You are on page 1of 108

www.zeilla.wordpress.

com page 1 of 99

________________________________________________________________________
Sumber: Koran Tempo, 29 Maret 2008

Ketika Tuhan Ditenggelamkan Lumpur Lapindo


Oleh: Firdaus Cahyadi
Gencarnya upaya penyesatan informasi melalui iklan PT Lapindo di berbagai media
massa yang kemudian diikuti oleh semakin kuatnya pembelaan lembaga-lembaga negara
(dari eksekutif, yudikatif, sampai legislatif) terhadap perusahaan ini telah kembali
"berhasil" mengkambinghitamkan Tuhan sebagai penyebab utama bencana ekologi yang
menyengsarakan ribuan warga Sidoarjo.
Seperti sebuah grup paduan suara, para pejabat publik di negeri ini menyatakan bahwa
semburan lumpur di Sidoarjo adalah bencana alam. Bahkan Badan Pengkajian dan
Penerapan Teknologi, sebagai tempat bersemayamnya para ilmuwan, telah
merekomendasikan bahwa lumpur Lapindo adalah bencana alam (Koran Tempo, 18
Maret 2008).
Negara, yang seharusnya dapat bertindak tegas terhadap pihak-pihak yang merugikan
masyarakat, pun kini hanya berfungsi tak lebih dari sekadar kasir Lapindo. Pasalnya,
Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007 Pasal 15 ayat 1 menyebutkan bahwa biaya
masalah sosial kemasyarakatan di luar peta wilayah yang terkena dampak lumpur
Lapindo dibebankan kepada pemerintah. Sementara itu, Lapindo hanya menanggung
ganti rugi untuk warga yang ada di dalam peta.
Berdasarkan payung hukum itulah, dalam sidang kabinet terbatas yang diselenggarakan
pada awal Maret 2008 lalu, pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla dengan
mudah menyanggupi untuk mengucurkan uang sekitar Rp 700 miliar dari anggaran
pendapatan dan belanja negara untuk menanggung dampak sosial dan lingkungan dari
semburan lumpur Lapindo.
Uang dari APBN yang seharusnya bisa digunakan untuk membiayai anggaran pendidikan
dan kesehatan pun dengan mudah dibobol untuk menanggulangi dampak sosial dan
lingkungan dari semburan lumpur Lapindo. Padahal, jika saja tidak terjadi semburan
lumpur dan Lapindo berhasil mengeruk sumber daya alam di Sidoarjo, keuntungan dari
usaha itu sudah dapat dipastikan tidak mengalir ke kas negara atau andaikata mengalir
pun jumlahnya tidak signifikan.
Kemenangan Lapindo atas negara kini sudah di ambang mata, sementara kekalahan
rakyat Indonesia, terutama yang telah menjadi korban semburan lumpur, pun tinggal
menunggu waktu saja. Kekuatan uang benar-benar telah sedemikian berkuasanya di
negeri yang selalu mengklaim religius ini.
Ruang-ruang publik yang seharusnya menjadi tempat bagi sebuah perdebatan yang sehat
dalam kasus Lapindo kini telah dibajak oleh serbuan iklan. Para ilmuwan independen dan
korban lumpur Lapindo yang tidak memiliki uang untuk beriklan di media massa pun tak
terdengar suaranya. Akibatnya, Tuhan pun akhirnya menjadi terdakwa tunggal dalam
kasus semburan lumpur Lapindo.

LNF
www.zeilla.wordpress.com page 2 of 99

________________________________________________________________________
Suara pakar pertambangan dari perguruan tinggi ternama di Indonesia yang menilai
semburan lumpur Lapindo disebabkan oleh adanya unsur kelalaian dalam proses
pengeboran, seperti mantan Direktorat Eksplorasi dan Produksi BPPKA-Pertamina Ir
Kersam Sumanta, mantan Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia Andang Bachtiar, dan
ahli perminyakan ITB yang juga mantan ketua tim investigasi independen luapan lumpur
Lapindo, Rudi Rubiandini, tidak pernah menjadi pertimbangan dalam munculnya hampir
setiap kebijakan publik tentang Lapindo. Jika suara para pakar independen saja
diabaikan, dapat dipastikan suara korban Lapindo juga akan mengalami hal yang sama.
Hal itu diperkuat oleh pernyataan Ibu Sumiyati, salah satu warga korban Lapindo, dalam
sebuah testimoni yang dipublikasikan di sebuah blog yang mengatakan bahwa selama ini
pemerintah tidak mendengar golongan bawah. Mereka hanya memperhatikan golongan
atas. Menurut dia, yang diajak bicara oleh pemerintah hanya pemilik perusahaan,
sementara para korban tidak diajak bicara. Bahkan sering kali para korban mendapatkan
teror dari aparat.
Kekalahan negara dalam kasus Lapindo itu sebenarnya sudah terlihat sejak awal
munculnya kasus lumpur Lapindo. Beberapa keputusan pemerintah yang dianggap
merugikan Lapindo sering kali dengan mudah diabaikan. Keputusan-keputusan yang
merupakan hasil rapat 28 Desember 2006, misalnya, Presiden memerintahkan Lapindo
menuntaskan tanggung jawab penanganan lumpur panas dengan kewajiban menanggung
biaya penanggulangan lumpur sebesar Rp 1,3 triliun. Selain itu, Lapindo harus membayar
kompensasi berupa ganti rugi lahan sawah dan rumah rakyat mulai awal Maret 2007.
Total kerugian rakyat yang diperkirakan mencapai Rp 2,5 triliun pun harus sudah dibayar
20 persen oleh Lapindo (Konspirasi di Balik Lumpur Lapindo, Ali Azhar Akbar, 2007).
Namun, jangankan memenuhi keputusan tersebut, Lapindo justru mengklaim telah
mengeluarkan dana untuk mengatasi dampak sosial lebih dari US$ 15 juta. Celakanya,
pemerintah SBY-JK menuruti saja klaim Lapindo tersebut. Bahkan akhirnya pemerintah
mengeluarkan Perpres Nomor 14 Tahun 2007, yang merupakan payung hukum bagi
Lapindo untuk mendapatkan kemenangan-kemenangan berikutnya.
Upaya mengkambinghitamkan Tuhan dalam kasus Lapindo tampaknya sebuah langkah
yang memang sudah direncanakan sejak awal. Bagaimana tidak, bila lumpur Lapindo ini
berhasil dinyatakan sebagai bencana alam, bukan hanya dapat membobol APBN untuk
membiayai dampak sosial dan lingkungan dari semburan lumpur, tapi juga kerugian yang
diderita Lapindo dalam kasus itu dapat diringankan oleh klaim asuransi yang bersedia
menanggung kerugian hingga US$ 25 juta.
Publik pun akhirnya hanya ditempatkan sebagai obyek pelengkap penderita dalam kasus
ini. Pintu-pintu masuk untuk memperjuangkan nasib publik secara lebih adil dan
terhormat sudah dijaga oleh para pembela Lapindo. Mungkin salah satu cara yang kini
bisa dilakukan adalah menjaga memori publik atas peristiwa ini agar tidak begitu saja
dilupakan, paling tidak sampai Pemilu 2009 mendatang. Dengan begitu, publik dapat
memberikan hukuman politik dengan tidak memilih partai politik dan tokoh politik yang
selama ini membela Lapindo.

LNF
www.zeilla.wordpress.com page 3 of 99

________________________________________________________________________
URL Source: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/opini/lapindo-dan-tanggung-
jawa
Lapindo dan Tanggung Jawab Sosial

Oleh: Viktor Silaen

Akhir Mei silam, bencana yang bernama ”lumpur panas Lapindo” di Sidoarjo itu
bermula. Efeknya bagaikan ”bola salju” (snowball effect): mula-mula kecil, tapi karena
menggelinding terus-menerus, lama-lama semakin membesar.
Hingga kini, ”bola salju” itu sudah bergulir kurang-lebih enam bulan lamanya. Dampak
negatifnya sungguh dahsyat, baik secara material maupun non-material. Tapi, baru 23
November lalu ia dinyatakan sebagai bencana nasional. Betapa lambannya pemerintah
menyikapi bencana ini.
Itu pun ”menunggu” dulu setelah terjadinya ledakan pipa gas Pertamina di kawasan
berbahaya sekitar lokasi semburan lumpur yang meminta korban jiwa lebih dari 10 orang.
Ledakan pipa gas tersebut adalah bencana atau kecelakaan, demikian dinyatakan
pemerintah yang diwakili Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro. Baiklah, kita terima
bahwa ini memang bencana.
Tapi, mengapa bisa sampai berbulan-bulan lamanya? Kita patut mempersoalkan, dengan
kategori sederhana: ini bencana yang tak diundang atau bencana yang diundang? Ada
beberapa alasan mengapa pertanyaan itu patut dikemukakan. Pertama, menurut Effendi
Siradjudin, Ketua Asosiasi Perusahaan Migas Nasional (Aspermigas), sebelum pipa gas
Pertamina meledak, Aspermigas sebenarnya sudah memprediksikan bahwa bencana
tersebut memang akan terjadi.
Dalam pembicaraan awal dengan ahli geologi, Dr Andang Bachtiar dan Staf Ahli Menko
Perekonomian Ahmad Husein––terkait rencana Aspermigas menyelenggarakan temu
ilmiah untuk mengkaji kasus Lapindo pada awal Desember mendatang ––ledakan pipa
gas Pertamina di lokasi Lapindo termasuk salah satu masalah yang harus cepat
diantisipasi.
Selain karena penanganan yang lamban, peninggian tanggul penahan lumpur panas yang
terus dilakukan telah menimbulkan beban yang melebihi daya tahan pipa. Secara teoretis,
jika tanggul terus ditinggikan, pipa saluran gas tersebut akan pecah karena kuatnya
tekanan dari dalam dan dari luar pipa.
Kedua, data Walhi (Wahana Lingkungan Hidup) menyebutkan bahwa lokasi sumur
eksplorasi dan eksploitasi Lapindo semuanya berada di kawasan permukiman padat dan
pertanian dengan kualitas kesuburan tanah kelas 1. Dari aspek geologis, lokasi tersebut
merupakan zona yang mempunyai struktur bumi yang banyak patahan dan rekahan yang
sangat rentan terhadap underground blow out.
Artinya, berbagai bentuk kecelakaan industri memang berpeluang besar terjadi di lokasi-
lokasi lain di setiap titik sumur eksplorasi dan ekploitasi milik Lapindo yang berjumlah

LNF
www.zeilla.wordpress.com page 4 of 99

________________________________________________________________________
49 sumur. Dari 49 sumur tersebut, yang memiliki izin AMDAL (analisis mengenai
dampak lingkungan) hanya 21 sumur (AMDAL tahun 1997). Sedangkan 17 sumur
lainnya baru dalam tahap pengajuan AMDAL (draf), sisanya (11 sumur) tidak memiliki
AMDAL.
Sejatinya, AMDAL sebagai instrumen pengendali dampak lingkungan dan sebagai
prasyarat perizinan seharusnya dimiliki oleh setiap pemrakarsa usaha. Tapi ternyata,
Lapindo dapat mengabaikannya begitu saja. Bukankah berdasarkan datadata ini pun
sebenarnya bencana yang ditimbulkan Lapindo juga sudah dapat diprediksi jauh
sebelumnya?
Ketiga, sekaitan itu sebenarnya Lapindo patut disangka telah melakukan beberapa
pelanggaran. Antara lain UU Lingkungan Hidup No 4/1982 (terutama Pasal 16 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Lingkungan Hidup) dan Peraturan Pemerintah No. 29/1986
tentang AMDAL. Dengan demikian, seharusnya sudah sejak jauh hari pemerintah
memberikan sanksi kepada Lapindo, dengan mengacu pada:
1) Pasal 27 UU No. 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang memberi
kewenangan bagi instansi pemberi izin usaha untuk mencabut izin usaha bila terjadi
pelanggaran tertentu yang dianggap berbobot, mulai pelanggaran syarat administratif,
pencemaran lingkungan, gangguan kesehatan terhadap penduduk setempat, sampai
pelanggaran yang menimbulkan korban;
2) UU No. 5/1984 tentang Perindustrian yang memberi dasar yang kuat bagi pemerintah
untuk menjatuhkan sanksi bagi kegiatan industri yang menimbulkan pencemaran atau
perusakan lingkungan hidup Hal senada pernah dikemukakan Dr Suparto Wijoyo, ahli
hukum lingkungan Universitas Airlangga, jauh sebelum ledakan pipa gas Pertamina
terjadi. Menurut dia, Lapindo telah melakukan setidaknya 10 dosa hukum, antara lain UU
Lingkungan Hidup, UU Jalan, UU Migas, UU Pertambangan, dan UU Kesehatan.
Dari seluruh dosa hukum itu, maka ancaman hukuman yang bisa ditudingkan ke Lapindo
adalah di atas 5 tahun. Mestinya, lanjut Suparto, mereka yang mendapatkan ancaman
penjara lebih dari 5 tahun layak ditahan. Dengan beberapa alasan di atas, seharusnyalah
pemerintah bersikap tegas dan bertindak cepat menangani kasus ini. Mengapa harus
”menunggu” sampai terjadinya ledakan 22 November itu baru kasus ini dinyatakan
sebagai bencana nasional? Seandainya pemerintah lebih sigap, setidaknya jatuhnya
korban jiwa secara siasia dapat dicegah.
Karena itulah ke depan, kita berharap pemerintah mampu memperlihatkan kinerjanya
secara lebih serius dan sikap yang lebih berani dalam menangani kasus ini. Maka,
berkaitan dengan kabar yang beredar bahwa saham PT Energi Mega Persada (anak usaha
Grup Bakrie) di Lapindo telah dijual kepada Freehold Group Limited, pemerintah perlu
melakukan beberapa langkah konkret.
Pertama, mencegah pelepasan saham oleh kelompok Bakrie itu sebelum beberapa hal
penting terkait dengan hal ini menjadi jelas.
Kedua, berhubung Lapindo sudah go-public, maka sebelum terjadinya pelepasan saham

LNF
www.zeilla.wordpress.com page 5 of 99

________________________________________________________________________
itu harus dilakukan audit yang bukan saja terkait bidang finansial, tapi juga tanggung
jawab sosial, lingkungan hidup, dan kompetensi para pemimpin perusahaan tersebut.
Ketiga, membuat perjanjian secara hukum tentang siapa yang akan meneruskan tanggung
jawab sosial dan tanggung jawab lingkungan hidup itu selanjutnya. Terkait hal itu, maka
ada hal yang mengherankan: bahwa siapa di balik Freehold Group Limited itu tidak
pernah dijelaskan secara rinci sampai sekarang.
Pihak Bapepam (Badan Pengawas Pasar Modal) jelas harus konsern dengan urusan alih-
saham itu. Sementara Tim Nasional Penanggulangan Lumpur Lapindo harus konsern
dengan masalah tanggung jawab Lapindo. Sebab, sebagai perusahaan besar, Lapindo
seharusnya menjalankan apa yang disebut social corporate responsibility (CSR). CSR itu
haruslah ditunjukkan secara konkret, baik kepada pemerintah, masyarakat sekitar,
maupun lingkungan hidup.
Apalagi, menurut data Walhi, sejak tahun 2001 hingga 2004, pendapatan Pemkab
Sidoarjo dari Lapindo terus menurun. Bahkan, antara tahun 2005 hingga pertengahan
2006 ini, Lapindo tidak pernah menyumbangkan pendapatan pada kas daerah. Sementara
di sisi lain, sejak terjadinya semburan lumpur panas itu, pertumbuhan investasi di
Sidoarjo mencapai nol persen. Penyebabnya, para investor takut tanah di sekitar lokasi
semburan menjadi ambles.
Sehingga, pengusaha kalangan menengah ke atas tak ada yang mau menanam modalnya
di sana. Bukankah atas semua dampak negatif itu pihak Lapindo layak dituntut untuk
bertanggung jawab? Tapi, siapakah pihak Lapindo itu? Di baliknya ada keluarga Bakrie,
dan salah seorang di antaranya adalah Aburizal Bakrie, yang kini menjabat Menteri
Koordinator Kesejahteraan Rakyat.
Kalau ia sungguh-sungguh memahami hakikat jabatannya itu, juga menghayati peran dan
tanggung jawabnya sebagai seorang pemimpin, maka semua upaya yang berorientasi
kesejahteraan rakyat haruslah dilakukan. Untuk itu mungkin akan lebih baik jika ia minta
dinonaktifkan dari pemerintahan agar dapat lebih berkonsentrasi dalam menunjukkan
tanggung jawabnya dan lebih mendekatkan diri dengan rakyat Sidoarjo yang selama ini
sudah sangat menderita. (***)

LNF
www.zeilla.wordpress.com page 6 of 99

________________________________________________________________________
URL Source: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/opini/kepemilikan-saham-
bagi-ko

Bencana Lumpur Lapindo Bencana Lumpur Lapindo:


Kepemilikan Saham bagi Korban Lumpur Sidoarjo
Oleh: Mohammad Nuh
Hingga saat ini, belum bisa dipastikan kapan semburan lumpur di lokasi sumur eksplorasi
Lapindo, Porong, Sidoarjo, bisa teratasi. Tapi yang jelas, korban akibat lumpur Sidoarjo
(Lusi) ini, terus bertambah, akibat terus meluasnya daerah yang terendam dan dampak
ikutannya.
Namun, harus tetap diakui dan diberikan apresiasi atas berbagai ikhtiar dan upaya yang
telah dilakukan. Sementara itu, penanganan terhadap keputusan kompensasi terhadap
korban Lusi masih menjadi berdebatan dan perbincangan yang hingga saat ini belum juga
menemui titik terang, dan berakibat terhadap makin tidak jelasnya masa depan para
korban Lusi.
Memang konsep resettlement atau lainnya sudah digulirkan untuk mencarikan jalan
keluar bagi para korban Lusi. Tapi karena pemikirannya sering kali tidak sejalan dengan
keinginan warga, konsep itu malah menggulirkan permasalahan baru. Di satu sisi, para
korban menginginkan segera adanya penyelesaian terhadap tempat tinggal dan lahan
yang saat ini memang sudah terendam lumpur. Tapi di sisi lain, keinginan para warga
untuk mendapatkan penggantian, seolah mengesampingkan rasionalitas dalam penentuan
harga lahan di lokasi itu.
Tulisan ini memang tidak bermaksud untuk memihak kepada kepentingan warga atau
pengusaha, tapi lebih pada pemberian pemikiran untuk mencari jalan keluar terbaik
terhadap penyelesaian kompensasi yang ideal, karena itu cara pandangnya pun bukan
semata pada bagaimana sekadar memikirkan mencarikan pengganti atau tempat tinggal
baru dengan lingkungan yang hampir sama, atau memberikan penggantian dengan cara
mematok harga lahan dan bangunan di atas nilai ratarata, tapi juga mempertimbangkan
pada ikatan emosional dan jaminan rasa aman kepada para korban Lusi.

Hilangnya Cita-Cita
Kita dapat memahami, sejak awal masyarakat korban Lusi jelas posisinya terhadap
kepemilikan rumah, lahan dan tercatat sebagai warga di sana. Karena itu pun pilihan
mereka untuk tinggal di sana pasti telah memiliki dan menyusun cita-cita tentang masa
depannya. Tapi akibat kejadian semburan lumpur, seolah cita-cita mereka hilang,
berbagai rencana yang telah disiapkan warga sebagai sebuah masa depan bubar.
Pada kondisi inilah, entah itu warga nantinya siap menerima model resettlement atau
kompensasi pemberian uang langsung (cash compensation), akan memaksa mereka
membangun cita-cita baru. Tapi dengan tidak kunjung selesainya persoalan ini, cita-
citanya makin tidak jelas, demikian juga dengan masa depan mereka. Memang cita-cita
juga mengandung sesuatu unsur yang punya ketidakpastian.

LNF
www.zeilla.wordpress.com page 7 of 99

________________________________________________________________________
Tapi dengan tidak kunjung selesainya persoalan ini, ketidakpastian warga makin besar,
cita-cita baru yang harusnya sudah mereka miliki pun, belum terpikir. Mereka masih
berkutat pada persoalan berapa seharusnya kompensasi ideal yang bisa mereka terima
untuk menjadikan hidup mereka di tempat baru kelak, lebih baik dari kehidupan
sebelumnya. Karena itulah berkembang pemikiran pada sisi warga untuk menentukan
harga lahan yang di luar batas kewajaran.
Ini artinya, mereka sesungguhnya bukan hanya tidak ingin pindah dari lokasi di mana dia
lahir, besar, dan bermasyarakat serta menggantungkan cita-citanya di wilayah itu, tapi
juga warga masih dihantui keraguan terhadap masa depan dan cita-cita barunya, setelah
pindah atau tidak lagi bermukim di lokasi yang kini sudah terendam lumpur.
Pada sisi inilah seharusnya dipikirkan, bahwa persoalan kompensasi tidak hanya sebatas
pada pemberian harga yang jauh lebih baik, tapi juga ada social cost yang perlu
diperhatikan dan menjadi bahan pertimbangan. Pada titik inilah maka sesungguhnya
model resettlement atau kompensasi pemberian uang langsung (cash compensation),
belum menyelesaikan masalah secara keseluruhan.
Apalagi, banyak pengalaman membuktikan berpindahnya seseorang pada kasus
pembebasan lahan atau penggusuran di banyak tempat, tidak menjamin kehidupannya
lebih baik dibanding dengan daerah asal mereka.
Kepemilikan Saham
Jika kenyataannya seperti itu, pertanyaannya, model dan keputusan yang bagaimana
seharusnya bisa diambil dalam upaya sesegera mungkin memberikan kepastian terhadap
masa depan dan cita-cita baru warga korban Lusi?
Dengan mempertimbangkan berbagai aspek––nilai lahan, bangunan, dan social cat––,
rasanya akan sangat ideal dan segera menemukan titik terang jika warga yang berada di
lokasi korban Lusi, tidak hanya menerima kompensasi dengan hitungan yang layak, tapi
juga mendapatkan insentif berupa kepemilikan saham atas kompensasi tanah, lahan atau
aset yang ditinggalkannya.
Insentif tersebut lebih merupakan kompensasi sosial dan menjaga ikatan emosional para
korban Lusi terhadap daerah yang ditinggalkannya. Pemikiran ini tentu tidak hanya pada
bagaimana mencarikan jalan keluar terbaik dalam mencari bentuk kompensasi, tapi juga
tetap membina hubungan emosional atau historis warga dengan daerah asalnya, dengan
sebuah cita-cita lama yang terpaksa ditinggalkannya akibat luapan Lusi yang tidak pernah
terpikirkan sebelumnya.
Selama ini, salah satu kendala tidak terselesaikannya dengan segera terhadap proses
kompensasi bagi korban Lusi, antara lain adanya anggapan di antara warga, terhadap
berbagai kemungkinan masa depan yang menyebabkan lahan di sana memiliki nilai
ekonomi lebih tinggi dibanding saat ini.
Dengan demikian, berkembang pemikiran spekulasi-spekulasi terhadap masa depan
kawasan itu, karena itu pilihan untuk memberikan kompensasi tambahan (sebagai akibat
social cost) sebagai insentif dalam bentuk kepemilikan saham atas tanah, lahan, atau aset

LNF
www.zeilla.wordpress.com page 8 of 99

________________________________________________________________________
yang ditinggalkan warga, menjadi kata kunci berkembangnya spekulasi dan ke depan
tidak terlalu mengecewakan warga atas kemungkinan munculnya ”trik-trik” bisnis, ketika
diketahui ternyata bekas tanah dan asetnya, mengalami peningkatan nilai ekonomi yang
sangat luar biasa.
Cara ini juga merupakan upaya dalam ”memuliakan” warga yang terkena bencana Lusi,
berkait dengan pernyataan dan komitmen pemerintah untuk tetap memprioritaskan warga
yang ada di sana. Langkah ini tidak lain bagian dari upaya penyelamatan masa depan
korban “pembebasan terpaksa” di sana, serta menjawab ketidakpastian warga terhadap
cita-cita barunya. Berapa rasionalitas terhadap kepemilikan saham atas tanah, lahan atau
aset yang ditinggalkannya?
Sangat bergantung dari hasil kesepakatan antara warga dan pengusaha, dalam hal ini bisa
diwakili Tim Nasional Lusi. Tentu saja yang lebih penting dari usulan kepemilikan
saham bagi warga korban Lusi ini adalah bagaimana hal ini bisa dijadikan sebagai
komitmen politik, baik bagi timnas, pemprov, maupun pemkab, untuk melindungi
warganya dari spekulasi oleh sekelompok orang yang kini terus berkembang di
masyarakat.
Kita berharap usul ini kiranya akan menghasilkan win-win solution terhadap proses
kompensasi korban Lusi yang hingga kini belum menemukan titik temu yang ideal,
akibat banyaknya pemikiran, kepentingan, dan spekulasi-spekulasi terhadap masa depan
kawasan itu. Lewat insentif kepemilikan saham atas tanah, lahan atau aset yang
ditinggalkan, kiranya warga akan sepakat, karena mereka tidak serta-merta putus begitu
saja dengan tempat asalnya, tapi juga masih punya kesempatan merasakan atau
menikmati, keuntungan manakala di kemudian hari di lokasi itu benar-benar memiliki
nilai ekonomi yang sangat luar bisa, sebagaimana spekulasi yang berkembang saat ini.
Semoga! (***)

LNF
www.zeilla.wordpress.com page 9 of 99

________________________________________________________________________
URL Source: http://kompas.com/kompas-cetak/0703/24/Fokus/3402371.htm

Bencana Lumpur Lapindo


Pembangkangan Rakyat Jenggala
Oleh: Hotman M Siahaan
Tebar pesona boleh saja dilakukan untuk mempertahankan citra kedigdayaan penguasa
negeri ini. Namun, lumpur Lapindo di Sidoarjo yang tak mampu dibuntu kemampuan
teknologi macam apa pun, yang ternyata juga buntu secara sosial politik, kini justru
menyemburkan pesona pembangkangan sipil rakyat Jenggala—kalau boleh disebut
demikian.
Pembangkangan sebagai puncak kebuntuan dan keputusasaan rakyat atas kemampuan
negara melindungi dirinya. Ketika semua upaya dialog, perundingan, serta negosiasi,
mulai dari yang paling ramah sampai yang paling amarah sekalipun ternyata tidak
mampu mengurai solusi, rakyat Jenggala melontarkan agenda pembangkangan.
Pesona pembangkangan sipil (civil disobedience) kini marak bukan saja di kalangan
rakyat seputar bencana lumpur Lapindo, tapi juga bergayung-sambut dengan sikap para
wakil rakyat DPRD Jawa Timur. Pembangkangan ini merupakan pesona politik baru
dalam perlawanan rakyat terhadap penguasa.
Panitia Khusus (Pansus) Lapindo DPRD Jawa Timur melontarkan tekanan politik,
merekomendasi Pemerintah Provinsi Jawa Timur menahan setoran Dana Perimbangan
dari Jawa Timur ke pusat sebesar Rp 70 triliun.
Wakil Presiden Jusuf Kalla merespons dengan pernyataan, "jangan main gertak" karena
pemerintah pusat bisa juga menahan dana alokasi umum dan dana alokasi khusus untuk
Jawa Timur. Sikap "main gertak" ini menambah kian tidak jelasnya sikap negara terhadap
rakyat Jenggala yang hak sosial politik, ekonomi, dan budayanya sudah ditenggelamkan
lumpur panas.
Pembangkangan sipil adalah kulminasi cara yang ditempuh rakyat ketika kekuasaan
negara yang mereka amini sebagai institusi yang wajib melindungi hak-hak
kehidupannya, ternyata tidak memenuhi kewajibannya.
Pesona pembangkangan sipil yang kini marak, apakah melalui upaya menahan Dana
Perimbangan, boikot membayar pajak, cap jempol darah, rencana ngeluruk ke pusat
negara, membangun koalisi dengan parlemen daerah, mengajak pemerintah daerah
menyatukan sikap menekan pemerintah pusat, adalah puncak dari upaya negosiasi
amarah itu.
Bencana lumpur Lapindo ini bukan mustahil dapat membiak menjadi bencana sosial
politik. Ketika semua upaya negosiasi rakyat dengan korporat menemui jalan buntu,
ketika asumsi negara punya kedigdayaan melindungi rakyat dan bukan melindungi
korporat ternyata tidak terbukti, agenda apalagi yang harus dijalankan kecuali
pembangkangan sipil? Agenda rakyat Jenggala itu tampaknya diamini para wakil rakyat
Jawa Timur.

LNF
www.zeilla.wordpress.com page 10 of 99

________________________________________________________________________
"State hidden agenda"
Semua itu adalah counter rakyat terhadap state hidden agenda (agenda tersembunyi
negara) dalam kasus lumpur panas ini. Rakyat menyusun agenda tersendiri mengimbangi
agenda tersembunyi negara yang hingga kini tidak bisa diurai oleh kekuatan politik
macam apa pun. Bahkan tak peduli apakah itu sesuai prosedur atau tidak.
Pansus DPRD memberikan memo politik atau memo kebijakan kepada pemerintah pusat,
adakah itu sesuai prosedur? Bukankah keputusan pansus selayaknya disahkan dalam
sidang pleno, dan hasilnya merupakan keputusan resmi DPRD sebagai wakil rakyat
kepada pemerintah?
Tapi tampaknya, itu tidak menjadi perkara bagi para wakil rakyat itu. Tekanan politik
harus dilakukan, bahkan tuntutan cash and carry sebagaimana dituntut warga Perumahan
Tanggulangin Anggun Sejahtera (Perumtas) 1 menjadi satu-satunya agenda yang
ditawarkan untuk menolak tawaran pemerintah pusat dan Lapindo, relokasi plus.
Gubernur yang secara konstitusional adalah wakil pemerintah pusat juga diminta
menolak tawaran relokasi plus, dan memaksa Lapindo dan pemerintah pusat menyetujui
cash and carry untuk warga Perumtas 1, sama dengan kebijakan yang sudah disepakati
untuk warga Desa Siring, Reno Kenongo, dan Kedung Bendo.
Sebagai bentuk pembangkangan sipil, rekomendasi menahan Dana Perimbangan,
menolak membayar pajak, cap jempol darah, rencana ngeluruk ke Istana Presiden, boleh
jadi akan mengalami kebuntuan juga bila hidden agenda negara tidak mampu di-
jelentreh-kan.
Tapi itulah pesona pembangkangan rakyat Jenggala yang kini kian marak. Sempurnalah
semuanya, kebuntuan membuntu luapan lumpur panas, buntu bernegosiasi dengan
Lapindo, kini kebuntuan menghadang tuntutan atas kewajiban negara melindungi rakyat.
Pesona negara dan pemerintah macam apakah gerangan ini? Puluhan ribu rakyat
tercerabut dari kehidupan sosial politik, ekonomi, dan budayanya.
Terlunta-lunta secara fisik dan batiniah, didera ketidakpastian nasib, dipecundangi
kebijakan ekonomi politik bahkan hukum, dicederai korporat raksasa, dan… masya
Allah, mereka tidak bisa berpaling ke mana pun untuk membela nasib yang terpuruk,
termasuk kepada negara. Adakah kenistaan rakyat yang lebih daripada itu di suatu negeri
yang penuh tebar pesona?

Anomali
Inilah panggung adu tanding agenda negara versus agenda rakyat, yang sudah
berlangsung sepuluh bulan, dan tidak tahu kapan dan bagaimana harus diselesaikan.
Pesona pembangkangan sipil yang kini ditebarkan rakyat Jenggala, cap jempol darah,
boikot membayar pajak, menahan Dana Perimbangan daerah, "gertak" dilawan "gertak",
alangkah sempurnanya anomali itu.

LNF
www.zeilla.wordpress.com page 11 of 99

________________________________________________________________________
Bukankah merekomendasi menahan Dana Perimbangan daerah ke pusat adalah suatu
anomali? Bagaimana pula caranya? Kiat administrasi negara macam apa yang harus
ditempuh? Bukankah itu juga anomali ketika rekomendasi itu direspons sebagai gertakan,
dan dibalas gertak pula dengan menahan dana alokasi umum dan dana alokasi khusus
dari pusat ke Jawa Timur?
Bukankah anomali pula ketika Pansus DPRD tanpa melalui sidang pleno mengajukan
memo kebijakan ke pemerintah pusat? Bukankah juga anomali, boikot membayar pajak?
Pajak mana yang harus diboikot? Pajak rakyat ke pusat atau pajak rakyat ke kas daerah?
Bukankah lagi-lagi anomali dengan berkilah mengatakan kesepakatan membayar ganti
rugi/ganti untung oleh Lapindo hanya sebagai tanggung jawab moral, karena Lapindo
belum ditetapkan secara hukum sebagai penyebab melubernya lumpur?
Bukankah anomali, keputusan melakukan pembangkangan sipil di suatu negara hasil
reformasi yang menebah dada mengagulkan (membanggakan) transparansi, akuntabilitas,
demokrasi, pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN)? Sungguh, lumpur
panas Lapindo di Bumi Jenggala ini sedang memercikkan api sosial politik, yang boleh
jadi kian membara.
Di mana kesulitan negara mengambil kebijakan guna melindungi rakyatnya dari ulah
suatu korporat besar? Bukankah presiden—kalau mau—bisa mendelegasikan otoritas
kepada pemerintah daerah untuk mengambil alih perkara, dan dengan otoritas penuh atas
nama presiden, gubernur ditugaskan memimpin institusi pengganti Tim Nasional?
Dengan otoritas penuh dari presiden sebagai kepala pemerintahan, gubernur, kalau perlu
dapat melikuidasi semua aset korporat Lapindo untuk diperhitungkan guna membayar
semua kerugian ekonomi, sosial politik, serta budaya yang makin hari makin besar di
Jawa Timur. Bukankah masih banyak sumur pengeboran Lapindo di Sidoarjo di luar
sumur Banjar Panji 1 yang bermasalah itu?
Seandainya keuntungan dari berbagai sumur itu, diaudit secara transparan, bukankah
semua bencana kehidupan sosial ekonomi politik dan budaya yang menimpa rakyat
Sidoarjo dan Jawa Timur ini bisa diurai?
Tapi semua itu butuh komitmen pemerintah pusat, butuh komitmen negara memenuhi
kewajibannya melindungi rakyat bukannya melindungi korporat, sebesar apa pun
keuntungan negara yang diperoleh dari korporat itu, termasuk sedekat apa pun hubungan
penguasa dengan pemilik korporat itu.
Tanpa ketegasan komitmen negara, tanpa ketegasan pengambil keputusan tertinggi
pemerintahan, lumpur panas ini akan kian membakar semangat pembangkangan sipil
rakyat Jenggala, yang bukan mustahil dapat membiak ke seluruh rakyat Jawa Timur.
Apabila hal itu terjadi, sikap penuh keraguan dan kemampuan tebar pesona, tidak akan
mungkin bisa meredamnya. (***)

LNF
www.zeilla.wordpress.com page 12 of 99

________________________________________________________________________
URL Source: http://kompas.com/kompas-cetak/0612/02/Fokus/3134959.htm

Bencana Lumpur Lapindo, Lapindo Tak Bisa Lari


Oleh: Harry Ponto
Upaya kelompok usaha Bakrie menjual kepemilikan PT Energi Mega Persada Tbk di
Lapindo Brantas Inc kandas untuk kedua kalinya.
Upaya pertama dilakukan pertengahan September lalu kepada Lyte Limited, perusahaan
Kepulauan Jersey, Inggris, yang masih terafiliasi dengan kelompok usaha Bakrie. Yang
kedua masih hangat karena terjadi di bulan November kepada Freehold Group Limited,
perusahaan British Virgin Island. Jika yang pertama harga jualnya 2 dollar AS (sekitar Rp
18.000), yang kedua seharga 1 juta dollar AS (sekitar Rp 9,1 miliar).
Polemik atas rencana penjualan tersebut tentu tidak terhindarkan karena tanggung jawab
Lapindo yang sangat besar akibat lumpur panas di Sidoarjo. Menurut pemberitaan,
lumpur sudah merendam tiga kecamatan, dan luas luberan lumpur mencapai 400 hektar.
Dalam waktu sekitar enam bulan, lebih dari 15.000 warga harus mengungsi dan
kehilangan tempat tinggal (Kompas, 30/11). Biaya penanggulangan, konon, bisa
mencapai 170 juta dollar AS (sekitar Rp 1,6 triliun), ditambah dengan biaya relokasi
sebesar Rp 1 triliun-Rp 2 triliun.
Pertanyaannya, mengapa kelompok usaha Bakrie begitu gigih hendak menjual Lapindo?
Apakah penjualan itu semata-mata untuk melindungi pemegang saham minoritas?
Atau, seperti ungkapan dalam bahasa Latin, in cauda venenum (racun ada di buntut/ekor),
adakah maksud lain yang tersembunyi, semisal, pengalihan tanggung jawab? Tentu patut
juga dipertanyakan peran yang seharusnya dilakukan negara sehubungan dengan
penanggulangan masalah ini.
Dari pemberitaan diketahui, alasan penjualan Lapindo adalah untuk melindungi
pemegang saham minoritas di Energi Mega yang sekitar 30 persen. Sekitar 70 persen
saham Energi Mega terkait dengan kelompok usaha Bakrie. Keberadaan Lapindo,
katanya, hanya akan menggerogoti Energi Mega.
Disebutkan juga, penjualan Lapindo adalah penjualan peluang usaha (baca: memperoleh
keuntungan) karena Blok Brantas masih menjanjikan. Risiko tetap akan menjadi
tanggung jawab kelompok usaha Bakrie.
Jika alasan penjualan itu adalah yang sesungguhnya, penjualan Lapindo tidak diperlukan.
Jika benar kelompok usaha Bakrie akan menanggung seluruh beban biaya, kelompok
usaha Bakrie cukup membuat perjanjian penjaminan yang menegaskan bahwa seluruh
biaya penanggulangan menjadi beban dan tanggung jawabnya.
Jika perlu, para pengendali kelompok usaha Bakrie memberikan jaminan pribadi untuk
menanggung biaya tersebut. Dengan melakukan ini, akan tercapai maksud baik kelompok
usaha Bakrie agar Energi Mega, dan para pemegang saham minoritasnya, tidak

LNF
www.zeilla.wordpress.com page 13 of 99

________________________________________________________________________
digerogoti oleh Lapindo.
Akibat kegagalan pengeboran sumur Banjar 1 yang dituding menjadi biang semburan
lumpur panas, pemegang saham minoritas Energi Mega telah kehilangan kesempatan
memperoleh keuntungan.
Jika Lapindo dijual, Energi Mega dan pemegang saham minoritas akan selamanya
kehilangan Lapindo sebagai sumber pendapatan potensial. Padahal, kata kelompok usaha
Bakrie, Lapindo memiliki sejumlah sumur yang masih menjanjikan untuk dikembangkan
sebagai ladang minyak dan gas.
Dengan memberikan penjaminan, maksud melindungi kepentingan pemegang saham
minoritas, sekali lagi, tentu akan tercapai karena mereka tidak perlu kehilangan Lapindo.

Tanggung jawab Bakrie


Karena ada dugaan terjadinya kesalahan atau penyalahgunaan perseroan untuk
kepentingan pribadi pemegang saham, tidak mustahil tuntutan kepada pemegang saham
Lapindo akan sangat besar jumlahnya.
Mungkin terjadi pengeboran yang lupa memasang pengaman (casing) merupakan akibat
penyalahgunaan perseroan untuk kepentingan pribadi pemegang saham. Jika terbukti,
sesuai prinsip piercing the corporate veil dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas,
tanggung jawab pemegang saham bisa menjadi tidak terbatas lagi.
Walau mungkin sudah berdamai, gugatan PT Medco E&P Brantas ke arbitrase adalah
bukti awal adanya kecerobohan atau kesalahan.
Medco bersama Santos Brantas Pty Ltd adalah rekan Lapindo dalam pengembangan Blok
Brantas di Sidoarjo. Jika pemegang saham sebenarnya (ultimate beneficiary) adalah
kelompok usaha Bakrie (sekitar 70 persen di Energi Mega), pertanggungjawaban tidak
terbatas itu mungkin saja menembus sampai ke kelompok usaha Bakrie.
Dari prinsip piercing the corporate veil yang juga berlaku di banyak negara lain, patut
diduga bahwa tujuan pelepasan kepemilikan di Lapindo mungkin tidak semata karena
alasan perlindungan pada pemegang saham minoritas Energi Mega selaku pemilik
Lapindo.
Karena, seperti ungkapan terkenal dari ekonom terkemuka Amerika, Milton Friedman,
peraih Hadiah Nobel bidang ekonomi tahun 1976, there is no such as a free lunch, tidak
ada yang gratis dalam kehidupan ini. Lagi pula, memang sudah menjadi sifat pebisnis
untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya.
Dari uraian di atas, tindakan Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) yang dua kali
melarang terjadinya penjualan Lapindo patut diacungi jempol. Bapepam selaku regulator
pasar modal tidak hanya melindungi kepentingan pemegang saham publik, tetapi juga
kepentingan masyarakat luas karena belum jelas siapa yang mesti bertanggung jawab atas
dampak lumpur Sidoarjo.

LNF
www.zeilla.wordpress.com page 14 of 99

________________________________________________________________________
Keppres No 13/2006
Secara berulang dikesankan di media massa bahwa Lapindo tetap bertanggung jawab atas
semua biaya penanganan dampak semburan lumpur panas di Sidoarjo sesuai Keputusan
Presiden (Keppres) Nomor 13 Tahun 2006. Akibatnya, banyak yang bertanya tentang
nasib korban setelah berakhirnya keppres.
Sesungguhnya Keppres itu tidak mengatur tentang tanggung jawab biaya penanganan
semburan lumpur Sidoarjo. Yang diatur adalah pembentukan Tim Nasional
Penanggulangan Semburan Lumpur di Sidoarjo dengan masa kerja sampai enam bulan (7
Maret 2007) dan dapat diperpanjang.
Dalam Butir 5 Keppres memang disebutkan, pembentukan Tim Nasional tidak
mengurangi tanggung jawab Lapindo untuk melakukan penanggulangan dan pemulihan
kerusakan lingkungan hidup dan masalah sosial yang ditimbulkannya.
Namun, ketentuan itu hanya merupakan penegasan atas tanggung jawab Lapindo, dan
bukan dasar hukum pertanggungjawaban Lapindo. Karena itu, Lapindo demi hukum tetap
bertanggung jawab atas dampak semburan lumpur sekalipun masa tugas Tim Nasional
telah berakhir.

Tugas negara
Sudah menjadi tugas negara, dalam hal ini pemerintah, untuk menjamin adanya
kehidupan yang nyaman, aman, dan tenteram serta memajukan kesejahteraan rakyatnya.
Yang terjadi sekarang ini adalah tercerabutnya hak asasi masyarakat Sidoarjo secara
besar-besaran.
Yang terjadi tidak hanya hilangnya hak untuk memiliki (harta benda) dan kebebasan
untuk mencari nafkah, tetapi juga hak hidup karena lumpur Sidoarjo itu sudah memakan
korban nyawa sedikitnya 12 orang.
Dengan segala kewenangan dan perlengkapan yang dimilikinya, pemerintah tentu dapat
mempercepat penanggulangan dampak lumpur panas. Selain itu, jika pemerintah serius,
Bapepam jangan dibiarkan sendiri. Bagaimana dengan hasil penyidikan pihak kepolisian
yang sampai saat ini nyaris tak terdengar?
Bagaimana pula dengan Badan Pelaksana Migas yang mestinya lebih aktif agar
masyarakat mengetahui secara jelas duduk persoalannya? Tentu tidak diharapkan jika
pembentukan Tim Nasional hanya menjadi konsumsi politik yang akhirnya hanya
mengaburkan tentang siapa yang sesungguhnya harus bertanggung jawab. (***)

LNF
www.zeilla.wordpress.com page 15 of 99

________________________________________________________________________
URL Source:
http://www.korantempo.com/korantempo/2007/03/01/Opini/krn,20070301,65.id.html

Lumpur Lapindo Menjelang 8 Maret


Oleh: Bambang Widjojanto
Sembilan bulan berlalu, dan hingga kini masih belum jelas ujung derita yang timbul
akibat dahsyatnya semburan lumpur di ladang pengeboran Lapindo Brantas Inc. Aneka
upaya yang diambil pun sejauh ini tampaknya belum memenuhi harapan. Di tengah itu
semua, masa tugas Tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur di Sidoarjo yang
dibentuk melalui Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2006 akan selesai pada 8 Maret
mendatang. Pertanyaannya kemudian, siapa atau lembaga apa yang kelak harus diberi
tugas menghentikan semburan Lumpur.
Ada beberapa isu utama menyangkut lembaga baru ini. Pertama, sejauh mana lingkup
tugasnya dalam mengelola dampak yang muncul serta apa kewenangannya guna
mengambil langkah-langkah strategis meminimalisasi kerusakan yang lebih masif, baik
di berbagai sektor kehidupan masyarakat maupun lingkungan hidup. Dan kedua, seberapa
besar lembaga ini memiliki sumber-sumber pembiayaan untuk mengoptimalkan tugas
dan kewenangannya.
Jawaban tegas untuk soal ini tentu tak mungkin kita berikan di sini. Yang ingin kita bahas
justru masalah krusial dan sensitif, yang mestinya bisa dijawab lebih dulu sebelum
pertanyaan di atas tadi, yakni tentang siapa sebenarnya yang harus bertanggung jawab,
serta seberapa besar dia harus bertanggung jawab dalam mengelola keseluruhan dampak
yang muncul dari lumpur Lapindo.
Jika kita mendekati masalah ini melalui pendekatan pidana, ada prinsip dasar yang harus
ditegakkan di sini: "tiada pertanggungan jawab tanpa kesalahan serta tiada pidana tanpa
kesalahan". Berpijak pada kaidah ini, tidaklah mungkin Lapindo Brantas Inc. dapat
dimintai pertanggungjawaban menyeluruh untuk memikul segenap akibat yang muncul
dari semburan lumpur jika tidak pernah dibuktikan bahwa ada kesalahan atau tindakan
melawan hukum yang secara nyata telah dilakukannya sehingga menyebabkan terjadinya
semburan lumpur. De facto hingga kini, Lapindo Brantas Inc. belum dinyatakan telah
terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan kesalahan.
Untuk itu, tidak pula berlebihan jika harus dikaji, bahkan dilakukan penyelidikan dan
penyidikan, untuk menentukan apakah ada elemen-elemen yang dapat bersifat deceit
(kecurangan), concealment of facts (penyembunyian kenyataan), illegal circumvention
(pengelakan peraturan), atau subterfuge (akal-akalan) dalam proses operasi pengeboran.
Semua itu untuk menentukan sifat melawan hukum guna mengkualifikasi ada-tidaknya
kesalahan yang telah dilakukan oleh Lapindo Brantas Inc.
Jikapun hari ini, setidaknya per akhir Januari lalu, telah dikeluarkan dana US$ 85,9 juta
atau setara dengan Rp 773 miliar sebagai bagian dari iktikad baik Lapindo Brantas Inc.
mengatasi dampak yang muncul, itu tidak dapat diartikan sebagai bentuk tanggung jawab
hukum dari korporasi. Karena itu, tidak mengherankan bila kemudian Lapindo Brantas

LNF
www.zeilla.wordpress.com page 16 of 99

________________________________________________________________________
Inc. pernah membuat pernyataan yang menegaskan bahwa total dana yang dianggarkan
perusahaan untuk penanggulangan lumpur sesuai dengan kesepakatan dengan pemerintah
hanya US$ 170-180 juta.
Salah satu media mengutip pendapat sebuah lembaga keuangan, UBS AG, yang menaksir
biaya yang harus dikeluarkan untuk penanggulangan bencana lumpur US$ 750 juta atau
sekitar Rp 6,8 triliun. Bandingkan juga dengan jumlah kerugian yang dituntut Wahana
Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dalam gugatannya yang mencapai angka Rp 33
triliun. Belum lagi beberapa taksiran lembaga lain yang mencoba merumuskan nilai
kerugian yang muncul akibat semburan lumpur.
Uraian mengenai besarnya kerugian ini hendak menegaskan: pertama, belum ada yang
dapat memastikan jumlah kerugian; dan kedua, apa mungkin Lapindo Brantas Inc. dapat
dimintai pertanggungjawaban. Juga apakah mereka mau bertanggung jawab atas semua
biaya dan kerugian yang muncul untuk menanggulangi semburan lumpur jika tidak dapat
dibuktikan adanya kesalahan mereka dalam kasus ini.
Itu sebabnya, tidaklah mengherankan bila ada sinyalemen yang menyatakan adanya suatu
usaha yang kian sistematis untuk mengkualifikasi semburan lumpur Lapindo sebagai
bencana alam semata, dan bukan karena kesalahan prosedur pengeboran. Sinyalemen ini
berimpitan dengan kecenderungan yang memperlihatkan adanya satu upaya menutupi
kesalahan pihak yang bertanggung jawab, atau setidak-tidaknya meminimalisasi derajat
kesalahannya. Indikasinya bisa didapatkan dari ketidakjelasan dan akuntabilitas proses
penyidikan atas dugaan kelalaian dalam proses pengeboran yang menjadi penyebab
utama munculnya bencana semburan lumpur.
Tanpa bermaksud menyamakan kasus lumpur Lapindo dengan modus kejahatan yang
dilakukan Enron Corp., ternyata kejahatan itu ditopang oleh perusahaan auditor Arthur
Andersen yang mengaudit laporan keuangan Enron Corp. Hal serupa juga terjadi pada
kasus WorldCom Inc., yang melakukan accounting scandal. Pada kasus ini, seorang
controller WorldCom mengakui kesalahannya karena memalsukan laporan keuangan;
dan yang mengejutkan, dia juga membuat pernyataan bahwa tindakan yang dilakukannya
itu atas perintah atasannya untuk membuat markup pendapatan perusahaan hingga
mencapai US$ 5 miliar selama 18 bulan. Fakta ini hendak menegaskan, pada kejahatan
bisnis, otoritas asosiasi dan para atasan mempunyai potensi dan peran penting untuk
melegalisasikan suatu kejahatan dan sekaligus menjadi pelaku intelektual kejahatan.
Hal lain yang juga terjadi, ada upaya sistematis lainnya untuk mengalihkan kepemilikan
Lapindo Brantas Inc. yang semula berinduk pada PT Energi Mega Persada Tbk. ke pihak
lain. Di satu sisi, penjualan Lapindo Brantas Inc. dapat saja dilakukan agar tidak
mengganggu keseluruhan perusahaan bisnis dari holding company yang membawahkan
Lapindo Brantas Inc. Tapi penjualan itu juga dapat dimaksudkan untuk mengingkari
tanggung jawab.
Belum jelas betul apakah Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) tetap menolak
penjualan Lapindo kepada Freehold Group Ltd. karena tetap belum mendapat
persetujuan. Ada silang sengketa mengenai persetujuan itu, tapi Bapepam memang harus
memeriksa agar pengalihan ini tidak sekadar modus untuk mengingkari tanggung jawab

LNF
www.zeilla.wordpress.com page 17 of 99

________________________________________________________________________
yang seharusnya dipikul bila kelak terbukti ada kesalahan yang dilakukan oleh Lapindo
Brantas Inc.
Perdebatan di atas juga dapat diimbuhi dengan diskursus mengenai batas tanggung jawab
perseroan sesuai dengan ketentuan korporasi yang dirumuskan dalam Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas. Pasal 3 ayat 1 UU Perseroan Terbatas
menegaskan bahwa pemegang saham hanya bertanggung jawab sebatas nilai saham yang
dimilikinya.
Pendeknya, persero tidak dapat dituntut untuk bertanggung jawab atas kerugian yang
melebihi nilai saham atau kekayaan korporasi. Meski perlu dicatat, undang-udang itu pun
mengenal doktrin piercing the corporate veil, yang memberi peluang menuntut
pertanggungjawaban dari pemegang saham. Bahkan harta kekayaan direktur dan
komisaris dapat ditanggungkan bila terbukti terjadi tindakan yang dilakukan direktur dan
komisaris melebihi batas kewenangan yang dimiliki.
Selain itu, bukan tidak mungkin Lapindo Brantas Inc. akan mengambil tindakan untuk
mempailitkan dirinya sendiri (voluntary bankruptcy) atau pihak lain yang
mempailitkannya, sehingga dia tidak bisa dituntut lagi untuk menanggung kerugian yang
muncul. Keseluruhan tindakan itu dapat berpucuk pada suatu maksud yang ditujukan
untuk meminimalisasi, mengalihkan, dan/atau mengingkari tanggung jawab yang harus
dipikul atas semburan lumpur Lapido. Itu sebabnya, tak mengherankan bila Lapindo
menolak memberikan ganti rugi kepada warga Perumahan Tanggulangin Anggun
Sejahtera. Dan kondisi ini dapat menyebabkan potensi konflik yang serius dan sangat
mengkhawatirkan.
Dari uraian itu, kita menemukan suatu keadaan ketika potensi kerugian akibat semburan
lumpur akan kian meluas, tapi Lapindo Brantas Inc. akan menolak bertanggung jawab
memberikan ganti kerugian. Sementara itu, alasan dan dasar hukum yang dapat memaksa
Lapindo Brantas Inc. belum ada, karena proses hukumnya tidak jelas--kecuali gugatan
yang diajukan Walhi. Dan jika tak ada kesalahan yang bisa dibuktikan, tidaklah mungkin
dituntut suatu pertanggungjawaban secara penuh dari Lapindo.
Dalam situasi begini, upaya pembuktian mengenai siapa sesungguhnya penyebab
timbulnya semburan lumpur itu menjadi tak bisa ditawar. Benarkah akibat kelalaian
teknis dalam pengeboran yang dilakukan Lapindo atau memang bencana alam seperti
akhir-akhir ini dicoba "dikampanyekan".
Tanpa ketegasan dalam hal ini, perdebatan selanjutnya tentang siapa yang mesti bertugas
menggantikan Tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur di Sidoarjo, termasuk
lingkup kewenangan dan sumber dananya, pasti tak akan pernah bisa tuntas dan terasa
adil bagi semua pihak. Inilah pekerjaan yang harus diselesaikan sebelum 8 Maret nanti.
(***)

LNF
www.zeilla.wordpress.com page 18 of 99

________________________________________________________________________
URL Source: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/berita-utama/negara-dan-
lumpur-

Kasus Lumpur Lapindo , Negara dan Lumpur Sidoarjo


Oleh: Muhammad Qodari
APAKAH Anda sudah pernah merasakan dampak semburan lumpur di Sidoarjo? Saya
sudah, ketika harus pergi ke Kota Batu, Malang, beberapa bulan lalu. Gara-gara Lusi
(Lumpur Sidoarjo) menggenangi jalan tol Porong–Gempol di Sidoarjo, perjalanan saya
ke Malang harus memutar sehingga lebih lambat 3–4 jam.
Dampak tersebut bisa dikategorikan sebagai dampak paling ringan dari semburan Lusi.
Cuma, itu saja sudah bikin kesal. Maklum, perjalanan menjadi lebih lama, terjebak
macet, dan bensin yang dihabiskan lebih banyak. Kesulitan yang dialami warga yang
tinggal di Jawa Timur tentu lebih besar.
Kesulitan itu semakin hari semakin besar dan meluas. Hal ini karena semburan lumpur
terus membesar hingga mencapai 126 ribu kubik (m3) per hari atau setara dengan
792.540 barel. Hampir mendekati produksi rata-rata minyak bumi Indonesia saat ini yang
sekitar 1 juta barel per hari. Semburan itu juga tak kunjung henti. Akibatnya, wilayah
yang terancam Lusi semakin meluas hingga semakin banyak rumah penduduk, pabrik,
dan fasilitas umum yang terkena dampak langsungnya.
Ledakan pipa gas yang terjadi Rabu (22/11) semakin memperbesar skala kesulitan yang
timbul akibat Lusi. Bukan hanya karena ledakan itu memakan tak kurang dari 11 orang
meninggal dan dua lainnya hilang, ledakan juga menyebabkan pasokan gas yang
dibutuhkan untuk pembangkit tenaga listrik dan untuk industri terputus. Akibat
penurunan pasokan listrik, sebagian wilayah Jakarta terpaksa mengalami pemutusan
listrik.
Dampak langsung Lusi di ujung timur Pulau Jawa akhirnya dirasakan sampai Jakarta
yang terletak di ujung barat Pulau Jawa. Ledakan pipa gas telah menjebol tanggul yang
dibuat untuk melindungi jalan tol Porong– Gempol. Akibatnya, jalan tol sepanjang 1 km
tergenang lumpur dengan kedalaman 2–3 meter. Dalam rapat terbatas pascaledakan pipa
gas, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang notabene orang Jawa Timur,
menginstruksikan agar jalan tol ditutup secara permanen.
Berkurangnya pasokan listrik, gas, dan ditutupnya jalan tol pada saat bersamaan akan
menimbulkan biaya ekonomi yang jauh lebih besar. Semburan lumpur di Sidoarjo
berawal dari kegiatan pengeboran minyak yang dilakukan Lapindo Brantas Inc yang
sahamnya dimiliki Kalila dan Pan Asia Enterprise. Kalila dan Pan Asia Enterprise sendiri
merupakan anak perusahaan PT Energi Mega Persada yang 70% sahamnya dimiliki
kelompok usaha Bakrie.
Sampai saat ini tidak ada kesimpulan pasti apakah semburan itu terjadi karena kesalahan
teknis yang dibuat Lapindo dalam pengeboran atau gejala alam. Yang jelas, keluarnya
lumpur dari lubang yang dibuat Lapindo menjadikan tanggung jawab penanganan Lusi
jatuh ke tangan Lapindo dan pengelolanya. Dengan latar belakang itu, seyogianya semua

LNF
www.zeilla.wordpress.com page 19 of 99

________________________________________________________________________
penanganan dampak semburan Lusi menjadi tanggung jawab Lapindo.
Masalahnya, semburan lumpur semakin besar dan semakin luas. Dampaknya juga
mengenai penduduk, pabrik, dan berbagai fasilitas umum seperti jalan tol, rel kereta,
jaringan listrik, dan pipa gas yang ada di daerah tersebut sehingga pemerintah daerah dan
akhirnya pemerintah pusat ikut turun tangan.
Keluarlah Keppres No 13/2006 yang mengatur penanganan Lusi dan pembentukan Tim
Nasional Penanganan Semburan Lumpur di Sidoarjo (PSLS) di mana Menteri Energi dan
Sumber Daya Mineral (ESDM) Purnomo Yusgiantoro menjadi Ketua dewan
pengarahnya. Dengan Keppres No 13/2006 dan Timnas PSLS, negara (baca: pemerintah
pusat) telah memainkan peranannya.
Timnas PSLS dibagi dalam tiga kelompok kerja. Kelompok 1 berusaha menghentikan
semburan. Kelompok 2 mencari cara penanganan lumpur yang keluar. Kelompok 3
menangani aneka dampak sosial dan ekonomi yang ditimbulkannya. Di Timnas sendiri,
bekerja aparatur dan para ahli dari berbagai departemen, seperti ESDM, Perikanan dan
Kelautan, Lingkungan Hidup, dan lain-lain.
Masalahnya sekarang adalah sejauh mana peran negara itu dirasakan manfaatnya oleh
masyarakat dan dunia usaha sampai dengan hari ini? Menjelang enam bulan semburan
pada 29 November ini (semburan Lusi pertama kali terjadi pada 29 Mei 2006), kelompok
1 belum berhasil menghentikan lumpur yang keluar. Dari sekian pilihan teknik yang
ditawarkan, Timnas memilih membuat dua relief well (pengeboran dari samping).
Saya tidak tahu persis bagaimana relief well ini bekerja, tapi dari newsletter edisi V,
November 2006, yang diterbitkan Timnas LSPS, diinformasikan bahwa pengeboran relief
well 1 telah mencapai kedalaman 3.533 kaki dan casing pertama sudah dipasang.
Sementara pengeboran relief well 2 telah mencapai 1.170 kali. Ditargetkan, Desember
pembuatan kedua relief well akan selesai sehingga Januari 2007 barulah semburan Lusi
dapat dihentikan.
Apakah benar berhenti? Ini pertanyaan yang tentu kita nanti-nanti jawabnya. Adapun
kelompok 2 telah melakukan setidaknya dua tugas besar. Pertama, pembuatan dan
penguatan tanggul-tanggul kolam penampungan lumpur. Kolam yang dibangun sudah
sekitar 450 hektare. Menurut Rudy Novrianto, juru bicara Timnas PSLS, kolam ini dapat
menampung 13 juta kubik lumpur sementara lumpur yang ada sekarang 11 juta kubik.
Kelompok 2 juga harus selalu menjaga agar tanggul-tanggul ini tidak jebol dan menutup
kembali tanggul yang jebol sejauh memungkinkan. Kedua, membuat spill way (saluran
pelimpahan) untuk membuang lumpur dari kolamkolam ke Sungai Porong yang
harapannya akan mengalirkan lumpur ke Selat Madura. Spill way telah diuji coba pada 2
November dan dianggap berhasil dengan bukti susutnya lumpur di kolam 5 sekitar 1,5
meter dalam dua hari.
Keberhasilan kelompok 2 patut diapresiasi walaupun kita masih menunggu hasil secara
keseluruhan. Kendala yang menunggu di depan adalah kerusakan spill way dan pompa
penyaluran ke Sungai Porong, potensi curah hujan yang melebihi kapasitas spill way

LNF
www.zeilla.wordpress.com page 20 of 99

________________________________________________________________________
sehingga lumpur meluber keluar kolam, menumpuknya lumpur di Sungai Porong karena
tidak terbawa ke laut, dan potensi kerusakan alam akibat pembuangan lumpur di Sungai
Porong dan Selat Madura.
Untuk kelompok 3, tugas mereka adalah menangani evakuasi dan relokasi warga yang
rumahnya tergenang lumpur dan ganti kerugian yang ditimbulkan akibat hilangnya mata
pencarian masyarakat yang lahan kerja atau pabriknya terpaksa tutup. Pekerjaan mereka
akan semakin luas apabila semburan lumpur terus melebar hingga mengancam wilayah
pemukiman dan industri lainnya.

Peran Lain
Tugas-tugas Timnas LSPS di atas jelas sangat berat. Apalagi di luar tugas-tugas di atas,
setidaknya masih ada empat pekerjaan rumah lain yang besar seperti merelokasi jalan tol,
rel kereta api, jaringan listrik, dan pipa gas yang harus dipindahkan sebagai akibat
langsung dan akibat sampingan dari semburan Lusi.
Apakah ini juga menjadi tugas Timnas, tim lain, ataukah diserahkan pada departemen dan
institusi lain yang membawahi keempat masalah di atas, kita tunggu peran yang tegas
dari negara. Ketegasan lain yang ditunggu dari pemerintah berkaitan dengan status
kepemilikan Lapindo Brantas yang oleh Keppres 13/2006 ditunjuk untuk menanggung
semua biaya sosial dan teknis yang harus keluar akibat semburan lumpur Sidoarjo.
Diberitakan bahwa Energi Mega Persada (EMP) telah menjual saham Lapindo Brantas
kepada Freehold Group Ltd. Penjualan saham ini telah menimbulkan kontroversi tentang
tanggung jawab kelompok usaha Bakrie selaku pemilik saham mayoritas terhadap
kelanjutan penanganan masalah Lusi di masa yang akan datang. Nirwan D Bakrie selaku
pemilik kelompok usaha Bakrie telah menyatakan bahwa mereka tidak akan lari dari
tanggung jawab.
Masalahnya, publik akan berpikir, bagaimana pertanggungjawaban itu secara legal bisa
dimintakan kepada Bakrie apabila pemilik Lapindo telah beralih ke pemilik baru.
Apalagi, jika pemilik baru itu diragukan kredibilitasnya. Di sinilah pemerintah, lewat
lembaga yang berwenang menangani masalah penjualan saham ini (misalnya Bapepam),
diharapkan ketegasannya. Ketegasan itu bisa menjadi hal yang sulit, tetapi juga bisa
mudah terkait dengan keberadaan Menko Kesra Aburizal Bakrie di dalam pemerintahan
sekarang ini. (***)

LNF
www.zeilla.wordpress.com page 21 of 99

________________________________________________________________________
URL Source: http://kompas.com/kompas-cetak/0701/23/opini/3206257.htm

Pelanggaran HAM Kasus Lapindo


Oleh: Salahuddin Wahid
Semburan lumpur panas yang mengandung hidrogen sulfida H2
Akibatnya, penduduk di empat desa harus mengungsi. Mereka kehilangan rumah, sawah,
pekerjaan, dan kehidupan sosial. Bencana itu juga mengakibatkan pencemaran air, tanah,
dan udara.
Hingga kini, penyebab musibah itu tidak pernah jelas akibat aktivitas alam atau kesalahan
pengeboran oleh Lapindo Brantas Inc. Ada yang menyatakan, fenomena semburan
lumpur itu termasuk hal biasa dalam dunia pertambangan dan merupakan risiko yang
sering terjadi.
Namun, harus diingat, hanya di Indonesia pertambangan boleh dilakukan di permukiman
seperti di Sidoarjo. Maka, sesuai prinsip pertanggungjawaban dalam hukum lingkungan,
Lapindo Brantas Inc mutlak (absolut liability) harus bertanggung jawab atas dampak
lumpur panas tanpa melihat apakah itu kesalahan aktivitas Lapindo Brantas atau tidak. Di
sisi lain, karena dalam perkembangannya bencana itu mengakibatkan pelanggaran HAM,
negara juga harus bertanggung jawab tanpa menghilangkan tanggung jawab perusahaan.

Pelanggaran HAM
Bencana lumpur panas menggenangi empat desa di Kecamatan Porong, Kabupaten
Sidoarjo, dan ribuan penduduknya kehilangan tempat tinggal dan pekerjaan. Mereka
kehilangan lingkungan yang sehat untuk tumbuh dan berkembang. Anak-anak mereka
terhambat perkembangan dan pendidikannya. Korban akan kian besar jika diperhitungkan
dampak bencana itu menghambat aktivitas ekonomi dan sosial masyarakat Jawa Timur.
Bencana itu telah menimbulkan kondisi yang mengakibatkan tidak terlindungi dan
terpenuhinya hak asasi korban. Hak-hak yang terlanggar antara lain:
Pertama, hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan seperti
dijamin dalam Pasal 27 Ayat (2) UUD 1945.
Kedua, hak untuk bekerja, mendapat imbalan, dan perlakuan adil dan layak dalam
hubungan kerja sebagaimana dijamin Pasal 28D Ayat (2) UUD 1945.
Ketiga, hak untuk hidup serta mempertahankan hidup dan kehidupannya sebagaimana
dijamin Pasal 27A UUD 1945.
Keempat, hak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta
benda yang di bawah kekuasaannya, serta hak atas rasa aman dan perlindungan dari
ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi
seperti dijamin Pasal 28G Ayat (1) UUD 1945.

LNF
www.zeilla.wordpress.com page 22 of 99

________________________________________________________________________
Kelima, hak untuk hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapat
lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta hak mendapat layanan kesehatan
sebagaimana dijamin Pasal 28H Ayat (1) UUD 1945.
Keenam, hak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasar; hak mendapat
pendidikan dan manfaat dari ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan budaya, demi
meningkatkan kualitas hidup dan demi kesejahteraan manusia seperti dijamin Pasal 28C
UUD 1945.
Ketujuh, hak anak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang sebagaimana
dijamin Pasal 28B Ayat (2) UUD 1945.
Pasal 28I UUD 1945 mengamanatkan, perlindungan, pemajuan, penegakan, dan
pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.
Untuk itu, dalam kasus lumpur Sidoarjo pemerintah harus bertanggung jawab tanpa
menghilangkan tanggung jawab Lapindo Brantas Inc.

Langkah penting
Adalah ironi, bencana yang sudah terjadi tujuh bulan belum ditangani dengan baik.
Bahkan, hingga kini belum ada keputusan yang menyatakan, apakah semburan lumpur
dapat dihentikan dalam waktu dekat atau tidak.
Selain ganti rugi bagi korban, yang lebih penting adalah memberi kepastian dan pilihan
yang menentukan masa depan korban yang lama terkatung-katung.
Jika semburan itu mungkin dihentikan dalam waktu dekat, yang dibutuhkan adalah
penampungan sementara yang memenuhi kelayakan hingga dapat menempati tempat
tinggal semula. Tentu harus disiapkan pembangunan kembali perumahan, infrastruktur
dan fasilitas sosial yang rusak terendam lumpur. Tidak kalah penting, menyiapkan
program ekonomi untuk mengembalikan penghidupan korban yang dalam jangka panjang
tidak akan dapat menggantungkan pada lahan persawahan atau tambak.
Jika semburan lumpur itu tidak dapat dihentikan dalam waktu dekat, harus segera
diputuskan adanya relokasi korban.
Persoalan paling krusial adalah menentukan apakah relokasi itu dilakukan di wilayah
Kabupaten Sidoarjo sendiri atau ke wilayah lain karena menyangkut identitas kelahiran
dan ikatan nenek moyang yang tidak mudah dihilangkan. Karena itu, proses relokasi
harus benar-benar dilakukan secara partisipatif tanpa pemaksaan. Relokasi juga harus
dilakukan dengan menyediakan sarana perumahan, infrastruktur memadai, fasilitas umum
dan sosial, serta ketersediaan lapangan kerja baru sesuai keahlian yang dimiliki masing-
masing korban.

Tidak ada kepastian


Jika melihat perkembangan hingga kini, tampak belum ada kepastian apakah bencana itu
bisa diatasi atau tidak. Korban seharusnya sudah mendapat kepastian dan pilihan bagi
masa depannya. Membiarkan nasib mereka terkatung-katung akan membuat mereka

LNF
www.zeilla.wordpress.com page 23 of 99

________________________________________________________________________
seperti orang jatuh yang tertimpa tangga.
Dalam negara dengan sistem ekonomi pasar, kualitas birokrasi yang buruk akan
menghasilkan kualitas regulasi yang buruk pula. Jika ini terjadi, mekanisme pasar akan
melahirkan benih-benih destruktif yang dalam jangka panjang berpotensi menimbulkan
konflik sosial. Dalam pidato pelantikan menjadi Presiden AS (1961), John F Kennedy
mengatakan, "If a free society cannot help the many who are poor, it cannot save the few
who are rich".
Dari pengamatan atas kasus Lapindo Brantas, kita melihat masalah utama ialah kualitas
birokrasi. Kualitas birokrasi inilah yang akan menentukan seberapa efektif kebijakan
publik dilaksanakan. Reformasi birokrasi menjadi sesuatu yang kini mendesak dilakukan.
Tanpa disertai reformasi birokrasi secara mendasar, kebijakan sehebat apa pun hanya
akan indah di atas kertas.(***)

LNF
www.zeilla.wordpress.com page 24 of 99

________________________________________________________________________
URL Source: http://kompas.com/kompas-cetak/0703/24/Fokus/3402715.htm

Bencana Lumpur Lapindo, Lumpur Panas yang Bikin Mulas


Oleh: Hamzirwan
Sudah hampir sepuluh bulan lumpur Lapindo menyembur di Kabupaten Sidoarjo, Jawa
Timur. Ketinggian tanggul yang dibangun mengelilinginya pun terus ditambah. Tak ada
yang tahu, kapan semburan itu berhenti dan genangan lumpur mengering.
Sejak sumur pengeboran milik PT Lapindo Brantas di Desa Renokenongo, Kecamatan
Porong, Kabupaten Sidoarjo, menyemburkan lumpur pada 29 Mei 2006, sampai kini
belum juga menunjukkan tanda-tanda akan berhenti. Kehidupan ribuan orang pun
mendadak terhenti akibat permukiman dan tempat usaha mereka terendam lumpur panas.
Sedikitnya 20 pabrik yang mempekerjakan 2.500 orang tutup akibat terendam lumpur.
Saat ini, sekitar 1.000 pekerja terkena pemutusan hubungan kerja akibat ketidakjelasan
kelanjutan operasional pabriknya.
Efek domino perekonomian pun tidak kecil. Perekonomian Jawa Timur merugi
sedikitnya Rp 13 triliun akibat tutupnya pabrik, distribusi produk ekspor, transportasi
antarkota, dan hancurnya industri pariwisata. Belum lagi kehancuran infrastruktur seperti
rel kereta api, jalan tol, dan jalan umum.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi di Jakarta, Kamis
(22/3), mengatakan, pemerintah memang tidak ingin menyatakan kasus lumpur panas
Lapindo sebagai bencana nasional untuk menghindari negara bertanggung jawab pada
seluruh kerugiannya.
Namun, pemerintah seharusnya bersikap tegas dengan mengambil alih tanggung jawab
Lapindo untuk sementara dan menyelesaikan seluruh persoalan berkait dengan rakyat dan
dunia bisnis korban lumpur.
"Jangan hanya mendiamkan seperti sekarang ini, tidak produktif bagi siapa pun.
Pemerintah harus mengambil alih sementara agar seluruh korban mendapat kepastian.
Setelah itu, baru pemerintah hitung-hitungan dengan Lapindo," kata Sofjan.
Penanganan yang berlarut-larut tanpa ketegasan pemerintah selama ini telah
menimbulkan ketidakpastian bagi pengusaha. Menurut Sofjan, pertumbuhan perusahaan
di Jawa Timur kini merosot 30 persen sejak lumpur panas meluber.
Ongkos transportasi barang dan waktu tempuh lebih panjang menyebabkan pengusaha
harus memutar otak untuk menyiasati kenaikan biaya produksi. Keuntungan semakin
menipis, sementara potensi kerugian terus membayang di depan mata.
Direktur Eksekutif Greenomics Indonesia Elfian Effendi mengungkapkan, lumpur panas
Lapindo harus dihentikan. Jika terus berlangsung selama setahun, maka potensi kerugian
mencapai Rp 33,2 triliun. Meski kurang dari 10 persen dari produk domestik regional
bruto (PDRB) Jatim 2006 sebesar Rp 469,2 triliun, nilai itu tentu bukan jumlah yang

LNF
www.zeilla.wordpress.com page 25 of 99

________________________________________________________________________
sedikit.
Greenomics menghitungnya berdasarkan komponen biaya pembersihan lumpur Rp 4,3
triliun, penanganan sosial Rp 3,59 triliun, restorasi lahan Rp 3,97 triliun, ekologi Rp 4,63
triliun, pertumbuhan ekonomi Rp 4,34 triliun, pemulihan bisnis Rp 5,79 triliun,
kehilangan kesempatan Rp 2,88 triliun, dan ketidakpastian ekonomi Rp 3,7 triliun.
"Seluruh biaya ini tidak jelas siapa yang akan menanggung karena kas Lapindo sendiri
jauh lebih kecil dari nilai kerugian yang terjadi. Pemerintah sebaiknya segera
memutuskan apa yang harus dilakukan agar rakyat mendapat kepastian," katanya.
Ia pun gerah oleh sikap ambigu pemerintah dalam kasus Lapindo. Pemerintah pusat dan
daerah seperti menutup mata dalam menangani kasus Lapindo.
Elfian mencoba membandingkan kasus lumpur panas Lapindo dengan bencana tsunami
di Nanggroe Aceh Darussalam, 26 Desember 2004. Korban tsunami—meski mengalami
kerusakan fisik dan psikologis yang cukup dahsyat—mereka tahu pasti bahwa peristiwa
tersebut memang bencana dan berlangsung pada batas waktu yang jelas.
Sementara, di Sidoarjo, ribuan korban setiap hari harus terus menatap permukiman dan
tempat sumber nafkah mereka yang telah terendam lumpur panas. Perlahan-lahan
kedalaman air terus bertambah tanpa tahu kapan akan berhenti.
"Bahkan, para insinyur muda yang mengawasi lumpur pun jenuh, karena mereka terus-
menerus mengawasi luapan lumpur yang tidak tahu kapan berakhirnya," kata Elfian.

Tak mampu
Pengamat ekonomi Faisal Basri mengemukakan, sikap tidak tegas pemerintah dalam
menangani kasus Lapindo Brantas telah menunjukkan ketidakmampuan mengatasi
persoalan.
"Ongkos paling mahal yang muncul akibat lambannya penanganan lumpur panas
Lapindo ini adalah ketidakpastian di Jawa Timur," katanya.
Dampak jangka pendek
Menurut Faisal, lumpur panas Lapindo hanya akan berdampak pada perekonomian
jangka pendek Jawa Timur. Untuk jangka menengah, perekonomian akan lebih stabil,
sebab infrastruktur dan antisipasi terhadap lumpur panas sudah selesai dibangun sehingga
sudah ada alternatif distribusi barang dan orang.
Kegiatan bisnis di daerah lain yang tidak terkena lumpur panas, tapi terganggu arus
transportasi pasokannya pun kini mulai normal. Karena itu, dia memperkirakan
perekonomian jangka menengah Jawa Timur dapat segera normal kembali.
Faisal menyarankan pemerintah turut menentukan posisinya dalam menangani kasus
Lapindo. Misalnya, kerugian yang terjadi enam bulan setelah bencana ditanggung
pemerintah, sedangkan sebelum itu merupakan kewajiban Lapindo Brantas.

LNF
www.zeilla.wordpress.com page 26 of 99

________________________________________________________________________
"Ini hanya untuk menunjukkan bahwa pemerintah turut bertanggung jawab karena kuasa
pertambangan pemerintah kan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral serta Badan
Pengatur Migas. Karena tidak mungkin juga Lapindo atau Grup Bakrie menanggung
semua kerugian yang nilainya tak terbatas saat ini," kata Faisal.
Apalagi, lanjutnya, kerugian yang ditimbulkan diperkirakan telah melebihi nilai kekayaan
PT Lapindo Brantas dan grupnya. Penegasan pemerintah dibutuhkan untuk menunjukkan
kemauan melindungi investor.
Soal hak normatif pemerintah dan Lapindo Brantas sebenarnya dapat diketahui dari isi
kontrak kerja yang disepakati. Karena itu, kata Faisal, pemerintah seharusnya
membeberkannya kepada publik sehingga semua orang tahu apa yang menjadi kewajiban
pemerintah dan Lapindo.
Selanjutnya, lokasi pertambangan di masa mendatang seharusnya menjauhi kawasan
permukiman penduduk dan bisnis.
Meski tak ada bisnis yang tak berisiko, tentu tak ada pengusaha yang mau menanggung
risiko tanpa batas. Lumpur panas Lapindo Brantas memang bikin semua orang mulas...
(***)

LNF
www.zeilla.wordpress.com page 27 of 99

________________________________________________________________________
URL Source:
http://korantempo.com/korantempo/2007/04/19/Opini/krn,20070419,78.id.html

Bencana Lumpur Lapindo, Siapa Harus Menanggung Lumpur?


Oleh: Harry Ponto
Upaya membuat negara ikut menanggung biaya bencana semburan lumpur Lapindo di
Sidoarjo akhirnya berhasil. Pemerintah pusat memutuskan mengambil alih bagian
terbesar biaya penanggulangan bencana lumpur Lapindo. Padahal bencana lumpur
tersebut tidak dinyatakan sebagai bencana nasional.
Keputusan itu dituangkan dalam Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007 tentang
Pembentukan Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo. Meski kerusakan infrastruktur
merupakan akibat aktivitas pengeboran Lapindo Brantas Inc., Perpres memastikan
Lapindo tidak perlu menanggung biaya pemindahan dan perbaikannya. Semua biaya
perbaikan akan dimasukkan dalam anggaran pendapatan dan belanja negara.
Yang ditanggung Lapindo, menurut Perpres, hanya dua. Pertama, biaya sosial
kemasyarakatan dengan membeli tanah dan bangunan masyarakat yang terkena luapan
lumpur. Pembelian itu dilakukan hanya terhadap korban yang termasuk dalam peta area
terdampak pada 22 Maret 2007. Jika area terdampak meluas, biayanya akan dibebankan
pada APBN. Dan kedua, biaya upaya penanggulangan semburan lumpur, termasuk
tanggul utama sampai ke Kali Porong.
Keputusan ini tentu bermanfaat bagi masyarakat Jawa Timur, karena perbaikan dan
pengalihan infrastruktur bisa segera dilakukan. Pengalihan infrastruktur ini, seperti
perbaikan jalan tol dan pemindahan rel kereta api, sangat vital untuk masyarakat Jawa
Timur dan untuk mengatasi perekonomian di provinsi itu yang sudah lama terganggu.
Masalahnya, jika bencana lumpur terjadi karena kelalaian Lapindo, semisal karena
pengeboran yang tidak memasang pengaman (casing), apakah wajar jika seluruh rakyat
Indonesia yang menanggungnya? Bagaimana perlakuan dana APBN yang akan
dikeluarkan untuk Lapindo? Apa merupakan dana talangan yang harus dikembalikan oleh
Lapindo atau pemberian cuma-cuma?
Perpres ini jelas berbeda dengan Keputusan Presiden Nomor 13 Tahun 2006, yang habis
masa berlakunya pada 8 April lalu. Dalam butir 5 Keppres ditegaskan tanggung jawab
Lapindo untuk melakukan penanggulangan dan memulihkan kerusakan lingkungan hidup
serta masalah sosial yang ditimbulkannya.
Ketika Keppres baru diberlakukan, secara berulang dikesankan di media massa bahwa
Kelompok Usaha Bakrie melalui Lapindo tetap bertanggung jawab atas semua biaya
penanganan dampak lumpur panas Sidoarjo. Bahkan ada petinggi negara yang sering
menegaskan dan cenderung menjamin pelaksanaan tanggung jawab penuh tersebut.
Kini,dengan berlakunya Perpres, negara mengambil bagian terbesar tanggung jawab
tersebut.

LNF
www.zeilla.wordpress.com page 28 of 99

________________________________________________________________________
Tanggung jawab Lapindo
Rakyat Indonesia tentu menginginkan infrastruktur di area terdampak dapat segera
diperbaiki atau dialihkan agar roda perekonomian di Jawa Timur dapat segera berputar
normal. Namun, tentu tidak adil bagi rakyat umumnya jika biaya yang besar itu harus
ditanggung rakyat melalui APBN. Apa landasan hukum yang digunakan hingga rakyat
yang mesti bertanggung jawab?
Sebelum ini, upaya membuat biaya penanggulangan masuk dalam APBN sudah
dilakukan, yaitu mendorong pemerintah menyatakan bencana lumpur Lapindo sebagai
bencana nasional. Nyatanya, ini tidak dilakukan pemerintah. Artinya, pemerintah tahu
bahwa bencana lumpur Lapindo bukan bencana nasional. Setidaknya pemerintah ragu
apakah itu tergolong bencana nasional atau tidak.
Masih segar dalam ingatan bahwa Kelompok Usaha Bakrie secara berulang menjamin
akan menanggung semua beban biaya bencana tersebut. Jika niat itu benar, guna
menjamin pengembalian dana APBN yang digunakan, pemerintah dapat meminta
Kelompok Usaha Bakrie membuat perjanjian penjaminan yang menegaskan bahwa
semua biaya penanggulangan menjadi beban dan tanggung jawabnya.
Jika perlu, para pengendali Kelompok Usaha Bakrie bisa diminta memberikan jaminan
pribadi untuk menanggung biaya tersebut. Selain itu, guna memastikan klaim pemerintah
nantinya bisa dipenuhi oleh Lapindo, wajar jika Lapindo diminta memberikan asuransi
atas risiko ketidakmampuan melakukan pembayaran (guarantee liability insurance).
Selain tanggung jawab atas biaya, penting bagi pemerintah membuktikan bahwa
pemerintah serius dalam penegakan hukum. Hingga kini, belum terlihat jelas hasil
penyidikan kepolisian atas kasus Lapindo. Padahal kegagalan pengeboran sumur Banjar-
1 yang dituding menjadi biang semburan lumpur panas terjadi sudah hampir setahun lalu.

Ke mana Bapepam?
Menarik dilihat adanya perubahan sikap Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam)
menanggapi penjualan 32 persen participating interest PT Medco E&P Brantas di blok
Brantas kepada Grup Prakarsa pertengahan Maret lalu. Medco E&P Brantas adalah anak
usaha PT Medco Energi Internasional Tbk. Medco bersama Santos Brantas Pty. Ltd.(18
persen) adalah rekan Lapindo (50 persen) dalam pengembangan blok Brantas di Sidoarjo.
Sebelum ini, Bapepam dua kali melarang Kelompok Usaha Bakrie menjual kepemilikan
PT Energi Mega Persada Tbk. di Lapindo. Upaya pertama dilakukan Bakrie pada
September2006 dan yang kedua pada November 2006. Dalam upaya penjualan kedua,
sekalipun penjualan itu didalilkan bukan transaksi yang mengakibatkan adanya
perbenturan kepentingan, Bapepam tetap melarang terjadinya penjualan Lapindo.
Alasannya, Bapepam tidak hanya melindungi kepentingan pemegang saham publik, tapi
juga kepentingan masyarakat luas karena belum jelas siapa yang mesti bertanggung
jawab atas dampak lumpur Lapindo.
Medco sebagai salah satu raksasa pertambangan minyak dan gas bumi di Indonesia
diyakini sangat memahami prosedur pengeboran. Jika ia harus bertanggung jawab atas

LNF
www.zeilla.wordpress.com page 29 of 99

________________________________________________________________________
sesuatu yang, menurut dia, tidak menjadi tanggung jawabnya, tentu Medco akan melawan
balik. Itu terindikasi dengan adanya gugatan arbitrase terhadap Lapindo. Walau mungkin
sudah berdamai, gugatan terhadap Lapindo di Amerika Serikat akhir tahun lalu
mengindikasikan adanya kecerobohan atau kesalahan Lapindo dalam pengeboran sumur
Banjar-1.
Lolosnya penjualan saham Medco niscaya akan berdampak pada makin sulitnya
pembuktian adanya kecerobohan atau kesalahan saat pengeboran. Pertanyaannya, jika
saat rencana penjualan oleh Bakrie, Bapepam bisa dengan tegas melarang, mengapa saat
penjualan oleh Medco, Bapepam hanya meminta klarifikasi dan dokumen?

Jual-beli
Membaca Perpres, terlihat bahwa tanggung jawab Lapindo telah dibatasi. Hak rakyat
untuk meminta ganti rugi juga sudah dibatasi. Perpres mewajibkan Lapindo menangani
masalah sosial kemasyarakatan dengan membeli tanah dan bangunan masyarakat yang
terkena luapan lumpur. Mekanismenya, dengan akta jual-beli kepemilikan. Cara
pembayaran pun sudah diatur, yaitu 20 persen dibayar di muka dan sisanya dibayarkan
paling lambat sebulan sebelum masa kontrak rumah dua tahun habis. Jika area terdampak
meluas, menurut Perpres, biaya akan dibebankan pada APBN.
Tentu perlu dicermati beberapa hal sehubungan dengan pengaturan ini. Pertama, perlu
mekanisme validasi batas-batas tanah yang lebih dapat diterima oleh semua pihak. Jika,
misalnya, disyaratkan harus melampirkan bukti sertifikat, ini tentu akan sulit karena
mungkin banyak sertifikat yang ikut terendam lumpur.
Perpres mensyaratkan adanya akta jual-beli kepemilikan dengan Lapindo. Perlu diatur
bahwa akta jual-beli hanya akan dibuat jika pembayaran telah lunas. Sebelum lunas, yang
dilakukan hanyalah pengikatan jual-beli. Sangat tidak adil kalau hak warga atas tanah dan
bangunan telah dialihkan ke Lapindo, sedangkan pembayaran penuh belum selesai. Dari
Perpres ini juga terlihat bahwa setelah pembayaran ganti rugi selesai dilakukan, Lapindo
akan menjadi pemilik area yang masuk dalam peta area terdampak pada 22 Maret 2007.
Perpres memang membatasi tanggung jawab Lapindo, yaitu hanya membayar ganti rugi
tanah dan bangunan. Padahal masih banyak masalah sosial kemasyarakatan yang belum
tertangani. Contoh, warga yang kehilangan pekerjaan, hak anak-anak atas kesempatan
bersekolah, hilangnya makam orang tua dan kerabat, serta hilangnya apa yang disebut
kampung halaman.
Pertanyaan yang muncul adalah apakah Perpres menghilangkan hak warga untuk
menuntut ganti rugi atas segala kerugian yang mereka alami? Jawabnya, tentu
tidak.Warga, baik sendiri maupun berkelompok, dapat menuntut ganti rugi dengan
mengajukan gugatan terhadap pihak-pihak yang diduga bertanggung jawab.
Penanganan pemerintah yang tegas dan berpihak kepada rakyat sangat diperlukan.
Tindakan pemerintah akan menjadi preseden jika kejadian serupa dilakukan oleh
perusahaan lainnya. Jika nanti terjadi hal serupa, apakah rakyat harus kembali
menanggung biayanya? Yang tidak kalah penting adalah jangan sampai segala yang

LNF
www.zeilla.wordpress.com page 30 of 99

________________________________________________________________________
diperbuat pemerintah hanya menjadi konsumsi politik, yang akhirnya hanya
mengaburkan persoalan siapa yang sesungguhnya harus bertanggung jawab (***)

LNF
www.zeilla.wordpress.com page 31 of 99

________________________________________________________________________
URL Source:
http://www.bisnis.com/servlet/page?_pageid=127&_dad=portal30&_schema=PORTAL

Kerugian akibat lumpur Lapindo Rp27,4triliun


Oleh: Diena Lestari
Bappenas menyatakan kerugian dan kerusakan akibat bencana lumpur Lapindo dalam
sembilan bulan terakhir sudah mencapai Rp27,4 triliun.
Berdasarkan Laporan Bappenas tentang Awal Penilaian Kerusakan dan Kerugian akibat
Semburan Lumpur Panas Sidoarjo Jatim yang telah diserahkan kepada Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono pada pekan lalu tertulis bahwa total kerusakan dan kerugian
selama sembilan bulan terakhir mencapai Rp27,4 triliun.
Total kerusakan dan kerugian ini terdiri atas kerugian langsung Rp11 triliun dan kerugian
tidak langsung Rp16,4 triliun. Kerugian langsung terdiri dari kerusakan pada perumahan
dan permukiman yang tergenang lumpur, total berjumlah 10.426 unit dengan perkiraan
kerugian sebesar Rp2,5 triliun.
Prasarana dan sarana sosial senilai Rp51,7 miliar serta kerusakan pada aset dan kegiatan
perekonomian produktif a.l. 20 pabrik.
Kerugian tidak langsung bersifat opportunity loss meliputi kerugian ekonomi akibat
penutupan jalan tol Porong-Sidoarjo selama sembilan bulan mencapai Rp1,35 triliun.
Kerugian PT Jasa Marga dan PT KA mencapai Rp28,78 miliar.

Klaim ke Lapindo
Sementara itu, Menteri Negara BUMN Sugiharto kembali menyatakan proses pergantian
dana yang telah dikeluarkan oleh sejumlah BUMN yang fasilitasnya tidak berfungsi
karena terendam lumpur panas dari sumur migas milik Lapindo Brantas Inc, mutlak
ditagihkan ke KPS bersangkutan melalui proses hukum.
Proses pembuatan infrastruktur di Sidoarjo yang terganggu sementara ini harus dilakukan
sendiri oleh BUMN yang bersangkutan. Hal ini, tambahnya, karena masyarakat tidak
dapat menunggu sampai dana dari Lapindo mengucur. Oleh karena itu, tambahnya, maka
BUMN seperti PT KAI harus membiayai terlebih dahulu pembangunan rel kereta yang
melintas di Porong Sidoarjo.
"Kepentingan masyarakat harus didahulukan. Dari mana biayanya kalau kita harus
menunggu dari Lapindo dulu. Untuk rakyat saja sampai sekarang belum dibayar. Apalagi
untuk ini [infrastruktur]," katanya di Departemen Keuangan kemarin.
Menurut dia, yang paling penting saat ini adalah mengupayakan kebutuhan rakyat dan
pembangunan infrastruktur. "Kepentingan publik harus didahulukan dibandingkan
kepentingan korporasi, tapi masalah dengan korporasi akan diselesaikan melalui
mekanisme hukum," ujarnya.
Sebelumnya, Departemen PU telah mengajukan penilaian awal tentang kerugian akibat

LNF
www.zeilla.wordpress.com page 32 of 99

________________________________________________________________________
semburan lumpur yang mencapai Rp7,6 triliun. Jumlah tersebut, terdiri dari dari
kebutuhan sosial sebesar Rp4,2 triliun, dan teknis sebesar Rp3,4 triliun.
Angka Rp7,6 triliun dari kerugian sebesar Rp700 miliar dari jalan tol, jalan arteri Rp300
miliar, lahan Rp600 miliar. Selain itu dibutuhkan Rp612 miliar untuk membuat kanal
guna membawa lumpur ke laut, dan dana operasional sebesar Rp70 miliar per tahun.
Kemudian untuk pembenahan jaringan gas jangka menengah sekitar Rp60 miliar,
pembuatan desain Rp4,5 miliar, pengaliran lumpur ke Porong Rp50 miliar, untuk tanggul
Rp300 miliar, masalah tanah rumah dan lainnya Rp4,2 triliun.
Luki Fathul Aziz, Kepala BI Surabaya sebelumnya menjelaskan kredit macet itu ada
dilima fokus utama berada pada sejumlah kecamatan di Sidoarjo, yaitu Porong, Jabon,
Tanggulangi, Tulangan dan Krembung.
Meski demikian dia mengakui untuk kredit macet dampak lumpur ini, sudah ada
perlakuan khusus, yaitu kredit dianggap lancar meski angsuran dan bunga tidak dibayar.
(Anugerah Perkasa) (diena.lestari@bisnis.co.id) (***)

LNF
www.zeilla.wordpress.com page 33 of 99

________________________________________________________________________
URL Source:
http://www.bisnis.com/servlet/page?_pageid=127&_dad=portal30&_schema=PORTAL

Bencana Lumpur Lapindo


Mungkinkah kita memaafkan Lapindo?
Oleh: Tony Budidjaja
Sudah lebih dari setengah tahun semburan lumpur panas di lokasi penambangan Lapindo
Brantas Inc (Lapindo) di Sidoarjo memorak-porandakan lingkungan hidup, infrastruktur,
serta tatanan kehidupan masyarakat di sekitarnya. Sudah tiga belas nyawa manusia
melayang, dua hilang, dan belasan luka-luka akibat ledakan pipa gas yang tidak mampu
menahan beban tanggul penahan lumpur yang berdiri di atasnya.
Padahal, salah seorang direktur BPPT pernah berucap bahwa semburan lumpur ini
mungkin baru bisa berakhir 31 tahun lagi. Entah siapa lagi yang akan menjadi korban
berikutnya.
Walaupun kerugian dan kerusakan yang ditimbulkan oleh semburan lumpur ini sangat
dahsyat, menariknya, tidak ada seorangpun yang divonis bersalah atas kasus ini. Ketua
MA dan Ketua DPR menyatakan bahwa yang lebih penting adalah mengganti kerugian
masyarakat. Setelah ganti rugi diterima masyarakat, maka perkara selesai dan tidak usah
dicari tersangkanya. Beberapa pejabat tinggi negara lainnya juga 'membeo'.
Presiden, melalui Keppres No. 13/2006 menyatakan Lapindo bertanggungjawab "untuk
melakukan penanggulangan dan pemulihan kualitas lingkungan hidup dan masalah sosial
yang ditimbulkannya". Tidak jelas apa artinya. Apakah berarti Lapindo hanya dituntut
pertanggungjawabannya terbatas pada penanggulangan dan pemulihan kualitas
lingkungan hidup dan masalah sosial saja, dan karenanya dibebaskan dari tanggung-
jawab hukum lainnya? Dan apakah tanggung jawab itu berhenti sampai di Lapindo saja,
sehingga tidak perlu ke pihak lain?
Ada adagium yang mengatakan "ubi non adest norma legis, omnia quasi pro suspectis
habenda sunt. Ketika hukum tidak ditegakkan maka hampir segala sesuatunya patut
dicurigai. Sejak awal semburan lumpur ini terjadi, masyarakat sudah bertanya-tanya,
kenapa pemerintah tidak secara transparan menjelaskan apakah lumpur tersebut
mengandung bahan-bahan yang berdampak membahayakan kesehatan, lingkungan, dan
kehidupan?
Kenapa tidak ada seorangpun yang diadili? Masyarakat curiga bahwa pemerintah maupun
aparat penegak hukum tidak serius menyelidiki kasus ini, bahkan berupaya melindungi
kepentingan pihak tertentu. Hukum lagi-lagi dianggap hanya sebagai komoditas bisnis
atau politik. Persamaan kedudukan di muka hukum hanya omong kosong.
Media massa baru-baru ini memberitakan bahwa Lapindo Brantas Inc, yakni pihak
pemegang working interests terbesar di Lapindo, akan membeli seluruh tanah, bangunan,
dan areal sawah yang terkena dampak langsung lumpur panas sesuai dengan harga yang
diinginkan masyarakat. Permasalahannya, apakah dengan adanya "niat" tersebut maka
Lapindo berhak memperoleh impunitas atau pembebasan dari tuntutan hukum?

LNF
www.zeilla.wordpress.com page 34 of 99

________________________________________________________________________
Padahal, kasus ini bukan sekadar persoalan kerugian harta benda masyarakat yang tinggal
di sekitar lokasi itu saja, tapi sudah menyentuh banyak aspek, termasuk hak asasi
manusia, baik yang hidup sekarang maupun yang akan datang untuk menikmati
lingkungan hidup yang memadai dan perlindungan kesehatan.
Melihat nyawa-nyawa manusia yang sudah terhilang, hilang, dan luka-luka, kasus ini
jelas bukan sekadar persoalan memberikan ganti rugi dan kemudian memaafkannya. Ini
menyangkut kebenaran, keadilan, ketertiban umum. Hal ini jelas merupakan domain
hukum.
Dalam kasus pencemaran lingkungan, dikenal teori 'subsidiaritas'. Menurut teori ini,
proses hukum pidana baru dapat didayagunakan apabila upaya penyelesaian sengketa
lingkungan hidup di luar pengadilan dan sanksi hukum non-pidana, seperti sanksi
administrasi dan sanksi perdata, sudah buntu atau tidak efektif. Jadi, proses pidana
dianggap sebagai ultimum remidium (upaya terakhir).
Menurut penulis, pandangan di atas tidak salah. Tapi tidak dapat dimutlakkan. Prinsip
subsidiaritas bukanlah harga mati dan tidak bisa diberlakukan secara mutlak untuk setiap
kasus. Prinsip ini, dalam situasi khusus, dapat disimpangi. Bisa saja proses hukum pidana
ditempatkan lebih awal dari proses hukum administrasi atau proses hukum lainnya.
Berdasarkan polluters pay principle, para pencemar lingkungan harus membayar ganti
rugi kepada para korban. Tetapi, bisa saja ganti rugi saja tidak efektif dan tidak
memberikan efek jera bagi si pencemar lingkungan. Bisa saja si pencemar memang sejak
awal sudah siap menyisihkan sebagian uang "haram"-nya untuk "menghalalkan" tindakan
pencemaran lingkungan mereka.

Cabut izin usaha


Penulis sependapat dengan pernyataan Prof. Dr. Andi Hamzah dalam bukunya Penegakan
Hukum Lingkungan, bahwa: "Penerapan instrumen administratif terutama dimaksudkan
untuk pemulihan keadaan atau perbaikan kerusakan atau dengan kata lain ditujukan
kepada perbuatannya. Adapun penerapan instrumen hukum pidana terutama ditujukan
pada orang atau pembuatnya. Orangnya itulah yang perlu diperbaiki......"
Karena itu, dalam situasi tertentu, perlu ada penegakan hukum administrasi, misalnya
dengan pencabutan izin usaha, supaya perusahaan pencemar lingkungan tadi tidak lagi
bisa mengambil keuntungan secara tidak jujur.
Bisa juga, dibarengi dengan hukuman pidana supaya memberikan efek jera kepada si
pelaku dan supaya tidak terjadi lagi kasus-kasus pencemaran seperti yang dilakukannya.
Dalam hal seperti ini, alinea terakhir Penjelasan Umum UU No. 23/1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup UU Lingkungan Hidup menyatakan bahwa proses
hukum pidana dapat digunakan bila tingkat kesalahan pelaku relatif berat, atau akibat
perbuatannya relatif besar, atau perbuatannya menimbulkan keresahan masyarakat.
Dalam kasus pencemaran di Teluk Buyat, Manado, yang melibatkan PT Newmont
Minahasa Raya, misalnya, kita melihat sendiri bagaimana proses pidana terhadap

LNF
www.zeilla.wordpress.com page 35 of 99

________________________________________________________________________
Newmont dan presiden direkturnya tetap dijalankan meski pemerintah dan Newmont
sudah menandatangani perjanjian perdamaian senilai US$30 juta.
Jangan memandang enteng kasus ini, karena kerugian dan kerusakan sebagai akibat
semburan lumpur berpotensi semakin besar. Kasus ini juga sudah menimbulkan
keresahan yang besar dalam masyarakat.
Karena itu, pemerintah dan aparat penegak hukum perlu lebih peka terhadap tuntutan
masyarakat, khususnya para korban akan penegakan hukum dan keadilan. Rakyat
mengharapkan penyebab dan dampak semburan lumpur diselidiki secara seksama.
Apabila ada unsur kesalahan atau kelalaian manusia dalam kasus ini, let no-one be
excused for ignorance of the law. (***)

LNF
www.zeilla.wordpress.com page 36 of 99

________________________________________________________________________
URL Source: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/opini/lumpur-dan-
kelambanan-str

Bencana Lumpur Lapindo


Lumpur dan Kelambanan Struktural
Oleh: Prudensius Maring
Upaya mengatasi lumpur di Porong, Sidoardjo, atau biasa disebut lumpur Lapindo telah
berlangsung sekitar enam bulan dan hingga kini belum ada hasil yang memuaskan.
Fenomena ini bisa menjadi arena yang menyuguhkan simbol kerentanan masyarakat,
keangkuhan konglomerat, dan kelambanan struktural.
Sebagai negara agraris, lumpur seharusnya menjadi simbol kesuburan. Tapi beberapa
tahun terakhir lumpur secara simbolik hadir ke hadapan kita melalui rangkaian bencana
alam yang semuanya berhubungan dengan ulah manusia.
Lumpur hadir melalui terjangan tsunami, longsor, gempa, letusan gunung berapi dan
aktivitas pengeboran minyak dan gas. Lumpur kini menjadi sumber petaka, kesengsaraan
dan ratapan ribuan manusia di negeri ini. Jiwa manusia, harta kekayaan materi dan
berbagai simbol tatanan sosial seperti perkampungan, kota, dan objek wisata, terkubur
dalam lumpur. Keselamatan, harta, dan relasi sosial yang dibangun bertahun-tahun
hilang, lenyap seketika.

Simbol Kerentanan
Kisah semburan lumpur panas Lapindo tentu terpatri kuat dalam pikiran kita. Sejak awal
terjadinya, potret kerentanan masyarakat, keserakahan dan keangkuhan perusahaan
raksasa serta kelambanan para penguasa dan pemegang otoritas selalu terjadi. Masyarakat
selalu menjadi korban utama.
Sekitar 10.000 jiwa atau 3.000 keluarga (Saptaatmaja, SINDO: 21/10/2006) harus
meninggalkan rumah, kampung, tanah, harta kekayaan, bahkan leluhur, menuju tempat
pengungsian. Tidak jelasnya keputusan merelokasi permukiman dan penggantian
kerugian dari pihak Lapindo kepada masyarakat menjadi masalah serius yang membebani
para korban. Siapa dari masyarakat di sekitar Porong yang mengira mereka harus jatuh
kembali dalam kemiskinan.
Bertahun-tahun, bahkan puluhan tahun mereka berjuang menata penghidupan layak untuk
lepas dari jeratan kemiskinan. Tapi dalam hitungan hari mereka harus terjerembab
kembali dalam lumpur kemiskinan. Siapa dari kita yang selalu mendampingi mereka
dalam perjuangan puluhan tahun untuk keluar dari kemiskinan itu? Kita tidak terlibat
langsung. Hanya mereka yang tahu bagaimana kerasnya perjuangan yang telah mereka
lalui.
Tapi ketika datangnya lumpur panas yang jelas diketahui pemicunya berasal dari
eksplorasi Lapindo, mereka seolah tidak berdaya berjuang mendapatkan kembali ganti
rugi atas harta kekayaan yang ditelan lumpur. Argumentasi yang dikemukakan pihak
Lapindo tentang mekanisme perusahaan raksasa dalam hal pengaturan ganti rugi, terlalu

LNF
www.zeilla.wordpress.com page 37 of 99

________________________________________________________________________
rumit untuk bisa dimengerti masyarakat awam, termasuk para korban.
Meskipun hingga kini sudah lebih dari Rp1 triliun dikeluarkan Lapindo untuk mengatasi
bencana lumpur tersebut, tetapi tidak jelas berapa dari biaya itu telah dibayarkan kepada
masyarakat sebagai korban. Semburan lumpur panas di Porong menunjukkan
ketidaksiapan sebuah perusahaan raksasa dengan nafsu besar mengeksplorasi sumber
daya alam.
Ketika tersebar kabar Lapindo akan menjual diri kepada perusahaan internasional, maka
semakin menunjukkan perusahaan ini berusaha melepaskan diri dari kemelut lumpur
panas dan penderitaan korban yang adalah saudara sebangsanya. Lagi-lagi nasib
masyarakat sebagai korban menjadi tidak menentu.
Dengan kekuatan modal dan jaringan kekuasaannya, Lapindo dapat melepaskan diri dari
kemelut lumpur panas. Dengan berganti tangan, Lapindo melepaskan diri dari berbagai
tanggung jawabnya secara langsung kepada korban. Tetapi masyarakat, yang telah susah
payah membangun kemapanannya, mereka akan tetap berada di situ. Mereka tidak
berdaya menyelamatkan diri dari bencana lumpur panas.
Kelambanan Struktural
Kasus lumpur panas di Porong sungguh terjadi di depan mata. Banyak orang dengan
cepat bisa melihatnya. Tidak ada alasan keterisolasian atau jarak yang terlampau jauh
untuk mengaksesnya. Media masa, lembaga perwakilan rakyat, pemerintah, bahkan
presiden, silih berganti berdatangan ke lokasi bencana.
Tetapi, lagi-lagi semua kunjungan lapangan itu hanya sebatas mengekspresikan
keprihatinan dan melambungkan semangat hidup para korban. Hasil kunjungan lapangan
hanya dibawa ke tingkat rapat koordinasi dewan perwakilan rakyat dan pemerintah serta
melahirkan debat kusir seputar koordinasi penanganan. Tidak ada upaya sungguh-
sungguh untuk melakukan penyelamatan secara cepat dan tepat.
Sejak awal, kita bisa melihat betapa simpang siurnya penjelasan tentang sumber lumpur.
Sulit untuk mendapat sebuah jawaban yang memadai: Mengapa terjadi semburan
lumpur? Apakah akibat ulah pengeboran yang dilakukan Lapindo? Atau apakah itu
adalah gejala alam? Bagaimana prediksi volume semburan? Apakah bisa diatasi atau
tidak?
Karena itu, perlu dipertanyakan: Apakah betul bangsa ini memang tidak mampu
menjawab pertanyaan di atas? Atau apakah informasi seputar itu sengaja disumbat
salurannya ke masyarakat supaya kritik terhadap upaya pengendalian lumpur panas bisa
dikendalikan agar lobi-lobi tingkat tinggi untuk menempuh jalan ”damai”
antarkonglomerat dan penguasa bisa berlangsung aman.
Hingga memasuki bulan keenam, tidak ada upaya serius pemerintah sebagai wujud
sensitivitasnya terhadap bencana lumpur, terutama kepada para korban. Pertamina yang
sudah lama memprediksi bakal terjadi bahaya pada sistem aliran minyak dan gas pun
tidak melakukan tindakan cepat. Tidak ada informasi dini yang disampaikan kepada
masyarakat tentang bahaya ledakan pipa gas tersebut.

LNF
www.zeilla.wordpress.com page 38 of 99

________________________________________________________________________
Pemerintah melalui Tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur pun hanya mampu
melakukan koordinasi, mengeluarkan imbauan, dan instruksi. Pemerintah terus
berlindung di balik argumentasi bahwa tanggung jawab masih berada di tangan pihak
perusahaan. Hingga, akhirnya pemerintah dibangunkan dan dikejutkan oleh ledakan pipa
gas Pertamina yang menambah korban jiwa dan materi.
Fenomena ini menunjukkan kepada kita kelambanan struktural yang dipelihara di negeri
ini dalam menangani berbagai bencana. Kita masih berlindung di balik mekanisme
birokrasi bertele-tele yang sengaja kita ciptakan. Kita sulit membangun satu kata
bersama, dari dewan perwakilan rakyat, pemerintah, dan berbagai pihak berkompeten
untuk segera menanggulangi masalah yang silih berganti bermunculan di negeri ini.
Lebih tragis lagi, hal ini juga menggambarkan kegagalan bangsa ini, terutama pemerintah
dalam menangkap dan mengolah dinamika yang terjadi di masyarakat untuk bisa
diformulasikan dalam tindakan penanggulangan bersifat cepat dan tepat. Berkali-kali kita
hanya mampu dikejutkan oleh tekanan dahsyat dari alam. Kita hanya mampu
dibangunkan dan bereaksi ketika lebih banyak korban tidak berdosa berjatuhan dan
mencipratkan ”lumpur darah” ke muka kita. (***)

LNF
www.zeilla.wordpress.com page 39 of 99

________________________________________________________________________
URL Source: http://kompas.com/kompas-cetak/0612/02/Fokus/3136759.htm

Bencana Lumpur Lapindo


Sidoarjo, Tiga Tahun Lagi...
Oleh: Brigitta Isworo L
Jika kita cermati infografis di halaman 42 rubrik ini, niscaya kita akan tercekam. Lumpur
panas yang menyembur sejak 29 Mei 2006 atau sekitar enam bulan lalu diprediksikan
akan bisa mencapai luasan dengan radius 10,2 kilometer dari pusat semburan yang kita
sebut kawah lumpur.
Itu berarti Hotel Somerset dan pusat kota Sidoarjo akan tinggal kenangan belaka. Hanya
dalam hitungan tiga tahun! Proyeksi bencana luapan lumpur Sidoarjo tersebut mungkin
dianggap melebih-lebihkan.
Namun, setidaknya kemungkinan tenggelamnya atau terendamnya areal seputar radius 3
kilometer dari pusat semburan tidak dibantah oleh anggota Tim Nasional
Penanggulangan Semburan Lumpur Sidoarjo (TNPSLS), Soffian Hadi. Tentang kapan itu
terjadi, tidak ada yang bisa menentukan.
Keputusan pemerintah beberapa bulan lalu yang mengutamakan keselamatan manusia
sebagai pertimbangan utama sudah tepat. Persoalannya, berapa banyak lagi penduduk
(baca: manusia) yang harus diselamatkan dari tangan-tangan gelap bencana ini untuk
sekian tahun mendatang. Tidak ada yang berani membuka halaman tergelap dari bencana
ini.
Pemerintah pun hanya bergerak ”satu inci” dengan menyatakan peristiwa ini adalah
bencana, di mana pemerintah harus ”ikut memikirkan”. Luasan lahan sawah dan
permukiman sekitar 450 hektar yang terendam lumpur panas tidak cukup mampu
membawa pemerintah untuk turut bertanggung jawab.
”Memang belum ada kriteria-kriteria untuk menetapkan suatu bencana menjadi bencana
nasional. Itu hak prerogatif presiden,” ujar mantan Kepala Biro Mitigasi Sekretaris Badan
Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi, yang juga
Ketua Presidium Masyarakat Penanggulangan Bencana Indonesia, Sugeng Triutomo.
Ada beberapa ancaman bencana besar menyusul indikasi-indikasi yang sudah ada.
Pertama, persoalan tanah ambles (subsidence) yang bersifat konsentrik (melingkar
mengarah ke pusat semburan lumpur panas). Jika terjadi tanah ambles, jalan layang tol
yang melintas di atas rel kereta api dan Jalan Raya Porong bisa roboh (lihat infografis).
Kedua, terendamnya permukaan tanah dalam luasan dengan hitungan gigantik (luar biasa
besar) ini bisa mengakibatkan lenyapnya jalan tol serta jalur rel kereta api, permukiman
warga, sejumlah pabrik, dan lahan sawah.
Untuk yang kedua, pemerintah sudah memastikan: jalan tol dan rel kereta api akan
dipindahkan. Persoalan utamanya: kita berkejaran dengan waktu dan tanah ambles yang
membayangi.

LNF
www.zeilla.wordpress.com page 40 of 99

________________________________________________________________________
Dari catatan yang ada, semua kejadian bencana yang menyertai semburan lumpur panas,
misalnya tanah ambles, rusaknya rel kereta api, dan meledaknya pipa gas milik
Pertamina, sudah diprediksikan sejak awal semburan lumpur panas terjadi.
Persoalan tanah turun (ambles) dan meledaknya pipa sudah dibicarakan sejak Juni lalu.
Berarti, apa yang dikhawatirkan oleh sejumlah ahli geologi dan bahkan anggota TNPSLS
ini juga tidak dapat dianggap bualan belaka.

Ambles
Gerakan tanah ambles sudah menjadi keniscayaan pada peristiwa lumpur Sidoarjo dan
dari peristiwa ledakan pipa gas Pertamina beberapa waktu lalu diketahui pusat
subsidence, menurut Soffian Hadi, berada sekitar arah timur laut dari semburan, sekitar
50 meter.
Kecepatan amblesnya tanah bervariasi dari hitungan milimeter hingga 0,5 sentimeter
(cm) per hari pada radius 1,5 kilometer-1 kilometer, hingga kecepatan 3 cm-4 cm per hari
(berarti bisa mencapai sekitar satu meter dalam sebulan) pada radius 500 meter-1
kilometer dari pusat semburan. ”Sifatnya eksponensial ke arah pusat semburan lumpur,”
ujar Soffian. Kini tanah ambles sudah mencapai 12 meter dalamnya.
Persoalannya, menurut Soffian, kalau kecepatan subsidence tidak rata, akan terjadi crack
(retakan). Di sisi lain juga terdapat indikasi terjadi pergerakan tanah yang mengakibatkan
retakan pada sejumlah rumah warga pada radius sekitar 2 kilometer.
Artinya, sampai dengan radius 2 kilometer dari pusat semburan sebenarnya sudah tidak
aman untuk ditinggali karena kapan terjadi tanah ambles yang besar tidak bisa diketahui.
Soffian tidak mengiyakan dan tidak menolak, jika semburan lumpur terus terjadi dengan
volume semburan yang terus meningkat, bisa terjadi tanah ambles yang lebih luas dari
luasan genangan lumpur. Kamis (30/11), menurut Soffian, volume semburan mencapai
160.000 meter kubik per hari atau 1,85 meter kubik per detik.
Kini tekanan di tanggul coba dipertahankan agar tidak bertambah agar tidak jebol, antara
lain dengan mengalirkan lumpur melalui sistem spillway (digelontor melalui saluran
terbuka) ke Sungai Porong dengan kecepatan 5 meter kubik per hari.
”Untuk saat ini, spillway cukup, tetapi tidak tertutup kemungkinan harus ditambah,” ujar
Soffian. ”Pemompaan pakai pipa lupakan saja.”
Menurut Soffian, kawasan itu saat ini amat dinamis. Kapan saja bisa terjadi tanggul jebol,
tanggul ambles, tanggul retak, tanggul bocor, rel kereta api bengkok atau melengkung,
retak-retak pada perumahan warga, dan sebagainya. Semua kejadian tersebut merupakan
indikasi yang terus diteliti untuk menetapkan apa yang sebenarnya terjadi di lapisan
bawah tanah tersebut.

Vulkanik atau tektonik


Sejauh ini para ahli masih belum memastikan, apakah lumpur yang meluap tersebut

LNF
www.zeilla.wordpress.com page 41 of 99

________________________________________________________________________
berasal dari aktivitas vulkanik atau aktivitas tektonik.
Dari semua indikasi tersebut, menurut Soffian, ada indikasi dari luar daerah yang
berkaitan dengan kejadian di Sidoarjo. Kejadian tersebut adalah fenomena munculnya
semburan gas dan lumpur di beberapa daerah, misalnya di Bojonegoro, Jawa Timur, dan
di Pati, Jawa Tengah.
Lumpur panas, ujar Soffian, bisa terjadi karena ada material solid yang terangkat ke
permukaan dan mendapat tambahan tekanan tinggi (P), temperatur tinggi (T), dan solven
(zat pencair).
Ketiga unsur ini harus terpenuhi untuk memunculkan lumpur panas. Pendapat yang
menyebutkan bahwa penyebab lumpur adalah akibat aktivitas vulkanik, itu dikaitkan
dengan keberadaan Gunung Welirang dan Gunung Penanggungan.
Jadi, unsur panas didapat dari aktivitas magma serta tekanan akibat adanya turbulensi
magma. Solven yang berupa air diduga keluar dari gua-gua di bawah permukaan yang
terdeteksi di kujung yang lapisannya berupa limestone (batu gamping) seperti biasa
ditemukan di sungai bawah tanah.
Jika ini yang terjadi, maka seperti letusan gunung api, tekanan dan temperatur akan cepat
turun. Akan tetapi, ternyata selama enam bulan semburan lumpur panas terus terjadi.
Di sisi lain, lokasi semburan lumpur panas di Sidoarjo ini, jika ditarik garis, dia berada
satu garis dengan gunung lumpur Bujel Tasek di Desa Katal I, Kecamatan Geger,
Kabupaten Bangkalan (Pulau Madura), di Gunung Anyar, Karang Anyar (Surabaya), dan
Porong (Sidoarjo).
Secara tektonik, lempeng tektonik Blok Jawa Timur diyakini terkena imbas dari gempa
Yogyakarta yang terjadi 27 Mei 2006 lalu, dua hari sebelum pertama kali lumpur panas
menyembur. Di daerah Jawa Timur terdapat patahan yang menghubungkan Tulungagung,
Pantai Popoh, dan Brantas (Surabaya). Di sini terjadi penyusupan lempeng samudra Indo-
Australia ke Eurasia.
”Tetapi, lapisan di Blok Jawa Timur ini relatif elastis dibanding Blok Yogyakarta dan
Jawa Tengah. Akibatnya, dia akan terus berproses panjang sebelum melepaskan energi
yang sudah terakumulasi sekian lama, dalam bentuk gempa,” papar Soffian.
Semakin elastis lapisannya, dia semakin lama mampu menahan tekanan sehingga ketika
energi dilepas saat bertemu lapisan yang rigid (keras), energi yang dilepas lebih besar
dibanding pada lapisan rigid,” tutur Soffian. Artinya, jika dugaan itu benar, bahwa
aktivitas lumpur panas itu merupakan awal dari siklus tektonik, bisa terjadi gempa besar
di masa mendatang.
Sebelum gempa besar yang dikhawatirkan itu terjadi, kisah tanah ambles akan bisa terjadi
kapan saja sejak sekarang.
Setelah delapan desa yang semua penduduknya atau sebagian penduduknya diungsikan,
desa-desa terdekat lain yang mungkin terkena dampak luapan lumpur atau tanahnya

LNF
www.zeilla.wordpress.com page 42 of 99

________________________________________________________________________
ambles berada di sekitar radius 1 kilometer ke barat dan timur dari pusat semburan, dan
pada radius 1,5 kilometer ke utara dan ke selatan dari pusat semburan.
Itu antara lain bisa mencapai Sungai Balongsari di utara, Desa Besuki, dan Stasiun
Sidoarjo yang pasti masuk jangkauan itu. Intinya, ring 1,5 kilometer ke utara dan ke
selatan, serta ring satu kilometer ke timur dan ke barat bukan lagi daerah aman.
Ada baiknya Lapindo dan pemerintah mengantisipasi dan sigap bergerak demi mencegah
jatuhnya korban jiwa dan materi yang lebih banyak. Jangan lupa pada prediksi di atas,
tiga tahun mendatang….
Di mana Sidoarjo? Mungkin hanya tinggal kenangan. (***)

LNF
www.zeilla.wordpress.com page 43 of 99

________________________________________________________________________
URL Source: http://kompas.com/kompas-cetak/0705/30/Politikhukum/3563032.htm

Jangan Lupakan Korban Lapindo


Oleh: B Josie Susilo Hardianto dan M Zaid Wahyudi
Pemimpin dipilih untuk mengabdi dan melayani. Kehadirannya bukan menjadi beban,
tetapi justru sebagai kekuatan yang meringankan dan membuka harapan. Dia adalah
orang yang berhati lurus, budinya bersih, dan batinnya suci. Ia sedia berkalang debu
dengan rakyatnya.
Masih lekat dalam ingatan, dengan suara keras, bergetar, Yohanes Imam Suwadi (72)
menyatakan ketidakpercayaannya kepada pemerintah. "Kami korban luberan lumpur PT
Lapindo Brantas merasa diabaikan, ditinggalkan," tutur Yohanes dan diamini oleh warga
Perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera (Perumtas) 1 yang kala itu ikut serta.
Mengapa? Padahal, jika diperhatikan, sejak lumpur meluber, pemerintah telah
membentuk tim independen untuk menginvestigasi penyebab terjadinya luapan lumpur di
Porong, Sidoarjo, pada 14 Juni 2006. Berbagai upaya dilakukan, seperti membuat
tanggul, menyediakan pompa pengendali, memberi bantuan dana dan ganti rugi, hingga
pembentukan Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) yang disahkan dengan
Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007 pada 8 April 2007. Kembali jika dicermati,
apa yang sebenarnya belum dilakukan?
Namun di sisi lain, dapat ditanyakan penderitaan seperti apa yang belum dialami warga?
Mulai dari kehilangan tempat tinggal, lahan persawahan, pekerjaan, keluarga, masa
depan, hingga ingatan.
Dalam sebuah jajak pendapat Kompas, umumnya warga masyarakat—tidak hanya di
Sidoarjo—menganggap pemerintah lamban bersikap dan mereka tidak puas dengan
kinerja pemerintah itu. Bahkan, mereka menilai pemerintah tidak maksimal menangani
musibah itu.
Sikap dan komentar warga Perumtas 1 menegaskannya. "Kami ini seolah sudah mati.
Kembali ke sana kami tidak lagi mempunyai rumah. Semua ijazah dan surat-surat lainnya
ikut terendam lumpur," tutur Yohanes.
Untuk memaksa pemerintah memerhatikan nasib mereka, Yohanes dan puluhan warga
Perumtas 1 Sidoarjo harus bertandang ke Jakarta. Niat yang digantungkan adalah
meminta agar Presiden sudi menerima mereka dan mendengarkan keluhan mereka.
Untuk itu, mereka sudi tidur beralas tikar beratap langit, tidak ada dinding untuk
menahan malam yang dingin. "Kami tidurnya ngemper saja di halaman Tugu Proklamasi,
sebagian yang lain di halaman belakang Kantor Kontras," tutur seorang warga Perumtas.
Niat untuk bertemu sempat ditolak Presiden sebelum akhirnya diluluskan. Bahkan,
sebelumnya mereka diterima juga oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla yang menjanjikan
dana ganti rugi sebesar 20 persen segera dikucurkan langsung.
Harapan kembali pulih dan mereka kembali ke Sidoarjo. Namun, satu tahun sudah

LNF
www.zeilla.wordpress.com page 44 of 99

________________________________________________________________________
bencana itu menggerus harapan mereka. Selama itu juga mereka terus menuai janji.
Yohanes mengungkapkan, sulit berharap kepada pemerintah karena pemerintah
dinilainya lebih peduli kepada kondisi PT Lapindo Brantas daripada kepada warga
korban. Padahal, dari data yang dihimpun Kompas, sebanyak 29.484 warga Porong,
34.946 warga Tanggulangin, dan 21.884 warga Jabon turut serta mengantarkan Susilo
Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla ke tampuk tertinggi kepemimpinan Indonesia.
Mereka juga telah mengantarkan kader-kader partai politik masuk ke dalam keanggotaan
Dewan Perwakilan Rakyat, baik di daerah maupun di pusat. Namun, sejauh ini mereka
tetap merasa diabaikan.

Kesepian
Kepedihan akibat janji yang tak kunjung terealisasi bak lumpur pekat yang makin
menenggelamkan harapan dan kepercayaan warga kepada para wakil mereka. Pemimpin
Pondok Pesantren At Tahdzid, KH Abdul Fatah, misalnya, sempat mengungkapkan
kegetirannya terhadap sikap pimpinan negara yang seolah lebih mementingkan
pengusaha daripada warga.
"Kami ini adalah warga yang seolah-olah dilupakan," tutur Abdul Fatah yang sebagian
besar santrinya memilih kembali ke kampung halaman karena pondok mereka terendam
lumpur.
Sisanya, sebanyak 70 orang, kini tinggal di bekas gudang pupuk. Apa yang mereka alami
adalah apa yang semua warga Perumtas 1 alami. Kehilangan tempat tinggal, pekerjaan,
dan masa depan, bahkan keluarga.
Saat ini kekhawatiran lain sedang menghinggapi. Mereka diminta segera meninggalkan
tempat pengungsian yang berada di Pasar Baru Porong. Lengkaplah penderitaan itu.

Tanggung jawab
Penulis The Art of War for Executives Donald G Krause dalam bukunya berjudul The
Way Of The Leader membantu mengunyahkan prinsip-prinsip Sun Tzu tentang
kepemimpinan. Dituliskannya kepemimpinan bukanlah hak prerogatif, tetapi lebih
merupakan tanggung jawab. Kekuasaan dan jabatan hanya diberi untuk memungkinkan
seorang pemimpin melayani para pendukungnya dengan lebih baik, bukan untuk
melaksanakan hak istimewa si pemimpin.
Dalam ranah politik, posisi rakyat menjadi sangat penting karena menjadi sumber dari
legitimasi sebuah kekuasaan politik. Dalam perspektif itu, almarhumah Prof Dr Miriam
Budiardjo dalam bukunya berjudul Dasar-Dasar Ilmu Politik, tentang partai politik
menuliskan, dengan meluasnya gagasan bahwa rakyat merupakan faktor yang harus
diperhitungkan serta diikutsertakan dalam proses politik, maka partai politik lahir secara
spontan dan berkembang menjadi penghubung antara rakyat di satu pihak dan pemerintah
di lain pihak.
Lebih lanjut ia mengemukakan, di negara-negara yang menganut faham demokrasi,

LNF
www.zeilla.wordpress.com page 45 of 99

________________________________________________________________________
gagasan mengenai partisipasi rakyat mempunyai dasar ideologis bahwa rakyat berhak
untuk turut menentukan siapa akan menjadi pemimpin yang nantinya menentukan
kebijaksanaan umum.
Dalam posisi seperti itu, pemimpin sebenarnya berutang kepada para konstituen mereka.
Oleh karena itu, keterlibatan tersebut seharusnya menjadi prinsip pengaturan dari
bekerjanya tiga komponen, yaitu lembaga politik, ekonomi, dan masyarakat.
Dalam buku The Third Way and Its Critics, Anthony Giddens menyatakannya sebagai
tidak ada hak tanpa tanggung jawab. Berkaitan dengan tiga komponen itu, pernyataan
Giddens tersebut dapat menjadi prinsip relasi antara negara, lembaga ekonomi, dan
rakyat.
Dalam sebuah acara peringatan 200 tahun Gereja Katolik di Jakarta, Uskup Agung
Jakarta Julius Kardinal Dharmaatmadja mengatakan, selama ini di Indonesia belum ada
interaksi yang sehat antarketiga komponen itu.
Menurut Kardinal, yang ada adalah relasi antardua komponen, yaitu pemerintah dan
ekonomi serta mengabaikan rakyat. Salah satu bentuk akibat pengabaian itu adalah
kemiskinan.
Menggunakan perspektif itu, apa yang dialami oleh warga korban luberan lumpur adalah
sebuah dampak dari pengabaian tersebut. Negara seharusnya tidak hanya menuntut
keterlibatan politik warga, tetapi juga dengan sungguh mendengarkan apa yang mereka
prihatinkan.
Suara lirih mereka akan sulit tertangkap jika beranggapan bahwa apa yang telah
dilakukan selama ini telah cukup. Demikian juga dengan partai politik. Dalam bukunya
itu, Miriam Budiardjo mengemukakan, partai politik berbeda dari golongan penekan atau
golongan kepentingan yang mewakili kepentingan-kepentingan yang khas. Golongan ini
memiliki orientasi politik lebih luas dan karena mewakili berbagai golongan, partai
politik lebih banyak memperjuangkan kepentingan umum.

Upaya partai
Sekretaris Dewan Pimpinan Wilayah Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Jawa Timur
Khoiruddin Abbas mengungkapkan, kader PKB, baik yang berada di legislatif maupun
eksekutif di Kabupaten Sidoarjo dan Provinsi Jawa Timur, telah berjuang maksimal
membela kepentingan para korban luapan lumpur Lapindo.
Namun, banyaknya jumlah korban membuat tidak semua kelompok korban dapat
diakomodasi kepentingannya. Masing-masing kelompok memiliki kepentingan yang
berbeda sehingga menyulitkan penanganan yang tepat bagi setiap kelompok.
"Tak kurang-kurang yang telah kami lakukan kepada para korban. Tapi, jika ada yang
kurang puas, mungkin itu karena kurang komunikasi saja," kata Khoiruddin.
Di sisi lain ia mengemukakan, hasil yang kurang optimal dari perjuangan PKB Jawa
Timur dalam membela kepentingan korban luapan lumpur Lapindo tidak terlepas dari

LNF
www.zeilla.wordpress.com page 46 of 99

________________________________________________________________________
kunci penanganan masalah yang ada pada pemerintah pusat.
Untuk itu, Ketua Umum Dewan Syuro PKB KH Abdurrahman Wahid berulang kali
menegaskan, PT Lapindo Brantas harus menanggung penuh segala biaya kerusakan yang
ditimbulkan dan biaya rehabilitasi yang diperlukan. Lapindo juga harus
mempertanggungjawabkan kecerobohan mereka saat mengebor di hadapan hukum.
Di sisi lain, pemerintah diharapkan segera mengambil alih penanganan persoalan itu agar
rakyat tidak terabaikan. (***)

LNF
www.zeilla.wordpress.com page 47 of 99

________________________________________________________________________
URL Source:
http://korantempo.com/korantempo/2008/02/19/Opini/krn,20080219,69.id.html

Kemesraan DPR kepada Lapindo


Oleh: Firdaus Cahyadi
Akhirnya Tim Pengawas Penanganan Dampak Semburan Lumpur Lapindo bentukan
Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan bahwa semburan lumpur panas di Sidoarjo adalah
bencana alam dan tidak ada kaitannya dengan kegiatan manusia. Anggota tim pengawas
bentukan DPR itu mengaku memberikan laporan berdasarkan hal-hal yang telah menjadi
fakta.

Laporan tim pengawas itu sekilas terkesan ilmiah, tapi anehnya laporan tersebut sama
persis dengan opini publik yang sedang digalang melalui iklan berbentuk advertorial oleh
PT Minarak Lapindo Jaya di berbagai media massa. Dalam iklannya, perusahaan itu
meminjam pernyataan beberapa pakar dari perguruan tinggi yang mengatakan bahwa
semburan lumpur panas di Sidoarjo adalah bencana alam.

Menariknya, dalam salah satu iklannya, PT Minarak Lapindo Jaya juga mengutip
pendapat Ketua DPR RI yang memperkuat opini yang sedang digalang perusahaan
tersebut. Anehnya lagi, pernyataan Ketua DPR RI tersebut dikeluarkan jauh hari sebelum
Tim Pengawas Lumpur Lapindo bentukan DPR RI memberikan laporan resminya.
Pernyataan Ketua DPR RI yang dikutip dalam iklan advertorial tersebut dikeluarkan pada
saat pembukaan Masa Persidangan III 2006/2007 pada 8 Januari 2007.

Wakil Ketua Tim Pengawas Lumpur Lapindo-DPR Tamam Achda mengutip pendapat
pakar yang menguntungkan posisi PT Minarak Lapindo Jaya. Menurut dia, semburan
lumpur panas di Sidoarjo akibat pengaruh gempa tektonik di Yogyakarta (Koran Tempo,
18 Februari 2008). Seperti pada iklan Lapindo, pernyataan Wakil Ketua Tim Pengawas
DPR itu tidak mempedulikan pendapat beberapa pakar lain bahwa semburan lumpur
panas di Sidoarjo akibat kelalaian korporasi, dan bukan disebabkan oleh bencana alam.

Beberapa praktisi pertambangan dan pakar dari berbagai perguruan tinggi Indonesia dan
luar negeri sebenarnya ada yang berpendapat bahwa semburan lumpur panas di Sidoarjo
bukan bencana alam. Namun sayang, suara mereka seperti tertelan bumi akibat
pernyataan anggota DPR RI dan serbuan iklan advertorial Lapindo. Pendapat mantan
Direktorat Eksplorasi dan Produksi BPPKA-Pertamina, yang juga anggota Tim Nasional
Penanggulangan Lumpur Lapindo, Ir Kersam Sumanta, misalnya, menunjukkan bahwa
ada unsur kekeliruan manusia yang menyimpang dari standar operasional teknik
pengeboran yang menyebabkan terjadinya semburan.

Sementara itu, seorang ilmuwan dari Jepang, Profesor Mori, menunjukkan bahwa posisi
lumpur Lapindo di Sidoarjo ternyata berada jauh di luar episentrum gempa yang terjadi di
Yogyakarta. Artinya, getaran yang sampai ke Sidoarjo tidak cukup kuat untuk dapat
menimbulkan aktivitas gunung api lumpur (mud volcano). Pakar geologi dari Institut
Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya Ir Amien Widodo, MT, dalam pandanganya

LNF
www.zeilla.wordpress.com page 48 of 99

________________________________________________________________________
menyebutkan bahwa semburan lumpur di Sidoarjo bisa dimungkinkan hanya jika efek
gempa yang sampai di Porong dan sekitarnya mencapai 6 skala Richter (SR).
Kenyataannya, efek gempa yang sampai ke Porong dan sekitarnya hanya 2,2 SR. Artinya,
semburan lumpur yang terjadi di Sidoarjo bukan karena efek gempa, melainkan karena
kelalaian operator pengeboran.

Pendapat para praktisi dan pakar yang mengatakan bahwa semburan lumpur panas bukan
bencana alam diperkuat oleh dokumen rapat teknis PT Lapindo Brantas dan rekanan pada
18 Mei 2006, yang menggambarkan kronologi kejadian semburan lumpur panas tersebut
(Konspirasi di Balik Lumpur Lapindo, Ali Azhar Akbar, 2007). Dokumen rapat itu
menyatakan bahwa saat pengeboran mencapai 8.500 kaki, PT Medco Energi sebagai
salah satu pemegang saham Lapindo memperingatkan agar operator segera memasang
selubung pengaman (casing) berdiameter 9.297 kaki, tapi prosedur baku pengeboran itu
diabaikan.

Pada Sabtu (27 Mei 2006) pagi, Lapindo mengaku kehilangan lumpur (loss). Hal itu
terjadi karena masuknya lumpur pengeboran yang berfungsi sebagai pelumas. Rangkaian
alat pengeboran pun dicabut hingga kedalaman 4.241 kaki. Saat itulah terjadi letupan gas
(well kick). Letupan gas dari formasi batuan itu menekan alat pengebor sehingga lumpur
naik ke atas.

Pada Minggu, 28 Mei 2006, well kick dapat ditutup dengan lumpur berat yang dapat
mematikan aliran (kill mud). Di saat itulah Lapindo berusaha mencabut mata bor hingga
ke permukaan. Namun, sialnya, bor macet saat akan diangkat ke atas. Karena gas tidak
bisa naik ke atas melalui fire pit (cerobong yang dapat disulut) dalam rangkaian pipa bor,
gas menekan ke samping dan akhirnya keluar ke permukaan melalui rawa. Senin, 29 Mei
2006, tiba-tiba lumpur menyembur hingga ketinggian 40 meter pada jarak 150 meter dari
lokasi pengeboran.

Pertanyaan berikutnya, apakah laporan yang disusun oleh Tim Pengawas Penanganan
Dampak Semburan Lumpur Lapindo-DPR juga menampilkan pendapat pakar, praktisi
pertambangan, dan juga fakta-fakta lapangan yang berbeda dengan pendapat pakar serta
fakta yang ditulis dalam iklan advertorial Lapindo? Seharusnya anggota DPR RI yang
relatif memiliki pendidikan tinggi lebih bisa obyektif dalam memandang suatu
permasalahan, bukan justru bertekuk lutut mengikuti seruan iklan dan pidato ketuanya
yang membela kepentingan Lapindo. Seharusnya para wakil rakyat itu lebih membela
kepentingan rakyat daripada kepentingan sebuah korporasi besar.

Gencarnya pembelaan terhadap posisi Lapindo dari kalangan wakil rakyat ini
mengundang kecurigaan adanya konspirasi untuk mengalihkan tanggung jawab soal
semburan lumpur Sidoarjo dari tangan Lapindo ke pundak pemerintah. Dugaan itu
semakin menguat menjelang Pemilihan Umum 2009. Sebagaimana diketahui, setiap
menjelang pemilu, setiap partai politik membutuhkan banyak dana untuk kegiatan
kampanye. Publik harus membongkar hubungan mesra antara DPR dan Lapindo ini.
Jangan sampai terjadi konspirasi jahat yang merugikan kepentingan masyarakat.(***)

LNF
www.zeilla.wordpress.com page 49 of 99

________________________________________________________________________
URL Source:
http://www.bisnis.com/servlet/page?_pageid=127&_dad=portal30&_schema=PORTAL

Bencana Lumpur Lapindo


Tanggung jawab perdata Lapindo akibat lumpur panas
Oleh: Arief S. Wirjohoetomo
Tragedi lumpur panas Lapindo telah menimbulkan dampak luar biasa, terutama kerugian
material dan nonmaterial yang dialami masyrakat di sekitar lokasi semburan lumpur
tersebut.
Permasalahannya adalah, apakah korban lumpur Lapindo dapat menuntut
pertanggungjawaban perdata atas terjadinya lumpur Lapindo? Penulis hanya mengulas
tentang pertanggungjawaban perdata akibat perbuatan melawan hukum bilamana korban
lumpur Lapindo mengajukan tuntutan secara perdata ke pengadilan.
Sebelum menguraikan permasalahan tersebut, pro dan kontra tentang siapa pihak yang
bertanggung jawab atas terjadinya lumpur Lapindo terus bergulir bak bola liar tanpa
adanya kepastian. Patut disimak pernyataan Wakil Presiden Jusuf Kalla bahwa Lapindo
sebagai kontraktor harus bertanggung jawab atas terjadinya lumpur itu.
Juga disampaikan Kepala BP Migas bahwa berdasarkan kontrak production sharing, yang
bertanggung jawab di hadapan pemerintah adalah Lapindo, Medco dan Santos. Terlepas
adanya pro dan kontra mengenai hal tersebut, berikut uraian tentang pertanggungjawaban
perdata akibat perbuatan melawan hukum.

Melawan hukum
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), Pasal 1365 menyatakan "tiap
perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan
orang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut".
Pasal 1365 KUHPerdata menentukan syarat-syarat untuk menentukan perbuatan melawan
hukum. Pertama, harus ada perbuatan melawan hukum, yaitu tidak hanya perbuatan yang
bertentangan dengan UU, tetapi berbuat atau tidak berbuat yang melanggar hak orang
lain atau bertentangan dengan kewajiban orang yang berbuat atau tidak berbuat,
bertentangan dengan sifat berhati-hati sebagaimana patutnya dalam masyarakat.
Kedua, ada kesalahan. Ketiga, ada kerugian. Keempat, ada hubungan sebab akibat antara
perbuatan melawan hukum itu dan kerugian.
Selanjutnya, Pasal 1366 KUHPerdata menyatakan "setiap orang bertanggungjawab tidak
saja untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian
yang disebabkan karena kelalaian atau kurang hati-hatinya". Pasal 1367 KUHPerdata
mengatur "seorang tidak saja bertanggungjawab untuk kerugian yang disebabkan karena
perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatan
orang-orang yang menjadi tanggungannya, atau disebabkan oleh barang-barang yang
berada di bawah pengawasannya".

LNF
www.zeilla.wordpress.com page 50 of 99

________________________________________________________________________
Berkaitan dengan masalah lumpur Lapindo, faktanya, lumpur telah menenggelamkan
sejumlah desa, warga masyarakat kehilangan harta benda, jiwa, rumah tinggal,
sawah/ladang sebagai mata pencaharian, perusahaan-perusahaan terpaksa tutup tidak
beroperasi karena lokasi perusahaan terendam lumpur, yang mengakibatkan hilangnya
pekerjaan dan mata pencaharian.
Menurut hemat penulis, unsur perbuatan melawan hukum telah terjadi dalam masalah
lumpur Lapindo, karena lumpur Lapindo telah melanggar hak orang lain untuk hidup
secara normal.
Perbuatan melawan hukum itu senantiasa melihat pada akibatnya dan bukan melihat pada
penyebabnya. Jadi, perbuatan melawan hukum tidak diperlukan adanya unsur
kesengajaan atau kealpaan, tetapi cukup adanya kesalahan yang dilakukan, agar pihak
yang melakukan kesalahan itu dapat dimintai tanggung jawab secara perdata.
Unsur kesalahan dimaksud, si pembuat pada umumnya harus ada
pertanggungjawabannya yaitu dia menginsyafi akibat dari perbuatannya
(toerekeningsvatbaar). Konkretnya, dengan adanya kesalahan atas kegiatan pengeboran
yang akhirnya menimbulkan luapan lumpur yang menenggelamkan sejumlah desa,
menghilangkan/memusnahkan rumah tinggal, harta benda/jiwa dan mata pencarian warga
masyarakat, sudah cukup untuk membuktikan kesalahan perseroan tersebut karena telah
merugikan hak-hak orang lain.
Wujud ganti rugi
Akibat perbuatan melawan hukum, orang lain jadi rugi. Jadi, pihak yang melakukan
perbuatan melawan hukum wajib bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh
orang lain tersebut.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa setiap tindakan pihak yang
termasuk perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan kerugian kepada pihak
lainnya, maka secara hukum dapat dimintai pertanggungjawaban secara perdata dengan
mengajukan gugatan ke pengadilan.
Karena itu, korban lumpur Lapindo mempunyai alasan hak, dasar dan alasan hukum
menuntut dan meminta pertanggungjawaban secara perdata terhadap pihak-pihak karena
perbuatan melawan hukum, dan kesalahannya mengakibatkan timbulnya lumpur Lapindo
dengan mengajukan gugatan perdata tentang perbuatan melawan hukum dengan
menuntut ganti kerugian. Tak perlu diperhatikan apakah penyebabnya karena disengaja
atau karena kelalaian.
Tanggung jawab perdata dan ganti kerugian yang wajib dipikul oleh pihak yang
melakukan perbuatan melawan hukum hanya sebatas kerugian langsung dari perbuatan
melawan hukum.(***)

LNF
www.zeilla.wordpress.com page 51 of 99

________________________________________________________________________
URL Source: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/opini/lumpur-lapindo-dan-
demo-w

Lumpur Lapindo dan Demo Warga TAS


Oleh: Wahyudin Munawir
Gejolak sosial yang terus membesar akibat semburan lumpur panas Lapindo
menunjukkan bahwa pemerintah kurang siap dalam mengantisipasi datangnya berbagai
masalah yang muncul akibat makin luasnya kawasan yang terkena dampak ”kesalahan
pengeboran” Sumur Banjar Panji Satu itu.
Demo warga Perum Tanggulangin Sejahtera (Perumtas) Sidoarjo yang kini masih
berlangsung di Jakarta untuk menuntut pembayaran ganti rugi secara cash and carry
(karena rumahnya terendam Lumpur) seharusnya tidak terjadi jika pemerintah sejak awal
berpikir jauh ke depan dan menekankan rasa kemanusiaan (sesuai dengan sila kedua)
dalam mengatasi dampak semburan lumpur. Dalam kaitan ini, pemerintah––baik melalui
Timnas Penanggulangan Bencana Lumpur Sidoarjo maupun Badan Pelaksana
Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPPLS) yang baru terbentuk–– mau berpikir jernih
dan bersikap empati terhadap nasib warga yang rumah dan tanahnya terendam lumpur.
Pemikiran yang jauh ke depan dalam perspektif kemanusiaan ini penting untuk mencari
solusi atas gejolak sosial di Sidoarjo sehingga masalah tersebut tidak berkembang
menjadi krisis sosial berkepanjangan. Perlu diingat, bagi sebagian besar orang
Indonesia,khususnya orang Jawa, rumah dan tanah bukan sekadar tempat tinggal dan
tempat mencari nafkah,tapi juga merupakan bagian ”jiwa dan roh” kehidupannya. Pindah
rumah – meski rumah baru mungkin lebih bagus – bagi orang Jawa adalah sebuah
perpindahan jiwa dan roh yang amat sulit dilakukan. Warga Perumtas sudah mau
berkorban untuk berganti rumah, tapi pemerintah dan Lapindo tidak menghargainya.
Tuntutan warga Perumtas tersebut sebetulnya sangat rasional.
Mana mungkin bila mereka hanya mendapat DP (down payment) 20% dari harga rumah,
kemudian sisanya dicicil selama 2–3 tahun, mereka akan bisa melanjutkan aktivitas
kehidupannya secara normal? Dengan DP 20% atau sekitar 20 juta (jika harga rumah
mereka rata-rata Rp100), mereka tidak hanya akan kesulitan mendapatkan rumah yang
harganya terus melonjak,tapi juga waktunya habis untuk mengurus berbagai keperluan
kredit rumah tersebut. Perlu dicatat, membeli rumah secara cash(kontan) jauh lebih
murah ketimbang kredit. Kondisi ini akan makin parah lagi karena rumah baru tersebut
tempatnya belum tentu dekat dengan tempat kerja mereka.
Dengan sistem DP itu, terlalu banyak waktu dan tenaga yang terbuang bagi warga TAS
untuk mengurusi segala macam yang berkaitan dengan rumah barunya yang akan dibayar
dengan kredit (persetujuan bank,membuat NPWP,dan administrasi lain yang
melelahkan). Ini berbeda, misalnya, jika mereka mendapat ganti rugi rumah secara cash
and carry––sesuai harga rumahnya. Mereka bisa membeli rumah secara kontan, lalu
menempatinya, dan urusan administra-si kredit yang melelahkan tidak terjadi. Warga
TAS sudah terlalu lelah mengungsi akibat rumahnya terendam lumpur. Kita tahu, semula
warga TAS sudah senang bahwa pemerintah akhirnya menyetujui tuntutan mereka agar

LNF
www.zeilla.wordpress.com page 52 of 99

________________________________________________________________________
rumahnya yang terendam lumpur diganti dengan sistem cash and carry.
Tapi, entah bagaimana setelah melalui perundingan yang alot tentang mekanisme
pembayarannya, tiba-tiba yang dimaksud cash and carry itu adalah pembayaran dengan
DP 20% dan sisanya dicicil 2–3 tahun. Kita tak tahu definisi dari mana sistem cash and
carry yang semacam itu? Karena itu, jangan salahkan jika warga Perumtas akhirnya
protes dan melakukan aksi demo di Jakarta.

Pikiran Pendek
Kasus Lapindo yang makin lama makin besar dan makin sulit diselesaikan sebenarnya
muncul akibat pikiran pendek para penentu kebijakan. Bayangkan, sejumlah ahli sudah
meramalkan berdasarkan data geologis dan geofisis bahwa semburan lumur itu akan
berlangsung lama, tapi pemerintah tetap saja bergeming dengan pikiran jangka
pendeknya. Pikiran pendek itu, misalnya, muncul ketika pemerintah, awalnya hanya akan
memberi ganti rugi pada korban Lapindo yang berada pada wilayah 400 hektare sekitar
semburan.
Saat keputusan itu diambil, mestinya pemerintah berpikir jauh bahwa korban-korban
Lapindo akan makin banyak dan berada di luar wilayah 400 hektare tadi.Benar,akhirnya
Perumtas yang letaknya di luar cakupan 400 hektare tenggelam. Mereka pun minta ganti
rugi. Setelah melakukan aksi demo besar-besaran di Sidoarjo, akhirnya pemerintah dan
Lapindo, mau memberi ganti rugi pada warga Perumtas.Tapi sayang–– ini cara berpikir
pendek lagi–– ganti rugi tersebut tidak sesuai tuntutan warga Perumtas yang minta cash
and carry. Akibatnya bisa diduga,muncul gejolak yang ”biaya sosial”-nya bisa lebih
tinggi dari biaya ganti rugi cash and carry tersebut.
Ke depan, niscaya akan makin banyak lagi daerah yang ambles atau tergenang lumpur.
Saat ini, kawasan bencana akibat lumpur Lapindo sudah mencapai 850 hektare lebih.
Nah, cara berpikir pendek yang lebih tragis lagi adalah ketika pemerintah memutuskan
akan menanggung biaya pembangunan infrastruktur yang rusak akibat lumpur Lapindo.
Lapindo Brantas yang menjadi pemicu semburan lumpur itu hanya diminta mengeluarkan
uang sekitar Rp3,8 triliun (Rp1,3 triliun untuk penanganan lumpur dan Rp2,5 triliun
untuk ganti rugi rumah-rumah warga yang tenggelam di empat desa). Tahun 2007,
misalnya, pemerintah melalui ABN akan menggelontorkan uang Rp4,731 triliun rupiah
untuk relokasi infrastruktur yang rusak akibat semburan lumpur.
Di masa datang, beban negara untuk mengatasi dampak lumpur Lapindo akan makin
besar lagi. Soalnya akibat semburan lumpur sejak Maret 2007,menurut Bappenas,
kerugiannya secara langsung maupun tidak langsung mencapai Rp44,7 triliun. Luar biasa
bukan? Anehnya, sesuai Kepres No 14/2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur
Sidoarjo, segala akibat yang timbul dari semburan lumpur sejak 22 Maret 2007,
pemerintah yang akan menanggung seluruh biayanya.Termasuk di antaranya penanganan
dan pengalihan infrastruktur, pengaliran lumpur ke Kali Porong, kanalisasi lumpur ke
laut, dan lain-lain, termasuk biaya sosialnya. Ini artinya, uang rakyat dipakai untuk
membiayai pembangunan infrastruktur dan segala macam yang rusak akibat kesalahan
swasta (Lapindo). Ini jelas tidak adil.

LNF
www.zeilla.wordpress.com page 53 of 99

________________________________________________________________________
Mestinya, pemerintah berkaca pada hukum alam––siapa yang menanam angin, dia yang
akan menuai badai! Lapindo jelas adalah pihak yang menanam angin tersebut. Jadi wajar
jika dia harus menuai badai. Pemerintah memang absurd dalam menangani kasus lumpur
Lapindo.Sampai saat ini pun, belum ada keputusan hukum final, siapa yang bersalah dan
bertanggung jawab terhadap tragedi lumpur panas tersebut. Di tengah absurditas itu, tiba-
tiba pemerintah bersedia menanggung segala akibat tragedi lumpur itu tanpa batas waktu.
Sementara Lapindo yang jadi pemicu semburan lumpur itu dibiarkan lepas tanggung
jawab.Wallahu a’lam bissawab. (***)

LNF
www.zeilla.wordpress.com page 54 of 99

________________________________________________________________________
URL Source:
http://www.kompas.com/kompascetak/read.php?cnt=.xml.2008.02.28.02415341&cha

Lumpur Lapindo, Lumpurnya "Tuhan"?


Oleh: Jonatan Lassa PhD
Without correct words, there will be no correct practice. (Dombrowsky)
Rabi Greenberg menuturkan kisah lucunya tahun 1950-an di New York City yang dilanda
musim kering dan pemerintah membuat awan buatan sebagai awal teknologi hujan
buatan.
Hal ini menyebabkan agamawan bertanya, apakah manusia mengambil alih peran Tuhan?
”Saya ingat sebuah kartun di the New Yorker yang melukiskan sekelompok pendeta yang
kelihatan amat cemas sedang duduk mengelilingi meja dan melihat keluar melalui
jendela, menyaksikan turunnya hujan. Seorang pendeta berkata, ’Ini hujan kita, atau
hujan mereka?’” (John Naisbit, 2001:49)
Kita membayangkan suasana batin yang mungkin melingkupi Senayan dan Istana terkait
peristiwa di Sidoarjo. Karikatur imajiner yang bisa menggambarkan batin penguasa dan
rohaniwan Indonesia dengan pertanyaan, ”Ini lumpur Lapindo atau lumpurnya Tuhan?”
Kini, dalam realitas, DPR dan pemerintah memerlukan jawaban ”bencana alam atau
bencana teknologi”?
Dalam tradisi mendefinisikan/ pendefinisian atas sesuatu, sebuah definisi terdiri dua
bagian, yakni kata yang didefinisikan (definiendum) dan kelompok kata atau konsep yang
digunakan untuk mendefinisikan (definien). Sebuah definiendum harus bermakna sama
dengan definien.
Neil Britton mengatakan, ”Sebagaimana seorang/pihak menafsirkan sesuatu bergantung
pada apa yang disyaratkan untuk dilakukan terhadap sesuatu dimaksud.” Namun, Britton
mengingatkan definisi bukan sekadar alat bantu berpikir, tetapi juga soal orientasi mental
dan emosi, model pemaknaan dan cara pandang pemberi definisi.

Definisi
Salinan UU No 24/2007 mendefinisikan, ”bencana adalah peristiwa atau rangkaian
peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat
yang disebabkan faktor alam dan/atau faktor non-alam maupun faktor manusia,
mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta
benda, dan dampak psikologis.”
Karena itu, peristiwa Sidoarjo memenuhi kecirian definisi bencana UU No 24/2007. Jika
ditanyakan kepada rakyat yang mengalami, jawabannya, ”rumah terkubur, pekerjaan
hilang, aset penghidupan hancur, kerugian nasional mencapai paling sedikit Rp 7 triliun.
Orang dari kaya menjadi miskin. Yang miskin makin melarat. Secara psikis tidak ada
kata yang bisa menyamai pengalaman mengalami bencana itu.” Definisi ini dikenal
dengan definisi situatif.

LNF
www.zeilla.wordpress.com page 55 of 99

________________________________________________________________________
Pada titik ini, kata ’bencana’ tidak merepresentasikan diri sendiri. Bencana juga tidak
sekadar merepresentasikan lingkungan yang rusak. Bencana dan lingkungan yang rusak
merepresentasikan manusia dan kepentingan manusia di baliknya.
Istilah ”bencana alam” bermakna kausalitas. Salinan UU No 24/2007 mengatakan,
”Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa
yang disebabkan oleh alam, antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus,
banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor. Bencana non-alam adalah bencana
yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa non-alam, antara lain berupa
gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit.”
Kelemahan paling mendasar UU No 24/2007 adalah tidak memberi ruang atau definisi
kausalitas bencana untuk interaksi atau keterkaitan antara yang alami dan buatan
manusia. Secara empiris, ini bertentangan karena ada yang dikenal sebagai ”bencana
antara”. Peristiwa yang satu men-triger yang lain. Bisa saja kegiatan eksplorasi dan
eksploitasi sumber daya yang tidak menjalankan prinsip kehati-hatian men-trigger
kejadian alam yang ekstrem. Misal, eksploitasi hutan memicu mudahnya banjir.
Sebaliknya, peristiwa alam seperti gempa bisa memicu kecelakaan kebakaran seperti
gempa Kobe 1995 atau kecelakaan nuklir di Jepang setahun silam.
Wapres Jusuf Kalla mengatakan, ”Perlu penelitian mendalam. Saya kira tidak bisa
dinyatakan secara politik (oleh DPR). Bencana alam atau bukan, itu bukan masalah
politis.” (Kompas, 19/2/2008)
Perlu diketahui, sains tidak menawarkan kepastian 100 persen. Sains datang dengan
skenario, probabilitas, kemungkinan, dan solusi trial and error. Ini yang terjadi dengan
sains dalam konteks lumpur di Sidoarjo. Dalam tradisi epistemik di universitas-
universitas dunia, sebuah hasil penelitian yang dipublikasikan akan mendapat banyak
pertanyaan ketimbang jawaban. Inilah alasannya mengapa seolah IAGI saling ”berseteru”
tepatnya setahun silam dalam sebuah workshop internasional. (Tempo Interaktif,
6/3/2007)

Istilah bencana alam


Karena itu, istilah hitam-putih ”bencana alam” sebenarnya problematik dan masalah
utama adalah pada paradigma dan kuasa tafsir atas bencana. Maka, tafsir bencana tidak
bisa hanya diserahkan kepada ahli teknis geologis/geofisik saja. Dalam epistemologi
bencana, alam adalah alam. Bencana adalah bencana. Bukan alam yang mengeksplorasi
migas di Sidoarjo.
Tafsir bencana adalah sebuah konsensus yang seharusnya trans-disiplin (baca: antara
pengambil kebijakan dan ahli lintas disiplin, termasuk ilmuwan sosial dan pihak yang
dianggap korban/pelaku).
Rakyat yang dipersepsikan ”bodoh” tidak bisa menerima begitu saja bahwa ini adalah
lumpurnya Tuhan. Ketiadaan konsensus atas bencana di Sidoarjo ternyata mengakibatkan
biaya transaksi tinggi. Namun, keputusan tentang penanggung jawab bencana Sidoarjo
adalah bukan semata-mata putusan hukum. Diperlukan keputusan politik karena lepas

LNF
www.zeilla.wordpress.com page 56 of 99

________________________________________________________________________
dari faktor kausalitas yang tidak pasti karena keterbatasan sains dan ketidakpastian
pengetahuan, ada situasi obyektif menunjukkan, jumlah rakyat miskin di Sidoarjo yang
terjadi dalam dua tahun terakhir membutuhkan keberpihakan politik dari penguasa di
DPR maupun eksekutif.
Melemparkan tanggung jawab kepada sains yang tidak pasti adalah sebuah
pengkhianatan terhadap amanat yang diberikan rakyat. Dan sains hendaknya
dimandatkan untuk tidak merampas mandat pengambilan keputusan yang bersifat politik.
Kepastian keberpihakan dari negara diperlukan dalam menyelesaikan ketidakpastian
hidup dan penghidupan rakyat di Sidoarjo yang semakin tak menentu.(***)

LNF
www.zeilla.wordpress.com page 57 of 99

________________________________________________________________________
URL Source:
http://www.kompas.com/kompascetak/read.php?cnt=.kompascetak.xml.2008.02.25.

Lumpur Lapindo
Cara Pemerintah Tangani Lumpur, Mengecewakan
Oleh: Suwardiman
Publik lebih memandang penting hasil akhir penanganan kasus luapan lumpur Lapindo di
Sidoarjo, Jawa Timur, daripada siapa yang harus bertanggung jawab terhadap
penyelesaian masalah ini. Meskipun Lapindo Brantas Inc dinilai publik paling
bertanggung jawab, pemerintah pusat dan pemerintah daerah pun tidak boleh lepas
tangan.
Terhadap masalah ganti rugi tanah dan properti korban luapan lumpur, misalnya, 98
persen responden jajak pendapat Kompas menyatakan Lapindo Brantas Inc harus
bertanggung jawab. Hal yang sama, pernyataan responden kepada pemerintah pusat dan
pemerintah daerah (masing-masing dilontarkan oleh 70,5 persen dan 74,9 persen
responden).
Terlebih Lapindo Brantas Inc, pemerintah daerah, dan pemerintah pusat juga dituntut
perannya dalam perbaikan infrastruktur yang rusak, pemenuhan kebutuhan hidup
pengungsi, dan kompensasi terhadap korban yang kehilangan pekerjaan akibat luberan
lumpur. Hal tersebut rata-rata disampaikan oleh 85 persen responden.
Sebanyak 76,6 persen responden dalam jajak pendapat yang dilakukan terhadap 1.329
responden di 16 kota ini juga menyatakan kecewa atas kinerja pemerintah yang tidak
transparan soal perkembangan penanganan banjir lumpur Sidoarjo.
Sekali lagi peran dan posisi negara dihadapkan pada ujian terkait keberpihakannya
kepada rakyat ataukah kepada kepentingan segelintir elite. Kasus semburan lumpur di
Sidoarjo melibatkan perusahaan swasta yang kepemilikannya berkorelasi langsung
dengan elite yang bercokol dalam struktur pemerintahan.
Perusahaan milik kelompok Bakrie ini dinilai oleh delapan dari 10 responden sebagai
pihak yang paling bertanggung jawab terhadap penanganan banjir lumpur Sidoarjo.
Sementara berbagai hasil penelitian yang dilakukan sejumlah tim ahli mengarah pada
kesimpulan dan rekomendasi yang berseberangan dengan harapan publik.
Hasil penetapan Tim Pengawas Penanggulangan Lumpur Sidoarjo yang dibentuk Dewan
Perwakilan Rakyat, misalnya, menyimpulkan banjir lumpur di Sidoarjo sebagai bencana
alam dan tidak terkait dengan kegiatan eksplorasi alam yang dilakukan oleh Lapindo
Brantas Inc.
Berbagai penyelidikan yang dilakukan oleh sejumlah tim ahli hingga saat ini belum
mencapai kesepakatan soal penyebab dan sumber dari semburan lumpur. Sejauh ini pula
tidak ada jaminan bahwa semburan lumpur di Sidoarjo bisa dihentikan dalam waktu
dekat.

LNF
www.zeilla.wordpress.com page 58 of 99

________________________________________________________________________
Sebagian tim ahli yang melakukan penyelidikan berpendapat semburan lumpur adalah
akibat kelalaian manusia dalam proses pengeboran yang dilakukan oleh Lapindo Brantas
Inc. Kepolisian Daerah Jawa Timur bahkan menetapkan enam tersangka dari kontraktor
yang disewa oleh Lapindo (Kompas, 3/7/2006). Sebulan kemudian, Polda Jatim kembali
menetapkan tiga tersangka lainnya (Kompas, 25/8/2006). Mereka ditetapkan sebagai
tersangka karena membiarkan pengeboran pada kedalaman 3.580 kaki sampai 9.297 kaki
tanpa selubung, yang mengakibatkan terjadinya lost dan penanganan yang salah
menyebabkan terjadinya luapan dari bawah tanah.
Sementara itu, tim ahli—yang beberapa nama mereka selalu dikutip dalam iklan-iklan
Lapindo—lain berpendapat bahwa semburan lumpur di Sidoarjo merupakan fenomena
alam, yang sama sekali tidak terkait dengan kegiatan manusia.
Perkara penetapan status bencana semburan lumpur Sidoarjo akan berdampak pada
masalah administrasi, soal siapa yang bertanggung jawab mengganti kerugian yang
diderita oleh korban.
Bagaimanapun, pemerintah sedang diuji kewibawaan dan keberpihakannya.(Litbang
Kompas). (***)

LNF
www.zeilla.wordpress.com page 59 of 99

________________________________________________________________________
URL Source:
http://korantempo.com/korantempo/2008/02/21/Opini/krn,20080221,71.id.html

Lapindo, Ecocide, dan Culture Genocide


Oleh: M. Ridha Saleh
Sejak 29 Mei 2006 hingga detik ini, semburan lumpur Lapindo membawa dampak yang
luar biasa bagi masyarakat sekitar ataupun bagi aktivitas perekonomian di Jawa Timur.
Lumpur telah menggenangi 12 desa di tiga kecamatan, merendam tak kurang dari 10.426
unit rumah, merusak area pertanian dan peternakan, serta menggenangi sarana dan
prasarana publik. Sekitar 30 pabrik yang tergenang terpaksa menghentikan aktivitas
produksi dan merumahkan ribuan tenaga kerja. Tercatat 1.873 orang tenaga kerja yang
terkena dampak lumpur ini serta lebih dari 8.200 jiwa dipindahpaksakan dan 25 ribu jiwa
diungsikan.

Akibat amblesnya permukaan tanah di sekitar semburan lumpur, pipa air milik PDAM
Surabaya patah. Lalu pipa gas milik Pertamina meledak akibat penurunan tanah karena
tekanan lumpur. Dan sekitar 2,5 kilometer pipa gas terendam bahkan sampai merenggut
nyawa manusia. Ditutupnya ruas jalan tol Surabaya-Gempol hingga waktu yang tidak
ditentukan mengakibatkan kemacetan di jalur-jalur alternatif, yaitu melalui Sidoarjo-
Mojosari-Porong dan jalur Waru-jalan tol-Porong. Sebuah saluran udara tegangan
ekstratinggi milik PT PLN serta seluruh jaringan telepon dan listrik di empat desa serta
satu jembatan di Jalan Raya Porong tak dapat difungsikan.

Semburan lumpur yang diakibatkan oleh aktivitas pengeboran PT Lapindo Brantas


menuai berbagai kritik ataupun gugatan formal dari pihak-pihak yang peduli. Namun,
sebaliknya, tidak sedikit wacana bermunculan yang memposisikan PT Lapindo Brantas
tidak bersalah dalam kasus ini.

Dalam konteks ekologi manusia, benarkah PT Lapindo telah melakukan praktek ecocide
dan apakah di sana--dalam konteks hak asasi manusia--terdapat dan/atau ditemukan
culture genocide?

Wacana ecocide
Franz J. Broswimmer-lah yang mengartikan bahwa ecocide is the killing of an ecosystem.
Pemusnahan ekosistem dalam hal ini tidak boleh dilepaskan dari kenyataan bahwa
ekosistem merupakan tata dan rangkaian kehidupan manusia. Dari pengertian
Broswimmer, kita bisa mengerti bahwa apa yang terjadi di sekitar luapan lumpur Lapindo
merupakan suatu tindakan yang mengakibatkan terjadinya pemusnahan ekologi dan
hilangnya hak-hak dasar kehidupan masyarakat di Sidoarjo.

Lebih lanjut Broswimmer menjelaskan bahwa pemusnahan ekosistem dilakukan melalui


tindakan sistematis. Sistematis dalam konteks ecocide tentu berbeda dengan unsur
sistematis yang dimaksudkan dalam konteks genocide. Sistematis dalam ecocide adalah
suatu tindakan yang dilakukan baik sengaja maupun tidak disengaja oleh pelaku dan

LNF
www.zeilla.wordpress.com page 60 of 99

________________________________________________________________________
menyebabkan musnahnya satuan-satuan penting fungsi ekologi, sosial, dan budaya
sebagai bagian dari kehidupan manusia.

Ada tiga unsur dampak yang dimaksudkan dalam wacana ecocide, yaitu pertama,
dampaknya sangat panjang terhadap suatu satuan dan fungsi kehidupan serta tidak dapat
dipulihkan kembali. Kedua, terdapatnya satuan dan fungsi yang musnah pada suatu
rangkaian kehidupan dari kondisi semula. Ketiga, terdapatnya penyimpangan-
penyimpangan fisik dan psikis manusia.

Satu hal yang juga penting dalam wacana ecocide, tidak terlalu mempersoalkan penyebab
kejadian, tapi lebih menekankan konteks, akibat, dan dampak kejadian serta sejauh mana
bahaya kehidupan itu akan terancam dari kejadian tersebut.

Jika kita mengacu pada wacana ecocide dalam konteks semburan lumpur Lapindo, kita
dapat melihat indikasi-indikasi secara gamblang bahwa di sana terdapat praktek ecocide,
karena yang paling nyata dari dampak yang diakibatkan oleh semburan lumpur Lapindo
adalah dampaknya yang sangat panjang dan musnahnya satuan-satuan penting fungsi
ekologi, sosial, dan budaya terhadap kehidupan manusia.

Culture genocide
Culture genocide dapat diartikan sebagai tindakan kejahatan luar biasa terhadap satuan
fungsi dan tatanan kehidupan secara massal, dengan mengubah atau menghancurkan
sejarah dan simbol-simbol peradaban suatu kelompok atau komunitas. Culture genocide,
menurut pakar hukum internasional dan kebiasaan hukum pidana internasional, bukan
bagian dari tindakan dan tidak dapat disebut sebagai unsur praktek genocide, karena
genocide hanya mengakui unsur-unsur perlakuan yang bersifat fisik, seperti yang terurai
dalam Statute Roma dan juga terdapat dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000
tentang Peradilan Hak Asasi Manusia.

Adakah praktek culture genocide dalam kasus lumpur Lapindo? Sejauh ini kasus lumpur
Lapindo luput dari wacana-wacana hak asasi manusia. Justru kasus tersebut lebih
didominasi oleh masalah teknis saintis dan hukum positif. Padahal kasus ini, dalam
konteks hak asasi manusia, dapat dikategorikan sebagai kasus yang memiliki dimensi
yang sangat serius terhadap masalah-masalah kemanusiaan dan pelanggaran hak asasi
manusia. Bahkan, jika kita mencermati secara mendalam, dalam kasus tersebut terdapat
unsur-unsur tindakan yang menyebabkan hilangnya tatanan kehidupan, yaitu hilangnya
sejarah, termasuk simbol-simbol masyarakat setempat.

Mengungkapkan berbagai wacana dan dimensi yang terjadi pada kasus semburan lumpur
Lapindo, sesungguhnya saya tidak ingin memojokkan PT Lapindo Brantas. Saya
bermaksud agar hukum dapat ditegakkan, keadilan dapat dipenuhi, dan kebenaran dapat
diungkapkan. (***)

LNF
www.zeilla.wordpress.com page 61 of 99

________________________________________________________________________
URL Source:
http://korantempo.com/korantempo/2007/06/14/Opini/krn,20070614,78.id.html

Usul Interpelasi Lumpur Lapindo


Oleh: Toto Sugiarto
Langkah para anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang mengusulkan interpelasi lumpur
Lapindo merupakan kabar yang memberikan harapan. Langkah tersebut dapat
menghentikan ketidakadilan dan kesengsaraan yang sekarang diderita rakyat Porong.
Dengan interpelasi ini, DPR dapat menanyakan penyebab berlarut-larutnya masalah
penanganan luapan lumpur Lapindo. Kabar yang beredar di ruang publik, yang
menggambarkan bahwa penyebabnya adalah adanya konflik kepentingan di dalam
internal pemerintah, perlu diperjelas kebenarannya. Apakah benar pemerintah lebih
memihak pada kuasa kapital daripada rakyat yang menjadi korban luapan lumpur yang
diakibatkan oleh proyek eksplorasi gas alam tersebut?

Absurditas pemerintah
Setelah lebih dari setahun lumpur panas Lapindo meluap, nasib para korban luapan
lumpur tersebut semakin memprihatinkan. Mereka hidup terkatung-katung di
pengungsian tanpa kejelasan masa depan. Tak sedikit dari para korban yang tidak kuat
menahan penderitaan dan keputusasaan. Mereka banyak yang mengalami gangguan jiwa.
Dalam kondisi yang amat memprihatinkan tersebut, pemerintah terlihat tidak sungguh-
sungguh melakukan perlindungan. Pemerintah terlihat tidak serius dalam menangani para
korban. Alih-alih melakukan perlindungan, pemerintah malah terlihat membuat kebijakan
yang merugikan rakyat.
Mereka yang telah kehilangan rumah, tanah, sawah, masa lalu, dan masa depan "dipaksa"
oleh pemerintah menerima kenyataan bahwa penderitaan akan semakin panjang.
Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007 tentang Pembentukan Badan
Penanggulangan Lumpur Sidoardjo, pembayaran ganti rugi dilakukan dengan dicicil
tanpa bunga.
Selain itu, banyak korban yang kesulitan memenuhi persyaratan agar tanah mereka yang
terendam mendapat ganti rugi. Pihak Lapindo terkesan mempersulit persyaratan yang
harus dilengkapi para korban. Akibatnya, pembayaran ganti rugi berjalan amat lambat.
Anehnya, pemerintah tidak membuat langkah yang memadai dalam mengatasi kesulitan
rakyat tersebut.
Kenyataan bahwa pemerintah terkesan abai terhadap penderitaan rakyat dan malah
membuat kebijakan yang semakin menyengsarakan adalah absurd. Pemerintah yang
seharusnya melakukan pemihakan dan pembelaan terhadap rakyat malah terlihat
berselingkuh dengan kuasa kapital membuat kebijakan yang semakin membuat rakyat
menderita. Absurditas seperti ini perlu dihentikan.

LNF
www.zeilla.wordpress.com page 62 of 99

________________________________________________________________________
Penyalahgunaan wewenang?
Dari uraian di atas, terlihat bahwa Perpres Nomor 14 Tahun 2007 dapat dikatakan sebagai
bentuk pemihakan pemerintah terhadap kuasa kapital. Di sisi lain, perpres ini merupakan
cermin pengabaian pemerintah terhadap rakyat.
Kenyataan yang memprihatinkan dari perpres tersebut belum menggambarkan semuanya,
perpres ini juga berpotensi merugikan negara. Perpres ini mengalihkan sebagian besar
beban penanganan luapan lumpur beserta dampaknya dari PT Lapindo Brantas kepada
negara. Artinya, sebagian besar beban biaya penanggulangan lumpur panas yang
merupakan akibat dari kecelakaan kegiatan pengeboran akan ditanggung seluruh rakyat
melalui anggaran pendapatan dan belanja negara. Bagian yang menjadi beban negara
tersebut antara lain pembiayaan pengalihan infrastruktur, kanalisasi lumpur dari Kali
Porong sampai ke laut, dan biaya sosial kemasyarakatan di luar peta 22 Maret 2007.
Padahal seharusnya Perpres Nomor 14 Tahun 2007 mengatur bahwa tanggung jawab
akhir tetap ada pada PT Lapindo Brantas. Pemerintah bisa saja mendanai proses
penanggulangan dan memang hanya pemerintah yang memiliki kemampuan itu, tapi
sifatnya hanya dana talangan.
Karena itu, muncul pertanyaan apakah Perpres Nomor 14 Tahun 2007 merupakan produk
penyalahgunaan wewenang? Pertanyaan ini mengemuka karena, dengan perpres tersebut,
terlihat bahwa dana negara dipakai untuk kepentingan pribadi.
Berdasarkan hal itu, dapat dikatakan bahwa Perpres Nomor 14 Tahun 2007 terlihat
sebagai kebijakan yang bernuansa legalisasi korupsi. Dengan perpres tersebut, Presiden
seperti memberi payung hukum penggunaan dana negara untuk kepentingan-kepentingan
yang bersifat pribadi. Dari kebijakan ini, ada pihak swasta yang diuntungkan, dan di sisi
lain, rakyat dan negara dirugikan.

Tekanan terhadap pemerintah


Selain mempertanyakan dan meminta penjelasan pemerintah, DPR perlu melakukan
tekanan agar perpres yang terlihat merugikan rakyat dan negara tersebut direvisi. Perpres
hasil revisi harus sungguh-sungguh memberi keadilan kepada rakyat dan di sisi lain,
menghindarkan kerugian negara.
Pemerintah perlu ditekan untuk secara sungguh-sungguh memikirkan nasib rakyat,
khususnya, dalam kasus ini, para korban lumpur Lapindo. Pemihakan terhadap rakyat
harus ditempatkan di atas segala-galanya. Segala sesuatu yang menjadi hambatan
pemihakan tersebut harus dihilangkan. Pemerintah harus melepaskan diri dari konflik
kepentingan.
Keengganan pemerintah lepas dari konflik kepentingan tergambar saat reshuffle beberapa
waktu lalu. Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Aburizal Bakrie, yang sarat
kepentingan dalam kasus ini, tetap berada di kabinet. Kenyataan yang mengherankan dan
menjengkelkan ini juga harus dipermasalahkan anggota DPR dalam interpelasi nanti.
DPR perlu menekan pemerintah agar menempatkan kepentingan rakyat di atas segala-
galanya, termasuk di atas kepentingan balas budi dan pengelolaan kekuasaan diri.

LNF
www.zeilla.wordpress.com page 63 of 99

________________________________________________________________________
Catatan akhir
Interpelasi lumpur Lapindo teramat penting bagi kelangsungan hidup bernegara. Dengan
interpelasi ini, keadilan dapat ditegakkan dan kewajiban negara melindungi segenap hak
milik warga negara dapat ditunaikan. Kita mengharapkan keseriusan dari DPR dalam
menggulirkan proses ini.
Interpelasi lumpur Lapindo diperlukan karena pemerintah terlihat tidak memiliki niat
baik untuk menyelesaikan masalah ini secara sungguh-sungguh dan berkeadilan. Waktu
setahun cukup untuk memberi kesempatan yang ternyata disia-siakan. (***)

LNF
www.zeilla.wordpress.com page 64 of 99

________________________________________________________________________
URL Source: http://kompas.com/kompas-cetak/0706/18/opini/3604214.htm

Interpelasi Kasus Lapindo


Oleh: Toto Sugiarto
Berita baik terkirim dari Senayan. Sebanyak 129 anggota DPR mengajukan hak
interpelasi lumpur Lapindo. Mereka mempertanyakan keseriusan pemerintah menangani
kasus ini.
Namun, apakah berita baik ini akan berakhir menyenangkan? Seriuskan DPR
menggulirkan interpelasi ini?

Urgensi interpelasi
Mengapa interpelasi Lapindo penting? Ada tiga hal yang mendasari interpelasi ini
penting bagi rakyat dan negara.
Pertama, pemerintah tidak serius membela rakyat dan terkesan membiarkan rakyat
tenggelam dalam penderitaan. Dengan Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007,
pemerintah melegitimasi ketidakadilan dari kuasa kapital. Rakyat korban Lapindo
dipaksa menerima 20 persen pembayaran transaksi jual-beli harta. Sisanya dibayarkan
dua tahun kemudian tanpa bunga. Yang paling menyedihkan, transaksi yang merugikan
ini dipayungi produk hukum buatan pemerintah. Ini pemihakan nyata pemerintahan
kepada kuasa kapital.
Kedua, kerugian negara. Luapan lumpur telah merusak dan menenggelamkan
infrastruktur dan mengganggu perekonomian Jawa Timur dan nasional.
Kerugian juga ditimbulkan oleh isi Perpres 14/2007 yang membebankan sebagian besar
biaya penanggulangan kepada negara. Negara, antara lain, dibebani keharusan membiayai
pengalihan infrastruktur, kanalisasi lumpur dari kali porong sampai ke laut, dan biaya
sosial kemasyarakatan di luar peta 22 Maret 2007.
Ketiga, kasus Lapindo menegaskan pemerintah tidak serius menegakkan hukum. Amat
mengherankan jika pemerintah tidak menyeret pihak-pihak yang jelas merugikan rakyat
dan negara ke pengadilan.
Berdasar tiga hal itu, pemerintah terlihat mengesampingkan kepentingan rakyat dan
negara serta lebih mengutamakan kepentingan kuasa kapital. Karena itu, pengajuan hak
interpelasi menjadi urgen, sebagaimana diatur dalam Pasal 27 UU No 22/2003, yaitu hak
untuk meminta keterangan pemerintah tentang kebijakan penting dan strategis serta
berdampak (negatif yang) luas pada kehidupan masyarakat dan bernegara.

Hak dan kewajiban


Dengan pertimbangan bahwa penderitaan rakyat akan kian berat dan panjang serta
kerugian negara kian besar jika kasus Lapindo dibiarkan, maka hak interpelasi DPR

LNF
www.zeilla.wordpress.com page 65 of 99

________________________________________________________________________
menjadi kewajiban. DPR wajib mempertanyakan sikap pemerintah yang terasa lebih
mengutamakan kepentingan kuasa kapital dan mengorbankan rakyat dan negara.
DPR juga wajib menyuarakan nurani rakyat, saat mereka berteriak menuntut keadilan.
Selain mempertanyakan, DPR perlu melakukan tekanan agar pemerintah mengakhiri
konflik kepentingan dalam dirinya sekarang ini. DPR perlu menekan pemerintah agar
membuang faktor-faktor yang menyumbat penyelesaian dampak sosial lumpur Lapindo.
Setelah konflik kepentingan teratasi, diharapkan pemerintah akan berhenti berlaku tidak
adil terhadap rakyat.
Tujuannya, rakyat harus diselamatkan. Hak milik rakyat yang terenggut dan harus
dikembalikan. Adalah tugas pemerintah yang merupakan pemegang otoritas negara untuk
menjamin hak-hak dasar warga negara.

Catatan akhir
Dalam kasus lumpur Lapindo ini, pemerintah tampak telah terkooptasi oleh kekuatan
kapital. Adalah tidak mungkin mengharap langkah radikal pemerintah dalam menolong
para korban tanpa tekanan dari DPR.
Karena itu, DPR perlu serius menggulirkan interpelasi ini. Langkah ini harus diselesaikan
hingga korban lumpur Lapindo terselamatkan dan perekonomian Jawa Timur dan
nasional kembali berjalan normal.
Jika perlu, berakhir dengan pemakzulan (impeachment). Pemerintah yang tidak lagi bisa
menjamin hak-hak dasar warga negara, pemerintah yang "menggadaikan" atau bahkan
"menjual" nasib rakyatnya kepada suatu kuasa karena merasa berutang budi atau demi
mendapat keuntungan, harus diberhentikan.
Meski prinsip demokrasi amat mengagungkan keteraturan rotasi kepemimpinan melalui
pemilu ke pemilu, namun prinsip demokrasi jugalah yang menempatkan kepentingan
rakyat dan negara di atas segala-galanya.
Pemerintahan yang tidak lagi memikirkan kepentingan rakyat dan negara di atas
segalanya, perlu dipertanyakan kelanjutan legitimasi kekuasaannya. Di titik ini, DPR
perlu mempertanyakan kepada otoritas hukum, apakah legitimasi rakyat masih layak
dipegang pemerintahan sekarang.
Di sisi lain, DPR perlu membuktikan, dirinya tidak melupakan "ibu yang
mengandungnya". Dengan serius memperjuangkan nasib rakyat yang teraniaya, seperti
korban lumpur Lapindo, DPR membuktikan dirinya bukan "anak durhaka".(***)

LNF
www.zeilla.wordpress.com page 66 of 99

________________________________________________________________________
URL Source: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/opini/interpelasi-untuk-
bakrie-

Lumpur Lapindo, Interpelasi untuk Bakrie


Oleh: Indra J Piliang
Tanpa jera, para politikus di Senayan kembali mengajukan hak interpelasi DPR. Setelah
gagal menghadirkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam interpelasi menyangkut
Resolusi 1747 Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa, kali ini interpelasi
ditujukan kepada pemerintah berkenaan dengan penanganan semburan lumpur dari
tempat eksplorasi PT Lapindo Brantas Inc di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur.
Interpelasi terakhir disebut sebagai “Interpelasi Lapindo”.Para penggagas terdiri atas
beragam anggota partai politik, terutama yang dimotori oleh PDIP. Tentu, dibandingkan
dengan interpelasi untuk Resolusi 1747 yang berdimensi internasional, interpelasi
Lapindo ini berdimensi lokal,tetapi hendak ditarik ke domain nasional.Asumsi-asumsi
yang dibangun cukup gagah, yakni menyangkut tanggung jawab korporasi (dalam hal ini
Lapindo,Medco, dan Santos) dan pemerintah.
Pihak yang dijadikan sebagai sasaran pembelaan adalah korban lumpur berikut wilayah
yang terkena dampak dari semburan lumpur, baik di bidang sosial,ekonomi,maupun
budaya yang berada di sekitar Sidoarjo dan menjalar ke hampir seluruh Jawa Timur.
Kalau diperhatikan, upaya penggunaan interpelasi ini juga bagian dari proses “tarik
tambang”politik DPR dengan pemerintah. Padahal, kalau mau objektif, sebetulnya DPR
sudah harus terlibat sejak awal lumpur menyembur,yakni dengan mengadakan
pengawasan atas kinerja elemen-elemen pemerintah dan lembaga-lembaga
nondepartemen lain dalam sidang-sidang komisi dan panitia anggaran.
DPR memiliki hak di bidang legislasi, pengawasan, dan anggaran sehingga tidak perlu
harus membawa kepada forum politik paripurna seperti hak interpelasi. Kalaupun DPR
membawa kepada forum sepenting itu, tentu yang juga harus dilakukan adalah
mengevaluasi seluruh kinerja anggota dan alat kelengkapan DPR lain, termasuk yang
berhubungan dengan kinerja lembaga-lembaga pemerintahan daerah.Kecuali memang
DPR sedang menurunkan wibawa hak interpelasi sebagai hak yang biasa,tidak lagi
prestisius, istimewa, apalagi sakral.

Tafsir Politik
Tidak bisa dihindari, penggunaan hak interpelasi DPR ini akan memunculkan tafsir
politik berikut. Pertama, DPR ingin menjadikan penggunaan hak interpelasi ini untuk
memperluas front serangan terhadap pemerintah. Sikap kritis DPR untuk politik luar
negeri, baik atas Resolusi 1747 DK PBB maupun perjanjian ekstradisi dan pertahanan
dengan Singapura serta masalah di blok Ambalat, ternyata belum memicu pergolakan
politik yang serius.
Kedua, DPR ingin menguji sejauh mana Presiden Yudhoyono mampu mempertahankan
kebijakan-kebijakan yang sudah diambil,termasuk dengan menerbitkan keputusan
presiden dan instruksi presiden menyangkut penanganan lumpur.Tim yang dibentuk oleh

LNF
www.zeilla.wordpress.com page 67 of 99

________________________________________________________________________
Presiden Yudhoyono berdasarkan Keppres itu malah dibiayai oleh lembaga swasta, yakni
pihak Lapindo Brantas,serta sebagian oleh APBN. Ketiga,DPR sedang mengalihkan
isuisu menyangkut kelambanan kinerja DPR sendiri dalam bidang legislasi.Perhatian
yang berlebih atas kinerja eksekutif justru akan memaksimalkan fungsi
pengawasan,tetapi sekaligus meminimalkan fungsi legislasi.
Lemahnya fungsi pengawasan DPR terkait dengan posisi menteri-menteri yang berasal
dari partai politik di Kabinet. Ketika menterimenteri yang datang dari partai politik itu
bertemu dengan komisi-komisi di DPR, maka sebetulnya yang dihadapi adalah teman
satu partai. Keempat, DPR sedang menguras seluruh isi brankas persoalan sebelum
Pemilu 2009 digelar. Dengan menggunakan hak interpelasi atas masalah-masalah yang
dinilai secara subjektif sebagai persoalan yang menyita perhatian media massa dan
publik, lalu mengalihkan persoalan itu kepada Presiden Yudhoyono, maka partai-partai
politik—bahkan para pendukung pemerintah di DPR–bisa melepas jabat tangan dan
bahkan cuci tangan terhadap kinerja pemerintah.

Faktor Bakrie
Salah seorang figur politik penting dalam persoalan lumpur ini adalah Aburizal Bakrie,
Menteri Koordinator Kesejahteraan Sosial. Aburizal adalah pejabat pemerintah serta
kontributor penting dalam politik,baik dalam Partai Golkar ataupun dalam percaturan
politik nasional lain. Sekalipun yang lebih banyak terlibat dalam masalah penanganan
lumpur ini adalah Nirwan D Bakrie,adik kandung Aburizal,persepsi publik yang muncul
di media telanjur menjadikan Aburizal sebagai aktor penting. Artinya, interpelasi untuk
Lapindo ini juga bisa dimaknakan sebagai interpelasi untuk Bakrie.
Dengan interpelasi ini, terdapat celah yang bisa dimainkan oleh elite politik. Pertama,
“merusak” hubungan Aburizal dengan Yudhoyono. Kedua, menekan Aburizal
mengundurkan diri atau diberhentikan dengan alasan conflict of interest atau netralitas
pemerintah, seandainya proses peradilan dilakukan, sembari menawarkan penggantinya.
Ketiga, “mengabadikan” keluarga Bakrie sebagai pihak yang paling bersalah menurut
persepsi publik. Apabila Rizal Sukma menyebut persoalan Yudhoyono dengan Amien
Rais sebagai a clash of the titans (The Jakarta Post, 28 Mei 2007), maka level
“pertarungan” yang melibatkan Yudhoyono, Aburizal, dan tokoh-tokoh lain bisa juga
disebut sebagai bagian dari perebutan pengaruh tokoh-tokoh lapis kedua terhadap tokoh
yang menduduki level the titans.
Secara merayap, kita mulai menangkap pergeseran yang terjadi dalam tim yang dibentuk
oleh Yudhoyono di pemerintahan. Karena Yudhoyono menjadi manusia politik, maka
pergeseran anggota apa pun dalam pemerintahannya adalah bagian dari langkah politik
yang hendak ditempuh. Saya mulai menangkap sinyal ke arah pengaruh tokoh-tokoh
Sumatera (baik kelahiran Sumatera atau bertali darah dengan Sumatera) dalam
memperebutkan posisi politik 2009.Terdapat sejumlah nama tokoh Sumatera yang
menjadi faktor penting persaingan politik 2009 itu, seperti Surya Paloh (Aceh), Hatta
Rajasa (Palembang), Aburizal Bakrie (Lampung), dan bahkan Jimly Assiddiqie
(Palembang).
Bahkan, Akbar Tanjung pun tidak segan-segan menemui Yudhoyono untuk tujuan-tujuan

LNF
www.zeilla.wordpress.com page 68 of 99

________________________________________________________________________
ke-Sumatera- an itu. Perkembangan ini tentu bagi sebagian orang akan dianggap sebagai
kepurbaan. Tetapi, pergeseran itu terasa rasional, terutama dengan semakin tumbuhnya
agenda-agenda otonomi daerah yang sekaligus juga agenda-agenda kedaerahan.
Persoalan ideologi terasa semakin memudar.Perebutan arena politik tidak lagi pada aras
ideologi, melainkan masuk kepada level ruang dan wilayah. Interpelasi soal Lapindo,
dengan begitu, adalah keliru kalau dianggap sebagai pembelaan terhadap rakyat.
Interpelasi itu berjalan menurut perhitungan matematis politik. Maka, berharap bahwa
interpelasi ini menjadi bagian serius dari perubahan sikap anggota DPR demi pembelaan
atas masalah-masalah kemanusiaan dan kerakyatan, ibarat meminta sisik pada seekor
lele. Nyaris mustahil.(***)

LNF
www.zeilla.wordpress.com page 69 of 99

________________________________________________________________________
URL Source:
http://korantempo.com/korantempo/2007/07/13/Opini/krn,20070713,55.id.html

Ronde-ronde Lumpur Lapindo


Oleh: Emha Ainun Nadjib
Kapan-kapan kampung kita juga tidak dijamin tak akan tertimpa gempa, banjir, tanah
longsor, atau segala jenis keisengan geologi bumi dan alam lainnya. Juga rumah saya.
Kapan saja, mungkin semenit mendatang, kita bisa mengalami sesuatu yang mengerikan:
bangkrut, kehilangan, kecewa, kaget, syok, stres, depresi, atau apa pun, pada diri kita,
keluarga, kantor, komunitas, klub, golongan.... Kemungkinan itu ada pada semua dan
setiap kita. Karena itu, saya tidak berani tak bersungguh-sungguh melakukan apa pun,
apalagi terkait dengan penderitaan sesama manusia. Itulah keberangkatan tulisan ini.
Bertele-telenya, sangat seret dan macetnya, penanganan hak sekitar 50 ribu korban
lumpur di Sidoarjo, yang kampungnya tenggelam, kira-kira kronologinya begini. Sampai
setahun lebih setelah 29 Mei 2006 adalah ronde 1: korban vs Lapindo. Ronde 2: korban
vs Minarak Lapindo. Kemudian setelah Presiden turun gunung adalah ronde 3: Badan
Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) vs Minarak Lapindo.
Pada 10 Juli 2007, Presiden marah besar mendengar laporan (tidak melalui jalur
birokrasi) kemacetan itu, kemudian Nirwan Bakrie dipanggil Menteri Sosial Bachtiar
Chamsyah. Maka, ini adalah ronde 4: Presiden vs Bakrie. Dan kalau ini gagal, ronde 5
adalah rakyat vs Lapindo.
Wallahualam. Di tengah-tengah menulis ini, saya ditelepon oleh Direktur Operasional PT
Minarak Lapindo yang melaporkan bahwa besok akan dilaksanakan pembayaran untuk
korban yang verifikasinya menggunakan Letter C dan Petok D--kriteria yang sebelumnya
ditolak untuk mendapatkan hak bayar, meskipun masih ada kontroversi tentang luas
bangunan.

Batas psikologis
Sejak beberapa hari yang lalu, saya menghitung bahwa Senin, 16 Juli, lusa mungkin
merupakan batas psikologis akhir bagi para korban lumpur Sidoarjo ketika Presiden dan
aparat pemerintahnya harus memastikan validitas kebijakan dan kinerja untuk
memastikan pembayaran ganti rugi bagi penduduk korban lumpur.
Beberapa hari ini, terutama kemarin, agak repot saya meredam kemarahan para korban,
menunda amukan mereka sampai akhirnya kemarin Presiden marah besar kepada
Minarak. Sudah pasti itu sangat mengurangi tensi emosi korban untuk sejenak waktu.
Tapi, kalau ini gagal lagi, kesempatan berikutnya bukan naik tensi lagi, tapi pasti menjadi
ledakan atau minimal letusan.
Sejak Presiden pulang dari turun gunung di Sidoarjo, sebenarnya hal itu melahirkan
langkah maju secara kebijakan dibanding tahap sikap sebelumnya, tapi belum
diaplikasikan secara signifikan di lapangan. Pada 26 Juni 2007 pagi, Presiden Yudhoyono
menyaksikan pembayaran simbolis Minarak Lapindo kepada 163 korban, dan sampai kini

LNF
www.zeilla.wordpress.com page 70 of 99

________________________________________________________________________
tahap yang itu saja pun belum tuntas. Padahal angka 163, yang dengan pembayaran
sebelumnya berjumlah 522, adalah produk verifikasi Tim Nasional yang kini sudah
dibubarkan. Hasil verifikasi BPLS, yang jadwalnya diaplikasikan dalam pembayaran
sejak 1 Juli 2007, sampai menjelang habis dua minggu tidak memberikan optimisme
kepada psikologi korban. Dari 400 berkas hasil BPLS, oleh Minarak Lapindo hanya
diterima 38.
Masalah utama yang mengganjal proses ini adalah tidak adanya kalimat kebijakan
eksplisit dari Presiden bahwa hak verifikasi atas tanah dan bangunan korban ada di
tangan BPLS, sementara Minarak Lapindo adalah kasir. Pihak Minarak ikut berada dalam
proses verifikasi BPLS dan berlaku sebagai pengambil keputusan akhir diterima atau
tidaknya berkas verifikasi. Ribuan tanda tangan Bupati Sidoarjo tetap tidak berlaku bagi
Minarak, meskipun hal itu yang membuat Presiden marah dan kemudian mengambil
keputusan untuk ngantor di Sidoarjo selama 3 hari.
Situasi ketidakpercayaan muncul lagi seperti sebelumnya, dan hari demi hari emosi
ketidakpercayaan itu akan meningkat curam dan akan sangat mudah melahirkan
anarkisme jika sampai Senin 16 Juli lusa Presiden tidak segera mengambil langkah yang
tegas.

Tuhan, ayam, dan pemerintah


Tuhan menciptakan janin dengan perlindungan maintenance, sistem, dan fasilitas yang
menjamin tercapainya goal menjadi bayi. Bahkan sampai bayi itu kelak dewasa dan mati,
jaminan sistem dan fasilitas Tuhan itu tetap berlangsung, termasuk mekanisme
kontrolnya.
Induk ayam pun bertelur dan mengeraminya untuk menciptakan suhu dan kehangatan
demi pematangan telur itu, menjamin perlindungan dan panduan rezeki sampai kelak
telur itu menjadi anak ayam, kemudian dewasa dan didemokratisasi, diindependenkan.
Negara dan pemerintah tinggal meniru ayam. Kalau membuat keputusan, ya, disertai
maintenance, sistem, fasilitas, dan mekanisme kontrol seketat mungkin. Harus diakui hal
itu tak tersiapkan secara memadai dalam kasus lumpur sehingga bertele-tele sampai
setahun lebih. Dalam pertemuan Cikeas 24 Juni 2007, Presiden bertanya: Minarak ini
apa? Ternyata beliau tak pernah mendapat laporan yang mencukupi tentang anak
perusahaan Lapindo yang khusus menangani korban itu. Bahkan tatkala kemudian
Presiden turun gunung, kesadaran dan peningkatan kinerja "induk ayam" itu pun tidak
cukup progresif. Keputusan hasil Presiden berkantor tiga hari di Sidoarjo kurang dikawal
secara ketat oleh mesin birokrasi.

Air mata seember


Mohon izin saya kemukakan sedikit background berikut ini, untuk menghindari bias dan
salah sangka di seputar masalah ini. Saya tercampak ke lubang pekerjaan yang sama
sekali jauh melampaui batas kemampuan saya. Sebanyak 10.476 keluarga (sekitar 45 ribu
orang, sekitar 94 persen dari seluruh korban) menyampaikan surat mandat untuk
bertindak sebagai wakil mereka dalam menyampaikan jumlah korban lumpur Lapindo

LNF
www.zeilla.wordpress.com page 71 of 99

________________________________________________________________________
sesuai dengan data yang mereka miliki kepada Presiden, termasuk tuntutan dan harapan
agar Presiden mengambil langkah taktis untuk mengatasi permasalahan mereka.
Surat itu disampaikan pada 22 Juni 2007, kemudian 16 perwakilan penduduk yang
menandatangani surat itu bertemu dengan Presiden di Cikeas pada 24 Juni 2007 sore.
Berlangsunglah pertemuan satu setengah jam. Presiden sangat capek oleh berbagai
urusan dan beban sehingga meminta saya memimpin rapat yang dihadiri 16 perwakilan
korban lumpur, wakil Institut Teknologi Surabaya (ITS), 4 menteri, serta Kepala BPLS.
Presiden menangis tiga kali dengan aktualisasi ekspresi yang berbeda-beda. Dan saya
yakin di muka bumi ini, sejak zaman Nabi Adam, tak ada presiden yang sedemikian
bodohnya sehingga tidak tahu bahwa, biarpun menangis seember, tidaklah bisa
menyelesaikan masalah.
Karena itu, dalam rapat itu tidak saya katakan kepada beliau: "Pak, meskipun sampean
nangis sampai seember, itu tidaklah menyelesaikan masalah." Bahkan di tengah rapat,
ketika Bambang Sakri, salah seorang perwakilan korban, menangis terus-menerus selama
mengemukakan keluhannya, saya berdiri dan berjalan mendatanginya, saya elus
pundaknya, saya peluk dan saya bisiki: "Ancene arek Sidoarjo gembeng-gembeng
(Memang orang Sidoarjo dikit-dikit nangis)."
Dalam rapat itu Presiden mengalami 4 kali eskalasi keputusan. Pertama, kata Presiden:
"Dalam waktu dekat saya akan ke Sidoarjo." Setelah omong-omong lagi, menjadi,
"Besok saya ke Sidoarjo." Kemudian meningkat lagi, "Besok saya akan ngantor tiga hari
di Sidoarjo." Terakhir, "Besok jam 2 siang saya akan berangkat ke Sidoarjo bersama Cak
Nun dan Saudara-saudara semua perwakilan korban."
Maka lahirlah keputusan Sidoarjo yang lumayan mengubah keadaan. Pertama, semula
proses ganti rugi tanpa time schedule, kini jelas batas akhirnya: 14 September. Kedua,
kriteria verifikasi tanah dan bangunan korban sangat diperlonggar: kalau tak ada IMB
Letter C, Petok D, ya, data ITS. Kalau tak ada, ya, cukup kesaksian warga yang
ditandatangani dari birokrasi terbawah sampai bupati. Ketiga, hak verifikasi ada pada
BPLS, Minarak Lapindo tinggal membayar.

Sampai anak-cucu
Ini telur yang lumayan, tapi yang angrem siapa agar menetas? Kita yang di bawah harus
lebih proaktif. Secara moral, kita semua bertanggung jawab atas semua korban, baik yang
menerima ganti rugi (DP) 20 persen, yang menuntut 50 persen, 100 persen, maupun
bahkan yang punya ide-ide 300 persen dan 500 persen. Hak amanat hanya dari yang 20
persen dan 50 persen serta 16 pengusaha Gabungan Pengusaha Korban Lumpur (GPKL).
Tapi ketika kita merekayasa agar Menteri tertentu datang ke Surabaya untuk
dipertemukan dengan mereka, diskusi sangat memikirkan korban secara keseluruhan.
Terakhir beberapa hari yang lalu saya dari Jakarta bersama Direktur Operasional
Minarak, anak perusahaan Lapindo yang bertugas menangani korban lumpur,
mengadakan pertemuan dengan perwakilan penduduk. Kemudian terjadi kesepakatan,
bersalaman, dan baca Al-Fatihah bareng. Ada kesepakatan bahwa sekitar 442 luasan
tanah hasil verifikasi BPLS, besok segera dibayar oleh Minarak Lapindo. Tapi kemudian

LNF
www.zeilla.wordpress.com page 72 of 99

________________________________________________________________________
gagal lagi.
Sekarang rondenya adalah Presiden vs Bakrie. Tidak ada kaitan formal hukum antara
Grup Bakrie dan Lapindo atau perusahaan induknya. Tapi, sebagaimana Lapindo sendiri
menyebut apa yang dilakukannya kepada korban lumpur adalah solidaritas kemanusiaan
dan tolong menolong, penyebutan Bakrie di atas adalah karena ada keterkaitan kultural,
kemanusiaan, dan kebangsaan antara Lapindo dan Bakrie. Apalagi Presiden pernah
menceritakan kepada saya bahwa ia sudah berkata keras kepada Bakrie: "Anda harus
bayar itu. Kalau tidak, nanti akan sangat panjang sampai ke anak-cucu."
Kita saksikan bersama bagaimana ronde ini berlangsung. Lapindo punya banyak
kekuatan dan kelemahan dari berbagai sisi, demikian juga pemerintah. Pihak-pihak lain
yang terkait juga dipaksa melakukan latihan-latihan. Jab, swing, hook, straight, dan
uppercut tersimpan dan diasah. Namun, yang saya dambakan bukanlah itu semua,
melainkan kemaslahatan bersama, dan itulah sebabnya hari demi hari saya terus berupaya
menyambung semua pihak yang terlibat dan mencoba merangkul mereka ke semesta
nilai-nilai manusia yang lebih tinggi dari transaksi ekonomi, formalisme hukum, apalagi
dendam dan kebencian.
Tapi pada 12 Juli 2007 pagi, Direktur Operasi Minarak Lapindo melaporkan: pengajuan
hasil verifikasi BPLS sebanyak 344 berkas, sudah dibayar 52, yang 292 akan
dilaksanakan pembayarannya hari ini. Apakah itu secercah harapan? Meskipun janji
Presiden ketika turun gunung setiap seminggu dibayar 1.000 sampai 14 September
2007?(***)

LNF
www.zeilla.wordpress.com page 73 of 99

________________________________________________________________________
URL Source: http://kompas.com/kompas-cetak/0705/30/utama/3563432.htm

Lumpur Lapindo
Ketika Pemerintah Tak Lagi Dipercaya
Oleh: Neli triana
"Jur...ajur....kabeh. Wong Porong ajur kabeh." (Hancur...hancur semua. Orang Porong
hancur semua). Demikian nyanyian warga Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, di depan
patung Soekarno dan Mohammad Hatta di pelataran Tugu Proklamasi, Jakarta Pusat,
Selasa (29/5), bertepatan dengan "ulang tahun" satu tahun kasus lumpur Lapindo.
Sejak Senin (28/5), warga Porong kembali berdatangan ke Jakarta. Untuk kedua kalinya,
mereka "mengadu" ke pendiri negeri, patung para proklamator Soekarno-Hatta. Patung
proklamator "menjadi pemimpin upacara" peringatan tenggelamnya kehidupan mereka
karena luberan lumpur PT Lapindo Brantas.
Selasa itu sekitar pukul 12.30, mundur hampir tiga jam dari jadwal yang dijanjikan,
upacara baru dapat dimulai. Upacara serupa juga dilakukan perwakilan warga di Porong,
Sidoarjo, pada waktu yang bersamaan. Para peserta upacara mewakili lebih dari 20.000
jiwa warga Porong yang terpaksa dicabut dari tempat tinggal dan hidup dalam
pengungsian sejak 29 Mei 2006, persis satu tahun.
Di Tugu Proklamasi, kali ini warga korban lumpur tidak sendirian. Hadir pula sekitar 20
orang perwakilan masyarakat yang empat tahun terakhir hidup terombang-ambing, mirip
korban lumpur. Mereka berasal dari Serikat Pekerja Forum Komunikasi Karyawan PT
Dirgantara Indonesia (DI).
Total peserta upacara tersebut 80 orang. Mereka sengaja datang dari Porong dan
Bandung.
Zulkifli (50), koordinator aksi memulai upacara yang unik, serba terbalik.
Para peserta tidak berbaris menghadap pemimpin upacara. Mereka memilih berada di
depan patung pemimpin, proklamator. Doa yang biasanya dilakukan pada akhir upacara,
sengaja dibacakan terlebih dahulu. Mereka pun kembali mempertanyakan sebab belum
tuntasnya masalah yang dihadapi.
Selanjutnya, mereka menyanyikan lagu Indonesia Raya dengan mengacungkan kepalan
tangan ke udara, penuh semangat dipompa amarah.
Agus (39), warga Porong, berkesempatan memberikan kesaksian, menggantikan pidato
pemimpin upacara. Menurut dia, selama ini setiap kelompok masyarakat yang ditimpa
masalah sengaja dikotak-kotakkan. Padahal mereka sama-sama terkatung-katung dan
dibohongi pemerintah. "Kami sudah muak. Kami bersama dan bersatu menyatakan mosi
tidak percaya kepada pemerintah," teriak Agus.
Teriakan Agus disambut acungan tangan terkepal korban lumpur dan mantan karyawan
PT DI.

LNF
www.zeilla.wordpress.com page 74 of 99

________________________________________________________________________
Dedi Supriyatna (45), mantan Kepala Bidang Product Cost PT DI turut memberi
kesaksikan. Menurut dia, keikutsertaan karyawan PT DI korban pemutusan hubungan
kerja (PHK) sejak 11 Juli 2003 dalam peringatan satu tahun lumpur Lapindo, untuk
menunjukkan solidaritas sebagai sesama warga yang teraniaya.
Dedi menguraikan, hingga kini masih tersisa sekitar 3.500 mantan karyawan PT DI yang
terkatung-katung hidupnya. Padahal, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil
Presiden Jusuf Kalla telah dua kali menjanjikan penyelesaian kasus PT DI secepatnya.
Kasus PT DI pun sudah masuk ke pembahasan DPR RI, bahkan sudah ada pencanangan
adanya anggaran khusus bagi mereka dalam APBN Perubahan tahun 2006. Namun semua
hanya sebatas wacana.
Kondisi serupa dialami korban lumpur. Zulkifli mengungkapkan, Keputusan Presiden
Nomor 13 Tahun 2006 yang memberikan batas akhir pembayaran ganti rugi oleh Lapindo
Brantas Inc hingga Maret 2007, tidak terealisasi. Begitu pun dengan Keputusan Presiden
Nomor 14 Tahun 2007. Pembayaran yang dibatasi hingga April 2007, kembali terlewat.
Terakhir, risalah 24 April 2007, khususnya menyangkut warga lumpur yang berasal dari
Perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera (Perutas) I. Target dua minggu realisasi
risalah yang dibuat di hadapan Jusuf Kalla serta direstui Presiden, juga tidak terwujud.
Akan terus beraksi
Para korban bencana tersebut kini tak mau lagi hanya bergantung pada pemerintah.
Mereka berjanji akan terus beraksi menuntut keadilan, sebagai hak mereka sesama warga
negara.
Hilangnya rasa percaya itu ditandai dengan pembakaran semua dokumen, termasuk
Keppres, undang-undang terkait, risalah, maupun keputusan yang dibuat bersama
pemerintah.
Tabur bunga
Satu tahun semburan lumpur di Porong yang jatuh pada Selasa kemarin, juga diperingati
korban lumpur dari Perumtas I Desa Renokenongo. Peringatan juga dilakukan 1.000
warga empat desa di luar peta terdampak lumpur yaitu Desa Mindi (Kecamatan Porong),
Desa Pejarakan, Besuki dan Kedungcangkring ( Kecamatan Jabon).
Warga korban lumpur Perumtas I memperingati semburan lumpur dengan menabur
bunga dan berdoa di kawasan bekas rumah mereka, diiringi isak tangis.. Sebagian warga
juga pergi ke bekas rumah mereka hanya untuk melihat. Beberapa warga sempat
mengambil genteng di bekas rumah mereka untuk dijadikan kenang-kenangan.
Di samping berharap ganti rugi segera dibayarkan agar warga bisa menata kembali
kehidupannya, warga juga berharap lumpur yang telah menyengsarakan ribuan warga
segera berhenti menyembur. “Kami berharap, Allah segera menghentikan lumpur yang
menyengsarakan warga," tutur Nyonya Narno, seorang warga korban lumpur Lapindo,
sambil menangis.

LNF
www.zeilla.wordpress.com page 75 of 99

________________________________________________________________________
Sekitar 1.000 warga empat desa yang berunjuk rasa ini sempat menghentikan seluruh
aktivitas penanggulangan lumpur di kanal pembuang lumpur dan jalur pembuangan
lumpur.
Di posko pengungsian di Pasar Baru Porong, Sidoarjo, warga korban lumpur dari
Renokenongo yang masih bertahan di pengungsian mengadakan istighotsah. Setelah
istighotsah, ibu-ibu dari Renokenongo menyanyikan lagu berjudul Ibu Pertiwi Menangis
yang diciptakan sendiri oleh pengungsi dari Renokenongo di Pasar Baru Porong.
Masih dalam kaitan satu tahun lumpur, sejumlah tokoh yang tergabung dalam Barisan
Nasional, di antaranya Shalahuddin Wahid, mantan Gubernur Jawa Timur M Noer, dan
penyanyi Acil Bimbo mendatangi acara refleksi satu tahun semburan lumpur lapindo
yang diadakan di posko pengungsian. Mereka juga mendengarkan keluhan pengungsi.
Di Makassar, aktivis dari berbagai lembaga swadaya masyarakat dan warga di Kota
Makassar melakukan aksi solidaritas untuk korban lumpur Lapindo. Selain mengecam
lambannya penanganan pemerintah dan pihak Lapindo Brantas atas bencana lumpur ini,
mereka juga mengumpulkan bantuan untuk para korban. Aksi solidaritas ini dilakukan di
ujung jalan Tol Reformasi…(***)

LNF
www.zeilla.wordpress.com page 76 of 99

________________________________________________________________________
URL Source:
http://www.bisnis.com/servlet/page?_pageid=127&_dad=portal30&_schema=PORTAL

Bencana Lumpur Lapindo


Pemerintah biayai perbaikan infrastruktur akibat lumpur
Oleh: Erna S. U. Girsang & Gajah Kusumo
Pemerintah tetap akan menanggung biaya perbaikan sejumlah infrastruktur yang rusak
akibat semburan lumpur panas Lapindo, di Sidoarjo, Jawa Timur, meski tanpa
persetujuan DPR.
Kebijakan ini dilakukan untuk mencegah timbulnya kerugian ekonomi yang lebih besar
di Jatim khususnya, maupun pertumbuhan ekonomi nasional.
"Jika pemerintah tidak segera memperbaiki infrastruktur itu, kerugian yang harus
ditanggung masyarakat akan lebih parah," ujar Menneg PPN/ Kepala Bappenas Paskah
Suzetta seusai mengikuti Rapat Kabinet tentang RUU Politik di Kantor Kepresidenan,
kemarin.
Dia mengatakan persetujuan yang diharapkan pemerintah dari DPR terkait kebijakan itu
adalah adanya penambahan dana baru di APBN-P untuk perbaikan sarana infrastruktur
yang rusak akibat semburan lumpur Lapindo.
Pemerintah juga akan memaksimalkan penggunaan dana dari daftar isian pelaksanaan
anggaran (DIPA) kementerian dan lembaga yang terkait, jika memang DPR tidak setuju
tambahan anggaran itu.
Menanggapi hal itu, anggota panitia anggaran DPR dari F-PKS Tamsil Linrung
mengatakan seharusnya pemerintah lebih dulu melakukan optimalisasi APBN sebelum
berpikir mengajukan APBN-P.
"Kalau disisir dulu, optimalkan APBN, saya yakin dana yang dibutuhkan untuk
menyelesaikan Lapindo dengan sangat mudah diperoleh tanpa harus mengajukan APBN-
P lagi. Daya serap pemerintah atas APBN mungkin hanya 90% hingga 95%," ujarnya.
Parlemen, kata dia, juga memiliki perhatian yang sama terhadap penyelesaian lumpur
Lapindo. Dia menepis kesan yang dilontarkan pemerintah yang seakan-akan DPR
menghalang-halangi, termasuk dalam hal pendanaan.
Namun, lanjutnya, bila pemerintah terlampau mengedepankan isu penggunaan APBN-P,
hal itu bukan pilihan yang logis. Terlebih lagi pembahasan APBN-P akan membutuhkan
waktu karena melalui mekanisme pembahasan bersama DPR, yang itu baru bisa
dilakukan pada 15 Juli mendatang. "Padahal masalah Lapindo kan sifatnya sudah sangat
mendesak," ujarnya.

Interpelasi
Sementara itu, wacana penggunaan hak bertanya (interpelasi) DPR kepada pemerintah
atas kasus lumpur panas Lapindo terus bergulir dan telah mendapat sambutan dari dua

LNF
www.zeilla.wordpress.com page 77 of 99

________________________________________________________________________
fraksi parlemen.
Kedua fraksi tersebut adalah Fraksi PDI Perjuangan yang sekaligus penggagas, dan
Fraksi Kebangkitan Bangsa.
Sekretaris Fraksi PDIP Yacobus Mayong Padang mengatakan interpelasi telah didukung
sedikitnya 12 orang anggota kedua fraksi yang berbasis utama di Jawa Timur tersebut.
Itu berarti hanya butuh satu dukungan lagi untuk memenuhi syarat dukungan minimum,
seperti tertuang dalam Tata Tertib DPR pasal 171, yaitu 13 orang. (rudi ariffianto) (erna.
girsang@bisnis.co.id/gajah. kusumo@bisnis.co.id) (***)

LNF
www.zeilla.wordpress.com page 78 of 99

________________________________________________________________________
URL Source:
http://korantempo.com/korantempo/2007/08/15/Opini/krn,20070815,69.id.html

Tanah untuk Korban Lumpur Lapindo


Oleh: Mohammad Na'iem
Sampai hari ini nasib korban lumpur Lapindo Brantas di Sidoarjo, Jawa Timur, masih
belum menentu. Penyelesaian tuntas dan bermartabat--tidak hanya bagi korban, tapi juga
bagi pemerintah dan pengusaha--belum ditemukan. Korban lumpur masih bertahan dalam
derita di tengah sisa kesabaran. Sementara itu, pemerintah dan Kelompok Bakri sebagai
pengusaha tetap tersandera oleh janji menyelesaikan masalah.
Bagi pemerintah, tidaklah mudah menyelesaikan persoalan ganti rugi, karena constraint
anggaran dalam skema tight money policy, sesuai dengan arahan IMF-World Bank, tak
mudah dilanggar. Dalam praktek anggaran, semua dana sudah ada posnya masing-masing
dan dijaga, dengan peraturan untuk mencegah korupsi, tapi ini berimplikasi pada tiadanya
dana untuk keperluan mendadak, khususnya jika ada bencana.
Sementara itu, di pihak pengusaha, Bakri Group sebagai pemilik Lapindo tidaklah bisa
diharapkan berpikir sebagai pihak penyelesai tunggal. Bagaimanapun, namanya
pengusaha, pemilik Lapindo tetaplah sebuah badan usaha yang menghitung untung-rugi.
Jika pengeluaran untuk biaya sosial mencapai batas yang bisa mereka terima, hitung-
hitungan yang kemudian dilakukan adalah kembali ke soal menang-kalah, untung atau
buntung, sedangkan ukuran moralitas dalam kaitan dengan korban Lapindo akan
diabaikan.
Adapun bagi rakyat yang menjadi korban, tanpa turunnya keputusan pemerintah yang
tepat dan bantuan dari Lapindo tidak ada jalan keluar dari nasib buruk yang tiba-tiba
terjadi. Jika tuntutan tidak dipenuhi, radikalisme yang terjadi mungkin akan
menghasilkan kerusakan yang lebih parah lagi. Pada tiga kepentingan itu tarik-menarik
terjadi dan dengan perhitungan itu pula skema penyelesaian ini disusun.
Hal penting yang juga harus diperhatikan adalah bagaimana perkembangan paling
mutakhir di lapangan. Kini, akibat tidak adanya penyelesaian yang relatif tuntas atas
masalah, konflik terjadi antar dan inter-tiga pihak (pemerintah, pengusaha, dan warga
masyarakat yang didampingi NGO atau dipimpin para tokohnya) ibarat benang kusut
yang sulit diurai.
Apakah memang tidak ada penyelesaian rasional dan bermartabat untuk kasus lumpur
ini? Tentu saja ada. Rasional yang dimaksud adalah penyelesaian yang masuk akal bagi
tiga pihak (pemerintah, pengusaha, dan rakyat sekaligus) praktis karena bisa dilaksanakan
dengan ketersediaan sumber daya dan dana yang ada.
Penyelesaian juga harus bermartabat, maksudnya adalah bermartabat tidak hanya bagi
pemerintah, tapi juga bagi pengusaha, terlebih bagi korban lumpur Lapindo. Pemerintah
dianggap bermartabat jika ia tetap bertanggung jawab kepada rakyat. Pengusaha
dianggap bermartabat jika memiliki kepedulian terhadap masyarakat. Jalan itu ada dan
dapat dilakukan segera. Pihak-pihak di atas rakyat (pengusaha dan pemerintah) tidak

LNF
www.zeilla.wordpress.com page 79 of 99

________________________________________________________________________
perlu mencari cara menghindar, apalagi lari, dari tuntutan menyelesaikan masalah lumpur
Lapindo.

Lahan bagi korban


Problem pokok yang harus dipecahkan bagi korban lumpur Lapindo adalah tiadanya
lahan untuk tempat tinggal dan tempat usaha, Tiadanya lahan kemudian merembet ke
tiadanya kepastian usaha, bahkan tiadanya kepastian hidup dalam waktu yang tidak
terprediksi sampai berapa lama akan berlangsung.
Namun, penyelesaian menyeluruh bisa dimulai jika pemerintah segera menyediakan
lahan untuk tempat tinggal dan tempat usaha. Caranya, dengan pengalihfungsian,
sebagian kecil saja, lahan hutan jati yang ada di Jawa, yang pengelolaannya dilakukan
oleh Perhutani, untuk dijadikan kawasan permukiman korban Lapindo. Luas hutan di
Jawa, total jika dihitung, kurang-lebih mencapai 2 juta hektare. Kalau Presiden
memanggil Direktur Utama Perum Perhutani dan meminta persetujuannya untuk alih
fungsi lahan itu tentu Direktur Utama Perum Perhutani tidak akan dapat menolak karena
sifatnya sangat emergency. Lahan yang akan digunakan dapat dipilih lahan-lahan hutan
yang kondisinya marginal atau kurang produktif untuk kepentingan produktivitas hutan.
Jumlah lahan bisa dihitung sesuai dengan kebutuhan, misalnya 2.000-5.000 hektare.
Sejak awal data statistik menyangkut siapa saja korban, berapa jumlah kerugian menjadi
amat penting, dan dari statistik itu dibangun satu pola baku bagaimana lahan eks
Perhutani tersebut bisa dibagi.
Lalu lahan manakah yang akan diberikan kepada para korban lumpur Lapindo itu?
Memenuhi permintaan para korban yang ingin tetap tinggal dekat tanah warisan leluhur,
maka lahan Perhutani yang dipilih adalah yang terletak di Kesatuan Pemangkuan Hutan
(KPH) Pasuruan, KPH Probolinggo, atau KPH Malang, Jawa Timur. Jumlah 2.000-5.000
hektare lahan marginal Perhutani di tiga tempat itu kami kira sudah dapat mencukupi
kebutuhan tempat tinggal dan tempat usaha para korban.
Ketika keputusan mengalihfungsikan lahan Perum Perhutani menjadi lahan permukiman
dan usaha itu dibuat, langkah yang harus dilakukan kemudian adalah langkah teknis
berikutnya. Tapi paling tidak sudah ada keputusan paling pokok bahwa korban lumpur
sudah akan mendapatkan tanah untuk tempat tinggal dan usaha. Langkah berikutnya
melibatkan Kelompok Bakri sebagai pihak yang dianggap bertanggung jawab dan sejauh
ini tidak ingin disebut tidak bertanggung jawab sebagai pemicu atas seluruh masalah
yang muncul, yakni dengan memberikan dana untuk pembangunan perumahan dan
tempat usaha bagi para korban. Pada saat bersamaan dibuka pula peluang pihak lain, baik
dari dalam maupun luar negeri, untuk membangun sarana lain, seperti masjid dan taman.
Untuk mencegah terjadinya konflik yang tidak perlu, soal-soal SARA harus diperhatikan.
Bantuan kepada warga beragama hendaknya yang sifatnya substantif agama, dan bukan
bangunan formal agama.
Langkah lebih lanjut sudah barang tentu memulihkan kehidupan mereka agar normal
kembali, dengan memberikan kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan kembali. Dana
yang mungkin dianggarkan oleh pemerintah adalah dana subsidi untuk hidup, misalnya
selama setahun, sampai masyarakat bisa dilepas ke pekerjaan semula. Akan lebih baik

LNF
www.zeilla.wordpress.com page 80 of 99

________________________________________________________________________
lagi kalau kemudian pemerintah memberikan fasilitas penunjang yang memungkinkan
terbukanya kembali peluang kerja bagi mereka, misalnya menanam dengan pola
penanaman secara tumpang sari, seperti dimungkinkan menanam tanaman jambu mete di
antara tanaman kayu jati (seperti contoh di Vietnam). Alternatif lain dari jambu mete
adalah mangga Probolinggo, jambu Madura, atau kelengkeng dataran rendah. Pihak
perusahaan makanan juga bisa ikut membantu memulihkan kehidupan ekonomi warga
dengan menampung hasil produk kedelai dan kacang tanah untuk industri kecap atau
makanan ringan. Demikian juga produk yang lain, sehingga selain ekonomi segera pulih,
ada nilai tambah dari hasil produk pertanian warga.
Tentu di lahan eks Perhutani tersebut dimungkinkan pula tersedia lahan pengganti untuk
industri-industri yang ikut tenggelam oleh lumpur. Dengan begitu, penyerapan tenaga
kerja terjadi dan secara umum ekonomi Jawa Timur bisa segera dipulihkan.
Menyangkut pengelolaan lahan seluas 2.000-5.000 hektare lahan eks Perum Perhutani
tersebut, tentulah harus dilakukan dengan cara yang benar. Cara pengelolaan yang bisa
dipilih di antaranya dengan pendekatan sistem pengelolaan hutan bersama masyarakat.
Lahan tersebut sejak awal tetap harus diarahkan sebagai hutan dengan tempat tinggal,
dengan fokus produk lahan tidak hanya kayu, tapi juga tanaman musiman komersial.
Warga masyarakat harus dipandu sehingga dapat melakukan penanaman yang sejak
dalam rencana sudah menggunakan bibit tanaman, pola tanam, dan jenis tanaman terpilih
terseleksi dalam satu sistem silvikultur (budi daya) secara intensif. Bibit tanaman
diupayakan dari bibit yang unggul, terseleksi, ditanam di lingkungan yang optimal, dan
dijaga keberadaannya dalam kondisi sehat hingga akhir daur. Para aktivis kehutanan bisa
masuk dalam kerja besar ini. Terkait dengan apa yang dihasilkan dari hutan rakyat
dengan sistem pengelolaan yang intensif ini, akan muncul pula industri kecil rakyat,
berbagai produk buah-buahan, home industry, dan banyak pula peluang usaha
memanfaatkan produk hasil hutan. Dengan demikian, mereka tidak hanya diberi ikan,
tapi diberi pancing untuk berkembang lebih optimal dalam kehidupan mereka.
Bagaimana dengan lahan eks lumpur Lapindo jika di masa depan bisa digunakan lagi.
Sejak awal harus ada keputusan bahwa lahan tersebut adalah lahan negara, yang
peruntukannya, jika kondisi sudah memungkinkan, akan dihutankan kembali.
Pengelolaan diserahkan kepada Perhutani. Maka Perhutani pun tidak begitu dirugikan.
Potensi konflik jangka pendek (penjarahan dan sejenisnya) ataupun potensi konflik
jangka panjang pun bisa diminimalisasi.
Bagaimana dengan Kelompok Bakri yang sudah menderita kerugian secara ekonomi, dan
dalam kacamata bisnis, tentu tidak dianggap tidak ada? Pemerintah bisa memutuskan satu
langkah khusus, misalnya memberi Kelompok Bakri lahan tambang senilai Lapindo di
tempat yang lain, sebagai ganti kerugian atas eksplorasi Lapindo, tapi dengan catatan
bahwa pihak Lapindo memang melaksanakan tugas sebagaimana yang dibebankan
kepadanya. Namun, apabila pemilik Lapindo tidak menuntut ganti rugi di kemudian hari,
itu tentu akan lebih baik.
Hal yang mesti diatur dan harus terselesaikan juga adalah bagaimana agar berbagai pihak
yang kini berkonflik akibat lumpur Lapindo (rakyat, pengusaha, dan pemerintah) bisa

LNF
www.zeilla.wordpress.com page 81 of 99

________________________________________________________________________
menyepakati penyelesaian ini dengan kepala dingin. Penyelesaian yang diusulkan itu
tentulah bukan penyelesaian yang sempurna bagi semua pihak (first best solution),
melainkan pilihan cara yang paling mungkin (second best solution) dilakukan, hingga
semua pihak (rakyat, pemerintah, dan penguasa) tetap duduk sebagai pihak-pihak yang
bermartabat. Rakyat korban tidak menjadi pengemis. Pemerintah tetap dapat disebut
sebagai yang bertanggung jawab. Sementara itu, Bakri Group sebagai pemilik Lapindo
akan tercatat sebagai kelompok usaha yang bertanggung jawab kepada masyarakat
korban eksplorasi. Dalam hal ini, peran NGO yang terlibat dalam pendampingan warga
masyarakat amatlah penting. (***)

LNF
www.zeilla.wordpress.com page 82 of 99

________________________________________________________________________

URL Source: http://kompas.com/kompas-cetak/0704/20/opini/3467341.htm

Bencana Lumpur Lapindo


Lapindo dan Hak untuk Tahu
Oleh: Agus Sudibyo
Kehancuran infrastruktur di sekitar lokasi lumpur Lapindo kian memprihatinkan.
Jika sebelumnya jumlah penduduk yang harus dipindahkan "hanya" 6.000 kepala
keluarga (KK), kini menjadi 13.000 KK. Jika semula putusnya jalan tol Surabaya-
Gempol adalah dampak terburuk lumpur Lapindo atas jalur transportasi umum, kini yang
terjadi lebih buruk lagi. Jalan arteri Porong sebagai satu-satunya jalur transportasi yang
tersisa juga sulit diselamatkan, juga jalur kereta api Surabaya-Malang/Banyuwangi.
Ratusan warga Perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera 1 Sidoarjo, Jawa Timur,
sempat berdemo di depan Istana Merdeka, menuntut pemerintah serius memperjuangkan
nasib mereka.
Sungguh mencengangkan. Semakin lama kita tidak paham atas apa yang terjadi dengan
Lapindo. Bukan hanya masyarakat, pemerintah pun ternyata tidak tahu persis skala
bencana yang terjadi. Prediksi skala bencana, skala kerusakan, serta eskalasi kerugian dan
korban, banyak yang tidak akurat. Berbagai cara untuk mengurangi luapan lumpur juga
tidak efektif. Teknologi yang memungkinkan eksplorasi kekayaan alam bernilai ekonomi
tinggi tidak dibarengi ketersediaan informasi dan pengetahuan tentang dampak buruk di
kemudian hari.

Peran iptek
Eskalasi dampak semburan lumpur menunjukkan paradoks ilmu pengetahuan dan
teknologi (iptek) modern. Kemajuan iptek telah memberi manfaat dan kemudahan bagi
manusia. Tetapi, kemajuan iptek juga dapat membuat kehidupan manusia terkepung
risiko-risiko yang tak terbayangkan sebelumnya. Iptek untuk memperluas cakrawala
pengetahuan, tetapi tidak otomatis membangun kapasitas guna memprediksi aneka
kemungkinan negatif yang menyertainya.
Persoalannya, penggunaan teknologi tinggi dalam eksplorasi alam di Indonesia hampir
selalu dipaksakan. Berbagai keputusan untuk melakukan eksplorasi yang tidak ramah
lingkungan, atau yang terlalu dekat permukiman penduduk dan infrastruktur publik,
selalu diputuskan sepihak oleh pemerintah dan pengusaha.
Keberadaan masyarakat dengan aneka beban bukan faktor signifikan dalam menentukan
apakah sebuah proyek eksplorasi bisa dilakukan atau tidak. Masyarakat adalah penonton
pasif proses pengerukan sumber-sumber alam dan potensi daerah. Mereka bukan hanya
tidak tahu bagaimana dan untuk apa hasil eksplorasi kekayaan alam dialokasikan, tetapi
juga tidak mendapat penjelasan tentang risiko eksplorasi bagi keselamatan dan
kelangsungan hidup mereka.

LNF
www.zeilla.wordpress.com page 83 of 99

________________________________________________________________________
Namun, jika tiba-tiba terjadi kecelakaan dan masyarakat sekitar menjadi korban, pihak-
pihak itu cenderung lamban membuat antisipasi. Yang lebih menggelikan, ada upaya
penyebaran persepsi, yang terjadi bukan kesalahan teknis-prosedur eksplorasi, tetapi
gejala alam yang lazim terjadi di tempat lain, seperti diwacanakan majalah LUSI
(singkatan Lumpur Sidoarjo). "Karena gejala alam biasa, tidak semestinya pihak
perusahaan memikul tanggung jawab sepenuhnya," begitu kira-kira maksudnya.

Daulat publik
"Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat." Sulit membayangkan
bagaimana perintah konstitusi ini dilaksanakan di tengah kesemrawutan manajemen
eksplorasi kekayaan alam, yang bukannya semakin menyejahterakan, tetapi justru kian
menyengsarakan masyarakat.
Pelajaran apa yang bisa dipetik dari kasus Lapindo? Kita harus terus mengingatkan
semua pihak bahwa publik berdaulat atas pengelolaan kekayaan alam. Jika pelibatan
publik dalam kegiatan eksploitasi kekayaan alam merupakan pilihan yang tidak realistis,
setidaknya ada mekanisme yang memfasilitasi publik untuk mengetahui seluk-beluk
proyek eksploitasi kekayaan alam itu.
Secara minimal, daulat publik diwujudkan dalam bentuk "hak publik untuk tahu" (right to
know). Publik berhak atas informasi yang komprehensif tentang kelayakan aneka fasilitas
pertambangan, terutama yang berperangkat teknologi tinggi, dan langkah-langkah
antisipasi jika sewaktu-waktu terjadi kecelakaan fatal. Tak kalah penting, hak publik
untuk mengetahui bagaimana dan sejauh mana proyek eksplorasi itu relevan bagi
kesejahteraan masyarakat.
Kasus Lapindo menunjukkan keterbukaan informasi bukan hanya penting dalam
kerangka pemberantasan korupsi. Keterbukaan informasi adalah prinsip universal bagi
semua aspek kehidupan publik, termasuk untuk menghindarkan publik dari dampak
buruk proyek-proyek pertambangan yang selalu diputuskan dan dilaksanakan secara
eksklusif dan penuh kerahasiaan.
Andai sejak awal keterbukaan informasi diwujudkan dalam proyek PT Lapindo Brantas,
kecelakaan fatal mungkin bisa dihindari dan ratusan ribu orang tidak harus kehilangan
rumah, kampung, makam leluhur, sekolah, dan mata pencarian untuk sebuah proyek yang
belum tentu mereka pahami apa manfaatnya. (***)

LNF
www.zeilla.wordpress.com page 84 of 99

________________________________________________________________________
URL Source: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/opini/lapindo-dan-
lingkungan-2.

Lapindo dan Lingkungan


Oleh: Gurgur Manurung
Semburan lumpur Lapindo sebagai bencana nasional. Untuk menetapkan status tersebut,
pemerintah akan tetap menunggu proses hukum yang sedang berjalan.
‘’Sekarang kalau keputusan pengadilan bahwa itu adalah kesalahan Lapindo,berarti itu
bukan bencana alam.Namun kalau nanti pengadilan menegaskan itu gejala alam, ya
berarti itu gejala alam,” ujar Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro seusai mengikuti
rapat terbatas di Istana Kepresidenan, Jakarta, 18 Februari 2008 (SINDO,19-2-2008).
Siapa sesungguhnya yang memulai ide (pencarian alasan) bahwa penyebab Lumpur
Lapindo adalah gejala alam? Bukankah sebuah korporasi jika ingin melakukan
eksploitasi pengeboran seperti Lapindo harus memiliki data awal geologi? Bukankah pula
data awal geologi itu sesuatu yang wajib? Jika memang data awal geologi itu diabaikan,
harga yang harus dibayar Lapindo adalah bertanggung jawab penuh terhadap keseluruhan
dampak lumpur Lapindo.
Aneh memang,secara de facto Lapindo mengakui bahwa penyebab semburan lumpur
panas itu adalah mereka. Buktinya,mereka mau membayar ganti rugi sebagian. Bahkan,
mereka berjanji akan membayar secara berangsur. Namun, mengapa Lapindo berusaha
melakukan pembenaran diri secara de jure?
Subjektivitas Pengadilan
Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang diketuai Wahjono menolak
gugatan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) terhadap pihak yang terkait semburan
lumpur di lingkungan PT Lapindo Brantas. Majelis hakim menilai semburan lumpur di
lingkungan PT Lapindo Brantas merupakan fenomena alam.
”Fenomena alam bukan perbuatan melawan hukum,” kata hakim Wahjono dalam
persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis (27/12). Pertimbangan hakim
diambil dari beberapa keterangan saksi ahli yang dihadirkan dalam persidangan.
Beberapa saksi ahli dari pihak Lapindo, antara lain Sukendar Asikin dari Institut
Teknologi Bandung (ITB) dan Agus Kuntoro, menyebutkan bahwa semburan itu bukan
terjadi akibat pengeboran PT Lapindo Brantas.
Sementara itu,saksi ahli dari pihak Walhi, yakni mantan ketua investigasi
penanggulangan lumpur Lapindo Rudi Rubiandini, menyatakan bahwa semburan lumpur
disebabkan kelalaian dalam proses pengeboran oleh Lapindo Brantas.
Jika diasumsikan benar bahwa penyebab lumpur Lapindo adalah fenomena alam
(bencana), mengapa hakim tidak menelusuri proses pembuatan izin operasi Lapindo
Brantas? Apakah Lapindo Brantas mendapatkan izin sesuai dengan prosedur hukum?
Apakah Lapindo Brantas telah melakukan studi kelayakan (feasibility study) tentang

LNF
www.zeilla.wordpress.com page 85 of 99

________________________________________________________________________
potensi bencana? Jika tidak melakukan studi kelayakan atau proses pembuatan amdal
secara benar,apakah itu bukan tindakan melawan hukum? Sampai saat ini, masyarakat
tidak tahu siapa dan kapan pembuatan amdal Lapindo Brantas.
Padahal,proses pembuatan amdal sesuai amanat konstitusi harus terbuka ke publik dan
melibatkan masyarakat yang berkepentingan. Proses pemilihan atas masyarakat yang
berkepentingan pun diatur konstitusi. Namun alangkah janggalnya jika penyebab lumpur
Lapindo adalah fenomena alam. Bagaimana proses terjadinya? Jika benar disebabkan
fenomena alam,mengapa pipanya yang bocor? Mungkin saja argumentasinya, pipa
sebagai pemicu.
Mengapa proyek dijalankan di wilayah potensi bencana? Salah satu bukti valid Lapindo
Brantas tidak bekerja sesuai prosedur adalah ketika pipa mengalami kebocoran dan
penanganannya tidak sesuai dengan dokumen yang ada.Semestinya, jika pipa
bocor,penanganan harus sesuai dengan dokumen amdal. Yang terjadi adalah penanganan
sesuai dengan “selera”.Atau apa yang sedang terpikirkan para ahli, itulah yang dilakukan
Lapindo Brantas.
Bukankah kelalaian ini merupakan tindakan melawan hukum? Hal yang paling
mengherankan dalam kasus Lapindo adalah keberpihakan pemerintah. Dalam hukum
lingkungan dikenal instrumen strict liability. Strict liability alias tanggung jawab mutlak
memang diatur UU Lingkungan Hidup.Dengan kata lain, perusahaan yang menimbulkan
dampak besar dan penting bagi lingkungan harus bertanggung jawab secara mutlak atas
kerugian yang ditimbulkannya.
Jika kita lihat sikap pemerintah dalam kasus Lapindo, hal itu akan menjadi preseden
buruk bagi masa depan pengelolaan lingkungan. Dalam kasus Lapindo, dampak seperti
rusaknya infrastruktur dan biaya penanganan (termasuk biaya bagi Badan
Penanggulangan Lumpur Sidoarjo) ditanggung pemerintah.Pembuatan nama Badan
Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (bukan lumpur Lapindo) telah menunjukkan
keberpihakan pemerintah.Pemerintah kelihatannya sejak awal telah berusaha menggiring
opini publik bahwa semburan lumpur Lapindo adalah murni bencana alam.
Pemerintah tidak melihat bahwa dampak sikap pemerintah ini telah meluluhlantakkan
teoriteori dalam ilmu lingkungan. Sikap pemerintah itu telah menghancurkan teori-teori
yang dipelajari kaum akademisi seperti administrasi lingkungan,ekonomi
lingkungan,hukum lingkungan, manajemen lingkungan, prinsip ekologi.
Pemerintah melakukan penanganan dari aspek kepentingan politik pemerintah
semata.Untuk apa akademisi belajar ilmu lingkungan jika tidak diterapkan di
masyarakat? Lebih menyedihkan lagi ketika penanganan diberikan ke perguruan tinggi
dengan cara setengah hati. Melihat bahwa penanganan lumpur Lapindo dan penegakan
hukum kasus Lapindo akan berpengaruh terhadap masa depan pengelolaan sumber daya
alam (SDA) di negeri ini,pemerintah harus bersikap tegas.
Menjadi bangsa apa negeri ini jika seluruh kasus korporasi yang merugikan masyarakat
ditanggung oleh pemerintah? Tidakkah janggal jika dampak Lapindo dibiayai
pemerintah, korporasi lain yang juga merugikan masyarakat ditanggung korporasi itu

LNF
www.zeilla.wordpress.com page 86 of 99

________________________________________________________________________
sendiri? Oleh sebab itu,pemerintah harus berprinsip bahwa korporasi bertanggung jawab
secara mutlak terhadap dampak yang ditimbulkannya.Jika tidak, masa depan pengelolaan
SDA kita akan semakin runyam.(***)

LNF
www.zeilla.wordpress.com page 87 of 99

________________________________________________________________________
URL Source: http://ecosocrights.blogspot.com/2006/11/di-balik-pengalihan-saham-
lapindo.

Di Balik Pengalihan Saham Lapindo


Oleh: Reslian Pardede
Sehubungan dengan penjualan saham PT Lapindo Brantas Inc. yang dimiliki PT Energi
Mega Persada, Tbk (yang mayoritas sahamnya dimiliki keluarga Bakrie) kepada Freehold
Group (perusahaan investasi yang berkedudukan di British Virgin Island), Jusuf Kalla
menyatakan bahwa “Lapindo tetap bertanggung jawab� (Kompas, 18/11/06). Ia
menambahkan, “Lapindo-nya kan tidak pergi? Yang jelas, yang bertanggung jawab
kepada negara dan masyarakat adalah Lapindo-nya meskipun pemiliknya (berganti-
ganti). Apalagi ada keputusan presiden yang menetapkan kerugian itu." Semudah itu kah?
Bisakah keputusan presiden membatalkan undang-undang, dalam hal ini UU No1/1975
yang menyatakan “pemegang saham tidak bertanggung jawab atas kerugian perseroan
melebihi nilai saham yang telah diambilnya�? Dan bukankah secara legal Freehold
Group bisa saja membiarkan PT Lapindo Brantas Inc. (selanjutnya disebut Lapindo)
bangkrut dan meninggalkan biaya penanggulangan pada pemerintah?

Siapa investor yang berada di belakang Freehold Group? Tidak sulit menebak siapa di
belakang Freehold meskipun tidak mudah membuktikannya. Mengingat belum ada tanda-
tanda kalau lumpur akan berhenti dan kemungkinan membengkaknya biaya
penanggulangan, sulit membayangkan ada pihak yang mau membeli perusahaan yang
sedang dililit masalah seperti Lapindo. Ketidakpastian dan potensi kerugian terlalu besar
dibanding potensi manfaat yang ada di blok Brantas seperti yang diklaim PT Energi
Mega Persada (PT EMP) dan Freehold Group dan yang menjadi alasan transaksi
penjualan Lapindo. Selain itu, penjualan saham kali ini merupakan upaya kedua PT EMP
yang memiliki 100% saham Lapindo melalui PT Kalila Energy dan PT Pan Asia
Enterprise. Sebelumnya PT EMP sudah menjual sahamnya di Lapindo ke Lyte, Ltd., juga
perusahaan yang dimiliki keluarga Bakrie dan berkedudukan di USA, yang dalam
prosesnya diubah menjadi Bakrie Oil and Gas, Ltd. Namun Bapepam menolak transaksi
ini. Meskipun bisa ditebak, siapa investor di balik Freehold tetap tidak mudah dibuktikan
karena bisa saja disusun kepemilikan yang berlapis sehingga meskipun investor di
Freehold bisa diketahui, belum tentu itu investor yang sesungguhnya.

Cara seperti ini, membuat kepemilikan berlapis, mudah sekali dilakukan dengan
menggunakan perusahaan yang didirikan di negara-negara seperti Cayman Islands, Cook
Islands, British Virgin Islands, dan lain-lain. Perusahaan offshore tersebut disebut SPV
atau special purpose vehicle yaitu entitas atau perusahaan yang sengaja dibentuk untuk
tujuan transaksi khusus seperti pada sekuritasasi hutang (securitization) misalnya.
Maksud awal pembentukan SPV adalah untuk mengisolasikan resiko dan melindungi
investor. Namun SPV juga bisa digunakan untuk tujuan perpajakan (baca menghindari
pajak) dan pada akhirnya untuk menghindari peraturan. Sudah menjadi rahasia umum di
kalangan pelaku bisnis Indonesia bahwa banyak perusahaan yang pada saat krisis
ekonomi mengalami gagal bayar (default) menggunakan SPV untuk membeli kembali

LNF
www.zeilla.wordpress.com page 88 of 99

________________________________________________________________________
surat hutang mereka dengan harga yang sangat murah. SPV ini bisa lebih dari satu.
Akibatnya sulit melacak siapa di balik SPV tersebut. Ini akhirnya merugikan investor
atau pemegang surat hutang lainnya termasuk BPPN pada saat itu ketika terjadi
restrukturisasi hutang karena emiten (perusahaan yang mengeluarkan surat hutang)
melalui SPV-nya telah menjadi pemegang mayoritas dari surat hutangnya sendiri.
Transaksi “legal tetapi esensinya melanggar hukum� seperti ini adalah transaksi
bisnis yang jamak terjadi di Indonesia.

Oleh karena itu, dalam kasus ini kepemilikan Lapindo menjadi sangat penting karena
akan membawa konsekuensi terhadap siapa penanggung jawab biaya penanggulangan
bencana lumpur panas di Kecamatan Porong, Jawa Timur. Menyatakan Lapindo, sebagai
perusahaan, sebagai pihak yang bertanggungjawab terlepas dari pemiliknya bisa
menyesatkan. Ini juga menjadi alasan di balik larangan Bapepam (Badan Pengawas Pasar
Modal) atas perubahan kepemilikan di Lapindo meski diajukan dengan alasan untuk
melindungi pemegang saham minoritas di PT EMP yang total asetnya USD 850 juta.
"Yang mau beli, siapa pun, tetap tidak bisa, mengenai siapa yang akan beli, sudah tidak
relevan lagi," kata Ketua Bapepam Fuad Rachmany (9/11/2006). Ini tentunya untuk
mencegah trik pengalihan tanggungjawab biaya yang besarnya masih dalam estimasi.
Untuk membiayai sebagian dari total estimasi biaya penanggulangan sebesar USD 140
– 170, Lapindo sendiri memperoleh pinjaman USD 30 juta dari PT Minarak Labuan,
perusahaan milik Bakrie Group. Lapindo masih harus membayar USD 30 – 40 juta
sesuai dengan porsi 50% kepemilikannya di blok Brantas. Itu pun kalau biaya tidak
membengkak lagi.

Namun larangan Bapepam ini pun mungkin tidak akan mencegah Lapindo atau pihak-
pihak terkait untuk melepaskan diri melalui jalur hukum yang dengan pendekatan formal
prosedural justru seringkali memberi jalan keluar bagi pihak yang bermasalah. Beberapa
tahun yang lalu pemerintah Indonesia sendiri pernah kalah di badan arbitrase
internasional dalam kasus Karaha Bodas (Pertamina). PT Medco Energi (pemegang 32%
blok Brantas) yang juga akan menanggung biaya penanggulangan saat ini sedang
mempersoalkan Lapindo ke badan arbitrase internasional. Mungkinkah sekali lagi kita
akan menyaksikan bagaimana sepak terjang perusahaan yang bermasalah melepaskan diri
melalui aturan hukum?(***)

LNF
www.zeilla.wordpress.com page 89 of 99

________________________________________________________________________
URL Source: http://kompas.com/kompas-cetak/0703/22/opini/3384274.htm

Lapindo dan Absennya Pemerintah


Oleh: Tata Mustasya
Jika tak ada perubahan kebijakan mendasar, sejarah bakal mencatat pemerintahan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah mangkir dari salah satu kewajiban
pentingnya. Akan tertulis, pemerintah absen, dengan tidak melindungi sepenuhnya hak-
hak masyarakat Sidoarjo dari semburan lumpur panas.
Padahal, buku-buku teks kebijakan publik—misalnya Economics of the Public Sector
oleh Joseph E Stiglitz—menegaskan perlunya peran pemerintah (government role)
mengoreksi eksternalitas negatif akibat aktivitas ekonomi, misalnya ada pajak terhadap
pencemaran oleh pabrik. Dengan demikian, biaya sosial polusi tidak ditanggung
masyarakat yang "tidak bersalah", juga pengusaha mempunyai insentif untuk
meminimalisasi polusi.
Jika keberadaan eksternalitas negatif menuntut intervensi pengambil kebijakan, amat
ganjil jika perampasan aneka hak masyarakat di Sidoarjo tak mampu menghadirkan
pemerintah secara penuh. Yang paling nyata, timbulnya ketidakjelasan ganti rugi. Ada
apa dengan Lapindo dan absennya pemerintah?

Bukan perilaku pasar


Perlu dicatat, sikap Lapindo—dengan tidak bertanggung jawab terhadap kerugian
masyarakat—bukan perilaku "ekonomi pasar". Sebaliknya, ekonomi pasar menuntut
pertanggungjawaban dan penghormatan hak milik (property rights).
Kasus bangkrutnya perusahaan energi raksasa, Enron, di Amerika Serikat (AS) tahun
2001 merupakan contoh. Terbukti melakukan penipuan keuangan, Chief Executive
Officer (CEO) Enron Jeffrey Skilling—salah satu lulusan terbaik Harvard Business
School—divonis hukuman penjara 24 tahun 4 bulan. Skilling dan beberapa petinggi
Enron lain telah menyembunyikan prospek buruk Enron untuk mendongkrak harga
saham dan nilai pasar perusahaan itu. Dengan manipulasi mereka, Enron berkembang
menjadi perusahaan ketujuh terbesar di AS dan mendapat predikat America’s Most
Innovative Company dari majalah Fortune pada tahun 1996-2001.
Hukuman berat itu menunjukkan pentingnya sebuah perekonomian pasar yang
melindungi hak- hak pelakunya dan publik. Dalam kasus Enron, yang dilindungi adalah
investor dan 21.000 pegawai. Para petinggi Enron bahkan harus menyerahkan aset-aset
pribadi untuk ganti rugi.
Yang menarik, penegak hukum di AS melakukan yurisprudensi dalam vonis petinggi
Enron dan kantor akuntan Arthur Andersen sebagai auditor. Kejahatan Enron dan Arthur
Andersen sebagai perusahaan harus dibebankan kepada individu para eksekutif puncak
meski kesalahan mereka sekadar "tidak mau tahu" terhadap praktik bisnis kotor.
Dalam satu aspek, perilaku Lapindo lebih destruktif dibandingkan dengan Enron.

LNF
www.zeilla.wordpress.com page 90 of 99

________________________________________________________________________
Lapindo merugikan orang-orang yang sama sekali tidak mempunyai akad ekonomi
dengan perusahaan itu. Mereka bukan investor atau pegawai.
Lapindo juga terindikasi mencari celah untuk "efisiensi" ganti rugi. Relokasi—bukan
penggantian uang— menghilangkan pilihan warga terhadap tempat tinggal baru. Lebih
jauh, kerugian warga disimplifikasi menjadi hilangnya hak milik (properties) dan
menafikan kerugian karena hilangnya pekerjaan dan tekanan psikologis.

Peran pemerintah
Presiden Yudhoyono—atas nama warga—harus memaksa Lapindo membayar ganti rugi
dalam bentuk uang, bukan cuma komitmen. Urgensi peran pemerintah mutlak. Hal ini
disebabkan pertama, kerugian dan hilangnya hak milik telanjur terjadi dan begitu nyata;
kedua, kekuatan tawar Lapindo dan warga yang amat asimetris. Dalam kondisi ini,
"negosiasi" bipartit antara Lapindo mustahil berlangsung adil. Langkah konkretnya,
bentuk sebuah auditor independen untuk menghitung kerugian. Valuasi kerugian jangan
dikendalikan Lapindo.
Ketiga, kerugian warga bukan disebabkan wanprestasi dari sebuah perjanjian ekonomi
privat, seperti dalam penipuan multilevel marketing. Kasus ini lebih merupakan
hilangnya hak milik warga negara akibat kegiatan ekonomi pihak tertentu.
Selanjutnya, Presiden harus melakukan terobosan sehingga kesalahan Lapindo dapat
ditarik dan dibebankan ke pundak petinggi perusahaan ini, bukan melulu operator
lapangan. Langkah ini mencegah skenario—yang mulai dilontarkan beberapa politisi—
untuk membebankan biaya kerugian kepada negara dengan dalih bencana nasional. Di
sinilah ada hambatan ekonomi-politik yang kuat.
Pemilik saham terbesar PT Energi Mega Persada—sebagai pemegang terbesar saham
Lapindo saat lumpur panas pertama kali terjadi—merupakan pemain penting di pasar
politik. Konsekuensi, ketegasan Yudhoyono mungkin bisa mengubah keseimbangan
politik yang merepotkan.
Persoalannya, di sisi lain, publik mulai curiga pemerintah juga melibatkan diri dalam
"skandal" ini. Teori strukturalis menemukan faktanya di mana elite politik bermain mata
dengan pebisnis besar bukan melulu soal kepentingan, tetapi juga kedekatan alami dari
banyak aktivitas, seperti golf dan makan malam. Tidak heran baik Yudhoyono, Wakil
Presiden Jusuf Kalla maupun Bupati Sidoarjo kerap terlihat berbicara atas nama Lapindo,
bukan masyarakat yang dirugikan.
Menyikapi mangkirnya pemerintah, ada pihak-pihak yang memiliki kewajiban moral
untuk bertindak. Pertama, aktivis (misalnya di bidang lingkungan dan hak asasi manusia),
tokoh agama, dan cendekiawan; Kedua, partai politik, terutama partai yang memiliki
basis kuat di Jawa Timur, seperti Partai Kebangkitan Bangsa dan Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan. (***)

LNF
www.zeilla.wordpress.com page 91 of 99

________________________________________________________________________
Pengeboran Dekat Pemukiman Harus Dilarang

Selasa, 02 Januari 2007


MEDAN, KOMPAS - Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Hidayat Nur Wahid minta
pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat segera membuat peraturan perundang-
undangan, yang mengatur secara tegas pelarangan aktivitas pengeboran di dekat
permukiman penduduk. Undang-undang tersebut menurut Hidayat diperlukan agar tidak
ada lagi kasus lumpur panas PT Lapindo Brantas.
“Dimungkinkan terjadinya perbaikan terhadap Undang-Undang yang ada, baik mengubah
atau menambahkan pasal tertentu. Rekan-rekan di DPR bisa menambahkan satu pasal
yang mengkritisi persoalan Lapindo Brantas. Sekarang ada kasus yang mencederai
ekonomi dan keadilan sosial kita. DPR bisa menambahkan satu pasal tentang
keselamatan lingkungan, misalnya berupa larangan melakukan pengeboran di dekat
wilayah pemukiman,” ujar Hidayat di Medan, Kamis (10/8).
Pemerintah Daerah juga harus berhati-hati dalam memberikan izin usaha pertambangan,
jika lokasinya berdekatan dengan pemukiman penduduk. “Pemda harus lebih kritis
memberikan izin pertambangan supaya tidak menimbulkan kerugian dan kerusakan bagi
penduduk. Jangan sampai akhirnya keuntungan pertambangan belum didapat tapi
kerugian malah di depan mata,” katanya.
Terkait kasus lumpur panas tersebut, Hidayat juga minta direksi PT Lapindo Brantas
tetap diadili meski warga yang rumah dan lahan pertaniannya terkena luapan lumpur
sudah mendapat ganti rugi. “Jangan sampai masalah ini dibiarkan dan dianggap sebagai
sesuatu yang bisa dimaklumi, sehingga suatu saat memungkinkan perusahaan-perusahaan
lain berlaku ceroboh, dan menghadirkan perilaku ekonomi yang merusak lingkungan
serta menghadirkan bencana seperti yang terjadi di sidoarjo,” ujar Hidayat.
Ketua MPR juga menilai pernyataan Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan yang minta
pemerintah tak perlu mencari tersangka dalam kasus lumpur panas sangat mencederai
rasa keadilan.
“Pemerintah perlu memberikan penegasan tentang penghukuman siapa yang bersalah
dalam konteks Lapindo Brantas ini. Tanpa ada penegakan hukum, dan hanya cukup
memberi ganti rugi atau biaya hidup korban akan merangsang perusahaan lain berbuat
sama. Pernyataan Ketua MA menurut saya mencederai proses penegakan hukum.
Mestinya Beliau mendorong hukum ditegakan dalam konteks kasus Lapindo sebagai satu
contoh penegakan hukum terhadap penyimpangan-penyimpangan kejahatan ekonomi,”
kata Hidayat.
Pemerintah lanjut Hidayat harus bisa menjamin masa depan warga yang terkena dampak
lumpur panas PT Lapindo. Dia juga minta pemerintah dan PT Lapindo sudah harus
memikirkan proses relokasi warga.
”Sawah mereka hancur, masa depan tanah mereka juga. Tanah itu tidak akan ekonomis
lagi sepanjang masa. Tempat yang mereka tinggali sudah berubah total. Kalau perlu harus

LNF
www.zeilla.wordpress.com page 92 of 99

________________________________________________________________________
dipikirkan sekarang juga solusi relokasi. Akan tetapi jangan ke tempat yang membuat
mereka sengsara, tapi ke tempat yang bisa membuat mereka kembali hidup bermartabat,”
kata Hidayat. (***)

Lapindo Tidak Bayar Ganti Rugi Tanah


Laporan Wartawan Kompas FX Laksana Agung S

SIDOARJO, KOMPAS - Pembayaran ganti rugi atau untung atas tanah milik warga yang
terendam lumpur panas di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, tidak dilakukan Lapindo
Brantas Inc (LBI). Adapun pembayarannya akan dilakukan oleh perusahaan kelompok
Bakrie lainnya.

Hal ini dikemukakan Vice President PT Energi Mega Persada Tbk (EMP), Yusuf M
Martak di Jakarta, Rabu (8/11). ”Pembayaran tidak akan dilakukan Lapindo karena
prinsipnya, apa yang kami beli dari uang perusahaan sudah sewajarnya juga harus
menjadi milik kami dan bukannya negara,” kata Yusuf. LBI adalah anak perusahaan PT
EMP Tbk yang tergabung dalam kelompok Bakrie.
Menurut Yusuf, apabila ganti rugi dibayar atas nama LBI, maka selanjutnya tanah warga
yang dibeli menjadi milik negara. Ini didasarkan pada kontrak kerja sama antara LBI dan
Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas). Salah satu
butir kesepakatan di dalamnya, lebih kurang menyebutkan, setiap aset yang dibeli LBI
sebagai Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) menjadi milik negara. Pemerintah
menggantinya dengan cara cost recovery.
Akan tetapi, lanjut Yusuf, bila pembayaran dilakukan atas nama perusahaan lain dalam
kelompok Bakrie, maka tanah akan menjadi milik kelompok Bakrie. ”Adalah wajar
ketika kami yang membeli, maka aset itu menjadi milik kami,” imbuh Yusuf. Namun
demikian, sampai dengan kemarin, perusahaan yang akan melakukan pembayaran belum
ditunjuk.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral yang juga Ketua Tim Pengarah Penanganan
Lumpur Panas, Purnomo Yusgiantoro, pada awal Oktober, menyatakan, empat desa yang
terendam lumpur tidak layak huni. Desa tersebut meliputi, Jatirejo, Kedungbendo,
Renokenongo, dan Siring. Total luas wilayahnya sekitar 300 hektare. Adapun warga
korban lumpur mencapai 3.022 keluarga yang terdiri atas 11.974 jiwa.
Ganti rugi yang akan dilaksanakan meliputi ganti rugi atas tanah dan bangunan, aset
lainnya seperti pohon, dan lahan pertanian. Ganti rugi adalah salah satu dari tiga alternatif
kompensasi yang ditawarkan Tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur di
Sidoarjo kepada warga korban lumpur. Adapun dua alternatif lainnya ialah bedol desa
dan relokasi. Sejauh ini, sebagian besar warga cenderung memilih ganti rugi.
PT EMP Tbk, perwakilan warga Desa Jatirejo, dan Badan Perencanaan Pembangunan
Kabupaten Sidoarjo, telah sepakat mengagendakan rangakaian pertemuan selama dua

LNF
www.zeilla.wordpress.com page 93 of 99

________________________________________________________________________
pekan ini. Salah satu agendanya ialah menentukan format ganti rugi. Sebagai langkah
awal, Kamis ini, tiga pihak itu bertemu di Pendopo Kabupaten Sidoarjo.

Sejauh ini baru perwakilan Desa Jatirejo yang diajak membahas format ganti rugi
karena menurut Yusuf, perwakilan desa itu yang telah mempunyai data-data terkait ganti
untung. Harapannya, format ganti rugi maupun relokasi dan bedol desa yang berhasil
difomulasikan, bisa diterapkan untuk tiga desa lainnya.

Ada Politik Dana Di Balik Penyelesaikan Kasus Lapindo


Persoalan dana yang nyata-nyata mempengaruhi penyelesaian kasus Lapindo harus
dijembatani oleh DPR, karena DPR sebagai wakil rakyat dapat memanggil para
pemimpin Lapindo, Medco dan dan Energi Mega Persada agar rakyat semakin tak
terkatung-katung. Keinginan DPR agar mendorong negara menetapkan status bencana
juga menyalahi logika berfikir.

Hal ini menjadi buah pikiran dari pernyataan sikap WALHI dan Jaringan Advokasi
Tambang (JATAM) yang digelar di Jakarta, (Kamis 30/11). Hadir dalam acara tersebut
Saifudin Ngulma, dewan Nasional WALHI, Chalid Muhammad direktur Eknas WALHI
dan Siti Maemunah Direktur Eksekutif JATAM.

“Dana penaggulangan bencana nasional 600 miliar, sementara untuk ganti rugi tanah
rakyat dan lainnya diperlukan 1,2 triliun dan tak ada mekanisme dana talangan. Ini sangat
menyengsarakan rakyat. Karena masyarakat di Porong, Sidoarjo sudah dijanjikan akan
diberi ganti rugi yang akan diputuskan nilainya (Jumat 1/12),” ujar Siti Maemunah
direktur eksekutif JATAM.

Seperti diketahui, sampai saat ini penyelesaian kasus lumpur Lapindo tak pernah tuntas.
Basuki Hadimulyono, ketua Timnas penanggulangan Lumpur pernah mengatakan bahwa
persoalan utama penyelesaian kasus Lapindo ini adalah dana yang tidak cukup. Begitu
juga penjualan Lapindo ke Freehold yang akhirnya batal menambah kecurigaan banyak
pihak bahwa Bakrie group berupaya mempermainkan kasus ini.

Chalid Muhammad direktur eksekutif WALHI menambahkan bahwa sampai saat ini,
walaupun jajaran direktur Bakrie Group, Nirwan Bakrie menyatakan akan tetap
menanggung beban penaggulangan lumpur, namun Chalid menuduh ada politik uang
yang dilakukan oleh Lapindo dalam hal pengucuran dana, karena sampai sekarang kinerja
timnas penaggulangan lumpur tak efektif. “Kalau Lapindo tak bertanggungjawab,
sebaiknya di black lish dari pasar modal dunia,” papar Chalid. Sementara itu, negara
dianggap terlalu lemah menghadapi kasus Lapindo ini

Ditempat lain, dalam kunjungannya ke Rusia, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono


menyatakan, “Rakyat tidak boleh menjadi resah. Rakyat resah kalau bantuan finansial
yang diterima tidak lancar. Saya lihat Wapres sudah menanganinya, jadi tolong Pak

LNF
www.zeilla.wordpress.com page 94 of 99

________________________________________________________________________
Gubernur menyampaikan kepada Bupati Sidoarjo dan Wagub Jatim, agar berkomunikasi
dengan Wapres agar ada ketepatan dalam penyaluran bantuan,” kata Presiden dalam
percakapan dengan Gubernur Jawa Timur (Jatim) Iman Utomo di pesawat yang terbang
meninggalkan Tokyo menuju St. Petersburg, Rusia, Rabu, seperti dikutip Antara.

Bupati Sidoarjo, Win Hendrarso juga berbicara lantang, dia kembali menegaskan kepada
Lapindo Brantas Inc (LBI) agar mendahulukan pembayaran ganti rugi kepada warga
korban luapan lumpur sebelum membangun jalan tol baru. Hal ini dikarenakan pemberian
ganti rugi merupakan skala prioritas sosial utama yang harus dibayarkan daripada harus
membayar ganti rugi ekonomi maupun infrastruktur yang rusak.
”Saya telah menetapkan bahwa skala prioritas utama yang harus segera dibayarkan
adalah masalah sosial yaitu ganti rugi untuk rakyat yang menjadi korban bencana. Jangan
membangun tol baru kalau ganti rugi rakyat belum diselesaikan. Membangun tol baru
khan membutuhkan biaya Rp 1,3 Triliun, jumlah sebesar itu khan lebih baik dibayarkan
kepada rakyat,” Demikian dikatakan Bupati Sidoarjo, Win Hendrarso saat menerima
perwakilan warga Jatirejo di Pendopo Kabupaten, Rabu (29/11) sore.

Menurutnya, membangun jalan tol baru merupakan pekerjaan yang juga harus segera
dilaksanakan, namun setiap skala prioritas selalu ada yang dinamakan skala prioritas
utama yaitu penanganan masalah sosial berupa ganti rugi bagi rakyat korban. ”Selaku
pimpinan kabupaten yang memiliki otoritas di wilayah Sidoarjo, saya utamakan untuk
membela rakyat, demi kepentingan rakyat. Kalau sudah beres, silahkan memberi ganti
rugi untuk masalah ekonomi dan membangun infrastruktur yang rusak,” tegasnya.

Kepada warga Jatirejo, Win meminta agar tetap menghormati dan menjunjung tinggi
hasil kesepakatan yang telah diputuskan oleh perwakilan empat desa pada Senin (27/11)
lalu dan menunggu semua hasil keputusan hingga Jumat 1/12) mendatang. ”Saya
berharap hormatilah hasil keputusan yang telah diusulkan ke Jakarta ini dan marilah kita
tunggu hasilnya hingga Jumat mendatang. Bahkan kalau bisa, mudah-mudahan hasilnya
sudah keluar Kamis besok,” harapnya.

Anggota dewan Nasional WALHI, Saifudin Ngulma menilai tak ada skenario yang jelas
dari penanggulangan lumpur panas Sidoarjo sampai saat ini. “Timnas yang bekerja saat
ini, tak lebih hanya timnas perbaikan tanggul. Karenanya perlu segera penaggulangan
yang efektif dari pada penaikan tanggul.” (***) Agustinus Widhi

Korban yang Terpedaya

Oleh : Subagyo, Anggota Tim Advokasi Korban Kemanusiaan Lumpur Sidoarjo.

Sekian lama warga korban langsung Lapindo masih berjuang mereparasi nasib mereka.
Ketenteraman, kedamaian, dan kebahagiaan hidup mereka tiba-tiba direnggut oleh
kekuatan kekuasaan kapital yang selama ini telah dianggap sebagai 'pihak yang berjasa'
dalam pembangunan ekonomi, yang kehadirannya selalu dirindukan pemerintah, yaitu
investor.

LNF
www.zeilla.wordpress.com page 95 of 99

________________________________________________________________________
Investor yang dirindukan itu, ketika datang seolah seperti 'pendekar smackdown' yang
bertubuh menarik, ototnya keras, badannya kekar. Kemudian, secara sengaja atau tidak,
dibenturkan dengan 'tubuh' rakyat Indonesia yang kecil dan lemah. Rakyat kecil harus
merelakan tanah mereka. Hal seperti itu misalnya terlihat dalam UU No 22/2001 tentang
Minyak Dan Gas Bumi (migas) pasal 35 yang mewajibkan pemegang hak atas tanah
mengizinkan korporasi untuk melakukan kegiatan hulu migas di tanah mereka.
Ketentuan pasal 35 itu adalah pasal cerdik untuk memperdaya rakyat pemegang hak atas
tanah. Pasal itu memang tidak memaksa rakyat untuk melepaskan hak atas tanahnya, tapi
memaksa untuk mengizinkan dipakai oleh korporasi migas. Mengapa? Sebab pasal 14
UU No 22/2001 menentukan bahwa waktu kontrak korporasi migas untuk melakukan
usahanya bisa sampai 30 tahun dan dapat diperpanjang lagi selama 20 tahun, atau total
bisa selama 50 tahun. Lalu, siapa orang yang akan mampu bertahan untuk tidak menjual
tanahnya selama 50 tahun, ketika tanahnya dijadikan zona usaha migas? Sebelum usaha
migas itu berakhir, pemilik hak atas tanah itu sudah akan mati, meski sebenarnya akan
tetap diwarisi oleh ahli warisnya.
Memperdaya rakyat
Pembangunan, menurut salah satu definisinya adalah pertumbuhan ekonomi tanpa
mengorbankan siapapun (Johan Galtung, 1996). Tetapi, bisakah hal itu terjadi; tanpa
mengorbankan siapapun? Atau, apa yang kita lihat dengan pembangunan di nagara ini?
Saat ini, masyarakat korban semburan Lumpur pun di-smackdown kesekian kalinya
dengan soal ganti rugi tanah. Istilah yang digunakan adalah istilah yang menimbulkan
konsekuensi hukum atas kelangsungan hak atas tanah rakyat. Pertanyannya: mana yang
benar, ganti rugi atau jual-beli?
Kalau Timnas dan Lapindo membuat istilah 'ganti rugi', tetapi dalam praktiknya mereka
para korban itu harus melepaskan hak atas tanah mereka. Para korban pun telah
terperdaya lagi. Mengapa? Karena, yang namanya ganti rugi itu sudah pasti tidak
berkaitan dengan peralihan atau pelepasan hak atas tanah. Pemberian ganti rugi kepada
korban adalah konsekuensi yuridis yang harus dilakukan Lapindo, sebab masyarakat
telah kehilangan mata pencaharian, kebahagiaan, ketenangan, dan kedamaian hidup.
Sedangkan soal apakah masyarakat korban langsung mau menjual atau melepaskan hak
atas tanah mereka, itu merupakan perhitungan lain di luar ganti rugi.
Jika sekarang skema yang digunakan adalah ganti rugi atas tanah dan bangunan rumah
tetapi dengan cara jual beli atau pelepasan hak, maka Lapindo sudah diuntungkan tetapi
masyarakat yang dirugikan, sebab transaksinya melalui penciptaan interpretasi yang
keliru. Lapindo tidak akan rugi jika membeli tanah rakyat, sebab tanah itu menjadi aset,
aktiva tetap, yang harganya akan terus naik dari waktu ke waktu. Kapan-kapan Lapindo
bisa menjual kepada pihak manapun yang membutuhkan.
Mungkin ada masalah dengan waktu berhentinya semburan lumpur menyangkut nilai
produktif tanahnya, tetapi bagaimanapun akan ada akhirnya. Yang jelas, Lapindo tidak
usah (terbebas) membayar ganti kerugian riil yang diderita masyarakat korban sebab
perjanjian transaksinya diformat dengan kata-kata 'pemberian ganti rugi', sedangkan
substansinya adalah 'pelepasan hak atas tanah'.

LNF
www.zeilla.wordpress.com page 96 of 99

________________________________________________________________________
Maka, masyarakat korban terperdaya, remuk, patah tulang, dan hancur hak-haknya
karena di-smackdown Lapindo yang lebih kekar, kuat, dan cerdik serta pinter (tapi
minteri alias memperdaya). Hari ini sandiwara tawar-menawar itu masih berlangsung,
agar Lapindo bisa mengeluarkan uang sekecil-kecilnya untuk keuntungan yang sebesar-
besarnya.
Persoalan tanah rakyat di atas kekayaan migas dan tambang lainnya, terjadi di mana-
mana. Di Bojonegoro, pendekar smackdown impor bernama ExxonMobil yang telah
menimbulkan munculnya para pendekar smackdown lokal untuk menekuk-nekuk tubuh
hak rakyat pemilik tanah. Rakyat yang lemah di Blok Cepu diperdaya para pendekar
smackdown lokal agar mereka menjual tanah dengan harga sekitar Rp 150 ribu per meter
persegi. Para pendekar lokal itu tentu akan menjual atau melepaskan tanah ke Exxon
dengan harga 10 kali lipat. Itulah hasil investigasi lintas aktivis. Rakyat ditakut-takuti
para predator itu, mumpung belum dibebaskan paksa pemerintah.

Devide et impera
SmackDown yang dipertontonkan di televisi itu sebenarnya memang gulat dengan
bersandiwara, untuk hiburan. Tapi oleh anak-anak negeri ini dianggap sebuah teladan
keperkasaan, diuji coba dan jatuhlah korban-korban. Negara ini sejak zaman monarkhi
telah berbakat dalam kekerasan, tetapi gampang untuk diperdaya. Masyarakat negara ini
sebenarnya menyukai hal-hal bebau spiritual, tapi selalu diorientasikan pada kekuatan
fisik. Di Jawa dan Bali ada kebanggaan yang bernama keris, di Madura ada clurit, di
Kalimantan ada mandau, di Aceh ada rencong, di Sulawesi ada badik, dan lain-lain.
Nyatanya, alat-alat kekuatan fisik itu dikalahkan oleh kombinasi kekuatan fisik, modal
dan intelektualitas. Belanda menguasai Indonesia 350 tahun karena kekuatan modal, fisik
(senjata militer) dan intelektual, dengan politik devide et impera. Indonesia yang
membanggakan kesaktian fisik harus babak belur di-smackdown kolonial Belanda.
Indonesia baru merdeka setelah membangun kekuatan intelektualitas, setidaknya sejak
tahun 1908 dengan pengorganisasian sosial dan diplomasi.
Kini, kekuatan intelektualitas masyarakat Indonesia ternyata tidak dapat mengejar
kekuatan intelektual Eropa dan Amerika Utara (AS dan Kanada). Saat ini, politik devide
et impera itu tanpa disadari masih tetap berjalan dan mengoyak-ngoyak negara ini,
dengan cara penawaran modal, bantuan, infiltrasi kebudayaan, dan bahkan para pemilik
kapital asing telah 'menyusupkan' para pendekar pemberdayaan masyarakat yang
mengikat pikiran dan persepsi kaum intelektual. Akibatnya, kita tidak menyadari bahwa
riset-riset NGO juga memiliki tujuan memetakan geososial, geopolitik, dan potensi
kekayaan alam masyarakat, yang ujung-ujungnya adalah untuk 'penjajahan baru'.
Kekuatan sosial negara ini telah terpecah. Kaum intelektual banyak yang bisa menjadi
alat neokolonialisme, seperti modus kolonial Belanda di Indonesia pada masa monarkhi
yang memberikan uang kepada para pejuang kemerdekaan yang mau berbalik arah untuk
membantu kolonial. Tetapi saat ini modusnya lebih cermat, halus dan rapi, dengan
memanfaatkan mental hedonis kaum intelektual. Segepok uang di depan mata cukup
untuk merobohkan rasa nasionalisme, solidaritas, dan perikemanusiaan mereka.

LNF
www.zeilla.wordpress.com page 97 of 99

________________________________________________________________________
Ikhtisar
- Proses ganti rugi untuk korban lumpur Lapindo menjadi bukti betapa kekuatan rakyat
menjadi lemah ketika harus dihadapkan pada kepentingan pemodal.
- Dalam banyak kasus, rakyat berada pada pihak yang dirugikan saat hak atas tanahnya
berada di atas area pertambangan.
- Politik pecah belah yang dikembangkan para penjajah, kini masih terasa dampaknya di
Indonesia.
- Masyarakat terpecah, dan banyak kalangan intelektual yang menjadi alat bagi kekuatan
neokolonial. (***)

Beban APBN untuk Korban Lumpur Melonjak

Lapindo harus mengganti.


Pemerintah memutuskan menambah satu desa di luar peta terkena dampak semburan
lumpur Lapindo untuk mendapatkan ganti rugi. Wilayah yang dimaksud adalah Desa
Kedung Cangkring, Sidoarjo, Jawa Timur. Dengan demikian, seluruhnya ada tiga desa di
luar peta dampak yang pembayaran ganti ruginya ditanggung pemerintah. Dua desa
sebelumnya adalah Besuki dan Pejarakan.

Demikian keputusan hasil rapat terbatas yang dipimpin Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono di kantor kepresidenan kemarin. Hadir dalam rapat ini, antara lain, Menteri
Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto, Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Aburizal
Bakrie, dan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas
Paskah Suzetta. Juga hadir Gubernur Jawa Timur Imam Utomo, Kepala Badan
Penanggulangan Lumpur Sidoarjo Soenarso, dan Bupati Sidoarjo Win Hendrarso.

Menurut Djoko, pembayaran ganti rugi ini dilakukan untuk mempercepat pembuangan
lumpur dari ketiga desa itu ke Kali Porong. Dananya disiapkan dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2008 sekitar Rp 700 miliar.

Djoko menegaskan antara tanggul selatan dan Kali Porong ada beberapa desa yang
membuat pembuangan lumpur ke Kali Porong sulit. Untuk memudahkan, desa-desa
tersebut dibebaskan sekalian. Dengan demikian, Ancaman timbulnya jebolan tanggul di
tempat lain akan berkurang.

Djoko mengatakan pemerintah tak memasukkan tiga desa itu ke dalam peta terkena
dampak karena pengadilan sudah menetapkan PT Lapindo Brantas tidak bersalah.
Sehingga masalah ini menjadi tanggung jawab pemerintah. Pernyataan itu diamini
pemilik induk perusahaan Lapindo Brantas yang juga Menteri Koordinator
Perekonomian, Aburizal Bakrie.

Kepala BPLS Soenarso mengungkapkan di tega desa itu ada sekitar 10 ribu jiwa dari
2.926 keluarga. Ia berharap sekitar 20 persen ganti rugi dibayarkan selambatnya akhir
tahun ini.

LNF
www.zeilla.wordpress.com page 98 of 99

________________________________________________________________________
Menurut Menteri Negara Perencanaan Pembangunan/Kepala Bappenas Paskah Suzetta,
alokasi dana tersebut akan dimasukkan dalam anggaran Departemen Pekerjaan Umum di
pos infrastruktur dalam APBN Perubahan 2008. Nanti akan diotak-atik dan dibahas
dengan Dewan Perwakilan Rakyat, katanya.

Langkah ini mendapat sorotan anggota parlemen dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan, Aria Bima. Menurut dia, pemerintah harus menalangi dulu pembayaran ganti
rugi bagi korban di luar peta dampak. Setelah itu, pemerintah meminta Lapindo
menggantinya.

Korban lumpur Lapindo mendesak pemerintah membatalkan keputusan itu. Kalau dari
APBN, kami hanya akan mendapat Rp 30 juta seperti gempa Yogyakarta, kata Ahmad
Zakaria, warga Pejarakan. DWI WIYANA I NININ DAMAYANTI I ANTON
APRIANTO I KURNIASIH I ROCHMAN TAUFIK

Sumber: Koran Tempo, 28 Februari 2008

LNF
www.zeilla.wordpress.com page 99 of 99

________________________________________________________________________
URL Source: http://www.antara.co.id/arc/2008/2/19/ma-tolak-uji-materiil-perpres-
lumpur-lapindo/

MA Tolak Uji Materiil Perpres Lumpur Lapindo

Jakarta (ANTARA News) - Mahkamah Agung (MA) menolak permohonan uji materiil
Peraturan Presiden (Perpres) No 14 Tahun 2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur
Sidoarjo (BPLS) yang diajukan oleh para korban lumpur Lapindo.

Kuasa hukum korban, Zainal Abidin, dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia
(YLBHI), di Jakarta, Selasa, mengatakan salinan putusan uji materiil itu baru ia terima
pada pekan ini.

Putusan yang dikeluarkan oleh majelis hakim yang diketuai Bagir Manan dan
beranggotakan Paulus Effendy Lotulung serta Ahmad Sukardja pada 14 Desember 2007
itu menyatakan tidak terbukti ada penyalahgunaan wewenang yang dilakukan pemerintah
untuk mengeluarkan Perpres tentang BPLS.

Karena tidak ada penyalahgunaan wewenang dalam penerbitan Perpres tersebut, maka
majelis hakim menilai dalil yang diajukan oleh para korban semburan lumpur dalam
permohonan uji materiil mereka tidak beralasan.

Para korban semburan lumpur Lapindo pada Agustus 2007 mengajukan uji materiil
Perpres No 14 Tahun 2007 ke MA.

Mereka menilai mekanisme ganti rugi yang diatur dalam pasal 15 Perpres tersebut tidak
memenuhi rasa keadilan dan melanggar setidaknya dua Undang-Undang, yaitu UU No 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU No 5 Tahun 1960 tentang Pokok
Agraria.

Pasal 15 Perpres itu mengatur bahwa PT Lapindo Brantas harus membeli tanah dan
bangunan masyarakat yang terkena luapan lumpur, sesuai dengan peta area dampak
tertanggal 22 Maret 2007.

Selain itu, para korban juga tidak setuju dengan mekanisme pembayaran tidak tunai yang
diatur dalam Perpres tersebut.

Perpres itu mengatur bahwa pembayaran melalui mekanisme jual beli kepada korban
semburan lumpur dilakukan secara bertahap, yaitu 20 persen dibayarkan di muka dan
sisanya dibayarkan paling lambat satu bulan sebelum masa kontrak rumah dua tahun
habis.

LNF
www.zeilla.wordpress.com page 100 of 99

________________________________________________________________________
Para korban menilai kebijakan ganti rugi yang diatur dalam Perpres itu merugikan
mereka karena tidak seperti mekanisme ganti rugi yang wajar.

Kebijakan itu, oleh para korban, dinilai hanya menguntungkan Lapindo karena proses
ganti rugi dialihkan menjadi proses perdata.

Dengan putusan MA itu, maka Perpres tentang BPLS dinyatakan tetap sah tanpa cacat
hukum. Sedangkan Komnas HAM telah merekomendasikan agar pemerintah meninjau
ulang Perpres No 14 Tahun 2007 tentang BPLS karena dinilai belum memenuhi
kepentingan para korban semburan lumpur. (***)

LNF
www.zeilla.wordpress.com page 101 of 99

________________________________________________________________________
Lapindo Enggan Buka Dokumen yang Diminta Tim Advokasi Korban Lumpur
Sidoarjo
[19/6/07]
Dalam hukum perdata berlaku prinsip siapa yang mendalilkan dia yang membuktikan.
Lapindo Brantas menolak permintaan penggugat untuk membuka dokumen hasil kajian
Medco Energy terkait dugaan kecerobohan fatal dalam pengeboran, termasuk daily
report drilling. Permintaan dokumen itu sebelumnya diajukan oleh Tim Advokasi
Korban Lumpur Sidoarjo dengan maksud membuktikan adanya kesalahan dalam proses
pengeboran.

Kuasa hukum Lapindo Brantas Ahmad Muthosim menolak memenuhi permintaan Tim
Advokasi penggugat tersebut. “Itu logika hukum yang terbalik. Sebab, dalam hukum
acara perdata ada satu pasal yang menerangkan siapa yang mendalilkan maka dia yang
membuktikan,” ujarnya.

Muthosim menambahkan bahwa jika penggugat menilai ada kesalahan atau kelalaian
dalam pengeboran, maka penggugat pula yang harus membuktikan, bukan sebaliknya. “
Selaku turut tergugat, kami tidak akan menunjukan bukti itu, dan kami juga akan
mengajukan bukti yang menyatakan bahwa pengeboran itu sudah sesuai,” jelas
Muthosim.

Kedua pihak bersikukuh. Penggugat meminta dokumen dimaksud dibuka, sementara


Lapindo ogah. Sekarang keputusannya tergantung hakim. Bagaimana kalau hakim
memutuskan harus dibuka? Lapindo tampaknya tak akan begitu saja merelakan. Menurut
Muthosim, pihaknya akan mempertimbangkan terlebih dahulu permintaan membuka
dokuman apakah sesuai hukum acara atau tidak. “Kami lihat nanti, sebab itu menyalahi
hukum acara perdata,” tambahnya.

Sidang lanjutan perkar perkara gugatan terhadap Pemerintah dan Lapindo di PN Jakarta
Pusat berlangsung Senin (18/6) kemarin. Memasuki tahap pembuktian, pihak penggugat
menyerahkan sejumlah bukti tertulis, antara lain presentasi dan pendapat para ahli,
laporan penelitian, serta sejumlah pemberitaan media massa terkait dengan semburan
lumpur panas tersebut.

Salah satu laporan penelitian yang menjadi rujukan adalah laporan yang dibuat Richard J.
Davies dari University of Durham, Inggris, pada Februari 2007. Dalam laporan berjudul
“Birth of a Mud Volcano: East Java, 29 Mei 2006,” Davies mengungkapkan bahwa
pengeboran merupakan pemicu awal semburan lumpur Sidoarjo.

Penggugat juga merujuk pada pengakuan yang dibuat Santos Limited, salah satu pemilik
modal di Blok Brantas, yang termuat dalam dokumen berjudul “Banjar Panji 1 Incident
Briefing Document” pada 8 Desember 2006. Dalam dokumen tersebut, Santos mengakui
bahwa PT Lapindo Brantas melakukan pengeboran hingga kedalaman 9.297 kaki,
sementara pemasangan casing hanya dilakukan hingga kedalaman 3.850 kaki.

LNF
www.zeilla.wordpress.com page 102 of 99

________________________________________________________________________
Lebih lanjut, Santos juga mengakui bahwa Medco, pemegang saham lainnya di Blok
Brantas juga telah menegaskan bahwa kecerobohan fatal dalam pengeboran terjadi ketika
operator pengeboran, yakni PT Lapindo Brantas tidak memasang casing 9 5/8” pada
kedalaman 8.500 kaki. Untuk menyanggah argumentasi para tergugat yang menyatakan
semburan lumpur Sidoarjo terjadi akibat fenomena alam, penggugat juga merujuk
pendapat para ahli yang dimuat jurnal ilmiah Nature International Weekly Journal of
Science. Dalam artikel berjudul “Muddy Waters How did a Mud Volcano Come to
Destroy an Indonesian edisi Februari 2007, para ahli menegaskan bahwa penyebab
utama semburan lumpur adalah insiden pengeboran di areal pengeboran PT Lapindo
Brantas, dan bukan karena gempa bumi yang terjadi di Yogyakarta pada Mei 2006 silam.

Dampak yang ditimbulkan dari semburan lumpur tersebut juga telah diberitahukan oleh
Perserikatan Bangsa-Bangsa sejak tahun 2006. Pemberitahuan tersebut terungkap laporan
PBB berjudul “Environmental Asessment: Hot Mud Flow East Java, Indonesia, 2006,”
yang juga diajukan sebagai bukti tertulis oleh penggugat. Dalam laporannya, PBB telah
menegaskan bahwa semburan lumpur Sidoarjo berbahaya bagi lingkungan hidup dan
ekosistem. (CRN)

LNF
www.zeilla.wordpress.com page 103 of 99

________________________________________________________________________
Menunggu Keberanian Hakim Memerintahkan Penyingkapan Dokumen
[26/6/07]
Dalam perkara perdata, sebenarnya Hakim bisa memerintahkan para pihak untuk
membuka dokumen-dokumen terkait perkara. Logikanya, penafsiran a contrario, selama
tidak dilarang berarti dapat dilakukan.
Meski telah dikenal cukup lama di negara Common Law, Discovery (Amerika Serikat)
atau Disclosure (Inggris), yakni perintah hakim untuk menyingkap dokumen pihak lawan
kurang dikenal dalam sistem hukum Indonesia. Di negeri ini belum pernah ada kejadian
hakim memaksa pihak yang berperkara untuk menyingkap dokumen. Setidaknya,
begitulah pandangan Pengajar hukum acara perdata, dan Ketua Lembaga Kajian dan
Bantuan Hukum (LKBH) Universitas Indonesia, Yoni A Setyono.

Bisa jadi dalam sejarah peradilan Indonesia sudah pernah ada, tetapi tidak terlacak. Salah
satu kasus teranyar adalah permintaan korban lumpur Siadoarjo kepada hakim PN Jakarta
Pusat, yakni permintaan Tim Advokasi Korban Lumpur Sidoarjo kepada Pemerintah dan
PT Lapindo (tergugat dan turut tergugat) agar mau membuka dokumen hasil kajian
penyebab lumpur. Lapindo diminta membuka semua dokumen terkait pengeboran
sumur yang berakhir muncratnya lumpur Sidoarjo. Majelis hakim menyatakan akan
mempertimbangkan permintaan Tim Advokasi Korban Lumpur Sidoarjo itu.

Menurut Taufik Basari, anggota Tim Advokasi, dokumen-dokumen tersebut penting


untuk dibuka di depan persidangan agar jelas penyebab semburan lumpur panas yang
hingga kini belum teratasi. Data di dalam dokumen antara lain berisi laporan harian
pengeboran, dan surat dari Medco (salah satu pemegang saham blok Brantas bersama
Santos) yang mempertanyakan ketiadaan casing serta surat mengenai dugaan adanya
kecerobohan.

Dalam sidang perkara ini Senin (18/06) pekan lalu, kuasa hukum Lapindo Ahmad
Muthosim menolak permintaan Tim Advokasi. Ia enggan membuka dokumen-dokumen
yang dimiliki kliennya dibuka karena hal itu dinilainya melanggar hukum acara.
Kalaupun pembukaan dokumen dilakukan atas perintah hakim, Lapindo masih akan
mempertimbangkan apakah memenuhi perintah tersebut atau tidak. Kini, para pihak
menunggu keputusan hakim.

Sistem Common Law dan Belanda

Dalam perkara perdata di negara pengguna sistem common law, termasuk di Singapura
dan Malaysia, praktek ini lazim terjadi. Para pihak dapat saling meminta secara timbal
balik pembukaan surat-surat keterangan lawannya maupun mendatangkan saksi sebelum
dan saat persidangan. Bila salah satu pihak menolak, hakim dapat memaksa para pihak
untuk membuka dokumen yang terkait perkara dengan dikecualikannya jenis dokumen
tertentu.
Tujuan penyingkapan dokumen bermacam-macam, antara lain mengamankan saksi dan
bukti, serta menghindari kejutan dipersidangan. Selain itu, cukup sering terdapat kondisi
dimana terdapat dokumen yang signifikan dalam pembuktian perkara yang enggan

LNF
www.zeilla.wordpress.com page 104 of 99

________________________________________________________________________
disingkap salah satu pihak. Penyingkapan sebelum persidangan juga dapat membuat para
pihak mengetahui posisi masing-masing, sehingga mendorong perdamaian antara
keduanya.
Di Amerika, pada prinsipnya segala sesuatu yang relevan dan bukan merupakan
dikecualikan (priviliged) dapat disingkap. Penyingkapan ini biasanya dilakukan sebelum
persidangan, dengan hanya sedikit campur tangan hakim. Sanksi yang diberikan oleh
hakim bagi pihak yang tak membuka informasi pun beragam, antara lain: denda,
mencegah bukti lawan untuk diajukan, bahkan menolak sebagian atau seluruh dalil pihak
penolak. Demikian diatur dalam Bab V Federal Rules of Civil Procedure (FRCP) atau
Hukum Acara Perdata Federal Amerika Serikat. Dokumen-dokumen dimaksud
melingkupi email dan bermacam dokumen elektronik.

Beberapa waktu lalu, dalam kelanjutan perkara Garnet Investment melawan BNP Paribas
yang melibatkan duit Tommy Soeharto sebesar $AS30 juta, Hakim pengadilan Guernsey
(daerah administrasi Inggris) memerintahkan penyingkapan (disclosure) dokumen-
dokumen Garnet soal transaksi, aset, dan nilainya. Salah Perintah dalam wujud putusan
sela tersebut merupakan buah dari intervensi Permintah Indonesia dalam perkara ini.

Dari penelusuran hukumonline, terungkap bahwa sejak 2002 telah terjadi perubahan
hukum acara perdata Belanda. Aturan baru yang kini berlaku memberi hakim peran aktif
dalam pencarian fakta dan kebenaran, jadi tak lagi hanya berpangku tangan dan
menunggu ‘aksi’ pihak berperkara. Berdasarkan aturan tersebut, Hakim dapat
memerintahkan para pihak untuk menyediakan dokumen, dan meminta saksi didatangkan
ke persidangan. Pihak berperkara lebih dimungkinkan untuk meminta dokumen, foto,
video dan file komputer dalam setiap tingkatan prosedur.

Indonesia

Kewenangan hakim menyingkap dokumen belum dijamin oleh hukum acara perdata kita.
Hanya dalam perkara Tata Usaha Negara (TUN) dan perkara pidana saja hakim dapat
memerintahkan penyingkapan dokumen atau mendatangkan saksi. Di Pengadilan TUN
misalnya, Pasal 85 dan 86 UU Peradilan TUN menyatakan hakim dapat meminta pejabat
TUN untuk menyingkap dokumen. Hakim dapat pula memanggil saksi untuk dimintai
keterangan atas permohonan salah satu pihak, atau inisiatifnya sendiri. Pasal 85
menyebutkan “untuk kepentingan pemeriksaan dan apabila hakim ketua sidang
memandang perlu ia dapat memerintahkan pemeriksaan terhadap surat yang dipegang
oleh pejabat Tata Usaha Negara, atau pejabat lain yang menyimpan surat, atau meminta
penjelasan dan keterangan tentang sesuatu yang bersangkutan dengan sengketa.

Sedangkan di Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana kita (UU 8/1981-KUHAP),


Pasal 180 menyatakan hakim ketua sidang juga dapat minta keterangan ahli dan dapat
pula minta agar diajukan bahan baru oleh yang berkepentingan, bila hal tersebut
diperlukan untuk menjernihkan duduknya persoalan yang timbul di sidang pengadilan,.

Dalam perkara perdata, selama ini Hakim di Indonesia bak ‘terkungkung’ Pasal 163 HIR
(Herziene Inlandsch Reglement)-Hukum Acara Perdata- yang berbunyi “siapa yang

LNF
www.zeilla.wordpress.com page 105 of 99

________________________________________________________________________
mendalilkan dialah yang harus membuktikan”, serta konsep kedudukan sama (equal) para
pihak dimuka pengadilan. Asas yang menyatakan bahwa hakim harus bersikap pasif
dalam perkara juga turut menunjang ‘diamnya’ hakim.

Hakim PN Jakarta Pusat Heru Pramono beranggapan alasan hakim tidak pernah
memerintahkan pembukaan ialah karena tidak ada aturan tentang itu. Heru menyatakan
prinsipnya Hakim tetap berpegang pada 163 HIR, Siapa yang mendalilkan dibebani
pembuktian.

“Selama tidak diatur hukum acara atau tidak ada aturan yang membolehkan itu
merupakan pelanggaran hukum acara. Seandainya hakim melanggar hukum acara pihak
yang dikalahkan dapat mengajukan hal tersebut sebagai alasan untuk melakukan upaya
hukum” ujar pria yang juga menjabat sebagai Humas Pengadilan.

Meski begitu, menurut Heru ada dokumen tertentu yang dapat diminta pembukaannya.
Dokumen termaksud seperti bundel di notaris, warkat di Badan pertanahan Nasional dan
akta catatan sipil. “Tapi untuk membuka dokumen lawan saya belum pernah. Kecuali
telah ada aturan yang membolehkan.” ujarnya

Sebetulnya kemungkinan bagi hakim mengeluarkan perintah penyingkapan dalam


perkara perdata belum tertutup. Untuk dasar penyingkapan, menurut Yoni hakim dapat
saja menggunakan prinsip a contrario, (selama tidak dilarang, berarti dapat digunakan.
“Hakim boleh saja (menggunakan-red), belum pernah terjadi, tetapi tidak ada salahnya
untuk dicoba” ujarnya. Menurutnya ini juga sesuatu yang baik.

Mantan Hakim Agung Yahya Harahap juga berpendapat Hakim dapat memaksa para
pihak untuk menyingkap dokumen tersebut. “Apalagi bila hakim perlu mengetahui isi
dokumen” ujarnya. Catatannya, dokumen itu hanya akan digunakan untuk kepentingan
perkara tersebut.

Selain itu Yahya berpandangan, penyingkapan dokumen dapat dikembangkan seperti hal-
hal lain yang sebenarnya tidak diatur hukum acara perdata, tetapi terlaksana dalam
praktek. Yahya menyarankan para pihak dalam perkara perdata untuk mengajukan
permohonan penyingkapan dokumen dalam gugatan provisionilnya.

Praktisi hukum Todung Mulya Lubis juga mendukung ide ini, karena ia menganggap
persoalan beban pembuktian tidak melulu kepentingan dari dan terletak pada penggugat.
“Sebetulnya ada konvergensi antara penggugat dan tergugat dalam pembuktian” ujar
Todung memberi alasan.

Soal pelaksanaannya, Todung skeptis hakim dengan diskresinya sendiri akan membuat
terobosan dengan memberi perintah penyingkapan dokumen. Menurutnya, akan lebih
baik bila dibuat aturan dari pucuk tertinggi lembaga yudikatif. Lebih lanjut kata Todung,
format aturan ini dapat berbentuk Surat Edaran maupun Peraturan Mahkamah Agung,
yang mewajibkan hakim meminta dokumen dibuka apabila dapat menjadikan terang
suatu perkara.

LNF
www.zeilla.wordpress.com page 106 of 99

________________________________________________________________________

Perselisihan Hubungan Industrial

Sebenarnya telah ada terobosan peningkapan dokumen dari lembaga legislatif, dalam
penyelesaian sengketa pekerja-pengusaha. Karena sifat Pengadilan Hubungan Industrial
semi perdata, hukum acara yang dipakai menyelesaikan perselisihan ini ialah UU 2/2004
tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial sebagai Lex specialis dan hukum
acara perdata.

UU ini memberi hak kepada hakim untuk mendatangkan saksi serta menyingkap
dokumen. Kewenangan ‘penyingkapan’ ini tertera dalam Pasal 91. Tidak main-main,
pihak yang menolak perintah dari hakim dapat dikenakan sanksi pidana. Pasal 91 ayat (1)
menyebutkan “barangsiapa yang diminta keterangannya oleh majelis hakim guna
penyelidikan untuk penyelesaian perselisihan hubungan industrial berdasarkan undang-
undang ini wajib memberikannya tanpa syarat, termasuk membukakan buku dan
memperlihatkan surat-surat yang diperlukan”. Namun, ayat (2) pasal ini mewajibkan
hakim untuk merahasiakan semua keterangan yang dia minta.

Menurut Heru yang juga hakim PHI, Pasal tersebut ada untuk membantu buruh yang
tidak punya akses terhadap dokumen, serta meminta keterangan pihak perusahaan.
Misalnya, buruh kadang tidak dikasih kontrak, dan pengusaha tidak mau membuka
dokumen. Heru menyatakan karena ada aturan yang membolehkan, maka ada dasar
hukum bagi hakim.

Meski begitu, dari catatan hukumonline pasal ini belum pernah dipakai oleh hakim di
Pengadilan Hubungan Industrial Jakarta. Saat dikonfirmasi Heru mengakui dalam praktek
‘permintaan keterangan’ jarang dilakukan, melainkan dalam hal tertentu saja. Ia juga
tidak ingat dalam perkara mana saja dia pernah memerintahkan. “Normalnya ya 163
HIR,” ujarnya. Bisa jadi gara-gara pasal itulah, Heru pernah menolak permintaan
penggugat agar saksi dari pihak tergugat dihadirkan ke persidangan. (KML)

URL Source: http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=17225&cl=Berita


Semburan Lumpur Bukan Dipicu Gempa Bumi
[23/7/07]
Selain magnitude-nya tidak cukup kuat, jarak antara pusat gempa di Yogyakarta dengan

LNF
www.zeilla.wordpress.com page 107 of 99

________________________________________________________________________
pusat semburan lumpur juga terlalu jauh. Semburan lumpur bisa diantisipasi jika
selubung besi dipasang sesuai aturan.
Tak cukup hanya mengajukan surat terbuka yang diajukan ahli geologi Prof. Dr. P.
Koesoemadinata sebagai bukti di persidangan, Tim Advokasi Korban Lumpur Sidaoarjo
pun akhirnya menghadirkan sang pembuat surat ke pengadilan perkara dalam
gugatannya terhadap pemerintah dan PT Lapindo Brantas.

Bersama tiga orang saksi ahli lainnya, yakni ahli geofisika dari Institut Teknologi
Bandung (ITB) Ir. Sri Widiyantoro, ahli perminyakan ITB Ir. Rudi Rubiandini dan
pengamat perminyakan Dr. Kurtubi, Koesoemadinata memberikan kesaksian yang
digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin, 23/07.

Dalam kesaksiannya, baik Koesomadinata, Widiyantoro dan Rudi menegaskan bahwa


pemicu terjadinya semburan lumpur Sidoarjo bukan berasal dari gempa bumi yang terjadi
di Yogyakarta, 28 Mei 2006 silam.

Pasalnya, selain kekuatan alias magnitude-nya tidak cukup kuat, jarak antara pusat gempa
di Yogyakarta dengan pusat semburan lumpur juga sangat jauh atau berada di luar radius
yang dapat dicapai.

Menurut Widiyantoro, berdasarkan catatan United States Geological Survey (USGS),


kekuatan gempa bumi yang terjadi di Yogyakarta 2006 silam adalah sebesar 6,3
magnitudo (ukuran energi yang dilepas waktu terjadinya gempa terjadi-red). “Kekuatan
ini serupa dengan kekuatan bom nuklir yang terjadi di Hiroshima-Jepang tahun 1945
silam,” jelas Widiyantoro.

Dengan kekuatan sebesar itu, lanjut Widiyantoro, radius paling jauh yang akan terkena
efek semburan lumpur (mud volcano eruption) adalah 100 km. “Sedangkan, jarak pusat
gempa Yogya dengan semburan lumpur Sidoarjo adalah 257 km,” tambahnya.

Karena itu menurut Widiantoro, adalah terlalu lemah jika mengatakan gempa bumi
sebagai pemicu terjadinya semburan lumpur. “Energinya kurang kuat dan jaraknya pun
terlalu jauh,” tegas Widiantoro.

Pendapat ini juga dipertegas lagi oleh Koesoemadinata. Menurutnya, semburan lumpur
justru dipicu dari kebocoran reservoir karena adanya total lost yang disusul dengan kick.

“Semestinya, lumpur yang dimasukkan dalam lubang bor kembali lagi ke atas. Namun
yang terjadi justru sebaliknya. Lumpur yang dimasukkan justru hilang dan terserap dalam
reservoir bertekanan tinggi, yang disusul dengan kick atau semburan air bertekanan tinggi
yang naik ke permukaan melalui lubang bor yang tidak diselubungi lubang besi
(casing),” jelasnya.

Selubung besi

Lebih lanjut ia menambahkan, kalaupun total lost dan kick terjadi, hal itu bisa ditangani

LNF
www.zeilla.wordpress.com page 108 of 99

________________________________________________________________________
dengan memasang selubung lubang besi (casing). Sayangnya, menurut Koesoemadinata
yang juga diamini Rudi, dalam pemboran kali ini, Lapindo tidak memasang selubung
lubang besi secara utuh.

“Dari pemboran yang dilakukan hingga kedalaman 9.297 kaki, selubung lubang besi
hanya dipakai hingga kedalaman 2.500 kaki,” terang Koesoemadinata. Karena itu tak
heran jika kemudian air dengan kekuatan mencapai 7.000 psi mendorong ke atas dan
menyebabkan terjadinya semburan lumpur.

Serupa dengan penuturannya dalam video yang juga diajukan sebagai bukti di
persidangan beberapa waktu lalu, Rudi pun kembali menegaskan bahwa semburan
lumpur bisa diantisipasi jika selubung besi dipasang sesuai aturan.

“Pemboran bisa berlangsung aman-aman saja kalau casing dipasang dengan baik, sesuai
peraturan,” jelas ahli yang juga sempat menjadi narasumber dan penasehat Tim Nasional
Penanggulangan Lumpur Sidoarjo ini.

Surat terbuka

Seperti diketahui pada persidangan sebelumnya Tim Advokasi dari YLBHI juga telah
mengajukan sejumlah bukti tertulis di persidangan. Satu diantaranya adalah surat terbuka
yang dibuat Koesoemadinata yang berisi keprihatinannya terhadap penyelenggaran
workshop mengenai lumpur Sidoarjo yang diselenggarakan Ikatan Ahli Geologi
Indonesia (IAGI) pada Februari 2007 silam.

“Ini menyangkut etika ilmiah dan moralitas dari profesi,” ujar mantan ketua IAGI tahun
1970-an ini. Menurutnya, selain pelaksanaanya disponsori Lapindo, pembicara dalam
seminar itu juga dimonopoli satu pihak.

Tak hanya itu, penyusunan workshop juga dinilainya tidak dilakukan dengan hati-hati
dan mengabaikan sejumlah fakta penting.(CRN)

LNF

You might also like