You are on page 1of 39

WASTEWATER TREATMENT USING HORIZONTAL

SUBSURFACE FLOW CONSTRUCTED WETLAND


S. Sarafraz, Thamer Ahamad Mohammad, Megat J. Megat M. Noor
and A. Liaghat

PENGOLAHAN AIR LIMBAH DENGAN MENGGUNAKAN


SISTEM HORIZONTAL SUBSURFACE FLOW
CONSTRUCTED WETLAND

Dikaji sebagai salah satu prasyarat lulus dalam mata kuliah


Seminar Kimia

Oleh
Choirunnisa
3325061838
Program Studi Kimia

JURUSAN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
2009
INTISARI

Beberapa dekade lalu masyarakat mulai menyadari terjadinya kerusakan


lingkungan serta pengaruhnya bagi kehidupan hayati. Constructed
Wetland dapat digunakan untuk mengolah limbah air secara biologis.
Permasalahan: Air yang mulai langka menjadi sebuah masalah global,
dan Iran merupakan salah satu negara yang menghadapai masalah
kekurangan air. Terjadinya polusi pada sumber air membatasi persediaan
air untuk berbagai keperluan. Maka dari itu, diperlukannya suatu proses
pengolahan air limbah sebelum dibuang ke perairan. Penggunaan
Constructed Wetland merupakan sebuah teknik yang bertujuan untuk
meningkatkan kualitas air serta mengurangi polutan dalam air.
Pendekatan: Pada penelitian ini, empat Horizontal Subsurface Flow
Wetlands (HSSF) dibangun di Pusat Penelitian Universitas Tehran, Karaj,
Iran. Penelitian dilakukan dari mulai April hingga September, 2007. Kerikil
dan zeolit digunakan sebagai substrat. Kerikil dengan dan tanpa tanaman
(dinamakan GP dan G), dan kerikil dicampur dengan 10% zeolit dengan
dan tanpa tanaman (dinamakan ZP dan Z) digunakan untuk uji kelayakan
pada air limbah sintetis yang sudah dibuat dengan mencampurkan
berbagai bahan kimia hingga menyerupai air limbah pada pertanian.
Hasil: Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa sistem ini dapat
diterima sebagai sistem yang dapat menghilangkan polutan secara
efisien, dan kedua tanaman yang digunakan cukup efektif sebagai media
bakteri yang digunakan selama pengujian. Sistem Constructed Wetland
mampu menghilangkan jumlah NO3-N (79%) pada ZP, (86%) pada Z,
(82%) pada GP, dan (87.94%) pada G. Sedangkan untuk kadar P,
efisiensi penghilangan kadarnya mencapai 93, 89, 81, dan 76% untuk ZP,
GP, Z, dan G. Konsentrasi outflow untuk Pb dan Cd diperoleh berada
dibawah batas deteksi; dan untuk penghilangan kadar Zn, mencapai
efisiensi hingga 99.9, 99.76, 99.71, dan 99.52% untuk ZP, Z, GP, dan G
secara berturut-turut. Kesimpulan/ Rekomendasi: Dapat disimpulkan
bahwa sistem Constructed Wetland efisien untuk menghilangkan kadar
Zn, Pb, dan Cd pada air limbah pertanian. Jenis tanaman yang digunakan
adalah Pragmites australis dan Juncus inflexus yang cukup berkontribusi
dalam pengolahan limbah air, sedangkan Zeolite dan kerikil merupakan
media untuk pertumbuhan tanaman yang sesuai, yang dapat memisahkan
antara kerikil sebagai substrat serta pasir secara konvensional. Maka dari
itu, sistem Constructed Wetland ini perlu direkomendasikan untuk
pengolahan limbah air sebelum pembuangan.
PENDAHULUAN

Berbagai negara di dunia, sejak belakangan ini mengalami


permasalahan karena cadangan air yang tersedia tidak mencukupi.
Negara Iran pun diramalkan akan mengalami kelangkaan air pada tahun
2025, hal ini berdasarkan pada persediaan air yang kurang dari 1000 m 3
untuk air daur ulang bagi tiap orang per tahun. Selain itu, air tawar pun
mulai mengalami kelangkaan secara alami serta kualitasnya makin hari
makin memburuk. Masalah ini disebabkan oleh sumber air yang sudah
tercemar oleh limbah industri, pertanian, dan perumahan. Limbah
pertanian dan perumahan mengandung nutrien yang tinggi, yang
merupakan bahan polutan dan dapat mencemari air permukaan tanah
serta sistem air bawah tanah.
Pengolahan air limbah dengan menggunakan Constructed Wetland
(CW) merupakan salah satu sistem pengolahan limbah yang digunakan di
banyak negara. Sistem ini cukup potensial untuk digunakan sebagai solusi
dalam menekan tingkat limbah yang meluas serta untuk mendapatkan
akses air minum yang lebih aman. CW merupakan sistem pengolahan
limbah yang sudah didesain dengan proses yang alami dan menggunakan
substrat wetland, tanaman, serta memanfaatkan mikroba untuk membantu
proses pengolahan air limbah. Sistem ini hampir serupa dengan proses
yang terjadi di wetland secara alami, sehingga memberikan banyak
manfaat dan lingkungan pun menjadi lebih terkontrol. Nitrogen (N) dan
Fosfor (P) merupakan nutrient penting yang akan dihilangkan dalam
sistem CW ini.
Mekanisme pemurnian air limbah dari N adalah dengan
menggunakan tanaman dan mikroorganisme, amonifikasi, penguapan
amoniak, serta pertukaran kation dari ammonium. Sedangkan mekanisme
pemurnian air limbah dari P adalah dengan menggunakan proses
adsorpsi kimia dan proses pemisahan zat padat dari zat cair pada
substrat, serta menggunakan proses transformasi biologi, dan tanaman
yang digunakan adalah dalam presentase yang lebih rendah. Gambar 1 di
bawah ini menunjukkan sistem Constructed Wetland dalam 3 dimensi.

Gambar 1. Sel wetland tampak 3 dimensi

Limbah Industri di negara-negara berkembang menunjukkan jumlah


dan jenis polutannya semakin meningkat, terutama ion logam berat dan
menyebabkan emisi polutan tersebut ke biosfer. Kontaminasi jenis ion
logam berat di dalam air merupakan masalah lingkungan yang serius,
karena akan membahayakan ekosistem air serta kesehatan manusia. Ion
logam berat tidak dapat mengalami degradasi melalui proses biologi.
Beberapa ion logam berat yang terkandung dalam air limbah antara lain
Ni, Mn, Pb, Cr, Cd, Zn, Cu, Fe, Hg, dan unsur berbahaya lainnya seperti
As, B, Na. Beberapa diantaranya dapat dihilangkan dengan sistem CW.
Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk menentukan efisiensi dari
sistem Horizontal Subsurface Flow Cunstructed Wetland (HSSF) dalam
pengolahan air limbah dengan iklim Negara Iran, serta untuk menentukan
pengaruh dari kerikil dan zeolit sebagai media dalam CW.
PEMBAHASAN

I. Kajian Teori
A...................................................................................Air Limbah

Limbah adalah buangan yang dihasilkan dari suatu proses


produksi baik industri maupun domestik (rumah tangga), yang lebih
dikenal sebagai sampah, yang kehadirannya pada suatu saat dan
tempat tertentu tidak dikehendaki lingkungan karena tidak memiliki
nilai ekonomis. Bila ditinjau secara kimiawi, limbah ini terdiri dari
Senyawa organik dan Senyawa anorganik, dengan konsentrasi dan
kuantitas tertentu. Kehadiran limbah dapat berdampak negatif
terhadap lingkungan terutama bagi kesehatan manusia, sehingga
perlu dilakukan penanganan terhadap limbah. Tingkat bahaya
keracunan yang ditimbulkan oleh limbah tergantung pada jenis dan
karakteristik limbah.
Karakteristik limbah adalah :
1. Berukuran mikro
2. Dinamis
3. Berdampak luas (penyebarannya)
4. Berdampak jangka panjang (antar generasi)
Faktor yang mempengaruhi kualitas limbah adalah:
1. Volume limbah
2. Kandungan bahan pencemar
3. Frekuensi pembuangan limbah
Air limbah terbentuk karena adanya pencemaran air.
Pencemaran air adalah suatu perubahan keadaan di suatu tempat
penampungan air seperti danau, sungai, lautan dan air tanah akibat
aktivitas manusia. Pencemaran air dapat disebabkan oleh berbagai hal
dan memiliki karakteristik yang berbeda-beda.
Meningkatnya kandungan nutrient dapat mengarah pada
eutrofikasi. Senyawa organik yang banyak terdapat pada air selokan
(sewage) dapat merusak ekosistem, karena mempunyai nilai BOD
yang tinggi dan nilai DO yang kecil, karena bakteri memerlukan
oksigen untuk menguraikan zat organik, sehingga kandungan oksigen
terlarut dalam air semakin kecil. Keadaan ini berdampak buruk pada
ekosistem. Industri membuang berbagai macam polutan ke dalam air
limbahnya seperti ion logam berat, toksin organik, minyak, nutrien dan
padatan. Air limbah tersebut memiliki efek termal, terutama yang
dikeluarkan oleh pembangkit listrik, yang dapat juga mengurangi
oksigen dalam air.

Indikasi pencemaran air dapat kita ketahui baik secara visual


maupun pengujian pada parameter berikut:
1. Perubahan pH (tingkat keasaman / konsentrasi ion hidrogen)
Air normal yang memenuhi syarat untuk suatu kehidupan memiliki
pH netral dengan kisaran nilai 6.5 – 7.5. Air limbah industri yang
belum terolah dan memiliki pH diluar nilai pH netral, akan
mengubah pH air sungai dan dapat mengganggu kehidupan
organisme didalamnya. Hal ini akan semakin parah jika daya
dukung lingkungan rendah serta debit air sungai rendah. Limbah
dengan pH asam / rendah bersifat korosif terhadap logam.
2. Perubahan warna, bau dan rasa
Air normal dan air bersih tidak akan berwarna, sehingga tampak
bening / jernih. Bila kondisi air warnanya berubah maka hal
tersebut merupakan salah satu indikasi bahwa air telah tercemar.
Timbulnya bau pada air lingkungan merupakan indikasi kuat bahwa
air telah tercemar. Air yang bau dapat berasal dari limbah industri
atau dari hasil degradasioleh mikroba. Mikroba yang hidup dalam
air akan mengubah organik menjadi bahan yang mudah menguap
dan berbau sehingga mengubah rasa.
3. Timbulnya endapan, koloid dan bahan terlarut
Endapan, koloid dan bahan terlarut berasal dari adanya limbah
industri yang berbentuk padat. Limbah industri yang berbentuk
padat, bila tidak larut sempurna akan mengendap didasar sungai,
dan yang larut sebagian akan menjadi koloid, dan akan
menghalangi degradasi melalui reaksi biokimia. Banyaknya bahan-
bahan organik dalam air diukur menjadi uji COD. Nilai BOD dan
COD merupakan indikator adanya suatu polutan yang terkandung
dalam air limbah.

B.........................................................................................Polutan

Sesuatu benda dapat dikatakan polutan bila kadarnya melebihi


batas normal dan berada pada tempat dan waktu yang tidak tepat.
Polutan dapat berupa debu, bahan kimia, suara, panas, radiasi,
makhluk hidup, zat-zat yang dihasilkan makhluk hidup dan sebagainya.
Adanya polutan dalam jumlah yang berlebihan menyebabkan
lingkungan tidak dapat mengadakan pembersihan sendiri (regenerasi).
Oleh karena itu, polusi terhadap lingkungan perlu dideteksi secara dini
dan ditangani segera dan terpadu.
Beberapa contoh polutan adalah sebagai berikut:
a. Fosfat
Fosfat berasal dari penggunaan pupuk buatan yang berlebihan
dan deterjen.
b. Nitrat dan Nitrit
Kedua senyawa ini berasal dari penggunaan pupuk buatan yang
berlebihan dan proses pembusukan materi organic.
Poliklorin Bifenil (PCB)
Senyawa ini berasal dari pemanfaatan bahan-bahan pelumas,
plastik dan alat listrik.
c. Residu Pestisida Organiklorin
Residu ini berasal dari penyemprotan pestisida pada tanaman
untuk membunuh serangga.
d. Minyak dan Hidrokarbon
Minyak dan hidrokarbon dapat berasal dari kebocoran pada
roda dan kapal pengangkut minyak.
e. Radio Nuklida
Radio nuklida atau unsur radioaktif berasal dari kebocoran
tangki penyimpanan limbah radioaktif.
f. Logam-logam Berat
Logam berat berasal dari industri bahan kimia, penambangan
dan bensin.
g. Limbah Pertanian
Limbah pertanian berasal dari kotoran hewan dan tempat
penyimpanan makanan ternak.
h. Kotoran manusia
Kotoran manusia berasal dari saluran pembuangan tinja
manusia.

Ada beberapa tipe polutan yang dapat masuk perairan yaitu:


bahan-bahan yang mengandung bibit penyakit, bahan-bahan yang
banyak membutuhkan oksigen untuk pengurainya, bahan-bahan kimia
organik dari industri atau limbah pupuk pertanian, bahan-bahan yang
tidak sedimen (endapan), dan bahan-bahan yang mengandung
radioaktif dan panas. Penggunaan insektisida seperti DDT (Dichloro
Diphenil Trichonethan) oleh para petani, untuk memberantas hama
tanaman dan serangga penyebar penyakit lain secara berlebihan
dapat mengakibatkan pencemaran air. Terjadinya pembusukan yang
berlebihan diperairan dapat pula menyebabkan pencemaran.
Pembuangan sampah dapat mengakibatkan kadar O2 terlarut dalam
air semakin berkurang karena sebagian besar dipergunakan oleh
bakteri pembusuk.
C.....................................................Sistem Constructed Wetland

Menurut Hammer (1991), Sistem Constructed Wetland adalah


sistem yang terdiri dari tiga faktor utama:
1. Area yang tergenangi air dan mendukung hidup tanaman air
sejenis hydrophita.
2. Media tempat tumbuh tanaman berupa tanah yang selalu digenangi
air (basah).
3. Media tempat tumbuh tanaman bias juga bukan tanah, tetapi
media yang jenuh dengan air.
Definisi lain dari Sistem Constructed wetland sangat beragam
diantaranya Sistem Constructed wetland adalah suatu lahan yang
jenuh air dengan kedalaman air yang kurang dari 0,6 m yang
mendukung pertumbuhan tanaman air emergent misalnya Cattail,
bulrush, umbrella plant dan canna (Metcalf and Eddy, 1991).
Pengertian lainnya Sistem Constructed wetland merupakan suatu
rawa buatan yang di buat untuk mengolah air limbah domestik, untuk
aliran air hujan dan mengolah lindi (leachate) atau sebagai tempat
hidup habitat liar lainnya, selain itu constructed wetland dapat juga
digunakan untuk reklamasi lahan penambangan atau gangguan
lingkungan lainnya. Sistem Constructed Wetland dapat berupa
biofilter yang dapat meremoval sediment dan polutan seperti logam
berat (Wikipedia, 2007).

Sistem Constructed Wetland ini dapat dibedakan atas:


- Natural Wetland
Pengolahan dalam area yang sudah ada secara alami, contohnya
daerah rawa-rawa dekat pesisir pantai. Kehidupan biota dalam
natural wetland sangat beraneka ragam. Debit limbah tidak
direncanakan, dan tanaman dapat tumbuh tanpa perlu dirawat.
- Constructed Wetland
Pengolahan yang strukturnya direncanakan, yaitu:
a. Debit yang mengalir tertentu
b. Beban organik tertentu
c. Kedalaman media tanah maupun air < 0.6 m.
d. Tanaman perlu dipelihara selama proses pengolahan.
Sistem constructed wetland lebih dianjurkan karena:
a. Dapat mengolah limbah domestik, pertanian dan sebagian
limbah industri termasuk ion logam berat.
b. Tidak berbau, karena sistem pengolahan di dalam tanah dan
tidak ada genangan air di permukaan.
c. Efisiensi pengolahan tinggi > 80%.
d. Biaya perencanaan, pengoperasian dan pemeliharaan
murah.
e. Tidak membutuhkan keterampilan yang tinggi.
(Tangahu, Bieby Voijant dan Warmadewanthi, I.D.A.A, 2001)
Berdasarkan arah aliran airnya, constructed wetland dibagi
menjadi dua jenis, yaitu: Horizontal Flow Wetlands dan Vertical Flow
Wetlands.

Gambar 2. Horizontal-Flow Wetlands


Gambar 3. Vertical-Flow Wetlands
(Sumber: www.fujitaresearch.com/reports/wetlands.html)

Horizontal-flow wetlands terdiri atas dua variasi, yaitu: free-


water surface-flow (FWF) dan sub-surface water-flow (SSF). Sistem ini
bisa disesuaikan ke hampir semua lokasi dan bisa dibangun dalam
banyak konfigurasi dari unit tunggal kecil yang hanya beberapa meter
persegi sampai sistem dengan luas beratus hektar yg terintegrasi
dengan pertanian air atau tambak (USAID, 2006).

1...........................................Free Water Surface Sistem (FWS)

FWS disebut juga rawa buatan dengan aliran di atas permukaan


tanah. Sistem ini berupa kolam atau saluran-saluran yang dilapisi
dengan lapisan impermeable di bawah saluran atau kolam yang
berfungsi untuk mencegah merembesnya air keluar kolam atau
saluran.
FWS tersebut berisi tanah sebagai tempat hidup tanaman yang
hidup pada air tergenang (emerge plant) dengan kedalaman 0,1-0,6 m
(Metcalf & Eddy, 1993). Pada sistem ini limbah cair melewati
permukaan tanah. Pengolahan limbah terjadi ketika air limbah
melewati akar tanaman, kemudian air limbah akan diserap oleh akar
tanaman dengan bantuan bakteri (Crites and Tchobanoglous, 1998
dalam Wijayanti, 2004).
Untuk sistem FWS dapat dilihat pada Gambar:

Gambar 4. Free Water Surface Sistem (FWS)

(Sumber: http://www.natsys-inc.com/resources/about-

constructed-wetlands/)

2................................................Subsurface Flow Sistem (SSF)

SSF disebut juga rawa buatan dengan aliran di bawah


permukaan tanah. Air limbah mengalir melalui tanaman yang ditanam
pada media yang berpori (Novotny dan Olem, 1994). Sistem ini
menggunakan media seperti pasir dan kerikil dengan diameter
bervariasi antara 3-32 mm. Untuk zona inlet dan outlet biasanya
digunakan diameter kerikil yang lebih besar untuk mencegah terjadinya
penyumbatan (USAID, 2006).
Proses pengolahan yang terjadi pada sistem ini adalah filtrasi,
absorbsi oleh mikroorganisme, dan absorbsi oleh akar-akar tanaman
terhadap tanah dan bahan organik (Novotny dan Olem, 1994). Pada
sistem SFS diperlukan slope untuk pengaliran air limbah dari inlet ke
outlet. Tipe pengaliran air limbah pada umumnya secara horizontal,
karena jenis ini memiliki efisiensi pengolahan terhadap suspended
solid dan bakteri lebih tinggi dibandingkan tipe yang lain. Hal ini
disebabkan karena daya filtrasinya lebih baik. Penurunan BOD nya
juga lebih baik karena kapasitas transfer oksigen lebih besar
(Khiattudin, 2003).
Menurut USAID (2006), SSF adalah sistem yang lebih disukai
untuk sistem setempat, karena sistim FWS berpotensi menjadi tempat
bagi nyamuk untuk berkembangbiak, tetapi karena sistem SSF ditutup
dengan pasir atau tanah, sehingga tidak ada resiko langsung terhadap
potensi timbulnya nyamuk.
Untuk Sub surface Flow Sistem dapat dilihat pada gambar dibawah ini
Gambar 5. Subsurface Flow Sistem (SSF)

(Sumber: http://www.natsys-inc.com/resources/about-

constructed-wetlands/)

Tabel 1. Keuntungan dan kerugian Constructed Wetland

(Sumber: http://www.dimsum.its.ac.id/id/?page_id=71)

Media tempat tumbuh yang digunakan dalam sistem


constructed wetland jenis Horizontal Subsurface Flow (HSSF)
beragam, dapat berupa tanah yang selalu digenangi air (basah),
maupun media bukan tanah, tetapi media yang jenuh dengan air.

D.....................Media dalam Sistem Costructed Wetland HSSF

Media yang digunakan dalam penelitian ini merupakan media


berbahan anorganik dan organik. Bahan anorganik adalah bahan
dengan kandungan unsur mineral tinggi yang berasal dari proses
pelapukan batuan induk di dalam bumi. Berdasarkan bentuk dan
ukurannya, mineral yang berasal dari pelapukan batuan induk dapat
digolongkan menjadi 4 bentuk, yaitu kerikil atau batu-batuan
(berukuran lebih dari 2 mm), pasir (berukuran 50 /-1- 2 mm), debu
(berukuran 2-50 µm), dan tanah liat (berukuran kurang dari 2 µm).
Selain itu, bahan anorganik juga bisa berasal dari bahan-bahan sintetis
atau kimia yang dibuat di pabrik. Beberapa media anorganik yang
sering dijadikan sebagai media tanam yaitu gel, pasir, kerikil, zeolit,
pecahan batu bata, spons, tanah liat, vermikulit, dan perlit.
Media tanam yang termasuk dalam kategori bahan organik
umumnya berasal dari komponen organisme hidup, misalnya bagian
dari tanaman seperti daun, batang, bunga, buah, atau kulit kayu.
Penggunaan bahan organik sebagai media tanam jauh lebih unggul
dibandingkan dengan bahan anorganik. Hal itu dikarenakan bahan
organik sudah mampu menyediakan unsur-unsur hara bagi tanaman.
Selain itu, bahan organik juga memiliki pori-pori makro dan mikro yang
hampir seimbang sehingga sirkulasi udara yang dihasilkan cukup baik
serta memiliki daya serap air yang tinggi.

Tabel 2. Perbandingan Jenis Media dalam Constructed Wetland


Media yang baik pada costructed wetland HSSF harus mampu
menampung air dan mampu membuang/mengalirkan kelebihan air.
Pada penelitian ini, media yang digunakan adalah kerikil, zeolit, dan
sejenis tanaman air.

1............................................................................................Kerikil

Batuan umumnya digunakan untuk melapisi permukaan media


tanaman bersih. Pada dasarnya, penggunaaan kerikil sebagai media
tanam tidak jauh berbeda dengan pasir. Hanya saja, kerikil memiliki
pori-pori makro lebih banyak daripada pasir. Kerikil sering digunakan
sebagai media untuk budi daya tanaman secara hidroponik.
Penggunaan media ini akan membantu peredaran larutan unsur hara
dan udara serta pada prinsipnya tidak menekan pertumbuhan akar.
Namun, kerikil memiliki kemampuan mengikat air yang relatif rendah
sehingga mudah basah dan cepat kering jika penyiraman tidak
dilakukan secara rutin.

2..............................................................................................Zeolit

Pada dasarnya, zeolit merupakan jenis batuan seperti kerikil.


Zeolit adalah senyawa zat kimia alumino-silikat berhidrat dengan
kation natrium, kalium dan barium. Secara umum, zeolit memiliki
melekular sruktur yang unik, dimana atom silikon dikelilingi oleh 4 atom
oksigen sehingga membentuk semacam jaringan dengan pola yang
teratur.
Atom Silicon dapat digantikan dengan atom Aluminium, yang
hanya terkoordinasi dengan 3 atom Oksigen. Atom Aluminium ini
hanya memiliki muatan 3+, sedangkan Silicon sendiri memiliki muatan
4+. Keberadaan atom Aluminium ini secara keseluruhan akan
menyebababkan zeolit memiliki muatan negatif. Muatan negatif inilah
yang menebabkan zeolit mampu mengikat kation. Zeolit juga sering
disebut sebagai 'molecular sieve' / 'molecular mesh' (saringan
molekuler) karena zeolit memiliki pori-pori berukuran melekuler
sehingga mampu memisahkan/menyaring molekul dengan ukuran
tertentu. Zeolit mempunyai beberapa sifat antara lain: dehidrasi,
adsorben dan penyaring molekul, katalisator dan penukar ion.

Gambar 6. Struktur Zeolit

(Sumber:http://www.stcloudmining.com/images/what-is-
zeolite/zeolite_structure.jpg)
Zeolit mempunyai sifat dehidrasi (melepaskan molekul H20)
apabila dipanaskan. Pada umumnya struktur kerangka zeolit akan
menyusut. Tetapi kerangka dasarnya tidak mengalami perubahan
secara nyata. Disini molekul H2O seolah-olah mempunyai posisi yang
spesifik dan dapat dikeluarkan secara reversibel. Sifat zeolit sebagai
adsorben dan penyaring molekul, dimungkinkan karena struktur zeolit
yang berongga, sehingga zeolit mampu menyerap sejumlah besar
molekul yang berukuran lebih kecil atau sesuai dengan ukuran
rongganya. Selain itu kristal zeolit yang telah terdehidrasi merupakan
adsorben yang selektif dan mempunyai efektivitas adsorpsi yang
tinggi.
Kemampuan zeolit sebagai katalis berkaitan dengan
tersedianya pusat-pusat aktif dalam saluran antar zeolit. Pusat-pusat
aktif tersebut terbentuk karena adanya gugus fungsi asam tipe
Bronsted maupun Lewis. Perbandingan kedua jenis asam ini
tergantung pada proses aktivasi zeolit dan kondisi reaksi. Pusat-pusat
aktif yang bersifat asam ini selanjutnya dapat mengikat molekul-
molekul basa secara kimiawi. Sedangkan sifat zeolit sebagai penukar
ion karena adanya kation logam alkali dan alkali tanah. Kation tersebut
dapat bergerak bebas didalam rongga dan dapat dipertukarkan
dengan kation logam lain dengan jumlah yang sama. Akibat struktur
zeolit berongga, anion atau molekul berukuran lebih kecil atau sama
dengan rongga dapat masuk dan terjebak.

3.............................................................................Tanaman Air

Tanaman air yang digunakan dalam penelitian ini adalah

Phragmites australis dan Juncus inflexus.

Phragmites australis

Gambar 7. Phragmites australis

(Sumber:http://en.wikipedia.org/wiki/Phragmites)
Taksonomi

Kingdom: Plantae
Class: Angiosperms

Order: Poales
Family: Poaceae
Subfamily: Arundinoideae
Tribe: Arundineae[1]
Genus: Phragmites
Species: P. australis

Phragmites australis, atau common reed, adalah suatu rumput


besar yang ditemukan di dalam tanah basah sepanjang iklim sedang
dan di daerah-daerah beriklim tropis. Tanaman ini kadang dikenal
sebagai jenis tapak kaki dari jenis Phragmites, dan beberapa ahli
tumbuhan membagi Phragmites australis ke dalam tiga atau empat
jenis, dan khusus di daerah selatan jenis Khagra Asia Reed (P. karka)
sering diperlakukan berbeda.
Pragmites australis dapat tumbuh dan berkembang di dalam
tanah lembab, air menggenang (dengan kedalaman tertentu), atau
bahkan di rawa-rawa. Batang tumbuhan ini dapat tumbuh tegak hingga
2-6 meter. Daunnya mirip dengan rumput, dengan panjang 20-50
sentimeter dan lebar 2-3 sentimeter. Bunganya yang berwarna ungu
tua dihasilkan pada akhir musim panas dengan panjang sekitar 20-50
sentimeter. Tumbuhan ini memerlukan kondisi air yang bersifat alkali
atau netral, dengan demikian tidak bisa tumbuh dalam air yang bersifat
asam atau air payau. Dengan demikian sering ditemukan di pinggiran
muara-muara dan di tanah basah (seperti rawa-rawa) atau di dekat
laut.
Pragmites australis merupakan jenis tumbuhan tumbuhan tanah
basah yang dapat digunakan untuk pengolahan air, karena dapat
menurunkan COD {Chemical Oxygen Demand) dan TSS {Total
Suspended Solid) yang terdapat dalam air limbah (Tangahu, Bieby
Voijant dan Warmadewanthi, I.D.A.A, 2001).

Juncus inflexus

Gambar 8. Juncus inflexus

Taksonomi
Kingdom : Plantae
Subkingdom : Tracheobionta
Divisi : Spermatophyta
Class : Liliopsida
Subclass : Commelinidae
Order : Juncales
Family : Juncaceae
Genus : Juncus L
Species : Juncus inflexus L.
Juncus inflexus tumbuh di tempat yang sangat basah dan
lembab seperti rawa-rawa atau hutan. Tumbuhan ini tumbuh subur
pada Bulan Juni sampai September. Bunga tumbuhan ini bersifat
hermaprodit (mempunyai dua organ jantan dan betina) dan
diserbukkan oleh angin. Tumbuhan ini menyukai tanah medium
(seperti tanah liat) dan tanah berat (tanah liat), juga dapat tumbuh di
tanah yang bersifat asam dan netral (alkali). Juncus inflexus dapat
tumbuh di daerah semi-dingin dan di daerah panas, dan dapat
berkembang di dalam air.

II. Metodologi Penelitian


A. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Pusat Penelitian Universitas Tehran,
Karaj, Iran. Dilaksanakan pada Bulan April-September 2007.

B. Metode Penelitian
Penelitian ini bersifat eksperimen dengan membandingkan
empat perlakuan. Perlakuan pertama adalah pada sistem constructed
wetland HSSF berisi media lapisan kerikil dengan 10% zeolit dan
tanaman (ZP), perlakuan kedua berisi media lapisan kerikil dengan
10% zeolit tanpa tanaman (Z), perlakuan ketiga berisi media lapisan
kerikil dengan tanaman (GP), dan lapisan keempat berisi media
lapisan kerikil tanpa tanaman (G).
Penelitian ini akan dilaksanakan melalui beberapa tahapan:
1. Pembuatan sel constructed wetland HSSF
2. Pembuatan air limbah sintesis
3. Tahap seeding
4. Tahap pengolahan limbah
5. Analisis air

C. Instrumen Penelitian
1. Alat dan Bahan Penelitian
Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian adalah
polietilen, pipa PVC, slang, geotekstil, pengaduk valve, dan tabung.
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kerikil
berukuran 10-15 mm, kerikil halus, zeolit, campuran dua jenis tanaman
(Phragmites australis dan Juncus inflexus) dengan perbandingan
sama dan densitas/kerapatan 30 m2, urea (NH2)2CO, ammonia fosfat
(NH4)3PO4, 80-100 mg L-1 NO3, 10 mg L-1 P, 1 mg L-1 Cd, 2 mg L-1 Pb, 3
mg L-1 Zn, dan air ledeng.

2. Prosedur Penelitian
a. Pembuatan sel constructed wetland HSSF
Pada penelitian ini, 4 sistem Constructed Wetland HSSF dibuat
dari bahan polietilen, dengan masing-masing luas permukaannya 0.65
m2 (1.3 x 0.5 m) dan kedalaman 0.4 m. Sel diletakkan pada slope 1%
untuk mengatur gradient aliran air. Zona inlet (tempat masuknya air)
terdiri atas 4 titik inlet (satu titik inlet untuk masing-masing sel), yang
sudah disambungkan dengan kontainer tangki penyimpanan air.
Struktur kontrol didesain agar air yang masuk ke zona inlet dengan
kecepatan konstan supaya dapat mengatur level air dalam sistem, dan
untuk mencegah terjadinya aliran air yang tidak tidak teratur dari tangki
akibat fluktuasi air di dalam tangki.
Sedangkan zona outlet (tempat keluarnya air) dibuat dari pipa
PVC dengan lubang-lubang kecil di bagian bawah masing-masing sel.
Ujung pipa tersebut disambungkan dengan slang yang fleksibel yang
berfungsi untuk mengatur level air di dalam bed. Kemudian
memasukkan dua buah tabung dengan lubang-lubang kecil yang
dilapisi/ditutupi dengan geotekstil ke dalam bagian tengah sel, dengan
jarak 40 cm dari zona inlet dan zona outlet untuk sampling.
Kemudian kerikil berukuran 10-15 mm dimasukkan ke dalam
zona inlet dan zona outlet pada masing-masing keempat sel, agar
dihasilkan distribusi aliran air yang merata. Setelah itu pada 2 sel
pertama diisi dengan kerikil halus, dan 2 sel lainnya diisi dengan
campuran kerikil halus dan zeolit (perbandingan 10:1).
Dua jenis tanaman (Pragmites australis dan Juncus inflexus)
dengan perbandingan (tinggi, jumlah daun, dll) sama dan
densitas/kerapatan 30 m2 dimasukkan ke dalam 2 sel, sel pertama
yang mengandung zeolit dan sel lainnya yang hanya terkandung
kerikil. Untuk deskripsi lebih jelas tentang pembuatan sel Constructed
Wetland, dapat dilihat pada Gambar 1.
Sehingga dapat disimpulkan, terdapat 4 treatment yang
dilakukan dalam penelitian ini, yaitu:
1. Lapisan kerikil dengan 10% zeolit dan tanaman (ZP)
2. Lapisan kerikil dengan 10% zeolit tanpa tanaman (Z)
3. Lapisan kerikil dengan tanaman (GP)
4. Lapisan kerikil tanpa tanaman (G)

b. Pembuatan air limbah sintesis


Skema pembuatan air limbah sintetis ditunjukkan pada Gambar
12 di bawah ini:

80-100 mg L-1 NO3 + 10 mg Larutkan Aduk dengan


L-1 P + 1 mg L-1 Cd + 2 mg L- dalam 1000L pengaduk valve
1
Pb + 3 mg L-1 Zn air ledeng

Diamkan 20 jam
secara konstan

Gambar 9. Skema Pembuatan Air Limbah Sintesis

c. Tahap seeding
Proses seeding dilakukan secara alami, yaitu dengan cara
mengalirkan limbah cair sintetis campuran urea dan ammonia fosfat
secara kontinu ke dalam sel constructed wetland HSSF, dengan tujuan
untuk mengembangbiakkan bakteri hingga tercapai kondisi tunak.
Kondisi tunak merupakan kondisi dimana terbentuknya lapisan biofilm
yang melekat pada media. Proses seeding dilakukan selama dua
bulan, dengan waktu tinggal hidrolik (WTH) 1.2 hari dan kecepatan alir
air limbahnya 0.078 m3/hari. Nilai keduanya diperoleh dengan
menggunakan rumus:

dan

Dimana,
A = Area (m2)
Q = Kecepatan alir air limbah (m3/hari)
Co = Influen NO3 (mg L-1)
Ce = Efluen NO3 (mg L-1)
Kt = Kecepatan konstan terhadap suhu
d = Tebal lapisan kerikil (m)
n = Rembesan (%)
WTH = Waktu tinggal hidrolik (hari)

d. Tahap pengolahan limbah


Setelah tercapai kondisi tunak, artinya keadaan dimana sel
sudah siap untuk mengolah limbah, maka limbah cair sintetis yang
mengandung berbagai polutan dialirkan secara konstan selama tiga
bulan dengan kecepatan alir dan waktu tinggal hidrolik yang sama
ketika tahap seeding.

e. Analisis air
Dalam periode waktu pengolahan limbah selama tiga bulan,
dilakukan analisis air limbah setiap 2 minggu. Sampel air diambil dari
inflow, outflow, dan pipa sampling untuk mengukur konsentrasi P, NO3-
N, Zn, Pb, dan Cd. Metode analisis menggunakan metode Standar
Pengujian Air dan Air Limbah dari Asosiasi Kesehatan Masyarakat
Amerika.
Adapun secara keseluruhan tahapan penelitian ini dijelaskan
dalam bagan alir berikut ini:

Mengalirkan air limbah buatan


campuran air dengan Urea
(NH2)2CO dan Ammonia Fosfat
(NH4)3PO4 (Tahap Seeding)

2 bulan WTH = 1.2 hari, Q = 0.078 m3/hari

Sel CW HSSF

Terbentuk lapisan
lendir (Biofilm)

(Reaktor dalam kondisi tunak)

Mengalirkan air limbah sintesis campuran


80-100 mg L-1 NO3 + 10 mg L-1 P + 1 mg
L-1 Cd + 2 mg L-1 Pb + 3 mg L-1 Zn dalam
1000 L air (Tahap Pengolahan Limbah)

3 bulan WTH= 1.2 hari, Q = 0.078 m3/hari

Analisa air pada inflow,


outflow, dan pipa sampling
(2 minggu sekali)

Gambar 10. Bagan Alir Percobaan


D. Analisa Data
Percobaan ini dilakukan untuk menentukan efisiensi dari sistem
Horizontal Subsurface Flow Cunstructed Wetland (HSSF) dalam
pengolahan air limbah dengan iklim Negara Iran, serta untuk
menentukan pengaruh dari kerikil dan zeolit sebagai media dalam CW.
Data-data yang diperoleh dari seluruh tahapan kerja yang dilakukan
dalam percobaan ini dianalisis dengan menggunakan uji Ducan’s
Multiple Range test untuk mengetahui perbedaan yang signifikan di
antara keempat treatment.

III. Hasil dan Pembahasan


A. Hasil

1. Perbandingan Kandungan Polutan pada Influen dan

Efluen

Variabel NO3-N P Zn
Konsentrasi Mean±SD 79.3±32.4 10.5±1.04 806±2.7
I
Influen (mg/L) Range 110-20 12.0-9.0 12.0±5.0
Mean±SD 17.71±9.34a 0.76±0.58c 0.011±0
Range 30-2 1.7-0 0.047-0
ZP
Removal
79.19 93.12 99.9
(%)
Mean±SD 9.3±4.8a 1.95±0.7ab 0.019±0.018a
Range 19.5-4.5 3-0.83 0.055-0
ZP
Removal
86.58 81.76 99.76
Konsentrasi (%)
Efluen (mg/L) Mean±SD 15.14±8.27a 1.14±0.63bc 0.022±0.019a
Range 28-1 2-0.33 0.057-0
GP
Removal
82.39 89.47 99.71
(%)
Mean±SD 11.0±2.6a 2.5±1.1ab 0.037±0.019a
Range 13-6 4.2-1.33 0.062-0
G
Removal
87.94 76.65 99.52
(%)
Konsentrasi influen dan efluen serta uji statistik penurunan
konsentrasi P, NO3-N dan Zn ditampilkan pada tabel 3.

Tabel 3. Total Konsentrasi pada Influen dan Efluen dari Keempat Sistem
CW terhadap Standar Deviasi (SD), Range, dan Efisiensi Penghilangan
Polutan.
Berdasarkan tabel tersebut terlihat bahwa diantara keempat sel
tersebut, rata-rata nilai konsentrasi outflow tidak berbeda secara
statistik, akan tetapi terjadi penurunan konsentrasi yang signifikan
secara statistik pada keempat treatment.
Hubungan antara konsentrasi influen dan efluen dari NO3-N
selama penelitian dapat dilihat pada Gambar 11. Gambar tersebut
menunjukkan bahwa sel dengan dan tanpa tumbuhan menunjukkan
penurunan konsentrasi NO3-N yang signifikan. Meskipun demikian,
terlihat jelas bahwa sel dengan tumbuhan (ZP dan GP) memiliki
efisiensi yang lebih rendah jika dibandingkan dengan efisiensi sel
tanpa tumbuhan (Z dan G).
Gambar 11. Perbandingan Konsentrasi NO3-N pada Influen dan Efluen

Hasil penelitian untuk tingkat konsentrasi influen dan efluen P


dapat dilihat pada Gambar 12. Konsentrasi efluen P memiliki
penurunan yang signifikan, jika dibandingkan dengan tingkat

konsentrasi influen. Sel dengan tumbuhan menunjukkan efisiensi yang


jauh lebih baik (hampir 12%), dapat dilihat pada gambar ini.
Konsentrasi P pada efluen sangat rendah dengan rata-rata 1.5 mg L-1.
Selain itu fosfor memiliki perilaku yang umum selama penelitian, hal ini
terlihat pada harga efisiensinya dengan standar deviasi yang rendah
secara relatif (Tabel 3).

Gambar 12. Perbandingan Konsentrasi P pada Influen dan Efluen


Hasil penelitian untuk tingkat konsentrasi inflow dan outflow dari
ion Zn dapat dilihat pada Gambar 13.

Gambar 13. Perbandingan Konsentrasi Zn pada Influen dan Efluen

2. Efisiensi Penghilangan Polutan

Pada pengurangan konsentrasi nitrat, untuk sel lapisan kerikil


tanpa tanaman (G) memiliki efisiensi pengurangan konsentrasi nitrat
86%. Hasil ini hampir sama pada sel lapisan kerikil dengan 10% zeolit
tanpa tanaman (Z) dengan efisiensi 88.5%, sedangkan pada sel
lapisan kerikil dengan 10% zeolit dan tanaman (ZP) mencapai efisiensi
81%, dan sel lapisan kerikil dengan tanaman (GP) memilki efisiensi
77.6% (Gambar 14).
Gambar 14. Grafik Efisiensi Penghilangan NO3-N

Pada pengurangan konsentrasi fosfor, sistem sel tumbuhan


dengan kerikil dan 10% zeolit sebagai substrat (ZP) memiliki efisiensi
pengurangan konsentrasi fosfor 92.7%. Untuk sistem sel tanpa
tumbuhan dengan substrat kerikil dan 10% zeolit (Z) memiliki efisiensi
81.4%. Sedangkan untuk dua sistem lain dengan media kerikil (GP
dan G) memiliki efisiensi 89% dan 76%. Efisiensi penurunan
konsentrasi fosfor pada masing-masing sampling selama penelitian
ditunjukkan pada Gambar 15.
Gambar 15. Grafik Efisiensi Penghilangan P

Pada pengurangan konsentrasi Zn, sel tumbuhan dengan zeolit


dan kerikil sebagai substrat (ZP) memiliki efisiensi penurunan Zn
tertinggi yaitu 99.89%. Sedangkan sel tanpa tumbuhan dengan
substrat sama (Z) memiliki tingkat efisiensi kedua yaitu 99.76%. Dua
sel lain (GP dan G) memiliki efisiensi 99.70% dan 99.52% (Gambar
16).

Gambar 16. Grafik Efisiensi Penghilangan Zn

Sedangkan untuk kecepatan penurunan konsentrasi ion logam


berat mencapai hampir 100%. Konsentrasi Cd dan Pb pada efluen
lebih rendah daripada limit deteksi, dan hal tersebut menunjukkan
bahwa sistem ini sangat efisien untuk menghilangkan logam berat
pada air limbah.
Tabel 4 menunjukkan variasi konsentrasi polutan pada keempat
sistem selama periode pengamatan. Konsentrasi bebagian besar
polutan menurun pada sepertiga (1/3) panjang constructed wetland.
Pada keempat sel, lebih dari 82% penurunan konsentrasi NO3-N terjadi
pada bagian pertama dan ketiga. Sedangkan pada bagian kedua,
konsentrasi NO3-N dibawah 20 mg L-1 diantara inlet A pada keempat
sel mengalami penurunan 0.3% dan 0.06%, dan terlihat bahwa
penurunan NO3-N memiliki fungsi regular hanya pada sel G yang
menunjukkan penurunan yang perlahan. Sedangkan sel lainnya tidak
menunjukkan penurunan konsentrasi NO3-N yang perlahan pada
sistem, yang kemungkinan disebabkan oleh kesalahan pada saat
eksperimen. Selain itu, karakteristik nitrat sulit untuk dijelaskan karena
N memiliki fungsi yang berbeda, terutama karena adanya tanaman.
Sehingga tidak memungkinkan untuk menjelaskan fungsi khusus untuk
sel ZP dan GP. Penurunan konsentrasi P yang mencapai 74% terjadi
pada sepertiga bagian pertama untuk semua sel. Rata-rata penurunan
6% dan 4% diamati pada dua sistem lainnya. Penurunan konsentrasi
yang perlahan terjadi pada semua sel, dan hal ini menunjukkan fungsi
normal dari P.
Tabel 4. Variasi Konsentrasi Terhadap Panjang Sel
Pada sel dengan tumbuhan (ZP dan GP), terjadi penurunan
konsentrasi yang tajam karena adanya tumbuhan. Sedangkan
penurunan konsentrasi pada sel ZP dan Z terjadi karena adanya zeolit.
Pada keempat sel, penurunan konsentrasi Zn mencapai 97%, yang
terjadi pada sepertiga bagian pertama sel. Rata-rata penurunan pada
bagian kedua dan ketiga sepanjang sel adalah 2% dan 0.5%. dan
pada bagian yang lainnya terdapat perubahan konsentrasi yang
signifikan pada sepertiga bagian sel.
B. Pembahasan
Pada saat treatment, terlihat bahwa sistem yang hanya terdiri
dari media (Z dan G) kurang efisien, hal tersebut mengindikasikan
bahwa tanaman memegang peran penting dalam mengurangi polusi.
Meskipun sel Z dan G memiliki konsentrasi polutan pada outfow yang
lebih besar dibandingkan sel ZP dan GP, akan tetapi jumlah polutan
yang dapat dihilangkan sangat sigifikan pada sistem GP dan ZP. Hal
tersebut terjadi akibat proses mikrobiologis dan proses fisika/kimia
yang dihasilkan pada saat menghilangkan polutan, karena media
membentuk lingkungan yang sesuai untuk pertumbuhan mikroba.
Pada sistem yang hanya terdiri dari media (Z dan G),
mekanisme penghilangan polutan terjadi melalui biodegradasi,
sedimentasi, dan absorpsi. Mekanisme penting untuk menghilangkan
N adalah aktivitas mikroba (amonifikasi, nitrifikasi, dan denitrifikasi),
penggunaan tanaman, sedimentasi, serta penguapan ammonia.
Nitrifikasi/ denitrifikasi dan amonifikasi terjadi secara simultan pada
sebagian besar sistem constructed wetland, akan tetapi proses dari
masing-masing sistem berbeda. Konsentrasi nitrat yang lebih tinggi
pada sel dengan tanaman terjadi akibat efek dari akar tanaman (root
zone effect/RZE) yang mengakibatkan lebih banyak oksigen yang
dikeluarkan ke tanah untuk melanjutkan aktifitas bakteri nitrifikasi.
Adanya lapisan tanaman pada sel constructed wetland menunjukkan
proses nitrifikasi yang lebih cepat, sehingga meningkatkan NO3-N, dan
pada kondisi ini sistem tidak mengalami denitrifikasi karena kondisi
oksigen yang tidak sesuai untuk proses ini. Sehingga nitrifikasi
menghasilkan lebih banyak nitrat dibandingkan jumlah nitrat yang telah
dihilangkan melalui denitrifikasi. Dan yang menarik adalah masa
pertumbuhan tanaman pada ZP adalah 1.3 kali GP, hal tersebut
menjelaskan bahwa peningkatan jumlah nitrat pada sistem ini
dikarenakan RZE yang lebih tinggi sehingga jumlah oksigen yang
dikeluarkan ke tanah lebih banyak, yang akan digunakan untuk bakteri
nitrifikasi.
Sedangkan jika sel lapisan kerikil+zeolit (Z) dibandingkan
dengan sel lapisan kerikil (G), sel Z lebih efisien dalam menghilangkan
NO3-N karena adanya pertukaran ion oleh zeolit sehingga
mempengaruhi amonia dalam sistem yakni dengan melalui proses
adsorpsi, dimana amonia diubah oleh Na+. Pada proses ini, zeolit
dapat menurunkan jumlah NH4 sehingga dapat mempengaruhi jumlah
NO3 yang dihasilkan pada saat proses nitrifikasi. Berdasarkan
penelitian, diperoleh efisiensi penghilangan NO3-N mencapai 82%
hingga 99%, untuk nitrat mencapai 89%, dan untuk NO3-N mencapai
70.73%.
Constructed wetland HSSF sangat potensial untuk
menghilangkan fosfor melaui proses adsorpsi, serta penyerapan P
efektif pada sistem ini, dimana air limbah mengalami kontak langsung
dengan substrat filtrasi melalui mekanisme tersebut. Sehingga sistem
HSSF lebih berpotensi untuk mengurangi konsentrasi P dalam air
limbah, karena aliran substrat yang cukup konstan serta tidak banyak
terjadi fluktuasi dalam sistem.

KESIMPULAN

Berbagai nutrien dan ion logam berat yang mengkontaminasi


lingkungan air merupakan suatu masalah yang serius yang tidak hanya
berbahaya bagi ekosistem air tetapi juga berbahaya bagi kesehatan
manusia. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan bahwa sistem
constructed wetland HSSF dapat digunakan secara efektif untuk
mendekontaminasi air dari nutrient (NO3-N dan P) dan Zn, serta polutan
Pb dan Cd. Tanaman air yang digunakan (Phragmites australis dan
Juncus inflexus) terbukti dapat mendukung sistem ini dengan sangat baik
dalam mengolah limbah air sintesis. Sedangkan material zeolit dan kerikil
merupakan suatu media pertumbuhan tanaman yang baik dalam sistem
constructed wetland, yang merupakan alternatif dari lapisan pasir dan
kerikil.
Sistem wetland sangat efisien untuk mengurangi konsentrasi P,
yaitu mencapai 93.12% dengan efisiensi paling rendah adalah 76.65%,
dan efisiensi terbesar terjadi pada sel dengan tanaman dengan substrat
zeolit+kerikil (sel ZP). Karakteristik zeolit sebagai media yang dipilih pada
sistem ini adalah karena zeolit mengandung banyak Ca, Al, dan Fe
oksida, dan hal tersebut merupakan faktor penting yang menyebabkan P
dapat tereduksi dengan baik melalui proses adsorpsi. Maka dari itu, zeolit
dapat digunakan secara efektif sebagai media pada constructed wetland,
baik digunakan sendiri maupun dicampur dengan material lain.
Penggunaan tanaman juga merupakan faktor penting dalam mengurangi
konsentrasi P.
Sedangkan untuk penghilangan NO3-N, sistem wetland dengan
lapisan kerikil tanpa tanaman (sel G) merupakan yang paling optimal pada
penelitian ini. Dan pada sel tanpa tanaman ini, efisiensi yang lebih besar
terjadi pada sistem yang menggunakan substrat campuran kerikil dan
zeolit (sel Z) karena terjadi pertukaran kation pada zeolit terhadap amonia
melalui proses adsorpsi. Pada proses ini, amonia diubah oleh Na+ dan
penurunan konsentrasi amonia akan mengurangi jumlah NO3-N yang
dihasilkan pada saat nitrifikasi.
Dan untuk penghilangan Zn, sistem wetland dengan lapisan
kerikil+zeolit dan dengan tanaman (sel ZP) merupakan yang paling
efisien, sedangkan pada sistem yang sama tanpa tumbuhan (sel Z)
memiliki efisiensi yang kedua setelah sistem tersebut, dan untuk dua
sistem yang lain (GP dan G) memiliki efisiensi yang lebih rendah.
Sehingga pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pada sistem
constructed wetland adsorpsi merupakan suatu proses yang sangat
penting dalam mengurangi konsentrasi Zn dari air limbah, sedangkan
tanaman yang digunakan dapat menyerap sedikit logam berat. Pada
penelitian ini juga dijelaskan bahwa penghilangan polutan yang paling
efisien terjadi pada bagian sepertiga sel di dekat inlet, yakni melalui
mekanisme kimia. Perbedaan antara semua sistem terjadi akibat proses
biokimia selama treatment.

DAFTAR PUSTAKA

Chem-is-try.<http://www.chem-is-
try.org/artikel_kimia/kimia_material/zeolit_sebagai_mineral_serba
_guna/>. (14 september)

Constructed Wetlands (from Natural Sistems International).


<http://www.natsys-inc.com/resources/about-constructed-
wetlands/>. (9 September 2009).
Dasar-Dasar Teknologi Pengolahan Limbah Cair.
<http://www.dephut.go.id/INFORMASI/SETJEN/PUSSTAN/info_5
_1_0604/isi_5.htm>. (8 Oktober 2009)

Fujita Research. <www.fujitaresearch.com/reports/wetlands.html>. (9


September 2009)

Ghazali, Ali Akbar and Mobini, Azizollah. 2008. Water Losses Reduction
Programme in Iran. International Workshop on Drinking Water
Loss Reduction Developing Capacity for Applying Solutions, (on
line), UNW-DPC, UN Campus, Bonn, Germany
(http://www.unwater.unu.edu/file/Theran_Ghazali.pdf?menu=1.
Diakses 13 September 2009)

Herawati, Elisya dan Soemantojo, Roekmijati W. Prosiding Seminar


Nasional Fundamental dan Aplikasi Teknik Kimia. Kinerja Zeolit
Alam Sukabumi sebagai Adsorben Amonia dalam Air Limbah
dengan Regenerasi Kimia. Jurusan Teknik Kimia-FTI ITS
Surabaya, LIPI Jakarta: 1998.

Mukhlis. Widiadi, J.B., dan Wilujeng, Susi Agustina. “Laju Serapan


Tunbuhan air Reed (Phragmites australis) dan Cattail (Typha
angustifolia) dalam Sistem Constructed Wetland untuk
Menurunkan COD Air Limbah”. Teknik Lingkungan-FTSP ITS
Surabaya, LIPI Jakarta. Jurnal Purifikasi Januari 2003; Vol.4,
No.1: 19-24.

Ragam Media Tanam. <http://www.kebonkembang.com/panduan-


dan-tip-rubrik-35/145.html>. (14 September 2009).
Ramly, Zulchaidir Berliana Firly. Efisiensi Penurunan Kadar COD, Zat
Organik, BOD, dan TSS Limbah Pemotongan Ayam dengan
Proses Anaerobik Menggunakan Media Biofilter Sarang Tawon.
Jakarta: Jurusan Kimia FMIPA UNJ, 2004.

Salman, Ahya M. Biologi I. Jakarta: Depdikbud, 1993.

Tangahu, Bieby Voijant dan Warmadewanthi, I.D.A.A. “Pengolahan


Limbah Rumah Tangga dengan Memanfaatkan Tanaman Cattail
(Typha angustifolia) dalam Sistem Constructed Wetland”. Teknik
Lingkungan-FTSP ITS Surabaya, LIPI Jakarta. Jurnal Purifikasi
Mei 2001; Vol.4, No.3: 127-132.

Wikipedia Ensiklopedia Bebas. <http://id.wikipedia.org/wiki/Limbah>. (8


Oktober 2009).

You might also like