You are on page 1of 91

2003

OLEH : Irni Irmayani

PeLajar yang ingin


beLajar

[ Fidiyo di ROMA ]
[ Dari luar Fina terlihat sangat sempurna. Wajahnya manis, anaknya baik,
temannya banyak, ortunya juga kaya. Apalagi kurangnya seorang Fina. Tapi ….
Diusianya yang sudah 17 lewat dia sekalipun tidak pernah berpacaran. Karena itulah
dia merasa minder dengan teman-teman sebayanya.
Suatu hari Fina bertemu dengan Dinggar, teman SMPnya yang sudah lama
tidak bertemu. Ide jail Finapun muncul. Fina dan Dinggar kemudian berpura-pura
untuk pacaran. Setelah itu tak ada kata lagi untuk ‘minder’ dikamusnya.
Tak lama setelah itu sekolah Fina geger karena kedatangan anak baru yang
luar biasa ganteng bernama Yogi. Dan pada akhirnya Fina dan Yogi jadian. Tapi…
Fina tak menyadari bahwa ada seseorang yang berharap ide jail Fina berubah menjadi
kenyataan.]
BAB 1 KETEMU LAGI…
Kring…..kring…..kring…..
Jam weker berbunyi. Tanda malam yang ditunggu oleh setiap orang karena
dapat beristirahat, berkumpul dengan keluarga dan satu yang tak kalah pentingnya
yaitu bermimpi indah telah berubah menjadi pagi yang berarti semua manusia
diwajibkan untuk memulai aktifitasnya. Mulai dari bayi yang harus mulai menangis
agar sang mama memberikan sedikit asi untuknya. Para balita yang harus berjumpa
dengan teman sebayanya karena ingin merancang rencana bagaimana cara meminta
maaf yang baik kepemilik rumah yang kemaren jendela rumahnya telah secara tidak
sengaja terlempar batu saat mereka bermain. Para anak-anak dan remaja yang harus
bersekolah dan belajar. Para bapak yang bekerja dan ibu yang berbelanja di warung
sambil mengikuti kegiatan rumpi pagi yang mau tak mau harus dilakukan. Serta para
lansia yang harus memperbanyak amalnya karena walaupun tidak tahu kapan akan
meninggal tapi kalau disurvei 7 dari 10 orang lansia selalu berfikiran tentang mati.
Pagi ini cerah! Ceraaaaaaaah sekali, sampai-sampai kucing yang tadinya malas
untuk bertengkar dengan sang pasangan memulai pertengkaran itu dengan cerianya.
Ditemani dengan kicauan burung pipit yang sangat merdu serta payungan awan-awan
putih yang meneduhkan siapa saja yang lewat dibawahnya. Tapi entah kenapa Fina
tak mau bangun dari tempat tidurnya. Dia sangat benci hari cerah, dia benci keceriaan
serta gembira dan juga dia benci dengan tawa. Kalau perlu setiap hari harus dimulai
dengan hujan deras dan guntur petir menyambar-nyambar, biar orang-orang yang
pada ceria sehabis mimpi indah langsung hilang kegembiraannya dan menjadi bete
seperti dirinya sekarang dan hari-hari kebelakang.
Fina Rianty Admaja, cewek remaja berusia 17 tahun yang sangat ceria, tentunya
dilihat dari mata teman-temannya. Anaknya asyik, supel dan mudah bergaul.
Temannya dari semua kalangan, dari anak gaul yang sukanya cuma berkumpul
dengan orang itu-itu saja dengan predikat gank yang selalu jadi kebanggaan mereka,
anak-anak creers yang merasa merekalah paling cantik seantro sekolah, anak pintar
yang selalu mendapat ranking minimal lima besar, serta anak-anak yang biasa-biasa
saja sehingga hampir tak dikenal oleh teman disekolahnya yang tidak pernah satu
kelas dengan mereka.

OLEH : Irni Irmayani | FiDiYo di ROMA 2


Fina juga berasal dari keluarga yang kaya. Dia satu-satunya murid SMA Nusa
yang datang kesekolah dengan membawa mobil BMW yang setiap beberapa bulan
diganti karena mengikuti keluaran terbaru dari mobil tersebut.
Apalagi kurangnya seorang Fina. Tapi manusia memang tidak pernah sempurna.
Diusianya yang sudah lewat 17 ini, sekalipun dia belum pernah pacaran. Bukannya
nggak mau, melainkan memang nggak ada yang cocok. Padahal kalau dilihat dikaca,
wajahnya nggak jelek-jelek amat kok. Malah kalau dibandingkan dengan tikus, wajah
Fina seribu kali lipat lebih cantik.
Itulah yang membuat Fina minder dengan teman-teman sebayanya kalau sedang
membahas masalah pacaran. Setiap ditanya sudah berapa kali pacaran, mukanya
langsung memerah dan kontan perasaan malu, dan marah menyelimuti tubuhnya.
Karena hal-hal itulah Fina sangat benci dengan hari ini. Hari senin yang cerah
yang rencananya disekolah nanti akan diadakan games besar-besaran antar kaum
cewek yang akan mengupas masalah pacaran. Kalau diingatkan tentang hal itu Fina
akan merasa sangat menyesal karena bersekolah di SMA favorit itu. Bukan karena
alasan anak yang lain yang mengatakan sekolah itu terlalu disiplin dan tidak mampu
menyesuaikan dengan pelajarannya, melainkan Fina benci sekali dengan kegiatan
rutin setiap 6 bulan sekali, yaitu apalagi kalau bukan Games Pacaran.

“Fina……..Fina…….”, mama memanggil Fina dari luar kamar sambil sesekali


menggedor pintu yang bercatkan kuning itu. Jarang sekali Fina telat bangun seperti
sekarang ini. Biasanya walaupun hujan lebat, dia tetap akan bangun pukul 5 teng dan
akan pamitan pukul 6.30 teng. Sekarang sudah pukul 6 teng Fina belum juga beranjak
dari tempat tidurnya.
“Fina……. Kamu tidak sekolah? Sudah jam 6 ini, nanti terlambat lho”, ucap
sang mama lagi karena ucapannya yang pertama belum mendapat respon dari anak
semata wayangnya.
Fina sudah bangun, dari 2 jam yang lalu malah. Tapi dia sangat tidak ingin
beranjak dari tempat tidurnya yang empuk karena sedang membayangkan games
murahan yang akan untuk kesekian kalinya menjatuhkan martabat yang telah
dibangunnya setiap 6 bulan sekali itu hanya dengan sebuah kalimat, “eh… aku belum
penah pacaran!”. Huh! Brengsek benar orang yang membuat games itu, hatinya
membatin.

OLEH : Irni Irmayani | FiDiYo di ROMA 3


“Fina nggak enak badan ma, boleh nggak Fina izin satu hariiii aja nggak
sekolah”, balas Fina mencari alasan agar terhindar dari games sialan itu.
“Kamu beneran nggak enak badan… kalau gitu buka donk pintunya, biar mama
periksa sebentar”
Gawat! Saking takutnya dengan games disekolah Fina malah memperkeruh
keadaan dengan berbohong sakit dengan mamanya. Otaknya sekarang memang lagi
error, sampai errornya dia lupa bahwa sang mama tersayang adalah seorang dokter
terkenal dikota tempat dia tinggal.
“Nggak parah kok ma, cuma pusing-pusing aja. Kalau tiduran paling ntar siang
baikkan. Kalau mama mau berangkat, berangkat aja, biar Fina sendirian dirumah
nggak papa kok”, elak Fina menyelamatkan diri.
“Beneran kamu nggak apa-apa ditinggal sendiri dirumah?”, tanya sang mama
menyakinkan.
“Iya ma, suer dech, Fina nggak papa!”
Suara langkah kaki mama mulai bergerak menjauh dari pintu kamar Fina. Fuih!
Lega rasanya, pertama bisa membohongi sang mama yang seorang dokter dengan
alasan yang sangat berbahaya, dan yang paling penting adalah bisa membebaskan diri
dari games itu yang memang ini bukan games terakhir karena masih ada sisa satu
semester lagi Fina bersekolah. Tapi yah lumayan, paling semester depan anak-anak
akan lupa dengan ritual itu karena telah sibuk dengan persiapan ujian akhir.

Fina mulai beraksi, dimulai dengan mematikan Hpnya lalu setelah mandi dia
langsung pergi meninggalkan rumahnya untuk menghindar dari kejaran temannya
yang pasti sedikit akan curiga tentang ketidakhadirannya disekolah. Pertama karena
memang Fina jarang sekali tidak masuk sekolah, dan kedua mengapa
ketidakhadirannya sangat bertepatan dengan acara ritual itu. Tentu saja sangat
kebetulan sekali.
Dan dugaan Fina itu sangat tepat, selang beberapa detik ketika mobil BMWnya
keluar dari halaman rumah, telepon rumah Fina berdering kencang. Sepertinya orang
yang diseberang sana sangat tidak sabar menanti sambil hanya mendengar nada
tut…tut…tut.. Coba saja kalau nada itu diganti dengan suara merdu Once, Ariel atau
vokalis band lainnya pasti orang diseberang bukannya mau menelpon malah hanya

OLEH : Irni Irmayani | FiDiYo di ROMA 4


mau medengarkan lagu tersebut dan akan marah kalau si pemilik telepon mengangkat
telepon karena telah mengganggu acara musik gratisnya.
Kontan setelah mendengar nyanyian telepon itu Bi Inem langsung
menganggakatnya dan dengan suara yang merdu di berkata, “Hello, this is Mr. Vino
Admaja’s home… can I help you?”
“Ye… si Inem… baru dikit aja bisa bahasa Inggris udah sok ngomong
begituan!”, protes sang penelpon yang sangat sudah hapal dengan suara pembantu
ceria itu.
“Eh… neng Dita, kirain Bibi tadi siapa? Ada apa neng telepon pagi-pagi?”,
tanya si Inem.
“Bi… ada Fina nggak, kok hari ini dia nggak masuk sekolah sih, dan Hpnya
nggak aktif lagi?” tanya penelpon yang ternyata bernama Dita itu, teman Fina sedari
kelas X dan sudah sangat akrab dengan pembantu satu ini, makanya dia tidak pernah
sungkan lagi berbicara dengan Inem.
“Bibi nda tahu neng Fina ke mana. Setahu Bibi tadi pagi dia sakit, trus nda pergi
sekolah… lalu barusan dia pergi, nda tahu juga kemana dia perginya tuh”, jawab Bi
Inem sejujurnya. Memang pembantu satu ini tidak bisa untuk berbohong. Ada enak
ada juga nggak enaknya, misalnya saja waktu Bi Inem nemenin mama Fina belanja di
mal, pas lagi seneng-senengnya belanja, mereka berdua ditodong perampok kemaren
sore yang minta Hp. Tentu saja mama Fina nolak, tapi berhubung dengan kebaikan
dan kejujuran Bi Inem yang maha dasyat maka leyapnya Hp seri terbaru yang baru
kemaren lalu dibeli mama. Baik banget nggak sih Bi Inem ini.
“Yah udah deh Bi…. Bilang aja kalau Fina udah pulang Dita jam segini nelpon
dia. Dan kalau Fina udah pulang suruh dia telpon balik Fina, dan juga kalau Fina udah
pulang suruh dia yang bertanya apakah ada PR ataukah tidak, karena Dita nggak akan
kasih tahu dia sebelum dia sendiri yang bertanya kepada Dita, karena seminggu yang
lalu waktu Dita nggak masuk sekolah Dita dihukum lantaran Dita nggak ngerjain PR,
dan waktu Dita protes sama Fina, dia malah bilang Ditanya yang nggak tanya apakah
ada PR atau nggak, bete nggak tuh Bi!”, pesan Dita panjang lebar yang sangat tidak
dimengerti oleh Bi Inem.
“Neng… tadi pesenannya apa? Bisa di ulang nda, Bibi catat dulu takut lupa
gitu”, ucap Bi Inem jujur.

OLEH : Irni Irmayani | FiDiYo di ROMA 5


“Yeh… si Bibi, emangnya saya mau pesan makanan gitu musti dicatat.
Pokoknya bilang aja kalau Dita telpon dan suruh Fina telpon balik. OK! You
understand?”, Dita menjelaskan.
“Ok… neng Ok. I know……I know…. See yaa!”
Telponpun ditutup. Tapi mengapa perasaan Bi Inem ada yang janggal ya.
Apakah ada yang dilupakannya dengan pesan dari Neng Dita tadi. Tapi dipikir-pikir
nggak ada juga dech. Bi Inem berfikir sejenak, tapi belum sempat dia berfikir dengan
serius hidungnya telah bekerja duluan, hidungnya yang mancung dan mempunyai
indera keenam yang mampu memcium bau makanan walau pada jarah 100 meter itu
mencium bau yang sangat tak sedap di dapurnya.
“Ya ampun…… aku lupa sedang goreng ikan asin kesukaan neng Fina. Waduh
gimana ini, mana ikan asinnya tinggal satu-satunya diwarung lagi. Pasrah dech!”,
keluh Bi inem setelah menyadari kejanggalan itu.

Tadi pagi Fina memang stress berat. Mengingat acara ritual yang membetekan
itu. Lain tadi pagi, lain pula sekarang. Sekarang, Fina sedang happy-happynya karena
dia berada ditengah-tengah mal yang menyajikan berbagai hiburan untuk para
manusia yang sedang bete seperti Fina itu contohnya. Ternyata bolos sekolah dengan
alasan sakit itu memang menyenangkan. Pertama karena dia tidak perlu mengikuti
pelajaran hari senin yang sangat membosankan, terutama pelajaran sejarah. Fina
sangat heran mengapa jurusan IPA seperti dirinya masih juga harus menghadapi
tulisan panjang lebar tentang bagaimana manusia itu bermula. Padahal salah satu
alasan mengapa dirinya masuk IPA adalah karena Fina ingin menghindari pelajaran
yang dapat meninabobokan anak itu.
Kedua karena ternyata suasana mal dipagi hari itu jauh menyenangkan dari pada
suasana disiang ataupun di malam hari, tidak termasuk hari libur tentunya. Karena
pelayanannya masih sangat fit dan ini terutama, cowok yang kesini rata-ratanya
mahasiswa, pas banget dengan kriteria idaman Fina.
Karena sibuknya menghayal, Fina sampai-sampai lupa bahwa didepan mukanya
ada kedua bolah yang berfungsi untuk melihat dan memberi sinyal pertama apabila
ada orang didepannya dan karena ada kedua bola itu maka menabrak seseorang
seharusnya dapat dihindari. Tapi mungkin Fina benar-benar lupa sehingga sekarang
badannya telah lemas di bawah lantai yang untung baru saja cleaning servicenya

OLEH : Irni Irmayani | FiDiYo di ROMA 6


membersihkan lantai tersebut sehingga baju Fina yang harganya diatas Rp 500.000 itu
tidak kotor.
“Sory mas sory, tadi saya nggak lihat”, ucap Fina menyadari kedua bola
matanya tak berfungsi saat itu.
“Lo Fina khan?”, mas-mas yang tadi Fina tabrak itu bertanya. Mungkin lagi-lagi
untuk kedua kalinya pada hari ini bola mata Fina tidak berfungsi sebagaimana
mestinya karena tidak melihat siapa mas yang ada didepannya itu. Lalu dengan
mencoba mengembalikan bola itu ke fungsi utamanya yaitu untuk melihat, Finapun
menyadari mas yang ditabraknya.
“Lo Dinggar kan?”, tanya Fina tak begitu yakin dengan kedua bola matanya,
takut bola itu tak berfungsi lagi untuk ketiga kalinya.
“Yeh… ternyata lo masih kenal juga dengan gue. Setahu gue, lo itu orang paling
pelupa kalau sudah disuruh mengingat nama. Dan gue bukan mas-mas lho!”, ucap
mas, eh Dinggar meyakinkan bahwa mata Fina telah berfungsi seperti sedia kala.
Malah mungkin karena terjatuh tadi saraf pengingatnya juga berfungsi dengan baik,
karena memang benar kata Dinggar, Fina sangat susah menghafal nama seseorang
kalau orang itu sudah tidak dilihatnya lebih dari satu tahun.
“Siapa lagi yang bisa lupa dengan cowok yang selalu minta bantuan gue waktu
SMP dulu!”, Fina sok ingat, ya walaupun memang sekarang dia lagi ingat.
“Lo kok sekarang di mal sih? Bukannya sekarang jam sekolah?”, Dinggar baru
saja sadar, mungkin sekarang lagi sindrom pelupa sesaat atau sejenisnya yang
menyerang ingatan orang untuk beberapa saat agar terlihat bodoh didepan lawan
bicaranya.
“Males! Lo juga disini, nggak sekolah juga? Males juga?”, bals Fina tanya balik.
“Tumben lo males Fin! Waktu SMP aja lo tiga tahun sekolah tiga kali nggak
masuk, pasti ada apa-apanya nih”, tebak Dinggar asal.
“Iya lah ada apa-apanya. Tapi lo juga ada apa-apanya khan sampai nggak
sekolah. Perasaan waktu SMP dua tahun sekolah lo cuma sekali nggak masuk”, mulai
main perasaan nih si Fina.
“Oh…. gue udah lulus tahun ini, sekarang lagi ngambil les bahasa Italia, mau
kuliah disana”, jawab Dinggar.
“Wes! Keren bener lo dua tahun udah lulus. Trus mau kuliah dimana? Italia!
Ikutan donk….”, pinta Fina dengan serius. Karena dia memang rencananya akan

OLEH : Irni Irmayani | FiDiYo di ROMA 7


bersekolah disini, dikota kelahirannya yang mungil nan cilek ini dengan alasan papa
mamanya ngelarang dia bersekolah jauh kalau tidak ada yang ngejagain, takut dengan
pergaulan anak sekarang yang udah kelewat batas. Tapi menurut Fina sih itu nasehat
kuno. Memangnya di Jakarta aja yang pergaulannya bebas. Disini, kalau mau diteliti
dengan seksama, kalau perlu dengan menggunakan teleskop electron banyak juga kok
anak gadis yang udah hamil dilur nikah. Jangan nyalahin ibu kota terus donk!
“Lo belom jawab pertanyaan gue. Ada masalah apa sampai bolos sekolah
begini?”, Dinggar masih penasaran.
Fina menatap ekspresi wajah Dinggar yang tampaknya memang benar-benar
serius 100% ingin tahu. Otak Fina berfikir beberapa detik, langsung…. Yup! Tiba-tiba
saja ide itu muncul di dalam otaknya. Maklum jarang sekali otak manusia satu itu bisa
memunculkan ide. Dan sekarang disaat yang tepat dan ditempat yang tepat pula ide
itu muncul dengan sendirinya tanpa diminta untuk keluar, karena kalaupun ide itu
tidak muncul, toh Fina juga tidak akan kekurangan sesuatu apapun. Tapi karena ide
itu telah muncul, maka Fina akan kelebihan dua dan lebih banyak lagi.
“Eh heh. Ding, lo masih ingat nggak betapa sulitnya gue nolongin lo waktu SMP
dulu. Yang nggak suka dengan lo itu banyak lho! Tapi gue terus saja bantu lo hingga
akhirnya banyak orang yang mau berteman dengan lo”, Fina berusaha mengembalikan
memori ingatan Dinggar ke jaman SMP dulu. Tapi sebenarnya sih nggak perlu,
karena memori Dinggar saat ini memang lagi di jaman itu.
“Iya gue inget, trus?”, Dinggar tak mengerti.
“Trus…. Lo inget nggak? Waktu kelulusan lo bilang…. Fina apapun dan
kapanpun, kalau lo perlu bantuan gue, gue pasti akan bantu lo…. Iya khan?”, Fina
balik bertanya.
Memang Dinggar pernah berkata begitu karena rasa terimakasihnya yang
berlebih kepada Fina atas kebaikannya sehingga dirinya yang tidak punya teman
disekolah barunya itu dapat diterima oleh anak-anak. “Iya gue inget, trus masalahnya
apa?”, Dinggar masih saja tidak ngeh dengan ucapan Fina.
“Sekarang gue tangih janji lo. Gue sekarang sangat-sangat perlu bantuan, bisa
nggak?”, Fina menjelaskan ucapannya yang tadi panjang lebar itu.
“Kalau gue dapat ngerjainnya, pasti gue akan bantu lo, itu khan emang janji
gue”, tampaknya Dinggar bersedia dengan permintaan Fina yang gila ini.

OLEH : Irni Irmayani | FiDiYo di ROMA 8


“Gimana kalau kita pura-pura pacaran. Gue malu Ding, sekolah gue selalu aja
ngadain games sialan yang nyuruh kita bercerita tentang pacar kita. Padahal gue khan
nggak pernah pacaran”, ucap Fina seketika mengagetkan Dinggar. Kaget karena kok
permintaannya pas sekali dengan maksud Dinggar pulang ke kota ini setelah dua
tahun sekolah di Bandung.
“Gimana kalau kita nggak usah pura-pura pacaran. Kita pacaran dalam arti yang
sebenarnya, tapi jika lo naksir berat dengan seorang cowok kita putus”, Dinggar
berpendapat.
Fina berfikir sejenak. “Trus kalau lo yang naksir berat dengan cewek gimana?”,
tanya Fina asal ceplos.
Dinggar tersenyum dan membuat satu kesepakantan dengan Fina, “Kalau gue
naksir dengan cewek kita putus juga, gimana?”, tawar Dinggar.
“Deal, kalau gitu gue setuju. Karena ini nggak ngerugiin satu pihak saja. Ok
mulai hari ini kita pacaran!”, ucap Fina sambil berjabat tangan dengan Dinggar diikuti
dengan senyum keceriaan.

BAB2 LESBIAN..!?
Pacaran ala Fina dan Dinggar memang asyik. Selain karena tidak ada rasa
canggung seperti pasangan-pasangan awal lainnya, mereka juga tidak perlu sembunyi-
sembunyi kalau sedang dekat dengan seorang cewek atau cowok lain. Yah…. Karena
memang mereka tidak 100% berpacaran sih.
Esoknya, dengan berbangga hati dan tidak ada rasa kecanggungan Fina datang
kesekolah dengan membawa senyum termanis yang pernah dia miliki. Kalau dihitung
dengan kadar gula, mungkin senyum Fina hari itu berkadar 5 kg gula pasir di tambah
½ kilo gula merah. Teman-temannya yang awalnya cemas karena kemaren anak satu
itu tidak hadir dan digantikan oleh surat keterangan sakit dari Rumah Sakit khusus
menangani penyakit jiwa itu mulai merasakan ada keanehan disana. Wajarlah surat
sakit Fina berasal dari RS itu, wong mamanya kerjanya disana ya mungkin sudah
kehabisan amplop yang terpasa menggunakan amplop kantornya.
“Hei Fin emangnya lo kemaren sakit apaan sih, kok suratnya dari RSJ gitu?”,
tanya Dita teman sebangku Fina yang centilnya minta ampun. Memang teman-teman
Fina cuma tahu Fina itu orang kaya tanpa mengetahui apa pekerjaan orang tuanya
hingga dia bisa sekaya itu. Dan juga rata-rata mereka nggak tahu dimana rumah Fina

OLEH : Irni Irmayani | FiDiYo di ROMA 9


hanya lantaran rumahnya termasuk kategori jauh dari jangkauan teman-temannya
yang pada anak mami semua yang kemana-mana harus diantar dan dijemput oleh
sopir atau orang tua mereka.
Mendengar pertanyaan itu Fina hanya tersenyum. Lagian siapa yang sakit, tapi
bagus juga jadi tampaknya dia memang beneran, stress barangkali biar masalah
games itu tidak dibahas didepannya. Karena walaupun hari ini dia telah resmi
mempunyai seorang pacar, tampaknya Fina belum dapat bercerita tentang itu. Nanti
terlihat jelas donk bahwa dia sedang kejar target.
“Gue cuma pusing-pusing biasa kok”, jawabnya asal sambil melangkah dan
menduduki bangku kesayangannya yang barang siapa ada anak yang nekat mengganti
bangku itu, Fina tak segan-segan akan melabrak dan tidak akan menegur sang biang
kerok. Tentu saja ini satu masalah besar bagi si tukang biang kerok, karena kalau
anak-anak disekolah pada tahu anak tersebut tidak ditegur oleh Fina maka dia akan
menjadi bahan gunjingan selama beberapa minggu. Nggak tahu juga mengapa hal itu
terjadi, mungkin karena fungsi Fina yang sebagai benang merah diantara kelompok-
kelompok kecil disekolah itu sehingga dia sedikit dihormati, ya cuma sedikit sih
kalaupun banyak pasti Fina yang akan paling tidak suka hal itu terjadi.
“Ya…. Syukur dech kalo begitu”, Dita lega, takutnya Fina benar-benar sedang
menderita penyakit jiwa. Bukannya prihatin dengan keadaan temannya itu, malah Dita
lebih takut kalau dia tidak bisa jalan sambil ngeceng lagi ke mal dengan mobil BMW
keluaran terbaru milik Fina. Emang manusia itu sebenarnya rata-rata munafik. Tapi
walaupun begitu Dita selalu menjadi teman nomor satu bagi Fina.
“Eh… Dit, ada PR nggak?”, tanya Fina ketika sedang mengeluarkan buku-buku
pelajarannya dari tas Rustynya.
“Eh…. Ada. PR Biologi essay 10 soal, Matematika 5 soal cerita trus Sejarah
disuruh meresume Bab 2”, ucap Dita sambil berfikir kalau-kalu ada yang kurang.
“Oh…. Kapan ngumpulinnya?”
“Hari ini!”, jawab Dita singkat sambil tetap memasang tampang bego tak
mengerti suasana.
“Apa? Hari ini! Kok lo nggak bilang-bilang gue sih Dit. Mampus gue belum ada
ngerjain satu soalpun, gimana sih lo”, Fina panik.
“Lagian salah lo juga sih”
“Salah gue apa maksud lo?”

OLEH : Irni Irmayani | FiDiYo di ROMA 10


“Iya waktu minggu kemaren pas gue nggak masuk lo nggak bilang-bilang ada
PR Kewarganegaraan, dan lo sendiri yang bilang kalao gue yang harus inisiatif duluan
untuk bertanya. Sekarang giliran lo deh berinisiatif bertanya ke gue. Lagian gue udah
pesen ke Bi Inem kok kalau lo suruh telpon balik gue kemaren”, protes Dita tak
terima disalahkan begitu saja.
“Ye…. Sebegitunya dimasukkan kedalam hati”
Fina tak menunggu berlama-lama lagi untuk mendengar ocehan Dita. Dengan
sesegera mungkin dia keluar dari bangku kesayangannya dan menuju ke bangku Rio
teman sekelasnya yang paling jenius. Untuk apa lagi kalau bukan menyalin pekerjaan
sijenius itu ke buku PRnya karena Fina memang bukan tipe-tipe anak jenius yang
selalu bisa berfikir walaupun disaat-saat genting seperti ini. Yaitu disaat bel berdering
3 menit lagi.
Tiga menit berlalu. Suara bel sekolahpun terdengar sangat nyaring seperti
meneriakkan: Bagi murid-murid yang sedang mencontek diharapkan memberhentikan
kegiatannya karena guru akan segera masuk kedalam kelas. Untungnya Fina ini
biangnya mencontek. Dengan hanya waktu 3 menit lebih-lebih dikit, dia telah mampu
menyalin pekerjaan Rio berupa 10 soal Biologi essay dan 5 soal Matematika dengan
tepat dan cepat. Memang sebuah rekor yang patut dipuji bagi kalangan pencontek
sejati.
Sekarang pelajaran Biologi, tak menyia-nyiakan waktu Finapun memulai
meresume pelajaran Sejarahnya. Fina paling benci dengan pekerjaan meresume,
percuma donk kita beli buku yang tidak bisa dibilang murah lalu menyalinnya
kembali dibuku catatan yang akhirnya akan dibuang dan dibakar setelah buku itu
terisi dengan penuh. Yah… mungkin guru-guru mempunyai satu rahasia dibalik
resume itu!

Bel istirahat berbunyi dengan kencang. Bu Vivi yang tengah asyik menjelaskan
pelajaran integralnya buru-buru diingatkan oleh seluruh murid dikelas bahwa
sekarang adalah waktunya mengisi perut. Dengan perasaan jengkel guru itu lalu
mengakhiri penjelesannya dengan memberikan 5 soal uji kompetensi untuk dikerjakan
dirumah.
“Ya…. Ibu masak PR lagi seeh!”, keluh anak-anak yang tidak dan tidak akan
pernah dihiraukan oleh guru kiler satu itu.

OLEH : Irni Irmayani | FiDiYo di ROMA 11


“Udah selesai ngerangkumnya?”, tanya Dita basa-basi ke pada Fina.
“Udah…. Soal nyalin menyalin sih gue emang jagonya”, jawab Fina berbangga
hati dengan kelihaiannya itu. Padahal kalau dulu itu adalah hal yang sangat
memalukan, tapi khan sekarang sudah abad ke 21, tidak jaman lagi kita mengerjakan
sesatu dari nol, percuma donk mesin fotokopi, scanner atau cd-rw kalau kita masih
juga harus membuat sesuatu sendiri, tul nggak!
“Ada gossip seru nih Fin. Tentang ritual kita kemaren, lo sih nggak datang rugi
lho?”, ucap Dita menggebu-gebu. Ah… akhirnya Fina tidak bisa menghindar lagi
dengan games sialan itu, walaupun hanya sisa ceritanya Fina merasa sangat alergi.
Lagian siapa juga yang merasa rugi meninggalkan ritual bodoh itu, malahan orang-
orang yang ikut itu pada rugi menceritakan semua rahasianya dengan seorang cowok
kepada semua cewek satu angkatan disekolah.
“Gosip apaan seeh.. paling-paling Riska punya cowok baru atau apalah”, tebak
Fina. Memang Riska anak IPS-2 yang mempunyai predikat tiada hari tanpa cowok
dan mempunyai motto ‘ngejomblo itu haram’ adalah salah satu anak yang selalu
mendapat perhatian lebih pada games itu.
“Nah… itulah masalahnya. Pasti lo juga berfikir kayak gitu. Riska sang pemuja
cinta mendapatkan cowok baru. Tapi masalahnya sekarang dia lagi jomblo alias
nggak punya pacar, bisa bayangin nggak lo gimana kagetnya anak-anak mendengar
pengakuaannya itu kemaren”, cerita Dita yang memang itu sangat aneh. Tapi yah
nggak aneh-aeh amat sih, lagian siapapun cewek didunia ini pasti akan pernah
merasakan predikat jomblo semasa hidupnya.
“Yah… wajarlah, lagian gue nggak percaya juga waktu dia bilang haram untuk
seorang Riska ngejomblo. Itukan cuma asal ngomong aja dia biar dia terkenal seantro
sekolah. Dia khan cupu sebelum ngomong begituan”, Fina acuh tak acuh mendengar
gossip ini. Sebenarnya sih dalam hatinya dia merasa senang karena temannya telah
bertambah satu, gank besarnya yang telah dibuatnya selama 5 tahun belakangan ini,
apalagi kalau bukan gank jomblo.
“Iya….. kalau cuma itu sih masih wajar. Cuma sekarang gantian dia bilang
pacaran itu haram dan seumur hidupnya dia nggak akan pernah pacaran lagi kecuali
kalau nanti sudah mau menikah”, sambung Dita lagi yang ingin sekali melihat lawan
bicaranya syok mendengar berita besar dari mulutnya itu.

OLEH : Irni Irmayani | FiDiYo di ROMA 12


Tapi kalau tidak tetap tenang bukan Fina namanya. Memang anak satu ini tidak
pernah menganggap suatu masalah itu besar dari sudut pandang manapun juga. Nggak
tahu dech tipe masalah macam mana yang dapat membuat otak anak ini sedikit
berfikir.
“Ah… cewek minta perhatian gitu aja lo dengerin perkataannya. Lagian nggak
semuanya bener kok, waktu kelas dua gue tahu dia pernah nggak pacaran selama
sebulan, dan itu lo semua pada nggak tahu khan? Maka dari itu dia cuma mau nyari
sensasi”, Fina menjelaskan agar teman tersayangnya satu itu jangan terlalu cepat
termakan gossip yang nggak mutu.
Dita terdiam, memang kalau berdebat denga Fina ini akan sangat kalah telak.
Makanya Fina sering diikut sertakan dengan acara debat antar sekolah mewakili
sekolahnya. Tapi gara-garanya Fina cepat bosan dengan sesuatu, makanya dia tidak
pernah serius dengan kegiatan itu.
“Udah ah….. kita makan yuk gue laper nih!”, ajak Fina yang disambut gembira
oleh Dita situkang makan itu.
Pada saat didepan pintu kelasnya, langkah Dita terhenti. Tampaknya otaknya
sedang bekerja mengingat sesuatu yang terlupakan, ini bisa dilihat dari dahinya yang
mulai mengkerut.
“Ada apa lagi sih Dit?”, tanya Fina bingung melihat kawannya yang satu itu.
“Oh… iya hampir aja gue lupa”, Dita mulai mengingat sesuatu yang terlupa itu.
“Kemaren pas lo nggak ikutan ritual kita, anak-anak pada ngomongin lo. Dan mereka
ngegosipin lo itu lesbian, soalnya rahasia lo yang nolak tembakan lima cowok itu
udah kebongkar Fin. Terang aja gue ngebantah itu, tapi sekalinya gue ngebantah eh….
anak-anak pada mulai deh ngomongin gue ini itu, ya gue nggak berani lagi donk”,
ucapan Dita kali ini membuat merah wajah Fina. Bukannya malu atau apa, melainkan
panas karena tak tahan menahan marah. Siapa juga yang nggak akan marah kalau
digosipkan lesbian. Walaupun nggak pernah pacaran sekalipun Fina tetap suka dengan
cowok, buktinya dari kelas dua SMP sampai sekarang dia terus menyukai cowok yang
wajahnya sangat cute yang sekolah di samping SMPnya. Lagian perihal lima orang
nembak dia dan dia tolak itu bukan karena dia tidak suka dengan cowok tapi lebih
karena Fina tidak menyukai kelima cowok itu. Prinsip Fina lebih baik ngejomblo dari
pada pacaran karena terpaksa.

OLEH : Irni Irmayani | FiDiYo di ROMA 13


“Siapa yang mulai ngomongin itu Dit?”, tanya Fina geram tak tahan menahan
marah.
“Riska”, jawab Dita singkat.
“Huh.. lagi-lagi dia. Gue khan udah bilang, dia itu cuma mau nyari sensasi.
Tunggu aja entar gue labrak dia”, janji Fina.

Tak sesuai dengan prediksi Fina yang akan mendapatkan dukungan dari teman-
temannya. Ternyata kejadian itu sudah menjadi keterbalikannya. Gossip tentang
dirinya lesbian sudah menjamur di seluruh sekolah dan menjadi bahan perbincangan
nomor satu terhot saat itu. Fina yang terkenal supel dan mudah bergaul itu ternyata
seorang lesbian! Siapa yang tak mau tahu cerita selengkapnya dari mulut orang
pengungkap pertama, siapa lagi kalau bukan si pencari sensasi, Riska!
“Iya gue tanyain sendiri kok kemereka berlima. Tapi lima-limanya pada nggak
mau ketahuan namanya, takutnya malu kalau ketahuan mereka suka dengan cewek
lesbian. Siapa juga yang nggak malu khan! Gue sebagai sesama cewek aja malu
dengernya”, mulut bisa Riska mulai beraksi.
Tak tahu apa maksud Riska menyebarkan gossip itu. Dia dan Fina tidak terlalu
akrab, malahan tidak bernah bertegur sapa selayaknya anak-anak lain disekolah ini.
Mungkin karena itu jadi Riska merasa dia dibedakan dari anak-anak yang lain oleh
Fina, makanya dia nekat menyebar fitnah.
Fina tak dapat menahan marah. Dengah wajah merah semerah api, dia
menghampiri si pencari sensasi dan langsung melabraknya.
“Hei…. Maksud lo apa nyebarin gossip yang nggak mutu kayak gitu tentang
gue”, teriak Fina didepan mata Riska yang untuk beberapa detik membuat hati anak
itu menjadi ciut. Tapi itu hanya beberapa detik karena beberapa detik selanjutnya hati
Riska sudah kembali normal lagi dan siap menantang ucapan Fina.
“Itu bukan gossip, memang bener khan lo sukanya dengan sesama jenis. Kalo
nggak mana mungkin lima cowok ganteng dan populer lo tolak begitu aja cintanya”,
balas Riska dengan nada lantang dan tegas membuat anak-anak yang tadi sedang
melahap makanannya otomatis berhenti untuk mengetahui kebenaran gossip itu,
sekarang!

OLEH : Irni Irmayani | FiDiYo di ROMA 14


“Emangnya lo punya bukti apa sampai lo seyakin itu?”, tantang Fina yang yakin
bahwa kelima cowok itu tak akan membuka mulutnya, apalagi dengan cewek
sensasional itu.
“Gue punya bukti… gue tahu siapa-siapa saja yang penah nembak lo. Lagian
mereka sendiri kok yang cerita ke gue”, ucap Riska yang tampaknya sudah merasa
menang dalam pertandingan ini. Karena dengan sekali sebut nama kelima cowok itu
saja Fina pasti sudah kalah telak. Bukan karena apa-apa, melainkan karena kelima
cowok ini adalah idola para cewek sekolah ini karena kepintarannya, ketampanannya,
ketajirannya, kealimannya dan kepopulerannya. Dengan lima tipe sempurna saja
begini Fina masih dapat menolak, gimana nggak dibilang lesbian itu namanya.
“Siapa? Hah..siapa! kalau memang lo nggak tahu mereka jangan asal bicara
deh”, Fina tetap yakin bahwa kelima penggemarnya itu tidak akan pernah buka mulut.
Soalnya, setiap kali dia ditembak, Fina akan bersujud dihadapan cowok pemujannya
untuk tidak bercerita dengan siapapun soal tembakan itu, walaupun tidak sampai
bersujud dengan sempurna tentunya.
“Lo akan malu kalau gue nyebutin nama kelima cowok itu”, Riska mulai
menampakkan senyum kemenangan diwajahnya.
“Nggak akan, gue nggak akan malu soal itu”, tantang Fina yang membuat
senyum kemenangan Riska semakin mengembang.
“Rio, Gilang, Dito, Hakim dan Putra!”
Dor! Kemenangan telak berada didepan mata Riska. Kontan setelah anak-anak
mendengar kelima nama itu langsung terkejut dan terdiam untuk beberapa detik.
Cowok yang menjadi idola sekolah dan panutan. Cowok yang dapat membuat cewek
matian-matian mengejarnya. Cowok yang maha sempurna dan tidak ada kekurangan
satupun itu, ditolak oleh seorang Fina yang tampangnya biasa-biasa saja dan hanya
menang BMW yang kalau diteliti masih banyak yang lebih segala-galanya dari pada
Fina. Ternyata, Fina memang seorang lesbian.
Paling tidak itulah kesimpulan yang diambil secara paksa oleh seluruh anak-
anak yang mendengar pertengkaran Fina vs Riska. Jatuhlah harga diri Fina yang
dibangunnya dengan susah payah hanya dengan sebuah gossip murahan dan
dilontarkan oleh orang paling sensasional pula, Riska! Cewek brengsek yang suatu
hari akan mendapat karmanya dengan hal ini.

OLEH : Irni Irmayani | FiDiYo di ROMA 15


BAB 3 RENCANA DITA
Disekolah boleh saja tegar. Menganggap itu adalah sesuatu yang biasa ketika
diri ini sedang beranjak remaja. Lagi pula tidak semua anak percaya dengan gossip
murahan itu. Paling tidak teman-teman sekelasnya serta anak-anak yang sangat
membenci Riska tetap lebih percaya dengan Fina dari pada si sensasional itu.
Walaupun dua bukti terkuat telah merusaknya apalagi kalau bukan lima cowok perfect
itu serta berita yang mengatakan bahwa Fina belum sekalipun pernah berpacaran.
Ketika dirumah, ketika sedang sendirian didalam kamar karena memang
keluarga Fina ini keluarga yang super sibuk. Mama Fina pulang baru ketika jam
menunjukkan angka sembilan dan papanya sering pergi keluar kota karena
pekerjaannya. Dan ketika kesendirian itu menyelimuti dirinya, air mata yang sangat
tak terbendung lagi itupun mengalir deras dipipinya.
Apakah semudah itu orang percaya dengan gossip? Semudah itukah orang lebih
memilih cerita pendek versi Riska dari pada kebaikannya yang selama ini selalu
ditampilkannya ketika berhadapan dengan orang? Mudah sekali orang terpengaruh
tanpa memperdulikan kebaikan yang telah dibuat walaupun kebaikan itu bertumpuk
menjadi gunung. Ternyata memang benar pepatah hujan sehari merusak kemarau
sebulan.
Sekarang apa yang harus dilakukan oleh Fina? Rasanya hatinya sekarang lagi
tergoncang dengan kuatnya. Otaknya tidak mampu berfikir jernih karena satu-satunya
ide yang ada dikepalanya adalah pindah dari sekolah itu dan pergi jauh dari kota kecil
sialan ini. Tapi Tuhan memang tak pernah lupa dengan umatnya. Tiba-tiba saja bel
pintu berbunyi, tandanya ada seseorang yang tengah menunggu dibalik pintu untuk
dipersilahkan masuk. Dengan cepat Bi Inem membukakan pintu untuk si tamu
tersebut.
Tapi bukannya langsung disuruh masuk, Bi Inem malah memperhatikan tamu
itu dengan mulut terbuka lebar dan mata terbelalak kagum.
“Eh…. Misi Bi, Finanya ada?”, tanya tamu itu yang membuyarkan kekaguman
Bi Inem yang memang rada genit.
“Eh… ada Den ada. Tapi ini siapa yah kalau boleh tahu?”, Bi Inem bertanya
sambil mencari kesempatan tahu nama cowok nan ganteng ini.
“Dinggar!”, jawab tamu yang ternyata pacar baru majikannya itu singkat.

OLEH : Irni Irmayani | FiDiYo di ROMA 16


“Oh…. Den Dinggar bentar ya… Bibi panggiling neng Finanya dulu. Silahkan
duduk Den, mau minum apa?”, tanya Bi Inem dengan genitnya.
“Apa aja deh Bi”, jawab Dinggar sopan takut dikira sombong nantinya.
Bi Inempun langsung menuju kedalam untuk menyampaikan pesan Dinggar itu.
Setelah itu menuju kedapur untuk membuatkan segelas minuman yang amat special
buat si tamu.
Tak lama kemudian dari balik pintu ada seorang cewek yang langsung saja
ngeloyor masuk kerumah tanpa permisi terlebih dahulu. Seperti yang terjadi dengan
Bi Inem, ketika cewek itu melihat wajah Dinggar yang memang sangat mirip dengan
Nicholas Saputra, cewek itupun langsung terdiam dan mematung.
Karena panik terjadi sesuatu dengan tamu kedua itu, Dinggarpun segera mencari
Bi Inem ke dapur untuk mengabarkan perihal tamu yang tak tahu permisi itu.
“Bi… Bibi di depan…..”, kalimat Dinggar terputus.
“Yah si Den, tenang aja Den Bibi nda akan lupa untuk membuat air minum
Den”, jawab Bi inem asal.
“Bukan itu Bi”, Dinggar berang.
“Trus…. Apaan dong kalau bukan minuman?”, tanya Bi Inem yang sok tahu itu.
“Di luar ada tamu yang nggak permisi, eh sekarang dia malah mematung kayak
Malin Kundang”, jawab Dinggar sama gilanya dengan Bi Inem.
Mendengar hal itu Bi Inem jadi takut dan langsung memeluk Dinggar. Spontan
Dinggar jadi geli dan ngeri depeluk oleh ibu-ibu yang udah berusia 50an.
“Eh… Bi…. Kok jadi meluk saya sih… lihat dong cewek itu!”, perintah Dinggar
sambil berusaha melepaskan diri dari pelukan Bi Inem.
“Heh… perempaun Den? Kenapa nda bilang dari tadi, kan kalau Bibi tahu nda
perlu peluk-peluk Aden segala!”, ucap Bi inem yang makin membuat gerah teliga
Dinggar. Tapi Dinggar itu masih tie orang penyabar yang sabar dengan tindasan
secara tak langsung itu.
Setelah melepaskan pelukan dari tubuh tinggi tegap Dinggar, Bi Inem mulai
beraksi untuk melihat sang tamu tak diundang itu. Dengan jalan mengendap-endap
diapun menuju ke ruang tamu yang telah menjadi TKP. Melihat gerakan Bi Inem
yang super berhati-hati kontan Dinggarpun mengendap-endap mengikuti gerakan Bi
Inem.

OLEH : Irni Irmayani | FiDiYo di ROMA 17


Ketika melihat di TKP, Bi Inem terkejut. Tamu yang tak diundang tadi sudah
duduk dengan santai dikursi tamu yang super empuk. Malahan ditangannya sekarang
tengah memengang beberapa butir kacang yang memang selalu tersedia di atas meja
tamu. Yang labih mengejutkan lagi, ternyata si tamu itu adalah tak lain dan tak bukan
Dita, teman akrab sang majikannya. Terang saja dia tidak mengucapkan permisi dulu
baru masuk, wong kalau pintunya dikuncipun Dita akan tetap masuk karena sudah
hapal tempat rahasia penyimpanan kunci rumah gedong itu.
“Yah… Aden, itu sih neng Dita temennya neng Fina disekolah”, ucap Bi Inem
setelah melihat sosok tamu yang diceritakan Dinggar itu.
Dinggar tersenyum malu, dikiranya Dita itu siapa yang dengan tiba-tiba masuk
kerumah orang tanpa permisi. Untuk menutup malunya itu Dinggar memberikan
senyum manisnya untuk Dita. Kontanlah Dita jadi kegeeran mendapat sebuah
senyuman dari cowok super cakep dikota ini. Memang kalau dibandingkan dengan
teman-temannya disekolah, cakep mereka itu tidak ada apa-apanya dibandingkan
dengan cowok yang ada dihadapannya sekarang.
“Kamu siapa yah? Kok saya nggak pernah lihat kamu disini?”, tanya Dita
dengan lembut, sambil jaim.
“Oh… kenalkan, gue Dinggar pacarnya Fina”, ucap Dinggar dengan lembut
yang membuat hati setiap orang yang mendengarnya melayang. Bahkan Bi Inem yang
didapur saja bisa melayang hingga kepalanya terbentur tembok yang tidak pernah
berpindah tempat itu.
Tapi, Dita baru sadar apa yang tadi diucapkan oleh cowok didepannya. Dia ini
cowok yang paling cakep yang pernah Dita lihat dijagat raya ini. Dia cowok yang
super ramah, dia cowok yang amat sempurna ini, pacarnya Fina. Tunggu-tunggu apa
kuping Dita sedang bermasalah atau apa hingga sampai salah dengar. Dan untuk itu
Dita memastikan kupingnya itu. “Lo pacarnya Fina?’, dia bertanya sekali lagi.
Dengan sebuah senyuman Dinggar menjawab, “Iya, memangnya ada yang
salah?”
Kontan bulu-bulu diseluruh badan Dita berdiri. Pantasan saja Fina menolak
segala macam cowok idaman disekolahnya itu. Ternyata diam-diam dia telah
menyembunyikan cowok yang super cakep dirumahnya dan tidak mengeluarkan
cowok ini diwaktu yang tepat. Jadi sekarang gossip Riska itu 100% hanya isapan

OLEH : Irni Irmayani | FiDiYo di ROMA 18


jempol belaka. Karena sebelum bertemu dengan si cakep ini Dita masih menerka-
nerka kebenaran tentang lesbian itu.
“Nggak…. Nggak ada yang salah kok. Cuma dua tahun gue berteman dengan
dia, Fina nggak pernah cerita kok kalau dia itu sudah punya pacar”, ucap Dita.
Tidak ada balasan. Hanya senyuman manis membalas kalimat yang cukup
panjang dari Dita. Oh…. Fina you are lucky girl.
Kalau memang Dinggar, sang cowok nan tampan ini benar-benar pacarnya Fina,
kenapa nggak minta tolong aja perihal gossip lesbian itu. Fina memang bodoh!
Gimana seeh.
“Kalau lo bener-bener pacarnya Fina, boleh minta tolong nggak?”, tanya Dita
yang masih kurang yakin bahwa si tampan ini pacar sahabatnya. Karena kalau ini
cuma pura-pura berarti dia masih ada kesempatan untuk pacaran dengan si Dinggar
ini.
“Minta tolong apaan?”, tanya Dinggar.
“Gini disekolah tadi pagi ada gossip yang bilang Fina itu lesbian lantaran dia
nggak pernah pacaran”, ucap Dita mengagetkan Dinggar.
“Apa? Lesbian? Nggak mungkin banget lah… orang dia suka sekali dengan
cowok kok dibilang lesbian!”, Dinggar sangat tidak percaya.
“Cowok? Siapa cowok itu?”, tanya Dita heran. Sebenarnya berapa banyak sih
cowok sahabatnya itu.
Dinggar keceplosan, salah bicara. Dengan cepat dia meralatnya, “Oh…. Bukan
bukan siapa-siapa. Terus rencana kamu apa?”, tanya Dinggar mengalihkan perhatian.
“Gini, lo kan pacarnya Fina. Lo tiba-tiba aja datang ke sekolah, jangan langsung
nyari Fina, lo kelilingin dulu tuh sekolah gue sampai semua anak-anak cewek lihat lo
biar mereka pada kelepek-kelepek. Terus…..”, Dita mulai menceritakan rencana
pelepasan image lesbian untuk sahabatnya itu. Dan ketika kalimat terakhirnya selesai
Bi Inem dan Fina datang bersamaan. Kontan Dita panik takut kalau rencananya
ketahuan oleh Fina.
“Eh…. Dit, ngapain lo kesini. Kok lo bisa akrab gitu sih dengan Dinggar, udah
kenal yah?”, tanya Fina bingung. Wajahnya masih sangat terlihat kusut karena sedari
tadi memikirkan gossip murahan itu.
“Ah… nggak kok, gue kangen aja dengan Bi Inem dan lo tuh ya punya pacar
nggak bilang-bilang sama gue”, ucap Dita belepotan.

OLEH : Irni Irmayani | FiDiYo di ROMA 19


“Oh… Dinggar? Udah kenalan khan”, Fina balas menjawab dengan belepotan
pula.
“Ya udah…. Gue pulang dulu yah…. Dah….”, dengan cepat Dita langsung
keluar rumah Fina.
“Ada apaan sih…. Lo kenal dia Ding?’, tanya Fina masih belum nyambung
dengan alur ceritanya.
“Nggak, kenalan disini. Lonya sih yang lama amat keluar kamar, jadi yah dia
sempat cerita-cerita gitu deh kalau lo belum nyeritain kita jadian ke dia”, jawab
Dinggar lembut.
“Oh…. Jadi lo ada perlu apa kesini?”
“Emang kalau orang pacaran musti perlu dulu yah baru datang, kalau udah rindu
mau diapain”, jawab Dinggar sambil mengejek.
Fina tersenyum senang, mungkin ini senyuman pertama setelah gossip aneh
yang menerpa dirinya. Memang Dinggar dimata Fina adalah seorang penyelamat
karena selalu saja walau dalam keadaaan segaja maupun tidak dapat menyenangkan
hati Fina. Makanya mati-matian Fina dulu membantu Dinggar yang dicela teman-
temannya. Saking rasa penyelamat itu besar dihati Fina, hingga dia lupa bahwa
Dinggar yang dulu telah berubah jadi sesosok cowok ganteng yang sangat pengertian.
Fina tak melihat itu apa memang dia sedang buta lagi yah!

Takut-takut Fina datang kesekolah angker itu. Sebenarnya dia tidak ingin masuk
hari ini, tapi karena paksaan mamanya dan takut dengan papanya yang baru saja
pulang dari Jakarta kemaren terpaksalah Fina berangkat sekolah. Diotak Fina
sekarang tengah terbayang gambaran anak-anak yang sedang menggunjingkannya dan
menatapnya dengan tatapan mata penuh tanda tanya serta rasa jijik yang sangat besar
bagaikan Fina itu sedang mengidap penyakit AIDS yang bisa menular.
Setelah sampai disekolah, ternyata bayangan itu tidak muncul. Untunglah!
Serunya dalam hati. Tapi ada yang aneh disekolah pada hari ini, para anak cowok dan
cewek membuat dua kelompok besar terpisah. Sang kelompok cewek sedang bergosip
ria sambil cekikikan dan mengeluarkan aura kegenitannya. Sedangkan kelompok
cowok memasang tampang jutek seperti mendapat penghinaan yang amat sangat. Tak
mengerti dari apa yang dilihatnya, dengan cepat Finapun menuju ke bangku
kebesarannya dan menanyakan hal itu kepada siapa lagi kalau bukan Dita.

OLEH : Irni Irmayani | FiDiYo di ROMA 20


“Emangnya ada apaan sih sampai anak-anak kayak gitu?”, ucap Fina sambil
masih memandangi situasi yang aneh itu.
“Gue juga nggak tahu, yang gue denger tadi pagi ada cowok ganteng banget
kesekolah ini nyari orang gitu deh”, jawab Dita tampak tak perduli dengan situasi
mengherankan itu. Jelas ini makin mengherankan lagi, karena telah menjadi rahasia
umum bahwa cewek yang bernama Dita Rizwike Gemini itu adalah bigos alias biang
gossip yang tidak mau dan tidak akan rela kalau ada secuil gosippun yang tidak
diketahuinya. Dan sekarang, sekolah geger dan menjadi aneh, dia malah adem ayem
kayak lembu, benar-benar mencurigakan.
“Ah…. Udah lupain aja deh. Mendingan lo bersyukur karena kedatangan cowok
itu membuat anak-anak lupa dengan gossip lesbian lo”
Benar juga perkataan Dita. Yah…. Syukur deh kalau memang begitu. Memang
siapa sih cowok yang datang kesini, dibilang cakep pula. Padahal disekolah yang
lumayan besar ini banyak kok cowok yang cakep. Apa dia lebih cakep dari anak-anak
disini? Jadi kepingin lihat tampang tu cowok, pikir Fina dalam hati.
Tak terasa bel tanda masuk kelaspun berbunyi. Kali ini Fina boleh tenang karena
dari empat pelajaran yang akan diterimanya, tidak ada satupun yang terdapat PR
didalamnya. Kalau ingat-ingat tentang PR, Fina jadi gerah dan ingin sekali tahu
sebenarnya siapa sih yang menciptakan pekerjaan rumah seperti itu. Tidakkah itu
sangat membosankan dan membuat waktu di rumah yang fungsinya untuk istirahat
dan menyegarkan otak jadi terbuang begitu saja. Sama halnya Fina ingin sekali
bertemu dengan Enstein yang membuat rumus-rumus rumit yang tak tahu apa
fungsinya dikehidupan sehari-hari nantinya. Tentu saja itu hal yang sangat tidak
mungkin bagi manusia abad ke 21 ini. Karena orang-orang pencipta rumus itu, telah
kembali dengan tenang disisiNya.

Fina terselamatkan. Bagaimanapun dia harus sangat berterimakasih kepada


cowok pujaan baru disekolahnya. Karena bukannya gossip perihal dia lesbian itu
menghilang, tapi sama sekali telah dilupakan oleh anak-anak disekolah. Sekarang,
yang jadi bahan pembicaraan adalah cowok ganteng misterius itu. Kalau versi
ceweknya tentang siapa sebenarnya dia, dari mana asalnya dan siapakah namanya.
Waduh, bego amat sih mereka! Masa setelah 3 hari menjadi idola sama sekali tidak
tahu namanya.

OLEH : Irni Irmayani | FiDiYo di ROMA 21


Versi cowok lain lagi, siapa itu orang, anak mana, kenapa dia selalu datang pada
pukul 6.30 di sekolah ini, pasti ada maksud terselubung dari itu semua. Dan
rencananya kalau cowok idola seluruh cewek disekolah itu terkecuali Fina yang
memang tidak tahu menahu datang lagi besok akan ada upacara labrakan untuknya.
Tentu saja mereka sudah pada menyediakan bahan dan alatnya seperti 1 kilo tepung
terigu, lima butir putih telor dan lain sebagainya.
Rasa penasaran Fina makin memuncak. Untuk mengobatinya besok, yaitu hari
keempat, Fina berencana akan pergi kesekolah pada pukul 6.15 pagi. Karena menurut
sumber yang dapat dipercaya, cowok nan ganteng itu datang selalu pada pukul 6.30
teng dengan membawa sebuah mobil BMW berwarna biru metalik. Selain ingin tahu
wajah si penyelamat, Fina juga ingin menyaksikan upacara yang akan dibuat oleh para
kaum cowok yang merasa mereka tertindas dan tidak dihargai lagi.
Hari H pun tiba. Bukannya datang jam 6.15 teng, Fina malah datang lebih awal
jam 6.10 teng. Tapi lain seperti hari-hari biasanya yang kalau belum jam 6.45 anak-
anak tidak akan mau menginjakkan kaki mereka kesekolah. Sekarang sekolah sudah
pada penuh. Anak-anak cewek ingin mendapatkan tempat paling strategis untuk
melihat sang pujaan hati. Sedangkan para cowok mengambil tempat yang strategis
untuk menghajar cowok itu setelah dia pergi meninggalkan sekolah yang seperti tiga
hari sebelumnya pada jam 6.40 teng.
“Emang seganteng apa sih tu cowok sampai anak-anak sebegininya ngelihatin?”,
Fina masih sangat penasaran.
“Eh…. Tu orangnya datang!”, seru anak-anak cewek yang sudah pada berebut
untuk mendapatkan kursi VIP.
Mobil BMW biru metalik terparkir sempurna didepan gerbang SMA Nusa.
Seperti tiga hari biasanya, cowok yang katanya ganteng itu hanya melihat kiri-kanan
mencari orang yang setelah tiga hari belum juga nongol batang hidungnya. Anak-anak
yang rada genitpun mulai beraksi.
“Masih nyari orang mas? Memang siapa sih nama sampaian? Gue bisa bantu
kok!”, ucap Riska yang memang tukang tak tahu malu itu. Padahal dia terang-
terangan ngomong kalau pacaran itu haram dan nggak akan pernah pacaran lagi.
“Oh…. Mungkin dia belum datang juga”, jawab cowok itu ramah sambil
memamerkan senyum manisnya yang dapat membuat semua hati cewek jadi langsung
kasmaran. Tapi juga membuat hati para cowok dongkol abis.

OLEH : Irni Irmayani | FiDiYo di ROMA 22


Mendengar suara itu Fina makin penasaran. Jelas saja dia sangat tidak asing
dengan suara mendayu nan merdu itu. Karena rasa penasarannya yang kuat, Fina
berusaha menerobos kerumunan para cewek untuk merebut kursi VIP mereka.
Ketika Fina berhasil merebut kursi itu, alangkah terkejutnya dia. Ternyata yang
digosipkan selama ini adalah…. “Dinggar?”, spontan nama itu terucap dari bibir
mungilnya.
Semua mata anak-anak yang memandang paras ganteng cowok pujaannya
berbalik memandang Fina dengan jijik. Memori mereka tentang lesbian itupun
kembali terkuak.
“Heh! Cewek lesbian, ngapain lo ikutan nimbrung disini. Dengar yah, ini tempat
bagi cewek yang masih normal. Pergi lo sana!”, perintah Riska yang disambut dengan
setuju oleh sebagian anak-anak.
Sebagiannya lagi tentunya masih waras dan masih menggunakan pikiran
mereka. Memang pendengaran mereka atau hanya halusinasi saja bahwa tadi Fina
memanggil cowok itu dengan sebutan Dinggar? Berarti nama cowok itu Dinggar?
Dan berarti juga kalau memang benar nama itu Fina sudah mengenal cowok nan
ganteng itu?
“Lo kenal dia Fin?”, salah satu cewek yang masih menggunakan otaknya
bertanya kepada Fina yang membuat cewek-cewek yang masih ‘melamun’ sadar dari
lamunannya.
“Eh…. Fina, dari tiga hari yang lalu gue cariin ternyata kesampaian juga gelihat
lo disekolah”, ucap Dinggar sok culun tak mengerti situasi yang memang telah
direncanakannya dengan rapi bersama Dita.
“Lo berdua saling kenal?”, tanya Riska yang sangat tidak ingin hal itu terjadi.
“Yah… kenal lah, wong dia ini pacar gue masa nggak kenal”, Dinggar
berceloteh lagi.
Kali ini celotehannya tampaknya membuat sedikit telinga para kaum cewek
budek, dan para kaum cowok dapat tersenyum dengan gembira.
“Apa? Pacar? Jadi lo ini pacarnya Fina? Tapi bukannya Fina itu…..”, ucap salah
seorang cewek yang berlagak budek.
“Fina kenapa? Dia memang pacar gue kok. Udah satu tahun kita jadian”

OLEH : Irni Irmayani | FiDiYo di ROMA 23


“Ah…. Ngapain sih lo kesini Ding?”, wajah Fina memerah dan seketika dia
menarik lengan Dinggar untuk masuk kedalam mobilnya dan beberapa menit
kemudian BMW itupun melaju ditengah jalan raya yang teduh.
Dari kejauhan Dita hanya tersenyum puas karena sang sahabat tidak akan
dicerca lagi dengan panggilan lesbian. Terang saja dia menolak kelima tembakan itu
kalau didekatnya ada cowok yang lebih ganteng dari mereka semua. Kalau
dibandingkan Dinggar itu merupakan penjelmaan dari kelima cowok itu. Ganteng,
tajir, pintar, dan juga baik hati.
“Yeh…. Pantesan aja Fina nolak kelima cowok itu. Dia punya yang lebih keren
kok, kalau gue jadi dia gue juga akan nolak semua cinta cowok didunia ini”, ucap
seorang cewek ketika melihat BMW milik Dinggar mulai menghilang ditikungan
pertama.
“Iya dan itulah alasannya. Bukan karena Fina lesbian. Lagian gue memang
dasarnya nggak percaya-percaya amat dengan omongan cewek sensasional itu kok”,
tambah teman disampingnya lagi yang sekarang memasang mata pisau untuk
menusuk si cewek gila itu.
Riska merasa dirinya yang sudah jadi tertuduh langsung melarikan diri dari
interogasi. “Brengsek memang si Fina itu. Bagaimana lagi cara untuk
menjatuhkannya”, ucapnya dalam hati dengan kesal.

BAB 4 SANG PENOLONG


Jauh dari keramaian sekolah, Fina dan Dinggar berada didalam mobil dengan
pemandangan pantai yang terbentang dihadapan mereka berdua. Tanpa menunggu
komando dari salah satunya, mereka berdua langsung turun dan duduk dipasir yang
sangat lebut dan masih bersih karena hari masih pagi dan memang hari ini adalah hari
sekolah yang tidak memungkinkan orang untuk bersantai disini.
Fina memandangi Dinggar dalam-dalam. Kesal menyelimuti dirinya karena
cowok itu telah membuat rusak harinya, padahal malah Dinggar sedang
menyelamatkan Fina dari gossip tak bermutu yang tengah beredar disekolahnya.
“Kenapa lihat-lihat, tepana yah lihat wajah cowok ganteng?”, ucap Dinggar
kegeeran.
“Siapa lagi yang bilang lo ganteng”, balas Fina. Memang Fina sama sekali tidak
merasakan bahwa pacarnya sekarang ini berwajah ganteng. Dia juga sampai heran

OLEH : Irni Irmayani | FiDiYo di ROMA 24


mengapa teman-temannya bisa sampai terpana seperti itu melihat Dinggar. Karena
dimata Fina, Dinggar itu masih seperti dulu. Seorang cowok yang ketakutan dan perlu
bantuan tetapi merupakan seorang cowok penolong yang kapanpun dan dimanapun
akan dapat segera membantu Fina. Dinggar hanya tersenyum mendengar perkataan
Fina. Lalu terdiam.
“Kenapa sih lo datang kesekolah gue?”, tanya Fina membuka keheningan.
“Gue heran aja, gue kira setelah kita jadian lo akan segera menceritakan tentang
ini kesemua teman lo. Karena ya memang itulah tujuan kita jadian. Tapi….
kenyataannya lo sama sekali nggak cerita, bahkan ke sahabat lo sendiri”, ucap
Dinggar heran.
“Gue emang berfikir begitu waktu pertama kali bertemu dengan lo. Tapi setelah
gue berfikir sendiri, bukan ini yang gue perlu Ding. Yang gue perlu adalah sesosok
cowok yang nyata yang dapat berbagi dengan gue. Yang dapat merasakan
kegembiraan dan kesedihan gue. Bukan seorang pacar yang hanya sebagai status
untuk menutupi malu gue ke anak-anak”, ucap Fina lirih. Kesedihan sangat terpancar
dari wajah super ceria itu. Tentunya wajah sedih itu berdampak ke Dinggar yang
memang dengan tulus ingin membantu Fina. Bukan hanya karena balas budi.
“Gue rasa sahabat pacar itu lebih berarti dan akan lebih mengerti lo dari pada
pacar. Dan lo boleh ngepraktekin itu ke gue. Gue dengan senang hati akan membagi
kegembiaraan gue dan berbagi kesedihan lo, biar lo selalu ceria seperti dulu”
Fina terdiam. Memang apa yang diharapkannya dari seorang cowok. Apa hanya
untuk status. Atau karena menjaga image. Itu semua tak penting kalau hati kita tetap
merasa sedih dengannya. Dan kalau saja hati ini dapat behagia hanya dengan seorang
sahabat pacar, mengapa tidak?
Fina bersandar ke bahu Dinggar. Baru disadarinya ternyata bahu itu sangat
hangat, dan dapat membuat perasaan orang menjadi lebih baik dari semula. Tak sadar
air mata Finapun menetes. Bukan air mata kesedihan, melainkan air mata yang
membuang segala perasaan galau dan kalau air mata itu sudah habis keluar akan
terpancar cerianya matahari pagi.
“Kapanpun lo butuh gue, gue akan selalu ada buat lo. Walaupun lo sudah punya
pasangan ataupun sebaliknya. Karena gue akan tetap menjadi sahabat terbaik lo”

OLEH : Irni Irmayani | FiDiYo di ROMA 25


Dinggar memang sang penolong. Siapa lagi kalau bukan Dinggar yang dapat
membuat hari yang sangat gelap tertutup awan hitam secar tiba-tiba menjadi awan
putih dengan langit biru cerah bertemankan burung-burung yang bernyanyi dengan
merdunya. Karena kejadian kemaren yang menyita waktu sekolahnya, Fina jadi
berubah total. Keceriaannya kini telah kembali. Say no to sad! This is a Happy Day.
Dan semboyan itu sangat tampak pada saat dia duduk di bangku kesayangannya.
“Kenapa lo happy banget kelihatannya?”, tanya Dita dengan tampang cengar-
cengirnya berharap sesuatu yang wah didengarnya. Karena siapa yang tidak penasaran
dengan kepergian Fina bersama Dinggar yang membuat anak terajin disekolah itu
menjadi rela membolos sekolah. Dan paginya wajah murung Fina berubah pula jadi
wajah kegembiraan.
“Yah… gimana yah… gue emang happy banget hari ini Dit. Kayaknya ini hari
keberuntungan gue dalam minggu ini deh”
“Iya gue juga tahu kalau lo sangat happy. Tapi kenapa? Apakah sang pangeran
telah memberikan sekuntum bunga mawar berduri dari gunung tertinggi untuk
mengutarakan isi hatinya yang paling terdalam”, Dita mulai berpuitis tak jelas.
“Dinggar itu memang baik Dit. Gue nggak akan pernah ngelupain teman sebaik
dia”, ucap Fina senang.
“Teman apa pacar?”, ledek Dita yang tidak menyadari kesalahan Fina.
Untunglah, jadi Fina tidak perlu repot-repot untuk menjelaskan kalimatnya yang salah
itu. Sebenarnya ada untungnya juga punya teman yang jalan otaknya rada ngandat-
ngandat.

Disekolah sekarang tidak ada kata lagi untuk lesbian. Yang ada sekarang
hanyalah kekaguman dan keirian para cewek atas temannya satu itu. Siapa lagi kalau
bukan Fina. Pertanyaan-pertanyaan pun mulai mereka lontarkan seperti kapan mereka
jadian? Bagaimana jadiannya? Dimana jadiannya? Dan yang paling sering ditanyakan
adalah dari mana Fina mengenal cowok seganteng Dinggar.
Walaupun senang dengan kondisi sekolah yang kembali memihak kepadanya,
tapi Fina masih rada bego dengan perkataan teman-temannya yang mengatakan sang
pacarnya itu guanteng banget. Iya ganteng tapi dilihat dari gunung Himalaya, pikir
Fina.

OLEH : Irni Irmayani | FiDiYo di ROMA 26


“Emang dari segi mana sih kok kalian bisa bilang Dinggar itu ganteng?”,
pertanyaan yang sangat bodoh terlontar dari mulut mungilnya Fina.
“Lo bego atau emang nggak waras sih Fin. Cowok seganteng itu lo nggak sadar?
Lalu kenapa dong lo kok bisa jadian ama dia?”, Dita balas bertanya kepada temannya
yang memang bego itu.
“Dinggar itu orangnya baik, penolong gue. Makanya waktu dia ngajak pacaran
beneran gue terima”, jawab Fina yang lugu. Oops…! lagi-lagi keceplosan.
“Yah… gue kira lo pacarannya karena wajahnya yang seperti Nicholas itu,
malah lebih ganteng dikit deh si Dinggar”, Dita kecewa mendengar penjelasan jujur
dari Fina. Tapi untungnya Fina, karena perkataan jujurnya tak lagi didengarkan secara
serius oleh temannya. Memang semua orang pada bego kali yah!
“Dinggar itu keren. Matanya bulat tapi nggak belo’, bibirnya nggak tipis juga
nggak tebal, alisnya wuih… keren banget tebal dan hitam, hidungnya mancung lurus,
dagunya sedikit panjang dan berbelah, yang paling keren itu rambutnya….. pendek
dan lumayan jabrik. Pokoknya hanya cewek-cewek yang nggak waras seperti lo yang
nggak bisa lihat seberapa gantengnya Dinggar”, Dita menjawab pertanyaan Fina
mengenai klasifikasi kegantengan sang idola.
“Emang lo kenalnya dari mana sih Fin?”, pertanyaan yang sering kali didengar
Fina itu kembali terlontar. Sekarang pertanyaan itu keluar dari mulut sahabatnya
Yah… otomatislah dia harus menjawab pertanyaan itu.
“Dinggar itu temen waktu gue SMP. Dulunya kita satu angkatan, tapi dia
ngelanjutin SMAnya di Bandung, trus dua tahun udah lulus, jadinya yah sekarang dia
nganggur sambil nunggu masuk kuliah”, Fina menjelaskan.
“Waduh kalau gitu Dinggar itu pinter donk, sempurna banget sih cowok lo itu
Fin”, Dita ngiri, tapi walau bagaimanapun juga dia tidak dapat merebut pacar sang
sahabatnya.

Walaupun Dinggar dan Fina sekarang resmi berpacaran layaknya pacaran


sebenarnya, tapi masih saja Fina tetap menganggap Dinggar seperti sahabat bukan
pacar. Sebenarnya Dinggar agak kecewa, tapi mau bagaimana lagi. Dia tahu benar
sifat Fina dan tak mau merusak apa yang telah dilakukannya dan memulai dari nol.
“Kita jalan yuk!”, ajak Dinggar ketika cowok itu mampir ke rumah Fina.
“Kemana?”

OLEH : Irni Irmayani | FiDiYo di ROMA 27


“Ntar dijalan gue kasih tahu, tapi lo sekarang ganti baju dulu”, pinta Dinggar
dengan ramahnya.
Fina lansung saja masuk kedalam kamarnya. Didalam dia memilih-milih baju
yang cocok untuk dipakai bersama Dinggar. Bukan lagi kasmaran atau apa, tapi takut
membuat malu penyelamatnya itu. Lagi pula Fina sangat menghormati Dinggar setara
dengan saudaranya walaupun Fina sama sekali tak mempunyai saudara.
Tak lama kemudian Fina keluar kamar dengan mengenakan kemeja warna putih
dengan hiasan sedikit di kerahnya, serta memadukannya dengan celana pendek warna
hijau. Untuk beberapa detik Dinggar lucu juga melihatnya. Bukan karena tidak cocok
atau apa. Tapi sepertinya Fina hati-hati juga memilih pakaian untuk jalan bersamanya.
“Kenapa sih senyum-senyum? Aneh yah bajunya?”, tanya Fina bingung melihat
reaksi Dinggar.
“Ah…. Nggak, gue kira lo akan pake baju sembrono lo itu. Lo rapi… boleh
juga”, ledek Dinggar yang membuat wajah putih Fina memerah.
“Ah… udah deh kalau ngeledek terus gue nggak mau ikut nih”, ancam Fina.
“Yeh… gitu aja ngambek… Iya-iya gue nggak akan ngeledek lagi. Ayo masuk
ke mobil, ntar kita telat lagi nyampainya”
Kedua pasang sejoli itupun menuju ke mobil BMW biru metalik milik Dinggar.
Enak juga yah punya pacar. Kemana-mana, pergi pake mobilnya. Jadi nggak capek
nyetir sendirian, pikir Fina dalam hati. Hati seorang cewek yang nggak pernah
ngerasakan bagaimana asyiknya berpacaran itu. Sebenarnya seberapa asyik seeh
berpacaran itu?

BAB 5 BUKIT IMPIAN


Fina masih tidak tahu mau kemana mobil itu membawanya pergi. Sudah satu
jam dari mereka turun dari rumahnya, BMW itu terus saja melaju dan tidak ada tanda-
tandanya ingin berhenti. Sebenarnya Fina ingin sekali bertanya, tapi malas melihat
Dinggar yang sepertinya serius sekali menyetir mobil kesayangannya.
Memang… BMW biru metalik itu mobil kesayangan Dinggar. Bukannya apa,
soalnya mobil itu dihadiahkan oleh papanya dua-tiga tahun lalu, waktu kelulusan
SMP yang menyatakan dia mendapat nilai tertinggi disekolah mereka berdua. Sekolah
yang lumayan difavoritkan di kota kecil itu.

OLEH : Irni Irmayani | FiDiYo di ROMA 28


Malamnya, papa Dinggar yang seorang pilot meninggal karena ada kesalahan
operasional pada pesawat yang dikendarainya. Tanpa pesan, papanya meninggalkan
anaknya yang baru saja lulus. Mobil yang menjadi hadiah terakhir papanya dijadikan
Dinggar benda keramat yang harus selalu dijaga. Karena itu juga Dinggar pindah ke
Bandung. Untuk melupakan segala memori tentang papanya. Mamanya tinggal di
Roma karena sejak umur Dinggar lima tahun dmereka sudah bercerai.
Waktu itu, Fina masih bisa bertemu dengan Dinggar di rumahnya. Disitulah dia
berkata bahwa mobil itu hanya untuk dirinya. Tidak akan dia bagi dengan penumpang
lain. Sekarang, Fina sudah sangat biasa menikmati mobil itu dari dalam. Walaupun
aneh, Fina tak ingin bertanya kenapa? Takut membuka memori yang penuh kesedihan
itu lagi. Dan Fina tak mau Dinggar menjadi sedih seperti dulu.
BMW itu berhenti tepat ditengah-tengah padang rumput yang luas dengan
ketinggian yang lumayan. Dinggar keluar dari mobil, diikuti oleh Fina yang masih
tidak mengerti dimana mereka sekarang ini. Apa maksud Dinggar mengajaknya
ketempat asing seperti ini? Fina tahu kota kecil tempat kelahirannya itu banyak
terdapat tempat-tempat pariwisata yang masih belum banyak dikenali orang. Tapi,
sama sekali Fina baru tahu bahwa ada tempat seperti ini.
Dinggar berjalan menuju ke tepi bukit, diikuti oleh Fina yang masih rada bego’.
Sesampainya disana Fina terperangah. Tak pernah dia melihat pemandangan yang
maha indah seperti ini. Mungkin Bali juga akan menunduk malu kalau melihat
panorama alam yang ada dikota kelahirannya ini.
“Ini bukit impian. Bukan aku yang menamainya, tapi papa. Karena dia sering
sekali melihat bukit ini dari pesawat”, Dinggar membuka percakapan dan
memecahkan kekaguman Fina atas ciptaan Tuhan yang maha indah.
“Bokap lo yang nemuin bukit ini?”, tanya Fina hati-hati. Takut kalau Dinggar
kembali sedih seperti dua tahun lalu.
“Awalnya papa mengira dialah yang pertama menemukan tempat ini. Tapi itu
salah, karena di hari ketiga ketika dia pergi ke sini, papa bertemu dengan mama…”,
perkataan Dinggar terputus.
“Oh…. Jadi nyokap lo yang nemuin tempat ini?”, Fina masih bertanya seperti
orang bego’.
“Bukan!”
“Jadi?”

OLEH : Irni Irmayani | FiDiYo di ROMA 29


“Banyak yang telah datang kesini sebelumnya. Setiap yang datang kesini
menganggap dirinyalah yang pertama kali menemukan tempat ini, karena sebenarnya
seperti inilah kehidupan yang diimpikan setiap orang. Karena itulah papa menamainya
bukit impian”, Dinggar menerangkan. Meskipun begitu Fina belum ngeh juga dengan
perkataan itu. Terserahlah, yang penting Fina dapat menikmati pemandangan bukit
impian ini.
Mungkin hanya terbatas di dunia, atau malah hanya satu disini saja.
Pemandangan maha indah yang diciptakan Tuhan untuk manusia. Dari bukit ini
ibaratnya kita dapat melihat seluruh dunia. Dari bukit ini kita dapat pergi ke segala
penjuru dunia. Karena pemandangan yang disajikannya sangat lengkap, mulai dari
pantai, gunung, rumah, gedung-gedung, pulau, air terjun, danau, sungai, taman bunga
dan segala keindahan alam dan ciptaan manusia lainnya.
Juga dari bukit ini kita dapat pergi ke tempat-tempat itu dengan cepat. Kalau
lewat jalan lain yah… harus mutar-mutar dulu baru sampai. Karena memang dari
atas.. bukit ini jalan, dan kalau dari bawah bukit ini penghadang yang mengharuskan
pengguna jalan memutar kekiri dan kenanan.
“Bukit ini sesuai dengan impian lo?”, tanya Fina kepada Dinggar yang asyik
menikmati suasana.
“Iya, karena setelah pulang dari sini gue akan mendapatkan impian gue”
“Oh…”
“Lo….?”
“Mungkin iya, mungkin juga enggak. Karena impian terbesar gue adalah punya
seorang pacar dalam arti dia menyukai gue dan sebaliknya. Dan gue nggak akan
mendapatkan itu dengan hanya melihat bukit ini”
Dinggar tersenyum mendengar perkataan yang jujur dari Fina.
“Setelah ini lo akan menemukan impian terbesar lo itu. Pasti!”

Tidak tahu apakah omongan Dinggar itu dapat dipercaya ataukah tidak. Yang
jelas Fina senang mendengarnya. Paling tidak Dinggar telah membangkitkan
optimisme Fina untuk mendapatkan seorang pacar yang memang menyukainya dan
dia juga menyukai cowok itu.
Disekolah Fina menceritakan bukit impian itu kepada Dita. Teranglah cewek
imut itu langsung iri mendengarnya. Karena sudah lima kali berpacaran tak satupun

OLEH : Irni Irmayani | FiDiYo di ROMA 30


pacarnya yang seromantis Dinggar. Paling-paling mereka jalan ke mal atau ke kafe.
Mentok-mentok kalau nggak ada tujuan nonton bioskop dengan film yang sudah
keluar VCDnya. Maklum memang kota kecil ini sangat ketinggalan jaman kalau soal
film. Anehnya masih juga orang mau menghabiskan uangnya untuk pergi menonton.
Mungkin nasibnya sama dengan Dita.
“100% gue iri sama lo Fin”, ucap Dita setelah mendengar cerita dari Fina.
Tentunya kali ini Fina sudah cukup pintar sehingga tidak lagi keceplosan
berbicara. Karena kalau sampai tiga kali bisa fatal akibatnya. Dita tidak akan sebodoh
itu kalau dia mendengar kalimat aneh lagi dari mulut Fina.
Dalam hati sebenarnya Finalah yang merasa iri kepada sahabatnya itu. Karena
apalagi kalau bukan Dita telah berpacaran sebanyak lima kali. Mungkin bisa menjadi
tujuh dalam bulan-bulan ini. Sedangkan Fina hanya satu kali, itupun dia yang
meminta supaya tidak maraca canggung kalau sedang bergosip dengan teman-
temannya.
“Lo akan benar-benar ngerasain apa itu artinya iri kalau omongan lo dengan kata
hati lo udah berbeda Dit”, sambung Fina. Merka berdua kemudian terdiam beberapa
saat.
“Eh…. Fin, Dit ada ritual dadakan tuh”, ucap seorang cewek kepada Fina dan
Dita.
“Ritual dadakan apa maksudnya?”, Dita tak mengerti.
“Itu lho ritual kita yang 6 bulan sekali itu kan masih sisa 1 kali dalam tahun ini.
Karena anak-anak berfikir nggak akan ada waktu luang lagi di semester depan karena
udah dekat ujian, makanya dipercepat. Lagian ini kan waktunya pas sekali.
Rencananya temanya utamanya tentang cowok lo dan si Riska”, papar cewek
berambut ikal itu panjang lebar ke pada Fina.
“Apa? Enak-enak aja lo ngetemain cowok gue”, Fina protes. Tentu saja itu
sangat tidak bisa, karena tema itu diambil dari keputusan voting, dimana yang dicari
adalah berita yang paling hot yang anak-anak belum merasa lengkap informasinya.
Lagian di ritual ni tidak diperkenankan untuk berbohong. Kabarnya ritual yang sudah
ada sejak 30 tahun lalu itu sudah memakan korban. Yah…. Bukan korban meninggal
sih, tapi cuma korban cacat mental alias gila, hanya karena dia berbohong diritual itu.

OLEH : Irni Irmayani | FiDiYo di ROMA 31


Fina sih tidak pernah percaya dengan begituan. Habisnya sudah beberapa kali
dia berbohong tidak juga dia terkena menjadi korban. Lagian di abad 21 ini mana ada
lagi yang begituan.

BAB 6 RITUAL CEWEK


Sepuluh menit setelah bel pulang berbunyi anak-anak cewek yang punya hajatan
sudah pada ngumpul semua, terkecuali satu Riska. Mungkin dia sudah mempunyai
filling jelek untuk hari ini makanya saat bel berbunyi tadi dia langsung kabur dan
menghilang. Tentunya anak-anak lain tidak kehabisan ide dan memang sudah
menduga hal itu terjadi. Karena itu ditugaskan dua orang menjaga di pintu gerbang
sekolah untuk menghalangi cewek sensasional itu kabur.
“Eh… temen-temen, pemeran utama kita udah datang nih”, ucap seorang cewek
berambut panjang sepinggang berjalan menuju ke kelas XII ipa 2 yang dijadikan
tempat ritual itu dilangsungkan sambil tangan kanannya memengang erat legan Riska.
“Udah deh jangan pegang-pegang lagi. Lagian sapa lagi yang mau kabur, gue
hanya ingin bilang kesupir gue aja kalau pulang telatan”, elak Riska ketika melihat
sorot mata anak-anak yang memandangnya sebagai tersangka.
“Kita nggak pernah bilang dia mau kabur khan?”, ucap cewek tadi memberi
kode kepada anak-anak yang lain.
“Iya…. Kita nggak ngerasa pernah bilang lo mau kabur kok, lo nya aja yang
ngerasa seperti itu sendiri”, sambung cewek lainnya.
“Udah deh karena semuanya udah pada ngumpul kita mulai aja ritual kita ini”,
ucap Tina, sang ketua Osis yang juga merupakan ketua tertinggi penyelenggara
hajatan ini sejak dari kelas satu.
“Kita mulai dari mana nih Tin?”, tanya cewek berambut panjang tadi kepada
sang ketua.
“Eh… kalau gue pikir kita mulai dari yang ngerasa punya cowok baru aja, lalu
yang baru putus dilanjutkan dengan cerita Fina dan terakhir lo Ris”, Tina
membacakan jadwal acaranya.
“Lho kok gue dilainkan sih? Gue khan juga termasuk punya cowok baru? Apa
bedanya coba!”, Fina protes, tentunya itu hanya percuma karena dia telah tahu sendiri
bahwa dirinya telah menjadi topik utama ritual itu.

OLEH : Irni Irmayani | FiDiYo di ROMA 32


Tanpa memperdulikan perkataan Fina, Tinapun mulai membuka acara
pertamanya yaitu memberi kesempatan anak-anak yang punya cowok baru dengan
batas waktu dari ritual sebelumnya untuk menceritakan siapa pacarnya? Kapan
jadiannya? Mengapa dia menerimanya? Dan lainnya yang sebenarnya menurut
pendapat Fina itu sangat tidak penting diketahui oleh banyak pihak. Tapi toh ritual ini
terus juga berjalan, karena bagi sebagian anak-anak ini juga dapat menjadi ajang
pamer pacar. Bagaimana gantengnya pacarnya, kayanya sang pacar, baiknya dan
pengertiannya sang pacar juga mereka yang tergolong kelompok itu tak segan-segan
menceritakan tentang first kissnya didepan anak-anak.
Setelah mendengarkan kesenangan cewek-cewek yang baru saja jadian, acara
dilanjutkan dengan mendengarkan kesedihan para cewek yang baru saja putus dengan
pacarnya. Memang Fina tidak senang dengan ritual ini, terkecuali dengan session
patah hati seperti ini.
Di bagian ini kita akan benar-benar merasakan bagaimana sakit hatinya seorang
cewek diputuskan seorang cowok atau bagaimana sedihnya cewek yang terpaksa
memutuskan seorang cowok. Bagaikan sekelompok keluarga besar, biasanya cewek-
cewek ini akan menangis bersama mendengarkan cerita-cerita itu.
Dari ritual ini juga Fina tahu bagaimana pacaran, senang sedihnya, dan apa-apa
saja yang mereka lakukan. Kalau memang bisa dibuat cerpen, pasti Fina telah menjadi
penulis cerpen terbanyak sepanjang abad karena ceritanya yang beraneka ragam.
“Gue diputusin cowok gue, cuma gara-gara gue nggak mau diajakin dia pergi ke
pesta ultah temannya”, cerita seorang cewek yang lagi patah hati.
“Gue awalnya seneng-seneng aja cowok gue ngajakin ke partynya, tapi lama-
lama gue baru sadar kalau partynya itu penuh dengan sesuatu yang nggak bener.
Minum, narko, dan pernah juga gue lihat adanya sex di sofa, padahal disana itu lagi
ramai-ramainya”, lanjutnya sambil mulai meneteskan air mata.
“Gue sayang sama cowok gue, tapi juga gue nggak mau terjerumus walaupun
sampai sekarang dia masih wajar-wajar aja sama gue. Tapi mana ada yang bisa
mastiin dia begitu terus kalau pergaulannya kayak gituan”, cewek itu menyudahi
ceritanya.
“Gue tahu sakit hatinya diputusin cowok kok Mel, itu bukan akhir dari hidup
malah awal dari kehidupan”, ucap Tina yang memang paling pengertian.

OLEH : Irni Irmayani | FiDiYo di ROMA 33


Acara putus-putusan cowok selesai. Sekaranglah saat ritual yang sebenarnya
dimulai. Anak-anak yang sudah mempunyai setumpuk pertanyaan mulai bersiap-siap
dihadapan Fina. Untuk beberapa detik Fina terlihat gugup, karena dia sama sekali
tidak pernah menjadi pemeran utama dalam ritual ini. Apalagi kalau bukan karena
memang setiap acara ini Fina jadi penonton sejati karena tidak mempunyai seorang
cowok yang mau diceritakannya.
Gossipnya, anak-anak akan juga mengintrogasi Fina tentang kelima cowok yang
menembaknya.
“Kenapa sih lo nggak cerita-cerita kekita tentang tembakan itu?”, tanya seorang
cewek dengan suara lumayan ketus yang membuat jantung Fina berdetak kencang.
“Gue pikir itu urusan pribadi gue yang 100% gue yang putusin apakah itu perlu
diceritain atau nggak”, jawab Fina tenang.
“Kalau gitu lo nggak nganggap ritual ini ada donk?”, sambung anak satu lagi
yang bertanya tak kalah ketusnya yang disambut anggukan setuju oleh anak-anak
lainnya terkecuali Dita sahabat Fina dan Riska yang memang suka kalau ada anak
yang ditekan diritual itu, selain dia tentunya.
“Lo sadar sendiri kalau gue emang nggak aktif di ritual ini. Lagian setahu gue
nggak ada segmen menceritakan tentang penembakan yang ditolak dalam ritual ini”,
Fina mulai nggak betah. Baru dua pertanyaan aja sudah suasananya berubah panas
seperti ini. Padahal ini belum masuk intinya, Dinggar!
Mendengar pernyataan Fina itu semuanya terdiam. Mereka berfikir sejenak.
Memang dalam ritual ini tidak ada keharusan untuk bercerita tentang tembakan yang
ditolak. Karena itulah akhirnya Tina membuka mulutnya.
“Lo memang benar, dalam ritual ini nggak ada segmen begituan. Kalau begitu,
sebagai ketua Osis yang masih eksis gue dengan resmi memutuskan bahwa segmen
itu resmi ada mulai dari hari ini”, ucap Tina dengan lantang bagaikan baru saja
mengeluarkan SK Presiden yang akan membuat perubahan-perubahan didalam
pemerintahan.
Semua anakpun mengangguk setuju, terkecuali Fina yang bete abis melihat
ritual murahan ini.
“Terus, Dinggar?”, salah satu anak mengingatkan dengan nama itu. Wah…. Kok
sempet-sempetnya ingat sih? Pikir Fina dalam hatinya.

OLEH : Irni Irmayani | FiDiYo di ROMA 34


“Iya, tentang Dinggar. Karena banyak sekali pertanyaan yang akan dilontarkan,
maka gue sebagai ketua ritual ini telah mengambil keputusan untuk mencatat semua
pertanyaan mereka. Kemudian gue rangkum dan mengambil inti dari pertanyaan itu
semua. Dan inilah pertanyaannya. Pertama…. Kapan lo jadian dengan Dinggar?”,
ucap Tina bagaikan sedang menjadi presenter acara kuis yang berhadiah jutaan rupiah
kalau pertanyaannya dijawab dengan benar dan tepat.
Fina berfikir sebentar sebelum menjawab. Karena kalau dia tidak salah ingat
Dinggar sudah menjawab pertanyaan ini sebelumnya pada waktu dia datang
kesekolah ini, tapi apa yach jawabannya? Fina tampaknya mulai pikun. Ketika Fina
melihat sahabatnya Dita, tiba-tiba saja ingatannya pulih seperti sedia kala. “Setahun
yang lalu, pas liburan kenaikan kelas XI”, jawabnya singkat.
Semua anak mengangguk mengerti, dibandingkan dengan apa yang mereka
dengar waktu itu dari mulut Dinggar memang tidak ada bedanya. Makanya
pertanyaanpun berlanjut.
“Pertanyaan kedua, lo kenal Dinggar dari mana?”
“Gue kenal dia waktu SMP. Dia itu teman sekelas gue”
“Kok sekarang udah lulus?”, pertanyaannya lalu mulai berkembang.
“Karena dia cuma sekolah dua tahun”
“Berarti dia pintar dong?”, tanya cewek bloon yang tentu saja pertanyaan yang
tidak perlu dijawab.
“Yah… udah! Pertanyaan ketiga, serta pertanyaan terakhir. Bagaimana lo bisa
jadian dengan dia? Gimana cara nembaknya? Dimana? Dan kenapa lo nerima
tembakannya? Juga…..”, Tina berfikir ketika membaca catatan kecilnya. “Kok dia
nembak lo sih? Bukan maksud apa Fin, tapi Dinggar itu terlalu sempurna untuk….
Yah lo tahu sendiri lah”, kalimat Tina berakhir.
Gila pertanyaannya dasyat amat. Memang siapa aja sih yang bertanya sedetail
itu? Mau tahu aja urusan orang? Lalu bagaimana lagi cara menjawab semua
pertanyaan itu? Memangnya gue musti nyeritain kalau sebenarnya dia ngajak
Dinggar untuk pura-pura terus membuat perjanjian pacaran? Nggak banget khan!
Keluh Fina.
Walau bagaimanapun pertanyaan itu harus dijawabnya. Dengan terbata-bata dan
mengarang cerita yang seenak mungkin didengar Finapun mulai bercerita. Padahal
nilai karang Fina bisa dibilang jelek, kalau tidak dapat 6 yah 7. Utungnya anak-anak

OLEH : Irni Irmayani | FiDiYo di ROMA 35


tetap mempercayai semua cerita asalnya yang kalau disuruh mengulang tidak akan
sama dengan versi pertamanya.
“Sory kalau menyimpang, tapi gue bener-bener mau tahu…”, jujur amat seeh
nih anak. “Lo ama Dinggar kalau ngedate kemana aja sih?”
Semua anak langsung memasang telinga. Ingin tahu memang tampaknya mereka
semua. Untuk jawaban pertanyaan ini tentunya gampang buat Fina. Tidak perlu
mengarang atau berbohong. Cukup dengan dua kata.
“Bukit Impian!”

Malamnya, ketika Dinggar berkunjung kerumah Fina, dia menceritakan


semuanya tanpa ada yang harus disensor-sensor ke Dinggar.
“Hahaha…… gila juga sekolah lo ada ritual begituan”, ucap Dinggar geli
mendengar acara aneh bin ajaib disekolah ceweknya.
“Iya…. Dan hebatnya hingga sekarang anak-anak cowok tuh nggak ada yang
tahu soal ritual itu”, lanjut Fina yang juga merasa kagum.
“Trus… Temen lo yang namanya Riska itu?”
“Iya sehabis gue diintrogasi, giliran dia. Habis dia kena tanyaiin anak-anak ini
itu. Kasiahan juga gue lihatnya”
“Cewek kayak gitu emang perlu dikasih pelajaran, biar kapok”
Malam ini indah. Entah kenapa Fina merasa malam ini lain dengan malam-
malam bisanya. Langit malam itu tak begitu cerah. Dibeberapa tempat tampak awan-
awan tipis menyelimuti langit hingga menutupi sinar-sinar bintang yang ingin
menampakkan cahanyanya ke bumi. Untuk kesekian kalinya Fina bersyukur diberi
Tuhan seorang sahabat pacar sebaik, sepengertian Dinggar. Tapi apakah perasaan
syukur itu tak bisa berubah menjadi rasa sayang yang sangat diharapkan oleh
seseorang? Padahal kalau saja Fina bisa melihat dengan jelas. Dia pasti tidak akan
bersusah payah lagi!

BAB 7 COWOK SENGAK,,.


Hari ini hari senin. Banyak anak-anak di sekolah yang yang membenci hari
senin. Terutama anak-anak kelas Fina. Alasannya tak jauh-jauh dari pelajaran yang
sangat membosankan bertengger di hari senin ini. Lagian masih asyik-asyiknya

OLEH : Irni Irmayani | FiDiYo di ROMA 36


malas-malasan dirumah harus dengan terpasaksa menginjakkan kaki disekolah lagi itu
sangat sulit.
Tapi nampaknya suasana itu akan berubah hari ini. Image jelek hari senin akan
sembuh karena yang terjadi pada hari ini. Hari ini, hari senin tanggal 5 September
2005 adalah hari yang paling ditunggu-tunggu oleh para cewek-cewek satu sekolah.
Bukan acara khusus atau ritual dan sejenisnya. Malah ini diluar dugaan yang makin
menyemarakkan sekolah itu. Yup! Hari senin ini ada anak baru yang masuk kesekolah
ini yang wajahnya bisa dikatakan setaralah dengan Dinggarnya Fina, paling tidak
itulah yang diucapkan oleh rata-rata anak-anak disekolah.
“Lo udah lihat belum anak barunya?”, tanya Dita kepada Fina dengan
menggebu-gebu.
“Belum”
“Gila Fin lo musti lihat tuh cowok, cakep abis. Yah… walaupun masih cakepan
Dinggar dikit sih, tapi dibandingkan standar cowok disekolah kita jauh deh Fin”,
sambung Dita lagi.
Fina tampak tak perduli. Lagi pula dimatanya Dinggar itu nggak secakep yang
diomongin sama Dita dan anak yang lainnya kok. Tanpa memperdulikan Dita,
Finapun keluar dari kelasnya. Meninggalkan bangku kesayangannya dan bersandar di
pintu kelasnya.
Dihadapannya memang telah banyak anak-anak yang membentuk kelompok-
kelompok kecil untuk mulai bergosip dan juga ada yang bertaruh untuk mendapatkan
cowok itu duluan.
“Emang seganteng apa sih anak baru itu?”, tanya Fina yang disambut wajah
kikuk dari Dita.
“Gue rasa didunia ini nggak ada yang menonjol dari tampang seseorang, yang
menonjol itu cuma sifatnya. Kalau dia baik pasti enak deh dilihat. Kalau dia sengak
yah jelek lah”, sambung Fina lagi.
“Lo kenapa sih Dit, kayak kesambar geledek gitu”, Fina baru menyadari ada
yang salah dengan sahabatnya satu itu.
Fina tak terlalu perduli. Toh…. Dita masih waras, belum gila dan juga belum
sakit. Finapun berjalan menuju keteras kelasnya. Saat dia keluar dari sanderan pintu,
dia dikejutkan oleh sesosok cowok yang sama sekali belum pernah dikenalnya.
“Eh… misi yah gue mau duduk”, ucap Fina ramah.

OLEH : Irni Irmayani | FiDiYo di ROMA 37


Cowok itu diam. Matanya hanya memperhatikan tingkah Fina dari ujung kaki
sampai ujung rambut. Kontan Fina naik darah.
“Eh…. Misi dong gue mau duduk dibangku yang lo hadangin!”, kali ini suara
Fina naik satu oktaf.
Dengan santai cowok itu tetap asyik berdiri ditempatnya sambil terus
memperhatikan Fina.
“Lo itu budek atau tuli sih… Atau telinga lo yang besar itu perlu diperiksakan
dulu ke RS!”
“Setahu gue sekolah ini anak-anaknya ramah-ramah. Tapi kok ada yang nyasar
yah… Atau mungkin gue yang nyasar?”, ucap cowok itu datar.
“Nggak perlu ramah dengan cowok sengak kayak lo ini!”
“Kalau gue sengak berarti gue nggak ganteng dong dimata lo”
Tak tahu apa maksud dari ucapan cowok itu. Yang jelas setelah dia berbicara
seperti itu, tanpa minta maaf atau mempersilahkan Fina duduk dia nyelosor aja pergi
tanpa permisi. Cowok seperti inilah yang paling dibenci Fina, cowok sengak tak tahu
aturan.
“Lo gimana sih Dit. Bukannya bantu gue bales tu cowok, malah lo diam kayak
patung gini!”, protes Fina karena tak mendapat pertolongan dari temannya.
“Lo tahu nggak siapa cowok tadi?”, tanya Dita yang mulai buka mulut.
“Tahu….. cowok sengak yang belagu dan dengan sombongnya mengatai
sekolah kita”
“Selain itu?”
“Cowok tak tahu diri yang tidak pantas disukai atau dikagumi seluruh cewek
dimuka bumi ini”
“Tapi…. Seluruh cewek disekolah ini termasuk gue dan dikurangi lo menyukai
dia”, ucap Dita dengan sebuah senyuman aneh.
“Emang siapa dia sampai disukai sampai begitunya. Dan lo ikut-ikutan pula,
baru juga lihat sekarang”
“Dia itu lah anak baru pindahan dari Bandung”, ucap Dita penuh kebanggaan,
tak jelas juga sebenarnya apa yang sedang dibanggakannya.

Namanya Yogi Tirtada. Pindahan dari Bandung yang katanya pindah karena
mengikuti pekerjaan papanya yang memang suka pergi-pergi. Anaknya pintar, suka

OLEH : Irni Irmayani | FiDiYo di ROMA 38


main basket, suka organisasi dan juga anak-anak bilang wajahnya luar biasa ganteng.
Tapi… bagi Fina cowok sengak seperti itu tak pantas mendapat segala gelar yang
disebutkan diatas. Sekali tidak tetap tidak!
“Jadi cewek yang namanya Fina itu nggak ngikutin organisasi satupun?”, tanya
Yogi kepada salah satu teman sekelasnya yang juga teman sekelas Fina. Yah…
apalagi kalau bukan Yogi sekarang telah menjadi teman sekelas Fina. Alasan
ditempatkannya Yogi disana karena satu-satunya kelas yang jumlahnya belum
mencapai 40 siswa adalah kelas XII ipa 2, kelasnya Fina.
Mati-matian Fina menolak kehadiran Yogi itu, sampai-sampai dia dengan
senang hati kalau harus dipindahkan ketempat lain. Tapi, peraturan sekolah tak
mendukung tindakannya itu. Dan mau tak mau dia harus puas dengan keputusan yang
diambil waka kesiswaan.
“Iya… Dia itu disekolah ini jadi benang merah, penyatu semua organisasi
disekolah ini. Ibaratnya kalau nggak ada dia organisasi disekolah ini akan berdiri
sendiri-sendiri dan lebih parah lagi kalau sampai organisasi itu bermusuhan”, jawab
orang yang ditanyai Yogi itu panjang.
Jadi cewek itu penting juga disekolah ini rupanya. Senyum sinis Yogi muncul
dibibirnya. Karena ada orang-orang seperti inilah yang memberi warna dalam hidup!
Ucapnya dalam hati.

Sekolah Fina pulang pada pukul 12 teng. Dan saat pukul 11.55 para siswa sudah
menutup telinganya rapat-rapat untuk mendengarkan pelajaran yang disampaikan oleh
para guru. Anehnya, guru-guru di sekolah ini juga sudah pada pengertian dan tidak
melanjutkan lagi pelajarannya kalau sudah ada anak yang merapikan buku-bukunya
dan bersiap pulang.
Hari ini Dita tidak dijemput papanya. Makanya dia terpaksa menumpang mobil
BMW Fina. Tapi baru saja ketika mereka ingin meninggalkan kelas, Fina dihadang
oleh Yogi.
Dengan tampang tak perduli bagaikan bermata buta Fina dengan entengnya
keluar dari sana. Dita yang lumayan asyik di dekat cowok itu mengikuti sahabatnya,
takut nantinya pulang naik bis.
Diparkiran Yogi terus saja membuntutui Fina.

OLEH : Irni Irmayani | FiDiYo di ROMA 39


“Lo berdua pulang naik apa? Mau gue anterin nggak?”, tanya Yogi sok akrab
banget.
Fina tetap cuek. Dikeluarkannya kunci mobil dari saku bajunya dan sesegera
mungkin membuka pintu mobilnya dan lari menjauh dari wajah cowok yang ingin
membuat isi perutnya keluar.
“Wes…. Di kota kecil ini ada juga yah anak sekolah bawa BMW!”, bukan
sekedar ucapan, Yogi memang takjub. Dia mengira kota sekecil ini tidak akan mampu
membelikan anaknya sebuah mobil, BMW keluaran terbaru pula.
“Pasti lo bukan asli sini yah. Kalau nggak mana mungkin lo setajir ini”, ucap
Yogi lagi yang membuat telinga Fina panas. Memangnya apa hebatnya kota besar
seperti Bandung itu yang membuat mereka berfikir bahwa kota kecil itu tidak ada apa-
apanya.
Dan lagi Fina dan kedua orang tuanya, bahkan kakek-neneknya semua
keluarganya berasal dari kota kecil ini. Asli! Tanpa campuran darah sedikitpun.
Dengan tatapan mata sinis Fina melanjutkan pekerjaannya.
“Dit… cepetan naik. Gue udah nggak tahan deket dengan mahkluk alien nih.
Alergi!”, ucap Fina sambil menatap tajam Yogi.
Mendengar dia dihina seperti itu, wajah Yogi memerah menahan marah. Salah
sendiri menghina kota tercinta ini, pikir Fina dalam hatinya.
Beberapa menit kemudian Yogipun pergi menuju mobilnya yang terparkir rapi
disebelahnya. Mobil yang sama percis dengan Fina, cuma beda warna. Kalau Fina
berwarna kuning yang memang dipesan khusus untuknya, sedangkan Yogi berwarna
biru seperti kepunyaan Dinggar.

Melupakan segala kepenatannya disekolah, Fina kali ini tampak ceria. Apalagi
kalau bukan dia sedang bersama dengan Dinggar ke bukit impian. Sudah lama sejak
pertama dan terakhir kalinya mereka kesini. Tidak ada perubahan yang berarti. Paling-
paling rumputnya yang sudah pada tumbuh meninggi.
“Udah lama yah kita nggak kesini Ding”, ucap Fina memecahkan kesunyian.
Dinggar tak menjawab, hanya melempar senyum tanda mengiyakan. Fina tak
perduli dengan itu, yang penting dia bisa bersantai sejenak untuk melupakan
kepenatan sekolah. Apalagi kalau ingatannya mengarah ke cowok sengak yang paling
dibencinya saat ini.

OLEH : Irni Irmayani | FiDiYo di ROMA 40


“Disekolah gue ada anak baru Ding”, Fina mulai bercaerita.
“Cowok?”
“Iya. Anaknya sengak banget. Gue nggak suka ngelihatnya. Anehnya, anak-anak
bilang dia itu genteng abis. Menurut gue sih emang iya, kalau dibandingkan dengan
monyet”, lanjut Fina lagi.
“Huuaaaha…. Ada-ada aja sih lo Fin. Emang sesengak apa sih tuh cowok. Gue
nggak pernah lihat lo sebegituanya dengan orang!”, Dinggar penasaran.
“Lo mustinya perlu bersyukur karena nggak pernah lihat dia. Kalau lihat pasti
kebahagiaan lo akan sirnah, dan akan muncul kegelapan”, ucap Fina menggebu-gebu
membuat tawa Dinggar makin membesar.
“Hati-hati lho Fin. Benci ama cinta itu sulit untuk dibedakan”
“Jangan sampai deh gue suka ama tu cowok. Kalaupun gue suka pasti gue akan
sengsara lahir batin dech”
Dinggar hanya tersenyum. Menutupi segala perasaannya dihadapan lawan
bicaranya kali itu. Entah apa sebenarnya yang disembunyikan Dinggar.
Fina memang anak yang tidak terlalu baik, tapi dia juga sangat sulit untuk
membenci seseorang apalagi kalau orang itu cowok. Karena sepengetahuan Dinggar,
teman-teman Fina pada saat mereka SMP itu kebanyakan cowok. Makanya dia
dengan leluasa mengontrol mereka supaya dapat menerima dirinya dilingkungan itu
dulu.
“Lo pernah jatuh cinta nggak?”, tiba-tiba Dinggar bertanya yang membuat Fina
terkejut mendengarnya.
“Pernah!”, jawaban Fina membuat Dinggar yang kemudian terkejut. Dikiranya
cewek satu ini tidak pernah jatuh cinta sehingga dia tidak pernah pacaran sampai saat
ini.
“Siapa?”, tanya Dinggar penasaran.
“Anak yang sekolah di samping SMP kita dulu. Gue sering banget merhatiin dia
dan kami juga sering bertemu dijalan karena arah rumah kami sama”, lanjut Fina.
“Lo pernah ngungkapinnya kedia?”
“Nggak! Dan mungkin nggak akan pernah karena gue sudah nggak pernah
ketemu dengan dia lagi. Gue juga udah ikhlas kok, gue cuma nganggap dia itu cinta
pertama gue yang nggak kesampaian”, mata Fina menerawang.

OLEH : Irni Irmayani | FiDiYo di ROMA 41


Dinggar tahu benar betapa perasaan Fina itu sangat kuat, buktinya mata
pacarnya itu sekarang mulai berkaca-kaca. Tak tahan melihatnya Dinggar langsung
saja menyandarkan kepala Fina kebahunya dan sekarang air yang berusaha Fina tahan
didalam matanya tak mampu dibendungnya lagi. Air itupun mengalir dipipi kanan
kirinya.
Siapa cowok itu? kenapa Fina sama sekali nggak pernah bercerita kepada gue?
Beruntung benar dia sampai mendapat cinta Fina!
“Ah…. Lega. Gue sebenarnya udah ngelupain dia kok. Tapi baru 50% berhasil
dan berkat lo gue udah yakin 100% telah ngelupainnya”, ucap Fina tiba-tiba sambil
bangun dari sandaran bahu Dinggar dan mengusap air matanya yang tinggal butiran.
“Kita pulang yuk. Ntar mama lo nyariin lagi”
Tak lama mobil BMW biru metalikpun berjalan menyelusuri jalan kecil yang
diteduhi oleh pohon-pohon kelapa sawit yang berjejer rapi dikiri-kanan jalan. Sawah-
sawah yang hijau memperindah suasana. Memang Tuhan Sang Pencipta yang maha
sempurna.

BAB 8 GiMaNA CarANyA..?


“Gue ketemu cewek yang asyik disekolah baru gue”, ucap Yogi kepada seorang
cewek cantik bertubuh lansing dan tinggi dengan rambut panjang ikal berwarna
coklat.
“Cewek asyik, gue nggak salah denger nih?”, tanya cewek itu menyakinkan
pendengarannya.
“Iya…. Telinga lo masih sehatkan? Atau perlu gue bawa lo ke RS!”, tanya Yogi
ketus mengiuti gaya bicara seseorang.
“Duh…. Adik gue semata wayang ini kalau ngejawab ketus amat sih”, balas
cewek yang ternyata adalah kakak Yogi itu.
“Emang apa asyiknya?”, tanyanya kemudian.
“Dia beda ama anak-anak lain. Gayanya nggak kampungan, dan juga dia bilang
gue itu jelek!”, Yogi menekankan perkataannya pada kata jelek.
Winda sang kakak langsung mengkerutkan dahinya, “Kok lo bangga sih
dibilang jelek sama cewek?”, tanyanya heran.

OLEH : Irni Irmayani | FiDiYo di ROMA 42


“Lo tahu sendiri, setiap gue ketemu dengan cewek selalu aja dia ngejar-ngejar
gue hanya karena tampang. Gue bosen, kapan ada cewek yang suka ama gue karena
ini”, Yogi menunjukkan hatinya dengan telunjuk jari kanannya.
“Gue jadi pengin lihat cewek itu”, ucap Winda penasaran.
“Ntar lo lihat sendiri kalau gue udah bisa bawa dia kerumah ini”, ucap Yogi
dengan lantang seperti dia pasti akan menaklukan hati sang cewek asyik itu.

Pagi-pagi wajah Fina sudah ditekuk. Apalagi kalau bukan karena Yogi.
Sekarang dia tengah duduk dibangku kesayangan Fina yang setiap orang dikelas itu
bahkan disekolah yang mengenal Fina tahu bahwa bangku itu haram untuk
didudukkan kecuali oleh si pemilik.
“Gue udah bilang Fin. Tapi dianya maksa terus dan nggak mau pergi”, ucap Dita
menyelamatkan diri sebelum terkena cipratan amukan Fina.
“Lo udah denger sendiri khan? Sekarang pergi deh lo!”, bentak Fina yang
mengangetkan seisi kelas. Kelas yang tadinya sunyi senyap karena sedang
mengerjakan atau yang lebih tepat menyalin PR kontan menghentikan kegiatannya
dan memperhatikan pertengkaran yang seru itu.
“Emangnya dibangku ini ada tertulis miliknya Fina gitu. Lagi pula ini bangku
sekolah kok!”, Yogi tak mau kalah. Tampaknya pertandingan Yogi vs Fina akan seru
karena semua anak disekolah ini sudah tahu bahwa mereka sama-sama keras kepala.
“Emang, itu bangku yang gue bawa sendiri dari rumah khusus buat gue. Dan
karena itu gue berhak dong menyuruh siapa saja untuk tidak mendudukinya”, bentak
Fina lagi.
Awalnya anak-anak mengira Yogi akan pergi setelah mendengar itu tapi
anehnya dia sekarang tertawa terbahak-bahak.
“Hahaha……. Emangnya lo ini siapa sampai bangku aja harus bawa dari rumah.
Atau jangan-jangan lo masuk sekolah nyogok yah! Yang syaratnya harus membawa
kursi dan meja sendiri!”
Ucapan Yogi tadi telah membuat darah di dalam tubuh Fina tak terkontrol.
Rasanya dia dapat merasakan wajahnya sekarang memerah karena panasnya menahan
amarah. Dengan refleks dia menarik baju Yogi lalu memaksanya keluar dari
bangkunya. Berhasil! Anak sengak itu terlempar dari bangku Fina. Secepat kilat
Finapun langsung menduduki bangku kesayangannya.

OLEH : Irni Irmayani | FiDiYo di ROMA 43


Soal bangku yang dibawanya dari rumah itu tentunya bohong. Bangku itu
menjadi kesayangannya hanya karena itu satu-satunya bangku yang memiliki busa
sedangkan yang lain hanya terbuat dari kayu biasa. Tak tahu siapa yang
memasangnya, tapi karena Fina yang pertama kali menemukan bangku itu, kontanlah
dia sebagai pemiliknya selama satu tahun bertengger dikelas.
Fina puas, wajah merahnya kembali memutih seperti sedia kala. Sekarang merah
itu gantian bertengger diwajah Yogi. Awalnya Fina cuek bebek saja melihatnya. Toh
memang Yogi yang salah. Namun seketika matanya terbelalak melihat ternyata baju
baru Yogi yang merupakan baju khas sekolah Fina robek dibagian yang ditarik Fina
tadi. Dengan mata yang super merah karena menahan panas, Yogi kembali
kebangkunya dan duduk karena guru matematika mereka sudah berada di depan kelas.

“Gue nggak maksud kok. Dianya aja yang buat gue panas duluan”, ucap Fina
kepada Dita membahas tentang baju Yogi tadi.
“Tapi walau bagaimanapun juga, lo jangan sesinis itu donk! Bukan masalah
bajunya, tapi cara lo itu memang keterlaluan banget”, Dita ikut-ikutan panas, kayak
dianya aja yang bajunya robek.
“Terus gue harus bagaimana donk?”, tanya Fina lemas, memikirnya dirinya
yang memang sudah tampak keterlaluan. Hanya karena sebuah bangku yang memang
bukan miliknya sepenuhnya.
“Lo harus minta maaf Fin”, perintah Dita.
“Apa? Minta maaf dengan cowok sengak itu. Nggak ada cara lain apa? Misalnya
ngejahitin bajunya atau gue gantiin deh tuh baju dengan yang baru”, Fina nyolot.
Seorang Fina yang nggak 100% salah, masak harus meminta maaf kepada cowok
tersengak didunia!
“Sekali lagi gue tegesin. Ini bukan masalah baju, tapi kelakuan lo yang emang
udah diluar kewajaran”, ucap Dita bergebu-gebu.
Sialan nih anak, emang yang sahabatan dua tahun lebih dengan dia ini
sebenarnya Fina atau Yogi. Kok sekarang dia malah mati-matian membela cowok itu
dan menindas gue dengan memaksanya untuk minta maaf. Apakah ini hari tersialku?

OLEH : Irni Irmayani | FiDiYo di ROMA 44


Dengan sangat-sangat terpaksa Fina mengikuti perintah Dita untuk meminta
maaf kepada Yogi. Bukannya merasa salah, melainkan merasa bertanggung jawab
atas robeknya baju Yogi.
Langkah demi langkah Fina memaksa kakinya berjalan menuju Yogi yang
sekarang tengah duduk-duduk diatas mobilnya besama anak-anak cowok lainnya.
Ketika dia menyadari kehadiran Fina, Yogi meminta teman-temannya untuk
meninggalkan merka berdua. Dalam hati Fina marah, kenapa harus tinggal berdua
dengan cowok sengak ini? Khan lebih baik ramai orang. Tapi kalau marah-marah
sekarang sama saja kembali ke nol. Jadi hanya untuk saat ini hati Fina harus
mengalah.
“Ngapain lo kesini?”, tanya Yogi ketus.
Huh! Sialan. Kalau bukan karena bujukan Dita, tak akan gue datang kesini.
Ucap Fina dalam hati.
“Gue mau minta maaf”, ucap Fina pelan sepertinya ia sedang berbicara dengan
semut didepan mukanya.
Yogi yang memang sudah dengar berlaga rada budi alias budek dikit. “Apa?
Gue nggak denger”, tanyanya lagi.
“Gue minta maaf”, ucap Fina mengulangi kalimatnya. Kali ini lumayan keras,
tapi tetap saja seperti sedang berbisik sesuatu yang sangat rahasia.
“Apaan sih? Gue nggak denger tahu”, Yogi masih budi.
“Gu-e… min-ta…. Ma-af”, suara Fina ke volume yang normal. Ditambah
penekanan pula disetiap katanya. Tapi bukan namanya Yogi kalau sudah dengar.
“Lo ngomong apa ngulum sih? Pelit amat dengan suara, gue tahu kok kalau
suara lo tu jelek dan musti…..”, kalimat Yogi terputus.
“GUE MINTA MAAF!”, teriak Fina yang membuat beberapa anak didekat sana
langsung melihat kearahnya.
“Oh…. Minta maaf. Soal apa nih?”, kali ini Yogi berlagak bego.
“Soal…. Ba…”, Fina berfikir sebentar, awalnya dia ingin mengucap tentang
baju yang tidak sengaja dirobeknya itu. Tapi menurut Dita bukan itu masalahnya.
Masalah yang sebenarnya adalah sikap Fina yang terlalu berlebihan dengan Yogi.
“Soal sikap gue tadi pagi”, Fina menyelesaikan kalimatnya.
Yogi tersenyum puas, akhirnya cewek ini mau juga meminta maaf kepadanya.
Dikiranya cewek seangkuh Fina ini tidak akan mau mengakui kesalahannya, tapi….

OLEH : Irni Irmayani | FiDiYo di ROMA 45


“Gue akan maafin, tapi dengan syarat”, Yogi mulai beraksi.
“Apa?”
“Pulang sekolah lo tunggu aja disini”
“Tapi mobil gue?”
“Biar nanti gue suruh orang bawa pulang mobil lo”
Ada pancaran kecurigaan dari mata Fina, Yogi langsung tahu maksud dari
pancaran mata itu.
“Gue nggak tertarik dengan mobil BMW kuning lo itu. Dan kalau mobil lo itu
hilang, gue akan banyar ganti rugi dua kali lipat”, ucapnya menyombongkan diri.
“Sok kaya lo”
Yogi tersenyum sinis. Ya ampun cowok ini nggak bisa apa senyum biasa yang
nggak membuat orang muak ngelihatnya. Tapi…. Gue mau dibawanya kemana yah?
Fina mulai curiga.

Fina lahir dikota kecil ini. Besar disini dan teman-temannya pun semuanya
disini. Tak pernah kaki mungil Fina itu menginjakkan kota besar seperti Jakarta,
Bandung atau yang lainnya, meskipun sering kali mama papanya mengajak anak
semata wayang mereka itu untuk pergi bersama mereka. Apalagi pekerjaan papanya
yang memang mengharuskan menghabiskan waktunya diberbagai kota. Sebab itulah
keluarga mereka tak pernah pindah.
Tapi….. memang tak tahu atau tak mau tahu sering kali Fina mendapati tempat-
tempat baru dikotanya bersama dengan orang baru, alias orang yang baru saja pindah
kekota ini. Contohnya saja Dinggar, walaupun dia satu SMP dengan Fina sebenarnya
dia itu berasal dari Bandung.
Dan sekarang Yogi yang jelas-jelas baru kurang lebih 17 hari tinggal disini,
dibandingkan Fina yang sudah 17 tahun, mengajak Fina kesuatu tempat dipinggiran
kota yang sama sekali selama 17 tahun ini Fina tak tahu bahwa tempat itu ada.
“Lo pasti nggak pernah kesini khan!”, tebak Yogi langsung.
Fina diam, memang sangat memalukan sekali. Kota tempat kelahiran sendiri
saja tidak mengenal, apalagi kota orang lain. Bisa-bisa Fina tersesat.
“Gue juga baru tahu tempat ini dari temen gue”, lanjutnya yang tahu pasti Fina
tidak akan memjawab tebakannya tadi.
“Emang lo ada temen disini?”, tanya Fina kemudian.

OLEH : Irni Irmayani | FiDiYo di ROMA 46


“Gue bukan orang seperti lo yang harus kenalan sebulan dulu baru bisa jadi
teman”, ucap Yogi sinis.
Huh! Sialan tahu dari mana sih tuh anak. Perasaan yang tahu tentang itu hanya
teman-teman terdekat Fina. Pasti Yogi cari informasi tentang gue nih? Pikir Fina.
“Lo cari informasi tentang gue yah?”, tanya Fina penasaran.
Yogi tersenyum sinis. Mungkin memang cowok sengak itu tidak bisa tersenyum
manis seperti kebanyakan orang lainnya.
“Lo terlalu kegeeran!”
“Tapi…. Yang tahu itu cuma temen akrab gue lagi”, Fina ngotot menuduh
bahwa Yogi memang sedang mencari informasi tentang dia.
“Emang, temen akrab lo nggak bisa menjadi teman akrab gue?’, tanya Yogi
sinis.
Fina melotot. Yang ada difikirannya sekarang hanya nama temannya yang
paling setia dan menjadi fans berat Yogi semenjak cowok itu pindah ke sekolahnya,
siapa lagi kalau bukan Dita.
“Jadi lo udah ngedekatin Dita nih?”, tebak Fina, tampak rona kekecewaan
terpancar dari wajahnya. Tak pernah disangkanya sahabatnya yang sudah dianggap
seperti saudaranya sendiri menghianatinya dari belakang.
“Gue juga tahu bahwa lo pura-pura pacaran dengan cowok lo itu”, ucap Yogi
lagi yang membuat Fina semakin muak lama-lama didekatnya. Beberapa menit lagi
Fina pasti akan mual dan muntah kalau masih tetap disini.
“Sebenarnya apa sih mau lo sampai-sampai segala sesuatu tentang gue lo harus
tahu?”, tanya Fina geram.
“Gue nggak mau apa-apa”, jawab Yogi singgkat.
“Trus!”
“Suatu hari lo akan ngerti!
HUH! Cowok sialan………………

BAB 9 BeTe aBIs


“Non…. Non Fina… ditunggu sama tuan ama nyonya tuh di bawah. Disuruh
cepetan suara Bi Inem sayup-sayup dari balik pintu.
Ini malam paling menjengkelkan yang pernah ada dalam hidup Fina. Apalagi
kalau bukan karena pertemuannya tadi siang dengan Yogi. Pulangnya, bukannya

OLEH : Irni Irmayani | FiDiYo di ROMA 47


dianterin malah Fina disuruh naik taksi yang ongkosnya harus dibayar sendiri pula.
Padahal dari rumah Fina ke tempat antah berantah itu lumayan jauh dan harus
mengeluarkan uang yang cukup banyak. Tidak banyak sih bagi orang sekaya Fina,
tapi yang menjengkelkan itu justrus seharusnya dia enak-enakkan membawa mobilnya
tanpa harus mengeluarkan uang jajannya sepeserpun.
Untung sesampainya dirumah mobil BMW kuning kesayangannya sudah
terparkir rapi digarasi rumah. Kalau tidak bisa hancur tulang-tulang cowok itu dihajar
Fina. Eit! Gini-gini Fina lumayan jago karate lho, walaupun baru sampai sabuk putih,
tapi cukuplah untuk menghajar Yogi yang brengsek itu.
“Non…. Sudah ditungguiin tuh!”, ucap Bi Inem lagi.
“Iya Bi… bentar lagi Fina turun”, balas Fina.
Dengan langkah gontai Fina berjalan menuju keruang makan keluarganya.
Disana sudah ada mama papanya. Jarang sekali Fina melihat situasi seperti ini.
Biasanya Fina hanya makan malam sendiri karena mamanya baru pulang setelah
pukul 9 lewat, sedangkan papanya ada dirumah bisa dihitung dengan jari setiap
bulannya.
“Wah…. Tumben bener nih pada ngumpul. Emang ada apa sih?”, tanya Fina,
senang juga sebenarnya bisa kumpul satu keluarga seperti ini. Kalau saja Fina mau
pindah ke kota lain untuk mengikuti pekerjaan papanya tentu saja situasi ini akan
sering terjadi. Tapi cintanya Fina dengan kota kelahirannya itu lebih besar dibanding
dengan situasi ini.
“Makan Fin, jarang lo papa bisa ngelihat anak papa makan”, ucap papa.
“Iya…. Mama sudah suruh Bi Inem untuk masak masakan kesukaanmu lho”,
sambung mama.
Awalnya sih senang bisa berkumpul seperti ini. Tapi kok rasanya ada yang
janggal dengan ini. Sepertinya ada yang mau diomongin oleh papa dan mama.
Tanpaknya sesuatu itu yang nggak disukai oleh Fina dan supaya lancar ngomongnya
dan Finapun mau makanya mama dan papa menjamu Fina dengan hidangan begini
special hari ini.
“Memangnya mama ama papa mau ngomong apa sih!”, ucap Fina penuh
kecurigaan.
Papa dan mama kemudian saling berpandangan. Agak takut-takut kayaknya
untuk berbicara pada anaknya sendiri. Padahal biasanya apapun yang papa dan mama

OLEH : Irni Irmayani | FiDiYo di ROMA 48


ucapkan sudah menjadi kewajiban Fina untuk nurutinnya. Dan sekarang, karena
mama dan papa ngerasa susah berarti ucapan kali ini boleh dibantah dong.
“Sebenarnya teman papa ada yang baru pindah kesini”, papa mulai bercerita.
“Trus… apa hubungannya dengan Fina!”
“Temen papa itu ngajak kita sekeluarga malam minggu ini untuk makan malam
bersama dengan keluarganya”, lanjut mama dengan hati hati.
“Oh…. Cuma makan malam. Cuma itu kok mama sama papa susah amat
ngomongnya”, ucap Fina mengerti.
“Kamu mau ikut mama sama papa khan?”, tanya papa memastikan.
“Ehmmmm…. Iya deh”, jawab Fina singkat yang disambut senang oleh kedua
orang tuanya.
Papa dan mama hari ini aneh! Mungkin benar kata orang tua, bahwa semakin tua
seseorang maka sikap orang itu akan semakin seperti anak-anak.

Sudah lama Fina nggak bertemu dengan Dinggar. Rasanya kagen juga! Lalu
dengan cepat jari-jari Fina menekan angka-angka pada Hpnya, sedetik kemudian
nama Dinggar beserta fotonya tampil dilayar Hp Fina.
Tut…. Tut…..tut….. nada tunggu berbunyi. Aduh nggak gaul banget sih
Dinggar ini. Masa di jaman yang serba canggih ini masih aja mempertahankan nada
kereta api. Padahalkan sekarang telah banyak tersedia nada tunggu yang membuat
sang penelpon tidak bosan menunggu. Gumam Fina.
Tak lama kemudian bunyi kereta apipun berubah menjadi suara Dinggar. “Hallo
sayang… ngapain nih nelpon-nelpon malem-malem. Kangen yah? Jangan kwatir,
malam minggu ini rencananya gue mau ngajak lo keluar”, ceplos Dinggar yang sudah
tahu siapa si penelpon.
“Yeh….siapa lagi yang kagen sama lo. Gue cuma bingung nih Ding!”
“Bigung kenapa say?”
“Ih… lo kok ngomongnya jijik amat sih pake say-say segala. Gue risih tahu
dengernya”, bentak Fina.
“Iya deh… iya. Emang lo bingung kenapa sih?”, Dinggar mengulang kembali
pertanyaannya.
“Gini khan ada anak baru di sekolah gue. Dia itu resek banget…”
“Iya lo udah pernah cerita”, potong Dinggar.

OLEH : Irni Irmayani | FiDiYo di ROMA 49


Dengan wajah cemberut Fina melanjutkan ceritanya. “Kayaknya dia itu nyari
segala informasi tentang gue Ding”
“Bagus itu. Mungkin dia suka sama lo”, jawab Dinggar asal.
“Yeh…. Yah udah deh kalau lo nyolot gitu terus. Malas gue lanjutin ceritanya”
“Iya deh iya…. Lanjutin dong pacarku yang manis kayak gula”
Fina tak memperdulikan kata-kata Dinggar lalu melanjutkan ceritanya. “Dia
tahu Ding kalau kita pacaran cuma pura-pura!”, Fina langsung ke pokok
permasalahan.
“Masalahnya gue nggak pernah cerita dengan siapa-siapa. Ke Ditapun nggak.
Emang lo certain masalah ini kesiapa aja sih Ding?”
Beberapa detik Dinggar berfikir. Mengkerutkan dahinya lalu memanyunkan
bibirnya. Untungnya wajah cakepnya tidak hilang karena itu. Kalaupun hilang satu-
satunya orang yang nggak akan perduli adalah Fina.
“Perasaan gue cuma cerita gitu-gitu aja deh dengan temen gue yang ada di
Bandung”
“Tapi kok dia bisa tahu gitu yah…. Oh…. Atau jangan-jangan…”, Fina
mengingat sesuatu yang terlupakan.
“Jangan jangan kenapa Fin?”, Dinggar bingung.
“Lo….. dari Bandung kan Ding?”
“Iya. Terus?”
“Dan cowok resek, sengak, nggak tahu aturan itu juga dari Bandung”
“Lalu?”
“Ye…. Si Dinggar. Masak belum nyambung juga sih!”
“Belum!”
Dengan terpaksa Fina menjelaskan apa yang ada diotaknya sekarang. Tapi dia
kurang yakin kalaupun sudah di jelaskan Dinggar akan langsung mengerti.
“Lo dari Bandung. Dan dia juga dari Bandung. Jangan-jangan lo kenal lagi ama
dia, dan temen lo yang lo certain itu menceritakannya kedia, sehingga….”, Fina
berhenti sebentar, memberi waktu agar Dinggar mudah memahami penjelasannya,
“Dia tahu tentang kita Ding!”
“Ah…. Ribet amat sih! Emang siapa nama cowok itu, kalau gue kenal baru bisa
kayak prediksi lo itu. Tapi kalau nggak berarti prediksi lo itu salah total”
“Namanya, Yogi! Kenal nggak?”, Fina masih penasaran.

OLEH : Irni Irmayani | FiDiYo di ROMA 50


“Yogi… disekolah gue dulu banyak Fin. Yogiman, Yogi Triyanto, Yogi anak
Mang Ujang penjual bakso di kantin, Yogi Triyanto eh…. Udah yah! M. Yogi,
banyak deh…”, Dinggar menyebutkannya satu persatu sambil memainkan jarinya
untuk menghitung berapa banyak lagi teman SMAnya yang bernama Yogi.
“Emang disekolah lo nggak ada nama lain kali yah… sampai-sampai nama Yogi
sebanyak itu”, ucap Fina ketus.
“Yang pasti bukan Yogi anaknya Mang Ujang tukang Bakso, karena… setahu
gue bokapnya itu kaya karena…. Dia itu punya BMW kayak gue yang warnanya
kayak lo”, jelas Fina.
Dinggar dengan culunnya kemudian berfikir lagi. “Oh… yah!”, tampaknya
otaknya mulai bekerja.
“Apa..apa? Lo ingat apa?”, tanya Fina menggebu-gebu.
“Gue tahu siapa anak yang mobilnya sama warnanya dengan gue”, Dinggar
membanggakan diri karena berhasil mengingat. Tapi seharusnya anak pintar yang
IQnya diatas rata-rata tidak perlu sebangga itu kalau hanya mengingat seseorang.
“Siapa?”, Fina juga mulai tegang mendengarkannya.
“Namanya Yogi Tritada. Bokapnya kerjanya sama dengan Bokap lo”, ucap
Dinggar mengakhiri kebanggaannya.
Sudah lebih dari dua minggu Fina sekelas dengan cowok sengak yang namanya
Yogi itu. Baru kali ini dia tahu nama panjang cowok itu, besarta pekerjaan bokapnya
pula. Pastinya anak-anak yang lain sudah lebih mengetahui secara lengkap tentang
cowok itu. Bukan hanya sekedar pekerjaan bokapnya. Perekerjaan nyokapnya juga
kalau perlu, dimana dia tinggal bahkan apa isi dalam lemari cowok itu.
Tapi…. Kok perasaan ada yang janggal yah tentang pekerjaan bokapnya itu.
Ah… terserah deh… Lagian siapa yang perduli denganya. Mo bokapnya pengusaha
kek, pedangang kek, pengemis sekalianpun Fina nggak bakalan perduli. Yang penting
sekarang Fina tahu kenapa dia bisa tahu kalau Fina dan Dinggar itu cuma pacaran
pura-pura. Walaupun menurut Dinggar mereka sudah pacaran dalam arti kata
sebenarnya, tetap saja awalnya hanya ada kepura-puraan. Ciaelah… ngomongnya!

Esoknya, tanpa nunggu napasnya teratur, atau marah-marah karena bangkunya


sekarang diduduki oleh Yogi, lagi. Fina langsung menarik lengan temannya, Dita
keluar dari kelas itu menuju kekantin.

OLEH : Irni Irmayani | FiDiYo di ROMA 51


“Ngapain sih lo pagi-pagi udah mau traktir gue. Tapi gue masih keyang Fin,
tunggu istirahat pertama aja yah”, pinta Dita yang tak digubris oleh Fina.
Sesampainya dikantin mereka langsung duduk ditempat favorit Fina. Tempatnya
terletak paling pojok kantin, sangat strategis kalau mau ngomong sesuatu yang sangat
rahasia, karena sulit bagi orang luar untuk menguping pembicaraan mereka disana.
“Gue mau ngomong!”, ucap Fina ketika mereka sudah duduk dengan sempurna.
“Iya…. Mo ngomongin apa sih sampai harus disini, emang dikelas nggak bisa?”,
tanya Dita yang kecewa karena ternyata Fina bukan mau mentraktir dia makan.
“Nggak bisa!”
Dita mulai serius ingin mendengar apa yang sebenarnya akan diomongkan
sahabatnya. Kalau sudah tidak bisa ngomong dikelas berarti ini merupakan sesuatu
yang sangat rahasia. Dan Ditapun mulai mempersiapkan telinganya agar nantinya
Fina tak perlu mengulangi ucapannya hanya karena Dita tak mendengar dengan jelas.
“Emang mo ngomong apa?”
Fina tegang. Dipandangnya kiri-kanan kantin. Tak begitu ramai karena ini masih
pagi hari. Hanya ada beberapa orang anak yang sedang sarapan disana. Setelah yakin
bahwa percakapannya kali ini tidak akan mengundang perhatian orang untuk
mendengarnya Finapun mulai bercerita.
“Gue sebenarnya nggak pacaran dengan Dinggar”, ucap Fina memulai ceritanya.
“Apa!!!??”, betapa terkejutnya Dita mendengar perkataan jujur dari sahabatnya.
Tapi dia tak mau banyak membuang waktu hanya dalam keterkejutannya. Karena bel
tanda masuk tinggal sepuluh menit lagi.
Fina melanjutkan ceritanya dengan jujur kepada Dita. Semuanya yang
sahabatnya itu belum mengetahui. Dimulai dari mal sampai ketika dia menelpon
Dinggar dan mengetahui kenyataan bahwa Yogi kenal dengan Dinggar. Walaupun
hanya kenal begitu saja, tapi sudah cukup baginya untuk mengetahui bahwa Fina
bukan berpacaran dalam arti yang sebenarnya dengan Dinggar.
Kejutan demi kejutan yang didapat Dita pagi itu. Tak disangkanya selama ini
Fina telah banyak menyembunyikan rahasia besar dari dirinya. Mau marah, percuma
karena akan malah membuat ketidaktahuannya makin menumpuk.
“Dan terakhir gue tahu bahwa pekerjaan bokapnya itu sama dengan bokap gue”,
Fina menyudahi ceritanya.

OLEH : Irni Irmayani | FiDiYo di ROMA 52


Dahi Dita mengkerut. Otaknya sekarang sedang berfikir apa kesimpulan dari
cerita sahabatnya itu.
“Jadi, lo nggak pacaran dengan Dinggar, trus Dinggar dan Yogi itu saling kenal,
dan terakhir bokap lo itu temennya bokap Yogi gitu”, Dita menarik kesimpulan. Fina
menyetujui kesimpulan yang dibuat oleh Dita. Tapi …. ohh!
“Bokap gue ama bokap dia temenan?”, Fina baru ngeh apa yang sedang dicerna
otaknya dari semalam.
“Lho bukannya lo yang bilang begitu?”, Dita jadi bingung.
“Iya… Dan itu akan menjadi mimpi buruk bagi gue”
Bel tanda pelajaran akan dimulai berbunyi. Fina dan Ditapun segera memasuki
kelasnya. Dibangku kesayangan Fina masih diduduki oleh Yogi yang sedang asyik
ngobrol dengan Toto, anak yang duduknya tepat didepan Fina. Hari ini Fina sangat
tidak ada mut untuk bertengkar, karena itu dia langsung saja duduk dibangkunya Yogi
dan mengeluarkan buku pelajaran dari dalam tasnya yang memang belum sempat
diletakkan tadi pagi karena terlalu bersemangat untuk bercerita kepada Dita.
Sedangkan Dita tetap duduk dibangkunya, disebelah Yogi yang tampaknya tak terlalu
memperdulikan kehadirannya. Ternyata memang benar kata Fina, Yogi itu cowok
resek. Buktinya sudah jelas-jelas sekarang dia sedang bersebelahan dengannya, Yogi
tetap saja cuek kayak nggak ada orang aja disampingnya.
Lima menit kemudian Bu Rita memasuki ruangan kelas XII ipa 2. Guru
pelajaran Fisika itu memang jarang sekali marah, tapi itulah yang membuat anak-anak
segan padanya dan menganggap teman.
Melihat tampang guru itu Yogi langsung terkejut. Mengacak-acak isi tasnya lalu
mengeluarkan buku yang bersampulkan biru kotak-kotak. Dita tahu itu buku PR
karena memang sampulnya seragam satu kelas.
“Waduh…. Gila, gue lupa ngerjain PR”, ucap Yogi. “Lo udah?”, tanyanya
kemudian kepada Dita.
Dita malas menjawab. Dia hanya mengangguk lalu mengeluarkan PRnya dari
dalam tas kemudian meletakkannya diatas mejanya.
“Thanks yah… gue nggak yangka lo sebaik ini. Gue kira lo sama aja dengan
temen sebangku lo itu”, ucap Yogi sambil mengambil buku PR miliknya Dita.
Hah! Apa-apaan nih cowok. Emang kapan gue ngasih dia izin untuk nyontek PR
gue. Dita geram.

OLEH : Irni Irmayani | FiDiYo di ROMA 53


“Yah… pasti kalian semua sudah mengerjakan PR yang ibu berikan kan?”,
tanya Bu Rita.
“Sudah Bu…”, jawab anak-anak serentak.
“Kalau gitu coba Yogi Tirtada maju kedepan mengerjakan nomor satu”
Tanpa permisi atau minta izin dulu, Yogi langsung ngeloyor pergi dengan
membawa buku PR milik Dita. Kontan saja wajah Dita langsung bete. Ternyata Yogi
itu memang nggak tahu diri!

“Pokoknya Fina nggak mau ikut ke dinner nanti malam!”, ucap Fina dengan
nada yang tinggi di meja makan didepan mama papanya.
“Fina … papa sudah janji kalau akan membawa kamu nanti malam”
“Kok papa nggak janji akan bawa buah aja. Kok janjinya malah bawa Fina.
Emangnya Fina ini barang bawaan?”
“Fina bukan itu maksud kami”, mama berusaha menenangkan.
“Pokoknya sekali nggak tetap nggak!”, Fina berlari menuju kamarnya.
Membuka pintu. Lalu masuk kemudian menguncinya dari dalam. Mama dan papanya
yang sudah tahu seperti apa sikap anak mereka hanya bisa pasrah. Tapi tentunya
mereka tidak kehabisan akal untuk mengajak anaknya itu. Tunggu saja tanggal
mainnya.
Didalam kamar Fina mayun-mayun sendiri. Emangnya Fina ini apaan? Lagian
ngapain coba janji-janji bawa anak. Atau jangan-jangan gue mau dijodohin lagi
dengan cowok sengak itu. Ih…. Jangan sampai deh. Lebih baik gue jadi perawan tua
aja dari pada punya pacar kayak gitu.

Malamnya, tepatnya pada pukul 6 teng. Papa dan mama Fina tanpak sangat lesu.
Fina yang melihat kejadian itu jadi tidak enak juga. Pasti mama dan papa punya niat
baik kepadanya sehingga mesti membawanya berjumpa dengan temannya.
Apalagi belum pasti kalau teman papanya itu adalah ayah si Yogi brengsek itu.
Karena rasa tak enak hati itulah akhirnya Fina mau mengikuti ajakan orang tuanya
dan pergi ke rumah teman papanya. Mendengar hal itu tentunya papa Fina sangat
senang.
“Kamu tidak akan rugi papa ajak kesana”

OLEH : Irni Irmayani | FiDiYo di ROMA 54


BAB 10 He_eH… AsYIk JUGa
Rugi tak rugi, terserahlah yang penting Fina bisa membuat papa dan mamanya
senang. Walaupun Fina itu tipe anak yang bawel dan ingin semua keinginannya
dikabulkan, dibalik itu semua Fina adalah anak yang sangat menyayangi kedua orang
tuanya.
Pukul 7 teng, seperti janjinya Jaguar papa Fina telah terparkir rapi disamping
teras rumah yang disinggahinya. Rumah itu tampak sangat asri. Catnya berwarna
coklat tua dengan hiasan tanaman-tanaman hidup sehingga memperindah suasana.
Ketika pembantu rumah itu, yang mengenakan seragam putih biru membukakan
pintu, tampaklah kemegahan rumahnya. Disalah satu sudut ruangan terdapat sebuah
tangga yang tampaknya langsung menuju kelantai tiga. Tak jelas juga bagaimana
menuju kelantai duanya.
“Silahkan tuan…”, ucap pelayannya ramah.
Tanpa membalas Fina beserta kedua orang tuanyapun langsung memasuki ruang
disebelah kiri ruangan tamu. Tampaknya ruangan itu adalah ruangan keluarga. Tapi
kok harus disini sih? Perasaan Fina jadi nggak enak.
“Eh…. Vino, sudah sampai rupanya”, sapa seseorang yang sebagian wajahnya
ditutupi oleh kumis dan jenggot yang lumayan tebal. Disebelahnya berdiri perempuan
kira-kira berumur 40an memakai jilbab dan memberikan senyuman kepada Fina
sekeluarga. Tampaknya kedua orang ini sangat ramah.
“Hei…. Tirta… baru saja kami sampai sini”, balas papa Fina dengan khas orang
tua modern jaman sekarang.
“Pasti ini yang namanya Fina khan? Waduh cantik sekali yah”, ucap perempuan
berkerudung yang merupakan istrinya Tirta itu membuat Fina sedikit tersanjung.
Fina berdiri dan kemudian menjabat tangan kedua tuan rumah tersebut. Kurang
lebih setengah jam mereka disana sampai akhirnya sang tuang rumah mempersilahkan
mereka untuk ke ruang makan. Fina sangat senang karena memang sedari siang tadi
dia belum makan.
“Bi… tolong panggilkan anak-anak yah… suruh makan malam sama-sama
sekalian”, ucap Bu Tirta kepada pembantunya sesampainya mereka diruang makan.
Jreng! Fina tampak gugup kali itu. Jangan-jangan yang sedang dipanggil itu
Yogi lagi. Kalau memang dia, bisa runyam nih. Fina kalut.

OLEH : Irni Irmayani | FiDiYo di ROMA 55


Prediksi Fina meleset karena yang turun adalah seorang anak laki-laki berusisa
sekitar 6 tahun mengenakan baju basket bertuliskan Gilang dibagian punggungnya
serta seorang anak perempuan yang kira-kira lebih tua setahun dengan Fina. Tanpa
basa-basi si Gilang langsung saja duduk dibangku yang kosong.
“Selamat makan tante, om”, ucapnya. Ternyata si Gilang ini keponakan dari
yang punya rumah.
Lega juga Fina. Dugaannya selama ini tidak tepat, dengan hati yang tenang
Finapun memaulai acara makan malamnya.
Lagi asyik-asyiknya menyantap makanan, tiba-tiba dari arah ruang tamu tampak
ada seseorang yang baru saja masuk kedalam rumah itu. Fina tak terlalu perduli
karena lagi tanggung-tanggungnya. Orang itu tampaknya langsung menuju keruang
makan, pasti anggota rumah ini juga, atau mungkin keluarga dekat mereka, fikir Fina
tanpa curiga dan tanpa melirik sedikitpun kearah orang yang sedang
memperhatikannya dengan seksama sekarang.
“Mama ngundang temen papa hari ini?”, tanya orang itu.
“Iya”
“Kok nggak bilang-bilang sih. Tahu gini khan Yogi nggak keluar hari ini”
Mendengar nama itu Fina langsung saja terkejut. Makanan yang ada dimulutnya
kontan mau keluar. Tapi keburu dihadang oleh lidahnya agar tidak membuat malu
sang punya mulut. Tapi tetap saja Fina nggak bisa nutupin rasa keterkejutannya. Air
putih yang terletak disebelah kirinya langsung saja habis dan Fina masih saja meminta
tambahan karena dirasa belum cukup.
“Fina…. Kamu tidak apa-apa?”, tanya mama Yogi khawatir.
Fina tidak bisa menjawab. Dia hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya lalu
meminum lagi setelah gelasnya terisi penuh.
“Sayang… kamu kenapa?”, sekarang gilirang sang mama yang punya mulut
tampak khawatir.
“Ehm… nggak papa kok ma”, kini Fina sudah bisa membuka mulutnya untuk
bicara.
Tak tahan lagi matanya sekarang mencari orang yang berbicara tadi. Tak
memakan waktu banyak Fina langsung mendapati orang itu yang memang benar
ternyata cowok yang paling dia nggak sukai didunia, siapa lagi kalau bukan Yogi.

OLEH : Irni Irmayani | FiDiYo di ROMA 56


“Ma, pa, tante, om, Fina misi keluar sebenatar yah”, pinta Fina dengan sopan.
Lalu tanpa balasan segera saja cewek itu nyeloyor pergi ke taman yang memang
tembus dari ruang makan.
Yogi yang melihatnya langsung saja mengikuti dari belakang.
“Lo nggak papa?”, tanya Yogi khawatir.
“Lo pasti udah ngerencanain itu semua”, bentak Fina yang sudah yakin bahwa
kedua orang tua mereka tidak akan mednengar perkataannya.
“Gue emang udah tahu, tapi bokap-nyokap gue nggak”
“Jadi sebenarnya apa maksud lo dengan semua ini?”
“Maksud lo?”
“Lo tahu semua dengan diri gue. Nggak mungkin itu hanya sekedar tahu kan?
Lo harus jelasin sejelas-jelasnya”
“Lo mau gue jujur?”

Malamnya Fina nggak bisa tidur memikirkan perkataan Yogi. Bukan hanya
perkataan, tapi perbuatan. Nggak tahu juga Fina mau mempercayainya atau nggak,
tapi yang pasti dari raut wajahnya Fina bisa menyimpulkan pada waktu itu dia sedang
serius.
Tak pernah dia melihat Yogi seserius itu saat bicara. Apalagi ketika itu mereka
sedang berada dirumahnya. Lengkap dengan keluarga dan kedua orang tuanya. Kalau
Yogi sedang bercanda pasti dia tidak akan senekat itu didekat orang tuanya.
Malam itu, Yogi mengungkapkan isi hatinya. Bahwa dia menyukai Fina dan
ingin cewek itu menjadi pacarnya. tentu saja Fina tidak bisa langsung menjawab
permintaannya.
“Gue ngerti Fin kalau lo nggak bisa ngejawab sekarang. Tapi yang musti lo
tahu, sebelum gue ketemu dengan lo gue sangat benci dengan makhluk yang namanya
cewek”
Ucapan itu terus terniang-niang dikepala Fina. Awalnya Fina ingin menolak
Yogi, tapi…. ketika kalimat itu ingin terlontar dari bibirnya, seketika bibir Fina
terkunci, hatinya berdebar, matanya seketika menutup dan merasakan hangatnya bibir
Yogi. Kalau memang dia benci dan tidak mau, untuk apa menerima ciuman itu? Bisa
saja Fina berteriak dan setelah itu mama papanya akan menolong anak semata
wayangnya. Tapi… Fina menerimanya. Menerima ciuman itu dengan tangan terbuka.

OLEH : Irni Irmayani | FiDiYo di ROMA 57


Fina lalu mengambil Hp dari atas meja belajarnya. Setelah beberapa lama dia
sibuk menekan-nekan keypet dari Hpnya, diapun lalu mengirim tulisan yang sudah
dibuatnya.

Dinggar yang sudah tidur dikejutkan dengan bunyi nada sms dari Hpnya.
Wajarlah kalau sekarang dia sudah tidur, karena jam dinding kamarnya sudah
menunjukkan angka 12 lewat 10 malam. Dengan sayup-sayup dia meraih Hpnya
dimeja kecil dekat tempat tidurnya. Siapa sih malam-malam ngirim sms, pikirnya.
Dengan mata sayup-sayup dia membaca sms itu.
Ding kykny gw udh nemuin co it dh
Bnr kt org, antr cnt&bnc it slsh tps
Skrg gw bs ngrsnny
Dinggar tersenyum tertahan. Langsung saja dia membalas sms itu kepada
sipengirim dan melanjutkan tidurnya.
Brrt qt pts dnk?  Tp gk pa2
Yg pntg lo sng..
Klw ud jdn d tgg lh mkn2ny
Mmp indh yach… bye2

Meskipun sudah menetapkan pilihannya tapi Fina belum mejawab kepada Yogi.
Senin pagi disekolah Fina lumayan deg-degan kalau-kalau Yogi kembali memintanya
menjawab pertanyaannya kemaren. Di depan kelas Fina lumayan ragu-ragu untuk
masuk. Dia berusaha meneliti dulu apakah Yogi ada didalam kelas. Tak lama
kemudian bahunya ditepuk oleh seseorang dari belakang dengan lembut.
“Emang mau nunggu disini sampai kapan non?”, tanya orang itu.
Fina langsung tersentak kaget. Dia kenal benar suara orang dibelakannya.
Langsung saja ia membalikkan tubuhnya untuk memastikan bahwa pendengarannya
tidak salah. Dan memang benar, orang itu adalah Yogi.
Tak seperti biasanya, Yogi pagi ini sangat ramah dengan Fina. Senyumnyapun
sangat manis tidak seperti hari-hari biasanya yang lebih terlihat sinis. Dan untuk hari
ini Fina baru tahu seberapa keren dan gantengnya seorang Yogi. Hidungnya mancung,
alisnya tebal, bibirnya seksi, dagunya terbelah dua, wajahnya putih dan banyak lagi
kelebihan-kelebihan lain yang selama satu bulan ini Fina tidak dapat melihatnya.

OLEH : Irni Irmayani | FiDiYo di ROMA 58


“Udah masuk aja, Pak Tono udah mau sampai tuh”, ucapnya lagi karena tahu
Fina tidak akan menyahut perkataannya yang pertama.
Fina nurut. Bahunya yang masih dipegang Yogi mengantarkannya ke tempat
duduknya semula. Kali ini tidak ada istilah tukar-tukaran bangku lagi. Untungnya
anak-anak tidak ada yang merhatikan karena sedang mengerjakan PR.
Oh… yah ampun PR! Mampus gue belum ngerjain. Fina berang dalam hati.
Karena sudah tak ada waktu lagi untuk menyalin pekerjaan Dita walaupun Fina
itu sangat super cepat menyalin, makanya Fina sekarang memasang tanpang cuek
berlagak sudah ngerjain dan sudah bisa. Fina sangat ahli dengan ini, dan rata-rata
usahanya ini selalu berhasil.
Walaupun Fina bukan tipe anak pintar, tapi sebenarnya Fina lumayan bisa
dengan pelajaran itu. Memang masalah terbesar pelajar jaman sekarang bukan terletak
pada ketidak mampuan ekonomi atau ketidakmampuan otak mereka menerima
pelajaran. Masalah yang paling besar itu adalah MALAS. Dan… begitulah Fina.
Tanpa Fina sadari Yogi asyik memperhatikannya sedari tadi. Dia hanya senyum-
senyum sendiri melihat tingkah gebetannya. Tanpa disadarinya, diapun tertawa-tawa
kecil. Gerak-geriknya itu mengundang pak Tono untuk memanggilnya kedepan kelas
untuk mengerjakan soal nomor lima.
“Aduh pak kalau nomor lima saya nggak tahu pak. Gimana kalau nomor lain
saja?”, ucap Uogi mengundang tawa teman-teman satu kelasnya.
“Udah-udah, terserah kamu saja mau ngerjekan nomor berapa”
Dita merasa risih. Karena semenjak dia duduk dengan Yogi hari sabtu lalu,
sikapnya terhadap Yogi sudah berubah 180 derajat.
“Ah…. Sok cari perhatian tuh anak”, ucap Dita yang membuat Fina kaget.
“Kok sok? Bukannya lo seneng sama Yogi?”, Fina khawatir.
“Iya itu dulu. Tapi semenjak dia duduk dengan gue sabtu lalu itu, gue jadi ilfil
sama dia”
“Lho kok gitu sih. Padahal…”
“Padahal apa?”
“Ah….nggak papa”
“Apaan sih?”
“Nggak ada apa-apa kok”
”Jangan boong deh”

OLEH : Irni Irmayani | FiDiYo di ROMA 59


“Suer nggak ada apa-apa”
“Atau jangan…. Yogi nembak lo kali”
“Gue belum nerima kok. Ups!”, Fina selalu aja keceplosan didepan Dita.
“Nah… yah ketawan lo. Kok nggak cerita-cerita ke gue sih Fin. Lo udah mau
main rahasia-rahasiaan nih ama gue yah!”
“Rencananya hari ini gue mau certain ama lo. Eh… lonya malah ngomong
begituan. Khan gue takut kalau lo nggak setuju”
“Jadi lo mau nerima dia?”, Dita terkejut, kapan lagi temennya satu itu suka sama
Yogi. Padahal hari sabtu kememaren baru aja dia bilang sangat benci dengan cowok
sengak itu.
“Eh…ehm…. Nggak tahu ah”, Fina ragu, takut kalau Dita marah padanya.
“Kalau lo suka yah terima aja”
”Lo nggak marah Dit?”
“Ngapain juga gue harus marah. Kalaupun gue marah sudah menjadi hak lo
untuk memilih”
“Lo emang temen gue yang paling baik Dit”, Fina memeluk Dita dengan sangat
kencang. Hal itu menjadi perhatian anak-anak satu kelas berserta Pak Tono. Melihat
itu Pak Tono langsung memanggil Fina untuk mengerjakan soal nomor lima kedepan.
“Apa pak? Ngerjain soal?”
“Iya… apa harus Bapak ulangi lagi!”
“Mampus gue Dit. Gue belum ngerjain PR”, bisik Fina kepada Dita.
“Siapa suruh lo kemaren hanya mikirin Yogi”, ledek Dita.
“Ada apaan tuh bisik-bisik! Fina.. kamu sudah mengerjakan PRnya khan?”
“Eh… ehm…. Anu pak”
“Anu apa?”
“Belum”, jawab Fina sambil menundukkan kepalanya karena malu.
“Huhuhuhu………”, spontan anak-anak satu kelas menyoraki Fina. Saking
malunya karena disorakain wajah Fina memerah, dia sebisa mungkin menutupi
wajahnya itu dengan menyembunyikannya dibalik rambutnya. Sebenarnya sih nggak
malu-malu amat. Karena anak-anak yang lain juga sangat sering melakukan hal sama
dengannya. Yang paling membuat malu adalah kejadian itu dilihat oleh Yogi, cowok
yang baru menembaknya kemaren. Coba saja Yogi lain kelas dengannya, kejadiannya
tak akan seperti ini.

OLEH : Irni Irmayani | FiDiYo di ROMA 60


BAB 11 BYE2… DINGGAR!
Pulang sekolah Fina tidak langsung pulang kerumahnya. Dia singgah dulu
kerumah Dinggar untuk menceritakan semua yang terjadi hari ini. Hari ini hari senin,
Fina nerima tembakan Yogi. Untuk merayakan hal itu Yogi mentraktir semua anak-
anak yang dikantin pada hari itu. Anak-anak sebenarnya pada tidak tahu masalahnya,
tapi mumpung makanan gratis ya seneng-seneng aja nerimanya.
Sesampainya dirumah Dinggar, Fina disambut oleh pembantunya. Fina
dipersilahkan masuk dan duduk. Setelah memberi air kepada tamunya, pembantu
Dinggarpun duduk bersama Fina di ruang tamu.
“Ada apa nak Fina datang kesini? Sudah lama yah semenjak SMP dulu kalau
Bibi nggak salah”, pembantunya itu memulai obrolannya.
“Iya bi. Fina kesini mau ketemu Dinggar”
“Lho… Dinggar nggak cerita ke nak Fina?”
“Cerita apa Bi?”
Pembantu Dinggarpun mulai bercerita.

Dikamar Fina termenung sendiri. Pikirannya kacau. Kenapa sih Dinggar nggak
bilang-bilang kalau hari ini dia berangkat ke Roma. Padahalkan Fina mau
mengucapkan terimakasih karena telah membantunya selama ini untuk berpura-pura
pacaran dengannya. Berterimakasih karena telah menunjukkannya bukit impian yang
luar biasanya indah. Dan berterimakasih atas segala bantuannya yang menjadikan
dirinya penolong Fina.
Seminggu yang lalu mama Dinggar telpon dari Roma nyuruh Dinggar tinggal
disana. Awalnya Dinggar nggak mau, tapi kemaren tiba-tiba saja dia mau dan
langsung membeli tiket untuk pernerbangan pertama hari ini.
Hanya itu yang Fina tahu. Dan itupun hanya tahu dari pembantunya. Sebenarnya
apa sih pikiran Dinggar sampai-sampai mendadak pergi seperti itu. Nggak bilang-
bilang pula.
Pikiran Fina maih terus menerawang, hingga Bi Inem membuayarkannya
dengan suaranya yang sangat ‘khas’.
“Neng….. ada tamu tuh”
“Siapa Bi?”

OLEH : Irni Irmayani | FiDiYo di ROMA 61


“Bibi nggak kenal. Cowok neng, orangnya tinggi, putih, cakep”
Fina sudah bisa menebak siapa orang yang menjadi tamunya itu.
“Suruh tunggu Bi. Fina mau ganti baju dulu”

Sudah sebulan Fina dan Yogi jalan. Yang tahu hanya teman-teman dekat
mereka. Fina nggak mau itu jadi berita yang besar dan membuat ‘OSIS’ membuat
ritual tambahan. Riska sebenarnya mulai curiga dengan gelagat mereka berdua tapi
untungnya cewek sensasional itu masih bisa dikelabui.
Jauh dari semua itu, berarti sudah sebulan juga Fina nggak berhubungan dengan
Dinggar. Kangen juga rasanya. Walaupun sekarang ada Yogi, tetap saja Dinggar sang
penolong sejati bagi Fina. Sering kali Fina mencoba menghubungi Dinggar, tapi tak
kunjung mendapatkan hasil. Fina sempat berfikir kalau-kalau dia ada melakukan salah
dengan Dinggar, tapi Fina tak jua menemukannya.
Terakhir kali Fina hanya sms-an dengannya untuk memberitahu bahwa dia
sudah menemukan cowok yang dia cari. Dan setelah itu, tak ada lagi.
Fina dan Yogi mempunyai tempat favorit, namanya danau sentarum. Tempat
dimana pertama kali Yogi mengajak Fina jalan, tapi waktu itu Fina tak terlalu
memperdulikannya. Danau itu sangat indah, tak seperti danau lain yang hanya
memberikan pemandangan air serta gunung. Danau satu ini di sepanjang genangan
airnya tumbuh bunga yang penduduknya menyebut dengan nama sentarum.
Danaunyapun tidak dalam, cetek malahan.
Hari ini Fina dan Yogi untuk kesekian kalinya pergi ke tempat itu. Menikmati
indahnya karya Tuhan yang maha indah.
Walaupun sekarang Fina sedang bersama pacarnya, tak tahan mulutnya untuk
tidak berbicarakan ‘mantan pacar’nya yang sekarang tiba-tiba menghilang darinya.
Yah… walaupun dia tahu dimana sekarang dia berada tapi sama saja dengan tidak
tahu.
“Gue aneh dech dengan Dinggar. Kok tiba-tiba dia kayak ngejauhin gue gitu
yah?”, Fina memulai pembicaraan. Tampaknya tak ada reaksi yang berarti dari Yogi
hanya sebuah senyuman sinis yang Fina artikan sebagai tanda cemburu. Tapi itu tak
mengurungkan niat Fina untuk terus berbicara.

OLEH : Irni Irmayani | FiDiYo di ROMA 62


“Gue tahu siapa Dinggar. Dan nggak mungkin kalau nggak ada masalah lantas
dia pergi gitu aja tanpa pamitan dengan gue. Gue jadi khawatir deh”, lanjut Fina
mengungkapkan isi hatinya.
“Sebenarnya pacar lo itu siapa sih? Gue atau dia?”, tanya Yogi lumayan sinis.
Fina tak terima. Seharusnya sebagai seorang pacar Yogi memberikan support
pada dirinya yang sedang kehilangan sahabat yang sangat berarti dalam hidupnya.
Bukannya malah cemburu buta seperti ini.
“Kok lo ngomongnya sinis gitu sih. Gue kan cuma curhat sama lo. Gue
pinginnya lo ngehibur gue, bukannya ngomong kayak gitu”, Fina muali gerah dengan
siatuasi itu.
“Ah… udah deh cuaca hari ini lagi nggak bagus. Kita pulang sekarang aja”, ajak
Yogi.
Tentu saja itu semua tidak benar. Cuaca hari itu sangat bagus-bagusnya. Langit
sangat cerah dengan beberapa awan putih yang menghalangi sengatan matahari secara
langsung. Mungkin bagi Yogi cuaca memang nggak bagus. Cuaca hatinya mungkin.
Untuk kesekian kalinya, walaupun nggak sampai menghabiskan seluruh jari di
tangan untuk menghitungnya, tapi lagi-lagi Yogi seperti ini. Setiap kali Fina
membicarakan tentang Dinggar, Yogi yang sangat luar biasa romantis berubah drastis
jadi sinis, nggak tahu kenapa. Padahal dia tahu sendiri bahwa Fina dan Dinggar itu
hanya sekedar S-A-H-A-B-A-T, nggak lebih dan nggak kurang. Karena memang Fina
nggak mau itu kurang.
Sesampainya dirumah Fina sore itu sudah berganti dengan malam. Yogi yang
tampak masih bete-nya hanya memberikan sebuah ciuman manis di dahi Fina dan
setelah itu mengucapkan selamat malam.
Selalu begitu, setiap kali Fina menampakkan wajah bete-nya ke Yogi karena
cowok itu telah membuatnya jengkel Yogi langsung beraksi. Sinisnya diusahakan
ditahan dan yang dikeluarkan adalah suasana romantis seperti di film-film India,
walaupun nggak percis-percis amat. Tapi cukuplah untuk menjinakkan hati Fina
kembali ke pelukannya. Dan Fina rasa memang cara itu berhasil atas dirinya.

Dikamar, tak memperdulikan Yogi, Fina melanjutkan pikirannya tentang


Dinggar. Sebenarnya salah gue apa sih? Pikirnya terus-menerus sebelum tidur. Saat

OLEH : Irni Irmayani | FiDiYo di ROMA 63


matanya mulai sedikit demi sedikit terlelap Fina dikejutkan oleh suara mamanya dari
balik pintu kamarnya.
Ada apa nih mama malam-malam kekamar. Tumben benar! Fina membukakan
pintu kamarnya untuk mamanya. Di luar mamanya sedang berdiri tegak dengan
membawa telepon wireless.
“Ada telpon dari Dinggar. Tadi dia udah telpon pas kamu jalan sama Yogi”,
ucap mamanya.
“Hah Dinggar! Yang bener ma?”, Fina sangat senang, dia langsung mengambil
telepon itu dari tangan mamanya. Masuk kedalam kamarnya dan langsung menutup
pintunya setelah mamanya pergi.
“Halllooooo … apa kabar lo Ding!”, ucap Fina sambil berteriak dari balik
telponya.
“Wes! Kurang kenceng non teriaknya”, Dinggar terkejut mendengar suara
cempreng Fina.
“Oh… yah! Gue tambahan lagi deh volume suara gue”, jawab Fina seenak
hatinya.
“Udah. Lo jawab telepon gue kok lama amat sih? Banyak pake pulsa nih”
“Oh… sory-sory. Kemana aja lo Ding. Kok tiba-tiba ngilang gitu sih. Gue
sampai cemas mikirin lo”, ucap Fina yang memang sudah sangat merindukan
sahabatnya.
“Yeh… lo rindu yah sama gue. Lagian ngapain lo cemasin gue, mendingan lo
cemasin deh pacar lo itu. siapa namanya?”
“Yogi”
“Iya si Yogi. Kok gue sampe lupa yah namanya. Hehe”
Percakapanpun berlanjut. Fina yang memang sudah mempunyai segudang
pertanyaan langsung menanyai Dinggar dengan bertubi-tubi. Takut kalau tiba-tiba
Dinggar harus memutuskan pembicaraannya karena pulsanya sudah membengkak.
Tapi tampaknya Dinggar santai-santai saja ngomongnya, seperti tidak dikeburu pulsa.
Mungkin karena mamanya sudah kaya di Roma. Mamanya sekarang sudah menjadi
perancang pakaian yang cukup terkenal di kota besar itu, makanya hidup Dinggar
tambah makmur disana. Itu juga Fina tahu baru tadi di telpon.
Tak terasa Fina dan Dinggar sudah menelpon hampir satu jam. Dinggar yang
memang sudah kaya dan makin tambah kaya tetap saja merasa terkejut ketika tahu

OLEH : Irni Irmayani | FiDiYo di ROMA 64


bahwa biaya telponnya sudah diluar batas kewajaran. Maklum lah, telepon interlocal
satu jam pula. Dan Dinggapun mengakhiri pembicaraannya.
“Udah dulu yah Fin. Nyokap gue bisa marah nih kalau ketahuan gue pake telpon
selama ini”, ucap Dinggar kalut.
“Yah udah! Kalau pulang ke Indonesia jangan lupa oleh-olehnya yah”
“Sip…. Lo juga main-main dong kesini. Biar lo nggak ngebusuk dikota kecil itu
terus. Sekali-kali jalan lah keluar. Lihat pemandangan, betapa indahnya dunia ini”
“Iya-iya”
“Hehe! Yah udah Good Night”
Telpon terputus. Fina sangat lega, rupanya apa yang selama ini difikirkannya
tidak benar. Dinggar pergi tiba-tiba karena memang semuanya serba cepat. Malam
minggu itu Dinggar mendapat telpon dari Roma mengabarkan mamanya jatuh sakit.
Kontanlah Dinggar kalut. Karena mamanya itu adalah satu-satunya orang tuanya
sekarang. Tanpa berfikir panjang lagi, dan juga tanpa memikirkan Fina tentunya
Dinggar langsung saja pergi.
Kalau baru sekarang Dinggar bisa menghubungi Fina itu karena memang
kesehatan mamanya yang baru sembuh total seminggu belakangan ini. Fina jadi
kepikiran dengan omongannya Dinggar. Memang benar sedari kecil sampai diusianya
yang sudah 17 tahun lewat ini, sekalipun Fina belum pernah keluar dari kota
kelahirannya. Fina hanya tahu kota-kota luar dari buku atau internet. Emang apa
bagusnya sih kota besar? Fikir Fina.

BAB 12 KENAPA RAHASIA?


Hari ini Fina diundang oleh mama Yogi untuk makan siang bersama. Yogi
nggak ada dirumah karena harus latihan basket disekolah. Terlalu awal memang
ketika Fina sampai dirumah itu. Baru pukul 11 siang. Berarti masih ada waktu dua
jam lagi. Untuk itu mamanya Yogi menyuruh Fina menunggu. Menunggu dikamar
Yogi. Sekali lagi, dikamar Yogi. Itu sangatlah tidak masuk akal bagi Fina. Tapi mama
Yogi terus saja memaksa yang membuat Fina tak enak hati untuk menolaknya.
Dengan canggung Finapun memasuki kamar cowoknya dan duduk dimeja belajarnya.
Kamarnya tidak terlalu luas. Tampak sekali khas gaya cowok didalamnya.
Banyak poster-poster band internasional yang beraliran musik rock. Fina baru tahu
kalau ternyata Yogi itu suka rock. Tempat tidur Yogi tidak terlalu besar, kira-kira

OLEH : Irni Irmayani | FiDiYo di ROMA 65


berukuran dua. Sekarang Fina sedang menunggu dengan canggung didepan meja
belajar Yogi yang tampak tak teratur.
Awalnya Fina ingin membereskannya, tapi dilihat-lihat tampaknya Yogi
memang suka dengan ketidakteraturannya itu. Ini bisa dilihat dari pembantunya yang
sering mengemasi kamarnya, toh meja ini masih berantakan juga.
Fina mulai memperhatikan isi meja itu. Banyak sekali tumpukan buku, komik,
dan beberapa majalah diatasnya. Didalam lacinya yang sedikit terbuka Fina melihat
sebuah buku tebel berwarna hitam. Sepertinya suatu buku yang begitu pribadi. Fina
melihat buku itu dengan teliti. Pada halaman depannya tertulis dengan spidol
berwarna merah nama Yogi dengan tulisan tangannya sendiri.
“Kenapa nggak dibuka?”, tanya seseorang yang ternyata adalah Yogi, hingga
membuat Fina gelalapan.
“Eh…. Yogi…. Aku nggak maksud meriksa buku kamu kok”, ucap Fina terbata-
bata.
“Nggak papa kalau kamu pengin tahu. Lagian nggak ada yang aku perlu
rahasiain kok”
“Beneran?”, tanya Fina memastikan, karena walau bagaimanapun Fina masih
penasaran dengan buku itu.
Yogi mendekati Fina. Ditariknya sebuah bangku kecil dan kemudian duduk
disamping Fina. Ditangan Fina dia mulai membuka lembar demi lembar halaman
buku itu.
“Ini buku pribadi aku. Kayak diary gitu deh, tapi isinya bukan curhat-curhat
cengeng kayak punya cewek-cewek”, ucap Yogi sambil terus membuka bukunya.
“Buku diary cewek bukan cuma untuk curhat cengeng kok!”, ralat Fina.
“Iya-iya becanda. Mau lihat nggak?”
“Ehm… mau. Trus isinya apaan dong?”
“Isinya ya tentang aku. Sahabat-sahabat aku, sekolah aku, hobi pokoknya segala
hal tentang aku deh. Kalau orang baca buku ini dulu sebelum lihat aku pasti udah
langsung kenal deh”
Fina sangat asyik melihat isi dalam buku itu. Bukan hanya tulisan, ada banyak
juga foto-foto tertempel didalamnya. Foto Yogi masih kecil, foto Yogi disekolah di
Bandung, foto keluarga Yogi, foto Yogi bareng temen basketnya, bareng bandnya dan
banyak lagi.

OLEH : Irni Irmayani | FiDiYo di ROMA 66


“Tapi kok nggak ada foto kamu bareng cewek sih?”
Yogi menatap Fina dalam. Fina jadi salah tingkah takut-takut pertanyaannya ada
yang membuat emosi Yogi yang lagi baik-baiknya ini berubah.
“Aku kan udah pernah bilang ke kamu. Sebelum kenal sama kamu, aku nggak
suka dengan manusia yang namanya cewek, yah… kecuali mama dan keluarga-
keluarga aku tentunya”
“Sory-sory aku lupa. Terus… foto kita berdua juga nggak ada!”
“Lagian kapan juga kita pernah foto berdua?”
“Yah…. Maksud aku foto aku gitu. Khan waktu itu kamu pernah minta tuh”
“Oh…. Itu aku pajang, tuh fotonya”, Yogi menunjukkan foto Fina yang
diletakkannya dimeja kecil samping tempat tidurnya. Fotonya dibingkai dengan
bingkai bentuk hati berwarna kuning sesuai dengan warna favorit Fina.
“Duh… kamu kok tahu banget warna favorit aku”, ucap Fina senang melihat
fotonya jadi tampak indah.
“Bukannya kamu dulu yang nyuruh aku ngebingkainya pake warna kuning?”
“Yeh… kamu nggak bisa jawab yang romantisan dikit yah!”
“Iya deh iya”, Yogi memeluk pacarnya. Diciumnya kening Fina dengan ciuman
hangat yang sangat disenangi Fina. Karena sebuah ciuman itu dapat membuat hati
Fina menjadi tenang dan bahagia.
Saat Fina ingin meletakkan buku itu diatas meja. Tiba-tiba saja buku itu jatuh
kelantai dan satu buah foto terlepas dari dalamnya.
“Lho… bukannya ini foto Dinggar?”, tanya Fina terkejut ketika mendapati foto
Yogi berdua dengan Dinggar dihalaman sekolah mereka di Bandung sedang
berpelukan khas remaja cowok.
“Iya ini memang Dinggar. Aku sahabatan sama dia waktu kelas satu, tapi
berhubung dia ngambil paket dua tahun jadinya aku jarang ngumpul lagi dengan dia”
“Lho… bukannya Dinggar nggak kenal dengan kamu?”, tanya Fina lagi. Karena
menurut apa yang didengarnya dari Dinggar dulu, memang mereka tidak saling kenal.
Hanya saling tahu nama dan wajah lantaran satu sekolah.
“Bagaimana nggak kenal. Mama aku saja sudah sangat kenal dengan dia. Dia
juga yang certain ke aku tentang kamu”
Deg! Fina sangat tak percaya dengan kenyataan yang dia temukan saat ini.
Dinggar adalah sahabat karibnya dari memasa SMP, tapi kenapa dia berbohong

OLEH : Irni Irmayani | FiDiYo di ROMA 67


tentang Yogi. Sebenarnya apa maksudnya untuk berbohong hal yang demikian. Kalau
dia jujur toh tak ada salahnya.
“Kamu kenapa? Nggak papa khan?”, tanya Yogi khawatir karena wajah Fina
sekarang sudah pucat seputih kertas.
“Nggak… nggak papa kok. Aku boleh numpang tiduran disini nggak?”
“Ya udah kamu tidur sini saja. Ntar kalau udah waktu makan siang aku
bangunin kamu”
Fina tak menjawab. Dia langsung merebahkan tubuhnya di kasur Yogi yang
sangat empuk. Disana Fina dapat mencium aroma khas tubuh Yogi seperti jika cowok
itu sedang memeluknya. Sangat nyaman dan dapat membuat pikiran terasa tenang.
Tak lama mata Finapun terpejam dan dia mulai menyelusuri pulau kapuk nan indah.

“Jadi lo tidur dikamar Yogi Fin?”, tanya Dita dengan semangat.


“Bukan itu masalahnya. Masalahnya ternyata Yogi itu kenal dekat dengan
Dinggar. Padahal Dinggar bilang ke gue dia nggak kenal dengan Yogi”
“Ah… itu sih nggak penting. Trus nyenyak nggak lo tidur disitu. Kata orang tua
kalau tidur kita nyenyak di kasur sang pacar. Berarti jodoh Fin”
“Ah… lo diajak serius becanda melulu”
“Iya…iya gue ngerti kok lo kalut. Tapi gue rasa pasti Dinggar punya alasan
yang kuat deh sampai dia bohong dengan lo”
“Gue juga tahu itu, tapi alasannya apa? Gue udah pikir seribu alasan tapi nggak
ada yang cocok”
“Atau mungkin dia suka dengan lo kali. Tapi karena udah keburu janji, jadinya
yah… dia ngalah deh”
“Hus… ngomong apaan sih lo! Nggak mungkin banget Dinggar suka sama gue,
dia kan teman gue dari SMP Dit”
“Ye… bisa aja lagi. Lagian waktu gue pertama kali ketemu, gue lihat cara
ngomongnya, seperti memang dia suka kok sama lo”
Percakapan Fina dan Dita terpaksa berhenti ketika guru Kewarganegaraan
mereka masuk kedalam kelas.
“Yah… kok pak Upil datang sih! Kan tanggung tinggal satu jam pelajaran lagi”,
Dita kalut.

OLEH : Irni Irmayani | FiDiYo di ROMA 68


Dirumah Fina masih terus memikirkan tentang masalah Dinggar. Saat lagi
asyik-asyiknya melamun, Fina dikejutkan oleh kedatangan papa mamanya didalam
kamar.
“Kok tumben papa dan mama kompakan ke kamar Fina?”
“Kenapa? Nggak boleh yah kami kesini?”, tanya papa lirih.
“Yah… bukannya nggak boleh. Tapi ini kejadian 1000 berbanding 1”
“Kamu terlalu membesar-besarkan sayang”, tambah mama.
“Gini kami datang keistanamu ini karena ada hal yang penting yang mau kami
sampaikan”, ucap papa.
“Iya… kan sebentar lagi kamu liburan semester. Rencananya papa ada proyek
dan harus pergi ke Italy, yah.. mama pikir kenapa nggak sekalian aja kita liburan
kesana. Toh kita sama sekali nggak pernah liburan keluar kota bertiga khan!”, jelas
mama panjang lebar.
Fina berfikir sejenak. Kalau dulu-dulu pasti dia langsung menolak itu mentah-
mentah karena Fina tipe orang yang tidak mau bergaul dengan dunia luar. Tapi
sekarang beda. Fina sedang memikirkan keuntungan dan kerugian kalau dia pergi ke
Italy.
Setelah difikrkan dengan matang, lebih banyak keuntungannya dari pada
kerugian. Misalnya saja Fina dapat memperluas wawasannya tentang negeri orang,
Fina dapat melepas penatnya di kota itu, dan terakhir yang paling penting Fina dapat
menanyakan kebenaran dengan Dinggar. Karena pasti mereka berdua dapat bertemu
disana. Kalau Dinggar tetap tinggal di sana tentunya.
“Iya deh Fina mau”, jawab Fina.
“Bagus itu, papa nanti akan bilang sama Pak Tirta kalau kita sekeluarga ikut
pergi”
“Kok bilang ke Pak Tirta sih?”, tanya Fina bingung.
“Iya kan papa ngerjain proyeknya sama beliau. Dan mereka sekeluarga juga
akan pergi”
“Yah…. Kok nggak bilang-bilang Fina sih…”
“Eit… nggak boleh ngerubah jawabannya”, ucap mama.
Sebenarnya Fina senang sih kalau Yogi ada ikut bersamanya. Berarti Fina dapat
menghabiskan malam disana bersama sang pacar. Tapi…. Kalau Yogi tahu, pasti dia

OLEH : Irni Irmayani | FiDiYo di ROMA 69


berfikir aneh-aneh lagi. Disangkanya Fina lagi yang ngajak-ngajak dan maksa untuk
ikut. Nggak banget deh!

BAB 13 CAU…. ROME


Akhirnya liburan semester disekolah Fina tiba juga. Sekolah Fina tak lagi
mengenal ulangan semesteran. Karena itu Fina tak perlu lagi sibuk-sibuk menunpuk
buku-bukunya selama satu semester untuk dipelajari. Dan lagi pula keunggulan
program baru ini membuat liburan makin panjang. Kalau biasanya dua minggu,
sekarang menjadi tiga minggu . Jadinya banyak waktu Fina untuk berlibur ke Italy.
Fina sudah mengemasi seluruh pakaian yang akan dibawanya kesana. Yogi
ternyata sudah tahu duluan tentang keberangkatan itu. Untunglah, sehingga dia tidak
berfikir yang macam-macam tentang keikutsertaan Fina. Lagi pula tampaknya Yogi
malah senang karena dapat pergi keluar negeri bersama pacarnya.
Hari sabtu keluarga Fina dan Yogi telah lepas landas dari bandara Soekarno-
Hatta menuju ke Roma.
Sesampainya disana ternyata mereka sekeluarga tidak tinggal dihotel sesuai
dengan perkiraan Fina. Mereka semua tinggal di apartemen milik keluarga Yogi. Papa
Yogi yang memang sering tugas keluar negeri dan selalu membawa ikut serta
keluarganya lebih memilih membeli satu rumah disetiap tempat yang mereka
singgahi. Kalau bisa dibilang, setiap negara mereka punya satu rumah. Fina sempat
berfikir sebenarnya seberapa kaya keluarga Yogi itu. Padahal pekerjaan papa Yogi tak
jauh beda dengan pekerjaan papanya.
Apartemen milik keluarga Yogi lumayan besar. Ada empat kamar disana. Papa
mama Yogi tidur dikamar utama. Papa mama Fina dikamar sebelahnya. Kamar Yogi
lumayan terpisah karena terletak dekat dengan dapur. Dan Fina tidur bersama kakak
Yogi diatas.
Malampun tiba. Setelah selesai menyantap makan malam Spagetti khas Italy
merekapun tidur dikamar masing-masing yang telah disiapkan.

Sebenarnya ini bukan untuk pertama kalinya Fina bertemu dengan Winda, kakak
Yogi satu-satunya yang menurut Yogi adalah cewek yang paling dekat dengannya
sebelum Yogi bertemu dengan Fina. Karena sebelum itu bisa dibilang Yogi sama
sekali tidak pernah berteman dengan namanya cewek apalagi pacaran.

OLEH : Irni Irmayani | FiDiYo di ROMA 70


Winda itu orangnya ramah. Dia yang memulai duluan pembicaraan karena
terlihat Fina sangat kikuk didepannya.
“Nggak usah malu-malu sama gue. Khan bentar lagi lo jadi ipar gue”, ucapnya
kali itu yang membuat suasana malam itu menjadi cair.
“Ah…itu masih jauh”
”Memang ada rencana putus yah… atau lo ada suka cowok lain?”
“Hah!… gue nggak pernah sekalipun berfikir untuk putus. Lagian nggak ada
juga cowok yang suka dengan gue”
”Yang bener…. Kalau Dinggar?”
“Dia cuma sekedar teman nggak lebih”
“Tapi… gue lihat lo lebih dimata dia”
Fina terdiam. Kenapa sih kedua kakak beradik ini kalau bicara suka mematikan
lawannya. Lagian menurut Fina, Dinggar itu tulus bersahabat dengannya bukan ada
niat yang macam-macam.
“Ehm…. Gue yakin kalau lo emang nganggap Dinggar sebagai sahabat lo. Tapi
bagaimana dengan Nicho!”
Kontan Fina tersentak mendengar nama itu disebutkan. Sudah lama, lama, dan
sangat lamaaaaaa sekali nama itu tak pernah didengarnya. Dan lagi Fina sudah
berusaha sangat keras untuk melupakan cowok itu.
Nicho, cowok cakep anak SMP sebelah sekolahnya yang ditaksir berat Fina
secara diam-diam. Tak jarang Fina sering memberinya hadiah-hadiah kecil tanpa
Nicho ketahui dari siapa hadiah-hadiah itu. Kadang juga ada cewek yang kepedean
mengatakan hadiah-hadiah itu pemberian mereka. Fina yang tergolong anak kurang
pede masalah tentang cowok, meskipun memiliki nama karena terkenal kaya tetap
tidak bisa berbuat apa-apa. Dia hanya bisa bersedih kepada Dinggar yang satu-satunya
orang yang mau mendengarkan kegelisahannya. Walaupun Dinggar sebenarnya tak
tahu jelas permasalahannya. Dinggar hanya sebagai tempat menumpahkan air mata
yang tak mampu dibendung Fina.
Lagian kok Winda bisa tahu tentang Nicho? Memangnya dia sudah pindah ke
Bandung dan berkenalan dengan Yogi. Kalau begitu Dinggar pasti juga sudah kenal.
Heh! Banyak sekali cerita yang Fina belum ketahui, dan berapa kali lagi Fina akan
terkejut-kejut mendengar berita-berita itu.
“Kok… lo bisa kenal Nicho?”, tanya Fina penasaran.

OLEH : Irni Irmayani | FiDiYo di ROMA 71


“Nicho nggak tinggal di Bandung kok”, ucap Winda seperti telah membaca
fikiran Fina.
“Jadi dia nggak kenal dengan Yogi ataupun Dinggar. Dia itu adik sepupunya
temen gue di Bandung. Pas kami liburan ke Jakarta, gue kenalan sama dia. Dia juga
sempat cerita-cerita kalau pernah tinggal di kota kita dan pernah suka dengan cewek
paling kaya disana. Tapi dia nggak berani ngungkapin karena minder.
Hah! Nicho suka dengan gue? Ya Allah… kenapa lagi pas sudah punya pacar
banyak cerita yang terungkap. Padahal waktu ngejomblo Fina terus-terus berdoa
supanya Tuhan mengasihaninya dan memberinya seorang pacar. Sejelek apapun dia
yang penting Fina suka, pasti diterimanya. Oleh sebab karena Fina nggak pernah suka
dengan cowok yang pernah menembaknya, jadinya Fina nggak pernah pacaran deh.
“Udah deh… jangan pikirin Nicho lagi. Pikirin aja Yogi, pasti kepala lo makin
puyeng”, Winda menyudahi pembicaraannya dan menyuruh Fina untuk tidur.
Tapi… mana mungkin Fina bisa tidur kalau kenangan lamanya yang dengan
susuah payah dia lupakan kembalai diangkat. Mata Finapun baru bisa benar-benar
terpejam saat pukul 2 dini hari.

Paginya Fina bangun tepat pukul enam teng. Tak perlu lama-lama baginya untuk
menghabiskan waktu di kota indah itu untuk tidur. Di kepalanya sudah setumpuk
rencana yang akan dilakukannya bersama Yogi tentunya.
Papa Fina dan papa Yogi tidak bisa menemani mereka berjalan-jalan karena
harus mengurusi tugasnya. Mama Fina dan mama Yogi jalan bersama. Winda lebih
memilih ikut dengan rombongan ibu-ibu dari pada harus menjadi pajangan diantara
Fina dan Yogi.
Diantara setumpuk rencana di kepala Fina tak lupa dia menyelipkan untuk
mencari tahu keberadaan Dinggar. Tentunya Fina akan pergi tanpa Yogi. Dia tak mau
sessi tanya jawab dengan sahabatnya itu diketahui langsung oleh Yogi, walaupun
nantinya Fina harus menceritakan kepadanya.
Kota Roma memang benar-benar indah. Nuansa clasic sangat terlihat disana.
Bangunannya rata-rata memiliki nilai seni yang tinggi dan banyak juga yang
merupakan peninggalan bersejarah yang tetap dilestarikan sampai sekarang.
Fina untuk pertama sekali ingin sekali mengunjungi Colisum, manumen di
Roma yang merupakan salah satu keajaiban didunia. Tak seperti pikiran Fina yang

OLEH : Irni Irmayani | FiDiYo di ROMA 72


menyangka tempat itu hanya sebuah tempat pajangan yang tidak memiliki isi apa-apa.
Ternyata didalamnya digunakan sebagai gedung pertunjukkan. Tempatnya sangat
terlihat mewah, dan yang manggung disana pastinya orang-orang pilihan.
Fina dan Yogi kemudian melanjutkan perjalanan mereka ke Air Mancur Trevi.
Salah satu tempat wisata yang lumayan terkenal di Roma. Ada kepercayaan disana.
Kalau kita melempar sebuah koin kedalamnya dan menyebutkan sebuah permohonan,
maka permohonan itu dapat terwujud. Meskipun sangat terpukau oleh karya
rancangan Gian Lorenzo Bernin dan Pierto Da Cortona itu, tapi Fina tidak tertarik
untuk meminta sebuah permohonan disana.
Perjalanan merekapun dilanjutkan ke Via Condarti, pusat perbelanjaan termahal
didunia. Walaupun Fina berasal dari kota kecil di salah sudut pulau Indonesia tapi dia
cukup kaya untuk membeli beberapa helai kaos, gaun, sepatu, tas dan beberapa
pernak-pernik lucu disana. Yogi hanya membeli satu T-shirt, sebuah topi, dan sepatu
kets yang memang sangat terlihat unik. Ternyata Yogi pandai juga memilih barang.
Tak terasa haripun menjelang sore. Yogi kemudian mengajak Fina untuk
melihat sunset di taman Tivoli. Taman itu sangat indah, lebih banyak nuansa hijaunya
dan tetap dengan nuansa khas Italy, bangunan klasik. Banyak sekali terdapat air
mancur disana. Dari atasnya kita dapat melihat pemandangan Roma dari atas serta
melihat turunnya matahari dari balik bukit. Sungguh pemandangan yang sangat indah.
“Wow! Tempat ini sangat indah”, ucap Fina terpukau.
Yogi hanya tersenyum puas. Puas karena orang yang diajaknya merasa nyaman
dan senang berada didekatnya.
“Kok lo tahu banyak sih tentang Roma?”
“Papa sering ngajak aku, Winda dan mama kalau dia sedang tugas seperti
sekarang. Ini kali ketiga aku kesini, jadinya aku sudah lumayan hapal tempat disini.
Lo suka nggak?”
“Suka”
Yogi menatap Fina tajam tapi lembut. Membuat hati Fina tak tentu arah. Jantung
Fina berdetak lebih kencang dari biasanya. Bahkan lebih kencang dari ada saat dia
mengambil nilai lari waktu pelajaran olahraga. Wajah Yogi semakin lama semakin
mendekat ke Fina. Fina sangat gugup, dan ketika Yogi lebih mendekat tiba-tiba
cahaya sunset membuyarkan suasana romantis yang dibuat Yogi.
“Sunset disini cantik yah”, ucap Fina kaku.

OLEH : Irni Irmayani | FiDiYo di ROMA 73


“Iya…. Tapi kalau ada yang lebih cantik didekatmu pasti nggak akan terasa”,
ucap Yogi sambil terus memandangi Fina.
Fina mengalah. Kali ini dia rela membiarkan bibirnya dibasahi oleh bibir Yogi
diantara sinar sunset yang lama kelamaan makin meredup dan akhirnya menghilang
dibalik bukit di Roma.

Sudah lewat dari pukul sepuluh malam ketika Fina dan Yogi sampai
diapartemen mereka. Untungnya mama mereka serta Winda juga baru pulang
beberapa menit yang lalu, jadinya mereka berdua tidak terlalu dimarah. Tapi tetap saja
dapat omelan sedikit karena tak baik kalau dua orang beda mukhrim jalan-jalan lebih
dari waktu Mahgrib.
Fina tak terlalu mendengarkan nasihat itu. Dia langsung saja kekamar dan
membongkar isi kopernya. Dia sepertinya lupa menaruh subuah barang didalamnya.
Akhirnya setelah setengah isi kopernya dikeluarkan, dia menemukan juga barang
yang dicarinya. Sebuah buku catatan kecil berwarna kuning dan didepannya
terpampang foto close up Nocolas Saputra, actor yang jadi idolanya semenjak main di
film AADC sampai sekarang.
Didalam buku itu, ada beberapa alamat dan no. telpon teman-temannya. Dan
dibagian terakhir dari deretan nama itu tertulis nama Dinggar. Fina tak ingin
membuang banyak waktu karena sekarang Winda masih berada diluar sedang
mengemasi barang bejanjaannya. Dengan sigap dia sesegera mungkin menekan
angka-angka ditelpon sesuai dengan catatannya. Fina tahu no telpon itu dari Dinggar
sendiri, dulu waktu dia pernah sekali menelpon Fina.
Tut…..tut…..tut….. suara nada tunggu berdering ditelinga Fina. Tak lama
kemudian ada seorang perempuan yang kalau didengar dari suaranya seperti berumur
40an.
“Cau….”, ucap sipengangkat telpon.
“Oh…. Eksciusme. This is a Dinggar’s Home?”, tanya Fina terbata-bata. Dia
takut kalau-kalau bahasa Inggrisnya hancur lebur. Yah… memang Fina tak begitu
lihai menggunakan lidahnya untuk bahasa satu itu.
“Oh…yess”
“I’m Fina… Dinggar’s friend from Indonesia”, ucap Fina lagi terdengar sedikit
tak karuan.

OLEH : Irni Irmayani | FiDiYo di ROMA 74


“Oh….. Fina. Tunggu sebentar yah… tante panggilin Dinggar dulu”
Huh! Selamat deh nggak perlu pake bahasa Inggris lagi. Fina merupakan tipe
orang yang sangat malas untuk belajar bahasa itu. Karena kecintaannya yang
mendalam dengan kota kecilnya tentunya yang membuat dia menutup dirinya dari
bahasa luar. Dan sekarang Fina sangat menyesal tidak dapat berbahasa Inggris dengan
lancar.
“Hallo…”, ucap orang disebarang, Fina tahu itu Dinggar tapi kok suaranya lain.
“Dinggar Yah?”, Fina menyakinkan telinganya.
“Iya…. Lo kapan tiba di Roma. Udah bisa ngelupain kampung halaman
tercinta”, ledek Dinggar.
“Eh…. Walaupun gue udah nyampe di kutub selatan. Gue nggak akan ngelupain
kota gue. Dan lagi Roma nggak bagus-bagus amat kok dibanding disana, kok lo bisa
betah gitu sih”
“Ye…. Kalau boong yang kerenan dikit napa? Orang seluruh dunia pingin kesini
malah lo ngina-ngina”
“Oh… yah.. lo udah masuk kuliah?”
“Belum… mungkin awal Februari baru masuk”
“Gue boleh kerumah lo nggak? Ada yang mau gue tayain”
“Boleh, tapi lo tahu jalan nggak? Lagian kalau rindu ama gue bilang aja, jangan
cari-cari alasan deh”
“Yeh…. Yang mau gue omongin ini penting. Bukan sekedar untuk kangen-
kangenan dengan lo, lagian gue nggak kangen kok ama lo”
“Yeh…. Udah mulai sombong nih dengan teman lama. Mentang-mentang ada
pacar baru”
“Hus…. Nggak ada hubungannya lagi. Ini tentang KEBOHONGAN lo ke gue!”

Dinggar benar. Fina memang tidak tahu jalan di kota besar ini. Mau tak mau
Fina harus mengajak seseorang yang berpengalaman untuk pergi kerumah Dinggar.
Papanya sibuk, nggak mungkin banget untuk diajak. Mamanya sama saja tidak
tahunya dengan Fina. Yogi, itu sih boleh, kalau memang Fina cari masalah untuk
pertengkaran selanjutnya.
Mau tak mau akhirnya Fina meminta bantuan Winda. Dengan gaya yang sangat
memelas untuk dikasihani, akhirnya Winda mau juga mengantarkan Fina untuk

OLEH : Irni Irmayani | FiDiYo di ROMA 75


bertemu dengan Dinggar. Hanya mengantarkan, diperjelas mengantarkan, tidak lebih.
Setelah Fina sampai ditujuan dengan selamat Winda akan langsung pergi. Dan tugas
Dinggarlah kemudian untuk mengantarkan Fina pulang kembali. Awalnya Fina tak
mau. Tapi… dari pada tidak bisa pergi sama sekali.
Pukul 11 teng Fina sampai dirumah tujuan dengan selamat. Sebelum pulang
Winda menyakinkan dulu bahwa rumah itu memang betul rumahnya Dinggar. Setelah
mama Dinggar keluar, barulah Winda langsung pergi dari situ. Ternyata mamanya
Dinggar itu keturunan Italia. Kakek Dinggar asli orang Italia sedangkan neneknya
orang blasteran antara Italia dengan Indonesia. Mama Dinggar bertemu dengan papa
Dinggar di Indonesia ketika dia mengunjungi nenek buyutnya yang tinggal di dikota
Fina. Mungkin mama Dinggar memang tidak cocok dengan kondisi di Indonesia dan
ingin pulang ke Italia. Dan kerena itulah mereka bercerai.
“Masuk Fin”, ajak mama Dinggar ramah. Meskipun lebih banyak mempunyai
keturunan Italia nampaknya mama Dinggar sangat fasih berbahasa Indonesia.
“Dinggarnya mana tante?”
Mama Dinggar terdiam. Hening menyelimuti ruangan yang khas Roma itu untuk
beberapa saat.
“Eh…. Tante buatkan air minum dulu yah…. Nanti baru tante panggilkan
Dinggar”
Fina merasa heran. Bukannya malah enak kalau Dinggar dipanggilkan dulu agar
Fina tidak kikuk duduk sendirian dirumah yang lumayan besar itu.
Tak lama kemudian mama Dinggarpun keluar dengan membawa nampan berisi
segelas orange jus segar.
“Dinggarnya ada tante?”, Fina menyakinkan apakah orang yang dicarinya ada
dirumah. Kalau tidak ada untuk apa lama-lama dia terbengong-bengong sendirian.
“Kamu tante anterin ke kamarnya yah”, ajak mama Dinggar, yang sebenarnya
Fina ingin menolaknya tapi sudah terlanjur mamanya berjalan menuju kearah dalam
rumah.
Kamar Dinggar terletak dilantai dua. Pintu kamarnya berwarna lain sendiri.
Kalau yang lainnya berwarna coklat, dia berwarna biru seperti warna favoritnya.
Masuk kedalam kamar Dinggar seperti masuk kedalam kamar seorang pangeran.
Banyak sekali hiasan serta lukisan klasik didalamnya yang rata-rata berlukiskan wajah

OLEH : Irni Irmayani | FiDiYo di ROMA 76


seorang cewek, tapi Fina tak mengenal mereka satu orangpun. Mungkin itu lukisan
para cewek-cewek Italy yang terkenal.
Dinggar sedang tidur ketika itu. Ketika mamanya pergi menjauh dan menutup
pintu kamarnya Fina langsung menggoyang-goyangkan tubuh Dinggar untuk
membangunkannya.
“Dinggar…… bangun….. udah hampir tengah hari lo kok nggak bangun-bangun
sih”, teriak Fina di telinga Dinggar.
Tanpa susah-susah dua kali mengulang Dinggar langsung saja bangun dan
wajahnya yang tadi tertutup bantal terlihat jelas.
“Dinggar…. Lo kenapa? Sakit?”, tanya Fina ketika melihat wajah Dinggar pucat
pasi seperti kertas.
“Gue nggak papa kok. Cuma lagi nggak enak badan aja”
“Bener? Lo yakin nggak papa? Udah kerumah sakit belum?”
“Udah… lo kesini mau ngomong apaan ke gue?”
Tanpa sungkan-sungkan Fina langsung mengungkapkan kekesalannya kepada
Dinggar.
“Lo kenapa sih bohong sama gue. Bilangnya nggak kenal dengan Yogi, Yogi
bilang malahan lo berdua temenan akrab waktu kelas satu. Gue heran kok lo bisa-
bisanya bohong gitu sih ke gue!”
“Sorry Fin… gue nggak maksud”
”Gue nggak cuma mau denger sorry sampai harus kesini. Apa nggak ada
penjelasan?”
“Nggak ada penjelasan apa-apa. Mendingan lo sekarang balik deh. Kalau Yogi
tahu lo jalan sendirian pasti dia khawatirin lo banget”, ucap Dinggar mengusir Fina
secara halus.
Fina tak mau menunggu Dinggar meralat omongannya. Mendengar kalimat itu
Fina sudah tahu bahwa kedatangannya salah pada hari itu. Capek-capek saja dia pergi
kesini untuk mendengar penjelasan. Tapi… apa yang dia dapat. Hanya sebuah kata
sorry dan embel-embel nggak maksud yang sangat tidak membantu.
Dengan sesegera mungkin Fina langsung meninggalkan rumah itu. Didepan Fina
bertemu dengan mama Dinggar dan mengucapkan permisi.
“Kok ketemuannya bentar amat?”

OLEH : Irni Irmayani | FiDiYo di ROMA 77


“Udah selesai tante ngobrolnya”, jawab Fina singkat tapi tetap mempertahankan
kesopanannya kepada orang yang lebih tua. Walaupun dalam hatinya Fina panas
menahan marah.
Didepan rumah Dinggar Fina langsung memberhentikan Taxi dan masuk
kedalamnya.

BAB 14 FINA…. WHERE ARE YOU?


Dirumah Yogi sangat khawatir karena sampai sekarang Fina belum juga pulang.
Jam dirumah sudah menunjukkan pukul 6 petang tapi tak nampak ciri-ciri pacarnya
itu akan pulang. Kekawatiran Yogi sangat mendasar karena Fina tidak tahu sama
sekali jalan di Roma dan dia juga kurang fasih berbahasa Inggris
Tak lama Windapun pulang dengan seabrek belanjaan ditangannya.
“Lo nggak sama Fina, Win?”, tanya Yogi berharap.
“Nggak gue sendirian kok perginya”, Winda berbohong takut kalau Yogi tahu
dia membawa pacar adiknya itu kerumah Dinggar.
“Memangnya dia belum pulang?”
”Belum. Masak lo nggak pergi sama dia sih. Dia nggak mungkin berani pergi
sendirian. Dia kan nggak tahu jalan disini”
“Tenang aja deh. Paling-paling bentar lagi datang”
Winda langsung menuju kekamarnya. Kok lama banget sih Fina disana, jangan-
jangan mereka malah pacaran lagi. Gawat nih kalau sampai Yogi tahu.

Para mama dan papa hari ini tidak pulang. Mereka menginap di Villa di sebuah
desa tempat proyek berjalan. Sudah jam 9, tapi Yogi masih saja duduk tidak tenang
didepan pintu rumahnya. Fina belum pulang. Dan sekarang dia sedang sendirian di
rumah karena Winda pergi lagi kerumah teman lamanya.
Pukul 10 kurang beberapa menit Winda pulang. Tanpa basa-basi lagi Yogi
langsung saja menanyai kakaknya itu.
“Win… gue sekarang nanya serius dengan lo. Memangnya beneran Fina pergi
sendirian tadi pagi?”
“Memang Fina belum pulang yah?”, Winda balas bertanya. Dia juga sangat
terkejut dengan yang didengarnya.

OLEH : Irni Irmayani | FiDiYo di ROMA 78


“Belum dan gue nggak yakin kalau dia berani pergi sendirian di kota yang dia
nggak kenal”, ucap Yogi sambil menatap mata kakanya dengan tajam.
“Ok…. Sebenarnya tadi pagi gue nganterin dia ke rumah Dinggar”
“Kok lo nggak bilang dari tadi!”
“Sorry… gue nggak tahu Fina bakalan lama perginya”
“Udah anterin gue kesana”

Sudah pukul 11 lewat ketika Yogi dan Winda sampai dirumah Dinggar. Rumah
itu terlihat sepi. Tidak ada tanda-tanda ada orang menginap disana. Tanpa ragu karena
sudah sangat kawatir dengan Fina, Yogi langsung menekan bel rumah itu berkali-kali.
Tak lama pintupun dibuka dan mama Dinggar keluar dengan menggunakan
piayamanya.
“Maaf tante Dinggarnya ada?”, tanya Yogi dengan ramah.
“Masuk…”
“Nggak usah tante kami buru-buru”
Dengan langkah gontai tanpak mama Dinggar menuju kelantai dua. Tak lama
kemudian Dinggarpun turun kebawah dengan menggunakan piyama juga. Wajahnya
masih pucat walaupun lebih mendingan dari pada yang tadi.
“Eh… lo Gi. Kok malam-malam kesini?”
“Udah deh… gue mau jemput Fina”
“Hah…. Bukannya dia udah balik tadi siang”
“Lo jangan bercanda dong Ding!”
“Gue nggak bercanda. Dia udah pulang dari rumah gue sekitar jam satu siang
tadi”, Dinggar berusaha menyakinkan Yogi.
“Kalau begitu…. Fina…..”
“Fina kenapa Gi…. Dia nggak papa khan?”, tanya Dinggar sangat khawatir.
“Fina Ding…. Dia belum pulang kerumah sampai sekarang”, ucap Yogi syok,
dia berusaha tetap tenang walaupun dihatinya kini sangat kalut.
“Memangnya lo ngomongin apaan sih tadi?”, giliran Winda angkat bicara, dia
bingung karena didepannya kedua cowok sedang memasang tampang tengang.
“Kita cuma ngomongin tentang lo kenal sama gue. Cuma itu, dan dia langsung
pulang”
“Finaaaaaaa………”

OLEH : Irni Irmayani | FiDiYo di ROMA 79


Dinggar bingung, Yogi kalut. Satu-satunya yang masih mempunyai kepala
dingin hanyalah Winda. Karena itulah dia membuat rencana untu k memulai
pencaharian Fina.
Rencananya Winda akan di apartemen sambil menunggu informasi kalau-kalau
Fina ada menelpon. Mama Dinggar yang ikut membantu menunggu dirumahnya dan
juga mencari informasi lewat telepon. Sedangkan Dinggar dan Yogi berpencar
mencari Fina diseluruh wilayah kota Roma. Pencaharianpun dimulai.
Semuanyapun mulai melaksanakan tugasnya masing-masing. Yogi tidak mau
kalau kedua orang tua mereka tahu. Karena kalau sampai tahu mereka sudah pasti
sangat kalut, dan mama Fina pastinya sangat khawatir. Ini adalah perjalanan pertama
Fina keluar dari kotanya, dan mengapa harus mengalami kejadian yang mengerikan
seperti ini?
Winda dan mama Dinggar terus berusaha menghubungi orang-orang yang
dianggap bisa membantu, kecuali polisi tentunya, Yogi tidak mau kalau masalah ini
sampai diketahui polisi. Tapi…. Fina tak banyak memiliki rekan disana, jadinya
mereka berdua hanya duduk menunggu didepan telepon kalau-kalau Fina bisa
menelpon.
Sudah hampir jam sepuluh pagi ketika mereka berembuk kembali. Pancarian
mereka nihil. Dan sekarang mereka tengah berkumpul diapartemen Yogi. Mama
Dinggar tetap stay di rumah takut kalau ada yang menelpon dan tidak ada yang
mengangkat.
“Udah hampir satu hari Fina hilang…. Gue nggak tahu lagi nyari dimana”, ucap
Yogi lesu.
“Lo harus semangat Gi. Dan lo Ding…. Kita ubah rencana. Sekarang lo yang
jaga disini biar gue sama Yogi cari dijalan”
“Tapi… gue…”
”Nggak ada tapi-tapian. Nyokap lo udah cerita ke gue bahwa lo sekarang lagi
sakit. Kita nggak bisa ngambil resiko Ding”
Dengan berat hati Dinggar menuruti ucapan Winda. Pukul 12 teng mereka mulai
bekerja lagi. Ketika malam mulai menjelang langit terlihat sangat gelap dan hujanpun
mulai turun dengan lebatnya. Yogi kali itu sedang berada di Coliseum. Dia jadi

OLEH : Irni Irmayani | FiDiYo di ROMA 80


teringat pada waktu Fina melihat tempat itu. Fina sangat senang, sangat bahagia. Dan
sekarang, bagaimana keadaannya?
“Sebenarnya lo dimana sih Fin?”
Karena sangat lelah setelah tidak tidur semalaman, Yogipun secara tak sadar
mulai tertidur. Ditemani oleh rintik-rintik hujan yang makin lama makin deras.

Delapan jamYogi tertidur disana. Dan dia terbangun ketika lampu Coliseum
dihidupkan karena ada pekerjaan.
“Astafirullah…! Gue ketiduran”, Yogi segera bangkit dan melanjutkan
pencahariannya. Hujan masih saja membasahi kota Roma, malam ini cuaca sangat
tidak bersahabat. Dingin. Yogi jadi teringat kalau Fina sangat membenci dingin.
Dengan lankah gontai Yogi kembali menyelusuri tempat demi tempat di kota
Roma. Hari sudah hampir menjelang subuh. Yogi terduduk lemas di taman Trivoli.
Dia sudah sangat kecapekan untuk melanjutkan pencahariannya.
Ketika matanya menyelusuri tempat itu. Dia melihat sesosok cewek yang
terbaring lemah di salah satu sudut bangunan itu. Betul saja, cewek itu adalah Fina.
Kenapa dia ada disini? Padahal kemaren Yogi juga pergi ke tempat ini.
Tak terlalu memperdulikan itu. Yogi langsung memdekati Fina. Cewek itu tidak
pingsan atau tidur, dia menggigil kedinginan. Tubuh dan bajunya basah kuyup.
Mungkin karena hujan tadi yang sekarang sudah reda.
“Fina…..”, ucap Yogi memastikan pandangannya. Hari itu lumayan gelap, bisa
saja dia salah memandang karena saking cemasnya. Tangan Yogi menyentuh bahu
Fina yang membelakanginya.
Fina membalikkan badannya yang sudah menggigil. Dilihatnya orang yang
didepannya dengan seksama.
“Yogi……”, serunya dan langsung memeluk tubuh pacarnya itu dengan erat.
“Yogi, aku takut Gi. Aku diturunin ditempat yang nggak aku kenal. Aku takut”
“Sekarang udah nggak papa Fin. Kamu sudah aman. Kita pulang ke rumah yah”
“Gi… aku ta….”, Fina pingsan didalam pelukan Yogi. Wajahnya sangat pucat.
Sepertinya dia melewati dua hari ini dengan berat.

“Apartemen Cambini, Sir”, ucap Fina setelah dia masuk kedalam taxi.

OLEH : Irni Irmayani | FiDiYo di ROMA 81


Wajah Fina masih terlihat kesal. Jauh-jauh dia ke Italia untuk meminta
penjelasan dari Dinggar yang didapatnya hanya permintaan maaf.
Taxi terus saja melaju. Fina tak pernah melewati jalan itu. Pikirannya masih
kalut, dia hanya mengikuti saja kemana sang supir membawanya pergi. Akhirnya
taxipun berhenti disebuah gedung yang terletak disudut jalan.
Fina memperhatikan tempat itu. Jelas-jelas ini bukan apartemen tempat mereka
tinggal. Fina melihat papan nama di gedung itu. tertulis HOTEL CAMBINI.
“Sorry Sir, this is Hotel not Apartement”, ucap Fina dengan bahasa yang kacau.
“Si…. This is a hotel. In the Rome Cambini is a hotel, not apartement”
Fina kalut. Dia sama sekali tidak tahu jalan disini. Tukang taxi it terus saja
memintanya untuk membayar. Dengan terpaksa, Finapun membayar taxi itu. Tak
seperti dugaannya. Ternyata membayar taxi itu menghabiskan seluruh uangnya yang
diberikan sebagai pegangan oleh Winda.
Tak mempunyai rencana yang pasti Fina terus saja melangkahkan kakinya.
Berharap nanti dia akan menemukan apartement yang dia maksud. Beberapa orang
yang ditanyanya tidak terlalu membantu. Karena kebayakan tidak bisa bahasa Inggris.
Dan lagi pula Fina juga tidak mampu berbahasa Inggris yang baik.
Haripun menjelang malam. Fina sudah sangat letih. Sebenarnya dia tidak takut
kalau harus tidur dijalan untuk malam ini, kalau sendiri. Tapi, tampaknya Fina tidak
akan sendirian. Pada pukul sembilan malam ada segerombolan cowok bertampang
preman. Mereka mendekati Fina. Beberapa diantaranya mengajak Fina berbicara
dengan bahasa Italia. Fina sama sekali tak mengerti. Tak lama merekapun mulai
bertingkah.
Salah satu diantara mereka mulai membelai-belai wajah Fina sambil ketawa
cekikikan. Dari mulutnya Fina tahu bahwa mereka baru saja meminum alkohol. Fina
sangat kalut. Dia mulai meronta-ronta.
“Help……….”, teriaknya sekencang mungkin.
Teriakan Fina tidak membantu apa-apa. Disana sangat sepi. Tampak tak ada
seorangpun yang lewat. Mungkin ini memang tempat mereka dan mereka merasa
terganggu atau malah senang karena ada tamu yang tak diundang datang kerumah
mereka.

OLEH : Irni Irmayani | FiDiYo di ROMA 82


Fina kalut. Sekarang kedua tangannya sudah digenggam erat oleh salah satu dari
mereka. Pakaiannya mulai dirobek-robek. Hingga penampilan Fina sekarang percis
seperti pengemis dijalan-jalan Jakarta.
Fina tahu takkan ada pahlawan yang tiba-tiba datang untuk menolongnya. Yang
dapat menolongnya adalah dirinya sendiri. Dia tidak bisa hanya menunggu dan
berharap sebuah mukjijat jatuh dari langit. Dan dengan mengunpulkan seluruh sisa
energi yang dia punya. Fina mulai beraksi.
Menurut film action yang dia tonton. Cara mudah untuk mematikan lawan yang
sedang memengang kita adalah… Menginjak kakinya, yang pastinya dia sedikit
membungkuk dan merenggangkan pegangannya. Kemudian menyikutnya, tubuh kita
sekarang benar-benar terlepas dari dirinya. Terakhir agar lawan lansung KO,
menendang bagian kemaluannya.
Tampaknya cara itu sangat efektif. Dan sebelum kawanan preman itu membalas
perbuatan Fina terhadap temannya. Fina langsung melarikan diri. Dia berlari
sekencang mungkin. Mungkin kalau sedang diambil nilai untuk pelajaran ini Fina
akan mendapatkan nilai A+.

Paginya tak banyak kejadian yang berarti. Paling-paling hanya Fina merasakan
perutnya sekarang sangat lapar. Ada beberapa ibu yang kasian melihat kondisi Fina
memberinya uang.
Fina juga sempat dikejar-kejar Polisi yang ingin membawanya ke tempat
penampungan orang-orang terlantar. Hingga akhirnya malam datang dan hujan
mengguyur seluruh tubuhnya. Hujannya sangat dingin. Fina berusaha mencari tempat
berteduh yang aman. Dia tidak ingin kejadian malam lalu menimpanya lagi. Dengan
sisa-sisa tenaganya Fina berjalan menuju sebuah bagunan yang tampaknya sepi dan
tidak berbahaya. Taman Tivoli.

BAB 15 KEJUTAN….!!!
Hari sudah mulai terang ketika Yogi membawa Fina pulang ke apartemennya.
Seluruh orang yang terlibat dipencarian itu sudah diberi tahu. Sekarang Yogi, Dinggar
dan Winda tengah mengelilingi Fina yang terbaring lemah ditempat tidurnya.
Pakaiannya sudah diganti oleh Winda.

OLEH : Irni Irmayani | FiDiYo di ROMA 83


Tak lama kemudian Fina terbangun. Dia langsung diberi makanan untuk
menggantikan enegri yang telah dia pakai dua hari belakangan ini.
“Kamu udah mendingan khan Fin?”, tanya Yogi dengan lembut. Fina bersandar
di dada Yogi. Rasanya nyaman sekali. Fina sama sekali tak ingin kejadian serupa
menimpanya lagi. Rasanya bagaikan berada di planet lain yang sangat asing.
“Gue rasa kalian bertiga harus bicara. Tuntasin yang masih ngeganjal. Jangan
sampai karena ini ada lagi yang terluka”, ucap Winda yang sama sekali tak dimengerti
oleh Fina.
Winda keluar dari kamar. Sekarang tinggal Fina bertiga dengan Yogi dan
Dinggar. Setelah Winda keluar, Yogi menutup rapat pintu kamarnya. Seperti ingin
membicarakan hal yang sangat pribadi dan rahasia. Siapapun orangnya tidak boleh
ada yang mendengar kecuali mereka bertiga.
“Kita mulai. Dinggar, lo harus ngomong jujur sekarang. Gue juga heran kenapa
lo berbohong sama Fina soal kita berdua”, ucap Yogi membuka percakapan.
Dinggar terdiam. Wajahnya menunduk, dia tak tahu harus memulainya dari
mana. Tapi…. Walau bagaimanapun masalah ini harus tuntas hari ini. Agar dia bisa
tenang nantinya dan tidak dihadapkan oleh beban lagi.
“Gue mau jujur. Gue suka sama lo Fin”, ucap Dinggar yang membuat syok Fina.
Kalau mereka berdua saja yang ada disana Fina sih nggak terlalu gimana. Tapi
sekarang beda, ada Yogi disana dan Fina sekarang tidak tahu lagi harus berbuat apa-
apa. Tapi yang membuat lebih parah lagi adalah jawaban Yogi.
“Gue udah duga itu semua”
“Gue udah lama suka sama lo, semenjak SMP. Dulu gue nggak berani
nyatainnya karena merasa minder. Gue balik ke kota itu karena ingin ngomong ini ke
lo. Tapi udah keduluan lo yang minta gue jadi pacar bohongan. Gue nggak bisa nolak.
Gue cerita ke Yogi, tapi nggak dengan perasaan gue yang sebenarnya. Rencananya
hari minggu itu gue mau ngomong langsung ke lo, tapi lo udah duluan nelpon gue dan
bilang lo suka dengan Yogi”

Hari itu sangat melelahkan. Dinggar pulang kerumahnya setelah mebicarakan


masalah itu. Fina sangat syok mendengarnya. Walaupun begitu Fina bukan tipe cewek
yang langsung bingung memilih mana diantara kedua cowok itu yang pantas buatnya.

OLEH : Irni Irmayani | FiDiYo di ROMA 84


Baginya Yogi tetaplah pacarnya dan Dinggar hanya sahabat kecilnya, sang penolong
sejati bagi dirinya, nggak lebih.
Yogi terlihat menjauh dari Fina. Mungkin dia ingin memberi waktu Fina untuk
berfikir dan memilih.
Sepulangnya Dinggar dari sana, Fina langsung mendekati Yogi. Menempelkan
kepalanya didada Yogi yang hangat.
“Kamu perlu waktu untuk berfikir Fin”, ucap Yogi lembut sambil memainkan
rambut Fina.
“Aku nggak perlu berfikir. Pacar aku adalah kamu, dan Dinggar tetap menjadi
sahabatku yang paling baik”
Walaupun ingin menutupinya, Yogi terlihat sangat senang mendengar ucapan itu
keluar dari mulut Fina. Sebenarnya dia sempat khawatir kalau-kalau Fina akan
berubah pikiran dan lebih memilih Dinggar. Dibelainya lagi rambut kekasihnya itu.
Dan kemudian mencium dahinya dengan lebut.
“Aku sayang sama kamu Fin. Tapi aku nggak pernah maksain kamu untuk
bersama aku”
“Aku nggak ngerasa terpaksa kok. Aku udah memilih, dan aku juga sayang
sama kamu”
Fina memang memilih Yogi. Dihatinya sekarang hanya ada Yogi, yang lain
hanya pelengkap sebagai sahabat. Lagi pula untuk apa Fina menyayangi orang yang
sudah bertahun-tahun membohonginya.

Mama dan papa Fina serta Yogi masih beberapa hari lagi baru pulang ke Roma.
Winda sangat senang karena dia bisa jalan-jalan sepuasnya. Sedangkan Fina dan Yogi
hanya asyik menikmati hari-harinya berdua. Berjalan-jalan kesetiap sudut kota Roma
yang maha indah. Mereka selalu bedrua, Yogi tak ingin Fina mengalami hari yang
buruk lagi setelah hari itu.
Ini sudah hari ketiga setelah hari itu. Dinggar sama seklali tidak ada kabar
beritanya. Walaupun merasa senang, tapi Fina khawatir juga karena Dinggar tetaplah
teman sejatinya. Kalau saja cowok itu tidak berbohong padanya, pastinya dia
menempati kedudukan paling atas sebagai seorang sahabat.
Mereka pulang kerumah sudah sangat larut. Tak mau berpisah mereka
melanjutkan menonton TV berdua. Lagi asyik-asyiknya berduaan. Telepon berbunyi.

OLEH : Irni Irmayani | FiDiYo di ROMA 85


Dengan malas Yogi menyambut telepon itu. Diseberang terdengar suara ribut dan
diantara itu ada suara ibu-ibu yang sedikit menangis.
“Cau….”, ucap Yogi.
“Cau…. This is Fina’s home?”
“Si…. Who is this?”
“Oh…. Ini Yogi ya. Saya mamanya Dinggar, tolong bilang ke Fina, Dinggar
masuk rumah sakit tadi sore”
“Iya… tante saya akan sampaikan ke Fina”
Telepon ditutup. Yogi tegang mendengar apa yang barusan didengarnya.
Memangnya Dinggar sakit apa? Tabrakan atau apa? Setahu dia Dinggar baik-baik saja
tiga hari yang lalu. Hanya saja dia kurang enak badan dan wajahnya tampak pucat.
“Telepon dari siapa Gi?”, tanya Fina.
“Mamanya Dinggar. Fin, Dinggar masuk rumah sakit”

Fina dan Yogi bergerak cepat menuju kerumah sakit tempat Dinggar dirawat.
Sesampainya disana mereka melihat mama Dinggar terduduk lemas diatas bangku
panjang didepan kamar 1007. Didalamnya tampak dari kaca dokter sedang memeriksa
Dinggar yang terbaring lemas ditempat tidurnya.
“Dinggar kenapa tante? Kenapa bisa tiba-tiba masuk rumah sakit?”, tanya Fina
sesampainya mereka didepan kamar Dinggar.
“Dinggar sejak kecil sudah mengidap penyakit leukemia Fina”, ucap mama
Dinggar pelan.
Fina mematung. Tak pernah terfikir olehnya Dinggar ternyata mengidap
penyakit yang sangat serius. Tak pernah sekalipun Dinggar bercerita tentang itu
bersamanya.
“Karena itu dia selalu minder kalau berteman dan bergaul. Semenjak bertemu
dengan kamu, dia jadi tidak minder lagi. Karena itulah dia menyukai kamu Fin”,
lanjut mama Dinggar.
Fina merasa sangat terkejut mendengarnya. Kenapa disaat dia sedang ingin
bersenang-senang dinegara yang indah ini malah musibah dan kejutan berdatangan
silih berganti. Semua rahasia yang ditutupi darinya seketika terbongkar begitu saja.
Fina tak sanggup menerima itu dengan jarak waktu yang sangat dekat. Fina syok. Dia
terkulai lemas yang kemudian ditahan oleh Yogi yang ada dibelakanya.

OLEH : Irni Irmayani | FiDiYo di ROMA 86


Tak tahan dia menyembunyikan kesedihannya. Air matanya mulai menetes
dipipinya yang memerah. Mulutnya ditutupnya dengan telapak tangan kanannya agar
tidak mengeluarkan suara cengeng darinya.
“Kapan Dinggar mulai merasa sakit tante?”, tanya Yogi kemudian.
“Semenjak kedatangannya ke sini. Tapi dokter memperkiraan lebih dari itu, dan
Dinggar sama sekali tidak pernah menceritakannya ke tante”
Air mata mama Dinggar menetes dengan lancar dari upuk matanya. Tampak
kesedihan yang sangat terpancar dari ibu dengan anak semata wayangnya itu.
Fina memeluk tubuh Yogi yang hangat. Karena sekarang yang paling dia
butuhkan adalah tempat bersandar yang nyaman.

Semenjak Dinggar masuk ke rumah sakit Fina selalu menemaninya tanpa


istirahat. Sesekali Yogi menemaninya Fina agar tidak sendirian. Fina tahu bahwa
kejadian ini akan membuat hubungannya dengan Yogi merenggang. Tapi mau
bagaimana lagi Fina tidak bisa meninggalkan Dinggar dalam kondisi seperti itu
sendirian di rumah sakit.
Mama Dinggar tidak bisa terus menjaga Dinggar karena harus terus bekerja.
Kalau mau ambil cuti bisa-bisa dia tidak bisa membiayai anaknya dirumah sakit.
Sudah seminggu dari Dinggar masuk rumah sakit. Tapi belum pernah Fina
melihat dia membukakan matanya. Fina sangat khawatir. Menurut dokter kondisi
Dinggar makin lama-makin memburuk.
“Kamu udah makan siang Fin?”, tanya Yogi ketika itu.
Fina menggelengkan kepalanya.
“Kita makan yuk. Muka kamu sudah sangat pucat tuh, nanti kamu malah jatuh
sakit lagi”
Fina mengikuti saran Yogi. Memang semenjak Dinggar masuk rumah sakit Fina
jadi tidak teratur makan. Tubuhnya jadi mulai mengurus. Dan itu sangat membuat
Yogi khawatir.
Setelah puas menyantap makanannya, Fina segera kembali kekamar Dinggar.
Dia tak mau lama-lama sahabatnya itu sendirian di kamar. Walaupun tentunya
Dinggar tidak merasakan kesendirian itu. Fina hanya khawatir kalau dia sadar dan
tidak ada seorangpun disampingnya.

OLEH : Irni Irmayani | FiDiYo di ROMA 87


Yogi langsung keluar ketika Fina sampai di kamar. Dia selalu saja menunggu
diluar kamar sambil duduk dikursi panjang didepan kamar itu. Tak lama setelah Yogi
keluar Dinggar sadar.
“Dinggar lo udah sadar”, ucap Fina lembut, digenggamnya tangan Dinggar agar
cowok itu merasakan kehadirannya.
Dinggar sedikit demi sedikit memfokuskan matanya yang tidak sepenuhnya
sadar. Lama-lama akhirnya dia melihat sosok Fina dihadapannya. Dinggar tersenyum
senang.
“Fin jangan tinggalin gue yah. Tolong selalu ada disamping gue terus”, pinta
Dinggar sambil membalas genggaman tangan Fina.
Pada saat yang bersamaan Yogi kembali kekamar karena dompetnya tertinggal
didalam. Dia melihat kejadian yang romantis itu didepan matanya. Pacarnya sedang
menggenggam tangan cowok yang menyukainya. Kalau saja Dinggar saat itu tidak
sakit. Pastinya Yogi sudah menghajarnya habis-habisan.
Yogi malas melihat kejadian itu langsung dengan kedua matanya. Langsung saja
dia mengambil dompetnya yang terletak dekat dengan pintu keluar dan langsung lari.
“Gi…. Yogi tunggu!”, pinta Fina, tapi Yogi tak terlalu memperdulikan suara
yang memanggilnya itu.Dia langsung berjalan keluar dengan wajah yang menahan
marah.
Sebenarnya Fina ingin sekali langsung mengejar Yogi. Tapi dia sangat tidak
enak dengan Dinggar. Apalagi sekarang dia sedang sakit parah.
“Kejar dia Fin”, ucap Dinggar yang cukup mengangetkan Fina.
“Apa?”
“Kejar dia”
“Tapi… lo…”
“Gue nggak apa-apa Fin. Gue udah bisa sendiri dan udah bisa melihat lo pergi.
Pesan gue hanya satu, lo harus terus bersama Yogi, jangan pernah berpisah”
Fina senang mendengar ucapan Dinggar itu, “Tanks yah Ding. Lo memang
sahabat sejati gue”, ucapnya sambil berlari keluar untuk mengejar Yogi.

“Yogi…. Tunggu!”, teriak Fina dihalaman parkir rumah sakit. Untung saat itu
sedang sepi, kalau ramai pastinya Fina sudah jadi bahan tontonan gratis yang menarik.

OLEH : Irni Irmayani | FiDiYo di ROMA 88


Yogi yang berada diseberang jalan tidak terlalu memperdulikan teriakan Fina,
karena itu Fina kembali berteriak.
“Yogi…. aku mau ngejelasin semua. Yang kamu lihat itu nggak seperti
pikiranmu”
“Ah…. Gue udah bosen Fin. Kalau memang lo suka dengan Dinggar, fine! Gue
bisa nerima itu semua”
“Tapi Gi… yang aku sayang itu cuma kamu”
“Ah…. Basi! Selama ini lo terus ngomong begitu. Tapi kenyataannya lo masih
mengharapkan dia khan? Atau memang dia cinta pertama lo?”
“Bukan Gi…”
Yogi tampaknya tidak terlalu memperdulikan lagi Fina yang berusaha
menjelaskan permasalahannya. Dia terus berjalan menjauhi Fina. Fina tak ingin
kehilangan Yogi pada saat itu. Dia ingin menjelaskan semuanya sekarang agar
semuanya bisa selesai.
Suasana jalan pada saat itu cukup sepi. Fina yang sudah kalut langsung
menyeberang saja tanpa menoleh kiri kanan. Ketika Fina berada pas di tengah badan
jalan, tiba-tiba saja ada truk dari arah kirinya melaju dengan kencang. Yogi yang
melihat itu langsung panik dan berteriak memanggil namanya.
“Finaaaaaa………”

BAB 16 SELAMAT TINGGAL…..


Yang ku harap amat mudah
Yang ku impi amat indah
Yang ku mau amat nyata
Tapi…..
Yang kudapat hanya gundah
Yang kudapat hanya gelisa
Yang kudapat hanya sengsara
Sekarang…
Yang kurasa hanya sakit
Yang kurasa hanya pedih
Yang kurasa hanya iri
Tuhan…

OLEH : Irni Irmayani | FiDiYo di ROMA 89


Jika Kau ingin ini terjadi
Jika Kau ingin aku begini
Jika Kau ingin sesuatu yang pedih
Aku..
Hanya bisa terima
Hanya bisa berpasrah
Hanya bisa berdoa

Cuaca hari ini cerah. Tapi tak secerah suasana hati orang-orang disebuah
pemakaman kota ditepian Roma. Orang-orang hampir semuanya mengenakan pakaian
hitam lengkap dengan payung dan selendangnya. Suasana haru terlihat jelas disana.
Seorang ibu yang seperti sangat dekat dengan almarhum sedang berusaha menahan
tangisnya.
Yogi ikut dalam pemakaman itu. Perasaannya sangat terpukul. Kalau dia tahu
bahwa akan pergi secepat ini, dia pasti mengalah. Tak seharusnya dia terus saja
menunjukkan rasa ego dan irinya yang berlebihan. Tak seharusnya semua ini terjadi
didekatnya. Ini memang sudah menjadi kehendak yang diatas, kita sebagai manusia
hanya bisa berusaha.
“Maafin gue Dinggar”, ucap Yogi dengan suara yang hampir tak terdengar.
Dinggar telah pergi. Meninggalkan semua kenangan.
Kemarin setelah Fina pergi mengejar Yogi, Dinggar langsung koma. Tak ada
yang mengira karena saat itu dia baru saja pulih dari segala penyakitnya. Mungkin
memang Tuhan ingin menyehatkannya dulu sebelum menghadapNya diatas.
Baru saja Fina lewat dari mautnya yang hampir saja menabrak tubuhnya. Kini
dia harus melihat sahabatnya terbujur kaku sebelum dia sempat membuat Dinggar
bahagia.
Pemakaman kini sepi. Hanya tinggal kerabat terdekat yang masih ada disana.
Fina tak ingin sekali meninggalkan tempat itu. Untung disampingnya ada Yogi yang
selalu menemani.
Fina jadi ingat pesan terakhir Dinggar yang menyuruhnya untuk selalu bersana
Yogi. Mungkin Dinggar sudah tahu bahwa waktunya sudah habis. Fina rasa inilah
salah satu cara agar Dinggar senang dialam sana.

OLEH : Irni Irmayani | FiDiYo di ROMA 90


Kring….. kring……kring….
Jam weker berbunyi. Tanda malam yang ditunggui oleh setiap orang karena
dapat beristirahat, berkumpul dengan keluarga dan satu yang tak kalah pentingnya
yaitu bermimpi indah telah berubah menjadi pagi yang berarti semua manusia
diwajibkan untuk memulai aktifitasnya.
Fina bangun dengan semangat. Hari ini adalah hari keberangkatannya. Fina lulus
SMA dengan nilai yang sangat memuaskan, sedangkan Yogi juga tak kalah. Dia
mendapatkan juara umum antar siswa sekota.
Dengan bujuk rayu maut Fina akhirnya dapat menyakinkan mamanya untuk
bersekolah di luar negeri. Akhirnya mamanya setuju, tentu saja karena Fina tak
sendirian, dia bersama dengan Yogi. Kota yang dipilihnya sebagai tempat menuntut
ilmu tak lain dan tak bukan adalah Roma.
Sesampainya mereka dikota itu Fina langsung melayat ke makan Dinggar.
Diletakkannya rangkaian bunga melati di dekat nisan yang bertulisakan Dinggar
Permana.
“Gue tahu lo pasti bisa ngelihat Ding. Gue ingin lo bahagia, sama seperti gue
yang bahagia sekarang ini”

Hidup, kehidupan dan mati memang bukan kita yang mengaturnya. Bagaikan
sebuah cerita yang sekenarionya sudah tertata dengan rapi. Bagaimanapun kita ingin
menolaknya, takdir tetap berjalan untuk semua manusia. Tinggal bagaimana kita
berusaha, agar Tuhan mau mengubah takdir kita. Apakah kita bisa? Hanya kita yang
tahu itu semua, karena sesungguhnya nasib kita ada didalam genggaman kita sendiri.

CI VEDIAMO

OLEH : Irni Irmayani | FiDiYo di ROMA 91

You might also like