Professional Documents
Culture Documents
[ Fidiyo di ROMA ]
[ Dari luar Fina terlihat sangat sempurna. Wajahnya manis, anaknya baik,
temannya banyak, ortunya juga kaya. Apalagi kurangnya seorang Fina. Tapi ….
Diusianya yang sudah 17 lewat dia sekalipun tidak pernah berpacaran. Karena itulah
dia merasa minder dengan teman-teman sebayanya.
Suatu hari Fina bertemu dengan Dinggar, teman SMPnya yang sudah lama
tidak bertemu. Ide jail Finapun muncul. Fina dan Dinggar kemudian berpura-pura
untuk pacaran. Setelah itu tak ada kata lagi untuk ‘minder’ dikamusnya.
Tak lama setelah itu sekolah Fina geger karena kedatangan anak baru yang
luar biasa ganteng bernama Yogi. Dan pada akhirnya Fina dan Yogi jadian. Tapi…
Fina tak menyadari bahwa ada seseorang yang berharap ide jail Fina berubah menjadi
kenyataan.]
BAB 1 KETEMU LAGI…
Kring…..kring…..kring…..
Jam weker berbunyi. Tanda malam yang ditunggu oleh setiap orang karena
dapat beristirahat, berkumpul dengan keluarga dan satu yang tak kalah pentingnya
yaitu bermimpi indah telah berubah menjadi pagi yang berarti semua manusia
diwajibkan untuk memulai aktifitasnya. Mulai dari bayi yang harus mulai menangis
agar sang mama memberikan sedikit asi untuknya. Para balita yang harus berjumpa
dengan teman sebayanya karena ingin merancang rencana bagaimana cara meminta
maaf yang baik kepemilik rumah yang kemaren jendela rumahnya telah secara tidak
sengaja terlempar batu saat mereka bermain. Para anak-anak dan remaja yang harus
bersekolah dan belajar. Para bapak yang bekerja dan ibu yang berbelanja di warung
sambil mengikuti kegiatan rumpi pagi yang mau tak mau harus dilakukan. Serta para
lansia yang harus memperbanyak amalnya karena walaupun tidak tahu kapan akan
meninggal tapi kalau disurvei 7 dari 10 orang lansia selalu berfikiran tentang mati.
Pagi ini cerah! Ceraaaaaaaah sekali, sampai-sampai kucing yang tadinya malas
untuk bertengkar dengan sang pasangan memulai pertengkaran itu dengan cerianya.
Ditemani dengan kicauan burung pipit yang sangat merdu serta payungan awan-awan
putih yang meneduhkan siapa saja yang lewat dibawahnya. Tapi entah kenapa Fina
tak mau bangun dari tempat tidurnya. Dia sangat benci hari cerah, dia benci keceriaan
serta gembira dan juga dia benci dengan tawa. Kalau perlu setiap hari harus dimulai
dengan hujan deras dan guntur petir menyambar-nyambar, biar orang-orang yang
pada ceria sehabis mimpi indah langsung hilang kegembiraannya dan menjadi bete
seperti dirinya sekarang dan hari-hari kebelakang.
Fina Rianty Admaja, cewek remaja berusia 17 tahun yang sangat ceria, tentunya
dilihat dari mata teman-temannya. Anaknya asyik, supel dan mudah bergaul.
Temannya dari semua kalangan, dari anak gaul yang sukanya cuma berkumpul
dengan orang itu-itu saja dengan predikat gank yang selalu jadi kebanggaan mereka,
anak-anak creers yang merasa merekalah paling cantik seantro sekolah, anak pintar
yang selalu mendapat ranking minimal lima besar, serta anak-anak yang biasa-biasa
saja sehingga hampir tak dikenal oleh teman disekolahnya yang tidak pernah satu
kelas dengan mereka.
Fina mulai beraksi, dimulai dengan mematikan Hpnya lalu setelah mandi dia
langsung pergi meninggalkan rumahnya untuk menghindar dari kejaran temannya
yang pasti sedikit akan curiga tentang ketidakhadirannya disekolah. Pertama karena
memang Fina jarang sekali tidak masuk sekolah, dan kedua mengapa
ketidakhadirannya sangat bertepatan dengan acara ritual itu. Tentu saja sangat
kebetulan sekali.
Dan dugaan Fina itu sangat tepat, selang beberapa detik ketika mobil BMWnya
keluar dari halaman rumah, telepon rumah Fina berdering kencang. Sepertinya orang
yang diseberang sana sangat tidak sabar menanti sambil hanya mendengar nada
tut…tut…tut.. Coba saja kalau nada itu diganti dengan suara merdu Once, Ariel atau
vokalis band lainnya pasti orang diseberang bukannya mau menelpon malah hanya
Tadi pagi Fina memang stress berat. Mengingat acara ritual yang membetekan
itu. Lain tadi pagi, lain pula sekarang. Sekarang, Fina sedang happy-happynya karena
dia berada ditengah-tengah mal yang menyajikan berbagai hiburan untuk para
manusia yang sedang bete seperti Fina itu contohnya. Ternyata bolos sekolah dengan
alasan sakit itu memang menyenangkan. Pertama karena dia tidak perlu mengikuti
pelajaran hari senin yang sangat membosankan, terutama pelajaran sejarah. Fina
sangat heran mengapa jurusan IPA seperti dirinya masih juga harus menghadapi
tulisan panjang lebar tentang bagaimana manusia itu bermula. Padahal salah satu
alasan mengapa dirinya masuk IPA adalah karena Fina ingin menghindari pelajaran
yang dapat meninabobokan anak itu.
Kedua karena ternyata suasana mal dipagi hari itu jauh menyenangkan dari pada
suasana disiang ataupun di malam hari, tidak termasuk hari libur tentunya. Karena
pelayanannya masih sangat fit dan ini terutama, cowok yang kesini rata-ratanya
mahasiswa, pas banget dengan kriteria idaman Fina.
Karena sibuknya menghayal, Fina sampai-sampai lupa bahwa didepan mukanya
ada kedua bolah yang berfungsi untuk melihat dan memberi sinyal pertama apabila
ada orang didepannya dan karena ada kedua bola itu maka menabrak seseorang
seharusnya dapat dihindari. Tapi mungkin Fina benar-benar lupa sehingga sekarang
badannya telah lemas di bawah lantai yang untung baru saja cleaning servicenya
BAB2 LESBIAN..!?
Pacaran ala Fina dan Dinggar memang asyik. Selain karena tidak ada rasa
canggung seperti pasangan-pasangan awal lainnya, mereka juga tidak perlu sembunyi-
sembunyi kalau sedang dekat dengan seorang cewek atau cowok lain. Yah…. Karena
memang mereka tidak 100% berpacaran sih.
Esoknya, dengan berbangga hati dan tidak ada rasa kecanggungan Fina datang
kesekolah dengan membawa senyum termanis yang pernah dia miliki. Kalau dihitung
dengan kadar gula, mungkin senyum Fina hari itu berkadar 5 kg gula pasir di tambah
½ kilo gula merah. Teman-temannya yang awalnya cemas karena kemaren anak satu
itu tidak hadir dan digantikan oleh surat keterangan sakit dari Rumah Sakit khusus
menangani penyakit jiwa itu mulai merasakan ada keanehan disana. Wajarlah surat
sakit Fina berasal dari RS itu, wong mamanya kerjanya disana ya mungkin sudah
kehabisan amplop yang terpasa menggunakan amplop kantornya.
“Hei Fin emangnya lo kemaren sakit apaan sih, kok suratnya dari RSJ gitu?”,
tanya Dita teman sebangku Fina yang centilnya minta ampun. Memang teman-teman
Fina cuma tahu Fina itu orang kaya tanpa mengetahui apa pekerjaan orang tuanya
hingga dia bisa sekaya itu. Dan juga rata-rata mereka nggak tahu dimana rumah Fina
Bel istirahat berbunyi dengan kencang. Bu Vivi yang tengah asyik menjelaskan
pelajaran integralnya buru-buru diingatkan oleh seluruh murid dikelas bahwa
sekarang adalah waktunya mengisi perut. Dengan perasaan jengkel guru itu lalu
mengakhiri penjelesannya dengan memberikan 5 soal uji kompetensi untuk dikerjakan
dirumah.
“Ya…. Ibu masak PR lagi seeh!”, keluh anak-anak yang tidak dan tidak akan
pernah dihiraukan oleh guru kiler satu itu.
Tak sesuai dengan prediksi Fina yang akan mendapatkan dukungan dari teman-
temannya. Ternyata kejadian itu sudah menjadi keterbalikannya. Gossip tentang
dirinya lesbian sudah menjamur di seluruh sekolah dan menjadi bahan perbincangan
nomor satu terhot saat itu. Fina yang terkenal supel dan mudah bergaul itu ternyata
seorang lesbian! Siapa yang tak mau tahu cerita selengkapnya dari mulut orang
pengungkap pertama, siapa lagi kalau bukan si pencari sensasi, Riska!
“Iya gue tanyain sendiri kok kemereka berlima. Tapi lima-limanya pada nggak
mau ketahuan namanya, takutnya malu kalau ketahuan mereka suka dengan cewek
lesbian. Siapa juga yang nggak malu khan! Gue sebagai sesama cewek aja malu
dengernya”, mulut bisa Riska mulai beraksi.
Tak tahu apa maksud Riska menyebarkan gossip itu. Dia dan Fina tidak terlalu
akrab, malahan tidak bernah bertegur sapa selayaknya anak-anak lain disekolah ini.
Mungkin karena itu jadi Riska merasa dia dibedakan dari anak-anak yang lain oleh
Fina, makanya dia nekat menyebar fitnah.
Fina tak dapat menahan marah. Dengah wajah merah semerah api, dia
menghampiri si pencari sensasi dan langsung melabraknya.
“Hei…. Maksud lo apa nyebarin gossip yang nggak mutu kayak gitu tentang
gue”, teriak Fina didepan mata Riska yang untuk beberapa detik membuat hati anak
itu menjadi ciut. Tapi itu hanya beberapa detik karena beberapa detik selanjutnya hati
Riska sudah kembali normal lagi dan siap menantang ucapan Fina.
“Itu bukan gossip, memang bener khan lo sukanya dengan sesama jenis. Kalo
nggak mana mungkin lima cowok ganteng dan populer lo tolak begitu aja cintanya”,
balas Riska dengan nada lantang dan tegas membuat anak-anak yang tadi sedang
melahap makanannya otomatis berhenti untuk mengetahui kebenaran gossip itu,
sekarang!
Takut-takut Fina datang kesekolah angker itu. Sebenarnya dia tidak ingin masuk
hari ini, tapi karena paksaan mamanya dan takut dengan papanya yang baru saja
pulang dari Jakarta kemaren terpaksalah Fina berangkat sekolah. Diotak Fina
sekarang tengah terbayang gambaran anak-anak yang sedang menggunjingkannya dan
menatapnya dengan tatapan mata penuh tanda tanya serta rasa jijik yang sangat besar
bagaikan Fina itu sedang mengidap penyakit AIDS yang bisa menular.
Setelah sampai disekolah, ternyata bayangan itu tidak muncul. Untunglah!
Serunya dalam hati. Tapi ada yang aneh disekolah pada hari ini, para anak cowok dan
cewek membuat dua kelompok besar terpisah. Sang kelompok cewek sedang bergosip
ria sambil cekikikan dan mengeluarkan aura kegenitannya. Sedangkan kelompok
cowok memasang tampang jutek seperti mendapat penghinaan yang amat sangat. Tak
mengerti dari apa yang dilihatnya, dengan cepat Finapun menuju ke bangku
kebesarannya dan menanyakan hal itu kepada siapa lagi kalau bukan Dita.
Disekolah sekarang tidak ada kata lagi untuk lesbian. Yang ada sekarang
hanyalah kekaguman dan keirian para cewek atas temannya satu itu. Siapa lagi kalau
bukan Fina. Pertanyaan-pertanyaan pun mulai mereka lontarkan seperti kapan mereka
jadian? Bagaimana jadiannya? Dimana jadiannya? Dan yang paling sering ditanyakan
adalah dari mana Fina mengenal cowok seganteng Dinggar.
Walaupun senang dengan kondisi sekolah yang kembali memihak kepadanya,
tapi Fina masih rada bego dengan perkataan teman-temannya yang mengatakan sang
pacarnya itu guanteng banget. Iya ganteng tapi dilihat dari gunung Himalaya, pikir
Fina.
Tidak tahu apakah omongan Dinggar itu dapat dipercaya ataukah tidak. Yang
jelas Fina senang mendengarnya. Paling tidak Dinggar telah membangkitkan
optimisme Fina untuk mendapatkan seorang pacar yang memang menyukainya dan
dia juga menyukai cowok itu.
Disekolah Fina menceritakan bukit impian itu kepada Dita. Teranglah cewek
imut itu langsung iri mendengarnya. Karena sudah lima kali berpacaran tak satupun
Namanya Yogi Tirtada. Pindahan dari Bandung yang katanya pindah karena
mengikuti pekerjaan papanya yang memang suka pergi-pergi. Anaknya pintar, suka
Sekolah Fina pulang pada pukul 12 teng. Dan saat pukul 11.55 para siswa sudah
menutup telinganya rapat-rapat untuk mendengarkan pelajaran yang disampaikan oleh
para guru. Anehnya, guru-guru di sekolah ini juga sudah pada pengertian dan tidak
melanjutkan lagi pelajarannya kalau sudah ada anak yang merapikan buku-bukunya
dan bersiap pulang.
Hari ini Dita tidak dijemput papanya. Makanya dia terpaksa menumpang mobil
BMW Fina. Tapi baru saja ketika mereka ingin meninggalkan kelas, Fina dihadang
oleh Yogi.
Dengan tampang tak perduli bagaikan bermata buta Fina dengan entengnya
keluar dari sana. Dita yang lumayan asyik di dekat cowok itu mengikuti sahabatnya,
takut nantinya pulang naik bis.
Diparkiran Yogi terus saja membuntutui Fina.
Melupakan segala kepenatannya disekolah, Fina kali ini tampak ceria. Apalagi
kalau bukan dia sedang bersama dengan Dinggar ke bukit impian. Sudah lama sejak
pertama dan terakhir kalinya mereka kesini. Tidak ada perubahan yang berarti. Paling-
paling rumputnya yang sudah pada tumbuh meninggi.
“Udah lama yah kita nggak kesini Ding”, ucap Fina memecahkan kesunyian.
Dinggar tak menjawab, hanya melempar senyum tanda mengiyakan. Fina tak
perduli dengan itu, yang penting dia bisa bersantai sejenak untuk melupakan
kepenatan sekolah. Apalagi kalau ingatannya mengarah ke cowok sengak yang paling
dibencinya saat ini.
Pagi-pagi wajah Fina sudah ditekuk. Apalagi kalau bukan karena Yogi.
Sekarang dia tengah duduk dibangku kesayangan Fina yang setiap orang dikelas itu
bahkan disekolah yang mengenal Fina tahu bahwa bangku itu haram untuk
didudukkan kecuali oleh si pemilik.
“Gue udah bilang Fin. Tapi dianya maksa terus dan nggak mau pergi”, ucap Dita
menyelamatkan diri sebelum terkena cipratan amukan Fina.
“Lo udah denger sendiri khan? Sekarang pergi deh lo!”, bentak Fina yang
mengangetkan seisi kelas. Kelas yang tadinya sunyi senyap karena sedang
mengerjakan atau yang lebih tepat menyalin PR kontan menghentikan kegiatannya
dan memperhatikan pertengkaran yang seru itu.
“Emangnya dibangku ini ada tertulis miliknya Fina gitu. Lagi pula ini bangku
sekolah kok!”, Yogi tak mau kalah. Tampaknya pertandingan Yogi vs Fina akan seru
karena semua anak disekolah ini sudah tahu bahwa mereka sama-sama keras kepala.
“Emang, itu bangku yang gue bawa sendiri dari rumah khusus buat gue. Dan
karena itu gue berhak dong menyuruh siapa saja untuk tidak mendudukinya”, bentak
Fina lagi.
Awalnya anak-anak mengira Yogi akan pergi setelah mendengar itu tapi
anehnya dia sekarang tertawa terbahak-bahak.
“Hahaha……. Emangnya lo ini siapa sampai bangku aja harus bawa dari rumah.
Atau jangan-jangan lo masuk sekolah nyogok yah! Yang syaratnya harus membawa
kursi dan meja sendiri!”
Ucapan Yogi tadi telah membuat darah di dalam tubuh Fina tak terkontrol.
Rasanya dia dapat merasakan wajahnya sekarang memerah karena panasnya menahan
amarah. Dengan refleks dia menarik baju Yogi lalu memaksanya keluar dari
bangkunya. Berhasil! Anak sengak itu terlempar dari bangku Fina. Secepat kilat
Finapun langsung menduduki bangku kesayangannya.
“Gue nggak maksud kok. Dianya aja yang buat gue panas duluan”, ucap Fina
kepada Dita membahas tentang baju Yogi tadi.
“Tapi walau bagaimanapun juga, lo jangan sesinis itu donk! Bukan masalah
bajunya, tapi cara lo itu memang keterlaluan banget”, Dita ikut-ikutan panas, kayak
dianya aja yang bajunya robek.
“Terus gue harus bagaimana donk?”, tanya Fina lemas, memikirnya dirinya
yang memang sudah tampak keterlaluan. Hanya karena sebuah bangku yang memang
bukan miliknya sepenuhnya.
“Lo harus minta maaf Fin”, perintah Dita.
“Apa? Minta maaf dengan cowok sengak itu. Nggak ada cara lain apa? Misalnya
ngejahitin bajunya atau gue gantiin deh tuh baju dengan yang baru”, Fina nyolot.
Seorang Fina yang nggak 100% salah, masak harus meminta maaf kepada cowok
tersengak didunia!
“Sekali lagi gue tegesin. Ini bukan masalah baju, tapi kelakuan lo yang emang
udah diluar kewajaran”, ucap Dita bergebu-gebu.
Sialan nih anak, emang yang sahabatan dua tahun lebih dengan dia ini
sebenarnya Fina atau Yogi. Kok sekarang dia malah mati-matian membela cowok itu
dan menindas gue dengan memaksanya untuk minta maaf. Apakah ini hari tersialku?
Fina lahir dikota kecil ini. Besar disini dan teman-temannya pun semuanya
disini. Tak pernah kaki mungil Fina itu menginjakkan kota besar seperti Jakarta,
Bandung atau yang lainnya, meskipun sering kali mama papanya mengajak anak
semata wayang mereka itu untuk pergi bersama mereka. Apalagi pekerjaan papanya
yang memang mengharuskan menghabiskan waktunya diberbagai kota. Sebab itulah
keluarga mereka tak pernah pindah.
Tapi….. memang tak tahu atau tak mau tahu sering kali Fina mendapati tempat-
tempat baru dikotanya bersama dengan orang baru, alias orang yang baru saja pindah
kekota ini. Contohnya saja Dinggar, walaupun dia satu SMP dengan Fina sebenarnya
dia itu berasal dari Bandung.
Dan sekarang Yogi yang jelas-jelas baru kurang lebih 17 hari tinggal disini,
dibandingkan Fina yang sudah 17 tahun, mengajak Fina kesuatu tempat dipinggiran
kota yang sama sekali selama 17 tahun ini Fina tak tahu bahwa tempat itu ada.
“Lo pasti nggak pernah kesini khan!”, tebak Yogi langsung.
Fina diam, memang sangat memalukan sekali. Kota tempat kelahiran sendiri
saja tidak mengenal, apalagi kota orang lain. Bisa-bisa Fina tersesat.
“Gue juga baru tahu tempat ini dari temen gue”, lanjutnya yang tahu pasti Fina
tidak akan memjawab tebakannya tadi.
“Emang lo ada temen disini?”, tanya Fina kemudian.
Sudah lama Fina nggak bertemu dengan Dinggar. Rasanya kagen juga! Lalu
dengan cepat jari-jari Fina menekan angka-angka pada Hpnya, sedetik kemudian
nama Dinggar beserta fotonya tampil dilayar Hp Fina.
Tut…. Tut…..tut….. nada tunggu berbunyi. Aduh nggak gaul banget sih
Dinggar ini. Masa di jaman yang serba canggih ini masih aja mempertahankan nada
kereta api. Padahalkan sekarang telah banyak tersedia nada tunggu yang membuat
sang penelpon tidak bosan menunggu. Gumam Fina.
Tak lama kemudian bunyi kereta apipun berubah menjadi suara Dinggar. “Hallo
sayang… ngapain nih nelpon-nelpon malem-malem. Kangen yah? Jangan kwatir,
malam minggu ini rencananya gue mau ngajak lo keluar”, ceplos Dinggar yang sudah
tahu siapa si penelpon.
“Yeh….siapa lagi yang kagen sama lo. Gue cuma bingung nih Ding!”
“Bigung kenapa say?”
“Ih… lo kok ngomongnya jijik amat sih pake say-say segala. Gue risih tahu
dengernya”, bentak Fina.
“Iya deh… iya. Emang lo bingung kenapa sih?”, Dinggar mengulang kembali
pertanyaannya.
“Gini khan ada anak baru di sekolah gue. Dia itu resek banget…”
“Iya lo udah pernah cerita”, potong Dinggar.
“Pokoknya Fina nggak mau ikut ke dinner nanti malam!”, ucap Fina dengan
nada yang tinggi di meja makan didepan mama papanya.
“Fina … papa sudah janji kalau akan membawa kamu nanti malam”
“Kok papa nggak janji akan bawa buah aja. Kok janjinya malah bawa Fina.
Emangnya Fina ini barang bawaan?”
“Fina bukan itu maksud kami”, mama berusaha menenangkan.
“Pokoknya sekali nggak tetap nggak!”, Fina berlari menuju kamarnya.
Membuka pintu. Lalu masuk kemudian menguncinya dari dalam. Mama dan papanya
yang sudah tahu seperti apa sikap anak mereka hanya bisa pasrah. Tapi tentunya
mereka tidak kehabisan akal untuk mengajak anaknya itu. Tunggu saja tanggal
mainnya.
Didalam kamar Fina mayun-mayun sendiri. Emangnya Fina ini apaan? Lagian
ngapain coba janji-janji bawa anak. Atau jangan-jangan gue mau dijodohin lagi
dengan cowok sengak itu. Ih…. Jangan sampai deh. Lebih baik gue jadi perawan tua
aja dari pada punya pacar kayak gitu.
Malamnya, tepatnya pada pukul 6 teng. Papa dan mama Fina tanpak sangat lesu.
Fina yang melihat kejadian itu jadi tidak enak juga. Pasti mama dan papa punya niat
baik kepadanya sehingga mesti membawanya berjumpa dengan temannya.
Apalagi belum pasti kalau teman papanya itu adalah ayah si Yogi brengsek itu.
Karena rasa tak enak hati itulah akhirnya Fina mau mengikuti ajakan orang tuanya
dan pergi ke rumah teman papanya. Mendengar hal itu tentunya papa Fina sangat
senang.
“Kamu tidak akan rugi papa ajak kesana”
Malamnya Fina nggak bisa tidur memikirkan perkataan Yogi. Bukan hanya
perkataan, tapi perbuatan. Nggak tahu juga Fina mau mempercayainya atau nggak,
tapi yang pasti dari raut wajahnya Fina bisa menyimpulkan pada waktu itu dia sedang
serius.
Tak pernah dia melihat Yogi seserius itu saat bicara. Apalagi ketika itu mereka
sedang berada dirumahnya. Lengkap dengan keluarga dan kedua orang tuanya. Kalau
Yogi sedang bercanda pasti dia tidak akan senekat itu didekat orang tuanya.
Malam itu, Yogi mengungkapkan isi hatinya. Bahwa dia menyukai Fina dan
ingin cewek itu menjadi pacarnya. tentu saja Fina tidak bisa langsung menjawab
permintaannya.
“Gue ngerti Fin kalau lo nggak bisa ngejawab sekarang. Tapi yang musti lo
tahu, sebelum gue ketemu dengan lo gue sangat benci dengan makhluk yang namanya
cewek”
Ucapan itu terus terniang-niang dikepala Fina. Awalnya Fina ingin menolak
Yogi, tapi…. ketika kalimat itu ingin terlontar dari bibirnya, seketika bibir Fina
terkunci, hatinya berdebar, matanya seketika menutup dan merasakan hangatnya bibir
Yogi. Kalau memang dia benci dan tidak mau, untuk apa menerima ciuman itu? Bisa
saja Fina berteriak dan setelah itu mama papanya akan menolong anak semata
wayangnya. Tapi… Fina menerimanya. Menerima ciuman itu dengan tangan terbuka.
Dinggar yang sudah tidur dikejutkan dengan bunyi nada sms dari Hpnya.
Wajarlah kalau sekarang dia sudah tidur, karena jam dinding kamarnya sudah
menunjukkan angka 12 lewat 10 malam. Dengan sayup-sayup dia meraih Hpnya
dimeja kecil dekat tempat tidurnya. Siapa sih malam-malam ngirim sms, pikirnya.
Dengan mata sayup-sayup dia membaca sms itu.
Ding kykny gw udh nemuin co it dh
Bnr kt org, antr cnt&bnc it slsh tps
Skrg gw bs ngrsnny
Dinggar tersenyum tertahan. Langsung saja dia membalas sms itu kepada
sipengirim dan melanjutkan tidurnya.
Brrt qt pts dnk? Tp gk pa2
Yg pntg lo sng..
Klw ud jdn d tgg lh mkn2ny
Mmp indh yach… bye2
Meskipun sudah menetapkan pilihannya tapi Fina belum mejawab kepada Yogi.
Senin pagi disekolah Fina lumayan deg-degan kalau-kalau Yogi kembali memintanya
menjawab pertanyaannya kemaren. Di depan kelas Fina lumayan ragu-ragu untuk
masuk. Dia berusaha meneliti dulu apakah Yogi ada didalam kelas. Tak lama
kemudian bahunya ditepuk oleh seseorang dari belakang dengan lembut.
“Emang mau nunggu disini sampai kapan non?”, tanya orang itu.
Fina langsung tersentak kaget. Dia kenal benar suara orang dibelakannya.
Langsung saja ia membalikkan tubuhnya untuk memastikan bahwa pendengarannya
tidak salah. Dan memang benar, orang itu adalah Yogi.
Tak seperti biasanya, Yogi pagi ini sangat ramah dengan Fina. Senyumnyapun
sangat manis tidak seperti hari-hari biasanya yang lebih terlihat sinis. Dan untuk hari
ini Fina baru tahu seberapa keren dan gantengnya seorang Yogi. Hidungnya mancung,
alisnya tebal, bibirnya seksi, dagunya terbelah dua, wajahnya putih dan banyak lagi
kelebihan-kelebihan lain yang selama satu bulan ini Fina tidak dapat melihatnya.
Dikamar Fina termenung sendiri. Pikirannya kacau. Kenapa sih Dinggar nggak
bilang-bilang kalau hari ini dia berangkat ke Roma. Padahalkan Fina mau
mengucapkan terimakasih karena telah membantunya selama ini untuk berpura-pura
pacaran dengannya. Berterimakasih karena telah menunjukkannya bukit impian yang
luar biasanya indah. Dan berterimakasih atas segala bantuannya yang menjadikan
dirinya penolong Fina.
Seminggu yang lalu mama Dinggar telpon dari Roma nyuruh Dinggar tinggal
disana. Awalnya Dinggar nggak mau, tapi kemaren tiba-tiba saja dia mau dan
langsung membeli tiket untuk pernerbangan pertama hari ini.
Hanya itu yang Fina tahu. Dan itupun hanya tahu dari pembantunya. Sebenarnya
apa sih pikiran Dinggar sampai-sampai mendadak pergi seperti itu. Nggak bilang-
bilang pula.
Pikiran Fina maih terus menerawang, hingga Bi Inem membuayarkannya
dengan suaranya yang sangat ‘khas’.
“Neng….. ada tamu tuh”
“Siapa Bi?”
Sudah sebulan Fina dan Yogi jalan. Yang tahu hanya teman-teman dekat
mereka. Fina nggak mau itu jadi berita yang besar dan membuat ‘OSIS’ membuat
ritual tambahan. Riska sebenarnya mulai curiga dengan gelagat mereka berdua tapi
untungnya cewek sensasional itu masih bisa dikelabui.
Jauh dari semua itu, berarti sudah sebulan juga Fina nggak berhubungan dengan
Dinggar. Kangen juga rasanya. Walaupun sekarang ada Yogi, tetap saja Dinggar sang
penolong sejati bagi Fina. Sering kali Fina mencoba menghubungi Dinggar, tapi tak
kunjung mendapatkan hasil. Fina sempat berfikir kalau-kalau dia ada melakukan salah
dengan Dinggar, tapi Fina tak jua menemukannya.
Terakhir kali Fina hanya sms-an dengannya untuk memberitahu bahwa dia
sudah menemukan cowok yang dia cari. Dan setelah itu, tak ada lagi.
Fina dan Yogi mempunyai tempat favorit, namanya danau sentarum. Tempat
dimana pertama kali Yogi mengajak Fina jalan, tapi waktu itu Fina tak terlalu
memperdulikannya. Danau itu sangat indah, tak seperti danau lain yang hanya
memberikan pemandangan air serta gunung. Danau satu ini di sepanjang genangan
airnya tumbuh bunga yang penduduknya menyebut dengan nama sentarum.
Danaunyapun tidak dalam, cetek malahan.
Hari ini Fina dan Yogi untuk kesekian kalinya pergi ke tempat itu. Menikmati
indahnya karya Tuhan yang maha indah.
Walaupun sekarang Fina sedang bersama pacarnya, tak tahan mulutnya untuk
tidak berbicarakan ‘mantan pacar’nya yang sekarang tiba-tiba menghilang darinya.
Yah… walaupun dia tahu dimana sekarang dia berada tapi sama saja dengan tidak
tahu.
“Gue aneh dech dengan Dinggar. Kok tiba-tiba dia kayak ngejauhin gue gitu
yah?”, Fina memulai pembicaraan. Tampaknya tak ada reaksi yang berarti dari Yogi
hanya sebuah senyuman sinis yang Fina artikan sebagai tanda cemburu. Tapi itu tak
mengurungkan niat Fina untuk terus berbicara.
Sebenarnya ini bukan untuk pertama kalinya Fina bertemu dengan Winda, kakak
Yogi satu-satunya yang menurut Yogi adalah cewek yang paling dekat dengannya
sebelum Yogi bertemu dengan Fina. Karena sebelum itu bisa dibilang Yogi sama
sekali tidak pernah berteman dengan namanya cewek apalagi pacaran.
Paginya Fina bangun tepat pukul enam teng. Tak perlu lama-lama baginya untuk
menghabiskan waktu di kota indah itu untuk tidur. Di kepalanya sudah setumpuk
rencana yang akan dilakukannya bersama Yogi tentunya.
Papa Fina dan papa Yogi tidak bisa menemani mereka berjalan-jalan karena
harus mengurusi tugasnya. Mama Fina dan mama Yogi jalan bersama. Winda lebih
memilih ikut dengan rombongan ibu-ibu dari pada harus menjadi pajangan diantara
Fina dan Yogi.
Diantara setumpuk rencana di kepala Fina tak lupa dia menyelipkan untuk
mencari tahu keberadaan Dinggar. Tentunya Fina akan pergi tanpa Yogi. Dia tak mau
sessi tanya jawab dengan sahabatnya itu diketahui langsung oleh Yogi, walaupun
nantinya Fina harus menceritakan kepadanya.
Kota Roma memang benar-benar indah. Nuansa clasic sangat terlihat disana.
Bangunannya rata-rata memiliki nilai seni yang tinggi dan banyak juga yang
merupakan peninggalan bersejarah yang tetap dilestarikan sampai sekarang.
Fina untuk pertama sekali ingin sekali mengunjungi Colisum, manumen di
Roma yang merupakan salah satu keajaiban didunia. Tak seperti pikiran Fina yang
Sudah lewat dari pukul sepuluh malam ketika Fina dan Yogi sampai
diapartemen mereka. Untungnya mama mereka serta Winda juga baru pulang
beberapa menit yang lalu, jadinya mereka berdua tidak terlalu dimarah. Tapi tetap saja
dapat omelan sedikit karena tak baik kalau dua orang beda mukhrim jalan-jalan lebih
dari waktu Mahgrib.
Fina tak terlalu mendengarkan nasihat itu. Dia langsung saja kekamar dan
membongkar isi kopernya. Dia sepertinya lupa menaruh subuah barang didalamnya.
Akhirnya setelah setengah isi kopernya dikeluarkan, dia menemukan juga barang
yang dicarinya. Sebuah buku catatan kecil berwarna kuning dan didepannya
terpampang foto close up Nocolas Saputra, actor yang jadi idolanya semenjak main di
film AADC sampai sekarang.
Didalam buku itu, ada beberapa alamat dan no. telpon teman-temannya. Dan
dibagian terakhir dari deretan nama itu tertulis nama Dinggar. Fina tak ingin
membuang banyak waktu karena sekarang Winda masih berada diluar sedang
mengemasi barang bejanjaannya. Dengan sigap dia sesegera mungkin menekan
angka-angka ditelpon sesuai dengan catatannya. Fina tahu no telpon itu dari Dinggar
sendiri, dulu waktu dia pernah sekali menelpon Fina.
Tut…..tut…..tut….. suara nada tunggu berdering ditelinga Fina. Tak lama
kemudian ada seorang perempuan yang kalau didengar dari suaranya seperti berumur
40an.
“Cau….”, ucap sipengangkat telpon.
“Oh…. Eksciusme. This is a Dinggar’s Home?”, tanya Fina terbata-bata. Dia
takut kalau-kalau bahasa Inggrisnya hancur lebur. Yah… memang Fina tak begitu
lihai menggunakan lidahnya untuk bahasa satu itu.
“Oh…yess”
“I’m Fina… Dinggar’s friend from Indonesia”, ucap Fina lagi terdengar sedikit
tak karuan.
Dinggar benar. Fina memang tidak tahu jalan di kota besar ini. Mau tak mau
Fina harus mengajak seseorang yang berpengalaman untuk pergi kerumah Dinggar.
Papanya sibuk, nggak mungkin banget untuk diajak. Mamanya sama saja tidak
tahunya dengan Fina. Yogi, itu sih boleh, kalau memang Fina cari masalah untuk
pertengkaran selanjutnya.
Mau tak mau akhirnya Fina meminta bantuan Winda. Dengan gaya yang sangat
memelas untuk dikasihani, akhirnya Winda mau juga mengantarkan Fina untuk
Para mama dan papa hari ini tidak pulang. Mereka menginap di Villa di sebuah
desa tempat proyek berjalan. Sudah jam 9, tapi Yogi masih saja duduk tidak tenang
didepan pintu rumahnya. Fina belum pulang. Dan sekarang dia sedang sendirian di
rumah karena Winda pergi lagi kerumah teman lamanya.
Pukul 10 kurang beberapa menit Winda pulang. Tanpa basa-basi lagi Yogi
langsung saja menanyai kakaknya itu.
“Win… gue sekarang nanya serius dengan lo. Memangnya beneran Fina pergi
sendirian tadi pagi?”
“Memang Fina belum pulang yah?”, Winda balas bertanya. Dia juga sangat
terkejut dengan yang didengarnya.
Sudah pukul 11 lewat ketika Yogi dan Winda sampai dirumah Dinggar. Rumah
itu terlihat sepi. Tidak ada tanda-tanda ada orang menginap disana. Tanpa ragu karena
sudah sangat kawatir dengan Fina, Yogi langsung menekan bel rumah itu berkali-kali.
Tak lama pintupun dibuka dan mama Dinggar keluar dengan menggunakan
piayamanya.
“Maaf tante Dinggarnya ada?”, tanya Yogi dengan ramah.
“Masuk…”
“Nggak usah tante kami buru-buru”
Dengan langkah gontai tanpak mama Dinggar menuju kelantai dua. Tak lama
kemudian Dinggarpun turun kebawah dengan menggunakan piyama juga. Wajahnya
masih pucat walaupun lebih mendingan dari pada yang tadi.
“Eh… lo Gi. Kok malam-malam kesini?”
“Udah deh… gue mau jemput Fina”
“Hah…. Bukannya dia udah balik tadi siang”
“Lo jangan bercanda dong Ding!”
“Gue nggak bercanda. Dia udah pulang dari rumah gue sekitar jam satu siang
tadi”, Dinggar berusaha menyakinkan Yogi.
“Kalau begitu…. Fina…..”
“Fina kenapa Gi…. Dia nggak papa khan?”, tanya Dinggar sangat khawatir.
“Fina Ding…. Dia belum pulang kerumah sampai sekarang”, ucap Yogi syok,
dia berusaha tetap tenang walaupun dihatinya kini sangat kalut.
“Memangnya lo ngomongin apaan sih tadi?”, giliran Winda angkat bicara, dia
bingung karena didepannya kedua cowok sedang memasang tampang tengang.
“Kita cuma ngomongin tentang lo kenal sama gue. Cuma itu, dan dia langsung
pulang”
“Finaaaaaaa………”
Delapan jamYogi tertidur disana. Dan dia terbangun ketika lampu Coliseum
dihidupkan karena ada pekerjaan.
“Astafirullah…! Gue ketiduran”, Yogi segera bangkit dan melanjutkan
pencahariannya. Hujan masih saja membasahi kota Roma, malam ini cuaca sangat
tidak bersahabat. Dingin. Yogi jadi teringat kalau Fina sangat membenci dingin.
Dengan lankah gontai Yogi kembali menyelusuri tempat demi tempat di kota
Roma. Hari sudah hampir menjelang subuh. Yogi terduduk lemas di taman Trivoli.
Dia sudah sangat kecapekan untuk melanjutkan pencahariannya.
Ketika matanya menyelusuri tempat itu. Dia melihat sesosok cewek yang
terbaring lemah di salah satu sudut bangunan itu. Betul saja, cewek itu adalah Fina.
Kenapa dia ada disini? Padahal kemaren Yogi juga pergi ke tempat ini.
Tak terlalu memperdulikan itu. Yogi langsung memdekati Fina. Cewek itu tidak
pingsan atau tidur, dia menggigil kedinginan. Tubuh dan bajunya basah kuyup.
Mungkin karena hujan tadi yang sekarang sudah reda.
“Fina…..”, ucap Yogi memastikan pandangannya. Hari itu lumayan gelap, bisa
saja dia salah memandang karena saking cemasnya. Tangan Yogi menyentuh bahu
Fina yang membelakanginya.
Fina membalikkan badannya yang sudah menggigil. Dilihatnya orang yang
didepannya dengan seksama.
“Yogi……”, serunya dan langsung memeluk tubuh pacarnya itu dengan erat.
“Yogi, aku takut Gi. Aku diturunin ditempat yang nggak aku kenal. Aku takut”
“Sekarang udah nggak papa Fin. Kamu sudah aman. Kita pulang ke rumah yah”
“Gi… aku ta….”, Fina pingsan didalam pelukan Yogi. Wajahnya sangat pucat.
Sepertinya dia melewati dua hari ini dengan berat.
“Apartemen Cambini, Sir”, ucap Fina setelah dia masuk kedalam taxi.
Paginya tak banyak kejadian yang berarti. Paling-paling hanya Fina merasakan
perutnya sekarang sangat lapar. Ada beberapa ibu yang kasian melihat kondisi Fina
memberinya uang.
Fina juga sempat dikejar-kejar Polisi yang ingin membawanya ke tempat
penampungan orang-orang terlantar. Hingga akhirnya malam datang dan hujan
mengguyur seluruh tubuhnya. Hujannya sangat dingin. Fina berusaha mencari tempat
berteduh yang aman. Dia tidak ingin kejadian malam lalu menimpanya lagi. Dengan
sisa-sisa tenaganya Fina berjalan menuju sebuah bagunan yang tampaknya sepi dan
tidak berbahaya. Taman Tivoli.
BAB 15 KEJUTAN….!!!
Hari sudah mulai terang ketika Yogi membawa Fina pulang ke apartemennya.
Seluruh orang yang terlibat dipencarian itu sudah diberi tahu. Sekarang Yogi, Dinggar
dan Winda tengah mengelilingi Fina yang terbaring lemah ditempat tidurnya.
Pakaiannya sudah diganti oleh Winda.
Mama dan papa Fina serta Yogi masih beberapa hari lagi baru pulang ke Roma.
Winda sangat senang karena dia bisa jalan-jalan sepuasnya. Sedangkan Fina dan Yogi
hanya asyik menikmati hari-harinya berdua. Berjalan-jalan kesetiap sudut kota Roma
yang maha indah. Mereka selalu bedrua, Yogi tak ingin Fina mengalami hari yang
buruk lagi setelah hari itu.
Ini sudah hari ketiga setelah hari itu. Dinggar sama seklali tidak ada kabar
beritanya. Walaupun merasa senang, tapi Fina khawatir juga karena Dinggar tetaplah
teman sejatinya. Kalau saja cowok itu tidak berbohong padanya, pastinya dia
menempati kedudukan paling atas sebagai seorang sahabat.
Mereka pulang kerumah sudah sangat larut. Tak mau berpisah mereka
melanjutkan menonton TV berdua. Lagi asyik-asyiknya berduaan. Telepon berbunyi.
Fina dan Yogi bergerak cepat menuju kerumah sakit tempat Dinggar dirawat.
Sesampainya disana mereka melihat mama Dinggar terduduk lemas diatas bangku
panjang didepan kamar 1007. Didalamnya tampak dari kaca dokter sedang memeriksa
Dinggar yang terbaring lemas ditempat tidurnya.
“Dinggar kenapa tante? Kenapa bisa tiba-tiba masuk rumah sakit?”, tanya Fina
sesampainya mereka didepan kamar Dinggar.
“Dinggar sejak kecil sudah mengidap penyakit leukemia Fina”, ucap mama
Dinggar pelan.
Fina mematung. Tak pernah terfikir olehnya Dinggar ternyata mengidap
penyakit yang sangat serius. Tak pernah sekalipun Dinggar bercerita tentang itu
bersamanya.
“Karena itu dia selalu minder kalau berteman dan bergaul. Semenjak bertemu
dengan kamu, dia jadi tidak minder lagi. Karena itulah dia menyukai kamu Fin”,
lanjut mama Dinggar.
Fina merasa sangat terkejut mendengarnya. Kenapa disaat dia sedang ingin
bersenang-senang dinegara yang indah ini malah musibah dan kejutan berdatangan
silih berganti. Semua rahasia yang ditutupi darinya seketika terbongkar begitu saja.
Fina tak sanggup menerima itu dengan jarak waktu yang sangat dekat. Fina syok. Dia
terkulai lemas yang kemudian ditahan oleh Yogi yang ada dibelakanya.
“Yogi…. Tunggu!”, teriak Fina dihalaman parkir rumah sakit. Untung saat itu
sedang sepi, kalau ramai pastinya Fina sudah jadi bahan tontonan gratis yang menarik.
Cuaca hari ini cerah. Tapi tak secerah suasana hati orang-orang disebuah
pemakaman kota ditepian Roma. Orang-orang hampir semuanya mengenakan pakaian
hitam lengkap dengan payung dan selendangnya. Suasana haru terlihat jelas disana.
Seorang ibu yang seperti sangat dekat dengan almarhum sedang berusaha menahan
tangisnya.
Yogi ikut dalam pemakaman itu. Perasaannya sangat terpukul. Kalau dia tahu
bahwa akan pergi secepat ini, dia pasti mengalah. Tak seharusnya dia terus saja
menunjukkan rasa ego dan irinya yang berlebihan. Tak seharusnya semua ini terjadi
didekatnya. Ini memang sudah menjadi kehendak yang diatas, kita sebagai manusia
hanya bisa berusaha.
“Maafin gue Dinggar”, ucap Yogi dengan suara yang hampir tak terdengar.
Dinggar telah pergi. Meninggalkan semua kenangan.
Kemarin setelah Fina pergi mengejar Yogi, Dinggar langsung koma. Tak ada
yang mengira karena saat itu dia baru saja pulih dari segala penyakitnya. Mungkin
memang Tuhan ingin menyehatkannya dulu sebelum menghadapNya diatas.
Baru saja Fina lewat dari mautnya yang hampir saja menabrak tubuhnya. Kini
dia harus melihat sahabatnya terbujur kaku sebelum dia sempat membuat Dinggar
bahagia.
Pemakaman kini sepi. Hanya tinggal kerabat terdekat yang masih ada disana.
Fina tak ingin sekali meninggalkan tempat itu. Untung disampingnya ada Yogi yang
selalu menemani.
Fina jadi ingat pesan terakhir Dinggar yang menyuruhnya untuk selalu bersana
Yogi. Mungkin Dinggar sudah tahu bahwa waktunya sudah habis. Fina rasa inilah
salah satu cara agar Dinggar senang dialam sana.
Hidup, kehidupan dan mati memang bukan kita yang mengaturnya. Bagaikan
sebuah cerita yang sekenarionya sudah tertata dengan rapi. Bagaimanapun kita ingin
menolaknya, takdir tetap berjalan untuk semua manusia. Tinggal bagaimana kita
berusaha, agar Tuhan mau mengubah takdir kita. Apakah kita bisa? Hanya kita yang
tahu itu semua, karena sesungguhnya nasib kita ada didalam genggaman kita sendiri.
CI VEDIAMO