun lembut di laptop kecil
kesayangan saya.

Memilih cinta, itu adalah hal yang sangat


menyenangkan. Tidak sulit untuk memilih hal
yang kita cintai. Jika kita diminta untuk
memilih dua orang gadis, yang satu kita cintai
dan yang satunya lagi tidak kita kenal sama
sekali, tentu sangat mudah bagi kita untuk
memilih gadis yang kita cintai.

Tetapi bagaimana jika kita dihadapkan pada


dua pilihan yang sama-sama kita cintai. Jika
boleh memilih keduanya, tentu akan kita

86
borong. Tetapi jika harus memilih yang satu
dan melepaskan yang lain, di sinilah beratnya.

Adakalanya dua cinta bertemu pada satu


muara, di hati kita. Dan ketika kita harus
memilih salah satunya, maka dengarkanlah
Allah mengajarkan pada kita tentang prioritas
cinta.

  














 
 

 

87

 
 
  
  
 
”Katakanlah: "Jika bapak-bapak, anak-anak,
saudara-saudara, isteri-isteri, kaum
keluargamu, harta kekayaan yang kamu
usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri
kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu
sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan
Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya,
maka tunggulah sampai Allah mendatangkan
keputusan-Nya."
Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada
orang-orang yang fasik”
(TQS. At-Taubah: 24)

Ayat itu bercerita tentang cinta yang


semuanya halal. Hanya saja, penggal pertama
bercerita tentang cinta yang lahir dari hati,
tanpa perlu upaya, tanpa perlu keimanan

88
untuk memunculkan kecintaan itu, itulah cinta
yang fitri, cinta yang alami. Sedang penggal
kedua, bercerita tentang cinta yang tak selalu
hadir di setiap hati, cinta yang perlu
diupayakan kehadirannya, itulah cinta
mafhumi.

Mari kita simak penggal pertama ayat


tersebut,

"... Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-


saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu,
harta kekayaan yang kamu usahakan,
perniagaan yang kamu khawatiri
kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu
sukai...”

Mari kita simak kata-kata yang saya cetak


tebal, yaitu bapak, anak, saudara, isteri,
keluarga, harta, perniagaan, dan tempat
tinggal. Adakah di antaranya yang perlu upaya
keras untuk mewujudkan rasa cinta
terhadapnya. Adakah orang yang perlu
training berminggu-minggu untuk sekedar

89
mencintai ayah dan ibunya? Adakah orang
yang perlu latihan bertahun-tahun untuk
sekedar mencintai harta dan rumahnya? Tentu
tidak.

Cinta jenis pertama ini adalah cinta yang fitri,


cinta yang lahir dengan sendirinya ke dalam
hati seorang manusia. Dan sesuatu yang lahir
dari hati bukanlah urusan kita. Itu adalah
urusan Allah yang muqallibal-quluub, yang
maha membolak-balikkan hati. Tak usah kita,
Rasulullah yang ma’shum saja tak kuasa
terhadap hati yang dibolak-balikkan Allah.
Rasulullah tak bisa mengatur hatinya sendiri
untuk membagi sama ’perasaan cinta fithri’
nya kepada semua isterinya. Jika mampu,
tentu Rasulullah tak akan lebih mencintai
’Aisyah ketimbang isteri lainnya. Tetapi Rasul
pun tak berkuasa terhadap apa yang dikuasai
Allah atas hamba-Nya. Karena itu, jangan
terlalu pusing dengan apa-apa yang lahir dari
hati, itu urusan Allah saja.

90
Sekarang, mari kita bicarakan cinta yang tak
lahir dengan sendirinya itu. Saya
menyebutnya cinta mafhumi, karena ia terkait
dengan mafhum (persepsi) tertentu. Ia tak
muncul dengan sendirinya sebagaimana cinta
pada ayah-ibu, isteri, saudara, harta, bisnis,
dan rumah tinggal. Ia tak selalu hadir pada
setiap jiwa, karenanya ia perlu diupayakan
kehadirannya.

Seperti apakah cinta mafhumi ini? Maka


biarkanlah Allah kembali yang akan
mengajarkannya pada kita, yaitu pada
penggal kedua ayat 24 surah at-Tawbah di
atas.

“...adalah lebih kamu cintai dari Allah dan


Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya,
maka tunggulah sampai Allah mendatangkan
keputusan-Nya."

Ketiga cinta ini ditempatkan Allah sebagai


pembatas kesemua cinta fithri yang
disebutkan Allah pada bagian pertama ayat

91
yang sama. Cinta pada Allah, Rasulnya dan
berjihad di jalan-Nya, adalah cinta yang harus
memimpin cinta-cinta fithri seperti cinta pada
ayah, ibu, isteri, saudara dan harta benda
Cinta kepada Allah, Rasul-Nya dan berjihad di
jalan-Nya tak selalu hadir di setiap hati. Ketiga
cinta itu hanya hadir di hati orang yang
mengupayakan cinta tersebut.

Cinta fitri maupun cinta mafhumi, keduanya


adalah cinta yang halal. Yang membedakan
adalah prioritasnya. Mana yang lebih
didahulukan? Tentu cinta yang kita bangun
(cinta mafhumi), harus lebih diutamakan
ketimbang cinta yang lahir sendiri (cinta fitri).

Dan mencintai Islam, termasuk cinta yang


mafhumi. Karena tak ada manusia yang bisa
mencintai Islam secara alami. Dan karena ia
termasuk cinta mafhumi, maka perlu ada
upaya keras untuk bisa menumbuhkan
kecintaan kita pada Islam ini.

92
Dan di bagian ini, kita akan belajar bersama
untuk bisa membangun kecintaan kita pada
agama yang diridhai Allah dan telah jelas
kebenarannya ini, Islam. Sekali lagi, karena ia
perlu diupayakan.

***

93
6
SEMERBAK WANGI DARI
MADINAH

Kita telah belajar bersama tentang dua cinta.


Ada cinta fitri dan ada cinta mafhumi. Kita
juga telah memahami bersama bahwa cinta
kepada Islam termasuk cinta mafhumi, cinta
yang terkait dengan persepsi tertentu, dan
tentu saja tak selalu hadir di setiap hati.

Karena perlu diupayakan, maka mencintai


Islam hanya bisa hadir jika kita berhasil
menghadirkan sebabnya. Sebagaimana
pepatah arab, cinta akan hilang dengan
hilangnya sebab. Maka, kita juga bisa
memunculkan cinta, dengan cara
memunculkan sebab. Sebab, itulah yang akan
menghantarkan kita pada kecintaan akan
agama yang benar dan diridhai Allah ini.
Lantas, apa sajakah sebab-sebab yang bisa
menghadirkan cinta kepada Islam di hati kita?

94
Insya Allah, tulisan sederhana di bawah judul
‘Semerbak Wangi dari Madinah’ ini akan
menuntun kita untuk mengetahui konsep-
konsep dalam Islam yang begitu
menakjubkan, membuat kita bangga menjadi
seorang Muslim. Begitu juga dengan judul
berikutnya, ‘Bisik Rindu dari Andalusia’ insya
Allah akan bercerita pada kita semua tentang
efek-efek dahsyat dari penerapan hukum
Islam bagi kemajuan peradaban dunia.

Tak Terbantah oleh Segala Logika

Mari sejenak kita merenungi kembali apa yang


telah kita pelajari bersama pada bagian
pertama pembicaraan kita; Memahat di Atas
Karang. Disaat semua agama lain di dunia
yang membangun keimanan ummatnya
dengan menafikan logika, maka Islam adalah
satu-satunya agama yang bersahabat dengan
logika. Bahkan, tak sekedar bersahabat, Islam
malah menjadikan akal manusia sebagai salah
satu dalil, yang lebih dikenal sebagai dalil

95
’aqli. Di saat agama lainnya di dunia beriman
dengan doktrin yang tak bisa
dipertanggungjawabkan dengan akal sehat,
Islam justru berani menantang siapapun untuk
beradu argumen membantah kebenaran
Islam.

Karena Islam memiliki kesesuaian dengan


logika, wajar jika hal ini membuat kita bangga
menjadi seorang Muslim.

Tak Seterkekang Rahib

Tanyakanlah pada setiap diri, apakah pernah


merasakan cinta kepada lawan jenisnya?
Apakah ada keinginan untuk memadu cinta
bersama insan terkasih, hidup bersama,
membina keluarga, melahirkan generasi, dan
bahagia?

Tentu jawaban dari semua pertanyaan itu


adalah ya. Wajar saja, karena manusia
memang terlahir dengan potensi yang sama;
akal, kebutuhan jasmani dan naluri.

96
Dengan kebutuhan jasmani, manusia bisa
merasakan pedihnya lapar dan nikmatnya
makan. Dengan itu pula manusia dapat
merasakan cekatnya dahaga, dan merasakan
kenikmatan luar biasa saat seteguk air
membasahi kerongkongannya. Dan dengan
adanya kebutuhan jasmani itulah, manusia
bisa merasakan beratnya kantuk dan lelapnya
tidur.

Adapun naluri, ia adalah sesuatu yang


bergerak di hati. Merasakan cinta, marah dan
mengagungkan sesuatu adalah beberapa
wujudnya. Dengan naluri, seorang wanita bisa
merasakan getaran hebat di hatinya saat
lelaki yang dicintainya hadir di dekatnya.
Dengan naluri itu pula, seorang lelaki bisa
marah besar ketika wanita yang dikasihinya
direbut oleh sahabatnya sendiri. Dengan
naluri itu pula, siapapun bisa takjub saat
menyaksikan planet-planet terbang tanpa tali,
dan tidak bertabrakan meski tak bermata.

97
Maka, dengan naluri itu pula setiap orang
merasa membutuhkan Tuhan.

Lalu, bagaimana jika kebutuhan jaasmani dan


naluri itu dikebiri? Bayangkanlah jika kita tak
boleh memakan sesuap nasi pun, atau tidak
diperbolehkan meneguk setitik air? Bayangkan
pula jika kita tak boleh mencintai dan tak
boleh memadu cinta dengan orang terkasih
kita, tak boleh membangun keluarga, tak
boleh melahirkan generasi, tak boleh bahagia.
Apakah itu sesuai dengan fitrah kita?

Islam datang bukan untuk membunuh naluri


kita. Ia datang untuk manusia, dibawa oleh
seorang Rasul yang juga seorang manusia.
Diturunkan oleh Allah SWT yang paling
mengerti tentang manusia yang diciptakan-
Nya. Karenanya, Islam datang sesuai dengan
fitrah manusia.

Islam tidak mengharamkan kita untuk tidur,


bahkan melarang ummatnya yang ingin
beribadah tanpa tidur sedikit pun. Islam tidak

98
mengharamkan kita untuk makan, ia hanya
mengatur mana yang boleh dimakan dan
mana yang terlarang. Islam justru mengatur
pemenuhan segala kebutuhan jasmani
tersebut, untuk kemaslahatan manusia itu
sendiri.

Dari Anas Ibnu Malik Radliyallaahu 'anhu


bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam
setelah memuji Allah dan menyanjung-Nya
bersabda: "Tetapi dan sholat, tidur, berpuasa,
berbuka, dan mengawini perempuan.
Barangsiapa membenci sunnahku, ia tidak
termasuk ummatku."
(Muttafaq Alaih)

Anas Ibnu Malik Radliyallaahu 'anhu berkata:


Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam
memerintahkan kami berkeluarga dan sangat
melarang kami membujang. Beliau bersabda:
"Nikahilah perempuan yang subur dan
penyayang, sebab dengan jumlahmu yang
banyak aku akan berbangga di hadapan para

99
Nabi pada hari kiamat."
(HR. Ahmad)

Islam bukan agama yang mengajarkan


penganutnya menyakiti jasadnya agar
mendapatkan ketenangan jiwa. Islam
melarang ummatnya berlapar-lapar tanpa
sahur dan berbuka, karena itu menyiksa jasad.

Islam juga tak menganggap mencintai sebagai


tindakan dosa. Islam bukanlah agama
kerahiban yang mengajarkan penganutnya
membujang selamanya. Islam menjadikan
pernikahan sebagai satu-satunya institusi
untuk memadu cinta dan mendapatkan
ketentraman.

Islam mengerti kebutuhan dan naluri manusia.


Demi Allah, agama ini tidak mengekangnya.

Tak Sebebas Binatang

Tak mengekang, bukan berarti membebaskan


semaunya. Islam memang bukan agama yang
mengekang naluri dan kebutuhan jasmani

100
kita. Islam menggariskan aturan untuk
mengatur pemenuhan keduanya, agar selalu
berjalan sesuai dengan misi penciptaannya.
Agar naluri mencintai terus berjalan sebagai
cara Allah untuk terus mempertahankan anak-
keturunan manusia. Agar lapar dan dahaga
tetap berjalan sebagai skenario Allah untuk
mengetahui siapa diantara kita yang terbaik
amalnya.

Naluri mencintai (bagian dari naluri seksual)


misalnya, justeru akan menjadi petaka
manakala ia dibiarkan sebebasnya.
Bayangkan jika tidak ada aturan yang
membatasinya. Manusia hanya tahu, bahwa
jika naluri seksual memuncak, maka untuk
meredakannya adalah dengan berhubungan
seksual. Manusia tidak tahu kepada siapa ia
harus menyalurkan naluri seksualnya
tersebut. Bagaimana jika karena
ketidaktahuan itu, seorang lelaki berhubungan
seksual dengan ibu kandungnya sendiri. Maka,
kacaulah nasab anak yang lahir dari hubungan

101
itu. Itulah mengapa Allah menurunkan aturan
bagi kita. Maka biarkanlah naluri mencintai
terus berjalan sebagai cara Allah untuk terus
mempertahankan anak keturunan manusia.

Menjaga Manusia

Dengan apa Islam menjaga manusia? Dengan


aturan itu tadi. Untuk menjaga keturunan
misalnya, Islam mensunnahkan pernikahan
dan mengharamkan perzinaan. Untuk
menjaga harta, Islam memberi sanksi para
pencuri dengan memotong tanganya. Kejam
sekali? Makanya, jangan pernah berniat untuk
mencuri. Justru jika hukuman bagi pencuri
selonggar saat ini, tentu orang tak terlalu
takut untuk mencuri. Tetapi, jika hukumannya
betul-betul membuat merinding, siapa yang
berani mengulangi perbuatan mencuri? Siapa
yang berani memulai mencuri?

Untuk menjaga akal, Islam mengharamkan


kita meminum khamr (minuman
memabukkan). Tak hanya mengharamkan,

102
Islam pun menyiapkan seperangkat aturan
untuk membuat manusia menghindari
keharaman itu. Sanksi yang begitu tegas,
membuat siapapun takut melakukannya.

Begitulah, Islam hadir untuk menjaga


eksistensi manusia. Lantas, masih adakah
alasan bagi kita untuk tidak bangga
menggenggamnya?

Praktis

Agama yang kita genggam ini, tak seperti


filsafat yang tinggi melangit, yang tak bisa
aplikasikan dalam keseharian kita. Sungguh
setiap sisi aturan Islam adalah sesuatu yang
sangat praktis. Ajaran tentang shalat, zakat,
puasa, jihad, berdakwah, tersenyum,
menghormati tamu, membangun negara,
merajam pezina, memotong tangan pencuri,
dan lainnya pasti sangat bisa untuk
diaplikasikan.

103
Dengan begitu, menjadi Muslim bukanlah
menjadi orang yang berkutat pada hati dan
pikiran saja. Tetapi, menjadi Muslim adalah
menjadi orang yang meyakini dengan hati,
mengucapkan dengan lisan, dan
mengamalkannya dengan tindakan nyata.

Itulah keagungan Islam, keagungan yang


membuat siapapun akan takjub, selama ia
masih menggunakan nuraninya.

***

104
7
BISIK RINDU DARI ANDALUSIA

Penduduk spanyol pernah menggumamkan


harapannya. ”Kapan ya, pasukan Islam datang
untuk membebaskan negeri kita ini?”.
Harapan itu menjadi tak wajar, karena yang
mereka maksud membebaskan negeri
mereka, adalah memerangi. Adakah di antara
kita yang berharap kedatangan pasukan suatu
negeri untuk memerangi Indonesia kita ini?

Harapan itu menjadi wajar, jika kita


memahami alasan kerinduan mereka. Saat itu
seluruh dunia tahu, bahwa negara manapun
yang berhasil dikalahkan Islam dalam ’perang
pembebasan’, akan menjadi setara dengan
negeri Islam yang menaklukkan negeri
tersebut. Kesejahteraan yang menaungi
Khilafah Islam masa itu pasti akan merambat
ke setiap negeri yang baru saja
ditaklukkannya. Kemajuan ilmu pengetahuan

105
yang menerangi seluruh wilayah Khilafah
Islam pada masa itu, pasti akan segera
menyebar ke setiap negeri yang baru saja
kalah dalam berperang melawan Islam.
Terjaganya kehormatan wanita, terjaganya
keturunan, terjaganya harta, juga akan
dikecap oleh setiap penduduk negeri yang
baru saja ditaklukkan. Islam menaklukkan
suatu negeri untuk menjadikannya bagian
integral negara Islam, bukan untuk menjadi
jajahan. Maka, adalah wajar jika Semerbak
Wangi dari Madinah itu membuat penduduk
spanyol menggumam rindu, ”Kapan ya,
pasukan Islam datang untuk membebaskan
negeri kita ini?”.

  






 
 


106
”Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri
beriman dan bertakwa, Pastilah kami akan
melimpahkan kepada mereka berkah dari
langit dan bumi.” (TQS. Al-A’raf: 96)

Di bagian ini, insya Allah kita akan belajar


bersama tentang kedahsyatan Islam yang
menggema, yang membuat siapapun rindu
untuk menjadi bagiannya.

Sangat membanggakan, karena gema


kemuliaan itu bukan bagian terpisah dari
Semerbak Wangi dari Madinah yang kita
bicarakan sebelumnya. Kedahsyatan Islam
lahir dari keagungan syariat Islam. Lahirnya
para ulama, para ilmuwan dan para pejuang,
adalah buah dari diterapkannya hukum Islam
secara kaffah (menyeluruh).

Sayap-sayap Lalat

Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa


Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam
bersabda: "Apabila ada lalat jatuh ke dalam

107
minuman seseorang di antara kamu maka
benamkanlah lalat itu kemudian
keluarkanlah...."
(HR. Bukhari dan Abu Dawud)

Saya sempat kaget ketika pertama kali


membaca riwayat di atas. Betapa tidak
higienisnya pola hidup seorang mukmin. Jorok
sekali. Bayangkan saja, seekor lalat hinggap di
minuman, malah ditenggelamkan sama sekali.
Jika lalat itu sekedar hinggap di minuman kita
pun sudah membuat kita jijik untuk
meminumnya, apalagi jika lalat itu
ditenggelamkan seluruhnya. Alhamdulillah,
kekagetan saya tak berlangsung lama, karena
pada lanjutan hadits itu, Rasulullah
menyebutkan alasannya.

”...sebab pada salah satu sayapnya ada


penyakit dan pada sayap lainnya ada obat
penawar." (HR. Bukhari dan Abu Dawud)

Penggal kedua hadits tersebut menjelaskan


pada kita bahwa salah satu sayap lalat

108
membawa penyakit, dan sayap lainnya
membawa penawarnya. Maka, dengan
menenggelamkannya, berarti bisa dipastikan
bahwa minuman kita telah terbebas dari racun
yang dibawa salah satu sayap, karena pasti
dinetralkan oleh penawar yang dibawa sayap
satunya. Subhanallah.

Hal-hal seperti inilah yang membuat kaum


muslimin tertantang untuk mengkajinya.
Ketertarikan tersebut dikuatkan lagi oleh
peran negara Islam yang saat itu begitu serius
mengembangkan ilmu pengetahuan. Khilafah
Islam merangsang warga negaranya untuk
terus mengembangkan ilmu pengetahuan,
menghasilkan penemuan baru, dan lainnya.

Dengan apa khilafah merangsang minat warga


negaranya? Dengan penghargaan yang tinggi
kepada para ulama, penulis, dan ilmuwan. Gaji
seorang guru sederajat taman kanak-kanak,
setara dengan delapan juta jika dikonversikan
ke rupiah saat ini. Para penulis juga tidak

109
khawatir dengan pembajakan atas karya-
karya mereka, karena setiap karya yang
diterbitkan akan diganjar dengan emas yang
beratnya sama dengan buku tersebut. Jika
buku yang diterbitkan seberat 200gram, maka
hadiah dari negara Khilafah Islam adalah emas
seberat 200gram, begitu seterusnya. Setelah
itu, karya tersebut bebas dicetak dan bahkan
’dibajak’ oleh siapapun dalam rangka
menyebarluaskan ilmu.

Saat itu, ilmu pengetahuan tengah berjaya


dalam tubuh ummat Islam. Tak seperti
sekarang, kemampuan menyanyi Agnes
Monica dan kemampuan berakting Dian Sastro
lebih dihargai ketimbang kemampuan menulis
yang dimiliki oleh Ustadz Fauzil Azhim atau
Salim A Fillah.

Khilafah Islam juga memberikan fasilitas untuk


pengembangan ilmu pengetahuan tersebut.
Sekolah gratis didirikan, lengkap dengan
berbagai fasilitasnya yang menunjang. Dalam

110
beberapa kasus, orang sekolah bukannya
bayar, malah diberikan gaji atas upaya
belajarnya. Subhanallah.

Dengan itu, adalah wajar jika dari dunia Islam


lahir berbagai ilmuwan dengan berbagai
penemuannya yang menjadi inspirasi dan
pegangan ilmu pengetahuan dunia barat. Ibnu
Sina (Avicenna) dengan kitab kedokterannya
yang berjudul al Qanun fit Thibbi, telah
menjadi inspirator ilmu kedokteran dunia.
Karya besarnya al-Qanun telah diterjemahkan
ke bahasa Latin oleh Gerard de Cremone
(meninggal tahun 1187)..

Dunia barat masih berkutat dalam belenggu


kebodohan mereka, yang mendoktrinkan
bahwa bumi berbentuk datar, yang
menyebabkan mereka takut berlayar jauh
karena akan terjatuh ke neraka. Di saat yang
bersamaan, di dunia Islam sudah ada sebuah
globe sederhana yang menggambarkan

111
secara cukup detail tentang wilayah-wilayah
dunia.

Dunia barat juga masih berhutang kepada


ilmuwan Muslim, al-Khawarizmy namanya,
penemu angka nol. Memang hanya sekedar
menemukan angka nol, tapi jika angka nol tak
ditemukan, bisa dibayangkan betapa sulitnya
kita menuliskan angka seratus dua puluh lima
juta tiga ratus dua puluh tujuh ribu enam ratus
tiga puluh delapan, berapa hurup M, L, C, X, V
dan I yang harus kita tuliskan dalam aksara
romawi?

Observatorium pertama didirikan di Damaskus


pada tahun 707 oleh Khalifah Amawi Abdul
Malik. Sedangkan Universitas Eropa
mendirikannya setelah 2 atau 3 abad
kemudian seperti Universitas Paris dan
Univesitas Oxford, semuanya didirikan
menurut model Islam.

Subhanallah, sungguh dahsyat jasa-jasa Islam


bagi peradaban dunia. Diakui atau tidak, dunia

112
barat masih berhutang besar kepada Islam.
Sungguh.

’Aang’ dari Padang Pasir

Pernah menonton film kartun Avatar the


Legend of Aang? Terutama episode The
Painted Lady, Gadis Bercat. Diceritakan, tim
Avatar sedang berada di suatu perkampungan
yang mempercayai adanya arwah wanita yang
selalu menyelamatkan mereka, mereka
menyebutnya Wanita Bercat.

Karena Wanita Bercat tak kunjung datang


menyelamatkan mereka dari penyerangan
kerajaan api, Katara menyamar menjadi
wanita bercat tersebut. Dan untuk membuat
kesan bahwa wanita bercat itu memang
dahsyat, dibuatlah siasat yang sangat
mengagumkan. Tob si pengendali bumi
bertugas menghentak-hentakan bumi agar
terdengar suara langkah besar. Aang si
pengendali udara, bertugas meniupkan asap
ke sekitar tubuh Katara si ’Wanita Bercat’,

113
Sokka si bukan pengendali apa-apa, bertugas
meniupkan seruling dan Appa si banteng
terbang bertugas mengaum, untuk
menciptakan kesan mistis kemunculan Wanita
Bercat. Menakjubkan.

Bagi siapa saja yang melihat kejadian itu,


tentu akan mendapatkan kesan bahwa Wanita
Bercat bertubuh besar, dahsyat, dan mistis.
Dengan begitu, gentarlah semua tentara
kerajaan api yang ada di sana, dan pergi.

Menakjubkan bukan? Tapi itu fiksi, mana ada


manusia pengendali udara, air, tanah dan api?
Mana ada banteng terbang? Karenanya,
semenakjubkan apapun strategi itu, tetaplah
tidak menarik. Bagaimana jika ada strategi
bukan fiksi yang secantik itu dan tanpa ada
manusia pengendali api, air, tanah dan udara?
Jika ada, itu baru menakjubkan.

Ternyata ada, bahkan kejadiannya tidak


terinspirasi dari cerita Avatar, malah mungkin
sebaliknya, kisah Avatar yang terinspirasi dari

114
kejadian nyata ribuan tahun yang lalu ini;
kejadian perang Mu’tah. Pasukan yang ditukar
posisi, ringkikan kuda yang keras dan
bersahut-sahutan, debu-debu beterbangan,
serta suara riuh tanah yang dipukul-pukul,
semuanya membuat kesan bahwa pasukan
Islam mendapat tambahan tentara. Membuat
kaum kafir Romawi gentar dan memilih lari
tunggang langgang. Siapakah dibalik strategi
yang cantik itu? Tentu kalian semua masih
ingat pembicaraan kita di bagian awal buku
ini, dialah Khalid bin Walid, sang panglima
Islam.

Islam memang telah berhasil menjadikan


ummatnya terangsang menjadi orang-orang
hebat. Jika sebelumnya kita sudah menyimak
kemampuan Islam ’melahirkan’ para ilmuwan
dan ulama, maka di bawah sub-judul ’Aang’
dari Padang Pasir ini kita akan bercengkrama
tentang kemampuan Islam ’melahirkan’ para
pejuang yang tangguh.

115
Di antara para pejuang Islam adalah remaja
dan anak-anak. Ada di antara mereka yang
pedangnya masih terseret-seret di tanah
karena pedangnya lebih panjang dari tinggi
pinggangnya. Juga ada di antara mereka yang
harus menangis-nangis agar diizinkan ikut
berperang memperjuangkan agama Allah.

Imam Bukhari meriwayatkan hadits dari


’Abdurrahman bin ’Auf .Di tengah kecamuk
perang Badr, ada seorang anak yang berdiri di
samping Abdurrahman bin Auf dan bertanya,
”Paman, tunjukkan padaku mana Abu Jahl?.”
Kemudian Abdurrahman bin Auf menanyakan
keperluannya. Anak itu menjawab, ”Demi
Allah, jika aku sampai menemukannya, maka
aku tidak akan melepaskannya. Dia itu adalah
orang yang sering menyakiti Rasulullah.” Tak
lama setelah itu, datang lagi seorang anak
dengan keperluan yang sama. Kepada mereka
Abdurrahman bin Auf menunjukkan orang
yang bernama Abu Jahl. Segera setelah itu
kedua anak tersebut membunuh Abu Jahl.

116
Diantara mereka juga ada orang yang buta,
tetapi kebutaan tak menciutkan semangat
jihadnya, Abdullah bin Ummi Maktum
namanya. Di antara mereka juga ada orang
yang fisiknya lemah, yang bahkan kalau ditiup
angin gurun, dia akan terpelanting, Abu Dzarr
al-Ghifari namanya. Di antara mereka juga
ada mantan budak, Bilal bin Rabah namanya.
Semuanya adalah pejuang-pejuang yang
tubuhnya tidak kuat menampung semangat
jihadnya yang begitu menggebu.

Lantas, apakah yang menyebabkan anak-anak


dan orang-orang yang secara fisik lemah itu
selalu hadir dalam pertempuran? Tentu saja
cita syahid yang menguatkan ’azzam mereka
untuk hadir di medan yang hanya berbicara
dengan pedang dan tombak itu. Islam telah
berhasil membuat pemeluknya, baik yang
kuat fisiknya ataupun yang cacat tubuhnya,
yang kekar maupun yang ringkih, orang
dewasa hingga anak-anak, semuanya tak

117
memiliki rasa takut sedikit-pun terhadap
kematian, bahkan merindukannya.

Di saat orang-orang kafir berperang untuk


hidupnya, orang mukmin justeru berperang
untuk dua hal yang keduanya mulia, menang
atau mati syahid. Dua cita-cita yang pasti
didapat salah satunya. Inilah yang membuat
siapapun menjadi seganas singa di medan
perang. Karena dia akan berhadapan pada
dua hal saja, mungkin menang, maka itu baik
baginya, dan mungkin terbunuh di medan
jihad, dan itu pun baik baginya.

  


  
   
 
  
”Dan janganlah kamu mengatakan terhadap
orang-orang yang gugur di jalan Allah itu
mati; bahkan mereka itu hidup di sisi
Tuhannya, tetapi kamu tidak menyadarinya”
(QS. Al-Baqarah: 154)

118
Menariknya, ummat Islam bukan berperang
dengan bermodal nekad untuk mengejar mati.
Ummat Islam berperang dengan strategi
terbaik. Mereka berusaha menjemput
pertolongan Allah dengan menghadirkan
sebabnya, dengan menghadirkan kondisi-
kondisi yang memungkinkan datangnya
pertolongan Allah. Ummat Islam berangkat ke
medan tempur dengan persiapan terbaik,
bukan dengan modal seadanya.

  



 
 
 
 
”Sesungguhnya Allah menyukai orang yang
berperang dijalan-Nya dalam barisan yang
teratur seakan-akan mereka seperti suatu
bangunan yang tersusun kokoh.”
(QS. Ash-Shaff: 4)

119
Dalam perang Qadisiyah, bahu-membahu
mereka menerobos sungai raksasa di Iraq.
Dengan tangan yang saling bergandeng erat
satu sama lainnya, pasukan itu membelah
sungai raksasa. Itu saja sudah membuat
panglima Rustum gentar. Di tengah upaya
menerobos derasnya arus, seorang mukmin
berteriak, ”Kantung airku, kantung airku...!”.
Serentak setelah teriakan itu, seluruh kaum
Muslimin mengobok-obok sungai raksasa
tersebut, hanya untuk mencari kantung air
milik saudaranya yang hilang. Panglima
Rustum bergetar ketika menyaksikan
persatuan kaum muslimin yang begitu kokoh.
Bayangkan saja, hanya karena kantung air
hilang saja, mereka mengobok-obok sungai
raksasa itu. Lalu apa yang akan terjadi jika
yang hilang adalah nyawa salah seorang
teman mereka?

Subhanallah, mereka tidak berperang dengan


modal dengkul. Mereka membawa sebuah
semangat baja, mereka membawa sebuah

120
persatuan yang begitu kokoh, mereka
membawa senjata yang tak dimiliki oleh
orang-orang kafir itu, senjata itu adalah iman.

Untuk menjemput pertolongan Allah, mereka


pun menyiapkan kuda-kuda terbaik, pedang,
tombak, panah, dhabbabah (tank) dan
manjanik (meriam).

  


 
   

 
 

 
 
 
  
  
  
 
 
 

121
Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka ”
kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan
dari kuda-kuda yang ditambat untuk
berperang (yang dengan persiapan itu) kamu
menggentarkan musuh Allah dan musuhmu
dan orang orang selain mereka yang kamu
tidak mengetahuinya; sedang Allah
.mengetahuinya
Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan
Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup
kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya”(QS.
(Al-Anfal: 60

Subhanallah, wajar jika darinya terlahir para


pejuang tangguh seperti Khalid bin Walid yang
sampai 13 kali berganti pedang dalam perang
Mu’tah, dan mampu membelah pasukan
musuh seorang diri. Wajarlah jika anak-anak
dan orang-orang cacat pun menjadi sangat
ganas dan menakutkan ketika sudah
berhadapan dengan musuh-musuh Allah.
Subhanallah.

122
Duduk dan Dengarkanlah Dulu...

Jika sebelumnya kita berbicara tentang para


pejuang yang seperti singa ketika berada di
medan tempur, kali ini kita akan berbincang
tentang pejuang lain, yang berjuang dengan
senjata tak terindera, namun lebih tajam dari
pedang. Ya, mereka berjuang dengan kata
yang mampu ’menyihir’ pendengarnya.

Jika kita ingin menjadi seorang negosiator


ulung, belajarlah dari Mush’ab bin Umair.
Seorang pemuda Makkah yang terlahir dari
keluarga kaya raya yang kafir dan karena
pilihannya akan Islam, Mush’ab harus berpisah
dengan ibunya yang masih bersikeras dalam
kekafiran.

Mush’ab adalah seorang pemuda flamboyan.


Kehadirannya bisa dideteksi dari aroma
parfum yang tercium jauh sebelum tubuhnya
terlihat. Mush’ab adalah seorang duta
pertama Rasulullah yang dikirim untuk

123
menjadi ’guru ngaji’ di Yatsrib (Madinah)
sebelum hijrah.

Suatu hari, saat Mush’ab tengah menuturkan


dakwah sebagaimana biasanya, tiba-tiba
Usaid bin Hudhair (kepala suku kabilah Abdul
Asyhal di Madinah) menodong Mush’ab
dengan tombak. Usaid bin Hudhair sedang
marah besar kepada Mush’ab yang
dianggapnya tengah mengacau kaumnya.
Mush’ab tetap tenang, air mukanya tak
berubah sedikit pun. Seperti tenangnya
samudera yang dalam, seperti tenangnya
cahaya fajar.

Bagaikan singa hendak menerkam


mangsanya, Usaid bin Hudhair memuntahkan
kalimat kasar yang sedari tadi membuncah di
dadanya. ”Apa maksud kalian datang ke
kampung kami ini, apakah hendak membodohi
rakyat kecil kami? Segera tinggalkan tempat
ini, jika tidak ingin nyawa melayang.”

124
Mushab tetap tenang. Dan dalam ketenangan
itu, dari lidahnya mengalir kata-kata yang
sangat halus namun menggugah, ”Kenapa
Anda tidak duduk dan mendengarkan dulu?
Jika nanti Anda menyukai apa yang saya
sampaikan, Anda bisa menerimanya.
Sebaliknya jika tidak, kami akan
menghentikan apa yang tidak Anda sukai itu.”

Usaid bin Hudhair menerima tawaran


bijaksana itu. Setelah Mush’ab membacakan
beberapa ayat al-Quran dan menyampaikan
dakwahnya, maka dada Usaid mulai terbuka
dan bercahaya. Tombak yang tadi
dipancangkannya, kini terlepas dan terjatuh
ke tanah. Belum sempat Mush’ab
menyelesaikan uraiannya, Usaid berseru,
”Alangkah indah dan benarnya ucapan itu.
Dan apakah yang harus dilakukan orang yang
hendak masuk ke dalam agama ini?” Para
shahabat yang mendengar pernyataan Usaid,
segera menggemuruhkan tahlil, seorah ingin
menggoncangkan bumi.

125
Begitulah, negosiasi yang didasari dengan
kecintaan yang tulus. Mush’ab hadir bukan
untuk membawa bahaya, melainkan untuk
menebar cahaya.

  


 


 

 
   
  
   
 


”Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu
dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan
bantahlah mereka dengan cara yang baik.
Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih
mengetahui tentang siapa yang tersesat dari
jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui

126
orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS.
An-Nahl: 125)

Subhanallah, Islam telah menjadikan


ummatnya orang-orang yang cerdas dalam
berdiskusi dan lugas dalam berargumentasi.
Mush’ab hanya salah satu dari sekian banyak
Muslim yang mampu menyampaikan gagasan
dan keyakinannya dengan penuh cinta.
Sebagai ummat Islam, kita telah banyak
belajar dari teladan Mush’ab dalam
menyampaikan kebenaran agama kita.

Ah. Sungguh wajar jika penduduk Spanyol


bergumam rindu. Alangkah Indahnya gema
nada keagungan Islam yang mampu
menghasilkan manusia-manusia terhebat
sepanjang masa. Dari Islam terlahir para
ulama seperti Imam Bukhari, Imam Syafi’i,
atau Syaikh Abdul Qadir al-Jailani. Dari Islam
juga terlahir para ilmuwan besar seperti Ibnu
Sina, Al-Khawarizmy, Ibnu Rusyd, dan lainnya.
Dari Islam pula terlahir negosiator handal

127
seperti Mush’ab bin Umair. Dari Islam pulalah
terlahir para pejuang tangguh seperti Khalid
bin Walid si Pedang Allah, Salman Al-Farisi si
arsitek perang Khandaq, Shalahuddin al-
Ayyubi yang matinya pun masih ditakuti orang
kafir, Thariq bin Ziyad yang membebaskan
Spanyol dengan cinta, atau seperti
Muhammad al-Fatih yang berhasil
membebaskan Konstatinopel setelah ratusan
tahun pendahulunya mengalami kegagalan.

Sungguh, keagungan konsep-konsep Islam,


telah menggemakan kemuliaan yang
mengguncang dunia. Masih adakah alasan kita
untuk tidak mencintai satu-satunya agama
yang diridhai di sisi Allah ini?

***

128
Nyala Kedua

MENERANGI SEMESTA

129
Nyala Kedua
MENERANGI SEMESTA

***
”Wahai Rasulullah, aku tidak akan bisa pulang
sebelum meneriakkan Islam di masjid.”
(Abu Dzarr al-Ghifary, pada detik awal
keislamannya)

***

Percik 3:
Mengejar Ilmu Sehaus Pengembara
Belajar dari Asy-Syafi’i
Taman Surga

Percik 4:
Bersegera
Benar dan Ikhlas
Secepat Hanzalah
Cerdas Beribadah

Percik 5:
Berbagi Cahaya
Dongeng Umat Terbaik
Belajar dari Abu Dzarr
Menyempurnakan Ikhtiyar

Percik 6:
Terus Melangkah
Jalan Ini Berduri

130
Ujian Cinta

131
Mungkin perbincangan di Nyala Pertama tadi
sudah banyak menguras energi kita. Saya
mohon maaf atas semua itu. Saya sedang
belajar untuk menyajikannya lebih sederhana
lagi. Tapi sampai sejauh ini, itulah yang saya
mampu.

Saya ingin menyajikannya secara lebih singkat


agar kalian tidak perlu terlalu banyak waktu
untuk menekuri lembar demi lembar buku ini.
Tetapi perbincangan kita di Nyala Pertama
bukanlah perbincangan sembarangan. Di sana
kita berbincang tentang diri, tentang semesta,
tentang kehidupan dan juga tentang Tuhan.
Saya tidak berani mengambil resiko jika
menyajikannya secara ringkas. Perbincangan
mengenai akidah adalah perbincangan yang
memerlukan kehati-hatian tingkat tinggi. Jika
saya sajikan lebih singkat, saya khawatir akan
ada rantai pemahaman yang terputus.
Akhirnya, mau tidak mau saya tetap
menyajikannya secara panjang lebar. Agar

132
tidak ada yang tersesat dikarenakan saya
tergesa-gesa menuntaskan pembahasan.

Karena itu, sekali lagi saya mohon maaf jika


perbincangan kita di Nyala Pertama:
MENYINARI HATI telah menghabiskan hampir
separuh isi buku ini. Semoga kita semua bisa
mengumpulkan serpihan-serpihan ilmu yang
mungkin terserak berhamburan. Dan semoga
kita bisa menghimpunnya menjadi sebuah
pemahaman yang utuh dan berurutan.

Tentu saja Nyala Kedua: MENERANGI SEMESTA


ini adalah lanjutan dari pembahasan
sebelumnya. Jika sebelumnya kita telah
bersama-sama membuktikan bahwa Islam
adalah satu-satunya akidah yang bisa
dipertanggungjawabkan secara logis (dengan
begitu kita telah menjadi seorang Muslim
dengan keimanan yang sekokoh karang),
maka di bagian ini kita akan belajar bersama
tentang apa saja yang harus kita lakukan

133
setelah kita menjadi Muslim dengan keyakinan
yang bulat utuh.

Nyala kedua ini saya bagi dalam empat Percik.


Tak perlu ribut lah dengan apa itu Nyala dan
apa itu Percik. Sederhana saja, jika Nyala
adalah cara saya untuk menyebut Bab, maka
Percik adalah cara saya dalam menyebut sub-
bab. Afwan, biar tidak terlalu kaku saja. Iya
kan? ^_^

Empat Percik di sini merupakan lanjutan dari


dua Percik sebelumnya di Nyala Pertama
MENYINARI HATI. Kita mulai dengan Percik 3:
Mengejar Ilmu, di sini kita akan belajar
menjadi orang yang sangat haus akan ilmu.
Untuk itu, saya berusaha menyajikan sebuah
contoh nyata tentang kehausan akan ilmu
melalui kisah hidup seorang anak miskin yang
kelak menjadi seorang ulama besar.

134
Selanjutnya pada Percik 4: Bersegera, kita
akan belajar menjadi orang terbaik dalam
mengamalkan ilmu yang sudah kita dapatkan.
Untuk memudahkan, saya juga menghadirkan
sebuah kisah menggugah tentang kehidupan
salah seorang shahabat RasuluLlah saw.
Namanya Hanzalah bin Abi Amir. Ia bergelar
ghasilul-malaikat, orang yang dimandikan oleh
malaikat. Apa yang menyebabkan Hanzalah
mendapat kemuliaan sedemikian besar? Itulah
yang akan kita pelajari di percik ke empat
nanti

Lalu pada Percik 5 Berbagi Cahaya, setelah


kita menjadi pengamal terbaik atas ilmu, kita
akan belajar menjadi orang yang begitu
bersemangat dalam menyebarkan apa yang
sudah kita yakini dan kita amalkan tersebut.
Di bagian ini saya hadirkan sebuah fragmen
sejarah yang begitu menggugah, yaitu kisah
Abu Dzarr Al-Ghifary di detik-detik awal
keislamannya. Dia adalah seorang lelaki yang

135
tak sanggup memendam kebenaran yang dia
yakini. Baginya, memendam kebenaran
seorang diri jauh lebih menyakitkan daripada
disiksa karena menyampaikan kebenaran itu.
InsyaaLlah kita akan terus belajar bersama,
semoga kalian tidak jenuh duduk di sini
bersama saya.

Pada Percik 6: Terus Melangkah, izinkan saya


berbagi tentang pentingnya bersikap
istiqamah dalam menjalankan tiga hal
sebelumnya; menuntut ilmu, mengamalkan,
dan menyebarkannya.

136
Percik 3:
Mengejar Ilmu
Sehaus Pengembara

8. Belajar dari Asy-


Syafi’i
9. Taman Surga

137
8
BELAJAR DARI ASY-SYAFI’I

Seorang anak kecil tengah memungut


pecahan tembikar, potongan kulit binatang,
pelepah kurma, dan tulang unta. Benda-benda
yang nyaris tak bernilai itu kemudian
dikumpulkannya di dalam tempayan-
tempayan milik ibunya.

Untuk apa ’sampah-sampah’ itu? Tak lain


adalah untuk menuliskan hadits-hadits
Rasulullah saw. Ibunya tak memiliki cukup
uang untuk membelikannya alat-alat tulis
yang lebih baik dari itu. Akan tetapi,
kemiskinan tak membuatnya berputus asa. Ia
terus saja belajar bersama pecahan-pecahan
tembikar dan tulang-tulang untanya.

Perjuangan kerasnya membuahkan hasil. Saat


berusia tujuh tahun, anak ini telah menghafal
seluruh isi al-qur’an. Kemudian di usianya
yang kedua belas, ia telah melahap kitab Al-

138
Muwaththa’ karya Imam Malik. Tak puas
sekedar membacanya, ia juga menghafalkan
setiap lembar, paragraf, kalimat, bahkan tiap
hurufnya.

Dia adalah seorang pengembara ilmu. Meski


dibesarkan di Makkah, tokoh kita ini telah
melakukan banyak perjalanan untuk
mengumpulkan serpihan-serpihan ilmu yang
terpencar di beberapa negeri. Beliau pergi dan
sempat menetap di daerah pedalaman
bersama suku Hudzail yang telah terkenal
kefasihan dan kemurnian bahasanya, serta
syair-syair mereka, hanya untuk mempelajari
bahasa Arab beserta syair-syairnya.

Setelah mendapatkan nasehat dari dua orang


ulama, agar mendalami ilmu fiqih, maka
beliau pun tersentuh untuk mendalaminya.
Bersamaan dengan itu, ia belajar memanah
dan berkuda hingga mahir. Dari sepuluh anak
panah yang lontarkannya, sembilan di
antaranya selalu tepat mengenai sasaran.

139
Ia melanjutkan pengembaraan ilmunya ke
Madinah, untuk berguru kepada seorang
ulama besar saat itu. Usai menimba dari
samudera ilmu di Madinah, ia kembali ke
Makkah. Ia masih begitu haus akan ilmu,
padahal orang sudah mengenalnya sebagai
ulama dengan ilmu seluas lautan. Ia kemudian
melanjutkan perjalanannya mencari ilmu ke
Yaman.

Kelak, ia menjadi seorang ulama besar yang


mewariskan beberapa kitab utama kepada
kaum Muslimin sepeninggalnya. Ia juga
mendirikan sebuah mazhab yang kelak akan
banyak memberikan pengaruh di dunia Islam.

Tentu kalian semua sudah bisa menebak siapa


tokoh yang saya maksud. Ya, dialah Imam
Syafi’i, kitab yang diwariskannya adalah al-
Umm, dan guru besar tempatnya menimba
ilmu adalah Imam Malik rahimahullah.

***

140
Pengembaraan yang ditempuh oleh Imam
Syafi’i sangatlah mengagumkan. Kehausan
akan ilmu telah mengantarkannya
menyelusuri jalan-jalan kecil di penjuru Hijaz.
Kehausan itu pulalah yang kelak
mengantarkannya menjadi seorang imam
besar bagi umat Islam sepeninggalnya.
Subhanallah.

Barangsiapa merintis jalan mencari ilmu,


maka Allah akan memudahkan baginya jalan
ke surga.
(HR. Muslim)

Kita belajar banyak hal kepada Imam Syafi’i.


Padanya kita belajar tentang semangat yang
demikian kuat dalam menggali mutiara-
mutiara Islam yang terpencar di seluruh
pelosok bumi. Padanya kita juga belajar untuk
mempercepat pengembangan diri. Kita seolah
’dipermalukan’ ketika menyadari bahwa beliau
telah menghafalkan seluruh ayat al-Qur’an di
usianya yang baru tujuh tahun. Bahkan, beliau

141
telah menghafal kitab al-Muwatha’ karya
Imam Malik di usia dua belas tahun. Sungguh
prestasi yang menakjubkan.

Menariknya, kedalaman ilmu yang dimilikinya


justeru membuatnya semakin haus akan ilmu.
Sementara kita? Terkadang dengan ilmu yang
sangat dangkal ini pun kita merasa enggan
untuk mencarinya. Padahal, saat ini kita
banyak sekali mendapatkan kemudahan jika
memang berniat untuk menuntut ilmu. Kita
tak perlu lagi mengumpulkan pecahan
tembikar atau kepingan tulang hewan untuk
menulis, karena kertas sudah sangat mudah
ditemukan dengan harga yang terjangkau.
Sekarang kita tak perlu lagi menjelajah gurun,
karena kita bisa menjelajahinya sambil duduk
di depan komputer kita dengan bertanya pada
Mbah Google. Jika kita ingin mendengarkan
taushiyah dari seorang ulama, kita tak perlu
menempuh perjalanan jauh untuk menemui
ulama tersebut, kita cukup mengkopi file
audio taushiyah ulama tersebut. Setelah itu

142
kita bisa mendengarkannya sambil berbaring
santai di halaman belakang rumah kita
melalui fasilitas MP3 player.

Alangkah anehnya, karena di tengah


keserbamudahan yang kita dapatkan, kualitas
ilmu kita tak mampu untuk sekedar mengiringi
kedalaman ilmu seorang anak yang belajar
sambil mengumpulkan pecahan tembikar.

Insya Allah, di Nyala ketiga ini kita akan


belajar bersama tentang itu semua.

***

143
9
TAMAN SURGA

Sedikit ilmu lebih baik dari banyak ibadah.


Cukup bagi seorang pengetahuan fiqihnya jika
dia mampu beribadah kepada Allah.. (HR. Ath-
Thabrani)

Kenapa sedikit ilmu lebih baik daripada


banyak ibadah? Karena ilmu adalah satu-
satunya jalan bagi kita untuk melakukan
ibadah. Darimana kita tahu bahwa shalat
shubuh dua raka’at? Darimana kita tahu
bahwa aurat wanita adalah seluruh tubuh
kecuali muka dan telapak tangan? Darimana
kita tahu bahwa riba hukumnya haram?
Jawaban ketiganya adalah: dari menuntut
ilmu. Karena itu, wajarlah jika Rasulullah
memperbandingkan orang yang berilmu
dengan orang yang banyak beribadah,
sebagaimana perbandingan bulan dan
bintang.

144
Kelebihan orang berilmu terhadap seorang
'abid (ahli ibadah)
ibarat bulan purnama terhadap seluruh
bintang.
(HR. Abu Dawud)

Haus Ilmu

Imam Syafi’i telah mengajarkan kepada kita


tentang keharusan haus terhadap ilmu.
Semakin banyak ilmu yang dimiliki, maka
semakin hauslah ia akan ilmu. Jika kita merasa
cukup dengan ilmu kita, maka itu pertanda
ilmu kita sangat dangkal. Ketika kita menutup
diri dari ilmu, saat itulah syaithan
menggelayuti hati kita. Saya selalu terngiang-
ngiang ucapan seorang sahabat, bahwa jika
kebenaran telah menari-nari di depan mata,
maka hanya satu yang dapat
menghalanginya; kesombongan hati.

Saat kita menutup diri dari kebenaran, hati


kita pekat. Lalu ketika kita mencoba membuka
hati kita untuk masuknya kebenaran, saat

145
itulah, secercah demi secercah cahaya mulai
menyelusup MENYINARI HATI kita. Justeru di
saat hati kita menjadi lebih teranglah kita
mampu melihat ke dalam hati, bahwa ilmu
kita masih sangat sedikit. Semakin banyak
ilmu yang masuk, semakin teranglah
cahayanya, dan semakin terlihat pulalah
bagian-bagian kosong dalam hati kita.

Contoh sederhananya begini. Jika kita masih


mengunci rapat hati kita dari ilmu, maka kita
tak sadar di bagian mana yang kita tidak
mengetahui tentangnya. Apakah tentang
puasa, apakah tentang hukum berpakaian,
ataukah tentang hukum tentang pergaulan.
Saat kita pertama kali membuka hati kita
untuk ilmu, maka cahaya yang sedikit itu akan
memberi clue kepada kita bahwa kita masih
harus mengkaji lebih banyak tentang hukum
pergaulan. Semakin banyak kita mempelajari
tentang hukum pergaulan, semakin terang
pula cahaya di hati kita. Dengan begitu, kita
akan lebih jelas lagi melihat bahwa ada

146
banyak sisi dalam pergaulan kita yang harus
dibenahi. Semakin banyak mempelajari, akan
semakin terang hati kita, akan semakin jelas
pula di mana kekuarangan kita. Begitu
seterusnya. Hal itulah yang menyebabkan
para pengembara ilmu seolah tak pernah
jemu dalam perjalanannya mengejar ilmu.

Taman-taman Surga

Apabila kamu melewati taman-taman surga,


minumlah hingga puas. Para sahabat
bertanya, "Ya Rasulullah, apa yang dimaksud
taman-taman surga itu?" Nabi Saw menjawab,
"Majelis-majelis ilmu." (HR. Ath-Thabrani)

Betapa mulianya majelis ilmu, hingga


Rasulullah menyebutnya sebagai taman-
taman surga. Jika kau menemuinya,
minumlah sepuasnya. Di setiap sudut kota,
insya Allah akan selalu ada pemuda-pemuda
Islam yang sangat bersemangat bermain di
’taman-taman surga’ ini. Di pojok-pojok
masjid, di halaman berrumput, di rumah-

147
rumah, atau dimana pun, hadirilah majelis
ilmu itu, reguklah sebanyak-banyaknya ilmu
yang diajarkan di sana.

Jika kita belum bisa menikmati apa yang


disampaikan oleh sang Ustadz, duduk saja.
Karena di sana mengalir pahala bagi kita.
Tentu saja lebih baik lagi jika kita bisa
mengambil manfaat dari majelis ilmu tersebut.

Duduk bersama orang-orang berilmu adalah


ibadah.
(HR. Ad-Dailami)

Jangan biarkan majelis-majelis laghwun (sia-


sia) malah menjadi tempat favorit kita.
Terkadang saya merenung, kenapa hampir
setiap pengajian jumlah pesertanya hanya
berkisar sepuluh sampai tiga puluh orang,
tetapi konser musik yang jelas-jelas laghwun
(bahkan haram) malah dihadiri oleh ratusan
bahkan ribuan remaja. Mungkin inilah tanda-
tanda akhir zaman. Ya Allah...

148
Keutamaan Menuntut Ilmu

 
 
 
 
 
 
 

”Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang
yang beriman di antaramu dan orang-orang
yang diberi ilmu pengetahuan beberapa
derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang
kamu kerjakan.” (TQS. Al-Mujadilah: 11)

Aduhai, sungguh indah janji Allah itu. Semoga


kita termasuk orang-orang yang ditinggikan
derajat oleh Allah. Karena itu, mari kita
bersama berburu ilmu. Ia sedang terserak di
seluruh penjuru bumi. Tugas setiap
mukminlah untuk mencari dan
mengumpulkannya menjadi sebuah
pemahaman yang mendalam.

149
Barangsiapa merintis jalan mencari ilmu
maka Allah akan memudahkan baginya jalan
ke surga.
(HR. Muslim)

Tentu kita masih ingat riwayat yang sangat


sering kita dengarkan sewaktu kita masih
duduk di sekolah dasar, bahwa di padang
Mahsyar kelak, kita akan merasakan panas
yang luar biasa membakar. Kita juga akan
menghadapi persidangan di hadapan Allah.
Alangkah sulitnya urusan pada saat itu, tetapi
kecemasan saya seolah terjawab oleh hadits
yang diriwayatkan oleh imam Muslim tersebut.
Maka Allah akan memudahkan jalannya ke
surga...

Apakah secara otomatis jalan kita ke surga


akan menjadi mudah? Tentu saja tidak. Ada
sebuah proses panjang yang tidak disebutkan
Rasulullah dalam hadits tersebut. Hadits
tersebut tidak bisa dijadikan alasan untuk
bermalas-malasan dalam beramal, ’yang

150
penting kan berilmu?’ Tentu saja tidak bisa
begitu.

Dengan berilmu, kita akan mengetahui mana


yang halal dan mana yang haram. Kita akan
mengerti apa yang harus dilakukan dan apa
yang mesti ditinggalkan agar kita bisa meraih
surga. Dengan ilmu itu, kita akan
mempersembahkan amal terbaik kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Jika kita menjalani
hidup dengan hal-hal yang diridhai oleh Allah,
maka kita akan bisa
mempertanggungjawabkannya di hadapan
Allah nanti. Insya Allah, itulah maksud
dimudahkan jalan menuju surga.

Rasulullah juga selalu menyemangati kita


untuk terus menuntut ilmu.

Wahai Aba Dzar, kamu pergi mengajarkan


ayat dari Kitabullah lebih baik bagimu
daripada shalat seratus rakaat, dan pergi
mengajarkan satu bab ilmu pengetahuan baik
dilaksanakan atau tidak, itu lebih baik

151
daripada shalat seribu raka'at.
(HR. Ibnu Majah)

Sekali lagi, hadits-hadits yang seperti ini tidak


bisa kita jadikan alasan untuk tidak
mendirikan shalat sunnah. Tentu saja lebih
baik lagi jika kita terus menuntut ilmu, di saat
yang sama kita juga mendirikan shalat sunnah
seratus rakaat.

Hanya saja, kita tidak boleh lupa dengan yang


satu ini, bahwa nilai ibadah setiap hamba
tergantung pada niatnya. Karena itu dalam
menuntut ilmu, pastikan niat kita ikhlas untuk
mendapatkan keridhaan Allah semata. Bukan
untuk menumpuk ilmu, apalagi untuk
dibanggakan kepada orang lain. Juga bukan
untuk sekedar menghiasi penampilan kita di
dalam majelis. Semoga saya dan kalian semua
terhindar dari penyakit hati yang sangat
berbahaya ini.

Janganlah kalian menuntut ilmu untuk


membanggakannya kepada para ulama dan

152
untuk diperdebatkan di kalangan orang-orang
bodoh dan buruk perangainya. Jangan pula
menuntut ilmu untuk penampilan dalam
majelis dan untuk menarik perhatian orang-
orang kepadamu. Barangsiapa seperti itu
maka baginya neraka, neraka!.
(HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah)
***

153
Percik 4:
Bersegera

10. Benar dan Ikhlas


11. Secepat Hanzalah
12. Cerdas Beribadah

154
10
BENAR DAN IKHLAS

Adzan maghrib berkumandang menyusuri


celah-celah perumahan. Sementara Adul dan
Japri masih duduk-duduk di jembatan. Sejak
habis ashar tadi, mereka duduk di sana sambil
membicarakan hal yang yang tidak
bermanfaat. Ustadz Ahmad lewat di depan
mereka bersama Titin, anak gadisnya yang
selama ini jadi pujaan hati Adul.

Melihat Titin pergi ke Mushalla, Adul pun


bergegas pulang ke rumahnya mengambil
kopiah dan sajadah. Dipacunya motor dengan
kecepatan tinggi. Selang beberapa menit,
Adul sudah kembali ke jembatan tempat Japri
menunggunya dengan wajah bingung.

“Jap, buruan ke mushalla, shalat maghrib!”


Adul mengajak Japri segera pergi ke mushalla.
Motor pun kembali melaju menuju mushalla.

“Allahuakbar!” Ustadz Ahmad mengangkat

155
takbiratul ihram, diikuti oleh seluruh ma’mum
yang ada di belakang beliau, termasuk Adul
dan Japri. Rukun demi rukun dijalankan Adul
dan Japri, mengikuti ustadz Ahmad. Sampai
tahiyat akhir (raka’at ketiga), shalat Adul
masih beres-beres saja. Tapi yang
mengejutkan adalah, ketika Ustadz Ahmad
mengucapkan salam penutup shalat, dan
seluruh jama’ah mengikutinya, tiba-tiba Adul
berdiri lagi, padahal dia tidak masbuk. Japri
melongo melihat tingkah sahabatnya. Selesai
Adul shalat, Japri langsung mencecarnya
dengan pertanyaan bertubi-tubi.

“Dul, kamu shalat berapa raka’at?”

“Empat, emang kenapa?” jawab Adul tanpa


merasa berdosa.

“Lho, shalat maghrib kan cuma tiga rakaat?


Ngaco kamu!” Japri menepuk bahu Adul.

“Aku ini lagi semangat, tau! Kalo dalam


kondisi biasa, shalat maghrib emang tiga

156
rakaat. Tapi, sekarang kan aku lagi semangat,
makanya aku bikin jadi empat rakaat. Biar
lebih afdhol!” Adul menghela napas sejenak,
kemudian melanjutkan.

“Lagian, yang jadi imam kan bapaknya Titin,


kalo beliau lihat rakaat shalatku lebih banyak,
kali aja beliau mau jadiin aku menantunya.”
Adul masih senyum-senyum tanpa ada sedikit
pun perasaan bersalah.

***

Cerita tadi memang terlalu ekstrim. Tapi


setidaknya, cukup mewakili cara berpikir
sebagian besar ummat Islam saat ini. Lihat
saja, banyak sekali saudara-saudara kita yang
beribadah tanpa ilmu. Melakukan amalan
inilah, amalan itulah, padahal Allah dan Rasul-
Nya tidak pernah menyuruh kita
melakukannya.

Sebagian ulama berpendapat bahwa hukum


asal ibadah adalah haram. Artinya, sebelum

157
kita menemukan dalil yang memerintahkan
ibadah tersebut, maka jangan dilakukan.

"Barangsiapa yang mengada-ada di dalam


urusan (agama) kami ini sesuatu yang bukan
bersumber padanya, maka ia tertolak."
(HR. al-Bukhari)

Ini bertolak belakang dengan hukum awal


benda. An-Nabhani berpendapat bahwa
hukum awal benda adalah mubah, artinya
sebelum kita menemukan dalil pengharaman
suatu benda, maka benda itu boleh
dimanfaatkan.

Nah, karena hukum awal ibadah adalah


haram, maka kita tidak boleh beribadah
sesuka hati. Ibadah kita harus disandarkan
pada dalil. Sebelum kita menemukan perintah
untuk melakukannya, maka haram bagi kita
untuk melakukannya. Sebagai contoh,
berdzikir sambil membakar kemenyan. Kalau
kita tidak pernah menemukan dalil yang
memerintahkannya, berarti aktivitas tersebut

158
haram dilakukan.

Ibadah mahdhah itu urusan hamba dengan


Allah saja. Karenanya, hanya Allah yang
berhak menentukan bagaimana jenis ibadah,
maupun teknis-teknisnya. Shalat misalnya,
kita tidak akan pernah melakukannya,
seandainya Allah tidak memerintahkan dan
nabi tidak mencontohkan. Dan karena Allah
telah memerintahkan, Rasulullah juga telah
mencontohkan, maka tidak ada seorang pun
dari kita yang mengingkari kewajiban shalat.
Siapakah yang menentukan teknis
pelaksanaan shalat? Ulama? Guru? Presiden?
Atau siapa? Tentu saja Allah! Karena ini
adalah urusan hamba dengan Allah saja.

Begitu juga sebenarnya dengan ibadah-ibadah


lainnya. Hanya Allah yang berhak menentukan
jenis dan juga teknisnya. Karenanya, kita tidak
berhak membuat aturan sendiri dalam
beribadah mendekatkan diri kepada Allah. Jika
kita dapat info dari ulama bahwa sesuatu

159
adalah ibadah, maka kita harus cek dulu,
dalilnya apa? Karena kalau tidak, bisa jadi itu
hanya hawa nafsu si ulama belaka! Kalaupun
bukan hawa nafsu, mungkin itu cuma
kecerobohan si ulama yang bersangkutan.

”Barang siapa yang melakukan ibadah yang


tidak pernah aku perintahkan,
maka ia tertolak”. (HR. Muslim)

Agar Amal Tak Tersia

Ada dua syarat diterimanya amal, yaitu


niatnya ikhlas, dan caranya benar. Niat
adalah pangkal ibadah. Nabi mengatakan kita
hanya akan mendapatkan apa yang kita
niatkan. Saat pergi berhijrah dari Makkah ke
Madinah, Nabi mengingatkan sahabat-
sahabatnya akan pentingnya niat ini.

”Sesungguhnya seluruh amal itu tergantung


kepada niatnya, dan setiap orang akan
mendapatkan sesuai niatnya. Barangsiapa
yang berhijrah karena Alloh dan Rosul-Nya,

160
maka hijrahnya kepada Alloh dan Rosul-Nya.
Dan barangsiapa yang berhijrah karena dunia
atau karena wanita yang ingin dinikahinya
maka hijrahnya itu kepada apa yang menjadi
tujuannya.”
(Mutafaq ’Alaih)

Shalat maghrib empat rakaat yang dilakukan


Adul tadi adalah contoh amal yang jelas tidak
bisa dikatakan ikhlas. Dia shalat karena
melihat Titin juga shalat. Tentu saja amal
seperti ini tidak akan mendapatkan balasan
pahala dari Allah.

Kalau kita beribadah (atau beramal) karena


ingin mendapatkan pujian dari manusia, tentu
saja kita akan dapat pujian dari manusia.
Tetapi kita hanya akan dapat itu saja, di
akhirat kita tidak akan mendapatkan pahala
apa-apa dari Allah. Bahkan ketika di akhirat
kita protes pada Allah karena kita merasa
banyak amal, tapi tidak dapat pahala, maka
mungkin Allah akan menjawab, “Ibadahmu

161
bukan untuk-Ku, tapi untuk si Titin, ambil
pahalanya pada Titin”.

Kalau kita mengisi ceramah karena ingin


mendapatkan amplop, maka kita akan
mendapatkannya. Tapi kita hanya akan dapat
itu aja, tidak akan mendapatkan pahala.

Amal kita hanya akan diterima jika memenuhi


dua syarat tersebut; ikhlas dalam niat, dan
benar dalam melakukannya. Satu saja dari
dua syarat ini tidak terpenuhi, maka amal kita
tidak akan diterima di sisi Allah SWT.
Walaupun amalnya benar, tetapi niatnya
kotor, maka kita akan menggigit jari saat hari
pembalasan. Begitu juga sebaliknya,
walaupun niatnya sesuci air zam-zam, tetapi
caranya salah, kita juga akan menyesal di hari
perhitungan. Sayang bukan? Karena itu mulai
sekarang, mari kita cek amalan-amalan kita,
apakah sudah memenuhi dua syarat tersebut
ataukah belum?

Ikhlas Yang Ikhlas.

162
Ada sebagian kalangan yang kebablasan
memaknai kata ikhlas. Menurut mereka,
beribadah mengharapkan surga itu tidaklah
ikhlas. Beribadah karena takut neraka juga
tidak termasuk amalan yang ikhlas. Menurut
mereka, ibadah yang diterima itu adalah
ibadah yang bebas dari keinginan terhadap
surga dan ketakutan terhadap neraka, tapi
murni karena cinta pada Allah saja.

Menurut ibnu Taimiyah, orang yang beribadah


karena takut pada neraka saja itu disebut
Haruri, dan itu salah. Orang yang beribadah
karena pengen surga saja, disebut Murji’, dan
itu juga salah. Orang yang beribadah karena
cinta saja, disebut Zindiq, dan itu juga salah.
Beribadah itu, kata ibnu Taimiyah, harus
karena ketiganya, karena cinta, merindukan
surga, dan karena takut diceburkan ke dalam
neraka. Itulah ibadah yang sempurna, itulah
ikhlas!

Seandainya beribadah karena merindukan

163
surga itu tidak boleh, lalu untuk apa Allah
menurunkan ayat ini?

 
 
 


 
 
“Dan bersegeralah kamu menuju ampunan
Tuhanmu dan surga yang luasnya lebih luas
daripada langit dan bumi, yang disediakan
untuk orang-orang bertaqwa”
(TQS. Ali ‘Imron: 133).

Bukankah dalam ayat di atas Allah menyuruh


kita mengharapkan surga. Lantas kenapa ada
manusia yang dengan sombongnya berkata
“Aku beribadah bukan karena ingin masuk
surga”

Apakah beribadah karena takut akan neraka

164
juga dilarang? Kalau begitu, apa gunanya
Allah menurunkan ayat yang mulia ini?

 


 
 
 
  
  
 
  
“Allah mengancam orang-orang munafik laki-
laki dan perempuan dan orang-orang kafir
dengan neraka Jahannam, mereka kekal di
dalamnya. Cukuplah neraka itu bagi mereka,
dan Allah mela'nati mereka, dan bagi mereka
azab yang kekal”
(TQS. At-Tawbah: 68)

Dari ayat itu, kita mengerti bahwa Allah


menakut-nakuti kita dengan neraka, itu
pertanda Allah menyuruh kita untuk takut
pada siksaan-Nya. Nabi dan para shahabat

165
juga sering berkumpul di malam hari untuk
bersama-sama mengingat neraka. Mereka
menangis ketakutan setiap kali mereka
mengingat siksa Allah. Sampai-sampai ada
seorang shahabat yang terjungkal pingsan
ketika ayat tentang neraka dibacakan,
padahal ketika itu dia sedang shalat.
Bukankah mereka semua takut pada neraka?
Lalu atas dasar apa Ahmad Dhani dan grupnya
menyanyikan lagu ini

“Jika surga dan neraka tak pernah ada,


masihkah kutaat kepada-Nya?”

Jangan takut kawan. Beribadahlah karena


mengharapkan surga, beribadahlah karena
takut neraka. Tapi jangan lupa, beribadahlah
juga karena cinta kita pada-Nya. Dengan
begitu, sempurnalah keikhlasan kita.

Ikhlas dalam Keterpaksaan

Ada pernyataan menarik mengenai ikhlas dan


terpaksa. ”Lebih baik berinfaq seribu

166
dengan keikhlasan, daripada sejuta tapi
tidak ikhlas”. Kalimat tersebut jelas benar.
Sebagaimana telah kita pelajari bersama,
bahwa Allah hanya menerima amal-amal yang
ikhlas dan benar, meskipun itu kecil. Dan Allah
tidak akan menerima amal-amal yang tidak
ikhlas, meskipun itu besar.

Yang menjadi masalah adalah, kata ikhlas


dalam kalimat tersebut sering dimaknai
sebagai rela. Sehingga kalimatnya lebih
sering dipahami begini; lebih baik berinfaq
seribu dengan kerelaan, daripada sejuta tapi
tidak rela.

Huzaifah ibnul Yaman telah mengajarkan kita


tentang ikhlas dalam keterpaksaan. Di tengah
perang Ahzab, saat malam mencekam kedua
belah pasukan, Rasulullah sedang beristirahat
bersama para shahabatnya. Beliau
mengumpulkan para shahabatnya untuk
menyampaikan sesuatu.

”Siapa yang akan pergi ke perkemahan Abu

167
Sufyan dan teman-temannya, dan kembali
untuk mengabarkan keadaan mereka
kepadaku?” Rasulullah menyeru pada
shahabat yang tengah meringkuk karena
dingin, lelah dan lapar.

Kedinginan, kelelahan dan kelaparan


membuat para shahabat enggan menjadi
orang yang dimaksud. Bayangkan saja, dalam
lelah yang menyiksa, dingin yang menusuk
dan lapar yang melilit, mereka harus
merambat diam-diam, kemudian masuk ke
dalam perkemahan Abu Sufyan. Menguping
pembicaraan mereka dan kembali ke
perkemahan Rasulullah dalam keadaan
selamat, siapa yang mau melakukan itu?

Tak ada yang menjawab seruan Rasulullah.


Rasul lalu melanjutkan perkataannya, ”Siapa
yang bersedia, aku akan meminta kepada
Allah agar menjadikannya karibku di surga.”

Masih tak ada yang bersuara. Semuanya


hanya diam dalam ringkukannya. Hingga

168
akhirnya Rasulullah menyebutkan nama
seseorang.

”Di mana Huzaifah?”

”Saya di sini, Ya Rasulallah.” Jawab orang


yang dipanggil namanya. Meskipun dingin,
lelah dan lapar sedang menyiksanya, jika
Rasulullah telah memanggilnya, tentu ia tidak
mempunyai pilihan lain selain memenuhi
panggilannya.

 
 
 
 

  
 
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang
mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan
yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya
telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada
bagi mereka pilihan (yang lain) tentang

169
urusan mereka.”
(QS. Al-Ahzab: 36)

“Huzaifah, pergi dan masuklah ke


perkemahan mereka. Lihat apa yang mereka
kerjakan dan jangan melakukan apapun
hingga kau kembali ke tempat ini!”

Dalam keadaan berat, malas, lelah,


mengantuk, dingin dan lapar, Huzaifah
terpaksa berangkat. Diam-diam ia merambat
melalui parit. Ia masuk ke dalam perkemahan
Abu Sufyan dan pasukannya. Kemudian
mengendap ke kawasan tenda utama. Saat itu
Abu Sufyan sedang berbicara dengan para
petinggi Quraisy.

Ujian sebenarnya justru terjadi di sini. Di saat


dia mendapatkan jarak yang sangat dekat
dengan Abu Sufyan, tanpa ada sesuatu pun
yang menghalangi keduanya. Jika saja ia
diam-diam merentangkan busurnya, takkan
ada yang tahu, dan takkan ada yang sempat
melindungi Abu Sufyan dari kejaran panahnya.

170
Ujian sebenarnya adalah ketika hatinya ingin
melakukan sebuah tindakan heroik,
membunuh Abu Sufyan si gembong
kekufuran. Tetapi ia ingat pesan Nabi untuk
kembali dalam keadaan hidup-hidup.
Mengingat itu, Huzaifah terpaksa
mengurungkan niatnya untuk menjadi
pahlawan. Perlahan dia menjauh, menyelinap
melalui parit untuk kembali menemui
Rasulullah untuk menyampaikan kabar yang
tadi dilihat dan didengarnya.

Ikhlas tak berarti selalu dalam kerelaan.


Justru beramal dalam keterpaksaan memiliki
nilai yang lebih besar dibandingkan jika kita
melakukannya dalam kelapangan. Apa
sulitnya berinfaq seratus ribu bagi orang yang
berpenghasilan dua juta perbulan? Tetapi bagi
saudara kita yang berpenghasilan dibawah
lima ratus ribu, tentu itu menjadi sesuatu yang
sangat berat.

Justru, pada keterpaksaan itulah nilai lebihnya.

171
Jika karena merasa terpaksa kemudian dia
mengurungkan niatnya berinfaq, tentu tidak
akan mendapatkan apa-apa selain pahala
berniat. Tetapi, jika dalam kesempitan itu ia
memaksa dirinya untuk berinfaq, tentu itu
lebih baik baginya.

Apa susahnya bangun tahajjud bagi orang


yang telah terbiasa. Tetapi bagi saudara kita
yang baru belajar, seperti saya, tentu itu
menjadi sangat berat. Hangatnya selimut,
lelapnya tidur, dan dinginnya suhu di luar,
membuat siapapun merasa sangat berat
untuk bangun dan mengambil air wudhu.
Mana yang lebih baik ketika itu, apakah
memilih kembali masuk ke dalam hangatnya
selimut, dan itu ringan. Atau memaksakan diri
untuk bangun dan mengambil air wudhu
dalam keadaan mengantuk dan kedinginan,
dan itu sangat berat. Tentu, akan lebih baik
jika kita memilih yang kedua.

 

172
 
  
 
 
   
 
 
   
 
 
 
”Diwajibkan atas kamu berperang, padahal
berperang itu adalah sesuatu yang kamu
benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu,
padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi
(pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia
amat buruk bagimu;
Allah mengetahui, sedang kamu tidak
mengetahui”
(QS. Al-Baqarah 216)

Jika beribadah dalam keterpaksaan adalah


keliru, tak usah berjihad saja. Jihad itu berat,
jihad itu tak pernah kita sukai. Siapa di antara

173
kita yang menyukai darah berceceran, tangan
dan kepala bergelimpangan, kuda-kuda mati
tersungkur, anak-anak dan wanita ditawan,
siapa yang suka? Tentu tidak ada. Tetapi
apakah karena ketidaksukaan kita terhadap
semua itu membuat kita enggan berjihad?

Jihad tetaplah perintah Allah yang diwajibkan


atas semua Muslim. Meskipun semuanya
merasa berat, benci, muak dengan anyir
darah, dan ngeri dengan mayat
bergelimpangan, semua Mukmin yang shalih
pasti akan memaksakan diri untuk pergi ke
medan jihad, meski berat.

 



 
  
 
  
 

174
”Berangkatlah kamu baik dalam keadaan
merasa ringan maupun berat, dan
berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di
jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih
baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (QS. At-
Taubah: 41)

Ah, berbicara tentang ikhlas memang berat,


apalagi mengamalkannya. Makna ikhlas yang
khas Islam telah dicampur-aduk dengan cara
pandang Yunani dan India tentang ketulusan.
Alangkah lebih baiknya jika kita memaknai
ikhlas, sebagaimana Allah memerintahkannya,
atau sebagaimana Rasulullah dan para
shahabat memahaminya.

***

175
11
SECEPAT HANZALAH

Secepat Hanzalah

Perang Uhud baru saja berakhir dengan


kekalahan dari pihak ummat Islam.
Ketidaktaatan pasukan pemanah di puncak
bukit Uhud, menjadi perantara utama
kekalahan itu. Sebelumnya, pasukan Muslim
telah berhasil memukul mundur pasukan kafir
yang dipimpin oleh Khalid bin Walid, waktu itu
dia masih kafir. Para Mujahidin segera
mengambil ghanimah yang ditinggalkan oleh
pasukan Khalid yang kocar-kacir. Dari atas
puncak Uhud, pasukan pemanah berlari ke
bawah untuk ikut berebut ghanimah, karena
merasa telah berhasil memenangkan
pertempuran.

Khalid bin Walid, yang kelak masuk Islam,


melihat peluang untuk memutar balik
keadaan. Bersama pasukannya, ia berjalan

176
memutari bukit Uhud dari arah belakang,
tanpa sepengetahuan kaum Muslimin. Setelah
berhasil menguasai bukit Uhud, mereka pun
berhasil menguasai keadaan. Dari atas bukit
Uhud pasukan Khalid menghujani kaum
Muslimin dengan anak-anak panah. Keadaan
berbalik, kini kaum Muslimin yang kocar-kacir.
Perang berakhir dengan kemenangan di
tangan kaum kafir, di tangan Khalid yang
terkekeh bangga. Tak ada yang tahu bahwa di
kemudian hari, Khalid inilah yang akan
memenangkan kaum Muslimin dalam perang
Mu’tah dan banyak pertempuran lainnya.

Tatkala perang usai, kaum muslimin


menghimpun jasad para syuhada dan akan
menguburkannya, mereka kehilangan mayat
Hanzhalah. Setelah mencari kesana kemari,
mereka mendapatkannya di sebuah gundukan
tanah yang masih menyisakan guyuran air
disana.

177
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam
mengabarkan kepada para shahabatnya
bahwa malaikat sedang memandikan
jasadnya. Lalu beliau bersabda, “Tanyakan
kepada keluarganya, ada apa dengan
dirinya?”

Sesampai di rumah isteri Hanzalah, para


shahabat menyampaikan maksud
kedatangannya. Isterinya bercerita tentang
apa yang kemarin dialaminya bersama
suaminya.

”Saat hari bermulanya perang Uhud, aku dan


Hanzalah baru saja menikah. Saat kami
sedang zafaf (malam pertama), dari luar
terdengar seruan perang Uhud. Mendengar
seruan jihad, suamiku segera melepaskan
pelukanku dan kemudian mengambil
peralatan perangnya. Dia kemudian bergegas
menuju para shahabat yang tengah bersiap
menuju medan perang, tanpa sempat mandi
jinabah.”

178
Subhanallah, bersegera, itulah yang
membuat Hanzalah mendapat kemuliaan
dimandikan malaikat. Seolah, Hanzalah telah
menjadi wujud nyata dari surah Ali Imran ayat
133 berikut ini;

 
 
 


 
 
”Dan bersegeralah kamu kepada ampunan
dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya
seluas langit dan bumi yang disediakan untuk
orang-orang yang bertakwa.”(QS. Ali ’Imron:
133)

Bersegeralah. Karena Allah tak hanya


memerintahkan kita untuk melakukan
kebaikan, tetapi juga memerintahkan kita
untuk segera melakukan kebaikan. Tak harus
menunggu momen, tak harus menunggu

179
tahun depan, minggu depan, atau sekedar
nanti sore. Tidak. Sekaranglah kebaikan itu
harus dilakukan. Bersegeralah.

Kebaikan Tak Pernah Menunggu

Seringkali kita menunda melakukan kebaikan


dengan alasan yang indah-indah. Biasanya,
berbagai macam argumen yang sangat kuat
kita ajukan untuk menunda kebaikan. Dan
biasanya juga, argumen itu dihiasi dengan
kata-kata yang sangat klasik; maklum aku
belum dapat hidayah.

”Aku sih tau aja bahwa cewek itu wajib nutup


aurat, tapi aku masih belum dapat hidayah...”
kalimat itu seringkali saya dengar dari para
wanita yang malas menutup auratnya dengan
alasan belum dapat hidayah. Padahal akal
adalah hidayah terbesar yang diberikan Allah
kepada setiap insan. Kalau begitu, sama saja
dia telah mengatakan ”Maklum, aku masih
belum punya akal...”

180
Selain hidayah, masih begitu banyak alasan
lain yang sering diajukan untuk menunda
melaksanakan kebaikan. Ada yang menunggu
momen, ada yang menunggu syarat, dan ada
yang menunggu wangsit. Yang terakhir itu sih
bisa-bisa saya saja.:p

Menunggu momen, misalnya momen usia,


ulang tahun, kenaikan kelas, atau (maaf)
kematian orangtua. Nanti sajalah taubatnya,
kalau sudah tua. Nanti aku akan berkerudung
kalau naik kelas. Nanti aku akan shalat kalau
orangtua udah meninggal keduanya. Diakui
atau tidak, sebagian di antara kita mungkin
pernah melakukannya, mungkin termasuk
saya.

Tentang ini, Abdullah bin Umar bin Abdul Aziz


telah mengajarkannya kepada kita melalui
percakapannya dengan ayahnya, khalifah
yang sangat terkenal itu.

Saat Umar bin Abdul Aziz merasa begitu lelah


setelah setengah harian menghadapi berbagai

181
pengaduan rakyatnya. Rasa lelah dan kantuk
yang begitu berat, rasanya tak mampu lagi
ditahan. Ingin rasanya segera merebahkan
badan untuk mengistirahatkan seluruh jasad
dan fikiran.

”Apa yang kau lakukan ayah?” tanya sang


putera.

”Aku ingin beristirahat sebentar, aku terlalu


lelah.” jawab Umar.

”Tapi rakyatmu masih banyak yang menunggu


untuk kau selesaikan urusannya,”

”Nanti aku akan menemui mereka selepas


zhuhur.” Umar berjanji.

”Tapi, apakah ayah yakin masih hidup hingga


zhuhur nanti?”

perkataan anaknya tersebut membuat Umar


bin Abdul Aziz terhenyak. Segera ia bangkit
dan menemui rakyatnya. Segera.

182
Terimakasih wahai Umar dan puteramu yang
hebat. Kalian berdua telah mengajarkan pada
kami tentang pentingnya menyegerakan
kebaikan. Karena kami pun betul-betul tidak
tahu kapan malaikat Allah akan menjemput
kami.

Sahabat, kita bisa saja bertekad untuk


mengamalkan kebenaran tahun depan saat
usia genap dua puluh tahun. Kita juga bisa
memilih untuk melakukannya bulan depan,
minggu ini, atau bahkan nanti sore. Kita bisa
saja memilih itu semua. Tapi kumohon
sebelumnya, jawab satu pertanyaan ini saja,
apakah kita yakin bahwa kita akan menemui
waktu yang kita maksud? Apakah kita yakin
masih bisa menghembuskan nafas hingga
tahun depan, bulan depan, minggu depan,
atau sekedar sampai nanti sore?

Siapa yang tahu, malaikat maut menghampiri


kita di saat kita belum sempat melakukan
kebaikan yang kita tunda tersebut?

183
Karenanya, tentu tak ada pilihan lain bagi kita,
selain segera mengamalkan apa yang telah
diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya
kepada kita. Sekaranglah saatnya kita mulai
menutup aurat, bukan besok atau lusa.
Sekaranglah saatnya kita memulai menjaga
perut kita dari zat-zat yang haram dan tidak
thayyib. Sekaranglah saatnya kita
menghindari berduaan dengan yang bukan
mahram kita. Sekaranglah waktunya kita
melakukannya. Sekaranglah, bersegeralah.

”Dan bersegeralah kamu kepada ampunan


dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya
seluas langit dan bumi yang disediakan untuk
orang-orang yang bertakwa.”(QS. Ali ’Imron:
133)

***

184
12
CERDAS BERIBADAH

Disadari atau tidak, sebenarnya kita tengah


membicarakan sesuatu yang berkait-kaitan
antara masing-masing judul. Di bawah judul
Agar Amal Tak Tersia, kita telah belajar
bersama tentang syarat diterimanya suatu
amal, yaitu ikhlas dalam niat dan benar dalam
cara mengamalkannya. Kita juga mencoba
kembali meluruskan makna ikhlas yang kini
telah tercampur baur dengan cara pandang
para filosof Yunani, Persia dan India.
Kemudian di bawah judul Secepat Hanzalah,
kita berbincang tentang pentingnya
menyegerakan amal kebaikan, dan tentang
berbahayanya menunda kebaikan. Nah, insya
Allah di bawah judul Cerdas Beribadah ini, kita
akan bercengkrama bersama tentang hal-hal
yang harus kita lakukan manakala berhadapan
pada dua kewajiban yang berbenturan, atau
antara kewajiban dengan yang lainnya.
Semoga Allah memudahkan.

185
Saat Harus Memilih

Adalah fitrah dari setiap kita, untuk memilih


apa yang kita sukai dan meninggalkan yang
selainnya. Dalam Islam yang kita genggam ini,
pilihan kita bukanlah pada apa yang kita sukai
dan apa yang kita benci. Tidak kawan. Di sini
kita diberikan pilihan untuk mengerjakan yang
wajib dan meninggalkan yang haram, atau
sebaliknya mengerjakan yang haram dan
meninggalkan yang wajib. Dan setiap pilihan
pasti akan dipertanggungjawabkan.

Insya Allah, setiap kita; saya dan kalian, sudah


sama-sama memahami hukum-hukum apa
saja yang dikenakan atas perbuatan kita,
mungkin itu wajib, mungkin sunnah, mubah,
makruh atau haram. Hanya ada lima itu saja
hukum atas perbuatan kita. Tidak ada satu
pun dari perbuatan kita yang tidak terkait
dengan salah satu dari lima hukum tersebut.
Karenanya, tidak ada perbuatan yang tidak

186
ada hukumnya, selama ada fakta
perbuatannya.

Hukum shalat dan puasa jelas wajib. Hukum


menghafal al-Quran jelas sunnah. Hukum
duduk, berdiri, berbaring, dan berjalan tanpa
ada maksud untuk beribadah atau bermaksiat,
juga jelas mubah. Hukum makan sambil
berlari, jelas makruh. Dan hukum berzina jelas
haram. Apapun perbuatan kita, pasti terkait
dengan salah satu hukum tersebut. Tidak ada
perbuatan yang tidak atau belum ada
hukumnya.

Lalu bagaimana hukum menonton tivi sambil


tertidur? Jika saya yang ditanya, maka saya
akan menjawab tidak ada hukumnya. Hukum
hanya dikenakan atas perbuatan yang
memang ada faktanya. Apakah menonton tivi
sambil tertidur ada faktanya? Jika kita
menonton, pastilah tidak sedang tertidur. Dan
jika kita tertidur, pasti tidak bisa menonton.

187
Jadi menonton sambil tertidur tidak ada
faktanya, karena itu tidak ada hukumnya.

Jika kita sudah memahami bersama bahwa


setiap perbuatan ada hukumnya, tentu kita
akan mengerjakan yang wajib dan sunnah saja
dan boleh mengerjakan yang mubah. Makruh
juga boleh dikerjakan, karena tidak
menyebabkan kita berdosa ketika
melakukannnya, tetapi akan berpahala jika
meninggalkannya. Karena itu, meski boleh
saja melakukan yang makruh, tetap saja
meninggalkannya adalah lebih baik. Rugi
menghabiskan waktu untuk melakukan
sesuatu jika meninggalkannya mendapatkan
pahala. Yang tidak boleh dikerjakan sedikit
pun adalah yang haram, karena pasti kita
akan mendapatkan dosa ketika
melakukannya, dan akan mendapatkan pahala
jika mampu meninggalkannya di saat godaan
menghampiri.

188
Ada awlawiyatul-’amal dalam pembahasan
fiqih, artinya prioritas perbuatan. Perbuatan
mana yang harus didahulukan dan mana yang
harus diakhirkan. Perbuatan mana yang harus
dikerjakan dan harus ditinggalkan. Nah, fiqih
membahasnya dalam fiqh prioritas, (fiqh
awlawiyat).

Memilih Dua Perbuatan dengan Hukum


Berbeda

Jika dalam satu kesempatan ada dua


perbuatan yang harus kita pilih salah satunya,
mana yang lebih kita dahulukan jika yang satu
wajib dan satunya sunnah? Tentu kita akan
mendahulukan yang wajib. Misalnya, jika
suatu malam kita terlalu lelah sehingga
terlupa shalat isya sebelum tidur, dan baru
bangun menjelang shubuh. Kita ingin shalat
tahajjud dan juga kita harus shalat isya, maka
yang didahulukan adalah shalat isya,
meskipun setelah itu kita tidak sempat shalat
tahajjud. Jangan sebaliknya, shalat tahajjud

189
didahulukan, setelah itu tidak sempat shalat
isya. Ini prioritas yang keliru.

Atau mungkin kita pernah hanya memiliki


uang sepuluh ribu saat shalat jum’at. Tentu
kita ingin menginfaqkan uang yang kita punya
itu untuk masjid. Lalu, kita memasukkan uang
sepuluh ribu satu-satunya itu ke dalam kotak
infaq yang diedarkan pengurus masjid. Itu
adalah sebuah keikhlasan dalam keterpaksaan
seperti yang kita bahas di bagian sebelumnya.
Tentu merupakan suatu amal yang sangat
besar nilainya di sisi Allah.

Usai shalat jum’at, seorang shahabat datang


dengan wajah cemas. ”Akhi, ana betul-betul
perlu uang untuk beli makan, sejak tadi pagi
ana belum makan karena tidak punya uang.
Boleh tidak, ana ambil piutang ana sama
antum yang sepuluh ribu kemarin?” dengan
wajah tanpa dosa, kita menjawabnya santai,
”Waduh, afwan akhi, tadi sudah ana infaqkan

190
ke masjid. Dan sekarang ana juga sudah tidak
punya uang lagi.”

Berinfaq hukumnya adalah sunnah,


sedangkan melunasi hutang adalah wajib.
Cerita tadi adalah contoh hal yang tidak boleh
terjadi dalam kehidupan kita sebagai Muslim.
Sebagai Muslim, tentu kita akan memenuhi
kewajiban-kewajiban kita, baru berpikir
melakukan hal-hal sunnah. Sehingga,
membayar hutang harus lebih diutamakan
ketimbang berinfaq.

Memilih Dua Perbuatan dengan Hukum


Sama

Jika berbenturan antara dua perbuatan yang


memiliki tingkat hukum berbeda, memang
mudah bagi kita untuk memilih yang lebih
baik di antara keduanya. Antara wajib dan
sunnah, tentu kita memilih wajib. Antara
sunnah dan mubah, pastilah kita
mendahulukan yang sunnah. Antara mubah
dan makruh, sudah tentu kita mengambil

191
yang mubah dan meninggalkan yang makruh.
Apalagi jika ada pilihan yang haram, sekuat
apapun kita pasti akan meninggalkan
keharaman tersebut.

Itu memang lebih mudah. Tetapi, bagaimana


jika benturan itu terjadi antara dua perbuatan
yang memiliki tingkatan hukum sama, seperti
wajib dengan wajib, sunnah dengan sunnah,
mubah dengan mubah, makruh dengan
makruh dan haram dengan haram? Disinilah
pusingnya. Insya Allah disini kita akan belajar
bersama tentang itu semua. Semoga Allah
melapangkan dada kita semua untuk melihat
yang benar itu benar dan kuat untuk
mengambilnya. Insya Allah.

Sunnah dengan Sunnah, Mubah dengan


Mubah

Jika pilihannya antara sunnah dengan sunnah


atau mubah dengan mubah, kita tidak akan
terlalu ribet memilihnya. Tinggal tentukan saja
mana yang paling kita sukai, atau mana yang

192
paling besar manfaatnya. Atau jika (mungkin)
mengandung mudharat, maka pilihlah yang
paling kecil mudharatnya.

Haram dengan Haram

Jika pilihannya haram dengan haram, maka


jangan sampai kita memilih salah satunya.
Bagaimanapun kita wajib meninggalkan
keduanya. Dalam hal ini, tidak berlaku lagi
mana yang paling besar manfaatnya ataupun
yang paling kecil mudharatnya. Besarnya
manfaat tidak akan membuat sesuatu yang
haram menjadi boleh dilakukan. Begitu pun
dengan kecilnya mudharat, tetap tidak akan
membuat sesuatu yang haram menjadi boleh
dilakukan. Hukum Allah tidak bisa dikalahkan
oleh manfaat atau mudharat, karena manfaat
dan mudharat yang tampak hanyalah menurut
sudut pandang manusia saja. Padahal
manusia tidak mengetahuinya, hanya Allah-
lah yang Maha mengetahui.

 

193
 
  
”Diwajibkan atas kamu berperang, padahal
berperang itu adalah sesuatu yang kamu
benci.” (QS. Al-Baqarah 216)

Jika dihitung dari aspek manfaat dan


mudharat, tentu perang akan menimbulkan
banyak mudharat dan sedikit manfaat dalam
pandangan manusia. Lihat saja gedung-
gedung yang terbakar, darah yang
berceceran, mayat bergelimpangan, kepala
yang terlepas dari badannya, tentu semua itu
tidak bisa dikatakan sebagai manfaat, bukan?

Sesedikit apapun ’manfaat’ dalam sudut


pandang manusia, sebanyak apapun
’mudharat’ dalam sudut pandang manusia,
hukum jihad tetaplah wajib, tidak akan
bergeser menjadi mubah, makruh apalagi
haram.

Begitu juga dengan khamar,

194
 

  
 
 


 
 
”Mereka bertanya kepadamu tentang khamar
dan judi. Katakanlah: ’Pada keduanya
terdapat dosa yang besar dan beberapa
manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya
lebih besar dari manfaatnya’.”(QS. Al-
Baqarah: 219)

Di kutub utara, dengan suhu dingin yang


menggigit tulang, tentu meminum khamar
akan mendatangkan manfaat yang besar
untuk menghangatkan badan. Sebagaimana
kata Allah, ’beberapa manfaat bagi manusia’,
tetapi manfaat itu tidak menjadikan perkara
yang haram menjadi halal, atau perbuatan
yang haram menjadi mubah. Tidak! Hukum

195
Allah tidak akan bergeser oleh manfaat dan
mudharat. Haram tetaplah haram, sebanyak
apapun manfaat yang didapat darinya.

Karena itu jika terjadi benturan dua buah


perbuatan yang sama-sama haram, kita tidak
boleh memilih satu pun darinya, meskipun
paling sedikit mudharatya atau paling banyak
manfaatnya. Mungkin kita perlu
merenungkannya, karena seringkali kita
melakukannya, bahkan atas nama dakwah.
Karena itu bagi diri ini, segeralah berbenah.
Lupakan manfaat dan mudharat dari
perbuatan haram. Karena Allah lebih tahu
akan apa yang membawa manfaat dan apa
yang membawa mudharat.

 
 
   
 
 
   
 

196
 
 
”...boleh jadi kamu membenci sesuatu,
padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi
kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat
buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang
kamu tidak mengetahui” (QS. Al-Baqarah 216)

Wajib dengan Wajib

Di antara semua pilihan, yang paling berat


bagi kita adalah memilih di antara dua
kewajiban. Jika kita memiliki kesempatan
untuk melakukan keduanya, tentu kita akan
melakukannya. Tetapi jika kita hanya
berkesempatan mengerjakan salah satunya
dan meninggalkan yang lainnya, maka fiqh
awlawiyat kembali harus bekerja.

Ada dua kemungkinan perbenturan dua


kewajiban tersebut, yang pertama adalah
mendahulukan yang satu dan mengakhirkan

197
yang lain. Kemungkinan kedua adalah
mengerjakan yang satu dan meninggalkan
yang lain.

Untuk kemungkinan pertama, tidak akan


terlalu membuat kita pusing. Tetapi meski
begitu kita tetap harus mempertimbangkan
beberapa hal dalam memilih mana yang
didahulukan dan mana yang harus diakhirkan,
berikut ini di antaranya:

Kesempatan

Dianjurkan kita mendahulukan


kewajiban yang lebih singkat waktunya
dan mengakhirkan yang lebih panjang
waktunya. Jika kita berjanji dengan
seseorang pukul 21.30. Jika terlambat
lima menit saja, kita akan kehilangan
kesempatan bertemu dengannya.
Sementara saat itu adzan isya
berkumandang. Keduanya wajib. Mana
yang harus didahulukan, shalat isya
atau menepati janji?

198
Karena waktu shalat isya masih panjang,
sedangkan kita hanya memiliki
kesempatan sedikit untuk memenuhi
janji kita, maka kita lebih baik
mendahulukan menepati janji dan
mengakhirkan shalat isya. Tetapi, jika
kesempatan memenuhi janji masih
panjang, shalat isya tetap harus
didahulukan. Karena shalat di awal
waktu lebih utama.

Manfaat dan Mudharat

Jika kita berhutang banyak dengan dua


orang sahabat. Kemudian keduanya
menagih secara hampir bersamaan.
Sahabat yang satu memerlukan uang
tersebut untuk membeli laptop baru
yang cocok untuk game. Sedangkan
sahabat kita yang satunya lagi,
memerlukan uang tersebut untuk biaya
operasi kakaknya yang sedang sekarat.
Uang yang kita punya hanya cukup

199
untuk melunasi hutang ke salah satu
sahabat, dan itu berarti harus menunda
pembayaran kepada sahabat kita yang
satunya. Keduanya wajib, mana yang
harus didahulukan.

Jika kita mengakhirkan pembayaran ke


teman kita yang ingin membeli laptop
baru, insya Allah tidak akan membawa
mudharat apa-apa. Tetapi apa jadinya
jika kita menunda pembayaran kepada
sahabat kita yang ingin mengoperasi
kakaknya? Mungkin nyawa adalah
taruhannya.

Dalam kondisi seperti ini, kita perlu


mempertimbangkan aspek manfaat dan
mudharat. Ingat, dalam hal ini kita cuma
mendahulukan dan mengakhirkan,
bukan memilih dan meninggalkan.
Sehingga dengan mempertimbangkan
manfaat dan mudharat, kita tidak
terkategori orang yang berkiblat pada

200
asas manfaat.

Mungkin ada beberapa hal lagi yang perlu kita


pertimbangkan. Insya Allah pada kesempatan
lain kita akan membicarakannya. Afwan jika
kurang dalam ya...

***

Ada tiga kunci dalam amal. Tepat;


mengetahui amal yang bagaimana yang bisa
diterima oleh Allah, yaitu dengan niat yang
ikhlas dan cara yang benar. Semangat;
dengan semangat itulah kita segera
mengamalkan setiap kebaikan yang kita
dapatkan. Cerdas: memahami prioritas amal
ketika terjadi benturan antara dua perbuatan
atau lebih. Insya Allah, tepat, semangat dan
cerdas akan membantu kita menjadi orang
yang terbaik amalnya, bukan sekedar
terbanyak amalnya. Insya Allah.

  


 

201
 

 
 
”Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa
yang di bumi sebagai perhiasan baginya, agar
Kami menguji mereka siapakah di antara
mereka yang terbaik amalnya”
(QS. Al-Kahfi: 7)

Nah kawan. beberapa halaman telah kita


tekuri bersama. Ada beberapa serpihan ilmu
yang mungkin bisa kita pungut satu persatu,
untuk dikumpulkan menjadi sebuah peta
dalam menempuh perjalanan hidup ini. Insya
Allah.

***

202
Percik 5:
Berbagi Cahaya

13. ’Dongeng’ Umat Terbaik


14. Belajar dari Abu Dzarr
15. Menyempurnakan Ikhtiyar

203
13
‘DONGENG’ UMAT TERBAIK

Maafkan saya jika sejauh ini menghadirkan


pembicaraan yang bertele-tele, berputar-putar
dan berbelit-belit. Itulah kelemahan saya yang
belum bisa menyampaikan sesuatu yang
sederhana dengan sederhana, apalagi
menyederhanakan masalah-masalah yang
rumit. Kuharap sahabat semua
memakluminya, dan tetap bersedia duduk
bersamaku di ’taman surga’ ini hingga di
penghujungnya, Insya Allah.

Ayat yang saya kutipkan sebagai pembuka


pembicaraan kita kali ini, sangat menarik
perhatian saya. Ayat itu membuat kita ge-er
disebut sebagai ummat terbaik. Padahal surah
at-Tiin ayat 4 saja sudah membuat kita ge-er
diciptakan sebagai makhluk dalam bentuk
terbaik di antara sekalian makhluk Allah. Nah,
di antara makhluk terbaik itu (manusia di
antara alam semesta), kita adalah sekelompok

204
kecil yang disebut Allah sebagai umat terbaik
di antara manusia. Siapa yang tidak ge-er
mendapat predikat tersebut?

Umat terbaik dalam bidang apa? Tentu saja


dalam segala bidang, karena Allah tak
memberikan pembatasan. Dalam bidang
keilmuan, tentulah kita menjadi pusat ilmu
pengetahuan dunia. Para pelajar dari berbagai
belahan bumi tersedot untuk belajar ke negeri
kita yang merupakan negeri berpenduduk
Muslim terbesar ini. Dalam bidang ekonomi,
kitalah yang menentukan gerak turun-naiknya
nilai mata uang dunia. Dalam bidang
kesehatan, tak satu pun dari bangsa kita yang
mengalami kesulitan dalam memperoleh
layanan kesehatan. Kita juga tak perlu
mengirim tenaga kerja ke luar negeri, apalagi
sampai ada penyiksaan terhadap warga
negara kita di sana, itu tak mungkin terjadi.
Tak satu sudut pun dari negeri kaum Muslimin
yang dicengkeram oleh pihak lain, semuanya
merasakan ketentraman hidup berdampingan

205
dengan warga dunia lainnya. Ya, karena kita
adalah umat terbaik.

Saya bingung apakah harus tertawa atau


menangis. Rasanya apa yang saya sebutkan
itu hanyalah dongeng belaka. Lihatlah
faktanya, kualitas pendidikan di negeri Muslim
terbesar di dunia ini sangat anjlok. Ujian
nasional yang bocor, standar kelulusan yang
sangat rendah, kebobrokan mental siswa dan
guru, dan banyak kebobrokan lainnya seolah
meyakinkan kita bahwa pendidikan di negeri
ini sungguh mengkhawatirkan.

Saksikan juga di televisi, ribuan orang rela


antri untuk mendapatkan pengobatan dari
seorang dukun cilik dadakan bernama Ponari.
Mereka sudah tidak percaya lagi dengan
layanan kesehatan yang diberikan oleh
pemerintah, selain karena mereka tidak
sanggup membayar mahalnya biaya berobat
di rumah sakit. Juga, masih sangat jelas dalam
ingatan kita tentang seorang ibu yang ada

206
gunting di dalam perutnya, akibat kelalaian
dokter saat mengoperasinya.

Kasus Ceriyati, Siti Hajar, dan masih banyak


lagi TKW lainnya di negeri jiran juga membuat
air mata kita tak henti mengalir. Luapan
lumpur lapindo tak kunjung berhenti. Gempa
di Pangandaran, tsunami di Aceh, dan banjir
yang terus menggenangi bumi Islam ini juga
selalu saja menyisakan air mata.

Sementara itu, di belahan dunia Islam yang


lain, pencaplokan jengkal demi jengkal tanah
Palestina juga masih terus berlanjut. Masjid
suci al-Aqsha dijadikan kandang sapi oleh
orang-orang Yahudi Israel. Al-Qur’an
dimasukkan ke dalam toilet di penjara Abu
Ghraib. Puluhan bahkan ratusan Muslimah Iraq
dijadikan tempat pelampiasan syahwat
tentara-tentara anjing Amerika, setidaknya
sembilan kali dalam sehari. Kaum Muslimin
Rohingya mendapatkan perlakuan yang
sangat tidak manusiawi oleh pemerintahnya.

207
Saudara-saudara kita di Uzbekistan yang
ditembaki oleh militer. Sahabat-sahabat kita di
Kashmir yang selalu diperangi oleh penganut
agama Hindu. Apakah seperti ini yang disebut
sebagai ummat terbaik?

  


...  

Kalian adalah ummat terbaik yang dikeluarkan


untuk manusia...
(TQS. ’Ali Imran: 110)

Ustadz Fauzan Muttaqin pernah


mengomentari ketidaksesuaian kondisi ummat
Islam saat ini dengan pujian Allah dalam ayat
tersebut. Ayat tersebut sebenarnya mirip
dengan pujian seorang ibu guru kepada anak
muridnya. ”Nak, kamu itu sebenarnya pintar,
asal mau belajar...” Apakah serta merta pujian
itu sesuai dengan kondisi anak muridnya?
Tentu saja ada sebuah syarat yang harus
dipenuhi murid itu agar pujian itu sesuai. Dia

208
harus belajar, maka dengan begitu dia akan
menjadi anak yang pintar.

Begitu pula dengan ayat 110 dari surah Ali


’Imron yang kita bicarakan ini. Pujian Allah
tersebut bukanlah pujian yang secara
otomatis sesuai dengan kondisi kita. Jangan
lupa dengan syaratnya.



 

 
”... menyeru kepada kema’rufan dan
mencegah dari kemunkaran,
dan beriman kepada Allah.”
(TQS. ’Ali Imran: 110)

Ayat Allah bukan dongeng. Tidak ada satupun


ayat-Nya yang keliru. Jika pujian-Nya
bertentangan dengan kenyataan kita, bukan
ayat-Nya yang salah, tetapi kitalah yang tidak

209
memenuhi syarat untuk mendapatkan pujian-
Nya itu.

Ada syarat yang sering kita lupakan untuk


menjadi ummat terbaik. Kita tidak akan
mungkin menjadi umat terbaik jika melupakan
tiga syarat yang harus kita penuhi. Ketiga
syarat itu adalah menyeru kepada yang
ma’ruf, mencegah dari yang munkar, dan
beriman kepada Allah. Ketiga syarat itu bisa
disederhanakan dalam satu kata yang lazim
kita dengar; dakwah.

Dakwah Kita Adalah Menyatukan

Jika sebelumnya kita sempat bingung dengan


’kontradiksi’ pujian Allah dengan kenyataan,
maka kita telah tahu bahwa penyebab
kontradiksi tersebut adalah kita tidak
memenuhi syaratnya. Sebenarnya tidak hanya
sampai di situ. Dakwah yang dimaksud adalah
sebuah upaya untuk memantaskan diri kita
untuk pujian Allah itu. Kita harus berdakwah
untuk menyampaikan sesuatu yang mampu

210
menyelesaikan derita yang melanda ummat
Islam sedunia.

Dakwah kita bukanlah dakwah yang sekedar


mengajak shalat dan menutup aurat. Dakwah
kita lebih dari itu. Kita mengajak manusia
untuk shalat, menutup aurat, menjalankan
kewajiban individual lainnya, tetapi lebih dari
itu kita juga mengajak mereka
memperjuangkan hak-hak mereka atas
layanan pendidikan, kesehatan, keamanan,
kesejahteraan, dan lainnya. Dakwah kita
adalah mengajak saudara kita untuk peduli
pada derita yang tengah melanda sahabat
Muslim kita di Ambon, Palestina, Afghanistan,
Iraq, Kashmir, dan di belahan bumi lainnya.
Dakwah kita adalah mengajak mereka untuk
berjuang mempersatukan kaum Muslimin
seluruh dunia di bawah satu bendera, Laa
Ilaaha Illallaah, Muhammad Rasuulullaah...

Hendaklah kamu beramar ma'ruf dan bernahi


mungkar. Kalau tidak, maka Allah akan

211
menguasakan atasmu orang-orang yang
paling jahat di antara kamu, kemudian orang-
orang yang baik-baik di antara kamu berdo'a
dan tidak dikabulkan. (HR. Abu Dzarr)

Kita Tak Sendiri

Ada yang terlupakan. Dakwah tak mungkin


kita lakukan sendirian. Kita harus bergabung
dengan Muslim-muslim lain yang juga telah
tercerahkan sebagaimana kita. Bergabunglah
dengan Ahmad dan Zaid yang telah
memahami bahwa dakwah adalah kewajiban
setiap Muslim. Berkumpullah bersama Doni
dan Dimas yang juga telah bahu membahu
membangun kekuatan ummat Islam untuk
membangkitkan Islama dan dunia.

Di dunia Islam telah bertebaran harakah atau


kelompok dakwah. Ada banyak sekali pilihan,
ayo kita bergabung dengan salah satunya
untuk memperjuangkan kejayaan Islam
Kenapa harus bergabung? Kenapa tidak

212
berjuang sendiri saja? Maka biarkanlah Allah
yang langsung menjawabnya kepada kita.

 
 
 


 
 
 


Dan hendaklah ada di antara kamu
segolongan umat yang menyeru kepada
kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan
mencegah dari yang munkar,
merekalah orang-orang yang beruntung.
(TQS. Ali ’Imron: 104)

Allah mengaharuskan ada segolongan ummat


yang berdakwah, bukan seseorang yang
berdakwah. Rasulullah dan para sahabatnya
juga bergabung dengan kaum Muslimin di
berbagai penjuru Makkah untuk

213
memperjuangkan tegaknya Islam. Sebagai
seorang Nabi, tentu saja Rasul mampu
menjalankan semuanya seorang diri. Tetapi ini
adalah sunnah kenabian, bahwa dakwah Islam
harus dilakukan secara berkelompok, bahu
membahu, dan kokoh.

  



 
 
 
 
”Sesungguhnya Allah menyukai orang yang
berperang dijalan-Nya dalam barisan yang
teratur seakan-akan mereka seperti suatu
bangunan yang tersusun kokoh.”
(QS. Ash-Shaff: 4)

214
14
BELAJAR DARI ABU DZARR

Membaca lembar demi lembar kitab Sirah


Nabawiyah atau Hayatush-Shahabah,
membuat saya merasa layak untuk ’diludahi’.
Hampir setiap detik kehidupan Rasulullah dan
para shahabatnya adalah kehidupan yang
berisi perkataan dan perbuatan yang mulia.
Sungguh, kehidupan mereka adalah
kehidupan yang silaturahminya adalah shalat
berjamaah, hiburannya adalah latihan perang,
pembicaraannya adalah dakwah, dan
candanya tak pernah berbumbu dusta.

Tak terkecuali sepenggal kisah tentang


penjelajah gurun ini. Ia datang dari kejauhan.
Dengan wajah letih dan badan terhuyung-
huyung, lelaki itu tiba di kota Makkah. Dia
menyelusuri gurun dari suku asalnya ke
Makkah, bukanlah untuk mencari penghidupan
atau menemui karib keluarganya. Ia datang ke
sana hanya untuk mencari tahu tentang

215
seorang lelaki yang beritanya telah sampai
terdengar ke sukunya. Dia ingin menemui
lelaki itu, dan kemudian mendengarkan
perkataannya.

Dia datang dari suku Ghifar, namanya adalah


Abu Dzarr al-Ghifary. Lelaki yang ingin
ditemuinya itu adalah Muhammad, si
pembawa agama baru. Perkataan yang ingin
didengarkannya itu adalah al-Qur’an, yang
konon bisa memisahkan orangtua dari
anaknya atau suami dari isterinya.

Akhirnya sampai jualah ia pada pertemuan


yang dirindukan itu, pertemuan dengan
Rasulullah Shallallahu ’Alaihi Wasallam.

”Aku datang ke sini untuk mendengarkan


gubahanmu itu,” Abu Dzarr berseru pada
Rasulullah. ”Sesungguhnya itu bukan
gubahan, itu adalah al-Qur’an” Rasulullah
meralat ucapan Abu Dzarr. ”Kalau begitu
bacakanlah untukku.” Jawab Abu Dzarr
kemudian.

216
Setelah mendengarkan Al-Quran, Abu Dzarr al-
Ghifary menyatakan keislamannya, dengan
bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan
bahwa Muhammad adalah Rasulullah.

”Wahai Rasulullah, apa yang kau perintahkan


padaku?”

”Kembalilah ke kaummu, dan tunggu sampai


ada berita dariku,”

”Wahai Rasulullah, aku tidak akan bisa pulang


sebelum meneriakkan Islam di masjid.”

Bagi Abu Dzarr, menahan menyampaikan


keyakinan adalah lebih menderita ketimbang
disiksa secara fisik. Lebih mudah baginya
untuk meneriakkan kebenaran itu ketimbang
harus menahannya. Menahannya? Dia tidak
sanggup untuk itu! Bagi Abu Dzarr, kebenaran
yang bisu bukanlah kebenaran.
Sesungguhnya, kebenaran selalu menuntut
pemegangnya untuk meneriakkannya.

Kebenaran Memang Tak Pernah Bisu

217
Sesungguhnya, jika kebenaran Islam telah
menancap kuat dalam dada seorang Muslim,
maka kebenaran itu akan menuntut untuk
bergerak. Ya, itu karena Islam adalah sesuatu
yang hidup. Maka, ketika ia masuk ke dalam
dada, adalah wajar jika orang yang di dadanya
ada cahaya Islam tak akan kuat untuk
menahan dirinya dari mengungkapkan
kebenaran tersebut.

Jika kebenaran telah merasuk dalam jiwa,


maka orang yang di dalam jiwanya ada ombak
besar bernama Islam, pastilah akan gatal
untuk selalu menyampaikan kebenaran
tersebut di setiap kesempatan. Setiap
penggenggam kebenaran Islam juga pasti
akan gerah jika berhadapan dengan sesuatu
yang bertentangan dengan Islam yang dia
yakini itu. Begitu pula, setiap jiwa yang
diterangi cahaya kemuliaan Islam, pasti rindu
orang-orang tercintanya memegang
kebenaran yang sama pula.

218
Gatal

”Wahai Rasulullah, aku tidak akan bisa pulang


sebelum meniakkan Islam di masjid.” begitu
prinsip Abu Dzarr al-Ghifary. Memendam
kebenaran justru lebih berat ketimbang
mendapatkan siksaan akibat
menyampaikannya.

”Rasa takut terhadap manusia jangan sampai


menghalangi kamu
untuk menyatakan apa yang sebenarnya jika
memang benar
kamu melihatnya, menyaksikan atau
mendengarnya.”
(HR. Ahmad)

Jika suatu ketika diberi kesempatan untuk


menyampaikan gagasan terkait bencana
alam, pastilah seorang penggenggam Islam
akan memanfaatkan kesempatan itu untuk
berbagi kebenaran Islam yang diyakininya.
Jika dia memiliki kemampuan menulis cerpen

219
dengan baik, pastilah seorang penggenggam
Islam akan menjadikan cerpennya sebagai
media untuk menyampaikan kebenaran Islam
yang diyakininya. Jika dia menguasai ilmu
bermusik, tentu ia akan menjadikan lagu-
lagunya sebagai ushlub dakwahnya. Bahkan
jika pun dia hanya seorang yang tak bisa
berbicara ataupun menulis, maka dia akan
mendedikasikan tenaganya untuk
memperjuangkan kebenaran agama yang
diyakininya itu.

Adalah aneh, jika kita mengaku telah


menggenggam kebenaran Islam, sementara
kita tak sedikit pun merasakan gatal untuk
menyampaikan kebenaran Islam tersebut.
Sebagaimana Abu Dzarr, marilah kita
hujamkan dalam dada kita, bahwa kebenaran
yang bisu bukanlah kebenaran. Sesungguhnya
kebenaran selalu menuntut pemegangnya
untuk meneriakkannya.

Gerah

220
“Barang siapa di antara kalian melihat suatu
kemungkaran hendaklah ia mengubah dengan
tangannya; jika tidak mampu, maka dengan
lisannya;
jika ia masih tidak mampu, maka dengan
hatinya,
dan itu adalah selemah-lemahnya iman.”
(HR. Muslim)

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam


Muslim tersebut, sekedar membenci
kemunkaran tanpa berupaya
menghentikannya adalah selemah-lemahnya
iman. Gerah yang saya maksud di sini adalah
sekedar membenci tanpa menghentikan,
tentu lebih baik lagi jika kita mampu
menghentikan dengan tangan kita, atau
menegurnya dengan lisan kita.

Jika sekedar gerah melihat kemaksiatan


adalah selemah-lemah iman, bukankah itu
berarti tak ada iman lagi bagi yang lebih
rendah dari itu? Itu berarti, tak ada iman lagi

221
di hati kita, jika kita tak ada perasaan benci
ketika melihat kemunkaran. Na’udzubillah.

Karena itu, mari kita periksa hati kita. Apakah


selama ini kita masih bisa enjoy saja ketika
melihat kemaksiatan tengah menari di depan
mata kita? Ataukah kita sudah ada setitik
perasaan benci terhadap kemaksiatan sekecil
apapun, bersyukurlah, karena itu pertanda
masih ada setitik iman pula dalam dada kita.

Tapi sebagai seorang penggenggam


kebenaran, tentu tak cukup bagi kita sekedar
membenci kemaksiatan tanpa ada upaya
untuk menghentikannya. Pastilah dada ini
terasa gerah untuk mengingatkan orang yang
tengah bermaksiat tersebut. Ketika melihat
aurat terbuka, pastilah penggenggam Islam
akan memikirkan seribu cara (yang halal)
untuk menghentikannya. Ketika melihat
hukum Allah dicampakkan oleh penguasa,
tentu para penggenggam Islam akan berteriak
lantang untuk mengoreksi penguasa tersebut,

222
sebagaimana dilakukan oleh tokoh utama kita
dalam perbincangan kali ini, Abu Dzarr al-
Ghifary.

Saat itu, dua orang wanita tengah thawaf


mengelilingi Ka’bah dengan thawaf jahiliyah.
Dengan semangat kebenaran yang
membuncah di dadanya, Abu Dzarr memaki-
maki berhala Usaf dan Na’ilah yang dipuja-
puja oleh orang-orang Quraisy. Serta merta
wanita tersebut berteriak meminta
pertolongan para pemuda Quraisy yang
berada di sekitar Ka’bah. Kita semua pasti
sudah tahu yang akan terjadi setelah itu,
remuk redamlah Abu Dzarr akibat pukulan dan
hantaman yang dihadiahkan oleh para
pemuda Quraisy tersebut. Subhanallah.
Keyakinan bahwa Tiada tuhan selain Allah,
membuat Abu Dzarr gerah ketika melihat ada
yang masih menyembah ’tuhan-tuhan’ selain
Allah.

Rindu

223
Apabila Allah memberi hidayah kepada
seseorang melalui upayamu, itu lebih baik
bagimu daripada apa yang dijangkau
matahari sejak terbit sampai terbenam.
(HR. Bukhari dan Muslim)

Jika kita telah gatal untuk menyampaikan


Islam dan telah gerah ketika ada yang
bertentangan dengan Islam. Maka pastikan
bahwa kita juga memiliki rasa rindu, sangat
menginginkan orang-orang yang kita cintai
untuk memegang kebenaran yang sama.
Rindu, pastikan rasa itu ada di dalam dada
kita, sebagaimana rindu yang membuncah
dalam dada Ummu Hakim binti al-Harits yang
telah beriman, kepada suaminya yang masih
kafir, Ikrimah bin Abu Jahal, putra gembong
kekufuran.

Hari itu peristiwa Fathul-Makkah, pembebasan


kota Makkah. Arak-arakan pasukan Islam telah
memasuki kota Makkah yang masih
dibelenggu kekufuran. Ada cinta yang

224
membuncah dalam dada orang beriman, ada
pula kerinduan para Muhajirin akan tanah
yang telah mereka tinggalkan bertahun
lamanya, ada pula kerinduan Ummu Hakim
binti al-Harits pada suaminya yang masih kafir
itu.

Ah, betapa rindu Ummu Hakim agar Ikrimah


bin Abu Jahal juga menjadi muslim seperti
dirinya. Maka dibujuknyalah suaminya untuk
segera memasuki agama yang diridhai Allah
ini. Tetapi apa yang ia dapatkan dari suami
terkasihnya?

”Seandainya seluruh manusia telah berislam,


dan tinggal aku saja yang tidak, maka aku
tetap tidak akan pernah mengikuti agama
Muhammad ini!” jawab Ikrimah dengan nada
kebenciannya pada Muhammad.

Ah, hidayah. Tak ada yang tahu kapan dan


dari mana ia datang kepada seseorang. Kelak,
lelaki yang dirindu oleh Ummu Hakim
tersebut, juga akan bergabung bersama

225
pasukan penggenggam Islam, dan dia
mengakhiri hidupnya dalam keadaan beriman,
iman yang sebenar-benarnya iman.

Begitulah kerinduan. Ia selalu menginginkan


orang yang dicintai untuk berdiri di barisan
yang sama. Tak rela rasanya, diri berenang di
samudera ketaatan, sementara orang terkasih
sedang tenggelam dalam lumpur
kemaksiatan. Tak tega rasanya, diri
bertelekan di atas dipan-dipan surga
sementara orang terkasih luluh lantak dan
berteriak-teriak di kobaran api neraka. Tentu
kita tak akan rela, tentu kita tak akan tega.

Tentu kita merindukan orang terkasih kita,


berdiri di samping kita dengan memegang
bendera yang sama, bendera Laa ilaaha
illaLlah yang meliuk-liuk rindu. Ah, aku rindu
kalian semua bersamaku. Kuharap, kalian pun
merindukanku bersama kalian di jalan ini.

***

226
15
MENYEMPURNAKAN IKHTIYAR

Jika Allah menjadikan lisan kita sebagai


perantara hidayah bagi seseorang, itu lebih
baik daripada apa yang ada sepanjang timur
dan barat. Siapa yang tidak tergiur dengan
apa yang dilalui oleh matahari dari terbit
hingga terbenamnya?

Kita tak dituntut untuk memberikan hidayah


bagi seseorang, Allah yang memberikannya.
Kita hanya diminta oleh Allah untuk
mencurahkan segenap daya kita, agar lisan
kita menjadi perantara hidayah. Kita hanya
dituntut untuk memikirkan dan menjalankan
cara terbaik dalam berdakwah, agar hidayah
Allah makin dekat dengannya. Insya Allah di
bagian ini, kita akan kembali duduk bersama
mengumpulkan serpihan-serpihan ilmu yang
tersebar di banyak ayat, hadits, dan lainnya.

Hikmah dan Pelajaran yang Baik

227
  



 

 

”Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu
dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan
bantahlah mereka dengan cara yang baik.”
(TQS. An-Nahl: 125)

Mush’ab bin Umair telah mengajarkannya


pada kita. Melaui perantaraan kefasihan
lisannya dan kekuatan argumen yang
dibangunnya, sebagian besar penduduk
Madinah memeluk Islam. Ketika harus
berdebat, maka Mush’ab bin Umair
menggunakan cara terbaik yang pernah
dilakukan oleh umat manusia. Bahkan ketika
bahaya tengah mengancam nyawanya, dia
tetap bersikap tenang dan waras dalam
menyampaikan dakwahnya. Sikap tenang dan

228
argumennya kemudian menjadi perantara
hidayah bagi orang yang sebelumnya hendak
membunuhnya.

Sederhana dalam Perkataan

Jujur, saya masih harus banyak belajar


tentang ini. Lisan ini terlalu sulit
menyampaikan kebenaran dengan sederhana.
Kadang diri ini tergoda untuk menggunakan
bahasa-bahasa yang tinggi melangit. Kadang
diri ini juga tidak bisa mengontrol alur
pembahasan yang runut, sehingga seringkali
orang kesulitan memahami apa yang
sebenarnya saya sampaikan.

”Permudahlah, jangan dipersulit dan ajaklah


dengan baik,
jangan menyebabkan orang menjauh.”
(HR. Bukhari)

Permudahlah, kata Rasulullah, jangan kau


persulit, jangan menyebabkan orang menjauh
dari dakwah. Kita harus belajar untuk

229
menyampaikan kebenaran Islam dengan cara
yang semenarik mungkin. Keburukan saja jika
dibungkus dengan kemasan yang cantik,
maka akan banyak orang yang mengikutinya,
apalagi kebaikan.

Kita harus belajar untuk menggunakan bahasa


yang mudah dipahami oleh orang lain. Kita
harus mengurangi kalimat-kalimat yang terasa
mengganggu dalam menyampaikan dakwah.
Kita harus belajar untuk tidak terlalu tergesa
dalam berbicara. Kita harus belajar untuk
menyampaikan kebenaran Islam dengan cara
yang lembut, yang langsung masuk ke dalam
hati, dan bersemayam di sana.

Lemah Lembut

Lemah lembut tak berarti rapuh. Sebagaimana


keras tak berarti kasar. Keras dan lembut bisa
menjadi satu, sebagai mana kasar juga bisa
menjadi satu dengan rapuh. Batu pualam
adalah batu yang sangat keras, tetapi
permukaannya sangat lembut. Kerupuk adalah

230
sesuatu yang sangat rapuh, tetapi
permukaannya sangat kasar.

”Tidaklah seharusnya orang menyuruh yang


ma'ruf dan mencegah yang mungkar kecuali
memiliki tiga sifat, yakni lemah-lembut dalam
menyuruh dan dalam melarang, mengerti apa
yang harus dilarang dan adil terhadap apa
yang harus dilarang.”
(HR. Ad-Dailami)

Kita akan belajar untuk menyampaikan


kebenaran dengan cara batu pualam, lembut
tetapi tegas. Sikap lembut kita tak membuat
kita mentoleransi kemaksiatan yang dilakukan
orang. Sebagaimana sikap tegas kita tak boleh
membuat kita bersikap kasar terhadap orang
yang melakukan kemaksiatan.

Tidak Membosankan

”Nabi meniadakan pemberian pelajaran untuk


beberapa hari

231
karena khawatir kejenuhan kami.”
(HR. Ahmad)

Sering kali kita tidak mempedulikan orang


yang kepadanya kita berbicara. Kita terus saja
menyampaikan pendapat kita secara bertubi-
tubi, tanpa peduli lagi apakah orang masih
berminat mendengarkan atau sudah jenuh
dengan pembicaraan kita.

Sesekali, perhatikanlah respon orang terhadap


penjelasan kita. Jika mereka mulai bosan,
maka buatlah pembicaraan kita kembali
menarik. Jika kita tidak sanggup
mengembalikan minat mereka, lebih baik
dihentikan saja. Tak ada gunanya terus
berbicara jika orang tak lagi berminat
mendengarkannya, meski tak ada yang sia-sia
di sisi Allah.

Jangan Takut

”Rasa takut terhadap manusia jangan sampai


menghalangi kamu

232
untuk menyatakan apa yang sebenarnya jika
memang benar
kamu melihatnya, menyaksikan atau
mendengarnya.”
(HR. Ahmad)

Wajar saja jika orang tak suka mendengarkan


dakwah kita. Bahkan mungkin ada di antara
mereka yang menunjukkan ketidaksukaannya
dengan mencela bahkan menyakiti. Tetapi
jangan sampai ketakutan akan hal itu
menghalangi kita untuk menyampaikan apa
yang sebenarnya.

Jika Tak Bicara

Jika kita memilih untuk berdakwah tanpa kata,


maka berdakwahlah dengan perbuatan kita
saja. Banyak sekali kesempatan bagi kita
untuk tetap berdakwah tanpa kata. Kita bisa
ambil bagian dalam menyelenggarakan
kegiatan pengajian. Kita bisa ambil bagian
dengan menyebarkan buletin keislaman. Kita
bisa berpartisipasi dengan harta kita, dengan

233
pikiran kita atau dengan tenaga yang kita
miliki.

Semua itu adalah dakwah. Dakwah tak selalu


berarti berceramah hingga mulut berbusa. Jika
kita melakukan suatu kebaikan, kemudian
orang lain mengikuti kebaikan itu, itu juga
dakwah. Bagi seorang akhwat, berjilbab
adalah dakwah. Jika ada saudari yang
memutuskan untuk berjilbab setelah
melihatnya, itu adalah dakwah baginya.

Dengan cara apapun, selama halal, dakwah


akan selalu mengalirkan pahala bagi siapa
saja yang melakukannya. Bagaimanapun,
sejauh halal, jika menjadi perantara hidayah
bagi orang lain, maka itu lebih baik bagi kita
daripada apa yang ada dari timur hingga ke
barat.

”Apabila Allah memberi hidayah kepada


seseorang melalui upayamu, itu lebih baik
bagimu daripada apa yang dijangkau

234
matahari sejak terbit sampai terbenam.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

***

235
Percik 6:
Terus Melangkah

16. Jalan Ini Berduri


17. Ujian Cinta

236
16
JALAN INI BERDURI

Alhamdulillah, kita telah dengan bangga


menunjukkan identitas keislaman kita. Kita
juga telah memilih sebuah jalan yang dilalui
oleh Rasulullah, para shahabatnya, dan para
penerusnya. Jalan itu adalah jalan dakwah.

Lalu, apakah kita berpikir, jalan yang kita pilih


ini adalah jalan yang mulus? Apakah kita
mengira bahwa kita akan dibiarkan saja
mengatakan bahwa kita beriman, lalu kita
dibiarkan bersantai-santai saja?

  


 
 
  

”Apakah manusia itu mengira bahwa mereka
dibiarkan (saja) mengatakan: Kami Telah

237
beriman, sedang mereka tidak diuji lagi?”
(TQS. Al-’Ankabut: 2)

Seperti nasyid Izzatul Islam di atas, kita harus


menyadari bahwa jalan yang kita pilih ini
adalah jalan yang dipenuhi dengan duri.
Sejauh mata memandang, yang akan kita
hadapi adalah ujian dan ujian.

Tak semua orang bisa menerima dengan


lapang dada apa yang kita katakan. Akan
selalu ada orang yang hatinya sesak setiap
kali melihat kita melakukan kebaikan. Tak
usah kita. Rasulullah yang terkenal al-Amin
dan sangat disukai saja, mendadak menjadi
dibenci semenjak beliau memproklamirkan
risalah yang dibawanya. Suatu hari, saat
Rasulullah tengah shalat di dekat Ka’bah, Abu
Jahal dan teman-temannya memukul kepada
Rasulullah dengan batu hingga berdarah,
kemudian melumuri kepala Rasul yang mulia
dengan isi perut unta.

238
Saat mencoba meminta perlindungan ke Thaif
bersama Zaid bin Haritsah, beliau justru
dilempari dengan kotoran dan batu, hingga
tumit beliau yang mulia terluka. Setiap kali
beliau berangkat ke masjid untuk shalat
shubuh, selalu saja ada seorang Yahudi yang
meludahinya. Ummu Jamil, isteri Abu Lahab
bahkan rela menjual perhiasannya demi
membeli ranting berduri untuk merintangi
jalan yang dilalui Rasulullah. Berkali-kali orang
kafir Quraisy memfitnahnya, menuduhnya
gila, bahkan mencoba membunuhnya.

Sungguh, jalan dakwah yang ditempuh oleh


kekasih kita itu, adalah jalan terjal berduri
yang panasnya mampu mengoyak telapak
kaki.

Abu Jahal Selalu Ada di Setiap Zaman

Jika Rasulullah saja melalui jalan terjal dalam


dakwahnya, lalu, apakah kita mengira bahwa
kita akan dibiarkan saja mengaku beriman
tanpa diuji? Apakah kita mengira bahwa tak

239
akan ada lagi orang-orang bejat seperti Abu
Jahal dan Abu Lahab? Ketahuilah sahabatku
yang telah memilih jalan ini, zaman akan
selalu menyediakan orang-orang seperti Abu
Jahal, Abu Lahab dan konco-konconya.
Sebagaimana Allah selalu menyediakan gelap
sebagai lawan dari terang, maka Allah selalu
menyediakan orang-orang zalim sebagai
penguji bagi orang-orang beriman.

Ujian adalah sesuatu yang niscaya. Ia akan


selalu menghadang kita di setiap sudut jalan.
Ia akan selalu menyergap kita di saat-saat
yang tidak pernah kita duga. Ia akan tetap
menghampiri kita, meski kita bersembunyi di
dalam lubang biawak. Ujian itu akan selalu
datang untuk kita.

”Seorang mukmin meskipun dia masuk ke


dalam lobang biawak, Allah akan menentukan
baginya orang yang mengganggunya.”
(HR. Al Bazzaar)

240
Karena itu, Abu Jahal akan kembali hadir di
zaman ini, meski dengan nama dan wujud
yang berbeda, tetapi dengan tugas yang sama
untuk mengganggu kita. Mungkin Abu Jahal
masa kini tidak bersorban dan menyandang
pedang sebagaimana Abu Jahal yang
mengganggu nabi. Tetapi ia datang dengan
kepentingan yang sama, menghalangi dakwah
kita. Karenanya, bersiaplah.

Jalan Lurus, Tak Berarti Mulus


Disadari atau tidak, kita selalu meminta pada
Allah agar ditunjukkan jalan yang lurus.
Setidaknya tujuh belas kali dalam sehari kita
memohonnya pada Allah. Dalam setiap
raka’at shalat kita, kita selalu membaca surah
al-fatihah, kemudian pada ayat 5, kita
melantunkan doa ini dengan kekhusyukan,
Ihdinash-shiraathal-mustaqiim, tunjukilah kami
jalan yang lurus.

241
Di saat bersamaan, kita menyadari bahwa
jalan yang lurus bukanlah jalan yang mulus.
Itu berarti, kitalah yang meminta pada Allah
jalan yang terjal ini. Maka, tak ada pilihan lain
bagi kita kecuali tetap melangkah, meski duri
menyobek-nyobek telapak kaki kita. Kita akan
terus melaju, meski kepala kita akan terantuk-
antuk batu dan berdarah. Kita akan terus
berjalan, meski keringat bercucur tanpa henti,
meski air mata menetes tanpa jeda, meski
darah terus mengalir hingga ke akhirnya.
Berjalanlah walau habis terang
Ambil cahayaku
Terangi jalanmu
(Peterpan, Walau Habis Terang)

Putih di Tengah Hitam


Tetaplah lurus,
meski keadaan memaksamu berbelok
Tetaplah menjadi putih,
di saat keaadaan memaksamu menjadi
hitam

242
Keistiqamahan bukanlah menjadi putih di saat
keadaan memang mengharuskan kita menjadi
putih. Sederhananya begini, kita akan dengan
mudah menjadi orang shalih jika lingkungan
keluarga kita memaksa kita menjadi orang
shalih. Tidaklah mengherankan jika kita bisa
menjadi seorang Mukmin yang lurus, di saat
kita tak perlu memikirkan belitan hutang atau
ancaman dari orang-orang yang membenci
Islam. Tidak aneh jika kita menjadi pejuang
Islam jika seluruh manusia menjadi pejuang
Islam. Tetapi jika keadaannya berbeda, di
sinilah keistiqamahan dibuktikan.

Ya Allah tunjukilah kami jalan al-Mustaqim,


begitu doa kita di setiap shalat. Siapakah itu
al-Mustaqim, merekalah orang-orang yang
istiqamah, orang-orang yang lurus. Jika kita
meminta kepada-Nya keistiqamahan,
ketahuilah, itu artinya kita meminta

243
didatangkan sesuatu untuk menguji kelayakan
kita sebagai orang yang istiqamah.

Seorang Muslim yang disiksa agar berganti


keimanan, tetapi dia tetap bertahan dengan
Islamnya, itulah istiqamah. Seorang Muslim
yang ditawarkan padanya harta yang banyak
di saat dia terjepit hutang, dengan syarat
menghentikan perjuangannya, tetapi dia tetap
bertahan dengan perjuangannya, itulah
istiqamah. Seorang Mukmin yang
mendapatkan kesempatan bermaksiat, tetapi
dia bertahan untuk tidak melakukannya, itulah
istiqamah.

Istiqamah itu adalah tetap bertahan dengan


keyakinan di saat kondisinya nyaris tidak
memungkinkan. Istiqamah adalah apa yang
dilakukan oleh Bilal bin Rabah saat Umayyah
bin Khallaf mencambuknya di bawah terik
matahari yang membakar. Istiqamah adalah
apa yang dilakukan Masyithah saat Fir’aun

244
memaksanya melepaskan keimanannya atau
masuk ke dalam kuali berisi air mendidih, dan
Masyithah memilih mempertahankan
keimanannya dan masuk kedalam kuali
tersebut. Istiqamah adalah apa yang
dilakukan oleh Sa’ad bin Abi Waqqas saat
ibunya mogok makan agar ia kembali pada
agama nenek moyangnya, tetapi ia memilih
agamanya dan meninggalkan ibunya. Itulah
istiqamah, dia akan terbukti ketika telah diuji.

”Allah menguji hambaNya dengan


menimpakan musibah sebagaimana seorang
menguji kemurnian emas dengan api. Ada
yang keluar emas murni. Itulah yang
dilindungi Allah dari keragu-raguan. Ada juga
yang kurang dari itu dan itulah yang selalu
ragu. Ada yang ke luar seperti emas hitam
dan itu yang memang ditimpa fitnah.”
(HR. Ath-Thabrani)

Ya, dengan ujian itulah akan diketahui siapa


kita sebenarnya. Apakah setelah diuji, kita

245
keluar sebagai emas murni, atau ternyata kita
keluar sebagai emas hitam? Jika kita keluar
sebagai emas murni, berarti kitalah al-
mustaqim itu, kitalah orang-orang yang
istiqamah itu. InsyaaLlah.

246
17
UJIAN CINTA

Insya Allah kita akan terus belajar menjadi


orang yang istiqamah. Kita akan tetap lurus di
saat kondisi memaksa kita untuk berbelok.
Kita akan tetap menempuhi jalan ini,
meskipun ujian selalu menghadang di setiap
sudut jalan. Seorang Mukmin yang istiqamah
tak pernah takut menghadapi ujian, justru dia
menjadikan ujian sebagai kebutuhannya.
Insya Allah di bagian ini kita akan belajar
tentang hakikat ujian yang selama ini tidak
banyak dipahami.

Tanda Cinta Allah

Kita tahu bahwa orang yang paling dicintai


Allah adalah Rasulullah. Tak ada hamba yang
lebih dicinta-iNya melebihi beliau. Sebagai
hamba yang paling dicinta, tentulah
Rasulullah layak mendapatkan kenikmatan
hidup yang melimpah. Tetapi kenyataan justru

247
sebaliknya, nyaris setiap sisi kehidupan
Rasulullah dipenuhi dengan ujian dan cobaan.

Sa’ad bin Abi Waqqash pernah bertanya


kepada Rasulullah tentang siapa orang yang
paling berat ujiannya. Rasulullah kemudian
menjawab,

"Para nabi kemudian yang meniru mereka


dan yang meniru mereka. Seseorang diuji
menurut kadar agamanya. Kalau agamnya
tipis dia diuji sesuai dengan itu dan bila
imannya kokoh dia diuji sesuai itu.”
(HR. Bukhari)

Semakin berat ujian yang diberikan Allah


kepada seorang hamba, maka semakin besar
pulalah kecintaan Allah padanya, dan setebal
itu pula kualitas keimanannya. Sebaliknya,
semakin ringan ujian yang menimpa, itu
pertanda semakin kecil cinta Allah pada-Nya,
dan setipis itu pulalah kualitas keimanannya.

248
Jika hari demi hari yang kita lalui dipenuhi
dengan kesulitan hidup, tantangan, ancaman
dari orang yang membenci, celaan dari orang-
orang yang mencela (lawmatu la-im),
berbahagialah. Itu pertanda Allah mencintai
kita. Sebaliknya jika detik yang kita lewati
dipenuhi dengan gelimang kenikmatan hidup,
itu pertanda kita belum termasuk hamba yang
dicintai-Nya.

Keyakinan seperti inilah yang membuat orang-


orang beriman tetap tersenyum di saat ujian
menderanya. Pemahaman itulah yang
menjadikan para pejuang Islam menjadikan
ujian dan cobaan sebagai kebutuhannya,
untuk meningkatkan kecintaan Allah padanya.

”Apabila Allah menyenangi hamba maka dia


diuji
agar Allah mendengar permohonannya.”
(HR. Al-Baihaqi)

Syarat Masuk Surga

249
Ada sebuah analogi sederhana. Jika seorang
siswa kelas enam sekolah dasar ingin lulus
dari sekolah itu, maka satu-satunya cara yang
harus ditempuh adalah mengikuti ujian. Jika
anak itu tidak mengikuti ujian, tentu ia tidak
akan pernah lulus selamanya.

  



 
 
 
  



 
 

 
   
   
 
Apakah kamu mengira bahwa kamu akan
masuk syurga, padahal belum datang

250
kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya
orang-orang terdahulu sebelum kamu?
mereka ditimpa oleh malapetaka dan
kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan
bermacam-macam cobaan) sehingga
berkatalah Rasul dan orang-orang yang
beriman bersamanya: "Bilakah datangnya
pertolongan Allah?" Ingatlah, Sesungguhnya
pertolongan Allah itu amat dekat. (TQS. Al-
Baqarah: 214)

Apakah kita mengira bahwa kita akan masuk


surga, sementara kita tidak pernah
mendapatkan ujian sedikit pun? Logikanya,
kita hanya bisa mendapatkan surga setelah
kita menempuh ujian. Karena ujian merupakan
syarat untuk masuk surga, maka rindukanlah
ujian itu. Dengan begitu, layaklah jika kita
mengharapkan surga dari sisi Allah SWT.
Karena ujian merupakan syarat untuk
merasakan kenikmatan surga, wajarlah jika
orang-orang istiqamah tetap tersenyum manis
saat cobaan menghampirinya. Bahkan lebih

251
dari itu, mereka menjadikan ujian sebagai
kebutuhan mereka, agar layak mendapatkan
surga. Insya Allah kita akan selalu belajar
untuk itu. Bersama.

Mengangkat Derajat

Analogi sebelumnya masih bisa kita pakai di


sini. Jika seorang siswa ingin naik kelas, maka
satu-satunya cara yang harus ditempuh
adalah mengikuti ujian. Jika anak itu tidak
mengikuti ujian, tentu ia tidak akan naik kelas
selamanya.

”Seorang hamba memiliki suatu derajat di


surga. Ketika dia tidak dapat mencapainya
dengan amal-amal kebaikannya maka Allah
menguji dan mencobanya
agar dia mencapai derajat itu.”
(HR. Ath-Thabrani)

Mungkin kita bukan orang yang banyak


melakukan ibadah-ibadah sunnah. Mungkin

252
kita tidak termasuk orang yang mampu
menginfaqkan harta kita di jalan Allah.
Mungkin kita tidak memiliki lisan yang sefasih
Mush’ab bin Umair, yang dengannya menjadi
perantara hidayah bagi orang lain. Tetapi
jangan sampai kita berputus asa dari rahmat
Allah untuk mendapatkan derajat yang sama
dengan mereka. Mungkin kita memang tidak
bisa mencapai derajat itu dengan amal-amal
kita. Tetapi yakinlah, Allah telah menyediakan
tools atau alat untuk menjadikan kita layak
mendapatkan derajat seperti mereka, itulah
ujian.

Tersenyumlah setiap ujian menyapa. Karena


dengan itulah Allah mengangkat derajat kita
di sisi-Nya.

Menghapus Dosa

Seberapa seringka kita mengucapkan


istighfar? Seberapa seringkah kita bertaubat
atas kesalahan-kesalahan kita? Apakah kita
yakin taubat dan istighfar kita sudah

253
sebanding dengan besarnya dosa yang kita
lakukan? Wallahu a’lam.

Mungkin saja kita terlupa dengan suatu dosa


yang kita lakukan di masa lalu, yang hingga
kini kita belum pernah beristighfar kepada
Allah. Jangan khawatir, karena lagi-lagi Allah
menyiapkan cara untuk menghapus dosa-dosa
yang kita tidak sempat bertaubat atasnya.
Cara itu adalah ujian.

”Tiada seorang muslim tertusuk duri atau


yang lebih dari itu, kecuali Allah mencatat
baginya kebaikan dan menghapus darinya
dosa.”
(HR. Bukhari)

Sekali lagi, tersenyumlah saat ujian


bertandang pada kita. Karena dengan itulah
Allah ingin menghapus dosa-dosa kita, hingga
kita berjalan menuju surga tanpa membawa
setitik pun dosa.

***

254
Tersenyumlah

Tersenyumlah. Karena tak ada perkara yang


layak membuat seorang Muslim takut, kecuali
takut pada Allah saja. Tidak ada perkara yang
tidak baik bagi seorang Muslim. Semua
perkara adalah baik baginya, yang disukai
maupun yang tidak disukai.

 
  
 



  


 
 
Sesungguhnya orang-orang yang
mengatakan: "Tuhan kami ialah Allah"
Kemudian mereka meneguhkan pendirian
mereka, Maka malaikat akan turun
kepada mereka dengan mengatakan:

255
"Janganlah kamu takut dan janganlah
merasa sedih; dan gembirakanlah mereka
dengan jannah yang Telah dijanjikan
Allah kepadamu" (TQS. Fushshilat: 30)

Seorang Muslim tak perlu bersedih atas apa


yang telah terjadi, sebagaimana ia tak perlu
cemas atas apa yang belum terjadi. La takhaf
walaa tahzan, jangan cemas dan jangan
bersedih. Apa yang harus di sedihkan dan
ditakutkan, sementara semua perkara adalah
baik baginya? Jika ia mendapatkan sesuatu
yang menyenangkan, maka ia bersyukur. Jika
ia ditimpa sesuatu yang tidak disenanginya,
maka ia bersabar. Bukankah sisi kehidupan
seorang manusia hanya tentang yang
disenangi dan yang dibenci? Jika pada
keduanya kita mendapatkan kebaikan, kenapa
harus cemas dan sedih?

Kenapa harus cemas, jika ujian merupakan


pertanda cinta Allah? Kenapa harus takut, jika
ujian adalah cara Allah meningkatkan derajat

256
kita di sisiNya? Kenapa harus khawatir, jika
ujian adalah penghapus dosa-dosa kita?
Kenapa harus bersedih, jika dengan ujian, kita
layak mendapatkan surga?

Tersenyumlah.

257
Nyala Ketiga

MENUJU CAHAYA

258
Nyala Ketiga
MENUJU CAHAYA
***
”Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada
Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-
Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah
hamba-hamba-Ku.”
(TQS. Al-Fajr: 27-29)

***

Percik 7:
Merancang Kematian

Percik 8:
Menang
Semesta dalam Teduh
Akhir Cerita Kita

259
Sahabat, setelah membaca Nyala pertama;
MENYINARI HATI, kita menjadi seorang Muslim
dengan keyakinan yang bulat utuh terhadap
Islam. Pada Nyala kedua; MENERANGI
SEMESTA, kita telah belajar bersama tentang
pentingnya mengejar ilmu sehaus
pengembara, mengamalkannya sekuat daya,
dan menyebarkannya sepenuh jiwa, serta
kewajiban untuk terus istiqamah dalam
menjalani ketiganya. Nah, pada Nyala ketiga:
MENUJU CAHAYA ini, saya hanya ingin
mengingatkan bahwa perjuangan kita
bukanlah perjuangan tanpa akhir.

Ada dua Percik dalam Nyala terakhir ini. Pada


Percik 7: Merancang Kematian, izinkan jemari
saya menuturkan sebuah pesan. Saya ingin
mengingatkan saja, bahwa kita tidak bisa
menentukan kapan mati, dimana, dan dengan
cara apa. Tetapi ada satu hal yang bisa kita
rencanakan mengenai kematian kita, yaitu
keadaannya. Kita bisa mati dalam keadaan

260
bermaksiat, kita bisa mati dalam keadaan
berjihad. Keduanya bisa kita rencanakan sejak
sekarang. Dan di Percik 7 itu nanti, kita akan
belajar merancang kematian yang indah,
kematian yang telah didapatkan oleh para
pejuang Islam sebelum kita. Berikutnya pada
Percik 8: Menang, saya ingin menyampaikan
akhir cerita kita, yaitu kemenangan di dunia
berupa kejayaan dan kemenangan di akhirat
berupa surga.

Semoga pembahasan terakhir ini menjadi


percik air yang menyegarkan raga kita,
setelah bersimbah peluh, airmata, keringat
dan darah dalam memperjuangkan kemuliaan
Islam dan kaum Muslimin. InsyaaLlah.

261
262
Percik 7:
Menang

18. Semesta dalam Teduh


19. Akhir Cerita Kita

263
18
SEMESTA DALAM TEDUH

Bayangkanlah hari itu. Ketika jerih yang kita


lalui membuahkan hasilnya. Ketika siang yang
panas kita lalui dengan berdakwahdan malam
yang pekat kita lalui dengan menyelusuri
pojok-pojok bumi untuk menebarkan cahaya
Islam, menjadi perantara Allah untuk
memuliakan Islam dan kaum Muslimin.

Bayangkanlah hari itu. Ketika aurat wanita


Muslimah tak lagi bertebaran mengganggu
pandangan kita. ketika kehormatan Muslimah
terjaga dari segala macam pelecehan. Ketika
kaum Muslimin mendapatkan kemuliaan yang
semestinya mereka dapatkan. Ketika tiap
jengkal negeri Islam menjadi satu di bawah
naungan satu bendera, La ilaha illaLlah
Muhammad Rasulullah. Ketika tak ada lagi
penghinaan terhadap Rasulullah yang mulia.
Ketika tak ada lagi penduduk bumi yang

264
kelaparan. Ketika dunia bersatu padu dalam
meninggikan kalimat Allah.

Bayangkan hari itu, ketika kebajikan menjadi


lazim dan kemaksiatan menjadi sesuatu yang
langka. Ketika kemana mata memandang, di
sanalah ketaatan menghiasi. Ketika telinga
mendengar, maka lantunan salam dan
dzikirlah yang memasuki rongga telinga kita.

Bayangkan hari itu. Ketika Khilafah Islam yang


kita perjuangkan dengan berbulir air mata,
bersimbah peluh dan bercucuran darah, tegak
di muka bumi sebagai penjaga Islam dan
kaum Muslimin, sebagai penjaga stabilitas
dunia.

Bayangkanlah hari itu, ketika pujian Allah


bahwa kita adalah umat terbaik menjadi
nyata. Ketika kita memang menjadi ummat
yang terbaik di segala bidang. Ketika dunia
Islam menjadi rujukan ilmu pengetahuan
dunia. Ketika tak ada lagi teriakan ketakutan
dari seorang Muslimah saat ia pergi ke luar

265
rumahnya. Ketika Islam berjaya, dan
kekufuran binasa.

Itu semua janji Allah yang pasti ditepatinya.


Saat yang kita rindukan itu pasti datang.
Seperti kepastian datangnya fajar setelah
gelap malam menyelimuti bumi.

  


 



  

 


  
 

 
 
  
 
 

266
   
 
 
 

Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang


yang beriman di antara kamu dan
mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa
Dia sungguh-sungguh akan menjadikan
mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana
Dia telah menjadikan orang-orang sebelum
mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan
meneguhkan bagi mereka agama yang telah
diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-
benar akan menukar (keadaan) mereka,
sesudah mereka dalam ketakutan menjadi
aman sentausa. Mereka tetap menyembahku-
Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu
apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang
(tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka
itulah orang-orang yang fasik.
(TQS. An-Nuur: 55)

267
19
AKHIR CERITA KITA

Perjuangan kita akan segera berakhir. Derita


akan segera sirna. Keringat akan segera
kering. Air mata tak kan lagi tertumpah. Darah
yang keluar dari luka kita akan segera
dibasuh. Maka dengarkanlah ketika Allah
memanggil-manggil kita dengan kelembutan
cinta-Nya,




 
 
 

 
”Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada
Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-
Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah

268
hamba-hamba-Ku.”
(TQS. Al-Fajr: 27-29)

Tersenyumlah saat pertama kali kita


menginjakkan kaki di surga. Tak perlu lagi kau
cemaskan kebencian Abu Jahal padamu. Tak
perlu lagi kau khawatir dengan makar keji
yang dilakukan musuh-musuhmu terhadapmu.
Tak usah lagi kau takutkan kilatan pedang
yang mengancam nyawamu. Semua tak akan
ada lagi di sini.

 
 
  

 

”Mereka bertelekan di atas permadani yang
sebelah dalamnya dari sutera.
Dan buah-buahan di kedua syurga itu dapat
(dipetik) dari dekat.”
(TQS. Ar-Rahman: 54)

269
Di sini hanya ada kesenangan. Sejauh mata
memandang, yang kau lihat hanyalah
keceriaan. Para bujang yang hilir mudik.
Bidadari yang bagaikan kilau mutiara. Mata air
salsabila yang sangat menyegarkan dahaga.
Sungai yang mengalir beraneka rasa.
Semuanya sungguh menenteramkan jiwa.

”Allah berfirman: Aku sediakan untuk hamba-


hamba-Ku yang saleh sesuatu yang belum
pernah dilihat oleh mata dan tidak pernah
didengar oleh telinga
serta tidak terbesit dalam hati manusia.”
(HR. Muslim)

Jika selama di dunia kau lelah


memperjuangkan kemuliaan agamaNya, maka
berteduhlah di kemahmu yang terbuat dari
mutiara.

Sesungguhnya seorang mukmin mempunyai


sebuah kemah di dalam surga yang terbuat
dari satu mutiara yang berlubang, panjangnya
enam puluh mil, dan orang seorang mukmin

270
juga memiliki keluarga di dalamnya yang akan
ia kunjungi padahal sebagian mereka tidak
pernah melihat sebagian yang lain.
(HR. Muslim)

Mungkin selama di dunia, kita sering khawatir


dengan amal-amal kita. Kita sering merenung
di setiap penghujung malam, apakah Allah
telah ridha kepada kita, ataukah kita telah
membuat-Nya murka. Maka dengarkanlah
Allah menjawab keresahan kita,

”Allah bertanya lagi: Maukah kalian Aku


berikan yang lebih baik lagi dari itu? Mereka
menjawab: Wahai Tuhan kami, apa yang lebih
baik dari itu? Allah menjawab:
Akan Aku limpahkan keridaan-Ku atas
kalian sehingga setelah itu
Aku tidak akan murka kepada kalian
untuk selamanya.”
(HR. Muslim)

Jika ada di antara kita yang hingga wafatnya


tak pernah menikah dengan kekasihnya,

271
tenanglah, karena Allah tak akan membiarkan
kita sendirian menikmati keindahan surga.
Allah sudah menyiapkan bagi kita pasangan
yang tidak pernah tersentuh oleh jin dan
manusia sebelumnya. Kecantikannya laksana
permata yaqut dan marjan yang tak pernah
kita bayangkan selama di dunia.

”Masing-masing mereka berpasangan dua


orang yang sumsum betisnya terlihat dari
dalam daging dan di dalam surga tidak ada
seorang pun yang tidak berpasangan.”
(HR. Muslim)

Tak ada lagi dosa. Kau tak perlu lagi


bersipayah menjaga cintamu. Di sini, kau
bebas menumpahlampiaskannya kapan saja
kau mau. Di sini Allah menyediakan bagimu
bidadari yang selalu suci dan perawan.

 
 
 

272
 
 
”Di dalam syurga itu ada bidadari-bidadari
yang sopan menundukkan pandangannya,
tidak pernah disentuh oleh manusia sebelum
mereka (penghuni-penghuni syurga yang
menjadi suami mereka), dan tidak pula oleh
jin”
(TQS. Ar-Rahman: 56)

***

Saya jadi ingin menangis merindukan tempat


itu. Sungguh, di sanalah akhir cerita kita. Saya
ingin bertemu dengan kalian semua di sana.
Berdoalah selalu pada Allah, agar menjadikan
kita termasuk ke dalam orang-orang yang
beruntung memasuki surga firdaus yang
penuh nikmat itu.

Aku mencintai kalian semua. Semoga Allah


mempertemukan kita di sana. Amiin.

***

273
Selesai atas izin Allah pada hari Selasa, 16 Juni
2009.
Saksikanlah Ya Allah. Aku telah
menyampaikan.

274
TENTANG PENULIS

ABAY lahir di Martapura,


Kalimantan Selatan,
bertepatan dengan peristiwa
People Power di Filipina,
tanggal 25 Februari 1986.
Memulai pendidikan dasarnya
di Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN)
Mataraman. Kemudian melanjutkan ke
Madrasah Tsanawiyah Negeri Model (MTsN
Model) Martapura. Setelah menimba ilmu di
Madrasah Tsanawiyah yang pola
pendidikannya cukup ketat itu, Abay
melanjutkan pendidikannya di SMA Negeri 1
Mataraman Kabupaten Banjar. Di sinilah dia
menemukan jati dirinya sebagai seorang
remaja Muslim. Bersama dua orang
sahabatnya, Juara I Lomba Siswa Teladan
Tingkat SMA se- Kabupaten Banjar 2002 ini
berupaya mengembangkan Kelompok Studi
Islam yang ada di sekolah itu.

275
Setelah tiga tahun mendapatkan pendidikan
formal di SMAN 1 Mataraman, dan mengecap
pendidikan informal di KSI-nya (yang ternyata
lebih berkesan dan mempengaruhi
kehidupannya di masa mendatang), anak
pertama dari tiga bersaudara ini kemudian
melanjutkan studi di bidang yang paling
disenanginya, Matematika. Pada tahun 2003,
dia resmi menjadi mahasiswa program studi
Pendidikan Matematika FKIP Unlam
Banjarmasin.

Selama kuliah, Juara I Olimpiade Matematika


Tingkat SMA Se Kabupaten Banjar 2002 ini
terlibat aktif di beberapa oraganisasi
kemahasiswaan, seperti FSI al-Furqan FKIP
Unlam, LDK Unlam, Gema Pembebasan,
Mymaticz, dan beberapa organisasi lainnya.

Kini, suami dari Noor Yenni ini memilih


berperan aktif dalam upaya menyelamatkan
remaja Muslim dari serangan musuh-musuh
Islam. Sebagai wujudnya, Abay menjadi

276
pengasuh di beberapa program radio lokal,
seperti Madinatus-Salam 90,9 FM, Sky 89,3 FM
dan beberapa radio lainnya. Ayah dari
Muhammad Nawfa Hamzah dan Muhammad
Alif al-Fatih ini juga mengasuh beberapa majlis
ta’lim khusus remaja.

Buku ini, adalah salah satu upayanya untuk


berkontribusi dalam menyelamatkan remaja
Muslim dari serangan musuh-musuh Islam.
Bagi teman-teman yang ingin bersilaturrahim
dengan penulis, silakan kunjungi blog
www.ustgaul.co.cc, atau abayasik.co.cc
atau akun facebook abay abu hamzah
(hamzah1924@gmail.com)

Segera terbit, buku kedua dari Abay Abu


Hamzah, MELAWAN DENGAN CINTA

MELAWAN DENGAN
CINTA

277
***
SETELAH MENGGENGGAM BARA
ISLAM
(SEBUAH PENDAHULUAN)

Saya harus bertanggung jawab atas apa yang


saya tulis di buku Menggenggam Bara Islam,
terutama pada genggam kedua, Kebenaran
Tidak Pernah Membisu. Bagi sahabat pembaca
yang sudah berkesempatan membaca buku
saya tersebut, insyaAllah masih ingat bahwa
pembahasan itu adalah pembahasan tentang
dakwah. Ya, dakwah.
Meski pembahasan tersebut tentang dakwah,
tapi saya tidak sempat menjelaskannya secara
utuh, karena memang buku Menggenggam
Bara Islam bukan buku tentang dakwah. Ia
adalah buku yang saya dedikasikan untuk
membangun karakter umum seorang Muslim
yang sejati. Karena tujuannya umum, harap
maklum jika saya tidak menyajikan semuanya
secara rinci. Hanya satu pembahasan di buku

278
itu yang saya sajikan secara cukup rinci, yaitu
Genggam Pertama: Sekokoh Karang. Saya
tidak berani mengambil risiko untuk
menuliskannya secara singkat. Pembahasan
itu adalah pembahasan keimanan, jika saya
tidak tuntas dalam menyajikannya, betapa
berbahayanya tulisan saya terhadap akidah
pembaca. Sedangkan pembahasan tentang
dakwah, saya rasa masih bisa disampaikan
secara umum saja. Target dari pembahasan di
Genggam Kedua itu memang untuk sekedar
menyadarkan saya dan pembaca, bahwa kita
tak punya pilihan lain dalam menjadi Muslim,
selain terus mempelajari, mengamalkan, dan
menyebarkan Islam.
Nah, dalam menyebarkan Islam yang kita
yakini ini, ternyata banyak sekali hal yang
harus kita perhatikan, dan itu tidak sempat
saya sajikan dalam buku Menggenggam Bara
Islam. Insya Allah, buku ini adalah bentuk
pertanggung-jawaban saya untuk memperinci

279
pembahasan yang terputus di buku itu.
Semoga bermanfaat.

DUA PILIHAN SIKAP


Awalnya
Suatu sore, saya menyempatkan diri
berkeliling Banjarmasin bersama isteri dan
anak-anak. Dengan sepeda motor yang selalu
menemani kemana pergi, kami menyusuri
tempat-tempat kesukaan kami di Banjarmasin.
Di perjalanan pulang, kami melewati sebuah
acara konser musik yang diselenggarakan di
halaman gedung kesenian. Melihat para
remaja yang bercampur-baur antara laki-laki
dan perempuan, serta aurat yang bertebaran,
saya tak bisa menahan diri. Sebuah teriakan
kasar akhirnya meluncur begitu saja dari
mulut saya yang emosi. Saya begitu geram
melihat kejadian itu. Seolah mereka tak akan
pernah mati saja. Seolah mereka akan terus
muda selamanya. Seolah mereka tak pernah
sadar bahwa neraka itu benar-benar menyala.

280
Seolah mereka tak ingat bahwa segala
perbuatan akan dipertanggungjawabkan di
hadapan Allah. Seolah mereka tak tahu,
bahwa jika maut memanggil, kesempatan
bertaubat sudah tak lagi ada. Geraham saya
menggeretuk.
Sepanjang perjalanan pulang, saya tak bisa
menahan kemarahan. Entah kenapa, kalimat-
kalimat hujatan mengalir begitu deras dari
lisan saya. Tetapi saya heran, tak sekalipun
isteri saya menanggapi perkataan saya.
Luapan kemarahan saya tak berjawab.
Sepanjang perjalanan pulang isteri saya tak
mengucapkan kata sepatahpun, bahkan untuk
sekedar gumam tanda setuju.
Sesampai di rumah, saya baru tahu kenapa
isteri saya tak sekalipun menanggapi
kemarahan saya terhadap para remaja yang
keterlaluan itu. Wajahnya basah oleh linangan
air mata. Dengan perasaan bersalah, saya
tanyakan sebab tangisnya. Apakah karena ada
perkataan saya yang melukainya? Apakah ada

281
sikap saya yang menyakitinya? Ternyata
tidak. Dia justeru menjawabnya dengan
sebuah kalimat tulus yang membuat saya
terdiam seketika itu juga.
”Umi sedih, mereka itu saudara Umi. Umi
kasihan sama mereka. Mungkin mereka tidak
tahu bahwa yang mereka lakukan itu dosa.
Umi kasihan sama mereka, mereka berhak
mendapatkan dakwah, tetapi umi belum
menunaikan hak mereka. Umi sedih, umi ga
mau mereka hancur...”
Sungguh, akhwat yang saya nikahi beberapa
tahun lalu itu, telah mengajarkan saya satu
hal yang luar biasa: Cinta. Selama ini saya
terlalu sering mengatakan bahwa dakwah
adalah tanda cinta, tapi tak sekalipun kalimat
itu mewujud dalam tindakan saya. Saya malu
pada isteri saya. Dan saya bangga
menikahinya.
Dua Pilihan
Mari kita bandingkan sikap saya dengan sikap
isteri saya. Jelas sekali perbedaannya. Saya

282
marah ketika melihat kemaksiatan,
sedangkan isteri saya sedih saat
menyaksikannya. Sikap terhadap
kemaksiatan, menggambarkan cara saya
memandang dakwah. Saya marah. Kemarahan
saya menunjukkan bahwa saya memandang
orang yang melakukan kemaksiatan sebagai
musuh, sebagai orang yang menantang Allah.
Sedangkan isteri saya sedih. Kesedihannya
menunjukkan bahwa dia memandang orang
yang melakukan kemaksiatan bukan sebagai
musuh, bukan sebagai penantang Allah. Isteri
saya melihat mereka sebagai korban. Bagi
isteri saya, mereka melakukan kemaksiatan
bukan untuk menantang Allah. Bukan. Mereka
melakukan itu karena alasan lain yang tidak
pernah saya pedulikan sebelumnya. Mungkin
karena mereka tidak tahu, atau bisa jadi
mereka tahu tetapi mereka belum kuat untuk
melawan dorongan nalurinya.
Orientasi Dakwah

283
Perbedaan sikap saya dan isteri terhadap
kemaksiatan menunjukkan perbedaan
mafahim, perbedaan cara pandang. Sikap
saya menunjukkan dakwah yang da’i-oriented
(berfokus pada diri penyampai dakwah),
sebaliknya sikap isteri saya menggambarkan
dakwah yang mad’u-oriented (berfokus pada
diri objek dakwah).
Dalam fikih, mungkin pembahasan saya ini tak
terlalu diperlukan. Pembahasan saya bukan
soal halal atau haram, karena bagaimanapun
selama ikhlas dan sesuai tuntunan kenabian,
dakwah akan menghantarkan pelakunya pada
pahala yang menggunung, insyaAllah.
Pembahasan saya ini lebih cenderung kepada
efektifitas dan efisiensi dalam dakwah. Meski
secara hukum insyaAllah sama, tetapi
perbedaan orientasi akan menghantarkan
pada perbedaan sikap dalam dakwah.
Perbedaan sikap akan menghantarkan pada
perbedaan kualitas dakwah kita, dan

284
insyaAllah akan menghantarkan pada hasil
yang berbeda pula.
Dakwah yang Egois
Kita sebagai penyampai hanya berpikir
tentang kewajiban kita saja. Yang penting
kewajiban kita tertunaikan. Karena sekedar
menggugurkan kewajiban, biasanya kita akan
melakukannya secara sporadis (tak
beraturan), yang penting dakwah
tersampaikan.
Biasanya, kalimat yang dipilih oleh orang-
orang yang da’i-oriented adalah kalimat
seperti; kita harus mendakwahi mereka
agar mereka mendukung dakwah kita.
Mari kita simak kalimat yang saya bold,
betapa egoisnya orang yang da’i-oriented.
Frase pertama saja sudah menggambarkan
sudut pandang ego-sentris, berpusat ke diri;
kita harus mendakwahi mereka. Apa yang
salah dengan frase ’kita harus mendakwahi
mereka’? Tidak ada, frase itu tidak salah
secara syar’i, tidak akan membuat yang

285
mengucapkannya berdosa. Kalimat itu hanya
menunjukkan bahwa orang yang
mengucapkannya memusatkan perhatian
kepada dirinya.
Sudahlah frase pertama menggambarkan
sikap yang egois, dilengkapi pula dengan frase
kedua yang merupakan tujuan dakwah kita,
yaitu ’agar mereka mendukung dakwah kita’.
Ya, bahkan mendakwahi mereka pun untuk
kita. Egois sekali bukan?
Dakwah yang Sporadis
Karena berfokus pada da’i, biasanya dakwah
yang dilakukannya juga sporadis. Dia tidak
pernah menakar-nakar lagi apakah
dakwahnya efektif atau tidak. Tidak pernah ia
menghitung-hitung lagi apakah dakwahnya
bisa sampai atau tidak. Tidak pernah ia
mempertimbangkan apakah orang bisa
menerima dakwahnya atau tidak.
Jika antum ingin tahu bagaimana sikap
dakwah yang egois dan sporadis, lihatlah
sikap saya dalam cerita pembuka bahasan ini.

286
Betapa saya tak lagi memikirkan apakah
hujatan saya efektif atau tidak. Betapa saya
tak lagi menakar-nakar apakah mereka mau
mendengarkan dakwah saya jika saya
melakukannya dengan teriakan kasar.
Dakwah yang da’i-oriented akan membuat
kita melemparkan dakwah secara
sembarangan, karena sudut pandangnya
adalah ’yang penting aku menyampaikan’.
Ketika kita melakukannya secara sporadis,
orang yang menjadi sasaran dakwah kita akan
memasang hijab setebal-tebalnya dari dakwah
kita. Antum mungkin bisa membayangkan
sikap orang-orang yang saya teriaki ketika itu,
apakah mereka menyambut dakwah saya
dengan tangan terbuka dan senyum
mengembang? Tidak, kemungkinan terbesar
adalah mereka memasang hijab setebal-
tebalnya dari dakwah saya, sebenar apapun
perkataan saya.
Maka mulai sekarang, mari kita belajar
melengkapi persepsi tentang dakwah. Bahwa

287
dakwah adalah kewajiban, tentu kita semua
telah meyakininya. Tapi saya mohon
tambahkan satu kalimat ini dalam
pemahaman kita: dakwah adalah hak mereka.
Dengan begitu, kita akan berpikir bagaimana
agar dakwah sampai ke mereka, bukan hanya
tentang bagaimana kita menyampaikan
dakwah. Bisa merasakan bedanya?

DIAMLAH, MAKA KAU AKAN


KALAH!
DIAM = HANYUT
Dulu saya berpikir, jika saya diam, maka
diamnya saya tidak akan menguntungkan
siapapun, sekaligus tidak merugikan siapapun.
Tidak akan ada manfaat dengan diamnya
saya, juga tidak ada mudharat yang
ditimbulkannya. Tidak ada pahala yang
didapat, juga tidak ada dosa yang diperbuat.

288
Ya, bagi saya ketika itu, diam tidak akan
menyebabkan apa-apa. Diam bukanlah
sebuah kejahatan.
Sampai kemudian saya merenungkan dua
ayat singkat dalam surah at-Tiin berikut ini:
 
   
   
“Sesungguhnya, Kami benar-benar telah
menciptakan manusia dalam sebaik-
baik bentuk. Kemudian kami lembarkan
mereka ke dalam tempat yang
serendah-rendahnya.” (TQS At-Tiin: 4 –
5)
Betapa indah alunan yang dirangkai Allah
dalam dua ayat tersebut. Indah didengar,
tetapi mengguncang dada. Allah bertutur
pada kita mengenai kondisi kita yang telah
diciptakan dalam bentuk terindah. Semua
manusia, tanpa kecuali. Lalu, setelah semua
manusia diciptakan Allah dalam bentuk yang
terbaik, maka semuanya Allah hempaskan ke

289
dalam tempat yang hina. Ya semuanya.
Artinya secara umum manusia akan
mengalami dua keadaan itu; diciptakan dalam
bentuk terbaik, kemudian dihempaskan ke
tempat yang hina. Semuanya.
  
 
 
   
“Kecuali orang-orang yang beriman dan
beramal shalih, maka bagi mereka
balasan yang tak pernah putus.” (TQS.
At-Tiin: 60)
Tetapi pada ayat berikutnya Allah
memberikan pengecualian, yaitu orang-orang
yang beriman dan beramal shalih. Ya, hanya
merekalah orang-orang yang tidak akan
dihempaskan setelah diciptakan dengan
sempurna.
Sahabat semuanya. Saya mohon maaf
sebelumnya. Belum apa-apa sudah bedah
ayat. Padahal biasanya orang menyajikan

290
pembuka yang enak-enak, yang santai-santai.
Saya malah mengajak kalian semua berpikir
keras untuk merenungkan makna tiga ayat
dalam surah At-Tiin itu. Afwan ya. Bukan
maksud saya mengajak kalian mumet pagi-
pagi. Tapi insyaaLlah, pembahasan berat di
awal ini justeru akan meringankan
pembahasan kita di lembar-lembar
berikutnya.
Buku ini saya beri judul Melawan Dengan
Cinta, di sini kita akan banyak berbincang
tentang dakwah. Tetapi apa hubungannya
dakwah dengan ketiga ayat pertengahan
surah At-Tiin ini? Bukankah ayat 4, 5 dan 6
surah tersebut bercerita tentang penciptaan
manusia dan tentang keimanan?
Nah, mari kita renungkan. Semua manusia
telah diciptakan dalam sebaik bentuk. Bentuk
yang mulia. Ayat ini memposisikan kita pada
derajat yang tinggi. Tetapi setelah itu Allah
menghempaskan kita ke dalam tempat yang
serendah-rendahnya. Secara otomatis.

291
Artinya, kecenderungan manusia sebenarnya
adalah menjadi hina. Sebenarnya secara
otomatis manusia akan dilemparkan ke dalam
tempat yang sehina-hinanya. Semuanya. Ya,
semuanya.
Karena secara umum akan melalui tahapan
itu(diciptakan sempurna – dilemparkan), maka
tak perlu berbuat apa-apa pun kita pasti akan
hina. Sebagaimana orang yang berada di air
terjun yang deras, maka kecenderungan
terbesarnya adalah hanyut terjatuh. Tak perlu
berenang ke bawah, diam pun kita pasti akan
terjatuh, secara otomatis. Illa, kecuali. Kecuali
orang-orang yang bergerak melawan arus
deras itu, kemudian segera mencari pegangan
kokoh, lalu dia terus berpegang seraya
bergerak menuju tepian. Maka orang-orang
seperti inilah yang akan selamat. Diam?
Hanyut!
Begitupula dalam menjalani arus kehidupan
yang begitu deras ini. Manusia yang
diciptakan dalam sebaik-baik bentuk, memiliki

292
kecenderungan yang besar untuk ’hanyut’ dan
’jatuh’ ke lembah nista. Tak perlu berbuat
maksiat. Diam pun pasti kita akan jatuh ke
dalam kehinaan. Sebagimana kalam Allah
dalam dalam surah At-Tiin ayat 4 dan 5
tersebut. Secara otomatis kita diciptakan
dalam sebaik bentuk, dan secara otomatis
pula kita akan dilemparkan ke tempat yang
sehina-hinanya. Illa, kecuali. Kecuali orang
yang beriman dan beramal shalih, maka
mereka tidak akan ikut hanyut dalam arus
deras itu. Orang beriman dan beramal shalih
laksana orang yang bergerak melawan arus,
kemudian mencari tempat untuk berpegang,
lalu bergerak merapat ke tepian. Ya,
merekalah yang akan selamat, yang akan
tetap berada dalam kondisi semula; sebaik-
baik bentuk. Tetapi orang yang diam saja,
yang tak bergerak, yang tak berpegang,
merekalah orang yang akan hanyut, jatuh dari
tempat mulia menuju tempat yang paling
hina.

293
Njlimet ya? Afwan. Bukan maksud saya
membahasnya dengan ribet. Tapi itu murni
karena kelemahan saya dalam
menyederhanakannya. Jika ada yang bersedia
menyederhanakan kalimat saya di beberapa
paragraf yang lewat, saya sangat
berterimakasih.
Kesimpulan saya sebenarnya sederhana. Kita
adalah makhluq terindah. Jika kita diam, maka
kita akan dilemparkan Allah ke dalam tempat
yang serendah-rendahnya. Dan untuk tetap
bertahan di tempat terindah ini, maka kita
tidak boleh diam, kita harus beriman dan
melakukan amal-amal shalih. insyaaLlah.
Lalu, setelah penjelasan yang cukup
memusingkan itu, apakah kita masih berpikir
bahwa diam tidak memberi mudharat? Apakah
kita masih berpikir bahwa tidak melakukan
apa-apa berarti tidak menyebabkan apa-apa?
DIAM = KALAH
”Satu-satunya cara untuk
membuat kejahatan menang
adalah,

294
orang baik tidak usah berbuat
apa-apa!”
(Edmund Burke)
Lagi-lagi saya terhentak. Surah At-Tiin ayat 4 -
6 telah menghentak kesadaran saya bahwa
diam berarti hanyut. Kini Edmund Burke (saya
tidak tahu dia ini siapa, tetapi saya temukan
kalimatnya di salah satu buku, dan kalimatnya
membekas di hati saya, maka saya kutipkan di
sini untuk kalian semua), ia juga menghentak
kesadaran saya bahwa diam berarti kalah.
Bayangkan, berapa jam sehari kita tidur?
Misalnya, delapan jam. Dan memang
begitulah pola tidur sehat yang diajarkan pada
kita sejak kecil. Pola tidur sehat itu ditebarkan
oleh Barat untuk kita, kaum Muslimin. Tentu
kita bisa menebak maksudnya kan? Mari kita
sadari bahwa delapan jam adalah sepertiga
dari duapuluh empat jam. Ya, sepertiga hari
kita habiskan untuk tidur. Jika usia kita 60
tahun (begitu biasanya para trainer
memisalkan), maka dari 60 tahun itu, 20

295
tahunnya hanya kita gunakan untuk tidur!
Begh!
Oiya, sebelumnya harus diingat juga bahwa
tidur berarti diam. Maka, ketika delapan jam
sehari kita tidur, itu sama artinya kita telah
diam selama delapan jam perhari. Apa
salahnya? Tentu saja secara syar’i tidak ada
dalil yang mengharamkan tidur. Sayang saja
sih, tidak produktif. Apakah musuh-musuh
Islam yang menebarkan pola tidur sehat itu
benar-benar tidur delapan jam dalam sehari?
Tidak. Saat kita tidur itulah mereka bangun
untuk bergerak. Mereka memikirkan berbagai
macam cara berikutnya untuk semakin
melemahkan kita. Mereka membuat film,
membuat video klip, membuat majalah-
majalah, membuat lirik-lirik lagu, membuat
sinetron, menulis buku, dan lain sebagainya.
Untuk apa mereka melakukan itu semua?
Untuk membuat kita semakin tidak produktif
lagi.

296
Bayangkan kawan. Dalam sehari kita sudah
’dipaksa’ tidur delapan jam. Ternyata, pas kita
bangun, kita juga dilenakan dengan perkara-
perkara yang tidak bermanfaat, bahkan
menjerumuskan. Setelah bangun tidur, kita
segera dihadapkan pada tontonan-tontonan
yang tidak bermutu. Atau kita langsung
mendengarkan radio, untuk apa? Sekedar
greeting, atau request lagu. Agak siangan dikit
kita disuuhi tayangan musik atau gosip.
Benar-benar tidak bermutu bukan?
Oke, mungkin ada sebagian dari kita yang
tidak menonton televisi atau mendengar
radio, mereka memilih segera keluar rumah
untuk nongkrong dengan teman-temannya.
Pergi ke kampus atau ke sekolah. Di sana
mereka dipaksa terlena lagi. Coba dengarkan
materi pembicaraan mereka, apakah
bermutu? Paling-paling seputar tiga hal;
handphone, idola, dan pacar.
Bagaimana bisa dikatakan generasi terbaik,
sudahlah terlalu banyak tidur, pas bangun

297
malah tidak produktif. Lalu kapan kita
berkarya untuk dunia?
Satu lagi, saat kita terlena itulah, saat kita
diam itulah mereka melancarkan serangan
rahasianya pada kita. Bukan dengan senjata
meriam atau bom. Mereka melancarkan
serangan yang sangat lembut, sampai-sampai
serangannya kita rasakan sebagai belaian.
Mereka menyerang kita dengan gaya hidup
bebas, kita tidak melawan, malah menjadi
generasi pertama yang mempraktikkannya.
Karena kita tidak menganggap itu sebagai
serangan, melainkan sebagai belaian yang
memanjakan nafsu kita. Lalu kitapun
mengikutinya.
Sekadar analogi sederhana, untuk membuat
pisau belati tak melukai tangan, tak perlu
memusnahkannya, cukup dengan
menumpulkan matanya saja. Begitu juga,
musuh-musuh Islam sadar betul, bahwa kita,
para pemuda adalah ujung tombak kekuatan
kaum Muslimin. Maka agar kita tidak

298
membahayakan mereka, tak perlu dengan
memusnahkan kita, cukup dengan
melemahkan kita, cukup dengan membuat
kita terlena.
Jika ujung tombak perjuangan telah tumpul
dengan diam. Maka ketika musuh-musuh
Islam benar-benar menyerang secara fisik,
saat itulah, kita tak lagi peduli. Saat itu kita
diam. Kita telah tumpul. Gaya hidup kita telah
berubah. Kita menjadi generasi yang tak lagi
menakutkan bagi musuh. Karena kita telah
dilumpuhkan. Saat itulah, kekalahan menjadi
milik kita.
BERGERAKLAH!
Kita kalah karena diam. Kita kalah karena
terlena.
Karena itu, bergeraklah. Ambillah salah satu
peran dalam perjuangan ini.
 


 



299

 
 

  

 
 
 



 
  


 
 
  
  
 
  





Dan Allah Telah berjanji kepada


orang-orang yang beriman di
antara kamu dan mengerjakan

300
amal-amal yang saleh bahwa dia
sungguh- sungguh akan menjadikan
mereka berkuasa dimuka bumi,
sebagaimana dia Telah menjadikan
orang-orang sebelum mereka
berkuasa, dan sungguh dia akan
meneguhkan bagi mereka agama yang
Telah diridhai-Nya untuk mereka, dan
dia benar-benar akan menukar
(keadaan) mereka, sesudah mereka
dalam ketakutan menjadi aman
sentausa. mereka tetap menyembahku-
Ku dengan tiada mempersekutukan
sesuatu apapun dengan Aku. dan
barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah
(janji) itu, Maka mereka Itulah orang-
orang yang fasik. (TQS. An-nuur: 55)
Sebenarnya terserah saja. Kita mau
mengambil peran perjuangan atau tidak, Islam
tetap akan menang. Dengan atau tanpa kita.
Jika kita tidak mengambil peran perjuangan
ini, tetap akan ada orang yang akan

301
memanggulnya. Karena kemenangan Islam
adalah janji Allah, maka Allah pasti akan selalu
menyiapkan pejuang-pejuang untuk
mewujudkan kemenangan itu. Jika kita tidak
mengambil peran ini, pasti yang lain.
Jadi tak perlu jual mahal dengan slogan,
”Kalau bukan kita, siapa lagi?” Seolah hanya
kita yang bisa memperjuangkan kemenangan
Islam. Sehingga kalau kita tidak
memperjuangkannya, seolah-olah tidak ada
lagi orang yang mau memperjuangkannya.
Sok pahlawan banget kan? Padahal akan
selalu ada generasi yang
memperjuangkannya. Sekali lagi, jika bukan
kita, pasti yang lain. Bukan Islam yang
memerlukan kita, kitalah yang membutuhkan
Islam.
Terserah saja, mau mengambil peran
perjuangan atau tidak. Pertanyaannya, apakah
kita tidak merasa rugi jika tidak ambil bagian
dalam mewujudkan kemenangan Islam?

302
”Dan Allah Telah berjanji kepada orang-
orang yang beriman di antara kamu dan
mengerjakan amal-amal yang saleh
bahwa dia sungguh- sungguh akan
menjadikan mereka berkuasa dimuka
bumi...”
SENIKMAT SANG PENDAKI
Izinkan saya menyajikan kisah kecil ini dulu
ya.
Ada tiga tipe manusia dalam pendakian
gunung: pendaki sejati, pekemah, dan
penunggu. Pendaki sejati selalu
mengupayakan untuk sampai ke puncak
gunung. Maka dia melengkapi berbagai
persiapan yang dibutuhkan oleh seorang
pendaki. Apapun gangguan yang akan
menghadang di tengah pendakian, seorang
pendaki sejati akan tetap menempuhnya.
Apapun yang dikatakan oleh orang yang tidak
mendaki, pendaki sejati akan terus
menempuh pendakiannya. Seberapa

303
banyakpun temannya yang menghentikan
pendakian, ia akan terus melangkah.
Sedangkan pekemah, pada awalnya dia ikut
mendaki. Tetapi ia orang yang mudah puas. Ia
bahkan terlalu takut menghadapi berbagai
resiko yang menghadang di tengah
pendakian. Maka iapun mendirikan kemahnya,
beristirahat di sana dan menghentikan
pendakiannya. Ia telah puas, ia telah lelah.
Apalagi penunggu. Sejak awal dia tahu bahwa
gunung itu perlu didaki. Tetapi dia tidak mau
mengambil peran pendakian. Ia memilih untuk
berdiam diri di kaki bukit, sembari menunggu
kabar dari pada pendaki yang telah naik. Ia
takut dengan resiko yang menghadang. Ia
juga merasa cukup berada di bawah saja. Ia
berpikir, cukup temannya saja yang mendaki,
dia tidak ingin ambil resiko. Diapun diam,
menunggu kabar dari atas.
Sang pendaki sejati telah sampai di puncak
gunung. Di sana ia melihat betapa indah alam
semesta. Di sana ia merasakan kesejukan

304
udara yang tak tercampur oleh berbagai
macam gas hasil pembakaran. Di sana ia
melihat ada awal-awan kecil di bawah tempat
ia berpijak. Di sana ia menatap keindahan
warna pelangi yang melengkung di depannya.
Di sana ia melihat betapa indahnya jika
daratan bumi dipandang dari ketinggian. Dia
puas, karena sebelumnya dia baru saja
menantang bahaya untuk mencapainya.
Sementara si pekemah, ia tengah tertidur di
kemahnya. Ia tidak tahu kenikmatan apa yang
dirasakan oleh temannya yang meneruskan
pendakian hingga puncak. Ia telah berpuas
diri dengan apa yang dicapainya.
Bagaimana kabar si penunggu? Dia berteriak-
teriak dari bawah, menanyakan apa yang
dirasakan oleh temannya yang berhasil
mencapai puncak. meskipun si pendaki
menceritakannya, tetap saja si penunggu tak
bisa ikut merasakan nikmatnya. Ya,
sebagaimana jus, ia hanya benar-benar
dinikmati oleh orang yang meminumnya.

305
Sedangkan orang yang sekedar
mendengarnya, sebagus apapun deskripsi
yang didengarnya tentang meminum jus, ia
tidak akan pernah bisa merasakan nikmatnya.
Kalian pasti sudah bisa menebak maksud saya
menyajikan kisah pendaki tersebut.
Ada tiga tipe manusia dalam perjuangan
mewujudkan kemenangan Islam. Golongan
pertama adalah orang yang berjuang hingga
akhir (seperti pendaki sejati). Golongan kedua
adalah mereka yang berjuang pada awalnya,
kemudian karena takut dengan resiko dan
merasa cukup dengan pahala perjuangannya
selama ini, iapun berhenti. Ia tak lagi berjuang
karena merasa pahalanya sudah banyak.
Golongan ketiga adalah para penunggu.
Mereka tahu bahwa memperjuangkan
kemenangan Islam adalah sebuah kewajiban.
Tetapi mereka tidak mau mengambil peran
dalam perjuangan ini. Mereka merasa aman
karena sudah ada temannya yang mau
berjuang. Mereka terlalu takut dengan resiko

306
perjuangan. Mereka diam. Berharap akan
kecipratan pahala dari temannya yang
berjuang. Berharap ikut merasakan
kenikmatan setelah kemenangan Islam
mewujud. Tetapi mereka lupa, bahwa
kemenangan hanya mampu diresapi oleh
orang yang ikut berjuang. Bukan para
penunggu, bukan para pekemah.
Sekarang mau memilih yang mana? Jika saya
yang ditanya, saya akan menjawab dengan
pasti, ”Saya memilih menjadi pejuang
sejati, yang tak akan berhenti hingga
akhir perjuangan ini!”
Bagaimana dengan kalian? Ada yang mau
menemani saya? Saya yakin kalian juga
mengambil pilihan yang sama. Karena itu,
mari kita belajar bersama untuk terus menjadi
pejuang sejati. InsyaaLlah kita akan
menemukannya pada lembaran-lembaran
berikutnya.
***

Jangan Sampai Ketinggalan, segera pesan bukunya

307

You might also like