You are on page 1of 43

Tugas Proposal Metode Penelitian Kualitatif

Penyesuaian Diri Siswa dari Sekolah Formal ke


Homeschooling

DOSEN PJMK :
Budi Setiawan M, S.Psi, M.Psi.

Kelompok :
Yuristi Fistyana D 110610131
Selfina Yusniar 110610132
Lailatul Isro’iyah 110610133
Nur Rosyidah 110610144
Irna Nirwani 110610204

KELAS PARALEL: C

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2009
DAFTAR ISI

COVER...................................................................................................................1
DAFTAR ISI...........................................................................................................2
BAB I – PENDAHULUAN....................................................................................3
I.1 Latar Belakang.....................................................................................3
I.2 Identifikasi Masalah.............................................................................7
I.3 Fokus Penelitian....................................................................................8
I.4 Keunikan Penelitian.............................................................................8
I.5Tujuan Penelitian..................................................................................9
I.6 Manfaat Penelitian...............................................................................9
BAB II – PERSPEKTIF TEORITIS..................................................................10
II.1 Kajian Pustaka..................................................................................10
II.1.1 Penyesuaian Diri................................................................10
II.1.2 Remaja................................................................................22
II.1.3 Penyesuaian Diri Remaja..................................................25
II.1.4 Sekolah Formal..................................................................26
II.1.5 Homeschooling...................................................................28
II.2 Kerangka Konseptual.......................................................................32
BAB III – METODOLOGI PENELITIAN.......................................................33
III.1 Metode Penelitian............................................................................33
III.2 Paradigma Penelitian......................................................................33
III.3 Tipe Penelitian.................................................................................36
III.4 Unit Analisis.....................................................................................37
III.5 Subjek Penelitian.............................................................................37
III.6 Metode Pengumpulan Data............................................................38
III.7 Metode Analisis Data......................................................................40
III.8Validitas dan Reliabilitas Penelitian..............................................41
III.8.1 Kredibilitas.......................................................................41
III.8.2 Dependabilitas..................................................................42
Daftar Pustaka.....................................................................................................43

2
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Pendidikan merupakan hal yang penting bagi setiap manusia, bahkan dapat
dikatakan sebagai suatu kebutuhan. Setiap keluarga berharap untuk mendapatkan
pendidikan yang terbaik bagi anak-anak mereka. Saat ini sedang tren sekolah
rumah (homeschooling) sebagai warna baru untuk membangun pendidikan bagi
anak di rumah masing-masing. Sekolah formal dianggap tidak mampu lagi
memberikan pendidikan yang terbaik bagi anak sehingga para orang tua
memberikan sekolah rumah bagi anak. Sekolah dianggap tidak mampu karena (1)
siswa terlalu banyak, (2) perhatian guru kepada siswa tidak intensif, (3) anak
adalah pribadi unik yang memerlukan layanan unik pula, (4) guru hanya sekadar
mengajar tidak mendidik, dan (5) sekolah teramat mengikat siswa dengan seabrek
aturan.
Homeschooling merupakan pendidikan nonformal atau informal yang
menjadi salah satu alternatif pendidikan yang ada. Homeschooling menurut
Direktorat Pendidikan Kesetaraan (2006) adalah proses layanan pendidikan yang
secara sadar, teratur dan terarah dilakukan oleh orangtua atau keluarga di rumah
atau tempat-tempat lain dimana proses belajar mengajar dapat berlangsung dalam
suasana yang kondusif dengan tujuan agar setiap potensi anak dapat berkembang
secara maksimal. Hal ini sejalan dengan pendapat Preiss (dalam Barbara, 1997)
yang menyatakan bahwa homeschooling merupakan pendidikan alternatif dimana
orangtua atau pengasuh diasumsikan sebagai penanggung jawab utama dalam
pendidikan anak-anak mereka. Pawlas (dalam Boyer, 2002) menjelaskan bahwa
homeschooling merupakan suatu situasi belajar-mengajar dimana anak-anak atau
remaja atau dewasa muda yang sebagian besar waktu belajar di sekolahnya
dihabiskan di dalam atau sekitar rumah sebagai ganti dari menghadiri sekolah
konvensional.
Dalam sejarah, homeschooling telah ada di Indonesia dan dunia sejak
puluhan tahun yang lalu. Sejalan dengan berkembangnya sekolah formal di

3
Indonesia, homeschooling menjadi kurang diminati lagi oleh para keluarga
Indonesia. Namun, beberapa tahun terakhir mulai terlihat perkembangan
homeschooling di Indonesia, khususnya Jakarta. Menurut Mohammad Hasan
Basri pada artikel Tempo berjudul “Menimbang Sekolah Rumahan: Pendidikan
Formal Sebatas Alternatif Peroleh ‘life skill’” bahwa perkembangan tersebut
terjadi akibat dari rasa ketidakpercayaan terhadap sekolah formal karena
kurikulum terus berubah dan memberatkan anak, menganggap anak sebagai objek
bukan subjek, memasung kreativitas dan kecerdasan anak, baik segi emosi, moral,
maupun spiritual.
Faktor pemicu dan pendukung homeschooling ini adalah kegagalan
sekolah formal. Baik di Amerika Serikat maupun di Indonesia, kegagalan sekolah
formal dalam menghasilkan mutu pendidikan yang lebih baik menjadi pemicu
bagi keluarga-keluarga di Indonesia maupun di mancanegara untuk
menyelenggarakan homeschooling. Sekolah rumah ini dinilai dapat menghasilkan
didikan bermutu.
Selain itu, salah satu teori pendidikan yang berpengaruh dalam
perkembangan homeschooling adalah Teori Inteligensi Ganda (Multiple
Intelligences) dalam buku Frames of Minds: The Theory of Multiple Intelligences
(1983) yang digagas oleh Howard Gardner. Gardner menggagas teori inteligensi
ganda. Pada awalnya, dia menemukan distingsi 7 jenis inteligensi (kecerdasan)
manusia. Kemudian, pada tahun 1999, ia menambahkan 2 jenis inteligensi baru
sehingga menjadi 9 jenis inteligensi manusia. Jenis-jenis inteligensi tersebut
adalah: Inteligensi linguistik; Inteligensi matematis-logis; Inteligensi ruang-
visual; Inteligensi kinestetik-badani; Inteligensi musikal; Inteligensi interpersonal;
Inteligensi intrapersonal; Inteligensi ligkungan; dan Inteligensi eksistensial.
Teori Gardner ini memicu para orang tua untuk mengembangkan potensi-
potensi inteligensi yang dimiliki anak. Kerapkali sekolah formal tidak mampu
mengembangkan inteligensi anak, sebab sistem sekolah formal seringkali
memasung inteligensi anak.
Berdasarkan beberapa alasan tersebut dan harapan untuk dapat
memberikan pendidikan yang terbaik bagi keluarga, banyak orang tua yang

4
memutuskan untuk melaksanakan homeschooling bagi anak-anak mereka. Bagi
para orangtua yang memutuskan untuk melaksanakan homeschooling ketika anak-
anaknya telah bersekolah di sekolah formal, mereka akan mengeluarkan anak-
anak mereka dari sekolah formal dan mulai melaksanakan homeschooling.
Kegiatan sekolah rumah ini merupakan reaksi personal terhadap
pelaksanaan pendidikan sekolah formal yang dewasa ini serba kacau dan penuh
ketidakpastian. Adalah wajar bila orangtua mendambakan pendidikan yang
dipercaya mampu memberi keturunannya suatu pegangan yang memadai bagi
kehidupannya di masa depan, paling sedikit sebagai manusia individual. Di
negara merdeka mana pun, pengadaan pendidikan yang ideal ini merupakan misi
suci pemerintah, mengingat ia harus bisa menyiapkan warga (citizen) yang andal.
Untuk negara-bangsa kita, misi itu jelas tercermin dalam kalimat di
Pembukaan UUD 45 yang menyatakan, Pemerintah Negara Indonesia dibentuk
untuk, antara lain, mencerdaskan kehidupan bangsa. Maka, reaksi warga
Indonesia mengadakan sekolah rumah dapat dikatakan bukti awal kegagalan misi
pendidikan pemerintah nasional. Bila pendidikan privat jenis ini memarak dan
menjadi pengganti (alternatif) pendidikan sekolah formal, dalam jangka panjang
ia akan berakibat fatal bagi pertumbuhan anak Indonesia menjadi manusia yang
bermasyarakat (homo socialis).
Sebagus apa pun pendidikan sekolah formal yang diusahakan pemerintah,
termasuk di negara maju, ia tidak akan dapat memuaskan kehendak orangtua
murid untuk memenuhi kebutuhan khusus anaknya terhadap
pengetahuan/keterampilan tertentu. Karena menyadari bakat anaknya yang luar
biasa di bidang musik atau sekadar demi mengisi waktu di luar sekolah dengan
kegiatan-kegiatan positif-didaktis, misalnya, orangtua mendatangkan guru musik
ke rumah. Atau mengingat daya tangkap anaknya yang relatif rendah dan lamban
untuk pelajaran tertentu, orangtua meminta seorang tutor untuk membantunya di
rumah.
Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan diatas, berbagai macam
kelebihan homeschooling dipaparkan, mulai dari sisi mutu pendidikan yang
disesuaikan dengan kondisi anak sampai pada tidak memasung potensi yang

5
dimiliki anak. Namun selain kelebihan yang ditawarkan tersebut, kita dihadapkan
pada satu masalah yaitu bagaimana penyesuaian diri anak tersebut? Apakah anak
tersebut dapat bersosialisasi dengan dunia luar sebaik teman-teman mereka yang
sekolah disekolah formal? Semakain sedikit teman sebaya yang ia temui semakin
sedikit waktu yang dia miliki untuk dapat merasakan dinamika pertemanan. Lalu
bagaimana dengan klik? bukankah masa remaja masa dimana salah satu tugas
perkembangan yang harus dilalui remaja adalah menjalin hubungan interpersonal.
Orangtua seharusnya juga menilik ulang fakta-fakta diatas.
Menurut Hollander (1981), penyesuaian diri adalah proses mempelajari
tindakan atau sikap yang baru untuk menghadapi situasi-situasi yang baru.
Penyesuaian diri terjadi ketika seseorang menghadapi kondisi lingkungan yang
baru dimana diperlukan adanya respon dari individu. Menurut Haber & Runyon
(1984), penyesuaian diri yang efektif dapat terjadi jika individu dapat menerima
keterbatasan- keterbatasan yang tidak dapat diubah namun tetap melakukan
modifikasi terhadap keterbatasan- keterbatasan itu seoptimal mungkin. Masa
peralihan remaja dari sekolah formal menjadi homeschooling biasanya melewati
masa yang disebut sebagai deschooling. Deschooling sendiri merupakan masa
(periode) dimana orangtua dapat membiarkan anaknya untuk beristirahat sejenak
dan beradaptasi dengan situasi baru mereka yang lebih bebas, sehingga mereka
diharapkan dapat mempersiapkan pengalaman sekolah yang berbeda dari sekolah
sebelumnya (Saba & Gattis, 2002). Ketika remaja dapat menyesuaikan diri
dengan baik pada masa transisi tersebut, diharapkan mereka dapat melaksanakan
homeschooling dengan sebaik-baiknya.
Pada umumnya remaja menghabiskan lebih banyak waktu bersama dengan
teman sebaya dibandingkan orangtua dan mendapatkan sumber afeksi, simpati,
pengertian, dan bimbingan moral dari teman sebayanya (Papalia, Olds, &
Feldman, 2004). Karakter interaksi dalam keluarga pun mulai berubah pada masa
remaja. Remaja mengalami tekanan antara ketergantungannya terhadap orang tua
dan kebutuhan untuk menjadi individu yang mandiri. Orang tua pun sering
memiliki perasaan yang bercampur aduk dalam diri mereka, mereka
menginginkan anak-anak mereka untuk menjadi mandiri tetapi mereka menyadari

6
bahwa sulit untuk dapat melepas anak mereka menjadi mandiri (Papalia et al.,
2004).

1.2. Identifikasi Masalah


Anak yang beralih dari sekolah formal ke homeschooling akan banyak
mengalami perubahan dalam lingkungan dan diri mereka, terutama ketika anak-
anak tersebut telah memasuki masa remaja. Hampir seluruh perubahan dalam
lingkungan yang terjadi menuntut seseorang untuk dapat menyesuaikan diri dalam
lingkungan baru. Begitu pula dengan remaja yang beralih dari sekolah formal
menuju homeschooling, mereka juga membutuhkan waktu untuk menyesuaikan
diri dengan keadaan yang baru. Penyesuaian diri tersebut dapat berupa
penyesuaian diri terhadap lingkungan yang baru dimana anak yang berasal dari
sekolah formal pada awalnya mempunyai banyak teman dan ketika mereka
beralih ke homeshooling, mereka akan “kehilangan” teman belajar seperti waktu
di sekolah formal. Selain itu, penyesuaian terhadap materi/kurikulum juga ikut
mempunyai andil dalam proses penyesuaian diri. Dalam sekolah formal, jadwal
kurikulum sudah terjadwal secara rapi, sedangkan dalam homeschooling, jadwal
materi dapat secara fleksibel ditentukan oleh siswa. Sehingga penentuan jadwal
materi inipun masihlah membutuhkan penyesuaian karena anak dituntut untuk
membuat jadwal sendiri.
Kebutuhan remaja untuk menjadi mandiri dan lebih banyak menghabiskan
waktu dengan teman sebaya, akan berbeda apabila mereka dipindahkan dari
sekolah formalnya dan kemudian melaksanakan homeschooling yang lebih
banyak menghabiskan waktu di rumah bersama keluarga. Dengan adanya
dinamika dalam masa perkembangan remaja tersebut yang ditambah dengan
perubahan lingkungan yang dialami oleh remaja yang beralih dari sekolah formal
ke homeschooling, peneliti ingin melihat bagaimana proses penyesuaian diri yang
terjadi pada remaja yang beralih dari sekolah formal ke homeschooling?
Penyesuaian diri yang akan dilihat dalam penelitian ini akan lebih banyak berkisar
pada kehidupan psikososial dan kegiatan akademisnya. Pertimbangan peneliti
untuk lebih menitikberatkan pada kehidupan psikososial karena hal tersebut

7
merupakan isu yang banyak mendapat sorotan di masa perkembangan remaja dan
pada remaja yang melaksanakan homeschooling. Selain itu, kegiatan akademis
juga akan ditinjau lebih dalam dengan pertimbangan adanya perbedaan dalam
kegiatan akademis di sekolah formal dengan homeschooling.

1.3. Fokus Penelitian


Berawal dari keingintahuan peneliti untuk mendapatkan gambaran
mengenai perilaku penyesuaian yang dilakukan oleh remaja yang pindah dari
sekolah formal ke homeschooling, maka dapat dirumuskan masalah penelitian :
Bagaimana pola penyesuaian diri pada remaja yang pindah dari sekolah
formal ke homeschooling ?

1.4. Keunikan Penelitian


Keunikan dari penelitian kami bila dibandingkan dengan penelitian lain
adalah, bahwa si Indonesia, khususnya Surabaya, homeschooling masing sangat
jarang dijadikan pilihan bagi orang tua siswa untuk menyekolahkan anaknya.
Berdeda dengan di Amerika yang mana homeschooling ini lebih akrab ditemui
sebagai pilihan orang tua dalam menyekolahkan anaknya. Mengingat
minoritasnya di wilayah Indonesia, khususnya Surabaya tadi, maka kemungkinan
besar, secara psikolosial akan diperoleh hasil yang berbeda. Selain itu paham yang
biasa dianut orang Indonesia adalah paham kolektivisme, berbeda dengan
Amerika Serikat yang mayoritas menggunakan paham individual. Inilah yang
menjadi keunikan penelitian bila kami lakukan disini. Menilik beberapa anteseden
yang berbeda tadi, membuat bahwa aspek psikologis siswa homeschooling
Indonesia tentu akan mengalami perbedaan mendasar bila dibandingkan dengan
aspek psikologis siswa homeschooling Amerika. Demikianlah keunikan yang
dapat dipertimbangan dalam melakukan penelitian.

8
1.5. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Mengetahui bagaimana penyesuaian diri pada remaja yang pindah dari
sekolah formal ke homeschooling
2. Mengetahui perkembangan psikososial remaja yang pindah ke
homeschooling
3. Mengetahui bagaimana perbedaan kegiatan akademis pada homeschooling
dibandingkan dengan sekolah formal

1.6. Manfaat Penelitian


1.6.1 Manfaat Teoritis
Manfaat secara teoritis yang diharapkan dari penelitian ini ialah dapat
memberikan tambahan informasi mengenai pola penyesuaian diri yang
dilakukan remaja yang pindah dari sekolah formal ke homeschooling yang
dilihat dari perbedaan kegiatan akademis dan perkembangan psikososisal
remaja tersebut, serta diharapkan dapat bermanfaat dan menjadi masukan bagi
penelitian replikasi atau penelitian lanjutan mengenai topik yang sama.
1.6.2 Manfaat Praktis
Manfaat praktis yang diharapkan dari penelitian ini ialah memberikan
gambaran bagi orang tua dan pihak-pihak yang terlibat dalam pendidikan,
khususnya pendidikan homeschooling, tentang penyesuaian diri remaja yang
beralih ke homeschooling, sehingga orang tua dan pihak-pihak terkait dapat
membantu perkembangan psikososial remaja tersebut dalam penyesuaian
dirinya.

9
BAB II
PERSPEKTIF TEORITIS

2.1 Kajian Pustaka


2.1.1 Penyesuaian Diri
2.1.1.1 Pengertian Penyesuaian Diri
Penyesuaian diri pada awalnya berasal dari suatu pengertian yang
didasarkan pada ilmu biologi yang diutarakan oleh Charles Darwin yang terkenal
dengan teori evolusinya. Ia mengatakan “Genetics changes can improve the
ability of organism to survive, reproduce, and in animals, raise off springs, this
process is called adaptation” (Microsoft Encarta Ancyclopedia, 2002).
Sesuai dengan pengertian tersebut, maka tingkah laku manusia dapat
dipandang sebagai reaksi terhadap berbagai unsur alam lainnya. Semua makhluk
hidup secara alami dibekali kemampuan untuk menolong dirinya sendiri dengan
cara menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungan materi dan alam agar dapat
bertahan hidup.
Penyesuaian diri merupakan kebutuhan bagi setiap individu dan
merupakan salah satu persyaratan penting bagi kesehatan jiwa/mental individu.
Dan tentunya merupakan harapan bagi setiap individu untuk dapat menyesuaikan
diri dimanapun ia berada. Namun tidak jarang kita temui individu yang menderita
dan tidak mampu mencapai kebahagiaan dalam hidupnya, karena
ketidakmampuannya dalam menyesuaikan diri.
Schneiders (1960 dalam Marulianasari,1995) mengungkapkan bahwa
penyesuaian diri merupakan proses yang meliputi respon mental dan perilaku
dimana individu berusaha mengatasi kebutuhan, ketegangan frustasi dan konflik
yang berasal dari dalam dirinya dengan berhasil dan menghasilkan suatu derajat
kesesuaian antara tuntutan-tuntutan yang berasal dari dalam dirinya dengan dunia
obyektif dimana ia berada.
Penyesuaian diri juga merupakan keberhasilan individu untuk mengadakan
hubungan dengan orang lain secara umum atau dengan kelompok dan
memperlihatkan sikap serta tingkah laku yang menyenangkan. Keberhasilan

10
dalam pencapaiannya akan membawa individu menuju pada kesehatan mental
dimana individu dapat memecahkan masalahnya secara realistik, menerima
dengan baik sesuatu yang tidak dapat dielakkan, mengerti dan menerima
kekurangan yang ada pada dirinya dan kekurangan dengan orang lain yang
bekerjasama dengan dirinya. (Hurlock,1984)
Selain itu keberhasilan dalam menyesuaikan diri akan menimbulkan rasa
puas, bertambahnya kepercayaan diri sendiri, kepercayaan terhadap kemampuan
diri dan menambah harga diri. Semakin baik penyesuaian diri suatu individu maka
akan bertambah baik pula hubungan individu tersebut dengan dunia luarnya.
Manusia adalah makhluk yang dinamis. Kehidupan manusia selalu
berubah. Menurut Maramis (1980:60), dalam dunia yang berubah-ubah manusia
harus senantiasa melakukan penyesuaian diri. Maramis (1995:69) memandang
penyesuaian diri sebagai suatu keadaan yang homeostatis, yaitu usaha suatu
organisme yang dengan cara terus menerus mempertahankan keadaan
keseimbangan dalam batas tertentu supaya dapat hidup terus.
Gilmer (1984:66) mendefinisikan penyesuaian diri sebagai proses untuk
mencapai keseimbangan antara kebutuhan, stimulus, dan kesempatan yang
ditawarkan lingkungan. Proses tersebut terdiri dari usaha-usaha untuk memuaskan
kebutuhan dengan menguasai rintangan dari luar maupun dalam, serta
menyesuaikan diri dengan keadaan yang dihadapi.
Lazarus (1976:15) mengemukakan dua pengertian penyesuaian diri, yaitu :
1. Penyesuaian diri sebagai suatu achievement, yang berkenaan dengan
apakah individu berhasil menyelesaikan aktifitas, ketegangan, dan
konflik-konflik yang dihadapi dengan baik atau tidak.
2. Penyesuaian diri sebagai suatu proses yang berkenaan dengan
bagaimana individu melakukan penyesuaian di bawah kondisi yang
berbeda-beda dan faktor-faktor yang mempengaruhi proses ini.
Menurut Powell (1983) terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi
individu dalam melakukan penyesuaian diri, yang disebut sebagai resources.
Resources yang memiliki asosiasi tinggi dengan penyesuaian diri dalam hidup
adalah hubungan yang baik dengan keluarga dan orang lain, keadaan fisik,

11
kecerdasan, minat di luar pekerjaan, keyakinan yang bersifat religius, kemampuan
keuangan, dan impian. Selain itu digunakan pula lima karakteristik penyesuaian
diri efektif menurut Haber & Runyon (1984) yaitu persepsi yang akurat terhadap
realitas, kemampuan untuk mengatasi kecemasan dan stres, citra diri yang positif,
kemampuan untuk mengekspresikan perasaannya, serta hubungan antarpribadi
yang baik.
Berdasarkan pendapat beberapa tokoh tersebut, peneliti menyimpulkan
bahwa penyesuaian diri adalah usaha dan variasi respon-respon yang terus
menerus dilakukan dan dikeluarkan individu sebagai suatu proses dinamis untuk
mengatasi hambatan, ketegangan, konflik, frustasi dalam upayanya untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan dan tujuan tertentu serta tuntutan baik dari dalam
diri maupun lingkungan sehingga diperoleh kesesuaian antara individu dengan
lingkungannya, keseimbangan dan keharmonisan serta arti dalam kehidupan. Atau
dengan kata lain definisi dari penyesuaian diri ini adalah suatu upaya individu
untuk mencari titik temu antara kondisi dirinya dengan konflik dan perubahan
yang terjadi dalam hidupnya sehingga terjadi hubungan yang menyenangkan
antara keadaan dirinya dengan keadaan lingkungan luar dimanapun dirinya
berada.

2.1.1.2. Klasifikasi Penyesuaian Diri


Schneider (1960 dalam Marulianasari, 1995) mengklasifikasikan
penyesuaian diri ke dalam 3 kategori, yaitu :
1. Klasifikasi berdasarkan gejala-gejala dan akibat.
Penyesuaian diri dapat diklasifikasikan menurut gejala-gejala atau tipe-
tipe orang yang terlibat. Kategorinya antara lain : neuropsikotik,
psikopatik, perverted, eksentrik dan epilepsi. Klasifikasi ini lebih
ditujukan pada psikologi abnormal dan psikiatri daripada psikologi
penyesuaian diri.
2. Klasifikasi berdasarkan macam-macam respon
Penyesuaian diri dapat dikelompokkan menurut macam-macam respon
atau kualitas reaksi yang melibatkan bagaimana individu mengatasi

12
tuntutan, masalah-masalah, konflik dan frustasi. Klasifikasi berguna untuk
mempelajari penyesuaian diri dengan memfokuskan perhatian pada proses
mental dan perilaku yang terjadi dalam situasi penyesuaian diri.
Dalam klasifikasi ini, penyesuaian diri dibedakan sebagai berikut :
a. Penyesuaian diri normal
b. Penyesuaian diri yang dimaksud untuk mempertahankan diri
c. Penyesuaian diri melalui escape dan withdrawing
d. Penyesuaian diri melalui rasa sakit
e. Penyesuaian diri melalui agresi
Pola yang berbeda dari penyesuaian diri tersebut diambil dari batasan-
batasan umum “pattern of adjustment”.
3. Klasifikasi berdasarkan permasalahan
Penyesuaian diri dapat juga dikelompokkan berdasar permasalahan atau
situasi-situasi yang melibatkan tuntutan-tuntutan dari diri sendiri dan
tuntutan lingkungan.
Penyesuaian diri dapat dikelompokkan menjadi enam, yaitu :
a. Penyesuaian diri pribadi (personal adjustment)
b. Penyesuaian sosial (social adjustment)
c. Penyesuaian keluarga dan rumah (home and family adjustment)
d. Penyesuaian akademis (academic adjustment)
e. Penyesuaian pekerjaan (vocational adjustment)
f. Penyesuaian perkawinan (marital adjustment)

2.1.1.3. Aspek-aspek Penyesuaian Diri


Pada dasarnya penyesuaian diri memiliki dua aspek yaitu: penyesuaian
pribadi dan penyesuaian sosial. Untuk lebih jelasnya kedua aspek tersebut akan
diuraikan sebagai berikut :
1. Penyesuaian Pribadi
Penyesuaian pribadi adalah kemampuan individu untuk menerima dirinya
sendiri sehingga tercapai hubungan yang harmonis antara dirinya dengan
lingkungan sekitarnya. Ia menyadari sepenuhnya siapa dirinya sebenarnya, apa

13
kelebihan dan kekurangannya dan mampu bertindak obyektif sesuai dengan
kondisi dirinya tersebut. Keberhasilan penyesuaian pribadi ditandai dengan tidak
adanya rasa benci, lari dari kenyataan atau tanggungjawab, dongkol. kecewa, atau
tidak percaya pada kondisi dirinya. Kehidupan kejiwaannya ditandai dengan tidak
adanya kegoncangan atau kecemasan yang menyertai rasa bersalah, rasa cemas,
rasa tidak puas, rasa kurang dan keluhan terhadap nasib yang dialaminya.
Sebaliknya kegagalan penyesuaian pribadi ditandai dengan keguncangan
emosi, kecemasan, ketidakpuasan dan keluhan terhadap nasib yang dialaminya,
sebagai akibat adanya gap antara individu dengan tuntutan yang diharapkan oleh
lingkungan. Gap inilah yang menjadi sumber terjadinya konflik yang kemudian
terwujud dalam rasa takut dan kecemasan, sehingga untuk meredakannya individu
harus melakukan penyesuaian diri.
2. Penyesuaian Sosial
Setiap individu hidup di dalam masyarakat. Di dalam masyarakat
tersebut terdapat proses saling mempengaruhi satu sama lain silih berganti. Dari
proses tersebut timbul suatu pola kebudayaan dan tingkah laku sesuai dengan
sejumlah aturan, hukum, adat dan nilai-nilai yang mereka patuhi, demi untuk
mencapai penyelesaian bagi persoalan-persoalan hidup sehari-hari. Dalam bidang
ilmu psikologi sosial, proses ini dikenal dengan proses penyesuaian sosial.
Penyesuaian sosial terjadi dalam lingkup hubungan sosial tempat individu hidup
dan berinteraksi dengan orang lain. Hubungan-hubungan tersebut mencakup
hubungan dengan masyarakat di sekitar tempat tinggalnya, keluarga, sekolah,
teman atau masyarakat luas secara umum. Dalam hal ini individu dan masyarakat
sebenarnya sama-sama memberikan dampak bagi komunitas. Individu menyerap
berbagai informasi, budaya dan adat istiadat yang ada, sementara komunitas
(masyarakat) diperkaya oleh eksistensi atau karya yang diberikan oleh sang
individu.
Apa yang diserap atau dipelajari individu dalam proses interaksi dengan
masyarakat masih belum cukup untuk menyempurnakan penyesuaian sosial yang
memungkinkan individu untuk mencapai penyesuaian pribadi dan sosial dengan
cukup baik. Proses berikutnya yang harus dilakukan individu dalam penyesuaian

14
sosial adalah kemauan untuk mematuhi norma-norma dan peraturan sosial
kemasyarakatan. Setiap masyarakat biasanya memiliki aturan yang tersusun
dengan sejumlah ketentuan dan norma atau nilai-nilai tertentu yang mengatur
hubungan individu dengan kelompok. Dalam proses penyesuaian sosial individu
mulai berkenalan dengan kaidah-kaidah dan peraturan-peraturan tersebut lalu
mematuhinya sehingga menjadi bagian dari pembentukan jiwa sosial pada dirinya
dan menjadi pola tingkah laku kelompok.
Kedua hal tersebut merupakan proses pertumbuhan kemampuan individu
dalam rangka penyesuaian sosial untuk menahan dan mengendalikan diri.
Pertumbuhan kemampuan ketika mengalami proses penyesuaian sosial, berfungsi
seperti pengawas yang mengatur kehidupan sosial dan kejiwaan. Boleh jadi hal
inilah yang dikatakan Freud sebagai hati nurani (super ego), yang berusaha
mengendalikan kehidupan individu dari segi penerimaan dan kerelaannya
terhadap beberapa pola perilaku yang disukai dan diterima oleh masyarakat, serta
menolak dan menjauhi hal-hal yang tidak diterima oleh masyarakat.

2.1.1.4. Pembentukan Penyesuaian Diri


Penyesuaian diri yang baik, yang selalu ingin diraih setiap orang, tidak
akan dapat tercapai, kecuali bila kehidupan orang tersebut benar-benar terhindar
dari tekanan, kegoncangan dan ketegangan jiwa yang bermacam-macam, dan
orang tersebut mampu untuk menghadapi kesukaran dengan cara objektif serta
berpengaruh bagi kehidupannya, serta menikmati kehidupannya dengan stabil,
tenang, merasa senang, tertarik untuk bekerja, dan berprestasi.
Pada dasarnya penyesuaian diri melibatkan individu dengan
lingkungannya, pada penulisan ini beberapa lingkungan yang dianggap dapat
menciptakan penyesuaian diri yang cukup sehat bagi remaja, diantaranya adalah
sebagai berikut:
a. Lingkungan Keluarga
Semua konflik dan tekanan yang ada dapat dihindarkan atau
dipecahkan bila individu dibesarkan dalam keluarga dimana terdapat
keamanan, cinta, respek, toleransi dan kehangatan. Dengan demikian

15
penyesuaian diri akan menjadi lebih baik bila dalam keluarga individu
merasakan bahwa kehidupannya berarti.
Rasa dekat dengan keluarga adalah salah satu kebutuhan pokok
bagi perkembangan jiwa seorang individu. Dalam prakteknya banyak
orangtua yang mengetahui hal ini namun mengabaikannya dengan alasan
mengejar karir dan mencari penghasilan yang besar demi memenuhi
kebutuhan ekonomi keluarga dan menjamin masa depan anak-anak. Hal
ini seringkali ditanggapi negatif oleh anak dengan merasa bahwa dirinya
tidak disayangi, diremehkan bahkan dibenci. Bila hal tersebut terjadi
berulang-ulang dalam jangka waktu yang cukup panjang (terutama pada
masa kanak-kanak) maka akan sangat berpengaruh terhadap kemampuan
individu dalam menyesuaikan diri di kemudian hari. Meskipun bagi
remaja hal ini kurang berpengaruh, karena remaja sudah lebih matang
tingkat pemahamannya, namun tidak menutup kemungkinan pada
beberapa remaja kondisi tersebut akan membuat dirinya tertekan, cemas
dan stres.
Berdasarkan kenyataan tersebut diatas maka pemenuhan
kebutuhan anak akan rasa kekeluargaan harus diperhatikan. Orang tua
harus terus berusaha untuk meningkatkan kualitas pengasuhan,
pengawasan dan penjagaan pada anaknya; jangan semata-mata
menyerahkannya pada pembantu. Jangan sampai semua urusan makan dan
pakaian diserahkan pada orang lain karena hal demikian dapat membuat
anak tidak memiliki rasa aman.
Lingkungan keluarga juga merupakan lahan untuk
mengembangkan berbagai kemampuan, yang dipelajari melalui
permainan, senda gurau, sandiwara dan pengalaman-pengalaman sehari-
hari di dalam keluarga. Tidak diragukan lagi bahwa dorongan semangat
dan persaingan antara anggota keluarga yang dilakukan secara sehat
memiliki pengaruh yang penting dalam perkembangan kejiwaan seorang
individu. Oleh sebab itu, orangtua sebaiknya jangan menghadapkan
individu pada hal-hal yang tidak dimengerti olehnya atau sesuatu yang

16
sangat sulit untuk dilakukan olehnya, sebab hal tersebut memupuk rasa
putus asa pada jiwa individu tersebut.
b. Lingkungan Teman Sebaya
Begitu pula dalam kehidupan pertemanan, pembentukan hubungan
yang erat diantara kawan-kawan semakin penting pada masa remaja
dibandingkan masa-masa lainnya. Suatu hal yang sulit bagi remaja
menjauh dari temannya, individu mencurahkan kepada teman-temannya
apa yang tersimpan di dalam hatinya, dari angan-angan, pemikiran dan
perasaan. Ia mengungkapkan kepada mereka secara bebas tentang
rencananya, cita-citanya dan dorongan-dorongannya. Dalam semua itu
individu menemukan telinga yang mau mendengarkan apa yang
dikatakannya dan hati yang terbuka untuk bersatu dengannya.
Dengan demikian pengertian yang diterima dari temanya akan
membantu dirinya dalam penerimaan terhadap keadaan dirinya sendiri,
ini sangat membantu diri individu dalam memahami pola-pola dan ciri-
ciri yang menjadikan dirinya berbeda dari orang lain. Semakin mengerti
ia akan dirinya maka individu akan semakin meningkat kebutuhannya
untuk berusaha untuk menerima dirinya dan mengetahui kekuatan dan
kelemahannya. Dengan demikian ia akan menemukan cara penyesuaian
diri yang tepat sessuai dengan potensi yang dimilikinya.
c. Lingkungan Sekolah
Sekolah mempunyai tugas yang tidak hanya terbatas pada masalah
pengetahuan dan informasi saja, akan tetapi juga mencakup
tanggungjawab pendidikan secara luas. Demikian pula dengan guru,
tugasnya tidak hanya mengajar, tetapi juga berperan sebagai pendidik
yang menjadi pembentuk masa depan, ia adalah langkah pertama dalam
pembentukan kehidupan yang menuntut individu untuk menyesuaikan
dirinya dengan lingkungan.
Pendidikan modern menuntut guru atau pendidik untuk
mengamati perkembangan individu dan mampu menyusun sistem
pendidikan sesuai dengan perkembangan tersebut. Dalam pengertian ini

17
berarti proses pendidikan merupakan penciptaan penyesuaian antara
individu dengan nilai-nilai yang diharuskan oleh lingkungan menurut
kepentingan perkembangan dan spiritual individu. Keberhasilan proses
ini sangat bergantung pada cara kerja dan metode yang digunakan oleh
pendidik dalam penyesuaian tersebut. Jadi disini peran guru sangat
berperan penting dalam pembentukan kemampuan penyesuaian diri
individu.
Pendidikan remaja hendaknya tidak didasarkan atas tekanan atau
sejumlah bentuk kekerasan dan paksaan, karena pola pendidikan seperti
itu hanya akan membawa kepada pertentangan antara orang dewasa
dengan anak-anak sekolah. Jika para remaja merasa bahwa mereka
disayangi dan diterima sebagai teman dalam proses pendidikan dan
pengembangan mereka, maka tidak akan ada kesempatan untuk terjadi
pertentangan antar generasi.

2.1.1.5. Bentuk-Bentuk Penyesuaian Diri


Menurut Gunarsa (1995:92-104) terdapat sembilan bentuk penyesuaian
diri, yaitu :
1. Perilaku Kompensatoris
Istilah kompensatoris sering diartikan sebagai konsep umum yang
meliputi berbagai macam bentuk khusus penyesuaian terhadap kegagalan
dan ketidakcocokan seperti halnya rasionalisasi, kritik, sublimasi dan
bentuk-bentuk perilaku pengganti (substitute) lainnya.
Ada pula yang mengartikan kompensasi sebagai usaha khusus untuk
mengurangi ketegangan-ketegangan atau kekurangan-kekurangan karena
adanya kerusakan. Penekanan diberikan pada berfungsinya suatu sifat atau
ciri tertentu yang dipakai untuk mengalihkan perhatian orang lain dan
defeknya. Perilaku pengganti atau kompensatoris ini mungkin dapat
diterima mungkin juga ditolak.
2. Perilaku menarikperhatian orang lain (Attention-seeking behavior)

18
Keinginan untuk memperoleh perhatian merupakan sifat yang paling
normal. Penerimaan sosial (commendation) biasanya yang paling
memuaskan. Bahkan masih lebih memuaskan apabila ditolak oleh umum
daripada diacuhkan atau diabaikan oleh beberapa orang. Seseorang dengan
penyesuaian diri yang baik akan memperoleh perhatian. Apabila
tingkahlaku biasa tidak dapat menimbulakan perhatian yang diiinginkan
maka seseorang akan melakukan tindakan-tindakan yang mengheohkan
untuk menarik perhatian orang terhadap dirinya. Keinginan ini biasa terlihat
pada anak-anak tetapi juga merupakan cirri pada masa remaja ataupun
dewasa.
3. Memperkuat diri melalui kritik
Seringkali menyadari akan kurangnya kemampuan diri dalam mengatasi
tuntutan sosial akan membentuk sikap kritis terhadap orang lain, khususnya
bila orang lain memperhatikan keberhasilannya dalam penyesuaian
terhadap beberapa situasi sedangkan dirinya sendiri mengalami kegagalan.
Suatu bentuk yang normal dan banyak terlihat adalah ‘gosip’ yang dapat
menjadi gejala dari ketidakmampuan penyesuaian diri.
Kritik yang baik diberikan kepada seseorang dapat dikatakan
merupakan suatu tanda bersahabat dan perhatiannya terhadap orang tersebut
bila ada kesalahan yang terlihat. Kritik diri sendiri berdasarkan keinginan
untuk memperbaiki tingkah laku sendiri merupakan hal yang umum, karena
merupakan suatu bentuk tingkah laku penyesuaian.
4. Identifikasi
Pembentukan pola-pola identifikasi merupakan bentuk penyesuaian
yang tidak merugikan. Identifikasi sebagai suatu alat kompensasi dapat
dimulai pada umur yang muda, misalnya anak kecil mengidentifikasikan
dirinya dengan orang tua yang dibanggakan. Identifikasi yang tidak
dianjurkan adalah identifikasi yang sedemikian rupa sehingga orang
tersebut kehilangan individulitas diri, ia tidak lagi menyadari dirinya
sebagai pribadi akan tetapi mengambil alih keseluruhan pikiran maupun
perbuatan dari yang menjadi objek identifikasinya.

19
5. Sikap Proyeksi
Pada umumnya seseorang tidak senang mengakui kesalahan maupun
ketidakmampuannya kepada orang lain. Lebih mudah dan menyenangkan
apabila kegagalan ataupun sebab dari kegagalan sendiri diproyeksikan pada
orang lain atau pada objek lain dari lingkungan.
Alasan merupakan proyeksi mungkin saja benar akan tetapi pada
umumnya merupakan suatu dalih (alasan). Sikap proyeksi dapat juga
dipakai sebagai pembenaran suatu kesalahan. Proyeksi melindungi individu
dari perasaan sia-sia sebagai akibat pengaruh kesalahan-kesalahannya.
Apabila sebab kegagalan selalu diproyeksikan pada orang lain dan
menimbulkan suatu keadaan yang tidak enak maka keadaan emosi seperti
ini dapat menimbulkan gangguan mental.
Integrasi proyeksi yang terjadi dari konflik-konflik yang disebabkan
oleh kesadaran kegagalan seseorang dan usaha untuk menerangkan
kegagalan dengan cara yang baik, dapat mengurangi ketegangan-
ketegangan.
6. Rasionalisasi
Rasionalisasi merupakan usaha untuk membuktikan bahwa
perbuatannya (yang sebenarnya tidak baik) rasional adanya, dapat
dibenarkan dan dapat diterima. Misalnya, A tidak dapat bermain
bulutangkis karena tidak enak badan, padahal sebenarnya A takut kalah.
Tanda-tanda terjadinya rasionalisasi adalah mencari-cari alasan untuk
membenarkan perbuatan atau kepercayaannya, tidak sanggup mengenali
hal-hal yang tidak tetap atau bertentangan, menjadi bingung atau marah bila
‘alasannya’ diragukan orang lain (Maramis, 1994:74)
Akibat dari rasionalisasi umumnya lingkungan sosial mau menerima
penggunaan rasionalisasi bila tidak terlalu sering. Apabila terlalu sering
memakai rasionalisasi sebagai pembenaran diri maka lingkungan akan
menolaknya dan penyesuaian sosial akan sulit tercapai karena dihalangi
oleh sikap lingkungan yang tidak menyukainya.

20
Penggunaan rasionalisasi secara terus-menerus akan sampai pada
pembentukan nilai palsu terhadap pribadinya sendiri. Bahkan mungkin saja
sampai pada suatu keadaan dimana individu tidak dapat berbicara jujur lagi.
Apabila rasionalisasi disertai proyeksi akan terlihat keadaan seseorang
dimana alasan-alasan kegagalannya sama sekali dilepaskan dari
ketidakmampuannya, selalu menyalahkan orang lain, dan keadaan di luar
dirinya sebagai sumber kegagalannya.
7. Sublimasi
Sublimasi memungkinkan seseorang menyalurkan aktivitasnya dengan
aktivitas pengganti yang dapat diterima umum, untuk menghindari stress
emosi. Seseorang akan yakin betul bahwa aktivitas pengganti telah
digerakkan oleh sikap-sikap sosial yang baik.
Sublimasi mempunyai arti sosial. Nilai sosial ini terletak pada
keinginan-keinginan diri sendiri dan dorongan primitif yang
menguntungkan bagi orang lain atau anggota kelompok lainnya. Hal ini
memuaskan karena penyaluran energi ke dalam aktivitas tersebut
memuaskan bagi kedua belah pihak yaitu individu sendiri dan pihak lain
yang dikenai aktivitas tersebut.
Apabila aktivitas yang lebih luas ini berhasil, maka segala ketegangan
atau perasaan terhalang telah berubah atau hilang sama sekali dan orang
tersebut menjadi anggota masyarakat yang baik penyesuaiannya.
Penyaluran energi emosi disalurkan ke dalam kegiatan-kegiatan seperti seni
musik atau seni sastra. Seorang ibu yang anak-anaknya sudah meningkat
dewasa dan meninggalkan rumah, akan mengalihkan dorongan keibuannya
ke arah kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan kesejahteraan sosial
dan lain-lain.
Banyak dorongan primitif yang menggerakkan seorang individu untuk
melakukan sesuatu dihubungkan dengan bertahannya ‘self’ (survival of the
self). Sejauh mana penyaluran dorongan tersebut tidak anti sosial hal
tersebut dapat diterima. Seorang individu lebih bersifat anti sosial daripada
sosial, artinya semua motif-motif dasar ditunjukan pada tujuan sendiri.

21
Sublimasi sebagai bentuk tingkah laku penurunan ketegangan memberikan
penyesuaian yang baik, kecuali bila sublimasi berpola ekstrim akan terjadi
ketidakmampuan penyesuaian.
8. Melamun dan mrngkhayal sebagai cara penyesuaian
Apabila penyesuaian pemuasan diri tidak mungkin, maka dipakai
penyesuaian melalui khayalan. Melamun merupakan kecenderungan yang
memperbolehkan khayalan bermain dengan ide-ide yang merupakan
perwujudan
9. Represi
Jika tanpa diketahui, seseorang mengeluarkan pengalaman atau perasaan
tertentu dari kesadarannya, berarti ia melakukan suatu reaksi penyesuaian
yang disebut represi. Tidak semua repesi negatif. Jiwa manusia adalah jiwa
ajaib yang berkecenderungan untuk menekan aspek-aspek yang tidak
menyenangkan.

2.1.2. Remaja
2.1.2.1. Definisi Remaja
Istilah adolescence atau remaja berasal dari kata Latin adolescere (kata
bendanya adolescentia yang berarti remaja) yang berarti “tumbuh” atau “tumbuh
menjadi dewasa”. Istilah adolescene, seperti yang telah digunakan saat ini,
memiliki arti yang lebih luas yaitu mencakup kematangan mental, emosional,
sosial, dan fisik. Pandangan ini seperti yang dikemukakan oleh Piaget, bahwa:
“Secara psikologis, masa remaja adalah usia dimana individu berintegrasi
dengan masyarakat dewasa, usia dimana anak-anak tidak lagi merasa dibawah
tingkat orang-orang yang lebih tua melainkan berada dalam tingkatan yang sama,
sekurang-kurangnya dalam masalah hak… Termasuk juga perubahan intelektual
yang mencolok…” (Hurlock, 2004 : 206).
Menurut Monks (2002 : 262) masa remaja berlangsung antara usia 12-21
tahun, dengan pembagian 12-15 tahun : masa remaja awal; 15-18 tahun : masa
remaja pertengahan; 18-21 tahun : masa remaja akhir. Titik tolak remaja adalah
adanya macam-macam gejala perubahan pada remaja, perubahan yang dialami

22
dilatarbelakangi oleh masa peralihan. Masa remaja menunjukkan masa transisi
atau peralihan karena remaja belum memperoleh status orang dewasa tetapi tidak
lagi memiliki status anak-anak. Perbedaan proses perkembangan yang jelas pada
masa remaja ini adalah perkembangann psikoseksualitas dan emosionalitas yang
mempengaruhi tingkah laku remaja, yang sebelumnya pada masa anak-anak tidak
nyata pengaruhnya (Singgih & Singgih, 1988 : 3).
Menurut teori perkembangan Eric Erikson, masa remaja didefinisikan
sebagai masa dimana individu dihadapkan dengan penemuan siapa mereka,
bagaimana mereka nanti, dan kemana mereka menuju kehidupannya. Remaja
dihadapkan dengan banyak peran baru dan status orang dewasa. Erikson
menyebut masa ini dengan istilah fase identitas dan kebingungan identitas yang
berlangsung antara usia 10 hingga 20 tahun (Santrock, 2002 : 40-41).

2.1.2.2. Ciri-Ciri Perkembangan Remaja


Ada beberapa ciri-ciri perkembangan remaja yang perlu diuraikan
sehubungan dengan perubahan-perubahan yang terjadi pada diri remaja. Ciri-ciri
perkembangan tersebut terdiri dari ciri-ciri perkembangan fisik, psikologis, dan
sosial.
 Perkembangan Fisik
Pertumbuhan fisik remaja mengalami perubahan yang cepat, lebih
cepat dibandingkan dengan masa anak-anak dan masa dewasa. Hal ini
dapat menimbulkan kekhawatiran-kekhawatiran pada diri mereka.
Sebagaimana yang dikatakan oleh (Deradjat,1976) remaja khawatir
akan ketidaksempurnaan tubuh mereka. Hal lain yang dikhawatirkan
adalah bentuk badan yang terlalu gemuk, terlalu kurus, terlalu pendek,
terlalu jangkung, wajah yang kurang tampan atau cantik, ada jerawat,
dll.
Remaja sangat dipengaruhi oleh khayalan-khayalan tentang
bentuk tubuh yang ideal yang ada pada budayanya. Mereka mungkin
akan menarik diri dari kontak sosial, sehingga mereka akan terisolasi
dari lingkungan pergaulannya (Rice,1987). Ini berarti bahwa penilaian

23
diri terhadap tubuhnya sendiri akan mempengaruhi sikap dan perilaku
individu.
 Perkembangan Psikologis
Menurut Piaget sebagaimana yang ditulis oleh Gunarsa (1988 :
62-64), pada awal masa remaja mulai berkembang bentuk-bentuk
pikiran yang formil, yaitu pemikiran mengenai hal-hal yang tidak
kelihatan atau peristiwa yang tidak dialami secara langsung. Perhatian
mereka diarahkan ke persoalan dunia, dan sekaligus untuk mencari cara
penyelesaiannya. Mereka juga memikirkan mengenai diri sendiri dan
refleksi diri. Kemampuan berfikir abstrak menyebabkan remaja
menunjukkan perhatian besar kepada kejadian dan peristiwa konkret,
seperti pilihan pekerjaan, corak hidup bermasyarakat, atau memilih
pasangan hidup yang sebenarnya masih jauh di depannya. Ini berarti
bahwa sepanjang masa remaja, terjadi pertumbuhan dan perkembangan
otak dan kemampuan berpikir remaja dalam menerima dan mengolah
informasi abstrak dari lingkungan, sehingga dengan perkembangan
kemampuan berpikirnya, seorang remaja telah dapat menilai benar-salah
atau baik-buruk perbuatan yang dilakukannya sehubungan dengan dunia
di sekitarnya.
 Perkembangan Sosial
Dalam perkembangan sosial remaja dapat dilihat dari adanya dua
macam arah gerak, yaitu memisahkan diri dari orang tua dan gerak yang
lain adalah menuju ke arah teman-teman sebaya. Dua macam arah gerak
ini bukan merupakan dua hal yang berurutan meskipun yang satu dapat
terkait dengan yang lain (Monks,1988). Pada masa ini sikap sosial
remaja sangat menonjol, lebih-lebih sikap sosial yang berhubungan
dengan teman sebaya. Sikap positif remaja terhadap teman sebaya
berkembang dengan pesat setelah remaja mengenal adanya kepentingan
dan kebutuhan yang sama. Remaja berusaha bersikap sesuai dengan
norma-norma kelompoknya. Sikap conform ini selalu dipertahankan
remaja, walaupun hal itu dapat menimbulkan pertentangan antar remaja

24
dengan orang tuanya akibat perbedaan nilai. Mappiare telah
menyimpulkan bahwa konsep diri pribadi (personal appearance) dapat
berkorelasi dengan konformitas terhadap kelompok, dengan tingkah
lakunya dan dengan citra diri (Mappiare,1982) Pernyataan ini diperkuat
oleh Ingersoll (1989) yang menyatakan bahwa masa remaja merupakan
periode kuatnya perilaku conform terhadap teman sebaya.

2.1.2.3. Tugas Perkembangan Remaja


Hurlock (1999) menekankan bahwa semua tugas perkembangan pada
masa remaja dipusatkan pada penanggulangan pada sikap dan pola perilaku yang
kekanak-kanakan dan mengadakan persiapan untuk menghadapi masa dewasa.
Adapun tugas perkembangan remaja itu adalah :
1. Mencapai peran sosial pria dan wanita
2. Mencapai hubungan baru dan yang lebih matang dengan teman sebaya
baik pria maupun wanita
3. Menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara efektif
4. Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang dewasa lainnya
5. Mempersiapkan karir ekonomi untuk masa yang akan datang
6. Mempersiapkan perkawinan dan keluarga
7. Memperoleh perangkat nilai dan sistem etis sebagai pegangan untuk
berperilaku dan mengembangkan ideologi

2.1.3. Penyesuaian Diri Remaja


Penyesuaian diri terhadap orang lain dan lingkungan sangat diperlukan
oleh setiap orang, terutama dalam usia remaja. Kerana pada usia ini remaja
banyak mengalami kegoncangan dan perubahan dalam dirinya. Apabila seseorang
tidak berhasil menyesuaikan diri pada masa kanak-kanaknya, maka ia dapat
mengejarnya atau memperbaikinya pada usia remaja. Akan tetapi apabila tidak
dapat menyesuaikan diri pada usia remaja, maka kesempatan untuk
memperbaikinya mungkin akan hilang untuk selama-lamanya, kecuali boleh
didapati melalui pengaruh pendidikan dan latihan-latihan. (Mu’tadin,2002)

25
Remaja yang mampu menyesuaikan diri dengan orang lain dan
lingkungannya mempunyai ciri-ciri antara lain; suka bekerjasama dengan orang
lain, simpati, mudah akrab, disiplin dan lain-lain. Sebaliknya bagi remaja yang
tidak mampu menyesuaikan dirinya dengan orang lain atau lingkungannya
mempunyai ciri-ciri; suka menonjolkan diri, menipu, suka bermusuhan, egoistik,
merendahkan orang lain, buruk sangka dan sebagainya.
Remaja sebagai suatu individu juga dituntut untuk dapat melakukan
penyesuaian diri. Menurut Carbalo (1978, dalam Sarwono 1989) terdapat enam
penyesuaian diri yang harus dilakukan oleh remaja, yaitu :
1. Menerima dan mengintegrasikan pertumbuhan badannya dalam
kepribadiannya.
2. Menentukan peran dan fungsi seksualnya yang adequate dalam
kebudayaan dimana ia berada
3. Mencapai kedewasaan dengan kemandirian, kepercayaan diri dan
kemampuan untuk menghadapi kehidupan
4. Mencapai posisi yang diterima oleh masyarakat
5. Mengembangkan hati nurani, tanggung jawab, moralitas dan nilai-nilai
yang sesuai dengan lingkungan dan kebudayaan.
6. Memecahkan problem-problem nyata dalam pengalaman diri sendiri dan
dalam kaitannya dengan lingkungan.

2.1.4. Sekolah Formal


2.1.4.1. Sekolah Sebagai Pusat Pendidikan Formal
Didalam lembaga pendidikan formal atau persekolah, kelahiran dan
pertumbuhan dari dan untuk masyarakat bersangkutan. Artinya, sekolah sebagai
pusat pendidikan formal merupakan perangkat masyarakat yang disertai
kewajiban memberikan pendidikan. Perangkat ini dikelola secara formal
mengikuti haluan yang pasti dan diperlakukan dimasyarakat bersangkutan. Fungsi
pemberian pendidikan tidak diserahkan sepenuhnya kepada lembaga persekolah.
Sekolah pengalaman belajar pada dasarnya dapat diperoleh disepanjang hidup

26
manusia, kapanpun dan dimanapun, termasuk dalam lingkungan keluarga dan
masyarakat itu sendiri.
Lembaga sosial formal dapat juga disebut sebagai satu organisasi yang
terikat kepada tata aturan formal berprogram, dan bertarget atau bersasaran yang
jelas, serta memiliki struktur kepemimpinan penyelenggara atau pengelolaan yang
resmi. Penjabaran dari fungsi sekolah sebagai pusat pendidikan formal, terlihat
pada tujuan institusional yaitu tujuan kelembagaan pada masing-masing jenis dan
tingkatan sekolah.
Tujuan institusional untuk masing-masing tingkat atau jenis pendidikan,
untuk pencapaiaannya ditopang oleh tujuan-tujuan kurikuler dan tujuan-tujuan
instruksional. Untuk tujuan institusional, kurikuler, maupun instruksional
semuanya diarahkan kepada pembentukan pribadi dan kemampuan warga
masyarakat yang menjadi target atau sasaran pendidikan dimasyarakat
bersangkutan. Ini merupakan konsekuensi logis dari kedudukan sekolah sebagai
lembaga sosial yang terorganisasi secara formal.

2.1.4.2. Hubungan Sekolah dengan Masyarakat


1. Pranata Sosial Dalam Masyarakat
Didalam masyarakat terdapat 5 macam pranata sosial yang masing-masing
mempunyai urusan dan fungsi esensial tertentu bagi kelangsungan hidup dan
perkembangan masyarakat bersangkutan diantaranya:
1) Pranata Pendidikan, urusan terletak pada upaya sosialisasi, sehingga
masyarakat memiliki kemampuan dan ciri-ciri pribadi sebagaimana
yang diharapkan oleh masyarakat bersangkutan.
2) Pranata Teknologi, berfungsi mengefesiensikan dan efektivitas kerja
didalam masyarakat yang terletak pada inovasi peralatan dan cara-cara
penanganan usaha.
3) Pranata Ekonomi, berfungsi untuk memperoleh kekayaan hidup secara
ekonomis, urusannya terletak pada upaya pemenuhan kemakmuran
hidup.

27
4) Pranata Politik, berfungsi untuk menciptakan integrasi dan stabilitas
hidup disuatu masyarakat.
5) Pranata Etika atau Moral, berfungsi pada upaya interpretasi tentang baik
buruknya penyikapan atau tindakan didalam pergaulan hidup
bermasyarakat.
Kehidupan pranata sosial tersebut, saling berhubungan dan saling
memperngaruhi antara satu dengan yang lainnya. Seperti halnya pranata
pendidikan yang berpengaruh dan juga dipengaruhi oleh pranata ekonomi,
begitupun halnya dengan pranata-pranata sosial lainnya.
2. Hubungan Sekolah dan Masyarakat
Hubungan antara sekolah dengan masyarakat dapat dilihat dari 2 segi, yaitu:
1) Sekolah sebagai mitra dari masyarakat didalam melakukan fungsi
pendidikan.
2) Sekolah sebagai produsen yang melayani pesanan-pesanan pendidikan
dari masyarakat lingkungannya.
Sekolah sebagai mitra masyarakat, berarti kedua-duanya dilihat sebagai
pusat pendidikan yang potensial. Dari sudut pandang tersebut dapat diberikan dua
gambaran hubungan fungsional diantara keduanya, yaitu:
1) Fungsi pendidikan di sekolah, sedikit banyak dipengaruhi pula oleh corak
pengalaman seseorang dilingkungan masyarakat. Kondusif tidaknya dan
positif tidaknya pengalaman seseorang dilingkungan masyarakat, tidak dapat
dielakkan pengaruhnya terhadap keberhasilan fungsi pendidikan disekolah..
2) Fungsi pendidikan di sekolah, sedikit banyak dipengaruhi oleh fungsional
tidaknya pendayagunaan sumber-sumber belajar perpustakaan umum,
museum, kebun binatang, peredaran koran atau majalah serta sumber-sumber
lainnya.

2.1.5 Homeschooling
2.1.5.1. Pengertian Homeschooling
Menurut Komunitas Sekolah Rumah Diknas: homeschooling adalah
proses layanan pendidikan yang dilakukan oleh orangtua/keluarga di rumah atau

28
tempat-tempat lain. Proses itu dilakukan secara sadar, teratur, dan terarah.
Tujuannya mengembangkan potensi unik secara maksimal tiap anak.
Didiet Adiputro (2008), Homeschool, atau sekolah rumah, adalah sebuah
aktivitas untuk menyekolahkan anak di rumah secara penuh. Homeschooling
merupakan sebuah pilihan dan khazanah alternatif pendidikan bagi orang tua
dalam meningkatkan mutu pendidikan, mengembangkan nilai iman (agama), dan
menginginkan suasana belajar yang lebih menyenangkan.
Ransom (2001) menyatakan bahwa terdapat dua hal penting, yaitu: (1)
sebagian besar pelaksana homeschooling melakukan aktivitas belajarnya di
rumah. Sebagian melaksanakan hampir seluruh kegiatan belajar di rumah, dengan
“membeli” kurikulum yang telah terstruktur; (2) dalam melaksanakan
homeschooling, orangtua dan anak bertanggung jawab terhadap pendidikan dan
proses belajar, memutuskan apa yang akan dipelajari, kapan waktu untuk belajar,
dan bagaimana cara belajarnya.
Menurut Dhanang Sasongko, Sekretaris Jenderal Asosiasi Sekolah Rumah
dan Pendidikan Alternatif (Asah Pena), kalau di Amerika Serikat (AS) dan di
dunia, homeschooling sudah lama berkembang. Di Indonesia mungkin ada yang
namanya Proses Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM). Homeschooling terdiri
dari tiga jenis. Pertama, homeschooling tunggal. Ini penggiatnya adalah satu
keluarga. Kemudian homeschooling majemuk terdiri dari dua keluarga, dan
terakhir homeschooling komunitas. Komunitas ini dibentuk dengan metode
pembelajarannya secara tutorial. Homeschooling tunggal dilakukan di rumah.
Homeschooling itu adalah bagaimana proses kegiatan belajar, di mana pun, kapan
pun, dan dengan siapa saja.

2.1.5.2. Sistem dan Metode Pembelajaran Homeschooling


Sistem pada homeschooling komunitas adalah beberapa keluarga
memberikan kepercayaannya untuk mendidik anak-anaknya ke dalam
homeschooling. Proses pembelajarannya melalui tutorial. Ini ada di salah satu
metode HS Kak Seto. Yang menjadi tutornya adalah tim yang bernama Badan
Tutorial. Mereka terdiri dari lulusan berbagai jenis profesi pendidikan. Mereka

29
melaksanakan, misalnya, pertemuan dua kali dalam satu minggu. Ada paket A
setara dengan Sekolah Dasar (SD), paket B setara Sekolah Menengah Pertama
(SMP) dan paket C setara Sekolah Menengah Atas (SMA). Jadi kunjungannya
adalah kunjungan ke komunitas. Bila keluarga atau peserta didik kekurangan
informasi akademisnya maka mereka bisa memanggil gurunya ke suatu tempat.
Jadi komunitas itu menyediakan suatu tempat. Misalnya, komunitas Berkemas
yang dipimpin Ibu Yaya atau Mbak Neno Warisman itu tempatnya di Pejaten.
Mereka berkumpul selama tiga jam. Hari Senin adalah untuk setara SMA, jadi
anak kelas satu, dua, dan tiga belajar dalam satu ruangan.
Homeschooling memberikan masing-masing peserta didik kebebasan
dalam memilih pembelajaran tetapi tidak terlepas dari kurikulum. Kurikulum
yang dipakai adalah kurikulum 2004 yaitu kurikulum berbasis kompetensi, atau
kurikulum terbaru kurikulum 2006. Jadi tetap ada acuannya karena nanti di ujung
dari proses pendidikan HS ada ujian kesetaraan. Kalau di pendidikan formal itu
Ujian Nasional (UN), sedangkan di pendidikan non formal komunitas ini ada
ujian kesetaraan yang diselenggarakan oleh Departemen Pendidikan Nasional
(Diknas) atau komunitas yang sudah mendapatkan legalitas untuk bisa
menyelenggarakan ujian tersendiri.
Dalam hal ini, jika ada anak didik yang sudah bosan di kelas dua atau
tidak nyaman di pendidikan formal, dia dapat pindah ke kelas tiga di
homeschooling komunitas. Itu tidak masalah karena berdasarkan prinsip Diknas
untuk ini adalah multi entry and multi exit atau mudah untuk masuk dan mudah
untuk keluar. Legalitasnya pun sudah dijamin oleh pemerintah. Dalam Undang-
Undang (UU) No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan
bahwa pendidikan kesetaraan adalah program pendidikan non formal yang
menyelenggarakan pendidikan umum setara SD, SMP, maupun SMA.
Metode pembelajaran untuk masing-masing homeschooling yaitu tunggal,
majemuk, dan komunitas yaitu metode pembelajaran yang tematik dan konseptual
serta aplikatif.
Pada hakekatnya, baik homeschooling maupun sekolah umum, sama-sama
sebagai sebuah sarana untuk menghantarkan anak-anak mencapai tujuan

30
pendidikan seperti yang diharapkan. Namun homeschooling dan sekolah memiliki
perbedaan.
Pada sistem sekolah, tanggung jawab pendidikan anak didelegasikan orang
tua kepada guru dan pengelola sekolah. Pada homeschooling, tanggung jawab
pendidikan anak sepenuhnya berada di tangan orang tua. Sistem di sekolah
terstandardisasi untuk memenuhi kebutuhan anak secara umum, sementara sistem
pada homeschooling disesuaikan dengan kebutuhan anak dan kondisi keluarga.
Pada sekolah, jadwal belajar telah ditentukan dan seragam untuk seluruh siswa.
Pada homeschooling jadwal belajar fleksibel, tergantung pada kesepakatan antara
anak dan orang tua.
Pengelolaan di sekolah terpusat, seperti pengaturan dan penentuan
kurikulum dan materi ajar. Pengelolaan pada homeschooling terdesentralisasi
pada keinginan keluarga homeschooling. Kurikulum dan materi ajar dipilih dan
ditentukan oleh orang tua.

31
2.2. Kerangka Konseptual

Penyesuaian Diri
Sekolah formal Homeschooling
REMAJA

Lingkungan Lingkungan Teman


Lingkungan Sekolah
Keluarga Sebaya

32
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

Metode Penelitian
Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif karena
menurut Merriam (dalam Creswell, 1998), penelitian kualitatif lebih tertarik pada
pemaknaan, yaitu bagaimana orang mengartikan kehidupan, pengalaman, dan
struktur di dalam dunianya.

Paradigma Penelitian
Dalam melakukan penelitian kualitatif, hendaknya seorang peneliti juga
memahami paradigma yang ada dalam bahasan penelitian kualitatif. Karena tanpa
sebuah paradigma penelitian, seorang peneliti cenderung akan bersikap kaku dan
dogmatis mengenai aturan baku yang harus diikuti. Ia tidak memiliki gambaran
tentang alternatif pendekatan atau metode lain yang kemungkinan lebih tepat
digunakan untuk meneliti topik yang diminatinya (Poerwandari, 2005 : 16).
Istilah paradigma mengacu pada set proposisi (pernyataan) yang
menerangkan bagaimana dunia dan kehidupan dipersepsikan. Paradigma
mengandung pandangan tentang dunia, cara pandang untuk menyederhanakan
kompleksitas dunia nyata, dan karenanya, dalam konteks pelaksanaan penelitian,
memberi gambaran pada kita mengenai apa yang penting, apa yang dianggap
mungkin dan sah untuk dilakukan, apa yang dapat diterima akal sehat (Patton,
1990 dalam Poerwandari, 2005 : 17).
Menurut Sarantakos (1993, dalam Poerwandari, 2005 : 18) ada dua
paradigma besar yang mendasari perkembangan ilmu pengetahuan khususnya
ilmu-ilmu sosial dan ilmu tentang manusia, yakni paradigma interpretif.
Sarantakos juga masih menyebutkan satu paradigma lagi, yakni paradigma
kritikal, yang menyusul berkembang dan memberikan banyak masukan bagi ilmu
pengetahuan. Penjelasan sekaligus perbedaan dari ketiga paradigma itu dapat
dilihat dari tabel dibawah ini :

33
FENOMENOLOG
KRITERIA POSITIVISME IS/ KRITIKAL
INTERPRETIF
 Objektif, diluar  Subjektif  Berada diantara
REALITAS individu  Diciptakan, subjektivitas dan
 Dipersepsi bukan ditemukan objektivitas
melalui indera  Diinterpretasikan  Merupakan suatu
 Dipersepsi hal kompleks
seragam  Diciptakan
 Diatur oleh manusia, bukan
hukum-hukum ada dengan
universal sendirinya
 Terintegrasi  Berada dalam
dengan baik ketegangan,
untuk kebaikan penuh
semua kontradikasi
 Didasari
penekanan dan
eksploitasi
tehadap pihak
yang posisinya
lemah
MANUSIA  Rasional  Pencipta dunia  Dinamis,
 Mengikuti  Memberi arti pencipta nasib
hukum diluar pada dunia  Dicuci otak
diri  Tidak dibatasi (Brain-washed),
 Tidak memiliki hukum diluar diri diarahkan secara
kebebasan  Menciptakan tidak tepat,
kehendak rangkaian makna dikondisikan
(system of  Dihalangi dari
meaning) realisasi

34
potensinya secara
utuh
 Didasarkan  Didasari  Diantara
ILMU pada hukum pengetahuan positivistik dan
dan prosedur sehari-hari interpretif;
ketat  Induktif kondisi-kondisi
 Deduktif  Idiografis sosial
 Nomotetis  Didasarkan pada membentuk
(mencari interpretasi kehidupan, tetapi
hukum-hukum  Tidak bebas nilai hal tersebut dapat
umum) diubah
 Didasarkan  Membebaskan,
pada impresi memampukan
indera  Menjelaskan
 Bebas nilai dinamika sistem-
sistem yang ada
dan berkembang
dalam
masyarakat
 Tidak bebas nilai
 Menjelaskan  Menginterpretasi  Mengungkap
TUJUAN fakta, dunia yang ada
PENELITI penyebab dan  Memahami ‘dibalik’ yang
AN efek kehidupan sosial kelihatan
 Meramalkan  Menekankan  Mengungkap
 Menekankan makna mitos-mitos dan
fakta objektif  Menekankan ilusi
(‘diluar’) upaya memahami  Menekankan
 Menekankan terbukanya
peramalan keyakinan /ide-
ide yang keliru

35
 Membebaskan,
memampukan

Dari penjelasan tabel diatas, penelitian yang peneliti lakukan ini cenderung
lebih tepat jika menggunakan paradigma Interpretatif/Fenomenologis, dengan
asumsi bahwa paradigma inilah yang paling berdekatan dengan nuansa penelitian
kualitatif yang berupaya untuk menggali makna subyektif seseorang. Disisi lain,
pendekatan kualitatif juga mencoba menerjemahkan pandangan-pandangan dasar
interpretif dan fenomenologis yang antara lain :
1. Realitas sosial adalah sesuatu yang subjektif dan diinterpretasikan, bukan
sesuatu yang lepas di luar individu-individu,
2. Manusia secara tidak sederhana disimpulkan mengikuti hukum-hukum
alam di luar diri, melainkan menciptakan rangkaian makna menjalani
hidupnya,
3. Ilmu didasarkan pada pengetahuan sehari-hari, bersifat induktif, idiografis
dan tidak bebas nilai,
4. Penelitian bertujuan untuk memahami kehidupan sosial (Sarantakos, 1993,
dalam poerwandari 2005 : 25).

Tipe Penelitian
Berdasarkan penjelasan diatas, maka tipe penelitian yang sesuai untuk
penelitian ini adalah fenomenologis karena tipe penelitian fenomenologis ini
sesuai dengan pertanyaan penelitian yang ingin mengungkap tentang makna yang
dialami oleh setiap subyek berkenaan dengan proses penyesuaian diri yang
mereka jalani.
Menurut para peneliti dalam pandangan fenomenologis ini, mereka
berusaha memahami arti peristiwa dan kaitan-kaitannya terhadap orang-orang
biasa dalam situasi-situasi tertentu (Moleong, 2002 : 9). Fenomenologi tidak
berasumsi bahwa peneliti mengetahui arti sesuatu bagi orang-orang yang sedang
diteliti oleh mereka. Pandangan ini menekankan aspek subjektif dari perilaku
individu. Peneliti berusaha masuk ke dalam dunia konseptual para subjek yang

36
ditelitinya sedemikian rupa sehingga mereka mengerti apa dan bagaimana
pengertian yang dikembangkan oleh mereka disekitar peristiwa dalam
kehidupannya sehari-hari. Fenomenologi berusaha memahami perilaku manusia
dari segi kerangka berpikir maupun bertindak orang-orang itu sendiri. Bagi
mereka yang penting ialah kenyataan yang terjadi sebagai yang dibayangkan atau
dipikirkan oleh orang itu sendiri (Moleong, 2002 : 31).

Unit Analisis
Tellis (1997, dalam Ardi : 2005) mengungkapkan bahwa unit analisis
merupakan analisa khas yang bekerja dalam sebuah kerangka sistematik dan
bukan kekhasan dari individu atau kelompok. Dalam penelitian ini unit
analisisnya adalah proses penyesuaian diri remaja yang pindah dari sekolah
formal ke homeschooling.

Subjek Penelitian
Kriteria Subjek Penelitian
Karakteristik subyek yang terlibat dalam penelitian ini adalah siswa
homeschooling yang beralih dari sekolah formal ke homeschooling pada saat usia
remaja (13 hingga 18 tahun), saat ini subyek berada dalam rentang usia
perkembangan remaja yaitu usia 13 hingga 18 tahun dan masih belajar setingkat
dengan SMP atau SMU di sekolah formal, serta merupakan siswa yang
melaksanakan homeschooling dalam komunitas.

Teknik Pengambilan Subjek


Dalam penelitian ini, teknik pengambilan subyek yang digunakan adalah
incidental sampling. Dimana peneliti menggunakan empat orang subyek, dua laki-
laki dan dua perempuan.

Pemilihan Subjek Penelitian


Menurut Sarantakos (1993, dalam Poerwandari, 2005 : 95), prosedur
pengambilan subjek dan atau sumber data dalam penelitian kualitatif umumnya

37
menampilkan karakteristik (1) diarahkan tidak pada jumlah sampel yang besar,
melainkan pada kasus-kasus tipikal sesuai kekhususan masalah penelitian; (2)
tidak ditentukan secara kaku sejak awal, tetapi dapat berubah baik dalam hal
jumlah maupun karakteristik sampelnya, sesuai dengan pemahaman konseptual
yang berkembang dalam penelitian, dan (3) tidak diarahkan pada keterwakilan
dalam arti jumlah atau peristiwa acak, melainkan pada kecocokan konteks.
Berkaitan dengan karakteristik – karakteristik tersebut, jumlah sampel
dalam penelitian kualitatif tidak dapat ditentukan secara tegas di awal penelitian.
Peneliti hanya akan menghentikan pencarian atau pengambilan subjek, ketika
peneliti telah mencapai titik dimana subjek penelitiannya mampu memenuhi
tujuan penelitian ini, sehingga diharapkan apabila peneliti menghentikan
pengambilan subjek, ketika telah mencapai titik jenuh tersebut, maka validitas
penelitian akan tetap terjaga dengan baik.

Metode Pengumpulan Data


Penelitian ini menggunakan alat pengumpul data berupa wawancara
mendalam (depth interview) terhadap subjek penelitian terpilih. Wawancara
dalam penelitian kualitatif dilakukan bila peneliti bermaksud untuk memperoleh
pengetahuan tentang makna – makna subjektif yang dipahami individu berkenaan
dengan topik yang diteliti dan bermaksud melakukan eksplorasi terhadap isu
tersebut, suatu hal yang tidak dapat dilakukan melalui pendekatan lain (Bainster
dkk., 1994 dalam Poerwandari, 2005 : 127).
Wawancara yang memungkinkan peneliti untuk menindaklanjuti
pertanyaan dengan cepat dan melakukan klarifikasi bila perlu. Juga bisa
melakukan penjadwalan dengan subjek untuk melakukan wawancara.
Pada penelitian ini, jenis wawancara yang digunakan adalah wawancara
dengan pedoman umum. Dalam proses wawancara ini, peneliti dilengkapi dengan
pedoman wawancara yang sangat umum, yang mencantumkan isu – isu yang
harus diliput tanpa menentukan urutan pertanyaan, bahkan mungkin tanpa bentuk
pertanyaan eksplisit. Pedoman wawancara digunakan untuk mengingatkan
peneliti mengenai aspek – aspek yang harus dibahas, sekaligus menjadi daftar

38
pengecek (checklist) apakah aspek – aspek relevan tersebut telah dibahas atau
ditanyakan. Dengan pedoman demikian, peneliti harus memikirkan bagaimana
pertanyaan tersebut akan dijabarkan secara konkrit dalam kalimat tanya, sekaligus
menyesuaikan pertanyaan dengan konteks aktual saat wawancara berlangsung
(Patton, 1990, dalam Poerwandari, 2005 : 127).
Selain menggunakan Depth Interview, peneliti juga menggunakan metode
observasi untuk mendukung data yang sudah ada dan untuk menguatkan hasil data
yang ada melalui gesture atau mimik wajah yang ditampilkan subyek yang bisa
menjadi data non-verbal dari subyek.

Alat Pengumpulan Data


Metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode wawancara
dengan pedoman umum. Metode wawancara dianggap paling sesuai dalam
menjawab masalah penelitian ini karena peneliti bermaksud untuk mendapat
pengetahuan mengenai makna yang dialami oleh setiap subyek berkenaan dengan
proses penyesuaian diri yang mereka jalani.
Dalam pembuatan pedoman umum wawancara ini, digunakan teori
penyesuaian diri efektif dari Haber & Runyon (1984) dan resources individu yang
menunjang penyesuaian diri menurut Powell (1983). Selain itu ditanyakan pula
data diri subyek dan pengalaman subyek sejak awal mengetahui homeschooling,
memutuskan untuk melaksanakan homeschooling, masa deschooling, hingga
kondisi yang terkini.
Observasi juga dilakukan dalam penelitian ini, yaitu dengan menggunakan
observasi naturalistik yang menggunakan metode pencatatan naratif. Dengan
observasi naturalistik ini diharapkan dapat menangkap perilaku yang tidak
disebutkan subjek dalam wawancara dengan peneliti.

3.6.2.Alat Pencatatan Data


Alat perekam ini berupa MP4 dan digunakan untuk mempermudah peneliti
dalam melakukan wawancara dan menyimpan data yang berkaitan dengan tujuan
penelitian. Untuk keperluan observasi peneliti juga menggunakan Handycam,

39
tetapi tidak di setiap waktu, karena dikhawatirkan dengan ‘kehadiran’ handycam,
perilaku yang dimunculkan subjek tidak sesuai dengan kondisi yang sebenarnya.
Sementara kertas dan alat untuk mencatat lainnya digunakan untuk mencatat data
pendukung lainnya seperti hasil observasi dan juga data-data lain yang dianggap
relevan dan dibutuhkan dalam kaitannya dengan tujuan penelitian.

Metode Analisis Data


Pengolahan dan analisis data dimulai dari mengorganisasikan data yang
beragam dan banyak. Highlen dan Finley (1996) menyatakan bahwa organisasi
data yang sistematis memungkinkan peneliti untuk (a) memperoleh kualitas data
yang baik ; (b) mendokumentasikan analisis yang dilakukan, serta (c) menyimpan
data dan analisis yang berkaitan dalam penyelesaian penelitian (dalam
Poerwandari, 2005 : 148).
Dari data yang telah terkumpul, untuk dapat mengambil suatu kesimpulan
dari penelitian yang telah dilakukan, maka diperlukan suatu teknik analisa data.
Teknik analisa data sendiri terdiri dari beberapa tahapan, yaitu :
a. Organisasi data
b. Koding dan analisis
c. Pengujian terhadap dugaan
d. Tahapan interpretasi
Berdasarkan tipe penelitian, maka proses analisis data yang digunakan
adalah analisis tematik. Analisis Tematik merupakan proses mengkode informasi,
yang dapat menghasilkan daftar tema, model tema atau indikator yang kompleks,
kualifikasi yang biasanya terkait dengan tema itu, atau hal-hal diantara atau
gabungan dari yang telah disebutkan. Penggunaan analisis tematik ini
memungkinkan peneliti untuk menemukan ‘pola’ yang pihak lain tidak dapat
melihatnya secara jelas. Pola atau tema tersebut tampil seolah secara acak dalam
tumpukan informasi yang tersedia. Setelah kita menemukan pola (“seeing”), kita
akan mengklasifikasikan atau meng’encode’ pola tersebut (“seeing as”) dengan
memberi label, definisi atau deskripsi (Boyatzis, 1998 dalam Poerwandari 2005).

40
Selain menggunakan analisis tematik peneliti mengolah dan menganalisis
hasil perolehan dengan melakukan analisis intra subyek dan antar subyek.

Validitas dan Reliabilitas Penelitian


Penelitian dengan metode kualitatif seringkali tidak memperoleh
penghargaan sebesar yang dinikmati oleh penelitian dengan pendekatan kuantitatif
karena anggapan kurang ilmiahnya penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif tidak
jarang dianggap lebih merefleksikan kerja seni, tidak menghasilkan data yang
tetap dan terukur jelas, serta subjektif. Marshall dan Rosman (1995) dalam situasi
yang demikian menyarankan bahwa peneliti kualitatif justru harus memberikan
perhatian lebih besar pada isu validitas dan ‘kualitas’ penelitiannya (Poerwandari,
2005 : 178). Validitas dalam penelitian kualitatif seringkali disebut sebagai
kredibilitas. Sedangkan reliabilitas sering disebut sebagai dependabilitas.

3.8.1. Kredibilitas
Istilah yang pertama dan yang paling sering digunakan peneliti kualitatif
adalah kredibilitas (Jorgensen, 1989; Lincoln & Guba, dalam Marshall &
Rossman, 1995; Patton, 1990; Leininger, 1994). Kredibilitas menjadi istilah yang
paling banyak dipilih untuk mengganti konsep validitas, dimaksudkan untuk
merangkum bahasan menyangkut kualitas penelitian kualitatif. Kredibilitas studi
kualitatif terletak pada keberhasilannya mencapai maksud mengeksplorasi
masalah atau mendeskripsikan setting, proses, kelompok sosial atau pola interaksi
yang kompleks (Poerwandari, 2005 : 181).
3.8.2. Dependabilitas
Dependabilitas digunakan Poerwandari (2001 : 104) untuk menggantikan
istilah reliabilitas yang biasa digunakan dalam penelitian kuantitatif. Ada
beberapa hal yang dianggap penting untuk mampu meningkatkan kualitas
dependabilitas, antara lain :
a. Koherensi
Metode yang dipilih memang mencapai tujuan yang diinginkan.
b. Keterbukaan

41
Sejauh mana peneliti membuka diri dengan memanfaatkan metode-
metode yang berbeda untuk mencapai tujuan.
c. Diskursus
Sejauh mana dan seintensif apa peneliti mendiskusikan temuan dan
analisisnya dengan orang-orang lain.

42
Daftar Pustaka

 Monks, F.J. Knoers, A.M.R. dan Haditono, Siti Rahayu. 2004. Psikologi
Perkembangan (pengantar dalam berbagai bagiannya).
Yogyakarta:.Gajah Mada University Press.
 Poerwandari, Kristi. 2005. Pendekatan Kualitatif untuk Penellitian
Perilaku Manusia. Depok: Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran
dan Pendidikan Psikologi (LPSP3) Fakultas Psikologi Universitas
Indonesia Kampus Baru UI.

(http://www.kompas. com/kesehatan/ news/0604/ 19/ 114419.htm, 2006)

43

You might also like