You are on page 1of 10

VISI KEBERAGAMAN:

PERENCANAAN MASYARAKAT KOTA MULTIKULTURAL


YOGYAKARTA

Bagaimana efektivitas perencanaan dalam mayarakat kota yang multikultural berdasarkan visi
keberagaman di kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta?

Konteks:

Perencana perlu memiliki sensivisitas keberagaman etnik lebih dari yang dimiliki sekarang khususnya
di kota Yogyakarta. Urbanisasi/migrasi yang tinggi di kota telah membawa perubahan yang besar
baik secara fisik kota maupun karakteristik sosial. Para perencana kota telah banyak di kritik bahwa
mereka hanya sedikit memberikan perhatian pada isu multikultural dalam praktek perencanaan.
Tantangan bagi mereka adalah tidak hanya pada pemahaman terhadap komunitas multi etnik tetapi
juga bagaimana menyeimbangkan berbagai kebutuhan dalam masyarakat yang multicultural. Namun
demikian, kota Yogyakarta telah mengembangkan Visi Kota walaupun efektifitas serta metode
perencanaan yang dipergunakan kurang mencerminkan prakarsa/partisisipasi publik yang lebih luas.
Hubungan antara visi kota dan perencanaan multikultural belum dilaksanakan dalam proses
perencanaan kota.

Tujuan Penelitian:

1. Mengkaji literatur dalam visi perencanaan multikultural dan mengekplorasi kesesuaian


perencanaan dengan visi masyarakat multikultural.
2. Mengkaji apakah kebijakan perencanaan kota Yogyakarta telah mengakomodasi kebutuhan
beragam etnik komunitas khususnya dalam visi kota.
3. Memahami keterkaitan antar etnik komunitas dan kota dalam proses perencanaan.
4. Menjelaskan model perencanaan yang multikultural berbasis visi keberagaman.

Manfaat :

1. Riset ini dapat memberikan manfaat kepada para perencana kota profesional dalam
pengembangan teori perencanaan maupun praktek perencaan kota dalam perencanaan kota
Yogyakarta yang multikultural. Sementara itu dalam literatur perencanaan kota hanya sedikit
yang memfokuskan pada perencanaan multikultural yang berkelanjutan.
2. Secara khusus, baru sedikit yang dilakukan oleh para perencana kota dalam melakukan kajian
empiris pada topik perencanaan yang berbasis multikultural. Fakta lain menunjukkan bahwa
konflik dalam perencanaan kota dapat bersumber dari tidak dilibatkannya kelompok etnik kota
dalam proses perencanaan.
3. Melalui riset ini dapat dilihat bagaimana kelompok etnik kota Yogyakarta memberikan kontribusi
dalam perencanaan kota yang multikultu
Rencana Kerj
Gambar 1.

Developing design, Developing Coordination with Dinases The


methodology, work research instruments City of Yogyakarta
l

Orienting to the
research team leader:
work plan, research
methodology,

Preparation
Sustainable City
concepts

Field orientation of all Gathering data Coding, compiling, Focused Group


researchers (secondary, primary, analyzing the data Discussion
provincial and city) (kecamatan, city)

Monitoring &
supervising

Research report Designing an Presentation Formulating the priority


(city) action plan (city) (city) of planning process
and improvement

Final
research report
Rencana Anggaran
Rekapitulasi 
Rencana Anggaran 

No  Item  Price 


1  Direct  Cost      91.000.000  
2  Reimbursable Cost      56.400.000  
   Total   147.400.000 
           
   Grand Total   147.400.000

A. DIRECT COST 
Qty  Vol  Unit 
No  Item  Price  Price 
I. Expert Team                   
             
Sociology       
1  Specialist  1  Person 6 Months 6.000.000      30.000.000  
                 
Community 
empowerment       
2  specialist  1  Person 6 Months 4.000.000      24.000.000  
              Village 
3  Fasilitator FGD             3  Person 3    Months 2.000.000     18.000.000 

II 
Tranportasi 

                         Pengumpulan  5 
1  data  Persons  6 trips     200.000        6.000.000 
                        5  3 
2  FGD  persons  persons    200.000       3.000.000 
            
II.                            
Supporting                     ‐  

                       
1  Opr.Computer  1  Person 6 Months 1.000.000  6.000.000  
        
3  Secretary  1  Person     6  Months 1.000.000  6.000.000  

Total  91.000.000 
Reimbusable Cost 
No  Item  Qty  Vol  Unit Price  Price 
I. bahan dan alat                   
             
          
1  ATK  1 paket  6 Months 6.000.000   6.000.000  
                                          
    
2  Dokumentasi  1 Person 6 Months      400.000   2.400.000  
Village Fasilitator FGD               
                        3  consumtion  3  Person 3    Months 2.000.000  18.000.000 

  Peta  4paket 5.000.000  20.000.000 
 
5  Pelaporan dan penggandaan  1paket 10.000.00 
 
  Total  56.400.000 

Pelaksana Program

Berikut pendekatan dan rencana pelaksanaan penelitian ini akan dijelaskan secara lebih lanjut:
Tahapan Penelitian

Fase 1 : 1. Pengembangan instrumen survey/penelitian

2. Pengumpulan dan pengkajian data/informasi sekunder

Fase 2 : 1. Pelaksanaan survey

2. Pelaksanaan FGD ditingkat kecamatan

Fase 3 : 1. Analisis Data

2. Penulisan Laporan Penelitian

Studi Kasus Kecamatan

Kecamatan 1 : dilaksanakan di Kecamatan Gondomanan

Kecamatan 2 : dilaksanakan di Kecamatan Umbulharjo

Kecamatan 3 : dilaksanakan di Kecamatan Jetis

Pemilihan kematan tersebut didasarkan atas sebaran jumlah penduduk dan heteroginitas
masyarakatnya. Pendekatan yang dipergunakan adalah survey dan wawancara mendalam di tambah
dengan hasil FDG di kelurahan-kelurahan sampel di wilayah kecamatan-kecamatan tersebut.

Output

1. Model perencanaan multikultural kota yang berbasis visi keberagaman masyarakat


2. Peta keterkaitan antar etnik/kelompok masyarakat dalam kota multikultural.
3. Rekomendasi perencanaan masyarakat multikultural sesuai dengan visi kota
Metodologi dan metode penelitian:

Pendekatan eclectic dipergunakan dalam penelitian ini yaitu pendekatan yang mengkombinasikan
tiga perspektif dalam ilmu sosial (positivisme, interpretatif dan kritik ilmu sosial) sebagai metodologi
yang menggabungkan metode penelitian kuantitatif dan kualitatif. Tiga perspektif ini menjadi dasar
orientasi pada teori dan penelitian yang mendasarkan pada asumsi filosofis yang berebeda tetang
tujuan dan realitas dalam ilmu sosial (Neuman, 1997). Untuk menjelaskan kesesuaian penggunaan
pendekatan ini pertama, akan diuraikan prinsip dasar ketiga perspektif penelitian ini serta tujuan dan
bagaimana ketiganya digunakan dalam penelitian proses perencanaan. Kedua, menjelaskan
metodologi yang saling melengkapi dari ketiganya dalam penelitian sosial yang normalnya
dihubungkan dengan tradisi filosofis ilmu sosial yang berbeda.

Perspektif Penelitian Ilmu Sosial

Perspektif Positivisme
Positivisme umumnya dipandang sebagai pendekatan dalam ilmu alam yang dimulai dari Sosiolog
Auguste Comte (1798 – 1857). Tesis utama dalam positivisme adalah ilmu seharusnya hanya
memperhatikan pada masalah-masalah empirik bukan pada nilai-nilai yang berarti ilmu hanya
memperhatikan realitas dan obyek-obyek yang kasat mata dan tidak mungkin untuk bergerak pada
realitas yang lebih dalam. Jadi, positivisme memelihara bahwa perilaku manusia dapat dijelaskan
melalui hukum probabilitas sebab akibat selain hukum ilmu alam yang lain (Johnston, 1983).
Idealnya positivisme adalah ilmu yang bebas nilai, value free, netral, impartial, dan obyektif.
Penelitian positivisme menggunakan data kuantitatif dan biasanya menggunakan metode eksperimen,
survey dan statistik yang mencari pengukuran-pengukuran yang obyektif dimana hipotesis akan diuji
(Holt-Jensen 1988). Bagi positivisme tujuan akhir dari penelitian sosial adalah penjelasan ilmiah,
scientific explanation yang dimotivasi oleh keinginan peneliti untuk dapat mengeontrol lingkungan
sosialnya serta memprediksi kejadian-kejadian. Obyeknya adalah untuk menemukan hukum-hukum
universal tentang perilaku manusia.

Dalam paktek penelitian, pendekatan ini mensyaratkan peneliti memulai dari hubungan sebab akibat
dalam hukum kausal teori umum. Hubungan kausal ini dilanjutkan dengan pengukuran-pengukuran
dalam ilmu sosial yang merupakan replikasi dari pengukuran terdahulu. Pendekatan ini juga
mensyaratkan verifikasi dan falsifikasi atas fakta melalui scientifis metdod or hypothetical deductive
metdod (Neuman, 1997; Holt-Jensen 1988)

Kritik terhadap positivisme adalah mencoba memperluas metode ilmu alam ke dalam ilmu sosial yang
kemudian mencoba memasukkan manusia ke dalam angka-angka serta mefokuskan pada hukum
abstrak yang tidak relevan dalam kehidupan manusia. Dalam kaitan ini Holt-Jenson melakukan
observasi bahwa:
...... men have intentions...they can not be understood as objects as seen from the outside. If you
study your fellow men as physical objects you will not get to grips with their intentions (Holt-Jensen
1988:92).

Prinsip bebas nilai dalam positivisme bias dikatakan tidak mungkin karena aspek subyektifitas akan
muncul terutama dalam proses penelitian dimana peneliti harus membuat pilihan-pilihan (Evans
1988). Positivisme juga dikritik terutama dalam membatasi gejala social hanya pada yang dapat
diamati secara langsung yang berarti akan menghilangkan segala sesuatu atau nilai-nilai dan
meanings yang tidak dapat diamati dalam suatu situasi tertentu (Evans, 1988)

Perspektif Interpretatif

Akar dari ilmu social interpretatif dihubungkan dengan sosiolog Max Weber (1864 – 1920) dimana
alam dan budaya adalah berbeda sehingga memerlukan metode yang berbeda juga dalam penelitian.
Ilmu alam dalam perspektif positivis adalah studi objektif, non human world. Ilmu sosial interpretatif
sering merujuk pada metode kualitatif berdasarkan verstehen, empathetic understanding
pengalaman manusia (Neuman, 1997).

Pendekatan ini mensyratkan peneliti sebagai human being studying other human being tentang dunia
sosial, imaginative reconstruction or verstehen (Hughes, 1990). Fokus pendekatan interpretatif
adalah pada pemikiran manusia bukan pada respon mekanistik atas stimuli seperti yang dimunculkan
dalam positivisme (Johnston 1997).

Teknik penelitian yang dihubungkan dengan pendekatan interpretatif adalah participant observation
dan field research. Dasar dari teknik ini adalah pemahaman terhadap gejala sosial, pendekatan ini
mensyaratkan juga peneliti untuk tinggal cukup lama di wilayah penelitian sehingga interaksi
dipahami dalam konteksnya (Evans, 1988). Berbeda dengan peneliti positivis yang secara hati-hati
melakukan pengukuran kuantitatif dan penerapan statistik. Sedangkan peneliti interpretatif tinggal
bersama subyek penelitian untuk suatu periode tertentu. Selama periode tinggal ini peneliti
mengumpulkan data kualitatif melalui pemahaman mendalam terhadap tindakan sosial subyek dalam
keseharian kehidupan (Neuman 1997:68). Berlawanan dengan pandangan posotivis yang menangkap
kehidupan sosial diluar kesadaran manusia, human consciousness. Dengan demikian peneliti
interpretatif harus tertarik pada kebenaran manusia, apa yang relevan bagi kehidupan mereka dan
bagaimana mendefinisikan apa yang mereka lakukan dan kerjakan (Neuman 1997).

Penelitian interpretatif tidak mencoba menjadi bebas nilai dan menggunakan teknik penelitian yang
lebih bisa diterima oleh masyarakat atau kontek sosialnya. Metode ini mengharuskan peneliti untuk
bisa melakukan empati terhdap situasi sosialnya agar supaya pandangan-pandangan dari aktor
sosialnya (Denzin 2005). Pendekatan ini juga tidak setuju dengan positivis teknik yang mengharuskan
pengetesan atas hukum perilaku manusia. Secara ringkas metodologi interpretatif mengkaji dunia
indvidual dan subyektivitas.

Pendekatan interpretatif telah banyak digunakan oleh para perencana khususnya yang terkait dengan
studi kasus untuk memahami aspirasi kelompok dalam masyarakat. Pendekatan ini umumnya
membutuhkan waktu yang lama untuk lebih memahami interaksi dari mereka yang menjadi subyek
pengamatan dan memahami hubungan antara kebutuhan dengan saluran aspirasinya.

Namun demikian pendekatan interpretatif juga mendapat kritik terutama oleh para pemikir kritik
yang terlalu terfokus pada aktor individual, maksud dan meaningnya. Ini dipandang oleh pemikir
kritik sebagai distorsi atas realita karena mengasumsikan bahwa individu mempunyai kebebasan
dalam bertindak yang sebernarnya individu adalah dibatasi oleh faktir eksternal yang mereka tidak
banyak bisa melakukan kontrol (Denzin, 2005).

Perspektif Ilmu Sosial Kritik

Pendekatan ilmu sosial kritik dapat ditelusur kembali pada Karl Marx (1818 – 1883) juga dapat
dihubungkan dengan teori kritik tahun 1930an yang telah dikembangkan di German oleh Frankfurt
School. Suatu pendekatan yang memandang ilmu sosial sebagai:

….critical process of inqury that goes beyond surface illusions to uncover the real structures in the
material world in order to help people change conditions and build a better world (Neuman, 1997:74)

Ilmu sosial kritik mengedepankan proses kritik dalam penelitian yang dianggap dapat menjelaskan
lebih diluar dunia nyata atau material world dan juga mengidentifikasi struktur universal dari
kekuatan yang ada dalam masyarakat. Kontribusi Karl Marx dalam model struktural ini sering disebut
dengan Marxist structuralism. Pendekatan Marx dalam analisa adalah historical materialism
berdasarkan pada dialiektika dalam struktur yang di wujudkan dalam urutan tesis, antitesis dan
sintesis. Logika dalam urutan ini adalah setiap tesis adalah nilai pengetahuan yang terbatas yang
menjadi oposisi atau antitesis. Perjuangan antara tesis dan antitesis akan diikuti dengan kompromi
dalam bentuk sintesis yang diikuti elemen-elemen dari keduanya.

Menurut Marx kontradiksi atau oposisi menunjuk pada karakteristik kapitalisme dengan antagonis
proletar dan borjuis. Mayor dialektika dalam materialisme Marx adalah dalam productive forces and
the relation of production. Ini berkaitan dengan situasi kerja dimana kapitalis mempunyai means of
production dan mempekerjakan proletar untuk memproduksi barang dan medapatkan nilai surplus.

Keyakinan penelitian kritik adalah untuk mentransformasikan hubungan sosial yang dapat dicapai
melalui penelitian intens untuk mengungkap sumber-sumber dalam relasi sosial dengan obyek adalah
memberdayakan mereka yang terpinggirkan untuk ditransformasikan ke dunia yang diharapkan
(Holt-Jensen, 1988). Karena penelitian kritik ditujukan untuk memperbaiki kondisi mereka yang
terpinggirkan maka cenderung berorientasi pada action dan mungkin akan memunculkan isu-isu yang
harus ditangkap oleh penguasa, the ruling elite. Berbeda dengan positivistik yang mencoba untuk
mencari solusi atas permasalahan tanpa harus mengganggu keberadaan status quo (Neuman 1997).

Penelitian dan pendekatan kritik dan interpretatif sependapat dalam hal perubahan dalam realita
sosial yang menjadi subyek secara sosial dalam memberikan pemahaman, created meaning. Namun
demikian pendekatan kritik juga dikritik terutama pada posisi anti humanisnya karena menolak
meberikan penjelasan atas intensi manusia. Pendekatan interpretatig juga dikritik karena terlalu
beororientasi pada realitas subyektif dari pada kondisi aktual. Selain itu juga terlalu terfokus pada
lokal, waktu yang pendek dan memberikan sedikit perhatian pada isu yang lebih luas untuk waktu
yang lama.

Posisi ilmu kritik dalam menjelaskan realitas sosial adalah berada diantara positistik dan interpretatif.
Hukum kausal positivis memberikan sedikit perhatian dan kontrol pada perilaku manusia. Pendekatan
interpretatif percaya pada kebebasan manusia dalam menciptakan social meaning. Pendekatan kritik
menjaga bahwa kehidupan manusia dibatasi oleh tiga faktor yaitu: material, historical condition and
cultural context (Neuman 1997). Faktor-faktor tersebut membatasi dan membentuk perilaku dan
kepercayaan manusia. Namun manusia mempunyai potensi untuk merubah dan mengembangkan
pemahaman baruyang memungkinkan mereka untuk mentransformasikan dalam struktur sosial yang
lebih menguntungkan mereka sehingga ilmu kritik dapat menjelaskan bagaimana transformasi dapat
terjadi dan mengembangkan visi masa depan. Pendekatan kritik juga banyak digunakan dalam studi
atau penelitian tentang kemiskinan di negara berkembang juga pada penelitian bidang politik,
ekonomi dan kebijakan sosial.

Pendekatan dan Metode Penelitian

Di depan telah didiskusikan pendekatan-pendekatan filosofis dalam ilmu sosial yaitu positivisme,
interpretatif dan kritik dan tidak dalam posisi untuk memilih mana yang lebih baik digunakan dalam
penelitian ini. Konsekuensinya adalah metodology eclectic digunakan dalam penelitian ini yang
mengkombinasikan beberapa metode penelitian atas dasar perbedaab perspektif dalam ilmu sosial
tersebut, sebagai satu pendekatan yang lebih komplementer dalam meneliti proses perencanaan dan
keterkaitannya dengan aspirasi etnik komunitas di perkotaan.

You might also like