You are on page 1of 65

TUGAS UJIAN AKHIR SEMESTER

PSIKOLOGI EKSPERIMEN

”PENGARUH BANYAK SEDIKITNYA JUMLAH ANGGOTA


TERHADAP TINGKAT SOCIAL LOAFING PADA INDIVIDU”

Dosen PJMK:
Sami’an, S.Psi.

Oleh :
Selvina Yusniar 110610132
Lailatul Isro’iyah 110610133
Zulva Rahayu 110610212

Kelas Paralel : C

Fakultas Psikologi
Universitas Airlangga
2008

1
DAFTAR ISI

Cover………………………………………………………………………....……1
Daftar Isi…………………………………………………………………………..2
Kata Pengantar……………………………………………………………...……..4
BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………….5
I.1 Latar Belakang Masalah…………………………………………...6
I.2 Identifikasi Masalah..........................................................................7
I.3 Pembatasan Masalah.......................................................................10
I.4 Perumusan Masalah........................................................................11
I.5 Tujuan Penelitian............................................................................11
I.6 Manfaat Penelitian.........................................................................11
BAB II LANDASAN TEORI..........................................................................13
II.1 Kelompok.....................................................................................14
II.1.1 Pengertian Kelompok..............................................................14
II.1.2 Dinamika Kelompok...............................................................15
II.1.3 Kelompok yang Efektif...........................................................17
II.2 Social Loafing...............................................................................20
II.2.1 Pengertian Social Loafing.......................................................20
II.2.2 Faktor-faktor Penyebab Social
Loafing...................................21
II.2.3 Faktor-faktor yang Dapat Mengurangi Social Loafing...........31
II.2.4 Social Loafing sebagai Penyakit Sosial dan Dampaknya........34
II.2.5 Kemunculan Social Loafing....................................................35
II.3 Variabel-variabel Ekstra................................................................36
II.3.1 Variabel Kontrol......................................................................36
II.3.1.1 Jenis Tugas........................................................................36
II.3.1.2 Gender...............................................................................37
II.3.1.3 Peran Masing-masing Individu.........................................37
II.3.1.4 Budaya Kolektivis atau Individualis.................................38
II.3.1.5 Tujuan Kerja......................................................................38

2
II.3.1.6 Standar Hasil
Kerja............................................................39
II.3.2 Variabel Extraneous…………………………………………39
II.3.2.1 Keinginan Atas Keadilan………………………………...39
II.3.2.2 Free Ride………………………………………………...40
II.3.2.3 Sikap Negatif dari Rekan Kerja atas Hasil Kerja Individu40
II.3.2.4 Perbedaan Persepsi tentang Hasil Kerja............................40
II.4 Kerangka Konseptual....................................................................42
II.5 Perumusan Hipotesa......................................................................42
BAB III METODE PENELITIAN.....................................................................43
II.1 Tipe Penelitian...............................................................................44
II.2 Identifikasi Variabel Penelitian.....................................................44
II.3 Definisi Konseptual.......................................................................45
II.4 Definisi Operasional......................................................................45
II.5 Populasi dan Sampel
Penelitian.....................................................47
II.5.1 Populasi Penelitian...............................................................47
II.5.2 Sampel Penelitian.................................................................47
II.6 Desain Penelitian...........................................................................48
II.7 Instrumen Penelitian......................................................................49
II.8 Validitas dan Reliabilitas Alat
Ukur..............................................51
II.8.1 Validitas Alat
Ukur...............................................................51
II.8.2 Reliabilitas Alat Ukur...........................................................51
II.9 Validitas dan Reliabilitas Eksperimen...........................................52
II.9.1 Validitas
Eksperimen............................................................52
II.9.2 Reliabilitas Eksperimen........................................................52
II.10 Analisa Data................................................................................53
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................54

3
LAMPIRAN...........................................................................................................55
Form Penilaian Kinerja Individu dalam Kelompok.............................56
Kuesioner Social Loafing.....................................................................57

4
KATA PENGANTAR

5
BAB I

Pendahuluan

6
BAB I
PENDAHULUAN

I.1. LATAR BELAKANG MASALAH


Terdapat anggapan bahwa “dua kepala itu lebih baik daripada satu
kepala”. Pernyataan ini bisa diartikan bahwa melakukan sesuatu secara bersama-
sama (secara kelompok) akan lebih baik daripada harus melakukan suatu tugas
secara individu. Hal ini dimungkinkan karena apabila suatu tugas dikerjakan
secara bersama-sama, maka beban kerja individu akan menjadi semakin ringan
karena tanggung jawab tugas ditanggung secara bersama-sama. Inilah yang
menjadi salah satu tujuan dibentuknya kelompok. Dengan bekerja bersama,
diharapkan tujuan kelompok dapat dicapai secara lebih maksimal. Namun,
anggapan “dua kepala itu lebih baik daripada satu kepala” itu bisa memiliki arti
lain. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa tidak semua individu dalam
kelompok memberikan kontribusi yang maksimal demi tercapainya tujuan
kelompok tadi. Banyak hal yang menyebabkan rendahnya partisipasi individu
dalam suatu kegiatan kelompok.
Seringkali dosen memberikan tugas-tugas kepada mahasiswa dalam
bentuk tugas individu maupun tugas kelompok. Tugas kelompok sendiri
merupakan tugas yang harus dikerjakan secara bersama-sama oleh tiap anggota
kelompok. Tugas kelompok biasanya merupakan tugas yang mempunyai beban
yang lebih berat jika dibandingkan dengan tugas individu. Dalam tugas kelompok,
kelompok kerja merupakan sarana yang baik dalam menggabungkan berbagai
talenta dan dapat memberikan solusi inovatif suatu pendekatan yang mapan
(Johanes Papu, 2002). Selain itu, dengan adanya kelompok kerja maka hasil yang
diinginkan dapat terwujud karena dalam kelompok kerja terdapat anggota-anggota
yang mempunyai talenta, minat dan keahlian masing-masing. Sehingga
diharapkan hasil yang diperoleh dapat maksimal karena anggota yang satu dan
yang lain dapat saling melengkapi dan dapat menutupi kekurangan masing-
masing.

7
Bekerja sama dalam menyelesaikan tugas kelompok merupakan suatu hal
yang membuat individu mampu melakukan banyak hal daripada jika individu
bekerja sendirian. Ini merupakan suatu prinsip sinergi di mana suatu kesatuan
adalah lebih baik dibandingkan dengan sejumlah bagian-bagian yang terpisah
(West, 1994: 1). Namun pada kenyataannya, semakin besar jumlah anggota
kelompok maka anggota semakin malas dan menurunkan usahanya untuk
menyelesaikan tugas atau pekerjaannya. Ini terjadi karena ada anggota yang
beranggapan bahwa anggota kelompoknya yang lain sudah cukup banyak dan
mampu untuk menyelesaikan tugas tersebut sehingga anggota tersebut akan
mengurangi kinerjanya. Misalnya pada kelompok presentasi suatu mata kuliah di
mana jumlah anggotanya adalah delapan orang, maka pasti akan ada saja anggota
yang bermalas-malasan karena menganggap tugas kelompok sebagai tugas
bersama dan pasti ada anggota kelompoknya yang lain yang akan mengerjakan
tugas sehingga kontribusi yang ia berikan tidak maksimal.
Berdasarkan kenyataan yang dipaparkan di atas tampak terjadi
kesenjangan antara kenyataan dengan aturan yang seharusnya dilakukan. Aturan
yang dimaksud disini adalah bahwasanya anggota dalam kelompok yang
seharusnya menjalankan (mematuhi) norma-norma dalam berkelompok, malah
melanggar norma tadi. Social loafing ini bukannya terjadi pada orang yang tidak
memahami peraturan berkelompok, tetapi pada individu yang sebenarnya
memahami aturan-aturan (kode etik) dalam berkelompok. Hal inilah yang
melatarbelakangi mengapa eksperimenter memilih fenomena social loafing
sebagai tema yang ingin diteliti lebih lanjut.

I.2. IDENTIFIKASI MASALAH


Dalam penelitian ini, eksperimenter ingin mengetahui tingkat social
loafing mahasiswa. Untuk benar-benar memahami social loafing kita harus
memahami konsep awal terlebih dahulu, dengan memahami konsep awal kita
akan mendapatkan variabel-variabel yang ikut mempengaruhi terjadinya social
loafing. Dari penelusuran yang dilakukan eksperimenter, ditemukan landasan teori
yang menjadi dasar pemikiran diadakannya eksperimen ini.

8
Seperti yang nanti akan dijelaskan lebih lanjut di Bab Landasan Teori
eksperimenter memperoleh sejumlah variabel yang punya pengaruh social loafing.
Variabel-variabel itu antara lain ada yang berkorelasi positif namun ada juga yang
berkorelasi negatif terhadap social loafing. Variabel yang berkorelasi positif disini
maksudnya variabel itu memiliki arah yang sama bila ‘dirubah’ ataupun
‘berubah’, dengan kata lain searah dengan perubahan social loafing. Bila variabel
itu ditingkatkan, maka social loafing pun akan mengalami peningkatan, begitu
pula bila variabel tadi diturunkan maka social loafing akan mengalami penurunan.
Variabel yang berkorelasi terhadap social loafing antara lain:
1. Ukuran kelompok dikatakan sebagai variabel yang berkorelasi positif
disini karena, dengan memperbesar (menambah, meningkatkan jumlah
anggota) kelompok akan diperoleh peningkatan dalam social loafing.
Demikian pula berlaku bila ukuran kelompok (mengurangi,
menurunkan jumlah anggota) kelompok akan diikuti dengan
penurunan tingkat social loafing.
2. Pengadaan evaluasi (kemungkinan dilakukannya evaluasi) dapat
dikatakan sebagai variabel yang berkorelasi negatif. Karena bila
individu menganggap kemungkinan untuk tugas itu dievaluasi adalah
tinggi, maka tingkat social loafing akan menurun (kemungkinan
muncul social loafing kecil), sedangkan bila kemungkinan tugas
tersebut untuk dievaluasi rendah, maka tingkat social loafing akan
mengalami peningkatan (karena individu jadi ‘mengentengkan’ tugas
itu.
3. Persepsi individu mengenai tingkat kepentingan hasil kerja, memiliki
korelasi yang negatif terhadap social loafing. Maksudnya semakin
tinggi tingkat kepentingan hasil kerja, semakin rendah tingkat social
loafing, demikian pula bila tingkat kepentingan hasil kerja semakin
rendah, semakin tinggi tingkat social loafing (hal ini dikarenakan
individu merasa tugas itu terlalu ‘tidak penting’ untuk dilakukan).
4. Keinginan atas keadilan memiliki korelasi positif terhadap tingkat
social loafing. Semakin tinggi keinginan individu akan keadilan,

9
semakin tinggi pula tingkat social loafing individu tersebut. Demikian
juga berlaku sebaliknya, semakin rendah tingkat keinginan individu
atas keadilan, semakin rendah tingkat social loafing pada individu
tersebut (dengan kata lain usaha individu akan besar untuk
menyelesaikan tugas).
5. Tingkat keunikan tugas dan peran. Tugas yang unik merefleksikan
peran yang unik. Sebuah teori mengatakan bahwa pemberian tugas dan
peran yang unik akan memperkecil kemungkinan seseorang
melakukan social loafing. Semakin tinggi tingkat keunikan tugas dan
peran individu akan semakin rendah tingkat social loafing individu.
Dapat disimpulkan bahwa tingkat keunikan tugas dan peran
berkorelasi negatif dengan tingkat social loafing.
6. Sikap rekan kerja tentang hasil kerja individu (rekan kerja yang lain)
memiliki korelasi yang positif, dimana semakin positif sikap
(semakin respek) rekan kerja terhadap hasil kerja seseorang, semakin
rendah tingkat social loafing individu tersebut. Demikian pula semakin
rendah (semakin rendah respek individu terhadap hasil kerja individu)
semakin tinggi tingkat social loafing individu (bila rekan kerja
semakin tidak menghargai hasil kerja individu, maka individu akan
menjadi semakin ‘malas’ untuk mengerjakan tugasnya).
7. Jenis kelamin memiliki korelasi, namun arah korelasi masih belum
dapat diketahui. Ada teori yang mengatakan bahwa perempuan lebih
kooperatif dibandingkan laki-laki karena laki-laki umumnya
kompetitif. Sehingga laki-laki dalam tugas kelompok lebih memiliki
kecenderungan besar untuk melakukan social loafing dibandingkan
perempuan. Namun sebaliknya dalam tugas individu, laki-laki justru
memiliki usaha yang lebih besar ketika dia bekerja dalam tugas
individu dibandingkan perempuan.
8. Budaya kolektivis ataukah budaya individualis dimana pembentukan
kelompok pada orang-orang dengan budaya yang kolektivis, maka
individu-individu anggota kelompoknya akan semakin rendah tingkat

10
social loafingnya, sedangkan bila kelompok dibentuk dari orang-orang
yang berbudaya individualis, maka anggota-anggota kelompoknya
akan cenderung melakukan social loafing (tingkat social loafing
tinggi). Oleh karena itu pembentukan kelompok hendaknya perlu
mempertimbangkan unsur budaya. Budaya barat diketahui lebih
cenderung pada budaya yang individualis, sedangkan budaya timur,
diketahui cenderung sebagai budaya yang kolektivis. Bila
menggunakan sudut pandang budaya individualis, dapat dikatakan
bahwa tingkat individualis seseorang berkorelasi secara positif
dengan social loafing. Maksudnya semakin tinggi individualisme
seseorang, semakin tinggi tingkat social loafingnya dalam bekerja
kelompok, begitu pula sebaliknya; semakin rendah tingkat
individualisme seseorang akan semakin rendah pula tingkat social
loafing.
9. Kejelasan tujuan kelompok dan standar hasil kerja kelompok, semakin
tinggi kejelasan dan kespesifikan perumusan tujuan kelompok dan
standar hasil kerja kelompok, semakin rendah tingkat social loafing
pada individu-individu yang menjadi anggota kelompok tersebut.
Demikian sebaliknya bila semakin tidak jelas dan semakin tidak
spesifik tujuan kelompok dan standar hasil kerja kelompok tersebut,
maka akan semakin tinggi tingkat social loafing individu tersebut.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kejelasan tujuan kelompok
dan kejelasan standar hasil kerja sebagai variabel yang berkorelasi
negatif dengan tingkat social loafing.

I.3.PEMBATASAN MASALAH
Dikarenakan segala keterbatasan yang dimiliki eksperimenter, maka tidak
semua variabel yang mempengaruhi Y (dalam hal ini social loafing) akan diteliti
oleh eksperimenter. Sehingga dalam hal ini eksperimenter hanya akan meneliti
pengaruh ukuran kelompok terhadap kemunculan social loafing pada individu
(dalam hal ini mahasiswa fakultas psikologi pengikut mata kuliah psikologi

11
humanistik). Eksperimenter memilih variabel itu sebagai variabel bebas yang
utama dikarenakan kemudahan dalam melakukan manipulasi. Selain itu pemilihan
subjek yang terbatas pada mata kuliah psikologi humanistik dikarenakan
berdasarkan pengalaman ekpserimenter yang pernah mengikuti dan mendapatkan
informasi bahwa sebelum-sebelumnyya mata kuliah psikologi humanistik terbiasa
memberikan tugas kelompok secara berkala.

I.4. PERUMUSAN MASALAH


Berdasarkan identifikasi dan pembatasan masalah yang telah dikemukakan
di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut :
“Adakah Pengaruh Banyak Sedikitnya Jumlah Anggota Kelompok
Terhadap Tingkat Social Loafing?”

I.5 TUJUAN PENELITIAN


Tujuan eksperimen ini adalah :
1. Mengetahui Pengaruh Banyak Sedikitnya Jumlah Anggota
Kelompok Terhadap Tingkat Social Loafing.
2. Mengetahui Arah korelasi (Positif atau Negatif) dari Pengaruh
Ukuran Kelompok terhadap Tingkat (Meningkat atau Menurun)
Social Loafing.
3. Mengetahui Sumbangan Relatif dari Variabel ’Ukuran Kelompok’
terhadap Tingkat Social Loafing.

I.6. MANFAAT PENELITIAN


a. Manfaat Teoritis
1. Manfaat teoritris dari penelitian ini adalah diharapkan dapat
menambah wacana (khazanah) bagi pengembangan dunia pendidikan
2. Selain itu dapat digunakan sebagai tambahan informasi bagi dunia
pendidikan khususnya yang berkaitan dengan judul ini, sehingga dapat
diupayakan dalam bentuk usaha-usaha untuk mengatasi dan

12
meminimalisir terjadinya dampak negatif akibat pengaruh ukuran
kelompok terhadap munculnya perilaku social loafing.
3. Sebagai referensi untuk pengadaan penelitian lanjutan
4. Sebagai pengokohan maupun anomali akan kebenaran teori maupun
penelitian sebelumnya mengenai fenomena social loafing ini.

b. Manfaat Praktis
1. Bagi peneliti, penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi
tambahan mengenai pengaruh jumlah anggota kelompok terhadap
tingkat social loafing, serta agar peneliti mengetahui arah
hubungannya. Selain itu agar peneliti dapat mengetahui besar
sumbangan relatif dari “Ukuran Kelompok” terhadap tingkat social
loafing pada individu.
2. Bagi pembaca, penelitian ini diharapkan mampu memberikan
informasi (wawasan) tambahan, khususnya jika pembaca menjadi
salah satu anggota kelompok. Sehingga pembaca mampu untuk
meminimalisir kemunculan social loafing (yang akan berakibat negatif
bila hal itu terjadi dalam kelompok).
3. Diharapkan akan berguna untuk evaluasi dalam dunia pendidikan
(terutama mata kuliah Psikologi Humanistik) mengenai pemberian
tugas kelompok dan ukuran kelompok yang efektif dalam pengerjaan
tugas kelompok tersebut.

13
BAB II

Landasan Teoritis

14
BAB II
LANDASAN TEORI

II.1 KELOMPOK
11.1.1. Pengertian Kelompok
Individu-individu yang menempati suatu wilayah tertentu
merupakan suatu perkumpulan atau disebut dengan kelompok. Dengan
demikian bahwa kehidupan individu itu tidak terlepas dari kelompok, baik
dalam kehidupan kelompok yang kecil seperti ; keluarga, kelompok kerja,
maupun kehidupan kelompok yang besar seperti ; Masyarakat, bangsa dan
sebagainya
Kelompok ialah dua orang atau lebih yang mempunyai tujuan yang
sama, saling berinteraksi, saling adanya ketergantungan dalam mencapai
tujan bersama, adanya rasa kebersamaan dan memiliki, mempunyai
norma-norma dan nilai-nilai tertentu (http:
//elearning.unej.ac.id/courses/IKU1234b318/document/dinamika_part_II.ppt?

cidReq=IKU1234f841, )

Menurut Hernert Smith, kelompok adalah suatu unit yang terdapat


beberapa individu, yang mempunyai kemampuan untuk berbuat dengan
kesatuannya dengan cara dan atas dasar kesatuan persepsi
(http://www.google.com/search?
q=cache:Ap2VeOH2KwcJ:kawakib06.multiply.com/journal+pengertian).
Pengertian kelompok di atas secara singkat dapat diartikan bahwa
kelompok adalah suatu kumpulan dari orang-orang yang mengadakan
interaksi dengan sesamanya lebih sering daripada mereka mengadakan
interaksi yang bersifat perorangan. Jadi, setiap kelompok, masing-masing
individu mempunyai sikap dan tingkah laku yang sama dengan anggota
kelompok yang lain, sehingga semua anggota kelompok memiliki sikap
dan tingkah laku yang seragam.

15
II.1.2. Dinamika Kelompok
Diperlukan pengetahuan yang cukup tentang dinamika atau proses-
proses yang terjadi serta kemampuan kita untuk berperilaku secara efektif
dalam kelompok agar kelompok tetap berjalan secara efektif. Kedua hal
penting ini dapat dipelajari melalui pemahaman tentang dinamika
kelompok.
Dinamika kelompok sebenarnya adalah bagian dari ilmu
pengetahuan social yang lebih menekankan perhatiannya pada interaksi
manusia dalam kelompok yang kecil. Pada berbagai referensi, istilah
dinamika kelompok disebut juga dengan proses-proses kelompok (group
processes. Jelas dari terminology ini bahwa pengertian dinamika
kelompok ini menggambarkan semua hal atau proses yang terjadi dalam
kelompok akibat adanya interaksi individu-individu yang ada dalam
kelompok itu.
Studi mengenai interaksi antar individu dalam kelompok oleh para
ahli psikologi telah dimulai sejak awal tahun 1900-an. kemudian oleh Kurt
Lewin dikembangkan lebih dalam. Beliau menekankan bahwa untuk
mempelajari dan memahami tentang dinamika kelompok adalah dengan
dengan cara menerapkannya (Learning By Doing).
Fritz Heider, dalam Teori Keseimbangannya (Balance Theory)
yang membahas mengenai hubungan-hubungan antar pribadi menerangkan
bahwa individu-individu sebagai bagian dari struktur sosial cenderung
untuk menjalin hubungan satu sama lain. Dan menurutnya, salah satu cara
bagaimana suatu kelompok dapat berhubungan adalah dengan menjalin
komunikasi secara terbuka.
Pentingnya dinamika kelompok antara lain sebagai berikut
(http://elearning.unej.ac.id/courses/IKU1234b318/document/dinamika_part_II.ppt
?cidReq=IKU1234f841) :

 Dapat mempelajari cara-cara mengambil keputusan


 Dapat melihat adanya persepsi yang berbeda diantara anggota
kelompok

16
 Pengalaman dalam menciptakan kerja kelompok dapat dijadikan dasar
kerjasama antar unit
 Mempermudah dalam pengambilan keputusan
 Mempermudah dalam mencapai tujuan
Struktur dalam kelompok, pelaksanaanya dipengaruhi oleh sebagai
berikut :
1. Norma
 Aturan-aturan baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis
 Merupakan standar perilaku kelompok, terbentuk dan berkembang
secara formal dan non-formal
 Aturan juga merupakan struktur dalam organisasiyang dapat
menunjukkan perilaku dan dinamika
 Terbentuk dalam kelompok yang dinamis
 Menurut Muzafer Sherif, norma terbentuk melalui Frame of
Reference and Frame of Reference. Frame of Reference
merupakan norma berpikir, nilai yang digunakan sebagai acuan
untuk bertindak.
 Norma dapat berasal dari lingkungan. Namu, norma dapat juga
berasal dari hubungan timbal balik antar anggota (reciprocal antar
anggota)
 Informasi-informasi dapat mengubah opini anggota dan terbentuk
norma baru
2. Peran (Role)
 Peran (Role) digunakan dalam kaitan posisi (status) tertentu
 Role Ambiguity terjadi jika deskripsi tugas tidak jelas sehingga
menyebabkan moral kerja menjadi rendah, meninggalkan
pekerjaan
 Role Conflict yaitu pertentangan atau permusuhan karena peran
yang tidak jelas dari berbagai bagian atau orang dalam organisasi
 Intra Role Conflict yaitu konflik dalam kelompok karena peran
yang bertentangan antaranggota kelompok

17
II.1.3. Kelompok Yang Efektif
Secara umum, ada tiga hal yang menunjukkan efektif atau tidaknya
suatu kelompok, yaitu (http://library.usu.ac.id/download/fkm/fkm-linda3.pdf.) :
1. Kemampuan kelompok tersebut dalam mencapai tujuannya seoptimal
mungkin
2. Kemampuan kelompok dalam mempertahankan kelompoknya agar
tetap serasi, selaras, dan seimbang
3. Kemampuan kelompok untuk berkembang dan berubah sehingga dapat
terus meningkatkan kinerjanya
Kelompok yang berhasil akan mempunyai kualitas dan pola
interaksi antaranggota yang terintegrasi dengan ketiga kegiatan ini.
Ada beberapa hal pokok yang perlu diperhatikan dalam upaya
pembentukan kelompok, yaitu (http://library.usu.ac.id/download/fkm/fkm-
linda3.pdf.):

1. Adanya ketergantungan yang sifatnya positif (Positive


Interdependency)
yaitu suatu keadaan dimana setiap orang dalam kelompok saling
membutuhkan dan merasa berhasil atau tidaknya suatu pekerjaan
merupakan hasil bersama dan tanggung jawab bersama.
ketergantungan positif dapat dilihat dari persepsi positif terhadap
setiap anggota kelompok. selain itu, semua anggota selalu berusaha
agar keuntungan atau keberhasilan yang diperoleh dapat dinikmati oleh
seluruh anggota kelompok. kelompok yang mempunyai
ketergantungan positif yang tinggi akan mempunyai keterikatan atau
kohesi antar anggota yang tinggi pula.
2. Keandalan individu (Individual Accountability)
Keandalan individu dapat dilihat dari penampilan atau performance
seseorang. dalam upaya pembentukan kelompok, hal ini sangat penting
guna mengetahui kemampuan masing – masing anggota sehingga
dapat diidentifikasi yang mana perlu ditingkatkan, sejauhmana
kontribusi yang telah diberikan seseorang pada kelompok, apakah

18
kontribusi tersebut sudah sesuai dengan tanggung jawab yang yang
diberikan padanya.
Pengenalan terhadap kemampuan dan kontribusi anggota
kelompok sangat penting karena memungkinkan setiap orang dalam
kelompok mengetahui kontribusi masing-masing dalam kelompok,
memungkinkan saling menolong dalam menyelesaikan tugas-tugas
kelompok, dapat lebih memperjelas fungsi dan tanggung jawab
masing-masing anggota kelompok.
3. Interaksi langsung (Face to Face Interaction)
Interaksi secara langsung merupakan salah satu faktor yang
mempunyai pengaruh besar dalam mengupayakan pengembangan
kelompok yang efektif. dengan adanya interaksi langsung ini, maka
iklim kerja akan menjadi lebih baik dan sebagai dampaknya akan
meningkatkan produktivitas, moral dan efektivitas kerja kelompok
karena komunikasi antar kelompok lebih terbuka. Agar interaksi
langsung ini dapat terwujud, maka dianjurkan jumlah anggota dalam
kelompok tidak terlalu besar.
4. Keterampilan kerjasama (Collaboration Skills)
Kelompok tidak akan mungkin dapat berfungsi secara efektif tanpa
mempunyai keterampilan untuk bekerjasama. keterampilan ini perlu
dimiliki oleh anggota kelompok karena banyak orang yang tidak
menyadari bahwa sebenarnya dalam melaksanakan tugasnya, individu
tersebut merupakan bagian dari kelompok. berbagai studi mengenai
pentingnya kerjasama dalam kelompok menunjukkan bahwa dengan
mengumpulkan orang yang tidak mempunyai keterampilan
bekerjasama walaupun mereka mungkin cukup ahli dalam bidangnya
ternyata dalam menyelesaikan tugas kelompoknya banyak menemui
kesulitan.
5. Proses kelompok (Group Processes).
Proses kelompok merupakan hal penting diketahui dalam usaha
pencapaian hasil kerja kelompok yang optimal. Ada beberapa

19
keuntungan yang diperoleh dengan mempelajari proses-proses yang
terjadi dalam kelompok, antara lain dapat diketahui sejauhmana
kelompok sudah berfungsi, alternatif-alternatif strategi yang dapat
diambil dalam upaya perbaikan kerja kelompok.
Karakteristik kelompok yang efektif antara lain adalah
(http://elearning.unej.ac.id/courses/IKU1234b318/document/dinamika_part_II
.ppt?cidReq=IKU1234f841 ):

 Komunikasi dua arah


 Tujuan kelompok jelas dan diterima oleh anggota
 Partisipasi merata antar anggota
 Kepemimpinan didasarkan pada kemampuan dan informasi, buka
posisi dan kekuasaan
 Kesepakatan diupayakan untuk keputusan yang penting
 Kontroversi dan konflik tidak diabaikan, diingkari atau ditekan
 Kesejahteraan anggota tidak dikorbankan hanya untuk mencapai
tujuan
 Secara berkala anggota membahas efektivitas kelompok dan
mendiskusikan cara memperbaiki fungsinya
Kelompok yang efektif antara lain (Yuwono, dkk. 2005 : 222) :
1. Adanya solidaritas antaranggota
2. Saling batu dan mengisi, anggota berpartisipasi
3. Memperlihatkan kepuasan
4. Kebanyakan keputusan dicapai dengan suatu konsesus dimana menjadi
jelas bahwa setiap anggota dapat menerima, dan menyetujui dan mau
ikut serta
5. Saling mendengarkan dan ada keterbukaan (tidak banyak sikap, main
sembunyi atau malu)
6. Kritik sering terjadi, terus terang dan enak, sedikit tanda serangan
pribadi baik secara terbuka maupun tersembunyi (kritik bersifat
konstruktif)

20
Kelompok yang tidak efektif mempunyai ciri-ciri sebagai berikut
(Yuwono, dkk. 2005 : 223) :
1. Saling tidak menyetujui, sehingga suasana menjadi tegang dan kaku
2. Adanya penolakan-penolakan yang berkepanjangan
3. Tidak mau membantu di antara sesama anggota
4. Menarik diri, sehingga anggota menjadi pasif dan statis
5. Menjatuhkan kawan sendiri karena ingin menonjol sendiri
6. Sikap berjaga-jaga dan saling mencurigai (berprasangka buruk

II.2 TINJAUAN SOCIAL LOAFING


II.2.1. Pengertian Social Loafing
Keyakinan orang-orang terdahulu tentang “many hands make
lights the work”, memiliki dua arti. Pertama, yaitu semakin banyak orang
yang membantu atau terlibat dalam suatu pekerjaan maka hasil yang
diperoleh akan semakin bagus atau meningkat daripada bila dikerjakan
seorang diri. Jadi, semakin banyak individu maka semakin banyak ide dan
pemikiran yang akan mendukung terciptanya hasil yang lebih berkualitas
(Greenberg & Baron, 1997: 266-267). Alasan inilah yang akhirnya
membuat kita sering menggunakan kelompok atau tim untuk
meningkatkan produktivitas, baik kualitas maupun kuantitas.
Kedua, dalam kehidupan sosial keyakinan tersebut diartikan bahwa
manusia dapat lebih mudah memenuhi tujuan-tujuan mereka dengan cara
bekerja bersama-sama (Latané, dkk, 1979: 822). Ketika banyak tangan
yang terlibat, individu tidak harus bekerja keras seperti bila individu
tersebut bekerja sendirian. Namun, sayangnya definisi yang kedua ini bisa
memunculkan arti bahwa ketika banyak orang yang terlibat dalam suatu
pekerjaan, maka mengakibatkan individu akan menjadi lebih malas
daripada bekerja seorang diri.
Penelitian Max Ringelmann menjelaskan sebuah fenomena yang
disebut dengan social loafing (keengganan sosial). Social loafing, menurut
Ringelmann dalam Ratzburg (2002), berarti penurunan usaha individu atau

21
seseorang ketika ia bekerja dalam kelompok dibandingkan dengan ketika
ia bekerja seorang diri, seiring dengan bertambahnya jumlah anggota
kelompok atau ”ukuran” kelompok tersebut (www.findarticle.com)
bekerja di bawah kapasitas maksimal dan tidak bekerja sekeras ketika
bekerja sendiri (Wheelan, 1994: 102).
Social loafing berada dalam konteks aktivitas kelompok yaitu
produktivitas adalah jumlah keseluruhan dari kerja anggota kelompok
(Tedeschi, dkk, 1982: 337). Oleh karena itu, bertambahnya jumlah
individu dalam kelompok akan memberi kesempatan pada individu untuk
”bersembunyi” dalam kelompok. Semakin besar jumlah individu yang
terlibat dalam penyelesaian tugas kelompok maka akan semakin kecil
kontribusi masing-masing individu (www.findarticles.com).
Definisi social loafing menurut Latané dkk (1979) adalah
kecenderungan anggota kelompok untuk menurunkan usahanya seiring
dengan peningkatan jumlah anggota kelompok seperti yang ditunjukkan
dengan kecenderungan untuk menyia-nyiakan waktu ketika bekerja dalam
kelompok, tidak mengikuti pertemuan, perilaku terlambat, atau gagal
untuk menyelesaikan tugas individualnya
(http://uky.edu/~drlane/capstone/group/socloaf.html, 2000).
Social loafing adalah fenomena dimana individu kurang bekerja
keras atau malas daripada ketika mereka bekerja sendiri, yang diakibatkan
oleh kontribusi individu pada suatu aktivitas kolektif tidak dapat
dievaluasi (Taylor, dkk, 2000:291).
Jadi, social loafing adalah suatu kecenderungan dimana individu
dalam kelompok akan menjadi malas atau menurunkan usahanya dalam
bekerja seiring dengan bertambahnya jumlah anggota kelompok,
dibandingkan ketika ia bekerja sendiri.

II.2.2. Faktor-faktor Penyebab Social Loafing


Stroebe dan Frey (1982) dalam Wilke & Meertens (1994: 30-31)
mengemukakan bahwa pada social loafing telah terjadi dua penurunan,

22
yaitu motivation losses dan coordination losses. Motivation losses adalah
kecenderungan untuk membiarkan orang lain melaksanakan pekerjaan
sementara kontribusi individu tidak dapat diidentifikasi dan bahwa yang
dilihat adalah produk keseluruhan sehingga memberikan kesempatan pada
anggota kelompok untuk tidak memberi sumbangan secara penuh.
Coordination losses yaitu kelompok individu tidak memiliki tujuan atau
sasaran yang sama dan atau mungkin masing-masing individu tidak
mengeluarkan potensinya pada saat yang sama.
Studi lain yang dilakukan oleh Albanese dan Fleet (1985)
menjelaskan adanya kecenderungan manusia untuk memperoleh
keuntungan dari keanggotaan kelompok yang tidak sebanding dengan
upaya menanggung pengorbanan dari keuntungan tersebut.
Kecenderungan untuk lalai dan bekerja di bawah standard andil seseorang
dapat dinetralkan oleh norma-norma keadilan dalam kelompok, namun
juga free rider (orang yang tidak melakukan usaha apapun dalam
penyelesaian tugas kelompok) dapat menghindari pelaksanaan norma
keadilan dalam kelompok atau jika norma-norma tersebut lemah, maka
social loafing dapat berpengaruh secara nyata terhadap efektivitas
kelompok. Bagaimanapun juga, ketika kontribusi setiap anggota dapat
terlihat secara jelas, dan khususnya ketika kontrol terhadap kinerja
individu berjalan, maka perilaku ”free rider” cenderung akan menurun.
Social loafing kebanyakan terjadi dalam kelompok yang baru atau
kelompok yang bersifat temporer, dimana tingkat penggolongannya tidak
tinggi (Miner, 1992: 185). Individu juga cenderung akan melakukan social
loafing ketika bekerja dengan orang-orang yang tidak dikenal dengan baik
(Baron & Byrne, 2000: 492).
Beberapa sebab lain munculnya social loafing menurut Karau dan
Williams (1993) dalam Gedeon (2002):
1. Ukuran kelompok yang lebih besar.
Penelitian Ringelmann (1913), menjelaskan bahwa seiring
bertambahnya jumlah orang dalam sebuah kelompok penarik tali,

23
kekuatan total yang digunakan oleh kelompok meningkat, namun
kekuatan rata-rata yang digunakan oleh setiap anggota kelompok
berkurang. Hasil penelitian ini selanjutnya disebut dengan Ringelmann
Effect (lihat Gambar 1). Ringelmann Effect menggambarkan
perbandingan terbalik antara ukuran sebuah tim dan besarnya
kontribusi setiap anggota kelompok pada penyelesaian tugas.

Pada tahun 1973, Bib Latané, Kipling Williams, dan Stephen


Harkins mengadakan studi tentang social loafing (Latané, dkk1979:
822-832). Dalam studi tersebut, partisipan diminta untuk bersorak atau
bertepuk tangan sekeras mungkin semampunya. Setiap individu
melakukannya dalam beberapa kesempatan, kesempatan pertama
individu melakukan sendirian, kedua dengan seorang partisipan yang
lain, dan terakhir dengan lima orang rekan yang lain. Pada setiap
kasus, peneliti merekam suara yang dihasilkan oleh masing-masing
individu. Selanjutnya seluruh subjek memakai headset dan kain
penutup mata sehingga masing-masing individu tidak dapat
mengetahui apa yang dilakukan oleh partisipan lain dalam kelompok.
Hasilnya adalah kelompok melakukan social loafing, yaitu usaha
individu menurun secara drastis seiring bertambahnya jumlah anggota
kelompok (Lihat Gambar 2).

24
Penelitian lain yang dilakukan oleh Alan Ingham (1974) (dalam
Ingham dkk, 1974: 371-384; Latané, 1979: 825) terhadap 100 orang
mahasiswa. Subjek diminta untuk menarik tali sekuat mungkin
semampunya. Mata subjek ditutup dan masing-masing dari subjek
mendapatkan informasi bahwa individu akan menarik tali sendirian
atau dengan satu sampai lima orang di belakangnya. Padahal
kenyataannya individu selalu menarik sendirian selama eksperimen
tersebut. Dari penelitian ini, diketahui bahwa ketika mahasiswa yakin
bahwa individu menariknya dengan orang lain, usaha individual subjek
secara signifikan lebih rendah atau berkurang. Individu menggunakan
hanya 82% usaha daripada usaha saat individu menarik seorang diri,
ketika individu mengira ada dua orang yang berada di belakangnya.

25
Usaha individu menjadi 78% ketika individu yakin bahwa individu
menarik tali dengaan dibantu lima orang di belakangnya.
2. Individu-individu dapat ”bersembunyi” dalam keramaian dan tidak
mau memikul kesalahan atau kinerja yang buruk atau
ketidakikutsertaannya.
3. Para anggota merasa bahwa input mereka bukan hal yang pokok atau
sangat mendasar bagi sebuah produk kelompok yang berkualitas tinggi
(khususnya ketika ada kelebihan dalam tugas).
4. Individu-individu berharap orang lain menjadi lambat dalam
kelompok, dan oleh karena itu, mengurangi usaha mereka untuk
mencapai keadilan. Sebaliknya, ketika mereka merasa bahwa kinerja
rekan kelompoknya buruk maka mereka akan bekerja lebih keras.
5. Individu tidak melihat hasil kerjanya sebagai sesuatu yang berarti bagi
dirinya sendiri (hanya bekerja demi melunasi kewajiban).
6. Sikap rekan kerja yang negatif terhadap tugas atau hasil kerja individu.
7. Adanya kontrol yang kurang dan tidak ada reward bagi individu dalam
kelompok.
8. Individu secara umum cenderung tidak melihat hasil kolektif sebagai
sesuatu yang penting. Hasil kelompok dianggap sebagai sesuatu yang
tidak penting (lihat Gambar 3).
9. Tugas atau proses tidak menyediakan informasi yang relevan dengan
self-evaluation (evaluasi diri) individu, atas self-image, identitas,
validasi, ddan perasaan berharga, khususnya yang berhubungan
dengan orang lain.
10. Sebagian besar individu bersifat hedonis, yaitu jika individu tahu
bahwa mereka memiliki rekan kerja yang tergolong ”orang yang rajin”
yang dapat melakukan pekerjaan, maka individu tersebut menjadi
malas.
11. Tugas yang berulang-ulang, biasa, atau yang membosankan untuk
dikerjakan.

26
Penemuan Latané dkk (1979: 829-830) dalam penelitiannya, ada
tiga penyebab terjadinya social loafing:
1. Atribusi dan keadilan. Hal ini memungkinkan partisipan
mengikutsertakan sebuah proses atribusi yang salah, dalam usaha
pencapaian pembagian kerja yang adil. Ada tiga hal yang mengarahkan
individu untuk mempunyai anggapan yang salah. Pertama, individu
menilai hasil kerja mereka lebih besar daripada rekannya. Kedua,
penurunan kinerja akan menyebabkan hasil kelompok tampak lebih
rendah daripada penjumlahan dari kinerja masing-masing individu.
Ketiga, persepsi terhadap hasil kerja kelompok seharusnya kurang dari
hasil yang sebenarnya. Faktor ini bisa menyebabkan individu percaya
bahwa partisipan yang lain memiliki motivasi yang lebih rendah atau
kurang terampil daripada individu tersebut. Partisipan yang lain
dianggap sebagai orang yang suka melalaikan pekerjaan atau tidak
berkompeten. Jadi, perbedaan dalam persepsi tentang hasil kerja
mungkin diatribusikan secara salah sehingga mengantarkan individu
untuk menurunkan produktivitasnya dalam kelompok karena tidak ada
alasan untuk bekerja keras guna membantu orang yang suka
melalaikan pekerjaan atau orang yang tidak berkompeten tersebut.
Selain itu, jika individu berpikir bahwa rekan kerja yang lain bermalas-

27
malasan, bila dipandang dari prinsip keadilan, maka individu tersebut
sebaiknya mengurangi usahanya pula (Jackson & Harkins, 1985;
dalam Deaux & Wrightsman, 1988: 417).
2. Pembuatan tujuan yang kurang maksimal. Partisipan mendefinisikan
kembali pekerjaannya dan mengadopsi sebuah tujuan, namun hanya
untuk mencapai hasil yang sama dengan atau kurang dari standard
yang telah terdefinisi dengan baik.
3. Memperkecil kemungkinan antara input dan hasil. Partisipan merasa
bahwa mungkin input dan outputnya berkurang ketika bekerja dalam
kelompok. Menurut Davis (1969), individu dapat ”bersembunyi dalam
keramaian” dan menghindari dampak negatif dari berkurangnya input
dan output tersebut, atau individu merasa ”hilang dalam keramaian”
dan tidak mampu untuk memperoleh pembagian yang adil atas dampak
positif dari bekerja keras.
Green mengemukakan tiga hal yang menjelaskan tentang ”loafing”
(Hodson, 2001: 92):
1. Keadaan output, anggota kelompok mengira rekan yang lain bermalas-
malasan dan begitu juga individu itu sendiri untuk menghindari
kemungkinan menjadi seseorang yang akan mengerjakan seluruh
tugas.
2. Ketakutan akan evaluasi, anggota kelompok mungkin tidak dikenal
dan oleh karena itu tidak akan diminta untuk menjelaskan kinerja antar
anggota kelompok. Tidak ada yang memonitor kinerja individu dan
tidak ada yang dapat bertanggung jawab. Hal ini mungkin karena tugas
tersebut tergolong membosankan atau memiliki tujuan yang kurang
nyata.
3. Pencapaian standar, anggota kelompok tidak memiliki indikasi
standard hasil pekerjaan yang diinginkan. Jika kriteria penyelesaian
tugas tidak jelas, maka kemungkinan akan terjadi loafing (bermalas-
malasan).

28
Kecenderungan seseorang untuk melakukan social loafing juga
dipicu oleh beberapa faktor di bawah ini (Forsyth, 1999: 289-290):
a. Anonimitas dan penurunan evaluasi. Individu mengerjakan tugas-tugas
yang mudah seringkali bekerja lebih keras ketika seorang observer
yang mengevaluasi melihat kerja individu, namun ketika kontribusi
individu tersembunyi (anonimitas) dari evaluasi orang lain maka ia
sering mengurangi usahanya. Social loafing muncul ketika individu
mengetahui dan menyadari bahwa kontribusi uniknya tidak dapat
dievaluasi oleh yang lain (Carl, 2003). Sosik dkk, menjelaskan tentang
anonimitas yang juga mengakibatkan penerimaan kelompok yang
rendah dan menurunkan tingkat kepuasan atas pekerjaan, seingga
dapat menimbulkan social loafing.
(http://www.gv.psu.edu/content140.htm).
b. Tugas-tugas kolektif sebagai dilema sosial. Anggota kelompok
mempunyai dilema antara membantu kelompok untuk mencapai
tujuan-tujuannya dengan keinginannya untuk konsentrasi pada tujuan
personalnya. Sehingga melakukan free-ride (bekerja dibawah
pembagian kerja, walau masih ada pembagian yang sama dalam
reward kelompok). Free-ride meningkat ketika anggota kelompok
takut bila rekan kerja mereka juga bersembunyi.
c. Ilusi tentang produktivitas. Kecenderungan individu untuk merasa
yakin bahwa kelompoknya telah bekerja secara efektif.
Social loafing juga berkaitan dengan jenis kelamin dan budaya
tempat tinggal individu tersebut. Dalam penelitian Karau & Williams
(1993), diperoleh hasil bahwa pekerja yang berjenis kelamin perempuan
memiliki kemungkinan yang lebih kecil untuk melakukan social loafing
daripada yang berjenis kelamin laki-laki. Orang yang hidup dalam
kebudayaan timur (kebudayaan kolektivis) kecil kemungkinan akan
melakukan social loafing daripada orang yang hidup dalam kebudayaan
barat (budaya individualis).
(http://loki.lokislabs.org/weblog/archives/2003/09/10/social_loafing_free_

29
riding_and_online_communities.php). pengaruh budaya negara terhadap
social loafing juga ditemukan dalam penelitian yang dilakukan oleh Farah
(1993), yang menunjukkan bahwa kinerja pelajar yang berasal dari
Yordania lebih baik ketika bekerja secara kolektif daripada bekerja
sendirian. (http://www.highbeam.com).
Pendapat Karau & William tersebut, didukung oleh Earley (1989)
dalam penelitiannya yang membandingkan antara orang Amerika (budaya
individualis) dan orang Cina (budaya kolektivis) menunjukkan bahwa
(http://amadeus.management.mcgill.ca/~mark.mortensen/orgweb/summari
es/gsb/content/Earley.html):
a. Social loafing terjadi pada orang-orang Amerika (individualistik),
bukan orang Cina (kolektivis).
b. Orang-orang dalam budaya kolektivis akan memunculkan kinerja yang
lebih baik ketika bekerja dalam kelompok daripada ketika bekerja
sendiri.
c. Pembagian tanggung jawab memiliki dampak yang berbeda
berdasarkan budaya: orang yang individualis bekerja lebih baik dalam
kondisi pembagian tanggung jawab kerja yang rendah, terutama bila
hasil kerjanya bisa dinilai dan dihitung. Orang yang kolektivis bekerja
lebih baik ketika dalam kondisi pembagian tanggung jawab kerjanya
tinggi dan memiliki level rendah pada penilaian hasil kerja.
Pengaruh budaya yang begitu besar pada social loafing,
mendorong McFarlin (2001), memberi saran kepada perusahaan-
perusahaan bisnis yang berlevel internasional yang ingin mengurangi efek
dari social loafing, untuk mempertimbangkan perbedaan budaya dan latar
belakang di kalangan pekerja
(http://dayton.bizjournals.com/dayton/stories/2001/07/09/smallb3.html).
Liden dkk (2004) mengemukakan bahwa social loafing bisa terjadi
pada dua level. Pertama, adalah level individu, social loafing diakibatkan
oleh meningkatnya ketergantungan tugas antar individu, ketidakjelasan
tugas, dan ketidakadilan dalam pembagian tugas. Kedua, pada level

30
kelompok, social loafing disebabkan oleh meningkatnya ukuran kelompok
dan menurunnya kohesivitas
(http://www.journalofmanagement.org/2004_journal_abstracts.php).
Ketidakadilan distribusi kerja memiliki hubungan terbalik dengan
kepuasan kerja. Semakin tidak adil distribusi kerjanya maka pekerja
semakin memiliki kepuasan kerja yang negatif, maka besar kemungkinan
individu tersebut memunculkan social loafing(Dillon’s 2001).
Besarnya ukuran kelompok yang ideal ditentukan oleh jenis dan
tujuan kelompok (Katzenbach dan Smith 1999; Speck 2002). Untuk
kelompok mahasiswa, ukuran yang ideal adalah 4 sampai 7 orang
(Cockriel 2001). Hasil riset menunjukkan bahwa semakin besar ukuran
sebuah kelompok maka semakin besar pula kecenderungan terjadinya
social loafing. Social impact theory (Latane & Nida 1980) menjelaskan
bahwa social loafing terjadi pada kelompok yang jumlah anggotanya
cukup besar, alasannya karena ada banyak orang terlibat dalam suatu
pekerjaan, sehingga anggota kelompok kurang memiliki tanggungjawab
individu. Semakin besar kelompok, semakin sulit memonitor dan
mengevaluasi pekerjaan tiap individu. Seseorang akan memberikan hasil
maksimal jika dievaluasi secara perorangan, sementara jika semakin besar
jumlah orang dalam menyelesaikan sebuah pekerjaan, maka kontribusi
setiap individu juga akan semakin kecil.
Jadi, secara singkat dapat dirumuskan faktor-faktor yang
menyebabkan terjadinya social loafing:
1. Jumlah anggota yang besar,
2. Tidak memungkinkannya dilakukan evaluasi,
3. Perbedaan persepsi tentang hasil kerja yang diatribusikan secara salah
sehingga mengantarkan dirinya untuk menurunkan usaha,
4. Keinginan atas keadilan,
5. Tugas yang berulang-ulang, biasa, atau membosankan,
6. Free-ride yaitu kecenderungan untuk mendompleng pada rekan kerja
yang dianggap lebih mampu,

31
7. Adanya sikap negatif dari rekan kerja atas hasil ekrja individu,
8. Individu menganggap hasil kerja dan hasil kelompok tidak penting,
9. Tujuan yang kurang jelas, serta
10. Tidak adanya standard hasil kerja yang jelas sehingga bekerja
hanyalah sekedar memenuhi kewajiban
11. Jenis kelamin,
12. Budaya kolektivis ataukah individualis

II.2.3. Faktor-Faktor yang Dapat Mengurangi Social Loafing


Dari penjelasan tentang penyebab munculnya social loafing,
memungkinkan untuk membuat strategi untuk menghindari social loafing.
Menurut Green (1991) dalam Hodson (2001: 91), keterlibatan personal,
tugas yang bermakna, kompetisi dalam kelompok, dan memungkinkannya
identifikasi kinerja per individu akan membantu dalam upaya menghindari
terjadinya social loafing.
Penelitian Ringelmann dalam Ratzburg (2002) menghasilkan
beberapa pernyataan tentang faktor-faktor yang dapat mengurangi
kemungkinan terjadinya social loafing (www.findarticles.com). Faktor-
faktor tersebut adalah sebagai berikut:
1. Umpan balik kerja (Job feedback)
Pekerjaan yang dilakukan secara nyata dapat memberikan umpan balik
pada individu, sehingga individu menerima pujian atau kesalahan atas
hasil kerja yang telah mereka berikan pada kelompok.
2. Tugas-tugas yang unik dan menantang (Skill variety)
Hal ini sesuai dengan teori motivasi yang membahas tentang
karakteristik pekerjaan. Secara umum, telah ditunjukkan bahwa
manusia termotivasi oleh pekerjaan yang menarik (variasi, signifikan,
dan unik). Jika termotivasi, maka manusia cenderung tidak akan
melakukan social loafing.
3. Tugas-tugas yang penting (Task significance)

32
Hal ini juga berkaitan denga teori Hackman dan Oldham yang
mengemukakan bahwa task significance (penting tidaknya suatu
pekerjaan; tingkat dimana pekerjaan tersebut berpengaruh pada
kelangsungan hidup orang lain, organisasi, dan lingkungan sekitar)
meningkatkan motivasi bekerja.
4. Keterlibatan individu
Kemungkinan terjadinya social loafing akan berkurang jika individu
merasa ikut terlibat dalam kesuksesan penyelesaian tugas kelompok.
5. Output teridentifikasi
Individu cenderung tidak akan melakukan social loafing ketika secara
personal individu memperoleh keuntungan dari hasil kelompok dan
memperoleh reward atas kerja yang telah dilakukannya.
6. Motivasi berprestasi yang tinggi
Motivasi kerja yang tinggi, akan menurunkan kemungkinan seseorang
karyawan menjadi seorang yang melakukan social loafing.
Hal-hal yang dapat mengurangi kemungkinan munculnya social
loafing di atas tidak berbeda jauh dengan faktor-faktor sebagai berikut
(Forsyth, 1999:291-294):
1. Meningkatkan keterlibatan personal. Social loafing tidak akan terjadi
dengan meningkatkan andil setiap anggota dalam hasil kelompok.
2. Tugas-tugas tersebut sangat berarti dan adanya compensation effect
yaitu individu mengira bahwa kemampuan rekan kerjanya kecil atau
lebih rendah dibanding kemampuan individu tersebut.
3. Minimalisasi free-ride. Kemalasan akan berkurang jika kontribusi
individu bersifat unik dan mendasar bagi kesuksesan kelompok, serta
membuat kelompok yang berukuran lebih kecil. Selain itu, ketika
anggota yakin bahwa orang lain dan dirinya sendiri mampu dan
bersedia untuk memberikan kontribusinya pada kelompok.
4. Klasifikasi tujuan kelompok. Anggota tidak akan malas ketika
mempunyai standard yang jelas sehingga dapat digunakan untuk

33
mengevaluasi kualitas hasil kerja individu dan kelompok. Selain itu,
tujuan yang jelas akan merangsang proses peningkatan produksi.
5. Membuat standard yang tinggi. Pembuatan tujuan yang optimis dari
kesuksesan kelompok menantang anggota untuk bekerja lebih keras
dan memperbaiki kinerjanya.
6. Meningkatkan collective efficacy. Kemalasan akan berkurang jika
individu memiliki harapan-harapan yang tinggi atas kesuksesan
kelompok dan individu merasa bahwa tujuan yang dicari tersebut
adalah satu hal yang berharga.
7. Meningkatkan persatuan. Kemalasan akan berkurang pada orang-orang
yang lebih kolektivis, daripda orang-orang yang lebih tertarik dalam
mengejar tujuan-tujuan individualnya.
Baron dan Byrne (2000) memberikan beberapa solusi untuk
mengurangi kemungkinan terjadinya social loafing (Baron & Byrne,
2000: 492):
a. Kelompok dapat merencanakan cara untuk membuat hasil kerja dan
usaha masing-masing individu dalam kelompok secara pasti dapat
diidentifikasi.
b. Kelompok dapat meningkatkan komitmen anggota untuk penyelesaian
tugas dengan sukses.
c. Kelompok meningkatkan tingkat pentingnya atau nila dari tugas secara
jelas.
d. Individu memandang kontribusinya pada tugas kelompok sebagai
sesuatu yang unik daripada hanya duplikasi dari orang lain.
Penggunaan reward dan hukuman dalam proses mengurangi
munculnya social loafing juga bisa digunakan. Memberikan reward pada
individu yang telah memberikan kontribusinya dan kinerja yang baik pada
hasil kelompok akan membuat individu merasa dihargai dan terdorong
untuk bekerja lebih keras. Disamping itu, ancaman hukuman juga bisa
diberdayakan karena pada kenyataanya kunci dari social loafing adalah
pelaku social loafing (social loafer) tidak merasa takut dan tidak merasa

34
khawatir dievaluasi
(http://www.changingminds.org/explanations/theories/social_loafing.htm).
Namun pada penelitian lain yang dilakukan oleh Jill Kunishina dan Kasi
Welte (2003) menunjukkan hasil yang sebaliknya. Ancaman hukuman
hanya bersifat meningkaykan produktivitas, tetapi tidak mengurangi
terjadinya social loafing
(http://www.jyi.org/volumes/volume10/issue3/articles/ kunishima.html).
Jadi, untuk mengurangi kemungkinan terjadinya social loafing
adalah memberikan kesempatan pada anggota kelompok untuk turut
merasa memiliki (belongingness) kelompok dan terlibat secara aktif dalam
kelompok; memastikan bahwa pekerjaan yang diemban oleh pekerja
bersifat unik dan menantang; dan pekerjaan tersebut berpengaruh pada
kelangsungan hidup individu itu sendiri, organisasi dan lingkungan sekitar.

II.2.4. Social Loafing sebagai Penyakit Sosial dan Dampaknya


Meskipun beberapa orang tetap berpikir bahwa ilmu pengetahuan
sebaiknya bebas nilai, Latané dkk (1979) harus mengakui bahwa social
loafing dapat digolongkan sebagai salah satu penyakit sosial. Disebut
”penyakit” karena social loafing dapat berakibat negatif pada individunya,
lembaga sosialnya, dan masyarakatnya. Social loafing menghasilkan suatu
pengurangan dalam segala bidang, misalnya ketidakakuratan dalam analisa
pekerjaan (Morgeson & Campion, 1997: 627-655). Dikatakan ”sosial”
karena social loafing dihasilkan dari adanya kehadiran atau tindakan orang
lain. (Latané, dkk, 1979: 831-832).
Dampak adanya fenomena social loafing bagi kelompok adalah
akan membuat rendahnya prestasi kelompok (West, 1994: 5). Eksperimen
pertama yang dilakukan oleh Latané dkk menjelaskan bahwa akibat dari
munculnya social loafing adalah menurunnya produk kelompok karena
ketidakefisienan kelompok tersebut (www.faculty.babson.edu). Dalam
kelompok brainstorming, menurunnya produk ditandai dengan
menurunnya jumlah ide yang dihasilkan oleh kelompok (Basden dkk,

35
1997: 1176-1189). Hal ini jelas akan mempengaruhi keefektifan kerja
kelompok, yang mana diharapkan bahwa dengan kerja kelompok akan
menghasilkan output yang lebih besar dan mencapai hasil yang diinginkan
daripada individu bekerja sendirian.
Studi electronic brainstorming (EBS) yang dilakukan oleh
Shepperd dkk (1996), menunjukkan bahwa social loafing dapat
mengurangi produktivitas EBS kelompok, yang pada akhirnya akan
mengakibatkan menurunnya kualitas ide kelompok. Hal ini dapat diatasi
dengan menggunakan teknik fasilitasi dari social comparison
(http://jmis.bentley.edu/articles/v12_n3_p155).
Dampak social loafing bagi individu secara personal ditunjukkan
pada fakta yang diperoleh dari eksperimen yang dilakukan oleh Mulvey,
Bowes-Sperry, dan Klein (1998) dalam William Welter (2000). Hasil
penelitian yang dilakukan terhadap 51 partisipan yang tergolong dalam
kelompok pekerja keras (hardworking) dan kelompok pekerja yang
”enggan Kesimpulannya adalah social loafing merupakan suatu penyakit
sosial yang muncul karena adanya kehadiran orang lain dan akan
menimbulkan pengaruh yang negatif bagi individu, organisasi dan
lingkungan sekitarnya.

II.2.5. Kemunculan Social Loafing


Merujuk pada definisi social loafing yang telah dibahas
sebelumnya, maka bisa disimpulkan bahwa kemunculan social loafing
adalah muncul atau timbulnya perilaku malas atau penurunan usaha yang
dilakukan” (loafer) adalah kelompok dengan pekerja yang ”enggan”
memiliki kepuasan individu yang lebih rendah daripada kelompok pekerja
keras. Begitu juga pada produktivitas individunya, hasilnya adalah
kelompok pekerja yang ”enggan” memiliki produktivitas yang lebih
rendah dibandingkan kelompok pekerja keras.
Kemunculan tersebut bisa berupa seperti perilaku-perilaku menyia-
nyiakan waktu ketika kinerjanya diperlukan oleh kelompok, perilaku

36
terlambat, tidak mengikuti pertemuan atau bersikap pasif dalam diskusi,
atau gagal menyelesaikan tugas-tugasnya
(http://www.uky.edu/~drlane/capstone/group/socloaf.html, 2000).
Munculnya perilaku social loafing seperti bersikap pasif dalam
diskusi mengakibatkan semakin sedikit ide-ide yang diproduksi karena
adanya dorongan untuk membiarkan orang lain (yang dianggap lebih
mampu) bekerja untuk memenuhi produk kelompok dan ketakutan atas
evaluasi negatif dari rekan yang lain (Wike & Meertens, 1994:40).

II.3 VARIABEL-VARIABEL EXTRA


II.3.1 Variabel Kontrol
II.3.1.1 Jenis Tugas
Jenis tugas telah diketahui sebagai salah satu faktor yang ikut
mempengaruhi kemunculan social loafing. Tugas kelompok yang dapat
dikategorikan sebagai tugas yang sulit (unik dan menantang) akan lebih
kecil memunculkan social loafing pada individu-individu anggotanya.
Sebaliknya, tugas yang membosankan dan diberikan secara berulang-ulang
akan semakin mendukung munculnya social loafing pada individu.
Kontrol yang dilakukan oleh eksperimenter terhadap variabel jenis tugas
ini adalah dengan menyamakan jenis tugas pada masing-masing individu.
Yakni dengan pemberian tugas dengan tingkat yang ’tidak sulit’ atau
dengan kata lain mudah dan jumlah yang banyak sehingga memungkinkan
untuk dibagikan pada tiap anggota. Yang dimaksud ’mudah’ disini adalah
bahwa soal dalam tugas itu meminta jawaban yang semuanya tersedia
pada buku yang menjadi referansi mata kuliah itu. Tipe tugas yang
diberikan ini (mudah dan jumlah banyak) digunakan dalam eksperimen
karena social loafing potensial terjadi pada pengerjaan tugas-tugas yang
membosankan (tidak menantang dan tidak unik). Dengan penyamaan tipe
ini diharapkan agar tidak mempengaruhi hasil pengukuran antara
perlakuan pertama dengan hasil pengukuran pada perlakuan kedua.

37
II.3.1.2 Gender
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Karau dan Willams (1993)
menunjukkan bahwa gender ikut mempengaruhi tingkat social loafing. Hal
penelitian itu memperlihatkan bahwa wanita memiliki kemungkinan yang
lebih kecil untuk melakukan social loafing dibandingkan laki-laki. Hal ini
mungkin menjelaskan teori yang mengatakan bahwa wanita adalah
individu yang kooperatif dan laki-laki adalah indiviu yang kompetitif.
Sehingga wanita bila bekerja dalam kelompok akan lebih efektif
dibandingkan bila laki-laki digabungkan menjadi kelompok. Sebaliknya
laki-laki akan bekerja keras bila bekerja dalam menyelesaikan tugas
individu dimana kebutuhan aktualisasi akan dapat tercapai dalam
penyelesaian tugas individu. Bentuk kontrol yang dilakukan eksperimenter
yakni dengan memberikan perlakuan hanya kepada populasi jenis kelamin
laki-laki dimana social loafing lebih banyak muncul pada anggota
kelompok yang berjenis kelamin laki-laki.

II.3.1.3 Peran masing-masing individu


Social loafing kemungkinan besar terjadi pada kelompok yang
masing-masing anggotanya tidak jelas perannya. Ataupun perannya
bukanlah peran yang sifatnya menentukan (vital) dalam kelompok.
Individu yang memiliki peran hanya sebatas ’anggota’ akan lebih mungkin
melakukan social loafing dibandingkan dengan individu yang menjadi
wakil koordinator. Jadi peran yang unik dan vital akan memperkecil
kemungkinan individu melakukan social loafing. Bentuk kontrol yang
dilakukan eksperimenter terhadap variabel ini adalah berupa penyamaan
peran tiap anggota. Karena perilaku social loafing ini memiliki peluang
lebih besar akan muncul pada individu bila individu tersebut memiliki
peran yang tidak atau kurang vital (kurang unik ataupun kurang penting)
terhadap. Yakni setiap anggota kelompok memiliki peran sebagai
’anggota’, dengan kata lain tidak ada yang berperan sebagai koordinator,

38
leader, sekretaris, bendahara, pengatur strategi, manajer ataupun peran-
peran lain yang lebih vital dalam sebuah organisasi.

II.3.1.4 Budaya Kolektivis atau Individualis


Sebuah teori mengatakan bahwa individu-individu yang menganut
budaya individualis memiliki kemungkinan lebih besar untuk melakukan
social loafing. Sebaliknya individu-individu penganut budaya kolektivis
diketahui akan bekerja lebih baik dalam tugas itu dilakukan bersama-sama.
Individu-individu penganut budaya individualis cenderung berusaha lebih
keras dalam tugas individu dibandingkan tugas kelompok. Begitu pula
sebaliknya yang terjadi pada individu-individu yang menganut budaya
kolektivis, performa mereka akan lebih maksimal dalam pengerjaan tugas
kelompok. Bentuk kontrol yang dilakukan oleh eksperimenter adalah
bentuk tidak langsung, yakni karena kemudahan (dekat dan murah), maka
eksperimen ini menggunakan subjek orang-orang Indonesia (budaya
Timur, menganut paham kolektivisme). Diasumsikan setiap orang
menganut paham yang sama. Sehingga dapat disamakan persepsi setiap
subjek mengenai kelompok.

II.3.1.5 Tujuan Kerja


Setiap kelompok yang dibentuk akan mempunyai tujuan. Bahkan
kelompok yang kegiatannya hanya bergosip pun itu sebenarnya
mempunyai tujuan. Walaupun tujuannya memang tidak jelas. Hal inilah
yang ikut berpengaruh pada intensi individu sebagai anggota kelompok.
Kelompok yang dibentuk tanpa tujuan yang jelas, akan lebih besar
kemungkinan individunya melakukan social loafing. Dengan menetapkan
tujuan yang jelas dan spesifik (terlebih bila kesepakatan itu tertulis dan
disepakati setiap anggota) maka kemungkinan terjadinya social loafing
akan semakin kecil. Bentuk kontrol kami adalah memberikan tujuan dalam
instruksi diawal perkuliahan sebelum pemberian tugas.

39
II.3.1.6 Standar Hasil Kerja
Kelompok yang tidak memiliki standar hasil kerja yang jelas akan
memicu individu-individu anggota kelompoknya untuk melakukan social
loafing. elompok yang tidak mengetahui apalagi tidak mempunyai standar
hasil kerja yang jelas, maka individu cenderung akan melakukan kerja
yang asal-asalan (tidak maksimal). Hal ini dikarenakan individu tidak
mempunyai target yang hendak dicapai. Jadi kerjanya hanya menggunakan
prinsip ’asal selesai’. Bentuk kontrol yang dilakukan eksperimenter serupa
dengan bentuk kontrol pada variabel tugas, yakni dengan memberikan
standar hasil kerja secara tertulis.

II.3.2 Variabel Extraneous


II.3.2.1 Keinginan Atas Keadilan
Keinginan atas keadilan memungkinkan partisipan
mengikutsertakan sebuah proses atribusi yang salah, dalam usaha
pencapaian pembagian kerja yang adil. Hal ini dapat terjadi ketika
individu menilai hasil kerja mereka lebih besar daripada rekannya,
penurunan kinerja akan menyebabkan hasil kelompok tampak lebih rendah
daripada penjumlahan dari kinerja masing-masing individu, serta persepsi
terhadap hasil kerja kelompok seharusnya kurang dari hasil yang
sebenarnya. Faktor ini bisa menyebabkan individu percaya bahwa
partisipan yang lain memiliki motivasi yang lebih rendah atau kurang
terampil daripada individu tersebut. Partisipan yang lain dianggap sebagai
orang yang suka melalaikan pekerjaan atau tidak berkompeten (Latané
dkk,1979: 829-830). Selain itu, jika individu berpikir bahwa rekan kerja
yang lain bermalas-malasan, bila dipandang dari prinsip keadilan, maka
individu tersebut sebaiknya mengurangi usahanya pula (Jackson &
Harkins, 1985; dalam Deaux & Wrightsman, 1988: 417).

40
II.3.2.2 Free Ride (Mendompleng)
Free ride yaitu kecenderungan seseorang untuk mendompleng
rekan kerjanya yang dianggap lebih mampu sehingga individu tersebut
tidak melakukan usaha apapun dalam penyelesaian tugas kelompok. Social
loafing dapat berpengaruh nyata terhadap efektivitas kelompok jika Free
rider (orang yang mendompleng) dapat menghindari pelaksanaan norma
keadilan dalam kelompok atau jika norma-norma tersebut lemah.
Bagaimanapun juga, ketika kontribusi setiap anggota dapat terlihat secara
jelas, dan khususnya ketika kontrol terhadap kinerja individu berjalan,
maka perilaku ”free rider” cenderung akan menurun (Albanese dan Fleet,
1985). Minimalisasi free-ride akan berkurang jika kontribusi individu
bersifat unik dan mendasar bagi kesuksesan kelompok, serta membuat
kelompok yang berukuran lebih kecil. Selain itu, ketika anggota yakin
bahwa orang lain dan dirinya sendiri mampu dan bersedia untuk
memberikan kontribusinya pada kelompok (Forsyth, 1999:291-294).

II.3.2.3 Sikap negatif dari rekan kerja atas hasil kerja individu
Sikap negatif seperti tidak menghargai pendapat atau hasil tugas
yang dikerjakan oleh anggota lain muncul ketika ada satu atau dua anggota
yang merasa kemampuannya lebih superior dibanding yang lain di dalam
sebuah kelompok. Hasil kerja anggota lain yang dianggap kurang superior
tidak diperhatikan sehingga anggota yang kurang superior merasa inferior
lantas muncullah social loafing karena mereka menganggap tenaga atau
sumbangsih mereka tidak dibutuhkan dalam kelompok.

II.3.2.4 Perbedaan persepsi tentang hasil kerja


Persepsi masing-masing anggota terhadap hasil kerjanya maupun hasil
kerja orang lain berbeda-beda. Jika ada anggota kelompok yang menganggap hasil
kerjanya sangat diperlukan atau dibutuhkan kelompok, maka ia akan termotivasi
untuk mengerjakan dengan baik segala tugas yang diberikan kepadanya maka
kemungkinan muncul social loafing akan sangat kecil. Sebaliknya, jika ada

41
anggota yang menganggap atau merasa hasil kerjanya tidak akan diperhatikan
atau ditimbang oleh kelompoknya maka motivasinya dalam mengerjakan tugas-
tugas yang diberikan kepadanya akan berkurang (motivation losses), kemudian
muncullah perilaku social loafing yang muncul melalui perilakunya yang
menurunkan usahanya dalam mengerjakan tugas karena dianggap percuma
bersusah-susah mengerjakan tapi hasil kerjanya tidak akan digubris oleh
kelompok.

42
II.4 KERANGKA KONSEPTUAL

SIKAP REKAN
KERJA ATAS
HASIL KERJA
INDIVIDU
KEINGINAN
BUDAYA ATAS
INDIVIDUALIS KEADILAN

+
+
+ PERSEPSI
INDIVIDU
- TENTANG
UKURAN
KEPENTINGAN
KELOMPOK HASIL KERJA
+ SOCIAL
LOAFING
-

+
?
KEMUNGKINAN ? TUJUAN &
ADANYA STANDAR
EVALUASI KERJA

TIINGKAT
GENDER KEUNIKAN
TUGAS

II.5 PERUMUSAN HIPOTESA


Hipotesa yang diajukan dalam penelitian ini adalah :
Hipotesa Alternatif
”Ada pengaruh banyak sedikitnya jumlah anggota kelompok terhadap
tingkat social loafing”.

Hipotesis Nihil
”Tidak ada pengaruh banyak sedikitnya jumlah anggota kelompok
terhadap tingkat social loafing.”

43
BAB III

Metode Penelitian

44
BAB III
METODE PENELITIAN

III.1. TIPE PENELITIAN


Tipe penelitian yang akan dilaksanakan ialah Quasi Experiment yang
mana dalam Quasi Experiment ini tidak semua variable ekstra dapat dikontrol.
Hal ini disebabkan karena bidang yang diteliti termasuk dalam bidang sosial. Jelas
bahwa dalam bidang sosial, lebih banyak dilakukan penelitian lapangan. Pada
kenyataannya banyak hal yang tidak dapat diprediksikan maupun masih belum
tergali, atau dapat disebut “misterius”. Seringkali terjadi ketimpangan bila kita
melakukan penelitian true eksperimen untuk meneliti masyarakat. Sehingga
diperlukan penelitian yang memungkinkan kita untuk meneliti dalam keadaan
yang sebenarnya (tanpa manipulasi lingkungan, jadi peneliti hanya memanipulasi
variabel-variabel tertentu yang secara langsung berkaitan dengan variabel Y)

III.2. IDENTIFIKASI VARIABEL PENELITIAN


Variabel adalah segala hal yang bila diukur dalam objek yang berbeda
pada kondisi yang berbeda pula, bisa menghasilkan pengukuran yang berbeda
(Reaves, 1992 :71). Dengan kata lain, variable merupakan konsep yang telah
operasional, yaitu dapat diamati dan diukur. Adapun variable yang digunakan
dalam penelitian ini adalah variable bebas (X) dan variable tergantung (Y).
variable bebas (X) adalah variable yang merupakan penyebab. Sedangkan variable
tergantung (Y) ialah variable yang merupakan akibat dari adanya variable bebas
(Zainuddin, 2000 :23-25).
Klasifikasi variable dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
Variable bebas (X) : banyak sedikitnya jumlah anggota kelompok
Variable tergantung (Y) : Perilaku social loafing
Ada variabel yang dapat dikontrol yang disebut variabel kontrol. Antara
lain :
1. Jumlah anggota
2. Jenis tugas

45
3. Jenis kelamin
4. Peran masing-masing individu
5. Budaya kolektif dan individualisu
6. Tujuan kerja
7. Standar hasil kerja
Sedangkan variabel ekstra yang tidak dapat dikontrol atau disebut
extranoues variabel, antara lain :
1. Keinginan atas keadilan
2. Free Ride (Mendompleng)
3. Sikap negatif dari rekan kerja atas hasil kerja individu
4. Perbedaan persepsi tentang hasil kerja

III.3. DEFINISI KONSEPTUAL


Social loafing adalah penurunan usaha individu atau seseorang ketika ia
bekerja dalam kelompok dibandingkan dengan ketika ia bekerja seorang diri,
seiring dengan bertambahnya jumlah anggota kelompok atau ”ukuran” kelompok
tersebut. Semakin banyak jumlah anggota dalam suatu kelompok, semakin besar
tingkat social loafing. Hal ini bisa jadi dikarenakan individu merasa bahwa di
dalam kelompoknya ada yang sudah pintar dan mampu untuk mengerjakan tugas,
sehingga dia jadi ’malas’ untuk melakukan tugasnya. Selain itu dia juga
menganggap bahwa bila banyak tangan yang bekerja, maka tugasnya akan
semakin mudah sehingga dia mengandalkan usaha teman-temannya yang lain
sudah cukup untuk menyelesaikan semua tugas-tugas.

III.4. DEFINISI OPERASIONAL


Demi memudahkan dalam mengamati dan mengukur variable – variable
yang ada dalam penelitian ini, maka perlu disusun definisi operasionalnya.
Definisi operasional berguna untuk menentukan alat atau instrument yang akan
digunakan dalam pengumpulan data (Zainuddin, 2000 :24). Oleh karena kedua
variable dalam penelitian ini tidak dapat diamati dan diukur secara fisik, maka
aspek – aspek dari variable tersebut kemudian dipecah kembali menjadi indicator

46
– indikator. Indikator adalah sifat yang digunakan sebagai petunjuk kualitas dan
kuantitas ciri yang akan diukur tersebut.
1. Ukuran kelompok
Besarnya ukuran kelompok yang ideal ditentukan oleh jenis dan
tujuan kelompok (Katzenbach dan Smith 1999; Speck 2002). Untuk
kelompok mahasiswa, ukuran yang ideal adalah 4 sampai 7 orang
(Cockriel 2001).
2. Kemunculan social loafing
Social loafing adalah kecenderungan menurunnya usaha individu
atau seseoarang ketika bekerja dengan kelompok dibandingkan dengan
ketika ia bekerja sendiri, seiring dengan bertambahnya jumlah kelompok
tersebut. Pengukuran social loafing juga menggunakan kuesioner dengan
skala likert yang terdiri atas 85 items pernyataan dan ditunjukkan dalam
skor kuantitatif. Skala yang memiliki empat alternative jawaban yaitu SS
(Setuju Sekali), S (Setuju), TS (Tidak Setuju), STS(Sangat Tidak Setuju).
Ini memiliki skor setiap itemnya yang berkisar antara nilai 1 (sebagai nilai
minimal) hingga niali 4 (sebagai nilai maksimal). Semakin tinggi skor
yang diperoleh subjek, maka semakin besar kecenderungan anggota
kelompok untuk melakukan social loafing, dan sebaliknya, semakin
rendah yang diperoleh, maka semakin kecil kecenderungannya untuk
melakukan social loafing.
Indikator yang digunakan dalam operasionalisasi kemunculan
social loafing adalah sebagai berikut :
1. Individu menurunkan motivasi atau usahanya, meliputi individu malas
atau menurunkan usahanya dalam mengerjakan tugas; tidak
bersungguh – sungguh bekerja; bekerja asal – asalan; belajar sekedar
memenuhi kewajiban, tidak lebih; pekerjaannya tidak diselesaikan
dengan sempurna; dan lain – lain.
2. Bersikap pasif, meliputi tidak ikut serta dalam menyumbangkan ide;
memilih untuk diam; bekerja sekedar ikut-ikutan dengan rekan lain;

47
bekerja berdasarkan instruksi saja, tidak memiliki inisiatif; dan
sebagainya.
3. Mendompleng (free ride) meliputi bergantung dengan rekan kerja lain;
mengikuti saja gagasan yang diberikan lain yang lebih dominan;
mengikuti rekan yang lebih dominan dan lebih mampu; dan lain-lain.
4. Pelepasan atau pelebaran tanggung jawab meliputi mengharapkan
pekerjaannya akan diselesaikan oleh rekan kerja lain; meminta orang
lain untuk menyelesaikan pekerjaaannya; melimpahkan sebagian
tanggung jawabnya pada rekan kerja lain; membagi pekerjaannya
dengan rekan kerja lain; dan sebagainya.
5. Self adjustment, meliputi memandang dirinya kurang mampu atau
kurang terampil daripada orang lain.

III.5. POPULASI DAN SAMPEL PENELITIAN


III.5.1 POPULASI PENELITIAN
Populasi adalah keseluruhan atau himpunan objek dengan ciri yang
sama (Zainuddin, 2000: 76). Dalam penelitian ini, ciri-ciri populasi yang
ingin diteliti adalah semua mahasiswa psikologi Universitas Airlangga
pengikut mata kuliah Psikologi Humanistik. Pemilihan populasi ini
didasarkan pada alasan bahwa :
 Lokasi penelitian, merupakan tempat ditemukannya permasalahan
penelitian yaitu di Fakultas Psikologi Universitas Airlangga khususnya
mahasiswa pengikut mata kuliah Psikologi Humanistik.
 Jumlah populasi mencukupi, sehingga tingkat keterwakilan (representatif)
dapat terpenuhi.
III.5.2 SAMPEL PENELITIAN
Sampel adalah kelompok yang lebih kecil yang dipilih sebagai
contoh atau perwakilan dari populasi yang akan diukur (Reavers, 1992:
97). Sampel juga merupakan bagian dari jumlah dan karakteristik yang
dimiliki oleh populasi. Apa yang dipelajari dari sampel itu, kesimpulannya
akan diberlakukan kepada populasi, karenanya sampel yang diambil dari

48
populasi harus betul-betul representasif atau mewakili (Sugijono,1999 :
73).
Sebuah sampel harus dipilih sedemikian rupa sehingga setiap
satuan elementer mempunyai kesempatan dan peluang yang sama untuk
dipilih dan besarnya peluang tersebut tidak boleh sama dengan nol, dan
pengambilan sampel harus menggunakan metode yang tepat sesuai dengan
ciri-ciri populasi dan tujuan penelitian.
Teknik sampling adalah prosedur untuk mendapatkan sampel yang
representative. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah Simple
Random Sampling (Sampel Acak Sederhana). Dikatakan sederhana karena
pengambilan sampel anggota populasi dilakukan secara tanpa
memperhatikan strata yang ada dalam populasi itu. Hal demikian dapat
dilakukan bila anggota populasi dianggap “homogen”.
Dalam penelitian ini, dilakukan pengambilan sampel dari populasi kasar
yaitu mahasiswa psikologi Universitas Airlangga pengikut mata kuliah
Psikologi Humanistik dalam kelas besar yang berjumlah 100 mahasiswa.
Dari 100 mahasiswa ini diperoleh 80 mahasiswa yang memenuhi kriteria
yang telah ditetapkan eksperimenter yang akan menjadi populasi bersih
(untuk melakukan kontrol terhadap variabel-variabel ekstra). Kemudian
dilakukan sampling dengan teknik Simple Random Sampling, yakni
dengan cara memilih mahasiswa berdasarkan nomor urut genap (dari
daftar 80 mahasiswa tadi). Dari pengambilan sampel tersebut, ditemukan
40 orang yang telah memenuhi semua criteria yang ditetapkan
eksperimenter. Sehingga 40 orang ini yang akan menjadi subjek
eksperimen.

III.6 DESAIN PENELITIAN


Desain penelitian yang digunakan dalam eksperimen ini ialah The
Time Series Experiment Design. Dalam penelitian ini, pengambilan sampel
dilakukan secara random, dan dilakukan pre-test terdahulu sebanyak empat
kali dengan maksud agar dapat diketahui konsistensi dan kejelasan keadaan

49
kelompok sebelum diberi perlakuan. Bilamana selama dilakukan pre-test
sebanyak empat kali, dan menghasilkan nilai yang berbeda, artinya
kelompok tersebut keadaannya labil, tidak menentu, tidak konsisten.
Perlakuan baru dapat dilaksanakan bilamana keadaan kelompok sudah
stabil. Penelitian jenis ini hanya membutuhkan satu kelompok sehingga
tidak memerlukan kelompok kontrol. Besarnya nilai pre-test yang baik
adalah O1=O2=O3=O4, dan hasil perlakuan yang baik adalah
O5=O6=O7=O8. Pengaruh perlakuan nilainya adalah (O5+O6+O7+O8) –
(O1+O2+03+04). Desain ini oleh peneliti dianggap tepat karena pemberian
pre-test dan post-test dilakukan lebih dari satu kali (empat kali). Hal ini
dimaksudkan untuk menguji stabilitas atau konsistensi subjek.

III.7 INSTRUMEN PENELITIAN


Pengumpulan data primer yang akan diteliti dibantu dengan
menggunakan sebuah alat. Alat yang digunakan untuk mengukur variabel-
variabel yang ada dalam penelitian ini adalah berupa kuesioner. Kuesioner
mendasarkan diri pada laporan tentang diri sendiri atau self report, atau
setidaknya pada pengetahuan dan atau keyakinan pribadi (Hadi, 2001 :
157).
Pengukuran perilaku model kuesioner ini menggunakan skala
Likert karena akan memperoleh gambaran kasar posisi subjek pada skala
perilaku yang diukur. Selain itu, skala ini merupakan pengukuran perilaku
yang lebih sederhana dan lebih mudah dibuat (Handoyo, 2001 : 1-2).
Kuesioner penelitian ini mengungkap tentang bagaimana pengaruh
banyak sedikitnya jumlah anggota kelompok terhadap tingkat social
loafing pada subjek. Kuesioner ini merupakan kuesioner yang
dimodifikasi dari alat ukur yang sebelumnya yang telah dibuat, yang
berasal dari Agustina (2004).
Kuesioner tersebut disusun dengan menyediakan empat alternative
jawaban tanpa pilihan jawaban tengah atau sentral guna menghindari
kecenderungan subjek untuk memilih jawaban sentral atau tengah (Azwar,

50
2003 :47). Keempat alternatif jawaban tersebut dianggap cukup untuk
mengukur respon subjek, karena pada penelitian ini hanya ingin
mengetahui psisi relatif subjek, bukan posisi mutlak subjek (Handoyo,
2001 :1). Alternatif jawaban yang berdasarkan penskalaan respon (Azwar,
2003 : 47). Dalam penelitian ini terdiri dari SS (Sangat Setuju), S (Setuju),
TS (Tidak Setuju), STS (Sangat Tidak Setuju).
Pernyataan-pernyataan dalam kuesioner ini bersifat favourable dan
unfavourable. Pernyataan favourable adalah pernyataan yang
menunjukkan sikap setuju, perasaan puas, tingkatan tinggi, dan sebagainya
dari objek perilaku yang diukur. Sedangkan pernyataan unfavourable
adalah pernyataan yang menunjukkan sikap tidak setuju, tingkatan rendah,
dan sebagainya dari objek perilaku yang diukur. (Handoyo, 2001 :2).
Dalam hubungannya dengan teknik penilaian, maka penilaian
terhadap pernyataan yang favourable :
 Nilai 4 diberikan untuk jawaban Sangat Setuju
 Nilai 3 diberikan untuk jawaban Setuju
 Nilai 2 diberikan untuk jawaban Tidak Setuju
 Nilai 1 diberikan untuk jawaban Sangat Tidak Setuju
Sedangkan penilaian yang unfavourable :
 Nilai 1 diberikan untuk jawaban Sangat Setuju
 Nilai 2 diberikan untuk jawaban Setuju
 Nilai 3 diberikan untuk jawaban Tidak Setuju
 Nilai 4 diberikan untuk jawaban Sangat Tidak Setuju
TABEL BLUE PRINT SOCIAL LOAFING
Aspek Item yang Item yang Jumlah Persentase
Favourable Tidak
Favourable
Individu menurunkan 1,11,16,20, 6,25,30,53,66, 16 18,8%
motivasi/usahanya 36,46,60,67,85 74,76
Bersikap pasif 7,21,32,37,42, 2,12,17,26,31, 19 22,4%
47,54,69,75,80, 38,59,68
83

51
Mendompleng 3,18,41,55, 8,13,22,27, 16 18,8%
(Free Rider) 77,84 33,39,43,
48,61,70
Pelepasan atau 4,14,23,40,45,4 9,28,34,44,56, 20 23,5%
pelebaran tanggung 9,51,63,71, 62,73,78,82
jawab 79,81
Self Adjustment negatif 5,10,24,29,35,5 19,15,50,57 14 16,5%
2,58,64,65,72
Total 47 38 85 100%

Dalam eksperimen ini juga disertakan alat penunjang data berupa form
penilaian antaranggota kelompok dimana setiap anggota kelompok diminta untuk
menilai kinerja atau kontribusi rekan-rekan kelompoknya untuk mengetahui
tingkat social loafing orang lain yang menjadi anggota kelompoknya.

III.8 VALIDITAS DAN RELIABILITAS ALAT UKUR


III.8.1 VALIDITAS ALAT UKUR
Hasil pengukuran dari kuesioner diharapkan mampu mewakili atau
menggambarkan aspek-aspek atau atribut yang ingin diukur dari variabel
penelitian (Azwar, 2000 :45). Oleh karena itu, perlu dilakukan uji validitas
item. Validitas item adalah sejauhmana item pernyataan mampu mengukur
apa yang ingin diukur (http:///www.rpi.edu, 2001).
Validitas item dapat dilihat dari sejauh mana hubungan antara skor
item dengan skor total yang diperoleh individu
(http:///personal.psu.edu/users......2001). Uji validitas item dalam
penelitian ini menggunakan uji korelasi product moment Pearson.

III.8.2 RELIABILITAS ALAT UKUR


Reliabilitas mengacu pada konsistensi atau keterpercayaan hasil
ukur, yang mengandung makna kecermatan pengukuran. Pengukuran yang
tidak reliabel akan menghasilkan skor yang tidak dapat dipercaya akibat

52
perbedaan skor yang dikarenakan faktor kesalahan. Pengukuran yang tidak
reliabel juga tidak akan konsisten dari waktu ke waktu (Azwar, 2003 : 83).
Reliabilitas item adalah sejauhmana item pernyataan bersifat
konsisten dan ajeg atau stabil dalam mengukur apa yang ingin diukur pada
waktu yang berbeda (http:///www.rpi.edu/-verwyc/chap4tm.htm,2001).
Teknik pengujian reliabilitas item yang digunakan dalam penelitian
ini adalah koefisisen reliabilitas alpha, karena data diperoleh melalui
penyajian satu bentuk skala yang dikenakan hanya sekali saja pada
sekelompok responden (Single Trial Administration) atau disebut juga
dengan Konsistensi Internal (Azwar, 2003 :87).

III. 9 VALIDITAS DAN RELIABILITAS EKSPERIMEN


III.9.1 VALIDITAS EKSPERIMEN
Validitas yang digunakan dalam eksperimen ini ialah Validitas
Eksternal (External Validity). Validitas Eksternal yaitu validitas yang
diperoleh dengan cara membuat korelasi alat pengukur baru dengan tolak
ukur eksternal, yang berupa alat ukur yang valid. Atau dengan pengertian
lain validitas eksternal ialah penelitian yang menyangkut pertanyaan
sejauh mana hasil suatu penelitian dapat digeneralisasikan pada populasi
induk (asal sampel penelitian diambil).
Dalam penelitian ini, eksperimenter mengukur pengaruh banyak
sedikitnya jumlah anggota kelompok terhadap tingkat social loafing. Hasil
penelitian ini dapat digeneralisasikan pada populasi, akan tetapi ruang
lingkup generalisasi lebih kecil dikarenakan keterbatasan eksperimenter,
seperti keterbatasan dalam banyak hal, misalnya saja dana dan waktu.

III.9.2 RELIABILITAS EKSPERIMEN


Pengertian Reliabilitas adalah keajegan. Reliabilitas eksperimen
yang dimaksud dalam eksperimen ini adalah seberapa ajeg atau apakah
langkah-langkah eksperimen yang sudah dilakukan eksperimenter dapat
digunakan untuk eksperimen di waktu yang lain dan pada subjek yang

53
lain. Pada subjek yang lain disini maksudnya adalah subjek yang memiliki
kriteria-kriteria yang serupa (variabel ekstra yang mempengaruhi variabel
Y, social loafing juga sudah dikontrol). Selain itu bila eksperimen ini
diberikan pada subjek yang sama, hasilnya akan serupa atau mengalami
peningkatan yang serupa (seragam) pada waktu yang lain. Eksperimen
dikatakan reliabel apabila peningkatan social loafing antara subjek yang
satu dengan yang lain juga setara.

III.10 ANALISIS DATA


Tujuan penelitian dapat diperoleh bila terlebih dahulu menganalisis
data yang telah terkumpul. Dalam penelitian ini, data yang terkumpul
berupa kuesioner sehingga dalam proses analisis data tidak mungkin lepas
dari analisis statistik. Proses analisis data dilaksanakan dengan cara : data
yang telah terkumpul dan telah diuji secara statistik, kemudian dijabarkan
dan diuraikan menjadi suatu penjelasan apakah tujuan penelitian tercapai.
Penentuan teknik analisis data yang akan digunakan tergantung
dari tujuan penelitian dan data penelitian. Oleh karena tujuan penelitian ini
adalah untuk mengetahui pengaruh banyak sedikitnya jumlah anggota
kelompok terhadap tingkat social loafing maka data penelitiannya adalah
Awalnya menggunakan teknik korelasi product moment. Teknik korelasi
dari Pearson ini mendasarkan pada angka-angka kasar seperti apa adanya.
Tujuan dari teknik korelasi ini adalah untuk menggambarkan seberapa
besar dan bagaimana arah korelasi antara dua variabel, yaitu variabel X
dan variabel
Y(http:///www.personal.psu.edu/users/c/m/cmr226/knowledge
%20base/Quant_%20research.htm, 2001). Setelah diketahui bahwa
terdapat hubungan antara variabel X dan Y, kemudian dianalisis lebih
lanjut dengan menggunakan teknik analisis regresi. Hal ini dilakukan
untuk mengetahui seberapa besar sumbangan relatif variabel X (dalam hal
ini ukuran kelompok) terhadap variabel Y (tingkat social loafing)

54
DAFTAR PUSTAKA

Lindzey, Gardner, dkk. 1993. Teori-Teori Holistik (Organismik-Fenomenologis).


Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Lindzey, Gardner, dkk. 1993. Teori-Teori Psikodinamik (Klinis). Yogyakarta:
Penerbit Kanisius.
Ahmadi, H. Abu. 1988. Psikologi Sosial. Surabaya : PT Bina Ilmu.
Walgito, Bimo.1987. Psikologi Sosial: Suatu Pengantar.Yogyakarta :Yayasan
Penerbitan Fakultas Psikologi UGM.
Gerungan, W.A. 1986. Psikologi Sosial. Bandung: PT Eresco.
Good, Paul. 1987. Individu. Jakarta: Pustaka Time Life.
Sobur, Alex. 2003. Psikologi Umum. Bandung: CV Pustaka Setia.
Travimow, David. (2004). Problems with change in R^sup 2^ as applied to theory
of reasoned action research. The British Journal of Social Psychology, 43,
515-530.
Meier, Stephan., Frey, Bruno S. (2004). Social Comparisons And Pro-social
Behavior: Testing “Conditional Cooperation” in a Field Experiment. The
American Economic Review; 94, 5, 1717-1722.
Piehota, P. William., Salovey, Peter. (2004). Field Experiment in Social
Psychology. The American Behavioral Scientist; 47, 5, 488-505.
www.proquest.com
http://www.cmm.or.id/cmm-ind_more.php?id=A4589_0_3_0_M
http://meontology.blogdrive.com/comments?id=24
http://lulukpr.multiply.com/journal/item/95?&item_id=95&view:replies=reversez
http://rumahkiri.net/index.php?option=content&task=view&id=1171

55
LAMPIRAN

Form Penilaian Kinerja


Kuesioner Social Loafing

56
FORM PENILAIAN KINERJA INDIVIDU DALAM KELOMPOK

Kami mahasisiwa psikologi angkatan 2006, meminta bantuan Anda untuk mengisi
form ini untuk menilai kinerja rekan kerja atau kelompok Anda berdasarkan
pandangan atau pengalaman Anda. Form ini sangat penting dan akan dijaga
kerahasiaannya. Oleh karena itu, kejujuran Anda akan sangat kami hargai demi
menunjang data penelitian kami. Terimakasih.

NAMA:
NIM :

No. Nama Anggota Kontribusi Penilaian Keterangan


(skala 1-
100)

57
IDENTITAS RESPONDEN

Nama : ………….................. (boleh pakai samaran)

Usia : ……………………..

Jenis Kelamin : ..................................

Mahasiswa angkatan : ..................................

PETUNJUK PENGISIAN

Berikut ini ada dua bagian kuesioner, dimana setiap bagian terdiri dari

pernyataan-pernyataan yang harus Anda jawab dengan sejujur-jujurnya dan tanpa

ada yang terlewati. Pada setiap pernyataan, Anda diharapkan memilih salah satu

dari jawaban yang tersedia dengan cara memberikan tanda silang (X) pada kolom

jawaban yang sesuai. Jawaban yang Anda berikan akan dijamin kerahasiaannya.

Tidak ada jawaban SALAH atau BENAR. Ada empat pilihan jawaban, yaitu :

SS : Sangat Setuju STS: Sangat tidak setuju

S: Setuju TS: Tidak Setuju

Selamat mengisi!

58
No Pernyataan SS S TS STS
Dalam kelompok, saya akan melakukan usaha
seperlunya saja sekedar untuk menunjukkan kinerja
1. SS S TS STS
yang baik dan menghindari rasa bersalah karena tidak
berbuat apa-apa.
Saya tidak takut seandainya ide saya tidak digunakan
2. SS S TS STS
oleh kelompok.
Saya malas menyumbangkan ide dalam diskusi, bila
3. SS S TS STS
ada rekan lain yang mendominasi.
Ikut memberikan ide dalam diskusi kelompok
4. SS S TS STS
bukanlah tanggung jawab saya saja.
Saya merasa tidak mampu memberikan ide dan
5. SS S TS STS
memilih diam dalam diskusi.
Saya tetap antusias untuk terlibat dalam proses
6. pengambilan keputusan kelompok, meskipun tidak SS S TS STS
ada reward.
Saya tidak pernah terlibat secara serius dalam rapat
7. SS S TS STS
kelompok karena rekan lain juga bertindak demikian.
Meskipun rekan-rekan lain telah memberikan idenya
8. dengan tepat, saya tetap akan mengutarakan ide saya SS S TS STS
sendiri.
Saya harus menyelesaikan seluruh pekerjaaan saya
9. karena hal tersebut sudah merupakan tanggung jawab SS S TS STS
saya.
Saya tidak ingin menjadi orang yang akan
10. mengerjakan seluruh tugas kelompok yang ada, SS S TS STS
hanya karena saya suka bekerja keras.
Saya malas untuk terlibat dalam kelompok bila tidak
11. SS S TS STS
ada reward dari tempat kerja saya.
Saya aktif menyampaikan pendapat dalam proses
12. SS S TS STS
pengambilan keputusan dalam kelompok.
Saya tetap berusaha menyelesaikan pekerjaan sebaik-
13. baiknya, tanpa harus meminta bantuan dari rekan lain SS S TS STS
yang lebih mampu dan terampil.
14. Menurut saya, guna kehadiran orang lain adalah SS S TS STS

59
untuk saling membagi tanggung jawab.
Saya merasa bagaimanapun pendapat saya, tetap
15. SS S TS STS
dibutuhkan oleh kelompok.
Menurut saya, keaktifan dalam kelompok tidak
16. SS S TS STS
memberi keuntungan apa-apa bagi saya.
Dalam diskusi kelompok, seluruh anggota dituntut
17. untuk memberikan idenya meskipun kurang SS S TS STS
sempurna.
Tidak ada keharusan bagi saya untuk menyelesaikan
18. pekerjaan saya secara sendirian, bila ada rekan lain SS S TS STS
yang hadir.
Saya berusaha dengan sungguh-sungguh untuk dapat
menyelesaikan pekerjaaan yang menjadi tanggung
19. SS S TS STS
jawab saya meski banyak rekan saya yang lebih
terampil.
Saya bekerja hanya sebatas kemauan saya, tidak perlu
20. SS S TS STS
bekerja terlalu keras.
Saya tidak perlu bersusah payah turut terlibat dalam
21. diskusi kelompok karena saya yakin rekan-rekan lain SS S TS STS
dapat memberikan ide yang tepat.
Menurut saya, bekerja bersama banyak rekan yang
22. SS S TS STS
lain akan meningkatkan semangat kerja.
Saya menjadi kurang bersemangat bila banyak orang
23. SS S TS STS
yang turut andil dalam penyelesaian pekerjaan.
Saya merasa enggan melibatkan diri dalam tim
24. karena saya takut hasil kerja saya mengecewakan SS S TS STS
kelompok.
Saya tetap terlibat dalam kelompok dan berusaha
25. semampu saya walaupun saya dianggap tidak SS S TS STS
berkompeten.
Saya selalu berusaha untuk dapat menyumbangkan
26. SS S TS STS
gagasan dengan tepat.
27. Walaupun ada rekan lain yang bersedia SS S TS STS
menyelesaikan tugas kelompok, saya tetap tidak bisa
lepas tangan begitu saja dan bergantung pada rekan

60
tersebut.
Keberhasilan tim tergantung pada kesediaan masing-
28. SS S TS STS
masing anggota untuk melaksanakan kewajibannya.
Saya merasa tugas kelompok akan tetap terselesaikan
29. SS S TS STS
dengan baik tanpa keterlibatan saya didalamnya.
Jika saya memiliki waktu dan tenaga untuk
30. menggantikan rekan yang berhalangan, saya pasti SS S TS STS
bersedia untuk menggantinya.
Merupakan keharusan bagi saya untuk terlibat aktif
31. SS S TS STS
dalam diskusi kelompok dengan rekan lain.
Saya memilih untuk diam saja bila tidak ada rekan
32. SS S TS STS
lain yang meminta bantuan pada saya.
Semangat kerja saya tidak akan mengendur meski
33. SS S TS STS
rekan lain hadir dan bersedia membantu.
Menurut saya, seluruh anggota tim harus terlibat aktif
34. dalam upaya penyelesaian tugas kelompok meskipun SS S TS STS
akan melelahkan.
Saya tidak terlibat aktif dalam segala kegiatan
35. kelompok, karena saya merasa bahwa yang saya SS S TS STS
lakukan tidak berarti apa-apa bagi kelompok.
Saya tidak suka untuk terlalu melibatkan diri dalam
36. SS S TS STS
segala bentuk kegiatan dalam kelompok.
Dalam suatu diskusi kelompok saya akan mengikuti
37. SS S TS STS
apapun ide yang diberikan oleh rekan saya.
Saya selalu menawarkan bantuan pada rekan lain
38. SS S TS STS
yang membutuhkan, setelah pekerjaan saya selesai.
Saya merasa kurang yakin bila tugas kelompok yang
diserahkan kepada seorang rekan saja, meskipun
39. SS S TS STS
rekan tersebut adalah yang paling terampil dan
mampu.
Saya tidak merasa khawatir untuk terus diam dan
tidak memberikan pendapat dalam diskusi karena
40. SS S TS STS
saya yakin pasti akan ada rekan lain yang akan
melakukan hal tersebut.
41. Saya tidak perlu bekerja terlalu keras bila banyak SS S TS STS

61
rekan yang akan turut serta dalam penyelesaian tugas
kelompok.
Saya bersikap pasif dalam kelompok karena rekan-
42. SS S TS STS
rekan lain juga bertindak demikian.
Meskipun ada rekan lain yang dominan dalam
43. SS S TS STS
diskusi, saya tetap aktif mengutarakan pendapat saya.
Tugas tim tidak akan terselesaikan dengan baik bila
44. SS S TS STS
seluruh anggota tidak terlibat di dalamnya.
Demi meringankan beban, saya lebih suka
45. memberikan sebagian pekerjaan saya kepada rekan SS S TS STS
lain yang bersedia.
Saya tidak perlu bersusah payah menyelesaikan
46. seluruh pekerjaan saya karena saya yakin pasti ada SS S TS STS
rekan lain yang akan membantu saya.
Saya hanya akan mengungkapkan ide bila
47. SS S TS STS
diminta/disuruh.
Semangat kerja saya akan semakin tinggi bila ada
48. SS S TS STS
rekan lain yang mau bekerja bersama saya.
Menurut saya, membantu rekan lain yang
49. membutuhkan bantuan bukanlah tanggung jawab SS S TS STS
saya.
Saya lebih baik diam, bila banyak orang yang turut
50. SS S TS STS
serta dalam penyelesaian pekerjaan.
Saya lebih suka membagi pekerjaan saya dengan
51. SS S TS STS
rekan lain.
Saya enggan mengemukakan pendapat saya karena
52. SS S TS STS
khawatir tidak lebih baik dari rekan yang lain.
Saya selalu terlibat aktif dalam segala kegiatan
kelompok, karena saya yakin bahwa segala yang saya
53. SS S TS STS
lakukan dapat memberikan kontribusi yang berarti
dalam kelompok.
Jika ketua kelompok memerlukan bantuan, saya lebih
54. suka diam dan membiarkan rekan-rekan yang lain SS S TS STS
melakukannya terlebih dahulu.
55. Saya menjadi malas ketika ada rekan lain yang SS S TS STS

62
mampu dan bersedia untuk menyelesaikan tugas
kelompok.
Jika ketua kelompok memerlukan bantuan, saya
56. berusaha untuk menjadi orang pertama yang SS S TS STS
melakukannya.
Saya tidak takut diremehkan oleh rekan-rekan, jika
57. SS S TS STS
ide yang saya berikan itu kurang tepat.
Saya tidak ingin rekan lain dan kelompok merasa
58. kecewa dengan hasil kerja saya, bila saya melibatkan SS S TS STS
diri dalam kelompok.
Saya selalu berusaha untuk membantu rekan lain
59. dalam menyelesaikan pekerjaannya walaupun tanpa SS S TS STS
diinstruksi.
Menurut saya, yang penting adalah saya ikut bekerja
60. SS S TS STS
tanpa perlu terlalu memaksakan diri.
Saya tidak suka bergantung kepada rekan lain yang
61. SS S TS STS
lebih mampu, dalam keadaan apapun.
Saya perlu ikut serta memberikan ide dalam diskusi
62. kelompok, karena menurut saya merupakan tanggung SS S TS STS
jawab seluruh anggota.
Menurut saya, selesai tidaknya tugas kelompok
63. SS S TS STS
bukanlah tanggung jawab saya saja.
Daripada ditertawakan dan dipandang negatif oleh
64. rekan-rekan, lebih baik saya diam saja dan tidak ikut SS S TS STS
berdebat dalam diskusi kelompok.
Daripada hadsil kerja saya mengecewakan, maka
65. lebih baik saya tidak terlibat aktif dalam kegiatan SS S TS STS
kelompok.
Saya suka mengikuti segala kegiatan kelompok
66. meskipun saya merasa tidak mendapatkan apa-apa SS S TS STS
dari kegiatan itu.
Saya menyelesaikan pekerjaan sebatas yang telah
67. SS S TS STS
diinstruksikan oleh ketua kelompok kepada saya.
68. Saya suka menyampaikan segala hal yang berkaitan SS S TS STS
dengan kelompok bila hal tersebut perlu saya

63
sampaikan.
Saya tidak berminat untuk menawarkan bantuan pada
69. rekan lain dalam menyelesailkan tugas kelompok, SS S TS STS
walaupun saya memiliki tenaga dan waktu untuk itu.
Saya tetap bersungguh-sungguh bekerja dalam tim
70. walaupun banyak rekan yang akan turut serta dalam SS S TS STS
penyelesaian tugas kelompok.
Saya merasa tidak ada keharusan bagi saya untuk
71. SS S TS STS
selalu terlibat aktif dalam kelompok.
Menurut saya, tugas-tugas yang diberikan oleh ketua
72. kelompok sebaiknya dikerjakan oleh rekan-rekan lain SS S TS STS
yang lebih mampu dan menguasai tugas tersebut.
Saya tidak suka membagi pekerjaan saya dengan
73. rekan lain karena hal itu sudah menjadi tanggung SS S TS STS
jawab saya.
Dalam mengikuti kegiatan kelompok, saya akan
74. berusaha secara maksimal agar pekerjaan yang ada SS S TS STS
dapat segera terselesaikan.
Saya harus menyelesaikan seluruh pekerjaan saya
75. SS S TS STS
karena saya yakin rekan lain juga demikian.
Saya selalu berusaha untuk menyelesaikan tugas saya
76. SS S TS STS
dengan sebaik-baiknya.
Menurut saya, sikap bergantung pada rekan lain yang
77. lebih mampu adalah sah-sah saja dan SS S TS STS
menguntungkan bagi saya.
Saya merasa tugas kelompok akan terselesaikan lebih
78. SS S TS STS
baik jika semua anggota terlibat di dalamnya.
Bagi saya yang penting pekerjaan saya selesai, tidak
79. SS S TS STS
peduli rekan lain membutuhkan bantuan saya.
Saya tak perlu bersusah payah menawarkan bantuan
80. SS S TS STS
bila rekan lain tidak memintanya.
Saya harus terlibat dalam seluruh kegiatan kelompok
81. karena itu sudah merupakan kewajiban saya sebagai SS S TS STS
anggota kelompok.
82. Saya bertanggung jawab penuh atas pekerjaan saya SS S TS STS

64
yang mana sangat menentukan keberhasilan
kelompok dalam mencapai tujuan.
Saya turut malas bekerja bila mengetahui rekan kerja
83. SS S TS STS
lain malas bekerja.
Saya merasa sia-sia terlibat dalam kelompok bila
84. telah ada rekan lain yang mendoimiunasi jalannya SS S TS STS
kegiatan itu.
Saya tidak sungguh-sungguh untuk menyelesaikan
85. SS S TS STS
pekerjaan ketika dibantu oleh rekan lain.

65

You might also like