You are on page 1of 24

Kedudukan Niat Dalam Amal -

Penjelasan Hadits Arba’in Pertama (1)


Oleh: Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alu Syaikh

Diterjemahkan dengan beberapa penyesuaian oleh Abu Umair Muhammad Al Makasari


(Alumni Ma’had Ilmi)
Murojaah: Ust. Aris Munandar

‫ وعلى‬،‫ نبينا محمد‬،‫ والصالة والسالم على أشرف األنبياء والمرسلين‬،‫ الحمد هلل رب العالمين‬،‫بسم هللا الرحمن الرحيم‬
‫آله وصحبه أجمعين‬

‫ئ‬ٍ ‫ َوإِنَّ َما لِ ُكلِّ ا ْم ِر‬،‫ت‬ ِ ‫ إِنَّ َما اأْل َ ْع َما ُل بِالنِّيَا‬:ُ‫ْت َرسُو َل هللاِ يَقُوْ ل‬
ُ ‫ َس ِمع‬:‫ب قَا َل‬ ِ ‫ص ُع َم َر ب ِْن ْال َخطَّا‬
ٍ ‫ع َْن أَ ِمي ِْر ْال ُم ْؤ ِمنِ ْينَ أَبِ ْي َح ْف‬
‫ُص ْيبُهَا أَ ِو ا ْم َرأَ ٍة يَ ْن ِك ُحهَا‬
ِ ‫َت ِهجْ َرتُهُ لِ ُّدنيَا ي‬ ْ ‫ َو َم ْن َكان‬،‫َت ِهجْ َرتُهُ إِلَى هللاِ َو َرسُولِ ِه فَ ِهجْ َرتُهُ إِلَى هللاِ َو َرسْولِ ِه‬
ْ ‫ فَ َم ْن َكان‬،‫َما نَ َوى‬
‫َاج َر إِلَ ْي ِه‬
َ ‫ فَ ٍه ُج َرتُهُ إِلَى َما ه‬.

“Dari Amirul Mukminin, Umar bin Khatthab radhiallahu ‘anhu, beliau berkata:
Sesungguhnya seluruh amalan itu bergantung pada niatnya dan setiap orang akan
mendapatkan ganjaran sesuai dengan apa yang diniatkannya. Barang siapa yang berhijrah
karena Allah dan rasul-Nya, maka hijrahnya menuju keridhaan Allah dan rasul-Nya.
Barang siapa yang berhijrah karena mencari dunia atau karena ingin menikahi seorang
wanita, maka hijrahnya tersebut kepada apa yang dia tuju.” (HR. Bukhari no. 1, Muslim
no. 155, 1907)

Kedudukan Hadits

Hadits ini begitu agung hingga sebagian ulama salaf mengatakan, “Hendaknya hadits ini
dicantumkan di permulaan kitab-kitab yang membahas ilmu syar’i.” Oleh karena itu
Imam Al Bukhari memulai kitab Shahih-nya dengan mencantumkan hadits ini. Imam
Ahmad berkata, “Poros agama Islam terletak pada 3 hadits, yaitu hadits Umar ‫إنما األعمال‬
‫بالنيات‬, hadits ‘Aisyah ‫من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد‬, dan hadits An Nu’man bin Basyir
‫الحالل بين والحرام بين‬.” Perkataan beliau ini memiliki maksud, yaitu bahwasanya amalan
seorang mukallaf berkisar antara melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan. Dua
hal ini termasuk dalam perkara halal atau haram, selain itu terdapat jenis ketiga yaitu
perkara syubhat yang belum diketahui secara jelas hukumnya, dan ketiga perkara ini
terdapat dalam hadits An Nu’man bin Basyir. Dan telah diketahui bersama, seorang yang
hendak mengamalkan sesuatu, baik melaksanakan suatu perintah atau meninggalkan
larangan harus dilandasi dengan niat agar amalan tersebut benar. Maka nilai suatu amal
bergantung kepada adanya niat yang menentukan amalan tersebut apakah benar dan
diterima. Dan segala perkara yang diwajibkan atau dianjurkan Allah ‘Azza wa Jalla harus
diukur dengan timbangan yang pasti sehingga amalan itu sah dan hal ini ditentukan oleh
hadits ‘Aisyah di atas.
Sehingga hadits ini senantiasa dibutuhkan di setiap perkara, di saat melaksanakan
perintah, meninggalkan larangan dan ketika berhadapan dengan perkara syubhat.
Berdasarkan hal itu, kedudukan hadits ini begitu agung, karena seorang mukallaf
senantiasa membutuhkan niat, baik dalam melaksanakan perintah dan meninggalkan
perkara yang haram atau syubhat. Semua perbuatan tersebut itu tidak akan bernilai
kecuali diniatkan untuk mencari wajah Allah Jalla wa ‘Alaa.

Tafsiran Ulama Mengenai “Sesungguhnya Seluruh Amalan Itu Bergantung Pada


Niatnya”

Terdapat beberapa lafadz dalam sabda beliau ‫ إنما األعمال بالنيات‬terkadang lafadz ‫ النية‬dan
‫ العمل‬disebutkan dalam bentuk tunggal atau jamak walaupun demikian kedua bentuk
tersebut memiliki makna yang sama, karena lafadz ‫ العمل‬dan ‫ النية‬dalam bentuk tunggal
mencakup seluruh jenis amalan dan niat.

Di dalam sabda beliau [Sesungguhnya seluruh amalan itu bergantung pada niatnya dan
setiap orang akan mendapatkan ganjaran sesuai dengan apa yang diniatkannya]
terkandung pembatasan. Karena lafadz “innama” merupakan salah satu lafadz pembatas
seperti yang dijelaskan oleh ahli bahasa. Pembatasan tersebut mengharuskan setiap
amalan dilandasi dengan niat, Terdapat beberapa pendapat mengenai maksud sabda Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam ‫إنما األعمال بالنيات‬.

Pendapat pertama, mengatakan sesungguhnya maksud dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam ‫ إنما األعمال بالنيات‬yaitu keabsahan dan diterimanya suatu amalan adalah karena
niat yang melandasinya, sehingga sabda beliau ini berkaitan dengan keabsahan suatu
amalan dan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selanjutnya ‫وإنما لكل امرئ ما نوى‬
maksudnya adalah seseorang akan mendapatkan ganjaran dari amalan yang dia kerjakan
sesuai dengan niat yang melandasi amalnya.

Pendapat kedua mengatakan bahwa sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ‫إنما األعمال‬
‫ بالنيات‬menerangkan bahwa sebab terjadi suatu amalan adalah dengan niat, karena segala
amalan yang dilakukan seseorang mesti dilandasi dengan keinginan dan maksud untuk
beramal, dan itulah niat. Maka faktor pendorong terwujudnya suatu amalan, baik amalan
yang baik maupun yang buruk adalah keinginan hati untuk melakukan amalan tersebut.
Apabila hati ingin melakukan suatu amalan dan kemampuan untuk melakukannya ada,
maka amalan tersebut akan terlaksana. Sehingga maksud sabda Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam ‫ إنما األعمال بالنيات‬adalah amalan akan terwujud dan terlaksana dengan sebab
adanya niat, yaitu keinginan hati untuk melakukan amalan tersebut. Dan sabda Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam ‫ وإنما لكل امرئ ما نوى‬memiliki kandungan bahwa ganjaran
pahala akan diperoleh oleh seseorang apabila niatnya benar, apabila niatnya benar maka
amalan tersebut merupakan amalan yang shalih.

Pendapat yang kuat adalah pendapat pertama, karena niat berfungsi mengesahkan suatu
amalan dan sabda beliau [Sesungguhnya seluruh amalan itu bergantung pada niatnya dan
setiap orang akan mendapatkan ganjaran sesuai dengan apa yang diniatkannya] adalah
penjelasan terhadap perkara-perkara yang dituntut oleh syari’at bukan sebagai penjelas
terhadap seluruh perkara-perkara yang terjadi.

Kesimpulannya, pendapat terkuat dari dua tafsiran ulama di atas mengenai maksud dari
sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam [Sesungguhnya seluruh amalan itu bergantung
pada niatnya] adalah keabsahan amalan ditentukan oleh niat dan setiap orang
mendapatkan ganjaran dan pahala sesuai dengan apa yang diniatkan.

Definisi Amal

‫ األعمال‬adalah bentuk jamak dari ‫العمل‬, yaitu segala sesuatu yang dilakukan seorang
mukallaf dan ucapan termasuk dalam definisi ini. Yang perlu diperhatikan maksud amal
dalam hadits tersebut tidak terbatas pada ucapan, perbuatan atau keyakinan semata,
namun lafadz ‫ األعمال‬dalam hadits di atas adalah segala sesuatu yang dilakukan mukallaf
berupa perkataan, perbuatan, ucapan hati, amalan hati, perkataan lisan dan amalan
anggota tubuh. Maka seluruh perkara yang berkaitan dengan iman termasuk dalam sabda
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam [Sesungguhnya seluruh amalan itu bergantung pada
niatnya] karena iman terdiri dari ucapan (baik ucapan lisan maupun ucapan hati) dan
amalan (baik amalan hati dan amalan anggota tubuh). Maka seluruh perbuatan mukallaf
tercakup dalam sabda beliau di atas.

Namun keumuman lafadz ‫ األعمال‬dalam hadits ini tidaklah mutlak, karena yang dimaksud
dalam hadits tersebut hanya sebagian amal saja, tidak mutlak walaupun lafadznya umum.
Hal ini dapat diketahui bagi mereka yang telah mempelajari ilmu ushul. Karena segala
amalan yang tidak dipersyaratkan niat untuk mengerjakannya tidaklah termasuk dalam
sabda beliau [Sesungguhnya seluruh amalan itu bergantung pada niatnya], seperti
meninggalkan keharaman, mengembalikan hak-hak orang yang dizhalimi,
menghilangkan najis dan yang semisalnya.

Permasalahan Niat

Jika niat adalah keinginan dan kehendak hati, maka niat tidak boleh diucapkan dengan
lisan karena tempatnya adalah di hati karena seseorang berkeinginan atau berkehendak di
dalam hatinya untuk melakukan sesuatu. Maka amalan yang dimaksud dalam hadits ini
adalah amalan yang dilandasi dengan keinginan dan kehendak hati, atau dengan kata lain
amalan yang disertai pengharapan untuk mendapatkan wajah Allah. Oleh karena itu
makna niat ditunjukkan dengan lafadz yang berbeda-beda. Terkadang dengan lafadz
‫ اإلرادة‬dan terkadang dengan lafadz ‫ االبتغاء‬atau lafadz lain yang semisalnya.

Seperti firman Allah,

َ ِ‫لِلَّ ِذينَ ي ُِري ُدونَ َوجْ هَ هَّللا ِ َوأُولَئ‬


َ‫ك هُ ُم ْال ُم ْفلِحُون‬

“Itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang mencari wajah Allah; dan mereka Itulah
orang-orang beruntung.” (QS. Ar Ruum: 38)

ْ ‫َوال ت‬
َ ‫َط ُر ِد الَّ ِذينَ يَ ْد ُعونَ َربَّهُ ْم بِ ْال َغدَا ِة َو ْال َع ِش ِّي ي ُِري ُدونَ َوجْ هَهُ َما َعلَ ْي‬
‫ك ِم ْن ِح َسابِ ِه ْم ِم ْن َش ْي ٍء َو َما ِم ْن ِح َسابِكَ َعلَ ْي ِه ْم ِم ْن‬
ْ ‫َش ْي ٍء فَت‬
َ‫َط ُر َدهُ ْم فَتَ ُكونَ ِمنَ الظَّالِ ِمين‬

“Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan petang
hari, sedang mereka menghendaki wajah-Nya.” (QS. Al An’am: 52)

ُ‫َواصْ بِرْ نَ ْف َسكَ َم َع الَّ ِذينَ يَ ْد ُعونَ َربَّهُ ْم بِ ْال َغدَا ِة َو ْال َع ِش ِّي ي ُِري ُدونَ َوجْ هَه‬

“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di


pagi dan senja hari dengan mengharap wajah-Nya.” (QS. Al Kahfi: 28)

Atau firman Allah yang semisal dengan itu seperti,

‫ب‬ ِ ‫ث ال ُّد ْنيَا نُ ْؤتِ ِه ِم ْنهَا َو َما لَهُ فِي‬


ِ ‫اآلخ َر ِة ِم ْن ن‬
ٍ ‫َصي‬ َ ْ‫ث اآل ِخ َر ِة ن َِز ْد لَهُ فِي َحرْ ثِ ِه َو َم ْن َكانَ ي ُِري ُد َحر‬
َ ْ‫َم ْن َكانَ ي ُِري ُد َحر‬

“Barang siapa yang menghendaki Keuntungan di akhirat akan Kami tambah Keuntungan
itu baginya.” (QS. Asy Syuura: 20)

Atau dengan lafadz ‫ االبتغاء‬seperti firman Allah,

ِ ‫ضا ِة هَّللا‬
َ ْ‫ك ا ْبتِغَا َء َمر‬َ ِ‫اس َو َم ْن يَ ْف َعلْ َذل‬ ٍ ْ‫ُوف أَوْ إِص‬
ِ َّ‫الح بَ ْينَ الن‬ ٍ ‫ص َدقَ ٍة أَوْ َم ْعر‬
َ ِ‫ير ِم ْن نَجْ َواهُ ْم إِال َم ْن أَ َم َر ب‬
ٍ ِ‫ال َخ ْي َر فِي َكث‬
)١١٤( ‫َظي ًما‬ ِ ‫ع‬ ‫ًا‬
‫ر‬ ْ‫ج‬ َ ‫أ‬ ‫ه‬ ‫ي‬
ِ ِ ‫ت‬‫ؤ‬ْ ُ ‫ن‬ َ‫ف‬ ْ‫و‬ ‫س‬
َ َ ‫ف‬

“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan


dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma’ruf, atau
mengadakan perdamaian di antara manusia. dan Barang siapa yang berbuat demikian
karena mencari keridhaan Allah, Maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang
besar.” (QS. An Nisaa’: 114)

‫إِال ا ْبتِغَا َء َوجْ ِه َربِّ ِه األ ْعلَى‬

“Tetapi (dia memberikan itu semata-mata) karena mencari keridhaan Tuhannya yang
Maha tinggi.” (QS. Al Lail: 20)

Sehingga lafadz niat dalam nash-nash Al Quran dan Sunnah terkadang ditunjukkan
dengan lafadz ‫اإلرادة‬, lafadz ‫ اإلبتغاء‬atau lafadz ‫ اإلسالم‬yang bermakna ketundukan hati dan
wajah kepada Allah.

Makna Niat

Lafadz niat yang tercantum dalam firman Allah ‘azza wa jalla atau yang digunakan
dalam syariat mengandung dua makna. Pertama, niat yang berkaitan dengan ibadah itu
sendiri dan yang kedua bermakna niat yang berkaitan dengan Zat yang disembah
(objek/sasaran peribadatan). Maka niat itu ada dua jenis:

Pertama, niat yang berkaitan dengan ibadah itu sendiri. Niat dengan pengertian semacam
ini sering digunakan ahli fikih dalam pembahasan hukum-hukum ibadah yaitu ketika
mereka menyebutkan syarat-syarat suatu ibadah, semisal perkataan mereka “Syarat
pertama dari ibadah ini adalah adanya niat” Niat dalam perkataan mereka tersebut adalah
niat dengan makna yang pertama, yaitu niat yang berkaitan dengan zat ibadah itu sendiri
sehingga dapat dibedakan dengan ibadah yang lain.

Jenis yang kedua, adalah niat yang berkaitan dengan Zat yang disembah (objek/sasaran
peribadatan) atau sering dinamakan dengan ‫اإلخالص‬, yaitu memurnikan hati, niat dan
amal hanya kepada Allah ‘azza wa jalla.

Kedua makna niat di atas tercakup dalam hadits ini. Maka maksud sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam ‫ إنما األعمال بالنيات‬adalah sesungguhnya keabsahan suatu ibadah
ditentukan oleh niat, yaitu niat yang membedakan ibadah tersebut dengan yang lain dan
niat yang bermakna mengikhlaskan peribadatan hanya kepada Allah. Sehingga tidak tepat
pendapat yang mengatakan bahwa niat yang dimaksud dalam hadits tersebut adalah niat
yang bermakna ikhlas saja atau pendapat yang mengatakan ikhlas tidak termasuk dalam
perkataan ahli fikih ketika membahas permasalahan niat.

Kedudukan Niat dalam Beramal

 Niat merupakan barometer untuk meluruskan amal perbuatan.


Apabila niat baik, maka amalan menjadi baik. Sebaliknya, bila niat rusak, amalan juga
akan rusak.

Hal ini sesuai dengan hadits Rasululloh Shalallahu ‘alaihi Wassalam: “Dari Amiril
Mukminin
Abu Hafs Umar ibn Khottob Radhiyallohu‘anhu bahwasanya dia berkata: Aku mendengar
Rasululloh Shalallahu ‘alaihi Wassalam bersabda: “Sesungguhnya segala amalan itu
tergantung kepada niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan hasil sesuai dengan
niatnya. Maka barangsiapa yang hijrah-nya karena Alloh dan Rasul-Nya, maka hijrahnya
dinilai kepada Alloh dan Rasul-Nya, dan barangsiapa yang hijrahnya karena dunia yang
hendak didapatkannya atau karena wanita yang hendak dinikahinya, maka hijrahnya
dinilai sesuai dengan apa yang diniatkannya.” (HR.Bukhari dan Muslim)[1].

An-Niyyaatu adalah bentuk jamak dari niyyatun, artinya tujuan. Dengan ungkapan yang
lebih luas: Niat adalah tergeraknya hati menuju apa yang dianggapnya sesuai dengan
tujuan baik berupa perolehan manfaat atau pencegahan mudarat.

Niat mengandung dua makna:


1. Bermakna pemisahan –-ibadah satu dengan lainnya misalnya, pemisahan antara
sholat Dhuhur dan Ashar, atau pembedaan antara ibadah dan adat (‘Urf)—seperti juga
pembedaan antara mandi janabat dengan mandi biasa. Niat dengan makna seperti ini
banyak dijumpai dalam kitab-kitab fiqh para fuqoha. Perbedaan yang sering muncul
dalam masalah niat (dalam pengertian ini) adalah masalah haruskah niat itu
dilafalkan atau kah cukup dalam hati.

Para ulama telah banyak menjelaskan mengenai masalah ini, seperti Syaikh Muhammad
bin
Shalih Al-‘Utsaimin,beliau berkata:”Dalam semua amalan, niat tempatnya dihati, bukan
dilidah. Oleh karena itu, barangsiapa yang mengucapkan niat dengan lisan ketika
hendak sholat, puasa, haji, wudhu, atau amalan yang lain, maka dia telah melakukan
kebid’ahan,mengamalkan sesuatu yang tidak ada asalnya dalam agama Alloh. Hal itu
karena Nabi Shalallahu ‘alaihi Wassalam ketika berwudhu, shalat, bersedekah,
berpuasa, dan berhaji tidak pernah mengucapkan niat dengan lisan, karena niat memang
tempatnya di hati.”[2] Memang niat merupakan amalan hati[3] yang tidak perlu untuk
diucapkan, apabila kita ber-wudhu atau akan sholat maka inilah niat (amalan hati,
terwujud dalam per-buatan), tidak mungkin bagi orang yang berakal dan tidak dipaksa
melakukan sesuatu (entah itu amal yang baik maupun buruk) kecuali sudah dia niatkan.
Oleh karena itu sebagian ahli ilmu mengatakan:” Kalaulah Alloh membebankan kamu
suatu pekerjaan tanpa niat, pastilah pembebanan itu sesuatu yang tidak dapat
dikuasainya”.
2. Niat bermakna pembedaan maksud seseorang dalam beramal. Apakah semata-mata
karena Alloh, atau karena yang lainnya, atau karena bersamaan dengan lainnya.
Maksudnya ada manusia yang beramal ikhlas karena Alloh, ada yang ingin dilihat dan
dipuji orang lain, ada juga yang beramal supaya dipuji orang sekaligus memperoleh
ridho dari Alloh. Bagi orang yang beramal hanya karena mengharapkan ridho Alloh
semata dengan diiringi rasa raja’ (berharap) dan khauf (takut –akan siksaannya,pen)
itulah orang-orang yang ikhlas [4].

Keikhlasan inilah point penting dalam setiap amalaliah perbuatan kita sekecil apapun
itu. Ikhlas merupakan hakikat agama Islam, inti peribadatan seorang hamba, syarat
diterimanya amal dan merupakan dakwahnya para Rosulullah. Tanpa keikhlas-an amal
kita tidak ada artinya apa-apa. Dan untuk itulah, Alloh memerintahkan kita untuk
menjalankan agama yang lurus dan memurnikan ketaatan hanya kepada-Nya semata.
Sebagaimana dalam firman-Nya:

Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan
ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka
mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.
(QS.Al-Bayyinah : 5)
Ayat ini mengisyaratkan kita dalam beramal hendaknya
memperhatikan keikh-lasan niat kita dan sesuai dengan
petunjuk agama-Nya yang lurus (sesuai dengan syari’at).

Bagi orang-orang yang beramal kepada selain Alloh ada


beberapa macam:
o Amalan riya’ semata-mata. Yaitu tidak dilakukan melainkan hanya supaya
dilihat oleh makhluq karena tujuan duniawi. Maka amalan ini jelas tidak akan
memberikan arti apa-apa dihadapan Alloh. Bahkan riya’ merupakan syirik ashghar
(syirik kecil). Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassalam bersabda: ”Sesungguhnya yang
paling aku khawatirkan kepada kalian adalah syirik kecil, para sahabat bertanya, apa
yang dimaksud dengan syirik kecil? Rasulullah menjawab,dia adalah riya”.[5]
o Amalan yang ditujukan bagi Alloh dan disertai riya’ dari asalnya, maka
amalan seperti ini salah (bathil) dan terhapus (tidak mendapatkan pahala apapun
disisi Alloh, bahkan berdosa). Sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah, bahwasanya
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassalam ber- sabda: “Alloh Tabaraka Wata’aala
berfirman:”Aku paling tidak butuh kesyirikan. Maka barangsiapa yang melakukan amalan
yang mempersekutukan antara Aku dan selain-Ku, maka Aku tinggalkan dia dan
kesyirikannya.”[6]

o Amalan yang ditujukan bagi Alloh dan disertai niat lain selain riya’.
Contohnya : jihad fisabilillah hanya karena Alloh dan karena menghendaki harta
rampasan perang, maka amalan seperti ini berkurang pahalanya, dan tidak sampai batal
dan terhapus. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassalam bersabda: “Tidak ada seorangpun
yang berjihad di jalan Alloh kemudian mendapatkan ghanimah melainkan telah
menyegerakan dua pertiga pahala mereka diakhirat dan tinggal bagi mereka
sepertiganya, dan jika tidak mendapatkan ghanimah maka mereka mendapatkan pahala
yang sempurna.”[7]

o Amalan yang asalnya ditujukan bagi Alloh kemudian terbesit riya’


ditengah-tengahnya, maka amalan ini terbagi menjadi dua:
o Jika riya’ tersebut terbesit sebentar dan segera dihalau maka riya’
tersebut tidak berpengaruh apa-apa.
o Jika riya’ tersebut selalu menyertai amalannya maka yang rojih dari
pendapat ulama adalah amalannya tidak batal dan dinilai niat awalnya sebagaimana
dinukil pendapat ini dari Imam Hasan Al-Bashri.

Adapun jika seseorang beramal ikhlas karena Alloh kemudian mendapat pujian
sehingga dia merasa senang dengan pujian tersebut, maka hal ini tidak
berpengaruh apa-apa terhadap amalannya sebagaimana dalam hadits Abu Dzar
Radhiyallohu‘anhu bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassalam ditanya
seseorang yang beramal karena Alloh kemudian dipuji oleh manusia, maka
beliau menjawab:”Itu adalah khabar gembira yang disegerakan bagi seorang
mu’min.”[8]

Imam Hasan Al-Banna berkata, “Ikhlas adalah seorang akh Muslim yang bermaksud
dengan
kata-katanya, amalnya dan jihadnya, seluruhnya hanya kepada Alloh, untuk mencari
ridho Alloh dan balasan yang baik dari Alloh dengan tanpa melihat kepada keuntungan,
bentuk, kedudukan, gelar, kemajuan atau kemunduran. Dengan demikian ia menjadi
tentara aqidah dan fikrah dan bukan tentara keinginan atau manfaat.”[9]

Cara-cara untuk menumbuhkan niat yang ikhlas:


1. Mengetahui arti keikhlasan dan urgensinya dalam beramal
2. Menambah pengetahuan tentang Allah swt dan hari kiamat. Dengan mengetahui
ilmu tentang-Nya, maka seseoang mengenal Allah swt dengan sebenar-benarnya tentulah
tidak akan berani berbuat syirik (menyekutukan Allah dengan selain-Nya di dalam
niatnya). Ia juga akan mempertimbangkan amal-amalnya dan balasannya nanti di
akhirat.
3.Memperbanyak membaca/berinteraksi dengan al-Qur’an, karena al-Quran adalah
penyembuh dari segala penyakit dalam dada (QS.10:57) termasuk penyakit riya, ujub,
dan sum’ah.
4. Memperbanyak amal-amal rahasia, sehingga kita terbiasa untuk beramal karena
Allah semata tanpa diketahui orang lain.
5. Menghindari / mengurangi saling memuji, karena dengan pujian terkadang
orang jadi lalai hatinya dan menjadi sombong.
6.Berdoa, dengan tujuan agar selalu diberi keikhlasan dan dijauhi dari
syirik. Doa yang dicontohkan oleh Rasulullah saw : “Allahumma innii a’udzubika
annusyrikabika syaian a’lamuhu wa astaghfiruka lima laa a’lamuhu.” (Ya Allah aku
berlindung kepada-Mu dari syirik kepada-Mu dalam perbuatan yang aku lakukan dan aku
memohon ampun ke-pada-Mu terhadap apa yang tidak aku ketahui.)[10]

Akhi fillah, setelah kita memahami esensi dari sebuah kelurusan niat dalam setiap
amal kita, mari kita bersama senantiasa menjaga kelurusan niat-niat kita. Amal
sekecil apapun itu dan siapapun kita, maka Alloh melihat hati kita dan amal
perbuatan kita bukan yang lain. Tanda-tanda keikhlasan bagi seorang da’I nampak dari
dirinya yang tidak menginginkan sesuatu dari dakwah ini kecuali karena Alloh semata.
Ia tidak ingin mendapatkan status sosial yang tinggi. Ia tidak banyak memikirkan
apakah posisinya tinggi atau tidak dikenal di antara manusia. Dia tidak merasa
peduli dengan manusia dan sanjungan dari mereka. Ia tidak berusaha untuk mendapatkan
rasa takjub dari mereka. Ia tidak mengharap pujian dan penghormatan dari mereka. Hal
ini tidak berarti bahwa dia berharap untuk mendapat celaan dari manusia atau
prasangka buruk dari mereka.

 Tidak begitu. Tetapi seyogyanya ia menapaki jalan


dakwah pada jalan yang lurus dan tidak mengharapkan kecuali pahala dari Alloh
semata. Dia tidak berusaha untuk mendapatkan keuntungan berupa harta yang banyak
dari dakwah ini. Sebab alangkah jeleknya orang yang mengira bahwa dirinya hanya
menghendaki Alloh dan keridhaan-Nya, padahal sebenarnya mereka hanya mengharapkan
kepada dinar dan dirham. Keikhlasan seorang da’I menjelma dalam sikapnya yang merasa
gembira apabila tercapai keberhasilan dari tangan orang lain sebagaimana dia merasa
gembira kalau keberhasilan itu dicapai dengan tangannya sendiri. Dia tetap akan
melakukan amalnya walaupun harus ditinggalkan sendirian oleh saudaranya, karena di
yakin Alloh bersamanya. Jika ini terjadi dalam diri kita, maka karakter kader dakwah
yang muntij (produktif), insya Alloh akan muncul dalam diri kita. Teruslah beramal
dengan ilmu dan kelu-rusan niat.
Kedudukan Niat Dalam Beramal

Niat merupakan amal hati secara murni. Suatu amal tidak akan sempurna amalnya jika
tidak disertai niat yang ikhlas. Niat yang ikhlas berarti membersihkan maksud dan tujuan
kepada Allah dari maksud lainnya, hanya mengkhususkan Allah sebagai tujuan utama
kita. Hal ini dijelaskan dalam hadist diriwayatkan oleh Amir l’Mu’minin Abi Hafsh
Umar ibn Al Khaththaab Radhiyallahu ‘Anhu, yang berbunyi :
“Sesungguhnay amal perbuatan itu disertai niat dan setiap orang mendapat balasan amal
sesuai dengan niatnya. Barangsiapa yang berhijrah hanya karena Allah dan Rasul-Nya
maka hijrahnya itu menuju Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa hijrahnya karena dunia
yang ia harapkan atau karena wanita yang ingin ia nikahi, maka hijrahnya itu menuju
yang ia inginkan.” (HR. Bukhari-Muslim)
Hakekat niat dalam beramal:
1. Niat merupakan bagian dari Iman.
Niat merupakan amalan hati. Sedangkan iman adalah diyakini di dalam hati, diucapkan
dalam amal dan diuktikan dengan anggota badan dan perbuatan. Allah mencatat niat-niat
baik kita dengan pahala yang sempurna meskipun amalan tersebut belum kita wujudkan.
Seperti sabda Nabi saw. sebagai berikut :

“Maka barangsiapa yang bercita-cita hendak mengerjakan kebaikkan tetapi belum


mengamalkannya, Allah mencatat bagi orang tersebut di sisi-Nya dengan kebaikkan yang
sempurna.” (Muttafqun alaih)
2. Wajib mengetahui hukum dari sebuah amalan sebelum mengerjakannya.
Setiap muslim wajib mengetahui ilmu sebelum mengamalkannya, apakah amalan tersenut
disyari’atkan atau tidak.
3. Disyaratkannya niat pada amalan-amalan keta’atan.
Suatu kebaikkan tidak dikatakan ibadah jika tidak disertai niat untuk beribadah. Niat
membedakan amalan ibadah dengan kebiasaan atau yang bukan bersifat ibadah. Niat
membedakan antara ibadah yang satu dengan yang lain, misalnya puasa di bulan syawal.
Bisa jadi dia puasa syawal bisa juga dia puasa membayar hutang puasa. Itu semua
tergantung dari niat didalam hatinya. Niat juga menentukan tujuan dari sebuah amalan.
Apakah perbuatan itu diniatkan untuk mendapatkan keridhaan Allah atau mengaharapkan
selain dari itu tentukan oleh niatnya.
4. Pentingnya ikhlas di dalam beramal.
Sebuah amal bergantung kepada keikhlasan pelakunya. Mengikhlaskan amalan semata-
mata hanya karena Allah merupakan wujud mentauhidkan Allah. Ikhlas bukan hanya
berarti tidak menuntut apa-apa dari Allah tapi merupakan sebuah tuntutan dan
konsekuensi dari diciptakannya kita oleh Allah. Hendaknya kita senantiasa
memperhatikan gerak hati kita, karena keikhlasan kita senantiasa diuji. Pertama: sebelum
beramal perhatikan niatnya, kepada siapa dank arena apa kita niatkan amal kita. Kedua:
ketika sedang beramal, bisa jadiamalan yang semula ikhlas terganggu disebabkan ada
kejadian-kejadian khusus dan tak terduga. Ketiga: ketika setelah beramal. Tanpa sadar
setelah mungkin bertahun-tahun kita semunyikan, tiba-tiba dalam sebuah obrolan kita
ceritakan jasa kita dulu.
5. Baik buruknya amal bergantung kepada niat pelakunya.
Sebuah amal kebaikkan akan menjadi ibadah yang diterima manakala diniatkan dengan
niat yang baik, berupa keikhlasan, Dan akan menjadi buruk manakala diniatkan dengan
niat buruk, berupa ksyirikan -baik kecil apalagi besar-. Akan tetapi seseorang tidak boleh
menghalalkan yang haram semata-mata dengan alasan baiknya niat.
Beberapa urgensi niat yang ikhlas :
1. Merupakan ruhnya amal
Allah hanya menginginkan hakekat amal bukan rupa dan bentuknya.
2. Salah satu syarat diterimanya amal
3. penentuan nilai/kualitas suatu amal. Suatu amal dapat dibedakan pahalanya berdasakan
perbedaan niatnya.
4. Dapat merubah amal-amal yang mubah dan tradisi menjadi ibadah. Pekerjaan mencari
rezki bisa menjadi ibadah dan jihad fi sabilillah selagi pekerjaan itu dimaksudkan untuk
menjaga dirinya dari hal-hal yang haram dan mencari yang halal.
5. Mendatangkan berkah dan pahala dari Allah, bahkan sebelum ia melaksanakan
amalnya.
Cara-cara untuk menumbuhkan niat yang ikhlas :
1. Senantiasa meluruskan niat sebelum mulai beramal.
2. Menyerahkan segala cintanya hanya kepada Allah, Rasul dan akhirat
3. Ilmu ikhlas yang mantap
4. Berteman dengan orang-orang yang ikhlas
5. Membaca sirah orang-orang yang Mushlih
6. Mujahadah terhadap nafsu, maksudnya mengarahkan kehendak untuk memerangi
nafsu yang menjurus kepada keburukan.
7. Berdo’a dan memohon kepada Allah
Bukti penguat ikhlas :
1. Takut ketenaran, ketenaran tidak tercela tapi yang tercela itu adalah mencari ketenaran.
2. Menuduh diri sendiri, orang yang mukhlis senantiasa menuduh diri sendiri sebagai
orang yang berlebih-lebihan di sisi Allah dan kurang dalam melaksanakan berbagai
kewajiban.
3. Beramal secara diam-diam jauh dari sorotan
4. Tidak menuntun pujian dan tidak terkecoh oleh pujian.
5. Tidak kikir pujian terhadap orang yang memang harus dipuji.
6. Berbuat selaknya dalam memimpin, dia tidak ambisi dan menuntut kedudukan untuk
kepentingan dirinya sendiri.
7. Mencari keridhaan Allah, bukan keridhaan manusia.
8. Menjadikan keridhaan dan kemarahan karena Allah, bukan karena pertimbangan
pribadi.
9. Sabar sepanjang jalan
10. Rakus terhadap amal yang bermanfaat
11. Menghindari ujub, merasa puas terhadap apa yang dilakukan.

Referensi:
Dr. Yusuf Qardhawi : Niat dan Ikhlas
KEDUDUKAN NIAT DALAM BERAMAL

"Diterangkan dari Amirul Mukminin Abu Hafsn Umar bin Khattab ra, ia berkata : "Aku
pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda:"sesungguhnya sahnya amal perbuatan itu
tergantung pada niatnya, dan sesungguhnya bagi setiap orang hanyalah apa yang ia
niatkan. Barangsiapa yang tujuan hijrahnya kepada Allah dan utusan-Nya maka hijrahnya
itu kepada Allah dan utusan-Nya. Dan barangsiapa yang tujuan hijrahnya kepada harta
dan wanita, maka yang didapat adalah harta dan wanita itu."

Hadist diatas menegaskan bahwa niat adalah faktor yang amat menentukan diterima atau
tidaknya amal perbuatan seseorang di sisi Allah.

Artinya, kebenaran suatu amal ditentukan oleh niat. Bila niatnya baik maka baik pula
nilai amalnya, dan kalau niatnya jelek maka nilai amalnya pun menjadi jelek. Apabila
dikaitkan dengan niat maka amal kebaikan itu akan masuk salah satu dari tiga
kemungkinan, yakni :

Pertama :
Motif dalam beramal adalah karena takut terhadap siksa Allah. Maka amalnya itu adalah
sebagaimana pengabdian seorang hamba. Dalam melakukan pekerjaan dikarenakan
merasa takut kepada tuannya

Kedua :
Motif dalam beramal adalah karena mengharap balasan surga serta pahala. Maka amalnya
itu adalah sebagaimana kerja seorang pedagang, dalam melakukan pekerjaan adalah
karena mengharapkan laba dan keuntungan

Ketiga :
Motif dalam beramal adalah karena merasa malu kepada Allah, melaksanakan
pengabdian dan kesyukuran. Ia melihat bahwa amal kebaikan yang dilakukan amat
sedikit, ia merasa khawatir karena tidak mengetahui apakah amal yang dikerjakan itu
diterima oleh Allah atau ditolak. Inilah amalan orang merdeka. Dia beramal dengan
dilandasi oleh niat yang tulus ikhlas.

Ibadah kategori terakhir inilah yang menjadi motifasi Rasulullah SAW dalam
melaksanakan pengabdian kepada Allah SWT, sebagaimana beliau pernah ditegur oleh
sang istri tercinta, A’isyah ra, saat bangun tengah malam lalu beribadah hingga kedua
telapak kaki beliau membengkak. A’isyah ra berkata :
"wahai utusan Allah, kenapa engkau beribadah sedemikian tekunnya padahal Allah telah
mengampuni (segala) dosamu yang telah lalu dan yang akan datang?" Jawab beliau :
"Tak bolehkah aku menjadi hamba yang gemar bersyukur?"

Muncullah pertanyaan : Mana yang lebih utama, ibadah karena rasa takut atau ibadah
dengan pengharapan?
Dalam hal ini Imam Al-Ghazali berkata :
“Ibadah yang disertai pengharapan adalah utama, karena ibadah yang disertai
pengharapan akan menumbuhkan perasaan cinta sedangkan ibadah yang disertai perasaan
takut akan menumbuhkan perasaan bosan.”

Tetapi rasa bosan ini hanya bisa muncul pada orang-orang yang tidak ikhlas dalam
beribadah. Oleh karenanya bagi orang-orang yang ikhlas, maka ketiga kategori amal
ibadah ini semuanya benar. Sehingga seyogyanya motivasi amal ibadah kita adalah
ketiga-tiganya, yakni karena takut, mengharap pahala serta hendak bersyukur dan
menunaikan hak Allah.

Di hadapan keikhlasan amal itu selalu siaga beragam penyakit yang hendak
menghancurkannya, antara lain adalah :
1. Ujub, yakni perasaan kagum terhadap diri sendiri atau amal perbuatan yang bisa
dilakukan.
Orang yang melakukan amal kebaikan tetapi terserang penyakit yang pertama ini maka
amalnya akan gugur, sia-sia, tak mendapat imbalan dari Allah SWT.

2. Takabur, yakni menyombongkan diri atau amal perbuatan yang telah dilakukan.

Orang yang beramal tetapi terserang penyakit yang kedua ini nasibnya sama dengan yang
pertama, yakni amalnya sia-sia.

3. Orang yang beramal untuk mencari dunia dan akhirat sekaligus.


Sementara ulama berpendapat bahwa amal perbuatan yang diniatkan untuk dunia dan
akhirat tidak diterima di sisi Allah SWT. Mereka bersandar terhadap sabda Rasulullah
SAW dalam hadist qudsi berikut :
“Allah berfirman:”aku tidak memerlukan sekutu-sekutu. Barangsiapa yang melakukan
amal perbuatan dengan menyekutukan selain Aku da

Terhadap masalah ini, dalam kitab ar-Ri’ayah al-Harist al-Muhasibi berkata:


“Ikhlas adalah engkau beramal dengan niat semata-mata melakukan ketaatan kepada
Allah, dan tidak ada maksud-maksud yang lain selain ketaatan itu”.

Sedangkan riya’ itu ada dua macam:

Pertama, seseorang beramal tetapi sama sekali tidak bermaksud melakukan ketaatan, dan
ia hanya ingin dilihat oleh manusia.

Kedua, ia beramal karena mengharap penilaian manusia dan mengharap penilaian Tuhan
manusia. Keduanya sama-sama batal, tidak diterima oleh Allah SWT

Pandangan tersebut diambil oleh al-Hafizh Abu Nu’aim dari pandangan sebagian salafus
saleh. Sebagian diantara mereka ada yang mengambil dalil dari firman Allah:
Maha Perkasa dan Maha Besar, Maha Suci Allah dari apa yang mereka sekutukan.” (QS.
Al-Hasyr:23).

Misalnya orang yang membanggakan istri, anak, sahabat. Maka di sini Allah
membanggakan Dzat-Nya, tak menerima amalan yang dikerjakan sembari menyekutukan
dengan amalan selain-Nya.

Imam Abu Laits as-Samarqadi melihat permasalahan ini secara lebih substansial. Beliau
berkata :
“Apa yang dilakukan karena Allah maka diterima dan apa yang dilakukan karena
manusia maka itulah yang tertolak.”

Misalnya, orang yang mengerjakan shalat zhuhur. Ia mengerjakan itu dengan niat
melaksanakan kewajiban yang telah difardhukan oleh Allah. Tetapi dalam
memanjangkan rukun-rukun dan bacaannya serta dalam memperbagus gerak-geriknya
adalah agar dipuji orang yang shalat bersamanya. Dalam kasus ini maka shalat orang
tersebut tetap sah (diterima oleh Allah) sedangkan panjangnya rukun-rukun yang
dikerjakan serta bacaanya maupun bagusnya gerak-geriknya ini tidak diterima oleh Allah,
sebab niatnya untuk manusia.

Syaikh Izzudin Abdus Salam ditanya tentang orang yang memanjangkan shalatnya
karena manusia. Beliau menjawab:
“Saya berharap hal itu tidak merusak amalannya yang dasar (ashlul ‘amal) yaitu shalat
fardhu. Sedangkan yang rusak adalah sifat shalatnya, yakni dalam memanjangkan shalat
tersebut, karena itu dilakukan karena manusia.”

Sebagaimana dalam mengerjakan amal perbuatan, riya’ pun bisa terjadi pula dalam
meninggalkan amal perbuatan yang motivasinya adalah manusia, maka ini pun termasuk
riya’.

Al-Fadhil bin ‘Iyadh berkata:


“Meninggalkan amal perbuatan karena manusia adalah riya’, sedangkan mengerjakan
amal perbuatan karena manusia adalah syirik. Adapun ikhlas adalah apabila motifnya
semata-mata karena Allah, baik dalam mengerjakan suatu amal maupun dalam
meninggalkannya.”

Maksud dari ucapan beliau ini adalah, barangsiapa yang bermaksud mengerjakan amal
ibadah tetapi tidak jadi mengerjakannya amal ibadah tetapi dia tidak jadi mengerjakannya
karena takut dilihat manusia maka ini termasuk riya’. Sebab dia meninggalkan amal
perbuatan karena manusia. Tetapi kalau dalam meninggalkan itu karena dia ingin
berkhalwat, maka ini justru disunatkan.
Lain halnya kalau yang dikerjakan itu adalah ibadah (shalat) fardhu, atau zakat wajib.
Demikian pula tokoh agama yang mengerjakan amal-amal kebaikan secara terang-
terangan agar diteladani oleh pihak lain, maka apa yang dilakukannya itu lebih utama

Sebagaimana riya’ yang merusak nilai amal ibadah, maka demikian pula dengan tasmi’
(sum’ah). Yakni mengerjakan amal ibadah di tempat yang sepi dari manusia, tetapi
kemudian apa yang dilakukan itu diceritakannya kepada orang lain.
Rasulullah SAW bersabda :

Barangsiapa yang memperdengarkan (amalannya) maka Allah akan memperdengarkan


dengannya, dan siapa yang memamerkan/memperlihatkan (amalnya) Allah akan
memamerkannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Para ulama berpendapat bahwa kalau seseorang alim menceritakan amal perbuatan yang
telah dilakukan kepada orang lain dengan tujuan agar mereka mengikutinya, maka tasmi’
semacam ini diperbolehkan dan tidak merusak nilai amalnya di sisi Allah SWT.

Imam al-Marzabaniy berkata :”orang yang mengerjakan shalat yang menghendaki agar
shalatnya diangkat di sisi Allah, maka dia memerlukan empat hal berikut :
- Hudhurul Qalb (hadirnya hati)
- Syuhudul Aql (sadarnya akal)
- Hudhu’ul Arkan (mendatangi rukun-rukun shalat)
Husyu’ul jawarih (khusuknya anggota tubuh)

Oleh karenanya maka :


- Barangsiapa yang mengerjakan shalat tanpa disertai hadirnya hati, maka ia shalat
dengan lalai.
- Barangsiapa yang mengerjakan shalat tanpa disertai kesadaran akal, maka ia shalat
dengan lupa.

- Barangsiapa yang mengerjakan shalat tanpa disertai kepatuhan pada rukun-rukunnya,


maka ia shalat dengan mencuri rukun-rukunnya.
- Barangsiapa yang mengerjakan shalat tanpa disertai kepatuhan anggota tubuh, maka ia
shalat dengan keliru.
- Barangsiapa yang mengerjakan shalat dengan memenuhi keempat perkara di atas maka
ia shalat dengan sempurna.

Sabda Nabi SAW:


“Sesungguhnya sahnya amal itu tergantung pada niatnya.”
Yang dimaksudnya dengan amal dalam hadist ini adalah amal-amal ketaatan, bukan yang
mubah.

Al-Haritsi al-Muhasibi berkata:


“Keikhlasan itu tidak mencakup pada hal-hal yang mubah. Karena ia tidak bisa menjadi
sarana mendekatkan diri kepada Allah SWT, misalnya membangun rumah yang besar
serta megah. Adapun bila untuk kemaslahatan umum seperti membangun masjid,
jembatan dan sebagainya maka yang demikian itu amat dianjurkan, bahkan menjadi
amalan sunat yang dicintai oleh Allah SWT.”

Beliau menegaskan:
“Tidak ada ikhlas dalam perbuatan yang haram atau perbuatan yang makruh.”
Kata Al-Harits:

“Maka pemberian sifat yang obyektif kaitannya dengan keikhlasan adalah dengan
mempertimbangkan aspek yang samar (sirr) berikut yang jelas (‘alaniyah), yang lahir
berikut yang batin.”

Sabda Nabi SAW :


“Sesungguhnya setiap amal……..”

Ini terkandung maksud: sesungguhnya sahnya amal, atau yang menjadikan sah setiap
amal, atau diterimanya setiap amal, atau sempurnanya setiap amal.

Terhadap hadist ini Imam Abu Hanifah membuat pengecualian mengenai hal-hal tertentu,
seperti menghilangkan najis, mengembalikan barang yang dighashab (dipergunakan
tanpa seijin pemiliknya, dan tidak dimaksudkan mencuri), menyampaikan hadiah, dan
semacamnya. Karena keabsahan perbuatan-perbuatan tersebut tidak terikat pada niat.
Hanya saja, dia tetap memperoleh pahala kalau di dalam mengerjakannya itu disertai niat
untuk bertaqarrub kepada Allah.

Demikian halnya memberi makan pada binatang ternak, misalnya. Apabila dalam
memberi makan ini dimaksudkan untuk mngikuti perintah Allah maka ia memperoleh
pahala. Akan tetapi apabila dalam mengerjakannya dia hanya bermaksud mengamankan
harta maka dia tidak memperoleh pahala.

Secara bahasa, arti niat adalah kehendak (qashd). Sedangkan arti niat secara syara’ adalah
berkehendak kepada suatu beriringan dengan mengerjakannya. Sebab bila kehendak itu
masih jauh dari perbuatan, maka ia dinamakan ‘azm (maksud).

Dan niat itu disyariatkan karena dialah yang membedakan antara adat kebiasaan dengan
ibadah, serta membedakan antara bagian ibadah satu dengan yang lainnya.

Contoh pertama:
Duduk di dalam masjid. Duduk itu sendiri menurut kebiasaan, duduk dimaksudkan untuk
beristirahat. Tetapi kalau diniati I’tikaf maka ia merupakan ibadah. Di sini yang
membedakan antara adat kebiasaan dengan ibadah adalah niat.

Demikian pula mandi. Sebagai adat kebiasaan, mandi dimaksudkan untuk membersihkan
badan, dan secara khusus ia pun bisa dimaksudkan sebagai ibadah, yang membedakan
antara keduanya adalah niat pula.

Inilah yang dikehendaki oleh isyarat dalam sabda Rasulullah SAW, saat beliau ditanya
tentang lelaki yang berperang karena riya’, mempertahankan status serta keberaniannya:
“Yang manakah dari itu yang berperang di jalan Allah?” Maka beliau menjawab:
“Barangsiapa yang berperang agar kalimah Allah menjadi tinggi, maka dia di jalan
Allah!” (HR. Bukhari dan Muslim)
Contoh Kedua:
Yang membedakan dalam tertib ibadah. Seperti orang yang mengerjakan shalat empat
rakaat. Ini bisa dimaksudkan mengerjakan shalat Zhuhur dan bisa pula dimaksudkan
mengerjakan shalat sunnah. Yang membedakan antara keduanya adalah niat

Juga memerdekakan budak. Ia bisa dimaksudkan sebagai kafarat dan bisa pula yang lain,
misalnya dimaksudkan untuk melaksanakan nadzar dan seterusnya. Yang
membedakannya adalah niat.

“Dan sesungguhnya bagi setiap orang adalah apa yang ia niatkan.”

Kedudukan Niat dalam  Amal

Oleh : Syaikh Sholih bin Abdul Aziz Alu Syaikh

‫بسم هللا الرحمن الرحيم‬

‫ وعلى آله وصحبه أجمعين‬،‫ نبينا محمد‬،‫ والصالة والسالم على أشرف األنبياء والمرسلين‬،‫الحمد هلل رب العالمين‬

‫ئ‬ ِ ‫ إِنَّ َما اأْل َ ْع َما ُل بِالنِّيَا‬:ُ‫ْت َرسُو َل هللاِ يَقُوْ ل‬


ٍ ‫ َوإِنَّ َما لِ ُكلِّ ا ْم ِر‬،‫ت‬ ُ ‫ َس ِمع‬:‫ب قَا َل‬ِ ‫ص ُع َم َر ب ِْن ْال َخطَّا‬
ٍ ‫ع َْن أَ ِمي ِْر ْال ُم ْؤ ِمنِ ْينَ أَبِ ْي َح ْف‬
ْ َ َ ْ
ِ ‫ َو َم ْن َكانَت ِهجْ َرتهُ لِ ُّدنيَا ي‬،‫َت ِهجْ َرتُهُ إِلَى هللاِ َو َرسُولِ ِه فَ ِهجْ َرتهُ إِلى هللاِ َو َرسْولِ ِه‬
‫ُص ْيبُهَا أ ِو ا ْم َرأ ٍة يَن ِك ُحهَا‬ ُ َ ُ ْ ‫ فَ َم ْن َكان‬،‫َما نَ َوى‬
‫َاج َر إِلَ ْي ِه‬
َ ‫ فَ ٍه ُج َرتُهُ إِلَى َما ه‬.

“Dari Amirul Mukminin, Umar bin Khatthab radhiallahu ‘anhu, beliau berkata:
Sesungguhnya seluruh amalan itu bergantung pada niatnya dan setiap orang akan
mendapatkan ganjaran sesuai dengan apa yang diniatkannya. Barang siapa yang berhijrah
karena Allah dan rasul-Nya, maka hijrahnya menuju keridhaan Allah dan rasul-Nya.
Barang siapa yang berhijrah karena mencari dunia atau karena ingin menikahi seorang
wanita, maka hijrahnya tersebut kepada apa yang dia tuju.” (HR. Bukhari no. 1, Muslim
no. 155, 1907).

Kedudukan Hadits

Hadits ini begitu agung hingga sebagian ulama salaf mengatakan, “Hendaknya hadits ini
dicantumkan di permulaan kitab-kitab yang membahas ilmu syar’i.” Oleh karena itu
Imam Al Bukhari memulai kitab Shahih-nya dengan mencantumkan hadits ini. Imam
Ahmad berkata, “Poros agama Islam terletak pada 3 hadits, yaitu hadits Umar ‫إنما األعمال‬
‫بالنيات‬, hadits ‘Aisyah ‫من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد‬, dan hadits An Nu’man bin Basyir
‫الحالل بين والحرام بين‬.” Perkataan beliau ini memiliki maksud, yaitu bahwasanya amalan
seorang mukallaf berkisar antara melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan. Dua
hal ini termasuk dalam perkara halal atau haram, selain itu terdapat jenis ketiga yaitu
perkara syubhat yang belum diketahui secara jelas hukumnya, dan ketiga perkara ini
terdapat dalam hadits An Nu’man bin Basyir. Dan telah diketahui bersama, seorang yang
hendak mengamalkan sesuatu, baik melaksanakan suatu perintah atau meninggalkan
larangan harus dilandasi dengan niat agar amalan tersebut benar. Maka nilai suatu amal
bergantung kepada adanya niat yang menentukan amalan tersebut apakah termasuk
amalan shalih dan diterima. Kemudian segala perkara yang diwajibkan atau dianjurkan
Allah ‘azza wa jalla, secara lahiriah harus diukur dengan timbangan (standar) sehingga
amalan itu sah dan yang menjadi standar dalam hal ini adalah hadits ‘Aisyah.

Oleh karena itu, hadits ini senantiasa dibutuhkan di setiap perkara, di saat melaksanakan
perintah, meninggalkan larangan dan ketika berhadapan dengan perkara syubhat.
Berdasarkan hal itu, kedudukan hadits ini begitu agung, karena seorang mukallaf
senantiasa membutuhkan niat, baik dalam melaksanakan perintah dan meninggalkan
perkara yang haram atau syubhat. Semua perbuatan tersebut itu tidak akan bernilai
kecuali diniatkan untuk mencari wajah Allah jalla wa ‘alaa.

Tafsiran Ulama Mengenai “Sesungguhnya Seluruh Amalan Itu Bergantung Pada


Niatnya”

Terdapat beberapa lafadz dalam sabda beliau ‫ إنما األعمال بالنيات‬terkadang lafadz ‫ النية‬dan
‫ العمل‬disebutkan dalam bentuk tunggal atau jamak walaupun demikian kedua bentuk
tersebut memiliki makna yang sama, karena lafadz ‫ العمل‬dan ‫ النية‬dalam bentuk tunggal
mencakup seluruh jenis amalan dan niat.

Di dalam sabda beliau [Sesungguhnya seluruh amalan itu bergantung pada niatnya dan
setiap orang akan mendapatkan ganjaran sesuai dengan apa yang diniatkannya]
terkandung pembatasan. Karena lafadz “innama” merupakan salah satu lafadz pembatas
seperti yang dijelaskan oleh ahli bahasa. Pembatasan tersebut mengharuskan setiap
amalan dilandasi dengan niat,

Terdapat beberapa pendapat mengenai maksud sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
‫إنما األعمال بالنيات‬.

Pendapat pertama, mengatakan sesungguhnya maksud dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam ‫ إنما األعمال بالنيات‬yaitu keabsahan dan diterimanya suatu amalan adalah karena
niat yang melandasinya, sehingga sabda beliau ini berkaitan dengan keabsahan suatu
amalan dan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selanjutnya ‫وإنما لكل امرئ ما نوى‬
maksudnya adalah seseorang akan mendapatkan ganjaran dari amalan yang dia kerjakan
sesuai dengan niat yang melandasi amalnya.

Pendapat kedua mengatakan bahwa sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ‫إنما األعمال‬
‫ بالنيات‬menerangkan bahwa sebab terjadi suatu amalan adalah dengan niat, karena segala
amalan yang dilakukan seseorang mesti dilandasi dengan keinginan dan maksud untuk
beramal, dan itulah niat. Maka faktor pendorong terwujudnya suatu amalan, baik amalan
yang baik maupun yang buruk adalah keinginan hati untuk melakukan amalan tersebut.
Apabila hati ingin melakukan suatu amalan dan kemampuan untuk melakukannya ada,
maka amalan tersebut akan terlaksana. Sehingga maksud sabda Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam ‫ إنما األعمال بالنيات‬adalah amalan akan terwujud dan terlaksana dengan sebab
adanya niat, yaitu keinginan hati untuk melakukan amalan tersebut. Sedangkan sabda
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ‫ وإنما لكل امرئ ما نوى‬memiliki kandungan bahwa
ganjaran pahala akan diperoleh oleh seseorang apabila niatnya benar, apabila niatnya
benar maka amalan tersebut merupakan amalan yang shalih.

Pendapat yang kuat adalah pendapat pertama, karena niat berfungsi mengesahkan suatu
amalan dan sabda beliau [Sesungguhnya seluruh amalan itu bergantung pada niatnya dan
setiap orang akan mendapatkan ganjaran sesuai dengan apa yang diniatkannya]
merupakan penjelas terhadap perkara-perkara yang dituntut oleh syari’at bukan sebagai
penjelas terhadap seluruh perkara yang terjadi.

Kesimpulannya, pendapat terkuat dari dua tafsiran ulama di atas mengenai maksud dari
sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam [Sesungguhnya seluruh amalan itu bergantung
pada niatnya] adalah keabsahan amalan ditentukan oleh niat dan setiap orang
mendapatkan ganjaran dan pahala sesuai dengan apa yang diniatkan.

Definisi Amal

‫ األعمال‬adalah bentuk jamak dari ‫العمل‬, yaitu segala sesuatu yang dilakukan seorang
mukallaf dan ucapan termasuk dalam definisi ini. Yang perlu diperhatikan maksud amal
dalam hadits tersebut tidak terbatas pada ucapan, perbuatan atau keyakinan semata,
namun lafadz ‫ األعمال‬dalam hadits di atas adalah segala sesuatu yang dilakukan mukallaf
berupa perkataan, perbuatan, ucapan hati, amalan hati, perkataan lisan dan amalan
anggota tubuh. Maka seluruh perkara yang berkaitan dengan iman termasuk dalam sabda
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam [Sesungguhnya seluruh amalan itu bergantung pada
niatnya] karena iman terdiri dari ucapan (baik ucapan lisan maupun ucapan hati) dan
amalan (baik amalan hati dan amalan anggota tubuh). Maka seluruh perbuatan mukallaf
tercakup dalam sabda beliau di atas.

Namun keumuman lafadz ‫ األعمال‬dalam hadits ini tidaklah mutlak, karena yang dimaksud
dalam hadits tersebut hanya sebagian amal saja, tidak mutlak walaupun lafadznya umum.
Hal ini dapat diketahui bagi mereka yang telah mempelajari ilmu ushul. Karena segala
amalan yang tidak dipersyaratkan niat dalam pelaksanaannya tidaklah termasuk dalam
sabda beliau ‫ إنما األعمال بالنيات‬contohnya seperti meninggalkan keharaman,
mengembalikan hak-hak orang yang dizhalimi, menghilangkan najis dan yang
semisalnya.

Permasalahan Niat

Jika niat adalah keinginan dan kehendak hati, maka niat tidak boleh diucapkan dengan
lisan karena tempatnya adalah di hati karena seseorang berkeinginan atau berkehendak di
dalam hatinya untuk melakukan sesuatu. Maka amalan yang dimaksud dalam hadits ini
adalah amalan yang dilandasi dengan keinginan dan kehendak hati, atau dengan kata lain
amalan yang disertai pengharapan untuk mendapatkan wajah Allah. Oleh karena itu
makna niat ditunjukkan dengan lafadz yang berbeda-beda. Terkadang dengan lafadz
‫ اإلرادة‬dan terkadang dengan lafadz ‫ االبتغاء‬atau lafadz lain yang semisalnya.
Seperti firman Allah,

َ ِ‫لِلَّ ِذينَ ي ُِري ُدونَ َوجْ هَ هَّللا ِ َوأُولَئ‬


َ‫ك هُ ُم ْال ُم ْفلِحُون‬

“Itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang (berniat) mencari wajah Allah; dan mereka
itulah orang-orang beruntung.” (QS. Ar Ruum: 38)

ْ ‫َوال ت‬
َ ‫َط ُر ِد الَّ ِذينَ يَ ْد ُعونَ َربَّهُ ْم بِ ْال َغدَا ِة َو ْال َع ِش ِّي ي ُِري ُدونَ َوجْ هَهُ َما َعلَ ْي‬
‫ك ِم ْن ِح َسابِ ِه ْم ِم ْن َش ْي ٍء َو َما ِم ْن ِح َسابِكَ َعلَ ْي ِه ْم ِم ْن‬
َّ ْ
َ‫َش ْي ٍء فَتَط ُر َدهُ ْم فَتَ ُكونَ ِمنَ الظالِ ِمين‬

“Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan petang
hari, sedang mereka menghendaki (berniat mendapatkan) wajah-Nya.” (QS. Al An’am:
52)

ُ‫َواصْ بِرْ نَ ْف َسكَ َم َع الَّ ِذينَ يَ ْد ُعونَ َربَّهُ ْم بِ ْال َغدَا ِة َو ْال َع ِش ِّي ي ُِري ُدونَ َوجْ هَه‬

“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di


pagi dan senja hari dengan mengharap (berniat mendapatkan) wajah-Nya.” (QS. Al
Kahfi: 28)

Atau firman Allah yang semisal dengan itu seperti,

‫ب‬ ِ ‫ث ال ُّد ْنيَا نُ ْؤتِ ِه ِم ْنهَا َو َما لَهُ فِي‬


ِ ‫اآلخ َر ِة ِم ْن ن‬
ٍ ‫َصي‬ َ ْ‫ث اآل ِخ َر ِة ن َِز ْد لَهُ فِي َحرْ ثِ ِه َو َم ْن َكانَ ي ُِري ُد َحر‬
َ ْ‫َم ْن َكانَ ي ُِري ُد َحر‬

“Barang siapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambah Keuntungan
itu baginya.” (QS. Asy Syuura: 20)

Atau dengan lafadz ‫ االبتغاء‬seperti firman Allah,

‫إِال ا ْبتِغَا َء َوجْ ِه َربِّ ِه األ ْعلَى‬

“Tetapi (dia memberikan itu semata-mata) karena mencari keridhaan Tuhannya yang
Maha tinggi.” (QS. Al Lail: 20)

ِ ‫ضا ِة هَّللا‬ َ ِ‫اس َو َم ْن يَ ْف َعلْ َذل‬


َ ْ‫ك ا ْبتِغَا َء َمر‬ ٍ ْ‫ُوف أَوْ إِص‬
ِ َّ‫الح بَ ْينَ الن‬ ٍ ‫ص َدقَ ٍة أَوْ َم ْعر‬
َ ِ‫ير ِم ْن نَجْ َواهُ ْم إِال َم ْن أَ َم َر ب‬
ٍ ِ‫ال َخ ْي َر فِي َكث‬
)١١٤( ‫َظي ًما‬ َ ُ
ِ ‫ف َسوْ فَ ن ْؤتِي ِه أجْ رًا ع‬ َ

“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan


dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma’ruf, atau
mengadakan perdamaian di antara manusia. dan Barang siapa yang berbuat demikian
karena mencari keridhaan Allah, Maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang
besar.” (QS. An Nisaa’: 114)

Sehingga lafadz niat dalam nash-nash Al Quran dan Sunnah terkadang ditunjukkan
dengan lafadz ‫اإلرادة‬, lafadz ‫ اإلبتغاء‬atau lafadz ‫ اإلسالم‬yang bermakna ketundukan hati dan
wajah kepada Allah.
Makna Niat

Lafadz niat yang tercantum dalam firman Allah ‘azza wa jalla atau yang digunakan
dalam syariat mengandung dua makna.

Pertama, niat yang berkaitan dengan ibadah itu sendiri dan yang kedua bermakna niat
yang berkaitan dengan Zat yang disembah (objek/sasaran peribadatan). Maka niat itu ada
dua jenis:

Jenis Pertama, niat yang berkaitan dengan ibadah itu sendiri. Niat dengan pengertian
semacam ini sering digunakan ahli fikih dalam pembahasan hukum-hukum ibadah yaitu
ketika mereka menyebutkan syarat-syarat suatu ibadah, semisal perkataan mereka “Syarat
pertama dari ibadah ini adalah adanya niat” Niat dalam perkataan mereka tersebut adalah
niat dengan makna yang pertama, yaitu niat yang berkaitan dengan zat ibadah itu sendiri
sehingga mampu dibedakan dengan ibadah yang lain.

Jenis yang kedua, adalah niat yang berkaitan dengan Zat yang disembah (objek/sasaran
peribadatan) atau sering dinamakan dengan ‫ اإلخالص‬yaitu memurnikan hati, niat dan amal
hanya kepada Allah ‘azza wa jalla.

Jadi kedua makna niat di atas tercakup dalam hadits ini. Sehingga makna sabda Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam ‫ إنما األعمال بالنيات‬adalah sesungguhnya keabsahan suatu
ibadah ditentukan oleh niat, yaitu niat yang berfungsi untuk membedakan ibadah yang
satu dengan ibadah yang lain dan niat yang bermakna mengikhlaskan peribadatan hanya
kepada Allah. Sehingga tidak tepat pendapat yang mengatakan bahwa niat yang
dimaksud dalam hadits tersebut adalah niat yang bermakna ikhlas saja atau pendapat
yang mengatakan ikhlas tidak termasuk dalam perkataan ahli fikih ketika membahas
permasalahan niat.

Sabda Nabi shallallahu ‘Alaihi wa sallam ((‫))وإنما لكل امرئ ما نوى‬

Di dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ‫[ وإنما لكل امرئ ما نوى‬setiap orang akan
mendapatkan ganjaran sesuai dengan apa yang diniatkannya] terkandung pembatasan,
yakni setiap orang hanya akan mendapatkan ganjaran dan pahala sesuai dengan niat yang
melandasi amalannya.

Jika niatnya ditujukan untuk Allah dan meraih kampung akhirat maka amalannya adalah
amalan yang shalih, dan sebaliknya apabila niatnya hanyalah untuk meraih dunia maka
amalan yang dia lakukan adalah amalan yang jelek lagi rusak. Hal ini ditunjukkan dalam
firman Allah,

ِ ِ‫َو َما أُ ِمرُوا إِال لِيَ ْعبُدُوا هَّللا َ ُم ْخل‬


‫صينَ لَهُ ال ِّدينَ ُحنَفَا َء‬

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan
ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus.” (QS. Al Bayyinah: 5).
Maksudnya adalah agama yang dilandasi niat ikhlas dan bebas dari syirik sebagaimana
firman-Nya,

ُ‫أَال هَّلِل ِ الدِّينُ ْالخَ الِص‬

“Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik).” (QS. Az Zumar:
3)

Pembahasan ikhlas pun dijelaskan dalam hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
seperti sabda beliau dalam hadits yang diriwayatkan Imam Muslim dalam Shahih-nya,

‫ من عمل عماًل أشرك فيه معي غيري تركته وشركه‬،‫أنا أغنى الشركاء عن الشرك‬

“Aku tidak butuh kepada sekutu. Barang siapa yang melakukan suatu amalan dan
menyekutukan-Ku dalam amalan tersebut, aku tinggalkan dia bersama sekutunya.” (HR.
Muslim nomor 5300).

Dalil ini menunjukkan wajibnya memurnikan amalan ibadah bagi Allah semata, sehingga
amalan tersebut dapat diterima dan diberi pahala. Maka konsekuensi logisnya adalah
seseorang yang mengerjakan suatu amalan dan tercampur niatan selain Allah dalam amal
tersebut maka amalannya batal dan rusak.

Namun hal ini masih menyisakan pertanyaan. Bagaimana hukumnya jika niatan untuk
selain Allah itu terletak di awal ibadah, pertengahan, di akhir ibadah atau terjadi di suatu
rukun namun tidak terjadi di rukun yang lain? Permasalahan ini memiliki 3 kondisi
sebagaimana yang dijelaskan oleh para ulama’.

Pertama, seseorang yang memulai amalannya dengan niat riya’ atau sum’ah kepada
makhluk. Maka amalannya batal dan dia adalah seorang musyrik kafir sebagaimana
disebutkan dalam hadits,

‫ ومن تصدق يرائي فقد أشرك‬،‫ ومن صام يرائي فقد أشرك‬،‫من صلى يرائي فقد أشرك‬

“Barang siapa yang shalat, berpuasa dan bersedekah dengan tujuan riya’ maka dia telah
berbuat syirik.” (HR. Ahmad nomor 16517)

Yang patut diperhatikan adalah riya’ dalam seluruh amalan seorang muslim tidak
mungkin terjadi, namun riya’ hanyalah terjadi di sebagian amalan seorang muslim,
terkadang di permulaan ibadah atau di pertengahan ibadah, tidak seluruhnya! Riya’
model itu hanyalah dilakukan oleh kaum kafir dan munafik sebagaimana firman Allah
ketika menyifati orang-orang munafik,

‫اس َوال يَ ْذ ُكرُونَ هَّللا َ إِال قَلِيال‬


َ َّ‫يُ َراءُونَ الن‬

“Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. dan tidaklah mereka
menyebut Allah kecuali sedikit sekali.” (QS. An NIsaa’: 142)
Dan firman-Nya ketika menyifati orang-orang kafir,

ِ ‫اس َوال ي ُْؤ ِمنُ بِاهَّلل ِ َو ْاليَوْ ِم‬


‫اآلخ ِر‬ ُ ِ‫ص َدقَاتِ ُك ْم بِ ْال َمنِّ َواأل َذى َكالَّ ِذي يُ ْنف‬
ِ َّ‫ق َمالَهُ ِرئَا َء الن‬ َ ‫يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا ال تُ ْب ِطلُوا‬

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu


dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang
menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah
dan hari kemudian.” (QS. Al Baqarah: 264)

Oleh karenanya apabila niat awal seseorang ketika melakukan shalat, berpuasa atau
bersedekah adalah kepada selain Allah (seperti riya’ atau sum’ah) maka seluruh amalan
tersebut rusak dan batal.

Kedua, niatan kepada selain Allah itu terjadi ketika sedang melaksanakan ibadah.
Terdapat dua kondisi untuk permasalahan ini:

Kondisi pertama, orang tersebut membatalkan niatnya yang semula ikhlas dan digantikan
dengan niatan kepada selain Allah, maka hukumnya seperti permasalahan pertama di
atas, karena dia telah membatalkan niatnya yang semula ikhlas kemudian
memperuntukkan ibadah tersebut kepada makhluk selain Allah.

Kondisi kedua, seseorang memulai ibadahnya dengan ikhlas kemudian memperindah


ibadahnya seperti memperpanjang shalatnya karena orang lain melihatnya, atau
memperpanjang rukuknya di luar kebiasaannya karena seseorang melihatnya. Maka hal
ini tidak merusak pokok amalannya yang terletak di permulaan ibadah karena dia
melakukannya dengan ikhlas, namun yang rusak adalah amalan yang tercampur dengan
riya’ dan dia adalah seorang musyrik yang melakukan syirik ashghar (syirik kecil)-wal
‘iyadzu billah.

Ketiga, seseorang yang merasa senang dengan pujian orang lain setelah dia melakukan
ibadah kepada Allah Ta’ala dengan ikhlas seperti seseorang yang shalat, menghafal Al
Quran, berpuasa ikhlas kepada Allah ta’ala kemudian orang lain memujinya dan dia
merasa senang dengan hal tersebut. Dalam kondisi ini, hal tersebut tidaklah membatalkan
pokok amalannya karena dia melakukan amalan tersebut dengan niat ikhlas kepada Allah
dan niatnya tidak berubah ketika sedang melaksanakannya namun rasa senang tersebut
muncul setelah dia selesai mengerjakan amalan tersebut. Hal ini adalah kabar gembira
baginya sebagaimana disebutkan dalam hadits,

‫تلك عاجل بشرى المؤمن‬

“Hal tersebut merupakan kabar gembira yang disegerakan bagi seorang mukmin, yaitu
dia mendengar pujian manusia kepadanya karena ibadah yang dilakukannya padahal dia
tidak menginginkannya.” (HR. Muslim nomor 4780; HR. Ahmad nomor 20416, 20432,
20503; HR. Baihaqi dalam Syu’abul Iman nomor 6745, 6746, 6747)

Pembagian Amal
Amalan juga terbagi dua, apabila ditinjau dari sisi niat yang mengiringinya. Pertama,
amalan yang hanya boleh diniatkan untuk memperoleh wajah Allah dan tidak boleh
diiringi dengan niat untuk memperoleh ganjaran di dunia. Jenis ini terdapat di sebagian
besar perkara ibadah.

Kedua, perkara ibadah yang didorong oleh Allah untuk dilakukan dengan menyebutkan
ganjarannya di dunia, seperti menyambung kekerabatan sebagaimana sabda Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam,

ِ َ‫َم ْن َس َّرهُ أَ ْن يُ ْب َسطَ لَهُ فِي ِر ْزقِ ِه َوأَ ْن يُ ْن َسأ َ لَهُ فِي أَثَ ِر ِه فَ ْلي‬
ُ‫صلْ َر ِح َمه‬

“Barang siapa yang ingin diluaskan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, maka
hendaknya dia menyambung kekerabatan.” (HR. Bukhari nomor 1925, 5526)

Atau seperti sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,

‫من قتل قتيال فله سلبه‬

“Barang siapa yang membunuh musuh dalam peperangan, maka harta orang tersebut
menjadi miliknya.” (HR. Malik 3/339; Tirmidzi 6/66; Ath Thabrani 6/392-394; Ad
Darimi 7/436; Ibnu Hibban 14/119, 20/199)

Maka di dalam hadits ini terdapat dorongan untuk berjihad disertai penyebutan ganjaran
di dunia. Maka dalam amalan model ini, boleh bagi seseorang mengharapkan ganjaran di
dunia (di samping mengharapkan niat mencari wajah Allah -pent), karena tidak mungkin
hal tersebut disebutkan kecuali Dia mengizinkan hal tersebut. Oleh karenanya, boleh bagi
seseorang menyambung kekerabatan dengan niat ikhlas kepada Allah, namun di samping
itu dirinya berharap mendapatkan ganjaran di dunia seperti kelapangan rezeki dan umur
yang panjang. Atau seseorang berjihad untuk mendapatkan ghanimah (rampasan perang)
dan niatnya ikhlas kepada Allah, maka hal ini diperbolehkan dan niatnya tersebut tidak
termasuk sebagai syirik dalam niat karena Allah telah mengizinkan hal tersebut dengan
menyebutkan ganjarannya di dunia apabila dilakukan.

Sehingga amalan itu terbagi menjadi dua, yakni ibadah yang disebutkan ganjarannya di
dunia oleh Allah ‘azza wa jalla dan ibadah yang tidak disebutkan ganjarannya di dunia
oleh Allah ‘azza wa jalla. Hal ini disebutkan dalam firman Allah ‘azza wa jalla,

َ‫َم ْن َكانَ ي ُِري ُد ْال َحيَاةَ ال ُّد ْنيَا َو ِزينَتَهَا نُ َوفِّ إِلَ ْي ِه ْم أَ ْع َمالَهُ ْم فِيهَا َوهُ ْم فِيهَا ال يُبْخَ سُون‬

“Barang siapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami
berikan kepada mereka Balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka
di dunia itu tidak akan dirugikan.” (QS. Huud: 15)

Namun yang perlu diperhatikan bahwa derajat seseorang yang menyambung kekerabatan
dengan niat ikhlas kepada Allah lebih tinggi dan lebih besar pahalanya daripada
seseorang yang menyambung kekerabatan untuk mendapatkan dunia di samping niat
ikhlas kepada Allah. Oleh karena itu, para ulama salaf di antaranya adalah Imam Ahmad
ketika ditanya mengenai hal ini, maka beliau menjawab, “Pahalanya sesuai dengan kadar
niatnya.”

Niat untuk mendapatkan dunia ini tidaklah membatalkan pokok amalnya akan tetapi
pahalanya berkurang sesuai kadar niatnya terhadap dunia. Sehingga semakin ikhlas
kepada Allah dalam amalan model ini, maka semakin besar pula pahalanya dan begitu
pula sebaliknya.

Sekelumit Tentang Hijrah

Huruf fa’ (‫)الفاء‬dalam sabda beliau ‫ فمن كانت هجرته‬berfungsi untuk merinci jenis amalan
yang terkadang ditujukan kepada Allah atau ditujukan kepada selain Allah dan dalam
hadits ini Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan permisalan dengan hijrah.

Hijrah (‫ )الهجرة‬bermakna (‫ )الترك‬meninggalkan. Pada dasarnya, tujuan berhijrah adalah


berhijrah kepada Allah ‘azza wa jalla dengan ikhlas dan mengharapkan pahala yang ada
di sisi-Nya dan juga berhijrah kepada rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu
dengan mengikuti dan tunduk kepada ajaran yang beliau bawa.

Terdapat dua golongan dalam sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,

‫ ومن كانت هجرته لدنيا يصيبها أو امرأة ينكحها فهجرته‬،‫فمن كانت هجرته إلى هللا ورسوله فهجرته إلى هللا ورسوله‬
‫إلى ما هاجر إليه‬

Pertama, golongan yang berhijrah kepada Allah dan rasul-Nya dengan niat ikhlas
sehingga mendapatkan ganjaran dan pahala dari hijrah yang dilakukakannya. Salah satu
contoh dalam masalah ini adalah seseorang yang berhijrah dari negeri syirik dan kufur
menuju negeri Islam atau seseorang yang berhijrah dari daerah yang penuh kebid’ahan
dan kemungkaran menuju daerah yang menegakkan sunnah dan minim kemungkaran.
Adapun hukumnya dibahas dalam kitab-kitab fiqih secara terperinci.

Kedua, golongan yang berhijrah dikarenakan motivasi duniawi sebagaimana dalam sabda
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,

‫ومن كانت هجرته لدنيا يصيبها أو امرأة ينكحها فهجرته إلى ما هاجر إليه‬

Golongan ini seperti seorang pedagang yang berhijrah untuk mendapatkan harta atau
seorang yang berhijrah untuk menikahi wanita yang dipujanya, maka hijrah yang
dilakukannya tidaklah mendatangkan pahala dan terkadang dirinya memperoleh dosa.

‫و صلى هللا على نبينا محمد و على آله و صحبه أجمعين‬

Selesai diterjemahkan oleh Muh Nur Ikhwan Muslim di Pogung Baru 8 Shafar 1428 H

You might also like